GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK SD ISLAM SITI SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG: EKSPRESI KULTURAL ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT JAWA
TESIS Untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Pada Universitas Negeri Semarang Oleh Purwanto NIM: 2001501024 Program Studi Pendidikan Seni
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2009
MOTTO DAN PERUNTUKAN
Motto ‘Mangkono ngelmu kang nyata Sanyatane mung weh reseping ati Bungah ingaranan cubluk Sukeng tyas yen den ina Nora kaya si Pengung anggung gumrunggung Ugungan sadina-dina Aja mangkana wong urip’ (Wedharaga, R. Ng. Ranggawarsita 1802- 1873)
Peruntukan Tesis ini kuperuntukan kepada Isteri dan Anak-anakku tercinta
ii
KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmatNya sehingga tesis yang berjudul GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK SD ISLAM SITI SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG: EKSPRESI KULTURAL ANAK-ANAK PADA
LINGKUNGAN
MASYARAKAT
JAWA
.
dapat
penulis
selesaikan. Tesis ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan, bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Untuk menyelesaikan tesis ini pihak, mulai dari perencanaan, penulisannya,
maka
tidak
banyak terlibat berbagai
pelaksanaan penelitian, dan
berlebihan
kiranya
jika
penulis
sampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Rektor UNNES Semarang, yang telah memberikan kesempatan belajar kepada penulis untuk menyelesaikan jenjang studi S2. 2. Direktur Pascasarjana UNNES, yang telah memberikan ijin dan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan studi S2. di Program Pascasarjana UNNES. 3. Ketua Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana UNNES, yang telah memberikan
ijin dan kemudahan bagi penulis
untuk menyelesaikan studi S2 di Program Pascasarjana UNNES. 4. Bapak
Prof.
Dr.
Tjetjep
Rohendi
Rohidi.M.A.
sebagai
pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dengan baik dan penuh kearifan. 5. Dr. Sri Iswidayati. M.Hum. Sebagai pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dengan baik dan penuh kearifan. 6. Seluruh
Staf
Pascasarjana
Pengajar UNNES
Program
Semarang iii
Studi yang
Pendidikan telah
Seni
memberikan
ilmunya hingga penulis merasa cukup bekal untuk melakukan penulisan ini. 7. Kepala Sekolah dan seluruh Guru SD Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang yang telah memberi ijin dan membantu pelaksanaan kegiatan penelitian ini. 8. Bapak Edy Susilo ( Panjangan ) sebagai narasumber yang telah banyak membantu memberikan data penelitian yang sangat bermanfaat bagi penulis. 9. Bapak Rusman ( Kembangarum ), sebagai narasumber yang banyak
memberikan
persoalan
data
penelitihan
berkaitan
dengan
teknis dalam pelaksanaan upacara ritual dalam
masyarakat,
yang
bermanfaat
besar
bagi
penyelesaian
penulisan ini. 10.
Seluruh tokoh dan warga masyarakat
Mayangsari dan
sekitarnya yang telah penulis wawancarai dan gunakan sebagai informan untuk menjelaskan berbagai hal yang berkenaan dengan penelitian yang penulis lakukan, yang tak dapat disebutkan satu-persatu. 11.
Seluruh
rekan-rekan
UNNES, yang
Dosen
Jurusan
Seni
Rupa
FBS
telah memberikan dorongan moril, hingga
penulisan ini dapat terselesaikan. Dengan doa, semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis tersebut akan dibalas dengan selaksa kebaikan pula oleh Allah SWT. Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan bagi kehidupan masyarakat luas. Semarang, 9 September 2008 Penulis
iv
ABSTRACT
Purwanto, 2008.
The Picture of Wayang Made by Children of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang: Cultural Expression in the Javanese Community. The Thesis of Art Education Magister Study Program. Post Graduate Program of Semarang State University. First Suvervisor : Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A. Second Supervisor: Dr. Sri Iswidayati, M.Hum. Key wards: Culture, Javanese Culture, wayang, The picture of wayang
Basically, the relationship between people and their environment is a component that cannot be separated. By using their culture, people try to adapt and to use their environment to continue their life. The interaction prosess of people and their enviroment bath phisicaly and sosialy consists of adaptation and self internalization procsses so that culture used in their community covil be implemented in the value of their personal life, conversely, an ideal culture which comes from themsellves as personal potential and as a civilized creative, and make a contribution for the forming of culture chain in the groups of society. Hence, it could be stated that the relationship between people and their evironment goes on integratively, including ways done in fulfilling their aesthetic needs. The problems discussed in the study is explaining an relation between wayang picture expression made by the student of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School and culture values in the socio cultural life of their community. In this case, Javanese culture values, the problems are cathegorized spesificaly into: (1) How the process of Javanese culture values enculturation, happening in the life of Mayangsari community and it’s surrounding. (2) What factors influencing the Javanese culture values in the community. (3) How the wayang picture expression made by student of Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang. To explain the problems presented, especially in interpreting and analysing the aestetical value of wayang picture expression created by the children, as case study with the basis structure of Javanese culture, by giving attention the conceps of culture: Geerts, Suparlan, and Rohidi; viewing a culture as a sistematical and integral web. The expression of wayang picture by childrens become as phenomena in the recant society’s life. The wayang picture created by children living in a certain group of society which is still familiar with the Javanese culture as their basis of their life, could be assumerd that those expressions will reflect the Javanese culture value as well. The methods used to explain the problems in this thesis is qualitative asseesment by descriptive method to determine the focus of this thesis, the technique used to get the data, source data and the technique of analyzing the data is based on background problem: The prosess of Javanese cultural values enculturation happening in the life of Mayangsari community and it’s surrounding. By understanding the setting of cultural condition, it can be used to explain the aesthetical ezpression needs of community members. The result of the study shows that the condition of social environment of community has a huge influence for the community life attitude, including in fulfilling their aesthetical needs.
v
The social area of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang which has a character as community strongly keeping their Javanese culture, has an effect in the enculturation process to Javanese values in their community life, in household life, school, and community this cultural life atmosphere is found to influence greatly for the wayang picture expressive taste made by their children. The expression of the wayang picture of their children Still reflecting the tendenly of understanding and relation level with the essence of Javanese cultural values. The essence of Javanese cultural values reflected in the wayang picture expression made by those childrend are still easy to identify as the realization of same figure in classical puppet reference. It’s line expression is smooth, firm, sure, and full of convidence. The whole expression of picture expression tends to have the character of being complicated, ngrawit, jlimet, (Java) and involutif; as the characteristic of Javanese culture. Besides, the essenceof the wayang picture expressive form made by those children still preser to soft values are alus as the reflection of the taste of ethical and aesthetical values Actually, if can be concluded that there is relation which is closed and in an integral relation which is closed and in an integral relation between the wayang picture expression made by the studends of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang, with the values of Javanese culture in their community life. Many things which have been suggested in the closing of this thesis are based on a concern to give the alms of thoughts for the effarts of conservating traditional values, especially, in Semarang city territory, which might have direct influence for the educational process to children, and if might, more than that, influence the forming of the .community culture image based on the values of Javanes traditional culture.
vi
SARI
Purwanto,2008.
Gambar Wayang Buatan Anak-anak SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang: Ekspresi Kultural Anak-anak pada Lingkungan Masyarakat Jawa. Tesis Program Studi Magister Pendidikan Seni. Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing I Prof. DR. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A. Dosen Pembimbing II DR. Sri Iswidayati, M.Hum. Kata kunci: Kebudayaan, Kebudayaan Jawa, wayang, gambar wayang.
Pada dasarnya hubungan manusia dengan lingkungannya merupakan sebuah komponen yang tak dapat dipisahkan. Dengan menggunakan kebudayaannya manusia berusaha beradaptasi dengan lingkungannya dan mendayagunakan lingkungannya untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Proses interaksi manusia dengan lingkungan baik fisik maupun sosial, di dalamnya terdapat proses adaptasi dan internalisasi diri sehingga kebudayaan yang digunakan dalam kehidupan masyarakatnya tersebut dapat terimplementasi dalam tata nilai kehidupan pribadinya, sebaliknya kebudayaan ideal yang berasal dari dirinya sebagai potensi personal sebagai makluk yang berbudaya ikut pula memberi konstribusi bagi pembentukan rajut kebudayaan di kelompok masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan manusia dengan lingkungannya tersebut berlangsung secara integratif, termasuk didalamnya adalah cara-cara yang dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan estetisnya Permasalahan yang diangkat dalam studi ini adalah menjelaskan relasi yang terjadi antara ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang dengan nilai-nilai kultural dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya dalam hal ini adalah nilai kultural budaya Jawa. Secara spesifik permasalahan tersebut dirumuskan menjadi: (1) Bagaimana proses enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa terjadi dalam kehidupan masyarakat Mayangsari dan sekitarnya. (2) Faktor apasajakah yang mempengaruhi proses enkulturasi nilai budaya Jawa pada masyarakat tersebut. (3) Bagaimanakah ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang. Untuk menjelaskan masalah yang dikaji, khususnya dalam menginterpretasi dan menganalisis nilai estetis ungkapan gambar wayang buatan anak-anak tersebut digunakan pendekatan studi kasus dengan kerangka acuan kebudayaan Jawa, dengan memperhatikan berbagai konsep-konsep kebudayaan, Geertz, Suparlan, dan Rohidi, yang memandang kebudayaan sebagai sebuah jaringan yang sistemik dan integral. Ungkapan gambar wayang buatan anak-anak, menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat pada konteks kini. Gambar yang dibuat oleh anak-anak yang hidup pada suatu kelompok masyarakat, yang masih pekat menggunakan kebudayaan Jawa sebagai pedoman dalam kehidupannya, akan dapat diasumsikan bahwa ungkapan gambarnya tersebut akan merefleksikan nilai-nilai kebuyaan Jawa pula. Metodologi yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan dalam kajian ini, sebagai studi kasus, menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Untuk menentukan fokus kajian, teknik yang digunakan untuk mengambil data, sumber data dan teknik analisis data; didasarkan pada latar masalah: proses enkulturasi nilai budaya Jawa yang terjadi pada kehidupan masyarakat Mayangsari dan sekitarnya. Dengan
vii
memahami kondisi setting kultural tersebut maka dapat digunakan untuk menjelaskan kebutuhan ekspresi estetis anggota masyarakatnya. Hasil studi menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sosial suatu masyarakat berpengaruh besar bagi perilaku kehidupan masyarakat, termasuk di antaranya adalah dalam pemenuhan kebutuhan estetisnya. Medan sosial Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang yang memiliki karakter sebagai masyarakat yang masih kuat mempertahankan nilai-nilai kultural Jawa, berdampak pada proses enkulturasi terhadap nilai budaya Jawa pada kehidupan masyarakatnya, dalam kehidupan rumahtangga, sekolah dan masyarakat. Atmosfer kehidupan budaya yang demikian ternyata berpengaruh besar bagi cita rasa ungkapan gambar wayang buatan anak-anak mereka. Ungkapan gambar wayang anak-anaknya masih pekat merefleksikan kecenderungan pemahaman dan tingkat kedekatannya dengan esensi nilai-nilai kultural Jawa. Esensi nilai kultural Jawa yang tereflekasi pada ungkapan gambar wayang buatan anak-anak tersebut masih gampang dapat diidentifikasi sebagai perwujudan dari tokoh tertentu dalam referensi wayang klasik. Ungkapan garis-garisnya lancar, tegas, pasti, dan penuh percaya diri. Ekspresi keseluruhan ungkapan gambar cenderung bersifat, rumit, ngrawit, jlimet dan involutif; sebagaimana karakteristik kebudayaan Jawa. Disamping itu esensi bentuk ungkapan gambar wayang butan anak-anak tersebut masih mengedepankan nilai kehalusan atau alus sebagai refleksi cita rasa nilai etis dan estetis. Dapat disimpulkan sesungguhnya terdapat relasi yang demikian dekat dan dalam hubungan yang integral antara ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang, dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang ada dalam kehidupan masyarakatnya. Berbagai hal yang disarankan pada bagian penutup tulisan ini didasarkan pada kepentingan untuk ikut memberikan sumbangan pikiran bagi upaya pelestarian nilai-nilai tradisional khususnya di wilayah Kota Semarang, yang dimungkinkan akan berdampak langsung bagi proses edukasi terhadap anak-anak, dan lebih dari itu dimungkinkan akan berpengaruh bagi terbentuknya wajah kebudayaan masyarakat kota yang berbasis pada nilai-nilai budaya tradisi Jawa..
viii
DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................................................... vi Abstract ............................................................................................................... viii Sari ......................................................................................................................
x
Daftar Isi ............................................................................................................. xii Daftar Gambar ..................................................................................................... xiv
BAB 1. ............................................................................................................ P ENDAHULUAN ...........................................................................................
1
1.1. .................................................................................................... L atar Belakang Masalah ...........................................................................
1
1.2
Masalah Penelian ............................................................................... 10
1.3
Tujuan Penelitian ............................................................................... 11
1.4
Manfaat Penelitian ............................................................................. 12
2. ............................................................................................................ L ANDASAN TEORI ..................................................................................... .14 2.1. .................................................................................................... T eori Fenomenologi ................................................................................. 14 2.2. .................................................................................................... K ebudayaan .............................................................................................. 17 2.3. .................................................................................................... K ebudayaan Jawa ..................................................................................... 19 2.4. .................................................................................................... E stetika Budaya Jawa ............................................................................... 23 2.5. .................................................................................................... K esenian Wayang Dalam Kebudayaan Jawa............................................ 26 2.6. .................................................................................................... G ambar Kerangka Berpikir ....................................................................... 45 ix
3. ............................................................................................................ M ETODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 46 3.1. .................................................................................................... P endekatan Dan Metode .......................................................................... 46 3.2. .................................................................................................... F okus Penelitian ....................................................................................... 47 3.3. .................................................................................................... M etode Pengambilan Data ........................................................................ 49 3.4. .................................................................................................... S umber Data ............................................................................................. 50 3.5. .................................................................................................... T eknik Analisis Data ................................................................................ 51
4. ............................................................................................................ G AMBARAN
UMUM
SEKOLAH
DASAR
ISLAM
SITI
SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG ......................................... 53 4.1. .................................................................................................... L atar Belakang Berdirinya Sekolah ......................................................... 53 4.2. .................................................................................................... V isi, Misi, dan Rencana Pengembangan Sekolah..................................... 55 4.3. .................................................................................................... S arana dan Prasarana Sekolah .................................................................. 57 4.4. .................................................................................................... K eadaan Guru dan Karyawan Sekolah ..................................................... 62 4.5. .................................................................................................... S D Islam Siti Sulaechah Mayangsari dengan Medan Sosialnya ............. 64
x
5. ............................................................................................................ P ROSES ENKULTURASI NILAI BUDAYA JAWA MASYARAKAT MAYANGSARI DAN SEKITARNYA ...................................................... 68 5.1. .................................................................................................... P roses Enkulturasi Budaya Jawa Dalam Keluarga .................................. 68 5.2. .................................................................................................... P roses Enkulturasi Budaya Jawa Dalam Masyarakat .............................. 78 5.3. .................................................................................................... P roses Enkulturasi Budaya Jawa Di Sekolah ........................................... 99 6. ............................................................................................................ F AKTOR
PENDUKUNG
DAN
PENGHAMBAT
PROSES
ENKULTURASI NILAI BUDAYA JAWA ................................................ 106 6.1. .................................................................................................... F aktor Penghambat................................................................................... 106 6.2. .................................................................................................... F aktor Pendukung .................................................................................... 112
7. ............................................................................................................ U NGKAPAN GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK .................. 115 7.1. .................................................................................................... P emilihan Tokoh Wayang ........................................................................ 115 7.2. .................................................................................................... K ehadiran Tokoh Dalam Gambar ............................................................. 120 7.3. .................................................................................................... F ungsi Ornamen pada Gambar Wayang .................................................. 125 7.4. .................................................................................................... K arakteristik Gambar Wayang Buatan Anak-anak .................................. 129 7.5. .................................................................................................... A nalisis Gambar Wayang Buatan Anak-anak .......................................... 205
xi
8. ............................................................................................................ P ENUTUP ....................................................................................................... 218 8.1. .................................................................................................... K esimpulan ............................................................................................... 218 8.2. .................................................................................................... S aran-saran .............................................................................................. 222
9. ............................................................................................................ D AFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 226
DAFTAR GAMBAR BAB : 2 Gambar: 1 Profil wayang putren ......................................................................... 31 Gambar: 2 Dodot wayang putren gaya Surakarta dan Yogyakarta ..................... 31 Gambar: 3 Berbagai bentuk gelung wayang putren ............................................ 32 Gambar: 4 Dewi Shinta gaya Yogyakarta........................................................... 33 Gambar: 5 Profil wayang alusan ......................................................................... 34 Gambar: 6 Bentuk bokongan dengan posisi kaki jangkahan alus ....................... 34 Gambar: 7 Berbagai bentuk tutup kepala tokoh satria alusan ............................. 35 Gambar: 8 Contoh waaayang satria alusan (Arjuna) .......................................... 36 Gambar: 9 Profil wayang gagahan ...................................................................... 37 Gambar: 10 Busana dodot wayang gagahan ....................................................... 37 Gambar: 11 Berbagai bentuk tutup kepala wayang gagahan .............................. 38 Gambar: 12 Beberapa tokoh wayang gagahan .................................................... 39 Gambar: 13 Profil wayang tokoh raksasa ........................................................... 40 Gambar: 14 Busaana bentuk dodod dan bentuk rapekan tokoh raksasa ............. 41 Gambar: 15 Tokoh raksasa Kala Srenggi ........................................................... 42 Gambar: 16 Beberapa tokoh raksasa ................................................................... 43 Gambar: 17 Diagram kerangka berpikir ............................................................. 45
xii
BAB: 4 Gambar: 18 Foto Kepala Sekolah dengan latar berbagai piala penghargaan...... 57 Gambar: 19 Denah bangunan gedung SD Islam Siti Sulaechah ......................... 58 Gambar: 20 Foto Gedung SD Islam Siti Sulaechah tampak depan .................... 59 Gambar: 21 Foto gedung SD Islam Siti Sulaechah tampak bagian lantai atas ... 59 Gambar: 22 Foto fasilitas jalan depan SD Islam Siti Sulaechah......................... 60 Gambar: 23 Foto mural pada dinding luar bangunan SD ................................... 60 Gambar: 24 Gallery board................................................................................... 62 Gambar: 25 Denah wilayah Kelurahan Kalipancur Ngaliyan Semarang............ 66
BAB: 5 Gambar: 26 Tokoh wayang Kresna pada lukisan kaca ....................................... 75 Gambar: 27 Tokoh wayang Hanoman ................................................................ 76 Gambar: 28 Suasana HUT RI di Kampung Mayangsari ..................................... 90 Gambar: 29 Panembrama .................................................................................... 90 Gambar: 30 Pentas tari pada malam pentas seni HUT RI................................... 91 Gambar: 31 Suasana proses belajar mengajar di kelas ....................................... 100 Gambar: 32 Tokoh Punakawan ........................................................................... 105 BAB: 7 Gambar: 33 Contoh gambar wayang berwatak baik ........................................... 118 Gambar: 34 Contoh gambar wayang berwatak buruk......................................... 119 Gambar: 35 Tokoh gambar wayang binatang Gajah........................................... 120 Gambar: 36 Gambar wayang berkelompok, para Punakawan ............................ 121 Gambar: 37 Gambar wayang berkelompok persahabatan para Satria ................ 122 Gambar: 38 Gambar wayang persahabatan Punakawan dengan binatang .......... 122 Gambar: 39 Gambar wayang persahabatan Satria dengan Punakawan .............. 123 Gambar: 40 Gambar wayang persahabatan tokoh-tokoh jahat ........................... 124 Gambar: 41 Ornamen berfungsi sebagai hiasan tepi .......................................... 126 Gambar: 42 Fungsi ornamen sebagai representasi ruang .................................... 127 Gambar: 43 Fungsi ornamen sebagai penghias latar........................................... 128 Gambar: 44 Gathotkaca ...................................................................................... 130 xiii
Gambar: 45 Bima ................................................................................................ 132 Gambar: 46 Bima ................................................................................................ 134 Gambar: 47 Gathotkaca ...................................................................................... 136 Gambar: 48 Puntadewa dan Arjuna .................................................................... 138 Gambar: 49 Puntadewa ....................................................................................... 140 Gambar: 50 Bima ................................................................................................ 142 Gambar: 51 Puntadewa ....................................................................................... 144 Gambar: 52 Bima ................................................................................................ 146 Gambar: 53 Janaka .............................................................................................. 148 Gambar: 54 Bima ................................................................................................ 150 Gambar: 55 Janaka dan Petruk............................................................................ 152 Gambar: 56 Buta Cakil dan temannya ................................................................ 154 Gambar: 57 Arjuna.............................................................................................. 156 Gambar: 58 Bima ................................................................................................ 158 Gambar: 59 Sadewa ............................................................................................ 160 Gambar: 60 Werkudara ....................................................................................... 161 Gambar: 61Arjuna dan Hanoman ....................................................................... 164 Gambar: 62 Persahabatan para Raksasa .............................................................. 166 Gambar: 63 Satria ............................................................................................... 168 Gambar: 64 Petruk .............................................................................................. 170 Gambar: 65 Bratasena ......................................................................................... 172 Gambar: 66 Kresna ............................................................................................. 174 Gambar: 67 Petruk .............................................................................................. 177 Gambar: 68 Bima ................................................................................................ 179 Gambar: 69 Bima ................................................................................................ 181 Gambar: 70 Batari Durga .................................................................................... 183 Gambar: 71 Bagong ............................................................................................ 185 Gambar: 72 Srikandhi ......................................................................................... 186 Gambar: 73 Dewi Sinta ....................................................................................... 188 Gambar: 74 Arjuna.............................................................................................. 191 Gambar: 75 Semar .............................................................................................. 193 xiv
Gambar: 76 Dewa ............................................................................................... 195 Gambar: 77 Gareng dan Gajah............................................................................ 197 Gambar: 78 Punakawan ...................................................................................... 199 Gambar: 79 Bima ................................................................................................ 201 Gambar: 80 Tiga Satria ....................................................................................... 203 Gambar: 81 Tokoh wayang yang relatif sulit diidentifikasi................................ 210 Gambar: 82 Perbedaan tokoh wayang baik dan buruk........................................ 213 Gambar: 83 Tokoh wayang Bima digambar menghadap ke kanan .................... 217
xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Hubungan antara manusia dengan lingkungannya adalah
sebuah
komponen yang senantiasa tak dapat dipisahkan. Disadari atau tidak, untuk melangsungkan kehidupannya manusia senantiasa berupaya memanfaatkan lingkungan alam di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan kehidupannya. Hubungan
tersebut
sebenarnya
bukan
semata-mata
sebagai
hubungan
ketergantungan manusia dengan lingkungannya semata, tetapi juga terjadi hubungan timbal balik bahwa manusia mempengaruhi dan memberi bentuk pada lingkungannya pula. Sebagaimana dikemukakan Suparlan (1980 ), manusia turut menciptakan corak dan bentuk lingkungannya dan dalam lingkungan yang diciptakannya, baik yang nyata dan maupun yang sebagaimana dilihat atau dibayangkannya. Manusia, dari satu segi menjadi sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup adalah sebagian dari dirinya. Kerangka landasan bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung pada dan merupakan sebagian dari lingkungan fisik dan alamnya adalah kebudayaannya. Demikian juga
Forde (dalam Suparlan, 1980) mengemukakan bahwa hubungan antara
kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai manusia. Dengan menggunakan kebudayaannya tersebut, maka manusia beruasaha beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam
proses adaptasi tersebut, manusia mendayagunakan lingkungannya untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya Merujuk pendapat Forde tersebut, pada dasarnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya, tidak saja hubungan dengan lingkungan fisik semata, tetapi menyangkut pula hubungan dengan lingkungan sosial budaya. Sebagai individu yang berada dalam suatu komunitas masyarakat, untuk tetap survive dan tetap dapat menjaga eksistensinya mau tidak mau manusia harus dapat mengikuti dan memanfaatkan kondisi sosial budayanya, sekaligus berperan ikut mewarnai kehidupan sosial yang ada di lingkungan masyarakatnya. Proses intraksi manusia dengan kondisi lingkungan sosial masyarakatnya itu di dalamnya terdapat proses adaptasi dan internalisasi diri, sehingga kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman dalam perilaku kehidupan masyarakatnya tersebut terimplementasi dalam tata nilai perilaku kehidupan pribadinya pula. Sebaliknya, pola-pola kebudayaan ideal yang berasal dari dirinya, sebagai potensi personal sebagai makluk yang berbudaya, ikut pula memberi konstribusi bagi pembentukan rajutan jaring-jaring kebudayaan yang ada di kelompok masyarakatnya. Atas dasar itu maka ekspresi pikiran, perasaan dan tindakannya senantiasa diwarnai dengan nilai-nilai budaya yang dianutnya; termasuk ekpresi estetisnya. Dapat ditegaskan ketika manusia telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakatnya maka ungkapan ekspresi estetisnyapun menjadi bagian integral dari kebudayaan yang ada di masyarakatnya. Sejalan dengan pikiran tersebut Khayam (1981: 38) menyatakan bahwa kesenian tidak pernah berdiri sendiri lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari
ii
kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Manusia sebagai pribadi bagian integral dari masyarakat dan kebudayaannya mengemban fungsi sebagai penyangga kebudayaan- demikian pula kesenian yang ada di masyarakatnya, di dalamnya ada proses mencipta, memelihara, mewariskan,
mengembangkan,
yang
kemudian
membangunnya
menjadi
kebudayaan baru yang menawarkan nilai-nilai baru yang relatif mampu memenuhi kebutuhan estetisnya dalam konteks sekarang. Rohendhi (1993: 2) mengatakan bahwa setiap masyarakat, baik secara sadar maupun tidak sadar, mengembangkan kesenian sebagai ungkapan pernyataan rasa estetik yang merangsangnya sejalan dengan pandangan, aspirasi, kebutuhan , dan gagasan yang mendominasinya. Cara-cara pemuasan terhadap kebutuhan estetik itu ditentukan secara budaya (seperti aspek-aspek kebudayaan yang lainnya), serta terintegrasi pula aspek-aspek kebudayaan lainnya itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa proses pemuasan kebutuhan estetik tersebut berlangsung dan diatur oleh seperangkat nilai dan asas yang berlaku dalam masyarakat dan oleh karena itu cenderung untuk direalisasikan dan diwariskan pada generasi berikutnya. Nilai-nilai seni yang mentradisi dalam suatu kelompok masyarakat akan senantiasa menjadi spirit dan karakter masyarakatnya. Semakin kuat proteksinya terhadap nilai- nilai
dalam kehidupan budayanya, maka nilai-nilai itu akan
menjadi semakin lekat mentradisi dalam kehidupannya. Dorongan untuk mempertahankan dan mentradisikan nilai-nilai itu akan terasa demikian besar, perangkat nilai-nilai itu akan berjalan konstan hingga titik waktu manakala
iii
orientasi kehidupan pendukung budaya tersebut mengalami perubahan yang diakibatkan oleh suatu hal; yang menjadikan irama kehidupan budayanya sudah tidak selaras lagi dengan tuntutan kehidupannya. Dalam dinamika perubahan budaya yang sedang berlangsung dewasa ini, yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan orientasi hidup,
konstruksi
kebudayaan tidak lagi mengenal batas-batas wilayah geografis, hal ini akibat pesatnya arus komunikasi dan transportasi yang menjadikan wilayah-wilayah budaya tradisi semakin berjarak dengan pendukungnya. Disadari atau tidak, seiring bergulirnya waktu, dorongan perenggangan jarak budaya itu pada dasarnya diakibatkan oleh dua faktor yang mempengaruhi, yaitu baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal berupa dorongan potensi kreatif dari masingmasing individu yang pada dasarnya membawa pola kebudayaan ideal yang bersifat personal, dan sementara itu dan potensi itu akan berakumulasi dalam suatu kelompok masyarakat menjelma menjadi spirit bersama untuk melakukan pembaharuan sesuai dengan orientasi kehidupannya kini. Faktor eksternal di antaranya adalah rangsangan, ajakan, rongrongan, hantaman yang berlangsung terus menerus; yang menjadikan bangunan nilai-nilai itu akan terabrasi dan bisa jadi lebur menjelma menjadi delta nilai baru yang kondisinya bisa saja menjadi tercerabut dari tata nilai lama. Nilai-nilai tradisi tersebut yang pada masa sebelumnya
pernah
menjadi
payung
mengatur
kehidupan
idealnya,
dipertahankan dan dijaga dalam proses waktu yang cukup lama, dimungkinkan kondisinya kini akan menjadi nilai-nilai ‘asing’ bagi pendukungnya sendiri.
iv
Fenomena abrasi budaya tersebut, sesungguhnya telah melanda hampir di seluruh wilayah budaya tradisi di Indonesia saat ini, Bahkan jauh sebelumnya Ronggowarsito (1802- 1874), dalam Serat Kalatidha-nya telah memberikan isyarat perubahan itu dengan menyebutnya sebagai jaman edan.. Penyebutan jaman edan tersebut untuk menggambarkan kondisi kehidupan suatu masyarakat (Jawa) yang mengalami kerusakan tatanan, akibat orientasi kehidupan budaya yang berubah, yang berpengaruh besar pada tata perilaku kehidupan masyarakatnya. Salah satu pada tembang dalam Kalatidha tersebut menyebutkan demikian: Amenangi jaman edan Ewuh aya ing pambudi Melu edan nora tahan Yen tan melu anglakoni Boya kaduman melik Kaliren wekasanipun Dilalah karsa Allah Begja begjaning kang lali Luwih begja kang eling lawan waspada
Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa moralitas baru sedang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, menggantikan budaya tradisisi yang ada. Peristiwa tersebut akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia. Demikian juga kebutuhan berkesenian masyarakat secara umum. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemikiran dan peradaban terus berkembang untuk mencari dan menemukan kreativitas baru sesuai perkembangan kebudayaan teknologi dan seni. Dikemukakan Kneller (dalam Pidarta, 1997: 160) bahwa dalam pengembangan kebudayaan meliputi tiga unsus yaitu: Originasi, yaitu suatu penemuan baru yang dapat menggeser v
penemuan lama. Difusi yaitu pembentukan budaya baru akibat percampuran budaya baru dengan budaya lama. Reinterpretasi, yaitu perubahan kebudayaan akibat terjadinya modifikasi kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan keadaan jaman. Menyikapi terjadinya perubahan budaya tersebut banyak
kalangan
masyarakat yang ketakuan akan kehilangan jati diri kebudayaan tradisinya, dengan pertimbangan itu maka bisa difahami jika banyak kalangan yang melakukan proteksi terhadap kebudayaan tradisinya. Sebagai salah satu tindakan dalam rangka menyelamatkan terjadinya abrasi budaya Jawa, maka melalui
Kongres Bahasa Jawa IV 2006, yang
berlangsung pada tanggal 10-14 September 2006 di Semarang, telah ditetapkan beberapa keputusan, diantaranya: (1). Menekankan kembali berlakunya Keputusan Kongres Bahasa III di Yogyakarta, bahwa mata pelajaran bahasa Jawa wajib diajarkan di Sekolahsekolah mulai SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA di tiga Propinsi; Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (2). Pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah
harus
bersifat
kontekstual,
memanfaatkan
teknologi
informasi,
mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif dan kreatif, serta dapat dimulai dari varian bahasa setempat sebagai titik tolak untuk mengajarkan bahasa Jawa baku. (3). Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah perlu mengajarkan unggah-ungguh dan bahasa Jawa sinandi untuk menanamkan nilai kesantunan dan budi pekerti.
vi
(4). Perlu dikembangkan bengkel sastra Jawa sebagai sarana apresiasi dan kreativitas. (5). Secara bertahap, guru bahasa Jawa harus lulusan lembaga pendidikan formal bahasa dan sastra Jawa. Perlu disiapkan fasilitas pembelajaran khas Jawa yang dapat meningkatkan kompetensi dan ketrampilan berbahasa dan bersastra Jawa. Melalui keputusan Konggres Bahasa Jawa 2006 tersebut, adalah sebagai sebuah cara bagaimana kebudayaan Jawa diproteksi oleh masyarakatnya. Dengan pemberdayaan bahasa Jawa melalui jalur pendidikan formal diharapkan dapat menjadi media strategis untuk mengendalikan para peserta didik/ para siswa yang menempuh pendidikan formal di tiga propinsi tersebut agar senantiasa berperilaku budaya Jawa. Diyakini bahwa bahasa dan sastra Jawa masih memiliki potensi keunggulan dan peluang untuk tetap hidup, tumbuh, dan berkembang di lingkungan masyarakatnya. Indikator itu paling tidak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa masih menjadi rujukan dalam membina kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, serta dapat memberikan konstribusi untuk membentuk kepribadian bangsa. Paradigma baru yang mestinya dikembangkan dalam orientasi pendidikan seni saat ini ialah yang bersifat multikultural, hal tersebut didasarkan pada arah kebudayaan yang pluralistik, beragam dalam suatu masyarakat yang diikat oleh satu kesatuan. Paradigma pendidikan seni multikultural ini berkembang seiring dengan hak dan keunikan masing-masing peserta didik sebagai pribadi yang belajar secara bersama-sama; hendaknya dalam proses pendidikan tersebut dapat ditumbuhkan
sikap saling menghormati, dan saling toleransi serta saling
vii
memahami terhadap kepentingan masing-masing. Kemampuan menghargai dan menghormati perbedaan dan keragaman diharapkan akan dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap budayanya dan dimilikinya apresiasi yang baik pula terhadap budaya orang lain. Peran seni yang bersifat multikultural ini dapat dijadikan dasar pemersatu bangsa dengan mengembangkan sikap saling menghormati satu sama lain, menghargai adanya perbedaan dan kesadaran hidup dalam kesetaraan; diharapkan dengan sikap dasar tersebut dapat terwujud suasana kehidupan bermasyarakat yang berkualitas. Kedudukan kesenian wayang dalam kehidupan budaya Jawa sangat penting, bahkan Mulyono (1979: 14) mengatakan bahwa kesenian wayang adalah ensiklopedi kebudayaan Jawa, sebab di dalam kesenian wayang tersebut terdapat nilai-nilai religi, filsafat, pandangan hidup, tata kehidupan masyarakat, dan nilai estetis,
yang
digunakan
sebagai
acuan
dalam
kehidupan
masyarakat
pendukungnya. Pertunjukan wayang menjadi representasi dari hubungan kosmologi antara manusia (mikro kosmos) dengan alam semesta (macro kosmos ), bagaimana seharusnya manusia dapat memposisikan dirinya secara ideal dalam memerankan kehidupannya; dalam pertunjukan itu terdapat tawaran – tawaran pencitraan perwatakan dan wacana nilai-nilai dimana anggota masyarakat akan memilihnya. Ketika kehidupan difahami bahwa yang baik akan mengalahkan keburukan, kesatriaan akan menghancurkan keangkaramurkaan, keberuntungan akan senantiasa berpihak pada kejujuran, dan sura dira jayaningkang rat lebur dening pangastuti. ; maka pertunjukan wayang berfungsi sebagai media pendidikan nilai-nilai tradisi dalam kehidupan masyarakat jawa. Melalui media
viii
tersebut anggota masyarakat dituntun kearah kehidupan yang ideal sebagaimana yang diorientasikan oleh kebudayaannya, disisi lain seni tradisi wayang tersebut sekaligus berfungsi sebagai tiyang penyangga berdiritegaknya konstruksi kebudayaan tradisi Jawa. Sejauh mana efektifitas kesenian wayang tersebut mampu berperan mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakatnya, sudah barang tentu sangat tergantung dari intensitas kedekatan kesenian wayang itu sendiri dengan masyarakatnya. Dengan asumsi bahwa jika pertunjukan wayang dan sosialisasi tentang wayang tersebut dibudayakan menjadi sebuah kebutuhan yang mentradisi dalam suatu kelompok masyarakat, maka dimungkinkan perilaku anggota masyarakat tersebut akan merefleksikan nilai-nilai budaya Jawa yang ideal. Wayang menjadi ikon representasi pribadi-pribadi dalam konteks kehidupan kulturnya, dan wayang menjadi representasi simbol bagi pemenuhan kebutuhan etis dan estetisnya. Dengan begitu maka ungkapan ekspresi estetis anggota masyarakat tersebut sesungguhnya akan menjadi refleksi dari nilai-nilai kultur yang dianutnya. Melalui penelitian ini peneliti berupaya menjelaskan relasi antara hasil ekspresi estetis
bentuk gambar wayang hasil karya sekelompok anggota
masyarakat, dengan nilai-nilai kultural Jawa. Penelitian ini difokuskan pada gambar wayang buatan anak-anak Siswa SD Islam Siti Sulaechah di wilayah Mayangsari Kalipancur Ngaliyan Semarang. Pemilihan wilayah penelitihan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa sekolah tersebut berada di kawasan wilayah kultural yang secara intens dan terus-
ix
menerus
melakukan
tradisi
melestarikan
kesenian
wayang.
Tradisi
penyelenggaraan pertunjukan wayang tersebut dilaksanakan setiap tahun sekali, pada bulan Apit atau bulan Dzulkangidah, sebagai ungkapan rasa syukur para anggota masyarakat di wilayah tersebut kepada Tuhan atas kemurahan yang telah diberikanNya. Di sekitar tempat keberadaan sekolah tersebut terdapat tiga titik tempat yang secara rutin menyelenggarakan kegiatan pentas wayang , dengan rentang jarak yang relatif tidak begitu jauh; yaitu di wilayah Panjangan, Kembangarum, dan Kalipancur. Serta di wilayah tersebut terdapat dua tempat untuk berlatih karawitan, yaitu di Panjangan dan Ringintelu; dan hamir tiap seminggu sekali irama gamelan itu membuai telinga warga masyarakatnya termasuk anak-anak yang tinggal di sekitar wilayah itu. Disisi lain, sekolah tersebut telah melaksanakan dengan baik keputusan Kongres Bahasa Jawa IV 2006, yang diperkuat dengan
Surat Keputusan
Gubernur Jawa Tengah, untuk melaksanakan pendidikan bahasa Jawa sebagai muatan kurikulumnya. Dengan asumsi, sinergi antara proses enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa yang dilakukan di lingkungan keluarga dan masyarakat secara intens, dengan intervensi nilai-nilai budaya tersebut melalui pendidikan formal yang berkesinambungan; akan mampu mengoptimalkan pembentukan sikap dan perilaku anak-anak untuk berbudaya tradisi Jawa. Atas dasar pertimbangan di atas maka ungkapan ekspresi estetis dalam bentuk gambar wayang yang dibuat oleh anak-anak di sekolah tersebut, menjadi gejala yang dapat digunakan untuk menjelaskan indikator nilai-nilai kultural Jawa yang terimplementasi dalam kehidupan mereka saat ini. Dengan kata lain gambar
x
wayang buatan mereka tersebut akan dapat digunakan sebagai
teks untuk
menjelaskan relasinya dengan ekspresi kultural mereka sebagai anak-anak yang hidup pada lingkungan masyarakat Jawa.
1.2. Masalah Penelitian Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan kehidupan masyarakat yang masih kental melestarikan nilai-nilai tradisi budayanya dalam hal ini budaya Jawa, diharapkan akan senantiasa menjadi pewaris tradisi yang senantiasa mampu mengiplementasikan nilai-nilai kultural tersebut dalam perilaku kehidupannya. Karena keberadaan anak-anak tersebut telah menjadi bagian integral dari kebudayaan yang dianut oleh masyarakatnya, maka dimungkinkan ekspresi estetisnya akan mencerminkan kondisi sosial budayanya pula. Namun seiring dengan
perubahan jaman, yang diakibatkan oleh perubahan orientasi
pemenuhan kebutuhan masyarakat pendukungnya; nilai-nilai budaya tersebut dimungkinkan akan mengalami pergeseran ke arah tebentuknya pola-pola nilai budaya baru yang diyakini lebih sesuai untuk menjawab kebutuhannya saat ini. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah menjelaskan relasi yang terjadi antara gejala gambar wayang buatan anak-anak Siswa SD Islam Siti Sulaechah, Kalipancur Ngaliyan Semarang dengan nilai-nilai kultural dalam kehidupan sosial budayanya, dalam hal ini keberadaannya sebagai bagian dari komunitas sosial masyarakat Jawa. Interaksi sosial mereka dalam medan budayanya saat ini dimungkinkan telah mengalami interaksi lintas multi budaya, dengan demikian gejala yang
xi
muncul pada ungkapan gambar wayangnyapun akan mengalami pergeseranpergeseran bentuk ungkapan sebagaimana yang mereka interpretasikan sesuai dengan kebutuhannya. Melalui gambar wayang buatan mereka itulah kiranya dapat difahami orientasi kehidupan dan konstruksi nilai-nilai kultural yang diperlukan sebagai bagian dari komunitas kehidupan masyarakat Jawa pada saat ini. Dengan lebih spesifik permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimanakah proses enkulturasi nilai-nilai tradisi Jawa dilakukan dalam kehidupan masyarakat di Kampung Mayangsari dan sekitarnya 1.2.2. Faktor apasajakah yang berpengaruh bagi proses inkulturasi budaya tradisi Jawa dalam kehidupan masyarakat di Kampung Mayangsari dan sekitarnya 1.2.3. Bagaimanakah ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah yang ada di Kampung Mayangsari Semarang.
1.3. Tujuan Penelitian. Secara umum penelitian ini bertujuan mengkaji relasi antara ungkapan gambar wayang buatan anak-anak dengan nilai-nilai kulturalnya dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa saat ini. Secara khusus memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang bagaimana ekspresi gambar wayang buatan anak-anak Siwa SD Islam Siti Sulaekhah Kalipancur Ngaliyan Semarang, yang dapat dijelaskan dari aspek: 1.3.1
Proses enkulturasi nilai budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat, baik
yang dilakukan dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Paparan
xii
mengenai hal terebut dapat digunakan untuk menjelaskan intensitas perhatian dan kepedulian lingkungan terhadap pelestarian nilai-nilai tradisi bagi anak-anak mereka; yang pada gilirannya akan sangat berpengaruh bagi perilaku anak-anak, serta tingkat pemahaman mereka terhadap ciri-ciri keseniannya. Tingkat kemampuan pemahaman
terhadap kesenian wayang pada anak-anak tersebut
indikatornya dapat diketahui dari kemampuan mengungkapkan dalam bentuk gambar, menginterpretasi, dan memahami simbol yang digunakan dalam kerangka kebudayaan masyarakatnya. 1.3.2
Kajian analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada proses enkulturasi
nilai budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat, khususnya pada kehidupan anakanak di wilayah Mayangsari dan sekitarnya, baik yang bersifat internal maupun eksternal. 1.3.3
Ungkapan bentuk tokoh wayang yang digambar oleh anak, yaitu kajian
tentang organisasi unsur-unsur visual yang disusun mejadi bangunan makna, sebagai perwujudan tokoh wayang tertentu baik yang merepresentasikan perwujudannya yang klasik maupun segala penambahan dan perubahan yang dilakukan sebagaimana yang diinterpretasikan dalam kebutuhan estetisnya saat ini.
