FUNGSI INTRINSIK HUTAN DAN FAKTOR ENDOGENIK PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI DETERMINAN PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG
SAMSUL BAKRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan disertasi Fungsi Intrinsik Hutan dan Faktor Endogenik Pertumbuhan Ekonomi sebagai Determinan Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 30 Januari 2012
ABSTRACT SAMSUL BAKRI. The intrinsic function of forest resource and endogenous factors of economic growth as determinants of regional development of Lampung Province. Under direction of DUDUNG DARUSMAN, BAMBANG JUANDA and BAHRUNI. Liquidation of forest resource for regional development programs in Lampung Province has produced higher rent of some land utilizations and has enhanced its regional welfare. The process, however, has also escalated the environmental deterioration such as the flood and landslide intensities as well as the land degradation. The deforestation process of the main resource endowment in the region would be lasting together with the next development activities anyhow. This research was objected to: (1) determine the maximum tolerable threshold of extended deforestation that would not sacrifice the possible next welfare achievement, (2) build a praxis of regional development based on endogenous economics growth theory. Data of land use series and social characteristics as well as economic were collected from secondary resources. Having employed a linear model for determining maximum tolerable of extended deforestation and the analyses of some simultaneous regressions in developing praxis on regional planning, it concluded: (1) deforestation has been a constraint element in regional development in Lampung Province, so that there is no extending deforestation allowed any longer except for the areas of people’s forest and coffee farm that lied on the down stream only with the maximum acreages of 1,006 Ha and 5,378 ha respectively in case those area were converted to the estate plantation; (2) under the natural resource and the environmental deterioration constraints, the endogenous factors (leadership, institution and entrepreneurship) were reliable capitals in the praxis of the regional development through enhancement of income per capita in agriculture sector to bolster small industries empowerment and to accelerate economic growth that its benefit must be transmitted to enhance the farmer’s parity in order to sustain the regional welfare development, (3) reforestation would enhanced local tax revenue without causing social injury as long as accompanied by the increasing the local government spending for public investment as well as spending on social aid. Keywords: deforestation, endogenous growth, small industry, famer parity, fiscal policy and welfare
RINGKASAN SAMSUL BAKRI. Fungsi Intrinsik Hutan dan Faktor Endogenik Pertumbuhan Ekonomi sebagai Determinan Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, BAMBANG JUANDA, dan BAHRUNI. Penelitian Naidoo (2004) di 77 negara menyimpulkan bahwa deforestasi umumnya dapat mempercepat pertumbuhan maupun transformasi struktural perekonomian dari corak yang mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam menjadi perekonomian berbasis industri yang mengandalkan tenaga kerja terampil. Makin awal dan makin luas deforestasi dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi makin cepat dicapai. Capaian tersebut dapat diraih karena ekspor hasil hutan dapat digunakan untuk tabungan dan investasi dalam sektor-sektor perekonomian yang memiliki rente lebih tinggi seperti perkebunan, pertanian, perdagangan dan perindustrian serta yang lebih peting lagi untuk investasi pendidikan sehingga tersedia tenaga terampil. Fenomena ini juga dialami oleh berbagai wilayah di Indonesia. Melalui korbanan deforestasi itu, misalnya kini Provinsi Lampung menurut Ditjenbun (2009) telah menjadi eksportir kopi nasional ke dua (21,67%) setelah Sumatera Selatan (22,35%) dari total ekspor kopi nasional. Dengan kontribusi tersebut, maka telah menempatkan Indonesia sebagai pengekspor kopi peringkat ke tiga setelah Brasilia dan Vietnam. Agak berbeda dengan deskripsi yang disampaikan oleh Naidoo (2004), kini laju deforestasi di Provinsi Lampung nampaknya telah melampaui daya regenerasinya sehingga fungsi intrinsiknya menjadi begitu merosot. Gejala ketidakbersinambungan pembangunan itu diindikasikan oleh buruknya capaian kinerja indikator makro pembangunan ekonomi wilayah. Menurut BPS Provinsi Lampung (2010), Lampung merupakan Provinsi termiskin ke tiga di Sumatera, untuk periode 2000-2008 rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 4,87[Sd=0,82]%, dengan PDRB/Kpt baru Rp 4,41[Sd=0,57]Juta dan tingkat kemiskinan masih 21,63[Sd=2,89]% serta capaian HDI (Human Development Index) 68,25 [Sd=2,17]. Sedangkan secara nasional untuk periode tersebut menurut BPS (2010) telah mencapai: pertumbuhan ekonomi 5,52[Sd=0,65]%, dengan PDB/Kpt Rp 8,08 [0,68]Juta dan tingkat kemiskinan dapat ditekan pada angka 16,09[Sd=0,64]% dan HDI 70,32[Sd=1,10]. Bersisian dengan itu, tutupan hutan di Provinsi Lampung telah terdegradasi akut yaitu 80% di hutan lindung, 76% di hutan produksi, 71% di hutan produksi terbatas, 70% di Tahura, 36% di Taman Nasional Way Kambas & 16% di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Dishut 2005 Provinsi Lampung dikutip Watala, 2008). Berkaitan dengan itu, tantangannya bagi para perencana pembangunan adalah bagaimana merancang suatu praksis pembangunan wilayah di bawah kendala sumberdaya yang ada di Provinsi ini. Merujuk pada karya Stimson dan Stough (2008) dan Stimson et al (2003), harapan itu bisa sangat terbuka jika setiap wilayah mampu untuk mengembangkan berbagai insentif agar faktor-faktor endogenik yang dimilikinya dapat berkembang dan menjadi keunggulan kolaboratif (collaborative advantage) wilayahnya. Faktor-faktor endogenik tersebut meliputi kinerja kepemimpinan atau (L)eadership, kelembagaan atau
(I)nstitution dan kewirausahaan atau (E)ntrepreneurship. Kinerja faktor E merupakan motor bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Kinerja E ini akan kuat jika ditopang olah I yang efektif bersama-sama dengan L yang kuat pula. Berlandaskan pada fakta-fakta tersebut, maka masalah utama yang perlu disingkapkan melalui penelitian adalah bagaimana perencanaan praksis pembangunan wilayah Propisi Lampung dapat dirumuskan agar ke depan dapat keluar dari Richardian Trap sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya? Namun mengingat pertumbuhan ekonomi itu sifatnya antidistrubsi (seringkali lebih banyak dinikmati oleh yang sudah relatif kaya) maka pada awal dekade 2000 UNDP telah menerapkan Human Development Index (yang merupakan komposit dari capaian indek konsumsi, indek kesehatan dan indek pengetahuan) sebagai tolok ukur keberhasilan suatu program pembangunan yang berkesinambungan. Dalam konteks ini, mengingat petani merupakan partisipan terbesar dalam pembangunan wilayah yang selama ini umumnya lemah dalam mengakses manfaat dari hasil pertumbuhan ekonomi tersebut, maka masalah kritis berikutnya adalah bagaimana daya beli kelompok masyarakat ini dapat ditingkatkan? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) menentukan batas toleransi ambang deforestasi yang masih menjamin capaian kesejahteraan ke depan, (2) mengkaji peranan kinerja faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah terhadap pertumbuhan pangsa sektor industri, pertumbuhan ekonomi dan indek pembangunan manusia,(3) mengkaji peranan kontribusi hutan rakyat, hutan negara dan akses pasar terhadap pertumbuhan pangsa sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia, dan (4) mengembangkan rancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah yang mengandalkan faktor-faktor endogenik,dan (5) merancang intervensi kebijakan fiskal di bawah skema reforestasi. Penelitian ini dimulai pada bulan April sampai September 2011 di Provinsi Lampung. Pengumpulan data sekunder dilakukan pada berbagai instansi yang di tingkat Nasional (BPS Nasional, Pusat Penelitian Tanah & Agroklimat) dan di Provinsi Lampung (BPS Provinsi, BMKG Provinsi, Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan, BPDAS Seputih-Sekampung, Dinas Koperindag dan BI Lampung). Analisis dilaksanakan di Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Universtias Lampung. Pendekatan yang digunakan adalah pemodelan. Analisis hubungan antara tingkat kesejahteraan ataupun kerusakan lingkungan digunakan model linear berganda. Variabel terikat yang digunakan adalah Indek Pembangunan Manusia untuk 10 kabupaten/kota di lingkup Provinsi Lampung tahun mendatang HDIt+1. Kecuali itu juga digunakan intensitas banjir (FLOOD) dan kelongsoran tanah (LSLIDE) sebagai pewakil dari degradasi lingkungan yang dinyatakan dengan persentase desa-desa yang mengalami kedua bencana itu dalam kurun 2003-2005 dan 2006-2008 (BPS Provinsi Lampung, 2006a dan 2009a). Adapun variabel penjelas yang digunakan meliputi proporsi penggunaan lahan di setiap kabupaten/kota, yang meliputi hutan rakyat (HR) dan hutan negara (HN), lahan terdegradasi (LDEG), sawah (SWH), “perkebunan kopi rakyat” (COFF), perkebunan besar (ESTPLT), kolam (POND), ladang berpindah (SHIFT), lahan bera (FALLOW) dan rawa (SWAMP) yang diekstrak dari BPS Provinsi Lampung (2006a dan 2009a) kecuali untuk COFF yang diekstrak dati BPS Provinsi
Lampung (2006b dan 2009b) selain itu juga milimeter curah hujan tahunan (BMKG, 2010 tidak dipublikasi). Adapun status urbanisme dinyatakan dengan dummy variabele. Bentang lahan, jenis batuan dominan (diekstrak dari CSR, 1989). Optimasi parameter dilakukan dengan piranti lunak Minitab Version 11. Simulasi deforestasi dengan mereduksi luasan tutupan hutan rakyat, hutan negara, dan pengurangan perkebunan kopi masing-masing sebesar 5, 10, 15, 20, 25, 30, 50%. Kriteria yang digunakan untuk menentukan nilai ambang toleransi deforestasi ada 3 yaitu: (i) [HDI]t+1 untuk hulu >70,52 untuk hilir >71,28; (ii) peningkatan [LSLIDE]<10%; dan (iii) peningkatan [FLOOD]<10%. Kriteria yang pertama diambil dari angka [HDI]2009 masing-masing untuk rataan kelompok kabupaten di subwilayah hulu dan subwilayah hilir. Sedangkan kriteria yang ke dua dan ke tiga dipadang sebagai ukuran resiko yang masih rasional sebagai akibat dari dampak kehiatan pembangunan. Perancangan praksis pembangunan wilayah menggunakan 3 teori yaitu, (1) teori transformasi strukural perekonomian, (2) teori kendala sumberdaya, (3) teori pertumbuhan ekonomi secara endogenik dengan mengadopsi postulat model yang dikembangkan oleh Stimson dan Stough (2008) dan (4) penerapan landasan etika. Kinerja E diproksi dengan intensitas industri per 10 ribu penduduk baik indusri kecil di hulu (IKC_HU), industri kecil di hilir (IKC_HI), industri sedangbesar di hulu (IBS_HU) serta industri besar di hilir (IBS_HI). Kekuatan L diproksi dengan kepadatan koperasi baik di hulu (KOP_HU) ataupun di hilir (KOP_HI). Kefektivaan atau kinerja I diproksi dengan itensitas kejahatan di hulu (KJ_HU) dan di hilir (KJ_HI), kerapatan tempat ibadah di hulu (IBD_HU) dan di hilir (IBD_HI), kerapatan organisasi sosial kemasyarakatan di hulu (ORG_HU) dan di hilir (ORG_HI) serta kerapatan relawan di hulu (RLW_HU) dan di hilir (RLW_HI) yang semuanya dinyatakan per 10 ribu penduduk. Data diekstrak dari BPS Kab/Kota Se Provinsi Lampung (1992-2009). Kinerja (Re)source endowment diproksi dengan luasan tutupan hutan rakyat di hulu (HR_HU) dan di hilir (HR_HI) maupun tutupan hutan negara di hulu (HN_HU) dan di hilir (HN_HI). Untuk periode 1992 sampai 1999 ini diekstrak dari (BPS 1993-2000) selain itu juga dilakukan digitasi ulang hasil interpretasi Citra Landsat ETM 5 tahun 2000, 2003 dan 2005 yang telah dilakukan Baplan Kemenhut (2003, dan 2005), Citra Landsat tahun 2008 (Kemen LH, 2008). Kemudian ditumpangtindihkan dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan serta Peta Adiministratif Provinsi Lampung. Variabel tangkapan pasar atau (M)arket tapping diproksi dengan densitas jalan aspal (km/10 ribu ha) di hulu (JL_HU) dan hilir (JL_HI). Data tentang makro ekonomi dan kesejahteraan rakyat diestrak dari BPS Provinsi Lampung (1993-2009; dan 2010). Rezim desentralisasi fiskal (RZ) dinyatakan dengan dummy variable, sebelum dinilai 0 dan sesudah desentralisasi diberi nilai 1. Simpulan yang dapat dicapai: (1) tidak ada ruang untuk bertoleransi bagi deforestasi lanjutan kecuali pada areal hutan rakyat di subwilayah hilir maksimum 5% (1,006 ha) atau di areal perkebunan kopi di subwilayah hilir maksimum 10% (5,378 ha) dari luasan sekarang, (2) fungsi intrinsik hutan utamanya Hutan rakyat telah menjadi determinan penting bagi pertumbuhan pendapatan di sektor pertanian untuk menopang pertumbuhan pangsa sektor industri serta pertumbuhan ekonomi. (3) Faktor endogenik dengan ujung tombak wirausahawan kalangan industri kecil yang ditopang oleh
pertumbuhan pendapatan per kapita sektor pertanian akan dapat membuat pertumbuhan ekonomi dan HDI berkesinambungan jika benefitnya dirancang untuk penguatan daya beli petani, dan (3) Pengunaan penerimaan pajak dan retribusi daerah dengan Alokasi 2, (yaitu: 75% untuk belanja publik diiringi dengan 25% belanja bantuan sosial) lebih efektif dari Alokasi 1 (yaitu 100% untuk belanja publik) dalam meningkatkan pertumbuhan ekonom, NTP (nilai tukar petani) maupun HDI (indeks pembangunan manusia), dan (3) Reforestasi seluas 250 ha dengan skema 3 kali HR_HU, 2 kali HR_HI dan selebihnya di HN dapat digunakan untuk meningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah sampai 15% tanpa menciderai capaian NTP dan HDI secara nyata dengan syarat digunakan untuk peningkatan belanja Pemerintah Provinsi menggunakan Alokasi2. Adapun saran yang realistis adalah perlu melakukan penelitian: (1) di wilayah lain yang memiliki permasalahan serupa seperti Jakarta terhadap Bopunjur, Semarang terhadap Ungaran-Salatiga, Surabaya terhadap Malang dll; (2) penelitian lebih lanjut yang difokuskan pada karakterisasi faktor entrepreneurship berserta lingkungan budayanya, utamanya pada kalangan industriawan kecil dikaitkan pula dengan potensi ekonomi lokal. Kata kunci: deforestasi, pertumbuhan endogenik, wirausahawan industri kecil, NTP, kebijakan fiskal daerah dan HDI
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun.
FUNGSI INTRINSIK HUTAN DAN FAKTOR ENDOGENIK PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI DETERMINAN PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG
SAMSUL BAKRI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S., M.Ec.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitno Harianto, M.S. Dr. Ir. Harry Santoso
Judul Disertasi
Nama NIM
: Fungsi Intrinsik Hutan dan Faktor Endogenik Pertumbuhan Ekonomi sebagai Determinan Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung : Samsul Bakri : H061060041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. Anggota
Dr. Ir. Bahruni, M.S. Anggota
Mengetahui:
Ketua Pogram Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 24 Januari 2012
Tanggal Lulus: 10 Februari 2012.
untuk: anakku Satria, Lucky, dan Aurora serta istriku Ida
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi atas Rahmat-Nya maka disertasi ini dapat saya selesaikan. Saya menyadari bahwa walaupun disertasi adalah tugas individu mahasiswa, tetapi dalam proses penyusunannya tentu banyak fihak yang telah membantu. Adanya kelebihan dalam disertasi tentu juga berasal dari mereka, namun adanya kekurangan di dalamnya adalah berasal dari saya sendiri. Sehubungan dengan itu, pada kesempatan ini patut saya sampaikan ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. (sebagai Ketua Komisi Pembimbing), Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S., dan juga kepada Dr. Ir. Bahruni, M.S., (sebagai Anggota Komisi Pembimbing) yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, kritikan, masukan dan arahan selama penyusunan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. dan Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, secara khusus juga saya ucapkan terima kasih setinggi-tingginya atas semua arahan selama saya menempuh pendidikan program S3 ini. Selain itu saya juga patut ucapkan terima kasih kepada segenap jajaran pimpinan di Universitas Lampung yang telah memberi kesempatan saya untuk menempuh program S3 ini. Tak lupa kepada Dra. Ida Nuhaida, M.Si (istri tercinta) dan anak-anakku: Satria Arief Wicaksono, Lucky Satria Budiman dan Aurora Rahmania Muntaz serta bapak dan ibu saya yang senantiasa tidak lelah berdoa juga saya ucapkan terima kasih atas segala kesabarannya selama saya menempuh studi ini. Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan RahmatNya kepada semua fihak yang telah saya sebutkan ataupun yang tidak saya sebutkan di sini.
Bogor, 30 Januari 2012 Samsul Bakri
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 5 Mei 1961 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari Pasangan Mohamad Moegeqni dan Siti Asmi Sarminten. Menikah dengan Dra. Ida Nurhaida, M.Si. dikarunia 3 orang anak: Satria Arief Wicaksono, Lucky Satria Budiman dan Aurora Rahmania Mutaz. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Fakultas Pertanian IPB lulus pada tahun 1986. Pendidikan Magister ditempuh pada Program Pascasarjana IPB lulus tahun 1999. Pada tahun 2006, penulis mengikuti pendidikan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan dengan sponsor dari BPPS, Ditjen Dikti. Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Lampung sejak tahun 1987 dan sekarang memiliki jabatan akademik lektor kepala.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------------------
v
DAFTAR GAMBAR -----------------------------------------------------------------------
vii
DAFTAR LAMPIRAN --------------------------------------------------------------------
ix
1.
PENDAHULUAN -------------------------------------------------------------------1.1 Latar Belakang dan Masalah --------------------------------------------------1.2 Perumusan Masalah ------------------------------------------------------------1.3 Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------------------1.4 Novelti dari Ranah Penelitian -------------------------------------------------1.5 Manfaat Hasil Penelitian -------------------------------------------------------
1 1 3 4 5 6
2.
TINJAUAN TEORITIS ------------------------------------------------------------2.1 Realitas Sosial-Budaya dan Biofisik Provinsi Lampung ------------------2.2 Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai Penyebab Stagnasi Kinerja Perekonomian Wilayah -----------------------------------2.2.1 Fungsi Intrinsik Hutan sebagai Pembatas Perkembangan Ekonomi Wilayah -----------------------------------------------------2.2.2 Deforestasi dan Aglomerasi Kegiatan Ekonomi -------------------2.3 Stagnasi Capaian Indikator Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung -------------------------------------------------------------------------2.4 Dampak Deforestasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat -----------------------------------------------------------------2.5 Kendala Sumberdaya: Teori Moderenisasi Ekonomi Wilayah Negaranegara Berkembang -----------------------------------------------------------2.6 Peran Resource Endowment dan Kinerja Ekspor dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah --------------------------------------------------------------2.7 Risalah Teori Pertumbuhan Ekonomi: Dari Model Solow ke Model Baru Pertumbuhan Endogenik -----------------------------------------------2.8 Peran Faktor Endogenik Pembangunan Ekonomi Wilayah --------------2.8.1 Pengertian dan Peranan Faktor Leadership dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah ------------------------------------------------------2.8.2 Pengertian dan Peranan Faktor Institution dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah -----------------------------------2.8.3 Pengertian dan Peranan Faktor Entreprenuership dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah ------------------------------------2.9 Risalah Teori PembangunanEkonomi Wilayah ----------------------------2.9.1 Dari Keunggulan Komparatif ke Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Kolaboratif -----------------------------------------2.9.2 Globalisasi, Pembangunan Berkesinambungan, dan Gagasan tentang Regional Self-Help ------------------------------------------2.9.3 Kebutuhan terhadap Adanya The New Growth Theory -----------2.9.4 Implikasi dari The New Growth Theory dalam Penyusunan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah ---------------------
7 8
i
13 13 17 25 28 34 44 53 60 61 63 65 74 77 79 82 84
3.
4
5.
2.9.5 Bentuk Model dari The New Growth Theory Pembangunan Ekonomi Wilayah -----------------------------------------------------
86
KERANGKA PEMIKIRAN, PILIHAN IDEOLOGI PEMBANGUNAN DAN HIPOTESA PENELITIAN -------------------------------------------------3.1 Kerangka Pemikiran -----------------------------------------------------------3.2 Ideologi Pembangunan dan Asumsi Dasar dalam Pemecahan Masalah-3.2.1 Landasan Ideologi Pembangunan yang Digunakan ----------------3.2.2 Asumsi yang Harus Dipenuhi -----------------------------------------3.3 Hipotesis yang Diajukan -------------------------------------------------------
91 91 94 94 99 99
METODE PENELITIAN -----------------------------------------------------------4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ------------------------------------------------4.2 Pelaksanaan Penelitian ---------------------------------------------------------4.2.1 Penentuan Toleransi Ambang Deforestasi --------------------------4.2.2 Metode Perencangan Praksis Pengembangan Wilayah -----------4.2.3 Variabel untuk Perancangan Praksis Pembangunan Wilayah, Sumber Data dan Prosedur Ekstrasinya -----------------------------4.2.4 Bentuk Model dan Uji Hipotesis --------------------------------------4.3 Analisis Kebijakan Fiskal Daerah Provinsi ----------------------------------4.3.1 Bentuk Model Perilaku Fiskal terhadap Faktor Endogenik -----4.3.2 Beberapa Skenario Kebijakan Fiskal Daerah di Bawah Skema Reforestasi--------------------------------------------------------------
101 101 101 101 104
HASIL DAN PEMBAHASAN ----------------------------------------------------5.1 Kondisi Umum Provinsi Lampung dan Kinerja Faktor Endogeniknya---5.1.1 Kondisi Geografi dan Fisiografi -----------------------------------5.1.2 Sumberdaya Hutan sebagai Resource Endowment --------------5.1.3 Kerapatan Jaringan Jalan dan Kinerja Faktor Endogenik Wilayah ---------------------------------------------------------------5.1.4 Korelasi Antarvariabel Proksi----------------------------------------
127 127 127 129
5.2 5.3
144 147
5.4
5.5
Perkembangan Perkonomian Wilayah dan Tingkat Kesejahteraan -----Tingkat Kesejahteraan versus Kinerja Lingkungan -----------------------5.3.1 Model Perilaku Kinerja Kesejahteraan versus Kinerja Lingkungan ------------------------------------------------------------5.3.2 Ambang Toleransi Deforesasi Lanjutan dan Konversi Hutan dan Kebun Kopi Menjadi Perkebunan Besar --------------------Rancangan Praksis Pengembangan Ekonomi Wilayah ------------------5.4.1 Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi ---------------------5.4.2 Strategi Pemerataan Tingkat Kesejahteraan ---------------------Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Peningkatan Kesejahteraan ---------5.5.1 Perkembangan Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi -------------5.5.2 Model Perilaku Piranti Fiskal untuk Pengembangan Faktor Endogenik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ---------------------5.5.3 Dampak Alokasi Fiskal dan Skema Reforestasi terhadap Kesejahteraan Masyarakat -------------------------------------------
ii
106 115 120 121 124
132 143
147 152 154 155 168 170 170 173 177
6.
SIMPULAN DAN SARAN --------------------------------------------------------6.1 Simpulan ---------------------------------------------------------------------6.2 Saran ---------------------------------------------------------------------------
185 185 187
DAFTAR PUSTAKA ---------------------------------------------------------------------LAMPIRAN----------------------------------------------------------------------------------
189 199
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Perbandingan Rataan Indikator Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung terhadap Nasional Tahun 2000-2008 --------------------
25
Elastisitas Output/Input & Skala Pengembalian (RTS: Return to Scale) Rataan dari 12 Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Selama Desentralisasi Tata Pemerintahan ------------------------------------------------
26
Rataan Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian, Sektor Agroindustri, dan Industri Pengolahan pada Masa Desentralisasi (2000-2008) di Provinsi Lampung ----------------------------------------------------------------------------
27
Indeks Pembangunan Manusia sebagai Fungsi dari Proporsi dari Luas Tutupan Hutan di Indonesia ------------------------------------------------------
31
Tutupan Hutan dan Laju Deforestasi beberapa Titik Tahun di Provinsi Lampung -----------------------------------------------------------------------------
45
Nilai Total Ekspor, Pangsa Ekspor Sektoral terhadapp PDRB dan Perumbuhannya di Provinsi Lampung -------------------------------------------
47
Ideologi Lingkungan dan Label Keberlanjutannya dalam Pembangunan Ekonomi -----------------------------------------------------------------------------
98
Dummy variables untuk Pemodelan Tingkat Kesejahteraan dan Kinerja Lingkungan Simbol, Cara Ekstraksi dan Pengolahan Datanya ---------------
102
Variabel untuk Perancangan Praksis, Simbol, Proksi, Sumber Data dan Prosedur Ekstraksinya --------------------------------------------------------------
112
Distribusi Luasan Skema Reforestasi pada Masing-masing Kelompok Hutan ---------------------------------------------------------------------------------
125
Kenaikan Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja Alokasi 1 -----------------------------------------------------------------------------
126
Kenaikan Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja Alokasi 2 -----------------------------------------------------------------------------
126
Luasan (Ha) Tutupan Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Negara (HN) di Hulu (HU) dan Hilir (HI) di Provinsi Lampung --------------------------------------
130
v
14
15
16
17
18
19
Kerapatan Jaringan Jalan Beraspal (JL, Km/10 Ribu Ha) dan Tempat Ibadah (IBD) per 10 Ribu Penduduk di Hulu (HU) dan di Hilir (HI) serta Provinsi Lampung ------------------------------------------------------------------
133
Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) dan Industri Kecil (IKC) di Subwilayah hulu (HU), di hilir (HI) serta di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) -----------------------------------------------------------------
136
Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) dan Industri Kecil (IKC) di Subwilayah hulu (HU), di hilir (HI) serta di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) -----------------------------------------------------------------
139
Kerapatan Organisasi Massa (ORG) dan Relawan Sosial (RLW) per 10 Ribu Penduduk di Subwilayah hulu (HU), hilir (HI) dan Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2008 --------------------------------------------
141
Indikator Makro dan Pangsa Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung dalam Periode 1996 sampai 2009 -------------------------------------------------
145
Perkembangan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Lampung dalam Periode 1996 sampai 2009 -------------------------------------------------
147
Model 20Du Model Dugaan Kinerja Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tahun Depan [HDI]t+1, Intensitas Banjir [FLOOD]t dan Longsor [LSLIDE]t di Wilayah Penelitian ---------------------------------------------------------------------------21 Ringkasan Hasil Simulasi Penentuan Nilai Ambang Toleransi Deforestasi Lanjutan pada Hutan Rakyat [HR], Hutan Negara [HN] dan pada “Perkebunan Kopi Rakyat” [COFF] untuk Dikonversi Menjadi Perkebunan Besar [ESTPL] di Provinsi Lampung ---------------------------22
23
24
25
26
149
153
Hasil Regresi Beberapa Persamaan Simulatan untuk Perancangan Praksis Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung ----------
156
Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung untuk Periode 1996 sampai 2008 ----------------------------------------------------------------------------------
171
Model Perilaku Piranti Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung dalam Kaitannya dengan Kinerja (L)eadership dan Keefektifan (I)nstitution------
174
Dampak Skema Reforestasi 0 dan 100 Ribu ha dan Alokasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi, NTP dan HDI -------------------------------
179
Dampak Skema Reforestasi 250 Ribu ha dan Alokasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi, NTP dan HDI -----------------------------------------
183
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Peta Administratif Provinsi Lampung Sampai Tahun 2006 dengan Dua Kota dan Delapan Kabupaten di Dalamnya -------------------------------------
2
Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs (Low Forest Cover Countries) ----------------------------------------------------
30
Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs dengan Proporsi Tutupan ≤20% dan PDB/Kpt ≤ 10.000USD ---------------
30
Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan (1988) terhadap PDRB/Kapita (2002) di Provinsi Lampung ------------------------------------------------------
32
Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan (1988) terhadap IPM (2002) di Provinsi Lampung ---------------------------------------------------------------
33
6
Konsepsi Teori Kendala Sumberdaya -------------------------------------------
39
7
Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan PDRB/Kpt Provinsi Lampung Periode Tahun 2000 sampai 2005 ------------------------------------
49
Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan IPM Provinsi Lampung Periode Tahun 2000 sampai 2005 ------------------------------------------------
50
Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu & Cash Crop dengan PDRB/Kpt Provinsi Lampung Periode Tahun 2000 sampai 2005 -----------
52
Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu & Cash Crop dengan IPM Provinsi Lampung Periode Tahun 2000 sampai 2005 -------------------
53
11
Model Pertumbuhan Solow -------------------------------------------------------
54
12
Pengaruh Pertumbuhan Populasi dalam Model Solow ------------------------
55
13
Dampak Ipteks dalam Model Solow ---------------------------------------------
56
14
Kurva Pertumbuhan Ekonomi Secara Endogenik -----------------------------
58
15
Perkembagan Fokus Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Strategi Perencanaan -------------------------------------------------------------------------
75
Kerangka Pemikiran dari Model Baru Proses Pembangunan Wilayah -----
87
3
4
5
8
9
10
16
vii
10
17
Kerangka Pemikiran Pemecahann Masalah -------------------------------------
96
18
Rancangan Praksis Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung --
111
19
Perkembangan Luas Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Negara (HN) di Subwilayah hulu (HU) dan di hilir (HI) Provinsi Lampung Periode 1992 sampai 2008 -------------------------------------------------------------------------
131
Kerapatan Jaringan Jalan (JL, Km/10 ha) di Subwilayah Hulu (HU) dan Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung untuk Periode Tahun 1996 sampai 2008 -----------------------------------------------------------------------------------
135
Kerapatan Tempat Ibadah (IBD) per 10 Ribu Penduduk di Subwilayah Hulu (HU) dan Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung untuk Periode Tahun 1996-2008 ---------------------------------------------------------------------------
135
Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) di Subwilayah hulu (HU), di Hilir (HI) dan di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) untuk Periode 1996 sampai 2008 --------------------------------------------------------
137
Kerapatan Indusrti Kecil (IKC) di Subwilayah Hulu (HU), di Hilir (HI) dan di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) Periode 1996-2008----
137
Intensitas Kejahatan (KJ) per 10 ribu Penduduk di Subwilayah hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2008 ----------------------
140
Kerapatan Koperasi (KOP) per 10 Ribu Penduduk di Subwilayah Hulu (HU), Hilir dan Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2008 --------
140
Kepadatan Ormas per10 Ribu Penduduk [ORG] di Subwilayah hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2008 ----------------------
143
Kepadatan Relawan Sosial per10 Ribu Penduduk [RLW] di Subwilayah hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2008 --------
143
Perkembangan Pangsa Perekonomian Periode 1996 sampai 2009 di Provinsi Lampung ------------------------------------------------------------------
145
Perkembangan Kinerja Fiskal Pemerintah Povinsi Lampung -----------------
172
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
2
3
4
5
6
7
8
Korelasi Pearson Proksi Variabel Endogenik di Subwilayah Hulu: Kepadatan Koperasi [KOP_HU], Intensitas Kejahatan [KJ_HU], Kerapatan Tempat Ibadah [IBD_HU], Kerapatan Organisasi Masa [ORG_HU] dan Kerapatan Jumlah Relawan [RLW_HU] Per 10 Ribu Penduduk --------------
199
Korelasi Pearson) Kelima Proksi Variabel Endogenik di Subwilayah Hilir: Kepadatan Koperasi [KOP_HI], Intensitas Kejahatan [KJ_HI], Kerapatan Tempat Ibadah [IBD_HI], Kerapatan Organisasi Masa [ORG_HI] dan Kerapatan Jumlah Relawan [RLW_HI] Per 10 Ribu Penduduk ---------------
199
Data Variabel Penjelas untuk Pemodelan Capai Indeks Pembangunan Manusia Setahun Ke Depan [HDI]t+1, Intensitas Kelongsoran Tanah [LSLIDE]t dan Intensitas Bajir [FLOOD] t ----------------------------------------
200
Hasil Analisis Ragam Regresi Capaian Indek Pembangunan Manusia Setahun Ke Depan [HDI]t+1 sebagai Fungsi dari [HDI]t, Penggunaan Lahan, Urbanisme dan Curah Hujan -----------------------------------------------
202
Hasil Analisis Ragam Regresi Intensitas Kelongsoran Tanah sebagai Fungsi dari Penggunaan Lahan, Urbanisme dan Curah Hujan dan Bentang Lahan --
203
Hasil Analisis Ragam Regresi Intensitas Banjir sebagai Fungsi dari Penggunaan Lahan, Urbanisme dan Curah Hujan dan Bentang Lahan --------
204
Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Kecil di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan dan Tempat Ibadah
205
Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Sedang-Besar di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan dan Tempat Ibadah -------------------------------------------------------
206
Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Kecil di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan Tempat Ibadah, Ormas dan Relawan --------------------------------------------------------
207
10 Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Sedang-Besar di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan Tempat Ibadah, Omas dan Relawan ----------------------------------
208
9
ix
11 Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita di Sektor Pertanian sebagai Fungsi dari Luasan Tutupan Hutan Rakyat dan Hutan Negara di Subwilayah Hulu dan Hilir ------------------------------------------------------------------------------------
209
12 Hasil Analisis Ragam Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri sebagai Fungsi dari Kerapatan Industri Kecil dan Industri Sedang-Besar di Hulu dan di Hilir, Pertumbuhan Pendapatan per Kapita Sektor Pertanian, Pertumbuhan Pangsa Sektor-sektor Petanian, Pertambangan dan Sektor Selainnya ---------
210
13 Pertumbuhan Ekonomi sebagai Fungsi dari Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri ----------------------------------------------------------------------------------
211
14 Analisis Ragam Regresi Nilai Tukar Petani sebagai Fungsi dari Pertumbuhan Ekonomi ---------------------------------------------------------------
212
15 Analisis Ragam Rgresi Human Development Index sebagai Fungsi dari Nilai Tukar Petani dan Insidensi Kemiskinan Perdesaan -----------------------
213
16 Analisis Regresi Kerapatan Jumlah Koperasi di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial ---------------------------------------------------------
214
17 Analisis Regresi Kerapatan Jumlah Koperasi di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial ---------------------------------------------------------
215
18 Analisis Regresi Intensitas Kejahatan di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial --------------------------------------------------------------
216
19 Analisis Regresi Intensitas Kejahatan di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial --------------------------------------------------------------
217
20 Daftar Singkatan dan Akronim yang Digunakan ---------------------------------
218
x
1
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Deforestasi merupakan proses perubahan suatu wilayah dari yang semula berhutan menjadi tidak berhutan. Tidak ada yang keliru dengan deforestasi, suatu proses yang lumrah yang dialami oleh negara-negara berkembang di tropika basah umumnya untuk memulai program-program pembangunannya. Penelitian Naidoo (2004) pada 77 negara menyimpulkan, bahwa deforestasi umumnya dapat mempercepat pertumbuhan maupun transformasi struktural perekonomian dari corak yang mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam menjadi perekonomian industri yang mengandalkan tenaga kerja terampil. Makin awal dan makin luas deforestasi dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi suatu negara akan makin cepat dicapai. Capaian itu dapat diraih umumnya karena ekspor hasil-hasil hutan dapat meningkatkan pendapatan dan tabungan, menjadi modal investasi untuk sektorsektor perekonomian yang memiliki rente ekonomi lebih tinggi seperti perkebunan, pertanian intensif, perikanan, peternakan, pemukiman, perdagangan, perindustrian maupun untuk jasa-jasa. Selain itu, yang terpenting adalah untuk investasi pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan sehingga tersedia tenaga-tenaga terampil (labor augmented by technology) yang sangat menjadi penentu bagi keberhasilan transformasi struktural perekonomian tersebut. Fenomena seperti ini juga dialami oleh berbagai wilayah di Indonesia. Melalui korbanan deforestasi itu, misalnya kini Provinsi Lampung menurut Ditjenbun (2009) telah menjadi eksportir kopi nasional ke dua (21,67%) setelah Sumatera Selatan (22,35%) dari total ekspor kopi nasional dalam sepuluh tahun terakhir. Dengan kontribusi tersebut, maka telah menempatkan Indonesia sebagai pengekspor kopi peringkat ke tiga setelah Brasilia dan Vietnam. Dengan kata lain, sampai pada derajat tertentu deforestasi memang diinginkan, bahkan direncanakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun seperti yang terjadi dewasa di Provinsi Lampung agak berbeda dengan deskripsi yang disampaikan oleh Naidoo (2004). Kini deforestasi di Provinsi Lampung tampak telah melampaui daya regenerasinya sehingga fungsi
2
intrinsiknya
menjadi
begitu
merosot.
Gejala
ketidakbersinambungan
pembangunan itu diindikasikan oleh buruknya capaian kinerja indikator makro pembangunan ekonomi wilayah. Seperti dapat diperiksa dalam dokumen BPS Provinsi Lampung (2000b, 2006c, 2007b dan 2009c), Provinsi Lampung merupakan provinsi termiskin ke tiga di Sumatera, untuk periode 2000-2008 ratarata pertumbuhan ekonomi hanya 4,87[Sd=0,82]%, dengan PDRB/Kpt baru mencapai Rp 4,41[Sd=0,57] juta dan tingkat kemiskinan masih 21,63[Sd=2,89]% serta capaian HDI (Human Development Index) 68,25 [Sd=2,17]. Sedangkan secara nasional untuk periode yang sama telah mencapai: pertumbuhan ekonomi 5,52[Sd=0,65]%, dengan PDB/Kpt Rp 8,08[0,68]Juta dan insidensi kemiskinan dapat ditekan pada angka 16,09[Sd=0,64]% dan HDI pada posisi 70,32[Sd=1,10]. Bersisian dengan itu, tutupan hutannya telah terdegradasi akut yaitu 80% di hutan lindung, 76% di hutan produksi, 71% di hutan produksi terbatas, 70% di Tahura, 36% di Taman Nasional Way Kambas dan 16% di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Dishut 2005 Provinsi Lampung dikutip Watala, 2008). Karena itu juga terjadi eskalasi degradasi jasa lingkungan seperti ditunjukkan oleh gejala esklasi frekuensi: (i) konflik manusia versus satwa liar di setiap zona penyangga dari semua kawasan konservasi yang ada di provinsi ini (Nyhus dan Tilson, 2003), (ii) kekeringan (lihat Sihite, 2004) dan (iii) banjir dari 3,61% menjadi 6,43% dan kelongsoran tanah dari 1,20% menjadi 2,14% dari total desadesanya untuk semua kabupaten/kota di lingkup provinsi ini dari tahun 2005 sampai 2008 (BPS Provinsi Lampung, 2006b dan 2009b). Buruknya indikator kinerja perekonomian makro tersebut merupakan fenomena stagnasi capaian kinerja pembangunan perekonomian wilayah bahkan sampai desentralisasi telah berlangsung. Adanya fenomena skala pengembalian yang menurun (DRS :decreasing return to scale) dari sektor-sektor agroindustri di subwilayah hilir (lihat Affandi, 2009) merupakan indikasi telah terjadinya fenomena the limit to growth (Meadow et al., 1972 dikutip Hayami, 2001; Sorensen & Whitta-Jacobson, 2009) atau Ricardian Trap (Hayami, 2001) akibat dari deforestasi di provinsi ini. Padahal sektor-sektor agroindustri tersebut telah mulai berhasil mengalami aglomerasi (Afandi, 2009), yang seharusnya memperlihatkan kinerja yang bersifat skala pengembalian yang meningkat (IRS :
3
increasing return to scale) yang awalnya juga berkembang dari korbanan deforestasi tersebut. Sehubungan dengan itu, tantangannya bagi para perencana pembangunan adalah bagaimana merancang suatu praksis pembangunan wilayah di bawah kendala sumberdaya yang ada di provinsi ini. Merujuk pada karya Stimson dan Stough (2008) dan Stimson et al. (2003), harapan itu bisa sangat terbuka jika setiap wilayah mampu untuk mengembangkan berbagai insentif agar faktor-faktor endogenik yang dimilikinya berkembang dan menjadi keunggulan kolaboratif (collaborative advantage). Faktor-faktor endogenik tersebut meliputi kinerja kepemimpinan atau (L)eadership, kelembagaan atau (I)nstitution dan kinerja kewirausahaan atau (E)ntrepreneurship. Kinerja faktor E merupakan motor bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di setiap wilayah. Kinerja E ini akan kuat jika ditopang oleh I yang efektif bersama-sama dengan L yang kuat. Menurut Stimson et al. (2003; 2005) banyak sekali ditemui wilayah yang kaya akan sumberdaya alam tetapi malah mengalami kutukan (recourse curse) sehingga
kinerja
faktor
endogeniknya
menjadi
lembam
(inert)
dan
kesejahteraannya menjadi terbelakang. Fenomena itu dapat terjadi karena dengan melimpahnya sumberdaya alam umumnya menjadi dinilai rendah (under valued), dapat menstimulasi sifat boros dan dihambur-hamburkan. Sebaliknya tidak sedikit wilayah-wilayah yang miskin sumberdaya alam ternyata telah memaksa masyarakatnya untuk survive melalui berkembangnya sikap hemat (parsimony), bersahaja (frugality) dan dapat menstimulasi berkembangnya tata aturan di dalam kelompok masyarakatnya dalam penggunaan sumberdaya, yang berarti kinerja I meningkat bersamaan dengan penguatan L sehingga dapat menstimuli tumbuhnya para wirausahawan (E). Peningkatan kinerja E inilah yang menjadi tumpuan munculnya berbagai inovasi, membangkitkan lapangan pekerjaan dan akhirnya pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara agregat.
1.2 Rumusan Masalah Sehubungan fakta-fakta yang diungkapkan tersebut, maka masalah utama yang perlu disingkapkan melalui penelitian adalah: (1) bagaimana perencanaan praksis pembangunan wilayah Propisi Lampung dapat dirumuskan agar ke depan
4
dapat keluar dari Ricardian Trap sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya? (2) Kecuali itu, mengacu pada temuan Jha dan Murthy (2003) bahwa deforestasi akan terus berlangsung mengiringi proses pembangunan pada kelompok wilayah yang masih mempuyai indeks pembangunan manusia pada level medium (HDI antara 60-70), maka masalah yang terlebih dahulu perlu dikaji adalah berapa nilai toleransi ambang deforestasi yang masih dapat menopang terhadap dampak pembangunan ke depan? (3) Selain itu mengingat degradasi lingkungan merupakan salah satu wujud dari kegagalan pasar, maka rancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah tersebut perlu dikaitkan dengan karakteristik fiskal (khususnya pajak daerah dan alokasi belanja) Pemerintah Provinsi Lampung, lalu apakah piranti fiskal tersebut efektif untuk menstimulasi pengembangan kinerja faktor endogenik yang telah ada di wilayah ini dalam rangka menekan kegagalan pasar sekaligus untuk keluar dari Ricardian Trap tersebut? Berkaitan dengan itu pula, (4) apakah perilaku fiskal tersebut akan lebih efektif jika alokasi pembelanjaannya disertai dengan skema reforestasi? (5) Apakah ada perbedaan nyata keefektifan tersebut jika reforetasi dilakukan di areal hutan rakyat ataupun kawasan hutan negara? (6) Di bawah skema reforestasi tersebut, apakah alokasi pembelanjaan Pemerintah Provinsi Lampung tersebut akan lebih berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah jika alokasi pembelanjaannya dikombinasikan dengan bantuan sosial selain intuk belanja publik? (7) Apakah rezim desentralisasi tata pemerintahan telah dapat memberikan pengaruh secara nyata terhadap kinerja faktor-faktor endogenik, pertumbuhan pendapatan sektor pertnaian; pangsa sektor industri; pertumbuhan ekonomi; nilai tukar petani dan HDI?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah untuk: (1) Mengkaji adanya trade off batas toleransi ambang deforestasi dengan capaian kesejahteraan ke depan,
5
(2) mengkaji peranan kinerja faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi, nilai tukar petani dan indeks pembangunan manusia, (3) mengkaji peranan hutan rakyat, hutan negara dan akses pasar terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia, (4) mengkaji peranan kewirausahaan kalangan industri kecil dan industri sedangbesar terhadap pertumbuhan ekonomi dan capaian tingkat kesejahteraa masyarakat, (5) mengkaji peranan koperasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan capaian tingkat kesejahteraa masyarakat, (6) mengkaji pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja faktor endogenik, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia, (7) mengembangkan rancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah yang mengandalkan faktor-faktor endogenik dengan modal sumberdaya alam yang telah terdegradasi dalam rangka untuk melakukan intervensi kebijakan fiskal. (8) menelaah karakteristik fiskal dari Pemeritah Provinsi Lampung terhadap kinerja faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah, dan (9) menelaah dampak peningkatan pajak dan retribusi daerah yang disertai dengan alokasi pembelanjaannya (di bawah skema reforestasi) terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung,
1.4 Novelti Ranah Penelitian Adapun kebaruan (novelty) yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah pada: (1) Penggunaan faktor kepemimpinan atau (L)eadership, kelembagaan atau (I)nstitution, dan kewirausahaan atau (E)ntrepreneurship sebagai penjelas dalam model pembangunan ekonomi wilayah secara endogenik, yang belum dilakukan standarisasi sejak kepeloporan dari Lucas (1988) ataupun Romer (1990). Dalam penelitian ini L dikarakterisasikan dengan kerapatan koperasi, faktor I dengan intensitas kejahatan; kerapatan tempat ibadah; kerapatan jumlah relawan; jumlah organisasi kemasyarakatan; sedangkan faktor E
6
diproksi dengan kerapatan jumlah industri kecil, industri sedang dan besar, dan (2) Penerapan Teori Pertumbuhan Endogenik untuk pembangunan ekonomi wilayah agar dapat keluar dari Ricardian Trap dikaitkan dengan fungsi intrinsik hutan di subwilayah hulu maupun hilir.
1.5 Manfaat Hasil Penelitian Setidaknya hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai: (1) Sumbangan pada khasanah pengembangan ilmu perencanaan pembangunan wilayah khususnya yang bertalian dengan pertumbuhan endogenik, dan (2) Sumbangan untuk masukan dalam revisi RTRW Provinsi Lampung Periode Tahun 2009-2029.
7
2. TINJAUAN TEORITIS Bab ini dimaksudkan untuk memberikan landasan filosofis dan mahzab teori secara ringkas yang dapat digunakan untuk pengembangan kerangka pemikiran, untuk membedah permasalahan yang ada di wilayah penelitian, mengembangkan hipotesis dan pengujiannya serta penentuan metode serta alat ukur yang akan digunakan dalam operasionalisasi penelitian ini. Untuk memberikan landasan dalam pemilihan teori yang relevan, maka pada bagian pertama secara garis besar diuraikan mengenai realitas biofisik, sosial, dan budaya wilayah penelitian. Pada bagian ke dua diuraikan mengenai deforestasi sebagai penyebab degradasi fungsi intrinsik hutan dan juga hubungan deforestasi terhadap aglomerasi kegiatan ekonomi maupun dengan kesejahteraan masyarakat. Diuraikan pula adanya trade off antara pertumbuhan ekonomi (yang dilecut oleh aglomerasi) dengan kemerosotan fungsi intrinsik hutan, yang kemudian berujung pada stagnasi perekonomian wilayah dan relatif tertinggalnya kesejahteraan masyarakat. Pada bagian ke tiga ditinjau indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah penelitian termasuk pendapatan per kapita, tingkat kemiskinan, dan indeks pembangunan manusia (IPM), serta skala pengembalian (RTS= Return to Scale) sektor-sektor agroindustri dan stagnasi pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ke tiga ini juga dihadirkan data sebagai bukti ketertinggalan pertumbuhan sektor pertanian terhadap pertumbuhan sektor agroindustri yang menyebabkan adanya excess demand terhadap bahan baku bagi sektor-sektor agroindustri yang melampaui kapasitas wilayah dalam menyediakan bahan baku (sektor pertanian) tersebut yang akhirnya telah menekan capaian indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah. Pada bagian ini juga diuraikan secara ringkas hubungan antara degradasi fungsi intrisik hutan akibat deforestasi, kinerja resource endowment (Re), perkembangan kinerja pasar ekspor konvensional (seperti produk tambang, produk industri, produk pertanian dan kehutanan), serta ekspor non konvesional utamanya produk nirkayu dikaitkan dengan peranan faktor endogenik dalam perkembangan ekonomi wilayah.
8
Namun sebelum faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah diuraikan secara lebih rinci, pada bagian ke empat perlu diuraikan Teori Kendala Sumberdaya yang mendasari pemahaman akan fenomena Ricardian Trap ketika transformasi struktural perekonomian dari pola yang mengandalkan sumberdaya alam menuju negara industri melalui pengembangan sektor agroindustri di negaranegara berkembang. Pada bagian ke lima diuraikan peranan faktor-faktor endogenik dalam pembangunan ekonomi wilayah. Untuk itu, pada bagian ini juga diuraikan ketiga macam faktor endogenik pembangunan ekonomi wilayah yaitu: (L)eaderships, (I)nstitutions dan (E)ntrepreneurships serta cara-cara pengukurannya.
Ketiga
faktor endogen (L, I dan E ) ini dikaitkan dengan kinerja resource endowment (Re) dan kinerja pasar nirkayu, ekspor komoditas perkebunan (cash crop), ekspor agroindustri ataupun ekspor lainnya (M) dalam menentukan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kelima faktor tersebut dirangkum sebagai penentu pertumbuhan ekonomi wilayah secara endogenik. Namun sebelum diuraikan teori pertumbuhan endogenik, terlebih dahulu pada bagian ke enam diuraikan risalah teori pembangunan ekonomi wilayah mulai model Solow sampai dengan Model New Growth Theory (Lucas, 1988) dan
Romer (1990) serta New Economics
Geography (Krugman, 1991; 2010a, 2010b, dan Redding, 2009).
2.1 Realitas Sosial-Budaya dan Biofisik Provinsi Lampung Seperti dapat dirujuk dalam BPS Provinsi Lampung (1992) bahwa Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 18 Maret 1964 dengan Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Lampung. Provinsi ini merupakan hasil fragmentasi dari Provinsi Sumatera Selatan.
Kini Provinsi
Lampung memiliki populasi sekitar 7,6 juta jiwa dengan kepadatan populasi ratarata 2,1 juta jiwa/ha (BPS, 2010) yang berada dalam 2 kota dan 10 kabupaten lainnya.
Empat kabupaten terbaru dibentuk 4 belakangan yaitu Kabupaten
Pesawaran, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Mesuji, dan Kabupaten Tulang Bawang Barat belum mempunyai data sosial-ekonomi yang cukup. Karena itu
9
dalam analisis penelitian ini keempat kabupaten tersebut dimasukkan ke kabupaten induknya. Pada Gambar 1 disajikan Peta Administratif Provinsi Lampung sampai Tahun 2006. Dua wilayah yurisdiksi kota yang telah ada adalah Bandar Lampung (sebagai Ibu Kota Provinsi dengan populasi 812.133 jiwa dan kepadatan populasi 42,1 jiwa/ha) dan Kota Metro (dengan populasi 132.044 jiwa dan kepadatan populasi 21,4 jiwa/ha). Ke delapan kabupaten itu (dengan total populasi atau kepadatan populasi)-nya masing-masing adalah Kabupaten Lampung Selatan (1.341.238 jiwa atau 6,7 jiwa/ha); Kabupaten Tanggamus (826.610 jiwa atau 2,5 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Tengah (1.160.221 jiwa atau 2,4 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Timur (936.734 jiwa atau 2,2 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Utara (562.314 jiwa atau 2,1 jiwa/ha); Kabupaten Tulang Bawang (774.265 jiwa atau 1,0 jiwa/ha; Kabupaten Way Kanan (362.749 jiwa atau 0,9 jiwa/ha); dan Kabupaten Lampung Barat (381.349 jiwa atau 0,8 jiwa/ha). Kota Bandar Lampung merupakan wilayah yurisdiksi yang paling padat, disusul oleh Kota Metro, kemudian diikuti oleh 8 kabupaten dengan urutan seperti di atas. Distribusi tersebut secara umum dapat memberikan indikasi terjadinya konsentrasi dan intensitas yang padat akan rente ekonomi seluruh wilayah, yang juga dapat merefleksikan muara dari aliran manfaat sumberdaya dari daerah belakang atau hulunya. Bahkan juga dapat menggambarkan kualitas sumberdaya biofisik wilayah hulunya. Adapun realitas sosial budaya atau etnis di Provinsi Lampung juga merupakan melting pot dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Tetapi ada 5 etnis besar yang lebih dominan dari sisi jumlahnya.
Etnis Jawa merupakan etnis
dominan disusul oleh Sunda dan Bali. Ketiga etnis besar ini meliputi sekitar 70% dari seluruh total populasi, yang merupakan pendatang melalui transmigrasi mulai fase pertama pada masa kolonial Belanda sejak tahun 1905. Fase ke dua adalah melalui Program BRN (Biro Rekonstruksi Nasional), yaitu suatu program transmigrasi pada masa Pemerintahan Orde Lama pada dekade 1950-an. Urutan ke empat dan ke lima di provinsi ini adalah Etnis Lampung dan Etnis Semendo, yang populasinya kurang dari 30%. Distribusi kuantitas etnis ini dapat dijadikan
10
acuan dalam analisis sosial, budaya ataupun analisis kelembagaan yang dapat mempunyai peranan penting dalam pembangunan perekonomian wilayah.
Keterangan: {Jiwa/ha} 8
9 7 5
10
2
6
4 1
3
[1] Kota Bandar Lampung {42,1} [2] Kota Metro {21,4} [3] Kabupaten Lampung Selatan { 6,7 } [4] Kabupaten Tanggamus {2,5} [5] Kabupaten Lampung Tengah {2,4} [6] Kabupaten Lampung Timur {2,2} [7] Kabupaten Lampung Utara {2,1} [8] Kabupaten Tulang Bawang {1,0 } [9] Kabupaten Way Kanan {0,9} [10] Kabupaten Lampung Barat {0,8}
Gambar 1. Peta Administratif Provinsi Lampung Sampai Tahun 2006 dengan 2 Kota dan 8 Kabupaten di Dalamnya (Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2008)
Adapun realitas biofisik wilayah Provinsi Lampung ini antara lain dapat dirujuk melalui dokumen LREPP (Land Resource Evaluation and Planning Project) yang diterbitkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat atau Puslitanak (CSR, 1989). Dari dokumen tersebut dapat dilihat bahwa Provinsi Lampung secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu subwilayah hulu yang bersesuaian dengan Kabupaten Barat dan Kabupaten Tanggamus dengan subwilayah hilir yang meliputi 2 kota serta 8 kabupaten selainnya. Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus dapat dikatagorikan sebagai subwilayah hulu karena merupakan hulu dari daerah aliran sungai (DAS) utama seperti DAS Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulang Bawang, Way Semangka dan lain-lainnya. Pada Bagian Barat memiliki fisiografi perbukitan, dataran tinggi dan pegunungan yang merupakan rangkaian Pegunungan Bukit Barisan sebagai hasil dari up lift lempeng Sumatera akibat aktivitas subduction dari lempeng Samudera Indonesia (lihat CSR, 1989). Punggung Pegunungan Bukit Barisan ini berada pada sekitar sepertiga dari Pantai Barat membentang ke arah Barat Laut dengan puncak tertinggi pada Gunung Pesagi sekitar 2.239 m dpl dan Gunung Tanggamus sekitar 2.010 m dpl.
11
Dengan bentang alam seperti itu, setiap kali terjadi musim angin moonson Barat yang bergerak ke Timur, aliran massa udara terhalang oleh punggung Pegunungan Bukit Barisan, maka udara jenuh (yang membawa uap air dari Samudera Indonesia) tersebut seperti dipaksa naik di sepanjang Bukit Barisan. Akibatnya terjadi awan konvektif yang menyebabkan penurunan temperatur udara secara adiabatis dan akhirnya terjadi kondensasi dan jatuh sebagai hujan utamanya di Bagian Barat. Karena itu pada Bagian Barat Provinsi Lampung memiliki tipe iklim A. Semakin ke Timur menuju ke Pantai Timur provinsi ini maka curah hujan semakin rendah, bahkan ada yang beriklim D (Oldeman, 1982 seperti dapat diperiksa dalam CSR, 1989). Di Bagian Barat di bawah curah hujan yang tinggi telah berlangsung proses pembentukan tanah yang cepat, yang dalam keadaan alami dapat menghasilkan solum tanah yang tebal. Bersamaan dengan itu curah hujan yang tinggi dalam jutaan tahun lamanya telah menghasilkan suksesi vegetasi alami yang kuat, menghasilkan keragaman flora dan fauna yang tinggi. Atas pertimbangan curah hujan yang tinggi dengan elevasi yang tinggi pula, maka sejak masa Kolonial Belanda subwilayah hulu ini dalam proporsi yang besar telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Selain itu juga atas pertimbangan tingginya keanekaragama hayati dengan berbagai spesies endemiknya juga ditetapkan sebagai kawasan pelestarian yang sekarang merupakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Keberadaan semua hutan lindung maupun TNBSS di subwilayah hulu ini dimaksudkan juga untuk menjamin fungsi intrinsik hutan utamanya untuk perasapan air, untuk pencegahan erosi, dan untuk pengendalian debit agar tidak berfluktuasi secara besar sehingga dapat menjadi sumber air yang kontinyu bagi semua bendungan yang berada di Bagian Tengah Provinsi Lampung ini. Tujuan akhirnya adalah agar pada bagian hilir tidak terjadi banjir pada musim hujan dan terhindar dari kekeringan di musim kemarau, bermanfaat untuk irigasi dan suplai air berlangsung secara kontinyu sepanjang tahun bagi semua PLTA di Provinsi Lampung ini. Dengan begitu maka dapat diharapkan aktivitas perekonomian di subwilayah hilir dapat berkembang baik dan kesejahteraan masyarakat di provinsi ini diharapkan dapat ditingkatkan. Namun pada realitasnya seperti dilaporkan oleh Sihite (2004),
dan
Nurhaida et al. (2006), luasan tutupan hutan di sub wilayah hulu ini makin
12
berkurang dan berubah terutama menjadi pertanaman kopi, coklat, lada, dan karet (cash crop) dalam sistem wanatani yang sederhana. Bahkan sebagian besar hutan lindung di subwilayah resapan ini telah banyak berubah menjadi pertanaman kopi atau cash crop lainnya. Akibatnya, seperti dilaporkan Nurhaida et al. (2006) tingkat erosi sangat besar, fluktuasi debit semua aliran sungai juga besar. Pada saat musim hujan beberapa kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang, Way Kanan, Lampung Tengah dan Lampung Timur belakangan ini sering dilanda banjir yang sangat mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Selain itu, beberapa bendungan juga banyak mengalami sedimentasi sehingga menyebabkan kerugian produksi listrik, hasil pertanian maupun industri. Sebaliknya pada musim kemarau sering defisit air, baik bagi irigasi maupun untuk PLTA yang juga sangat menekan perekonomian masyarakat. Sebagai gambaran untuk kerusakan bendungan Way Besai telah menyebabkan kerugian pada Bagian Tengah dan hilir melebihi Rp 63M/tahun (Sihite, 2004). Diskusi pada bagian ini memperlihatkan bahwa sub wilayah hulu sebagai wilayah resapan tidak memperoleh kompensasi apapun atas pembebanan sebagai penyedia jasa resapan air maupun jasa lingkungan lainnya. Sementara wilayah Bagian Tengah dan Bagian Timur selama ini oleh otoritas publik telah dibiarkan menjadi sebagai ―free rider” dalam menikmati jasa lingkungan tersebut. Akibatnya kerusakan wilayah resapan ini telah banyak menimbulkan berbagai kerugian ekonomi di subwilayah hilir. Ketidakadilan antarsubwilayah ini telah mengarah pada pola hubungan hulu-hilir di Provinsi Lampung yang saling parasitik.
Semua itu pada akhirnya akan menekan kinerja ekonomi wilayah
Provinsi Lampung secara agregat bahkan menghambat pertumbuhan ekonomi disertai pengangguran dan kemiskinan. Akibat dari degradasi sumberdaya biofisik wilayah ini, berarti resource endowment (Re) yang dimiliki Provinsi Lampung tidak dapat menjadi penggerak perkembangan ekonomi wilayah bahkan telah menimbulkan stagnasi.
13
2.2
Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai Penyebab Stagnasi Kinerja Perekonomian Wilayah
2.2.1 Fungsi Intrinsik Hutan sebagai Pembatas Perkembangan Ekonomi Wilayah Umumnya
negara-negara
berkembang
pada
awal
modernisasi
perekonomiannya selalu dihadapkan pada kendala penyusutan sumberdaya alam. Begitu pula wilayah Provinsi Lampung sebagai salah satu bagian wilayah lokal terpenting di Indonesia (outer island) yang paling dekat dengan P Jawa telah mengalami deforestasi dan degradasi hutan sejak lama. Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Syam et al. (1997), Verbist dan Pasya (2004), Verbist et al. (2004), serta Nurhaida et al. (2006) dapat disimpulkan bahwa laju deforestasi hutan di Provinsi Lampung mulai meningkat pesat sejak dekade 1970-an, yaitu sejak Indonesia mengandalkan pemasukkan devisa dari ekspor hasil hutan utamanya hasil kayu. Deforestasi tersebut kemudian mencapai puncaknya ketika berlangsung reformasi dan desentralisasi tata pemerintahan. Sejalan dengan deforestasi di subwilayah hulu (sekarang sebagai Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus) tersebut, menurut catatan statistik, kini subwilayah hulu ini merupakan pemasok ekspor kopi utama (lebih dari 65%) dari total volumen ekspor kopi Provinsi Lampung (BPS, 2009; diolah). Dengan kinerja ekspor utama tersebut Provinsi Lampung menjadi provinsi ke 2 (atau sekitar 21,67%) sebagai pemasok ekspor kopi Indonesia setelah Provinsi Sumatera Selatan (sekitar 22,35%). Dengan kontribusi kinerja ekspor kopi tersebut Indonesia dewasa ini menjadi eksportir ke 3 dunia setelah Brasil dan Vietnam (Ditjenbun, 2009 diolah). Walaupun begitu tingginya kinerja ekspor biji kopi ataupun cash crop tersebut perlu dibayar mahal dengan mengorbankan deforestasi yang akut disertai dengan berbagai kerusakan fungsi intrisik hutan lainnya, seperti merosotnya kinerja
hidroorologi, kemerosotan keanekaragaman hayati dan kenyamanan
lingkungan maupun stok karbon. Lebih dari itu, semuanya itu berujung pada kemerosotan ekonomi wilayah serta yang paling mengkhawatirkan adalah sangat mengancam kebersinambungan aglomerasi agroidustri si subwilayah hilir, yang
14
berarti pula akan mengancam terhadap transformasi struktural perekonomian di wilayah Provinsi Lampung. Kini degradasi hutan di Provinsi Lampung sudah sangat akut. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (2005 dikutip Watala, 2008) bahwa kerusakan hutan di Provinsi Lampung sudah meliputi seluruh kawasan hutan yaitu: (i) Hutan Produksi Tetap 76%, (ii) Hutan Produksi Terbatas 70%, (iii) Hutan Lindung 80%, (iv) Taman Hutan Raya 70%, (v) Taman Nasional Way Kambas 36% dan (vi) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 16%. Umumnya luasan degradasi kawasan hutan dengan proporsi tersebut telah berubah menjadi penggunaan lahan yang memiliki rente ekonomi yang relatif lebih tinggi dari pada untuk kehutanan yaitu tanaman kopi, lada, kakao, nilam, perkebunan tebu, tanaman pangan, pemukiman pemukiman, perdagangan, perindustrian maupun untuk jasa-jasa lainnya. Degradasi
hutan
ini
makin
memerosotkan
fungsi
hidroorologis,
keanekaragaman hayati, amenitas lingkungan serta turut menyumbangkan emisi karbon ke atmosfer. Lebih lanjut telah sangat menekan kinerja perekonomian wilayah Provinsi Lampung. Merosotnya fungsi pengendali hidroorologis, misalnya antara lain telah dilaporkan oleh Sihite (2004) bahwa fluktuasi debit di DAS Tulang Bawang (yang salah satu dari dua DAS utama di Provinsi Lampung) yang sangat besar yaitu 40%. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa merosotnya tutupan hutan pada subwilayah hulu telah menyebabkan laju erosi tanah meningkat pesat, menyisakan lapisan tanah yang kedap, menurunkan laju infiltrasi tanah, memerosotkan cadangan air tanah, meningkatkan muatan sedimen serta menurunkan kualitas air. Lebih lanjut pada musim hujan sering terjadi banjir pada bagian hilir dan kekeringan pada musim kemarau. Semua fenomena itu telah menekan hampir setiap aktivitas perekonomian masyarakat seperti merosotnya hasil pertanian, perikanan darat, peternakan dan yang sangat penting adalah kemerosotan kinerja PLTA maupun kebutuhan air bersih bagi industri ataupun rumah tangga. Kecuali itu, kerugian ekonomi dapat berupa keperluan untuk rehabilitasi fasilitas irigasi, PLTA (seperti pengerukan endapan sedimen dalam bendungan) maupun fasilitas lainnya. Kerugian ekonomi tersebut diperberat oleh bahan-bahan
15
cemaran yang berasal dari semakin meningkatnya keperluan penggunaan pupuk (akibat tererosinya lapisan tanah yang subur) maupun penggunaan pestisida dengan semakin meluasnya aktivitas pertanian pada lahan-lahan yang telah tererosi seiring dengan semakin cepatnya laju konversi hutan menjadi areal budidaya pertanian ataupun penggunaan lahan lainnya yang memiliki land rent lebih besar dari pada digunakan sebagai hutan. Selain kemerosotan fungsi hidroorologis, fenomena kemerosotan fungsi ekologis kawasan di Provinsi Lampung dapat dicermati melalui penelitian Nyhus dan Tylson (2003 dan 2005).
