Forensik HIV: Prakondisi Kriminalisasi dalam Kebijakan AIDS Nasional Siradj Okta, SH., LL.M Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
I. Pendahuluan Konferensi AIDS Internasional yang ke-20 (www.aids2014.org) telah berlangsung pada tanggal 20-25 Juli 2014 di Melbourne, Australia. Sebagai wadah pertukaran pengalaman dari seluruh dunia dalam penanggulangan epidemi AIDS, konferensi ini telah menunjukkan rekognisi bahwa hukum pidana dipandang disinsentif pada penanggulangan AIDS, sehingga tantangan masih terbentang. Global Commission on HIV and the Law telah mengeluarkan berbagai rekomendasi dan laporan, namun di saat yang sama produk hukum yang disinsentif terhadap penanggulangan AIDS juga masih tetap bermunculan. Pasal 351 Ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur bahwa “Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan”. Secara hakikan normatif, penularan HIV dengan unsur kesalahan kesengajaan elah mendapatkan legitimasi sebagai penganiyaan. Penerapan pasal pemidanaan memerlukan
pembuktian,
sedangkan
pembuktian penularan HIV memerlukan sumber daya penunjang yang mampu menghadirkan alat bukti yang mampu menunjukkan terjadinya penularan yang didakwakan, secara merata bagi seluruh populasi. Karakteristik pemidanaan yang secara alamiah memiliki sifat general prevention, membuat kriminalisasi penularan HIV maupun perilaku berisiko menjadi berbenturan dengan tujuan-tujuan penanggulangan AIDS, misalnya target akes layanan HIV pada 80% populasi kunci dan 60% diantaranya melakukan perubahan perilaku. General prevention hukum pidana secara teori akan membuat
orang menghindari untuk menjadi subyek hukum pidana, oleh karenanya akan muncul keputusan-keputusan individual untuk tidak melakukan tes HIV yang pada gilirannya akan menghalangi akses layanan HIV, termasuk pencegahan yang membawa nuansa hak asasi atas kesehatan.
II. Tujuan Secara global, eksistensi kriminalisasi penularan HIV diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan AIDS. Faktanya, studi tahun 2013 terhadap 18 Undang-Undang dan 4 Peraturan Daerah menunjukkan adanya kriminalisasi
terkait penularan HIV di Indonesia, disamping adanya pasal
penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum positif, kriminalisasi memiki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik HIV, pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada korban. Namun, forensik HIV seperti pemanfaatan analisis filogenetika (phylogenetic analysis) memerlukan standar yang ekstensif agar memiliki kualifikasi pembuktian di pengadilan. Tulisan ini bertujuan menemukan perimbangan kebutuhan forensik HIV dalam fora kebijakan AIDS nasional dan politik hukum pidana.
III. Metodologi dan Analisis Data III.1. Metodologi Studi ini menggunakan metode penelitian desktriptif analitis dengan menganalisis data primer dan sekunder secara kualitatif yang bersumber dari hasil-hasil studi mengenai pemanfaatan forensik HIV pada kasus pidana, serta tinjauan terhadap ekosistem kebijakan pidana-HIV di Indonesia.
III.2. Variasi Penularan HIV dan Pertanggungjawaban Pidana Penularan HIV, khusunya melalui hubungan seksual memiliki beberpa variabel yang dapat dihubungkan dengan ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana. Secara khusus, dalam hukum pidana Indonesia yang menganut
pemenuhan keseluruhan unsur pasal, maka perlu ditemukan unsur kesalahan (kesengajaan
ataupun
kelalaian).
