1
Fiksi Konvensional dan Fiksi Kontemporer (Novel Indonesia Mutakhir) Tri Santoso
[email protected] /
[email protected] Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pendahuluan Ada perbedaan dalam dunia fiksi dengan kebenaran di dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Kebenaran dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata, misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama, logika, dan sebagainya. Akan tetapi, hal ini tidak berarti pembaca tidak perlu memiliki sikap kritis, karena hal itu amat dibutuhkan dalam rangka memahami secara lebih baik suatu akan tetapi, hal ini tidak berarti pembaca tidak perlu memiliki sikap kritis, karena hal itu amat dibutuhkan dalam rangka memahami secara lebih baik suatu karya dalam dunia teori dan kritik sastra dikenal adanya teori yang menghubungkan karya sastra dengan semesta, dengan dunia nyata. Fiksi pertama-tama menyarankan pada prosa naratif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen. Dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance dan novel (Wellek and Warrend. 1989:282). Bahkan kemudian fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel (Abrams (1981) dalam Nurgiyantoro, 2013:7). Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas fiksi berupa novel. Novel dalam perkembangan awal berupa novel konvensional, seiring perkembangan zaman dan beberapa faktor yang melatarbelakanginya muncul novel kontemporer.
2
A. Perkembangan Karya Fiksi (Novel) di Indonesia Novel merupakan karya sastra yang cukup tua di samping dalam perjalanan sejarah kesusatraan indonesia kalau dibandingkan dengan bentuk-bentuk karya sastra lainnya seperti cerpen, esai maupun kritik. Novel indonesia di dalam kesusastraan modern muncul pada 1920-an ketika terbit novel merari siregar Azab Dan Sengsara . Bentuk awal novel modern ini masih “konvensional”. Polanya masih mendekati komposisi hikayat. Pemakaian bahasa dan suasana serta pemikiran-pemikiran yang membedakan dengan cinta-cinta lama lama. Novel modern indonesia ini secara jelas bertolak dari pemikiran orang-seorang sebagai individu bukan berangkat dari kolektivitas (Purba, 2012:65). Novel indonesia pada awalnya muncul pada angkatan balau pustaka. Contoh novelnya anatara lain Siti Nurbaya, Salah Asuh, Pertemuan Jodoh, Surapati, Apa Dayaku Karena Aku Perempuan. Tema-tema novel itu mencangkup masalah politik, perkawinan, konflik social, konflik psikologis sesuai perkembangan zaman yang dilalui oleh penulis. Novel berkembang lagi pada angkatan pujangga baru. Dua novel yang dicatat sebagai novel puncak, yaitu Layar Terkembang dan Belenggu. Tema-tema novel itu adalah tema kebebasan tanpa interferensi masalah adat, tradisi, agama, moral dan konpensasi. Novel indonesia berkembang pula pada angkatan 1945. Tokoh yang menonjok pada angkatan ini adalah Pramoedya Ananta Toer, Achiat Kartamihardja, Utuy Tatang Sontani, dan Muchtar Lubis. Angkatan ini menunjukan sikap, visi dan orientasi budaya yang universal. Dengan realism sosialnya, dengan semangat indonesia yang menunjukan keanekaragaman masyarakat indonesia. Umumnya novelis zaman ini menggarap novel mereka dari kenyataan fisik saat itu. Novel angkatan 1966 sebagai penerus angkatan 1945 ciri yang menonjol dari angkatan ini, yaitu kembalinya novelis-novelis itu pada tema romantic dan mite serta legenda. Beberapa tokoh yang mendukung angkatan 1966 adalah Toha Muchtar dengan novelnya Bulang dan Daerah
3
Tak Bertuah Ramadhan KH dengan novelnya Royan Revolusi. Nasyah Djamin dengan novelnya Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati. N.H. Dini dengan novelnya Pada Sebuah Kapal. Berkembang lagi novel kontemporer pada tahun 1970-an yang dipelopori oleh Iwan Simatupang dengan novelnya Ziarah, Kering, dan Merahnya Merah, Putu Wijaya dan Budi Darma. Munculnya novel ini dilatarbelakangi oleh adanya suatu pergeseran nilai kehidupan secara menyeluruh. Persoalan kehidupan merupakan semangat munculnya sastra atau novel kontemporer. Demikian juga terjadi perubahan yang besar dan mendasar
yang meliputi
penulisan dan pencarian bentuk-bentuk
pengucapan baru. Novel Indonesia kontemporer membawa aspirasi baru masyarakat sehingga struktur novelnya terdapat berbagai pikiran yang menarik apabila diakukan analisis bentuknya. Dianalisis dari segi isinya terlihat pembauran yang intens misalnya anatara realitas impian dan realitas formal sehingga munculah gagasan-gagasan baru (Purba, 2012:67). Sumardjo (dalam Al-Ma’ruf, 2010:12) menjelaskan bahwa novel Indonesia kontemporer atau yang sering disebut novel Indonesia Mutakhir berkembang dilatar belakangi oleh beberapa faktor yakni: (1) adanya Maecenas sastra berhubungan dengan makin stabilnya keadaan ekonomi Indonesia, (2) kebebasan menciptakan sastra (bersastra) yang relative terselenggara sejak tahun 1967, (3) dukungan pers yang menyediakan rubric sastra dan budaya dalam majalah dan surat kabar, dan (4) berkembangnya masalah konsumen sastra terutama di kalangan muda.
