FATWA-FATWA KEAGAMAAN PENYEBAB KONFLIK (Analisis Isi Brosur Ahad Pagi MTA Surakarta) Samidi Khalim Balai Litbang Agama Semarang Email:
[email protected] Abstrak: Majelis Tafsir Al-Qur'an (MTA) adalah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. Paham keagamaan yang diusung oleh MTA adalah gerakan purifikasi, kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Terdapat beberapa kitab hadis yang dijadikan rujukan untuk fatwa-fatwa keagamaan MTA, diantara kitab-kitab tersebut adalah: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, al-Musnad, Sunan Abi Dawud, al-
Mu’jam al-Kabir, Sunan al-Tirmidzi, al-Mustadrak, al-Muwatta, Sunan al-Nasa’i, Riyad al-Salihin, Nail al-Autar dan Kanz al-‘Ummal. Bidang ilmu kalam atau tauhid yang dijadikan rujukan oleh MTA ada dua kitab, yaitu: Madarij al-Salikin ditulis oleh Ibn alQayyim al-Jauziyah (murid Ibn Taimiyah) dan al-Firqah al-Nājiyah yang ditulis oleh Muhammad bin Jamil Zainu. Sedangkan dalam bidang sejarah Islam, kitab-kitab yang digunakan oleh MTA ada tiga, yaitu: Al-Sirat al-Halabiyyah oleh ‘Ali bin Ibrahim alHalabi, Al-Sīrat al-Nabawiyah oleh Ibn Hisyām, dan Nūr al-Yaqīn oleh Muhammad alKhudarī Bik. Pimpinan MTA berperan sebagai pihak yang mengarahkan anggotanya untuk memahami agama dalam versi MTA. Paham keagamaan yang selanjutnya adalah penolakan terhadap praktik Islam yang bercampur dengan unsur budaya lokal. MTA menolak segala praktik ibadah yang bercampur dengan budaya lokal seperti yasinan, tahlilan, manaqiban dan selamatan. Tradisi ruwatan yang dilaksanakan untuk keselamatan seseorang, tradisi bersih desa untuk keselamatan masyarakat, tradisi labuhan, salat tarawih 20 rakaat, selamatan orang meninggal (7 hari, 40 hari dan 100 hari), azan dua kali dalam shalat Jumat, tradisi haul, peringatan hari besar Islam, talqin, tahlilan, yasinan, manaqib, ziarah kubur, sekaten, doa bersama setelah sholat, shalawatan dan membaca Barzanji dianggap bid’ah dan khurafat. Ajaran-ajaran tersebut menurut MTA tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah saw, sehingga dianggap bid’ah dan sesat. Umat islam dalam menjalankan amal ibadah harus mengikuti al-Qur’an dan meneladani Rasulullah. Paham keagamaan yang dikembangkan oleh MTA ini memiliki potensi konflik ditengah-tengah masyarakat sehingga sering kali mendapatkan penolakan di beberapa daerah. Konflik itu terutama yang berkaitan dengan persoalan pensikapan MTA terhadap perilaku masyarakat yang dipandang sebagai perbuatan bid’ah dan khurafat, bahkan kadang-kadang dinilai sebagai perbuatan syirik. Dengan demikian, segala praktek keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat atau umat Islam di luar MTA dipandang sesat, karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah (laisa min al-Islam). Kata Kunci: fatwa keagamaan, tauhid syirik, bid’ah, khurafat, konflik
PENDAHULUAN Umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an dan Hadis menjadi sumber utama ajarannya, sebagai tuntunan perilaku dan praktek peribadatannya. Namun pada tataran praktis sosiologis praktek keagamaan tersebut telah melahirkan berbagai aliran. Munculnya berbagai varian Islam yang masing-masing memiliki paradigma yang saling berbeda tidak lepas dari cara mereka melakukan interpretasi dan spirit perjuangan mendakwahkannya. Perbedaan persepsi dan interpretasi terhadap doktrin ajaran agama 179
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 179-194
yang disebabkan perbedaan pendapat latar belakang praktis sosiologis. Walaupun semuanya mengatasnamakan Islam dan berdasarkan pada Al-Quran dan Hadis, tetapi dalam praktiknya memunculkan corak gerakan dan paradigma yang berbeda. Warna Islam yang tampil ke permukaan seringkali terkait dengan cara organisasi dan gerakan Islam dalam memanifestasikan ajaran agamanya. Munculnya berbagai paham dan gerakan keagamaan tidak hanya terjadi pada skala nasional saja, tetapi juga pada gerakan keagamaan di tingkat lokal. Di tingkat lokal ini masing-masing gerakan memiliki varian ideologi yang beragam. Jika diklasifikasikan menurut garis ideologinya, gerakan keagamaan di tingkat lokal ini terdapat tiga arus besar, yaitu gerakan lokal, gerakan nasional, dan gerakan trans-nasional.1
Arus pertama merupakan gerakan lokal yang independent di mana gerakan ini tidak memiliki patron organisasi dalam lingkup nasional. Gerakan semacam ini pada umumnya mengembangkan ideologinya sendiri di tingkat lokal. Sebagai organisasi yang memiliki cakupan relatif kecil, gerakan ini memiliki mobilitas tinggi disertai dengan kader yang militan. Beberapa organisasi yang memiliki karakter seperti ini antara lain Majelis Tafsir Al-Qur'an (MTA) Surakarta, Ansarut Tauhid, Laskar Bismillah, Laskar Hizbullah dan Al-Madinah, KPPSI Makasar, Yayasan Taukhid Indonesia (YATAIN) Surakarta. Arus kedua merupakan gerakan yang memiliki patron dengan gerakan nasional sebelumnya. Garis ideologi yang dikembangkan gerakan ini sejalan dengan ideologi induk mereka, seperti Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, Ahmadiyah dan gerakan-gerakan charity seperti rumah zakat. Arus Ketiga, gerakan trans-nasional, yaitu gerakan yang memiliki patron pada level internasional. Gerakan ini sering menarik isu-isu internasional pada level nasional maupun lokal. Misalnya isu khilāfah Islamiyah sebagai alternatif pemerintahan yang dianggap lebih Islami, daripada sistem demokrasi yang berasal dari Barat. Demikian juga pola pengelolaan organisasi mereka mengidentikan dengan organisasi induk mereka, misalnya Hizb Tahrir Indonesia (HTI), Ihwanul Muslimin, dan Gerakan Ahmadiyah.2 Kota Surakarta memiliki keunikan dalam sosial budaya, ekspresi keagamaan masyarakatnya, dan memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Berdasarkan data sensus penduduk pada tahun 2010, Surakarta yang hanya seluas 44 km2 dihuni oleh 503.421 jiwa. Dengan demikian kepadatan penduduk Surakarta mencapai 13.636 jiwa/km2 .3 Kota Surakarta juga sebagai pusat kebudayaan dan tradisi Jawa yang dihuni oleh berbagai etnis, seperti Jawa (baik orang Sala asli maupun pendatang), etnis Tionghoa (Cina), Minang, Sunda, Arab, dan lain-lain. Selain itu kota Surakarta juga merupakan ladang subur bagi tumbuh dan berkembangnya paham-paham keagamaan Muslich Shabir. 2011. Karakteristik Referensi Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Surakarta Untuk Mendukung Paham Keagamaannya. Semarang: Balai Litbang Agama Semarang, hlm.13 2 M. Zaki Mubarak. 2007. Geneologi Islam Radikal Di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokras. Jakarta: LP3ES, hlm.51-52. 3 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed). 2012. Dari Radikalisme Menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, hlm. 44 1