Penerapan
model
strict
liability
ini
membutuhkan adanya pengetahuan dan kehendak (willen en wetten) untuk dapat meletakkan sifat melawan hukum dalam suatu perbuatan. Terkait dengan penularan HIV, maka dapat dilakukan pemetaan variasi situasi dalam penularan melalui hubungan seksual sebagaiman terlihat dalam Tabel 1 di bawah. Pada beberapa pustaka diangkat mengenai adanya penghilangan pertanggungawaban pidana disebabkan adanya persetujuan (consent) dari pasangan untuk masuk ke dalam risiko penularan. Adapun consent tersebut pada Tabel 1 dapat dibedakan antara consent yang lahir karena adanya informasi (informed consent), maupun consent yang lahir karena tidak adanya penolakan untuk masuk ke dalam risiko (non-informed consent). Pada tatanan ini dapat dikemukakan bahwa sesungguhnya persetujuan yang diberikan oleh pasangan tidak terkait dengan pemberitahuan status (disclosure) dari terdakwa, oleh karena itu legislasi yang mewajibkan disclosure dengan ancaman pidana, dianggap tidak relevan. Dengan kata lain, pemberian persetujuan dapat diberikan terlepas dari pengetahuan pasangan mengenai status HIV terdakwa. Tabel 1. Variasi Perbuatan Terkait Status HIV Memberi tahu pasangan
Tidak memberi tahu pasangan
Tahu status HIV 1. Tahu status HIV dan memberi tahu pasangan mengenai status HIV Pasangan: Informed consent 3. Tahu status HIV tetapi tidak memberi tahu pasangan mengenai status HIV yang diketahuinya itu Pasangan: Non-informed consent
Tidak tahu status HIV 2. Tidak tahu status HIV dan memberi tahu pasangan bahwa tidak tahu status HIV Pasangan: Informed consent 4. Tidak tahu status HIV dan tidak memberi tahu pasangan mengenai ketidaktahuannya tersebut Pasangan: Non-informed consent
Legislasi yang memberi kriminalisasi memiliki kecendrungan untuk menyasar pada situasi di kuadran 3 (seseorang telah mengetahui status HIV tetapi tidak memberi tahu pasangan seksualnya), maka norma hukum pidana tersebut haruslah dapat memisahkan antara perbuatan kuadran 3 dengan perbuatan kuadran 4 (tidak tahu status HIV dan tidak memberi tahu pasangan mengenai ketidaktahuannya tersebut). Peletakan kesalahan yang salah akan mengakibatkan norma hukum pidana tersebut menjadi ketidakadilan bagi orang-orang di kuadran 4 disebabkan tidak ditemukannya pengetahuan dan kehendak sebagai syarat strict liability dalam hukum pidana. Pada Tabel 2, yang menunjukkan variasi kesadaran risiko, dapat terlihat pula bahwa pemberian persetujuan untuk masuk ke dalam risiko penularan bukan saja dipengaruhi oleh pengetahuan akan status HIV pasangan, tetapi juga pengetahuan tentang HIV-AIDS yang dimilikinya. Pertimbangan mengenai pengetahuan pasangan terdakwa mengenai HIV-AIDS mempertegas posisi bahwa disclosure status HIV terdakwa juga belum tentu valid untuk dilanjutkan dengan pembuktian mengenai apakah terjadi penularan secara de facto. Hal ini mempertegas pula bahwa kewajiban hukum akan disclosure tidak merupakan satu-satunya sebab lahirnya consent dari pasangan dengan adanya kemungkinan disclosure yang tidak valid. Tabel 2. Kesadaran akan Risiko
Tahu tentang HIV-AIDS Tidak tahu tentang HIVAIDS
Tahu status HIV pasangan Informed consent Ada disclosure tentang status HIV pasangan namun belum tentu benar Informed consent Ada disclosure tentang status HIV, tetapi belum tentu benar.
Tidak tahu status HIV pasangan Informed consent Tanpa disclosure status HIV pasangan Non-informed consent Tanpa disclosure tentang status HIV pasangan
Lebih lanjut lagi, Weait mengemukakan bahwa disclosure (pemberitahuan status pada pasangfan seksual), bukanlah syarat atau prekondisi bagi lahrinya consent dari pasangan seksualnya untuk masuk dalam risiko penularan. Untuk itu,
jika mengacu pada pemahaman ini, maka tanggung jawab atas masuk dalam risiko penularan tidak semata-mata dari salah satu pihak pasangan. Sebagai pasangan, secara serta-merta, tanggung jawab ini dipikul bersama-sama secara merata.
