Filsafat Ilmu, Metodologi dan Epistemoligi; Sebuah Pengantar Suhermanto Ja’far *
Abstrak Dalam filsafat, istilah metodologi berkaitan dengan praktek epistemologi. Secara lebih khusus, problem penyelidikan ilmiah yang secara filosofis menjadi kajian utama cabang epistemologi yang berkaitan dengan problem metodologi juga berkaitan dengan rancangan tata pikir, apa yang benar dan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. Selama perkembangan filsafat asumsiasumsi dasar epistemologis mengalami berbagai macam perubahan. Asumsi dasar yang satu digantikan oleh asumsi dasar lainnya Kata Kunci: Filsafat Ilmu, Metodologi,Epistemologi, Pengantar A. Pendahuluan Pembahasan tentang Filsafat Ilmu tidak terlepas dari problematika Epistemologi. Filsafat Ilmu merupakan cabang filsafat Pengetahuan (epistemologi) yang membicarakan tentang ciri-ciri Ilmu. Sebelum membahas ciri-ciri Ilmu secara luas, maka perlu kita membicara epistemologi sebagai kerangka pemikiran filosofis terlebih dahulu. Epistemologi merupakan topik yang menarik dalam filsafat, apalagi kalau kita melihatnya secara kronologis dari mulai jaman Yunani Kuno hingga ke masa postmodern dewasa ini. Perkembangannya sejalan kalau tidak dapat dikatakan identik dengan perkembangan filsafat, bahan ilmu pengetahuan pada umumnya. Selain ontologi —bagian filsafat yang mengkaji tentang ‘ada’ atau ‘realitas sejati’—, epistemologi sebagai bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian itu epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. 1 Selama masa perkembangan filsafat asumsi-asumsi dasar epistemologis mengalami berbagai macam perubahan. Asumsi dasar yang satu digantikan oleh asumsi dasar lainnya. Ada juga asumsi dasar yang sempat tergusur tampil kembali sebagai rujukan di masa-masa berikut dengan berbagai polesan di sana-sini, misalnya pandangan kaum Sofis tentang tak terjangkaunya realitas sejati oleh manusia yang muncul lagi pada Derrida. Pasang-surut asumsi dasar dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam epistemologi merupakan dinamika yang meramaikan kehidupan filsafat. Dinamika ini melahirkan keasyikan tersendiri bagi peminat filsafat. Sebuah ajang pemikiran yang tak habis-habisnya. Liku-liku dan lekuk-lekuk filsafat dalam epistemologi yang menjadikan filsafat sebagai pengetahuan dinamis barangkali merupakan tanda dari karakter manusia sebagai makhluk yang tak pernah berhenti berpikir, memaknai dunia, memaknai dirinya, dan mencoba untuk tidak menyerah begitu saja kepada *
Staf Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya Suhermanto Ja’far, Filsafat Ilmu dan Metodologi (Paiton : Diktat Pascasarjana IAI Nurul Jadid, 2011), 1-51 1
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
Filsafat Ilmu, |
- 64 -
ketidakmengertiannya. Seperti tokoh Sisiphus dalam pandangan Albert Camus, manusia ‘terkutuk’ untuk mendorong batu ke puncak Gunung Olimpus lalu menggelindingkannya kembali ke kakinya. Begitu terus menerus sampai akhir hidupnya. Sebuah upaya yang nampak sia-sia namun mengandung arti perjuangan manusia yang tak mudah menyerah pada kesia-siaan itu. Selanjutnya perlu ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam konteks epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya, antara metode, metodologi dan epistemologi. Hal ini perlu penegasan, mengingat dalam kehidupan sehari-hari sering dikacaukan antara metode dengan metodologi dan bahkan dengan epistemologi. Untuk mengetahui peta masing-masing dari ketiga istilah ini, tampaknya perlu memahami terlebih dahulu makna metode dan metodologi. “Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji”. “metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkahlangkah yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual terhadap prosedur tersebut. Implikasinya, dalam metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan metode. Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis metodemetode yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme, sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah epistemologi. Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau teknik. Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi merupakan bagian dari filsafat. Posisi masing-masing istilah ini, seperti lingkaran besar yang melingkari lingkaran kecil, dan dalam lingkaran kecil masih terdapat lingkaran yang lebih kecil lagi. Lingkaran besar disini diumpamakan filsafat, lingkaran kecil berupa Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 65 -
epistemologi, dan lingkaran yang lebih kecil kecuali berupa metodologi. Ini berarti bahwa filsafat mencakup bahasan epistemologi, tetapi bahasan filsafat tidak hanya epistemologi karena masih ada bahasan lain, yaitu ontologi dan aksiologi. Demikian juga epistemologi mencakup bahasan metode (metodologi), namun bahasan epistemologi bukan hanya metode semata-mata, karena ada bahasan lain, seperti: hakikat, sumber, struktur, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran dan dasar pengetahuan. Untuk lebih jelas lagi perlu dibedakan adanya metode pengetahuan dan metode penelitian, kendatipun tidak bisa dipisahkan. Metode pengetahuan berada dalam dataran filosofis-teoritis, sedangkan metode penelitian berada dalam dataran teknis. Dalam filsafat, istilah metodologi berkaitan dengan praktek epistemologi. Secara lebih khusus, problem penyelidikan ilmiah yang secara filosofis menjadi kajian utama cabang epistemologi yang berkaitan dengan problem metodologi juga berkaitan dengan rancangan tata pikir, apa yang benar dan dapat dipergunakan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. Kemudian berbicara tentang metodologi yang berarti berbicara tentang cara-cara atau metode-metode yang digunakan oleh manusia untuk mencapai pengetahuan tentang realita atau kebenaran, baik dalam aspek parsial atau total. Lebih jelas lagi, bahwa seseorang yang sedang mempertimbangkan penggunaan dan penerapan metode untuk memperoleh pengetahuan, maka dia harus mengacu pada metodologi, mengingat pembahasan tentang seluk-beluk metode itu ada pada metodologi. Metodologi inilah yang memberikan penjelasan-penjelasan konseptual dan teoritis terhadap metode. 2 Di dalam wilayah pengetahuan terdapat bagian yang paling mendasar, yaitu epistemologi (dalam arti sempit). Epistemologi sebagai cabang filsafat pengetahuan mengkaji pengetahuan menurut sumbernya (rasio–empiri), batasbatas pengetahuan yang mungkin (ruang–waktu), struktur pengetahuan (subyek–obyek) dan kesahihannya (teori kebenaran). Sedangkan filsafat ilmu adalah bagian filsafat pengetahuan yang mengkaji secara filosofis ilmu-ilmu berdasarkan ciri-cirinya yang khas dan cara pemerolehannya yang khas pula. Penelaahan yang sistematis terhadap cara-cara pemerolehan pengetahuan keilmuan atau terhadap metode keilmuan inilah yang disebut sebagai Metodologi. Disamping itu, terdapat pembahasan tentang tata cara berpikir benar dan lurus yang dikenal dengan logika. Arah kajian wilayah pengetahuan (epistemology) menyangkut teori-teori pengetahuan melalui refleksi secara sistematis, radikal, rasional kritis, komprehensif dan integral. Sedangkan arah kajian filsafat Ilmu adalah refleksi kritis atas ilmu dengan segala ciri-ciri ilmu yang menyertainya. Dalam kajian filsafat ilmu ada tiga wilayah kajian menyangkut ilmu alam dengan ciri nomotetis; sedangkan ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora dengan pendekatan ideografis Berbicara tentang metodologi berarti memasuki salah satu wilayah filsafat, yang secara sistematik terbagi atas tiga wilayah besar yaitu, wilayah ada (ontologi dan metafisika), wilayah nilai (aksilogi), dan wilayah pengetahuan (epistemologidalam pengertian luas). Metodologi dikelompokkan sebagai bagian dari wilayah pengetahuan atau epistemologi dalam pengertian yang luas. Wilayah pengetahuan berbicara tentang segala sesuatu yang dapat diketahui manusia.
