GALLERY FOTO
Ketua BPK RI Hadi Poernomo selepas upacara Peusijuek saat berkunjung ke Kantor BPK RI perwakilan Provinsi Aceh.
Sekjen BPK RI Hendar Ristriawan bersama sekjen kemendagri Diah Anggraeni menandatangani MoU, disaksikan ketua BPK RI Hadi Poernomo dan mendagri Gamawan Fauzi.
40
JANUARI 2011
40 - 41 galeri foto.indd 40
Pelantikan Pejabat Eselon I BPK RI
Penandatanganan pernyataan komitmen pencapaian kinerja satuan kerja
Foto bersama para pejabat BPK RI, DPRD dan Pemprov Jatim. Saat MoU BPK RI dengan DPRD se-jatim
Warta BPK
06/01/2011 1:11:52
Serah terima jabatan Sekjen BPK RI dari Dharma Bhakti ke Hendar Ristriawan.
en
Anggota V BPK RI Sapto Amal Damandari tengah mencoba alat Assessment Center BPK RI.
Warta BPK
40 - 41 galeri foto.indd 41
Foto bersama peserta rapat koordinasi teknis kehumasan BPK RI di Hotel Century
JANUARI 2011
41
06/01/2011 1:12:24
pantau Nama Krakatau Steel dari dulu sampai sekarang membumbung tinggi. Salah satu perusahaan BUMN ini
Krakatau Steel yang Menggiurkan dan Diributkan
punya sejarah yang panjang, prestise, prospektif, namun kini banyak diributkan. Terkait dengan IPO.
I
PO (Initial Public Offering) Krakatau mulai serius di-endorse pada 2006, masa pimpinan Menteri BUMN Sugiharto. Tahun berikutnya, Menteri BUMN Sofian Djalil meneruskan rencana itu dan sempat ditargetkan IPO pada akhir tahun. Namun, karena masih merugi, IPO Krakatau diundur ke 2008. Akhirnya, pada 18 September 2008, DPR menyetujui IPO Krakatau maksimal 30% saham. Persetujuan ini tidak memiliki masa efektif atau masa berlaku. Sofian Djalil sempat akan mengeksekusi IPO Krakatau pada akhir 2008 juga pertengahan dan akhir 2009. Namun, rencana tersebut urung dilakukan karena pasar keuangan sedang dihantam krisis global. Tepatnya 10 November 2010 ini, perusahaan penghasil baja pelat merah ini resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kegiatan ini merupakan puncak dari serangkaian proses privatisasi yang telah direncakan Perseroan beberapa tahun terakhir. Harga saham Perseroan telah ditetapkan sebesar Rp. 850 per lembar dengan nilai nominal Rp.500 per saham. Jumlah saham yang dilepas ke publik sebanyak 3,155 miliar saham atau setara
42
42 - 46 pantau.indd 42
JANUARI 2011
dengan 20% dari keseluruhan saham. Sementara pemerintah masih punya porsi 80 persen saham kepemilikan perusahaan ini. Perkiraan dana (kotor) yang dapat diraih Perseroan dari IPO ini adalah sebesar Rp2,68 triliun. Saham perdana (IPO) yang ditawarkan melalui proses bookbuilding (penawaran awal) mencatat kelebihan permintaan (oversubscribe) sebanyak 9 kali. Dalam penawaran ini, Perseroan menunjuk PT. Bahana Securities, PT. Danareksa Sekuritas dan PT. Mandiri Sekuritas sebagai para penjamin pelaksana emisi. Dalam proses bookbuilding yang telah digelar, Krakatau Steel memperoleh pesanan hingga 30 miliar saham atau hampir 9 kali dari jumlah saham yang dilepas ke publik. Dari jumlah saham baru ditawarkan, sebanyak 5% dijatahkan secara khusus untuk program MESA Perseroan. Selain itu, Perseroan merencanakan untuk memberikan opsi kepada Peserta Program MESOP dengan mengeluarkan hak opsi sebanyak-banyaknya 2% dari jum-
lah saham yang disetor penuh setelah Penawaran Umum dalam 3 tahap. Direktur Utama Krakatau Steel Fazwar Bujang berkeyakinan bahwa IPO ini merupakan momentum yang tepat untuk tinggal landas dimana dengan masuknya dana dari IPO, Perseroan memiliki kemampuan untuk meningkatkan efesiensi dan optimalisasi kapasitas produksi serta mengembangkan usahanya. Selain itu, IPO ini akan memberikan posisi yang lebih kuat dalam menghadapi peningkatan permintaan baja domestik dan juga dalam menghadapi persaingan usaha global dimasa depannya. Adapun alokasi penggunaan dana hasil IPO ini antara lain adalah 35,8% untuk mendanai investasi barang modal sehubungan dengan rencana modernisasi dan ekspansi kapasitas produksi pabrik baja lembaran canai panas menjadi 3,5 juta ton yang diharapkan akan selesai pada tahun 2013; 24,2% digunakan untuk peningkatan modal kerja; 25% untuk membiayai pematangan lahan seluas kurang lebih 388 hektar yang akan Warta BPK
16/03/2011 16:04:33
digunakan perseroan sebagai penyertaan pada proyek pabrik baja terpadu PT Krakatau POSCO; dan 15% sisanya akan digunakan untuk peningkatan penyertaan modal pada anak perusahaan yaitu KBS dan KDL untuk peningkatan kapasitas bongkar muat pelabuhan dan peningkatan kapasitas pembangkit listrik. Dengan adanya pengembangan usaha ini, pihak Direksi berkeyakinan akan mempunyai prospek yang cerah di masa mendatang, mengingat pertumbuhan permintaan baja seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi negara. Semakin tinggi laju pertumbuhan ekonominya maka semakin besar permintaan bajanya. Indonesia sebagai negara berkembang dengan memiliki jumlah penduduk yang besar diproyeksikan akan tumbuh dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5-7%, dimana sektor pendukung utama adalah konstruksi dan industri. Sektor ini memerlukan bahan baja cukup besar. Peluang lain adalah konsumsi baja per capita Indonesia juga masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, yaitu sebesar 29 kg/orang di tahun 2009, sedangkan Vietnam sebesar 123 kg/orang, Malaysia sebesar 256 kg/orang, Thailand sebesar 154 kg/orang dan Singapore sebesar 515 kg/orang. Dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5-7% pada 5 tahun mendatang (2015), diharapkan konsumsi produk baja Indonesia meningkat dari 8,4 juta metrik ton menjadi 12 juta metrik ton, atau dengan rata-rata peningkatan per tahun sebesar 8,5%.
