Fungsionalisasi hukum pidana dalam Tindak pidana perambahan hutan Di suaka margasatwa karang gading dan Langkat timur laut propinsi sumatera utara
Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama: Hukum Pidana Ekonomi
Oleh : Herbert Bangun Parlagutan Aritonang NIM.S330908005
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ne malis expediat esse malos (yang jahat tidak boleh lebih beruntung daripada yang tidak jahat).1 Hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Ketertiban dalam masyarakat merupakan cita-cita keseluruhan masyarakat untuk dapat menjalankan kehidupan secara damai sesuai dengan hak dan kewajibannya. Apabila yang berbuat jahat tidak mendapat sanksi setimpal atas perbuatannya, akan mengakibatkan timbulnya niat orang lain untuk melakukan perbuatan jahat yang sama maupun perbuatan jahat yang lainnya. Sanksi berupa hukuman merupakan sarana untuk membatasi keinginan bebas dari individu untuk melakukan perbuatan yang melawan hukum. Karena itulah dalam suatu negara modern dibuat peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat yang dilengkapi dengan sanksi bagi yang melanggarnya. Peraturan tersebut dibuat dalam undangundang tertulis yang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan pidana (sanksi) mana yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya. Perundangan-undangan pidana itu mengatur tentang perbuatan apa yang dilarang dilakukan atau mengatur berbagai rumusan tentang kejahatan dan pelanggaran. Inilah yang disebut sebagai hukum pidana materil. Hukum pidana materil ini diciptakan pada masing-masing sektor untuk mengatur berbagi aspek yang tercakup dalam perundang-undangan itu. Pengaturan tentang kehutanan diatur melalui Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823) yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888). Sedangkan pengaturan kawasan konservasi ditetapkan melalui Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
1
Etika Spinoza dalam Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm.33.
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419). Walaupun pengaturan tentang kehutanan di Indonesia telah dipayungi dengan berbagai Undang-undang, namun kondisi penegakan hukum di bidang kehutanan pada saat ini secara makro belum sesuai dengan yang diharapkan. Permasalahan di bidang kehutanan cenderung makin menumpuk, rumit bahkan mengarah jadi sumber ancaman ketentraman. Tindak pidana kehutanan pada saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. Pada waktu-waktu yang lalu tindak pidana kehutanan hanya dilakukan secara sporadis dan tidak melibatkan banyak pihak, namun pada saat ini tindak pidana kehutanan dilakukan dengan pola-pola yang lebih terencana, sistematis dan melibatkan jaringan yang kompleks baik nasional maupun internasional. Klasifikasi tindak pidana kehutanan diungkapakan oleh Leden Marpaung menjadi tiga jenis yaitu: (1) tindak pidana terhadap hutan, (2) tindak pidana terhadap hasil hutan, (3) tindak pidana terhadap satwa, yang masing-masing klasifikasi memiliki banyak sekali macam tindak pidananya2. Perkembangan tindak pidana kehutanan yang demikian cepat dan kompleks baik dilihat dari jenis tindak pidananya, modus operandi, pelaku maupun implikasi atau akibat dari tindak pidananya menjadikan tindak pidana kehutanan dikategorikan sebagai kejahatan terorganisir (organized crime).3 Praktek-praktek pembalakan liar, okupasi lahan, perburuan dan peredaran tumbuhan dan satwa liar mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan dan terancamnya populasi tumbuhan dan satwa liar yang dieksploitasi secara tidak
2
Tindak pidana terhadap hutan misalnya: menduduki kawasan hutan lindung tanpa ijin, penggunaan alat-alat yang merusak hutan, melakukan eksplotasi dan eksplorasi hutan tanpa ijin. Tindak pidana terhadap hasil hutan misalnya: penebangan liar dalam hutan lindung, pengambilan hasil hutan tanpa ijin, memperniagakan tumbuhan yang dilindungi. Tindak pidana terhadap satwa misalnya: menangkap, melukai, membunuh, memindahkan atau memperniagakan satwa yang dilindungi. Lihat Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Erlangga, Jakarta, 1995, hlm.18-56 3
Memasukkan tindak pidana kehutanan ke dalam kategori kejahatan terorganisir, misalnya diungkapkan oleh Erwin Mapasseng dalam Herdiman, Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan Hidup OZON, Volume 4 Nomor 3, Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Desember 2003, Jakarta, hlm.22
terkendali. Dalam upaya perlindungan hutan terdapat lima jenis kerusakan hutan yang perlu mendapat perhatian, yaitu : 1. Kerusakan hutan akibat pengerjaan/pendudukan tanah hutan secara tidak sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya, dan pengusahaan hutan yang tidak bertanggung jawab; 2. Kerusakan hutan akibat pengambilan batu, tanah dan bahan galian lainnya, serta penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah/tegakan; 3. Kerusakan hutan akibat pencurian kayu dan penebangan tanpa ijin; 4. Kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dan akibat kebakaran; 5. Kerusakan hasil hutan akibat perbuatan manusia, gangguan hama dan penyakit, serta daya alam.4 Klasifikasi jenis kerusakan hutan yang pertama di atas merupakan definisi yang tepat untuk menjelaskan pengertian tindak pidana perambahan hutan. Pengerjaan/pendudukan tanah hutan secara tidak sah merupakan kegiatan yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan hutan secara ekstrim. Perambahan hutan dilakukan dengan mengambil hasil hutan dan kemudian mengkonversi hutan menjadi peruntukan lain secara illegal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah “perambahan” adalah proses, cara, perbuatan merambah5.
Sedangkan
definisi
yang
dikemukakan
oleh
W.J.S.
Purwadarminta, “merambah” adalah (1) membabat; menebangi (memangkas dan sebagainya) tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon dan sebagainya6. Jadi perambahan hutan adalah proses, cara, perbuatan membabat; menebangi (memangkas
dan
sebagainya)
tumbuh-tumbuhan,
pohon-pohon
dan
sebagainya dalam suatu kawasan yang disebut dengan hutan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pada penjelasan pasal 50 ayat 3 huruf (b), yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Sementara dalam Undang-undang Nomor 5 tahun
4
Salim, HS., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hlm. 100
5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hlm. 925 6
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm.942.
1990 tentang KSDAH & E kegiatan perambahan hutan dan definisinya tidak disebutkan
secara
eksplisit.
Dalam
Undang-undang
ini
hanya
memformulasikan tindak pidana perambahan dalam rumusan delik materil berupa kegiatan yang dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam atau keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana terdapat dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990. Dalam penulisan tesis ini, yang dimaksud dengan tindak pidana perambahan hutan bukan hanya mengacu pada satu delik sebagaimana yang terdapat dalam pasal 50 ayat 3 huruf (b) Undang-undang nomor 41 tahun 1999. Akan tetapi yang dimaksud dengan tindak pidana perambahan hutan adalah setiap perbuatan mengerjakan pembukaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan dengan membabat, menebangi (memangkas dan sebagainya) tumbuhtumbuhan, pohon-pohonan dalam suatu kawasan yang disebut dengan hutan baik dengan maksud untuk menguasai atau menduduki kawasan tersebut yang akibat perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan hutan dan perubahan keutuhan kawasan hutan. Pada saat ini kegiatan perambahan hutan hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan perambahan hutan mencapai puncaknya pada awal era reformasi pada tahun 1998. Perambahan hutan terjadi secara sporadis dan dilakukan dengan berbagai cara. Di berbagai tempat di sekitar kawasan hutan terjadi okupasi kawasan hutan yang secara illegal dikonversi menjadi lahan perkebunan, pertambakan maupun pemukiman. Kegiatan perambahan tidak hanya dilakukan oleh oknum masyarakat sekitar hutan namun juga telah mengundang sejumlah pemilik modal yang yang memanfaatkan situasi krisis ekonomi dan dampak krisis moneter yang melanda masyarakat sekitar hutan. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa kegiatan perambahan ini telah sistematis dengan melibatkan banyak pihak yang berkepentingan. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perambahan hutan hingga kini masih sulit untuk dituntaskan. Setiap hari, ratusan bahkan ribuan hektar hutan gundul akibat penebangan secara liar. Padahal harus disadari bahwa hutan adalah salah satu penunjang eksistensi
kehidupan di muka bumi ini. Jika hutan rusak, maka simbiosis kehidupan akan terganggu. Namun ironisnya kegiatan perambahan hutan masih terus berlanjut baik pada kawasan hutan lindung, hutan konservasi maupun hutan produksi. Kegiatan perambahan hutan ini mulai dari yang modusnya secara tersembunyi hingga yang terjadi secara terang-terangan di depan mata. Akibatnya, negara mengalami kerugian milyaran bahkan trilyunan rupiah. Di Propinsi Sumatera Utara dari sebesar 3.742.120 hektar luas keseluruhan hutan, sekitar 894.146 hektar dalam kondisi kritis atau hampir 25% kawasan hutan di Sumatera Utara dalam keadaan rusak total berdasarkan laporan Dinas Kehutanan Sumatera Utara.7 Perambahan hutan terjadi baik pada hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi. Salah satu kawasan hutan konservasi yang mengalami kerusakan akibat perambahan hutan di Propinsi Sumatera Utara adalah Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang berada di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat. SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan hutan suaka alam yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 dengan luas ±15.765 hektar8. Kawasan seluas 9.520 hektar berada di Kabupaten Langkat dan 6.245 hektar berada di Kabupaten Deli Serdang. Kawasan Suaka alam ini sebenarnya telah ada sejak jaman sebelum kemerdekaan. Pada awalnya kawasan hutan bakau Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan hutan produksi kemudian setelah Indonesia merdeka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980, status kawasan hutan ini ditetapkan sebagai Hutan Suaka Alam c/q Suaka Margasatwa. 7
Propinsi Sumatera Utara memiliki luas wilayah sebesar 7.168.000 hektar dimana setengahnya merupakan kawasan hutan dengan luas sebesar 3.742.120 Ha yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.44/Menhut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.201/MenhutII/2006 tanggal 5 Juni 2006, dengan perincian 477.070 hektar kawasan konservasi, 1.297.330 hektar hutan lindung, 879.270 hektar Hutan Produksi Terbatas, 1.035.690 hektar Hutan Produksi Tetap dan masih menyisakan 52.760 hektar Hutan Produksi yang dapat dikonversi. 8
Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.811/Kpts/Um/11/1980 tentang Penunjukan Areal Hutan Karang Gading Dan Langkat Timur Laut seluas ±15.765 HA Yang Terletak Di Daerah Tk.II Langkat Dan Daerah Tk.II Deli Serdang, Daerah Tk.I Sumatera Utara Sebagai Hutan Suaka Alam Cq. Suaka Margasatwa.
Secara administratif pemerintahan, kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut berada di Kecamatan Tanjung Pura dan Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat dan Kecamatan Labuhan Deli dan Kecamatan Hamparan Perak di Kabupaten Deli Serdang. Gangguan terhadap kawasan ini berlangsung sejak tahun 1990-an dan mencapai puncaknya pada era reformasi sampai sekarang ini. Perambahan kawasan hutan terjadi secara besar-besaran untuk pertambakan, persawahan dan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan hasil inventarisasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara, luasan kawasan hutan yang telah dirambah adalah seluas ±6.588 hektar, baik untuk kebun kelapa sawit, tambak udang maupun pemukiman9. Ironisnya kawasan hutan yang telah dirambah tersebut beberapa areal telah memiliki alas hak berupa Sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional ataupun Surat keterangan tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dan Surat Ganti Rugi yang diketahui oleh Camat setempat. Kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan perambahan hutan sangat besar, di samping kerugian ekonomis dari hasil hutan yang diambil oleh perambah secara tidak terkendali dan mengabaikan azas lestari, nilai kerusakan lingkungan yang terjadi sangat besar dan menimbulkan dampak yang luar biasa bagi ketidakseimbangan ekosistem hutan. Kerugian ekologis menjadi tidak ternilai harganya sebagai akibat tindakan pengrusakan hutan yang dilakukan oleh perambah yang menyebabkan ketidakseimbangan alam. Munculnya berbagai bencana alam, banjir, longsor, kemarau berkepanjangan, krisis air bersih, perubahan iklim10 yang memunculkan berbagai penyakit 9
Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan, Laporan Hasil Audit Khusus Perambahan Pada Suaka Margastwa Karang Gading/Langkat Timur Laut Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Jakarta, 2007, hlm. 7 10
Isu perubahan iklim banyak menimbulkan kontraversi baik di kalangan praktisi, politisi maupun akademisi sendiri. Jadi bisa dibayangkan bagaimana bingungnya masyarakat awam mengenai isu ini. Salah satu penyebeb kontraversi tersebut adalah kesalahpahaman mengenai pengertian peubahan iklim itu sendiri. Perubahan iklim yang dimaksud di sini adalah perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka yang panjang (50 tahun-100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Jadi variabilitas iklim musiman (musim hujan dan kemarau yang berubah mendadak), tahunan (musim kemarau atau hujan yang berubah perioditasanya), dan dekadal (kejadian ekstrim seperti El Nino atau La Nina),
seperti demam berdarah, sampai pemanasan global (global warming) merupakan beberapa akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan perambahan. Kerusakan hutan tropis berdampak luar biasa terhadap perubahan iklim global, hal yang dikemukakan oleh Randall S. Abate & Todd A. Wright misalnya, dapat menunjukkan akibat yang harus ditanggung oleh umat manusia akibat kerusakan hutan. “Tropical deforestation is a multi-faceted threat to the international climate change crisis. In addition to releasing stored carbon, it reduces the remaining forests' capacity to absorb carbon from the atmosphere. Furthermore, the loss of tropical forests will have significant effects on our planet's natural climate stabilizers. For example, the Amazon rainforest alone emits approximately seven trillion tons of water per year into the atmosphere, which ultimately turns into water vapor. This water vapor has a significant cooling effect on global climate patterns.”11 (Rusaknya hutan tropis merupakan ancaman yang cukup beragam terhadap krisis perubahan iklim internasional. Selain melepaskan simpanan karbon, juga mengurangi kapasitas dan fungsi hutan untuk menyerap karbon dari atmosfir. Selain itu, hilangnya hutan tropis akan memiliki pengaruh signifikan terhadap fungsi alami stabilisator iklim planet kita. Sebagai contoh misalnya bahwa hutan hujan Amazon dapat melepaskan sekitar tujuh triliun ton air per tahun ke atmosfir, yang pada akhirnya berubah menjadi uap air. Uap air ini memiliki efek pendinginan yang signifikan terhadap pola iklim global.) Di Indonesia bencana nyata yang terjadi di sebagai akibat pengrusakan hutan sudah semakin sering terjadi sebagaimana yang diungkapkan oleh I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani bahwa pengrusakan hutan di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Papua serta daerah-daerah lainnya telah menimbulkan kekeringan di musim kemarau, terjadinya banjir dan tanah
tidak termasuk dalam kategori perubahan iklim. Kejadian ekstrem tersebut tidak dipengaruhi oleh pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer paling tidak para ahli belum menemukan bukti bahwa intensitas dan frekuensi kejadiannya disebabkan secara langsung oleh pemanasan global. Lihat, Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm.11 11
Randall S. Abate & Todd A. Wright, “A Green Solution to Climate Change: The Hybrid Approach to Crediting Reductions in Tropical Deforestation”, artikel pada Duke Environmental Law and Policy Forum Winter, 2010, hlm. 2
longsor pada musim penghujan serta hilangnya sumber daya keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya.12 Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya maupun dalam Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sanksi pidana telah dipanggil sebagai kebijakan politik kriminal untuk menyelesaikan tindak pidana di bidang kehutanan yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Pemanfaatan sanksi pidana dalam undang-undang bidang kehutanan dimaksudkan supaya orang tidak melakukan kejahatan (ne peccetur), bukan semata-mata karena orang membuat kejahatan (quia peccatum est).13 Hal ini sebagaimana dicantumkan dalam penjelasan umum paragraf ke-18 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi juga ditujukan kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidana yang berat. Namun meskipun kerugian yang ditimbulkan oleh perambahan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut telah mengakibatkan kerugian ekonomis dan ekologis yang cukup besar, fungsionalisasi hukum pidana untuk menanggulangi tindak pidana di kawasan ini masih sangat rendah. Selama periode waktu 2004-2009 dari 8 (delapan) tindak pidana yang disidik, hanya 1 (satu) perkara yang sampai pada proses pengadilan dalam 3 berkas perkara. Beberapa perkara lainnya hanya sampai pada proses penyidikan dan 12
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Krisis Air, Illegal Logging, Dan Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia, artikel pada Jurnal Yustisia, edisi nomor 69, SeptemberDesember 2006, hlm.44-50. 13
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi Kedua,Cetakan Kedua, Penerbit Alumni, Bandung, 1998, hlm. 16
tidak pernah berlanjut sampai proses hukum selanjutnya. Dalam proses penyidikan tindak pidana perambahan hutan yang terjadi di kawasan ini selalu digunakan sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Dalam sistem ini terdapat komponen yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini saling terkait dan harus dapat bekerja sama untuk mencapai sistem ini, yakni: a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.14 Khusus dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan, masih terdapat komponen lain yang terdapat dalam sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Sesuai dengan kewenangannya penyidikan tindak pidana di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut dilakukan oleh Penyidik PNS Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara dan Penyidik Polri. Namun selama masing-masing komponen sistem ini masih merumuskan fungsi dan tugas mereka secara terisolasi (terkotak-kotak) dari komponen lainnya, maka apa yang diharapkan tentang adanya “suatu tujuan yang dihayati bersama”, sukar dicapai.15 Pada saat ini upaya fungsionalisasi hukum pidana untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut berjalan tersendat-sendat baik pada proses penyidikan, penuntutan maupun proses pengadilan. Hambatan tersebut tidak hanya terjadi pada komponen lembaga penegak hukumnya saja, sebagaimana komponen struktur hukum yang didalilkan oleh Lawrence M. Friedman, namun juga bersumber dari kesulitan dalam implementasi ketentuan perundang-undangan dalam bidang kehutanan maupun budaya hukum internal yang telah lama 14
Mardjono Reksodiputro, Hak Azasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku ke-3, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hlm.84 15
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Buku ke-2, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hlm.143
mengungkung aparat penegak hukum. Di samping itu juga faktor budaya hukum masyarakat sekitar hutan menjadi faktor penyumbang bagi tidak berfungsinya hukum pidana dalam tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut Beberapa kasus perambahan hutan yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut misalnya telah diajukan ke proses peradilan pada tahun 2005. Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb.- tanggal 12 Oktober 2006 yang mengadili perkara perambahan hutan konservasi SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut di Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara menjatuhkan putusan lepasnya pelaku dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) dengan adanya alasan pemaaf di luar Undang-undang. Demikian juga dengan Putusan Pengadilan Negeri Langkat nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12 Oktober 2006, dan Putusan Pengadilan Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb tanggal 12 Oktober 2006. Pada proses persidangan di Pengadilan Negeri Langkat para tersangka telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana perambahan hutan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 50 ayat 3 huruf (a) dan (b) UndangUndang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun dalam pertimbangannya, Majelis hakim beranggapan bahwa meskipun secara formal kegiatan pelaku telah memenuhi unsur-unsur delik dalam dalam Pasal 50 ayat 3 huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan akan tetapi kegiatan tersebut tidak memenuhi unsur kesalahan (schuld) sebagai syarat dapat dipidananya seseorang. Pengadilan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) dengan adanya alasan pemaaf di luar Undang-Undang. Putusan Pengadilan Negeri Langkat tersebut dalam kenyataannya justru tidak dapat menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan tidak dapat mencapai cita-cita pembuatan Undang-undang untuk menimbulkan efek jera kepada para pelaku perambahan hutan. Ironisnya sebagai akibat putusan tersebut, tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat
Timur Laut tidak berhenti justru intensitasnya semakin tinggi. Pelaku yang telah divonis lepas dari segala tuntutan hukum, tetap melanjutkan kegiatannya demikian juga pelaku-pelaku yang lain akhirnya turut melakukan kegiatan perambahan hutan sebagai akibat tidak berfungsinya hukum pidana terhadap pelaku perambahan hutan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yakni kepastian hukum (rechtsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechttigkeit).16 Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat menjadi tertib. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat juga mengharapkan manfaat dalam penegakan hukum karena hukum diciptakan untuk manusia dan harus memberi manfaat pada manusia. Sebagai subjek hukum, maka peruntukan hukum adalah untuk manusia. Jangan sampai dalam penegakan hukum justru akan terjadi sebaliknya, hukum menjadi penyebab keresahan di dalam masyarakat. Dalam tataran ideal, ketiga unsur tersebut harus tetap diperhatikan secara seimbang proporsional17, namun secara konsepsional, inti dari penegakan hukum bukan hanya terletak pada nilai tujuan tersebut akan tetapi juga terletak pada keserasian terhadap faktorfaktor yang akan mempengaruhi penegakan dari tujuan hukum tersebut, yaitu pertama, hukum atau peraturan itu sendiri, kedua, mentalitas petugas yang menegakkan hukum, ketiga, fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum dan keempat, kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat18.
16
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,1999, hlm.145 17 18
T. Mulya Lubis, Hukum dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992, hlm.17
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm.35. Bandingkan dengan faktor-faktor penegakan hukum yang menyebutkan ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor
Hukum telah diformalisasi dalam perundang-undangan demikian juga dengan aparatur yang berfungsi untuk menegakkan hukum yang terdapat dalam sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System). Dalam sistem peradilan pidana terpadu, untuk menjalankan fungsi penegakan hukum, masing-masing komponen penegak hukum harus berjalan sesuai dengan koridor dalam undang-undang yang mengaturnya. Namun walaupun rambu-rambu hukum telah ditetapkan, baik dalam hukum materil maupun hukum formil, fungsionalisasi hukum pidana masih belum bisa berjalan sebagaimana yang telah ditetapkan. Akibatnya tujuan hukum pidana sebagai “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan) tidak berfungsi. Hukum pidana dengan sanksi pidananya yang telah dipanggil dalam Undangundang bidang Kehutanan sebagai bagian dari politik kriminal pemerintah Indonesia untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan khususnya tindak pidana perambahan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut tidak dapat berfungsi dengan sebenarnya. Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penyusunan tesis dengan judul : FUNGSIONALISASI HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERAMBAHAN HUTAN DI SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT PROPINSI SUMATERA UTARA
B. Perumusan Masalah Berdasarkan paparan dan identifikasi masalah tersebut di atas, maka dapat dikemukakan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengapa fungsionalisasi hukum pidana mengalami hambatan dalam menanggulangi perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara?
kebudayaan. Lihat Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed.1-8-, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.5
2.
Bagaimanakah kebijakan kriminal (criminal policy) ideal yang harus diterapkan untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara?
C. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari rumusan permasalahan tersebut, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui penyebab terhambatnya fungsionalisasi hukum pidana terhadap perbuatan perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara.
2.
Untuk mengetahui kebijakan kriminal (criminal policy) ideal yang dapat diterapkan untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara.
D. Manfaat Penelitian 1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam hal pengetahuan tentang fungsionalisasi hukum pidana terhadap perbuatan perambahan hutan.
2.
Sebagai kontribusi ilmiah yang positif bagi instansi pemerintah pada umumnya dan secara khusus Departemen Kehutanan c/q Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk menangani permasalahan perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Propinsi Sumatera Utara
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori 1) Fungsionalisasi Hukum Pidana
Kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan perkataan lain kebijakan hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (law enforcement policy), khususnya penegakan hukum pidana atau fungsionalisasi hukum pidana.19 Fungsionalisasi hukum pidana memegang peranan penting dalam upaya penegakan hukum. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum.20 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa fungsionalisasi adalah: hal membuat berfungsi. 21 Jadi fungsionalisasi hukum pidana adalah: hal membuat berfungsinya hukum pidana. Penegakan hukum pidana itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang menjadi bagian integral dari kebijakan sosial (social policy). Politik kriminal ini merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Dapat dibayangkan begitu kacaunya kehidupan manusia apabila tidak terdapat politik kriminal yang dimaksudkan untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Apabila penegakan hukum tidak mencapai fungsinya, kehidupan manusia akan jatuh ke dalam kehidupan yang tanpa aturan, yang akan merendahkan martabat manusia itu sendiri. Begitu manusia sepakat untuk membentuk suatu masyarakat dalam bentuk kontrak sosial, 22 pengaturan tentang perbuatan yang dilarang dan yang diperbolehkan telah diatur dalam hukum yang diakui oleh masyarakat tersebut. Agar tujuan pembentukan peraturan tersebut mencapai fungsinya, diperlukan upaya untuk menggerakkan, menjalankan, dan memfungsikan hukum tersebut. Fungsionalisasi hukum pidana tersebut pada hakikatnya difungsikan untuk mengontrol perilaku warga dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebagai instrumen kontrol, fungsionalisasi hukum selalu
19
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.96. 20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984,
hlm. 157 21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan 3, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.245 22 Menurut Jean Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Sociaal Du principles du droit politique (tentang kontrak sosial atau prinsip-prinsip hukum politik), bahwa melalui kontrak sosial manusia menerima pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral maupun secara yuridis. Lihat R.O. Siahaan, Filsafat Hukum Dan Etika Profesi Hukum, Cetakan Pertama, RAO Press, Cibubur, 2008, hlm.242
disertai ancaman sanksi.23 Hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum secara keseluruhan, sebagai alat kontrol sosial dalam memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup masyarakat haruslah memiliki sanksi. Sanksi merupakan bagian penutup dan terpenting di dalam hukum, karena tidak ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan dalam peraturan perundang-undangan manakala aturan tingkah laku tersebut tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha negara.24 Sanksi merupakan suatu nestapa yang dijatuhkan kepada siapapun yang dinyatakan tidak mematuhi apa yang telah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sanksi yang berfungsi sentral sebagai sarana kontrol akan terealisasi secara pasti untuk menjamin ditaatinya hukum apabila dia ditunjang oleh organisasi yang kuat. Dikatakan bahwa terealisasi atau tidaknya sanksi hukum itu masih bergantung pada kinerja sruktur organisasi penegak hukum yang diselenggarakan negara. Dalam kehidupan masyarakat modern yang telah mengembangkan badan-badan organisasi ketatanegaraan yang formal, keefektifan sanksi guna menjamin ketaatan warga kepada aturan Undang-undang bergantung pada organisasi penegak hukum yang bekerja untuk mengawal ketaatan itu. Bertolak dari pengertian tersebut, maka fungsionalisasi hukum pidana seperti fungsionalisasi atau proses penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian ketiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. 25 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Fungsionalisasi hukum pidana tercakup di dalamnya tiga tahapan kebijakan, yaitu26: a) Tahap kebijakan Formulatif, yaitu suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan. 23
Joseph S. Roucek, Social Control dikutip dari Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Sebuah Pengantar Ke arah Kajian Sosiologi Hukum, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm.135 24
Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Introduction to The Indonesia Administrative Law, Cetakan Kedelapan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm.245 25
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Cetakan I, Alumni, Bandung, 1992, hlm.157 26
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.99
b) Tahap kebijkan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum. c) Tahap kebijakan Administratif, yaitu merupakan tahapan pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum. Dalam konteks penegakan hukum, Soerjono Soekanto mengutarakan beberapa faktor yang dinilainya mempengaruhi, yaitu27: a. Faktor hukumnya sendiri yang di dalam tulisannya, Soekanto membatasi pada Undang-Undang saja. Menurutnya, gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang mungkin disebabkan oleh karena: pertama, tidak diikutinya azas-azas berlakunya Undang-Undang, kedua, belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat
dibutuhkan
ketidakjelasan
arti
untuk
menerapkan
kata-kata
di
dalam
Undang-Undang, Undang-Undang
ketiga, yang
mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya. b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Menurutnya, halangan-halangan yang yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan penegak hukum mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut antara lain: pertama, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; kedua, tingkat aspirasi yang belum tinggi; ketiga kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi; keempat, belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materil; kelima, kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Khusus untuk persoalan ini, menurutnya, sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai 27
hlm.8
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, op.cit.,
berikut: pertama, yang tidak ada diadakan; kedua, yang rusak atau salah diperbaiki atau dibetulkan; ketiga, yang kurang ditambah; keempat, yang macet dilancarkan; kelima, yang mundur atau merosot dimajukan atau ditingkatkan. d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kalau warga masyarakat sudah mengetahui hak dan kewajiban mereka, maka mereka juga akan mengetahui aktifitasaktifitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka sesuai dengan aturan yang ada. e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur efektifitas penegakan hukum.
Oleh karenanya,
dalam
membahas persoalan
penegakan hukum secara sosiologis, perhatian utamanya penting ditujukan kepada faktor manusia dalam hubungannya dengan masalah ini. 2) Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Perambahan Hutan Pengerjaan/pendudukan tanah hutan secara tidak sah merupakan kegiatan yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan hutan secara ekstrim. Dalam Undang-undang bidang kehutanan, pengertian tentang tindak pidana perambahan hutan secara eksplisit disebutkan dalam penjelasan Pasal 50 ayat 3 huruf (b) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa, “Yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang.” Perambahan hutan dilakukan dengan mengambil hasil hutan dan kemudian mengkonversi hutan menjadi peruntukan lain secara illegal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah “perambahan”
adalah proses, cara, perbuatan merambah.28 Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh W.J.S. Purwadarminta, “merambah” adalah (1) membabat; menebangi (memangkas dan sebagainya) tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon dan sebagainya29. Jadi perambahan hutan adalah proses, cara, perbuatan membabat; menebangi (memangkas dan sebagainya) tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon dan sebagainya dalam suatu kawasan yang disebut dengan hutan dengan tanpa seijin pejabat yang berwenang. Apabila dilihat dari kategori perbuatan dan akibat yang ditimbulkan, ketentuan tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, masih dikategorikan sebagai perbuatan perambahan hutan walaupun secara eksplisit tidak disebut sebagai perambahan hutan. Dalam Pasal 50 ayat (3) huruf
a
Undang-Undang
Kehutanan
tersebut
disebutkan
bahwa,
“mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”, merupakan salah satu perbuatan yang dikriminalisasi dan diancam dengan hukuman pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 78 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf a disebutkan bahwa kegiatan tersebut antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya, untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan, untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Sementara dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH & E kegiatan perambahan hutan dan definisinya tidak disebutkan secara eksplisit. Dalam Undang-undang ini hanya memformulasikan tindak pidana yang terjadi dalam rumusan delik materil berupa kegiatan yang dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam atau keutuhan zona inti
28
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hlm. 925 29
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hlm.942.
taman nasional sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990. Dalam praktek hukum kehutanan selama ini bahwa kegiatan tersebut disebut dengan perambahan hutan dan orang yang melakukannya disebut dengan perambah hutan semata-mata mengingat
kesulitan untuk
penyebutan subjek yang melakukan kegiatan yang dikategorikan sebagai kegiatan mengerjakan, menggunakan, menduduki atau merubah keutuhan kawasan suaka alam. Dalam penulisan tesis ini, yang dimaksud dengan tindak pidana perambahan hutan bukan hanya mengacu pada satu delik sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 50 ayat 3 huruf (b) Undangundang nomor 41 tahun 1999. Akan tetapi yang dimaksud dengan tindak pidana
perambahan
hutan
adalah
setiap
perbuatan
mengerjakan
pembukaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan dengan membabat, menebangi (memangkas dan sebagainya) tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan dalam suatu kawasan yang disebut dengan hutan baik dengan maksud untuk menguasai atau menduduki kawasan tersebut yang akibat perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan hutan dan perubahan keutuhan kawasan hutan. 3) Teori-Teori Pemidanaan Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Pidana merupakan karakteristik dari hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Roeslan Saleh menerjemahkan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.30 Pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
30
Muladi & Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm.2
b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempuntai kekuasaan oleh yang berwenang; c) Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang.31 Jadi pidana adalah nestapa atau derita yang ditimpakan kepada orang yang melakukan kejahatan oleh negara atau badan yang berwenang. Sedangkan hukum pidana menurut Mulyatno adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk: a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidanan sebagaimana yang telah diancamkan. c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan, apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.32 Ada berbagai macam pendapat tentang pemidanaan, namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu:33 a) Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) Teori ini beranggapan bahwa dasar pemberian hukuman pidana kepada pelaku tindak pidana (penjahat) semata-mata adalah pembalasan karena telah melakukan suatu kejahatan (quia peccatum est). Penjatuhan pidana yang pada dasarnya adalah penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 arah yaitu: 1) Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan) Bila seseorang melakukan kejahatan, ada kepentingan hukum yang dilanggar. Dan untuk mengembalikan ketertiban umum itu si 31 32
Ibid, hlm.4 Mulyatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000,
hlm.1 33
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 153-162
pelanggar harus mendapat hukuman. Setiap kejahatan, tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya. 2) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan) Akibat adanya kejahatan tersebut, timbul suatu penderitaan baik fisik maupun psikis berupa perasaan tidak senang, sakit hati, marah, tidak puas dan terganggunya ketentraman bathin yang bukan saja dirasakan oleh korban namun dirasakan juga oleh masyarakat. Oleh karena itu untuk menghilangkan dan atau memuasakan penderitaan seperti itu (sudut subjektif) maka kepada pelaku harus diberikan pembalasan yang setimpal (sudut objektif) Oleh sebab itulah dapat dikatakan bahwa teori pembalasan ini sebenarnya mengejar kepuasan hati, baik korban dan keluarganya maupun masyarakat pada umumnya. b) Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien) Pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat dimana untuk mewujudkan ketertiban tersebut diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Untuk mencapai tujuan ketertiban dalam masyarakat, maka pidana itu mempunyai sifat (1) menakut-nakuti, (2) bersifat memperbaiki, (3)bersifat membinasakan. Sedangkan sifat pencegahan teori relatif ini terdiri dari: 1) Teori pencegahan umum Berdasarkan teori pencegahan umum ini tujuan penjatuhan pidana bagi orang yang melakukan kejahatan dimaksudkan agar masyarakat umum menjadi takut untuk melakukan kejahatan. Penjahat yang dijatuhkan hukuman pidana dijadikan contoh oleh masyarakat, agar perbuatan tersebut tidak ditiru dan tidak melakukan perbuatan yang sama.
2) Teori pencegahan khusus Menurut teori ini, penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan dimaksudkan agar pelaku kejahatan tersebut tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk melakukan kejahatan agar tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam perbuatan nyata. c) Teori gabungan (vernegings theorien) Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Teori gabungan ini dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu: 1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat. 2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. 4) Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana dengan Hukum Pidana Upaya atau kebijakan untuk melakukan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal merupakan salah satu bagian dari kebijakan sosial yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan perlindungan kepada masyarakat warga negara. Penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan hanya merupakan salah satu upaya dalam kebijakan kriminal. Apabila penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan hukum pidana maka harus tetap dalam kerangka untuk tercapainya tujuan kebijakan sosial berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat dan terciptanya ketertiban dalam masyarakat.
Kebijakan kriminal (politik criminal) itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas: a. Dalam arti sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana. b. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi c. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral masyarakat. 34 Pada hakekatnya kebijakan hukum pidana dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalkan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau tahap kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan administratif. 35 Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundangundangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hukum pidana merupakan salah satu usaha pencegahan dan pengendalian
kejahatan
dengan
sanksinya
yang
berupa
pidana.
Penggunaan hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial, termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan pidana sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, masih dipermasalahkan apakah sanksi pidana itu diperlukan untuk menanggulangi, mencegah dan mengendalikan
34 35
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hlm.113-114.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm.79
kejahatan. Ada sementara pendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Dasar pendapat ini diletakkan pada dua pandangan yaitu pertama bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan dan pengenaan penderitaan yang kejam yang seharusnya dihindari. Pandangan kedua yang meletakkan dasar pemikirannya pada paham determinisme yang beranggapan bahwa sebenarnya manusia tidak memiliki kehendak bebas untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi dipengaruhi oleh watak pribadi, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal, oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Roeslan Saleh, bahwa pidana dan hukum pidana masih diperlukan untuk menanggulangi kejahatan, dengan alasan :36 a) Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan. b) Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya dan tidak dapat dibiarkan begitu saja. c) Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat. Dari pandangan tersebut mempertahankan adanya pidana dan hukum pidana dibenarkan dilihat dari sudut politik kriminal dan dari sudut tujuan, fungsi dan pengaruh dari pidana itu sendiri. Roeslan Saleh menggunakan istilah “masih adanya dasar susila dari hukum pidana”. Herbert L. Packer 36
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Edisi Kedua Cetakan Kedua, Penerbit Alumni, Bandung, 1998, hlm.153
yang juga membicarakan masalah pidana dengan keterbatasannya, akhirnya menyimpulkan antara lain:37 a) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana. b) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. c) Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik apabila digunakan secara hemat-cermat dan manusiawi, dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Penerapan hukum pidana dan sanksi pidana masih merupakan pilihan kebijakan yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Pilihan kebijakan tersebut tentunya harus melihat kualitas perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya. Jangan sampai bahwa penerapan sanksi pidana itu sendiri lebih merugikan dari pada perbuatan pidananya. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan hukum pidana itu sendiri dalam menanggulangi kejahatan. Barda Nawawi Arief sedikitnya mengidentifikasi keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, yaitu:38 a) Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana b) Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dan sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks c) Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am sympton. Oleh karena itu, hukum pidana 37 38
Ibid., hlm. 155-156
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 198-199
hanya merupakan “pengobatan simptomatik dan bukan pengobatan kausatif”. d) Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif. e) Sistem pemidanaan bersifat fragmenteir dan individu/personal, tidak bersifat struktural/fungsional f)
Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif
g) Bekerjanya/berfungsinya
hukum
pidana
memerlukan
sarana
pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi” Sebagaimana telah disampaikan bahwa penerapan hukum pidana dan sanksi pidananya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum yang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Pemilihan untuk menggunakan hukum pidana hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau “social defence planning” yang harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.39 Rencana pembangunan nasional disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi sendi-sendi dasar bagi penjabaran arah pelaksanaan pembangunan nasional. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 kemudian dijabarkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan “semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan demikian bumi dan air (termasuk hutan dan sumber daya alam) digunakan untuk kepentingan sebesar-besarnya masyarakat Indonesia dan bukan kepentingan segelintir orang yang ingin mengambil keuntungan ekonomis semata dari hutan dan alam. Dengan demikian kebijakan penggunaan hukum pidana pada tindak pidana kehutanan merupakan bagian dari “social defence planning”. Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan nampaknya tidak menjadi persoalan, terlihat dari praktek perundangundangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana 39
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, dikutip dari Muladi dan Barda Nawawi A., op.cit., hlm. 157
merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. 5) Instrumen Hukum Dalam Bidang Kehutanan a) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-undang nomor 5 tahun 1990 ini merupakan undangundang yang memuat ketentuan yang secara khusus mengatur tentang hutan konservasi. Dalam Undang-undang ini juga diatur tentang tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam dan ketentuan pidananya. Sesuai dengan azas hukum lex specialist derogat legi generali, bahwa peraturan (hukum) yang khusus mengesampingkan peraturan (hukum) umum, atau ketentuan khusus lebih diutamakan pemberlakuannya daripada ketentuan umum, maka Undang-undang ini diberlakukan khusus terhadap hutan konservasi baik yang termasuk hutan, kawasan hutan maupun hasil hutan. 1) Ketentuan Pasal-Pasal yang Mengatur tentang Tindak Pidana Perambahan Hutan Pengaturan tentang tindak pidana kehutanan dalam Undangundang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya (KSDAH&E) terdapat dalam Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal 33 juncto Pasal 40. Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal 33 mengatur tentang perbuatan pidananya, sementara Pasal 40 mengatur tentang sanksi pidananya. Jika dilakukan klasifikasi berdasarkan objeknya, tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E dapat dibagi menjadi tiga yaitu : (1) tindak pidana terhadap kawasan suaka alam, (2) tindak pidana terhadap sumber daya alam hayati, dan (3) tindak pidana terhadap taman nasional, hutan raya dan taman wisata alam. Klasifikasi itu dibuat berdasarkan objek tindak pidana yang akan dilindungi oleh Undang-undang. Terhadap tiga objek tersebut,
Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E, sebenarnya telah membuat definisi masing-masing. Yang dimaksud dengan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.40 Sedangkan yang dimaksud dengan sumber daya lama hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.41 Kemudian yang dimaksud dengan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
42
Kemudian pengertian dari taman hutan raya adalah
kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.43 Sedangkan definisi taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.44
40
Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 41
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 42
Lihat Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 43 Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 44
Lihat Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E tidak secara eksplisit menyebutkan perbuatan “perambahan hutan” seperti terdapat dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Untuk dapat mengklasifikasi perbuatan “perambahan hutan” dilakukan dengan melihat akibat yang ditimbulkan perbuatan. Akibat yang ditimbulkan perbuatan dapat berupa kerusakan hutan maupun perubahan keutuhan kawasan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E dikenal adanya tindak pidana formil dan tindak pidana materil45. Rumusan Pasal tindak pidana formil dapat dijumpai di Pasal 40 ayat 2 yang merujuk pada ketentuan Pasal 21 ayat 1 dan 2 serta Pasal 33 ayat 3. Berikut bunyi lengkap Pasal 21 ayat (1) dan (2) serta Pasal 33 ayat (3). Lihat Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Klasifikasi Tindak Pidana Formil dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E Pasal
Tindak Pidana Formil
Pasal 21 ayat (1) Setiap orang dilarang untuk: (1) dan (2) a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati; b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. (2) Setiap orang dilarang untuk: a.menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; 45
Penggolongan ini berdasar atas cara perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang-undang. Apabila tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) di situ dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan ujud dari perbuatan itu, maka tindak pidana ini di kalangan ilmu pengetahuan hukum dinamakan “tindak pidana materiel” (materieel delict). Apabila tindak pidana yang dimaksudkan, dirumuskan sebagai ujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka kini ada “tindak pidana formal” (formeel delict). Lihat Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan Ketujuh, Edisi Kedua, PT Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm.34
b.menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi. Pasal 33 ayat Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang (3) tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Sedangkan rumusan tindak pidana materil dapat dijumpai dalam Pasal 40 ayat 1, yang merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1). Lihat Tabel 2 berikut ini: Tabel 2 Klasifikasi Tindak Pidana Materil dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E Pasal Pasal 19 ayat (1) Pasal 33 ayat (1)
Tindak Pidana Materil Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E menentukan bahwa: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam”. Selanjutnya dalam ayat (3) disebutkan bahwa: Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E Pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah: (1)melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya, (2)melakukan perburuan satwa yang berada dalam kawasan, (3)memasukkan jenis-jenis bukan asli ke dalam kawasan. Berdasarkan penjelasan Undang-undang tersebut, maka perbuatan “perambahan hutan” yang dilakukan di dalam kawasan suaka alam yang pada dasarnya mengakibatkan terjadinya kerusakan keutuhan kawasan hutan dikategorikan sebagai perbuatan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya sehingga terhadap perbuatan perambahan di dalam kawasan suaka alam merupakan tindak pidana yang melanggar Pasal Pasal 19 ayat (1) Undangundang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E. Jika ketentuan tersebut dikaitkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 199046, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut: Barang siapa dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Berdasarkan objeknya, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) tersebut dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana terhadap kawasan suaka alam, atau bahwa objek yang ingin dilindungi oleh undang-undang adalah kawasan suaka alam. 2) Tindak Pidana Yang dilakukan Karena Faktor kelalaian Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E terdapat ketentuan pidana kehutanan yang diakibatkan oleh kelalaian pelakunya. Ketentuan ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 40 ayat (3) yang berbunyi: Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
46
Rumusan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 selengkapnya berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) sebagai akibat kelalaian dapat menyebabkan dikenakannya sanksi pidana terhadap pelakunya. Sanksi pidana yang dikenakan akibat pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) yang diakibatkan oleh faktor kelalaian lebih ringan jika dibandingkan dengan sanksi pidana yang dikenakan karena adanya unsur kesengajaan. Kemudian pada Pasal 40 ayat (4) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E ditentukan juga sanksi pidana terhadap perbuatan pidana yang diakibatkan oleh faktor kelalaian, yang selengkapnya berbunyi: Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) yang disebabkan oleh faktor kelalaian dikenakan sanksi pidana yang lebih ringan daripada sanksi pidana yang dijatuhkan akibat faktor kesengajaan. 3) Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E dianut juga penggolongan tindak pidana kehutanan atas tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Ketentuan tentang kejahatan dan pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 40 ayat (5) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E yang selengkapnya berbunyi: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.” Penggolongan tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E disajikan dalam tabel 3 berikut ini:
Tabel 3 Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal (ketentuan
Tindak Pidana Kejahatan
pidana) Pasal
40
ayat (1)
Pasal
40
ayat (1)
ayat (2)
Pasal
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman
Pasal
Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati; (Pasal 21 ayat (1) huruf a)
Pasal ayat (2)
40
Pelanggaran
Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam (Pasal 19 ayat (1)
(Pasal 33 ayat (1)
40
Tindak Pidana
(ketentuan pidana)
nasional
Pasal
Pasal
Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia (Pasal 21 ayat (1) huruf b)
40
Kegiatan di samping dilakukan secara lalai
40
Kegiatan di samping dilakukan dengan secara lalai
ayat (3)
ayat (3)
Pasal
40
ayat (2)
Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup (Pasal 21 ayat (2) huruf a)
Pasal
40
(2)
Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati (Pasal 21 ayat (2) huruf b)
Pasal
40
(2)
Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia (Pasal 21 ayat (2) huruf c)
Pasal
40
(2)
Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia (Pasal 21 ayat (2) huruf d)
Pasal (2)
40
Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi (Pasal 21 ayat (2) huruf e)
Pasal
40
(2)
Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 33 ayat (3)
b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan 1) Ketentuan Pasal-Pasal yang Mengatur tentang Tindak Pidana Perambahan Hutan Pengaturan mengenai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 38 ayat (4) dan Pasal 50 juncto Pasal 78. Jika dalam Pasal 38 ayat (4) dan Pasal 50 Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan diatur mengenai perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, maka dalam Pasal 78 diatur tentang ketentuan pidana atau tentang sanksi pidananya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 38 ayat (4) dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dapat menyebabkan pelakunya dikenakan sansi pidana berdasarkan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Berdasarkan
perspektif
ilmu
per-Undang-Undang-an,
perumusan norma hukum dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dapat dikategorikan sebagai norma hukum berpasangan. Norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang
terdiri dari dua norma, yaitu norma hukum primer dan norma hukum sekunder.47 Norma hukum primer adalah norma hukum yang berisi aturan atau patokan tentang bagaimana cara seseorang harus berprilaku di dalam masyarakat. Sementara, yang dimaksud dengan norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma hukum primer itu tidak dipenuhi. Norma hukum sekunder mengandung sanksi bagi subjek hukum yang tidak memenuhi suatu ketentuan dalam norma hukum primer. Jika klasifikasi tersebut dikaitkan dengan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka pengaturan tindak pidana kehutanan yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (4) dan Pasal 50 dapatlah digolongkan sebagai norma hukum primer. Sedangkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memuat sanksi pidananya digolongkan sebagai norma hukum sekunder. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimaksud dengan tindak pidana terhadap hutan adalah tindak pidana yang objeknya adalah hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan. Jadi yang ingin dilindungi melalui ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana yang terkait dengan hasil-hasil hutan berupa benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.48 47
Maria Farida Indrati S, Ilmu PerUndang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm.31 48 Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat (13) yang dimaksud dengan hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Dalam penjelasan Pasl 4 ayat (1) Undang-Undang ini diuraikan secara lengkap bahwa hasil hutan itu dapat berupa: (a) hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan; (b)hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya; (c) benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati
Sanksi dan jenis tindak pidana yang berkaitan dengan perambahan hutan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan: a) Melakukan kegiatan yang Menimbulkan Kerusakan Hutan (Pasal 50 ayat (2) Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan selengkapnya mengatur bahwa…”Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.”49 Apabila ketentuan dalam Pasal 50 ayat (2) tersebut dikaitkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut: Barang siapa yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dengan sengaja melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).50 Unsur-unsur tindak pidana yang termuat dalam rumusan Pasal 50 ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang; (d) jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain; (e) hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp. 49 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Undang-Undang No.41, tahun 1999, LN No.167 tahun 1999, TLN. No.3888, Pasal 50 ayat (2) 50
Rumusan Pasal 78 ayat (1) selengkapnya berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”
41 tahun 1999 tentang Kehutanan itu adalah sebagai berikut: (i) barang siapa, (ii) dengan sengaja, (iii) melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Unsur barang siapa dalam Pasal 50 ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ditambah kualifikasinya dari hanya sekedar “orang perseorangan, badan hukum, atau badan usaha” –sebagaimana dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 50 ayat (1)-, menjadi “orang perseorangan, badan hukum, atau badan usaha yang diberikan ijin usaha pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfatan jasa lingkungan, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu”. Sedangkan terhadap unsur “kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan”, penjelasan Pasal 50 ayat (2) memberikan rujukan tentang apa yang dimaksud dengan “kerusakan hutan”. Menurut penjelasan Pasal 50 ayat (2) tersebut yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah: “…terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya”. Terhadap rumusan unsur “kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan” dalam Pasal 50 ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (1), tidak
dijelaskan
tentang
kegiatan
apa
saja
yang
dapat
dikategorikan menimbulkan kerusakan hutan sehingga dapat dipidana.