Para pakar ekologi kawasan ini menunjukkan
bahwa pada kurun waktu antara 2000 sampai 2003 konflik antara manusia dengan mamalia besar (seperti harimau, gajah, babi hutan dll) di berbagai tempat di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) telah menunjukkan ekskalasi secara nyata. Para pakar tersebut berargumentasi bahwa konflik tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi kemerosotan kesetimbangan ekologis secara nyata. Mamalia besar (utamanya harimau) merupakan pucuk peramida rantai makanan. Bila populasi piramida yang ada di bawahnya tidak bisa menopang kebutuhan hidup komunitas karnivora ini, maka harimau akan keluar ke kawasan penyangga untuk mencari ternak penduduk yang ada di kawasan penyangga, yang akhirnya dapat terjadi konflik dengan manusia. Demikian juga dengan gajah, menurut Nyhus dan Tylson (2003, dan 2005) keadaan ekologis dalam kawasan TNWK tidak mendukung. Awalnya karena seringnya terjadi kekeringan akibat dari kemerosotan fungsi hidrologis hutan (karena deforestasi di subwilayah hulunya) sehingga persediaan pangan kurang mencukupi bagi herbivora ini. Akibatnya memaksa gajah harus keluar menuju kawasan penyangga dimana tanaman budidaya masih tumbuh dan terawat. Karena umumnya tanaman budidaya lebih mudah dicerma oleh sistem digesti herbivora ini, maka gajah menjadi lebih menyukainya dan makin sering keluar ke kawasan penyangga dan makin sering terjadi konflik dengan manusia. Begitu juga fenomena konflik manusia dengan herbivor lainnya seperti babi hutan, kera dan sejenisnya dapat dijelaskan.
16
Sekalipun konflik ataupun serangan mamalia terhadap properti petani (ternak dan tanaman budidaya) memang dapat membawa kerugian ekonomi secara langsung, tetapi yang lebih esensial adalah fenomena itu merupakan refleksi dari merosotnya kesetimbangan ekologi kawasan. Karena tidak kasat mata, maka kemerosotan kesetimbangan ekologis tersebut jauh lebih merugikan perekonomian dari sekedar konflik manusia dengan mamalia tersebut. Saling kebergantungan
antarmakluk
hidup
menjadi
makin
merosot
sehingga
keanekaragaman hayati juga makin merosot. Akibat kemerosotan keanekaragaman hayati tersebut antara lain fungsifungsi ekologis misalnya yang diperankan oleh golongan serangga dalam polenisasi atau penyerbukan (yang sangat penting bagi produktivitas berbagai tanaman budidaya) menjadi merosot juga. Menurut Warsito (dikutip Arief, 2011) bahwa 90% proses penyerbukan dalam kelompok serealia merupakan jasa dari lebah. Kerusakan ekologis kawasan telah sangat menekan fungsi-fungsi itu. Begitu juga golongan reptil seperti ular yang mempredasi tikus sebagai musuh alami (yang sangat penting sebagai pengendali hama tanaman) juga sangat terganggu. Peranan keanekaragaman hayati bagi penghidaran akan terjadinya ledakan hama (yang secara ekonomi tidak diragukan lagi pentingnya) juga dapat hilang. Demikian dengan pula keanekaragaman hayati dalam tanah (bellow ground diversity), juga sangat memegang peranan penting bagi biokatalisator penyerapan unsur hara oleh perakaran tanaman. Peranan mikoriza alam melarutkan fosfat (yang dijerap kuat dalam tanah-tanah masam) sangat melipatgandakan penyerapan tersebut merupakan salah satu contohnya. Masih ribuan lainnya jumlah peran jasad renik dalam tanah yang mengendalikan serapan hara dan akhirnya sangat menentukan produktivitas tanaman. Berbagai peran ekologis tersebut akan terdegradasi ketika terjadi accelerated erosion akibat dari deforestasi ataupun degradasi hutan. Seperti dapat dicermati dalam Hairiah et al. (2004) bahwa bellow ground diversity akan sangat tertekan dengan semakin cepatnya penyusutan kandungan bahan organik tanah akibat deforestasi. Semua fenomena tersebut akan sangat menekan perekonomian masyarakat (yang sebagian besar petani) melalui kemerosotan hasil maupun semakin frekuentifnya serangan hama-
17
penyakit yang akhirnya akan bermuara pada kerugian aktivitas perekonomian awalnya di sektor primer (sektor-sektor pertanian). Baik kerugian akibat kemerosotan fungsi hidroorologis maupun fungsi ekologis kawasan hutan terhadap berbagai sektor perekonomian tersebut tentu tidak linier karena adanya fenomena multiplier effect, yang berarti berlipat ganda karena tidak ada satu sektor perekonomian pun yang dapat berdiri sendiri. Muara dari kerugian ekononomi ini dapat kita saksikan pada kinerja perekonomian wilayah Provinsi Lampung.
2.2.2 Deforestasi dan Aglomerasi Kegiatan Ekonomi Secara umum deforestasi juga dapat dimaknai sebagai merosotnya fungsi intrinsik wilayah hutan yang ditandai oleh menurunnya stok karbon, fungsi jasa hidroorologis, disertai oleh kemerosotan keanekaragaman hayati maupun kemerosotan amenitas lingkungan (Toman, 2003). Sedangkan aglomerasi seperti diungkapkan oleh Montgomery (1998) dapat difahami sebagai konsentrasi spasial aktivitas perekonomian yang disebabkan oleh perilaku para agen ekonomi untuk mencapai penghematan melalui pemilihan lokasi agar saling berdekatan (economies proximity). Perilaku ini dapat membentuk klaster spasial antara perusahaan, pekerja dan konsumennya. Proses aglomerasi di suatu wilayah merupakan mekanisme yang menginisiasi bagi terbentuknya suatu kota ataupun wilayah urban yang utamanya digerakan oleh gaya sentrifugal. Ketika sekelompok warga urban tidak dapat berperilaku secara efisien di wilayahnya ―terdesak‖ keluar ke wilayah pinggiran (periferinya).
Gaya pendesak ini sering dikenal sebagai gaya sentripetal.
Program transmigrasi merupakan salah satu proses migrasi yang digerakkan oleh gaya sentripetal wilayah asalnya, walaupun program itu dilaksanakan secara terencana. Memang transmigrasi tidak selalu berujung pada proses deforestasi, tetapi tidak sedikit yang menjadi inisiasinya. Fenomena migrasi secara lokal pun juga sering demikian, yang dapat diinisiasi oleh desakan gaya sentripetal sehingga para warga yang tidak mampu berperilaku efisien, tidak mampu bertahan atas desakan ekonomi seperti mahalnya biaya hidup, tidak dapat bertahan hidup secara subsisten, menjadi miskin dan akhir ―terdesak‖ ke luar wilayah urban dan terpaksa
18
menjadi perambah hutan. Sekalipun begitu, perlu disadari bahwa fenomena seperti itu seringkali esensinya disebabkan ketidakadilan struktural akibat leadership yang lemah dan institusi sosial yang tidak efektif. Menurut Igliori (2008) pertumbuhan populasi dan migrasi seringkali menjadi variabel kunci yang dapat menjelaskan proses deforestasi maupun konversi lahan di berbagai negara berkembang yang dalam realitasnya deforestasi tersebut sangat tidak merata menurut wilayah atau ruang spasial. Dalam skala geografis, dapat ditemukan berbagai bentuk aglomerasi yang sangat berbeda. Pada satu sisi di pusat wilayah, aglomerasi dicerminkan oleh beragamnya jenis kota maupun wilayah-wilayah urban. Menurut Krugman (1991, 2010ª, 2010b) pola spasial berbagai aktivitas perekonomian merupakan hasil dari berbagai proses yang melibatkan dua macam kekuatan yang saling berlawanan yaitu: kekuatan aglomerasi (centifugal) dan kekuatan dispersi (centripetal). Kedua kekuatan tersebut berkaitan dengan increasing return to scale (IRS), eksternalitas, dan ketidaksempurnaan pasar. Gagasan dasar dari literatur tentang aglomerasi merupakan suatu pergeseran dari fokus sistem industri ke fokus sistem produktif dan suatu pemahaman terhadap fenomena kekompetitifan sebagai hasil ketimbang sebagai keluaran (outcome) dari proses-proses individual. Penggunaan fenomena IRS menjadi kunci dalam menjelaskan berbagai proses aglomerasi dengan latarbelakang ilmu ekonomi tanpa memandang atribut geografi fisiknya. Namun menurut Igliori (2008) dalam hal aktivitas pertanian maupun lingkungan pedesaan, maka realitas fisik geografi juga dapat memegang peranan yang sangat penting dalam menjelaskan proses aglomerasi, terutama bila ingin memahami dampak dari aglomerasi dengan deforestasi lajutan yang mengarah ke wilayah periferalnya. Eksternalitas dari proses aglomerasi juga punya peran yang mendasar untuk
mendeskripsikan
maupun
untuk
memahami
konsentrasi
aktivitas
perekonomian maupun konsentrasi penduduk. Ditinjau dari sisi mekanisme bekerjanya dalam mempengaruhi konfigurasi spasial ekonomi tersebut, maka ada dua macam ekternalitas yaitu eksternalitas teknologi (spillover) dan pecuniary (financial) externality. Eksternalitas teknologi berkaitan langsung dengan utilitas individual maupun fungsi produksi setiap perusahaan. Sedangkan eksternalitas
19
finansial adalah hasil by product dalam interaksi pasar, yang mana eksternalitas ini sangat berkaitan bila pasar beroperasi dengan tidak bersaing secara sempurna. Idenya adalah bahwa kota-kota, sistem-sistem produksi, ataupun aglomerasi dari berbagai macam ekternalitas mulai terkonsentrasi di suatu wilayah. Utamanya yang sangat penting adalah peranan dari eksternalitas komunikasi dan face to face interaction dalam peningkatan proses belajar maupun proses inovasi (Fujita dan Thisse, 2002), yang melandasi berlangsungnya proses penempaan jiwa entrepreneurship (lihat Hien, 2010). Menurut Igliori (2008) pemahaman awal dari eksternalitas positif ini dipandang sebagai suatu rangkaian yang pertamakali ditemukan dalam karya Alfred Marshall pada dekade 1920-an. Bahwa spesialisasi merupakan implikasi dari adanya pembagian tenaga kerja secara internal yang menjadi pengendali utama dalam peningkatan efisiensi, pengingkatan mutu proses produksi, maupun pertumbuhan perusahaan yang sering disebut sebagai penghematan internal (internal economies). Tetapi ketiga peningkatan (improvement) ini juga dipelihara (di-nurturing) oleh adanya konsentrasi geografi dari berbagai perusahaan maupun oleh penghematan eksternal (external economies) yang dibangkitkan karena integrasi dari berbagai pelaku (agent) ekonomi. Marshall mengidentifikasi ada 3 faktor yang berkaitan dengan penghematan eksternal, yang dapat menstimulasi konsentrasi yaitu (i) adanya pasar tenaga kerja yang terspesialisasi sangat lanjut, (ii) terjadi imbas teknologi (spill over technology) dan (iii) munculnya perdagangan susulan (ikutan). Dalam keadaan itu, konsentrasi industri bisa dipertahankan untuk tetap berkesinambungan sedangkan penghematan eksternal sangat menjadi pendorong kekompetitifannya. Marshall sangat memperhatikan eksternalitas yang dibangkitkan oleh perusahaan-perusahaan di dalam industri tertentu walaupun menurut Jacob (1984 dikutip Igliori, 2008) bahwa argumen yang sama bisa diterapkan untuk menderivasi proses aglomerasi dimana eksternalitas positif berlangsung itu kemudian dapat menjelaskan mengapa orang mau membayar biaya yang lebih mahal untuk hidup di perkotaan (Glaesser et al., 1992). Dewasa ini penjelasan tentang fenomena aglomerasi umumnya dengan menggunakan model-model formal, yaitu bahwa IRS (increasing return to scale)
20
dalam fungsi produksi perusahaan telah menyebabkan berbagai penghematan finansial maupun penghematan teknologi eksternal (Krugman, 1991, 2010ª; 2010b; dan Rendding, 2009). Literatur baru tersebut dikenal sebagai New Economics Geography (NEG).
Hasil karya besar dari NEG
adalah Core-
Periphey Model yang pertamakali diperkenalkan Krugman (1991). Walaupun penemukenalan (recognizing) terhadap peranan dari ketiga sumber eksternalitas tersebut pertamakali diajukan oleh Marshall, tetapi dalam Core-Periphery Model tersebut Krugman (1991, 2010a, 2010b) menggunakan suatu bentuk model yang sangat hemat (parsimonious) yang difokuskan pada IRS, pecuniary externality dan biaya-biaya transportasi. Menurut Igliori (2008) mekanisme dari model NEG tersebut dikendalikan oleh 3 pengaruh yaitu: (i) akses kepada pasar, (2) biaya hidup, dan (3) crowding market. Pengaruh akses kepada pasar menggambarkan tendensi dari perusahaanperusahaan monopoli dalam memilih lokasi untuk berproduksi di pasar yang besar dan mengekspor produknya ke pasar yang relatif lebih kecil (suatu perubahan eksogenus dalam lokasi demand mengarahkan kepada suatu yang lebih dari pada relokasi yang proporsional industri ke wilayah perluasan yang baru). Sedangkan pengendali yang ke dua, bahwa biaya hidup berdampak pada pemilihan lokasi perusahaan-perusahaan ke biaya hidup secara lokal (dimana barang-barang cenderung lebih murah di wilayah yang banyak industrinya karena para konsumen di wilayah ini akan mengimpor berbagai produk dalam jangkauan yang lebih dekat sehingga menekan biaya perdagangan). Adapun pengendali yang ke tiga, bahwa market crowding effect mencerminkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan yang berkompetisi secara tidak sempurna punya kenderungan untuk berlokasi dalam wilayah-wilayah yang punya intensitas kompetisi yang relatif lebih rendah. Efek dari akses kepada pasar dan efek biaya hidup mendorong terjadinya suatu konsentrasi spasial sendangkan crowding market cenderung mendorong dispersi. Kombinasi efek dari adanya akses pasar dan biaya hidup dengan migrasi antarwilayah akan menciptakan potensi circular causalty effect ataupun sering disebut cumulative causalty, atau backward and forward lingkages (Duranton dan Puga, 2003 dikutip Igliori, 2008). Akibat yang mendasar adalah bahwa biayabiaya perdagangan (break point) kekuatan-kekuatan aglomerasi akan melampaui
21
kekuatan-kekuatan dispersi dan penguatan kembali (self-reinforcing) dari migrasi dan akhirnya menggeser semua industri ke satu wilayah (sering disebut catastrophic agglomeration). Di satu sisi, ketika biaya perdagangan sangat murah dan perekonomian menunjukkan catastrophic agglomeration, maka peningkatan biaya perdagangan tidak akan mengubah formasi geografi sampai ke level ambang dimana biaya perdagangan sebegitu tinggi (sustain point) untuk membangkitkan daya dispersi yang lebih besar ketimbang daya-daya aglomerasi dalam proses distribusi industri secara spasial yang simetris (Igliori, 2008). Asumsi-asumsi perilaku dari Typical NEG belakangan ini telah diperluas ke penggabungan dengan beberapa alternatif pondasi mikro (micro-foundation) bagi penghematan aglomerasi. Duranton dan Puga (2003 dikutip Igliori, 2008) membedakan 3 jenis micro-foundations yaitu mekanisme sharing, matching, dan learning. Pondasi mikro dari berbagai bentuk penghematan aglomerasi di perkotaan terutama didasarkan pada mekanisme sharing, yang
mungkin
melibatkan: (i) sharing dalam pemanfataan fasilitas umum (indivisible public facility), sharing dalam memperoleh berbagai input yang dapat dipertahankan oleh suatu industri berproduk barang akhir yang besar jumlah outputnya, (ii) sharing dalam mendapatkan tingkat spesialisasi yang bersifat lanjut yang hanya dapat dipertahankan bila jumlah produksinya lebih besar; serta
(iii) sharing
dalam hal resiko. Adapun dalam hal matching menurut Duranton dan Puga (2003 dikutip Igliori, 2008) ada 2 yang menjadi sumber penghematan ekonomi: (i) peningkatan jumlah pelaku ekonomi yang berupaya untuk meningkatkan dalam me-match-kan setiap aspek, dan (ii) kompetisi yang lebih kuat untuk meningkatkan pengematan (save) biaya tetap (fix cost) dengan cara membuat sejumlah perusahaan meningkat yang kurang proporsional terhadap tenaga kerja (labor force). Dalam hal matching yang ke dua tersebut berasal dari asumsi bahwa, ketika terjadi pertumbuhan tenaga kerja, sejumlah perusahaan meningkat secara kurang proporsional yang disebabkan oleh kompetisi yang lebih besar dalam pasar tenaga kerja. Akibatnya, setiap perusahaan menghentikan untuk pencarian (hiring) tenaga kerja dengan jumlah yang lebih banyak lagi, yang berarti bahwa dengan biaya tetap dalam produksi (output per tenaga kerja) yang lebih tinggi.
22
Selain itu menurut Duranton dan Puga (2003 dikutip Igliori, 2008) bahwa micro-foundation yang ke tiga (yaitu learning) merupakan mekanisme yang didasarkan pada: (a) penciptaan, (b) difusi dan (c) akumulasi pengetahuan. Dalam setiap mekanisme itu, learning bukanlah suatu aktifitas yang berdiri sendiri (soliter). Melainkan bahwa learning merupakan aktivitas yang melibatkan interaksi dengan berbagai fihak lain dan seringkali berbagai interaksi tersebut pada awalnya berlangsung secara face-to-face. Menurut Igliori (2008) bahwa akibat dari karya asli dari Jacob (1969) banyak para pakar yang terus melakukan studi tentang bagimana berbagai kota dapat menyumbangkan kreasinya dengan berbagai macam ide baru. Selain itu, yang lebih penting lagi bahwa para pakar tersebut telah menekankan bahwa ada berbagai keuntungan bagi kota-kota yang belajar melibatkan diri bukan hanya pada cutting edge technologies, tetapi juga dalam melakukan akuisisi keahlian dan peningkatan hari demi hari dan sedikit demi sedikit dalam menangkap pengetahuan (everyday incrimental knowledge). Akumulasi pengetahuan telah menjadi aspek utama dalam proses pembelajaran karena eratnya kaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana disebutkan Duranton dan Puga (2003 dikutip Igliori, 2008) bahwa ada 2 pendekatan utama yang berkaitan dengan akumulasi pengetahuan. Pertama, adalah seseorang melihat efek dinamis dari eksternalitas statis dan yang ke dua seseorang fokus pada ekternalitas dinamik. Pada pendekatan yang pertama itu, pertumbuhan dikendalikan hanya oleh eksternalitas dalam fungsi produksi kota ataupun wilayah. Sedangkan yang ke dua bahwa pertumbuhan dikendalikan oleh suatu eksternalitas di dalam akumulasi human capital yang ada dalam wilayah tersebut. Kedua macam eksternalitas ini berperan ganda (play dual role) yaitu sebagai mesin pertumbuhan dan juga sebagai kekuatan aglomerasi. Model stándar NEG hanya fokus pada distribusi spasial aktivitas perekonomian dan tidak memperhatikan pertimbangan pertumbuhan. Namun, model-model tersebut telah dikembangkan kepada penggabungan pertumbuhan dengan geografi melalui kombinasi dengan aspeks ekternalitas teknologi dengan inovasi serta investasi. Pertumbuhan dan aglomerasi tidak mudah untuk dipisahkan dan korelasi positif antara keduanya telah banyak dilaporkan oleh berberapa peneliti dalam berbagai bidang (Fujita dan Thisse, 2002).
23
Model geografi dan pertumbuhan memperlihatkan adanya posibilitas dalam spatial equity efficiency trade off. Namun masalahnya adalah lebih pelik dan seringkali ambigious ketimbang situasi standar win-lose yang merupakan akibat dari proses aglomerasi dalam model geografi statik. Model dinamik dari pertumbuhan dan geografi semacam ini menunjukkan bahwa munculnya ketidakberimbangan regional, disebabkan oleh menurunnya biaya perdagangan disertai oleh pertumbuhan yang lebih cepat di semua wilayah dan oleh karena itu dapat membangkitkan suatu tensi antara static losses (relokasi aktivitas perekonomian) dan perolehan dinamik (pertumbuhan yang lebih cepat) di wilayah perbatasan atau periferi. Selain itu, dalam model tersebut pertumbuhan mempengaruhi geografi melalui penciptaan suatu growth-linked circular causalty, gaya-gaya yang membidani tumbuhnya lokasi industri dalam suatu wilayah dan juga merangsang untuk investasi. Terlebih lagi, berbagai proses aglomerasi dalam model-model tersebut beroperasi melalui penciptaan kutub-kutub pertumbuhan maupun kutub-kutub penyusutan. Umumnya perusahaan ingin berlokasi di wilayah yang sedang tumbuh, untuk kepentingan dalam melakukan investasi sehingga pada akhirnya perilaku inilah yang akan menyebabkan wilayah menjadi tumbuh lebih cepat lagi (Igliori, 2008). Dalam hal imbas pengetahuan (knowledge spillover), menurut Quah (2002) ada 2 macam model yang berbeda untuk menjelaskannya. Model pertama dengan global spillover dan yang ke dua dengan local spillover. Dalam global spillover model growth dapat berdampak geografis sebagaimana yang diuraikan di atas tetapi geografi tidaklah relevan bagi pertumbuhan karena transmisi pengetahuan dalam inovasi seringkali tidak dipengaruhi oleh jarak. Setiap wilayah belajar secara sama (equal) dari wilayah lain sebagai tempat asal munculnya suatu inovasi. Dalam hal local knowledge spillover model endegenous growth, menurut Igliori (2008) akumulasi pengetahuan merupakan daya aglomerasi. Wilayah yang memelopori
untuk
memulai
mencari
setiap
inovasi,
mengakumulasikan
pengalaman inovasi yang lebih cepat ketimbang wilayah lain. Dengan begitu akan mereduksi biaya modal yang pada gilirannya akan menarik sumberdaya yang lebih banyak, dan akan tumbuh secara cepat. Namun knowledge spillover
24
merupakan suatu daya dispersi: ketika spillover menjadi semakin kurang terlokalisir lagi, maka daya pertumbuhan yang dilecut oleh aglomerasi (the growth-linked agglomeration ) akan melemah. Kombinasi dari kedua daya kekuatan tersebut kemudian membangkitkan suatu tensi baru yang berkaitan dengan integrasi antara wilayah yang kaya dengan wilayah yang miskin. Dengan kata lain, dalam local spillover model integration bisa distabilisir ataupun didestabilisir dimana core-periphery model integration tersebut selalu merupakan destabilizing (integrasi perekonomian akan berakhir ketika tercipta divergensi secara ekstrim terhadap initially symetric region, yaitu bahwa integrasi selalu membidani aglomerasi). Pola penting lainnya dari local spillover model adalah bahwa ekonomi geografi dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Dengan menganggap intensitas konstan dalam proses learning spillovers, maka biaya inovasi akan menurun secara nyata (berbagai biaya inovasi menurun dengan ukuran perekonomian lokal) manakala perekonomian bergerak dari suatu keadaan semetri kepada keadaan yang berpola core-periphery. Karena itu, dengan memicu aglomerasi, maka integrasi perdagangan akan meningkatkan perekonomian sehingga pertumbuhan akan lebih cepat (growth take-off). Aglomerasi umumnya dapat membangkitkan eksternalitas positif sehingga mampu meningkatkan RTS berbagai perusahaan (Krugman, 1991, 2010ª, 2010b), terbentuknya niche learning región (Quah, 2002), proses penempaan jiwa kewirausahaan (Hien, 2010) dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja perekonomian lokal. Namun menurut Igliori (2008) aglomerasi seringkali juga membangkitkan eksternalitas negatif yang melebihi eksternalitas positifnya. Dalam keadaan ini berarti telah dicapai titik jenuh aglomerasi yang umumnya mulai terjandi fenomena congestion dan urban sprawl. Fenomena ini umum terjadi di berbagai wilayah urban di negara-negara berkembang seperti Brasilia. Selain itu, aglomerasi lebih jauh juga dapat menimbulkan tekanan pada terjadi deforestasi lebih lanjut utamanya kepada wilayah-wilayah hinterland-nya. Tambahan pula, menurut Igliori (2008) tentang fenomena kongesti bukanlah fenomena pada kota-kota besar di berbagai belahan dunia. Kongesti juga dapat terjadi pada wilayah suburban maupun perdesaan. Deforestasi lanjutan
25
terutama terjadi di wilayah perbatasan (interface) antara wilayah pertanian dengan wilayah urban dimana aglomerasi telah mulai mencapai titik jenuhnya. Dalam keadaan itu kongesti atau excess demand
bahan baku atau jasa amenitas
lingkungan sering dapat terjadi. Dengan begitu bisa terjadi trade off antara eksternalitas positif terhadap eksternalitas negatif dari fenonema aglomerasi kegiatan perekonomian.
2.3 Stagnasi Capaian Indikator Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung Secara
umum
kinerja
perekonomian
Provinsi
Lampung
berlangsungnya desentralisasi tata pemerintahan dapat digambarkan
sejak dengan
kinerja tingkat PDRB per kapita, tingkat kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi dan IPM=indeks pembangunan manusia (HDI=Human Developmen Index). Keempat indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah Provinsi Lampung tersebut untuk periode 2000 sampai 2008 disajikan pada Tabel 1. Perlu ditegaskan di sini bahwa untuk memperlihatkan adanya stagnasi capaian indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah bagi Provinsi Lampung tersebut maka sebagai bandingan pada Tabel 1 tersebut juga disertakan nilai keempat kinerja ekonomi bagi nasional.
Tabel 1. Perbandingan Rataan Indikator Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung terhadap Nasional Periode Tahun 2000-2008 Indikator Kinerja
Rataan [Sd] Provinsi Lampung
Nasional
PDRB/Kpt (Rp Jt)*
4,41 [0,57]
8,08 [0,68]
Pertumbuhan Ekonomi** (%)
4,87 [2,89]
5,52 [0,65]
21,63 [1,23]
16,09 [0,69]
Kemiskinan (%)
IPM 68,25 [2,10] Keterangan: * =dihitung atas dasar harga konstan Tahun 2000, **=tanpa migas Sumber: BPS Provinsi Lampung (2001-2009 Diolah)
Seperti dapat dicermati pada Tabel 1, dalam periode
70,32 [0,64]
pendapatan per
kapita, pertumbuhan ekonomi, insidensi kemiskinan dan indeks pembangunan
26
manusia untuk Provinsi Lampung berturut-turut [dengan Sd]: 4,41[0,57] juta rupiah; 4,87[2,89]%; 21,63[1,23]%; dan 68,25[2,1]. Sementara untuk rata-rata nasonal dengan urutan yang sama telah mencapai posisi: Rp 8,08[0,68] juta; 5,52[0,65]; 16,09[0,69] dan 70,32 [0,64]. Sementara itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Verbist dan Pasya (2004), Verbist et al. (2004) ataupun lainnya bahwa deforestasi di Provinsi Lampung mengalami ekskalasi sejak awal dekade 1970-an ketika produk hutan kayu menjadi andalan devisa bagi negara. Deforestai ini memuncak ketika berlangsung desentralisasi tata pemerintahan. Pada tahun 2005 menurut Departemen Kehutanan Provinsi Lampung (2009) tutupan hutan hanya tinggal sekitar 7,40%. Tampaknya ada pertalian yang erat antara stagnasi keempat indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah tersebut dengan degradasi fungsi instrinsik hutan akibat deforestasi yang akut tersebut. Kecuali itu degradasi fungsi intrinsik hutan tersebut juga memperlihatkan pertalian yang erat dengan kinerja sektor-sektor agroindustri yang telah mulai beraglomerasi di sub wilayah hilir (Affandi, 2009) sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Elastisitas Output/Input & Skala Pengembalian (RTS: Return to Scale) Rataan dari 12 Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Selama Desentralisasi Tata Pemerintahan Sektor Kapital Rataan 12 Agroindustri [Stándar Deviasi] Industri Makanan
Elastisitas output/input: Bhn.Baku Tng. Kerja Energi
Total=RTS
0,05 [0,13]
0,32 [0,62]
0,34 [0,38]
0,17 [0,36]
0,88* [0,26]
0,10
0,93
-0,12
-0,01
0,89
Sumber: Affandi (2009, diolah) Keterangan: *berbeda nyata (pada Uji t taraf 10%) terhadap RTS=1 (Constant Return to Scale)
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 tersebut di atas bahwa kinerja skala pengembalian (RTS) dari ke-12 kelompok agroindustri mengalami skala pengembalian yang menurun (DRS: decreasing return to scale) yaitu rata-rata hanya sebesar 0,88. Artinya apabila keempat faktor produksi (kapital, bahan baku, tenaga kerja, dan energi yang masing-masing dinyatakan dalam satuan moneter) dinaikan sebesar 1%, maka total output hanya bertambah 0,88%.
27
Lebih lanjut dalam realitasnya, kini faktor input kapital dan energi hanya memberikan respon terhadap output yang relatif rendah yaitu masing-masing 0,05 dan 0,17; sedangkan faktor input bahan baku dan tenaga kerja memiliki respon yang cukup baik terhadap outputnya yaitu masing-masing 0,32 dan 0,34. Artinya secara rata-rata keduabelas sektor agroindustri tersebut masih relatif cukup responsif terhadap faktor tambahan input bahan baku maupun tenaga kerja tetapi kurang responsif terhadap tambahan input kapital maupun energi. Mengingat dasar análisis yang digunakan Affandi (2009) adalah data jangka panjang (yaitu tahun 1988-2005), maka fenomena ini dapat memberikan imajinasi tentang kendala kelangkaan bahan baku. Dalam istilah Igliori (2008) telah terjadi demand congestion terhadap bahan baku. Imajinasi ini didukung oleh kinerja elastisitas industri makanan. Elastisitas input bahan baku bagi industri makanan dapat mencapai 0,93 sementara untuk input kapital, tenaga kerja dan input energi masing-masing 0,10, -0,12 dan -0,01. Artinya input tenaga kerja maupun energi di dalam industri makanan telah jenuh, sedangkan kapital sudah mendekati jenuh dan bahan baku masih sangat responsif terhadap peningkatan input. Kongesti akan bahan baku ini telah menyebabkan sektor industri makanan ini juga turut mengalami skala pengembalian yang DRS yaitu hanya berkisar 0,89. Adanya fenomena kongesti ini juga diperlihatkan oleh statistik laju pertumbuhan PDRB sektor agroindustri ataupun industri pengolahan yang secara rata-rata lebih besar dari pada sektor pertanian sebagai sektor yang menjadi pemasok bahan baku bagi input agroindustri tersebut. Fakta ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Rataan Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian, Sektor Agroindustri, dan Industri Pengolahan pada Periode 2000-2008 di Provinsi Lampung No. Sektor (Subsektor) Pangsa (%PDRB) Pertumbuhan Sd (%) 1 Pertanian 43,19 4,34 1,66 (a) Tanaman Pangan 20,76 3,97 4,53 (b) Tanaman Perkebunan 10,54 2,86 3,17 (c) Peternakan 5,44 3,64 6,03 (d) Perikanan 6,00 7,80 7,37 (e) Kehutanan 0,45 29,69 32,15 2. Industri Tanpa Migas 13,79 3,49 13,68 3. Agroindustri 13,26 5,20 14,63 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung (2000-2004; 2005-2009, diolah) Analisis Indikator Ekon Makro Regional Provinsi Lampung
28
Seperti dapat dicermati pada Tabel 3 tersebut, bahwa laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian secara umum tertinggal dari sektor-sektor hilirnya yaitu utamanya sektor-sektor agroindustri. Dalam kurun waktu yang sama sektor pertanian tumbuh hanya sebesar 4,34(Sd=1,66) % sedangkan untuk agroindustri tumbuh secara rata-rata 5,20 (Sd=14,63)%. Dengan demikian tampak hubungan antara fenomena degradasi fungsi intrinsik dengan stagnasi pertumbuhan PDRB sektor pertanian. Lebih lanjut stagnasi sektor pertanian telah menimbulkan excess demand akan input bahan baku bagi sektor-sektor industri pengolahan ataupun agroindustri yang bermuara pada kinerja decreasing return sektor agroindustri sebagai sektor yang menjadi pijakan
penting
dalam
transformasi
struktural
perekonomian
menuju
perekonomian industri modern di Provinsi Lampung. Pada akhirnya serangkaian fenomena tersebut telah bermuara pada stagnasi indikator capaian kinerja pembangunan ekonomi wilayah Propisi Lampung pada masa desentralisasi tata pemerintahan selama ini. Benang merah yang sangat penting yang dapat ditarik dari sub bagian ini adalah bahwa telah muncul kendala sumberdaya dalam pembangunan ekonomi wilayah Popinsi Lampung semasa desentralisasi tata pemerintahan ini. Kendala sumberdaya yang diatribusi oleh degradasi sumberdaya alam semacam ini dikenal sebagai Ricardian trap. Fenomena Ricardian trap ini umum dijumpai pada negara-negara berkembang ketika mulai melakukan transformasi struktural dalam skenario pertumbuhan penduduk yang belum dapat ditekan. Tetapi untuk memperoleh gambaran yang lebih obyektif tentang ekstraksi sumberdaya anugerah alam (Resource endowment), sebelum melakukan kajian terhadap teori kendala sumberdaya
maka
perlu
ditinjau
dampak
deforestasi
terhadap
tingkat
kesejahteraan masyarakat.
2.4 Dampak Deforestasi pada Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Selain pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang umum digunakan sebagai indikator perkembangan kesejahteraan masyarakat di suatu negara ataupun wilayah. Namun dalam 2 dekade terakhir ini selain kedua variabel ekonomi tersebut juga mulai banyak digunakan Indeks Pembangunan
29
Manusia (IPM).
IPM atau HDI (Human Development Indeks) merupakan
indikator komposit dari indeks tingkat konsumsi, indeks kesehatanan, dan indeks pengetahuan. Dari komponen penyusunnya, maka IPM tampak merupakan suatu indikator kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dari pada pedapatan per kapita maupun pertumbuhan ekonomi. Setiap awal pembangunan ekonomi wilayah senantiasa memanfaatkan sumberdaya yang telah diwariskan sebagai anugerah [(Re)source endowment], seperti tambang, sumberdaya hutan, sumberdaya perikanan ataupun sumberdaya lainnya. Bagi negara-negara tropika basah, sumberdaya hutan seringkali menjadi andalan utama dalam memulai pembangunan perekonomiannya. Andalan tersebut sering dilakukan karena sumberdaya hutan sifatnya liquídate, tanpa banyak memerlukan investasi ataupun teknologi yang relatif tinggi sehingga biaya ekstraksi sumberdaya alam ini begitu relatif sangat murah untuk diekstraksi baik berupa kayu maupun nir kayunya (lihat Naidoo, 2004). Artinya ekstraksi hasil hutan kayu maupun nir kayu umumnya menjadi sasaran pertama. Dengan kata lain deforestasi merupakan suatu keniscayaan bagi negara-negara tropika basah pada awal pembangunan perekonomiannya. Sehubungan dengan itu, dalam penelitiannya untuk mengetahui dampak deforestasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang menggunakan panel data 77 negara, Naidoo (2004) membuat 2 kesimpulan. Pertama, bahwa deforestasi telah mempercepat pertumbuhan ekonomi, semakin awal dan semakin luas suatu negara melakukan deforestasi sumberdaya hutannya maka negara tersebut akan makin cepat tumbuh. Sebaliknya negara-negara yang lamban melakukan deforestasi dan banyak mensisakan sumberdaya hutannya maka akan tertinggal dan lambat dalam pertumbuhannya. Kedua, bahwa deforestasi akan menekan pertumbuhan ekonomi suatu negara jika pangsa ekspor hasil hutannya relatif kecil yaitu rata-rata 0,3%. Kedua kesimpulan ini kukuh (robust) terhadap perbedaan geografis, perbedaan tingkat perkembangan ekonominya, maupun perbedaan luasan awal sumberdaya hutan yang dimiliki oleh suatu negara. Namun terhadap kesimpulan dari penelitian Naidoo (2004) yang pertama tersebut kita perlu sangat berhati-hati, karena peneliti ini merupakan penganut mahzab technosentric_conurcopian yang menganggap bahwa antarsumberdaya
30
sebagai faktor produksi dapat saling disubstitusikan.
Pandangan itu juga
mengabaikan eksternalitas negatif yang merupakan dampak dari setiap aktivitas perekonomian, tidak terkecuali aktivitas yang menyebabkan deforestasi dan konversi penggunaan lahan. Tentu pandangan ini memiliki label keberlanjutan sebagai kebersinambungan yang lemah (weak sustainability). Hasil eksplorasi data yang ditampilkan oleh Indufor Forest Intelegence atau IFI (2010) juga mendukung kesimpulan yang pertama dari penelitian Naidoo (2004) tersebut. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2, bahwa data dari 44 negara menunjukkan semakin luas tutupan hutan semakin rendah tingkat PDB/kapita maupun IPM suatu negara. Sebaliknya makin besar tingkat deforestasi maka kedua indikator kesejahteraan masyarakat tersebut makin besar. Namun bila dari 44 negara tersebut dipilih dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah dari 10.000 USD, maka terjadi kesimpulan yang sebaliknya (Gambar 3). n=44 1400
1,20
Qatar
1,00 Islandia
400 200
Kwait
Turkministan Kwait Singapura Islandia Israel
-200 -
0,60 Banglades
Comoro
Yaman
0,40 Balbados
Afganistan
0,20
Comoro
0 Yaman
Israel
0,80
800 600
Balbados
Singapur Qatar
1000
IPM
PDB/Kpt (X100 USD)
1200
Banglades
Afganistan
20,0
40,0
%Tutupan Hutan
60,0
0,00
-
20,0
40,0
% Tutupan Hutan
60,0
Sumber: Indofur Forest Intelegence (2010, diolah)
Gambar 2. Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs (Low Forest Cover Countries)
31
Proporsi Tutupan Hutan≤20%; PDB/Kpt ≤ 10.000USD 120 Afrika Selatan
0.70 Tunisia
80
Tunisia
0.80
100
Maroko Tonga
40
Yaman
Maroko
Kenya Lesotho
0.50 0.40
Chad Mali
0.30
Afganistan
0.20
Yaman
20 Djiboti
Afrika Selatan
Tajikistan
Djiboti
60
Tonga
Kyrgistan
0.60
IPM
PDB/Kpt (X100 USD)
n=15
0.90
Kenya
0.10
Afganistan
0
0.00 -
10.0
20.0
30.0
% Tutupan Hutan
-
10.0
20.0
% Tutupan Hutan
30.0
Sumber: Indofur Forest Intelegence (2010, diolah)
Gambar 3. Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs dengan Proporsi Tutupan ≤20% dan PDB/Kpt ≤ 10.000USD
Merujuk hasil penelitian Mudiyarso et al. (2006) yang menggunakan panel data semua kabupaten yang ada di Indonesia, antara lain dapat analisis hubungan antara proporsi tutupan hutan terhadap IPM disajikan pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Indeks Pembangunan Manusia sebagai Fungsi dari Proporsi Luas Tutupan Hutan di Indonesia
No.
Wilayah
Regresi
Signifikansi
1.
Pulau Jawa
IPM = –76,9(%Hutan) + 69,6
Nyata
2.
Luar P Jawa*
IPM = 89,3 (%Hutan) + 24,1
Nyata
3.
Pulau Sumatera
IPM = 151,5(%Hutan) – 20,7
Nyata
Sumber: Mudiyarso et al. (2006;diolah). Keterangan: *Gabungan dari 6 Pulau Besar selain Jawa.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 4 untuk P Jawa, semakin luas tutupan hutan maka respon IPM semakin turun. Sedangkan untuk luar Jawa (termasuk Sumatera) adalah sebaliknya. Hubungan itu secara umum dapat mencerminkan peran intrinsik hutan sebagai pengendali pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya. Bahwa di P Jawa kepemilikan lahan sudah relatif sempit. Memperluas proporsi hutan di P Jawa berarti akan menurunkan proporsi
32
penggunaan lahan untuk berbagai kegiatan yang mempunyai rente ekonomi (land rent) yang relatif lebih tinggi dari pada land rent untuk penggunaan hutan. Mengingat secara umum P Jawa telah mencapai kesejahteraan yang relatif lebih tinggi, maka mungkin sekali juga di P Jawa kebutuhan akan amenitas lingkungan (yang antara lain dapat disediakan oleh penggunaan lahan untuk hutan) sudah relatif tinggi dibandingkan pulau-pulau lain. Sebagaimana pandangan Kuznetsian (ECK: Environmental Kuznets Curve), proporsi hutan yang ada di P Jawa dapat dipelihara secara baik sehingga cukup dapat menyuplai kebutuhan akan amenitas lingkungan ataupun mungkin fungsi. Dengan begitu, nampaknya proporsinya tidak perlu diperbesar lagi agar penggunaan lahan untuk non hutan (yang memiliki land rent lebih tinggi) tidak tergusur. Sedangkan fenomena di luar P Jawa adalah sebaliknya. Karena pemilikan lahan ataupun peguasaan lahan secara rata-rata masih relatif besar, maka sumberdaya hutan masih menjadi andalan bagi penyumbang pendapatan masyarakat, sementara itu kebutuhan akan amenitas lingkungan (yang dapat disediakan oleh proporsi tutupan hutan yang ada) masih surplus. Karena itu deforestasi (untuk mengekstraksi manfaat ekonomi dari sumberdaya hutan maupun untuk konversi ke penggunaan lahan dengan land rent yang lebih tinggi) masih memungkinkan sampai batas-batas tertentu. Sekalipun Provinsi Lampung merupakan anak gugus (sub set) dari P Sumatera, tetapi distribusi rata-rata pemilikan ataupun punguasaan lahan sudah mendekati di P Jawa.
Sehubungan dengan itu, eksplorasi hubungan antara
proporsi tutupan hutan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat juga menyerupai di P Jawa. Pada Gambar 4 dan 5 disajikan hubungan antara proporsi tutupan hutan di Provinsi Lampung terhadap kesejahteraan. Untuk Provinsi Lampung hubungan antara proporsi tutupan hutan terhadap PDRB/kapita bersifat negatif baik dengan ataupun tanpa menyertakan Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus yang masing-masing waktu itu memiliki proporsi tutupan hutan 66% dan 80% (Gambar 4). Fenomena ini menyerupai fenomena di P Jawa. Namun terhadap IPM, maka fenomenanya menjadi berbeda, dengan tidak menyertakan kedua kabupaten yang merupakan wilayah resapan tersebut maka IPM meningkat dengan bertambahnya proporsi tutupan hutan (Gambar 5).
33
5,0 Tulang Bawang
4,5
4,0
Lampung Utara Lampung Tengah
3,5
Lampun Selatan
3,0
Lampung Timur
2,5
Way Kanan
Tanggamus Lampung Barat
2,0
PDRB/Kpt Tahun 2002 (Rp Jt)
PDRB/KPT Tahun 2002 (Rp Jt)
5,0
Tulang Bawang
4,5
Lampung Utara
4,0
Lampung Tengah
3,5
Lampung Selatan
3,0
Lampung Timur
2,5
Way Kanan
2,0 10 20 30 40 50 60 70 80
10 20 30 40 50 60 70 80 % Tutupan Hutan 1988
% Tutupan Hutan 1988 (a) Dengan Subwilayah Resapan
(b) Tanpa Subwilayah Resapan
Sumber Mudiyarso dkk., (2006, Diolah)
68
68
67
67
66
Tanggamus
65 64
IPM Tahun 2002
IPM Tahun 2002
Gambar 4. Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan (1988) terhadap PDRB/Kapita (2002) di Provinsi Lampung
66 65
Lamp. Barat
64
63
63 10 20 30 40 50 60 70 80
%Tutupan Hutan Tahun 1988
(a) Dengan Subwilayah Resapan
10 20 30 40 50 60 70 80 % Tutupan Hutan Tahun 1988 (b)
Tanpa Subwilayah Resapan
Sumber: Mudiyarso dkk., (2006, Diolah)
Gambar 5. Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan (1988) terhadap IPM (2002) di Provinsi Lampung
Dari kedua gambar tersebut dapat ditarik pelajaran bahwa pada proporsi penutupan hutan lebih dari 66% tidak akan dapat meningkatkan pendapatan per kapita maupun IPM. Sekalipun pertambahan proporsi tutupan hutan tidak
34
memperlihatkan peningkatan PDRB/kapita tetapi kegiatan aforestasi/reforestasi (A/R) tetap masih sangat penting untuk dilakukan di Provinsi Lampung. Pentingnya kegiatan A/R tersebut ditunjukkan oleh peningkatan IPM dengan bertambahnya proporsi tutupan hutan (Gambar 5). Walaupun begitu hendaknya peningkatan proposi tutupan hutan tidak perlu mencapai tutupan 66% ataupun lebih. Selain itu, dari sisi indikator bahwa IPM merupakan indikator yang lebih dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat ketimbang PDRB/kapita berhubung IPM menggunakan indeks komposit yang lebih baik dari pada indikator tunggal berupa PDBR/kapita yang belum mencerminkan distribusi kepada siapa pendapatan tersebut berpolar.
Indeks komposit penyusun IPM
tersebut juga sering diproksi dengan indeks konsumsi indeks usia harapan hidup waktu lahir, dan indeks pendidikan.
2.5 Kendala Sumberdaya: Teori Moderenisasi Ekonomi Wilayah bagi Negara-negara Berkembang Fenomena stagnasi perkembangan kinerja ekonomi wilayah tersebut dapat dijelaskan secara memuaskan dengan menggunakan teori kendala sumberdaya dalam pembangunan wilayah di negara-negara berkembang. Ulasan teori tersebut adalah sebagai berikut. Menurut Hayami (2001), walaupun laju pertumbuhan populasi di berbagai negara berkembang telah menurun sejak dekade 1970-an, namun itu akan kembali muncul dan bersifat eksplosif setidaknya untuk 2 dekade mendatang, terutama pada masyarakat yang pendapatan perkapitanya rendah, yaitu suatu masyarakat yang dicirikan oleh tingginya dependensi kepada SDA. Dalam skenario pertumbuhan populasi yang terus meningkat, masalah yang umumnya muncul dalam masyarakat seperti ini adalah bagaimana untuk mempertahankan pertumbuhan pendapatan per kapita secara berkesinambungan dalam kondisi ketersediaan SDA yang terus menurun. Banyak para ahli yang berupaya untuk menjelaskan fenomena kendala sumberdaya bagi nasib keberlanjutan pembangunan ekonomi seperti Malthus dan kemudian pada awal 1970-an The Limit to Growth dari Kelompok Roma. Teori Malthus yang fokus pada sisi perilaku manusia yang dikendalikan oleh instinct
35
hewani (dalam berkembang biak) tanpa mempedulikan aktivitas pembentukan kapital, berarti teori itu hanya merupakan teori populasi dan sulit untuk dapat disebut sebagai teori ekonomi. Karena itu, ramalan teori ini belum pernah terbukti. Walaupun begitu, dunia belum pernah terlepas dari situasi trauma Malthusian tersebut. Trauma seperti itu kemudian muncul kembali pada dekade awal 1970-an, yaitu ketika Kelompok Roma mempublikasikan laporan The Limit to Growth (Meadow et al., 1972 dikutip Hayami, 2001). Laporan tersebut bukan hanya menyoroti krisis populasi-pangan, tetapi juga untuk krisis akibat penyusutan SDA dan degradasi lingkungan akibat overexploitation serta akibat dampak negatif dari limbah akibat terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi yang bersifat eksponensial. Laporan ini memprediksi, jika pertumbuhan ekonomi yang bersifat eksponensial ini tidak dicegah atau dikendalikan, maka industrisalisasi akan terhenti dan aktivitas perekonomian akan mulai menyusut paling lama dalam 2 dekade dalam abad 21 karena adanya pengurasan SDA. Akibatnya pertumbuhan populasi dunia akan menyusut karena peningkatan angka mortalitas yang dilecut oleh kekurangan suplai pangan dan degradasi lingkungan. Laporan tersebut sangat menyita perhatian publik dunia karena setahun setelah dipublikasikan karya tersebut kemudian ternyata terjadi: (i) krisis pangan dunia akibat gagal tanam dan (ii) munculnya pertamakali krisis minyak dunia yang dipicu oleh embargo OPEC sebagai respon dari Perang Timur Tengah. Harga kedua macam komoditas meningkat beberapa kali lipat. Namun krisis berakhir dan harga berbagai komoditas kembali menurun. Akibatnya efek publikasi tersebut terhadap perhatian publik menurun bahkan laporan Kelompok Roma tersebut menuai banyak kritikan utamanya karena ketiadaan landasan teori ekonomi maupun lemahnya dukungan data statistiknya. Menurut Hayami (2001) keterbatasan utama dari analisis dan simulasi yang dilakukan dalam laporan Kelompok Roma itu terletak pada asumsi yang bersifat eksponensial untuk pertumbuhan penduduk, tingkat produksi sektorsektor industri maupun untuk berbagai aktivitas perekonomian lainnya di masa lalu (periode 1900-1970-an) yang dianggap tetap tidak berubah di masa depan
36
dengan peningkatan yang proporsional terhadap kebutuhan pangan maupun bahan-bahan konsumsi akibat pertumbuhan populasi yang eksponsial tersebut. Menurut Sorensen dan Whitta-Jacobsen (2009) bahwa sebagaimana Malthus, analisis Kelompok Roma ini tidak mempertimbangkan respon yang rasional dari para pelaku ekonomi dalam menyelamatkan sumber daya yang semakin langka. Mereka hanya secara mekanis saja melakukan analisis proyeksi yang didasarkan pada trend di masa lalu, dengan pertimbangan posibilitas perubahan
koefisien
produksi
tersebut
dibatasi
dan
mengarah
kepada
pertumbuhan ekonomi yang terbentur pada kendala sumberdaya alam (SDA) yang tetap (fixed resource endowment). Baik asumsi yang sulit untuk dipenuhi maupun absennya pertimbangan tentang respon perilaku manusia rasional jika menghadapi kelangkaan sumberdaya tersebut, maka telah menyebabkan proyeksi Kelompok Roma ini melesat jauh ke atas (overshooting) sehingga banyak menuai banyak kritikan tersebut. Menurut Hayami (2001) sebenarnya pencerahan tentang mekanisme pertumbuhan ekonomi yang dibatasi oleh natural resource endowment (Re) tersebut dapat dirujuk kembaali pada teori pembangunan ekonomi dari Teori David Ricardo: Principle of Political Economy and Taxation yang diterbitkan pada tahun 1817, ketika Revolusi Industri telah mapan di Inggris. Fenomena ini terjadi
ketika
pertumbuhan
populasi
mencapai
puncaknya.
Ricardo
mengidentifikasi akumulasi kapital dalam industri moderen, yang terjadi dalam Revolusi Industri, yang merupakan kekuatan pengendali pertumbuhan ekonomi. Kapital dalam pandangan Ricardo adalah wage fund (dana upah) yang didefinisikan sebagai jumlah pembayaran kepada buruh sebagai penjualan di depan (in advance of sale) dari komoditas yang diproduksi oleh buruh yang digunakan sebagai input dalam proses produksi. Wage fund juga pembayaran atas pembelian berbagai alat-alat maupun struktur yang komplementer untuk menggunakan buruh. Oleh karena itu permintaan terhadap tenaga kerja (TK) meningkat secara proporsional dengan meningkatnya wage fund tersebut. Di lain fihak, suplai TK ditentukan oleh buruh yang mau bekerja secara penuh waktu (full time) tanpa memandang berapa pun upahnya. Ini berarti bahwa suplai TK konstan dalam jangka pendek, yaitu suatu periode dimana populasi tetap konstan. Oleh
37
karena itu, ketika investasi yang baru itu diberikan kepada wage fund, maka permintaan buruh akan meningkat dengan meningkatnya tingkat upah sepanjang suplai yang inelastik selama jangka pendek. Jika tingkat upah meningkat di atas tingkat upah untuk kebutuhan hidup subsisten, populasi mulai meningkat diiringi oleh peningkatan angkatan kerja. Peningkatan populasi tersebut yang mendasari anggapan bahwa suplai TK dianggap elastik secara tidak terbatas dalam jangka panjang (didefinisikan sebagai periode yang cukup lama agar populasi dan angkatan kerja memungkinkan bisa untuk berubah), di bawah tingkat upah yang cenderung selalu ditekan balik kembali sampai ke tingkat upah subsisten. Artinya dalam jangka panjang wage cost bagi industri tidak meningkat, dan keuntungan para kapitalis meningkat secara proporsional dengan peningkatan kapital. Karena tingkat profit tidak menurun, sehingga selalu ada insentif yang selalu terus terpelihara untuk menginvestasikan kembali setiap keuntungan yang diperoleh, yang berarti pula produksi dan lapangan pekerjaan terus meningkat dalam sektor industri moderen. Walaupun begitu, upah subsisten bagi para pekerja industri tergantung pada harga pangan. Tidak seperti dalam sektor industri, sektor pertanian tidak dapat keluar dari perangkap skala pengembalian yang menurun (DRS: decreasing return to scale) dalam produksi karena selalu dibatasi oleh kendala (Re)source endowment sumberdaya lahan. Untuk melakukan perluasan agar permintaan pangan terus dapat dipenuhi, maka harus dipenuhi dengan menggunakan lahan yang paling subur, yang biaya marjinalnya konstan. Namun jika peningkatan permintaan akan pangan terus meningkat (akibat dari pertumbuah populasi) hingga melebihi output yang dapat diproduksi oleh lahan yang paling subur tersebut, maka perluasan usaha pertanian akan diarahkan kepada lahan-lahan yang kurang subur sehingga menyebabkan biaya marjinalnya meningkat berhubung akan lebih banyak dibutuhkan input tenaga kerja (TK) untuk memproduksi pangan dalam jumlah yang sama. Akibatnya akan semakin banyak lahan yang kurang subur yang dibuka untuk produksi pertanian sehingga biaya marjinal meningkat secara progresif. Dalam proses ini demand terhadap lahan yang subur meningkat karena lebih menguntungkan untuk berbudidaya. Lebih lanjut, sewa yang lebih tinggi harus dibayar kepada tuan tanah untuk penggunaan lahan-lahan
38
yang subur sampai antara biaya produksi di lahan-lahan yang subur terhadap lahan-lahan marjinal (hampir semua lahan-lahan marjinal telah digunakan untuk produksi). Karena harga pangan naik sesuai dengan peningkatan biaya, maka nominal uang dari upah yang dibayarkan kepada para TK sektor industri perlu untuk dinaikkan agar dapat bertahan hidup pada level subsisten. Ketika upah meningkat, keuntungan tidak terus meningkat secara proporsional dengan peningkatan kapital. Jadi ketika demand terhadap pangan terus meningkat sesuai dengan akumulasi kapital dan pertumbuhan lapangan pekerjaan, harga pangan akhirnya akan meningkat sampai pada suatu level dimana tingkat profit akan menjadi begitu rendah sehingga tidak ada insentif untuk melakukan investasi lebih lanjut. Pertumbuhan ekonomi akan berhenti pada titik ini. Hayami (2001) melukiskan Teori Ricardo, menggunakan dua diagram yang dikonstruksi sebagai suatu model dalam perekonomian modern dalam Gambar 6. Diagram bagian kiri menyajikan pasar TK bagi sektor industri modern, dalam ukuran model kesetimbangan parsial Marshallian. Garis DD mewakili kurva demand TK, yang dianggap bersesuaian dengan suatu sekedul produk nilai marjinal dari TK untuk suatu stok kapital yang digunakan. Sementara diagram distrukturkan dalam kerangka pemikiran neoklasik, maka karakteristik dari Teori Ricardo diwakili oleh bentuk suplai tenaga kerja (TK). Dengan mengadopsi hukum Malthus, Ricardo menganggap suplai TK yang horisontal pada upah subsisten (Oŵ) dalam jangka panjang, seperti diwakili oleh garis LS. Namun, karena angkatan kerja tetap konstan dalam jangka pendek dan, karena marginal disutility dari TK relatif terhadap utilitas marjinal dan pendapatan dipandang begitu kecil sehingga dapat diabaikan oleh para TK yang hidup pada level yang mendekati subsisten, maka dalam jangka pendek suplai TK bisa dianggap menjadi inelastik terhadap tingkat upah, yang diwakili dengan garis tegak SS. Seperti dapat dilihat pada Gamber 2.6 bahwa awal permitaan (demand) terhadap tanaga kerja (TK) bagi sektor industri diberikan sebagai DD0 sesuai ketika stok kapital yang dimiliki oleh kaum wirausaha-kapitalis adalah K0, dan bahwa kesetimbangan jangka panjang pada periode permulaan berada pada titik A
39
dengan jumlah TK yang dipekerjakan adalah OL0 pada level upah subsisten. Kemudian, total nilai produk dalam sektor industri diwakili oleh luas ADOL0 dimana luas AŴOL0 dibayarkan kepada TK dan luas sisanya ADŴ menjadi keuntungan ataupun return bagi kapital.
Upah
(W)
Harga Pangan (P)
SS
HS
D d2 Ŵ’ Ws Ŵ
G E A
d1 B
C D1
Do
0
Lo L1 Tenaga Kerja
ko k1
LS D2
k2 (L)
P2
do
f
c
Po=P1 a (No)
b (N2)
(N1)
L2
WS
Q1
Q2
Ouput Bahan Pangan
Gambar 6. Konsepsi Teori Kendala Sumberdaya (Sumber: Hayami, 2001)
Sebagaimana asumsi yang umum diterima baik oleh kaum ekonom klasik maupun Marxian, bahwa TK mengkonsumsi seluruh upah pendapatannya, dan kaum kapitalis yang makmur (selalu mencari peningkatan keuntungan) melakukan reinvestasi hampir seluruh keuntungan yang telah didapatkan, sehingga stok kapital meningkat dari K0 imenjadi K1 (atau K0 + luas ADŴ). Bersamaan dengan itu produk marjinal bagi TK bergeser ke arah atas, meghasilkan suatu pergeseran ke arah kanan dalam kurva permintaan TK dari DD0 ke DD1 dan tingkat upah meningkat di luar OŴ ke OWs. Namun, karena tingkat upah naik di atas tingkat upah riil itu, maka hukum Malthusian mulai beroperasi (dengan meningkatnya populasi maupun angkatan kerja). Oleh karena itu, bersama berlalunya waktu, kurva short run labor suplay SS akan bergesar ke arah atas dan menurunkan tingkat upah ke sepanjang kurva permintaan TK yaitu DD1 pada titik B, dimana level kesetimbangan TK jangka panjang pada OL1 ditentukan. Jika skala netralitas produksi dan Hukum Say tentang produksi dalam penciptaan demand dianggap sesuai dengan Teori Ricardo, maka produk, kapital,
40
stok dan TK akan meningkat dengan laju yang sama dalam jangka panjang dalam situasi tingkat upah subsisten yang konstan yang dapat diukur dengan satuan produksi. Kemudian pembayaran upah (wL) dan total profit (Y-wL) meningkat pada laju yang sama seperti total output (Y) dan kapital (K), sehingga tingkat keuntungan ataupun return kapital [(Y-wL)/K] tetap konstan. Jadi suplai TK horisontal (didukung oleh Hukum Malthus tentang populasi) mencegah timbulnya insentif berupa keuntungan bagi wirausahawan-kapitalis untuk menginvestasikan terhadap penurunan, dan karena itu jaminan kelanjutan dalam akumulasi kapital maupun output dalam sektor industri moderen. Kendala terhadap pertumbuhan seperti itu dalam sektor moderen adalah DRS dalam produksi pangan yang beroperasi dalam sektor pertanian. Diagram sebelah kanan Gambar 6 menyajikan suatu pasar pangan yang diwakili oleh bijian, dimana sumbu horisontal mengukur output bijian ataupun konsumsi dan sumbu vertikal adalah harga. Garis HS mewakili sekedul suplai bijian yang ditentukan oleh biaya marjinalnya. Sekedul ini arah naik, karena sumberdaya lahan (SDL) didistribusikan dari yang paling subur sampai ke katagori yang paling marjinal dan luasan SDL tiap katagori kesuburan suplainya tetap (fixed). Biaya marjinal dalam produksi bijian tetap konstan pada OP0 (dimana OP0=OP1) sampai mencapai output maksimum yang bisa diproduksi oleh SDL kategori terbaik (OQ1) namun melompat sampai ke OP2 ketika output melebihi batas tersebut dan SDL kelas 2 mulai digarap. Peningkatan maju (stepwise) berlanjut ketika makin banyak SDL yang kesuburannya rendah (marjinal) mulai digunakan untuk budidaya. Karena bijian dikonsumsi oleh hampir semua TK dan karena pendapatan perkapitanya konstan pada level subsisten dalam jangka panjang, maka terjadi suatu pergeseran kurva permintaan dd sebagai respon dari pertumbuhan populasi itu sendiri. Dalam diagram sebelah kanan, d0d0 mewakili kurva permintaan yang bersesuaian terhadap lapangan kerja sektor industri yang ditunjukkan oleh OL0. Ketika lapangan kerja meningkat ke OL1, dan kemudian ke OL2, pertumbuhan populasi proporsional dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan menggeser kurva bijian ke d1d1, dan kemudian ke d2d2 berturut-turut. Untuk memperluas permitaan bijian dipenuhi dengan produksi hanya menggunakan katagori SDL terbaik,
41
seperti dalam kasus d1, harga bijian tetap pada OP0 (=OP1).
Namun ketika
permintaan bijian meningkat ke d2, harga bijian menjadi OP2; bersesuaian dengan biaya marjinal produksi menggunakan SDL kelas 2 untuk budidaya. Di sini dianggap bahwa peningkatan biaya marjinal dalam peningkatan produksi bijian dengan cara membawa SDL kelas 2 untuk budidaya adalah sama saja artinya dengan menggunakan jumlah kapital dan TK yang lebih banyak terhadap produksi dengan menggunakan SDL kelas 1. Ketika harga bijian meningkat dari OP1 ke OP2, maka tingkat upah subsisten OW0 yang digunakan untuk mencukupi buruh dalam membeli bijian dengan jumlah yang memadai untuk hidup subsisten pada level harga OP0 menjadi tidak cukup lagi. Oleh karena itu, tingkat upah dalam sektor industri harus ditingkatkan dalam jangka panjang ke level OW‟, yang memungkinkan para TK untuk membeli bijian yang cukup untuk bertahan hidup.
Kemudian
keuntungan dalam sektor industri (yang menggunakan jumlah kapital K2) menurun dari luasan CDŴ ke GDW‘. Oleh karena itu, tingkat profit kapital dalam sektor industri akan menurun secara progresif ketika SDL yang marginal mulai dibuka untuk dibudidayakan. Fenomena ini punya efek pada penurunan pendapatan wirausahawan kapitalis sekaligus juga penurunan insentifnya. Di lain fihak, ketika harga bijian naik dari OP1 ke OP2, maka para produsen bijian menggunakan SDL kelas satu dapat meraup ekses profit sebesar P1P2 per unit output. Karena ekses profit dapat diperoleh dengan menggunakan SDL kelas 1 daripada kelas 2, maka kompetisi diantara para produsen bijian untuk menggunakan SDL kelas 1 tersebut akan meningkatkan rentenya ke P1P2 dengan pendapatan tuan tanah menggunung, yang diwakili oleh areal P1bfP2 (Gambar 1). Jadi para tuan tanah dapat menangkap windfall gain dari akumulasi kapital di sektor industri melalui pertumbuhan populasi maupun permintaan pangan. Teori Ricardo memprediksi bahwa (di bawah Re SDA yang ada dalam ukuran luasan SDL yang tetap), maka harga pangan meningkat akibat dari pertumbuhan populasi akan mengendalikan perekonomian kedalam keadaan yang stasioner dimana tingkat keuntungan begitu rendah sehingga tidak ada insentif untuk melakukan investasi tambahan dan upah TK
tidak menjadi divergen
terhadap upah subsisten yang minimum, sementara itu para tuan tanah sendiri
42
memperoleh perluasan rent revenue dan menghamburkan konsumsinya yang mencolok mata. Mekanisme SDL yang tetap (fixed land resource endowment) yang membatasi pertumbuhan ekonomi pada fase awal industrialisasi terkenal dengan sebutan Ricardian Trap. Pilihan kebijakan (policy) yang diusulkan oleh Ricardo agar perekonomian Inggris waktu itu dapat terbebas dari perangkap kendala SDL adalah dengan melakuan liberalisasi impor bijian atau secara lebih khusus mencabut Corn Law yang telah banyak membebani hambatan tarif terhadap impor bijian murah dari luar negeri sebagai bagian dari sistem perdagangan (mercantile system) waktu itu. Ricardo berargumentasi bahwa SDL superior haruslah tersedia dalam luasan yang tidak terbatas, bukan hanya di Negara Inggris tetapi di seluruh dunia termasuk di benua baru. Akibat dari liberalisasi perdagangan itu, total suplai bijian baik dari dalam maupun dari luar negeri menjadi horisontal pada harga yang rendah (OP0), seperti diwakili oleh garis WS (Gambar 6, sebelah kanan). Sehingga suplai TK bagi sektor industri dapat berlanjut menjadi horisontal pada tingkat upah OŴ dimana akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri moderen dapat dipertahankan sutainable. Pencabutan Corn Law merupakan kondisi yang perlu untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan yang dimulai ketika Revolusi Industri. Model Ricardo memulai secara jelas persoalan kendala SDA yang harus dihadapi oleh low-income economy countries dalam melakukan pembangunan industri ketika pertanian mengalami stagnasi. Bila pertumbuhan populasi di fase awal industrialisasi tidak paralel dengan peningkatan suplai pangan, maka harga pangan akan meningkat secara tajam yang akan menyebabkan meningkatnya biaya hidup bagi masyarakat low-income yang dicirikan oleh tingginya Engle Coefficients. Fenomena ini akan menyebabkan tekanan yang kuat untuk kenaikan upah melalui serikat buruh dan juga dapat menyebabkan food riot. Resultansi dari peningkatan upah akan mempunyai implikasi terhadap goncangan serius (serious blow) bagi sektor industri di fase awal, yang tergantung kepada labour-intensive technologies.
