Pendahuluan Kesehatan jiwa merupakan salah satu hal yang kini menarik perhatian masyarakat dunia selain kesehatan fisik. Secara global, sekitar 450 juta manusia menderita gangguan jiwa (Williams, Chapman, & Lando, 2005) dan sepertiga dari populasi dewasa di dunia menderita gangguan jiwa setiap tahunnya (Kessler & Ustun, 2008). Sekitar 22% dari populasi dewasa di Amerika Serikat didiagnosa dengan satu atau lebih gangguan jiwa dalam tahun tertentu (Williams dkk, 2005), 27% dari jumlah populasi dewasa di Eropa terkena gangguan jiwa setiap tahunnya (Wittchen dkk, 2011) dan hasil penelitian menyatakan prevalensi gangguan jiwa di seluruh Indonesia yaitu sebesar 11,6% dari populasi dewasa (Retnowati, 2011). Di Amerika Serikat, sekitar 29% dari populasi dewasa menderita gangguan kecemasan, 25% menderita gangguan kontrol impuls (control-impulse disorder), 21% menderita gangguan mood, 15% menderita gangguan penggunaan zat, dan 46% dari setiap gangguan ini (Williams dkk, 2005). Hasil dari penelitian lintas Eropa menemukan bahwa 1 dari 4 orang dilaporkan memiliki kriteria gangguan yang terdapat dalam DSM IV, termasuk di dalamnya gangguan mood sebesar 13,9%, gangguan kecemasan sebesar 13,6% dan gangguan penggunaan alkohol sebesar 5,2% (Alonso dkk, 2004). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada tahun 2007, prevalensi terjadinya masalah mental emosional seperti depresi dan ansietas sebanyak 11,60% dari jumlah penduduk Indonesia (Iswanti, 2012). Gangguan bipolar, yang biasa disebut sebagai gangguan manik-depresif, merupakan gangguan mental berulang dan jangka panjang, di mana dapat mempengaruhi hidup penderita dan kerabatnya (Goosens, Hartong, Knoppert-van der Klein & Achterberg, 2008). Gangguan Bipolar merupakan salah satu gangguan jiwa yang termasuk ke dalam kelompok gangguan mood, diartikan sebagai suatu keadaan di mana penderita dapat mengalami episode mania atau hipomania dan kemudian berganti ke episode depresi (APA, 1994) .
Berbagai penelitian menerangkan bahwa penyebab dari gangguan bipolar disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: 1. Faktor biologis: adanya (1) ketidakseimbangan pada neurotransmiter monoamina yaitu: serotonin, dopamin dan norepinefrin di dalam tubuh. Penurunan terhadap neurotransmiter dopamin, serotonin, dan norepinefrin lebih banyak dikatkan dengan kemunculan episode depresif sementara peningkatan dopamin akan menyebabkan munculnya episode mania (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1997). (2) Terganggunya sistem limbik, terutama amigdala dan hipokampus. Amigdala berperan terhadap konitif-afektif, seperti: ingatan yang berkesan, sedangkan hipokampus berperan dalam regulasi mood dan perilaku emosional, serta memiliki fungsi kognitif, seperti: memori (Wijeratne dkk,
2013). Beberapa
penelitian menemukan bahwa ukuran amigdala dan hipokampus pada Orang Dengan Bipolar (ODB) lebih besar daripada orang normal (Beyer & Krishnan, 2002; Javadopour, Malhi, Ivanovski, Chen, Wen, & Sachdev, 2010). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa interaksi antara amigdala dan prefrontal Cortex (PFC) memainkan peran penting dalam meregulasi mood. PFC terletak di bagian paling depan otak dan berfungsi untuk menganalisis, berpikir abstrak, dan meregulasi perilaku. Dalam penelitian disebukan bahwa PFC pada ODB lebih kecil daripada orang normal (Biederman dkk, 2007). Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa ODB akan bereaksi sangat senang saat mendapatkan kabar baik dan berekasi sangat sedih ketika mendapatkan kabar kurang baik. 2. Faktor genetik: penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari gangguan bipolar I berkemungkinan 8 sampai 18 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama subjek kontrol untuk menderita gangguan bipolar I dan II sampai 10 kali lebih mungkin dari menderita gangguan depresif berat. Hasil penelitian lain juga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama
subjek kontrol untuk menderita gangguan bipolar I dan 2 sampai 3 kali lebih mungkin menderita gangguan depresif berat. Adanya fakta bahwa kira-kira 50% semua pasien gangguan bipolar I memiliki sekurangnya satu orang tua dengan suatu gangguan mood, paling sering adalah gangguan depresif berat. Jika satu orang tua menderita gangguan bipolar I, terdapat kemungkinan 25% anaknya akan menderita gangguan mood. Jika kedua orang tua menderita gangguan bipolar I terdapat kemungkinan 50% - 75% anaknya menderita suatu gangguan mood. Penelitian tentang adopsi juga menyatakan bahwa anak biologis dari orang tua yang menderita tetap berada dalam resiko menderita suatu gangguan mood bahkan jika mereka dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan (Kaplan dkk, 1997). 3. Faktor psikososial: adanya peristiwa yang menyebabkan stres lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Stres yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama sehingga menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Hasil dari perubahan tersebut menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood selanjutnya bahkan tanpa adanya stresor eksternal. Hasil dari penelitian juga menyatakan bahwa semua manusia, apapun pola kepribadiannya, dapat dan memang menjadi depresi dalam keadaan yang tepat, tetapi kerpibadian tertentu seperti: dependen, obsesif-kompulsif, dan histerikal mungkin berada dalam resiko yang lebih besar untuk mengalami depresi daripada tipe kepribadian lain (Kaplan dkk, 1997). Ketiga faktor tersebut memiliki kemungkinan interaksi sebagai penyebab gangguan bipolar, contohnya: faktor psikososial dan faktor genetika dapat mempengaruhi faktor biologi (misalnya , konsenterasi terhadap neurotransmitter tertentu), faktor biologis dan psikososial juga dapat mempengaruhi ekspresi gen, dan faktor biologis dan genetik dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap stressor psikososial (Kaplan dkk, 1997).
Gangguan bipolar diperkirakan mempengaruhi antara 0,3% sampai 1,5% individu di seluruh dunia (Weissman dkk, 1996). Sekitar 1,2% dari jumlah populasi dewasa di Amerika Serikat (2,3 juta penduduk Amerika) memiliki diagnosis Bipolar I. Adanya spektrum Bipolar, termasuk di dalamnya Bipolar II dan gangguan siklotimik, prevalensi meningkat sampai dengan 5% dari jumlah populasi. Lewis (2004) memperkirakan hanya sekitar sepertiga dari ODB yang didiagnosis secara tepat dan lebih sedikit lagi yang mendapatkan pengobatan. Kesalahan diagnosis yang dilakukan para ahli dalam setting kesehatan sering terjadi. Hasil penelitian mengemukakan bahwa 30% pasien yang didiagnosis memiliki gangguan depresi atau gangguan kecemasan kemungkinan besar memiliki gangguan Bipolar. Hal ini dikarenakan pasien biasanya akan mencari bantuan dan pengobatan saat episode depresi muncul (Manning, 2003). Gangguan Bipolar diasosiasikan dengan tingkat persentase tertinggi untuk kasus bunuh diri diantara gangguan jiwa lainnya. Diperkirakan sekitar 10% – 15% ODB pada akhirnya akan bunuh diri dan paling tidak 25% orang yang bunuh diri di Amerika Serikat adalah ODB (Jamison, 2000). Sejalan dengan itu, Pardede (2012) menyatakan sekitar 69% kasus percobaan bunuh diri di Medan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki gangguan psikosis atau didiagnosa memiliki gangguan kesehatan mental seperti depresi berat, gangguan kecemasan dan yang paling mendominasi hampir keseluruhannya adalah gangguan Bipolar. Gangguan bipolar ini juga diperkirakan menjadi penyebab penyebab medis ke-9 terkait kecacatan global (WHO, 2001). ODB