Undang-Undang
Kehutanan
hanya
menjelaskan
kualifikasi “kerusakan hutannya” saja. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa unsur yang terpenting dalam rumusan unsur “kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan” dalam Pasal 50 ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (1) adalah pada anak kalimat “menimbulkan kerusakan hutan”, bukan pada “kegiatannya”. Jadi kegiatan apapun dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) juncto Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan apabila kegiatan tersebut terbukti menimbulkan kerusakan hutan. Secara teoritis, rumusan delik yang demikian itu disebut sebagai delik materil atau delik yang mementingkan akibat dari perbuatan pidananya, bukan perbuatan pidananya sendiri. Berdasarkan objek tindak pidananya, kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (2) dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana terhadap hutan. Seseorang, badan hukum, atau badan usaha baru dapat dipidana dengan ketentuan ini jika telah terjadi suatu perbuatan yang mengakibatkan kerusakan pada hutan atau terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Dengan demikian, maka yang menjadi objek dari tindak pidana ini adalah hutan itu sendiri. b) Mengerjakan
dan/atau
Menggunakan
dan/atau
Menduduki
Kawasan hutan secara Tidak Sah (Pasal 50 ayat (3) huruf a) Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa: “Setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.” Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan. Sedangkan pengertian menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan
hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Jika ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a tersebut dihubungkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam Pasal 78 ayat (2)51, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut: ”Barang siapa dengan sengaja mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”52 Unsur-unsur tindak pidana yang termuat dalam rumusan Pasal 50 ayat (3) huruf a juncto Pasal 78 ayat (2) tersebut adalah sebagai berikut: (i) barang siapa, (ii) dengan sengaja, (iii) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan, (iv) secara tidak sah. Perbuatan berupa mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap kawasan hutan atau dengan perkataan lain tindak pidana yang objeknya adalah kawasan hutan. c) Merambah Kawasan Hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b) Pasal 50 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 selengkapnya menyatakan:”Setiap orang dilarang merambah kawasan hutan”. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang 51
Rumusan Pasal 78 ayat (2) selengkapnya berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).” 52 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Undang-Undang No.41, tahun 1999, ibid., Pasal 50 ayat (3) huruf (a) jo Pasal 78 ayat (2)
berwenang. Jika ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b tersebut dikaitkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam Pasal 78 ayat (2)53, maka rumusannya akan menjadi sebagai berikut…”Barang siapa dengan sengaja merambah kawasan hutan, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”54 Unsur-unsur tindak pidana yang termuat dalam rumusan Pasal 50 ayat (3) huruf b juncto Pasal 78 ayat (2), adalah sebagai berikut: (i) barang siapa, (ii) dengan sengaja, (iii) merambah kawasan hutan. Tindakan berupa perambahan terhadap kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap kawasan hutan atau dengan perkataan lain tindak pidana yang objeknya adalah kawasan hutan. 2) Penggolongan Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran Di dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan diatur juga penggolongan antara tindak pidana yang dikategorikan kejahatan dan tindak pidana yang dikategorikan pelanggaran.55 Berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (13) Undang-
53
Rumusan Pasal 78 ayat (2) selengkapnya berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).” 54 Lihat ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf b jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 55
Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dapat dianalisis dari dua segi yaitu kualitatif dan kuantitatif. Dari segi kualitatif kejahatan merupakan delik hukum (rechts delict). Yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, sedangkan pelanggaran merupakan delik undangundang (wet delict), yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari dapat dipidana karena undangundang menyebutnya sebagai delik. Jadi, karena Undang-undang mengancamnya dengan pidana. Kajian pidana dari segi kuantitatif didasarkan pada segi hukumannya atau ancaman pidananya. Kejahatan hukumannya lebih berat, sedangkan pelanggaran hukumannya lebih ringan. Lihat Siti Sutami, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Karunika Universitas Terbuka, Jakarta, 1987, hlm. 11-12.
undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut, kegiatan perambahan hutan dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Penggolongan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 78 ayat (13) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.” Penggolongan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran seperti terdapat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (13) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terdapat dalam tabel 4 berikut ini: Tabel 4 Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal (ketentuan
Tindak Pidana Kejahatan
pidana) Pasal 78
Pasal
Tindak Pidana
(ketentuan
Pelanggaran
pidana) Pasal 78
ayat (1)
Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (Pasal 50 ayat 1)
Pasal 78
Setiap orang yang diberikan izin
Pasal 78
ayat (1)
usaha pemanfaatan kawasan,
ayat (12)
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu
ayat (8)
menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf i)
mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang
dan bukan kayu, dilarang
(Pasal 50 ayat (3)
melakukan kegiatan yang
huruf m)
menimbulkan kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat 2) Pasal 78
Setiap orang dilarang:
ayat (2)
(a) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf a )
Pasal 78
(b) merambah kawasan hutan
ayat (2)
(Pasal 50 ayat (3) huruf b )
Pasal 78
(c)
ayat (2)
pohon dalam kawasan hutan
melakukan
penebangan
dengan radius atau jarak tertentu (Pasal 50 ayat (3) huruf c)
Pasal 78
membakar hutan
(ayat (3)
(Pasal 50 ayat (3) huruf d)
dan ayat (4) Pasal 78 ayat (5)
menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf e)
Pasal 78
menerima, membeli atau
ayat (5)
menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
(Pasal 50 ayat (3) huruf f ) Pasal 78
Pada kawasan hutan lindung
ayat (6)
dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. (Pasal 38 ayat (4)
Pasal 78 ayat (6)
Pasal 78 ayat (7)
Pasal 78 ayat (9)
Pasal 78 ayat (10)
Pasal 78 ayat (11)
melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (Pasal 50 ayat (3) huruf g)
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; (Pasal 50 ayat (3) huruf h)
membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf j ) membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf k ) membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; (Pasal 50 ayat (3) huruf l )
3) Ketentuan tentang Pemberatan Pidana
Pemberatan pidana kehutanan diatur dalam ketentuan Pasal 78 ayat (14) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi: Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendirisendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (14) tersebut, maka ancaman pidana yang dikenakan kepada pelaku tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dapat diperberat56 atau dikualifisir 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok yang diancamkan, apabila tindak pidana itu dilakukan oleh dan/atau atas nama badan hukum atau badan usaha. Penjelasan Pasal 78 ayat (14) juga menerangkan bahwa yang termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara lain perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dan sejenisnya. Selanjutnya menurut Sutan Sjahdeini, dalam hukum pidana pengertian korporasi tidak hanya badan hukum. Di sana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Cakupannya, bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut 56
Undang-undang membedakan antara dasar-dasar pemberatan pidana umum dan dasardasar pemberatan pidana khusus. Dasar pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada dalam kodifikasi maupun tindak pidana di luar KUHP. Dasar pemberatan pidana khusus adalah dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. Maksud diperberatnya pidana pada dasar pemberatan pidana khusus ialah pada si pembuat dapat dipidana melampaui atau di atas ancaman maksimum pada tindak pidana yang bersangkutan, hal sebab diperberatnya mana dicantumkan secara tegas dalam dan mengenai tindak pidana tertentu tersebut. Lihat, Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Cetakan pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.88
hukum perdata bukan suatu hukum. Sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatanperbuatan hukum, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksud dengan korporasi.57 Dari ketentuan Pasal 8 ayat (14) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dapat diketahui bahwa tindak pidana perambahan hutan yang dilakukan oleh badan hukum seperti perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dapat memperoleh pemberatan hukuman sebesar 1/3 dari pidana pokok yang diancamkan. 4) Ketentuan Tentang Perampasan Alat yang digunakan untuk Melakukan Tindak Pidana Kehutanan Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 1999 Pasal 78 ayat (15) terdapat ketentuan yang mengatur tentang perampasan hasil hutan dan alat yang digunakan untuk melalukan tindak pidana kehutanan. Ketentuan tersebut sebagaimana terdapat dalam Pasal 78 ayat (15) undang-undang tersebut yang selengkapnya berbunyi: Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk Negara. Dalam penjelasan tersebut yang termasuk alat angkut antara lain, kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain. Terhadap ketentuan Pasal tersebut telah ada pihak yang mengajukan permohonan pengujian (judicial review) undang-undang ke Mahkamah Konstitusi karena menganggap ketentuan dalam Undang-undang
tentang
Kehutanan
tersebut
pada
dasarnya
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 karena memungkinkan terjadinya perampasan hak milik secara sewenang-wenang, meskipun barang atau alat angkut yang dirampas
tersebut
bukan
milik
pelaku
kejahatan
dan/atau
pelanggaran yang dimaksud, melainkan pihak ketiga yang beritikad 57
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta, 2006, hlm. 39-47.
baik yang seharusnya dilindungi. Dalam keputusan Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005 tanggal 1 Maret 2006, permohonan pengujian undang-undang tersebut telah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam pertimbangan putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: Ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-undang Kehutanan adalah untuk melindungi kepentingan nasional, khususnya keamanan kekayaan negara dan lingkungan hidup dari kejahatan pembalakan liar (illegal logging) yang saat ini sudah sangat merajalela yang secara tidak langsung juga mengganggu dan bahkan membahayakan hak asasi orang lain atau masyarakat umum, merugikan negara, membahayakan ekosistem, dan kelangsungan kehidupan.58 Dari pertimbangan akhir putusan a quo, Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa: Tidak setiap perampasan hak milik serta-merta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction), in casu hak milik yang lahir dari perjanjian jaminan fidusia. Namun demikian, terlepas dari keabsahan perampasan hak milik sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law di atas, hak milik dari pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trow, good faith) tetap harus dilindungi. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 78 ayat (15) Undang-undang Kehutanan beserta Penjelasannya tidak ternyata bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon harus ditolak.59 Dengan ditolaknya pengujian materil atas Pasal 78 ayat (15) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh
58
Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 021/PUUIII/2005, tanggal 1 Maret 2006, hlm.76 59 Ibid, hlm.80-81
Mahkamah Konstitusi, maka kekuatan hukum Pasal tersebut tidak mengalami perubahan. 6) Penegakan Hukum Bidang Kehutanan dalam Sistem Peradilan Pidana Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum jika tidak pernah dilaksanakan dalam kehidupan seharihari. Hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat serta alat untuk mengatur masyarakat. Untuk mewujudkan hukum menjadi kenyataan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dilakukan melalui penegakan hukum. Dalam bahasa Inggris, penegakan hukum disebut dengan enforcement,
sedangkan
dalam
bahasa
Belanda
disebut
law
dengan
rechtshandhaving. 60 Manfaat dari penegakan hukum adalah mewujudkan hukum dalam keadaan in concreto, sehingga aturan hukum yang telah dibuat menjadi efektif dan tidak sekedar papieren tijger (macan kertas).61 Hukum yang telah ada tentunya baru akan berguna jika dilaksanakan. Jika hukum tidak dilaksanakan, berarti hukum tersebut tidak berguna. Melaksanakan hukum sama artinya dengan menegakkan hukum Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Adapun yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiranpikiran pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum itu. Dalam kenyataannya proses penegakan hukum mencapai puncaknya pada saat pelaksanan oleh pejabat penegak hukum.62 Penegakan hukum merupakan penerapan cara bekerjanya hukum dalam masyarakat dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban dan 60 61
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 48.
Moh. Askin, Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPR-RI, Yarsif Watampone, Jakarta, 2003, hlm.15. 62 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Cetakan I, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm.24
keteraturan yang didukung adanya tatanan yaitu kebiasaan hukum dan kesusilaan sehingga berpengaruh pada segi efektivitas tatanan itu sendiri. Tatanan-tatanan tersebut sebagai kekuatan sosial, yang tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran (adresat) hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat pada kenyataannya tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Tingkah laku masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum, akan tetapi juga ditentukan oleh kekuatan sosial lain seperti kebiasaan dan kesusilaan. Berkaitan
dengan
kekuatan-kekuatan
sosial
yang
akan
mempengaruhi bekerjanya hukum maka terkandung pula nilai-nilai dan kaidah hukum yang terjadi dalam masyarakat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. Dalam hubungan ini dapat pula dikatakan bahwa dalam penegakan hukum harus ada penyerasian antara nilai-nilai dan kaidah yang mengatur prilaku manusia secara nyata. Manusia dalam proses penegakan hukum berperan sebagai pembuat hukum dan menerapkannya yang merupakan tugas dari aparat penegak hukum. Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi pelanggaran hukum. Dalam rangka menegakkan supremasi hukum, hukum yang telah dilanggar, harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah membuat hukum menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur
yang
selalu
(rechtssicherheit),
harus
diperhatikan,
kemanfaatan
yaitu
(zwecknassigkeit)
kepastian dan
hukum keadilan
(gerechtigheit). Ketiga usur tersebut oleh Radbruch disebut sebagai nilainilai dasar dari hukum yang diantara ketiganya terdapat suatu spannungsverhaltnis, suatu ketegangan satu sama lain karena masingmasing berisi tuntutan yang berlainan dan bertentangan. Jika dalam
penegakan hukum berorientasi pada unsur kepastian hukum, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai keadilan dan kemanfataan.63 Tuntutan bagi nilai kepastian hukum yang utama adalah adanya peraturan hukum. Apakah peraturan tersebut adil atau tidak dan mempunyai kemanfaatan atau tidak adalah di luar nilai kepastian hukum. Untuk
mengatasi
ketegangan/ketidakserasian
tersebut
dilakukan
pembagian secara langsung bidang-bidang operasinya di antara ketiga nilai tersebut. Untuk keadilan dilakukan pengujian apakah sebuah aturan tersebut memiliki sifat hukum atau tidak. Untuk kemanfaatan ditentukan apakah isinya mengandung kebenaran dan untuk kepastian hukum ditentukan apakah memiliki validitas atau tidak. Radbruch menyimpulkan bahwa ketiga nilai tersebut secara bersama-sama mengatur hukum di semua aspek walaupun mungkin saling bertentangan satu sama lain. Hal tersebut tergantung pada penekanan-penekanan yang diutamakan pada ketiga nilai hukum tersebut. Hukum sebagai konsep kultural, yaitu konsep yang berhubungan dengan nilai-nilai (hukum), sesuai dengan maksudnya, hukum merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita hukum. Cita-cita hukum itu dapat ditemukan dalam keadilan. Namun karena dalam kenyataan sulit
untuk mencari pedoman yang digunakan untuk
menentukan isi keadilan itu, maka di dalam keadilan itu ditambahkan elemen kedua yaitu kemanfaatan atau kesesuaian dengan tujuan. Akan tetapi permasalahan tujuan dan kemanfaatan tidak dapat dijawab secara tegas, tapi hanya bersifat relatif. Hukum sebagai suatu tatanan kehidupan bersama tidak dapat didasarkan pada perbedaan-perbedaan pandangan individu (yang relatif), akan tetapi harus merupakan tatanan yang harus disepakati bersama. Oleh karena itu perlu adanya elemen ketiga yaitu kepastian hukum. Kepastian hukum mensyaratkan hukum harus bersifat positif dan positivisme hukum itu menjadi prasyarat suatu kebenaran. Hal senada 63
diungkapkan
oleh
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm.145
Satjipto
Rahardjo,
bahwa
adanya
pertentangan/ketidakserasian nilai-nilai hukum tersebut karena masingmasing mempunyai tuntutan yang berbeda-beda sehingga penilaian masyarakat tentang hukum pun bermacam-macam. Penilaian hukum dalam masyarakat dapat bergantung dari tuntutan masing-masing nilai hukum tersebut. Apa yang sudah dinilai sah menurut persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan, dapat dinilai tidak sah dari segi kemanfaatan dan rasa keadilan dari masyarakat. Demikian juga dapat terjadi sebaliknya.64 Masalah penegakan hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara perilaku hukum masyarakat yang seharusnya (das sollen) dengan perilaku masyarakat yang senyatanya (das sein). Kesenjangan tersebut menurut Roscoe Pound65 merupakan perbedaan antara law in book dengan law in action. Perbedaan tersebut mencakup persoalan-persoalan sebagai berikut: a) Apakah hukum di dalam bentuk peraturan yang telah diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada pada waktu itu; b) Apakah yang dikatakan oleh pengadilan sama dengan apa yang telah dilakukan; c) Apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataan Suatu Undang-Undang bisa dikatakan efektif apabila mengandung sanksi. Sanksi menurut Sudikno Mertokusumo ialah..”Sanksi tidak lain merupakan reaksi, akibat atau konsekuensi pelanggaran kaidah sosial”.66 Sedangkan sanksi menurut Alf Ross bahwa: a) Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh pejabat yang berwenang (official approval or authorization the committee gave sanction to the proposal);
64 65
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung, 1980, hlm.19
Edwin M. Schuur, Law and Order, dikutip dari Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, PT. Angkasa, Bandung, 1988, hlm.71 66 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm. 50
b) Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang (a penalty or coercive mesure that result from failure to comply with a law, rule or order a sanction for discovery abuse).67 Jadi sanksi adalah suatu reaksi dari terjadinya perbuatan melawan hukum yang dijatuhkan oleh negara kepada pelaku yang melawan hukum. Sanksi tersebut terdiri dari sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana. Walaupun pada dasarnya sebagian ahli beranggapan bahwa sanksi pidana merupakan obat terakhir (ultimum remedium) untuk mengatasi perbuatan melawan hukum namun dalam konteks tertentu sanksi pidana sangat diperlukan untuk memulihkan keadaan ketidakseimbangan akibat perbuatan
melawan
hukum terutama
yang
berhubungan
dengan
kelangsungan hidup manusia. Perusakan lingkungan yang membawa akibat berkurangnya kualitas kehidupan, rusaknya sumber daya alam yang tidak dapat lagi diperbaiki, masih selalu terjadi. Hampir di seluruh kawasan hutan di Indonesia masih terjadi tindak pidana kehutanan baik illegal logging, okupasi kawasan hutan dan perburuan dan perdagangan illegal tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi Undang-undang. Sudah menjadi kenyataan bahwa hal yang paling berpengaruh terhadap kegagalan penegakan hukum lingkungan saat ini adalah aparat penegak hukum belum memberdayakan sepenuhnya peranan sanksi pidana didalam menyelesaikan pencemaran dan perusakan lingkungan. Dengan semakin bertambah tingginya intensitas kerusakan hutan dan lingkungan hidup saat ini tidak dapat lagi dipakai adagium bahwa instrument hukum pidana merupakan ultimum remedium mengingat pentingnya fungsi lingkungan hidup termasuk fungsi hutan bagi kehidupan umat manusia.68 Apabila konsep pembangunan berkelanjutan akan diwujudkan, maka penerapan dan penggunaan hukum pidana dalam penyelesaian kasus lingkungan harus mendapat porsi yang sesuai, yang benar dan proporsional. 67
Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, op.cit., hlm.25 Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan 1, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2008, hlm.47 68
Penggunaan sanksi pidana di sini selain dimaksudkan untuk membuat efek jera kepada pelaku tindak pidana lingkungan dan kehutanan juga sebagai sarana pencegah bagi masyarakat lain yang berniat melakukan tindak pidana lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh Helena du Rées dalam buku yang berjudul Can Criminal Law Protect the Environment?, bahwa the goal of environmental criminal law is to establish sufficiently severe sanctions for committing environmental crimes so as to deter potential offenders.69 (tujuan hukum pidana lingkungan adalah untuk menetapkan sanksi cukup berat karena melakukan kejahatan lingkungan sehingga dapat mencegah pelaku lain yang berniat untuk melakukan). Dalam hal ini, Drupsteen dan Kleijs-Wijnnobel mengemukakan pendapatnya bahwa hukum pidana mempunyai peran yang sangat dominan dalam hal mengatasi bentuk kriminalitas lingkungan yang hanya terjadi untuk sekali saja dan mengakibatkan perubahan yang permanen. Terhadap bentuk kriminalitas yang semacam ini tidak ada pilihan yang cukup layak untuk menghadapinya terkecuali melalui penggunaan sanksi-sanksi pidana. Contoh dari kejahatan lingkungan yang demikian adalah, pembuangan secara illegal limbah atau bahan-bahan berbahaya ke dalam air permukaan, pembuangan pupuk, penebangan pohon-pohon, perburuan hewan-hewan yang dilindungi, merusak tanaman-tanaman yang dilindungi atau merusak cagar alam. Jika terhadap kejahatan-kejahatan ini tidak diancam sanksi pidana, maka sia-sialah upaya penegakan hukum lingkungan.70 Karena itu, dalam penulisan tesis ini, penulis hanya akan membahas sanksi pidana terhadap perbuatan melawan hukum khususnya di bidang kehutanan.
69
Helena du Rées, “Can Criminal Law Protect the Environment?”, dalam Avi Brisman, Crime-Environment Relationships And Environmental Justice, Seattle Journal for Social Justice, Spring/Summer, 2008. 70 TH.G.Drupsteen, et al., “Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Hukum Perdata, Administrasi dan Hukum Pidana”, dikutip dari Hartiwiningsih, ibid, hlm.20
Secara teori pada umumnya terdapat tiga macam cara berlakunya hukum, yaitu :71 1) Secara Yuridis, dalam hal ini ada berbagai pandangan, yaitu: a) Hans Kelsen (The Pure Theori of Law) menyatakan bahwa hukum mempunyai keberlakuan yuridis apabila penentuannya berdasarkan pada kaidah yang lebih tinggi; b) Zevenbergen (Formele Encyclopaedie der
Rechtswetenschap)
menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai keberlakuan yuridis apabila kaidah tersebut menurut cara-cara yang telah ditetapkan; c) Logemann (Over de Theori van een Steiling Staatsrecht) menyatakan
bahwa
suatu
kaidah
hukum
mengikat
apabila
menunjukkan hubungan kaharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya. 2) Secara Sosiologis, yang berintikan pada efektivitas hukum. Dalam hal ini ada dua teori pokok, yakni: a) Menurut teori kekuasaan, hukum berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa terlepas apakah masyarakat menerima atau menolak; b) Menurut teori pengakuan, berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat kepada siapa hukum tersebut berlaku. 3) Secara filosofis, artinya hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi Penerapan hukum dalam kenyataan bahwa setiap kaidah hukum pada putusan hukum harus mempunyai unsur yuridis, sosiologis dan filosofis. Apabila suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis saja maka kaidah hukum tersebut dikatakan sebagai kaidah mati dan bersifat kaku karena ketentuannya sudah bersifat paten, tidak bisa berubah. Sedangkan 71
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.34-35
apabila suatu kaidah hukum itu hanya berlaku secara sosiologis, maka kaidah hukum itu bersifat memaksa karena setiap tindakan yang dilakukan seseorang yang tidak sesuai dengan norma/adat yang berlaku dikatakan sebagai tindakan yang menyimpang. Selain itu apabila kaidah hukum tersebut hanya berlaku secara filosofis, maka kaidah hukum itu hanya ada dalam angan-angan sebagai sesuatu yang dicita-citakan dalam dunia idea. Untuk membuat aturan hukum itu menjadi efektif diperlukan sistem peradilan pidana yang terpadu (Integrated Criminal Justice System) dimana komponen-komponennya terdiri dari: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan. Pelanggar hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat, baik warga yang taat pada hukum (non residivis), maupun mereka yang kemudian akan mengulangi kembali perbuatannya (residivis). Dalam hal tindak pidana yang berhubungan dengan hutan dan kehutanan sistem peradilan pidana yang terpadu termasuk di dalamnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Untuk dapat mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana maka semua komponen tersebut haruslah bekerja secara terpadu. Mungkin saja masing-masing komponen tersebut secara individual mampu berfungsi dengan baik atau cukup efisien, namun tanpa keterpaduan di antara semua komponen tersebut tidak akan dapat dihasilkan tujuan yang telah dicanangkan. Peranan masing-masing komponen terutama dalam bidang pidana dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu akan diuraikan sebagai berikut: a) Kepolisian Dalam tingkat perkembangan hukum modern sekarang ini suatu mekanisme kontrol sosial yang formal sangat diperlukan. Formalisasi mekanisme kontrol tersebut terdapat dalam apa yang disebut Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) dan Polisi merupakan salah satu penyokong yang penting dan berada paling depan dalam sistem tersebut. Pekerjaan kontrol yang dilakukan oleh Polisi merupakan bagian dari struktur hukum dan birokrasi modern yang bekerja
berdasarkan prinsip-prinsip keterikatan pada prosedur dan formalitas tertentu. Bismar Siregar, menguraikan pengertian Polisi bahwa sebagai alat negara penegak hukum adalah instansi pertama yang berkewajiban memelihara dan menghindarkan tidak terjadinya gangguan ketertiban dan keamanan. Demikian pula bilamana terjadinya gangguan dan keamanan, segera bertindak melokalisasi agar tidak meluas.72 Untuk memantapkan penyelenggaran pembinaan keamanaan dan ketertiban masyarakat, diperlukan landasan hukum yang kokoh dalam tata susunan. Tugas dan wewenang kepolisian diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa “kepolisian” adalah “segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan perundang-undangan”. Selanjutnya Pasal 2 menyatakan bahwa “fungsi kepolisian adalah fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 6 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia”. Sedangkan pengertian dari penyidikan73 adalah: “Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”74 Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang
72
Bismar Siregar, Hukum Negara Pidana, Bina Cipta, Surabaya, 1983, hlm. 57 Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris), lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.118 73
74
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 ayat (2)
ditemukan dapat menjadi terang, serta agar menemukan dan menentukan pelakunya.75 Peran kepolisian dijabarkan selanjutnya dalam Pasal 5 Undangundang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan: 1) Kepolisian negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 2) Kepolisian negara Republik Indonesia adalah kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Menurut Susilo 76 tugas polisi pada hakikatnya terbagi dua yaitu (1)bersifat preventif (mencegah) tindak pidana terjadi dan (2)bersifat represif (memberantas) tindak pidana yang terjadi. Sesuai dengan fungsinya, khususnya dalam hal penegakan hukum kepada polisi diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. (Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun 2002). 77 Apabila dihubungkan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undangundang Nomor 2 tahun 2002, maka ketentuan KUHAP memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam bidang penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak
pidana.
Namun
demikian
hal
tersebut
tetap
memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh
75
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 365 76
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Penyelesaian Perkara Pidana Bagi Penyidik), Politea, Bogor, 1979 77 Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia selengkapnya berbunyi: (g). melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.78 Kewenangan yang diberikan kepada Kepolisian yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana diatur dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: 1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; 3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka aau saksi; 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksan perkara; 8) Mengadakan penghentian penyidikan 9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; 11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan 12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b) Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pada dasarnya penyidik dalam tindak pidana umum adalah kepolisian, tetapi dalam beberapa tindak pidana tertentu selain Kepolisian, oleh undang-undang ditentukan secara khusus penyidik dari lingkungan instansinya sendiri yang lazim dikenal dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) pada 78
Loebby Loqman, Hak Azasi manusia Dalam Hukum Acara Pidana, Datacom, Jakarta, 2002, hlm. 47
Pasal 1 angka (1) yang menyatakan bahwa: “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Selanjutnya ketentuan tentang siapa saja yang dapat menjabat sebagai penyidik diatur dalam Pasal 6 KUHAP yang menyatakan bahwa: (1) Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Berasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) KUHAP tersebut bahwa disamping pejabat penyidik dari Kepolisian Republik Indonesia, dapat diketahui juga bahwa Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik. Namun dalam ketentuan Pasal tersebut tidak secara jelas menunjuk Pegawai Negeri Sipil yang bisa diangkat menjadi pejabat Penyidik. Dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP hanya menyebutkan beberapa jabatan Pegawai Negeri Sipil yang oleh Undang-undang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan "penyidik dalam ayat ini" adalah misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Dari penggunaan kata “misalnya” dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) tersebut dapat ditafsirkan bahwa ketiga instansi Pegawai Negri Sipil yang ditunjuk untuk menjadi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil hanyalah merupakan contoh yang pada saat Undang-undang tersebut disusun telah dikenal sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dengan demikian maksud penggunaan kata “misalnya” dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) tersebut, dimaksudkan untuk mengantisipasi dinamika perkembangan hukum yang berkembang yang pada saatnya akan membutuhkan kehadiran penyidik dari instansi lain yang dirasa perlu untuk melakukan tugas-tugas penyidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bunyi penjelasan Pasal (7) ayat 2 tersebut merupakan ius constituendum terhadap keberadaan instansi Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Syarat-syarat tentang pengangkatan dan kepangkatan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 sesuai dengan bunyi Pasal 6 ayat (2) KUHAP 79. Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 diatur mengenai: a. Pegawai Negeri Sipil tersebut sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (II/b) atau yang disamakan. b.
Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul dari departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut. Tembusan usulan disampaikan kepada Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, guna kepentingan pembuatan rekomendasi.
Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.06-06.UM.01.06 tahun 1983 tentang pelimpahan Wewenang Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, bahwa wewenang kepangkatan Pejabat Pegawai Negeri Sipil telah dilimpahkan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman. Keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, diatur dalam berbagai Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Khusus Undang-undang tentang lingkungan hidup dan sumber daya alam, keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam sejumlah Undang-undang yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya. 2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP bahwa kewenangan penyidikan oleh Pejabat Peyidik Pegawai Negeri Sipil hanya terbatas pada tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan tugasnya. Untuk lebih jelasnya, kewenangan dan kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil kedudukannya berada di bawah: a) Kordinasi Penyidik Polri, dan b) Di bawah pengawasan penyidik Polri 79
Pasal 6 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa: (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
2) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik Polri memberikan petunjuk kepada Pegawai Negeri Sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP) 3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknya, jika dari penyidikan ini oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP). 4) Apabila Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut umum dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP). 5) Apabila Penyidik Pegawai Negeri Sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri maka penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP).80 Dalam Undang-undang tentang KUHAP tersebut baik pada Pasal 7 ayat (2) maupun pada penjelasaanya pengertian dan mekanisme kordinasi dan pengawasan antara penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak dijelaskan. Pengertian kordinasi disini adalah suatu bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas yang menyangkut bidang penyidikan atas dasar hubungan fungsional dengan tetap memperhatikan hirearki masing-masing instansi81. Hubungan kordinasi Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat berwujud:
80
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hlm.113-114 81
Anonimous, Dasar Hukum Pelaksanaan Tugas PPNS, Bahan Ajar Diklat Jagawana, Sekolah Calon Perwira Polri, Sukabumi, 2000.
1) Mengatur
dan
menuangkannya
lebih
lanjut
dalam
keputusan/instruksi bersama 2) Mengadakan rapat berkala pada waktu-waktu tertentu yang dipandang perlu 3) Menunjuk petugas yang berfungsi sebagai liaison officer yang secara fungsional menjabat dan menangani masalah penyidikan PPNS dan juga berfungsi sebagai penghubung dengan Polri. 4) Menyelenggarakan latihan/orientasi di bidang penyidikan. Agar kordinasi dapat berlangsung dengan baik, diperlukan syaratsyarat yang mendukung, diantaranya: 1) Pemahaman tugas masing-masing pihak yang dilandasi oleh hukum dan peraturan yang berlaku untuk mengaturnya. 2) Masing-masing pihak mengerti dan memahami tentang tujuan yang hendak dicapai bersama yaitu demi kepentingan yang lebih besar di atas kepentingan pribadi maupun golongan. 3) Pemilihan metoda yang terbaik dalam berkordinasi agar dapat bekerjasama 4) Kwalitas dan kemampuan subjek yang berkordinasi. Sedangkan pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan untuk menjamin agar seluruh kegiatan penyidikan yang sedang dilakukan dapat dibenarkan secara material maupun formal dan berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Wujud kegiatan pengawasan dapat berupa: 1) Pengawasan kegiatan penyidikan yang sedang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil serta memberikan pengarahan teknis. 2) Pengarahan teknis dalam rangka pembinaan dan peningkatan kemampuan Penyidik Pegawai Negeri Sipil misalnya dalam rangka pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh masing-masing instansi
3) Penelitian berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan memberikan petunjuk bila terdapat kekurangan-kekurangan untuk disempurnakan. Peranan penyidik dalam penanganan suatu tindak pidana baik berupa tindak pidana pelanggaran maupun tindak pidana kejahatan sangat menentukan untuk membuat terang suatu tindak pidana dengan mengumpulkan bukti-bukti yang sangat dibutuhkan dalam proses peradilan. Terlebih lagi bila tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana khusus yang membutuhkan kemampuan khusus dalam hal pemahaman
permasalahahan,
penguasaan
tindak
pidana
dan
penguasaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang pidana khusus tersebut. Perkembangan tindak pidana baik dari kuantitas maupun kualitasnya membutuhkan kemampuan penyidik yang harus selalu menguasai bidang dan segala aspek tindak pidana khusus tersebut. Khusus tindak pidana kehutanan dengan kualitas tindak pidana yang terus meningkat membutuhkan kemampuan khusus penyidik dalam tindak pidana ini. Sehingga dengan demikian dapat diharapkan penanganan tindak pidana kehutanan benar-benar profesional, akurat, cepat dan tepat. Dalam penanganan tindak pidana kehutanan, sesuai dengan amanat Undang-undang, selain Penyidik Polri, dikenal Penyidik lain yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan Perwira Tentara Nasional Angkatan Laut. Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan diatur dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan bahwa: (1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. (2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; g. membuat dan menanda-tangani berita acara; h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. (3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kemudian dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 39 ayat (3) yang berbunyi: (3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; f. membuat dan menandatangani berita acara; g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. (4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Rangkaian tindakan penyidik tersebut baik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan maupun dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada dasarnya dilakukan dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti sebanyak mungkin sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Undang-undang untuk memenuhi syarat pembuktian, sehingga dengan bukti-bukti yang ada, penyidik dapat membuat terang tentang suatu tindak pidana untuk selanjutnya dapat menentukan dimana perkara terjadi, kapan perkara pidana itu terjadi siapa pelaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban, bagaimana pelaku melakukan, siapa-siapa yang terlibat dalam perkara tersebut, dan lain-lain. c) Kejaksaan Kejaksaan adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 butir 6a disebutkan bahwa: “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagi penuntut umum serta
melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Selanjutnya pada Pasal 6 butir 6b disebutkan juga bahwa “Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Melihat perumusan Undang-undang tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa pengertian jaksa adalah menyangkut jabatan,
sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi. Jadi Jaksa adalah pejabat yang ditunjuk oleh negara untuk melakukan penuntutan. Penuntutan diatur dalam Pasal 1 butir 7, yaitu : “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Ketentuan tersebut kemudian dituangkan kembali dalam UndangUndang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 1 butir 1,2 dan 3.82 Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut, ditegaskan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang dominus litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar)83. Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam 82
Pasal 1 butir 1,2 dan 3 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, selengkapnya berbunyi: Pasal 1: Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. 2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 83 Kejaksaan Republik Indonesia, http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3 diakses pada tanggal 16 Januari 2010 pukul 18.16 WIB
menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Mengacu pada Undang-undang tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undangundang Nomor 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Khusus di bidang pidana, tugas dan kewenangan kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu : 1) melakukan penuntutan; 2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang 5) melengkapai berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Jaksa yang melakukan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasarkan surat perintah yang sah disebut Penuntut umum. Apabila tugas penuntutan telah selesai dilaksanakan maka yang bersangkutan kembali menjabat sebagai jaksa. Untuk menjadi penuntut umum maka yang bersangkutan harus berstatus jaksa. Lembaga tempat mengabdi para jaksa disebut kejaksaan.84 Kebijakan Kejaksaan Republik Indonesia yang menempatkan tindak pidana kehutanan sebagai perkara penting, merupakan langkah yang
ditempuh
oleh
kejaksaan
untuk
mendukung
percepatan
penumpasan tindak pidana di bidang kehutanan. Berdasarkan Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-002/JA/4/1995 tanggal 28 84
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 57
April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain, bahwa tindak pidana kehutanan sebagaimana disebutkan dalam Undangundang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah perkara penting yang memerlukan perhatian khusus dari pimpinan dan oleh karenanya
perlu
ditangani
dan
diselesaikan
dengan
sistem
pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian. Pola penanganan dan penyelesaian perkara kehutanan di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia didasarkan kepada Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B-189/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995. Garis besar pola penanganan dan penyelesaian perkara kehutanan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:85 1) Tahap Pra Penuntutan a) Penerimaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Setelah menerima SPDP segera diterbitkan surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengikuti perkembangan
penyidikan
perkara
(P-16)
dengan
mengintensifkan koordinasi dan keterpaduan dengan instansi terkait. Terhadap perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat sebelum dilaksanakan penyerahan Berkas Perkara Tahap Pertama, diupayakan agar penyidik melaksanakan gelar perkara (pra-ekspose) hasil penyidikan guna didiskusikan bersama b) Penerimaan Berkas Perkara Tahap Pertama Yaitu meliputi tahap-tahap penelitian keterangan saksi-saksi, penelitian surat/dokumen, menelaah/mengkaji petunjuk-petunjuk, dan keterangan tersangka. Surat-surat yang perlu terlampir pada berkas perkara antara lain: surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan kayu hutan (Surat 85
Syafri Basir, Jaminan Kepastian Hukum Dalam Penuntutan Perkara Pelanggaran dan Kejahatan Bidang Kehutanan: Antara Teori dan Praktek, Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Reposisi Struktur, Peran dan Fungsi Polisi Kehutanan dalam Era Otonami Daerah, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, 12 Maret 2001, hlm.16
Keterangan Sahnya Hasil Hutan, selanjutnya disingkat dengan SKSHH), surat-surat perijinan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau ijin eksploitasi hutan lainnya. Dokumen-dokumen tersebut sangat penting bagi pembuktian kesalahan terdakwa (kesengajaan atau kelalaian). Keabsahan surat-surat tersebut perlu diteliti secara cermat dan seksama dengan memperhatikan ketentuan Pasal 184 dan Pasal 187 KUHAP dan perundang-undangan terkait lainnya. c) Pemberitahuan Hasil Penyidikan Belum lengkap Apabila ternyata hasil penyidikan belum lengkap, segera memberikan petunjuk kepada penyidik dengan menerbitkan P-18 dan P-19 d) Penerbitan Surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (P-21) Penerbitan P-21 dilaksanakan setelah hasil penelitian berkas perkara ternyata sudah lengkap baik secara formal maupun secara material. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. e) Penyerahan Tanggung Jawab atas Tersangka dan Barang Bukti Penyerahan tersangka dan barang bukti dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu versi penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP dan penyerahan tersangka dan barang bukti atas permintaan Jaksa Penuntut umum (P-22) untuk kepentingan Pemeriksaan tambahan. Pada tahap ini harus dilakukan penelitian atas tersangka dan penelitian barang bukti, kemudian didaftarkan ke dalam Register Perkara tahap Penuntutan (RP-12) dan Register Barang Bukti (RB-2). 2) Tahap Penuntutan a) Penyusunan Surat Dakwaan
Surat dakwaan harus dibuat secara jelas, cermat dan lengkap, sebab surat dakwaan memiliki posisi paling strategis sebagai rujukan utama bagi hakim dalam menetapkan putusannya. b) Pembuktian dakwaan Yaitu meliputi pemeriksaan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta bukti petunjuk seperti adanya
barang bukti yang
mendukung. c) Pembuktian Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur-unsur tindak pidana dapat dibuktikan melalui analisa faktafakta perbuatan terdakwa beserta segala akibatnya sebagaimana terungkap di persidangan dengan memperhatikan doktrin-doktrin yang berkembang serta yurisprudesi yang pernah ada. d) Pengendalian dan Pedoman Tuntutan Pidana Perkara kehutanan yang menyangkut perambahan/penebangan hutan lindung, hutan wisata, taman nasional dan suaka margasatwa, pengendaliannya dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Perkara kehutanan yang menyangkut pengangkutan kayu tanpa dokumen (SKSHH), pengendaliannya dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri. Sedangkan untuk perkara kehutanan lainnya, pengendaliannya dilakukan oleh Kepala kejaksaan Tinggi. e) Penanganan Kayu Temuan Kayu temuan adalah kayu yang ditemukan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, dimana pemiliknya tidak diketahui baik nama maupun alamatnya. Semua kayu temuan hasil
operasi
segera
diserahkan
kepada
instansi
Kehutanan/Cabang Dinas Kehutanan setempat dengan membuat Berita Acara Penyerahan. Kayu temuan tersebut diberitakan dalam mass media dan atau diumumkan melalui Kantor Pengadilan Negeri, Kantor Kecamatan, Kantor Kelurahan yang dapat diketahui secara luas oleh penduduk di dalam wilayah
hukum Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Pengumuman sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan oleh instansi Kehutanan/Cabang Dinas Kehutanan setempat, dan selanjutnya melakukan lelang berdasarkan ketentuan yang berlaku. d) Pengadilan Lembaga Pengadilan merupakan pelaksana atau penerap hukum terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan putusan tersebut dapat berupa pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana atau sebaliknya pelaku tindak pidana tersebut bebas karena tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Lembaga Pengadilan pada hakikatnya merupakan tempat pengujian dan perwujudan negara berdasarkan hukum dan merupakan barometer dari kemampuan seluruh masyarakat dan bangsa dalam melaksanakan norma hukum dan kemampuan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan sehingga siapapun yang melanggar hukum, penegak hukum wajib menerapkan hukum berdasarkan hukum dan keadilan masyarakat. Dari lembaga inilah supremasi hukum akan terwujud karena lembaga ini telah meletakkan hukum dan keadilan di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan kepentingan lainnya. Putusan pengadilan merupakan putusan yang merdeka dan bebas dari segala pengaruh siapapun (ekstra yudisial). Pada Pasal 1 Undangundang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Ketentuan di atas dilaksanakan oleh hakim sebagai salah satu penegak hukum dan keadilan. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, merumuskan, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu hakim sebagai aparat penegak hukum dituntut untuk lebih dinamis dan kreatif dalam mengikuti perkembangan hukum masyarakat dalam mencari kebenaran material Dalam sistem hukum Indonesia, pengaturan tentang lembaga pengadilan dimasukkan ke dalam kategori kekuasaan Kehakiman yang diatur oleh Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Pasal (18) Undang-undang tersebut disebutkan bahwa, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sehubungan dengan ini, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa satu-satunya campur tangan kekuasan eksekutif dalam bidang peradilan hanyalah grasi. Dan ini pada hakekatnya bukanlah campur tangan dalam bidang peradilan, melainkan koreksi terhadap putusan-putusan pengadilan setelah mempunyai kekuatan hukum tetap.86 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman yang bersifat merdeka dilakukan oleh hakim, dengan demikian Hakim dalam kewenangannya terikat pada Pancasila sebagai filter kebebasan, mempunyai sifat bebas/mandiri dalam menjalankan fungsinya.87 Menurut Bismar Siregar, dasar kemandirian dan kebebasan hakim sangat tergantung pada pribadinya dan kemandirian hakim bukan terletak pada jaminan Undang-undang, tetapi kepada, iman.88 Dengan tugas menyelenggarakan peradilan yang diperinci dengan kegiatan menerima, memeriksa dan mengadili perkara, hakim sebenarnya melakukan penegakan hukum, yakni proses untuk meweujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Tugas pokok Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia yang merupakan adresat hukum tersebut dibuat. Penegakan hukum lingkungan membutuhkan peranan hakim untuk mencapai kemandiriannya dengan peningkatan profesionalisme yang tercermin dalam bobot mutu putusan yang dijatuhkan. Untuk menjaga profesionalisme hakim ada tiga unsur yang harus dipenuhi yaitu:89 1) Kepakaran (expertise);
86
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan Dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942, Dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1983, hlm.212 87
Selanjutnya ditegaskan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa secara prosesuil kebebasan peradilan mengandung pengertian pembatasan juga, yaitu bahwa hakim dalam mengadili, kebebasannya tidaklah mutlak melainkan dibatasi oleh UUD 1945, Undang-undang, Hukum tidak tertulis dan kepentingan para pihak. Tidak boleh dilupakan, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, yang kecuali memungkinkan kebebasan bagi hakim dalam menafsirkan Undangundang, juga membatasi Hakim dalam menjalankan tugasnya agar tidak bertentangan dengan Pancasila. Lihat Sudikno Mertokusumo, loc.cit. 88
Bismar Siregar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 74 89 Direktorat Jenderal Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Departemen Kehakiman, Panel Diskusi: Kebebasan Hakim Dalam Negara Indonesia Yang Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta, 1995, hlm. 77
2) Kemitraan (corporateness); 3) Tanggung jawab (responsibility) Kepakaran yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang berlaku serta keberanian menghakimi berdasarkan hukum itu. Para hakim pun dengan daya kreasinya harus mampu berperan sebagai pencipta hukum. Mungkin bisa terjadi kekosongan di bidang Undang-undang, tetapi dengan kreativitas hakim tidak boleh terjadi kekosongan di bidang hukum. Hal ini sebagai makna dari Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 yang pada intinya Pengadilan dilarang menolak suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Hal ini sesuai dengan azas yang dikenal dalam ilmu hukum yaitu azas curia novit. Unsur kemitraan berkaitan dengan kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam menjatuhkan putusan. Putusan hakim yang lebih rendah dapat dikoreksi pada tingkat banding dan kasasi dan peninjauan kembali yang bersifat argumentatif dan terbuka. Dalam tugas penghakiman, hakim tidak terikat kepada atasan yang dapat mempengaruhi putusannya. Tanggung jawab kepada masyarakat berkaitan dengan keterbukaan dan okjektifitas putusan hakim. Keputusan hakim sejauh mungkin tidak bertolak belakang dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Hakim dalam memutus perkara harus berdasarkan hukum yang diyakininya untuk ditegakkan. Peranan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dapat dikategorikan menjadi dua fungsi: a) Hakim sebagai corong Undang-undang b) Hakim sebagai pembuat Undang-undang (judge make law) Hakim sebagai corong undang-undang adalah hakim yang bertindak untuk dan atas nama undang-undang sedangkan hakim sebagai pembuat undang-undang adalah hakim yang membuat undang-undang jika belum ada undang-undang yang mengaturnya. Salah satu tugas utama Hakim adalah menegakkan keadilan (gerech’tigdheid) bukan kepastian hukum (rechtsze’kerheid). Atau
menurut K. Wantjik Saleh, pekerjaan hakim berintikan keadilan90. Namun yang dimaksud dengan keadilan adalah bukan keadilan menurut bunyi perkataan undang-undang semata (let’terknechten der wet), menurut versi penguasa atau pemilik kekuasan (termasuk kekuasan ekonomi), melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini hakim harus menjalankan peran menjadi pembuat Undang-undang. Dalam menangani tindak pidana kehutanan hakim harus menegakkan keadilan berdasarkan undang-undang. Pertimbangan hakim berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara. Namun keputusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat adresat undangundang kehutanan tersebut dibuat. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan korektif, yang memberikan keadilan berdasarkan standar umum untuk memulihkan keadaan sebagai akibat tindakan kejahatan. Tindakan kejahatan baik kejahatan di bidang kehutanan dan lingkungan hidup, harus diganjar berdasarkan keadilan agar tercapai equilibrium dalam masyarakat yang hidup dalam Negara hukum. Ne malis expediat esse malos (yang jahat tidak boleh lebih beruntung daripada yang tidak jahat). Yang jahat harus tetap dihukum dan tidak boleh merasa lebih beruntung secara ekonomi daripada yang tidak berbuat jahat. e) Lembaga Pemasyarakatan Muara akhir dari sistem peradilan pidana adalah Lembaga Pemasyarakatan. Tugas Lembaga Pemasyarakatan adalah membina terpidana agar sekembalinya ke masyarakat, ia dapat menjadi orang yang baik dan menjadi anggota masyarkat yang berguna. Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta 90
K. Wantjik Saleh dalam Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 51
hidup secara wajar sebagai seorang warga negara. Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai Pasal ayat 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Dalam Sistem Peradilan Pidana khususnya tindak pidana di bidang Kehutanan, Lembaga Pemasyarakatan sifatnya hanya melakukan pembinaan para pelaku tanpa adanya kebijakan khusus bagi pelaku tindak pidana kehutanan. Dengan adanya Sistem peradilan pidana yang terpadu selanjutnya akan memudahkan tercapainya tujuan dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Menurut Muladi tujuan sistem peradilan Pidana adalah untuk resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, pemberantasan kejahatan dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.91 Keterpaduan dalam sistem dapat digambarkan dalam model Jepang sebagai seperangkat roda gigi yang harus cermat dan ulet menjaga kombinasi yang baik antara masing-masing roda gigi tersebut.92 Sistem dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua komponen saling mendukung dan melengkapi. Sebagai sebuah sistem, maka antar komponen dalam sistem tersebut diibaratkan seperti tabung bejana berhubungan, apabila salah satu tabung bejana kotor, maka akan mempengaruhi atau mengalir ke tabung bejana yang lainnya. Jika antar komponen tidak ada kerjasama yang baik, maka terdapat kerugian yang akan dialami oleh sistem tersebut, yaitu: 1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi; 2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem);
91
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan ke-2, Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, hlm.3 92 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Buku ke-2, op.cit., hlm. 145
3) Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.93 Untuk mewujudkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan hutan, digunakan sarana hukum materil, hukum formil maupun pelaksana pidana. Oleh karena itu dalam penegakan hukum pidana harus memperhatikan keterpaduan antara masing-masing instansi penegak hukum. Cara bekerjanya sistem peradilan yang sistematis dapat dilihat dari gambar di bawah ini:
Masyarakat
menjadi residivis
Pelanggar Hukum
tidak diadukan, tidak terdeteksi
Kepolisian tidak cukup bukti bukan tindak pidana Kejaksaan
93
Minoru Shikita, Integrated Approach to Efective Administration of Criminal and Juvenile Justice, dikutip dari Mardjono Reksodiputro, ibid, hlm. 142
tidak cukup bukti, bukan tindak pidana ditutup demi hukum, oportunitas Pengadilan bebas dari dakwaan lepas dari tuntutan Lembaga Pemasyarakatan
selesai dibina/dimasyarakatkan kembali Bagan 1: Cara Bekerjanya Sistem Peradilan Yang Sistematis sumber: J.W. Lapatra, Analyzing the Criminal Justice System 94
7) Teori Bekerjanya Hukum Pada hakekatnya hukum adalah sebagai suatu sistem, maka untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem.95 Pengertian hukum sebagai sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, bahwa setiap sistem hukum mengandung tiga unsur yang mempengaruhi yaitu structure of the law (struktur hukum), substance of the law (materi hukum) dan legal culture (budaya hukum) dalam sebuah masyarakat. Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan : To begin with, the legal system has the structure of legal system consist of elements of the kind the number and size of court;their jurisdiction…structure. Also means how the legislstive is organized. What procedures he police department follow, and go on. Structure
94
J.W. Lapatra, Analyzing the Criminal Justice System, dikutip dari Mardjono Reksodiputro, ibid, hlm. 99 95 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cetakan I, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm.30
in a way is a kind of cross section of the legal system. A kind of photograph, with free the action.96 Struktur dalam sistem hukum terdiri dari jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur apa yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur hukum (legal structure) terdiri dari lembaga hukum yang dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. Pemahaman
tentang
substansi
hukum
adalah
sebagai
berikut…”Another aspect of the legal system is its substance. By this means the actual rules, norms behavioral patterns of the people inside the system…the stress here is on living law not just rules in law goods.”97 Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum (legal substance) menyangkut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Sedangkan tentang budaya hukum, Friedman mengemukakan bahwa…”The third component of legal system of legal culture. By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system their bilief, in other word, is the eliminate of social though and social force which determines how law is used avended and afused”.98 Budaya hukum (legal culture) merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang 96
Lawrence M. Friedman, American Law, W.W. Norton and Company, New York, 1984,
hlm.7 97 98
Ibid. Ibid.
dibuat, tanpa didukung oleh budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan efektif. Ketiga unsur ini sangat berpengaruh dalam penegakan hukum.Jika salah satu unsur saja tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipastikan penegkan hukum dalam masyarakat akan enjadi lemah. Penegakan hukum yang dilakukan harus berada dalam suatu sistem yakni sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari empat komponen (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan). Sistem peradilan pidana yang terpadu akan memudahkan tercapainya tujuan dari sistem peradilan pidana. Dari uraian tersebut maka unsur struktur hukum dari suatu sistem hukum meliputi berbagai lembaga yang ditimbulkan oleh sistem hukum dengan berbagai fungsinya. Sedangkan substansi hukum mencakup semua yang merupakan hasil dari struktur hukum termasuk norma hukum, baik berupa peraturan,
keputusan
maupun doktrin-doktrin.