180
Fatwa-Fatwa Keagamaan (Samidi Khalim)
radikal (khususnya Islam). Radikalisme Islam di Surakarta secara simultan membentuk hubungan sosial sejak jatuhnya rezim orde baru sampai tahun 2012 ini. Pusat perhatian media internasional mengarah ke Surakarta setelah terjadi bom Bali pada 12 Oktober 2001, karena ditemukannya pelaku pengeboman adalah orang-orang yang terkait dengan Jamaah Islamiyah (JI) yang berpusat Surakarta. Para pelaku pengeboman (teroris) diduga kuat memiliki keterkaitan langsung dengan pengasuh pondok pesantren Al Mukmin Ngruki, yaitu Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, imam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan juga Jamaah Anshorut Tauhid (JAT).4 Salah satu gerakan lokal di Surakarta yang perkembanganya sangat pesat adalah Yayasan Majelis Tafsir Al-Qur'an (MTA). MTA merupakan sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta yang didirikan oleh Abdullah Thufail Saputra pada tangal 19 September 1972 dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian alQur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.5 (). Abdullah Thufail melihat dakwah Islam harus terlembagakan agar perjuangan Islam lebih mudah terorganisir dan terarah. Untuk itu ia membentuk Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) sebagai sarana menjalankan dan mengembangkan ide-ide pembaruannya dengan cara evolusioner.6 MTA kemudian berkembang menjadi organisasi besar di Solo, dengan berpuluh cabang di Indonesia. Abdullah Thufail meninggal dunia pada tanggal 15 September 1992, kemudian Ahmad Sukino ditetapkan sebagai penggantinya, sebagai Ketua Umum MTA sampai sekarang. Pada masa Ahmad Sukino inilah MTA mengalami kemajuan yang cukup pesat, bahkan merupakan gerakan keagamaan yang cukup fenomenal. Perkembangan MTA tersebar di berbagai daerah di sekitar Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Madiun, bahkan luar Jawa. Sampai tahun 2011, MTA telah memiliki 46 perwakilan di berbagai ibukota propinsi dan kabupaten, bahkan meskipun belum resmi, MTA telah memiliki beberapa perwakilan di luar negeri seperti: Jepang, Korea, Hongkong, Malaysia, Suriname, Inggris dan Amerika. Hal itu didasarkan pada informasi yang diterima melalui Radio MTA. Di samping itu, saat ini MTA juga telah memiliki daya dukung kelembagaan yang cukup kuat seperti keberadaan kantor kesekretariatan yang representatif (gedung berlantai 4), rumah sakit, sekolah, berbagai unit usaha, jaringan yang kuat dan media propaganda yang masif seperti TV MTA, Radio MTA, website, buletin dan pengajian yang diadakan secara rutin.7 Kemunculan Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa ada amaliah yang dikerjakan umat Islam telah jauh dari tuntunan Islam yang benar. 4
Ibid, hlm. 46 www.mta online.com/profile 6 Ismail Yahya, dkk,. 2010. Kembali Kepada Al-Qur’an Dan Sunnah: Pemikiran Dan Warisan Gerakan Pembaruan Islam Tiga Abdullah Dari Surakarta. Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, hlm.133. 7 Muslich Shabir, 2011, Karakteristik Referensi Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Surakarta Untuk Mendukung Paham Keagamaannya. Semarang: Balai Litbang Agama Semarang, hlm.4. 5
181
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 179-194
Jauhnya umat Islam dari pedoman utamanya (Al-Qur’an) itulah yang menyebabkan perepecahan. MTA melihat banyaknya praktek keagamaan umat Islam di Indonesia yang telah terkontaminasi oleh berbagai ajaran yang sesat dan bid’ah, telah tercampur antara ajaran Islam dan budaya lokal, sehingga harus dibersihkan. Oleh sebab itu MTA mengajak umat Islam untuk kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah yang benar, purifikasi. Cara-cara pemurnian yang dilakukan oleh MTA ini telah memberikan labeling atau cap sebagai gerakan keagamaan yang “Tuna Budaya”. MTA menolak semua praktik Islam yang bercampur dengan budaya lokal yang banyak berkembang di masyarakat, seperti tahlilan pada hari ketujuh, ke-40, ke-100 dan ke-1000 dari kematian seorang muslim. Perbuatan semacam itu termasuk bid’ah yang harus dijauhi, bahkan lebih jauh, Sukino menyatakan bahwa sembelihan binatang yang dipergunakan untuk kelengkapan acara semacam itu dinilai tidak halal untuk dimakan karena termasuk uhilla bihi lighairillāh meskipun ketika menyembelihnya membaca bismillah.8 Proses penyebaran ajaran keagamaan yang dikembangkan oleh MTA baik itu melalui ceramah umum melalui TV maupun radio, buku, pamphlet, bulletin, dan website tidak lepas dari berbagai referensi atau rujukan yang digunakannya. Ahmad Sukino selaku pimpinan pusat MTA adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan. Pendapat atau fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Ahmad Sukino yang dikembangkan melalui kajian tafsir Al-Qur’an telah banyak menghasilkan produkproduk hukum Islam yang diyakini dan diamalkan oleh jamaah atau pengikutnya. MTA sebagai sebuah gerakan yang mengusung paham purifikasi (pemurnian Islam), memiliki potensi menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat. Potensi konflik tersebut terkait dengan persoalan sikap yang dikembangkan oleh doktrin MTA terhadap pengikutnya untuk tidak bersikap toleran terhadap berbagai praktek keagamaan di masyarakat, dipandang banyak mengandung bid'ah dan khurafat. Beberapa komunitas keagamaan merasa bahwa MTA mudah menyalahkan cara beragama komunitas keagamaan yang lain. Komunitas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), kalangan tarekat dan Islam kejawen merupakan komunitas yang paling sering mendapat pelabelan bid'ah dari MTA. Dengan demikian tidaklah mengherankan bila di beberapa daerah kehadiran kelompok pengajian MTA mendapatkan reaksi dan penolakan oleh masyarakat setempat seperti yang terjadi Purworejo (1 April 2011), Kudus (28 Januari 2012), Madiun (3 Juni 2012), Blora (14 Juli 2012), dan daaerah-daerah lain. Para kyai, tokoh-tokoh agama dan umat Islam di berbagai daerah yang melakukan penolakan terhadap kehadiran MTA tersebut dikarenakan tidak sependapat dengan materi dan pola dakwah yang dilakukan MTA. Alasan penolakan terhadap MTA karena tidak menghormati perbedaan fiqhiyah, cenderung melecehkan ajaran kelompok lain, provokatif, menyebarkan kebencian dan permusuhan di kalangan umat Islam, sehingga mengganggu ketenteraman dan keharmonisan umat beragama di Indonesia. Ajaran MTA yang disampaikan melalui situs resmi MTA, bulletin, radio, maupun televisinya, 8
