FIKIH DISABILITAS : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maṡlaḥaḥ M. Khoirul Hadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini adalah penelitian yang berbasis penelitian pustaka, yang mengangkat tema disabilitas dalam kajian hukum Islam. Diskusi ini menunjukkan bahwa hukum Islam tengah menghadapi sejumlah problem kontemporer seperti ketidakadilan gender, lingkungan, terorisme dan lainnya. Artikel ini menyimpulkan satu bahwa isu disabilitas telah didiskusikan sejak lama dalam kitab fikih meskipun pembahasannya masih samar. Kedua, tantangan formulasi fikih disabilitas dimungkinkan denggan memanfaatkan kajian maslahah dalam hukum Islam. Akomodasi ini mentasbihkkan Islam sebagai Agama Rahmatal Lil Alamin. Kata Kunci: Disabilitas, Hukum Islam, Maṡlaḥaḥ, Maqāṣyid al-Syarī’ah. ABSTRACT This study is a librarian research dealts with disability issues in Islamic Law (Fiqh). It shows that the Islamic PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
1
M. Khoirul Hadi
law faced its contemporary problems such inequality gender, environment, terrorism and so on. This Article concluded that the books of fiqh have been discussed this issues long time ago although it has been discussed not clearly. The challenge to develop Islamic law of disability can be done by moslem scholar using maslahah concept. The concept of maṣlahah shows that Islam is a religion which bring a great concept of Rahmatal Lil Alamin. Keywords: Difability, Islamic Law, Maṡlaḥaḥ, Maqāṣyid al-Syarī’ah
A. Pendahuluan Al-Quran merupakan sumber asasi ajaran Islam sebagai syariat terakhir yang memberi petunjuk arah perjalanan hidup manusia. Sebagai sumber akaran, Al-Quran menyediakan dasar hukum Islam. Hukum Islam dalam konsepsi orang Muslim bukan semata katagori normatif menyangkut aturan-aturan tingkah laku yang harus dipatuhi belaka, melainkan juga adalah suatu katagori epitemik dalam arti bahwa hukum merupakan suatu objek yang pengetahuan seorang muslim mengenainya harus terjustifikasikan. Bukan suatu kebetulan bahwa salah satu nama hukum Islam itu adalah fikih, dari kata Arab al-fiqh, yang berarti paham, mengerti atau pengetahuan (Al-Gazhali, 1970: 11). Bahkan hukum itu sendiri oleh para ahli hukum Islam diidentikkan dengan pengetahuan. bagi mereka pengetahuan tidak saja berarti ilmu kedokteran atau astronomi, misalnya, melainkan juga meliputi pengetahuan tentang tingkah laku yang diridai oleh Tuhan dan norma-norma yang mengaturnya (Hallaq, 1986: 131). Teori Hukum Islam (Ushūl Fiqh), sebagai disiplin yang mengkaji hukum Islam, tidak hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legetimasi dalam suatu konteks sosial dan intitusional, tetapi melihat persoalan hukum sebagai masalah epistomologi. Artinya pendekatan teoritisasi Hukum Islam ditekankan pada prespektif pengetahuan dan lebih tepatnya dilihat dari segi katagori pengetahuan yang pasti 2
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
(al-‘ilmu) sebagai dilawankan dengan pengetahuan tentatif (azzann). Ushul fikih tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran hukum belaka, melainkan di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan elemen kontitutif usul fikih- yaitu adalah epistemologi hukum semisal Qiyas dan fatwa untuk merespon permasalahan aktual.Salah satu permasalahan aktual adalah kajian fikih yang era baru ini adalah kasus soal fiqih bagi disabilitas atau penyandang kebutuhan khusus menjadi salah keniscayaan. Perumusan fikih disabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan bingkai maslahat, maqasid syari’a dan keilmuan lain. B. Pembahasan 1. Maqāṣyid al-Syarī’ah Sebagai Asas Fikih Disabilitas Maqāṣyid asy-Syar’i atau maqāshid syarī’ah dan al-maqāshid al-syar’iyyah mempunyai konotasi makna yang sama karena istilah-istilah itu terbentuk dari dua ungsur, yakni maqāshid dan syari’ah, dengan berbagai variasinya. Kata maqāshid adalah bentuk plural dari kata maqsid yang berasal dari kata kerja qasāda, yang berarti memaksudkan, atau menuju sesuatu (Ma’luf, 1986: 632; alMunawwir, 1984: 1208). Dalam pengertian ini maqāṣhid berarti obyek sasaran dari suatu