gak mampu luluhkan hati seorang wanita. Ini masalah prinsip saja kak.” “Whatever. Wajah tampan tapi gak laku. Apa kata dunia dik?” “Wajah tampan belum punya pacar itu biasa aja keleus. Wajah tampan difitnah pacar lalu putus cinta. Nasibmu malang banget kak. Hahaha.” “Udah gak usah banyak omong kamu, kalau mau bantu gak usah ledekin kakak gitu. Kalau gak mau, sudah keluar sana. Kamu di sini cuma nambah pikiran kakak saja.” “Kalau aku kenalin sama kakak kelasku bagaimana? Orangnya cantik, dia anak OSIS dan ekstrakulikuler teater. Pasti dia pinter menciptakan hubungan yang selalu menarik, romantis ala drama korea” “Ah sudahalah, kamu paling hanya menghibur saja. Siapa namanya? Mana fotonya.” “Namanya Adissa Larasati kak. Panggilannya Adis. Ini, cantik kan? Coba liat tubuhnya kak. Sexy kan? Tapi gak usah sampek terpesona gitu keleus. Sampek gak berkedip. Itu kakak cuman liat fotonya. Apalagi ketemu langsung sama Adis. Pasti ekspresinya mata melotot dan mulut terbuka.” “Itu paling ekspresimu dik. Ayo cepat kenalkan sama kakak. Mumpung kakak belum balik ke Malang.” “Santai aja kak. Wani piro?” “Astaga ke kakak sendiri masih pake imbalan. Ntar aku kasi game terbaru.” “Gitu donk. Hari gini sudah gak ada yang gratisan.”
Lumayan kesedihan di hati, sebentar lagi akan terobati oleh Adissa Larasati. Adis tidak secantik dan seputih Husna, namun saat melihatnya aku sudah merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagi seorang cowok tampan badan atletis sepertiku penilaian pertama tentang wanita adalah fisiknya. Kulitnya sawo matang, tubuh langsing dengan tinggi 160 cm, bibir tipis dan padat, alis lurus bak semut beriring, rambut lurus hitam memesona, pinggang ramping dan pinggul bak gitar Spanyol. ***** Keesokan harinya adikku langsung menyerahkan nomor ponsel Adis. Tanpa perlu mikir panjang, aku menyimpannya. Sore hari aku kirimkan pesan untuk mengajaknya makan malam jam tujuh. Dia menerima dan berjanji akan bertemu di restauran mewah yang berdekatan dengan pusat kota. Aku memilih lantai 4. Restaurant ini terdiri 5 lantai. Aku memberitahu agar dia supaya menuju ke lantai 4. Adis muncul dan kulambaikan ke arahnya. Aku memilih lantai 4 karena kita bisa duduk lesehan menikmati langit dengan kilauan bintang dan senyuman rembulan. “Malam mas, Adis.” “Malam juga, Ryan.” “Sudah lama menunggu mas Ryan?” “Enggak kok. Baru lima menit.” Penampilan Adis malam itu tidak seanggun Husna, dia malah terlihat tomboy. Dia menggunakan topi, kaos hitam dipadu dengan jeans biru dan memakai sepatu kets. Celana jeansnya yang sedikit kekecilan membuat pinggulnya yang besar tampak seperti gitar Spanyol.
