FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA SUMATERA UTARA TAHUN 2005 s.d 2009 (ANALISIS KONTEKSTUAL, METODOLOGI, DAN LITERATUR) Akmaluddin Syahputra Kata Kunci: MUI, hukum Islam, fatwa Perkembangan Hukum Islam di Sumatera Utara tidak terlepas dengan perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Kedatangan Islam telah memberi pengaruh yang kuat terhadap hukum asli di dalam beberapa segi kehidupan, terutama di bidang hukum keluarga.1 Dalam lintasan sejarah, hukum Islam di Indonesia terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan untuk dikaji secara ilmiah akademis. Penulis melihat bahwa melalui lembaga Peradilan agama inilah perkembangan Hukum Islam di Indonesia yaitu melalui qadi atau hakim, sedangkan para ulama yang tidak menduduki lembaga tersebut tetap dapat berkiprah dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan agama Islam melalui fatwa, qaul, maupun pendapat individu. Bahkan ditangan ulama inilah perkembangan hukum Islam itu terasa lebih signifikan dan komperhensif. Penelitian yang lebih memfokuskan pada produk hukum fatwa. Di Indonesia (demikian juga halnya di Sumatera Utara) fatwa-fatwa sepenuhnya dilakukan oleh para ulama. Dimulai dari fatwa perorangan hingga fatwa berkelompok.2 Pada tahun 1912 organisasi Muhammadiyah terbentuk, meski pada awal pembentukannya tidak menghasilkan fatwa hukum, namun pada tahun 1927 telah dibentuk Majlis Tarjih yang bertugas menetapkan soal-soal keagamaan umumnya dan hukum, yang pada intinya Majlis Tarjih ini menghasilkan produk hukum yang disebut fatwa. Sedangkan pada tahun 1926 para ulama tradisionil telah mendirikan perkumpulan Nahdatul Ulama sekaligus menghasilkan fatwa-fatwa secara berkelompok. Di Indonesia, fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga keagamaan, termasuk di dalamnya fatwa Mejelis Ulama Indonesia mempunyai peranan yang cukup dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat, sekalipun ia diangg wap tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (ghair mulzimah). Penelitian tentang fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara menjadi ketertarikan tersendiri bagi penulis, disebabkan bahwa Mejelis Ulama Indonesia Sumatera Utara terlebih dahulu ada (berdiri) sebelum MUI Pusat, artinya bahwa masyarakat Sumatera Utara adalah masyarakat yang agamis dan memiliki ulama yang patut diperhitungkan dan dikaji serta dianailis pola pikir mereka. Kedua bahwa secara organisasi, fatwa yang berskala Nasional akan diputuskan oleh MUI Pusat, akan tetapi permasalahan yang berskala lokal (tingkat Provinsi) akan diputus di Propinsi. Nah tentunya banyak sekali hal yang perlu dikaji dan dianalisis tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara terutama di tahun 2005 s/d 2009 baik dari segi kontekstual, metodologis, maupun literatur. Rumusan Masalah 1
Lihat R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hal 17; Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1973, hal. 26 2 Sebelum tahun 1926 fatwa fatwa di Indonesia diberikan pada ulama secara perorangan, setelah itu barulah fatwa-fatwa dikeluarkan secara berkelompok