Saham yang Terlalu Murah?
Terjunnya Karakatau Steel ke bursa efek memang sudah diperkirakan, namun apa yang diributkan adalah harga saham per lembar yang dinilai banyak kalangan terlalu murah. Untuk perusahaan BUMN yang prospektif, banyak kalangan menilai bahwa harga saham per lembar terlalu murah. Ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa harga saham IPO Krakatau itu memang cenderung bergerak ke Warta BPK
42 - 46 pantau.indd 43
arah harga murah. Pertama, situasi pasar finansial Indonesia masih bullish. Dari 3,155 miliar saham IPO yang ditawarkan saat proses pembentukan harga, permintaan yang datang hampir 30 miliar atau 9 kali lipat. Kedua, Krakatau yang berpengalaman lebih dari 40 tahun adalah penguasa pasar baja di Indonesia. Prospeknya cerah sebab ekspektasi kenaikan pertumbuhan ekonomi diyakini akan mendongkrak permintaan baja domestik. Ketiga, Rencana korporatnya juga ekspansif, paling tidak jika dibandingkan dengan produsen baja lokal. Sampai 2014, belanja modal dipatok Rp10,21 triliun, Rp3,31 triliun dialokasikan 2011, dan Rp5,69 triliun 2012-2014. Keempat, tingkat risiko investasinya juga kecil karena selain industri strategis, statusnya adalah milik negara dan ukurannya relatif besar sehingga peringkat investasinya cenderung identik dengan peringkat pemerintah. Kelima, dengan rasio harga terhadap laba bersih per saham (PE) 9,9x, nilai kapitalisasi Krakatau Rp13,4 triliun. Harga Rp850 murah karena ada banyak produsen baja Asia yang setara kapitalisasinya dengan PE di atas 11x. Keenam, saham IPO Krakatau dinegosiasikan pada harga premium 6%-30% di pasar gelap. Kecilnya jatah saham investor ritel yang diterima sindikasi penjamin, hanya 0,1% dari saham dilepas, ikut mengondisikan situasi itu. Ilustrasi pasar gelap ini seperti tiket kereta saat mudik Lebaran. Pemerintah bisa menggelar konferensi pers dan menyebut harga tiket naik 25%. Namun, kenyataannya tiket di semua loket sudah habis. Tiket yang ada tinggal tiket di calo yang harganya naik 100%. Sementara itu, politisi, pejabat sipil militer, atau wartawan, bisa mengontak kahumas stasiun untuk meminta dibuatkan tiket dan membayarnya pada harga normal. Alasan-alasan itulah yang agaknya menjelaskan kenapa Menteri BUMN Mustafa Abubakar kemudian sempat mencoba menaikkan harganya, tapi ga-
gal karena sudah terlambat dan investor mengancam akan menuntut. Kendati demikian, selain itu tadi, tentu saja penepatan harga Rp. 850 ada rasionalisasinya. Perlu diingat, bahwa kemudian rasionalisasi itu tidak pernah disampaikan terbuka, itu soal lain. Di sini, paling tidak ada empat faktor yang perlu dicermati. Pertama, kinerja keuangannya yang jauh di bawah ekspektasi, dengan margin laba besih yang terus mengecil. Dalam dua kuartal pertama tahun ini, Krakatau membukukan pendapatan Rp. 9 triliun dan laba bersih Rp. 997 miliar. Sampai kuartal III, pendapatannya Rp.11,88 triliun dengan laba bersih Rp.1,05 triliun. Apabila kinerja kuartal ketiga itu dilihat lebih dekat, maka dalam periode 3 bulan tersebut atau Juli ke September, Krakatau praktis hanya membukukan pendapatan Rp2,88 triliun dengan laba bersih Rp.52 miliar. Padahal, dalam dua kuartal sebelumnya, pendapatan Krakatau Rp. 9 triliun dan laba bersih Rp. 997 miliar. Itu berarti, jika dipukul rata, pendapatannya per kuartal Rp. 4,5 triliun dengan laba bersih mendekati Rp. 500 miliar. Dari angka itu, margin laba bersih—kemampuan mencetak laba bersih dengan menimbang faktor non operasional—Krakatau terjun bebas 83%, dari rata-rata kuartal sebelumnya 11% menjadi hanya 1,8%. Memburuknya kinerja keuangan itu pula yang kemudian menyebabkan Krakatau terlempar dari daftar 10 BUMN penyumbang laba bersih terbesar sepanjang 9 bulan pertama tahun ini. Kedua, konstrain tentang pasok dan harga bahan baku. Pasokan bahan baku Krakatau, baik pellet (bahan baku bijih besi), scrap (bijih besi daur ulang) maupun slab (baja setengah jadi) praktis bergantung pada impor. Ketergantungan itu menjadi masalah serius tatkala harga bahan baku melejit. Apabila itu terjadi, Krakatau tidak akan bisa langsung mentransmisikannya ke struktur harga jualnya karena akan menggerus volume penjualan. Asimetri inilah yang menjelaskan JANUARI 2011
43
16/03/2011 16:04:34
pantau kenapa kinerja kuartal III Krakatau begitu terpuruk. Hal yang sama juga terjadi pada produsen baja lain seperti PT Jaya Pari Steel Tbk yang berbalik dari semula untung menjadi rugi. Ketiga, teknologi yang tertinggal dan inefisiensi. Kerja sama Krakatau dengan produsen baja Korea Selatan, Pohang Iron and Steel Company Ltd tentu akan membantu masalah ini. Akan
tetapi, itu tidak menjamin 100% karena pabrik baja di Eropa dan Amerika yang berteknologi tinggi pun harus mengaku kalah dengan teknologi China dan India yang terbukti lebih murah dan efisien. Rendahnya margin laba bersih Krakatau tahun lalu yang hanya 2,92% tentu bukan disengaja. Dengan total karyawan hampir 12.000, Krakatau lebih mirip perusahaan padat karya.