182
Ahmad Sukino. 2008. Brosus Ahad Pagi, Surakarta: Yayasan Majelis Tafsir Al-Qur’an, hlm. 39 dan 62-63
Fatwa-Fatwa Keagamaan (Samidi Khalim)
merupakan fatwa resmi keagamaan yang diyakini dan diikuti oleh pengikutnya. Fatwafatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Surakarta ini perlu dikaji lebih lanjut. Kajian ini berupaya untuk mencari jawaban tentang bagaimana fatwa-fatwa keagamaan MTA tersebut dan apa sumber atau rujukan yang digunakan. Berdasarkan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MTA yang seringkali membuat geram kelompok keagamaan lain, maka hal ini juga perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang potensi konflik yang mungkin terjadi. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini berlokasi di kota Surakarta sebagai pusat Majelis Tafsir al-Qur’an (MTA). Penelitian tentang fatwa-fatwa keagamaan Majelis Tafsir al-Qur’an (MTA) ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Artinya dalam penelitian ini peneliti akan mendeskripsikan secara menyeluruh, mendalam dan cermat tentang Majelis Tafsir AlQur'an (MTA) Surakarta. Metode kualitatif digunakan karena untuk mendapatkan data yang mendalam, yaitu suatu data yang mengandung makna.9 Dengan metode kualitatif deskriptif diharapkan dapat memahami makna, baik dari pemikiran maupun tindakan dari objek penelitian. Penelitian ini dari segi metode menggunakan sintesis antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan memanfaatkan buku-buku, hasil-hasil penelitian, jurnal, brosur, leaflet, buletin dan internet digunakan untuk menelaah hal-hal yang berkaitan dengan ide, pemikiran, dan paham keagamaan MTA. Selain itu kondisi kemasyarakatan dalam aspek sosial, budaya, politik dan bahkan ekonomi yang terjadi pada masa kehidupan mereka juga menjadi bahan kajian. Kajian kepustakaan ini kemudian diperkuat dengan wawancara dengan informaninforman kunci (key informants), orang-orang yang menjadi anggota atau simpatisan MTA. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga cara. Pertama, wawancara. Teknik wawancara yang dipergunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara tidak dilakukan dengan struktur yang ketat, tetapi pertanyaan yang diajukan terfokus pada sasaran sehingga informasi yang diterima akan semakin mendalam. Dengan wawancara seperti ini diharapkan akan mampu mengungkapkan data yang sifatnya informatif, seperti ide-ide, pandangan atau pendapat pribadi dan semacamnya. Kedua, observasi langsung, yaitu pengamatan langsung pada kegiatan pengajian yang diselenggarakan oleh MTA di Surakarta pada Ahad pagi. Observasi dilakukan dengan cara yang tidak formal, sehingga yang diamati bersikap wajar. Ketiga, mencatat dokumen dan arsip. Dalam proses pencatatan diusahakan mencatat berbagai hal yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian baik yang tersurat maupun yang tersirat. Ada beberapa alasan penting penggunaan dokumen dan 9
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, hlm. 3.
183
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 179-194
literatur dalam penelitian ini yaitu: (1) dapat digunakan sebagai sumber data penunjang dalam penelitian, (2) digunakan sebagai pertanyaan pancingan, baik dalam menyusun daftar pertanyaan atau dalam melakukan observasi, (3) digunakan sebagai suatu tambahan.10 Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konflik, sebagaimana yang menjadi fokus pembahasan. Teori konflik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang dikembangkan oleh Georg Simmel. Konsep “konflik” dalam konteks khazanah teori sosiologi modern disebut sebagai teori yang bersumber pada pemikiran Karl Marx, Frederich Engel, dan Georg Simmel. Inspirasi para sosiolog tersebut dapat dilihat pada pemikiran kuno tentang para penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya. Karl Marx dan Frederich Engel lebih menekankan pentingnya kondisi material yang melandasi konflik, terutama konflik kelas yang didasari oleh hubungan kepemilikan, sedangkan Georg Simmel (1858-1918) memusatkan perhatiannya untuk mempelajari bentuk dan konsekuensi konflik.11 Kemunculan teori konflik dalam wacana sosiologi modern dianggap sebagai bantahan sekaligus jalan keluar bagi teori fungsionalisme struktural. Meskipun tak dapat dipungkiri, pengaruh fungsionalisme struktural ini lebih dahulu dan mengakar kuat dalam wacana teori-teori sosiologi modern. Hal ini tidak lepas dari perjalanan sejarahnya sebagai peletak dasar konsep “fungsi-fungsi struktur sosial”. Tokoh lain dalam teori konflik adalah Ralf Dahrendorf dan Lewis A. Coser, dua sosiolog asal Jerman yang fokus perhatian utamanya pada konflik sosial. Keduanya sama-sama meyakini bahwa dalam struktur sosial tidak bisa diabaikan adanya konflik. Dahrendorf mengatakan “kita tidak mungkin memikirkan masyarakat, kalau kita tidak menyadari dialektika stabilitas dan perubahan, integrasi dan konflik, fungsi dan daya motivasi, konsensus dan paksaan”. Pemikiran Dahrendorf ini yang membuat dia dikenal sebagai pencetus teori konflik dialektik. Berbeda dengan Lewis A. Coser yang menyatakan bahwa “konflik merupakan unsur interaksi yang penting, dan tidak boleh dikatakan bahwa konflik selalu tidak baik, merusak atau memecah belah. Konflik justru dapat menyumbang banyak pada kelestarian kelompok masyarakat dan mempererat hubungan antar anggotanya. Pendapat Lewis A. Coser ini yang kemudian menempatkan namanya sebagai pencetus teori konflik fungsional.12 FATWA-FATWA KEAGAMAAN MTA PENYEBAB KONFLIK Agama bukan benda mati, statis dan rigid. Agama memberikan ruang terbuka bagi pengikutnya untuk mengekspresikan diri dalam memaknai berbagai ajarannya, sesuai dengan perkembangan dunia. Agama dan pemeluknya ibarat dua sisi mata uang yang tak 10
