FASION KELAS EROPA, EKONOMI KELAS AFRIKA Dian Rohmawati1, Firman Maulana2, Hasna Rosyida Afnan3, Hinuda Wisna Arti4 1
Universitas Negeri Malang,
[email protected] 2 Universitas Negeri Malang,
[email protected] 3 Universitas Negeri Malang,
[email protected] 4 Universitas Negeri Malang,
[email protected]
ABSTRAK Pembuatan artikel ini bertujuan untuk menganalisis sikap konsumen terhadap produk fasion lokal dan impor yang akan berpengaruh terhadap keputusan konsumsi. Analisis dilakukan berdasarkan data-data yang akurat dan sumber yang terpercaya. Pada data yang tersedia terkesan dengan adanya perkembangan model fasion lokal saat ini membuat konsumen menengah kebawah tetap memilih mengunjungi outlet-outlet produk fasion lokal. Namun pada kenyataannya, pada konsumen tingkat menengah atas mereka cenderung lebih memilih untuk membeli produk fasion impor karena merasa produk fasion impor lebih berkualitas dan bergengsi, meskipun mereka sadar bahwa harga produk fasion lokal lebih terjangkau. Kata kunci: konsumsi, fasion, lokal, impor
LATAR BELAKANG Tak dapat di pungkiri, pada era 2000 an seperti saat ini fashion tak bisa kita anggap sebagai hal yang biasa. Pada decade ini fashion seolah hal yang teramat penting dari berbagai kalangan berbeda. Mulai dari kalangan bawah sampai kalangan elite. Kenapa fasion menjadi hal utama? Jelas gengsi yang diutamakan, meskipun kita memiliki pendaptan yang pas pasan namun jika penampilan fashion kita mendukung apa orang tidak melihat kita sebagai orang yang berkompeten?. Hal ini menuju pada pokok pembahasan kita, banyak orang yang sebenarnya memiliki pendapatan pas pasan namun memakasakan diri untuk membeli barang bermerk hanya untuk gengsi. Tidak hanya
kalangan muda, namun kalangan tua juga tak lepas dari gengsi yang sudah mendarah daging di negeri ini. Tak elak mesisihkan penghasilan mati matian hanya untuk membeli barang branded. Jadi seolah memuja barang branded bukan hal biasa sekarang. Pembelian barang branded tak lepas dari kita membayar sesuatu dalam jumlah besar, bahkan kadang kita sampai ekspor hanya untuk membeli barang fashion, sebuah kenyataan miris karena masih banyak kalangan yang membutuhkan uang kita untuk hal yang lebih bermanfaat. KAJIAN PUSTAKA Laju pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan cerminan kesejahteraan hidup di negara tersebut. Salah satu indikator dalam mengukur pertumbuhan
www.irdhresearch.com
perekonomian negara adalah dengan melihat angka Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dapat diartikan sebagai nilai barang-barang dan jasajasa yang diproduksi di dalam suatu negara dalam satu tahun tertentu (Sukirno, 2004). Beberapa tahun terakhir, nilai PDB Indonesia terus mengalami peningkatan.Di tahun 2011 dan 2012, PDB meningkat masing -masing sebesar 6.5 persen dan 6.23 persen. Di tahun 2013, PDB Indonesia juga menunjukkan peningkatan dari kuartal pertama sejumlah 671.408 juta Rupiah menjadi 688.917,5 juta Rupiah. PDB mengalami peningkatan sebesar 2,61 persen (BPS, 2014). Data BPS menunjukkan bahwa penggunaan PDB yang terbesar setiap tahunnya adalah untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Di Propinsi Jawa Timur, peningkatan konsumsi tertinggi terjadi pada komponen pakaian, sepatu, dan tas. Hal ini dapat dilihat dari nilai Indeks Tendensi Konsumen (ITK) komponen pakaian, sepatu, dan tas yang terbesar di antara komponen lainnya, termasuk komponen makanan jadi dan pendidikan (Kominfo, 2013). Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Atmadji (2004) mengemukakan bahwa penduduk Indonesia cenderung lebih suka mengkonsumsi produk impor dan menghindari pemakaian produk dalam negeri. Ini terjadi karena kebanyakan konsumen melakukan kegiatan konsumsinya demi penentuan identitas diri mereka. Mereka mengejar tren yang
sedang tumbuh di masyarakat, dan status diri tersebut hanya bisa ditemukan dengan mengonsumsi banyak produk yang dianggap bisa mengangkat derajat identitas dirinya (Gay etal., 1997). Survey yang dilakukan Soegiono (2012) menemukan bahwa ada dua macam konsumen fanatik. Konsumen golongan pertama cenderung memilih produk impor karena produk impor dianggap memiliki kualitas yang terjamin. Konsumen golongan kedua lebih fanatik dengan produk lokal karena mereka beranggapan bahwa produk lokal cenderung lebih murah, lebih mudah didapat, dan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sikap konsumen terhadap produk pakaian, sepatu, dan tas (selanjutnya disebut dengan produk fasion) lokal dan impor beserta dengan alasannya. Pihakpihak yang terkait dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk memperbaiki dan/atau mempertahankan kualitas produk dan mengembangkan industri fasion lokal Indonesia. Produk fasion yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi baju, celana, tas, dan sepatu. Hal tersebut dikarenakan data dari BPS menunjukkan bahwa barangbarang tersebut paling banyak dikonsumsi oleh rumah tangga. Selain itu, kebutuhan akan penggunaan barang-barang tersebut menjadi prioritas bagi masyarakat
www.irdhresearch.com
pada umumnya. Adapun produk fasion lokal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah seluruh produk fasion yang diproduksi di dalam negeri. Contoh merk produk fasion lokal adalah Dagadu, Damn I Love Indonesia, Joger, Bagteria, dan The Executive. Sedangkan produk fasion impor yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah seluruh produk fasion yang diproduksi di luar negeri dan dikirim ke Indonesia. Contoh merk produk fasion impor adalah Coconut Island, Guess, Zara, Manggo. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum, mayoritas masyarakat berpikir bahwa kualitas produk fasion lokal masih berada di bawah kualitas produk fasion impor. Namun mereka berpendapat bahwa harga produk fasion lokal lebih terjangkau dan lebih sesuai dengan budaya Indonesia dibanding dengan produk fasion impor. Dari segi gengsi, mayoritas responden menyatakan bahwa seseorang akan terlihat kurang bergengsi ketika menggunakan produk fasion lokal dibanding dengan produk fasion impor. Hasil tersebut tetap sama ketika analisis dipisahkan berdasarkan gender dan pendapatan individu masyarakat. Berdasarkan pendapatan setiap individu, membuktikan bahwa semakin besar pendapatan, semakin besar pula kecenderungan mereka untuk berpikir bahwa produk fasion impor lebih baik daripada produk fasion lokal.
