FILOSOFI PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PEDESAAN DAN PERKOTAAN Oleh : Listiyarko Wijito*)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang telah dipungut dalam kurun waktu yang sangat lama, yaitu mulai dari jaman kerajaan, jaman penjajahan, jaman kemerdekaan, hingga sampai saat ini. Dalam melakukan pemungutan PBB, pemerintah daerah harus memahami filosofi pemungutan PBB dengan mempelajari sejarah pengaturan dan praktek pemungutan PBB, hubungan antara pemajakan atas tanah dengan kepemilikan tanah, permasalahan sosial serta konsekwensi hukum yang timbul karena dikeluarkannya produk hukum pemungutan PBB (seperti Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)). Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman untuk menambah bekal aparat Pemerintah Daerah dalam mengelola pemungutan PBB serta menangani permasalahan sosial dan hukum yang mungkin saja muncul di lapangan. Pemungutan Pajak Atas Tanah Pada Jaman Penjajahan Sejarah pemajakan atas tanah (bumi) di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang, yaitu sejak jaman kerajaan. Selanjutnya pada saat persekutuan dagang Belanda (VOC) atau kompeni mulai menguasai daerah-daerah jajahan, diterapkan aturan Verplichte leverentien atas daerah jajahan di Nusantara. Tarif yang diberlakukan adalah 1/5 dari semua hasil produksi. Dalam perkembangannya VOC juga menerapkan Contingen sebagai pajak tanah pada beberapa daerah yang langsung dikuasai olehnya. Jenis tanamannya ditetapkan dan dengan harga taksiran yang sangat murah. Ketika Inggris merebut daerah jajahan di Nusantara dari Belanda pada tahun 1811, oleh Thomas Stanford Raffles diberlakukan pajak tanah atau Landrent (sewa tanah). Raffles memandang semua tanah sebagai milik raja-raja Jawa. Karena raja telah mengakui kedaulatan Inggris, maka tanah menjadi kepunyaan negara. Teori ini menjadi dasar untuk penerapan sistem sewa tanah di Jawa. Gagasan ini datang dari pengalaman Inggris di India. Dengan demikian maka Verplichte leverentien serta Contingen tidak berlaku lagi. Tarip pajak tanah yang diatur dalam Landrente (sewa tanah) diberlakukan sebesar 1/2, 2/5, 1/3, atau 1/4 dari hasil sawah menurut baik dan buruknya hasil yang diperoleh. Raffles meninggalkan Jawa pada tahun 1816, setelah pulau tersebut dikembalikan Inggris kepada Belanda. Belanda meninjau kembali kebijakan mereka atas Jawa. Gubernur
Jenderal Van Der Cappellen menerapkan suatu kebijakan, diantaranya ialah, bahwa penduduk Jawa bebas menggunakan tanah mereka untuk menanam yang mereka kehendaki, tapi sebagai imbalan atas hak ini, orang-orang tersebut harus membayar sewa atas tanah. Pada tahun 1827, sebagian besar sewa harus dibayarkan baik dalam bentuk mata uang perak atau emas, dan sisanya dalam bentuk mata uang tembaga. Diharapkan dengan konsep liberal ini, penduduk Jawa kemudian akan memproduksi hasil bumi yang lebih dapat di pasarkan, dan dengan demikian mampu membayar sewa tanah. Sistem yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut pada dasarnya adalah kelanjutan dari Landrent, dimana istilah tersebut diganti dengan Landrente yang diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1818 Nomor 14, dan diganti dengan Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1819 Nomor 5. Sistem yang digunakan dalam Landrente dimulai dengan melakukan penaksiran atas pajak yang dapat dibebankan pada satu desa. Kemudian dilakukan proses tawar menawar dengan kepala desa untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar oleh satu desa tersebut. Van Den Bosch, yang menggantikan Van Der Cappellen, muncul dengan suatu gagasan Culturstelsel. Tujuannya adalah untuk membuat Jawa sebagai suatu aset yang bernilai dengan menghasilkan sebanyak