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, hlm. 4-5. Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, terj. Haris Munandar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm.156 12 K.J. Veeger, 1993, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.212 11
184
Fatwa-Fatwa Keagamaan (Samidi Khalim)
dapat dipisahkan. Penyesuaian tingkah laku seorang pemeluk agama Islam harus selalu diselaraskan dengan kitab sucinya, demikian yang ditekankan oleh Majelis Tafsir alQur’an (MTA). Gerakan kembali pada pemahaman dan pengamalan al-Qur’an yang benar merupakan ruh perjuangan MTA, tetapi gerakan atau ajaran yang disampaikannya seringkali bersebrangan atau bahkan berlawan dengan ormas Islam yang lainnya. Kehadiran jamaah MTA di beberapa daerah pernah ditolak, seperti Purworejo, Kudus, Jepara, dan daerah-daerah lain, sehingga pengajian yang akan digelar oleh MTA akhirnya dihentikan oleh aparat setempat. Konflik internal umat beragama (Islam) ini tidak lepas dari truth claim (klaim kebenaran) masing-masing kelompok keagamaan. Persepsi antara seseorang atau kelompok yang satu dengan yang lainnya, meskipun menyatakan diri seagama, mungkin akan berbeda. Konflik yang disebabkan karena truth claim ini dapat berarti adanya penguasa (mayoritas) yang mempertahankan kekuasaannya. Hal ini sebagaimana teori konflik yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Frederich Engel.13 Fatwa-fatwa keagamaan Majelis Tafsir al-Qur’an Surakarta seringkali menimbulkan konflik, ditentang oleh kelompok-kelompok keagamaan mayoritas (mainstream). Meskipun demikian, konflik yang disebabkan oleh cara dakwah MTA Surakarta ini tidak boleh dikatakan tidak baik, merusak atau memecah belah. Justru konflik yang disebabkan oleh cara dakwah MTA tersebut menyebabkan kelestarian kelompok mayoritas di masyarakat dan mempererat hubungan antar anggotanya. Dalam hal ini adalah organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), dengan kemunculan MTA semakin meningkatkan pemahaman, praktik keagamaan, dan gerakan dakwahnya. Semangat persatuan dan kerukunan antar anggota atau warga NU juga semakin meningkat. Fatwa-fatwa keagamaan MTA yang berupa Brosur Ahad Pagi dibagikan kepada jamaah yang datang ke gedung MTA pusat yang berada di Jalan Serayu Nomor 12, Semanggi 06/15, Pasar Kliwon, Solo. Brosur tersebut menjadi bahan kajian atau pengajian yang di ajarkan langsung oleh Ustadz Ahmad Sukino dan disiarkan secara langsung melalui MT@TV dan Radio MTA. Fatwa keagamaan yang dipublikasikan lewat brosur tersebut menggunakan bahasa Indonesia (termasuk untuk memberikan terjemahan alQur’an dan Hadits) yang kemudian menjadi pedoman dalam pengamalan agama jamaah MTA. Fatwa-fatwa keagamaan MTA yang di publish secara terbuka tersebut mengundang reaksi keras kelompok keagamaan lain yang tersinggung dengan metode dakwahnya. Fatwa-fatwa keagamaan Majelis Tafsir al-Qur’an (MTA) yang dipublikasikan melalui Brosur Ahad Pagi (BAP) membahas segala lini persoalan keagamaan. Sebagai sebuah lembaga dakwah, MTA melakukan gerakan untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan umatnya. MTA berupaya mengembalikan kehidupan masyarakat pada kehidupan yang Islami dengan jalan mengajak kembali masyarakat kepada al-Qur’an dan Sunnah dan meninggalkan segala praktik ibadah yang dipandang sebagai bid'ah
13
Adam Kuper & Jessica Kuper, 2000. Hlm.156.
185
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 179-194
(purifikasi). Dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah bagi MTA akan menyelamatkan kehidupan manusia dunia dan akhirat. Upaya-upaya MTA dalam mengembalikan masyarakat pada pemahaman al-Qur’an dan Sunnah tersebut seringkali berseberangan dengan kelompok keagamaan lain. Tidak hanya berseberangan, bahkan menyinggung keyakinan kelompok keagamaan lain. Praktek keagamaan kelompok lain dipandang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, banyak bercampur bid’ah dan khurafat. Fatwa-fatwa inilah yang diperjuangkan oleh MTA sebagai lembaga dakwah dan pendidikan. Berdasarkan BAP yang penulis kumpulkan, ada beberapa fatwa keagamaan MTA yang berpotensi menimbulkan konflik dengan kelompok keagamaan lain. Fatwa-fatwa tersebut membahas berbagai praktek keagamaan (amaliah) yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. 1.
Tauhid dan Syirik
Masalah akidah atau kepercayaan menjadi pokok bahasan utama dalam Brosur Ahad Pagi (BAP), yang mengambil tema “Islam Agama Tauhid”. Tema tersebut pada tahun 2009 dikaji selama 10 minggu atau 10 tatap muka. Pada tahun 2010 pembahasan tentang Islam Agama Tauhid dikaji ulang secara lebih mendalam, sejak awal Januari sampai awal bulan Agustus. Pokok bahasan tentang Islam Agama tauhid ditegaskan lagi pada pengajian tanggal 19 Desember 2010 (minggu ketiga). Berdasarkan Brosur Ahad Pagi yang dikaji secara berulang-ulang, MTA membahas tentang Syirik dan bahayanya. Larangan umat Islam untuk berbuat syirik di dasarkan pada firman Allah Swt yang artinya : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orangorang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,[QS. An-Nisaa' : 36] Pada ayat lain Allah Swt juga menjelaskan bahwa syirik adalah perbuatan yang sangat dilarang, karena termasuk dosa besar. Masih banyak ayat-ayat yang membahas perbuatan syirik yang dijadikan landasan oleh MTA dalam mendakwahkan tauhid. Meskipun demikian, dalam semua pembahasannya di dalam BAP hanya menyajikan ayat al Qur’an dan terjemahnya saja. Tidak ada satupun rujukan pendapat para mufasir atau sumber kitab tafsir yang digunakan. Semua penjelasan ayat berdasarkan pada apa yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Sukino dalam setiap pengajian. Sebagaimana dalam menjelaskan makna syirik sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [QS. AnNisa':48].