B. Batasan Novel, Novel Konvensional, dan Novel Kontemporer Istilah novel dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah novel dalam bahasa Inggris. Sebelumnya istilah novel dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Itali, yaitu novella yang diartikan sebuah barang baru yang kecil, kemudian diartikan sebagai sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams dalam Purba, 1981:119)
4
Ada juga yang mengartikan bahwa novel berasal dari bahasa latin, yaitu noveltus
yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru.
Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis lainnya seperti puisi dan drama (Tarigan, 1984:164) Novel kontemporer diistilahkan sebagai novel inkonvensional atau istilah lainnya novel mutakhir atau novel dewasa ini. Pengertian novel kontemporer secara sederhana adalah (1) novel yang hidup pada masa kini atau novel yang hidup pada masa yang sama; (2) novel yang bergerak mendahului zamannya. Pengertian novel kontemporer secara luas adalah (1) novel yang menyimpang dari system penulisan fiksi yang ada selama ini atau yang bersifat konvensional; (2) novel yang menggarap masalah fisik dan batin dengan pola yang aneh tetapi suasana dan imaji yang sangat menakjubkan (Purba, 2012:67-68) Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa novel kontemporer ialah novel yang bentuknya menyimpang dari sistem penulisan fiksi selama ini dan yang menggarap masalah fisik dan batin manusia dengan pola yang aneh dengan suasana dan imaji yang sangat menakjub. Contoh dari novel ini misalnya, Ziarah, Kering, Merahnya Merah, Khotbah Di Atas Bukit, Telegram, Keok, dll. Novel konvensional merupakan karya fiksi atau novel yang sesuai dengan tatanan atau tata aturan dalam karya sastra, dalam novel konvensional strukturnya masih seperti hikayat dan berbeda dengan novel kontemporer yaitu tidak ada kebebasan novelis dalam memaparkan siapa tokohnya, bagaimana plotnya, dimana settingnya, dll (Purba, 2012:65-67). Plot dalam novel konvensional diatur sesuai dengan ketentuan dan kaidah pengembangan (the low of the plot) plot perlu diperhatikan (Nurgiyantoro, 2013:188). Contoh dari novel ini misalnya, Siti Nurbaya, Salah Asuh, Pertemuan Jodoh, Surapati, Apa Dayaku Karena Aku Perempuan, Layar Terkembang dan Belenggu, dll.