III.3. Analisis Filogenetika dan Analisis Jaringan Seksual Beberapa legislasi memberikan standar yang lebih tinggi untuk pemberian tanggung jawab pidana, yaitu pada terjadinya penularan (korban terinfeksi dari terdakwa). Analisis filogenetika telah digunakan dalam beberapa kasus sebagai alat bukti (melalui keterangan ahli dari virolog) dalam membuktikan penularan HIV. Namun demikian, analisis filogenetika tidak bisa berdiris sendiri untuk membuktikan terjadinya penularan diantara dua orang. Meskipun kedua orang mungkin memiliki virus HIV yang terlihat sangat dekat kemiripannya, hal ini bukan berarti keterkaitan virus tersebut bersifat unik. Keterkaitan virus tersebut dapat meluas pada orang lain yang berada pada jaringan penularan yang sama. Kemungkinan penularan lain dapat saja melibatkan orang ketiga melalui berbagai variasi arah penularan. Virus HIV ditemukan memiliki sifat yang berbeda jika dibandingkan dengan DNA. Virus HIV tidak memiliki keunikan individual sebagaimana DNA sehingga tidak dapat disimpulkan memiliki kesamaan yang definitif dalam menentukan arah penularan. Dengan demikian, analisis filogenetika hanya dapat bersifat mendukung alat bukti lain. Jaringan seksual adalah kelompok individu yang terhubung satu sama lain secara seksual. Pemetaan jaringan seksual bermaksud untuk menentukan kecepatan penularan melalui beberapa variabelnya, yaitu: Jumlah orang yang berada dalam jaringan, posisi individu dengan risiko tinggi dalam jaringan, persentase hubungan yang monogami, serta jumlah links antara cluster seksual yang terdapat dalam jaringan tertentu. Pemetaan jaringan seksual merupakan komponen yang secara fungsional berhubungan dengan forensik HIV. Secara mendasar, analisis jaringan seksual memiliki manfaat dalam penanggulangan AIDS antara lain sebagai berikut: partner notification, startegi pengembangan pesan pencegahan, dan pemilihan media pencegahan. Sehubungan dengan forensik HIV, bersama dengan analisis
filogenetika, pemetaan jaringan seksual dapat membantu mendukung pembuktian penularan HIV. Analisis filogenetika berfungsi menentukan kemiripan virus diantara kedua individu, sedangkan analisis jaringan seksual membantu menentukan gambaran makro keberadaan individu-individu tersebut dalam semesta jaringan seksual pada suatu populasi. Namun demikian, belum ada preseden yang membuktikan bahwa pemetaan jaringan seksual digunakan untuk mengonfirmasi hasil analisis filogenetika, khususnya dalam pengadilan pidana di Indonesia.
IV. Hasil dan Diskusi Bersama alat bukti lain, pemanfaatan forensik HIV mutlak diperlukan untuk mendapatkan kebenaran materiil persidangan pidana serta rule of law. Untuk dapat diterapkan, delik yang merepresentasi kriminalisasi penularan HIV sebagai hukum positif memerlukan regulasi dan anggaran yang mendukung forensik HIV. Kebijakan tersebut perlu mengakomodir ketersediaan fasilitas, virolog, serta menjamin kualitas kontekstual penegak hukum. Mekanisme pemetaan jaringan seksual merupakan bagian absolut dari forensik HIV. Kebutuhan akan forensik HIV masuk dalam debat mengenai afirmasi kriminalisasi sebagai bagian dari upaya penanggulangan AIDS nasional dan global. Penerapan strict liability pada kriminalisasi penularan HIV memberi disinsentif bagi integritas penegakan hukum. Penerapan kriminalisasi tanpa kapasitas pembuktian yang memadai. Kecukupan
V. Kesimpulan dan Saran Kriminalisasi penularan HIV membutuhkan prasyarat, yaitu adanya forensik HIV yang mampu menentukan arah penularan yang hingga saat ini hanya mampu memberikan petunjuk kemiripan dengan didukung analisis jaringan seksual yang belum memiliki preseden. Pada tatanan konsep, kriminalisasi menghadaapi diskursus tentang pertanggungjawaban pidana sehubungan dengan consent dan disclosure. Untuk itu, pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional perlu mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan
anggaran dalam mengantisipasi penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan eksekutif di tingkat penyidikan maupun yudiktif di tingkat pengadilan terkait forensik HIV perlu dilakukan secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim pidana dengan sistem pembuktian negatif perlu dikawal oleh masyarakat sipil. Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan modal advokasi dekriminalisasi dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.