Akibatnya, daya saing produknya pun tergerus. Keempat, membanjirnya produk impor legal dan ilegal. Proteksi pemerintah terutama melalui hambatan tarif sejauh ini memang bekerja. Namun, dengan mengingat rezim perdagangan bebas, proteksi ini niscaya tak bertahan lama. AAK (Diolah dari beberapa sumber)
Tiga hal dalam kasus IPO KS
n Adler Manurung
Pengamat Pasar Modal, Adler Manurung, melihat kasus IPO Krakatau Steel ini didasarkan pada tiga hal: Harga saham yang terlalu murah, tidak adanya pemerataan bagi pembeli saham, dan keterbukaan dalam proses IPO. Harga yang dipatok Rp.850 per saham sangat mengherankan. Menurutnya, Krakatau Steel sebagai perusahaan milik negara sebenarnya sangat prospektif. Perusahaan ini merupakan salah satu BUMN yang strategis. “Kebutuhan baja, bukan hanya di tingkat lokal, di tingkat internasional pun sangat besar permintaannya,” singkat Adler. Dengan prospektifnya Krakatau Steel, sudah seharusnya harga saham bisa lebih dari Rp. 850 per lembar saham. Harga yang ideal sekitar Rp. 1200 per lembar saham. Hal ini juga terlihat di hari kedua Krakatau Steel berada di bursa. Harganya merangkak naik. Sayangnya, lanjut Adler, sebagian besar 20 persen saham kepemi-
44
42 - 46 pantau.indd 44
JANUARI 2011
likan yang dilepas, telah dibeli saat harga Rp. 850 per lembar. Di sisi lain, selain harga per saham Krakatau Steel yang murah, dalam proses pelepasan saham tidak ada pemerataan dan keadilan. Hanya beberapa orang atau badan saja yang memperoleh keuntungan dari penjualan 20 persen saham kepemilikan. Padahal, semua komponen masyarakat Indonesia khususnya, yang berminat membeli saham Krakatau Steel pun seharusnya diberi kesempatan yang sama besar. Dalam proses pelepasan saham pun, tidak ada keterbukaan kepada publik. Sehingga ada banyak pertanyaan, kenapa dalam proses penjualannya tidak terbuka. “IPO itu seharusnya terbuka, tetapi ini tidak, hanya beberapa gelintir orang saja yang menikmatinya. Kita ini semua membayar pajak, kenapa tidak semua juga diberi kesempatan untuk memiliki saham ini,” ucap Adler. Lebih lanjut dikatakannya bahwa untuk BUMNBUMN yang strategis bagi negara, sebenarnya saham kepemilikannya tetap dimiliki pemerintah, walau itu hanya sebagian kecil saja. Sebab, mengandung hajat orang banyak.
Adler mengharapkan, agar IPO BUMN pada umumnya, pihak lokal yang diutamakan dalam pembelian saham, jika IPO harus digulirkan. Setelah itu, baru pihak asing, atau dari luar negeri, atau disebut sebagai seconder buyer. Terkait tentang permintaan beberapa pihak agar BPK berperan aktif di dalam permasalahan IPO Krakatau Steel ini, Adler mengatakan bahwa BPK bisa meneliti efektivitas IPO Krakatau Steel. Apakah benar-benar sesuai aturan, ataupun sesuai dengan tujuan IPO itu sendiri. Ada kerugian negara atau tidak dengan realitas IPO yang dianggap terlalu murah itu. Jika dikalkulasikan 20 persen saham kepemilikan Krakatau Steel, apakah sesuai dengan tingkat prospektivitas BUMN ini. AAK Warta BPK
16/03/2011 16:04:36
pantau
Daerah Belum Siap Kelola BPHTB Warta BPK: Dilihat dari cirri-cirinya, pajak atas property memang memenuhi semua syarat untuk menjadi pajak daerah. Namun keputusan untuk mendaerahkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan sebagaimana diatur dalam UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah rupanya tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
T
erkait pengalihan hak pemungutan BPHTB dari pusat ke daerah, UU tersebut mengamanatkan: Pertama, mulai 1 Januari 2011 hak pungut BPHTB menjadi salah satu pajak kabupaten atau kota. Kedua, UU No. 21/1997 qq UU No.20/2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dinyatakan tidak berlaku lagi terhitung satu tahun sejak UU PDRD diberlakukan atau tepatnya per 1 Januari 2011 ini. Untuk dapat memungut pajak ini, kabupaten/kota paling tidak harus menyiapkan Peraturan daerah, Peraturan Bupati/walikota, Standar Operating Procedure; serta menyiapkan perangkat keras dan perangkat lunak. Namun dari pemberitaan sejumlah media massa maupun informasi langsung dari sejumlah Kepala Wilayah Pajak dan bupati diperoleh informasi sebagian besar mereka belum siap untuk mengambilalih pemungutan pajak tersebut. Sebagian besar daerah belum mempunyai Perda BPHTB. Koran Kompas menulis bahwa sampai dengan akhir November 2010, baru 17 kabupaten/kota—dari 490 kabupaten kota—yang siap memungut BPHTB. Data terakhir dari Depkeu per 23 Desember 2010, sebanyak 160 daeah sudah siap dengan perda BPHTB dan 108 daerah lainnya masih dalam proses penyelesaian perda di legilatif. Sementara 224 kabupaten kota lainnya, atau setara 45%, sama sekali belum ada infirmasi. Dengan demikian, pada awal tahun baru ini, daerah yang siap memungut BPHTB baru 32,5%.
adalah beberapa daerah mengaku tidak punya anggaran untuk membuat perda BPHTB ini. Kedua, pemerintah pusat kurang melakukan komunikasi dan sosialisasi pengalihan pajak ini ke daerah. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri mengenai persiapan pengalihan BPHTB, misalnya, baru ditandatangani pada 18 Oktober 2010. Pasal 182 UU PDRD menjelaskan bahwa Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri bertanggung jawab untuk mempersiapkan proses pengalihan hak pemungutan BPHTB dari Pusat ke Daerah. Seorang gubernur yang ditemui Warta-BPK bahkan mengaku sama sekali tidak tahu bahwa per 1 Januari 2011 ini BPHTB sudah sepenuhnya menjadi pajak kabupaten kota. Ketiga, daerah menganggap kecil penerimaan dari BPHTB. Berdasatkan Permenkeu 205/2009 tentang Bagi Hasil BPHTB terdapat puluhan kabupaten/kota yang penerimaan BPHTB langsung kurang dari Rp 100 juta. Di sisi lain, UU PDRD membolehkan daerah tidak memungut suatu jenis pajak jika potensi dianggap kecil atau tidak memadai. Namun daerah-daerah ini bisa mendapatkan bagi hasil dari BPHTB di atas Rp3 miliar dari bagian pemerintah pusat yang dibagiratakan ke seluruh kabupaten kota. Mereka lupa, mulai tahun 2011, komponen bagi hasil BPHTB dari pusat sudah tidak ada lagi. Masalahnya, pengenaan BPHTB terkait dengan prosedur pengalihan hak atas tanah di Badan Pertanahan Nasional. Sa-
Mengapa daerah tidak siap?
