1
FENOMENA KEMISKINAN DI INDONESIA ( AKAR MASALAH DAN ALTERNATIF SOLUSINYA) Oleh Amin, S.Pd., M.Si*)
ABSTRAK Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Mengingat kemiskinan merupakan masalah komplek, maka penaggulangannyapun harus dilakukan secara komprehensif pula.
A. Pendahuluan Kemiskinan sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya dialami oleh negara negara yang sedang berkembang tetapi juga terjadi di negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Fenomena ini pada dasarnya telah menjadi perhatian, isu, dan gerakan global yang bersifat kemanusiaan (humanity). Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosial yang ada di setiap negara. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 per hari. Jumlah ini sama dengan jumlah penduduk Malaysia, Vietnam dan Kamboja digabungkan. Sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara tinggal di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga tidak mampu meningkatkan berbagai indikator utama pembangunan sosial dibandingkan dengan negaranegara Asia Timur lainnya. Tingkat kematian ibu hamil di Indonesia, misalnya, dua kali lebih tinggi dari tingkat kematian di Filipina dan lima kali lebih tinggi dari Vietnam. Hampir setengah dari
2
penduduk Indonesia tidak mempunyai akses yang cukup terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi. Indonesia memang telah mencapai hasil yang memuaskan dalam menurunkan tingkat kemiskinan sejak tahun 1960-an dan juga telah berhasil mengurangi efek dari krisis. Tetapi Indonesia masih harus menghadapi tiga masalah mendasar dalam upaya mengangkat sebagian besar penduduk yang masih terhimpit kemiskinan dan kepapaan, yaitu: 1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk miskin tidak akan dapat dikurangi secara signifikan tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi orang miskin. Pada periode setelah krisis, berkurangnya penduduk miskin lebih banyak disebabkan karena membaiknya stabilitas ekonomi dan turunnya harga bahan makanan. Untuk menurunkan tingkat kemiskinan lebih jauh lagi, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi merupakan suatu keharusan. 2. Peningkatan pelayanan sosial bagi masyarakat miskin. Indonesia harus dapat menyelesaikan masalah dalam bidang pelayanan sosial agar manfaat dari pembangunan lebih dirasakan. Peningkatan dalam efektifitas dan efisiensi pemberian pelayanan sosial, dapat dicapai dengan mengusahakan perbaikan dalam sistem kelembagaan dan kerangka hukum, termasuk dalam aspek-aspek yang terkait dengan desentralisasi. Hal ini akan membuat penyedia jasa mengenali tanggung jawab mereka dalam menjaga kualitas pelayanan yang diberikan, disamping memberikan kesempatan bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengawasi aktifitas tersebut. 3. Perlidungan bagi si miskin. Kebanyakan penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Hampir 40 persen dari penduduk, hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan nasional dan mempunyai pendapatan kurang dari US$2 per hari. Perubahan sedikit saja dalam tingkat harga, pendapatan dan kondisi kesehatan, dapat menyebabkan mereka berada dalam kemiskinan, setidaknya untuk sementara waktu. Program perlidungan sosial yang ada tidaklah mencukupi dalam menurunkan tingkat resiko bagi keluarga miskin, walaupun memberikan manfaat pada keluarga yang lebih berada. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan menyediakan program perlindungan sosial yang lebih bermanfaat bagi penduduk miskin serta masyarakat yang rentan terhadap kemiskinan
3
A.
Batasan Kemiskinan Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak
berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976). Kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Hal ini dipertegas dengan definisi kemiskinan dengan mengacu pada strategi nasional penanggulangan kemiskinan, yaitu kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan. Definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Berbagai sudut pandangan tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni kemiskinan struktural, kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Dari ketiga sudut pandang tersebut, penulis membatasi diri dan lebih menekankan pada kemiskinan absolut, karena pemahaman dari bentuk kemiskinan ini relatif lebih mengena dalam konteks fakir miskin. Menurut Ginanjar (1997), kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan.
4
Menurut Nasikun (1995), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai
kemiskinan
“Kemiskinan
adalah
sebuah
fenomena
multifaset,
multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”. Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia dan ditetapkan tarat kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan ekonomisnya, sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial, apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas. Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan bukan hanya merupakan masalah sosial, karena mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan, sehingga tidak ada usaha untuk mengatasinya. Mereka tidak akan terlalu memperhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul menderita karenanya, faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan. Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi problema sosial karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena harta miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Hal ini terlihat di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, seseorang dianggap miskin tidak memiliki radio, televisi atau mobil, sehingga lama-kelamaan benda-benda sekunder tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yaitu apakah dia miskin atau kaya. Dengan
5
demikian persoalannya mungkin menjadi lain yaitu tidak adanya pembagian kekayaan yang merata.
B. Kilas Balik Fenomena Kemiskinan di Indonesia Berdasarkan data statistic resmi (2006), dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, jumlah dan persentase penduduk miskin waktu ke waktu mengalami pasang surut. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta (17,47%) pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta (23,43%) pada tahun 1999. Hal ini berbeda dengan pada periode 2000-2005, jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta (19,14%) pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta (15,97%) pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin terjadi karena adanya kenaikan harga BBM yang menyebabkan naiknya harga berbagai barang sehingga inflasi mencapai 17,95 persen selama periode Februari 2005-Maret 2006. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta (16,58 persen), turun 2,13 juta dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2006. Meskipun demikian, persentase penduduk miskin pada Maret 2007 masih lebih tinggi dibandingkan keadaan Februari 2005, dimana persentase penduduk miskin sebesar 15,97 persen. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta (16,58 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,21 juta. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan. Selama periode Maret 2007-Maret 2008, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,42 juta, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,79 juta orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2007, sebagian besar (63,52 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2008 persentase ini hampir sama yaitu 63,47 persen.
6
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode Maret 2007-Maret 2008. Faktor-faktor tersebut antara lain: Pertama, inflasi umum relatif stabil selama periode Maret 2007Maret 2008. Laju inflasi umum “year-on-year” (Maret 2008 terhadap Maret 2007) sebesar 8,17 persen; Kedua, komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Rata-rata harga beras nasional selama periode Maret 2007-Maret 2008 turun -3,01 persen, yaitu dari Rp.6.414,- per kg pada Maret 2007 menjadi Rp. 6.221,per kg pada Maret 2008. Penurunan harga beras ini berbanding terbalik dengan inflasi year-on-year periode yang sama sebesar 8,17 persen; Ketiga, sekitar 70 persen penduduk miskin di daerah perdesaan bekerja di sektor pertanian. Kondisi pekerja di sektor pertanian pada bulan Maret 2008 relatif baik. Secara nasional, rata-rata upah nominal harian buruh tani selama periode bulan Maret 2007-Maret 2008 meningkat 9,88 persen, naik dari Rp.14.932,- pada Maret 2007 menjadi Rp.16.407,- pada Maret 2008. Pada periode yang sama, rata-rata upah riil harian buruh tani juga mengalami kenaikan 0,90 persen, yaitu dari Rp.2.553,- pada Maret 2007 menjadi Rp.2.576,- pada Maret 2008. Artinya, daya beli buruh tani relatif sedikit membaik. Selama Subround I (Januari-April) 2008 juga terjadi panen raya. Produksi padi Subround I-2008 naik 5,55 juta ton (sekitar 24,86 persen) dari produksi padi Subround I-2007, yaitu dari 22,31 juta ton GKG pada Subround I-2007 menjadi 27,86 juta ton GKG pada Subround I-2008 (hasil Angka Ramalan II 2008). Keempat, selama periode Februari 2007-Februari 2008 jumlah penganggur berkurang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2007 sebesar 9,75 persen (10,55 juta orang), tetapi turun menjadi 8,46 persen (9,43 juta) pada Februari 2008. Turunnya pengangguran ini karena terbukanya lapangan kerja di sektor informal secara luas sehingga membuka kemungkinan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. C. Ukuran Kemiskinan Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Berdasarkan data statistic (2006), garis kemiskinan selama Maret 2007-Maret 2008, garis kemiskinan naik sebesar 9,56
7
persen, yaitu dari Rp.166.697,- per kapita per bulan pada Maret 2007 menjadi Rp.182.636,- per kapita per bulan pada Maret 2008. Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Pada periode Maret 2007-Maret 2008, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan menunjukkan kecenderungan menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 2,99 pada Maret 2007 menjadi 2,77 pada Maret 2008. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,84 menjadi 0,76 pada periode yang sama. Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.
D. Akar Penyebab Kemiskinan Berdasarkan definisi kemiskinan yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa akar penyebab kemiskinan itu paling tidak terdiri atas empat hal, yaitu: 1. Kebijakan pemerintah. Kebijakan menaikan harga BBM seringkali menimbulkan efek lanjutan berupa peningkatan harga barang-barang dan kemampuan industri seringkali melemah, sehingga menimbulkan kemiskinan baru. Selain itu, orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi atau grass root (Gunawan dan Sugiyanto, 2005). Kondisi ni tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan. Menurut catatan Halwani (1999), sebagian besar (98,2%) adalah unit usaha kecil dan industri rumah tangga dengan tenaga kerja sebanyak 3.484.408 orang (63,3%). Industri yang tergolong dalam usaha berskala besar dan sedang (0,8%) dengan tenaga yang terserap sebanyak 1.691.435. (32,7%). Namun jika hasil nilai tambah dari dua jenis kegiatan tersebut diperbandingkan, maka hasil yang diperoleh dari
8
sektor industri kecil masih jauh dari yang harapan yakni sebesar 17,8% (Rp.2,03 trilyun), sedangkan industri berskala besar (0,8%) telah memberikan nilai tambah Rp.9,35 trilyun (82,2%).
2. Bencana alam. Bencana alam baik berupa banjir, gempa, gunung meletus dan lain sebagainya seringkali merusak panen yang sedang ada di ladang, perumahan penduduk, bahkan mata pencaharian penduduk sehingga penduduk kehilangan bahan makanan dan pekerjaan sehingga akan menimbulkan kemiskinan baru 3. Sifat-sifat subjektif dari penduduk miskin, mislnya: a) Tidak sehat. Orang yang tidak sehat mudah ditolak dalam mencari pekerjaan, terutama dalam zaman mesin ini, dimana kesehatan badan sangat dibutuhkan. Selanjutnya orang yang selalu sakit tak dapat mencari nafkah dengan sempurna. Ketika penyakit malaria merupakan penyakit kronis di daerah Jakarta dan sekitarnya prestasi kerja amat minimum, karena malaria melemaskan badan, orang sering mangkir dari pekerjaan karena demam. b) Malas, bodoh dan tidak kreatif sehingga yang bersangkutan pasrah pada nasib dan bersifat menunggu belas kasihan orang lain. Kondisi ini kadang melahiran budaya miskin. c) Kecelakaan dalam waktu bekerja, yang sering tidak memungkinkan lagi untuk bekerja, sehingga dengan demikian keluarga jatuh melarat. Asuransi sampai sekarang belum cukup meluas di Indonesia, sekalipun telah dijalankan dengan lebih aktif daripada di zaman oral, sehingga jaminan jiwa belum merata. d) Kemiskinan sering disebabkan karena pengeluaran yang tidak seimbang, atau yang tidak setimpal dengan kebutuhan. Pakaian, perkakas rumah yang tidak begitu perlu dipesan dan dibeli. Pesta-pesta perkawinan yang mubazir untuk mana orang terpaksa berhutang yang sukar untuk dibayar kembali. 4. Sifat objektif, dalam hal ini masyarakat yang bertanggung jawab, dan bukan perseorangan, antara lain ialah : a) Pengangguran b) Pajak yang meningkat untuk pengeluaran perang atau untuk persediaan perang yang akan datang pun juga kemasukan orang baru sebagai pengungsi atau
9
orang pindah (migrasi) yang menyebabkan kelebihan tenaga bekerja sehingga upah turun bagi penduduk asa atau habisnya kemungkinan bekerja bagi mereka. c) Gaji dan upah yang rendah sebagai terdapat dalam gaji-gaji pegawai pemerintahan dan guru golongan menengah ke bawah bilamana dibanding dengan harga bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk membayar biaya pengobatan dokter bilamana sakit, dan untuk menyekolahkan anak dengan sempurna. d) Harga jual bahan makanan seperti padi atau beras produksi lokal yang amat rendah di bawah ongkos produksi beras dan bahan pertanian lainnya yang menyebabkan kaum tani selalu miskin (pengisapan dan pemerasan).
E. Alternatif Solusi Pengentasan Kemiskinan Amanat konstitusi menyatakan bahwa masalah kemiskinan, pengangguran dan kesejahteraan merupakan tanggung jawab Negara. Kemanusiaan tidak hanya menjadi tanggung jawab sosial masyarakat namun justru tanggung jawab struktural negara. Secara substansial, realitas kemiskinan menandai ketidakmampuan individu untuk hidup secara manusiawi. Namun faktanya, kemiskinan sudah mendarah daging bahkan adalah realitas itu sendiri di masyarakat Indonesia. Kemiskinan lebih diyakinkan sebagai takdir teologis dan konsekuensi kultural daripada konstruksi struktural. Ini merupakan satu sandungan paradigmatis di tengah gencarnya upayaupaya pengentasan kemiskinan. Salah satu langkah strategis untuk mengubah cara pandang dan mental yang sudah terlanajut mengakar tersebut adalah memunculkan kesadaran serta sikap partisipasif bahwa kemiskinan adalah produk dari ketiadaan akses dan ketimpangan distribusi sosial. Dalam pandangan Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi berkebangsaan India, kemiskinan dan kelaparan terkait erat dengan tidak berjalanya mekanisme demokrasi di negara-negara berkembang. Saat kemiskinan merasuki sistem nilai dan perilaku masyarakat, pendidikan merupakan media yang tepat untuk mengbongkar pandangan fatalistic sekaligus menanamkan kesadaran kritis bahwa kemiskinan merupakan persoalan struktural yang menuntut tanggung jawab Negara.
10
Pendidikan merupakan proses untuk menjadi manusia yang berlangsung dalam ruang, waktu dan lingkungan tertentu sehingga pendidikan tidak bisa menafikkan aspek budaya. Oleh karena itu, menurut HAR Tilaar, pendidikan dan budaya merupakan satu kesatuan eksistensial. Lebih jauh ia menambahkan, pendidikan dalam konteks kebudayaan berhubungan dengan konsep kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan dalam hal ini adalah kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dari yang lain. Berangkat dari sini, pendidikan dapat memiliki daya tawar untuk melakukan perubahan, termasuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap kemiskinan. Namun paradigma pendidikan, setidaknya tercermin dari muatan kurikulum, cenderung mengabaikan kemiskinan sebagai anomaly structural dan kultural. Yang terjadi, pendidikan tidak merefleksikan tuntutan sosiologis yang bersifat factual dan empiric. Selain itu, hal yang perlu disadari yaitu dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya. Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000), pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki oleh masyarakat miskin. Permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian. Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan),
11
tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus mampu mengakomodasikan kedua aspek tersebut. Menurut Koenraad Verhagen, (1996), melebih-lebihkan kemiskinan kita cenderung melupakan apa yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orangorang yang “tidak memiliki” (havenot). Dari sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” (have-little) di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial. Berkaitan dengan pandangan ini, Gunawan Sumodiningrat (1977) mengemukakan, bahwa strategi untuk memberdayakan masyarakat terdapat tiga hal yang harus dilakukan yaitu: (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering); dan (3) Pemberian perlindungan, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi lebih lemah. Keluarga atau penduduk miskin sebagaimana penduduk yang lain memiliki potensi untuk berkembang.
Paling tidak terdapat tiga bentuk potensi yang
dikembangkan, yakni: Pertama, kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, hal ini dapat
dilihat dari aspek (1) pengeluaran keluarga, (2) human capital atau
kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan, dan (3) security capital atau kemampuan menjangkau perlindungan dasar; Kedua, kemampuan dalam pelaksanaan peran social, hal ini dapat dilihat dari (1) kegiatan utama dalam mencari nafkah, (2) peran dalam bidang pendidikan, (3) Peran dalam bidang perlindungan, dan (4) peran dalam bidang kemasyarakatan; Ketiga, kemampuan dalam menghadapi permasalahan, hal ini dapat dilihat dari upaya mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi dan non ekonomi Namun demikian, menurut Paulus Mujiran (2004), beberapa program pengentasan warga miskin cenderung gagal karena kesalahan pendekatan yang dipergunakan. Pertama, sebagai masalah multikompleks, pendekatannya tidak melulu pada satu aspek tapi banyak aspek secara terpadu, konsisten, dan berkesinambungan. Masalah pelik yang dihadapi pegiat antikemiskinan adalah meyakinkan kepada kaum miskin bahwa kemiskinan harus diberantas sehingga memerlukan partisipasi darinya.
12
Tanpa keterlibatan kaum miskin, pendekatan apa pun yang digunakan, program itu akan cenderung gagal. Kedua, pengentasan warga miskin sering tidak membekas karena perbedaan konsep antaraktivis (bisa pemerintah, LSM, perguruan tinggi) berbeda satu sama lain. Konsep pemberdayaan masyarakat merupakan masalah sukar yang tidak begitu saja diterjemahkan kepada kaum miskin. Kaum miskin cenderung menyukai programprogram karitatif yang tidak membutuhkan keterampilan, pemikiran, serta tidak merepotkan seperti pembagian pakaian bekas, bahan kebutuhan pokok, dan uang. Pengentasan warga miskin cenderung terjebak pada persoalan ini karena komitmen lemah dan ketiadaan daya dukung memadai. Ketiga, pengentasan warga miskin dijalankan sebagai proyek dengan targettarget tertentu dan waktu yang tersedia terbatas. Pemikiran mengenai proyek membuat orang mudah terjebak, bahkan pada masa silam yang disebut proyek menjadi kesempatan menjarah uang negara. Waktu yang terbatas menyebabkan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan proyek, tergesa-gesa, tanpa konsep matang, dan dijalankan asal-asalan. Kecenderungan yang paling kentara adalah pembuatan pertanggungjawaban fiktif demi mencapai tujuan semu. Kondisi ini diperparah oleh KKN yang semakin merajalela sehingga menghilangkan kesempatan memprioritaskan pengentasan warga miskin. Semestinya, rakyat miskin terutama mempergunakan posisi tawar ini dalam memberikan suaranya dalam pemilu mendatang.
G. Kesimpulan Permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian. Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus mampu mengakomodasikan kedua aspek tersebut. Mengatasi
masalah
kemiskinan
diperlukan
kajian
yang
menyeluruh
(comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program
13
pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya. Pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki. Uraian ini mengisyaratkan, bahwa langkah awal dalam penanganan masalah kemiskinan (keluarga fakir miskin) perlu diidentifikasi potensi yang mereka miliki. Permasalahannya adalah bagaimana karakteristik potensi yang dimiliki oleh masyarakat miskin.
H. Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik, 1999. Penduduk Muskin (PoorPopulation). Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin No.04/Th.II/July, Jakarta:CBS. Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial, 2002, Penduduk Fakir Miskin Indonesia, BPS, Jakarta Indonesia Badan Pusat Statistik, 2008. Penduduk Muskin (PoorPopulation). Berita Resmi Statistik No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008 Gunawan Sumodiningrat (1997), Pembangunan Daerah Masyarakat, Bina Rena Pariwara, Jakarta. Cet.2
dan
Pemberdayaan
Halwani, R.H., 1998. Paradigma Baru: Dapatkah Ekonomi Rakyat Memainkan Peran Sentral. Dalam Sintesis, Jurnal dua Bulanan Center For Inormation and Development Studies (CIDES) No.26 tahun ke 5 Jakarta. http://www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01sep06.pdf http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/2800161106130305439/617331-1110769011447/8102961110769073153/reducingpoverty.pdf
14
Jalaludin, Rakhmat. (1999) Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi, Remaja Rosdakarya, Bandung. Kartasasmita, G., 1997. Kemiskinan. Balai Pustaka. Jakarta. Mujiyadi. B. dan Gunawan (2000), Pemberdayaan Masyarakat miskin (Suatu Kajian terhadap Masyarakatdi Sekitar Kawasan Industri) dalam Informasi Vol .5 No. 1 Januari 2000. Balitbang Depsos RI. Jakarta. Nasikun, 1995, Kemiskinan di Indonesia Menurun, dalam Perangkap Kemiskinan, Problem, dan Strategi Pengentasannya, (Bagong Suyanto, ed), Airlangga Univercity Press. Poerwadarminta, WJS, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta. Suharto, Edi, 2002, Coping Strategies Keluarga Miskin. Makalah Seminar Kemiskinan di IPB tanggal 17 Desember 2002. Suharto,Edi, 2003. Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia, STKS Bandung Press. Usman Sunyoto, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, cet. I , Pustaka Pelajar, Yogyakarta Verhagen, K. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, cet2, Bina Rena Pariwara, Jakarta.
*) Dosen Unisma Bekasi