1.4. Manfaat Penelitian Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, menajamkan pada persoalan bagaimana ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa S D Islam Siti Sulaekhah Kalipancur Ngalian Semarang ini, diharapkan dapat menjadi
xiii
konstribusi pemikiran dan pemahaman terhadap kasus serupa di tempat lain, di wilayah satuan budaya yang sama. Dengan demikian penelitian ini akan bermanfaat: 1.4.1 Bagi para pelaku budaya tradisi Jawa, dapat memperoleh gambaran tentang eksistensi nilai-nilai budaya Jawa tersebut yang terserap dalam pikiran anak-anak. 1.4.2 Bagi para tokoh dan pamong kesenian wayang, akan memperoleh informasi tentang efektivitas proses enkulturasi nilai yang ditanamkan melalui tradisi Apitan, selama ini; informasi tersebut menjadi refleksi dalam rangka mengukur tingkat keberhasilan proses pelestarian nilai seni budaya tradisi yang selama ini diupayakan. 1.4.3 Bagi para Guru di Sekolah Dasar, hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai budaya Jawa melalui Mata Pelajaran Bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah. 1.4.4
Bagi Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, hasil penelitihan ini akandapat
menjadi informasi yang berharga untuk menentukan kebijakan-kebijakan lanjut bagi upaya pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat agar tercipta kondisi kehidupan masyarakat yang berbudaya; dengan tetap menjaga jalinan kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang. 1.4.5
Bagi kalangan akademisi dan pengkaji masalah pendidikan seni, secara
teoritis tesis ini diharapkan bisa memberi gambaran tentang bagaimana relasi antara ungkapan ekspresi estetis anak-anak dari sebuah kelompok masyarakat dengan kondisi sosial budayanya. Studi kasus ini dimungkinkan dapat digunakan
xiv
untuk menjelaskan kasus yang sama di tempat yang berbeda, atau dapat diproyeksikan untuk menjelaskan gejala yang sama dalam lingkup yang lebih luas. Namun demikian untuk mendapatkan gambaran yang lebih konverhensip kiranya masih diperlukan kajian-kajian lanjutan, agar mendapatkan hasil yang lebih objektif.
xv
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Teori Fenomenologi Hassan (2004) menjelaskan bahwa fenomenologi secara umum adalah studi tentang kenyataan sebagaimana tampilnya. Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phenomenon berarti penampilan. Bagi Edmund Husserl (18591938) fenomenon adalah sesuatu objek sebagaimna kita alami dan menghadirkan diri kedalam kesadaran kita. Maka fenomenologi menurut Husserl ialah cara pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu (objek) sebagaimana tampilnya dan menjadi pengalaman kesadaran kita. Metode yang digunakan dalam pendekatan fenomenologi terdiri dari tahap intuisi, analisis serta deskripsi dan yang hasil keseluruhannya berupa deskripsi. Intuisi timbul secara langsung (direct) dan tanpa antara (immediate) dari pemusatan perhatian terhadap fenomena dan analisis dilakukan terhadap unsur-unsur fenomena yang bersangkutan. Sedangkan deskripsi ialah penjabaran dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul melalui analisis. Husserl menambahkan perlunya pembebasan diri dari segala praduga (pre-judgement) sebelum melakukan pendekatan terhadap objek yang ingin kita ketahui atau pelajari; maka objek yang bersangkutan harus seolaholah dikurung (bracketing), sehingga segala praduga dan praanggapan objek itu tidak mempengaruhi yang akan kita peroleh tentang objek itu. Proses tersebut
16
17
disebut epoche atau ‘membisukan suara’ yang mungkin pernah mempengaruhi pengetahuan kita terhadap objek yang bersangkutan. Misiak dan Sexton (1988: 10) menjelaskan metode fenomenologi terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain terhadap data atau fenomena kesadaran.
Sasaran utama metode
fenomenologi bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran – yakni, umpamanya segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau diisukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Selanjutnya dijelaskan, bahwa ada tujuh langkah (dalam terminologi Spiegelberg) yang terdapat dalam metode fenomenologi. Yang paling mendasar dan digunakan secara luas adalah deskripsi fenomenologis. Deskripsi fenomenologis bisa dibedakan ke dalam tiga fase: mengintuisi, menganalisis dan menjabarkan secara fenomenologis. Mengintuisi artinya mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena. Menganalisis adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya. Menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain. Dijelaskan pula bahwa ada langkah lain dari metode fenomenologis adalah pemahaman terhadap esensiesensi’ (insight of essences), pengalaman atau kognisi tentang esensi-esensi (experience or cognition of essences), Langkah tersebut disebut dengan istilah Wessenschau. Spielgelberg menerjemahkan istilah tersebut menjadi pengintuisian esensi-esensi (intuiting of essences). Istilah pengintuisian digunakan untuk menghindari kesamaran serta konotasi mistik yang mungkin timbul dari
17
18
penggunaan istilah intuisi. Pengintuisian esensi-esensi disebut juga pengintuisian eidetic (eidetic intuiting). Kata eidetic berasal dari eidos, yang berarti esensi. Pengintuisian eidetic itu adalah untuk menangkap atau mencapai esensi-esensi berbagai hal melalui fenomena. Dan pencapaian esensi biasanya menyertakan survey atas sesuatu yang memperluasnya menjadi lebih umum. Bogden & Taylor dalam Sutopo (1994) lihat juga Mulyana 2001, menjelaskan bahwa perspektif fenomenologi menempati posisi sentral di dalam metodologi penelitian kualitatif. Apa ang dicari peneliti di dalam kegiatan risetnya, bagaimana melaksanakannya dalam situasi riset, dan bagaimna peneliti melakukan tafsir pada hasil risetnya, semuanya tergantung pada perspektif teoritis yang digunakannya. teori fenomenologis memandang perilaku manusia, apa yang mereka katakan dan mereka lakukan adalah sebagai produk bagaimana orang melakukan tafsir terhadap dunia mereka sendiri. Kehadiran sebuah karya seni dan interaksinya dalam situasi yang khusus adalah merupakan gejala yang dapat diinterpretasi dan dipahami maknanya. Tugas peneliti kualitatif adalah menangkap proses tersebut, untuk itu diperlukan pemahaman empatik dengan kemapuan untuk mereproduksi diri di dalam ikiran orang lain, perasaan, dan motif, yang menjadi latar belakang kegiatannya. Dari pikiran-pikiran di atas dapat disimpulkan bahwa riset dengan perspektif fenomenologis berusaha memahami makna berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang khusus. Peneliti harus bersikap terbuka dan siap siap menerima segala kemungkinan dari apa yang sedang dipelajari. Cara fenomenologis menekankan berbagai aspek subjektif perilaku manusia, supaya
18
19
dapat memahami bagaimana dan apa makna yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Langkah penting dalam tahapan kegiatan
tersebut
adalah
melakukan
deskripsi
fenomenologis,
atau
mendeskripsikan ( menganalisis dan menjabarkan) fenomena yang digunakan sebagai objek riset. Studi kasus pada penelitian ini penulis berusaha untuk menganalisis gejala yang ada pada gambar wayang buatan anak-anak SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang dengan menggunakan kerangka acuan kebudayaan Jawa sebagai motif untuk memahami fenomena tersebut. Dengan begitu maka relasi antara fenomena yang manifestasinya adalah gambar-gambar wayang tersebut akan
dapat
diketahui
bagaimana
relasinya
terhadap
kondisi
kultural
masyarakatnya, yang dalam hal ini adalah kelompok masyarakat yang diasumsikan masih cukup kuat memegang nilai-nilai tradisi budaya Jawa.
2.1. Kebudayaan Kebudayaan dalam hal ini diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan kepercayaan, nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan atau sistem –sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Model-model pengetahuan ini digunakan secara selektif oleh warga masyarakat
pendukungnya
untuk
berkomunikasi,
melestarikan
dan
menghubungkan pengetahuan dan bersikap serta bertidak dalam menghadapi
19
20
lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya (Geertz, 1973: 89) Sejalan dengan pengertian kebudayaan tersebut maka dimensi dari kebudayaan tersebut menyiratkan adanya: pertama, merupakan pedoman hidup yang berfungsi sebagai blueprint atau desain menyeluruh bagi kehidupanm warga masyarakat pendukungnya. Kedua, sebagai sistem simbol, pemberian makna, model kognitif yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik. Ketiga, merupakan strategi adaptif untuk melestarikan dan mengembangkan klehidupan dalam menyiasati lingkungan dan sumber daya di sekitarnya.(Rohidi,1993: 7). Koentjaraningrat (1983) menjelaskan ada tujuh unsur kebudayaan universal yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistemata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut menjelma dalam wujud kebudayaan yaitu: (1) sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya. (2) sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat, (3) sebagai benda-benda hasil kebudayaan. Kesenian merupakan salah satu unsur yang senantiasa dalam kebudayaan, keberadaan ini erat kaitannya dengan kebutuhan manusia yang mendasar untuk memenuhi kepuasannya akan keindahan. Rohidi (2000: 207) menjelaskan betapapun sulitnya kehidupan suatu masyarakat , mereka tidak akan menghabiskan seluruh waktunya untuk mencari makanan dan perlindungan semata. Selanjutnya dijelaskan bahwa kekunoan, kesemestaan, serta kesetiaan seni
20
21
menyertai kehidupan manusia sejak kehidupan awalnya telah membuktikan bahwa kesenian bukan sebagai keharusan melainkan sebagai kebutuhan; dan dikatakan sebagai kebutuhan bio-sosiologis. Pada kesenian melekat ciri-ciri khas suatu kebudayaan, yaitu kesenian milik bersama yang memiliki seperangkat nilai, gagasan, dan unsur daras berpijak bagi perilaku; merupakan acuan bersama yang membuat tindakan individu dipahami, dan begitu pula individu memahami kelompoknya. Ciri Khas berikutnya (atau juga disebarluaskan pada generasi sebaya) melalui proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi. Kebutuhan akan keindahan mungkin juga bersifat biologis- seperti yang dikemukakan di atas sejalan dengan diketahuinya fungsi benak otak sebelah kanan- namun jelas pemuasannya, inspirasi, dan pemerkayaan corak dan wujudnya bersifat budaya. (Rohendi, 2000: 208)
Dari pikiran-pikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan budaya yang digunakan untuk melakukan kajian dalam penelitihan ini, pada dasarnya memandang kehidupan ini sebagai suatu yang sistemik dan integral. Kebudayaan dalam kehidupan manusia sebagai unsur-unsur yang mempunyai fungsi pedoman dan energi timbal balik yang mengatur hubungan integral antara individu, sosial, maupun lingkungannya.
2.2. Kebudayaan Jawa. Dengan mengikuti pikiran Geertz (1973: 126) yang menunjukkan adanya dua aspek pokok dalam setiap kebudayaan, yaitu aspek moral dan aspek estetis yang sering disebut ethos disatu fihak dan aspek-aspek kognitif dan eksistensial yang sering disebut sebagai pandangan hidup atau world view di pihak lain. Esensi kebudayaan Jawa meliputi kedua-duanya, kedua aspek tersebut terjalin dan tergambar dengan baik dalam pewayangan. 21
22
Secara lebih detail esensi budaya Jawa tersebut terimplimentasi dalam kecenderungan manifestasi sikap hidup: religius, non doktriner/ non dogmatis, toleran, akomodatif, dan optimistik (Sujamto, 1992: 33). Rumusan tersebut paling tidak mewarnai baik secara keseluruhan maupun sendiri-sendiri terhadap pertumbuhan dan perkembangan dari unsur-unsur kebudayaan yang ada. Bahasa dan kesusasteraan, arsitektur, seni pertunjukan, seni rupa, sistem religi dll. Baik langsung maupun tidak langsung merefleksikan ciri-ciri tersebut. Ciri-ciri utama atau sifat-sifat dasar yang ada dalam perilaku budaya Jawa menurut Sujamto (1992: 144) yaitu: (1) Percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai sangkan paraning dumadi, dengan segala sifat dan kekuasaanNya. (2) Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat imateriail (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supranatural) dan cenderung ke arah mistik. (3) Lebih mengutamakan hakekat ketimbang segi-segi formal dan ritual. (4) Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia. (5) Percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah. (6) Bersifat konvergen (menyatu), dan universal dan terbuka. (7) Momot dan non sektarian. (8) cenderung simbolistik. (9) Interaksi sosial yang cenderung gotong-royong, guyub, rukun dan damai. (10) Cenderung tidak fanatik. (11) Luwes dan lentur. (12) Mengutamakan rasa ketimbang rasio. (13) Altruistis dan filanthropis. (14) Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi. Bagaimana
upaya
masyarakat
Jawa
dalam
menjaga
nilai-nilai
kebudayaannya, adalah menjadi tanggung jawab seluruh anggota masyarakat itu sendiri dengan berpedoman pada semboyan Tri Dharma Mangkunegara I, yaitu: (1) Rumangsa melu handarbeni. (2) Wajib melu hangrungkebi. (3) Mulat sarira hangrasa wani. Tri dharma tersebut menunjukkan betapa pentingnya partisipasi masyarakat dalam kerangka memproteksi kebudayaannya, agar nilai-nilai dalam
22
23
kebudayaan Jawa tersebut tetap menjadi acuan dalam perilaku kehidupan masyarakat. Sikap dasar bagaimana manusia Jawa harus menempatkan diri dalam berinteraksi dengan lingkungannya, senantiasa dituntut untuk menjaga hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang. Kebudayaan Jawa dikonstruksi dari pangkal tolak yang demikian, maka dapat difahami jika sikap hidup untuk rukun, hormat, eling lan waspada menjadi begitu penting dan di kedepankan dalam perilaku kehidupannya. Kalimat: Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, Mangan ora mangan waton kumpul. Mikul duwur mendhem jero, Kurmat karo wong tuwa. Eling marang sangkan paraning dumadi. Sing awas lan waspada. Dll. Adalah ungkapan yang sering digunakan sebagai emplementasi dari nilai-nilai di atas. Magnis Suseno menyatakan (1996: 83): Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketenteraman, dan keseimbangan batin. Maka pandangan dunia dan kelakuan dalam dunia tidak dapat dipisahkan seluruhnya. Keyakinan-keyakinan deskriptif orang Jawa terasa benar sejauh membantu dia untuk mencapai keadaan batin itu tadi. Bagi orang Jawa suatu pandangan dunia dapat diterima semakin semua unsur-unsurnya mewujudkan suatu kesatuan pengalaman yang harmonis, semakin unsur-unsur itu cocok satu sama lain (sreg). Dan kecocokan itu merupakan suatu kategori psikologis diri dalam tidak adanya ketegangan dan gangguan batin.
Dapat disimpulkan bahwa orientasi kehidupan masyarakat Jawa pada dasarnya cenderung mengejar nilai spriritual ketimbang nilai material. Konsep ideal tentang kebahagiaan kehidupannya cenderung diukur dari rasa, ketenangan, ketenteraman dan keseimbangan batin; dan itu semua diperolehnya manakala interaksi pada jalinan kosmologinya dapat berlangsung dengan harmonis. 23
24
Niels Mulder (dalam De Jong, 1976:81) menyatakan bahwa
sikap
manusia Jawa terhadap dunia sekitarnya pada dasarnya memperlihatkan pola, bahwa masyarakat Jawa tradisional seorang individu tak dapat dipisahkan dari lingkungannya; identitasnya terdapat dalam lingkungannya atau masyarakatnya tersebut. Hubungan sosial tersebut dihayati bertalian dengan alam raya sekitarnya. Dalam masyarakat tradisional individu-individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungan mereka; mereka hidup baik dalam alam dan dalam masyarakat mereka. Identitas manusia tradisional terutama terletak dalam masyarakat, mereka makluk sosial, yang berhubungan dengan alam secara alamiah, secara langsung. Irama alam, yaitu irama musism-musim, merupakan irama hidup masyarakat pula. Alam individu-individu, dan masyarakat mereka, terikat secara akrab dan ketiga unsur tersebut saling berpartisipasi’ (Niels Mulder dalam De jong, 1976: 81) Sebagai ciri kehidupan modern pada dasarnya ditandai oleh objektivasi, menaruh perhatian mental terhadap benda-benda, rasa hormat terhadap materi. Hubungan positif emosional dengan materi ini merupakan salah satu ciri bagi perubahan hidup kearah modernisasi.
Dalam masyarakat Jawa tak ada satu
hubungan emosionalpun dengan materi. Hubungan emosionalnya terpatri dalam kehidupan kolektif masyarakatnya. Masyarakatlah yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk yang harus dipatui oleh anggota masyarakatnya Orang Jawa memperoleh keamanan psikologis yang cukup besar dari perasaan akrab dan menyatu dengan lingkungannya. Tiap individu tidaklah sendirian melainkan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kelompok, dan dalam kelompok itu ia diterima dan memainkan peranan dalam pranata-pranata sosialnya. Pranata sosial tersebut mulai dari keluarga, Rukun Tetangga, Rukun Warga , Desa, dll. Agar diterima dalam kelompoknya tersebut,
24
25
orang harus mnyesuaikan diri dengan harapan; bisa bekerja sama, ambil bagian, sopan, mengetahui aturan, bersikap santun, menghormati yang lebih tinggi dan bersikap baik terhadap yang lain dalam herarki yang lebih rendah dan seterusnya; amatlah penting untuk menjaga kedudukan seseorang dan untuk memperoleh pengakuan sosial. Ditariknya pengakuan sosial, merupakan sanksi efektif untuk menghukum orang-orang yang berperilaku menyimpang dalam masyarakat; seperti terlihat dalam praktek jothakan, disengiti dll. (Niels Mulder, 1984:64). Dengan begitu maka bagi orang Jawa diterima dalam kelompoknya berarti rasa aman, dan tidak diterima oleh kelompoknya menjadi tidak aman, takut, dan akan menderita. Dari pikiran-pikiran terebut kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam kehidupan masyarakat Jawa, kolektivitas demikian sangat penting. Eksistensi masing-masing pribadi adalah representasi dari kehidupan kolektifnya, dan ekisistensi kondisi sosio kulturalnya adalah representasi dari pribadi-pribadi anggota masyarakatnya. Antara individu dengan lingkungannya baik yang bersifat fisik maupun sosial, telah menjadi satu jalinan yang homogen dan integral.
2.3. Estetika Budaya Jawa Menurut etika Jawa sebagaimana terurai di atas, bahwa tindakan manusia harus mengarah pada pemeliharaan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan masyarakat dan jagad raya sebagai nilai tertinggi. Tindakan seseorang dianggap benar jika tetap memperhatikan kaidah-kaidah keserasian, keselarasan, dan keseimbangan tersebut, dan dianggap keliru jika tindakan seseorang tersebut
25
26
dapat mengganggu hukum keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan lingkungannya; yang dimungkinkan dapat berakibat munculnya ketidaktenangan, kebingungan, dan ketidakadilan dalam lingkungan masyarakatnya. Moralitas demikian pada dasarnya menjadi esensi dalam estetika budaya Jawa. Magnis Suseno (1996: 212) menandai ada dua kata kunci yang dipergunakan dalam etika dan estetika Jawa untuk mengatur semua unsur lahir dan batin, yaitu kategori alus (halus) dan kasar Dalam budaya Jawa mengenal kata alus, yang mengungkapkan kehalusan dalam kelakuan, kesopanan, dan menunjuk kualitas dari sebuah ungkapan karya seni ( bathikane alus, tatahane alus, garise alus, wiramane alus, dsb.) Sedangkan kata kasar dipergunakan untuk menunjukkan karakteristik ungkapan yang berkebalikan dengan kata alus. Halus adalah tanda keserasian, keselarasan, dan keseimbangan yang sempurna. Apabila masyarakat berada dalam kondisi demikian maka semuanya akan berjalan dengan baik dan tenang. Sikap dan perilaku seseorang yang disebut alus adalah orang yang telah dapat mengontrol jasmaninya dan telah mengatur batiniahnya, sehingga ia akan mencapai rasa yang benar. sebaliknya perilaku kasar adalah tanda ketidakmampuan mengontrol diri dan ketidakmatangan pribadi. Dengan begitu maka sekaligus dapat disimpulkan bahwa kata alus memiliki makna, yang paling baik, kesempurnaan, kekuatan; sedangkan kata kasar memiliki makna, yang buruk, kurang, dan lemah. Istilah seni dalam budaya Jawa disebut kagunan, sejalan dengan pikiran di atas dapat ditengarai bahwa kagunan Jawa baik pada manifestasi gerak tari, musik
26
27
gamelan, tembang,
karya seni rupa/
kerajinan, dll.
pada dasarnya
merepresentasikan karaktristik yang bersifat ngrawit, rumit, dan involutif. Dengan bertitik tolak dari karakteristik esensi estetika Jawa tersebut maka dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kualitas gejala gambar wayang buatan anak-anak, dengan kriteria sebagai berikut: 2.3.1 Semakin rinci (elaboratif) ungkapan bentuk gambar, maka akan semakin halus; dan jika ungkapan gambar menunjukkan kecenderungan yang lakar saja (tidak rinci) akan semakin kasar. 2.3.2 Sifat garis yang banyak mengeksploitir ungkapan garis lengkung 0dan menunjukkan elastisitasnya, maka sifaf garis tersebut akan semakin halus; dan garis yang cenderung patah-patah, kaku akan cenderung menunjukkan sifat kasar. 2.3.3 Ungkapan garis yang bersifat lancar dan yang dibuat dengan penuh perasaan akan mengesankan sifatnya yang lebih halus, dibanding garis yang dibuat secara tersendat. 2.3.4 Ungkapan gambar yang dibuat dengan isian atau ornamen yang cenderung penuh akan menunjukkan sifatnya yang semakin halus; dan ungkapan gambar yang cenderung dengan ungkapan yang hanya sederhana akan menunjukkan sifat yang kasar. 2.3.5 Gambar yang dibuat cenderung memenuhi bidang gambar akan menunjukkan sifatnya yang halus; sedangkan gambar yang dibuat kecil dan tidak cukup menguasai bidang gambar maka menunjukkan sifatnya yang kasar. 2.3.6 Warna yang dibuat dengan rincihan warna dengan tingkat gradasi semakin banyak akan menunjukkan sifatnya yang halus, dan warna yang dibuat tidak
27
28
dalam kecenderungan mengurai warna, atau warna hadir dalam keadaan terpisahpisah dengan hue masing-masing maka akan cenderung menunjukkan sifatnya yang kasar.
Dengan demikian maka kaidah-kaidah estetika yang digunakan untuk mengkaji gejala kesenian Jawa, dalam hal ini gambar-gambar wayang buatan anak-anak, menggunakan koridor estetika tersebut di atas. Sejalan dengan esensi estetika Jawa pada pikiran tersebut, menarik untuk mempertimbangkan pendapat Beadsley (dalam Smith. 1989: 218) yang menyatakan bahwa ada tiga ciri yang menjadi sifat-sifat membuat baik (indah) dari benda benda estetis yaitu: (1) Aspek kesatuan (unity). (2) Aspek kerumitan (complexity). (3) Aspek kesungguhan (intensity) Aplikasinya dalam kajian nilai estetis pada kasus penelitian ini, bahwa kualitas gambar wayang buatan anak-anak Siswa SD Siti Sulaekhah dalam konteks gambar tersebut sebagai ekspresi estetis masyarakat yang berbudaya Jawa, akan dapat dijelaskan dengan menakar kadar kehalusan ungkapan bentuk secara struktural (yang dibangun dari unsur-unsur visualnya ). Disamping itu memperhatikan: (1) Makna kesatuan secara keseluruhan, keterkaitannya dengan aspek intrinsik (keartistikan bentuk) dan aspek ekstrinsik atau nilai-nilai dibalik perwujudannya itu. (2) Aspek kerumitan, adalah ungkapan bentuk, maupun teknik yang digunakan dalam memanipulasi media; yang menjadikan kehadiran karya tersebut menjadi unik, rumit dan involutif ( kecenderungan karakteristik ekspresi yang lebih bersifat ke dalam ). (3) Aspek kesungguhan, adalah kualitas kondisi
28
29
yang dicapai saat proses kegiatan berlangsung. Data yang mengindikasikan aspek kesungguhan tersebut diperoleh saat observasi, amatan terhadap efektivitas waktu yang digunakan pada saat proses menggambar, serta suasana batin yang melingkupi saat kegiatan berlangsung; disamping amatan terhadap hasil karya itu sendiri.
2.4. Kesenian Wayang Dalam kebudayaan Jawa Kedudukan kesenian wayang dalam kehidupan masyarakat Jawa tak sekedar sebagai bentuk ekspresi estetis semata, sebab bagi kehidupan masyarakat Jawa antara falsafah dan wayang sebenarnya tak dapat dipisahkan; karena dalam kesenian wayang mengambil ajaran-ajaran dari sistem-sistem kepercayaan dan wayangpun menawarkan berbagai macam falsafah hidup yang bersumber dari sistem-sistem tersebut. Sumber-sumber falsafah tersebut dapat ditarik benang merahnya dengan konstruk teoritikalnya bahwa, ‘hidup harus didasarkan pada kebenaran’. Dunia pewayangan telah ikut serta mendewasakan masyarakat dengan jalan membekalinya dengan konsepsi-konsepsi yang mudah dihayati dan diresapkan dalam menghadapi persoalan hidup. Filsafat pewayangan membuat para pendukungnya
merenungkan hakikat hidup, asal dan tujuan hidup,
Manunggaling kawula Gusti (hubungan gaib antara dirinya dengan Tuhan ), kedudukan manusia dalam alam semesta dan sangkan paraning dumadi atau kembali ke asal mula yang dilambangkan dengan tancep kayon Sang Dalang pada akhir pergelaran. (Haryanto. 1991: 2).
29
30
Sebagai pertunjukan yang multidimensional, wayang dapat dikatakan memiliki fungsi komunikatif, disamping bidang studi filsafat, teologi, psikologi, karaktereologi, pedagogi, sosiologi, kultural, literatur (sastra), serta dramatologi. Selain itu pertunjukan wayang dapat digolongkan sebagai karya seni yang di dalamnya memiliki muatan seni sastra dan teater, seni karawitan dan tari, serta seni rupa pada bentuk peraga-peraganya. Disamping itu telah beberapa abad yang lalu dunia wayang telah menarik perhatian para cendikiawan sebagai objek studi menurut disiplin ilmu masing-masing, namun keunikan dalam berbagai aspek yang terkandung di dalamnya tiada habis-habisnya untuk diteliti dan dibahas. ( Satoto dalam Haryanto. 1991: 2) Esensi dari segala cerita yang dikembangkan dalam pertunjukan wayang senantiasa merepresentasikan nilai bahwa kebenaranlah yang senantiasa harus dikedepankan dalam kehidupan (Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti = Keangkaramurkaan itu pada dasarnya akan binasa oleh kebenaran/keutamaan). Di dalam wayang kebenaran sejati hanya datang dari Tuhan. Dan untuk mendapatkan kebenaran sejati manusia harus mencapai kesadaran sejati, untuk mencapai ini manusia harus memiliki ilmu dan pengetahuan sejati. Untuk mencapai ilmu sejati manusia harus memahami kenyataan sejati, dan untuk melakukan yang terakhir ini manusia harus melakukan dua hal yaitu: menyiapkan jiwa dan raganya sehingga menjadi manusia yang kuat dan suci, dan manusia harus memohon berkah Tuhan agar dirinya dapat terbuka bagi masuknya hal-hal di atas. Konsep ilmu dalam budaya Jawa bukan sesuatu yang dicapai semata menggunakan penalaran dan rasio, sebab pada suatu saat rasio itu akan berhenti dan manusia harus
30
31
menggunakan rasa sejati. Dengan ini manusia akan dapat melihat kenyataan hakiki tentang dirinya, asal mula dirinya, asal mula kehidupan, kemana tujuan hidup; yang lazim dalam wayang disebut Sangkan paraning dumadi (asal mula dan akhir kehidupan). (Timur, 1990). Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa esensi kesenian wayang kedudukannya dalam budaya Jawa adalah sebuah sistem filsafat kejawen yang mengajarkan pada manusia kesadaran akan sangkan paraning dumadi. Yang didasarkan pada lima prinsip: rasa sejati, kenyataan sejati, ilmu sejati, kesadaran sejati, dan kebenaran sejali. Kelima hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian maka wayang adalah menjadi pedoman perilaku darma hidup manusia Jawa dalam rangka meniti sangkan dan paran menuju Yang Sempurna dan Yang Abadi (Tuhan). Kias nilai filosofis dalam kesenian wayang tersebut dapat ditemukan antara lain: Tingkat kedewasaan manusia, berturut turut dalam tahap karma, darma, bakti, dan moksa. Watak manusia yang berperan mewujudkan peri kelakuannya dalam lakon, seperti kesatriya, raksasa, dur angkara. Penggambaran watak dalam tiap tokoh wayang tercermin dari bentuk dan warna. Penyusunan struktur pergelaran wayang semalam suntuk, dengan pola adegan atau alur tertentu. Iringan karawitan dengan pathet dan gendhing-gendhing yang sarat dengan kias nilai-nilai kehidupan. (Abdullah, 1980). Filsafat Jawa telah dimanifestasikan dalam seni pewayangan, atau dapat dikatakan bahwa acuan peri laku kehidupan masyarakat Jawa adalah kesenian wayang itu sendiri. Karena begitu besarnya peran wayang di dalam kehidupan masyarakat Jawa, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kesenian wayang merupakan
31
32
identitas utama manusia Jawa. Manusia Jawa gemar beridentifikasi dengan tokohtokoh wayang tertentu dan bercermin serta bercontoh padanya dalam melakukan perbuatan dalam kehidupan sehari-harinya. Identifikasi diri tersebut khususnya terhadap tokoh-tokoh Pandhawa ( Puntadewa, Bima, Arjuna, Nangkula dan Sadewa ), Para anak Pandhawa (Gathotkaca, Antasena, Abimanyu Dll). Kresna, Baladewa, Para Punakawan (Semar, gareng, Petruk, dan Bagong), dan adapula identifikasi diri terhadap tokoh yang bentuknya buruk (bukan manusia) tetapi berhati baik yaitu: Hanoman (berbentuk kera), dan Kumbakarna (berbentuk raksasa). Disisi lain tak pernah dijumpai manusia Jawa beridentifikasi diri terhadap tokoh tokoh jahat seperti para tokoh Kurawa (Durna, Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dll.). Pemilihan tokoh-tokoh tersebut senantiasa dipertimbangkan dengan harapan semoga watak terpuji yang dimiliki tokohtokoh wayang tersebut terwarisi oleh pemilik nama. Hal tersebut sebagai hasil pertimbangan magis-religius belaka dan kadang tidak dapat diikuti secara logika. Walau isi cerita wayang itu berasal dari India namun terdapat perbedaan yang hakiki dalam perwujudannya. Di India isi cerita dianggap benar-benar terjadi dalam keyakinan mitologi, legenda dan sejarah, sedang di Jawa Cerita itu menyimbolkan perilaku watak-watak manusia dalam mencapai tujuan hidup. Pemahaman nilai-nilai simbolik tersebut sangat tegantung pada subjektifitas penghayatnya, yang dimungkinkan masing-masing akan berbeda kondisi internal dan eksternalnya; namun dalam menyaksikan pertunjukan wayang masing-masing akan ‘menikmati’ dan mendapatkan sesuatu dari yang disajikan dalam pergelaran wayang tersebut.
32
33
Dalam pergelaran kesenian wayang, induk cerita yang dipakai adalah Ramayana dan Mahabarata. Keduanya memiliki inti ajaran: (1) Aklak dan moral, yaitu mengajarkan bahwa segala sifat yang terpuji akan mendapatkan kebahagiaan dan sifat tidak terpuji akan menemui kehancuran. (2) Kepahlawanan, yaitu mengajarkan keberanian untuk membela kebenaran. (3) Kenegaraan, yaitu tentang bagaimana negara harus diatur dan bagaimana negara harus bertindak mengatasi masalahnya. (4) Filsafat, yaitu ajaran mencari hakekat hidup yang sejati. Cita-cita hidup, yaitu mengandung ajaran hidup untuk dapat memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akherat.(5) Ketuhanan, yaitu adanya ajaran untuk percaya adanya kekuatan-kekuatan di luar kekuatan manusia; dan pemahaman tentang ‘sangkan paraning dumadi’. Dalam menyampaikan ajaran tersebut disampaikan dengan pendekatan langsung dan tidak langsung, atau secara tersurat, tersirat atau simbolik. Sejalan dengan pendapat di atas, Mulyono (1979: 14) mengatakan bahwa kesenian wayang merupakan manifestasi peradaban, moralitas pandangan hidup, dan sikap religius masyarakat pendukungnya; sekaligus mencerminkan peranan yang fungsional dalam kehidupan masyarakat . Wayang telah menjadi bagian sistem dalam kebudayaan Jawa, dan yang sekaligus sebagai acuan dalam perilaku kehidupan masyarakat. Bentuk fisik wayang merupakan karya seni rupa simbolik, yang menyiratkan berbagai karakter-karakter manusia; yang memiliki dimensi: Fisiologis, ialah ciri-ciri badani yang memiliki keartistikan sebagai karya seni perpaduan antara seni ukir dan seni sungging. Psikologis, ialah ciri-ciri kejiwaan
33
34
atau karakter yang dimiliki oleh masing-masing tokoh. Sosiologis, ialah ciri-ciri yang menyangkut status dan kedudukan dalam tata
kemasyarakatan (Satoto,
1985: 19). Tokoh-tokoh dalam wayang tersebut dikelompokkan menjadi empat yaitu: satria halusan, gagahan, wanita, dan raksasa. Dan dengan tambahan para Punakawan dan beberapa sosok binatang. Masing-masing karakter tokoh-tokoh tersebut dibedakan oleh ciri-ciri ukuran dan bentuk tubuh, rincian pada feature (bentuk hidung, mata, dan mulut), warna, dan atribut-atribut lain yang digunakan. Dari penggunaan atribut-atribut tersebut sekaligus dapat dikenali kedudukan wayang tersebut berada pada strata sosial yang bagaimana ( Satria, Raja, Begawan, Dewa, Prajurit, Punakawan, Putri, dll ). Dan dari penggunaan warna pada wajah, dapat pula diidentifikasi beraneka karakter yang saling berbeda, yang dengan istilah khusus disebut sebagai wanda. Halus dan kasarnya karakter wayang pada dasarnya ditentukan oleh ciriciri fisik yang dimiliki masing-masing tokohnya. Haryanto, S (1991: 25) membagi karakteristik wayang klasik menjadi empat yaitu: jenis wanita (putren), satria halusan, satria gagahan, dan raksasa. Disamping klasifikasi tersebut sebenarnya masih ada kelompok wayang yang memiliki ciri khusus, yaitu para punakawan dan kera. Kekhususan ciri pada dua kelompok wayang tersebut yaitu pada perbentukanya yang secara fisik mendekati gejala bentuk tokoh berkarakter jahat, namun dalam konteks cerita tokoh-tokoh tersebut malah selalu berbuat baik. Ciri-ciri khusus dari bentuk wayang putren pada dasarnya dapat dikenali dari: bentuk hidung walimiring, mata gabahan, mulut minkem, bertutup
34
35
kepala/irah-irahan sesuai dengan ciri masing-masing, memakai dodot putren, (dodot putren gaya Surakarta ujung kainnya menjorok ke belakang seolah-olah wayang tersebut sedang berjalan, sedangkan dodot putren gaya Yogyakarta ujung kain terebut menjorok ke depan seolah-olah wayang tersebut sedang berdiri diam dengan posisi punggung agak membungkuk ), dan posisi kaki jangkahan alus.Tutup kepala atau irah-irahan putren pada dasarnya lebih banyak menggunakan bentuk gelung dengan berbagai jenisnya, antara lain: gelung ukel keyongan, gelung ukel keyongan ber-jamang dan ber-gurdha, gelung ukel kembang, gelung endhel, dan gelung malang; disamping masih ada bentuk irahirahan yang lain dalam bentuk kethon, sebagaimana yang banyak dipakai oleh wayang putren gaya Yogyakarta.
Gambar: 1 Profil wayang putren 35
36
Hidung walimiring, mata gabahan, mulut mingkem
Gambar: 2 Dodot wayang putren gaya Surakarta dan Yogyakarta
36
37
Gambar: 3 Berbagai bentuk gelung wayang putren
37
38
Gambar: 4 Dewi Shinta gaya Yogyakarta memakai irah-irahan kethon.
Karakter satria alusan ditandai dengan ciri-ciri: wajah merunduk ke bawah atau mendatar, bentuk hidung walimiring, mata gabahan (liyepan) atau kedhelen, mulut mingkem, dengan tutup kepala /irah-irahan sesuai dengan ciri tokoh masing-masing, memakai bokongan, dan posisi kedua kaki jangkahan alus. Tutup kepala jenis satria alusan ini antara lain: bentuk topong (Karna, Sentanu, Dasarata, dll), bentuk makutha ( ,Kresna, Ramawijaya, Wisnu, dll), bentuk gelung (sanggul) supit urang (Arjuna, Nakula, Sadewa, dll). Bentuk gelung keling dapat dilihat pada tokoh Puntadewa, Destarastra, Yamawidura, dll.
38
39
Gambar: 5 Profil wayang alusan (berkarakter halus) Hidung walimiring, dengan bentuk mata gabahan, dan kedhelen,
Gambar: 6 Bentuk bokongan dengan posisi kaki jangkahan alus
39
40
Gambar: 7 Berbagai bentuk tuup kepala tokoh satria alusan
40
41
Gambar: 8 Contoh wayang satria alusan (Arjuna)
Karakter tokoh satria gagahan dengan ciri-ciri sebagai berikut: Wajah merunduk atau mendatar, bentuk hidung bentulan, mata kedhondhong (peten) atau thelengan, mulut minkem atau gusen tanpa taring, memakai tutup kepala/irahirahan sesuai tokoh masing-masing (makutha pada Baladewa, gelung supit urang pada Bima, gelung keling pada Gandamana, gelung bundel ber-garudha mungkur pada Bratasena, dll) dan posisi kedua kaki jangkahan.
41
42
Gambar: 9 Profil wayang gagahan hidung bentulan, mata kedhondhong, dan thelengan
Gambar: 10 Busana dodot wayang gagahan, dan bentuk rapekan dengan posisi kaki jangkahan gagah
42
43
Gambar: 11 Berbagai bentuk tutup kepala wayang gagahan
43
44
Gambar: 12 Beberapa tokoh wayang gagahan Karakter tokoh wayang raksasa dengan ciri-ciri sebagai berikut: Bentuk hidung wungkal gerang/ pelokan, mata plelengan (dengan satu mata atau dua mata), mulut mingkem gusen bertaring atau mulut mangap gusen bertaring, bentuk tutup kepala/ irah-irahan sesuai dengan ciri tokoh masing-masing, dan 44
45
posisi kedua kaki jangkahan. Disamping hal tersebut terdapat ciri yang lain pula yaitu pada tangan belakang kebanyakan tokoh raksasa menyatu dengan badan, namun ada pula beberapa tokoh yang kedua tangannya diurai pisah dari badannya (Buta Cakil, dan Rahwana gaya Jogya).
Gambar: 13 Profil wayang tokoh raksasa Hidung wungkal gerang atau pelokan, mata thelengan, mulut gusen bertaring
45
46
Gambar: 14 Busana bentuk dodot, dan bentuk rapekan tokoh raksasa dengan posisi kaki jangkahan
46
47
Gambar: 15 Berbagai bentuk tutup kepala tokoh raksasa
47
48
Gambar: 16 Beberapa tokoh raksasa 48
49
2.5. Gambar Kerangka Berpikir Pola relasi dalam penciptaan karya seni ( gambar wayang buatan anakanak ) dengan lingkungannya pada dasarnya dapat dijelaskan dengan diagram di bawah ini. Kedudukan kreator (internal Subjek ), hasil ekspresi estetis ( gambar wayang ), dan lingkungan ( keluarga, sekolah, masyarakat ) bersifat integral. Unsur-unsur tersebut akan saling mempengaruhi untuk dapat memberi dan diberi, dalam proses kehidupan budaya yang terjalin secara sistemik.
Gambar wayang Buatan anak-anak
Internal subjek
Lingkungan Sekolah Keluarga Masyarakat
Gambar: 17 Diagram kerangka berpikir
49
50
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Metode Kajian ini pada dasarnya merupakan studi kasus terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan anak-anak. Anak-anak sebagai bagian dari komunitas sosial menempati fungsi yang sangat strategis bagi upaya pelestarian nilai-nilai budaya kehidupan masyarakatnya. Proses enkulturasi nilai budaya itu senantiasa dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun, baik melalui peran keluarga, sekolah dan masyarakat. Fenomena sosial tersebut tercermin dalam ekspresi gambar wayang buatan anak-anak. Dalam gambar tersebut anak-anak menyatakan pikirannya dan perasaannya sebagai tanggapan dan responnya terhadap kesenian tradisinya. Karya gambar wayang mereka adalah konstruksi tanda yang dapat dijelaskan dengan menganalisis unsur intra dan ekstra estetisnya, serta dapat digunakan untuk menjelaskan hubungannya dengan nilai-nilai kulturalnya sebagai bagian dari komunitas masyarakat yang hidup dalam tradisi Jawa. Seberapa besar nilainilai kultural Jawa itu melekat dalam pola kehidupan mereka, pada dasarnya akan dapat diketahui dari karakteristik ekspresi estetisnya. Dapat diasumsikan bahwa ekspresi gambar wayang buatan anak-anak menyiratkan adanya interaksi antara internal dirinya sebagai subjek dengan kondisi eksternnya, yang dimanifestasikan dalam suatu bentuk gambar wayang dalam konteks kini.
50
51
Medan kajian dalam penelitihan ini melibatkan anak-anak, sekolah, keluarga dan masyarakat, sebagai sebuah sistem yang integral yang tercermin dalam ekspresi gambar wayang buatan anak-anak; untuk dijelaskan esensi maknanya. Dengan begitu diperlukan pendekatan penelitian yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial itu secara efektif. Soetopo (1996: 5), dan beberapa para ahli sosiologi lainnya menyarankan agar penelitian bidang sosial budaya yang berupaya mengungkap esensi dari sebuah interaksi sosial hendaknya mendekati permasalahan tersebut secara kualitatif. Gambar wayang buatan anak-anak adalah manifestasi adanya interaksi sosial antara anak-anak sebagai subjek kreator dengan lingkungan sosial budayanya. Fenomena
yang tampak pada perbentukan gambar tersebut
menyimpan makna yang memiliki relasi dengan kulturalnya, dan sebaliknya kondisi kultural dimana anak-anak tersebut tinggal akan berpengaruh besar pada gejala yang ada pada gambar wayang mereka. Dengan demikian agar kajian penelitian ini memperlihatkan kedalaman makna, serta menunjukkan keterlibatan peneliti secara langsung di lapangan, maka dipilih pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.