Tampaknya ada beberapa penyebab mengapa pengalihan BPHTB ke daerah menjadi terbengkelai. Pertama, UU PDRD disahkan di penghujung tahun 2009 di mana sebagian besar daerah telah menyampaikan RAPBD tahun anggaran 2010 ke DPRD. Mereka tidak mencantumkan anggaran khusus untuk persiapan pengalihan pajak ini, mulai dari pembuatan perda hingga pengadaan komputernya. Salah satu indikasinya Warta BPK
42 - 46 pantau.indd 45
JANUARI 2011
45
16/03/2011 16:04:36
pantau lah satu prosedur untuk balik nama tanah dan atau bangunan adalah adanya bukti pembayaran BPHTB. Bagaimana sikap BPN saat bukti tersebut tidak ada? Apakah prosesnya akan tetap dijalankan? Jika proses di BPN untuk pengalihan hak atas tanah, khususnya di kabupaten kota, yang belum mengenakan BPHTB , tetap menjadi persyaratan maka masyarakat akan dirugikan. Sehingga BPN harus membuat pengecualian syarat pengalihan hak tanah bagi daerah yang belum atau tidak memungut BPHTB.
Potensi PAD hilang
Bagi sebagian daerah, terutama di daerah yang tingkat ekonominya kurang maju atau daerah yang baru dibentuk, kontribusi bagi hasil dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan BPHTB memberikan konribusi lebih dari 50% Pandapatan Asli Daerah. Kontribusi tersebut terbagi dalam BPHTB yang secara langsung menjadi hak daerah dimana transaksi itu terjadi (64% dari nilai transaksi lokal) dan bagi hasil secara rata (20% penerimaan nasional dibagi jumlah kab/kota). Daerah dengan ekonomi maju seperti DKI Jakarta, penerimaan BPHTB justru akan naik. Jika pada tahun anggaran 2010 bagi hasil dari BPHTB mencapai Rp2 triliun, maka tahun 2011 DKI akan menerima paling tidak Rp2,5 triliun, dengan kondisinya sama dengan 2010. DKI akan mendapat kembali haknya atas BPHTB sebesar 20% yang selama ini menjadi jatah pusat, sebaliknya seluruh daerah rata-rata akan kehilangan Rp1 miliar hanya dari DKI Jakarta saja. Kontribusi daerah daerah-daerah maju lainnya di seluruh Indonesia, seperti dari Jawa Tmur, Jawa Barat, Sumatera Utara selurunya akan mencapai Rp2 miliar per kab/kota. Apakah ketiadaan BPHTB ini tidak menjadi masalah bagi pusat? Sebenarnya Pemerintah Pusat juga akan mengalami kesulitan. Paling tidak dalam memantau kepatuhan wajib pajak yang melakukan transaksi penjualan tanah (PPh Pasal 4 ayat 2)
46
42 - 46 pantau.indd 46
JANUARI 2011
karena data pembanding dan cek atas transaksi tersebut tidak ada lagi. Untuk mengatasi masalah ini, mungkin perlu dipertimbangkan agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) yang menyatakan bagi daerah yang sudah siap mengelola BPHTB per 1 Januari 2011, dipersilahkan
tetap jalan. Selanjutnya, bagi daerah yang belum siap mengelola BPHTB per 1 Januarii 2011, maka hak pengelolaanya diambil alih pemerintah pusat dan diserahkan kepada Ditjen Pajak untuk mengelolanya sampai dengan daerah yang bersangkutan siap mengelola BPHTB sampai waktu yang tidak terlalu lama. (wit)
Daerah Tetap Ambil Alih BPHTB
Kapuspen Kemendagri Rey Donnyzar Moenek tak memungkiri bahwa masih banyak daerah yang belum siap mengambil alih pengelolaan BPHTB. Kendala utamanya, menurut dia, adalah banyaknya rancangan Perda yang harus digodok pemerintah daerah dengan DPRD di waktu yang bersamaan. Namun, pihaknya yang bekerjasama dengan Kementerian Keuangan, terutama Ditjen Pajak, untuk terus melakukan asistensi, supervisi, bimbingan, n Rey Donnyzar Moenek dan advokasi kepada daerah-daerah. Kegiatan-kegiatan asistensi itu sendiri berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 186/PMK.07/2010 dam Nomor 53 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sebagai Pajak Daerah. Peraturan bersama tersebut diterbitkan tanggal 18 Oktober 2010. “Intinya, tetap kita dorong agar jangan terjadi potential loss. Ya, potential loss terhadap sejumlah penerimaan pendapatan atas BPHTB bagi pendapatan bagi pemerintah daerah,” ucap Rey. Adanya kemungkinan dimana daerah-daerah molor dalam penyusunan dan penerbitan perda BPHTB, pun diakui Rey. Namun, lanjutnya, itu resiko bagi pemerintah daerah untuk tidak menerima sejumlah pendapatan, karena pemerintah pusat sudah tidak lagi melakukan penarikan. “Kalau molor tidak karena itu undang-undang. Efektivitas pelaksanaan Perda-nya saja yang tidak tepat waktu pada tanggal 1 Januari, itu saja. Intinya, efektivitas pelaksanaan Perda bisa tidak tepat waktu pada 1 Januari, karena itu sudah dimandatorikan kepada daerah,” tegasnya. Terkait dengan UU PDRD yang menyatakan bahwa jika potensi pajak dianggap kurang, dalam hal ini pemasukan dari BPHTB, daerah boleh tidak memungut, Rey mengatakannya sebagai keleluasaan. Namun, bukan berarti pemerintah daerah sama sekali tidak memungut potensi pajak yang bernilai kecil. UU PDRD, tegasnya, merupakan amanah yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah untuk menjadi penerimaan pendapatan. Jadi, tetap harus dipungut. Ini bukan soal besar kecilnya, tetapi efektifitas penerimaan harus tetap dijamin. “Itu keleluasaan, tetapi mandatory-nya tetap harus dilakukan pemungutan. Soal kemudian daerah diberikan kelulasaan untuk tidak melakukan pemungutan manakala itu tidak layak, maka itu sah-sah saja. Intinya, selama ini kan daerah sudah menerima dari bagi hasil pusat atas pajak retribusi itu, nah tetap kita dorong ke sana. Soal kemudian daerah tidak mau memungut, itu persoalan lain. Tetapi kewajiban daerah untuk melakukan pemungutan itu tetap ada. Suatu yang sudah dilimpahkan ke daerah,” papar Rey. (aak) Warta BPK