tindakan. Sementara kata syari’ah adalah kebiasaan atau sunnah, Menurut Rahman (1979: 108) pada awalnya kata syarī’ah dimaksudkan tuntunan dari Allah kepada Rasulnya. Dalam pandangan ahli fikih hal itu mengalami penyempitan makna (az-Zuhaily, 1986: 438) ketika syari’ah didefinisikan sebagai bagian tertentu dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan amal perbuatan lahir seorang muslim yang mukallaf (muslim yang layak menerima beban kewajiban).Sungguhpun al-Syatibi, dianggap “Syaikh alMaqashid” tokoh utama teori tujuan hukum. Akan tetapi sayang sekali ia tidak memberikan pengertian sedikitpun mengenai tujuan hukum. Barang kali ia mengangap hal ini sudah cukup jelas, apalagi salah satu bagian dari bukunya al-Muwāfaqāt yang secara khusus PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
3
M. Khoirul Hadi
membicarakan tujuan hukum . Ia menulis: Bagi orang yang membaca kitab ini tidak boleh melihat dengan kaca mata pemula dan penegah, akan tetapi hendaknya ia memperkaya diri dengan ilmu syari’ah baik ushul maupun furu’ dan serta ma’qul dan manqul dengan meninggalkan taqlid dan fanatisme manzhab (Syatibi, tt: juz 1 87). Ulama yang membahas tujuan hukum adalah Ibnu Asyur. Ia membagi tujuan hukum itu ada dua, yaitu ada yang khusus ada yang umum (1366: 50- 154). Ia menulis tujuan umum adalah:Maknamakna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan oleh pembuat hukum, dalam semua atau sebagian besar kondisi penetapan hukum, termasuk dalam katagori ini antara lain: memelihara ketertiban dan mendatangkan kemaslahatan, menolak kemafsadatan menegakkan persamaan manusia, menjadikan syari’ah berwibawa, di patuhi dan dilaksanakan serta diciptakan umat yang solid, aman dan tenteram. Sedangkan tujuan hukum yang khusus adalah : Adalah tata cara yang dimaksudkan oleh pembuat hukum untuk merealisasikan manfaat bagi manusia untuk memelihara kemaslahatan dalam perbuatan tertentu, misalnya jaminan kepercayaan dalam akad penggadaian, membina kerukuan rumah tangga dalam akad perkawinan dan menghilangkan mafsadah yang berkelanjutan dalam talak.al-Fasi memberikan definisi tujuan hukum lebih ringkas yaitu: Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh syariah dan rahasiarahasia di balik setiap ketetapan dalam hukum syariah. Jika melihat dari seluruh definisi di atas terlihat benang merah bahwa obyek dan sasaran serta kondisi yang hendak dicapai dengan penetapan hukum, baik sasaran itu bersifat umum maupun khusus. Sedangkan dalam literatur Ushul Fikih seringkali ditemukan istilah makna, hikmah dan illat, ketiga istilah ini sebenarnya hampir mendekati maqāṣhid syarī’ah walaupun para ahli fikih sering menggunakan kata hikmah. Maqāṣid syar’iyyah memandang orang yang mempunyai kebutuhan khusus (disabilitas) mempunyai hak yang sama dengan 4
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
orang normal dalam mendapatkan hak baik saat di dunia dan di akhirat. Dalam hal pemeliharaan anak, Islam mengenal konsep haḍanah atau perlindungan anak yang wajib dilakukan bagi setiap kelurga. Anak adalah merupakan suatu amanat dari Allah yang harus dijaga dalam seluruh kondisinya termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Agama memberikan tuntunan atau cara beribadah bagi kalangan difabel sebagaimana yang tertera di dalam-kitab- kitab fikih baik dalam urusan ubudiyyah, muamalah maupun yang lain. Maqasid Syari’ah adalah upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat. Istilah yang sepadan dengan inti maqāṣhid syarī’ah adalah maslahat, karena penetapan hukum senantiasa didasarkan atas maslahat (Mualim, dan Yushaeni, , 2001: 50).Dalam kajian hukum Islam, dimunculkan beberapa jenis maslahah. Pertama, Maslahah Primer, yakni yang secara umum dikenal dengan kaidah yang lima, yaitumenjaga agama, jiwa, akal, keturunan serta harta. Kelima kaidah umum tersebut merupakan kaidah atau asas agama, kadah-kaidah syariat, dan universalitas agama. Jika sebagian tidak dilaksanakan maka akan mengakibatkan rusaknya agama Seluruh rangkaian hukum Islam atau Syari’at yang terdiri dari Akidah, Ibadah, dan Muamalat, dan Akhlaq, memenuhi unsure unsur