Selanjutnya
Friedman mengatakan bahwa unsur sistem hukum tidak hanya terdiri dari stuktur dan substansi, masih diperlukan unsur ketiga yaitu budaya hukum. Budaya hukum sangat penting untuk mendukung struktur hukum dan substansi hukum agar penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif. Konsep budaya hukum pertama-tama dikemukakan oleh Friedman untuk
menyebut
kekuatan-kekuatan
sosial
(social
forces)
yang
mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat, yang berupa elemenelemen nilai dan sikap masyarakat berhubungan dengan institusi hukum. Friedman menelaah budaya hukum dari berbagai perspektif. Ia menganalisa budaya hukum nasional yang dibedakan dari sub budaya hukum yang berpengaruh secara positip atau negatip terhadap hukum nasional. Ia juga membedakan budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum dari warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti polisi, hakim dan jaksa dalam menjalankan tugasnya, sedangkan budaya
hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya, misalnya bagaimana sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap ketentuan perpajakan, perceraian dan sebagainya. Ia juga membedakan budaya hukum tradisional dan budaya hukum modern. Selanjutnya Friedman mengatakan bahwa bekerjanya sistem hukum tidak hanya digerakkan oleh unsur struktur dan substansi. Apabila kedua unsur itu berfungsi dalam masukan dan keluaran proses hukum, maka kekuatan-kekuatan sosial tertentu berpengaruh terhadapnya. Kekuatankekuatan sosial itu merupakan variabel tersendiri yang disebut budaya hukum. Variabel itu berproses bersamaan dengan kebudayaaan sebagai suatu
variasi,
yang
kemungkinan
variabel
tersebut
menentang,
melemahkan, atau memperkuat sistem hukum.99 Friedman melihat bahwa hukum itu tidak layak hanya dibicarakan dari segi stuktur dan substansinya saja, melainkan juga dari segi unsur tuntutan-tuntutan (demands) yang berasal dari kepentingan-kepentingan (interest) individu dan kelompok masyarakat ketika berhadapan dengan institusi hukum. Kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutan tersebut merupakan kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang tercermin dalam sikap dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Unsur kekuatan-kekuatan sosial tersebut disebut oleh Friedman sebagai budaya hukum (legal culture).100 Tuntutan-tuntutan tersebut datangnya dari masyarakat atau para pemakai jasa hukum dan menghendaki suatu penyelesaian atau pemilihan cara-cara penyelesaian dari alternatif-alternatif penyelesaian. Pemilihan tersebut akan didasarkan pada pengaruh faktor orientasi, pandangan, perasaan, sikap dan perilaku seseorang dalam masyarakat terhadap hukum. Faktor-faktor tersebut didasarkan pada besarnya pengaruh dorongan kepentingan, ide, sikap, kepentingan, harapan dan pendapat orang tentang hukum. 99
Lawrence M. Friedman dalam M. Syamsudin, Budaya Hukum Hakim Dalam Menangani Perkara Korupsi di Pengadilan, Laporan Hasil Penelitian, Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm.53. 100 Satjipto Rahardjo, op.cit., hlm.154
Konsep budaya hukum yang terkait dengan pengadilan pernah dipergunakan oleh Daniel S. Lev untuk menerapkan konsep budaya hukum untuk menganalisis pola-pola perubahan sistem hukum Indonesia semenjak revolusi, dengan tujuan untuk mencari kejelasan mengapa dan bagaimana fungsi-fungsi hukum di wilayah jajahan dilayani oleh lembagalembaga yang berbeda dengan hukum di negara yang merdeka. Dia juga menganalisa bahwa lembaga-lembaga pengadilan secara umum terkait dengan proses politik, ekonomi, dan nilai-nilai budaya.101 Uraian Lev berkisar pada dua konsep, yaitu ‘sistem hukum’ dan ‘budaya hukum’. Konsep sistem hukum yang digunakan ditekankan pada aspek prosedur, akan tetapi konsep ini tidak mampu menjelaskan bagaimana sesungguhnya orang-orang menyelesaikan masalahnya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat menjelaskan masalahnya, maka sistem hukum itu dalam menjalankan fungsinya membagi pekerjaannya dengan lembaga-lembaga lain di dalam masyarakat. Suatu sistem hukum tersebut terdiri atas proses-proses formal yang membentuk lembaga-lembaga formal bersama-sama dengan proses informal yang mengelilinginya. pengorganisasian, tradisi dan gaya sistem politik yang terdapat pada bangsa sangat menetukan seberapa jauh proses-proses hukum itu atau dapat digunakan dalam rangka manajemen sosial serta usaha mencapai tujuan-tujuan bersama. Konsep yang kedua adalah konsep budaya hukum. Budaya hukum diartikan sebagai nilai-nilai yang terkait dengan hukum dan proses hukum. Budaya hukum mencakup dua komponen pokok yang saling berkaitan, yakni nilai-nilai hukum substansif dan nilai-nilai hukum ke-acara-an (prosedural legal values). Nilai-nilai hukum substansif berisikan asumsiasumsi fundamental mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber daya di dalam masyarakat, apa yang secara sosial dianggap benar atau salah dan seterusnya. Nilai-nilai hukum ke-acara-an mencakup sarana101
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, terjemahan Nirwono dan A.E.Priyono, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm.118
sarana pengaturan sosial maupun pengelolaan konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Nilai-nilai ini merupakan landasan budaya sistem hukum, dan nilai-nilai ini membantu menentukan ruang sistem yang diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama dan lembaga lain di masyarakat.102 Selain itu, Lon F. Fuller juga berpendapat bahwa untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan (8) azas atau principles of legality, yaitu: 1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. 2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan 7) Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. 103 Dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, maka sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Sistem hukum dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturanaturan hukum yang berlaku. Dalam hubungan ini persyaratan yang dikemukakan Fuller tersebut kiranya perlu diperhatikan. Selain itu Paul dan Dias mengajukan lima (5) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan hukum, yaitu : 1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami; 2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan; 3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum; 4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat,
102
Daniel S. Lev, ibid, hlm.119-120
103
Lon Fuller, The Morality of Law, dikutip dari Esmi Warassih, op. cit., hlm. 31
melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa, dan; 5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.104 Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan telah diformulasikan sanksi pidana bagi tindak pidana kehutanan. Sanksi pidana yang berat tersebut dimaksudkan agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragaraf ke-18 UU Nomor 41 Tahun 1999). Efek jera dibutuhkan untuk menghalangi niat jahat manusia untuk melakukan kejahatan kehutanan. Undang-Undang kehutanan dibuat untuk melindungi kepentingan hukum yang lebih besar yang hendak dilindungi oleh pembuat Undang-Undang melalui ketentuan tersebut. Kepentingan hukum tersebut adalah kepentingan seluruh masyarakat dan seluruh umat manusia melalui manfaat yang diperoleh dari kelestarian hutan. 8) Teori Kebijakan Kriminal Penanggulangan kejahatan dilakukan melalui kebijakan kriminal (politik kriminal) yang merupakan bagian dari kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy). Marc Ancel merumuskan politik kriminal itu sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Politik kriminal adalah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat.105 Sedangkan Hoefnagels merumuskan politik kriminal dengan banyak perumusan yaitu “the science of responses”, “the science of crime prevention”, “a policy of designating human behavior as crime” dan “a rational total of the responses to crime”.106 Hoefnagels selanjutnya menelaah teori kebijakan kriminal secara sistematis dalam bagan sebagai berikut:
104
Clarence J. Dias, Research on Legal Services and Proverty, its Relevance to the Design of Legal Services Program in Developing Countries, dikutip dari Esmi Warassih, ibid, hlm. 105-106 105
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan ke-2, Edisi Kedua, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 1998, hlm.157 106
Ibid
Kebijakan Kesejahteraan Masyarakat (social welfare policy)
TUJUAN (GOAL)
Kebijakan Sosial (social policy)
Kebijakan Perlindungan Masyarakat (social defence policy)
Penal
Politik Kriminal (criminal policy) Non Penal
Bagan 2 : Teori kebijakan kriminal oleh G.P. Hoefnagels 107
107
Saifullah, Hukum Lingkungan, Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Cetakan I, Penerbit UIN Malang Press, Malang, 2007, hlm. 298
Kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat. Selanjutnya
dari
bagan
tersebut,
Barda
Nawawi
Arief
mengidentifikasikan hal-hal pokok sebagai berikut: a) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal), social welfare dan social defence. Aspek social welfare dan social
defence
yang
sangat
penting
adalah
aspek
kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayan, kebenaran, kejujuran dan keadilan. b) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral, ada kesimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal
mempunyai
keterbatasan/kelemahan
yaitu
bersifat
fragmentaris/simplistis/tidak struktural fungsional; simptomatik/tidak kausatif/tidak eliminatif; individualistik atau offender-oriented/tidak victim oriented, lebih bersifat represif/tidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi. c) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal-law enforcement policy yang fungsionalisasi/opersaionalisasinya melalui beberapa tahap: formulasi
(kebijakan
legislatif),
aplikasi
(kebijakan eksekutif/administrasi.
(kebijakan
yudikatif),
eksekusi
108
Upaya penanggulangan maupun pencegahan kejahatan harus dilakukan melalui pendekatan integral dan keseimbangan antara sarana penal dan non penal. Mengingat adanya keterbatasan sarana kebijakan penal, maka apabila dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis untuk menanggulangi kejahatan adalah melalui sarana non penal karena lebih bersifat preventif.109 Usaha-usaha non penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh aparat penegak hukum dan sebagainya.110 Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Oleh karena itu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan upaya-upaya non penal tersebut dengan upaya penal sebagai bagian dari penanggulangan kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut
Radzinowich, menyatakan
bahwa, “criminal policy must combine the various preventive activities and adjust them so as to form a single comprehensive machine and finally coordinate the whole in to an organized system of activity.” (kebijakan kriminal
harus
menggabungkan
berbagai upaya pencegahan dan
menyesuaikannya sehingga membentuk sebuah mesin tunggal yang
108 109
Barda Nawawi Arief, dikutip dari Saifullah, Ibid., hlm. 299
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Edisi Pertama,Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 78 110 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit. hlm. 159
komprehensif dan akhirnya mengkoordinasikan keseluruhan ke dalam sebuah sistem kegiatan yang terorganisir). 111 Munculnya alternatif penyelesaian melalui upaya non penal pada dasarnya disebabkan oleh tidak optimalnya fungsionalisasi hukum pidana melalui pengadilan. Sebab ternyata hasil putusan pengadilan justru seringkali mengecewakan pencari keadilan, oleh karena itu wacana untuk menyelesaikan melalui mekanisme informal yaitu mediasi non penal terhadap tindak pidana kehutanan, seyogyanya mendapat perhatian dalam kebijakan formulasi. Wacana penyelesaian melalui mediasi non penal berupa ADR (Alternative Dispute Resolution) telah mendapat tanggapan dan
pembahasan
dalam
dokumen
internasional
dan
juga
telah
diaplikasikan dalam Undang-undang positif di berbagai negara, seperti Austria, Belgia, Jerman, Polandia, Perancis dan Malaysia.112 Dalam dokumen internasional dapat dilihat pada: a) Dalam dokumen penunjang Kongres PBB IX tahun 1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana (yaitu dokumen A/CONF, 169/6) diungkapkan perlunya semua negara mempertimbangkan “privatizing some law enforcement and justice functions” dan alternative dispute resolution/ADR (berupa mediasi, konsiliasi, restitusi dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana. Khususnya mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai berikut: “The techniques of mediation, consiliation and arbitration, wich have been developed in the civil law environment, may well be more widely applicable in criminal law. For example, it is possible that some of the serious problem that complex and lenghty cases involving fraud and white collar crime pose for courts could by reduced, if not entirely eliminated, by applying principles developed in consiliation and arbitration hearings in particular if the accused is a corporation or business entity rather than and individual person the fundamental aim of the court hearing must be not 21 to impose punishment but achieve and outcome that is in the interest of society as a wool and to reduce the probability of residivism.” Artinya ADR yang telah dikembangkan dalam lingkungan hukum perdata seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum pidana. Contoh untuk perkara-perkara pidana yang 111 112
Ibid Hartiwiningsih, op.cit., hlm. 354
mengandung unsur fraud dan white collar crime atau apabila terdakwanya adalah korporasi atau badan usaha. Ditegaskan pula bahwa apabila terdakwanya adalah korporasi atau badan usaha maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive). b) Dalam laporan Kongres PBB IX/1995 tentang “The prevention of crime and the treatment of offenders” (dokumen A/CONF/169/16), antara lain dikemukakan: a. Untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan perkara di Pengadilan), para peserta kongres menekankan pada upaya pelepasan bersyarat, mediasi, restitusi dan kompensasi khususnya untuk pelaku pemula dan pelaku muda (dalam laporan nomor 112) b. Ms. Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan mediasi penal (penal mediation) sebagai suatu alternatif penuntutan yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antar pelaku tindak pidana dengan korban (dalam laporan nomor 319) c) Dalam International Penal Reform Conference yang diselenggarakan di Royal Holloway College, University of London, dikemukakan bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-standar hak azasi manusia (The need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms witch meet human right standarts). Konferensi ini juga mengidentifikasikan sembilan (9) strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu mengembangkan/membangun: 1) Restorative justice 2) Alternative Dispute Resolution 3) Informal Justice 4) Alternative to custody 5) Alternative ways of dealing with juveniles 6) Dealing with violent crime 7) Reducing prison population 8) The proper management of prison 9) The role of civil society in penal reform d) Pada 15 September 1999, Komisi Para Menteri Dewan Eropa telah menerima Recomendation No.R(99) 19 tentang “mediation in penal matters.” e) Dalam Deklarasi Wina, Kongres PBB ke -10/2000 (Dokumen A/CONF.187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk
memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restoratif. f) Pada tanggal 15 Maret 2001, Uni Eropa membuat The EU Council Framework Decision tentang “kedudukan korban di dalam proses pidana” (the standing of victims in criminal proceedings)-EU (2001/220/JBZ) yang didalamnya termasuk juga masalah mediasi. g) Pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima resolusi 2002/12 mengenai “Basic principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters”, yang di dalamnya juga mencakup masalah mediasi.113 Dengan demikian penggunaan upaya penal dan non penal secara integralistik di samping lebih efektif juga telah mengakomodir ketentuanketentuan internasional yang diprakarsai oleh PBB. Dari pengertianpengertian tersebut, penggunaan teori-teori di atas dalam studi ini ditempatkan dalam posisi integral yang saling mendukung bagi terciptanya kerangka paradigmatik yang kokoh dan tepat untuk keperluan pembahasan materi penelitian. B. Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelusuran penulis baik pada perpustakaan Program Pascasarjana UNS maupun jurnal-jurnal penelitian lainnya yang berhasil dikaji, sampai saat ini belum ada atau belum pernah dilakukan penelitian mengenai fungsionalisasi hukum pidana dalam tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut Propinsi Sumatera Utara.
C. Kerangka Berpikir Secara ringkas, kerangka berpikir yang digunakan oleh penulis berangkat dari kebijakan kriminal pemerintah Indonesia yang telah menggunakan hukum pidana dan sanksi pidananya untuk menanggulangi tindak pidana kehutanan yang telah diformalisasi dalam Undang-undang bidang Kehutanan. Walaupun hukum pidana telah dipanggil untuk menanggulangi
tindak
pidana
kehutanan
khususnya
tindak
pidana
perambahan hutan, akan tetapi di SM Karang Gading dan langkat Timur Laut 113
Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, dikutip dari Hartiwiningsih, op.cit., hlm. 355-357
Propinsi Sumatera Utara tindak pidana perambahan hutan masih terus terjadi. Fungsionalisasi hukum pidana melalui sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu tidak dapat mencapai tujuannya untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Fungsionalisasi hukum pidana terhambat oleh sejumlah faktor yang bersumber dari faktor substansi, faktor struktur dan faktor budaya hukum yang mengakibatkan tidak diterapkannya sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini disajikan alur kerangka berpikir tentang fungsionalisasi hukum pidana untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut:
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Perambahan hutan di SM Karang Gading & Langkat Timur Laut
Fungsionalisasi Hukum Pidana Kehutanan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Substansi Hukum
Struktur Hukum
Penerapan Sanksi Pidana pada Tindak Pidana Perambahan Hutan
Budaya Hukum
Fungsional
Tidak Fungsional
Bagan 3: Kerangka Berpikir BAB III METODE PENELITIAN
1.
Jenis Penelitian Metode menurut Setiono adalah alat untuk mencari jawaban dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu yang akan dicari. Di dalam penelitian hukum maka metode yang digunakan tergantung pada konsep apa yang dimaksud mengenai hukum. Setiono114 dengan berlandaskan konsep hukum yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignyosoebroto, mengemukakan ada 5 (lima) konsep hukum, yaitu : a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. b.
Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perUndangUndangan hukum nasional.
c.
Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law.
d.
Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial empirik.
e.
Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.
Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan konsep hukum yang kelima yaitu bahwa hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Maka, hukum dalam konsep seperti itu bukanlah norma positif yang formal (as it written in the book) sebagaimana didefinisikan oleh para yuris, atau bukan pula yang faktual empiris (as it is observed as patterned legal behavior in society) sebagaimana didefinisikan oleh para sosiolog penganut aliran struktural. 114
Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta, 2005, hlm.20
Hukum dikonsepkan sebagai fakta-fakta simbolis sebagaimana dalam benak para pelakunya (as it embedded in individual actor’s mind).115 Hukum adalah simbol-simbol, atau isyarat-isyarat, yang tampak dalam bentuk rambu-rambu atau dalam bentuk huruf-huruf atau suara-suara yang bermakna sebagai bahasa. Karena hadir sebagai isyarat-isyarat kebahasaan, maka hukum pun hanya akan memperoleh maknanya apabila dilakukan penafsiran. Hanya saja dalam konsep sosio-antropologis kaum interaksionis ini, tafsir ke arah pengertian dan pengartian ini tidak harus merupakan kerja eksklusif para yuris profesional, namun juga tafsir khalayak umum untuk memberikan arti maknawi tersendiri pada hukum yang ada tersebut, walaupun hasil tafsir itu hanya berlaku dalam dan untuk kalangan mereka sendiri. Kesamaan tafsir antar mereka akan menghasilkan kesamaan paham, dan kesamaan paham seperti itu akan memungkinkan terjadinya interaksi yang produktif antar mereka, sekalipun kesamaan paham mengenai apa yang harus diartikan sebagai hukum antar mereka amat berlainan dengan tafsirnya yang otentik dan resmi. Karena setiap prilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman inderawi dan empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku atau perilaku dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau penelitian yang non doktrinal.116 Penulisan tesis ini merupakan jenis penelitian hukum non doktrinal (sosiologis). Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : a.
Bahwa apa yang ingin diperoleh dan dikaji oleh sebuah penelitian kualitatif adalah: pemikiran, makna, cara pandang manusia mengenai gejala-gejala yang menjadi fokus penelitian;
b.
Gejala dapat ditangkap oleh panca indra, sedang gagasan hanya dapat ditangkap dengan cara memahami gagasan yang bersangkutan;
c.
Gejala yang ingin dipahami di dalam penelitian kualitatif selalu dilihat sebagai hal yang mempunyai komponen-komponen yang lebih kecil, komponen yang satu dengan lainnya saling berkait satu dengan yang lainnya secara fungsional (saling mempengaruhi).117
115
Soetandyo Wignjosoebroto, Penelitian Hukum dan Hakikatnya Sebagai Penelitian Ilmiah, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Edisi Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 94 116
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm.34 117
Ibid, hlm.57
Apabila dilihat dari bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian yang diagnostik yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadi suatu gejala atau beberapa gejala dalam masyarakat. Penelitian ini akan berupaya untuk menjawab dan menjelaskan sebab-sebab tidak berfungsinya hukum pidana dalam tindak pidana kehutanan terutama yang berkaitan dengan tindak pidana perambahan hutan meskipun sanksi pidana merupakan politik kriminal yang telah dipanggil untuk menanggulangi tindak pidana yang berkaitan dengan perambahan hutan sebagaimana telah tercantum dalam ketentuan pidana dalam Undang-undang sektoral di bidang Kehutanan. Penyebab tidak berfungsinya hukum pidana tersebut diteliti lebih jauh dengan menggunakan optik pendekatan Teori Bekerjanya Hukum dari Lawrence M. Friedman yang secara umum melihat penyebabnya ke dalam tiga komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Sebenarnya ketiga komponen ini telah mencakup apa yang didalilkan oleh Soerjono Soekanto tentang faktorfaktor yang mempengaruhi penegakan hukum, karena itu dalam tesis ini penelitian terhadap tiga komponen yang diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman akan diintegrasikan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto. 2.
Lokasi Penelitian Penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini, dilaksanakan di Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, Kepolisian Resor Langkat, Kepolisian Resor Deli Serdang, Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Perpustakaan Pascasarjana UNS Surakarta, dan Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3.
Jenis dan Sumber Data Sehubungan dengan jenis penelitian seperti di atas, yaitu merupakan jenis penelitian hukum non-doktrinal, sumber data untuk penelitian ini diperoleh dari data primer dan data sekunder.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang dapat memberikan data yang dibutuhkan berupa jawaban lisan maupun tulisan. Sumber data penelitian ini adalah: a. Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan berupa keterangan dan penjelasan yang diberikan para narasumber. Data primer diperoleh melalui wawancara. Responden sebagai sumber data primer dalam penelitian ini adalah: 1) Ir. Djati Witjaksono Hadi, M.Si., Kepala Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 2) Polmer Situmorang, SH, Kepala Bidang KSDA Wilayah I, Sumatera Utara. 3) Edi Wibowo, SH, MH., Hakim Pengadilan Negeri Langkat. 4) Ade Sumitra Hadisurya SH, M.Hum., Hakim Pengadilan Negeri Langkat. 5) AKP Sugeng Riyadi, Kasat Reskrim Polres Deli Serdang 6) AKP B. Siahaan, Kepala Kepolisian Sektor Secanggang 7) Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 8) Octo P. Manik, S.Sos., Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 9) Elinsar Sagala, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara dan sekaligus mantan petugas di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut 10) Musriadi Alfi, Polisi Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara, pernah bertugas di Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut 11) Khalid Surbakti, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut I di Karang Gading. 12) M. Nur, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut II di Tanjung Pura.
13) Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut III di Selotong. 14) M. Safruddin, Polisi Kehutanan pada Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut II di Tanjung Pura. 15) Djami’an, mantan Kepala desa Pematang Cengal, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. 16) Asrul, mantan Kepala Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. 17) Tengku Rahman, masyarakat perambah hutan di Paluh Kurau, Kabupaten Deli Serdang. 18) Abdul Jalil, masyarakat Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. 19) Sutejo, anggota Pengaman Hutan Swakarsa Desa Karang Gading dan tokoh masyarakat di Asam Kumbang, Desa Karang Gading. b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka. Aktivitas ini merupakan tahapan yang amat penting. Bahkan dapat dikatakan, bahwa studi kepustakaan merupakan separuh dari keseluruhan aktivitas penelitian itu sendiri.118 Data yang diperoleh dari bahan pustaka, dilihat dari sudut mengikatnya, terbagi atas: 2) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan per Undang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan. Dalam Penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari: a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana b) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. c) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 118
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2007, hlm.112
d) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 Nopember 1980 e) Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb. f) Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb g) Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb. 3) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang tidak mengikat dapat membantu, memberi penjelasan bahan-bahan hukum primer antara lain : a) Bahan kepustakaan atau literatur, buku-buku dan artikel yang terkait materi penelitian b) Hasil penelitian dan survey tentang materi penelitian. 4) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu: a) Kamus Umum Bahasa Indonesia b) Kamus Hukum Indonesia c) Majalah dan Surat Kabar d) Web Site
4.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara dengan responden dan penelusuran literatur/dokumen (studi kepustakaan). a. Wawancara (Interview) Pengambilan data melalui studi lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, yaitu suatu metode pengumpulan data
dengan cara mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dengan berbicara secara langsung. Dalam penelitian ini wawancara tidak dilakukan secara terstruktur ketat dan dengan pertanyaan tertutup seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi dilakukan secara tidak terstruktur atau sering disebut sebagai teknik wawancara mendalam. Dalam hal-hal tertentu peneliti dapat menanyakan pandangan responden tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar penelitian bagi penelitian lebih jauh. Dalam kedudukan ini subjek studi lebih berperan sebagai informan daripada sekedar responden. Interview informal ini dapat dilakukan pada waktu dan konteks yang dianggap tepat guna mendapatkan data yang mendalam, dan dapat dilakukan berulang kali sesuai dengan keperluan data yang dibutuhkan oleh peneliti. Wawancara seperti ini disebut dengan indepth interviewing.119 Untuk menentukan responden digunakan
teknik
non-probability
sampling,
yaitu
suatu
teknik
pengambilan sampel dimana pertimbangan keputusan pengambilannya berada di tangan peneliti dengan tidak memberikan kesempatan yang sama pada setiap populasi untuk dipilih sebagai sampel. Jenis non-probability sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan memilih responden berdasarkan kualitas dan relevansi responden yang kiranya dapat memberikan informasi yang relevan dengan masalah penelitian ini, dalam hal ini dipilih responden yang pernah terlibat dalam upaya penegakan hukum terhadap kegiatan perambahan hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat. 2. Studi dokumentasi Studi dokumentasi sebagai pelengkap data, dan dokumen-dokumen tersebut diharapkan dapat menjadi nara sumber yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak memungkinkan ditanyakan melalui wawancara atau observasi. 119
Miles & Huberman, Qualitative Data Analysis: A Source of New Methods, dikutip dari Heribertus Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teoritis dan Praktis, Pusat Penelitian Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 1988, hlm. 24
5.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif. Yaitu suatu cara pemilihan data yang menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diamati dan diteliti, dipelajari secara utuh atau biasa disebut model analisis interaktif (interactive model of analysis). Penelitian kualitatif dalam penelitian hukum non doktrinal memiliki 3 (tiga) komponen utama. Ketiga komponen tersebut adalah:120 a. Data Reduction (reduksi data) Reduksi data diartikan sebagai proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Hal yang sangat penting dalam reduksi data adalah analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. b. Data Display (sajian data) Setelah dilakukan reduksi data maka alur kedua adalah penyajian data. Dalam penelitian ini, untuk dapat melihat gambaran secara menyeluruh maka data yang dikumpulkan harus diusahakan dibuat suatu bentuk matriks atau grafik untuk menghindari penenggelaman data. Menurut Miles dan Huberman, bahwa penyajian data tidaklah terpisah dari analisis melainkan bagian dari suatu analisis. c. Conclusion Drawing (penarikan simpulan atau verifikasi) Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturanperaturan, pola-pola, pernyatan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi. Dalam penarikan kesimpulan 120
Miles & Huberman, Qualitative Data Analysis: A Source of New Methods, dikutip dari Heribertus Sutopo, Ibid, hlm. 34-37
(verifikasi) ini tidak terlepas dari reduksi dan penyajian data. Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasikonfigurasi yang utuh. Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung untuk dapat
memberikan makna
yang dapat
teruji
kebenarannya. Model analisis interaktif dapat disajikan dalam diagram sebagai berikut:
Pengumpulan data
Reduksi data
Sajian data
Penarikan simpulan/ Verifikasi
Bagan 3 : Proses Analisis Data (Interactive Model of Analysis)
Proses analisis dengan 3 (tiga) komponen di atas aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data berbagai proses siklus. Dalam penelitian ini, peneliti tetap bergerak di antara ketiga komponen dengan komponen pengumpulan data, selama proses pengumpulan data berlangsung. Sesudah pengumpulan data, kemudian bergerak di antara data reduction, data display dan conclusion drawing. Metode analisis ini disebut dengan model analisis interaktif (interactive model of analysis).
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading dan Langkat Timur Laut (KG/LTL) merupakan hutan milik negara dengan fungsi konservasi yang tutupan lahannya didominasi oleh hutan bakau (mangrove). SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Hamparan Perak dan Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang serta Kecamatan Secanggang dan Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat. SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan hutan suaka alam yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 dengan luas ±15.765 hektar. Kawasan seluas ±9.520 hektar berada di Kabupaten Langkat dan ±6.245 hektar berada di Kabupaten Deli Serdang. Kawasan Suaka alam ini sebenarnya telah ada sejak jaman sebelum kemerdekaan. Sebelum ditetapkan sebagai suaka margasatwa, hutan di Langkat Timur Laut oleh Kerajaan Negeri Deli ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan Zelfbestuur Besluit (ZB) No. 148 tanggal 6 Agustus 1932 seluas 9.520 hektar, sedangkan hutan di Karang Gading ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan ZB No. 138 tanggal 8 Agustus 1935 seluas 6.245 hektar121. Baru kemudian setelah Indonesia merdeka berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 Nopember 1980, status kawasan hutan ini ditetapkan sebagai Hutan Suaka Alam c/q Suaka Margasatwa seluas 15.765 hektar. Penataan kawasan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1934 (satu tahun lebih awal dari dikeluarkannya ZB Nomor 138) seluas 15.765 hektar, dengan Berita Acara tata batas tanggal 14 Juni 1934 dan Berita Acara tanggal 3 Juli 1934. Pada tahun 1984 sebagian batas kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yakni yang berbatasan dengan daratan telah direkonstruksi oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah I Medan sepanjang 50 KM. Dan selanjutnya pada tahun 1998 direkonstruksi kembali oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Pematang Siantar dan temu gelang122 sepanjang 74,78 KM.123 Secara geografis kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut terbentang antara 98º30’- 98º42’ Bujur Timur dan 3º51’30”-3º59’45” Lintang Utara. Di sebelah Utara kawasan yang berbatasan langsung dengan lautan Selat Malaka dengan bentang pantai 121
Dulhadi, “Hutan Mangrove Kabupaten Langkat Masalah dan Upaya Pengelolaannya (Khusus SM. Karang Gading dan Langkat Timur Laut)”, dalam Seminar Regional Strategi Penanganan Hutan Mangrove di Propinsi Sumatera Utara, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, Medan, 5 Agustus 2000, hlm.3 122 Temu gelang adalah bertemu kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti gelang (misal atap stadion Senayan di Jakarta). Lihat kateglo dalam http://www.bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=temu%20gelang, diakses pada tanggal 3 April 2010 pukul 23.00 WIB 123
Dulhadi, Loc.cit.
sepanjang 25 KM, terdapat 2 (dua) desa yaitu Desa Jaring Alus dan Desa Kuala Besar. Kedua desa ini berada di luar kawasan hutan Suaka Margasatwa. Aksebilitas menuju kawasan ini dari kota Medan, dapat ditempuh melalui jalan darat dengan route Medan-Stabat-Secanggang berjarak ± 70 Km, serta jalan laut Belawan-Karang Gading sekitar 2 jam perjalanan dengan boat.124 Pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut berada di bawah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana teknis Konservasi Sumber Daya Alam disebutkan bahwa Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. (lihat bagan 4)
Menteri Kehutanan Inspektorat Jenderal Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan
Sekretariat Jenderal Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Badan Planologi Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Sekretariat Direktorat Jenderal PHKA
Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan
Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan
Direktorat Konservasi Kawasan
Direktorat Konservasi Keanekaraga man Hayati
Direktorat Pemanf.Jasa Lingkungan dan Wisata Alam
Unit Pelaksana Teknis - Balai KSDA - Balai Taman Nasional
124
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Informasi Kawasan Konservasi Propinsi Sumatera Utara, Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm.8
Bagan 5
: Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.125
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara mempunyai tugas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, kordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara menyelenggarakan fungsi: 126 a. Penataan Blok, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margastwa, taman wisata alam, dan taman buru, serta konservasi tunmbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan konservasi. b. Pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan konservasi. c. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung. d. Penyidikan, perlindungan dan pengamanan hutan, hasil hutan dan tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan konservasi. e. Pengendalian kebakaran hutan. f. Promosi, informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. g. Pengembangan
bina
cinta
alam
serta
penyuluhan
konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. h. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan. i. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi. j. Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam. k. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. 125
Kementriaan Kehutanan Republik Indonesia, dalam http://www.dephut.go.id/struktur/index.php, diakses pada tanggal 5 Maret 2010 pukul 11.25 126 Lihat Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam.
Untuk melaksanakan fungsi tersebut, Balai Besar KSDA Sumatera Utara memiliki sruktur organisasi yang terdiri dari: a. Kepala Balai (Eselon II) : 1 orang b. Kepala Bagian Tata Usaha (Eselon III)
: 1 orang
c. Kepala Bidang Teknis (Eselon III)
: 1 orang
d. Kepala Bidang KSDA Wilayah (Eselon III)
: 2 orang
e. Kepala Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan (Eselon III) : 1 orang f. Kepala Sub bagian (Eselon IV)
: 3 orang
g. Kepala Seksi (Eselon IV)
: 8 orang
h. Kelompok Jabatan Fungsional (Polisi Kehutanan dan Pengendali Ekosistem Hutan) Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan skema struktur organisasi Balai Besar KSDA Sumatera Utara sebagai berikut127:
127
Balai Besar KSDA Sumut, Statistik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009, Medan, 2010
Bagan 6 : Struktur Organisasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara KEPALA BALAI
Bagian Tata Usaha
SubBag Umum
Seksi Pemanfaatan & Pelayanan
Kelompok Jabatan Fungsional
SubBag Data Evlap & Humas
Bidang KSDA Wilayah I
Bidang Teknis KSDA
Seksi Perlindungan Pengawetan & Perpetaan
SubBag Perencanaan & Kerjasama
SKW I
1.Res.Polonia 2.Res. Belawan 3.Res.TWA Sicikehcikeh 4.Res.SM Siranggas 5.Res.TWA Lau debuk-debuk 6.Res.TWA Deleng Lancuk 7.Res.Martelu Purba
Bidang KSDA Wilayah II
SKW II
1.Res.Sibolangit 2.Res. SA S.Ledong, CA Batu Ginurit & Tj.Balai 3.Res.SM KG/LTL I 4.Res.SM KG/LTL II 5.Res.SM KG/LTL III 6.Res.Aras Napal
SKW III
1.Res.CA Dolok Saut 2.Res. SM Dolok Surungan I 3.Res.SM Dolok Surungan II 4.Res.TWA Sijaba Huta Ginjang 5.Res.Sibolga 6.Res.TB.Pulau Pini
Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan
SKW IV
Seksi Dalkar Hutan Wil.I
Seksi Dalkar Hutan Wil.II
1.Res.TWA Holiday Resor 2.Res. SM Barumun 3.Res.CA Sibual-buali & SA Lubuk Raya 4.Res.CA Dolok Sipirok 5.Res.CA Dolok Tinggi Raja
1.Daops 01 SBL 2.Daops 01 PSR
1.Daops 01 LBT
Jumlah dan luasan kawasan hutan konservasi yang berada di wilayah kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara disajikan dalam tabel 5 berikut ini: Tabel 5 Kawasan Konservasi di Wilayah Kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara No 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama Kawasan 2
CA. Sibolangit CA. Dolok Sibualbuali CA. Dolok Sipirok CA. Dolok Saut CA. Batu Gajah CA. Dolok Tinggi Raja CA. Batu Ginurit CA. Martelu Purba CA. Liang Balik TWA Sibolangit TWA Holiday Resort TWA Sijaba Huta Ginjang TWA. Sicikeh-cikeh TWA. Lau Debuk-debuk TWA. Deleng Lancuk SM. Karang Gading/ Langkat Timur Laut SM. Siranggas SM. Dolok Surungan SM. Barumun SA. Sei Ledong SA. Dolok Lubuk Raya TB. Pulau Pini
Luas (ha) 3
93,15 5.000 6.970 39 0,8 167 0,5 195 0,31 24,85 1.963,75 500 435 7 575 15.765 dfdfsdjfs d5.657 23.800 40.330 1.100 2.050 8.350
Letak Kabupaten 4
Deli Serdang Tapanuli Selatan Tapanuli Selatan Tapanuli Utara Simalungun Simalungun Labuhan Batu Simalungun Labuhan Batu Deli Serdang Labuhan Batu Toba Samosir Dairi Tanah Karo Tanah Karo Deli Serdang dan Langkat Pakpak Bharat Toba Samosir Tapanuli Selatan Labuhan Batu Tapanuli Selatan Nias Selatan
Sumber : Statistik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009
SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya kawasan konservasi berupa hutan bakau di Sumatra Utara, yang secara administratif wilayah berada di Kabupaten Langkat dan Kabupaten
Deli Serdang. Untuk mengelola kawasan ini, Balai Besar KSDA Sumatera Utara membentuk pemangkuan hutan setingkat resor yang terdiri dari 3 (tiga) Resor Konservasi Wilayah yang berada di bawah kantor Seksi Konservasi Wilayah II Stabat, yaitu: a. Resor Konservasi Wilayah Karang Gading & Langkat Timur Laut I yang berkedudukan di Desa Karang Gading, Kabupaten Deli Serdang. Dengan wilayah kerja meliputi kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut I yang terletak di Kabupaten Deli Serdang seluas ±6.245 ha yang secara administratif berada di dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Labuhan Deli dan Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Pada saat ini petugas yang mengelola kawasan ini sejumlah 2 (dua) orang yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil Kementrian Kehutanan dengan Jabatan Polisi Kehutanan. Pada tahun 2006 dibentuk Pengaman Hutan Swakarsa yang berjumlah 10 orang berasal dari masyarakat setempat untuk membantu tugas-tugas pengelolaan kawasan hutan termasuk fungsi perlindungan dan pengamanan kawasan. Untuk membantu kelancaran tugas tenaga Pengaman hutan swakarsa diberikan fasilitas berupa keperluan operasional lapangan dan upah bulanan yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Hasil wawancara dengan Khalid Surbakti, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM KG/LTL 1 diperoleh informasi bahwa: “Sekarang ini masyarakat yang diangkat menjadi Pamswakarsa (Pengaman Hutan Swakarsa-penulis) sangat membantu tugas-tugas resor. Pamswakarsa itu semangatnya tinggi kalau diajak patroli biarpun tidak ada dananya. Bahkan kasus yang terakhir kami sangat dibantu Pamswakarsa. Waktu itu kami bersama Pamswakarsa yang melakukan pengintaian penebangan bakau, baru bersama-sama dengan petugas dari Polsek Hamparan Perak melakukan penangkapan. Waktu itu berhasil ditangkap pelakunya yaitu Andika dan Hariadi yang sudah divonis di pengadilan. Pelaku ini sebenarnya sudah pernah tertangkap sebelumnya, namun hanya dilakukan upaya persuasif dari Kepala Seksi dan perahu yang digunakan dipinjampakaikan kepada pemilik. Akhirnya pada penangkapan yang kedua kali, pelaku tertangkap dengan menggunakan perahu yang sama. Pada saat proses penyidikan kami
mendapat tekanan dari beberapa oknum Marinir yang berupaya untuk mengurus pelaku agar dibebaskan. Kami telah melaporkan tekanan tesebut kepada Kepala Seksi, namun tidak ada penyelesaian. Akhirnya kami melapor kepada Bapak Kepala Balai yang berkordinasi langsung dengan atasan oknum Marinir tersebut sehingga tidak berani lagi melakukan tekanan. Setelah ada perubahan menjadi Balai Besar, setiap ada permasalahan di wilayah resor wajib kami laporkan kepada Kepala Seksi, tetapi sering kali tidak ada respon, sehingga secara pribadi kami kadang-kadang langsung melapor kepada Kepala Balai. Selama ini kalau ada kasus di resor kami sering dipanggil ke kantor polisi untuk diperiksa sebagai saksi, kadang-kadang juga dipanggil ke Pengadilan sebagai saksi. Kami harus datang ke kantor polisi dan ke Pengadilan dengan biaya sendiri. Dari kantor juga tidak ada yang mengarahkan kami untuk memberikan keterangan. Maunya ada orang-orang tertentu dari Balai yang khusus memberikan pengarahan kepada petugas lapangan kalau terjadi permasalahan. Sekarang ini Kepala Desa Secanggang sangat mendukung tugas-tugas kita di lapangan, sehingga kalau ada surat-surat jual beli tanah selalu dicantumkan “sepanjang tidak kawasan hutan negara.”128 Pada saat ini terdapat satu buah bangunan pondok kerja yang digunakan sebagai kantor pengelola Resor Konservasi Wilayah. Pondok kerja tersebut berada di Desa Karang Gading yang berdekatan dengan lokasi kawasan hutan yang digunakan sebagai tempat bekerja pengelola kawasan dan sekaligus tempat tinggal bagi pengelola. b. Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut II Resor Konservasi Wilayah ini memiliki wilayah kerja seluas ±5000 Ha yang secara administratif berada di Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Resor Konservasi Wilayah KG & LTL II yang berkedudukan di Pematang Sentang, Desa Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, pada saat ini dikelola oleh 2 orang petugas Balai Besar KSDA Sumut yang berstatus Pegawai Negeri Sipil Kementrian Kehutanan. Untuk membantu tugas-tugas 128
Wawancara dengan Khalid Surbakti, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM KG dan LTL 1, di sekitar kantor Balai Besar KSDA Sumatera Utara Medan, tanggal 8 Desember 2009 pukul 11.20 WIB.
pengelolaan, pada saat ini dibentuk Pengaman hutan Swakarsa berjumlah 13 orang yang berasal dari masyarakat desa sekitar kawasan hutan. Untuk sarana transportasi patroli pengamanan kawasan, terdapat satu buah perahu klotok, namun kendaraan patroli roda 2 dan senjata api belum tersedia. Dari wawancara dengan M. Nur, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM KG/LTL II menyatakan bahwa: “Perambahan hutan terjadi sejak tahun 1990-an. Sekarang sudah jadi kebun dikuasai oleh PT dan perusahaan-perusahaan. Perambahan ini banyak terjadi pada masa Pak Husni jadi Kepala Seksi. Sekarang ini, kalau ada kejadian perambahan kami selalu melapor ke Seksi, tapi kadang ditanggapi kadang tidak ditanggapi. Perambah-perambah sekarang, kalau kita datangi mereka akan berhenti tapi kalau kita sudah pergi mereka akan merambah lagi. Alasannya penghasilan dari laut sudah kurang jadi mereka menanam padi untuk menambah penghasilan dari laut. Sebenarnya mereka tahu kawasan hutan dan takut untuk merambah. Tapi kalau perusahaan-perusaahan besar tidak takut dengan petugas apalagi setelah mereka menang dalam kasus yang terakhir. Di kantor resor kereta (sepeda motor-penulis) untuk petugas resor sudah tidak ada. Kereta yang lama setelah adanya pergantian kepala resor bulan Juli 2007, masih dipakai oleh Kepala Resor yang lama, yaitu Samin Ginting, yang sekarang bertugas di Seksi Konservasi Wilayah I Stabat. Jadi kami tidak bisa melaksanakan patroli ke seluruh kawasan resor. Sekarang ini kami sulit kalau ada keperluan ke Polsek Tanjung Pura, karena tidak ada kereta. Petugas di sini juga cuma 2 orang tidak mungkin bisa mengawasi seluruh kawasan. Tahun 2009 telah ada Pamswakarsa sebanyak 13 orang dari masyarakat sekitar kawasan. Mereka ini mendukung tugas-tugas kami karna mereka telah merasakan langsung akibat kerusakan hutan. Banjir sudah sampai kampung. Sekarang petugas kita banyak yang ditempatkan di kantor seksi, seharusnya petugas lebih banyak di Resor, terutama yang mengerti hukum. Kalau bisa petugas di resor itu sebaiknya ada yang berpendidikan sarjana. Selama ini kalau kami diperiksa di kantor Polisi sebagai saksi atau jadi saksi di Pengadilan kami berangkat sendiri dan tidak mendapat arahan dari kantor Balai. Makanya kami sering menjawab tidak tahu saja, daripada salah menjawab. Sebaikya ada petugas dari balai yang ditugaskan untuk memberikan arahan kepada kami sebelum diperiksa biar pendapatnya sama. Pada kasus perambahan yang terakhir yang sudah dibebaskan di Pengadilan Langkat, sekarang ini pemiliknya sudah bekerja lagi di lahan itu. Kami tidak berani melarang karna mereka sudah memegang putusan dari Pengadilan. Apalagi waktu sidang lapangan tahun 2005, lahan itu sudah
berada di luar hutan SM berdasarkan SK 44 tahun 2005. Menurut Kepala Pengadilan saat itu Pak Zul, mengatakan bahwa kalau ada peraturan baru maka peraturan lama dikesampingkan.”129 Pondok kerja terdapat di Desa Tapak Kuda yang berbatasan dengan kawasan hutan. Untuk sarana komunikasi tersedia radio komunikasi yang memudahkan untuk koordinasi ke kantor Balai Besar KSDA Sumatera Utara di Medan. Setelah adanya reorganisasi pengelolaan Balai KSDA menjadi Balai Besar KSDA130 pada tahun 2007, pada saat ini, organisasi pengelola kawasan setingkat resor tidak memiliki stempel legalitas pengelola kawasan dan identitas surat. Dari wawancara yang dilakukan dengan Kepala Resor, diperoleh informasi sebagai berikut: “Setelah Balai berubah menjadi Balai Besar, kami tidak punya stempel lagi. Stempel sudah ditarik semua. Sekarang kalau ada kejadian di dalam kawasan kami harus melapor ke Seksi di Stabat. Kordinasi dengan Muspika tidak pernah dilakukan karna tidak ada stempel. Surat menyurat tidak pernah lagi dilakukan, dulu masih sering. Kalau dulu sewaktu masih Balai biasa, kami bisa langsung membuat laporan ke Polsek dan langsung turun ke lokasi, sekarang tidak bisa lagi, harus membuat laporan terlebih dahulu ke Kantor Seksi di Stabat, baru kemudian Seksi yang akan memberi petunjuk tindakan selanjutnya yang harus dilakukan. Sebenarnya bagi kami sendiri, prosedur yang seperti itu justru meringankan pekerjaan kami di resor, tanggung jawab berada
129
Wawancara dengan M. Nur, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut II di rumahnya di Pematang Sentang, tanggal 11 Desember 2009, pukul 14.25 WIB. 130
Bahwa dalam rangka optimalisasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada tahun 2007 dilakukan pengembangan dan penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut disebutkan bahwa Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam diklasifikasikan sebagai berikut : a. Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam Kelas I, yang disebut dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam; b. Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam Kelas II, yang disebut dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
di Kepala Seksi, kami tidak harus repot-repot lagi melapor ke kantor Polsek.”131 c. Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut III Resor Konservasi Wilayah Langkat Timur Laut III berkedudukan di Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat dengan jumlah kawasan yang dikelola ±5000 Ha. Untuk pengamanan kawasan pada saat ini terdapat 2 orang petugas dengan Jabatan polisi Kehutanan yang merupakan Pegawai Negeri Sipil Kementrian Kehutanan. Pada saat ini telah direkrut Pengaman Hutan Swakarsa dari masyarakat desa sekitar hutan sejumlah tigabelas (13) orang. Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM KG/LTL 3 diperoleh informasi bahwa: “Petugas Polhut di Resor ini ada dua (2) orang, satu orang kepala resor dan satu orang anggota. Wilayah kami ±5000 hektar, dengan 2 orang petugas tentu sangat kurang. Dari jumlah petugasnya kurang, dari sarananya juga kurang. Saat ini sarana yang ada berupa speed boat, tapi kendaraan roda dua tidak ada. Kendaraan roda dua semua ada di Seksi. Senjata api ada satu pucuk jenis PM 1 A1. Kami dibantu oleh tiga belas (13) anggota pamswakarsa (Pengaman Hutan Swakarsa-penulis) yang anggotanya berasal dari masyarakat desa-desa sekitar hutan. Dari setiap desa ada yang mewakili, misalnya dari Jaring Alus, Secanggang, Kuala Besar dan Karang Gading Langkat. Honor mereka dibayarkan dari balai tergantung anggaran. Kadang dibayarkan tiap bulan kadang dibayarkan per tiga bulan. Sekarang ini justru pamswakarsa yang tinggi semangatnya kalau kita ajak patroli. ”132 Pondok kerja pada saat ini terdapat di Desa Selotong yang digunakan untuk tempat bekerja pengelola kawasan dan sekaligus sebagai tempat tinggal bagi pengelola kawasan. Sedangkan untuk mendukung tugas-tugas perlindungan dan pengamanan kawasan terdapat satu pucuk senjata api Polisi Kehutanan jenis pistol mitraliur tipe PM 1 A1 buatan Pindad. Untuk membantu tugas-tugas pengelolaan kawasan, dibentuk Pengamanan hutan swakarsa yang diangkat dari masyarakat desa sekitar kawasan hutan. Dari identifikasi yang dilakukan oleh Balai Besar KSDA Sumatera Utara terhadap kawasan ini pada tahun 2006, bahwa kawasan SM Karang 131
Wawancara dengan M.Nur, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur laut II di rumahnya di Pematang Sentang, tanggal 11 Desember 2009 pukul 14.25 WIB. 132 Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut III di rumahnya di Selotong, tanggal 11 Desember 2009 pukul 09.27 WIB.
Gading dan Langkat Timur Laut telah mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia berupa penebangan liar dan perambahan kawasan hutan. Dari observasi langsung yang dilakukan melalui jalur sungai dan darat diperoleh hasil identifikasi kerusakan kawasan untuk tiap-tiap wilayah kerja Resor sebagai berikut133: 1. Resor Konservasi Wilayah Karang Gading dan Langkat Timur Laut I Gangguan yang terjadi antara lain adalah kegiatan perambahan kawasan untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit, kegiatan pertambakan (tambak intensif dan tambak nonintensif/alam), kegiatan pendudukan kawasan untuk pemukiman oleh masyarakat, dan kegiatan illegal logging. 2. Resor Konservasi Wilayah Karang Gading dan Langkat Timur Laut II Gangguan terbesar adalah kegiatan perambahan kawasan hutan konservasi untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit 3. Resor Konservasi Wilayah Karang Gading dan Langkat Timur Laut III Gangguan yang terbesar adalah kegiatan perambahan kawasan hutan konservasi untuk pertambakan, terutama tambak udang. Hasil wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM KG<L 3 diperoleh informasi sebagai berikut: “Sejak tahun 1988 pembukaan tambak, batas-batas kawasan sudah hilang hingga menyatu dengan lahan masyarakat. Dulu sebenarnya pal batas kawasan ada. Hilangnya karena pembukaan lahan, dibuang orang dengan sengaja. Dari petugas resor ada tegoran bagi pelaku untuk menghentikan kegiatan dan selanjutnya dilaporkan kepada seksi. Tapi dari seksi tidak begitu direspon kurang tahu apa kendalanya. Jadi kita tunggu respon dari balai saja. Sampai sekarang dari resor belum pernah membuat LK terhadap perambahan hutan tapi kalau illegal loggingnya langsung ada kordinasi dengan Polsek setempat sampai ada penangkapan. Waktu kami laporkan ada penangkapan ke kantor seksi, 133
Djati Witjaksono Hadi, Membangun SDM Aparatur Yang Profesional Pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Dalam Penanggulangan Ancaman Terhadap Kerusakan Ekosistem Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut, Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP2), Lembaga Administrasi Negara, Program Diklatpim Tingkat II Angkatan XXV, Jakarta, 2009, hlm.2
tidak direspon akhirnya kami laporkan ke Polsek. Sekarang tersangkanya sudah ditahan yaitu Songkrek dan Zulham. Sekarang ini pihak atasan yang tidak respon padahal masyarakat sebenarnya takut. Dari seksi hanya mengarahkan buat surat pernyataan saja agar tidak melakukan lagi, padahal kalau surat pernyataan dari dulu sudah kita buat. Akhirnya pelaku tidak takut, peringatan dari resor dianggap hanya gertak sambal saja. Selama ini kalau ada panggilan pemeriksaan sebagai saksi di Polsek, kami harus datang dengan biaya sendiri. Terkadang juga dipanggil sebagai saksi di Pengadilan, tapi selama ini tidak ada arahan khusus dari kantor Balai kalau kami akan diperiksa. Kalau kami yang di lapangan berharap ada pengarahan dari Balai sebelum kami bersaksi, sehingga keterangan yang kami sampaikan sudah lengkap. Apalagi yang menyangkut permasalahan hukum, sebaiknya ada staf khusus dari Balai yang menangani permasalahan ini.”134 Sebelum masuknya pemilik modal, gangguan terhadap kawasan cenderung kecil dan pada umumnya hanya berupa pengambilan kayu bakau untuk arang dalam skala kecil. Masyarakat sekitar kawasan hutan sejak lama telah mengetahui bahwa hutan tersebut adalah hutan milik negara dan ada larangan untuk memasuki hutan tersebut. Pada era tahun 1990-an setelah adanya pemilik modal yang membeli tanah dari masyarakat, gangguan terhadap kawasan ini semakin besar. Masyarakat lebih tertarik pada iming-iming uang dari pemilik modal yang bersedia membeli lahan yang telah mereka garap. Pola penguasaan lahan seperti ini didukung oleh aparat desa yang juga menangguk keuntungan ekonomi dari penjualan kawasan hutan tersebut. Dari wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat di Desa Asam Kumbang, Karang Gading, diperoleh informasi sebagi berikut: “Dulu hutan ini masih sangat lebat dan banyak ditumbuhi oleh kayu bakau yang besar-besar. Masyarakat di sini masih takut untuk menggarap hutan. Masyarakat tahu hutan ini adalah hutan yang dilindungi, di samping itu juga masyarakat masih memiliki kepercayaan ada tempat-tempat tertentu di dalam hutan yang pantang untuk dimasuki karena masih dijaga oleh mahluk halus. Kami percaya kalau hutan itu diganggu penjaganya 134
Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut III di rumahnya di Selotong, tanggal 11 Desember 2009 pukul 09.27 WIB
akan marah dan akibat buruk bisa terjadi pada masayarakat. Kalau daerahdaerah pantai seperti di Kuala Besar dan Jaring Alus, dulu masih ada upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat untuk menolak bencana. Tapi setelah orang-orang yang punya uang datang ke sini dan membeli lahan melalui Penghulu, masyarakat lebih tertarik pada tawaran uang dan sudah tidak takut lagi kepercayaan-kepercayaan lama. Apalagi setelah krisis tahun 1997, semakin banyak kawasan hutan yang digarap oleh masyarakat, dan pengusaha yang datang juga semakin banyak yang mau membeli kawasan hutan melalui Penghulu.”135 Gangguan yang terjadi pada kawasan hutan tersebut telah mengakibatkan tingginya tingkat kerusakan yang terjadi yang dapat ditunjukkan dari beberapa indikator kerusakan ekosistem di wilayah ini, yaitu136: a. Terjadinya degradasi keragaman spesies yang ditemukan di wilayah ini, dimana pada tahun 1951 dilaporkan adanya 34 spesies vegetasi mangrove di kawasan ini, namun pada tahun1991 menjadi 21 spesies dan bahkan pada tahun 2001 tinggal 18 spesies yang ditemukan. b. Adanya kerapatan individu pada tingkat semai yang lebih rendah dari tingkat pancang. Kondisi kerapatan pohon seperti itu menggambarkan ketidakmampuan dari ekosistem tersebut untuk melakukan regenerasi secara alami. c. Tidak ditemukannya pohon pada kelas tiang dan pohon untuk beberapa jenis pohon komersial seperti Rhizopora mucronata, Rhizopora apiculata, Bruguierra gymorhyza, dan Bruguierra sexangula akibat penebangan secara terus menerus. Hal ini menyebabkan tidak tersedianya pohon induk untuk permudaan alami secara generatif. Teknik penebangan yang salah dengan menebang sampai ke akar-
135
Wawancara dengan Sutejo, tokoh masyarakat Desa Karang Gading, di Asam Kumbang, Karang Gading, tanggal 15 Desember 2009, pukul 14.00 WIB. 136
A. Purwoko dan Onrizal, “Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di SM KGLTL”, dalam Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Ditjend DIKTI, Jakarta, 2002.
akarnya juga menyebabkan permudaan alami secara vegetatif tidak terjadi. Kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan sumberdaya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus-kasus adanya keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan di beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu, Secanggang dan Sei Berombang merupakan indikator telah terjadinya kerusakan hutan bakau yang cukup parah.137 Berkurangnya potensi sumber daya alam yang secara langsung dialami oleh masyarakat sekitar hutan sebagai akibat perambahan hutan di kawasan hutan mangrove SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut terlihat juga dari hasil wawancara dengan Musriadi Alfi, Polisi Kehutanan Balai Besar KSDA Sumatera Utara yang pernah bertugas pada tahun 1998-2000 di Resor Konservasi Wilayah SM KG & LTL, diperoleh informasi sebagai berikut: “Saya bertugas di sana sebagai Polisi Kehutanan dari tahun 1998 sampai dengan 2000. Saat itu Kepala Resornya Jandri. Pada saat itu tambaktambak udang telah ada. Dari Kepala Resor sudah ada peringatan dan himbauan agar tidak melakukan kegiatan perambahan. Masyarakat sebenarnya telah mengetahui bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan konservasi, karna pal batas telah ada yang terbuat dari patok semen dan plat seng. Pada tahun 1998 ada pengukuran batas kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Pada waktu ada pengukuran, kami dilibatkan dalam pengukuran. Waktu itu ada dua tim pengukuran, 1 tim bergerak dari Karang Gading sampai menuju pantai dan satu tim lain bergerak dari Secanggang menuju ke Tapak Kuda. Saya sendiri ikut tim pertama dari Karang Gading menuju ke pantai sampai ke Kuala Besar. Pernah ada masyarakat yang datang ke kantor dan mengeluh kepada petugas bahwa sekarang ini pendapatan mereka sebagai nelayan sudah
137
Ramli dan A. Purwoko, “Peran Dan Fungsi Hutan Bakau dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu”, dalam Lokakarya Antar Sektor dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Kabupaten Langkat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat, Stabat, 2003.
semakin kecil. Hasil tangkapan berupa udang dan ikan sudah semakin sulit ditemukan.138 Menurut Murdoko, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II Sumatra Kalimantan, dari pembuatan satu hektar tambak dari hutan bakau dihasilkan panen 278 kilogram per tahun. Namun hilangnya satu hektar mangrove mengakibatkan hilangnya potensi 480 kilogram ikan dan udang per tahun. Lebih lanjut disebutkan bahwa dari satu hektar mangrove dapat menghasilkan hampir empat ton humus organik tiap tahun. Juga dari 1 hektar mangrove mampu menyerap sedikitnya delapan ton karbon per tahun. Hutan bakau merupakan kawasan terproduktif menyerap karbon guna menekan pemanasan global. Luas hutan mangrove di seluruh dunia hanya 6 persen dari seluruh luas daratan, namun berperan menyerap karbon sampai 24 persen dari keseluruhan gas karbon yang dihasilkan oleh bumi.139 Di samping potensi kerugian ekonomis tersebut, secara teorititis kerugian ekologis terbesar yang terjadi sebagai akibat perambahan hutan adalah hilangnya fungsi kawasan hutan mangrove, yaitu :140 a. Habitat satwa langka Mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa endemik maupun satwa liar yang dilindungi Undang-undang. Di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut misalnya merupakan habitat burung Raja Udang, di samping itu daratan lumpur yang luas yang berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai migran. b. Pelindung terhadap bencana alam 138
Wawancara dengan Musriadi Alfi, Polisi Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara, di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul, tanggal 7 Desember 2009, pukul 09.13 WIB. 139 Harian Kompas, Hidup di Tengah Kehancuran Mangrove Delta Mahakam, Senin 18 Januari 2010, hlm.36. 140
Claridge Davies dan Natarita, Manfaat Lahan Basah, Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan-Asian Wetland Buereau Indonesia (AWB), Jakarta, 1995.
Vegetasi mangrove dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam. c. Pengendapan lumpur Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur.
d. Penambat unsur hara Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan.
Seiring
dengan
proses
pengendapan
ini
teradi
pengendapan unsur hara yang berasal dari berbagai sumber termasuk pencucian dari areal pertanian. e. Penambat racun Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan melakukan proses penambatan secara aktif. f. Sumber Alam dalam Kawasan (in situ) dan Luar Kawasan (ex situ) Hasil alam in situ mencakup semua fauna, flora dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex situ meliputi produk-produk yang dihasilkan
oleh
proses-proses
alamiah
di
hutan
bakau
dan
terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur. g. Transportasi
Beberapa desa di sekitar SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut seperti Desa Jaring Alus dan Desa Tapak Kuda, transportasi melalui air merupakan cara paling efisien yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan paling sesuai dengan lingkungan. h. Sumber plasma nutfah Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersil maupun untuk memelihara populasi hidupan liar itu sendiri. i. Rekreasi dan pariwisata Hutan bakau memiliki potensi nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari hidupan yang ada di dalamnya. j. Sarana pendidikan dan Penelitian Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapangan yang baik untuk pendidikan dan pelatihan. k. Memelihara proses-proses dan sistem alami Hutan bakau berfungsi dalam mendukung berlangsungnya proses ekologi, geomorfologi atau geologi di dalamnya. l. Penyerapan karbon Proses fotosintesa mengubah karbon anorganik menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfir sebagai CO2. Hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan sebagai sumber karbon. m. Memelihara iklim makro Evapotranspirasi dari hutan mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim makro terjaga. n. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam Keberadan hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi asam.
2. Intensitas Tindak Pidana Kehutanan di Wilayah Kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara Periode tahun 2004-2009 Untuk mengamankan kawasan hutan konservasi yang dikelola oleh Balai Besar KSDA Sumatera Utara seluas 114.025,36 hektar, pada saat ini dikelola dengan sistem pemangkuan resor konservasi wilayah dengan jumlah dua puluh empat (24) resor di bawah kordinasi empat (4) Seksi Konservasi Wilayah dan dua (2) Bidang KSDA Wilayah. Di samping itu juga terdapat 14 orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan sejumlah 87 orang Polisi Kehutanan.141 Namun dari keseluruhan Penyidik tersebut tidak semuanya memiliki kecakapan dan kemampuan untuk melakukan penyidikan tindak pidana Kehutanan. Bahkan beberapa di antaranya belum pernah melakukan tugas penyidikan tindak pidana kehutanan. Kendala profesionalisme dan kepemimpinan menjadi faktor penyebab tidak efektifnya fungsi perlindungan dan pengamanan kawasan konservasi. Dari wawancara yang dilakukan dengan Ir. Djati Witjaksono Hadi, M.Si., diperoleh informasi sebagai berikut: “Tidak efektifnya tugas pokok dan fungsi KSDA telah dimulai sejak awal penyusunan formasi untuk posisi jabatan struktural di Balai Besar KSDA Sumut. Kelembagaan KSDA meningkat tapi tidak diimbangi dengan peningkatan SDM. Rendahnya profesionalisme dan kepemimpinan pejabat struktural diantaranya disebabkan oleh penempatan aparatur dan latar belakang tugas tidak tepat disamping itu juga aparatur yang belum pernah mengikuti Diklat PIM baik PIM 3 maupun PIM 4. Sementara itu tidak semua tenaga potensial dari pusat mau ditempatkan di daerah. Rendahnya 141
Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Statistik Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009, tanpa penerbit, Medan, 2010
etos kerja, kordinasi lintas sektoral yang tidak berjalan. Bahkan pada saatsaat lalu Kepala Bidang tidak berani berkordinasi ke Polres. Ada ketergantungan kepada Kepala Balai dan bukan pada lembaganya. Pada tingkat Kepala Seksi, ada Kepala Seksi yang yang lebih banyak waktunya di Medan daripada di tempat tugas. Pada saat ini, instansi sedang menyiapkan pola mutasi dengan SDM yang lebih berkualitas. Dapat dicontohkan misalnya beberapa waktu yang lalu pada saat terjadinya kasus pembukaan jalan di SM KG & LTL oleh Dinas PU atau Perkebunan, saya telah memerintahkan Kepala Bidang untuk langsung ke lapangan dan menghentikan kegiatan pembukaan jalan dengan menyurati Dinas PU dan Dinas Perkebunan. Namun baru terlaksana tiga minggu kemudian. Akhirnya banyak kejadian setelah mencuat baru kita ribut-ribut. Misalnya saja pembukaan jalan antara Simardona-Simaninggir yang membelah kawasan SM Barumun, kita ribut setelah pembukaan jalan telah jadi.”142 Di samping itu faktor keterbatasan dana operasional pada tingkat Resor Konservasi Wilayah, Seksi Konservasi Wilayah dan Bidang Konservasi Wilayah menjadi faktor penyebab ketidakefektifan fungsi pengelolaan kawasan konservasi di wilayah kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara. Hasil wawancara dengan Polmer Situmorang, SH, Kepala Bidang KSDA Wilayah I Balai Besar KSDA Sumatera Utara, diperoleh informasi sebagai berikut: “Organisasi sekarang tidak efektif. Memang Resor Konservasi Wilayah dalam P.02 (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :P. 02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam - penulis) keberadaannya diakui namun kinerjanya tidak efektif. Sebaiknya Resor digantikan dengan Pengelola Kawasan, hal ini tentunya akan berpengaruh pada sisi pendanaan. Pada kondisi sekarang ini sebaiknya beberapa Resor Konservasi Wilayah disatukan saja dengan memperhatikan faktor permasalahan kawasan dan sumber daya manusianya. Pada saat ini misalnya, Seksi Konservasi I Stabat wilayah kerjanya sampai ke Sibolangit di Kabupaten Deli Serdang, sedangkan dana operasional seksi tidak ada. Resor Konservasi Wilayah apabila tidak didukung dengan dana yang cukup tidak akan bisa melaksanakan fungsinya. Kondisi pada saat ini saja misalnya di Resor Karang Gading yang hanya memiliki satu buah speed boat yang kecepatannya tidak dapat mengimbangi perahu-perahu milik para perambah, suatu kondisi yang sungguh menyedihkan. Demikian juga dengan keberadaan SPORC yang seharusnya dapat menjadi ujung tombak penyelesaian kasus-kasus tindak pidana kehutanan di Sumatera Utara, kita 142
Wawancara dengan Ir. Djati Witjaksno Hadi, M.Si., Jabatan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara di Jl. Sempurna, Medan, tanggal 3 Desember 2009, pukul 19.30 WIB.
kesulitan memobilisasi ke kawasan konservasi. Kendala yang dihadapi adalah kesulitan dana dan keterbatasan jumlah personil. Saya telah berkalikali meminta kepada Kepala Balai untuk menugaskan SPORC ke kawasan, namun terkendala, bahwa pada saat yang bersamaan SPORC sedang ditugaskan ke daerah lain. Dari sisi ketersediaan dana, jelas kita cukup terkendala, misalnya saja bila terjadi tindak pidana kehutanan yang membutuhkan penanganan secara cepat, Bidang KSDA harus mengajukan terlebih dahulu ke Kepala Balai. Seharusnya Bidang KSDA wilayah itu memiliki budget yang dikelola sendiri. Pada kondisi sekarang ini kan Bidang KSDA bukan pengelola anggaran, seharusnya ada dana on call.”143 Pada periode tahun 2004-2009 jumlah tindak pidana kehutanan yang terjadi wilayah kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara144 terdapat tiga puluh delapan (38) kasus baik yang disidik oleh Penyidik pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan Penyidik Polri, maupun tidak berlanjut pada proses penyidikan. (lihat lampiran 1) Kasus-kasus tersebut adalah kasus tindak pidana kehutanan yang penanganannya dilakukan melalui upaya represif. Namun di samping dengan metode represif, penggunaan metode pendekatan persuasif masih juga dilakukan yang penerapannya dilakukan secara selektif, kasus per kasus dan sifatnya tentatif. Misalnya penanganan kasus pengambilan kayu bakau untuk keperluan sendiri yang masih banyak terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut maupun kepemilikan satwa liar tertentu untuk dipelihara sebagai kesenangan. Pada umumnya penyelesaian pelanggaran ini dengan membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan barang bukti yang ditemukan diserahkan secara sukarela. Hasil wawancara dengan Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatra Utara diperoleh informasi sebagai berikut: “Kasus perambahan dan penebangan kayu marak pada tahun 1999, dan belum ada dilakukan proses hukum. Penanganan hanya berupa patroli dan melakukan pendekatan persuasif. Tindakan pro justisia yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan belum ada, tapi kalau yang ditangani oleh Kepolisian setempat ada yaitu kasus Khibeng pada tahun 2006. Penanganan yang dilakukan oleh petugas patroli hanya mengamankan alat potong kayu berupa kapak dan kayu bakau yang ditebang dihanyutkan ke 143
Wawancara dengan Polmer Situmorang, SH, Kepala Bidang KSDA Wilayah I Kabanjahe, di Kantor Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan, Balai Besar KSDA Sumut, Jl. Pasar Baru No. 30 Medan, tanggal 7 Desember 2009, pukul 11.30 WIB. 144
Wilayah kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara pada saat ini merupakan gabungan wilayah kerja Balai KSDA Sumatera Utara I dan Balai KSDA Sumatera Utara II setelah reorganisasi berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam
laut. Itu dilakukan terhadap pelaku perambahan yang kecil-kecil sedangkan bagi perambah yang memiliki tambak dan kebun sawit dalam kawasan tidak ada dilakukan tindakan hanya sebatas pendataan saja. Pada kasus-kasus yang kecil hukum pidana tidak ditegakkan, karena melihat masyarakat kecil mengambil kayu bakau hanya untuk keperluan mempertahankan hidup sehari-hari saja. Di samping itu juga kesiapan PPNS Kehutanan pada saat itu belum memadai untuk melakukan proses penyidikan.”145 Dari kasus-kasus tindak pidana yang terjadi di wilayah kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara selama periode waktu periode tahun 20042009 yang diproses sampai tahap penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan terdapat sejumlah empat (4) kasus. Dari keempat kasus tersebut satu kasus telah dinyatakan lengkap dan telah divonis pada sidang peradilan, sedangkan tiga kasus lainnya masih dalam proses penyidikan. Apabila dilihat dari objek tindak pidananya, dari kempat kasus tersebut, tiga kasus merupakan tindak pidana terhadap sumber daya alam hayati dan satu kasus merupakan tindak pidana terhadap kawasan hutan. Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 6 berikut ini:
Tabel 6 Tindak Pidana Kehutanan yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan di Wilayah Kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara periode tahun 2004-2009 No 1
1 145
Tindak Pidana 2
Perambahan
hutan
Objek Tindak Pidana
Ketentuan Undang-undang yang dilanggar
3
4
Kawasan
Pasal 50 ayat (2)
Proses Penyidikan 5
Dalam
Instansi penyidik 6
PPNS
Wawancara dengan Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Sumatera Utara, tanggal 14 Desember 2009, pukul 13.00 WIB.
SM Langkat Timur Laut I, Kecamatan Tanjung Pura, Desa Tapak Kuda (tahun 2007)
Hutan
UU No.41 tahun 1999 Pasal 19 ayat (1) UU No.5 tahun 1990
Proses penyidikan PPNS
Kehutanan/ SPORC
2
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; jenis Harimau Sumatera di Kota Nengah Deli Serdang (tahun 2008)
Satwa liar yang dlindungi UU
Pasal 21 ayat (2) huruf b UU No.5 tahun 1990
P21 (telah divonis)
PPNS Kehutanan/ SPORC
3
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; di Kota Binjai (tahun 2008)
Satwa liar yang dilindungi UU
Pasal 21 ayat (2) huruf a UU No.5 tahun 1990
Dalam Proses penyidikan PPNS
PPNS Kehutanan/ SPORC
4
menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; jenis penyu di Kota Sibolga (tahun 2008)
Satwa liar yang dilindungi UU
Pasal 21 ayat (2) huruf b UU No.5 tahun 1990
Dalam Proses penyidikan PPNS
PPNS Kehutanan/ SPORC
Sumber: Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009 Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa sepanjang enam tahun terakhir (periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2009) tindak pidana yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara hanya empat kasus. Sedangkan pada periode tersebut jumlah keseluruhan tindak pidana yang terjadi di wilayah hukum Balai Besar KSDA Sumatera Utara terdapat 38 kasus. Dilihat dari jumlah kasus yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara, prosentasenya sebesar 10,5 persen. Selama periode enam tahun terakhir jumlah tindak pidana kehutanan yang terjadi di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan jumlah tindak pidana tertinggi yang terjadi di seluruh wilayah kerja Balai Besar KSDA Sumatera Utara yaitu sebanyak dua belas (12)
kasus.146 Penanganan tindak pidana tersebut dari pembuatan Laporan Kejadian sampai pada Laporan Polisi kepada kepolisan setempat.Tindak pidana tersebut terdiri dari tindak pidana terhadap kawasan hutan berupa perambahan dan tindak pidana terhadap hasil hutan berupa penebangan pohon dalam kawasan hutan konservasi. Dari keseluruhan tindak pidana tersebut terdapat enam (6) tindak pidana yang dilakukan proses penyidikan baik oleh Penyidik Polri maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Dilihat dari prosentasinya jumlah tindak pidana kehutanan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang disidik selama periode tahun 2004-2009 sebanyak 50%. Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 7 berikut ini:
Tabel 7 Penyelesaian Tindak Pidana Kehutanan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut periode tahun 2004-2009
Tahun
146
Jumlah Tindak Pidana
Jumlah Tindak Pidana Yang Disidik
Jumlah Penyelesaian Perkara (proses peradilan)
Prosentase penyelesaian Perkara
1
2
3
4
5
2004
1
-
0%
2005
3
1
2006 2007 2008
4 1 2
1 1 2
2009
1
1
1 (terdiri dari 3 putusan) 1 1 (terdiri dari 2
33,3% 0% 0% 50% 100%
Data diolah dari Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009 dan Laporan Kemajuan Penanganan Kasus Dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Pada Wilayah Kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Sampai Dengan Agustus 2008.
putusan)
Jumlah
12
6
3
0,25%
Sumber data : Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009 dan Laporan Kemajuan Penanganan Kasus Dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Pada Wilayah Kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Sampai Dengan Agustus 2008
Dari jumlah yang disidik tersebut, tindak pidana yang bisa diselesaikan sampai tingkat pengadilan hanya 0,25 persen. Dengan demikian lebih banyak jumlah tindak pidana yang tidak diproses hukum, salah satu hal yang membuat hukum pidana tidak dapat berfungsi sebagai sarana untuk membuat jera pelaku tindak pidana kehutanan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Dari hasil wawancara yang dilakukan pada salah satu masyarakat perambah di Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang diperoleh informasi sebagai berikut: “Kami mulai bikin tambak di lahan yang katanya masuk Suaka sejak tahun 1990-an. Pada waktu itu rakyat sulit untuk mencari makan, mau tidak mau masyarakat harus bekerja keras. Tapi lahan tidak punya, sehingga masyarakat beralih membuat tambak udang di pantai-pantai. Pada waktu itu harga udang masih bagus sehingga membantu perekonomian rakyat. Memang kami pernah diperingatkan. Saya sendiri pernah dipenjara karna dibilang merambah hutan. Tapi setelah saya keluar, tambak saya itu saya olah lagi habis mau bagaimana lagi. Rakyat butuh makan, lagipula banyak tambak-tambak lain punya orang-orang China kenapa tidak ditangkap juga? Makanya kami masih mengerjakan tambaktambak itu. Kalau memang tidak bisa dipakai lagi seharusnya semua tambak-tambak itu harus ditutup, jangan punya rakyat kecil saja.”147 Apabila dilihat dari objek tindak pidananya, selama periode tahun 2004-2009 di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut tindak pidana terhadap kawasan hutan terdapat sejumlah delapan (8) kasus sedangkan tindak pidana terhadap hasil hutan sejumlah empat (4) kasus. Dilihat dari jumlah penyelesaian perkara, maka tindak pidana terhadap kawasan hutan berupa perambahan kawasan suaka alam yang dilakukan proses penyidikan terdapat sejumlah dua (2) kasus. Sedangkan tindak pidana yang objeknya hasil hutan berupa penebangan kayu jumlah perkara
147
Wawancara dengan Tengku Rahman, masyarakat perambah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut di Paluh Kurau, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, tanggal 12 Desember 2009, pukul 11.00 WIB.
yang dilakukan proses penyidikan sejumlah tiga (3) kasus. Selengkapnya dapat dilihat dari tabel 8 berikut ini.
Tabel 8 Penyelesaian Tindak Pidana Kehutanan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Berdasarkan Objek Tindak Pidana periode tahun 2004-2009 Tindak Pidana Terhadap Kawasan Hutan
1
2
3
4
6
7
8
Prosentasi Penyelesaia n Perkara (proses peradilan) 9
2004
1
1
1
0%
-
-
-
-
2005
2
(dalam 3 berkas perkara)
(dlm 3 putusa n)
50%
1
-
-
-
2006
4 1 -
1 1 -
-
0% 0% -
2
2
1
50%
1 (dalam 2 putusa n)
100%
2
50%
Tahun Jlh Kasus
2007 2008
Jumlah yang disidik
Jumlah yang divonis
Prosentasi Penyelesaia n Perkara (proses peradilan) 5
Tindak Pidana Terhadap Hasil Hutan Jlh Kasus
Jumlah yang disidik
Jumlah yang divonis
2009
-
-
-
-
1
1 (dalam 2 berkas perkara )
Jlh
8
3
1
12,5%
4
3
Sumber data :
Diolah dari Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara tahun 2009 dan Laporan Kemajuan Penanganan Kasus Dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Pada Wilayah Kerja Balai
Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Sampai Dengan Agustus 2008
Dari tabel 8 dapat diketahui bahwa tindak pidana terhadap kawasan hutan merupakan tindak pidana yang tertinggi tingkat frekwensinya, namun penyelesaian perkara sampai proses peradilan justru sangat rendah hanya mencapai 12,5 persen. Hal ini dikarenakan proses penyidikan tindak pidana terhadap kawasan hutan berupa perambahan cenderung lebih sulit proses penyidikannya apabila dibandingkan dengan proses penyidikan tindak pidana terhadap hasil hutan. Hasil wawancara dengan Elinsar Sagala, Penyidik Pegawai Negri Sipil Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara, diperoleh informasi sebagai berikut: “Saya bekerja pertama kali di Resor KSDA Selotong tahun 1988. Perambahan di kawasan SM KG terjadi sejak tahun 1990-an terutama yang meluas di wilayah Karang Gading tepatnya di daerah Paluh Tabuan. Yang merambah pertama sekali adalah masyarakat, misalnya di Karang Gading perambahnya adalah Waspada Bangun dengan mengerahkan anggotaanggota kelompoknya. Kemudian ada juga proyek dari PU (Kementrian Pekerjaan Umum-penulis), yang membangun benteng di dalam kawasan tanpa kordinasi dengan KSDA. Lokasi benteng ini di belakang lokasi PT Pernas sehingga masyarakat di Karang Gading Deli beranggapan benteng tersebut adalah batas kawasan dengan tanah milik masyarakat Karang Gading Deli. Dari pihak KSDA telah ada peringatan, tapi PU tetap melakukan kegiatan, dan membangun benteng mulai dari Paluh Buaya sampai ke ujung Paluh Nonang. PT Pernas ada memiliki ijin yang mengatakan bahwa lahan tersebut di luar SM dan hak milik masyarakat, sehingga PT langsung membeli dari masyarakat tanpa kordinasi dengan KSDA. Ada surat keterangan tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa, kemudian terbit Sertifikat tanah dari BPN. Dengan adanya surat-surat dari kepala desa maupun sertifikat dari BPN, kita kesulitan melakukan penyidikan.”148 Hal yang sama diungkapkan oleh AKP Sugeng Suryadi, Kasat Reskrim Polres Deli Serdang, bahwa: “Penanganan kasus perambahan berbeda dengan kasus illegal logging. Pada kasus illegal logging kita dengan mudah menerapkan pasal-pasal yang telah dilanggar, namun pada tindak pidana perambahan hutan disamping kesulitan menerapkan pasal-pasal, masalah lainnya adalah adanya Sertifikat dari BPN yang merupakan alas hak sah dari pemilik tanah. Tentunya Polisi tidak bisa serta merta menyatakan ketidakabsahan 148
Wawancara dengan Elinsar Sagala, Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat Brigade Macan Tutul, Medan, tanggal 7 Desember 2009, pukul 09.30 WIB.
sertifikat tersebut walaupun secara de facto berada di atas hutan milik negara. Proses pembuktian legalitas sertifikat tentunya menjadi domainnya Pengadilan, baru setelah ada keputusan yang mengikat, Polisi dapat melakukan penyidikan atas pelanggaran yang dilakukan.149 Proses pembuktian kepemilikan kawasan dengan adanya sertifikat yang dimiliki oleh pelaku perambahan dan ketiadaan tanda batas kawasan hutan yang jelas, merupakan beberapa kesulitan yang dialami oleh Penyidik dalam proses penyidikan. Terhadap kepemilikan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional, diperoleh informasi dari wawancara dengan Edi Wibowo, SH, MH., hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, sebagai berikut: “Terhadap kepemilikan sertifikat harus dibuktikan terlebih dahulu keabsahannya. Dalam PP nomor 24 tahun 1997, sertifikat bukanlah alat bukti sempurna, sertifikat hanya merupakan alat bukti kuat. Artinya masih bisa dibantah apabila ada bukti-bukti lain yang lebih kuat. Sedangkan alat bukti sempurna merupakan alat bukti yang tidak terbantahkan. Kita harus men-check asal usul sertifikat itu dan bisa membuktikan proses penerbitannya tidak benar walaupun akhirnya cenderung menjadi campur aduk antara perkara pidana dan perdata. Karena itu harus dilakukan proses gugatan perdata, karna walaupun bukan alat bukti sempurna, tetapi tetap bisa menjadi bukti di pengadilan. Agar tidak terulang lagi harus dilakukan gugatan perdata. Pendapat saya pribadi bahwa sepanjang sertifikatnya tidak palsu, pemegang sertifikat adalah pemilik sah. Hal ini misalnya dapat kita contohkan pada lahan milik Kereta Api yang berada di sepanjang jalur rel KA. Pada beberapa kasus yang terjadi, lahan tersebut telah memiliki sertifikat tanah dari BPN, sehingga PT KA harus mengajukan gugatan perdata untuk meninjau keabsahan sertifikat tersebut. Berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum, maka diajukanlah permohonan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tersebut.”150 Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan oleh Ade Sumitra Hadisurya, SH, M.Hum., Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, dari wawancara sebagai berikut: “Sertifikat Tanah dari BPN adalah alas hak yang kuat, kita tidak bisa serta merta menyatakan sertifikat tersebut tidak sah. Harus dibuktikan dalam proses peradilan karena sertifikat juga merupakan dokumen negara. Tentu 149
Wawancara dengan AKP Sugeng Riyadi, Kasat Reskrim Polres Deli Serdang di Markas Kepolisian Resor Deli Serdang pada tanggal 15 Desember 2009, pukul 09.00 WIB. 150 Wawancara dengan Edi Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, di gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, pada tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.
peradilan perdata akan lebih detail memeriksa asal muasal terbitnya sertifikat tersebut sehingga apabila proses penerbitannya tidak benar maka diputuskanlah bahwa sertifikat tersebut tidak sah sehingga dapat diajukan permohonan kepada BPN untuk pembatalannya. Alternatif lainnya dapat berupa pelepasan hak dari orang yang mengaku pemilik kawasan, cara pendekatan seperti ini sepertinya bisa memberi win-win solution bagi pihak-pihak yang berperkara, namun tentunya membutuhkan pendekatan yang komprehensif dari semua pihak yang terlibat.”151 Pada saat ini dalam kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut sekurangnya telah diterbitkan 22 buah sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Langkat. Di samping itu juga masih terdapat 271 Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dan sebanyak 40 buah Surat Ganti Rugi tanah yang dilegalisasi Camat.152 Hasil wawancara dengan Asrul, mantan Kepala Desa Selotong diperoleh informasi sebagai berikut: “Pada tahun 1997 pada saat saya menjabat Kepala Desa Selotong, banyak masyarakat yang mengajukan permohonan penerbitan Surat Keterangan Tanah yang menurut masyarakat adalah tanah milik desa yang mereka garap. Waktu itu ada kurang lebih 100 SKT yang saya terbitkan yang sebenarnya hanya pegangan sementara untuk masyarakat agar tidak terjadi percekcokan. Saya mengeluarkan SKT tersebut karena penggarap didukung oleh saksi-saksi dari masyarakat yang tanahnya berbatasan dengan tanah yang akan dibuatkan SKT tersebut. Pada waktu itu rata-rata masyarakat mengelola 2 hektar lahan yang akan digarap sendiri. Saya sendiri tidak mengetahui bahwa tanah garapan itu masih berada dalam hutan KSDA. Saya tidak pernah melihat adanya tanda-tanda batas di situ.”153
151
Wawancara dengan Ade Sumitra Hadisurya, SH.,M.Hum., Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, di gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, pada tanggal 9 Desember 2009 pukul 10.00 WIB. 152 Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan, Laporan Hasil Audit Khusus Perambahan Pada Suaka Margastwa Karang Gading/Langkat Timur Laut Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Jakarta, 2007, hlm. 1 153
Wawancara dengan Asrul, mantan Kepala Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, di rumahnya Desa Selotong, Kecamatan Secanggang pada tanggal 6 Desember 2009, pukul 10.45 WIB.
Informasi lain diperoleh dari hasil wawancara dengan Djami’an, mantan Kepala Desa Pematang Cengal, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, sebagai berikut: “Kami memang pernah mengeluarkan surat keterangan tanah dan surat ganti rugi bagi masyarakat yang telah menggarap lahan selama lebih dari 2 tahun. Pada umumnya lahan tersebut diperjualbelikan oleh masyarakat penggarap kepada pihak lain yang berminat tapi sebagian lagi ada yang digarap sendiri. Pada waktu itu luas tanah yang digarap oleh masyarakat rata-rata seluas 2 hektar. Kami sendiri mengeluarkan surat keterangan tanah maupun surat ganti rugi karna tidak mengetahui kawasan tersebut hutan negara. Kami pun tidak pernah melihat batas-batas kawasan itu, makanya pada waktu masyarakat meminta dibuatkan surat keterangan tanah, kami buat dengan maksud biar masyarakat tidak bertengkar. Kalau tidak salah pada tahun 2007 saya sudah pernah menjelaskan hal ini kepada tim dari Jakarta yang datang ke rumah untuk meminta keterangan.”154 Namun apabila dilihat dari pelaku tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut bahwa para pelaku adalah pemilik modal yang memiliki pengaruh pada sumber kekuasan baik kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Sedangkan para pelaku pencurian hasil hutan berupa penebangan kayu bakau, adalah masyarakat desa sekitar hutan yang pada umumnya melakukan perbuatan penebangan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Perbedaan responsibilitas hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perambahan dan tindak pidana penebangan kayu bakau dapat dijelaskan melalui dalil-dalil yang diungkapkan oleh Donald Black bahwa perilaku hukum dipengaruhi oleh stratifikasi sosial.