16/03/2011 16:04:36
KOLOM
Memprihatinkan, Kinerja Penerimaan Negara 2006-2010 Oleh : Dradjad Wibowo
Sustainable Development Indonesia (SDI)
Sebagai bendahara negara, Menteri Keuangan dan jajaran Kementerian Keuangan bertanggung jawab terhadap 4 area utama. Yaitu penerimaan negara, belanja negara, pembiayaan APBN dan pengelolaan aset (terutama piutang) negara. Jika kita lihat secara obyektif dan kritis, kinerja di ke-empat area tersebut selama beberapa tahun terakhir terlihat jauh dari memuaskan. Secara kualitatif, kita mengetahui bahwa kinerja belanja negara diwarnai oleh kelemahan yang sangat kronis. Ini meliputi kegagalan penyerapan APBN, alokasi budget yang tidak efisien, alokasi anggaran yang kurang maksimal mendorong pembangunan, dan kebocoran anggaran. Dari sisi pembiayaan APBN, Kementerian Keuangan cenderung melepas SBN dengan yield yang mahal sehingga menjadi beban yang lebih mahal dari semestinya di masa mendatang. Piutang negara baru tertagih sekitar 0.8% setelah puluhan tahun. Jika negara diibaratkan sebagai korporasi, maka kita mempunyai departemen treasurer yang senang mengambil utang mahal tapi tidak mampu membelanjakan dana dengan benar, serta tidak mampu menagih piutang sebagaimana mestinya. Dalam hal penerimaan negara, kinerja Kementerian Keuangan ternyata sangat memprihatinkan sebagaimana terlihat dari data dan analisis berikut. Jika dikategorikan menurut struktur organisasi Kemenkeu, di luar hibah terdapat 4 kelompok utama penerimaan negara, yaitu pajak dalam negeri di luar PPh Migas dan pendapatan cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pajak perdagangan internasional dan cukai (untuk mudahnya disebut bea dan cukai), dan PPh Migas. Kelompok pertama menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak, kelompok kedua dan keempat Ditjen Anggaran, serta kelompok ketiga Ditjen Bea Cukai. Warta BPK
47 - 50 kolom.indd 47
Khusus untuk kelompok ke-2 dan ke-4, peranan kementerian/lembaga (K/L) lain sangat besar, sehingga DJA (Ditjen Anggaran) lebih berperan sebagai lembaga penampung. Misalnya, penerimaan dividen sangat dipengaruhi oleh kinerja Kemenneg BUMN dan para direksi BUMN, demikian juga dengan penerimaan sumber daya alam oleh K/L sektoral. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang telah diaudit oleh BPK, di luar hibah, selama 4 tahun terakhir dalam periode 2006-2009 negara memperoleh penerimaan sebesar Rp 3166 triliun. Ini terdiri dari: 1. Pajak dalam negeri di luar PPh Migas dan cukai (selanjutnya disebut “pajak DJP”) Rp 1684 triliun (53.2%), 2. PBNP Rp 989 triliun (31.2%), 3. Bea Cukai Rp 279 triliun (8.8%), dan 4. PPh Migas Rp 214 triliun (6.8%).
Seluruh penerimaan perpajakan (pajak DJP, bea cukai dan PPh Migas) menyumbang Rp 2177 triliun atau 68.8% dari penerimaan negara di luar hibah. Nilai hibah relatif bisa diabaikan karena kecil sekali. Mari kita analisis satu persatu Tabel 1 hingga Tabel 5 di bawah ini. Untuk tahun 2010 penerimaan negara di luar hibah per akhir November terkumpul Rp 832 triliun, masih shortfall Rp 158.7 triliun terhadap target APBN-P. Bila dibagi rata per bulan, secara teori shortfall-nya seharusnya Rp 83 triliun. Dengan kata lain, Kementerian Keuangan harus mengejar ketinggalan 2 bulan dalam sebulan terakhir 2010. Persoalan utamanya bukan di sana. Yang memprihatinkan, DJP (Ditjen Pajak) sebagai ujung tombak penerimaan negara malah menyumbang tiga per empat dari shortfall tersebut. DJP masih JANUARI 2011
47
06/01/2011 1:15:52
KOLOM
mengalami shortfall Rp 119.1 triliun per akhir November, atau 75.1% dari keseluruhan shortfall tersebut. Bahkan dibandingkan dengan Ditjen lain, DJP menunjukkan tingkat
48
47 - 50 kolom.indd 48
JANUARI 2011
realisasi penerimaan terendah. Padahal target DJP sudah diturunkan dari APBN sebesar Rp 5.1 triliun. Ini sangat kontras dengan PNBP yang meskipun dinaikkan hampir
Rp 42 triliun dalam APBN-P ternyata malah membukukan realisasi yang jauh lebih tinggi dari DJP. Tampaknya PNBP pada akhir tahun tidak akan meleset terlalu jauh dari target. Ditjen Bea Cukai (DJBC) malah sudah melebihi target APBN-P, meski masih lebih rendah dari target APBN. Selengkapnya disajikan dalam Tabel 1. Dalam periode 2006-2009 realisasi pendapatan pajak dalam negeri yang ditangani DJP malah lebih memprihatinkan (Tabel 2). Dibandingkan dengan target APBN, shortfall kumulatif nya mencapai Rp 123 triliun selama 4 tahun, atau rata-rata Rp 31 triliun per tahun. Kalau APBN-P yang dijadikan rujukan, shortfall nya adalah Rp 53 triliun atau sekitar Rp 13 triliun setahun. Ini pun masih tertolong oleh kinerja tahun 2008 yang Rp 13 triliun di atas target. Dugaan saya, hal ini disebabkan oleh PPN migas mengingat PPh Migas juga melebihi target. Gambaran yang lebih jelas terlihat dari perbandingan dengan pertumbuhan PDB. Secara teori, dengan peningkatan PDB tentu penerimaan pajak juga meningkat. Yang lebih ideal adalah apabila peningkatan pajak kira-kira setara dengan peningkatan PDB. Di sini kita menggunakan PDB nominal, bukan riil, karena penerimaan pajaknya juga dihitung nominal. Warta BPK
06/01/2011 1:15:53
