Seminar Nasional Otomasi Industri dan Teknologi Informasi 2015 (SNOITI 2015) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia, on October 21-22, 2015
Ragam Teknologi Informasi untuk Revitalisasi Museum Surya Sumpeno, Ahmad Zaini, Moch Muhtadin, Supeno Mardi Susiki Nugroho, Eko Mulyanto Yuniarno, I Ketut Edy Purnama Program Studi S1 Teknik Multimedia Jaringan Pasca Sarjana Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Indonesia
[email protected]
Abstract - Museum sebagai pusat pendidikan sejarah dan budaya nasional sekaligus sebagai tempat penyimpanan koleksi artefak nasional, seharusnya menjadi rujukan dalam mengenal budaya dan sejarah bangsa. Namun, selama ini museum identik dengan suatu area yang sangat serius, tidak menawarkan kesenangan serta keasyikan (joy dan pleasure) dan tempat barang-barang tua tersimpan mirip gudang tua sehingga jauh dari suasana menyenangkan bahkan terkesan membosankan dan suram. Sebagai akibatnya museum semakin dijauhi oleh generasi muda dan tentunya ke depan akan berakibat terkikisnya kelestarian dan kecintaan mereka terhadap budaya dan sejarah bangsa. Teknologi rekonstruksi citra 3D (dimensi tiga) berbasis registrasi citra 3D sebagai teknologi pengolahan citra dijital mampu memberikan nuansa baru dalam pencitraan museum. Teknologi tersebut dapat menghasilkan pemodelan 3D dari artefak koleksi museum sehingga dapat direkontruksi suatu artefak yang sudah tidak utuh, menjadi suatu model virtual 3D yang utuh sebagaimana pada zamannya. Pun citra panoramic sebagai bagian dari teknologi pengolahan citra dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu museum virtual yang dapat menyajikan suasana museum secara utuh dalam kemasan yang bersesuaian. Interaksi alamiah dan penyajian 3D ditambahkan pula sehingga pengalaman eksplorasi museum virtual dari pengguna dapat semakin diperkaya. Kata kunci – HCI, 3D, Museum Virtual, Warisan Budaya, Teknologi Informasi
I. PENDAHULUAN Museum sebagai pusat pendidikan sejarah dan budaya nasional sekaligus sebagai tempat penyimpanan koleksi artefak nasional, seharusnya menjadi rujukan dalam mengenal budaya dan sejarah bangsa. Namun, selama ini museum identik dengan area kuno tempat barang-barang tua tersimpan, sehingga jauh dari suasana menyenangkan, bahkan terkesan membosankan. Sebagai akibatnya, museum semakin dijauhi oleh generasi muda dan ke depan akan berakibat buruk melalui terkikisnya kelestarian dan kecintaan terhadap budaya dan sejarah bangsa. Museum budaya mulai dilupakan masyarakat karena kurangnya informasi yang dapat mempromosikan museum dalam bentuk yang menarik. Padahal museum merupakan media yang paling efektif untuk menggambarkan sejarah, budaya atau hasil karya orang generasi pendahulu. Peran museum sangat penting sebagai penjaga sejarah keberadaban manusia. Menurut hasil survei American Association of Museums (AAM) dalam laporannya[1], menegaskan bahwa masyarakat menganggap museum merupakan tempat informasi yang paling dipercaya, kemudian baru diikuti oleh informasi dari buku dan berita televisi. Oleh karena itu, peran museum tidak dapat digantikan oleh peranan media lain.