seringkali menghadapi beban, termasuk beban sosial, tingginya angka perceraian dan kerugian-kerugian lainnya (Ostacher, 2005). Pernyataan tersebut dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa hampir setengah dari laki-laki dan seperempat dari perempuan dengan gangguan bipolar dilaporkan belum menikah dan tidak pernah berada dalam hubungan jangka panjang. Selain itu, sebagian besar ODB dilaporkan memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi namun kinerja mereka dalam pekerjaan terganggu dan 67% ODB sedang mencari kerja karena sebelumnya harus kehilangan pekerjaan (Mitchell, Ball, Best, Gould, Malhi, Riley, & Wilson, 2006). Selain itu, dilaporkan bahwa rata-rata kekambuhan ODB diperkirakan mencapai 30% 40% per tahun kemudian meningkat menjadi 60% per dua tahun dan 70% per lima tahun (Otto, Reily-Harrington, & Sachs, 2003; Rouget & Aubry, 2007). Kekambuhan ini muncul karena adanya kurang pengertian ODB terhadap gangguan bipolar dan konsekuensi yang akan timbul jika tidak patuh dalam menjalani pengobatan (Keck, McElroy, Strakowski, Bourne, & West, 1997; Parikh, Kusumakar, Halsam, Matte, Sharma, & Yatham, 1997). Adapun hasil preliminary study berupa FGD mengenai kebutuhan ODB yang dilakukan pada tanggal 17 Mei 2014 di Jakarta adalah sebanyak 5 dari 6 ODB memerlukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola bipolarnya dikarenakan mood dalam gangguan bipolar mengganggu fungsi dan peran dalam kesehariannya. Adapun kebutuhan lain yang mereka perlukan adalah strategi untuk mandiri secara finansial. Selain itu, 5 dari 6 ODB menyatakan bahwa mereka pernah mengalami putus obat, namun sampai sekarang ini hanya 3 ODB yang mampu mengkonsumsi obat-obatan sesuai dengan anjuran psikiater. Tiga ODB lain menyatakan bahwa mereka masih sering putus obat dikarenakan alasan-alasan seperti: lupa, merasa baik-baik saja, dan bosan. Dua dari 3 ODB menyatakan bahwa mereka biasanya hanya mengkonsumsi obat saat merasa moodnya sudah mulai kacau. Selain itu, 3 ODB menyatakan bahwa mereka tidak bisa mengatakan secara terus terang kepada masyarakat bahwa mereka terkena bipolar. Hal ini karena mereka tidak ingin ditanyatanya mengenai bipolar itu sendiri sehingga akhirnya mereka akan dipandang aneh oleh orang lain. Tiga dari 6 ODB mengaku bahwa sering memikirkan pikiran-pikiran negatif dalam kesehariannya. Dua ODB sempat menyatakan bahwa episode depresi merupakan episode paling berat menurut mereka.
Kesimpulan dari preliminary study adalah kebutuhan urgensi ODB saat ini adalah untuk menurunkan mood bipolar (mood depresi ataupun mania/hipomania) dengan cara meningkatkan manajemen gangguan bipolar pada ODB. Manajemen diri terhadap gangguan (illness self management) merupakan strategi yang dipakai oleh indivdu dengan gangguan mental untuk mengelola secara efektif gangguan yang mereka miliki. Mueser dkk (2002) mengidentifikasi 5 intervensi dengan dukungan empiris untuk menurunkan tingkat keparahan gangguan (seperti: depresi, bipolar, skizofrenia, skizoafektif, dan gangguan kepribadian) yaitu: psikoedukasi, pelatihan keterampilan sosial, perencanaan pencegahan kekambuhan, peningkatan kepatuhan obat, dan pelatihan keterampilan koping untuk mengelola simptom dan stres. Harapan saat seseorang memiliki manajemen diri terhadap gangguan yang baik adalah memasuki fase pemulihan (recovery). Pemulihan dapat diartikan sebagai seseorang yang mendapatkan kembali kesadaran dirinya dan tempat dalam masyarakat setelah dapat mengelola gangguannya. Dari pendapat Mueser dkk (2002) dan hasil FGD yang telah disebutkan diatas, ODB perlu mendapatkan suatu program manajemen diri yang berisi peningkatan pengetahuan dan keterampilan dan penyusunan rencana dalam mengelola gangguan bipolar (bipolar management disorder). Peningkatan keterampilan dapat berupa hal-hal yang dapat dilakukan saat mood bipolar muncul, salah satunya adalah keterampilan untuk mengenali mood dan mengidentifikasi pemicu dan gejala awal episode dalam bipolar. Hasil FGD menyatakan bahwa mood depresi merupakan mood terberat bagi mereka sehingga perlu adanya penekanan terhadap pemberian keterampilan dalam menghadapi mood depresi. Salah satunya, adalah dengan cara menurunkan pikiran negatif ODB dengan cara mengubah pikiran negatif menjadi positif. Manajemen diri terhadap gangguan (illness self management) terkait dengan manajemen diri. Manajemen diri merupakan komponen inti dari permasalahan gangguan kesehatan
(Nuovo, 2007). Manajemen diri diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengelola gejala, pengobatan, konsekuensi fisik, sosial, serta perubahan gaya hidup dengan kondisinya saat mengalami gangguan (Glasgow, Davis, Funnel, & Beck, 2003). Manajemen diri dapat dilihat sebagai metode, keahlian, dan strategi agar seseorang secara efektif mengarahkan aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara menentukan tujuan, merencanakan, menjadwalkan, mengerjakan tugas-tugas, evaluasi diri, intervensi diri, dan pengembangan diri untuk mempengaruhi kognitif, perilaku dan perasaan emosi individu demi tercapainya kepuasan kualitas hidup (Yeung, Feldman, & Fava, 2010). Perkembangan manajemen diri dipengaruhi dari psikologi klinis, terutama dari pendekatan kognitif-perilaku. Hal yang terpenting dalam manajemen diri adalah bagaimana cara mengubah cara pikir individu tentang diri dan gangguannya serta bagaimana mengubah perilaku menjadi lebih baik dikarenakan pikiran mereka (Newman, Steed, & Mulligan, 2004). Manajemen diri memandang bahwa ada hubungan yang kuat antara pikiran, perilaku serta emosi dimana pikiran dan emosi akan memicu hormon atau senyawa kimia dalam tubuh. Hormon atau senyawa kimia yang diproduksi ini akan mengirimkan pesan kepada tubuh dan mempengaruhi fungsi dari tubuh, misalnya: perubahan tekanan darah, bernafas, konsentrasi, munculnya keringat dingin, menangis dan sebagainya (Lorig, Holman, Sobel, Laurent, Gonzales, & Minor, 2006). Tiga komponen dalam proses manajemen diri adalah memantau diri, evaluasi diri, dan penguatan diri yang diaplikasikan secara bertahap dan berkelanjutan untuk meningkatkan kemajuan terhadap pikiran, perilaku, dan perasaan yang ditargetkan (Kanfer & Karoly, 1972 dalam Mezo & Francis, 2012). Teknik ini diaplikasikan dalam rangka meningkatkan kapasitas pengelolaan diri (Yamashita & Okamura, 2011), sehingga individu terlibat secara aktif dalam mengatur kondisi mereka (Jones & Riazi, 2011). Pemberian program manajemen diri harus sesuai dengan fokus dan permasalahan seseorang. Contohnya saja, pelatihan manajemen diri yang dilakukan Bilsker, Goldner, &
Jones (2007) dan Rokke, Tomhave & Jocic (2000) untuk gangguan depresi berasal dari pendekatan kognitif-perilaku yang menyediakan pengetahuan mengenai gangguan depresi serta mengajarkan mereka kemampuan terkait penangannya. Program-program manajemen diri terhadap gangguan bipolar untuk ODB yang telah disusun biasanya berisi tentang kesadaran ODB tentang gangguan bipolar, mengidentifikasi pemicu dari sebuah episode baru, pentingnya pengobatan, menghadapi perubahan mood, mencapai kontrol diri yang lebih baik, kesadaran tentang efek samping dari pengobatan, efek dari kopi dan nikotin dan pentingnya rutinitas dan gaya hidup (Colom & Vieta, 2006; Dashtbozorgi, Ghadirian, Khajeddin, & Karami, 2009; Fayyazi, Soltanifar, & Talaei, 2009). Beberapa program manajemen diri untuk gangguan bipolar yang telah disusun di berbagai negara, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Life Goals Program (LGP) merupakan program