FORMULASI STRATEGI PENGELOLAAN SUNGAI BATANGHARI DI KOTA JAMBI
ESTI SUSILAWATI S
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Agustus 2009
Esti Susilawati S
ABSTRACT
ESTI SUSILAWATI S. Formulation Management Strategy of Batanghari River in the City of Jambi. Under supervision of SUPRIHATIN and NASTITI SISWI INDRASTI The objectives of this research were to identify the water quality of the Batanghari River dues to the activity of crumb rubber industry and to formulate the water management strategy that is environmentally sound. This research was conducted in August, September and October 2008 in 6 observation stations along the Batanghari River that may be effected the activities of crumb rubber industry. The measured parameters includ: temperature, conductivity, turbidity, total suspended solids, total dissolved solids, dissolved oxygen, BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical oxygen demand), nitrate, phosphate, weak oil, E. coli, benthos, community social economic condition and the regional economy. Analysis using STORET method shows that Batanghari River, in each observation stations and months has been polluted heavily with STORET value ranged from -34 to -50. This condition indicates that the crumb rubber industry is not the main cause of the decrease of water quality in the Batanghari River. This is also caused by the Batanghari downstream sub-watershed that also has been damaged and people activities that are less environmentally friendly. The existence of the crumb rubber industry itself is still expected by the people in the surrounding areas as a labor intensive economic sector. Based on SWOT Analysis water management strategies of Batanghari River that should be done are: 1) The city government should improve the implementation of the management and regulation of Batanghari River resources with the support from the high quality human resources so that the water utilization of Batanghari River considers the sustainability of its environmental ecosystem with funding support from the central government; 2) The city government should improve the coordination between sector and region (BP DAS Batanghari) in efforts to strengthen the institution and regulation for water management so that it is more easier to implement monitoring and policy determination on the water condition of Batanghari River that has been decreased in its water quality caused by the occurred pollution; 3) The city government should make the Batanghari River as a water tourism area by restructuring the flood-plains area through the people empowerment and participation in efforts to encourage the people welfare and high-quality human resource support with the application of “water front city” so that it will be no more development that violates the land use; 4) The improvement of human resource quality and elimination of inter-sectoral ego between agencies/institutions in efforts to prevent the waste pollution in the Batanghari River. Keywords:
Batanghari River, water quality, water management strategy, crumb rubber industry.
RINGKASAN
ESTI SUSILAWATI S. Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi. Dibimbing oleh SUPRIHATIN dan NASTITI SISWI INDRASTI.
Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun demikian, saat ini masalah air di Indonesia merupakan permasalahan yang kronik dan pelik, mulai dari peristiwa banjir sampai kekeringan. Kegiatan manusia yang mengunakan sumber daya air akan berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung dan produktivitasnya. Tekanan terhadap sumber daya perairan darat dapat terjadi pada badan air itu sendiri atau terhadap lingkungannya (daerah aliran sungai). Tekanan ini dalam bentuk limbah yang masuk ke dalam badan air baik yang berasal dari domestik, industri, maupun pertanian. Sedangkan tekanan yang terjadi pada daerah aliran sungai berupa sedimen yang merupakan hasil erosi pada daerah pertanian. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan terganggunya siklus air (banjir dan kekeringan). Sungai Batanghari merupakan sungai utama dan sumber air bersih bagi masyarakat di Kota Jambi. Pencemaran yang terjadi di perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet remah telah meresahkan masyarakat Kota Jambi akan kondisi kualitas perairannya. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan perairan Sungai Batanghari yang memperhatikan keberlanjutan ekosistem lingkunganya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : (a) Menganalisis kualitas perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet remah (crumb rubber); (b) Menganalisis perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari terhadap komunitas biologi perairannya; (c) Menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah terhadap kualitas perairan Sungai Batanghari; (d) Memformulasikan strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan. Manfaat penelitian ini adalah : (1) Memberikan gambaran dampak dari aktivitas industri karet remah (crumb rubber) terhadap ekosistem Sungai Batanghari; (2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Jambi, pengusaha karet remah (crumb rubber) dan masyarakat guna penataan pengelolaan lingkungan hidup. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus hingga Oktober 2008, dengan melakukan dua objek pengamatan. Pengamatan pertama, dilakukan terhadap beberapa parameter kualitas air dari sampel air di sepanjang Sungai Batanghari. Pengamatan kedua, dilakukan terhadap masyarakat yang menggunakan air sungai untuk keperluan rumah tangganya disepanjang daerah aliran Sungai Batanghari. Kualitas perairan yang diamati adalah parameter fisikkimia, bakteriologi dan biologi yang perubahan parameternya menjadi indikator terjadinya pencemaran atau tidak bila dibandingkan dengan baku mutu yang ada sesuai dengan peruntukannya (Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001).
Parameter-parameter yang diukur meliputi : suhu, konduktivitas, kekeruhan, total padatan tersuspensi, total padatan terlarut, oksigen terlarut, BOD (biochemical oxygen demand), COD (chemical oxygen demand), nitrat, phospat, minyak lemak, E. Coli, bentos, sosial ekonomi masyarakat dan perekonomian daerah. Untuk memperoleh informasi tentang keadaan sosial-ekonomi dan kesehatan masyarakat di lokasi penelitian, maka dikumpulkan data primer dan sekunder. Status kualitas air Sungai Batanghari ditetapkan dengan menggunakan metode STORET. Atribut biologi (metrik) yang digunakan untuk mendeteksi tingkat gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata yang disebabkan oleh kontaminasi zat pencemar diprediksi dengan tiga macam metrik yaitu: Dominansi 3 (Bode et al. 1996), indek diversitas Shannon-Wiener (Krebs 1989), dan kekayaan taxa (Bode et al., 1996). Analisis Catch Per Unit Effort (CPUE) digunakan untuk menduga populasi ikan konsumsi yang dihasilkan selama waktu tertentu. Dalam penelitian ini satuan unit hasil tangkapan yang digunakan yaitu tangkapan selama beberapa tahun terakhir yang diperoleh dari Subdinas Perikanan Kota Jambi. Persepsi dan kesehatan masyarakat disekitar lokasi industri crumb rubber dianalisis secara deskriptif berdasarkan informasi dan wawancara. Dampak keberadaan industri crumb rubber terhadap perekonomian dianalisis dengan menggunakan Tabel Input – Output (IO) Kota Jambi Tahun 2007. Untuk analisis strategi pengelolaan perairan digunakan analisis SWOT [Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), Treaths (ancaman)]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas perairan Sungai Batanghari pada masing-masing stasiun dan bulan pengamatan telah menunjukkan terjadinya pencemaran berat dengan nilai STORET yang berkisar antara -34 sampai dengan -50 pada peruntukan kelas I. Pada peruntukan kelas II nilai STORET berkisar antara -10 sampai dengan -34 yang menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran berat hingga ringan. Guna peruntukan kelas III, kategori pencemaran berada pada tingkat pencemaran sedang hingga ringan dengan nilai STORET -2 sampai dengan -20. Peruntukan kelas IV menunjukkan pencemaran yang terjadi sedang hingga memenuhi baku mutu dengan nilai STORET 0 sampai dengan -12. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Batanghari berada pada kelas peruntukan IV berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Penurunan kualitas air Sungai Batanghari juga dapat di lihat dari kondisi makrozoobenthosnya yang memiliki indeks keanekaragaman (H) yang berkisar antara 0,37 – 1,521, keseragaman (E) yang berkisar antara 0,111 – 0,454 dan dominasi (D) yang berkisar antara 0,914 – 0,455 mengindikasikan bahwa perairan Sungai Batanghari berada pada tingkat pencemaran sedang hingga berat. Industri karet remah bukan penyebab utama turunnya kualitas perairan Sungai Batanghari. Hal ini disebabkan juga oleh kondisi Sub DAS Batanghari hilir yang juga telah mengalami kerusakan dan aktivitas masyarakat yang kurang ramah lingkungan. Keberadaan industri karet remah itu sendiri masih diharapkan oleh masyarakat sekitarnya dan perekonomian daerah sebagai sektor yang padat tenaga kerja.
Strategi pengelolaan perairan Sungai Batanghari yang dapat dilakukan adalah; 1) Dengan dukungan dana dari pemerintah pusat dan sumberdaya manusia yang berkualitas, pemerintah kota dapat meningkatkan pelaksanaan pengelolaan dan penataan sumber daya Sungai Batanghari agar pemanfaatan perairan sungai Batanghari memperhatikan keberlanjutan ekosistem lingkungannya; 2) Meningkatkan koordinasi antara sektor dan wilayah (BP DAS Batanghari) dalam upaya penguatan kelembagaan dan hukum guna pengelolaan perairan sehingga lebih mudah dalam melaksanakan monitoring dan penentuan kebijakan terhadap kondisi perairan Sungai Batanghari yang mengalami penurunan kualitas airnya akibat pencemaran yang terjadi; 3) Pemerintah kota menjadikan Sungai Batanghari sebagai kawasan wisata perairan dengan menata kembali kawasan bantaran sungai melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam upaya mendorong kesejahteraan masyarakat serta dukungan SDM yang berkualitas dengan penerapan “water front city” untuk mengurangi kebiasaan masyarakat yang membuang sampah/limbah ke sungai; 4) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan koordinasi antar dinas/instansi dalam upaya pencegahan pencemaran limbah di perairan Sungai Batanghari.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya
FORMULASI STRATEGI PENGELOLAAN SUNGAI BATANGHARI DI KOTA JAMBI
ESTI SUSILAWATI S
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
: Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi
Nama
: Esti Susilawati S
NRP
: P051060111
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suprihatin, Dipl-Ing Ketua
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo
Tanggal Ujian : 18 Agustus 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
DAFTAR ISI DLL Tidak ada
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan kehadapan Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunianya, sehingga penulisan tesis dengan judul “Formulasi Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari di Kota Jambi” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun sebagai syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan strata 2 (S2) dan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada kesempatan ini terima kasih tak terhingga pertama-tama penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Suprihatin, Dipl-Ing dan Ibu Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Kedua, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS sebagai tim penguji dari luar Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina sebagai wakil Program Studi yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan Tesis ini. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan seluruh dosen yang telah memberikan materi kuliah. Studi ini tidak akan mungkin dilakukan tanpa bantuan berbagai pihak. Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada rekan-rekan kerja penulis di Badan Lingkungan Hidup Kota Jambi atas bantuannya dalam mengumpulkan data-data guna kelengkapan penelitian ini. Terima kasih pula penulis sampakan kepada rekan-rekan di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan yang telah banyak memberikan bantuan berupa saran dan dukungannya selama ini serta semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga penulis sampaikan kepada teman-teman penulis Ibu Rita Hayati dan Dumasari Siregar yang dengan ikhlas mau menjadi pendengar di saat-saat penulis menghadapi permasalahan dalam penelitian ini. Adik-adik di Pondok Ratna yang telah banyak membantu memberikan semangat selama proses penulisan hasil studi ini. Terakhir, penulis ingin menyampaikan hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada orang tua penulis Ibu Saadah dan kakak- kakak (Mas Untung, Mas Anto dan Mas Fitri) serta adik-adik (Titiek dan Eka) yang telah memberikan dukungan dan do’anya selama penulis melaksanakan studi. Dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga besar penulis yang telah memberikan dorongan semangat dalam penyelesaian studi ini Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor,
Agustus 2009
Esti Susilawati S
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 28 Agustus 1971 dari ayah M. Solemi (Alm) dan ibu Saadah. Penulis merupakan putri keempat dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dari SD Negeri 58/IV Jambi pada tahun 1985 dan menengah dari SMP Negeri 1 Jambi pada tahun 1988. Menamatkan pendidikan menengah atas dari SMA Negeri 1 Jambi tahun 1991. Melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) penulis diterima di Universitas Jambi pada tahun 1992. Tahun 1997 penulis menyelesaikan Sarjana Ekonomi di Jurusan Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Sejak tahun 1998 penulis mulai mengabdikan diri kepada negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintahan Kota Jambi. Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana untuk Magister Sains di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor.
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun demikian, saat ini masalah air di Indonesia merupakan permasalahan yang kronik dan pelik, mulai dari peristiwa banjir sampai kekeringan. Wilayah Indonesia berdasarkan data LIPI memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik. Namun demikian, kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air bersih dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran, yaitu diperkirakan sebesar 15-35% per kapita per tahun. Dengan demikian, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk mencapai lebih dari 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak (Walhi, 2004). Kegiatan manusia yang mengunakan sumber daya air akan berpotensi menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung dan produktivitasnya. Tekanan terhadap sumber daya perairan darat dapat terjadi pada badan air itu sendiri atau terhadap lingkungannya (daerah aliran sungai). Tekanan ini dalam bentuk limbah yang masuk ke dalam badan air baik yang berasal dari domestik, industri, maupun pertanian. Sedangkan tekanan yang terjadi pada daerah aliran sungai berupa sedimen yang merupakan hasil erosi pada daerah pertanian. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan terganggunya siklus air (banjir dan kekeringan). Air adalah sumber kehidupan dan sekiranya sumber ini dicemari hingga ke tahap yang tidak dapat lagi digunakan oleh manusia; ini secara tidak langsung telah mengurangi sumber kehidupan manusia sendiri. Jika keadaan pencemaran sungai ini bertambah buruk, maka manusia secara sadar atau tidak telah meracuni diri mereka sendiri (Abdul, 2007) Dampak negatif dari pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomi, disamping nilai ekologi dan sosial budaya. Upaya pemulihan
2
kondisi air yang tercemar akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari keberadaan kegiatan yang menimbulkan pencemaran itu sendiri. Demikian pula bila air yang tercemar tersebut tidak dikelola (tanpa ada upaya pemulihan) akan menimbulkan biaya untuk menangulangi akibat atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang tercemar. Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitas buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas akan menurunkan daya guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion) Oleh sebab itu, penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan mempertimbangkan generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola agar tersedia dalam jumlah yang aman baik kuantitas maupun kualitasnya.
1.2. Kerangka Pemikiran
Sungai adalah elemen alam yang penting bagi manusia. Sejak dahulu, manusia mempunyai hubungan yang erat dengan sungai karena sungai berfungsi sebagai alat pengangkutan dan perhubungan, sumber baku air untuk domestik dan pertanian selain sumber protein bagi manusia. Dengan berkembangnya pembangunan dan kegiatan perindustrian serta perdagangan, kualitas sungai mulai mengalami penurunan akibat masalah erosi, pengendapan dan pencemaran (Abdul, 2007). Fungsi sungai untuk berbagai hal dalam kehidupan manusia telah menjadikan sungai sebagai aset yang sangat penting. Fungsi sungai yang paling utama kepada manusia adalah sebagai sumber baku air dan untuk kegunaan domestik atau komersil. Kegunaan domestik utama sungai adalah sebagai sumber air bersih untuk minuman, mencuci dan mandi. Fungsi
3
komersil sungai adalah seperti kegunaan dalam industri, pertanian dan akuakultur. Sungai juga digunakan untuk tujuan rekreasi seperti berenang, berperahu, dan memancing. Sepadan sungai dapat pula digunakan untuk rekreasi pasif seperti beristirahat dan mendapatkan ketenangan serta menikmati pemandangan disekitar sungai. Sungai juga digunakan sebagai sarana pengangkutan, mendapatkan sumber protein seperti ikan serta kegiatan ekonomi seperti menangkap ikan dan menjual pasir sungai. Sungai memiliki peran yang besar dalam kehidupan, baik sebagai sarana transportasi, kebutuhan air rumah tangga, industri, pertanian, perikanan dan sebagainya. Pemanfaatan DAS untuk industri di samping memberikan dampak positif, juga mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan yaitu menghasilkan limbah atau residual dalam bentuk padat, cair, maupun gas yang dibuang ke lingkungan perairan sungai baik dengan pengolahan maupun tanpa pengolahan terlebih dahulu. Akibat pembuangan limbah tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air sungai, baik dilihat dari komponen fisik, kimia, maupun biologis yang tentunya membawa perubahan terhadap nilai parameter kualitas air. Pembuangan limbah industri ke badan perairan, berpeluang meningkatkan pencemaran organik, bahan kimia, dan dapat menekan dan mempengaruhi komunitas biota pada perairan sungai. Untuk menentukan dampak yang ditimbulkan oleh limbah industri ada delapan parameter kunci penentu kualitas perairan yaitu : (1) diversitas makrozoobentos, (2) diversitas ikan, (3) dominasi jenis ikan predator, (4) kekeruhan air, (5) sinositas, (6) bahan-bahan terlarut, (7) kimiawi air dan (8) rata-rata lebar badan air terendah (Purwanto (2000) dalam Purwani, 2001). Penggunaan kriteria dan parameter kualitas perairan sungai dapat menentukan tingkat kualitas air yang dilihat dari tingkat pencemaran air sungai berdasarkan baku mutu air yang telah ditetapkan sesuai dengan peruntukan dan pemanfaatnya.
4
KEBUTUHAN MASYARAKAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN SUNGAI
PERIKANAN
PETERNAKAN
PERTANIAN
SUNGAI
SUMBER AIR MINUM
INDUSTRI
LIMBAH CAIR
INDUSTRI CRUMB RUBBER
MANDI / CUCI KUALITAS PERAIRAN
TERJADI PENURUNAN KUALITAS AIR
ANALISIS DAMPAK THP KOMUNITAS BIOLOGI
ANALISIS DAMPAK THP KESEHATAN MASY.
ANALISIS DAMPAK TERHADAP SOSEK
FORMULASI PENGELOLAAN PERAIRAN
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
DAMPAK POSITIF : KONTRIBUSI TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH
5
1.3. Perumusan Masalah
Salah satu industri besar yang ada di Kota Jambi adalah Industri Crumb Rubber (Karet Remah) dengan jumlah 5 (lima) perusahaan yang sebagian besar berlokasi di sepanjang sungai Batanghari. Hal ini dimungkinkan karena kebutuhan air dalam proses industri ini sangat besar, untuk pembersihan dan penggilingan bahan baku. Komoditi karet olahan itu sendiri merupakan salah satu komoditi andalan Provinsi Jambi. Menurut BPS Provinsi Jambi, minyak dan gas bumi (Migas) serta karet olahan merupakan komoditi utama ekspor dan penyumbang terbesar bagi pendapatan Propinsi Jambi. Untuk ekspor migas Jambi tercatat 387,2 juta US dolar sedangkan karet olahan mencapai 412,2 juta US dolar pada tahun 2007. Industri karet remah (crumb rubber) yang pada mulanya berada di pinggiran kota, karena adanya ekspansi penduduk, pabrik menjadi berada di tengah lokasi pemukiman. Untuk itu limbah cair industri perlu diperhatikan karena dampaknya akan terasa langsung oleh penduduk. Dampak negatif juga timbul jika air limbah langsung dibuang ke sungai atau perairan umum. Berdasarkan hasil evaluasi profil penaatan dan kontribusi pencemaran air dari industri karet secara keseluruhan baru sekitar 2,5% (1 dari 39 perusahaan) yang secara rutin melakukan pemantauan air limbah dan selalu memenuhi baku mutu konsentarasi yang ditetapkan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2006). Keadaan ini menunjukkan masih jumlah air limbah industri karet yang dibuang ke perairan sungai, sehingga akan menurunkan kualitas perairan dan selanjutnya akan berdampak pada terganggunya ekosistem perairan sungai. Limbah industri pengolahan karet memiliki karakteristik spesifik, antara lain kandungan bahan organik dan hara yang relatif tinggi dibandingkan industri lain. Keadaan tersebut lebih nyata pada limbah cair atau lateks skim hasil pengolahan lateks pekat, karena sebagian besar bahan non-karet baik organik maupun anorganik akan terbawa bersama lateks skim tersebut. Bahan-bahan non-karet, terutama protein dapat menyebabkan pembusukan limbah dan menimbulkan bau, serta menyebabkan limbah memiliki nilai BOD yang tinggi. Kandungan bahan organik dan hara yang tinggi
6
menyebabkan terjadinya eutrofikasi, penurunan kadar oksigen terlarut, masalah estetika dan kesehatan (Jenie & Rahayu (1998) dalam Nurfianti, 2003). Menurut Nazaruddin dan Paimin (1998) dalam Wayan (2001), limbah cair hasil pengolahan karet memiliki sifat pencemaran yang tinggi. Kadar pencemaran limbah cair pengolahan tergantung pada kualitas limbah cair yang dihasilkan dan kualitas air tempat pembuangan. Limbah cair produksi karet memiliki nilai BOD yang tinggi serta bau yang tidak sedap. Keluhan masyarakat akibat penurunan kualitas air sungai Batanghari yang merupakan sarana penyediaan air bersih untuk mereka guna mandi dan cuci selama ini belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah terhadap pengelolaannya. Masuknya berbagai pencemar ke dalam badan air sungai membutuhkan penelitian tersendiri agar bisa menentukan dari mana asal atau sumber pencemaran yang terjadi. Untuk itu perlu dikaji sejauh mana peranan industri karet remah (crumb rubber) terhadap pencemaran yang telah terjadi di Sungai Batanghari selama ini agar dapat ditetapkan suatu pedoman dalam perbaikan kondisi yang telah tercemar sehingga masing-masing stake holder bisa bersama-sama melaksanakan remediasi lingkungan yang telah tercemar. Berdasarkan uraian di atas yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kualitas perairan Sungai Batanghari akibat pembuangan limbah karet remah (crumb rubber)? 2. Apakah perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari diikuti dengan perubahan komunitas biologi perairan? 3. Apakah kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah menpengaruhi kualitas perairan Sungai Batanghari? 4. Bagaimana strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan?
1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis kualitas perairan Sungai Batanghari akibat aktivitas industri karet remah (crumb rubber).
7
2. Menganalisis perubahan kualitas perairan Sungai Batanghari terhadap komunitas biologi perairannya. 3. Menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan daerah terhadap kualitas perairan Sungai Batanghari. 4. Memformulasikan strategi pengelolaan perairan yang berwawasan lingkungan.
1.5. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan gambaran dampak dari aktivitas industri karet remah (crumb rubber) terhadap ekosistem Sungai Batanghari. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Jambi, pengusaha karet remah (crumb rubber) dan masyarakat guna penataan pengelolaan lingkungan hidup.
1.6. Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi dalam upaya pengendalian pencemaran limbah cair industri karet remah (crumb rubber) yang merupakan salah satu industri yang cukup besar di Kota Jambi dan yang paling banyak mengkonsumsi air Sungai Batanghari untuk aktivitas produksinya serta letaknya yang berada di sepanjang Sungai Batanghari. Di samping itu dalam pembuangan limbah cairnya, industri karet remah (crumb rubber) selama ini masih belum memenuhi baku mutu yang ada.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Perairan Perairan sungai adalah suatu perairan yang didalamnya dicirikan dengan adanya aliran air yang cukup kuat sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik) (Goldman dan Horne, 1983). Dalam perairan ini yang memegang peranan penting dan menjadi ciri khasnya adalah aliran air yang menuju satu jurusan dan penambahan air baru dari suatu jurusan yang lebih tinggi tempatnya. Kecepatan arus merupakan faktor yang sangat penting dan mempengaruhi kehidupan organisme yang ada serta daya pulih diri (self purification) dari sungai tersebut (Koessoebiono, 1979). Menurut Mason (1981), berdasarkan kecepatan arusnya, sungai dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Berarus sangat cepat (> 100 cm/detik) 2. Berarus cepat (50 – 100 cm/detik) 3. Berarus sedang (25 – 50 cm/detik) 4. Berarus lambat (10 – 25 cm/detik) 5. Berarus sangat lambat (< 10 cm/detik) Klasifikasi sungai yang lebih mengarah pada masalah lingkungan menurut Suwigyo (1993) adalah klasifikasi yang didasarkan pada topografi dan aktivitas usaha yang ada di daerah aliran sungainya. Dengan topografi diartikan adanya perbedaan elevasi (dataran tinggi dan dataran rendah), sedangkan dengan aktivitas usaha diartikan adanya kegiatan perhutanan, perkebunan, pertanian, pemukiman, perindustrian, dan sebagainya. Dengan penggabungan pengertian kedua faktor lingkungan tersebut, maka klasifikasi sungai sebagai daerah hulu dan hilir sungai akan terpadukan dengan kualitas air perairannya sesuai dengan beban masukkannya. Sungai bagian hulu adalah bagian sungai yang terletak di dataran tinggi dan merupakan daerah terjadinya erosi. Sedangkan sungai bagian hilir adalah bagian sungai yang terletak di dataran rendah dan merupakan daerah terjadinya pengendapan. Daerah yang terletak diantara bagian hulu dan hilir sungai disebut sebagai bagian tengah
9
sungai, karena tidak ada batas yang jelas antara kedua bagian tersebut. Sehubungan dengan sifat perairan sungai yang merupakan sistem terbuka, maka peristiwa lingkungan di sekitarnya akan mempengaruhi keadaan perairannya.
2.2. Pencemaran Pencemaran atau polusi terjadi bila dalam lingkungan hidup manusia (baik fisik, biologis maupun sosial) terdapat suatu bahan pencemar (polutan), yang ditimbulkan oleh proses aktivitas manusia yang berakibat merugikan terhadap kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung (Sutrisno et al. 1991). Sedangkan menurut Saeni (1989), pencemaran adalah peristiwa adanya penambahan bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke dalam kingkungan yang biasanya dapat memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungannya. Pencemaran juga terjadi apabila ada gangguan terhadap daur suatu zat, yaitu laju produksi suatu zat melebihi laju penggunaan zat, sehingga terjadi pembuangan (Soemarwoto, 1992). Odum (1971) mendefinisikan pencemaran apabila terjadi perubahan fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki terhadap air, tanah dan udara. Dengan demikian apabila dilihat dari media yang dicemari, maka pencemaran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: pencemaran air, tanah dan udara (Darmono, 2001; Kristanto, 2004).
2.3. Pencemaran Air 2.3.1. Definisi Pencemaran Air Air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas manusia. Air banyak digunakan oleh manusia untuk tujuan yang bermacam-macam sehingga dengan mudah dapat tercemar. Menurut tujuan penggunaannya, kriterianya berbeda-beda. Air yang sangat kotor utnuk diminum mungkin cukup bersih untuk mencuci, untuk pembangkit tenaga listrik, untuk pendingin mesin dan
10
sebagainya. Air yang terlalu kotor untuk berenang ternyata cukup baik untuk bersampan maupun memancing ikan dan sebagainya. Pencemaran air dapat merupakan masalah regional maupun lingkungan global, dan sangat berhubungan dengan pencemaran udara serta penggunaan lahan tanah atau daratan. Pada saat udara yang tercemar jatuh ke bumi bersama air hujan, maka air tersebut sudah tercemar (Darmono, 2001). Menurut Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001, pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya (Anonimous, 2001). Berdasarkan pengertian ini, masalah pencemaran air terkait dengan tiga hal penting, yaitu: (1) unsur yang masuk atau dimasukkan ke dalam air, (2) kualitas dan penurunan kualitas air, serta (3) peruntukkan air. Sedangkan
menurut
Kristanto
(2004),
pencemaran
air
adalah
penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya. Harsanto (1995), mengatakan bahwa air dikatakan tercemar jika mengalami hal-hal berikut : a. Air mengandung zat, energi dan atau komonen lain yang dapat merubah fungsi air sesuai peruntukkannya, atau disebut parameter pencemaran. b. Kandungan parameter pencemaran di dalam air telah melampaui batas toleransi tertentu atau disebut baku mutu hingga menimbulkan gangguan terhadap pemanfaatannya. Dengan kata lain air tidak sesuai dengan peruntukkannya.
2.3.2. Pencemaran Air Sungai Hampir setiap hari sungai di seluruh dunia menerima sejumlah besar aliran sediment baik secara alamiah, buangan industri, buangan limbah rumah tangga, aliran air permukaan, daerah urban dan pertanian. Terkadang sebuah sungai mengalami pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan pencemar yang sangat besar (Darmono, 2001; Mahida, 1986). Perairan sungai
11
apabila menerima bahan-bahan asing dari luar dapat menyebabkan berubahnya kualitas air, sehingga hidrobiota yang hidup didalamnya mengalami gangguan, maka sungai tersebut dikatakan tercemar. Tiga penyebab utama tercemarnya suatu badan air (Environmental Agency, 1962), yaitu: a. Peningkatan
konsumsi
atau
penggunaan
air
sehubungan
dengan
peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat, dengan konsekuensi meningkatnya air limbah yang mengandung berbagai senyawa atau materi tertentu. b. Terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti dengan peningkatan buangan yang tertampung di perairan sehingga daya pemulihan diri perairan itu terlampaui. Akibatnya perairan menjadi tercemar dengan tingkat yang semakin berat. c. Kurangnya atau rendahnya investasi sosial ekonomi budaya untuk memperbaiki lingkungan, seperti investasi untuk system sanitasi dan perlakuan lainnya. Pada sungai yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah kecil bahan pencemar akan mengalami pengenceran sehingga tingkat pencemaran menjadi sangat rendah. Hal tersebut menyebabkan konsumsi oksigen terlarut yang diperlukan oleh kehidupan air dan biodegradasi akan cepat diperbarui. Tetapi, proses pengenceran, degradasi dan nondegradasi pada arus sungai yang lambat tidak dapat menghilangkan polusi limbah oleh proses penjernihan alamiah. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Proses biodegradari tidak efektif untuk mengurangi degradasi polutan atau nonbiodegradasi polutan dari beberapa bahan kimia (DDT, PCB, beberapa bahan isotop radioaktif, dan komponen merkuri), akibatnya kandungan bahan polutan menjadi berlipat ganda dalam jaringan biologi (magnifikasi biologi) jika bahan tersebut memasuki rantai makan (Darmono, 2001). Menurut Manan (1997), masalah kualitas air sungai terutama disebabkan oleh kandungan sedimen dalam air sungai akibat terjadinya erosi pada bagian DAS, terutama dibagian hulu. Di Indonesia banyak sungai yang telah mencapai taraf pencemaran yang merugikan, khususnya sungai-sungai
12
yang alirannya melalui daerah perkotaan (daerah padat penduduk) dan wilayah perindustrian (Saeni, 1989). Penurunan kualitas air terutama disebabkan oleh limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertambangan dan limbah pertanian.
2.4. Indikator Pencemaran Air Sungai dinyatakan tercemar apabila sifat fisik, kimia dan biologinya mengalami perubahan. Menurut Wardhana (2001), indikator atau tanda bahwa air telah tercemar adalah: (1) perubahan suhu air; (2) perubahan pH atau konsentrasi ion hydrogen, (3) perubahan warna, bau dan rasa air; (4) timbulnya endapan, koloid dan bahan terlarut; (5) adanya mikroorganisme; (6) meningkatnya radioktivitas air.
2.4.1. Perubahan Suhu Air Kegiatan industri adalah proses disertai dengan timbulnya panas reaksi atau panas dari suatu gerakan mesin. Agar proses industri dan mesin-mesin yang menunjang kegiatan tersebut dapat berjalan baik maka panas yang terjadi harus dihilangkan dengan proses pendinginan air. Apabila air yang panas hasil proses pendinginan dibuang ke sungai maka air sungai akan menjadi panas. Hal ini akan mengganggu kehidupan hewan air dan organisme air lainnya, karena kadar oksigen yang terlarut dalam air akan turun bersamaan dengan kenaikan suhu. Kenaikan suhu air menyebabkan menurunnya oksigen terlarut dalam air.
2.4.2. Perubahan pH atau Konsentrasi Ion Hidrogen Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH kisaran antara 6,5 – 7,5. Air dapat bersifat asam atau basa, tergantung pada besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air limbah dan bahan buangan kegiatan industri yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air yang akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air.
13
2.4.3. Perubahan Warna, Bau dan Rasa Air Bahan buangan dan air limbah dari kegiatan industri mengandung bahan organik dan anorganik yang dapat larut dalam air, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan warna pada air. Bau yang keluar dari dalam air dapat langsung berasal dari bahan buangan atau air limbah dari kegiatan industri, atau dapat pula berasal dari hasil degradasi bahan buangan oleh mikroba yang hidup di dalam air. Bahan buangan industri yang bersifat organik dan air limbah dari kegiatan industri pengolahan bahan makanan seringkali menimbulkan bau yang sangat menyengat hidung. Mikroba di dalam air akan mengubah bahan buangan organik terutama gugus protein, secara degradasi menjadi bahan yang mudah menguap dan berbau. Timbulnya bau akibat proses penguraian bahan organik yang dilakukan oleh mikroba. Bau pada air dapat dipakai sebagai salah satu indikator terjadinya tingkat pencemaran air yang cukup tinggi. Apabila air mempunyai rasa (kecuali air laut) maka hal itu berarti telah terjadi pelarutan sejenis garam-garaman. Air yang mempunyai rasa biasanya berasal dari garam-garam yang terlarut. Bila hal ini terjadi maka berarti juga telah ada pelarutan ion-ion logam yang dapat mengubah konsentrasi ion hidrogen dalam air. 2.4.4. Timbulnya Endapan, Koloid dan Bahan Terlarut. Endapan dan koloid serta bahan terlarut berasal dari adanya bahan buangan industri yang berbentuk padat. Bahan buangan industri yang berbentuk padat kalau tidak dapat larut sempurna akan mengendap di dasar sungai dan yang dapat larut sebagian akan menjadi koloid. Endapan sebelum sampai ke dasar sungai akan melayang di dalam air bersama-sama dengan koloid. Endapan dan koloid yang melayang di dalam air akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam lapisan air. Padahal sinar matahari sangat diperlukan oleh mikroorganisme untuk melakukan proses fotosintesis, akibatnya kehidupan mikroorganisme jadi terganggu.