VI. Pustaka Asa, Simplexius, 2011, “Suatu Tinjauan Hukum Pidana terhadap Kriminalisasi Perilaku Berisiko dalam Peraturan Daerah tentang Penanggulangan AIDS di Indonesia”, Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at, 2012, “Teori Hans Kelsen tentang Hukum”, Jakarta, Konstitusi Press Bernard, EJ., Azad, Y., Vandamme, AM., Weait, M., Geretti, AM., (2007), HIV Forensics: Pitfalls and acceptable standards in the use of phylogenetic analysis as evidence in criminal investigations of HIV transmission, HIV Medicine, 8, 382-387, NAM Publication & National AIDS Trust Ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013, “Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan I” Elliott, Richard, 2002, “Criminal Law, Public Health and HIV Transmission: A Policy Options Paper”, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS Hart, H.L.A., 1969, “Punishment and Responsibility”, Oxford, Oxford University Press Husak, Douglas, 2007, “Overcriminalization: The Limits of the Criminal Law”, New York, Oxford University Press Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, “Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia 2011-2016” Moerings, Martin, 2012, “Apakah Pidana Penjara Efektif?”, dalam Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings (eds,), Hukum Pidana dalam Perspektif, Jakarta, Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen Pedain, A., 2005, ‘‘HIV and Responsible Sexual Behaviour’’, Cambridge Law Journal, Vol. 64 Rapporteur Team, 2014, “Track D Session Summary, MOSS02, No One Left Behind: Stepping up the Pace on the Removal of Punitive Laws to Advance Human Rights and Gender Equality”, 20th International AIDS Conference. http://rapporteurs.aids2014.org/SummaryView.aspx?summary_id=690 diunduh 15 Agustus 2014 Reuter, Peter, 1992, “Hawks Ascendant: The Punitive Trend of Drug Policy”, Daedalus, Vo. 121 Ryan, Samantha, 2007, “Risk-taking, Recklessness and HIV Transmission:
Accommodating the Reality of Sexual Transmission of HIV within a Justifiable Approach to Criminal Liability”, Liverpool Law Review, Vol. 28, Issue 2 Sidibe, Michel, 2014, “Opening Speech: The Last Climb: Ending AIDS, Leaving No One Behind”, 20th International AIDS Conference http://www.aids2014.org/WebContent/File/AIDS2014_Opening_Addresse s_Michel_Sidibe.pdf diunduh 15 Agustus 2014 Spencer, J.R., 2004, ‘‘Retrial for Reckless Infection’’, New Law Journal , Vol. 154 Weait, Matthew, 2005, “Criminal Law and the Sexual Transmission of HIV: R v. dica”. Modern Law Review, Vol. 68 Weait, Matthew, 2005, “Harm, Consent and the Limits of Privacy”. Feminist Legal Studies, Vol. 13 Weait, Matthew, 2005, ‘‘Knowledge, Autonomy and Consent: R v Konzani’’, Criminal Law Review, Vol. 8 Windari, Rusmilawati, 2012, “Perlindungan Hukum terhadap Anak dari Kekerasan dalam Keluarga di Indonesia dan Thailand: Kajian Komparatif” dalam Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings (eds,), Hukum Pidana dalam Perspektif, Jakarta, Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen