FILSAFAT ILMU SEBAGAI SAHAM TERBESAR DALAM REVOLUSI PSIKOLOGI Hartanti Fakultas Psikologi Universitas Surabaya Abstract Filsafat ilmu merupakan saham terbesar dalam revolusi psikologi. Menekankan aspek kualitatif untuk dapat memiliki posisi yang sama terhormatnya dengan metode kuantitatif. Mensejajarkan kedudukan objektif sebagai unsur psikologi kealaman dengan subjektivitas dari unsur psikologi kerokhanian; psikologi sebagai ilmu bisa bebas nilai, namun sebagai profesi yang terkait dengan (behavior, act, & attitude) manusia tidak bisa bebas nilai dan harus patuh terhadap nilai-nilai normatif (aksiologi); psikologi yang tadinya dipandang sebagai ilmu yang pasif diharapkan lebih aktif dalam mencari suatu kebenaran; dan yang terakhir adalah psikologi selalu kembali ke ilmu induknya yakni filsafat ilmu, khususnya dalam menyelesaikan suatu permasalahan bila menghadapi anomali dan krisis. Kata kunci : filsafat ilmu dan psikologi.
Abstract Philosophy is the biggest share in revolutionizing psychology, seen existence of desire places qualitative aspect to be able to have the same position his(its respectable with quantitative method; objective position parallel as nature element of psychology with subjektivity from spirite element of psychology; psychology as science can be be free assessed, but as profession related ( behavior, act, & attitude) man cannot be free assessed and must be obedient to normative values (aksiologi). Psychology that is at first is viewed as passive science expected to be more actively in looking for a truth. And last is psychology returning to its (the mains science is namely science philosophy, especially in finalizing a problems of if facing anomaly and crisis). Keyword : philosophy and psychology
Filsafat Ilmu Sebagai Saham Terbesar dalam Revolusi Psikologi (Hartanti)
\ 1[ [
Pendahuluan Menurut Kuhn (dalam Verhaak & Haryono , 1989) sebaiknyalah upaya untuk berguru pada sejarah ilmu harus merupakan titik pangkal segala penyelidikan. Filsafat ilmu ini diharapkan dapat semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah sesungguhnya. Jika hal itu dilakukan, maka terlihatlah bahwa terjadinya perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan terjadi melalui revolusirevolusi ilmiah. Dengan begitu Kuhn beranggapan bahwa kemajuan ilmiah pertamatama bersifat revolusioner. Ini bertentangan dengan anggapan sebelumnya bahwa ilmu itu maju secara kumulatif. Konsep sentral Kuhn adalah paradigma. Pada garis besarnya paradigma merupakan cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah kongkrit (Kuhn, 1993). Dalam masa normal science , seorang ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Bila dalam menjalankan riset, ilmuwan menjumpai fenomena yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya maka timbul istilah yang dinamakan anomali. Jika anomali kian menumpuk dan kualitasnya kian tinggi, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Dengan begitu ilmuwan sudah keluar dari ilmu normal. Untuk mengatasi krisis itu, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan suatu paradigma tandingan, itulah yang disebut sebagai revolusi ilmiah. Sampai sekitar tahun 1900, psikologi boleh dikatakan merupakan ilmu pengetahuan yang utuh, tidak terbagi-bagi. Ada perbedaanperbedaan dalam masalah-masalah detail diantara beberapa aliran psikologi, namun \ 2[ [
perbedaan itu tidak fundamental. Sesudah tahun 1900, keutuhan ilmu pengetahuan psikologi ini terganggu. Selanjutnya bermunculan sistem-sistem atau aliran psikologi yang beraneka ragam, dengan azas-tujuan yang sangat berbeda. Tidak jarang mereka itu saling menyerang, saling menyalahkan, dan mempertahankan pendirian masing-masing. Adanya perbedaan-perbedaan prinsipiil itu menunjukkan timbulnya perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat sekali. Semuanya itu memberikan saham yang besar kepada revolusi dalam psikologi, sebab sekalipun banyak perbedaan antara satu dengan lainnya, namun kejadian tersebut justru komplementer sifatnya, dan saling mengisi kekurangan masing-masing. Dengan demikian, lahirlah psikologi modern dengan corak yang khas. Sampai pertengahan ke dua dari abad ke19, orientasi psikologi lebih condong pada ilmu kealaman. Pada permulaan abad ke-20 berlangsunglah revolusi di bidang psikologi, karena psikologi mulai berorientasi pada ilmu pengetahuan kerokhanian (Geiteswissenschaft). Prinsip-prinsip psikologi modern berbeda dengan prinsip-prinsip psikologi lama, pengertian-pengertiannya berubah, juga cara pemecahannya sangat berbeda. Hal