5
C. Ciri-Ciri Novel Konvensional dan Kontemporer Novel konvensional menurut Sumardjo (1979:18-19) bercirikan, pertama novel terlalu menekankan pada plot cerita, dengan mengabaikan karakterisasi, problem kehidupan dan unsur-unsur novel lain. Contohnya dalam novel Belenggu alur pada novel ini menggunakan alur maju, alur dalam novel ini mudah diedentifikasi tahapan alurnya berbeda dengan novel kontemporer yang anti alur. Kedua, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang standar dan bukan slang atau mode sesaat. Contohnya dalam novel Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang standar bandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam karya fiksi karangan Sujiwo Tedjo yang berjudul Lupa Endonesia bahasa yang digunakan lebih bebas, aktual yang hidup dikalangan pergaulan muda-mudi kontemporer. Ketiga, karena cerita ditulis untuk konsumsi massa, maka pengarang rata-rata tunduk pada hukum cerita yang konvensional (beralur, tokoh jelas, bahasa yang digunakan), contohnya dalam novel Siti Nurbaya, Salah Asuh, Pertemuan Jodoh, Surapati, Apa Dayaku Karena Aku Perempuan, Layar Terkembang dan Belenggu. Perkembangan fiksi pada 1970-an ditandai dengan pertumbuhan kreativitas luar biasa dalam penulisan novel. Pada hakikatnya setiap karya sastra memiliki estetika sendiri-sendiri hal inilah yang membedakan novel yang satu dengan novel lainnya sehingga merupakan sesuatu yang baru. Oleh karena itu aspek-aspek teoretis atau konsep penciptaan dapat diduga mendasari penciptaan novel. Tampak pergeseran aspek tema yang berakibat pada pergeseran wawasan alur gaya serta penafsiran tentang latar.
Berdasarkan
uraian
singkat
di
atas,
Purba
(2012:71-75)
membeberkan ciri novel Indonesia kontemporer sebagai berikut. Pertama novel indonesia kontemporer berciri antitokoh konsep tokoh dalam novel konvensional adalah tokoh mendaging secara psikologis atau di kenal dan diidealkan sebagai tokoh flsik. Dalam novel Indonesia kontemporer konsep tokoh lama itu di rasakan sudah kuno tidak bisa
6
mewakili
dan tidak bisa mendukung kesadaran manusia yang tidak
berbentuk. Oleh karena itu, konsep tokoh lama itu diluluhlantakkan. Tokoh lama itu dianggap terlalu sederhana dan terbatas pada orang-orang yang pasti harus tunggal dan punya nama tertentu. Tokoh lama dianggap tidak mampu mengalihkan dan mengisi seluruh kesadaran manusia yang kompleks, simultan dan anonim. Dalam novel Indonesia kontemporer terdapat antitokoh. Tokoh dalam novel Indonesia kontemporer adalah tokoh-tokoh yang terkesan bergelendangan, misalkan Tokoh kita dalam novel Iwan Simatupang yang ada di dalam Ziarah (1969) adalah bukan tokoh fisik yang bisa dijamah, tetapi tokoh yang hanya ada dalam imajinasi. Kedua novel Indonesia kontemporer berciri antialur. Antialur disebut juga antiplot, yaitu tak dapat dibedakan mana plot awal, tengah, akhir, klimaks, antiklimaks karena ada anggapan bahwa suatu peristiwa dapat terjadi kapan saja (Suyitno dalam Purba, 2012:72) Jika dalam novel-novel konvensional, plot atau alur itu berkembang sejak plot buka, lalu plot tengah, terus ke plot klimaks dan menurun ke plot antiklimaks. Wawasan plot baru tidak demikian ia mengalir seenaknya dalam dalam improvisasi saja, kapan-kapan dan dimana saja dapat dianggap klimaks. Seperti halnya perimbangan-perimbangan antara ketegangan (tension) dan kekenduran (relextion) yang dialami manusia tidak tergantung pada proses terencana. Novel Merahnya Merah (1968) dan Ziarah (1969) alurnya tidak jelas atau alurnya kacau. Kekacauan dan ketidakjelasan alur yang terjadi dalam novel tersebut didasarkan oleh: 1) Masyarakat sekarang sudah kacau karena tidak lagi mempunya proposi 2) Peristiwa-peristiwa yang berlaku betul-betul mempunyai pretense tanpa proporsi yang demikian ekstrem 3) Tidak adany urutan penceritaan atau alur yang teratur
7
4) Dua cerita yang dijadikan satu dalam satu jalinan yang padat sehingga yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lainnya (Purba, 2012:73) Ketiga, novel Indonesia kontemporer berciri bersuasana misteri atau gaib. Di dalam novel Iwan Simatupang dan Putu Wijaya dunia absurd, penuh misteri, penuh teka-teki dan itu memang garapan mereka berdua. Manusia di dalam novel mereka hidup dan berada dengan dunia eksistensialisme, dengan idealism yang seolah hanya hidup dan ada secara sukmawi tanpa raga. Contohnya dala