2
Ibid
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 66 -
Di dalam wilayah ini terdapat bagian yang paling mendasar, yaitu epistemologi (dalam arti sempit) yang mengkaji hakikat pengetahuan menurut sumbernya (rasio–empiri), batas-batas pengetahuan yang mungkin (ruang–waktu), struktur pengetahuan (subyek–obyek) dan kesahihannya (teori kebenaran). Sedangkan bagian yang lebih khusus adalah filsafat ilmu yang mengkaji secara filosofis pengetahuan keilmuan berdasarkan ciri-cirinya yang khas dan cara pemerolehannya yang khas pula. Penelaahan yang sistematis terhadap cara-carapemerolehan pengetahuan keilmuan atau terhadap metode keilmuan inilah yang disebut sebagai Metodologi. Pertanyaannya, apakah yang hendak dilakukan oleh suatu penelaahan metodologi? Pemahaman metode keilmuan yang bagaimana yang ingin dicapai ? Pertanyaan-pertanyaan bagaimanakah yang diajukan, sehingga menjadikan pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan semata-mata pertanyaan teknis yang diajukan para ilmuwan dalam keterlibatan sehari-hari dengan bidang ilmunya ?3 Metodologi bermaksud melukiskan dan menganalisis cara kerja ilmu pengetahuan yang sudah berlaku, dan menentukan cara kerja yang sahih untuk ilmu pengetahuan, serta kemudian dapat juga melihat kemungkinan merancang metodemetode baru sehubungan adanya gejala-gejala yang belum terpahami melalui cara kerja yang sudah ada. Dalam hal ini dapat saja dikatakan bahwa cara kerja yang menjadi acuan adalah yang terbukti paling baik, benar, dan berhasil. Namun bagaimanakah menentukan yang terbaik, yang benar, dan yang berhasil itu? Bagaimanakah kriteria kebenaran akan didefinisikan? Apakah yang dimaksudkan dengan sahih itu sendiri? Apakah metode keilmuan sahih karena rasional? Apakah ada asas-asas rasionalitas yang mengatur kegiatan keilmuan? Bagaimana hubungannya dengan kegiatan manusia yang lainnya ? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan pertanyaan yang diajukan ilmuwan dalam lingkup kegiatan teknis keilmuannya sehari-hari. Petanyaan-pertanyaan itu timbul dari kebutuhan manusia untuk merefleksikan kegiatan-kegiatannya yang mendasar dan hakiki. Refleksi tersebut bermaksud merumuskan, mengkritik, dan memperbaiki aturan-aturan untuk kegiatan keilmuan, serta mengintegrasikan kegiatan tersebut sejauh mungkin ke dalam kerangka pemahaman manusia yang lebih luas tentang dunia dan kehidupan.4 Maka pertanyaan-pertanyaan di atas bukanlah pertanyaan di dalam ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan pertanyaan mengenai ilmu pengetahuan. Pertanyaan seperti itu merupakan pertanyaan tingkat ke-2 yang merupakan pertanyaan-pertanyaan konseptual, bukan pertanyaan faktual yang merupakan pertanyaan tingkat pertama. Pertanyaan berikutnya ialah, bukankah tiap-tiap ilmu sudah menentukan obyek penelitian dan metode penelitiannya masing-masing? Apakah tujuan mengintegrasikan kegiatan keilmuan ke dalam kerangka pemahaman yang lebih menyeluruh tentang dunia perlu mengandaikan ada satu titik tolak metodologis yang sama untuk ilmu-ilmu yang berbeda-beda itu ? Apakah ada suatu tumpuan tunggal untuk kegiatan keilmuan ? Apakah harus ada satu metode (monisme metode) keilmuan yang dapat dipakai untuk melakukan penyidikan mengenai segenap obyek 3
Lihat Pengantar M.P. Rege dalam AB. Shah, Scientific Method, Allied Publ. Priv., New Delhi (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Hasan Basari, Metodologi Ilmu Pengetahuan, Yayasan Obor Indonesia, 1986. 4 Ibid
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 67 -
yang mungkin ada di dunia atau apakah ada dua metode (dualisme metode), ataukah lebih banyak lagi (pluralisme metode)?5 Di sinilah persoalan memang muncul. Kelompok-kelompok ilmu yang kita kenal sekarang ini, baik kelompok ilmuilmu pasti, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu kehidupan, maupun kelompok ilmu-ilmu manusia (ilmu-ilmu budaya dan ilmu-ilmu sosial), telah mencabang dan meranting amat banyak. Pengelompokan ini tidak dikenal pada tahap awal pencarian manusia untuk pengetahuan, bahkan pada perkembangan awal ilmu pengetahuan modern akhir abad ke-16. Newton misalnya, menyebut cabang ilmu yang sekarang dikenal sebagai fisika, filsafat alam. Begitu juga dengan Descartes; dalam karya-karyanya ia tidak memilah dirinya sebagai filsuf, ahli matematika, atau ahli fisika. Pengelompokan ilmu tidak menimbulkan pertentangan sejauh menyangkut obyek penelitiannya. Permasalahan muncul justru ketika dipertanyakan, apakah perbedaan obyek penelitian juga berarti perbedaan metode, karena lalu muncul perdebatan apakah ilmu-ilmu yang berkembang lebih akhir harus memodelkan diri sesuai dengan ilmu-ilmu yang sudah lebih matang dan sudah terbukti berhasil untuk menjelaskan gejala ? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan bagian dari perdebatan metode yang mulai muncul pada abad ke-19, dan melahirkan upaya pencarian dan penemuan metode yang khas untuk ilmu-ilmu manusia, yaitu untuk ilmu-ilmu sosial dan ilmuilmu budaya. Upaya ini bermuara pada kemandirian ilmu-ilmu manusia sebagai cabang ilmu yang mengembangkan metodenya sendiri. Dalam konteks ini, tepatlah jika terlebih dahulu kembali pada tujuan yang secara umum hendak dicapai oleh ilmu pengetahuan. B. Pembahasan 1. Tujuan Pengetauan Ilmiah Dalam kegiatan sehari-hari dikenal pengatahuan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan mengatasi persoalan-persoalan yang muncul sesaat. Pengetahuan seperti ini bersifat eksistensial pragmatis, tidak perlu secara khusus dipelajari dengan menjalankan kaidah-kaidah tertentu karena dapat diperoleh melalui tradisi turun temurun, dari mulut ke mulut, atau dari pengalaman sendiri. Dengan perkataan lain, pengetahuan seperti ini diperoleh dengan cara apa saja dan tidak memerlukan sistematika tertentu dalam pencapaiannya. Misalnya, cukuplah kita ketahui bahwa pisang ambon yang masak berwarna kekuningan adalah buah yang dapat dimakan, atau langit yang mendung merupakan pertanda akan hujan sehingga sebaiknya kita menyiapkan payung jika akan bepergian. Intinya pengetahuan seperti ini berguna untuk kebutuhan praktis bertahan hidup sehari-hari. Pengetahuan seperti ini seringkali bersifat spontan, kongkret serta berdasarkan common sense (akal sehat), dan sangat umum. Pertanyaan-pertanyaannya pun tidak mempunyai jaminan ketepatan, bahkan seringkali kabur. Ini berbeda dengan pengetahuan keilmuan yang bermaksud memahami geejala yang muncul secara lebih mendalam, sehingga kita memperoleh penjelasan.