186
Fatwa-Fatwa Keagamaan (Samidi Khalim)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, umat Islam memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan saudara-saudaranya yang masih berkubang dosa. Ulama sebagai pewaris para nabi mengemban misi yang sama. “Islam sudah hadir di negeri ini ratusan tahun, akan tetapi misi kenabian itu belum berhasil dicapai, karena begitu kentalnya umat Islam bersinggungan dengan syirik. Padahal syirik itu termasuk dosa besar dan tidak diampuni, bahkan orang yang berbuat syirik itu menurut Allah telah sesat sejauh-jauhnya. Kenyataan ini masih banyak terjadi di sekeliling kita”, demikian papar Ustadz Ahmad Sukino. Peristiwa gerhana matahari atau bulan yang menjadi kepercayaan sebagian masyarakat Jawa juga tidak lepas dari pembicaraan MTA, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Sukino: “Dulu orang percaya bahwa gerhana bulan terjadi karena bulan dimakan Bethoro Kolo. Agar bulan keluar lagi dari perut Bethoro Kolo maka orang-orang dianjurkan untuk memukuli lesung, yang dianggap sebagai simbol perut Bethoro Kolo, sehingga dalam beberapa saat setelah lesung ditabuh bulan muncul kembali. Sekarang orang tahu bahwa gerhana bulan terjadi karena bulan tertutup oleh bayangan bumi yang disinari oleh matahari dari sisi yang berlawanan dari posisi bulan”. “Di sekitar kita terdapat banyak tradisi yang bernuansa syirik yang harus kita pelajari untuk dihindari. Tradisi ruwatan yang dilaksanakan untuk keselamatan seseorang, tradisi bersih desa untuk keselamatan masyarakat, tradisi labuhan dengan melarung berbagai macam ubo rampe ke laut untuk keselamatan nelayan, dan tradisi pasang sesaji untuk Mbok Sri saat memanen dan menanam padi telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat”. Banyak orang yang takut tidak selamat mengenakan baju hijau saat berkunjung ke pantai selatan, karena dianggap pantangan yang tidak disuka oleh Nyai Roro Kidul. Di sisi lain masyarakat juga masih takut tidak selamat bila melakukan pesta pernikahan di bulan Suro (Muharram). Mereka menganggap bulan Suro sebagai bulan yang keramat. Padahal keselamatan manusia itu tidak terletak pada tradisi atau keyakinan seperti itu, tapi berada di tangan Allah yang akan diberikan kepada orang yang taat menjalankan firman-Nya. “Saudaraku, demi keselamatan kehidupan dunia akhirat mari kita belajar AlQur’an dan As-Sunnah agar lebih faham makna tauhid untuk kita adopsi dalam kehidupan sehari-hari dan lebih faham makna syirik untuk kita hindari sejauh-jauhnya. Jangan sampai kehidupan kita berakhir di neraka gara-gara syirik, karena syirik akan menghapus seluruh amal shalih pelakunya”, demikian papar Ustadz Ahmad Sukino. Pemikiran Ahmad Sukino telah menjelma menjadi fatwa-fatwa keagamaan MTA dalam membangun akidah atau kepercayaan jamaahnya yang sekaligus meneguhkan ideologinya. Dalam perspektif konflik sosial, pemikiran tersebut dengan sadar akan mendapatkan reaksi dari masyarakat di sekitarnya. Wacana tersebut berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat Surakarta dan sekitarnya yang masih kental dengan
187
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 179-194
berbagai macam adat dan budaya yang di pandang bid’ah atau penuh kemusyrikan. Wacana-wacana yang dilontarkan oleh MTA juga merupakan bagian dari upaya memikirkan masyarakat. Dengan menyadari dialektika stabilitas dan perubahan, integrasi dan konflik, fungsi dan daya motivasi, konsensus dan paksaan, maka dimunculkanlah wacana-wacana tersebut. Dalam konteks masyarakat Surakarta yang menjadi pusat kebudayaan Jawa, wacana syirik dan bid’ah yang dikumandangkan oleh MTA adalah reaksi terhadap berbagai praktik adat dan kebudayaan yang ada. Sesuai dengan teori wacana Fairclough, wacana syirik dan bid’ah mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik sosial untuk meng-counter berbagai adat dan budaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Praktik sosial budaya masyarakat Jawa dan khususnya Surakarta dipandang penuh dengan bid’ah dan kemusyrikan oleh MTA, sehingga perlu dilakukan perubahan. MTA berupaya memberikan pengertian tentang fungsi al-Qur’an dengan memotifasi para jamaah untuk meninggalkan berbagai praktik sosial yang penuh kemusyrikan tersebut. Dengan sadar pula usaha tersebut tidaklah mudah, karena akan menimbulkan konflik dengan masyarakat pendukung adat dan tradisi yang sudah mapan. 2.
Meneladani Rasulullah Saw
Nabi Muhammad Saw merupakan panutan yang harus diikuti oleh umat Islam. Namun beliau sudah meninggal 15 abad silam, sehingga sulit bagi umat Islam untuk mengetahui bagimana perilaku atau akhlak rsulullah. Hal yang bisa dijadikan rujukan terpercaya untuk mengetahui akhlak nabi adalah al-Qur’an dan Hadits. Oleh sebab itu MTA memberikan tekanan khusus dalam mengkaji sejarah dan perikehidupan nabi Muhammad Saw. Pada BAP tahun 2006 pembahasan tentang akhlak nabi dibahas selama 12 kali tatap muka (minggu) dengan judul “Rasulullah Saw Suri Teladan yang Baik”. Pembahasan sejarah kehidupan nabi dibahas sebanyak 11 kali, dengan judul Tarikh Nabi Muhammad Saw. Pada tahun 2007 kajian tentang “tarikh Nabi Muhammad Saw Rasulullah Saw Suri teladan yang baik” disajikan secara bersambung sampai 11 kali pertemuan. Pada tahun 2009, tarikh Nabi Muhammad Saw dan Rasulullah sebagai suri teladan yang baik (akhlaq) dikaji secara berkesinambungan selama 11 minggu. Pada tahun 2010 tarikh Nabi Muhammad Saw, Rasulullah sebagai suri teladan yang baik, dan Islam Agama Tauhid dikaji secara berurutan. Minggu pertama pembahasan tentang Rasulullah Saw suri teladan yang baik, kemudian minggu berikutnya tentang tarikh Nabi Muhammad Saw, dan berikutnya pembahasan tentang Islam Agama Tauhid. Kajian tentang ketiga tema tersebut dilakukan sejak awal Januari sampai awal bulan Agustus. Pada tahun 2011 tema Rasulullah Saw suri teladan yang baik dibahas selama 11 kali pertemuan. Berdasarkan kuantitas kajian tiap tahunnya, sejak tahun 2006 sampai tahun 2011, tampak bahwa MTA sangat menekankan arti pentingnya memahami sejarah dan meneladani akhlak nabi. Namun bagaimana meneladani akhlak nabi inilah yang justru
188
Fatwa-Fatwa Keagamaan (Samidi Khalim)