mungkin kopi, gula dan nila dengan biaya produksi yang serendah mungkin. Menurut sistem yang baru ini, rakyat harus menanam 1/5 tanah desa dengan tebu, kopi atau tanaman lainnya. Persyaratan tersebut kemudian diganti menjadi 1/3. Van Den Bosch mengumumkan bahwa sewa tanah tidak perlu dibayar jika rakyat menanam tanaman-tanaman ini pada tanah mereka dan menjualnya kepada pemerintah dengan tingkat harga yang rendah. Penerapan kebijakan ini bertentangan dengan konsep awalnya. Di beberapa daerah, kebijakan ini diterapkan dibawah tekanan dan paksaan yang keras. Selain itu, pemerintah berusaha mempersempit kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahun sebagai hak persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan hutang, (Rizal, 2003). Perjuangan memperkuat kedudukan pengusaha-pengusaha pertanian di satu pihak dan penduduk di lain pihak terjadi pada tahun 1860-1870, dengan memajukan rancangan wet yang mengatur tentang pertanian yang dapat dilakukan di tanah tanah bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia diberi izin menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia. Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun 1856, dengan mengijinkan para pemilik modal
untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi. Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan pula meraka mendapatkan hak milik pribadi. Agrarische Wet 1870 kemudian menjadi Pasal 51 the wet op Staatsinrichting van Nedherlands Indie (konstitusi Hindia Belanda). Sebagai pelaksanaan dari Pasal 1 Agrarische Wet 1870 dikeluarkan Agrarische Besluit tahun 1870 menyatakan dengan kekecualian atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul 5 dan 6 Pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting Van Netherland Indie semua tanah hak miliknya tidak dapat dibuktikan, akan dianggap milik negara. Pasal tersebut merupakan aturan secara umum (algemene-domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (asas) agraria yaitu pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein vanden Staat). Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak milik) kecuali jika terbukti ada hak cigendom orang lain diatasnya. Secara umum, hak-hak tanah pada zaman penjajahan yang diatur dalam Agrarische Wet, Agrarische Besluit dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), adalah: 1.
Tanah Negara berdasarkan pernyataan tanah negara (domeinverklaring) dengan diberlakukannya keputusan agraria (Agrarisch Besluit)
2.
Tanah yang termasuk daerah swapraja
3.
Hak-hak atas tanah yang dikenakan hak adat seperti: tanah milik menurut suatu hukum adat tanah ulayat yang digarap bersifat tetap/sementara (gogolan, sanggan, pekulen) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana tercantum dalam pasal 53 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA): ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian
4.
Hak-hak barat sebagaimana diatur dalam buku kedua Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (KUH Perdata) tentang Hak Kebendaan, dikenal beberapa hak perorangan atas tanah, seperti hak eigendom, opstal, erfpacht, sewa hak pakai (gebruik), hak pinjam (bruikleen).
5.
Hak yang bersifat sementara yang diatur pada hak jaminan hipotek (hak-hak barat) sebagaimana diatur dalam buku kedua Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (KUH Perdata).
Dengan adanya perubahan kebijakan pertanahan sebagaimana diuraikan diatas, pengenaan pajak atas tanah selanjutnya mengacu kepada: Untuk tanah-tanah Hak Barat: Verponding Eropa; Untuk tanah-tanah hak milik adat yang ada di wilayah Gemeente (wilayah kotamadya pada jaman hindia belanda): Verponding Indonesia
Untuk tanah-tanah hak milik adat di luar wilayah Gemeente: Landrente.