Dari latar belakang masalah di atas, dirumuskanlah beberapa pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah metodologi MUI Sumatera Utara merumuskan fatwa? 2. Faktor-faktor apakah yang Mempengaruhi dalam merumuskan fatwa tersebut? 3. Literatur apakah yang dipakai MUI Suamtera Utara dalam merumuskan fatwa? Kegunaan Penelitian Penelitaian ini berguna untuk: 1. memberikan gambaran yang lengkap dan tepat tentang sifat fatwa-fatwa, dalam kaitannya dengan isi maupun cara kerjanya 2. menjadi sumbangsih pengetahuan tantang fiqh (hukum Islam) dan ushul fiqh (teori hukum Islam) Batasan Istilah 1. Majelis Ulama Indonesia adalah tenda besar ummat Islam, yang merupakan wadah tempat berkumpulnya ulama, zuama, dan aghniya didirkan di Jakarta pada tanggal 117 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M. 2. Fatwa, Secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa Arab al fatwa. Fatwa merupakan jawaban hukum (legal oponion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand). Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan atau merupakan peristiwa atau kasus yang telah terjadi atau nyata. Kerangka Teritis Kerangka teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Adanya interaksi anatara perubahan sosial dengan perubahan hukum merupakan keharusan.3 Setiap peristiwa atau kejadian yang dihadapi kaum muslimin pasta ada hukum yang mengikatnya 2. Hukum Islam ditetapkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-Nya.4 Senantiasa berjalan mengikuti perjalanan masa dan perubahan sosial budaya. 3. Teori-terori perubahan, para sosiolog berpendapat bahwa kecendrungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala-gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia. Perubahan sosial terjadi karena adanya unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti misalnya perubahan dalam unsurunsur ekonomis, biologis, geografis, kebudayaan, agama, dan lan-lain5 Teori teori lain tentang perubahan sosial yang sejalan dengan yang diungkapkan Soerdjono Soekanto ini, antara lain teori perubahan sosial Mac Iver, Gillin and Gillin, William F. Obgurn, Kingsley Davis, Samuel Koening, dan Selo Soemardjan. 6
3
Sodjono Hardjo Siswono, Sosiologi Hukum Studi Tentang Perubahan Huikum dan Sosial, CV Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 1 4 Imam Syafi’i, Ar-Risalah, Darul Saqafah, Mesir, 1983, hal 14 5 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1982, hal 285 6 Ib.id., dan Selo Sumardjan, Social Change in Yogyakarta, Cornel University Press, New York, 1962, hal. 379
2
4. Kaedah-kaedah fiqhiyah yang berkaitan dengan perubahan fatwa disebabkan perubahan zaman (masa) dan tempat serta syari’at Islam selalu sesuai untuk setiap masa dan tempat
الشريعة االسالمية صالحة لكل زمان ومكان
7
Artinya: Syariat Islam itu (akan selalau) sesuai setiap masa dan tempat
تغير الفتوى بتغير األزمنة واالمكنة واألحوال والعوائد
8
Artinya: Fatwa (hukum) itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan Metodologi Penelitian Sesuai dengan topiknya penelitian ini bersifat kualitatif. Data-data dianalisis dengan menggunakan metode deskriftif 9 analitis yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang dikemukakan yang bertujuan untuk mendeskriptifkan secara konkrit tentang Fatwa Mejelis Ulama Indonesia baik dari segi metodologis maupun literatur Penelitian ini dilakukan di Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Utara, ditetapkan di Provinsi Sumatera Utara sebagai tempat penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang penduduknya heterogen. Memiliki jiwa keIslaman yang kuat dan memiliki ulama-ulama yang mu’tabar. Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan studi naskah yaitu dengan menentukan identitas dan klasifikasi fatwa-fatwa dalam hubungan dengan isinya serta metode yang dipakai para ulama dalam merancang fatwa tersebut. Hal ini diperlukan guna mengadakan perbandingan dengan naskah naskah klasik hukum Islam, dan menetapkan ragam masing-masing, dengan melihat literatur-literatur yang dipakai dalam menetapkan fatwa. Temuan Penelitian Metodologi Perumusan Fatwa Pada tahun 1986 MUI mengeluarkan pedoman tentang dasar-dasar pembuatan fatwa menurut tingkatan, yaitu; alQuran, sunnah, ijma, dan qiyas. Hal ini masih harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam mazhab yang ada dan fuqaha yang telah melakukan penalahan mendalam tentang masalah serupa. Majelis Ulama Indonesia berwenang mengeluarkan fatwa mengenai: Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat islam Indonesia secara nasional. Masalahmasalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain. Majelis ulama Indonesia Daerah berwenang mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan bersifat local (kasus-kasus di daerah) dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan MUI/komisi fatwa MUI. Penentuan klasifikasi masalah dilakukan oleh tim khusus. 7
Muhammad Anis Ubadah, Tarikh al Fiqh al Islami fi Ahdi al-Nubuwwat wa al Shahabat wa al Tabi’in, juz I, Darul al Thiba’at, Mesir, 1980, hal. 12 8 Ibn Qayyim al Jauziyah, I’lam al Muwaqi’in Rabb al ‘Alamin, juz III, Darul Jayi, Mesir, tth, hal. 10 9 diskripsi disini maksudnya secara sistematis, faktual, dan akurat, bertujuan membangun atau menguji hipotesis Lihat, Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 36, lihat juga. Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktik. Sinar Grafika, Jakarta, hal 8-9
3
Setiap Surat keputusan fatwa dilingkungan MUI manapun MUI daerah dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam surat keptusan ini mempunyai kedudukan sederajat dan tidak saling membatalkan. Jika terjadi perbedaan antara surat keputusan fatwa MUI dan surat keputusan fatwa MUI daerah menganai masalah yang sama, perlu diadakaan pertemuan antara kedua Dewan pimpinan untuk mencari penyelesaian yang paling baik. Sidang komisi harus dihadiri oleh para anggota komisi yang jumlahnya dianggap cukup memadai oleh ketua komis dengan kemungkinan mengundang tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas jika dipandang perlu. Sidang komisi diadakan jika ada : a. Permintaan atau pertanyaan dari masyarakat yang oleh Dewan Pimpinan MUI dianggap perlu untuk dibahas dan diberikan fatwanya. b. Permintaan atau pertanyaan dari pemerintah, lembaga sosial kemasyarkatan, atau MUI sendiri. c. Sidang komisi dipimpin oleh ketua komisi atau wakilnya atas persetujuan ketua komisi. Secara teori setiap keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunnah rasul yang mu'tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemasalahatan umat. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah rasul. Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma' Qiyas dan mu'tabar dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, masalih mursalah, dan sadd az-zari'ah. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para dalil - dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipegunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. Pandangan tenaga ahli dalam bidang maslah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan. Dalam praktiknya, kempat hal di atas tidaklah dijalankan dengan baku sesuai urutan, bahkan biasanya ketika muncul permasalahan, maka pertama sekali yang dilakukan oleh para komisi fatwa adalah merujuk dan mengacu kepada kitab-kitab fiqh klasik, baru kemudian melihat kepada yang lainnya. Dalam hal contoh putusan tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (qimah) dan jumlahnya Jika dilihat dengan contoh kasus di atas, tentang metodologi yang paling memepengaruhi sebuah fatwa itu lahir. Dari informan diperoleh data bahwa ”Ada yang mengatakan bahwa ini merupakan talfik, atau penggabungan dua pendapat mazhab, yakni Hanafiyah, da Syafiiyah,” Akan tetapi komisi memandangnya pengambilan istimbat hukum bukanlah melalui talfik, akan tetapi melalui muqarnah mazahib, yaitu antara mazhab Hijaz yang diwakili oleh Syafi’i, Maliki, dan Hambali, dan mazhab Iraq, yang diwakili oleh mazhab Hanafi, dan Abu Yusuf. Dalil yang pertama, apakah dibolehkan membayar zakat dengan qimah, pendapat yang pertama tidak, karena hadis teks hadis menyuruh untuk membayar dengan 1 sha’ gandum, dan 1 sha’ tamar. Pendapat ini tentunya hanya berdasarkan teks hadis tanpa melihat konteks hadis ini turun. Jika kita melihat dari kontekstual dimana hadis ini turun di kota Madinah yang dikenal sebagai kota pertanian, maka wajar kalau hadis tersebut, menyebutkan tamar, gandum untuk pembayar zakat. Namun jika dilihat lebih lanjut secara filosofis untuk apa zakat itu diberikan, maka kesimpulannya akan berbeda. Ibnu Rusy dalam bukunya Bidayatul Mujtahid mengatakan bahwa tujuan dari zakat fitrah adalah untuk saddul lil khullah, (atau mengeyangkan perut). Dan uang dapat mengenyangkan perut. Apalagi diberbagai tempat yang pertanian bukanlah pekerjaan masyarakat. 4
Jika ada masyarakat yang berpendapat bahwa Tidak ada teks yang menyatakan kebolehannya, maka itu merupakan perbuatan mengada-ada, maka beras juga tidak ada teksnya. Dan kita menjadikan beras sebagai bahan pembayar zakat juga melihat kontekstual. Dimasa Rasulullah di tanah Arab, tamar, gandum adalah makanan pokok, sedangkan di Indonesia makanan pokoknya adalah beras. Dalil kedua, Berapakah jumlah yang harus dibayarkan?. Imam Syafi’i mengatakan 1 sha’ gandum (Hijaz) yang kalau di konversi ke ukuran kati adalah 5,3 kati dan kurang lebih 2, 7 kg, Imam Abu Hanifah (Iraq) mengatakan 1 sha’ air (Irak) kalau dikonversi ke ukuran kati adalah 8 kati yang dikonversi kilogram adalah kurang lebih 3,8 kg. Namum demikian ketika Abu Yusuf, ke Madinah dan melihat fakta dilapangan dia berpendapat bawha 1 sha’ itu adalah 5 kati, Dalil yang lain bahwa masyarakat sudah lama mengamalkan pendapat ini.10 Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (Qat'iy) komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nass-nya dari Al Quran dan sunnah. Dalam masalah yang terjadi khilaffiyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih, setelah memperhatikan fiqih muqaran (pebandingan) denga menggunakan kaidahkaidah usul fiqih muqaran yang berhubungan dengan pen-tarjih-an. Setelah melakukan pembahasan secara mendalam dan komprehensif serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang, komisi mentapkan keputusan fatwa. Setiap Keputuasan Fatwa yang telah dihasilkan terlebih dahulu di -tanfiz-kan setelah ditandatangani oleh dewan pimpinan dalam bentuk surat keputusan fatwa atau yang disingkat (SKF). Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas,serta sumber pengambilannya. Keputusan hukum yang dilakukan oleh komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara ada yang dikatagorikan fatwa dan ada pendapat hukum. Hal ini dilakukan untuk lebih membatasi diri dalam mengeluarkan fatwa, bahwa tidak setiap persoalan yang diajukan oleh umum atau oleh pemerintah kepada MUI akan ditanggapi dalam bentuk fatwa. Beberapa pertanyaan hendaknya cukup dilayani dengan pendapat hukum atau semacam surat nasihat dan tidak denga fatwa yang lengkap. MUI Sumatera Utara memandang bahwa fatwa adalah sebagai pilihan terakhir, yang dikeluarkan jika memang dibutuhkan. Sedangkan nasihat atau pendapat hukum terkadang dianggap lebih sesuai dan lebih baik dalam menyelesaikan permasahan hukum di samaping lebih cepat dan sederhana. Berikut ini adalah beberapa fatwa dan pendapat hukum Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara yang peneliti kumpulkan dari tahun 2005 sampai 2009 1. Hibah Ibu kepada Salah Seorang Anaknya Dengan Satu Orang Saksi Wanita 2. Azan Shalat Sebelum Masuk Waktu 3. Hukum Mendirikan Bangunan (Kios, Toko, Swalayan dan Sejenisnya) di atas tanah wakaf yang ada bangunan mesjid 4. Apakah Harta Zakat yang sudah dizakati dikenakan Zakat kembali pada tahun berikutnya 5. Hukum Memberikan Zakat Mal dan Zakat Profesi Kepada Panitia 6. Pembelian Tanah Wakaf Kuburan Kaum Muslimin Komplek Perumahan Pemda Provinsi Sumatera Utara dan Bank Sumut 7. Hukum Melakukan Ruqyah untuk mengobati penyakit dan mengusir jin 10
Hasil Wawancara dengan Sekretaris Komisi Fatwa & anggota komisi fatwa
5
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Ajaran-jaran sesat dan menyimpang yang meresahkan masyarakat Hukum Khitan bagi perempuan Hukum Memalamkan Jenazah Keberadaan kenaziran mesjid al Amin Medan Ongkos Naik Haji dengan uang pinjaman Dari Bank Konvensional Arah Kiblat Mesjid Al-Mukhlisin Permohonan Pembagian Harta Warisan Pencurian Aliran Listrik Menurut Hukum Islam Hukum Mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (qimah) dan jumlahnya Hukum Pengelolaan Lubuk Larangan Pendirian Beberapa Masjid di Satu Kampung/Desa Hukum Mengeluarkan Zakat Pertanian Padi yang Pembiayaannya Lebih Besar dari Penghasilannya 20. Hukum Membayar Fidyah Shalat 21. Shalat di masjid yang disekitarnya ada kuburan 22. Bolehkan masjid dijadikan tempat kampanye Caleg (Pendapat Hukum) 23. Bolehkah masjid dijadikan tempat jual beli”? (pendapat hukum) 24. Apakah seorang muazzin boleh langsung menjadi imam” (pendapat hukum) 25. Apakah boleh seseorang yang dibenci masyarakat menjadi imam”.? 26. Hukum Membayar Fidyah Sholat (pendapat hukum) 27. Penjelasan Tentang Tulisan Nama Mesjid (pendapat hukum) Sebahagian besar fatwa MUI SU mengenai soal-soal ibadah yang berkenaan dengan shalat, zakat, sarana ibadah, wakaf atau sekitar ibadah lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam merumuskan fatwa Meskipun pada dasarnya hampir semua putusan fatwa MUI adalah permintaan atau pertanyaan masyarakat akan tetapi fatwa-fatwa tersebut terkadang juga terkait dengan faktor yang bersifat politik. Beberapa fatwa kelihatannya tidak hanya terikat pada satu faktor saja, tetapi terkait dengan beberapa faktor, sehingga sulit untuk menentukan faktor mana yang paling dominan. Faktor pertama yang mempengaruhi sebuah fatwa adalah berkaitan dengan kecendrungan untuk membantu kebijakan pemerintah, misalnya “fatwa haramnya mencuri aliran listrik”. Mengingat permasalahan listrik merupakan permasalahan strategis, yang pada akhir-akhir ini sering mendapat sorortan, ditambah lagi sudah semakin maraknya pencurian listrik yang terjadi di Sumatera Utara, Fatwa tentang haramnya mencuri listrik diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menghadapi permasalahan pencurian listrik. Namun demikian keinginan untuk mendukung kebijakan pemerintah itu tidaklah berarti bahwa fatwa tersebut tidak berdasarkan keagamaan. Faktor kedua, adalah faktor yang biasanya paling dominan, yaitu dalam merumuskan fatwa hendaklah hasil dari fatwa tersebut tidak meresahkan masyarakat, tepatnya jika sudah ada pendapat dikalangan masyarakat tetang sesuatu hal, yang pada hakikatnya tidaklah dilarang, maka pendapat ulama-ulama terdahulu dan masyarakat muslim lebih diutamakan. Misalnya tentang hukum membayar zakat dengan qimah dan jumlahnya. Di Sumatera Utara khususnya di Medan selalu membayar zakat fitrah jika dengan beras 2,7 mengikuti pendapat Syafi’i dan uang sebanyak (senisbah) dengan beras 2,7 kg. Antara lain pendapat Al Ustaz Arsyad Thaib Lubis. Faktor Ketiga; menjaga agama Islam dari penistaan. Hal ini terlihat bahwa telah dikeluarkannya fatwa tentang ajaran-ajaran dan menyimpang yang meresahkan masyarakat. Bahwa akhir-akhir ini banyak ajaran-ajaran yang terjadi dan berkembang ditengah-tengah 6
masyarakat muslim di berbagai tempat di wilayah Sumatera Utara yang meresahkan umat Islam tidak hanya yang menyangkut masalah furu’, tetapi juga masalah aqidah. Kondisi yang demikian itu, tidak dapat diabaikan dan dibiarkan belanjut begitu saja karena dapat mengakibatkan fatal bagi kehidupan intern umat beragama khususnya umat Islam. Aliran-aliran sesat ini terkadang tidak hanya diputus di MUI Sumatera Utara, akan tetapi juga difatwakan di beberapa kabupaten kota, misalnya di fatwa Hasil Keputusan Fatwa MUI Kabupaten Langkat nomor: 01/KPTS/MUI-LKT/II/2007 tanggal 06 Safar 1428 H, bertepatan dengan tanggal 24 Pebruari 2007 M. Tentang sebuah aliran sesat di Langkat yang kemudian dikukuhkan dengan fatwa MUI Sumatera Utara. Di antara aliran-aliran sesat yang muncul di beberapa kabupaten kota provinsi Sumatera Utara adalah aliran sesat fardhu ain, Darul Hikmah di Langkat, Jubir Amir di Medan Labuhan, Soul Traning di Lubuk Pakam Deli Serdang, dan beberapa aliran-aliran kecil lainya. Dari analisa penulis bahwa pada dasarnya aliran-aliran sesat itu dapat digolongkan kepada 3 golongan, pertama Syi’ah, Ahmadiyah, dan yang ketiga inkarus sunnah, golongan yang ketiga inilah yang banyak muncul di daerah Sumatera Utara. Inkarus sunnah yang sering terjadi adalah pengakuan sesorang menjadi nabi, dan atau pengakuan menerima wahyu. Meski mereka tidak menyebutnya sebagai golongan inkarus sunnah, akan tetapi penulis cendrung mengelompokkan mereka kepada inkarus sunnah, disebabkan dalildalil yang mereka gunakan adalah dengan memutar balikkan pemahaman nash al Qur’an dan sama sekali tidak melihat kepada perkatan dan perbuatan nabi Muhammad Saw. Literatur Perumuskan fatwa Oleh karena masyarakat Indonesia mayoritas bermazhab Syafi’i maka gambaran utama fatwa masih dikuasai oleh pandangan Syafi’i akan tetapi perlu dicatat bahwa ada beberapa fatwa yang menyimpang dari mazhab Syafi’i, bahkan empat mazhab Sunni. Beberapa naskah Syaf’i tertentu seperti Syarh Muhazzab dari an Nawawi dan Fath Wahhab dair al Ansari mendapat prioritas lebih dari lainnya, kemudian Tuhfat al muhtaj karangan Ibn Hajar al Haitami dan I’anatu Thalibin. Adapun karya Imam Syafi’i sendiri seperti al Umm jarang dipergunakan. Meskipun karya-karya keempat mazhab sunni tidak disebutkan dalam beberapa fatwa tidak disebutkan judulnya, akan tetapi buku tersebut tidaklah sulit untuk dilacak. Yang menarik dalam beberapa kasus terkadang ada fatwa yang tidak mengikuti pandangan naskah-naskah fiqh aliran Syafi’i atau mazhab lainnya, tapi justru mengambil pandangan Ibn Hazm. Misalnya fatwa tentang shalat Jum’at bagi orang yang berpergian. Meski tidak secara tegas menyatakan dan memperlihatkan kutipan dari karya Ibn Hazm, namun sangat jelas bahwa fatwa itu bersumber pada karya tertentu Ibn Hazm, yaitu al Muhalla. Hampir semua dalil Ibn Hazm dalam al Muhalla menggunakan zahir (pernyataan jelas) dari al Quran. Penggunaan qiyas dalam perumusan fatwa sudah merupakan metodogi yang dipakai dalam istimbat hukum. Akan tetapi penerimaan pandangan Ibn Hazm, atau mazhab Zahiri tentunya merupakan suatu hal yang berkembang dan menunjukkan adanya dinamika dalam pemikiran hukum Islam. Dahulu cara berfikir dengan menerima dua pandangan mazhab yang berbeda di antara empat mazhab sunni atau yang dikenal dengan istilah talfik tidak diperbolehkan, terlebih tentunya pandangan-pandangan Ibn Hazm yang notabene adalah diluar mazhab sunni.
7
Penutup Kesimpulan 1. Bahwa dalam hubungan perumusan fatwa secara metodologi fatwa –fatwa itu tidak mengikuti suatu pola tertentu. Beberapa fatwa berawal dengan dalil al Qur’an dan merujuk kepada hadis-hadis Rasulullah serta merujuk kepada kitab-kitab fiqh klasik. Fatwa lainnya langsung meneliti naskah-naskah fiqh yang ada dan menganalogikan tentang masalah tanpa mempelajari terlebih dahulu ayat-ayat dan hadis-hadis yang bersangkutan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa MUI-SU tidak mempunyai metodologi yang dipakai. Secara teori MUI percaya bahwa suatu fatwa hanya dikeluarkan sesudah MUI secara mendalam mempelajadri keempat sumber hukum Islam. Sumber-sumber itu adalah: alQuran, hadis, ijma, dan qiyas, demikian urutannya menurut mazhab Syafi’i, namum demikian dalam praktiknya, prosedur metodologis semacam ini tidak selalu dipergunakan. 2. Faktor faktor yang mempengaruhi munculnya fatwa adalah pertanyaan masyarakat yang bertujuan untuk menentramkan gejolak yang terjadi dimasyarakat, fatwa tentang hukum membayar zakat dengan uang dan berapa jumlahnya. Meskipun pada dasarnya hampir semua putusan fatwa MUI adalah permintaan atau pertanyaan masyarakat akan tetapi fatwa-fatwa tersebut terkadang juga terkait dengan faktor yang bersifat politik. Beberapa fatwa kelihatannya tidak hanya terikat pada satu faktor saja, tetapi terkait dengan beberapa faktor, sehingga sulit untuk menentukan faktor mana yang paling dominan. 3. Gambaran utama fatwa masih dikuasai oleh pandangan Syafi’i akan tetapi perlu dicatat bahwa ada beberapa fatwa yang menyimpang dari mazhab Syafi’i, bahkan empat mazhab Sunni. Beberapa naskah Syaf’i tertentu seperti Syarh Muhazzab dari an Nawawi dan Fath Wahhab dair al Ansari mendapat prioritas lebih dari lainnya, kemudian Tuhfat al muhtaj karangan Ibn Hajar al Haitami dan I’anatu Thalibin. Adapun karya Imam Syafi’i sendiri seperti al Umm jarang dipergunakan. Rekomendasi 1. Kepada Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara agar dapat lebih bekerjasama dengan pemerintah dalam mengeksekusi fatwa-fatwa yang dikeluarkan sehingga memiliki kekuatan dan mendatangan kemaslahatan ummat khusunya umat Islam 2. Kepada Pemerintah agar cepat menanggapi fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia, baik melalui pengukuhan perundang-undangan, maupun menjadikan fatwa MUI sebagai acuan dalam mengambil keputusan hukum. 3. Kepada orang awam atau orang yang tidak mengerti tentang hukum Islam diharapan tidak mengomentari isi fatwa, hal ini akan menjadikan permasalahan semakin rumit. Penulis: Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, sedang menyelesaikan S.3 pada Program Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara.
8
Pustaka Acuan Ali, Muhammad Daud, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Yayasan Risalam, 1984 Arnold, Thomas, Sejarah Dakwah Islam, Terj. Nawawi Rambe, Jakarta: Widjaja, 1985 Aulawi, Wasit, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam Amrullah Ahmad, et al. (Peny), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: PP IKAHA, 1994 Al Turabi, Hasan, Pembaharuan Ushul Fiqh, Terjemahan Afif Muhammad, Bandung: Pustaka, 1986 Azra, Azzumardy, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII, Bandung: Mizan, 1994 A. Hasyimi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: PT Al Maa’rif, 1993 Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Alih Bahasa Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: PT Intermasa, 1980 Gibb, H.A.R., Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, Terj Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1991 G.F. Fijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1945, terj. Tudjimah dan Yessy Augusdin, Jakarta: UI Press, 1984 Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1981 Ibrahim, Ahmad, et al. (Ed), Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989 Rickles, MC., Sejarah Indonesia Medern, terj. Dhamono Hardjowidjono, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993 R. Supomo-R. Djokosutomo, Sejarah Politik Hukum Adat, Jilid I, Jakarta: Djambatan, 1955 Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990 Soebardi dan Harsojo, Pengantar Sejarah Dan Ajaran Islam, Bandung: Bina Cipta, 1986 Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984 Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1998 Thalib, Sajuti , Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat dan Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasiona, Bandung: Binacipta, 1987 Tresna, R, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978 Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktik. Sinar Grafika, Jakarta, 1996 Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1973 Zuhri, Syaifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung: PT. Al Maa’rif, 1980
9