berpotensi menimbulkan konflik dengan kelompok keagamaan lain. Para jamaah atau pengikut MTA diminta untuk membuka hati, menerima dan mengikuti perintah dan larangan Allah (al-Qur’an) melalui keteladanan nabi Muhammad Saw (Hadits), serta mempraktikan apa yang telah dipelajari tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pada zaman sekarang ini banyak praktek keagamaan yang dilakukan umat Islam yang tidak berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, jamaah MTA dilarang ikutikutan saja (taklid) dalam mengamalkan ajaran agama. Ada beberapa praktek keagamaan yang dipandang MTA bid’ah dan khurafat. Oleh sebab itu perlu dilakukan pemurnian akidah bagi umat Islam, kembali pada pada alQur‟an dan sunnah. Dalam pandangan MTA, Allah adalah Dzat Yang Maha Mutlak. Eksistensi Allah tidak bisa digambarkan dan dipandang sama sebagaimana mahkluk. Dalam persoalan ini MTA menolak penggunaan takwil dalam memberikan gambaran mengenai Tuhan, sebab hal tersebut adalah sesat. Sehingga MTA menolak segala sifatsifat Allah yang dikonstruksi para teolog. Pencampuran antara al-Qur‟an dengan pemikiran manusia tersebut hanya akan menuntun umat Islam pada jalan yang sesat, jalan yang sebenarnya laisa min al Islam (jalan yang bukan berasal dari ajaran Islam). Sebagai konskekuensinya MTA menolak semua praktik Islam yang bercampur dengan budaya lokal yang banyak berkembang di masyarakat, terutama Surakarta. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka MTA sangat menentang adanya praktek keagamaan yang menggunakan al Asma al Husna. Seperti adanya berbagai kelompok pengajian yang menggunakan al-Asma al-Husna untuk mujahadah atau puji-pujian di masjid maupun musalla. Hal ini dikarenakan Rasulullah tidak pernah mempraktekkan amaliah tersebut. Tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa al-Asma al-Husna dijadikan amaliah untuk mujahadah atau puji-pujian. Tidak hanya itu, dalam meneladani Rasulullah umat Islam hendaknya juga meninggalkan berbagai praktik keagamaan yang yang tidak pernah dicontohkan oleh nabi. Ajaran tersebut seperti tarawih 20 rakaat, selamatan 7 hari, 40 hari dan 100 hari, azan dua kali dalam shalat Jumat, tradisi haul, peringatan hari besar Islam, talqin, tahlilan, yasinan, manaqib, ziarah kubur, sekaten, doa bersama setelah sholat, shalawatan dan membaca Barzanji. MTA mengatakan praktik tersebut tidak dikenal dalam Al Quran dan Hadis. Sebagaimana pendapat Ahmad Sukino yang mengatakan: “Sebaik baiknya perkataan adalah kitab Allah yaitu al-Qur‟an, dan sebaik baiknya petunjuk adalah petunjuk dari Rasulullah. Sejelek-jeleknya urusan atau perkara adalah perkara yang diada-adakan, yang pada zaman nabi dan zaman sahabat tidak pernah ada. Perkara yang diada-adakan dan semua yang diadakan itu adalah bid’ah. Semua bidah itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka. Maka dari itu dalam urusan ibadah kita jangan membuat aturan sendiri, terus banyangan pahalanya dibuat sendiri. Jika semua praktik keagamaan itu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah maka itu adalah termasuk "syarrul umuur" sejelek-jeleknya perkara. Ada yang bilang lha eleke apa maca fatihah. Moco tahlil? Afdhalu dzikri laa ilaah illa Allah, sebaik baiknya dzikir adalah la ilaaha 189
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 179-194
illaallah, jadi orang yang membaca dzikir paling afdhal akan mendapat pahala. Tetapi kalau la ilaaha illaallah dikaitkan dengan orang meninggal untuk 7 hari, 40 hari, 1000 hari dan lainnya hal itu nggak pernah ada tuntunannya pada masa Rasulullah tidak pernah terjadi seperti itu...14 Penjelasan di atas menunjukan bahwa keimanan yang benar menurut MTA adalah ibadah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat Nabi. Apapun bentuknya dan sebaik apapun ibadahnhya, jika hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan sahabat maka ibadah tersebut termasuk dalam kategori bidah. Menurut MTA, semua bid’ah adalah sesat yang tidak akan berfaedah, bahkan diancam masuk neraka. Seperti zikir la illaha illaallah merupakan zikir yang utama, namun jika hal tersebut dibaca dan dikaitkan pemberian ganjaran kepada orang yang sudah meninggal maka hal ini menjadi bid’ah yang dihukumi sesat. Pada pengajian ahad pagi tanggal 2 Maret 2009 dikemukakan tentang bidah. Ustad Ahmad Sukino mengatakan bahwa bid’ah adalah persoalan ibadah yang adanya baru setelah Nabi meninggal. Jadi tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Ia mengatakan : “hal yang paling buruk dalam beribadah adalah mengadakan sesuatu yang tidak ada pada masa Nabi dan sahabat. Apalagi tahlilan dengan mengirimkan ganjaran kepada Nabi. Padahal Nabi itu orang yang maksum dan tidak memiliki dosa. Kalau benar bahwa bisa dikirimkan mengapa tidak kamu pakai saja ganjarannya, padahal kamu masih banyak dosanya. Seseorang tidak akan memperoleh ganjaran kecuali apa yang sudah diupayakannya sendiri. Orang yang mati tidak akan pernah mendapatkan kiriman pahala dari yang masih hidup.15 Pendapat di atas oleh Ustadz Ahmad Sukino didasarkan pada hadist riwayat Nasai yang mengatakan bahwa : “sesungguhnya sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah, sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan sejelek-jelek perkara itu adalah yang diadadakan dan setiap yang diadakan itu bidah dan tiap tiap bidah adadalah sesat dan tiap sesat adalah neraka” ( HR. An-Nasai). Kokohnya memegang prinsip dalam kemurnian ajaran tersebut juga dikemukakan bahwa kalau tidak ada ajaran dalam al-Qur‟an dan Hadist baik itu dianjurkann oleh kyai, ulama, presiden sekalipun melakukan kalau tidak ada tuntunannya kami (MTA) tidak akan mnegikutinya. Lebih jauh ketika menjelaskan mengenai wiridan Ustaz Ahmad Sukino mengatakan bahwa wiridan itu laisa minal Islam. Ia mendasarkan pada Hadist nabi yang diriwayatkan oleh Tirmidzi yang berbunyi "saya pernah mendengar Rasulullah bersabda seutama utmanya zikir adalah laa illaha illaallah." Sehingga melafazkannya bisa dimana saja, dan sambil aktifitas apa saja. Dengan membiasakan demikian ketika meninggal dunia akan mudah melafazkan kalimat tersebut, tanpa harus di-talqin-kan. Ustadz Ahmad Sukino mengatakan :
14