14
2.4.5. Mikroorganisme Mikroorganisme sangat berperan dalam proses degradasi bahan buangan yang berasal dari kegiatan industri yang dibuang ke perairan, baik sungai, danau maupun laut. Bila bahan-bahan pencemar berada dalam jumlah yang banyak
berarti
mikroorganisme
akan
ikut
berkembang
biak.
Pada
perkembangbiakan mikroorganisme tidak tertutup kemungkinan bahwa mikroba patogen ikut berkembang pula. Pada umumnya industri pengolahan bahan
makanan
berpotensi
untuk
menyebabkan
berkembangbiaknya
mikroorganisme, termasuk mikroba patogen. Parameter mikrobiologi, seperti bakteri Eschericia coli (E.coli), termasuk parameter baku mutu air. Keberadaan E.coli dalam perairan menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran akibat tinja manusia. Sebagai salah satu species bakteri Eschericiae, E. coli tergolong enterobacteriaceae, berbentuk batang dengan diameter 0,5 μ dan panjang 1 – 3 μ, serta tumbuh optimal dalam suasana aerob dan anaerob pada suhu 37 oC atau 15 oC – 45 oC dengan pH 7. Dalam saluran pencernaan, E. coli berkembang biak dan mengalami proses alamiah seperti mutasi dari tidak patogen menjadi patogen atau sebaliknya. Salah satu faktor virulensi penting E. coli, berupa Enterotoxigenic E. coli (ETEC) adalah kemampuan merangsang sel-sel mukosa usus untuk mengekskresikan air dan garam-garam elektrolit secara berlebihan sehingga menyebabkan diare dan dehidrasi (Hasutji, 1995). 2.4.6. Meningkatnya Radioaktivitas Air Aplikasi teknologi nuklir antara lain dapat dijumpai pada bidang kedokteran, farmasi, biologi, pertanian, hidrologi, pertambangan, industri dan lain-lain. Mengingat bahwa zat radiokatif dapat menyebabkan berbagai macam kerusakan biologis apabila tidak ditangani dengan benar, baik melalui efek langsung maupun efek tertunda, maka tidak dibenarkan dan sangat tidak etis bila ada yang membuang bahan sisa (limbah) radioaktif, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah RI nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 416/Per/MENKES/IX/1990 tentang Pengawasan dan Persyaratan Kualitas Air Bersih.
15
2.5. Sumber dan Komposisi Air Limbah 2.5.1. Sumber Air Limbah Pengertian air limbah (wastewater) menurut Salvato dalam Sugiarto (1987) adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya. Air limbah berdasarkan sumbernya dapat berasal dari rumah tangga dan industri (Metcalf dan Eddy, 1979).
2.5.1.1. Air Limbah Rumah Tangga Air limbah rumah tangga adalah air yang telah dipergunakan, berasal dari rumah tangga atau pemukiman termasuk didalamnya adalah yang berasal dari kamar mandi, tempat cuci, WC serta tempat memasak dan lain-lain, yang mungkin mengandung mikroorganisme pathogen dalam jumlah kecil serta dapat membahayakan kesehatan manusia (Kusnoputranto, 1997). Sedangkan menurut Sugiharto (1987) air limbah rumah tangga berasal dari perumahan, perdagangan, perkantoran, serta daerah fasilitas rekreasi. Hasil penelitian Feachem (1981) dalam Kusnoputranto (1997), tentang kandungan
bakteri
menunjukkan
bahwa
air
limbah
rumah
tangga
terkontaminasi oleh tinja manusia. Disebutkan bahwa 38% dari streptococcus fecal yang diisolasi adalah enterococcus (Streptococcus faecalis, S.faecium dan S.durans). Sebagian besar enterococcus pada air mandi adalah S. faecalis var liquifaciens. Streptococcus bovis merupakan hasil isolasi 22% dari seluruh streptococcus. Komposisi air limbah rumah tangga yang berasal dari pemukiman terdiri dari tinja, air kemih, dan buangan air limbah lain seperti kamar mandi, dapur, cucian yang kurang lebih mengandung 99,9% air dan 0,1% zat padat.
2.5.1.2. Air Limbah Industri (Pabrik) Limbah air bersumber dari industri (pabrik) yang biasanya banyak menggunakan air dalam proses produksinya. Di samping itu ada pula bahan baku yang mengandung air, sehingga dalam proses pengolahannya air tersebut harus dibuang. Air ikutan dalam proses pengolahan kemudian dibuang,
16
misalnya ketika digunakan untuk mencuci suatu bahan sebelum diproses lanjut, pada air tersebut ditambahkan bahan kimia tertentu, kemudian diproses dan setelah itu dibuang. Semua jenis perlakuan ini mengakibatkan adanya air buangan. Pada beberapa jenis industri tertentu, misalnya industri pengolahan kawat seng, besi-baja, sebagian besar air digunakan untuk pendinginan mesin ataupun dapur pengecoran. Air dipompa dari sumbernya, kemudian dilewatkan pada bagian-bagian yang membutuhkan pendinginan, untuk selanjutnya dibuang. Oleh karena itu pada saluran pembuangan pabrik tersebut terlihat air mengalir dalam volume yang cukup besar. Air limbah dari pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel, baik yang larut maupun yang mengendap. Bahan ini ada yang kasar dan ada yang halus. Kerapkali air buangan pabrik berwarna keruh dan bersuhu tinggi. Air limbah yang telah tercemar mempunyai ciri yang dapat diidentifikasikan secara visual dari kekeruhan, warna, rasa, bau yang ditimbulkan dan indikasi lainnya. Sedangkan identifikasi secara laboratorium ditandai dengan perubahan sifat kimia air (Kristanto, 2004). Jenis industri yang menghasilkan limbah cair di antaranya adalah industri tapioka, pupl dan rayon, pengolahan crumb rubber, besi dan baja, kertas, minyak goreng, tekstil, elektroplating, plywood, monosodium diutamat dan lain-lain. 2.5.2. Komposisi Air Limbah Menurut Kodrat (1982), bahan pencemar yang terkandung dalam air limbah sangat dipengaruhi oleh sifat dan jenis sumber penghasil limbah, yang dibedakan menjadi tiga yaitu sifat fisik, kimia dan biologi. Bahan pencemar yang terdapat dalam air limbah dapat berupa bahan terapung, padatan tersuspensi atau padatan terlarut. Selain itu air limbah juga dapat mengandung mikroorganisme seperti virus, bakteri, protozoa dan lain-lain. Komposisi air limbah sangat bervariasi tergantung pada tempat, sumber dan waktu, secara garis besar, zat-zat yang terdapat di dalam air limbah dapat dikelompokkan seperti pada Gambar 2.
17
Air Limbah
Air (99,9%)
Bahan Padatan (0,1%)
Organik (70%)
Anorganik (30%)
Protein (65%) Karbohidrat (25%) Lemak (10%)
Butiran Garam Metal
Gambar 2. Komposisi Air Limbah (Tebbutt, 1977) 2.6. Limbah Organik Beribu-ribu bahan organik, baik bahan alami maupun sintetis, masuk ke dalam badan air sebagai hasil dari aktivitas manusia. Penyusun utama bahan organik biasanya berupa polisakarida (karbohidrat), polipeptida (protein), lemak (fats), dan asam nukleat (nukleid acid) (Dugan, 1972 dalam Effendi, 2003). Setiap bahan organik memiliki karakteristik fisik, kimia, dan toksisitas yang berbeda. Namun, pemantauan setiap jenis bahan organik merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Salah satu contoh komposisi dan persentase komponen penyusun limbah bahan organik ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Limbah Organik Jenis Bahan Organik Persentase (%) 30 1. Lemak 25 2. Protein 21 3. Abu 8 4. Asam Amino, kanji (starch) 6 5. Lignin 4 6. Selulosa 3 7. Hemiselulosa 3 8. Alkohol Sumber : Higgins dan Burns, 1975 dalam Abel 1989.
18
Secara normal bahan organik tersusun oleh unsur C, H, O, dan dalam beberapa hal mengandung N, S, P, dan Fe. Struktur dan sifat-sifat senyawa organik memiliki kisaran yang sangat luas. Masalah pencemaran bahan organik naik pesat sejak berkembangnya metode sintesis zat-zat organik dan dengan dipergunakannya berbagai zat organik untuk industri, obat-obatan, pertanian, makanan dan lain-lain (Saeni, 1989). Senyawa-senyawa organik umumnya tidak stabil dan mudah dioksidasi secara biologis atau kimia menjadi senyawa stabil, antara lain CO2, NO2, H2O. Untuk menyatakan kandungan zat-zat organik dilakukan dengan pengukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menstabilkan. 2.7. Kualitas Perairan Kualitas perairan secara luas dapat diartikan sebagai faktor fisik, kimia dan biologi yang mempengaruhi kehidupan ikan dan organisme perairan baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menjaga kualitas perairan perlu penetapan baku mutu pada perairan tersebut. Baku mutu air adalah keadaan ideal yang ingin dicapai atau keadaan maksimum yang boleh ditoleransi sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Sugiharto (1995), parameter kimia baku mutu air dikategorikan dalam pengaruh senyawa kimia terlarut terhadap : a. Sifat fisik air, seperti DHL (Daya Hantar Listrik), TSS (Total Suspended Solids), dan TDS (Total Dissolved Solids); b. Karakter perairan, seperti pH, DO (Oxigen Demand), BOD (Biological Oxigen Demand), dan COD (Chemical Oxigen Demand) c. Ion-ion logam, seperti Ba, Fe, Mn, Cu, Zn, Cr, Cd, dan Hg. d. Ion-ion bukan logam, seperti F-, S2-, SO42-, Cl-, NO3 dan N02. e. Senyawa-senyawa organik, seperti fenol, minyak, karbon kloroform, PCB (Polychlorinated Biphenyls), dan detergen. f. Pestisida, DDT (Dichlorodiphenyltrichloroetane), Eldrin, Aldrin, Lindan, dan Heptaklor. g. Parameter bakteriologi , seperti bakteri Eschericia coli atau E. coli, termasuk parameter baku mutu air.
19
Menurut Wardoyo (1991), perairan yang ideal adalah perairan yang memiliki keseimbangan fisik, kimia dan biologi yang diperlukan bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya dalam rangka menyelesaikan daur hidupnya.
2.7.1. Parameter Fisik – Kimia Perairan 2.7.1.1. Suhu Air Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan yang vital yaitu proses metabolisme bagi organisme di perairan. Suhu air suatu perairan sungai berpengaruh terhadap kelarutan oksigen, komposisi substrat, luas permukaan perairan yang langsung mendapat sinar matahari, kekeruhan dan kecepatan reaksi kimia. Selain itu juga suhu air suatu perairan dipengaruhi oleh komposisi substrat, kekeruhan, suhu air tanah dan air hujan, pertukaran panas antara udara dan air permukaan serta suhu air limpahan (Perkins, 1974). Suhu air di perairan yang mengalir lebih cepat berubah dibandingkan dengan suhu air pada air yang tergenang. Musim juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya suhu perairan. Pada musim hujan, suhu di bagian hulu cukup dingin sedangkan suhu di bagian hilir agak hangat (Putri, 2001). Naiknya suhu perairan sungai menurut Kristanto (2004) dapat menyebabkan : a. Menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air. b. Meningkatnya kecepatan reaksi kimia. c. Mengganggu kehidupan ikan dan hewan air lainnya. d. Kematian pada ikan dan hewan air dapat terjadi jika batas suhu yang mematikan terlampaui.
2.7.1.2. Kekeruhan Menurut Sugiharto (1987) kekeruhan merupakan ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar pengukuran keadaan air sungai. Kekeruhan menunjukkan sifat optis air, yang mengakibatkan pembiasan cahaya ke dalam air, sehingga membatasi masuknya cahaya ke dalam air
20
(Kristanto, 2004), akibatnya akan dapat menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan bentik (Putri, 2001). Penurunan fotosintesis fitoplankton dan bentik akan menyebabkan penurunan produktivitas perairan. Kekeruhan ini terjadi karena adanya bahan yang terapung, dan terurainya zat tertentu, seperti bahan organik, jasad renik, lumpur tanah liat dan benda lain yang melayang atau terapung dan sangat halus sekali. Semakin keruh air, semakin tinggi daya hantar listriknya dan semakin banyak pula padatannya (Kristanto, 2004). Pada waktu banjir, sejumlah besar tanah lapisan atas mengalir ke dalam sungai. Kebanyakan bahan ini berupa zat-zat organik dan anorganik. Pada daerah pemukiman, kekeruhan disebabkan pula oleh buangan penduduk dan industri, baik yang telah diolah maupun yang belum diolah (Sawyer, 1964). Kekeruhan meningkat sesuai dengan peningkatan aliran sungai yakni pada musim hujan, serta menurun ke arah dasar perairan.
2.7.1.3. Padatan Terlarut dan Padatan Tersuspensi Menurut Kristanto (2004), padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan sebagainya. Sedangkan padatan terlarut adalah padatanpadatan yang mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa organik dan anorganik yang larut dalam air, meneral dan garam-garamnya. Misalnya, air limbah pabrik gula biasanya mengandung berbagai jenis gula yang larut, sedangkan air limbah industri kimia sering mengandung mineral seperti Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Arsenik (As), Kadmium (Cd), Kromium (Cr), Nikel (Ni), serta garam Magnesium (Mg) dan Kalsium (Ca) yang mengandung kesadahan air. Selain itu, air limbah juga sering mengandung sabun, detergen yang larut dalam air, misalnya pada limbah rumah tangga dan industri pencucian. Padatan tersuspensi dan padatan terlarut dibedakan dengan penyaring berpori 0,45 mikron. Partikel yang lolos pada saringan ukuran tersebut dikenal
21
sebagai partikel terlarut, sedangkan partikel yang tidak lolos pada saringan tersebut dikenal sebagai partikel tersuspensi (Putri, 2001). Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga akan mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis, selain itu padatan tersuspensi juga mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Selain mengandung padatan tersuspensi, air limbah juga mengandung koloid, misalnya protein. Air limbah industri mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung pada jenis industrinya. Air limbah industri makanan, terutama industri fermentasi, dan industri tekstil sering mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi. Jumlah padatan tersuspensi dalam air dapat diukur dengan Turbidimeter. Padatan tersuspensi suatu sampel air adalah jumlah bobot bahan yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu, biasanya dinyatakan dalam miligram per liter atau ppm. Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan air buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air, buangan domestik maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Pescod (1973) menyatakan agar kandungan padatan tersuspensi tidak lebih dari 1000 mg/l.
2.7.1.4. Derajat Kemasaman (pH) Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat hidroksida dan bikarbonat menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam meneral bebas dan asam karbonat menaikkan kemasaman. Perairan yang bersifat asam lebih banyak dibandingkan dengan perairan alkalis. Mahida (1981) menyatakan bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi nilai pH antara lain buangan industri dan rumah tangga. Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis susunan lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya zat-zat hara dan toksisitas dari unsur-unsur renik (McNeely et al, 1979). Rahayu (1991), menyatakan bahwa suatu perairan
22
yang produktif dan ideal untuk usaha perikanan adalah perairan yang pH-nya berkisar antara 6,5 – 8,5. Air limbah industri bahan anorganik pada umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga keasamannya juga tinggi atau pH-nya rendah. Adanya komponen besi sulfur (FeS2) dalam jumlah tinggi di dalam air akan juga akan meningkatkan keasamannya, karena FeS2 dengan udara dan air akan membentuk H2SO4 dan besi (Fe) yang larut. Perubahan keasaman pada air limbah, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun), akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air. Selain itu, air limbah yang mempunyai pH rendah bersifat sangat korosif terhadap baja dan sering mengakibatkan pipa besi menjadi berkarat. Nilai pH yang baik untuk air minum dan air limbah adalah netral (pH 7), air limbah yang memiliki pH yang tidak netral akan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses penjernihan (Sugiharto, 1987). Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia maupun biokimia tidak stabil, maka penentuan nilai pH harus dilakukan seketika setelah contoh diambil dan tidak dapat diawetkan. Dengan demikian nilai pH yang diperoleh di suatu perairan itu adalah nilai yang tepat dan dapat dipercaya.
2.7.1.5. Oksigen Terlarut (DO) Gurnham (1965) menyatakan bahwa oksigen terlarut adalah banyaknya oksigen yang terkandung di dalam air dan diukur dalam satuan miligram per liter. Oksigen terlarut dipergunakan sebagai indikator pencemaran limbah organik dalam perairan, semakin besar oksigen terlarut menunjukkan tingkat pencemaran relatif kecil. Menurut Fardiaz (1992), suatu perairan dikatakan telah tercemar, bila konsentrasi oksigen terlarutnya telah menurun sampai dibawah batas yang dibutuhkan untuk kehidupan biota. Oksigen terlarut dalam perairan sangat penting untuk mendukung kehidupan organisme perairan dan proses-proses yang terjadi di dalamnya. Menurut Mason (1981), oksigen dipakai oleh organisme pengurai (bakteri dan
23
jamur) dalam proses penguraian bahan organik. Selain itu oksigen terlarut penting untuk respirasi organisme air (Goldman dan Horne, 1983). Golman dan Horne (1983) menyatakan bahwa, oksigen terlarut di dalam perairan bersumber dari difusi langsung melalui lapisan permukaan dan proses fotosintesis organisme nabati. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air dan tekanan parsial oksigen di atmosfir. Penyebab utama berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut di dalam air adalah adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik yang berasal dari berbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia), sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Sebagian besar dari zat pencemar yang memerlukan oksigen terlarut adalah senyawa organik. Kandungan oksigen terlarut dalam suatu perairan sangat menentukan penyebaran hewan-hewan yang hidup di dalamnya. Menurut Warren (1971) kandungan oksigen terlarut yang sangat rendah akan mengurangi jumlah jenis invetebrata yang berukuran besar, sedangkan cacing Tubefex sp, larva nyamuk dan cacing-cacing lainnya didapatkan berlimpah. Tingginya kandungan oksigen terlarut di sungai dapat disebabkan karena sungai relatif dangkal dan adanya turbelensi gerakan air (Odum, 1971). Lee et al. (1978) membedakan kualitas air sungai yang terpengaruh oleh zat pencemar berdasarkan kandungan oksigen terlarut dalam air tersebut, seperti terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Kriteria Kualitas Air Sungai berdasarkan Kandungan Oksigen Terlarut No.
Kriteria KualitasAir
1. Tidak tercemar dan tercemar sangat ringan 2. Tercemar ringan 3. Tercemar sedang 4. Tercemar berat Sumber : Lee et al. (1978)
Kandungan Oksigen Terlarut (mg/l)
> 6,5 4,5 – 6,4 2,0 – 4,4 < 2.0
24
2.7.2. Parameter Biokimia Perairan Konsepsi untuk mengukur potensi pencemaran dari suatu perairan yang mengandung sumber karbon organik yang tersedia bagi mikroba adalah dengan cara mengukur banyaknya oksigen yang digunakan selama pertumbuhan organisme pada contoh perairan. Ini berarti inti masalah pencemaran bahan organik berhubungan dengan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk reaksi metabolisme mikroba yang terjadi sebagai akibat dari masuknya bahan organik ke dalam badan air. Pengukuran potensi pencemaran dari suatu limbah cair sesuai dengan potensinya untuk menghabiskan oksigen terlarut dalam air, adalah konsepsi yang logis dan masuk akal. Dalam skala luas merupakan suatu pendekatan untuk menduga kekuatan dari suatu limbah (Gaudy, 1972). Oleh sebab itu, kandungan oksigen yang digunakan secara biokimia dapat digunakan untuk menduga banyaknya senyawa organik yang ada dalam suatu perairan melalui pengukuran BOD dan COD.
2.7.2.1. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD) Menurut Wardhana (2001), Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis, adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada di dalam perairan. Proses penguraian bahan organik oleh bakteri memerlukan waktu 100 hari pada suhu 20oC, akan tetapi di laboratorium dipergunakan waktu 5 hari sehingga dikenal dengan BOD5. Peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup. Pada
umumnya
air
lingkungan
atau
air
alam
mengandung
mikroorganisme yang dapat memakan, memecah, mendegradasi bahan buangan organik. Jumlah mikroorganisme di dalam air lingkungan tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang bersih (jernih) biasanya mengandung mikroorganisme yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan air yang telah tercemar oleh bahan buangan. Air lingkungan yang telah tercemar oleh bahan
25
buangan yang bersifat antiseptik atau bersifat racun, seperti phenol, kreolin, deterjen,
asam
sianida,
insektisida
dan
sebagainya,
jumlah
mikroorganismenya juga relatif sedikit. Mikroorganisme yang memerlukan oksigen untuk memecahkan bahan buangan organik sering disebut dengan bakteri aerobik, sedangkan mikroorganisme yang tidak memerlukan oksigen disebut dengan bakteri anaerobik (Wardhana, 2001). Proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme atau oleh bakteri aerobik adalah sebagai berikut : Bakteri aerobik
CnHaObNc + (n + a/4 – b/2 -3c14)O2 Bahan Organik
Oksigen
n CO2 + (a/2 – 3c/2) + H2O + c NH3
Seperti tampak pada reaksi diatas, bahan buangan organik dipecah dan diuraikan menjadi gas CO2, air dan NH3. Timbulnya senyawa NH3 menyebabkan bau busuk pada perairan yang telah tercemar oleh bahan buangan organik. Reaksi tersebut di atas memerlukan waktu yang cukup lama, kira-kira 10 hari. Dalam waktu 2 hari mungkin reaksi telah mencapai 50% dan dalam waktu 5 hari mencapai sekitar 75%. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada titik nol, sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan yang mengakibatkan pencemaran. Tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5 (Tabel 3 dan Tabel 4) Tabel 3. Tingkat Pencemaran Perairan Berdasarkan Nilai BOD5 No. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Kualitas Air Tidak tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Sumber : Lee et al. (1978).
Kandungan BOD5 (mg/l) ≤ 2,9 3,0 -5,0 5,1 – 14,9 ≥ 15,0
26
Tabel 4. Tingkat Pencemaran Perairan Berdasarkan Nilai BOD5 No.
Kelas Pencemaran
Kandungan BOD5 (mg/l)
1.
Nihil/ringan
0,36 – 5,7
2.
Sedang
5,8 – 7,7
3.
Kritis
7,8 – 9,5
4.
Parah
9,6 -15
5.
Sangat Parah
> 15
Sumber : Schmitz (1970) BOD memberikan gambaran seberapa banyak oksigen yang telah digunakan oleh aktivitas mikroba selama kurun waktu yang ditentukan. Analisis BOD adalah suatu analisis empirik yang mencoba mendekati secara global proses-proses biokimia atau mikrobiologis yang benar-benar terjadi di alam atau perairan, sehingga uji BOD berlaku sebagai simulasi suatu proses biologis yaitu oksidasi senyawa organik yang terjadi di perairan secara alami. Analisis BOD bertujuan untuk menduga berapa banyak oksigen yang digunakan dalam kondisi encer seperti yang terjadi dalam air sungai, bila limbah tersebut dibuang ke badan perairan. Semakin besar nilai BOD, semakin besar tingkat pencemaran air oleh bahan organik (Jaya, 1994). Nilai BOD5 hampir tidak pernah sama dengan COD, kecuali jika mikroba mampu mendorong rantai makanan untuk mendekati kesempurnaan. Pada kondisi ekologis yang terbaik, BOD dapat mendekati nilai COD (Gaudy dan Gaudy, 1980).
2.7.2.2. Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) Oleh karena pengukuran BOD mempunyai beberapa kekurangan yang berhubungan dengan ketelitian dan lamanya waktu pengukuran, maka pengukuran lain telah dikembangkan untuk mengukur kebutuhan oksigen, yaitu kebutuhan oksigen kimia atau COD. Kebutuhan oksigen kimia adalah ukuran banyaknya oksigen total dalam satuan miligram per liter yang diperlukan dalam proses oksidasi kimia bahan organik dalam limbah. Bahan oksidasi yang digunakan adalah kalium dikromat dan merupakan zat
27
pengoksidasi yang kuat untuk mengoksidasi zat organik secara lengkap dalam suasana asam dengan katalis peraksulfat. Menurut Kristanto (2004), bakteri dapat mengoksidasi zat organik menjadi CO2 dan H2O, sehingga menghasilkan nilai COD yang lebih tinggi dari BOD untuk air yang sama. Di samping itu bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Connell dan Miller (1995) menyatakan bahwa pengukuran COD tidak mencerminkan jumlah oksigen yang digunakan secara alamiah karena uji COD lebih cepat dari uji BOD. Saeni (1989) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara BOD dan COD, hal ini didasarkan karena jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan dengan oksidasi secara biologis. Selain itu Kristanto (2004) menyatakan bahwa 96% hasil uji COD yang dilakukan selama 10 menit, kira-kira akan setara dengan hasil uji BOD selama lima hari.
2.7.3. Parameter Biologi Perairan 2.7.3.1. Mikroorganisme Perairan Jenis mikroorganisme yang sangat mempengaruhi kualitas air adalah bakteri Escherichia coli (E. coli). Bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan. Oleh karena itu bakteri ini disebut juga koliform fecal (Saeni, 1989). Menurut Fardiaz (1992), keberadaan E. coli merupakan indikator yang menunjukkan bahwa suatu perairan telah tercemar oleh kotoran manusia dan hewan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 41/MenKes/Per/IX/1990, kandungan E. coli untuk air yang akan digunakan sebagai air minum harus sama dengan nol.
2.7.3.2. Makrozoobenthos Hewan makrozoobenthos merupakan salah satu kelompok biota yang hidup di dalam ekosistem sungai, terutama di dasar perairan yang mengalir (Odum, 1993). Berdasarkan ukurannya hewan bentos dibagi ke dalam tiga
28
kelompok yaitu : (a) mikrobentos atau mikrofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 0,1 mm, contohnya protozoa; (b) meiobentos atau meiofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran antara 0,1 sampai 1,0 mm, contohnya protozoa yang berukuran besar, cacingcacingan, Chidaria dan sebagainya; (c) makrobentos atau makrofauna adalah hewan bentos yang mempunyai ukuran lebih dari 1 mm, contohnya Echinodermata, Crustacea, Annelida dan sebagainya. Hewan bentos relatif tidak bergerak, seperti cacing, lintah, moluska dan kelompok Arthopoda yang bergerak perlahan pada daerah yang terbatas untuk mencari makan (Barnes, 1978). Golongan utama yang biasanya dianggap sebagai makrozoobenthos adalah Insecta, Mollusca, Oligochaeta, Hirudinea, Gastropoda, Pelecypoda, Crustacea, Plecoptera, Odonata, Ephemeraptera, Hemiptera, Megaloptera, Trichoptera, Coleoptera, dan Diptera (Goldman dan Horne, 1983). Peranan penting organisme bentik dalam komunitas aquatik adalah meliputi kemampuannya mendaur ulang bahan-bahan organik, seperti limbah rumah tangga, pertanian dan perikanan serta sisa-sisa organisme yang berasal dari perairan diatasnya atau dari sumber lain. Selain itu sebagai komponen penting mata rantai kedua dan ketiga dalam rantai makanan komunitas aquatik, serta larva insecta merupakan makanan utama ikan kecil (Lind, 1979). Wilhm (1975) menyatakan perubahan kualitas air sangat mempengaruhi komposisi
dan
besarnya
populasi
makrozoobenthos.
Beberapa
jenis
makrozoobenthos seperti Tubifex sp, mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi kualitas air yang buruk, sehingga organisme tersebut dipakai sebagai penentu kualitas air di suatu perairan. Makrozoobenthos dijadikan sebagai bioindikator perairan sungai karena kehadiran atau perilakunya di alam berkorelasi dengan kondisi lingkungan, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan (Wiley, 1990). Daya tahan dan adaptasi masing-masing jenis hewan bentos berbeda antara jenis yang satu dengan jenis lainnya, ada yang tahan dan ada yang tidak tahan terhadap kondisi perairan setempat. Hal ini menyebabkan adanya hewan
29
benthos tertentu dapat dijadikan petunjuk untuk menaksir atau menilai kualitas air perairan tersebut (Hart dan Fuller, 1980). Dibandingkan dengan organisme lainnya makrozoobenthos lebih efektif di dalam penentuan kualitas air. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain : a. Mempunyai sifat hidup yang relatif menetap meskipun kualitas air tidak mengalami perubahan. b. Termasuk sebagai hewan yang menghuni habitat akuatik dalam spektrum luas, dengan berbagai kualitas air. c. Mempunyai masa hidup yang relatif lama (beberapa bulan hingga 2 tahun) sehingga
keberadaannya
memungkinkan
untuk
merekam
kualitas
lingkungan di sekitarnya. d. Mempunyai beberapa jenis yang memberikan respon berbeda terhadap kualitas air. e. Rata-rata lebih mudah untuk diidentifikasi dibandingkan dengan jenis indikator lainnya. f. Mudah dalam pengumpulannya. Sebagai bioindikator, hewan ini dapat memenuhi tujuan pemantauan kualitas air yang hakiki, yaitu : a. Dapat memberikan petunjuk telah terjadi penurunan kualitas air. b. Dapat mengukur efektivitas tindakan penanggulangan pencemaran. c. Dapat menunjukkan kecenderungan untuk memprediksi perubahanperubahan yang mungkin terjadi pada waktu yang akan datang. Berdasarkan ketahanannya terhadap bahan pencemar, Wilhm (1975) mengklasifikasikan hewan makrozoobenthos menjadi tiga kriteria seperti pada Tabel 5. Jenis hewan hidrobiota yang mempunyai daya toleransi tinggi terhadap perubahan-perubahan faktor lingkungan akan mempunyai penyebaran yang relatif luas, sebaliknya jenis hidrobiota yang mempunyai daya toleransi sempit, sehingga hanya pada suatu lokasi tertentu di sepanjang sungai. Hal ini menyebabkan
terjadinya
perbedaan
komposisi
dan
keanekaragaman
hidrobiota dalam suatu perairan (Oey et al, 1978). Perairan yang berkualitas
30
baik, biasanya mempunyai nilai keanekaragaman jenis yang tinggi dengan kelimpahan individu tiap jenis yang rendah dan keadaan sebaliknya terjadi di perairan yang berkualitas buruk (Zajic, 1971). Tabel 5. Klasifikasi Hewan Makrozoobenthos Berdasarkan Ketahanannya Terhadap Bahan Pencemar. No. Kelompok Jenis Hewan Makrozoobenthos 1.
Sangat
terhadap Cacing,
tahan
pencemaran (toleran)
Tubifisida,
Chironomus
(sejenis
nyamuk),
riparium
Limnodrilus sp. 2.
Ketahanan sedang dan lebih Gastropoda,
Tidak
terhadap Siput
tahan
pencemar
Odonata
dan Crustaceae
menyenangi air jernih 3.
Serangga,
dan
dari
famili
Viviparidae,
hanya Amnicolidae, Serangga, Nimfa dan
menyenangi air bersih.
Ordo
Ephemeroptera,
Ordonata
Hemiptera dan Neuroptera. Sumber : Wilhm (1975) 2.8. Penilaian Status Pencemaran Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan. Di Indonesia baku mutu air untuk berbagai kebutuhan telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 (Lampiran 4), yaitu : a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. b. Kelas
dua,
air
yang
peruntukannya
dapat
digunakan
untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
31
c. Kelas
tiga,
air
yang
peruntukannya
dapat
dipergunakan
untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Penentuan status mutu air dilakukan dengan menggunakan metode STORET. Dengan metode STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. 2.9. Keterkaitan Aspek Perekonomian dengan Aspek Lingkungan Usaha meningkatkan perekonomian sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki (resources based approach) merupakan bagian mendasar berbagai teori pembangunan. Teori pembangunan sendiri pertama kali muncul pada abad ke 18 dari mahzab klasik dengan pelopornya Adam Smith, David Ricardo dan Thomas Malthus. Dengan berjalannya waktu, konsep pembangunan tersebut berubah sesuai
dengan
kepentingan
yang
melatarbelakanginya
(Sukirno,
1985;
Djojohadikusumo, 1991 dalam Sihombing, 2004). Sebelum
dekade
1960-an,
pembangunan
diidentikkan
dengan
pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi diartikan sebagai kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki secara optimal dan efisien. Indeks yang umum digunakan sebagai indikator kemajuan ekonomi suatu negara adalah GNP per kapita. Kesejahteraan masyarakat diasumsikan akan meningkat bersamaan dengan pertumbuhan GNP. Validitas
GNP
sebagai
ukuran
pembangunan
ekonomi
mulai
dipertanyakan. Pertumbuhan ekonomi yang dibangun di atas penurunan sumberdaya (resources depletion) sungguh berbeda dengan pertumbuhan berdasarkan peningkatan output. Dalam penghitungan GNP terdapat bias yang prinsipal dimana depresiasi dari output buatan manusia diperhitungkan sedangkan penurunan sumberdaya tidak diperhitungkan.