43
Menurut Hayami (2001) Ricardian trap yang dihadapi oleh berbagai lowincome developing economies dewasa ini tidak dapat dipecahkan melalui liberalisasi impor pangan secara sendiri. Saran yang diberikan oleh Ricardo berupa perdagangan bebas hanya relevan bagi Inggris pada awal abad ke 19, ketika itu populasinya hanya merupakan bagian yang kecil saja dari populasi dunia dan juga supremasi Inggris dalam produktivitas di sektor industri telah membuat negeri ini mudah dalam mendapatkan nilai tukar asing dalam jumlah yang cukup untuk impor pangan. Namun tidak mudah bagi negara berkembang dewasa ini untuk mendapatkan nilai tukar asing dalam jumlah yang cukup yang bersumber dari barang-barang industri selama periode awal industrialisasinya. Kecuali itu juga begitu banyak negara berkembang berkompetisi dalam impor pangan, maka harga pangan internasional akan meningkat sebegitu besar sehingga harga dalam negeri akan tidak stabil. Bagi negara berkembang, tampaknya tidak ada jalan lain untuk melepaskan diri dari Ricardian Trap selain dengan mengembangkan teknologi budidaya pertanian yang diiringi dengan pembangunan sektor-sektor industri. Ricardo tidak mengelak posibilitas dalam pengembangan teknologi pertanian, tetapi menganggap bahwa hal itu akan sangat dibatasi oleh skala pengembalian yang menurun (decreasing retun to scale) dalam produksi sektor pertanian dalam jangka panjang. perkembangan
Lumrah saja anggapan itu terbentuk karena ketika itu teknologi
pertanian
utamanya
pengalaman maupun coba-coba dari para petani.
hanya
didasarkan
kepada
Namun fakta sejarah telah
membuktikan bahwa melalui penerapan ilmu pengetahuan secara terorganisir terhadap pemecahan masalah produksi pertanian (yang dimulai pada akhir abad ke 19), kemajuan teknologi dalam pertanian telah mengalami percepatan secara nyata sehingga tingkat pertumbuhan dalam produktivitas pertanian telah melebihi dari apa yang sebelumnya dicapai oleh negara-negara industri maju kala itu. Karena itu negara-negara berkembang menurt Hayami (2001) agar dapat eksit dari Ricardian trap, maka pola pertumbuhan produktivitas pertanian dari negaranegara maju di masa lalu dengan melakukan investasi dalam bidang sumberdaya manusia dan riset untuk mengembangkan akumulasi pengetahuan dalam teknologi
44
budidaya agar dapat melakukan transformasi strutural melalui batu pijakan sektorsektor industri pertanian. Dengan berlandasakan pada karya Stimson dan Stough (2008) dengan demikian bahwa kini proses transformasi struktural tersebut keberhasilnya sangat tergantung kemampuan wilayah untuk mencapai surplus produksi sektor pertanian dan ekstraksi SDA (sebagai resource endowment) agar mencapai keunggulan kompetitifnya sehingga mampu bersaing di pasar global. Karena itu tinjauan terhadap kinerja Re dan pasar ekspor (M) menjadi variabel yang sangat penting pada awal proses transformasi struktural tersebut.
2.6 Peran (Re)source Endowment dan Kinerja Ekspor dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah Sebagaimana dapat disarikan dari Hayami (2001), bahwa sumberdaya anugerah atau (Re)source endowment segala jenis sumberdaya yang tersedia sehingga untuk memperolehnya tanpa diperlukan investasi yang relatif besar. Re dapat berupa sumberdaya alam termasuk cadangan bahan tambang, sumberdaya lahan, pemandagan atau bentang alam, topografi, atmosfer, temperatur udara dsb. Re juga bisa berupa sumberdaya buatan seperti ilmu pengetahuan, teknologi yang telah tersedia, konstruksi bangunan fisik yang sudah ada (termasuk jalan, jembatan, pelabuhan, fasilitas jaringan irigasi), sistem komunikasi, pranata sosial, perangkat hukum dsb. Begitu beragamannya sistem Re yang ada dalam suatu wilayah, tak terkecuali di wilayah Provinsi Lampung. Namun dalam konteks penelitian ini yang dijadikan fokus adalah sistem sumberdaya hutan, yang di dalamnya terdapat subsistem sumberdaya lahan topografi, iklim dll. Fokus tersebut dipilih mengingat sistem hutan merupakan sistem yang sangat berperan dalam menopang keberlangsungan perikehidupan (life support system) dan mempunyai fungsi intrinsik dalam pengendalian aktivitas perekonomian wilayah. Lebih dari itu, khususnya di Provinsi Lampung sumberdaya hutan ini telah mengalami degradasi akut hingga proporsi tutupannya hanya tersisa sekitar 7,5% dari total wilayah Provinsi Lampung (Departemen Kehutanan, 2006). Bahkan menurut Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (2005 dikutip Watala, 2008) degradasi tersebut
45
untuk masing-masing fungsi hutan berturut-turut telah mencapai: 80% di hutan lindung, 76% di hutan produksi, 71% di hutan produksi terbatas, 70% di taman hutan raya, 36% di TNW, dan 16% TNBBS.
Umumnya sumberdaya hutan
tersebut telah banyak berubah fungsi menjadi pertanaman kopi, karet, coklat, lada, cengkeh, nilam (cash crop), perladangan, pertanian pangan dan pemukiman. Menurut Verbist dan Pasya (2004) deforestasi di Provinsi Lampung bermula pada tahun 1905, ketika Pemerintah Kolonial melakukan trasmigrasi pertama. Deforestasi ini meningkat pada dekade 1970-an ketika hasil hutan kayu menjadi andalan pemasukan devisa. Deforestasi terus berlanjut dan memuncak pada saat desentralisai tata pemerintahan dimana koordinasi tata pemerintahan menjadi simpul-simpul lemah (lihat Resosudamo, 2005).
Data beberapa titik
tahun tutupan hutan dan perkiraan laju deforestasiya disajikan pada Tabel 5. Merosotnya fungsi intrinsik hutan (sebagai pengendali siklus hidrologi wilayah, pengendali kesetimbangan ekologi kawasan, penambat karbon dan penyedia jasa amenitas lingkungan) akibat deforestasi tersebut telah menekan pertumbuhan kinerja perekonomian wilayah. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa yang sangat kritis adalah terjadinya stagnasi pertumbuhan ekonomi akibat aglomerasi agroindustri pada bagian Tengah dan Timur Provinsi Lampung yang malah mengalami decreasing return to scale seperti dilaporkan Affandi (2009). Tabel 5. Tutupan Hutan dan Laju Deforestasi Beberapa Titik Tahun di Provinsi Lampung Tahun
1985(a)
1991(b)
1997(b)
2005(c)
Luas Tutupan (ha)
647.800
570.060
361.319
236.400
19,10
15,80
10,80
7,40
-
12.957
34.790
20.820
Proporsi (% Provinsi) Laju Deforestasi (ha/th)
Sumber: (a) DepnakerTrans (1989), (b) Dept. Kehutanan (2006), (c) Kemenhut (2009).
Aglomerasi agroidustri (yang awalnya merupakan korbanan dari ekstraksi sumberdaya hutan maupun dari konversi luasan hutan melalui deforestasi di masa lalu) seharusnya dapat menampilkan kinerja dengan skala pengembalian yang meningkat (IRS: Increasing Retrun to Scale) sehingga korbanan deforestasi
46
tersebut dapat meghasilkan rente ekonomi yang lebih baik. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. endowment yang
Realitas merosotnya fungsi intrinsik dari (Re)source utama ini harus segera dipulihkan, agar sektor-sektor
agroindustri tersebut dapat berkembang sebagai pondasi yang sangat mendasar bagi pijakan untuk transformasi struktural dan modernisasi perekonomian di Popinsi Lampung.
Karena itu dalam perencanaan pengembangan ekonomi
wilayah Provinsi Lampung maka fokus kepada sumberdaya hutan sebagai Re menjadi prioritas pertama agar sumberdaya hutan ini dapat menjadi sistem penopang kehidupan yang kokoh, yang sekaligus juga berfungsi sebagai penopang sistem perekonomian secara menyeluruh. Sementara itu pula, mengingat dewasa ini dunia sudah mengalami globalisasi kuat sehingga hampir tidak ada satu wilayahpun yang tersekat dari perdagangan internasional, dalam perencanaan pembagunan ekonomi wilayah kinerja ekspor komoditas utama haruslah menjadi pilar penting. Bila dengan kinerja Re dapat dikelola menjadi produk yang kompetitif di pasaran internasional, maka kinerja ekspor merupakan saluran ataupun outlet bagi produk (yang dihasilkan dari ekstraksi Re tersebut) ke pasar ekspor (Stimson et al., 2006). Peran ekspor bagi pengembangan ekonomi wilayah setidaknya dapat diproksi dari pangsa ekspor tersebut terhadap PDRB. Adapun peran ekspor tersebut di Provinsi Lampung pada masa desentralisasi tata pemerintahan secara ringkas disajikan pada Tabel 6. Sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 6, bahwa meskipun berfluktuasi, baik total nilai ekspor, pertumbuhan nilai total ekspor, pertumbuhan nilai ekspor setiap jenis produk, pangsa ekspor tiap produk terhadap PDRB, maupun total pangsa ekspor terhadap PDRB secara rata-rata tidak ada yang bernilai negatif. Gambaran ini memberikan indikasi bahwa sebenarnya pasar ekspor bagi Provinsi Lampung secara umum cukup baik bagi pengembangan perekonomian wilayah yang dewasa ini semakin perlu untuk mengandalkan pasar ekspor. Tumpuan harapan kepada pasar ekspor bagi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah ke depan juga cukup didukung oleh pangsa ekspor terhadap PDRB Provinsi Lampung.
47
Tabel 6.
Nilai Total Ekspor, Pangsa Ekspor Sektoral terhadap PDRB dan Pertumbuhannya di Provinsi Lampung Periode 2000-2008
No. Indikator
Rataan
Sd
I. Total Nilai Ekspor (Jt USD)
1 633
1 185
II. Total Pertumbuhan Nilai Ekspor (%/th) III. Pertumuhan Nilai Eskpor Tiap Produk (%/th) 1. Tambang 2. Industri 3. Pertanian 4. Kehutanan IV. Pangsa Ekspor Tiap Produk (%PDRB) 1. Tambang 2. Industri 3. Pertanian 4. Kehutanan Total Pangsa Ekspor (%PDRB)
29,13
37,34
233,39 43,66 29,20 21,73
545,90 91,83 48,15 63,67
2,62 17,71 12,73 0,05 33,11
1,52 6,36 3,71 0,03 11,63
Pertumbuhan Total Pangsa Ekspor (%)
11,33
31,25
PDRB (Jt USD); 1 USD=Rp 9,000.-
4 534
2 122
Sumber: BPS (2001-2009, Diolah)
Sebagaimana dapat dicermati pada Bagian IV Tabel 6 di atas bahwa secara rata-rata ekspor Provinsi Lampung memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB yaitu sebesar 33,11 [Sd=11,63]%. Adapun pangsa terbesar disumbangkan oleh ekspor dari produk-produk industri 17,71[Sd=6,36]%; disusul produk pertanian 12,730[Sd=3,71]%; produk tambang 2,62[Sd=1,52]% dan terakhir produk hasil hutan 0,05[Sd=0,03]%. Adanya realitas bahwa produk dari sektor industri yang menjadi penyumbang terbesar dalam ekspor (yang disusul oleh ekspor dari produk-produk primer
tersebut)
merupakan
gambaran
yang
sangat
prospektif
bagi
berlangsungnya transformasi struktural perekonomian wilayah Provinsi Lampung. Sejalan dengan inisiasi proses transformasi struktural (dari sektor primer ke sektor-sekor industri) tersebut, pertumbuhan nilainya ekspor dari produk-produk industri juga meningkat secara rata-rata 43,66%. Namun sungguh disayangkan punya fluktuasi yang sangat tajam yang ditunjukkan oleh nilai Sd-nya yang cukup besar yaitu 91.83%, seperti dapat dilihat pada Bagian III Table 2.6.
48
Bila dibandingkan dengan produk primer, pertumbuhan nilai ekspor dari produk industri juga cukup menggembirakan. Namun tidak demikian jika dibandingkan dengan pertumbuhan nilai-nilai ekspor dari produk tambang yang secara rata-rata naik 233,39 [Sd=545,90]% per tahun. Dari kenaikan ini juga berarti bahwa kebocoran nilai tambah dari produk-produk tambang masih terus berlangsung. Ke depan perlu dikembangkan industri pengolahan untuk menekan kebocoran semacam ini agar nilai tambah (yang umumnya berlipat ganda) dapat dicegah. Untungnya pangsa ekspor produk primer dari hasil-hasil tambang ini relatif kecil saja yaitu rata-rata sekitar 2,62[Sd=1,52]% saja dari total PDRB Provinsi Lampung. Kecuali itu suatu fenomena yang menarik lagi yang dapat dicermati dari Tabel 6 tersebut adalah relatif sangat rendahnya pangsa ekspor produk-produk yang bersumber dari hasil hutan yaitu rata-rata hanya 0,05[Sd=0,03]%. Kontribusi tersebut menjadi fenomena biasa saja bila diingat degradasi hutan akibat deforestasi di Provinsi Lampung telah mencapai taraf yang akut. Namun angka tersebut menjadi menarik bila dikaitkan temuan Naidoo (2004) bahwa deforestasi akan sangat menekan pertumbuhan ekonomi suatu negara manakala pangsa ekspor dari hasil hutan kurang dari 0,3%. Artinya angka pangsa ekspor yang berasal dari produk-produk hasil hutan di Provinsi Lampung sudah memasuki kategori itu. Dengan fakta ini berarti bahwa stagnasi pertumbuhan ekonomi wilayah Provinsi Lampung semasa desentralisasi menjadi tervalidasi oleh temuan Naidoo (2004) tersebut. Sehubungan dengan itu, maka kegiatan aforestasi/reforestasi (A/R) menjadi mendesak untuk segera dilakukan agar stagnasi pertumbuhan ekonomi dapat diatasi. Pada hakekatnya kegiatan A/R itu sendiri merupakan mekanisme pemulihan fungsi ekonomi melalui restorasi fungsi intrinsik hutan yang telah terdegrasi akibat deforestasi yang akut. Dengan pulihnya fungsi intrinsik tersebut maka life support system ke depan diharapkan akan menjadi viable bagi berlangsungnya semua proses kehidupan. Namun demikian untuk dapat memberikan gambaran peranan dari nilai ekspor yang berasal dari produk-produk hasil hutan terhadap kesejateraan masyarakat maka pada bagian berikut diuraikan secara lebih detil. Berkaitan
49
dengan itu mengingat deforestasi di Provinsi Lampung juga telah menyebabkan konversi hutan menjadi perkebunan, pertanian pangan, pemukiman, untuk pedagangan maupun indusri maka tinjauan ini juga perlu dilengkapi dengan peranan ekspor komoditas tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung. Secara agregat hubungan peranan ekspor yang berasal dari produk-produk bahan tambang, industri, pertanian dan kehutanan terhadap PDRB/kapita dan terhadap IPM di Provinsi lampung disajikan pada Gambar 7 dan 8.
PDRB/Kpt (Juta Rp)
PDRB/Kpt Rp juta)
4,3 4,2 4,1 3,9 3,8 3,7 3,6
50,0
100,0
PDRB /Kpt (Jua Rp)
150,0
4,2 4,1
4,1 4,0 3,9 3,8 3,7
4,0
3,6
3,9
300,0
400,0
500,0
600,0
Industri (Juta USD)
3,8 3,7
4,3
3,6
4,2
500,0
4,1
1.000,0
Total Ekspor (Juta USD)
4,0 3,9 3,8 3,7
1.500,0
4,3 4,2 4,1 4,0 3,9 3,8 3,7
3,6 500,0 Pertanian (Juta USD)
4,3
4,2
PDRB/Kpt (Juta Rp)
-
Tambang (Juta USD)
PDRB/Kpt (Juta Rp)
4,0
4,3
3,6 1.000,0
-
20,0
40,0
Hasil Hutan (Juta USD)
Gambar 7. Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan PDRB/Kpt Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 (Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah)
Seperti dapat dilihat pada Gambar 7, bahwa semua komoditas ekspor memperlihatkan hubungan positif dengan PDRB/Kpt pada periode waktu tersebut. Namun perlu dicatat, bahwa secara kasar (dengan memperbandingkan kemiringan masing-masing kurva) ekspor bahan tambang tampak yang paling rendah peranannya disusul ekspor produk-produk industri. Adapun sektor pertanian dan kehutanan tampak lebih besar peranannya dibandingkan terhadap ekspor bahan tambang maupun produk-produk industri. Bahkan lebih jauh peranan ekspor total
50
terhadap PDRB/Kpt tampak mirip dengan peranan hasil-hasil pertanian maupun
70,0
IPM 2001- 2005
69,5 69,0 68,5 68,0 67,5 67,0 66,5 66,0 65,5 65,0 64,5 64,0
70,0
50,0 100,0 150,0 Tambang (Juta USD)
IPM 2001 - 2005
IPM 2001 -2005
kehutanan tersebut.
69,0 68,0
69,0 68,0 67,0 66,0 65,0 64,0
67,0
300,0 400,0 500,0 600,0 700,0
66,0
Industri (Juta USD)
65,0
63,0 500,0
69,0
1.000,0
Total (Juta USD)
68,0 67,0 66,0 65,0
70,0
1.500,0
69,0
IPM 2001 - 2005
IPM 2001 - 2005
64,0 70,0
68,0 67,0 66,0 65,0 64,0
64,0 -
500,0
1.000,0
Pertanian (Juta USD)
63,0 5,0
15,0
25,0
35,0
Hsl. Hutan (Juta USD)
Gambar 8. Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan IPM Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 (Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah)
Seperti dapat dicermati dalam Gambar 8, berbeda hubungannya dengan PDRB/Kpt, di sini hanya ekspor bahan tambang yang memiliki hubungan negatif terhadap IPM di Provinsi Lampung pada masa desentralisasi. Artinya semakin besar nilai ekspor bahan tambang telah memberikan kontribusi pada penurunan IPM. Nampaknya bahan ekspor bahan tambang lebih banyak memberikan eksternalitas negatif bagi kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung selama periode tersebut. Sebaliknya untuk ekspor produk-produk yang berasal dari pertanian, kehutanan dan dari produk-produk industri berperan positif terhadap IPM. Oleh karena itu atas peran ekspor ketiga asal produk yang disebutkan terakhir ini, maka secara total nilai ekspor Provinsi Lampung pada periode tersebut masih tetap memperlihatkan hubungan yang positif terhadap IPM sekalipun ekspor dari produk-produk tambang memperlihatkan hubungan yang negatif tersebut. Kecuali itu yang menarik adalah besarnya kemiringan kurva hubungan nilai ekspor total terhadap IPM tampak relatif sejajar dengan kemiringan kurva
51
hubungan nilai ekspor produk pertanian dengan IPM. Sedangkan kemiringan kurva hubungan antara nilai ekspor hasil hutan dengan IPM tampak relatif sejajar dengan kemiringan kurva hubungan antara ekspor hasil industri dengan IPM. Sementara itu pula kedua kelompok kurva tersebut juga relatif sejajar. Dari sini tampaknya adanya relasi yang erat antara peranan sektor kehutanan dengan sektor industri. Karena pangsa sektor kehutanan terhadap PDRB relatif kecil (hanya 0,45%) untuk periode 2000-2008, maka berarti bukan produk kayu hasil hutan yang mengendalikan peranan tersebut melainkan yang paling mungkin adalah peranan fungsi intrinsik hutan. Untuk memeriksa peranan fungsi intrisik hutan terhadap kesejahteraan masyarakat maka perlu digunakan proksi nilai ekspor produk nir kayu yang tersusun dari nilai eskpor getah damar, kulit kayu manis dan rotan. Proksi ini dipandang tepat sebagai penduga viabilitas fungsi intrinsik hutan, mengingat ketiga tumbuhan penghasil produk-produk nir kayu tersebut tumbuh secara alami dalam ekosistem hutan tanpa banyak dikenai perlakuan budidaya. Dengan begitu adanya keberlanjutan ekspor ketiga macam produk nir kayu tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk tinggi-rendahnya fungsi intrinsik hutan, yang pada gilirannya juga akan memberikan kesejahteraan masyarakat. Karena pangsa eskpor hasil hutan di Provinsi Lampung kecil (0,45% dari PDRB/Kpt) maka dapat dipastikan pangsa nilai ekpor produk nir kayu lebih kecil dari nilai itu. Oleh karena itu, maka peranan produk nir kayu terhadap kesejahteraan masyarakat bukan melalui nilai ekpornya tetapi karena jasa lingkungnya. Pada Gambar 9 dan 10 disajikan hubungan antara nilai produk nir kayu terhadap PDRB/Kpt dan terhadap indek pembangunan manusia (IPM). Tetapi mengingat deforestasi di Provinsi Lampung juga telah menyebabkan konversi lahan kepada penggunaan cash crop maka pada Gambar 9 dan 10 tersebut juga disertakan hubungan antara nilai ekspor produk cash crop terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung selama periode desentralisasi. Seperti dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10, hubungan antara nilai ekspor getah damar, kulit kayu manis, rotan, nilai ekspor total produk nir kayu dan nilai total ekspor produk cash crop terhadap PDRB/Kpt maupun IPM semuanya menunjukkan hubungan positif. Lebih lanjut bila dicermati semua kemiringan
52
kurva-kurva tersebut semuanya tampak relatif sejajar. Untuk komoditas nir kayu (baik masing-masing maupun secara total) mudah difahami karena ketiga jenis tumbuhan penghasil produk-produk nir kayu tersebut tumbuh secara alami, tanpa banyak proses budidaya. Tetapi tidak untuk tanaman penghasil produk cash crop (kopi, coklat, karet dan lada) adalah tanaman budidaya. Namun demikian perlu diingat bahwa di Provinsi Lampung hampir semua
cash crop tidak ditanam
secara monokultur, melainkan bersama-sama komoditas penghasil kayu dalam
4,2 4,1
4,3
3,9 3,8 3,7 3,6
0
500
1000
Kayu Manis (Ribu USD)
PDRB/Kpt (juta Rp)
4,3
4,2 4,1
500 1.000 1.500 2.000 2.500 Total Cash Crop (Jt. USD)
3,7
3,6
4,0 3,9 3,8 3,6 0
1000
2000
3000
Damar (Ribu USD)
3,7
4,1
3,8
4,1
3,8 3,6
3,9
4,2
3,9
4,2 4,0
4,3
3,7
4,0
PDRB/Kpt (Juta Rp)
4,0
PDRB/Kpt (Juta Rp)
4,3
PDRB/Kpt (Ribu Rupiah)
PDB /Kpt (juta Rp)
sistem multistrata (agroforestry).
4,3 4,2 4,1 4,0 3,9 3,8 3,7 3,6
500
1000
Rotan (Ribu USD)
1500
2000
1000 2000 3000 4000 5000
Total Nir Kayu (Ribu USD)
Gambar 9. Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu & Cash Crop dengan PDRB/Kpt Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 (Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah)
Karena itu di Provinsi Lampung pertanaman cash crop sangat sulit untuk dibedakan dengan hutan rakyat. Dengan kata lain bahwa cash crop umumnya ditanam dalam sistem wanatani (multistrata atau agroforestry). Oleh karena itu, dengan realitas ini maka tidak sulit memahami fenomena kemiringan kurva hubungan nilai ekspor cash crop terhadap PDRB/Kpt dan terhadap IPM terhadap ketiga jenis kurva nir kayu tersebut. Berkaitan itu, untuk memeriksa hubungan konversi lahan dengan akumulasi kapital yang melandasi berlangsungnya
53
transformasi struktural perekonomian di setiap wilayah, maka pada bagian berikut
70,0
IPM 2001 - 2005
69,0 68,0 67,0 66,0
64,0
0
200
400
600
800
Kayu Manis (Ribu USD)
IPM 2001 - 2005
69,0 68,0 67,0
4,3 4,2 4,1 4,0 3,9 3,8 3,7 3,6
68,0 67,0 66,0
64,0
Damar0(Ribu1000 USD) 2000
3000
69,0
500
66,0
69,0
65,0
1.000 1.500 2.000 2.500
Total Cash Crop (Juta USD)
IPM 2001 - 2005
65,0
PDRB/Kpt (Ribu Rupiah)
IPM 2001 - 2005
diuraikan tentang risalah teori pertumbuhan ekonomi.
68,0 67,0 66,0 65,0
65,0
64,0
64,0 500
1000
Rotan (Juta USD)
1500
2000
1000
2000
3000
Total Eksp. Nir Kayu
4000
5000
Gambar 10. Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu & Cash Crop dengan IPM Provinsi Lampung Periode Tahun 2000-2005 (Sumber: BPS Provinsi Lampung, diolah)
2.7 Risalah Teori Pertumbuhan Ekonomi: Dari Model Solow ke Model Baru Pertumbuhan Endogenik Inti dari setiap teori ekonomi adalah penjelasan tetang pertumbuhan atau akumulasi kapital (Hayami, 2001). Robert Solow merupakan seorang begawan yang memenangkan Hadiah Nobel tahun 1985 atas keberhasilannya dalam menjelaskan teori pertumbuhan ekonomi dari unsur-unsur penentunya. Ada 3 tema besar yang dapat disarikan dari Model Solow (1956; 2000). Pertama, dalam jangka panjang bahwa tingkat tabungan (s) merupakan ukuran persediaan modal maupun tingkat output yang dapat dicapai dari suatu sistem perekonomian. Adanya kenaikan tingkat tabungan dapat menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi yang cepat tetapi kemudian berangsur-angsur menurun dan kemudian konstan. Pada keadaan konstan tersebut berarti perekonomian berada dalam kondisi mapan (staedy state), yang dicirikan oleh total depresiasi modal (δk) sama dengan total investasi. Investasi itu sendiri merupakan fungsi dari jumlah output yang disisihkan untuk tabungan [sy=sf(k)]. Jadi sekalipun tingkat tabungan yang
54
tinggi dapat menyebabkan tingkat perekonomian pada kondisi mapan yang tinggi pula, tetapi tabungan tidak akan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, karena efek dari tabungan tersebut akan selalu berakhir pada kondisi mapan tersebut. Tema yang ke dua dari Model Solow (1956 dan 2000) adalah bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan determinan penting bagi peningkatan standar kehidupan. Makin tinggi tingkat pertumbuhan populasi (n), maka akan semakin rendah output per pekerja (y=Y/L). Secara diagramatik kedua tema dari Model Solow dapat ditunjukkan dalam Gambar 11 dan 12.
Investasi
δk s1f(k)
BIE1
s0f(k)
S1>S0 BIE0
k0*
Output/pekerja [y=f(k)] sebagai fungsi dari kapital/pekerja [k]. Total investasi adalah sy=sf(k). Tingkat tabungan (s) smenjadi penentu saat kondisi mapan tercapai (k*). Jika s1>s0 maka k1*> k0*. Di sini δk adalah total penyusutan. Kurva investasi yang konveks menunjukkan: pada awalnya tabungan menyebabkan pertumbuhan yang pesat, berangsur-angsur menuju konstan saat tercapai kondisi mapan. BIE: break event investment yang diperlukan pada saat kondisi mapan dicapai.
k1* Modal/Pekerja (k)
Gambar 11. Model Pertumbuhan Solow (Mankiw, 2007).
Adapun tema yang ke tiga dari Model Solow (1956 dan 2000) adalah bahwa pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan teknologi (g). Akumulasi kapital (Δk) dalam kondisi mapan dibawah pengaruh kemajuan Ipteks adalah: Δk= sf(k) – BIE (break event investment). Dalam hal ini k=K/EL adalah modal per pekerja efektif. Untuk mempertahankan agar k tetap konstan dari penyusutan (δk) maupun untuk menyediakan modal bagi masuknya tenaga kerja baru (nk) akibat pertumbuhan populasi serta untuk memfasilitasi kebutuhan para pekerja efektif yang baru (gk), maka diperlukan investasi sebesar BIE= (δk + nk + gk). Sehingga akumulasi kapital menjadi:
55
Δk= sf(k) – (δ + n + g)k
{2.1}
Secara diagramatik realitas ini disajikan pada Gambar 13. Seperti dapat diperiksa pada Gambar 13 tersebut, bahwa dalam kondisi mapan, tingkat pertumbuhan modal/tenaga kerja efektif (atau keff) maupun output/keff (atau y) memiliki tingkat pertumbuhan nol. Adapun output per pekerja (atau Y/L=yE) tumbuh pada tingkat g dan output total tumbuh sebesar n+g. Dengan demikian dapat difahami bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan standar kehiduan secara berkelanjutan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan output per pekerja di bawah pertumbuhan populasi. Namun demikian, menurut Solow (1956) kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Ipteks) tersebut sifatnya berasal dari luar sistem perekonomian (exogenous).
S
(δ+ n1)k
Ketika populasi meningkat dari n0 ke n1, maka saat tercapai kondisi mapan tingkat modal per pekerja turun dari ko* menjadi k1*. Dalam hal ini investasi selain untuk mengimbangi depresiasi (δk) modal juga untuk menyediakan modal bagi pekerja baru (δn) akibat dari pertumbuhann populasi tersebut.
Investasi=sf(k)
(δ+ n0)k
Kk1*
k0*
Gambar 12. Pengaruh Pertumbuhan Populasi (n) terhadap k*.(Mankiw, 2007)
56
Tingkat Pertumbuhan:
Investasi
(δ+n+g)k
Δk=K/(ExL)=0
sf(k)
BIE
Δy=Y/(ExL)=0 Δ[Y/L]=yxE =g ΔY=yx(ExL)= n+g
Modal/pekerja
keff*
Gambar 13. Dampak Ipteks dalam Model Solow (Mankiw, 2007)
Karakter sumber pertumbuhan dari Ipteks yang berasal dari luar sistem suatu perekonomian (eksogenus) ini yang kemudian mendatangkan banyak kritikan seperti dari Lucas (1988), Romer (1990) dll. Kemudian para begawan ini mengusulkan pertumbuhan yang berasal dari dalam sistem perekonomian: New Endogenous Growth (NEG) Theory, yang secara ringkas dapat disarikan dari Hayami (2001) seperti berikut:
Fungsi produksi individu perusahaan ke-i: Yi= (ELi)αKiβ
{2.2}
Asumsi yang harus dipenuhi bahwa efisensi tenaga kerja bagi perusahaan ke-i tidak tergantung pada produksi pengetahuan dari suatu perusahaan tertentu saja, tetapi bergantung pada produksi pengetahuan yang berasal dari investasi semua perusahaan yang ada dalam suatu sistem perekonomian atau suatu wilayah, yang dapat diungkapkan sebagai berikut:
E=aK
{2.3}
57
yang dalam Pers. [2.3] tersebut a adalah konstanta yang menentukan hubungan yang paralel antara stok kapital (K) dengan rataan efisiensi tenaga kerja (E) dalam suatu sistem perekonomian atau wilayah. Dengan memasukkan Pers.[2.3] ke dalam Pers. [2.2] dan membagi kedua ruas dengan L maka diperoleh: yi=aαLiαKαkiβ
{2.4}
dalam hal ini yi=Yi/(Ki/Li) dan aα =A dan karena k=K/L maka diperoleh: y=ALiαkαkiβ
{2.5}
Lebih lanjut dapat dianggap bahwa dalam kesetimbangan kompetisi jangka panjang seluruh perusahaan mendapatkan nilai optimalitas yang sama dalam melakukan alokasi sumberdaya yang dimilikinya, sehingga ki=k dan yi=y. Oleh karena itu Pers.{2.4} dapat diungkapkan menjadi: Yy=(ALα)k
{2.6}
Dalam skenario populasi yang konstan, produk marjinal kapital per tenaga kerja (MPK) tetap konstan untuk seluruh kisaran k sehingga baik k maupun y secara kontinyu akan terus meningkat secara tidak terbatas. Bahkan jika populasi meningkat, maka y dan k akan terus semakin besar (Gambar 14). Karena itu Pers. [2.6] dapat diubah menjadi berikut: Y/K= ALα
{2.7}
Ungkapan dalam Pers.[2.7] tersebut di atas memberikan makna bahwa pertumbuhan populasi (yang dicirikan oleh petumbuhan L) akan mereduksi capital-output ratio (Y/K) yang berarti pula meningkatkan keefektifan kapital dalam proses produksi dlm suatu sistem perekonomian.
Karena peningkatan
populasi (n) juga berarti meningkatkan jumlah pelaku aktivitas perekonomian yang dapat menemukan berbagai ide baru yang sangat penting bagi setiap proses
58
produksi dalam sistem perekonomian di suatu wilayah. Ini merupakan suatu pandangan yang optimistik sifatnya tentang peranan pertumbuhan penduduk dalam pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.
y=Y/L
y=Ak S sAk
Menurut Hayami (2001) bentuk Pers. [2.7] adalah ekivalen dengan Model Harold-Domar, tetapi asumsi yang melandasi berbeda, yang mana dalam Model Harold_Domar K tidak meliputi intangible capital.
nk
Moda/Pekerja (k=K/L)K
k1
Gambar 14. Kurva Pertumbuhan Ekonomi secara Endogenik (Hayami, 2001)
Untuk lebih memahami terhadap pandangan yang optimistik ini dapat dirujuk uraian dari Mankiw (2007).
Perekonomian secara sederhana dapat
dikatagorikan menjadi dua sistem. Sistem pertama adalah yang memproduksi barang manufaktur dan yang satunya lagi yang memproduksi Ipteks sebagai berikut:
Fungsi produksi manufaktur:
Y=f[K,(1-µ)EL)
{2.8}
Fungsi poduksi Ipteks
: ΔE=g(µ)E
{2.9}
Akumulasi Modal
: ΔK=sY - ðK
{2.10}
Ipteks dalam pandangan Hayami (2001) disebut sebagai kapital yang tidak kasat mata (intangible capital). Sedangkan produksi barang adalah kapital yang kasat mata (tangible capital). Dalam Pes. [2.8] sampai [2.10] tersebut, µ adalah proporsi penduduk yang bekerja di sistem perekonomian yang memproduksi
59
Ipteks seperti universitas, lembaga penelitian dsb. Sedangkan (1-µ) proporsi penduduk yang pekerja dalam sistem perekonomian yang memproduksi barang. Sedangkan E adalah persediaan Ipteks yang sagat menentukan efisiensi tenaga kerja. Dari Pers.[2.8] sampai [2.10] tersebut tampak bahwa akumulasi kapital (ΔK) sangat ditentukan oleh kinerja output Y, sementara Y sangat ditentukan oleh tenaga kerja yang di-augmented oleh Ipteks (EL) dan semuanya itu sangat tergantung dari proporsi penduduk yang berkerja untuk memproduksi Ipteks (µ). Apabila tidak ada orang yang memproduksi Ipteks, maka µ=0. Dalam keadan ini berarti Pers. [2.8] identik model Solow (1956) dimana faktor Ipteks bersifat eksogenik. Namun bila µ>0,
maka berarti faktor Ipteks menjadi
endogenik. Dalam model pertumbuhan endogenik tersebut, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan penduduk secara optimistik akan mendorong pertumbuhan akumulasi modal secara berkesinambungan, berhubung di dalam bagian pertumbuhan populasi tersebut juga akan lahir berbagai Ipteks baru melalui daya cipta manusia yang tidak pernah mengalami depresiasi, bahkan terus berkembang. Namun Hayami (2001) memperingatkan bahwa pandangan optimis saja belum cukup, bahkan sangat berbahaya untuk menyimpulkan kalau pertumbuhan ekonomi dapat dicapai hanya dengan melalui akumulasi kapital (baik yang tangible maupun yang intangible) saja.
Untuk dapat melakukan eksploitasi
terhadap kedua jenis kapital tersebut (demi untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi), maka diperlukan pengembangan setting kelembagaan (institution) agar mampu menfasilitasi bagi berlangsunganya perubahan sikap danpeilaku sesuai dengan tuntutan aspirasi masyarakat sebagai damapak dari perkembangan tingkat kesejahteraan yag dicapai dari hasi-hasil akumulasi kapital. Sejalan dengan ini menurut Stimson et al. (2003, 2005, dan 2006) serta Stimson dan Stough (2008) bahwa pertumbuhan Ipteks, tidak serta-merta akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Suatu Ipteks baru akan akan memiliki kontribusi nyata bagi pertumbuhan perekonomian wilayah manakala suatu Ipteks telah dapat dieksploitasi oleh para wirausahawan atau (E)ntrepreneurs untuk menghasilkan keuntungan yang sama sekali baru melalui sistem pasar. Kecuali itu, menurut para pakar ini agar (E)ntrepreneurships dapat
60
berkembang maka harus ditopang oleh (I)nstitution yang efektif dan (L)eaderships yang kuat di suatu wilayah. Ketiga faktor ini oleh Stimson et al (2003, 2005, dan 2006) dan Stimson dan Stough (2008) disebut bagi faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah. Mengingat begitu sentral ketiga faktor endogenik tersebut, maka ketiga faktor ini perlu diulas lebih mendalam peranannya dalam pertumbuhan ekonomi wilayah.
2.8 Peran Faktor Endogenik Pembangunan Ekonomi bagi Pembangunan Wilayah Pendekatan tradisional dari berbagai teori pembangunan ekonomi wilayah utamanya didasarkan pada teori pertumbuhan eksogenus ekonomi neoklasik yang esensinya terkandung dalam Model Solow (1956) seperti diuraikan di atas. Namun evolusi dalam teori maupun strategi perencanaan pembangunan ekonomi wilayah kini telah mencapai pada perkembangan pada pentingnya peranan faktorfaktor endogenik (Stimson et al., 2006; Stimson et al., 2009). Perkembangan ini terjadi merupakan turunan dari munculnya (N)ew (G)rowth (T)heory yang dipelopori antara lain oleh Romer (1990), Lucas (1988) dan lainnya. Walaupun begitu menurut Stimson et al. (2009) sampai kini belum ada suatu definisi baku tentang pertumbuhan ekonomi secara endogenik tersebut. Begitu pula belum ada standar operasional yang spesifik yang dapat mengintegrasikan faktor-faktor endogenik yang telah banyak dihipotesiskan sebagai penentu bagi adanya keragaman kinerja pertumbuhan endogenik ekonomi menurut spasial.
Tetapi
menurut Stimson et al., (2009) kepeloporan dalam menggunakan faktor-faktor (E)ntrepreneurships, (L)eaderships dan (I)nstitutions yang diajukan oleh Stimson et al., (2003 dan 2005) patut untuk dicatat sebagai model yang mampu menjelaskan bekerjanya faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi wilayah secara endogenik tersebut. Karena itu ketiga faktor tersebut dianggap sebagai faktor-faktor endogenik. Argumentasi yang diajukan oleh Stimson et al, (2005) adalah bahwa ketiga faktor tersebut merupakan faktor yang menjadi penentu bagi akumulasi pengetahuan untuk menangkap peluang pasar (M=market) dengan melakukan realokasi sumberdaya yang tersedia (Re=resource endowment) di wilayah yang
61
bersangkutan. Model tersebut sudah diuji di Australia oleh Stimson et al., (2009) untuk menjelaskan pertumbuhan dan penyusutan tenaga kerja. Karena itu pemahaman mengenai ketiga faktor endogenik tersebut menempati tema sentral dalam penelitian ini.
2.8.1 Pengertian dan Peranan Faktor Leadership dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah (1) Pengertian Faktor Leadership Sebagaimana dikemukakan oleh Parkinson (1990 dikutip Stimson et al., 2003) bahwa (L)eaderships dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi wilayah bukanlah suatu konsep yang leksikal, tetapi harus dipandang sebagai suatu suasana kapasitas untuk menciptakan dan melanggengkan berbagai mekanisme maupun aliansi untuk mempromosikan regenerasi perekonomian dan mengidentifikasi sampai jangkauan micro-level skills maupun macro-level resource yang dapat membangkitkan kapasitas tersebut. Sementara ini banyak yang menganggap L sebagai ‖orang besar‖. Namun dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah, L
lebih tepat jika dipandang sebagai ekspresi dari suatu
collective action. Dengan demikian L umumnya bukan dipandang sebagai ―peran bintang‖ tetapi sebagai ―collective action”. Oleh karena itu L bisa didefinisikan sebagai ―tendensi komunitas untuk berkolaborasi dalam berbagai sektor kehidupan sehingga dapat meningkatkan kinerja perekonomian di suatu wilayah” (De Santis dan Stough, 1999). Lebih lanjut (De Satis dan Stough, 1999) menunjukkan bahwa dalam abad perekonomian yang baru seperti dewasa ini, meningkatnya saling kebergantungan dan perubahan teknologi yang sangat cepat telah membuat kolaborasi bukan saja merupakan suatu keinginan melainkan merupakan suatu keputusan yang kritis sifatnya.
Sebelumnya,
pengaruh
power
dan
decision-making
seringkali
digantungkan hanya pada seorang individu tunggal saja dan dalam keadaan seperti itu, L sepenuhnya hanya didasarkan pada suatu kekuasaan tradisional yang memisahkan secara tegas antara pemimpin terhadap pengikutnya. Namun kini, baik power, pengaruhnya, maupun proses pembuatan keputusan (decision making)-nya kini lebih terdispersi ke berbagai stake holders yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama (common goal). Harus dengan
62
melalui proses kolaborasi dan proses kolektifitas agar suatu wilayah dapat mencapai fleksibilitas maupun pengetahuan yang cukup dalam melakukan penyesuaian terhadap setiap guncangan (shock) maupun dalam mengikuti perubahan lingkungan yang terus berlanjut (Stough et al., 2001).
Dengan
demikian L dalam pembangunan ekonomi wilayah tidak akan bisa bertumpu pada relasi hirarki tradisional tetapi harus lebih bergantung: (i) pada hubungan kolaboratif antara para aktor yang terlibat sektor-sektor publik, privat, maupun komunitas; dan (ii) juga harus didasarkan pada mutual trust dan kooperasi (Stimson et al., 2006). Keadaan seperti itu akan selalu mengharuskan situasi pelibatan power sharing, fleksibilitas, dan jiwa kewirausahaan (entrepreneurial) yang kuat agar dapat mengaktifkan tenaga (energizing) kepada wilayah sehingga dapat mengejar tantangan kekompetitifan dan agar dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya demi memenuhi tantangan tersebut. Semua persoalan tersebut melibatkan kapasitas yang ulet dalam berperilaku untuk menghadapi resiko (De Santis dan Stough, 1999).
(2) Peranan Faktor Leadership dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah Karena L memegang peranan yang utama dalam formulasi framework, maka sangat penting untuk membuat spesifikasi catatan mengenai atribusi bagi L yang dinilai baik untuk
pembangunan ekonomi wilayah.
Atribusi tersebut
meliputi: (i) menemukenali dan mengantisipasi berbagai problema, terutama kesetimbangan dalam skala besar yang dapat mengancamnya, (ii) memberikan induksi agar terjadi kolaborasi dan membangun konsensus diantara beragam pemangku kepenting, (iii) memberikan guidance bagi strategi pembangunan, (iv) menggalang
partispasi
yang
luas
dalam
strategi
pelaksanaannya,
(v)
membangkitkan (elicits) komitmen terhadap kekosongan (slack) sumberdaya kelembagaan untuk tujuan yang strategis, dan (vi) pada perlunya melakukan monitoring terhadap implementasinya untuk mengkaji kemajuannya (Stimson et al., 2005). Dengan demikian dan dalam pengertian secara umum bahwa (Re)source endowment di suatu wilayah dipandang bisa berkonotasi baik kepada keunggulan ataupun ketidakunggulan dari setiap wilayah. Namun suatu wilayah mungkin bisa
63
sukses sekalipun relatif miskin sumberdaya (Re)source endowment yaitu jika mampu menangkap oportunitas untuk ekspansi perkonomian dan oportunitas ini bisa dicapai melalui (L)eadership yang kuat dalam seting (I)nstitution yang efektif yang
bertindak
sebagai
katalisator
dalam
pengembangan
aktivitas
(E)ntepreneurial untuk merentangkan dan mengontrol Re yang ada dan untuk meningkatkan daya tangkap terhadap peluang pasar (M)arket tapping. Sebaliknya kinerja L yang buruk dan dengan I yang tidak sesuai atau tidak efektif maka seringkali menyebabkan Re tersebut digunakan secara tidak efektif pula dan oportunitas pasar pun tidak dapat dikejar atau ditangkap secara efektif pula (Stimson et al., 2003; 2005).
2.8.2 Pengertian dan Peran Faktor Institution dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah (1) Pengertian Faktor Institution Kelembagaan atau (I)nstitution merupakan suatu faktor yang kritis sifatnya dalam menyediakan ―struktur tata aturan” dan ―organisasi” yang berada dalam masyarakat. ―Government‖ merupakan suatu sistem yang mengatur wilayah, Provinsi, kabupaten, kota ataupun negara. Sedangkan “governance” adalah tata cara (tata kelola) ataupun proses bagi berjalannya tata pemerintahan ataupun berfungsinya pemerintahan (Stimson et al., 2005). Menurut Stimson et al. (2003) bahwa kerangka kelembagaan (institutional framework) akan sangat menentukan struktur insentif dan pada akhirnya akan menentukan berbagai oportunitas bagi setiap anggota dalam suatu masyarakat. Kinerja perekonomian dari suatu wilayah setiap saat pada dasarnya selalu dipengaruhi oleh bagaimana cara keterlibatan institusi, cara institusi menekan ketidakmenentuan (uncertainty), cara bagaimana institusi memperkenankan individu untuk dapat mengakses informasi, dan cara bagaimana institusi menekan ketidaksempurnaan pasar sehingga dapat menekan biaya transaksi (transaction cost). Institusi itulah yang dapat memberikan stabilitas dalam collective choices. Bila tidak ada mekanisme seperti itu, maka akan menyebabkan kekacauan dalam masyarakat. Pilihan yang diambil oleh para aktor politik
maupun agen ekonomi
dibentuk oleh peraturan, konvensi sepert nilai-nilai dan keyakinan yang melekat
64
dalam berbagai aspek seperti konstitusi, kepemilikan (property right) dan kendala-kendala informal, yang pada gilirannya akan menentukan kinerja suatu perekonomian. Keadaan awalnya dari faktor-faktor institusi dan derajat ke arah mana institusi membebankan kendala ataupun memfasilitasi tindakan untuk mencari oportunitas, merupakan aspek yang dipandang sebagai pengkondisian dalam proses akumulasi kapital dan merupakan hasil (outcome) dari suatu proses pembangunan ekonomi wilayah (Stimson dan Stough, 2008). Hal ini bisa terjadi karena karakter atau perilakunya dapat: (i) mereduksi biaya transformasi dan biaya produksi, (ii) meningkatkan trust diantara para aktor sosial maupun agen ekonomi, (iii) meningkatkan kapasitas entrepreneurial, (iv) meningkatkan proses pembelajaran dan mekanisme rasionalitas, dan (v) memperkuat jaringan dan kerjasama diantara para aktor (Stimson et al., 2005).
(2) Peranan Faktor Institusi dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah Dalam pembangunan ekonomi wilayah menurut Stimson et al., (2006) menunjukkan tentang pentingnya pengaturan kelembagaan yang memadai untuk mengelola proses dan strategi pembangunan wilayah dan untuk meyakinkan implementasinya. Jadi kapasitas dan kapabilitas dari institusi lokal untuk melakukan inisiasi, menjalankan dan untuk membuat perencanaan maupun untuk pengambilan keputusan itu semua merupakan aspek yang fundamental dalam proses tersebut. Pembangunan kapasitas kelembagaan sekarang dipandang sebagai faktor yang mendasar dalam setiap pembangunan ekonomi wilayah. Dewasa ini sedang banyak kajian yang berfokus pada konteks bagaimana untuk menciptakan ‖infrastruktur pembelajaran‖ dan ―learning region‖. Putnam et al. (1993) dan Fukuyama (1999) tidak membedakan antara (L)eadership dengan kelembagaan atau (I)nstitution. (L)eadership lebih dipandang sebagai suatu karakter dasar yang diberikan oleh kelembagaan dan bukan sebagai variabel yang terpisah. Pendek kata bahwa kinerja (baik ataupun buruknya) kelembagaan akan memberikan kondisi, insentif, maupun akan menguatkan (L)eaderships bagi kegiatan pembangunan ekonomi wilayah. Menurut Stimson dan Stough (2008), mungkin benar bila dipandang sebagai kinerja jangka panjang tetapi mungkin keliru untuk jangka pendek dimana kondisi
65
seperti kesetimbangan ditempatkan seperti telah melampaui 30 tahun ataupun bila telah terjadi peningkatan informasi atau umur pengetahuan. Dengan situasi seperti itu, kemampuan untuk merespon terhadap setiap kondisi perubahan harus dikendalikan oleh suatu agen. Dalam hal ini, dapat difahami argumentasi bahwa bila agen tersebut adalah faktor (L)eaderships dan berafiliasi dengan (E)ntrepreneurships karena semua agen tersebut secara inheren merupakan variabel yang berubah lebih cepat dari pada semua variabel selain dari variabel yang didefinisikan sebagai (I)nstitution tadi. Pada saat yang sama perlu dicatat bahwa wilayah-wilayah yang memiliki kelembagaan dan modal sosial yang kuat, ceteris paribus, maka mungkin bisa lebih cepat menciptakan (L)eaderships dan (E)ntrepreneurships yang dibutuhkan bagi keperluan adanya kondisi-kondisi agar terjadi perubahan ke arah yang diinginkan (Stimson dan Stough, 2008). Namun demikian pada saat yang sama juga dapat dipahami adanya argumentasi lainnya yaitu bahwa tingginya kualitas kelembagaan maupun sosial kapital mungkin telah membuat penyesuaian kepada kondisi seperti kondisi kesetimbangan (atau perubahan secara perlahan) yang menciptakan kemampuan yang kuat untuk dapat berlangsung dalam situasi tersebut. Tetapi mungkin menjadi kurang pas dalam merespon berbagai konteks perubahan seperti deindustrialisasi, perubahan teknologi (seperti ICT) dan perang ataupun epidemik (pestilence).
Dalam situasi seperti itu dapat diajukan argumentasi bahwa
(L)eadership dan (E)ntrepreneurships merupakan agen untuk mengarahkan dan membimbing ke jalan bagi institusi lainnya (seperti nilai, budaya, konstitusi, undang-undang dan peraturan ataupun konvensi) untuk berubah maupun untuk berdaptasi. Ringkasannya, (L)eadership dan (E)ntrepreneurship sebagai bagian dari stok kelembagaan yang cepat berubah sehingga dapat memberikan dinamika penyesuaian dalam menghadapi perubahan keadaan (Stimson et al., 2003).
2.8.3
Pengertian dan Peranan Faktor Entrepreneurship dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah
(1) Pengertian Faktor Entrepreneurships Menurut Kitzner (1973 dikutip Hien, 2010) bahwa kewirausahaan atau (E)ntrepreneurships adalah kesiagaan (alertness) terhadap adanya oportunitas
66
akan kemungkinan munculnya suatu profit baru.
Lebih lanjut menurut Hien
(2010) bahwa definisi yang kini telah diterima secara meluas tentang (E)ntrepreneurships adalah definisi yang dikemukakan oleh (Shane dan Venkataraman, 2000 dikutip Hien, 2010): adalah suatu proses penemuan dan proses eksploitasi terhadap oportunitas kemungkinan munculnya suatu profit baru yang belum diketahui oleh siapapun di dalam pasar. Oportunitas akan keuntungan baru berarti bukan yang muncul dari kerangka cara-akhir dari tindakan orang yang sudah ada (existing means-end framework). Di sini mean-end frame perlu difahami sebagai cara berfikir tentang hubungan antara aksi dengan output (Hien, 2010). Mengingat faktor E berkaitan erat dengan berbagai oportunitas yang baru, maka oportunitas tersebut memerlukan tindakan orang secara aktif dalam menciptakan suatu means-end framework ketimbang hanya mengoptimalkan framework lama yang sudah ada. Kata kesiagaan (alertness) dalam definisi yang dikemukan oleh Kizner punya implikasi bahwa E harus ‗menemukan‘ (discover) oportunitas baru dari stok pengetahuan yang ada. Dalam pengertian ini juga berarti bahwa oportunitas yang ditemukan oleh para entrepreneur itu ―sudah ada di sana‖, yang merupakan produk dari suatu proses pasar. Para partisipan pasar yang lain tidak menemukenalinya (recoginezed) terhadap means-end framework yang ada, dan oleh karena itu, oportunitas itu sebenarnya sedang menunggu orang lain yang menggunakan local knowledge yang dimiliki untuk menemukannya melalui penciptaannya (Acs dan Storey, 2004). Menurut Hien (2010) walaupun konseptualisasi E dari Shane dan Venkataraman (2000, dikutip Hien, 2010 ) secara luas sudah banyak diterima, namun operasionalisasi dari konsep ini sulit dilakukan dalam riset empiris. Oportunitas merupakan sesuatu yang tidak dapat diobservasi. maupun eksploitasinya pun demikian, tidak dapat diamati.
Penemuannya
Karena itu para
peneliti berupaya untuk menemukan indikator yang mencerminkan sebanyak mungkin keluaran yang menciri/efek dari proses entreprenuerial itu. Indikator tersebut
meliputi
inovasi,
risk-taking,
ataupun
berbagai
perkembangan
perekonomian di suatu wilayah. Dengan begitu maka kini ada banyak perbedaan di dalam conceptual frameworks tentang E diantara para teoritikus terhadap para
67
peneliti empiris dalam menggunaan indikator untuk mengukur E. Ada suatu rentang indikator dalam pengukuran yang dapat dipilih oleh para peneliti yang salah satunya ataupun beberapa untuk melakukan studi empiris, tak masalah dengan kerangka teori yang mereka pegang: apakah beraliran Schumpeterian, Kiznerian ataupun Knightian ataupun aliran lainnya. Dalam riset empiris, konsep kinerja entrepreneurial umumnya sering digunakan. Kinerja entreprenuerial umumnya mencerminkan upaya proses entrepreneurial. Dalam pengertian ini, kinerja entrepreneurial merupakan suatu outcome dari berbagai proses. Sehubungan dengan ini, maka pengukurannya bisa bertindak sebagai proksi bagi E. Namun ada beberapa indikator yang digunakan hanya untuk kinerja E tetapi bukan untuk kinerja enterpreneurial karena berbagai indikator
tersebut
hanya
menunjukkan
munculnya
berbagai
aktivitas
entrepreneurial ketimbang sebagai upaya-upaya entreprenuerial. Misalnya, selfemployment dan new firm entry merupakan 2 macam ukuran yang digunakan untuk merefleksikan kinerja E. Sementara itu, survival, growth, profitability dan initial public offering seringkali diadopsi untuk mengukur kinerja entrepreneurial. Secara simultan, aspek-aspek tersebut juga dapat digunakan untuk mengukur E (Shane et al., 2003 dikutip Hien, 2010). Dalam konteks ini indikator E dapat dibagi kedalam 2 kelompok menurut unit analisis yang digunakan: (i) pada level individual yang diturunkan dari karakteristik individual seperti self-employment atau kepemilikan bisnis, dan (ii) pada level bisnis yang didasarkan pada catatan statistik perusahaan seperti laju entri-eksit dalam bisnis.
Pengukuran Faktor Entreprenuership pada Tataran Individual Ukuran pertama E pada tataran individual adalah banyaknya orang atau tingkat memperkerjakan diri sendiri (self-employment).
Dalam tataran ini E
didefinisikan sebagai rasio jumlah self-employment terhadap angkatan kerja. Cara ini telah digunakan untuk membandingkan E antarnegara atau antarwilayah. Penggunaan yang meluas ukuran E pada level individu ini sebagian didorong oleh keserupaan defisini antarnegara (OECD, 2000). Keuntungan utama penggunaan self-emplyoment ini setidaknya dapat menangkap sebagian dari sejumlah orang yang telah melakukan aktivitas tahap
68
awal dengan cara membuat pilihan pekerjaan untuk dirinya sendiri. Namun ada beberapa keterbatasannya di sini. Pertama, laju self-employment dapat dikendalikan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi orang untuk pindah dari orang upahan ke self-employment ini; misalnya menjadi self-employment disebabkan oleh ketiadaan oportunitas pekerjaan, bukan karena memang pilihannya untuk menjadi self-employment. Kedua, ada masalah statistik dalam laju self-employment yang sangat dipengaruhi oleh struktur industri dan komposisi demografi tiap wilayah yurisdiksi (Hien, 2010). Sejumlah alternatif indikator didasarkan
pada perubahan dalam self-
employment yaitu ukuran transisi. Ukuran yang paling mendasar adalah laju entri-eksit ke self-employment sebagaimana yang digunakan oleh OECD (2000). Indikator lain yang mencerminkan dinamisnya pendekatan E adalah Total Entrepreneurial
Activity
(TEA)
indeks
yang
dihitung
oleh
Global
Entrepreneurship Monitor (GEM). Ukuran ini ditentukan oleh pangsa populasi dewasa yang terlibat dalam penciptaan enterprise dalam periode waktu tertentu. Jika dibandingkan dengan laju entri ke self-employment, maka keuntungan dari survai GEM adalah bahwa isu owner-manager dari penggabungan bisnis (incorporated business) bisa diminimalisir seperti survai yang fokus pada seluruh individu yang terlibat dalam fase start-up. Ukuran lain bagi aktivitas entreprenuerial lebih berfokus kepada penciptaan pertumbuhan seperti pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan profit dan pertumbuhan lapangan pekerjaan adalah dengan cara untuk mendefinisikan dan untuk melakukan pengukuran E sebagai orang-orang utama pada saat pre-startup, saat startup dan fase awal dari suatu bisnis. Definisi ini lebih condong ke arah entreprenuerial awal dan startup karena ukuran-ukuran itu merupakan target untuk pengukuran kebijakan.
Namun ada perubahan yang cukup besar dan
inovasi yang disumbangkan oleh incumbent entreprise kepada semua ukuran, ataupun apa yang seringkali ditunjukkan sebagai E (Acs dan Storey, 2004).
Pengukuran Faktor Entrepreneurships pada Tataran Bisnis Suatu keunggulan pengukuran dalam level bisnis adalah dalam hal penyertaan pemilikan tunggal selain dari incorporated business. Laju lahir-
69
matinya bisnis ataupun jumlah (turnover) dan perbedaan (net birth) merupakan indikator umum yang sering digunakan pada level bisnis. Indikator-indikator ini mencerminkan proses memulainya suatu enterprise yang baru. Keunggulan utama penggunaan laju kelahiran bisnis sebagai indikator E adalah pada keterwakilannya dari cara-cara utama dari berbagai macam orang yang membawa berbagai ide kedalam pasar. Perlu dibedakan di sini, penciptaan bisnis yang baru adalah untuk merepresentasikan suatu mekanisme yang digunakan oleh para entrepreneur dalam mengumpulkan, menggabungkan dan dalam mengkombinasikannya untuk membuat ide-ide agar mempunyai nilai komersial (Hien, 2010). Keterbatasan utama penggunaaan kreasi bisnis sebagai indikator E adalah tidak diketahuinya kelas ukuran bisnis seberapa yang paling sesuai. Di lain fihak, ketika kembali ke tataran empiris, beberapa persoalan sering muncul. Misalnya, sulitnya menemukan apakah suatu entri itu merupakan fakta suatu perusahaan baru ataukah merupakan hasil dari suatu merger; ataupun masuknya perusahaan hanyalah salah satu dari tugas-tugas entreprenuerial yang tidak perlu menunjukkan derajat yang sama dari inovasi diantara berbagai Negara (Hien, 2010). Kepemilikan bisnis (yang menjadi ukuran jumlah ataupun laju employerowned business), sering digunakan sebagai alternatif bagi self-employment. Serupa dengan laju self-employement, indikator ini sering digunakan untuk mengukur jumlah orang yang telah meninggalkan wage-based employment dan telah mengambil resiko untuk memulai kepemilikan bisnisnya. Penting untuk membedakan antara self-employment terhadap kepemilikan bisnis. Keduanya merupakan konsep yang berbeda dengan beberapa interseksi. Self-employment didefinisikan sebagai penampilan kinerja pekerjaan untuk keuntungan secara personal ketimbang bekerja karena dibayar oleh orang lain; self-employed person adalah bekerja untuk dirinya sendiri ketimbang untuk orang lainnya ataupun untuk perusahaan/kompanion (Shane dan Echardt, 2003 dikutip Hien, 2010). Sementara itu ownership merujuk kepada bagaimana suatu bisnis didirikan secara legal. Suatu kepemilikan bisnis tidak memerlukan penanganan langsung (hand-on approach) dalam operasionalnya sehari-hari bagi kompaninya, sedangkan untuk self-employed person harus memanfaatkan pendekatan yang
70
sangat memerlukan penanganan langsung agar dapat survive. Akibatnya, studi tentang self-employment
dapat meliputi stituasi dalam self-employed person
incorporate suatu bisnis dan memperkerjakan orang lain, juga dalam berbagai situasi yang mana hal-hal tersebut tidak muncul. Sedangkan studi tentang kepemilikan bisnis mencakup suatu rentang dari yang biasanya small selfemployer owned bussiness (kepemilikan tunggal) sampai ke rentang bentukbentuk kepemilikan bisnis yang besar yang terdaftar secara legal seperti kemitraan (partnership), koperasi, dan korporasi (Hien, 2010). Lebih lanjut menurut Hien (2010), bahwa secara empiris ada dua macam konsep yang seringkali digunakan dan saling dipertukarkan sebagai ukuran E. Beberapa peneliti memfokuskan pada studi tentang self-employment; sedangkan beberapa peneliti lainnya mendefinisikan entrepreneur sebagai pemilik bisnis. Perbedaan antarkedua kelompok tersebut tidak begitu penting untuk diterapkan di negara-negara maju. Namun secara empiris memperlihatkan bahwa kepemilikan bisnis berbeda dalam cara-cara yang penting terhadap self-employment di negaranegara berkembang. Oleh van Praag et al., (2002) ditunjukkan kasus di Kolombia bahwa self-employment dalam sektor-sektor informal lebih prevalen dari pada kepemilikan bisnis di sektor-sektor informal, dan kepemilikan bisnis berasosiasi dengan E sedangkan self-employment secara mendasar merupakan suatu aktivitas yang subsisten sifatnya. Harapan yang diinginkan ketika indikator kepemilikan bisnis ini digunakan adalah bahwa pada level yang lebih tinggi kepemilikan bisnis menunjukkan suatu wilayah entrepreneurial yang lebih banyak yang dimana orang lebih siaga terhadap berbagai oportunitas entrepreneurial yang mungkin muncul. Kepemilikan bisnis merupakan ukuran yang ideal karena dapat meniadakan akan keperluan untuk mengukur kelas (besar-kecilnya) perusahaan. Ukuran ini juga dapat digunakan untuk menggambarkan derajat aktivitas entrepreneurial (Hien, 2010). Menurut Fritsch (2008) ukuran tersebut merupakan proksi yang sangat bermanfaat bagi aktivitas entrepreneurial ketika melakukan pembandingan lintas negara maupun antarwaktu. Namun hal itu tidaklah jelas bagaimana caranya untuk membedakan struktur kepemilikan dan pengaturan yang akan diukur.
71
Ketika melakukan interpretasi terhadap ukuran-ukuran itu, maka pembuatan bersama semua tipe terhadap berbagai aktivitas yang heterogen sifatnya untuk sepanjang spektrum sektor yang luas dan konteksnya dalam ukuran yang terpisah ataupun ukuran yang tersendiri. Ukuran tersebut memandang semua bisnis adalah sama, baik itu bisnis yang menggunakan teknologi tinggi maupun teknologi sederhana. Dalam hal ini tidak memperhitungkan pengaruh besarnya industri ataupun dampak dari industri yang ukurannya beragam. Di lain fihak, itu hanya mengukur stok bisnis dan bukanlah start up yang baru. Laju pertumbuhan dan survivalnya perusahaan baru juga merupakan ukuran yang umum untuk menggambarkan kuat-lemahnya suatu E di suatu wilayah. Rasio pertumbuhan bisnis baru terhadap total bisnis yang ada dalam suatu perekonomian telah digunakan untuk melakukan karakterisasi E. Namun landasan teori terhadap ukuran-ukuran tersebut agak terbatas. Tidaklah pasti, apakah suatu tingkat survive yang besar merupakan suatu indikator besar-kecilnya kekuatan E. Memang benar bila suatu tingkat survival yang lebih lama itulah yang bisa dijadikan indikator bagi cerminan tingginya jiwa entrepreneurial perekonomian di suatu wilayah (van Praag et al., 2002). Ukuran-ukuran lain bagi E lebih difokuskan pada perubahan yang berasosiasi dengan berbagai aktivitas inovasi dalam suatu industri. Ukuran-ukuran tersebut mencakup indikator aktivitas R & D, jumlah penemuan paten, dan produk inovasi baru yang diperkenalkan ke dalam pasar. Ukuran-ukuran ini punya keunggulan
termasuk
hanya
perusahaan-perusahaan
yang
secara
aktual
membangkitkan perubahan inovatif pada level industri saja yaitu pada level di luar perusahaan itu sendiri. Namun, berbagai ukuran semacam itu harus selalu dikuantifikasi oleh kegagalannya dalam menggabungkan jenis-jenis yang signifikan tentang aktivitas yang inovatif dan perubahan tidak dicerminkan oleh ukuran-ukuran semacam itu (Hien, 2010).
Peranan Faktor (E)ntrepreneurship dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Menurut Hein (2010) meskipun peranan (E)ntrepreneurships telah ditemukenali oleh beberapa ekonom terkenal seperti Schumpeter, Knight, dan Mises tetapi baru beberapa tahun belakangan saja secara sistematis E diusulkan
72
sebagai faktor tambahan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi. Beberapa ahli belakangan ini memposisikan faktor E pada bagian utama sebagai komponen yang ke empat yang baru dari ―New Growth Theory‖ yang dikenal sebagai entrepreneurial capital (EC), selain traditional capital, labor, knowledge pada tatanan riset regional. EC dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem perekonomian di suatu wilayah dalam membangkitkan segala aktivitas entrepreneurial. Pengertian ini mencerminkan begitu luasnya rentang aspek legal, faktor (I)nstitusi maupun faktor sosial. Unit spasial yang relevan untuk melakukan pengukuran terhadap EC biasanya bisa negara, wilayah ataupun kota sebagai unit analisisnya. Walaupun pengukuran EC bersifat multifaset dan heterogen sifatnya, tetapi pengukuran tersebut mengejawantah (manifests) dengan sendirinya dalam munculnya berbagai perusahaan baru (the start up new enterprises). Ada 3 saluran bagaimana E yang secara positif dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu: (i) meningkatkan inovasi dan knowledge spillover, (ii) meningkatkan kompetisi, serta (iii) meningkatkan keragaman dalam berbagai sektor perekonomian maupun melalui munculnya keragaman perusahaan. Melalui saluran yang pertama, E merupakan mekanisme yang dapat meningkatkan permeabilitas kedapnya filter pengetahuan, memfasilitasi the spillover of new knowledge yang pada akhirnya membangkitkan aktivitas perekonomian untuk mencapai surplus dan pertumbuhan ekonomi Acs dan Storey (2004). Pengetahuan baru punya suatu pengaruh positif secara langsung pada perekembangan perekonomian wilayah dan secara tidak langsung punya pengaruh positif terhadap perilaku enterpreneurial. Sebagai bagian dari pengetahuan baru yang akan digunakan oleh para entrepreneur, maka (E)ntrepreneurship akan meningkatkan daya eksploitasinya terhadap pengetahuan baru sebegitu rupa sehingga punya dampak positif terhadap kinerja perekonomian di suatu wilayah. Namun, kapasitas suatu perekonomian dalam membangkitkan perilaku entrepreneurial yang produktif tersebut dibentuk oleh perluasan EC yang melandasinya. Perilaku entrepreneurial melibatkan start up and growth of new enterprises yang bertindak sebagai suatu mekanisme bagi knowledge spill-over dari sumber asalnya. Teori imbasan pengetahuan (knowledge spill-over) telah memposisikan entrepreneurship sebagai hasil dari oportunitas yang tercipta
73
melalui aktivitas kreatif dalam suatu usaha atau ventura. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan
yang
baru
mengembangkan
kapasitasnya
dalam
mengadaptasi cara-cara baru maupun ide-ide yang telah ada sebelumnya (yang telah dikembangkan oleh perusahaaan-perusahaan lainnya) dengan resource endowment berupa pengetahuan ekonomi yang baru yang umumnya dihasilkan dari penelitian universitas (Agarwal et al., 2007). Melalui
saluran
yang ke dua,
bahwa (E)ntrepreneurship
dapat
meningkatkan kompetisi untuk ide-ide baru yang melekat dalam agen-agen ekonomi, yang memfasilitasi masuknya berbagai perusahaan baru yang melakukan proses spesialisasi untuk beberapa produk baru yang berceruk (niche) di dalam suatu wilayah ataupun kota. Pada gilirannya proses ini dapat meningkatkan pertumbuhan kinerja perekonomian suatu wilayah ataupun kota. Akhirnya, E meningkat kerena karagaman lingkungan regional akan pengetahuan pertukaran dengan berbagai keragaman industri maupun perusahaan yang menyebabkan
eksternalitas pengetahuan dan pada ujungnya meningkatkan
aktivitas inovasi maupun pertumbuhan ekonomi (Hien, 2010). Menurut Fritsch (2008) pengaruh EC terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah berlangsung melalui mekanisme: (i) efek turbulen pada pertumbuhan ekonomi, (ii) efek perubahan ukuran distribusi dalam suatu wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi yang mengiringnya, dan (iii) efek dari banyaknya partisipan pasar dalam suatu industri terhadap pertumbuhan ekonomi (efek kompetisi); dan (iv) efek dari banyaknya self-employed terhadap pertumbuhan ekonomi yang mengiringinya. Efek turbulen terhadap pertumbuhan ekonomi yang mengiringinya bersifat bauran (mixed) dan tak tersimpulkan (inconclusive). Pada tataran industri bahwa entry-exit turnover hanya punya dampak nyata terhadap pertumbuhan produktivitas industri dalam jangka panjang (Hien, 2010). Brixy and Grotz (2006 dikutip Hien, 2010) mengklaim bahwa efek turbulensi secara positif mempengaruhi pertumbuhan TFP (total factor productivity) untuk sektor jasa namun tidaklah demikian untuk sektor manufaktur. Pada tataran wilayah, beberapa studi yang relevan telah berusaha untuk menghubungkan terhadap berbagai ukuran tentang aktivitas E, hampir semua mencirikan tingkat start up
74
terhadap pertumbuhan ekonomi, umumnya dalam ukuran pertumbuhan lapangan pekerjaan (Acs dan Storey, 2004).Efek perubahan dari ukuran distribusi perusahaan-perusahaan terhadap kinerja pertumbuhan yang mengiringinya appears clear-cut. Mayoritas dari berbagai studi tersebut memposisikan bahwa saham dari UKM baik pada tataran industri maupun tataran wilayah punya efek yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi tahun-tahun yang mengiringi (OECD, 2000). Menurut Hien (2010) cukup banyak studi terbaru yang mengkaji dampak E terhadap pembangunan ekonomi.
Namun, hasilnya masih baur (mixed)
tergantung pada ukuran yang digunakan untuk mengukur pembangunan ekonomi yang digunakan (GDP per kapita, pertumbuhan pekerjaan ataupun pertumbuhan produktivitas) dan ukuran E (self-employed rate ataupun indeks pembentuk perusahaan yang baru). Seperti Acs dan Storey (2004) menyatakan bahwa áda bukti dari beberapa negara tentang suatu link antara peningkatan dalam hal formasi perusahaan baru dengan perkembangan ekonomi yang mengiringinya. Namun, hubungan ini tidak selalu muncul dalam setiap studi. Kemudian nonappearence dari link bisa mencerminkan error pada variabel kunci. Hal ini juga mencerminkan varibel bias yang terhilangkan. Namun ini mungkin juga disebabkan oleh perbedaan riil antarnegara ataupun antarwaktu studi.
2.9
Risalah Teori Pembangunan Ekonomi Wilayah Menurut Stimson dan Stough (2008) bahwa strategi perencanaan
pembangunan ekonomi wilayah tidak terlepas dari evolusi paradigma ilmu ekonomi wilayah yang melatarbelakanginya. Secara ringkas dari perubahan paradigma yang dibentuk oleh teori pembangunan ekonomi wilayah disajikan dalam Gambar 15. Penting untuk disadari bahwa dalam perkembangan tersebut terdapat horison waktunya yang overlap antara kebijakan ekonomi dengan paradigma strategi pembangunan ekonomi wilayah, keduanya baik yang sifatnya filosofis ataupun pragmatis, mencerminkan realitas evolusi perubahan dalam pendekatan-pendekatan paradigma yang digunakan.
75
Fokus dalam Kebijakan Ekonomi Pemikiran dari Keynisian Setelah Perang Dunia II
1960 Public Economic Development Agency
1970 Regulatory Economic Development Mixed Economic Development
Focus on Vule-adding strategies Incorporating workforce & technology change
Pemikiran regim Moneterism Mid1970-an-90-an
Pemikiran Rasionalisme Akhir 1980an90an
Sustainablity
1980
1990
2000
Innisiative to reduce social desparities by incorporating disadvantaged group into the mainstream economy
Initiative to improve enviromental and overall quality of life to attract hilly skilled workers and firms
Sustainable development
Fokus dalam Strategi Perencanaan Ekonomi Comparative Advantage Competitive Advantage Collaborative Advantage Master Planning Infrastructure Oriented
Goals & Objectives Planning
Structural Planning
Strategic Planning
Integrated Planning
Multisector Integrated Strategic Planning
Sumber: Stimson dan Stough (2008).
Gambar 15. Perubahan fokus kebijakan pembangunan ekonomi dan strategi perencanaan
Seperti dapat dilihat dalam Gambar 15 tersebut, pada separo bagian diagram bagian atas untuk menunjukkan fokus perubahan paradigma pemikiran kebijakan ekonomi dan separo bagian bawah untuk perubahan fokus dalam strategi Perencanan Ekonomi Wilayah. Dalam hal ini dapat diidentikkan bahwa fokus kebijakan ekonomi merupakan penyebab, sedangkan fokus strategi perencaan ekonomi adalah akibat. Kedua pakar ini membuat periodisasi sepuluh tahunan mulai tahun 1960-an sampai periode 2000-an. Periodisasi ini dimaksudkan untuk memudahkan sekalipun dalam realitasnya yang sebenarnya terjadi overlapping waktu. Untuk menunjukkan overlapping itu dibantu dengan petunjuk anak panah. Fokus kebijakan ekonomi berevolusi dalam 4 pemikiran, yaitu: Keynesian (setelah Perang Dunia II sampai dekade 1970-an), ke moneterism (dekade 1970-
76
an sampai 1990-an), ke rationalism (1980-an sampai 1990-an) dan pada dekade 2000-an kini pada Pemikiran Kebersinambungan. Keempat pemikiran tersebut menurunkan perkembangan lima praksis kebijakan ekonomi secara berturut-turut: kebijakan ekonomi publik, ke pengaturan pembangunan ekonomi (mix economic development), ke suatu strategi tambah nilai (value added), ke inisiatif untuk menekan kesenjangan dengan cara melibatkan kelompok yang kurang beruntung, ke inisiatif perbaikan lingkungan dan kualitas hidup dan kebijakan pembangunan berkesinambungan.
kini
pada praksis
Perkembangan teori dan praksis
kebijakan ekonomi tersebut, sesuai dengan periodenya telah melahirkan sekuen perkembangan Fokus Strategi Perencanaan yaitu Comparative Advantage (awal dekade 1970-an sampai akhir 1980-an), disusul dan overlap dengan Competitive Advantage (akhir dekade 1970-an sampai awal 2000-an, kemudian disusul Collaborative Advantage pada awal 2000-an sampai sekarang. Sebagaimana dengan perkembangan pada fokus Kebijakan Ekonomi, pada fokus Strategi Perencanaan Ekonomi Wilayah juga menurunkan lima sekuen praksis Strategi Perencanaan yaitu: Master Planning (awal-akhir 1960-an); Goals and Objectives Planning (awal-akhir 1970-an); Structural Planning (awal-akhir 1980-an); Strategic Planning (akhir 1980-an sampai awal 1990-an); Integrated Strategic Planning (awal-akhir 1990-an) dan Multisector Integrated Strategic Planning mulai dari akhir 1990-an sampai sekarang. Stimson et al. (2006) sebelumnya mendiskusikan risalah ini secara garis besar, yang esensinya berkisar tidak terlepas dari persoalan-persolan tentang: (1) Kemampuan teori ekonomi neoklasik yang memberikan layanan sebagai dasar bagi teori pengembangan ekonomi wilayah, (2) Evaluasi terhadap kebijakan ekonomi dari pemikiran Keynesian dan dikaitkan dengan paradigma master planning, (3) Pergeseran menurut waktu dari fokus keunggulan komparatif ke keunggulan kompetitif dan kemudian ke keunggulan kolaboratif, (4) Berbagai proses globalisasi dan munculnya perhatian untuk mencapai pembangunan berkesinambungan, dan yang fokus pada self-help dalam mengejar pertumbuhan endogenik wilayah.
77
2.9.1
Dari Keunggulan Komparatif ke Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Kolaboratif Berkaitan dengan perkembangan fokus Strategi Perencanaan Ekonomi
Wilayah dalam konteks penelitian ini penting untuk dikaji lebih jauh. Menurut Stimson et al. (2006) ada 5 dekade yang diwakili oleh transformasi dari ‗the post industiral„ atau oleh fordist‟ era, sampai ke post industrial era dari new knowledge economy, telah terjadi perubahan fokus pada keunggulan komparatif ke fokus keunggulan kompetitif ketika moneterisme mulai mempengaruhi kebijakan ekonomi makro, dan kemudian ke keunggulan kolaboratif. Pergeseran itu dicerminkan dalam evolusi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah. Evolusi dari keungulan komparatif ke kompetitif dan akhirnya ke keunggulan kolaboratif perlu didiskusikan di sini untuk menggambarkan bagaimana satu instrumen dari strategi pengembangan ekonomi wilayah itu muncul dan karena itu lebih lanjut untuk menggambarkan lebih luas tentang proses pembuatan strateginya. Pandangan yang paling tua (yaitu keunggulan komparatif) dibangkitkan oleh teori ekonomi perdagangan internasional, yang menunjukkan bahwa suatu bangsa atau wilayah perlu atau harus melakukan spesialisasi dalam industri yang mempunyai keunggulan komparatif terutama resource endowment yang dimiliki sehingga punya keunggulan faktor biaya dalam melakukan suatu produksi barangbarang tertentu. Hingga pertengahan 1970-an fokus dari paradigma master planning, goal and objective planning¸ serta structural planning dalam melakukan kebijakan perencanaan telah mempertahankan prinsip-prinsip dari keunggulan komparatif ini. Kebijakan perencanaan utamanya diarahkan kepada pencapaian biaya-biaya produksi relatif paling murah (dalam hal tenaga kerja, material, energi, pajak-pajak dan infrastruktur) dibandingkan terhadap kompetitornya. Keunggulan komparatif berakar secara kuat pada ilmu ekonomi sisi suplay, yang menjelaskan bahwa barang dan jasa diproduksi dan surplusnya dijual (seringkali dengan dukungan subsidi dan insentif) untuk tujuan pasar internasional maupun domestik. Belakangan selama dekade 1980-an, melalui pengaruh penulis seperti Porter (1990) fokus strategi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah
78
berubah ke arah keunggulan kompetitif yang menempatkan fokus yang sifatnya kurang kasat mata atau ‗value factor‟ yang di dalamnya termasuk faktor efisiensi, faktor kinerja dan atribut kualitatif seperti kualitas hidup, human and social capitals, dan trust
(Putnam, 1993; Fukuyama, 1995) ketimbang pada hanya
menonjolkan faktor perbedaan biaya dari konsep keunggulan komparatif tersebut. Jadi keunggulan kompetitif penekanannya telah berubah ke arah pandangan bahwa wilayah perlu memfasilitasi berbagai kebijakan dan strategi pelaksanaan untuk mempromosikan keunggulan kompetitif yang dimilikinya. Kebutuhan itu tidak hanya terletak pada cost advantage (terutama yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas barang dan jasa yang diperdagangkan) tetapi juga pada competitive advantage yang bertalian dengan faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan pengembangan bisnis dan untuk meminimalisir berbagai resiko. Namun menurut Stimson et al., (2009) dewasa ini masih banyak pemerintahan terus mempromosikan perbedaan
keunggulan komparartif
(comparative advantage) dan menyediakan insentif untuk menarik kegiatan ekonomi agar mau masuk ke wilayahnya. Perilaku pemerintah seperti ini masih tetap terpaku pada kebijakan strategi keunggulan komparatif, bukan strategi keunggulan kompetitif. Strategi dari kedua macam keunggulan itu berarti masih berkutat pada penerapan secara kuat tentang strategi kalah/menang (win/lose scenario). Belakangan ini perencanaan dan pengembangan ekonomi telah mempromosikan berbagai strategi untuk mencari pengembangan dan mempromosikan keunggulan saling bekerjasama (collaborative advantage), dimana berbagai perusahaan perlu berkolaborasi dalam berkompetisi sebagai suatu strategi keunggulan terutama melalui kemitraan dan aliansi (partnership and alliance).
Perkembangan itu
mencerminkan sikap bisnis (business attitude), dalam hal ini kalangan bisnis dan organisasi yang telah memiliki pertimbangan rivalnya sendiri-sendiri, sekarang secara aktif mencari mitra strategik dan beraliansi, maupun bentuk-bentuk kolaborasi lainnya untuk mengeksplorasi berbagai oportunitas dan secara sinergi dapat menginduksi benefit untuk memenangkan, mengkreasikan dan memperluas kesempatan bisnisnya.
79
Dalam skema keunggunlan kolaboratif itu menurut Stimson dan Stough (2008) telah muncul
keinginan untuk
mencari kebersinambungan dan
pertumbuhan ekonomi secara menang/menang (win/win scenariao) sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan ekonomi.
Strategi ini adalah loosely
refered bagi keunggulan kolaboratif. Strategi ini mewakili suatu paradigma yang belakangan muncul dalam strategi perencanaan pengembangan ekonomi wilayah dan strategi ini tergantung pada suatu integrasi yang lebih besar, kerjasama (cooperation), diantara berbagai kalangan bisnis, pemerintah dan komunitas. Ini juga merupakan bentuk new trust menuju kenunggulan kolaboratif. Bagaimana untuk mencapainya itu telah menjadi suatu elemen yang umum dalam pendekatan baru dan yang sedang berkembang dalam memformulasikan strategi perencanaan pembangunan wilayah dan implementasinya pada sejak pertengahan dekade 1990an. 2.9.2
Globalisasi, Pembangunan Berkesinambungan dan Gagasan tentang Regional Self-Help
Terjadinya kelimpahan modal di pasar uang pada decade 1980-an diikuti dengan guncangan tahun 1987 dan resesi di tahun 1989, telah mengarah pada pergeseran paradigma yang berfokus pada pembangunan yang berkesinambungan. Pada dekade 1980-an dan memasuki dekade awal 1990-an, berbagai peristiwa telah terjadi secara paralel yang kemudian memberikan dampak nyata terhadap pemikiran ekonomi dan evolusi tentang the best practice dalam strategi perencanaan
pembangunan
wilayah.
Ini
termasuk
dalam
globalisasi,
pembangunan berkesinambungan dan ekonomi rasionalisme. Pertama kali perlu melihat berbagai kekuatan interaksi bersama dan kemudian melakukan analisis imperatif dari semua pengaruh itu dalam strategi perencanaan pembangunan dan upaya-upaya yang berkaitan (Stimson dan Stough, 2008). Pertama, bahwa globalisasi terus berlangsung mempunyai dampak utama dalam restrukturisasi perekonomian dari suatu wilayah yang bisa positif maupun merugikan terhadap kinerjanya ataupun kemungkinan di masa depan. Pada awal dekade 1990-an, dampak globalisasi telah mengubah wajah dan lokasi produksi, menyebabkan terjadinya spesilaisasi lanjut ataupun terjadinya klastering (Dicken, 1992 dikutip Stimson dan Stough, 2008). Globalisasi telah menyebabkan
80
munculnya masyarakat yang bersifat borderless disertai dengan bebasnya arus informasi, dan mobilitas dana antarnegara secara cepat. Adanya transparasi dana yang lebih baik dalam proses bisnis ataupun dalam pemerintahan. Berbagai perubahan tersebut mereduksi pentingnya nation state dan meningkatnya arah fokus ke berbagai kota maupun wilayah-wilayah utama sebagai pusat dan mesin pertumbuhan. Terutama, beberapa wilayah metropolitan dunia dipandang menjadi fokus dominan dari kekuatan-kekuatan yang mengendalikan pertumbuhan lapangan pekerjaan, investasi, dan distribusi jaringan tempat pasar global yang sedang berlangsung. Dengan berbagai perubahan itu maka muncul fokus baru kepada wilayah ketimbang fokus kepada perekonomian nasional, seperti pemerintah meletakkan penekanan pada kebutuhan akan keahlian dari tenaga kerja (yaitu kualitas buruh) dan penekanan pada technology driven investment. Sebagai tambahan bahwa dengan globalisasi tersebut, korporasi tranasional kemudian melakukan eksploitasi terhadap adanya perbedaan regional yang tercipta,
baik oleh karena strategi keunggulan
komparatif maupun keunggulan kompetitif, seperti kebijakan-kebijakan proteksi dan intervensionist yang ditarik oleh pemerintah (Stimson dan Stough, 2008). Kedua, adanya berbagai isu yang berhubungan dengan pembangunan berkesinambungan dan kualitas hidup mulai punya pengaruh nyata terhadap pengembangan ekonomi lokal dan kibijakan perencanaan. Tumbuhnya kesadaran akan
lingkungan,
masalah-masalah
sosial,
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkesinambungan telah mengarahkan kepada integrated strategic planning untuk pengembangan ekonomi pada dekade 1990, seperti Gambar 15 (Stimson dan Stough, 2008). Selama dekade 1990-an dan memasuki dekade milenium baru, maka mulai muncul clash antara globalisasi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu-isu untuk melakukan pembangunan berkesinambungan dan peningkatan kualitas hidup. Fenomena itu mengarahkan munculnya paradigma baru dalam pemikiran ekonomi, yaitu bagaimana untuk mencapai pembangunan secara berkesinambungan. Untuk mencapai pembangunan berkesinambungan sekarang menghadapi tantangan yang mengerikan (formidable) bagi para pembuat kebijakan ekonomi regional karena mereka harus mencari formula strategi dalam
81
suatu lingkungan yang baru dan cepat berubah, ketidakmenentuan juga berhubungan dengan pencapain pemeliharaan secara kontinyu, renewable dan berkaitan dengan sistem sosial serta lingkungan yang berkesinambungan pula. Ketiga, antara dekade 1980-1990-an juga merupakan abad ekonomi rasionalisme dengan penekanan pada kebijakan publik akan korporatisasi dan privatisasi terhadap aset-aset publik dan fungsi-fungsinya. Ideologi neoliberal yang menjadi batu loncatan bagi pengembangan ekonomi wilayah dan strategi perencanaan di berbagai negara difokuskan pada pandangan bahwa kebijakan sentral ataupun nasional harus mencari kondisi fasilitasi yang akan mampu mendorong pengembangan kapasitas dan kapabilitas lokal dalam tiap wilayah dengan mengandalkan pada strategi self-help. Hal itu mewakili pergeseran nyata pada penekanan proses-proses endogenik bagi pertumbuhan dan perkembangan wilayah. Jadi dari dekade 1990-an, peningkatan fokus pada integrated strategic planning sebagai suatu paradigma yang pervasive bagi pengembangan ekonomi telah mengarahkan suatu interest baru dalam klaster-klaster industri dan peranan dari smart and soft infrastructure dalam berbagai proses penyusunan perencanaan dan pengembangan ekonomi wilayah. Sebagiamana dibahas oleh Stimson et al. (2006) munculnya perhatian kepada keberkesinambungan telah mengarahkan pada evolusi dari suatu paradigm baru
untuk
memandang
pertumbuhan
dan
pembangunan.
Model-model
pertumbuhan tradisional didasarkan pada premis-premis lama seperti: (i) tujuan maksimalisasi keuntungan, (ii) produksi masyarakat dan konsumsi yang merupakan sumberdaya intensif dan konsentrasi di pusat-pusat kota besar, (iii) teknologi berbasis energi fosil, (iv) pemusatan skala besar sistem industri, (iv) asumsi bahwa manusia dominan terhadap sumberdaya alam (yang dianggap melimpah dan tak terbatas) maupun terhadap lingkungan (v) maksimalisasi tujuan dari sosial benefit. Namun paradigma pembangunan berkesinambungan yang baru tersebut adalah didasarkan pada premis: (i) tujuan yang viable bagi pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan, (ii) konservasi sumberdaya dalam proses produksi melalui efisiensi energi, teknologi, dan penyebaran pusat-pusat produksi pada skala yang lebih lokal, (iii) suatu pergeseran ke arah energi alternatif, daur ulang dan konservasi sumberdaya yang dapat habis berpaham bahwa
82
kebergantungan sumberdya yang dapat habis dan sering tidak dapat digantikan, dan bahwa konservasi merupakan suatu prinsip long term viability. Jadi perbaikan dalam kinerja regional mungkin tidak perlu didefinisikan ataupun dipandang dalam ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi saja sebagaimana definisi tipikal dalam ukuran pertumbuhan PDB perkapita. Lebih lanjut bahwa tidak ada pertumbuhan tidak sama dengan tidak ada pengembangan.
Lebih
merupakan pada apa yang dipandang sebagai yang menjadi penting oleh sasaran pembangunan berkesinambungan, walaupun pembangunan yang demikian ini harus meminimalkan biaya
(baik itu biaya ekonomi, sosial, maupun biaya
lingkungan) dan eksternalitas negatif, serta maksimalisasi manfaat. Ini melangsir isu-isu trade off yang menantang bagi para perencana maupun para pengambil kebijakan (Stimson dan Stough, 2008). 2.9.3 Kebutuhan terhadap Adanya The New Growth Theory Selama dekade 1980-an (saat fokus paradigma kebijakan ekonomi telah bergeser ke moneterisme dan ekonomi rasionalisme), telah terjadi pergeseran dari keunggulan komparatif suatu wilayah ke keunggulan kompetitif, dan telah terjadi pergeseran strategi perencanaan dari Master Planing dan Struktural Planing kepada Pardigma Startegic Planning. Berkaitan dengan itu perlu konseptualisasi pertumbuhan ekonomi regional dan pembangunan telah mulai muncul apa yang sekarang dikenal dengan ‗New Growth Theory‘ (Stimson dan Stough, 2008). Rees (1979 dikutip Stimson et al., 2006) mengusulkan bahwa teknologi merupakan pengendali utama dalam pembangunan ekonomi wilayah. Sejak itu hingga 2 sampai 3 dekade, ternyata literatur ilmu regional telah memperlihatkan bagaimana teknologi secara langsung banyak dikaitkan dengan konsep aglomerasi perekonomian dalam pengembangan ekonomi wilayah. Setelah periode tersebut banyak dikaitkan ke konsep baru yaitu konsep tentang kewirausahaan atau entrepreneurship lama (yang dikemas kembali), kelembagaan dan leadership (Stimson et al., 2006). Lucas, (1988) dan Romer (1990) telah mencari hubungan untuk menjelaskan perkembangan teknis (technical progress) dalam perannya sebagai generator perkembangan ekonomi yang merupakan pengaruh endogenik
83
(ketimbang eksogenus) sebagai faktor yang diyakini oleh ekonom neoklasik dalam periode yang sangat lama.
Erickson (1994) adalah diantaranya yang
menunjukkan bahwa perubahan teknologi berkaitan dengan kekompetitifannya suatu wilayah. Selain itu, siklus produk, bila digabungkan kedalam spatial setting secara berbeda dalam suatu wilayah maka ada melalui 3 tahap yaitu: (i) tahap inovasi, (ii) tahap pertumbuhan, (iii) tahap standarisasi (Stimson et al., 2006). Selama periode transisi, suatu produksi akan bergeser dari wilayah asal yang berbiaya tinggi ke wilayah dengan biaya produksi yang lebih rendah. Pergeseran tempat produksi ini seringkali bahkan harus merelokasi ke luar negeri, dengan cara mempercepat evolusi proses internasionalisasi dalam proses produksi. Dengan begitu beberapa wilayah merupakan innovator, sementara wilayah lainnya menjadi cabang pabriknya ataupun resipien dari inovasi tersebut, dan ini mungkin menjadi inovator melalui pertumbuhan endogenik. Markusen (1985 dalam Affandi, 2009) memperluas penerapan teori siklus produk dengan cara mengartikulasikan bagaimana siklus profit dan oligopoli dalam berbagai jenis organisasi dan pengembangan korporasi bisa melipatgandakan perbedaan pengembangan wilayah. Konsep
tentang
innovative
mellieu
harus
diformulasikan
untuk
menjelaskan : how, when and why dari suatu generasi teknologi baru. Gagasan itu berhubungan
kembali
tentang
pentingnya
untuk
melakukan
aglomerasi
perekonomian dan lokalisasi ekonomi yang telah dipandang lebih maju dalam pengembangan ruang-ruang industri baru (Krugman, 1991, 2010a, dan 2010b). Fukuyama (1999) telah menunjukkan bahwa bukan hanya faktor ekonomi saja penentunya tetapi juga faktor-faktor nilai dan kultur – termasuk modal sosial dan trust— yang sangat penting bagi peningkatan aglomerasi teknologi tersebut. Fenomena pada Silicon Valley merupakan contoh nyata, di sana terjadi kolaborasi diantara berbagai pengusaha kecil dan menengah melalui jejaring dan aliansi serta hubungan dengan universitas, meniru suatu Research & Development serta iklim bisnis entrepreneurships. Namun Ress (2001 dikutip Stimson et al., 2006) menunjukkan bahwa teori yang didasarkan pada teknologi untuk pengembangan ekonomi wilayah perlu mengintegrasikan peranan entrepreneurships dan leaderships utamanya sebagai
84
faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah dan oleh karena itu link antara peranan perubahan teknologi dan leadership yang dapat diarahkan ke pertumbuhan wilayah industri baru dan untuk melakukan regenerasi terhadap industri yang lebih tua. Menurut Stimson dan Stough (2008) bahwa New Growth Theory Model memungkinkan dan mempunyai implikasi bahwa ada dua aspek penting yaitu: (i) efek aglomerasi (skala ekonomi dan eksternalitas) dan (ii) ketidaksempurnaan pasar, dengan mekanisme harga tidak perlu membangkitkan terhadap pilihan outcome melalui alokasi sumberdaya yang efisien. Selain itu juga bahwa proses akumulasi kapital dan perdagangan bebas tidak perlu mengarah ke konvergensi upah dan level harga diantara semua wilayah, dengan efek aglomerasi yang positif serta dengan konsentrasi aktivitas ke beberapa wilayah saja melalui efek selfenforcing yang menarik bagi investasi baru. Artinya yang paling penting, dalam konsep New Growth Theory memungkin terjadi aglomerasi maupun divergensi. 2.9.4 Implikasi dari The New Growth Theory dalam Penyusunan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah Menurut Stimson dan Stough (2008), bahwa tantangan yang dihadapi oleh para perencana pengembangan ekonomi wilayah ke depan adalah bagaimana untuk merumuskan kebijakan yang akan memberikan respon kepada: (i) adanya dinamika global, dan (ii) adanya kekosongan kebijakan pemerintah yang mampu mempercepat adopsi kebijakan makro yang berorientasi untuk kepentingan regional. Pada kenyataanya sampai kini bahwa pada satu waktu wilayah diproteksi terhadap adanya serangan kompetisi dari luar, dan untuk beberapa konteks perekonomiannya bisa dimanipulasi oleh pemerintahan pusat. Tetapi bahwa kemampuannya adalah untuk berkompromi dalam mengatasinya sebagai ekonomi rasionalisme yang dikejar oleh pemerintah pusat telah meninggalkan banyak wilayah yang mengekang dirinya sendiri. Beberapa wilayah terus mencari dukungan dan mencari sumberdaya kepada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi agar mengarahkan perekonomian dan investasinya untuk merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun sayangnya banyak sekali wilayah yang gagal untuk memahami bahwa globalisasi telah meninggalkan pemerintahan yang
85
levelnya lebih tinggi manakala power-nya lemah yang sering dapat menyebabkan gagalnya peningkatkan daya kompetisi dari ekonomi wilayah. Sehubungan dengan itu menurut Stimson et al., (2006) bahwa dalam era kebijakan kontemporer itu nampaknya bahwa akan semakin dan semakin terserah kepada masing-masing wilayah untuk berkembang ke arah mana dan untuk pemanfaatan apa semua sumberdaya yang dimiliki sendiri dalam rangka berkompetisi secara internasional agar dapat survive dalam pembangunan ekonomi. Jadi sekarang kelenturan dalam proses endogenik harus didukung oleh kebijakan pengembangan ekonomi regional masing-masing. Untuk melakukan itu, suatu wilayah harus memahami faktor-faktor apa saja yang menyusun dinamika abad perekonomian baru yang telah muncul di akhir abad ke 20 ini.Menurut Stimson et al., (2009) beberapa tema kunci muncul berkaitan dengan faktor penyusun pertumbuhan dan pembangunan regional serta daya kompetisinya dari suatu wilayah. Beberapa diantaranya berhubungan dengan peranan proses dan faktor-faktor endogen. Namun sekarang mulai nyata adanya kesadaran universal seperti yang telah diungkapkan oleh beberapa peneliti yaitu faktor institutional embededness dan faktor endogen serta proses endogen dalam pembangunan ekonomi wikayah.
Menurut Stimson dan Stough (2008) kinerja dan
perkembangan faktor-faktor endogen itu merupakan penentu bagi daya kompetitif setiap wilayah. Karena itu sekarang inisiatif kebijakan pembangunan ekonomi wilayah cenderung lebih berorientasi ke kota ataupun ke suatu wilayah yang mampu merespon perubahan yang cepat dalam situasi perubahan lingkungan global yang makin cepat seperti dewasa ini. Sementara teori pertumbuhan endogenik mensyaratkan pentingnya faktor leadership, entrepreneurship dan kelembagaan, tetapi menurut Stimson et al., (2006) tidak banyak analisis yang mau melakukan konseptualisasi secara menyeluruh apalagi sampai mengukur faktor-faktor
tersebut
sebagai
pembangunan ekonomi wilayah.
faktor
endogenik
penentu
dalam
proses
86
2.9.5 Bentuk Model dari The New Growth Theory Pembangunan Ekonomi Wilayah Stimson et al., (2003 dan 2005) telah mengusulkan model framework baru seperti digambarkan dalam Gambar 16.
RED = f [Re, M…. mediated by… (L, I, E)]
[2.11]
Outcome dari RED (Regional economic development) adalah tingkat kinerja kompetitifnya, enterprenuership-nya, dan yang telah mencapai pembangunan berkesinambungan.
Jadi semua
keadaan outcome
dapat ditetapkan sebagai
dependent variable. Kerangka pemikiran yang diajukan pada Gambar 16 bergabung dengan efek langsung maupun tak langsung dalam interaksi antara Re dengan M (quasi independent variables) dan L, I dan E variabel antara (intervening variables). Juga interaksi antara intervening variables atau mediating variable L, I dan E baik secara langsung ataupun tidak.
Stimson et al., (2005) mengajukan sejumlah
variabel berikut yang mungkin bisa digunakan untuk mengoperasionalkan model pertumbuhan dan pengembangan wilayah secara endogenik. Keadaan suatu outcome dikonseptualisasikan sebagai dependent variables pada segugus quasi-independentt variable berkaitan kepada kota ataupun wilayah yang memiliki Re dan kecocokannya dengan kondisi pasar (M), yang memediasi seluruh interaksi dengan semua intervening variable yaitu I, dan L yang bisa memfasilitasi entrepreneurship (E).
87
Quasi-Independent Variable
Resource Endowment & Kondisi Pasar
Intervening Variables
Dinamika Antarrelasi dari Faktor yang Bertindak dan yang Menciptakan Katalis Pembangunan Ekonomi Wilayah: Enterprenuership (E); Kelembagaan (I) dan Leadership (L)
Dependent Variable(s)
Out come: RED (Regional Economic Developed)
Institution
(Re, M)
Entreprshp. Leadership
Dirrect Effect Indirect Effect
Mengukur & Evaluasi Perubahan tiap Periode Waktu
Sumber: Stimson, Stough dan Salazar (2003)
Gambar 16. Kerangka Pemikiran dari Model Baru Proses Pembangunan Ekonomi Wilayah
(1) Variabel respon dan pengukuran pertumbuhan endogenik Salah satu pendekatan adalah seperti yang diajukan oleh Stimson et al. (2005) untuk mengukur kinerja variabel RED di seluruh wilayah ataupun negara bagian ataupun nasional sebagai independent variable dari model tersebut. Caranya adalah dengan melakukan proksi dari pertumbuhan endogenik, yaitu regional atau differential shift component yang diturunkan dari shift share analysis bagi
perubahan tenaga kerja regional sepanjang waktu dengan cara
menjumlah pergeseran tenaga kerja regional secara keseluruhan untuk semua sektor ekonomi stándar ataupun dengan memboboti ukuran angkatan kerja regional. Dengan demikian Endogenous Growth, maka RED bisa diukur sebagai: (i) nilai komponen pergeseran diferensial secara agregat regional atau dengan, dan (ii) skala tenaga kerja yang diboboti dengan perubahan location quotient menurut runtun waktu.
88
Dengan begitu, bahwa komponen pergeseran regional merupakan pewakil ukuran yang masuk akal untuk mengukur derajat pertumbuhan atau penurunan yang mana pertumbuhan ataupun penurunan dalam suatu wilayah itu disebabkan oleh proses-proses dan faktor-faktor endogenik atau di dalam wilayah melawan perubahan yang disebabkan oleh efek pergeseran nasional dan mix industry.
(2) Variabel Penjelas and Variabel Intervening Beberapa variabel potensial yang diusulkan oleh Stimson et al., (2005) yang mungkin bisa disesuaikan sebagai ukuran independen dan faktor yang memediasi dalam model seperti berikut: Variabel Re= resource endowment dapat diukur dengan: (i) luas wilayah, (ii) iklim, (iii) topografi, (iv) aglomerasi sektor-sektor kunci industri (dengan mengukur LQ untuk pekerjaan sektor industri), (v) ukuran populasi dan laju perubahannya, (vi) tingkat pendidikan (diturunkan dari human capital index) dan literasi, (v) perkapita income, distribusi income, dan perubahannya sepanjang waktu, (vi) kepemilikan rumah, (vii) investasi dalam sektor industri dan kontruksi komersial, benchmark terhadap share nasional vis a vis terhadap nasional sharenya populasi, (viii) investasi infrastruktur per kapita, seperti jalan raya, sekolah, rumah sakit dll, (ix) struktur industri dan perubahannya (diukur dengan indeks keragaman industri) dan (x) regional organizational slack (idle) resource. Variabel M= market fit diukur dengan sejumlah variabel seperti; (i) aktivitas ekonomi basis dalam sektor-sektor industri utama (diukur dengan LQ dalam sektor industri), (ii) koneksitas penerbangan dengan wilayah lain, (iii) pergerakan/jalan kargo keluar/masuk (road freight in/out movement), (iv) volume and value of key product and service.
Juga akan sangat bermanfaat untuk
menggunakan variabel yang dapat memberikan ukuran derajat kekocokan wilayah terhadap perubahan demand dan terkait dengan pasar (jasa lingkungan misalnya) terhadap penentuan
derajat mana yang pas dengan pasar lokal, dan untuk
melakukan evaluasi ekstensi ke arah mana infrastruktur lokal memberikan keperluan linkage ke pasar ekspor (pasar karbon misalnya). Inilah serangkaian masalah yang sangat sulit bila dihadapkan dengan keputusan untuk mengukur M.
89
Faktor L= Leaderships dapat diukur dengan segugus variabel: (i) perkiraan keahlian dari kualitas leadership, (ii) tingkat relatif dari kepala korporasi yang berkantor di wilayah itu, (iii) kepadatan (jumlah, budget dan /atau tenaga kerja) dari bisnis yang luas bagi wilayah dan organisasi kemasyarakatan (atau organisasi pengembangan ekonomi) per 10,000 populasi, (iv) derajad perubahan/stabilitas leadership dari politik lokal. Faktor I= Institution diukur dengan variabel seperti: (i) kepadatan institusi (korporate dan ormas/10.000 penduduk), (ii) level of government fragmentation, (iii) kelembagaan formal dari pemerintah (diukur dengan publik agensi per 10.000 penduduk), (iv) banyaknya kantor pusat dari korporasi utama (misalnya Fortune 1000 firm), (v) nilai kapitalisasi yayasan per 10.000 penduduk, (vi) fragmentasi pemerintahan, (vii) level organisasi regional (jumlah dan budget level), dan (vii) social capital index. Faktor E= Enterpreneurship diukur dengan variabel: (i) churn rate (rasio yang mulai buka terhadap yang gulung tikar perusahaan) atau business start-up rate, (ii) aktivitas modal ventura, (iii) aktivitas corporate venturing, (iv) paten yang diperoleh per 10,000 pekerja, (v) LQ dari tenaga kerja dalam ‗anilisis simbolik‘ dari okupasi, (vii) banyaknya warung, kelompok usaha ekonomi dll). Stimson et al. (2005) berpendapat bahwa RED secara positif berhubungan dengan Re, M, I, L, dan E, tetapi mungkin lead ataupun lag dan efek interaksi dalam jangka pendek ataupun jangka menengah dan mungkin mempunyai efek siklis dalam jangka panjang. Oleh karena itu RED dapat diungkapkan seperti dalam Persamaan [2.11]:
RED = Ω1+ Ω2Ret-n+Ω3 Mt-n+( Ω4It-1 sampai ξ10It-10/10)+ Ω11Lt-n+ Ω12Et-n+e
{2.11}
Pendekatan pemodelan ini telah diusulkan oleh Stimson dan Stough, (2008) untuk mengevaluasi proses-proses pertumbuhan endogenik dan untuk menjelaskan bagaimana pengembangan wilayah bisa dipengaruhi oleh, dan juga difasilitasi oleh faktor-faktor leadership, institutional, dan enterpreneurship sebagai variabel intervening atau memediasi variabel yang dihipotesiskan bisa
90
menjadi katalisator yang mempengaruhi proses-proses endogenik tersebut tetapi juga tetap memperhatikan Re dan M dari suatu wilayah, mewakili model operational untuk mengukur dan memeriksa dampak faktor-faktor endogen terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi regional. Penting ditekankan di sini bahwa menjaga dengan argumen kita bahwa strategi pembangunan ekonomi wilayah telah menjadi lebih endogenik dewasa ini, bahwa model framework telah dikembangkan secara eksplisit untuk melakukan konseptualisasi berbagai interaksi dalam proses-proses endogenik. Sehubungan dengan itu Stimson dan Stough (2008) menyatakan masih memerlukan data empiris untuk menguji model tersebut. Faktor endogenik (L, I, E) di setiap wilayah selalu ada sejauh wilayah tersebut didiami oleh masyarakat dan dalam jangka pendek ketiga faktor endogenik tersebut given sifatnya sebagai aset bagi wilayah yang bersangkutan. Sedangkan untuk faktor Re tidak setiap wilayah memilikinya, apalagi bila faktor ini dikaitkan dengan demand-nya (M). Karena itu keterhandalan faktor endogenik itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi setiap wilayah, apakah wilayah dengan Re yang dimiliki dapat dikelola dengan sehingga dapat menjadi suatu demand ataukah tidak. Bahkan seperti diungkapkan Stimson et al. (2005) banyak wilayah yang miskin akan Re tetapi menjadi makmur karena karena kuatnya L, yang membuat I menjadi efektifnya sehingga E menjadi berkembang pesat dan selalu dalam kesiagaan (alertness) untuk meraih peluang pasar (M) dan siap mengeksploitasi setiap peluang itu menjadi profit, yang pada akhir bermuara pada pesatnya pertumbuhan ekonomi wilayah yang miskin akan Re tersebut. Namun banyak juga yang sebaliknya, wilayah dengan kekayaan Re yang melimpah, malah menjadi kutukan sumberdaya atau resource curse (lihat Hayami, 2001) sehingga akhirnya wilayah tersebut terbelakang.
91
3. KERANGKA PEMIKIRAN LANDASAN IDEOLOGI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Seperti dapat dicermati dalam Stimson et al, (2006) ataupun Stimson dan Stough (2008), bahwa tata kelola pemerintahan merupakan prasyarat yang sangat penting bagi para pelaku ekonomi (entrepreneurs) lokal agar sukses dalam kompetisi global dengan cara menemukenali (recognizing) berbagai keunggulan lokal (comparative advantage) untuk dikelola agar menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage). Namun pada masa transisi dari perencanaan terpusat ke pada tata kelola desentralisasi seperti yang berlangsung di Indonesia belakangan ini umumnya bisa menjadi periode kritis. Tatanan kelembagaan formal yang semula terpusat, tidak mudah untuk beralih kepada kelembagaan lokal secara serta merata. Transfer tanggung jawab memerlukan berbagai tahapan proses yang tidak sepenuhnya mudah untuk dikontrol. Padahal tatanan kelembagaan formal dalam periode tersebut bisa megalami turbulensi yang sangat mempengaruhi tatanan kelembagaan lokal, dan pada akhirnya juga mempengaruhi kinerja (L)eaderships maupun (E)ntrepreneurships yang ada, apalagi dalam negara yang punya kultur patriaki yang sangat kuat seperti di Indonesia umumnya. Dalam periode itu pula, koordinasi seringkali menjadi simpul-simpul lemah, (I)nstitutions yang punya peranan sentral bagi berlangsungnya pengambilan keputusan yang mendasari setiap aksi bersama (collective action) dalam setiap aktivitas masyarakat di setiap wilayah (tidak terkecuali aktivitas yang bermotifkan ekonomi) seringkali menjadi tidak efektif. Menurut Stimson et al, (2003; 2005 dan 2009) keefektifan dari setiap koordinasi merupakan cerminan dari kuatnya (L)eaderships di suatu wilayah. Sedangkan kuatnya (L)eaderships hanya mungkin dibangun bila ada institusi yang efektif pula. Institusi itu sendiri merupakan tata aturan dan norma-norma yang memungkinkan hubungan antarindividu untuk melakukan segala macam bentuk transaksi secara adil, tanpa ada yang khawatir diciderai dalam bentuk kecurangan ataupun dalam bentuk kerugian lainnya. Prasyarat ini tidak sepenuhnya mudah untuk dipenuhi pada periode desentralisasi di Indonesia, yang kemudian banyak menimbulkan berbagai
92
kerusakan pada sumberdaya alam ataupun common pool resources (CPRs) lainnya, tidak terkecuali sumberdaya hutan (lihat Resosudarmo, 2005). Fenomena seperti itu juga dialami oleh wilayah Provinsi Lampung, yang kemudian menyebabkan klimaksnya deforestasi, yang berakibat pada degradasi fungsi intrinsik hutannya, kongesti permintaan bahan baku bagi sektor-sektor agroindustri yang kemudian menimbulkan fenomena skala pengembalian yang terus menurun (DRS: Decreasing Return to Scale), stagnasi capaian indikator makro ekonomi wilayahnya seperti pertumbuhan ekonomi yang rendah disertai PDRB/Kpt yang rendah pula, dan kemiskinan yang pervasive serta IPM yang tertinggal dari rata-rata nasional. Gejala the limit to growth (Meadow et al., 1972 dikutip Hayami, 2001 dan Sorensen&Whitta-Jacobsen, 2009) atau Ricardian trap (Hayami, 2001) tersebut harus dipecahkan melalui perencanaan pembangunan ekonomi wilayah (RED: Regional Economic Development) secara komprehensif. Simpul dari semua pertautan masalah itu adalah bahwa fungsi intrinsik hutan harus segera direstorasi melalui kegiatan aforestasi/reforestasi (A/R). Selain karena sangat esensial dalam pemulihan fungsi intrinsik hutan tersebut, kegiatan A/R di Popinsi Lampung juga menjadi potensi untuk program akselerasi pengembangan (E)ntreprenuership lokal sehubungan dengan peluang pemasaran jasa karbon global [M] melalui CDM (clean development mechanism) dalam skema Protokol Kyoto. Protokol tersebut merupakan kesepakatan kelembagaan global (global institution) yang harus diimplementasikan pada tataran lokal (on farm) sehingga juga dapat menjadi peluang untuk mengembangkan jiwa (E)ntrepreneurships petani sekaligus pengembangan (L)eaderships maupun (I)nstitustion-nya di tingkat lokal pula ke depan. Di Provinsi Lampung terdapat sekitar 2 juta ha yang memenuhi semua persyaratan untuk CDM (lihat Mudiyarso et al., 2006). Selanjutnya dengan pulihnya fungsi intrinsik hutan ini dan makin berkembangnya ketiga faktor endogenik (L, I, & E tersebut), maka diharapkan dapat memecahkan Ricardian trap melalui peningkatkan produktivitas sektorsektor primer (perkebunan; pertanian bahan pangan; peternakan dan perikanan), untuk memecahkan masalah ―excess demand” akan bahan baku dalam sektorsektor agroindustri yang telah beraglomerasi di subwilayah hilir. Mengingat
93
sektor-sektor agroindustri ini merupakan penyerap sekitar 77% dari total tenaga kerja di Provinsi Lampung dalam kurun 2000-2005 (Affandi, 2009) maka sangat beralasan untuk berharap lebih jauh pada peningkatan capaian kinerja RED yaitu berupa peningkatan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan IPM (peningkatan indeks konsumsi, peningkatan kesehatan serta peningkatan pengetahuan). Harapan itu sangat mungkin dapat dicapai terutama bila dikembangkan kelembagaan yang mengatur sinergi hulu-hilir melalui skema PES (Pay for Environmental
Service)
bagi
subwilayah
hulu
dari
peningkatan
rente
perekonomian di subwilayah hilir dimana telah terjadi aglomerasi sektor-sektor agroindustri yang mencapai IRS: Increasing Retun to Scale (lihat Krugman 1991, 2010a, 2010b; Grajeda, 2010 dan Rending, 2009). Optimisme tersebut juga beralasan mengingat peningkatan kontribusi kinerja RED dari sektor-sektor agroindustri yang telah beraglomerasi di subwilayah hilir tersebut mampu membangkitkan imbas pengetahuan dari pemanfaatan ipteks (knowledge spillover) maupun imbas pengetahuan karena terjadi kompetisi pasar demi mengejar efisiensi (pecuniary externality) yang juga sangat menentukan bagi penempaan jiwa (E)nterpreneurship di suatu wilayah. Proses-proses ini berakumulasi sedikit demi sedikit awalnya melalui face to face interaction, yang umum dikenal sebagai niche learning region (Igliori, 2008). Selama proses-proses tersebut berlangsung juga terbangun internalisasi normanorma yang beriringan dengan penempaan (L)eaderships di subwilayah hilir. Hasil-hasil penelitian Hein (2010) di Vietnam melaporkan bahwa perkembangan faktor E sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang berjalan beriringan dengan investasi di sektor-sektor publik lainnya. Peningkatan kredit kepada usaha mikro dapat memacu akselerasi perkembangan jumlah (E)ntrepreneurships, tetapi peningkatan pajak belum tersimpulkan. Pelajaran yang patut dipetik dari temuan Hien (2010) tersebut adalah: penting sekali untuk merancang suatu intervensi kebijakan publik dalam rangka pengembangan ketiga faktor endogenik pertumbuham ekonomi wilayah, baik untuk subwilayah hulu, hilir ataupun untuk keseluruhan wilayah di Provinsi Lampung. Dengan intervensi itu (by design) maka, pengembangan faktor-faktor
94
endogenik diharapkan dapat diakselerasi lebih cepat, yang pada gilirannya akan bermuara pada cepatnya pertumbuhan
ekonomi secara
endogenik dan
berkesinambungan. Namun demikian untuk melakukan semua kegiatan tersebut (dalam rangka memulihkan stagnasi kinerja perekonomian wilayah Provinsi Lampung) maka tindakan yang juga kritis untuk dilakukan adalah karakterisasi terhadap faktorfaktor endogenik yang ada di provinsi ini. Kecuali itu mengingat semua kinerja pembangunan ekonomi wilayah juga sangat dipengaruh oleh kinerja fiskal otoritas lokal yaitu: (i) penerimaan daerah, (ii) alokasi belanja untuk investasi publik, dan (iii) alokasi belanja berbagai jasa layanan umum, maka ketiga macam fungsi fiskal tersebut perlu untuk dikarakterisasi pengaruhnya terhadap perilaku (I)nstitution maupun terhadap (L)eadership lokal. Apabila kedua unsur endogenik
(L dan I) tersebut dapat dimodelkan
sebagai fungsi dari kinerja fiskal dari otoritas Provinsi Lampung, maka pengembangan (E)ntrepreneurship dimungkinkan untuk dapat distimulasi melalui intervensi kebijakan fiskal otoritas lokal tersebut. Pada gilirannya peningkatan kinerja E diharapkan mampu menjadi tumpuan dalam menghela pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan pangsa sekor industri yang dilandasi oleh sektor pertanian. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, maka dapat dirancang lebih lanjut pendistribusian benefit dari hasil aksi bersama itu untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (HDI) secara agregat di Provinsi Lampung. Secara diagramatik kerangka pemikiran untuk pemecahan masalah ini disajikan pada Gambar 17.
3.2. Ideologi Pembangunan dan Asumsi Dasar dalam Pemecahan Masalah 3.2.1 Landasan Ideologi Pembangunan yang Digunakan Mengingat setiap perencanaan mempunyai dimensi waktu ke depan, sementara itu banyak kejadian di masa depan yang mengandung unsur ketidakpastian, maka para perencana pembangunan atau para pemegang kebijakan publik akan senantiasa dihadapkan pada pilihan landasan ideologi pembangunan tertentu. Pilihan ideologi itu, akan menjadi pijakan utama dalam pegembangan kerangka pemikiran untuk pemecahan masalah tersebut. Selanjutnya berbagai
95
tahapan pemecahan masalah tersebut dapat diskenariokan, dan akhirnya segala implikasi pilihan kebijakan pun dapat disajikan. Secara generik ideologi dapat dimaknai sebagai keyakinan yang dapat diwujudkan di masa depan. Untuk mewujudkan keyakinan tersebut tentu memerlukan berbagai upaya perjuangan dan pengorbanan. Masalahnya seringkali demi dan atas nama perjuangan (atau baca: pembangunan), ada sebagian dari sekelompok masyarakat tertentu yang dikorbankan kepentingannya demi untuk masyarakat yang lain. Sekalipun pilihan itu seringkali dimaksudkan hanya untuk sementara, tetapi ini menyangkut etika dan moral: siapa yang ―layak‖ untuk dikorbankan dan siapa yang ―layak‖ mendapatkan manfaatnya, sampai kapan dan apa pula kompensasi wajar yang harus diberikan. Apalagi kesementaraan tersebut seringkali sengaja dilupakan atau dibiarkan berubah menjadi permanen. Perilaku alpa semacam itu akan berdampak pada moral hazard, yang akan lebih serius lagi jika sekelompok masyarakat yang dikorbankan tersebut adalah generasi yang akan datang, yang tentu saja belum memiliki kesempatan untuk memperjuangkan hak-haknya di masa kini. Karena itu pemerintah sebagai fihak yang diberi otoritas pengambil kebijakan publik (pemegang social contract ala J. J. Reusseau yang didapat via pemilu, lihat Randall, 1987) idealnya harus mampu untuk mengontrol moral hazard tersebut agar tidak berujung pada kegagalan pemerintah (government failure). Untuk itu, maka kajian-kajian akademik (terutama yang didasarkan pada penelitian yang komprehensif) perlu dilakukan untuk memfasilitasi para pemegang social contract ini dengan berbagai alternatif kebijakan yang obyektif agar terhindar dari peluang terjadinya moral hazard tersebut.
96 Masalah Stagnasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung
Deforestasi Akut & Degradasi Lingkungan
Ricardian Trap : Excess Demand Bahan Baku Agroindusti
Stagnasi Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri
M A S A L A H
Pertumbuhan Ekonomi & Capaian HDI Rendah
Merancang Praksis Pembangunan Ekonomi Wilayah:
Teori Kendala Sumberdaya
Teori Transformasi Struktural Perekonomian
Teori Pertumbuhan Endogenik
Model Perilaku Fiskal Propinsi Lampung
Pilihan Etika
P R A K S I S
Model Pembangunan Ekonomi Wilayah [RED: Regional Economic Development]
Skema Reforestasi
Intervensi Kebijakan Fiskal PPropinsi L Peningkatan Pendapatan/Kpt Sektor Pertanian
Peningkatan Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri Pendapatan/Kpt Sektor Pertanian Pertumbuhan Ekonomi
Daya Beli Masyarakat
Meningkatnya Capaian HDI Gambar 17. Kerangka Pemikiran untuk Pemecahan Masalah
S O L U S I
97
Menurut Sen (2001 dikutip Yudhoyono, 2004) pembangunan itu sendiri merupakan proses perjuangan nilai-nilai, utamanya nilai-nilai yang dipandang baik (virtues) oleh sekolompk orang ataupun oleh komunitas yang berada di suatu ruang wilayah dan periode waktu tertentu. Periode waktu dalam perjuangan ini menjadi penting, karena virtues senantiasa berkembang sesuai dengan fase capaian perjuangan itu sendiri. Adanya pola umum IKC (Inverted Kuznets Curve) dalam siklus pembangunan suatu bangsa misalnya merupakan refleksi dari perubahan virtue yang diperjuangkan untuk tiap fase pembangunan. Kata virtue dalam praksis pembangunan kini bermetafora menjadi Vision (Adi Cita), yang nilai-nilainya diperjuangkan secara operasional yaitu melalui suatu misi. Dalam konteks pembangunan dalam arti luas, menurut Perance da Tunner et al., (1990) ada 2 ideologi besar yang telah berkembang yang bersifat universal: tidak terikat ras, agama, aliran golongan, maupun waktu. Kedua ideologi tersebut adalah Technocentric dan Ecocentric yang masing-masing mempunyai dua varian: yaitu (1) Technocentric Conurcopian, (2) Technocentric Accomodating, (3) Ecocentric Communalist dan (4) Ecocentric Deep Ecologist. Adapun ciri green label, tipe perekonomian, strategi manajemen yang perlu dikembangkan, etika yang dianut serta label kebersinambungan dari keempat varian ideologi ini secara rinci disajikan dalam Tabel 7. Berdasarkan ciri-ciri ideologi tersebut maka pilihan ideologi tidak mungkin untuk dijatuhkan pada dua ekstrim yaitu pada Technocentric Conurcopian ataupun Deep Ecologist.
Ideologi Technocentric_Conurcopian
punya implikasi pada perilaku yang eksploitatif terhadap berbagai (Re)source endowment yang telah kita miliki demi mengejar pertumbuhan, sedangkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan diyakini dapat disubstitusi oleh penemuan atau capaian teknologi. Ideologi ini dikatagorikan beretika instrumental value terhadap sumberdaya alam ataupun Re lainnya. Ideologi Technocentric_Conurcopian ini tidak kompatible bagi kita yang umumnya belum mampu melakukan substitusi teknologi terhadap berbagai kerusakan akibat pembangunan yang bersifat eksploitaitif. Lagi pula ideologi ini mempunyai tingkat keberlanjutan yang sangat rendah. Demikian pula sebaliknya pada pilihan Deep Ecology. Sekalipun ideologi ini mempunyai indikator
98
keberlanjutan yang paling besar, kita masih memerlukan pertumbuhan perekonomian untuk menopang pertumbuhan penduduk yang belum dapat ditekan pada pada level zero growth. Tabel 7. Ideologi dan Label Keberlanjutannya dalam Pembangunan Ekonomi TECHNOCENTRIC GREEN LABLE
TYPE OF ECONOMY
MANAGEMENT STRATEGIES
ETHICS
ECOCENTRIC
Conurcopian
Accomodating
Communalist
Deep Ecology
Resource exploitative, growth orientation position Anti green economy, unfettered free market
Resource conservationist, and managerial position
Resource preservationist position
Extreme preservationist position
Green economy, green market guided by economy, incentive instrument (e,g, pollution charge) Modified economic growth (adjusted green accounting to measure GNP)
Deep green economy, steady-state economy regulated by macroeconomical standards Zero population growth
Very deep economy, heavily regulated to minimize resourcetake
Primary economic policy objective, maximize economics growth (GNP) Taken as axiomatic that unfettered free market in conjucton with technical progress will ensure substitution posibilities, capable of mitigating all scarcity limits’ constraint (Enviromental suource & sinks) Support for traditional ethical reasoning: right and interests of contemporary individual human; instrumental value (i.e. of recognize value to humans) in nature VERY WEAK
SUSTAINABILITY LABLES Sumber: Pearce and Turner (1990)
Decoupling important but infinite, Substitution rejected, Sustainability rules: constant capital rule, Therefore some scale change,
Decoupeling plus no increase in scale, “Systems’ prespective – health’ of whole ecosystem very important; Gala Hypothesis and implications,
Extention of ethical reasoning: caring for others’ motive-intra & intergeneration equity (i.e. contemporary poor and future people); instrumental value in nature
Further extention of ethical reasoning: interrest of the collective take precedence over those of the individual; primary value of ecosyatems and secondary value of component functions and services
WEAK
STRONG
Berarti pilihan ada di antara
Scale reduction imperative; at the extreme for some there is a literal interpretation of Gala as personalized agent to which moral obligation are owned
Acceptance of bioethics (i.e. moral right/interest conferred on all non-human species and even abiotic parts of the environment); intrinsic value in nature (i.e. valuable in its own right regardless of human experience), VERY STRONG
ideologi Technocenric_Accomodating
ataukah pada ideologi Ecocentric_Communalism. Dari sisi tentang label keberlanjutannya, ideologi communalism cukup penting bagi masyarakat kita. Tetapi ideologi communalism berimplikasi pada tututan perilaku setiap warga sedimikian rupa agar pertumbuhan perekonomian dan pertumbuhan penduduk
99
sampai ke level zero. Prasyarat ini sangat berat sehingga pilihan kepada ideologi ini juga tidak realistis pada periode atau fase pembangunan di Indonesia saat ini pada umumnya. Dengan demikian untuk masa sekarang bagi Indonesia secara umumnya, pilihan ideologi Technocentric_Accomodataing adalah pilihan yang realistis. Walaupun jaminan keberlanjutan dalam idelogi ini memang masih rendah (weak sustainability), namun surplus hasil-hasil pembangunan ekonomi bisa kita investasikan untuk pengembangan human resource melalui pendidikan dan riset untuk mengejar ketertinggalan teknologi, membangun kelembagaan, membangun pranata hukum, maupun social capital agar mampu memasuki taraf perekonomian pola Kuznets dan mampu keluar dari perangkap perekonomian Marxian (Hayami, 2001). Dengan perkembangan ini kita mempunyai kesempatan untuk melanjutkan dan beralih ke ideologi lingkungan ke Ecocentric_Communalism yang mempunyai indikator keberlanjutan pembangunan yang besar itu. Dengan begitu, maka kontinum ideologi tersebut perlu untuk dicapai agar pembangunan dapat dicapai secara berkesinambungan sesuai dengan fase perkembangan ekonomi wilayahnya.
3.2.2 Asumsi yang Dipergunakan Beberapa asumsi yang perlu untuk dipenuhi dalam pengembangan model pemecahan masalah ini adalah: (1) Pertumbuhan populasi masih melampaui pertumbuhan bahan pangan maupun pertumbuhan sektor industri, ketika upah riil mulai naik secara sementara, (2) Variabel L, I dan E saling bebas dan memenuhi asas aditivitas, dan (3) Kebocoran wilayah maupun sebaliknya dapat diabaikan.
3.3 Hipotesis yang Diajukan Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini meliputi: (1) Untuk pencapaian target indeks pembangunan manusia ke depan tidak ada toleransi bagi adanya deforestasi lebih lanjut baik untuk di subwiayah hulu maupun hilir.
100
(2) Faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah [(L)eadership; (I)nstitution
dan
(E)ntrepreneurship]
berpengaruh
nyata
terhadap
pertumbuhan pangsa sektor industri, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia. (3) Hutan rakyat, hutan negara maupun akses kepada pasar berpengaruh nyata terhadap pendapatan per kapita di sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia. (4) Faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah dapat digunakan secara handal untuk merancang praksis pembangunan wilayah secara berkesinambungan jika ditopang oleh kinerja sumber daya hutan. (5) Kinerja kewiraushaaan atau (E)ntrepreneurship dari kalangan industri kecil lebih efektif untuk dijadikan penghela proses transformasi struktural perekonomian wilayah dibandingkan kinerja E dari kalangan industri sedangbesar, (6) Kerapatan jumlah koperasi (sebagai pewakil bagi L) berperan positif nyata bagi pengembangan kinerja E dan intensitas kejahatan (sebagai pewakil bagi I) adalah sebaliknya, (7) Rezim tata pemerintahan (RZ) berpengaruh nyata terhadap kinerja faktor endogenik dan pertumbuhan pangsa industri, pertumbuhan ekonomi, dan indekss pembangunan manusia (HDI).
(8) Perilaku fiskal (yang meliputi pajak-retribusi daerah, belanja aparatur, belanja publik, dan belanja bantuan sosial) dari pemerintah Provinsi Lampung berpengaruh nyata terhadap kinerja faktor endogenik dan kemudian juga berpengaruh pada pertumbuhan pagsa sektor industri, pertumbuhan ekonomi dan akhirnya pada HDI secara agregat di Provinsi Lampung.
(9) Di bawah skema reforestasi, alokasi pembelanjaan kombinasi antara belanja publik dengan belanja sosial akan lebih efektif dalam peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah Pemerintah Provinsi Lampug ketimbang alokasi seluruhnya untuk belanja publik jika keefektivan ersebut diukur dengan indeks nilai tukar petani maupun HDI.
101
4. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan April sampai September 2011, Provinsi Lampung dipilih sebagai unit analisis wilayah. Lebih lanjut untuk mengetahui peranan hulu maupun hilir dalam membangkitkan tingkat kesejahteraan di wilayah Provinsi ini, maka Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus diperlakukan sebagai subwilayah hulu (HU), sedangkan kedua kota beserta kedelapan kabupaten selainnya diperlakukan sebagai subwilayah hilir (Gambar 1). Pengumpulan data sekunder dilakukan pada berbagai instansi, meliputi tingkat Nasional (yaitu BPS Nasional, Pusat Penelitian Tanah & Agroklimat, dan Badan Planologi Kehutanan) maupun di tingkat Provinsi Lampung (yaitu BPS Provinsi,
BMKG Provinsi Lampung, Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan,
BPDAS Seputih-Sekampung, Dinas Koperindag dan Bank Indonesia Cabang Lampung). Analisis data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
4.2 Pelaksanaan Penelitian 4.2.1 Penentuan Toleransi Ambang Deforestasi Lanjutan Pendekatan yang digunakan adalah pemodelan. Untuk mengalisis hubungan antara tingkat kesejahteraan ataupun kerusakan lingkungan terhadap karakteristik sumberdaya wilayah digunakan model linear berganda. Variabel terikat yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia [HDI] untuk 10 kabupaten/kota di lingkup Provinsi Lampung tahun mendatang [HDIt+1]. Kecuali itu juga digunakan intensitas banjir [FLOOD] dan kelongsoran tanah [LSLIDE] sebagai pewakil dari degradasi lingkungan yang dinyatakan dengan persentase desa-desa yang mengalami kedua bencana itu dalam kurun 2003-2005 dan 20062008 (BPS Provinsi Lampung, 2006b dan 2009b diolah). Adapun variabel penjelas yang digunakan meliputi proporsi penggunaan lahan di setiap kabupaten/kota, yang meliputi hutan rakyat [HR], hutan negara [HN], lahan terdegradasi [LDEG], sawah [SWH], ―perkebunan kopi rakyat‖
102
[COFF], perkebunan besar [ESTPL], kolam [POND], perladangan berpindah [SHIFT], lahan bera [FALLOW] dan rawa [SWAMP] yang diekstrak dari BPS Provinsi Lampung (2006a dan 2009a) kecuali untuk [COFF] diekstrak dari BPS Provinsi Lampung (2006b dan 2009b). Selain itu juga digunakan variabel curah hujan tahunan [CH] (BMKG, 2011 tidak dipublikasi). Adapun status urbanisme dinyatakan dengan dummy variable. Begitu juga dengan bentang lahan, jenis batuan dominan yang melandasi setiap kabupaten/kota diekstrak dari CSR (1989) yang proses penyiapannya disajikan pada Tabel 8.
Table 8. Dummy variables untuk Pemodelan Tinngkat Kesejahteraan dan Kinerja Lingkungan, Simbol, Cara Ekstraksi dan Pengolahan Datanya Variable Regional Fisik
Simbol
Skornya
Akuisi data, langkah-langkah ekstarksi serta pengolahannya
Dummy Rural Vs Urban
[D1_URBAN]
D1=1, jika kota D1=0, kabupaten
Diambil dari data statitik, Diskor =1 jika berstatus kota, dan= 0 jika Kabupaten
[D2_VOLC]
D2=1, jika volkanik D2=0, jika lainnya
Digitasi Peta Satuan Tanah dan Lahan LREPP I(CSR, 1989) , “ditumpang-tidihkan” dengan Peta Administratif Provinsi Lampung yang telah didigitasi sebelumnya, Ditemukan 3 jenis batuan induk pembentuk tanah yang dominan: batuan sedimen, volkanik dan plutonik, Lalu dihitung persentase luasan di tiap kabupaten/kota, persentase terbesar dianggap sebagai pewakil, Berdasarkan ketahanan tanah yang terbentuk terhadap erosi, ke tiga jenis batuan itu diklasifikaskian secara meningkat berturut-turut sedimen, volkanik, dan plutonik Selanjutnya disajikan dalam bentuk dummy variables [D2_VOLC] dan [D3-PLUT] batuan sedimen sebagai referensi, Juga dilakukan prosedur yang sama untuk medapatkan dummy variables [D4_HILL] dan [D5_MOUNT] dimana bentang lahan dataran, dataran alluvium, dan dataran pantai diperlakukan sebagai referensi,
Dummy of Sedimentary Vs Volcanic Rocks Dummy of Volcanic Vs Plutonic Rocks
[D3_PLUT]
Dummy of Plain Vs Hilly Terrain
[D4_HILL]
Dummy of Hilly Vs Mountainous Terrain
[D5-MOUNT]
D3=1, jika plutonik D3=0, jika lainnya D4=1, jika Perbukitan D4=0, jika lainnya
D5=1, jika bergunung D5=0, jika lainnya
Adapun bentuk ketiga model tersebut disajikan sebagai berikut: [HDI]i(t+1) = β1 + β2[HR]it + β3[HN]it + β4[LDEG]it + β5[SWH]it + β6[COFF]it + β7[ESTPL]it + β8[SHIFT]it + β9[FALLOW]it + β10[POND]it + β11[SWAMP]it + β12[CH]it + β13[D1_URBAN]it + β14[D2_VOLC]it + β15[D3_PLUT]it + β16[D4_HILL]it + β17[D5_MOUNT]it + β18[HDI]it+ τit
{4.1} [FLOOD]it= γ1 + γ2[HR]it + γ3[HN]it + γ4[LDEG]it + γ5[SWH]it + γ6[COFF]it + γ7[ESTPL]it + γ8[SHIFT]it + γ9[FALLOW]it + γ10[POND]it + γ11[SWAMP]it + γ12[CH]it + γ13[D1_URBAN]it + γ14[D2_VOLC]it + γ15[D3_PLUT]it + γ16[D4_HILL]it + γ17[D5_MOUNT]it + εit
{4.2}
103
[LSLIDE]it = λ1 + λ2[HR]it + λ3[HN]it + λ4[LDEG]it + λ5[SWH]it + λ6[COFF]it + λ7[ESTPL]it + λ8[SHIFT]it + λ9[FALLOW]it + λ10[POND]it + λ11[SWAMP]it + λ12[CH]it + λ13[D1_URBAN]it + λ14[D2_VOLC]it + λ15[D3_PLUT]it + λ16[D4_HILL]it + λ17[D5_MOUNT]it+ πit {4.3} Persediaan data untuk optimasi parameter model disajikan dalam Lampiran (Tabel 3). Optimasi parameter dilakukan dengan piranti lunak pengolah data statistik. Dalam optimasi ini ternyata didapat model dugaan terbaik dengan menggunakan: (a) Semua data (20 seri yaitu data tahun 2005 dan 2008 untuk 10 kabupaten/kota) baik untuk model Pers. {4.1} maupun Pers.{4.2}. (b) Hanya 13 seri data untuk model Pers. {4.3}, yaitu data tahun 2005 untuk Kabupaten Lampung Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara, Tulang Bawang, Bandar Lampung, Kota Metro berserta data tahun 2008 untuk Kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara, Way Kanan dan Kota Bandar Lampung.
Hasil parameter dugaan model disajikan pada Tabel 2.4.
Hasil ini
digunakan untuk menentukan tingkat ambang deforestasi yang masih dapat ditoleransi, yaitu tingkat deforestasi yang tidak menurunkan tingkat kesejahteraan dengan laju peningkatan degradasi lingkungan yang masih dalam taraf rasional. Untuk itu, telah dilakukan simulasi deforestasi dengan cara mereduksi terhadap luasan hutan rakyat [HN], hutan negara [HR], dan pengurangan perkebunan kopi [COFF] semuanya sebesar 5, 10, 15, 20, 25, 30 dan 50% sekaligus dialokasikan untuk penggunaan perkebunan besar [ESTPL]. Dengan begitu dapat diketahui nilai akhir dari [HDI]t+1, perubahan [LSLIDE]t dan [FLOOD]t dari tiap kabupaten/kota yang berada dalam lingkup Provisi Lampung. Lebih lanjut hasil-hasil tersebut dikelompokkan antara yang berada di subwilayah hulu maupun hilir. Dalam hal ini rataan hasil Kabupaten Lampung Barat
dengan Kabupaten Tanggamus dikelompokkan sebagai
subwilayah hulu [HU] sedangkan kelompok kabupaten/kota selainnya sebagai subwilayah hilir [HI].
104
Simulasi pengurangan [COFF] perlu dilakukan mengingat perkebunan kopi di Provinsi Lampung umumnya merupakan perkebunan rakyat dan yang terluas ditaman di kawasan hutan negara dengan kultur teknis berupa wanatani (agroforestry) sehingga sering menjadi subyek akan masalah ekolabeling yang dapat menekan ekspor kopi nasional yang juga dapat berujung pada kemerosotan kesejahteraan petani maupun masyarakat Provinsi Lampung secara keseluruhan. Dalam pada itu, resiko konversi ―kebun kopi‖ menjadi penggunaan lain, dalam beberapa aspek dapat dipandang setara dengan deforestasi. Adapun pemilihan dipilih perkebunan besar [ESTPL] yang menjadi alokasi penggunaan lahan berikutnya, mengingat pola penggunaan lahan perkebunan besar dapat dipandang sebagai suatu sistem pertanian yang masih relatif kurang intensif dengan tanaman utama berupa pohon. Kecuali itu, perluasan areal untuk penggunaan lahan [ESTPL] seperti kelapa sawit dan karet di Provinsi Lampung relatif berkaitan dengan kemudahan aksesnya terhadap permodalan maupun kekuatan lainnya. Kriteri yang digunakan untuk menentukan nilai ambang toleransi deforestasi ada 3 yaitu: (i) [HDI]t+1 untuk hulu >70,52 untuk hilir >71,28; (ii) peningkatan [LSLIDE]<10%; dan (iii) peningkatan [FLOOD]<10%.
Untuk
kriteria yang pertama diambil dari angka [HDI]2009 masing-masing untuk rataan kelompok kabupaten di subwilayah hulu dan subwilayah hilir. Sedangkan kriteria yang ke dua dan ke tiga dipadang sebagai ukuran resiko yang masih rasional sebagai akibat dari dampak kegiatan pembangunan. Ukuran rasional tersebut dibandingkan dengan kejadian riil seperti dapat dirujuk dalam catatan statistik periode 2003-2005 dan periode 2006-2008 telah terjadi eskalasi kedua macam bencana itu hampir dua kalinya yaitu berturut-turut dalam periode 2003-2005 (BPS Provinsi Lampung, 2006b) dan dalam periode 2005-2008 (BPS Provinsi Lampung, 2009b) adalah 3,61% to 6,43% dan 1,20% to 2,14%.
4.2.2 Metode Perencangan Praksis Pengembangan Wilayah Di bawah kendala sumberdaya yang ada (yaitu gejala Ricardian Trap), kesejahteraan masyarakatnya harus terus dikembangkan. Kata praksis dalam penelitian ini adala suatu praktek yang dibimbing teori. Adapun dasar teori yang sangat relevan untuk digunakan dalam konteks permasalahan yang ada di Provinsi
105
Lampung setidaknya ada 3 teori besar yaitu: (1) teori kendala sumberdaya, (2) teori transformasi struktural perekonomian dan (3) teori pertumbuhan endogenik. Teori yang ke tiga merpuakan muara dari kedua teori lainnya, Oleh karena itu, dipilih postulat model yang telah dikembangkan oleh Stimson dan Stough (2008) yang merupakan suatu usulan agar para peneliti mengembangkan metode karakterisasi berbagai variabel yang dapat digunakan sebagai pewakil (surrogate) dalam model pertumbuhan ekonomi secara endogenik dalam perencanaan pembangunan wilayah. Selain itu berdasarkan teori modernisasi maka transformasi struktural perekonomian di wilayah ini haruslah diarahkan untuk peningkatkan pangsa relatif sektor industri [IND_SH] khususnya agroindustri, perdagangan dan jasajasa [OTH_SH], yang sekaligus untuk menurunkan peran pangsa relatif di sektorsektor primer yaitu pertanian [AGR_SH] dan pertambangan [MIN_SH]. Dengan kata lain, pertumbuhan pangsa sektor industri [G_IND_SH] harus positif agar dapat menampung tenaga kerja dari sektor-sektor pertanian yang telah mengalami penurunan produktivitas marginal dengan semakin bertambahnya tenaga kerja tersebut. Tetapi di sisi lain, untuk melandasi proses transformasi struktural tersebut nilai total produk pertanian harus selalu ditingkatkan untuk menopang perkembangan industri maupun untuk penyediaan bahan pangan murah. Penyediaan pangan murah merupakan implikasi dari perilaku para wirausahawan (entrepreneur) kapitalis yang sulit dikontrol, yaitu akan selalu menekan upah buruh sampai pada level subsisten. Dengan adanya [G_IND_SH] yang bersifat positif terhadap pertumbuhan ekonomi [G_ECONM] tersebut, maka pertumbuhan sektor-sektor selainnya seperti perdagangan, komunikasi, konstruksi dan jasa-jasa [G_OTH_SH] juga dapat distimulasi perkembangannya. Dengan begitu maka dapat diharapkan pertumbuhan ekonomi endogenik yang akan menjamin berkesinambungan. Namun karena pertumbuhan ekonomi itu sifatnya antidistribusi, maka persoalannya kemudian bermuara pada etika, kepada siapa saja capaian akumulasi kapital tersebut pantas dan adil untuk didistribusikan. Mengingat akumulasi kapital tersebut dilecut oleh sektor industri yang harus ditopang oleh pertumbuhan
106
pendapatan perkapita di sektor pertanian, maka distribusi ―kue‖ hasil pembangunan tersebut sangatlah etis bila dirancang untuk peningkatan daya beli petani. Bila daya beli petani meningkat, maka konsumsi dan sekaligus kinerja kesehatannya juga dapat diharapkan meningkat, yang pada akhirnya mampu mengakses pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri merupakan kapital pokok dalam pertumbuhan ekonomi secara endogenik. Dengan begitu berarti pula bahwa cara pendistribusian tersebut juga merupakan rancangan yang strategis sifatnya untuk mencapai pembangunan wilayah yang memiliki harapan berkesinambungan itu sendiri. Berdasarkan atas ketiga teori pokok dan pilihan etika tersebut, maka rancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah Provinsi Lampung dapat disajikan seperti pada Gambar 18.
4.2.3 Variabel untuk Perancangan Praksis Pembangunan Wilayah, Sumber Data dan Prosedur Ekstraksinya Seluruh variabel yang digunakan untuk perancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah di Provinsi Lampung, simbol-simbol dan proksi yang digunakan, sumber data dan prosedur ekstraksinya disajikan dalam Tabel 9. Sebagaimana yang diadopsi dari postulat aslinya (lihat Stimson dan Stough, 2008), maka beberapa variabel yang digunakan dapat dirinci sebagai berikut.
(1) Kinerja Resource Endowment yang Dipilih Segala sesuatu yang telah tersedia di suatu wilayah yang dapat digunakan sebagai sumberdaya untuk berbagai kegiatan pereknomian yang dapat diperoleh tanpa memerlukan investasi khusus dikenal sebagai sumberdaya anugearh atau (Re)sourec endowment. Dalam penelitin ini dipilih sumberdaya hutan sebagai variabel Re. Argumentasi yang penting untuk dikemukakan di sini adalah bahwa sumberdaya hutan merupakan suatu sumberdaya alam yang cukup luas (yaitu sekitar 1 juta Ha) di Provinsi Lampung yang awalnya digunakan sebagai modal pembangunan. Kini sekalipun telah terdegradasi akut, fungsi instrisiknya sumberdaya ini (sebagai penyedia jasa hidrologis, jasa ekologis kawasan, jasa biodiversitas, jasa sekuestrasi karbon maupun jasa amenitas lingkungan) tetap harus difungsikan agar tetap mampu menopang perekonomian wilayah melalui
107
pertumbuhan total volume pertanian sebagai resource base untuk melandasi proses transformasi struktural perekonomian wilayah melalui batu pijakan pengembangan agroindustri (lihat Affandi, 2009). Dalam penelitian ini Re diproksi menggunakan luas tuutupan hutan, Sehubungan dengan pilihan ini luasan tutupan hutan dibedakan untuk hutan rakyat [HR] dan hutan negara [HN]. Motif pemisahan ke dalam kedua macam kelompok hutan tersebut dimaksudkan untuk memperbandingkan perbedaan property right dari Re tersebut terhadap kinerja pertumbuhan pendapan per kapita di sektor pertanian dan akhirnya pada kinerja pembangunan ekonomi wilayah. Adanya perbedaan
respon
tersebut
punya
implikasi
penting
khususnya
dalam
pengembangan insentif agar keberadaan keduanya tetap lestari, terhindar dari deforestasi lanjutan maupun untuk menekan sebarannya agar tidak meluas. Dengan begitu fungsi instrinsiknya dapat dipulihkan untuk menopang seluruh aktivitas perekonomian maupun seluruh aktivitas perikehidupan (life support system) di wilayah Provinsi Lampung.
Kecuali itu, kedua jenis tutupan hutan
tersebut juga dipisahkan antara yang berada di subwilayah hulu [HU] dan subwilayah hilir [HI], utamanya dimaksudkan untuk menangkap pengaruh yang dapat dibangkitkan oleh jasa hidro-orologis kawasan.
(2) Kinerja Market Tapping yang Digunakan Dalam abad kontemporer seperti dewasa ini, hampir tidak ada wilayah yang dapat berdiri sendiri, tidak ada yang tidak berhubungan dengan wilayah lain bahkan dengan belahan dunia yang lain. Tangkapan terhadap peluang pasar atau (M)arket tapping oleh para pakar ekonomi geografi dipandang sebagai suatu determinan penting bagi perkembangan suatu wilayah. Dalam konteks penelitian ini, variabel M diproksi dengan kerapatan jalan beraspal per 10 ribu Ha wilayah atau [JL]. Perlu disadari di sini bahwa pengaruhnya tidak selalu positif, karena semakin baik [JL] dapat juga menyebabkan berbagai produk langsung diangkut ke luar wilayah atau malah diekspor tanpa diolah terlebih dahulu yang berarti akan menyebabkan hilangnya nilai tambah atau yang dikenal sebagai kebocoran wilayah (regional leakage). Tetapi mungkin juga sebaliknya dengan semakin
108
berkembangnya [JL] dapat menjadi insentif bagi para wirausahaan untuk melakukan investasi di wilayah yang bersangkutan. Dalam penelitian ini M juga dipisahkan yang berada di subwilayah hulu [HU] terhadap yang berkembang di subwilyah hilir [HI].
Pemisahan ini juga dimaksudkan untuk menangkap
pengaruh geografis atau geomorfologis wilayah terhadap kinerja faktor endogenik maupun responnya terhadap kinerja pembangunan wilayah.
(3) Kinerja Kepemimpinan atau Leadership yang Digunakan Dalam penelitian ini pengertian kepemimpinan atau (L)eadership mengadopsi pemikiran kotemporer dari De Santis dan Stough (1999). Kedua pakar ini memandang bahwa dalam dunia yang sudah semakin mengglobal seperti dewasa ini kepemimpinan tidak bisa lagi dipandang seperti dalam pengertian tradisional, yang menempatkan seorang pemimpin sebagai sentral pembuat keputusan, one man show, yang dipisahkan secara tegas dengan para pengikutnya. Dalam pandangan De Santis dan Stough (1999) L harus dipandang sebagai tendensi atau afinitas dalam suatu masyarakat untuk berkolaborasi dalam berbagai sektor kehidupan. Argumentasi yang diajukan oleh kedua pakar ini adalah bahwa perekonomian wilayah tidak mungkin ditetukan atau bergantung atau dijalankan oleh satu ataupun beberapa orang saja, melainkan akan selalu melibatkan banyak partisipan. Semakin banyak partisipan yang terlibat maka akan semakin besar perkembangan aktivitas perekonomian di suatu wilayah yang berarti semakin besar pula aktivitas seluruh derap kehidupan. Sehubungan definisi tersebut, untuk konteks Indonesia pada umumnya dan untuk Provinsi Lampung pada khususnya maka koperasi [KOP] dapat digunakan sebagai proksi dalam penelitian ini. Karakter organisasi perekonomian ini dipandang cocok dengan kinerja L seperti yang dimaksudkan oleh De Santis dan Stough (1999) tersebut. Oleh karena itu, kerapatan jumlah koperasi dapat dipandang sebagai kinerja L di suatu wilayah. Dalam penelitian ini [KOP] juga dipisahkan antara yang berkembang di subwilayah hulu [HU] dengan yang berkembang di hilir. Dengan begitu diharapkan dapat ditangkap secara makro pengaruh biofisik di kedua subwilayah tersebut melalui derajat untuk berinteraksi, pengaruh kenyamanan lingkungan terhadap karakter masyarakat yang kemudian
109
pada kebutuhan untuk bersinergi, bertransaksi, timbulnya konflik ataupun untuk akomodasi dan berkolaborasi yang sangat penting bagi perkembangan setiap koperasi.
(4) Kinerja Kelembagaan atau (I)nstitusi Kelembagaan atau (I)nstitution merupakan tata aturan atau norma-norma yang hidup dan dipelihara oleh suatu komunitas (Hayami, 2001).
Karena I
merupakan tata aturan yang hidup, maka di dalamnya memuat sanksi-sanksi yang mengikat para warganya.
Aturan tersebut dapat berupa konvensi yang tidak
tertulis maupun yang tertulis seperti produk hukum formal dan sebagainya. Namun demikian dunia ini tidak pernah absen dari para pemburu rente (free rider) sehingga tidak setiap tata aturan ataupun norma yang ada tersebut efektif dalam mengikat para warganya. Banyak sekali mungkin aturan yang disepakati dan diberlakukan, tetapi banyak pula yang melanggar.
Artinya institusi tersebut
belum tentu efektif. Keefektivam I akan sangat menjadi penentu perkembangan ekonomi wilayah. Sehubungan itu maka dalam penelitian ini kinerja atau keefektivan I diproksi dengan intensitas kejahatan [KJ], kerapatan tempat ibadah [IBD], banyaknya atau kerapatan organisasi kemasyarakatan [ORG], dan kerapatan jumlah relawan. Bila di suatu wilayah banyak kejahatan itu berarti institusiinstitusi yang ada tidak efektif, dan tentunya tidak akan banyak orang yang mau datang ke wilayah tersebut apalagi untuk melakukan investasi karena keamanan yang tidak terjamin. Namun tempat ibadah [IBD] merupakan suatu ruang publik (public sphere) tempat masyarakat untuk bertemu, berkumpul, membangun pemahaman bersama (mutual understanding), bermusyawarah, bertansaksi berbagai ide dan gagasan, membangun pengetahuan dan sekaligus tempat untuk membangun moral atau moral code formation (Hayami, 2001) yang kemudian dapat saling menghargai property right, membentuk jejaring, membangun trust dan akhir membangkitkan berbagi ide kreatif yang dapat bermuara pada transaksitransaksi yang bermotifkan ekonomi. Proses-proses semacam ini juga dapat melahirkan perkembang organisasi sosial kemasyarakatan [ORG].
110
Demikian pula dengan [RLW], yang menggambarkan suatu fihak yang mencari kepuasan diri melalui aktualisasi sifat altruism, menekan sifat egoism maupun aktualisasi jiwa filantropia. Dengan makin besarnya [RLW] di suatu wilayah berarti telah terjadi akumulasi norma-norma yang kuat, yang berarti pula dapat diharapkan telah terjadi peningkatan keefektivan I. Karena itu juga dapat diharapkan berelasi secara positif terhadap kinerja perkembangan perekonomian wilayah. Lebih lanjut proksi-proksi tersebut juga dibedakan antara yang berekembang di subwilayah hulu [HU] dengan di hilir, agar dapat mengangkap pengaruh perbedaan kondisi biofisik wilayah tersebut seperti yang telah diuraikan dalam mempengaruhi kinerja L tersebut.
(5) Kinerja Kewirausahaan atau (E)ntreperenurship Wirausahawan atau (E)ntrepreneur adalah orang yang mampu melihat suatu peluang baru untuk memperoleh suatu keuntungan di pasar (Kitzner, 1976 dikutip Hien, 2010). Dalam konteks penelitian ini kinerja E diproksi dengan kerapatan industri kecil [IKC] dan industri besar-sedang [IBS]. Pilihan ini selain dimaksudkan sebagai proksi bagi agen pembaharu atau inovator, kerapatan industri diharapkan juga dapat menjadi penjelas bagi perkembangan proses transformasi struktural perekonomian di Provinsi Lampung. Digunakan dikotomi antara [IKC] terhadap [IBS] dimaksudkan untuk menangkap peran atau kontribusi masing-masing kelompok industri tersebut dalam perkembangan atau proses transformasi struktural perekonoman wilayah ini. Kecuali itu pembedaan tersebut penting berkaitan dengan perbedaannya dalam skala usaha, daya serap tenaga kerja, akses terhadap permodalan maupun akses terhadap kekuatan sosial politik lainnya. Mengingat kinerja E sangat dipengaruhi oleh keefektivan I maupun kekuatann L maka dalam penelitian ini juga dipisahkan menurut subwilayah hulu aupunn hilir. Dengan begitu maka pengaruh biofisik wilayah terhadap kinerja I maupu L akhirnya juga akan bermuara pada kinerja E. Dengan begitu pula peranan fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung juga dapat diguanakan untuk stimulus perkembangan E melalui penguatan kinerja I maupun L.
111
Masalah Stagnasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah
Kinerja dari:
Kinerja Faktor Endogen Pertumbuhan Ekonomi Wilayah:
(Re)source Endowment: Tutupan Hutan Rakyat [HR] & Hutan Negara [HN] (M)arket Tapping: Kerapatan Akses Jalan [JL]
(L)eaderships: Kerapatan Jumlah Koperasi [KOP] (I)nstitution: Kerapatan Tempat Ibadah [IBD], Intensitas Kejahatan [KJ], Ormas [ORG], dan Relawan [RLW]
Persamaan V
Persamaan I sampai IV
Pertumbuhan Pendapatan/Kapita Sektor Pertanian [G_INCP_AGR]
(E)ntreprenuership: Kerapatan Industri Kecil [IKC] & Industri BesarSedang [IBS]
Persamaan VI Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri [G_IND_SH]
Persamaan VII Pertumbuhan Ekonomi Wilayah [G_ECONM] Persamaan VIII Nilai Tukar Petani [NTP] Persamaan IX Kinerja Human Development Index [HDI]
Gambar 18. Rancangan Praksis Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung
112
Tabel 9. Variabel yang Digunakan unuk Perancangan Praksis, Simbol, Proksi, Sumber Data dan Prosedur Ekstraksinya No
Variabel
Simbol
(A)
(B)
(C)
Diproksi dengan (D)
1.
Kinerja Resource Endowment
Re
Luas hutan
Sumber Data (E) 1) 2) Periode 19921999: BPS (19932000)
3) Untuk tahun 2003 dari Bapplan, untuk 2005 dan BPDAS, untuk 2008 dari Meneg LH
Presedur Akuisisinya (F) Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir dan hutan rakyat vs hutan negara maka diperoleh [HR_HU], [HR_HI], [HN_HU], dan [HN_HI] dinyatakan dalam puluh ribu ha Digitasi ulang hasil interpretasi Citra Landsat ETM+5 Ditumpangtindihan dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan serta Peta Administratif Provinsi Lampung yang telah didigitasi sebelumnya Dikekstrak menurut HR_HU], [HR_HI], [HN_HU], dan [HN_HI] dinyatakan dalam puluh ribu ha
2.
Kinerja Market Tapping
M
Kerapatan Jaringan Jalan beraspal (km) per 10 ha luas wilayah (JL)
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung
Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir dan huan rakyat vs hutan negara maka diperoleh [JL_HU] dan [JL_HI]
3.
Kinerja Leadership
L
Kerapatan koperasi per 10 ribu penduduk (KOP)
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung
Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [KOP_HU] dan [KOP_HI]
4.
Kinerja Institusi
I
1) Intensitas Kejahatan per 10 ribu penduduk (KJ) 2) Kerapatan Organisasi Sosial per 10 ribu penduduk (ORG) 3) Kerapatan Relawan Relawan Sosial per 10 ribu penduduk (RLW) 1) Kerapatan Industri Kecil per 10 ribu penduduk (IKC) 2) Kerapatan Industri BesarSedang per 10 ribu penduduk
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung
Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [KJ_HU] dan [KJ_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [ORG_HU] dan [ORG_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [RLW_HU] dan [RLW_HI]
5.
Kinerja Entrepreneurship
E
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung (1997-2009) Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari BPS Kabupaten Kota se Provinsi Lampung (1997_2009) Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009)
Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [IKC_HU] dan [IKC_HI] Diekstrak per kabupaten/kota, Dipisahkan hulu vs hilir Dibagi dengan jumlah penduduk hulu Vs hilir dikali 10 ribu, maka diperoleh [IBS_HU] dan [IBS_HI]
113
Tabel 9. (Lanjutan) (A)
(B)
(C)
(D)
(E)
(F)
7.
Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita di Sektor Pertanian
G_INCP_AGR
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor pertanian harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dibagi jumlah penduduk Provinsi Lampung Dicari % pertumbuhan tiap tahun
8.
Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri
G_IND_SH
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor industri harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya
9.
Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertanian
G_AGR_SH
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor pertanian harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya
10.
Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertambangan
G_MIN_SH
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor pertambangan harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya
11.
Pertumbuhan Pangsa Sektor selainnya
G_OTH_SH
Langsung
Untuk Periode tahun 1996-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 2001, 2006, 2009),
Data PDRB sektor-sektor selainnya harga konstan tahun 2000 diestrak tersendiri menurut runtun waktu Dicari % pertumbuhan tiap tahunnya
12.
Pertumbuhan Ekonomi
G_ECONM
Langsung
Untuk Periode tahun 1993-2008 dari Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung 1995, 2001, 2006, 2009),
Data % pertumbuhann ekonomi menurut harga konstan tahun 2000 diekstrak secara langsung
13.
Indek Nilai Tukar Petani
NTP
Langsung
Untuk Periode tahun 1993-2008 Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia (BPS 1997 sampai 2009),
Data asli tahunan diekstrak secara langsung
114
Tabel 9. (Lanjutan) (A)
(B)
(C)
(D)
(E)
(F)
14,
Indek Pembangunan Manusia
HDI
Langsung
Untuk Spot tahun 1996,1999-2003 dari Indikator Kesra Provinsi Lampung (BPS Provinsi Lampung (2004); Untuk Periode 20002009 dari BPS Provinsi Lampung (2010)
Dat asli tahunan diekstrak secara langsung
15,
Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi
TAX
Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung
Diekstrak per tahunan
16
Belanja Aparatur Daerah Provinsi
S_APRT
Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009) Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009)
17,
Belanja Publik Daerah Provinsi
S_PUBL
Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009)
Diekstrak per tahunan
18,
Belanja Bantuan Sosial Daerah Provinsi
S_SOC
Intensitas pajak dan retribusi daerah Provinsi Lampung
Untuk seluruh tahun dari 1996-2008 dari Statistik Industri Keuangan Daerah Besar_sedang (BPS Provinsi Lampung 1997-2009)
Diekstrak per tahunan
Diekstrak per tahunan
4.2.4 Bentuk Model dan Uji Hipotesis Implikasi dari praksis yang diajukan tersebut adalah pada urutan modelmodel persamaan dan pilihan metode analisis yang perlu digunakan.
Dari
Gambar 18 dapat diperiksa bahwa dalam rancangan praksis tersebut dibutuhkan 9 buah persamaan dan metode analisis. Analisis yang diperlukan adalah Analisis Persamaan Simultan. Adapun bentuk kesembilan persamaan tesebut dapat dirinci sebagai berikut:
115
(1) Kinerja Entrepreneurship Industriawan Kecil di Subwilayah Hulu Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan kecil yang berkembang di subwilayah hulu [IKC_HU] dimodelkan sebagai berikut: [IKC_HU]t= a1 + a2[KOP_HU]t-n + a3[KJ_HU]t-n + a4[IBD_HU]t-n + a5[RZ] + r1 {4.4} Uji model;
H0: a2 =a3=a4 =a5=0 H1: Ada a1, a2 , a3, a4, atau a5 ≠ 0
dalam hal ini, [IKC_HU] [KOP_HU] [KJ_HU] [IBD_HU] [RZ] a1 sampai a5 T
: : : : : : :
Kerapatan industri kecil/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r1= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya: a2, a4, dan a5>0 sedangkan a2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.4} ini adalah data tahun 1995 sampai dengan tahun 2008.
(2) Kinerja Entrepreneurship Kalangan Industriawan Besar-Sedang di Subwilayah Hulu Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan besar dan sedang yang berkembang di subwilayah hulu [IBS_HU]dimodelkan sebagai berikut: [IBS_HU]t= b1 + b2[KOP_HU]t-n + b3[KJ_HU]t-n + b4[IBD_HU]t-n + b5[RZ] + r2 {4.5} Uji model;
H0: b2 =b3=b4 =b5=0 H1: Ada b1, b2 , b3, b4, atau b5 ≠ 0.
dalam hal ini, [IBS_HU] [KOP_HU] [KJ_HU]
: : :
Kerapatan industri besar- sedang/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hulu
116
[IBD_HU] [RZ] b1 sampai b5 t
: : : :
Kerapatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hulu Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r2= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag).
Nilai harapannya: b2, b4, dan b5>0 sedangkan b2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.5} ini adalah data tahun 1995 sampai dengan tahun 2008.
(3) Kinerja Entrepreneurship Kalangan Industriawan Kecil di Subwilayah Hilir Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan kecil yang berkembang di subwilayah hilir [IKC_HI] dimodelkan sebagai berikut: [IKC_HI]t= c1 + c2[KOP_HU]t-n + c3[KJ_HU]t-n + c4[IBD_HU]t-n + c5[ORG_HU]t-n + c6 [RLW_HU] t-n + c7[RZ] + r3 {4.6} Uji model;
H0: c2 =c3=c4 =c5= c6= c7=0 H1: Ada c1, c2 , c3, c4, c5, c6, atau c7 ≠ 0
dalam hal ini, [IKC_HI] [KOP_HI] [KJ_HI] [IBD_HI] [ORG_HI] [RLW_HI] [RZ] c1 sampai c7 t
: : : : : : : : :
Kerapatan industri kecil/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerpatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan organisasi masa/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan jumlah relawan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r3= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya: c2, c4, c5, dan c6 >0 sedangkan c2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.6} ini adalah data tahun 1996, 1997, 2001 sampai dengan tahun 2008.
(4) Kinerja EntrepreneurshipIndustriawan Besar-Sedang di Subwilayah Hilir Kinerja (E)nterpreneurship dari kalangan industriawan besar dan sedang yang berkembang di subwilayah hilir [IBS_HI]dimodelkan sebagai berikut:
117
[IBS_HI]t= d1 + d2[KOP_HU]t-n + d3[KJ_HU]t-n + d4[IBD_HU]t-n + d5[ORG_HU]t-n + d6 [RLW_HU]t-n + d7[RZ] + r4 {4.7} Uji model;
H0: d2 =d3=d4 =d5= d6= d7=0 H1: Ada d1, d2 , d3, d4, d5, d6, atau d7 ≠ 0
dalam hal ini, [IBS_HI] [KOP_HI] [KJ_HI] [IBD_HI] [ORG_HI] [RLW_HI] [RZ] d1 sampai d7 t
: : : : : : : : :
Kerapatan industri besar- sedang/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan tempat ibadah/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan organisasi masa/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan jumlah relawan/10 ribu penduduk di subwilayah hilir Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r4= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya: d2, d4, d5, d6, dan d7 >0 sedangkan d2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.7} ini adalah data tahun 1995 sampai dengan tahun 2008.
(5) Pertumbuhan Pendapatan Perkapita di Sektor Pertanian Adapun pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor pertanian untuk Provinsi Lampung [G_INCP_AGR] dimodelkan dengan: [G_INCP_AGR]t = e1 + e2[HR_HU]t-n + e3[HN_HU]t-n + e4[HR_HI]t-n + e5[HN_HI]t-n + e6 [JL_HU]t-n + e7 [JL_HI]t-n + e8[RZ] + r5 {4.8} Uji model;
H0: e2 =e3=e4 =e5= e6= e7= e8=0 H1: Ada e1, e2 , e3, e4, e5, e6, e7 atau d8 ≠ 0
dalam hal ini, [G_INCP_AGR] [HR_HU] [HR_HI] [HN_HU] [HN_HI] [JL_HU] [JL_HI] [RZ] e1 sampai e8 T
: : : : : : : : : :
Pertumbuhan pendapatan sektor pertanian/kapita di Provinsi Lampung Luas hutan rakyat di subwilayah hulu Luas hutan rakyat di subwilayah hilir Luas hutan negara di subwilayah hulu Luas hutan negara di subwilayah hilir Kerapatan jaringan jalan beraspal/10 ha di subwilayah hulu Kerapatan jaringan jalan beraspal/10 ha di subwilayah hulu Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r5= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag).
118
Nilai harapannya: e2,sampai e8 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.8} ini adalah data tahun 1994 sampai dengan tahun 1998 dan tahun 2000, 2004, 2006 dan 2008.
(6) Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri Sedangkan pertumbuhan pangsa sektor industri untuk Provinsi Lampung [G_IND_SH] dalam penelitian ini dimodelkan sebagai berikut:
[G_IND_SH]t = f1 + f2 [IKC_HU]t-n + f3 [IBS_HU]t-n + f4[IKC_HI]t-n + f5[IBS_HI]t-n + f6[G_INCP_AGR]t-n + f7[G_AGR_SH]t-n + f8[G_MIN_SH]t-n + f9[G_OTH_SH]t-n + f10[RZ] + r6 {4.9} Uji model;
H0: f2 =f3=f4 =f5= f6= f7= f8= f9= f10=0 H1:Ada f1, f2 , f3, f4, f5, f6, f7, f8, f9,atau f10 ≠ 0
dalam hal ini, [G_IND_SH] [IKC_HU] [IBS_HU] [IKC_HI] [IBS_HI] [G_INCP_AGR] [G_AGR_SH] [G_MIN_SH] [G_OTH_SH] [RZ] f1 sampai f10 t
: : : : : : : : : : : :
Pertumbuhan pangsa sektor industri di Provinsi Lampung Kerapatan industri kecil/10ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan industri besar-sedang/10ribu penduduk di subwilayah hulu Kerapatan industri kecil/10ribu penduduk di subwilayah hilir Kerapatan industri besar-sedang/10ribu penduduk di subwilayah hilir Pertumbuhan pendapatan sektor pertanian/kapita di Provinsi Lampung Pertumbuhan pangsa sektor pertanian di Provinsi Lampung Pertumbuhan pangsa sektor pertambangan di Provinsi Lampung Pertumbuhan pangsa sektor-sektor lain di Provinsi Lampung Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r6= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya f2 sampai f6 dan f10>0 sedangkan f7 dan f8<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.9} ini adalah data 1995 sampai 2008.
(7) Pertumbuhan Ekonomi Berkaitan dengan serangkaian model-model tersebut di atas maka pertumbuhan ekonomi untuk Provinsi Lampung dapat dimodelkan sebagai fungsi dari pertumbuhan pangsa sektor industri berikut: [G_ECONM]t = g1 + g2[G_IND_SH]t-n + g3[RZ] + r7 {4.10}
119
Uji model;
H0: g2 =g3=0 H1: Ada g1, g2 atau g3 ≠ 0
dalam hal ini, [G_ECONM] [G_IND_SH] [RZ] g1 sampai g3 T
: : : : :
Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung (%/th) Pertumbuhan pangsa sektor industri di Provinsi Lampung Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r7= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya g2 dan g3 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.10} ini adalah data tahun 1994 sampai 2009.
(8) Indeks Nilai Tukar Petani Adapun indekss nilai tukar petani [NTP] dimodelkan sebagai fungsi dari pertumbuhan ekonomi [G_ECONM] sebagai berikut:
[NTP]t = h1 + h2[G_ECONM]t-n + h3[RZ] + r8 {4.11} Uji model;
H0: h2 =h3=0 H1: Ada h1, h2 atau h3 ≠ 0
dalam hal ini, [NTP] [G_ECONM] [RZ] h1 sampai h3 T
: : : : :
Indekss Nilai Tukar Petani di Provinsi Lampung Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Lampung (%/th) Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r8= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya h2 dan h3 >0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.11} ini adalah data tahun 1992, 1995, 1998, 2000 sampai 2008.
120
(9) Indeks Pembangunan Manusia [HDI] Klimaks dari seluruh perancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah ini adalah pada pemodelan indeks pembangunan manusia [HDI] sebagai berikut:
[HDI]t = k1 + k2[NTP]t-n + k3[R_POOR]t-n + k4[RZ] + r9 {4.12} Uji model; `
H0: k2 =k3= k3=0 H1: Ada k1, k2, k3 atau k4 ≠ 0
dalam hal ini, [HDI] [NTP] [R_POOR] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : :
Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Lampung Indekss Nilai Tukar Petani di Provinsi Lampung Insidensi kemiskinan pedesaan di Provinsi Lampung (%) Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r9= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya k2 dan k4 >0 sedangkan k3<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.12} ini adalah data tahun 2001, 2004, 2006 sampai 2009. Adapun metode yang digunakan dalam perancangan praksis ini adalah Analisis Persamaan Simultan. Uji hipotesis dilakukan dengan Uji F dilanjutkan dengan Uji T pada taraf nyata 5% dan 10%.
4.3 Analisis Kebijakan Fiskal Daerah Provinsi Fiskal merupakan piranti utama yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan publik yang telah diperoleh melalui social contract (lihat Randall, 1987). Sebagai otoritas yang memiliki kewenangan yang dapat dilakukan secara memaksa (coercive) dalam pemungutan pajak maupun pengalokasinya (dalam bentuk belanja daerah), maka Pemerintah Provinsi Lampung punya kewajiban moral untuk membina dan mengembangkan faktor endogenik pertumbuhan ekonomi yang dimiliki wilayah ini, apalagi ketika mulai tampak gejala terjadinya market failure berupa distorsi pedistribusian manfaat rente bersama dari hasil-hasil pembangunan ekonomi wilayah seperti selama ini.
121
Analisis kebijakan publik ini maka pertama perlu dikembangkan modelmodel persamaan untuk mengetahui relasi antara kinerja perolehan tingkat pajak & retribusi daerah [TAX], alokasi belanja aparatur [S_APPT], belanja untuk investasi publik [S_PUB], dan belanja bantuan sosial [S_SOC] terhadap kinerja (L)eadership dan (I)nstitution yang masing-masing juga diproksi dengan kepadatan koperasi di subwilayah hulu [KOP_HU], kepadatan koperasi di subwilayah hilir [KOP_HI], intensitas kejahatan di subwilayah hulu [KJ_HU] dan intensitas kejahatan di subwilayah hilir [KJ_HI]. Apabila relasi-relasi tersebut telah diperolehnya, maka dapat digunakan untuk menginduksi berkembangnya kinerja (E)ntrepreneurship utamanya bagi kalangan industriawan kecil [IKC]. Dipilihnya untuk kalangan ini tidak lain karena kalangan ini telah dihipotesiskan sebagai penghela transformasi struktural perekonomian yang kemudian menjadi motor pertumbuhan ekonomi wilayah.
4.3.1 Bentuk Model Perilaku Fiskal terhadap Faktor Endogenik Bentuk model hubungan antara perilaku fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung terhadap kinerja (L)eadership dan kinerja (I)nstitution perlu dispesifikasikan. Lebih lanjut untuk dimanfaatkan untuk simulasi kebijakan bagi pengembangan kedua faktor endogenik tersebut agar kinerja (E)ntrepreneurship di wilayah provinsi ini meningkat.
(1) Kinerja Leadership di Hulu sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Adapun kinerja (L)eadership yang berkembang di subwilayah hulu dimodelkan sebagai perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut: [KOP_HU]t = p1 + p2[TAX]t-n + p3[S_APRT]t-n + p4[S_PUBL]t-n + p5[S_SOC]t-n + p6[RZ] + r10 {4.13}
Uji model;
H0: p2 =p3=p4 =p5= p6=0 H1: Ada: p1, p2 , p3, p4, p5, atau p6 ≠ 0
122
dalam hal ini, [KOP_HU] [TAX] [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : : : :
Kerapatan koperasi/10ribu penduduk di subwilayah hulu Perolehan Pajak & Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung Belanja Aparatur Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Belanja Publik/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Belanja Bantuan Sosial/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Rezim tata pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r10= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya p3 sampai p6>0 sedangkan p2<0 Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.13} ini adalah data tahun 1996 sampai 1999, dan 2003, 2004, 2006 sampai 2008.
(2) Kinerja (L)eadership di Hilir sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Begitu juga dengan kinerja (L)eadership yang berkembang di wilayah hilir dimodelkan sebagai perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut: [KOP_HI]t = q1 + q2[TAX]t-n + q3[S_APRT]t-n + q4[S_PUBL]t-n + q5[S_SOC]t-n + q6[RZ] + r11 {4.14} Uji model;
H0: q2 =q3=q4 =q5= q6=0 H1: Ada: q1, q2 , q3, q4, q5, atau q6 ≠ 0
dalam hal ini, [KOP_HI] [TAX] [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : : : :
Kerapatan koperasi/10ribu penduduk di subwilayah hilir Perolehan Pajak &Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung Belanja Aparatur Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Belanja Publik/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Rezim, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r11= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya q3 sampai q6>0 sedangkan q2<0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.14} ini adalah data tahun 1996 sampai 1999, dan 2003, 2004, 2006 sampai 2008.
123
(3) Kinerja (I)nstitution di Hulu sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Kinerja atau keefektivam (I)nstitution yang berkembang di subwilayah hulu dimodelkan sebagai fungsi dari perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut: [KJ_HU]t = u1 + u2[TAX]t-n + u3[S_APRT]t-n + u4[S_PUBL]t-n + u5[S_SOC]t-n + u6[RZ] + r12 {4.15} Uji model;
H0: u2 =u3=u4 =u5= u6=0 H1: Ada: u1, u2 , u3, u4, u5, atau u6 ≠0
dalam hal ini, [KJ_HU] [TAX] [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : : : :
Intensitas Kejahatan/10ribu penduduk di subwilayah hulu Perolehan Pajak &Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung Belanja Aparatur/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Belanja Publik/10ribu penduduk Pemerintah Provinsi Lampung Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Rezim Tata Pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r12= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
Nilai harapannya u3 sampai p6<0 sedangkan u2>0 Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers,{4,15} ini adalah data tahun 1996 sampai 1999, dan 2003, 2004, 2006 sampai 2008. (4) Kinerja (I)nstitution di Hulu sebagai Fungsi dari Perilaku Fiskal Akhirnya juga keefektifan (I)nstitution yang berkembang di subwilayah hilir dimodelkan sebagai perilaku fiskal Pemerintah Provinsi Lampung berikut:
[KJ_HU]t = v1 + v2[TAX]t-n + v3[S_APRT]t-n + v4[S_PUBL]t-n + v5[S_SOC]t-n + v6[RZ] + r13 {4.16} Uji model;
H0: v2 =v3=v4 =v5= v6=0 H1: Ada: v1, v2 , v3, v4, 5, atau v6 ≠0
dalam hal ini, [KJ_HI] [TAX] [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ] h1 sampai h3 t
: : : : : : : :
Intensitas Kejahatan/10ribu penduduk di subwilayah hilir Perolehan Pajak &Retribusi Daerah/10ribu penduduk Provinsi Lampung Belanja Aparatur Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Belanja Publik Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Belanja Bantuan Sosial Pemerintah Provinsi Lampung /10ribu penduduk Rezim Tata Pemerintahan, sebelum desentralisasi=0 dan sesudah=1 Parameter model Tahun data; r13= galat; n=0,1,2,3… waktu tenggang (time lag)
124
Nilai harapannya u3 sampai p6<0 sedangkan u2>0. Data yang digunakan untuk optimasi parameter Pers.{4.16} ini adalah data tahun 1996 sampai 2008.
4.3.2 Beberapa Skenario Kebijakan Fiskal Daerah di Bawah Skema Reforestasi Mengingat degradasi sumberdaya hutan di Provinsi Lampung sudah begitu akut, dan sementara itu pula reforestasi berada pada otoritas pemerintah pusat, maka kebijakan insentif fiskal dalam penelitian ini perlu disertai beberapa asumsi tentang target luasan skema reforestasi.
(1) Skema Target Reforestasi Dasar pemilihan target luasan skema reforestasi adalah pada acuan legal aspek yang mewajibkan luasan kawasan hutan negara sebesar 30% dari total luasan wilayah yurisdiksi. Untuk wilayah yurisdiksi Provinsi Lampung adalah 1 juta Ha, Sementara itu, kini sisa tutupan hutan di Provinsi Lampung kini tinggal sekitar 7% (250,180 ha). Untuk itu maka skema reforestasi yang dicobakan dalam simulasi ini adalah: (1) Tanpa reforestasi, (2) 100 ribu ha, dan (3) 250 ribu ha, Target luasan tersebut dimaksudkan untuk mencapai total tutupan yang setara berturut-turut 20%; 30% dan 50% terhadap total luasan minimal seperti amanah UU RI No. 41 Tahun 1999 tersebut. Adapun distribusi kepada masing-masing hutan rakyat di subwilayah hulu [HR_HU], hilir [HR_HI], hutan negara di subwilayah hulu [HN_HU] dan di hilir [HN_HI] disajikan pada Tabel 10. Adapun yang digunakan sebagai dasar alokasi reforestasi seperti yang tercantum dalam Tabel 10 tersebut adalah rataan luasan dari periode data tahun 1992-2008 yaitu masing-masing 2,26; 9,39; 24,53; dan 30,02 X10 ribu ha berturut-turut untuk kawasan [HR_HU], [HR_HI], [HN_HU] dan [HN_HI].
125
Tabel 10. Distribusi Luasan Skema Reforestasi pada Masing-masing Kelompok Hutan Simbol
Skema Reforestasi
A
Nol ha (Tanpa ada Skema Reforestasi)
B C D
100 ribu ha dialokasikan secara proporsional ke keempat kelompok hutan sesuai dengan rataan 1992-2008 100 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 2X, [HR_HI] 3X, sisanya dibagi rata pada [HN] 100 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 3X, [HR_HI]2X, sisanya dibagi rata pada [HN]
E F G
250 ribu ha dialokasikan secara proporsional ke keempat kelompok hutan sesuai dengan rataan 1992-2008 250 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 2X, [HR_HI] 3X, sisanya dibagi rata pada [HN] 250 ribu ha dialokasikan pada [HR_HU] 3X, [HR_HI] 2X, sisanya dibagi rata pada [HN]
Keterangan: [HR_HU]=hutan rakyat di hulu, [HR_HI]=hutan rakyat di hilir, [HN_HU]=hutan negara di hulu, dan [HN_HI]=hutan
(2) Skema Kebijakan Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung Motif utama dari penggunaan skema reforestasi dalam penelitian dimaksud untuk memeriksa seberapa kuatnya pengaruh dampak luasan Reforestasi terhadap keefektivan kebijakan insentif fiskal dari Pemeritah Provinsi Lampung. Adapun
kebijakan fiskal yang ingin diperiksa dampaknya ada 2
macam alokasi yaitu: Alokasi 1: Hasil peningkatan kenaikan pajak dialokasikan untuk peningkatan belanja aparatur [S_APRT], belanja publik [S_PUBL] dan belanja bantuan sosial [S_SOC] masing-masing sebesar 0%; 100% dan 0%.
Alokasi 2: Hasil peningkatan kenaikan pajak dialokasikan untuk peningkatan belanja aparatur [S_APRT], belanja publik [S_PUBL] dan belanja bantuan sosial [S_SOC] masing-masing sebesar 0%; 75% dan 25%.
Motif akhir dari penggunaan skema reforestasi yang dikombinasikan dengan cara alokasi pembelanjaan dari Pemerintah Provinsi Lampung tersebut adalah untuk mengetahui seberapa besar dampaknya terhadap perolehan pajak dan retribusi daerah ke depan, Sehubungan dengan itu, maka besaran yang diperiksa berturut-turut adalah: 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 30% seperti disajikan dalam disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12.
126
Tabel 11. Kenaikan Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja Alokasi 1 Simbol
Alokasi 1, Hasil Peningkatan Penerimaan Pajak Digunakan: Perolehan Kenaikan [TAX] % 0 5 10 15 20 30
1.a 1.b 1.c 1.d 1.e 1.f
0% untuk [S_APRT]
100% untuk [S_PUBL]
0% untuk [S_SOC]
--------------------------------------Rp Juta/10 Ribu Penduduk-----------------------------------0,00 0,00 0,00 0,00 19,95 0,00 19,95 0,00 39,91 0,00 39,91 0,00 59,86 0,00 59,86 0,00 79,81 0,00 79,81 0,00 119,72 0,00 119,72 0,00
Tabel 12. Kenaikan Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja Alokasi 2 Simbol
Alokasi 2, Hasil Peningkatan Penerimaan Pajak Digunakan: Penerimaan Kenaikan [TAX]
1.a 1.b 1.c 1.d 1.e 1.f
% 0 5 10 15 20 30
0% untuk [S_APRT]
75% untuk [S_PUBL]
25% untuk [S_SOC]
--------------------------------------------Rp Juta/10 Ribu Penduduk-------------------------------0,00 0,00 0,00 0,00 19,95 0,00 14,96 4,99 39,91 0,00 29,93 9,98 59,86 0,00 44,90 14,97 79,81 0,00 59,86 19,95 119,72 0,00 89,79 29,93
Adapun data yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan kenaikan [TAX] adalah nilai rata-rata perolehan [TAX] selama periode pengamatan (yaitu dari 1996-2008) seperti yang digunakan untuk membangun Pers.{4.13} sampai Pers. {4.16} setelah dikeluarkan pencilan (out lier)-nya. Setelah dihitung berdasarkan kenaikan [TAX] adalah sebesar Rp 399,06 juta/10 ribu penduduk. Dengan kombinasi antara ketiga skema reforestasi, kebijakan peningkatan keenam level harapan peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah serta dua macam alokasi pembelanjaannya tersebut maka diperoleh 84 kombinasi skenario, yang perlu dipergunakan untuk memeriksa perubahan pertumbuhan ekonomi [G_ECONM], indeks nilai tukar petani [NTP] dan indeks pembangunan manusia [HDI] di Provinsi Lampung.
127
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Umum Provinsi Lampung dan Kinerja Faktor Endogeniknya 5.1.1 Kondisi Geografi dan Fisiografi Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964 yang semula merupakan suatu Kerisidenan Lampung yang menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan.
Luas wilayah
sekitar 3.528.835 ha.
Secara geografis Provinsi Lampung terbentang pada 103040‘ sampai 105050‘ Meredian Timur dan pada 3045‘ sampai 6045‘ Paralel Selatan. Adapun secara administratif Provinsi Lampung sebelah Utara dibatasi oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bengkulu, sebelah Timur oleh Laut Jawa, sebelah Selatan oleh Selat Sunda dan Sebelah Barat oleh Samudera Indonesia. Menurut Sensus Penduduk 2010 (BPS, 2010) Provinsi Lampung memiliki total populasi 7,596,115 jiwa atau 3 905 366 pria dan 3,690,759 wanita. Sampai dengan awal Tahun 2011 Provinsi ini memiliki 2 wilayah pemerintahan kota dan 12 kabupaten. Dua kota tersebut adalah Kota Bandar Lampung yang sekaligus juga sebagai Ibu Kota Provinsi Lampung dan Kota Metro. Namun untuk keperluan kefektifan pencapaian tujuan penelitian ini, maka digunakan unit analisis Provinsi sebagai out put-nya dan sebagai inputnya di keempatbelas kabupaten dan kota tersebut dipisahkan menjadi subwilayah hulu vs hilir. Pengelompokan kedalam kedua subwilayah ini berdasarkan kondisi fiografisnya secara makro. Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus dianggap sebagai subwilayah hulu (HU) sedangkan keduabelas yurisdiksi selainnya dianggap sebagai subwilayah hilir (HI). Menurut Kemeneg LH (2008), sekitar 56% dari yurisdiksi Kabupaten Tanggamus terletak pada elevasi >250m dpl dan untuk Kabupaten Lampung Barat mencapai 64% dari wilayahnya. Sedangkan keduabelas yurisdiksi selainnya cakupan wilayah elevasi >250m dpl berkisar antara 21 % sampai 15%. Bersesuaian dengan itu, dapat diidentifikasi melalui CRS (1989) bahwa Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus merupakan hulu dari hampir semua DAS (daera aliran sungai) utama
128
di Provinsi Lampung. Oleh karena itu dapat kedua kabupaten ini dapat dikelompokkan menjadi subwilayah hulu dan keduabelas kabupaten/kota selainnya sebagai subwilayah hilir. Topografis seperti itu terbentuk oleh proses aktivitas lempeng Samudera Indonesia yang konvergen menujam lempeng Sumatera, terjadi proses peleburan sebagian (partial melting) kerak samudera membentuk magma yang massa jenisnya lebih ringan sehingga menimbulkan gerakan magma ke atas yang akhirnya terbentuklah Pegunungan Bukit Barisan Selatan. Berkaitan dengan proses orografik itu di Kabupaten Lampung Barat dijumpai Gunung Pesagi dengan puncak tertingginya 2.239 m dpl dan di Kabupaten Tanggamus dijumpai Gunung Tanggamus dengan puncak tertinggi 2.102 m dpl. Berkaitan dengan bentang lahan tersebut, pada subwilayah hulu umumnya beriklim basah dengan curah hujan tahunan berkisar 3 500 mm per tahun (BMKG, 2011; tidak dipublikasi) yang menurut Oldeman (dalam Arsyad, 2000) dapat dikatagorikan sebagai Iklim A dengan bulan basah >9 bulan tanpa bulan kering. Semakin ke arah Timur semakin beriklim kering, bahkan di Kabupaten Lampung Timur dapat dijumpai tipe Iklim D seperti yang umumnya dijumpai di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fenomena ini mudah difahami mengingat angin monsoon Barat yang banyak mengandung uap air dari Samudera Indonesia ketika memasuki wilayah daratan bagian Barat Provinsi Lampung ini dipaksa naik oleh adanya halangan Pegunungan Bukit Barisan Selatan. Dengan naiknya udara tersebut maka terjadi pengembangan volume secara adiabatis dan menyebabkan penurunan temperatur sehingga terjadilah kondensasi uap air dan jatuh sebagai presipitasi di subwilayah hulu ini yang dikenal sebagai tipe hujan orografis. Karena uap air yang terbanyak jatuh sebagai presipitasi di subwilayah hulu, maka pada subwilayah hilir atau makin ke arah Timur menjadi semakin kering yang dikenal sebagai daerah bayangan hujan. Berkaitan dengan itu, maka dapat difahami mengapa secara umum daerah aliran sungai (DAS) dari sungai-sungai utama di Provinsi Lampung ini mengarah ke Timur. Kecuali itu, realitas ini dalam masa ribuan tahun juga membawa pengaruh pada suksesi vegetasi hutan membawa keragaman hayati yang tinggi. Berkaitan dengan itu pula dapat difahami mengapa di subwilayah hulu ini sejak
129
Masa Kolonial sebagain besar telah ditetapkan sebagai wilayah resapan ataupun kawasan pelestarian sedangkan pada bagian Tengah telah direncanakan dan dibangun berbagai bendungan fasilitas irigasi serta di bagian Timur telah dialokasikan untuk aktivitas perekonomian yang relatif intensif. Artinya dalam konteks pererekonomian atau pun sendi-sendi kehidupan lainnya, subwilayah hilir sangat
bergantung
pada
subwilayah
hulu.
Walaupun
begitu
dalam
perkembangannya, kedua subwilayah ini tidak senantiasa sinergi yang pada gilirannya berwujud pada stagnasi perekonomian di seluruh Provinsi Lampung. Masalah deforestasi sumberdaya hutan utamanya di subwilayaah hulu yang akut merupakan pangkal dari stagnasi tersebut.
5.1.2 Sumberdaya Hutan sebagai Resource Endowment Pengertian sumberdaya hutan dalam penelitian ini mengikuti batas legal formal seperti yang digunakan dalam Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ataupun Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yaitu: areal seluas 0,25 ha atau lebih dengan dominasi pohon yang dapat mencapai ketinggian minimum 5 m dengan kanopi minimum 30%. Sedangkan hutan rakyat (HR) adalah hutan yang dibebani atas hak dan hutan negara (HN) adalah kawasan hutan yang tidak dibebani atas hak. Untuk konteks wilayah Provinsi Lampung, dalam penelitian ini sumberdaya hutan dapat perlakukan sebagai (Re)source endowment utama yang telah menjadi aset awal pembangunan. Alasan utama yang dapat dijadikan sebagai landasan atas perlakuan ini bukan hanya karena peranan produk material dari hasil hutannya saja yang dapat disumbangkan pada perekonomian wilayah, tetapi juga peranan sumberdaya ini sebagai pengontrol siklus hidrologi, penyedia jasa keragaman hayati, kesetimbangan ekologi kawasan, penambat karbon maupun penyedia jasa kenyamanan lingkungan. Untuk fungsi atau peran yang pertama, dominan pada awal perkembangan wilayah sebagai pemasok devisa negara maupun pendapatan wilayah sebelum dekade 1980-an, namun setelah itu fungsinya sebagai penyedia jasa lingkungan yang tetap besar bagi perekonomian wilayah ini. Adapun perkembangan luasan wilayah hutan negara (HN) dan hutan
130
rakyat (HR) baik yang berada di subwilayah hulu (HU) maupun di subwilayah hilir (HI) di Provinsi Lampung disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 19. Pada tahun 1992 tutupan hutan secara total masih sekitar 25,13% dan menjadi 7,14% dari luas Provinsi di tahun 2007. Secara umum dapat dikatakan bahwa deforestasi pada rezim orde baru (sebelum 1998) tampak relatif rendah, memuncak pada masa reformasi dan klimaks sejak masa desentralisasi tata pemerintahan berlangsung. Laju deforestasi juga lebih cepat pada kawasan hutan negara. Tampaknya pada masa reformasi kinerja institusi formal menjadi lemah dan tidak efektif, pemerintah tidak cukup mampu untuk membayar biaya-biaya pengamanan sumberdaya bersama ini terhadap illegal logging sehingga menjadi seperti open access. Dalam pandangan Hardin (1968) fenomena ini disebut sebagai tragedy of the common. Keadaan ini terus berlanjut dan diperburuk sejak desentralisasi tata pemerintahan berlangsung dimana koordinasi antara otoritas pusat dengan otoritas lokal menjadi simpul-simpul ordinasi yang lemah., sehingga gedy tersebut makin parah dan telah berkembang menjadi drama of the common Tabel 13. Perkembangan Luasan Tutupan Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Negara (HN) di Hulu (HU) dan Hilir (HI) di Provinsi Lampung Tahun
[HR_HU]
[HR_HI]
[HN_HU]
[HN_HI]
Total Provinsi
----------------------------------------------- Ha ------------------------------------------
%
1992
12.767
200.912
276.176
397.004
886.859
25,13
1993
12.575
155.703
265.772
424.168
858.217
24,32
1994
10.989
158.122
238.999
412.868
820.978
23,26
1995
11.027
139.339
236.846
435.973
823.185
23,33
1996
30.977
77.900
246.792
442.189
797.858
22,61
1997
34.468
79.285
361.130
401.242
876.126
24,83
1998
33.471
75.909
264.989
311.145
685.514
19,43
1999
27.961
70.425
278.259
122.770
499.415
14,15
2003¶
25.858
25.231
251.758
148.057
450.904
12,78
2005¶
23.687
30.018
104.570
102.761
261.036
7,40
2008^
24.620
20.110
103.016
104.041
251.788
7,14
Rataan=
22.582
93.905
238.937
300.202
655.625
18,58
Sd= 8.737 58.033 74.848 147.800 245.921 6,97 Sumber: BPS Prop. Lampung (1993-2000, Diolah); ¶ Baplan (2004, 2006 Diolah); ^Kemeneg LH (2008, Diolah)
131
Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 13 maupun Gambar 19 di atas, bahwa kecuali pada tahun 1996, luasan tutupan hutan secara umum terus mengalami penurunan bersama berlangsungnya proses pembangunan. Kenaikan luasan di dari tahun 1996 ke 1997 sebesar 2,22% tersebut tampaknya diatribusi oleh pertambahan luas hutan rakyat yang ada di hulu maupun di hilir serta pertambahan luas hutan negara yang ada di hulu. Tetapi dalam kurun 21 tahun (dari Tahun 1992 ke 2007) telah terjadi korbanan deforestasi secara neto sebesar 635.071 ha atau dengan laju 57.734 ha/tahun.