novel Merahnya Merah, kita
menjumpai tokoh Fifi yang misterius. Pada Ziarah, ada istri bekas pelukis atau mertua pelukis yang bersifat misteri. Pada Kering
ada misteri
terutama misteri pada waktu kota seakan-akan mati. Keempat, novel Indonesia kontemporer berciri transendental atau sufistik atau mistik. Ciri ini dilatarbelakangi oleh semangat adan pandangan novelis dengan tasauf dan sastra sufi. Dalam novel Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit (1997) banyak dialog dan renungan mistik dan sufistik. Tokoh utama dalam novel ini ialah Barman, seorang lelaki pensiunan diplomat kawakan yang hedonis. Barman ingin menikmati sisa hidupnya dalam ketengan, kedamaian dan kenikmatan di lerengan gunung. Kemudian Barman bertemu dengan seorang yang mirip dengan dirinya, lelaku tua yang bernama Human yang membedakan diantara keduanya adalah tabiatnya dan sifat mereka. Barman amat terikat pada kenikmatan duniawi sedangkan Hamam bebas dari kenikmatan dunia dan kaya dengan kehidupan spiritual. Melalui ajaran kerohaniannya yang memukau Hamam berhasil menyadarkan Barman. Kelima, novel Indonesia kontemporer berciri cenderung kembali ke tradisi
atau
warna
lokal
hal
ini
disebabkan
oleh
semakin
berpolarisasinya masyarakat Indonesia (Budi Darma dalam Atilan). Dalam konteks sastra sebagai system tanda warna lokal selalu dikaitkan dengan
8
kenyataan hidup itu ialah kenyataan social budaya dalam arti luas, yang antara lain berkomponen aspek adat istiadat, agama, kepercayaann, sikap dan filsafat hidup, kesenian, hubungan sosial, struktur sosial, atau system kekerabatan
(Mahmud dalam Purba). Contoh novel
Indonesia
kontemporer berciri cenderung kembali ke tradisi atau warna lokal ialah Pengakuan Pariyem karya Linus yang bertradisi Jawa, Para Priyayi (1995) karya Umar Kayam yang bertradisi Jawa dan Karya Wisran Hadi yang berjudul Tamu (1996) yang bertradisi Minangkabau. D. Simpulan Novel kontemporer ialah novel yang bentuknya menyimpang dari sistem penulisilan fiksi selama ini dan yang menggarap masalah fisik dan batin manusia dengan pola yang aneh dengan suasana dan imaji yang sangat menakjub. Novel konvensional merupakan karya fiksi atau novel yang sesuai dengan tatanan atau tata aturan dalam karya sastra, dalam novel konvensional strukturnya masih seperti hikayat dan berbeda dengan novel kontemporer yaitu tidak ada kebebasan novelis dalam memaparkan siapa tokohnya, bagaimana plotnya, dimana settingnya. Novel Indonesia di dalam kesusastraan modern muncul pada 1920an. Novel indonesia pada awalnya muncul pada angkatan balai pustaka. Novel berkembang lagi pada angkatan pujangga baru. Novel Indonesia berkembang pula pada angkatan 1945. Novel angkatan 1966 sebagai penerus angkatan 1945. Berkembang lagi novel kontemporer pada tahun 1970-an.
Novel
Indonesia
kontemporer
membawa
aspirasi
baru
masyarakat. Ciri novel indonesia kontemporer yaitu pertama novel indonesia kontemporer berciri antitokoh. Kedua novel Indonesia kontemporer berciri antialur atau disebut juga antiplot. Ketiga, novel Indonesia kontemporer berciri bersuasana misteri atau gaib. Keempat, novel Indonesia kontemporer berciri transcendental atau sufistik atau mistik. Kelima, novel Indonesia kontemporer berciri cenderung kembali ke tradisi atau warna lokal. Sedangkan ciri dari novel konvensional, pertama
9
novel terlalu menekankan pada plot cerita, dengan mengabaikan karakterisasi, problem kehidupan dan unsur-unsur novel lain. Kedua, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang standar dan bukan slang atau mode sesaat. Ketiga, karena cerita ditulis untuk konsumsi massa, maka pengarang rata-rata tunduk pada hukum cerita yang konvensional.
10
DAFTAR PUSTAKA Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2010. Dimensi Sosial Keagamaan dalam Fiksi Modern. Solo: Smart Media Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press. Purba, Antilan. 2012. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. Santoso, Tri. 2016. Fiksi Kontemporer. Makalah. Surakarta: FKIP UMS. Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. (Terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.