Landrente atau Pajak Bumi hanya dikenakan di Jawa dan Madura (Staatsblad. 1927163 jo 1931-168), Bali dan Lombok (Staatsblad 1922-812), Sulawesi (S.1927-179), Daerah Hulu Sungai Kalimantan (Staatsblad 1923-484), (Staatsblad 1925-193, Staatsblad 1932-102) dan Bima (1926), Dompu dan Anggar (1927) serta Sumbawa (1929). Sedangkan Verponding Indonesia dipungut berdasarkan (Staatsblad 1923-425 jo Staatsblad 1931-168). Pemungutan Pajak Atas Tanah Setelah Kemerdekaan Pajak bumi digantikan dengan Pajak Hasil Bumi berdasarkan Undang-undang No 14 tahun 1951 (L.N 1951 No 84) tentang Penggantian Pajak Bumi dengan Pajak Peralihan Tahun 1944. Dalam perkembangannya, pemerintah menyempurnakan Undang-undang No 14 tahun 1951 dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (L.N. 1959 No 104) dan ditetapkan kembali dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961. Undang-undang ini hanya mengatur tentang pungutan pajak atas tanah adat (tidak termasuk tanah hak barat). Dengan diberlakukannya UUPA pada tahun 1960 serta ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967, maka Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi. Termasuk tanah-tanah yang diatur dalam Ordonansi Verponding Indonesia tahun 1923 dan tahun 1928. Pungutan Pajak hasil Bumi pada saat itu dikelola oleh Jawatan Pajak Hasil Bumi yang pada tahun 1963 diubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi. Dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965. Kelembagaan Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (Dibawah Ditjen Moneter). IPEDA merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat atas tanah, yang kemudian hasil pemungutan
tersebut
seluruhnya
dikembalikan
kepada
daerah
untuk
kegiatan
pembangunan. Dengan keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat IPEDA diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sektor yang dikenakan dalam Pajak Hasil Bumi/ IPEDA serta tarif yang diberlakukan adalah: a. Setor Perkotaan, untuk perumahan dikenakan 0,09% dari nilai jual, sedangkan untuk usaha dikenakan 0,18% dari nilai jual b. Sektor Pedesaan, untuk sawah dan ladang dikenakan 5% x hasil bersih c. Sektor Perkebunan, untuk tanah yang menghasilkan 5% x hasil bersih 1 tahun. Untuk emplasemen berlaku tariff perkotaaan setempat. d. Sektor Pertambangan minyak dan gas bumi, berlaku tarif khusus UU tentang Pertamina e. Sektor Pertambangan non minyak dan gas bumi berlaku tarif perkotaan setempat, Pada tanggal 27 Desember 1985 dengan diberlakukannya Undang-undang RI No. 12 tahun 1985 Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Demikian juga unit kantor di daerah yang semula bernama Inspeksi IPEDA diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan, dan Kantor Dinas Luar IPEDA diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB. Perubahan yang terjadi dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 (Undang-undang PBB) adalah dengan hanya menerapkan satu jenis pajak yang dipungut atas objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang sebelumnya dikenakan atasnya beberapa jenis pajak. Ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan diberlakukan atas sektor P2 dan P3 sebagaimana juga jenis sektor yang diberlakukan dalam IPEDA. Salah satu pertimbangan diundangkannya UU PBB adalah adanya pajak berganda yang dikenakan
pada
satu
bidang
tanah/bangunan.
Jenis
pajak
yang
dicabut
dengan
diberlakukannya Undang-undang PBB adalah sebagai berikut: a. Pajak Rumah Tangga 1908; b. Verponding Indonesia 1923; c. Verponding 1928; d. Pajak Kekayaan 1932; e. Pajak Jalan 1942; f.
Pasal 14 huruf j, k, dan i Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah; dan
g. Pajak Hasil Bumi / IPEDA
Sebagaimana pungutan melalui IPEDA, penerimaan PBB sebagian besar akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Bagi hasil penerimaan PBB diformulasikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 sebagai berikut:
10% (sepuluh persen) dari hasil penerimaan merupakan bagian penerimaan untuk Pemerintah Pusat dan harus disetor sepenuhnya ke Kas Negara;
90% (sembilan puluh persen) dari hasil penerimaan merupakan bagian untuk Pemerintah Daerah
Hasil penerimaan (sebesar 90%), setelah dikurangi dengan biaya untuk melakukan
pemungutan
sebesar
10%
(sepuluh
persen),
dibagi
untuk
Pemerintah Daerah Tingkat I sebesar 20% dan Daerah Tingkat II sebesar 80% Dengan diberlakukannya UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), maka pungutan PBB yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat, maka untuk sektor perdesaan dan perkotaan dikelola oleh kabupaten/kota. Latar belakang pendaerahan pengelolaan PBB ini selaras dengan desentralisasi fiskal yang diberlakukan dalam rangka otonomi daerah. Hasil penerimaan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) seluruhnya merupakan penerimaan kabupaten/kota. Hubungan antara Kadaster Hak dengan Kadaster Pajak di Indonesia Istilah dari kadaster dari segi bahasa adalah suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi, yang berarti suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) yang menunjuk kepada luas, nilai dan kepemilikan atau pemegang hak atas suatu bidang tanah. Kadaster tidak hanya diadakan untuk menjamin kepastian obyek hak-hak atas tanah, namun dapat juga digunakan untuk kepentingan tertentu. Dari segi tujuannya, kadaster dibedakan antara kadaster hak dan kadaster pajak. Kadaster Hak (Eigendom Kadaster), yakni kadaster yang diadakan untuk kepastian hukum dari letak, batas-batas serta luas bidang tanah yang dipunyai orang dengan sesuatu hak. Batas-batas yang diukur dan dipetakan adalah batas batas hak seseorang atas tanah. Oleh karena tujuan dari kadaster adalah menjamin kepastian hukum dari letak, maka batasbatas serta luas bidang tanah hak serta pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dimaksud harus diselenggarakan secara teliti sekali. Bidang-bidang tanah yang digambarkan dalam peta tersebut harus dapat ditetapkan/direkonstruksi di lapangan. Kadaster Pajak (Belasting Kadaster / Fiscale Kadaster), yakni kadaster yang diadakan untuk keperluan pemungutan pajak tanah yanag adil dan merata, untuk kepentingan tersebut maka yang penting diketahui adalah luas tanah yang dipunyai dan digunakan oleh wajib pajak,
sebab harga tanah ditentukan oleh luas dan penggunaanya. Karena penggunaan tanah menentukan harga dari tanah itu, maka yang menjadi obyek dari kadaster pajak adalah bidang tanah menurut penggunaannya, selanjutnya disebut bidang tanah pajak (belastingperceel). Untuk itu batas-batas tanah yang diukur dan dipetakan pada peta-peta kadaster pajak pada umumnya batas-batas hak seseorang atas tanah dan batas nyata penggunaannya. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah pajak tidak perlu dilakukan secara teliti sekali, karena harga-harga tanah pada hakekatnya ditetapkan berdasarkan taksiran saja Pendaftaran tanah hak yang dipunyai orang dengan sesuatu hak, disebut bidang tanah hak (Eigendomsperceel), diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda hanya mengenai tanah-tanah Eropa saja. Meskipun demikian, di beberapa wilayah juga dilakukan pendaftaran tanah atas tanah-tanah Indonesia yang berdasarkan hukum adat setempat atau peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat, misalnya: a.
Pendaftaran tanah mengenai tanah-tanah subak di Bali diselenggarakan oleh pengurus subak berdasarkan hukum adat setempat.
b.
Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Kepulauan Lingga berdasarkan peraturan peraturan yang dikeluarkan oleh Sultan Soleman. Pendaftaran ini telah dihapuskan oleh pemerintah pada tahun 1913.
c. Pendaftaran tanah mengenai tanah-tanah dengan hak grant di Sumatera Timur, diselenggarakan berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Gemeente (Kotapraja) Medan. d.
Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di daerah Yogyakarta berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Sultan Yogyakarta yang diumumkan dalam Rijksblad Kesultanan tahun 1926 Nomor 13.
e.
Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di daerah Surakarta berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Sunan Solo yang diumumkan dalam Rijksblad kesusunanan tahun 1938 Nomor 14. Pada masa Hindia Belanda selain pendaftaran tanah-tanah Hak Barat dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, dijumpai juga kegiatan pendaftaran tanah dengan tujuan lain. Kegiatannya sama dan yang menyelenggarakan juga Pemerintah, tetapi bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat, melainkan bagi kepentingan Negara sendiri yaitu untuk keperluan pemungutan pajak tanah (fiscal cadastre). Pengenaan pajak dilakukan dengan penerbitan surat pengenaan pajak atas nama pemilik tanah, yang di kalangan rakyat dikenal dengan sebutan: Petuk pajak, Pipil, Girik, Petok dan lain-lainnya. Karena pajak dikenakan pada yang memiliki tanahnya, petuk pajak yang
berfungsi sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, di kalangan rakyat dianggap dan diperlakukan sebagai tanda bukti pemilikan tanah yang bersangkutan. Masyarakat mengartikan pengenaan dan penerimaan pembayaran pajaknya oleh pemerintah sebagai pengakuan hak pembayar pajak atas tanah yang bersangkutan oleh Pemerintah. Jika ada gangguan, pembayar pajak berharap memperoleh perlindungan dari Pemerintah. Sehubungan dengan sikap dan anggapan di atas, orang belum merasa aman, selama petuk pajak tanah yang dibelinya belum diganti dengan yang baru atas namanya. Dalam ketentuan, dinyatakan bahwa tanah yang berstatus hak milik adat saja yang dikenakan Landrente dan Verponding Indonesia. Hal ini menimbulkan keinginan dan usaha orang untuk mempunyai petuk pajak (atau Girik demikian disebut di daerah Jawa Barat) dengan dirinya sebagai wajib-pajak. Hal tersebut membenarkan praktik untuk menggunakan data yang tercantum dalam petuk pajak sebagai petunjuk yang kuat mengenai status tanahnya sebagai tanah hak milik adat dan wajib-pajak sebagai pemiliknya. Dalam kenyataannya kemudian, petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlaku Peraturan Pemerintah
Nomor
10
Tahun
1961
diakui
sebagai
bukti
kepemilikan
dalam
konversi/pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dengan diberlakukannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), maka administrasi pertanahan juga mengalami perubahan. Hak atas tanah barat (bekas recht van eigendom, rech van erfacht dan recht van postal) dihilangkan, dan harus dikonversi pada hak-hak yang dikenal pada UUPA. Secara umum hak tanah yang diatur dalam UUPA adalah: 1. Tanah Negara berdasarkan hak menguasai oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUPA dengan “ruh” 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 2. Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat 3. Hak atas tanah yang diberikan kepada warga negara/badan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA yaitu :
hak milik, adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah
hak guna-usaha, hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu 25 atau 35 tahun (dan dapat diperpanjang lagi paling lama 25 tahun), guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
hak guna-bangunan, hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (dan dapat diperpanjang lagi paling lama 20 tahun).
hak pakai, hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
4. Hak Pengelolaan, merupakan Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya, kewenangan tersebut meliputi kewenangan untuk menggunakan tanah guna keperluan usahanya dan menyerahkan bagian-bagian tanah itu kepada pihak ketiga (Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977).
Dalam rangka pendaftaran tanah ataupun konversi hak, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, dan ditegaskan dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah yang dipertegas dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.26/DDA/1970 perihal yang sama. Daerah-daerah dimana sebelum tanggal 24 September 1960 sudah dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia dapat dikoneversi ke hak atas tanah sesuai dengan UUPA dengan alat bukti antara laian berupa Surat pajak (hasil) bumi atau verponding Indonesia yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960. Meskipun secara hukum administrasi (UUPA) petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia dapat dijadikan bukti pendukung guna pendaftaran hak, namun secara hukum oleh pengadilan tidak diterima sebagai tanda bukti kepemilikan dalam suatu persengketaan tanah. Dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Februari 1960 nomor 34/K/Sip/1960, bahwa : "surat petuk pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam petuk pajak bumi tersebut, akan tetapi petuk itu hanya merupakan suatu tanda siapakah yang harus membayar pajak dari sawah yang bersangkutan." Ketidaksinkronan antara kadaster pajak dan kadaster hak ini semakin membingungkan masyarakat. Banyak masalah pertanahan yang bersumber dari fiskal kadaster dimana masyarakat memperoleh bukti tagihan pajak berupa Girik/Petuk D/Kekitir atas objek pajak yang telah didata/dibukukan/dipetakan. Dipihak yang lain lembaga pemungut pajak disibukkan
dengan perkara/sengketa kepemilikan hak atas tanah, sehingga mengganggu kinerja pemungutan pajak. Perkembangan Administrasi Pajak atas Tanah Setelah diberlakukannya UU PBB Sebelum diberlakukkanya UU Nomor 12 tahun 1985, dalam pengadministrasian Pajak hasil bumi/IPEDA antara lain dikenal formulir pembukuan data PBB berupa: buku A (daftar pokok pajak), buku B (daftar perincian pajak), buku C (daftar himpunan ketetapan pajak), blangko girik/petok D (daftar keterangan objek pajak untuk ketetapan pajak). Dengan diberlakukannya UU PBB, maka formulir yang dipergunakan adalah: 1.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak individu/kolektif (Lampiran Kep.Menkeu Nomor 1006/KMK.04/1985)
2.
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (Lampiran Kep.Menkeu Nomor 19/KMK.04/1986)
3.
Register Desa (KP. PBB-36);
4.
Buku Carakan/Abjad (KP. PBB-37);
5.
Pokok Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-38);
6.
Daftar Perincian Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-39);
7.
Himpunan Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB-40);
8.
Daftar Keterangan obyek Pajak Untuk Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (KP. PBB41).
Dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE–62/PJ.7/1988 tentang penggunaan nama (penyebutan) formulir pembukuan bahwa :
KP. PBB-38 disamakan dengan buku A
KP. PBB-39 disamakan dengan buku B
KP. PBB-40 disamakan dengan buku C
KP. PBB-41 disamakan dengan girik/petok D 1
Dengan diberlakukanya ketentuan yang baru maka dalam rangka kadaster pajak juga dilakukan upaya pembaharuan data PBB. Ketentuan pembaharuan data PBB tersebut diatur sebagai berikut (Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ.7/1987 tentang Tata Cara Pendataan/Pembaharuan Data Pajak Bumi dan Bangunan): 1.
Pembaharuan Data PBB untuk jenis obyek pajak Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan ataupun obyek-obyek lain yang bersifat khusus seperti Jalan Tol, Bandar
Udara (Angkasa Pura) dan sebagainya, dilaksanakan dengan memberikan SPOP kepada subyek pajak yang bersangkutan. 2.
Untuk obyek pajak eks IPEDA sektor Perkotaan pada umumnya dapat dilaksanakan dengan memberikan Surat Pemberitahuan Objek Pajaka (SPOP) kepada subyek pajaknya. Namun mengingat jumlah subyek/obyek pajak yang demikian banyak serta dengan sifat-sifat yang heterogen, maka pendataan/pembaharuan data PBB dapat dilaksanakan pula dengan jalan pemetaan dan pengukuran obyek pajak/rincikan objek pajak.
3.
Untuk tanah eks IPEDA sektor Pedesaan, pembaharuan datanya tetap dilaksanakan dengan cara Klasiran Praktis sesuai Pedoman Klasiran Praktis (Vide SE-01/PJ.7/1984 tanggal 4 anuari 1984). Dalam pelaksanaannya dibuatkan lebih dahulu Peta Ikhtisar kelurahan/Desa yang terbagi menjadi persil-persil Sawah (S) dan Darat (D) lengkap dengan nomor-nomor persil. Pembukuan dari hasil pembaharuan data ini berupa Register Desa, Buku A, Buku B. Buku Abjad/Carakan, Buku C dan lain-lain.
4.
Mengingat banyaknya subyek pajak eks IPEDA, serta kemampuannya untuk mengisi SPOP, maka dibuat bentuk formulir SPOP kolektif.
Sistem pembukuan PBB tersebut selanjutnya diubah dengan komputerisasi melalui aplikasi SISTEP (Sistim Tempat Pembayaran) yang dimulai tahun 1990 s/d tahun 1993. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan melakukan perekaman data (hasil rekaman dicetak pada DHR dan divalidasi). Sistem ini mengganti formulir pembukuan data PBB yang diadministrasikan sebelumnya secara manual. Hasil Keluaran berupa Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Tanda Terima Setoran (STTS), Daftar Hasil Rekaman (DHR) dan Daftar Himppunan Ketetapan Pajak (DHKP) dicetak secara otomasi. Namun demikian, meskipun telah terbentuk SISTEP, Kantor Pelayanan PBB masih menerbitkan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak (KP.PBB 41). Pada kenyataannya sampai saat tersebut masih banyak Kepala KP.PBB yang menerbitkan Girik/Petak D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB 41) atau salinannya atas permintaan perseorangan atau badan yang akan digunakan oleh yang bersangkutan sebagai alat pembuktian hak atas tanah. Dan hal ini telah banyak menimbulkan masalah dan mengganggu tugas pokok KP.PBB Sehubungan dengan hal tersebut, maka diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE15/PJ.6/1993 tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak (KP.PBB 41).
Apabila masyarakat memerlukan pelayanan yang berhubungan dengan penentuan status hukum/hak atas tanah disarankan agar menghubungi Kantor Pertanahan setempat, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun
1962
tanggal
1
Agustus
1962,
Keputusan
Menteri
Dalam
Negeri
Nomor:
SK.26/DDA/1970 tanggal 14 Mei 1970 juncto Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: Reg. 34.K/Sip/1960 tanggal 10 Februari 1960. Dalam hal memenuhi panggilan dari instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, maupun instansi Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan masalah girik, maka Kantor Pelayanan PBB agar tetap berpedoman kepada: Instruksi Menteri Keuangan RI Nomor: 05/IMK.01/ 1978 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-21/PJ.7/1991 tanggal 26 September 1991. Selanjutnya kepada Kepala Kantor Pelayanan PBB yang wilayah kerjanya berada di eks daerah lama (Jawa, Bali Lombok, Sumbawa, Sulawesi Selatan) diminta untuk segera: a. Menghubungi Kantor-Kantor Pertanahan setempat untuk menyerahkan Buku C dengan catatan bahwa Buku C yang akan diserahkan, terlebih dahulu diteliti dan ditutup dengan garis merah, diberi tanggal, dan diparaf pada setiap halaman oleh Kepala Seksi Pendataan dan Penilaian atau Kepala Seksi Penetapan (contoh lampiran I). Penyerahan Buku C tersebut agar disaksikan oleh Pemerintah Daerah Tk.II dalam hal ini Bagian Pemerintahan dan Bagian Hukum, serta dihadiri oleh instansi terkait lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Bakorstranasda. Serah terima tersebut agar dilengkapi dengan Berita Acara sebagaimana contoh lampiran II. b. Menyebarluaskan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-15/PJ.6/1993 tanggal 27 Maret 1993 kepada instansi terkait dan masyarakat. Dengan diberlakukannya surat edaran ini maka ditegaskan bahwa seluruh aturan yang bertentangan dengan surat edaran tersebut seperti surat edaran Nomor: SE-14/PJ.7/1988 tanggal 2 Mei 1988 dan Nomor: SE-26/PJ.6/1988 tanggal 3 April 1988, dinyatakan tidak berlaku lagi. c. Menyurati Kantor Pertanahan setempat dan para Notaris/PPAT yang intinya agar tidak menggunakan girik sebagai dasar penentuan status hukum/hak atau alas hukum dalam peralihan hak atas tanah. Disamping itu Kantor Pelayanan PBB bersama-sama dengan Kantor Pertanahan setempat melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang intinya bahwa dalam rangka penerbitan sertifikat maupun pengurusan hak atas tanah, tidak diperlukan lagi girik/kekitir/petuk D/daftar keterangan obyek pajak (KP.PBB.41) Setelah SISTEP terbentuk, maka Direktorat Jenderal Pajak mengembangkan aplikasi SISMIOP yang sampai saat ini masih digunakan. Pembentukan Basis Data SISMIOP
dilakukan dengan konversi data SISTEP atau dengan melakukan pendataan (dalam rangka pembentukan Basis Data SISMIOP). Sesuai dengan SE -04/PJ.6/1994 maka mulai tahun pajak 1994 seluruh program pencetakan data keluaran penetapan PBB menggunakan aplikasi SISMIOP. Mengingat pembentukan basis data SISMIOP memerlukan biaya dan waktu yang cukup besar, maka sampai saat ini belum semua daerah telah diadministrasikan dengan pola SISMIOP (masih diadministrasikan dengan pola SISTEP). Lesson Learn Pendaerahan Pengelolaan PBB
Berdasarkan pengalaman dalam pengelolaan PBB yang selama ini, kita dapat mengambil pelajaran guna keberhasilan dalam pengelolaan PBB oleh kabupaten kota, antara lain: 1.
Meskipun tidak terkait dengan bukti (alas hak) atas suatu kepemilikan tanah, penerbitan SPPT (baru) harus dilakukan dengan prinsip kehatia-kehatian. Banyak permohonan penerbitan SPPT dengan bukti pendukung berupa fotocopy segel yang menyatakan terdapat jual beli antara pihak penjual dan pembeli, yang dilampiri dengan surat pengantar dari kelurahan (seharusnya surat keterangan lurah), di kemudian hari ternyata bersangkutan dengan permasalahan persengketaan tanah dan kasus hukum lainnya.
2.
Kantor PBB perlu melakukan identifikasi lokasi-lokasi yang banyak terdapat kasus persengketaan tanah seperti: tanah disekitar areal perkebunan, perhutanan dan pertambangan, bidang tanah negara yang dimanfaatkan oleh masyarakat dengan menggarap tanah tersebut (tanah garap), tanah disekitar milik PT Kereta Api, dll.
3.
Wajib Pajak PBB meliputi masyarakat dari semua kalangan masyarakat dari beberapa strata sosial dan ekonomi. Demikian pula bidang tanah (objek pajak) yang diadministrasikan cukup banyak. Pengelolaan PBB memerlukan ketentuan perudangundamag (tax law) serta administrasi (tax administrasion) yang handal namun efisien/tidak terlalu birokratis sehingga dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada Wajib Pajak.
4.
Kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah/bangunan dilakukan secara cermat dengan memperhatikan kondisi data pasar properti dan daya pikul masyarakat.
5.
Meskipun NJOP hanya sebagai dasar penetapan PBB terhutang, akan tetapi juga digunakan untuk banyak kepentingan seperti: dasar perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dasar ganti rugi dalam rangka pembebasan tanah
dll. Oleh karena itu, nilai NJOP dalam setiap penerbitan SPPT harus ditentukan dengan benar, baik letak bidang objek pajak serta nilai NJOPnya. 6.
Kegiatan pemungutan melalui petugas pemungut/kolektor yang selama ini telah dilekukan oleh pemerintah daerah sebaiknya dilanjutkan dan ditingkatkan efektifitasnya. Salah satu keuntungan (advantage) diberlakukannya pengelolaan PBB sepenuhnya oleh pemerintah daerah adalah efektifias penagihannya. Mengingat bahwa pemerintah daerah
mempunyai
kedudukan sebagai
“penguasa daerah”
serta
mempunyai
kewenangan otonom untuk mengkaitkan kewajiban pembayaran PBB dengan ketentuan daerah lainnya. 7.
Administrasi pengelolaan komputer melalui aplikasi SISMIOP dengan komponen basis data SISMIOP dan peta digital (SIG) harus dipertahankan, dengan pertimbagan: -
Diskontinuitas
dalam
fiskal
kadaster
yang
telah
berlangsung
selama
ini
menyebabkan terputusnya riwayat tanah atas bidang tanah yang belum bersertifikat. -
Sebaiknya di wilayah Republik Indonesia mempunyai tata kelola fiskal kadaster yang seragam
DAFTAR PUSTAKA Rajagukguk, Erman. Hukum Tanah di Zaman Penjajahan. www.ermanhukum.com/Makalah ER pdf/Tanah di zaman penjajahan.pdf