Kami menikmati makan malam diteman lilin kecil yang berada ditengah meja dan tidak ada sebuah bola pijar yang memancarkan sinarnya menambah romantisme dinner. Sesekali aku merayunya. “Dis cobalah kamu lihat langit itu.” “Kenapa mas?” “Langit itu indah saat sinar rembulan dan bintang meneranginya. Begitu juga dengan hatiku. Dia akan indah saat cintamu menerangi hatiku.” “Ah mas bisa aja. Emang sekarang suasana hatinya lagi gelap ya mas?” “Ya begitulah.” “Kalau Adis mau menerangi hati mas Ryan boleh?” “Gak salah denger nich aku. Beneran kamu?” “Iya mas, kita habiskan malam ini bersama.” Adis menarik tanganku dan mengajakku untuk memasuki minibar yang terletak di lantai 5. “Kita ngapain ke sini?” “Kita akan habiskan malam ini dengan ngedance sampek pagi mas.” “Kupingku sakit dengar musik keras, Dis.” “Gak. Santai aja. Mau minum apa mas? ” Teriaknya di telingaku. “Kopi atau Es Jeruk Dis” “Apa? Ini bukan warkop mas. Nanti kupesankan yang enak”
Aku tidak tahu minuman yang dia berikan. Kuturuti sarannya aja. Akhirnya kuberanikan untuk meminumnya. Rasa enaknya seperti minuman bersoda hanya saja sedikit terasa pahit. “Gimana mas? Enak kan? Mas tahu barusan minum apa? “Apa?” kepalaku sudah mulai pusing. “Itu sejenis bir namanya Whiskey mas.” Teriaknya lagi. Kembali Adis menyodorkan segelas Whiskey itu dan mengajakku untuk bersulang. Setelah meminum dua gelas Whiskey itu Adis menarik tanganku menuju lantai tengah. Dia mengajakku untuk membaur jadi satu di tengah-tengah kerumunan pasangan muda-mudi menikmati alunan musik hiphop. Tak menyangka Adis begitu lentur dalam ngedance, sedang aku masih kaku. Saat acaranya hampir usai, pertunjukan meriah dengan kehadiran Dancer yang sangat cantik dan seorang Disc Jockey (DJ) menutup acara itu. Sebuah lagu dari Jason Mraz “I’m Yours” menjadi pilihan lagu penutup. Seorang host mengajak semua pengunjung untuk ngedance bersama. Semua pengunjung antusias menuju lantai tengah. Adis mengajakku untuk kembali ke meja tempat kita duduk. Rupanya dia haus. Dituangkan Whiskey itu ke dalam dua gelas. Setelah meminumnya dia langsung mengajakku kembali ke lantai tengah. Padahal aku sangat berharap untuk istirahat saja. Entah kenapa tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Mataku juga sudah tidak bisa melihat dengan jelas. Semua itu tak menyurutkan langkah Adis untuk mengajakku ngedance bersama. Dia malah meledek kondisiku yang baru minum tiga gelas sudah pusing.
Saat sudah berada di tengah, tangan Adis langsung melingkar di leherku dan kulingkarkan tanganku pada pinggulnya yang lumayan besar. Sambil mengikuti irama lagunya, mulutku menyanyikan lagunya. Suaraku menghilang seketika, mulutku tak bisa mengalunkan lagunya. Adis ternyata sudah membekap mulutku dengan mulutnya. Dia mulai melumat bibirku, menggigit-gigit kecil bibir bagian bawah, kemudian dengan lihai memainkan lidahnya. Aku pun yang dalam pengaruh Whiskey sudah kehilangan logika tanpa ragu dan malu mulai membalas lumatannya dan saling mengulum satu sama lain. Tidak berhenti di situ, tanganku sudah tidak tahan hanya diam di pinggulnya. Tanganku mulai meraba dan meremas-remasnya. Acara malam itu akhirnya berakhir juga. Sebelum meninggalkan restauran itu aku kembali ke meja tadi berniat menghilangkan pusingku sebelum pulang. Adis malah memanggil waitress dan memesan dua gelas Whiskey. Saat dua gelas Whiskey itu sudah tersaji di meja, dia memintaku untuk meminumnya. Awalnya aku berusaha untuk menolak, tapi rayuannya membuatku terpaksa meminum segelas Whiskey itu. Barulah dia mengajakku pulang. Kepalaku saat itu bertambah pusing padahal aku ingin mengantarnya pulang. “Mas, kayaknya kepalamu sanggupkah untuk pulang?”
pusing.
Masih
“Sebenarnya aku juga ingin mengantarmu pulang Dis, tapi kepalaku pusing banget.” “Mas, sudahlah gak usah dipaksa kalau tidak kuat. Gimana kalau kita menginap di hotel?” “Menginap di hotel? Aku mau pulang saja.”
