11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Gagasan otonomi daerah yang kini berkembang bukan merupakan ha1 yang
baru. Kenyataan ketimpangan pusat-daerah yang selama ini terjadi hanya merupakan pemicu lahirnya gagasan otonomi daerzh. Menurut Tim Lapera (2001)
dalam Riyanto (2003), secara mum terdapat dua kecenderungan hubungan antara pusat dan daerah yaitu hubungan sentralistik dan hubungan yang desentralistik (otonomi). Pemikiran otonomi daerah didasarkn kepada htik atas kenyataan bahwa pemusatan lebih memberikan keuntungan kepada pusat dan tidak secara otomatis membawa kernanfaatan bagi daerah. Secara prinsip hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah bagaimana menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan rakyat mencapai suatu kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Oleh karena itu otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat clan hubungan antara pusat clan daerah, tetapi juga menyangkut hubungan antara penyelenggara kekuasaan dengan rakyat. Berbeda dengan otonomi daerah yang pernah diselenggarakar, pada waktu sebelumnya, otonomi daerah sejak tahun 2001 yang merupakan tuntutan reformasi diberi makna sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No. 22 Tahun 1999). Dinyatakan pula bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemeratm dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah. Singkatnya pemberlakuan otonomi daerah,
memberikan ruang
(kewenangan) kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan kebijakan dan program sesuai dengan potersi daerahnya masing-masing. Pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab oleh pemerintah daerah serta melibatkan masyarakat setempat sangat mengurangi kesenjangan yang semakin lebar di segala bidang. Telah disebutkan sebelumnya penyerahan kewenangan di bidang fiskal pada dasarnya merupakan inti dari desentralisasi atau otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah terutama desentralisasi fiskal akan mempenganh anggaran daerah yang tercermin dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
2.2
Keuaugau Pemerintah Daerah Masalah besar dalam keuangan daerah (regional) adalah menyangkut upaya
mendapatkan uang maupun pembelanjaannya. Artinya, tentang bagaimana sumber pendanaan digali dan didistribusikan, dan siapa yang menentukannya. Berkaitan dengan aspek penerimaan daerah, Davey (1983) membedakan sumber-sumber keuangan daerah ke dalam beberapa sumber yaitu (1) alokasi dari pemerintah pusat, (2) bantuan pusat (grant) dengan berbagai jenisnya, (3) bagi hasil pajak (tax sharing), (4) pinjarnan (borrowing), (5) penyertaan modal yaitu investasi pemerintah pusat pada suatu pemerintah regional, (6) perpajakan, dan (7) retribusi. Sedangkan dari segi pengeluaran jenisnya dapat dibedakan ke dalam (1) pengeluaran rutin, dan (2) pengeluaran pembangunan atau investasi.
2 3 Pelaksanaan Otonorni Daerah dan Penanggulsngan Kerniskinan Dalam kewenangan yang dimiliki daerah, melekat pula lewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara p r o ~ fmengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakm menciptakan sistem layanan publik yang lebih baik, efektif, dan efesian, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat.
Oleh
karena
itu
upaya
penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab dan atau dilakukan oleh pemerintah pusat semata. Dipandang dari sudut tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memiliki potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perurnusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan accountable dalam menjalankan "goodgovernance". Sekarang pemerintah daerah
tidak lagi sekedar pelaksana operasional kebijakan yang ditentukan oleh pusat. Apapun yang diperbuat oleh pemerintah daerah dapat dengan mudah dinilai oleh masyarakat setempat. Beberapa faktor lain yang dapat menciptakan pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penaggulangan kemiskinan adalah : 1.
DAU diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block Grant,
sehingga pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana tersebut seseuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain
kini pemerintah daerah dapat betindak lebih tanggap dan pro-aktif dalam
penanggulangan kemiskinan tanpa hams menunggu instmksi dari pemerintah diatasnya (provinsi atah pusat). Hal ini penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin. Ini artinya agenda penganggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah. 2.
Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklirn usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka infestor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kotakabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal
untuk menuju proses perijinan yang cepat, transparan, dan muah. 3.
Daerah yang kaya dengan sumber daya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah untuk pembanguuan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatankegiatan yang bersifat pro orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun.
