Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
14
FUNGSI DAN SIFAT KETUHANAN PADA PENDIDIK Oleh: Agus Salim Lubis1
Abstract Educator is an important factor in all educational process. Moreover, Educator plays a priority role. Educator engages developing students’ potencies in cognition, behavior and psychomotor. He/she also will be responsible fulfilling students’ needs such physics and intelligent, spiritual and moral. That is why, educated needs to be respected and has a holy role. Al-Gazali explains that educator role is like a sun shining people and him/herself as like kesturi is smelled by everyone around and itself. Keywords: Educator, students’, educational process
1
Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Padangsidimpuan.
Fungsi dan Sifat Ketuhanan pada Pendidik...............Agus Salim Lubis
15
Pedahuluan Pendidik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam keseluruhan proses pendidikan. Bahkan keberadaan pendidik menempati posisi utama dalam proses pendidikan. Karena pendidik yang mengupayakan pengembangan potensi peserta didik, baik potensi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Ia juga turut bertanggung jawab memenuhi kebutuhan anak didik, baik kebutuhan fisik dan intelektual, maupun spiritual dan moral.2 Karenanya pendidik termasuk orang yang patut dihormati dan memiliki kedudukan yang mulia. Al-Ghazali seperti dikutip M. Athiyah al-Abrasyi menjelaskan bahwa keberadaan pendidik ibarat matahari yang menyinari orang lain dan menyinari dirinya sendiri, seperti minyak kesturi yang aromanya dinikmati orang lain dan dirinya sendiri harum.3 Kontradiksi dengan hal di atas, pada saat ini sebagian masyarakat kurang menghormati pendidik. Bahkan tidak jarang sebagian masyarakat melecehkan pendidik. Bersamaan dengan itu tidak sedikit pula pendidik kurang menghargai profesinya, yakni tidak mampu menunjukkan kepribadian yang terpuji.4 Karenanya dipandang suatu hal yang menarik untuk mengulas tentang fungsi dan sifat ketuhanan pada pendidik. Dengan hal ini, diharapkan kiranya para pendidik atau calon pendidik dapat membina kepribadiannya. Pengertian Pendidik Dengan merujuk pada istilah dalam konteks makna pendidikan, maka sedikitnya ada tiga istilah yang menunjukkan pada makna pendidik, yaitu alMu'allim ()المعلم, al-Muaddib ()المأدب, dan al-Murabbī ()المربى. Kata al-Mu'allim (isim fa'il) berasal dari akar kata 'allama ()علم. Dalam bentuk kata kerja dengan segala variasinya disebut dalam Alquran lebih dari 40 kali, tersebar dalam beberapa surah (seperti dalam al-Baqarah ayat: 31 dan ar-Rahman: 2, 4). Dengan memahami ayat-ayat Alquran tersebut, berarti pendidik adalah orang yang memiliki kelebihan ilmu dari peserta didiknya. Melalui proses pendidikan, ia mentransformasikan ilmu Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis , (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 41. 3 M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Alih Bahasa Bustami A. Gani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 135-136. 4 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 1. 2
16
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