32
Sejak awal 1960-an, pola pikir tentang pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan mulai bergeser. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa banyak negara yang mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi tetapi taraf hidup masyarakatnya tidak berubah. Kuznets (1960) mulai mempersoalkan pemikiran pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pertumbuhan ekonomi tetapi lupa meluaskan kemiskinan, ketidakmerataan dan pengangguran (Chenery et.al., 1975; Todaro, 1985). Bruntland (1988) menggarisbawahi tingkat penurunan sumberdaya yang terjadi di negara berkembang. Kondisi ini adalah kombinasi dari pencemaran akibat kemakmuran dan pencemaran akibat kemiskinan. Peningkatan demand yang pesat menyebabkan industrialisasi semakin marak yang berarti semakin besar pencemaran yang dihasilkan. Sementara di sisi lain, ketiadaan alternatif lain untuk mendukung kebutuhan hidup minimal mendorong masyarakat miskin lebih intensif menggunakan sumberdaya. Sebagai reaksi atas semakin tingginya tingkat pencemaran lingkungan di negara maju akibat revolusi industri, muncul kesadaran tentang masalah lingkungan hidup. Pemikiran ini tercetus tahun 1972 dalam Konferensi Stockholm mengenai kebijakan lingkungan hidup international. Tahun 1978 dalam World Conservation Strategy dipopulerkan istilah pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan ekonomi, pembangunan yang berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya memenuhi kebutuhan mereka (Bruntland, 1988). Kesadaran akan adanya interaksi antara aktivitas ekonomi dengan lingkungan semakin mendapat perhatian. Meskipun demikian keberadaan hubungan ekonomi-ekologi tersebut masih belum terlalu menyakinkan (Aziz, 1984). Upaya-upaya untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dalam kegiatan ekonomi
sering
menghadapi
kendala
antara
lain
(Reksohadiprojo
dan
Brojonegoro, 1997) : 1. Adanya pendapat bahwa bertambahnya pencemaran terhadap lingkungan terjadi sedikit demi sedikit, dimana tambahan pencemaran tidak berpengaruh dan manusia tetap dapat hidup. 2. Adanya pihak-pihak yang menentang kebijakan yang memperhatikan aspek lingkungan karena merasa kegiatannya dibatasi.
33
3. Adanya pihak yang berpegang teguh pada hal-hal tradisional dan menentang adanya perubahan. 4. Adanya pihak-pihak yang menolak pembagian insentif ekonomi dengan maksud perlindungan lingkungan dan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat. Kegiatan industrialisasi secara nyata membawa dampak negatif dan positif terhadap pembangunan. Di Indonesia seyogyanyalah kita memberikan perhatian yang berimbang pada dampak negatif dan dampak positif. Keharusan merinci dampak sebagai dampak positif atau negatif tertera dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982, yaitu dalam penjelasan pasal 1 ayat 9. Namun tidak selalu mudah untuk menentukan apakah suatu dampak itu positif atau negatif (Soemarwoto, 2007). Gambar 3 menunjukkan kaitan kegiatan perekonomian dengan usaha pengelolaan lingkungan (Dixon dan Hufschmidt, 1986).
Kegiatan manusia
Sisa dan dampak lingkungan
Dampak pada system alami dan kualitas lingkunga
Dampak pada penerima : manusia, hewan &
USAHA PENGELOLAAN KUALITAS LINGKUNGAN (Mengurangi Dampak)
Penilaian ekonomi terhadap dampak
Penilaian ekonomi bagi usaha pengelolaan kualitas lingkungan
Sumber : Dixon dan Hufschmidt, 1986
Gambar 3. Kegiatan Ekonomi dan Dampak Lingkungan Dalam mengambil keputusan terhadap penanganan suatu kegiatan industri yang menimbulkan pencemaran, maka perlu dikaji dampaknya terhadap sektor ekonomi di suatu wilayah tertentu, akan lebih efektif dan efisien jika didasari oleh pertimbangan mengenai hubungan atau keterkaitan seluruh sektor ekonomi dalam menggerakkan perekonomian secara menyeluruh. Sehingga dengan demikian kita bisa melihat bagaimana multiplier effect yang dihasilkan oleh suatu sektor
34
terhadap sektor lainnya. Untuk menganalisa pergerakkan tersebut dapat dilakukan dengan bantuan tabel Input – Output (IO) dari setiap daerah (Kajian Ekonomi Regional NTT, 2008). Pengembangan sektor pertanian sebagian sektor primer dan sektor yang melakukan penyerapan tenaga kerja paling dominan pada dasarnya memang perlu. Namun, melihat tingkat keterkaitan antar sektor yang lebih didominasi oleh sektor industri dan jasa. Pemerintah hendaknya perlu mengembangkan sektor pertanian ke arah industri (agroindustri). Pengembangan agro industri akan memacu sektor pertanian untuk bekerja lebih optimal, selain tingkat penyerapan tenaga kerja akan meningkat signifikan baik dari sektor pertanian maupun industri yang notabene memiliki kapasitas relatif tinggi untuk menyerap. Dalam jangka panjang, dengan meningkatnya ketersediaan lapangan kerja maka tingkat kesejahteraan masyarakat ke depan akan cenderung lebih baik (Kajian Ekonomi Regional NTT, 2008). Industri crumb rubber merupakan industri yang ditopang oleh sektor pertanian dalam hal ini petani karet. 2.10. Strategi Pengelolaan Perairan Sungai Analisis SWOT merupakan salah satu cara mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan perairan. Rangkuti (2008) menggambarkan analisis SWOT sebagai analisis yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threath). Faktor internal dalam analisis SWOT adalah kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), sedangkan faktor eksternal yang dihadapi adalah
peluang (opportunity) dan ancaman (threath). Dengan
menganalisis potensi dan permasalahan pengelolaan perairan sungai, maka dapat diidentifikasi variable-variabel SWOT yang dapat digunakan untuk menentukan strategi pengelolaan perairan di masa yang akan datang. Setelah melakukan pengamatan terhadap lingkungan internal dan eksternal serta mengidentifikasi faktor-faktor strategi dalam mengevaluasi pengelolaan perairan langkah selanjutnya adalah membuat matriks SWOT yang terdiri atas matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan matriks EFE (External
35
Factor Evaluation). Matriks IFE merupakan alat perumusan strategi yang meringkas dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama dalam berbagai fungsional dari suatu wilayah. Matriks EFE membantu mengorganisir faktorfaktor strategi eksternal ke dalam kategori-kategori peluang dan ancaman. Untuk memperoleh strategi pengelolaan perairan, data atau informasi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik strategi silang dari keempat faktor SWOT. Strategi utama atau grand strategy dirumuskan dengan cara memilih prioritas strategi apa yang paling cocok dengan kondisi internal dan eksternal dalam pengelolaan perairan berdasarkan tingkat kepentingannya (perangkingan).
36
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus hingga Oktober 2008, dengan melakukan dua objek pengamatan. Pengamatan pertama, dilakukan terhadap beberapa parameter kualitas air dari sampel air di sepanjang Sungai Batanghari. Pengamatan kedua, dilakukan terhadap masyarakat yang menggunakan air sungai untuk keperluan rumah tangganya di sepanjang daerah aliran Sungai Batanghari. Penentuan lokasi pengambilan sampel air dilakukan berdasarkan letak dari industri karet remah (crumb rubber) yang berada di sepanjang sungai Batanghari. Ada 5 titik stasiun pengamatan yang berada di bagian hilir Sungai Batanghari setelah adanya industri karet remah (crumb rubber) dan 1 titik di bagian hulu Sungai Batanghari sebelum kegiatan industri karet remah (crumb rubber) yang berfungsi sebagai konsentrasi latar belakangnya (background concentration). Pengambilan sampel air dan biota dilaksanakan pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2008. Penelitian ini sengaja dilakukan pada musim kemarau, karena menggambarkan kondisi gangguan ekologi (diwakili oleh organisme bentik makroavertebrata) dalam kondisi stres maksimum, dengan debit air yang minimal, dan kadar bahan polutan yang relatif tinggi (Davis and Tsomides 1997). Disamping
itu,
komunitas
bentik
makroavertebrata
diharapkan
mampu
mencerminkan pengaruh utama peningkatan dari kontaminasi pencemar bahan organik tanpa adanya pengaruh faktor lainnya misalnya: peningkatan debit air/ banjir yang telah diketahui dapat berpengaruh pada komposisi dan kelimpahan bentik makroavertebrata (Matthaei et al. 2000). Faktor keselamatan dalam melakukan sampling juga sebagai pertimbangan dalam pemilihan musim tersebut di atas. Lokasi pengamatan untuk parameter fisik, kimia dan biologi dibagi dalam 6 (enam) stasiun pengamatan yaitu : Stasiun 1 : berada pada daerah ± 100 meter sebelum industri crumb rubber pertama di bagian hulu sungai pada koordinat 01.58729’ LS dan 103.61691’ BT.
37
Stasiun 2 : berada pada daerah diantara indusrti crumb rubber yang pertama dengan industri crumb rubber
kedua dan ketiga pada koordinat
01.58235’ LS dan 103.61974’ BT. Stasiun 3 : berada pada daerah dimana industri crumb rubber kedua dan ketiga berada yaitu pada koordinat 01.57448’ LS dan 103.62656’ BT. Stasiun 4 : berada pada daerah ± 100 meter setelah industri crumb rubber ketiga pada koordinat 01.57146’ LS dan 103.62808’ BT (ke arah hilir). Stasiun 5 : berada pada daerah ± 250 meter setelah industri crumb rubber ketiga pada koordinat 01.56077’ LS dan 103.63169’ BT (ke arah hilir). Stasiun 6 : berada pada daerah ± 400 meter setelah industri crumb rubber ketiga pada koordinat 01.55589’ LS dan 103.64356’ BT (ke arah hilir).
Sumber : Bappeda Kota Jambi, 2007 Gambar 4. Lokasi Titik Sampling
38
3.2. Peralatan dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : botol sampel, termometer, turbidimeter, konduktometri, timbangan, oven, pH meter, buret, erlenmeyer, spektrometer, eckman grabb, saringan bentik 0,5 mm, pinset, dan loupe. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah K2Cr2O7, KOH-Kl, MnSO4, H2SO4 pekat, Ag2SO4, Iodium, ZnSO4, NH4Cl, Fe(NH4)2SO4, CaCl2, NaOH, Na2CO3, kertas saring, formalin, indikator amilum, indikator fenolftalein. 3.3. Metode Pengambilan Sampel 3.3.1. Parameter Fisika dan Kimia Pengambilan sampel air dilakukan sebanyak 3 kali ulangan selama penelitian dengan selang waktu masing-masing ulangan satu bulan yang diambil pada setiap awal bulan, yaitu Agustus sampai Oktober 2008. Sampel air yang dianalisis diambil pada titik-titik sampling yang telah ditetapkan dari badan sungai dengan menggunakan botol sampel. Pengambilan sampel ini dilakukan pada tiga lapisan, yaitu pada permukaan, tengah dan dasar sungai. Sampel air dari ketiga lapisan tersebut dicampurkan menjadi satu (komposit) agar homogen. Sampel air yang telah dikompositkan dimasukkan ke dalam botol polietilen (atau botol kaca tergantung parameter yang dianalisis) sampai penuh, kemudian ditutup rapat. Selanjutnya dibungkus dengan menggunakan aluminium foil, kemudian dimasukkan ke dalam kotak yang telah diisi es (ice box) dan siap di bawa ke Laboratorium Lingkungan Bapedalda Provinsi Jambi. Untuk beberapa parameter seperti suhu, pH, daya hantar listrik, oksigen terlarut dan kekeruhan, pengukurannya langsung dilakukan di lokasi pengambilan sampel air (insitu). Untuk analisis fisik dan kimia dari Sungai Batanghari dapat dilihat pada Tabel 6.
39
Tabel 6. Parameter, Alat dan Metode Analisis Fisika dan Kimia yang digunakan No.
Parameter
Satuan
Metode Analisis
Alat
Fisika o
Pemuaian
Termometer
Potensiometrik
SCT Meter
mg/l
Gravimetrik
Timbangan Analitik
Padatan terlarut
mg/l
Gravimetrik
Timbangan Analitik
Kekeruhan
NTU
Spektrofotometrik
Turbidity Meter
1.
Suhu
2.
DHL
3.
Padatan tersuspensi
4. 5.
C
μmhos/cm
Kimia 6.
pH
Unit
Potensiometrik
pH Meter
7.
DO
mg/l
Titrimetrik
Alat-alat Titrasi
8.
BOD5
mg/l
Titrimetrik
Alat-alat Titrasi
9.
COD
mg/l
Titrimetrik
Alat-alat Titrasi
10.
N- Nitrat
mg/l
Spektrofotometrik
Spektrofotometrik
11.
Ortofosfat
mg/l
Spektrofotometrik
Spektrofotometrik
12.
Minyak & Lemak
mg/l
Gravimetrik
Neraca Analitik
Bakteriologi 13.
E. coli
ind/100 ml
MPN
Tabel MPN
3.3.2. Parameter Biologi Sampling organisme bentik makroavertebrata/ bentos dilakukan pada bulan Juli, Agustus, dan September 2008 dengan menggunakan alat Ekman grab sampler. Pengambilan bentik makroavertebrata dilakukan pada kedalaman ±5 meter yang ditetapkan dengan menggunakan alat Fish finder 250 merk Garmin pada semua stasiun pengamatan. Diharapkan adanya kesamaan kedalaman ini diantara stasiun pengamatan akan memiliki kemiripan komunitas bentik yang akan dikaji pada penelitian ini. Pengawetan bentik makroavertebrata dengan menggunakan larutan formalin 10% yang dimasukkan dalam keller plastik. Sedimen dibilas dengan menggunakan air kran diatas saringan yang berpori 0,5 mm. Sortir bentik makroavertebrata dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran 10 hingga 45 kali. Hewan yang telah tersortir dimasukkan dalam botol falkon yang sudah berisi larutan alkohol 75%.
40
3.3.3. Data Sosial Ekonomi Masyarakat Untuk memperoleh informasi tentang keadaan sosial-ekonomi masyarakat di lokasi penelitian, maka dikumpulkan data primer. Data primer tersebut meliputi aktivitas perekonomian, persepsi dan sikap masyarakat mengenai penggunaan air, sarana sanitasi dasar (penyediaan air bersih dan pembuangan air limbah rumah tangga), pendidikan, kondisi kesehatan dan penghasilan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan masyarakat, tokoh masyarakat, LSM dan pemerintah dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder yang sekunder yang dimaksud adalah data yang berasal bukan dari pengukuran langsung di lapangan, tetapi berdasarkan data yang telah ada pada instansi terkait yang berguna dalam menunjang penelitian ini. Data tersebut meliputi data jumlah penduduk, iklim dan peta wilayah penelitian. 3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis Kualitas Air dan Status Pencemaran Data hasil analisis kualitas air sebelum dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA) dilakukan uji normalitas terlebih dahulu dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Jika nilai probabilitasnya P<0,05, maka data tersebut diprediksi tidak normal dan harus dilakukan transformasi terlebih dahulu dengan menggunakan akar kuadrat (√) atau log(x+1). Data hasil analisis kualitas air yang mengikuti normalitas (p>0,05), maka dapat dilanjutkan dengan menggunakan analisis statistik ANOVA satu arah (α = 0,05), guna mengetahui adanya pengaruh lokasi titik sampling stasiun terhadap konsentrasi pencemar. Jika ada perbedaan signifikan terhadap perbedaan konsentrasi pencemar antar stasiun pengamatan, maka dilakukan uji perbandingan post hoc dengan menggunakan Duncan dengan p = 0,05. Hasil pengukuran karakteristik kualitas air (fisika, kimia dan biologi) yang diperoleh dibandingkan dengan standar baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air sesuai dengan peruntukkan Sungai Batanghari dalam klasifikasi Kelas I. Status kualitas air Sungai Batanghari ditetapkan dengan menggunakan metode STORET. Pada prinsipnya metode ini dibandingkan antara data kualitas dengan baku mutu yang disesuaikan dengan peruntukkannya guna menentukan status mutu air (Kepmen LH No. 115 Tahun 2003).
41
Tahapan analisis data untuk menentukan status mutu air menggunakan metode STORET dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Data hasil pengukuran untuk setiap parameter dibuat tabulasi nilai kadar maksimum, minimum maupun rata-rata yang kemudian dibandingkan dengan data hasil pengukuran dan baku mutu yang sesuai dengan peruntukkannya. 2. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran ≤ baku mutu) maka diberi skor 0. 3. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu) maka diberi skor sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7. 4. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang diperoleh dengan menggunakan sistem nilai dari USEPA (Environmental Protection Agency) yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 7. Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air Jumlah
Nilai
Parameter
Sampel < 10
≥ 10
Fisika
Kimia
Biologi
Maksimum
-1
-2
-3
Minimum
-1
-2
-3
Rata-rata
-3
-6
-9
Maksimum
-2
-4
-6
Minimum
-2
-4
-6
Rata-rata
-6
-12
-18
Sumber : Kepmen LH No. 115 Tahun 2003 Tabel 8. Penentuan Status Mutu Perairan Kelas
Skor
Kriteria
I
0
Baik Sekali (memenuhi baku mutu)
II
-1 s/d -10
Baik (cemar ringan)
III
-11 s/d -30
Sedang (cemar sedang)
IV
≤ -31
Buruk (cemar berat)
Sumber : Kepmen LH No. 115 Tahun 2003
42
3.4.2. Analisis Komunitas Biota Perairan Atribut biologi (metrik) yang digunakan untuk mendeteksi tingkat gangguan pada komunitas bentik makroavertebrata yang disebabkan oleh kontaminasi zat pencemar diprediksi dengan tiga macam metrik yaitu: Dominansi (Bode et al. 1996), indek diversitas Shannon-Wiener (Krebs 1989), dan kekayaan taxa (Bode et al., 1996). Rumus dari indek diversitas Shannon-Wiener adalah sebagai berikut:
H' = −∑
ni n log 2 i N N
dengan, H’= indek diversitas, ni = Jumlah individu dalam satu spesies, N = Jumlah total individu spesies yang ditemukan Untuk menhitung keseragaman makrozoobenthos digunakan indeks keseragaman (E) sebagai berikut :
E=
H' H ' max
dimana : E
= indeks keseragaman
H’
= indeks keanekaragaman
H’max = keanekaragaman maksimum (log2 untuk makrozoobenthos) Sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya dominasi dari suatu spesies tertentu digunakan Indeks Dominasi Simpson (Kreb 1989) yaitu : s
C = ∑ (ni / N )
2
i =1
dimana : C
= nilai indeks dominasi
N
= jumlah total individu setiap spesies
ni
= jumlah individu spesies ke-i
S
= jumlah spesies
43
Dari tiga macam metrik diatas dilakukan uji korelasi sederhana Spearman dengan variabel lingkungan (kualitas perairan) guna mengetahui sensitifitas dari masing-masing indek. Indek yang mempunyai nilai korelasi r > 0,5 dapat dijadikan kandidat dalam penyusunan indek gabungan yang didasarkan pada pendekatan konsep multimetrik seperti yang dilakukan dalam rangking pencemaran perairan. Analisis Catch Per Unit Effort (CPUE) digunakan untuk menduga populasi ikan konsumsi yang dihasilkan selama waktu tertentu. Dalam penelitian ini satuan unit hasil tangkapan yang digunakan yaitu tangkapan selama beberapa tahun terakhir yang diperoleh dari Subdinas Perikanan Kota Jambi. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
“Catch per Unit Effort” dengan
ketentuan bahwa fishing effort adalah “number of fishing boats/hauling/number of fishing gear ”.
CPUE = C/X Dimana :
C
= Catch (numbers of individu; weight)
X
= Effort (number of boat;hauling;number of set fishing gear)
Dari hasil perhitungan tersebut maka dapat dilakukan evaluasi terhadap perkembangan hasil tangkapan perikanan di perairan Sungai Batanghari guna untuk melihat bagaimana prospek dan perkembangannya ke depan dengan adanya pencemaran air.
3.4.3. Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat
Persepsi dan kesehatan masyarakat disekitar lokasi industri crumb rubber dianalisis secara deskriptif berdasarkan informasi dan wawancara. Dengan mengamati kondisi sanitasi di lokasi penelitian dan persepsi masyarakat terhadap penggunaan air sebagai sarana kebutuhan sehari-hari serta data kondisi kesehatan masyarakat secara umum. Sedangkan persepsi masyarakat di lokasi penelitian dianalisis secara deskriptif kuantitatif berdasarkan hasil wawancara dan
44
penyebaran kuisioner. Selanjutnya dari data tersebut dilakukan uji korelasi rank spearman dengan kualitas air Sungai Batanghari. Dampak keberadaan industri crumb rubber terhadap perekonomian dianalisis dengan menggunakan Tabel Input – Output (IO) Kota Jambi Tahun 2007. Analisis Input-Output memungkinkan untuk melihat peranan sektor perekonomian dalam pembentukan output, nilai tambah bruto, permintaan antara dan permintaan akhir secara langsung. Sedangkan untuk mengetahui peranan sektor ekonomi baik sebagai sektor penyedia input maupun sebagai sektor pemakai input serta dampak yang ditimbulkan sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah dapat dikaji berdasarkan analisis multiplier dan keterkaitan. Persamaan dasar yang digunakan yaitu: x11 + x12 + K + x1n + F1 = X 1
x 21 + x 22 + K + x1n + F 2 = X 2 M M M M M M xn1 + xn2 + K + xnn + Fn = Xn
.......................................................(1)
Jika diketahui matrik koefisien input:
α ij =
X ij Xj
..............................................................................................................(2)
Dan jika persamaan (2) disubstitusikan ke dalam persamaan (1) akan didapat persamaan (3) sebagai berikut: x11X 1
+ x12 X 2 + K + x1nXn + F1
= X1
x 21X 2 + x 22 X 2 + K + x 2nXn + F 2 = X 2 M M M M M M xn1X 1 + xn2 X 2 + K + xnnXn + Fn = Xn ...........................................(3) ⎡a11 ⎢a 21 ⎢ ⎢M ⎢ ⎣an1
a12 K a1n ⎤ ⎡ x1 ⎤ ⎡ F1 ⎤ ⎡ x1 ⎤ a 22 K a 2n ⎥⎥ ⎢⎢ x 2⎥⎥ ⎢⎢ F 2⎥⎥ ⎢⎢ x 2⎥⎥ + = ⎥ ⎢L ⎥ ⎢K ⎥ ⎢K ⎥ M K M ⎥⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ an 2 K ann ⎦ ⎣ xn ⎦ ⎣ Fn ⎦ ⎣ xn ⎦ A X + F = X
AX + F = X atau (I − A)X = F atau X = (I − A) F ..............................(4) −1
45
di mana: I
= matrik identitas yang elemennya memuat angka satu pada diagonalnya dan nol pada selainnya.
F
= permintaan akhir
X
= jumlah output
(I-A)
= matrik Leontief
(1-A)-1 = matrik kebalikan Leontief Dari persamaan (4) ini terlihat output setiap sektor memiliki hubungan fungsional terhadap permintaan akhir, dengan (1-A)-1 sebagai koefisien antaranya. Matrik kebalikan ini mempunyai peranan penting sebagai alat analisis ekonomi karena menunjukkan adanya saling keterkaitan antara tingkat permintaan akhir terhadap tingkat produksi. Dengan memasukkan berbagai nilai F, maka besarnya X (jumlah output) dapat ditentukan, yang pada akhirnya memungkinkan untuk dilakukan analisis lanjutan. Untuk mengkaji keterkaitan antar sektor dapat digunakan indeks dan koefisien keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage). Koefisien keterkaitan (langsung dan tidak langsung) ke depan menunjukkan akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output sektor tersebut per unit kenaikan permintaan total. Rumus dan keterkaitan tipe ini adalah: n
KDLTi = ∑ aij
..................................................................................(5)
i= j
KDLTi
= koefisien keterkaitan (langsung dan tidak langsung) ke depan sektor i
Aij
= unsur matrik kebalikan Leontief model terbuka Koefisien keterkaitan (langsung tak langsung) ke belakang menunjukkan
akibat suatu sektor yang diteliti terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan tipe ini dirumuskan dengan:
46
n
KBLT j = ∑ aij
................................................................................(6)
i= j
= koefisien keterkaitan (langsung dan tidak langsung) ke belakang
KBLTj
sektor j. Koefisien keterkaitan (langsung dan tidak langsung) baik ke depan maupun ke belakang tidak dapat diperbandingkan antar sektor karena peranan permintaan akhir setiap sektor tidak sama. Oleh karena itu kedua koefisien tersebut haruslah dinormalkan dengan cara membandingkan rata-rata dampak yang ditimbulkan oleh sektor tersebut dengan rata-rata dampak seluruh sektor. Analisis ini disebut dampak penyebaran yang terbagi dua yaitu indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan. Indeks daya penyebaran (backward linkages index) berguna untuk mengetahui distribusi manfaat dan pengembangan sektok-sektor lainnya melalui mekanisme transaksi pasar input. Konsep ini juga sering diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan kemampuan industri hulunya. Sektor yang dikatakan mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi jika Pdj mempunyai nilai lebih besar dan satu, sebaliknya jika nilai Pdj lebih kecil dari satu. Rumus indeks daya penyebaran adalah: n
Pd i =
n∑ α i n
i =1 n
∑∑ α i
........................................................................................(7)
i =1 j =1
Indeks derajat kepekaan (forward linkages index) bermanfaat untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu sektor terhadap sektor-sektor lainnya melalui mekanisme pasar output. Konsep ini sering juga diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor lain yang memakai input dan sektor ini. Sektor i dikatakan mempunyai penyebaran yang tinggi apabila nilai Sdi lebih besar dan satu, sebaliknya jika nilai Sdi lebih kecil dan satu. Indeks derajat kepekaan dirumuskan dengan:
47
n
Sd i =
n∑ α i n
i =1 n
∑∑ α i =1 j =1
........................................................................................(8) i
Berdasarkan matrik kebalikan Leontief, dapat ditentukan nilai multiplier output maupun tenaga kerja. Besarnya koefisien multiplier output merupakan nilai diagonal utama dari matriks kebalikan Leontief.
3.4.4. Analisis Strategi Pengelolaan Perairan Sungai Analisis SWOT dapat menggambarkan strategi yang dapat dilakukan dalam perencanaan pengelolaan perairan dengan menggunakan teknik strategi silang dari keempat faktor SWOT, yaitu : •
Strategi SO, yaitu strategi memanfaatkan seluruh kekuatan guna merebut peluang.
•
Strategi WO, yaitu strategi meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang.
•
Strategi ST, yaitu strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman.
•
Strategi WT, yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman.
Untuk analisis strategi pengelolaan perairan digunakan analisis SWOT [Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), Treaths (ancaman)]. Analisis SWOT dilakukan untuk mendapatkan suatu strategi pengelolaan perairan Sungai Batanghari yang berwawasan lingkungan dan meningkatan pendapatan baik kepada masyarakat, industri maupun pemerintah daerah. Matrik dan diagram analisis SWOT sebagai berikut :
48
Tabel 10. Matriks Analisis SWOT untuk Pengelolaan Perairan Faktor Internal
STRENGTH (S)
WEAKNESS (W)
Tentukan 5 – 10 faktor
Tentukan 5 – 10 faktor
kekuatan internal
kelemahan internal
STRATEGY (S – O)
STRATEGY (W – O)
Ciptakan strategi yang
Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
meminimalkan
Tentukan 5 – 10 faktor
untuk memanfaatkan
kelemahan untuk
peluang eksternal
peluang
memanfaatkan peluang
STRATEGY (S – T)
STRATEGY (W – T)
Ciptakan strategi yang
Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
meminimalkan
Tentukan 5 – 10 faktor
untuk mengatasi
kelemahan dan
ancaman eksternal
ancaman
menghindarkan ancaman
(IFAS) Faktor Eksternal (EFAS)
OPPORTUNITIES (O)
TREATHS (T)
Sumber : Rangkuti, 2008. Berbagai Peluang
Kelemahan Internal
3.Mendukung strategi turn -around
1.Mendukung strategi agresif
4.Mendukung strategi defensif
2.Mendukung strategi diversifikasi
Berbagai Ancaman Sumber : Rangkuti, 2008. Gambar 5. Diagram Analisis SWOT
Kekuatan Internal
49
Kuadran 1
: Merupakan situasi yang sangat menguntungkan karena memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy).
Kuadran 2
: Meskipun menghadapi berbagai ancaman, namun masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus digunakan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi.
Kuadran 3
: Menghadapi peluang pasar yang sangat besar tetapi di lain pihak menghadapi
berbagai
kendala/kelemahan
internal.
Fokus
strateginya adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik. Kuadran 4
: Merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan karena menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.
Untuk membuat analisis SWOT, dibutuhkan analisis terhadap lingkungan internal dan eksternal yang dihadapi suatu wilayah. Analisis lingkungan internal dan eksternal dilakukan dengan matriks evaluasi faktor internal dan evaluasi faktor eksternal. Langkah-langkah yang dilakukan dalam membuat kedua matriks tersebut adalah : 1) Menyusun daftar faktor-faktor yang dianggap berpengaruh penting sebagai faktor internal dan eksternal dalam pengelolaan perairan. 2) Penilaian bobot setiap faktor strategis internal dan faktor strategis eksternal dalam pengelolaan perairan yang disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11. Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal Faktor Strategis Internal A B C ....... Total
A
B
C
......
Total
50
Tabel 12. Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal Faktor Strategis Eksternal A B C ....... Total
A
B
C
......
Total
3) Penentuan bobot setiap variabel diperoleh dengan menggunakan proporsi nilai dari setiap variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan dengan rumus : ai
=
Xi n
∑X i =1
i
dimana : αi
= Bobot variabel ke-i
Xi
= Nilai variabel ke-i
I
= 1, 2, 3....,n
n
= Jumlah variabel
4) Penentuan peringkat terhadap variabel-variabel hasil analisis situasi dilakukan oleh peneliti dengan skala sebagai berikut : Skala yang digunakan responden untuk menganalisis keterkaitan antar variabel dalam faktor internal : 1 = sangat kuat
3
= lemah
2 = kuat
4
= sangat lemah
Skala yang digunakan responden untuk menganalisis keterkaitan antar variabel dalam faktor eksternal : 1 = rendah
3
= tinggi
2 = sedang
4
= sangat tinggi
5) Setiap peringkat dikalikan dengan masing-masing bobotnya untuk setiap variabel, sehingga menjadi skor. 6) Skor dijumlahkan untuk menentukan total skor.
51
Tabel 13. Matriks Evaluasi Faktor Internal Faktor Strategis Internal Kekuatan 1........................... 2........................... 3........................... Kelemahan 1........................... 2........................... 3........................... Total
Bobot
Rating
Skor
Rating
Skor
Tabel 14. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Faktor Strategis Eksternal Peluang 1........................... 2........................... 3........................... Ancaman 1........................... 2........................... 3........................... Total
Bobot
7) Total skor berkisar antara 1 – 4 dengan rata-rata 2,5. Di bawah 2,5 menunjukkan posisi internal dan eksternal lemah, sedangkan total skor di atas 2,5 menunjukkan bahwa posisi internal dan eksternalnya berada pada tingkat yang kuat. Total skor yang berada pada nilai 2,5 menunjukkan situasi eksternal dan internalnya berada pada posisi rata-rata.
61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Umum Sungai Batanghari Sungai Batanghari membagi Kota Jambi menjadi dua bagian yaitu 2 (dua) kecamatan dibagian utara sungai Batanghari dan 6 (enam) kecamatan di sisi selatannya. Sungai Batanghari yang melintasi Kota Jambi merupakan bagian dari Sub DAS Batanghari hilir yang masih berada dalam kesatuan DAS Batanghari. Sub DAS Batanghari hilir memiliki luas 861.904 Ha, panjang sungai 2.287,33 Km, dan keliling Sub DAS 630.693,80 Km. Sedangkan panjang sungai Batanghari yang melintasi Kota Jambi yaitu ± 18 Km. Posisinya yang termasuk bagian hilir dari DAS Batanghari membuat sungai Batanghari yang berada di Kota Jambi juga mendapatkan imbas dari kondisi lingkungan di hulunya. Berdasarkan data pengamatan debit sungai Batanghari di Kota Jambi selama tahun 2007 terlihat bahwa debit maksimum terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 5488 m3/det dan debit minimum terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 1606 m3/det. Lebih lengkap sebagaimana yang terlihat pada Tabel 15. Tabel 15. Debit Sungai Batanghari selama tahun 2007 di Kota Jambi No.
Bulan
TMA* dari Dasar (m)
1 2 3 10,41 1. Januari 10,78 2. Februari 9,76 3. Maret 11,24 4. April 11,44 5. Mei 10,40 6. Juni 8,71 7. Juli 7,99 8. Agustus 9,07 9. September 9,02 10. Oktober 10,47 11. Nopember 12,64 12. Desember Sumber : BP DAS Batanghari, tahun 2007. *) TMA : Tinggi Muka Air.