Ahmad Sukino. 2008. Menggapai Kemuliaan Hidup (Tanya Jawab Ahad Pagi) Jilid I Surakarta: Penerbit MTA, cet. ke-1, hlm. 38 15 Brosur Ahad Pagi tanggal, 2 Maret 2010
190
Fatwa-Fatwa Keagamaan (Samidi Khalim)
“Tahlil untuk orang mati ganjarannya dikirim untuk orang mati tiap hari kematian 40 hari, 100 hari, 1000 hari kematian orang itu tidak ada dalilnya. Nabi, sahabat dan imam mazab yang terkenal itu juga tidak pernah melakukan hal tersebut. Maka kita tidak perlu melakukan hal tersebut, karena itu hal yang baru dan mengada-ada. Kalau ditanya apa ada tuntunanya dari Nabi, tidak, laisa minal Islam. Dicari dalilnya pasti tidak akan bertemu. Apalagi mengirim ganjaran. Saya tanyakan apa kamu sudah turah ganjaran? apa kamu sudah menghitung besok dihitung di hadapan Allah, ditimbang di antara ganjaran dan dosa? wis kakehan ganjaranmu to mulo sebagian dikirimke gitu? Dosamu wae isih okeh banget nek dihitung hitung, lah kok moco qul hu ping pitu yen ano ganjarane di kirimke wong liyo? Itu bukan dari Islam.16 Menurut penjelasan ustadz Ahmad Sukino, seseorang yang beribadah seharusnya memahami dengan benar apa dasar atau dalil yang dijadikan landasan dalam beribadah. Kalau tidak mengetahui dalilnya maka jangan pernah sekali kali melakukan ibadah tersebut. Sebab hal itu akan sia-sia. Maka ustaz Ahmad Sukino mengatakan dalam hal ibadah ojo takon larangan tetapi takonno tuntunane. Hal ini mendorong jamaah untuk lebih memahami ajaran agama Islam. Kalau tidak senang mengaji di MTA maka carilah tempat mengaji yang lainnya agar bisa lebih memahami al-Qur’an. Ustadz Ahmad Sukino menyatakan bahwa sebagai gerakan dakwah dan pendidikan, MTA tidak bermazab. Fiqh sebagai panduan praktis dalam beribadah dalam pandangan MTA sudah jadi satu dengan tuntunan yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah. Disinilah pimpinan MTA menjadi orang yang mengarahkan anggotanya untuk memahami agama dalam versi MTA. Bermazab adalah bentuk taqlid yang dilarang dalam ajaran MTA. Menurut salah seorang pengurus, MTA itu tidak menganut pada salah satu mazab yang ada, baik Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali dan madzab lainnya. MTA menghormati mereka dan mengambil ajaran mereka yang sesuai dengan al-Qur‟an dan Hadist dan meninggalkan yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan Hadist. Madzab yang dianut oleh MTA adalah Madzab al-Qur‟an dan Sunnah. Oleh sebab itu umat Islam jika ingin beragama yang benar dan lurus harus kembali pada mazab al-Qur‟an dan Sunnah. Dalam pernyataan tersebut terlihat sekali bahwa MTA hendak menegaskan ijtihadnya sendiri, yang tidak terikat dengan ijtihad para penganut sistem bermazab yang telah ada. Mazab yang dianut oleh MTA adalah al-Qur‟an dan Sunnah dalam versi pemahaman mereka. Oleh sebab itu apapun yang berkaitan dengan ibadah dan kehidupan sosial lainnya, warga MTA harus berpegang pada al-Qur‟an dan Hadist. Mereka harus hati-hati dengan mazab yang ada sebab hal tersebut dikawatirkan tidak sesuai dengan alQur‟an dan Hadist. Ustaz Ahmad Sukino mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah berwasiat kepada kita semua dua perkara jika dipegang akan tidak akan sesat, sebaliknya
16
Ahmad Sukino. 2008. Menggapai Kemuliaan Hidup (Tanya Jawab Ahad Pagi) Jilid I Surakarta: Penerbit MTA, cet. ke-1, hlm. 292
191
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 179-194
yang meninggalkan akan sesat sebagaimana dalam QS. Thoha; 123. Lebih lanjut ia mengatakan: “...Maka dengan kita mengadakan pengajian-pengajian bertadabur mempelajari alQur‟an dan Hadist Rasulullah, difahami dan diamalkan itu salah satu cara mengadakan perubahan kearah yang lebih baik. Karena manusia itu tidak bisa jadi baik tanpa alQur‟an, itu harus menjadi keyakinan setiap muslim. Kalau manusia bisa jadi baik tanpa al-Qur‟an maka Allah tidak akan menurunkan al-Qur‟an, tidak akan mengutus Nabi. Maka barang siapa yang berpaling dari al-Qur‟an pasti akan mengalami kesempitan hidup kesusahan dalam hidup. Maka kita fahami Islam dengan sebaiknya dan kita amalkan dalam kehidupan sehari hari”. MTA juga melakukan penolakan praktik Islam bercampur unsur budaya lokal. MTA menolak segala praktik ibadah yang bercampur dengan budaya lokal seperti yasinan, tahlilan, manaqiban, selamatan. Sebagaimana dikatakan Ahmad Sukino: “dalam Islam tidak diajarkan memperingati orang orang yang sudah meninggal, hari kematian tidak ada tuntunannya. Acara-acara tersebut adalah peninggalan dari orang Budha. Kalau saya sebagai orang Islam betul, itu bukan ajaran Islam. Nek kowe arap ngango ngganggowo yen aku ra tau nganggo (kalau kamu pingin menggunakan gunakanlah, tetapi kalau saya tidak). Memang itu bukan ajaran kami, Islam tidak mengajarkan seperti itu. Oleh sebab itu 7 hari dan seterusnya adalah laisa minal Islam, itu bukan ajaran Islam. Walaupun yang melakukan banyak orang Islam, tetapi tidak ditemukan dalil dalam Islam baik dalam al-Qur‟an maupun Hadist. Kalau itu baik pasti akan dijalankan Nabi. Para sahabat, tabiin termasuk imam empat yang terkenal itu semua tidak melakukan. Maka kalau zaman Rasulullah tidak mengadakan ibadah-ibadah itu, terus kita mengada-adakan yang zaman Nabi tidak ada, itu namanya bidah. Kata nabi bidah itu dhalalah dan dholalah itu fin naar. Malah bahaya kan? Kethoke entuk ganjaran ternyata ambil karcis neraka.17 Semua ajaran tersebut bertujuan untuk membangun masyarakat ideal berdasarkan pada tauhid yang lurus. Dengan tauhid yang lurus masyarakat akan dapat menjalankan agama dengan benar dan menghindari perbuatan yang mengandung nilai kesyirikan dan bidah. Oleh sebab itu MTA sangat mengunggulkan masyarakat pada masa Nabi. Setelah masyarakat secara akidahnya lurus dia akan mendapatkan hidayah untuk menjalankan kehidupan secara baik menurut ajaran Islam. Ia tidak lagi mengotori keimanannya dengan perbuatan yang dilarang oleh agama. Dengan pemahaman ini diharapkan masyarakat akan selalu menjalankan syariat Islam secara benar sebagaimana yang dituntunkan oleh al-Quran dan Hadits. Jadi pada dasarnya ajaran MTA memperjuangkan masyarakat ideal. Masyarakat yang dalam kehidupannya selalu dibimbing oleh pemahaman, penghayatan, dan pengamalan al-Qur'an secara benar.