KOLOM Realisasi pajak dalam negeri di luar PPh Migas dan cukai tahun 2009 adalah 57% di atas realisasi tahun 2006. Di sisi lain PDB nominal tahun 2009 mencapai 68% di atas PDB 2006, sementara PDB tanpa sektor migas tahun 2009 naik 73% dari tahun 2006. Karena DJP tidak mengelola PPh Migas, maka PDB tanpa migas lebih cocok dijadikan acuan. Dari data di atas terlihat, penerimaan pajak tertinggal 16% dibanding PDB tanpa migas. Jadi penerimaan pajak DJP berjalan jauh kalah cepat dari pertumbuhan PDB. Ditambah dengan kinerja tahun 2010 yang kurang bagus, hal ini berarti DJP masih belum mampu memaksimalkan penerimaan pajak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain masih terdapat “under-taxing” yang cukup besar dalam perekonomian. Catatan: jika penerimaan pajak melaju jauh lebih cepat dari PDB, hal ini juga tidak ideal bagi perekonomian karena mengindikasikan “over-taxing”. Masalahnya, dalam beberapa kasus bukan tidak mungkin pelaku usaha merasa “over-taxed” atau mungkin takut terhadap kekuasaan DJP yang sangat besar. Jika merujuk pada cuplikan resume BPK, kekhawatiran tersebut tampaknya beralasan. Dalam “Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Proses Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak terhadap 6 (enam) Wajib Pajak pada DJP Kemenkeu” No 042/LHP/XV/12/2010 tanggal 6 Desember 2010, BPK menyebutkan: “… proses kinerja pemeriksaan dan penyidikan serta kegiatan terkait lainnya terhadap 6 (enam) WP belum sepenuhnya mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku sehingga tidak sepenuhnya efektif.” Bahkan BPK menggunakan katakata seperti: “… tidak sepenuhnya didukung dengan dokumen yang memadai”,
Warta BPK
47 - 50 kolom.indd 49
“… tidak sah dilaksanakan tidak sesuai ketentuan.”,
“… tidak mempunyai dasar hukum dan merupakan kebijakan Kepala Kanwil …”,
“Jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan … melebihi ketentuan …”, “… belum menyerahkan barang bukti …”, “… DJP baru menyetujui permohonan restitusi … terlambat antara 1 sampai dengan 7 bulan …”,
“… penghitungan dan penetapan PPN … tersebut tidak tepat.”
“… prosedur himbauan dan konsultasi … tidak diberikan sebelum dilakukan pemeriksaan khusus.”
Kalimat-kalimat di atas mengindikasikan ketidakpatuhan oknum DJP terhadap peraturan, dan menimbulkan kekhawatiran adanya kesemena-menaan (abuse of power) oleh oknum DJP. Di sini Menkeu Agus
Martowardojo perlu mengevaluasi apakah “hard power” yang bisa menimbulkan “abuse of power” lebih efektif dibandingkan dengan “soft power”. Kelemahan kinerja DJP selama 2006-2010 menjadi “wake up call” (lonceng pengingat) bagi Menkeu dan jajaran DJP. Dari sisi PNBP (Tabel 3), sekilas terlihat PNBP periode 2006-2009 cenderung memenuhi target APBNP. Bahkan, meskipun APBN-P secara kumulatif dinaikkan dari APBN, realisasi PNBP masih Rp 60 triliun di atas target selama 2006-2009. Jajaran Lapangan Banteng perlu menyadari bahwa pencapaian ini lebih merupakan hasil kerja K/L di luar Lapangan Banteng. Selain itu, realisasi PNBP terlihat sangat fluktuatif dengan selang yang mencapai Rp 105 triliun (antara Rp 215 s/d Rp 320 triliun). Pertumbuhannya pun jauh kalah cepat dari pertumbuhan PDB. Tampaknya hal ini tidak lepas dari fluktuasi harga minyak dunia, selain harga-harga komoditas seperti kayu dan perikanan. Dengan kinerja PNBP yang JANUARI 2011
49
06/01/2011 1:15:53
KOLOM sangat fluktuatif seperti itu, risikonya terhadap stabilitas fiskal menjadi terlalu besar kalau kita terlalu mengandalkan PNBP. Porsi PNBP yang hampir sepertiga dari penerimaan negara membutuhkan pengelolaan yang lebih fokus dan terpadu antar K/L agar risiko fiskal dari PNBP bisa di-mitigasi. Apalagi K/L penghasil PNBP belum memperoleh remunerasi sebesar Kemenkeu yang notabene “penampung” saja. Ini bisa menimbulkan kecemburuan karena K/L dengan remunerasi rendah malah menyumbang sepertiga penerimaan negara. Dari sisi Bea dan Cukai (Tabel 4), data memang menunjukkan DJBC selama 2006-2009 cenderung mampu memenuhi targetnya, bahkan melebihi target sebesar Rp 18 triliun. Meskipun demikian, hambatan birokrasi yang dialami para penerima jasa BC di berbagai pelabuhan masih belum membaik dengan signifikan. Selain itu, jika tahun 2009 dan 2006 dibandingkan, realisasi penerimaan BC naik hanya 47%, jauh di bawah DJP yang 57%. Artinya, DJBC mampu memenuhi target karena kenaikan targetnya di bawah DJP. Target APBN-P DJBC tahun 2009 misalnya hanya naik 40% dari tahun 2006, sementara DJP 59%. Jika targetnya naik sebesar DJP, maka DJBC juga akan mengalami shortfall. Padahal volume perdagangan ekspor dan impor Indonesia naik pesat. Kemenkeu perlu mengevaluasi dampak dari liberalisasi perdagangan yang terlalu cepat terhadap penerimaan DJBC, selain tentunya dampak multiplier-nya terhadap perekonomian dan penerimaan negara secara keseluruhan. Realisasi PPh Migas tidak dibahas secara khusus di sini, tapi datanya bisa dilihat pada Tabel 5. Sebagai penutup, Menkeu diharapkan memperbaiki berbagai kelemahan dalam kinerja penerimaan
50
47 - 50 kolom.indd 50
JANUARI 2011
negara di atas. Semua lini Kemenkeu cenderung “under-performing”, baik dalam hal penerimaan, belanja, pembiayaan maupun pengelolaan aset. Jika ditambah sisi regulasi dan pengawasan pasar modal/lembaga keuangan, kinerja Kemenkeu sejak 2006 sebenarnya tidak sebagus yang
digembar-gemborkan di berbagai media. Kita harapkan Menkeu Agus Martowardojo dapat membersihkan “performance bubble” di Lapangan Banteng, termasuk jika perlu merombak jajaran sesuai dengan kinerjanya. Warta BPK
06/01/2011 1:15:53
lintas peristiwa
BPK Pantau Kebijakan Pembatasan Premium