5
Beerling, Kwee, Mooij dan Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jogjakarta, Tiara Wacana, 1990), hal. 101
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 68 -
Dan atau pemahaman, untuk pertanyaan mengapa muncul, misalnya, gejala x ? 6 Ilmu pengetahuan sendiri dipahami sebagai pengetahuan yang sistematik lewat teori, langkah-langkah pencapaiannya dapat selalu dipertanggungjawabkan lewat metode dan dengan demikian menghasilkan pengetahuan yang mempunyai dasar pembenaran, serta bersifat obyektif serta intersubyektif. Yang terakhir ini menyebabkan ilmu pengetahuan juga dimengerti sebagai kajian tentang penilaianpenilaian yang melahirkan kesepakatan universal.7 Maka berbeda dengan pengetahuan sehari-hari, pengetahuan keilmuan tidak lagi bersifat spontan, kehilangan sifat kongkretnya sehingga secara menyeluruh bersifat lebih abstrak. Pertanyaan-pertanyaan keilmuan pun harus dapat dipertanggungjawabkan dalam arti ketepatannya, dapat diulang dengan memberi hasil yang tidak berbeda sekalipun dilakukan oleh orang yang berbeda, dapat diuji melalui verifikasi ataupun dapat difalsifikasikan . Dalam ilmu pengetahuan, penjelasan yang akan dihasilkan didahului dengan pemaparan atau deskripsi atas gejala. Gejala-gejala yang ada dicatat dalam hubungan satu dengan yang lainnya sehingga dapat dibuat penggolongan. Ilmu pengetahuan juga bermaksud memberikan interpretasi, yaitu menetapkan makna yang terdapat di dalam gejala-gejala yang sedang diseliki. Selain itu, pengetahuan keilmuan juga harus dapat memberikan kemampuan pada kita untuk memprakirakan kemungkinan munculnya gejala serupa di masa yang akan datang apabila kita berhadapan dengan kondisi-kondisi serupa. Dengan demikian ilmu pengetahuan memberi kemungkinan untuk mengontrol secara ilmiah gejala-gejala yang sejenis. Namun harus pula dicatat bahwa kemungkinan ini lebih banyak berlangsung di dalam kelompok ilmu-ilmu alam. Dengan uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan keilmuan mempunyai tiga ciri mendasar, yaitu sistematis, dapat dipertanggungjawabkan lewat metode (metahodos), dan obyektif serta sekaligus intersubyektif. Jika mengacu pada Popper, pengertian obyektif ini menempatkan pengetahuan ke dalam suatu Dunia 3,8 yaitu dunia gagasan atau pengetahuan obyektif yang merupakan dunia isi obyektif pikiran yang dihasilkan oleh manusia (dunia 1 adalah dunia obyek-obyek fisik, dunia 2 adalah dunia kesadaran subyektif atau dunia pengalaman personal). Uraian di atas memperlihatkan bahwa ada dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan yang bersifat umum dan pengetahuan yang bersifat ilmiah. Dalam filsafat, seperti telah disebutkan di atas, hakikat pengetahuan dikaji di dalam epistemologi menurut sumber, batas, struktur, dan keabsahannya; sedangkan ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara pemerolehannya dikaji di dalam filsafat ilmu. Maka dalam membicarakan ilmu pengetahuan lebih lanjut, tidaklah mungkin jika tidak menyinggung epistemologi terlebih dahulu. Ini disebabkan pengetahuan keilmuan, selain memerlukan jaminan untuk keabsahannya, juga harus jelas sumber6
Penjelasan Keilmuan bertujuan menjawab pertanyaan mengapa, dibahas oleh Hempel dalam Aspects of Scientific Explanation, 1970, New York:The Free Press, bab 10. Lihat juga Van Fraassen, 1980, The Scientific Image, Oxford: Clarendon. 7 Untuk pernyataan yang terakhir lihat definisi Ilmu Pengetahuan menurut Norman Campbell dalam What is Science, Bab II, Dover Publ. Inc. (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sonny Keraf, Ilmu Pengetahuan Alam:Tantangan Akal budi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, 1989) 8
Karl Raymound Popper, 1974, Objective Knowledge, An Evolutionary Approach, Oxford: Clarendon, hal. 153 dan seterusnya.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 69 -
sumbernya serta mempunyai pembatasan yang menjadikannya mungkon sebagai bagian dari pengetahuan manusia. Telah disebutkan di atas bahwa epistemologi mengkaji hakikat pengetahuan dari empat segi. Pertama adalah dari segi sumber pengetahuan. Dalam hal ini ada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengacukan sumber pengetahuan pada rasio semata-mata (rasionalisme), sedangkan pendapat kedua mengacukannya pada empiri (empirisme). Di dalam ilmu pengetahuan kelompok pertama menghasilkan ilmu-ilmu deduktif formal. Nama ilmu-ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian masalah yang dihadapi tidak didasarkan pada pengalaman melainkan didasarkan pada deduksi, yaitu penjabaran. Kebenaran dalil-dalail yang diajukan tidak diperoleh melalui penyelikikan empiris, melainkan dengan mengacu pada penjabaran dalildalail yang sudah diperoleh sebelumnya, begitu seterusnya. Pada suatu titik awal, haruslah langkah deduktif ini mengacu pada dalil-dalail yang diterima sebagai benar atau aksioma atau postulat. Deduksi merupakan penalaran yang mengacu pada hukum-hukum serta aturan-aturan logika formal. Acuannya adalah titik toleh yang benar tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tidak benar. Pada ilmu-ilmu deduktif formal, karena pernyataan-pernyataannya tidak memerlukan acuan pengamatan, maka keabsahan pengetahuan yang dihasilkan mengacu pada teori kebenaran koherensi. Dalam hal ini, suatu pernyataan adalah benar jika tidak mengandung kontradiksi di dalamnya. Ini berbeda dengan pandangan yang kedua yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman (empiri). Pada kenyataannya pengetahuan merupakan hasil gabungan kedua sumber pengetahuan ini. Pemerolehan pengetahuan mengacu pada pendekatan a priori maupun a posteriori. Ilmu-ilmu empiris menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Berbeda dengan ilmu-ilmu non-empiris atau deduktif-formal, pernyataan-pernyataan di dalam ilmu empiris memerlukan pengujian faktual untuk keabsahannya. Maka ilmu-ilmu ini mengacu pada teorikebenaran korenspondensi. Pertanyaan selanjutnya adalah, sejauh manakah pengetahuan itu menjadi mungkin? Adakah batas untuk pengetahuan? Dengan mengacu pada Kant, maka pengetahuan hanya menjadi mungkin jika terdapat di dalam ruang dan waktu, Ruang dan waktu mendjadi kategori a priori untuk