Gambar 19. Perkembangan Luasan (X10 Ribu ha) Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Negara (HN) di Subwilayah Hulu (HU) dan di Hilir (HI) Provinsi Lampung Periode 1992-2008
Realitas tersebut seharusnya dapat menggugah para pemegang kebijakan publik untuk lebih menggalakkan implementasi program-program pembinaan hutan kemasyarakatan (HKm) di provinsi ini mulai dari kultur teknis budidaya sampai dengan pemasaran hasil, baik yang berupa produk kayu sampai nir kayu seperti madu, sutera alam, getah damar, rotan dsb. Dengan kuatnya HKm masyarakat perdesaan telah memperoleh akses terhadap lahan utamanya lahan hutan negara yang telah terdegradasi akut. Dengan begitu property right menjadi jelas, timbul insentif yang kuat bagi para petani gurem untuk melakukan berbagai bentuk investasi (setidaknya berupa curahan tenaga, waktu dan mungkin juga uang) untuk budidaya hutan dalam kultur teknis agroforestry, mengamankan investasi yang telah dilakukan baik secara individu ataupun secara berkelompok, yang berarti akan sangat mereduksi biaya-biaya transaksi dan akhirnya reforestasi
132
pada kawasan-kawasan hutan negara akan relatif murah untuk dicapai. Pulihnya tutupan hutan tersebut pada gilirannnya akan membangkitkan pendapatan masyarakat melalui bentuk produk material (baik kayu ataupun nir kayu) selain juga melalui produksi jasa lingkungan atau pulihnya berbagai fungsi intrinsik hutan yang menjadi life support system di wilayah ini.
Imajinasi ini sangat
mungkin untuk diwujudkan mengingat akses petani terhadap lahan melalui skema HKm tersebut dapat dijamin sampai 30 tahun, suatu jangka waktu yang cukup untuk melakukan amandemen terhadap degradasi fungsi intrinsik hutan yang selama ini telah sangat menekan pencapaian kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung secara agregat. Sebagai catatatan, khususnya untuk implementasi HKm yang belum terlaksana seperti Kabupaten Lampung Utara, Lampung Tengah dan Lampung Timur, hendaknya pembagian lahan hutan kepada masyarakat perlu dilakukan setelah pelaksanaan Pilkada, untuk menghindari bias kepentingan politik yang mungkin terjadi. Tidak semua dampak deforestasi bersifat mudarat, seiringan dengan pesatnya deforestasi di sisi lain juga telah telah membawa berbagai manfaat antara lain ditunjukkan oleh adanya peningkatan berbagai investasi publik seperti infrastruktur di Provinsi Lampung. Dalam Tabel 14 dan Gambar 20 disajikan perkembangan kerapatan panjang jalan beraspal yang merupakan salah satu infrastruktur vital bagi pembangunan wilayah.
5.1.3 Kerapatan Jaringan Jalan dan Kinerja Faktor Endogenik Pertumbuhan Wilayah Kerapatan jaringan jalan (JL) merupakan unsur vital dalam upaya untuk memberikan deskripsi tentang aspek untuk mengakses pasar. Jaringan jalan dapat menjadi proksi bagi market tapping apakah itu untuk produk-produk pertanaian maupun industri. Pada Tabel 14 kolom 2 sampai 4 disajikan perkembangan kerapatan jaringan jalan (km per 10 ribu ha) di subwilayah hulu (JL_HU), subwilayah hilir (JL_HI) serta secara keseluruhan di Provinsi Lampung (JL_PROP).
Kecuali itu, untuk dapat memberikan gambaran perkembangan
ketiga macam kelompok kerapata jaringan jalan menurut runtun waktu, maka disajikan Gambar 20.
133
Tabel 14. Kerapatan Jaringan Jalan Beraspal (JL, Km/10 Ribu Ha) dan Tempat Ibadah (IBD) per 10 Ribu Penduduk di Hulu (HU) dan di Hilir (HI) serta Provinsi Lampung Tahun
[JL_HU]
[JL_HI]
[JL_PROP]
[IBD_HU]
[IBD_HI]
[IBD_ PROP]
1996
3,09
13,43
10,79
30,20
30,29
30,28
1997
10,31
16,03
14,57
31,95
31,86
31,87
1998
14,20
16,62
16,00
31,99
31,65
31,71
1999
14,20
19,80
18,37
31,76
31,29
31,38
2000
13,76
24,50
21,76
32,22
32,34
32,32
2001
14,24
25,91
22,94
32,22
31,59
31,70
2002
14,36
25,91
22,97
31,98
32,32
32,26
2003
12,87
26,75
23,21
33,03
33,48
33,40
2004
18,33
26,73
24,59
33,65
34,83
34,62
2005
19,84
29,35
26,93
36,13
33,74
34,14
2006
21,86
29,38
27,46
38,93
33,90
34,74
2007
22,18
29,38
27,54
39,20
33,52
34,46
2008
22,41
29,89
27,98
38,61
33,47
34,33
Rataan
15,51
24,13
21,93
33,99
32,64
32,86
5,45
5,71
5,48
3,11
1,29
1,49
Sd
Sumber: BPS Kabupaten/Kota se Provinsi Lampung (1997-2009; diolah)
Dari data tersebut tampak bahwa kerapatan jalan di hilir secara rata-rata menurut runtun waktu memperlihatkan lebih tinggi kerapatan jaringan jalan tersebut dari pada yang ada di subwilayah hilir. Bahkan di subwilayah hilir melebihi dari pada kerapatan rata-rata di Provinsi Lampung. Distribusi semacam ini secara umum dapat difahami, mengingat bahwa jalan merupakan bentang budaya. Artinya kerapatan jalan juga bertalian dengan kerapatan populasi. Lebih dari itu, secara umum juga berkaitan dengan aktivitas sosial, ekonomi dan budaya. Makin rapat jaringan jalan semakin rapat populasi yang berarti semakin intensif aktivitas perekonomian wilayah. Selain itu, dapat difahami bahwa tidak ada aktivitas perekonomian yang tidak terkait dengan aktivitas sosial dan budaya. Aktivitas sosial-budaya tersebut pada akhir juga memberiak feedback pada perekonomian wilayah. Sehubungan dengan itu, dalam aktivitas sosial, budaya maupun perekonomian juga berlangsung proses-proses sosial yang sifatnya sinergis,
134
kompetitif bahkan sampai konflik yang kemudian juga sering berujung pada resolusi. Proses-proses tersebut berlangsung berulang sifatnya dan siklis. Prosesproses seperti ini juga menginisiasi terbentuknya pranata-pranata sosial yang dinamis. Pranata sosial atau kelembagaan sebenarnya merupakan entitas yang sifatnya abstrak dan tidak kasat mata. Namun entitas tersebut hidup di dalam dan dipelihara oleh masyarakat. Karena kelembagaan dalam masyarakat itu sifatnya bukan barang privat yang dapat diekslusifkan, maka sekalipun abstrak prosesproses tersebut memerlukan ruang kejadian atau tempat bagi berlangsungnya perkembangan norma-norma. Kecuali dalam ruang keluarga, proses perkembangan norma-norma tersebut juga umumnya juga berlangsung dalam ruang-ruang publik seperti pasar, balai desa, kantor, masjid, gereja, surau dll. Untuk konteks Indonesia, tempat ibadah
(IBD)
diduga
masih
merupakan
tempat
pembentukan
ataupun
pengembangan norma-norma hidup bersama yang di berbagai wilayah masih relatif kuat sampai dewasa ini. Oleh karena itu, seperti dapat pada Gambar 20 dan 5.3, tampak hubungan yang bersesuaian antara kerapatan jaringan jalan dengan kerapatan tempat ibadah. Bahwa kerapatan populasi, telah menyebabkan jejaring makin
intensifnya
interaksi
antarwarga,
meningkatkan
komunikasi
dan
terbentuknya jaringan jalan maupun perkembangan kelembagaan di suatu wilayah. Mengingat tak satu orang pun yang dapat hidup menyendiri, melainkan selalu berinteraksi dengan sesama, maka kelembagaan yang timbul juga menguatkan untuk saling bekerja sama, menekan konflik untuk akomodatif. Dalam keadaan seperti itu dapat memunculkan jiwa bisnis diantara anggota masyarakat. Sifat kerja sama dipandang sebagai naluri yang berkembang dalam diri setiap insan. Karakter seperti itu oleh Stimson et al. (2003) dipandang sebagai naluri kerjasama. Dengan kerjasama tersebut maka akan membangkitkan efisiensi yang besar dalam segala usaha manusia. Dengan begitu kinerja kelembagaan (I)nstitution yang efektif akan berdampak terhadap kinerja (L)eadership yang kuat pula.
135
Gambar 20. Kerapatan jaringan jalan (JL, Km/10 ha) di subwilayah hulu (HU) dan Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung untuk periode Tahun 1996-2008
Gambar 21. Kerapatan tempat ibadah (IBD) per 10 ribu penduduk di subwilayah hulu (HU) dan Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung untuk periode Tahun 1996-2008
Kinerja L dan I di suatu wilayah akan menjadi landasan bagi pertumbuhan dan perkembangan kinerja (E)ntrepreneurship di suatu wilayah. Dalam penelitian ini E didefinisikan mengikuti Kitzner (1976 dikutip Hien (2010) yaitu orang yang dapat melihat adanya peluang suatu keuntungan baru yang belum diketahui oleh orang lain di pasar dan dia mampu mengeksplotiasi peluang tersebut melalui realokasi sumberdaya yang ada melalui suatu cara-cara yang baru (inovatif) pula. Berdasarkan atas definisi ini dan dilandasi oleh kebutuhan untuk mengambangkan rancangan praksis pembangunan wilayah ini, maka dalam penelitian digunakan kerapatan industri kecil (IKC) dan industri sedang-besar (IBS). Kecuali itu juga untuk tujuan megungkap peran resource endowment terhadap kinerja sektor industri tersebut maka kedua kelompok industri tersebut juga dipisahkan antara yang berkembang di hulu (HU) maupun yang ada di hilir (HI). Secara umum sebagaimana dapat dicermati pada Tebal 5.3 bahwa (E)ntrepreneurship dari kelompok industri kecil (IKC) lebih resilience dan adaptif dalam menghadapi berbagai gejolak perubahan dibandingkan dengan kelompok industri sbesar-sedang (IBS). Baik itu perubahan kinerja lingkungan biofisik (seperti merosotnya kinerja jasa lingkungan, lambatnya penyediaan jaringan), perubahan lingkungan sosial-kelembagaan (seperti ekskalasi intensitas kejahatan) sampai dengan perubahan rezim tata pemerintahan.
136
Tabel 15. Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) dan Industri Kecil (IKC) di Subwilayah Hulu (HU), di Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rataan= Sd=
[IBS_HU]
[IBS_HI]
[IBS_PROP]
[IKC_HU]
[IKC_HI]
[IKC_PROP]
0,08 0,10 0,10 0,10 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,17 0,17 0,16 0,14 0,03
0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,06 0,05 0,04 0,04 0,01
0,41 0,38 0,37 0,36 0,35 0,33 0,31 0,28 0,27 0,25 0,56 0,43 0,38 0,36 0,08
78,59 130,77 136,78 134,57 132,57 121,57 112,39 133,75 135,53 144,18 149,44 153,14 152,40 131,97 19,81
85,15 101,80 41,28 48,50 58,36 95,08 108,60 117,65 119,50 116,21 116,51 114,32 113,47 95,11 28,08
83,99 106,93 58,13 63,63 71,37 99,70 109,26 120,43 122,26 120,93 122,02 120,75 120,00 101,49 24,02
Sumber: BPS Kabupaten/Kota Se-Provinsi Lampung (1997-2009; diolah)
Selain itu, fenomena yang lebih menarik ternyata kinerja E yang berada di subwilayah hulu (HU) yang lebih baik dari pada yang berada di subwilayah hilir (HI) baik itu yang berasal dari kelompok industri kecil (IKC) maupun dari kelompok IBS. Nampaknya ada keefektifan (I)nstitution (Tabel 14 atau Gambar 21) telah menjadi spirit untuk membangun berbagai macam bentuk transaksi yang kemudian bermuara pada berbagai manfaat ekonomi. Keefektifan kinerja I di subwilayah hulu tersebut dibarengi oleh kekuatan (L)eadership (Tabel 15 atau Gambar 22 dan 23). Kedua macam kekuatan ini tampaknya berhubungan dengan kepadatan populasi terhadap lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya (arable land) yang ada di kedua subwilayah tersebut.
137
Gambar 22. Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) di Subwilayah Hulu (HU), di Hilir (HI) dan di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) Periode 1996-2008
Gambar 23. Kerapatan Indusrti Kecil (IKC) di Subwilayah Hulu (HU), di Hilir (HI) dan di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) Periode 1996-2008
Di sub wilayah hulu, sumberdaya lahan sejak Pemerinahah Kolonial utamanya oleh diperuntukkan sebagai wilayah resapan dan kawasan pelestarian atau kawasan konservasi. Realitas ini setara dengan adanya kelangkaan sumberdaya lahan. Adanya kelangkaan sumberdaya lahan ini yang dapat menjadi insentif bagi berkembangnya I. Bersama dengan adanya kelangkaan sumberdaya umumnya telah mengarah pada kompetisi yang ketat dalam memperoleh manfaat terhadap suatu sumberdaya. Dalam keadaan seperti itu kemudian akan mendekte sekelompok warga masyarakat untuk saling menghargai property right, namun mugkin juga ada sebagai tidak.
Sebagian ada yang mengalami konflik dan
sebagian ada yang saling akomodatif. Sebagian ada yang kuat berkelompok dan berjejaring (networking) sebagian tidak. Dalam sebagian kelompok juga dapat berkembang sifat altruistik dan filantropia sebagian lainnya malah egoistik dibarengi dengan sikap oportunistik pula. Begitulah berbagai proses sosial dapat mewarnai berkembangnya berbagai jenis kelembagaan beriringan dengan kelangkaan vs kelimpahan sumberdaya alam yang ada. Bersamaan dengan setting dan nurturing oleh perubahan lingkungan biofisik seperti perubahan iklim, kerusakan ekologi kawasan yang sangat memerosotkan kenyamanan lingkungan serta perubahan lingkungan sosialkultural ataupun rezim tata pemerintahan seringkali juga turut menentukan kinerja kelembagaan yang ada di suatu wilayah.
138
Pada wilayah-wilayah dengan karakteristik masyarakat yang mengarah pada berkembangnya sifat filantropia, akomodatif, silih asih, silih asah, silih asuh atau saling tolong-menolong (bekerja sama dan networking) maka dapat pula diharapkan suatu perkembangan (L)eadership yang kuat pula. Kinerja L yang kuat pada giliranya juga kembali dapat menguatkan kinerja I dan sebaliknya (lihat Stimson et al. 2003; 2005). Namun sebaliknya pada wilayah-wilayah yang karakter warga masyarakatnya banyak didekte berkembangnya sifat egois dan oportunistik maka akan menekan munculnya L yang kuat pula. Kinerja atau kuatnya L dan dan keefektifan I ini akan menjadi landasan bagi berkembangnya norma-norma dan trust serta terbentuknya network yang meluas. Ketiga unsur ini yang dikenal sebagai modal sosial (social capital). Modal sosial yang kuat akan menjadi asset sosial bagi pengembangan berbagai macam berbentuk transaksi yang kemudian juga sering berujung pada berbagai macam bentuk transaksi yang bermotifkan ekonomi secara langsung. Situasi seperti
ini
akan
dapat
menjadi
insentif
bagi
berkembangnya
kinerja
(E)ntrepreneurship yang kuat pula. Atas dasar modal sosial yang kuat seperti ini banyak wilayah-wilayah yang miskin sumberdaya alam telah menjadikan kuat modal sosial di dalam masyarakatnya kemudian bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk teladan bagi berkembangnya kinerja I dan kuatnya L serta pesatnya E yang dilatarbelakangi oleh kelangkaan sumberdaya alam tersebut, terlalu jauh kita untuk belajar dari Jepang, mungkin cukup kepada Korea, Taiwan, Singapura, Hongkong, bahkan sekarang mungkin Cina dan Vietnam (lihat Hien, 2010). Keefektifan I di Provinsi Lampung, pertama dapat dilihat pada perkembangan intensitas kejahatan per 10 ribu penduduk (KJ). Seperti dapat dirujuk pada Tabel 16, bahwa secara rata-rata intensitas kejahatan di subwilayah hulu (KJ_HU) relatif lebih rendah dari pada di hilir (KJ_HI) maupun di seluruh Provinsi Lampung (KJ_PROP) yaitu selama kurun 1996 sampai 2008 masingmasing sekitar 2,72 (Sd=1,46) berbanding 6,50 (Sd=2,56) dan 58,4 (Sd=2,28) kejadian per 10 ribu penduduk. Sebaliknya tidak sedikit wilayah-wilayah yang kaya akan sumberdaya alam, tidak ada kelangkaan sumberdaya yang mampu mengekang sikap boros,
139
kelembagaan melemah dan (L)eadership merosot yang berujung pada kutukan sumberdaya (rosurce curse) bahkan banyak berujung pada perang saudara. Contoh untuk yang ini dapat disaksikan di Sierra Leone, negeri yang kaya akan batu permata (Fauzi, 2007).
Dalam keadaan seperti itu, akan sulit bagi
berkembangnya E dan akhirnya menjadi negeri yang miskin dan terbelakang. Sehubungan peranan faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah (L, I, dan E) tersebut juga dapat disaksikan pada konteks perkembangan wilayah Provinsi Lampung dikaitkan dengan situasi biofisik wilayah utamanya pengelompokan ke dalam subwilayah hulu (HU) dan hilir (HI).
Tabel 16. Kerapatan koperasi (KOP) dan intensitas kejahatan (KJ) per 10 ribu penduduk di subwilayah hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung periode 1996-2008 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rataan= Sd=
[KOP_HU]
[KOP_HI]
[KOP_PROP]
[KJ_HU]
[KJ_HI]
[KJ_PROP]
0,49 0,94 1,11 2,83 3,12 3,33 3,47 3,54 3,71 3,79 3,94 4,07 4,20 2,96 1,27
1,64 1,71 2,08 3,34 3,52 3,68 3,73 3,91 3,87 3,89 4,26 4,02 4,35 3,38 0,94
1,74 1,91 2,32 3,94 4,18 4,39 4,46 4,65 4,64 4,66 5,05 4,83 5,20 4,00 1,20
0,51 0,68 0,86 1,33 2,22 3,95 2,86 3,12 3,35 3,64 3,77 4,18 4,88 2,72 1.46
3,11 2,97 3,00 6,25 6,22 10,64 10,39 8,52 8,09 7,05 7,23 6,09 4,92 6,50 2.56
2,65 2,56 2,62 5,39 5,52 9,47 9,08 7,59 7,28 6,48 6,65 5,77 4,92 5,84 2.28
Sumber: BPS Kabupaten/Kota Se-Provinsi Lampung (1997-2009; diolah)
Artinya kinerja I lebih efektif di subwilayah hulu. Dari sisi kondisi biofisik wilayah seperti kepadatan punduduk maupun kenyamanan lingkungan di subwilayah hulu masih lebih baik dari pada di hilir (dimana elevasi wilayahnya secara rata-rata yang relatif tinggi, temperatur udara yang relatif lebih rendah serta curah hujan yang relatif besar) yang mengiringi kelangkaan sumberdaya lahan nampaknya telah menyebabkan kerja I telah berkembang lebih baik di subwilayah hilir sehingga intensitas kejahatannya relatif lebih rendah.
140
Gambar 24. Intensitas Kejahatan (KJ) per 10 ribu
Penduduk di Subwilayah Hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung 1996-2008
Gambar 25.. Kerapatan Koperasi (KOP) per 10
Ribu Penduduk di Subwilayah Hulu (HU), Hilir dan Provinsi Lampung 1996-2008
Namun menurut runtun waktu ternyata baik di subwilayah hulu, hilir ataupun rata-rata Provinsi tampak juga memiliki trend yang serupa ketika di massa orba dan memuncak ketika reformasi. Tetapi ketika desentralisasi tata pemerintahan berlangsung, di subwilayah hilir terus menurun, sedangkan di subwilayah hulu masih terus meningkat sekalipun intensitasnya konvergen di tahun 2008. Tampanya ada kecenderungan (trend) dekandensi moral di subwilayah hulu dan perbaikan di sub wilayah hilir. Gejala sosial apa yang membedakan antara kedua subwilyah ini, perlu untuk diteliti lebih lanjut pada level lapangan dikaitkan pula dengan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan. Selain diproksi dengan intensitas kejahatan, kinerja (I)nstitution dalam penelitian ini juga diproksi dengan kerapatan organisasi (ORG) dan kerapatan relawan (RLW) per 10 ribu penduduk. Organisasi massa seperti yayasan, kelompok interes, kelompok agama, paguyuban dan sejenisnya merupakan refleksi bagi hidupnya norma-norma atau tata aturan yang diakui dan dijunjung oleh para anggotanya. Makin besar kerapatannya berarti semakin menjadi ukuran bagi keefektifan I di suatu wilayah, yang pada gilirannya antara lain dapat diharapkan pada kuatnya pengakuan terhadap kepemilikan (property right) yang dapat menjadi insentif bagi berkembangnya berbagai aktifitas perekonomian wilayah. Demikian pula dengan kerapatan jumlah relawan (RLW). Seperti dapat dirujuk pada Tabel 17 dalam kurun 1996-2008 kerapatan organisasi massa secara rata-rata adalah 20,9 (Sd=1,43) di hulu (ORG_HU); 2,20
141
(Sd=1,32) dan 2,18 (Sd=1,30) di seluruh Provinsi Lampung (ORG_PROP). Baik dari sisi angka maupu stadar deviasinya tidak ada perbedaan yang nyata. Kinerja yang serupa juga pada pola perekembangannya. Kecuali untuk RLW_HU (yang meningkat ketika massa reformasi) semua indikator bagi kinerja I tersebut cenderung menurun. Kecenderungan ini sejalan dengan peningkatan intensitas kejahatan (KJ). Ini merupakan alarm yang keras bagi pemerintahan orde reformasi yang telah berlanjut pada tata pemerintahan desentralistik.
Tabel 17. Kerapatan organisasi massa (ORG) dan relawan sosial (RLW) per 10 ribu penduduk di Subwilayah hulu (HU), hilir (HI) dan Provinsi Lampung periode 1996-2008 Tahun
[ORG_HU]
[ORG_HI]
[ORG_PROP]
[RLW_HU]
[RLW_HI]
[RLW_PROP]
1996
3,17
3,23
3,22
60,74
4,82
14,75
1997
3,47
3,16
3,22
11,16
15,33
14,59
1998
3,45
3,13
3,18
11,08
15,16
14,44
1999
2,78
3,23
3,15
8,44
15,72
14,44
2000
3,39
3,06
3,12
10,91
14,45
13,83
2001
3,31
2,07
2,28
10,99
17,01
15,96
2002
3,29
3,82
3,73
10,93
15,90
15,04
2003
2,29
2,53
2,49
0,30
2,34
1,99
2004
0,39
0,41
0,41
2,28
1,93
1,99
2005
0,30
2,82
2,40
2,26
1,85
1,92
2006
0,46
0,10
0,17
3,85
2,30
2,56
2007
0,46
0,61
0,59
3,58
2,65
2,80
2008
0,37
0,47
0,45
3,75
3,24
3,32
Rataan=
2,09
2,20
2,18
10,79
8,67
9,05
Sd= 1,43 1,32 1,30 15,56 Sumber: BPS Kabupaten/Kota Se-Provinsi Lampung (1997-2009; diolah)
6,74
6,40
Berkaitan dengan fenomena itu, tampaknya telah terjadi paradoks, bahwa sekalipun ada trend peningkatan kerapatan bangunan fisik tempat ibadah (IBD), tetapi tendensi dekadensi moral yang diiringi dengan fenomena peningkatan intensitas kejahatan [KJ] tersebut terus berlanjut. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 21 kerapatan tempat ibadah per 10 ribu penduduk dari tahun 1996 sampai 2005 terus meningkat, yang mana peningkatan tersebut yang relatif sama besar baik untuk di hulu (IBD_HU), di hilir (IBD_HI) maupun secara rata-rata di Provinsi Lampung (IBD_PROP). Namun sejak tahun 2005 di subwilayah hulu peningkatan tersebut relatif lebih cepat. Secara rata-rata seperti dapat dirujuk pada Tabel 14 pada dari tahun 1996 sampai dengan 2008, kerapatan tempat
142
ibadah di subwilayah hulu (IBD_HU) relatif lebih tinggi daripada di hilir (IBD_HI) maupun rata-rata di Provinsi Lampung (IBD_PROP) masing-masing 33,99(Sd=3,11); 32,64(Sd=1,29) dan 32,86(Sd=1,49) buah per 10 ribu penduduk. Kerapatan jumlah relawan [RLW] merupakan cerminan kuatnya akumulasi moral, cerminan dari kualitas jiwa altruisme bahkan bisa merupakan cerminan tingginya jiwa filantropia di suatu wilayah. Teori pertumbuhan ekonomi secara endogenik berupaya membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan berkesinambungan oleh karena adanya faktor-faktor endogen dalam suatu sistem perekonomian secara internal. Jikalau demikian, maka faktor endogenik yang kedua [yaitu kinerja faktor (L)eadership] menurut Stimson dkk (2003; 2005) haruslah diekspresikan oleh kuat-lemahnya afinitas atau tendensi dari masyarakat dari wilayah tersebut untuk saling berkerja sama dalam segala sektor kehidupan. Menurut Stimson et al. (2003 dan 2005) adanya orang kuat, peran bintang ataupun one man show, yang menjadi penguasa terhadap suatu kelompok masyarakat bukanlah suatu L yang dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Argumentasi pokok yang dibangun oleh para pakar ini adalah bahwa setiap proses perekonomian tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu orang saja karena selalu harus dilandasi oleh proses-porses transaksi yang berlangsung secara sukarela pula. Karena itu pula, tidak boleh ada yang satu menggagahi ataupun mencurangi, apalagi memeras yang lainnya. Dengan kata lain, segala bentuk transaksi harus berlangsung secara adil (fair). Kuatnya kinerja L ini juga berarti juga semakin meningkatkan jumlah atau intensitas partisipan dalam suatu sistem perekonomian di suatu wilayah. Karena itu menurut para pakar ini tidak mudah untuk memisahkan antara kuatnya (L)eadership dan keefektifan suatu tatanan kelembagaan atau (I)nstitution. Sehubungan dengan deskrispsi tersebut, maka dalam penelitian ini kinerja faktor L diproksi dengan kerapatan jumlah koperasi per 10 ribu penduduk (KOP). Makin besar (KOP) berarti makin beragam jenis organisasi yang bermotifkan akhir pada keuntungan ekonomi yang digalang secara bersama tersebut, makin besar pula intensitas kerjasama yang berlangsung dalam komunitas perekonomian tersebut. Walaupun dalam situasi kinerja faktor I yang terus menurun, tetapi seperti dapat dilihat pada Gambar 25 kinerja KOP terus mengalami peningkatan,
143
dimana yang di hilir (KOP_HI) senantiasa lebih tinggi dari pada yang di hulu (KOP_HU), tetapi tidak lebih dari nilai rata-rata secara agregat di Provinsi Lampung (KOP_PROP). Secara rata-rata untuk periode 1996 sampai 2008 masing-masing adalah 2,96 (Sd=1,27); 3,38 (Sd=0,94) dan 4,00 (Sd=1,20) buah koperasi per 10 ribu penduduk.
Gambar 26 Kerapatan ormas (ORG) per 10 ribu
penduduk di subwilayah hulu (HU), hilir (HI) dan Provinsi Lampung 1996-2008
Gambar 27 Kepadatan relawan sosial (RLW) per10
ribu penduduk di subwilayah hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung 1996- 2008
5.1.4 Korelasi Antarvariabel Proksi Hasil analisis kelima variabel yang digunakan sebagai proksi variabelvariabel endogenik disajikan pada Lampiran (Tabel 1 dan 2). Untuk yang berada di subwilayah hulu korelasi positif terbesar justru [KOP_HU] dengan [KJ_HU] yaitu 0.920. Namun karena peranannya sebagai proksi yang berbeda yaitu untuk L dan untuk I maka keduanya tetap digunakan dalam model. Demikina pula untuk urutan yang ke dua adalah antara [IBD_HU] dengan [KJ_HU] yaitu sebesar 0,770. Sedangkan yang terendah adalah antara [RLW_HU] dengan [ORG_HU] yaitu 0,43. Sedangkan untuk yang berkorelasi negatif terbesar adalah [IBD_HU] dengan
[ORG_HU]
yaitu
-0,863
sedangkan
yag
terendah
adalah
[IBD_HU]dengan [RLW_HU]. Secara umum keadaannya agak berbeda dengan yang berada di subwilayah hilir yang secarra umum relatif lebih rendah. Korelasi positif tertinggi adalah antara [KOP_HI] dengan [IBD_HI] yaitu 0,742.
Keduanya tetap
digunakan dalam model masing-masing untuk mewakili L dengan I.
Korelasi
positif terendah adalah antara [KJ_HI] dengan [RLW_HI] yaitu 0,025. Untuk
144
yang bernilai negatif tertinggi adalah antara [IBD_HI] dengan [ORG_HI] yaitu 0,712. Adapun yang terendah adalah antara [KJ_HI] dengan [ORG_HI] yaitu 0,120. 5.2 Perkembangan Perkonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagaimana temuan Naidoo (2004) di berbagai belahan dunia, bahwa ekternalitas positif dari deforestasi di Provinsi Lampung juga dapat ditunjukkan dalam penelitian ini. Walaupun nampaknya deforestasi di Provinsi ini telah memperlihatkan pada tingkat yang akut, tetapi dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah beserta benefitnya berupa kesejahteraan masyarakat di Provinsi ini dapat kita kaji melalui kinerja makro perekonomian wilayah maupun capaian tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Untuk dapat memberikan deskripsi secara umum tentang kinerja perekonomian dan proses transformasi struktural perekonomian wilayah di Propisi Lampung, pada Tabel 18 disajikan data perekembangan PDRB, jumlah dan pertumbuhan peduduk serta pangsa sektoral perekonomiannya. Pada Gambar 27 disajikan informasi trend perkembangan pangsa sektoral tersebut. Pada Tabel 19 disajikan perkembangan kinerja tingkat kesejahteraan masyarakan untuk periode yang sama. Seperti dapat diperiksa dalam Tabel 18 kolom 4, bahwa pertumbuhan penduduk di wilayah ini secara rata-rata masih terus bertambah dengan rataan 1,26[Sd=0,48]% per tahun. Angka ini melebihi pertumbuhan penduduk di masa Pemerintahan Orba, menurun pada saat reformasi dan meningkat kembali pada massa desentralisasi tata pemerintahan. Pertumbuhan penduduk ini mengikuti pertumbuhan PDRB. Menurut Hayami (2010) bahwa fenomena seperti ini lazim dijumpai pada negara-negara berkembang ketika baru memulai proses transformasi struktural menuju negara industri melalui batu loncatan pertumbuhan subsektor agroindustri, yang disebut sebagai pertumbuhan penduduk yang dilecut oleh pertumbuhan pendapatan secara sementara. Pertumbuhan penduduk semacam ini umumnya tidak reversibel ketika dalam jangka panjang pendapatan menurun kembali (yang disebabkan oleh terjadi pengurasan dan degradasi sumberdaya alam) yang kemudian muncul gejala Ricardian trap.
145
Tabel 18. Indikator Makro dan Pangsa Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2009
[PDRB ]
Jumlah Penddk.
Rp Juta
Juta Jiwa
1996
22.403.393
6,38
1,05
34,02
14,52
2,09
49,37
1997
23.333.740
6,44
1,06
31,29
15,16
2,20
51,35
1998
21.713.128
6,51
1,07
35,87
16,32
1,44
46,37
1999
22.287.128
6,58
1,08
37,67
13,82
2,29
46,22
2000
23.245.983
6,66
1,13
36,56
13,69
2,43
47,32
2001
24.079.608
6,72
0,98
44,55
13,62
2,54
39,29
2002
25.433.275
6,79
0,97
42,74
13,50
4,12
39,64
2003
26.898.052
6,85
0,96
42,08
13,28
4,23
40,40
2004
28.262.289
6,92
0,92
42,29
13,23
3,62
40,86
2005
29.397.248
7,12
2,90
42,55
13,25
3,05
41,15
2006
30.861.360
7,21
1,34
42,72
13,19
2,76
41,32
2007
32.694.890
7,29
1,08
42,56
13,24
2,52
41,68
2008
34.414.653
7,39
1,39
41,75
13,33
2,37
42,56
2009
36.160.501
7,49
1,36
40,60
13,40
2,04
43,97
Rataan=
27.227.518
6,88
1,24
39,80
13,82
2,69
43,68
Tahun
Pertumbhn. Penddk.
[AGR_SH]
[IND_SH]
[MIN_SH]
[OTH_SH]
-------------------------------------------- % ------------------------------------------
Sd= 4.649.639 0,35 0,48 3,85 0,88 0,77 Sumber: BPS (1997-2010, diolah) Keterangan: [AGR_SH]= pangsa sektor pertanian, [IND_SH]=pangsa sektor industri, [MIN_SH]=pangsa sektor pertambangan, [OTH_SH]=pangsa sektor selainnya
3,68
Gambar 28. Perkembangan pangsa perekonomian 1996-2009 di Provinsi Lampung
Seperti dapat diperiksa pada Tabel 18 dan Gambar 28, bahwa perkembangan pangsa sektorindustri [IND_SH] tampak stagnan. Padahal pada periode 1996-1998 sudah menunjukan pertumbuhan dari 14,52% hingga mencapai posisi 16,32% dari total PDRB. Setelah itu pangsa sektor industri ini
146
tampak sangat lambat perkembangannya, tidak mampu beranjak naik dari posisi sekitar 13% PDRB. Di sisi lain, pangsa sekor pertanian terus meningkat dari 34,02% di tahun 1996 menjadi 41,75% di tahun 2008 dan kemudian pada posisi 40,60% dari total PDRB. Artinya telah terjadi deindustrialisasi selama periode 1996-2009. Klaim pada sedang berlangsungnya proses deindustrialisasi ini juga dikuatkan oleh perkembangan sektor-sektor selainnnya [OTH_SH] yang juga reltif menurun termasuk di dalamnya perdagangan, konstruksi, listrik-gas-air bersih, jas-jasa maupun pangsa sektor pertambangan [MIN_SH]. Seperti dapat dirujuk kembali dalam Tabel 13 dan Gambar 19, gejala deindustrialisasi ini bersisian dengan kemerosotan tutupan hutan dan fungsi intrinsiknya di Provinsi Lampung selama periode yang bersisian pula. Masalahnya juga semakin serius ketika pertambahan penduduk yang masihh terus berkembang tersebut. Resultan dari semua fenomena itu kemudian bermuara pada stagnasi capaian kinerja kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung disertai dengan eskalasi kemerosotan jasa lingkungan seperti ditunjukkan oleh meningkatnya frekuensi banjir, kekeringan, kelongsoran tanah dan sebagainya. Pada Tabel
19 disajikan perkembangan kinerja capaian kesejahteraan
masyarakat Propisi Lampung yang tampak relatif stagnan pada periode 1996 sampai 2009 dibandingkan dengan capaian rata-rata secara nasional umumnya. Pendapatan per kapita atas harga konstan [INCP] hanya bergerak dari posisi Rp 3,51 juta pada tahun 1996 ke posisi Rp 4,83 juta di tahun 2009 atau secara ratarata hanya mencapai sekitar Rp 3,93[Sd=0,47]juta. Demikian jugadengan pertumbuhan ekonomi [G_ECONM] pada periode yang sama hanya mencapai rata-rata 4,03[Sd=3,29]%. Akibat lebih lanjut insidensi kemiskian sulit dieleviasi dan tampak trend menjadi makin terpolar di perkotaan [URB_POOR]. Polarisasi ini yang mungkin sekali merupakan bukti dari telah meningkatnya urbanisasi oleh sebab sektor pertanian di perdesaan makin terbebani oleh proses deindustrialisasi tersebut. Klimaks dari serangkaian fenomena dari degradasi suberdaya alam, deindustrialisasi serta persistensi kemiskinan adalah pada capaian indeks pembangunan manusia [HDI] yang juga selalu berada di bawah capaian rata-rata nasional. Namun perlu dicatat bahwa setelah berlangsungnya desentralisasi fiskal
147
(utamanya setelah tahun 2003) telah terjadi penguatan indeks nilai tukar petani [NTP], perbadingan indeks harga yang dapat diraih petani terhadap harga yang harus dibayar petani. Kenaikan ini nampaknya telah cukup memberikan kontribusi pada kemampuan petani dalam mengkonsumsi produk barang dan jasa, diikuti oleh peningkatan kinerja kesehatan dan meningkatkan pengetahuan. Dengan begitu [HDI] di tahun 2009 telah mencapai pada posisi 70.93 tidak terpaut jauh dengan rata-rata nasional.
Tabel 19. Perkembangan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2009
Tahun
[INCP] Rp Juta
[G_ECONM]
[R_POOR]
[URB_POOR]
[T_POOR]
[NTP]
[HDI]
------------------------------------------ % ---------------------------------
1996
3,51
7,95
-
-
-
78,67
67,40
1997
3,62
4,15
-
-
-
75,94
-
1998
3,33
-6,95
-
-
-
73,06
-
1999
3,39
2,58
-
-
-
81,43
63,00
2000
3,49
3,40
27,71
31,14
30,43
79,60
-
2001
3,58
3,70
16,69
27,2
24,91
79,90
64,90
2002
3,75
5,49
22,42
24,53
24,05
76,21
65,80
2003
3,93
5,72
21,36
22,98
22,63
73,60
66,00
2004
4,09
5,07
20,17
22,81
22,22
100,57
68,40
2005
4,13
4,02
20,46
21,78
21,42
106,80
68,80
2006
4,28
4,98
20,35
23,67
22,77
105,60
69,38
2007
4,49
5,94
18,11
23,7
22,19
107,89
69,78
2008
4,66
5,26
17,85
22,14
20,98
104,19
70,30
2009
4,83
5,07
16,78
21,49
20,22
107,90
70,93
Rataan=
3,93
4,03
20,19
24,14
23,18
89,38
67,70
Sd= 0,47 3,29 3,11 2,80 2,75 14,22 2,38 Sumber: BPS Provinsi Lampung (1997-2010, diolah) Keterangan: [INCP]=pendapatan/kpt, [G_ECONM]=pertbh. ekonomi, [R_POOR]=kemiskinan di perdesaan, [URB_POOR]=kemiskinan di perkotaan, [T_POOR]=kemiskinan wiayah, [NTP]=nilai tukar Petani dan [HDI]=indeks pembangunan manusia
5.3 Tingkat Kesejahteraan versus Kinerja Lingkungan 5.3.1 Model Perilaku Kinerja Kesejahteraan dan Lingkungan Menurut Jha dan Murthy (2003) bahwa di negara-negara berkembang yang capaian tingkat kesejahteraannya tergolong medium (HDI berkisar 60-70) proses degradasi lingkungan sebagai dampak dari proses pembangunan masih
148
akan terus berlangsung. Di sisi lain, dari capaian tingkat kesejahteraannya tersebut, telah terjadi kemerosotan kualitas lingkungan. Terjadi eskalasi degradasi jasa lingkungan tersebut seperti ditunjukkan oleh gejala eskalasi frekuensi: (i) konflik manusia dengan satwa liar di setiap zona penyangga dari setiap kawasan konservasi yang ada di provinsi ini (Nyhus et al, 2004), (ii) frekuensi kekeringan (Sihite, 2004) dan (iii) banjir dari 3,61% menjadi 6,43% dan kelongsoran tanah dari 1,20% menjadi 2,14% dari total desa-desanya untuk semua kabupaten/kota di lingkup provinsi ini dari tahun 2005 sampai 2008 (BPS Provinsi Lampung, 2006a dan 2009a). Secara deskriptif kinerja tingkat kesejahteraan dan korbanan lingkungan untuk setiap kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Lampung disajikan pada Lampiran Tabel 4 sampai 6). Hasil analisis regresi secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran. Sedangkan hasil dugaan parameter model untuk capain kinerja indek pembangunan manusia ke depan [HDI]t+1; proposi desa di setiap kabupaten/kota yang dilanda tanah longsor [LSLIDE] maupun yang dilanda banjir [FLOOD] masing-masing diungkapkan dengan Pers.{4.1}, Pers. {4.2} dan Pers.{C} seperti disajikan pada Tabel 20. Seperti dapat diperiksa pada Pers.{4.1}, bahwa kinerja capaian indeks pembangunan manusia tahun depan [HDI]t+1 hanya dipengaruhi oleh capaian indek pembangunan manusia tahun berjalan [HDI]t maupun kinerja perkebunan kopi rakyat [COFF]t. Fenomena ini memberi makna bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di setiap kabupaten/kota satu tahun ke depan sangat ditentukan oleh tingkat konsumsi di tahun berjalan ini. Demikian pula dengan tingkat kesehatan maupun tingkat pencapaian pengetahuannya. Adapun kinerja hutan rakyat [HR]t maupun maupun hutan negara [HN]t tahun berjalan sekalipun memiliki kontribusi positif terhadap kinerja [HDI] t+1, tetapi kontribusinya tidak nyata. Fenomena ini juga memberikan isyarat bahwa sesuai dengan derajat deforestasi yang sudah sangat akut, maka produk material hasil hutan, baik kayu maupun nir kayu, (yang sifatnya dapat dipanen secara seketika pada tahun berjalan) tidak cukup memberikan kontribusi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setahun ke depan. Namun sangat mungkin dapat diharapkan untuk peningkatan kesejahteraan di tahun-tahun mendatang.
149
Peranan perkebunan kopi rakyat di tahun berjalan [COFF] yang bersifat positif nyata terhadap capaian kinerja [HDI]t+1 dapat difahami mengingat Provinsi Lampung yang merupakan eksportir biji kopi urutan ke dua setelah Sumatera Selatan (Ditjen Perkebunan, 2009). Dengan kinerja ekspor tersebut dapat mendorong aktivitas di berbagai sektor lainnya yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara agregat dan akhirnya berperannya nyata terhadap kinerja [HDI]t+1. Tabel 20.
Model Dugaan Kinerja Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tahun Depan [HDI]t+1, Intensitas Banjir [FLOOD]t dan Longsor [LSLIDE]t di Wilayah Penelitian
No.
Persamaan
Bentuk Relasi
{4.1}
Capaian Indeks Pemb.Manu sia Setahun ke Depan
[HDI] t+1
=
{4.2}
Intensitas Kelongsoran Tanah dalam Tahun Berjalan
[LSLIDE] t
=
R2 (adj)
Pvalue
5,17 + 0,928**[HDI] t + 0,0646[HR] t + 0,00368 [HN] t + 0,00151[LDEG] t +0,00724[SWH] t + 0,0208*[COFF] t - 0,0039[ESTPL] t +0,000001[CH] t + 0,322 [D1_URBAN]
99,5%
0,000
2,09 - 0,451^ [HR] t - 0,114[HN] t - 0,0109[LDEG] t - 0,0894** [SWH] t - 0,0548[COFF] t +0,0147[ESTPL] t + 0,00207^[SHIFT] t - 0,0979[FALLOW] t + 0,477[POND] t - 0,0780 [SWAMP] +0,000302 [CH] + 2,08* [D1_URBAN] - 0,391 [D2_VOLC] + 3,40* [D3_PLUT] + 0,084 [D4_HILL] + 3,22* [D5_MOUNT]
95,9%
0,09
{4,3}
Intensitas [FLOOD] t = 18,1 - 0,218 [HR] t - 0,525*[HN] - 0,0187 [LDEG] 99,0% 0,074 Bencana - 0,235* [SWH] - 0,300* [COFF] - 0,253*[ESTPL] Banjir dalam - 0,0867 [SHIFT] -0,000186 [CH] - 3,46* [D1_URBAN] Tahun - 1,09 [D4_HILL] + 7,16 [D5_MOUNT] Berjalan Keterangan: ** =sangat nyata pada taraf 1%; * =nyata pada taraf 5%; ^ =nyata pada taraf 10%; Simbol-simbol yang digunakan dalam Tabel 20 ini sama dengan yang digunakan dalam Lampiran Tabel 1
Dari Pers. {4.1}tersebut juga terungkap bahwa peranan luasan sawah [SWH]t. perkebunan besar [ESTPLT]t di tahun berjalan juga tidak berperan nyata dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat di tahun depan [HDI]t+1. Begitu pula mengenai status yurisdiksi wilayah [D1_URBAN], yang memberi arti bahwa tidak ada bedanya bagi rata-rata warga masyarakat untuk memperoleh peningkatan kesejahteraannya apakah bertempat tinggal di wilayah yurisdiksi berstatus kota ataupun berstatus kabupaten di lingkup Provinsi Lampung.
150
Seperti dapat diperiksa pada Pers. {4.2}, bahwa sekalipun belum dapat memberikan kontribusi secara nyata dalam meningkatan kesejahteraan di tahun depannya [HDI]t+1, ternyata kinerja hutan rakyat di tahun berjalan [HR]t dapat secara sangat nyata mereduksi intensitas bencana kelongsoran tanah pada tahun yang sama [LSLIDE]t. Seperti ditunjukkan oleh koefisien (parameter) yang dimiliki oleh variabel [HR]t yang bernilai -0,451% memberi makna bahwa bila faktor-faktor lain dipertahankan tetap, setiap ada penambahan luasan hutan rakyat sebesar 1%, maka akan ada sekitar 0,451% (kali total desa yang ada di setiap kabupaten/kota) yang terbebas dari bencana kelongsoran tanah di tahun berjalan. Adapun peranan hutan negara [HN]t juga demikian terhadap reduksi kelongsoran tanah sekalipun pengaruhnya belum nyata. Sekalipun variabel [SWH]t tidak memberikan kontribusi terhadap [HDI]t+1, tetapi seperti dapat diperiksa dalam Pers.{4.2} juga, bahwa proporsi sawah di tahun berjalan secara sangat nyata dapat mereduksi intensitas kelongsoran tanah pada tahun yang sama [LSLIDE]t. Tampaknya konstruksi fisik bangunan sawah yang berteras-teras dapat berfungsi dalam pengaturan aliran permukaan (run off), menahan air secara sementara, dan mengalirkan kelebihan air permukaan melalui saluran-saluran drainase yang telah dibuat untuk menuju ke saluran alami. Perilaku dalam pengaturan aliran air ini sangat ditunjang oleh adanya lapisan bajak yang relatif kedap sehingga perkolasi air kedalam profil tanah juga berlagsung secara teratur, tidak menyebabkan lapisan dalam profil tanah jenuh dengan air yang berarti juga tidak terbentuk bidang luncur dalam proril tanah yang menjadi prasyarat terjadinya kelongsoran tanah. Dalam Pers. {4.2} juga dapat diperiksa bahwa variabel [D1_URBAN] dapat meningkatkan kelongsoran tanah secara nyata, itu mungkin sekali berkaitan dengan kepadatan populasi per satuan luas areal. Penggerombolan bangunan fisik tampaknya telah memperluas lapisan kedap di satu sisi, membuat kosentrasi aliran permukaan yang dapat juga menerjang bangunan drainase perkotaan utamanya yang terletak di areal yang geomorfiknya agak curam berbukit-bukit kecil (hillockies) seperti di Kota Bandar Lampung. Bentuk geomorfik Kota Bandar Lampung yang seperti itu terbentuk oleh aktivitas geologi yang kemudian membentuk Sesar Lampung yang relatif peka
151
terhadap gaya-gaya eksogen seperti kelongsoran tanah. Perilaku ini juga ditunjukan oleh batuan geologik sebagai bahan pembentuk tanah yang berumur tua (seperti batuan beku dalam atau plutonik) yang umumnya juga telah mengalami pelapukan oleh gaya-gaya iklim (weathering) yang sudah lanjut. Oleh karena itu maka variabel [D3_PLUT] juga bersifat nyata terhadap [LSLIDE]t. dibandingkan dengan yang berbahan induk volkanik [D2_VOLC]. Sementara itu juga dalam Pers.{4.2} tersebut juga terungkap bahwa wilayah yurisdiksi yang berada di atas batuan induk volkanik tidak berbeda nyata terhadap batuan sedimen ataupun lainnya. Selain itu wilayah yurisdiksi yang terletak di atas bentang lahan kelompok
pegunungan
[D5_MOUNT]
secara
nyata
memiliki
intensitas
kelongsoran secara rata-rata 3,22% lebih besar dibandingkan kabupaten yang terletak di atas bentang lahan perbukitan [D4_HILL]. Sedangkan yang berada di atas bentang lahan [D4_HILL] tidak berbeda nyata dengan wilayah yang berada di atas dataran. Pada Pers.{4.3} dapat diperiksa bahwa hutan negara [HN]t secara nyata dapat mereduksi intensitas banjir di tahun berjalan [FLOOD]t. Jika faktor-faktor lain tetap, setiap ada pertambahan luas [HN] sebesar 1% di suatu kabupaten maka intensitas banjir yang melanda desa-desa di kabupaten yang bersangkutan akan berkurang sebesar 0,525% seperti terungkap sebagai parameter [HN] dalam Pers.{4.3} tersebut. Untuk proporsi hutan rakyat [HR]t sekalipun dapat mereduksi intensita banjir, tetapi pengaruhnya tidak nyata. Proporsi sawah [SWH]t juga secara nyata dapat mereduksi [FLOOD]t. Sebagaimana pengaruh terhadap intensitas kelongsoran tanah, konstruksi bangunan sawah berupa terassering tampaknya juga dapat mengendalikan laju aliran permukaan. Menampung kelebihan air hujan (excess rainfall), memfasilitasi air untuk tinggal sementara waktu di dalam petak-petak sawah yang mengalirkan secara perlahan dan kontinyu ke petak-petak yag lebih rendah elevasinya dan akhirnyya menuju ke saluran-saluran drainase alami. Dengan begitu dapat menghindari terjadinya konsentrasi masa air dalam volume yang besar dalam waktu yang relatif singkat, yang berarti pula dapat mereduksi banjir.
152
5.3.2 Ambang Toleransi Deforestasi Lanjutan dan Konversi Hutan dan Kebun Kopi Menjadi Perkebunan Besar Dengan menggunakan Pers. {4.1}, Pers. {4.2} dan Pers. {4.3} telah dilakukan simulasi dengan cara mengurangi proporsi [HR]t, [HN]t dan [COFF]t berturut-turut dari 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30% dan 50% dimana pengurangan proporsi tersebut dialokasikan menjadi perkebunan besar [ESTPL]t. Dengan begitu dapat diketahui nilai akhir dari [HDI]t+1, perubahan [LSLIDE]t dan [FLOOD]t dari tiap kabupaten/kota yang berada dalam lingkup Provisi Lampung. Lebih lanjut hasil-hasil tersebut dikelompokkan antara yang berada di subwilayah hulu maupun hilir. Dalam hal ini rataan hasil Kabupaten Lampung Barat dengan Kabupaten Tanggamus dikelompokkan sebagai subwilayah hulu [HU] sedangkan kelompok kabupaten/kota selainnya Pengurangan proporsi [COFF] mengingat ―perkebunan kopi‖ di Provinsi Lampung umumnya merupakan perkebunan rakyat dan yang terluas ditanam di kawasan hutan negara dengan kultur teknis berupa wanatani (agroforestry) sehingga sering menjadi subyek akan masalah ekolabeling yang dapat menekan ekspor kopi nasional yang juga dapat berujung pada kemerosotan kesejahteraan petani maupun masyarakat Provinsi Lampung secara keseluruhan. Dalam pada itu, resiko konversi ―kebun kopi‖ menjadi penggunaan lain, dalam beberapa aspek dapat dipandang setara dengan deforestasi. Adapun pemilihan dipilih perkebunan besar [ESTPL] yang menjadi alokasi penggunaan lahan berikutnya, mengingat pola penggunaan lahan perkebunan besar dapat dipandang sebagai suatu sistem pertanian yang masih relatif kurang intensif dengan tanaman utama berupa pohon. Kecuali itu, perluasan areal untuk penggunaan lahan [ESTPL] seperti kelapa sawit dan karet di Provinsi Lampung relatif berkaitan dengan kemudahan aksesnya terhadap permodalan maupun kekuatan lainnya. Ringkasan hasil simulasi tersebut disajikan dalam Tabel 21.
153
Tabel 21. Ringkasan Hasil Penentuan Simulasi Trade Off Nilai Ambang Toleransi Deforestasi Lanjutan pada Hutan Rakyat [HR], Hutan Negara [HN] dan pada ―Perkebunan Kopi Rakyat‖ [COFF] untuk Dikonversi Menjadi Perkebunan Besar [ESTPL] di Provinsi Lampung No
Tingkat Deforestasi Menjadi Perkebunan Besar
Konversi Menjadi [ESTPL] di Areal
0%
[1]
5%
10%
15%
20%
25%
30%
50%
Capaian Indeks Pembangunan Manusia Setahun Ke Depan [HDI]t+1 Hutan Rakyat [HR] Hutan Negara [HN] “Kbn. Kopi Rakyat” [COFF]
Hulu
Hasil
69,89
69,88
69,87
69,86
69,85
69.84
69.83
69.79
Hilir
Hasil
71.31
71.30
71.30
71.29
71.29
71.28
71.28
71.27
Hulu
Hasil
69.89
69.89
69.88
69.88
69.87
69.87
69.87
69.85
Hilir
Hasil
71.31
71.30
71.29
71.29
71.28
71.27
71.27
71.24
Hulu
Hasil
69.89
69.89
69.89
69.88
69.88
69.88
69.88
69.87
Hilir
Hasil
71.31
71.30
71.29
71.28
71.27
71.26
71.25
71.22
[2]
Proporsi Desa per Kabupaten/Kota yang Dilanda Tanah Logsor Tahun Berjalan [LSLIDE]t Hutan Rakyat [HR]
Hulu Hilir
Hutan Negara [HN]
Hulu Hilir
“Kbn. Kopi Rakyat” [COFF]
Hulu
Hilir
Hasil
2,61
2,68
2,75
2,82
2,89
2,96
3,03
3,32
Delta [%]
0,00
2,72
5,45
8,12
10,84
13,55
16,26
27,12
Hasil
0,61
0,65
0,67
0,69
0,71
0,73
0,75
0,83
Delta [%]
0,00
6,64
10,02
13,39
16,77
20,14
23,52
36,62
Hasil
2,61
2,68
2,75
2,82
2,90
2,97
3,04
3,33
Delta [%]
0,00
2,69
5,44
8,19
10,94
13,69
16,45
27,45
Hasil
0,61
0,71
0,76
0,80
0,85
0,90
0,94
1,13
Delta [%]
0,00
16,74
24,26
31,80
39,33
46,86
54,39
84,51
Hasil
2,61
4,29
4,29
4,30
4,30
4,31
4,32
4,34
Delta [%]
0,00
64,26
64,48
64,71
64,93
65,15
65,37
66,47
Hasil
0,61
0,64
0,67
0,70
0,72
0,75
0,78
0,89
Delta [%]
0,00
5,09
9,64
14,19
18,74
23,29
27,84
46,04
[3]
Proporsi Desa per Kabupaten/Kota yang Dilanda Banjir Tahun Berjalan [FLOOD]t Hutan Rakyat [HR]
Hulu
Hilir
Hutan Negara [HN]
Hulu
Hilir “Kbn. Kopi Rakyat” [COFF]
Hulu
Hilir
Hasil
3,29
3,29
3,28
3,28
3,27
3,27
3,26
3,24
Delta [%]
0,00
-0,09
-0,25
-0,42
-0,58
-0,75
-0,91
-1,56
Hasil
3,56
3,56
3,56
3,56
3,56
3,56
3,56
3,60
Delta [%]
0,00
0,13
0,08
0,03
-0,02
-0,06
-0,12
1,05
Hasil
3,29
3,44
3,59
3,75
3,90
4,05
4,20
4,81
Delta [%]
0,00
4,64
9,24
13,85
18,45
23,06
27,66
46,08
Hasil
3,98
4,00
4,02
4,04
4,06
4,08
4,10
4,18
Delta [%]
0,00
12,45
13,04
13,53
14,07
14,61
15,15
17,31
Hasil
3,29
3,30
3,30
3,31
3,32
3,32
3,33
3,36
Delta [%]
0,00
0,23
0,42
0,60
0,79
0,97
1,16
2,08
Hasil
3,56
3,59
3,67
3,74
3,82
3,90
3,98
4,29
Delta [%]
0,00
0,78
2,97
5,16
7,35
9,54
11,73
20,49
Sumber: Hasil Simulasi (2011) Keterangan: Tanda blok= batas maksimum deforestasi; Untuk kriterium ambang [HDI]t+1 di hulu >70,52 di hilir > 71,28 sebagai angka capaian riil rata-rata bagi kedua subwilayah tersebut Tahun 2009; Kriteria untuk peningkatan [LSLIDE] dan [FLOOD] harus <10%.
154
Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab IV, bahwa kriteria yang digunakan untuk menentukan nilai ambang toleransi deforestasi ada 3 yaitu: (i) [HDI]t+1 untuk hulu >70,52 untuk hilir >71,28; (ii) peningkatan [LSLIDE]<10%; dan (iii) peningkatan [FLOOD]<10%. Atas dasar kriteria ini maka dapat diambil keputusan bahwa: (1) Untuk di subwilayah hulu tidak ada ruang bertoleransi bagi deforestasi lanjutan di [HN_HU]; [HR_HU] maupun di areal [COFF] mengingat persyaratan terberatnya pada korbanan [HDI]t+1 sekalipun eskalasi banjir maupun kelongsoran tanah masih bisa bertoleransi sampai lebih dari 10%; dan (2) Untuk subwilayah hilir: (a) pada [HR_HI] batas ambang deforestasi adalah 5% sekalipun [HDI]t+1 bisa bertoleransi sampai 20% sementara ekslaksi banjir tidak menjadi pembatas; (b) pada [HN_HI] tidak ada ruang bertoleransi mengingat eskalasi [FLOOD] dan [LSLIDE] akan menjadi pembatas sekalipun untuk pencapaian [HDI]t+1 bisa bertoleransi sampai 10% deforestasi; dan (c) [COFF] di subwilayah hilir sebesar 10% dari yang ada sekarang. Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan bahwa: agar capaian kesejahteraan masyarakat ke depan tidak menjadi korban sekaligus kinerja lingkungan tidak merosot secara nyata, maka deforestasi lanjutan hanya ada ruang di: (i) hutan rakyat yang berada di subwilayah hilir [HR_HI] sebesar maksimum 5% dan (ii) di kebun kopi yang berada di subwilayah hilir [COFF_HI] maksimum 10% dari luasan yang ada sekarang atau setara masing-masing [HR_HI]=1.006 ha dan untuk [COFF_HI]=5.378 ha.
5.4 Rancangan Praksis Pengembangan Ekonomi Wilayah Pada dasarnya rancangan ini terdiri dari 2 bagian yaitu: (i) Strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan (ii) Strategi untuk mendistribusikan secara fair hasil-hasil pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai. Bagian yang pertama diekspresikan oleh Pers. {4.4} sampai {4.10} sedangkan bagian ke dua dengan Pers. {4.11} dan {4.12}. Hasil analisis ragam regresi Pers {4.4} sampai {4.12} disajikan pada Lampiran Tabel 7 sampai 15). Bagian pertama bermodalkan (Re)source endowment sumber daya hutan yang telah terdegradasi dengan kondisi (M)arket tapping yang ada maupun faktor-faktor endogenik (L, I, & E) untuk mendeskripsikan perilaku pertumbuhan ekonomi wilayah di Provinsi Lampung.
155
Dalam bagian yang ke dua untuk mendeskripsikan pendayagunakan kelompok masyarakat petani (yang umumnya lemah dalam mengakses hasil-hasil akumulasi kapital sekalipun secara fundamental memiliki peran dan andil yang esensial) sebagai instrumen untuk mencapai pembangunan secara berkelanjutan di wilayah ini. Hasil-hasil analisis regresi secara simultan tersebut secara lengkap disajikan dalam Lampiran (dari Tabel 7 sampai 15).
5.4.1 Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Dengan mengacu pada Gambar 18, maka pembahasan dimulai dengan deskripsi tentang peranan kinerja (I)nstitution dan (L)eadership tehadap kinerja (E)ntrepreneurship,
yang
telah
dihipotesiskan
menjadi
motor
penghela
akumuluasi kapital maupun penghela kesejahteraan masyarakat di setiap wilayah. Untuk kepentingan intervensi kebijakan, maka dalam penelitian ini dipisahkan antara peran kelompok wirausahawan kecil versus wirausahan besar-sedang yang karteristiknya secara generik dihipotesiskan berbeda, utamanya dalam hal efisiensi alokasi penggunaan sumberdaya, kemampuan dalam mengakses kredit, kemampuan dalam menangkap peluang pasar, kelenturan terhadap guncangan termasuk terhadap kriminalitas ataupun terhadap para pemburu rente (free riders) lainnya. Untuk keperluan yang sama (dan juga dikaitkan konteks kerentanan biofisik wilayah) maka deskripsi kinerja E tersebut juga dipisahkan antara yang beroperasi di subwilayah hulu (HU) maupun hilir (HI). Deskripsi hubungan ini diwakili oleh Pers. {4.4} sampai {4.7}.
(1) Kinerja (E)ntrepreneurship di Subwilayah Hulu Deskripsi hubungan kinerja E terhadap setting kelembagaan dan kinerja (L)eadership di subwilayah hulu untuk kelompok industraiawan kecil [IKC_HU] disajikan dalam Pers.{4.4}. Dari persamaan ini terungkap intensitas kejahatan sangat nyata dalam menurunkan kinerja E di subwilayah hulu yang diproksi dengan kepadatan industri kecil per 10 ribu penduduk (IKC_HU).