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan mengawal secara ketat pelaksanaan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi oleh pemerintah. Lembaga auditor negara tersebut mengharapkan tidak ada distorsi atau ketimpangan ketika implementasi pembatasan penggunaan BBM tersebut.Demikian diungkapkan oleh Anggota IV BPK Ali Masykur Musa di Gedung BPK, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, baru baru ini. “Kita akan melakukan monitoring dan akan mengawal ketat pembatasan BBMbersubsidi,” ujar Ali. Ia menjelaskan, landasan BPK dalam melakukan monitoring tersebut yakni melihat APBN-P 2010 dimana subsidi BBM tercatat sebesar 38,5 juta KL. Atau menurut Ali, angka terse-
but ekuivalen dengan Rp 80 triliun. “Itu yang dipegang BPK kalau ada aturan subsidi seperti pembatasan BBM itu urusan pemerintah. Jika ada alokasi APBN yang berubah misalnya nanti digunakan untuk infrastruktur atau misalnya public transportation maka itu harus menggunakan sistem hukum yang benar,” paparnya. Lebih lanjut Ali menyimpulkan BPK akan fokus terhadap dua hal dalam memantau pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi. Yakni sisa anggaran APBN dan monitoring secara ketat. “Kesimpulan saya ada dua aspek yakni melihat sisa anggaran penghematan BBM dan kedua adalah melakukan monitoring ketat sehingga tidak jadi distorsi,” tukasnya. DTK
BPK: 14 Pemerintah Daerah Berlabel WTP
BANDA ACEH---Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan 14 pemerintah daerah di Indonesia tahun anggaran 2009. “Opini WTP ini diberikan karena pemerintah daerah mengelola keuangannya dengan baik,” kata Ketua BPK RI Hadi Poernomo di Banda Aceh, Kamis (16/12). Pernyataan itu disampaikannya usai menghadiri penandatanganan kesepakatan tata cara penyerahan hasil pemeriksaan antara BPK RI dengan DPR Aceh dan 23 DPRK di provinsi itu. Selain opini WTP, kata dia, BPK juga memberi opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) kepada 259 laporan keuangan pemerintah daerah, 30 opini Tidak Wajar (TW), dan 45 laporan keuangan mendapat opini Tidak Mem-
beri Pendapat (TMP). Dari 14 opini WTP tersebut, enam di antaranya diraih oleh pemerintah daerah di Provinsi Aceh. Yakni Kota Banda Aceh, Kota Sabang, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tengah, dan Kabupaten Nagan Raya. Hadi mengatakan, dari 24 pemerintah daerah, satu provinsi dan 23 kabupaten/kota di Aceh, BPK memberi 15 opini wajar dengan pengecualian (WDP), satu tidak wajar (TW), dan satu tidak memberi pendapat (TMP) dan satu laporan masih dalam proses penyelesaian. “Perolehan opini WTP tahun anggaran 2009 di Provinsi Aceh ini menurun ketimbang tahun 2008. Tahun lalu ada tujuh pemerintah daerah di Aceh menerima opini WTP,” ujar mandan Dirjen Pajak ini. REP/ANT
174 Kasus Korupsi Menumpuk di Jateng Selama 2010
SEMARANG--- Dari 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah, tak ada satu pun yang steril dari korupsi. Pada tahun 2010, jumlahnya kasus korupsi menumpuk hingga mencapai 174 kasus. Berdasarkan monitoring Komite Penyelidikan dan Pemberantasan KKN (KP2KKN) Jateng, dari 174 kasus sejak tahun 2000 itu, ranking pertama diraih Kota Semarang dengan 11 kasus. Temanggung menyusul dengan 9 kasus dan Kendal 8 kasus. Jumlah kasus di daerah-daerah lain bervariasi, antara 2-7 kasus. Hanya Pekalongan yang punya 1 kasus. Warta BPK
51 - lintas peristiwa.indd 51
“Total dana yang dikorupsi sekitar Rp 193 milyar,” kata Sekretaris KP2KKN, Eko Haryanto saat menyampaikan laporan akhir tahun di kantornya. Eko menyebutkan, meski Semarang juara dalam hal jumlah kasus, soal besaran dana yang dikorupsi diraih Cilacap. Di daerah yang terletak di barat daya Semarang ini, dana yang digerogoti koruptor sebanyak Rp 31 miliar, disusul oleh Karanganyar Rp 22 miliar, dan Salatiga Rp 20 miliar.”Yang dikorupsi, terbanyak di sektor anggaran daerah. Kemudian, infrastruktur dan bantuan sosial,” terangnya. DTK JANUARI 2011
51
06/01/2011 1:17:23
aksentuasi
Laporan Hasil Pemeriksaan 6 Wajib Pajak
Ditjen Pajak Harus Lebih Patuh pada Aturan Main
n Ketua Panitia Kerja Perpajakan Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng bersama Dirjen Pajak Moch. Tjiptardjo
S
esuai ketentuan UU, BPK sebagai lembaga audit negera wajib memperhatikan permintaan DPR untuk mengaudit suatu masalah. Salah satunya adalah permintaan DPR kepada BPK untuk melakukan audit kinerja terhadap proses pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan atas enam Wajib Pajak, yang sebelumnya telah dipanggil oleh Panitia Kerja DPR untuk masalah perpajakan. Keenam WP tersebut adalah PT Permata Hijau Sawit, Asian Agri Group, PT WIlmar Nabati Indonesia, PT Alfa Kurnia, PT ING Internasional dan RS Emma Mojokerto. Di antara keenam WP tersebut, tiga kasus yang menyangkut Asian Agri Group, PT Permata Hijau Sawit dan PT Wilmar Nabati In-
52
52 - 53 aksentasi.indd 52
JANUARI 2011
donesia sebelumnya banyak menyedot perhatian public. Kasus AAG bahkan sudah menjadi konsumsi public sejak 2007, namun hingga kini kasusnya belum juga tuntas. Pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan yang dilakukan DJP umumnya terkait dengan permohonan restitusi atau permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh WP. Ditjen Pajak berpendapat ke-enam WP tersebut diduga menggunakan Faktur Pajak fiktif sehingga perlu dilakukan upaya penyidikan. Berikut adalah gambaran ringkas Laporan Hasil Pemeriksaan BPK terhadap ke-enam WP tersebut yang telah disamWarta BPK
06/01/2011 1:21:34
paikan ke Pimpinan DPR beberapa waktu lalu.