lima kaidah umum di atas. Oleh keran itu setiap amal akan selalu berlandasakan kajian maslahat sebagai tujuan akhirnya. Kedua, kemaslahatan sekunder, adalah kemaslahatan yang harus ada dan di- penuhi untuk kebutuhan hidup, seperti jual beli, pernikahan, dan semua jenis muamalat. Kemaslahatan sekunder menempati posisi kedua setelah kemaslahatan primer. kemaslahtan sekunder hanyalah mengikuti jejak kemaslahan primer. oleh karena itu seluruh hukum yang berkaitan dengan kemaslahatan sekunder tidak lepas dari kemaslahatan primer. Ketiga, kemaslahatan tersier, adalah kemaslahatan yang kembali pada bentuk adat istiadat, akhlak dan adab, Ketiga jenis kemaslahatan tersebut berhubungan dengan kondisi difabilitas PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
5
M. Khoirul Hadi
harus dijiwai dengan prinsip-prinsip kemaslahatan dan mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal, dan melenyapkan segala benuk kerusakan, dan kerugian.Dalam konteks regulasi di Indonesia, terdapat Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2011 tentang Disabilitas (Konvensi mengenai Hak-Hak penyandang Disabiltas ) pasal 3 ayat 1, 2dan 3. Pasal 3 ayat 1 berbunyi: Penyandang disabilitas, negara neara pihak harus mengambil semua kebijakan yang diperlukan untuk menjamin penuh semua hak-hak penyandang disabilitas, Dengan demikian, fikih disabilitas adalah fikih atau hukum Islam yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan hak bagi kalangan disabilitas. Hukum Islam Tentang Disabilitas Survei literatur fikih tentang isu isu yang dilakukan oleh Risplercam berangkali adalah survey yang paling lengkap yang pernah ditulis dalam bidang ini. Dalam bukunya Disability in Islamic Law, dia membahas secara rinci, setiap pasal dalam bab-bab klasik kitab fikih untuk menemukan bagaimana hukum Islam menetapkan sejumlah aturan khusus bagi mereka yang karena gangguan baik fisik dan atau mental tidak bisa dituntut untuk mengerjakan aturan-aturan ibadah secara formal. Kajian ini penting karena literatur sebelumnya mengkaji permasalahan ini secara datar. Ia menegaskan:The disabilities are always mentioned as a matter of fact, as part the reality that people are meant to live in, as aresult of the divine wisdom and planning with wich Allah manage the icreation, no emotional attitude, such as remorse, anger, despair, or disappointment, accompanes, any of the discussions of disabilities within the literature (Rispler, , 2007: 3). Fenomena ini menunjukkan bahwa fikih bersikap toleran, menerima para difabel apa adanya, mengakomodaasi kebutuhan khususnya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban keagamaan sebagai seorang muslim. Islam memandang kondisi disabilitas bukan merupakan hukuman, melainkan ujian dari Allah untuk 6
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
memperkuat keimanan. Akomodasi fikih kebutuhan khusus kalangan difabel dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1. Dispensasi Fikih Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Risplem-Chaim. Bab Hukum
Taharah
Jenis Difabilitas Sakit jiwa (ma’tuh) gila (majnūn) hilang akal, dan semisalnya Lumpuh
Jenis Dispensasi Fikih Tidak berkewajiban segala jenis ibadah
Jika tidak ada yang membawakan air, cukup dengan tayamum. salat Tidak mampu berdiri, Berbaring atau hilang akal mengerjakan semampunya Menghadap Buta Mengadap kemana saja ia kiblat yakin, Sholat jumat Buta, lumpuh, Tidak wajib jumatan, ketuaan, dan kondisi tetapi tetap sholat dhuhur keamanan. di rumah, berdasarkan kaidah hifẓhu adami afḍal min hifẓhu al-Jamā’ah. Puasa sakit permanen (orang membayar denda Tua) haji Sakit yang tidak perlu pergi sendiri menghalanginya pergi dan kalau secara eknomi haji mampu, ia wajib membayar orang unuk mewakilinya. zakat Sakit jiwa wajib
Kesimpulan Risplem-Chaim tersebut sebenarnya terhampar dalam hamper semua kitab fikihfikih. Dispensasi ini dibangun melalui salah satu kaidah utama dalam fikih yang berbunyi al-masyaqqatu tajlību al-taisir (kesulitan dalam hokum Islam justru mengakibatkan kemudahan) Wujud kemudahan ini mencakup perlakuan khusus terhadap penyandang disabilitas sebagaimana terlihat dalam PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