Debit (m3/detik)
Ket
4
5 3.337 3.654 2.815 4.078 4.264 3.331 2.053 1.606 2.303 2.269 3.385 5.488
62
Letaknya yang di hilir mengakibatkan sungai Batnghari yang berada di Kota Jambi mengalami tingkat sedimentasi yang cukup tinggi dengan laju sedimentasi sebesar 24,71 mm/tahun dan termasuk dalam kelas sedimentasi jelek dengan skor 5. Selama tahun 2007, debit sedimen terbesar terjadi pada bulan April dengan nilai sebesar 3945,8 ton/bulan dan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 531,5 ton/bulan.(Lihat Tabel 16). Tabel 16. Laju Tingkat Sedimentasi Sungai Batanghari di Kota Jambi Tahun 2007.
1 1.
2 Jan
Debit Sedimen (gr/detik) 3 584,000
5 1.564.185.823,2
Debit Sedimen (ton/bulan) 6 1.564,2
2.
Feb
231,451
19.997.390,7
559.926.939,3
559,9
3.
Maret
797,571
68.910.128,5
2.136.213.983,3
2.136,2
4.
April
1.522,284
131.525.339,5
3.945.760.185,1
3.945,8
5.
Mei
764,025
66.011.722,8
2.046.363.406,0
2.046,4
6.
Juni
791,092
68.350.329,0
2.050.509.868,6
2.050,5
7.
Juli
198,457
17.146.651,3
531.546.191,6
531,5
8.
Agust
396,322
34.242.262,0
1.061.510.123,2
1.061,5
9.
Sept
259,049
22.381.804,2
671.454.126,9
671,5
10.
Okt
484,151
41.830.650,4
1.296.750.163,0
1.296,8
11.
Nop
643,235
55.575.539,6
1.667.266.187,1
1.667,3
12.
Des
859,849
74.290.939,1
2.303.019.112,4
2.303,0
19.834.506.109,7
19.834,5
No.
Bulan
Jumlah
Debit Sedimen (gr/hari) 4 50.457.607,2
Debit Sedimen (gr/bulan)
Debit Sedimen (ton/ha/th) 7
Debit Sedimen (mm/th) 8
17,52
24,71
Sumber : BP DAS Batanghari, tahun 2007. Berdasarkan hasil pengamatan selama tahun 2007 terdata juga bahwa koefisien limpasan (C) Sub DAS Batanghari hilir termasuk dalam kategori jelek (> 0,25). Sebagaimana yang tersaji dalam Tabel 17.
63
Tabel 17. Rekapitulasi Koefisien Limpasan Sub DAS – Sub DAS Batanghari No. Stasiun Hidrometri Nilai C Ket. 1 2 3 4 1. Tanggorajo Kota Jambi 18,75 2. Muara Tembesi Batanghari 15,61 3. Muara Kilis Tebo 4,8 4. Batang Pelepat Bungo 0,06 5. Batang Tabir/Batang Merangin Kab. Merangin 0,85 6. Kerinci 0,003 Sumber : BP DAS Batanghari, tahun 2007. Tingginya laju limpasan sungai Batanghari di Kota Jambi menjadikan masalah banjir merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang dihadapi Kota Jambi. Hampir setiap tahun daerah di sekitar sungai Batanghari mengalami masalah banjir akibat faktor alam (siklus hujan tahunan) maupun perubahan ekosistem di hulu akibat illegal logging yang menyebabkan sedimentasi di bagian hilir. Hasil monitoring sungai Batanghari di Kota Jambi yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Jambi selama tahun 2007 menunjukkan kondisi kualitas air sungai Batanghari telah terjadi penurunan yang cukup mengkhawatirkan. Di sisi lain sungai Batanghari masih digunakan sebagai Sumber Air Minum utama bagi masyarakat Kota Jambi khususnya dan Provinsi Jambi pada umumnya. Lihat Tabel 18. Sumber pencemaran air tersebut terutama berasal dari limbah rumah tangga, industri/pabrik, comersial area, dan rumah sakit, hotel, pom minyak/bengkel, tempat cucian kendaraan, penambangan emas tanpa izin (PETI) yang marak akhir-akhir ini di hulu sungai dan lain sebagainya. Dari pemantauan, ada berbagai aktifitas kegiatan yang terletak di sepanjang sungai Batanghari yang juga memberikan sumbangan terhadap kondisi
kualitas
air
sungai.
Beberapa
aktifitas
kegiatan
tersebut
menghasilkan limbah yang baik secara langsung maupun tidak langsung dibuang ke perairan sungai. Aktifitas kegiatan tersebut antara lain: industri crumb rubber, darmaga pengangkutan pasir dan bahan baku crumb rubber, lahan pertanian milik masyarakat, pemukiman masyarakat, penampungan BBM dan SPBU terapung milik Pertamina, penambangan pasir sungai, komersial area, industri sawmill, budidaya perikanan sungai dengan keramba dan sebagainya.
64
Tabel 18. Kualitas Sungai Batanghari di Kota Jambi Hasil Monitoring Tahun 2007 Baku Lokasi Sampling No. Parameter Satuan Mutu Hulu Hilir Daerah 1 2 3 4 5 6 Fisika 0 28,53 29,88 Dev. 2 C 1. Temperatur 22,50 21,62 1000 mg/l 2. TDS 41,36 34,45 50 mg/l 3. TSS 464,36 374,27 Pt.Co 4. Warna 56,55 46,64 FAU 5. Kekeruhan 44,63 43,45 µS 6. DHL Kimia 6,19 6,30 6–9 7. pH 0,006 0,007 0,02 mg/l 8. Cyanide 0,03 0,10 0,06 mg/l 9. Nitrit 0,76 0,48 0,5 mg/l 10. Amonia 6,46 5,86 6 mg/l 11. DO 0,81 0,75 0,3 mg/l 12. Iron (Fe) 0,00 0,03 0,1 mg/l 13. Mangan (Mn) 0,02 0,02 0,02 mg/l 14. Copper (Cu) 0,002 0,006 0,05 mg/l 15. Chrom 0,02 0,05 0,5 mg/l 16. Flour 0,03 0,02 0,05 mg/l 17. Zinc 2,21 1,24 10 mg/l 18. Nitrat 17,33 15,44 2 mg/l 19. BOD5 27,11 24,63 10 mg/l 20. COD 0,09 0,18 0,2 mg/l 21. Fosfat (PO4) 70,37 35 1000 µg/l 22. Minyak & Lemak Sumber : BLH Kota Jambi, tahun 2007. Diantara beberapa aktifitas yang ada tersebut, kegiatan yang menghasilkan limbah cair setelah dilakukan pengolahan langsung dibuang keperairan sungai Batanghari, salah satunya adalah industri karet remah.
5.2. Profil Industri Karet Remah (Crumb Rubber) di Kota Jambi Industri crumb rubber yang merupakan salah satu industri yang dalam proses produksinya membutuhkan banyak air. Kebutuhannya yang cukup besar terhadap air menyebabkan industri ini biasanya berada di sepanjang sungai agar dekat dengan sumber air yang dibutuhkannya. Air
65
limbah yang dihasilkan dari proses produksi tersebut setelah melalui pengolahan biasanya dibuang kembali ke sungai. Apabila tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan untuk industri karet maka akan menambah beban pencemaran bagi badan air yang menerimanya. Di Provinsi Jambi terdapat 8 (delapan) industri karet remah (crumb rubber) dan 5 (lima) diantaranya terletak di Kota Jambi dan berada di sepanjang sungai Batanghari. Industri ini termasuk salah satu industri andalan di Provinsi Jambi dengan sumbangan devisanya mencapai 412,2 juta US dolar pada tahun 2007. Tabel 19. Profil Industri Karet Remah (Crumb Rubber) di Kota Jambi No.
Nama Perusahaan
Alamat Usaha
Tahun
Kapasitas
Jumlah
Berdiri
Produksi
TK
1.
PT. Hok Tong
Kelurahan Sijenjang
1973
1250 ton
207 org
2.
PT. Batanghari Tembesi
Kelurahan Sijenjang
1988
2000 ton
270 org
3.
PT. Djambi Waras
Kelurahan Tj. Johor
1988
5500 ton
385 org
4.
PT. Remco Djambi
Kelurahan Tj. Johor
1989
1200 ton
285 org
5.
PT. Angkasa Raya
Kelurahan Arab Melayu
1992
2000 ton
320 org
Berdasarkan
hasil
pemantauan
penaatannya
dalam
upaya
pengendalian pencemaran air selama tahun 2007 terlihat bahwa dari 5 (lima) industri karet remah (crumb rubber) yang ada di Kota Jambi hanya 1 (satu) industri yang dalam pengelolaan limbah cairnya memenuhi baku mutu yang ada, tapi masih ada bulan-bulan tertentu yang parameternya masih berada diatas baku mutu yang telah ditetapkan. Sedangkan 4 (empat) industri lainnya masih belum menaati baku mutu yang ada (Tabel 20). Untuk parameter yang dipantau yang belum memenuhi baku mutu yaitu parameter BOD, COD dan TSS. Baku Mutu yang digunakan sebagai acuan adalah baku mutu nasional yaitu Keputusan MENLH No. 51/1995 Lampiran B-VI. Karena baku mutu yang ditetap oleh Provinsi Jambi dalam SK. Gubernur No. 84 Tahun 1996 lebih longgar dibandingkan dengan baku mutu nasional. Kualitas air limbah yang tidak memenuhi baku mutu yang berlaku terkait dengan kinerja IPAL dan kualitas bahan baku yang diterima industri.
66
Bahan baku yang diterima guna proses produksi masih berkualitas rendah sehingga menghasilkan banyak kotoran berupa tatal dan serpihan kayu yang mengakibatkan tingginya kebutuhan air guna proses pencucian dan juga menambah beban kerja IPAL karena ikut masuk ke IPAL (tidak tersaring). Lahan industri yang sebagian besar terbatas menyebabkan adanya ketidakseimbangan kapasitas IPAL yang tersedia dengan limbah yang dihasilkan dari proses produksi. Kontribusi pencemaran air limbah dari industri crumb rubber itu sendiri terhadap sungai Batanghari dapat dilihat dari beban pencemarannya. Berdasarkan hasil analisis beban pencemar yang dihasilkan oleh industri crumb rubber, parameter COD memberikan kontribusi tertinggi sebesar 132,7 ton/bulan. Diikuti oleh parameter BOD5 sebesar 70,6 ton/bulan dan selanjutnya TSS sebesar 67,4 ton/bulan. Sedangkan parameter yang memberikan kontribusi terkecil yaitu Amonia sebesar 7,5 ton/bulan (Tabel 21). Tingginya beban pencemaran dari industri crumb rubber dipengaruhi oleh tidak efisiensinya penggunaan air dan kinerja IPAL yang tidak optimal. Tidak efisiensinya penggunaan air disebabkan karena bahan baku yang diterima sangat beragam tingkat kebersihannya, terutama bahan baku yang diterima dari petani tingkat kebersihannya sangat rendah. Di satu sisi penggunaan air yang banyak akan mempengaruhi debit air limbah yang dihasilkan yang berimplikasi terhadap peningkatan beban pencemaran air limbah yang dihasilkannya pula. Kinerja IPAL yang tidak optimal disebabkan dalam proses pencucian bahan baku pada industri crumb rubber akan dihasilkan air limbah yang bercampur dengan kotoran seperti pasir, tanah, tatal, sampah dan lain-lain yang dapat menghambat dan memberatkan kinerja IPAL.
67
Tabel 20. Hasil Pemeriksaan Limbah Karet Remah (Crumb Rubber) di Kota Jambi Tahun 2007 No.
Nama Perusahaan
1.
PT. Djambi Waras
2.
PT. Batanghari Tembesi
3.
PT. Remco
4.
PT. Angkasa Raya
5.
PT. Hok Tong
Sumber
Parameter BOD COD TSS NH3-N pH BOD COD TSS NH3-N pH BOD COD TSS NH3-N pH BOD COD TSS NH3-N
Satuan Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l
pH BOD Mg/l COD Mg/l TSS Mg/l Mg/l NH3-N pH : BLH Kota Jambi, Tahun 2007
Baku Mutu 60 200 100 15 6–9 60 200 100 15 6–9 60 200 100 15 6–9 60 200 100 15 6–9 60 200 100 15 6–9
Jan 56 104 66 8,6 6,5 27 47 30 0 6,5 59 115 102 4,8 6,1 62 136 114 10, 3 6,5 104 170 16 2,6 5,9
Feb 51 91 59 8,6 6,5 64 130 65 1,9 6,5 75 147 114 2,9 6,3 133 243 203 0,7 1 6,3 67 116 71 1,6 6,2
Mar 41 87 54 5,7 6,8 66 121 19 3,1 5,0 146 320 223 5,4 5,6 178 333 249 7,5
Apr 62 108 89 5,6 6,6 109 183 5,0 0 5,8 101 217 123 3,87 6,4 103 183 182 8,8
Mei 67 132 33 4,9 6,8 162 320 249 15,9 6,6 112 181 178 7,6 6,1 69 127 131 8,9
Juni 63 102 70 8,7 6,5 89 152 6 4,6 5,8 54 89 80 1,8 6,2 138 345 268 9,6
Bulan Juli 63 146 82 7,3 6,1 206 414 6 8,4 5,7 111 240 112 0,8 5,9 132 229 181 3,6
Agus 37 113 49 6,2 6,3 74 172 62 1,5 6,1 280 407 298 10,5
Sep 92 127 104 7,8 6,2 114 209 9,0 8,8 4,9 105 186 168 4,0 6,1 106 236 164 5,1
Okt 28 52 40 7,0 6,1 55 83 6,0 2,4 4,7 104 202 172 3,7 5,6 49 86 66 4,1
Nop 49 77 55 6,3 5,5 83 232 153 1,7 5,4 213 651 344 11,2
Des 136 260 138 9,8 5,5 159 362 12 11,12 5,2 133 240 177 7,6 6,1 122 215 164 6,3
Ket.
5,6 143 206 9,0 6,5 5,2
6,5 145 225 32 7,1 7,7
6,5 158 209 30 13,4 6,2
6,3 279 357 14 8,06 5,3
6,8 -
6,9 125 224 116 11,3 5,3
6,2 107 233 15 8,1 5,1
5,9 164 186 62 5,2 5,6
6,2 31 80 49 1,0 6,2
5,6 174 265 10 11,0 5,1
Ada IPAL
Ada IPAL
Ada IPAL
Ada IPAL
Ada IPAL
68
Tabel 21. Beban Pencemaran Industri Karet Remah (Crumb Rubber) yang masuk ke Sungai Batanghari Tahun 2007 (dalam ton/bulan) Parameter
Djambi
Batanghari
Waras
Tembesi
Remco
Angkasa
Hok Tong
Total
Raya
BP
BOD5
15,6092
15,2555
8,2471
19,1722
12,3462
70,6
COD
29,3118
29,3352
16,6866
38,5949
18,7296
132,7
TSS
17,5787
5,9077
11,8610
28,5949
3,4968
67,4
1,8123
0,8160
0,3255
1,0476
0,6256
7,5
NH3-N
Sumber : Data Limbah Cair Industri di BLH Kota Jambi Tahun 2007 (diolah)
Parameter BOD5, COD, TSS dan Amonia yang memberikan sumbangan terbesar terhadap pencemaran berasal dari PT. Angkasa Raya dan yang memberikan sumbangan terkecil berasal dari PT. Remco. Hal ini disebabkan oleh tingginya kapasitas produksi PT. Angkasa Raya tidak diimbangi dengan kapasitas IPALnya sehingga IPAL yang ada tidak mampu bekerja secara optimal. Di samping itu keterbatasan lahan juga merupakan kendala bagi industri untuk membangun IPAL sesuai dengan kapasitas limbah cair yang dihasilkannya dari proses produksi. Bila dilihat dari parameter limbah cair yang dipantau pada PT. Djambi Waras, cukup menaati baku mutu yang ada. Hal ini dikarenakan beberapa tahun terakhir PT. Djambi Waras ikut dalam PROPER sehingga pemantauan limbah yang dilakukannya lebih rutin. Berdasarkan
total
BOD5
yang
dihasilkan
dapat
dihitung
equvalensinya dengan jumlah penduduk. Menurut Konsitratna (1989) dalam Sulardiono (1997), 1 (satu) orang penduduk menghasilkan limbah BOD sebesar 12,6 gr/org/hari. Dari nilai BOD5 sebesar 70,6 ton/bulan itu setara dengan penduduk sebanyak 186.852 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa industri crumb rubber yang ada perlu diperhatikan tingkat pencemarannya karena telah menyumbang beban pencemaran BOD5 sebesar 39,68% dari jumlah penduduk Kota Jambi Tahun 2007 sebesar 470.902 jiwa. Di samping limbah cairnya yang menimbulkan permasalahan terhadap perairan Sungai Batanghari, limbah padat yang dihasilkan dari
69
proses produksi industri crumb rubber ini juga menimbulkan permasalahan karena sebagian besar industri masih membuang dan menumpukannya dipinggir
badan
sungai
atau
di
pemukiman
penduduk.
Sehingga
memperparah kondisi Sungai Batanghari, karena berpotensi meningkatkan proses sedimentasi dan mencemari perairan.
5.3. Status Kualitas Air Sungai Batanghari Secara spasial, suhu perairan Sungai Batanghari tidak berbeda nyata antar stasiun, namun ada perbedaan yang nyata antar bulan pengamatan (Gambar 7). Kondisi ini dipengaruhi oleh musim, di mana pengamatan pertama (Agustus) dilakukan pada musim kemarau, pengamatan kedua (September) merupakan peralihan dari musim kemarau menuju musim hujan. Sedangkan pengamatan ketiga (Oktober) hujan sudah mulai sering terjadi bahkan pada saat pengambilan contoh dalam keadaan hujan gerimis. Kisaran air seperti ini masih optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 juga kisaran suhu di perairan ini masih memenuhi baku mutu. Di mana suhu berkisar antara 27,4 – 30,40C (Lampiran 1).
Suhu Perairan Sungai Batanghari 31 30.5 30 29.5 29 Agust us
28.5
Sept ember 28
Okt ober
27.5 27 26.5 26 25.5 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 7. Suhu di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun Selama Bulan Agustus – Oktober 2008
70
Kisaran suhu yang cukup tinggi terjadi pada bulan pengamatan pertama (Agustus), di mana pada saat itu merupakan puncaknya musim kemarau. Kondisi suhu udara yang meningkat pada musim kemarau dipengaruhi oleh debit aliran yang rendah, sebagai gambaran rendahnya pergantian air, memungkinkan suhu air dapat meningkat pesat (Lukman et. al, 2007). Menurut Fardiaz (1992), kenaikan suhu akan menimbulkan beberapa akibat, seperti (1) penurunan konsentrasi oksigen terlarut, (2) meningkatnya kecepatan reaksi kimia, (3) mengganggu kehidupan organisme akuatik, (4) menyebabkan kematian pada organisme akuatik. Konsentarsi padatan tersuspensi (TSS) pada semua stasiun pengamatan masih berada di bawah baku mutu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001. Padatan tersuspensi total (TSS) merupakan padatan yang menyebabkan kekeruhan air terdiri dari komponen terendapkan, bahan melayang dan komponen tersuspensi koloid (Carter dan Hill, 1979). Selain itu juga padatan tersuspensi terdiri dari bahan anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik seperti liat dan butiran pasir, sedangkan bahan organik diantaranya sisa-sisa tanaman dan padatan biologi seperti alga, bakteri dan sebagainya. Air buangan industri yang mengandung jumlah padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis industrinya (Saeni, 1989). Hasil pengukuran yang dilakukan nilai TSS berkisar antara 14 – 49 mg/l (Lampiran 1 dan Gambar 8). Pengukuran TSS tertinggi terjadi pada bulan Oktober, di mana waktu pengambilan contoh dalam keadaan musim hujan yang mempengaruhi terjadi erosi di bagian hulu Sungai Batanghari, sehingga tingkat kekeruhan juga meningkat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Di mana padatan tersuspensi memiliki korelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga tinggi. Akan tetapi tingginya padatan tersuspensi tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan.
71
Nilai TSS Perairan Sungai Batanghari 60
BM PP 82/2001
50 40
Agust us 30
Sept ember Okt ober
20
10 0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 8. TSS di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 TSS dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman, dan hewan serta limbah industri. Erosi tanah akibat hujan lebat dapat mengakibatkan naiknya nilai TSS secara mendadak. TSS dapat memberikan pengaruh yang luas dalam ekosistem perairan. Banyak makhluk hidup memperlihatkan toleransi yang cukup tinggi terhadap kepekatan TSS, namun TSS dapat menyebabkan penurunan populasi tumbuhan dalam air, hal ini disebabkan oleh turunnya penetrasi cahaya ke dalam air dan akhirnya berpengaruh terhadap fotosintesis di dalam air (Connell dan Miller, 1995). Menurut Saeni (1989), kekeruhan dapat disebabkan oleh bahanbahan tersuspensi yang bervariasi dari koloid sampai dispersi kasar. Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi kekeruhan berkisar antara 4 – 57 NTU pada masing-masing stasiun dari 3 bulan pengamatan (Lampiran 1 dan Gambar 9). Berdasarkan hasil uji statistik padatan tersuspensi dan kekeruhan tidak berbeda nyata pada masing-masing stasiun pengamatan. Namun pada bulan Oktober terjadi perbedaan yang nyata dengan bulan Agustus maupun September pada tingkat kepercayaan 0,05.
72
Nilai Kekeruhan Perairan Sungai Batanghari 60 50 40 Agust us 30
Sept ember Okt ober
20 10 0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 9. Kekeruhan di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Konsentrasi padatan terlarut (TDS) pada bulan Agustus (musim kemarau) 29,8 – 35,8 mg/l dan pada bulan Oktober (mulai musim hujan) berkisar antara 23,5 – 23,9 mg/l (Lampiran 1). Konsentrasi TDS tertinggi terdapat pada stasiun 1 (Tanggo Rajo) pada saat debit sungai rendah di bulan Agustus (musim kemarau). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, kandungan padatan terlarut maksimum yang diperbolehkan untuk kriteria peruntukan air kelas satu adalah 1000 mg/l. Dalam hal ini berarti bahwa konsentrasi TDS masih di bawah baku mutu yang diperbolehkan untuk peruntukannya. Nilai TDS perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri). Bahan-bahan terlarut tidak bersifat toksik (Efendi, 2003).
73
Nilai TDS Perairan Sungai Batanghari 40 35 30 25
Agust us Sept ember
20
Okt ober
15 10 5 0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 10. TDS di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Kenaikan padatan terlarut akan mempengaruhi kenaikan DHL di dalam suatu perairan (Saeni, 1989). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai DHL tertinggi terjadi pada bulan pengamatan pertama (Agustus) pada saat puncaknya musim kemarau dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 (Tanggo Rajo) (Lampiran 1). Tingginya nilai TDS dan DHL pada stasiun ini disebabkan karena banyaknya aktivitas manusia yang dijumpai di sekitar daerah
tersebut.
Aktivitas
yang
dijumpai
antara
lain:
darmaga
penyeberangan sungai, pasar, mall dan pemukiman. Semua kegiatan tersebut menghasilkan limbah yang akan terbawa oleh aliran sungai yang akan meningkatkan DHL dan TSS. Uji statistik yang dilakukan terhadap parameter TDS dan DHL menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar stasiun, akan tetapi berbeda nyata untuk bulan pengamatan pertama (Agustus) dengan bulan pengamatan kedua (September) dan ketiga (Oktober). Hal ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca pada saat pengamatan yaitu musim kemarau dan musim hujan sehingga mempengaruhi debit air Sungai Batanghari (Gambar 11 dan 10).
74
Nilai DHL Perairan Sungai Batanghari 80 70 60 50 Agust us Sept ember
40
Okt ober 30 20 10 0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 11. DHL di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Nilai pH sungai mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air yang merupakan pengukuran konsentrasi ion hydrogen dalam larutan. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain aktifitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Dari aktifitas biologi dihasilkan gas CO2 yang merupakan respirasi, gas CO2 inilah yang membentuk ion buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil. Berdasarkan hasil pengukuran insitu terhadap parameter pH di perairan Sungai Batanghari, nilai pH pada saat musim kemarau (Agustus) berkisar antara 6,6 – 7,1 dan pada saat musim hujan (Oktober) berkisar antara 5,47 – 6,06 (Lampiran 1). Bila hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, ternyata kisaran pH pada bulan September dan Oktober untuk beberapa stasiun berada di bawah baku mutu untuk peruntukkan kelas satu (6 – 9). Menurut Boyd (1982), batasan pH yang baik bagi pertumbuhan dan reproduksi perikanan berkisar antara 6,5 – 9,0. Merujuk pada pendapat tersebut, maka perairan Sungai Batanghari kurang baik digunakan untuk produksi perikanan, karena rendahnya nilai pH. Rendahnya pH tersebut disebabkan karena tingginya konsentrasi bahan organik pada perairan
75
tersebut. Menurut Triyanto dan Crismadha (2007) penurunan nilai pH pada saat air tinggi (September – Oktober) diduga dipengaruhi oleh curah hujan yang terjadi, karena air hujan biasanya memiliki pH yang lebih rendah dari pada air di perairan. Secara parsial untuk parameter pH ada perbedaan yang nyata antar stasiun maupun bulan pengamatan. Di mana perbedaan terjadi pada stasiun 1 dan 2 nilai pH-nya berbeda nyata dengan stasiun 3 dan 4, begitu juga dengan stasiun 5 dan 6. Pada bulan pengamatan perbedaan nyata terlihat antara bulan pertama (Agustus) dengan bulan kedua (September) dan ketiga (Oktober) (Gambar 12). Nilai pH yang rendah akan meningkatan keasaman suatu perairan, karena terjadinya reaksi pelepasan CO2 hasil penguraian bahan organik. Proses penguraian bahan organik ini membutuhkan oksigen yang cukup banyak, sehingga dapat menyebabkan konsentrasi oksigen di perairan tersebut menjadi rendah. Kondisi ini merupakan indikasi kuat telah terjadinya pencemaran. Semakin tinggi tingkat pencemaran air, makin berkurang kadar oksigen terlarut dalam air. Konsentrasi oksigen terlarut minimal untuk kehidupan biota tidak boleh kurang dari 6 ppm (Fardiaz, 1992). Nilai pH Peraiaran Sungai Batanghari 8 7
BM PP 82/2001
6 5
Agust us
4
Sept ember Okt ober
3 2 1 0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 12. pH di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008
76
Pengukuran secara insitu terhadap parameter oksigen terlarut (DO) menunjukkan bahwa perairan Sungai Batanghari telah tercemar oleh limbah organik, baik dari limbah domestik maupun limbah industri (khususnya industri karet remah). Di mana dari 3 bulan pengamatan nilai oksigen terlarut dari beberapa stasiun berkisar antara 3,02 – 5,34 mg/l (Lampiran 1 dan Gambar 13). Bila dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 maka konsentrasi oksigen terlarut di perairan Sungai Batanghari telah melampaui baku mutu untuk kelas satu yaitu 6 mg/l. Nilai oksigen terlarut yang paling rendah terjadi pada bulan Oktober pada saat turun hujan. Welcome (1979) dalam Triyanto dan Crismadha (2007) menjelaskan bahwa saat banjir menginvasi wilayah paparan banjir, suatu permulaan peningkatan kadar oksigen akan terjadi, tetapi sejalan dengan proses pembusukan pada vegetasi-vegetasi tenggelam akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen, dan selanjutnya kadar oksigen akan meningkat kembali sampai level tertentu pada periode musim banjiran.
Nilai DO Perairan Sungai Batanghari BM PP 82/2001
6
5
4 Agustus 3
September Oktober
2
1
0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 13. DO di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008
77
Secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata antar stasiun pengamatan untuk parameter oksigen terlarut. Perbedaan nyata terlihat pada bulan pengamatan, di mana nilai oksigen terlarut pada bulan Agustus dan September berbeda nyata dengan bulan Oktober. Kondisi musim hujan akan mempengaruhi jumlah bahan organik yang masuk ke perairan Sungai Batanghari dan cenderung meningkatkan proses penguraian bahan organik sehingga kebutuhan oksigen terlarut tinggi yang akan mengakibatkan penurunan jumlahnya di dalam perairan. Di sisi lain kondisi oksigen terlarut pada saat itu dipnegaruhi juga oleh air hujan yang memiliki pH rendah atau bersifat asam. Parameter Biochemical Oxygen Demand (BOD5) menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan untuk menguraikan bahan organik yang ada di dalam suatu perairan. Semakin tinggi nilai BOD5 memberikan gambaran semakin besarnya bahan organik yang akan terdekomposisi yang dapat berakibat lebih lanjut pada timbulnya bahan-bahan beracun dan berbau sebagai efek samping proses dekomposisi, seperti ammonia dan hidrogen sulfida. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut dalam air yang dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme suatu biota perairan. Sebaran BOD5 pada masing-masing bulan pengamatan dapat di lihat pada Gambar 14.
Nilai BOD5 Perairan Sungai Batanghari 16 14 12 10
Agust us
8
Sept ember Okt ober
6 4
BM PP 82/2001
2 0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 14. BOD5 di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008
78
Dilihat dari hasil pengukuran selama 3 bulan pengamatan pada masing-masing stasiun rata-rata nilai BOD5 berada di atas ambang baku mutu yang ditetap untuk peruntukan sungai kelas satu yaitu 2 mg/l berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001. Kecuali pada stasiun 2 yang masih memenuhi baku mutu. Kisaran BOD5 pada masing-masing stasiun dan bulan pengamatan yaitu 2 – 14 mg/l (Lampiran 1). Kondisi nilai BOD5 yang memenuhi baku mutu terjadi pada bulan Oktober. Hal ini diduga karena adanya pengaruh musim hujan sehingga terjadi pengenceran di perairan Sungai Batanghari dan adanya kecepatan arus yang relatif tinggi membantu limbah organik keluar dengan cepat dari stasiun-stasiun pengamatan. Hal yang sama juga terjadi pada stasiun 2 yang memiliki nilai rata-rata 2 mg/l atau memenuhi baku mutu. Faktor kecepatan arus juga berperan dalam menghanyutkan bahan-bahan organik. Di mana berdasarkan pengamatan laju arus di sisi utara (lokasi stasiun 2) Sungai Batanghari lebih cepat dibandingkan di sisi selatannya. Kondisi ini ditandai dengan adanya abrasi yang cukup tinggi pada bantaran Sungai Batanghari di sisi utara. Dan kecepatan arus semakin menurun pada daerah hilirnya, karena sudah mulai dipengaruhi oleh ekosistem muara. Uji statistik pada parameter BOD5 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar stasiun maupun bulan pengamatan terhadap nilai BOD5 hasil pengukuran. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran BOD5 adalah sama untuk semua stasiun. Chemical Oxygen Demand (COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non degradable) menjadi CO2 dan H2O. Pengukuran COD ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat (kalium dikromat/K2Cr2O7) dalam suasana asam. Berdasarkan hasil pengukuran nilai COD pada masing-masing stasiun, rata-rata masih berada di bawah baku mutu yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu 10 mg/l. Kecuali di stasiun
79
1 dan stasiun 3 yang berada di atas baku mutu. Hal ini diduga dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang cukup tinggi pada kedua stasiun ini, sehingga memberikan tekanan pada sungai untuk memurnikan diri (purification). Sungai
dipaksa
untuk
menyediakan
oksigen
yang
banyak
untuk
menguraikan limbah secara kimia. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya kenaikan nilai COD di perairan sungai tersebut.
Nilai COD Perairan Sungai Batanghari 60
50
40 Agust us 30
Sept ember Okt ober
20
BM PP 82/2001
10
0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 15. COD di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Uji statistik juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara masing-masing stasiun maupun bulan pengamatan. Di mana selama 3 bulan pengamatan kisaran nilai COD untuk masing-masing stasiun berada pada 5 – 48 mg/l. Dan dari 3 bulan tersebut hanya stasiunstasiun tertentu saja yang nilai COD-nya berada di atas baku mutu, yaitu stasiun 1, stasiun 3 pada pangamatan bulan pertama (Agustus) dan stasiun 6 pada pengamatan bulan kedua (September) dan bulan ketiga (Oktober) (Lampiran 1 dan Gambar 15). Keadaan yang berbeda ini diduga dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang banyak pada masing-masing stasiun dan juga faktor tinggi-rendah air Sungai Batanghari serta kecepatan arus sungai yang membawa limbah organik terkumpul di stasiun 6.
80
Nitrat merupakan salah satu bentuk senyawa nitrogen yang terdapat dalam perairan dalam bentuk terlarut atau tersuspensi. Limbahlimbah yang mengandung senyawa bernitrogen (seperti protein) akan terurai secara alami menjadi amonia. Amonia dapat juga terbentuk dari proses reduksi nitrit dan nitrat baik secara biologi maupun kimia. Saeni (1989) mengemukakan bahwa zat-zat organik yang bernitrogen secara berangsur-angsur akan terurai menjadi amonia dan selanjutnya menjadi nitrit dan nitrat. Jadi nitrat merupakan hasil akhir dari penguraian senyawa organik bernitrogen.