kemungkinan pengetahuan. Sebagai contoh misalnya kita bermaksud menyelidiki orang-orang yang mengklaim diri dapat berkomunikasi dengan ruh.9 Secara sosiologis kita dapat mencoba mengklasifikasi dan mendeskrpsikan jenis orang-orang yang menyatakan diri sebagai perantara itu, latar belakang pendidikannya, kehidupan sosial dan kehidupan profesionalnya; secara historis kita dapat menemukan bagaimana prkatek komunikasi dengan ruh ini sudah ada pada masa-masa lampau baik di Indonesia maupun di tempat-temapt lain; secara antropologis kita dapat menemukan kekuatan politis orang-orang seperti itu dan fungsi serta status sosialnya yang mengkin berbeda dalam tiap masyarakat. Namun secara keilmuan temuan-temuan kita tidak pernah dapat membuktikan apapun mengenai status kognitif keyakinan akan adanya kemungkinan berhubungan dengan ruh tersebut. Persoalan ruh adalah persoalan di luar ruang dan waktu sehingga tidak terjangkau oleh kategori a priori yang menjadi syarat untuk 9
Contoh ini diadatasi dari Alan Ryan (1977), The Philosophy of Social Sciences, The Macmillan Press, London.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 70 -
kemungkinan pengetahuan. Kita bisa sampai pada tahap-tahap sejarah tertentu, tetapi secara keilmuan tidak menerima bahwa yang mereka lakukan adalah berkomunikasi dengan ruh. Kesimpulan di atas tidak berarti bahwa gejala di luar ruang dan waktu tidak diakui, tetapi pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan mengenai finomena; dan fenomena berada di dalam ruang dan waktu. Sedangkan segala sesuatu yang di luar ruang dan waktu, sekalipun diakui keberadaannya, tdak dapat menjadi onyek pengetahuan. Pengetahuan juga mempunyai struktur. Pengetahuan menandaikan adanya subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Dalam ilmu-ilmu alam subyek dan obyek terpilah dengan amat tajam, tetapi tidak demikian halnya dengan ilmu-ilmu manusia yang mengkaji manusia juga sebagai obyeknya. Berangkat dari hal tersebut di atas, maka pembagian ilmu-ilmu sesuai dengan dasar-dasar kesahihan ilmu pengetahuan dalam kajian Filsafat ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi ilmu-ilmu non empiris, ilmu-ilmu empiris dan ilmuilmu terapan yang disebut teknologi. Uraian singkat di atas menghasilkan pemilahan bidang-bidang ilmu: Ilmu – ilmu Non-empiris deduktif-formal (matematika,logika)
Kebenaran: Koherensi internal
Ilmu – ilmu Empiris induktif
Ilmu – ilmu
(ilmu alam, ilmu hayat, ilmu manusia: sosial dan budaya kebenaran: korspondensi eksternal Terapan murni ilmu teknisk) kebenaran: pragmatik; kebenaran ditentukan oleh nilai terapan/kegunaan/manfaat
2. Susunan Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai produk. Produk yang ingin dihasilkan oleh kegiatan keilmuan adalah teori. Dalam hal ini ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai sebuah peramida yang dasarnya amat lebar berisi pengalaman sehari-hari, dan menyempit menuju puncak berupa teori. Di antara dasar dan puncak terdapat susunan perkembangan dari satu tingkat teoretisasi ke tingkat berikutnya. Dari dasar pengetahuan sehari-hari yang menggunakan bahasa sehari-hari, berlangsung pemurnian dalam tiga tataran. Pertama, pengamatan sehari-hari mengalami pemurnian menjadi obervasi keilmuan (melepaskan subyektivitas, prasangka, membatasi gejala pada sifat yang hanya relevan secara keilmuan); kedua, bahasa sehari-hari mengalami pengalihan ke bahasa teknis keilmuan; yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu (sehingga misalnya tidak memberikan pernyataan bermakna ganda, atau mengandung penilaian); ketiga, pengalihan dari cara berpikir sehari-hari (menurut “akal sehat”) ke langkah-langkah deduksi-induksi. Pemurnian bermaksud menemukan keteraturan dalam gejala yang kemudian dapat disampaikan dalam suatu proposisi bersifat umum yang menjalin hubungan Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 71 -
antara suatu gejala dan gejala lainnya, sehingga jika ada p maka q selalu mengikuti. Namun proposisi ini masih bersifat barangkali dan harus diuji; dengan perkataan lain masih merupakan suatu hipotesis. Pengujian akan meneguhkan proposisi itu menjadi hukum yang bersifat umum. Teori, yang merupakan puncak piramida dan manjadi sasaran ilmu pengetahuan, mempersatukan seperangkat hukum ke dalam suatu sistem keilmuan yang dapat memberikan penjelasan menangkut gejala yang berada di bawah kerja hukum-hukum tersebut. Gambaran susunan ilmu dalam bentuk piramida di atas mengandaikan keberlakuan hukum-hukum yang bersifat umum. Pengetahuan keilmuan seperti ini adalah pengetahuan nomologis, artinya kasus-kasus individual ditempatkan di bawah keteraturan hukum-hukum umum dan dengan cara itu menjadi terjelaskan dan terprakirakan. Penjelasan mengambil bentuk yang oleh Hempel disebut covering law.10 Ketika metodologi yang ditampilkan di dalam ilmu-ilmu alam diakui kemutlakannya, muncul scientism, yang sekarang ini dapat disebut kadaluarsa. Scientism adalah suatu keyakinan bahwa ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu-ilmu alam, sebagai bagian paling utama dari kegiatan pemahaman manusia atas dunia; paling utama di sini maksudnya paling memiliki otoritas dan terbukti paling berhasil.11 Jika obyek yang dikaji adalah manusia dalam konteks kehidupan bermakna, dapatkah diterapkan hukum-hukum umum? Persoalannya adalah manusia mempunyai kesadaran dan kehendak bebas serta menghasilkan tindakan-tindakan yang mempunyai makna. Jika kegiatan pokok sebuah ilmu adalah penjelasan melalui hukum-hukum dan memprakirakan gejala yang akan muncul kemudian berdasarkan hukum-hukum, bagaimanakah kegiatan ini akan diberlangsungkan dalam ilmu-ilmu manusia? Manusia seperti berhadapan dengan suatu dilema, di satu pihak ia ingin mendapatkan pengetahuan mengenai dunia selengkap-lengkapnya memlalui hukumhukum yang menjamin kepastian pengetahuan itu, di lain pihak manusia sendiri tidak begitu saja dapat diletakkan di bawah perampatan seperti itu. Langkah untuk memperoleh pengetahuan keilmuan khususnya untuk ilmuilmu empiris, pada umumnya dimulai ketika muncul problem yang belum tertangani. Ketika itulah para ilmuwan mencoba menelusuri secara logis penyelidikanpenyelidikan