kepada orang lain (peserta didik). Berarti memiliki kelebihan ilmu dan mentransformasikannya kepada orang lain menjadi syarat atas seseorang yang disebut sebagai pendidik. Kata al-Muaddib (isim fā'il), berasal dari akar kata addaba ( )أدبyang adabu berarti pendidikan, yaitu mendidik manusia agar beradab, terpuji dan terhindar dari hal-hal tercela. Kata ini terambil dari hadis Nabi saw. ادّبني ر ّبي فأحسن تأدبيyang berarti ‚Tuhanku telah mendidikku, maka Dia (Allah) baguskan pendidikanku‛. Dari pemaknaan ini, berarti pendidik adalah orang yang membimbing dan mengarahkan manusia (peserta didik) agar beradab atau berakhlak baik. Karenanya pula seorang pendidik adalah orang yang memiliki adab dan akhlak yang baik. Selanjutnya al-Murabbī (isim fa'il), berasal dari akar kata rabba - yarubbu ( ّ رب- ّ)يرب. Dalam Alquran disebut tidak kurang dari 900 kali. Kata yang langsung dengan makna pendidik di dalam Alquran diistilahkan dengan sebutan rabbani ( )ربّني, yakni seperti dalam surah Ali Imran ayat 79. Adapun yang dimaksudkan dengan rabbani adalah mengetahui Allah dengan tetap patuh dan tunduk kepadaNya. Dengan demikian dalam konteks ini, pendidik adalah orang yang senantiasa mendasarkan aktivitasnya pada aturan Tuhan. Ia senantiasa mengamalkan ilmunya dan beramal (mengatur, mengurus, memelihara, dan memperbaiki) dengan ilmunya kepada pihak lain (peserta didik) di atas ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Fungsi Pendidik Dari pengertian pendidik seperti yang telah dijelaskan, diperoleh gambaran sesuatu yang menjadi fungsi pendidik, yakni mengajar, menuntun, memperbaiki dan memelihara peserta didik agar mencapai perkembangan potensi kognitif, afektif dan psikomotorik secara baik. Fungsi yang dilakukan pendidi adalah bagian dari eksistensi yang dilakukan Allah swt. Dalam Alquran dapat dijumpai sejumlah ayat yang menjelaskan bahwa Allah swt. bereksistensi mengajar, menuntun, memimpin dan memelihara makhluknya. Hal ini seperti pada surat alBaqarah ayat 31 yang artinya: ‚Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar. Mereka menjawab: Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana‛.
Fungsi dan Sifat Ketuhanan pada Pendidik...............Agus Salim Lubis
17
Selanjutnya pada surat al-Qashash ayat 56 dijelaskan: ‚Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk‛. Kemudian pada surat An-Nur ayat 46 dijelaskan ‚Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus‛. Sifat Pendidik Sebagai yang memiliki kedudukan tinggi dan patut dihormati, seseorang pendidik selain harus memiliki kompetensi dan profesionalitas yang tinggi sesuai dengan konsep ilmu pendidikan, ia juga harus memiliki sifat-sifat yang mahmudah. Secara ideal, sesuai dengan keberadaannya yang melaksanakan tugas-tugas yang seiring dengan sebagian dari yang dilakukan Allah swt. terhadap hamba-hambaNya berupa mengajar, memberi petunjuk, membimbing dan memimpin (walaupun berbeda kapasitas, intensitas dan kualitas), maka seseorang pendidik sangat patut dan dituntut harus memiliki sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah). Hal ini sejalan dengan pemikiran Abdurrahman An-Nahlawy yang menempatkan bersifat rabbaniyah sebagai syarat atau sifat yang pertama harus dimiliki seorang pendidik, yakni seluruh aktivitas, niat dan ucapan, gerak dan langkah harus sejalan dengan nilai-nilai Islam.5 Seiring dengan hal tersebut, al-Razi seperti diuraikan Abdul Mujib, menjelaskan bahwa kepribadian rabbani adalah kepribadian Ilahi, yakni kepribadian individu yang didapat setelah mentransformasikan asma-asma (namanama) dan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya, untuk kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam bahasa sederhana, kepribadian rabbani adalah kepribadian individu yang mencerminkan sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah).6 Dalam Alquran surat al-Hasyr ayat 21, Allah swt. menjelaskan bahwa Ia memiliki asma al-husna (Nama-Nama Yang Paling Baik). Syekh Maqdisi dan Allamah Kaf’ami dalam buku al-Asma al-Husna al-Mustakhrajah min Alquran al‘Azhim wa al-Sunnah wa al-Thibb al-Nabawi menuliskan bahwa terdapat 95 nama Abdurrahman An-Nahlawy, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat , Terjemahan dari judul aslinya, Usul al-Tarbiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa alMujtama’, oleh Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 171. 6 Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 188-189. 5
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
18
Tuhan.7 Bila asma al-husna ini dapat dipandang sebagai sifat-sifat Tuhan, maka terdapat sebagian dari sifat-sifat tersebut yang harus dimiliki seseorang yang berprofesi sebagai pendidik. Sejalan dengan hal tersebut, dengan melihat dan merangkum pendapat al-Ghazali, Abdurrahman an-Nahlawi, al-Qalqasyandi dan Athiyah al-Abrasy, maka terdapat beberapa sifat-sifat ketuhanan yang harus dimiliki pendidik. Sifatsifat tersebut antara lain, kasih sayang dan lemah lembut (ar-rahman, ar-rahim dan al-lathif), jujur (al-haq), berbudi luhur (al-karim, al-aziz, al-majid, al-azhim, alhamid, al barri, Dzul Jalali wa al-ikram), penyabar (as-shabur), memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam (as-sami’, al-bashir, al-khabir, al-‘alim, arrasyid), bersih atau terhindar dari dosa (al-quddus), rendah hati dan pemaaf (alghaffar, al-halim, at-tawwab), adil (al-‘adl), serta memberikan keselamatan, kenyamanan, melakukan pemeliharaan dan mengangkat derajat kemuliaan (assalam, al-mu’min, al-muhaimin, ar-rafi’).8 Selain sifat-sifat tersebut, sifat bijaksana (al-hakim), ikhlas dan bertanggung jawab juga patut dimiliki seseorang pendidik. Karena dengan sifat bijaksana, seorang pendidik dapat menggunakan strategi atau metode pembelajaran secara variatif dan dinamis, serta dapat memanfaatkan fasilitas dan sumber belajar secara kreatif. Hal ini dapat dibandingkan dengan pola yang dilakukan Allah Swt. dalam memberikan kewajiban kepada hamba-Nya dengan penuh bijaksana; seperti kewajiban melaksanakan ibadah shalat dan puasa. 9 Demikian pula sifat ikhlas yang diartikan al-Ghazali, Asma Hasan Fahmi dan Abdurrahman an-Nahlawy, bahwa seorang guru tidak boleh mengharapkan
Syekh Maqdisi & Allamah Kaf’ami, Kamus Asmaul Husna; Metode Penyembuhan Secara Tuhan, Diterjemahkan oleh Syafruddin Mbojo, (Jakarta: PT Trimba Engineering, 2011), hlm. 177
24. 8
Lihat, al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz I, hlm. 55-58. Abdurrahman An-Nahlawy,
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terjm. dari judul aslinya, Usul al-Tarbiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, oleh Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 171-176. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 169-170. 9 Dalam keadaan kurang sehat, ibadah shalat dapat dilaksanakan dengan duduk atau berbaring, dan dalam keadaan musafir dapat dikerjakan dengan jama’ dan qashar. Demikian pula puasa wajib, dapat diqadha bila dalam keadaan sakit atau sedang musyafir, dan bahkan dapat diganti dengan membayar fidhiyah bila sudah samasekali tidak mampu untuk berpuasa.
