satu cara penentuan orde sungai dengan menggunakan metode Strahler (1957). Alur hidraulik menunjukkan alur di atas permukaan tanah yang dilalui aliran air yang berasal dari suatu kejadian hujan. Alur hidraulik diukur dari mulai titik jatuh butir hujan hingga titik keluaran DAS. Alur hidraulik dapat berupa cekungan permanen yang teramati secara visual di lapang sehingga dapat dipetakan (alur hidraulik jaringan sungai) maupun alur hidroulik artifisial yang tidak teramati sehingga diasumsikan sebagai alur yang memotong garis kontur, yang terbentuk karena gerakan mengalir dari air akibat gravitasi bumi (alur hidraulik lereng)
Rodriguez-Iturbe dan Valdes (1979) dalam Kartiwa (2002) yang menyatakan bahwa hidrograf satuan dapat diturunkan dari fungsi kerapatan probabilitas (probability density function/PDF) waktu tempuh setiap butir hujan dari titik terjauhnya di permukaan DAS sampai titik pelepasan (outlet). Model H2U menghitung kurva pdf (kerapatan jaringan sungai) butir hujan berdasarkan dua parameter yang dapat dihitung secara mudah pada peta jaringan sungai yaitu n, order sungai maksimum menurut Strahler (Strahler, 1952) dan L rataan, yaitu panjang rata-rata jalur aliran Parameter model H2U merupakan parameter fungsi transfer ditentukan berdasarkan identifikasi peta dan juga studi literatur. Parameter yang meliputi penentuan order sungai maksimum (berdasarkan metode Horton yang dimodifikasi oleh Strahler) dan panjang alur hidraulik dilakukan berdasarkan analisis peta topografi dan jaringan sungai, sedangkan penetapan kecepatan aliran untuk lereng dilakukan berdasarkan studi literatur dan uji trial and error. Model simulasi H2U ini sudah digunakan oleh Budi Kartiwa dalam Pemodelan Debit Berdasarkan Optimasi Parameter Fungsi Produksi, studi kasus DAS Mikro Bunder, Gunung Kidul, Yogyakarta dan Jonsen dalam Pemodelan Hidrograf Mennggunakan Pendekatan Geomorfologi, studi kasus Sub DAS Cicatih-Cimandiri, Kabupaten Sukabumi. Parameter-parameter untuk Sub DAS Cicatih sebagai berikut:
pdf Sub DAS Cicatih (ρDAS) VRH = 2,05m/s; Vv=0,04 m/s; ∆t = 1 jam
0.20 0.18 0.16
ρDAS(t)
0.14 0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Waktu (t) dalam jam
Gambar 3. Kurva pdfDAS waktu tempuh butir hujan di Sub DAS Cicatih PdfDAS menunjukkan waktu yang dibutuhkan butir hujan yang jatuh di titik terjauh permukaan DAS untuk mencapai outlet DAS. Pada Sub DAS Cicatih titik puncak kurva pdf waktu tempuh butir hujan mencapai tiga jam (Jonsen 2006).
Tabel 1. Parameter-parameter Sub DAS Cicatih Parameter Fungsi Alihan Lrataan alur hidraulik jaringan sungai Lmax alur hidraulik jaringan sungai Order sungai maksimum Kecepatan aliran pada jaringan sungai Lrataan alur hidraulik pada lereng Lmax alur hidraulik pada lereng Kecepatan aliran pada lereng
Simbol
Satuan
Nilai
III. METODOLOGI
L
m
17410
Lmax
m
34495
n
-
6
VRH
m/s
2.05
m
307
lmax
m
1764
Vv
m/s
0,04
III.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama bulan Mei-Desember 2006. Pengolahan data dilakukan di Lab. Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB. III.2. Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya adalah : 1. Data curah hujan per jam Kecamatan Ciemas tahun 2000. 2. Data curah hujan harian Sub DAS Cicatih yang di ukur di enam pos pengukur hujan (Cipeundeuy, Ciutara-Cicurug, Sekarwangi,
lo
Sumber: Jonsen 2006 Orde sungai menunjukkan tingkat kerapatan jaringan sungai suatu DAS. Salah
4
14
Cibodas, Cikembang dan Cikembar) tahun 2000. 3. Data debit sungai per jam Sub DAS Cicatih tahun 2000 yang diukur di PLTA Ubrug. Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office 2003
curah hujan dengan batas poligon dibuat menggunakan arc view . Persamaan untuk menentukan curah hujan wilayah sebagai berikut:
R=
A1 R1 + A2 R2 + ... + An Rn A1 + A2 + ... + An
dimana :
R = Curah hujan wilayah (mm) n = jumlah pos pengamatan Rn =curah hujan di tiap pos pengamatan An=luas daerah pengamatan.
III.3. Metode Penelitian 1. Penentuan Curah Hujan Wilayah Penentuan curah hujan wilayah dilakukan dengan menggunakan metode Poligon Thiessen dari enam pos pengamatan
Gambar 4. Peta Plot Stasiun dan Pembagian poligon Sub DAS Cicatih yang sama dengan Sub DAS Cicatih. Dalam penelitian ini digunakan Kecamatan Ciemas, karena hanya di pos pengamatan Ciemas yang memiliki data Curah hujan jam-jaman. Setelah mendapatkan pola curah hujan di kecamatan Ciemas, disagregasi curah hujan wilayah di Sub DAS Cicatih dengan menggunakan asumsi dan cara sebagai berikut:
2. Metode Disagregasi Empirik Untuk input model H2U dibutuhkan data hujan jam-jaman, sedangkan di daerah Sub DAS Cicatih tidak terdapat data hujan jam-jaman oleh karena itu pendugaan curah hujan jam-jaman ditentukan dengan menggunakan metode disagregasi empirik. Metode ini dilakukan dengan cara melihat pola curah hujan di luar daerah kajian yang memiliki karakteristik
5
Gambar 5. Peta Topografi Kabupaten Sukabumi Asumsi : 1. Pola hujan jam-an di Sub DAS Cicatih, dianggap sama dengan pola hujan di pos pengamat hujan Ciemas, dimana letak pos tersebut terlihat pada Gambar 5. 2. Curah hujan yang di sintetis adalah CH > 16 mm, karena di asumsikan bahwa CH < 16 mm tidak menghasilkan limpasan. 3. Awal dan lama terjadinya hujan diambil dari kejadian hujan yang paling sering muncul. Pendugaan curah hujan sesaat (perjam) dilakukan dengan melihat pola curah hujan sesaat pada stasiun yang memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan daerah kajian. a) Plot grafik intensitas dengan waktu terjadinya hujan, setiap kejadian hujan. b) Buat grafik normalized rainfall intensity i’t =
3. Perhitungan Aliran Permukaan Aliran permukaan dihitung menggunakan model H2U. Model H2U terdiri dari model fungsi produksi dan model fungsi alihan. •
Model Fungsi Produksi Fungsi produksi ditetapkan menggunakan koefisien aliran permukaan, dengan rumus sebagai berikut : Kr =
Vr * 1000 S * Pt
dimana: Kr: Koefisien aliran permukaan Vr:Volume aliran permukaan (m3) S : Luas DAS (m2) Pt : Tinggi hujan total dalam satu kejadian hujan (mm) Intensitas hujan netto dapat diperoleh dengan mengalikan antara koefisien aliran limpasan dengan tinggi hujan tiap jamnya, dimana :
i (t ) J
i’ (t) = normalize rainfall intensity J = jeluk hujan i(t) = intensitas hujan c) Curah hujan sintetik ditentukan berdasarkan grafik normal rainfall intensity tersebut dengan mengalikan nilai normalized dan curah hujan wilayah di Sub DAS Cicatih.