3.2. Fokus Penelitian Kajian penelitian ini difokuskan pada gejala gambar wayang buatan anakanak, siswa SD Siti Sulaekhah Mayangsari, Kalipancur Ngalian Semarang. Keberadaan SD tersebut dikawasan wilayah kultural yang nota-bene anggota masyarakatnya masih memiliki kesetiaan mempertahankan kesenian wayang,
51
52
paling tidak terdapat tiga titik tempat yang setiap tahun mentradisikan pertunjukan wayang melalui tradisi Apitan, yaitu di wilayah Panjangan, Kembang Arum, dan Kalipancur (jarak lokasi sekolah dengan tempat-tempat kegiatan pentas wayang tersebut dapat dilihat pada gambar ). Disamping posisi geografis Sekolah Dasar tersebut, dikepung oleh potensi-potensi seni tradisi wayang, anak-anak yang sekolah di SD tersebut ternyata tidak saja berasal dari kampung Mayangsari itu saja, tetapi mereka berasal pula dari wilayah-wilayah tersebut di atas. Fokus penelitihan adalah gambar wayang buatan anak-anak siwa kelas VI SD tersebut. Dasar pertimbangan dipilihnya gambar buatan anak-anak siwa SD kelas VI didasarkan pada pertimbangan bahwa kemampuan menggambar anakanak pada usia ini telah memasuki masa naturalistik semu, mereka telah memiliki kemampuan teknik dan cara mempersepsikan objek yang dilihatnya untuk diungkapkan kembali dalam bentuk gambar dimungkinkan
telah mampu
mereprentasikannya secara realistik. Perkembangan karya gambar anak pada usia kelas VI (12-14 th) menurut Lowenfeld (dalam Kamaril 2005: 2.38) memasuki masa naturalistik semu (pseudo naturalistic) dengan ciri-ciri gambar mereka sebagai berikut: Pada dasarnya masa-masa ini anak-anak mulai menyukai dan menikmati berkarya seni. Dari hasil karyanya mereka telah menunjukkan ciri-ciri bukan kanak-kanak lagi tetapi bukan berarti telah dewasa. Mereka semakin bisa berpikir abstrak dan perspektifnya tentang dunia berpijak pada kesadaran sosialnya. Perhatiannya terhadap karya seni mulai kritis, termasuk dalam menyikapi karyanya sendiri. Mereka akan merasa puas jika hasil karyanya lebih baik ketimbang hasil karya sebelumnya. Gambarnya telah dapat menjadi simbol
52
53
bagi pengungkapan, nilai-nilai, wacana, dan kondisi instrinsiknya. Ada kecenderungan anak mulai memusatkan perhatiannya pada benda-benda dan objek di lingkungannya dengan tersaring. Pengamatannya terhadap objek telah mulai rinci, hal-hal seperti draperi, ornamen-ornamen, dan detail dari suatu benda telah menarik perhatiannya. Gambar mereka tentang manusia/ figur, pada dasarnya telah mendekati proporsi yang benar. Berbagai ungkapan ekspresi wajah telah memiliki arti sendiri, Sangat menyukai gambar kartun. Kesadaran akan perbedaan sex menonjol, termasuk didalamnya kesadaran akan perbedaan karakter dari tokoh yang digambarnya. Atas
dasar
pertimbangan-pertimbangan
tersebut
maka
penulis
berkesimpulan bahwa hasil gambar wayang buatan anak-anak pada usia kelas VI SD, dapat dijadikan objek penelitihan yang indikatornya dapat mewakili persoalan sosial yang ada pada kelompok masyarakatnya.
3.3. Metode Pengambilan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan, dilakukan dengan observasi terkendali, yaitu peneliti melakukan treatment dengan mengkondisikan agar Guru Kelas VI SD Siti Sulaekhah tersebut memberikan pembelajaran menggambar wayang kepada siswanya.. Treatment tersebut dilakukan untuk memberikan ruang perhatian yang lebih khusus terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran tersebut, karena materi kegiatan menggambar wayang tersebut tidak terprogram dalam satuan kurikulum. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung peneliti melakukan observasi terhadap proses yang berlangsung, khususnya yang menyangkut aspek
53
54
metode, pemanfaatan sumber belajar, dan tingkat perhatian siswa selama kegiatan pembelajaran. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap seluruh gambar wayang yang dihasilkan. Untuk memperoleh data tambahan berkaitan dengan proses inkulturasi budaya dalam lingkungan keluarga, dan masyarakat peneliti melakukan wawancara dengan para orang tua siwa dan tokoh masyarakat. Substansi materi wawancara tersebut berkisar pada upaya yang dilakukan oleh para orang tua dan tokoh masyarakat dalam melestarikan nilai-nilai kultural Jawa, khususnya melalui sosialisasi kesenian wayang, dan kesenian lain yang mendukung proses pelestarian nilai-nilai tradisi Jawa.
3.4. Sumber Data Sebagai Sumber data primer dalam penelitian ini adalah: 3.4.1 Treatment pada Siswa kelas VI SD Islam Siti Sulaechah, anak-anak disuruh menggambar wayang melalui instruksi guru, yang diobservasi selama proses pembelajaran berlangsung. 3.4.2 Gambar wayang karya anak-anak Siswa Kelas VI SD Siti Sulaekhah sebagai outcome dari treatment yang telah dilakukan. 3.4.3 Sistem persekolahan yang menyangkut kebijakan pengembangan kurikulum dan bahan ajar, serta kapasitas serta perhatian guru dalam mengembangkan pelajaran yang memberikan konstribusi bagi pengenalan dan pelestarian nilai-nilai budaya Jawa.
54
55
3.4.4 Hasil wawancara dengan para orang tua siswa berkenaan dengan upaya enkulturasi budaya, dan orientasi pembinaan dan pengembangan anak-anak mereka untuk menyongsong kehidupannya kedepan. 3.4.5 Hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat, berkaitan dengan upayaupaya yang dilakukan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai seni tradisi budaya Jawa. Sumber data sekunder adalah sumber data yang dapat menunjang data primer yaitu berupa arsip-arsip sekolah, dan arsip yang ada pada organisasi kemasyarakatan setempat yang dapat memberikan informasi mengenai persoalanpersoalan yang berkaitan dengan dinamika kegiatan sosial budaya yang memiliki relevansi bagi upaya penanaman nilai-nilai tradisi budaya Jawa tersebut.
3.5. Teknik Analisis Data Mengacu pada pikiran Milles dan Hubberman (1992:11), ada empat komponen pokok dalam teknik analisis data yang harus dilakukan oleh peneliti yaitu: 3.5.1 Pengumpulan data Pada proses ini peneliti mengumpulkan data terlebih dahulu dengan mengelompokkan data-data yang ditemukan di lapangan. Data-data tersebut diperoleh melalui teknik pengumpulan data, yang dipakai yaitu: (1) Observasi, pada saat proses pembelajaran menggambar wayang yang dilakukan guru di Kelas VI SD Siti Sulaekhah Semarang berlangsung. Fokus data yang dikumpulkan melalui observasi tersebut meliputi: kegiatan persiapan, dan
55
56
methode pembelajaran, serta gambar wayang
hasil karya siswa setelah
pembelajaran berlangsung. (2) Wawancara, dilakukan dengan sejumlah responden dari Guru kelas, Kepala Sekolah, para orang tua siswa, dan para tokoh masyarakat. Fokus data yang dikumpulkan berkaitan dengan upaya inkulturasi nilai-nilai tradisi yang dilakukan, beserta faktor yang mendukung dan menghambat proses enkulturasi tersebut. (3) Dokumentasi, meliputi arsip-arsip yang memiliki relevansi dan konstribusi bagi pengembangan temuan data dilapangan. Arsip-arsip tersebut diupayakan diperoleh dari sekolah, Pemerintah Kelurahan dan masyarakat yang ada di Kampung Mayangsari dan sekitarnya.
3.5.2 Reduksi Data. Dalam proses reduksi data, peneliti melakukan reduksi dengan: melakukan pemilihan, penyederhanaan, pemusatan perhatian pada data-data yang diperlukan, dan transformasi data. Pada proses ini peneliti memilih dan memilah data yang diperlukan untuk dikaji dan membuang data yang tidak sesuai dengan sasaran penelitian. Dengan demikian hasil penelitian yang disajikan dan analisis yang dilakukan akan menjadi lebih terfokus, sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan. 3.5.3 Sajian Data Dalam menyajikan data, peneliti mencatat dan memaparkan data secara objektif dalam bentuk susunan kalimat yang ditulis secara sistematis. 3.5.4 Penarikan Simpulan dan Verivikasi
56
57
Langkah ini merupakan hasil pokok selama pelaksanaan penelitian, yakni dengan mengungkapkan keseluruhan hasil penelitian melalui pokok-pokok pikiran tertentu yang dilandasi data empirik. Kesimpulan yang di sampaikan valid dan tidak diragukan karena sesuai dengan data-data yang ditemukan di lapangan.
57
BAB 4 GAMBARAN UMUM SEKOLAH DASAR ISLAM SITI SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG
4.1. Latar Belakang Berdirinya Sekolah Letak geografis Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah berada di Kampung Mayangsari Kelurahan Kalipancur Kecamatan Ngaliyan Semarang. Jarak dari pusat kota Semarang kurang lebih 10 Km, dan kurang dari 4 km jarak kampung tersebut dengan pusat-pusat keramaian yang melingkarinya; antara lain Pasar Sampangan, Pasar Simongan, Islamic Centre, dll.; namun kondisi kampung tersebut sesungguhnya relatif terisolir karena kontur batas kampung tersebut di sebelah Timur dan Selatan adalah sungai Kreo, dan batas kampung di sisi Barat dan Utara adalah perbukitan. Namun yang menarik pada perkembangan saat ini ternyata sekolah tersebut menjadi sekolah yang relatif difavoritkan oleh masyarakat disekitarnya dibanding SD lain yang ada di sekitarnya. Latar belakang berdirinya sekolah tersebut, diawali
ketika ibu-ibu
kelompok pengajian ‘Anjangsih’ Semarang mengadakan kegiatan bakti sosial pada tahun 1986, salah satu sasaran yang dituju sebagai objek kegiatan adalah masyarakat Kampung Mayangsari- Panjangan Semarang. Alasan dipilihnya Kampung tersebut sebagai sasaran gegiatan dikarenakan kondisi kampung tersebut dalam keadaan relatif tertinggal dibanding kampung-kampung yang lain. Ketertinggalan wilayah tersebut tidak semata-mata menyangkut aspek fisik
58
59
semata
namun
termasuk
di
dalamnya
adalah
mental-spiritual
warga
masyarakatnya, dan lebih khusus lagi pendidikan bagi anak-anak mereka. Penyebab dari itu semua dikarenakan kondisi geografis kampung tersebut berada di wilayah yang relatif terisolir. Rendahnya minat sekolah anak-anak di wilayah tersebut diakibatkan kedudukan sekolah dasar yang dapat mereka gunakan sebagai tempat belajar berada di seberang Sungai Kreo, tepatnya di Kampung Kedungwadas Kelurahan Sukorejo Kec. Gunungpati. Jika musim hujan Sungai Kreo tersebut hampir sering banjir; faktor inilah yang menjadikan surutnya minat anak belajar karena mereka menjadi sering tidak bisa masuk sekolah. Melihat kondisi yang demikian kemudian muncullah prakarsa dari salah satu anggota pengajian tersebut yaitu Ny. Hj. Siti Sulaechah istri H. Muhammad Sulchan (seorang pengusaha sukses di era 60 an) untuk mendirikan sekolah di kampung tersebut, dengan satu motivasi membantu memberikan pelayanan pendidikan bagi anak-anak di kampung tersebut. Pada tahun 1986 didirikan masjid yang cukup representatif untuk kegiatan peribadatan , yang diberi nama Masjid At Taqwa. Pada tahun 1987, didirikan TK Islam Siti Sulaechah, dan pada tahun 1989 berdirilah SD Islam Siti Sulaehah; yang pengelolaannya dibawah naungan Yayasan Badan Amal Jariyah Keluarga H Muhammad Sulchan Semarang dengan sekretariat di Jl. Ahmad Yani 54 Semarang. Sekolah Dasar Islam Siti Sulaecah di Kampung Mayangsari tersebut diresmikan tahun 1990 oleh Soetrisno Suharto, Walikota Semarang pada saat itu. Dampak dari kunjungan Walikota meresmikan sekolah tersebut, berselang dalam waktu yang tidak begitu lama jalan utama yang menghubungkan kampung
59
60
tersebut dengan kampung-kampung di sekitarnya mendapat bantuan pengaspalan; dengan begitu secara fisik ada perubahan yang cukup signifikan kampung tersebut menjadi relatif nyaman. Keberadaan Masjid At Taqwa, TK, dan SD Islam Siti Sulaecah di Kampung tersebut pada perkembangan kemudian ternyata menjadi magnit bagi terjadinya perubahan diberbagai bidang, khususnya pencitraan terhadap kampung beserta masyarakatnya dan bagi sekolah itu sendiri. Keberadaan sekolah yang pada awalnya hanya diperuntukkan bagi para anak-anaki di wilayah tersebut, namun dalam perkembangan kemudian telah berkembang relatif besar; dan mampu merekrut anak-anak dari daerah lain ( Ringintelu, Panjangan, Kembangarum, Kalipancur, Ngemplak Simongan dll. ) dan pada tahun ajaran 2008/2009 ini berhasil merekrut siswa berasal dari 14 TK. yang ada di sekitarnya; dengan batasan jumlah 70 anak. SD Islam Siti Sulaechah di bawah naungan Yayasan Badan Amal Jariah Keluarga H. Muhammad Sulchan Semarang, mendapat ijin penyelenggaraan pendidikan pada tanggal 21 April 1990, No: 0180/103/I/1990 dari Dirjen Dikdas dan Menengah. Pada tahun pertama memiliki 35 siswa, dan proses belajar mengajarnya masih menumpang di bangunan TK Islam Siti Sulaechah, yang berjarak lebih kurang 50 meter dari lokasi yang sekarang. Pada saat ini sekolah tersebut telah berkembang relatif baik baik, pada sepuluh tahun terakhir setiap tahun ajaran baru menerima siswa sejumlah 70- an untuk dua kelas; dengan begitu jumlah siswa keseluruhan berkisar 400 anak.
4.2 Visi , Misi, dan Rencana Pengembangan sekolah
60
61
Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan secara utuh, Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah Mayangsari mempunyai visi dan misi sekolah yang berfungsi sebagai dasar sekaligus orientasi tujuan operasional institusi tersebut. Adapun visi sekolah yaitu: Unggul dalam mutu dan prestasi berdasarkan iman dan taqwa. Sedangkan misi sekolah yaitu: (1). Mewujudkan masa depan Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang sebagai lembaga pendidikan yang maju, mandiri, dan berkualitas. (2). Meningkatkan kualitas pembelajaran serta aklaqul karimah bagi Siswa / Siswi Sekolah Dasar Islam Siti sulaechah Mayangsari Semarang (3). Membimbing, mendorong dan membantu Siswa untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki Siswa secara berkesinambungan dengan melibatkan warga sekolah dan komite sekolah. Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang menyusun rencana strategi untuk pengembangan 10 tahun ke depan, dengan rincian sebagai berikut: (1). Meningkatkan kualitas sistem pendidikan dasar Islam, sehingga mampu menjadi sekolah unggulan sebagai pilihan pertama dan utama bagi masyarakat. (2). Terciptanya kondisi guru yang beraklaqul karimah, berkompetensi dalam proses pembelajaran dan mampu menguasai iptek guna peningkatan pelayanan bagi peserta didik. (3). Memiliki sarana dan prasarana yang memadai bagi kebutuhan aktivitas pembelajaran yang ideal
61
62
(4). Mampu memproduksi bahan ajar sendiri yang lebih sesuai dengan kebutuhan Siswa, dengan tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku. (5). Meningkatkan kerja sama dengan jaringan-jaringan institusi terkait serta masyarakat sekitar, dalam rangka menjadikan Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah bisa mendapatkan citra dan respon yang lebih besar.
Gambar : 18 Foto Kepala Sekolah dengan latar berbagai piala penghargaan sebagai salah satu bukti prestasi SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari
4.3. Sarana dan Prasarana Sekolah Bangunan sekolah SD Islam Siti Sulaecah di Kampung Mayangsari berdiri di atas tanah seluas 850 m2. Keseluruhan luas bangunan kurang lebih 500 m2, dan separoh dari bangunan gedung tersebut terdiri dari dua lantai. Prasarana tersebut terdiri dari:
62
63
-
Ruang Kepala Sekolah
-
Ruang guru
-
Ruang Perpustakaan
-
3 kamar mandi
-
1 kamar sebagai gudang
-
Ruang penyimpanan alat-alat kesenian
-
Ruang penyimpanan alat-alat peraga
-
Ruang pelatihan komputer
-
8 ruang kelas
-
Kantin
-
Halaman tempat bermain dan upacara
-
Tempat untuk berolahraga
Berikut adalah denah gedung, dan foto gedung SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang yang tampak dari berberapa sudut pandang
63
64
Gambar : 19 Denah bangunan gedung SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari
Gambar: 20 Gedung SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari, tampak dari depan
64
65
Gambar : 21 Salah satu bagian dari gedung SD Islam Siti Sulaechah, tampak bangunan lantai atas
Gambar : 22 Fasilitas jalan yang kadang digunakan 65
66
sebagai tempat kegiatan berolah raga Siswa SD Islam Siti Sulaechah
Gambar : 23 Mural pada dinding luar bangunan sebelah Barat
Sarana yang dimiliki untuk menunjang proses pembelajaran pada dasarnya pada kondisi yang relatif memadahi. Tiap kelas memiliki bangku dan kursi untuk siswa, yang diatur satu bangku untuk dua siswa, meja guru, almari, daftar absensi, rak buku yang berisi data dan portopolio masing-masing siswa, serta gambargambar sebagai alat peraga sekaligus sebagai dekorasi ruangan diantaranya adalah gambar tokoh pahlawan dan beberapa gambar wayang. Di ruang penyimpanan peralatan kesenian, sekolahan tersebut memiliki satu unit peralatan drumband dan satu unit peralatan kasidahan. Pada ruang guru terdapat 14 unit meja guru (sesuai dengan jumlah guru), dan 15 unit komputer untuk pelatihan siswa. Di teras sekolah terdapat deretan sketsel sebagai Gallery Board yang setiap saat dipakai
66
67
untuk memajang karya-karya siswa. Melalui media inilah para siswa berinteraksi melalui karya-karya mereka dan sekaligus apresiasi seni mereka menjadi terasah.
67
68
Gambar : 24 Tampilan beberapa lukisan karya Siswa SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari yang ada di Gallery Board
4.4.
Keadaan Guru dan Karyawan Sekolah Tenaga pengajar di sekolah tersebut sebagaian besar berkualifikasi sarjana
S1. Fungsi guru pada dasarnya tidak semata bertanggungjawab dalam proses belajar mengajar dikelas saja, namun harus bisa juga menjadi agen perubahan bagi lingkungannya. Hal demikian menjadi penting ditekankan oleh yayasan demikian pula yang menjadi harapan masyarakat. Kedudukan guru dimasyarakat tradisional sebagaimana sebagaimana masyarakat Mayangsari pada dasarnya menduduki strata sosial pada lapis atas. Keberadaan guru menjadi cermin bagi anggota masyarakat yang lain, dengan begitu kedudukannya akan memiliki hak yang relatif tinggi termasuk didalamnya adalah hak penghormatan; namun di sisi lain keberadaan seorang guru juga dituntut kewajiban yang relatif tinggi pula. Kewajiban guru yang paling utama dalam kehidupan masyarakat harus dapat memposisikan diri sebagai figur yang dapat digugu dan ditiru, artinya dapat sebagai suri tauladan bagi yang lain. Atas dasar pertimbangan tersebut dalam diri pribadi guru itulah terdapat sumber nilai dan sumber kebenaran. Kepala Sekolah beserta para Guru di SD Islam Siti Sulaechah berfungsi menjadi inti dari institusi tersebut. Pencitraan terhadap keberadaan lembaga salah satunya direfleksikan dari kinerja mereka, dengan demikian dalam kaitan membangun image sebagai lembaga yang berkualitas maka efektivitas peran guru menjadi sangat penting.
68
69
Tugas guru tidak semata di sekolah, namun harus pula dapat menjadi guru bagi masyarakat. Berikut adalah daftar Guru dan Karyawan SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang
No
Nama
Lulusan
Mengajar Kelas
1
Istiyadi, A.MPd.
D3. IKIP
Kepala Sekolah
2
Temu, AMPd.
D2. IKIP
Ib
3
Fitriyana NH, S.H.I.
S1. IAIN
Ia
4
Ubaidillah S.Pd.I
S1. IAIN
Via
5
Fahruddin A. S.Pd.I.
SI. IAIN
Vb
6
Winarsih S.Sos.I
S1. IAIN
IIIb
7
Asmudi, AM.
D2. Unwahas
P A. Islam
8
Rosita Ari, SPd.
S1. Unnes
VIb
9
Reny Purwati, S Ag.
S1. IAIN
IV
10
Hasanah Hidayah
S1. IAIN
Va
11
Niswatul Aliyah, S.Pd.I
S1. IAIN
Va
12
Diyah Soliqatun P, A.M
D2. PGSD
Iia
13
Saiful Amin, SH.I
S1. IAIN
BT. Al Qur’an
14
Retno Eka Nurdiyanti, SPd.
S1. Unnes
IIb
15
Faidurrahmah, S.H.I
S1. IAIN
P.A. Islam
16
Qibtiyah
D2. Unwahas
BT. Al Qur’an
17
Kusrini, S.Pd
S1. Unnes
Bhs. Inggris
Rukini
SD
Penj. Sekolah
18 19
69
70
4.5. Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah Mayangsari dengan Medan Sosialnya. Medan sosial yang dimakdud pada bagian ini adalah komunitas interaktif yang terjadi dalam suatu komunitas sosial. Dalam hal ini menjelaskan tentang keberadaan Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah yang berada di Kampung Mayangsari Semarang telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat yang melingkupinya. Sifat keintegralan tersebut akan membawa konsekwensi sekolah tersebut akan dipengaruhi oleh kehidupan budaya masyarakat pendukungnya sekaligus juga akan memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Jika dicermati rumusan visi dan misi yang di emban sekolah di atas sesungguhnya merefleksikan respon sekolah terhadap kebutuhan masyarakatnya, demikian juga pengembangan nilai-nilai yang diperlukan bagi pembentukan watak para peserta didiknya hampir seluruhnya mengaplikasikan nilai-nilai budaya yang ada di lingkungan kehidupan masyarakatnya. Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah sebagian berasal dari anakanak yang tinggal di Kampung Mayangsari, namun sebagian besar justru berasal dari kampung-kampung lain di luar Mayangsari; antara lain: Panjangan, Ringintelu, Kembangarum, Kalipancur, Ngemplak dan sebagian kecil lagi dari wialyah Ngemplak Simongan dan Gedungbatu. Kampung Mayangsari secara administrasi masuk wilayah Kelurahan Kalipancur, namun secara kultural keterikatan kampung tersebut dengan kampung-kampung di sekitarnya memiliki ikatan yang lebih luas. Jika dicermati karakteristik budaya kelompok masyarakat di wilayah-wilayah tersebut memiliki kemiripan, sebagai kelompok budaya
70
71
marginal yang relatif besar warga masyarakatnya masih berorientasi pada normanorma tradisi kehidupan budaya Jawa. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut masih cenderung mempertahankan adanya tradisi ritual-ritual tertentu, untuk mengokohkan eksistensi kehidupan sosial mereka sendiri baik pada
dimensi
horizontal maupun fertikal. Salah satu bentuk tradisi ritual yang hidup dan dilestarikan dengan begitu gigih oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut adalah tradisi apitan yang ditandai dengan penyelenggaraan pentas wayang kulit.
Dorongan untuk
melestarikan nilai-nilai kebudayaan Jawa masih sama-sama dianggap sebagai hal yang sangat penting, untuk menjaga keharmonisan kehidupan mereka. Dengan begitu maka dapat disimpulkan bahwa ketika kehidupan sosial suatu kelompok masyarakat dibingkai ketat dengan nilai-nilai budaya tradisi maka dapat diistimasikan bahwa perilaku para anggota masyarakatnya termasuk didalamnya anak-anak akan akan merefleksikan nilai –nilai tradisi tersebut pula. Medan sosial yang melingkupi keberadaan sekolah tersebut akan memberi atmosfer tersendiri, yang senantiasa akan saling mempengaruhi secara timbal balik. Nilai-nilai tradisi yang hidup di tengah medan sosial sekolah tersebut dapat dipastikan sedikit banyak akan berimbas pada kehidupan anak-anak, khususnya dalam memenuhi
kebutuhan ekspresi estetisnya, termasuk pada
kecenderungan ciri yang ada pada gambar-gambar wayang buatan mereka. Di Sisi lain, kebudayaan kota sebagai representasi kebudayaan baru/ kebudyaan modern, melingkari wilayah tersebut. Pada jarak kurang lebih 5 Km, wilayah tersebut sudah bersinggungan dengan wilayah kota yang nota- bene
71
72
memiliki karakteristik kultural yang relatif berbeda. Dinamika kehidupan kota menjadi bagian dari medan sosial yang harus dihadapi oleh sekolah dan masyarakat tersebut, adalah sebuah kemestian yang tak mungkin terelakkan akan senantiasa berpengaruh bagi kelangsungan budaya tradisi di wilayah tersebut
Denah Wilayah Kelurahan Kalipancur
72
73
Gambar : 25 Denah Wilayah Kelurahan Kalipancur Ngaliyan Semarang
73
BAB 5 PROSES ENKULTURASI NILAI BUDAYA JAWA MASYARAKAT KAMPUNG MAYANGSARI DAN SEKITARNYA
Ketika kebudayaan dipahami sebagai sebuah sistem, yang mengikat dalam satuan kehidupan masyarakat maka setiap individu yang hidup dalam kelompok masyarakat tersebut baik langsung maupun tidak langsung ikut bertanggungjawab terhadap pelestarian nilai-nilai budaya yang digunakan sebagai pengatur dalam kehidupan
mereka.
Sistem nilai
tersebut
dikenalkan,
ditradisikan,
dan
dipertahankan dari waktu ke waktu, dari generasi satu ke generasi yang lain melalui sebuah proses pendidikan baik yang bersifat formal, informal maupun non formal. Proses enkulturasi nilai-nilai budaya tradisi pada kehidupan masyarakat Kampung Mayangsari dan sekitarnya, pada dasarnya dapat dipaparkan sebagai berikut.
5.1. Proses Enkulturasi Nilai Budaya Jawa Dalam Kehidupan Keluarga Pada dasarnya keluarga merupakan persekutuan hidup primer dan alami, di antara seorang wanita dengan seorang pria yang diikat oleh tali perkawinan yang didasari cinta kasih. Dalam persekutuhan tersebut terdapat unsur hakiki yang
74
75
sama yaitu; saling mencintai, saling ketergantungan, saling memberi, saling membutuhkan, ada loyalitas/ kesetiaan , pengorbanan, dan saling melengkapi sesuai dengan kodrat masing-masing. Dengan lahirnya anak maka ikatan perkawinan suami-isteri tersebut menjadi semakin kokoh dan erat terpatri, karena anak menjadi jaminan bertautnya cinta kasih. Dengan keberadaan anak tersebut menuntut tanggungjawab orang tua untuk bersama-sama memelihara dan merawat, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh tanggung jawab. Mendidik keturunannya adalah menjadi tugas utama orang tua. dengan begitu maka dalam relasi antara anak dan orang tua tersebut secara kodrati tercakup unsur pendidikan. Orang tua menjadi agen pertama dan utama untuk menolong keturunannya, serta mendidik anak-anaknya. Interelasi di antara semua anggota keluarga merupakan simbol ikatan manusiawi yang ideal. Maka keluarga menjadi sumber cinta-kasih antara suami istri, dan sumber kasih sayang antara anak dengan orang tua. Karena di dalam keluarga terdapat rasa solidaritas, loyalitas, saling menyandar dan saling bergantung, maka keluarga juga disebut sebagai orde sosial primer, yang didalamnya terdapat unsur afeksi dan rasa keadilan dalam bentuknya yang murni ( Baca Kartono 1991: 64 ) Adanya ikatan darah antara anak dengan orang tua, yang dilambari kasih sayang serta dorongan naluriah untuk melindungi anaknya; maka orang tua menjadi pendidik paling pertama dan utama bagi anak-anaknya. Dalam kondisi demikian inilah para orang tua memikul tanggung jawab moril untuk
75
76
menghantarkan anak-anaknya menyongsong masa depan yang lebih baik. Maka prioritas pertama untuk mendidik anak ada di tangan orang tua Pada dasarnya interaksi di dalam kehidupan rumahtangga adalah interaksi edukasi, dalam proses inilah anak-anak mengidentifikasi nilai dan norma dalam kehidupan di lingkungannya. Disamping itu di dalam proses interaksi tersebut anak melakukan pula internalisasi nilai yang kemudian sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadiannya. Di dalam kehidupan rumahtangga tersebut dapat pula dikatakan sebagai institusi peletak dasar kepribadian anak; dengan begitu maka pola kepemimpinan orang tua dalam mendidik anak-anaknya akan sangat berpengaruh bagi perkembangan kepribadiannya kemudian. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Interaksi dalam keluarga tersebut termasuk orientasi pembentukan norma-norma sosial, internalisasi norma-norma, terbentuknya frame of reference, sence of belongingness dll. Di dalam keluarga yang interaksi sosialnya berdasarkan simpati, anak akan pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bantumembantu dengan kata lain anak pertama-tama belajar
memegang peranan
sebagai makluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan tertentu sebagai modal untuk pergaulan dengan orang lain.( Baca Gerungan 1986: 181 ). Dengan begitu maka pengalaman yang terbentuk dari proses interaksi dalam keluarga tersebut turut menentukan tingkah laku anak terhadap orang lain dalam
76
77
pergaulan sosial diluar keluarganya. Pada umumnya jika interaksi sosial dalam kelompok keluarga tersebut tidak lancar atau tidak wajar, kemungkinan besar interaksi sosialnya dengan masyarakat luaspun akan berlangsung tidak wajar pula. Hal demikian mudah dipahami mengingat keluarga sebagai intitusi memiliki tujuan-tujuan, struktur, aturan-aturan, dinamika kelompok, dan termasuk cara-cara kepemimpinan orang tua. Sebagai intitusi sosial primer, di dalam keluarga tersebut bukan berarti tidak mungkin terjadi gangguan atau penyimpangan fungsi dalam struktur tersebut. Hal demikian sangat mungkin akibat munculnya kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan, ketidaksetiaan, godaan seksual, ketidakadilan, tergesernya posisi anggota keluarga, gaya kepemimpinan orang tua dll. Pada dasarnya polapola kepemimpinan dalam keluarga baik dengan cara demokratis, laissez –faire, ataupun otoriter sangat berpengaruh pada suasana interaksi anggota keluarga; dan akan cenderung merangsang perkembangan anak pada ciri-ciri tertentu. Ketiga gaya kepemimpinan tersebut pada dasarnya ada dalam kehidupan masyarakat di Mayangsari dan sekitarnya. Dampak dari persoalan tersebut adalah pada kadar kelekatan nilai budaya pada kehidupan anak-anak mereka. Proses enkulturasi nilai budaya tradisi Jawa dalam kehidupan keluarga di Kampung Mayangsari dan sekitarnya pada dasarnya telah dilakukan oleh para orang tua kepada anak-anak dimulai semenjak anak ada dalam kandungan ibu. Ritual mitoni, atau selamatan kehamilan tujuh bulan esensinya adalah proses edukasi bagi calon ibu muda yang sebentar lagi harus mengasuh dan mendidik anaknya. Perangkat ritual yang digunakan untuk upacara tersebut sarat dengan
77
78
makna simbolik, yang ujung-ujungnya berpengharapan agar anak yang akan lahir kemudian akan lahir dengan selamat, menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, dan berguna bagi nusa bangsa dan agama. Setelah anak terebut lahir, dilakukan pula upacara selamatan selapanan, dan bagi yang beragama Islam serta mampu melaksanakan ada kewajiban untuk melaksanakan akhikoh yaitu berkorban menyembelih kambing satu ekor jika anak yang lahir perempuan dan dua ekor jika yang lahir anak laki-laki. Dalam ritual selapanan tersebut biasanya disajikan seperangkat nasi yang dilengkapi dengan lauk gudangan, ikan asin, tempe dan tahu, yang kemudian setelah didoakan bersama-sama yang dipimpin oleh seorang Modin; kemudian dibawa pulang masing-masing. Selapanan adalah ekspresi edukasi bagi para orang tua kepada anaknya yang telah berusia 35 hari. Pada saat itu anak mulai diberi nama, dikenalkan secara sosial, yang berarti keberadaannya akan senantiasa menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya; dan kelak diharapkan pula bahwa anak tersebut akan menjadi anak yang memiliki kepatuhan terhadap nilai-nilai dalam kehidupan masyarakatnya. Hampir 95% para ibu di wilayah tersebut mengasuh anaknya sendiri, bagi mereka yang terpaksa harus bekerja di luar rumah pengasuhan anak tersebut lebih cenderung dititipkan pada anggota keluarga terdekat, sebagian kecil mempercayakan kepada
pembantu, namun setelah mereka berada di rumah
tanggung jawab pengasuhan sepenuhnya berada pada ibu kembali. Berdasarkan kajian di lapangan pada dasarnya hampir 95 % keluarga yang ada di Wilayah Mayangsari dan sekitarnya menggunakan bahasa Jawa sebagai
78
79
bahasa ibu, dan 5% menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Bahasa Jawa yang mereka gunakan sebagai alat berkomunikasi keseharian secara internal lebih banyak menggunakan jenis bahasa Jawa ngoko, sedikit diantara mereka yang masih menggunakan bahasa Jawa krama; khususnya pada beberapa keluarga yang strata pendidikannya relatif baik. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati masih tetap menjunjung tinggi berupaya menggunakan bahasa Jawa krama. Komunikasi antar anak-anak sebagian besar menggunakan bahasa Jawa ngoko dan kadang diselingi dengan kosa kata bahasa Indonesia. Melalui komunikasi dengan bahasa Jawa itulah sebagai salah satu media internalisasi nilai budaya tradisi tersebut dilakukan dalam kehidupan keluarga. Pada dasarnya hampir semua orang tua sebagai kepala keluarga mengidealkan agar para anak-anak mereka masih tetap bisa berbahasa dengan bahasa Jawa yang baik. Pengertian baik disini dimaknai bahwa anak-anak diharapkan dapat memiliki kemampuan berbahasa Jawa krama sebagai ungkapan dimilikinya rasa hormat mereka dengan orang yang lebih tua. Jika ditanyakan bagaimana upaya para orang tua dalam membudayakan penggunan bahasa Jawa yang baik pada anak-anak mereka; pada dasarnya mereka telah merasa menanamkan pembiasaan penggunaan bahasa Jawa yang baik tersebut namun banyak diantara mereka yang merasa kewalahan berhadapan dengan terpaan pengaruh luar yang berakibat pada terjadinya distruksi bahasa. Dalam kehidupan masyarakat Mayangsari, esensi nilai budaya Jawa pada dasarnya masih melekat cukup baik dalam kehidupan mereka. Rasa hormat
79
80
dengan orang yang lebih tua masih menjadi
keharusan
yang
hendaknya
dilakukan oleh siapa saja, demikian pula bagi anak-anak mereka. Ungkapan rasa hormat tersebut ditunjukkan dengan berkomunikasi yang baik, diatur dengan penggunaan bahasa Jawa yang baik, saat berinteraksi dengan berperilaku yang santun; dan senantiasa mendahulukan kepentingan orang tua di atas kepentingan dirinya. Hidup guyup – rukun atau sikap hidup bergotong royong masih menjadi kebiasaan hidup yang masih mentradisi dalam kehidupan mereka. Ungkapan keguyuban tersebut ditunjukkan dalam interaksi antar keluarga dalam mengatasi kebutuan keseharian, yang diekspresikan pada kebiasaan saling memberi jika mereka memiliki sesuatu yang lebih dan merasa tetangga membutuhkan pula sesuatu yang dimiliki; serta keinginan untuk saling membantu manakala tetangga sedang dalam kerepotan, atau sedang memiliki hajat tertentu. Sikap hidup untuk senantiasa memiliki rasa hormat dan hidup guyub tersebut pada dasarnya masih terjalin pula dalam kehidupan masing-masing keluarga. Harapan para orang tua, Anak-anak akan mampu mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai yang baik yang telah mereka tradisikan dalam rumah tangga. Ungkapan: ojo nakal, sing rukun karo sedulur, ojo wani karo wong tuwa, mengko ndhak kewalat, ojo kurang ajar, dll menjadi ungkapan yang sangat biasa terdengar dalam interaksi keseharian para orang tua dalam mengarahkan anakanaknya. Dapat disimpulkan bahwa mereka masih sangat berharap agar anak-anak dapat tumbuh menjadi manusia Jawa yang tetap memiliki kesantunan sebagaimana nilai-nilai dalam kebudayaannya mengatur kehidupan mereka.
80
81
Hampir semua keluarga membiasakan anak-anak mereka jika makan, dan memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tangan kanan. Jika dalam melalukan aktivitas tersebut keliru dengan menggunakan tangan kiri, mereka menyebutnya ora ilok, atau tidak sopan. Demikian juga dalam berperilaku yang lain, pada dasarnya hal-hal yang menuju pada sifat yang alus atau halus adalah nilai yang dituju dan dianjurkan pada anak-anak, sebaliknya nilai yang menuju pada sifat kasar adalah sesuatu yang disarankan untuk dihindari oleh anak-anak; termasuk didalamnya adalah bicara kasar apalagi membentak dengan orang yang lebih tua. Berdasarkan hasil observasi, di beberapa keluarga masih dapat dijumpai wayang atau gambar wayang digunakan
sebagai hiasan dalam rumah tangga.
Tokoh wayang yang dipilih kebanyakan para Satria Pandhawa, Kresna, dan Punakawan. Alasan pemilihan tokoh-tokoh tersebut pada dasarnya mereka merasa senang saja, dan ada diantaranya yang menyatakan bahwa tokoh wayang tersebut diharapkan dapat mensugesti dirinya dan para anak-anak mereka agar memiliki watak yang baik sebagaimana yang disimbulkan oleh tokoh tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu kepala keluarga di antara mereka menyatakan bahwa, gambar Kresna yang dipajang pada dinding ruang tamunya menjadi simbul pribadi, dan orientasi hidup yang dapat menuntun perilaku kehidupannya; yaitu: Memiliki sifat dinamis ( trengginas ), berwibawa, cerdas, adil, dan memiliki kekuasaan. Pesan-pesan moral tersebut diharapkan pula dapat dicerap oleh anak-anak mereka, dan dapat pula mensugesti siapa saja yang melihat gambar tersebut
81
82
Gambar : 28 Tokoh wayang Kresna pada Lukisan kaca, salah satu contoh gambar wayang yang digunakan sebagai elemen interior rumah tangga
82
83
Gambar : 29 Tokoh wayang Hanoman, sebagai salah satu contoh wayang yang digumakan sebagai elemen interior rumah tangga
83
84
Pilihan mereka terhadap musik yang mereka apresiasi dalam keseharian cenderung menempatkan musik ndangdut sebagai pilihan pertama, baru kemudian campursari, dan pada prosentasi yang relatif kecil mereka membiasakan mendengarkan musik gamelan Jawa. Bagi mereka irama musik campursari dianggap sebagai irama musik Jawa, dan terhadap musik gamelan mereka sudah mulai berjarak, apa lagi para anak-anak dan generasi mudanya. Namun disetiap perhelatan yang mereka selenggarakan ( khususnya pada upacara perkawinan) musik gamelan Jawa
masih menjadi sajian wajib yang arus ada untuk
menyemarakkan suasana perhelatan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa proses enkulturasi nilai tradisi Jawa dalam lingkungan keluarga pada masyarakat Mayangsari pada dasarnya berlangsung secara langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud dengan proses internalisasi yang bersifat langsung yaitu, proses tersebut terjadi dalam interaksi komunikasi antara orang tua dengan anak baik yang bersifat pembimbingan, arahan, teguran, larangan, dll. Yang pada dasarnya berorientasi pada pembentukan sikap hidup yang berbudi luhur dan tahu sopan santun. Dan yang dimaksud dengan inkulturasi secara tidak langsung yaitu anak-anak tersebut melakukan identifikasi diri terhadap nilai-nilai yang ditawarkan oleh lingkungan keluarganya. Nilai-nilai tersebut khususnya yang dicontohkan oleh para orang tua mereka, serta nilai-nilai yang dicerap dari pesan-pesan yang ada di lingkungannya. Pesan-pesan tersebut bisa muncul dari proses mengapresiasi lagu atau musik, gambar, tata arsitektur, tata busana, tata boga, dan tata krama, selama mereka para anggota rumah tangga tersebut melakukan interaksi dalam keseharian.
84
85
5.2. Proses Enkulturasi Nilai Budaya Jawa Dalam Kehidupan Masyarakat Kerukunan atau guyub dan hormat adalah adalah nilai yang senantiasa dijunjung tinggi dalam kehidupan baik di keluarga maupun masyarakat. Ekspresi dari sikap rukun tersebut manifestasinya pada kecenderungan hidup saling berdekatan baik secara fisik maupun psikis. Di Kampung Mayangsari terdapat lima rumpun keluarga sebagai penduduk asli yang beranak-pinak hidup berdekatan sebagai keluarga besar. Sedangkan para keluarga yang lain pada dasarnya melakukan jalinan antar keluarga sebagai keluarga besar pada lingkungan masing-masing dengan
hidup saling berdekatan. Jalinan sebagai
keluarga tersebut pada dasarnya diikat oleh perasaan senasib sama-sama sebagai perantauan, atau kedekatan akibat interaksi keseharian yang terus-menerus yang kemudian menumbuhkan rasa saling memiliki dan saling membutuhkan. Dari sifat kedekatan tersebut mereka memperoleh rasa keamanan psikologis. Mereka merasa tidak sendirian
melainkan menjadi sebuah ikatan
yang tidak dapat dipisahkan sebagai kelompok. Dalam kelompok itulah ia diterima dan memainkan perannya sebagai makluk sosial. Agar diterima oleh kelompoknya maka para anggota masyarakat harus mampu menyesuaikan diri, mau bekerja sama (guyub), sopan, dan tahu aturan. Menghormati mereka yang lebih tua dan bersikap baik terhadap orang lain dalam herarki yang lebih rendah menjadi kemestian yang dituntut oleh setiap anggota masyarakat yang ada di Mayangsari. Masing-masing individu berharap mendapat pengakuan secara sosial.
85
86
Pengakuan tersebut akan berdampak pada eksistensi dirinya sebagai warga yang diperhitungkan, dihormati, berpengaruh, dan bermanfaat bagi kehidupan lingkungannya. Jika seseorang karena berperilaku jahat atau berperilaku menyimpang, biasanya akan mendapat perlakuan ditarik pengakuan sosialnya, dengan cara dijothak atau memutus tali komunikasi; dengan cara tersebut tampaknya masih menjadi bentuk hukuman tradisional yang relatif masih efektif dalam kehidupan mereka. Bentuk hukuman jothakan tersebut dilakukan pula oleh para anak-anak mereka, ketika terjadi masalah antar mereka dalam proses berinteraksi. Karena dijothak, atau dibiarkan tersebut kehadirannya seakan telah ditolak secara sosial, dibiarkan hidup sendiri; dan dalam kesendirian tersebut seseorang akan mengalami rasa ketidaknyaman hidup, dan kemudian akan dijangkiti rasa ketakutan menghadapi hidup. Pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut di atas maka pembudayaan sikap rukun dan hormat dipandang sangat penting bagi anak-anak yang tumbuh dalam kelompok masyarakat tersebut. Pembudayaan nilai-nilai tersebut dilakukan dengan berbagai
cara baik yang terungkap secara tertulis
maupun bersifat konvensi yang mengatur tata cara dalam pergaulan mereka, serta dalam bentuk ungkapan ekspresi baik dalam bentuk komunikasi langsung, ritualritual, maupun ekspresi berkeseniannya. Proses inkulturasi nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Mayangsari dan sekitarnya, pada dasarnya terjadi melalui dua pendekatan yaitu: 1) Melalui interaksi dalam proses kehidupan sehari-hari antar warga masyarakat termasuk di dalamnya adalah anak-anak sebagai bagian dari rajutan jaringan sosial tersebut.
86
87
Norma-norma yang mengatur interaksi dalam kehidupan mereka yang terimplementasi dalam perilaku dan segala tutur kata dalam berbagai ragam aktivitas serta segala artefak dan atribut yang digunakan dalam proses kehidupan tersebut; pada dasarnya dapat mengandung muatan inkulturasi nilai. 2) Melalui kegiatan ritual
yang diselenggarakan bersama-sama oleh seluruh anggota
masyarakat, baik yang berkaitan dengan penghormatan terhadap hari penting nasional, hari penting keagamaan, dan penghormatan terhadap tradisi yang berlangsung secara terus menerus setiap tahun. 3) melalui pelatihan-pelatihan dibeberapa kelompok kesenian. Berikut ini penulis paparkan berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat Mayangsari dalam melakukan proses inkulturasi nilai tradisi Jawa yang diekspresikan dalam berbagai aktivitas ritual sosial mereka:
5.2.1 Tradisi Walimahan atau kenduri Kenduri masih diangap menjadi media yang sangat efektif
untuk
mengikat tali sosial mereka. Ketika kegiatan kenduri tersebut dilaksanakan, mereka merasa diikat oleh kepentingan yang sama untuk berdoa bagi hajat tertentu, dan mendapat hak yang sama sebagai ‘upah’ dari aktivitas yang mereka lakukan. Kenduri tersebut dilaksanakan disamping berkaitan dengan hajat masingmasing pribadi, masih ada pula kenduri yang dilaksanakan sebagai hajat sosial. Kenduri demikian biasanya dilaksanakan setiap menjelang pergantian tahun Jawa, menjelang peringatan Hari Ulang Tahun RI, Maulid Nabi Muhammad SAW, tradisi Sadranan, dan setelah selesai sholat Idul Fitri maupun Idul Adha.
87
88
Khusus mengenai kenduri atau walimahan pada saat ritual sadranan, masyarakat Mayangsari dan sekitarnya memiliki cara yang unik. Tradisi tersebut dilaksanakan pada bulan Sa’ban (Ruwah), yaitu kebiasaan bagi para warga masyarakat untuk bersama-sama membersihkan makam khususnya bagi kuburan keluarga masing-masing, kemudian dilanjutkan dengan bersama-sama mandi di kali
( Sungai Kreo ) agar badan mereka bersih, kemudian dilanjutkan dengan
kenduri (walimahan ) di makam tersebut, yang didahului dengan acara Tahlil dan doa bersama sesuai dengan ajaran Islam. Acara makan atau walimahan yang dilaksanakan di makam sesungguhnya dimakruhkan atau tabu dalam ajaran Islam, namun menjadi acara yang menyenagkan bagi mereka khususnya anak-anak. Mengamati aktivitas kenduri yang dilaksanakan oleh masyarakat tersebut, para anak-anaklah yang mendominasi hadir dan menjadi pusat perhatian bagi perhelatan itu. Biasanya para ibu-ibu menyiapkan serangkaian makanan dengan cita rasa tata boga Jawa, kemudian membawa anak-anak mereka ke Balai Rukun Warga. Makanan makanan tersebut disatukan ditata di tengah, kemudian mereka duduk melingkar mengelilingi makanan tersebut. Ketika telah sampai pada saatnya, kemudian Tetua Agama atau Pak Modin di kampung tersebut memimpin doa dan yang hadir mengamini. Ketika doa selesai kemudian hidangan tersebut dimakan bersama-sama. Pada saat inilah anak-anak menemukan suka citanya; mereka bisa mengambil makanan yang mereka sukai dan bisa mengambil milik siapa saja. Dan pada saat inilah sesungguhnya
media kenduri tersebut telah
memfasilitasi anak-anak untuk belajar memahami betapa pentingnya arti kebersamaan. Dalam kebersamaan itu terdapat rukun, saling memberi, saling
88
89
berbagi, tidak egois, dan saling menghormati. Dan dalam kebersamaan itu pula anak-anak secara langsung akan dapat mengidentifikasi diri dan beradaptasi masuk pada jaringan sosialnya.
5.2.2 Peringatan Hari Ulang Tahun RI Peringatan HUT. RI di kampung tersebut, menjadi salah satu cara bagi mereka untuk memantapkan kembali eksistensi mereka sebagai kelompok sosial. Penyadaran tentang arti pentingnya patriotisme dan nasionalisme menjadi nilai fundamental yang senantiasa ditanamkan oleh mereka kepada para generasi mudanya termasuk anak-anak. Tradisi yang senantiasa mereka lakukan dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan tersebut adalah: Kegiatan Malam Tirakatan yang berlangsung setiap tanggal 16 Agustus malam, yang dilaksanakan di tiap-tiap lingkungan Rukun Tangga. Dan kegiatan Malam Pentas Seni, yang dilaksanakan oleh panitia, koordinasi dari seluruh rukun tangga yang ada di kampung Mayangsari tersebut. Pada saat pentas seni inilah kita secara langsung dapat melihat cita rasa ekspresi kesenian mereka. Dari pengamatan dilapangan ternyata bagi kelompok masyarakat tersebut kesenian Jawa masih menempati prioritas perhatian yang cukup besar bagi mereka. Prioritas perhatian itu manifestasinya dapat dilihat dari antosiasme masyarakat menyaksikan setiap ada sajian tari atau sajian lain yang bernuansa kebudayaan Jawa. Tari-tarian yang biasanya dibawakan oleh anak-anak pada acara tersebut antara lain: tari Kupukupu, tari Goyang Semarang, tari Soyong, tari Gambyong dll.
89
90
Sebagai acara pembuka dalam setiap tampilan pentas seni memperingati Hari Ulang Tahun RI, nampaknya telah menjadi komitmen bagi mereka senantiasa harus ada sajian Panembrama, yaitu nyanyian koor oleh para ibu-ibu berjumlah sekitar 25 orang; yang melantunkan tembang-tembang Jawa. Pada setiap sajian acara Panembrama tersebut sebagai tembang wajibnya yaitu Ladrang Sri Widodo. Syair tembang tersebut yaitu: Kinanti karya pamecut Mring warga ing Mayangsari Nggenya ngudi karaharjan Jroning lahir sarta batin Den sengkut nggennya makarya Mangesthi dawuhing Gusti Sru gumbira sumangga asung pambagya Hamrengeti kamardikaning negara Mrih santosa nggenira ngudi raharja Indonesia adedasar Pancasila
Kanthi berkahing ywang Agung Olah kridaning pra abdi Memayu hayuning bangsa Datan darbe rasa wigih Sayuk rukun ing pakaryan Kamulyan ingkang pinanggih Pada lirik tembang yang mereka lantunkan disetiap malam pentas seni Peringatan HUT RI tersebut dapat diketahui adanya spirit kebersamaan mereka untuk tetap bersemangat bersama-sama membangun kehidupan sosial mereka , agar hapat hidup lebih sejahtera lahir dan batin, dan dengan tetap mengedepankan hidup rukun dan damai dalam kebersamaan. Tradisi kegiatan pentas seni tiap tahun ini, bagi mereka menjadi acara tradisi yang membanggakan bagi kehidupan sosial mereka. Rasa kebanggaan dan
90
91
sikap handarbeni atau kepemilikan terhadap kegiatan tersebut ditunjukkan dengan kerelaan mereka untuk iuran bagi pembeayaan kegiatan tersebut, serta keguyuban untuk melakukan persiapan dan latihan-latihan mengisi acara tersebut. Biasanya panitia jauh sebelumnya telah mengidentifikasi jenis kesenian apa saja yang telah disiapkan di setiap lingkungan Rukun Tangga, kemudian dikondisikan untuk dapat latihan intensif. Setelah sampai pada pelaksanaan pentas seni tersebut kemudian acara disusun dengan berbagai pertimbnagan, dan ternyata dari setiap susunan acara yang dilakukan oleh panitia dari waktu ke waktu senantiasa menempatkan jenis kesenian Jawa selalu di tempatkan sebagai sajian pentas yang lebih awal. Tari-tarian Jawa masih cukup sering ditarikan oleh anak-anak, antara lain tari ‘Denok Semarangan’, ‘Kupu-kupu’, ‘Merak’, ‘Kelinci’, ‘Soyong’, ‘Srimpi’, ‘Keprajuritan’ dll; dan biasanya para orangtua sangat mendukung para anak-anak mereka yang akan pentas jenis tari-tarian ini. Dari indikator tersebut tersebut Artinya warga masyarakat di wilayah ini masih merasa penting untuk mendahulukan cita rasa seni yang mewakili tradisi kebudayaannya.
91
92
Gambar :30 Suasana peringatan HUT RI di Kampung Mayangsari
Gambar : 31 Panembrama sebagai pembuka acara pada malam peringatan HUT RI di Kampung Mayangsari
92
93
Gambar :32 Sajian pentas tari pada malam peringatan HUT RI di Kampung Mayangsari
5.2.3 Tradisi Apitan Tradisi apitan adalah ritual adat yang berlangsung secara turun temurun di wilayah Kampung Mayangsari dan sekitarnya. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai ungkapan syukur bagi para warga masyarakat atas kemurahan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Mahaesa. Dan dengan melaksanakan kegiatan tradisi tersebut para warga berpengharapan bahwa kemakmuran dan keselamatan hidup pada tahun berikutnya akan tetap terjaga. Pelaksanaan kegiatan apitan senantiasa ditandai dengan melaksanakan pagelaran wayang kulit. Istilah apitan nampaknya berasat dari kata apit =gapit atau jepit; dalam hal ini terkait dengan karakteristik wayang kulit yang kehadirannya senantiasa dijepit oleh garan atau tangkai, yang biasanya dibuat dari bambu atau tanduk kerbau. Dengan begitu maka tradisi apitan tersebut diidentikan dengan pagelaran wayang kulit. Tradisi apitan dilaksanakan setiap bulan Dzulkaidah, yang oleh warga masyarakat di wilayah tersebut disebut juga sebagai bulan Apit, karena bulan Dzulkaidah tersebut terjepit diantara dua bulan besar yaitu Syawal dan Dzulhijah atau Besar. Dengan begitu maka makna kata apit dapat dikait dengan waktu bulan
93
94
penyelenggaraan tradisi dan karakteristik bentuk penyelenggaraan tradisi itu sendiri. Dalam melaksanakan kegiatan tradisi apitan para warga masyarakat Mayangsari terikat dalam satu koordinasi dengan kampung Ringin Telu dan Panjangan. Bentuk keterikatan tersebut sesungguhnya bukan semata-mata karena alasan teknis yang berhubungan dengan keinginan memperingan biaya, namun lebih didasari pada keterikatan kesamaan kultural. Dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang bertanggungjawab melaksanakan kegiatan apitan tersebut dapat diperoleh informasi bahwa kegiatan tersebut dilatar belakangi oleh sejarah masa lalu terbentuknya komunitas bermasyarakat warga Panjangan dan sekitarnya. Tradisi lesan dalam kehidupan masyarakat tersebut mengisahkan bahwa seseorang yang pernah bubak alas atau mengawali tingal di daerah tersebut adalah Ny. Sepapah. Dikisahkan bahwa beliau adalah seorang perempuan cantik yang masih keturunan ningrat, dengan status tidak bersuami. Ny. Sepapah adalah sosok wanita yang sangat berjasa mendirikan kampung tersebut, memiliki jiwa sosial yang tinggi, dan peduli terhadap kehidupan seni budaya. Di sisi lain pada jarak yang tidak terlalu jauh dikisahkan terdapat tokoh Ki Bejotaruna dengan anak buahnya yang cenderung berperilaku negatif. Dua kekuatan, yang positif disimbulkan dengan kehadiran Ny. Sepapah dan kekuatan negatif yang disimbolkan dengan kehadiran Ki Bejotaruna menjadi karakterisktik atmosfer kehidupan budaya masyarakat kampung Panjangan di masa lalu dan merefleksi hingga kini. Dengan kearifan para tetua kampung tersebut, agar para warga
94
95
masyarakat dapat senantiasa hidup berdampingan secara baik maka dicarilah media yang dapat menyatukan kehidupan mereka tersebut yaitu pementasan wayang kulit. Nampaknya telah disadari oleh warga masyarakat di daerah tersebut bahwa kegiatan seni budaya memiliki tingkat resistance yang kecil, sekaligus telah
difungsikan
sebagai
katalisator
bagi
kehidupan
berbudaya
dan
bermasyarakat bagi mereka. Berawal dari kisah tersebut maka tradisi apitan yang ditandai dengan pagelaran wayang kulit itu berlangsung dari waktu yang telah cukup lama hingga sekarang. Pagelaran wayang kulit tersebut telah menjadi bagian dari sistem religi dan kepercayaan bagi mereka. Mereka mempercayai bahwa penyelenggaraan apitan tersebut menjadi sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan, dan jika tidak dilaksanakan mereka takut akan terjadi pagebluk atau bencana dalam kehidupan masyarakatnya. Dengan sistem kepercayaan yang demikian dapat dijelaskan bahwa warga masyarakat di wilayah tersebut memiliki kesetiaan menjaga nilai tradisi dalam kehidupan budayanya, wayang sebagai bentuk ekspresi berkesenian tidak saja dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan estetis mereka; namun wayang telah menjadi bagian dari kosmologi kehidupan budaya mereka. Mereka mempercayai jika kegiatan apitan tersebut dilaksanakan kehidupan akan menjadi harmonis dan jika kegiatan tersebut tidak dilaksanakan akan terjadi disharmoni dalam kehidupan sosialnya. Suatu kejadian yang barangkali sulit dirasionalisai, ketika pada bulan Apit atau Dzulkangidah tahun 2008 ini, karena alasan kondisi ekonomi warga masyarakat di wilayah tersebut yang sedang krisis, sehingga tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pagelaran wayang kulit sebagaimana yang telah
95
96
ditradisikan. Dan ketika Lurah mereka meninggal dunia ( Juni 2008 ), ternyata sebagian warga masyarakat mempergunjingkan mengaitkan kematian tersebut dengan tidak diselenggarakannya pagelaran wayang kulit. Dari informasi para informan di
lapangan dapat disimpulkan bahwa
fungsi penyelenggaraan pergelaran wayang kulit bagi warga masyarakat Mayangsari dan sekitarnya yang diselenggarakan pada setiap bulan Apit tersebut yaitu: (1) Sebagai penghormatan terhadap para leluhur mereka yang telah berjasa mendirikan komunitas dikampung tersebut yang kemudian telah berkembang hingga sekarang, yaitu Ny. Sepapah dan Ki. Bejotaruna. Kedua nama tokoh tersebut yang selalu disebut disetiap mereka melakukan hajatan kenduri atau walimahan, terlebih lagi
walimahan yang
diselenggarakan mengawali hajat apitan. Hal demikian menunjukkan kearifan
kehidupan mereka dalam menempatkan eksistensi kehidupan
lingkungan yang mesti dihormati baik yang positif maupun negatif. Mereka memahami dan menghargai sifat kehidupan binary, baik-buruk, laki-perempuan,
siang-malam,
gelap-terang,
hitam-putih
dll.
Sifat
kehidupan yang saling berlawanan namun komplementer, sebagaimana masyarakat Bali menyebutnya sebagai Rwa bineda. Dan alat yang difungsikan sebagai katalisator perbedaan tersebut adalah kesenian wayang. (2) Sebagai bentuk penghormatan terhadap bumi atau sedekah bumi. Bagi mereka bumi adalah ibu dan langit adalah bapak sebagaimana yang
96
97
terungkap dalam kalimat Ibu bumi bapa angkasa. Keberadaan bumi sebagai ibu penting untuk dihormati, karena bumi memiliki sifat memberi, mengasuh, dan membimbing mereka. Sifat memberi, karena bumi memberikan hasil bumi yang dapat dimakan dan memiliki kandungan air yang dapat diminum. Sifat mengasuh, karena bumi tempat kaki berpijak memberikan arah kemana kaki melangkah. Dan sifat membimbing, karena bumi memberikan tanda-tanda baik yang bersifat material maupun imaterial agar manusia dapat menentukan strategi adaptasinya dan dapat pula menentukan arah bagi pencapaian kualitas kehidupannya.
Sistem
kebudayaan yang dianut oleh masyarakt Mayangsari dan sekitarnya dapat dikatakan berorientasi pada kebudayaan bumi. Alam diposisikan sebagai bagian dari eko-budaya mereka. Kondisi kontur tanah, liukan sungai Kreo, pepohonan-pepohonan dan semak-semak yung tumbuh di atas buminya adalah bagian dari kehidupannya. Dengan begitu dapat dipahami jika loyalitas terhadap bumi tersebut terekspresikan dalam kehidupan tradisinya. Disamping itu dapat dipahami pula jika dalam mereka memberikan nama untuk identitas kampung mereka banyak yang mengambil dari nama-nama yang terinspirasi dari potensi alam tersebut, antara lain nama : Mayangsari ( nama bunga pohon Pinang ), Ringintelu, Kembangarum, Kalipancur, Kalialang, Kedungwadas, dll. (3) Melestarikan nilai tradisi Jawa melalui pagelaran wayang kulit. Kesenian wayang sebagai salah satu ekspresi estetis budaya Jawa diyakini memiliki kandungan nilai-nilai budaya Jawa yang tinggi, karena kesenian wayang
97
98
tersebut disamping sebagai tontonan masih diyakini dapat sebagai tuntunan untuk mendidik masyarakat. Didalam pagelaran wayang itulah masyarakat mendapatkan wejangan hidup tentang perlunya berperilaku baik sebagaimana perilaku para satria, dan harus menjahui perilaku nista sebagaimana yang dilakukan oleh para Raksasa. Melalui pagelaran wayang itulah mereka dapat meneguhkan kembali bahwa Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti, dan nilai-nilai keluhuran lain yang harus dijunjung tinggi dan yang harus disingkirkan dalam kehidupan mereka. Nilai-nilai kehidupan tersebut bagi mereka merasa perlu untuk senantiasa dilestarikan dan diajarkan terus menerus melalui ritual-ritual yang ditradisikan terus menerus dari generasi satu ke generasi kemudian agar terjadi kesinambungan kehidupan budaya yang tetap terjaga. (4) Menempatkan pergelaran kesenian wayang sebagai filter bagi masuknya pengaruh asing. Dengan dikondisikannya pelaksanaan kegiatan pentas seni budaya wayang kulit minimal satu kali tiap tahun secara terus menerus, diharapkan
sikap kepemilikan warga masyarakat terhadap
kesenian tradisi tersebut dapat tetap terjaga. Kesenian wayang tersebut diharapkan pula dapat menjadi inspirasi edukasi bagi para orang tua dalam memberikan arahan bagi para putra-putrinya dalam menentukan orientasi hidup. Akibat modernisme yang ditandai dengan kemajuan teknologi, khususnya dunia komunikasi dan transportasi, masuknya pengaruh budaya asing adalah sebuah kemestian yang tidak bisa ditolak. Para tokoh masyarakat di wilayah tersebut sadar betul bahwa untuk mengatasi ekses
98
99
negatif dari pengaruh asing tersebut betapa penting diperlukannya tindakan intensifikasi potensi budaya sendiri sebagai tandingan yang diharapkan mampu berfungsi sebagai filter bagi timbulnya ekses negatif dari pengaruh budaya asing tersebut. Dan sebagai jawaban dari tindakan tersebut salah satunya adalah melakukan pelestarian kesenian wayang kulit. Telah disadari bersama bahwa pada kehidupan kini telah terjadi pergeseran nilai, yang berakibat menjadi terkikis dan bergesernya nilai tradisi budaya Jawa dalam kehidupan masyarakatnya. Terkikis dalam pengertian kebertautan seseorang khususnya para generasi muda demikian pula para anak-anak baik secara pribadi maupun pada kehidupan kolektivitas mereka telah menjadi semakin
tipis tingkat pemahaman,
penghayatan, dan penerapan nilai-nilai budaya Jawa tersebut dalam kehidupan mereka. Dan telah mengalami pergeseran nilai, akibat demikian gencarnya tawaran nilai-nilai baru melalui berbagai masmedia, dengan begitu bisa dipahami jika dalam kehidupan para generasi muda relatif cenderung mengususng nilai-nilai baru tersebut. Bertitik tolak dari keadaan demikian disadari benar oleh para tokoh masyarakat di wilayah tersebut, bahwa diperlukan strategi penanggulangan terjadinya arus pengaruh yang demikian deras. Dan salah satu strategi tersebut adalah membumikan kesenian tradisional wayang kulit tersebut yang mereka sebut sebagai ekspresi kesenian yang adiluhung. (5) Menanamkan kecintaan para generasi muda termasuk didalamnya adalah anak-anak kepada kesenian tradisinya. Ada ungkapan: Witing tresna
99
100
jalaran saka kulina atau tak kenal maka tak sayang. Kegiatan pentas kesenian wayang di wilayah tersebut dikandung tujuan pula sebagai upaya mendekatkan kesenian tradisi tersebut di hati para generasi muda dan anak-anak mereka. Berdasarkan pengamatan penulis antusiasme para generasi muda dan anak-anak di wilayah tersebut dalam menyaksikan pertunjukan wayang masih cukup tinggi. Pada sore hari menjelang pertunjukan dimulai biasanya banyak para orang tua yang mengajak anakanak mereka melihat lihat suasana menjelang pementasan, dan lazimnya ditempat keramaian semacam itu banyak para penjual asongan yang menjajakan dagangannya dengan sasaran anak-anak; dan salah satu dagangan yang dijual tersebut biasanya adalah wayang-wayang kardus. Berdasarkan amatan
penulis dan konfirmasi dengan beberapa tokoh
masyarakat di wilayah tersebut mereka membenarkan jika masih banyak anak-anak yang tertarik untuk minta dibelikan wayang-wayang kardus tersebut kepada orang tuanya. Anak-anak
menyaksikan pertunjukan
wayang biasanya relatif tidak melewati pukul 22.00 Wib.( setelah selesai perang gagal ) dengan alasan ngantuk. Namun berdasarkan informasi di lapangan ternyata masih banyak para orang tua yang kemudian membangunkan anak-anak mereka kembali untuk diajak menyaksikan pementasan wayang ketika menjelang dini hari sampai selesai. Upaya demikian dilakukan para orang tua warga masyarakat di wilayah tersebut dalam menjaga kelestarian tradisinya, dan berupaya agar kesenuian wayang tersebut tetap terpatri di hati para anak-anaknya.
100
101
(6) Sebagai media pendidikan bagi warga masyarakat agar dapat memiliki budi pekerti yang baik sebagaimana yang dituntunkan dalam pagelaran wayang tersebut. Wayang adalah sumber nilai bagi budaya Jawa, dan para warga masyarakat Mayangsari dan sekitarnya masih meyakini itu. Dalam pertunjukan wayang tersebut terdapat tuntunan berperilaku hidup, khususnya yang menyangkut aspek budi pekerti dan kesantunan hidup. Para tokoh masyarakat di wilayah tersebut memahami bahwa seluruh aspek yang ada pada pagelaran wayang kulit terdapat nilai edukasi, baik pada tata sungging perwujudan dari masing-masing tokoh, tata karawitan yang memiliki tata dinamika dalam pengaturan pathet dari awal sampai akhir, tata istrumen gamelan yang memiliki nama dan karakteristik masing-masing, tata pakeliran dengan keagungannya digelar seluruh aspek visual sebagai refleksi sibol kesemestaan yang mempesona, tata cerita dengan permainan alur-alurnya menggunakan dramaturgi yang spesifik sebagai refleksi simbolik pencarian dan pencapaian jati diri manusia Jawa, tata sastra adalah seluruh aspek yang di narasikan
dalang untuk
menghidupkan tokoh-tokohnya. Dll; semuanya itu sarat dengan nilai edukasi. (7) Sebagai media untuk mengikat tali kebersamaan, kerukunan, dan kegotongroyongan para warga masyarakat. Salah satu esensi nilai tradisi Jawa adalah guyub, dalam pelaksanaan perhelatan pagelaran wayang inilah ekspresi keguyuban tersebut dapat dirasakan. Sebagai mana penuturan beberapa informan yang menjadi tokoh di wilayah tersebut menyatakan
101
102
bahwa pelaksanaan kegiatan apitan yang ditandai dengan pergelaran wayang kulit itu adalah produk
dari rembuk warga. Mulai dari
menentukan waktu, tempat, dalang, cerita, pengadaan perlengkapan, undangan, perijinan, serta besarnya dana yang harus diiur warga ditentukan dengan dasar musyawarah. Hal demikian bisa dipahami jika perhelatan apitan bagi warga masyarakat tersebut adalah bentuk ekspresi sosial dari rasa kebersamaan mereka untuk bersama-sama menjunjung tinggi nilai tradisinya. Berdasarkan informasi dari Tetua masyarakat di beberapa wilayah yang menyelenggarakan pergelaran wayang dalam rangka apitan tersebut ( Panjangan, Kembangarum, dan Kalipancur ) merasakan bahwa keguyuban warga relatif terjaga sebagai dampak positif dari perhelatan apitan. (8) Sebagai ungkapan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Mahaesa atas kemurahan dan berkah yang telah diberikan, dengan harapan semoga kesejahteraan, berkah, dan keselamatan akan senantiasa diberikan Tuhan di masa-masa kemudian.
Pergelaran wayang kulit yang diselenggarakan dalam rangka apitan di wilayah sekitar Mayangsari terdapat di tiga titik kegiatan, yaitu di wilayah Panjangan, Kembangarum dan Kalipancur. Walaupun wilayah-wilayah tersebut masing-masing terpisah secara administratif (akibat pemetaan wilayah tahun 1994), namun terikat secara kultural. Keberadaan Ny. Sepapah dan Ki Bejotaruna di masa lalu menjadi pijakan dalam melaksanakan tradisi di masyarakat tersebut,
102
103
yang sekaligus menjadi pengikat orientasi dalam melaksanakan hajatan apitan di tempat masing-masing. Beberapa cerita yang pernah dipentaskan dalam pergelaran wayang kulit tersebut antara lain; Sesaji Raja Suya, Wahyu Mahkuta Rama, Gathotkaca Winisuda, Petruk Gugat, dll; dan beberapa dalang yang pernah mayang di wilayah tersebut antara lain: Alm. Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, Ki Joko Edan, Ki Agus Tri ( Bojo) dan kebetulan di wilayah Kembangarum sendiri terdapat dua dalang yang relatif sering digunakan pada akhir-akhir ini; yaitu Ki Surata dan Ki Rusmanto. Selain untuk keperluan ritual apitan, pertunjukan wayang dilakukan juga oleh warga masyarakat
tertentu yang kebetulan punya hajat (perkawinan
putranya) dan kebetulan juga memiliki dana cukup untuk penyelenggaraan itu; paling tidak dalam waktu lima tahun terakhir telah dua kali diselenggarakan kegiatan wayangan atas nama pribadi di wilayah tersebut. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan apitan yang ditandai dengan pergelaran kesenian wayang kulit pada dasarnya memberi konstribusi besar bagi tetap lestarinya kebudayaan Jawa di wilayah Mayangsari dan sekitarnya dan dapat dikatakan sebagai upaya taktis dalam rangka proses inkulturasi nilai budaya tersebut kepada anak-anak dan masyarakat lebih luas.
5.2.4 Kegiatan Pelatihan Kelompok Karawitan
103
104
Suatu malam ketika penulis diantar oleh seorang tokoh masyarakat yang tinggal di wilayah Kembangarum untuk menyaksikan latihan karawitan yang dilakukan oleh warga masyarakat di wilayah Ringintelu dan Kembangarum, sayup terdengar tetabuhan dari instrumen gamelan, dari jarak yang relatif jauh irama itu merayap ketelinga penulis, dan pelan-pelan penulis mencoba mengenali irama itu; dan ternyata alunan Ladrang Slamet. Yang partiturnya sebagai berikut:
Balungan Gendhing Ladrang Slamet, Sl. My
Bk. 1 3 2 A: 2123
6123
1132
2126
33--
6532
5653
2126
2123
2126
B: 66--
1516
3561
6532
66--
1516
1132
-12 6
Cakepan gerongan Salisir
Parabe sang Smara Bangun Sepat domba kali oya Aja dolan lan wong priyo Gerameh nora prasaja
104
.126
105
Ladrang Slamet, merupakan jenis irama tetabuhan gamelan yang boleh dikatakan sebagai tetabuhan wajib yang harus dikuasai oleh seseorang yang belajar gamelan sebelum mengenal jenis gendhing gendhing yang lain. Menurut penuturan salah satu tokoh yang dituakan dalam kelompok tersebut, ‘Ladrang Slamet’ biasanya diperdengarkan awal sebagai pembuka mereka melakukan latihan atau sebelum gendhing-gendhing yang lain mengalun. Ladrang Slamet tersebut diposisikan sebagai doa, semoga keselamatan diberikan Tuhan selama mereka melakukan aktivitasnya. Tiap malam Kamis di atas pukul 20.00 Wib, telinga warga masyarakat Mayangsari, Ringintelu dan Kembangarum dibuai dengan alunan tetabuhan gamelan tersebut. Alunan musik gamelan Jawa tersebut sudah barang tentu akan berdampak pula bagi apresiasi para anak-anak mereka terhadap jenis musik tersebut. Walau sejauh ini belum ada upaya konkrit untuk melibatkan anak-anak pada proses latihan tersebut, namun atmosfer yang dibangun dari bunyi tetabuhan tersebut akan menggetarkan relung apresiasi bagi siapa saja tak terkecuali anakanak. Di Sekitar Wilayah Mayangsari terdapat dua titik tempat kegiatan latihan karawitan, yaitu di Kampung Panjangan dan di Ringintelu. Kegiatan latihan karawitan di Kampung Panjangan, untuk sementara waktu berhenti, namun berdasarkan informasi dari salah satu tokoh di antra mereka, bahwa
telah
disiapkan perencanaan ke depan latihan karawitan di tempat tersebut salah satu agenda kegiatan latihannya
diperuntukkan bagi anak-anak. Bagi warga
masyarakat di wilayah tersebut pada dasarnya mereka menaruh simpati yang
105
106
tinggi terhadap keberadaan tempat latihan karawitan tersebut, dan dipandang menjadi salah satu cara efektif dalam rangka mentradisikan seni budaya Jawa, dan harapannya akan berdampak pula bagi terbumikannya nilai tradisi Jawa dalam kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Kegiatan pelatihan kelompok karawitan di Kampung Ringintelu berlangsung secara kontinyu pada perkembangan terakhir telah berlangsung semenjak tahun 1998. Ketika dikorek informasi tentang motivasi para peserta mengikuti kegiatan tersebut, sebagian besar menyatakan untuk cegah lek (menahan kantuk); dan ada yang menyatakan sebagai upaya untuk nguri-uri kabudayan Jawa (melestarikan budaya Jawa). Konsep tentang cegah lek dalam kultur Jawa pada dasarnya adalah sebuah tindakan spiritual yang dilakukan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Dalam laku cegah lek tersebut terdapat sikap prehatin dan laku konteplasi yang mengedepankan olah rasa yang dapat menajamkan panca indra dan perasaannya. Perolehan dari proses laku cegah lek tersebut, yang dalam hal ini dilaksanakan dengan media berlatih karawitan, mereka berharap akan mendapatkan kualitas spiritual yang memadahi. Sebab dalam kultur Jawa, karawitan dipandang sebagai ekspresi estetis dari karakteristik seni yang bersifat ngrawit, atau rumit, sebagai refleksi dari cita rasa kehalusan budi; dengan terbiasa melakukan asah kehalusan budi tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi manusia Jawa yang berkualitas. Ungkapan tentang perlunya cegah lek tersebut, diekspresikan dalam salah satu pada tembang Asmarandana dengan lirik sebagai berikut: Aja turu sore kaki Ana Dewa nganglang jagad 106
107
Nyangking bokor kencanane Isine donga tetulak Sandang kelawan pangan Ya iku bagianipun Wong melek sabar narima. Dijelaskan pada teks tembang Asmarandana tersebut bahwa laku melek atau menahan tidur adalah menjadi laku spiritual bagi orang Jawa agar bisa mendapatkan kesejahteraan hidup. Disebutkan bahwa Para Dewa akan memberikan sandang dan pangan hanya kepada orang yang mau menahan untuk tidak tidur di sore hari dan yang bisa berlaku sabar dan mau menerima keadaan. Pada suatu kesempatan Tetua dari kelompok karawitan tersebut melantunkan tembang untuk penulis, keinginannya adalah berupaya menjelaskan bagaimana
manusia
Jawa
harus
bersikap
dalam
menentukan
orientasi
kehidupannya. Melalui untaian lirik tembang tersebut sungguh dapat dipahami konstruksi nilai ideal yang digunakan sebagai referensi dalam menata kehidupan mereka pula. Lirik tembang tersebut adalah sebagai berikut: Poma-poma wekas mami Anak putu aja lena Aja ketungkul uripe Lan aja duwe kareman Marang pepaesing donya Siang dalu dipun emut Yen urip manggih antaka.
Hampir seluruh lirik tembang yang dilantunkan dalam kegiatan karawitan tersebut pada dasarnya sarat dengan ajaran budi pekerti, tak terkecuali yang terdapat pada lirik tembang Asmarandana di Atas. Melalui tembang tersebut mereka berpesan pada anak-anak mereka betapa kehidupan dunia sesungguhnya hanya bersifat semu, dengan begitu jangan sampai terlena dan terlalu mencintai 107
108
keindahan dunia. Dan hendaknya diingat di setiap saat, bahwa kehidupan yang sesungguhnya dan bersifnya abadi adalah kelak jika sudah berada di akherat; dan ingat bahwa hidup akan mati. Begitu pekatnya kesadaran pada orientasi spiritual dalam kelompok karawitan ini. Sekilas kelompok anggota masyarakat tersbut sedang berada pada buaian suasana yang menghibur dan dengan canda tawa, namun sesungguhnya mereka sedang merajut nilai dan mencoba menerapkan rajutan tersebut dalam laku kehidupannya.
5.3. Proses Enkulturasi Budaya Jawa Di Sekolah Peran sekolah sebagai institusi formal pada dasarnya memiliki fungsi strategis bagi pembentukan karakter anak. Hal demikian disebabkan karena sekolah memiliki seperangkat kurikulum tertulis yang memuat satuan-satuan mata pelajaran yang diatur dalam sebuah struktur yang sistemik dan berjenjang sesuai dengan perkembangan usia anak. Dari kurikulum tersebut dapat diketahui seberapa besar materi-materi pelajaran tersebut disusun mampu memberi konstribusi bagi pembentukan nilai-nilai kepribadian pada anak, dan kemanakah orientasi pendidikan diarahkan. Disamping kurikulum tertulis tersebut, sekolah juga memiliki kurikulum yang bersifat tidak tertulis (hidden Curiculum), salah satu diantaranya yaitu seluruh kemampuan dan perhatian guru dalam mengelola siswa baik di dalam maupun di luar kelas. Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah di Mayangsari menggunakan kurikulum terpadu, yaitu mengguinakan kurikulum nasional yang dipadu dengan materi pendidikan agama Islam. Sesuai dengan misi sekolah yaitu meningkatkan
108
109
kualitas pembelajaran serta aklaqul karimah bagi para Siswa, maka penekanan pembentukan sikap dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah tersebut menjadi demikian penting. Terbentuknya aklaq mulia dalam diri anak adalah persoalan pembinaan budi pekerti, dan budi pekerti luhur dalam orientasi religi tersebut memiliki kesamaan dengan orientasi nilai dalam kultur Jawa.
Gambar : 26 Suasana kegiatan proses belajar mengajar di kelas
Pada dasarnya Sebagaimana sekolah dasar yang lain pada saat ini sekolah dasar tersebut sedang menerapkan kurikulum nasional KTSP. Jika ditanyakan melalui mata pelajaran yang manakah kurikulum tersebut memberi konstribusi bagi penanaman nilai budaya Jawa kepada anak-anak. Sebagaimana amatan di lapangan dan hasil konfirmasi dengan para guru di sekolah tersebut maka dapat
109
110
dijelaskan bahwa upaya penanaman nilai tersebut dilakukan integratif dalam setiap melaksanakan mata pelajaran apa saja, khususnya mata pelajaran Agama dan Bahasa Jawa. Nilai-nilai budaya Jawa yang sangat menekankan; sikap sopan santun yang mengedepankan kehalusan budi, hormat-menghormati kepada semua orang, taat kepada orang tua dan guru, kejujuran, temen atau kesungguhan dalam melakukan pekerjaan , tlaten atau teliti dalam mengerjakan setiap pekerjaan, sabar dalam menghadapi cobaan, rukun dengan semua teman, bertaqwa kepada Allah SWT, dll. pada dasarnya menjadi materi sisipan yang masuk pada mata pelajaran apa saja. Para guru di sekolah tersebut memahami
betul bahwa untuk
menanamkan nilai-nilai tersebut tidak harus ekaplisit berdiri sebagai mata pelajaran, disamping tidak adanya mata pelajaran yang menampung hal tersebut; namun di sisi lain pembiasaan untuk menekankan penanaman nilai-nilai tersebut dirasa penting bagi sekolah. Hal yang menarik berkenaan dengan penanaman nilai-nilai budaya tersebut, dikarenakan nilai-nilai budaya Jawa berjalan sejajar dengan nilai-nilai religi khususnya Islam; maka pada dasarnya kesadaran yang muncul ketika para guru tersebut berupaya menanamkan nilai-nilai budaya, sesungguhnya sama saja mereka menanamkan nilai-nilai religi yang dianggap sebagai sebuah kewajiban dalam kerangka amar ma’ruf nahi mungkar, bertanggung jawab menghantarkan anak-anak menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt serta mampu menjalankan syariat Islam sebagaimana yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW.