2.4
Diskusi Tentang Kemiskinan
2.4.1 Pengertian dan Indikator Kemiskinan
Salah satu kunci dalam perumusan strategi penanggulangan kemiskinan adalah pemahaman yang akurat terhadap konsep kemislunan dan indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan. Indikator kemiskinan menjadi dasar
penentwn kelompok sasaran (targettmg), pemantauan kemajuan dan kinerja (performance mdlcator) penanggulangan kemiskinan. Namun sebelum kita berbicara kerniskinan ada baiknya kita memahami dulu apa itu kesejahteraan. Ada banyak defkisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau "well being" (World Bank, 2002). Misalnya kita dapat mengatakan kesejahteraan seseorang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara urnurn;
seseorang dikatakan mampu (memiliki
kemarnpuan ekonomi yang lebih baik) jika dia memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan sumberdaya yang dmilikinya (kekayaan). Atau kita dapat berpikir tentang kernampuan untuk memperoleh jenis barang-barang tertentu (misalnya makanan dm perurnahan). Seseorang yang h a n g mampu untuk andil dalam masyarakat munglun memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah atau lebih rentan terhadap krisis atau gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi dalam konteks ini kemiskinan dapat berarti kurangnya kemampuan memenuhi kebutuhan komoditas secara umum, atau dalam arti kurangnya kemampuan untuk andilherfungsi dalam masyarakat. Dengan demikian kerniskinan merupakan masalah yang bersifat multidemensi szhingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dimensi kemiskinan mencakup empat ha1 pokok, yaitu kutangnya kesempatan (lack of opportunry), rendahnya kemampuan (low capabrlitres), kurangnya jaminan (lowlevel security), dan ketidakberdayaan (low capacity or empowerment). Kerniskinan juga dikaitkan dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukan, dan ketidakberdayaan.
Langkah yang diperlukan selanjutnya dalam perumusan
strategi
~znanggulangankemiskinan adalah menerjemahkan berbagai konsep kemiskinan ke dalam berbagai indikator. Dari segi manajemen publlk, suatu indikator dibedakan menjadi indlkator masukan (inputs), indikator proses (process), indikator keluaran (outputs), indkator hasil (outcomes), indikator manfaat (beneJit), dan indikator dampak (impact). Dengan memperhatikan konsep kemiskinan yang berlaku, indikator kemiskinan dibedakan menurut kelompok indikator kebutuhan dasar, indikator pendapatan, indikator kemampuan dasar dan termasuk penguasaan asset, akses pelayanan publik, dan partisitapi dalam pengambilan keputusan.
Indikator kebutuhan dasar. Indikator kemiskinan yang termasuk dalam kelompok kebutuhan dasar ini antara lain adalah indikator pendidikan (angka buta huruf, tingkat perdidikan tertinggi), indikator kesehatan dan gizi (angka kematian bayi, angka kematian ibu, angka harapan hidup, dan angka kecukupan gizi), dan indikator lain yang relevan.
Indikiitor pendapatan. Indikator pendapatan yang sering dipakai untuk mengukur kemiskinan adalah indeks kemiskinan absolut (headcount index) yang dihitung berdasarkan garais kerniskinan. Indikator pendapatan juga dapat digunakan untuk mengukur indeks kedalaman kemiskinan (povery gap index) clan
indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Data dasar yang digunakan untuk mengukur indeks kemiskinan absolut, indeks kedalaman dan indeks
keparahan kemiskinan adalah data pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Data pengeluaran sebagai proxy bagi data pendapatan. Hal ini dilakukan karena
kesulitan dalam mengumpulkan data pendapatan secara akurat. Data rumah tangga tersebut dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik melalui SUSENAS.
Indikator kemampuan dasar. Indikator kemarnpuan dasar merupakan gabungan dari indikator pendapatan dan indikator kebutuhan dasar ditambah dengan indikator penguasaan asset berupa modal, lahan, prasarana, dan lingkungan, serta tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan indikator lain yang relevan.
2.4.2 Kerniskinan Relatif dan Absolut
Terkadang kita tertarik untuk menekankan perhatian kita khusus pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20% atau 40% dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan atau pzngeluaran, kelompok ini merupakan penduduk ymg relatif miskin. Bila mendefinisikan cara ini maka tidak dapat disangkal bahwa "orang miskin selalu hadir bersama kita". Ukuran atau d e ~ s i tersebut sering membantu h t a untuk menentukan program sasaran yang ditujukan untuk
membantu penduduk miskin.