1. Ringkasan LHP atas nama PT PHS. a. Semua proses law enforcement mulai dari penga matan hingga penerbitan surat perintah penyidi kan tidak didukung oleh dokumen yang mema dai dan tidak sesuai dengan peraturan pelaksanaan yang ada. b. Permohonan restitusi PT PHS senilai Rp138 mi liar melewati jangka waktu 12 bulan dan belum di cairkan oleh DJP sehingga menjadi DIANGGAP DI KABULKAN dan terdapat potensi pengeluaran kom pensasi bunga sebesar 2% maksimal 24 bulan. 2. Ringkasan LHP atas nama AAG a. Proses pemeriksaan bukti permulaan hingga proses penyidikan atas AAG bermasalah. b. SPDP disampaikan ke Kejati DKI Jakarta melalui korwas PPNS Mabes Polri, seharusnya disampai kan ke Jaksa Agung. c. Proses penggeledahan bermasalah. Sehingga DJP kalah saat WP mengajukan Prapaeradilan ke PN Ja karta Selatan. d. Proses Penyitaan dokumen oleh DJP juga bermasa lah. Sehingga DJP kalah saat WP menggugat ke PN. e. Proses pemberkasan dari P18 ke P19 selalu mele wati batas waktu yang ditetapkan JA. f. Sampai dengan LHP diselesaikan, ternayata doku men pendudkung kasus AAG yang sudah dinya takan P-21 belum dilengkapi oleh DJP sehingga Ke jaksaan AGung terpaksa harus berkali-kali memin ta agar dokumen dan alat bukti segera diserahkan ke JA.
3. Ringkasan LHP atas nama PT Wilmar Nabati In- donesia: a. PT WNI merupakan WP patuh yang mengajukan permohonan restitusi PPN sebesar Rp1,8 triliun (Masa Sept 2009 – April 2010). KPP LTO 2 meng indikasikan WNI menggunakan FP fiktif shinga pe nerbitan Surat Keputusan Pengembalian Pendahu luan Kelebihan Pajak (SKP-PKP) terlambat diterbit kan. b. Permohonan restitusi diterbitkan antara 4 juni 2010 - 16 Sept 2010 (terlambat 1 bulan hingga 7 bulan) sebesar Rp1,8 triliun. c. Proses BUPER sebagai upaya DJP untuk menahan restitusi adalah salah, karena untuk WP dengan sta tus wp PATUH, penghentikan permohonan restitu si harus dengan penyidikan. d. Kinerja pelayanan restitusi tidak bagus.
4. LHP atas nama Alfa Kurnia a. PT AK mengajukan permohonan restitusi sekitar Rp 1 triliun. Atas permohonan tersebut dikeluar Warta BPK
52 - 53 aksentasi.indd 53
b.
c.
kan SKP nihil (artinya tidak ada restitusi atau resti tusi ditolak). PT AK mengajukan keberatan atas ke putusan tersebut. Proses masih berlangsung sam pai dengan pemeriksaan BPK dilakukan. DJP berpendapat Ekspor udang beku yang dila kukan PT AK tidak bisa DIKREDITKAN. Terdapat beda pendapat apakah atas ekspor tsb BEBAS PPN atau TIDAK DIPUNGUT PPN. Namun berdasarkan SE Dirjen Pajak sendiri yang mneyatakan bahwa ekspor udang beku TIDAK termasuk yang dibebas kan ekepornya berarti PPN nya bisa dikreditkan. Keputusan KPP yang menyatakan SKP Nihil salah, seharusnya permohonan restitusi diterima. Nega ra berportensi mengalami kerugian negara karena harus membayar bunga sebesar Rp115 juta.
5. LHP atas nama ING Internasional: a. PT ING diperiksa karena (1) SPT Tahunan PPh ba dan dan SPT Masa PPN periode 2005, 2006, 2007 menyatakan lebih bayar (2) SPT Masa PPN dan SPT PPh terlambat disampaikan. b. KPP menerbitkan 45 Surat Tagihan Pajak dan 36 SKPKB senilai Rp122,6 miliar (STP Rp6,2 miliar dan SKPKB Rp116 ,4 miliar). c. ING Internasional tidak dikenakan BUPER atau penyidikan. WP ini yang justru dating ke Panja DPR untuk mengadu. Meski ada ketidakakuratan di DJP, namun PT ING ini sendiri bermasalah karena tidak kooperatif dalam memberikan data dan informna si, tidak dating saat pembahasan akhir. 6. LHP atas RS Emma Mojokerto: a. RS Emma diperiksa pajaknya karena dinilai memi liki risiko tinggi terkait pembelian yang tidak sela ras dengan PM (antara barang dan faktur berbeda), ada kegiatan membangun sendiri yang tidak dila porkan pajaknya. b. DJP kurang sosialisasi dan pelayanan. Permohonan kebaratan RS Emma tengah diproses. Audit Lanjutan Audit kinerja yang dilakukan BPK tersebut memang hanya menguji apakah pemeriksaan oleh Ditjen Pajak tersebut telah memenuhi kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan. BPK tidak masuk ke dalam materi pemeriksaannya. Sehingga, BPK juga tidak menetapkan apakah restitusi mereka sah atau tidak; kalau sah berapa restitusi yang harus dibayar. Ketua Panitia Kerja Perpajakan Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng menyatakan Panja akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menindaklanjuti LHP BPK tersebut. Melchias juga akan meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk menindaklanjuti dan mendalami temuan BPK tersebut. (wit) JANUARI 2011
53
06/01/2011 1:21:35