yang pernah dilakukan sebelumnya atau menelusuri teori-teori yang mungkin pernah disampaikan sehubungan dengan gejala sejenis. Dengan mengacu pada landasan teori ini dapat diturunkan suatu proposisi tentatif, atau hipotesis yang masih harus diuji keberlakuannya. Pada tahap inilah diadakan observasi, yaitu dengan terlebih dahulu mengoperasionalkan hipotesis itu (bergantung pada disiplin ilmu, misalnya menentukan pengamat eksperimen atau pengamat partisipan, menentukan instrumen, sampel, penskalaan). Pertanyaan yang harus dijawab di sini adalah, sejauh mana observasi terhadap gejala-gejala khusus dapat dirampatkan dan kemudian menopang hipotesis yang diajukan? Pengajuan terhadap hipotesis ini menghasilkan keputusan penolakan atau penerimaan, yang selanjutnya akan berpengaruh pada keputusan untuk mendukung atau menolak teori yang semula menurunkan hipotesis itu. Proses di atas dapat dilihat dalam suatu siklus (empiris) yang terdiri dari komponen-komponen informasi 10
Hempell, Aspects of scientific, Hal. 345-347 Lihat Tom Sorell, 1994, Scientism, Philosophy and the Infatuation with Science, London:Routledge, hal. 1 11
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 72 -
(problem, teori, hipotesis, pengamatan, perampatan empiris) dan langkah-langkah metodologis (penclusuran logis, pendeduksian hipoteses dari teori, pengoperasional hipotesis, penyimpulan sampel, pengujian hipotesis, pembentukan dan penysysnan proposisi). Watak siklus tampak dari kenyataan bahwa dengan melakukan observasi dan pengujian, dapat selalu muncul problem baru dan observasi-observasi baru yang sekali lagi akan diteruskan dengan langkah-langkah metodologis serupa. Sedangkan kadar keilmuan proses ini terletak pada keruntutan seluruh kerjanya sehingga setiap temuan atau pernyataan selalu dapat dipertanggungjawabkan. Pada peralihan abad menuju abad ke-20, ketika positivisme bergerak menuju puncaknya, Wilhelm Dilthey merefleksikan secara mendalam ilmu-ilmu budaya dengan maksud meletakkan landasan filosofis yang kokoh untuk kelompok ilmu yang ia sebut Geisteswissenschaften untuk membedakan sekaligus menyetarakan dengan Naturwissenschaften. Pada mulanya Dilthey membedakan kedua kelompok ini berdasarkan obyek penelitiannya. Kelompok ilmu-ilmu alam mengkaji dunia fisik, sedangkan kelompok ilmu-ilmu budaya mengkaji dunia manusia dam pengertian konteks kehidupan. Kemudian ia menyadari bahwa pembatasan pada wilayah obyek tidak mencukupi, fisiologi juga menangani manusia tetapi bukan merupakan bagian ilmu-ilmu budaya. Dilthey melihat perbedaan antara kedua kelompok tersebut tidak dapat dipandang sebagai perbedaan ontologis tetapi epistemologis, yaitu tidak terletak pada bentuk-bentuk obyektivasinya tetapi pada taraf obyektivasinya. 12 Perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu budaya harus direduksi ke orientasi subyek yang mengetahui, pada sikapnya terhadap obyek kajiannya. Jika kita mempelajari alam melalui hukum-hukum, kita harus menyingkirkan pengalaman subyek. Obyektivitas ilmu-ilmu alam hanya dapat diperoleh jika seluruh spektrum pengalaman prakeilmuan dalam kehidupan sehari-hari ditanggalkan; dengan demikian kita memperoleh pemahaman mengenai obyek menurut kategori-kategori bilangan, ruang, waktu, dan massa. Ilmu-ilmu budaya tidak mengadakan pembatasan padaq pengalaman subyek, dan menjadikan pengalaman sehari-hari prakeilmuan sebagai bahan kajiannya. Realitas seperti membuka dirinya terhadap pengalaman dari dalam. Perbedaan sikap subyek terhadap obyek kajiannya dalam kedua kolompok ilmu ini menghasilkan tata pengalaman dan teori yang berbeda. Dalam ilmu-ilmu alam, gejala-gejala yang diamati dapat dimengerti jika ditempatkan dalam suatu keteraturan yang salang berhubungan secara logis. Kita harus terlebih dahulu membuat model mengenai hubungan-hubungan itu sehingga pengalaman empiris dapat ditempatkan di bawah hukum-hukum. Dilthey melihat bahwa dengan demikian pengalaman berhubungan dengan teori yang bergantung pada pembentukan modelmodel. Dalam ilmu-ilmu budaya, aras teori dan aras data belum mengalami perceraian dengan cara ini, Konsep-konsep dan teori-teori bukan merupakan rekonstruksi mimetik (tiruan) data empiris. Jika dalam ilmu-ilmu alam pengetahuan keilmuan berakhir pada teori, dalam ilmu-ilmu budaya teori-teori hanya berperan sebagai wahana untuk membangkitkan kembali pengalaman reproduktif. Jika ilmuilmu alam mengkonstruksi pengalaman (melalui penyusunan teori dan prakiraan-
12
Lihat Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interests, (Boston : Beacon khususnya bab 3. Selanjutnya sebagaian besar uraian mengenai dilthey dirujukkan pada habermas
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 73 -
prakiraan atas gejala), ilmu-ilmu budaya bertujuan mentrasposisi, yaitu mengalihkan obyektivasi-obyektivasi mental kembali ke pengalaman reproduktif. Metode kedua kolompok ini juga berbeda. Dilthey menyebut menjelaskan (Erklaren) itu metode ilmu-ilmu alam, dan memahami (verstehen) metode ilmu-ilmu budaya. Dalam menjelaskan, teori dan pengalaman dapat dipilah; teori-teori bermaksud menjelaskan hukum-hukum, dan mengembalikan gejal ke hubunganhubungan kausal. Sebaliknya, memahami adalah suatu tindakan yang tidak memungkinkan pemilahan pengalaman dan pemahaman teoretis; memahami bermaksud menemukan makna dari produk-produk manusiawi. Ilmu-ilmu alam mengungkapkan fakta lewat teori; teori memuat informasi tentang realitas dan pengalaman diabstraksikan menjadi proposisi-proposisi universal yang bebas dari yang subyektif. Dalam ilmu-ilmu alam bekerja bahasa yang mengalami pemurnian; dalam bahasa muni itu interaksi simbolik disingkirkan. Interaksi simbolik teruntkap dalam kata-kata dan dianggap bukan fakta. Pemahaman justru bekerja pada tataran ini. Interaksi simbolik menjadi fakta. Pemahaman tidak memilah antara pernyataan tentang fakta dan fakta yang diamati. Dalam ilmu-ilmu budaya kategoroi-kategori abstrak tidak dapat menerangkan pengalaman kongkrit dengan memadai sehingga jika kemajuan ilmu-ilmu alam diperoleh melaualui pernyataan-pernyataan universal yang lepas dari bahasa sehari-hari, kemajuan pemahaman hermeneutik justru bergantung pada hahasa