Mendefinisikan kelompok miskin
menggunakan cara seperti ini disebut dengan kerniskinan relatif. Dalam praktek negara kaya memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi daripada negara rniskin. Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi kecuali Amenka Serikat, dimana garis kemiskinannya tidak berubah selama hampir empat dekade. Uni Eropa umurnnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan perkapita di bawah 50% dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median atau rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan juga meningkat.
Kemiskinan absolut di sisi yang lain, merupakan kemiskinan yang didefinisikan jika seseorang berada pada garis kemiskinan absolut "tetapltidak berubah" dalam ha1 standar hidup. Garis kemiskinan Arnerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkm dapat dibandingkan dengan angka kemiskinan stau dekade yang lalu. Ada masalah konseptual penting yang muncul ketika bekerja dengan garis kemiskinan absolut, yang muncul dari isu apa yang dimaksud dengan ~ s t k d ahidup". r
2.4.3 Ukuran Kemiskinan dan Ketimpangan.
Jika diberikan informasi tentang konsumsi per kapita, dan sebuah garis kemiskinan, maka masalah yang tertinggal hanyalah memutuskan ukuran yang cukup untuk meringkas agregat kemiskinan. Ada sejumlab ukuran agregat kemiskinan yang dapat dihitung. Tokoh-tokoh pemerhati kemiskinan di dunia telah mengembangkan ukuran kerniskinan (povew measures), diantaranya yang terkenal dan formulanya telah banyak digunakan hingga saat ini adalah Foster, Greer clan Thorbecke (1984) dalam Ikhsan (1999). Tokoh-tokoh ini telah mempelopori usaha-usaha untuk memperbadci iudeks kemiskinan yang konsisten menurut teori ekonomi dan dapat dioperasionalkan yang dikenal dengan FGT indeks. Secara matematis formula FGT poverty index dapat ditulis sebagai berikut :
dengan, n
= jumlah
penduduk; Yi= pendapatanlpengeluaran perkapita penduduk
miskin ke-i ; z = garis kemiskinan.
FGT indeks akan menjadi Head-Count Index (HCI) jika a+; akan menjadi Poverty Gap Index (PGI) jika a=l;Poverty Severity Index atau Square Poverty Gap (SPgap)jika a=2.
Ketiga indeks di atas hanya akan berguna jika digunakan secara bersamasama (Ikhsan, 1999). HCI menggambarkan berapa persentase dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, PGI menggambarkan kedalaman tingkat kemiskinan, sedangkan SPGap menggambarkan distribusi pendapatan orang miskin yang menjelaskan tingkat keparahan.
Ukuran kemiskinan menekankan pada keadaan individu atau rumah tangga yang berada pada posisi bawah dari distribusi pendapatadpengeluaran. Umumnya
ha1 ini memerlukan iFformasi baik tentang rata-rata pendapatan (pengeluarannya) maupun distribusinya (pada posisi terendah). Ketimpangan, dilain pihak merupakan sebuah konsep yang lebih luas dalam arti bahwa ketimpangan didehsikan terhadap seluruh populasi, dan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar ukuran ketimpangan tidak bergantung pada rata-rata distribusi, dan sifat ini dianggap sebagai sifat yang disenagi dari suatu ukuran ketimpangan. Perlu dicatat bahwa ukuran ketirnpangan dapat dihitung untuk setiap distribusi, tidak hanya konsurnsi, pendapatan atau variabel moneter lain, tetapi juga bisa untuk tanah dan variabel kontinyu lainnya. Kadang-kadang kita lebih tertarik mengukur ketimpangan daripada kemiskinan semata. Cara yang paling sederhana dimulai dengan membagi penduduk menjadi lima bagian dari kelompok termiskin hingga kelompok terkaya, dan melaporkan tingkat atau proporsi pendapatan (pengeluaran) yang
diterima oleh setiap kelompok. Ukuran ketimpangan lain yang urnum digunakan adalah : 1.
Koefisien Ketimpangan Gini. Ukuran ketimpangan tunggal yang paling luas digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio). Koefisien Gini didadan pada kurva Lorenz, sebuah kurva fiekuensi kurnulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam yang mewakili pemerataan. Untuk membentuk koefisien Gini, gambarlah
grafik presentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) pada sumbu horisontal, dan presentase kumulatif pengeluaran (pendapatan ) pada surnbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Gms diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien gini didefhisikan sebagai A/(A+B).