Nilai Nitrat Perairan Sungai Batanghari 1.2
1
0.8 Agust us 0.6
Sept ember Okt ober
0.4
0.2
0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 16. Nitrat di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Nilai Nitrat berdasarkan hasil pengukuran berkisar antara 0,431 – 1,07 mg/l (Lampiran 1 dan Gambar 16). Di mana kisaran nilai ini masih berada dalam baku mutu yang ditetap guna peruntukkan air kelas satu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu 10 mg/l. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan secara nyata untuk pengukuran di masing-masing stasiun. Namun ada perbedaan nyata untuk pengukuran berdasarkan bulan pengamatan. Perbedaan hasil pengukuran terlihat pada bulan ketiga pengamatan (Oktober). Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi musim. Di mana pada bulan ketiga (Oktober) sudah memasuki musim hujan sehingga limbah
81
bahan organik yang terkumpul selama musim kemarau naik kepermukaan mengikuti aliran air sungai yang meningkatkan terjadinya biodegradable limbah-limbah organik termasuk limbah organik yang mengandung senyawa-senyawa nitrogen. Rendahnya nilai nitrat pada bulan ini dibandingkan pada musim kemarau (bulan pengamatan pertama) diduga karena volume tinggi rendahnya air Sungai Batanghari mempengaruhi kondisi tersebut. Fosfat merupakan salah satu bentuk unsur posfor di dalam ekosistem perairan. Seperti hal nitrogen, posfor memasuki air melalui berbagai jalan: kotoran, limbah, sisa pertanian, kotoran hewan, dan sisa tumbuhan dan hewan yang mati. Fosfat biasa juga terdapat dalam deterjen dan limbah industri (Kristianto, 2004). Berdasarkan hasil pengukuran fosfat berkisar antara 0.06 – 0.51 mg/l. Nilai fosfat berasal dari pengukuran pada bulan kedua pengamatan (September) pada stasiun 4. Sedangkan nilai fosfat terendah berasal dari hasil pengukuran pada bulan yang sama, hanya terdapat pada stasiun 1 (Lampiran 1 dan Gambar 17). Hal ini diduga disebabkan karena kurang adanya pengolahan limbah yang baik dari industri karet remah yang ada pada stasiun 4 ditambah dengan buangan penduduk yang bermukim disekitarnya, sedangkan pada stasiun 1 tekanan dari aktivitas industri tidak ada, hanya comersial area dan pemukiman.
Nilai Fosfat Perairan Sungai Batanghari 0.6
Agustus
0.5
September 0.4
Oktober 0.3
BM PP 82/2001
0.2 0.1 0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 17. Fosfat Perairan di Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008
82
Hasil pengukuran terhadap fosfat rata-rata berada di atas baku mutu yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 yaitu, 0.2 mg/l. Keadaan ini diduga karena adanya tekanan yang tinggi dari aktivitas-aktivitas yang terdapat di lokasi penelitian yang menghasilkan limbah. Menurut Saeni (1989), kenaikan konsentrasi fosfat menyatakan adanya zat pencemar. Minyak dan lemak yang mencemari air sering dimasukkan ke dalam kelompok padatan, yaitu padatan yang mengapung di atas permukaan air. Minyak yang terdapat di dalam air dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya dari pembersihan dan pencucian kapal-kapal di laut, pengeboran minyak di dekat atau di tengah laut, terjadi kebocoran kapal pengangkut minyak, dan sumber-sumber lainnya seperti buangan pabrik (Kristianto, 2004). Pencemaran perairan oleh minyak sangat merugikan, karena dapat menimbulkan : (1) berkurangnya penetrasi sinar matahari, (2) menurunnya konsentrasi oksigen terlarut, karena terhalangnya penyerapan oksigen di udara, (3) mengganggu kehidupan organisme akuatik dan burung. Beberapa komponen yang menyusun minyak diketahui bersifat racun terhadap berbagai hewan dan manusia.
Nilai Minyak Lemak Perairan Sungai Batanghari Konsentrasi Minyak Lemak (mg/l)
10 9 8 7
Agustus
6 5
September
4 3
Oktober
2 1 0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
S t a s iun
Gambar 18. Minyak dan Lemak di Perairan Sungai Batanghari pada Tiaptiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008
83
Di lihat dari hasil pengukuran terhadap konsentrasi minyak dan lemak yang ada di lokasi penelitian masih berada di bawah baku mutu yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu 1000 mg/l. Di mana kisaran nilai minyak dan lemak yang diukur selama bulan pengamatan berada pada 0,4 – 9,2 mg/l (Lampiran 1 dan Gambar 18). Hal ini disebabkan aktivitas-sktivitas yang ada di lokasi penelitian belum memberikan tekanan yang cukup besar untuk menghasilkan limbah minyak dan lemak, walaupun ada kegiatan dermaga kapal di sekitarnya. Pengukuran terhadap kualitas perairan Sungai Batanghari dilakukan melalui metode STORET (Storage and Retrieval) sebagai mana yang tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003. Dengan metode ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi ataupun melampaui baku mutu air. Secara prinsip metode STORET adalah membandingkan antara dua kualitas air dengan baku mutu air yang sesuai dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Pencemaran kimia dan mikroorganisme yang membahayakan dan beresiko merusak kondisi estetika lingkungan yang baik merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas air (Asano dan Cotruvo, 2004). Hasil pengukuran terhadap kualitas perairan Sungai Batanghari pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran pada tingkat tercemar berat untuk peruntukan kelas I dengan parameter yang melebihi baku mutu yaitu pH, DO, BOD5, COD, Fosfat dan E. Coli. Untuk peruntukan kelas II, sungai Batanghari termasuk dalam kategori tercemar sedang, kecuali stasiun 3 dan 5. Parameter yang melebihi baku untuk peruntukan ini adalah pH, DO, BOD5, COD, Fosfat dan E. Coli. Bila di lihat dari peruntukkan kelas III, masing-masing stasiun berada dalam kategori tercemar ringan, kecuali stasiun 3 yang tercemar sedang. Parameter yang melebihi baku mutu untuk peruntukkan ini adalah pH, BOD5, COD dan E. Coli. Dilihat dari masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam tingkat pencemarannya. Di mana hanya stasiun 2 yang memenuhi baku mutu kelas IV sedangkan stasiun lainnya untuk kelas
84
yang sama sudah tercemar ringan dan parameter yang melebihi baku mutunya yaitu BOD5, COD dan E. Coli (Tabel 22 dan Lampiran 2). Bila dilihat dari bulan dilakukannya pengamatan menunjukkan bahwa tingkat pencemarannya juga berada dalam kategori tercemar berat (Tabel 23) untuk peruntukan kelas I. Untuk peruntukan kelas II, pada bulan Agustus termasuk dalam kategori tercemar ringan, bulan September tercemar berat dan bulan Oktober tercemar sedang. Dilihat dari peruntukan kelas III, bulan September yang termasuk dalam kategori tercemar sedang, bulan Agustus dan Oktober termasuk dalam kategori tercemar ringan. Hanya pada bulan Oktober yang memenuhi baku mutu kelas IV. Sedangkan bulan Agustus untuk kelas IV tercemar ringan dan bulan September tercemar sedang. Pengukuran ini dilakukan terhadap 13 parameter fisika, kimia dan biologi perairan. Di mana parameter yang mempengaruhi hasil pengukuran indeks STORET yaitu pH, DO, BOD5, COD, Fosfat dan E. Coli yang berada di atas baku mutu peruntukan air kelas I, II dan III. Sedangkan parameter yang berada di atas baku mutu kelas IV yaitu BOD5 dan E. Coli (Lampiran 2) Tabel 22. Indeks STORET Berdasarkan Stasiun Pengamatan Stasiun
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Stasiun 1 (Tanggo Rajo) Stasiun 2 (Angkasa Raya) Stasiun 3 (Hok Tong) Stasiun 4 (Batanghari Tembesi) Stasiun 5 (Remco) Stasiun 6 (Djambi Waras)
-46 -34 -50 -42 -42 -42
-20 -17 -30 -26 -34 -26
-10 -2 -12 -5 -5 -3
-2 0 -10 -3 -3 -3
Tabel 23. Indeks STORET Berdasarkan Bulan Pengamatan (Agustus – Oktober 2008) Bulan Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV Agustus
-38
-10
-8
-2
September
-48
-32
-20
-12
Oktober
-30
-18
-10
0
85
Berdasarkan hasil pengukuran ini dapat dikatakan bahwa telah terjadi penurunan kelas peruntukkan air. Di mana Sungai Batanghari tidak dapat lagi digolongkan dalam peruntukkan air kelas I (sebagai sumber air bersih), tetapi telah berada pada peruntukkan kelas IV yang hanya bisa digunakan untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaannya tersebut. Di mana, aktivitas manusia seperti pertanian, pembukaan hutan dan limbah industri dan domestik yang mengakibatkan penurunan kualitas air oleh perubahan karakteristik limpasan, peningkatan larutan tersuspensi dan unsur hara pada air permukaan (Soldner et. al, 2004). Merujuk pada kegunaan Sungai Batanghari sebagai sumber air bersih utama masyarakat Kota Jambi, maka untuk mengembalikannya kepada peruntukkan kelas satu perlu dilakukan pengelolaan. Sehingga fungsi air secara ekologi, ekomoni dan sosial tetap dapat dipertahankan. Untuk itu, pengelolaan air perlu dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral dengan mempertimbangkan
proyeksi
pertumbuhan
penduduk
dan
rencana
pembangunan sektoral.
5.4. Komunitas Biota Perairan 5.4.1. Escherichia coli Hampir di semua badan air terdapat bakteri-bakteri yang jenisnya tertentu. Ada ribuan jenis bakteri dan setiap jenis mempunyai sifat-sifat tersendiri. Sebagian besar dari jenis bakteri tersebut tidak berbahaya bagi manusia dan ada juga yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungan hidup (Alaert dan Santika, 1987). Perhatian pada penelitian adalah terhadap bakteri yang dapat menunjukkan adanya pencemaran (indikator organisme) yaitu bakteri Escherchia coli (E. Coli) merupakan petunjuk yang efisien karena bakteri tersebut terdapat dalam feces. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena kadar E. Coli pada perairan sungai Batanghari terjadi peningkatan di stasiun 2 kemudian menurun di stasiun 3, dan meningkat kembali di stasiun 4 hingga stasiun 6. Kadar E. Coli pada setiap stasiun pengamatan telah melampaui ambang
86
batas maksimum yang dianjurkan yaitu rata-rata kandungan bakteri E. Coli sekitar 100 MPN/100 ml, berarti perairan Sungai Batanghari telah terjadi pencemaran fecal dan ada kemungkinan air tersebut mengandung bakteri patogen. Keberadaan E. Coli di perairan dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia. Curah hujan, temperatur, pH, salinitas (Shibata et. al, 2004), Oksigen terlarut (Kerner, 2000), phospor, dan padatan tersuspensi (Benndorf et. al, 2000; Kirschner et. al, 2009) yang mempengaruhi perkembangannya di dalam suatu perairan. Kebiasaan penduduk yang membuang feces di perairan Sungai Batanghari telah menyebabkan penurunan derajat kesehatan masyarakat, terutama masyarakat yang sehari-hari menggunakan air sungai bagi kepentingan rumah tangga.
Nilai E.Coli Perairan Sungai Batanghari 6000
5000
4000 Agustus September
3000
Oktober 2000
1000
0 STS1
STS2
STS3
STS4
STS5
STS6
BM PP 82/2001
S t a s iun
Gambar 19. E. Coli di Perairan Sungai Batanghari pada Tiap-tiap Stasiun selama Bulan Agustus – Oktober 2008 Dilihat dari uji statistik terhadap parameter E. Coli dapat dijelaskan bahwa untuk masing-masing stasiun tidak terdapat perbedaan yang nyata, sedangkan untuk masing-masing bulan pengamatan terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran Sungai Batanghari oleh E. Coli untuk masing-masing stasiun pengamatan adalah sama.
87
Perbedaan tingkat pencemaran E. Coli terjadi pada bulan-bulan pengamatan. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya debit air dan kecepatan arus Sungai Batanghari yang dipengaruhi oleh musim. Terjadinya peningkatan jumlah faecal coliform pada sampel yang diambil saat musim turun hujan, tetapi banyaknya tidak dibatasi oleh kejadian hujan itu sendiri (Shah et. al, 2007).
5.4.2. Makrozoobenthos Makrozoobenthos merupakan salah satu kelompok biota yang hidup di dalam ekosistem sungai, terutama di dasar perairan yang mengalir (Odum, 1993). Makrozoobenthos hidupnya relatif menetap dan tidak dapat menghindar dari kontak dengan bahan pencemar serta jangka hidupnya relatif lama. Selain itu karena organisme dasar perairan tersebut mempunyai habitat relatif tetap, maka perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi dan kelimpahannya. Oleh karena itu,
makrozoobenthos
merupakan
organisme
perairan yang
sangat
representatif untuk menduga pencemaran air. Hasil
pengamatan
komposisi
jenis
dan
kelimpahan
makrozoobenthos yang ditemukan pada perairan Sungai Batanghari, pada masing-masing stasiun ditemukan sekitar 7 – 12 kelas dan 22 species, dengan kelimpahan berkisar antara 5.052 – 39.259 individu/m2 (Lampiran 4). Organisme makrozoobenthos yang ditemukan pada perairan Sungai Batanghari secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari jenisjenis yang ditemukan tersebut jenis yang paling banyak ditemukan adalah : (1) Tubificidae dari kelas Oligochaeta, (2) Chironomidae dari kelas Diptera dan (3) Naididae dari kelas Oligochaeta. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) makrozoobenthos dari hasil pengamatan pada masing-masing stasiun berturut-turut adalah pada stasiun 1 (0,37), stasiun 2 (0,811), stasiun 3 (1,441), stasiun 4 (1,521), stasiun 5 (1,34) dan stasiun 6 (1,055). Berdasarkan Indeks Keanekaragaman tersebut terlihat bahwa dengan adanya industri tidak menimbulkan terjadinya pencemaran, karena pada lokasi yang belum ada industri (stasiun 1) kondisi perairan
88
sudah tergolong kedalam perairan yang tercemar berat (Staub et al. dalam Wilh, 1975). Terjadinya pencemaran berat pada stasiun 1 diduga disebabkan oleh limbah penduduk dan comersial area (pasar tradisional dan mall). Bila melihat jenis yang ditemui di stasiun 1 yaitu Limnodrilus hoffmeisteri dan Aulodrilus acutus yang termasuk dalam famili Tubificidae merupakan indikator telah mengalami pencemaran organik yang telah mempengaruhi kualitas
air.
Hal
ini
seperti
dinyatakan
Sastrawijaya
(1991)
makrozoobenthos dari jenis Tubificidae merupakan indikator pencemaran oleh limbah organik, kalau kondisi lebih baik maka hewan golongan cacing tersebut akan diikuti oleh larva Chironomous. Pencemaran limbah organik yang cukup pekat di stasiun 1 ini juga ditandai dengan adanya jenis Nais communis dari famili Naidididae yang relatif tinggi. Pada stasiun 2 tingkat pencemarannya masih tergolong ke dalam perairan yang tercemar berat, karena nilai indeks keanekaragamannya sebesar 0,811 dan didukung oleh jenis yang ditemukan yaitu Limnodrilus hoffmeisteri dari famili Tubificidae jumlahnya relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun 1 dan ditemukan juga jumlah yang lebih banyak Polypedilum scalaenum dari famili Chironomidae yang menunjukkan kondisi perairan yang lebih baik dibandingkan stasiun 1. Penurunan pencemaran terjadi pada stasiun 3 dari pencemaran berat pada stasiun 2 menjadi tercemar sedang dengan nilai indeks keanekaragaman (1,441), hal ini ditandai dari jenis Tubificidae yang relatif lebih kecil dan Chironomidae yang ditemukan relatif lebih banyak dibandingkan di stasiun 2, berarti pencemaran organik yang terjadi di stasiun 3 relatif ringan dan telah ada proses pemulihan menuju pada perairan yang lebih baik. Pencemaran yang terjadi pada stasiun 4, 5 dan 6 termasuk dalam kriteria perairan yang tercemar sedang, dengan nilai indeks keanekaragaman stasiun 4 (1,521), stasiun 5 (1,34) dan stasiun 6 (1,055). Namun bila melihat jenis yang ditemukan dalam jumlah yang relatif lebih tinggi seperti Tubificidae, Naididae dan Chironomidae, meskipun pencemaran yang terjadi tergolong sedang, namun dari jenis yang ditemukan pencemaran yang
89
terjadi tidak hanya tergolong ke dalam pencemaran organik tetapi termasuk juga ke dalam kategori pencemaran yang diakibatkan oleh suhu tinggi, akumulasi logam berat dan oksigen terlarut yang rendah. Hal ini terlihat dari kondisi perairan pada ke tiga stasiun tersebut yang memiliki suhu tinggi dan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah. Hasil perhitungan indeks keseragaman jenis (E) dari setiap stasiun pengamatan diperoleh kisaran antara 0,111 – 0,454. Nilai indeks keseragaman pada masing-masing stasiun dari stasiun 1 sampai stasiun 5, terjadi peningkatan yang berfluktuasi pada setiap stasiun setelah ada aktivitas industri. Nilai indeks keseragaman setiap stasiun hasil pengamatan sebagai berikut: stasiun 1 (0,111), stasiun 2 (0,289), stasiun 3 (0,454), stasiun 4 (0,424), stasiun 5 (0,387) dan stasiun 6 (0,305) (Tabel 24). Weber (1973) menyatakan bahwa, suatu komunitas biota, seluruh jenisnya stabil juka nilai indeks keseragamannya berkisar antara > 0,5 – mendekati 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman suatu komunitas biota < 0,5 – mendekati 0, semakin tidak merata penyebarannya jumlah individunya pada setiap jenis. Dari hasil analisis indeks keseragaman (E) makrozoobenthos di lingkungan Sungai Batanghari di stasiun 1, 2, 5 dan stasiun 6 menunjukkan bahwa sebaran antara jenis tidak merata. Distribusi makrozoobenthos terlihat dari morpologi permukaan tempat hidupnya, jumlah oksigen yang ada dan hubungan saling memangsa, selain perubahan kelimpahan yang bersifat musiman mungkin disebabkan oleh kompetisi dalam tempat atau makanan (Reinicke, 2000). Di samping itu juga dipengaruhi oleh perubahan yang cepat pada sedimen dan masuknya unsur hara di perairan sungai yang terbuka. Berarti juga bahwa comersial area, pemukiman penduduk, lahan pertanian dan industri crumb rubber pada masing-masing stasiun tersebut telah menyebabkan adanya tekanan terhadap komunitas biota di sekitarnya, seperti dikemukakan Purwanto (2000) nilai indeks keseragaman yang mendekati nol merupakan indikator adanya pengaruh atau tekanan dari aktifitas sekitar perairan.
90
Tabel 24.
Taxa, Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominasi Makrozoobenthos pada Masingmasing Stasiun di Perairan Sungai Batanghari.
Jumlah/Indeks Taxa Individu
1 10
Stasiun Pengambilan Contoh 2 3 4 5 7 9 12 11
6 11
12.770
8.785
6.356
39.259
5.052
5.793
Keanekaragaman (H’)
0,37
0,811
1,441
1,521
1,34
1,055
Keseragaman (E)
0,111
0,289
0,454
0,424
0,387
0,305
Dominasi (D)
0,914
0,749
0,491
0,455
0,579
0,706
Pada stasiun 3 dan 4 menunjukkan sebaran antara jenis yang relatif lebih merata dibandingkan dengan stasiun yang lainnya, hal ini dapat dilihat dari indeks keseragamannya yang mendekati nilai 0,5. Ini juga berarti bahwa pada stasiun tersebut dalam keadaan yang relatif lebih seimbang sehingga kurang terjadinya persaingan terhadap tempat dan makanan, dengan kata lain karena kondisi stasiun 3 dan 4 tidak ada tekanan terhadap biota yang ada di sekitar stasiun tersebut. Hal ini dimungkinkan oleh tidak adanya aktifitas lain yang memberikan tekanan, kecuali hanya industri crumb rubber saja. Nilai indeks dominasi (D) pada perairan Sungai Batanghari berturut-turut adalah stasiun 1 (0,914), stasiun 2 (0,749), stasiun 3 (0,491), stasiun 4 (0,455), stasiun 5 (0,579) dan stasiun 6 (0,706) (Tabel 24). Nilai indeks dominasi yang mendekati nol (0) berarti tidak ada jenis yang mendominasi, tetapi jika nilai indeks dominasi mendekati satu (1) berarti ada jenis yang dominan muncul (Simpson dalam Wilhm, 1975). Berdasarkan indeks dominasi tersebut, maka pada stasiun 1, 2 dan 6 ada jenis-jenis tertentu yang mendominasi sehingga mengakibatkan nilai indeks dominasinya mendekati angka satu (1). Sedangkan pada stasiun 3, 4, dan 5 tingkat dominasinya sedang. Di duga dari keenam stasiun tersebut, perairannya mengandung bahan yang bersifat toksik seperti kadar logam berat dalam sedimen secara langsung ataupun tidak langsung menekan jenis makrozoobenthos yang berada di perairan sehingga hanya jenis yang mampu beradaptasi dengan gangguan yang ada saja yang mampu bertahan,
91
sedangkan bagi jenis yang tidak mampu bertahan dengan gangguan yang ada maka jenis tersebut akan tersingkir atau menghilang. Jenis bentos lebih banyak terpapar oleh perubahan-perubahan lingkungan dan oleh karena itu struktur komunitasnya menunjukkan bahwa jenis ini mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya (Kalagou et. al, 2006). Dari hasil uji korelasi spearman antara kualitas air dengan indeks keseragaman menunjukkan korelasi yang nyata pada tingkat α = 0,05 (Lampiran 5). Di mana korelasinya negatif, penurunan kualitas air akan menyebabkan peningkatan keseragaman dari komunitas makrozoobenthos. Sedangkan indeks diversitas dan dominasi menunjukkan korelasi yang tidak nyata. Hal ini dikarenakan tidak adanya korelasi langsung antara kualitas air dengan indeks-indeks tersebut. Hubungan indeks komunitas bentik dan kualitas air menunjukkan bahwa
Disolved
Oxygen
(DO)
dan
temperatur
mempengaruhi
keanekaragaman komunitas bentiknya (Kagalou et. al, 2006). Perubahan komunitas makrozoobenthos ditunjukkan oleh interaksi yang kompleks antara variabel-variabel lingkungan. Meskipun begitu, faktor yang sangat penting mempengaruhi distribusi jenis makrozoobenthos adalah kecepatan arus (berhubungan dengan temperatur air), tinggi air, tidak adanya penambahan dan subrat dasar, khususnya jumlah pasir dan kerikil (Elexová dan Némethowá, 2003).
5.4.3. Ikan Evaluasi produksi perikanan tangkap di Sungai Batanghari didasarkan pada data-data produksi perikanan tangkap dari Laporan Tahunan Sub-Dinas Perikanan Kota Jambi. Penekanan evaluasi data produksi dan data perikanan lainnya dilakukan pada data yang ada di Kecamatan Jambi Timur dan Kecamatan Pelayangan, di mana lokasi penelitian merupakan bagian dari wilayah tersebut. Hal ini disebabkan tidak adanya data yang spesifik yang menjelaskan tentang hasil produksi perikanan tangkap di Sungai Batanghari.
92
Perkembangan produksi perikanan perairan Sungai Batanghari Kecamatan Jambi Timur dan Kecamatan Pelayangan, pada saat ini memberikan kontribusi hingga 25% dari total produksi perikanan tangkap di Kota Jambi, selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Walaupun telah terjadi penurunan kualitas air Sungai Batanghari akibat kegiatan industri karet remah, namun parameter fisika-kimia perairan sungai masih berada di dalam baku mutu yang memungkinkan untuk menunjang kehidupan biota perairan, khususnya ikan.
Tangkapan Ikan di Sungai Batanghari
Ju m lah Ikan T an g kap an (to n )
80 70 60 50
Kec. Pelayangan
40
Kec. Jambi Timur
30 20 10 0 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 20. Tangkapan Ikan di Perairan Sungai Batanghari Tahun 2003 -2005
Bila dilihat dari jenis tangkapan ikan (Lampiran 8) yang diperoleh, maka telah terjadi penurunan. Hal ini diduga karena adanya kecenderungan kelebihan tangkap terutama terhadap jenis-jenis yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, seperti belida dan jelawat. Hoggarth et al. (1999) dalam Triyanto dan Tjandra Chrismadha (2007) mengemukakan bahwa pada sistem perikanan yang multispesies, tingkat eksploitasi yang berlebihan pada suatu jenis akan menekan populasi ikan jenis tersebut dan digantikan oleh peningkatan populasi jenis ikan lainnya. Data perikanan tangkap memperlihatkan penurunan produksi jenis-jenis ikan bernilai ekonomis tinggi tersebut dikompensasi oleh kenaikan produksi jenis-jenis ikan yang nilai ekonomisnya lebih rendah, seperti ikan tawes dan ikan sepat.
93
5.5. Aspek Sosial Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat 5.5.1. Sosial Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat Perubahan kualitas air pada suatu perairan sungai tidak hanya dilihat dari kondisi fisik, kimia dan biota perairannya saja. Tetapi harus didukung juga oleh data keadaan sosial ekonomi masyarakat yang bermukim di sepanjang pinggiran sungai tersebut, khususnya masyarakat yang masih menggunakan air sungai untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Di sisi lain, aktivitas masyarakat yang berada di pinggiran sungai dapat menyebabkan penurunan kualitas air sungai. Penurunan kualitas air sungai tersebut selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai tersebut. Berdasarkan penelitian terhadap aspek sosial masyarakat yang berada di sepanjang pinggiran sungai dan dekat dengan industri karet remah, responden yang diwawancarai sebanyak 110 orang. Dari 110 responden tersebut, 58,2% (64) responden adalah laki-laki dan sisanya 41,8% (46) responden adalah perempuan. Umur dari reponden berkisar antara 18 – 73 tahun dengan rincian sebagai berikut : 15,5% berusia 15 – 29 tahun, 62,7% berusia 30 – 59 tahun dan 21,8% berusia 60 tahun atau lebih (Lampiran 6). Dilihat dari tingkat pendidikannya, maka terdapat 5,5% (6) responden tidak sekolah, 13,6% (15) responden pernah sekolah SD tapi tidak tamat, 34,6% (38) responden berpendidikan SD, 22,7% (25) responden berpendidikan SLTP, 22,8% (25) responden berpendidikan SLTA dan 0,9% (1) responden berpendidikan Perguruan Tinggi (Lampiran 6). Ditinjau dari fungsi Sungai Batanghari sebagai sarana perhubungan, pengairan dan perikanan, menyebabkan ada beragam mata pencaharian masyarakat yang berada di sekitar pinggirannya dan lokasi industri karet remah. Dari kalangan responden menunjukkan bahwa 4,6% buruh tani, 1,8% petani pemilik, 0,9% nelayan, 0.9% pemilik tambak, 11,8% buruh industri, 10% buruh lainnya, 13,6% pedagang/warungan, 2,7% pegawai negeri, 1,8% guru madrasah, 8,2% pensiunan, 18,2% ibu rumah tangga, 7,3% tukang perahu, 3,6% tukang ojek, 13,6% swasta dan 0,9% sisanya adalah tidak bekerja (Lampiran 6 dan Gambar 21).
94
Jenis Pekerjaan Responden
Buruh Tani Petani Pemilik
1% 14%
Nelayan
5% 1% 2% 1%
Pemilik Tambak Buruh Industri
12%
Buruh Lainnya
4%
Pedagang/warungan 7%
Pegawai Negeri 10%
Guru Madrasah Pensiunan Ibu Rumah Tangga
17%
Tukang Perahu
13% 8%
Tukang Ojek
2%3%
Swasta Tidak Bekerja
Gambar 21. Jenis Pekerjaan Responden Sebagian besar responden merupakan masyarakat yang telah lama tinggal di sekitar pinggiran sungai dan dekat industri karet remah yaitu, 78,2% lebih dari 5 tahun tinggal di lokasi penelitian, 10,9% berkisar 1 – 5 tahun tinggal di lokasi tersebut dan sisanya sebesar 1,8% kurang dari 1 tahun (Lampiran 6). Adanya sebagian besar masyarakat yang telah lamanya tinggal di sekitar lokasi penelitian menunjukkan adanya interaksi yang telah berlangsung lama antara masyarakat dengan sungai Batanghari dan industri karet remah. Di sisi lain, ada masyarakat yang bekerja di industri tersebut yaitu 13 responden atau 11,8%. Bila dilihat dari pendapatan responden maka dapat dibagi menjadi 56% (62) responden berpendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan, 41% (45) responden berpendapatan berkisar antara Rp 1 juta – Rp 2 juta dan 3% (3) responden berpendapatan di atas Rp 2 juta (Lampiran 6 dan Gambar 22). Pendapatan Responden
Kurang dari Rp. 1 juta Rp. 1 juta s/d Rp. 2 juta 3%
Di atas Rp. 2 juta
41% 56%
Gambar 22. Pendapatan Responden
95
Kondisi Bangunan Rum ah
17% 2%
Tembok 1/2 Tembok Papan/Kayu
81%
Gambar 23. Kondisi Bangunan Rumah Pemukiman masyarakat di sepanjang pinggiran Sungai Batanghari berbentuk rumah panggung. Sebagian besar bangunan tersebut telah dibangun dalam waktu yang cukup lama dan ada beberapa merupakan bangunan tua. Namun cukup kokoh karena dibangun dengan kayu yang berkualitas baik. Oleh karena itu dari 110 responden, 81% kondisi bangunan rumahnya terbuat dari papan/kayu, 17% yang dibangun dengan tembok dan 2% saja yang merupakan bangunan setengah tembok. Bangunan tembok dan setengah tembok itu termasuk bangunan-bangunan baru (Gambar 23). Pengelolaan sampah yang biasa dilakukan oleh masyarakat sepanjang Sungai Batanghari yaitu 49% dibakar, 27% tidak diolah, 20% dibuang ke TPA, ditimbun dengan tanah dan dibakar serta 1% ditimbun dengan tanah. Dari 110 responden yang memilih jenis tempat pembuangan sampah yaitu, 24% tong/bak sampah, 22% di lubang sampah, 25% dikumpulkan di halaman, 24% dibuang ke sungai dan 5% di sembarang tempat (Lampiran 6 dan Gambar 24).
Jenis Pembuangan Sampah
Cara Pengolahan Sampah Tidak diolah
25%
24%
Tong/bak Sampah Lubang Sampah Sembarang Tempat
20%
27%
3%
Dibakar
Sungai 24%
22% 5%
Ditimbun dengan tanah
1%
Dikumpulkan di halaman 49%
Ditimbun dengan tanah & dibakar Dikumpulkan & dibuang di TPA
Gambar 24. Jenis Tempat Pembuangan dan Cara Pengolahan Sampah
96
Kebiasaan masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari dalam penggunaan air sungai untuk mandi cuci masih cukup besar yaitu mencapai 45% dari responden. Namun hanya sekitar 5% saja yang masih menggunakannya untuk masak. Sisanya untuk keperluan memasak menggunakan PAM/ledeng 47%, sumur gali 38% dan masing-masing 5% berasal dari sumur artesis dan membeli air (air kemasan). Sedangkan untuk mandi cuci sisanya, 27% menggunakan PAM/ledeng, 25% dari sumur gali dan 3% dari sumur artesis (Lampiran 6 dan Gambar 25). Perubahan penggunaan air sungai secara langsung untuk keperluan memasak lebih banyak dipengaruhi oleh adanya penurunan kualitas air sungai dan kesadaran masyarakat karena semakin tingginya tingkat pengetahuan
masyarakat.
Sebanyak
5%
masyarakat
yang
masih
menggunakan air untuk memasak pada umumnya adalah masyarakat yang tinggal di rumah terapung dan Kelurahan Sijenjang . Di mana masih terdapat ± 20 Kepala Keluarga yang tinggal di rumah terapung yang terletak di 2 (dua) RT di Kelurahan Tahtul Yaman yaitu RT 11 dan 12 serta masyarakat Kelurahan Sijenjang masih belum mendapatkan pelayanan air bersih dari PDAM. Sebagian masyarakat di Kelurahan Sijenjang mendapatkan air bersih dari industri karet remah (crumb rubber).
Air Untuk Masak
Air Untuk Mandi/Cuci
Sumur Gali 5% 5%
25%
Sumur Artesis
Sumur Gali
38%
45%
Sumur Artesis
PAM/ledeng 3%
47% 5%
Beli Air (termasuk Air Kemasan)
PAM/ledeng Sungai
27%
Sungai
Gambar 25.
Sumber Air yang Digunakan Masyarakat Untuk Keperluan Rumah Tangga.
Berdasarkan hasil analisis statistik (korelasi rank spearman) menunjukkan bahwa penggunaan air Sungai Batanghari pada berbagai stasiun untuk mandi dan cuci memperlihatkan tidak adanya korelasi nyata
97
dan berhubungan positif terhadap kualitas air. Dengan menurunnya kualitas air maka penggunaan air sungai untuk mandi dan cuci juga cenderung menurun. Di lain pihak, berkurangnya penggunaan air Sungai Batanghari oleh masyarakat tidak selalu disebabkan karena penurunan kualitas air, tapi juga disebabkan oleh faktor pendidikan, pendapatan dan kompensasi dari pihak lain. Dari hasil analisis korelasi spearman, penggunaan air Sungai Batanghari untuk mandi, cuci menunjukkan korelasi nyata dengan tingkat pendapatan. Dalam membuang hajatnya, masyarakat yang tinggal di pinggiran Sungai Batanghari masih cukup besar yang membuangnya di perairan Sungai Batanghari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masih ada 44% yang membuang hajatnya di sungai, 52% di jamban keluarga dan 4% di jamban umum. Dari semuanya, hanya 50% yang memiliki septik tank kedap, sisanya 54% menyalurkan di sungai dan 6% cubluk (Lampiran 6 dan Gambar 26).