Seiring dengan semakin terbukanya informasi pada era globalisasi sekarang ini, masyarakat semakin melupakan kebudayaan leluhur bangsa. Fenomena ini semakin mengkhawatirkan karena dengan semakin terkikisnya apresiasi masyarakat terhadap budaya dan hasil karya leluhur, mengakibatkan semakin rendahnya kesadaran dalam menjaga kebudayaan para pendahulu yang pada akhirnya akan menyebabkan kebudayaan dan hasil karya para pendahulu kita akan hilang secara perlahan-lahan. Indikasi dari semakin berkurangnya kepedulian masyarakat terhadap kebudayaan dan hasil karya para leluhur adalah jumlah kunjungan masyarakat ke museum. Berdasarkan data survei dari Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2009 [2], jumlah pengunjung museum dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Dari semula 4,56 juta pada tahun 2006 turun menjadi 4,17 juta pada tahun 2008. Berbagai usaha sudah dilakukan dalam rangka pelestarian kebudayaan dan hasil karya leluhur. Salah satunya adalah pendirian museum kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta secara mandiri. Museum merupakan tempat menjaga berbagai kebudayaan dan hasil karya leluhur. Museum juga merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan pemahaman dan penanaman nilai-nilai kebudayaan luhur suatu bangsa. Dengan melalui museum, masyarakat dapat mempelajari dan memahami kebudayaan serta nilai-nilai luhur sejarah bangsa di masa lalu yang dapat diterapkan di masa sekarang. Ada beberapa strategi yang direncanakan dari Gerakan Nasional Cinta Museum yang meliputi strategi mereposisi museum dalam menangkap peluang ke depan salah satunya dengan menggunakan Teknologi Informasi (TI), yaitu : Mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi untuk mengelola data dan informasi koleksi, kegiatan museum, mempromosikan atau kampanye (sosialisasi) museum sebagai tempat yang atraktif dan memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Meningkatkan inovasi sistem peragaan koleksi museum yang ditata secara modern tanpa mengabaikan peran pendidikannya, misalnya melalui sentuhan teknologi komputer, presentasi audiovisual, serta pajangan video secara interaktif untuk lebih menarik dan lebih mendidik. Memperkuat data dan informasi terkait dengan koleksi, aktivitas dan promosi kegiatan museum yang dapat diakses
Seminar Nasional Otomasi Industri dan Teknologi Informasi 2015 (SNOITI 2015) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia, on October 21-22, 2015
Gambar 1 Keseluruhan dari sistem museum virtual berbasis Teknologi Informasi
dengan mudah oleh para pemangku kepentingan khususnya masyarakat dan pengunjung. Mengingat pentingnya fungsi museum dalam penggambaran sejarah maka perlu adanya revitalisasi museum. Revitalisasi museum dilakukan dengan membuat media promosi yang menarik sehingga diharapkan dapat menambah rasa ketertarikan untuk berkunjung ke museum. II. MUSEUM VIRTUAL Upaya yang kami lakukan adalah dengan membuat museum maya (virtual museum) yang berbasis web dengan harapan mudah diakses. Museum maya memerlukan data objek museum yang sudah berbentuk maya untuk ditampilkan dalam media web. Objek dalam museum maya menggunakan model dimensi tiga (3D) agar memungkinkan adanya interaksi yang lebih paripurna antara objek museum dengan pengunjung museum maya. Diperlukan adanya metode untuk merekonstruksi objek museum asli dalam bentuk model dimensi tiga, agar diperoleh model dimensi tiga yang akurat dan mirip dengan objek aslinya. Salah satu proses digitalisasi museum adalah dengan cara membuat data digital baik dalam bentuk file gambar maupun multimedia terhadap benda-benda koleksi museum, namun proses ini tidak mampu menyajikan setting lingkungan yang mendukung cerita atau rasa pada koleksi benda museum tersebut. Benda-benda koleksi museum memang sudah tersedia dalam bentuk digital, namun koleksi tersebut seakan kehilangan "ruh"-nya, karena tiadanya dukungan lingkungan dan interaksi yang memadai.