Pn (t)= Kr * P(t) Dengan: Pn (t) : Intensitas hujan netto pada waktu t P(t) : Intensitas hujan dalam waktu t •
Model Fungsi Alihan Fungsi alihan dihitung berdasarkan aplikasi model H2U dengan menghitung kurva pdf (probability density functian) butir
6
Q ( t ) = S [Pn ( t ) ⊗ ρ
hujan. Kurva pdf butir hujan untuk studi kasus Sub DAS Cicatih didapat dari hasil penelitian Jonsen yang berjudul “Pemodelan Hidrograf Menggunakan Pendekatan Geomorfologi (Studi Kasus Sub DAS Cicatih)”, dengan rumus sebagai berikut:
ρ
DAS
(t ) = ρ v (t ) ⊗ ρ
RH
DAS
(t ) ]
Q(t) : debit aliran permukaan pada waktu t S : luas DAS Pn(t) : intensitas hujan netto pada waktu t ρ(t) : pdf waktu tempuh butir hujan pada waktu t (dihitung dari pdf panjang alur hidraulik berdasarkan penetapan kecepatan aliran) 8 : simbol konvolusi
(t )
ρDAS(t) :pdf DAS sebagai fungsi waktu t. ρv(t) :pdf lereng sungai sebagai fungsi waktu t. ρRH(t) :pdf jaringan sungai sebagai fungsi Untuk mensimulasi debit digunakan persamaan sebagai berikut :
Tabel 2. Contoh hasil dari pdf DAS dan intensitas hujan netto. t2 t3 ... tn t (jam) t1 pdf DAS (ρDAS(t)) ρ1 ρ2 ρ3 ... ρn Pn (t)(mm/s) Pn1 Pn2 Pn3 ... Pnt Tabel 3. Metode Perhitungan Konvolusi Debit Sungai Debit ke-t Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 ... Qt
Konvolusi
Debit (m3/detik)
Pn1*ρ1*S ((Pn2*ρ1) + (Pn1* ρ2))*S ((Pn3*ρ1) + (Pn2*ρ2) + (Pn3* ρ3))*S ((Pn4*ρ1) + (Pn3*ρ2) + (Pn2* ρ3) + (Pn1*ρ4))*S ((Pn5*ρ1) + (Pn4*ρ2) + (Pn3* ρ3) + (Pn2*ρ4)+(Pn1* ρ3)*S ... Pnt* ρn*S
3. Aliran Dasar (Baseflow) Untuk pendugaan aliran dasar dilakukan dengan menggunakan metode koefisien resesi yang didapat dari pemisahan aliran permukaan dan aliran dasar (teknik pemisahan hidrograf). Teknik pemisahan hidrograf dilakukan untuk memisahkan aliran permukaan (direct runoff) dan aliran dasar (base flow). Metode yang digunakan dalam pemisahan tersebut adalah straight line method (penarikan garis lurus). Analisis dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: • Memplot kurva debit (m3/s) dengan waktu. • Menentukan titik mulai terjadinya aliran permukaan dan waktunya sampai titik berakhirnya melalui ujung kurva yang menurun (recession curve) yang dijabarkan dalam persamaan: Qt = Qo exp (-kt)
•
Qt = titik akhir terjadinya aliran permukaan Qo = titik awal terjadinya aliran permukaan k = konstanta penurunan (recession constant) Untuk mencari nilai k dari persaman kurva resesi, dengan menurunkan persamaan di atas menjadi :
ln Q0 − ln Qt t Masukkan nilai k ke persamaan Qt= k=
• •
7
Qoexp(-kt) diperoleh nilai Qt dan waktunya tt. Tarik garis lurus titik Qo dan Qt diperoleh persaman garis linier hubungan Qo, to, Qt dan tt dengan y = a-bx dimana sumbu y= base flow dan sumbu x= waktu kumulatif
•
F
= koefisien Nash dan Sutcliffe (F ≤ 1; F=1, simulasi sempurna) Qobs(t) = debit pengukuran pada waktu ket (m3/s) Qsim(t) = debit simulasi pada waktu ke- t (m3/s)
Masukan nilai waktu kumultif pada persamaan linier sehingga diperoleh nilai base flow
4. Pengujian Model Untuk mengevaluasi kualitas hasil simulasi, dilakukan uji perbandingan antara debit pengukuran dengan debit simulasi menggunakan koefisien kemiripan F (Nash dan Sutcliffe, 1970): n
F = 1−
∑ (Q
∑ (Q
(t ) − Qsim (t ) )
n
i =1
sim
(t ) − Qobs
= debit pengukuran rata-rata (m3/s)
Hasil uji F dalam simulasi debit dibagi kedalam tiga kriteria, yaitu buruk (F<0,5), sedang (0,5>F<0,7) dan baik (F>0,7).