sehari-hari untuk menerangkan konteks kehidupan kongkrit, untuk mengungkapkan makna. Kedua metode yang berbeda ini menunjukkan perbedaan obyek menampakkan diri pada subyek. Obyek ilmu-ilmu alam tampak pada kesadaran sebagai sesuatu yang datang dari luar (from without), sedangkan untuk ilmu-ilmu budaya obyek tampak pada kesadaran sebagai sesuatu yang datang dari dalam (from within) subyek sendiri. Jika ilmu-ilmu alam mengkonstruksi hubungan-hubungan hipotetis, metode ilmu-ilmu budaya selalu bergerak dalam suatu struktur terberi (lived experience, pengalaman yang dihayati, yang dialami). Dengan demikian Dilthey mengadakan pemilahan antara inner and outer perception, antara ilmu dunia eksternal dan ilmu tentang Geist. Memahami kehidupan menjadi landasan epistemologi Dilthey yang diterapkan pada ilmu-ilmu budaya dengan bertolak dari penghayatan, ekspresi dan pemahaman. Memahami adalah mereproduksi suatu obyektivasi mental; mengalami kembali diperatarakan oleh pemahaman akan makna yang terkandung dalam karyakarya budaya. Memahami tidak saja mengenai pengalaman psikologis, tetapi untuk mengangkap makna perwujudan kehidupan serta penghayatan. Kaitan antara penghayatan, ekspresi, dan pemahaman melukiskan keadaan manusia. Ketiganya tampil dalam bentuk-bentuk berupa kata, isayarat, ungkapan, dalam pranata sosiokultural bahkan psikofisi. Ketiganyan merupakan ciri eksistensi manusia. Kita memahami diri kita dan orang lain dengan cara menyatukan pengalaman kita ke dalam bentuk ekspresi kehidupan kita sendiri dan kehidupan orang lain. Dengan cara lain Dilthey melihat sejarah sebagai obyektivasi terus menerus dari pikiran-pikiran obyektif, struktur simbolik yang dituangkan dalam pola dan hasil budaya. Dengan demikian pengetahuan tentang struktur simbolik dan makna bukan psikologi penciptanya. Pemahaman terhadap makna budaya berlangsung melalui konteks kehidupan kongkrit yang diungkapkan melalui ekspresi linguistik, tetapi selalu saja ada kesenjangan antara konteks kehidupan kongkrit dan ekspresinya Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 74 -
dalam kata-kata sehingga hermeneutik harus menjadi jembatan. Konteks kehidupan kongkrit juga diungkapkan lewat tindakan internasional. Tindakan melengkapi makna yang tidak terungkap melalui bahasa. Dalam hal ini berlangsung relasi timbal balik antara pikiran dan kehendak; tindakan diungkapkan lewat kata-kata dan katakata lewat tindakan. Konteks kehidupan kongkrit juga diungkapkan dalam ekspresi pengalaman yang dipahami sebagai tanda dari maksud yang tidak ternyatakan (mimik air muka, mimik tubuh) dan dipahami sebagai tanda ketidakstabilan antara ego dan obyektivasinya. Dengan demikian ekspresi pengalaman dapat dipakai untuk menafsirkan kepura-puraan atau kesungguhan. Pengelompokan ilmu oleh Wilhelm Windelband dan Heinrich Riskert memberikan sumbangan pada persoalan menyangkut pembedaan ilmu-ilmu budaya dan ilmu-ilmu alam. Windelband dan Rickert menolak dasar pengelompokan Dilthey pada obyek kajian dengan alasan bahwa dengan pembagian itu seakan-akan realitas terbelah. Ilmu pengetahuan mengkaji realitas (yang sama) dari sudut pandang berbeda, sehingga pedoman untuk pengelompokkan ilmu pengetahuan harus didasarkan semata-mata pada perbedaan metode. Metode harus dibedakan; antara yang dimaksudkan untuk menemukan hubungan-hubungan yang bersifat umum serta hukum-hukum (metode perampatan), dan yang dimaksudkan untuk memahami peristiwa individual yang unik dan tidak berulang. Ilmu-ilmu yang didasarkan pada perempatan dikategorikan sebagai nomotetik, dan yang didasarkan pada peristiwa individual sebagai ideografik. Max Weber menolak pengelompokan ilmu didasarkan perbedaan metode generalisasi dan individuasi sekalipun pembedaan itu memang sahih secara logis. Baik ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu budaya tidak masing-masing secara eksklusif memberlakukan prosedur generalisasi dan individuasi. Setiap cabang ilmu pengetahuan, dapat mempergunakan tiap-tiap metode tersebut menurut kebutuhan dan tujuan penelitiannya. Astronomi dan biologi, sebagaimana sosiologi dan psikologi, misalnya pada suatu kesempatan mencari hukum-hukum tapi pada kesempatan lain menyelidiki ciri-ciri unik suatu gejala.13 Sebagai penganut kantianisme, Weber menolak bahwa pengetahuan merupakan penjiplakan realitas, realitas itu takhingga dan tiada habis-habisnya. Masalah utama teori pengetahuan adalah masalah hubungan antara hukum dan sejarah, konsep dan aktualitas. Setiap metode, apapun itu, akan senantiasa berhadapan dengan keaneka-ragaman realitas-realitas yang unik dan acak, serta mereduksikan perbedaan-perbedaan kualitatif menjadi aspek kuantitatif yang dapat menjadi landasan untuk suatu postulat atau hukum umum. Sebaliknya, metode individuasi mengabaikan unsur-unsur umum gejala yang diamati, serta menaruh perhatian pada tampilan kualitatif dan khusus. Kedua metode ini sama-sama menjarak dari realitas demi kebutuhan abstraksi yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan ilmiah. Dengan demikian Weber meyakini bahwa tidak ada kelebihan metode yang satu dibanding yang lain, dan tidak ada satu metode universal yang berlaku untuk semua ilmu pengetahuan. Metode adalah teknik untuk memperoleh pengetahuan, dan sebagaimana setiap teknik maka yang utama adalah efisiensi yang ditawarkan. Klaim 13
Julien Freund, The Sociology of Max Weber, (terj dari bahasa Perancis oleh Mary Ilford) (London: Penguin press, 1970), khususnya bab II
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 75 -