manajemen diri yang berfokus pada dua target utama yang akan dicapai dalam dua fase. Target dari fase pertama yaitu meningkatkan partisipasi ODB dalam pengobatan medis, target kedua adalah mendampingi ODB untuk mencapai fungsinya (Bauer & MacBride, 2003). Fase pertama merupakan fase psikoedukasi yang berlangsung selama 6 sesi dalam kurun waktu 6 minggu. Fase pertama membicarakan tentang pentingnya kepatuhan pengobatan, efek dari ketidakpatuhan dalam pengobatan, dan mendiskusikan perilaku maladaptif dari simptomsimptom kekambuhan. ODB juga diminta untuk mengidentifikasi simptom yang mereka rasakan, tanda awal dan pemicu dari kekambuhan lalu. Fase kedua merupakan fase pilihan dimana diadakan per satu bulan dan tanpa format baku yang bertujuan untuk mencapai target dan keterampilan pemechan masalah. Dalam penelitian ini, LGP terbukti efektif untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup ODB (Bauer dkk, 2006). 2. Barcelona Bipolar Project Disorder merupakan program manajemen diri dengan durasi 90 menit per sesi yang berlangsung selama 6 bulan (21 sesi). Sesi interaktif ini difasilitasi
oleh psikolog dibawah supervisi psikiater. Program ini terdiri dari 9-12 ODB namun dapat ditingkatkan menjadi 15 ODB. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa ODB yang mengikuti program ini lebih sedikit mengalami kekambuhan dalam episode manik ataupun depresif dalam 2 tahun follow up (Colom dkk, 2003). 3. Beating Bipolar merupakan program berbasis web yang dikembangkan oleh Department of Psychological Medicine and Clinical Neuroscience di Universitas Cardiff, dimana berisi 8 sesi dengan durasi waktu 4 bulan (2 minggu untuk 1 kali sesi). Tiap sesi dari Beating Bipolar meliputi: 1) diagnosis dari bipolar, 2) penyebab bipolar, 3) fungsi pengobatan, 4) gaya hidup, 5) pencegahan kekambuhan dan intervensi awal, 6) pendekatan psikologi, 7) gender dan bipolar, dan 8) keluarga dan karir (Simpson dkk, 2009). Sesi diberikan secara online, setelah itu peserta diminta untuk terlibat dalam forum online dimana fasilitator akan menyediakan tugas dan latihan-latihan untuk para peserta (Simpson dkk, 2009). Dalam penelitian ini program Beating Bipolar diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas hidup ODB dan mencegah munculnya episode baru setelah 10 bulan follow up. Department of Psychological Medicine and Clinical Neuroscience di Universitas Cardiff juga mengembangkan program tatap muka dengan materi yang sama seperti program Beating Bipolar namun memiliki dua sesi tambahan yang berfungsi sebagai pembuka dan penutup yang dinamakan Bipolar Education Programme-Cymru (BEP-C). Program ini berjumlah 6-15 orang, dengan rata-rata kehadiran 8-12 orang per sesi. Salah satu tujuan program BEP-C adalah agar para ODB dapat lebih efektif dalam mengelola gangguannya (Tredget & Svodova, 2013). Belum adanya program yang disusun secara sistematis untuk membantu para ODB di Indonesia dalam mengelola gangguannya membuktikan bahwa gangguan ini belum menjadi perhatian masyarakat layaknya gangguan skizofrenia. Padahal ODB juga memerlukan suatu program manajemen diri untuk membantu mereka mengelola gangguannya sehingga dapat
mengoptimalkan fungsi ODB dalam kesehariannya. Salah satu indikator ODB dapat mengelola gangguan bipolarnya adalah dengan menurunnya frekuensi, intensitas ataupun durasi mood bipolar jika kembali muncul. Munculnya mood bipolar berbeda pengertian dengan munculnya episode bipolar. Mood bipolar diartikan sebagai suasana hati depresif ataupun mania atau hipomania. Mood bipolar memiliki gejala-gejala episode sama seperti episode bipolar namun tidak memiliki minimal kriteria gejala ataupun durasi. Seorang ODB bisa dikatakan memiliki mood depresif ataupun mania tanpa harus ada penegakan