“Yakin mau pulang? Udahlah kita menginap di hotel, kalau besok sudah membaik baru pulang.” “Terserah kamu. Kepalaku pusing banget.” Akhirnya aku dan dia menuju sebuah hotel. Sebelum memasuki lobby, kubasuh terlebih dahulu mukaku agar tidak terlihat seperti orang mabuk. Sesampainya di kamar hotel, aku langsung merebahkan tubuhku pada kasur yang empuk. Keesokan harinya saat bangun tidur, aku kaget melihat Adis sedang tidur di sampingku dan melihat tubuhku hanya tertutup oleh selimut tanpa terbungkus sehelai pakaianku. Pandangan mataku langsung menyorot tiap sudut ruangan kamar itu, semua pakaianku bertumpuk rapi di atas meja. Langsung saja kuambil semua pakaianku dan menuju kamar mandi memasang kembali pakaianku. Setelah itu aku duduk termenung memikirkan apa yang sedang terjadi malam itu. Timbul ketakutan dalam diriku, berharap tidak terjadi apaapa pada Adis. Kemudian Adis bangun dari tidurnya dan menyambutku dengan senyuman lalu menghampiriku dan langsung duduk di sampingku. “Terimakasih mas Ryan malam yang sangat luar biasa,” “Luar biasa bagaimana Dis?” “Ya begituah mas, aku mau mandi dulu terus pulang.” Dia mencium pipiku sembari berjalan menuju kamar mandi. Aku belum beranjak dari tempat dudukku sedang memikirkan sebenarnya apa yang terjadi malam itu. Semoga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Kurapikan kamar tidur itu dan mengecek
semua barang bawaan meninggalkan hotel.
dan
kita
pun
langsung
***** Kejadian yang menimpaku semalam membuat aku tidak tenang. Pikiranku masih memikirkan hal-hal negatif. Sisi lainnya semenjak kejadian malam itu aku semakin ingin memiliki Adis. Namun tidak mungkin aku menyatakan cinta secepat ini. Masih perlu proses pendekatan, apalagi sebentar lagi aku harus kembali ke Kota Malang. Tibalah waktunya untuk meninggalkan kampung halaman menuju kampung perantauan. Kesempatan memiliki Adis harus aku tunda. Selama di Kota Malang, komunikasi aku dengannya lancar dan baikbaik saja. Sebulan berikutnya, adikku memberitahu selama ini Adis sering curhat padanya dan dia menyarankan untuk semakin intens berkomunikasi dan jangan segan untuk menyatakan cinta. Dia berani menjamin jika aku menyatakan cintaku, Adis akan menerimanya. Sebenarnya aku ingin sekali menuruti saran dari adikku, tapi hubungan jarak jauh sangat berisiko terkontaminasi oleh pihak ketiga. Saran adikku bukan berarti tidak menjadi pertimbangan. Demi menghapus luka bersama Husna tidak ada salahnya mencoba walau awalnya pasti akan sulit untuk menemukan kecocokan. Tanpa memikirkan panjang lebar, aku mengirimkan pesan pada Adis dengan cukup singkat “Aku sangat mencintaimu.” “Begitu juga denganku, I Love You” Belum puas mendapatkan jawaban melalui pesan singkat, aku menghubunginya. Kembali aku mengatakan
kalau sangat mencintainya. Namun dia belum mau memberi jawaban saat itu, dia meminta waktu dua hari mendatang. Tidak ada alasan untukku memaksa menjawab hari itu, aku pun menyetujuinya walau dengan perasaan kecemasaan, takutnya dia hanya memberi harapan palsu. Pagi itu tepatnya pukul 05.05 Adis menelponku, dengan mata masih separuh terbuka aku menerima teleponnya. “Mas Ryan tepat tanggal 05-05 dan jam 05.05 aku menerima kamu sebagai kekasihku” “Sungguh?” aku langsung bangkit dari tidurku. “Sejak hari ini aku dan kamu sudah menjadi sepasang kekasih.” Kebahagian yang aku rasakan hari itu tidak sempurna. Masih ada sesuatu yang mengganjalnya. Kebahagian hari ini harusnya aku bisa merayakannya bersama Adis. Namun apa boleh buat. Semua ini merupakan konsekuensi menjalani hubungan jarak jauh. Satu-satunya cara untuk bisa merayakan bersamanya, saat aku pulang ke kampung halaman. Ingin sekali saat nanti pulang mengajak dia ke restaurant tempat pertemuan pertama untuk merayakan kebahagian hati sekaligus bernostalgia. Akhirnya kesempatan untuk merayakan kebahagian itu datang juga setelah dua bulan melalui hubungan bersamanya. Sore itu dia menelponku memintaku untuk menemuinya minggu depan artinya minggu depan aku harus pulang kampung. Dia memberi kabar akan berpatisipasi dalam Festival Seni dan Teater se-Provinsi Jawa Timur. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak datang menemaninya. Momen yang sangat rugi untuk
terlewatkan melihat kekasih hati menunjukkan kualitas bakatnya di hadapan publik Jawa Timur. Malam itu dengan menggunkan kemeja putih, dasi merah dipadu dengan blazer hitam dan jeans hitam. Aku menorobos gelapnya jalan pedesaan menjemput kekasih hati. Mendekati rumahnya sebotol parfum aku rogoh dari saku celanaku dan menyemprotkan ke tubuhku. Sesampainya di rumahnya, Adis menyambutku dengan lambaian tangan lalu dia menghampiriku yang sedang berada di luar rumahnya. Memandangi mulai dari atas hingga bawah penampilanku dan sesekali hidungnya menghirup aroma parfumku. “You’re handsome tonight my prince.” “Thanks. You’re beautifull my princess.” Dia mengajakku memasuki rumahnya dan mengajakku untuk pamitan kepada orang tuanya. Ijin diperoleh kita langsung meninggalkan rumah. Sesampainya di gedung tempat festival itu digelar, aku kaget mengetahui jarak gedung dan restauran lantai 5 itu tidak terlalu jauh. Aku menawarkan selepas festival nanti untuk mampir ke restaurant itu. Anggukan kepalanya menandakan dia menyetujui ajakanku. Tibalah giliran dia untuk tampil bersama grup teaternya. Dia begiu enjoy menampilkan bakatnya pada ribuan mata yang memadati gedung itu. Dengan membawa kamera, aku menuju depan panggung untuk mengabadikan penampilannya. Tepuk tangan meriah dari penonton menyambut berakhirnya pertunjukan teater Adis dan grupnya. Kegembiraan terpancar dari raut wajah mereka. Mungkin mereka tidak menyangka penonton yang hadir sangat
terhibur dengan aksinya. Kebahagian itu menular padaku, hatiku sangat senang mempunyai seorang kekasih yang sangat luar biasa dengan bakat seninya. Mereka kemudian turun menuju ruang ganti dan aku langsung memberhentikan langkah mereka dan mengajaknya mereka untuk bersama. Bagi pria setampan aku narsis di depan kamera sudah menjadi kebiasaan. Sesaat setelah mengganti pakaiannya, terlihat molekul-molekul air sedang membanjiri wajah kemudian menetaskannya ke tanah. Napasnya juga sedikit tersengalsengal. Tanpa pikir panjang kutarik tangannya dan mengajaknya menuju restauran. Terlihat Adis melahap semua makanan yang dipesannya. Rupanya dia tadi belum sempat mengisi perutnya. Selepas makan malam, aku mengajaknya mengobrol ringan seputar keluarga, teman dan lingkungan sekolahnya. Tak terasa jarum jam berputar begitu cepat, padahal aku merasa baru saja memulai obrolanku dengannya. Aku menyuruhnya untuk mengirimkan kabar pada orangtuanya jika malam ini akan menginap di rumah temannya. Orang tua tenang, kita pun senang. Tepat pukul 23.00 Adis memberikan kode untuk naik ke lantai atas. Saat berada di sana, ternyata dia bertemu seorang cowok dan sedang asyik mengobrol. Rasa penasaran membuatku menghampirinya. Ternyata cowok itu adalah mantannya. Pikiranku bertanya-tanya melihat mantannya yang menurutku jelek. Hitam, gendut dan rambutnya diikat menggunakan karet gelang. Mana mungkin cowok itu bisa merebut hatinya. Aku baru ingat ternyata mantannya seorang gitaris yang tadi juga berpartisipasi dalam festival.