bahwa salah satu metode hanya dapat ditentukan setelah peninjauan ulang terhadap pemerolehan hasil penelitian. Bahkan prosedur yang efektif untuk menangani satu penelitian, dapat saja gagal ketika diterapkan pada penelitian lain yang serupa. Bagaimanapun Dilthey berhasil memberi otonomi pada teknik pemahaman dan menjadi pelopor untuk hermeneutik sebagai ilmu menginterpretasikan makna.14 Epistemologi Dilthey harus dilihat sebagai upaya memperjuangkan pemikiran transendental ke dalam syarat kemungkinan pengetahuan historis dengan mencontoh Critique of Pure Reason Kant. Jika Kant menyatakan bahwa ilmu pengetahuan alam itu mungkin karena kausalitas merupakan syarat a priori akal budi, maka Diltheyyang membuat pengetahuan tentang pengalaman menjadi mungkin. Maksudnya, makna mengkonstitusi struktur pengalaman. Makna termuat dalam pengalaman dan terungkapkan dalam struktur-struktur simbolik, sehingga mempunyai kasahiban intersubyektif dengan dasar bahasa. Bagaimanapun sebagai anak zaman yang mengejar obyektivitas, Dilthey tetap tidak melepaskan diri dari upaya mengejar obyektivitas sebagaimana dipahami menurut ilmu-ilmu alam. Dengan mereduksi hubungan antara penghayatan, ekspresi dan pemahaman pada struktur dunia-kehidupan secara transendental Dilthey meredukdi pengetahuan pada kutub transedental, dan jauh pada obyektivisme. 15 Dikotomi antara penjelasan yang bersifat obyektif dan pemahaman yang subyektif yang diciptakan Dilthey sangat tajam, namun mendapatkan reformulasi yang menarik dalam karya Ricouer melalui sintesis antara momen-momen obyektif dan momen-momen eksistensial interpretasi. Untuk itu Ricouer berangkat dari teks, karena pada teks Ricouer melihat kemungkinan mengajukan sekaligus konsep penjelasan dan pemahaman.16 Sebuah teks berada di antara dialektika penjelasan struktural dan pemahaman bermeneutik. Hermeneutika Ricouer mencakup tiga momen yaitu distansiasi, penafsiran sebagai pemahaman dan penjelasan, dan apropriasi. Distansiasi menyebabkan masalah pemahaman teks tidak dapat dikembalikan pada penulisnya. Teks mempunyai pengacuan pada sesuatu yang lain, dan membaca, sebagai interpretasi, adalah mengaktualkan pengacuan itu. Dalam teks, pengacuan ditunda sehingga dimensi pengacuan ini sepenuhnya tanpa kata dan teks seakan-akan tanpa dunia. Otonomi teks memungkinkan pembaca dapat terus membiarkan penundaan itu dan memperlakukan teks sebagai tak berdunia dan tak berpenulis. Teks sebagai teks tidak bertujuan untuk bertransendensi mencapai sesuatu di luarnya; teks menjadi sestem tertutup dan tidak mempunyai sesuatu di luarnya. Dalam hal ini teks dapat dijelaskan berdasarkan hubungan-hubungan internal, strukturnya. Dalam hal ini Ricouer berbeda dengan Dilthey, tidak melihat penjelasan sebagai konsep epistemologis yang dipinjam dari wilayah pengetahuan di luar lingkup ilmu-ilmu budaya, melainkan dari bidang bahasa sendiri. 14
Toety Heraty Noorhadi, makalah tidak diterbitkan dalam seminar Ekspose Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan : Peranan Humaniora dalam kehidupan dan Penidikan. Jogjakarta : Universitas Gajah mada, 1986) 15 Habermas, Aspects Of, 148-150 16 Ricouer, What is a Text ? dalam Hermeneutics and Human Sciences , (London : Paul Keagan, 1982, khususnya bab IV. Bdk dengan Rasmussen, Mythic-Symbolic Languange and Philosophical Anthropology, (London : Martinus Nitjhoff, 1971). Khususnya bab II. Untuk lebih jelasnya lihat Ricouer, The Conflict of Interpretations, The Symbolisme of Evil, Hermeneutics as Critical of ideology. (Evaston : North Western Universtiy.
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 76 -
Sebaliknya, pembaca dapat mengangkat penundaan itu dan mencari bukan sesuatu yang tersembunyi, tetapi yang terbuka di hadapat teks. Dalam hal ini pembaca menginterpretasikan teks. Pembaca mencari bukan konstitusi internal tetapi yang bengcu pada dunia yang mungkin. Sebenarnya, sikap yang pertama hanya mungkin dengan mengandalkan sikap yang kedua ini. Puncak proses interpretasi adalah apropriasi yang merupakan tindakan eksistensial di mana penafsir membuat sendiri makna teksnya. Apropriasi adalah transformasi diri, dalam arti interpretasi teks memuncak pada penafsiran diri subyek yang memahami diri lebih baik, ia makna berkat teks yang dibaca. Melalui apropriasi terjadi interseksi antara dunia kehidupan pembaca dan dunia teks, yaitu dunia yang disarankan yang dapat aku huni dan dunia tempat aku memproyeksikan salah satu kemungkinan aku yang banyak. Dalam pandangan Ricouer, jika dalam penjelasan kita mengeplikasikan jajaran proposisi dan makna, maka dalam pemahaman kita menangkap sebagai keseluruhan rantai makna. Memahami bukan hanya mengulang peristiwa tetapi menghasilkan peristiwa baru yang berasal dari teks tempat peristewa semula diobyektivasi. Ricouer memperkenalkan tiga langkah pemahaman, yang berangkar dari penghayatan atas simbol ke gagasan tentang berpikir dari simbol. Langkah ini pertama-tama adalah pemahaman dari simbol ke simbol, kemudian pemberian makna oleh simbol, dan penggalian atas makna yang bersifat filosofis dalam arti menggunakan simbol sebagai titik tolak. Ketiga langkah ini berhubungan dengan langkah semantik yang bekerja pada tataran bahasa, kemudian dengan pemahaman refleksif, dan pemahaman eksistensial pada tingkat ada. Pada tahap analisis simbol misalnya, dicontohkan tentang dosa. Dosa yang dalam mitos diungkapkan sebagai ‘menempuh jalan sesat’, atau sebagai suatu ‘kebersalahan’ yang merupakan ‘beban’; kebersalahan karena berbuat jahat yang jika dikaitkan dengan kebebasan saya sebagai manusia maka menjadi berhubungan dengan saya yang bertanggung jawab. Dalam hal ini dosa dikaitkan dengan hakikat saya yang bertanggung jawab, bukan lagi persoalan perlawanan terhadap Tuhan. Pada tahap refleksi terhadap kejahatan, ternyata kejahatan selalu saja harus dikembalikan pada sesuatu yang lain sehingga manusia dipahami bukan saja bersalah karena melakukan kejahatan dengan bebas tetapi juga menjadi korban kejahatan itu sendiri karena telah menyerah pada kejahatan yang merajalela. Dari kedua tahap ini diperoleh pemahaman eksistensial tentang ada sebagai kehendak. Pendekatan semantik memungkinkan bermeneutik tetap berhubungan dengan metodologi. Namun untuk Ricouer, hermeneutik adalah filsafat hermeneutis (catatan:bedakan dari hermenutik) dan dengan demikian harus melampaui tataran linguistik menuju ontologi. Pemahaman bagi Ricouer adalah cara mengada (mode of being), bukan lagi semata-mata cara memperoleh pengetahuan. Untuk itu diperlukan refleksi yang akan menghubungkan pemahaman akan tanda dan pemahaman diri, karena pada diri kita mendapat kesempatan menemukan keberadaan. Refleksi disini bukan dalam pengertian transendental Kantian untuk mensahihkan pengetahuan, tetapi merupakan penemuan kembali cogito dalam detour melalui struktur obyektif budaya, agama, masyarakat dan agama; refleksi adalah apropriasi dari upaya kita untuk mengada dan kehendak untuk menjadi melalui karya-karya yang membuktikan upaya dan kehendak ini. Refleksi menjadi interpretasi karena kita hanya menangkap tindakan ada melalui tanda-tanda yang berserakan di dunia. Filsafat refleksi harus mencakup Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 77 -