Fungsi dan Sifat Ketuhanan pada Pendidik...............Agus Salim Lubis
19
upah dan imbalan materi dari pekerjaan mendidik.10 Hal ini sejalan dengan keberadaan Allah Swt. yang telah sangat banyak memberikan nikmat kepada manusia, namun Ia tidak pernah meminta pembayaran sedikitpun dari nikmat yang telah diberikan-Nya tersebut. Jikalaupun Allah swt. memberikan kewajibankewajiban ibadah kepada manusia, bila direnungkan secara mendalam, semuanya itu adalah mengandung hikmah yang kembali untuk kebaikan manusia juga, dan mendidik manusia untuk dapat dan pandai bersyukur. Sebagai bandingannya, seorang guru memberikan nikmat berupa ilmu pengetahuan kepada anak didik, maka guru menuntut anak didik agar mengamalkan ilmu yang telah diberikan sebagai tanda syukur (terima kasih) anak didik kepada guru. Bila anak didik dapat mengamalkan ilmu yang telah diberikan, maka hal ini justru kembali untuk kebaikan anak didik tersebut. Pada saat sekarang ini yang kebutuhan hidup semakin beragam dan tinggi, sangat sulit dan bahkan tidak mungkin seorang guru dalam pendidikan formal tidak mengharapkan upah atau imbalan berupa gaji. Seseorang bersedia dan berprofesi sebagai pendidik justru berharap agar dengan profesinya itu ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dapat dimaklumi dan tidak dapat disalahkan. Namun sifat ikhlas itu dapat diartikan bahwa profesi sebagai pendidik bukan semata-mata dengan tujuan utama untuk mendapat imbalan upah, apalagi menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan. Artinya, jika ternyata imbalan upah yang diterima dari aktivitas mendidik itu dinilai belum memenuhi harapan atau terkadang sangat kurang, maka tidak langsung drastis mengurangi semangat, kreatifitas dan volume kerja. Bila seseorang guru menjadikan perolehan imbalan upah sebagai tujuan utama dan semangat kerjanya menurun drastis jika upah yang diterima menurun, maka aktivitas mendidik yang dilakukan itu menjadi bernilai rendah. Karena dalam kontek kajian ini, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa tugas mendidik itu pada hakikatnya merupakan amanah dari Allah swt. Dengan demikian kepada Allah-lah seseorang guru itu lebih banyak mengharapkan upah. Hal ini terlebihlebih bila dikaitkan dengan keberadaan ilmu yang dimilikinya dan yang diajarkannya, pada hakikatnya adalah milik Allah swt. yang dititipkan-Nya kepada pendidik dalam jangka waktu tertentu.
Lihat, al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 55-58. Abdurrahman An-Nahlawy, Op. Cit.,, hlm. 171176. Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Terjm. Ibrahim Husein, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 169. 10
20
Forum Paedagogik Vol. 07 No.01 Januari 2015
Seiring dengan hal di atas, seseorang guru itu harus memiliki sikap tanggungjawab, yakni melaksanakan fungsi dan tugas secara baik dan benar hingga mengantarkan anak didik yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik tertentu sesuai dengan tujuan pendidikan, melainkan juga hingga dapat menjadi insan rabbaniyah. Hal ini berkaitan dengan keberadaan profesi sebagai pendidik yang merupakan amanah dari Allah swt. Demikian pula dengan ilmu yang telah dimiliki itu adalah merupakan titipan-Nya yang suatu saat akan diambil-Nya kembali. Karena menerima sesuatu amanah dan titipan dari sesama manusia saja selalu dipelihara secara baik, maka tentunya harus jauh lebih baik lagi memelihara profesi pendidik dan ilmu yang merupakan amanah dari Allah swt.Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia. Penutup Dari penjelasan-penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa profesi dan tugas sebagai pendidik itu merupakan pekerjaan mulia. Ia melaksanakan fungsi Ketuhanan. Namun untuk menjadi pendidik itu sungguh sangat berat. Dalam Islam, seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah), ikhlas dan tanggungjawab. Orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan adalah tidak layak untuk menjadi pendidik. Seiring dengan hal di atas, kiranya tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa kekurang berhasilan pendidikan nasional sangat besar dipengaruhi oleh keberadaan pendidi yang kurang memiliki kepribadian dengan sifat-sifat rabbaniyah. Hal ini merupakan sebuah problema dan tantangan besar dalam pembangunan pendidikan nasional. Referensi al-Abrasyi, M. Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Alih Bahasa Bustami A. Gani, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. An-Nahlawy, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terjemahan dari judul aslinya, Usul al-Tarbiyah wa Asalibuha fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, oleh Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Fungsi dan Sifat Ketuhanan pada Pendidik...............Agus Salim Lubis
21
Maqdisi, Syekh & Kaf’ami, Allamah, Kamus Asmaul Husna; Metode Penyembuhan Secara Tuhan, Diterjemahkan oleh Syafruddin Mbojo, Jakarta: PT Trimba Engineering, 2011. Mujib, Abdul, Kepribadian Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta; Ciputat Pers, 2002. Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2002.