diagnosis episode. Walaupun begitu, mood pada ODB dapat mengganggu aktivitas mereka sehingga harus diwaspadai walaupun belum ada penegakan diagnosis episode. Sementara itu, munculnya episode baru dalam bipolar diartikan sudah ada penegakan diagnosis sehingga durasi waktu dan kriteria minimal gejala-gejala telah terpenuhi. Munculnya episode dapat terjadi dengan dua cara, yaitu: saat ODB dalam episode normal kemudian masuk ke salah satu episode dalam bipolar (mania, hipomania, depresif atau campuran) ataupun saat ODB sudah masuk ke dalam salah satu episode bipolar namun tidak kembali ke episode normal melainkan kembali masuk ke episode bipolar lain (misalnya: ODB yang masuk episode campuran kemudian beralih ke episode depresi). Munculnya episode bipolar ini merupakan interaksi yang kompleks dari kerentanan biologis dan faktor psikologis dan sosial seperti stresor, gangguan pada ritme sirkadian (terganggunya ritme tubuh yang mempengaruhi perilaku dan pola fungsi biologis utama), dan kurangnya keteraturan rutinitas sosial (Reiser & Thompson, 2005). Johnson & Miller (1997) menyatakan bahwa episode dalam bipolar dapat dikontrol dengan obat sedangkan kekambuhan dalam bipolar disebabkan ketidakpatuhan ODB untuk mengkonsumsi obat, walaupun begitu stresor dalam kehidupan menunjukkan pengaruh yang signifikan. Johnson, Winters, Sandrow, Miller, Solomon, dan Keitner (2000) menyatakan bahwa kejadian dalam hidup yang menyebabkan episode mania dan depresif tidak sama. Ellicot,
Hammen, Gitlin, Brown dan Jamison (1990) menemukan bahwa ODB kemungkinan akan kambuh sekitar 4.53 kali lebih banyak jika dihadapkan dengan kejadian hidup yang negatif. Sejalan dengan itu, adanya dugaan bahwa ingatan traumatis dapat menjadi faktor penyebab yang berkontribusi pada munculnya episode sehingga dapat memicu simptom. Saat ODB tidak dapat menghadapi stresor mereka maka kemungkinan munculnya episode meningkat (Johnson & Miller, 1997).Oleh karena itu, mengenali pemicu dari munculnya episode atau berulangnya episode menjadi sesuatu yang penting untuk memahami dinamika patologis dan melakukan intervensi dengan rencana pengobatan yang telah disesuaikan di tiap individu (Miklowits & Alloy, 1999). Mencegah munculnya episode dapat dilakukan dengan meningkakan kepatuhan pengobatan, mengelola stresor, dan menjaga gaya hidup yang sehat, termasuk diantaranya adalah menjaga pola tidur, olahraga, minuman berkafein, dan alkohol sehingga saat ODB sudah mulai merasakan simptom-simptom salah satu episode dalam bipolar, ODB dapat mengelola simptom-simptom tersebut sehingga tidak berlanjut menjadi sebuah episode baru. Intensitas mood bipolar dinyatakan sebagai keadaan tingkat atau tingkatan yang dirasakan ODB saat mood bipolar muncul. Intensitas biasa diukur memakai rentangan, dari 0 (biasa saja) hingga 10 (sangat sedih sekali atau sangat senang sekali). Durasi mood bipolar merupakan lamanya waktu (biasanya dalam jam) saat ODB merasakan mood bipolar mereka muncul. Durasi waktu ODB merasakan mood bipolar ataupun merasakan sebuah episode dalam bipolar akan berbeda-beda tiap orang tergantung pemicunya. Pemicu ini berasal dari kerentanan secara biologis, faktor psikologis dan sosial (misalnya: ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat, pola tidur, stresor, ingatan traumatis, pikiran negatif, penyalahgunaan obat-obatan, dan lain-lain). Penelitian Solomon dkk (2010) menemukan bahwa rata-rata episode mania atau depresif yang dihadapi oleh ODB tipe bipolar I adalah 13 minggu, walaupun begitu dikatakan bahwa sangat sedikit orang yang mungkin mengalami durasi rata-