156
Tabel 22. Hasil Regresi Beberapa Persmaan Simulatan untuk Perancangan Praksis Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung No
Persamaan
{4.4}
Kerapatan Industri Kecil/10 Ribu Penduduk di Hulu Kerapatan Industri BesarSedang /10Ribu Penduduk di Hulu Kerapatan Industri Kecil /10 Ribu Penduduk di Hilir Kerapatan Industri BesarSedang /10Ribu Penduduk di Hilir Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri (%)
{4.5}
{4.6}
{4.7}
{4.8}
Bentuk Relasi
R2 (adj)
P-value
[IKC_HU] t
=
- 87,0 + 13,3*[KOP_HU]t -11.4 **[KJ_HU]t + 6.28* [IBD_HU]t - 7.4 [RZ]
79.2%
0,001
[IBS_HU] t
=
0,0480 + 0,00006 [IKC-HU] + 0,0211**[KOP_HU]t + 0,00381[KJ_HU]t + 0,0044 [IBD_HU]t - 0,00797[RZ]
81,3%
0,001
[IKC_HI] t
=
-192** +7,15*[KOP_HI]t -21,6*[KJ_HI]t-1 + 8,77**[IBD_HI]t + 2,03*[ORG_HI]t + 0,126[RLW] - 6,62^[RZ]
97,8%
0,003
[IBS_HI] t
=
-12,8 + 0,0547 [IKC_HI]t - 0,325 [KOP_HI]t + 0,825 [KJ_HI]t-1 -0,534 IBD_HI]t - 0,169 [ORG_HI]t - 0,00346 [RLW_HI]t + 0,296 [RZ]
33,0%
0,431
[G_IND_SH]
=
- 530** + 0,0485^ [IKC_HU]t-1 – 43,6^[IBS_HU]t-1 + 0,194** [IKC_HI]t -1 –18,3[IBS_HI] t-1 + 5,44**[AGR_SH]t-1 + 4,48** [MIN_SH]t -1 + 6,56** [OTH_SH]t-1 – 6,24 **[RZ]
93,9%
0,001
t
{4.9}
Pertumbuhan Pendapatan/ Kapita Sekt. Pertanian (%)
[G_INCP_ AGR]t
=
- 128* + 11,8*[HR_HU]t-1 + 0,377*[HN_HU]t-1 + 6,02* [HR_HI]t-1 + 0,0664 [HN_HI]t-1 + 0,174[JL_HU]t + 1,60** [JL_HI]t + 30,7**[RZ]
99,6%
0,043
{4.10}
Pertumbuhan Ekonomi (%)
[G_ECONM]t
=
2,98** + 0,745**[G_IND_SH] t +0,462**[G_INCP_AGR]t-1 + 0,46[RZ]
78,2%
0,001
{4.11}
Nilai Tukar Petani
[NTP]t
=
59,7** + 3,69**[G_ECONM]t-1 + 26,6**[RZ]
91,7%
0,000
99,9%
0,000
{4.12}
Indeks [HDI] t = 67,57 **+ 0,05101* [NTP]t Pembangunan - 0,26916** [R_POOR]t + 2,2067* [RZ] Manusia Keterangan: **=sangat nyata (taraf 1%), *= nyata (taraf 5%), dan ^= nyata (taraf 10%) Sumber: Hasil Penelitian (2011)
Secara rata-rata, jika faktor lain tetap, maka setiap ada satu kejahatan akan menurunkan IKC_HU sebesar 11.4 buah per tahun. Namun sebaliknya tempat ibadah di subwilayah hulu ini (IBD_HU) dapat dijadikan ukuran bagi keefektivan atau kinerja (I)nstitution, yang dapat menstimulasi tumbuhnya (E), dimana jika faktor lain tetap, maka setiap ditemuui satu tempat ibadah akan bersisian dengan
157
6.4 buah IKC_HU. Arti lebih lanjut, bahwa tempat ibadah di subwilayah hulu ini secara efektif dapat menjadi tempat penempaan tata aturan hidup bersama atau moral code formation (Hayami, 2001) untuk saling berhubungan dengan fihak lain sehingga secara efektif berbagai macam bentuk transaksi dapat dijamin relatif aman, tak terkecuali untuk transaksi yang bermotifkan ekonomi secara langsung. Tempat ibadah tampaknya juga dapat menjadi tempat berinteraksi, membangun social capital, pengembangan jejaring dan akhirnya dapat menumbuhkan berbagai ide kreatif yang bermuara pada perkembangan usaha kecil yang pada akhirnya bermuara juga pada manfaat ekonomi. Sebagaimana menurut Yamamoto (1992 dikutip Hayami, 2001) di Jepang pada abad ke 18 perekonomian pasar dapat berkembang pesat mengiringi kejayaan ajaran moral utamanya dari Mazhab Isihada yang merupakan hasil interaksi ajaran Konghucu, Budha dan Shinto yang substansinya mirip dengan ajaran moral ekonomi dari Adam Smith yaitu: kebersahajaan, ketekunan, kejujuran dan dapat dipercaya (frugality, industry, honesty, and fidelity). Kinerja I yang efektif ini merupakan aset sosial yang dapat menekan biaya-biaya transaksi. Perlu ditekankan di sini, bahwa biaya transaksi (seperti untuk pencarian informasi, biaya pengikatan, biaya pengawasan, biaya asuransi dll) akan sangat direduksi bila keefektivan I di suatu wilayah tersebut efektif, yang akan menjadi insentif bagi setiap aktivitas wiraushawan mikro di subwilayah (IKC_HU) ini. Keefektifan kinerja I di subwilayah ini ternyata juga bersisian dengan relatif kuatnya kinerja L, yang dalam hal ini jika faktor lain tetap, maka setiap ditemui 1 koperasi terkait dengan adanya IKC_HU sebanyak 13,3 buah. Kinerja E dari kalangan usaha mikro juga secara nyata dipengaruhi oleh kekuatan (L)eadership yang berkembang di subwilayah hulu ini. Menurut Stimson dan Stough (2008) bahwa kinerja I relatif tidak cepat berubah, namun kekuatan L seringkali dapat menstimulasi dan memfasilitasi berkembangnya interaksi antarwarga dalam suatu komunitas. Kuatnya interaksi tersebut pada gilirannya juga dapat menstimulasi untuk saling menghargai sesamanya, silih asih dan silih asuh, tidak terkecuali dalam menghargai kepemilikan (property right) dan sekaligus dapat menekan free rider,
158
yang kemudian dapat menfasilitasi berkembangnya kinerja E. Sebalikya dengan kinerja I yang efektif dapat mempunyai feedback loop yang menguatkan terhadap kinerja L dan pada akhirnya juga bersama-sama menguatkan E kembali. Deskripsi penguatan E oleh kinerja L di subwilayah hulu ini juga dapat ditangkap dalam penelitian ini melalui peranan kerapatan koperasi per 10 ribu penduduk atau [KOP_HU] yang bersifat secara positif nyata terhadap kerapatan industri kecil di subwilayah hulu [IKC_HU]. Dalam konteks ini jiwa silih asah dan silih asuh yang tertanam dari para anggota koperasi tersebut berpengaruh dalam menstimulasi berkembangnya keinerja E di di subwilayah hulu ini. Namun situasi-situasi tersebut tidak berbeda nyata antara sebelum dan sesudah berlangsungnya disentralisasi fiskal (RZ). Dengan kata lain bahwa desentralisasi fiskal belum memberikan dampak nyata terhadap perkembangan kewirausahaan di subwilayah hulu, khususnya bagi kelompok wirausahawan kecil. Nampaknya desentralisasi seperti DAU, DAK dapat meningkatkan kinerja layanan publik yang bertalian dengan kepentingan kewirausahaan kelompok mikro di wilayah hulu ini. Kecuali itu dari Pers. {4.4} secara keseluruhan dapat ditarik makna bahwa keempat variabel penjelas tersebut secara bersama memiliki pengaruh sangat nyata terhadap kinerja E di subwilayah hulu (P_value=0,001 atau setiap 1000 pengamatan ada 1 penyimpangan) dan keragaman data IKC_HU (sebagai proksi bagi kinerja E) sebanyak 79,2% dapat dijelaskan oleh keragaman keempat variabel penjelas tersebut secara bersama seperti ditunjukkan oleh nilai R2(adj)nya. Peranan L terhadap kinerja E seperti ini juga dapat ditunjukkan pada kalangan wirausahawan besar-sedang (IBS_HU) di subwilayah hulu, bahkan kerapatan jumlah koperasi per 10 ribu penduduk (KOP_HU) secara sangat nyata bersisian dengan (IBS_HU). Seperti dapat diperiksa pada Pers.{4.5}, bahwa jika faktor lain tetap, maka setiap ditemui 1 koperasi per 10 ribu penduduk maka terkait dengan kepadatan industri besar-sedang sebanyak 0,0211 buah (IBS_HU). Sedangkan variabel intensitas kejahatan di hulu (KJ_HU), kerapatan jumlah tempat ibadah di hulu (IBD_HU) maupun rezim tata pemerintahan (RZ) tidak secara nyata terkait dengan kinerja E dari kelompok wirausahawan besar-sedang
159
di subwilayah hulu ini. Artinya perkembangan kelompok wirausahawan ini tidak secara nyata terpegaruh oleh kinerja keamanan maupun, tata aturan, maupun rezim. Walaupun begitu, keempat variabel ini secara bersama berperan sangat nyata bagi perkembangan kinerja E dari kalangan wirausahawan besar-sedang di subwilayah hulu (IBS_HU) seperti tunjukkan oleh Pvalue-nya=0,001.
(2) Kinerja (E)nterpreneurship di Subwilayah Hilir Secara umum subwilayah hilir dicirikan oleh kepadatan populasi yang relatif lebih tinggi sehingga interaksi antarorang menjadi lebih intensif. Interaksi ini pada gilirannya dapat membangkitkan demand dan berarti pula dapat meningkatkan kinerja E. Interaksi tersebut juga dapat menempa keefektifan kinerja I maupun penguatan kinerja L dalam masyarakat, yang kemudian dapat menstimulasi perkembangangan kinerja E kembali tidak terkecuali dalam sub kelompok masyarakat wirausahawan mikro. Faktanya seperti dapat dilihat dalam Pers. {4.6}. Kepadatan koperasi atau KOP_HI (sebagai proksi bagi L) secara positif nyata terkait dengan intensitas atau kepadatan IKC_HI.
Begitu pula
dengan kepadatan organisasi sosial kemasyarakatan (ORG_HI). Kuatnya L ini juga dapat dibuktikan beriringan dengan efektifnya I. Seperti diperlihatkan pada Pers. {4.6} bahwa bila faktor lain tetap, maka jika ditemukan IBD_HI satu buah maka akan terkait secara positif nyata dengan IKC_HI sebesar 8,77 buah. Sebaliknya, jika faktor lain tetap, maka setiap ada kejahatan di tahun yang lalu (t-1) sebesar 1 kejadian maka jumlah IKC_HI akan berkurang 21,6 buah. Fakta ini juga merupakan cerminan dari pentingnya peranan kinerja I dalam perkembangan kinerja E. Selain itu, dalam Pers.{4.6} ini juga ditemukan peranan kekuatan L untuk tujuan yang sama. Kecuali itu, temuan yang cukup menarik dari penelitian ini bahwa ternyata desentralisasi
fiskal
(RZ) mempunyai
relasi
yang nyata negatif
bagi
perkembangan kewirausahaan mikro di subwilayah hilir (IKC_HI) ini. Tampaknya fungsi-fungsi fiskal yang didesentralisasikan sejauh ini tidak cukup dapat membangkitkan insentif agar tumbuh banyak orang yang berkeinginan untuk lepas dari posisinya sebagai ―orang upahan‖ untuk kemudian bisa menggaji diri sendiri, tidak seperti di Vietnam (Hien, 2010).
160
Temuan yang sangat menarik justru pada kinerja wirausahawan besarsedang di subwilayah hilir (IBS_HI) ini. Seperti dapat diperiksa pada Pers. {4.7}, bahwa perilaku kelompok wirausahawan besar-sedang (IBS_HI) agak aneh, terkesan perkembangannya tidak terpengaruh oleh norma-norma (kinerja I) ataupun terhadap bentuk-bentuk kerjasama (kinerja L) baik itu pada sebelum ataupun sesudah rezim tata pemerintahan (RZ) diberlakukan. Jikalau memang bentuk-bentuk ataupun tata aturan kerjasama tidak dapat diperankan untuk tujuan pengembangan E di kalangan ini, maka kelompok ini sulit untuk diharapkan manjadi bapak angkat bagi IKC_HI. Makna penting lainnya dari temuan ini adalah berarti kita belum dapat berharap banyak agar kelompok IBS_HI ini berperan sebagai agen transfer IPTEKS kepada IKC_HI dan berarti pula selama ini secara umum IBS_HI telah menjadi beban bagi seluruh masyarakat di Provinsi Lampung tersebut.
(3) Peranan (E)ntrepreneurship dalam Proses Transfomasi Struktural Menurut Kitzner (1976 dikutip Hien, 2010) wirausahawan atau (E)ntrepreneur adalah orang yang mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di masyarakat untuk melakukan inovasi dalam rangka mengeskploitasi peluang untuk mendapatkan keuntungan yang sama sekali baru sementara orang lain belum melihat peluang itu. Ketika para wirausahawan atau (E)ntrepreneur memanfaatkan dana masyarakat melalui intermediary sources (perbankan, pasar saham, ventura dll) dan menginvestasikannya untuk tujuan-tujuan inovatif, maka akan terjadi inflasi yang ―memaksa‖ masyarakat untuk menekan tingkat konsumsinya, untuk berhemat dan menabung. Dengan tabungan masyarakat itu, maka akan selalu tersedia dana bagi para wirausahawan. Ketika suatu inovasi ditemukan, maka keuntungan dapat diraup oleh wirausahawan tersebut dengan memasang tarif yang relatif besar. Bahkan dapat ditempuh melalui pengukuhan hak esklusif seperti paten. Di sisi lain, karakter dari suatu inovasi selalu diikuti oleh para peniru (followers) dengan cara membuat produk-produk yang sejenis yang umumnya dengan hanya membuat sedikit perubahan sampai imitasinya, yang seringkali juga kualitasnya menjadi lebih bagus dari pada yang lebih awal ditemukan. Proses
161
yang terakhir ini yang menyebabkan ketersediaan berbagai pilihan produk menjadi sangat banyak yang dapat menekan harga melalui kompetisi sehingga menjadi lebih murah. Dengan begitu tingkat konsumsi dan kesejahteraan masyarakat secara agregat dapat ditingkatkan oleh inovasi yang terus dilakukan para wirausahawan, yang selalu digerakkan oleh insentif adanya peluang keuntungan baru dan penyediaan dana tabungan oleh masyarakat tersebut. Karena itu Stimson dan Stough (2008) menyebut kepadatan jumlah entrepreneur merupakan motor pertumbuhan endogenik di setiap wilayah. Penelitian ini ingin mengukur peranan kinerja (E)ntrepreneur (yang telah banyak mengeksploitasi sumberdaya yang ada di masyarakat selama) juga punya andil yang besar bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diuji apakah peran tersebut pada awalnya juga dapat membangkitkan lapangan pekerjaan yang ada di sektor-sektor modern sekaligus untuk dapat menyerap tenaga sektor-sektor pertanian dan ekstraksi sumberdaya alam yang senantiasa mengalami decreasing return to scale. Dengan kata lain apakah para entrepreneur yang beropreasi di Provinsi Lampung selama ini juga telah cukup berperan penting dalam transformasi struktural perekonomian secara sehat dengan menyumbangkan akumulasi kapital yang dicerminkan oleh pertumbuhan ekonomi di wilayah? Atau malah bukan dan malah sebaliknya. Jawaban terhadap serangkaian pertanyaan tersebut data diperiksa pada Pers. {4.9}. Model persamaan ini memiliki Pvalue=0.001 dengan Rsq(adj)=93.9%, berarti sangat nyata dalam mendeskripsikan pertumbuhan pangsa sektor industri [G_IND_SH] dari kedelapan prediktornya tersebut. Dengan demikian memang benar bahwa wirausahawaan di Provinsi Lampung telah berperan nyata bahkan sangat nyata dalam proses transformasi tersebut walaupun memerlukan waktu tunda 1 tahun lamanya (t-1). Tapi peran tersebut bukan berasal dari kalangan wirausahawan besar-sedang (IBS), melainkan hanya berasal dari industri kecil, baik yang beroperasi di subwilayah hulu (IKC_HU) maupun di subwilayah hilir (IKC_HI). Peran industri kecil tersebut yang secara positif sangat nyata juga disokong oleh peran sektor pertanian (AGR_SH), pertambangan (MIN_SH) dan sektor-sektor (OTH_SH).
selainnya
seperti
perdagangan;
komunikasi;
dan
jasa-jasa
162
Dengan demikian perilaku dari IBS_HI yang tampaknya sama sekali tidak terkait dengan tata aturan dan norma-norma (kinerja I) dan terkesan tidak terkait dengan bentuk-bentuk kebutuhan akan kerjasama (seperti dalam Pers.{4.7}) tersebut juga dapat dikuatkan buktiknya di sini. Dengan menggunakan Pers.{4.8} dapat diperiksa bahwa industri besar yang ada di hilir (IBS_HI) tidak punya kontribusi positif bahkan cenderung menekan proses transformasi struktural perekonomian (G_IND_SH) selama ini. Bahkan yang beroperasi di hulu (IBS_HU) malah secara nyata telah menekan proses modernisasi perekonomian di Provinsi Lampung. Padahal kalangan IBS ini yang telah banyak melakukan eksploitasi terhadap segala sumberdaya yang ada di wilayah ini, termasuk dalam bentuk eksploitasi tabungan masyarakat, memanfaatkan buruh murah yang difasilitasi oleh penyediaan pangan murah yang memaksa pada berlanjutnya deforestasi hutan, mendegradasikan sumberdaya lahan serta memerosotkan kinerja lingkungan maupun kesehatan. Proses ini secara sangat nyata makin menguat sejak disentralisasi tata pemerintahan berlangsung, seperti ditunjukkan oleh keofisien dari RZ= -6,24 dengan Pvalue =0,006 pada Pers.{4.8} tersebut. Fenomena tersebut juga dikenal sebagai kebocoran wilayah (regional leakage) dalam arti rente ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat di luar Provinsi Lampung. Fenomena ini dapat mengarah kepada kegagalan
pemeritah
(government
failure)
setidaknya
untuk
urusan
pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Seperti dapat dirujuk dalam penelitian Affandi (2009), bahwa telah terjadi aglomerasi IBS di subwilayah hilir. Dapat dicatat berbagai perusahaan besar yang beroperasi di subwilayah hilir seperti kelompok PT Sugar Group, PT Great Giant Pinneapple, PT Gunung Madu Plantation, PT Dipasena, PT Bratasena, PT Nusantara Tropical Fruit dll. Namun kelompok ini secara agregat belum punya peran nyata dalam proses transformasi struktural perekonomian wilayah Provinsi Lampung seperti dapat diperiksa dalam Pers. {4.8}. Telah terjadi kebocoran ekonomi wilayah (regional leakage) diperkirakan yang menjadi penyebabnya. Keadaan itu harus segera diatasi oleh otoritas publik dengan menghadirkan suatu kebijakan yang mampu untuk memberdayakan masyarakat melalui penguatan kinerja L di kalangan wirausahawa kecil [IKC] agar makin berperan dalam proses transformasi
163
struktural perekonomian melalui penciptaan lapangan pekerjaan di sektor-sektor industri kecil tersebut.
(4) Peranan Sumberdaya Hutan dalam Menopang Transformasi Struktural Sebagaimana telah diuaraikan di atas, bahwa ternyata di wilayah Provinsi Lampung pertumbuhan pangsa sektor industri [G_IND_SH] yang menjadi batu pijakan proses modernisasi perekonomian selama ini telah dipikul oleh para wirausahawan dari kalangan industri kecil (IKC) yang ditopang oleh sektor pertanian. Beban yang harus dipikul oleh sektor pertanian di wilayah ini menjadi semakin berat karena harus menyediakan bukan hanya bahan baku untuk agroindustri yang telah menjadi leading sector di wilayah ini (Affandi, 2009) tetapi juga untuk menopang kebutuhan pangan murah berkaitan dengan perilaku para entrepreneur kapitalis dari kalangan industri besar (IBS) untuk menekan upah buruh sampai pada level subsisten (Hayami, 2001). Apalagi terbukti kalangan (IBS) ini telah menekan proses transformasi sruktural di wilayah ini seperti diuraikan sebelumnya. Secara agroekelogis tidak ada sistem pertanian intensif (seperti perkebunan, pertanian pangan, peternakan dan perikanan darat) yang dapat berdiri sendiri tanpa ada penyediaan jasa lingkungan seperti jasa pengaturan siklus air (hidro-orologis), jasa-jasa ekologis kawasan (kesetimbangan ekologi dan keanekaragam hayati), jasa sekuestrasi karbon dan jasa amenitas lingkungan. Hanya sumberdaya hutan yang menjadi tumpuan dalam penyediaan jasa-jasa nonkonvenisonal tersebut. Sistem pertanian pangan seperti serealia dan umbian di Provinsi Lampung utamanya terdistribusi pada bentang lahan dataran rendah di bagian Tengah sampai Timur (subwilayah hilir) ini yang beriklim relatif kering. Dalam keadaan itu, sistem catu air (suplay) untuk budidaya maupun kegiatan lainnya sangat bergantung pada keberadaan hutan yang berada di Bagian Barat dengan bentang lahan utama berupa pegunungan dan perbukitan yang beriklim sangat basah pula. Bukan hanya pada jasa siklus air, khususnya untuk serealia seperti dibuktikan oleh Warsito (dikutip Arief, 2011) bahwa 90% dari total penyerbukannya dilakukan oleh aktifitas lebah: suatu fonemena penyediaan jasa ekologis kawasan yang eksistensinya sangat dikontrol oleh keberadaan
164
sumberdaya hutan melalui fungsi intrinsiknya, baik berupa penyediaan amenitas lingkungan maupun sistem keanekaragaman hayati bagi keberlangsungan kehidupan lebah tersebut maupun kehidupan sekutu dan musuh alaminya. Ringkasnya proses transformasi struktural perekonomian di wilayah ini telah berlangsung melalui moderinisasi sistem perekonomian utamanya bertumpu pada sektor agroindustri (Affandi, 2009) yang telah ditopang sistem pertanian intensif. Sehubungan dengan itu, mengingat setiap sistem pertanian sangat bergantung pada kinerja sumberdaya hutan, maka baik secara transitif maupun secara langsung nasib kebersinambungan proses transformasi struktural perekonomian di wilayah sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya hutan. Karena jasa-jasa non konvesional di wilayah ini telah begitu merosot (sejalan dengan deforestasi akut seperti dapat diperiksa dalam Tabel 13) akibat ketidakadilan dalam sistem upah buruh murah yang berimplikasi pada keharusan pangan murah tersebut, maka telah muncul gejala Ricardian Trap di wilayah ini. Gejala tersebut dapat dicermati dalam laporan Affandi (2009), bahwa 12 kelompok agroindustri yang merupakan leading sector di wilayah ini mengalami skala pengembalian yang makin menurun (DRS: Decreasing return to scale). Padahal sektor-sektor ini telah mulai berhasil mengalami aglomerasi di bagian Tengah sampai bagian Timur (subwilayah hilir) dalam Provinsi Lampung yang seharusnya dapat menampilkan kinerja yang bersifat IRS (increasing retrun to scale). Lebih lagi Affandi (2009) juga melaporkan untuk kelompok industri pangan sangat elastis terhadap penambahan input bahan baku, tetapi tidak terhadap penambahan input kapital serta menurun dengan input tenaga kerja maupun energi. Fenomena serupa juga dilaporkan oleh Igliori (2008) di Brasil akibat deforestasi akut, yang disebutnya sebagai demand congestion atau excess demand terhadap bahan baku. Stagnasi pertumbuhan sektor industri akibat stagnasi suplai bahan baku seperti ini dikenal sebagai Ricardian trap (Hayami, 2001; Witha-Jacobsen, 2009). Adapun peran sumberdaya hutan dalam menopang pertumbuhan pangsa sektor industri melalui penyediaan bahan baku dan pangan murah tersebut dapat diperiksa dalam Pers. {4.9}. Persamaan ini dapat digunakan untuk merancang proses kebijakan dalam upaya agar dapat escape dari Ricardian Trap sekaligus
165
untuk merancang transformasi struktural perekonomian yang bertumpu pada sektor pertanian. Persamaan itu mendemonstrasikan bahwa pertumbuhan tingkat pendapatan di sektor pertanian per kapita (G_INCP_AGR) secara positif nyata dipengaruhi oleh luasan hutan rakyat di hulu (HR_HU) dan di hilir (HR_HI) serta hutan negara di hulu (HN_HU) walaupun pengaruh tersebut tertunda satu tahun kemudian (t-1). Peranan G_INCP_AGR ini merupakan refleksi dari kapasitas sektor pertanian yang harus mampu menopang (bolstering) perkembangan agroindustri, yang telah menyumbang rata-rata 28% dari total PDRB Provinsi Lampung selama ini (lihat Affandi, 2009). Dari catatan statistik 2001-2008 (BPS Prop. Lampung 2000-2009 diolah) pangsa produk material dari hasil hutan hanya sekitar 0,45% dari total PDRB. Artinya peranan hutan terhadap G_INCP_AGR tersebut yang paling mungkin utamanya diatribusi oleh fungsi intrinsiknya, bukan oleh produk material hasil hutannya (seperti kayu, getah, madu, sarang walet dll). Atas produk jasa lingkungan ini seharusnya para petani pemilik HR memperoleh imbalan, tidak seharusnya terus-menerus mengalami ―free-riding‖ oleh seluruh kelompok masyarakat penikmat rente gratis yang bergerak di sektor-sektor hilir seperti yang terjadi selama ini. Mengenai relatif rendahnya peranan fungsi intrinsik HN dibandingkan HR tersebut, tampaknya terletak pada property right-nya. Selama ini pemerintah kurang mampu menyediakan biaya yang cukup (seperti biaya monitoring, pengawasan, law enforcement dll) sehingga sumberdaya HN ini menjadi setara dengan open access resource dan sekarang nasibnya menjadi seperti nasib barang publik (public good), yang umumnya mengalami tragedy of the common seperti yang dilukiskan dalam karya klasik Hardin (1968). Data dari Dinas Kehutanan Provinsil Lampung (2005 dikutip Watala, 2008) menguatkan bukti adanya tragedy di wilayah ini, bahwa tutupan hutan negara di Provinsi Lampung telah terdegradasi akut yaitu 80% di hutan lindung, 76% di hutan produksi tetap, 71% di hutan produksi terbatas, 70% di Taman Hutan Raya, 36% di Taman Nasional Way Kambas & 16% di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Mengenai ada waktu tenggang 1 tahun (t-1) dari peranan hutan tersebut juga merupakan bukti tambahan dari atribusi peran fungsi intrinsik hutan
166
ketimbang peran hasil produk materialnya dalam peningkatan pendapatan per kapita di sektor pertanian (G_INCP_AG) tersebut. Fungsi regulasi dalam tata air, kesetimbangan ekologis, penambat karbo dan penyedia amenitas lingkungan yang diperankan oleh hutan secara alamiah tidak mungkin memberikan respon seketika terhadap hasil-hasil pertanian ataupun G_INCP_AG. Dalam persamaan ini pula ditemukan bahwa pengaruh market tapping yang diproksi dengan kerapatan jaringan jalan beraspal per 10 ribu hektar untuk di wilayah hilir (JL_HI) tersebut juga secara nyata berpangaruh terhadap G_INCP_AGR. Dalam konteks ini juga pengaruh rezim fiskal (RZ) sudah memberikan kontribusinya secara nyata. Pada Pers. {4.10} juga dimaksudkan untuk mengekspresikan fenomena transformasi struktural perekonomian, dimana antarsektor juga saling jalinmenjalin. Bahwa pertumbuhan pangsa sektor pertanian (G_AGR_SH) sangat nyata secara sistemik berelasi positif dengan G_INCP_AGR sekaligus nyata berelasi negatif terhadap pertumbuhan pangsa semua sektor lainnya. Artinya bila pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor pertanian meningkat maka akan diiringi oleh (G_AGR_SH). Sedangkan bila terjadi peningkatan pertumbuhan pendapatan perkapita dalam sektor industri (G_INCP_IND), sektor pertambangan (G_INCP_MIN)
ataupun
dalam
sektor-sektor
transportasi;
komunikasi;
konstruksi; perdagangan dan jasa-jasa (G_INCP_OTH) maka akan terjadi penurunan G_AGR_SH. Artinya dengan Pers. {4.10} ini perancangan industrialisasi di Provinsi ini dapat dirumuskan sekaligus untuk merumuskan transfer nilai ekonomi dari jasa lingkungan hutan kepada G_AGR_SH, yang untuk seterusnya ditransmisikan kepada sektor industri dan pertumbuhan ekonomi (G_ECONM).
(5) Perancangan Pertumbuhan Ekonomi untuk Transformasi Struktural Pertumbuhan ekonomi (G_ECONM) yang merupakan tema besar dalam setiap teori ekonomi juga dijadikan fokus utama dalam penelitian ini. Seperti dapat dilihat pada Pers.{4.10} tampak bahwa pada akhirnya model transformasi struktural perekonomian dapat dirancang secara baik. Bahwa pertumbuhan ini dapat secara sangat nyata positif ditentukan oleh pertumbuhan pangsa sektor industri (G_IND_SH) dan secara positif sangat nyata dilandasi oleh pertumbuhan
167
pendapatan per kapita di sektor petanian tahun sebelumnya (G_INCP_AGRt-1 ) tanpa memandang rezim fiskal (RZ) yang berlaku. Jika kondisi lain ceteris-paribus, maka setiap terjadi kenaikan G_IND_SH sebesar 1 persen maka secara instan pada tahun yang sama akan diikuti oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,745 persen. Demikian juga jika terjadi kenaikan G_INCP_AGR pada tahun sebelumnya sebesar satu persen maka akan terjadi kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,462 persen pada tahun berjalan. Dalam model ini diperlukan variabel endogen berupa G_INCP_AGR tersebut dimaksudkan untuk meng-counter istilah lepas landas ala Rostow yang terkesan bahwa sektor pertanian dapat ditinggalkan ketika suatu perekonomian menjadi sistem perekonomian indusri. Bahwa dalam modernisasi sistem perekonomian menuju masyarakat industri, sektor pertanian memang pangsanya harus terus berkurang, namun magnitude-nya tidak, melainkan harus terus tumbuh, apalagi pada sistem perekonomian yang pada awalnya berkembang dari pertanian dan ekstraksi sumberdaya alam seperti Indonesia. Artinya bersama dengan pecapaian pertumbuhan ekonomi tersebut maka masyarakatnya harus semakin beralih kepada sektor-sektor yang memerlukan knowledge capital relatif besar sekaligus semakin banyak yang meninggalkan sektor-sektor primer yang umumnya telah mengalami skala pengembalian yang semakin menurun (DRS: decreasing return to scale) beralih ke sektor-sektor industri mauapu jasa-jasa.
Dengan begitu, produktivitas per tenaga kerja di
sektor-sektor pertanian akan meningkat, yang berarti juga diikuti oleh pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor ini, yang dapat mencukupi kebutuhan pangan seluruh masyarakat di wilayah termasuk untuk kecupkan pangan yang berkerja di sektor-sektor industri dan jasa-jasa yang telah bertransformasi tadi. Pertumbuhan ekonomi merupakan persoalan utama. Banyak sekali suatu sistem perekonomian yang lulus dari persoalan stagnasi pertumbuhan ekonomi, namun persoalan yang serius yang ke dua dalam pembangunan yang sangat pelik adalah masalah distribusi. Umumnya kelompok masyarakat yang awalnya sudah kuat malah yang mampu mengakses hasil rente bersama tersebut. Karena pertumbuhan ekonomi bisa saja secara agregat relatif tinggi, namun kesenjangan
168
antarwaktu ataupun antarwilayah (interspatial) bisa semakin melebar seperti dikotomi desa terhadap kota ataupun hulu terhadap hilir. Sejatinya adanya fenomena tentang makin melebarnya kesenjangan tersebut merupakan indikator dari market failure. Karena kesenjangan merupakan suatu persoalan public bad, merupakan eksternalitas negatif dari suatu situasi kerja bersama-sama (collective work) di dalam suatu wilayah yurisdiksi tertentu. Oleh karena kesenjangan bukan masalah privat yang dapat eksklusifkan, maka pemerintah (sebagai otoritas pemegang social contract) yang harus mengatasi persoalan tersebut. Namun itu semua itu bergantung pada political will dari otoritas publik tersebut, yang seringkali juga dikendalikan oleh para teknokra ataupun interest para perancang kebijakan publik yang dipekerjakan. Seringkali pula interest tersebut berakar pada ideologi yang sangat mengendalikan.
5.4.2 Strategi Pemerataan Tingkat Kesejahteraan (1) Indeks Nilai Tukar Petani sebagai Piranti Pemerataan Hasil Pembangunan Sekalipun pertumbuhan ekonomi merupakan persoalan ekonomi yang sangat penting tersebut dapat dicapai, tetapi dalam perancangan praksis pembangunan wilayah seperti ini belum cukup, mengingat pertumbuhan ekonomi sifatnya antidistribusi, siapa yang paling etis untuk menerima benefit dari akumulasi kapital tersebut tidak pernah dapat dispesifikasi. Karena itu, dalam pengembangan praksis di sini masih memerlukan suatu jalur yang dapat memfasilitasi upaya pemerataan ―kue‖ pembangunan tersebut secara adil. Untuk motif itu, maka dipilih indek pembangunan manusia (HDI). Namun karena HDI merupakan suatu indeks komposit dari 3 indeks (yaitu indeks konsumsi, indeks kesehatan dan indeks pengetahuan), maka indeks konsumsi menjadi ujung tombak dari ketiga indeks ini. Dengan meningkatnya, konsumsi maka diharapkan dapat meningkatan kesehatan dan untuk selanjutnya mampu mengakses pengetahuan, yang merupakan input kapital untuk segala macam kegiatan dalam berproduksi yang tidak pernah mengalami penyusutan pula. Namun untuk dapat meningkatkan konsumsi, maka suatu kelompok masyarakat harus memiliki daya beli yang cukup. Mengingat sebagian besar masyarakat di Provinsi Lampung merupakan
169
petani, dan juga karena kontribusinya yang nyata sebagai tumpuan dalam memasok bahan baku maupun pangan murah maupun bahan baku bagi pertumbuhan industri tersebut, maka untuk dapat melakukan transmisi secara adil ―kue‖ hasil pembangunan wilayah tersebut diperlukan satu jalur transmisi sebelumnya, yaitu nilai tukar petani (NTP). Jumlah petani yang relatif besar (yang juga merupakan partisipan terbesar) yang telah mencurahkan segala asset yang dimiliki untuk pembangunan tesebut juga dapat digunakan sebagai instrumen bagi keefektifan proses distribusi ―kue‖pembangunan tersebut. Tetapi perlu ditekankan di sini bahwa pemilihan NTP sebagai instrumen pemerataan tersebut bukanlah suatu bentuk charity, melainkan suatu persoalan etika. Bahwa akumulasi kapital (yang diekspresikan dalam bentuk pertumbuhan ekonomi) tersebut bukan hanya andil dari para industriawan tetapi juga andil dari para petani ketika menopang bahan baku industri, pangan murah, maupun dalam penyediaan jasa lingkungan utamanya dari hutan rakyat yang belum memperoleh imbal jasa sama sekali di wilayah ini. Kecuali itu, para petani layak untuk memperoleh kompensasi ketika harga-harga naik (terjadi inflasi) akibat para (E)ntreprenuer melakukan investasi dengan melakukan eksploitasi terhadap segala sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat untuk memperoleh keuntungan di pasar. Kompensasi itu diperlukan demi untuk menjaga kemampuan petani dalam konsumsi agar tidak jatuh ke level perikehidupan subsisten. Dengan kompensasi tersebut sebenarnya bagi kalangan wirausahawan itu sendiri berarti juga demi kebersinambungan untuk memperoleh keuntungan berikutnya. Ketika konsumsi kalangan petani meningkat, keuntungan akan diperoleh dalam jangka pendek oleh kalangan wirausahawan kapitalis melalui pembelian consumer good yang telah mereka produksi, selanjutnya akan meningkatkan kesehatan dan akses terhadap pengetahuan bagi para petani dan keturunannya. Dengan meningkatnya pengetahuan, berarti tersedia labor augmented by knowledge yang merupakan sumberdaya yang siap dieksploitasi kembali oleh kalangan wirausahawan kapitalis tersebut. Begitu seterusnya sehingga membentuk rantai kebersiambungan pertumbuhan ekonomi secara endogenik. Karena itu, dipandang fair bila digunakan NTP sebagai piranti untuk
170
mendistribusikan rente ekonomi yang telah dicapai secara bersama dalam sistem perekonomian di wilayah provinsi ini. Seperti dapat diperiksa pada Pers. {4.11}, bahwa NTP (perbandingan indeks harga yang dapat diterima petani terhadap harga yang harus dibayar petani) secara sangat nyata dapat ditingkatkan dengan pertumbuhan ekonomi walaupun harus menunggu 1 tahun kemudian (t-1). Penundaan itu sebenarnya berkaitan dengan mekanisme harga atau upah kaku (Mankiw, 2007), suatu fenomena ekonomi dimana harga-harga memerlukan waktu dalam menyesuaikan terhadap adanya guncangan (shock) seperti pertumbuhan ekonomi tersebut. Dalam persamaan ini pula ditunjukkan bahwa rezim fiskal (RZ) telah berperan sangat penting dalam
meningkatkan NTP, yaitu ada peningkatan sebesar 26,6 poin
dibandingkan sebelum disentralisasi. Klimaks dari perancangan praksis ini adalah pada peranan NTP sebagai jalur transmisi benefit dari akumulasi kapital dari hasil eksploitasi semua bentuk sumberdaya wilayah yang tersedia di Provinsi Lampung.
(2) Capaian HDI sebagai Fungsi dari Nilai Tukar Petani Seperti dapat dilihat pada Pers. {4.12}, bahwa NTP secara positif nyata meningkatkan HDI sebesar 0,0510 ketika NTP meningkat 1 poin. Namun secara eksogenus, jika kemiskinan pedesaan (R_POOR) meningkat 1%, maka akan secara nyata dapat memerosotkan HDI sebesar 0,2692 poin. Kecuali itu, regim desentralisasi fiskal juga berkontribusi positif secara sangat nyata terhadap HDI yaitu rata-rata sebesar 2,2067 poin lebih tinggi dibandingkan sebelum desentralisasi. 5.5 Kerangka Kebijakan Fiskal sebagai Piranti Peningktan Kesejahteraan Masyarakat 5.5.1 Perkembangan Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung Fiskal merupakan piranti utama yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan publik yang telah diperoleh melalui social contract. Sebagai otoritas yang memiliki kewenangan secara paksa (coercive) untuk melakukan pemungutan pajak maupun pengalokasinya (dalam bentuk belanja daerah), maka Pemerintah Provinsi Lampung punya kewajiban utama dalam membina dan mengembangkan faktor endogenik pembangunan ekonomi wilayah
171
yang dimiliki, apalagi pada saat tampak gejala terjadinya market failure berupa distorsi pendistribusian manfaat rente bersama hasil-hasil pembangunan ekonomi wilayah seperti selama ini. Adapun kinerja fiskal Pemerintah Provinsi Lampung secara deskriptif disajikan pada Tabel 23.
Perkembangan kinerja fiskal ini
disajikan ilustrasi pada Gambar 29.
Tabel 23. Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung Periode 1996-2008 Jumlah Penduduk
Tahun
Juta
[TAX]
[S_APRT]
[S_PUBL]
[S_SOC]
-----------------------------Rp Juta/10Ribu Penduduk-------------------------
1996
6,38
93,31
38,36
34,51
23,70
1997
6,44
89,63
44,68
37,86
18,90
1998
6,51
60,91
50,35
37,14
3,50
1999
6,58
80,74
66,50
46,70
2,93
2000
6,66
110,26
215,90
47,85
2,85
2001
6,72
185,76
190,10
67,00
1,15
2002
6,79
309,66
173,28
90,95
79,63
2003
6,85
409,35
196,52
507,47
122,62
2004
6,92
554,34
308,54
305,45
0,00
2005
7,12
726,33
345,93
354,29
126,94
2006
7,21
794,88
400,73
759,65
199,64
2007
7,29
862,92
501,15
877,24
178,83
2008
7,39
1,144,33
568,81
773,43
384,26
Rataan=
6,84
417,11
238,53
303,04
88,07
Sd=
0,33
364,71
176,14
322,56
114,41
Sumber: Statistik Keuangan Daerah (BPS Provinsi Lampung, 1997-2009; diolah) Keterangan: [TAX]= Pendapatan pajak dan retribusi daerah; [S_APPT]= belanja pegawai, [S_PUB]=belanja publik; [S_SOC]= belanja bantuan sosial; semua dinyatakan dalam Rp Juta/10 Ribu penduduk
Penerimaan pajak dan retribusi daerah per 10 ribu penduduk [TAX] terus mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun 1996 sampai 2008. Pola peningkatan ini juga serupa untuk pengeluaran belanja pegawai [S_APRT]. Sedangkan untuk pengeluaran belanja bantuan sosial per 10 ribu penduduk [S_SOC] menurun pada periode tahun 1996 sampai 2000, kemudian meningkat sampai tahun 2008 kecuali di tahun 2004.
172
Gambar 29. Perkembangan Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung Periode 1996-2008
Dalam kenyataaannya, peningkatan [TAX] setiap tahun bisa tidak terkait dengan pertumbuhan ekonomi, baik ketika terjadi akselerasi pertumbuhan ekonomi, stagnan ataupun ketika terjadi kontraksi. Artinya bertambah ataupun tidak kegiatan ekonomi wilayah, pemungutan pajak dan retribusi terus dilakukan. Fenomena ini terjadi karena layanan publik utamanya layanan administratif selalu disediakan oleh pemerintah lokal seperti ditunjukkan oleh [S_APRT] yang terus meningkat. Namun tidaklah demikian halnya dengan investasi publik [S_PUBL] ataupun bantuan batuan sosial [S_SOC] sekalipun memiliki trend meningkat tetapi cukup memberikan pola yang cukup bergejolak. Artinya pengeluaran untuk pos investasi penyalurannya masih bukan merupakan prioritas utama. Walaupun begitu belanja bantuan sosial [S_SOC] telah meningkat pesat di tahun 2008 hampir 70% dari total belanja pegawai [S_APRT]. Karena itu benefit dari belanja pemeritah Provinsi Lampung ini (yang sebagian diperoleh dari pumungutan pajak daerah dan retribusi daerah) ini menarik untuk dievaluasi, utamanya dikaitkan dengan pengembangan kinerja barang publik (public good) khususnya
yang sangat diperlukan bagi
pengembangan (E)ntrepreneurship di wilayah ini, yaitu kinerja (L)eadership maupun (I)nstitution. Lebih lanjut evaluasi dampak perilaku fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung ini perlu dikaitkan dengan kinerja kedua macam barang publik tersebut. Lebih lanjut perilaku fiskal tersebut digunakan untuk
173
simulasi kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan melalui pengembangan faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah di Provinsi Lampung. 5.5.2 Model Piranti Fiskal untuk Stimulasi Kebijakan Pengembangan Faktor Endogenik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Untuk melakukan analisis terhadap kebijakan publik ini, maka telah dikembangkan 4 model persamaan untuk mengetahui relasi kinerja antara pendapatan tingkat pajak & retribusi daerah (TAX) dengan alokasi belanja aparatur [S_APPT], belanja publik [S_PUBL] dan belanja bantuan sosial [S_SOC] terhadap kinerja (L)eadership dan (I)nstitution. Dalam pemodelan ini kinerja L juga diproksi dengan kepadatan koperasi/10 ribu penduduk di subwilayah hulu [KOP_HU] dan di subwilayah hilir [KOP_HI].
Sedangkan
kinerja I diproksi dengan intensitas kejahatan/10 ribu penduduk di subwilayah hulu [KJ_HU] dan di subwilayah hilir [KJ_HI]. Lebih lanjut perlu dikembangkan skenario beberapa alokasi keempat bentuk perilaku fiskal tersebut untuk memberikan stimulasi berkembangnya kinerja (E)ntreprenuership utamanya bagi kalangan industriawan kecil [IKC]. Dipilihnya untuk kalangan ini tidak lain karena kalangan ini telah terbukti mampu menjadi penghela transformasi struktural perekonomian yang kemudian menjadi motor pertumbuhan ekonomi wilayah di Provinsi Lampung, seperti yang dapat diperiksa pada Pers.{4.9} dan Pers. {4.12}. Hasil pemodelan perilaku fiskal diekspresikan sebagai Pers. {4.13} sampai Pers. {4.16}. Hasil analisis regresi keempat model perilaku fiskal ini terhadap kinerja (L)eadership dan (I)nstitution di wilayah Provinsi Lampung disajikan pada Lampiran (Tabel 16 sampai 19). Secara ringkas disajikan pada Tabel 24. Sebagaimana dapat diperiksa dalam Pers. {1}, bahwa bila tidak ada perubahan dalam target penerimaan pajak-retribusi daerah [TAX] maupun tidak ada perubahan dalam ketiga pos alokasi anggaran [S_APRT]; [S_PUBL] dan [S_SOC], maka kinerja L di subwilayah hulu atau [KOP_HU] akan konstan pada agka 2,56 buah/10 ribu penduduk.
Bila alokasi anggaran belanja publik
[S_PUBL] ditingkatkan Rp1juta/10 ribu orang (=Rp100 per orang) akan menguatkan kinerja L, yaitu yang diindikasikan oleh meningkatnya [KOP_HU] secara rata-rata 0,0145 buah/10ribu penduduk. Tapi sebaliknya [TAX] pada tahun
174
sebelumnya ditingkatkan sebesar Rp1juta/10 ribu orang di subwilayah hulu ini, maka akan menurunkan secara nyata kekuatan L di tahun berjalan (t-1), seperti yang diindikasikan penurunan [KOP_HU] secara rata-rata sebesar 0,0384 buah.
Tabel 24. Model Perilaku Piranti Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung dalam Kaitannya dengan Kinerja (L)eadership dan Keefektifan (I)nstitution No.
Persamaan
Bentuk Relasi
R2 (adj)
Pvalue
{4.13} .
Kepadatan [KOP_HU] t = 2,56** - 0,0384*[TAX]t-1 + 0,0279[S_APRT]t-1 83,7% 0,049 Koperasi/10 + 0,0145*[S_PUBL] t + 0,0065 [S_SOC] t Penduduk di + 7,09[RZ] Hulu {4.14} Kepadatan [KOP_HI] t = 3,34** - 0,0317*[TAX]t-1 + 0,0184[S_APRT]t-1 83,1% 0,051 Koperasi/10 + 0,0122*[S_PUBL] t + 0,00890 [S_SOC] t Penduduk di + 6,28*[RZ] Hilir {4.15} Intensitas [KJ_HUI] t = - 0,030 + 0,0106 **[TAX] t + 0,00673*[S_APRT] t 88,4% 0,001 Kejahatan/10 - 0,00106*[S_PUBL] t -0,0158 [S_SOC] t Ribu Peduduk - 4,03*[RZ] di Hulu {4.16} Intensitas [KJ_HI] t = 1,93 + 0,0393**[TAX] t + 0,0025[S_APRT] t 47,1% 0,084 Kejahatan/10 - 0,00300[S_PUBL] t - 0,0657**[S_SOC] t Ribu Peduduk -14**[RZ] di Hilir Sumber: Hasil penelitian (2011) Keterangan: [TAX]= pajak & retribusi daerah, [S_APPT]= belanja pegawai, [S-PUB]= belanja publik, [S_SOC]= belanja bantuan sosial; [KOP]=kerapatn koperasi, [KJ]=intensitas kejahatan; HU=hulu; HI=hilir **=sangat nyata pada taraf 1%, *=nyata pada taraf 5%; ^=nyata pada taraf 10%
Fenomena yang serupa tentang perilaku komponen fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung juga dapat ditunjukkan pada kinerja L di subwilayah hilir. Seperti dapat diperiksa pada Pers.{2} bahwa dalam kondisi yang di-certerisparisbus-kan seperti di atas (secara berturut-turut perubahan komponen fiskal seperti di subwilayah hulu tersebut) maka akan memberi respon terhadap kinerja L di subwilayah hilir yang serupa juga yaitu berturut-turut berupa: jumlah yang konstan sebanyak 3,34 peningkatan secara rata-rata 0,0122 dan diikuti oleh penurunan secara rata-rata sebanyak 0,0317 buah [KOP_HI]. Namun perbedaan regim (RZ) tidak seperti di subwilayah hulu, di subwilayah hilir ini secara efektif nyata telah meningkatkan kekuatan L seperti diindikasikan oleh perbedaan [KOP_HI] yang positif sebesar 6,28 buah/10ribu penduduk dibandingkan sebelum regim desentralisasi fiskal berlangsung.
175
Perbedaan keefektifan regim terhadap penguatan L dalam fiscal decentralization setting antara kedua subwilayah tersebut nampaknya antara lain bertalian dengan kinerja aglomerasi industri pengolahan yang lebih kuat di subwilayah hilir (lihat Affandi, 2009), dimana interaksi antarorang atau antarpelaku ekonomi dapat membangkitkan incremental daily knowledge maupun knowledge spill over (sebagai turunan dari proses aglomerasi kegiatan perekonomian tersebut) menjadi lebih intensif. Dengan begitu peningkatan [KOP_HI] yang hanya sebesar 6,28 buah/10ribu penduduk tersebut sudah menunjukkan perbedaan yang nyata di antara 2 regim fiskal tadi, sedangkan peningkatan [KOP_HU] sampai sebesar 7,09 buah belum berbeda nyata. Dengan kata lain, kinerja L lebih efektif di subwilayah hilir sebagai dampak dari perkembangan aglomerasi kegiatan ekonomi di subwilayah hilir tersebut. Mungkin pula perbedaan keefektifan tersebut juga diatribusi atau bersumber dari perbedaan perilaku masyarakat yang berbasis pada perbedaan kultur di kedua subwilayah tersebut. Namun hal ini di luar kajian dari disertasi ini karena itu perlu penelitian lebih lanjut secara tersendiri. Adapun pengaruh fungsi fiskal dari Pemerintah Provinsi Lampung terhadap keefektifan (I)nstitution di kedua subwilayah ini dapat diungkapkan dalam model Pers.{3} dan Pers.{4}. Jika intensitas kejahatan digunakan sebagai pewakil (surrogate) bagi keefektifan I, dengan tiap peningkatan target perolehan [TAX] maka akan menurunkan keefektifan I seperti diindikasikan oleh peningkatan intensitas kejahatan secara instan di tahun yang sama di subwilayah hulu [KJ_HU] dan hilir [KJ_HI] secara sangat nyata masing-masing sebesar 0,0106 dan 0,0393 buah koperasi per 10 ribu penduduk jika kondisi-kondisi lain dalam ceteris-paribus. Dalam konteks ini, pajak-retribusi daerah [TAX] sebagai instrumen fiskal dapat bertindak sebagai pisau bermata dua, di satu sisi diperlukan untuk pembiyaan investasi publik, tetapi di sisi lain dapat menekan aktifitas perekonomian akibat penurunan kinerja industri kecil. Bila sisi mata ke dua yang mengiris, maka akan berujung pada penurunan kinerja (E)ntreprenuer di kalangan IKC, meningkatkan pengangguran, merangsang kriminalitas diikuti dengan berbagai macam penyakit sosial masyarakat lainnya, yang akhirnya bermuara
176
pada buruknya kinerja I di suatu wilayah. Fakta tentang adanya respon berupa peningkatan intensitas kejahatan di subwilayah hulu yang lebih besar dari pada di hilir akibat peningkatan tingkat [TAX] dalam jumlah yang sama tersebut di atas dapat menguatkan argumentasi ini. Di subwilayah hilir, aglomerasi kegiatan perekonomian jauh lebih kuat (lihat Affandi, 2009) sehingga populasi IKC jauh lebih besar. Padahal IKC justru merupakan penyerap utama tenaga kerja yang ditolak oleh sektor primer (sektor pertanian yang produktivitas marginalnya sudah sangat menurun bahkan negatif). Jika IKC ini banyak yang gulung tikar akibat pengenaan pajak tadi, maka dampak negatifnya (berupa peningkatan intensitas KJ melalui peningkatan pengangguran) akan lebih berat terjadinya di subwilayah hilir. Selain itu, terhadap peningkatan belanja aparatur [S_APRT] juga memperlihatkan respon yang berbeda terhadap kinerja I antara kedua subwilayah di Provinsi Lampung. Jika faktor-faktor lain dipertahankan tetap, maka setiap peningkatan [S_APRT] sebesar Rp1 juta per 10 ribu penduduk, maka akan terjadi peningkatan [KJ_HU] secara nyata sebesar 0,00673 dan secara tidak nyata sebesar 0,0025 [KJ_HI]. Namun sebalikya, dengan setiap peningkatan belanja publik (S_PUBL) sebesar Rp1juta/10 ribu orang maka akan secara nyata diikuti dengan penurunan intensitas di subwilayah hulu [KJ_HU] sebesar 0,0016 per 10 ribu penduduk, tetapi tidak secara nyata terhadap intensitas kejahatan di subwilayah hilir [KJ_HI]. Alokasi belanja publik khususnya di subwilayah hulu tersebut nampaknya dapat menjadi insentif bagi peningkatan keamanan melalui perbaikan kualitas layanan publik termasuk penyediaan sarana maupun prasaran, yang kemudian menjadi stimulasi bagi peningkatan kesempatan kerja, menurunkan pengangguran dan akhirnya menurunkan berbagai persoalan sosial yang sering beriringan dengan kriminalitas. Mekanisme penurunan intensitas kejahatan seperti ini nampaknya juga dapat terjadi oleh peningkatan belanja batuan sosial [S_SOC] utamanya di sub wilayah hulu. Jika kondisi-kondisi lain dipertahankan tetap, maka untuk setiap peningkatan [S_SOC] sebesar Rp 1 Juta/10 ribu penduduk akan secara nyata menurunkan sebesar 0.0657 [KJ_HI] tetapi tidak secara nyata [KJ_HU] yaitu
177
hanya 0,0158 kejadian per 10 ribu penduduk. Lebih lanjut, hasil disentralisasi fiskal sudah cukup menggembirakan pada upaya peningkatan kinerja I di kedua subwilayah Provinsi Lampung ini. Sebagaimana diindikasikan pada Pers. {4.15} bahwa di subwilayah hulu telah terjadi penurunan intensitas kejahatan secara nyata sebesar 4.03 kejadian per 10 ribu penduduk pada subwilayah hulu dibandingkan sebelum desentralisasi berlangsung. Penurunan tersebut lebih pesat dan secara statistik sangat nyata di subwilayah hilir, yaitu turun secara rata-rata 14,0 kejadian per 10 ribu penduduk dibandingkan sebelum desentralisasi berlangsung.
5.5.3 Dampak Alokasi Fiskal dan Skema Reforestasi terhadap Kesejahteraan Masyarakat Hasil simulasi kebijakan fiskal Pemerintah Provinsi Lampung terhadap [G_ECONM], [NTP] dan [HDI] dibawah skema tanpa dan dengan reforestasi 100 ribu ha disajikan pada Tabel 25, sedangkan untuk skema reforestasi sampai 250 ribu ha disajikan ada Tabel 26. Bila diperbandingkan terhadap kondisi tanpa skema reforestasi dan sekaligus tanpa peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah provinsi [TAX] atau Skenario No.1 atau Simbol A.1.a. atau Skenario BAU (business as usal), maka dengan kedua tabel tersebut dapat diperiksa bahwa secara umum makin luas reforestasi makin kuat peranannya dalam mencegah korbanan atau penurunan [HDI] yang disebabkan oleh peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah provinsi [TAX].
Fakta ini juga merupakan bukti
peranan fungsi intrinsik hutan bagi kesejahteraan masyarakat. Klaim pernanan fungsi intrinsik tersebut dipandang absah mengingat kontribusi produk material hasil-hasil hutan (baik kayu maupun nir kayu) tidak diperhitungkan sebagai penyumbang pendapatan masyarakat, melainkan hanya dengan memperhitungkan luasan keempat kelompok hutannya saja, yang mana dengan proksi luasan hutan tersebut secara implisit mencerminkan adanya fungsi jasa pengaturan hidrologis, jasa keanekaragaman hayati, jasa ekologis kawasan, jasa sekuestrasi karbon maupun jasa amenitas lingkungan yang dapat dibangkitkan semakin besar dengan semakin luas keempat kelompok hutan tersebut. Fakta ini mudah difahami bila merujuk kembali pada Pers.{4.8} sampai
178
Pers. {4.13}, yang secara simultan menunjukan hubungan yang searah antara luasan kepada [G_INCP_AGR], [G_IND_SH], [G_ECONM], [NTP] dan [HDI]. Temuan ini juga menjadi perangsang penelitian lebih lanjut untuk mengkaji nilai ekonomi dari kelima bentuk jasa lingkungan yang dapat dibangkitkan oleh fungsi intrinsik hutan dari masing-masing luasan kelompok hutan tersebut dikaitkan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita sektor pertanian [G_INCP_AGR], pertumbuhan pangsa industri [G_IND_SH], pertumbuhan ekonomi [G_ECONM], nilai tukar petani [NTP] dan kinerja [HDI]. Selain untuk memeriksa pengaruh skema reforestasi tersebut, simulasi ini juga dimaksudkan untuk memeriksa atau mengevaluasi dampak alokasi fiskal Pemerintah Provinsi Lampung khususnya pengaruh dari peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah [TAX] beserta cara alokasi pembelanjaannya. Dengan ini, maka dapat dijadikan instrumen otoritas lokal dalam menstimulasi pemerataan hasil-hasil pembangunan dengan cara melindugi daya beli petani, yang merupakan partisipan pembangunan terbesar dari sisi jumlahnya di provisi ini yang sekaligus juga merupakan cara untuk mempertahankan capaian [HDI] yang dapat menjadi determinan penting bagi pertumbuhan ekonomi secara endogenik yang berkesinambungan. Kecuali itu, hasil simulasi ini juga dapat digunakan sebagai pegangan bagi otoritas Provinsi Lampung dalam upaya meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah) melalui peningkatan [TAX] khususnya ketika target capaian atau skema reforestasi telah berhasil menjadi hutan dewasa dengan luasan dan dengan distribusi seperti disajikan dalam Tabel 25 dan 26 tersebut. Untuk itu maka evaluasi dirinci menurut target skema luasan reforestasi seperti dirinci pada bagian berikut. (1) Tanpa Skema Reforestasi Dampak kebijakan fiskal Provinsi Lampung dibawah skenario tanpa dan dengan skema reforestasi sampai 100 ribu ha disajikan pada Tabel 25. Perlu ditegaskan di sini bahwa kriterium yang digunakan untuk evaluasi di disini hanyalah kreterium tunggal yaitu [NTP]. Suatu skenario atau pilihan kebijakan fiskal dipandang sebagai suatu kebijakan yang adil, etis dan berkesinambugan jika pilihan tersebut memberikan [NTP] >100. Dengan kriterium ini kadangkala juga dapat menciderai pertumbuhan ekonomi maupun capaian [HDI].
179
Tabel 25. Dampak Skema Reforestasi 0 dan 100 Ribu ha dan Alokasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi, NTP dan HDI No. Sken ario
Skema Reforestasi
Alokasi Belanja dari Tambahan [TAX]
Simbol
Tambhn Pendap atan dari [TAX] %
[G_ECONM] Hasil Simulasi %
Delta %
[NTP] Hasil Simulasi
[HDI] Delta %
Hasil Simulasi
A Tanpa Alokasi 1: 1 . Reforesta 0%[S_APRT] A.1.a 0 5,26 0 105,77 0 70,96 2 si 100%[S_PUB] A.1.b 5 4,64 -12 96,73 -9 69,51 3 0%[S_SOC] A.1.c 10 4,02 -24 87,70 -17 68,06 4 A.1.d 15 3,40 -35 78,66 -26 66,61 5 A.1.e 20 2,78 -47 69,62 -34 65,16 6 A.1.f 30 1,54 -71 51,55 -51 62,50 7 Alokasi 2: A.2.a 0 5,26 0 105,77 0 70,96 8 0%[S_APRT] A.2.b 5 4,88 -7 100,22 -5 68,79 9 75%[S_PUBL] A.2.c 10 4,50 -14 94,67 -10 68,04 10 25%[S_SOC] A.2.d 15 4,12 -22 89,13 -16 67,30 11 A.2.e 20 3,74 -29 83,58 -21 66,56 12 A.2.f 30 2,98 -43 72,49 -31 65,07 13 B 100 Ribu Alokasi 1: B.1.a 0 5,45 4 108,54 3 72.32 14 ha secara 0%[S_APRT] B.1.b 5 4,83 -8 99,50 -6 71.10 Proporsio 100%[S_PUB 15 B.1.c 10 4,21 -20 90,47 -14 68,69 nal di 4 ] 0%[S_SOC] 16 B.1.d 15 3,59 -32 81,43 -23 67,48 Kelompok 17 B.1.e 20 2.97 -44 72,40 -32 66,27 Hutan 18 B.1.f 30 1,73 -67 54,32 -49 65,06 19 Alokasi 2: B.2.a 0 5,45 4 108,54 3 72.32 20 0%[S_APRT] B.2.b 5 5,07 -4 102,99 -3 71.57 21 75%[S_PUBL] B.2.c 10 4,69 -11 97,44 -8 70.83 22 25%[S_SOC] B.2.d 15 4,31 -18 91,90 -13 70.09 23 B.2.e 20 3,93 -25 86,35 -18 69.34 24 B.2.f 30 3,17 -40 75,26 -29 67.85 25 C 100 Ribu Alokasi 1: C.1.a 0 5,72 9 112,53 6 76.33 ha untuk 0%[S_APRT] 26 C.1.b 5 5,10 -3 103,49 -2 75.12 [HR_HU] 100%[S_PUB 27 C.1.c 10 4,48 -15 94,46 -11 73.90 2X, L] 0%[S_SOC] C.1.d 28 15 3,86 -27 85.42 -19 72.69 [HR_HI] 29 C.1.e 20 3,24 -38 76,38 -28 71.48 3X 30 C.1.f 30 2,01 -62 58,31 -45 69.06 sisanya 31 Alokasi 2: C.2.a 0 5,72 9 112,53 6 76.33 untuk 0%[S_APRT] 32 C.2.b 5 5,34 2 106,98 1 75.58 [HN] 75%[S_PUBL] C.2.c 33 10 4,96 -6 101,43 -4 74.48 25%[S_SOC] 34 C.2.d 15 4,58 -13 95,89 -9 74.10 35 C.2.e 20 4,20 -20 90,34 -15 73.35 36 C.2.f 30 3,44 -35 79,25 -25 71.07 37 D 100 Ribu Alokasi 1: D.1.a 0 5,67 8 111,69 6 75.49 ha untuk 0%[S_APRT] 38 D.1.b 5 5,05 -4 102,66 -3 74.28 [HR_HU] 100%[S_PUB 39 D.1.c 10 4,43 -16 93,62 -11 73.07 3X, L] 0%[S_SOC] D.1.d 40 15 3,81 -28 84,59 -20 71.85 [HR_HI] 41 D.1.e 20 3,19 -39 75,55 -29 70.64 2X 42 D.1.f 30 1,95 -63 57,48 -46 68.22 sisanya 43 Alokasi 2: D.2.a 0 5,67 8 111,69 6 75.49 untuk 44 0%[S_APRT] D.2.b 5 5,29 0 106,14 0 74.74 [HN] 45 75%[S_PUBL] D.2.c 10 4,90 -7 100,60 -5 74.00 46 25%[S_SOC] D.2.d 15 4,52 -14 95,05 -10 73.26 47 D.2.e 20 4,14 -21 89,51 -15 72.51 48 D.2.f 30 3,38 -36 78,41 -26 71.03 Sumber: Hasil penelitian (2011) Keterangan: Kenaikan Pendapatan [TAX] sebesar 0; 5; 10; 15; 20; dan 30% adalah setara dengan Rp 0,00; 19,95; 39,91; 59,86; 79,81 dan 119,72 juta/10ribu penduduk
Delta % 0 -2 -4 -6 -8 -12 0 -3 -4 -5 -6 -8 2 0 -2 -3 -5 -8 2 1 0 -1 -2 -4 8 6 4 2 1 -3 8 7 5 5 3 1 6 5 3 1 0 -4 6 5 4 3 2 0
180
Penurunan [G_ECONM] demi untuk pemerataan distribusi hasil-hasil pembangunan (melalui upaya mempertahankan [NTP]) tersebut tetap merupakan pilihan kebijakan yang dinilai adil, megingat pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran indikator capaian kesejahteraan yang masih kasar sifatnya, antidistribusi dan tidak dapat menjadi instrumen pemihakan kepada golongan ekonomi lemah yang utamanya hidup pedesaan seperti petani ataupun kelompok usaha mikro. Begitu pula dengan penurunan [HDI] sampai pada batas-batas tertentu asalkan peurunan ini disertai oleh peningkatan atau pereduksian [NTP] >100. Sebab jika daya beli petani dapat dipertahankan ([NTP>100]), maka akan menjamin tingkat konsumsinya sekaligus dapat meningkatkan kesehatannya yang akhirnya dapat mengakses pengetahuan, yang berarti [HDI] akan pulih kembali di tahun menndatang. Sebagaimana dapat diperiksa pada Tabel 25, bawa Skenario 2 (simbol A.1.a)
bila tanpa adanya skema reforestasi (Nol ha) atau reforestasi belum
berhasil, maka tidaklah etis Pemerintah Provinsi Lampung melakukan peingkatan pendapatan [TAX] sampai 5%, jika dibelanjakan menurut Alokasi 1 (100% untuk S_PUBL) karena akan menciderai daya beli petani yaitu [NTP] akan turun dari posisi 105,77 ke posisi 96,73 dan [G_ECONM] dari 5,26% ke 4,64% juga [HDI] dari posisi 70,96 ke 69,51; atau setara masing-masing mengalami penurunan sebesar 9%, 12% dan 2%. Penurunan ketiga indikator kesejahteraan ini semakin besar dengan semakin besarnya peningkatan pendapatan [TAX]. Namun jika digunakan untuk Alokasi 2 (75% untuk S_PUBL dan 25% utuk S_SOC) keadaanya menjadi berubah, dimana peningkatan pendapata dari [TAX] sampai 5% telah mengurangi penurunan [NTP] secara tidak nyata (yaitu sebesar -5% saja). Realitas tersebut memperlihatkan bahwa Alokasi 2 (penggunaan 75% dari perolehan kenaikan [TAX] untuk peningkatan [S_PUBL] disertai 25% untuk [S_SOC]) lebih efektif dalam mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat dari pada Alokasi 1 (tambahan perolehan dari [TAX] dialokasikan untuk belanja publik [S_PUBL] seluruhnya atau 100%). Makna penting dari temuan ini adalah bahwa: (i) bila tanpa adanya skema reforestasi (Skema A), maka akan etis jika peningkatan PAD melalui peningkatan perolehan [TAX] mecapai 5% (atau sekitar
181
Rp19,95juta/10ribu penduduk) saja asalkan juga pertambahan pendapatan tersebut dialokasikan dengan cara Alokasi 2, dan (ii) dengan Alokasi 2 ini, fenomena penguatan interaksi antarorang menjadi lebih baik, lebih meningkatkan jejaring, akan menguatkan norma-norma, saling meghargai hak kepemilikan, kemudian lebih menguatkan kerjasama dan akhirnya akan lebih menekan berkembangnya free riders, meningkatkan intensitas segala bentuk dan macam transaksi (yang bermotifkan ekonomi secara langsung ataupun tidak) yang kemudian akan bermuara pada peningkatan kesejaheraan masyarakat secara agregat. Lebih lanjut makna dari temuan ini, bahwa peningkatan investasi dalam modal fisik [S_PUBL] akan lebih efektif dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat bila dibarengi dengan investasi untuk pengembangan modal sosial seperti direfleksikan dengan peningkatan [S_SOC] tersebut. Kecuali itu makna penting lainnya dari temuan ini adalah bahwa peningkatan belanja Pemerintah Provinsi Lampung yang berasal dari peningkatan pendapatan [TAX] jika menggunakan Alokasi 2 akan lebih efektif dari pada melakukan reforestasi sampai 100 ribu ha dengan menggunakan Skema B diiringi pembelanjaan dengan menggunakan Alokasi 1 seperti dibahas pada bagian berikut.