100 m
80
3
d
al
p
60
al
P
*tii
-
z
z
3
40
20 0 0
20
40
60
80
% kurnulatif penduduk
Gambar 1. Kurva Lorenz Untuk Pengeluaran
100
Misalkan
sebuah titik pada swnbu X, dan yi sebuah titik pada sumbu Y.
Maka:
Kisaran nilai Gini
: OrGiniS 1
Pengertian nilai : 0, berarti pemerataan sempurna. 1, berarti ketimpangan sempuaa. 2.
Rasio Dispersi Desil (Decil Dispersion Ratio). Ukuran lain yang sederhana dan luas digunakan adalah rasio dispersi desil, yang menyajikan rasio rata-rata konsumsi dari pendapatan 10% peduduk terkaya dibagi dengan rata-rata konsumsi dari pendapatan 10% penduduk termiskin, atau rasio ini dapat juga untuk persenti1 yang lain. Rasio desil dapat langsung diinterpretasi dengan mengatakan pendapatan 10%tertinggi (kaya) sebagai perkalian dari pendapatan mereka yang berada di desil terendah (miskin). Meslupun demikian ukuran tersebut mengabaikan informasi tentang pendapatan dari golongan meilengah pada distribusi pendaoatan, dan bahkan tidak menggunakan mformasi distribusi pendapatan dalam desil tertinggi dan terendah itu sendiri. Pengukwan distibusi pendapatan pada penelitian ini adalah menggunakan
koefisien ketimpangan Gini yang selanjutkan disebut Indeks Gini.
2.4.4 Determinan Kerniskinan
Deteminan kemiskinan adalah fakor-faktor atau karakteristik yang menentukan seseorang dapat menjadi miskin. Secara ringkas faktor-faktor penentu kernisban dapat digolongkan pada beberapa karakteristik yaitu menurut wilayah,
komunitas, karakteristik rumah tangga, dan karakteristik individu (world Bank, 2002). Karakteristik menurut wilayah secara urnum tingkat kemiskinan tinggi terjadi pada wilayah dengan ciri-ciri sebagai berikut : terpencil secara geografis, surnberdaya yang rendah, curah hujan rendah, dan kondisi iklim yang tidak ramah. Pada tingkat komunitas, inftastruktur merupakan determinan utama kemiskinan. Indikator pembangunan infi-astruktur yang s e ~ digunakan g dalam pemodelan ekonometrik mencakup akses terhadap jalan aspal, ada tidaknya akses terhadap listrik, kedekatan terhadap pasar bebas, tersedianya sekolah dan klinik, dan jarak ke pusat administrasi. Indikator lain dari karakteristik tingkat komunitas mencakup pem5angunan sumberdaya manusia, akses yang sama terhadap pekerjaan, mobilisasi sosial dan keterwalalan (representasi), dan distribusi lahan pertanian. Penelitain terbaru telah menekankan kepada pentingya jaringan dan institusi sosial, serta modal sosial (social capital) dalam masyarakat. Beberapa karakteristik penting menurut kelwga dan individu mencakup
struktur umur anggota rumahtangga, pendidikan, jender kepala rumah tangga, dan tingkat partisipasi angkatan kerja.
2.5
Tinjauan Studi Terdahulu Studi mengenai desentralisasi fiskal sudah banyak dilakukan baik menurut
wilayah maupun menurut aspek yang diteliti. Studi desentralisasi fiskal dengan
cakupan wilayah agregasi nasional (Indonesia) atau provinsi, serta aspek yang diteliti adalah perekonomian daerah dan pemerataan antar daerah pernah dilakukan oleh Brodjonegoro, dkk (2001), Riyanto (2003), Pardede (2005), Saefudin (2005), Sumedi (2005), dan Pakasi (2005). Studi desentralisasi fiskal
dengan cakupan wilayah agregasi nasional dan aspek yang diteliti mengenai kerniskinan pernah dilakukan oleh Yudhoyono (2004) dan Nanga (2006). Brodjonegoro, dkk (2001), mencoba menyusun model ekonornetrika desentralisasi khususnya mengenai dana alokasi badi hasil surnber daya alam dan DAU dalam kaitannya dengan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Pengembangan model ekonometrika ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelaksanaan bagi hasi sumber daya lalam dan alokasi DAU terhadap kesenjangan antar daerah dan merumuskan format alokasi surnber daya alam dan DAU yang mampu m e n d h g proses pengwangan kesenjangan pendapatan antar daerah. Model analisis yang dibangun menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembagian penerimaan negara melalui konsep bagi hasil menimbulkan kesenjangan antar daerah. , sedangkan kebijakan alokasi DAU mampu memperkecil kesenjangan antar daerah. Riyanto (2003), melakukan penelitian dengan tujuan menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah dan pemerataan pembangunan wilayah di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan membangun model hubungan antara blok perekonomian daerah dengan blok keuaflgan daerah menggunakan model ekonometnka. Setiap persamaan dalam model kemusian diestimasi dengan teknik pooled time series - cross section regression. Disamping itu melakukan studi kasus untuk menelaah proses perencanaan di daerah setelah desentralisasi fiskal diberlakukan. Penelitian in menemukan bahwa dana perimbangan amg rnerupakan transfer dari pemerintah pusat ke daerah secara signiaan meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi dana perimbangan tersebut tidak berdampak secara signifikan dalarn
peningkatan perekonomian daerah. Hal ini disebabkan oleh masih besarnya belanja ruth dalam komponen APBD, kualitas sumberdaya rnanusia yang rendah dan tidak efesiennya birokrasi pemerintah, kelembagaan pemerintah yang lemah, serta tidak efesiennya proses perencanaan pembangunan daerah karena derajat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan masih rendah. Selanjutnya hasil simulasi model ekonometrika untuk analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pemerataan pembangunan wilayah diperoleh informasi bahwa dana perimbangan dapat meri~perbaikipemerataan pembangunan antar wilayah, walaupun secara aktual pemerataan pembangunan wilayah pada tahun 2001 belum membaik. Pemerataan pembangunan wilayah tersebut akan lebih baik jika formula untuk mengalokasikan Dana Alokasi Umum diterapkan secara konsisten dengan megurangi peranan faktor penyeimbang (faktor politik). Pardede (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari
hasil
simulasi yang dilakukan, Pardede menemukan bahwa peningkatan Bagi hasil Pajak dan Bukan Pajak serta upah berdampak negatif terhadap perekonomian (PDRB), kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan, namun berpengaruh positif terhadap Inflasi. Sementara itu peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi berdampak positif terhadap terhadap perekonomian (PDRB), kesempatan keja, dan distribusi pendapatan, namun berpengaruh negatif terhadap Inflasi. Sedangkan peningkatan DAU dan Pembangunan Mi-astruktur secara umum berdampak positif terhadap perekonomian dan kesempatan kerja, sebaliknya berdampak negatif terhadap Inflasi dan distribusi pendapatan.
Saefudin (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fisical terhadap kinerja perekonomian dan kelembagaan di Provini Riau. Saefbdin menemukan bahwa dari evaluasi pelaksanaan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dan kinerja fiskal daerah menunjukkan bahwa pada sisi penerimaan terjadi peningkatan, dimana dana transfer dari pemerintah pusat memberi kontribusi terbesar, tetapi pada sisi pengeluaran menunjukkan alokasi (proporsi) pengeluaran rutin meningkat lebih tinggidaripadi alokasi pengeluaran pembangunan. P e n m a n alokasi pengeluaran pembangunan ditunjukkan oleh penurunan alokasi pengeluaran untuk sektor-sektor pembangunan khususnya sektor pertanian dan pelayanan sosial urnurn. Kenaikan kebijakan DAU dan Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak, dan realokasi pengeluaran rutin dan pembangunan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pandapatan, p e n m a n kesenjangan antar daerah. Secara umum Eksekutif sebagai pelaksana kebijakan desentralisasi fiskal dan Legislatif sebagai fimgsi anggaran dan kontrol Pemda belum dapat menjalankan ketentuan UU No. 22 d m UU No. 25 Tahun 1999 dan kinerja dengan baik. Secara adrninistrasi dan ekonomi Pemda belum mampu memberikan pelayanan publik dengan baik. Indikator utamanya adalah belumadanya perubahan mendasar terhadap pelayanan publik, dernikian halnya dengan kinerja administrasi (keuangan), pengelolaan pembanguntin dan kelenbagaan daerah. Sumedi (2005), melakukan penelitian mengenai darnpak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja sektor pertauian. Pada cakupan wilayah, Sumedi menyoroti dampak kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat. Analisis dampak kebijakan desentrlisasi fiskal terhadap kesenjangan antar kabupatenkota di Jawa Barat dibedakan atas daerah (kabupatedkota) dengan
basis industri dan pertanian. Indiktor yang digunakan adalah kontribusi PDRB sektoral. Daerah pertanian adalah kabupatenlkota yang memiliki pangsa PDRB sektor pertanian relatif besar yaitu lebih dari 10 persen. Jika pangsa PDRB sektor pertanian b a n g dari 10 persen, masuk dalam kategori daerah industri. Diantara temuan-temuan yang diperolehnya, diketahui bahwa pemngkatan DAU berdampak pada peningkatan kesenjangan antar kabupatenlkota baik di daerah berbasis pertanian maupun industri sehingga pada tingkat Provinsi Jawa Barat juga mengalami peningkatan kesenjangan antar daerah. Hasil ini bertolak belakang dengan tujuan pemberian DAU yang salah satunya adalah untuk mengurangi kesenjangan antar daerah justru berdampak sebalhya. Sumedi mengatakan ha1 ini disebabkan karena alokasi DAU yang belum proporsional berdasarkan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki daerah namun mash sangat dominan menggunakan faktor penyeimbang. Pakasi (2005) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Pakasi adalah pertama, setelah desentralisasi, kinerja fiskal daerah didomhasi oleh penerimaan DAU terhadap Fiscal Available dan pengelwan rutin terhzdap Fiscal Need Kedua, kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun kecil pengaruhnya terhadap perekonomian daerah. Ketiga, darnpak transfer DAU lebih besar terhadap kinerja fiskal daerah, sedangkan dampak investasi baik domestik maupun asing lebih besar terhadap perekonomian daerah. Dan keempat, realokasi anggaran rutin ke anggaran sektor yang terkait dengan masyarakat seperti infrastruktur, kesejahteraan sosial, dan
pendidikan, dapat meningkatkan kinerja perekonornian daerah yang selanjutnya berdampak meningkatkan kinerja fiskal daerah. Yudhoyono (2004), melakukan penelitian yang secara umum bertujuan menganalisis dampak penerapan kebijakan fiskal, terutama pengeluaran pemerintah, terhadap pengangguran dan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan ini Yudhoyono menggunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan yang terdiri atas 22 persamaan struktural dan 9 persamaan identitas. Model ini diduga dengan persamaan 2SLS. Hasil pendugaan parameter kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario kebijakan yang relevan. Hasil dugaan model menunjukkan bahwa rejim pemerintahan berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian, khususnya PDB dan kerniskianan. Kondisi ekonomi-politik yang ditimbulkan oleh rejim pemerintahan orde baru cenderung menumnkan PDB pertanian dan non-pertanain. Akibatkan kemiskinan dperdesaan dan perkotaan cenderung meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infiastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran. Selain itu, studi Yudhoyono menemukan bahwa untuk men,p-angi kemiskinan, khususnya diperdesaan, diperlukan polic?, mix antara pengeluaran pemerintah untuk pembangunan pertanian dan kebijakan upah. Nanga (2005), melakukan studi mengenai dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Nanga menyatakan bahwa kemiskinan mash merupakan masalah yang serius dan memiliki keterkaitan yang era-dengan pertumbuhan ekonomi dan distibusi pendapatan. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan melalui
trasfer fiskal merupakan salah satu kebijakan pemerintah, yang langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan dampak terhadap kemiskinan di Indonesia. Secara urnurn, tujuan studi yang dilakukan Nanga adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhai kemiskinan dan menganalisis dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan yang dibangun terdiri dari enam blok persamaan yaitu: fiskal, output, tenaga kerja, pengeluaran pekapita, distribusi pendapatan, dan Kemiskinan. Hasil studi Nanga menunjukkan bahwa transfer fiskal di Indonesia rnemiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, dan kemiskinan ternyata sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan. Persarnaan penelitian kali ini dengan dua penelitian terakhir adalah dari aspek yang diteliti yaitu mengenai kemiskinan. Namun dalam penelitian ini cakupan wilayah tidak saja dilihat secara agregat nasional namun didisagregasi berdasarkan kawasan dan pulau-pulau besar. Berdasarkan kawasan dibedakan menjadi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), sedangkan yang dimaksud pulau-pulau besar adalah Pulau Sumatera, Jawa dan
Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Lainnya (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua). Metode estirnasi yang digunakan adalah dengan teknik pool time series section regression seperti yang dilakukan Riyanto.
-
cross