FITRAH DAN PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MANUSIA Moh. S. Rahman Abstrak Pandangan Islam pada dasarnya sifat asal manusia selalu ingin kembali kepada kebenaran sejati (Allah), salah satu konsep yang menonjol berkenan dengan masalah ini adalah fitrah. Fitrah manusia adalah mempercayai dan mengakui Allah swt. sebagai Tuhannya. Dorongan ini alamiyah (biologis) sifatnya. Adanya suatu pandangan yang menyakini adanya fitrah manusia untuk selalu kembali kepada kebaikan dan kebenaran, adalah pandangan yang optimis bahwa manusia selalu dapat dilahirkan dari kesesatan menuju kebaikan. Dalam berbagai aliran dalam psikologi (pendidikan) terdapat beberapa aliran dan pandangan yang membicarakan mengenai potensi manusia apakah ia merupakan sesuatu telah ada sebelumnya, sehingga tidak perlu dikembangkan atau potensi tersebut perlu dikembangkan bahkan hanya melalui upaya pengembangan tersebut potensi itu dapat diaktualisasikan sebagai sesuatu upaya mewujudkan kualitas manusia yang ideal. Kata kunci: fitrah, manusia dan kepribadian
I. Pendahuluan Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt., yang termulia di antara sekian banyak makhluk ciptaan-Nya, merupakan makhluk yang memiliki multi dimensi yang membawa berbagai potensi yang bersifat jasmani dan rohani. Potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut akan merupakan keunggulan yang mempunyai nilai yang sangat berharga terutama bagi manusia itu sendiri dalam menjalankan fungsi dan tugas kekhalifahannya di bumi ini. Hal ini dapat dibuktikan, baik melalui informasi-informasi yang disampaikan oleh Allah sendiri dalam Alquran dalam berbagai surat dan ayat maupun melalui kajian-kajian dan penelitian. Manusia tidak sekedar memiliki semua unsur yang ada pada makhluk
lainnya melainkan juga mempunyai kulitas yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk manapun. Potensi-potensi yang dimiliki manusia berupa akal, indra, hati nurani, kemauan serta naluri, tidak jarang diperselisihkan dalam berbagai penafsiran. Dalam ajaran Islam ataupun dalam pandangan pendidikan Islam potensi-potensi manusia sebagaimana yang dikemukakan tersebut sering diistilahkan “Fitrah” dan beberapa pakar menafsirkannya dengan pengertian potensi-potensi yang bersifat psikis dan fisik yang dimiliki oleh setiap anak yang dilahirkan. Ada pula ahli mengartikan sebagai agama atau kesucian. Sedangkan para ahli pendidikan meninjau perkembangan
kejiwaannya
berkaitan
dengan
psikologi
pendidikan
sering
menggunakan istilah potensi atau bakat dan pembawaan, sehingga dalam psikologi perkembangan dikenal ada tiga aliran yang membicarakan tentang potensi yang dimiliki anak, yaitu aliran nativisme, empirisme dan konvergensi. Dari ketiga aliran di atas masing-masing mengemukakan argumentasinya dalam mempertahankan teorinya. Salah satu dari ketiga aliran dalam psikologi pendidikan di atas adalah aliran konvergensi yang memadukan dua pendapat yang saling bertolak belakang dan tampaknya aliran konvergensi ini mendekati pemahaman tentang “Fitrah” dalam konsepsi pendidikan Islam. Namun hal ini masih belum dapat diterima sepenuhnya dengan berbagai alasan yang didasari oleh sumber yang menjadi landasan pendidikan Islam, yakni Alquran dan hadits nabi Muhamad Saw. Oleh sebab itu kajian dan telaah yang bertujuan untuk memahami tentang pengertian fitrah dalam pandangan Islam dan fitrah atau potensi dalam istilah yang dipergunakan para ahli pendidikan dan psikolog, sangat perlu dilakukan.
Dari latarbelakang yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi pokok masalah adalah konsep fitrah dan pengaktualisasikan dalam padangan Islam, dengan sub masalah 1.
Bagaimana fungsi fitrah dalam pengembangan kepribadaian manusia?
2.
Bagaimana kepribadian manusia yang ideal menurut pandangan Islam?
II. Pembahasan A. Fungsi Fitrah dalam Pengembangan Kepribadian Manusia 1.
Konsep kepribadian Manusia Menurut asal katanya, kepribadian atau personality berasal dari bahasa Latin
“personare” yang berarti mengeluarkan suara. Sedangkan menurut istilah digunakan untuk menunjukkan suara dari percakapan seorang pemain sandiwara di mana suara pemain sandiwara itu diproyeksikan, kemudian kata persona itu berarti pemain sandiwara itu sendiri. Namun demikian menurut sejarah bahwa kata persona yang pertama kali berarti topeng, kemudian diartikan pemainnya itu sendiri yang memainkan peranan seperti digambarkan dalam topeng tersebut. Akhir kata persona itu menunjukkan pengertian tentang kualitas dari watak atau karakter yang dimainkan di dalam sandiwara itu. kini kata personalia oleh para ahli psikologi dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang nyata dan dapat dipercaya tentang individu, untuk menggambarkan bagaimana dan apa sebenarnya individu itu. Sesuai dengan apa yang dimaksudkan dengan kepribadian oleh seorang ahli psikologi, yakni Sartain menjelaskan bahwa:
Istilah personality ialah menunjukkan suatu oraganisasi/susunan daripada sifat-sifat dan aspek tingkah laku lainnya yang saling berhubungan di dalam individu.1 Dari sifat dan aspek ini bersifat psiko-fisik yang menyebabkan individu berbuat dan bertindak seperti apa yang ia lakukan, dan menunjukkan adanya ciri-ciri khas yang membedakan individu itu dengan individu yang lain, termasuk di dalamnya sikapnya, kepercayaannya, nilai-nilai dan cita-citanya, pengetahuan dan ketrampilannya, macam-macam cara gerak tubuhnya dan sebagainya. Di dalam pergaulan dan percakapan sehari-hari tidak jarang kita mendengar dan bahkan menggunakan kata pribadi atau kepribadian itu, tanpa memikirkan lebih lanjut apa arti sesungguhnya dari kata tersebut. Kata pribadi sering diartikan sebagai individu, seseorang yang berdiri sendiri terlepas dari individu yang lain. biasanya pula dapat diartikan sebagai pola-pola tingkah laku manusia yang berhubungan dengan norma-norma tentang baik dan buruk atau dengan kata lain, kata pribadi atau kepribadian itu dipakai untuk menunjukkan adanya ciri-ciri khas yang ada pada seseorang. Sejalan dengan hal tersebut Bogolousky dalam bukunya Ideal School yang dikutip oleh Iman Bernadib menegaskan bahwa; Kepribadian yakni bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional dan intelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut itu.2
1
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Cet. 4, Bandung: CV. Remaja Karya Offset, 1989, h. 47. 2
Imam Bernadib, Filsafat pendidikan, (Pengantar Sistem dan Metode), Cet 5, Yokyakarta: PT. Andi Offset, 1988, h. 57.
Berdasarkan
hal
tersebut,
dapat
dipahami
bahwa
sesungguhnya
mengandung pengertian yang sangat kompleks. Sebagaimana dikatakan dalam uraian terdahulu, bahwa kepribadian itu mencakup berbagai aspek dan sifat-sifat fisik maupun psikhis dari seorang individu. Oleh karena itu sukar bagi kita demikian pula bagi para ahli psikologi untuk merumuskan batasan atau definisi tentang kepribadian secara tepat, jelas dan mudah dimengerti. Betapa sulitnya merumuskan arti kepribadian itu. Namun demikian ada upaya untuk merumuskan makna kepribadian itu sendiri, antara lain: Kepribadian adalah perwujudan keseluruhan semua segi manusianya yang unik, lahir batin, jasmaniah dan rohaniah dalam antar hubungannya dengan setiap kehidupan individu dan sosialnya.3 Sejalan dengan itu pula menurut Crow sebagaimana yang dikutip oleh M. Ngalim Poerwanto yang menunjukkan bagaimana ahli-ahli psikologi itu membuat rumusan menurut caranya masing-masing, seperti terlihat pada ungkapan di bawah ini: Bahwa kepribadian atau personality itu dinamis, tidak statis atau tetap saja tanpa perubahan. Ia menunjukkan tingkah laku yang terintegrasi dan merupakan interaksi antara kesanggupan-kesanggupan bahwa bawaan yang ada pada individu dengan lingkungannya. Ia bersifat psikofisik, yang berarti baik faktor jasmani maupun rohani individu itu bersama-sama memegang peranan kepribadian ia juga bersifat unik, artinya kepribadian seseorang sifatnya khas, mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dari individu yang lain.4 Jika dianalisa lebih lanjut maka istilah kepribadian itu meliputi berbagai aspek yang lebih luas yang mencakup keseluruhan dari diri seseorang yang bersifat kualitas diri yang dimiliki seseorang yang tidak jarang ditampilkan dalam setiap
3
M. Ngalim Purwanto, op.cit., h. 154.
4
Ibid.
aktifitas hidupnya dalam berbagai bentuk tingkah-laku. Hal ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba bahwa; Kepribadian adalah lebih luas artinya meliputi kualitas keseluruhan dari seseornag. Kualiteit itu akan tampak dalam cara-caranya berbuat, berfikir, mengeluarkan pendapat, sikapnya, misalnya filsafat hidupnya serta kepercayaannya.5 Dengan demikian dapat dipahami bahwa betapa luas pengertian dari kepribadian itu, namun demikian ada beberapa aspek yang dapat dilihat dalam memahami sifat-sifat dan unsur yang terdapat dalam pengertian kepribadian tersebut yang dapat diuraikan lebih lanjut. a. Sifat Kata “Sifat” ‘Traits, dalam istilah psikologi, memiliki arti sebagai ciri-ciri tingkah laku yang tetap atau hampir tetap pada setiap individu, seperti: seseorang yang seperti si Ahmad pemarah, si Rina pembohong, si Ramlan sering menangis dan sebagainya, yang semuanya menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan seperti itu sering muncul sehingga menjadi semacam suatu ciri khas dari tingkah laku seseorang, dapat dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan sifat-sifat orang yang bersangkutan, sehingga dengan demikian mungkin dapat dikatakan bahwa si Ahmad dan lain-lainnya pemarah dan sebagainya. Dari sekian perbuatan yang lahir dari seseorang tersebut maka dapatlah diketahui tentang sifat-sifat orang tersebut maka dapatlah diketahui tentang sifat-sifat
5
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. 8, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989, h. 66-67.
orang tersebut pula. Osmar Muhammad al Toumy As-Syaibany, mengomentar tentang perihal sifat manusia ini mengatakan ; Proses membentuk identitas sifat dan watak atau mengubah dan memupuk serta memajukan ciri-cirinya yang unik dinamakan sosialisasi, atau proses “pemasyarakatan”. Mudah atau susahnya proses ini bergantung kepada usia dan cara yang digunakan untuk sampai kepada tujuan.6 Namun demikian sesuai dengan batasan di atas, dapat juga dikatakan bahwa tingkah laku seseorang yang merupakan sifat ini lebih diatur atau dipengaruhi dari dalam diri individu itu sendiri, dan relatif bebas dari pengaruh-pengaruh lingkungan luar atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa sifat merupakan ciri-ciri tingkah laku perbuatan yang banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam diri seperti pembawaan, minat konstruksi tubuh dan cenderung bersifat tetap atau stabil. b. Sikap Penggunaan kata “sikap” secara sembarangan saja seperti orang berkata kurang ajar, sikapnya lemah, sikap badannya kurang tegar dapat mengaburkan arti yang sebenarnya dari kata itu. Sikap atau yang dalam bahasa Inggris disebut “attitude” adalah suatu cara bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu perangsang. Suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap sesuatu perangsang ataupun situasi yang dihadapi. Hal ini dapat dilihat dari reaksi seseorang jika ia terkena sesuatu rangsangan baik mengenai orang, benda-benda ataupun situasisituasi yang mengenai dirinya. Sebagai contoh dikemukakan kalimat-kalimat berikut; Ibu Amin bersikap acuh tak acuh terhadap problem yang dihadapi oleh keluarganya.
6
Omar Mohammad al-Toumy, al-Naisabury, Falsafah Pendidikan Islam, Cet 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 20.
Pak Alfiah selalu marah-marah jika melihat halaman rumahnya kotor. Setelah mendapat nasehat dari Bapak Kepala sekolah, Iman tidak suka melamun lagi di dalam kelas. Dari beberapa contoh Penulis kemukakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu perbuatan atau tingkah laku sebagai reaksi atau respons terhadap sesuatu rangsangan atau stimulus yang disertai dengan pendirian dan atau perasaan orang itu. Ellis mengemukakan mengenai sikap sebagaimana dikutip oleh M. Ngalim Poerwanto bahwa : Yang sangat memegang peranan penting didalam sikap ialah faktor perasaan atau emosi dan faktor kedua adalah reaksi/respon, atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam beberapa hal, sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif yaitu senang atau tidak senang, menurut dan melaksanakannya atau menjauhi/menghindari sesuatu.7 Tiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap sesuatu perangsang. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang ada pada individu masingmasing seperti adanya perbedaan dalam bakat, minat pengalaman, pengetahuan, intensitas perasaan, begitu juga dengan situasi lingkungan. Demikian pula sikap pada diri seseorang terhadap sesuatu perangsang yang sama mungkin juga tidak selalu sama. Pada suatu ketika seorang guru marah-marah kepada salah seorang muridnya karena terlambat masuk sekolah namun pada ketika waktu yang lain ketika ia terlambat, ia tidak begitu menghiraukan meskipun ada beberapa orang siswa atau murid terlambat. 2. Fitrah Menuntun Proses Kepribadian Manusia
7
M. Ngalim Purwanto, op.cit., h. 136.
Agar dapat memahami tentang fungsi dan peranan Fitrah dalam menuntun proses perkembangan kepribadian manusia, lebih awal dibutuhkan pengetahuan tentang pengertian manusia itu sendiri kaitannya dengan upaya pengembangan kepribadian manusia. Konsep fitrah diikutkan dalam pembahasan ini dimaksudkan, melalui pengertian-pengertiannya akan dapat dipahami sehingga pembahasanpembahasan yang dilakukan dapat mengena pada sasaran akhir serta aspek-aspek apa yang menjadi garapan dalam proses pengembangan kepribadian Manusia. Untuk itu melalui uraian di bawah ini kedua hal tersebut akan diuraikan secara terpisah di mana untuk uraian mengenai fitrah itu sendiri dalam pembahasan ini hanya merupakan penekanan kembali berkaitan dengan hubungannya dengan pentingnya faktor fitrah dalam memberikan tuntunan terhadap proses perkembangan kepribadian manusia. Dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga sekolah, masyarakat dan di mana saja bila ditanyakan kepada seseorang perihal pengertian manusia akan ditemukan jawaban yang beragam. Dari keseluruhan jawaban yang ada itu bila disimpulkan, maka manusia itu adalah makhluk hidup sebagaimana dengan makhluk ciptaan Allah swt. Yang lain, namun diberikan akal sebagai pembeda dari makhluk lainnya. Dari pengertian yang berlaku secara umum tersebut, maka sebagai bahan perbandingan dan penjelasan lebih lanjut berikut dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang manusia menurut versi mereka masing-masing :
Menurut I. Sugriwa, bahwa manusia itu terdiri dari dua suku kata, yaitu ; “Manus dan Ia; manus artinya roh/jiwa dan ia artinya tubuh kasar.”8 Dalam pengertian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah sosok makhluk yang terdiri dari dua jenis unsur tubuh yaitu tubuh kasar adalah jasadnya; daging dan tulang belulang dan tubuh halus adalah jiwa atau nyawa. Sehingga dengan demikian pula di manapun berada sebelum meninggal, kedua unsur tersebut senantiasa tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Adi Negoro menghimpun dari berbagai pakar yang menyimpulkan tentang pengertian manusia sebagaimana yang dikutip oleh Syahminan Zaini menguraikan : 1. Homo Sapiens, kata Linnaeus, artinya makhluk yang mempunyai budi (akal). 2. Homo Loquen, kata Revasz dalam Das Problem des Ursprugs der sprache, yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan fikiran dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun. 3. Homo Religious, yaitu manusia dasarnya beragama. 4. Homo Divinan, yaitu manusia itu khalifah Tuhan. 5. Homo Delegaus, yaitu manusia adalah makhluk yang bisa menyerahkan kerja dan kekuasaannya pada orang lain dia bisa berwakil, berwali.9 Pengertian di atas pada dasarnya melihat manusia dari berbagai aspeknya; baik manusia sosial, pribadi, beragama, berkuasa maupun manusia sebagai makhluk yang dapat dipimpin dan diarahkan oleh manusia lainnya. Sedangkan dari konsep Islam, perkataan manusia berasal dari kata “al insan” ) (اإلنسانsedangkan kata “basyar” ) (بشرini sebagaimana penjelasan yang dikemukakan oleh Dr. M. Quraish Shihab, M. A sebagai berikut :
8
M Ali Usman, Manusia Menurut Islam, Bandung: Mawar, 1970, h. 57. Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1980, h. 5-6.
9
Kata “al insan” ( )اإلنسانyang diterjemahkan dengan manusia terambil dari akar kata “uns” ( )انسyang berarti senang, jinak dan harmonis, atau terambil daripada akar kata “nisy” ( )نسيyang berarti lupa, ada juga pendapat yang mengembalikan akar katanya kepada “nauns” ( )نونسyang berarti pergerakan atau dinamis. Makna-makna tersebut paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk tersebut, yakni: bahwa manusia memiliki potensi utnuk lupa, atau memiliki kemampuan bergerak yang melahirkan dinamisme atau makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme dan kebahagiaan kepada pihak-pihak lain … hal mana berbeda dengan manusia, tetapi maknanya lebih banyak mengacu kepada manusia dari segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda antara seorang dengan orang lain selama mereka semua adalah manusia.10 Dari keseluruhan pengertian tentang manusia yang telah dikemukakan dalam uraian di atas dapatlah diketahui dan dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah swt dengan dikarunia akal, di samping pula bahwa manusia merupakan makhluk yang terdiri dari unsur rohani dan jasmani. Hal demikian seperti terdapat dalam QS. Shad (33): 71 dan 72 sebagai berikut:
ِ ِ ِ ِ فَِإذَا س َّوي تُه ونَ َفخ.ك لِْلمالَئِ َك ِة إِِّن خالِق ب َشرا ِمن ِطني ِ ُ ْ َُْ َ ُت فيه م ْن ُروحي فَ َقعُوا لَه ْ ً ٌَ َ ِ َ َ ُّإ ْذ قَ َال َرب ِِ .)٧٢-٧١ :ين (ص َ َساجد Terjemahnya:
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".11 Dengan demikian adanya unsur-unsur jasmani dan rohani serta akal yang diberikan Allah swt. Kepada manusia, menandakan manusia adalah sosok makhluk yang mulia diantara jenis makhluk lainnya. Namun demikian bila unsur-unsur yang
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, Jakarta: Pustaka, 1992, h. 19-20.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an, 1974, h. 741. 11
dikaruniakan tersebut tidak dikembangkan ke arah yang lebih baik dari keadaannya semula boleh jadi manusia akan menempati suatu posisi atau derajat yang lebih rendah lagi daripada makhluk lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt (Q.S. At Tiin (95): 4-5)
Terjemahnya:
ِِ ِْ لََق ْد َخلَ ْقنَا )٥-٤:ني (التني َ َس َف َل َسافل ْ اْلنْ َسا َن ِِف أ ْ ُُثَّ َرَد ْد َنهُ أ.َح َس ِن تَ ْق ِو ٍمي
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),12 Berdasarkan informasi ayat di atas, tersirat bahwa manusia di samping memiliki potensi yang dapat berkembang dan dikembangkan menuju ke arah yang mulia sebagaimana yang ditegaskan ayat di atas, ia juga dapat saja jatuh pada taraf derajat yang sangat rendah bahkan lebih rendah daripada makhluk ciptaan Allah lainnya, yakni binatang. 3. Pengaktualisasian Fitrah Melalui proses Pendidikan Konsep pendidikan Islam yang bersumber dari ajaran Alqur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw. yang memandang fitrah sangat berbeda dengan konsep teori lain, yang menganggap manusia dilahirkan dalam keadaan netral sebagaimana yang dapat dipahami dari teori “Tabularasa” yang dikemukakan oleh John Lock yang dikutip oleh Prof. Dr. Singgih Gunarsah mengatakan bahwa: Pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan anak. Isi jiwa anak ketika dilahirkan adalah ibarat secarik kertas yang masih kosong, artinya bagaimana nanti bentuk dan corak kertas tersebut bergantung pada cara kertas tersebut ditulis. Lock
12
Ibid., h. 741.
mengemukakan istilah tabularasa untuk mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan hidup terhadap perkembangan anak.13 Dalam pandangan yang dikemukakan tersebut, tersirat bahwa konsepsi tentang hakekat anak yang baru lahir, sesungguhnya tidak membawa sesuatu pun ia hanya diibaratkan sebagai kertas kosong atau sebuah kaset kosong yang masih harus diisi atau ditulis sesuai dengan keinginan orang tua atau pendidik. Dengan demikian menurut pandangan ini corak kepribadian anak sangat ditentukan oleh bagaimana upaya dan keinginan pendidik dan pengaruh lingkungan terhadap anak. Sebagai kelanjutan penegasan pandangan di atas, Skiner menjelaskan : Lingkungan menentukan individu, bahkan meski dia merubah lingkungan. Manusia tidak membawa apa-apa saat lahirnya. Agama, sebagaimana halnya dengan aspek-aspek behavioral, kata mereka, dapat diterangkan dalam termaterma faktor lingkungan. Kenyataan banyak anak-anak muslim setelah dewasa menganut Islam dan anak-anak Kristen setelah dewasa menjadi manusia Kristen, diambil Skiner sebagai ilustrasi teorinya.14 Meskipun diakui bahwa periode ketergantungan pada orang lain yang lama pada masa anak-anak, memungkinkan orang tua menanamkan pengaruh pada anakanak mereka. Hal ini dapat dilakukan terutama melalui upaya pendidikan, baik yang dilakukan secara formal (disekolah) maupun non formal (di luar sekolah). Oleh sebab itu konsep fitrah menurut pendidikan Islam bertujuan memperkuat hubungan dengan Allah swt. Demikian pula pendidikan yang dilakukan oleh sekolah tidak boleh
13
Singgih Gunarsah, Dasar dan Teori Pengembangan Anak, Cet. 2, Jakarta: Gunung Mulia, 1982, h. 15-16. 14
Abdur-Rahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Qur’an Serta Implementasinya, Cet. 1, Bandung: CV. Diponegor, 1991, h. 82.
menjauhi atau bertentangan dengan konsep tersebut. Dalam hubungan ini Prof. Dr. Oemar Muhammad Al-Toumy Al Syaibany menegaskan : ... bahwa perhatian utama pendidikan berpusat pada wujud insani ; baik sebagai individu atau kumpulan sosial baik menyentuh aspek materialnya, pemikiran, kerohanian, kemasyarakatan, ekonomi, politik maupun seluruh persekitarannya yang ikut memberi kesan. Wujud insani inilah yang sebenarnya yang dipentingkan oleh pendidikan untuk menghasilkan perubahan yang dikehendaki. 15 Wujud upaya mengaktualisasikan fitrah dari dan melalui proses pendidikan menghendaki upaya tersebut secara berkesinambungan antara pengaktualisasian unsur jasmani dan rohani. Sebab jika unsur yang satu dikembangkan sebagai upaya pengaktualisasian unsur-unsur tersebut sementara unsur lainnya tidak diperhatikan atau diabaikan akan melahirkan pribadi yang tidak seimbang atau tidak utuh. Apabila satu unsur dikembangkan terlepas dari unsur lainnya akan melahirkan manusia yang tidak serasi. Hal ini di samping tidak sejalan dengan konsep tujuan pendidikan Islam yang mengupayakan tercapainya manusia yang sempurna (insan kamil) melainkan juga dalam konteks tujuan pendidikan Nasioanl sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 23 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah: Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. 16 15
Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul: Falsafah Pendidikan Islam, Cet 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 20. 16
Departemen P & K., Himpunan Peraturan-Peraturan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: t.p.,1992/1993, h. 6
Dengan
demikian
pendidikan
(Islam)
harus
mampu
menciptakan
keseimbangan dan keserasian antara pengembangan unsur jasmani dan rohani manusia sesuai dengna fitrah kejadiannya.
B. Kepribadian Manusia Yang Ideal Menurut Pandangan Islam 1. Pandangan Islam terhadap Manusia Keyakinan tentang manusia itu merupakan makhluk termulia dari segenap makhluk dan wujud lain yang ada di seluruh alam semesta ini. Allah mengaruniakan keutamaan yang membedakannya dari makhluk-Nya yang lain, membekali manusia dengan beberapa ciri tertentu. Dengan karunia itulah manusia berhak mendapat penghormatan dari makhluk-makhluk lainnya. Jika direnungkan secara mendalam tentang bagaimana Islam memberi perhatian yang amat besar. Islam menjelaskan kepada manusia itu sendiri mengenai aspek yang berhubungan dengan manusia, baik di dunia maupun kehidupannya di akhirat kelak. Demikian pula Islam menerangkan tentang asal-usul dan rahasia eksistensi manusia yang ideal menurut pandangan Alqur’an (Islam) di mana meskipun manusia digambarkan sebagai hasil ciptaan Allah swt. Yang semuliamulianya demikian pula dalam bentuknya, namun ia tidak serta merta menduduki posisi sebagaimana yang disandangnya. Manusia mesti senantiasa mengupayakan agar ia dapat mempertahankan fungsi dan kedudukannya sebagai makhluk ciptaanNya. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan sendiri oleh Allah swt. Dalam Alqur’an surat At-Tiin : 5 dan 6 menjelaskan:
ِ َّ إِالَّ الَّ ِذين ءامنوا وع ِملُوا.ُُثَّ ردد َنه أَس َفل سافِلِني ِ اِل ٍ ُات فَلَهم أَجر َغي ر َمَْن : (التني.ون َ َ َُ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ ََ َ الص ُْ ٌْ ْ ُ )٦-٥ Terjemahnya: Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.17 Dari
ayat
tersebut,
menyiratkan
bahwa
manusia
hanya
dapat
mempertahankan status kemanusiaannya sebagaimana yang diberikan oleh Allah swt. Dengan jalan beriman dan bertakwa kepada Allah serta mengerjakan amal shaleh sebagai aktualisasi daripada tingkat kualitas keimanan dan ketakwaannya. Oleh sebab itu, manusia yang telah diberikan beberapa potensi yakni akal, kalbu dan nafsu harus mampu mendayagunakan potensi-potensi yakni akal, kalbu dan nafsu harus mampu mendayagunakan potensi-potensi tersebut secara maksimal guna mewujudkan kualitas kemanusiaanya. 2. Pendidikan sebagai Sarana Pembinaan Kepribadian Manusia. Pengembangan kepribadian manusia, baik dalam prespektif pendidikan nasional, Pendidikan Islam maupun pada model pendidikan lainnya. Pada prinsipnya menghendaki adanya peningkatan kualitas setiap individu. Untuk itu perubahanperubahan melalui proses pendidikan yang mengerahkan seluruh aspek kepribadian manusia secara utuh, yang diharapkan berlangsung pada individu berupa perubahanperubahan pola pikir, kecakapan, sikap perilaku dan unsur-unsur kepribadian manusia lainnya yang secara kodrati
17
masih dapat diubah
Departemen Agama RI., op.cit., h. 1076.
oleh kemampuan manusia.
Pendidikan sebagai suatu sarana yang telah diakui mampu mengembangkan potensipotensi manusia menurut psikologi pendidikan atau fitrah yang perlu dipelihara menurut konsepsi Islam, merupakan alternatif yang perlu dioptimalkan. Dengan melalui proses pendidikan yang terencana baik, kepribadian manusia dapat dikembangkan sesuai dengan tujuan yang di tetapkan. Hal ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh para psikolog (teori psikologi) sebagaimana antara lain yang dipaparkan oleh HM. Arifin yang mengutip dari Fillmore H. Sandford, “Kepribadian adalah susunan yang unik dari sifat-sifat seseorang yang berlangsung lama“.18 Sifat-sifat unik yang menggejala dalam tingkah laku seseorang yang mempunyai kepribadian tertentu, menggambarkan aspirasi dan arah tujuan tertentu sehingga dengan melakukan pengamatan dalam jangka panjang dapat dilihat bahwa seseorang itu telah memiliki pandangan hidup. Pandangan hidup tersebut berlangsung dalam perilakunya yang senantiasa konsisten dalam berfikir, berbuat dan berperilaku sepanjang waktu, sehingga menampakkan corak dan ciri kepribadiannya. Pengertian di atas paling tidak memberikan gambaran pada kita bahwa setiap pribadi manusia itu memiliki corak prilaku lahiriah dan rohaniah yang berbeda dengan pribadi atau individu lainnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan pengalaman dan bakatnya. Sejalan dengan hal ini, H.M. Arifin lebih lanjut menyatakan bahwa:
18
H. M. Arifin, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. 3, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, h. 166.
Perpaduan antara pengalaman dan bakat itulah sebenarnya yang memberikan pengaruh terhadap terbentuknya corak kekhususan dari kepribadian seseorang.19 Suatu gambaran mengenai makna kepribadian dari ahli psikologi menunjukkan bahwa kepribadian itu merupakan pola dasar kehidupan yang mencakup aspek psiko-fisik yang berhubungan antara satu dengan lainnya di mana sifat dan watak peribadi seseorang dapat berkembang dan dikembangkan atas dasar perpaduan antara pengalaman kependidikan yang dalam hal ini termasuk pengalaman sengaja diadakan, dan kemampuan atau bakat, yang dapat diamati wujudnya dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan pribadi-pribadi sehari-hari. Oleh karena itu upaya pendidikan merupakan suatu proses yang disadari dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Mengenai hal ini Dr. Zakiah Daradjat, menguraikan : Pendidikan Islam berarti pembentukan pribadi muslim isi pribadi muslim itu adalah pengamalan sepenuhnya ajaran Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pribadi muslim itu tidak akan tercapai atau terbina kecuali dengan pengajaran dan pendidikan. Membimbing pribadi muslim adalah wajib. Dan karena pribadi muslim tidak mungkin terwujud kecuali dengan pendidikan, maka pendidikan itu wajib dalam pandangan Islam.20 Dalam makna yang lain, pendidikan Islam juga merupakan upaya atau proses, pencarian, pembentukan dan pengembangan sikap perilaku untuk mencari, mengembangkan, serta menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi atau ketrampilan demi kepentingan manusia sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, “pada hakekatnya proses pendidikan (Islam) merupakan proses pelestarian dan penyempurnaan budaya yang bernilai Islami yang senantiasa berkembang dalam
19
Ibid., h. 167.
20
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet 1, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, h. 17-18.
proses pemindahan budaya yang berkelanjutan di dalam lingkup bimbingan nilai-nilai universal (wahyu)”.21 Alquran menjelaskan tentang kepribadian manusia dan ciri-ciri umum yang membedakannya dari makhluk lainnya. Alquran juga menginformasikan tentang sebagian daripada pola dan bentuk umum kepribadian yang banyak terdapat pada setiap kelompok manusia atau masyrakat. Agar dapat memahami kepribadian manusia secara tepat dan mendalam, diperlukan suatu upaya dengan cepat berbagai faktor yang membatasi kepribadian.22 Kita tidak dapat memahami kepribadian manusia secara jelas tanpa mengetahui hakekat seluruh faktor yang membatasi kepribadian, baik yang material maupun imaterial.23 Dalam banyak ayat, Alqur’an juga menyinggung tentang tabiat atau hakekat kejadian manusia yang memiliki kecenderungan-kecenderungan, baik yang condong ke arah kebaikan maupun sifat-sifat manusia yang condong kepada keburukan. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah. (Q.S. Asy-Syams (91): 7-8).
ٍ َونَ ْف اب َم ْن َ )قَ ْد أَفْ لَ َح َم ْن َزَّك٨()فَأَ ْْلََم َها فُ ُج َورَها َوتَ ْق َو َاها٧(س َوَما َس َّو َاها َ )وقَ ْد َخ َ ٩(اها )١٠(اها َ َد َّس
Terjemahnya:
21
Yusuf Amir Faisal, Reorintasi Pendidikan Islam, Cet 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, h.
96. 22
Abdul hamid Mursi, SDM Yang Produktif, (Pendekatan Al-Qur’an dan Sains), Cet 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, h. 56. Muhammad Utsman, Al-Qur’an wa Ilm an-Nafs, Kairo: Darus Sturq, 1992, h. 200-201.
23
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.24 Pada prinsipnya, menurut tabiat dan bentuknya, manusia diberi bekal kebaikan dan keburukan, serta petunjuk dan kesesatan. Ia memiliki kemampuan untuk membedakan kebaikan dan keburukan serta mampu mengarahkan diri pada kebaikan dan keburukan, di mana kemampuan yang dimiliki manusia itu telah ada pada dirinya. Kemampuan-kemampuan itu hanya dapat dikembangkan melalui pembinaan dan bimbingan dan berbagai faktor lain, Selain bekal yang bersifat fitrah, terdapat pula potensi kepekaan yang mengarah pada esensi manusia, yakni potensi kepekaan yang bersifat netral. Orang yang mendayagunakan potensi tersebut untuk meningkatkan kualitas jiwa, mensucikannya, serta mengembangkan potensi kebaikan dan mengalahkan potensi keburukan, maka ia beruntung. Sedangkan bagi orang yang memendam, menyesatkan, dan melemahkan potensi tersebut, ia akan sangat merugi. Hal ini sebagaimana firman Allah swt., dalam Q.S. : 9-10 di atas. Dari ayat yang Penulis kutip kembali di atas, memberikan pemahaman bahwa manusia harus bertanggung jawab atas anugrah yang diberikan Allah swt. Berupa kemampuan memilih dan mengarahkan potensi fitrah kebaikan dan keburukan. Ini merupakan kebebasan membawa konsekwensi, kemampuan yang meninggalkan beban, dan anugrah namun menuntut dan menawarkan keharusan, yaitu di satu sisi manusia diberikan kebebasan untuk memilih antara dua pilihan jalan
24
Departemen Agama RI., op.cit., h. 1064.
kebaikan disisi lain manusia juga diberikan kebebasan untuk memilih jalan keburukan bahkan jalan keburukan itu dalam hal mengingkari ketuhanan Allah (kafir). Akan tetapi keburukan (jalan kekafiran) yang dipilih oleh manusia akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah swt. Kelak dengan sanksi yang pasti. Oleh sebab itu, untuk senantiasa agar manusia berada pada jalan yang mengarah kepada kebaikan (keimanan dan ketakwaan), manusia harus dididik dan mendidik, meskipun kemungkinan-kemungkinan keberhasilan pendidikan kepada anak masih menjadi perdebatan terutama dalam aliran pemikiran dan psikologi yang berkembang yang membicarakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (manusia). Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Zakiah Daradjat bahwa : Sejauhmanakah kemungkinan yang dapat dicapai oleh pendidikan pada diri seseorang tidak dapat dinyatakan secara jelas. Namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa usaha pendidikan telah dapat mencapai sesuatu. Di mana telah menjadi kenyataan bahwa anak-anak terlantar yang tidak pernah memperoleh pendidikan selalu berbeda dari anak-anak yang telah mendapatkan didikan.25 Bagaimana model atau sosok manusia yang ideal dalam pandangan Islam sangat tergantung pada pemahaman konsep manusia yang ditunjukkan oleh Islam yang bersumber pada wahyu Allah di dalam Alqur’an dan sunnah sebagai penjelasannya yang juga berisikan petunjuk tentang konsep manusia yang ideal tersebut yang secara tegas di dalam Alqur’an dikemukakan bahwa Rasulullah merupakan “Uswah hasanah” atau suri teladan bagi umatnya. Hal ini juga mengandung makna bahwa untuk mengetahui model manusia atau kepribadian yang
25
Zakiyah Daradjat, op.cit., h. 50.
ideal tidak lain adalah model atau kepribadian yang ditunjukkan oleh Rasullulah saw. Dalam segala aspek kehidupannya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 21.
َِّ ول ِ لََق ْد َكا َن لَ ُكم ِِف رس اَّللَ َكثِ ًريا َّ اَّللَ َوالْيَ ْوَم ْاْل ِخَر َوذَ َكَر َّ ُس َوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكا َن يَ ْر ُجو ْ اَّلل أ َُ ْ
Terjemahnya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.26 Keberadaan Rasulullah sebagai uswah hasanah tersebut merupakan arah dan tujuan serta profil kepribadian seorang muslim. Kepribadian muslim sebagaimana yang diartikan oleh Ahmad D. Marimba dalam bukunya, yang menyatakan bahwa: Kepribadian muslim ialah kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya yakni baik tingkah laku luarnya kegiatan-kegiatan jiwanya, maupun filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan pengabdian kepada Tuhan penyerahan diri kepada-Nya. Pendidikan Islam dengan berbagai fungsinya yang antara lain : a. Individualisasi nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia muttaqin dalam bersikap, berfikir dan berperilaku. b. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya umat Islam. c. Rekayasa kultur Islam demi terbentuk dan berkembangnya peradaban Islam. d. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu, teknologi, dan ketrampilan demi terbentuknya para menejer dan manusia profesional. e. Pengembangan intelektual muslim yang mampu mencari, mengembangkan serta memelihara ilmu dan teknologi. f. Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi, fisika, kimia, arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olah raga, kesehatan dan sebagainya. g. Pengembangan kualitas muslim dan warga negara sebagai anggota dan pembina masyarakat yang berkualitas kompetitif.27
26
Departemen Agama RI., op.cit., h. 666.
Dengan menyimak kembali secara seksama fungsi-fungsi yang diemban oleh pendidikan Islam, tampak bahwa kedudukan pendidikan Islam tidak hanya berkisar pada aspek-aspek yang dewasa ini sering dianggap dikotomi antara pendidikan agama dengan berbagai materi klasik seperti ilmu tafsir, hadits, fiqh dan sebagainya dengan pendidikan umum yang meliputi ilmu estetika, ilmu sosial atau segala ilmu yang tercakup dalam ilmu-ilmu humaniora. Melainkan pendidikan Islam yang terlingkup dalam batasan yang dikemukakan dalam kutipan di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pembentukan dan pencapaian konsep manusia ideal dalam pandangan Islam tidak lain harus dilakukan melalui pendidikan Islam dengan menerapkan model pendidikan yang mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat ideal maupun secara praktis. Hal ini memerlukan suatu proses yang bertahap dan berkelanjutan dalam berbagai pranata sosial tanpa membatasi jangka waktu tertentu dan jenjang pendidikan tertentu sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup.
III. Kesimpulan Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Fitrah dapat menuntun proses kepribadian manusia dan pengaktualiasasian fitrah itu sendiri dapat diasah melalui proses pendidikan.
27
Ahmad D. Marimba, op.cit., h. 68.
2. Pembentukan kepribadian yang ideal dapat diraih dengan memadukan konsep pendidikan Islam dengan mencakup semua aspek kehidupan dan berlandaskan kepada kepribadian Nabi Muhammad saw., sebagai uswah hasanah.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdur-Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut AlQur’an Serta Implementasinya, Cet. 1, Bandung: CV. Diponegor, 1991. Arifin, H. M., Falsafah Pendidikan Islam, Cet. 3, Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Bernadib, Imam, Filsafat pendidikan, (Pengantar Sistem dan Metode), Cet 5, Yokyakarta: PT. Andi Offset, 1988. Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Cet 1, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an, 1974.
Jakarta:
Yayasan
Departemen P & K., Himpunan Peraturan-Peraturan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: t.p.,1992/1993. Faisal, Yusuf Amir, Reorintasi Pendidikan Islam, Cet 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Gunarsah, Singgih, Dasar dan Teori Pengembangan Anak, Cet. 2, Jakarta: Gunung Mulia, 1982. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. 8, Bandung: PT. AlMa’arif, 1989. Mursi, Abdul Hamid, SDM Yang Produktif, (Pendekatan Al-Qur’an dan Sains), Cet 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1997. al-Naisabury, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Cet 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Cet. 4, Bandung: CV. Remaja Karya Offset, 1989. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Amanah, Jakarta: Pustaka, 1992.
al-Syaibani, Oemar Mohammad al-Toumy, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul: Falsafah Pendidikan Islam, Cet 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Usman, M Ali, Manusia Menurut Islam, Bandung: Mawar, 1970. Utsman, Muhammad, Al-Qur’an wa Ilm an-Nafs, Kairo: Darus Sturq, 1992. Zaini, Syahminan, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.