110
111
Penanaman nilai-nilai tersebut di atas hidden curiculum sekolah telah mengatur anak-anak dimulai sebelum mereka memasuki kelas. Sebelum masuk ruangan kelas anak-anak dibiasakan tertib berbaris di depan pintu kelas, kemudian bersama sama mengucapkan janji siwa dengan lafal sebagai berikut: Kami siswa-siswi SD Islam Siti Sulaechah Semarang, demi baktiku kepada Illahi dan cintaku kepada Islam yang tinggi, aku berjanji: 1. Rajin sholat sepanjang hayat 2. Tak lupa mengaji setiap hari 3. Berbakti kepada ayah dan ibu 4. Taat dan hormat kepada guru 5. Menuntut ilmu tiada jemu 6. Setia kawan dan saling memaafkan. Setelah masuk ruangan kelas, anak-anak duduk tertib, kemudian bersamasama membaca doa, dengan lafal sebagai berikut: Allahumma inni as-aluka rizqon thoyyiba, wa’ilman naafi’aa, wa’amalan mutaqaabalaa. Allahummaf tahlanaa hikmataka wansyur ‘alainaa rahmatika min khozaainii rahmatika. Amin, yaa arhamarraahimiin. Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada Mu rizki yang baik, dan ilmu yang bermanfaat, serta amal yang diterima. Ya Allah bukalah untuk kami hikmah-hikmah-Mu, dan taburkanlah pada kami rahmat-Mu. Ya Allah kabulkanlah permohonan kami, hai dzat yang Maha pengasih dan Maha penyayang. Kemudian dilanjutkan dengan bacaan Al Qur’an hafalan surat-surat pendek, untuk setiap hari Senin sampai Kamis, sedangkan pada hari Jum’at dan Sabtu membaca Asmaul Husnah atau menyebut 99 nama Tuhan. Lafal asmaul Husnah tersebut adalah sebgai berikut:
111
112
Bismillaahir Rahmaanir Rahiim Bismillahi badakna – Wal hamdu lirobbina – Washsholatu wassalam – Linnabi habiibinaa. ( Dengan nama Allah kami mulai membaca, Segala puji bagi Allah Tuhan kami, rakhmat dan keselamatan untuk Nabi kekasih kami ) Ya Allah ya Robbana – Anta Maqshuudunaa Ridloka Mathubuna – Dunyanaa wa ukhronaa Ya Rohmaanu ya Rohiim – Ya Maliku ya Qudduus Ya Salaamu ya Mukmin – Ya Muhaiminu ya ‘Aziiz Ya Jabbar Mutakabbir – Ya Kholigu ya Bari’ Ya Mushowwiru ya Ghoffar – Ya Qohhaaru ya Wahhaab Ya Rozzaaqu ya Fattaah – Ya ‘Aliimu ya Qobidl Ya Baasithu ya Chofidl – Ya Roofi’u ya Mu’izz Ya Mudzillu ya Samii’ – Ya Bashiru ya Hakam Ya ‘Adlu ya Lathiifu – Ya Chobiiru ya Haliim Ya ‘Adziimu ya Ghofur – Ya Syakuru ya ‘Aliyy Ya Kabiiru ya Khafiidz – Ya Muqiitu ya Hassibu Ya Jaliilu ya Karim – Ya Roqiibu ya Mujiib Ya Waasi’u ya Hakiim – Ya Waduudu ya Majiid Ya Baa’itsu ya Syahiid – Ya Haaqqu ya Wakiilu Ya Qowiyyu ya Matiin – Ya Waliyyu ya Hamiid Ya Muhshii ya Mubdiu – Ya Mu’iidu ya Muhyii Ya Mumiitu ya Hayyu – Ya Qoyyuumu ya Waajid Ya Maajidu ya Waahid – Ya Ahadu ya Shomadu Ya Qodir ya Muqtadir – Ya Muqoddim ya Muaakhir Ya Awwalu ya Akhhir – Ya Dzohiru ya Baathin Ya Waali Muta’aalii – Ya Barru ya Tawwaabu Ya Muntaqimu ya ‘Afuww – Ya Ro uufu ya Maalik Maalikal Mulki – Dzal Jalaali wal Ikroom Ya Muqsithu ya Jaami – Ya Ghoniyyu ya Mughnii Ya Maaniu ya Dloorr – Ya Nafiu ya Nuur Ya Haadii ya Badii’ – Ya Baaqii ya Waarits Ya Rosyiidu ya Shobuur – ‘Azza Jalla Dzikruhu Bi Asmaa ikal Husnaa – Ighfir lanaa dzunubana Waliwaalidii naa – Wa dzurriyyatinaa Kaffir ‘an sayyi-atina – Wastur ‘alaa ‘uyubinaa Wajbur ‘alaa nuqshoninaa – Warfa’ darojaatinaa Wazidnaa ‘ilman nafi’a – Wa rizqon wasi’a Halalan thoyyibaa – Wa ‘amalan sholihaa Wa Nawwir Quluubana – Wa yaasir umuuronaa Wa shohhih ajsadana – Da ima hayatinaa Ilal Khoiri Qorrib naa – ‘Anisy Syarri baa’idnaa 112
113
Wal Qurbaa rojaa-unaa – Akhiron nilnal munnaa Balligh maqooshidanaa – waq dli hawaa-ijanaa Wal hamdu li illahinaa – Al ladzi hadaanaa Sholli wa saliim ‘alaa – Thoha Cholilir Rohmaan Wa aalihii wa shohbihii – Ilaa akhiriz zamaan Setelah dilakukan pengkondisian awal dengan ritual-ritual tersebut, kemudial baru memasuki materi pelajaran. Demikian pula jika hendak mengakhiri pelajaran, anak-anak senantiasa dibiasakan berdoa. Lafal bacaan mengakhiri pelajaran adalah sebagai berikut : Bismillahhir rakhmanir rahim Wal ‘asr Innal insana lafi khusr Illal lazina amanu wa .amilus salihati Wa tawa sau bil haqqi Wa tawasau bis sabr Robbana atina fidunya khasanah Wafil akhiroti khasanah wakhina adzabanar Allahuma firli wali wali dayah Warkhamhuma khama robayani shoghiroh Kemudian dilanjutkan salam dan hormat kepada guru, kemudian pulang. Mata pelajaran yang memberi konstribusi
paling besar dalam
menanamkan pengetahuan tentang nilai-nilai budaya Jawa kepada siswa adalah mata pelajaran Bahasa Jawa. Pengetahuan tentang kebudayaan Jawa tersebut termasuk di dalamnya adalah pengenalan terhadap tokoh-tokoh wayang diperoleh Siswa dari mengikuti mata pelajaran tersebut.. Buku pelajaran bahasa Jawa untuk siswa adalah: ‘Aku Seneng Basa Jawa’, tulisan Dr. Sudi Yatmana dkk. Dan buku pengayaan adalah, ‘Sari-sari Basa Jawa Pepak’, tulisan M Abi Tofani. Pada buku pengayaan tersebut di dalamnya terdapat banyak gambar tokoh-tokoh wayang yang dapat dikenali oleh siswa. 113
114
Proses pendidikan lain yang terjadi diluar interaksi pembelajaran di kelas, pada dasarnya para guru telah berusaha mengoptimalkan perhatian dalam rangka membantu perkembangan potensi kejiwaan para peserta didiknya. Bentuk perhatian tersebut diantaranya adalah pengawasan pada saat anak-anak bermain di saat jam istirahat, mengarahkan anak-anak di saat makan siang, menertibkan anak-anak saat hendak masuk mobil antar jemput, menertibkan anak untuk rajin menabung dll. Dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan yang terjadi di sekolah tersebut pada dasarnya menjadi bentuk usaha yang dilakukan oleh sekolah dalam hal ini seluruh pelaku pendidikan untuk mengoptimalkan pelayanan kepada anak-anak sebagaimana yang telah diamanatkan oleh masyarakat, menggunakan seperangkat kurikulum baik yang bersifat tertulis maupun bersifat Hidden curiculum, agar anak dapat berkembang seluruh potensi dirinya, serta memiliki karakter pribadi yang mampu merefleksikan dirinya sebagai manusia Jawa yang religius. Penataan kelas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tujuan mengkondisikan terjadinya iklim kultural sekolah yang kondusif bagi penanaman nilai. Beberapa kelas terlihat memajang gambar-gambar wayang disamping gambar tokoh-tokoh pahlawan revolusi dan kaligrafi. Berdasarkan informasi Guru, gambar-gambar tersebut sering difungsikan sebagai alat peraga untuk menjelaskan karakter tertentu serta memberikan
pemahaman kepada siswa
berkaitan dengan pengenalan nama tokoh wayang serta pemaknaan simbol-simbol yang melingkupinya.
114
115
Gambar : 27 Salah satu gambar pajangan kelas, tokoh Punakawan
115
BAB 6 FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENDUKUNG PROSES ENKULTURASI NILAI BUDAYA JAWA
Menanamkan nilai kebudayaan dalam suatu proses edukasi baik dalam hubungan formal, informal dan non formal, nampaknya tak semudah menanam sebutir biji yang diharapkan akan senantiasa tumbuh dan kelak akan berbuah. Banyak variabel yang menjadikan proses edukasi tersebut berjalan efektif atau tidak, atau sangat tergantung dari faktor penghambat dan pendukung prores tersebut. Berikut ini penulis paparkan berbagai faktor penghambat dan pendukung proses enkulturasi nilai budaya tradisi Jawa di wilayah Mayangsari dan sekitarnya.
6.1. Faktor Penghambat. Modernisme yang ditandai dengan perkembangan teknologi, telah membawa perubahan besar terhadap wajah kebudayaan kita, lebih khusus lagi bagi kebudayaan tradisi yang masih hidup di sekitar kita. Perubahan itu menjadi berubahnya orientasi
kehidupan masyarakat tradisional
dari yang bersifat
spiritual menjadi material dan praktis, kolektivitas menjadi individual, keguyuban menjadi egoisme yang penuh pamrih, dsb. serta perubahan tersebut sudah barang tentu akan berpengaruh pula bagi cita rasa estetis masyarakat. ,( baca Khayam, 1981: 58) Kondisi demikian terjadi pula dalam kehidupan masyarakat di wilayah Mayangsari dan sekitarnya, bahwa proses inkulturasi nilai tradisi yang mereka 116
117
lakukan sudah barang tentu akan berbenturan
dengan nilai-nilai baru yang
ditawarkan oleh kehidupan kini. Berbagai media penawaran nilai baru tersebut antara lain: 6.1.1 Media Televisi. Walaupun upaya yang dilakukan oleh masyarakat Mayangsari dan sekitarnya telah cukup maksimal, berkenaan dengan keinginan membumikan nilai-nilai budaya tradisi Jawa dalam kehidupan mereka, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan, namun pada kenyataannya masih belum sebanding dengan derasnya pengaruh budaya ‘baru’ yang ditawarkan oleh masmedia khususnya televisi. Berdasarkan observasi di lapangan, waktu di luar kegiatan sekolah
bagi anak-anak yang tinggal di wilayah tersebut sebagian besar
dihabiskan di depan televisi ( atau jika dirata-rata mereka lebih dari 4 jam berada di depan televisi ). Sebagaimana khalayak memaklumi bahwa tidak semua acara televisi bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak; bahkan cenderung menawarkan pengaruh yang dapat mereduksi nilai-nilai mapan dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari tawaran iklan yang cenderung menggiring pada terbentuknya budaya konsumtif, tayangan sinetron ‘cengeng’ cenderung menguras air mata dan tak kunjung selesai, lawakan dan komedi-komedi konyol dengan materi lawakkan yang cenderung mengeksploitir kata-kata tak senonoh, infotaimen seputar kehidupan para sebriti hampir setiap hari di semua stasiun televisi yang cenderung menyoal kebobrokan hidup rumah tangga mereka dan gaya didup Hight class yang tak terjangkau publik,
tayangan musik-musik
dangdut yang cenderung mengumbar erotisme, dan tayangan berita di setiap
117
118
waktu yang senantiasa tak luput memberitakan konflik-konflik sosial, demonstrasi, korupsi, pembunuhan, dan berbagai penyelewengan dalam berbagai lini kehidupan. Lebih khusus lagi dapat disimpulkan
bahwa siaran televisi yang
disaksikan oleh masyarakat khususnya anak-anak pada kenyataannya berada pada kondisi yang kontradiksi terhadap esensi budaya tradisi Jawa yang semestinya.
6.1.2 Tarik Menarik Antara Budaya Tradisi Dengan Budaya Kota Keberadaan wilayah Mayangsari dan sekitarnya walaupun masih relatif dapat mempertahankan suasana pedesaannya, namun karena berada diwilayah kota Semarang dengan segala hingar-bingarnya kehidupan kota yang ditawarkan, praktis tidak dapat mengisolir diri dari kemungkinan terjadinya pergesekanpergesekan dan ‘tarik tambang’ dalam perebutan pengaruh. Orientasi kehidupan masyarakat termasuk didalamnya adalah para anak-anak pada kenyataannya akan cenderung memilih pada hal-hal yang lebih dapat memberi kepuasan pada kebutuhan kehidupan mereka. Kepuasan tersebut berkenaan dengan upaya memenuhi kebutuhan materialnya dan kebutuhan spiritual mereka, termasuk di dalamnya adalah kebutuhan estetisnya. Cita rasa karya seni kitsch atau ‘seni massa’ atau seni populer yang komersial lebih gampang singgah dalam relung apresiasi mereka. Akibat gesekan pengaruh budaya kota yang cenderung agresif menawarkan perubahan-perubahan tersebut, bisa dibayangkan jika kelekatan nilai
118
119
budaya tradisi akan demikian cepat terkelupas dalam kehidupan masyarakat tersebut. Kecenderungan terjadinya pergeseran nilai dalam kehidupan anak-anak pada dasarnya terjadi pada: 6.1.2.1 Cita Rasa dalam Memilih Makanan Anak-anak di wilayah tersebut lebih cenderung suka mengonsumsi makanan yang bersifat instan, khususnya produk berbagai mie, ketimbang jenis masakan yang diproses dalam waktu lama ( apalagi jenis masakan yang telah disimpan beberapa hari ). Jenis jajanan yang cenderung dipilih merekapun adalah jajanan yang cenderung hanya menawarkan rasa dan kemasan modern, yang cenderung rendah nutrisi, bahkan bisa berdampak negatif bagi pertumbuhan anak jika mengonsumsi berlebihan. Jenis makanan tradisional yang selama ini menjadi milik kebudayaannya, telah relatif tidak begitu dikenal nama-namanya oleh mereka dan bahkan lidah merekapun sudah tidak lagi menyukainya. Jenis-jenis masakan seperti, hawuk-hawuk, lemper, jadah, wajik, nagasari,. klepon, senteling, bol jaran, cucur, tiwul, lopis, grontol, cetot, madu mangsa, gethuk dll. telah menjadi jenis jajanan yang cenderung telah berjarak dengan kehidupan anak-anak, namun produk-produk ‘chikie’, jenis snack ringan, dan minuman-minuman kemasan yang demikian banyak dijajakan di pasaran saat ini justru telah berhasil merebut hati anak-anak. Kondisi demikian pada dasarnya telah disadari oleh masyarakat, dan sedikit banyak mereka meresahkannya, namun lagi-lagi kenyataan tersebut membuat mereka tidak berdaya. 6.1.2.2 Cita Rasa dalam Memilih Jenis Mainan.
119
120
Produk mainan pabrikan ( aneka mobil-mobilan, aneka robot-robotan, dan aneka mainan yang dapat bekerja secara mekanis dengan tenaga bateray ) yang cenderung menawarkan kecanggihan teknologi saat ini, pada dasarnya lelah menggeser peran mainan tradisional milik masyarakat. Pada kenyataan saat ini di wilayah tersebut telah sangat jarang terlihat anak-anak merakit mobil sendiri dengan bahan seadanya yang ada di lingkungannya, kemudian mereka bisa mendapatkan keasyikan dengan usahanya itu. Anak-anak begitu gampang untuk mendapatkan fasilitas mainannya dengan cara cukup membeli di toko-toko yang dapat dijangkau dengan cara yang gampang. Mainan tempo dulu seperti, othokothok, mobil-mobilan dari kulit jeruk yang diberi roda dari buah luwing-luwingan, mainan kuda-kudaan dari pelepah pisang, gasing dari kayu sawo yang dibikin sendiri, dll. Telah relatif tidak dikenal lagi oleh anak-anak. Sesekali mereka masih bisa mendapatkan jenis mainan-mainan tradisional termasuk
wayang-wayang
kardus yang dapat mereka beli ketika ada pertunjukan wayang di kampungnya, namun kesempatan tersebut relatif jarang dibanding dengan dorongan dan kebutuhan bermain bagi anak-anak yang terus menerus dan setiap hari. 6.1.2.3 Cita Rasa dalam Memilih Permainan. Pada kenyataan di lapangan saat ini anak-anak telah menjadi demikian miskin dengan jenis permainan yang dapat dilakunan oleh mereka saat berinteraksi dengan teman-temannya. Jenis permainan yang banyak dilakukan di wiayah tersebut cenderung anak-anak memilih jenis permainan olah raga yang bersifat formal, seperti sepak bola, badminton, dll, namun sesekali pada musim kemarau masih terlihat di antara mereka masih ada yang menyukai bermain
120
121
layang-layang. Jenis permainan tradisional seperti : gatheng, gobaksodor, jamuran, engklek, cirak karet, dll sudah tidak tampak dimainkan lagi oleh anakanak. Kecenderungan anak-anak meninggalkan jenis permainan tersebut dikarenakan interaksi dalam kegiatan mereka berkomunal pada saat ini, menggunakan waktu yang relatif pendek. Ikatan emosional antar mereka cenderung menipis; hal demikian diakibatkan oleh kepentingan individual mereka yang telah cukup sibuk dalam menghadapi kegiatan sekolah masing-masing; sementara sisa waktu senggang mereka pada kenyataan lebih cenderung memilih dihabiskan di depan televisi. 6.1.2.4 Cita Rasa dalam Memilih Lagu Jenis musik ‘kitch’ : dangdut, pop, lebih gampang menyentuh apresiasi anak-anak, di wilayah Mayangsari dan sekitarnya, dibanding jenis musik tradisional. Pada kenyataannya saat ini mereka begitu gampang menghapal lirik lagu milik ‘Petherpan’, ‘Ungu’, ‘Raja’, atau ‘Chankuters’ dll. Dibanding likrik tembang-tembang tradisional milik tradisinya. Ketika penulis sajikan tembang anak-anak yang menurut para orang tua mereka, tembang tersebut populer ditembangkan oleh anak-anak pada tahun 70 an, ternyata telah menjadi demikian asing bagi telinga anak-anak pada saat ini. Lirik tembang tersebut adalah: Candrane adhiku Sriwidada Njoget mendhek-mendhek neng pendhapa Mlaku themlek-themlek kaya Nrada Candrane anggepe kaya Raden Gathotkaca
121
122
Barangkali demikian gampang dipahami mengapa lirik tembang tersebut tidak dikenal lagi oleh anak-anak, karena memang tidak pernah dikenalkan lagi; dan mengapa lagu-lagu kelompok musik pop yang menjamur saat ini begitu gampang akrab dengan mereka, karena hampir setiap waktu telinga mereka mendengar jenis irama musik tersebut. Dengan begitu maka berlakulah pepatah ‘Tak kenal maka tak sayang’ , sebuah ungkapan yang patut direnungkan bagi siapa saja yang masih berkeinginan menaruh perhatian demi lestarinya budaya Jawa. 6.1.2.5 Cita Rasa dalam Memilih Bahasa Komunikasi Interaksi keseharian baik para orang tua demikian juga para anak-anak di wilayah Mayangsari dan sekitarnya sebagian besar cenderung menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi. Pada dasarnya mereka lebih merasa nyaman
berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian,
dengan alasan tidak merasa ribet harus mempertimbangkan penggunaan bahasa yang bertingkat, sebagaimana yang ada dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa krama yang di dalamnya memiliki ekspresi kesantunan sebagaimana yang dikehendaki oleh kultur Jawa telah demikian jarang digunakan dalam keseharian ketika anakanak saling berinteraksi. Jenis bahasa Jawa yang digunakan anak-anak lebih cenderung ngoko dengan aksen Semarangan. Dan jika anak-anak dipaksakan untuk diajak bertutur dengan bahasa Jawa krama yang baik pada kenyataannya justru mereka menjadi gagap dan merasa asing dengan kosa kata-kosa kata bahasa Jawa krama tersebut; yang sebenarnya adalah bahasanya sendiri. Pengaruh budaya kota yang cenderung menawarkan kehidupan
122
budaya yang praktis, cepat,
123
dinamis, trend tertentu, materialis, massa, dan seragam, telah berpengaruh besar pada kehidupan anak-anak dengan segala aspeknya. Pengaruh tersebut sudah barang tentu berada pada kondisin tarik-menarik dengan upaya membumikan nilai-nilai tradisi bagi sekelompok masyarakat yang masih peduli untuk melestarikan kebudayaan tradisinya melalui berbagai cara.
6.2 Faktor Pendukung Berbagai faktor pendukung proses enkulturasi nilai tradisi budaya Jawa di wilayah Mayangsari dan sekitarnya, antara lain adalah: 6.2.1 Masih dimilikinya kesetiaan yang relatif baik para orang tua di wilayah tersebut terhadap kebudayaan tradisinya. Indikator kesetiaan tersebut paling tidak dapat dilihat dari berbagai kegiatan ritual yang mereka selenggarakan. Kegiatan ritual tersebut yang diselenggarakan dalam keluarga berkenaan dengan berbagai acara selamatan dan syukuran sesuai dengan kepentingannya, maupun ritual yang dilaksanakan sebagai ekspresi sosial yang sarat dengan nilai-nilai tradisi. 6.2.2 Masih dimilikinya ikatan sosial yang cukup baik dalam kehidupan masyarakat, sehingga keberadaan mereka menjadi sebuah keluarga besar yang masih memiliki hubungan emosional yang cukup baik. Dengan pranata-pranata sosial yang ada pada mereka, dan ketaatan mereka pada konvensi yang mengatur kehidupan mereka, paling tidak menjadi sarana yang relatif kondusif bagi terciptanya iklim kebersamaan, dan terciptanya sebuah sistem yang integral untuk mengkondisikan dan mengatur kebudayaannya mereka sendiri.
123
124
6.2.3 Masih dimilikinya jaringan sosial yang baik antara warga masyarakat Mayangsari dengan masyarakat disekitarnya, yang sama-sama memiliki kaerakteristik sosial yang relatif sama, dan orientasi nilai-nilai kehidupan ideal yang relatif sama. Dengan begitu ketika mereka memikul sebuah permasalahan sosial seakan-akan permasalahan tersebut
dipikul bersama-sama oleh sebuah
kelompok masyarakat yang besar; dengan demikian mereka tidak merasa sendiri. 6.2.4 Sekolah tempat anak-anak belajar masih memiliki kesetiaan yang baik untuk menanamkan nilai-nilai luhur kebudayaan mereka, khususnya dalam memelihara kesantunan, termasuk didalamnya adalah diajarkannya bahasa Jawa dengan segala aspek kebudayaannya sebagai muatan kurikulum.
6.2.5 Terkondisinya iklim kehidupan masyarakat Mayangsari dan sekitarnya yang pada dasarnya masih memiliki sikap religiusitas yang relatif tinggi. ( KristenJawa, Islam-Jawa), pencapaian nilai harmoni beserta nilai-nilai yang diidealkan dalam kehidupan religi mereka sejalan dengan nilai-nilai kulturalnya. Konsep tentang: rukun, asih mring sasama, kurmat mring wong liya, eling lan waspada, dadi bocah sing alus, aja kasar dll serta orientasi pada pencapaian nilai spiritual dalam segala tindakan, antara kehidupan religi dengan nilai kultural berada pada kesejajaran. Dengan demikian tindakan dalam upaya pelestarian nilai-nilai tradisi tersebut pada dasarnya tidak berseberangan dengan penanaman nilai religi dalam kehidupan masyarakat. Sinkritisme antara agama (baik Islam maupun Kristen) dengan budaya di wilayah tersebut berjalan dengan baik, indikator yang paling gampang ditengarahi
dengan masih banyaknya kegiatan ritual dalam bentuk
124
125
kenduri dengan sajian makanan tertentu sesuai dengan khajatan masing-masing namun dalam pelaksanaannya senantiasa menggunakan do’a yang diajarkan dalam tuntunan agama. Disamping itu tingkat kesadaran masyarakat untuk saling menghormati antar kehidupan beragama di wilayah tersebut sangat baik. Faktor keharmonisan kondisi sosial tersebut, hemat penulis menjadi atmosfer khusus yang memberi konstribusi besar bagi terjaganya stabilitas budaya serta memudahkan terjalinnya hubungan yang integral dari seluruh aspek yang berada pada rajutan sistem kulturan di wilayah tersebut.
125
BAB 7 UNGKAPAN GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK
7.1. Pemilihan Tokoh Wayang Dari hasil treatment yang dilakukan kepada Siswa Kelas VI Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang, dalam kegiatan menggambar wayang, ternyata 90 % memilih ikon tokoh yang berkarakter baik. Tokoh-tokoh itu antara lain: Bima atau Werkudara, Puntadewa, Arjuna, Gathotkaca, dan Para Punakawan ( Semar, Gareng Petruk dan Bagong). 5% menggambar tokoh Putren dan binatang, dan 5% menggambar tokoh jahat, antara lain; Buta Cakil dan Dewi Durga. Dari kecenderungan pemilihan ikon tokoh baik tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka masih ada keterikatan emosi dengan persepsi simbolik yang dicitrakan oleh tokoh-tokoh dalam pewayangan; mereka masih memiliki kesadaran untuk menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dan pilihan itu ternyata masih berpihak pada yang baik. Disamping itu anak-anak masih memiliki kedekatan dengan imaji nilai dari sosok yang ditawarkan dalam pewayangan. Anak-anak masih memiliki rasa kekaguman terhadap pesona keindahan, kebagusan, dan kegagahan yang dimiliki oleh beberapa tokoh wayang, dan dalam proses pembuatan gambar wayang tersebut nak-anak tidak saja konsentrasi menggambar saja namun ungkapan ekspresinya total; terdengar mulut mereka menirukan irama musik yang lazimnya digunakan untuk mengiringi pertunjukan 126
127
wayang. Dan di antara mereka ada juga yang mencoba menggerak-gerakan gambarnya setelah usai gambarnya dikerjakan, seakan mereka sedang berpurapura menjadi Dalang, dengan begitu bahwa bagaimanapun juga mereka masih memiliki kedekatan dan masih cukup baik dalam memberikan apresiasi terhadap produk budaya Jawa dan produk dari proses reproduksi yang mereka lakukan sendiri. Hubungannya dengan pemilihan tokoh tersebut, ketika Guru menyebut dengan mempersonifikasikan diantara mereka dengan tokoh baik ( Gathotkaca atau Bima ) respon mereka menunjukkan kegirangan, tanda mereka suka. Namun ketika Guru mencoba mempersonifikasikan diantara mereka dengan tokoh jahat ( Buta Cakil ) mereka ternyata tertawa, sebagai tanda sesungguhnya mereka meledek diri sendiri atau teman yang dianggap sebagai Buta Cakil, dan ekspresi itu sesungguhnya adalah tanda ketidak berpihakan mereka dengan apa yang dilontarkan Guru. Dengan begitu bisa dipahami jika tokoh yang banyak mereka gambar adalah tokoh-tokoh yang berkarakter baik. Indikator tersebut menjadi bukti bahwa konsep ideal dalam pikiran mereka terhadap sesuatu yang baik, ternyata ikon wayang masih menjadi bagian dari sistem simbol yang ada dalam pikiran mereka. Ketika ditanyakan oleh guru,
kepada sebagian Siswa yang tidak
menggambar tokoh baik diperoleh jawaban bahwa pada dasarnya mereka sematamata tertarik karena bentuknya saja. Namun kesadaran pemahaman terhadap karakter bentuk tokoh yang dipilihnya sangat baik, mereka tahu persis bahwa tokoh yang digambarnya tersebut adalah tokoh jahat.
127
128
Disamping pengungkapan bentuk-bentuk tokoh baik dan buruk dalam pewayangan tersebut, dikenal pula beberapa tokoh tambahan yaitu bentuk binatang. Bentuk binatang tersebut cukup banyak ( Kuda, Banteng, Gajah, Harimau, Ular, Celeng, dll ), dan pada hasil gambar anak-anak tersebut ditemukan dua anak yang menggambar binatang Gajah. Ungkapan gambarnya terhadap bentuk binatang tersebut menggunakan kaidah proporsi bentuk wayang yang dikenalnya. Dari mengamati hasil gambar tersebut terasa benar adanya pencitraan bahwa ungkapan gambar tersebut tidak merepresentasikan bentuk gajah pada hubungan yang realistis, namun anak-anak telah menggunakan bahasa budayanya dengan memberikan ungkapan bentuk yang lebih simbolis. Pada gambar tersebut, Gajahnya diberi mahkota, terdapat ornamen pada tempat duduk (plungguhan) dan terdapat palemahan atau pasiten, yang berpungsi sebagai setting atau dasaran tempat gajah tersebut berdiri; dimana keberadaan palemahan tersebut menjadi bagian yang spesifik/ ciri khas tampilan dari seluruh tokoh yang ada dalam pewayangan.
128
Gambar : 33 Contoh gambar tokoh wayang berwatak baik
129
130
Gambar : 34 130
131
Contoh gambar tokoh wayang berwatak buruk
Gambar : 35 Contoh gambar tokoh wayang binatang Gajah
7.2. Kehadiran Tokoh Dalam Gambar Tokoh-tokoh wayang yang digambar Siswa pada treatment tersebut sebagian besar hadir tunggal, namun ada beberapa juga diantara mereka yang
131
132
menggambar beberapa tokoh dalam satu lembar kertas. Gambar beberapa tokoh tersebut ada yang disajikan dalam hubungan persahabatan, yaitu: (a) Punakawan satu dengan yang lain, (b) Satria dengan punakawan, dan (3) Raksasa atau tokoh jahat dengan tokoh jahat yang lain, (4) Satria dengan Satria, dan (5) Tokoh tertentu dengan binatang. Berikut adalah beberapa gambar wayang yang disajikan dalam berkelompok:
132
133
Gambar : 36 Gambar wayang berkelompok menyajikan hubungan persahabatan para Punakawan
Gambar : 37 133
134
Gambar wayang berkelompok menyajikan hubungan persahabatan para Satria
Gambar : 38 Gambar wayang berkelompok menyajikan hubungan persahabatan tokoh Punakawan dengan binatang 134
135
Gambar : 39 Gambar wayang berkelompok menyajikan hubungan persahabatan antara Satria dengan Punakawan 135
136
Gambar : 40 Gambar wayang berkelompok menyajikan hubungan tokoh-tokoh jahat
136
137
7.3. Fungsi Ornamen Pada Gambar Wayang Kehadiran tokoh wayang yang disajikan pada kertas gambar, oleh anakanak cenderung sebagian besar hanya menyajikan figur wayangnya saja, namun ada beberapa diantaranya yang menyajikan dengan ornamen di sekitar gambar tokohnya. Unsur ornamen terserbut ada yang bersifat geometrik (dalam bentuk tumpal, dan kawung), serta unsur-unsur nongeometrik, yang cenderung mengeksploitir unsur sulur-suluran
tanaman, sebagaimana lazimnya unsur
tersebut dikenal dalam seni batik maupun seni ukir yang berkembang di Jawa. Unsur penghias lain yang relatif banyak digunakan oleh mereka yaitu bentuk spot atau titik-titik dengan beraneka warna. Jika dicermati kehadiran spot-spot tersebut mampu memberikan pencitraan suasana yang spesifik, dan sekaligus mencitrakan cara kerja yang lazim dilakukan oleh anak-anak dalam ungkapan gambarnya. Spot-spot tersebut dapat dipahami kehadirannya sebagai eksture yang berfungsi untuk memberikan daya tarik optis, sehingga gambarnya menjadi lebih menarik. Disisi lain spot-spot tersebut dapat bermakna sebagai atmosper tertentu yang berfungsi mendukung pencapaian suasana tertentu. Dengan media spidol dan krayon gambar-gambar tersebut dibuat oleh mereka, pengaturan intensitas dalam menggarap subjek pokok dan latar gambar, yang dapat dipahami sebagai hiasan; ternyata memiliki kecenderungan masing-masing Kehadiran ornamen tersebut pada dasarnya dapat diperinci dari fungsinya antara lain : (a) Ornamen berfungsi sebagai hiasan tepi. (b) Ornamen berfungsi sebagai representasi setting dari keberadaan tokoh yang di gambar. (c) Ornamen berfungsi sebagai isian untuk menghias latar.
137
138
Berikut adalah contoh gambar ornamen dengan fungsi masing-masing :
Gambar : 41 Ornamen berfungsi sebagai hiasan tepi. Bentuk tumpal menjadi unsur pokok dalam ornamen ini, dengan dominasi warna hijau, dipadu dengan warna komplementer ungu dan kuning; repetisi bentuk dan
138
139
warna diatur dengan akurasi pembagian bidang secara baik menunjukkan sebuah kerja yang tertib.
Gambar : 42 Fungsi ornamen sebagai representasi setting Ornamen pada gambar ini ditampilkan dalam unkapan bentuk yang realistis. Ornamen tersebut berupa gambar pemandangan dengan karakteristik subjek gambar yang lazim disukai anak-anak, terdiri dari gunung, pepohonan, jalan, dan tanaman bunga.
139
140
Pada gambar tersebut seakan-akan tokoh Arjuna sedang mengembara berjalanjalan
140
141
Gambar : 43 Fungsi ornamen untuk menghias latar Ornamen pada gambar di atas berupa spot-spot aneka warna, yang diungkapkan dengan pilihan warna dan cara ungkap yang spontan. Ekspresi gambar menjadi tampak dinamis, demikian kental merefleksikan kecenderungan ciri ungkapan gambar anak-anak; dengan demikian sekilas gambar tokoh Sadewa tersebut dengan pembubuhan ornamen latar yang demikian menjadi terkesan ceria, dan bahagia
141
142
7.4. Karakteristik Gambar Wayang Buatan Anak-anak Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada dasarnya anakanak yang berusia kelas VI (12-14 th) ) memasuki masa naturalistik semu (pseudo naturalistic)
dengan ciri-ciri gambar mereka sebagai berikut: Pada dasarnya
masa-masa ini anak-anak mulai menyukai dan menikmati berkarya seni. Dari hasil karyanya mereka telah menunjukkan ciri-ciri bukan kanak-kanak lagi tetapi bukan berarti telah dewasa. Mereka semakin bisa berpikir abstrak dan perspektifnya tentang dunia berpijak pada kesadaran sosialnya. Perhatiannya terhadap karya seni mulai kritis, termasuk dalam menyikapi karyanya sendiri. Mereka akan merasa puas jika hasil karyanya lebih baik ketimbang hasil karya sebelumnya. Gambarnya telah dapat menjadi simbol bagi pengungkapan, nilai-nilai, wacana, dan kondisi instrinsiknya. Ada kecenderungan anak mulai memusatkan perhatiannya pada benda-benda dan objek di lingkungannya dengan tersaring. Pengamatannya terhadap objek telah mulai rinci, hal-hal seperti draperi, ornamenornamen, dan detail dari suatu benda telah menarik perhatiannya. Gambar mereka tentang manusia/ figur, pada dasarnya telah mendekati proporsi yang benar. Berbagai ungkapan ekspresi wajah telah memiliki arti sendiri, Sangat menyukai gambar kartun. Kesadaran akan perbedaan sex menonjol, termasuk didalamnya kesadaran akan perbedaan karakter dari tokoh yang digambarnya pada masa ini, gambar mereka telah menunjukkan ciri-ciri adanya keinginan untuk menggambar sesuai dengan kenyataan yang dilihat, namun kadang belum cukup dapat memahami substansi dari objek yang digambar. Pengamatan terhadap objeknya telah mulai rinci, dan detail dari suatu benda telah mulai menarik perhatiannya;
142
143
dan pada usia ini ada kecenderungan anak mulai senang menggambar kartun. Bagaimana implementasinya dalam gambar wayang mereka dapat dijelaskan sebagai berikut.
Gambar Judul Nama Kelas
: 44 : Gathotkaca : Rio Bramoranda : VI 143
144
Media : Spidol Ukuran : A3 Ungkapan Tokoh Gathotkaca yang digambar Rio dibuat dengan mengandalkan unsur garis, dengan alat spidol. Unsur tersebut digunakan untuk merepresentasikan raut sebagai out line, sekaligus untuk menghadirkan rincian atribut yang dimiliki oleh tokoh tersebut. Tokoh Gathotkaca pada gambar tersebut digambarkan dengan ciri-ciri wajah menghadap kedepan mendatar,
bentuk
hidung bentulan, mulut mingkem, mata kedondhong, posisi kedua kaki jangkahan gagah. Tokoh tersebut menunjukkan sikap tubuh yang tegap, sigap, seakan sedang berada pada kondisi siaga untuk melaksanakan tugas. Arah garis wajahnya mendatar lurus kedepan dengan dada dibusungkan, tangan depan lurus kebawah dan tangan belakang berada pada posisi berkacak. Kesan keseluruhan gambar ini tampak gagah, mencitrakan karakter tokoh Gathotkaca yang diidealkan. Rincian atribut yang dikenakan pada tokoh ini cukup detail baik rincian pada jamang, irah-irahan gelung dengan garuda mungkur, praba, maupun atribut yang membedakan antara jarit, dodot, badong, uncal kencana, uncal wastra dan clana, digambar pada posisi yang benar. Secara keseluruhan gambar ini menunjukkan kualitas estetis sebagai ungkapan ekspresi wayang Jawa yang sangat baik. Dapat disimpulkan indikator kualitas estetis pada gambar tersebut adalah: kemiripannya dengan tokoh yang direpresentasikan, rincian seluruh atribut yang dikenakan, dan kualitas ungkapan garis yang merefleksikan kelancaran pada saat proses menggambar tersebut terjadi; berada pada kualitas yang sangat baik.
144
145
Gambar Judul Nama Kelas
: 45 : Bima : Aprillia Susi Yulian Rahmawati : VI 145
146
Media Ukuran
: Krayon dan spidol : A3
Gambar Bima karya Aprillia menunjukan Bima seakan sedang melakukan aksi tengah berjalan. Pada gambar tersebut diungkapkan bentuk Bima yang badannya dibuat condong ke depan, seakan sedang terburu-buru hendak menuju pada suatu tempat. Digambarkan tokoh Bima yang gagah dengan badan yang gemuk. Kegagahan tokoh tersebut tampak dari bentuk profil wajah dan gelung yang dikenakannya, serta kedua kaki pada posisi jangkahan gagah. Ekspresi wajahnya tampak sedang marah (mulutnya sedikit membuka, seakan sedang bergumam). Posisi tangan depannya lurus menjuntai ke bawah dan tangan belakangnya berada pada posisi berkacak pinggang menandakan sedang dalam kondisi siaga menghadapi rintangan. Pengungkapan karakter Bima pada gambar ini cukup baik. Pemahaman terhadap atribut yang harus dikenakan pada tokoh Bima cukup baik dan rinci, hal tersebut dapat diperhatikan pada kedudukan assesori gelang, kelat bahu, kalung, dan kuku pancanaka. Terlebih lagi pada upaya menyusun arah draperi pada kain poleng yang dikenakannya dengan perpaduan warna putih dan biru, tersusun secara apik. Kehadiran tokoh Bima pada gambar ini disertai dengan: (1) Pemberian latar, dengan background warna biru dan hijau, dan pada foreground dengan nada warna coklat yang direndering secara ekspresif. Efek dari warna-warna tersebut seakan berfungsi sebagai atmosfer yang memberi kesan sejuk dan futuristik; ada dimensi gerak pada gambar tersebut seakan langkah Bima tersebut demikian kencang.
146
147
(2) Pemberian ornamen yang berfungsi sebagai hiasan tepi. Pada sisi kanan dan kiri unsur ornamen
bersifat geometris dengan susunan garis
berbentuk tumpal yang dicat kuning bergradasi kearah warna orange. Dan pada bagian tepi atas dan bawah terdapat ornamen berbentuk belah ketupat dengan dicat bergradasi dengan nada warna violet. Mengamati secara seksama ungkapan gambar tersebut, dari bentuk tokoh, unsur ornamen hiasan tepi, teknik pewarnaan, dan refleksi keseluruhan suasana yang dihadirkan, dapat disimpulkan bahwa keseluruhan gambar tersebut merefleksikan cita rasa nilai estetis Jawa yang masih cukup kental.
147
148
Gambar: Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 46 : Bima : Diky Darmawan : VI : Spidol : A3
Ungkapan gambar Bima karya Diky berada pada posisi diam, berdiri dengan kepala merunduk; seakan sedang dalam keadaan dialog dengan penuh perhatian. Tangan depannya lurus menjuntai ke bawah dan tangan kanannya pada posisi berkacak pinggang. Diky dapat menguasai ruang dengan baik, penempatan gambar tokoh tersebut berada pada posisi yang sangat ideal kedudukannya pada 148
149
bidang gambar. Bentuk gambarnya cukup proporsional dan secara keseluruhan menunjukkan kemampuan pengungkapan yang sangat baik, gambar atributnya rinci, dan proporsif. Karakter kegagahan dan kesatriaan Bima diungkapkan dengan bentuk hidung bentulan, memakai pupuk jaroting asem, bermahkota gelung minangkara, berkuku pancanaka, dan sikap kakinya jangkahan; sehingga menjadikan tokoh tersebut tampak gagah dan berwibawa. Gambar tersebut dikonstruksi dengan unsur garis menggunakan media spidol, dan pada bagian pakaian kain polengnya dibuat dengan blok warna hitam-putih, yang dicapai dengan menggunakan arsiran pensil. Kehadiran unsur motif poleng pada gambar tersebut demkian dominan. Dalam pemahaman kebudayaan masyarakat Bali, motif poleng tersebut disebut sebagai Rwa binedha, sebagai simbol dari sifat baik dan buruk dalam kehidupan. Jika dikaitkan dengan perwatakan Bima nampaknya simbol tersebut relevan juga, sebab Bima memiliki watak wungkal bener; yang senantiasa menempatkan nilai hidup senantiasa hitamputih. Bagi Bima kehidupan yang brsifat hitam harus dibasmi dan khidupan yang bersifat putih harus ditegakkan. Sebuah representasi tokoh Bima yang cukup baik, dan engan ungkapan garis-garisnya yang cukup lancar, menunjukkan tingkat kedekatan dan penguasaannya terhadap produk kebudayaan Jawa tersebut cukup baik pula.
149
150
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 47 : Gathotkaca : Fatimah : VI : Spidol : A3
150
151
Gambar Gathotkaca buatan Fatimah menghadap ke kanan. Fatimah paham betul bahwa kehadiran sosok wayang sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dengan garan-nya, atau tangkai bambu yang digunakan untuk pegangan manakala wayang harus dimainkan. Sungguh bahwa kegagahan sosok wayang akan menjadi sangat terasa ketika diberi kelengkapan garan tersebut. Ungkapan gambar wayang Fatimah berada pada kondisi siap melaksanakan tugas, tangan depannya menjuntai ke bawah, dan tangan belakang berkacak pinggang. Gambar tersebut tampak rinci, penuh dengan ornamen, khususnya pada bagian praba, kemben, dan dodot. Walaupun penempatan ornamen tersebut kurang mengikuti kedudukan yang sebenarnya, namun secara keseluruhan gambar tersebut menunjukkan kegigihan pengungkapan untuk menyajikan yang terbaik. Tokoh Gathotkaca yang gagah digambarkan oleh Fatimah dengan profil wajah yang dicat hitam, sehingga tokoh tersebut tampak berkarakter tenang, berwibawa, dingin, dan penuh percaya diri. Profilnya memiliki ciri-ciri bentuk hidung bentulan, dan dengan bentuk mata thelengan. Tutup kepalanya memakai bentuk gelung gurdha, ber-praba, dan memakai dodot dengan
posisi kedua kaki
jangkahan gagah. Gambar tersebut dilengkapi dengan hiasan tepi, dengan menggunakan unsur motif kawung yang dipadu dengan bentuk geometri belah ketupat. Ornamen yang berfungsi sebagai hiasan tepi tersebut dibuat cukup rinci dan dengan akurasi ukuran pola yang cukup tertib sehingga perpaduan antara subjek pokok dan hiasan tepi tersebut tampil menjadi perpaduan gambar yang sangat apik, dan merefleksikan ciri-ciri nilai-nilai kebudayaan Jawa yang cukup baik.
151
152
Gambar Judul Nama
: 48 : Puntadewa dan Arjuna : Aprillia Dilly 152
153
Kelas Media Ukuran
: VI : Spidol dan krayon : A3
Ungkapan tokoh wayang Puntadewa dan Arjuna pada gambar ini seakan menjadi bagian dari motif selembar kain . Perpaduan warna antara latar yang berwarna orange dengan unsur-unsur motif (seperti efek dari ikatan/jumputan ) cenderung menggunakan warna komplemennya ( biru dan hijau ), demikian juga dominasi warna pada kedua gambar wayang tersebut cenderung menggunakan warna komplementer, maka secara keseluruhan gambar tersebut berkesan menggairahkan, menyenangkan, dan terasa hangat. Walaupun ungkapan gambar tokohnya tidak terlalu rinci namun struktur gambar tokoh tersebut telah mampu menangkap karakter tokoh yang dimaksud. Penggambaran kedua tokoh tersebut diungkapkan dengan bentuk hidung walimiring, mata gabahan, memakai bokongan, dan kedua kakinya pada posisi jangkahan alus, dan keduanya samasama tidak memakai dasaran atau lemahan. Yang membedakan karakter dari kedua tokoh tersebut adalah pada bentuk tutup kepalanya. Pada tokoh Puntadhewa memakai bentuk tutup kepala gelung keling, dan pada tokoh Arjuna memakai tutup kepala gelung minangkara. Ornamen pada bokongan kedua tokoh tersebut di buat dengan dirajang menjadi faset-faset warna, yang disusun dengan pilihan warna komplementer, sehingga terkesan ungkapan tersebut naif, menyenangkan, sebagaimana lazimnya ungkapan gambar anak-anak. Sekilas kedua tokoh tersebut
tampak berjalan gontai
di atas matras
permadani yang penuh bunga warna-warni, sebagaimana layaknya kemeriahan penyambutan terhadap tokoh penting yang telah berjasa, pulang dari peperangan
153
154
besar. Aprillia telah menghadirkan identifikasi tokoh yang dikehendaki dengan cukup baik, proporsi unsur-unsurnya, irama garis tubuh masing-masing, dan ekspresi bentuknya tersaji dengan baik; merepresentasikan tokoh yang dimaksud yaitu, Puntadewa dan Arjuna.