hasil, metode, dan penanganan semua ilmu yang mencoba menfsirkan tanda-tanda manusia. Ricouer melihat pemahaman sebagai salah satu proyeksi mengad manusia dan keterbukaan terhadap ada. Pernyataan menyangkut kebenaran bukan lagi pertanyaan mengenai metode tetapi pertanyaan pengejawantahan ada di dalam pemahaman itu. Pada tingkatan ini manusia berada pada tingkat eksistensial. Pengalaman eksistensial melibatkan keseluruhan manusia, tidak ada lagi pemisahan antara pemahaman dan penjelasan, kebenaran dan metode. Pada Ricouer pemahaman diri berarti melalui teks saya mengetahui dengan lebih baik kemungkinan-kemungkinan saya sendiri dan keberhinggaan saya melalui pengalaman masa lalu dan dalam hubungan dengan harapan masa depan. Pemahaman diri merupakan pengetahuan eksistensial; dengan demikian Ricouer menunjukkan bahwa melalui pemahaman terhadap teks sebagai karya budaya, manusia memperoleh pemahaman eksistensialnya. Ilmu pengetahuan berkembang karena ada suatu dunia di luar manusia yang dapat dibahasakan melalui bahasa keilmuan. Ilmu pengetahuan didukung oleh fakta, dan perkembangan metodologi positivistik menkankan kebenaran sebagai hubungan korespondensi antara pernyataan-pernyataan keilmuan dengan fakta. Sasaran keilmuan adalah memperoleh kepastian dalam bentuk penjelasan; dalam ilmu-ilmu alam penjelasan itu diperoleh dengan mengacu pada hukum-hukum. Namun pada ilmu-ilmu budaya, tanpa perlu terjatuh pada relativisme metafisika,17 iajukan metode komplementer yaitu hermeneutika yang memberikan perspektif baru dalam menghadapi kemutlakan fakta. C. Kesimpulan Di sini, seperti tampak pada Ricouer, pemahaman bukan seperti dinyatakan oleh Hempel18 Hempel mendudukkan hermeneutik sebagai suatu sarana heuristik dalam konteks penemuan (context of discovery). Dan bukan dalam konteks pensahihan (context of justification) untuk mencapai hipotesis. Pemahaman dilihat sebagai suatu langkah yang melengkapi langkah induksi; ada data dikumpulkan, lalu pemahaman diterapkan, dan hipotesis dirumuskan untuk diuji. Sementara dalam kajian ilmu budaya, pemahaman sudah sejak awal terlibat dalam semua langkah yang eipergunakan. Dunia fisik ada dan dapat diketahui, dunia manusia bermakna dan dipahami. Dalam kelompok-kelompok keilmuan inilah kita melihat landasan epistemologi yang kemudian menunjuk pada metodologi yang dikembangkan sesuai dengan andaian-andaian epistemologisnya. Bahkan jika dikembalikan pada Habermas, pembedaan metodologi bahkan bukan hanya dikembalikan pada pengetahuan, tetapi juga pada kepentingan dan tindakan, suatu triade berikut yang muncul sestelah triade penghayatan ekspresi-pemahaman Dilthey. Dari upaya pengembalian pada triade pengetahuan-kepentingan-tindakan itulah Habermas membedakan ilmu-ilmu alam yang bersifat empiris-analitis dengan kepentingan teknis menguasai alam dan metodologinya yang monologis, dari ilmu-ilmu sosial dan budaya yang historis-hermeneutis dengan kepentingan praktis mengarahkan 17
Metafisika berasal dari kata Yunani, Ta meta ta Phisica yang berarti sesuatu yang berada di balik dunia yang fisik atau yang melampaui yang fisik. Untuk lebih jelasnya lihat Suhermanto Ja’far, Metafisika dalam konsep Iqbal (Jakarta : Tesis Filsafat UI, 2003). Khususnya bab III 18 Hempel, Aspects, 155-171
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 78 -
pemahaman dan tingkah laku praktis dan metodologi dialogi interpretasi, serta dari ilmu-ilmu kritis dengan kepentingan emansipatoris menghancurkan dogmatisme dan ideologi dan metodologi yang refleksi atas pembentukan diri.
Daftar Pustaka Ja’far, Suhermanto, Filsafat Ilmu dan Metodologi (Paiton : Diktat Filsafat Ilmu, Pascasarjana IAI Nurul Jadid, 2011), 1-51 Lihat Pengantar M.P. Rege dalam AB. Shah, Scientific Method, Allied Publ. Priv., New Delhi (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Hasan Basari, Metodologi Ilmu Pengetahuan, Yayasan Obor Indonesia, 1986. Beerling, Kwee, Mooij dan Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jogjakarta, Tiara Wacana, 1990), hal. 101 Hempel dalam Aspects of Scientific Explanation, 1970, New York:The Free Press, bab 10. Lihat juga Van Fraassen, 1980, The Scientific Image, Oxford: Clarendon. Keraf,Sonny, Ilmu Pengetahuan Alam:Tantangan Akal budi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, 1989. Popper,Karl Raymound, 1974, Objective Knowledge, An Evolutionary Approach, Oxford: Clarendon, hal. 153 dan seterusnya. Ryan, Alan (1977), The Philosophy of Social Sciences, The Macmillan Press, London. Hempell, Aspects of scientific, Hal. 345-347 Sorell,Tom, 1994, Scientism, Philosophy and the Infatuation with Science, London:Routledge, hal. 1 Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interests, (Boston : Beacon khususnya bab 3. Selanjutnya sebagaian besar uraian mengenai dilthey dirujukkan pada habermas Julien, Freund, , The Sociology of Max Weber, (terj dari bahasa Perancis oleh Mary Ilford) (London: Penguin press, 1970), khususnya bab II Heraty Noorhadi ,Toety, makalah tidak diterbitkan dalam seminar Ekspose Ilmu Pengetahuan Kemanusiaan : Peranan Humaniora dalam kehidupan dan Penidikan. Jogjakarta : Universitas Gajah mada, 1986) Habermas, Aspects Of, 148-150 Ricouer, What is a Text ? dalam Hermeneutics and Human Sciences London : Paul Keagan, 1982, khususnya bab IV. Rasmussen, Mythic-Symbolic Languange and Philosophical Anthropology, (London : Martinus Nitjhoff, 1971). Khususnya bab II. Ricouer, The Conflict of Interpretations, The Symbolisme of Evil, Hermeneutics as Critical of ideology. (Evaston : North Western Universtiy. Hempel, Aspects, 155-171 Ja’far, Suhermanto, Metafisika dalam konsep Iqbal (Jakarta : Tesis Filsafat UI, 2003). Khususnya bab III
Afkarina | Vol. 1 No. 3 September 2014 – Pebruari 2015
|
- 79 -