Berdasarkan publikasi American Association of Museums (AAM) [3], digitalisasi koleksi museum dalam bentuk gambar digital dalam kualitas tinggi masih akan menyebabkan benda koleksi museum kehilangan “aura” atau “ruh”, karena benda museum itu akan memiliki “aura” atau “ruh” jika didukung dengan tata-letak, pencahayaan, suasana dan lokasi tempat benda museum itu berada. Digitalisasi gambar benda museum dalam kualitas tinggi hanya mengambil gambar benda koleksi museum saja, namun tidak mampu mendigitalkan lingkungannya. Hal inilah yang ditengarai menyebabkan digitalisasi benda koleksi museum menjadikan benda yang bersangkutan kehilangan "ruh"-nya. Oleh karena itu, selain dilaksanakan proses digitalisasi museum dengan cara melakukan digitalisasi koleksi museum dalam bentuk 3D dengan membawa "aura" koleksi digital tersebut dengan cara melakukan digitalisasi juga pada lingkungan museum tempat benda itu berada melalui panorama 3D dan interaksi yang seolah nyata dengan bendabenda koleksi virtual 3D museum. Dengan memanfaatkan kecanggihan TIK, museum dapat diperkuat posisinya sebagai penjaga hasil kebudayaan dengan cara mempermudah masyarakat akses untuk melihatlihat koleksi museum menggunakan media museum virtual yang dapat diakses secara daring (online). Pemanfaatan model virtual dipercaya dapat meningkatkan nilai edukasi pada revitalisasi peran museum. Model virtual adalah alat kognitif yang memadai dan merupakan media fundamental yang melalui model tersebut seorang pengguna (pelajar, siswa, mahasiswa atau hanya seseorang yang menunjukkan minat yang mendalam akan
Seminar Nasional Otomasi Industri dan Teknologi Informasi 2015 (SNOITI 2015) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia, on October 21-22, 2015
Gambar 2. Pembentukan gambar (video) stereo 3D berbantuan perangkat AutoDesk 3DS
subjek tertentu) dapat berinteraksi dengan model 3D dan agen dalam lingkungan virtual. Teknologi ini dapat diterapkan ke dunia warisan budaya sebagai sarana untuk perlindungan (preservasi), rekonstruksi, dokumentasi, penelitian dan promosi [4]. A. Digitalisasi 3D Koleksi Benda Museum Pada tahapan awal, telah dilakukan digitalisasi benda museum ke dalam bentuk virtual dimensi tiga dengan menggunakan pemindai 3D berbasis metode pencahayaan terstruktur (structured light) [5]–[7]. Proses digitalisasi ini belakangan lebih mudah dan lebih nyaman untuk dilakukan setelah AutoDesk merilis 123D Catch. Sistem yang mampu merekonstruksi benda virtual 3D dari bidikan gambar benda asli ini dapat dilakukan melalui perangkat telepon genggam dan akurasi rekonstruksi benda 3D-nya dapat diterima (acceptable) [8]. Proses digitalisasi ini sangat berguna bagi pihak museum dan bagi penelitian selanjutnya karena dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan karya-karya inovatif lain yang berkenaan dengan cara bagaimana pengunjung dapat melakukan eksplorasi benda museum secara digital. Jika museum mampu mengimbangi kemajuan teknologi yang ada pada masyarakat kemungkinan besar museum tidak akan ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini diakibatkan karena pada umumnya museum merupakan tempat barang/kebudayaan kuno yang menyebabkan persepsi masyarakat bahwa museum juga identik dengan “keterbelakangan teknologi” karena koleksinya yang kuno. Salah satu usaha untuk memodernisasi museum adalah dengan merumuskan museum masa depan [9]. Dengan memanfaatkan teknologi digital media terkini pada museum, diharapkan kesan kuno dari museum dapat dihilangkan. Sebaliknya kesan modern akan tampak dan semakin menarik minat masyarakat dalam mengunjungi museum dan melakukan eksplorasi koleksi benda-benda museum.