rata ini. Alkohol dan penyalahgunaan pada obat-obatan akan memperpanjang durasi episode, sedangkan pengobatan akan mempersingkat durasinya. Program ‘Bipolar Beraksi’ merupakan program manajemen diri yang disusun untuk membantu ODB dalam mengelola gangguan bipolarnya. Dalam KBBI, kata ‘beraksi’ pada program ‘Bipolar Beraksi’ memiliki definisi bergerak melakukan sesuatu ataupun bertindak. Kata beraksi dipilih dengan maksud bahwa program ini mengajak ODB untuk bergerak melakukan sesuatu ataupun bertindak sebagai upaya menuju perbaikan diri yaitu pengelolaan gangguan yang lebih baik. Program ini merupakan program yang dimodifikasi dari program BEP-C yang dikembangkan oleh Department of Psychological Medicine and Clinical Neuroscience di Universitas Cardiff. Program ini terdiri dari 6 sesi, dimana sesi-sesi tersebut akan membahas pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola bipolar dan membuat rencana perubahan kemudian menerapkannya. Pengetahuan merupakan elemen penting bagi ODB agar mereka dapat kooperatif terhadap intervensi yang diberikan (Juruena, 2012). Enam sesi dalam program ini adalah: 1. Sesi 1: Psikoedukasi mengenai apa itu gangguan bipolar. Dalam sesi ini dibahas mengenai gangguan bipolar, macam-macam tipe bipolar, macam-macam episode dalam bipolar, penyebab, macam-macam pengobatan untuk ODB, obat-obat yang biasanya digunakan untuk menangani gangguan bipolar, riwayat perjalanan obat dalam tubuh, dan mitos-mitos seputar gangguan bipolar. Harapan dalam sesi ini adalah agar ODB mengerti pentingnya obat-obatan dalam mengelola bipolarnya sehingga akan meningkatkan kemampuan mereka akan kepatuhan pengobatan. 2. Sesi 2: Melatihkan keterampilan dalam mengawasi mood, mengidentifikasi pemicu dan tanda-tanda awal episode dalam bipolar. Dalam sesi ini ODB diberikan pemahaman mengenai pentingnya mengawasi mood, mengidentifikasi tanda-tanda awal episode dan pemicu yang sering muncul sehingga menyebabkan simptom-simptom episode muncul.
Selain itu, ODB juga akan berlatih bagaimana untuk mengawasi mood dan mengidetifikasi pemicu dan tanda-tanda awal episode. Harapan dalam sesi ini adalah agar ODB dapat melakukan monitoring mood dan memahami pemicu dan tanda-tanda awal episode yang biasanya dirasakan sehingga dapat meningkatkan self awareness ODB. 3. Sesi 3: Memberikan strategi yang dapat dipakai saat simptom-simptom mania/hipomania dan depresif muncul. Strategi yang dikenalkan kepada ODB diantaranya adalah mengubah pikiran negatif menjadi positif, mengaktivasi perilaku dan dukungan dari keluarga dan teman-teman. Harapan dalam sesi ini adalah agar ODB dapat memahami apa saja yang harus dilakukan saat mereka mulai merasakan perubahan suasana mood sehingga dapat mencegah munculnya episode baru ataupun menurunkan durasi waktu episode tersebut. 4. Sesi 4: Memberikan pemahaman kepada para ODB bahwa gaya hidup yang sehat (tidur yang cukup, membatasi porsi kafein, berolahraga secara teratur, dan tidak mengkonsumsi alkohol) secara efektif dapat membantu mencegah munculnya episode baru dan menurunkan durasi waktu saat mengalami salah satu episode dalam bipolar. Dalam sesi ini ODB membuat rencana perubahan untuk diterapkan dalam beberapa minggu ke depan. 5. Sesi 5: Dalam sesi ini, perubahan yang telah ODB lakukan berdasarkan rencana perubahan yang telah disusun dievaluasi. Sesi ini juga melihat apakah mereka mengalami hambatan dalam menjalankan rencana perubahannya. ODB dimotivasi untuk kembali mencoba menjalankan rencana perubahan tersebut. 6. Sesi 6: Dalam sesi ini perubahan yang telah ODB lakukan berdasarkan rencana perubahan yang telah disusun dievaluasi. Sesi ini juga kembali melihat apakah mereka mengalami hambatan dalam menjalankan rencana perubahannya. ODB kembali dimotivasi untuk tetap melakukan rencana perubahan-perubahan yang telah disusun sehingga akhirnya akan menjadi sebuah kebiasaan baru. Dalam sesi ini, penelitian pun diakhiri.