154
155
Gambar Judul Nama Media Ukuran
: 49 : Puntadewa : Kana Emylia : Spidol : A3 155
156
Ungkapan gambar Kana menyiratkan sosok Puntadewa, tokoh tertua dari para Pandhawa. Sebagai tokoh bijak yang suka berderma bagi siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Pada gambar tersebut wajah Puntadewa di cat hitam, dengan demikian menjadi sangat kontras dengan badan yang tampak menjadi sangat putih; hal demikian sangat sesuai dengan pribadi Puntadewa yang dikenal darahnya putih di sekujur tubuhnya sebagai simbol dari kesucian. Ungkapan pada gambar tersebut memiliki ciri bentuk: sebagai satria dengan hidung walimiring, mata gabahan, mulut mingkem, bermahkota gelung keling, jarit bokongan, memakai hiasan manggaran, dan posisi kaki jangkahan alus. Ornamen pada jarit atau bokongan digambar dengan rinci, menjadi aksen yang menawarkan nilai optis yang sangat memikat. Pada wajah tokoh ini digambar dengan cat hitam, merepresentasikan tokoh Puntadhewa yang tenang, berwibawa, dan berwatak satria. Sisi lain yang menarik dari penggambaran profil wayang ini, adalah bentuk hidung pada gambar tersebut dibuat dengan demikian panjang, dan pada bentuk mulut, seakan akan menampilkan bentuk mulut yang ralistik tampak dari depan. Gambar tokoh Puntadewa tersebut dihadirkan dengan posisi tubuh diam, dengan kedua tangannya menjuntai ke bawah; seakan sedang dialog dan dalam suasana batin yang sangat tenang tanpa kecurigaan. Gambar buatan Kana ini dikerjakan dengan
menggunakan media spidol,
pada bagian-bagian tertentu diberi aksen untuk menyatakan bidang gelap dengan menggunakan teknik block, yang berdampak pada ungkapan bentuk tersebut terkesan menjadi padat. Ungkapan garis-garisnya bergetar namun pasti, kekuatan
156
157
dalam penguasaan bentuk tersebut dapat dijadikan sebagai indikator tingkat pemahaman dan kedekatannya pada nilai budaya yang melingkupinya.
Gambar Judul Nama
: 50 : Bima : Lailatul 157
158
Kelas Media Ukuran
: VI : Spidol dan krayon : A3
Ungkapan gambar tokoh Bima karya Lailatul, dilengkapi hiasan spot-spot pada latar, seakan tokoh tersebut berada pada suatu pusaran atmosper yang menawarkan aneka serpihan warna sebagai simbol nilai-nilai kehidupan. Hal demikian mengingatkan kita pada esensi cerita Bima Suci, ketika Bima berada di dalam perut Dewa Ruci. Dalam perut itu Bima melihat beraneka warna cahaya sebagai simbol dari nafsu yang ada pada diri manusia. Cahaya warna merah sebagai simbol nafsu amarah, warna hitam simbol nafsu aluamah, warna kuning simbol nafsu sufiah, dan warna putih sebagai simbol nafsu mutmainah. Pada gambar tersebut butir-butir warna itu muncul menyerupai Ndog amun-amun (kunang-kunang). Ketika Bima memejamkan mata, dan ketika mata semakin dipejamkan, maka warna-warna itu akan semakin dekat dengan mata dan pikirannya. Ungkapan tokoh Bima dalam gambar tersebut seakan wayang Bima tersebut sedang dimainkan Dalang, bentuk badannya khususnya bagian pinggul ke bawah mengalami distorsi; sehingga justru terkesan memunculkan dimensi gerak. Pada gambar tersebut seakan akan Bima memakai baju, hal demikian disebabkan oleh pengaruh ornamen yang dikenakan pada bagian tubuh. Gambar dibuat cukup rinci, walaupun tidak mengikuti alur rincian atribut Bima yang sebenarnya, namun secara keseluruhan gambar tersebut telah berhasil merepresentasikan karakter Bima dengan cukup baik, dengan ciri-ciri: bentuk hidung bentulan, mata thelengan, bermahkota gelung minagkara, tangan memiliki kuku pancanaka,
158
159
berkain poleng, dan posisi kaki jangkah gagahan. Bentuk mulutnya dibuat sedikit membuka, memberi kesan Bima tersebut sedang bergumam, atau berbicara. Sisi lain yang menarik dari gambar tersebut adalah pemberian baju pada tokoh tersebut yang dibubuhi ornamen geometri dengan warna-warni. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya interpretasi baru pada anak-anak terhadap tokoh Bima, walaupun karakternya tetap merefleksikan esensi pencitraan Bima.
159
160
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 51 : Puntadewa : Risa Winda : VI : Spidol : A3
160
161
Puntadewa sebagai tokoh bijak, berwibawa,
tenang, dan baik hati telah
diekspresikan dengan baik oleh Risa. Struktur bentuk tokoh tersebut dihadirkan dengan sederhana, namun tetap dikerjakan dengan kecermatan dan unik. Ciri- ciri tokoh tersebut digambarkan memiliki bentuk hidung walimiring, mata gabahan, cangkem mingkem, jamang gelung ukel, sumping kembang kluwih, jarit bentuk bokongan, memakai manggaran, dan kaki jangkahan alus. Keunikan dalam gambar tersebut tersirat pada penggarapan pada kain jarit atau bokongan pada tokoh tersebut, digarap dengan intensitas yang tinggi, menggunakan unsur motif non geometri dengan arah struktur yang menarik ( mengikuti bentuk draperi ) dan menunjukkan nilai kepadatan/ masif, rinci, dan envolutif. Kehadiran gambar tokoh Puntadewa tersebut dilengkapi dengan hiasan ornamen pada tepi kertas dengan pola geometris dengan unsur motif stilasi bentuk api, yang menyiratkan kegembiraan. Yang cukup menarik pada gambar ini adalah penyikapan Risa terhadap tokoh yang digambarnya, gambar tokoh tersebut dibiarkan hitam putih, namun pada hiasan tepinya justru menggunakan warna dengan material krayon dengan teknik penggarapan yang serius. Hal demikian sepertinya Risa tahu persis bahwa selayaknya Puntadewa harus tampil dengan sederhana dan putih, sebagai simbol dari tokoh satria yang berwibawa dan berkepribadian suci. Pada bagian latar dibubuhkan hiasan dengan pola spiral dengan warna merah. Taburan bentuk spiral-spiral tersebut membangun suasana yang terkesan ringan, melayang-layang, dalam ruang merdeka. Tampak Puntadewa sedang dalam ruang dialog dengan dirinya sendiri, sesekali dadanya
161
162
dibusungkan tanda ia harus menarik nafas panjang; memahami kehidupan lingkungannya.
Gambar
: 52 162
163
Judul Nama Kelas Media Ukuran
: Bima : Erlin : VI : Spidol : A3
Erlin mengungkapkan gambarnya memilih ikon tokoh Bima, satria gagah perkasa sebagai penegak Pandawa. Yang menarik digambarkan oleh Erlin yaitu kedudukan gambar Bima tersebut menghadap ke kanan, sebagai posisi yang tidal lazim untuk menempatkan tokoh baik pada kedudukan seperti itu. Kehadiran gambar Bima tersebut di lengkapi dengan garan/ tangkai, menjadikan tampilan tokoh tersebut tampak lebih gagah. Ungkapan garis nya tampak lancar, spontan sebagaimana ciri ungkapan garis yang baik bagi anakanak. Walaupun kedudukan atribut yang digambar belum menunjukkan kejelian bagaimana yang seharusnya
digambar, namun pada gambar tersebut telah
berusaha menunjukkan kecenderungan untuk membuat gambarnya rinci. Bagian yang paling unik dari gambar tokoh tersebut justru ditemukan pada ungkapan membuat dodot, dengan menghadirkan bentuk pilin atau menyerupai huruf S yang disusun setangkup, dan untuk mengisi bagian sentral dari komposisi irama garis tersebut ditempatkan
ornamen menyerupai stilasi bunga melati yang
ditempatkan terbalik. Dari elemen itulah betapa dapat dirasakan bahwa gambar Erlin ini demikian kental menyiratkan nilai estetis Jawa, Kehadiran gambar ini dilengkapi dengan hiasan tepi dengan menempatkan ornamen dari bentuk nongeometri seperti unsur tumbuh-tumbuhan yang diulang-ulang membingkai seluruh sisi. Dalam gambar ini sosok Bima tampak gagah, berada pada posisi siap melaksanakan tugas untuk membasmi angkara murka; tangan depan diarahkan ke
163
164
depan dan tangan belakang berkacak pinggang. Bima maju dengan aji Wungkal Bener, artinya hanya kepada kebenaranlah ia berpihak, tak ada pikiran untuk berkolusi dengan kejahatan sedikitpun; dalam gambar ini seakan Bima bersumpah: ‘Rawe-rawe rantas malang-malang putung’.
Gambar
: 53 164
165
Judul Nama Kelas Media Ukuran
: Janaka : Eva Salma : VI : Krayon dan spidol : A3
Gambar Janaka atau Arjuna yang dibuat oleh Eva tampak lebih gemuk, merunduk sebagaimana tipologi representasi tokoh Janaka yang dikenal dalam pencitraan klasiknya. Secara keseluruhan bentuk gambar tersebut mengalami distorsi, pengecilan pada bagian kaki namun jika dimonfirmasikan kembali bahwa bagian dari ciri gambar anak-anak cenderung mengungkapkan bagian yang dianggap penting adalah bagian yang dianggap esensial, maka dapat dipahami jika proporsi bagian kepala tampak lebih besar, barangkali yang dianggap esensial kehadiran tokoh wayang tersebut dalam pikirannya adalah bentuk kepalanya. Kehadiran tokoh Janaka pada gambar Eva berada pada setting lingkaran warna yang terdiri dari gradasi warna merah, orange, dan kuning, yang dipadu dengan warna komplemennya yaitu hijau dan biru. Sekilas tokoh Janaka tersebut keberadaannya menjadi tenggelam ditengah konflik konfigurasi warna, ekspresi wajahnya tampak kelu. sendu, sedih, terlebih lagi wajah Janaka tersebut dicat hitam sehingga kedukaannya amat terasa. Apakah kedukaan Janaka itu sebagai simbol dari kehidupan riel kita yang tengah dikepung konflik; barangkali ada benarnya. Dengan satir Eva menohokkan nama dengan tulisan JANAKA (tokoh yang diidealkan dalam estetika budaya Jawa ), namun tokoh itu merunduk layu di depan mata siapapun yang melihatnya. Representasi tokoh Janaka tersebut digambarkan dengan profil bentuk hidung walimiring, mata gabahan, mulut mingkem, memakai tutup kepala bentuk
165
166
gelung minangkara dengan memakai sumping waderan, kain bentuk bokongan dengan hiasan
manggaran, dan dengan posisi kedua kaki jangkahan alus.
Bokongan tokoh ini di beri ornamen dengan dominasi warna hijau, yang demikian terasa kehadiran bentuk tokoh ini mengekspresikan sosok nilai kesantunan dan kearifan,sebuah nilai yang diunggulkan dalam budaya Jawa.
166
167
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 54 : Bima : Nanang : VI : Krayon : A3
167
168
Gambar wayang buatan Nanang mengungkapkan tokoh Bima yang didominasi dengan penggunaan unsur warna coklat didusel ke seluruh permukaan tubuh. Dengan demikian maka sekilas gambar tersebut tampak seperti gambar silhuete dari sosok yang diinginkan. Tokoh Bima dalam gambar ini menggunakan proporsi seperti proporsi manusia, keseluruhan panjang tubuh kira-kira 7 kali kepala. Kakinya tampak perkasa dan panjang, jika diperhatikan dengan seksama maka gambar buatan Nanang ini seperti perpaduan antara wayang kulit dan wayang orang; terlebih lagi jika memperhatikan panjang tangannya menggunakan proporsi panjang tangan manusia. Secara keseluruhan raut yang dibangun pada gambar tersebut tampak unik, menawarkan citra tersendiri; namun keinginan untuk merepresentasikan karakteristik tokoh Bima yang dikehendaki sangat terasa. Profil Bima ini digambarkan dengan cukup baik, terdiri dari bentuk hidung bentulan, mata thelengan, dan memakai tutup kepala bentuk gelung minangkara, serta memakai pupuk jaroting asem. Memakai kain dodot dan posisi kedua kakinya jangkahan gagah; namun tidak memakai lemahan (terkesan realistis). Pada bagian latar gambar tersebut diberi arsiran warna biru dengan menggunakan media krayon, serta garis-garis spiral dengan warna orange, sekilas unsur-unsur tersebut menjadi atmosfer yang menawarkan suasana batin tersendiri, seakan akan Bima tersebut sedang dalam pusaran masalah yang harus segera dihadapi dengan kesigapan dan ketangguhan mental dan fisik yang dimiliki. Tokoh Bima yang biasanya digambar menghadap ke kiri pada presentasi wayang klasik, namun Bima pada gambar ini diposisikan menghadap ke kanan.
168
169
Ketika dikonfirmasikan dengan pembuatnya ternyata ia tidak mempersoalkan hal tersebut, karena tidak tahu.
Gambar Judul Nama
: 55 : Janaka dan Petruk : Maura 169
170
Kelas Media Ukuran
: VI : Spidol dan krayon : A3
Ungkapan gambar wayang Maura merepresentasikan kedekatan hubungan antara abdi dan bendara atau abdi dengan tuannya, di sebuah tempat yang dapat diinterpretasi sebagai taman yang berbunga-bunga menawarkan keharmonisan hidup. Penggambaran tokoh Janaka mengalami distorsi dibanding proporsi wayang klasik, tampak bagian
kepala lebih dominan. Hal demikian bisa dipahami
mengingat salah satu kecenderungan anak-anak jika menggambar maka bagian yang dianggap penting bagi kehadiran sebuah objek maka akan cenderung digambar besar (proporsi nilai).
Pada gambar Janaka tersebut upaya untuk
menguasai struktur cukup baik. Elastisitas bentuk mampu mengekspresikan esensi karakter tokoh dengan baik sebagai ikon yang diproduk dari latar budaya tradisi Jawa. Demikian juga kehadiran tokoh Petruk dalam gambar tersebut, pengungkapan bentuknya pada proporsi yang tidak seimbang (tampak lebih kecil ) dibanding dengan Janaka, namun karakter pengungkapan tokoh Petruk tersebut cukup representatif. Penempatan ornamen diluar tokoh pada gambar tersebut cenderung berfungsi membangun image setting, dengan unsur-unsur dedaunan dan spot-spot nada warna orange, dengan hamparan bidang kuning disela warna biru tua; totalitas unsur ornamen tersebut berkesan seperti sebuah hamparan permadani atau image sebuah taman dengan aneka bunga yang sedang mekar. Ungkapan gambar tersebut menawarkan harmoni hubungan antara tokoh-tokoh yang digambarkan
170
171
dan harmoni antara tokoh-tokoh itu sendiri dengan lingkungannya. Terdapat ekspresi keceriaan, suka-cita, namun dalam balutan romantisme yang agung dan unik; sebagaimana ekspresi kebudayaan Jawa pada umumnya.
Gambar Judul
: 56 : Buta Cakil dan temannya 171
172
Nama Media Ukuran
: Erika : Spidol : A3
Ungkapan gambar yang dibuat Erika menyajikan hubungan persahabatan antara tokoh jahat yang bernama Buta Cakil dengan temannya. Keduanya tampak terlibat dalam dialog, seakan sedang merencanakan sebuah aksi kejahatan. Tokohtokoh wayang yang digambar erika mengalami penafsiran baru dengan penggubahan pada hampir keseluruhan komponennya, namun struktur bentuk pada dasarnya masih tetap mengacu pada struktur bentuk wayang klasik. Kekuatan struktur tersebut dipertegas dengan kelengkapan gambar yang disajikan dengan garan atau tangkai yang lazimnya tidak dapat dipisahkan dari kehadiran sebuah wayang kulit. Karakter tokoh Buta Cakil dapat mudah dikenali dari bentuk mulut yang rahang bawahnya cenderung menjorok ke depan, demikian pula posisi hadap kepala cenderung ke atas, yang dapat ditafsirkan bahwa tokoh tersebut adalah tokoh jahat yang sombong dan jumawa. Demikian pula tokoh yang satunya, dengan bentuk mulut yang digambarkan mangap serta bentuk garis tubuh tokoh tersebut, dapat diinterpretasi bahwa tokoh ini adalah tokoh culas yang suka menghasut. Dengan demikian proses interaksi yang diungkapkan dalam gambar tersebut sungguh menjadi sebuah teks yang dapat ditafsirkan sebuah persekongkolan dalam rangka melakukan aksi kejahatan. Pada gambar tersebut Erika berhasil mengelaborasi bentuk, paling tidak jika dicermati dari penempatan atribut, serta isen-isen ornamen pada kain. Ungkapan garisnya spontan, tampak bersih, mengalir tanpa canggung. Subjektivasi objek
172
173
demikian besar dilakukan pada gambar ini sehingga menjadikan ungkapan gambarnya memukau.
Gambar Judul Nama Media Ukuran
: 57 : Arjuna : Wulandari : Spidol dan krayon : A3
173
174
Gambar wayang buatan Wulan mengungkapkan seorang tokoh Pandawa yang bernama Arjuna, sedang berada di sebuah tempat yang tampak demikian asri, dan romantik. Sifat romantik suasana yang dibangun sebagai setting keberadaan tokoh Arjuna tersebut dipertegas dengan kehadiran matahari dengan warna kuning di latar biru, seakan sedang tersenyum di balik punggung gunung mengintip sang tokoh yang sedang bercengkerama di belantara harmoni. Hubungan subjek gambar: gunung dua, pohon, arah dan bentuk jalan, tanaman bunga, adalah tipologi gambar anak-anak pada umumnya, manakala harus merepresentasikan lingkungan kehidupan mereka. Namun kehadiran suasana gambar lingkungan yang cenderung natural, dipadu dengan gambar tokoh wayang yang berdimensi pipih, mengesankan sebuah hubungan bentuk absurd, aneh, namun menawan; disinilah esensi keunikan dalam gambar ini ditawarkan. Tokoh Arjuna tampak berjalan gontai pada gambar tersebut, ungkapan bentuknya sederhana demikian pula rincian pada atribut yang dikenakannya tampak begitu lugas. Tetapi dibalik kesederhanaan yang ditawarkan pada penggambaran tokoh sesungguhnya pembuat gambar ini telah menghadirkan perpaduan subjek lukisan yang merefleksikan nilai kejawaan yang cukup kental. Indikator demikian paling tidak dapat dibaca dari cara penyikapan terhadap kehadiran tokoh manusia yang disajikan dalam posisi yang sama denga kehadiran subjek yang lain; atau kehadiran manusia tidak lebih penting ketimbang lingkungannya. Hal demikian dapat dikonfirmasi dengan azas keserasian, keselarasan, dam keseimbangan yang seharusnya dikondisikan dalam menjalin hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Dengan disadari atau tidak
174
175
sesungguhnya esensi gambar yang diungkapkan oleh Wulan tersebut menjelaskan kedudukannya dan sikapnya dalam memandang kehidupan, pada posisinya sebagai anak yang hidup ditengah jaringan kebudayaan Jawa.
175
176
Gambar Judul Nama Media Ukuran Ungkapan
: 58 : Bima : Erika : Krayon : A3 tokoh Bima pada gambar buatan Erika tampak lugas, sederhana,
ungkapan garisnya spontan, namun memiliki daya pukau yang tinggi. Daya pukau yang dimaksud adalah kontruksi raut yang dibangun untuk merepresentasikan tokoh Bima yang gagah , lugas, sederhana, tidak basa-basi, pemberani, dapat dicapai dengan baik. Pada gambar tersebut tak ada rincian yang berarti, seluruh bidang didusel dengan warna yang cenderung coklat, namun Erika telah menghadirkan keunikan baru yang memikat, yaitu pesona tokoh Bima
telah
ditafsirkan dengan rasa hormat baru, sesuai dengan orientasi pikirannya sebagai anak, namun esensi karakter kebimaannya masih dapat ditangkap. Dengan rasa hormat baru
tersebut Erika menyajikan
bentuk ungkapan
Bimanya dengan lebih esensial dibanding wayang aslinya, distorsi pada beberapa bagian organ tubuhnya dilakukan, ( pada bagian kepala khususnya bentuk hidung, tangan, kaki dll.) dari tangkapan imajinya tentang karakter tokoh Bima tersebut diperoleh kesan bahwa karakter bima yang dihadirkannya telah melampaui simbolisasi karakter yang ada pada konvensi klasik. Erika telah berhasil menghadirkan esensi tokoh Bima yang lebih sempurna, sebagai pencitraan tokoh satria yang gagah perkasa, bersahaja, berkepribadian, santun, dan suka menolong, dimata anak-anak. Karakteristik tokoh Bima yang gagah tersebut direpresentasikan dengan cukup baik dengan ciri-ciri: memiliki bentuk hidung bentulan, mata thelengan,
176
177
gelung minangkara dengan pupuk jaroting asem. Kainnya dalam bentuk dodot, dan posisi kedua kaki jangkahan gagahan. Kegagahan tokoh Bima tersebut dipertajam dengan pembubuhan garan/ tangkai, sehingga sosok Bima sebagai boneka tersebut memberi ruang imaji yang lebih besar bagi publik untuk menimang, menginterpretasi, dan mengidentifikasi menemukan jati diri karakteristiknya.
177
178
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 59 : Sadewa : Tika : VI : Spidol dan krayon : A3
Sadewa adalah salah satu dari putra Pandawa keturunan Prabu Pandu Dewanata dengan Dewi Madrim. Sadewa dilahirkan kembar dengan saudaranya Nakula. Sadewa sebagai
satria dikenal sebagai tokoh yang cerdas dan ahli
berperang, dengan begitu maka perfomanya digambarkan lebih tampak dinamis/ branyak dibanding Arjuna. Bentuk figurnya adalah satria, dengan bentuk hidung walimiring, mulut mingkem, bermahkota gelung, jarit bokongan dengan hiasan manggaran, dan posisi kedua kaki jangkahan alus. Pada ungkapan gambar yang dibuat Tika inipun bentuk Sadewa dikonstruksi dengan irama garis yang mengesankan karakter tersebut. Dapat ditangkap bahwa tokoh Sadewa di sini dalam adegan siap sedia menghadapi aral apapun. Badannya tampak tegap, tengadah dada, tatapan matanya lurus, penuh wibawa. Raut struktur tokoh tersebut digambarkan dengan sederhana oleh Tika, namun irama garisnya menunjukkan kelancaran sebagai ungkapan garis yang dibuat dengan penuh kepastian, spontan, dan tidak canggung. Hampir seluruh tubuh dari tokoh tersebut didusel dengan warna ochre namun pada bagian atribut tertentu terdapat upaya untuk mengurai dengan rincian warna yang saling berbeda (pada hiasan kepala/ jamang, dan jarit/bokongan ). Hal lain yang cukup menarik dari ungkapan gambar tersebut adalah pada bagian latar dengan pembubuhan spot-spot aneka warna, yang memberi kesan keceriaan, kebahagiaan. Dari sisi lain dapat ditafsirkan pula bahwa 178
179
ungkapan warna-warna tersebut penggambaran aura dari tokoh Sadewa yang sedang dalam suasana hati yang bahagia, menambah kewibawaannya sebagai seorang satria. Pada bagian bokongan, dibentuk dengan blok-blok warna, seakan menampilkan esensi dari bentuk bokongan itu sendiri, dengan ornamen bidang garis yang direpresentasikan sebagai uncal wastra dengan warna biru, namun dalam perwujudannya yang realistik. Demikian pula bentuk manggaran yang dikenakan
tampak
dibangun
dengan
ungkapan
yang
sebagaimana ciri ungkapan yang ada pada gambar anak-anak.
179
spontan,
esensial
180
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 60 : Werkudara : Yayank : VI : Spidol : A3 180
181
Tokoh Werkudara pada ungkapan gambar Yayank tampak gagah, dengan karakternya yang cenderung merunduk, dingin, santun, hormat, namun senantiasa dalam siap siaga jika sewaktu-waktu harus menghadapi musuh. Keseluruhan gambar tersebut menunjukkan proporsi yang relatif sempurna, dan dibuat dengan kemampuan mengelaborasi dentuk dengan sangat baik; hal demikian dapat dilihat pada rincian ornamen pada bagian kepala, dodot, serta atribut-atribut yang lain. Melalui ungkapan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa anak tersebut betapa sangat memahami ciri-ciri ungkapan gambar wayang, khususnya tokoh Werkudara. Di sisi lain dapat dipahami pula betapa anak tersebut seakan tidak berjarak dengan budaya tradisi Jawa yang melingkunginya. Ungkapan keseluruhan bentuk cukup proporsional. Kegagahan tokoh Werkudara ditunjukkan dengan ciri-ciri bentuk hidung bentulan, mata kedhondhong, mulut mingkem, memakai pupuk jarot asem, bermahkota gelung minangkara, memakai kuku pancanaka, berkain poleng berhias kepuh, berkuku pancanaka, dan pisisi kedua kaki jangkah gagahan. Pada gambar tersebut tampak ungkapan garisnya lancar, spontan,
tidak
canggung, penuh percaya diri, cermat menunjukkan tingkat elaborasi bentuk yang tinggi. Dari ungkapan tersebut merefleksikan seakan pembuatnya tau persis bagaimana harus mengaktualisasikan dirinya sebagai anak yang hidup dalam tradisi Jawa, yang tidak ingin kehilangan jati diri akan nilai-nilai tradisi dalam kehidupannya. Pemahaman atas ornamen pada bagian-bagian atributnya gambar tersebut dapat dijadikan sebagai indikator bahwa pribadi pembuatnya memiliki kelekatan dengan kultur Jawa. 181
masih
182
Gambar Judul Nama
: 61 : Arjuna dan Hanoman : Rio 182
183
Media Ukuran
: Krayon : A3
Ungkapan gambar Rio adalah tokoh satria Arjuna dengan sahabatnya yang berbentuk kera yaitu Hanoman. Hanoman adalah kera yang berhati mulia, dengan begitu maka penggambaran tokoh tersebut warna badannya biasanya dicat putih. Pada gambar tersebut sepertinya kedua tokoh tersebut sedang hendak menuju ke medan laga. Harjuna tampak membawa panah, dan Hanoman sepertinya tengah dalam sikap waspada, mengawasi musuh dari kejauhan. Kedua tokoh tersebut oleh Rio berada pada jarak pandang yang berbeda, Hanoman berada di tempat yang lebih berjauhan, sehingga secara proporsional tampak lebih kecil ketimbang Arjuna. Proporsi tubuh kedua tokoh tersebut digambarkan dengan cukup baik, walau ungkapan ornamennya tampak bersahaja namun karakter kedua tokoh tersebut dapat tertangkap dengan baik. Tokoh Arjuna digambarkan sebagai satria halus yang memiliki ciri hidung walimiring, mata gabahan, mulut mingkem, bermahkota gelung, bersumping waderan, kain bokongan dengan hiasan bentuk manggaran, dan dengan posisi kedua kaki jangkahan alus. Pada tokoh Hanoman sebagai perwujudan bentuk kera digambarkan dengan mulut mringis, bermahkota gelung, dan memakai ekor. Warna merah pada beberapa bagian tokoh ini memberi kesan energik dan dinamis sebagaimana karakter yang dimiliki sebagai kera.
183
184
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 62 : Persahabatan Raksasa : Maura : VI : Spidol : A3
184
185
Ungkapan garis pada gambar yang dibuat oleh Maura tampak lancar, penuh percaya diri. Dengan media spidol ia dapat mengurai setiap unsur atau atribut pada tokoh-tokoh yang digambarnya; hal tersebut dapat dilihat pada rincian motif pada baju, kain, dan seluruh ungkapan garis yang digunakan untuk membangun struktur karakter sebagai raksasa. Yang mencirikan tokoh-tokoh tersebut sebagai raksasa dengan mudah dapat dikenali dari ungkapan bentuk mulutnya yang cenderung mangap dan kelihatan giginya. Ungkapan garisnya lancar, spontan, dengan penguasaan ruang yang sangat baik. Dari kesadaran terhadap ruang tersebut bisa dipahami jika penggambaran tokoh yang ada di sebelah kiri tampak lebih kecil, namun keduanya dapat dihadirkan dalam hubungan bentuk yang interaktif. Walaupun keduanya terpotong pada bagian kakinya namun secara keseluruhan karakter dari tokoh yang diinginkan masih dapat tertangkap secara baik. Kedua bentuk wayang tersebut diungkapkan dengan cara subjektif, keduanya mengalami distorsi jika menimbang dengan struktur wayang klasik, bahkan seakan akan kedua tokoh wayang tersebut hasil perpaduan antara wayang kulit dengan wayang golek. Kedua tokoh tersebut digambarkan sedang berdialog sepertinya hendak merencanakan suatu kejahatan, sebagaimana lazimnya perangai tokoh raksasa yang senantiasa jahat dalam setiap kehadirannya.
185
186
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 63 : Satria : Fatur : VI : Spidol : A3 186
187
Keseluruhan gambar yang di buat oleh Fatur jika dicermati seakan-akan gabungan antara bentuk Werkudara dengan Gathotkaca. Bentuk tokoh Werkudara dapat diidentifikasi dari ciri mahkota/ jamang, pupuk jaroting asem pada kening, hidung bentulan, mata kedhondhong, dodot poleng, ibu jari berkuku pancanaka, kaki jangkahan, dan memegang gada. Sedangkan bentuk tokoh Gathotkaca dapat diidentifikasi dari atribut pada praba yang dikenakannya. Namun lepas dari itu semua dengan tidak harus mengidentikkan dengan tokoh tertentu, ungkapan gambar Fatur tampak gagah, perkasa, dan merefleksikan jiwa seorang satria yang baik hati, penuh tanggungjawab, dan rela berkorban demi kebenaran. Sekilas gambar tokoh tersebut barangkali menyerupai tokoh Antareja, anak Bima yang lahir dari istrinya Nagagini. Antaraeja lebih tua dari Gathotkaca, tokoh satria yang memiliki kesaktian tak tertanding. Diceritakan bahwa tokoh Antareja ini bisa membunuh musuhnya dengan hanya menjilat bekas telapak kakinya saja. Maka oleh Kresna diupayakan agar dalam perang Baratayuda nanti perang antara Pandhawa dengan Kurawa bisa sebanding, tokoh Antarareja ini harus dimatikan dulu dengan cara disuruh menjilat bekas telapak kakinya sendiri. Fatur menggambar tokoh tersebut menggunakan media spidol, dengan ungkapan garis yang
tampak lancar, tegas dan penuh rasa percaya diri.
Kemampuan elaborasinya sangat baik, ada upaya memerinci setiap atribut yang dikenakan
pada tokoh tersebut. Dari rincian-rincian bentuk tersebut dapat
disimpulkan bahwa Fatur cukup memahami karakteristik seni tradisinya, seta menunjukkan kedekatan emosi yang sangat baik dengan kebudayaan Jawa yang melingkupi kehidupannya. 187
188
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 64 : Petruk : Ahmad Zunu : VI : Spidol : A3 188
189
Petruk atau Kantongbolong adalah salah satu putera Semar.. Petruk adalah salah satu punakawan yang senantiasa mengabdi kepada para satria yang baik budi. Tokoh Petruk menjadi simbol dari kehidupan seseorang yang lugu, lugas apa adanya, sederhana, dan lucu. Ciri-ciri perbentukan sosok tersebut
pada
wayang digambarkan dengan tubuh jangkung, perut buncit, hidungnya panjang, rambut berkucir, berkalung, dan bentuk jarit/ bokongan rampekan dengan motif batik sederhana, biasanya menggunakan motif kawung; serta menggunakan rincian ornamen serta atribut yang cenderung sederhana pula. Pada kain yang dikenakan Petruk dalam gambar ini diselesaikan dengan cara memberi garis bersilang hingga terjalin motif kotak-kotak ( ungkapan reflektif, kecenderungan yang biasanya dilakukan oleh anak-anak jika harus mengisi bidang ); dari paduan unsur-unsur tersebut maka kelahiran bentuk tersebut tampak demikian ekspresif. Pada dasarnya ungkapan gambar Ahmad ini telah mewakili karakter tokoh Petruk dengan cukup baik, walaupun keseluruhan raut sosok Petruk tersebut mengalami distorsi, namun sifat kepetrukannya dapat tertangkap secara baik. Ungkapan garisnya
cukup lancar walau tampak sedikit
mengalami kecanggungan
ungkapana pada pembuatan organ tangan. Namun dibalik kecanggungan ungkapan di beberapa bagian organ tersebut sepertinya Ahmad sedang melucukan tokohnya yang lucu, dengan serta merta ia membangun bentuk; maka lahirlah bentuk tokoh Petruk yang baru yang lebih lucu, sederhana lugu dan lugasdan ekspresif.
189
190
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 65 : Bratasena : Azis : VI : Spidol : A3
Nama Bratasena adalah sebutan lain dari tokoh Werkudara atau Bima pada saat masih muda. Diceritakan ketika dilahirkan Bima dalam keadaan bungkus, oleh seekor Gajah yang bernama Sena orok tersebut dirobek bungkusnya dengan gadingnya, dan ketika bayi tersebut dapat leluasa bergerak setelah keluar dari bungkusnya, menjadi marah kemudian memukul Sang Gajahsena hingga tewas. Maka kemudian bayi tersebut mendapat sebutan Sena atau Bratasena.
190
191
Ungkapan gambar tokoh Bratasena buatan Aziz memiliki ciri-ciri sebagaimana ciri yang terdapat pada tokoh Werkudara, hidung bentulan, memakai pupuk jaroting asem, berjambang, berkuku pancanaka, mulut mingkem, jamang gelung, kaki jangkahan, tampak gagah, dan kepala merunduk sebagai cermin pribadi yang penuh kesantunan, posisi tangan belakang berkacak pinggang sedangkan tangan depan diacungkan ke depan dengan proporsi panjang tangan tampak jauh lebih panjang dibanding tangan belakang. Unsur garis yang digunakan difungsikan untuk membangun bentuk dengan menangkap struktur out line-nya saja. Ungkapan garisnya tampak lancar, dan dari keseluruhan atribut yang dikenakan pada tokoh tersebut menarik untuk diperhatikan khususnya bagaimana Aziz mengambarkan ungkapan tentang bentuk gelang dan kelatbahu. Penggambaran ornamen pada bagian tersebut tampak rinci dan benar jika mengikuti kaidah bentuk pada wayang yang sebenarnya. Hubungan organ satu dengan yang lain saling mengisi dan memiliki keterkaitan dalam membangun keseluruhan bentuk yang bermakna sebagai tokoh yang berkarakter Bratasena.
191
192
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 66 : Kresna : Arum : VI : Spidol : A3
192
193
Tokoh Kresna dalam cerita pewayangan adalah simbol tokoh yang bijak, cerdas, dan senantiasa berpihak pada kebenaran, dalam hal ini adalah para satria Pandawa. Ciri-ciri bentuk tokoh Kresna yaitu: memakai topong, dan berpraba, bentuk kain bokongan, garis wajahnya lurus ke depan (branyak), dan kaya dengan atribut serta ornamen di sekujur tubuhnya. Ungkapan gambar tokoh Kresna yang dibuat Arum pada dasarnya telah berusaha menggambarkan ciri-ciri tersebut, walaupun keseluruhan bentuk tersebut kurang proporsif (khususnya pada bagian tangan), namun upaya menjadikan bentuk tokoh tersebut mendekati bentuk yang sebenarnya tampak begitu besar.
Stilasi pada bagian wajah cukup menarik,
seakan-akan Kresna sedang tersenyum. Bentuk lehernya tampak lebih besar ketimbang proporsi wayang klasik; proporsi tersebut seperti struktur leher pada wayang orang. Demikian juga pada bagian badan dari tokoh ini tampak gemuk; namun bagian-bagian lain masih memiliki kedekatan dengan struktur wayang kulit. Disadari atau tidak pada karya tersebut dapat diketemukan adanya upaya penggabungan bentuk antara wayang kulit dengan wayang orang, sehingga secara keseluruhan bentuk wayang tersebut dapat dikatakan lahir dari sebuah interpretasi baru terhadap tokoh yang demikian populer dalam kehidupan budaya masyarakat Jawa, yaitu Kresna. Ungkapan garis pada gambar tersebut tampak lancar, spontan, dan tidak canggung. Ada upaya untuk memperindah penampilan tokoh Kresna tersebut dengan melengkapi unsur ornamen yang berpungsi sebagai bingkai atau hiasan tepi. Walaupun bentuk ornamen tersebut dalam keadaan ketidak beraturan, namun dari hal tersebut dapat dicermati bahwa kelahiran garis pada bagian hiasan tepi
193
194
inipun memiliki karakteristik irama yang konsisten dengan irama garis yang dibangun pada subjek inti. Irama garis
tersebut menikung, berpilin, meliuk,
menukik, mengalir, kearah perbentukan yang involutif; sebagaimana esensi yang demikian kental dapat ditangkap pada nilai-nilai estetis kesenian Jawa. Keseluruhan gambar tersebut didusel warna samar-samar, pada subjek pokok dengan warna coklat kemerahan, bagian latar dengan warna biru, dan ornamen tepi dengan warna kuning. Efek dari penggunaan warna yang demikian menjadikan gambar tersebut menjadi transparan, terkesan ringan; dan ketika dikaitkan dengan karakter gari-garis yang digunakan untuk membangun bentuk tokoh Kresna tersebut maka keseluruhan ungkapan gambar ini sangat terasa menjadi sebuah susunan organisasi unsur visual yang konsisten dan sinkron dengan karakter tokoh yang dibidik. Hal lain yang menarik dari ungkapan bentuk tersebut adalah penempatan tokoh Kresna yang lazimnya menghadap ke kiri namun pada gambar tersebut dibuat
menghadap
ke
kanan.
Ketika
dikonfirmasikan
hal
ini
kepada
penggambarnya ia tidak berpretensi apa-apa, sekedar karena rasa suka-suka semata. Walaupun begitu interpretasi terhadap tokoh tersebut cukup baik, mendekati karakteristik yang sesungguhnya sebagai Kresna yang populer dalam kehidupan budaya masyarakat Jawa.
194
demikian
195
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 67 : Petruk : Nugraha : VI : Spidol : A3
Ungkapan gambar tokoh Petruk buatan Nugraha ini hampir mendekati raut Petruk yang diidealkan dalam seni pewayangan. Dengan ciri-ciri bentuk tubuh jangkung, hidung panjang ( nyempalo ), rambut berkucir, memakai kalung genta,
195
196
perut buncit, tangan panjang, mengenakan jarit berbentuk bokongan rampekan, dengan ornamen bentuk poleng yang dibuat dengan teknik block hitam putih menggunakan media pensil. Atribut serta ornamen yang lain yang dikenakannya cenderung sederhana. Pada gambar ini sifat kebaikan, kejujuran, kelucuan dan keluguan tokoh tersebut terekspresikan dengan baik; terlebih lagi dengan keberaniannya untuk membubuhkan warna hitam pada bagian tubuh sehingga terjadi kontras warna antara wajah yang berwarna putih dengan badan yang berwarna hitam. Dengan kontras warna tersebut menjadikan tampilan karakter tokoh tersebut sebagai Petruk sangat menonjol, dan menjadi terkesan lebih magis; sebagaimana karakteristik
lain dari ungkapan kesenian budaya Jawa.
Penggambaran tokoh tersebut cukup berhasil, sebagai refleksi dimilikinya pemahaman dan kedekatan yang demikian baik antara kehidupan anak tersebut dengan kebudayaan Jawa yang melingkunginya.
196
197
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 68 : Bima : Luthfia : VI : Spidol dan pensil berwarna : A3
197
198
Ungkapan gambar tokoh Bima buatan Luthfia ini tampak demikian tertib. Sosok Bima dihadirkan dalam croping berbentuk gumpalan asap atau gulungan pusaran angin, yang mencitrakan
tokoh tersebut berada pada suatu ruang
imajinasi tersendiri, sedangkan pada latar dibubuhkan ornamen-ornamen kecil berbentuk spiral-spiral yang mengesankan atmosper khusus yang terasa ringan, melayang
melingkungi keberadaan Bima. Ekspresi gambar ini seakan
menggambarkan momentum ketika Bima sedang menggunakan kesaktiannya yang dikenal dengan Aji Bayu Badra , yaitu kesaktian untuk mempercepat langkah ketika Bima harus berjalan menempuh jarak yang jauh dengan mendatangkan angin kencang untuk mendorong langkahnya. Pada bagian tepi bidang diberi hiasan tepi dari unsur geometri yang berbentuk tumpal berulang. Ornamen pada bagian ini dibuat dengan sangat tertib, dicat dengan gradasi warna peralihan dari warna ungu, hijau dan kuning; dihadirkan dengan intensitas warna yang cenderung soft atau mendekati karakteristik warna pastel. Terdapat tulisan Bima yang cukup besar berada di bagian dalam atas dengan gradasi warna orange menuju ke kuning; tulisan tersebut tampak dominan dibanding dengan unsur subjek yang lain. Sosok Bima digambarkan dengan warna hitam putih. Warna block hitam dibubuhkan pada ungkapan yang merepresentasikan warna kulit, baik yang ada pada wajah, tangan, badan, dan kaki; sehingga kehadirannya raut tokoh tersebut menjadi silhoute. Sedangkan
pada bagian mahkota (kuluk) serta jarik/dodot
dibiarkan dengan latar warna putih. Bentuk sosok Bima tersebut terkesan sederhana, namun justru memiliki daya magis yang cukup kuat. Tokoh Bima
198
199
tersebut tampak gagah dengan ciri-ciri yang dimiliki: hidung bentulan, posisi kaki jangkahan, dan pada gambar tersebut posisi wajah cenderung horizontal, mengesankan karakter bima yang sedang marah. Luthfia memahami betul bahwa kehadiran sosok wayang tidak akan sempurna tanpa kelengkapan garan atau tangkai, dengan begitu pada ungkapan gambarnya yang demikian menjadikan kehadiran sosok Bima tampil lebih gagah serta memenuhi proporsi yang diharapkan.