B. Museum Virtual Panorama Pada umumnya, media penyampaian informasi tentang museum di Indonesia masih berbentuk dimensi dua seperti poster dan web. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk memperkenalkan sebuah museum dalam bentuk virtual tour. Namun, sampai saat ini visualisasi benda koleksi museum pada virtual tour masih dalam bentuk dimensi dua. Padahal, beberapa koleksi museum tidak cukup divisualisasikan dalam bentuk dimensi dua. Dengan kemampuan teknologi perambah internet yang telah mampu memvisualisasikan objek dimensi tiga dan perkembangan pesat dalam rekonstruksi model dimensi tiga, dimungkinkan menerapkan visualisasi objek dimensi tiga pada virtual tour berbasis web. Ruang museum virtual tempat di mana benda-benda koleksi 3D disimpan, dapat disajikan dalam bentuk panorama. Implementasi populer dari citra panorama 360 dapat ditemukan contohnya di Google Maps, bagian pandangan jalan (Street View) [10]. Lebih jauh lagi, penyajian tidak hanya dalam bentuk citra, tetapi sudah dalam bentuk video. Bentuk mutakhir dari video panorama dan populer adalah video 360. Youtube menyebutnya sebagai Youtube 360. Pengguna penonton akan memperoleh sensasi seakan berada di tempat di mana video Youtube 360 itu diambil. C. Navigasi dan Eksplorasi Secara Alami Inovasi TI yang kami implementasikan dalam museum virtual adalah interaksi berbasis cara alamiah pengguna (natural interaction). Pengguna manusia pada dasarnya lebih menyukai interaksi dengan cara alamiah, seperti berbicara (dan mendengar), menggerakkan tangan untuk melakukan sesuatu pada benda 3D virtual, menggeser-geser, membolak-balik kertas seperti yang dikerjakan di dunia nyata. Dunia virtual pun
Seminar Nasional Otomasi Industri dan Teknologi Informasi 2015 (SNOITI 2015) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia, on October 21-22, 2015
Gambar 3. Pemandangan panoramik yang menjadi latar belakang dari model virtual 3D benda koleksi museum; Mpu Tantular dan museum Trowulan.
dapat dipersepsi oleh pengguna dengan mudah, bila mengadopsi cara-cara mengeksplorasi alam oleh pengguna di dunia nyata. Beberapa teknologi terkait dengan ekshibisi museum virtual [11] ini antara lain VR (Virtual Reality) [12], AR (Augmented Reality) dan Web3D berupa penyajiannya. Teknologi-teknologi ini kemudian digabungkan dengan interaksi alamiah manusia melalui perantaraan beberapa perangkat pengindra seperti Microsoft Kinect, LeapMotion dan Intel RealSense. Peranti besutan Intel yaitu RealSense misalnya, menawarkan kemampuan interaksi dengan bahasa alamiah – dengan konfigurasi default adalah bahasa Inggris--, gerakan tangan, jari jemari dan bahkan senyuman pengguna. Fitur-fitur seperti ini merupakan pertimbangan penting dalam mengembangkan perangkat lunak yang ditujukan untuk menyajikan pengalaman edukasi sekaligus hiburan (edutainment) bagi para siswa-siswa yang rata-rata berusia muda, dalam kisaran usia anak-anak dan belasan tahun. D. Penyajian 3D Stereo Belakangan ini, teknologi penyajian benda virtual 3D yang terlihat 3D oleh mata pengguna populer dengan banyaknya film layar lebar yang dikemas 3D, diputar di bioskop-bioskop berkemampuan tayang 3D. Para penonton mengenakan kacamata khusus untuk menyaksikan tayangan 3D di layar lebar. Sajian 3D memungkinkan objek-objek yang berada di film memiliki kedalaman, objek bisa berada jauh di dalam layar atau seolah berada di luar layar. Efek penyajian 3D yang sama dapat diperoleh benda-benda virtual seperti