Tempat Buang Hajat
4% 44%
Sungai Jamban Keluarga
52%
Jamban Umum
Gambar 26. Tempat Buang Hajat Masyarakat Cukup besarnya penggunaan sungai sebagai tempat membuang hajat oleh masyarakat dipengaruhi oleh kultur budaya (kebiasaan), di mana masyarakat merasa lebih nyaman bila membuang hajatnya di perairan sungai dengan jamban-jamban terapung mereka. Walaupun ada sebagian responden yang telah memiliki septik tank (WC) di rumah mereka, tetapi mereka masih
98
tetap cenderung lebih banyak menggunakan sungai sebagai tempat membuang hajat mereka. Kebiasaan masyarakat ini memungkinkan timbulnya dampak terhadap kesehatan terutama terhadap penggunaan air. Exkreta yang dibuang ke perairan merupakan cara transport utama bagi penyakit bawaan air
(Sumirat, 2007) dan potensial
mengandung
mikroorganisme pantogen (Abel, 1989). Kualitas mikrobiologi perairan berhubungan dengan pencemaran oleh fecal manusia (Shibata et. al, 2004). Penggunaan air Sungai Batanghari yang telah mengalami penurunan kualitasnya untuk mandi dan cuci akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Pencemaran mikrobiologi oleh bakteri, virus dan protozoa atau mikroorganisme lainnya dan selanjutnya sangat beresiko terhadap penggunaan air untuk minum atau penggunaan lainnya oleh manusia langsung maupun tidak langsung (Asano dan Cotruvo, 2004). Pencemaran
mikrobiologi di perairan merupakan penyebab utama
terinfeksinya suatu penyakit dan salah satunya yang utama adalah diare yang bersifat kronik (Wenhold dan Feber, 2009). Parameter E. Coli merupakan standar dasar yang digunakan untuk menentukan adanya mikrobiologi pantogen. Hal ini dapat diidentifikasi dari keluhan masyarakat terhadap penyakit yang timbul. Keluhan penyakit yang berkaitan langsung dengan penggunaan air sungai adalah penyakit kulit (gatal-gatal, kadas, kurap dan panu) dan penyakit perut (muntaber, tipus, kolera, disentri). Dari wawancara dengan responden yang mengalami penyakit perut 2% dan penyakit kulit (gatal-gatal) 8%. Sisanya, 57% tidak ada keluhan sakit, 28% influensa, 2% dan 3% selanjutnya penyakit influensa dan penyakit gatal-gatal serta penyakit lainnya (Lampiran 6 dan Gambar 27).
99
Penyakit yang diderita Tidak sakit Influensa 2%
8%
2%3% Penyakit Perut
28%
57%
Penyakit Gatal-gatal Influensa dan penyakit gatal-gatal Lainnya
Gambar 27. Jenis Penyakit yang Diderita oleh Masyarakat Penyakit, sanitasi dan higienis berhubungan erat dengan air. Di mana air, sanitasi dan higienis secara bersamaan berpotensi menimbulkan penyakit, termasuk jalur penularannya. Penularan yang dapat terjadi yaitu : (1) masuknya pencemaran ke perairan seperti mikroorganisme pantogen dan pencemar kimia; (2) tidak higienis (misalnya penyakit scarbies dan trachoma) disebabkan oleh kekurangan air; (3) buruknya kebersihan seseorang, domestik dan pertanian karena adanya pencemaran air untuk irigasi dan mencuci; (4) bersentuhan dengan air tercemar (misalnya Schitosoma spp); (5) tempat hidup vektor penyakit (misalnya malaria) (Wenhold dan Feber, 2009). Dari pengamatan, masyarakat yang menggunakan air sungai untuk mandi dan cuci tidak merasakan keluhan apa-apa karena menganggap hal itu telah terbiasa bagi mereka. Berdasarkan data kunjungan pasien yang mengeluh sakit di puskesmas lokasi penelitian selama tahun 2007 dapat ditunjukkan bahwa penyakit perut dan penyakit kulit termasuk dalam 10 penyakit terbesar yang di derita oleh masyarakat (Lampran 8). Hal ini mengindikasikan bahwa ada hubungannya dengan kualitas air yang mereka gunakan untuk mandi dan cuci (Gambar 28 dan 29).
100
Penyakit Terbesar di Puskesmas Sijenjang 160 Penyakit lain saluran nafas atas Penyakit lainnya (Gastritis) Penyakit lainnya (Rhematik) Penyakit kulit alergi
140 Ju m lah P asien
120 100 80 60 40
Penyakit Kulit Infeksi
20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Bulan
Gambar 28. Penyakit Terbesar di Puskesmas Sijenjang Tahun 2007
Penyakit Terbesar di Puskemas Tahtul Yaman 700
Infeksi Akut Lain Saluran Nafas Atas
Jum lah P asien
600 500 400
Penyakit Sistem Otot Jaringan Ikat
300
Penyakit kulit alergi
200 100
Diare
0 1
2
3
4
5
6
7
Bulan
8
9
10 11 12
Penyakit Tekanan Darah Tinggi
Gambar 29. Penyakit Terbesar di Puskesmas Tahtul Yaman Tahun 2007
5.5.2. Persepsi Masyarakat Keberadaan industri karet remah di sepanjang Sungai Batanghari dan sekitar pemukiman penduduk menimbulkan berbagai penilaian dan persepsi masyarakat. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dari 110 responden, ternyata ada 52% (58) responden yang menyatakan setuju atas keberadaan industri karet remah, 14% menyatakan tidak setuju dan 34% menyerahkannya kepada kebijakan pemerintah (Gambar 30).
101
Pernyataan setuju yang mereka sampaikan didasarkan pada banyaknya keuntungan yang mereka peroleh, seperti terbukanya kesempatan bekerja di industri tersebut, adanya keperdulian industri karet remah terhadap berbagai aktivitas masyarakat di sekitarnya. Pernyataan ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh para pemuka masyarakat yang ada di daerah tersebut. Pernyataan tidak setuju lebih banyak berasal dari masyarakat yang merasa terganggu dengan dampak negatif yang ditimbulkan dari industri karet remah tersebut, baik berupa limbah cair, gas dan limbah padatnya. Sedangkan yang menyerahkan kondisinya kepada kebijakan pemerintah adalah masyarakat yang tidak merasakan secara langsung keuntungan maupun dampak negatif yang ditimbulkan oleh keberadaan industri tersebut.
Persepsi Masyarakat Terhadap Industri Karet Remah
Setuju
34%
Tidak Setuju 52%
Terserah Pemerintah
14%
Gambar 30. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Industri Karet Remah
5.5.3. Peranan Industri Karet Remah (Crumb Rubber) dalam Perekonomian Kota Jambi Struktur perekonomian Kota Jambi dianalisis berdasarkan Tabel IO Tahun 2007 klasifikasi 36 sektor terlihat pada Tabel 25 berikut:
102
Tabel 25. Sektor-sektor dalam Tabel IO Kota Jambi Updating Klasifikasi 36 Sektor Tahun 2007. KODE IO SEKTOR Tanaman Bahan Makanan 1 Perkebunan Karet 2 Tanaman Perkebunan Lainnya 3 Pertenakan dan Hasil-hasilnya 4 Kehutanan 5 Perikanan 6 Pertambangan dan Penggalian 7 Industri Minyak dan Gas Bumi 8 Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 9 Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 10 Industri Barang dari Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 11 Industri Kertas dan Barang Cetakan 12 Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Plastik 13 Industri Karet Remah 14 Industri Semen dan Galian Bukan Logam 15 Industri Logam Dasar Besi dan Baja 16 Industri Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 17 Industri Barang Lainnya 18 Listrik 19 Air Bersih 20 Kontruksi 21 Perdagangan Besar dan Eceran 22 Hotel 23 Restoran 24 Angkutan Jalan Raya 25 Angkutan Laut, Sungai, Danau dan Penyeberangan 26 Angkutan Udara 27 Jasa Penunjang Angkutan 28 Komunikasi 29 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 30 Jasa Real Estate 31 Jasa Perusahaan 32 Jasa Pemerintahan Umum 33 Jasa Sosial Kemasyarakatan 34 Jasa Hiburan dan Rekreasi 35 Jasa Perorangan dan Rumah Tangga 36 Sektor industri yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sektor industi karet remah. Guna melihat peranan dan kontribusinya terhadap perekonomian Kota Jambi sehingga dapat dilihat bagaimana keuntungan strategis dari keberadaan industri ini dalam menunjang perekonomian Kota Jambi.
103
Pada periode tertentu, jumlah seluruh permintaan terhadap barang dan jasa di suatu negara/daerah akan mencapai jumlah tertentu. Jumlah permintaan tersebut akan digunakan oleh sektor produksi dalam rangka kegiatan produksinya (biasanya disebut permintaan antara). Permintaan tersebut juga digunakan untuk memenuhi konsumsi akhir domestik (konsumsi rumah tangga & yayasan nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal dan perubahan stok). Selebihnya digunakan untuk ekspor (baik untuk luar negeri maupun provinsi lainnya, khususnya analisis untuk suatu provinsi) (Badan Pusat Statistik, 2008). Apabila dilihat dari sisi penawaran, barang dan jasa yang ditawarkan di suatu negara/daerah, bisa juga berasal dari produksi luar negara/daerah tersebut atau bahkan dari luar negeri (impor). Berdasarkan tabel 25 dapat dilihat bahwa sektor industri karet remah (sektor 14) mengalami surplus yang relatif besar. Output yang dihasilkan pada sektor ini pada Tahun 2007 mencapai Rp 125.459 juta. Dari jumlah permintaan (penawaran) sebesar angka tersebut di atas digunakan untuk memenuhi konsumsi domestik (permintaan antara oleh sektor produksi) sebesar Rp 1.631 juta dan digunakan sebagai permintaan akhir domestik Rp 18.899 juta, untuk ekspor Rp 106.560 juta. Semua permintaan tersebut dipenuhi oleh produksi domestik. Besarnya output yang dihasilkan dari sektor industri karet remah untuk ekspor membuat sektor ini merupakan salah satu sektor unggulan yang menghasilkan devisa tertinggi bagi Provinsi Jambi. Di mana pada Tahun 2007, devisa yang dihasilkan dari sektor industri karet remah ini mencapai 412,2 juta US dolar. Dilihat dari kontribusi outputnya terhadap perekonomian Kota Jambi, sektor industri karet remah ini hanya menduduki peringkat 16 sebesar Rp 125.459 juta atau 1,14% dari total output perekonomian Kota Jambi. Hal ini dikarenakan komoditi sektor ini dari input primernya (bahan baku) didatangkan dari daerah lainnya di sekitar Kota Jambi. Sedangkan Kota Jambi sendiri tidak memiliki perkebunan karet. Di sisi lain, permintaan dari output sektor ini lebih besar untuk memenuhi permintaan dari luar negeri (ekspor).
104 Tabel 26. Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi Kota Jambi Updating Tahun 2007 (Juta Rupiah)
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
39.575 0 0 21.957 0 1.899 85.415 0 364.608 1.067 41.032 4.242 4.038 1.631 17.827 0 3.847 3.968 100.990 4.935 117.374 1.211.892 30.793 24.797 501.327 43.341 32.586 69.021 38.800 247.837 151.675 1.643 198.747 29.798 10.022 5.657
Permintaan Akhir Domestik Ekspor 54.358 1.467 0 0 0 0 40.932 6.582 0 0 4.505 10.525 190.129 269.509 0 0 910.991 247.655 4.771 13.528 138.732 257.449 5.996 13.964 4.410 3.080 18.899 106.560 18.136 17.345 0 0 7.098 4.561 5.511 32.289 321.176 0 67.604 0 898.380 0 2.015.527 465.049 117.102 12.893 157.139 2.596 1.241.373 495.657 212.251 61.935 282.315 76.252 105.956 7.778 96.938 15.599 381.160 22.901 226.588 119 1.931 9.793 1.134.748 0 131.832 0 15.242 0 27.026 41
Jumlah
3.412.341
8.838.754
Sektor
Permintaan Antara
2.155.129
Jumlah Permintaan
Impor
Output Domestik
55.824 0 0 47.514 0 15.031 459.639 0 1.158.646 18.299 396.180 19.960 7.491 125.458 35.481 0 11.659 37.800 321.176 67.604 898.380 2.480.576 129.995 159.734 1.737.030 274.186 358.567 113.734 112.537 404.061 226.707 11.724 1.134.748 131.832 15.242 27.067
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
55.824 0 0 47.514 0 15.031 459.639 0 1.158.647 18.299 396.180 19.960 7.491 125.459 35.481 0 11.659 37.800 321.176 67.604 898.380 2.480.576 129.994 159.734 1.737.030 274.186 358.567 113.734 112.537 404.061 226.708 11.724 1.134.748 131.832 15.241 27.066
55.824 0 0 47.514 0 15.031 459.639 0 1.158.647 18.299 396.180 19.960 7.491 125.459 35.481 0 11.659 37.800 321.176 67.604 898.380 2.480.576 129.994 159.734 1.737.030 274.186 358.567 113.734 112.537 404.061 226.708 11.724 1.134.748 131.832 15.241 27.066
10.993.883
0
10.993.882
10.993.882
Penawaran
105 Pada Tahun 2007, sektor industri karet remah menyerap tenaga kerja sebanyak 1.758 orang. Sedangkan upah gaji yang diterima oleh tenga kerja sektor ini sebesar Rp 6.187.144 per orang atau 40,17% dari total upah gaji tenaga kerja semua sektor yang sebesar Rp 15.399.705,6 (Tabel 27 dan 28). Tabel 27. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Perekonomian Kota Jambi Tahun 2007.
Peringkat
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Perdagangan besar dan eceran Jasa pemerintahan umum Konstruksi Industri makanan, minuman dan tembakau Angkutan jalan raya Pertambangan dan penggalian Angkutan udara Tanaman bahan makanan Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya Jasa real estat Bank dan lembaga keuangan lainnya Angkuta laut, sungai, danau & penyeberangan Restoran Listrik Komunikasi Industri karet remah Jasa sosial kemasyarakatan Jasa penunjang angkutan Hotel Peternakan dan hasil-hasilnya
Penyerapan Persentase TK 49.034 16.409 11.882 8.948 8.777 7.522 4.854 4.417 4.347 3.603 3.257 3.022 2.417 2.329 1.990 1.758 1.561 1.413 1.033 740
34,4 11,5 8,3 6,3 6,2 5,3 3,4 3,1 3,0 2,5 2,3 2,1 1,7 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0 0,7 0,5
Sumber : Tabel IO Kota Jambi Updating Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (diolah)
106
Tabel 28. Upah Gaji Sektor Perekonomian Kota Jambi Tahun 2007 (juta rupiah). Peringkat
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jasa pemerintahan umum Perdagangan besar dan eceran Konstruksi Angkutan jalan raya Industri makanan, minuman dan tembakau Bank dan lembaga keuangan lainnya Angkutan udara Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya Pertambangan dan penggalian Angkuta laut, sungai, danau & penyeberangan Restoran Jasa real estat Komunikasi Jasa sosial kemasyarakatan Jasa penunjang angkutan Listrik Industri karet remah Air bersih Hotel Industri semen dan galian bukan logam
Upah Gaji
Persentase
723.423 387.005 220.005 154.905 146.788 87.636 85.591 64.930 56.892 36.063 35.913 30.147 29.191 26.105 16.379 11.360 10.877 10.295 10.232 8.279
32,9 17,6 10,0 7,1 6,7 4,0 3,9 3,0 2,6 1,6 1,6 1,4 1,3 1,2 0,7 0,5 0,5 0,5 0,5 0,4
Sumber : Tabel IO Kota Jambi Updating Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (diolah) Nilai tambah bruto (NTB) merupakan balas jasa terhadap penggunaan faktor-faktor yang terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung. Total nilai tambah bruto perekonomian Kota Jambi mencapai Rp 5.676.482 juta. Nilai tambah bruto sektor industri karet remah sebesar Rp 31.163 juta bersumber upah gaji sebesar Rp 10.877 juta (34,90%), surplus usaha sebesar Rp 18.912 juta (60,69%), penyusutan sebesar Rp 891 juta (2,86%) dan pajak tak langsung sebesar Rp 483 juta (1,55%). Nilai tambah tersebut belum memperhitungkan tenaga kerja yang bekerja di sektor yang bersangkutan (Tabel 29). Dengan membagi nilai tambah bruto dengan jumlah penggunaan tenaga kerja akan diperoleh produktivitas rata-rata tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja industri karet remah menduduki peringkat
107 19 dari sektor-sektor yang ada yaitu sebesar 17,73. Sektor bank dan lembaga keuangan lainnya memiliki produktivitas tertinggi sebesar 78,90. Hal ini tidak berarti apa-apa tetapi hanya menunjukkan bahwa sektor industri karet remah termasuk sektor yang padat tenaga kerja (labor intensive) sementara sektor bank dan lembaga keuangan lainnya lebih sedikit menggunakan tenaga kerja atau padat modal (capital intensive). Komposisi input industri karet remah lebih banyak berasal dari impor. Berdasarkan asumsi proporsionalitas yang menyatakan bahwa total input yang dibutuhkan sama dengan total output yang dihasilkan oleh suatu sektor, maka untuk menghasilkan satu satuan output industri karet remah dibutuhkan 0,188 satuan input antara dan 0,248 satuan input primer, sisanya sebesar 0,564 satuan merupakan impor. Tingginya penggunaan impor untuk menghasilkan output sektor ini dikarenakan sebagian besar input antaranya berasal dari sektor perkebunan karet. Sedangkan Kota Jambi tidak memiliki lahan perkebunan karet. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut Kota Jambi mendatangkannya dari daerah kabupaten sekitarnya. Dengan kata lain sektor industri karet remah ini merupakan sektor penunjang perekonomian di daerah kabupaten sekitarnya yang memiliki lahan perkebunan karet. Hal ini sesuai dengan tujuan Kota Jambi yang ingin mengembangkan Kota Jambi sebagai kota industri dan jasa yang berbasis pada pengembangan industri hasil pertanian. Dilihat dari keterkaitan sektor industri karet remah ini ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage) dalam perekonomian Kota Jambi, sektor ini memiliki nilai keterkaitan output langsung ke depan sebesar 0,0431 menunjukkan bahwa setiap peningkatan permintaan akhir output sektor industri karet remah sebesar satu satuan akan menyebabkan peningkatan output sektor lain yang terkait langsung dengan industri ini sebesar 0,0431 satuan. Nilai keterkaitan ini menunjukkan kemampuan sektor bersangkutan mendorong perkembangan sektor-sektor lain melalui penyediaan output yang digunakan sebagai bahan baku produksi sektor lain. Semakin tinggi nilai keterkaitan output ke depan berarti semakin besar kemampuan suatu sektor mendorong pertumbuhan sektor lainnya, demikian juga sebaliknya. Ini berarti bahwa sektor industri karet remah tidak dapat dijadikan sektor basis dalam memicu pertumbuhan perekonomian Kota Jambi.
108
Tabel 29. Nilai Tambah Bruto (NTB) dan Produktivitas Sektor Perekonomian Kota Jambi Tahun 2007
Peringkat
Kode
NTB
Penyerapan Peringkat Produktivitas TK Produktivitas
1 Perdagangan besar dan eceran 49.034 1.232.834 25,14 2 Jasa pemerintahan umum 16.409 760.964 46,37 3 Angkutan jalan raya 8.777 622.132 70,88 4 Industri makanan, minuman dan tembakau 8.948 583.166 65,17 5 Pertambangan dan penggalian 7.522 375.463 49,92 6 Konstruksi 11.882 365.271 30,74 7 Bank dan lembaga keuangan lainnya 3.257 260.226 79,90 8 Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya 4.347 235.218 54,11 9 Angkutan udara 4.854 179.154 36,91 10 Jasa real estat 3.603 176.063 48,87 11 Listrik 2.329 154.147 66,19 12 Angkuta laut, sungai, danau & penyeberangan 3.022 133.782 44,27 13 Restoran 2.417 97.855 40,49 14 Komunikasi 1.990 81.040 40,72 15 Jasa penunjang angkutan 1.413 63.163 44,70 16 Jasa sosial kemasyarakatan 1.561 59.434 38,07 17 Hotel 1.033 48.461 46,91 18 Tanaman bahan makanan 4.417 45.152 10,22 19 Peternakan dan hasil-hasilnya 740 35.427 47,87 20 Industri karet remah 1.758 31.163 17,73 Sumber : Tabel IO Kota Jambi Updating Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (diolah)
18 10 2 4 6 17 1 5 16 7 3 12 14 13 11 15 9 20 8 19
109 Tabel 30. Keterkaitan Output Ke Depan dan Ke Belakang Sektor Perekonomian Kota Jambi Tahun 2007 Kode
Sektor Perekonomian
Keterkaitan ke Belakang Lgs & tdk Langsung lgs 0,1116 0,887106
Keterkaitan ke Depan Lgs & tdk Langsung lgs 0,0781 0,851624
01
Tanaman bahan makanan
02
Perkebunan karet
0,0000
0,763867
0,0000
0,763867
03
Tanaman perkebunan lainnya
0,0000
0,763867
0,0000
0,763867
04
Peternakan dan hasil-hasilnya
0,1673
0,955596
0,0638
0,827044
05
Kehutanan
0,0000
0,763867
0,0000
0,763867
06
Perikanan
0,1151
0,895726
0,0092
0,772034
07
Pertambangan dan penggalian
0,1337
0,906538
0,2610
1,009285
08
Industri migas
0,0000
0,763867
0,0000
0,763867
09
Industri makanan, minuman dan tembakau
0,3394
1,144305
0,6196
1,563215
10
Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki
0,2175
1,014863
0,0054
0,768576
11
Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya
0,2722
1,068240
0,1128
0,862994
12
Industri kertas dan barang cetakan
0,1868
0,975609
0,0189
0,781910
13
Industri pupuk, kimia dan barang dari plastik
0,3278
1,126345
0,0267
0,787026
14
Industri karet remah
0,1878
0,983336
0,0431
0,797220
15
Industri semen dan galian bukan logam
0,3042
1,092866
0,0252
0,790082
16
Industri logam dasar besi dan baja
0,0000
0,763867
0,0000
0,763867
17
Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya
0,2941
1,104355
0,0092
0,773640
18
Industri barang lainnya
0,2871
1,083770
0,0084
0,773667
19
Listrik
0,2946
1,093011
0,3499
1,145003
20
Air bersih
0,2916
1,092105
0,0261
0,789379
21
Konstruksi
0,2990
1,094017
0,3042
1,094003
22
Perdagangan besar dan eceran
0,3787
1,170730
3,3195
4,082923
23
Hotel
0,3067
1,108415
0,0717
0,836469
24
Restoran
0,2772
1,073382
0,0699
0,846556
25
Angkutan jalan raya
0,4017
1,238423
0,5843
1,459572
26
Angkuta laut, sungai, danau & penyeberangan
0,2829
1,080980
0,1639
0,920821
27
Angkutan udara
0,2662
1,056243
0,0971
0,860298
28
Jasa penunjang angkutan
0,2924
1,075175
0,2066
0,963567
29
Komunikasi
0,1557
0,922960
0,1686
0,941270
30
Bank dan lembaga keuangan lainnya
0,2003
0,964511
0,3971
1,382481
31
Jasa real estat
0,1316
0,905027
0,2704
1,114209
32
Jasa perusahaan
0,2014
0,977176
0,0085
0,772298
33
Jasa pemerintahan umum
0,2557
1,057646
0,1249
1,122923
34
Jasa sosial kemasyarakatan
0,2705
1,071853
0,0809
0,842674
35
Jasa hiburan dan rekreasi
0,2452
1,032510
0,1019
0,854584
36 Jasa perorangan dan rumahtangga 0,1602 0,0294 0,927849 Sumber : Tabel IO Kota Jambi Updating Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen (diolah)
0,793320
110 Sektor industri karet remah memiliki keterkaitan output langsung dan tidak langsung ke depan yang relatif cukup besar dengan nilai 0,7972. Angka keterkaitan output langsung dan tidak langsung (daya kepekaan) ini mempunyai makna yang lebih luas dalam menggambarkan keterkaitan antar sektor dalam suatu perekonomian. Angka keterkaitan sebesar 0,7972 pada sektor industri karet remah menunjukkan sektor ini mempunyai keterkaitan ke depan secara langsung dan tak langsung yang cukup kuat untuk mendorong sektor di depannya yang memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung. Setiap peningkatan satu satuan permintaan akhir output sektor industri karet remah akan meningkatkan output sektor lain yang menggunakan sektor ini sebesar 0,7972 satuan. Ditinjau dari keterkaitan output langsung ke belakang maka sektor industri karet remah menempati peringkat yang sangat rendah yaitu 23 dengan nilai keterkaitan sebesar 0,1878. Kecilnya nilai keterkaiatan output langsung ke belakang yang dibawah satu menunjukkan sektor ini sedikit sekali membeli dari sektor produktif dalam negeri lainnya. Setiap peningkatan permintaan akhir output sektor industri karet remah sebesar satu satuan akan meningkatkan kebutuhan input sektor lain yang terkait langsung sebesar 0,1878 satuan termasuk sektor industri karet remah itu sendiri. Keterkaitan output ke belakang langsung dan tak langsung (daya penyebaran) sebesar 0,9833 menunjukkan jika memperhitungkan sektor penyedia input yang tidak terkait langsung dengan sektor industri karet remah maka sektor ini mampu menarik pasar input yang lebih besar. Ini berarti bahwa keberadaan industri karet remah penting bagi sektor-sektor di hulunya seperti perkebunan karet sehingga keberadaannya dibutuhkan untuk mendorong sektor-sektor hulu bangkit. Hal ini sejalan dengan program pemerintah Provinsi Jambi yaitu Program Revitalisasi Perkebunan Karet.
5.6. Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari yang Berwawasan Lingkungan Air merupakan suatu ekosistem, dan air sendiri merupakan bagian sistem hidrologi, sehingga memiliki ciri keselarasan, keseimbangan dan keterpaduan. Oleh karena itu, maka pengelolaan air juga harus mempertimbangkan ciri keselarasan,
111 keseimbangan dan keterpaduan, sehingga diperlukan suatu rencana induk yang dimusyawarahkan dan dimufakatkan diantara stake holders-nya (SLHD Kota Jambi, 2006). Keberhasilan upaya pengendalian pencemaran air tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan mengurangi masukan polutan ke dalam sumber air (berair atau kering), tetapi juga ditentukan oleh keberhasilan menjaga debit/kuantitas air. Kualitas dan kuantitas air ditentukan pula oleh pengelolaan pada catchment areanya sesuai fungsinya (fungsi resapan/fungsi tandon/fungsi ekologis). Oleh karena itu keterpaduan kebijakan tiap instansi dan Pemerintah Daerah (political will) merupakan landasan untuk penyusunan strategi pengelolaan perairan sungai. Salah satu alat analisis yang bisa digunakan untuk merumuskan strategi pengelolaan perairan sungai adalah analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan analisis berbagai faktor secara sistematis didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenght) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat). Faktor internal dalam analisis SWOT adalah kekuatan (strenght) dan kelemahan (weakness), sedangkan faktor eksternal yang dihadapi adalah peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Dengan menganlisis potensi dan permasalahan pengelolaan perairan sungai, maka dapat diidentifikasi variabel-variabel SWOT yang dapat dimanfaatkan untuk menentukan strategi pengelolaan perairan sungai di masa yang akan datang. Matriks SWOT yang secara prinsip akan memberikan kualitas pengelolaan dengan berbagai strategi kebijakan yang baik melalui sinergi faktor internal dan eksternal yang dimiliki. Berdasarkan hasil analisis SWOT, diperoleh hasil berupa arahan pengelolaan perairan Sungai Batanghari. Arahan tersebut dikategorikan menurut jenis dan faktor yang menyebabkan menurunnya kualitas perairan Sungai Batanghari. Dalam analisis SWOT untuk arahan strategi pengelolaan perairan Sungai Batanghari, dihimpun faktor-faktor, seperti disajikan pada tabel-tabel berikut.
112 Tabel 31. Matriks Strategi Faktor Eksternal
Faktor-Faktor Strategi Eksternal (EFAS)
Bobot
Rating
BxR
(B)
(R)
0,163
3
0,489
0,224
4
0,896
0,200
1
0,200
0,202
2
0,404
0,211
2
0,422
Peluang (Opportunities) : O1 Ada dana pengelolaan lingkungan dari pemerintah pusat. O2 Sungai Batanghari memiliki nilai ekonomi yang
dapat
dikembangkan
melalui
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan
sumberdaya
sungai
dan
pemanfaatan
yang
berwawasan
lingkungan. Ancaman (Threat) : T1 Penurunan kualitas Sungai Batanghari mengakibatkan
kerusakan
biodeversity
Sungai Batanghari. T2 Kebiasaan masyarakat yang kurang ramah terhadap lingkungan mengakibatkan beban kerusakan terhadap Sungai Batanghari dan maraknya pembangunan yang menyalahi tata ruang di sepanjang bantaran sungai. T3 Timbul konflik akibat kerusakan sumber daya di sepanjang Sungai Batanghari. Total
1,000
2,411
113 Tabel 32. Matriks Strategi Faktor Internal Faktor-Faktor Strategi Internal (IFAS) Kekuatan (Strenght) : S1 Komutmen pemerintah daerah terhadap lingkungan hidup. S2 Ada tim koordinasi pengelolaan sungai tingkat provinsi (BP DAS Batanghari). S3 Ada program monitoring kualitas air sungai secara rutin dengan memanfaatkan laboratorium yang ada dalam upaya melaksanakan peraturan daerah dalam pengelolaan lingkungan. Kelemahan (Weakness) : W1 Belum kuatnya penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran lingkungan disebabkan masih lemahnya pengawasan di lapangan. W2 Kurangnya koordinasi antar dinas/instansi sehingga pengelolaan perairan Sungai Batanghari masih bersifat sparsial yang menyebabkan terjadinya pencemaran. W3 Keterbatasan anggaran dalam pengelolaan lingkungan mengakibatkan masih kurangnya sarana dan prasarana yang ada dalam menunjang program monitoring kualitas air sungai serta keterbatasan pengembangan sumber daya manusia guna pemahaman terhadap pengelolaan lingkungan. Total
Bobot (B)
Rating (R)
BxR
0,206
4
0,824
0,182
4
0,728
0,152
3
0,456
0,159
1
0,159
0,151
2
0,302
0,150
1
0,150
1,000
2,619
Dari hasil pembobotan (Lampiran 9, 10, 11 dan 12) terhadap faktor-faktor yang berpengaruh seperti Tabel 31 dan 32, diperoleh hasil bahwa faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) lebih kecil pengaruhnya dibandingkan faktorfaktor internal (kekuatan dan kelemahan), terhadap pengelolaan perairan Sungai Batanghari. Rasio antara faktor-faktor eksternal dan internal sebesar 2,411 : 2,619.
114 Selanjutnya, dengan model matriks SWOT, dihasilkan strategi-strategi seperti pada Tabel 33. Tabel 33. Matriks SWOT untuk Strategi Pengelolaan Perairan Sungai Batanghari IFAS EFAS Opportunies (O) O1 O2
Treaths (T) T1 T2 T3
Strengths (S) S 1, S 2, S 3
Weaknesses (W) W1, W2, W3
Menjadikan Sungai ♦ Dengan dukungan dana dari * Batanghari sebagai pemerintah pusat dan sumber daya manusia yang kawasan wisata perairan dengan menata kembali berkualitas, pemerintah kota dapat meningkatkan kawasan bantaran sungai melalui pemberdayaan dan pelaksanaan pengelolaan dan penataan sumber daya partisipasi masyarakat dalam upaya mendorong Sungai Batanghari agar kesejahteraan masyarakat pemanfaatan perairan sungai serta dukungan SDM yang Batanghari memperhatikan berkualitas dengan keberlanjutan ekosistem penerapan “water front lingkungannya (O1, S3, S1). city” untuk mengurangi kebiasaan masyarakat membuang sampah/limbah ke sungai (O2, W1, W3). ◦
Meningkatkan koordinasi ▪ Meningkatkan kualitas antara sektor dan wilayah sumber daya manusia dan (BP DAS Batanghari) dalam koordinasi antar dinas/instansi dalam upaya upaya penguatan kelembagaan dan hukum pencegahan pencemaran limbah di perairan Sungai guna pengelolaan perairan sehingga lebih mudah dalam Batanghari (W2, T2, T3). melaksanakan monitoring dan penentuan kebijakan terhadap kondisi perairan Sungai Batanghari yang mengalami penurunan kualitas airnya akibat pencemaran yang terjadi (S2, S3, T1).