199
200
Gambar : 69 Judul : Bima Nama : Eka Noviani Kelas : VI Media : Spidol dan Krayon Ukuran : A3 Ungkapan gambar wayang tokoh Bima buatan Eka disajikan diatas latar biru dengan taburan ornamen pada latar tersebut bentuk jantung hati berwarna orange, hijau dan kuning. Dari paduan warna latar tersebut merefleksikan suasana yang dalam dan romantik; yang seakan mengisyaratkan bahwa Eka ‘sedang jatuh cinta’ dengan tokoh wayang tersebut. Gambar Bima buatan Eka disajikan berada pada jalinan raut hitam dan putih yang bersifat biomorfik, dengan paduan warna dan unsur-unsur di sekelilingnya seakan Bima sedang dalam buaian mesra Sipembuatnya. Perpaduan unsur tersebut mengingatkan kita pada cerita Bima Bungkus, yaitu kisah cerita ketika Bima berada dalam balutan plasenta selama delapan tahun; yang kemudian bungkus Bima tersebut dapat dirobek oleh Gajah Sena. Bentuk tokoh Bima dalam gambar tersebut berada pada suasana inoncent, ditegaskan lagi dengan pembubuhan warna putih pada latar mengesankan bahwa karakter tokoh tersebut adalah tokoh yang suci, dan senantiasa berpihak pada kebenaran. Tubuhnya tampak gemuk, menggemaskan sebagaimana ekspresi bayi. Walaupun begitu gambar tersebut tampak gagah, memenuhi persaratan sebagai representasi karakter Bima ( berkuku pancanaka, posisi kaki jangkahan, dan bermahkota gelung ) Warna-warna yang dibubuhkan pada gambar tersebut sangat subjektif, dan cenderung tidak mengikuti convensi yang semestinya (kepala dicat kuning, badan merah jambu, kedua tangan dan kaki coklat, serta ornamen pada bagian jarit dibubuhkan marwa block merah, orange, kuning, dan hijau ). Namun
200
201
sesungguhnya dibalik kesederhanaan bentuk dan cara ungkap dalam pewarnaan tersebut menjadikan secara keseluruhan gambar tersebut telah merefleksikan sebuah kegigihan upaya yang dilakukan oleh pembuatnya, agar dapat tersajikan sosok gambar Bima yang perfek, yang mampu memenuhi cita rasa kebutuhan estetisnya.
201
202
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 70 : Batari Durga : Christa : VI : Spidol : A3
202
203
Ungkapan gambar buatan Christa menyajikan tokoh jahat dalam pewayangan yang bernama Batari Durga. Batari Durga sebenarnya adalah istri Batara Guru, namun karena perangainya buruk maka kemudian ia berubah menjadi rasaksa perempuan; yang wataknya jahat, suka menghasut, iri, dengki, tamak, dan kejam. Ungkapan sifat jahat pada gambar buatan Christa tersebut pada dasarnya mewakili ciri-ciri tersebut, dengan menampilkan wajah tokoh dibuat dengan bentuk hidung pangotan, mulutnya
mringis bertaring, dengan dua mata yang berbentuk
thelengan, bentuk jari raksesan, serta atribut-atribut yang dikenakannya sungguh telah mampu merepresentarikan karakter Durga sebagaimana yang dikenal dalam perbentukannya yang klasik. Christa telah berusaha untuk membuat gambarnya serinci mungkin. Keseriusan dalam membuat rincian tersebut dapat dilihat pada pengungkapan bentuk praba yang diisi dengan ornamen poleng, serta ornamen yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Sepertinya Christa paham betul dengan karakter tokoh tersebut. Yang lebih menarik dari ungkapan gambar tersebut adalah pada pembuatan kain yang dibuat dengan draperi bersusun, dengan rincian ornamen penuh yang sangat menarik; menyiratkan karakter tokoh yang suka erlebih lebihan dan tamak. Dari ungkapan gambar tersebut dapat dijadikan sebagai indikator bahwa anak ini memiliki pemahaman dan kedekatan yang demikian baik dengan seni budaya tradisinya. Ungkapan garis-garisnya lancar, pasti, penuh percaya diri dan involutif. Mengamati ekspresi irama dari unsur garis yang digunakan oleh Christa, sepertinya ia menikmati betul pekerjaannya.
203
204
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 71 : Bagong : Barep Santoso : VI : Spidol : A3
Gambar tokoh Bagong buatan Barep disajikan dengan bentuk yang lucu, giginya menyeringai, serta ekspresi wajah sepertinya sedang menakut-nakuti seseorang. Raut bentuk tokoh tersebut sangat sederhana namun dengan rincian organ tubuh yang lengkap dan proporsional sebagaimana yang diidealkan tampilan bagong pada wayang klasik. Gambar tersebut dibuat denga warna hitam putih, dan bagian yang menarik dari ungkapan gambar tersebut adalah pada
204
205
bagian jarit yang diatur poleng hitam dan putih mengingatkan kita pada simbol rwa bineda dalam kebudayaan Bali. Tokoh Bagong pada gambar ini tampak magis serta merepresentasikan karakternya yang lugu, tanpa beban, menggoda, lucu, dan ekspresif. Ungkapan garis yang digunakan untuk menampilkan bentuk tokoh tersebut tampak lancar, tidak canggung. Terdapat pendistorsian bentuk khususnya pada bagian kepala, terlihat bahwa Bagong ini tidak mengenakan kucir, namun bentuk kepala tanpa kucir inipun telah cukup mewakili imaji bagi siapa saja dalam menginterpretasikan tentang siapa tokoh tersebut.
Gambar Judul Nama
: 72 : Srikandi : Dika 205
206
Kelas Media Ukuran
: VI : Spidol dan Krayon : A3
Kesan yang tertangkap mengamati ungkapan gambar wayang buatan Dika sepertinya tokoh wayang tersebut tengah melayang atau terbang. Kesan tersebut muncul akibat penempatan posisi tokoh wayang tersebut diletakkan dalam kedudukan miring condong kedepan demikian pula kedudukan kaki wayang tersebut juga pada posisi yang sepertinya tidak menyentuh tanah, serta posisi tangan bagian belakang berada pada kedudukan sejajar dengan posisi tubuh. Tokoh wanita ini sepertinya tokoh sakti, sebab ia bisa melakukan gerakan terbang. Barangkali Dika cukup punya alasan mengapa kedudukan wayang tersebut dibuat dengan posisi yang demikian sebab tokoh wanita yang digambar tersebut adalah salah seorang isteri Arjuna yang bernama Srikandi, yang pernah menjadi senopati perang ketika Pandawa harus menghadapi Kurawa dibawah senopati Sang Resi Bisma; dan Srikandi ternyata bisa mengalahkan Bisma. Ungkapan gambar wayang buatan Dika ini sedang melayang ke arah depan. Ruang kosong separuh bagian kertas di sebelah kiri menjadi ruang yang sangat fungsional untuk membangun imaji bahwa subjek gambar tersebut seakan sedang bergerak melaju ke depan. Pada bagian ruang kosong tersebut, sebenarnya bukan benar-benar dibiarkan kosong oleh Dika sebab ada upaya untuk menggarapnya dengan sapuan cat warna-warni sehingga membangun suasana yang bermakna sebagai seting bagi keberadaan subjek wayang tersebut. Dan secara khusus latar disekitar kedudukan subjek pokok tersebut diberi spot-spot aneka warna, seperti
206
207
merefleksikan atmosper yang bernuansa kebahagiaan, kecantikan, kedinamisan, dan keberanian; sebagaimana karakter tokoh yang digambarkannya. Pada gambar tersebut terlihat Dika telah berupaya menjadikan gambar tokohnya tampil cantik dan perfek. Kecantikan tokoh Srikandhi tersebut terlihat dari atribut yang dimilikinya yaitu, bentuk hidung walimiring, mata gabahan, rambut ukel, serta posisi kaki jangkahan alus. Terlihat ungkapan garis-garisnya lancar, bersih, ornamen yang menghiasi bagian dada sampai jarit yang dikenakannya diupayakan dengan rinci dengan membubuhkan berbagai ornamen sebagaimana yang dapat dijumpai pada ornamen kain jarit tradisional. Ditambah lagi dengan pembubuhan warna-warni transparan pada bagian kain tersebut mengesankan kecantikannya lebih terpancar. Dari mengamati keseluruhan gambar tokoh
wayang tersebut dapat
disimpulkan bahwa Dika cukup memahami karakteristik tokoh yang digambarnya, yang sekaligus memahami makna ungkapannya bagi pemenuhan kebutuhan estetisnya.
207
208
Gambar : 73 Judul : Dewi Sinta Nama : Nunung Kelas : VI Media : Spidol dan Krayon Jika diamati bentuk gelung serta menjuntainya rambut yang jatuh dibagian punggung maka dapat disimpulkan jika tokoh wayang yang digambar oleh Nunung adalah Dewi Sinta.. Dewi Sinta adalah isteri Rama yang pernah diculik oleh Rahmana dan dari peristiwa itu kemudian menyulut terjadinya perang besar antara negeri Ayodya dengan Alengkadiraja. Dewi Sinta dikenal sebagai putri yang lemah lembut, cantik, dan memiliki kesetiaan yang demikian besar terhadap Rama suaminya. Pada saat Sinta berada di Alengka setelah diculik Rahwana,
208
209
kehidupannya sangat menderita, dikisahkan jarang makan hingga badan menjadi kurus kering, rambutnya terurai sepanjang waktu. Ungkapan
gambar
wayang
Dewi
Sinta
buatan
Nunung,
mampu
merepresentasikan karakter tokoh Dewi Sinta yang sebenarnya dengan cukup baik. Ungkapan garis yang digunakan untuk membangun struktur bentuk mengalir spontan dengan penuh percaya diri. Representasi warna kulit diungkapkan dengan warna kuning, dan keseluruhan kain yang membalut tubuhnya didusel dengan menggunakan warna coklat, mendekati karakteristik kain jarit tradisional Jawa. Sanggul serta rambutnya menjuntai, diungkapkan dengan warna abu-abu. Gambar tersebut tampak sederhana namun bangunan rautnya serta pencitraan dari ekspresi yang terpancar dari subjek lukisan tersebut terkesan melankolis, anggun, penuh kesantunan dan sederhana. Posisi tangan Shinta pada gambar ini diungkapkan dengan tangan belakang menjuntai ke bawah dan tangan depan tersampir di pundak, posisi demikian menjadi ciri bahasa tubuh dalam pewayangan ketika tokoh dalam keadaan sedih. Dengan demikian Karakteristik pada ungkapan gambar tersebut benar-benar dekat dengan karakter Dewi Sinta yang sebenarnya, dikala ia berada dipengasingan negeri Alengka. Dibagian belakang dari kedudukan Dewi Sinta tersebut menghadap, terdapat kotak bujursangkar yang dibuat demikian ekspresif dengan menggunakan goresan krayon berwarna hitam, jika dicermati di dalamnya terdapat tulisan Dewi Sinta. Sekilas ungkapan gambar tersebut seperti cermin yang merefleksikan kehadiran Dewi Sinta, pada bayangannya tidak tampak sosok dirinya namun berubah
209
210
menjadi simbol verbal yang bermakna simbolik Dewi Sinta. Hal demikian barangkali menjadi refleksi cermin buram Sinta dikala menderita di negeri Alengka, dan cermin buram bagi kehidupannya di saat-saat kemudian; karena ia harus menjalani hukuman membakar diri untuk menunjukkan kesuciannya di depan Rama suaminya.
210
211
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 74 : Arjuna : Fajar : VI : Spidol dan Krayon : A3
211
212
Ungkapan
gambar
tokoh
Arjuna
buatan
Fajar
dikerjakan
dengan
memanfaatkan unsur garis semata. Garis tersebut digunakan untuk membangun struktur bentuk dengan penguasaan out-line yang cukup baik serta berfungsi untuk membuat rincian-rincian ornamen khususnya dibagian kepala dan jarit/bokongan. Detail ornamennya sangat bagus, tampak anak tersebut memahami betul unsurunsur ornamen yang harus ada, dan secara teknik menguasai benar cara-cara yang harus dilakukan untuk mengungkapkannya. Irama garisnya tampak lancar, penuh percaya diri dan secara keseluruhan proporsi tokoh wayang tersebut dapat diungkapkan dengan baik; nyaris mendekati bentuk yang diidealkan dalam perwujudannya yang klasik. Bentuk hidungnya walimiring, mata gabahan, mulut mingkem, mahkota bentuk gelung, kain jarit bokongan, dan kaki jangkahan alus. Pada gambar tersebut gambar tokoh tidak memakai lemahan atau dasaran, barangkali pemahaman Fajar karena tokoh ini sedang berjalan maka representasi setting tersebut dapat diungkapkan dengan perbentukan jalan yang realistis. Action tokoh wayang tersebut sedang dalam kondisi siap berperang, dengan kedua tangan pada posisi sedang menantang lawan. Ekspresi wajahnya tampak luruh, tenang, dibalik kehalusan bentuk tubuhnya ia menyimpan tenaga maka jika musuhnya mendekat maka ia akan menunjukkan kegesitan. Latar keberadaan tokoh tersebut diberi gambar pemandangan, sebagaimana layaknya ungkapan gambar pemandangan yang dibuat anak-anak. Karakteristik suasana yang dibangun dari unsur-unsur visual pada gambar pemandangan tersebut menunjukkan suasana pedesaan, yang subur, tenang, penuh kedamaian. Pada ungkapan gambar pada latar tersebut justru Fajar memberinya warna yang
212
213
merepresentasikan subjek yang dimaksud dengan pendekatan realistis. Tampak langit dicat biru, gunung dengan warna kehijauan, air sungai biru, dan tanah tempat berpijak subjek pokok dengan warna coklat. Sekilas hubungan antara tokoh Arjuna sebagai subjek pokok pada gambar tersebut dengan latar belakangnya, menjadi aneh; sebab wayangnya bersifat dua dimensional sedangkan alamnya bersifat tiga dimensional.
Gambar
: 75 213
214
Judul : Semar Nama : Rega Kelas : VI Media : Spidol Ukuran : A3 Tokoh wayang yang dipilih Rega untuk digambar adalah Semar. Semar adalah Sang Pamomong para satria yang baik budi, pada cerita Mahabarata ia senantiasa mengikuti Arjuna, dan pada cerita Ramayana Semar mengikuti Lesmana atau Rama. Konon Semar adalah seorang dewa yang menjelma menjadi manusia biasa, dengan demikian maka segala ajakan dan sikap hidupnya senantiasa mengarah pada kebaikan. Pada ungkapan gambar buatan Rega tokoh Semar tersebut nyaris sempurna mendekati pencitraan Semar pada wayang klasik. Tubuhnya gemuk bulat, bagian perut dan pantatnya sama-sama bulatnya jika ditarik garis semu nyaris perbentukan Semar mendekati lingkaran. Kedua tangannya menyatu di bahu bagian belakang. Matanya sipit, mulutnya lebar dengan gigi tinggal sebiji, hidungnya pesek, telinga lebar dengan asesori subang bunga kanthil, dan rambutnya berkuncung. Pada gambar buatan Rega ini tampak kedua kaki relatif kecil, sehingga proporsinya terkesan sedikit limbung. Ornamen pada bagian jarit digarap dengan penuh seksama dengan unsur motif geometri menyerupai kawung. Unsur motif tersebut tampak dominan memberi nilai estetis tersendiri bagi kesan keseluruhan. Motif kawung adalah jenis motif batik klasik yang tergolong paling tua, walaupun begitu ternyata jenis motif tersebut tetap uptodate banyak disukai orang hingga kini. Motif kawung pada kultur Jawa digunakan sebagai lambang keabadian atau kelanggengan. Interpretasi makna demikian diasosiasikan dengan usia panjang yang dimiliki oleh pohon kawung itu
214
215
sendiri (pohon kolang-kaling/ siwalan ), bahkan terdapat ungkapan tentang simbol-simbol usia panjang tersebut dengan sebutan: Kutut serut, gagak siwalan. Ungkapan garis pada gambar tersebut tampak lancar, pasti, dan penuh percaya diri. Walaupun gambar tersebut hanya dibuat linier namun telah mampu mewakili keseluruhan bentuk yang dimiliki tokoh Semar. Rega telah demikian berhasil menguasai bentuk tokoh yang diinginkan untuk digambar, dan memahami betul karakteristik budayanya, khususnya dalam mengungkapkan bentuk Semar.
215
216
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 76 : Dewa : Arjuna Arfiyanto : VI : Spidol dan krayon : A3
Bentuk tokoh wayang Dewa yang dibuat oleh Arfiyanto ditandai dengan ciri: badanya berbaju, menggunakan bokongan rampekan dan memakai sepatu (Atribut
216
217
sepatu dalam pewayangan hanya dikenakan pada tokoh Dewa, atau bukan tokoh wayang biasa ). Bentuk wayang tersebut tidak dapat diidentifikasi secara tepat siapa tokoh yang dimaksud, namun menilik dari struktur keseluruhan mendekati tokoh Dewa Penyarikan, atau Sambu. Ungkapan gambar tersebut tidak begitu rinci, seakan diungkapkan dengan cara yang serta merta namun proporsi dan anatomi wayang tersebut mencintrakan sebuah perbentukan wayang yang menarik, dan benar. Gambar wayang tersebut dibuat dengan ungkapan garis yang linier, dan dibiarkan tetap berwarna putih kertas, namun pada bagian latar justru dibubuhkan warna penuh dengan teknik dusel merata keseluruh permukaan latar dengan ungkapan warna yang tampak harmonis, perpaduan antara unsur warna violet, merah jambu, dan hijau tuska. Bagian yang justru menarik adalah hiasan yang ada pada tepi kertas yang dibuat dengan unsur motif tumpal, dengan tetap membiarkan berwarna putih kertas juga seperti pengerjaan pada bagian wayangnya. Jika dicermati terdapat hubungan yang interaktif antara subjek pokok dengan bagian hiasan tepi tersebut. Kehadiran gambar wayang tokoh Dewa tersebut seakan berada di sebuah ruang yang absurd, sunyi, dan tampak magis. Hubungan subjek gambar dengan suasana yang dibangun pada latar memberikan kesan senyawa, seakan berada di Kayangan Jogrengsaloka, sebuah tempat yang tak terjangkau secara fisik namun imaji keindahannya memenuhi relung pencitraan estetis bagi siapa saja.
217
218
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 77 : Gareng dan Gajah : Mutmainah : VI : Spidol dan krayon : A3
Ungkapan gambar wayang buatan Mutmainah ini seakan-akan menunjukkan keakraban tokoh Punakawan yang bernama Gareng dengan tokoh binatang yang sering muncul dalam pewayangan yang disebut Liman atau Gajah. Kedua tokoh ini tampak bersahabat, bahkan sepertinya Gareng tersebut sedang menggembala sang gajah. Walaupun pengungkapan bentuk tokoh tersebut tidak begitu lancar (tampak pada irama garis yang tersendat) namun bentuk raut kedua tokoh tersebut dapat tertangkap relatif baik. Tokoh Gareng digambarkan dengan tangan yang 218
219
kriting (ceko) dan kaki depannya jinjit sehingga tampak pincang jika berjalan. Hidungnya bulat (terongan ), matanya bulat, rambut kucir ke depan, perut buncit, serta mengenakan atribut dan pakaian tampak sederhana dan dengan motif yang sederhana pula. Gambar tokoh Gajah diungkapkan dengan kekhasannya sebagai bentuk binatang dalam pewayangan, yaitu menggunakan lemahan/ dasar sebagai alas berpijaknya binatang tersebut. Gajah tersebut menggunakan atribut pada bagian punggung serta kepalanya bermahkota, dicat dengan marna ochre, serta seluruh badannya dicat dengan warna abu-abu. Kedua tokoh tersebut dalam relasi bentuk yang kurang proporsional, sebab gajahnya tampak justru lebih kecil daripada Garengnya. Namun jika dipahami dari cara berpikir anak-anak yang cenderung menggunakan proporsi nilai, dimana objek yang dianggap penting akan digambar besar. Nampaknya pada hubungan tersebut kedudukan Gareng dianggap lebih penting daripada gajahnya, sehingga pada ungkapan gambar Mutmainah ini bisa dipahami jika gambar Gareng yang justru ditampilkan lebih besar daripada gajahnya. Hubungan kedua tokoh ini terungkap pada kondisi interaksi yang harmonis, keduanya seakan sedang berjalan menuju suatu tempat. Tampilanya menunjukkan kesan damai, bersahabat, tenang, tanpa masalah dan lucu.
219
220
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 78 : Punakawan : Risma : VI : Spidol : A3
Ungkapan gambar wayang buatan Risma ini menghadirkan para Punakawan lengkap, yaitu: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Ungkapan gambar tersebut ekilas seperti bentuk wayang golek, namun jika dicermati perbentukan tokohnya masih lebih dekat pada bentuk wayang kulit. Tokoh Semar digambarkan lebih gendut, dengan ciri rambutnya yang berkuncung, sementara di depannya adalah para anak-anaknya; Bagong, Gareng, dan paling belakang adalah Petruk. Keempat tokoh Punakawan ini sepertinya sedang berdialog, atau sedang berkelakar. Interaksi antar mereka tampak hangat, Semar berbincang dengan Bagong, sementara Gareng sedang berbicara dengan Petruk. Dialog tersebut
220
221
mengingatkan kita pada pertunjukan wayang kulit, disetiap adegan yang memunculkan tokoh Punakawan tersebut yang dikenal dengan istilah gara-gara, menjadi penanda bahwa irama permainan tersebut akan berubah menjadi suasana yang santai, lucu, hangat, dan menghibur. Suasana demikian tampak kental terekspresikan dengan baik pada tampilan gambar buatan Risma ini. Dari irama garis tubuh yang terbentuk dari sikap masing-masing menunjukkan bahwa tokohtokoh ini bukan tokoh formal, cenderung lucu, santai dan kehadirannya pada suasana yang tidak bisa serius. Ungkapan garisnya tampak lancar, penuh percaya diri. Pembubuhan tangkai pada wayang tersebut menjadi aksen yang sangat mendukung bagi penampilan gambar secara keseluruhan; Gambar tersebut hadir sebagai boneka yang dapat dimainkan oleh siapa saja, dengan cara yang gampang, tinggal menggerakkan bilah-bilah bambu sebagai tangkainya; maka dengan sendirinya wayang tersebut akan hidup, dan menghibur.
221
222
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 79 : Bima : Dwi Nur Hanifah : VI : Krayon : A3
222
223
Ungkapan gambar Bima butan Hanifah ini seakan menunjukkan Bima yang sedang terbelenggu dalam lilitan perdu hutan. Ungkapan raut yang meliuk-liuk dengan warna hijau dan biru dapat diinterpretasikan seperti Bima dalam kepungan kesulitan saat berada di tengah hutan. Hal tersebut mengingatkan kita pada kisah Bima
ketika sedang babat alas Wanamarta yang penuh marabahaya.. Bima
melakukan aksinya dengan penuh semangat menjabuti pohon di hutan tersebut, dan membersihkannya; kemudian bersama-sama saudaranya membangun kerajaan baru yang kelak bernama negeri Amarta. Kemarahan Bima
dalam gambar
tersebut direpresentasikan dengan melumurinya badan dengan cat yang berwarna coklat kehitaman, serta kedua tangannya berada pada posisi siap menerjang segala aral. Gambar ini tampak demikian unik, seluruh asesori yang dikenakan Bima ini diberi warna emas, sehingga menjadi tampak kontras dengan warna-warna di sekitarnya. Disamping itu pada bagian latar keberadaan subjek pokok tersebut, dilumuri cat dengan gradasi warna dari merah, jingga, hingga ke kuning; dan di sela-sela itu terdapat ornamen lingkaran-lingkaran besar dan kecil dan hiasan tepi berbentuk pilin sederhana dengan menggunakan warna emas pula. Sekilas gambar tersebut tampak begitu mewah seperti disulam benang emas, dan perpaduan warnanya demikian
kontras antara subjek pokok dengan latarnya. Gambar
tersebut begitu unik, dari perpaduan warna serta teknik pewarnaan yang digunakan betapa kental mengekspresikan karaktristik kesenian Jawa. Kegagahan Bima digambarkan dengan ciri-ciri profil hidung bentulan, mata thelengan, memakai gelung minangkara, berkain dodot dan posisi kedua kaki
223
224
jangkahan gagahan. Kegagahan tokoh tersebut dipertegas dengan pemberian garan atau tangkai, sehingga proporsinya tampak menjadi memanjang.
224
225
Gambar Judul Nama Kelas Media Ukuran
: 80 : Tiga Satria : Wulan : VI : Krayon : A3
Ungkapan gambar tokoh-tokoh wayang ini tampak unik, digambarkan tiga satria yang dapat diidentifikasi sebagai Nangkula atau Sadewa; tokoh satria kembar pada keluarga Pandawa. Tokoh tersebut bercirikan bentuk hidung walimiring, mata liyepan/ gabahan, bermahkota bentuk gelung, kain jarit bentuk bokongan dan kedua kakinya pada posisi jangkahan alus, kedudukan wajah horizontal menghadap lurus kedepan (branyak). Menariknya pengungkapan tokoh-tokoh ini walaupun sepertinya sama namun oleh Wulan disajikan dengan rincian warna ayang berbeda-beda. Tokoh yang ditempatkan di atas pada bagian wajahnya dicat hijau, bermahkota warna jingga dan hijau muda; pada bokongan cenderung dicat dengan nada warna coklat. Kehadiran tokoh tersebut tampak sempurna mengesankan ungkapan yang lancar, serta ekspresi bentuknya menampilkan tokoh yang cerdas sebagaimana karakter yang dimiliki oleh tokoh Nangkula. Ungkapan pada tokoh kedua yang ada pada bagian depan bawah wajahnya dicat abu-abu tua dengan mahkota kuning dan gelung abu-abu muda. Bagian badannya dicat hijau, serta pada bokongan diberi warna cenderung nada warna merah keunguan dengan aksen warna jingga dan hijau muda. Tokoh satria ini tampil dengan bentuk muka agak sembab/tembam sehingga keseluruhan bentuk tersebut tampak lebih gemuk dari pada tokoh pertama. Pada tokoh ketiga bagian muka dicat warna hijau muda demikian pula pada bagian mahkota dan gelung dicat dengan nada warna hijau pula. Pada bagian badan dicat dengan 225
226
warna jingga, serta pada bagian bokongan dicat cenderung kearah nada warna panas, dengan kombinasi warna merah, merah hati dan prada kuning emas. Ungkapan bentuk dan warna yang digunakan untuk mengungkapkan tokoh-tokoh tersebut menunjukkan keceriaan sebagai karaktristik ungkapan gambar anak-anak dengan interpretasinya yang subjektif. Pada
bagian
latar
gambar
tersebut
diberi
ornamen
hias
yang
merepresentasikan kesuburan lingkungan dengan aneka tumbuh-tumbuhan yang disajikan dalam bentuk yang distilasi, serta isian pengisi pada bidang-bidang kosong dibubuhkan spot-spot warna emas dari bahan krayon, sehingga tampilan gambar tersebut tampak glamor dan eksklusif. Penguasasaan ruang gambar pada karya ini tampak sempurna, mengekspresikan sebuah karya hasil kerja yang optimal, dan sungguh-sungguh. Kesan keseluruhan dari gambar tersebut tampak menggairahkan, menghibur, penuh optimistis, merefleksikan besarnya relasi integrasi antar subjek kreatornya dengan lingkungan kulturnya. Ungkapannya involutif, rinci, ngrawit, jlimet, sebagaimana karakteristik ungkapan estetis pada kultur Jawa.
7.5. Analisis Gambar Wayang Buatan Anak-anak Jika muncul sebuah asumsi bahwa anak-anak pada kehidupannya saat ini telah tidak lagi mengenal kesenian serta budaya tradisinya, barangkali asumsi tersebut dapat dipatahkan, terbukti dalam penelitian ini diperoleh data bahwa anak-anak yang hidup pada suatu masyarakat yang relatif masih perduli terhadap pelestarian nilai-nilai tradisi, masih menujukkan hubungan yang begitu dekat
226
227
antara dirinya dengan kesenian yang dihormati dalam kehidupan masyarakatnya. Indikator kedekatan tersebut dapat dijelaskan dari: 7.5.1 Pemahaman anak-anak terhadap karakteristik bentuk wayang. Melalui data yang diperoleh dapat disampaikan bahwa hampir seluruh anak Kelas VI S D. Siti Sulaechah Mayangsari - Kalipancur dalam mengungkapkan tokoh-tokoh wayang yang diinginkan melalui gambar dapat teridentifikasi dengan baik. Dari sejumlah 12 gambar Bima/ Werkudara yang dibuat oleh anak-anak tersebut seluruhnya mampu mencitrakan karakter Bima yang diidealkan dalam perspektik budaya Jawa. Dengan ciri-ciri, gagah, santun, pemberani, berpihak kepada kebenaran; adalah menjadi ciri nilai yang tersirat dari perbentukan tokoh tersebut. Ungkapan gambar tersebut hampir tidak ada yang sama persis antara gambar satu dengan yang lain, masing-masing menunjukkan ciri ungkapan yang saling berbeda sesuai dengan kemampuan dan orientasi berpikir mereka masing-masing; namun dibalik perbedaan tersebut nampaknya mereka masih diikat oleh persamaan-persamaan persepsi dalam menafsir ciri-ciri keseniannya. Unsur kesamaan menafsir nilai-nilai budaya yang melingkungi kehidupan anak-anak inilah, sesungguhnya menjadi indikator bahwa pikiran dan emosi mereka masih tertambat pada kebudayaan yang dianutnya. Kesamaan menafsir karakteristik tokoh tersebut dapat dilihat pula bagaimana mereka menghadirkan tokoh Gathotkaca yang gagah berani, Arjuna yang tampan dan halus budi, raksasa yang jahat, dan para Punakawan yang lucu. Melalui data yang diperoleh di lapangan sungguh bahwa anak-anak masih cukup paham dan
227
228
kenal dengan baik terhadap tokoh-tokoh wayang tersebut. Dan dari hasil wawancara dalam bentuk tanya jawab dengan mereka dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka relatif cukup banyak mengenal tokoh-tokoh wayang. Proses pengenalan tersebut antara lain melalui pengkondisian yang dilakukan oleh guru, melalui Mata Pelajaran Bahasa Jawa, dimana anak harus memiliki buku Pepak Basa Jawa; yang di dalamnya banyak mengenalkan tokoh-tokoh wayang.
7.5.2. Penguasaan detail anatomi dan atribut wayang Dari sejumlah data yang dikumpulkan hampir 75% ungkapan gambar mereka mampu menghadirkan rincian atribut serta anatomi bentuk organ-organ tubuh wayang; hampir mendekati pencitraan yang diidealkan oleh masyarakatnya. Rincian detail yang membedakan antara tokoh satu dengan yang lain pada dasarnya dapat ditengarai dari (1) Bentuk wajah yang meliputi karakteristik bentuk hidung, mulut, mata serta kemiringan wajah. (2) Bentuk mahkota: gelung, topong, gelung ukel, kucir dll. (3) Bentuk Praba, untuk menggambarkan tokohtokoh tertentu seperti Kresna dan Gathotkaca. (4) Bentuk dodot, rampekan atau bokongan (5) Bentuk gelang dan kelat bahu, serta atribut yang lain.
7.5.3. Proporsi Gambar dengan bidang Kertas Ungkapan gambar wayang buatan anak-anak tersebut sebagian besar menunjukkan perbandingan yang cukup proporsional. Di beberapa ungkapan
228
229
gambar yang proporsinya relatif kecil dibanding bidang kertasnya, anak-anak telah melalukan solusi cerdar dengan menyertakan ornamen tertentu, baik yang difungsikan sebagai representasi dari setting tertentu atau sekedar hiasan tepi serta spot-spot pengisi bidang kosong. Dengan demikian dapat dirasakan bahwa sesungguhnya walaupun gambar tersebut tampak kecil namun sebenarnya ia telah bekerja menguasai seluruh ruang atau bidang kertas yang dihadapinya. Hampir di atas 70% anak-anak tersebut memiliki ungkapan bentuk gambar yang relatif besar. Hal demikian menunjukkan refleksi superioritas terhadap pengakuan atas kebudayaan tradisinya yang digunakan sebagai acuan dalam perilaku kehidupannya. Dari ungkapan ekspresi yang demikian menjadi indikator bahwa mereka masih memiliki kebanggaan terhadap kesenian tradisinya.
7.5.4. Kelancaran Ungkapan Garis Refleksi dari dimilikinya kedekatan anak dengan wayang salah satu indikatornya adalah dimilikinya rasa percaya diri ketika mereka menyatakan ungkapannya dalam bentuk gambar terhadap tokoh wayang yang dikehendaki. Ungkapan rasa percaya diri tersebut pada dasarnya dapat ditengarai dari kelancaran ungkapan garis yang digunakan untuk membangun bentuk tokoh yang diinginkan. Dari data yang diperoleh pada dasarnya hampir 75% anak-anak tersebut mengungkapkan garisnya dengan spontan, tegas, lancar, dan pasti. Dengan penggunaan alat spidol untuk menyatakan garis, menjadi sarana yang relatif gampang untuk menengarai apakah anak tersebut dapat bekerja dengan lancar atau tersendat. Pada kenyataan ternyata dijumpai rata-rata mereka tidak
229
230
menemui hambatan yang berarti dalam penguasaan media tersebut, dan garis-garis yang dihadirkan dapat digunakan mengalir lancar sebagaimana yang diharapkan.
7.5.5 Ungkapan Gambar Anak Sebagai Tanda Ungkapan gambar anak pada dasarnya dapat menjadi sebuah teks yang dapat dibaca sebagai sebuah tanda (signifier) dan menjadi sebuah petanda (signified) tertentu. (Lihat Pradopo, 1987:121) Sebagai sebuah tanda ungkapan gambar tersebut dapat berfungsi, sebagai ikon, indeks, dan simbol. Yang dimaksud dengan fungsi tersebut hubungannya dengan ungkapan gambar anak dapat dijelaskan sebagai berikut:
7.5.5.1 Ungkapan Gambar Sebagai Ikon Yang dimaksud ikon sebagai tanda yaitu tanda yang digunakan untuk menandai suatu gejala tersebut memiliki hubungan bentuk atau asosiasi tertentu dengan gejala yang ditandai. Kedudukan ungkapan gambar anak-anak yang dibuat oleh para Siwa SD Siti Sulaechah ini mengamati proses yang mereka lakukan pada dasarnya langkah awalnya didorong oleh keinginan menjadikan gambarnya seperti gambar yang dicontoh atau yang diinginkan. Keinginan meniru bentuk dengan gejala yang diamati tersebut sesungguhnya dapat dipahami bahwa ungkapan gambar tersebut sebagai ikon. Dengan pertimbangan yang demikian maka dapat dikenali bahwa gambar-gambar tersebut menyajikan ikon yang dapat dikenali tokoh-tokohnya dan dapat diidentifikasi sesuai dengan ciri-ciri yang
230
231
dikenali pada pencitraan yang sebenarnya. Sebagai ikon dapat dikatakan bahwa ungkapan gambar anak-anak tersebut cukup berhasil, barangkali prosentasinya relatif kecil ungkapan mereka yang relatif sulit untuk diidentifikasi sebagai ikon tokoh tertentu .
231
232
Gambar : 81 Gambar tokoh wayang yang agak sulit dapat diidentifikasi menggambarkan tokoh tertentu dalam perpektif wayang klasik
Ikon yang disenangi oleh anak, pada dasarnya dapat diurutkan sebagai berikut: Bima/Werkudara, Arjuna/Janaka/ Gathotkaca, Kresna, Puntadewa, dan Punakawan. Alasan yang muncul mengapa mereka memilih tokoh-tokoh tersebut
232
233
pada dasarnya didasari rasa senang terhadap tokoh tersebut. Ada sebagian diantara mereka yang mengidentikan tokoh tersebut dengan dirinya (khususnya tokoh Bima, dan Gathotkaca). Dan berkaitan dengan hal tersebut mereka merasa senang dan cocok memilih tokoh-tokoh tersebut untuk digambar, sehingga sebagian besar tidak memilih tokoh-tokoh jahat.
7.5.5.2 Ungkapan Gambar Sebagai Indeks. Yang dimaksud dengan indeks yaitu tanda yang mewaliki keseluruhan gejala yang ditandai. Fungsi ungkapan gambar anak-anak tersebut sebagai indeks dapat dijelaskan bahwa: (1) Pemilihan tokoh-tokoh yang berwatak baik, pada ungkapan gambar mereka dalam prosentase yang cukup besar, dapat menjadi indeks bahwa mereka masih berpikir selektif terhadap sekian banyak alternatif tokoh yang dapat mereka gambar. Anak-anak masih memiliki kedekatan dengan tokoh-tokoh yang menjadi idolanya. Tokoh-tokoh yang diidolakan oleh mereka itupun ternyata masih relefan dengan pilihan yang diidealkan oleh budayanya. Anak-anak masih dapat memahami dan dapat membedakan dengan baik mana tokoh yang patut diteladani dan mana tokoh yang harus disingkiri.
(2) Kerincian ungkapan gambar anak-anak dalam menyatakan tokoh-tokoh pilihannya, khususnya dalam menempatkan atribut dan asesori dalam gambarnya menunjukkan tingkat keunikan yang cukup tinggi. Hal demikian menjadi
233
234
indikator bahwa ungkapan estetis mereka masih menunjukkan gejala involutif serta kecenderungan ungkapan yang berkarakter alus. Dari gejala tersebut maka dapat dipahami jika ungkapan gambar anak-anak ini dapat berfungsi sebagai indeks bahwa ungkapan estetis mereka masih sejalan dengan ungkapan estetis dalam budaya Jawa yang diidealkan.
(3) Ungkapan gambar buatan anak-anak ini pada dasarnya dapat difungsikan sebagai indeks mewakili gejala pada kondisi sosial yang sama. Jika anak-anak hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbudaya Jawa, dan para anggota masyarakat tersebut masih memiliki kepedulian terhadap upaya pelestarian dan pewarisan nilai-nilai tradisinya, atau dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat tersebut proses inkulturasi budaya tersebut masih berjalan cukup baik; ternyata ungkapan estetis mereka masih kental merefleksikan karakter budayanya itu. Dengan begitu maka pada gilirannya perilaku kehidupan merekapun masih kental mengekspresikan nilai-nilai kejawaan.
7.5.5.3. Ungkapan gambar anak berfungsi sebagai simbol Yang dimaksud dengan simbol yaitu, tanda yang digunakan untuk menandai suatu gejala tertentu; dimana penggunaan tanda tersebut dilakukan secara abitrary, atau manasuka. Dikarenakan ungkapan gambar anak-anak tersebut dibuat dalam kerangka pewacanaan seni yang bersifat tradisional maka sifat manasuka
tersebut
diikat
oleh
konvensi
234
dalam
kehidupan
kelompok
235
masyarakatnya. Kelompok masyarakat itulah yang menentukan bentuk tandanya dan yang menentukan makna dari tanda tersebut. Pada dasarnya kehadiran bentuk sosok tokoh wayang adalah representasi simbol dari karakter tertentu. Secara garis besar terdapat dikotomi karakter yang disimbolkan dalam wayang, yaitu karakter baik dan buruk, atau halus dan kasar. Pada ungkapan gambar wayang buatan anak-anak, perbedaan karakter baik dan buruk itu pada dasarnya hanya dibedakan dari bentuk wajah, khususnya anatomi mulut; dinyatakan dengan bentuk membuka atau menutup. Jika anatomi mulutnya membuka dan betaring berarti tokoh itu jahat (terkecuali tokoh Punakawan), dan jika anatomi mulutnya menutup berarti tokoh itu termasuk tokoh baik.
235
236
Gambar : 82 Perbedaan anatomi bentuk mulut pada gambar tokoh wayang Untuk membedakan tokoh baik dan buruk
Sementara ungkapan warna pada gambar wayang mereka, fungsi warna sebagai simbol sangat bersifat abritrery yang personal, atau sangat subjektif. Sehingga jika dipahami ungkapan warna tersebut sebagai simbol keterkaitannya dengan convensi yang digunakan oleh kelompok masyarakatnya maka agak sulit untuk dikategorisasikan. Kehadiran warna yang digunakan oleh anak-anak dalam gambar wayangnya lebih bersifat sebagai ungkapan ekspresi yang bebas, anakanak tidak membebankan pada maksud simbol tertentu, atau berorientasi pada pengungkapan karakter tertentu. Simbol yang digunakan oleh anak-anak pada ungkapan gambarnya tersebut, masih menggunakan simbol yang digunakan oleh orang dewasa pada kelompok masyarakatnya. Pemahaman dan penggunaan simbol tersebut masih cukup dipahami oleh anak-anak, dengan begitu dapat disimpulkan bahwa anak-anak ini
236
237
benar-benar masih menjadi bagian integral dari kehidupan lingkungannya, baik secara fisik maupun kultural. Simbol-simbol visual yang biasa digunakan untuk menyatakan kebutuhan berekspresi kelompok masyarakatnya, masih dapat dipahami, dikenali, dan digunakan oleh mereka secara baik.
7.6. Interpretasi Anak-anak Terhadap Gambar Wayangnya. Pengamatan peneliti terhadap proses kegiatan menggambar yang dilaksanakan oleh Guru pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa kegiatan pelatihan tersebut dapat berjalan efektif, sesuai harapan. Materi yang diajarkan mendapat respons yang antosias dari para Siswa. Tingkat antosiasme terhadap kegiatan tersebut indikatornya dapat dilihat pada: (1) Ekspresi kegembiraan anak-anak ketika hendak memulai melakukan kegiatan menggambar. (2) Tingkat keseriusan anak-anak pada saat melakukan kegiatan (3) Efisiensi waktu yang mereka gunakan untuk melaksanakan kegiatan menggambar (4) Ungkapan bentuk gambar yang cenderung besar dan sebagian besar menunjukkan adanya usaha untuk menjadikan gambarnya dibuat rinci dan ornamentis. (5).Hasil gambar mereka menunjukkan hasil kerja yang perfektif.