17
Ahmad Sukino. 2008. Menggapai Kemuliaan Hidup (Tanya Jawab Ahad Pagi) Jilid I Surakarta: Penerbit MTA, cet. ke-1, hlm.223-224
192
Fatwa-Fatwa Keagamaan (Samidi Khalim)
Metode dakwah MTA yang mengusung ideologi purifikasi secara terbuka inilah yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Beberapa kelompok keagamaan merasa terganggu atau tersinggung dengan metode dakwah MTA tersebut. MTA dipandang mudah menyalahkan cara beragama komunitas keagamaan yang lain, seperti Nahdlatul Ulama (NU), kalangan tarekat dan Islam kejawen. Seperti beberapa daerah yang menjadi basis NU menolak kehadiran MTA yang menyelenggarakan pengajian. Kehadiran kelompok pengajian MTA menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat seperti yang terjadi di Purworejo (1 April 2011), Kudus (28 Januari 2012), Madiun (3 Juni 2012), dan Blora (14 Juli 2012). PENUTUP Majelis Tafsir Al-Qur'an (MTA) adalah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta yang didirikan oleh Abdullah Thufail Saputra pada tangal 19 September 1972. Paham keagamaan (ideologi) yang diusung oleh MTA adalah gerakan purifikasi, kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. MTA dalam memperjuangkan ideologinya menggunakan kitab-kitab yang dijadikan referensi untuk membangun paham keagamannya itu. Dalam Brosur Ahad Pagi (BAP) terdapat beberapa kitab hadis yang dijadikan rujukan untuk fatwa-fatwa keagamaan MTA. Diantara kitab-kitab tersebut adalah: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, al-Musnad, Sunan Abi Dawud, al-Mu’jam al-Kabir, Sunan al-Tirmidzi, al-Mustadrak, alMuwatta, Sunan al-Nasa’i, Riyad al-Salihin, Nail al-Autar dan Kanz al-‘Ummal. Bidang ilmu kalam atau tauhid yang dijadikan rujukan oleh MTA ada dua kitab, yaitu: Madarij al-Salikin ditulis oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (murid Ibn Taimiyah) dan al-Firqah alNājiyah yang ditulis oleh Muhammad bin Jamil Zainu. Sedangkan dalam bidang sejarah Islam, kitab-kitab yang digunakan oleh MTA ada tiga, yaitu: Al-Sirat al-Halabiyyah oleh ‘Ali bin Ibrahim al-Halabi, Al-Sīrat al-Nabawiyah oleh Ibn Hisyām, dan Nūr al-Yaqīn oleh Muhammad al-Khudarī Bik. Pimpinan MTA berperan sebagai pihak yang mengarahkan anggotanya untuk memahami agama dalam versi MTA. Paham keagamaan yang selanjutnya adalah penolakan terhadap praktik Islam yang bercampur dengan unsur budaya lokal. MTA menolak segala praktik ibadah yang bercampur dengan budaya lokal seperti yasinan, tahlilan, manaqiban dan selamatan. Tradisi ruwatan yang dilaksanakan untuk keselamatan seseorang, tradisi bersih desa untuk keselamatan masyarakat, tradisi labuhan, salat tarawih 20 rakaat, selamatan orang meninggal (7 hari, 40 hari dan 100 hari), azan dua kali dalam shalat Jumat, tradisi haul, peringatan hari besar Islam, talqin, tahlilan, yasinan, manaqib, ziarah kubur, sekaten, doa bersama setelah sholat, shalawatan dan membaca Barzanji dianggap bid’ah dan khurafat. Ajaran-ajaran tersebut menurut MTA tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah Saw, sehingga dianggap bid’ah dan sesat. Umat islam dalam menjalankan amal ibadah harus mengikuti al-Qur’an dan meneladani Rasulullah.
193
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 2, Juli 2016: 179-194
Paham keagamaan yang dikembangkan oleh MTA ini memiliki potensi konflik ditengah-tengah masyarakat sehingga sering kali mendapatkan penolakan di beberapa daerah. Konflik itu terutama yang berkaitan dengan persoalan pensikapan MTA terhadap perilaku masyarakat yang dipandang sebagai perbuatan bid’ah dan khurafat, bahkan kadang-kadang dinilai sebagai perbuatan syirik. Dengan demikian, segala praktek keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat atau umat Islam di luar MTA di pandang sesat, karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah (laisa min al- Islam). DAFTAR PUSTAKA Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, terj. Haris Munandar, Jakarta: Raja grafindo Persada. Ahmad Sukino. 2008. Menggapai Kemuliaan Hidup (Tanya Jawab Ahad Pagi) Jilid I Surakarta: Penerbit MTA. _____________. 2009. Brosur Ahad Pagi. Surakarta: Yayasan Majelis Tafsir al-Qur’an _____________. 2010. Brosur Ahad Pagi. Surakarta: Yayasan Majelis Tafsir al-Qur’an _____________. 2011. Brosur Ahad Pagi. Surakarta: Yayasan Majelis Tafsir al-Qur’an _____________. 2010. Menggapai Kemuliaan hidup. Surakarta: Yayasan Majelis Tafsir al-Qur’an Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed). 2012. Dari Radikalisme Menuju
Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, hlm. 44 Ismail Yahya, dkk,. 2010. Kembali Kepada Al-Qur’an Dan Sunnah: Pemikiran Dan Warisan Gerakan Pembaruan Islam Tiga Abdullah Dari Surakarta. Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, hlm.133. K.J. Veeger, 1993, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.212 M. Zaki Mubarak. 2007. Geneologi Islam Radikal Di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokras. Jakarta: LP3ES, hlm.51-52. Muslich Shabir, 2011, Karakteristik Referensi Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Surakarta Untuk Mendukung Paham Keagamaannya. Semarang: Balai Litbang Agama Semarang, hlm.4. Muslich Shabir. 2011. Karakteristik Referensi Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Surakarta Untuk Mendukung Paham Keagamaannya. Semarang: Balai Litbang Agama Semarang. Ratna, I Nyoman Kutha,. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta. Website: www.mta online.com/profile.
194