115 Strategi-strategi
di
atas
selanjutnya
diurutkan
menurut
rangking
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Penentuan Prioritas Strategi Pengelolaan Perairan Sungai Batanghari No. 1
2
3
4
Strategi Nilai Prioritas Dengan dukungan dana dari pemerintah pusat dan sumber daya manusia yang berkualitas, pemerintah kota dapat meningkatkan 1 pelaksanaan pengelolaan dan penataan sumber 3 + 4 + 3 = 10 daya Sungai Batanghari agar pemanfaatan perairan sungai Batanghari memperhatikan keberlanjutan ekosistem lingkungannya. Meningkatkan koordinasi antara sektor dan wilayah (BP DAS Batanghari) dalam upaya penguatan kelembagaan dan hukum guna pengelolaan perairan sehingga lebih mudah dalam melaksanakan monitoring dan penentuan kebijakan terhadap kondisi perairan Sungai Batanghari yang mengalami penurunan kualitas airnya akibat pencemaran yang terjadi. Menjadikan Sungai Batanghari sebagai kawasan wisata perairan dengan menata kembali kawasan bantaran sungai melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam upaya mendorong kesejahteraan masyarakat serta dukungan SDM yang berkualitas dengan penerapan “water front city” untuk mengurangi kebiasaan masyarakat membuang sampah/limbah ke sungai. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan koordinasi antar dinas/instansi dalam upaya pencegahan pencemaran limbah di perairan Sungai Batanghari.
4+3+1=8
2
4+1+1=6
3
2+2+2=6
4
Peringkat hasil formulasi strategi pengelolaan perairan Sungai Batanghari di Kota Jambi yang didasarkan pada pendapat pakar di bidang pengelolaan perairan (Lampiran 9 sampai dengan 12) menyatakan bahwa “Dengan dukungan dana dari pemerintah pusat dan sumber daya manusia yang berkualitas, pemerintah kota dapat
116 meningkatkan pelaksanaan pengelolaan dan penataan sumber daya Sungai Batanghari
agar
pemanfaatan
perairan
sungai
Batanghari
memperhatikan
keberlanjutan ekosistem lingkungannya” berada pada prioritas pertama dalam pelaksanaannya. Namun, secara teoritis dan pelaksanaannya lama ini di Indonesia, maka perlu dikaji kembali sebelum diimplementasikan secara nyata di lapangan. Apapun bentuk strategi dan kebijakan pemerintah bila tidak didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas maka tujuan dari pengelolaan itu sendiri tidak akan pernah tercapai. Sumber daya manusia adalah ancaman bagi pelaksanaan kebijakan, strategi, program dan prosedur apabila tidak dikelola dengan baik. Sumber daya manusia adalah intellectual capital yang sangat berharga sebagai kunci sukses pelaksanaan pengelolaan. Di sisi lain peranan pemerintah juga sangat penting guna keberhasilan pelaksanaan strategi pengelolaan perairan ini. Pandangan terhadap lingkungan hidup yang masih sparsial selama ini merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan. Lingkungan hidup masih dianggap sebagai kewajiban dari suatu instansi tertentu saja, tetapi belum dilihat sebagai bagian dari kewajiban bersama. Sehingga dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup selama ini, sering terjadi tumpang tindih antar sektor yang ada. Hal ini disebabkan karena kurangnya koordinasi antar dinas/instansi yang ada di daerah. Oleh sebab itu, adanya kesatuan pandangan terhadap lingkungan hidup menjadi hal yang penting dalam pelaksanaan pengelolaan perairan di daerah. Bahwa lingkungan hidup
merupakan
kewajiban
bersama
dinas/instansi
untuk
menjaga
dan
mengelolanya agar tetap lestari. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan koordinasi antar dinas instansi menjadi hal yang sangat penting dalam pelaksanaan strategi pengelolaan perairan Sungai Batanghari. Strategi pengelolaan perairan Sungai Batanghari tanpa dukungan sumber daya manusia yang berkualitas yaitu sumber daya manusia yang memahami dan memiliki keperdulian terhadap lingkungan hidup serta koordinasi antar dinas/instansi hanya akan menyebabkan tidak terlaksananya pengelolaan perairan Sungai Batanghari secara optimal dan juga hanya memboroskan anggaran pembangunan daerah saja.
117
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil pengukuran indeks STORET menunjukkan bahwa kualitas air Sungai Batanghari berada pada kelas peruntukan IV berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 2. Penurunan kualitas air Sungai Batanghari juga dapat di lihat dari kondisi makrozoobenthosnya yang memiliki indeks keanekaragaman (H) yang berkisar antara 0,37 – 1,521, keseragaman (E) yang berkisar antara 0,111 – 0,454 dan dominasi (D) yang berkisar antara 0,914 – 0,455 mengindikasikan bahwa perairan Sungai Batanghari berada pada tingkat pencemaran sedang hingga berat. 3. Pencemaran yang terjadi tersebut tidak hanya akibat pencemaran limbah dari aktivitas kegiatan industri karet remah saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi Sub DAS Batanghari hilir yang telah mengalami kerusakan dan masih adanya kebiasaan masyarakat yang kurang ramah terhadap lingkungan sehingga meningkatkan beban pencemaran yang terjadi di Sungai Batanghari. Industri karet remah sebagai penyumbang beban pencemaran terhadap Sungai Batanghari secara ekonomi masih sangat dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat di sekitarnya yang sebagian bekerja di industri tersebut. Sedangkan bila dilihat dari sisi perekonomian Kota Jambi, industri tersebut termasuk industri yang padat tenaga kerja sehingga keberadaannya dapat mengatasi salah satu masalah ketenagakerjaan yang ada di Kota Jambi. Kontribusi terbesar yang diberikan oleh industri ini terhadap perekonomian daerah lebih bersifat luas sampai tingkat Provinsi disebabkan ketergantungan daerah kabupaten yang berada di sekitar Kota Jambi yang memiliki perkebunan karet sebagai bahan baku industri tersebut.
118
4. Strategi Pengelolaan Sungai Batanghari yang dapat dilakukan berdasarkan analisis SWOT adalah sebagai berikut (angka dalam kurung merupakan jumlah skor): a. Dengan dukungan dana dari pemerintah pusat dan sumberdaya manusia yang berkualitas, pemerintah kota dapat meningkatkan pelaksanaan pengelolaan dan penataan sumber daya Sungai Batanghari agar pemanfaatan perairan sungai Batanghari memperhatikan keberlanjutan ekosistem lingkungannya (10). b. Meningkatkan koordinasi antara sektor dan wilayah (BP DAS Batanghari) dalam upaya penguatan kelembagaan dan hukum guna pengelolaan perairan sehingga lebih mudah dalam melaksanakan monitoring dan penentuan kebijakan terhadap kondisi perairan Sungai Batanghari yang mengalami penurunan kualitas airnya akibat pencemaran yang terjadi (8). c. Menjadikan Sungai Batanghari sebagai kawasan wisata perairan dengan menata kembali kawasan bantaran sungai melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam upaya mendorong kesejahteraan masyarakat serta dukungan SDM yang berkualitas dengan penerapan “water front city” untuk mengurangi kebiasaan masyarakat membuang sampah/limbah ke sungai (6). d. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan koordinasi antar dinas/instansi dalam upaya pencegahan pencemaran limbah di perairan Sungai Batanghari (6).
6.2. Saran
1. Perlu dilakukan pembinaan secara rutin dan penegakan hukum oleh Pemerintah Daerah terhadap industri karet remah di sepanjang Sungai Batanghari sebagai penyumbang beban pencemaran guna membenahi kinerja pengelolaan pencemaran limbahnya agar menaati baku mutu limbah berdasarkan Keputusan MENLH No. 51/1995.
119
2. Program monitoring kualitas Sungai Batanghari yang telah ada agar dapat ditindaklanjuti
dengan
upaya
melakukan
pengelolaan
agar
dapat
mengembalikan fungsi Sungai Batanghari sesuai dengan peruntukkannya sebagai sumber air bersih masyarakat Kota Jambi. 3. Pengelolaan perairan Sungai Batanghari hendaknya dapat merujuk pada strategi yang telah diformulasikan guna efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya. 4. Perlu adanya kajian-kajian yang lebih komprehensif dan terintegrasi terhadap kondisi kualitas perairan sungai Batanghari guna menunjang pelaksanaan pengelolaan yang berkelanjutan.
120
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, H.R. 2007. Suatu Tinjauan Terhadap Isu Pencemaran Sungai Di Malaysia, 8-9 September 2007, dikemukakan di Persidangan Geografi 2007, UPSI. Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited. John Wiley & Sons. New York, Chichester, Brisbane, Toronto. Alaerts, G. Dan S. S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, Indonesia. Anonim. 1999. Buku Panduan : Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Karet Remah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Anonim. 2006. Laporan Penaatan Baku Mutu Limbah Cair Industri Karet. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Anonim. 2007. Kota Jambi Dalam Angka Tahun 2006. Kerjasama Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Jambi. Anonim. 2004. Himpunan Peraturan di Bidang Lingkungan Hidup, Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan (PPSML UI). Universitas Indonesia. Jakarta. Anonim. 2007. Laporan Monitoring dan Evaluasi Tata Air. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Batanghari. Jambi. Anonim. 2008. Teknik Penyusunan Tabel Input Output. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Anonim. 2008. Analisis Keterkaitan Sektor Ekonomi dengan Menggunakan Tabel Input Output. Kajian Ekonomi Regional NTT. Triwulan I.
Asano, Takashi and Joseph A Cotruvo. 2004. Groundwater recharge with reclaimed municipal wastewater : health and regulatory considerations (Review). Water Research 38: 1941 – 1951. Azwir, L. 2001. Dampak Aktivitas Industri PT. Semen Padang Terhadap Kualitas Air Sungai Limau-Limau (Studi Kasus di Sumatera Barat). [Tesis]. Program Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB Bogor. Aziz, I. J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
121
Barbour, M.T., J. Gerritsen, B.D. Snyder, and J.B. Stribling. 1999. Rapid Bioassessment Protocols for Use in Streams and Wadeable Rivers: Periphyton, Benthic Macroinvertebrates and Fish. Second Edition. EPA 841-B-99-002. US-EPA. Office of Water Washington. D.C. Benndorf, J., B. Wissel, A. F. Sell, U. Hornig, P. Ritter, and W. Böing. 2007. Food Web Manipulation by Extreme Enhancement of Piscivory: An Invertebrate Predator Compensates for the Effect of Planktivorous Fish on A Plankton Community. Limnologica 30: 235 – 245. Bruntland, G. H. 1988. Hari Depan Kita Bersama. Terjemahan PT. Gramedia. Jakarta. Bode, R. W., M. A. Novak, and L. E. Abele. 1996. Quality Assurance Workplan for Biological Stream Monitoring in New York State. NYS Department of Environmental Conservation. Albany. New York. 89 hal. Boyd, Claude. E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific – Amsterdam. Development in Aguaculture and Fisheries Science Vol. 9 Calmano, W., W. Ahlf, and U. Fostner. 1997. Sediment Quality Assessment: Chemical and Biological Approach. Springer-verlag. Berlin Heidelberg. Germany. 1-35. Chenery, H., M. Syrquin, and H. Elkington. 1975. Pattern of Development 1950 – 1970. Oxford University Press. Oxford. Chapman, D. 1996. Water Quality Assessment. E & Fn Spon. London. UK. 626 hal. Chapman, P. M. 1996. Presentation and Intepretation of Sediment Quality Triad Data. Ecotoxicology 5:327-339. Chapman, P. M., F. Wang, C. Janssen, G. Persoone, and H. E. Allen. 1998. Ecotoxicology of Metals in Aquatic Sediments: Binding and Release, Bioavailability, Risk Assessment, and Remediation. Can. J. Fish Aquat. Sci. 55: 2221-2243.
122
Connell, D. W dan G. J Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Universitas Indonesia (UI – Press). Jakarta. Davies, S. P., and L. Tsomides. 1997. Methods for Biological Sampling and Analysis of Maine’s Inland Water. Maine Department of Environmental Protection. Augusta-Maine. 28 hal. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta. Dixon, J. A. dan M. H. Hufschmidt. 1986. Teknik Penilaian Ekonomi terhadap Lingkungan, Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Terjemahan Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Elexová, E. and D. Némethowá. 2003. The effect of abiotic environmental variables on the Danube macrozoobenthoc communities. Limnologica 33: 340 – 354. Environmental Agency. 1969. Water Pollution Control in Japan. Environmental Agency. Tokyo. Fardiaz, S. 1992. Polusi Udara dan Air. Kanisius. Yogyakata. Gaudy, A. F. 1972. Biochemical Oxygen Demand. Water Pollution Microbiology. John Wiley and Sons. New York. Gaudy, A. F. and E. T. Gaudy. 1980. Mocrobiology for Environmental Scientists and Engineers. McGraw-Hill Book Company. New York. Goldman, C. R. dan Horne A. J. 1983. Limnology. London: Mc-Graw Hill International Book Company. Gurnham, C. F. 1965. Industrial Wastewater Control. Academic Press. New York. Hart, C. W., S. L. H. Fuller. 1980. Pollution Ecology of Freshwater Invertebrates. Acad Press. New York. Hasutji, E. N. 1995. Studi Polimorfisme Elektroforetik Esterase Isolat Escherichia Coli Asal Manusia, Babi dan Ayam. [Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Infokita. 2007.Warga di Bantaran Sungai Batanghari Mandi Pakai Air Bercampur Limbah. www.infokito.net [28 Desember 2007].
123
Infojambi.
2008. Migas & Karet Komoditi www.infojambi.com [7 April 2008].
Ekspor
Terbesar
Jambi.
Irwen. 2004. Analisis Beban Pencemaran Lingkungan Pada Sungai Way Seputih Desa Buyut Udik-Buyut Ilir Kabupaten Lampung Tengah. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Kagalou, I., G. Economidis, I. Leonardos, and C. Papaloukas. 2006. Assessment of a Mediterranean shallow lentic ecosystem (Lake Pamvotis, Greece) using benthic community diversity : Respons to Environmental parameters. Limnologica 36: 269 – 278. Kerner, M. 2000. Interaction Between Local Oxygen Deficiencies and Heterotropic Microbial Processes in the Elbe Estuary. Limnologica 30: 137 – 143. Kepmen LH No. 115. 2003. Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Kirschner, A. K. T., G. G. Kavka, B. Velimirov, R. L. Mach, R. Sommer, and A. H. Farnleitner. 2009. Microbiological Water Quality Along the Danube River: Integrating Data From Two Whole-River Surveys and Transnational Monitoring Network. Water Research 43: 3673 – 3684. Kristianto, P. 2004. Ekologi Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta. Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. HarperCollins Publishers, New York. Koessoebiono. 1979. Dasar-dasar Ekologi Umum. Bag. IV (Ekologi Perairan) Sekolah Pascasarjana Program Studi Lingkungan IPB Bogor. Kodrat, K.F. 1992. Studi Pengelolaan Limbah Cair Industri Cold Storage pada Kawasan Industri Medan. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusnoputranto, H. 1997. Air Limbah dan Ekskreta Manusia. Direktor Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Jakarta. La Ode Alirman Afu. 2005. Pengaruh Limbah Organik Terhadap Kualitas Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Lee, C.D., S.B. Wong and L.C. 1978. Benthic Macro Invertebrate and Fish as Biological Indicator of Water Quality, with Reference on Water Pollution. Control in Developing Countries. Bangkok Thailand. Ludwig, J. A., and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. John Wiley and Sons. New York.
124
Legendre, P., and L. Legendre. 2003. Numerical Ecology. Second Edition. Elsevier. Netherland. 853 hal. Long, E. R., and C. J. Wilson. 1997. On The Identification of Toxic Hot Spot Using Measure of The Sediment Quality Triad. Marine Pollution Bulletin 34(6): 373-374. Lind, O. T. 1979. Handbook of Common Methods in Limnology. Second Edition. Mosby Company. St. Louis. London. 199 p. Lukman, D.S., Said dan Triyanto. 2007. Kondisi Lingkungan Sungai-sungai Habitat Ikan Beseng-beseng (Telmatherina ladegesi) di Sulawesi Selatan. Limnotex : Perairan Darat Tropis Di Indonesia. Volume XIV (2): 55 – 65. Nurfianti. 2003. Pencirian Limbah dan Karet Hasil Olahan Lateks Skim. Jurusan Kimia. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB Bogor. Nedi. 1997. Kajian Kualitas Sungai Siak di Kotamadya Pekanbaru dan Kecamatan Siak Kabuaten Bengkalis. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB Bogor. Ningsih, U. 2002. Kajian Berbagai Jenis Membran Untuk Pemisahan Mikroalga Dari Limbah Cair Industri Karet. [Tesis]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor. Manan. 1997. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. IPB Pres Bogor. Mahida, U.N. 1986. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Penerbit CV. Rajawali. Jakarta. Mason, C.F. 1981. Biology of Fresh Water Pollution. Longman. New York. 250p. McNeely, R.N., Neimanis, L. Dwyer. 1979. Water Quality Sourcebook. A guide to Water Quality. Branch Ottawa. Canada. Matthaei, C. D., C. J. Arbukle, and C. R. Townsend. 2000. Stable Surface Stones as Refugia for Invertebrates During Disturbance in a New Zealand Stream. J. N. Am. Benthol Soc.19(1): 82-93. Manolakos, E., H. Virani, and V. Novotny. 2007. Extracting Knowledge on The Links Between The Water Body Stressors and Biotic Integrity. Water Research 41: 4041- 4050. Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. Secon. Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. London.
125
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Alih Bahasa, Samingan T. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Oey, B. L, R. E. Soeriatmadja dan W. Parjatmo. 1978. Faktor-faktor Lingkungan Penentu dalam Ekosistem Sungai. Seminar Pengendalian Pencemaran Air Dirjen Departemen Pekerjaan Umum Bandung. Ott, W. R. 1978. Environmental Indices Theory and Practice. Ann Arbor Science. Michigan. Peraturan Pemerintah No. 82. 2001. Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Perkins, E. J. 1974. The Biology of Estuaries and Coastal Water. Academi Press Co. New York. Pescod, M. B. 1978. Surface Water Quality Criteria for Tropical Developing Country, Water, Waves and Health. John Wiley and Sons, Inc. New York. Putri, L. S. E. 2001. Pola Penyebaran Spasial dan Temporal Bahan Organik, Logam Berat dan Pestisida di Perairan Sungai Ciliwung. [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwani, I. 2001. Dampak Pembuangan Limbah Industri Terhadap Kualitas Perairan Sungai Siak Ruas Tengah di Propinsi Riau. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB Bogor. Rahayu, S. 1991. Kadar Oksigen Terlarut (DO) dalam Air bagi Kehidupan Ikan. BPPT. Jakarta. Rangkuti, F. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Reksohadiprodjo, S. dan A. B. P. Brodjonegoro. 1997. Ekonomi Lingkungan : Suatu Pengantar. Universitas Gadjah Mada. Jodjakarta. Reinicke, G. B. 2000. Small-scale Patchiness of Benthos and Sediment Parameters in a Freshwater Tidal Mud-flat of the River Elbe Estuary (Germany). Limnologica 30: 183 – 192. Saeni, M. S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB Bogor. Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta. Pencetak PT. Melton Putra. Jakarta.
126
Schmitz, V. 1970. General Limnology and Biological Stream Survey and a Simple Means of Detecting Pollution and Controlling Their Effect. Advance in Water Pollution Research Conference Vol. 1. Pergamon Press. Braunschweig. Setyohadi, D. 2004. Dinamika Populasi Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang. Shibata, T., H. M. Solo-Gabriele, L. E. Fleming, and S. Elmir. 2004. Monitoring Marine Recreational Water Quality Using Multiple Microbial Indicators in An Urban Tropical Environmental. Water Reseach 38: 3119 – 3131. Shah, V. G., R. H. Dunstan, P. M. Geary, P. Coombes, T. K. Roberts, and T. Rothkirch. 2007. Comparison of Water Quality Parameters From Diverse Catchments During Dry Periods and Following Rain Events. Water Research 41: 3655 – 3666. Sihombing. H. 2004. Dampak Industri Kehutanan Terhadap Perekonomian Riau : Analisis Input – Output Berwawasan Lingkungan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Soemarwoto, O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT. Gramedia. Jakarta. Soldner, M., I. Stephen, L. Ramos, R. Angus, N. C. Wells, A. Grosso, and M. Crane. 2004. Relationship between macroinvertebrate fauna and environmental variables in small streams of the Dominican Republic. Water Research 38: 863 – 874. Sugiharto, E. 1995. Pengambilan dan Pengukuran Parameter Pencemaran. Makalah Kursus Dasar-dasar Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Kerjasama PPLH UGM dengan BAPPEDAL. Yogyakarta. Sukarmadidjaja, H. 1995. Indeks Kualitas Air. Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan – IPB Bogor. Sulardiono, B. 1997. Evaluasi Beban Pencemaran dan Kualitas Perairan Pesisir Kotamadya Semarang. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB Bogor. Sumirat, J. S. 2007. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Sutrisno, C. Totok Suciasti dan Eny. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
127
Suwigyo, P. 1993. Tipologi Lingkungan dan Permasalahan Daerah Aliran Sungai. Kursus Penyusun AMDAL ke-13. PPSML – UI. Jakarta. Tarigan, R. 2007. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Tebbutt, T. H. 1977. Principles of Water Quality Control. 2nd ed. University of Birmingham. England. Triyanto dan T. Chrismadha. 2007. Evaluasi Potensi Sumberdaya Perikanan Tangkap di Danau Semayang dan Melintang, Kalimantan. Limnotex : Perairan Darat Tropis Di Indonesia. Volume XIV (2): 88 – 99. Todaro, M. P. 1985. Economic Development Report in The Third World. Longman. New York. Walhi. 2004. Cukup Sudah Cerita Pencemaran Sungai.http://www.walhi.or.id [10 Juni 2004] Wayan, P. A. S. 2001. Penghilangan Senyawa Fosfat Secara Kimia Pada Efluen Penanganan Biologis Limbah Cair Industri Karet Alam [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor. Wardhana, W. A. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Training Analisis Dampak Lingkungan. PPLH. PUSDI. PSL-IPB. Bogor. Warren, E. C. 1971. Biology and Water Pollution Control. WB. Saunders Co. London. Wenhold, F., and M. Faber. 2009. Water in nutritional health of individuals and households : An Overview. Water SA Vol. 35 (1): 61-71. Widiastuty, S. 2001. Dampak Pengelolaan Limbah Cair PT. Pupuk Sriwidjaja Terhadap Kualitas Air Sungai Musi Kotamadya Palembang. [Tesis] Program Pascasarjana IPB Bogor. Wilhm, J. F. 1975. Biological Indicator of Pollution in B.A. Whitton, (Ed). River Ecology. Blackwell. Sci. Publ. London. 375 p. Wiley, J., and Sous. 1990. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited. New York. Zajic, J. E. 1971. Water Pollution Disposal and Reuse. Volume I. Marcel Dekker Inc. New York.
157
LAMPIRAN
128
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi Sungai Batanghari pada Bulan Agustus – Oktober 2008 No.
Parameter
Baku Mutu
1.
Suhu (0C)
2.
DHL
3.
TDS (mg/l)
1000
4.
TSS (mg/l)
50
5.
Kekeruhan (NTU)
-
6.
pH (Unit)
6–9
7.
BOD5 (mg/l)
2
8.
COD (mg/l)
10
9.
DO (mg/l)
6
10.
Nitrat (mg/l)
10
Dev. 3 -
11.
Phosfat (mg/l)
0,2
12.
Minyak & Lemak (μg/l)
1000
13.
E. Coli (ind/100 ml)
100
Stasiun
Ratarata
Bulan Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober Agustus September Oktober
1 30,4 29,9 27,4 71,9 47 46,5 35,8 23,5 23,3 17 37 45 23 43 54 6,6 5,7 5,47 13 2 2 39 5 6 4,84 4,99 3,24 1,05
2 29,9 28,8 28,1 63,3 47 46,7 31,6 23,4 23,3 28 35 48 34 44 4 6,6 5,8 5,87 2 2 2 5 7 8 4,90 4,76 3,28
3 29,8 28,5 28,2 60,3 48,9 47,2 30,1 24,4 23,6 14 39 48 23 52 54 6,8 5,9 6,06 14 3 2 48 8 8 5,34 4,91 3,23
0,988
0,925 0,674
0,506
0,933 0,958 0,431
0,06 0,20 3,6 0,4 93 700 17
1,07 0,46 0,24 7,2 1,6 150 1700
29
0,40 0,26 4,8 1,2 120 330 24
4 29,7 28,2 28,2 60,2 54,4 47,7 30,0 26,2 23,9 14 45 39 23 52 48 6,8 5,9 5,92 2 3 2 6 8 9 5,43 5,15 3,01 0,80 0,90
5 29,8 28,6 28,2 64,7 47,2 47 32,1 23,5 23,5 17 32 44 23 43 51 7,1 6 5,94 5 3 2 9 8 9 4,83 4,99 3,05 1,03 1,02
0,581
0,461
0,51 0,22 3,6 0,4 75
6 29,9 28,4 28,1 59,7 47,3 47 29,8 23,6 23,5 24 48 49 32 56 57 7,1 6 6,01 2 4 2 5 10 11 4,67 5,15 3,02
0,42 0,31 9,2 2,4 84
1,04 0,79 0,47 0,28 3,2 1,6 240
29,92 28,73 28,03 63,35 48,30 47,02 31,57 24,10 23,52 19 39,33 45,50 26,33 48,33 44,67 6,83 5,88 6,01 6,33 2,83 2 18,67 7,67 8,50 5,00 4,99 3,14 0,96 0,99 0,57 0,39 0,25 5,27 1,27 127
5400
3500
5400
2838,3
14
14
21
21
0,963
Lampiran 2 (lanjutan) Stasiun 3 Hok Tong
No.
Parameter
Satuan
1
2
3
Baku Mutu (PP No. 82/2001) Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV 4 5 6 7
Hasil Pengamatan RataMaks Min rata 8 9 10
IKA Kls I
IKA Kls II
IKA Kls III
IKA Kls IV
11
12
13
14
Fisika 1 Suhu 2 TSS 3 TDS
4 5 6 7 8 9 10
Kimia pH DO BOD5 COD N-Nitrat Fosfat Minyak & Lemak
Biologi 11 E. Coli Jumlah
o
C mg/l mg/l
Dev.3 Dev.3 50 50 1000 1000
Dev.3 400 2000
Dev.5 400 2000
Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -9 6 2 10 10 0,2 1000
6-9 4 3 25 10 0,2 1000
6-9 3 6 50 20 1 1000
5-9 0 12 100 20 5 -
ind/100 ml
100
1000
2000
2000
29,8 48 30,1
28,1 14 23,6
28,83 33,67 26,03
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
6,8 5,9 5,34 3,23 14 2 48 8 0,958 0,431 0,4 0,26 4,8 1,2
6,25 4,49 6,33 21,33 0,77 0,33 3
-2 -10 -8 -8 0 -10 0
-2 -2 -8 -8 0 -10 0
-2 0 -2 -8 0 0 0
0 0 -2 -8 0 0 0
158
-12
0
0
0
-50
-30
-12
-10
330
24
131
Lampiran 2. Status Kualitas Air Sungai Batanghari Status Kualitas Air Sungai Batanghari Per Stasiun Pengamatan Stasiun 1 Tanggo Rajo No.
Parameter
Satuan
1
2
3
Baku Mutu (PP No. 82/2001) Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV 4 5 6 7
Hasil Pengamatan RataMaks Min rata 8 9 10
IKA Kls I
IKA Kls II
IKA Kls III
IKA Kls IV
11
12
13
14
Fisika 1 Suhu 2 TSS 3 TDS
4 5 6 7 8 9 10
Kimia pH DO BOD5 COD N-Nitrat Fosfat Minyak & Lemak
Biologi 11 E. Coli Jumlah
o
C mg/l mg/l
Dev.3 50 1000
Dev.3 50 1000
Dev.3 400 2000
Dev.5 400 2000
30,4 35,8 45
27,4 23,3 17
29,23 27,53 33
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -9 6 2 10 10 0,2 1000
6-9 4 3 25 10 0,2 1000
6-9 3 6 50 20 1 1000
5-9 0 12 100 20 5 -
6,6 4,99 13 39 1,05 0,2 3,6
5,47 3,24 2 5 0,674 0,06 0,4
5,92 4,36 5,67 16,67 0,88 0,13 2
-8 -10 -8 -8 0 0 0
-8 -2 -8 -2 0 0 0
-8 0 -2 0 0 0 0
0 0 -2 0 0 0 0
ind/100 ml
100
1000
2000
2000
700
17
270
-12
0
0
0
-46
-20
-10
-2
129
Lampiran 2 (lanjutan) Stasiun 2 Angkasa Raya
No.
Parameter
Satuan
1
2
3
Baku Mutu (PP No. 82/2001) Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV 4 5 6 7
Hasil Pengamatan RataMaks Min rata 8 9 10
IKA Kls I
IKA Kls II
IKA Kls III
IKA Kls IV
11
12
13
14
Fisika 1 Suhu 2 TSS 3 TDS
4 5 6 7 8 9 10
Kimia pH DO BOD5 COD N-Nitrat Fosfat Minyak & Lemak
Biologi 11 E. Coli Jumlah
o
C mg/l mg/l
Dev.3 Dev.3 50 50 1000 1000
Dev.3 400 2000
Dev.5 400 2000
Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -9 6 2 10 10 0,2 1000
6-9 4 3 25 10 0,2 1000
6-9 3 6 50 20 1 1000
ind/100 ml
100
1000
2000
29,9 48 31,6
28,1 28 23,3
28,93 37 26,1
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
5-9 0 12 100 20 5 -
6,6 5,8 4,9 3,28 2 2 8 5 1,07 0,506 0,46 0,24 7,2 1,6
6,09 4,31 2 6,67 0,88 0,35 4,4
-2 -10 0 0 0 -10 0
-2 -2 0 0 0 -10 0
-2 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
2000
1700
29 626,33
-12
-3
0
0
-34
-17
-2
0
130
Lampiran 2 (lanjutan) Stasiun 4 Batanghari Tembesi
No.
Parameter
Satuan
1
2
3
Baku Mutu (PP No. 82/2001) Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV 4 5 6 7
Hasil Pengamatan RataMaks Min rata 8 9 10
IKA Kls I
IKA Kls II
IKA Kls III
IKA Kls IV
11
12
13
14
Fisika 1 Suhu 2 TSS 3 TDS
4 5 6 7 8 9 10
Kimia pH DO BOD5 COD N-Nitrat Fosfat Minyak & Lemak
Biologi 11 E. Coli Jumlah
o
C mg/l mg/l
Dev.3 Dev.3 Dev.3 Dev.5 50 50 400 400 1000 1000 2000 2000
29,7 45 30
28,2 14 23,9
28,70 32,67 26,7
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -9 6 2 10 10 0,2 1000
6-9 4 3 25 10 0,2 1000
6-9 3 6 50 20 1 1000
5-9 0 12 100 20 5 -
6,8 5,43 3 9 0,9 0,51 3,6
5,9 3,01 2 6 0,581 0,22 0,4
6,21 4,53 2,33 7,67 0,76 0,37 2
-2 -10 -8 0 0 -10 0
-2 -2 0 0 0 -10 0
-2 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
ind/100 ml
100
1000
2000
2000
5400
17 1830,67
-12
-12
-3
-3
-42
-26
-5
-3
132
Lampiran 2 (lanjutan) Stasiun 5 Remco
No.
Parameter
Satuan
1
2
3
Baku Mutu (PP No. 82/2001) Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV 4 5 6 7
Hasil Pengamatan RataMaks Min rata 8 9 10
IKA Kls I
IKA Kls II
IKA Kls III
IKA Kls IV
11
12
13
14
Fisika 1 Suhu 2 TSS 3 TDS
4 5 6 7 8 9 10
Kimia pH DO BOD5 COD N-Nitrat Fosfat Minyak & Lemak
Biologi 11 E. Coli Jumlah
o
C mg/l mg/l
Dev.3 Dev.3 Dev.3 Dev.5 50 50 400 400 1000 1000 2000 2000
29,8 44 32,1
28,2 17 23,5
28,87 31 26,37
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -9 6 2 10 10 0,2 1000
6-9 4 3 25 10 0,2 1000
6-9 3 6 50 20 1 1000
5-9 0 12 100 20 5 -
7,1 4,99 5 9 1,03 0,42 9,2
5,94 3,05 2 8 0,461 0,31 2,4
6,35 4,29 3,33 8,67 0,84 0,37 5,8
-2 -10 -8 0 0 -10 0
-2 -2 -8 0 0 -10 0
-2 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
ind/100 ml
100
1000
2000
2000
3500
14 1199,33
-12
-12
-3
-3
-42
-34
-5
-3
133
Lampiran 2 (lanjutan) Stasiun 6 Djambi Waras
No.
Parameter
Satuan
1
2
3
Baku Mutu (PP No. 82/2001) Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV 4 5 6 7
Hasil Pengamatan RataMaks Min rata 8 9 10
IKA Kls I
IKA Kls II
IKA Kls III
IKA Kls IV
11
12
13
14
Fisika 1 Suhu 2 TSS 3 TDS
4 5 6 7 8 9 10
Kimia pH DO BOD5 COD N-Nitrat Fosfat Minyak & Lemak
Biologi 11 E. Coli Jumlah
o
C mg/l mg/l
Dev.3 Dev.3 Dev.3 Dev.5 50 50 400 400 1000 1000 2000 2000
29,9 49 29,8
28,1 24 23,5
28,80 40,33 25,63
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -9 6 2 10 10 0,2 1000
6-9 4 3 25 10 0,2 1000
6-9 3 6 50 20 1 1000
5-9 0 12 100 20 5 -
7,1 5,15 4 11 1,04 0,47 3,2
6 3,02 2 5 0,79 0,28 1,6
6,37 4,28 2,67 8,67 0,93 0,38 2,4
0 -10 -8 -2 0 -10 0
0 -2 -2 0 0 -10 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
ind/100 ml
100
1000
2000
2000
5400
21
1887
-12
-12
-3
-3
-42
-26
-3
-3
134
Lampiran 2. Status Kualitas Air Sungai Batanghari Per Bulan Pengamatan (lanjutan) Bulan Agustus 2008
No.