7.7. Tingkat Pengetahuan Anak Terhadap Wayang
237
238
Ketika anak-anak diminta untuk merekontruksi pikirannya terhadap gambar yang telah mereka buat, melalui beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh Guru, perihal yang berkaitan dengan pemahaman mereka terhadap tokoh wayang yang mereka gambar; pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa: Pada dasarnya anak-anak masih relatif mengenali nama-nama tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, dan relatif mampu mengidentifikasi karakter beberapa tokoh tertentu dalam wayang. Dapat diidentifikasi ketika Guru menanyakan tentang watak beberapa tokoh wayang secara terbuka, diperoleh jawaban sebagai berikut: (1) Werkudara, mereka menyebutkan ciri-ciri: kuat, hebat, bagus, dan suaranya besar. (2) Gathotkaca, mereka menyebutkan ciri-ciri: gagah, ngganteng/ bagus, gesit, berani, pakaiannya banyak. Bisa terbang. (3) Arjuna, mereka menyebutkan ciri-ciri: bagus, sederhana, tenang, gerakannya pelan, sakti. (4) Kresna, mereka menyebutkan ciri-ciri: raja, dinamis, pakaiannya banyak, dan berani. (5) Semar, mereka menyebut ciri-ciri: lucu, tua, gendut, berjalannya pelan. (6) Petruk, mereka menyebutkan ciri-ciri: lucu, hidungnya panjang, jangkung, kepalanya berkucir, dan sederhana. (7) Buta Cakil, mereka menyebut ciri-ciri: Jahat, mukanya buruk, suka mengganggu orang lain. (8) Ketika Guru menyampaikan pertanyaan berkaitan dengan perbedaan ciri-ciri tokoh wayang tersebut, pada dasarnya Anak-anak masih mengalami kesulitan
238
239
membedakan tokoh wayang yang bentuknya hampir sama, sebagai contoh antara Arjuna dengan Nakula, Gathotkaca dengan Boma, tokoh Putren satu dengan yang lain, dll. (9) Nilai halus dan kasar atau baik dan buruk pada wayang masih di persepsikan oleh anak dengan dikotomi satria dan raksasa. Dan ciri-ciri yang menandai sifat satria dan raksasa pada bentuk wayang dipersepsikan oleh anak dengan pembeda semata mata dari bentuk mulut, jika satria bentuk mulutnya mingkem, dan raksasa bentuk mulutnya mangap (10) Anak-anak relatif belum memahami kedudukan/posisi tokoh wayang dalam gambarnya, apakah tokoh tersebut harus menghadap ke kanan atau ke kiri; berkaitan dengan makna simbolisnya. Beberapa di antara mereka menyajikan gambar tokoh Bima yang seharusnya menghadap ke kiri tetapi digambar menghadap ke kanan. Sebaliknya beberapa tokoh jahat yang mestinya digambar menghadap ke kanan justru digambar menghadap ke kiri. (11) Sebagian besar dari mereka relatif kurang memahami rincian atribut yang ada pada tokoh wayang, penangkapan karakteristik bentuk masih bersifat global, namun diantara mereka ada yang berupaya untuk mengisinya dengan berbagai ornamen., menjadikan gambarnya tampak rumit dan unik.
239
240
Gambar : 83 Tokoh wayang Bima digambar menghadap ke kanan
BAB 8 PENUTUP 240
241
8.1. Kesimpulan Dari pembahasan hasil penelitihan dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 8.1.1 Pada dasarnya lingkungan kehidupan suatu masyarakat baik yang bersifat fisik maupun non fisik akan berpengaruh besar bagi perilaku budaya anggotanya, sebab hubungan manusia dengan lingkungannya tersebut akan terjalin menjadi sebuah sistem yang integral dan saling mempengaruhi. Pernyataan demikian dapat dipahami manakala kita mengamati hasil gambar wayang buatan anak-anak Siswa SD Islam Siti Sulaechah Semarang. Keberadaan para Siswa yang belajar di Sekolah Dasar tersebut berada dalam medan sosial masyarakat yang masih kuat mempertahankan tradisi budaya Jawa, melalui berbagai upaya proses enkulturasi nilai tradisi tersebut dilakukan baik melalui lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Akibat atmosfer lingkungan yang relatif kondusif bagi penanaman nilai-nilai budaya tradisi tersebut, pengaruhnya terasa besar bagi perilaku dan kebutuhan berekspresi estetis bagi anak-anak. Proses enkulturasi nilai budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat Mayangsari dan sekitarnya pada dasarnya dapat berjalan secara alamiah, artinya proses tersebut mengalir bersama perkembangan waktu, terjadi dalam lingkungan kehidupan keluarga, sekolah dan masyarakat. Berdasarkan kajian data di lapangan pada dasarnya hampir semua para orang tua yang tinggal di wilayah tersebut menghendaki anak-anak mereka memiliki perangai yang halus, sopan, dan hormat terhadap orang tua, mereka masih berkeinginan untuk membingkai perilaku anak241
242
anak mereka dengan kebudayaan Jawa. Atas dasar dorongan kebutuhan sosial yang demikian maka komitmen mereka untuk tetap menghidupkan tradisi Jawa melalui ritual-ritual yang mentradisi dalam kehidupan mereka begitu besar. Salah satu tradisi ritual yang diselenggarakan setiap tahun adalah kegiatan apitan, yang ditandai dengan pergelaran wayang kulit. 8.1.2. Faktor yang mempengaruhi proses enkulturasi nilai budaya tradisi di wilayah Mayangsari dan sekitarnya, pada dasarnya terdapat faktor penghambat dan faktor pendukung. Sebagai faktor penghambat yaitu, adanya tarik menarik kepentingan antara budaya desa (tradisional) dengan budaya kota (modern). Mengingat kampung Mayangsari dan sekitarnya walaupun masih memiliki karakteristik sebagai masyarakat pedesaan namun karena berada di wilayah kota Semarang yang demikian pesat menawarkan perubahan-perubahan, maka tak dapat terelakkan akan berpengaruh besar pada orientasi kehidupan masyarakat termasuk para anak-anak. Pengaruh nilai-nilai baru terhadap nilai lama tersebut dapat ditengarai dari munculnya kecenderungan terbentuknya gaya hidup yang cenderung: praktis, instan, materialistis, mengikuti mode, massa dan cenderung indifidual; demikian pula cita rasa estetis mereka akan gampang terseret pada kecenderungan karya seni ‘Kitch’. Faktor lain yang dirasakan menjadi penghambat bagi proses enkulturasi nilai tradisi dalam kehidupan mereka adalah akibat gencarnya arus informasi khususnya yang ditawarkan melalui media televisi. Anak-anak di wilayah tersebut rata-rata menghabiskan waktu lebih dari 4 jam di depan televisi. Pada dasarnya para orang tua sadar dan menangkap banyak sisi negatif dari tayangan televisi
242
243
bagi perkembangan anak-anak mereka, namun alih-alih mereka rata-rata memiliki ketakberdayaan untuk mencari solusinya, mengingat kedudukan televisi dalam setiap rumah tangga dalam masyarakat tersebut senantiasa menjadi sentral ketika mereka telah usai melaksanakan kegiatan bekerja atau sekolah. Kedudukan televisi menjadi sumber orientasi terjadinya perubahan, dengan demikian maka bisa dipahami jika segala upaya yang telah demikian gigih dilakukan oleh anggota masyarakat untuk membumikan nilai-nilai tradisi tersebut dalam kehidupan anakanak, namun pada kenyataannya usaha tersebut belum sebanding untuk melawan gencarnya arus perubahan yang ditawarkan oleh media masa televisi. Adapun faktor pendukung bagi proses enkulturasi nilai tradisi Jawa dalam kehidupan masyarakat di wilayah Mayangsari dan sekitarnya adalah, masih dimilikinya kesetiaan yang relatif baik para orang tua di wilayah tersebut terhadap kebudayaan tradisinya. Indikator kesetiaan tersebut paling tidak dapat dilihat dari berbagai kegiatan ritual yang mereka selenggarakan sebagai ekspresi kebutuhan sosialnya. Masih dimilikinya ikatan sosial yang baik dalam kehidupan masyarakat, sehingga keberadaan mereka menjadi sebuah keluarga besar yang masih memiliki hubungan emosional yang cukup baik untuk sama-saama mentaati konvensi yang mengatur kehidupan mereka. Masih dimilikinya jaringan sosial yang kuat antara warga masyarakat Mayangsari dengan masyarakat disekitarnya, yang sama-sama memiliki kaerakteristik sosial yang relatif sama, dan orientasi nilai-nilai kehidupan ideal yang relatif sama. Mereka memikul permasalahan sosial secara bersama-sama dalam kelompok masyarakat yang relatif besar. Sekolah tempat anak-anak belajar masih memiliki kesetiaan untuk menanamkan
243
244
nilai-nilai luhur kebudayaan mereka, khususnya dalam memelihara kesantunan, termasuk di dalamnya adalah diajarkannya bahasa Jawa dengan segala aspek kebudayaannya sebagai muatan kurikulum. Sikap religiusitas masyarakat ( Kristen-Jawa, Islam-Jawa), dalam mencapai nilai harmoni beserta nilai-nilai yang diidealkan dalam kehidupan religi mereka, pada dasarnya dapat berjalan sejajar dengan nilai-nilai kulturalnya. Ungkapan gambar wayang buatan anak-anak di wilayah tersebut masih cukup kental dapat dirasakan tingkat kedekatan ungkapan gambar mereka dengan esensi kebudayaan yang menjadi acuannya. 8.1.3 Anak-anak masih bisa mengidentifikasi karakter tokoh-tokoh wayang melalui gambar-gambar wayang buatan mereka. Walaupun ungkapan gambar mereka masih cenderung pada penguasaan raut tokoh, namun tingkat identifikasinya terhadap tokoh yang dikehendaki masih memiliki kedekatan bentuk. Pada umumnya terdapat upaya untuk melakukan elaborasi pada ungkapan gambar mereka, elaborasi tersebut terlihat pada kecenderungan pembuatan rincian-rincian ornamen untuk mengisi bidang yang dikehendaki, sehingga gambar menjadi terkesan penuh, rumit, ngrawit, sebagaimana kecenderungan ciri yang ada pada estetika Jawa. Dari ungkapan yang masih cenderung menangkap bentuk raut tokoh secara global tersebut, pada dasarnya ungkapan gambar anakanak belum mampu menguasai
karakteristik atribut masing-masing tokoh;
sebagai salah satu ciri yang membedakan tokoh satu dengan tokoh yang lain. Isian ornamen sebagai atribut masih ditafsirkan dengan sesukanya, tidak sebagaimana ketentuan yang semestinya.
244
245
Ungkapan garis pada gambar wayang buatan mereka tampak lancar dan cenderung emosional, sehingga kemungkinan terjadinya distorsi bentuk sangat besar. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat pada usia anak-anak tersebut potensi emosinya cenderung masih lebih dominan ketimbang pikirannya. Tokoh wayang yang banyak dipilih sebagai subjek dalam ungkapan gambar anak-anak cenderung memilih tokoh yang berkarakter baik dan lucu ( Satria dan Punakawan ), dan masih ada di antara mereka yang berimajinasi dengan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang digambarnya; dengan begitu bisa dipahami jika relatif sedikit di antara mereka yang membuat gambar tokoh Raksasa, karena berkonotasi jahat.
8.2. Saran-saran Pada kenyataannya masyarakat termasuk di dalamnya anak-anak membutuhkan sekali adanya ruang publik yang relatif banyak sebagai wadah kegiatan berekspresi dan berapresiasi terhadap seni tradisional. Dengan demikian sangat diperlukan uluran tangan berbagai pihak khususnya pemerintah Kota Semarang untuk dapat merealisir hal tersebut. Disisi lain pembinaan terhadap potensi seni tradisi, agar eksistensinya mampu menjadi ekspresi estetis yang membanggakan dan dapat dekat dengan kebutuhan estetis anak-anak menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk dapat dirumuskan oleh berbagai pihak yang berkepentingan; agar seni tradisi tersebut dapat diakui dan hidup subur ‘di rumahnya sendiri ‘.
245
246
8.2.1. Diperlukan upaya intensif oleh berbagai pihak untuk membumikan kesenian wayang agar dekat dengan masyarakat khususnya anak-anak, mengingat jenis kesenian tersebut telah menjadi identitas diri dan sumber nilai kultural bagi kehidupan masyarakat yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa. Berbagai upaya yang dapat disarankan untuk dapat dilakukan antara lain : 8.2.1.1 Melaksanakan Pentas wayang secara rutin di beberapa ruang publik yang ada di Kota Semarang (Balai Kota, pusat-pusat perbelanjaan,
dll} dengan
demikian diperlukan regulasi untuk mengatur hal tersebut agar para pemilik kapital pusat-pusat perbelanjaan di Kota Semarang, serta para pengusaha potensial di Kota Semarang ini memiliki kepedulian terhadap upaya pelestarian budaya tradisi. 8.2.1.2 Memasyarakatkan penyelenggaraan lomba bercerita wayang pada berbagai acara penting yang dapat diselenggarakan oleh berbagai instansi maupun masyarakat. 8.2.1.3 Mentradisikan kegiatan menggambar wayang bagi anak-anak baik dalam kegiatan di lingkungan sekolah maupun di kelompok-kelompok sanggar lukis anak-anak yang demikian banyak ada di kota Semarang. Kegiatan menggambar tersebut dapat berorientasi pada pelestarian maupun penciptaan, dengan demikian media tentang wayang tersebut akan dapat menampung aspirasi kreativitas anakanak saat ini. 8.2.1.4 Memasyarakatkan lomba menggambar wayang bagi para siswa di segala lapisan pendidikan. pada saat peringatan hari-hari penting nasional.
246
247
8.2.1.5 Pengkaderan dalang-dalang cilik melalui pendidikan non formal, Barangkali hal tersebut dapat direalisir dengan diprakarsai oleh Pemerintah Kota Semarang bekerja sama dengan pusat-pusat studi budaya Jawa yang ada di Semarang ( Swagotra atau Permadani, dll.) Menghidupkan image tentang relasi antara Semarang dengan potensi pedalangan nampaknya tidak keliru sebab dimasa lalu Semarang pernah memiliki dalang kondang yaitu Ki. Nartosabdo, Terobosan ini barangkali akan menjadi langkah taktis dalam rangka mengembalikan kecintaan masyarakat khususnya anak-anak pada kesenian wayang yang menjadi miliknya.
8.2.2. Kegiatan pergelaran kesenian wayang yang ada di Kota Semarang baik yang bersifat insidental maupun periodik semestinya dapat di inventarisir oleh dinas terkait, untuk kemudian dapat dituang sebagai agenda kegiatan seni budaya kota Semarang, yang dapat
disosialisasikan melalui berbagai media masa,
sehingga dapat diketahui publik sekaligus dapat menjadi agenda wisata untuk ‘dijual’.
8.2.3 Diperlukan kerja sama berbagai pihak, khususnya sekolah-sekolah dan berbagai instansi pemerintah untuk menghidupkan eksistensi kesenian wayang orang Ngesthi Pandhawa. Bentuk kerja sama tersebut dapat dirumuskan dengan cara melakukan kegiatan ‘nonton bareng’ bersama-sama seluruh anggota yang ada di masing-masing instansi tersebut. Barangkali hanya dengan cara ini masyarakat dapat memberikan konstribusi yang sesungguhnya bagi pelestarian kelompok
247
248
kesenian tersebut. Di sisi lain kegiatan ‘nonton bareng’ tersebut dapat pula dijadikan sebagai materi pembelajaran atau sumber kajian bagi mata pelajaran tertentu oleh para siswa.
8.2.4 Penerapan pendidikan nilai-nilai tradisi budaya Jawa kepada para Siswa di sekolah pada dasarnya tidak harus menunggu munculnya Mata Pelajaran Budi Pekerti, atau hanya melalui mata pelajaran tertentu yang eksplisit memberikan materi pendidikan itu, namun pendidikan nilai-nilai tersebut sesungguhnya dapat diintegrasikan melalui mata pelajaran apa saja yang
setiap saat dapat
dikondisikan oleh para guru. Menanamkan kesadaran untuk senantiasa berperilaku: jujur, adil, sopan, rukun, hormat, eling lan waspada, tliti tlaten lan titen, tememen, dll. bisa melalui mata pelajaran apa saja; dengan demimikian nilai-nilai tersebut akan dapat terimplementasi dalam seluruh aspek kegiatan yang dilakukannya. 8.2.5. Para orang tua perlu melakukan tindakan preventif dengan bemberikan batasan kepada para anak-anaknya dalam melihat tayangan televisi, baik yang menyangkut pengaturan waktu maupun jenis tayangan yang ditontonnya. Hal yang cukup penting adalah memberikan perhatian dengan memberikan kesibukan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Salah satu kebutuhan penting bagi anak-anak adalah kebutuhan bermain dan berinteraksi sosial, Penyediaan sarana, serta pemfasilitasan bagi kebutuhan tersebut agar dapat sesuai dengan kebutuhan anak-anak, sangat dibutuhkan campur tangan peran para orang tua.
248
249
DAFTAR PUSTAKA
249
250
Carey, Peter. 1986. Ekologi Kebudayaan Jawa & Kitab Kedung Kebo. Pustaka Aset. Jakarta. Cut Kamaril. 2005. Pendidikan Seni Rupa/ Kerajinan Tangan. UT. Jakarta Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Cakrawala. Tangerang. Haryanto S. 1991. Seni Kriya Wayang Kulit. Pt. Temprint. Jakarta Handayani, Chistina S dan Novianto, Ardhian. 2004. Kuasa Wanita Jawa. LkiS. Yogyakarta Hasan, Fuad. 2004. Pengaruh Fenomenologi Dan Eksistensialisme Terhadap Perkembangan Psikoanalisa Eksistensialisme Dan Daseinsanalyse. http//www.iaccp.org Hardjowirogo, Marbangun. 1983. Manusia Jawa. Yayasan Idayu. Jakarta Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia. (Terjemahan Soedarsono ). Arti Line. Bandung. Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Sinar Haraapan. Jakarta. Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta Magnis Suseno, Franz. 1996. Etika Jawa. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Misiak, Henryk & Sexton, Staudt Virginia. 1988. Psikologi Fenomenologi Eksistensial Dan Humanistik, Suatu Survai Historis. (Terjemahan, Koeswara, E). PT. Eresco. Bandung Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. PT. Gramedia. Jakarta. Mulyana, Dedy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Mulyono, Sri. 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Gunung Agung. Jakarta. 227
Miles, B & Hubberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. (Terjemahan, Rohidi, TR.) UI Press. Jakarta. 250
251
Paku Buwana IV. Wulang Reh. Indah Jaya. Solo Pidarta, M. 1997. Landasan Kependidikan. Rineka Cipta. Jakarta. Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi, Gajah Mada University Press. Yogyakarta Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. STISI Bandung Press. Bandung. ………………………………. 1993. Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Disertasi. UI. Jakarta Sastrasadargo, R Ng. Jangka Ronggowarsito. Sadoe Boedi. Solo Soetopo, HB. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. UNS. Surakarta ……………. 1994. Kritik Seni Holistik Sebagai Pendekatan Dalam Penelitian Pendidikan Seni. Dalam Seminar Nasional Pendekatan-Pendekatan Dalam Penelitian dan Pendidikan Seni. IKIP Semarang. Semarang. Smith, Ralph A, 1989. The Sense Of Art, A Study in Aesthetic Education. Routledge. New York. Sujamto, 1992. Refleksi Budaya Jawa. Dahara Prize. Semarang Suparlan, Parsudi. 1980. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Perspektif Antropologi Budaya. Dalam Seminar Manusia Dalam Keserasian Lingkungan. PSLUI. Jakarta. Timur, Sunarto. 1990. Falsafah Wayang Dalang dan Penonton, dalam Gatra . Jakarta Triyanto, 1990. Studi Tentang Aspek Estetis Dan Simbolis Seni Ornamen Masjid Di Jawa Tengah. Laporan hasil penelitian belum terpublikasi . Van Peursen, CA. 1995. Strategi Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta
251
252
INSTRUMEN WAWANCARA 1.
Wawancara dengan Kepala keluarga Dengan
bahasa
apakah
komunikasi
antar
para
anggota
keluarga ? Nilai-nilai
budaya
yang
bagaimanakah
yang
senantiasa
ditanamkan pada anak.? Bagaimanakah pola kepemimpinan dijalankan dalam mendidik anak-anak.? Pribadi anak-anak yang bagaimanakah yang diidealkan oleh para orang tua.? Apakah kesenian wayang masih menjadi subjek perhatian bagi pemenuhan kebutuhan etis dan estetis mereka.? Apakah di dalam tata laksana rumahtangga terdapat unsur wayang.? Adakah tokoh wayang yang diideal dalam kehidupan mereka.? Dengan cara apasajakah para orang tua mendekatkan kesenian wayang dalam kehidupan anak-anak.? Apakah mereka masih mengenal tokoh-tokoh wayang.? Apakah mereka masih mengenal beberapa cerita pewayangan.? Bagaimana tanggapan mereka jika anak-anak
tidak lagi
mengenal wayang ? Jenis hiburan apasajakah yang paling disuka anggota keluarga ? Berapa jam anak-anak menonton teve.? Siaran teve apakah yang paling disukai anggota keluarga.? Apakah para orang tua melalukan pendampingan saat anakanak menonton teve ? Permainan jenis apakah yang disukai anak-anak.? 252
253
Pernahkah para orang tua mengarahkan anak-anak mereka menonton wayang. ? Faktor-faktor apasajakah yang mempengarughi kemudahan dan kesulitan bagi para orang tua dalam menanamkan nilai bagi anak-anaknya. ? 2.
Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Dengan bahasa apakah para warga masyarakat berkomunikasi
dalam keseharian.? Masihkah gotong royong menjadi kebutuhan
warga dalam
tanggung jawab sosial mereka? Bagaimanakah Implementasi gotong royong dalam kehidupan keseharian. ? Nilai-nilai budaya ideal apasajakah yang diharapkan tertanam dalam kehidupan warga/ termasuk anak-anak.? Siapa sajakah yang di anggap sebagai figur panutan dalam masyarakat ? Bagaimanakah seharusnya
figur tokoh masyarakat berperan
dalam proses penanaman nilai budaya dalam masyarakat ? Bentuk kegiatan menanamkan
apasajakah yang mereka lakukan untuk nilai-nilai
budaya
ideal
yang
mereka
harapkan.? Kondisi masyarakat yang seperti apakah yang diidealkan oleh mereka.? Dengan cara apasajakah mereka bisa memenuhi tuntutan kebutuhan hidup mereka, baik secara material maupun imaterial ? Jenis kesenian apasajakah yang di sukai oleh para warga masyarakat.?
253
254
Apakah kesenian wayang masih berperan dalam kehidupan mereka ? Bagaimana implementasi peran kesenian wayang tersebut dalam kehidupan mereka.? Pernahkah menyelenggarakan pementasan wayang ? Bagaimana respon masyarakat terhadap pentas kesenian wayang yang diselenggarakan ? Faktor-faktor
apa
sajakah
yang
menghambat
dan
mempermudah bagi penanamkan nilai-nilai luhur kepada anak-anak di masyarakat ? 3.
Wawancara dengan Para Guru dan Kepala Sekolah Bagaimanakah pandangan mereka tentang nilai budaya ideal yang seharusnya ditanamkan pada anak-anak ? Melalui kegiatan apa sajakah yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam menanamkan nilai-nilai luhur tersebut.? Bagaimana respon mereka terhadap kewajiban menerapan mata pelajaran Bahasa Jawa di sekolah.? Bagaimanakah
Efektivitas
pelajaran
Bahasa
Jawa
bagi
pembentukan sikap berbudaya Jawa. ? Bagaimanakah integralitas proses penanaman nilai budaya luhur pada Siswa.? Apakah wayang pernah dijadikan sebagai subject matter dalam pelajaran, dan bagaimana implementasinya.? Faktor-faktor
apasajakah yang mendorong dan menghambat
proses penanaman nilai luhur dalam kehidupan di sekolah.?
INSTRUMEN OBSERVASI 1
Di Lingkungan Keluarga 254
255
1.1 Pengamatan terhadap proses komunikasi dan interaksi antara anak-anak dengan anggota keluarga yang lain 1.2 Pengamatan terhadap perilaku anak-anak di rumah 1.3 Pengamatan terhadap tata laksana rumah tangga 1.4 Pengamatan terhadap kegiatan bermain anak-anak 1.5 Pengamatan
terhadap
barang-barang
yang
dekat
dengan
kegiatan bermain anak-anak 2
Di lingkungan Masyarakat
2.1 Pengamatan terhadap interaksi sosial 2.2 Pengamatan terhadap berbagai kelompok kegiatan kesenian dan sosial di masyarakat 2.3 Pengamatan terhadap berbagai aktivitas kesenian dan sosial yang bersifat insidental 2.4 Pengamatan terhadap berbagai aktivitas kesenian dan sosial yang bersifat periodik 2.4.1 Kenduri kampung ( bentuk, respon massa/ interaksi anak dengan yang lain) 2.4.2 Pentas
Tujuhbelasan
(
struktur
acara,
respon
publik
terhadap keseluruhan acara ) 2.4.3 Pagelaran apitan /wayangan ( Medan pagelaran, respon anak-anak/ anggota masyarakat, Struktur pementasan ) 4.
Di lingkungan Sekolah Pengamatan terhadap sarana dan prasarana sekolah Pengamatan terhadap tata laksana kelas Pengamatan terhadap perilaku siswa di sekolah Pengamatan terhadap proses interaksi antar siswa, antar guru, dan antar siswa dengan guru.
255
256
Pengamatan
terhadap
proses
kegiatan
pembelajaran
menggambar wayang di kelas Pengamaatan terhadap kegiatan guru membuka pelajaran Pengamatan terhadap kegiatan guru menanamkan apresiasi tentang wayang Pengamatanterhadap kegiatan guru memberikan instruksi kepada siswa Pengamatan terhadap kegiatan proses saat siswa menggambar Pengamatan terhadap hasil akhir gambar wayang yang dibuat oleh para siswa
HASIL WAWANCARA 1. 1.1
Wawancara dengan Kepala keluarga Dengan
bahasa
apakah
komunikasi
keseharian
para
anggota keluarga ? Jawab: Bahasa Jawa (ngoko diselingi krama, dan sesekali dengan bahasa Indonesia), Sebagian besar para orang tua menginginkan anak-anaknya dapat berkomunikasi keseharian dengan bahasa Jawa yang benar 1.2
Nilai-nilai budaya
yang bagaimanakah yang senantiasa
ditanamkan pada anak ? Jawab: sholeh lan sholechah,
Jujur, hormat, rukun, ora nakal,
gelem prehatin, ora boros, ngerti tata krama, seneng bantu wong tuwa dll. 1.3
Bagaimana pola kepemimpinan dijalankan dalam mendidik anak-anak.?
Jawab: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Bentakan, diberikan
pada
marah serta larangan, masih sering
anak-anak.
Mereka 256
menganggap
anak-anak
257
sekarang pada kecenderungan lebih susah diatur (lebih nakal). Para orang tua menginginkan anak-anak bisa nurut wong tuwa, ora karebe dhewe. 1.4
Pribadi anak-anak yang bagaimanakah yang diidealkan oleh para orang tua.?
Jawab: Menjadi anak yang manut wong tuwa, ora nakal, menghormati orang tua, pinter, sholeh dan sholechah, 1.5 Apakah kesenian wayang masih menjadi subjek perhatian bagi pemenuhan kebutuhan etis dan estetis mereka.? Jawab: Sebagian besar mengatakan masih. Pencitraan wayang sebagai simbol karakter manusia masih menjadi simbol orientasi. 1.6
Apakah di dalam tata laksana rumahtangga terdapat unsur wayang.?
Jawab:
Ada
beberapa
keluarga
yang
kedapatan
masih
menggunakan wayang/gambar wayang sebagai bagian dari interior rumah tangga, dan sebagian besar menyatakan ingin sekali memiliki wayang/gambar wayang sebagai bagian interior namun merasa belum memiliki kesempatan 1.7
Adakah tokoh wayang yang diideal dalam kehidupan mereka.?
Jawab: Ada. Tokoh-tokoh wayang yang diidealkan antara lain: Bima,
Arjuna,
Kresna,
Hanoman,
dan
para
punakawan;
khususnya Semar. 1.8 Dengan cara apasajakah para orang tua mendekatkan kesenian wayang dalam kehidupan anak-anak. Jawab:
Sebagian
menyatakan
mengajak
anaknya
menonton
wayang. Sebagian menyatakan menonton dari tayangan teve, dan ada yang menyatakan sesekali bercerita pada anak tentang kisahkisah pewayangan, dan sebagian ada juga yang merasa tidak peduli.
257
258
1.9
Apakah mereka masih mengenal tokoh-tokoh wayang.?
Jawab: Masih, khususnya tokoh-tokoh terkenal (para Pandhawa, para Punakawan, sebagian tokoh Kurawa ), tidak cukup mampu untuk bisa membedakan tokoh Putren. 1.10 Apakah
mereka
masih
mengenal
beberapa
cerita
pewayangan.? Jawab: Relatif masih untuk beberapa cerita yang populer dalam Braratayuda. 1.11 Bagaimana tanggapan mereka jika anak-anak mereka tidak lagi mengenal wayang ? Jawab: Sebagian besar merasa menyayangkan, namun ada juga yang tidak begitu peduli 1.12 Jenis hiburan apa yang paling disuka mereka ? Jawab: Musik: Campursari, Ndangdut, Pop, Karawitan. Untuk musik perhelatan khususnya saat
acara perkawinan mereka
memilih spesial musik karawitan. Tari: tari Jawa. Pertunjukan: masih memvaforitkan kesenian wayang. Seni rupa: Tulisan kaligrafi arab. Gambar pemandangan, dan sebagian memilih wayang 1.13 Berapa jam anak-anak menonton teve.? Jawab: Berkisar antara 3 sampai 4 jam tiap hari 1.14 Siaran
teve
apasajakah
yang
paling
disukai
anggota
keluarga.? Jawab: Cerita parodi, Sinetron/ film, musik, dan berita. 1.15 Apakah para orang tua melalukan pendampingan saat anak-anak menonton teve? Jawab: Kadang-kadang. 1.16 Permainan jenis apakah yang disukai anak-anak.? Jawab: Untuk anak-anak laki-laki cenderung memilih permainan olah raga. Sebagian menyatakan menyukai berbagai bentuk Vidio-
258
259
game, Para anak-anak perempuan cenderung masih banyak yang bermain menirukan aktivitas para orang tua (pasaran, memasak, mengasuh anak dll); maasih sering dijumpai para anak-anak mereka bermain dengan sambil berdendang dengan lagu-lagu yang mereka akrabi. 1.17 Pernahkah para orang tua mengarahkan anak-anak mereka menonton wayang. ? Jawab: Pernah 1.18 Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kemudahan
dan
kesulitan bagi para orang tua dalam menanamkan nilai luhur bagi anak-anaknya.? Jawab: Faktor kemudahan: anak-anak masih relatif nurut, hubungan antara anak dengan orang tua sangat dekat (saling ketergantungan), serta dukungan dari lingkungan eksternalnya sangat besar untuk bersama-saama dapat menjaga/ mendidik anak-anak. Sedangkan faktor kesulitannya, dirasakan karena adanya pengaruh teve yang kadang cenderung negatif, dan para orang tua merasa kurang ada waktu untuk bisa bersama anakanak di rumah. 2.
Wawancara dengan Tokoh Masyarakat
2.1
Dengan
bahasa
apakah
para
warga
masyarakat
berkomunikasi dalam keseharian. ? Jawab:
Bahasa
Jawa,
namun
sebagian
kecil
ada
yang
menggunakan Bahasa Indonesia. 2.2
Masihkah gotong royong menjadi kebutuhan
warga
dalam tanggung jawab sosial Jawab: Masih. Gotong royong sebagai ungkapan rasa ingin memberi dan menerima dalam lingkup kecil antar keluarga, khususnya dalam mengatasi kesulitan dalam hidup keseharian
259
260
masing-masing. Gotong royong dalam pengertian gugur-gunung untuk mengatasi masalah lingkungan fisik yang diselenggarakan secara periodik pada hari libur. Dan Gotong royong dalam mengatasi beban sosial ketika akan menyelenggarakan kegiatan dalam bentuk kebersamaan, (iuran, kerja bakti). 2.3
Bagaimana Implementasi gotong royong dalam kehidupan keseharian.?
Jawab: Kerja bakti mengatasi persoalan lingkungan fisik, berbagai bentuk iuran untuk pembiayaan kegiatan bersama, pemberian perhatian untuk saling memberi dan menerima antar keluarga, 2.4
Nilai-nilai
budaya
ideal
apasajakah
yang
diharapkan
tertanam dalam kehidupan warga/ termasuk anak-anak. Jawab: Rukun, ngajeni liyan, tresna budayane dhewe 2.5
Siapa sajakah yang di anggap sebagai figur panutan dalam masyarakat ?
Jawab:
Para
tokoh
agama
(Kyai,
Ustad),
Guru,
Pimpinan
pemerintahan, dan para tokoh masyarakat. 2.6
Bagaimanakah
berperan
dalam
seharusnya proses
figur
penanaman
tokoh nilai
masyarakat
budaya
dalam
masyarakat ? Jawab: Diharapkan perilakunya dapat dicontoh (menjadi suritauladan) bagi anggota masyarakat yang lain, termasuk para anak-anak. Memiliki kepedulian untuk tetap dapat menjaga kelestarian nilai-nilai tradisi, melalui berbagai kegiatan yang dapat dilakukan. 2.7
Bentuk kegiatan
apasajakah yang mereka lakukan untuk
menanamkan nilai-nilai budaya ideal yang mereka harapkan.? Jawab: Interaksi sosial keseharian, ceramah-ceramah keagamaan, pertemuan warga baik insidental maupun periodik, melalui berbagai ritual tradisional.
260
261
2.8
Kondisi masyarakat yang seperti apakah yang diidealkan oleh mereka.
Jawab: rukun, tentrem, makmur 2.9
Dengan cara apasajakah mereka bisa memenuhi tuntutan kebutuhan hidup mereka, baik secara material maupun immaterial ?
Jawab:
Bekerja,
komitmen
berinteraksi
sosial
secara
baik,
mentaati
dalam hidup kebersamaan, berkesenian, membentuk
kelompok-kelompok kesenian/ sosial sebagai wahana penyaluran ekspresi. 2.10 Jenis kesenian apasajakah yang di sukai oleh para warga masyarakat.? Jawab: Wayang, Kethoprak, Pertunjukan musik 2.11 Apakah kesenian wayang masih berperan dalam kehidupan mereka Jawab: Masih. Wayang masih digunakan sebagai simbol orientasi dalam bersikap dan berperilaku. 2.12 Bagaimana implementasi peran kesenian wayang tersebut dalam kehidupan mereka.? Jawab: Wayang masih digunakan sebagai orientasi simbol. Untuk menyuruh agar anak-anak mereka berperilaku sopan/halus, mereka mengandaikan dengan perilaku tokoh Arjuna, dan sifat gagah dengan tokoh Bima. Dan jika mereka mendapati anaknya kurangajar, mereka menyebutnya sebagai perilaku Buta Cakil. 2.13 Pernahkah menyelenggarakan pementasan wayang Jawab:
Penyelenggaraan
pementasan
wayang
dilaksanakan
sebagai tanggung jawab bersama, setiap tahun sekali tepat pada bulan Apit. 2.14 Bagaimana respon masyarakat terhadap pentas kesenian wayang yang diselenggarakan ?
261
262
Jawab:
Mereka
sangat
terhibur,
dan
merasakan
tanggungjawabnya sebagai kelompok masyarakat dalam berperan serta mentradisikan nilai-nilai kebudayaan Jawa tersebut telah dapat terpenuhi. Setelah selesai menyelenggarakan kegiatan tersebut seakan-akan mereka merasakan masuk pada situasi baru, dengan spirit baru, dan dengan semangat baru bahwa kehidupan esok akan menjadi lebih baik. 2.15 Faktor-faktor
apa
sajakah
yang
menghambat
dan
mempermudah bagi penanamkan nilai-nilai luhur kepada anakanak di masyarakat ? Jawab: Faktor penghambat: Biaya untuk menggelar pertunjukan wayang relatif mahal. Benturan dengan nilai baru yang ditawarkan oleh berbagai masmedia terasa begitu deras tak sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang mampu mereka selenggarakan. Kehidupan anak-anak
sekarang
dirasakan
telah
menjadi
sangat
individualistis, menyempitnya ruang gerak sosialisasi akibat pengaruh Handpone. Ragam kehidupan yang menawarkan nilai baru sebagai karakteristik kehidupan kota yang lebih bersifat liberal, konsumtif, sekuler, teerasa demikian besar. Faktor Pendukung: Soliditas masyarakat hingga saat ini masih demikian besar untuk memikul tanggungjawab bersama dalam melaksanakan
ritual-ritual
yang
telah
disepakati
dalam
masyarakat. Lingkungan kehidupan sosial yang agamis dengan kesadaran keagamaan
hidup mereka
multikulturalistik telah
menjadi
Kresten/Katolik yang Jawani ).
yang Islam
baik.
(perilaku
yang
Jawani,
Sikap homoginitas sebagai
karakteristik masyarakat tradisional Jawa, yang berkebudayaan Jawa. 3
Wawancara dengan Para Guru dan Kepala Sekolah
262
263
3.1
Bagaimana pandangan mereka tentang nilai budaya ideal
yang seharusnya ditanamkan pada anak-anak ? Jawab: Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip antara nilai-nilai luhur kejawaan dengan nilai luhur yang Islamik. Penanaman nilai luhur yang dilaksanakan di sekolah dalam rangka membentuk pribadi anak yang sholeh dan sholechah, agar anak memiliki kecerdasan, ketrampilan, berbudi pekerti luhur, dan bertagwa kepada Allah SWT. 3.2
Melalui kegiatan apa sajakah yang dapat dilakukan oleh
sekolah dalam menanamkan nilai-nilai luhur tersebut.? Jawab: Melalui kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas. Pelaksanaan penanaman nilai-nilai luhur terintegrasi dengan pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran apa saja. Khususnya dalam pelajaran Baahasa Jawa dan Kewarganegaraan. Kegiatan di luar kelas sekolah bertanggung jawab mengkondisikan agar iklim berinteraksi
seluruh
civitas
akademik
di
sekolah
tersebut
terkendali dalam hubungan interaksi yang menjunjung nilai-nilai kesantunan. Posisi Guru sebagai pemegang hidden kurikulum sangat penting, dengan demikian setiap guru dituntut untuk dapat berperan aktif baik di dalam maupun di luar kelas. 3.3
Bagaimana respon mereka terhadap kewajiban menerapan
mata pelajaran Bahasa Jawa di sekolah.? Jawab: Pada dasarnya menyambut baik, walaupun dengan konsekwensi para guru harus belajar lagi untuk mendalami materi pelajaran tersebut. 3.4
Efektivitas pelajaran Bahasa Jawa bagi pembentukan sikap berbudaya Jawa.?
Jawab: Dengan adanya pelajaran Bahasa Jawa paling tidak ada wadah untuk pembinaan secara langsung bagi anak-anak untuk dapat dididik bertatakrama Jawa. Dalam pelaksanaan pelajaran
263
264
tersebut
sebisa
mungkin
para
guru
menggunakan
bahasa
pengantar bahasa Jawa Krama kepada para Siswa. Tingkat efektivitas pelajaran bahasa Jawa tersebut bagi pembentukan sikap berbudaya Jawa, masih diperlukan dukungan variabel lain yang integratif 3.5
Integralitas proses penanaman nilai budaya luhur pada Siswa.?
Jawab: Proses penanaman nilai-nilai luhur di sekolah terintegrasi dalam setiap interaksi antara guru dengan siswa baik di dalam maupun di luar kelas; serta baik yang terprogram melalui kurikulum
secara
tertulis
kurikulum,
khususnya
maupun
yang
kesuritauladanan
bersifat
guru
hidden
yang
selalu
dituntut mampu berdiri sebagai cermin dari tata nilai-nilai luhur tersebut. 3.6
Apakah wayang pernah dijadikan sebagai subject matter
dalam pelajaran, dan bagaimana implementasinya.? Jawab: Pernah, khususnya dalam pengembangan materi pelajaran Bahasa Jawa. Mata pelajaran Agama, PKN, dan KPDL; untuk mata pelajaran lain belum. 3.7
Faktor-faktor apasajakah yang mendorong dan menghambat
proses penanaman nilai luhur dalam kehidupan di sekolah.? Jawab: Faktor penghambat: Pada dasarnya tidak dirasakan adanya hambatan yang berarti. Faktor pendukung: Suport dari para orang tua siswa demikian besar, sehingga fihak sekolah merasa tertantang untuk mengemban amanat tersebut agar para siswa menjadi anak yang bermoral dan berperilaku baik.
INSTRUMEN OBSERVASI
264
265
1. Di Lingkungan Keluarga Pengamatan terhadap proses komunikasi dan interaksi antara anak-anak dengan anggota keluarga yang lain Pengamatan terhadap perilaku anak-anak di rumah Pengamatan terhadap tata laksana rumah tangga Pengamatan terhadap kegiatan bermain anak-anak Pengamatan
terhadap
barang-barang
yang
dekat
dengan
kegiatan bermain anak-anak 2.
Di lingkungan Masyarakat Pengamatan terhadap interaksi sosial Pengamatan terhadap berbagai kelompok kegiatan kesenian
dan sosial di masyarakat Pengamatan terhadap berbagai aktivitas kesenian dan sosial yang bersifat insidental Pengamatan terhadap berbagai aktivitas kesenian dan sosial yang bersifat periodik Kenduri kampung ( bentuk, respon massa/ interaksi anak dengan yang lain) Pentas Tujuhbelasan ( struktur acara, respon publik terhadap keseluruhan acara ) Pagelaran apitan /wayangan ( Medan pagelaran, respon anakanak/ anggota masyarakat, Struktur pementasan ) 3.
Di lingkungan Sekolah Pengamatan terhadap sarana dan prasarana sekolah Pengamatan terhadap tata laksana kelas Pengamatan terhadap perilaku siswa di sekolah Pengamatan terhadap proses interaksi antar siswa, antar guru,
dan antar siswa dengan guru.
265
266
Pengamatan
terhadap
proses
pembelajaran
menggambar
wayang di kelas Pengamaatan terhadap kegiatan guru membuka pelajaran Pengamatan terhadap kegiatan guru menanamkan apresiasi tentang wayang kepada Siswa Pengamatan
terhadap
kegiatan
guru
dalam
memberikan
instruksi kepada siswa Pengamatan terhadap kegiatan proses menggambar siswa. Pengamatan terhadap hasil akhir gambar wayang yang dibuat oleh para siswa
266
267
BIO DATA
Nama
: Purwanto
NIM.
: 2001501024
NIP.
: 130915703
TTL.
: Klaten, 1 Januari 1959
Alamat Rumah
: Kalipancur Rt: 01/ II Ngaliyan Semarang
Telpon
: (024) 76631256
Pekerjaan
: Dosen
Jurusan
: Seni Rupa FBS- UNNES
Pangkat/ Gol.
: Pembina/ IV a
Jabatan
: Lektor Kepala
Alamat Kantor
: Kampus Sekaran Gunungpati Semarang
Telpon
: (024) 8508073
Riwayat Pendidikan: 1. Lulus SD Wedi Klaten
: Tahun 1970
2. Lulus SMP N 3 Klaten
: Tahun 1973
3. Lulus SPG N Ngawi
: Tahun 1976
4. Lulus Sarjana Muda IKIP Yogyakarta
: Tahun 1980 267
268
5. Lulus Sarjana Pendidikan IKIP Yogyakarta
: Tahun 1982
6. Lulus Magister Pendidikan Unnes Semarang
: Tahun 2009
268