Materi-materi program ini merupakan materi yang dimodifikasi dari program Beating Bipolar dimana program ini mengandung 5 komponen penting yang diperlukan ODB agar dapat mengelola bipolar dengan lebih efektif (Colom & Vieta, 2006), yaitu: 1. Kesadaran gangguan. Hal ini adalah untuk meningkatkan insight, penerimaan gangguan, dan penurunan stigma dan rasa malu yang dirasakan oleh ODB. 2. Peningkatan kepatuhan pengobatan. Ketidakpatuhan biasanya disebabkan karena adanya informasi yang salah, takut akan efek samping dan ketergantungannya, kurangnya pengetahuan akan gangguan, dan rendahnya pengobatan yang layak. 3. Deteksi tanda-tanda awal. Mengenali tanda-tanda awal dapat membantu ODB untuk mencegah munculnya episode-episode bipolar yang ekstrim sehingga memerlukan rawat inap. 4. Penyalahgunaan obat-obatan. Penyalahgunaan obat-obatan akan memperparah kondisi bipolar. 5. Gaya hidup. ODB akan diedukasi bagaimana cara mengatur jam tidur dan fungsi seharihari, makan dan minum obat bersamaan serta manajemen stres sehingga dapat menurunkan relapse. Materi dari Program ‘Bipolar Beraksi’ ini terdiri dari: 1) pengetahuan mengenai bipolar dan pengobatannya, 2) mengawasi mood, mengidentifikasi pemicu dan mengenali tanda-tanda awal episode, 3) strategi yang dipakai untuk mengelola bipolar, 4) gaya hidup yang efektif dan pentingnya rencana perubahan. Program ini memberikan kesempatan pada peserta untuk belajar dengan melakukan (learning by doing). Experiential learning merupakan model yang memungkinkan instruksi dapat diberikan dengan cara multisensori dan bervariasi (Siberman & Auerbach, 1998). Kolb (1984) mendefinisikan experiential learning sebagai perspektif integratif yang menyeluruh dalam pembelajaran yang menggabungkan pengalaman, kognitif dan perilaku. Kolb (1984)
menyatakan bahwa ada 4 dalam siklus pembelajaran yaitu concrete experience, reflective observation, abstract conceptualization, dan active experimentation. Tahap ini dapat dimulai dari tahap mana saja namun mengikuti alur siklusnya. Concrete experience menyediakan dasar dari pembelajaran, dimana peserta akan belajar dari pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Tahap reflective observation adalah tahap dimana peserta kembali merenungkan pengalaman yang telah dilakukan sebelumnya dengan cara memahami kenapa dan bagaimana mereka muncul. Tahap ini memungkinkan peserta untuk mengobservasi dan melakukan refleksi diri. Abstract conceptualization adalah tahap dimana peserta menggunakan pengetahuannya untuk memahami situasi dan permasalahannya. Tahap selanjutnya adalah active experiment dimana peserta mengetahui apa yang harus dilakukannya dan merencanakan apa yang harus dilakukan untuk kemudian berperilaku sesuai dengan pengetahuannya. Dalam sesi-sesi dari program ‘Bipolar Beraksi’ mengandung keempat tahap yang telah dijelaskan diatas, dimana peserta diminta secara aktif untuk terlibat dalam aktivitas, kemudian ada pemberian materi dan diskusi sebagai sarana untuk mengobservasi dan merefleksi diri sehingga peserta dapat lebih memahami situasi dan permasalahan yang sedang dihadapi dengan lebih baik. Harapannya adalah peserta mengetahui dan merencanakan perilaku yang seharusnya dilakukan kemudian bertindak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas program manajemen diri ‘Bipolar Beraksi’ dalam menurunkan frekuensi, intensitas atau durasi mood bipolar pada ODB. Hipotesis dari penelitian ini adalah program manajemen diri ‘Bipolar Beraksi’ dapat menurunkan frekuensi, intensitas atau durasi mood bipolar. Kerangka penelitian yang akan dijalankan adalah sebagai berikut:
Gangguan bipolar: Mood Mania/Hipomania Mood Depresif Mood campuran .
1. Pengetahuan terkait gangguan bipolar rendah 2. Keterampilan mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencegah ataupun mengatasi saat mood bipolar muncul rendah
Frekuensi, intensitas dan durasi mood bipolar Meningkat
1. Pengetahuan terkait gangguan bipolar meningkat 2. Keterampilan mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencegah ataupun mengatasi saat mood bipolar muncul meningkat
Frekuensi, intensitas atau durasi mood bipolar menurun
Bagan 1. Kerangka penelitian
Program Manajemen Diri ‘Bipolar Beraksi’: 1. Meningkatkan pengetahuan tentang bipolar (psikoedukasi) 2. Meningkatkan keterampilan untuk mencegah & mengatasi saat mood bipolar muncul (self monitoring, strategi dalam mengelola bipolar 3. Merencanakan perubahan 4. Melakukan rencana perubahan 5. Evaluasi rencana perubahan 6. Penguatan diri untuk menjalani perubahan.