(2) Reforestasi Secara Proporsional di Keempat Kelompok Hutan Keefektivan belanja Pemerintah Provinsi Lampung menurut Alokasi 2 tersebut juga dibuktikan dan diperkuat bila disertai dengan skema reforestasi Skema B. Keadaan ini dapat diperiksa pada baris ke 14 (Simbol B.1.b) bahwa peningkatan[TAX] sampai 5% (Rp 19,95juta/10ribu penduduk) dengan cara belanja Alokasi 1 ternyata masih secara nyata dalam menurunkan [NTP] yaitu sampai 6% walaupun [HDI] dapat dipertahankan seperti dalam skenario No 1 (BAU: business as usual). Namun sebaliknya seperti dapat diperiksa pada baris ke 20 (Simbol B.2.b.) Tabel 25, bahwa peningkatan pendapatan [TAX] sampai 5% ternyata capaian [NTP] menjadi lebih baik jika saja belanja Pemeritah Provinsi Lampung mengikuti Alokasi 2. Dengan cara itu, akibat peningkatan penerimaan [TAX] sampai 5% tersebut ternyata akan menyebabkan penurunan [NTP] yang tidak nyata yaitu hanya sekitar -3% yang mengiringi penurunan [G_ECONM] sebesar -4% dan
182
dengan dampak pengiring lainnya berupa reduksi [HDI] sebesar -3% juga. Artinya peningkatan [TAX] tersebut tidak akan menciderai daya beli petani karena [NTP] masih berada pada posisi 100,22 yang semula pada posisi 105,77. Untuk memeriksa dampak luasan reforestasi lebih lanjut maka perlu diperiksa target reforestasi dengan skema yang lebih luas. Pada Tabel 26 disajikan dampak skema reforestasi seluas 250 ribu ha dan alokasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, NTP dan HDI.
Dengan Reforestasi di HR_HU Dua Kali dan di HR_HI Tiga Kali Pada reforestasi sampai 100 ribu ha menggunakan Skema C (yaitu [HR_HU]2X; [HR_HI]3x dan sisanya dibagi rata pada [HN_HU] dan [HN_HI]) ternyata belanja dengan Alokasi 2 juga lebih efektif untuk peningkatan kesejahteraan. Seperti dapat diperiksa pada baris ke 33 (Simbol C.2.c) peningkatan pendapatan [TAX] sampai 10% (Rp 39,91 juta/10ribu penduduk) tidak secara nyata mereduksi [NTP] yaitu hanya -4%. Pada kondisi yang sama jika tambahan 10% (Rp 39,91juta/10ribu penduduk) dari [TAX] tersebut dapat mereduksi secara nyata [NTP] yaitu sebesar -11% jika dialokasikan dengan cara Alokasi 1. Perlu ditekankan di sini bahwa sekalipun belanja cara Alokasi 1 pada reforestasi sampai 100 ribu ha (Skema B) tidak cukup efektif dalam mencegah penurunan [NTP] pada peningkatan perolehan pajak saampai setara 5% pun, tetapi penambahan luas reforestasi sampai target luasan 250 ha ternyata dapat secara nyata mencegah penurunan tersebut. Seperti dapat diperiksa pada Tabel 26 dalam baris ke 2 (Simbol E.1.b) bahwa cara Alokasi 1 dengan reforestasi Skema E (reforestasi 250 ha yang didistribusikan secara proprorsional untuk keempat kelompok hutan), peningkatan pendapatan [TAX] hanya mencapai 5% (Rp 19,95juta/10ribu penduduk) ternyata tidak berpengaruh nyata pada penurunan [NTP] yaitu hanya tereduksi sebesar -2% sebagai dampak lanjutan dari penurunan [G_ECONM] yang kemudian juga berdampak pada terjadinya reduksi [HDI] sebesar -2% juga. Dampak positif dari pertambahan luasan reforestasi juga tampak pada Skema F maupun G dibahas pada bagian berikut.
183
Tabel 26. Dampak Skema Reforestasi seluas 250 Ribu ha dan Alokasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi, NTP dan HDI Skema Reforestasi No
Alokasi Belanja Tambahan [TAX]
Simbol
Tmbh. Pedaptan dari [TAX] % 0 5 10 15 20 30 0 5 10 15 20 30 0 5 10 15 20 30 0 5 10 15 20 30 0 5 10 15 20 30 0 5 10 15 20 30
[G_ECONM] Hasil Simulasi Delta % % 5,73 9 5,11 -3 4,49 -15 3,88 -28 3,26 -38 2,02 -82 5,73 9 5,35 2 4,97 -5 4,59 -13 4,21 -20 3,45 -34 6,42 22 5,80 10 5,18 -2 4,56 -13 3,94 -25 2,70 -49 6,42 22 6,04 15 5,66 8 5,28 0 4,90 -7 4,14 -21 6,27 19 5,66 8 5,04 -4 4,42 -16 3,80 -28 2,56 -51 6,27 19 5,89 12 5,51 5 5,13 -2 4,75 -10 3,99 -24
[NTP] Hasil Simulasi 112,69 103,66 94,62 85,59 76,55 58,48 112,69 107,15 101,60 96,05 90,51 79,42 112,67 113,63 104,60 95,56 86,52 68,45 112,67 117,12 111,57 106,03 100,48 89,39 120,58 111,54 102,51 93,47 84,44 66,37 120,58 115,03 109,49 103,94 98,39 87,30
[HDI] Delta % 7 -2 -11 -19 -28 -45 7 1 -4 -9 -14 -25 16 7 -1 -10 -18 -35 16 11 5 0 -5 -15 14 5 -3 -12 -20 -37 14 9 4 -2 -7 -17
Hasil Simulasi 77,30 75.97 74.64 73,31 71,98 69,33 77,30 76,48 75,67 74,85 74,04 72,40 78,77 77,44 76,11 74.,8 73,45 70,79 78,77 77,95 77,13 76,32 75,50 73,87 78,46 77,13 75,80 74,47 73,14 70,49 78,46 77,64 76,83 76,01 75,20 73,57
1 E 250 Ribu Alokasi 1: E.1.a 2 Ha 0%[S_APRT] E.1.b secara 100%[S_PUB 3 E.1.c Proporsio 0%[S_SOC] 4 E1.d nal di 4 5 E.1.e Kelompok 6 E.1.f Hutan 7 Alokasi 2: E.2.a 8 0%[S_APRT] E.2.b 9 75%[S_PUBL] E.2.c 10 25%[S_SOC] E.2.d 11 E.2.e 12 E.2.f 13 F 250 Ribu Alokasi 1: F.1.a ha untuk 0%[S_APRT] 14 F.1.b [HR_HU] 100%[S_PUB] F.1.c 15 2X, 0%[S_SOC] 16 F.1.d [HR_HI]3 17 F.1.e X sisanya 18 F.1.f untuk 19 Alokasi 2: F.2.a [HN] 0%[S_APRT] 20 F.2.b 75%[S_PUBL] F.2.c 21 25%[S_SOC] 22 F.2.d 23 F.2.e 24 F.2.f 25 G 250 Ribu Alokasi 1: G.1.a ha untuk 0%[S_APRT] 26 G.1.b [HR_HU] 100%[S_PUB 27 G.1.c 3X, L] 0%[S_SOC] G.1.d 28 [HR_HI]2 29 G.1.e X sisanya 30 G.1.f untuk 31 Alokasi 2: G.2.a [HN] 32 0%[S_APRT] G.2.b 33 75%[S_PUBL] G.2.c 34 25%[S_SOC] G.2.d 35 G.2.e 36 G.2.f Sumber: Hasil penelitian (2011) Keterangan: Kenaikan pendapatn [TAX] sebesar 0; 5; 10; 15; 20; dan 30% adalah setara dengan Rp 0,00; 19,95; 39,91; 59,86; 79,81 dan 119,72 juta/10ribu penduduk
Temua
ini
juga
memberikan
makna
bahwa
reforestasi
dengan
menggunakan Skema C lebih efektif dari pada Skema B yang akan dapat meningkatkan kesempatan perolehan [TAX] asalkan dibelanjakan dengan cara Alokasi 2. Dengan cara ini dalam rangka untuk meningkatkan PAD-nya, Pemerintah Provinsi Lampung dapat meningkatkan pendapatan [TAX] sampai 10% tanpa mereduksi secara nyata [NTP] maupun target capaian [HDI]-nya. Realitas ini juga memberikan makna bahwa reforestasi dengan menggunakan Skema C lebih efektif dari pada Skema B yang akan dapat meningkatkan kesempatan perolehan [TAX] asalkan dibelanjakan dengan cara
Delta % 9 7 5 3 1 -2 9 8 7 5 4 2 11 9 7 5 4 0 11 10 9 8 6 4 11 9 7 5 3 -1 11 9 8 7 6 4
184
Alokasi 2. Dengan cara ini dalam rangka untuk meningkatkan PAD-nya, Pemerintah Provinsi Lampung dapat meningkatkan pendapatan [TAX] sampai 10% tanpa mereduksi secara nyata [NTP] maupun target capaian [HDI]-nya. Sebagai tambahan, selain dengan belanja cara Alokasi 2, pertambahan target luasan reforestasi juga berpengaruh positif terhadap reduksi [NTP] akibat peningkatan [TAX]. Seperti dapat dilihat pada Tabel 26 baris ke 22 (Simbol F.2.d) bahwa peningkatan perolehan [TAX] sampai 15% (Rp 59,86 juta/10ribu penduduk) tidak menyebabkan penurunan [NTP] secara nyata (hanya sekitar 0%). Realitas ini juga diiringi oleh tidak berkurangnya [G_ECONM] maupun [HDI]. Pada cara alokasi belanja yang sama maupun perolehan pajak yang sama pula, perolehan pajak hanya dapat dicapai sampai 10% (Rp 39,91juta/10ribu penduduk) jika target luasan reforestasi hanya 100 ribu ha (Tabel 25 baris ke 33). Dengan demikian target luasan reforestasi dapat meningkatkan perolehan [TAX] untuk megejar PAD yaitu ketika reforestasi telah berhasil.
(4) Dengan Reforestasi di HR_HU Tiga Kali dan di HR_HI Dua Kali Pada reforestasi sampai 100 ribu ha dengan Skema D (yaitu [HR_HU]3X, [HR_HI]2X dan sisanya dibagi rata untuk [HN_HU] dan [HN_HI]) ternyata dampaknya tidak berbeda dibandingkan dengan Skema C. Apabila reforestasi Skema D telah berhasil, maka Pemerintah Provinsi Lampung dalam rangka untuk meningkatkan PAD-nya secara etis juga dapat meningkatkan pendapatan [TAX] sampai pada level 10% (Rp 39,91juta/10ribu penduduk) asalkan dibelanjakan dengan cara Alokasi 2, tetapi hanya sampai 5% (19,95 juta/10 ribu penduduk) jika dibelanjakan dengan cara Alokasi 1. Sebagaimana halnya dengan Skema F, pada Skema G juga memperlihatkan bahwa peningkatan target luasan reforestasi juga dapat menambah perolehkan PAD melalui peningkatan pendapatan [TAX] tanpa mengorbankan target pencapaian kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung yang diukur dengan [G_ECONM], [NTP] maupun [HDI]. Dengan demikian dampak negatif dari peningkatan perolehan [TAX] akan dikompensasi dan diatasi oleh reforestasi, khususnya bila target luasan 250 ha reforestasi telah menjadi hutan dewasa dimana fungsi intrinsiknya telah dapat dipulihkan kembali sehingga dampak pada [G_ECOM], [NTP] maupun [HDI] secara simultan dapat diwujudkan.
185
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Dari penelitian dapat dibuat beberapa simpulan yang esensial yaitu: (1) Agar ke depan target indeks pembangunan manusia [HDI] dapat dicapai di atas 70,52 untuk subwilayah hulu dan di atas 71,28 untuk subwilayah hilir dan sekaligus juga kinerja lingkungan tidak makin merosot, maka tidak ada ruang untuk bertoleransi bagi deforestasi lanjutan untuk dialokasikan sebagai perkebunan besar [ESTPL], kecuali pada areal hutan rakyat di subwilayah hilir [HR_HI] maksimum 5% dari luasan sekarang (1,006 ha) atau di areal perkebunan kopi rakyat di subwilayah hilir [COFF_HI] maksimum 10% dari luasan sekarang (5,378 ha). (2) Faktor endogenik yang terdiri dari kinerja (L)eadership, (I)nstitution dan (E)ntrepreneurship
dapat
dimanfaatkan
untuk
perancangan
praksis
pembangunan wilayah Provinsi Lampung agar dapat keluar dari Ricardian trap dan agar sekaligus pertumbuhan ekonomi [G_ECONM] maupun indeks pembangunan manusia [HDI] dapat berkesinambungan jika manfaatnya digunakan untuk peningkatan daya beli petani [NTP]. Kepadatan koperasi (sebagai proksi kinerja L) secara positip nyata dapat meningkatkan kinerja E dari kalangan industriawan kecil baik yang berada di subwilayah hulu maupun hilir selain juga dari kalangan industriawan besar di subwilayah hulu, tetapi tidak untuk kalangan industriawan besar di subwilayah hilir. Kerapatan tempat ibadah (sebagai ukuran keefektifan I) juga secara positif nyata berasosasi dengan kinerja E di kalangan industriawan kecil tetapi tidak nyata di kalangan industriawan usaha besar baik yang berada di subwilayah hulu maupun hilir. Intensitas kejahatan (sebagai ukuran kinerja I) secara nyata dapat menurunkan kinerja E di kalangan industriawan kecil baik yang beroperasi di subwilayah hulu maupun hilir tetapi tidak nyata di kalangan industriawan besar. Rezim desentralisasi tata pemerintahan [RZ] secara nyata telah menurunkan kinerja E di kalangan industriawan kecil yang beroperasi di subwilayah hilir tetapi tidak
186
secara nyata untuk industriawan yang berada di subwilayah hulu dan tidak secara nyata untuk kalangan industriawan kelompok besar di kedua subwilayah tersebut. (3) Proses transformasi struktural perekonomian dapat dirancang secara berkesinambungan dengan mengandalkan kinerja kewirausahaan atau (E)ntrepreneur dari kalangan industri kecil yang ditopang oleh pertumbuhan pendapatan perkapita di sektor pertanian [G_INCP_AGR]. Proses ini secara nyata telah terhambat sejak berlangsungnya desentralisasi tata pemerintahan [RZ]. (4) Pertumbuhan pendapatan perkapita sektor pertanian [G_INCP_AGR] itu sendiri dapat dirancang berkesinambungan jika degradasi fungsi instrinsik hutan dipulihkan melalui program reforestasi. Dalan kaitan ini, hutan rakyat di subwilayah hulu maupun hilir dan hutan negara di subwilayah hulu bepengaruh secara positif. Begitu pula dengan peningkatan kerapatan jaringan jalan beraspal di subwilayah hilir, yang dapat menjadi penguat bagi kinerja tangkapan peluang pasar. Dalam kaitan ini variabel [RZ] juga telah berperan secara positif nyata. (5) Sementara pengembangan kinerja E yang sehat perlu dikuatkan pada domain privat utamanya untuk kalangan industri kecil, sedangkan perkembangan kinerja L maupun I (yang berperan sebagai katalisator bagi berkembangnya kinerja E) perlu distimulasi melalui insentif fiskal Pemerintah Provinsi Lampung. Kerapatan jumlah koperasi (sebagai ukuran bagi kinerja L) yang berada subwilayah hulu maupun hilir berkurang secara nyata oleh peningkatan pajak dan retribusi daerah tahun sebelumnya (t-1). Sebaliknya kinerja L yang berada di subwilayah hilir secara nyata dapat ditingkatkan oleh alokasi belanja aparatur tahun sebelumnya, tetapi tidak untuk yang berada di subwilayah hulu. Belanja untuk bantuan sosial tidak punya pengaruh nyata terhadap kinerja L. Kebalikannya untuk belanja publik dalam mempengaruhi kinerja L. Variabel [RZ] berpengaruh secara positif nyata terhadap kinerja L yang berada di subwilayah hilir tetapi tidak nyata untuk yang berada di subwilayah hulu.
187
(6) Intensitas kejahatan (sebagai ukuran bagi keefektivan I) baik yang berada di subwilayah hulu maupun hilir meningkat secara nyata atas peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah. Belanja aparatur dapat meningkatkan secara nyata terhadap intensitas kejahatan di subwilayah hulu tetapi tidak untuk di hilir. Sebaliknya belanja untuk investasi publik dalam menurunkan intensitas kejahatan. Belanja untuk bantuan sosial dapat secara nyata menurunkan intensitas kejahatan di kedua subwilayah ini. Variabel [RZ] juga secara nyata telah menurunkan intensitas kejahatan di subwilayah hulu maupun hilir. (7) Hasil kenaikan PAD melalui peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah akan lebih efektif untuk meningkatkan capaian tingkat kesejahteraan jika dibelanjakan menurut Alokasi 2 (yaitu 75% untuk belanja publik dan 25% sisanya untuk belanja bantuan sosial) dari pada Alokasi 2 (yaitu 100% untuk belanja publik). (8) Apabila skema reforestasi berhasil dilakukan sampai total 250 ribu ha (atau sekitar 14,34 persen dari total luas Provinsi Lampung) dengan distribusi untuk hutan rakyat di subwiayah hulu 2X : hutan rakyat di hilir 3X dan sisanya secara merata di hutan negara, maka akan berdampak pada peningkatan PAD melalui peningkatan pajak dan retribusi daerah pemerintah Provinsi Lampung sampai 15% tanpa menciderai capaian NTP dan HDI secara nyata dengan suatu syarat bahwa hasil peningkatan pajak dan retribusi daerah tersebut dibelanjakan menurut Alokasi 2. (9) Secara agregat variabel RZ berperan positif nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung [HDI].
6.2 Saran Adapun saran yang relevan untuk disampaikan adalah: (1) Perlu melakukan penelitian lanjutan yang dikhususkan pada pengungkapan hubugan antara faktor-faktor endogenik dengan nilai ekonomi yang dibangkitkan oleh jasa lingkungan akibat pulihnya fungsi intrinsik hutan.
188
(2) Perlu melakukan penelitian di wilayah lain yang memiliki permasalahan serupa seperti Jakarta terhadap Bopunjur, Semarang terhadap UngaranSalatiga, Surabaya terhadap Malang ataupun wilayah lainnya. (3) Perlu melakukan penelitian lebih lanjut yang difokuskan pada karakterisasi faktor (E)ntrepreneurship berserta lingkungann budayanya, utamanya pada kalangan industriawan kecil dikaitkan pula dengan potensi ekonomi lokal.
189
DAFTAR PUSTAKA Affandi, M. I. 2009. Peran agroindustri dalam perekonomian wilayah ProvinsiLampung: Analisis keterkaitan antarsektor dan aglomerasi industri. Disertasi, SPs IPB, Bogor. Acs Z. and D. Storey. 2004. Introduction: Entrepreneurship and economic development. Regional Studies, 38: 871-877. Agarwal R., D.B. Audretsch and M.B Sarkar. 2007. The process of creative construction: Knowledge spillovers, entrepreneurship, and economic growth. Strategic Entrepreneurship Journal, 1: 263-286. Arief. 2011. Tidak ada lebah tidak ada kehidupaan. Harian Umum Kompas, 11 Desember. 2011. Barbier, E. and J. C. Burgess. 2001. The economics of tropical deforestation. Journal of Economic Surveys, Vol. 15(3): 413-433. Blanchard, O. 2000. Macroeconomics. 2nd Ed. Prentice Hall Inc. Upper Saddle River, New Jersey. BPDAS Way Seputih_Way Sekampung. 2008. Statistik Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih_Way Sekampung Tahun 2007. Bandar Lampung. BPDAS Way Seputih_Way Sekampung. 2009. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS Way Seputih_Way Sekampung Provinsi Lampung Tahun 2009. Bandar Lampung. BPS Kabupaten/Kota se Provinsi Lampung 1993-2009. BPS Kabupaten/Kota se Provinsi Lampung. BPS Provinsi Lampung. 1993. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 1994. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 1995. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 1996. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 1997a. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung.
190
BPS Provinsi Lampung. 1997b-2010. Nilai Tukar Petani. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 1998. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 1999. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2000a. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2000b. Produk Domestik Regional Provinsi Lampung Tahun 1998-2001. BPS ProvinsiLampung. BPS Provinsi Lampung. 2001. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2002. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2003. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2005. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2006a. Lampung Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2006b. Statistik Potensi Desa Provinsi Lampung 2005. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. Badar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2006c. Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Provinsi Lampung 2000-2005. Badan Pusat Statistik ProvinsiLampung. BPS Provinsi Lampung. 2007a. Lampung Dalam Angka. Kerjasama Biro Pusat Statistik dengan Balitbangda Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2007b. Indikator Perekonomian Regional Provinsi Lampung Tahun 2001-2006. Biro Pusat Statistik Provinsi Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2008. Lampung Dalam Angka. Kerjasama Biro Pusat Statistik dengan Balitbangda Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2009a. Lampung Dalam Angka. Kerjasama Biro Pusat Statistik dengan Balitbangda Provinsi Lampung, Bandar Lampung.
191
BPS Provinsi Lampung. 2009b. Statistik Potensi Desa Provinsi Lampung 2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. Badar Lampung. BPS Provinsi Lampung 1997-2009c. Statitistik Keuangan Daerah Provinsi Lampung 1996-2008. BPS Provinsi Lampung, Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2009d. Indikator Perekonomian Regional Provinsi Lampung Tahun 2008. BPS Provinsi Lampung. Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2009e. Tinjauan Ekonomi Regional Daerah Otonom di Provinsi Lampung. Tahun 2008. BPS Provinsi Lampung. Bandar Lampung. BPS Provinsi Lampung. 2009e. Analisis dan Kajian Indikator Makro Ekonomi Regional ProvinsiLampung Tahun 2008. BPS ProvinsiLampung. BPS Provinsi Lampung. 2010a. Analisis Indikator Ekonomi Makro Regional Propisi Lampung 2005-2009. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. BPS, Bappenas dan UNDP. 2001. Menuju Konsensus Baru: Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia. Bappenas, Jakarta. BPS. 1997. Profil Perusahaan Berbadan Hukum: Sensus Ekonomi 1996. BPS,, Jakarta. BPS. 1993-2000. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Luar Jawa 1992-1999. BPS, Jakarta. BPS. 2006. Hasil Pendaftaran Perusahaan/Usaha: Hasil Sensus Ekonomi 2006. BPS Jakarta. BPS. 2010b. Sensus Penduduk 2010. www.bps.go.id. BPS. 2010c. Produk Domestik Bruto Atas Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi 2004-2008. www.bps.go.id. Batjargal, B. 2007. Internet entrepreneurship: Social capital, human capital, and performance of internet ventures in China. Research Policy. 36: 605618. Center for Soil Research (CSR). 1989. Land Resource Evaluation and Planning Project I (LREPP). Badan Litbang Pertanian, Bogor. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 1989. Land System, Regional Physical Planning Project for Transmigartion (RePPProT). Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Deptrans. Jakarta.
192
De Santis, M., and R. R. Stough. 1999. Fast adjusting urban regions, leadership and regional economic development. Region et Development, 10, 37-56. Departemen Kehutanan. 2006. Kehutanan, Jakarta.
Statistik Kehutanan Indonesia.
Departemen
Dirjen Perkebunan. 2009. Outlook Komoditas Pertanian (Perkebunan). Pusat Data dan Informasi, Departemen Pertanian. Jakarta. Fujita, M. and J. F.Thisse. 2002. Economics of agglomeration. Cambridge Cambridge University Press. Fukuyama F. 1999. Social Capital and Civil Society. The Institute of Public Policy. George Mason University. International Monetary Fund. Fritsch, M. 2008. How does new business formation affect regional development? Small Business Economics. 30(1): 1-14. Grajeda, M. R. 2010. Increasing return and economic geography, Paul Krugman: his contribution to trade and economic geography. AAEA Annual Meetings, Milwauke, W.I. July 28th, 2009. Hairiah, K., D. Suprayogo, Widiatmo, E. Suhara, dan A. Mardiastuning. 2004. Alih guna lahan hutan menjadi agroforesti berbasis kopi, ketebalan serasah, populasi cacing dan makroporositas tanah. Agrivita,26(1):6980. Hardin, G. 1968. Tragdey of the cmmons. Science, 162:1243-1248. Hayami Y. 2001. Development Economics. From the Poverty to the Wealth of Nation. Oxford University Press. Hien, T. 2010. Three essay on determinat, strategic, behavior and formation of entreprenuership in Vietnam. Ph.D Dissertation. University of Trento, CIFREM. Igliori, D.C. 2008. Deforestation, Growth and Agglomeration Effects: Evidence from Agriculture in the Brazilian Amazon. Research Paper. Department of Land Economy, University of Cambridge Departmento de Economia, FEA/USP. IFI: Indufor Forest Intelegence. 2010. Background to forest finacing in Low Forest Cover Coutries. First Macro Level Paper. Indufor for United Nations Forum on Forests, Helsinki. Jha., R. and K.V. B.Murthy. 2003. An inverse global environmental Kuznets curve. Journal of Comparative Economics, 31: 352-368.
193
Pemerintah Provinsi Lampung. 2009. Rencana Tata Ruang Wilayah Popinsi Lampung 2009-2029. Bappeda ProvinsiLampung, Bandar Lampung. Kementrian Kehutanan. 2009. Eksekutif Data Strategis Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan, Jakarta. Kementrian Lingkugan Hidup. 2008. Laporan Hasil Pemantauan Menuu Indonesia Menghijau. Kemeneg LH, Jakarta. Krugman, P. 1991. Increasing return and economic geography. Journal of Political Economy,99(3):483-499. Krugman, P. 2010a. Increasing return and economic geography. (Resume of paper contributed in Journal of Political Economy, 1991). Krugman, P. 2010b. The new economic geography. Paper for presentation to the Association of American Geographers, April 16th, 2010. Lucas, R. E. 1988. On the mechanics of economic development. Journal of Monetary Economics, Vol. 22: 3-42. Mankiw, N. G. 2007. Teori Makroekonomi. Terjemahan 6th. Ed. Penerbit Erlangga, Surabaya. Mudiyarso, D., A. Puntodewo, A. Widayati and M. van Noordwijk. 2006. Determination of Eligible Land for A/R Project Activities and Priority of Districts for Project Development Support in Indonesia. CIFOR, Bogor. Montgomery, M. R. 1998. How large is to large? Implication of the city size literatura for population and research. Economic Development and Cultural Change, 36(4):691-720. Naidoo, R. 2004. Economic growth and liquidation of natural resource: Case of forest clearence. Land Economics, 80 (2):194-208. Nurhaida, I., S. P. Harianto, S. Bakri, A. Juniadi, dan P. Syah. 2006. Inventarisasi kearifan lokal dalam praktek wanatani sebagai upaya pemeberian hak bicara kepada petani dalam debat kelestarian fungsi hidroorologi wilayah resapan di Lampung Barat. Jurnal Pembangunan Perdesaan 5(2):91-105. Nyhus, P. J. and R. Tilson. 2003. Crop-rading elephant and conservation implication. Oryx, 34:144-154. Nyhus, P. J. and R. Tilson. 2005. Agroforestry, elephant and tiger. Agriculture Ecosystem and Environment, 104:87-97.
194
OECD. 2000. Learning Regions and Cities: Knowledge, Learning and Regional Innovation Systems. Paris: Organization for Economic Cooperation and Development. Pearce, D. W. and R. K. Turner. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. New York. Putnam R. D. 1995. Blowing alone: America‘s declining social capital. Journal of Democracy 6 (1): 65-78. Quah, D. 2002. Spatial agglomeration dynamics. CEPR Discussion Paper 3208, London. Randall, A. 1987. Resource Economics: An Economics Approach to Natural Resource and Environmental Policy. John Wiley and Sons, NewYork. Rending, S. J. 2009. The empirics of New Economic Geography. Research Paper. LSE, Yale School of Management and CEPR. Resosudarmo, I. A. P. 2005. Losser to people and tress: Will decentralization work for people and forest of Indonesia? The European Journal of Development Research, 16:110-132. Romer, P. M. 1990 Endogenous technological change, Journal of Political Economy, 98: S71-S102. Romer, D. 2001. Advanced Makroeconomics. 2nd Ed. McGraw_Hill. Boston Burr Ridge. Sihite, J. 2004. Valuasi ekonomi dan perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Besai, DAS Tulang Bawang-Lampung. Disertasi. SPs IPB Bogor. Solow, R. 1956. A contribution to the theory of economic growth. Quarterly Journal of Economics, 63-94. Sorensen, P. B. and H. J. Whitta-Jacobsen. 2009. Limit to growth, The Solow Model with scarce natural resources. Advanced Macroeconomics: Growth and Sustain, 191-203. Spenford Ltd, London. Stough, R.R., R. Kulkarni, J. Riggle, and K.E. Haynes 2000: Technology and industrial cluster analysis; some new methods, paper presented at 1st South African Regional Science Association meeting, January, Port Elizabeth, South Africa. Tapscott, D. 1996. Stough, R.R., M.F., De Santis, R.J. Stimson and B.H. Roberts. 2001. In D.W. Edington, A.L. Fernandez and C. Hoshino (Eds.) New Regional Development Paradigms: Volume 2 New Regions – Concepts, Issues and Development Practices. Greenwood Press, London, pp. 175-192.
195
Stimson, R. J., R. R . Stough. and B. H. Roberts. 2002. Regional Economic Development. Springer, Berlin. Stimson, R. J., A. Robson, R.R. Stough, and M. Salazar. 2003. Leadership, Institutions and Regional Economic Development: A New Conceptual Framework. Paper to Pacific Regional Science Conference Organization, 18th Biennal Meeting, Acapulco, Mexico, July. Stimson, R. J., R. R . Stough. and M. Salazar. 2005. Leaderships and institution factors in endogenous regional economics development. Working Paper. Centre for Urban and Regional Development University of QueenslandCenterfor Entrepreneurship and Public Policy Unversity of George Masson.
[email protected]. Stimson, R. J. , R. Stough and B. H. Robert. 2006. Regional Development: Analysis and Planning Strategy. 2nd Ed. Springer-Verlag, Berlin, Hiedelberg. Stimson, R. J. dan R. R. Stough. 2008. Changing approach to economics development: Focus on Endogenous Factors. Working Paper, Financial Development and Regional Economics, Regional Science Association International and Banco Central de la Republica Argentino. Stimson, R., A. Robson, T. K. Shyy. 2009. Modelling the determinant of spatial defferentials in endogenous regional employment growth and decline across Regional Australia 1996-2006. Paper, Prensented in ANZRSAI 32nd Annual Conference/AARCHSISS National Conference, Adelaide 30 November-3 December 2008. Syam, T. , H. Nishide, A. K. Salam, M. Utomo, A. K. Mahi, J. Lumbantraja, S.G. Nugroho, and M. Kimura. 1997. Land nuse and cover changein Hilly Area South Sumater Indonesia from 1970-1990. Soil Science and Plant Nutrition 43 (3):587-599. Toman, M. 2003. The role of the environment and natural resources in economic growh analysis. Working Paper 02-71. Resource for Future, Washington DC. www.rrf.org. Van Praag C. M., J. S., Cramer and J. Hartrog. 2002. Low risk aversion encourages the choice for entrepreneurship: an empirical test of a truism. Journal of Economic Behavior and Organization 48:29-36 Verbist, B. dan Pasya. 2004. Prespektif sejarah status kawasan hutan, konflik dan negosiasi, di Sumber Jaya Lampung Barat. Agrivita, 26(1):20-28.
196
Verbist, B., A. Ekadinata dan S. Budiharsono. 2004. Penyebab alih guna lahan terhadap fungsi daerah aliran sungai (DAS) pada lansekap agroforestri berbasis kopi. Agrivita 26,(1):29-38. Watala. 2008. Studi kolaborasi mendukung hutan kemasyarakatan secara lebih adil dan demokratis di Lampung. Laporan Pemberdyaan Masyarakat. Watala. Bandar Lampung. Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB Bogor. Tidak Diterbitkan.
197
LAMPIRAN
198
199
Tabel 1. Korelasi Pearson Proksi Variabel Endogenik di Subwilayah Hulu: Kepadatan Koperasi [KOP_HU], Intensitas Kejahatan [KJ_HU], Kerapatan Tempat Ibadah [IBD_HU], Kerapatan Organisasi Masa [ORG_HU] dan Kerapatan Jumlah Relawan [RLW_HU] Per 10 Ribu Penduduk Variabel
[KOP_HU]
[KJ_HU]
[IBD_HU]
[KJ_HU]
0.920
[IBD_HU]
0.692
0.770
[RLW_HU]
-0.705
-0.583
-0.509
[ORG_HU]
-0.689
-0.726
-0.863
[RLW_HU]
0.438
Tabel 2. Korelasi Pearson) Kelima Proksi Variabel Endogenik di Subwilayah Hilir: Kepadatan Koperasi [KOP_HI], Intensitas Kejahatan [KJ_HI], Kerapatan Tempat Ibadah [IBD_HI], Kerapatan Organisasi Masa [ORG_HI] dan Kerapatan Jumlah Relawan [RLW_HI] Per 10 Ribu Penduduk Variabel
[KOP_HI]
[KJ_HI]
[IBD_HI]
[KJ_HI]
0.687
[IBD_HI]
0.742
0.354
[RLW_HI]
-0.422
0.025
-0.674
[ORG_HI]
-0.598
-0.120
-0.712
[RLW_HI]
0.650
200
Tabel 3. Data Variabel Penjelas untuk Pemodelan Capai Indeks Pembangunan Manusia Setahun Ke Depan [HDI]t+1, Intensitas Kelongsoran Tanah [LSLIDE]t dan Intensitas Bajir [FLOOD] t [LSLIDE] Kab/Kota
[HDI]T+1
[HDI]t
[FLOOD]
[LDEG]
[SWH]
[COFF]
[ESTPL]
[SHIFT]
Banjir
Lahan Tergradasi
Sawah
Kopi
Perbkn.
Ladang Bpindah
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
Luas Longsor
Tahun
[1] Ha
[2]
[3]
%
-----------------------------------------%-------------------- ----------------------------
2005
Lampung Barat
495040
4.60
66.78
66.00
7.85
55.96
2.54
11.98
8.71
8.77
2005
Tanggamus
335661
1.72
69.02
67.70
6.36
81.84
6.62
16.14
14.18
17.38
2005
LamSelaltan
318078
0.79
67.76
67.20
6.40
48.95
14.34
2.59
10.59
28.24
2005
LampTimur
433789
0.00
68.64
67.90
5.21
22.81
11.27
0.35
6.78
19.69
2005
Lamp Teng
478982
0.35
69.09
68.80
5.90
36.66
11.00
0.38
19.28
21.01
2005
Lamp Utara
272563
0.87
68.49
68.00
3.61
53.63
3.61
5.78
20.94
22.90
2005
Way Kanan
392163
0.50
68.08
67.40
10.00
54.43
3.25
5.71
17.92
24.15
2005
Tl. Bawang
777084
0.00
68.20
67.80
9.17
46.67
12.38
0.08
10.91
13.14
2005
Bdr Lampung
19296
2.38
73.76
73.50
6.80
79.69
5.29
0.42
2.03
4.50
2005
Metro
6179
0.00
75.19
74.50
3.03
32.78
43.03
0.00
0.00
5.45
2008
Lampung Barat
495040
3.65
68.83
68.21
5.47
68.15
11.98
3.39
15.18
36.96
2008
Tanggamus
335661
1.58
70.84
70.19
3.78
97.21
16.14
7.45
21.15
52.87
2008
Lamp Selatan
318078
0.17
69.51
68.79
2.26
90.42
0.49
13.01
9.95
42.58
2008
Lamp Timur
433789
0.00
70.20
69.68
6.23
37.77
0.35
9.78
16.22
30.10
2008
Lamp Tengah
478982
0.23
70.38
69.93
4.32
16.97
0.38
21.58
5.70
43.68
2008
Lamp Utara
272563
0.00
69.85
69.40
1.35
23.67
5.79
4.54
20.11
58.70
2008
Way Kanan
392163
0.63
69.46
68.98
5.08
37.05
5.71
9.38
3.30
61.83
2008
Tl. Bawang
777084
0.14
69.63
69.14
2.50
64.76
0.08
11.70
22.54
42.70
2008
Bdr Lampung
19296
3.06
75.35
74.86
5.10
53.33
0.42
5.36
0.00
46.91
2008
Metro
6179
0.00
75.98
75.71
0.00
12.19
48.55
0.00
0.00
3.69
Rataan
1.03
70.25
69.68
5.02
50.75
10.16
6.48
11.27
29.26
Sd
1.37
2.67
2.76
2.51
24.20
13.23
6.11
7.76
18.21
Sumber: [1] sampai [3] Potensi Desa (BPS ProvinsiLampung (2006a; dan 2009a) [4] sampai Renc Teknik Rehab. Hutn & Lahan (BP DAS Seputih_Sekampung (2009) [6] sampai [12] Luasa Lahan Menurut Pengguaannya (BPS Pusat, 2007 dan 2009)
201
Tabel 3. (Lanjutan)
Kab/Kota Tahun
[FALLW]
[POND]
[SWAMP]
[HR]
[HN]
[CH]
Bera
Kolam
Rawa
Htn Ryt.
Htn Neg.
Crh. Hjn
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
----------------------------------------%------------------------------
[D1]
[D_2]
[D3]
[D4]
[D5]
[16]
[17]
[18]
[19
[20]
mm
2005
Lampung Barat
2.40
0.12
0.21
1.94
20.75
207.5333
0
0
1
0
1
2005
Tanggamus
0.77
0.22
0.19
4.08
5.47
54.74468
0
0
0
0
1
2005
Lamp Selatan
0.15
1.46
0.28
2.31
0.94
9.38238
0
0
0
0
0
2005
LampTimur
0.48
0.56
0.54
0.10
11.17
111.6974
0
1
0
0
0
2005
Lamp Tengah
0.15
0.06
0.18
1.77
2.81
28.05905
0
1
0
0
0
2005
Lamp Utara
0.33
0.11
0.24
1.71
3.00
29.97907
0
1
0
1
0
2005
Way Kanan
5.63
0.08
0.36
2.30
0.68
6.821308
0
0
0
1
0
2005
Tl. Bawang
6.11
0.10
2.69
0.04
1.24
12.35716
0
1
0
0
0
2005
Bdr Lampung
0.89
0.08
0.02
0.95
4.62
46.23435
1
1
0
1
0
2005
Metro
0.00
0.66
0.05
0.57
0.00
111.6974
1
1
0
0
0
2008
Lampung Barat
7.20
0.00
0.65
3.06
17.53
175.2945
0
0
1
0
1
2008
Tanggamus
1.76
0.01
0.00
3.02
4.84
48.37681
0
0
0
0
1
2008
Lamp Selatan
0.12
0.95
0.00
2.56
3.56
35.5667
0
0
0
1
0
2008
Lamp Timur
8.18
4.85
18.21
0.22
15.37
153.7176
0
1
0
0
0
2008
Lamp Tengah
0.62
0.00
10.39
0.20
2.02
20.19246
0
1
0
0
0
2008
LampUtara
0.43
0.00
0.00
2.87
2.55
25.49713
0
1
0
1
0
2008
Way Kanan
10.15
0.00
0.00
0.31
0.85
8.471496
0
0
0
1
0
2008
Tl. Bawang
11.63
0.00
0.19
0.03
0.73
7.323394
0
1
0
0
0
2008
Bdr Lampung
0.05
0.00
0.05
0.64
2.13
21.34769
1
1
0
1
0
2008
Metro
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0
1
1
0
0
0
2.85
0.46
1.71
1.43
5.01
50
6.16
61.56
Rataan=
Sd= 3.80 1.10 4.53 1.28 Sumber: [1] sampai [3] Potensi Desa (BPS ProvinsiLampung (2006a; dan 2009a)
[4] sampai Renc Teknik Rehab. Hutn & Lahan (BP DAS Seputih_Sekampung (2009) [6] sampai [12] Luasa Lahan Menurut Pengguaannya (BPS Pusat, 2007 dan 2009) D1= 1 Jika Kota; =0 Jika Kabupaten
D4=1 jika Perbukitan; =0 jika lainnya
D2= 1 jika Volkanik; =0 jika liannya
D5=1 jika Pegunungan; =0jika liannya
D3= 1nJika Plutonik= 0 jika lainnya
202
Tabel 4. Hasil Analisis Ragam Regresi Capaian Indek Pembangunan Manusia Setahun Ke Depan [HDI]t+1 sebagai Fungsi dari [HDI]t, Penggunaan Lahan, Urbanisme dan Curah Hujan Predictor Coef Constant 5.166 [HDI]t 0.92797 [HR] 0.06460 [HN] 0.003684 [LDEG] 0.001508 [SWH] 0.007236 [KOPI] 0.02083 [PKBN] -0.00390 [CH] 0.0000015 [D1_URBAN] 0.3220 S = 0.1974
StDev 3.998 0.05774 0.05168 0.008772 0.002614 0.005124 0.01116 0.01066 0.0001199 0.4345
R-Sq = 99.7%
T 1.29 16.07 1.25 0.42 0.58 1.41 1.87 -0.37 0.01 0.74
P 0.225 0.000 0.240 0.683 0.577 0.188 0.091 0.722 0.991 0.476
R-Sq(adj) = 99.5%
Persamaan {4.1}. [HDI]t+1 = 5.17 + 0.928[HDI]t + 0.0646 [HR] + 0.00368 [HN] + 0.00151[LDEG]+0.00724[SWH] + 0.0208[COFF] - 0.0039[ESTPL] +0.000001[CH] + 0.322 [D1_URBAN] Analysis of Variance Source DF SS Regression 9 134.977 Error 10 0.390 Total 19 135.367 Source [HDI]t [HR] [HN] [LDEG] [SWH] [KOPI] [PKBN] [CH] D1_URBAN
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Seq SS 134.493 0.203 0.021 0.009 0.019 0.160 0.051 0.001 0.021
MS 14.997 0.039
F 384.82
P 0.000
203
Tabel 5. Hasil Analisis Ragam Regresi Intensitas Kelongsoran Tanah sebagai Fungsi dari Penggunaan Lahan, Urbanisme dan Curah Hujan dan Bentang Lahan Predictor Constant [HR] [HN] [LDEG] [SWH] [KOPI] [PKBN] [LPNDH] [BERA] [EMPG] [RAWA] [CH] D1_URBAN D2_VOLC D3_PLUT D4_HILL D5_MOUNT
Coef 2.086 -0.4512 -0.11377 -0.010871 -0.08937 -0.05484 0.01466 0.002065 -0.09794 0.4775 -0.07802 0.0003016 2.0779 -0.3913 3.3968 0.0838 3.2239
S = 0.2767
StDev 1.481 0.1921 0.05256 0.005866 0.01429 0.02105 0.02522 0.006986 0.03687 0.2195 0.05217 0.0003073 0.5040 0.5214 0.6500 0.3083 0.7860
R-Sq = 99.4%
T 1.41 -2.35 -2.16 -1.85 -6.26 -2.61 0.58 0.30 -2.66 2.18 -1.50 0.98 4.12 -0.75 5.23 0.27 4.10
P 0.254 0.100 0.119 0.161 0.008 0.080 0.602 0.787 0.077 0.118 0.232 0.399 0.026 0.507 0.014 0.803 0.026
R-Sq(adj) = 95.9%
Persamaan {4.2} [LSLIDE] = 2.09 - 0.451 [HR] - 0.114[HN] - 0.0109[LDEG] - 0.0894 [SWH]- 0.0548[COFF] + 0.0147[ESTPL] + 0.00207[SHIFT] - 0.0979[FALLOW]+ 0.477[POND] - 0.0780 [SWAMP] +0.000302 [CH] + 2.08 [D1_URBAN] - 0.391 [D2_VOLC] + 3.40 [D3_PLUT] + 0.084 [D4_HILL] + 3.22 [D5_MOUNT] Analysis of Variance Source DF SS Regression 16 35.6249 Error 3 0.2297 Total 19 35.8547 Source [HR] [HN] [LDEG] [SWH] [KOPI] [PKBN] [LPNDH] [BERA] [EMPG] [RAWA] [CH] D1_URBAN D2_VOLC D3_PLUT D4_HILL D5_MOUNT
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Seq SS 4.8083 10.5656 2.5045 0.0341 0.0839 5.4276 0.0052 0.0742 4.4681 0.1205 0.0344 3.5084 0.3908 1.3699 0.9412 1.2882
MS 2.2266 0.0766
F 29.08
P 0.009
204
Tabel 6. Hasil Analisis Ragam Regresi Intensitas Banjir sebagai Fungsi dari Penggunaan Lahan, Urbanisme dan Curah Hujan dan Bentang Lahan Predictor Coef Constant 18.119 [HR] -0.2176 [HN] -0.52468 [LDEG] -0.018652 [SWH] -0.23475 [KOPI] -0.30007 [PKBN] -0.25293 [LPNDH] -0.08671 [CH] -0.0001862 [D1_URBAN] -3.4568 [D4_HILL] -1.0870 [D5_MOUNT] 7.158 S = 0.2066
StDev 1.705 0.1704 0.04507 0.009478 0.01696 0.01594 0.03502 0.01561 0.0002705 0.5055 0.3473 1.241
R-Sq = 99.9%
T 10.63 -1.28 -11.64 -1.97 -13.84 -18.83 -7.22 -5.56 -0.69 -6.84 -3.13 5.77
P 0.060 0.423 0.055 0.299 0.046 0.034 0.088 0.113 0.616 0.092 0.197 0.109
R-Sq(adj) = 99.0%
Persamaan {4.3} [FLOOD] = 18.1 - 0.218 [HR] - 0.525 [HN] - 0.0187 [LDEG] - 0.235 [SWH] - 0.300[COFF] - 0.253[ESTPL] - 0.0867[SHIFT] -0.000186[CH]- 3.46 [D1_URBAN] - 1.09 [D4_HILL] + 7.16 [D5_MOUNT] Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 11 1 12
SS 51.3229 0.0427 51.3656
Source [HR] [HN] [LDEG] [SWH] [KOPI] [PKBN] [LPNDH] [CH] [D1_URBAN] [D4_HILL] [D5_MOUNT]
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Seq SS 13.4519 0.0683 4.4636 0.1554 12.1089 2.7000 0.5548 4.7112 3.1199 8.5687 1.4202
MS 4.6657 0.0427
F 109.36
P 0.074
205
Tabel 7. Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Kecil di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan dan Tempat Ibadah
Predictor Constant [KOP_HU] [KJ_HU] [IBD_HU] [RZ] S = 13.23
Coef StDev T P -87.01 80.73 -1.08 0.309 13.326 4.213 3.16 0.011 -11.434 3.435 -3.33 0.009 6.276 2.655 2.36 0.042 -7.38 15.62 -0.47 0.648 R-Sq = 85.6% R-Sq(adj) = 79.2%
Persamaan {4.4} [IKC_HU]t = -87.0 + 13.3[KOP_HU] - 11.4[KJ_HU] + 6.28 [IBD_HU] - 7.4 [RZ] Analysis of Variance Source DF SS Regression 4 9347.6 Error 9 1574.9 Total 13 10922.4 Source [KOP_HU] [KJ_HU] [IBD_HU] [RZ]
DF 1 1 1 1
Seq SS 6012.2 1646.7 1649.6 39.0
MS 2336.9 175.0
F 13.35
P 0.001
206
Tabel 8. Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Sedang-Besar di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan dan Tempat Ibadah
Predictor Coef StDev T P Constant 0.04804 0.09993 0.48 0.644 [IKC_HU] 0.0000615 0.0003884 0.16 0.878 [KOP_HU] 0.021146 0.007139 2.96 0.018 [KJ_HU] 0.003813 0.005976 0.64 0.541 [IBD_HU] 0.000440 0.003938 0.11 0.914 [RZ] -0.00797 0.01843 -0.43 0.677 S = 0.01541 R-Sq = 88.5% R-Sq(adj) = 81.3%
Hasil Regresi Persamaan {4.5}: [IBS_HU] = 0.0480 +0.000062 [IKC_HU] + 0.0211 [KOP_HU] + 0.00381 [KJ_HU]+ 0.00044 [IBD_HU] - 0.0080 [RZ] Analysis of Variance Source DF SS Regression 5 0.0145857 Error 8 0.0019000 Total 13 0.0164857 Source [IKC_HU] [KOP_HU] [KJ_HU] [IBD_HU] [RZ]
DF 1 1 1 1 1
Seq SS 0.0073667 0.0070804 0.0000791 0.0000151 0.0000445
MS 0.0029171 0.0002375
F 12.28
P 0.001
207
Tabel 9.
Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Kecil di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan Tempat Ibadah, Ormas dan Relawan
Predictor Constant [KOP_HI] [KJ_HI]t-1 [IBD_HI] [ORG_HI] [RLW_HI] [RZ] S = 1.696
Coef StDev T P -192.45 27.11 -7.10 0.006 7.150 1.985 3.60 0.037 -21.566 5.943 -3.63 0.036 8.7739 0.8940 9.81 0.002 2.0284 0.6853 2.96 0.060 0.1259 0.1343 0.94 0.418 -6.263 2.581 -2.43 0.094 R-Sq = 99.3% R-Sq(adj) = 97.8%
Regresi Persamaan {4.6}: [IKC_HI] = - 192 + 7.15 [KOP_HI] - 21.6 [KJ_HI]t-1 + 8.77 [IBD_HI] + 2.03 [ORG_HI] + 0.126 [RLW_HI]- 6.26 [RZ] Analysis of Variance Source DF SS Regression 6 1147.41 Error 3 8.63 Total 9 1156.04 Source [KOP_HI] [KJ_HI]t [IBD_HI] [ORG_HI] [RLW_HI] [RZ]
DF 1 1 1 1 1 1
Seq SS 693.98 146.38 237.17 48.02 4.91 16.94
MS 191.23 2.88
F 66.48
P 0.003
208
Tabel 10. Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Sedang-Besar di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan Tempat Ibadah, Omas dan Relawan
Predictor Coef StDev T P Constant 12.820 6.070 2.11 0.169 [IKC_HI] 0.05470 0.03064 1.79 0.216 [KOP_HI] -0.3245 0.2431 -1.34 0.314 0.7322 1.13 0.377 [KJ_HI]t-1 0.8251 [IBD_HI] -0.5341 0.2730 -1.96 0.190 [ORG_HI] -0.16934 0.07201 -2.35 0.143 [RLW_HI] -0.003462 0.008105 -0.43 0.711 [RZ] 0.2965 0.2358 1.26 0.336 S = 0.09002 R-Sq = 85.1% R-Sq(adj) = 33.0%
Regresi Persamaan {4.7} [IBS_HI] = 12.8 + 0.0547[IKC_HI] - 0.325 [KOP_HI] + 0.825 [KJ_HI]t-1 - 0.534 [IBD_HI] -0.169 [ORG_HI] - 0.00346 [RLW_HI] + 0.296 [RZ] Analysis of Variance Source DF SS Regression 7 0.092644 Error 2 0.016206 Total 9 0.108850 Source [KOP_HI] [KJ_HI]t [IBD_HI] [ORG_HI] [RLW_HI] [RZ] [IKC_HI]
DF 1 1 1 1 1 1 1
Seq SS 0.006988 0.022752 0.013482 0.020354 0.002325 0.000919 0.025823
MS 0.013235 0.008103
F 1.63
P 0.431
209
Tabel 11. Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita di Sektor Pertanian sebagai Fungsi dari Luasan Tutupan Hutan Rakyat dan Hutan Negara di Subwilayah Hulu dan Hilir
Predictor Constant [HR_HU]t-1 [HN_HU]t-1 [HR_HI]t-1 [HN_HI]t-1 [Jl_HU]t [JL_HI]t [RZ] S = 0.2781
Coef StDev T P -128.450 3.808 -33.73 0.019 11.841 1.054 11.24 0.056 0.37673 0.02920 12.90 0.049 6.0174 0.2169 27.75 0.023 0.06643 0.02298 2.89 0.212 0.1740 0.1174 1.48 0.378 1.60374 0.05344 30.01 0.021 30.668 1.604 19.12 0.033 R-Sq = 100.0% R-Sq(adj) = 99.6%
Regresi Persamaan {4.8}: [G_INCP_AGR] = - 128 + 11.8[HR_HU]t-1 + 0.377[HN_HU]t-1 + 6.02[HR_HI]t-1 + 0.0664[HN_HI]t-1 + 0.174[Jl_HU]t + 1.60[JL_HI]t-1 + 30.7[RZ] Analysis of Variance Source DF SS Regression 7 175.346 Error 1 0.077 Total 8 175.423 Source [HR_HU]t-1 [HN_HU]t-1 [HR_HI]t-1 [HN_HI]t-1 [Jl_HU] [JL_HI] [RZ]
DF 1 1 1 1 1 1 1
Seq SS 19.491 1.372 11.269 1.494 72.029 41.418 28.273
MS 25.049 0.077
F P 323.94 0.043
210
Tabel 12.
Hasil Analisis Ragam Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri sebagai Fungsi dari Kerapatan Industri Kecil dan Industri Sedang-Besar di Hulu dan di Hilir, Pertumbuhan Pendapatan per Kapita Sektor Pertanian, Pertumbuhan Pangsa Sektor-sektor Petanian, Pertambangan dan Sektor Selainnya
Predictor Constant [IKC_HU]t-1 [IBS_HU]t-1 [IKC_HI]t-1 [IBS_HI]t-1 [G_INCP_AGR]t-1 [G_AGR_SH]t-1 [G_MIN_SH]t-1 [G_OTH_SH]t-1 [RZ] S = 0.9465
Coef -8.641 0.05705 -38.96 0.08169 25.73 0.18945 -1.3843 -0.16783 -1.9025 -4.379 R-Sq = 98.9%
StDev T 2.767 -3.12 0.01761 3.24 13.56 -2.87 0.01906 4.28 33.54 0.77 0.08558 2.21 0.2423 -5.71 0.02391 -7.02 0.3266 -5.82 1.063 -4.12 R-Sq(adj) = 96.3%
P 0.035 0.032 0.045 0.013 0.486 0.091 0.005 0.002 0.004 0.015
Regresi Persamaan {4.9}: [G_IND_SH]t = -8.64 + 0.0571[IKC_HU]t-1 - 39.0[IBS_HU]t-1 + 0.0817[IKC_HI]t-1 + 25.7[IBS_HI]t-1 + 0.189[G_INCP_AGR]t-1 - 1.38[G_AGR_SH]t-1 - 0.168[G_MIN_SH]t-1 - 1.90[G_OTH_SH]t-1 - 4.38[RZ]
Analysis of Variance Source DF Regression 9 Error 4 Total 13
SS 314.964 3.583 318.548
Source [IKC_HU]t-1 [IBS_HU]t-1 [IKC_HI]t-1 [IBS_HI]t-1 [G_INCP_AGR]t-1 [G_AGR_SH]t-1 [G_MIN_SH]t-1 [G_OTH_SH]t-1 [RZ]
Seq SS 13.381 11.656 58.309 5.890 24.995 1.721 108.915 74.908 15.190
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1
MS 34.996 0.896
F 39.07
P 0.002
211
Tabel 13.
Pertumbuhan Ekonomi sebagai Fungsi dari Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri
Predictor Constant [G_IND_SH]t [RZ] S = 1.772
Coef 5.7311 0.8201 -0.4307 R-Sq = 81.6%
StDev T P 0.6497 8.82 0.000 0.1130 7.26 0.000 0.9310 -0.46 0.652 R-Sq(adj) = 78.6%
Regresi Persamaan {4.10}: [G_ECONM]t = 5.73 + 0.820[G_IND_SH]t - 0.431[RZ] Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 167.361 Error 12 37.684 Total 14 205.046 Source [G_IND_S [RZ]
DF 1 1
Seq SS 166.689 0.672
MS 83.681 3.140
F 26.65
P 0.000
212
Tabel 14. Analisis Ragam Regresi Nilai Tukar Petani sebagai Fungsi dari Pertumbuhan Ekonomi
Predictor Constant [G_ECONM]t-1 [RZ]
Coef 59.736 3.6944 26.603
S = 4.073
StDev 5.403 0.8975 2.539
R-Sq = 93.4%
T 11.06 4.12 10.48
P 0.000 0.003 0.000
R-Sq(adj) = 91.7%
Regresi Persamaan {4.11}: [NTP] = 59.7 + 3.69[G_ECONM]t-1 + 26.6[RZ] Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 2 8 10
SS 1866.66 132.71 1999.37
Source [G_ECONM [RZ]
DF 1 1
Seq SS 46.15 1820.51
MS 933.33 16.59
F 56.26
P 0.000
213
Tabel 15.
Analisis Ragam Rgresi Human Development Index sebagai Fungsi dari Nilai Tukar Petani dan Insidensi Kemiskinan Perdesaan
Predictor Constant [NTP] [R_POOR] [RZ]
Coef 66.573 0.05101 -0.26916 2.2067
S = 0.05975
StDev 1.262 0.01326 0.01289 0.3030
R-Sq = 100.0%
T 52.74 3.85 -20.88 7.28
P 0.000 0.061 0.002 0.018
R-Sq(adj) = 99.9%
Regresi Persamaan {4.12}: [HDI] = 66.6 + 0.0510 [NTP] - 0.269[R_POOR] + 2.21 [RZ] Analysis of Variance Source DF SS Regression 3 23.3145 Error 2 0.0071 Total 5 23.3217 Source [NTP] [R_POOR] [RZ]
DF 1 1 1
Seq SS 21.6860 1.4393 0.1893
MS 7.7715 0.0036
F 2176.94
P 0.000
214
Tabel 16. Analisis Regresi Kerapatan Jumlah Koperasi di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial
Predictor Constant [TAX]t-1 [S_APRT]t-1 [S_PUBL]t [S_SOC]t [RZ]
Coef 2.5580 -0.03839 0.02788 0.014470 0.00655 7.090
S = 0.6039
StDev 0.7611 0.01332 0.01526 0.005099 0.01090 3.326
R-Sq = 93.9%
T 3.36 -2.88 1.83 2.84 0.60 2.13
P 0.044 0.063 0.165 0.066 0.591 0.123
R-Sq(adj) = 83.7%
Regresi Persamaan {4.13} [KOP_HU]t = 2.56 - 0.0384[TAX]t-1 + 0.0279[S_APRT]t-1 + 0.0145[S_PUBL]t + 0.0065 [S_SOC]t + 7.09[RZ] Analysis of Variance Source DF SS P Regression 5 16.7915 0.049 Error 3 1.0942 Total 8 17.8857 Source [TAX]t-1 [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ]
DF 1 1 1 1 1
Seq SS 12.0791 0.0615 0.8551 2.1389 1.6570
MS
F
3.3583
9.21
0.3647
215
Tabel 17. Analisis Regresi Kerapatan Jumlah Koperasi di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial
Predictor Constant [TAX]t-1 [S_APRT]t-1 [S_PUBL] [S_SOC] [RZ] S = 0.4586
Coef StDev T P 3.3448 0.5780 5.79 0.010 -0.03171 0.01012 -3.14 0.052 0.01839 0.01159 1.59 0.211 0.012242 0.003873 3.16 0.051 0.008903 0.008280 1.08 0.361 6.276 2.526 2.48 0.089 R-Sq = 93.7% R-Sq(adj) = 83.1%
Persamaan {2.14} [KOP_HI]t = 3.34 - 0.0317 [TAX]t-1 + 0.0184[S_APRT]t-1 + 0.0122[S_PUBL]t + 0.00890[S_SOC]t + 6.28[RZ] Analysis of Variance Source DF SS Regression 5 9.3521 Error 3 0.6311 Total 8 9.9832 Source [TAX]t-1 [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ]
DF 1 1 1 1 1
Seq SS 6.5094 0.0673 0.5617 0.9152 1.2985
MS 1.8704 0.2104
F 8.89
P 0.051
216
Tabel 18. Analisis Regresi Intensitas Kejahatan di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial Predictor Constant [TAX]t [S_APRT]t [S_PUBL]t [S_SOC]t [RZ] S = 0.4964
Coef -0.0302 0.010570 0.006731 -0.001057 -0.015818 -4.034 R-Sq = 93.2%
StDev T 0.3590 -0.08 0.003605 2.93 0.003120 2.16 0.001148 -0.92 0.005081 -3.11 1.163 -3.47 R-Sq(adj) = 88.4%
P 0.935 0.022 0.068 0.388 0.017 0.010
Persamaan {4.15} [KJ_HU]t = -0.030 + 0.0106[TAX]t + 0.00673[S_APRT]t - 0.00106[S_PUBL]t-0.0158[S_SOC]t - 4.03[RZ] Analysis of Variance Source DF Regression 5 Error 7 Total 12 Source [TAX_PRO [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ]
DF 1 1 1 1 1
SS 23.7979 1.7250 25.5229
Seq SS 17.9586 2.6934 0.1236 0.0554 2.9669
MS 4.7596 0.2464
F 19.31
P 0.001
217
Tabel 19. Analisis Regresi Intensitas Kejahatan di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial
Predictor Constant [TAX]t [S_APRT]t [S_PUBL]t [S_SOC]t [RZ] S = 1.864
Coef StDev T P 1.930 1.348 1.43 0.195 0.03926 0.01354 2.90 0.023 0.00251 0.01171 0.21 0.837 0.003000 0.004309 -0.70 0.509 -0.06569 0.01908 -3.44 0.011 -14.844 4.365 -3.40 0.011 R-Sq = 69.1% R-Sq(adj) = 47.1%
Regresi Persamaan {4.16} [KJ_HI]t = 1.93 + 0.0393[TAX]t + 0.0025[S_APRT]t - 0.00300[S_PUBL]t -0.0657[S_SOC]t -14.8[RZ] Analysis of Variance Source DF SS Regression 5 54.409 Error 7 24.315 Total 12 78.724 Source [TAX_PRO [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [RZ]
DF 1 1 1 1 1
Seq SS 1.628 6.736 1.300 4.578 40.168
MS 10.882 3.474
F 3.13
P 0.084
218
Table 20. Daftar Singkatan dan Akronim yang Digunakan
Simbol
Arti
[CH] [COFF] [D1_URBAN] [D2_VOLC] [D3_PLUT] [D4_HILL] [D5_MOUNT] [ESTPL] [FALLOW] [FLOOD] [G_AGR_SH] [G_ECONM] [G_IND_SH] [G_INCP_AGR] [G_MIN_SH] [G_OTH_SH]
: : : : : : : : : : : : : : : :
[HDI] HI HU HN HR JL IBD IKC IBS KJ KOP [LDSLIDE] [LDEG] [ORG] [NTP] [POND] Re [RZ] [S_APRT] [S_PUBL] [S_SOC] [TAX] [SHIFT] [SWAMP]
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Jumlah millimeter presipitasi tahunan Proporsi luasan perkebunan kopi rakyat Dummy variable urbanisme (kabupaten Vs kota) Dummy variable lahan berbatuan induk Sedimen Vs Volkanik Dummy variable lahan berbatuan induk Volkanik Vs Plutonik Dummy variable bentang lahan dataran Vs perbukitan Dummy variabel bentang lahan perbukitan Vs pegunungan Proporsi luasan perkebunan besar di kabupaten ke i Proporsi luasan lahan yang diberakan di kabupaten ke i Proporsi desa-desa yang dilanda banjir dalam kabupaten ke i Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertanian Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Pangsa Sektor Idustri Pertumbuhan Pendapatan/Kapita Sektor Pertanian Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertambangan Pertumhuhan Pangsa Sektor selainnya (Perdagangan, konstruksi, komunikasi dan jasa-jasa) Indek Pembangunan Manusia Hilir Hulu Hutan Negara Hutan Rakyat Kerapatan Jaringan Jalan Beraspal per 10 ribu Ha Kerapatan tempat Ibadah per 10 ribu penduduk Kerapatan Industri Kecil per 10 ribu penduduk Kerapatan Industri Besar-Sedang per 10 ribu penduduk Intensitas Kejahatan per 10 ribu penduduk Kerapatan jumlah koperasi/10 ribu penduduk Proporsi desa yang dilanda tanah longsor pada kabupaten ke i. Proporsi lahan tergedradasi dalam kabupaten ke i Kerapatan organisasi kemasyarakatan per 10 ribu penduduk Indek Nilai Tukar Petani Proporsi luas lahan berupa balong atau kolam di kabupaten ke i Resource Endowment Rezim Tata Pemerintahan Belanja untuk Aparatur per 10 ribu penduduk Belanja untuk investasi Publik per 10 ribu penduduk Belanja untuk Bantuan Sosial per 10 ribu penduduk Pendapatan pajak daerah dan retribusi per 10 ribu penduduk Proporsi penggunaan lahan perladangan di kabupeten ke i Proporsi lahan berupa rawa-rawa di kabupaten ke i