2
obs
i =1
Qobs
)
2
Curah Hujan
tidak
Penentuan Kejadian Hujan
ya
Model H2U
Hidrograf
Model Baseflow Qt = Qo exp –k*Δt
Pengukuran Debit Sungai tidak
Debit hasil simulasi
Ya
Analisis
Gambar 6. Diagram Alur Penelitian
8
Gunung Salak dan di Sub-sub DAS Ciheulang yang terdapat Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Secara keseluruhan Sub DAS Cicatih merupakan daerah yang datar sampai landai seperti di Sub-sub DAS Cikembar. Sekitar 68 % wilayah ini merupakan wilayah yang datar sampai landai dengan kemiringan 0-20 %. Wilayah yang termasuk kategori sangat curam sekali (>50 %) sekitar 3 % dari keseluruhan wilayah atau 1589 ha.
IV. KEADAAN UMUM DAERAH KAJIAN Sub DAS Cicatih merupakan anak sungai dari DAS Cimandiri. DAS tersebut termasuk daerah Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan terletak antara 106039’8”-106057’30” BT dan 6042’54”7000’43”LS dengan luas 52.979 ha atau 530 km2. Terdiri dari lima sub-sub DAS yaitu Sub-sub DAS Ciheulang, Sub-sub DAS Cileuleuy, Sub-sub DAS Cicatih Hulu, Subsub DAS Cipalasari dan Sub-sub DAS Cikembar. Sub DAS Cicatih meliputi 15 kecamatan, yaitu kecamatan Bojong Genteng, Cantayan, Caringin, Cibadak, Cicurug, Cidahu, Cikembar, Cikidang, Cisaat, Kadudampit, Kalapanunggal, Nagrak, Parakansalak, Parungkuda, dan Warungkiara.
IV.2. Penutupan Lahan Terdapat tujuh tipe penutupan lahan di Sub DAS Cicatih, yaitu hutan, kebun/perkebunan, tegalan, sawah, pemukiman, rumput/tanah kosong, semak belukar, dan tubuh air. (Gambar 6.). Tipe penutupan lahan yang mendominasi wilayah ini adalah kebun/perkebunan yang mencapai 28% dari luasan total atau sekitar 14.720 ha sedangkan tubuh air hanya menempati luasan 9 ha (0,02%). Luas dan persentase penutupan lahan di Sub DAS Cicatih dapat dilihat pada Tabel 5. di bawah ini.
IV.1. Topografi Ketinggian tempat Sub DAS cicatih bervariasi mulai dari 200 meter di atas permukaan laut (mdpl) pada daerah hilir sampai mencapai 3000 mdpl pada daerah hulu di Gunung Pangrango. Sub DAS Cicatih merupakan daerah yang bergununggunung, diselingi dengan dataran atau lembah diantara bukit dan sungai yang mengalir di sela-selanya. Kemiringan lereng daerah Sub DAS Cicatih berrvariasi dari daerah datar sampai sangat curam. Variasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 5. Luas (ha) daerah pada masingmasing tipe penutupan lahan Luas (%) Penutupan Lahan Luas (ha) hutan 7724 14,58 kebun/perkebunan 14765 27,87 pemukiman 6644 12,54 rumput/tanah kosong 185 0,35 sawah 10055 18,98 semak belukar 4355 8,22 tegalan/ladang 9240 17,44 tubuh air 11 0,02 100 Total 52979 Sumber: Jonsen 2006
Tabel 4. Persentase luas lahan pada berbagai kelas kemiringan lereng Luas Luas Kelas Lereng (ha) (%) Datar (0-8%) 23841 45 Landai (8-16%) 12185 23 Agak curam (16-24%) 7947 15 Curam (24-32%) 5298 10 Sangat curam (32-40%) 2119 4 Sangat curam sekali (40-48%) 1589 3 52979 100 Total Sumber: Jonsen 2006
Berdasarkan Gambar 7 daerah hutan berada pada daerah hulu yang mempunyai kelerengan curam sampai sangat curam tepatnya disekitar Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Hanya sebagian kecil hutan yang berada di daerah tengah DAS yaitu yang berada di Gunung Walat. Daerah persawahan sebagian besar berada di wilayah tengah dan hulu DAS yang berada pada daerah dengan kemiringan kurang dari 15%.
Daerah yang sangat curam sekali dengan kemiringan lebih dari 50 % terletak di daerah hulu sungai dimana terdapat
9