7
M. Khoirul Hadi
tabel dispensasi di atas dapat terlihat beberapa jenis kesulitan dan dispensasi yang diberikan oleh fikih. Kondisi disabilitas dapat dibagi dengan beberapa “zona disabilitas”. Kaum lanjut usia seringkali mengalami kesulitan berjalan sehingga harus menggunakan alat bantu seperti tongkat dan atau kursi roda. Pengguna kursi roda membutuhkan ruang yang lebih besar dengan kursi roda dan mobilitasnya. Disabilitas netra membutuhkan ruang yang ‘bersih’ dari barang (supaya tidak tersandung), dan rapih. Disabilitas rungu membutuhkan desain khusus untuk aktifitas mereka. Disabilitas wicara menggunakan bahasa isyarat dalam komunikasi juga membutuhkan ruang yang ‘bersih. Sementara ’disabilitas ganda/auitisme membutuhkan penanganan khusus dan ruangan khusus. Disabilitas juga dapat lahir karena sakit atau kecelakaan. Pemenuhan kebutuhan khusus penyandang disabilitas ini memanjang mulai dari ruang privat dalam ranah domestik hingga ruang publik. Pemerintah memberikan sejumlah aturan untuk ruang-ruang umum dan ruang perkotaan. Undang-Undang mengatur agar bangunan-bangunan umum seperti mall, rumah sakit, restoran dan perkantoran mempunyai akses besar untuk kaum disabilitas. Keberpihakan kepada penyandang diabilitas ini termasuk memberikan aturan untuk mempekerjakan kaum disabilitas dalam kehidupan profesionalitas perkantoran paling sedikit 10%. Disabilitas memiliki beberapa jenis dan bisa terjadi selama masa hidup seseorang atau sejak orang tersebut terlahir ke dunia. Pertama, adalah disabilitas fisik merupakan gangguan pada tubuh yang membatasi fungsi fisik salah satu anggota badan bahkan lebih atau kemampuan motorik seseorang. Termasuk disabilitas fisik adalah gangguan yang membatasi sisi lain dari kehidupan sehari-hari misalnya karena gangguan pernapasan dan epilepsi. Kedua, disabilitas mental yaitu sebuah istilah yang menggambarkan berbagai kondisi emosional dan mental. Gangguan kejiwaan adalah istilah yang digunakan pada saat disabilitas mental secara signifikan mengganggu kinerja aktivitas hidup yang besar, misalnya saja seperti mengganggu 8
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
belajar, berkomunikasi dan bekerja serta lain sebagainya. ketiga, Disabilitas intelektual merupakan suatu pengertian yang sangat luas mencakup berbagai kekurangan intelektual, diantaranya juga adalah keterbelakangan mental. Sebagai contohnya adalah seorang anak yang mengalami ketidakmampuan dalam belajar. Dan disabilitas intelektual ini bisa muncul pada seseorang dengan usia berapa pun. Keempat disabilitas sensorik merupakan gangguan yang terjadi pada salah satu indera. Istilah ini biasanya digunakan terutama pada penyandang disabilitas yang mengacu pada gangguan pendengaran, penglihatan dan indera lainnya juga bisa terganggu. kelima, Disabilitas perkembangan merupakan suatu disabilitas yang menyebabkan suatu masalah dengan pertumbuhan dan juga perkembangan tubuh. Meskipun istilah disabilitas perkembangan sering digunakan sebagai ungkapan halus untuk disabilitas intelektual, istilah tersebut juga mencakup berbagai kondisi kesehatan bawaan yang tidak mempunyai komponen intelektual atau mental, contohnya spina bifida. Kajian fikih diharapkan bersifat akomodatif memberikan respon yang cepat bagi isu disabilitas. Meski telah ada secara samar, tetapi literatur fikih dipandang kurang tanggap dalam merespon isu penyandang disabilitas dalam hukum Islam, padahal fatwa Syeikh Tantawi pada tahun 2000 telah mengharuskan adanya petugas bahasa isyarat di samping khatib untuk menerjemahkan khutbah bagi jamaah yang mengalami kondisi tuna rungu, Fatwa syeikh Tantowi sukses membatalkan fatwa yang lama yang menyatakan haram menerjemahkan bahasa isyarat karena mengangu kekhusyuan jamaah. Jika ditelisik setidaknya terdapat dua faktor penting tidak terjawabnya konsep disabilitas dalam pandangan fikih pertama, karena fikih terlalu fokus terhadap persoalan kebutuhan manusia, dan bukan pada hak yang layak diterima, dan kedua karena subjek fikih berupa perorangan bukan intitusional.
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
9
M. Khoirul Hadi
C. Simpulan Artikel ini menemukan isu disabilitas dalam fikih menunjuk beberapa kondisi. Pertama bahwa fikih difabel itu ada tetapi masih samar samar, karena belum keberpihakan fikih terhadap hak-hak disabilitas. Kedua, konsep untuk membangun fikih disabilitas dapat dilakukan melalui konsep maqashid sayri’ah. Dengan demikian peerjaan rumah tentang fikih disabilitas menjadi tantangan bagi kaum muslimin termasuk masyarakat muslim Indonesai masih belum atau “kurang” dalam memperhatikan konsep fikih disabilitas.
10
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
Fikih Disabilitas : Studi Tentang Hukum Islam Berbasis Maslahah
DAFTAR PUSTAKA A. Rofiq (Ed), (2004)., Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta : Teras. Abd al-Ghani, Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad, tt, al-Musāwādah fī Uṣūl al-fiqih. Matba’ah al-Madani, Mesir. Abd Rahman, Khalid, (1986)., Uṣūl al-Tafsir wa Qawā’iduhu. Beirut : Dar al-Nafa’is. Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad Abd al-Ghani, al-Musāwādah fī Uṣūl al-fiqh, Matba’ah al-Madani, Kairo Mesir, Al-Gazhali, (1970)., al-Must}asfa min ilm al-Usul kairo: Syirkah atTiba’ah al-Fannaiyyah al-Muttahidah. Al-Gazhali, Abu Hamid, (1970)., al-Mustasfa min ilm al-Usul kairo: Syirkah at-Tiba’ah al-Fannaiyyah al-Muttahidah. --------, (1970)., Qāidah Jalīlah Fī al-Tawāsūl wa al-Wasīlah. Beirut: Maktab Islami. --------, -------,Bayân Talbîs al-Jahmiyyah (software Maktabah Syâmilah). -------, --------, Minhâj as-Sunnah an-Nabāwiyyah (software Maktabah Syâmilah). -------, --------,Tafsir al-Kabīr. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. -------, dan Ibnu Qayyim al-jauziyyah, (1982)., al-Qiyās Fi al-Syarī’ah al-Islami, Beirut lebanon: Dar al-Afaq al-Jadidah. Anwar, Rosihon, (2006)., Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. Baidan, Nashruddi, (2005)., Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Diyab, Abd Qadir Isa,,tt, Al-Mizan al-Adil li Tamyiz al-Haqq min al-Bathil. Damasykus. Hallaq, (1986)., “On the Origins of The controversy about The Existence of Mujtahids and The Gate of Ijtihad, “ SI, 63. Hallaq, Wael B, (1986)., “On the Origins of The controversy about PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016
11
M. Khoirul Hadi
The Existence of Mujtahids and The Gate of Ijtihad, “ SI, 63 Isma’il, Muhammad Bakr, (1991)., Dirāsat fī ‘Ulūm al-Qur’ān . Kairo : Dar al-Manar. Jeanette Wakin, “Interprtation of the Divine Comand in The Jurisprudence of Muawwaq al-Din Ibn Qudamah, dalam ILJ, M. Ghalib M, 1998, Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya. Jakarta : Paramadina. Mansur, Salim ibn Abd Aziz Ali. (tt.), Uṣūl al-Fiqh wa Ibn Taimiyyah juz 2. Tk: tp.tt. Marzuq, Abi Hamid bin, (1967)., Barū’at al-Asy’ariyyīn min ‘Aqaid al-Mukhalifīn, Damasykus : Al-Ilmu. Muhammad, Yusuf Khatar, tt, Al-Mausū’ah al-Yûsūfiyyah fi alBayāni Adillati as-Shūfiyyah. Salim, Abd Mu’in (Ed). (2005).. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Teras. Taimiyyah, Ibn, tt, Majmu’ al-Fatāwa (Software Maktabah Syamilah). Taimiyyah, Ibnu (1970)., Qāidah Jalīlah Fi al-Tawāsūl wa al-Wasīlah (Beirut : Maktab Islami. Taimiyyah, Ibnu, dan Ibnu Qayyim al-Zaujiyyah, (1982)., al-Qiyās Fi al-Syari’ah al-Islami, Beirut lebanon: Dar al-Afaq al-Jadidah. Tim Puslitbang Lektur Keagamaan. (2003).. Pedoman Transliterasi Arab-Latin. Jakarta : Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur Pendidikan Agama. Yusuf Khatar, Isma’il, Muhammad Bakr, (1991)., Dirāsat fī Ulūm alQur’ān . Kairo : Dar al-Manar. Zaharah, Muhammad, tt, Ibn Taimiyyah Hayūtuhu wa AsruhuAruhu wa Fiquhu Dar al-fikr, al-Arabi.
12
PALASTREN, Vol. 9, No. 1, Juni 2016