ini tidak berarti bahwa psikologi modern sama sekali meninggalkan azas-azas psikologi lama, sebab banyak azas-azas psikologi lama masih dipakai sampai sekarang. Pada hakikatnya, psikologi modern itu jelas tegak berdiri di atas bahu psikologi lama (Weiten, 1997). Dari fenomena di atas dapat ditunjukkan bahwa sebelum tahun 1900, sebenarnya psikologi sudah memiliki paradigma ilmu yang mantap. Kenyataan yang terjadi, mulai tahun 1900 dirasakan bahwa banyak ilmu psikologi yang ada, sudah tidak mampu lagi menjawab berbagai persoalan dan tantangan yang terjadi di masyarakat, hal ini terbukti dengan semakin banyaknya pertentangan pendapat dari setiap HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
teori psikologi lama, sehingga muncullah apa yang dinamakan anomali. Anomali yang berkepanjangan tersebut, akhirnya menumpuk dan timbullah suatu krisis seperti apa yang disebutkan oleh Kuhn. Dengan timbulnya krisis tersebut, berbagai ilmuwan di bidang psikologi yang masih kental dan kuat pengaruhnya dari filsafat mencoba membuat tandingan ilmu baru yakni dengan munculnya psikologi modern yang lebih menekankan pada kerokhanian (geisteswissenschaft). Akhirnya timbullah revolusi dalam bidang ilmu psikologi, yang tampaknya inter vensi filosofinya sangat kental terbukti dari paradigma yang dikemukakan dalam psikologi sesudah tahun 1900 (psikologi modern) yang akan dikemukakan berikut ini. Analisis Kritis Tentang Pengaruh Filsafat Ilmu dalam Revolusi Psikologi Ada 12 (dua belas) perbedaan mencolok diantara psikologi sebelum dan sesudah 1900, yang dirangkum penulis dari beberapa buku. Perbedaan-perbedaan ini akan diuraikan satu-persatu yang kemudian setiap perbedaan akan dilakukan analisis kritis oleh penulis, khususnya dari pengaruh filsafat ilmu yang paling berperanan atau paling “signifikan” menimbulkan terjadinya revolusi psikologi. Perbedaan-perbedaan itu pada prinsipnya adalah psikologi sebelum tahun 1900 (Psikologi Lama) adalah psikologi ilmu kealaman, sedangkan sesudah terjadinya revolusi ilmiah yakni psikologi sesudah tahun 1900 (Psikologi Modern) adalah psikologi kerokhanian. Perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai berikut: 1. Psikologi pasivitas versus psikologi aktivitas (Martin & Pear, 1994) Psikologi sebelum tahun 1900 menganggap jiwa itu sebagai kumpulan dari elemen-elemen kesadaran, dan
bergantung pada perangsang-perangsang dunia luar, atau dari proses-proses otak dan proses syaraf tertentu. Jiwa tidak mempunyai saham aktif pada gejalagejala, dan hanya memainkan peranan pasif belaka. Psikologi sesudah tahun 1900 menganggap jiwa sebagai tenaga yang mencipta, bekerja dan aktif berperan dalam kehidupan psikis. Untuk setiap proses kesadaran diperlukan peran-peran dari totalitas pribadi, dari Aku yang bekerja dengan aktif. Setiap proses dan setiap perbuatan dikendalikan dari sentrum, yaitu Aku. Subjek yang aktif itu merupakan titik sentral, yang melakukan koordinasi terhadap semua gerak dan peristiwa psikis. 2. Psikologi isi versus psikologi fungsional atau psikologi akta Psikologi sebelum tahun 1900 menganggap kesadaran sebagai jumlah dari isi-isi psikis. Gejala-gejala psikis seperti pengamatan, tang gapan, pengertian, dan lain-lain itu adalah isi-isi belaka, yang dialami orang secara pasif, jadinya sifatnya pasif. Psikologi sesudah tahun 1900 melihat segenap gejala psikis sebagai fungsi atau sebagai akta, sebagai “mengalami sendiri”, merupakan aktivitas Aku. Khususnya pada kemauan terdapat aktivitas, ada perbuatan dan tindakan. ACH menyebutkan sebagai kesadaran perbuatan atau la conscience d’action. 3. Psikologi Mekanistis versus psikologi vitalitas-biologis Psikologi lama menjelaskan sebagai berikut: segenap peristiwa psikis itu berlangsung menurut hukum-hukum asosiasi yang murni mekanistis, dan berlaku secara umum pada setiap individu. Individu itu pasif, yang berfungsi secara
Filsafat Ilmu Sebagai Saham Terbesar dalam Revolusi Psikologi (Hartanti)
\ 3[ [
aktif adalah elemen-elemen psikisnya. Psikologi sesudah tahun 1900 menyatakan bahwa manusia dan binatang itu bukannya mekanisme pasif belaka, akan tetapi merupakan organisme hidup yang aktif. Jika biologi mencoba memahami kehidupan via pengenalan terhadap fungsi-fungsi jasmaniahnya, maka psikologi mencoba memahami kehidupan dengan mengamati fungsifungsi kejiwaan dan kesadaran. Baik psikologi maupun biologi menyatakan, bahwa gejala-gejala dan fungsi-fungsi psiko-fisik itu mempunyai arti atau makna tersendiri bagi kehidupan individu, yaitu untuk pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Segenap kecenderungan selalu terarah pada tujuan. 4. Psikologi intelektualistis-sensualistis versus psikologi pmosionalistis Psikologi sebelum tahun 1900 melihat tanggapan indrawi sebagai gejalagejala psikis yang paling elementer. Dari gejala pengenalan yang elementer ini dibangunlah gejala-gejala psikis yang lebih ting gi. Misalnya, tang gapan adalah reproduksi dari pengamatan, pengertian merupakan modifikasi dari tanggapan. Perasaan merupakan gejala pengiring dari penginderaan atau pengamatan. Pikiran adalah kaitan dari tanggapan-tanggapan. Ringkasnya, segenap gejala psikis itu pada akhirnya bergantung pada perangsangperangsang dunia luar. Dengan demikian gejala pengenalan itu menjadi primer, sedang perasaan dan kemauan adalah sekunder. Psikologi sesudah tahun 1900 tidak mengikatkan dan tidak mengabdikan kehidupan psikis kepada perangsangperangsang dunia luar. Kesadaran itu bukanlah pantulan gambaran dari dunia luar saja. Pengamatan yang paling sederhana sekalipun bukanlah berupa \ 4[ [
penghayatan secara pasif dari perangsangperangsang dari luar, akan tetapi merupakan reaksi yang aktif dari totalitas kepribadian dan kemudian dimasak serta diubah ke dalam elemen-elemen psikis. Analisis Kritis Tentang Pengaruh Filsafat Ilmu dalam Revolusi Psikologi untuk Point (1-4) Dari perbedaan psikologi sebelum dan sesudah tahun 1900 (pendapat 1 s/d 4) di atas menunjukkan bahwa manusia dalam psikologi lama dipandang bersifat pasif, sedangkan dalam psikologi modern, manusia dianggap bersifat aktif, memiliki inisiatif atau prakarsa diri dan kemauan untuk bertindak untuk selalu mencari kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah yang selalu aktif dicari ini diwujudkan dalam ilmu pengetahuan atau sains yang dapat disebut sebagai ilmu jika memenuhi syarat objektivitas, metodologis, universal, dan sistematik (Poedjawijatna, 1967). Aristoteles lebih cenderung melihat kebenaran dari 10 kategori, yakni: substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, dan menderita (Har un Hadiwiyono, 1980). Segala pengertian tersebut bila digabungkan yang terutama berpengaruh demi suksesnya pencapaian kebenaran ilmiah adalah unsur “berbuat”. “Berbuat” ini melibatkan unsur “aktif ”, dimana individu yang aktif, pasti akan berbuat untuk mencapai unsur kebenaran ilmiah, baik dari segi substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, dan keadaan. Walaupun dalam “berbuat” tersebut orang menjadi tidak “mempunyai” apa-apa atau har us “menderita”. Dengan demikian, munculnya Psikologi Aktif ini menjadikan psikologi menghargai manusia yang memiliki kemauan untuk berbuat, baik untuk HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
mempertahankan apa yang telah dicapai atau motivasi untuk peningkatan pencapaian tersebut. 5. Psikologi objektif versus psikologi subjektif (Rogers, 1983) Psikologi sebelum tahun 1900 ber usaha mempelajari gejala-gejala kesadaran sebagai kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri, terlepas dari subjek atau pribadi, terlepas dari Aku. Gejala psikis itu identik dengan objek alam anorganis, sama dengan benda-benda lainnya dan terlepas dari pengalaman Aku. Psikologi sesudah tahun 1900 berpendirian, bahwa semua gejala kesadaran itu selalu berkaitan dengan Aku, dan bukan dengan objek yang tidak bernyawa. Gejala-gejala psikis tidak dapat diisolir terlepas dari Aku. Gejala-gejala tersebut merupakan proses-proses yang erat berkaitan dengan totalitas Aku yang hidup, yaitu dengan subjek. 6. Psikologi kuantitatif versus psikologi kualitatif Psikologi sebelum tahun 1900 mengira bahwa metode ilmu kealaman pasti dapat diterapkan juga pada zat-zat di luar benda anorganis, juga pada gejala psikis. Pada psikologi itu segalanya bisa diukur secara kuantitatif, dengan bantuan perhitungan matematik. Gejala-gejala psikis yang paling komplekspun, bisa dihitung dengan ukuran dan angka-angka. Eksperimen Weber dan Fechner, misalnya menunjukkan kegiatan sedemikian ini. Orang menilai tinggi pada pengukuran daripada waktu reaksi, perhitungan korelasi dan metode statistik. Segenap gejala psikis dijabarkan menjadi perbedaan-perbedaan gradasi atau tingkat sebagai perbedaan kuantitatif yang bisa diperhitungkan dengan tepat secara matematis. Psikologi modern menyatakan,
bahwa sama sekali tidak ada kemungkinan untuk mengadakan pengukuran dan perhitungan secara tepat eksak terhadap gejala psikis. Yang ada adalah perbedaan gradasi atau nomor tingkat dari orde atau aturan-tingkatan. Analisis Kritis Tentang Pengaruh Filsafat Ilmu Dalam Revolusi Psikologi Untuk Point (5-6) Bila dicermati dari dua perbedaan psikologi lama dan modern untuk point 5 dan 6 di atas menjelaskan bahwa psikologi lama lebih menekankan pada aspek objektif-kuantitatif sedangkan psikologi modern penekanannya pada aspek subjektif-kualitatif. Hal tersebut dapat diartikan bahwa kebenaran ilmiah dalam bentuk kebenaran yang melulu bersifat objektif, bebas dari segala keterlibatan subjek sebagaimana yang dicita-citakan oleh ilmu alam merupakan sesuatu yang ideal dan tidak pernah sepenuhnya tercapai. Oleh karena itu kelirulah bila memandang bentuk kebenaran macam itu sebagai model segala kebenaran. Menurut Sudarminta (dalam Basis 1989, XXXVIII, No.1), semua kebenaran pengetahuan bersifat objektif-subjektif. Semakin pengetahuan bersifat objektifsubjektif, maka semakin tinggilah derajat keterlibatan subjek. Hal ini menunjukkan bahwa psikologi objektif tidak dapat menjawab segala kebenaran dan keterlibatan subjek menjadi semakin kecil. Dengan demikian pengaruh filsafat ilmu memunculkan pengetahuan yang bersifat objektif-subjektif ini yang mendasari revolusi ini. Silang pendapat antara para penganjur pendekatan kuantitatif di satu pihak dan pendekatan kualitatif di pihak lainnya bukanlah penjelmaan baru dalam dunia ilmiah, khususnya psikologi.
Filsafat Ilmu Sebagai Saham Terbesar dalam Revolusi Psikologi (Hartanti)
\ 5[ [
Pendapat bahwa segala yang ilmiah harus didasarkan pada pengukuran dan semua pengukuran harus bersandar pada kebakuan, berkesudahan dengan diunggulkannya angka sebagai unsur penentu bobot ilmiah dalam studi. Sebaliknya ada pendapat bahwa banyak peristiwa ilmiah dan gejala manusiawi yang tampil sebagai keunikan sehingga sulit dibakukan berdasarkan pengukuran tertentu. Maka kedua pihak memunculkan argumentasi masing-masing untuk membenarkan pendekatan yang dipilihnya. Sesungguhnya dalam kedua pendekatan terkandung kebenaran, yang penting bukan memasalahkan mana di antara kedua pendekatan itu yang lebih ilmiah, melainkan mana di antara keduanya yang lebih tepat untuk diterapkan dalam ikhtiar ilmiah guna mempelajari peristiwa dan gejala tertentu. Dalam hubungan ini perlu juga diingat bahwa perbedaan sasaran studi ilmiah itu tidak mungkin digambarkan sebagai pemilahan hitam-putih, melainkan juga mungkin sekali meliputi daerah kelabu yang memerlukan penggabungan kedua pendekatan termaksud. Dalam lingkungan disiplin ilmu psikologi yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, baik sebagai ketunggalan pribadi maupun dalam kebersamaan bermasyarakat, pendekatan kuantitatif dan kualitatif berpeluang untuk diterapkan. Pilihannya tergantung dari apa yang menjadi sasaran studi dan sejauhmana meluas dan mendalamnya hasil studi yang diharapkan. Pendekatan kualitatif sangat penting untuk dipahami oleh mereka yang bersibuk diri dengan studi tentang manusia dan berbagai penjelmaan tingkahlakunya, baik individual maupun kolektif. Banyak perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, apalagi penghayatannya \ 6[ [
terhadap berbagai pengalaman pribadi. Banyak sekali penjelmaan kejiwaan yang mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik. Kita mungkin berbicara tentang skala, peringkat, tolok ukur dan berbagai sarana pengukur lainnya, akan tetapi tetap perlu disadari bahwa apa yang dapat ditangkap secara kuantitatif itu tidak sepenuhnya representatif bagi pemahaman ikhwal manusia yang pada hakikatnya bersifat kualitatif. Bagaimana mengukur keresahan, kebosanan, kesepian, frustrasi dan sejumlah penjelmaan kejiwaan lainnya, kecuali melalui kesanggupan berbagi rasa empathy. Mengenai pertentangan antara kuantitatif dan kualitatif, sebenarnya sudah sejak jaman Aristoteles (Harun Hadiwiyono, 1980), namun kenyataannya Aristoteles setuju bahwa unsur kuantitatif dan kualitatif harus ada dalam mencapai suatu kebenaran. Hal ini didukung pula oleh tokoh Rationalisme Kritis (Harun Hadiwiyono, 1980) yang menekankan bahwa sintesis pengetahuan harus ada kategori kuantitas maupun kualitas. Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan posisi psikologi yang berada diantara ilmuilmu alam dan biologi di satu sisi, serta sosiologi dan humaniora di sisi lainnya, pendekatan kualitatif-subjektif dapat memperoleh tempat terhormat, sebagai metode yang saling mendukung masingmasing dengan kekuatan khususnya dengan metode kuantitatif-objektif. 7. Psikologi bebas nilai versus psikologi nilai (Davidoff, 1981) Psikologi lama ingin menjelaskan segenap gejala psikis bebas dari segala penilaian. Manusia itu dianggap sebagai makhluk alami, dan sebagai anggota dari satu dunia yang a-moral dan alami saja. Jadi dia tunduk pada segenap hukumHUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
hukum alam yang ketat, yang mendeter minasi/memastikan sejak semula tingkah-laku manusia. Psikologi sesudah tahun 1900 melihat manusia sebagai makhluk rokhaniah, dan menjadi anggota dari satu dunia rokhaniah pula. Kehidupan jiwani itu diciptakan untuk tugas mewujudkan nilai-nilai budaya tertentu, misalnya ilmu pengetahuan, seni, hukum, susila, religi, dan lain-lain. Nilai-nilai budaya inilah yang mengarahkan segenap kehidupan psikis dalam bentuk karya-karya bebas dan kreatif. Analisis Kritis Tentang Pengaruh Filsafat Ilmu Dalam Revolusi Psikologi Untuk Point 7. Psikologi lama (sebelum 1900) menganggap bahwa segenap gejala psikis bebas dari penilaian, namun pendapat ini ber ubah setelah terjadinya revolusi psikologi sesudah tahun 1900, yang mengemukakan bahwa wujud nilai-nilai perlu diperhatikan dalam kehidupan jiwani. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh filsafat ilmu bahwa setiap ilmu tidak bebas nilai mulai diikuti oleh psikologi sesudah tahun 1900. Unsurunsur aksiologi juga mulai dipakai. Seperti teori yang telah tersebut di atas apakah psikologi bebas nilai, adalah pertanyaan yang kompleks sehingga tidak dapat dijawab secara sederhana ya atau tidak. Di satu pihak, kenyataan membuktikan bahwa psikologi tidak boleh membiarkan diri terpengaruh oleh nilainilai yang terletak di luar pengetahuan mengandung arti bahwa psikologi seharusnya bebas. Dalam menemukan dan membentuk suatu kebenaran ilmiah yang bersifat objektif, psikologi seharusnya memiliki otonomi. Hal ini sejalan dengan posisi para pendukung kebebasan nilai ilmu pengetahuan yang dirangkum oleh
Franz Magnis Suseno (1992) yakni ilmu pengetahuan hanya mungkin dalam bidang pengertian, tetapi pengertian hanya mungkin tentang fakta. Oleh karena itu ilmu-ilmu pengetahuan selalu mengenai fakta. Fakta bukanlah objek keputusan melainkan objek pengamatan. Oleh karena itu pengetahuan har us membebaskan diri dari keputusankeputusan yang menilai, dan membatasi diri pada pengamatan dan sistematisasinya, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Akan tetapi di lain pihak, tidaklah berarti bahwa otonomi psikologi bebas dari nilai-nilai di luar jangkauan kebenaran ilmiah. Sebagaimana dengan ilmu pengetahuan pada umumnya, psikologi dalam prakteknya tidak pernah akan bisa bebas nilai sama sekali. Seperti apa yang dikemukakan oleh Van Melsen (1985) sebagai berikut: praktek ilmu manusia tidak pernah akan bisa bebas nilai sama sekali, dalam arti tidak boleh mengemukakan pertimbangan-pertimbangan nilai etis yang mengevaluasi. Alasannya karena sebagai praksis ilmu manusia akan harus memberi petunjuk, baik bagi kehidupan perorangan maupun bagi kehidupan masyarakat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh filsafat ilmu dalam revolusi psikologi sangatlah tepat, dimana psikologi sebagai ilmu memang bebas nilai, namun psikologi sebagai profesi yang sangat sensitif melibatkan behavior, act, dan attitude haruslah memperhatikan unsur-unsur nilai. 8. Psikologi tafsiran versus psikologi pemahaman ( Verstehen ) (Kazdin, 1994) Psikologi sebelum tahun 1900 menerapkan metode tafsiran, yaitu berdasarkan (1) hukum-hukum asosiasi
Filsafat Ilmu Sebagai Saham Terbesar dalam Revolusi Psikologi (Hartanti)
\ 7[ [
perurutan dan (2) perkaitan lahiriah belaka, tanpa memperhatikan saling ketergantungannya, dan kaitan batiniahnya. Psikologi modern (sesudah tahun 1900) menerapkan metode Verstehen atau pemahaman berdasarkan wawasan, yaitu memahami makna setiap gejala psikis dan tingkah laku yang khas, dilihat dari kaitannya dengan totalitas yang lebih tinggi, yaitu totalitas kepribadian. Tidak mungkin kita bisa memahami satu gejala psikis itu sendiri sebagai gejala tunggal. Hanya dalam hubungannya dengan totalitas yang lebih tinggi itulah kita bisa memahami sifat hakekatnya. 9. Psikologi berorientasi kausal versus psikologi berorientasi teleologis Psikologi lama berpendapat bahwa berlangsungnya semua kehidupan psikis itu berdasarkan hukum kausal (sebabakibat). Segenap proses kesadaran berlangsung secara mekanis, dan manusia tidak ubahnya dengan mesin yang kompleks. Adapun sebab terakhir dari semua proses psikis ialah perangsangperangsang fisis (misalnya perangsang cahaya, suara, berat dan lain-lain) dan gejala-gejala fisiologis, misalnya proses otak dan syaraf. Psikologi modern berpendapat bahwa kehidupan psikis itu terutama sekali dikuasai oleh ideal-ideal dan tujuan tertentu dan totalitas kehidupan psikis itu didorong ke arah pencapaian nilai-nilai dan tujuan tertentu. Psikologi modern ini menitikberatkan pada masalah hasrat pencapaian tujuan, dan mencoba memahami aktivitas psikis dari sudut pengarahan atau kecenderungan teleologis (telos= akhir, tujuan). Hasrat pencapaian tujuan itu tidak hanya ditampilkan dalam perbuatan-kemauan saja, akan tetapi berlangsung pula pada semua proses psikis \ 8[ [
lainnya yakni pikiran, fantasi, pengamatan, perasaan, dan lain-lain. Analisis Kritis Tentang Pengaruh Filsafat Ilmu Dalam Revolusi Psikologi Untuk Point (8-9). Dari ke dua pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa jiwa manusia mempunyai fungsi untuk mencapai tujuan, yaitu mewujudkan norma-norma, idealideal dan nilai-nilai tertentu. Setiap tingkah laku manusia jangan hanya dilihat dari sebab-musabab saja (menurut hukum kausal), akan tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan ideal, norma, dan nilainilai tadi. Untuk memahami tingkah laku seseorang, perlu mengenal nilai-nilai hidup yang dianut dan cita-citanya. Keduaduanya mengarahkan totalitas kepribadian ke suatu tujuan tertentu. Dengan metode pemahaman (verstehen), orang berusaha memahami kaitan batiniah dan kaitan teleologisnya. Pengaruh dari filsafat ilmu adalah normanorma, tanggung jawab dan moral mulai diperhatikan dalam psikologi pemahaman ini, dengan demikian psikologi modern sudah memasukkan unsur-unsur aksiologinya dan pandangan ontologi sebagai hakekat dari pencapaian tujuan. Dengan metode pemahaman orang berusaha memahami kaitan batiniah dan kaitan teleologisnya. Psikologi modern tidak berkeinginan untuk menjelaskan gejala-gejala psikis, akan tetapi berusaha untuk memahami kaitan batiniahnya. Dalam kurun waktu yang panjang, para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan ilmu yang bebas nilai (Jujun Suriasumantri, 1990). Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan. Apakah psikologi sebagai ilmu juga HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
memperoleh otonomi dalam melakukan penelitian-penelitiannya dalam rangka mempelajari manusia sebagaimana adanya. Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya bahkan dalam pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Dawin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita (Jujun Suriasumantri, 1990). Melihat pendapat di atas, tampak bahwa psikologi tidak hanya sebagai ilmu tetapi juga sebagai suatu profesi perlu mempertimbangkan pendapat yang kedua bahwa untuk keilmuan bisa bersifat netral, sedang dalam praktik profesi har us berlandaskan asas-asas moral. 10. Psikologi positif versus psikologi berorientasi filsafi (Hull et al, 1980) Psikologi sebelum tahun 1900 itu murni positif sifatnya, dan mengabaikan sama sekali nilai-nilai filsafi, yang mengakui bernilainya jiwa manusia. Psikologi modern tidak mengingkari nilai dari psikologi positif, namun
memandang perlu penggunaan psikologi filsafi. Masalah nilai, norma, dan tujuan hidup adalah masalah filsafat. Psikologi tidak bisa menghindarkan diri dari masalah-masalah filsafi. Sehubungan dengan ini, beberapa psikolog seperti Stern dan Spranger melihat psikologi sebagai bagian dari sistem filsafat. 11. Psikologi hukum versus psikologi type Psikologi lama selalu berusaha mencari elemen-elemen terakhir, dengan mana orang mencari hukum-hukum mekanis yang berlaku secara umum, dan mengatur segenap kehidupan psikis. Hukum tersebut adalah hukum asosisasi, yang mengatur hubungan tanggapantanggapan dan pengertian-pengertian. Pendirian psikologi lama ini ditentang oleh psikologi modern yang menyatakan sebagai berikut: hukum mekanis itu hanya berlaku pada benda/ peristiwa-peristiwa yang identik saja. Kehidupan psikis tidak terdiri atas elemen-elemen yang identik. Elemenelemen kesadaran yang total terisolir dan berdiri sendiri atau mandiri itu tidak ada. 12. Psikologi elemen versus psikologi totalitas Psikologi sebelum tahun 1900 menerapkan metode ilmu kealaman, yaitu bekerja secara analitis-sintetis. Gejalagejala psikis dianalisa atau diuraikan sampai ke elemen-elemen psikis terakhir, untuk selanjutnya membangun pengertian-pengertian kompleks mengenai gejala psikis yang lebih tinggi melalui metode sintetis. Idealnya ialah menciptakan “kimia psikis”. Semua gejala kejiwaan dicoba diuraikan sampai elemenelemen terakhir atau terkecil. Melalui penjumlahan elemen-elemen psikis itu orang berusaha memahami hakekat kehidupan rokhaniah dengan segenap kaitannya.
Filsafat Ilmu Sebagai Saham Terbesar dalam Revolusi Psikologi (Hartanti)
\ 9[ [
Psikologi sesudah tahun 1900 menyatakan sebagai berikut: setiap gejala psikis itu merupakan satu totalitas yang tidak bisa dibagi-bagi, dan merupakan satu kesatuan organis. Elemen-elemen psikis yang disebut psikologi, lama itu pada hakekatnya bukanlah kesatuankesatuan riil dari kesadaran, akan tetapi hanya berupa abstraksi-abstraksi, satuansatuan terisolir yang tidak mungkin ada, dan tidak mungkin berdiri sendiri. Setiap peristiwa psikis itu baru berarti apabila dikaitkan dengan totalitas yang lebih tinggi, dan pada instansi terakhir dikaitkan dengan totalitas kehidupan psikis. Totalitas keseluruhan dari kehidupan psikis itu adalah lebih banyak/berarti daripada jumlah bagian-bagiannya. Satu onderdil itu tidak bisa berdiri sendiri, akan tetapi baru bisa dipahami kalau dijadikan bagian terintegrasi dari totalitas yang lebih tinggi. Analisis Kritis Tentang Pengaruh Filsafat Ilmu Dalam Revolusi Psikologi Untuk Point 10-12) Dari ke tiga pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa psikologi sebelum 1900 murni positif sifatnya, dalam arti mengabaikan nilai-nilai filsafi sama sekali. Setelah tahun 1900 (psikologi modern) mulai memperhatikan nilai dari psikologi positif. Masalah nilai, norma, dan tujuan hidup sebagai masalah filsafat mulai diakui oleh para psikolog seperti Stern dan Spranger. Hal di atas menunjukkan bahwa walaupun psikologi sudah memisahkan diri dari induknya yakni filsafat ilmu, namun kenyataannya pengaruh filsafat ilmu terhadap psikologi masih terasa sangat kuat. Hal ini terbukti bahwa tokoh psikologi seperti Stern dan Spranger masih selalu mengkaitkan psikologi dengan filsafat. \ 10[ [
Mengapa psikologi berpaling pada filsafat ilmu, hal ini bisa terjawab bahwa dengan berfilsafat, seseorang didorong untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Demikian juga dengan berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang. Seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau (Jujun Suriasumantri, 1990). Dengan berfilsafat kita tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak pernah akan habis difikirkan dan tidak pernah akan selesai diterangkan (Koento Wibisono, 1999). Karakteristik berpikir filsafat yang pertama, adalah sifat menyeluruh. Seorang psikolog tidak boleh puas lagi dalam mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Ia perlu melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lain, misal kaitan dengan moral dan agama yang dapat membawanya bahagia. Yang kedua adalah mendasar. Dia tidak lagi percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar, namun berusaha untuk menentukan titik awal suatu kebenaran. Yang ketiga adalah spekulatif. Dengan serangkaian spekulasi, kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang disebut benar, maka tidak mungkin pengetahuan berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk, maka tidak mungkin berbicara tentang moral. HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
Kadang kurang disadari bahwa tiap ilmu, terutama psikologi mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya. Ilmu psikologi adalah ilmu perilaku manusia yang tentunya difungsikan untuk pengembangan kesejahteraan manusia, yang tadinya kurang baik menjadi lebih baik, dan yang tadinya sudah baik menjadi lebih baik lagi. Dengan kembali pada filsafat ilmu sebagai ibunya, maka psikologi akan semakin mantap dalam menentukan kriteria kebenaran dan tanpa meninggalkan nilai-nilai yang ada. Disamping itu psikolog tentunya akan menjadi lebih bersifat introspektif, karena selalu menanyakan apa yang dikajinya? (ontologi); Bagaimana caranya mendapatkan? (epistemologi); serta Untuk apa hal tersebut digunakan ? (aksiologi). Kesimpulan Dari apa yang telah diuraikan di atas mengenai “Kebenaran Ilmiah dalam Perspektif Filsafat Ilmu”, serta “Filsafat Ilmu Sebagai Saham Terbesar dalam Revolusi Psikologi”, kiranya menjadi semakin jelas dan mantap tentang pemahaman bahwa filsafat ilmu bukanlah sekadar metode atau tata cara penulisan karya ilmiah, tetapi lebih sebagai kebijakan dalam memandang, menilai, dan mencari kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmu adalah sepanjang pengalaman, sedangkan kebenaran filsafat sepanjang pemikiran. Hal ini dapat diartikan bahwa filsafat ilmu selalu menyangsikan adanya kebenaran. Kesangsian tersebut bukan merupakan suatu keadaan yang tetap, namun hanya sebagai tempat berpijak sementara untuk mencapai tingkat kebenaran yang lebih tinggi. Kesangsian ini merupakan sumber filsafat. Tanpa sangsi, orang tidak pernah akan
berpikir, dan tanpa berpikir, kebenaran tidak akan hadir. Sejarah filsafat adalah sejarah perkembangan manusia atau sejarah kesangsian manusia dalam usahanya mencari kebenaran ilmiah. Jalan sejarah filsafat tidak selalu lurus, kadang-kadang berbelok kembali ke belakang. Teori yang sudah ditinggalkannya, diulanginya kembali dengan pandangan dan tafsiran baru. Tidak demikian dengan sejarah ilmu yang selalu bersifat maju. Teori yang sudah ditinggalkannya, tidak akan dijamahnya lagi. Filsafat dan ilmu selalu berdampingan, yakni selain mengkritisi hal-hal yang sudah terjadi juga selalu bergerak maju. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat ilmu merupakan refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti untuk mencapai suatu kebenaran. Dengan meninjau filsafat ilmu sebagai saham terbesar dalam revolusi psikologi, tampak adanya keinginan menempatkan aspek kualitatif untuk dapat memiliki posisi yang sama terhormatnya dengan metode kuantitatif; mensejajarkan kedudukan objektif sebagai unsur psikologi kealaman dengan subjektivitas dari unsur psikologi kerokhanian; psikologi sebagai ilmu bisa bebas nilai, namun sebagai profesi yang terkait dengan (behavior, act, & attitude) manusia tidak bisa bebas nilai dan harus patuh terhadap nilai-nilai normatif (aksiologi); psikologi yang tadinya dipandang sebagai ilmu yang pasif diharapkan lebih aktif dalam mencari suatu kebenaran; dan yang terakhir adalah psikologi selalu kembali ke ilmu induknya yakni filsafat ilmu, khususnya dalam menyelesaikan suatu permasalahan bila menghadapi anomali dan krisis.
Filsafat Ilmu Sebagai Saham Terbesar dalam Revolusi Psikologi (Hartanti)
\ 11[ [
Daftar Pustaka Davidoff, Linda, L. (1981). Introduction to Psychology. New York: Mc. Graw Hill, Inc. Suseno, FM. (1992). Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius. Hadiwiyono, H. (1980). Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius.
Van Melsen, A.G.M. (1985). Ilmu Pengetahuan Tang gung Jawab Kita. Terjemahan Bertens, K. Jakarta: PT. Gramedia. Verhaak, C. & Haryono Imam R. (1989). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia. Weiten, W. (1997). Psychology: Themes and Variations. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Hulls, S.H., Egeth, H., & Deese, J. (1980). Psychology of Learning. New York: Mc. Graw Hill International. Suriasumantri, JS. (1990). Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Kazdin, A.E. (1994). Behavior Modification In Applied Setting. 5 th ed. California: Brooks/Cole Publishing Company. Wibisono, S. K. (1999). Ilmu Pengetahuan. Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya untuk Memahami Filsafat Ilmu. Makalah dalam Internship Dosen-dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se-Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. Thomas S.K. (1993). Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. Alih Bahasa Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Martin, G. & Pear, J. (1994). Behavior Modification: What Is and How To Do It. 4 th ed. New Jersey: Prentice Hall Poedjawijatna (1967). Tahu dan Pengetahuan. Jakarta: Obor Rogers, C.R. (1983). Freedom to Learn. Columbus: Charles E. Merrile Pub. Co. Sudarminta (1989). Dimensi Etis Pendidikan Keilmuan. Basis, XXXVIII, No.1
\ 12[ [
HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007