155
Ketentuan pidana dalam Undang-undang, lebih
154
Wawancara dengan Djami’an, mantan Kepala Desa Pematang Cengal, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, di Pematang Cengal, tanggal 12 Desember 2009, pukul 14.00 WIB. 155
Dalil-dalil yang diungkapkan oleh Donald Black menyatakan bahwa: 1. Law varies directly with stratification (the more stratification a society has the more law it has). Artinya jika dalam suatu masyarakat banyak pelapisan sosial maka jumlah hukum dalam masyarakat itu semakin banyak pula. 2. Law varies directly with rank. The lower ranks have less law than higher ranks. Artinya :
banyak diarahkan kepada orang-orang yang berstatus rendah dalam masyarakat. Apabila dilihat dari putusan yang dijatuhkan pada tindak pidana perambahan hutan yang terjadi pada tahun 2005, putusan Pengadilan Negeri Stabat yang mengadili tindak pidana tersebut pada tahun 2006 justru menjatuhkan vonis lepas dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) kepada pelaku. Dari tiga berkas perkara yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Langkat, ketiganya dijatuhkan vonis lepas dari tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf dengan mempertimbangkan azas hukum geen straft zonder schuld. Kondisi penegakan hukum lingkungan tersebut menggambarkan masih rendahnya kesadaran hukum para pengusaha, pemilik modal, terhadap lingkungan dan sangat lambannya kinerja aparat penegak hukum didalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentu saja telah menghancurkan semangat untuk melindungi, mencegah kerusakan dan perusakan lingkungan yang sedang tumbuh di masyarakat. Bagaimana tidak di dalam negara hukum seperti di Indonesia penegakan hukum sangat ditentukan oleh Pengadilan. Jadi meskipun Kejaksaan sudah berusaha semaksimal mungkin membuat dakwaan yang lengkap dan akurat, setelah pelaku perusakan lingkungan diajukan ke pengadilan tidak divonis, hal ini tentu menjadi bumerang bagi a. Orang-orang berkedudukan tinggi memiliki hukum yang lebih banyak dibandingkan orangorang berkedudukan rendah b. Perselisihan antara orang berkedudukan tinggi lebih banyak sampai ke Polisi/Pengadilan daripada perselisihan orang-orang berkedudukan rendah c. Jika orang berkedudukan rendah mencederai orang berkedudukan rendah hukumannya tidak seberat jika orang berkedudukan tinggi mencederai orang berkedudukan tinggi d. Downward law varies directly with vertical distance, but upward law varies inversely with vertical distance. Pelanggaran hukum ke arah bawah maka bekerjanya hukum menurun, pelanggaran hukum ke arah atas maka bekerjanya hukum meningkat. e. Hukum itu berbanding terbalik dengan kedudukan pelaku 3. Downward law is greater than upward law Artinya hukum dalam berbagai bentuk: Undang-undang, larangan-larangan dan perintah, pelaporan,penahanan, penuntutan dan penghukuman lebih bayak diarahkan kepada orangorang yang berstatus rendah dalam masyarakat. Donald Black, The Behaviour of Law, dalam Moh. Jamin, Bahan Kuliah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.
kejaksaan. Oleh karenanya dibutuhkan hakim-hakim yang mempunyai empati, dedikasi dan determinasi untuk menciptakan keadilan.156 Dilihat dari intensitasnya secara kualitatif selama periode tahun 2004-2009 tidak ada tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang yang dijatuhkan sanksi pidana kepada pelakunya. Dengan kondisi penegakan hukum pidana yang tidak optimal tersebut, mengakibatkan perambahan masih terus terjadi dan berdasarkan hasil inventarisasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara, luasan kawasan hutan yang dirambah telah mencapai ±6.588 hektar.157 Hasil wawancara yang dilakukan dengan salah seorang masyarakat perambah yaitu Abdul Jalil, masyarakat Desa Selotong,
Kecamatan
Secanggang,
Kabupaten
Langkat,
diperoleh
informasi sebagai berikut: “Pada tahun 1997 kami masyarakat Desa Selotong mengajukan penerbitan surat tanah kepada Kepala Desa Selotong. Pada waktu itu penghulunya Pak Asrul. Waktu itu kami yang mengajukan permohonan hampir sekitar 150 orang. Tanah yang kami olah masing-masing seluas 2 hektar yang terletak di Dusun III Desa Selotong. Setahu kami tanah itu milik desa. Kalau ada yang bilang itu hutan suaka, kami tidak pernah melihat adanya batas-batas yang dibuat KSDA. Petugasnya pun tidak pernah kami lihat mengawasi ke sini. Jadi daripada terlantar, rakyat mengolah lahan itu apalagi setelah krisis moneter, harga-harga naik, rakyat sulit untuk mencari makan. Kalau memang hutan suaka, kenapa orang yang punya tambak lebar-lebar itu tidak ditangkap? Kalau memang tidak bisa dikerjakan, KSDA harus melarang semuanya jangan hanya punya rakyat kecil.”158 3. Analisis Putusan Perkara Kasus perambahan hutan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang telah divonis oleh Pengadilan adalah kasus perambahan hutan yang terjadi pada tahun 2005 dan telah diadili pada 156
Satjipto Rahardjo, Rekontruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, dikutip dari Hartiwiningsih, op.cit., hlm. 146-147 157
Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan, op.cit., hlm. 7 Wawancara dengan Abdul Jalil, masyarakat Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat pada tanggal 6 Desember 2009, pukul 13.30 WIB. 158
tahun 2006 di Pengadilan Negeri Langkat dengan menjatuhkan putusan lepas dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) kepada terdakwa. Dalam perkara ini ada tiga putusan yang telah divonis lepas dari tuntutan hukum, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb.- tanggal 12 Oktober 2006, kemudian Putusan Pengadilan Negeri Langkat nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12 Oktober 2006, dan Putusan Pengadilan Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb tanggal 12 Oktober 2006. Putusan pengadilan tersebut telah menimbulkan pro dan kontra bagi pihak-pihak yang berkepentingan terutama para pemerhati lingkungan dan konservasi sumber daya alam di Sumatera Utara. Terlepas dari adanya sikap pro dan kontra terhadap putusan tersebut, pada tesis ini, penulis akan berupaya untuk mendudukkan putusan tersebut dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia untuk dapat melakukan analisa dan telaah hukum yang objektif. a) Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb.tanggal 12 Oktober 2006 1) Duduk Perkara Bahwa Khibeng alias Abeng telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan alternatif: (1) melakukan perbuatan sebagai orang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana barang siapa dengan sengaja melawan hukum, mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; atau (2) melakukan perbuatan sebagai orang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan alam dan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional; atau (3) setiap orang dengan sengaja melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luas tanah tertentu atau usaha industri perkebunan. Ketiga dakwaan alternatif tersebut
dilakukan oleh terdakwa di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut tepatnya di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Khibeng alias Abeng dituduh melanggar pasal 78 ayat (2) jo pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan atau melanggar pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumbner daya Alam Hayati dan ekosistemnya atau melanggar pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Atas perbuatan yang diduga dilakukannya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Khibeng alias Abeng dengan hukuman pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. 2) Fakta-fakta Hukum Dalam tesis ini, penulis akan mengungkapkan beberapa pertimbangan hukum majelis
hakim
yang
menurut
penulis
merupakan pertimbangan hukum hakim untuk mementahkan dalil Jaksa Penuntut Umum atas dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Khibeng alias Abeng. Berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum bahwa Khibeng alias Abeng telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagai orang yang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana, “barang siapa dengan sengaja melawan hukum, mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”. Tuntutan Jaksa yang dibuat secara alternatif memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan salah satu tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang akan digunakan sebagai dakwaan
dan apabila satu dakwaan telah terbukti maka dakwaan lainnya tidak perlu lagi dipertimbangkan. Menurut Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutan No.Reg.Perk: PDM-538-I/Stabat/12/2005 tanggal 30 Juni 2006 yang pada pokoknya Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Langkat di Stabat memutuskan: b) Menyatakan terdakwa Kibeng alias Abeng terbukti bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja menguasai lahan hutan KSDA yang dilakukan oleh terdakwa” sebagaimana pada atau dakwaan kedua pasal 40 ayat (1) UU RI No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya c) Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Khibeng alias Abeng dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan d) Barang bukti: 1. 1 (satu) mesin chainsaw beserta rantai dan parangannya, 1 (satu) unit
alat
berat
beko excavator warna orange,
dikembalikan kepada pemiliknya; 2. Ranting kayu api-api, kayu nibung, kayu rotan dan ranting kayu nyirih-nyirih, dirampas untuk dimusnahkan e) Menetapkan supaya terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah); Menurut pandangan Jaksa Penuntut Umum, terdakwa Khibeng alias Abeng telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyuruh para pekerja yang memperoleh upah darinya, untuk melakukan pembersihan kawasan hutan dengan menggunakan alat berat. Perbuatan tersebut dilakukan di atas tanah yang masih berada dalam kawasan hutan milik negara yaitu Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang telah ditetapkan sebagai
kawasan konservasi sejak tahun 1980 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan surat bukti di persidangan, Majelis Hakim beranggapan bahwa terdapat fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu: a) Terdakwa menguasai lahan seluas ±20 (dua puluh) hektar di desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat b) Bahwa
lahan
tersebut
diperoleh
terdakwa
dengan
cara
penyerahan/ganti rugi kepada H.M. Husni Thamrin pada tahun 2005 c) Bahwa pada waktu dibeli oleh terdakwa, lahan tersebut sudah berupa semak-semak dan juga ada tanaman seperti jagung, padi dan jeruk, dan bukan berupa hutan d) Bahwa dahulunya lahan tersebut adalah garapan masyarakat, kemudian diberikan oleh Jami’an selaku Kepala Desa kepada H.M. Husni Thamrin pada tahun 1997, dan selanjutnya pada tahun 2005 diganti rugi oleh terdakwa. e) Bahwa pada awal lahan tersebut dikuasai oleh terdakwa, tidak ada orang atau pihak lain yang berkeberatan atas lahan tersebut dan tidak ditemukan patok batas kawasan hutan/KSDA f) Bahwa di kawasan tersebut tidak ada papan pengumuman yang menyatakan areal tersebut masuk kawasan hutan/KSDA g) Bahwa
terdakwa
tidak
pernah
memperoleh
penyuluhan/penerangan dari instansi terkait, seperti pihak Kehutanan/KSDA tentang status kawasan tersebut h) Bahwa baru pada tahun 2006 di kawasan tersebut dibuat patok batas kawasan KSDA Dengan terungkapnya fakta-fakta hukum tersebut Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti menguasai lahan seluas ±20 (dua puluh) hektar di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat yang diperoleh melalui cara penyerahan/ganti rugi kepada H.M. Husni Thamrin seluas ±20 hektar pada bulan Juni 2005. Lahan tersebut sebelumnya adalah
lahan garapan masyarakat yang diberikan oleh kepala desa kepada H.M. Husni Thamrin pada tahun 1997. Sewaktu dibeli oleh terdakwa, lahan tersebut sebagian berupa semak-semak dan juga tanaman jagung, padi, jeruk dan bukan merupakan hutan. Setelah dilakukan pengukuran dan pemetaan oleh instansi terkait di lokasi lahan tersebut pada tahun 2005, diketahui bahwa lahan yang dikuasai oleh terdakwa masuk ke dalam kawasan hutan. Dari keterangan saksi-saksi, dan keterangan terdakwa yang saling berkesesuaian satu sama lain, terdakwa tidak mempunyai ijin untuk menduduki lahan yang masuk ke dalam kawasan hutan tersebut baik dari Pejabat daerah maupun Pejabat pusat yang berwenang untuk itu Dengan demikian Majelis Hakim beranggapan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan “mengerjakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”. Majelis Hakim juga berpandangan bahwa walaupun perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan, apakah terdakwa dapat dipersalahkan dan dijatuhi hukum pidana atau ada alasanalasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan dan pidana terhadap terdakwa? Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa sebagaimana diketahui dalam teori hukum pidana dikenal azas geen straft zonder schuld yang artinya tidak dipidana kalau tidak ada kesalahan. Disampaikan juga bahwa seseorang yang tidak mengetahui adanya larangan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan, tidak sepatutnya disalahkan dan hal ini termasuk dalam alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan dan pidana seseorang. Dalam perkara ini, Majelis Hakim beranggapan bahwa terdakwa Khibeng alias Abeng tidak mengetahui lahan yang diusahainya masih masuk dalam kawasan hutan yang dilarang untuk diusahai. Oleh karenanya, keadaan tersebut merupakan alasan pemaaf dari kesalahan terdakwa dan dengan adanya alasan pemaaf tersebut, maka perbuatan terdakwa yang menduduki kawasan hutan secara tidak sah tersebut bukan merupakan tindak pidana. Oleh karena perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dan memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 3) Analisis Hukum Setelah dilakukan penelusuran terhadap putusan tersebut, penulis menemukan fakta hukum, bahwa majelis Hakim telah mengabaikan sejumlah data dan fakta berdasarkan teori-teori hukum pidana yang berlaku di Indonesia, yaitu:
Saksi Jami’an, mantan kepala desa di kawasan yang dipermasalahkan tersebut periode tahun 1985 s/d tahun 2004, dalam salah satu kesaksiannya mengatakan bahwa pada tahun 1998 telah datang surat dari KSDA yang melarang membuat perubahan kawasan di sekitar areal kawasan dimana Surat tersebut telah diajukan juga oleh saksi sebagai alat bukti tambahan berupa surat. Kemudian pada bulan Juni 2005 terjadi pembelian lahan oleh terdakwa dari H.M. Husni Thamrin dimana saksi Jami’an yang menguruskan Surat Jual Belinya kepada kepala desa yang baru bernama Ismail. Mengingat bahwa sebelumnya telah ada surat larangan dari intansi KSDA pada tahun 1998 untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kawasan, adalah kewajiban dari saksi untuk memperjelas status kawasan tersebut kepada instansi KSDA sebelum terjadinya transaksi pembelian lahan karena patut diduga kawasan tersebut masih berada dalam kawasan hutan milik negara. Namun saksi Jamian tidak pernah meminta informasi tentang kejelasan status kawasan kepada instansi yang berwenang. Karena tiadanya permintaan penjelasan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini instansi KSDA, maka alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond) karena tidak mengetahui adanya suatu larangan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan, dalam hal ini tidak dapat diterapkan sebagai alasan yang dapat menghapuskan kesalahan dan pidana seseorang. Hasil wawancara dengan Edi Wibowo, SH, MH, hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, diperoleh informasi sebagai berikut: “Kordinasi antara Integrated Criminal Justice System harus dilakukan akan tetapi harus selalu memperhatikan independensi masing-masing lembaga. Kordinasi bisa dilakukan sebatas menyangkut hal-hal teknis seperti misalnya teknis menghadirkan barang bukti di persidangan. Misalnya saja terhadap barang bukti berupa harimau yang telah mati, cukup dihadirkan sample nya saja misalnya tulang-tulangnya. Selama ini materi tentang kehutanan dan sumber daya alam telah ada dalam diklat-diklat kehakiman karena tindak pidana ilegal logging telah menjadi prioritas penegakan hukum yang dicanangkan oleh pemerintah. Dalam forum-forum tidak resmi hakim juga sering menghimbau kepada instansi kehutanan agar mensosialisasikan peraturan di bidang kehutanan, karena memang masyarakat sering tidak mengetahui ketentuan hukum yang berlaku. Kadang ketidak jelasan patok batas hutan juga sering menjadi faktor penyebab terjadinya kasus perambahan. Kordinasi dalam arti substansi perkara tidak perlu mengingat independensi masing-masing lembaga, tapi kalau dalam arti untuk mempermudah proses peradilan dapat dilakukan misalnya untuk menghadirkan barang bukti. Yang kedua hakim perlu mendapat
keyakinan atas kerusakan hutan yang terjadi, tidak cukup hanya dari photo-photo, jadi diperlukan juga sidang lapangan untuk memastikan kerusakan hutan. Perlunya kordinasi ini karena yang paling mengetahui kejadian di lapangan adalah instansi kehutanan. Karena merupakan salah satu unsur pembuktian di proses persidangan. Termasuk misalnya apabila si tersangka membantah bahwa dia mengerjakan tanah yang menjadi hutan milik negara, menurut pengakuannya tanah tersebut masih merupakan hak miliknya. Hakim membutuhkan sidang lapangan untuk memastikan objek yang disengketakan, karena itu harus ada kordinasi dengan kepala lingkungan, Lurah dan Bupati setempat, dan instansi kehutanan. Jadi Hakim tidak harus menghukum, kalau memang tanah yang dikerjakan oleh si tersangka bukan wilayah hutan negara maka tersangka harus dibebaskan. Kebijakan dalam di Pengadilan bahwa hakim yang akan mengadili perkara kehutanan tidak berdasarkan kriteria tersendiri karena hakim dianggap telah mengetahui undangundang sesuai dengan azas hukum ius curia novit, tapi meskipun demikian kebijakan Ketua Pengadilan akan mengutamakan hakim yang pernah mengikuti pelatihan di bidang kehutanan maupun penanganan tindak pidana illegal logging. Dalam memutuskan perkara tindak pidana perambahan hutan, hakim akan mengedepankan unsur keadilan. Kalau pelakunya adalah petani kecil yang tidak tahu aturan dan kurangnya sosialisasi dari kehutanan atau sudah tahu namun terdesak oleh kebutuhan hidup, tentu hakim akan melihat unsur keadilan. Memang terkesan hukumannya ringan namun dalam hal ini hakim melihat unsur keadilan. Lain misalnya kalau yang melakukan itu dalam skala besar dan luar biasa atau pemilik modal kuat. Berkaitan dengan adanya teori fiksi dalam ilmu hukum di Indonesia, dalam memutuskan suatu perkara hakim akan mengutamakan unsur keadilan walaupun tidak boleh terlepas dari hukum. Oleh karenanya bagi tersangka yang memang sudah terbukti tidak akan dibebaskan, akan tetapi tetap dikatakan bersalah, dalam hal ini unsur keadilan tersebut diletakkan pada berat ringannya hukumannya, terkadang hukuman percobaan, kadang dihukum ringan. Menurut pendapat saya ketidaktahuan seseorang akan aturan hukum bukan merupakan alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan seseorang tapi hanya sekedar unsur meringankan. Kalau memang tindak pidananya telah terbukti, alasan pemaaf tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan pidana. Pada saat ini, budaya hukum masyarakat yang masih rendah juga diakibatkan oleh karena tidak adanya sosialisasi peraturan perundang-undangan dari instansi yang berwenang. Penerapan ajaran sifat melawan hukum materil dalam arti negatif dikarenakan keadilan. Kalau bicara hukum masing-masing hakim karena banyaknya aliran dalam ilmu hukum
bisa berbeda pendapat. Bagi satu hakim alasan ketidak tahuan bisa dijadikan alasan pemaaf namun bagi saya sendiri melihatnya kausistis, dalam arti apakah sudah pernah diingatkan sebelumnya. Sekarang ini Hakim-hakim sering mengikuti pelatihan 3-4 bulan di Australia mengenai lingkungan hidup di samping pelatihan tentang HAKI yang telah berlangsung selama ini.”159 Hal yang sama disampaikan oleh Ade Sumitra Hadisurya, SH.,M.Hum., Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, yang menyatakan bahwa: “Dengan adanya teori fictie yang berlaku dalam sistem hukum di Indonesia, alasan ketidaktahuan pelaku tentang adanya peraturan perundang-undangan tentunya tidak dapat dijadikan alasan pemaaf bagi pelaku. Bagi saya pribadi ketidaktahuan itu hanya dapat dijadikan sebagai alasan untuk memperingan hukuman itupun setelah dengan keyakinan bahwa pelaku karena alasan tertentu memang tidak mengetahui keberadaan peraturan tersebut. Itulah sebabnya dalam beberapa kali kesempatan saya selalu menekankan pentingnya penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka tahu akan adanya suatu larangan terhadap tindakan tertentu. Apalagi masyarakat sekitar hutan yang jauh dari akses informasi, penyuluhan hukum yang dilakukan oleh instansi-instansi yang berwenang merupakan sarana yang cukup efektif untuk mensosialisasikan peraturan. Kalau alasan ketidaktahuan akan peraturan dijadikan alasan pemaaf, akan sangat banyak pelaku kejahatan yang menjadikan alasan itu untuk melepaskan diri dari tuntutan hukum. Kalau hal tersebut yang terjadi maka unsur kepastian hukum dalam sistem hukum di negara kita akan tidak ada artinya. Unsur kepastian hukum tersebut harus seimbang juga dengan unsur keadilan dan unsur manfaat.”160 b) Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12 Oktober 2006 1) Duduk Perkara
159
Wawancara dengan Edi Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, di gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB. 160
Wawancara dengan Ade Sumitra Hadisurya, SH.,M.Hum., Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, di gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, tanggal 9 Desember 2009 pukul 10.00 WIB.
Bahwa Yadi Suprayogi telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan alternatif: (1) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; dimana perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal 78 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; atau (2) melakukan beberapa perbuatan perhubungan dan dipandang sebagai perbuatan yang diteruskan, dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan alam dan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional; dimana perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (1) jo pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo pasal 64 ayat 1 KUH Pidana; atau (3) setiap orang dengan sengaja melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luas tanah tertentu atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tententu tidak memiliki ijin usaha perkebunan, sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan pasal 46 ayat (1) jo pasal 17 ayat (1) Undangundang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan jo pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Ketiga dakwaan alternatif tersebut dilakukan oleh terdakwa di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut tepatnya di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Yadi Suprayogi dengan hukuman pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan
2) Fakta-fakta Hukum Penulis hanya akan membahas beberapa pertimbangan hukum majelis hakim yang menurut penulis merupakan pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan atas dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Yadi Suprayogi. Berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum bahwa Yadi Suprayogi telah melakukan tindak pidana “Secara terus menerus melakukan pelanggaran terhadap ketentuan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan alam dan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional”. Tuntutan Jaksa yang dibuat secara alternatif memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan salah satu tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang akan digunakan sebagai dakwaan. Menurut Jaksa Penuntut Umum dalam surat Dakwaan Penuntut umum tertanggal 22 Maret 2006 yang pada pokoknya Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Langkat di Stabat memutuskan: a) Menyatakan terdakwa Yadi Suprayogi telah melakukan tindak pidana “Secara terus menerus melakukan pelanggaran terhadap ketentuan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan alam dan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional” sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (1) jo pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya jo pasal 64 ayat (1) KUH Pidana
b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan c) Menyatakan barang bukti berupa: ±25 (dua puluh lima) hektar Kebun kelapa sawit yang seluruhnya berada di kawasan KSDA dikembalikan kepada negara melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan surat bukti di persidangan, Majelis Hakim beranggapan bahwa terdapat fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu: a) Terdakwa menguasai lahan seluas ±25 (dua puluh lima) hektar di desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat b) Bahwa lahan tersebut diperoleh terdakwa dari Daniel Sugianto pada tahun 2002 berdasarkan surat ganti rugi yang diketahui oleh Kepala Desa Tapak Kuda. c) Bahwa pada waktu dibeli oleh terdakwa, lahan tersebut sebagian sudah ada tanaman kelapa sawit dan sebagian lagi masih tanah kosong. d) Bahwa Daniel Sugianto menguasai tanah tersebut berdasarkan Surat Pelepasan hak dengan ganti rugi dari masayarakat yang ditandatangani oleh Camat Tanjung Pura pada tahun 2002. e) Bahwa berdasarkan sidang lapangan, lahan yang dikuasai oleh terdakwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 811/Kpts/Um-II/1980, termasuk kawasan KSDA, sedangkan berdasarkan
peta
Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.44/Menhut/II/2005, lahan yang dikuasai terdakwa masuk ke dalam Hutan Produksi terbatas. f) Bahwa benar di sekitar lahan yang dikuasai oleh terdakwa telah terdapat banyak kebun kelapa sawit milik masyarakat. Dengan terungkapnya fakta-fakta hukum tersebut Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti menduduki
kawasan hutan produksi terbatas secara tidak sah dimana pendudukan itu dilakukan berdasarkan Surat Ganti Rugi dari Daniel Sugianto alias Ahok Daniel dengan diketahui oleh Kepala Desa Tapak Kuda, dimana Daniel Sugianto alias Ahok Daniel memperoleh lahan tersebut berdasarkan Surat Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi yang diketahui oleh Camat Tanjung Pura. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa sebagaimana diketahui dalam teori hukum pidana dikenal adanya azas geen straft zonder schuld yang artinya tidak dipidana kalau tidak ada kesalahan. Dalam perkara ini, Majelis Hakim beranggapan bahwa walaupun perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa telah terbukti semuanya, namun fakta dan keadaan tersebut di atas merupakan alasan pemaaf bagi kesalahan terdakwa.161 Oleh karena keadaan tersebut merupakan alasan pemaaf dari kesalahan terdakwa dan dengan adanya alasan pemaaf tersebut, maka perbuatan terdakwa yang menduduki kawasan hutan secara tidak sah tersebut bukan merupakan tindak pidana. Karena bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging), dan memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Sedangkan lahan seluas ±25 (dua puluh lima) hektar kebun kelapa sawit dan satu unit bangunan rumah/gubuk di lokasi dikembalikan kepada terdakwa.162
c) Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb tanggal 12 Oktober 2006 1) Duduk Perkara Bahwa Toguan Halomoan Tampubolon, Bsc., telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan alternatif: (1) melakukan perbuatan sebagai orang yang menyuruh melakukan peristiwa pidana dengan sengaja mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal 78 ayat (2) jo pasal 50 ayat (3) 161
Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12 Oktober 2006 hlm. 19 162
Ibid., hlm. 20
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan atau (2) Dakwaan Primair melakukan larangan yakni melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan alam dan melakukan kegiatan yang yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, taman raya, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (2) jo pasal 33 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dakwaan Subsidair, telah lalai melakukan pelanggaran yakni melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan Suaka Alam dan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ketiga dakwaan alternatif tersebut dilakukan oleh terdakwa di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut tepatnya di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.
2) Fakta-fakta Hukum Dalam penulisan tesis ini, Penulis hanya akan membahas beberapa pertimbangan hukum majelis hakim yang menurut penulis merupakan pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan atas dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Toguan Halomoan Tampubolon, Bsc. Berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa Toguan Halomoan Tampubolon, Bsc., telah melakukan tindak pidana “telah melakukan
larangan yakni melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, taman raya, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam”, sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (2) jo pasal 33 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tuntutan Jaksa yang dibuat secara alternatif memberikan kebebasan kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan salah satu tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang akan digunakan sebagai dakwaan. Menurut Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan No. Reg.Perk: PDM-186-I/STBAT/04/2006 tanggal 15 Agustus 2006 yang pada pokoknya Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Langkat di Stabat memutuskan: a) Menyatakan terdakwa Toguan Halomoan Tampubolon, Bsc., telah melakukan tindak pidana “telah melakukan larangan yakni melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, taman raya, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar pasal pasal 40 ayat (2) jo pasal 33 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Toguan Halomoan Tampubolon, Bsc., berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan surat bukti di persidangan, Majelis Hakim beranggapan bahwa terdapat fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu: a) Terdakwa menguasai lahan seluas ±20 (dua puluh) hektar di desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.
b) Bahwa lahan tersebut diperoleh terdakwa pada tahun 2005 dengan cara penyerahan/ganti rugi kepada keluarga Rusdin Saragih seluas ±10 (sepuluh) hektar dan kepada keluarga almarhum Hamid Nasution seluas ±10 hektar. c) Bahwa pada waktu dibeli oleh terdakwa, lahan tersebut sebagian sudah ada tanaman kelapa sawit dan sebgian lagi masih ditumbuhi rumput-rumput atau semak-semak. d) Bahwa dahulunya lahan tersebut adalah garapan masyarakat kemudian diberikan oleh Jami’an selaku Kepala Desa kepada Rusdin Saragih yang kemudian diganti rugi oleh terdakwa pada tahun 2005. e) Bahwa pada awal lahan tersebut dikuasai oleh terdakwa, tidak ada pihak yang berkeberatan dan tidak ditemui patok batas kawasan hutan KSDA. Dengan terungkapnya fakta-fakta hukum tersebut Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti menguasai lahan seluas ±20 (dua puluh) hektar di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura,
Kabupaten Langkat
yang
diperoleh
melalui
penyerahan/ganti rugi kepada keluarga Rusdin Saragih seluas ±10 (sepuluh) hektar dan kepada keluarga almarhum Hamid Nasution seluas ±10 (sepuluh) hektar. Pada waktu lahan tersebut diganti rugi oleh terdakwa sebagian telah berupa kebun kelapa sawit dan sebagian lagi berupa semak-semak. Terdakwa tidak memiliki ijin untuk menduduki lahan yang masuk dalam kawasan hutan tersebut baik dari pejabat daerah maupun pejabat pusat yang berwenang untuk itu. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa sebagaimana diketahui dalam teori hukum pidana dikenal azas geen straft zonder schuld yang artinya tidak dipidana kalau tidak ada kesalahan. Dalam perkara ini, Majelis Hakim beranggapan bahwa walaupun perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa telah terbukti
semuanya, fakta dan keadaan tersebut di atas merupakan alasan pemaaf bagi kesalahan terdakwa.163 Oleh karena keadaan tersebut merupakan alasan pemaaf dari kesalahan terdakwa dan dengan adanya alasan pemaaf tersebut, maka perbuatan terdakwa yang menduduki kawasan hutan secara tidak sah tersebut bukan merupakan tindak pidana. Oleh karena perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging), dan memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. 4. Sikronisasi Fakta-fakta Hukum dengan Teori-teori Hukum Pidana Setelah dilakukan penelusuran terhadap putusan tersebut, penulis menemukan fakta-fakta hukum, bahwa majelis Hakim telah mengabaikan sejumlah data dan fakta berdasarkan teori-teori hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Terdapat tiga putusan Pengadilan Negeri Langkat yang menjatuhkan vonis lepas dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) terhadap terdakwa. Putusan onslag tersebut didasarkan pada adanya alasan pemaaf (schulduitsluitinggronden) terhadap perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam teori hukum pidana dikenal adanya dasar-dasar peniadaan pidana dimana pada kondisi ini terdapat keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan dari pelaku menjadi tidak bersifat melanggar hukum ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya, karena pada diri pelaku tidak terdapat sesuatu unsur kesalahan (schuld). Keadaan-keadaan tersebut yang membuat hakim tidak dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku disebut
“strafsuitslutiningsgronden”
atau dasar-dasar
yang
meniadakan hukuman. 163
Putusan Pengadilan Negeri Langkat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12 Oktober 2006 hlm. 19.
Pembuat Undang-undang membuat aturan ini bertujuan untuk mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. Ada banyak hal baik yang
bersifat
objektif
maupun
subjektif
yang
mendorong
dan
mempengaruhi ketika sesorang mewujudkan suatu tingkah laku yang pada kenyatannya dilarang oleh Undang-undang. Pemikiran yang semacam inilah yang mendasari dibentuknya ketentuan umum perihal faktor-faktor yang menyebabkan tidak dipidananya si pelaku. Dalam ilmu hukum, sumber dari dasar-dasar peniadaan hukuman (strafsuitslutiningsgronden) dibagi atas dua kelompok, yaitu yang tercantum dalam Undang-undang dan yang lain terdapat di luar Undangundang. Undang-undang (Bab III KUHP) menentukan ada tujuh (7) dasar yang menyebabkan tidak dapat dipidananya si pembuat, ialah:164 a) Adanya
ketidakmampuan
bertanggung
jawab
si
pembuat
(ontoerekeningsvatbaarheid, pasal 44 ayat (1); b) Adanya daya paksa (overmacht, pasal 48); c) Adanya pembelaan terpaksa (noodweer, pasal 49 ayat (1); d) Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweerexes, pasal 49 ayat (2)); e) Karena sebab menjalankan perintah Undang-undang (pasal 50); f) Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (pasal 51 ayat (1); g) Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (pasal 51 ayat (2). Menurut doktrin hukum pidana, tujuh (7) hal penyebab tidak dipidananya si pembuat tersebut, dibedakan menjadi 2 dasar yakni (1) atas dasar pemaaf dan (2) atas dasar pembenar. Dasar peniadaan hukuman terdapat juga di luar Undang-Undang, yaitu: a) Ijin; b) Tidak ada kesalahan sama sekali (afwezigheid van alle schuld) c) Tidak ada sifat melawan hukum materil
164
Adami Chazawi, op.cit.,hlm. 18
Alasan penghapus hukuman tidak tertulis tidak bertentangan dengan azas legalitas, sebab azas ini hanya menyampingkan hukum tidak tertulis dalam hal menetapkan dapat dipidana, tetapi tidak dalam hal mengurangi atau menghapuskan dapat dipidana Dalam teori hukum pidana, dasar-dasar peniadaan hukuman (strafsuitslutiningsgronden) ini terbagi menjadi dua yaitu: a) Alasan pembenar (rechtvaardingingsgronden) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar b) Alasan
pemaaf
(schulduitsluitinggronden)
yaitu
alasan
yang
menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.165 Dalam alasan pembenar (rechtvaardingingsgronden) terdapat unsur yang bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya. Apabila dalam suatu tindak pidana yang dinyatakan secara formal ada dasar pembenar, maka perbuatan tersebut menjadi tidak melawan hukum. Karena “melawan hukum” adalah bagian inti (bestanddeel) delik, maka putusannya adalah bebas (vrisjpraak). Menurut Van Bemmelen alasan pembenar akan meniadakan unsur melawan hukum berarti perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana. Ini berarti bahwa apabila terjadi tindak pidana penyertaan, yaitu seseorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh melakukan, memancing untuk melakukan delik itu, ia tidak dapat dipidana juga. Dalam hal ini terdapat unsur objektif, yaitu perbuatan itu sendiri tidak dapat dipidana.166 Tidak dipidananya si pembuat atas dasar alasan pembenar adalah karena pada perbuatannya tersebut telah kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan, walaupun dalam kenyataanya perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, maka si pembuatnya tidak dapat dipidana. Contohnya petinju yang bertarung di atas ring memukul lawannya hingga luka-luka, bahkan mati.167 Dengan demikian sebagai akibat adanya alasan pembenar maka perbuatan tersebut menjadi tidak merupakan tindak pidana dan karenanya, 165
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000,
hlm.137 166
J.M. van Bemmelen dikutip dari Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua (Edisi Revisi), PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 145 167
Adami Chazawi, op.cit., hlm.19
hak-hak atas kepemilikan benda, barang maupun properti yang sebelumnya didakwakan sebagai hasil dari perbuatan tindak pidana, secara hukum bukan berasal dari perbuatan pidana. Dalam alasan pemaaf (schulduitsluitinggronden) ada unsur yang bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf ialah bahwa perbuatannya tersebut tetap bersifat melawan hukum, namun berhubung hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, maka perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, dia dimaafkan atas perbuatannya tersebut.168 Atas adanya unsur melawan hukum dari perbuatan yang merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, maka putusannya adalah lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) karena adanya alasan pemaaf.169 Ini berarti bahwa apabila terjadi tindak pidana penyertaan, yaitu seseorang ikut serta sebagai pembantu, menyuruh melakukan, memancing untuk melakukan delik itu, orang itu tetap dapat dipidana (kalau yang ikut serta itu dapat dipertanggungjawabkan). Dalam hal peniadaan hukuman ini, terdapat unsur subjektif, yaitu adanya dasar peniadaan hukuman berupa alasan pemaaf terhadap si pembuat, akan tetapi perbuatannya adalah tetap merupakan tindak pidana sehingga hak-hak atas kepemilikan benda, barang maupun properti yang didakwakan sebagai hasil dari perbuatan tindak pidana, secara hukum dinyatakan berasal dari perbuatan pidana. Berdasarkan alasannya putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) dijatuhkan jika hakim berpendapat bahwa: a) Perbuatan yg didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam pasal 191 ayat (2) KUHAP, yang berbunyi: Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.170 Dasar penjatuhan putusan ini adalah:
168
Ibid
169
Andi Hamzah, loc.cit
170
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Cetakan Ketigabelas, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hlm. 309.
1) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan; 2) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Untuk membedakan alasan penjatuhan vonis lepas dari segala tuntutan hukum ini dengan adanya alasan pemaaf, di sini kita lihat hal yang melandasi putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, terletak pada kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut “tidak merupakan tindak pidana”, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat.171 Menarik apa yang disampaikan oleh Andi Hamzah, bahwa formulasi Undang-undang ini adalah kurang tepat. Sebenarnya kalau perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa bukan delik (tindak pidana), maka dari permulaan seharusnya hakim tidak menerima tuntutan jaksa (niet ontvankelijk verklaring van het Openbare Ministerie). Atau sebelum sampai pada proses pengadilan dalam hal kalau perbuatan yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, penuntut umum pun tidak dapat melakukan penuntutan seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut atas dasar adanya dasar-dasar yang meniadakan penuntutan (vervolgingsuitsluitingsgronden).172 Jadi menurut Andi Hamzah, di belakang kata “tetapi” pada pasal 191 ayat (2) KUHAP tersebut tertulis “...perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa tidak bersalah (sengaja atau alpa) atau tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf (feit d’excuse).173 Hal yang sama disampaikan oleh Chaerul Huda, bahwa putusan onslag seyogyanya ditafsirkan sebagai putusan hakim yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya alasan penghapus pidana. Jadi dakwaan dan tindak pidananya tetap terbukti. Hanya saja ada alasan penghapus pidananya. Menurutnya bahwa pada dasarnya surat dakwaan jaksa penuntut umum berisikan uraian tindak pidana, jadi agak aneh kalau di satu sisi mengatakan dakwaan terbukti, tapi tidak ada tindak pidana.174 171
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 331 172
Lihat P.A.F Lamintang, op.cit., hlm. 385
173
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 282. Periksa juga Aloysius Wisnusubroto, Teknis Persidangan Pidana, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm.124 174
Chaerul Huda, dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20099/direktur-hrdhotel-sultan-lepas-dari-jerat-hukum, diakses tanggal 5 Februari 2010 pukul 18.15
b) Perbuatan yg dilakukan merupakan tindak pidana, tetapi terdapat alasan pemaaf (schulduitsluitinggronden) pada diri terdakwa. Alasan penjatuhan putusan lepas dari segala tututan hukum ini didasarkan atas adanya dasar-dasar peniadaan hukuman yang salah satunya
berupa
merupakan
alasan
salah
pemaaf satu
(schulduitsluitinggronden dasar
peniadaan
yang
hukuman
[straftuitsluitinggronden]). Dalam Undang-undang kriteria alasan pemaaf ini tidak secara eksplisit disebutkan, namun para ahli hukum pidana beranggapan bahwa bahwa alasan pemaaf ini tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa perbuatannya bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi sifat dicelanya perbuatan yang bisa dimaafkan, Jadi alasan pemaaf ini bersifat subjektif, yaitu memaafkan si pelaku akan tetapi perbuatannya tetap merupakan tindak pidana. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi pelakunya tidak dapat dipidana.175 Berikut ini dapat digambarkan dalam tabel dasar-dasar peniadaan hukuman (strafsuitslutiningsgronden) sebagai berikut:176 Tabel 9 : Alasan-alasan Penghapus pidana Umum yang Tertulis (written defences) PEMBENAR 3. Keadaan darurat 4. Pembelan terpaksa 5. Menjalankan peraturan perundang-undangan 6. Menjalakan perintah jabatan yang sah
175 176
PEMAAF 7. Tidak Mampu bertanggung jawab 8. Daya paksa 9. Pembelaan terpaksa melampaui batas 10. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah
Moeljatno, loc.cit.
D. Schaffmeister, et.al., Hukum Pidana Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana dalam Rangka Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Editor J.E. Sahetapy, Edisi Pertama Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm.58
Tabel 10: Alasan-alasan penghapus Pidana Di Luar Undang-undang (unwritten defences) PEMBENAR 11. Ijin 12. Norma-norma jabatan yang sudah diterima
PEMAAF 13. Sesat yang dapat dimaafkan -sesat fakta -sesat hukum 14. Ketidakmampuan yang dapat dimaafkan
Putusan Pengadilan Negeri Langkat yang menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) kepada terdakwa didasarkan atas keyakinan hakim untuk mempertimbangkan adanya alasan pemaaf di luar Undang-undang atas terdakwa berupa ketidaktahuan terdakwa akan adanya larangan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan177. Majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan “menduduki kawasan hutan secara tidak sah” sebagaimana ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi: “Setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.” Akan tetapi dalam putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.178 Menurut Penulis, keputusan ini tidak sesuai dengan bunyi vonis yang menyatakan bahwa menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) kepada terdakwa dengan pertimbangan adanya alasan pemaaf terhadap terdakwa. Harus diingat bahwa dalam teori hukum pidana, dasar penghapusan hukuman (straftsuitsluitingsgronden) dengan tidak dipidananya si pembuat karena adanya alasan pemaaf ialah adanya alasan pemaaf tertentu terhadap diri si pembuat, baik yang berasal dari Undang-undang maupun berasal dari luar undang-undang. Dalam hal ini ada unsur-unsur subjektif yang bisa dimaafkan akan tetapi perbuatannya tersebut tetap bersifat “melawan hukum”. Karena unsur “melawan hukum” merupakan bagian inti (bestanddeel) dari delik, maka perbuatan yang dilakukan adalah tindak pidana.179 177
Putusan Pengadilan Negeri Langkat, Nomor 26/Pid.B/2006/PN Stb,- tanggal 12 Oktober 2006, hlm.25 178 179
Putusan Pengadilan Negeri Langkat, ibid, hlm. 28
Hasil wawancara dengan Edy Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat, di gedung Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.
Dengan demikian pembuat dapat dimaafkan akan tetapi perbuatannya berupa “menduduki kawasan hutan secara tidak sah” di kawasan hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut adalah tindak pidana. Karena perbuatannya tetap merupakan tindak pidana, dan unsurunsur perbuatan telah sesuai dalam delik yang dituduhkan maka seyogyanya terhadap objek sengketa yang telah dinyatakan oleh Majelis Hakim merupakan bagian dari SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut harus dikembalikan kepada pemegang hak yang sah. B. Pembahasan 1. Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perambahan Hutan di Suaka Margastawa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Walaupun upaya penegakan hukum pidana telah dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di di Suaka Margastawa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, namun intensitasnya tidak berkurang, bahkan para tersangka yang sebelumnya telah dituntut karena melakukan kegiatan perambahan hutan kembali melakukan kegiatan perambahan karena tidak ada pidana yang setimpal yang dijatuhkan dalam proses peradilan. Tiga pelaku perambahan yang telah divonis oleh Pengadilan Negeri Langkat pada tahun 2006, kembali mengerjakan lahan yang berada dalam kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut karena putusan onslag dari Majelis hakim. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis mengidentifikasi faktor-faktor penghambat untuk memfungsikan hukum pidana dalam tindak pidana perambahan hutan yang terjadi di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Faktor penghambat tersebut, sesuai dengan apa yang didalilkan oleh Lawrence M. Friedman pada dasarnya bersumber dari unsur substansi, unsur struktural dan unsur budaya hukum, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Substansi 1) Penerapan Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. a) Pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) Pada pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E disebutkan bahwa: “Setiap orang dilarang
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam”. Perubahan terhadap keutuhan
kawasan
suaka
alam
meliputi
mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Dalam
prakteknya
ketentuan
pasal
ini
sulit
untuk
diterapkan, karena tidak menjelaskan jenis perbuatan yang dapat dipidana. Ketentuan pasal ini menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan apa pun yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Rumusan pasal 19 ayat (1) tersebut disebut sebagai delik materil atau delik yang mementingkan akibat dari perbuatan pidananya, bukan perbuatan pidananya sendiri. Walaupun dalam ayat (3) dijelaskan kegiatan yang dapat dipidana yaitu mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, namun belum ada ukuran yang jelas yang menerangkan hilangnya fungsi kawasan suaka alam. Hilangnya fungsi kawasan suaka alam harus dapat dijelaskan melalui ukuran yang ilmiah, tepat dan teruji yang dilakukan oleh ahlinya, dan bukan hanya penglihatan semata. Demikian juga formulasi tindak pidana dalam pasal 33 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.” Untuk menerapkan ketentuan pasal tersebut, membutuhkan kemampuan Penyidik yang tidak hanya menguasai ketentuan di bidang hukum pidana, namun juga harus menguasai pengetahuan teknis seperti ilmu-ilmu biologi, ilmu geologi, ilmu klimatologi dan ilmu fisika yang bisa menjelaskan hilangnya fungsi kawasan suaka alam berdasarkan indikator-indikator tertentu. Pengetahuan tersebut sudah barang tentu tidak dikuasai
secara memadai oleh Penyidik baik penyidik Polri maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Apabila penyidikan tersebut
dilakukan
oleh
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
Kehutanan, akan semakin menyulitkan mengingat tidak adanya kewenangan Penyidik untuk memanggil saksi ahli sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik Kehutanan di bidang konservasi sumber daya alam berdasarkan ketentuan pasal 39 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E. b) Pasal 39 ayat (2) Pasal 39 ayat (2) mengatur tentang mekanisme penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Dalam ayat ini diatur ketentuan bahwa Penyidik Pegawai Negeri sipil Kehutanan
memberitahukan
dimulainya
penyidikan
dan
melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan ini mengakibatkan rentang jalur dan mekanisme birokrasi penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan semakin panjang dan cenderung tidak efisien
yang
justru
tidak
sesuai
dengan
prinsip-prinsip
pelaksanaan proses peradilan yang cepat, efisien dan biaya relatif murah. c) Pasal 40 Pasal 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E
memuat
tentang
ketentuan
pidana
terhadap
pelanggaran pasal 19 dan pasal 21 Undang-undang ini. Dalam pasal 40 dimuat pidana penjara maksimum dan pidana tambahan berupa denda maksimum yang dapat diancamkan. Namun
ketentuan dalam pasal 40 tersebut tidak memuat tentang ketentuan ancaman pidana penjara minimum dan ancaman pidana tambahan denda minimum. Ketentuan tersebut mengakibatkan adanya tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sangat rendah terhadap tindak pidana kehutanan. Tuntutan Jaksa penuntut Umum tersebut akhirnya bermuara pada putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana yang sangat rendah terhadap tindak pidana di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam. 2) Penerapan Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan a) Pasal 50 ayat (2) Pasal 50 ayat (2) Undang-undang nomor 41 tahun 1999 dapat menjerat ijin usaha pemanfaatan kawasan, ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, ijin usaha pemnafataan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta ijin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu yang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Pada bagian penjelasan pasal 50 ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Penerapan pasal ini dalam prakteknya akan menjadi kesulitan tersendiri bagi penyidik. Untuk dapat menilai terjadinya kerusakan hutan dengan indikator adanya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya membutuhkan hasil analisis tanah, air, vegetasi dan berbagai tolok ukur yang berhubungan dengan penilaian kerusakan hutan. Agar dapat memperoleh hasil penilaian tersebut, seorang penyidik dituntut untuk menguasai pengetahuan yang berkaitan seperti ilmu-ilmu biologi, ilmu
kimia, ilmu fisika dan ilmu geologi yang secara eksak dapat menjelaskan terjadinya kerusakan hutan. Tentunya hal tersebut menjadi kendala bagi penyidik baik Penyidik Polri maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Terlebih lagi dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan tidak diberikan kewenangan untuk mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam proses penyidikan. b) Pasal 77 ayat (2) huruf f Pasal 77 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 diatur tentang tata cara penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tata cara menangkap dan menahan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP dapat diketahui bahwa pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia. Dengan demikian sesuai dengan ketentuan ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan tidak dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan. Hal ini tentunya menjadi kendala tersendiri bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam mempercepat penyelesaian proses penyidikan tindak pidana kehutanan. Ketentuan ini berbeda misalnya dengan kewenangan Penyidik Kepabeanan yang dapat melakukan penangkapan tanpa rekomendasi dari Penyidik Polri.180 c) Pasal 77 ayat (3) Pasal 77 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 mengatur tentang mekanisme penyidikan tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil yang sedang melakukan proses
180
Lihat Pasal 112 ayat (2) huruf d Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.
penyidikan
tentang
tindak
pidana
di
bidang
kehutanan
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan ketentuan pasal 107 ayat (3) KUHAP bahwa apabila tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Dengan adanya ketentuan tersebut, jalur birokrasi yang ditempuh oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam memproses suatu tindak pidana kehutanan, semakin panjang dan cenderung tidak efektif. d) Pasal 78 Pasal 78 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 memuat tentang ketentuan pidana terhadap pelanggaran pasal 38 dan pasal 50 undang-undang ini. Dalam pasal 78 dimuat pidana penjara maksimum dan pidana tambahan berupa denda maksimum yang dapat diancamkan. Akan tetapi ketentuan dalam pasal 78 tersebut tidak mengatur ketentuan ancaman pidana penjara minimum dan ancaman pidana tambahan denda minimum yang dapat dikenakan kepada tindak pidana kehutanan. Ketentuan tersebut mengakibatkan adanya tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sangat rendah terhadap tindak pidana kehutanan. Pada perkara perambahan hutan yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa pelaku pendudukan dan penguasaan hutan secara tidak sah, yaitu Khibeng alias Abeng dengan hukuman pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Langkat sangat jauh dari ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 yaitu dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). b) Struktural 2) Pengelola Kawasan Dengan luas kawasan ±15.765 hektar (seluas 9.520 hektar berada di Kabupaten Langkat dan 6.245 hektar berada di Kabupaten Deli Serdang), pengelolaan kawasan ini secara administratif dikelola
oleh tiga pemangkuan setingkat resor. Pengelola kawasan setingkat resor merupakan ujung tombak dalam fungsi perlindungan dan pengamanan kawasan. Namun dengan jumlah petugas sebanyak dua (2) orang pada masing-masing resor, tentu tidak akan mampu berbuat maksimal melakukan tugas perlindungan dan pengaman kawasan. Resor KSDA Langkat Timur laut I yang berkedudukan di Karang Gading misalnya, dengan luas kawasan ±6.245 ha dikelola olah 2 orang petugas Polisi Kehutanan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, pengelola Resor KSDA ini tidak dilengkapi oleh sarana transportasi kendaraan roda dua. Sejak tahun 2006 telah direkrut tenaga Pengaman Hutan Swakarsa yang berasal dari masyarakat setempat yang diharapkan dapat membantu tugas-tugas perlindungan hutan. Langkah ini merupakan kebijakan yang cukup penting dengan melibatkan masyarakat setempat untuk melindungi kawasan hutan, walaupun dalam rangka penegakan hukum, Pengaman Hutan Swakarsa tidak memiliki kewenangan. Dua pengelola setingkat resor lainnya, juga memiliki permasalahan yang sama, selengkapnya mengenai sarana perlindungan yang terdapat pada masing-masing resor dapat digambarkan dalam tabel 11 berikut ini: Tabel 11 Sarana Pengamanan Hutan Pada Resor Konservasi Wilayah di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut 181 Jumlah Resor KSDA
Petugas (Polhut dan staf)
181
Jumlah Pamhut Swakarsa
Kendaraan Patroli Perahu/ Roda Speed Dua Boat
Senjata Api
Wawancara dengan Khalid Surbakti, Kepala Resor KSDA KG<L I di kantor Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Medan tanggal 8 Desember 2009, M.Nur Kepala Resor KSDA KG<L II di Pematang Sentang, Langkat, tanggal 11 Desember 2009, dan Ahmadin, Kepala Resor KSDA KG<L III di Selotong pada tanggal 11 Desember 2009.
LTL I di Karang Gading
2
10
-
-
-
2
13
-
1
-
2
10
-
1
1
LTL II di Pematang Sentang LTL III di Selotong
Minimnya sarana untuk menunjang tugas-tugas pengamanan hutan pada tingkat resor, tentunya akan mempengaruhi kinerja petugas dalam upaya menegakkan hukum terhadap pelanggaran tindak pidana kehutanan di dalam kawasan hutan. Hasil wawancara dengan petugas terkait, bahwa ketiadaan sarana transportasi roda dua merupakan kendala bagi pelaksanaan patroli rutin di kawasan hutan. Ketiadaan sarana tersebut mengakibatkan patroli rutin dan kordinasi dengan Kepolisian Sektor setempat tidak dapat berlangsung dengan baik. Faktor sarana ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tidak berfungsinya penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran hukum kehutanan di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Hal yang merupakan dalil yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto bahwa penegakan hukum akan dipengaruhi oleh sarana atau fasilitas yang mendukung bagi penegakan hukum tersebut. Minimnya fasilitas pendukung di tiaptiap pengelola akan memberikan kontribusi bagi ketidakefektifan fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana kehutanan. Dari wawancara yang dilakukan dengan Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut I, II dan III bahwa dengan kondisi sekarang ini dimana kendaraan roda dua patroli tidak tersedia, maka petugas tidak bisa optimal melakukan patroli ke dalam kawasan. Patroli hanya dilakukan sebatas yang bisa
ditempuh dengan kemampuan berjalan kaki. Kordinasi dengan Petugas Polsek juga menjadi terhambat karena ketiadaan kendaraan operasional. Sebagai alternatifnya, petugas Resor menggunakan kendaraan milik sendiri dengan biaya pribadi. Kondisi ini tentunya tidak akan efektif mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh petugas Resor. Di samping itu juga dengan pola mutasi (tour of duty) yang sekarang ini diterapkan, cenderung stagnan dan tidak memberikan efek tour of duty yang diharapkan bisa meningkatkan kegairahan kerja dan profesionalisme petugas dalam menghadapi berbagai jenis permasalahan di bidang kehutanan. Kedudukan yang terlalu lama dalam suatu daerah dan situasi kerja yang sama, akan menjadi tidak efektif dan bahkan cenderung terjadi penyalahgunaan kewenangan. Apa yang dikemukakan oleh Lord Acton bahwa “the power attempt to
corrupt”,
kekuasaan
cenderung
terjadi
penyalahgunaan
kewenangan, patut menjadi renungan bagi pemegang kepentingan. Penerapan siklus mutasi yang teratur, pada satu sisi dilematis dengan tingkat kesejahteraan petugas resor. Pada kondisi ideal tour of duty petugas resor harus diikuti dengan adanya pemberian insentif baik untuk tunjangan penghasilan maupun operasional mutasi bagi petugas dan keluarganya. Dengan kondisi penghasilan yang sekarang, sangat tidak memungkinkan untuk melakukan siklus tour of duty pada tingkat Kepala resor yang merupakan pejabat fungsional. 3) Proses Penyidikan Penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam pada dasarnya dilakukan oleh Penyidik Polri dan Penyidik PNS Kehutanan sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Penyidik Polri sebagai penyidik tunggal, memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap semua tindak pidana
yang terjadi. Dengan fungsinya sebagai penyidik tunggal, terhadap tindak pidana tertentu yang membutuhkan pengetahuan teknis tersendiri, penyidik Polri memiliki keterbatasan. Dari informasi yang diperoleh dari AKP B. Siahaan, Kepala Kepolisian Sektor Secanggang, bahwa Penyidik Polri terutama di tingkat Polsek sangat terbatas baik dari segi jumlah maupun kemampuan menyidik perkara tertentu misalnya tindak pidana kehutanan dan konservasi sumber daya alam. Terutama pemahaman terhadap terjadinya kerusakan dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana kehutanan. Sehingga penerapan pelanggaran ketentuan yang diterapkan juga masih belum tepat. Di samping itu adanya ketentuan undang-undang di bidang kehutanan yang diformulasi dalam delik materil menyulitkan penyidik Polri untuk penerapannya. Hal yang sama dialami oleh Penyidik PNS kehutanan dalam hal pembuktian tindak pidana yang formulasinya delik materil. Apalagi Penyidik PNS Kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk memanggil saksi ahli. Kekurangan pemahaman tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Mas Achmad Santosa menjadi salah satu kendala struktural pada unsur penyidik dalam menegakkan hukum pidana dalam tindak pidana kehutanan. Hal yang sama diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Penulis dengan Polmer Situmorang, SH Kepala Bidang Konservasi Wilayah I, Balai Besar KSDA Sumatera Utara,
bahwa aparat
penegak hukum baik Penyidik Polri maupun Penyidik PNS Kehutanan belum memahami penanganan kasus di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Akibatnya banyak Laporan Kejadian (LK) yang dilaporkan oleh petugas Resor Konservasi Wilayah tidak ditindaklanjuti dan mengendap di meja Penyidik. Di samping itu juga, ketiadaan biaya operasional menjadi kendala yang dihadapi oleh Penyidik dalam penanganan tindak pidana kehutanan. Tindak pidana perambahan hutan terjadi pada kawasan hutan yang
aksesnya sangat terbatas. Transportasi hanya bisa dilakukan dengan kendaraan khusus. Pada saat terjadi tindak pidana perambahan, alat berat yang digunakan oleh pelaku tidak dapat segera dilakukan penyitaan karena ketiadaan biaya untuk mengangkut dari kawasan hutan. Sehingga seringkali alat yang digunakan untuk merambah telah terlebih dahulu dibawa lari oleh pemiliknya sehingga tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan oleh Penyidik. 4) Proses Penuntutan Kejaksaan
adalah
lembaga
negara
yang
berwenang
melaksanakan fungsi penuntutan dalam proses peradilan. Di samping itu juga sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), kejaksaan mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa dalam fungsinya sebagai Penuntut Umum dituangkan dalam surat dakwaan yang harus dibuat secara jelas, cermat dan lengkap, sebab surat dakwaan memiliki posisi paling strategis sebagai rujukan utama bagi hakim dalam menetapkan putusannya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusti
Probowati
Rahayu182 bahwa tuntutan (rekuisitur) Jaksa akan mempengaruhi Hakim dalam menjatuhkan hukuman. Semakin tinggi rekuisitur Jaksa, semakin tinggi pula hukuman yang akan dijatuhkan oleh Hakim. Penelitian ini dilakukan berdasarkan eksperimen terhadap 90 orang Hakim yang dibagi dalam 3 kelompok dan diminta untuk memberikan hukuman pada perkara yang sama (pembunuhan berencana 182
dengan
dakwaan
Pasal
338
KUHP).
Hasilnya
Yusi Probowati Rahayu, “Rekuisitur Jaksa Penuntut Umum dan Kepribadian Otoritarian Hakim Dalam Proses Pemidanaan di Indonesia”, Disertasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2001.
menunjukkan bahwa Hakim yang mendapatkan rekuisitur yang tinggi dari Jaksa, akan memberikan hukuman yang tinggi (rerata 85,97 bulan), Hakim yang mendapatkan perkara tanpa rekuisitur memberikan hukuman sedang (rerata 59,13 bulan), sedangkan Hakim yang mendapatkan rekuisitur yang rendah dari Jaksa, memberikan hukuman yang rendah (rerata 43,77) bulan. Hal ini membuktikan bahwa Hakim akan sangat terpengaruh oleh rekuisitur Jaksa dalam menjatuhkan hukuman. Dari penelitian lain yang dilakukan oleh Yusti
Probowati Rahayu yang subjeknya adalah
mahasiswa hukum bahwa 68,2% subjek terpengaruh oleh rekuisitur jaksa penuntut umum dalam pemidanaan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pengaruh rekuisitur jaksa terhadap putusan hakim tergantung pada jenis perkara dan tinggi rendahnya ancaman pemidanaan. Pada jenis perkara singkat, 78% hakim terpengaruh oleh rekuisitur jaksa. Pada perkara yang ancaman hukumannya tinggi misalnya perkara pembunuhan, sebanyak 22% hakim terpengaruh oleh rekuisitur jaksa, sedangkan pada perkara yang ancamannya sedang, 50% hakim terpengaruh oleh rekuisitur jaksa. Dengan demikian dapat dipahami korelasinya mengapa Hakim Pengadilan Negeri Langkat menjatuhkan putusan onslagh pada kasus perambahan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut adalah salah satunya pengaruh dari rendahnya rekuisitur Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tersebut. Adalah patut dicermati bahwa kebijakan Kejaksaan Republik Indonesia sendiri dalam menangani tindak pidana kehutanan/illegal logging telah digariskan berdasarkan Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-002/JA/4/1995 tanggal 28 April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain, bahwa tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah perkara penting yang memerlukan perhatian khusus dari pimpinan
dan oleh karenanya perlu ditangani dan diselesaikan dengan sistem pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian. Pola penanganan dan penyelesaian perkara kehutanan dijelaskan lebih rinci dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B189/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995. Dengan demikian sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia, seharusnya Kejaksan Negeri Langkat tetap berpedoman pada ketentuan yang telah digariskan oleh Kejaksaan Agung, sehingga tuntutan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan disamping harus tetap mengacu pada ancaman hukuman yang terdapat dalam Undang-undang yang telah dilanggar juga harus memperhatikan unsur keadilan dalam masyarakat. Pemahaman
aparat
kejaksaan
terhadap
tindak
pidana
kehutanan dan konservasi sumber daya alam juga belum memadai. Hal yang dapat dipetik dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Langkat pada kasus perambahan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada tahun 2005 bahwa pemahaman ini belum sepenuhnya merata. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun dalam bentuk dakwaan alternatif menunjukkan bahwa pertama jaksa tidak mengetahui perbuatan mana apakah yang satu atau yang lain akan terbukti di persidangan, kedua jaksa masih ragu hakim
peraturan hukum pidana mana yang akan diterapkan oleh 183
. Menurut Mas Achmad Santosa, masalah pemahaman
aparat terhadap undang-undang dan bagaimana menerapkannya atau ketentuan pasal apa yang harus diterapkan terhadap suatu pelanggaran menjadi suatu masalah krusial yang mengemuka dalam upaya penegakan hukum kehutanan di Indonesia. 184
183
Van Bammelen, dikutip dari Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.180-181 184
Mas Achmad Santosa, Penguatan Penegakan Hukum atas Illegal Logging, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, Jakarta, 29-30 November 2007
5) Proses Pengadilan Proses pengadilan yang dimaksud di sini adalah proses pengadilan dalam lembaga Pengadilan baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Penegakan hukum lingkungan membutuhkan peranan hakim untuk mencapai kemandiriannya dengan peningkatan profesionalisme yang tercermin dalam bobot mutu putusan yang dijatuhkan. Untuk menjaga profesionalisme hakim ada tiga unsur yang harus dipenuhi yaitu: 185 4) Kepakaran (expertise); 5) Kemitraan (corporateness); 6) Tanggung jawab (responsibility) Kepakaran yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang berlaku serta keberanian menghakimi berdasarkan hukum itu. Unsur kemitraan berkaitan dengan kemandirian dan kemerdekaan hakim
dalam
menjatuhkan putusan. Tanggung jawab kepada masyarakat berkaitan dengan keterbukaan dan okjektifitas putusan hakim. Keputusan hakim sejauh mungkin tidak bertolak belakang dengan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan ketiga unsur yang harus dimiliki tersebut, Hakim-hakim di Indonesia diharapkan memiliki
kemampuan
yang
handal
dan
profesional
dalam
menerapkan hukum dengan tetap berpedoman dengan azas-azas hukum
yang
berlaku
dan
kesimbangan/proporsionalitas
sedapat untuk
mungkin
menerapkan
mencapai unsur-unsur
keadilan, kepastian hukum dan manfaat dalam penegakan hukum sebagaimana yang didalilkan oleh Gustav Radbruch. Penerapan ajaran sifat melawan hukum materil yang dianut dalam sistem peradilan di Indonesia, membutuhkan hakim-hakim yang memiliki ketiga unsur tersebut dalam mengoperasionalkan hukum pidana. Demikian juga penerapan azas hukum yang pada umumnya tidak 185
Direktorat Jenderal Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Departemen Kehakiman, op.cit., hlm. 77
tertulis namun harus menjadi pedoman dalam memfungsikan hukum pidana. Oleh karenanya sebagaimana yang dikemukan oleh Satjipto Rahardjo bahwa pada saat ini dibutuhkan hakim-hakim yang mempunyai empati, dedikasi dan determinasi untuk menciptakan keadilan.
Hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Penulis
menggambarkan penerapan ajaran sifat melawan hukum materil dan penerapan azas hukum oleh hakim di Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara perambahan hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada Putusan Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb.tanggal 12 Oktober 2006, Putusan Pengadilan Negeri Langkat nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb tanggal 12 Oktober 2006, dan Putusan Pengadilan Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb tanggal 12 Oktober 2006. a) Penerapan Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil (Materiale Wederrechtelijkheid) oleh Hakim Pengadilan Negeri Langkat Putusan Pengadilan Negeri Langkat yang menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum kepada terdakwa pelaku perambahan hutan adalah dengan adanya alasan pemaaf (schuldsuitsluitinggronden). Alasan pemaaf yang dipertimbangkan oleh Majelis hakim bersumber dari alasan pemaaf di luar Undang-undang. Pemberlakuan alasan pemaaf di luar Undang-undang ini dalam hukum pidana dilandasi oleh adanya ajaran sifat melawan hukum materil (materiale wederrechtelijkheid). Berdasarkan ajaran sifat melawan hukum materil diakui adanya alasan penghapus pidana di luar Undang-Undang di samping alasan penghapus pidana yang tertulis dalam UndangUndang. Alasan penghapus pidana yang tertulis oleh para ahli hukum
Pidana
dibagi
(rechtvaardigingsgrond)
menjadi dan
alasan alasan
Pembenar Pemaaf
(schulduitsluitingsgrond). Pembagian ini sebenarnya dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu
sendiri tidak disebutkan secara eksplisit. Sedangkan alasan penghapus pidana yang tidak tertulis (di luar undang-undang) dibagi juga menjadi alasan Pembenar (rechtvaardigingsgrond) dan alasan Pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Penerapan alasan penghapus pidana di luar Undang-undang ini merupakan fungsi negatif dari ajaran sifat melawan hukum material (materiale wederrechtelijkheid). Alasan penghapus pidana tidak tertulis tersebut tidak bertentangan dengan azas legalitas (azas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali) yang merupakan azas primaritas dalam hukum pidana sebagaimana terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum selain apabila sebelumnya telah ada Undang-undang yang mengatur perbuatannya itu, sebab azas ini hanya menerima hukum tidak tertulis dalam hal mengurangi atau menghapuskan dapat dipidana dan bukan dalam hal menetapkan dapat dipidananya seseorang. 186 Dalam hukum pidana, ajaran perbuatan melawan hukum materil dibatasi penggunaannya melalui fungsi negatifnya sebagai alasan peniadaan pidana, dengan maksud untuk menghindari pelanggaran
azas
legalitas
sekaligus
dapat
menghindari
penggunaan analogi dalam hukum pidana. Sependapat dengan pandangan tentang perbuatan melawan hukum secara materil yang harus diartikan negatif adalah Wirjono Projodikoro yang menyatakan bahwa: Adanya hukum pidana dengan tindak pidana yang dirumuskan di dalamnya itu, bersumber pada pelanggaranpelanggaran hukum di bidang hukum lain itu. Jadi dengan sendirinya, dalam tindak pidana harus ada sifat melanggar hukum. Tetapi biasanya unsur wederrechtelijkheid ini tidak 186
D. Schaffmeister et.al., op.cit., hlm. 55
disebutkan dalam suatu pasal ketentuan hukum pidana, sedangkan seperti dikatakan di atas, pada setiap tindak pidana tentu ada unsur wederrechtelijkheid atau sifat melanggar hukum. Oleh karena yang dihilangkan itu ialah sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan atau rechtmatig, maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) ini juga dikatakan alasan pembenar atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond)”.187 Sama halnya dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro berkenaan dengan fungsi negatif dari sifat melawan hukum materil adalah pandangan dari Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa : Dengan mengakui azas Materiale Wederrechtelijkheid, jurisprudensi khususnya Mahkamah Agung, dalam pengertian negatif, ialah bahwa suatu perbuatan secara materil dipandang tidak wederrechtelijkheid, walaupun ia memenuhi semua unsur dari tindak pidana dan karenanya merupakan perbuatan yang formal adalah wederrechtelijkheid, diciptakan suatu alasan penghapus pidana yang umum sifatnya, bahkan dikatakan dalam putusan tersebut ia dirubrisir sebagai suatu alasan pembenar yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.188 Demikian juga dengan Lobby Loqman yang menggariskan arti negatif dari perbuatan melawan hukum secara materil, dengan menyatakan: Melawan hukum secara materil haruslah dipergunakan secara negatif, ini berarti bahwa apabila terdapat suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil, sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materil tidak melawan
187
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, PT. Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm.75 188
Oemar Seno Adji, KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta, 1985, hlm.244
hukum, perbuatan tersebut seyogyanya tidak dijatuhi pidana.189 Adanya pengakuan fungsi negatif dari perbuatan melawan hukum secara materil juga dikemukakan oleh Vos dan Hulsman (diikuti oleh Jonkers dan Langemeyer) yang menyatakan bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, karena di samping undang-undang (tertulis), ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat, meskipun Hulsman tidak secara nyatanyata menyatakan hal tersebut sebagai hukum tidak tertulis sebagai salah satu ciri dari pengertian perbuatan melawan hukum secara materil.190 Jadi perkembangan adanya penerimaan pandangan tentang ajaran sifat perbuatan melawan hukum materil hanyalah terbatas dan dikaitkan dengan persoalan mengenai alasan-alasan yang menghapuskan tindak pidana di luar perundang-undangan (tertulis)
saja dari perbuatan pelaku,
sehingga
hanyalah
diperkenankan adanya sifat melawan hukum materil dengan mempergunakan fungsi negatifnya, mengingat adanya suatu azas legalitas (principle of legality) dalam hukum pidana, sebagai salah satu ciri khas tetap dari negara hukum. Ajaran sifat melawan hukum material (materiale wederrechtelijkheid) mengakui adanya alasan penghapus pidana berdasarkan hukum tidak tertulis. Schaffmeister membagi alasan penghapus pidana tidak tertulis tersebut menjadi alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgrond) yang menimbulkan tidak adanya sifat melawan hukum materil dan alasan Pemaaf 189
Loebby Loqman, Beberapa Ikhwal di Dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, 1991, hlm.31 190
Oemar Seno Adji, op.cit., hlm.236
(schulduitsluitinggrond) yang menghapuskan kesalahan si pelaku (afwezigheid van alle schuld/avas). Pada ketiga putusan Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara “barang siapa dengan sengaja melawan hukum, mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”, menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum kepada ketiga terdakwa dengan dasar adanya alasan pemaaf di luar undang-undang yang merupakan dasar-dasar peniadaan hukuman (strafsuitslutiningsgronden). Dasar pertimbangan hakim adalah berupa ketidaktahuan terdakwa akan adanya larangan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan, yaitu mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah di dalam kawasan hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut tetapnya di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat (1) huruf a Undangundang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Penulis, alasan ketidaktahuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang dijadikan alasan pemaaf oleh Majelis Hakim adalah tidak tepat. Berdasarkan fakta-fakta hukum dan kesaksian yang terungkap di pengadilan, bahwa status kawasan hutan konservasi SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang terletak di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara telah ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.811/Kpts/Um/11/1980 tentang Penunjukan Areal Hutan Karang Gading Dan Langkat Timur Laut seluas ±15.765 HA Yang Terletak Di Daerah Tk.II Langkat Dan Daerah Tk.II Deli Serdang, Daerah Tk.I Sumatera Utara Sebagai Hutan Suaka Alam Cq. Suaka Margasatwa. Penunjukan kawasan ini sebagai kawasan hutan milik negara sebenarnya telah ada sejak jaman sebelum kemerdekaan Indonesia dan diakui keberadaannya berdasarkan Zelfbestuur Besluit (ZB) Kerajaan Negeri Deli No. 148 tanggal 6 Agustus 1932 seluas 9.520 hektar, sedangkan hutan di Karang Gading ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan ZB No. 138 tanggal 8 Agustus 1935 seluas 6.245 hektar. Penunjukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.811/Kpts/Um/11/1980 hanya merupakan perubahan fungsi kawasan dari hutan produksi menjadi fungsi kawasan hutan konservasi. Sedangkan lokasi dan luasan kawasan yang ditunjuk tidak ada mengalami perubahan.
Apabila dilihat dari adanya alasan pemaaf di luar undangundang, dapat dikategorikan menjadi tiga jenis kesesatan, yaitu:191 1) Sesat tentang perbuatan (error facti / mistake of facts) Hal ini mengatur tentang alasan pemaaf sebagai akibat adanya kekeliruan yang dapat dimaafkan. Kekeliruan ini menyebabkan tidak dapat dijatuhkannya kesalahan kepada si pembuat. Pada kekeliruan ini, si pembuat disyaratkan telah bersikap hati-hati yang maksimal. Misalnya, tanda lalu lintas yang karena keadaan hampir tidak terlihat (H.R. 20-1-1973, atau seseorang yang mengira bahwa tanda periksa mobilnya merupakan jaminan kebaikan kendaraannya (H.R. 27-21962).192 Apabila dihubungkan dengan pertimbangan Majelis Hakim atas ketidaktahuan terdakwa terhadap status kawasan hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, mencerminkan
adanya
sikap
ketidak
hati-hatian
yang
maksimal dari terdakwa terhadap status lahan yang diusahinya. Meskipun secara formal, alasan ketidaktahuan terdakwa atas status kawasan hutan yang diusahainya dapat dibenarkan berdasarkan kesaksian-kesaksian yang telah diucapkan oleh para saksi di depan persidangan dan yang telah dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. Keseluruhan saksi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I sebagai pengelola kawasan yang diperiksa di persidangan menyatakan tidak adanya tanda-tanda batas yang menunjukkan kawasan tersebut adalah kawasan hutan suaka margasatwa. Terlepas dari ketidaktahuan para saksi atas tanda batas tersebut, namun kebenaran yang diakui secara hukum adalah kebenaran yang
191 192
D. Schaffmeister et.al., op.cit., hlm. 143 Ibid., hlm. 70
diucapkan dibawah sumpah di depan persidangan.
Namun
secara materil, alasan ketidaktahuan terdakwa atas status kawasan hutan, tidak dapat dibenarkan karena berdasarkan kenyatannya status kawasan hutan yang disengketakan telah ditetapkan sejak dikeluarkannya Zelfbestuur Besluit (ZB) Kerajaan Negeri Deli No. 148 tanggal 6 Agustus 1932 dan Zelfbestuur Besluit (ZB) No. 138 tanggal 8 Agustus 1935. Sesat fakta yang bisa dijadikan sebagai alasan pemaaf mensyaratkan bahwa orang yang tidak mengetahui peraturan perundangan-undangan yang menyangkut tentang dia, baik pekerjaan maupun hak-haknya, bagaimanapun juga harus berusaha untuk mengetahuinya. Kalau ada seseorang yang ingin bertindak pada suatu bidang yang tidak begitu dikenal (yang agak asing), maka ia harus berusaha untuk memperoleh informasi-informasi
yang
dapat
dipercayai
mengenai
peraturan-peraturan perundang-undangan yang akan menjadi pedoman untuk tindakan-tindakannya, dimana informasi tersebut diperoleh dari seseorang atau instansi yang dalam kedudukannya
dianggap
memiliki
otoritas
untuk
menjelaskan.193 Pemberi informasi yang dianggap memiliki otoritas tersebut, harus dilihat kasus demi kasus. Pemberi informasi yang dianggap memiliki otoritas tentang peraturan perundang-undangan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut adalah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara termasuk juga Dinas Kehutanan Kabupaten Langkat dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan, terdakwa tidak pernah meminta penerangan kepada instansi tersebut sehingga
193
Ibid., hlm. 140
alasan pemaaf karena adanya sesat fakta (error facti / mistake of facts) tidak tepat diterapkan dalam perkara tersebut. 2) Sesat tentang Hukum (error Juris / mistake of law) Pada dasarnya undang-undang berlaku untuk semua orang, tanpa mempertimbangkan apakah mereka mengenalnya atau tidak. Namun kalau ada seseorang yang tidak mengetahui undang-undang, dan hakim berkeyakinan ada sesat yang dapat dimaafkan, maka pidana tidak dijatuhkan. Pada umumnya hal ini hanya terjadi kalau yang bersangkutan telah menghubungi pejabat
yang
bebas
dan
cukup
berwenang,
sehingga
penerangan tentang peraturan yang berlaku baginya dapat dipercaya. Contoh: Putusan Surat Motor. Pengendara motor telah meminta penerangan kepada pejabat kepolisian setempat tentang surat-surat yang dibutuhkan untuk dapat mengendarai motor di jalan raya. Tapi Polisi tersebut tidak memberikan jawaban dan penerangan yang lengkap tentang syarat-syarat yang harus dimiliki untuk dapat mengendarai motor di jalan raya. Akibat penerangan yang dia dapatkan tidak lengkap, suatu ketika si pengendara ditangkap dan dituduh bersalah tidak melengkapi syarat-syarat untuk dapat mengendarai sepeda motor di jalan raya. Namun hakim menjatuhkan vonis lepas dari tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf (H.R. 22-11-1949)194 dimana si pengendara motor sebelumnya telah meminta penerangan dari instansi kepolisian setempat. Karena informasi yang tidak lengkap dari kepolisian tersebut, ada alasan pemaaf bagi pengendara motor karena adanya sesat hukum (error juris).
194
Ibid., hlm. 71
Pada perkara tindak pidana kehutanan yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, terdakwa tidak pernah meminta penerangan dari orang atau instansi yang memiliki otoritas yaitu Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara termasuk juga Dinas Kehutanan Kabupaten Langkat dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara. Dengan demikian, alasan pemaaf karena adanya sesat tentang hukum (error Juris / mistake of law) bagi terdakwa tidak dapat diterapkan. 3) Kesesatan mengenai kemampuan untuk bertindak sesuai dengan tuntutan Undang-undang (mistake of capacity to act according the law) Alasan pemaaf sebagi dasar peniadaan hukuman atas kesalahan ini diakibatkan oleh adanya ketidakmampuan di luar dirinya yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Pada kesesatan ini dicontohkan mengenai suatu kejadian tabrakan yang terjadi akibat pengemudi secara tiba-tiba pingsan akibat serangan diabetes (HR 24-11-1964)
195
. Pada kesesatan ini si
pengemudi tidak dihukum karena adanya alasan pemaaf (schulduitsluitinggrond). Pada kasus perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, kriteria kesesatan kemampuan ini, sangat berbeda sekali dan tidak bisa diterapkan. b) Penerapan Azas Hukum oleh Hakim Pengadilan Negeri Langkat Undang-undang adalah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan
195
Ibid., hlm. 142
dipelihara oleh penguasa negara. Menurut Buys, undang-undang itu mempunyai dua arti, yakni196: 1) Undang-undang dalam arti formal: ialah setiap keputusan Pemerintah yang merupakan Undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya: dibuat oleh pemerintah bersamasama dengan parlemen) 2) Undang-undang dalam arti material: ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk. Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang adalah diundangkannya dalam Lembaran Negara (LN)197 oleh Menteri Sekretaris Negara. Pada zaman Hindia Belanda Undangundang itu diundangkan dalam Staatsblad (stb.=S). Setelah diundangkan dalam Lembaran Negara, Undang-undang tersebut lalu diumumkan dalam Berita Negara. Tanggal mulai berlakunya suatu undang-undang adalah menurut tanggal yang ditetapkan dalam undang-undang itu sendiri kecuali apabila dalam Undangundang tersebut tidak disebutkan kapan mulai berlakunya, maka undang-undang itu mulai berlaku sejak 30 hari setelah diundangkan dalam Lembaran Negara untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah-daerah lainnya baru berlaku sejak 100 hari setelah diundangkan dalam Lembaran Negara. Sesudah syarat tersebut dipenuhi, maka berlakulah suatu fictie dalam hukum bahwa setiap orang dianggap telah mengetahui adanya sesuatu Undang-undang.198 Tiap orang dianggap mengetahui undangundang, ini suatu fictie yang dianut oleh negara. Jika tidak berpedoman kepada fictie itu, maka kedudukan hukum pidana akan sangat lemah, karena setiap orang akan dapat mengatakan
196
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm.46 197
Lembaran Negara Republik Indonesia adalah sebuah publikasi berkala dengan ikutan penomoran pemuatan yang berisikan mengenai berbagai informasi berkaitan dengan segala bentuk Kebijakan, Pengumunan, Peraturan dan Perundangan yang dikeluarkan oleh Badan, Lembaga atau Pemerintah berketentuan setelah pencatatan dan dipublikasikan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan pemaksaan atas pemberlakuan pada keseluruhan wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Lihat Wikipedia dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaran_Negara, diakses pada tanggal 25 Januari 2010 pukul 11.36 WIB. 198 Ibid., hlm. 47
bahwa ia pada hakekatnya tidak mengetahui undang-undang dan dengan demikian dapat meloloskan diri dari hukuman. Dalam pembuatan undang-undang yang baik, perlu diperhatikan berbagai azas yang mendasari adanya suatu norma hukum. Azas hukum itu sendiri adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Azas itu dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Azas dapat menjadi titik tolak bagi pembentuk undang-undang dan interpretasi bagi undang-undang tersebut.199 Asas-asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan hukum konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Azas menjadi titik tolak bagi pembentuk undangundang dan interpretasi bagi undang-undang tersebut. Azas lebih tinggi daripada hukum yang ditentukan manusia. Salah satu azas hukum yang penting yang harus dijadikan pedoman dalam interpretasi Undang-undang adalah azas eidereen wordt geacht de wette kennen, artinya bahwa setiap orang dianggap mengetahui Undang-undang. 200 Dalam bahasa Latin adagium ini dikenal dengan nemo jus ignorare cerisetur, tiap orang dianggap mengetahui undang-undang.201 Dalam pasal akhir Undangundang, hal ini akan dicantumkan dengan maksud agar setiap orang melakukan perbuatan hukum tidak berdalih belum mengetahui adanya Undang-undang tersebut. Hal ini berarti bahwa jika ada seseorang yang melanggar Undang-undang tersebut tidak dapat membebaskan diri dengan alasan tidak mengetahui adanya undang-undang tersebut. Undang-undang di bidang kehutanan, yang memuat tentang ketentuan pidana terdapat dalam pasal 19 ayat (1), pasal 21 dan pasal 33 juncto pasal 40 Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi sumber Daya alam hayati dan Ekosistemnya sebagaimana telah dicatatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
199
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Cetakan ketiga, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995,
hlm.81 200 201
R.O. Siahaan, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit RAO Press, Cibubur, 2008, hlm.43
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Hlm. 281
Nomor 3419. Kemudian ketentuan pidana dicantumkan dalam dalam Pasal 38 ayat (4) dan Pasal 50 juncto Pasal 78 Undangundang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah dicatatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888. Dalam pasal 45 ketentuan penutup Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi sumber Daya alam hayati dan Ekosistemnya, telah disebutkan mulai berlakunya Undang-undang tersebut adalah sejak tanggal diundangkannya yaitu pada tanggal 10 Agustus 1990. Sejak diundangkannya ketentuan tersebut, maka undang-undang tersebut memiliki daya mengikat bagi seluruh warga negara. Demikian juga daya mengikat Undangundang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang diundangkan pada tanggal 30 September 1999 dan telah dicatatkan dalam Lembaran Negara Nomor 167 tahun 1999. Pertimbangan Majelis hakim Pengadilan Negeri Langkat dalam memutuskan perkara tindak pidana kehutanan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada pokoknya adalah ketidaktahuan terdakwa akan adanya larangan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan.202 Ketidaktahuan terdakwa ini oleh majelis Hakim dipandang sebagai alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan si terdakwa (straftsuitsluitinggronden). Berdasarkan adanya fictie dalam hukum pidana di Indonesia maka alasan ketidaktahuan terdakwa atas peraturan perundangundangan tidak bisa dijadikan sebagai alasan pemaaf bagi terdakwa. Pada saat Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan 202
Putusan Pengadilan Negeri Langkat, Nomor 26/Pid.B/2006/PN Stb,-, tanggal 12 Oktober 2006, hlm.25
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan telah berlaku, kekuatannya telah mengikat seluruh warga negara. Demikian juga dengan adanya azas eidereen wordt geacht de wette kennen yang mendasari semua norma hukum termasuk hukum kehutanan, menjadi panduan umum bahwa ketidaktahuan atas peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan, tidak bisa dijadikan sebagai alasan pemaaf bagi perbuatan tindak pidana kehutanan. Apabila dilihat dari rentang waktu diundangkannya kedua Undang-undang tersebut sampai pada terjadinya tindak pidana kehutanan pada tahun 2005, telah berselang cukup jauh, dan merupakan waktu yang cukup bagi setiap warga negara untuk mengetahui adanya Undang-undang tersebut. c) Budaya Hukum Konsep budaya hukum pertama kali dikemukakan oleh Friedman untuk menyebutkan kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhi bekerjanya hukum di masyarakat, yang berupa elemen-elemen nilai dan sikap mayarakat berhubungan dengan institusi hukum. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh Friedman dalam budaya hukum adalah tuntutan dan permintaan. Namun oleh karena mengalami kesulitan dalam mencari istilah yang tepat untuk unsur tersebut, Friedman lalu memilih istilah kultur hukum. Tuntutan tersebut datangnya dari rakyat atau para pemakai jasa hukum, seperti pengadilan.203 Konsep budaya hukum pada dasarnya mengacu pada pengetahuan publik, sikap dan pola perilaku masyarakat berkaitan dengan sistem hukum. Friedman menelaah budaya hukum dari pelbagai perspektif. Ia menganalisa budaya hukum nasional yang dibedakan dari sub budaya hukum yang berpengaruh secara positip atau negatip terhadap hukum nasional. Friedman membedakan antara budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum dari warga masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti polisi, jaksa, hakim dalam menjalankan tugasnya. Sudah menjadi kenyataan dan tidak bisa dipungkiri bahwa budaya hukum aparat penegak hukum yang telah lama dijangkiti oleh penyakit korupsi, 203
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 154
kolusi dan nepotisme merupakan faktor penyumbang utama kerusakan lingkungan dan hutan. Walaupun kita tidak bisa menyampingkan faktor kemiskinan masyarakat sekitar hutan, faktor budaya hukum penegak hukum merupakan domain factor tidak berfungsinya hukum pidana terhadap tindak pidana kehutanan. Dari hasil penelitian yang dilakukan Environmental Investigation Agency dan Telapak, dijelaskan bahwa: “Although poverty, economic collapse, provincial autonomy and many other factors contribute to forest destruction, these are not at the core of the problem. Forests are being destroyed because Indonesia is one of the most corrupt countries in the world and many in the political, business and military elite are unwilling to surrender the wealth and power that Indonesia’s natural resources have given them”.204 (Walaupun kemiskinan, kehancuran ekonomi, otonomi propinsi dan banyak faktor lainnya berperan dalam perusakan hutan, namun semua itu bukanlah akar permasalahannya. Perusakan hutan terjadi karena Indonesia adalah salah satu negara yang paling korup di dunia, di mana banyak elit politik, bisnis dan militer tidak mau melepas kekayaan dan kekuasaan yang mereka peroleh dari sumber daya alam Indonesia.) Budaya hukum tersebut telah menggerogoti semua sub sistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yang menjadi faktor penyebab sulitnya penegakan hukum atas kasus-kasus tindak pidana di bidang kehutanan. Hal ini selanjutnya dilaporkan dalam hasil penelitian yang sama, bahwa: “Even the United Nations’s special rapporteur on the independence of judges and lawyers, Dato Param Cumaraswamy, commented on his recent visit to Indonesia: “I didn’t realize that the situation could be as bad as what I’ve seen.” Indonesia Corruption Watch’s (ICW) report “Lifting the Lid on the Judicial Mafia” states: “[The] court mafia involves all actors . . . from the police, court administrators, lawyers, prosecutors, to judges and prison guards.” 205 (Bahkan pelapor khusus PBB tentang Independensi hakim dan pengacara, Dato Param Cumaraswamy, berkomentar tentang kunjungannya baru-baru ini di Indonesia: “Saya tidak menyadari bahwa situasinya sampai seburuk yang saya saksikan.” Laporan 204
Environmental Investigation Agency and Telapak, Above The Law, Coruption, Collusion, Nepotism and The Fate of Indonesia’s Forests, ttp., hlm. 1 205
Ibid, hlm. 4
Indonesia Corruption Watch (ICW) “Lifting the Lid on the Judicial Mafia” menyatakan: “Mafia peradilan melibatkan semua aktor . . . dari polisi, administrator peradilan, pengacara, jaksa, hingga hakim dan penjaga penjara.) Budaya hukum internal yang buruk merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kemampuan suatu negara utnuk melindungi lingkungan dan sumber daya alam. Kemampuan melindungi tersebut dalam bentuk kebijakan kriminal baik melalui sarana penal maupun non penal. Semakin buruk budaya hukum internal, semakin rendah pula kemampuan negara untuk mewujudkan perlindungan atas lingkungan dan sumber daya alam. Hasil penelitian yang sama, mengungkapkan bahwa terdapat hubungan jelas antara korupsi dan nasib lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Yale Center for Environmental Law and Policy mengukur 22 faktor kunci yang mengindikasikan kinerja lingkungan sebuah negara, atau Indeks Keberlanjutan Lingkungan (Environmental Sustainability Index = ESI). ESI lalu dibandingkan dengan 67 kriteria mutu kehidupan, seperti mortalitas bayi dan persentase daerah yang dilindungi di suatu negara. Dari ke-67 variabel, korupsi memiliki korelasi tertinggi dengan kinerja lingkungan, yang menunjukkan bahwa negara dengan tingkat korupsi rendah memiliki kemampuan lebih baik dalam mengelola sumber daya alam dan bahwa penegakan hukum merupakan faktor kunci dalam menyokong keberhasilan lingkungan. Hal ini dilaporkan dalam penelitian yang sama, bahwa: “A clear link exists between corruption and the fate of the environment. Pioneering work conducted by the Yale Center for Environmental Law and Policy measured 22 key factors indicating a country’s environmental performance, or Environmental Sustainability Index (ESI). The ESI was compared against 67 quality of life measures, such as infant mortality and percentage of protected land in a country. Of the 67 variables corruption had the highest correlation with environmental performance, showing that countries with low corruption rates
are better able to manage natural resources and that the rule of law is a key factor underpinning environmental success.”206 Budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat pada umumnya, misalnya bagaimana sikap dan pengetahuan masyarakat misalnya terhadap ketentuan perpajakan, hutan lindung
dan
sebagainya. Sebenarnya sejak penetapan kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada tahun 1980, masyarakat sekitar kawasan yang berada di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang telah mengetahui keberadaan hutan larangan di wilayah mereka. Apalagi status kawasan hutan tersebut dari jaman sebelum kemerdekaan Indonesia sudah merupakan hutan milik negara. Masyarakat sekitar kawasan lebih mengenal kawasan hutan tersebut sebagai hutan lindung atau hutan tutupan yang tidak boleh dimasuki.207 Dahulu masyarakat sekitar hutan masih memiliki kearifan ekologis208, berupa budayabudaya tabu yang efektif untuk melindungi lingkungan flora dan fauna tertentu di kawasan hutan Langkat Timur Laut. Budaya-budaya tabu ini menjadi kearifan ekologis
yang
mendukung keselamatan dan
kelestarian lingkungan dan sumber daya alam hayati yang ada di sekitar desa. Bahkan masyarakat sekitar pantai seperti di Kuala Besar dan Jaring Alus, Tapak Kuda yang mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan 206
masih
menyelenggarakan
ritual-ritual
tertentu
untuk
Ibid., hlm. 5
207
Wawancara dengan Sutejo, tokoh masyarakat Desa Karang Gading, di Asam Kumbang, Karang Gading, tanggal 15 Desember 2009, pukul 14.00 WIB. 208
Nilai kearifan ekologis adalah nilai kearifan lingkungan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan; bagaimana hubungan-hubungan (yang sebaiknya tercipta) antara manusia (masyarakat) dengan lingkungan alamnya. Pada dasarnya kearifan lingkungan itu merupakan hasil pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Almanak Lingkungan Hidup Indonesia, dikutip dari Saifullah, Hukum Lingkungan, Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Cetakan I, Penerbit UIN Malang Press, Malang, 2007, hlm. 314
keselamatan bersama dan meminta kemurahan alam untuk memberikan rejeki dan penghidupan kepada masyarakat. Masyarakat tradisional secara emosional memiliki keterikatan dengan nilai-nilai pantangan sebelum melakukan eksplorasi terhadap alam sekitarnya. Namun pada sekarang ini tidak ada lagi upacara tradisional dan nilai tabu yang secara langsung bersentuhan dengan kelestarian hutan. Hal ini tercermin dari pernyataan informan yang tidak tahu menahu tentang nilai-nilai tabu yang ada di masyarakatnya. Perilaku masyarakat untuk berpantang melakukan sesuatu karena terkait dengan nilai-nilai tabu, hampir tidak dikenal lagi. Hutan larangan, wilayah–wilayah yang dikeramatkan, pohon-pohon yang dikeramatkan, tampaknya sudah bukan menjadi wacana masyarakat desa di sekitar hutan lagi. Berkurangnya perhatian masyarakat terhadap bentuk kegiatan ritual tradisional serta nilai-nilai tabu tersebut tampaknya banyak dipengaruhi oleh meningkatnya rasionalitas masyarakat terhadap berbagai fenomena alam yang terjadi. Di samping itu, perkembangan teknologi yang melahirkan berbagai bentuk peralatan dan mesin-mesin pemotong kayu maupun gergaji modern, senapan berburu, serta alat transportasi yang cepat dan lancar, telah membantu masyarakat dari berbagai kesulitan dan tantangan alam. Nilai budaya masyarakat tradisional yang biasanya tunduk kepada alam telah begeser kepada nilai-nilai yang menaklukkan alam dengan tersedianya peralatan teknologi modern. Namun tidak jarang bahwa masyarakat (khususnya masyarakat kecil yang hidup di sekitar hutan) menjadi alat atau kepanjangan tangan dari para pengusaha hutan untuk melakukan penebangan liar dan perambahan hutan. Kondisi yang demikian sangat didukung oleh faktor kemiskinan dan kurangnya kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Kondisi kehidupan sehari-hari yang selalu dalam keterbatasan mengakibatkan budaya hukum masyarakat yang dulunya sangat menghormati peraturan yang dibuat oleh Pemerintah menjadi
luntur dan cenderung menjadi budaya pragmatis memperoleh
hasil
dengan
cepat.
Mentalitas
suka
yang ingin menerabas
sebagaimana yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto merupakan sikap masyarakat sebagai akibat keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kehidupan tingkat dasar. Perubahan budaya hukum masyarakat terutama masyarakat sekitar hutan didukung oleh faktor budaya paternalistik yang berkembang di Indonesia sehingga tampilnya pilihan sikap dari masyarakat yang menjadikan sikap pemimpin masyarakat menjadi patron terhadap pilihan sikap masyarakat. Dalam budaya paternalistik terkandung paham bapakisme yang meletakkan bapak (pemerintah) sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan materil serta emosional antara bapak dan anak (clan) dan anak dijadikan tulang punggung yang setia kepada bapak, membantu terselenggranya upacara-upacara keluarga dan
bahkan bersedia
mempertaruhkan jiwa demi kepentingan bapak yang harus dihormati, ditaati dan pantang ditentang.209 Hal ini misalnya terjadi pada pilihan sikap masyarakat yang beralih dari budaya taat hukum menjadi budaya pragmatis setelah melihat sikap pemimpin mereka dalam masyarakat. Kasus perambahan hutan yang terjadi dimulai dari tindakan Kepala desa yang menjual kawasan hutan kepada pemilik modal dengan mengatasnamakan kelompok masyarakat warga desanya. Cara-cara seperti ini terjadi pada semua kasus perambahan hutan yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut.210 Budaya hukum juga dapat terbentuk dari ketidakefektifan hukum baik dari formulasinya maupun kelemahan penegakan hukumnya. Ketidakefektifan hukum menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi 209
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum untuk Independensi Lembaga Peradilan, artikel pada Jurnal Hukum FH-UII, No. 9, Volume 4, 1997, hlm. 30-31 210
Wawancara dengan M. Nur, Kepala Resor KSDA Langkat Timur Laut II di Pematang Sentang, tanggal 11 Desember 2009, pukul 14.25 WIB.
internalisasi budaya hukum masyarakat. Pada saat hukum dapat ditegakkan dengan efektif dengan aparat yang profesional, budaya hukum yang terbentuk adalah perubahan perilaku masyarakat menjadi perilaku budaya taat hukum. Penegakan hukum merupakan faktor penyebab perubahan sikap dan budaya hukum masyarakat. Dalil yang sama dikemukakan oleh Craig Segall, bahwa: “This attention to motivation and belief sheds light on the Cardenas results. We can now see that a poorly designed state law, with limited enforcement, initially changes behavioral beliefs: A person might believe that others will behave in conformity with the law. In the absence of enforcement, however, individual behavior soon turns largely on internalized beliefs about the value of the forests and of obeying the law. As some individuals begin to exceed the law's quotas, the behavioral beliefs of members of the community shift; many now anticipate that other people will break the law. This widespread lawbreaking in turn does violence to internalized beliefs; as others benefit from the forest cutting (even at the expense of community well-being), personal norms come under the stress of potential profit.” 211 (Perhatian ini mendukung dan meyakini sorotan pada hasil Cardenas. Sekarang ini kita dapat melihat bahwa negara hukum yang dirancang dengan buruk, dan dengan penegakan hukum yang terbatas, pada awalnya ada perubahan keyakinan atas perilaku: Seseorang mungkin percaya bahwa orang lain akan berperilaku sesuai dengan hukum. Dengan tidak adanya penegakan hukum, bagaimanapun, perilaku individu segera berubah terutama pada keyakinan-keyakinan yang diinternalisasi tentang nilai hutan dan kepatuhan akan hukum. Sejumlah individu akan bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam hukum, terjadi pergeseran keyakinan perilaku anggota masyarakat; sekarang banyak yang mengharapkan bahwa orang lain akan melanggar hukum. Pengaruh yang meluas dari pelanggaran hukum tersebut adalah pembenaran atas kekerasan yang diinternalisasikan ke dalam kepercayaan; manfaat yang lain dari penggundulan hutan (bahkan dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat), norma-norma pribadi berada di bawah kepentingan untuk meraih keuntungan)
Hal yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cardenas, bahwa dalam kondisi buruknya formulasi Undang-undang, lemahnya penegakan hukum merupakan awal dari perubahan keyakinan atas perilaku. Dalam kondisi tidak adanya penegakan hukum bagaimanapun perilaku individu segera berubah dan menginternalisasi nilai-nilai keyakinan tentang hutan dan kepatuhan akan hukum. Di samping itu, budaya hukum seseorang akan diinternalisasi melalui perilaku individu yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti jauh tidaknya dari jangkauan kontrol sosial baik formal maupun informal termasuk adanya godaan dan provokasi dari pelaku tindak pidana yang tidak
211
Craig Segall, The Forestry Crisis as a Crisis of the Rule of Law, artikel pada Stanford Law Review, March, 2006, hlm. 6
diganjar dengan hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Per-Olof H.
Wikström,
bahwa:
"Communities vary in environmental conditions
conducive to crime, including their levels of formal and informal social controls and, partly related to that, their levels of temptations and provocations." 212 Untuk merubah budaya hukum masyarakat sekitar hutan terhadap penegakan hukum di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati, ke depannya harus dilakukan upaya-upaya yang berdasarkan kajian antropologik masyarakat sekitar hutan dengan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang mendukung kelestarian dan keselamatan lingkungan dan sumber daya alam hayati. Di samping itu, fungsionalisasi hukum pidana sebagai pembuat efek jera dapat dilakukan dengan menegakkan hukum pidana terhadap aktor pelaku penjualan kawasan hutan kepada pemilik modal.
2. Kebijakan Kriminal (criminal policy) Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perambahan Hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut (ius constituendum) Untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, penulis akan mengkaji berdasarkan kerangka pemikiran dari Lawrence M. Friedman yang melihat 212
Per-Olof H. Wikström dikutip dari Adam Benforado, “The Geography of Criminal Law”, article in Cardozo Law Review January, Yeshiva University, 2010, hlm. 11.
adanya tiga komponen yang berpengaruh terhadap penegakan hukum yaitu komponen substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Komponen substansi hukum berkaitan dengan ketentuan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan hutan di suaka margasatwa termasuk formalisasi tindak pidana dan ketentuan pidananya. Komponen ini merupakan
bagian
dari penal
policy
yang
dimaksudkan
untuk
menanggulangi tindak pidana perambahan hutan. Sedangkan komponen struktur hukum dan budaya hukum berkaitan dengan upaya-upaya yang termasuk dalam non penal policy yang dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Integrasi upaya penal dan non penal ini sejalan dengan telaah teori kebijakan kriminal seperti yang dikemukakan oleh G.P. Hoefnagels bahwa upaya penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui pendekatan integral antara upaya penal dan non penal. Mengingat adanya keterbatasan sarana kebijakan penal, maka apabila dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis untuk menanggulangi kejahatan adalah melalui sarana non penal. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Oleh karena itu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan upaya-upaya non penal tersebut dengan upaya penal sebagai bagian dari penanggulangan kejahatan. Kedua upaya ini harus dijalankan secara harmonis untuk dapat mencapai tujuan pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang merupakan bagian dari kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy). Walaupun sebenarnya tujuan dari upaya non penal ini adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu seperti peningkatan kesadaran hukum masyarakat, peningkatan kualitas aparat penegak hukum, perbaikan kordinasi lintas sektoral sesama penegak hukum sampai pada penguatan organisasi pada institusi pengelola hutan,
secara tidak langsung upaya ini akan berpengaruh preventif terhadap kemungkinan terjadinya tindak pidana di bidang kehutanan. Upaya penanggulangan kejahatan ini akan dikaji sebagai berikut: a) Substansi Berdasarkan
berbagai
hasil
Kongres
Internasional
yang
diprakarsai oleh PBB, maka seharusnya perlu adanya wadah bagi ADR (Alternative Dispute Resolution) dalam formulasi Undang-undang sektoral Kehutanan. Apabila merujuk kepada Keputusan Kongres PBB ke-9 tahun 1995, yang menyatakan bahwa ADR seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum pidana, misalnya perkaraperkara pidana yang mengandung unsur fraud dan white collar crime atau apabila terdakwanya adalah korporasi/ badan usaha. Ditegaskan pula bahwa apabila terdakwanya adalah korporasi atau badan usaha, maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya tidaklah menjatuhkan pidana, akan tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan (recidive). Pernyataan ini sangat tepat diterapkan pada kasus-kasus tindak pidana kehutanan yang pelakunya adalah korporasi. Namun penerapan alternatif jalur mediasi ini harus mempertimbangkan kualitas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Terhadap tindak pidana kehutanan yang telah mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kesalahan pelaku dipandang berat, akibat perbuatan dipandang besar, perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat, maka terhadap tindak pidana tersebut harus difungsikan hukum pidana. Salah satu kesulitan dalam menerapkan ketentuan pidana perambahan hutan dalam undang-undang bidang kehutanan adalah formulasi delik materil seperti terdapat dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maupun pasal
50 ayat (2) Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Formulasi delik materil ini akan menyulitkan pembuktian baik pada tingkat penyidikan maupun peradilan. Untuk itu formulasi tindak pidana kehutanan dalam Undang-undang bidang Kehutanan sebaiknya dirumuskan dalam delik formil yang memudahkan untuk proses penyidikan maupun proses peradilan dan tidak menimbulkan multitafsir pasal-pasalnya. Kesulitan lain untuk menerapkan ketentuan pidana dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maupun ketentuan pidana dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah formulasi ancaman pidana dan denda maksimum akan tetapi tidak mengatur tentang ancaman pidana dan denda minimum. Hal ini mengakibatkan kecenderungan penuntutan ancaman pidana dan denda yang rendah oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap tindak pidana kehutanan. Kasus tindak pidana kehutanan yang terjadi di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada tahun 2005, ketiganya dituntut dengan tuntutan yang rendah dari Jaksa Penuntut Umum. Selengkapnya ancaman tersebut dapat dilihat dari tabel 12 berikut ini:
Tabel 12 Ancaman hukuman tindak pidana kehutanan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 dan Tuntutan Hukuman oleh Jaksa Penuntut Umum
Ancaman Hukuman Jenis Tindak Pidana
Putusan Perkara
Ketentuan Pidana
Tuntutan Jaksa
dalam pasal 40 UU
Penuntut Umum
No. 5 tahun 1990 Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
Putusan No.26/Pid.B/ 2006/PN Stb.-
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
Pidana penjara 1 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan sementara dan
(pasal 19 ayat (1) UU No.5 tahun 1990)
(pasal 40 ayat (1) UU
denda sebesar Rp.
No.5 tahun 1990)
30.000.000,00 (tigapuluh juta rupiah) subsidair 3 bulan kurungan
melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
Putusan No. 374/Pid.B/ 2006/PN.Stb.
Pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan pidana denda sebesar Rp.
(pasal 40 ayat (2) UU No.5 tahun 1990)
(pasal 33 ayat (3) UU No.5 tahun 1990) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. (pasal 19 ayat (1) UU No.5 tahun 1990)
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
10.000.000,(sepuluh juta rupiah)
Putusan No.222/PID.B /2006/PN Stb
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (pasal 40 ayat (1) UU
Pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)
No.5 tahun 1990)
Jika dibandingkan dengan ancaman hukuman maksimal dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan, tuntutan Jaksa Penuntut Umum masih sangat rendah. Hal tersebut diakibatkan oleh karena tidak adanya ketentuan ancaman minimal yang disyaratkan dalam Undang-undang. Putusan Majelis hakim yang mengadili ketiga perkara tersebut akhirnya menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging) bagi ketiga terdakwa. Ancaman hukuman yang dituntut
oleh
jaksa
Penuntut
Umum,
pada
dasarnya
sangat
mempengaruhi putusan hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim. Korelasi ini secara cermat diteliti oleh Yusti Probowati Rahayu dalam suatu penelitian bahwa tuntutan (rekuisitur) Jaksa akan mempengaruhi Hakim dalam menjatuhkan hukuman, semakin tinggi rekuisitur Jaksa, semakin tinggi pula hukuman yang akan dijatuhkan oleh Hakim 213. Hal yang sama disampaikan oleh Ade Sumitra Hadisurya, SH.,M.Hum., bahwa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum akan berpengaruh pada penilaian urgensinya perkara dan sanksi yang akan dijatuhkan oleh Hakim
214
. Urgensinya perkara juga dipengaruhi oleh budaya hukum
dan besarnya perhatian masyarakat atas perkara tersebut. Selama ini perhatian publik terhadap tindak pidana kehutanan selalu tersedot pada tindak pidana illegal logging (penebangan liar) yang secara nyata dapat dinilai kerugian ekonomis yang ditimbulkannya. Tindak pidana illegal logging ini cenderung lebih menyedot perhatian masyarakat dan media massa
yang
mengakibatkan
perhatian
penegak
hukum
dalam
penanganan masalah ini menjadi lebih serius dan hati-hati. Misalnya saja kasus illegal logging di Propinsi Sumatera Utara yang melibatkan Adelin Lis yang telah menyedot perhatian masyarakat dan media massa nasional
dan
bahkan
melibatkan
kerjasama
interpol
untuk
menangkapnya. Sementara itu tindak pidana perambahan hutan yang 213 214
Yusi Probowati Rahayu, Ibid.
Wawancara dengan Ade Sumitra Hadisurya, SH, M.Hum., Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat di gedung Pengadilan Negeri Stabat, tanggal 9 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.
terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, nyaris tidak mendapat perhatian dari publik dan media massa. Hal ini diakibatkan oleh keuntungan ekonomis jangka pendek yang diperoleh oleh si pelaku tidak sebesar keuntungan yang diperoleh dari kegiatan illegal logging. Tindak pidana perambahan hutan mangrove bukan perbuatan yang dapat memperoleh keuntungan ekonomis yang besar dengan cepat karena kayu bakau bukan merupakan kayu yang bernilai ekonomis tinggi. Karena tidak mendapat perhatian dari masyarakat dan media massa, penanganan kasus perambahan ini menjadi tidak serius karena urgensinya yang rendah. Preposisi ini misalnya terjadi dengan jatuhnya vonis lepas dari segala tuntutan hukum pada tiga perkara perambahan yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum jauh dari ancaman hukuman yang terdapat dalam Undang-undang. Rendahnya rekuisitur Jaksa Penuntut Umum diakibatkan oleh tidak adanya ketentuan ancaman hukuman minimum yang terdapat dalam Undang-undang di bidang kehutanan. Oleh karenanya dalam undang-undang di bidang kehutanan sebaiknya memuat ketentuan yang tidak hanya mengatur ancaman maksimal, namun juga mencantumkan ancaman minimal hukuman. b) Struktural 1) Peran Penegak Hukum Untuk mewujudkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan hutan diperlukan fungsionalisasi hukum pidana baik dengan menggunakan sarana hukum materil215, hukum formil216
215
Hukum pidana materil memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat-syarat tentang bilamana sesorang itu dapat dihukum, penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukumanhukumannya sendiri; jadi ia menentukan tentang bila mana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman itu dapat dijatuhan. Lihat P.A.F. Lamintang, DasarDasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.11
maupun pelaksana pidana (dalam hal ini adalah aparat penegak hukum). Aparat penegak hukum dalam tindak pidana kehutanan terdiri
dari
Kepolisian,
Kejaksaan,
Pengadilan,
Lembaga
Pemasyarakatan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. Aparat penegak hukum berfungsi untuk mengoperasionalkan hukum. Hukum tidak dapat bekerja atas kekuatannya sendiri, melainkan hukum hanya akan dapat difungsikan/dioperasionalkan melalui manusia. Manusialah yang menciptakan hukum, tapi juga untuk pelaksanaan hukum yang telah dibuat itu masih diperlukan adanya beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan hukum itu dapat difungsikan. Sebaik apapun hukum yang dihasilkan, jika tidak ada aparat penegak hukum yang memadai untuk mengoperasionalkan hukum tersebut, maka sia-sialah para pembuat undang-undang menciptakan hukum tersebut. Bahkan Taverne, seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda pernah menyatakan Geef me goede Rechters, goede Rechters Commissarissen, goede Officieren Van Justitie en goede Politie Ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboet van straftprocesrecht goed bereiken (berikan saya hakim yang baik, hakim pengawas yang baik, jaksa yang baik dan polisi yang baik, maka penegakan hukum akan berjalan walaupun dengan hukum pidana yang lemah).217 Inti dari penegakan hukum pidana adalah kesiapan
dan
kemampuan
lembaga
penegak
hukum
untuk
mengoperasionalkan hukum pidana. Untuk menegakkan hukum diperlukan aparatur yang khusus ditugaskan untuk itu dan memiliki kewenangan memaksa yang dilindungi oleh Undang-undang. Hal ini 216
Hukum pidana formil mengatur bagaimana caranya negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian ia memuat acara pidana, Lihat P.A.F Lamintang, ibid. 217
Suer Suryadi, Penegakan Hukum di TNGL (Bukan) Basa Basi dalam http://www.gunungleuser.or.id/artikel/Penegakan%20Hukum%20TNGL,%20%28bukan%29%20 Basa-basi_1.pdf, diakses pada tanggal 28 Januari 2010 pukul 12.48 WIB.
sejalan dengan kerangka pemikiran Max Weber sebagaimana terdapat dalam buku Economy and Society bahwa: “This result is consonant with Max Weber's analysis of the interrelationship between norms, conventions, customs, and laws. In Weber's framework, a law is an order backed by a "coercive apparatus"--the presence of persons whose "special task it is . . . to apply specially provided means of coercion . . . for the purposes of norm enforcement."218 (Hasil ini sejalan dengan analisis Max Weber tentang keterkaitan antara norma-norma, konvensi, adat, dan hukum. Dalam kerangka pemikiran Weber, hukum adalah perintah yang didukung oleh aparatur yang memiliki kewenangan memaksa yang ditugaskan khusus untuk itu..untuk menerapkan cara khusus berupa paksaan....untuk tujuan penegakan norma.) Pada proses penyidikan tindak pidana kehutanan secara tegas telah diatur dalam pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kemudian dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu meliputi Pejabat Pegawai Negeri Sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan. Dalam penanganan tindak pidana kehutanan di samping Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan tersebut, dikenal juga Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut yang memiliki kewenangan menyidik sesuai dengan penjelasan pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana219, namun terbatas dalam lingkup perairan Indonesia, Zona Tambahan, Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Untuk menangani tindak pidana kehutanan yang terjadi di laut, Kementrian Kehutanan Republik Indonesia telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan TNI Angkatan Laut melalui perjanjian kerjasama Nomor 1341/DJIV/LH/2001 dan Nomor TNI AL:R/766/XII/01/SOPS tentang 218
Max Weber, Economy and Society dalam Craig Segall, “The Forestry Crisis as a Crisis of the Rule of Law”, artikel pada Stanford Law Review, March, 2006, hlm. 5. 219
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Lembaran negara No.36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258
penyelenggaraan Operasi Wanabahari 220. Dalam pasal 2 huruf a perjanjian kerjasama tersebut dinyatakan bahwa Operasi Wanabahari bertujuan untuk “mengatur operasi penegakan hukum secara bersama-sama mulai dari penyelidikan, penyidikan dan proses justisia terhadap para pelanggar kejahatan kehutanan yang dilakukan di dan atau lewat laut.” Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam melaksanakan tugasnya memiliki kewenangan yang diatur dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa: Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk: (a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;(b) melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (c) memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; (d) melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (e) meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (f) menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; (g) membuat dan menanda-tangani berita acara; (h) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Ketentuan dalam pasal 77 ayat (2) tersebut merupakan implementasi dari ketentuan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menentukan bahwa wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam undang-undang yang menjadi dasar 220
Perjanjian Kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut No. 1341/DJ-IV/LH/2001 dan No. TNI AL: R/766/XII/01/SOPS tanggal 27 Desember 2001, tentang Penyelenggaraan Operasi Wanabahari
hukumnya masing-masing. Dalam melaksanakan tugas-tugas penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil berada di bawah kordinasi dan pengawasan Penyidik Polri. Pada pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, diatur bahwa Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dari bunyi pasal 77 ayat (3) tersebut seolah-olah bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dapat langsung menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum. Namun masih ada ketentuan lanjut yang mengatur mekanisme penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan yang terdapat dalam penjelasan pasal 77 ayat (3) tersebut yang menyebutkan bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik Polri, dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik Polri. Kemudian ditegaskan lagi oleh Makamah Agung Republik Indonesia dengan mengeluarkan fatwa mengenai tata cara penyerahan berkas perkara oleh Penyidik Pegawai Negri Sipil kepada penyidik Polri dalam fatwa Mahkamah Agung Nomor KMA/114/IV/1990 tanggal 7 April 1990 yang berbunyi: Baik terhadap tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil tesebut selesai melakukan penyidikannya harus menyerahkan hasil penyidikannya secara nyata kepada Penyidik Polri, barulah setelah itu penyidik Polri menyerahkan hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil berkas perkara kepada Penuntut Umum. Dengan demikian, maka menurut Mahkamah Agung semua perkara yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, hasil penyidikannya diserahkan kepada Penyidik Polri terlebih dahulu, baru kemudian diserahkan kepada Penuntut Umum untuk selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan.221 Apabila dilihat mekanisme tata hubungan antara Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan yang demikian, menurut Ratih Candradewi dan Wulan Pratiwi menyebabkan proses pelimpahan berkas perkara menjadi kurang efektif. Selain itu ketika berkas perkara sudah sampai di tangan penuntut umum, pasal 138 221
A. Hariadi, Beberapa Permasalahan di Bidang Penyidikan, Himpunan Karya Tulis Bidang Penyidikan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Azasi manusia, Jakarta, 1998, hlm.59.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana222 memberi peluang bagi Penuntut Umum untuk mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, jika dianggap belum cukup untuk dapat diajukan ke persidangan. Pengembalian berkas tersebut disertai dengan petunjukpetunjuk untuk melengkapi, namun sayangnya Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana tidak mengatur sampai berapa kali proses ini boleh berlangsung. Hal ini juga merupakan kendala, karenanya harus ada kordinasi yang baik antara Penuntut Umum, Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil 223. Mengenai mekanisme penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah sejak lama dipersoalkan. Dengan ketentuan yang sekarang berlangsung ada anggapan bahwa proses penyerahan berkas penyidikan melalui penyidik Polri justru memperlambat proses penanganan perkara sebagai akibat bertambahnya panjang birokrasi yang harus dilalui. Kondisi tersebut bertentangan dengan prinsip penegakan hukum pidana yang cepat, sederhana, dan dengan biaya yang relatif murah. Dengan memberikan kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk menyerahkan hasil penyidikannya langsung kepada Kejaksaan, akan menyingkat mata rantai birokrasi dan mempercepat penyelesaian kasus yang dihadapi.224 Dalam praktek penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil sekarang ini salah satu permasalahan yang dihadapi adalah kesulitan untuk menghubungi Penyidik Polri dalam rangka penyerahan berkas perkara tahap I dan tahap II ke Kejaksaan karena harus terlebih dahulu mendapat surat pengantar dari Penyidik Polri. Kesulitan akan semakin nyata manakala Penyidik Pegawai Negeri Sipil akan melakukan penahanan. Tanpa adanya rekomendasi dari penyidik Polri, penahanan tidak akan pernah dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Pengecualian terdapat dalam Undang-undang Nomor 222
Pasal 138 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), selengkapnya berbunyi: (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. 223
Ratih Candradewi dan Wulan Pratiwi, “Kajian Penanganan Tindak Pidana Illegal Logging dan Perdagangan Hidupan Liar”, Buletin LEBAH, Volume 2 Nomor 2 Oktober, Institut Hukum Sumber Daya Alam, Jakarta, 2003 224
Nommy H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi kedua, Erlangga, Jakarta, 2004, hlm. 361-362
10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dalam Undang-undang Kepabeanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat melakukan penahanan tanpa harus mendapat rekomendasi dari penyidik Polri.225 Hasil wawancara dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan di Balai Besar KSDA Sumatera Utara, bahwa kordinasi yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dengan Penyidik Polri pada saat ini sudah cukup efektif dan berlangsung dengan baik. Dalam penyidikan perkara tindak pidana kehutanan mereka jarang menemukan kesulitan dalam kordinasi penanganan perkara dan justru mendapat masukan pengetahuan penyidikan dari penyidik Polri. Di samping itu penahanan tersangka pelaku tindak pidana kehutanan dapat dilakukan di tahanan Polda Sumatera Utara melalui kordinasi dengan Penyidik Polri. Pemeriksaan tersangka juga dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan di ruang pemeriksan Polda Sumatera Utara. Kesulitan yang semata-mata dihadapi dalam kordinasi dengan penyidik Polri adalah panjangnya birokrasi yang harus dilalui misalnya dalam pembuatan surat pengantar berkas pemeriksaan ke Kejaksaan.226 Di samping itu juga, Penyidik Pegawai Negeri Sipil menjadi sangat terikat pada posedur tetap organisasi Polri, walaupun sebenarnya kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sederajat dengan Penyidik Polri sesuai dengan pasal 6 KUHAP. Apabila nantinya KUHAP yang baru telah diundangkan, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat langsung menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan pasal 8 ayat (2) RUU KUHAP.227 Namun dengan adanya penyederhanaan birokrasi tersebut, dan pemberian kewenangan penyerahan berkas perkara kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil, harus diikuti dengan peningkatan kemampuan dan profesionalisme Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar kewenangannya. 225
Pasal 112 ayat (2) huruf d Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan selengkapnya berbunyi: Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) karena kewajibannya berwenang :(d). melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan; 226
Wawancara dengan Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Sumatera Utara, tanggal 14 Desember 2009, pukul 13.00 WIB. 227
Rancangan Undang-undang KUHAP bulan Nopember 2006.
2) Kualitas Aparat Penegak Hukum di Bidang Kehutanan Terdapat sejumlah ketentuan-ketentuan dalam undang-undang di bidang kehutanan yang sulit untuk diterapkan. Beberapa tindak pidana kehutanan yang terdapat dalam undang-undang bidang kehutanan
merupakan
delik
materil
yang
pembuktiannya
memerlukan keahlian khusus bagi penyidik. Kesulitan penerapan ketentuan tersebut diakibatkan oleh kapasitas aparat penegak hukum yang belum memadai untuk dapat membuktikan telah terjadinya tindak pidana kehutanan. Menurut Mas Achmad Santosa, masalah pemahaman aparat
terhadap undang-undang
dan
bagaimana
menerapkannya atau ketentuan pasal apa yang harus diterapkan terhadap suatu pelanggaran menjadi suatu masalah krusial yang mengemuka Indonesia.
dalam
upaya
penegakan
hukum
kehutanan
di
228
Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui kebijakan untuk meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum di bidang kehutanan mulai dari Penyidik, Jaksa maupun Hakim melalui pendidikan
dan
pelatihan
tertentu
tentang
bagaimana
mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum dalam bidang kehutanan. Institusi Kehakiman di Indonesia telah memulai kebijakan ini dengan menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan bagi hakim mengenai implementasi hukum lingkungan dan kehutanan di Australia.229 Langkah ini merupakan upaya penting yang dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk meningkatkan kualitas dan kapabilitas hakim Indonesia dalam penanganan tindak pidana di 228
Mas Achmad Santosa, Penguatan Penegakan Hukum atas Illegal Logging, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, Jakarta, 29-30 November 2007 229
Wawancara dengan Edy Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, pada tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.
bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Seharusnya penyidik di bidang lingkungan hidup dan kehutanan baik dari Penyidik Polri maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil memperoleh kesempatan yang sama untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan penyidikan. Kemudian upaya lain yang harus dilakukan adalah dengan menerapkan
seleksi
kemampuan
dan
pemahaman
terhadap
permasalahan hukum kehutanan bagi kepolisian ataupun instansi terkait lainnya, yang akan melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kehutanan. Selama ini penetapan Majelis Hakim yang akan mengadili tindak pidana Kehutanan maupun lingkungan hidup tidak ada kriteria tersendiri berdasarkan kompetensi pemahaman terhadap permasalahan hukum kehutanan.230 Tentunya hal tersebut akan mengakibatkan tidak berperannya hati nurani sang hakim ketika menjatuhkan putusannya. Sebenarnya apabila dilihat dari kuantitasnya, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara sebagai pengelola kawasan konservasi di Propinsi Sumatera Utara termasuk Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, sekarang ini telah memiliki kekuatan sumber daya manusia/aparatur dengan latar belakang pendidikan yang beragam. Namun dari segi kualitas masih belum optimal yang dapat dilihat dari tingkat pengetahuan, kemampuan dan pengalaman dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang belum efektif dan efisien, termasuk dalam penanganan gangguan terhadap ekosistem mangrove yang berada di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Aparatur yang berpendidikan Strata 2 (S2) ada sebanyak dua orang, Strata 1 (S1) sebanyak empat
230
Wawancara dengan Edy Wibowo, SH, MH, Hakim pada Pengadilan Negeri Langkat di Stabat, tanggal 10 Desember 2009, pukul 10.00 WIB.
puluh satu orang, Sarjana Muda tiga orang dan SLTA sebanyak seratus tujuh puluh empat orang. Kondisi yang demikian belum menjamin terhadap pembangunan sumber daya manusia aparatur yang profesional ditambah lagi dengan kondisi bahwa belum semua aparatur mengikuti berbagai program pendidikan dan pelatihan baik teknis maupun manajerial di bidang konservasi sumber daya alam.231 Hasil penelusuran yang dilakukan oleh Penulis, bahwa pada persidangan tiga perkara perambahan hutan yang terjadi di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada tahun 2005, keseluruhan saksi yang berasal dari Balai KSDA Sumatera Utara I (pada saat itu), dalam kesaksiannya mengatakan bahwa tidak pernah mengetahui adanya batas-batas kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut. Kesaksian tersebut disampaikan oleh petugas resor konservasi kawasan maupun Kepala seksi konservasi wilayah yang akhirnya dijadikan Hakim sebagai bahan pertimbangan terhadap ketidaktahuan terdakwa atas status kawasan yang disengketakan. Hasil penelitian yang dilakukan penulis, bahwa sebenarnya penataan kawasan ini telah dilakukan pertama kali pada tahun 1934 (satu tahun lebih awal dari dikeluarkannya ZB Nomor 138) seluas 15.765 hektar, dengan berita Acara tata batas tanggal 14 Juni 1934 dan Berita acara tanggal 3 Juli 1934. Pada tahun 1984 sebagian batas kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yakni yang berbatasan dengan daratan telah direkonstruksi oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah I Medan sepanjang 25 km. Dan selanjutnya pada tahun 1998 direkonstruksi kembali oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Pematang Siantar dan temu gelang sepanjang 74,78 km.232 Hal ini juga disampaikan oleh Musriadi Alfi, salah seorang anggota tim rekonstruksi batas kawasan pada tahun 1998, yang berdasarkan pengakuannya bahwa rekonstruksi batas kawasan telah dilakukan dari batas kawasan di daratan sampai ke pantai Selat Malaka yang merupakan batas alam 231
Djati Witjaksono Hadi, Membangun SDM Aparatur Yang Profesional Pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Dalam Penanggulangan Ancaman Terhadap Kerusakan Ekosistem Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut, Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP2), Lembaga Administrasi Negara, Program Diklatpim Tingkat II Angkatan XXV, Jakarta, 2009, hlm. 5 232
Dulhadi, “Hutan Mangrove Kabupaten Langkat Masalah dan Upaya Pengelolaannya (Khusus SM. Karang Gading dan Langkat Timur Laut)”, dalam Seminar Regional Strategi Penanganan Hutan Mangrove di Propinsi Sumatera Utara, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, Medan, 5 Agustus 2000, hlm.3
kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut dengan menanam patok batas berupa tiang beton.233 Tidak terungkapnya fakta-fakta yuridis tersebut dalam sidang pengadilan sebagai akibat ketidaktahuan petugas Balai KSDA Sumatera Utara I (pada saat itu) mengakibatkan batas yurisdiksi kawasan di depan hukum menjadi sangat lemah dan menjadi bahan pertimbangan bagi hakim untuk menjatuhkan vonis lepas dari segala tuntutan hukum bagi terdakwa dengan adanya dasar penghapusan kesalahan berupa alasan pemaaf (schulduitsluitinggronden). 3) Penyederhanaan Birokrasi Lintas Sektoral terhadap Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan Kesulitan mengimplementasikan pengertian “kordinasi dan pengawasan” antara Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil seperti yang disebutkan dalam KUHAP, selama ini sering menjadi kendala pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik PNS. Tidak secara tegas dijelaskan bagaimana bentuk dan mekanisme kordinasi dan pengawasan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar instansi penegak hukum, khususnya Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Hal yang sama diungkapkan oleh Mas Achmad Santosa yang mengatakan bahwa lemahnya kordinasi antar aparat penegak hukum menjadi salah satu kendala penegakan hukum kehutanan di Indonesia.234 Dari pihak Penyidik Polri sendiri dapat diidentifikasi kendala
yang
menghambat
pembinaan
dan
kordinasi
dan
pengawasan Penyidik PNS, yaitu: a) Kurangnya kesadaran bahwa tugas Polri disamping tugas penyidikan adalah juga kordinasi dan pengawasan Penyidik PNS.
233
Wawancara dengan Musriadi Alfi, Polisi Kehutanan pada Balai Besar KSDA Sumatera Utara, di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul, tanggal 7 Desember 2009, pukul 09.13 WIB. 234
Mas Achmad Santosa, Penguatan Penegakan Hukum atas Illegal Logging, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, Jakarta, 29-30 November 2007
b) Di beberapa wilayah masih terdapat adanya kekosongan jabatan di bidang Korwas. c) Kurang disadari bahwa keberhasilan Penyidik PNS adalah keberhasilan Polri terhadap tugas penegakan hukum dan data kriminal nasional. d) Belum disadari bahwa Penyidik PNS adalah asset Polri keluar yang mempunyai nilai strategis ditinjau dari aspek penegakan hukum. Penyidik PNS sendiri terdapat kendala, diantaranya: a) Masih kurang berani melaksanakan penyidikan secara tuntas, penyelesaian banyak yang bersifat non yustisill. b) Adanya anggapan sementara sejumlah PPNS yang merasakan adanya kesenjangan antara Polri dan Penyidik PNS terutama di daerah-daerah kabupaten. c) Adanya kendala yang dialami oleh Penyidik PNS secara struktural di dalam organisasi/ instansi nya. d) Masih adanya kekhawatiran akan di-praperadilan-kan Terobosan yang kemudian dapat dilakukan adalah membenahi kordinasi antar sektor dalam proses penanganan tindak pidana kehutanan. Hal yang mungkin untuk menyederhanakan kordinasi ini adalah dengan memangkas birokrasi lintas sektoral, terutama dalam hal penyampaian berkas perkara dari Penyidik Pegawai Negeri sipil Kehutanan dengan tidak lagi melalui Polri. 4) Penguatan Organisasi Pengelola Kawasan Konservasi Pengelolaan
kawasan
hutan
konservasi
pada
saat
ini
berdasarkan sistem pemangkuan hutan setingkat resor yang mengelola kawasan hutan berdasarkan statusnya. Pengelolaan kawasan konservasi di Sumatera Utara dibagi atas 24 (dua puluh empat) resor, yang merupakan unit pengelola fungsional yang berada
di bawah Seksi Konservasi Wilayah (lihat skema 1). Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut dibagi menjadi tiga resor pengelola kawasan yang berada di bawah Seksi Konservasi Wilayah II di Stabat, Bidang KSDA Wilayah I. Pada saat ini pada masing-masing resor ditugaskan dua orang petugas terdiri dari Polisi Kehutanan dan staf untuk mengelola kawasan. Permasalahan yang menonjol di tiap-tiap resor pengelola tersebut pada saat ini adalah tindak pidana penebangan kayu dan perambahan kawasan hutan235. Tidak efektifnya penanganan tindak pidana kehutanan yang terjadi di kawasan konservasi sekarang ini salah satunya adalah lemahnya kordinasi antara Resor Konservasi Wilayah dengan penegak hukum lainnya. Dari hasil wawancara dengan Kepala Resor Wilayah KSDA SM KG<L diperoleh informasi bahwa kelemahan kordinasi tersebut diakibatkan oleh tidak adanya kewenangan dari pejabat Kepala Resor Konservasi Wilayah untuk melakukan kordinasi lintas sektoral.236 Hal ini terjadi setelah adanya reorganisasi dengan melikuidasi Balai KSDA Sumatera Utara I dan Balai KSDA Sumatera Utara II menjadi Balai Besar KSDA Sumatera Utara pada tahun 2007. Dengan reorganisasi tersebut, fungsi kordinasi lintas sektoral menjadi kewenangan Seksi Konservasi Wilayah II di Stabat yang secara admininistratif membawahi tiga Kabupaten dan Kota yaitu Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kota Tanjung Balai. Dengan struktur organisasi yang sekarang ini, penanganan tindak pidana kehutanan secara birokratis harus melalui Seksi Konservasi Wilayah. Dengan
235
Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut III Selotong, di Selotong, tanggal 11 Desember 2009, pukul 9.27 WIB. 236
Wawancara dengan M. Nur, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut II Tanjung Pura, di Pematang Sentang, tanggal 11 Desember 2009, pukul 14.25 WIB.
semakin bertambahnya jenjang birokrasi tersebut, penanganan tindak pidana kehutanan menjadi tidak efektif. Pada dasarnya terjadinya tindak pidana kehutanan di kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut adalah sebagai akibat tidak berfungsinya hukum pidana dalam menangani setiap tindak pidana kehutanan baik penebangan pohon, pendudukan dan penguasaan
kawasan
maupun
perambahan
Sebenarnya masyarakat sekitar hutan SM
kawasan
hutan.
Karang Gading dan
Langkat Timur Laut menyadari resiko dan sanksi yang akan dihadapi apabila melakukan tindak pidana kehutanan di dalam kawasan hutan konservasi. Pada umumnya masyarakat telah mengetahui adanya larangan untuk tidak menguasai kawasan hutan. Namun akibat lemahnya penegakan hukum pidana terhadap perbuatan tersebut, mengakibatkan masyarakat tetap melakukan kegiatan tindak pidana kehutanan.237 Timbulnya jual beli kawasan pada dekade tahun 2000 dipicu oleh lemahnya penegakan hukum dan penguasaan peraturan oleh petugas pengelola kawasan yang tidak memadai. Kelemahan penguasaan peraturan tersebut hampir merata di semua sektor, baik di tingkat pengelola/resor maupun di tingkat seksi. Dengan terjadinya reorganisasi pada tahun 2007 yang berimplikasi pada beralihnya kewenangan kordinasi lintas sektoral di bawah Seksi Konservasi Wilayah, penguatan organisasi seharusnya dilakukan pada organisasi setingkat Seksi baik Seksi Konservasi Wilayah
maupun
Seksi
yang
membawahi
permasalahan
perlindungan dan pengamanan kawasan hutan. Penguatan dilakukan dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme petugas, namun pada saat ini penguatan organisasi setingkat seksi tersebut belum
237
Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut III Selotong, di Selotong, tanggal 11 Desember 2009, pukul 09.27 WIB.
dapat dilakukan. Profesionalisme aparatur masih belum memadai, baik dalam penguasaan peraturan perundangan maupun kordinasi lintas sektoral terutama dengan instansi penegak hukum lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis,
bahwa
penanganan tindak pidana kehutanan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang terjadi setelah reorganisasi tahun 2007, sebagian dapat terlaksana karena adanya pendekatan personal yang dilakukan oleh petugas resor dengan Kepolisan Sektor (Polsek) setempat. Pendekatan personal ini dilakukan untuk menyingkat jenjang
birokrasi
yang
cenderung
lebih
panjang
apabila
dibandingkan dengan berkordinasi dengan Seksi Konservasi Wilayah. Hambatan yang terutama dihadapi apabila melalui jalur kordinasi ke Seksi Konservasi Wilayah, adalah kesiapan aparatur untuk merespon setiap laporan. Dengan kecenderungan tersebut, alternatif penanganan tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh petugas resor konservasi wilayah adalah dengan melakukan pendekatan personal yang bersifat informal dengan Kepolisian Sektor setempat (Polsek).238 Untuk itu sebagai salah satu solusi yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi adalah dengan merestrukturisasi organisasi Resor Konservasi Wilayah KSDA. Restrukturisasi dilakukan dengan peningkatan jenjang jabatan Kepala Resor Konservasi Wilayah. Bila pada saat ini jabatan Kepala Resor Konservasi Wilayah adalah jabatan
fungsional,
sebaiknya
dijadikan
jabatan
Struktural.
Perubahan ini diikuti dengan melikuidasi beberapa Resor Konservasi 238
Wawancara dengan Ahmadin, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut III Selotong, di Selotong, pada tanggal 11 Desember 2009. Hal yang sama disampaikan oleh Khalid Surbakti, Kepala Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut I Karang Gading, di kantor Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Medan tanggal 8 Desember 2009. Juga disampaikan oleh M. Safruddin, Polisi Kehutanan di Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut II Tanjung Pura, di kantor Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Medan tanggal 8 Desember 2009
Wilayah yang berada dalam satu pengelolaan kawasan konservasi. Apabila dibutuhkan di bawah Resor Konservasi Wilayah terdapat Pos Konservasi Wilayah tergantung luas kawasan dan karakteritistik permasalahan.
Dengan
peningkatan
jabatan
Kepala
Resor
Konservasi Wilayah ada beberapa dampak yang diharapkan akan terjadi, yaitu pertama peningkatan responsibilitas tanggung jawab Kepala Resor Konservasi Wilayah KSDA atas kawasan wilayah kerjanya secara struktural kepada atasan langsung, kedua jalur kordinasi lintas sektoral terutama dengan aparat penegak hukum lainnya di wilayah kerja dapat berlangsung secara seimbang dan setara, ketiga pelaksanaan tour of duty Kepala Resor Konservasi Wilayah dapat dilakukan dengan optimal. Di samping itu, dengan struktur organisasi Balai Besar KSDA sekarang ini, cenderung belum menempatkan penanganan masalah hukum
sebagai
prioritas
penguatan
organisasi
walaupun
permasalahan penegakan hukum merupakan permasalahan krusial yang terjadi di seluruh kawasan konservasi. Seharusnya penanganan masalah hukum ditempatkan pada satu unit kerja tersendiri yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas yang cukup baik dalam penanganan permasalah hukum yang terjadi. Alternatif unit kerja ini bisa berada di tingkat seksi, di bawah pengendalian Bidang teknis KSDA, sehingga lebih fleksibel untuk bisa menjangkau seluruh wilayah resor pengelola kawasan konservasi. Alternatif lainnya adalah dengan memberdayakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan ke dalam satu unit kerja tersendiri yang mandiri, yang salah satu tugasnya adalah menangani permasalahan hukum yang terjadi di seluruh wilayah resor pengelola kawasan hutan.239 239
Wawancara dengan Polmer Situmorang, SH, Kepala Bidang KSDA Wilayah I Kabanjahe, di Kantor Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan, Balai Besar KSDA Sumut, tanggal 7 Desember 2009.
Dari wawancara yang dilakukan dengan saksi-saksi dari Balai Besar KSDA Sumatera Utara yang diajukan pada persidangan kasus perambahan hutan pada tahun 2005 yang terjadi di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, bahwa baik pada saat mereka dipanggil menjadi saksi pada pemeriksan di kepolisian Sektor (Polsek) maupun pada saat menjadi saksi di Pengadilan, tidak pernah memperoleh arahan dan penerangan sebelum memberikan kesaksiannya dari instansi. Arahan dan penerangan ini sebenarnya sangat penting mengingat banyaknya fakta-fakta hukum yang tidak diketahui oleh petugas resor pengelola kawasan.
Akibatnya
disampaikan
oleh
adalah petugas
bahwa
justru
menguatkan
kesaksian
keabsahan
yang
kegiatan
perambahan. Seharusnya arahan dan penerangan ini dilakukan oleh unit kerja khusus yang menangani permasalahan hukum di instansi pengelola konservasi sumber daya alam.240 Unit kerja ini akan menangani permasalahan hukum baik dalam pemberian nasehat hukum, sosialisasi peraturan perundang-undangan sampai tingkat pengelola resor kawasan konservasi dan kordinasi dengan instansi penegak hukum lain. Intinya merupakan fungsi advokasi yang akan membantu
tugas-tugas
Balai
KSDA
dalam
menghadapi
permasalahan hukum. Unit kerja ini terdiri dari aparatur yang memiliki kompetensi dan kemampuan di bidang hukum dan didukung oleh data base kondisi permasalahan yang terjadi di seluruh kawasan konservasi. Pada saat ini, fungsi tersebut telah ada di tingkat Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan yang berkedudukan di Jakarta yang membawahi bidang hukum dan organisasi. Dari beberapa tindak 240
Wawancara dengan Octo P. Manik, S.Sos., Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul, tanggal 15 Desember 2009.
pidana kehutanan yang membutuhkan advokasi dan bantuan hukum yang terjadi di daerah, terdapat beberapa kesulitan yang dialami. Jalur birokrasi yang panjang dan keberadaanya yang hanya terdapat di Jakarta menjadi kendala bagi penanganan tindak pidana kehutanan yang membutuhkan penyelesaian yang cepat. Pada saat terjadinya penangkapan terhadap pelaku tindak pidana perambahan hutan di Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut pada tahun 2007 kesulitan ini cukup dirasakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Balai Besar KSDA Sumatera Utara. Permintaan bantuan hukum dan personel dari Biro Hukum dan Organisasi tidak dapat dipenuhi, pada saat dimana Balai Besar KSDA sedang menghadapi gugatan praperadilan dari pelaku perambahan di Pengadilan Negeri Langkat.241 5) Proses Peradilan Proses peradilan terhadap tindak pidana kehutanan pada dasarnya sama dengan penanganan tindak pidana umum lainnya. Yang membedakannya adalah adanya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan yang berdasarkan Undang-undang, merupakan penyidik di samping adanya Penyidik Polri. Proses peradilan tindak pidana kehutanan dimulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, putusan, upaya hukum, hingga tahap eksekusi putusan pengadilan yang dapat digambarkan pada tabel 13 berikut ini:
241
Wawancara dengan Hendra Ginting, SH, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara di Markas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Sumatera Utara, tanggal 14 Desember 2009
Tabel 13 Proses dan Peran Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum Kehutanan di Indonesia242 KELEMBAGAAN DASAR
PROSES APARAT
Pasal 15 (1)
Laporan: Pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang
Kepolisian huruf a UU negara RI No.2 tahun 2002
PERISTIWA HUKUM
karena hak atau kewajiban berdasarkan Undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
Pasal 4, pasal Penyidik Polri
pidana (pasal 1 butir 24
5, pasal 10 dan pasal 103 KUHAP
KUHAP) Pengaduan:
Pasal 6 (1)
Pemberitahuan disertai
huruf a, Pasal
permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk
242
HUKUM
Ratih Candradewi dan Wulan Pratiwi, loc.cit.