benda kuno atau benda pusaka, sehingga dapat dirasakan sensasi 3D oleh pengguna atau pengunjung museum. Salah satu keinginan utama pengunjung museum adalah melihat-lihat atau mengeksplorasi dengan seksama sebuah benda langka atau antik. Namun keinginan ini sering kali harus berhadapan dengan beberapa keterbatasan, antara lain, karena kelangkaannya dan begitu berharganya benda peninggalan bersejarah tersebut, maka benda tersebut tidak boleh disentuh dengan tangan dan tidak diizinkan disimpan di ruang terbuka. Benda tersebut kadang mesti diletakkan di tempat terisolasi dengan penutup kaca bening, yang pada prakteknya, akan membatasi eksplorasi dari pengunjung museum. Sajian objek virtual 3D dengan efek 3D akan memberikan keleluasaan lebih bagi pengunjung untuk dapat mengeksplorasi
secara lebih jauh benda bersejarah tersebut dalam bentuk virtual dan secara visual. Lebih bagus lagi dan bernilai lebih [13], apabila eksplorasi benda virtual 3D tersebut dapat dilakukan dengan cara alamiah, seperti menggeser benda atau memutarnya, menggunakan gestur gerak jemari atau tangan, lalu pengguna bebas mengamatinya dari berbagai macam sudut [14] D. Sistem Museum Virtual Keseluruhan Keseluruhan sistem museum virtual yang dirancang ditunjukkan pada Gambar 1. Benda-benda koleksi museum didigitalkan melalui bantuan perangkat pemindai 3D. Benda-benda virtual 3D ini dapat ditempatkan di web dalam sebuah tur virtual panoramik. Navigasi atau eksplorasi ruang museum virtual dapat dilakukan dengan cara biasa yaitu menggunakan keyboard atau mouse. Cara lain adalah menggunakan peranti pengindra seperti LeapMotion yang dengannya pengguna dapat menggerakkan jari jemarinya untuk mengeksplorasi benda virtual 3D. Pilihan penyajian 3D yang tersedia dan sudah kami coba implementasikan yaitu Google CardBoard, video 3D hasil render objek virtual koleksi museum yang menghasilkan gambar dan video stereo SBS (Side-By-Side). Secara umum alur diagram mulai dari akuisisi gambar benda nyata dan pembentukan model virtual 3D sampai dengan penyajian gambar atau video stereo dapat dilihat pada Gambar 2. Pembentukan gambar (video) stereo 3D berbantuan perangkat AutoDesk 3DS. Gambar atau video stereo ini dapat ditayangkan atau diputar dengan penyaji khusus 3D. Secara ringkas, pilihan penyajian 3D adalah sebagai berikut: Penyajian menggunakan telepon pintar berbasis sistem operasi Android dan Google cardboard serta interaksinya Penyajian 3D menggunakan layar monitor biasa dengan kacamata anaglyph (filter merah dan biru) Penyajian 3D menggunakan layar monitor stereo pasif dengan kacamata polarisasi NVIDIA 3DVision. Penyajian 3D menggunakan layar monitor stereo aktif dengan kacamata aktif (active shutter) NVIDIA 3DVision. III. IMPLEMENTASI & DISKUSI Digitalisasi 3D dari benda-benda koleksi museum dilakukan menggunakan dua sistem pemindai, yaitu pemindai berbasis
Seminar Nasional Otomasi Industri dan Teknologi Informasi 2015 (SNOITI 2015) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia, on October 21-22, 2015
pola cahaya terstruktur dan sistem yang disediakan oleh AutoDesk 123D Catch berbasis banyak citra objek yang ditangkap oleh kamera digital berupa bidikan gambar kamera telepon genggam. Alat yang digunakan adalah mesin pemindai dimensi tiga Mephisto CX yang terdiri dari tiga komponen utama antara lain berupa proyektor DLP (Digital Light Processing) untuk memproyeksikan cahaya strip berpola pada objek yang direkonstruksi, firewire kamera AVT yang akan menangkap citra hasil proyeksi cahaya strip berpola pada benda dan menentukan point cloud permukaan model berdasarkan metode cahaya strip berpola, dan kamera DSLR (Digital Single Lens Reflex) sebagai penangkap tekstur dari benda yang dipindai. Pengambilan data dilakukan dengan pemindaian benda koleksi menggunakan mesin pemindai dimensi tiga yang sudah dikalibrasi. Output tahapan pengambilan data berupa kumpulan data hasil pindaian permukaan model arca berupa awan titik (point cloud). Awan titik ini kemudian akan diikat satu sama lain membentuk kumpulan mesh, yang nantinya dibungkus dengan tekstur sehingga penampilan akhirnya serupa dengan benda aslinya. Untuk pembentukan model 3D yang bagus serupa dengan aslinya, kumpulan mesh ini perlu ditata (align) dan disambungkan. Bagian-bagian yang luput dari pemindaian, akan membentuk celah, lubang, yang perlu diisi dengan algoritma pengisian celah. Pekerjaan untuk mewujudkan model 3D virtual berkualitas bagus dari rekonstruksi benda asli ini dilakukan secara manual dan memakan waktu dengan ketrampilan pekerja pemodel yang mesti mumpuni. Kerja manual dan tingkat ketrampilan pekerja pemodelan 3D ini banyak dikurangi, ketika memanfaatkan Autodesk 123D Catch. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memotret benda nyata menggunakan kamera dengan cara berputar 360 derajat mengelilingi benda tersebut. Makin detail foto makin baik.
(a) (b) Gambar 4. Model virtual 3D (b) merupakan hasil dari citra benda nyata (a) (yang ditampilkan adalah salah satu citra pengambilan) Setelah selesai mengambil foto 360, unggah foto-foto tersebut melalui menu yang disediakan Autodesk 123D Catch yang akan segera mengkonversi foto-foto benda nyata tersebut menjadi model virtual 3D berbantuan komputasi awan (cloud computing) milik Autodesk. Setelah pekerjaan dari komputasi awan selesai, software 123D Catch ini akan segera mengunduh model virtual 3D yang sudah berhasil dibuat. Perangkat lunak aplikasi 123D Catch telah tersedia di Apple Store untuk IPhone dan PlayStore untuk telepon pintar berbasis Android. Contoh hasil pemodelan virtual 3D oleh AutoDesk 123D Catch dapat dilihat pada Gambar 4. Model virtual 3D yang telah dihasilkan dapat dimasukkan ke sebuah perangkat penyaji. Di antara beberapa teknik
penyajian objek model virtual 3D dari benda nyata koleksi museum, salah satunya adalah melalui teknik Augmented Reality (AR) berbasis platform Vuforia [15] di dalam sebuah game engine 3D Unity, yang populer dipakai dalam pemodelan 3D dalam sebuah lingkungan yang memungkinkan interaksi dan mampu berjalan di atas perangkat keras tablet, telepon pintar ataupun PC. Penyajian menggunakan AR yang berbasis penanda dapat dilakukan dengan menempatkan stiker penanda, berupa kode QR (Quick Response) dua dimensi di area di mana sebuah benda koleksi museum relevan untuk diletakkan. Dengan mensimulasikan objek virtual 3D di layar, mendampingi benda nyata koleksi museum (yang mungkin saja tidak boleh disentuh apalagi diputar) sedangkan objek virtual 3D setara ini dapat diamati dan diputar dengan bebas, maka pengalaman eksplorasi pengunjung museum menjadi lebih luas, tidak amat dibatasi. Efek-efek tertentu dapat ditambahkan, sehingga menambah unsur dramatis dari penyajian objek virtual 3D itu, alih-alih patung atau arca yang mati dan diam. Pencahayaan yang berbeda, efek gemerlap dapat memperkaya cara penyajian, alihalih hanya mengandalkan penyajian fisik semata yang lebih terbatas.
Gambar 5.Kode QR dan penyaji 3D model arca virtual berbasis AR
Kode QR dapat dicetak ke atas stiker kertas yang kemudian dapat ditempelkan di sebuah nampan misalnya atau benda mirip penunjang lain. Posisi patung akan tergantung pada orientasi dan penempatan kode QR. Untuk memutar model virtual 3D, pengguna dapat memutar nampan, sehingga kode QR berputar dan objek model arca virtual yang terpasang melekat pada kode QR akan ikut berputar mengikuti putaran nampan. Alternatif lain, arca bisa langsung diputar beranimasi pelan, walaupun nampan tidak diputar, namun posisi arca tetap di atas benda penyangga atau nampan tersebut seperti terlihat pada Gambar 5. Selain AR, VR (Virtual Reality) dengan kemampuan penyaji 3D kami implementasikan menggunakan Google Cardboard. Berbekal perangkat telepon genggam berbasis Android dengan layar yang cukup besar –namun tidak boleh terlampau besar, semisal 10”– pengguna dapat membuktikan kemampuan aplikasi yang dikembangkan dengan Google Cardboard SDK. Jenis interaksi yang didukung antara lain (1) saklar magnetik geser; (2) instant gaze (3) dwelling gaze; (4) jungkir (tilt); dan (5) kendali eksternal [16]. Pengguna seakan berada di dalam ruang museum virtual dengan sensasi 3D, lalu dapat menavigasi ruang, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan menengok kiri kanan, lalu memilih pintu tujuan. Pengguna dapat melihat model virtual 3D dalam jarak yang dekat. Keuntungan biaya dari pemanfaatan
Seminar Nasional Otomasi Industri dan Teknologi Informasi 2015 (SNOITI 2015) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia, on October 21-22, 2015
Google Cardboard adalah perangkat Google Cardboard dapat dibuat sendiri DIY (Do-It-Yourself). Beberapa produsen menjual kardus tak terlipat—pengguna harus melipatnya sendiri supaya bisa menjadi bentuk kacamata--- dengan harga yang relatif murah, hanya berorde belasan hingga puluhan ribu rupiah. Perangkat aktifnya adalah telepon genggam yang biasanya sudah dimiliki oleh pengguna. Penyajian model virtual 3D benda museum yang lain yang telah pula kami implementasikan adalah penyajian berbasis teknologi NVIDIA 3DVision. Pemanfaatan teknologi 3DVision NVIDIA ini sudah sangat populer di kalangan para penikmat permainan (games). Menggunakan teknologi ini, pemain pengguna merasakan sensasi ruang (spatial) yang meningkat dan terbenam, “lebih menghayati dan merasakan” (immersion) dalam lingkungan [17]. Untuk penyajian 3D dari sisi biaya, NVIDIA 3DVision relatif jauh lebih mahal ketimbang Google Cardboard. Kami mencoba mengimplementasikannya dengan layar aktif dan layar pasif NVIDIA 3DVision. Dalam penempatan model-model virtual 3D di sebuah lingkungan, kami mengamati bahwa bila tanpa setting lingkungan yang mendukung, sensasi 3D dari model virtual benda langka tidak akan muncul kuat. Diperlukan cara-cara penempatan dan misalnya pencahayaan ataupun penataan latar belakang yang mendukung serta relevan. Secara ringkas, diperlukan penerapan prinsip-prinsip sinematografi seperti yang juga dijumpai pada film-film 3D memikat sekualitas Imax 3D Deep Sea, untuk penyajian koleksi museum 3D di lingkungannya. Untuk setting lingkungan, kami mengimplementasikan gambar panoramik 360 yang dapat dinavigasi oleh pengguna. IV. KESIMPULAN DAN KERJA MENDATANG Telah dipaparkan berbagai macam kemungkinan pemanfaatan dan implementasi Teknologi Informasi untuk menunjang keberadaan museum dan kevitalan perannya di abad informasi ini, yang diharapkan dapat menempatkan kembali museum di hati masyarakat pengguna. Dalam rencana kerja penelitian kami mendatang, tidak hanya benda nyata koleksi museum dalam ukuran kecil dan sedang yang berada di dalam ruangan (indoor) yang direkonstruksi ke bentuk digital 3D, tetapi akan merambah ke benda-benda fisik yang lebih besar seperti bangunan candi, gapura yang berposisi di luar ruangan (outdoor) atau peninggalan-peninggalan berharga lainnya berukuran besar. V. UCAPAN TERIMA KASIH Para peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-dikti) yang telah membiayai kegiatan penelitian multi tahun ini melalui skema riset Strategis Nasional, kepada museum Mpu Tantular atas budi baik dan kerjasamanya selama kegiatan penelitian ini berlangsung, serta museum Trowulan yang menjadi rencana kerja kami di masa mendatang. REFERENSI [1] H. Din, The digital museum: a think guide. Washington, DC: American Association of Museums, 2007. [2] BAPPENAS, “Jumlah Pengunjung Museum di Indonesia,” 2009.
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
The wired museum: emerging technology and changing paradigms. Washington, DC: American Association of Museums, 1997. F. Bruno, S. Bruno, G. De Sensi, M. L. Luchi, S. Mancuso, and M. Muzzupappa, “From 3D reconstruction to virtual reality: A complete methodology for digital archaeological exhibition,” J. Cult. Herit., vol. 11, no. 1, pp. 42–49, 2010. C. Rocchini, P. Cignoni, C. Montani, P. Pingi, and R. Scopigno, “A low cost 3D scanner based on structured light,” Comput. Graph. Forum, vol. 20, no. 3, pp. 299– 308, Sep. 2001. J. Geng, “Structured-light 3D surface imaging: a tutorial,” Adv. Opt. Photonics, vol. 3, no. 2, p. 128, 2011. S. Budiprayitno, “Rekonstruksi Obyek Dari Citra 3D Berbasis Visual Hull,” in Seminar on Intelligent Technology and Its Application, 2009. J. Chandler and J. Fryer, “AutoDesk 123D Catch : How accurate is it?,” Geomatics world, no. February, pp. 28–30, 2013. E. Badalotti, L. De Biase, and P. Greenaway, “The Future Museum,” Procedia Comput. Sci., vol. 7, pp. 114–116, 2011. D. Anguelov, C. Dulong, D. Filip, C. Frueh, S. Lafon, R. Lyon, A. Ogale, L. Vincent, and J. Weaver, “Google Capturing Street Level,” Most, 2010. S. Styliani, L. Fotis, K. Kostas, and P. Petros, “Virtual museums, a survey and some issues for consideration,” J. Cult. Herit., vol. 10, no. 4, pp. 520–528, 2009. M. Carrozzino and M. Bergamasco, “Beyond virtual museums: Experiencing immersive virtual reality in real museums,” J. Cult. Herit., vol. 11, no. 4, pp. 452– 458, 2010. M. Ioannides, D. Arnold, F. Niccolucci, and K. Mania, “Virtual Reality and Stereo Visualization in Artistic Heritage Reproduction,” in The 7th International Symposium on Virtual Reality Archaeology and Cultural Heritage VAST 2006, 2006. P. Petridis, P. Petridis, K. Mania, K. Mania, D. Pletinckx, D. Pletinckx, M. White, and M. White, “Usability Evaluation of the EPOCH Multimodal User Interface: Designing 3D Tangible Interactions,” Proc. ACM Symp. Virtual Real. Softw. Technol., pp. 116– 122, 2006. N. Imbert, F. Vignat, C. Kaewrat, and P. Boonbrahm, “Adding physical properties to 3D models in augmented reality for realistic interactions experiments,” Procedia Comput. Sci., vol. 25, pp. 364– 369, 2013. S. Yoo and C. Parker, “Controller-less Interaction Methods for Google Cardboard,” in Proceedings of the 3rd ACM Symposium on Spatial User Interaction - SUI ’15, 2015, no. AUGUST, pp. 127–127. J. Schild, J. J. L. Jr, and M. Masuch, “Understanding User Experience in stereoscopic 3D Games,” in Proceedings of the SIGCHI Conference on Human Factors in Computing Systems, 2012, pp. 89–98.