Parameter
Satuan
1
2
3
Baku Mutu (PP No. 82/2001) Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV 4 5 6 7
Hasil Pengamatan RataMaks Min rata 8 9 10
IKA Kls I
IKA Kls II
IKA Kls III
IKA Kls IV
11
12
13
14
Fisika 1 Suhu 2 TSS 3 TDS
4 5 6 7 8 9 10
Kimia pH DO BOD5 COD N-Nitrat Fosfat Minyak & Lemak
Biologi 11 E. Coli Jumlah
o
C mg/l mg/l
Dev.3 Dev.3 Dev.3 Dev.5 50 50 400 400 1000 1000 2000 2000
30,4 28 35,8
29,7 14 29,8
29,92 19 31,57
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -9 6 2 10 10 0,2 1000
6-9 4 3 25 10 0,2 1000
6-9 3 6 50 20 1 1000
5-9 0 12 100 20 5 -
7,1 5,43 14 48 1,05 -
6,6 4,67 2 5 0,8 -
6,83 5 6,33 18,67 0,96 -
0 -10 -8 -8 0 0 0
0 0 -8 -2 0 0 0
0 0 -8 0 0 0 0
0 0 -2 0 0 0 0
ind/100 ml
100
1000
2000
2000
240
75
127
-12
0
0
0
-38
-10
-8
-2
135
Lampiran 2 (lanjutan) Bulan September 2008
No.
Parameter
Satuan
1
2
3
Baku Mutu (PP No. 82/2001) Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV 4 5 6 7
Hasil Pengamatan RataMaks Min rata 8 9 10
IKA Kls I
IKA Kls II
IKA Kls III
IKA Kls IV
11
12
13
14
Fisika 1 Suhu 2 TSS 3 TDS
4 5 6 7 8 9 10
Kimia pH DO BOD5 COD N-Nitrat Fosfat Minyak & Lemak
Biologi 11 E. Coli Jumlah
o
C mg/l mg/l
Dev.3 Dev.3 Dev.3 Dev.5 50 50 400 400 1000 1000 2000 2000
29,9 48 26,2
28,2 32 23,4
28,73 39,33 24,1
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -9 6 2 10 10 0,2 1000
6-9 4 3 25 10 0,2 1000
6-9 3 6 50 20 1 1000
5-9 0 12 100 20 5 -
6 5,7 5,15 4,76 4 2 10 5 1,07 0,925 0,51 0,4 9,2 3,2
5,88 4,99 2,83 7,67 0,99 0,39 5,72
-8 -10 -8 0 0 -10 0
-8 0 -2 0 0 -10 0
-8 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
ind/100 ml
100
1000
2000
2000
5400
330 2838,33
-12
-12
-12
-12
-48
-32
-20
-12
136
Lampiran 2 (lanjutan) Bulan Oktober 2008
No.
Parameter
Satuan
1
2
3
Baku Mutu (PP No. 82/2001) Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV 4 5 6 7
Hasil Pengamatan RataMaks Min rata 8 9 10
IKA Kls I
IKA Kls II
IKA Kls III
IKA Kls IV
11
12
13
14
Fisika 1 Suhu 2 TSS 3 TDS
4 5 6 7 8 9 10
Kimia pH DO BOD5 COD N-Nitrat Fosfat Minyak & Lemak
Biologi 11 E. Coli Jumlah
o
C mg/l mg/l
Dev.3 Dev.3 Dev.3 Dev.5 50 50 400 400 1000 1000 2000 2000
28,2 49 23,9
27,4 39 23,3
28,03 45,5 23,52
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
6 -9 6 2 10 10 0,2 1000
6-9 4 3 25 10 0,2 1000
6-9 3 6 50 20 1 1000
5-9 0 12 100 20 5 -
6,06 3,28 2 11 0,79 0,31 2,4
5,47 3,01 2 5 0,431 0,2 0,4
5,88 3,14 2 8,5 0,57 0,25 1,27
-10 -10 0 -2 0 -8 0
-10 -10 0 0 0 -8 0
-10 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
ind/100 ml
100
1000
2000
2000
29
14
20
0
0
0
0
-30
-28
-10
0
137
Lampiran 3. Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Karet Remah (Crumb Rubber ) Tahun 2007 No.
1
2
3
4
5
Nama Perusahaan
PT. Djambi Waras
Parameter Satuan
BOD COD TSS NH3-N pH PT.Batanghari Tembesi BOD COD TSS NH3-N pH PT. Remco BOD COD TSS NH3-N pH PT. Angkasa Raya BOD COD TSS NH3-N pH PT. Hok Tong BOD COD TSS NH3-N pH
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l -
Baku Mutu 60 200 100 15 6-9 60 200 100 15 6-9 60 200 100 15 6-9 60 200 100 15 6-9 60 200 100 15 6-9
Bulan Jan 56 104 66 8,6 6,5 27 47 30 0 6,5 59 115 102 4,8 6,1 62 136 114 10,3 6,5 104 170 16 2,6 5,9
Feb 51 91 59 8,6 6,5 64 130 65 1,9 6,5 75 147 114 2,9 6,3 133 243 203 0,71 6,3 67 116 71 1,6 6,2
Mar 41 87 54 5,7 6,8 66 121 19 3,1 5 146 320 223 5,4 5,6 178 333 249 7,5 5,6 143 206 9 6,5 5,2
Apr 62 108 89 5,6 6,6 109 183 5 0 5,9 101 217 123 3,87 6,4 103 183 182 8,8 6,5 145 225 32 7,1 7,7
Mei 67 132 33 4,9 6,8 162 320 249 15,9 6,6 112 181 178 7,6 6,1 69 127 131 8,9 6,5 158 209 30 13,4 6,2
Juni 63 102 70 8,7 6,5 89 152 6 4,6 5,8 54 89 80 1,8 6,2 138 345 268 9,6 6,3 279 357 14 8,06 5,3
Juli 63 146 82 7,3 6,1 206 414 6 8,4 5,7 111 240 112 0,8 5,9 132 229 181 3,6 6,8 -
Agus 37 113 49 6,2 6,3 74 172 62 1,5 6,1 280 407 298 10,5 6,9 125 224 116 11,3 5,3
Sep 92 127 104 7,8 6,2 114 209 9 8,8 4,9 105 186 168 4 6,1 106 236 164 5,1 6,2 107 233 15 8,1 5,1
Okt 28 52 40 7 6,1 55 83 6 2,4 4,7 104 202 172 3,7 5,6 49 86 66 4,1 5,9 164 186 62 5,2 5,6
Nop 49 77 55 6,3 5,5 83 232 153 1,7 5,4 213 651 344 11,2 6,2 31 80 49 1 6,2
Des 136 260 138 9,8 5,5 159 362 12 11,12 5,2 133 240 177 7,6 6,1 122 215 164 6,3 5,6 174 265 10 11 5,1
Ratarata 62,08 116,58 69,92 7,21 6,28 105,10 202,10 40,70 5,62 5,68 96,42 195,08 138,67 3,81 5,99 132,08 265,92 197,00 7,22 6,28 136,09 206,45 38,55 6,90 5,80
Debit Limbah (m3/det)
Beban Pencemar (ton/bln)
0,097 0,097 0,097
15,6092 29,3118 17,5787
0,097 0,097
1,8123 1,5798
0,056 0,056 0,056
15,2555 29,3352 5,9077
0,056 0,056
0,8160 0,8245
0,033 0,033 0,033
8,2471 16,6866 11,8610
0,033 0,033
0,3255 0,5125
0,056 0,056 0,056
19,1722 38,5983 28,5949
0,056 0,056
1,0476 0,9106
0,035 0,035 0,035
12,3462 18,7296 3,4968
0,035 0,035
0,6256 0,5262
138
Lampiran 4. Identifikasi Makrozoobenthos di Sungai Batanghari No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Grup Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta insecta insecta insecta insecta insecta insecta insecta insecta insecta insecta insecta insecta insecta Molusca
Ordo Tubificida Tubificida Tubificida Tubificida Tubificida Tubificida Tubificida Tubificida Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Diptera Trichoptera Ephemeroptera Ephemeroptera Plecoptera Odonata Gastropoda
Famili Naididae Naididae Naididae Naididae Naididae Tubificidae Tubificidae Tubificidae Chironomidae Chironomidae Chironomidae Chironomidae Chironomidae Ceratopogonidae Ceratopogonidae Tipulidae Dipseudopsidae Polymitarcyidae Caenidae Perlidae Gomphidae Thiaridae
Genus/spesies Dero (dero) digitata Dero (Aulophorus) sp. Branchiodrilus semperi Nais communis Pristinella jenkinae Limnodrilus hoffmeisteri Aulodrilus acutus Branchiura sowerbyi Cryptochironomus sp. Polypedilum scalaenum Tanytarsus sp. Clinotanypus sp. Ablabesmyia paleensis Bezzia sp. Culicoides sp. Tipula sp. Phylocentropus sp. Tortopus sp. Caenis sp. Neoperla sp. Antipodogomphus sp. Melanoides sp. Jumlah total Indek diversitas shannon Indek keseragaman Jumlah taxa Dominasi
St. 1 Tango Rajo St 2. Angkasa Raya St. 3 Hok Tong 15 30 59 0 0 0 44 74 44 44 0 89 0 0 0 12207 7556 1585 222 74 89 148 0 0 0 237 311 30 785 4148 0 0 0 30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0 0 0 30 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0 15 0 0 12770 0,37 0,111 10 0,914
8785 0,811 0,289 7 0,749
6356 1.441 0,454 9 0,491
St. 4 Bht 415 74 504 1052 519 23274 12533 474 0 59 0 311 30 0 0 15 0 0 0 0 0 0 39259 1.521 0,424 12 0,455
St 5. Remco St 6 Djambi Waras 30 15 0 89 0 0 0 44 0 0 726 430 281 133 0 0 74 104 3763 4844 44 0 0 0 0 0 30 74 0 30 0 0 15 15 44 0 30 15 15 0 0 0 0 0 5052 1,34 0,387 11 0,579
5793 1.055 0,305 11 0,706
139
140
Lampiran 5.
Perhitungan Korelasi Rank Spearman Bentos terhadap Status Kualitas Air Sungai Batanghari.
1. Korelasi indeks keanekaragaman (diversity) terhadap Status Air Kualitas Sungai Batanghari
Spearman's rho
kualitas_air
indeks_diversitas
kualitas_air 1.000
indeks_diversitas -.759
Sig. (2-tailed)
.
.080
N
6
6
-.759
1.000
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
.080
.
6
6
2. Korelasi indeks keseragaman terhadap Status Kualitas Air Sungai Batanghari
Spearman's rho
kualitas_air
Correlation Coefficient
kualitas_air 1.000
indeks_keser agaman -.880(*)
.
.021
Sig. (2-tailed) N indeks_keseragaman
Correlation Coefficient
6
6
-.880(*)
1.000
Sig. (2-tailed) N
.021
.
6
6
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
3. Korelasi indeks dominasi terhadap Status Kualitas Air Sungai Batanghari
Spearman's rho
kualitas_air
indeks_dominasi
kualitas_air 1.000
indeks_dominasi .759
Sig. (2-tailed)
.
.080
N
6
6
Correlation Coefficient
.759
1.000
Sig. (2-tailed)
.080
.
6
6
Correlation Coefficient
N
141
Lampiran 6. Data Sosial dan Ekonomi di Lokasi Penelitian 1. Identitas Responden Uraian 1. Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 2. Umur Responden (tahun) : a. 15 – 29 b. 30 – 59 c. ≥ 60 3. Pekerjaan Responden : a. Buruh Tani b. Petani Pemilik c. Nelayan d. Pemilik Tambak e. Buruh Industri f. Buruh Lainnya g. Pedagang/warungan h. Pegawai Negeri i. Guru Madrasah j. Pensiunan k. Ibu Rumah Tangga l. Tukang Perahu m. Tukang Ojek n. Swasta o. Tidak Bekerja 4. Pendidikan Responden : a. Tidak Sekolah b. SD Tidak Tamat c. SD Tamat d. SLTP e. SLTA f. Perguruan Tinggi 5. Lama Tinggal di Lokasi Penelitian : a. Kurang dari 1 Tahun b. 1 – 5 Tahun c. Lebih dari 5 Tahun
Jumlah
%
64 46
58,2 41,8
17 69 24
15,5 62,7 21,8
5 2 1 1 13 11 15 3 2 9 20 8 4 15 1
4,6 1,8 0,9 0,9 11,8 10 13,6 2,7 1,8 8,2 18,2 7,3 3,6 13,6 0,9
6 15 38 25 25 1
5,5 13,6 34,6 22,7 22,7 0,9
2 12 86
1,8 10,9 78,2
2. Pendapatan Responden di sekitar lokasi penelitian Penghasilan/bulan a. Kurang dari Rp 1 juta b. Rp 1 juta s/d Rp 2 juta c. Di atas Rp 2 juta
Jumlah 62 45 3
% 56,4 40,9 2,7
142
Lampiran 6. (lanjutan) 3. Sumber air untuk mandi dan cuci yang digunakan masyarakat sekitar Sumber Air a. b. c. d.
Sumur Gali Sumur Artesis PAM/Ledeng Sungai
Jumlah 27 3 30 50
% 24,5 2,7 27,3 45,5
4. Sumber air yang digunakan masyarakat sekitar untuk memasak Sumber Air Jumlah % a. Sumur Gali 42 38,2 b. Sumur Artesis 6 5,5 c. PAM/Ledeng 51 46,4 d. Beli Air (termasuk air kemasan) 5 4,5 e. Sungai 6 5,5 5. Tempat buang hajat masyarakat sekitarnya Tempat Buang Hajat a. Sungai b. Jamban Keluarga c. Jamban Umum
Jumlah 48 58 4
% 43,6 52,7 3,6
6. Jenis penampungan tinja yang digunakan oleh masyarakat sekitar Jenis Penampungan Tinja Jumlah % a. Septik Tank 50 45,5 b. Cubluk 6 5,5 c. Sungai 54 49 7. Tempat pembuangan sampah masyarakat sekitarnya a. b. c. d. e.
Tempat Pembuangan Sampah Tong/bak sampah Lubang sampah Sembarang tempat Sungai Dikumpulkan di halaman
Jumlah 26 24 6 27 27
% 23,6 21,8 5,5 24,5 24,5
8. Cara pengolahan sampah yang dilakukan masyarakat sekitarnya Cara Pengolahan Sampah Jumlah % a. Tidak diolah 30 27,3 b. Ditimbun dengan tanah 1 0,9 c. Dibakar 54 49,1 d. Ditimbun dengan tanah dan dibakar 3 2,7 e. Dikumpulkan dan dibuang ke TPA 22 20
143
Lampiran 6. (lanjutan) 9. Keluhan penyakit yang diderita masyarakat selama 1 tahun terakhir Penyakit yang diderita Jumlah % a. Tidak sakit 63 57,3 b. Influensa 31 28,2 c. Penyakit perut 2 1,8 d. Penyakit gatal-gatal 9 8,2 e. Influensa & penyakit gatal-gatal 2 1,8 f. Lainnya 3 2,7 10. Pendapat masyarakat terhadap keberadaan industri karet remah (crumb rubber) Sikap Masyarakat Jumlah % a. Setuju 58 52,7 b. Tidak Setuju 15 13,6 c. Terserah Pemerintah 37 33,6
Lampiran 7. 10 penyakit terbesar yang sering diderita masyarakat di sekitar lokasi penelitian dari Puskesmas Sijenjang Tahun 2007 Bulan No.
Jenis Penyakit
Feb
Jumlah
1
Penyakit lain saluran nafas atas
Jan 140
Mar 90
Apr 84
Mei 106
Juni 117
Juli 86
Agus 108
Sep 79
Okt 69
Nop 123
Des 81
2 3 4 5
Penyakit lainnya (Gastritis Penyakit lainnya (Rhematik) Penyakit kulit alergi Penyakit Kulit Infeksi
44 18 16 12
19 17 16
41 24 15 14
33 23 16 10
22 25 14 15
44 21 14 11
33 32 20 0
20 24 10 6
29 0 15 7
33 5 5 8
44 18 8 10
41 16 10 9
435 225 160 118
6
Penyakit Tekanan Darah Tinggi
10
10
6
10
7
14
4
6
11
10
10
14
112
7 8 9
Diare Infeksi Akut Lain Saluran Nafas Atas Gangguan gigi dan jaringan penyangga
4 6 -
3 6
8 10
7 9 -
6 3 4
5 4 17
4 10
2 -
9 -
10 -
4 -
2 5 -
50 47 44
10
Kecelakaan
-
-
-
-
-
4
6
7
-
9
5
36
115 51
3 5
1198
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Jambi, tahun 2007
144
Lampiran 7 (lanjutan) 10 penyakit terbesar yang sering diderita masyarakat di sekitar lokasi penelitian dari Puskesmas Tahtul Yaman Tahun 2007 No.
Jenis Penyakit
1
Infeksi Akut Lain Saluran Nafas Atas (1302)
Jan 642
2 3 4 5 6
Penyakit Sistem Otot Jaringan Ikat Penyakit kulit alergi (2002) Diare (0102) Penyakit Tekanan Darah Tinggi (12) Ginggivitis dan Priodental
143 72 92 79 94
7 8 9 10
Penyakit Kulit Infeksi (2001) Asma (1403) Penyakit mata lainnya (1005) Infeksi Telinga Tengah
66 42 43 37
Feb 534 92 95 70 87 32 47 68 35 18
Mar 511
Apr 403
Mei 480
Juni 445
Bulan Juli 413
120 86 40 100 2
104 93 49 96 76
151 107 71 99 79
138 103 70 72 75
69 103 57 32
62 59 88 29
61 52 119 40
79 66 86 46
Jumlah
Agus 420
Sep 446
Okt 474
Nop 610
Des 420
131 90 63 28 73
225 99 91 83 80
146 98 85 91 70
125 91 85 64 74
137 128 97 0 78
106 190 90 71 49
1618 1252 903 870 782
123 59 47 131
78 66 45 45
68 57 25 31
60 70 32 56
53 60 45 53
0 53 30 40
766 755 652 558
5798
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Jambi, tahun 2007
145
146
146
Lampiran 8. Data Hasil Tangkap Ikan di Perairan Sungai Batanghari 1. Hasil tangkapan ikan (dalam ton) di Sungai Batanghari dari Kecamatan di lokasi penelitian. No. Tahun 1 2 1 2003 2 2004 3 2005 4 2006 5 2007
Kec. Pelayangan 3 50,325 51,525 52,92 57 70,8
Kec. Jambi Timur 4 33,55 34,35 35,28 38 47,2
2. Jenis ikan yang biasa ditangkap di perairan Sungai Batanghari dari data Sub Dinas Perikanan Kota Jambi pada kuartal kedua Tahun 2008.
No.
Jenis Ikan
Jumlah (Ton)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Betok (Climbing Perches) Baung (Asian Redtail Cat fish) Sepat Siam (Snake skin gouramy) Lukas (Labiobarbus festivus) Paray (Rasbora argyrotaenia) Tawes Tambakan (Kissing gouramy) Lais (Glass Catfishes) Gabus (Snake head)
0,93 1,93 0,11 13,91 3,56 1,23 0,66 0,40 0,78
Harga Jual/kg (Rp) 7.500 25.000 8.000 15.000 12.000 15.000 12.000 25.000 20.000
Nilai Produksi (ribu Rp.) 6.976 48.259 887 208.693 42.768 18.411 7.940 9.991 15.696
3. Alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat untuk menangkap ikan. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis Alat Tangkap Jaring insang hanyut Jaring insang tetap Serok Songko Anco Rawai Pancing Sero Jermal Bubu Jala tebar Garpu, tombak dan lainnya
Lampiran 9. Penentuan Bobot Setiap Faktor Strategi Internal Responden 1 (Sekretaris Badan Lingkungan Hidup Kota Jambi) No. 1. 2. 3.
4. 5.
6.
Faktor Penentu Strategi Internal Kekuatan (Strength) Komitmen pemerintah daerah terhadap lingkungan hidup (S1) Ada tim koordinasi pengelolaan sungai tingkat provinsi (BP DAS Batanghari) (S2) Ada program monitoring kualitas air sungai secara rutin dengan memanfaatkan laboratorium yang ada dalam upaya melaksanakan peraturan daerah dalam pengelolaan lingkungan (S3) Kelemahan (Weaknesses) Belum kuatnya penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran lingkungan disebabkan masih lemahnya pengawasan di lapangan (W1) Kurangnya koordinasi antar dinas/instansi sehingga pengelolaan perairan Sungai Batanghari masih bersifat sparsial yang menyebabkan terjadinya pencemaran (W2) Keterbatasan anggaran dalam pengelolaan lingkungan mengakibatkan masih kurangnya sarana dan prasarana yang ada dalam menunjang program monitoring kualitas air sungai serta keterbatasan pengembangan sumber daya manusia guna pemahaman terhadap pengelolaan lingkungan (W3) Total
S1
S2
S3
2
2 1
2
W1 W2 W3
Total
Bobot
2 1
1 2
2 2
9 8
0,205 0,182
1
1
1
6
0,136
2
1
7
0,159
1
7
0,159
7
0,159
44
1,000
2
1
2
1
1
1
2
1
2
2
2
1
1
1
9
8
6
7
7
7
147
Lampiran 9 (lanjutan) Responden 2 (Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran BLH Kota Jambi) No. 1. 2. 3.
4. 5.
6.
Faktor Penentu Strategi Internal Kekuatan (Strength) Komitmen pemerintah daerah terhadap lingkungan hidup (S1) Ada tim koordinasi pengelolaan sungai tingkat provinsi (BP DAS Batanghari) (S2) Ada program monitoring kualitas air sungai secara rutin dengan memanfaatkan laboratorium yang ada dalam upaya melaksanakan peraturan daerah dalam pengelolaan lingkungan (S3) Kelemahan (Weaknesses) Belum kuatnya penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran lingkungan disebabkan masih lemahnya pengawasan di lapangan (W1) Kurangnya koordinasi antar dinas/instansi sehingga pengelolaan perairan Sungai Batanghari masih bersifat sparsial yang menyebabkan terjadinya pencemaran (W2) Keterbatasan anggaran dalam pengelolaan lingkungan mengakibatkan masih kurangnya sarana dan prasarana yang ada dalam menunjang program monitoring kualitas air sungai serta keterbatasan pengembangan sumber daya manusia guna pemahaman terhadap pengelolaan lingkungan (W3) Total
S1
S2
S3
2
1 1
2
W1 W2 W3
Total
Bobot
2 2
2 1
2 2
9 8
0,214 0,190
1
1
1
5
0,119
1
1
7
0,167
1
6
0,143
7
0,167
42
1,000
1
1
2
2
1
2
1
1
1
2
2
1
1
1
9
8
5
7
6
7
148
Lampiran 9 (lanjutan) Responden 3 (Ketua Puslit DAS Universitas Jambi) No. 1. 2. 3.
4. 5.
6.
Faktor Penentu Strategi Internal Kekuatan (Strength) Komitmen pemerintah daerah terhadap lingkungan hidup (S1) Ada tim koordinasi pengelolaan sungai tingkat provinsi (BP DAS Batanghari) (S2) Ada program monitoring kualitas air sungai secara rutin dengan memanfaatkan laboratorium yang ada dalam upaya melaksanakan peraturan daerah dalam pengelolaan lingkungan (S3) Kelemahan (Weaknesses) Belum kuatnya penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran lingkungan disebabkan masih lemahnya pengawasan di lapangan (W1) Kurangnya koordinasi antar dinas/instansi sehingga pengelolaan perairan Sungai Batanghari masih bersifat sparsial yang menyebabkan terjadinya pencemaran (W2) Keterbatasan anggaran dalam pengelolaan lingkungan mengakibatkan masih kurangnya sarana dan prasarana yang ada dalam menunjang program monitoring kualitas air sungai serta keterbatasan pengembangan sumber daya manusia guna pemahaman terhadap pengelolaan lingkungan (W3) Total
S1
S2
S3
2
2 2
2
W1 W2 W3
Total
Bobot
1 1
2 1
1 1
8 7
0,200 0,175
2
1
1
8
0,200
1
1
6
0,150
1
6
0,150
5
0,125
40
1,000
2
2
1
1
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
8
7
8
6
6
5
149
Lampiran 9 (lanjutan) Rekapitulasi Penentuan Bobot Faktor Strategi Internal No.
1. 2. 3.
4. 5.
6.
Faktor Penentu Strategi Internal Kekuatan (Strength) Komitmen pemerintah daerah terhadap lingkungan hidup (S1) Ada tim koordinasi pengelolaan sungai tingkat provinsi (BP DAS Batanghari) (S2) Ada program monitoring kualitas air sungai secara rutin dengan memanfaatkan laboratorium yang ada dalam upaya melaksanakan peraturan daerah dalam pengelolaan lingkungan (S3) Kelemahan (Weaknesses) Belum kuatnya penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran lingkungan disebabkan masih lemahnya pengawasan di lapangan (W1) Kurangnya koordinasi antar dinas/instansi sehingga pengelolaan perairan Sungai Batanghari masih bersifat sparsial yang menyebabkan terjadinya pencemaran (W2) Keterbatasan anggaran dalam pengelolaan lingkungan mengakibatkan masih kurangnya sarana dan prasarana yang ada dalam menunjang program monitoring kualitas air sungai serta keterbatasan pengembangan sumber daya manusia guna pemahaman terhadap pengelolaan lingkungan (W3)
1
Responden 2
Total
Bobot
3
0,205 0,182
0,214 0,190
0,200 0,175
0,619 0,547
0,206 0,182
0,136
0,119
0,200
0,455
0,152
0,159
0,167
0,150
0,476
0,159
0,159
0,143
0,150
0,452
0,151
0,159
0,167
0,125
0,451
0,150
150
Lampiran 10. Penentuan Bobot Setiap Faktor Strategi Eksternal Responden 1 (Sekretaris Badan Lingkungan Hidup Kota Jambi) No. 1. 2.
3. 4.
5.
Faktor Penentu Strategi Eksternal Peluang (Opportunities) Ada dana pengelolaan lingkungan dari pemerintah pusat (O1) Sungai Batanghari memiliki nilai ekonomi yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sungai yang berwawasan lingkungan (O2) Ancaman (Threats) Penurunan kualitas Sungai Batanghari mengakibatkan kerusakan biodeversity Sungai Batanghari (T1) Kebiasaan masyarakat yang kurang ramah terhadap lingkungan mengakibatkan beban kerusakan terhadap Sungai Batanghari dan maraknya pembangunan yang menyalahi tata ruang di sepanjang bantaran sungai (T2) Timbul konflik akibat kerusakan sumber daya di sepanjang Sungai Batanghari (T3) Total
O1
O2
T1
T2
T3
Total
Bobot
1
1 1
1 2
1 1
4 5
0,167 0,208
1
2
5
0,208
1
5
0,208
5
0,208
24
1,000
1
1
1
1
2
1
1
1
2
1
4
5
5
5
5
151
Lampiran 10 (lanjutan) Responden 2 (Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran BLH Kota Jambi) No. 1. 2.
3. 4.
5.
Faktor Penentu Strategi Eksternal Peluang (Opportunities) Ada dana pengelolaan lingkungan dari pemerintah pusat (O1) Sungai Batanghari memiliki nilai ekonomi yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sungai yang berwawasan lingkungan (O2) Ancaman (Threats) Penurunan kualitas Sungai Batanghari mengakibatkan kerusakan biodeversity Sungai Batanghari (T1) Kebiasaan masyarakat yang kurang ramah terhadap lingkungan mengakibatkan beban kerusakan terhadap Sungai Batanghari dan maraknya pembangunan yang menyalahi tata ruang di sepanjang bantaran sungai (T2) Timbul konflik akibat kerusakan sumber daya di sepanjang Sungai Batanghari (T3) Total
O1
O2
T1
T2
T3
Total
Bobot
1
1 2
1 2
2 2
5 7
0,167 0,233
1
2
6
0,200
1
5
0,167
7
0,233
30
1,000
1
1
2
1
2
1
2
2
2
1
5
7
6
5
7
152
Lampiran 10 (lanjutan) Responden 3 (Ketua Puslit DAS Universitas Jambi) No. 1. 2.
3. 4.
5.
Faktor Penentu Strategi Eksternal Peluang (Opportunities) Ada dana pengelolaan lingkungan dari pemerintah pusat (O1) Sungai Batanghari memiliki nilai ekonomi yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sungai yang berwawasan lingkungan (O2) Ancaman (Threats) Penurunan kualitas Sungai Batanghari mengakibatkan kerusakan biodeversity Sungai Batanghari (T1) Kebiasaan masyarakat yang kurang ramah terhadap lingkungan mengakibatkan beban kerusakan terhadap Sungai Batanghari dan maraknya pembangunan yang menyalahi tata ruang di sepanjang bantaran sungai (T2) Timbul konflik akibat kerusakan sumber daya di sepanjang Sungai Batanghari (T3) Total
O1
O2
T1
T2
T3
Total
Bobot
1
1 2
1 2
1 1
4 6
0,154 0,231
1
1
5
0,192
2
6
0,231
5
0,192
26
1,000
1
1
2
1
2
1
1
1
1
2
4
6
5
6
5
153
Lampiran 10 (lanjutan) Rekapitulasi Penentuan Robot Faktor Strategi Eksternal No.
1. 2.
3. 4.
5.
Faktor Penentu Strategi Eksternal Peluang (Opportunities) Ada dana pengelolaan lingkungan dari pemerintah pusat (O1) Sungai Batanghari memiliki nilai ekonomi yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sungai yang berwawasan lingkungan (O2) Ancaman (Threats) Penurunan kualitas Sungai Batanghari mengakibatkan kerusakan biodeversity Sungai Batanghari (T1) Kebiasaan masyarakat yang kurang ramah terhadap lingkungan mengakibatkan beban kerusakan terhadap Sungai Batanghari dan maraknya pembangunan yang menyalahi tata ruang di sepanjang bantaran sungai (T2) Timbul konflik akibat kerusakan sumber daya di sepanjang Sungai Batanghari (T3)
1
Responden 2
Total
Bobot
3
0,167 0,208
0,167 0,233
0,154 0,231
0,488 0,672
0,163 0,224
0,208
0,200
0,192
0,600
0,200
0,208
0,167
0,231
0,606
0,202
0,208
0,233
0,192
0,633
0,211
154
155
Lampiran 11. Penentuan Rating Faktor Internal Faktor-Faktor Strategi Internal (IFAS) Kekuatan (Strenght) : S1 Komitmen pemerintah daerah terhadap lingkungan hidup. S2 Ada tim koordinasi pengelolaan sungai tingkat provinsi (BP DAS Batanghari). S3 Ada program monitoring kualitas air sungai secara rutin dengan memanfaatkan laboratorium yang ada dalam upaya melaksanakan peraturan daerah dalam pengelolaan lingkungan. Kelemahan (Weakness) : W1 Belum kuatnya penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran lingkungan disebabkan masih lemahnya pengawasan di lapangan. W2 Kurangnya koordinasi antar dinas/instansi sehingga pengelolaan perairan Sungai Batanghari masih bersifat sparsial yang menyebabkan terjadinya pencemaran. W3 Keterbatasan anggaran dalam pengelolaan lingkungan mengakibatkan masih kurangnya sarana dan prasarana yang ada dalam menunjang program monitoring kualitas air sungai serta keterbatasan pengembangan sumber daya manusia guna pemahaman terhadap pengelolaan lingkungan.
Responden 1 2 3
Jumlah
Rating
4
4
4
12
4
4
3
4
11
4
3
3
4
10
3
1
1
2
4
1
2
2
1
5
2
1
1
2
4
1
156
Lampiran 12. Penentuan Rating Faktor Eksternal Faktor-Faktor Strategi Eksternal (EFAS) Peluang (Opportunities) : O1 Ada dana pengelolaan lingkungan dari pemerintah pusat. O2 Sungai Batanghari memiliki nilai ekonomi yang dapat dikembangkan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya sungai yang berwawasan lingkungan.. Ancaman (Threat) : T1 Penurunan kualitas Sungai Batanghari mengakibatkan kerusakan biodeversity Sungai Batanghari. T2 Kebiasaan masyarakat yang kurang ramah terhadap lingkungan mengakibatkan beban kerusakan terhadap Sungai Batanghari dan maraknya pembangunan yang menyalahi tata ruang di sepanjang bantaran sungai. T3 Timbul konflik akibat kerusakan sumber daya di sepanjang Sungai Batanghari.
Responden 1 2 3
Jumlah
Rating
3
4
3
10
3
4
4
4
12
4
1
1
1
3
1
2
1
2
5
2
1
2
2
5
2