Penyidik Polri
7 (1) huruf a, Pasal 106 KUHAP
menindak menurut hukum
Pasal 3 (1)
seseorang yang telah melakukan
huruf a UU
tindak pidana aduan yang
no.2 tahun
merugikan (pasal 1 butir 25
2002, jo pasal
KUHAP)
Polisi
5 (15)dan
Kehutanan (16) Kepmenhut No.579/Kpts/ VI/ 1996 Tertangkap tangan: Tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera
Pasal 6 ayat
sesudah beberapa saat tindak
(1) huruf b,
pidana itu dilakukan atau sesaat
jo.pasal 7 (2),
kemudian diserukan oleh
jo pasal 106
khalayak ramai sebagai orang
KUHAP jo
yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang
PPNS
pasal 39 (3)
Kehutanan huruf a UU no.5 tahun
diduga keras telah dipergunakan
1990, jo pasal
untuk melakukan tindak pidana
77 (2) huruf a
itu yang menunjukkan bahwa ia
UU no.41
adalah pelakunya atau
tahun 1999
membantu melakukan tindak pidana itu. (pasal 1 butir 19 KUHAP)
Penyelidikan: Serangkaian tindakan penyelidik
Pasal 3 (1)
untuk mencari dan menemukan suatu
huruf a UU
peristiwa yang diduga sebagai tindak
No.2 tahun
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
Penyelidik 2002, jo pasal Polri 5
menurut cara yang diatur dalam
(15),(16),dan
undang-undang ini (pasal 1 butir 5
(17)
KUHAP) Penyidikan: Serangkaian tindakan penyidik
Penyidik Polri
Pasal 106136 KUHAP
dalam hal dan menurut cara yang
Pasal 106-
diatur dalam undang-undang ini
136 KUHAP,
untuk mencari serta mengumpulkan
pasal 39 UU
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
Penyidik
No.5 tahun
PNS
1990, Pasal
terjadi dan guna menemukan
77 UU No.
tersangkanya (pasal 1 butr 2
41 tahun
KUHAP)
1999
Penuntutan: Tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang
Jaksa
dalam hal dan menurut cara yang
Penuntut
diatur dalam undang-undang ini
Umum
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (pasal 1 butir 7 KUHAP)
Pasal 137144 KUHAP
Persidangan: Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan, dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam undangundang ini. (pasal 1 butir 9 (KUHAP). Jalannya seluruh proses persidangan dipimpn oleh hakim
Majelis hakim, Jaksa Penuntut
Pasal 145-
Umum,
190 KUHAP
terdakwa, Penasihat Hukum, Panitera
(pasal 217 KUHAP) Putusan Pengadilan: Pernyatan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan
Majelis
Pasal 191-
Hakim,
202 KUHAP
Panitera
hukum (pasal 1 butir 11 KUHAP) Upaya Hukum: Hak terdakwa atau penuntut umum
Jaksa
untuk tidak menerima putusan
Penuntut
pengadilan yang berupa perlawanan
Umum,
atau banding atau kasasi atau
terdakdwa
terpidana untuk mengajukan
dan/atau
permohonan peninjauan kembali
Penasihat
dalam hal dan menurut cara yang
Hukum
diatur dalam Undang-undang ini.
nya
Pasal 259269 KUHAP
(pasal 1 butir 12 KUHAP) Eksekusi:
Jaksa
Pasal 270-
Pelaksanaan putusan pengadilan
Penuntut
yang telah memperoleh kekuatan
Umum,
hukum tetap dilakukan oleh jaksa,
Hakim
yang untuk itu panitera mengirimkan
Pengawas
salinan surat keputusan kepadanya. (pasal 270 KUHAP)
283 KUHAP
dan pengamat
Tindak pidana kehutanan dimulai pada saat adanya dugaan telah terjadinya tindak pidana yang akan diperjelas dalam tindakan penyelidikan, kemudian dilanjutkan pada tahapan penyelidikan, tahap penuntutan, tahap persidangan pengadilan sampai pada tahap putusan. Dalam proses penyidikan tindak pidana kehutanan terutama yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang sering menjadi kendala adalah belum adanya kesamaan pandang dari aparat penegak hukum baik Polisi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kejaksaan dan Pengadilan dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan perundang-undangan untuk menjerat pelaku tindak pidana kehutanan. Belum adanya kesamaan sudut pandang dalam melihat tindak pidana kehutanan sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai organized crime, yang telah membahayakan kehidupan manusia dapat juga diketahui dari penanganan delapan (8) tindak pidana perambahan hutan yang dilaporkan selama periode waktu tahun 2004-2009 di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut kepada Kepolisian setempat, hanya tiga (3) kasus yang dilakukan proses penyidikan. (lihat tabel 7) Responsibilitas yang sangat rendah ini terlihat juga dari beberapa Laporan Kejadian yang dibuat oleh petugas
Resor
Konservasi
Wilayah,
pada
umumnya
tidak
ditindaklanjuti dengan proses penyidikan oleh Penyidik Polri. Formulasi delik materil terhadap tindak pidana perambahan yang
terjadi di kawasan konservasi membutuhkan kualitas dan kapabilitas Penyidik. Karena itu dalam penanganan tindak pidana perambahan khususnya yang terjadi di dalam kawasan hutan konservasi sebaiknya dilaksanakan oleh Penyidik Polri dan Penyidik PNS Kehutanan secara bersama-sama. Unsur pimpinan harus memulai hal tersebut dengan menjalin kordinasi yang dibangun dengan tetap memperhatikan independensi masing-masing lembaga, sehingga ego sektoral masing-masing lembaga dapat dihilangkan. Penuntutan tindak pidana kehutanan berupa dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum memiliki posisi strategis dalam penegakan hukum pidana khususnya tindak pidana kehutanan. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum akan menjadi rujukan utama oleh Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan. Karena itu dakwaan Jaksa Penuntut Umum harus dibuat dengan cermat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penuntut umum dalam sistem hukum di Indonesia telah menggariskan bahwa dalam penanganan tindak pidana kehutanan/illegal logging berdasarkan Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-002/JA/4/1995 tanggal 28 April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain, bahwa tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam Undangundang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah perkara penting yang memerlukan perhatian khusus dari pimpinan dan oleh karenanya
perlu
ditangani
dan
diselesaikan
dengan
sistem
pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian. Pola penanganan dan penyelesaian perkara kehutanan dijelaskan lebih rinci dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B189/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995. Dengan demikian Surat Jaksa Agung tersebut harus ditindaklanjuti oleh seluruh Kejaksaan di Indonesia. Sistem pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian
harus diterapkan pada tiap-tiap instansi Kejaksaan dalam penuntutan perkara tindak pidana kehutanan. Sehingga ke depannya tidak ditemukan lagi tuntutan Jaksa yang tidak memperhatikan ketentuan perundang-undangan. Namun walaupun Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-002/JA/4/1995 tanggal 28 April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain harus menjadi pedoman bagi Jaksa dalam menyusun dakwaan terhadap upaya penegakan hukum di bidang kehutanan, surat ini masih memiliki keterbatasan. Dalam surat tersebut hanya diatur tentang tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan pengertian tersebut tindak pidana kehutanan yang diatur dalam Undang-undang lain seperti tindak pidana terhadap hutan konservasi tidak tercakup yang diatur menjadi perkara penting yang memerlukan perhatian khusus dari pimpinan. Karena itu diperlukan petunjuk pelaksanaan yang lebih jelas untuk mengatur tentang dakwaan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan baik yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E, maupun Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Demikian juga dengan proses peradilan terhadap pelaku perambahan hutan pada tahun 2005 yang telah divonis dengan putusan lepas dari tuntutan hukum. Terlepas dari adanya prinsip kebebasan hakim dalam mengambil putusan, dari ketiga kasus tersebut menggambarkan tidak adanya kesamaan persepsi di antara aparat penegak hukum dalam menggunakan, menerapkan dan/atau menafsirkan ketentuan-ketentuan hukum positif untuk menjerat para pelaku tindak pidana kehutanan. Karena itu adalah sangat tepat untuk menerapkan kebijakan penunjukan Majelis hakim terhadap tindak pidana kehutanan berdasarkan kompetensi di bidang
lingkungan hidup dan kehutanan. Kebijakan Mahkamah Agung untuk meningkatkan kualitas Hakim dengan melakukan pelatihan di Australia dalam bidang hukum lingkungan merupakan langkah yang harus dipercepat untuk menyiapkan hakim-hakim yang mempunyai empati, dedikasi dan determinasi untuk menciptakan keadilan dalam bidang hukum lingkungan dan kehutanan. c) Budaya Hukum 1) Budaya hukum internal Budaya hukum internal adalah budaya hukum orang-orang yang bertugas untuk menegakkan hukum termasuk di sini adalah Polisi, Jaksa, hakim maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Budaya hukum
seseorang
tentunya
akan
sangat
berpengaruh
pada
pengambilan keputusan yang diambilnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi putusan seseorang, yaitu: dinamika diri individu, dinamika para kelompok orang dalam organisasi, dinamika dari para lingkungan organisasi, adanya tekanan dari luar, adanya pengaruh kebiasaan lama, adanya pengaruh dari sifat pribadi, adanya pengaruh dari kelompok luar dan adanya pengaruh keadaan masa lalu. Di samping itu pengambilan keputusan seseorang dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya, yaitu:243 a) Nilai politis, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari kelompok kepentingan tertentu, b) Nilai organisasi, maksudnya bahwa keputusan yang diambil dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut oleh organisasi
243
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 196-197.
c) Nilai pribadi, yaitu keputusan diambil atas dasar nilai-nilai pribadi si pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi maupun kekayaan. d) Nilai kebijaksanaan, yaitu keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijaksanaan tentang kepentingan publik e) Nilai ideologi yaitu pembuatan keputusan atas dasar-dasar nilai ideologi seperti nasionalisme. Untuk menjaga budaya hukum internal aparat penegak hukum, dari awal, langkah yang harus dilakukan dimulai sejak tahap penerimaan pegawai. Tahapan ini harus dilaksanakan dengan menegakkan prinsip-prinsip transparansi, profesionalisme dan akuntabilitas.
Penerapan
prinsip-prinsip
ini
akan
mampu
menghilangkan pola-pola rekrutmen yang berbasiskan kolusi, korupsi dan nepotisme. Dari bahan baku baik yang telah dipilih, dengan pola pendidikan dan pelatihan yang baik akan dihasilkan aparatur yang baik pula. Di samping itu penempatan tugas aparatur harus lebih memperhatikan faktor integritas dan moral daripada pengetahuan teknis. Dengan aparatur yang memiliki integritas dan bermoral baik, penegakan hukum dapat dilakukan meskipun dengan dengan peraturan yang lemah. Penerapan sistem reward and punishment yang adil bagi aparat penegak hukum merupakan iklim baik yang bisa menggairahkan kinerja aparat dalam penegakan hukum. Dengan penerapan sistem reward and punishment yang terukur dan baku, akan mengikis budaya paternalistik yang cenderung memelihara sikap ewuh pakewuh semu terhadap atasan. Kemudian kebijakan Kejaksaan Agung yang menerapkan sistem pengendalian, pelaporan dan pendokumentasian dalam penanganan tindak pidana kehutanan hendaknya tidak menjadi macan kertas semata, dibutuhkan evaluasi dengan konswekensi pemberian reward and punishment yang jelas dan transparan.
2) Budaya Hukum Eksternal Sesuai dengan apa yang didalilkan oleh Lawrence M. Friedman bahwa budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat, yaitu sejauh mana tanggapan dan tingkat kepatuhan masyarakat atas peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Hal yang tidak jauh berbeda dari yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto bahwa kebudayaan adalah sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Jadi budaya hukum masyarakat adalah adalah pemaknaan masyarakat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dari perspektif yang mereka yakini. Hal ini tentunya tidak terlepas dari seberapa jauh masyarakat telah menerima sosialisasi dan pemasyarakatan perundang-undangan yang telah dilakukan oleh instansi berwenang. Apabila sosialisasi telah cukup dilakukan, langkah selanjutnya adalah tindakan persuasif untuk mengarahkan budaya hukum masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat Undang-undang. Dalam hal ini konsepsi hukum adalah alat untuk memperbaharui masyarakat (law as a toll of social engineering) sebagaimana yang diungkapkan oleh Roscoe Pound. Tema sentral dari rekayasa masyarakat melalui hukum adalah bagaimana mengerakkan tingkah laku masyarakat atau mencapai keadaan yang diinginkan melalui hukum. Hal ini misalnya secara cukup sistematis diterapkan oleh Polri dalam mensosialisasikan undang-undang tentang lalu lintas jalan raya. Tahap sosialisasi dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan, dan penyebar luasan informasi melalui media massa. Tahapan persuasif sebagai tahapan selanjutnya dilakukan dengan memberikan peringatan kepada pelanggar peraturan. Setelah tahapan ini dilaksanakan baru diterapkan tindakan represif bagi pelanggar peraturan. Sosialisasi peraturan perundang di bidang kehutanan cara yang dilakukan juga tidak jauh berbeda. Sosialisasi peraturan dilakukan terutama kepada masyarakat desa sekitar hutan melalui media yang bisa diterima di pedesaan. Cara yang umum diterapkan adalah dengan penyuluhan-penyuluahan kehutanan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat desa sekitar hutan. Walaupun diakui sosialisasi ini sering sekali terkendala oleh faktor geografis sulitnya akses menuju desa-desa sekitar kawasan hutan. Sedangkan media elektronik yang merupakan sarana efektif untuk melakukan sosialisasi, belum menjangkau semua daerah. Akibatnya adalah bahwa sosialisasi peraturan cenderung lebih lama dan lebih lambat. Karena itulah tindakan persuasif cenderung lebih banyak dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, sesuai
dengan tujuannya, hukum pidana akan diterapkan bagi pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disosialisasikan. Karena itu penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana kehutanan harus dilihat kasus per kasus dan tidak menyamaratakan. Unsur keadilan tentunya harus seimbang dengan unsur kepastian hukum, walaupun dalam kenyataannya akan sangat sulit untuk menciptakan suatu situasi yang proporsional antara kedua unsur tersebut. Untuk menciptakan budaya hukum masyarakat sesuai dengan yang diharapkan oleh pembuat Undang-undang harus dilihat kembali dari perspektif budaya lokal setempat. Masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat dengan budaya rural yang masih sangat kuat memegang nilai-nilai kearifan lokal termasuk kearifan ekologis. Nilai-nilai kearifan ekologis yang dianut pada umumnya meletakkan pada ajaran keseimbangan antara manusia dan alam. Nilai-nilai kearifan ekologis inilah yang selama ini terlupakan dalam penyusunan peraturan perundangan di bidang kehutanan. Pemerintah bisa mengadopsi nilai-nilai kearifan ekologis ini ke dalam peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan kawasan hutan. Secara sektoral formalisasi nilai-nilai kearifan ekologis ini di beberapa daerah telah dilakukan melalui ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes). Metode seperti ini akan cukup efektif di samping dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum. Eksistensi penyuluhan hukum akan terasa lebih berarti dalam rekonstruksi budaya hukum apabila dipadukan dengan mengadopsi nilai-nilai kearifan ekologis masyarakat setempat. Eksistensi penyuluhan hukum sangat diperlukan untuk meminimalisir konflik-konflik yang ada sekaligus pula memuluskan jalan bagi rekonstruksi budaya hukum ke arah yang lebih baik.
BAB V PENUTUP A. Simpulan
Setelah dilakukan pembahasan dan kajian terhadap dua permasalahan pokok yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi terhambatnya fungsionalisasi hukum pidana (penal policy) oleh aparat penegak hukum (tahap aplikasi) dan pokok-pokok kebijakan kriminal apa sajakah yang seharusnya diterapkan untuk menanggulangi perambahan hutan yang terjadi di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, maka berdasarkan kajian teoritik yang dikemukakan oleh Friedman bahwa bekerjanya hukum dalam suatu sistem dipengaruhi oleh komponen substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum, dan diintegrasikan dengan teori kebijakan kriminal (criminal policy) yang dikemukakan oleh G.P. Hoefnagels bahwa untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat dapat dilakukan melalui kebijakan kriminal yang memadukan sarana penal dan non penal, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Terhambatnya fungsionalisasi hukum pidana oleh aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut dipengaruhi oleh: a) Komponen Substansi Hukum 1) Undang-undang bidang kehutanan memuat ketentuan pidana dalam bentuk delik materil. Dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perumusan tindak pidana dalam formulasi delik materil terdapat dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1). Demikian juga ketentuan dalam pasal 50 ayat (2) juncto pasal 78 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memformulasikan tindak pidana dalam bentuk delik materil. 2) Perumusan ketentuan pidana baik yang terdapat dalam pasal 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH & E maupun yang terdapat dalam pasal 78 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan hanya mengatur tentang sanksi hukuman maksimum namun tidak memuat minimum.
ketentuan sanksi hukuman
3) Mekanisme penyampaian berkas perkara dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan ke Penuntut Umum harus melalui Penyidik Polri seperti diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAH&E maupun Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. 4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan tidak memiliki kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan. b) Komponen Struktur Hukum 1) Penguasaan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan masih sangat rendah terutama di tingkat Resor Konservasi Wilayah sampai setingkat Seksi Konservasi Wilayah. Tingkat penguasaan peraturan perundang-undangan ini di Balai Besar KSDA Sumatra Utara, diibaratkan seperti kerucut terbalik, semakin ke bawah semakin kecil tingkat penguasaannya. 2) Setelah adanya restrukturisasri organisasi pada tahun 2007 menjadi Balai Besar KSDA Sumatera Utara, kewenangan pengelola kawasan pada tingkat Resor Konservasi Wilayah semakin berkurang. Di samping itu juga pada tingkat Resor Konservasi Wilayah pola mutasi atau tour of duty belum memiliki konsep yang jelas. 3) Sarana penunjang tugas-tugas pengamanan kawasan hutan pada tingkat Resor Konservasi Wilayah SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut masih sangat terbatas. 4) Kordinasi lintas sektoral atas dasar kesetaraan dan kode etik profesi antara sesama penegak hukum pada tingkat Seksi Konservasi Wilayah KSDA belum berjalan efektif 5) Tidak adanya satuan unit tugas tertentu dalam struktur organisasi Balai Besar KSDA Sumatra Utara yang menangani permasalahan hukum dan perundang-undangan.
6) Tingkat penyelesaian perkara tindak pidana perambahan hutan di Kepolisian masih sangat rendah dan proses penyidikannya cenderung berjalan lambat. 7) Pemahaman yang tidak merata pada Jaksa Penuntut Umum mengenai penerapan ketentuan Undang-undang bidang Kehutanan terutama terhadap tindak pidana perambahan hutan, bagaimana menerapkannya atau ketentuan pasal apa yang harus diterapkan terhadap suatu pelanggaran. 8) Penerapan
ajaran
sifat
melawan
hukum
materil
(materiale
wederrechtelikjheid) oleh Hakim Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara perambahan hutan di SM Karang Gading dan langkat Timur Laut pada tahun 2005 belum sesuai dengan fakta-fakta hukum yang sebenarnya. 9) Sinkronisasi azas-azas hukum pidana pada proses persidangan perkara perambahan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut pada tahun 2005 belum tepat. c) Komponen Budaya Hukum 1) Budaya Hukum Internal a) Persepsi penegak hukum terhadap penegakan hukum pidana dalam tindak pidana perambahan hutan masih rendah. Potensi kerusakan lingkungan dan akibat
yang ditimbulkan
belum
menjadi
pertimbangan dalam proses penyidikan, membuat surat dakwaan dan proses pengadilan. b) Adanya korelasi yang erat antara korupsi dengan kelestarian lingkungan: negara dengan tingkat korupsi rendah memiliki kemampuan lebih baik dalam mengelola sumber daya alam, demikian juga sebaliknya, negara yang subur akan praktek-praktek korupsi akan memiliki kemampuan yang buruk dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam. 2) Budaya Hukum Eksternal
Internalisasi nilai-nilai kepatuhan hukum dalam budaya hukum masyarakat sekitar hutan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, dipengaruhi oleh: a) Budaya paternalistik masyarakat desa sekitar hutan b) Lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan c) Jauhnya dari jangkauan kontrol sosial baik formal maupun informal d) Pengaruh kekuasan ekonomi dari pelaku tindak pidana yang tidak diganjar dengan hukuman atas perbuatan yang dilakukannya 2. Kebijakan kriminal (criminal policy) yang seharusnya diterapkan sebagai upaya penanggulangan tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut Kebijakan kriminal (criminal policy) sebagai bagian dari tujuan untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat dapat dilakukan melalui kebijakan penal dan non penal sebagaimana yang ditelaah oleh G.P. Hoefnagels dengan teori kebijakan kriminal yang dikembangkannya. Dari hasil penelitian
yang
dilakukan
bahwa
penanggulangan
tindak
pidana
perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut tidak dapat dilakukan hanya dengan kebijakan penal saja akan tetapi harus dilakukan melalui upaya integral antara kebijakan penal dan kebijakan non penal sebagai berikut: a. Kebijakan penal Kebijakan penal sebagai salah satu kebijakan kriminal yang diterapkan, apabila diintegrasikan dengan kajian Teori Bekerjanya Hukum dari Lawrence M. Fiedman, merupakan kebijakan kriminal dalam ranah komponen substansi hukum. Dalam penanggulangan tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut kebijakan penal yang dapat dilakukan, yaitu: 1) Tahap Formulasi
a) Perumusan tindak pidana dalam Undang-undang di bidang kehutanan seharusnya diformulasikan dalam bentuk delik formil sehingga memudahkan dalam proses penyidikan dan tidak menimbulkan multitafsir bagi pihak-pihak yang terlibat dalam penegakan hukum bidang kehutanan. b) Dalam Undang-undang bidang kehutanan ketentuan pidana yang mengatur tentang ancaman hukuman, tidak saja hanya mengatur tentang ancaman hukuman maksimum tapi juga mengatur tentang ancaman hukuman minimum. c) Selama ini apabila mekanisme proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh Penyidik PNS Kehutanan adalah melalui Penyidik Polri, harus dirubah untuk menyingkat jalur birokrasi dalam rangka percepatan penyelesaian perkara. d) Dalam undang-undang bidang kehutanan seharusnya juga diatur tentang kewenangan Penyidik PNS Kehutanan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan. Sebagai bahan rujukan misalnya dapat
dilihat
kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik PNS Kepabeanan. 2) Tahap Aplikasi Terhadap ketiga putusan Pengadilan Negeri Langkat pada tahun 2006 yang mengadili perkara perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut harus dilakukan upaya perlawanan melalui Kejaksaan Negeri Langkat karena adanya penyimpangan penerapan
ajaran
sifat
melawan
hukum
materil
(materiale
wederrechtelikjheid) oleh Majelis Hakim dan tidak sinkronnya penerapan azas-azas
hukum pidana yang digunakan sebagai
pertimbangan Majelis hakim dalam putusan tersebut.
b. Kebijakan Non Penal
Sebagai salah satu kebijakan yang digunakan secara integral dengan kebijakan penal, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut diantaranya adalah: 1) Perlu adanya wadah bagi ADR (Alternative Dispute Resolution) dalam formulasi Undang-undang sektoral Kehutanan. Solusi penerapan ADR ini sangat tepat diterapkan pada kasus-kasus tindak pidana kehutanan yang pelakunya adalah korporasi. Namun penerapan alternatif jalur mediasi ini harus mempertimbangkan kualitas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Terhadap tindak pidana kehutanan yang telah mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kesalahan pelaku dipandang berat, akibat perbuatan dipandang
besar,
masyarakat,
maka
perbuatannya terhadap
tindak
menimbulkan pidana
keresahan
tersebut
harus
difungsikan hukum pidana. 2) Dengan melakukan peningkatan profesionalisme aparat khususnya petugas Resor Konservasi Wilayah dan Seksi Wilayah Konservasi yang merupakan ujung tombak pengelolaan kawasan konservasi. 3) Penguatan organisasi Resor Konservasi Wilayah dilakukan dengan merestrukturisasi organisasi Resor Konservasi Wilayah dengan meningkatkan jenjang jabatan menjadi jabatan struktural yang diikuti dengan likuidasi resor konservasi wilayah yang berada dalam satu pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian sistem mutasi aparatur pada tingkat Resor Konservasi Wilayah dapat dilakukan dengan efektif dan kordinasi lintas sektoral dengan aparat penegak hukum lainnya dapat dilakukan dengan prinsip kesetaraan dengan tetap memperhatikan independensi masingmasing lembaga dan kode etik profesi.
4) Melengkapi sarana penunjang tugas-tugas pengamanan hutan pada tingkat resor konservasi wilayah paling tidak memenuhi standar minimum sarana pengamanan kawasan yang dikelola. 5) Pembentukan struktur organisasi di bidang hukum pada tingkat Balai KSDA di daerah-daerah dengan sumber daya manusia yang kompeten dan didukung oleh manajeman berbasis data base yang lengkap sehingga kebutuhan akan advokasi hukum di daerah dapat dilakukan dengan lebih cepat dibandingkan dengan kondisi sekarang ini. 6) Untuk mengantisipasi keterbatasan kemampuan dan keterbatasan kewenangan masing-masing Penyidik, proses penyidikan tindak pidana perambahan hutan sebaiknya dilakukan secara bersama antara Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan. 7) Melakukan pelatihan bersama dengan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan dan sumber daya alam hayati sehingga ada persamaan persepsi tentang potensi kerusakan lingkungan dan akibat yang ditimbulkan yang menjadi pertimbangan dalam proses penyidikan, membuat surat dakwaan dan proses pengadilan.
B. Implikasi Konswekensi logis dari fakta-fakta dalam kesimpulan tersebut di atas adalah timbulnya beberapa implikasi yaitu: 1. Terhambatnya fungsionalisasi hukum pidana dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut dipengaruhi oleh: a. Substansi Hukum 1) Perumusan ketentuan pidana dalam formulasi delik materil akan menyulitkan proses penyidikan oleh Penyidik Polri dan terutama
oleh Penyidik PNS dikarenakan Penyidik PNS tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa saksi ahli. Pada proses pembuktian juga akan terkendala akibat perumusan delik materil. 2) Tidak diaturnya ketentuan hukuman minimum terhadap tindak pidana kehutanan, akan mengakibatkan kecenderungan rendahnya tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum yang pada akhirnya akan berpengaruh pada rendahnya hukuman yang dijatuhkan oleh hakim. 3) Mekanisme proses penyampaian berkas perkara oleh Penyidik PNS Kehutanan yang harus melalui Penyidik Polri, mengakibatkan panjangnya birokrasi yang harus dilalui dan mengakibatkan tidak efisisennya proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik PNS. 4) Tidak adanya kewenangan Penyidik PNS Kehutanan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan, mengakibatkan adanya celah dan kesempatan bagi pelaku untuk melarikan diri sebelum Penyidik PNS berkordinasi dengan Penyidik Polri. b. Struktur Hukum 1) Rendahnya penguasaan peraturan perundangan pada tingkat Resor konservasi Wilayah, mengakibatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan tidak efektif dan hanya sebatas pendekatan persuasif tanpa adanya proses yustisi. 2) Terbatasnya kewenangan Resor konservasi Wilayah mengakibatkan kordinasi lintas sektoral dengan aparat penegak hukum lainnya tidak berjalan. Di samping itu dengan tidak adanya konsep tour of duty pada tingkat Resor Konservasi Wilayah mengakibatkan terjadinya kecenderungan penyalahgunaan wewenang dan hilangnya motivasi untuk berprestasi. 3) Minimnya
sarana
penunjang
tugas
pengamanan
kawasan
mengakibatkan petugas Resor Konservasi Wilayah tidak dapat melaksanakan tugas-tugas pengamanan baik preventif berupa patroli
ke dalam kawasan hutan, maupun represif dengan melakukan operasi penegakan hukum terhadap pelaku perambahan hutan. 4) Tidak berfungsinya tugas-tugas kordinasi lintas sektoral pada tingkat Seksi Konservasi Wilayah mengakibatkan tugas pengamanan hutan tidak sinergis dengan aparat penegak hukum lain dalam sistem peradilan pidana sehingga penyelesaian kasus-kasus tindak pidana kehutanan cenderung akan terkotak-kotak oleh ego sektoral masingmasing sub sistem. 5) Tidak adanya satuan tugas bidang hukum di daerah, mengakibatkan terkendalanya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh Penyidik PNS Kehutanan. Keberadaannya saat ini yang hanya terdapat di Sekretariat Jenderal Kementrian Kehutanan di Jakarta, mengakibatkan panjangnya rentang jalur kordinasi yang harus dilakukan oleh Penyidik PNS di daerah-daerah apabila
terdapat
permasalahan
hukum
yang
harus
segera
tindak
pidana
diselesaikan. 6) Rendahnya
frekwensi
penyelesaian
perkara
perambahan hutan mengakibatkan kegiatan ini masih terus berlangsung dan cenderung tidak ada tindakan hukum yang diterapkan, sehingga semakin banyak orang yang berniat untuk melakukan kejahatan yang sama. 7) Pemahaman yang tidak merata pada Jaksa Penuntut Umum mengakibatkan penerapan pasal yang tidak tepat dan rekuisituir yang sangat rendah terhadap pelaku perambahan hutan. 8) Penyimpangan penerapan ajaran sifat melawan hukum materil oleh hakim Pengadilan Negeri Langkat
yang mengadili perkara
perambahan hutan di SM KG dan LTL pada tahun 2005 mengakibatkan lepasnya pelaku dari segala tuntutan hukum walaupun telah terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
9) Tidak sinkronnya penerapan azas-azas hukum pidana oleh hakim Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara perambahan hutan di SM KG dan LTL pada tahun 2005 mengakibatkan lepasnya pelaku dari segala tuntutan hukum. c. Budaya Hukum 1) Budaya hukum internal a) Rendahnya persepsi aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan hutan mengakibatkan tingkat keberhasilan penanganan tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut masih sangat rendah. b) Budaya korupsi yang terjadi pada semua sub sistem dalam sistem peradilan pidana mengakibatkan rendahnya kemampuan negara dalam mengelola lingkungan hidup. 2) Budaya Hukum Eksternal a) Budaya paternalistik yang kuat pada masyarakat desa sekitar kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, mengakibatkan internalisasi nilai-nilai dalam budaya hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai hukum pemimpin desa/kepala desa. b) Lemahnya penegakan hukum, mengakibatkan rendahnya budaya kepatuhan hukum pada masyarakat desa sekitar kawasan SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut. c) Jauhnya dari jangkauan kontrol sosial baik dari instansi pemerintah maupun non pemerintah mengakibatkan suburnya budaya tidak patuh hukum pada masyarakat sekitar hutan. d) Tidak difungsikannya hukum pidana kepada pelaku tindak pidana perambahan hutan yang pada umumnya memiliki kekuasan ekonomi mengakibatkan timbulnya pemanfaatan
masyarakat sekitar hutan untuk melakukan tindak pidana perambahan hutan oleh pengaruh kekuasaan ekonomi.
C. Saran Dari kesimpulan yang diperoleh dengan berdasarkan kerangka pemikiran dari
Teori
Bekerjanya
Hukum
yang
dikemukakan
oleh
Friedman,
diintegrasikan dengan teori kebijakan kriminal yang ditelaah oleh G.P. Hoefnafels untuk menerapkan kebijakan kriminal yang dapat dilakukan dapat disarikan beberapa saran, di antaranya: 1. Untuk menghilangkan faktor-faktor penghambat fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut: a) Komponen Substansi Hukum 1) Perumusan tindak pidana kehutanan dalam Undang-undang bidang Kehutanan seharusnya disusun dalam delik formil dan dalam formulasi yang mudah untuk diimplementasikan oleh aparat penegak hukum baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun proses peradilan. 2) Perumusan
ketentuan
pidana
dalam
undang-undang
bidang
kehutanan harus mengatur tentang ancaman hukuman minimum, sehingga ada standar minimum tuntutan Penuntut Umum. Hasil penelitian yang relevan menunjukkan bahwa tuntutan (rekuisituir) Jaksa Penuntut Umum sangat mempengaruhi vonis yang akan dijatuhkan oleh Hakim. Semakin tinggi rekuisituir Penuntut Umum, semakin tinggi putusan hukuman oleh hakim, demikian juga sebaliknya semakin rendah rekuisituir Penuntut Umum, maka semakin rendah putusan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim. 3) Memformulasikan mekanisme penyampaian berkas perkara dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan langsung ke Penuntut
Umum untuk meningkatkan efisiensi penyidikan perkara tindak pidana kehutanan sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan proses peradilan yang cepat, efisien dan biaya relatif murah. Apabila nantinya Rancangan Undang-undang tentang KUHAP
bulan
Nopember 2006 telah disetujui, maka mekanisme ini akan diatur dalam pasal 8 ayat (2). Untuk itu, seluruh stake holder yang berkepentingan harus bersinergi untuk mendorong percepatan persetujuan rancangan Undang-undang tersebut. 4) Memformulasikan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam hal kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam Undangundang di bidang Kehutanan. Sebagai bahan perbandingan misalnya kewenangan
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
Kepabeanan
sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2) huruf d Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. b) Komponen Struktur Hukum 1) Peningkatan kualitas dan kapabilitas petugas Balai KSDA terutama yang bertugas di Resor Konservasi Wilayah dan Seksi Konservasi Wilayah yang mengelola kawasan konservasi. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan. Di samping itu juga penerapan pola reward and punishment harus dilaksanakan dengan selektif dan transparan untuk memacu kompetensi kemampuan aparatur. 2) Penguatan organisasi pengelola kawasan dengan melakukan restrukturisasri organisasi Resor Konservasi Wilayah menjadi jabatan struktural dalam Balai Besar KSDA sehingga kordinasi lintas sektoral dengan penegak hukum lainnya dapat dilakukan dengan prinsip kesetaraan, disamping itu, pola mutasi/tour of duty pada
organisasi Resor Konservasi Wilayah akan dapat dilaksanakan dengan efektif. 3) Secara bertahap, harus dilaksanakan peningkatan kelengkapan sarana dan prasarana bagi petugas di lapangan terutama petugas setingkat Resor Konservasi Wilayah yang diakui sebagai ujung tombak pengelola kawasan. Pada saat ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan sarana pendukung pengamanan hutan yang selama ini dimanfaatkan di kantor Seksi Konservasi Wilayah, kembali difungsikan di Resor Konservasi Wilayah. 4) Kordinasi
lintas
sektoral
diantara
penegak
hukum
harus
ditingkatkan. Perlu diingat bahwa walaupun bentuk dan fungsi subsub sistem dalam sistem peradilan pidana bidang kehutanan, berbeda-beda namun sub-sub tersebut tidak dapat melepaskan diri dari sistem secara keseluruhan. Antar sub sistem yang satu dengan lainnya harus bekerjasama secara serasi dan berkordinasi secara berkesinambungan dengan memegang sikap saling menghargai serta tetap berpegang teguh pada kode etik profesi. 5) Pembentukan satuan kerja yang membidangi permasalahan hukum dan peraturan perundang-undangan. Satuan kerja ini berada di Balai KSDA sehingga lebih fleksibel untuk menjangkau seluruh wilayah kerja Balai KSDA. Sebagai suatu cita-cita dan harapan, tahap awal dapat dilakukan dengan pembentukan satuan kerja fungsional yang berada di bawah seksi. 6) Melakukan penyidikan bersama antara Penyidik Polri dengan Penyidik PNS
Kehutanan dalam
menangani tindak
pidana
perambahan hutan. 7) Pada proses penuntutan terhadap tindak pidana kehutanan, Jaksa Penuntut Umum harus tetap berpedoman kepada Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-002/JA/4/1995 tanggal 28 April 1995 tentang Perkara Penting Tindak Pidana Umum Lain, disamping
itu, pola penanganan dan penyelesaian perkara kehutanan di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia harus berdasarkan kepada Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B189/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995. 8) Dengan adanya penyimpangan penerapan ajaran sifat melawan hukum materil oleh Hakim Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara perambahan hutan di SM KG dan LTL pada tahun 2005, pemerintah sebagai penggugat dalam hal ini Balai Besar KSDA Sumatera Utara, harus melakukan upaya kasasi melalui Kejaksaan Negeri Langkat. 9) Tidak sinkronnya penerapan azas-azas hukum pada proses persidangan di Pengadilan Negeri Langkat yang mengadili perkara perambahan hutan di SM KG dan LTL pada tahun 2005, menjadi alasan kuat bagi pemerintah sebagai penggugat dalam hal ini Balai Besar KSDA Sumatera Utara untuk melakukan upaya kasasi melalui Kejaksaan Negeri Langkat. c) Komponen Budaya Hukum 1) Budaya Hukum Internal a) Menegakkan prinsip-prinsip transparansi, profesionalisme dan akuntabilitas dalam proses rekrutmen aparatur khususnya di bidang kehutanan sehingga dengan pola pendidikan dan pelatihan yang baik akan dihasilkan aparatur yang baik pula. b) Penempatan tugas aparatur harus lebih memperhatikan faktor integritas dan moral daripada pengetahuan teknis. Dengan aparatur yang memiliki integritas dan bermoral baik, penegakan hukum dapat dilakukan meskipun dengan dengan peraturan yang lemah. c) Penerapan sistem reward and punishment yang adil bagi aparat penegak hukum merupakan iklim baik yang bisa menggairahkan kinerja aparat dalam penegakan hukum.
d) Melakukan pelatihan bersama secara berkala dengan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan dan sumber daya alam hayati sehingga ada persamaan persepsi bahwa potensi kerusakan lingkungan dan akibat yang ditimbulkan menjadi pertimbangan dalam proses penyidikan, membuat surat dakwaan dan proses pengadilan e) Sudah saatnya para penegak hukum mulai menyampingkan adagium yang selama ini mengungkung hukum pidana bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium. Tindak pidana perambahan hutan adalah tindak pidana yang mengakibatkan kerusakan luar biasa bagi ekosistem dan ruang hidup manusia, menimbulkan dampak jangka panjang bagi kehidupaan manusia, karena itu sanksi pidana merupakan sarana untuk membuat penggentaran (deterrent effect) bukan saja kepada pelaku tindak pidana kehutanan akan tetapi juga kepada orang lain yang akan melakukan tindak pidana kehutanan. f) Kebijakan
Kejaksaan
pengendalian,
Agung
pelaporan
dan
yang
menerapkan
sistem
pendokumentasian
dalam
penanganan tindak pidana kehutanan hendaknya tidak menjadi macan
kertas
(papieren
tiejgers)
semata.
Kebijakan
ini
merupakan upaya untuk menghilangkan mentalitas dan budaya hukum yang masih dikungkungi oleh budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan penegak hukum. Untuk itu dibutuhkan evaluasi dengan konswekensi pemberian reward and punishment yang jelas dan transparan. 2) Budaya Hukum Eksternal a) Mengingat budaya paternalistik masyarakat desa sekitar hutan, sosialisasi peraturan perundangan di bidang kehutanan dapat dilakukan dengan mengikutsertakan pemimpin
masyarakat
desa/kepala desa baik melalui jalur formal maupun informal, sehingga hukum dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social enginering). b) Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana kehutanan dilakukan untuk mencapai tujuan pembentukan kepatuhan hukum dalam budaya hukum masyarakat. c) Mengefektifkan fungsi perlindungan dan pengamanan kawasan hutan di lokasi-lokasi sekitar hutan yang berdampingan dengan masyarakat sebagai kontrol sosial terhadap pembentukan budaya kepatuhan hukum dalam masyarakat. d) Mengadopsi nilai-nilai kearifan ekologis lokal ke dalam peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan kawasan hutan
2. Kebijakan kriminal dengan mengintegrasikan penal policy dan non penal policy sebagai upaya penanggulangan tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut Upaya penanggulangan tindak pidana perambahan hutan di SM Karang Gading dan Langkat Timur Laut, tidak akan efektif apabila hanya dilakukan dengan kebijakan hukum pidana. Pada dasarnya hukum pidana itu sendiri memiliki keterbatasan untuk menanggulangi penyebab dari tindak pidana. Namun hukum pidana harus tetap digunakan sesuai dengan teori relatif atau teori tujuan (doel theorien) bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat dimana untuk mewujudkan ketertiban tersebut diperlukan pidana. Sesuai dengan sifat pencegahan teori relatif ini yaitu berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus, fungsionalisasi hukum pidana disamping berguna untuk mencegah terulangnya kembali tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku juga untuk mencegah agar masyarakat umum menjadi takut untuk melakukan kejahatan.
Kebijakan non penal yang dapat dilakukan adalah dengan mewadahi solusi penyelesaian melalui jalur ADR (Alternative Dispute Resolution). Solusi penerapan ADR ini sangat tepat diterapkan pada kasus-kasus tindak pidana kehutanan yang pelakunya adalah korporasi. Namun penerapan alternatif jalur mediasi ini harus selektif dengan mempertimbangkan kualitas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dan akibat yang ditimbulkan perbuatannya. Kemudian kebijakan kriminal yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki unsur-unsur yang terdapat dalam komponen struktur hukum maupun komponen budaya hukum.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum, PT Toko Gunung Agung, Jakarta Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta _____________. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Cetakan pertama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta A. Hariadi. 1998. Beberapa Permasalahan di Bidang Penyidikan, Himpunan Karya Tulis Bidang Penyidikan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Azasi manusia, Jakarta Aloysius Wisnusubroto.1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia dalam Beberapa Aspek Kajian, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta ___________________.2009. Teknis Persidangan Pidana, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta Andi Hamzah. 1994. Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta ___________.2002. Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta ___________.2005. Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta
Antonius Sudirman. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Anonimous. 2000. Dasar Hukum Pelaksanaan Tugas PPNS, Bahan Ajar Diklat Jagawana, Sekolah Calon Perwira Polri, Sukabumi Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 2009. Informasi Kawasan Konservasi Propinsi Sumatera Utara, Medan Bambang Purnomo. 1985. Azas-Azas Hukum Pidana, terbitan Kelima, Ghalia, Jakarta Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijakan Publik, Sinar Grafika, Jakarta ________________.2007. Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Perkasa, Jakarta Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung _________________.1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
dan
Bismar Siregar.1986. Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, CV. Rajawali, Jakarta Burhan Ashshofa. 2001. Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, PT Rineka Cipta, Jakarta Claridge Davies dan Natarita. 1995. Manfaat Lahan Basah, Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan-Asian Wetland Buereau Indonesia (AWB), Jakarta CH.J. Enschede & A. Heijder. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana (Beginselen van Strafrecht), diterjemahkan oleh R. Achmad Soema Dipraja, Alumni, Bandung Daniel S. Lev. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, terjemahan Nirwono dan A.E.Priyono, LP3ES, Jakarta Daniel Murdiyarso. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Buku Kompas, Jakarta Darji Darmodiharjo dan Sidharta. 2004. Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Djati Witjaksono Hadi. 2009. Membangun SDM Aparatur Yang Profesional Pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Dalam Penanggulangan Ancaman Terhadap Kerusakan Ekosistem Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut, Karya Tulis
Prestasi Perseorangan (KTP2), Lembaga Administrasi Negara, Program Diklatpim Tingkat II Angkatan XXV, Jakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan 3, Balai Pustaka, Jakarta Direktorat Jenderal Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Departemen Kehakiman, Panel Diskusi: Kebebasan Hakim Dalam Negara Indonesia Yang Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta, 1995 D. Schaffmeister, et.al.1995. Hukum Pidana, Kumpulan bahan Penataran Hukum Pidana Dalam Rangka Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Edisi I Cetakan ke-1, Penerbit Liberty, Yogyakarta D. Simons. 1992. Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek van Het Nederlanches Straftrecht), diterjemahkan oleh P.A.F. Lamintang, Pioner Jaya, Bandung Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, cetakan I, PT. Suryandaru Utama, Semarang Hartiwiningsih. 2008. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan 1, Sebelas Maret University Press, Surakarta H.B. Sutopo. 1991. Pengantar Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan. 2007. Laporan Hasil Audit Khusus Perambahan Pada Suaka Margastwa Karang Gading/Langkat Timur Laut Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Jakarta Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Komariah Emong Sapardjaja. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Alumni, Bandung Lawrence M. Friedman. 1984. American Law, W.W. Norton and Company, New York Leden Marpaung. 1995. Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Erlangga, Jakarta Loebby Loqman. 1991. Beberapa Ikhwal di Dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu PerUndang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Moeljatno. 2000. Azas-Azas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, Jakarta
Moh. Askin. 2003. Penegakan Hukum Lingkungan dan Pembicaraan di DPR-RI, Yarsif Watampone, Jakarta Moh. Jamin. 2009. Bahan Kuliah Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta Muladi. 2004. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan ke-2, Universitas Diponegoro, Semarang Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Cetakan I, Alumni, Bandung ___________________________.1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan ke-2, Edisi Kedua, Penerbit PT. Alumni, Bandung M. Syamsudin. 2009. Budaya Hukum Hakim Dalam Menangani Perkara Korupsi di Pengadilan, Laporan Hasil Penelitian, Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang Nommy H.T. Siahaan. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi kedua, Erlangga, Jakarta Nyoman Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Oemar Seno Aji.1985. Peradilan Bebas Negara Hukum, Cetakan Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta ______________.1985. KUHAP Sekarang, Erlangga, Jakarta Philipus M. Hadjon, et al. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Introduction to The Indonesia Administrative Law, Cetakan Kedelapan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung R.O. Siahaan. 2008. Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit RAO Press, Cibubur __________. 2008. Filsafat Hukum Dan Etika Profesi Hukum, Cetakan Pertama, RAO Press, Cibubur R. Soesilo. 1979. Hukum Acara Pidana (Penyelesaian Perkara Pidana Bagi Penyidik), Politea, Bogor Saifullah. 2007. Hukum Lingkungan, Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Cetakan I, Penerbit UIN Malang Press, Malang Satjipto Rahardjo.2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Cetakan I, Genta Publishing, Yogyakarta ______________.1980. Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung
______________. 1988. Hukum dan Perubahan Sosial, PT. Angkasa, Bandung ______________.2000. Ilmu Hukum, cetakan ke-5, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Setiono. 2005. Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta Siti Sutami. 1987. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Karunika Universitas Terbuka, Jakarta Soerjono Soekanto. 2003. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cetakan ketigabelas, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta _______________.1989. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung _______________.1986. Beberapa Permasalahan Pembangunan di Indonesia, UI Press, Jakarta
Hukum Dalam
Rangka
_______________.2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed.1-8-, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Siti Sutami.1987. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Karunika Universitas Terbuka, Jakarta Soetandyo Wignyosoebroto. 2008. Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Sebuah Pengantar Ke arah Kajian Sosiologi Hukum, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing, Malang Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung Sudikno Mertokusumo.1983. Sejarah Peradilan Dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942, Dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta ___________________.1999. Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta Sulistyowati Irianto dan Shidarta (editor). 2009. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Edisi Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta Theo Huijbers.1995. Filsafat Hukum., Cetakan ketiga, Penerbit Kanisius, Yogyakarta Wirjono Prodjodikoro. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan Ketujuh, Edisi Kedua, PT Refika Aditama, Bandung W.J.S. Poerwadarminta. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta
M. Yahya Harahap.2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta ________________.2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan ke-4, Sinar Grafika, Jakarta Yusi Probowati Rahayu. 2001. “Rekuisitur Jaksa Penuntut Umum dan Kepribadian Otoritarian Hakim Dalam Proses Pemidanaan di Indonesia”, Disertasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Jurnal, Makalah dan Lain-lain Cardozo Law Review January, Yeshiva University, 2010 Duke Environmental Law and Policy Forum Winter, 2010 Environmental Investigation Agency and Telapak, Above The Law, Coruption, Collusion, Nepotism and The Fate of Indonesia’s Forests, ttp. Jurnal Yustisia, edisi nomor 69, September-Desember 2006 Jurnal Hukum FH-UII, Nomor 9, Volume 4, 1997 Seattle Journal for Social Justice, Spring/Summer, 2008 Stanford Law Review, March, 2006 A. Purwoko dan Onrizal. 2002. “Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di SM KGLTL”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Hasilhasil Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Ditjend DIKTI, Jakarta, 2002 Dulhadi. 2000. “Hutan Mangrove Kabupaten Langkat Masalah dan Upaya Pengelolaannya (Khusus SM. Karang Gading dan Langkat Timur Laut)”, makalah disampaikan pada Seminar Regional Strategi Penanganan Hutan Mangrove di Propinsi Sumatera Utara, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, Medan, 5 Agustus 2000 Mas Achmad Santosa. 2007. “Penguatan Penegakan Hukum atas Illegal Logging”, makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional, Jakarta, . 29-30 November 2007 Ramli dan A. Purwoko. 2003. “Peran Dan Fungsi Hutan Bakau dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu”, makalah disampaikan pada Lokakarya Antar Sektor dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Kabupaten Langkat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat, Stabat, 2003 Syafri Basir. 2001. “Jaminan Kepastian Hukum Dalam Penuntutan Perkara Pelanggaran dan Kejahatan Bidang Kehutanan: Antara Teori dan Praktek”, Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Reposisi Struktur, Peran dan Fungsi
Polisi Kehutanan dalam Era Otonami Daerah, Unit Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara I Medan, 12 Maret 2001 Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 2009. Matrik Laporan Data Register Perkara Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Medan Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 2009. Laporan Kemajuan Penanganan Kasus Dalam Persidangan di Pengadilan Negeri Pada Wilayah Kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara Sampai Dengan Agustus 2008, Medan Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Rancangan Undang-undang KUHAP bulan Nopember 2006 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana Lembaran negara No.36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258 Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 Nopember 1980 tentang Penunjukan areal Hutan Karang Gading dan Langkat Timur Laut seluas ±15.765 HA yang Terletak Di Daerah Tk.II Langkat Dan Daerah Tk.II Deli Serdang, Daerah Tk.I sumatera Utara Sebagai hutan Suaka Alam Cq.Suaka Alam Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.44/MenhutII/2005 tanggal 16 Januari 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara Seluas ± 3.742.120 (Tiga Juta Tujuh Ratus Empat Puluh Dua Ribu Seratus Dua Puluh) Hektar Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 02/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam Perjanjian Kerjasama antara Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut No.
1341/DJ-IV/LH/2001 dan No. TNI AL: R/766/XII/01/SOPS tanggal 27 Desember 2001, tentang Penyelenggaraan Operasi Wanabahari Putusan Peradilan: Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tentang Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 021/PUU-III/2005, tanggal 1 Maret 2006 Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 26/Pid.B/2006/PN Stb.Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 222/PID.B/2006/PN Stb Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor: 374/Pid.B/2006/PN. Stb. Majalah dan Surat Kabar Kompas, tanggal 18 Januari 2010 Majalah Lingkungan Hidup OZON. Desember 2003. Volume 4 Nomor 3, Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Jakarta LEBAH, Volume 2 Nomor 2 Oktober 2003, Institut Hukum Sumber Daya Alam, Jakarta.
Data Elektronik Suer Suryadi, Penegakan Hukum di TNGL Bukan Basa-basi, dalam http://www.gunungleuser.or.id/artikel/Penegakan%20Hukum%20TNGL,%20%28 bukan%29%20Basa-basi_1.pdf Kejaksaan Republik Indonesia, http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3
dalam
Kementriaan Kehutanan Republik http://www.dephut.go.id/struktur/index.php
dalam
Indonesia,
Chaerul Huda, dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20099/direktur-hrd-hotel-sultanlepas-dari-jerat-hukum Wikipedia, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaran_Negara Kateglo, dalam http://www.bahtera.org/kateglo/?mod=dictionary&action=view&phrase=temu%2 0gelang