Berdasarkan hasil analisis data lebih lanjut, diketahui bahwa gender tidak berpengaruh pada data keputusan konsumsi barang fasion lokal ataupun impor. Namun pendapatan berpengaruh pada perilaku masyarakat terhadap produk fasion lokal dan impor. Masyarakat yang memiliki pendapatan di bawah Rp 500.000,00 lebih sering membeli dan menggunakan produk fasion lokal dibandingkan dengan produk fasion impor. Masyarakat yang memiliki pendapatan di atas Rp 1.000.000,00 lebih banyak menggunakan produk fasion impor dan mayoritas tidak menyarankan kerabatnya untuk menggunakan produk fasion lokal. Pada saat pendapatan yang dimiliki masyarakat sedikit, konsumsi yang dapat dilakukannya juga relatif terbatas. Pada saat itu, produk fasion impor akan menjadi luxury goods yang tidak terjangkau sehingga mereka akan merasa cukup puas, bangga, dan nyaman dengan penggunaan produk fasion lokal. Namun seperti yang dikatakan dalam Keynesian Theory, seiring dengan peningkatan pendapatan seseorang, konsumsi juga akan meningkat. Hal ini menyebabkan barang yang tadinya luxury goods akan menjadi normal goods bagi orang tersebut, sehingga tingkat kepuasan mereka terhadap pemakaian produk fasion impor juga cenderung menurun. Kondisi ini sekaligus membuktikan kebenaran teori the law of marginal utility, di mana ketika suatu produk yang sama dikonsumsi secara terus–
www.irdhresearch.com
menerus maka kepuasan yang didapat oleh konsumen akan terus menurun. Analisis ini juga sejalan dengan temuan dalam penelitian
Atmadji (2004), dan sesuai dengan karakteristik konsumen golongan pertama dalam penelitian yang dilakukan Soegiono (2012).
Sebagian besar responden (71%) telah mampu membedakan antara produk fasion lokal dan impor. Menurut pendapat mereka, kedua produk fasion tersebut dapat dibedakan berdasarkan kualitas, desain, harga, dan merek produknya. Namun sebagian besar dari mereka (58%) lebih menyukai produk fasion impor. Hal ini disebabkan karena kualitas produk fasion impor yang lebih terjamin, desain yang lebih menarik, merek yang terlihat lebih bergengsi ketika digunakan, dan harga yang menurut mereka pantas untuk dibayarkan. Walaupun demikian, mayoritas responden (67%) menyadari bahwa dengan membeli produk fasion lokal, mereka dapat memberikan kontribusi pada perekonomian Indonesia. 33% responden sisanya berpendapat bahwa produk fasion impor dapat memberikan kontribusi yang besar berupa pajak, karena kegiatan impor terkena Pajak/bea masuk impor sebesar 5%, Pajak Pertambahan Nilai
sebesar 10%, dan Pajak Penghasilan sebesar 2.5%. Sejalan dengan analisis penelitian diatas orang Indonesia terbukti gemar belanja pakaian bermerek, terutama barang impor. Salah satu survei Credit Suisse Research Institute yang menjadi fokus utama adalah persaingan antara merek domestik dan global yang menggaris bawahi produk dan preferensi yang condong terhadap pasar domestik. Director Equity Research PT Credit Suisse Securities Indonesia Ella Nusantoro mengatakan, terlepas dari teknologi, temuan utama survei ini adalah meningkatnya penetrasi merek ritel, seperti H&M dan Zara, di saat merek mewah telah kehilangan sebagian daya tariknya. Namun begitu, dia menjelaskan, mengenai isu turunnya kepercayaan pada merek lokal dan kekhawatiran terkait isu keamanan, survei menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap merek lokal
www.irdhresearch.com
masih tinggi di level 57-59% secara keseluruhan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. "Misalnya di India dan Tiongkok. Kaitan antara kurangnya kepercayaan pada merek lokal dan kemauan untuk membayar merek internasional tetap menjadi isu utama," kata dia di acara ‘Emerging Market Survey 2015’ yang berfokus pada sentimen konsumen di Indonesia, di Credit Suisse Indonesia Sampoerna Strategic Square, Jakarta. Di sisi lain, Ella menyebutkan, survei tahun ini mendukung harapan positif pertumbuhan e-commerce di negara- negara yang disurvei dengan indikasi bahwa persentase ecommerce terhadap total perdagangan ritel di negara- negara berkembang termasuk Indonesia tumbuh lebih besar daripada di negara-negara maju. Ada beberapa faktor yang mendukung hal tersebut di antaranya kurang berkembangnya sektor ritel di dunia nyata khususnya di daerah pedesaan, pertumbuhan yang signifikan dalam jumlah konsumen yang mengakses internet melalui smartphone telah mendorong peningkatan pengeluaran serta faktor mendasar yang memicu perluasan pendapatan yang siap dibelanjakan. Survei ini memperkirakan bahwa kondisi ini dapat meningkatkan total perdagangan ritel online tahunan di seluruh negara yang disurvei hingga mencapai US$ 3 triliun. "Peningkatan ini dapat berpengaruh pada perusahaan- perusahan di
berbagai sektor, termasuk ritel, keuangan, keamanan, dan teknologi,". Survei Credit Suisse Research Institute telah menerbitkan hasil survei tahunan ke-lima tentang konsumen di negara- negara berkembang. Dalam surveinya, Credit Suisse kembali bekerjasama dengan perusahaan riset pasar global Nielsen untuk melakukan wawancara tatap muka terhadap hampir 16.000 konsumen di sembilan negara, yaitu Brazil, Tiongkok, India, Indonesia, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Turki. SIMPULAN Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat merasa bangga dan lebih nyaman saat menggunakan produk fasion lokal. Hal ini dikarenakan Indonesia menganut budaya Timur yang mengutamakan kesopanan terutama dalam gaya berbusana. Bahan yang digunakan produk fasion lokal jugas sesuai untuk iklim tropis. Mereka juga mengaku terkesan dengan perkembangan model fasion lokal sehingga tak jarang responden mengunjungi outlet-outlet produk fasion lokal. Namun pada kenyataannya, mereka cenderung lebih memilih untuk membeli produk fasion impor karena merasa produk fasion impor lebih berkualitas dan bergengsi, meskipun tahu bahwa harga produk fasion lokal lebih terjangkau. Hasil penelitian ini juga didukung oleh data statistik dari BPS yang menyatakan penerimaan PDB
www.irdhresearch.com
Jawa Timur didominasi oleh konsumsi rumah tangga terutama pada produk impor non-pangan (tas, pakaian, dan sepatu). Secara agregat, hal ini akan berpengaruh terhadap PDB Indonesia yang hingga saat ini masih belum mampu menutup pembelanjaan negara. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi regulator untuk membuat kebijakan tentang produk fasion lokal. Kebijakan yang dimaksud misalnya dengan memberikan dukungan modal, pelatihan, dan sarana promosi bagi produsen fasion lokal agar mereka dapat mengembangkan produknya dengan lebih baik dan agar mereka semakin dikenal oleh masyarakat luas. Regulator juga dapat memberikan proteksi bagi produk fasion lokal terhadap ancaman persaingan dari produk fasion impor.
Semakin banyak konsumsi produk fasion lokal yang dilakukan masyarakat, semakin besar pula PDB negara. Sebaliknya, semakin kecil konsumsi produk fasion impor yang dilakukan masyarakat, semakin besar pula jumlah PDB karena semakin kecil jumlah pembelanjaan impor. Terakhir, regulator juga dapat memberikan dukungan dan fasilitas bagi para produsen fasion lokal untuk mengekspor produknya. Ekspor akan mendatangkan devisa yang juga akan memberikan sumbangan bagi PDB negara. Keterbatasan dalam analisis ini adalah sedikitnya sumber data yang menyajikan data pembelian barang fasion lokal maupun impor. Hal tersebut membuat hasil analisis ini tidak dapat 100% digeneralisasi untuk membuat kesimpulan tentang pola konsumsi masyarakat Indonesia.
REFERENSI
Mankiw, N. G. (2006) Makro ekonomi Edisi ke-3.Jakarta: Salemba Empat.
Arnold, R.A. 2010. Microeconomics Tenth edition, Australia: South western Cengage Learning. BPS. 2014. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Penggunaan 2008–2013. (Online) www.bps.go.id diakses pada 9 Oktober 2016. Case, K.E. & Fair, R.C. (2012) Prinsip-Prinsip Ekonomi. Edisi Kedelapan. Alih BahasaWibi Hardani dan Devri Barnadi. Jakarta: Erlangga. Kominfo. (2013). Triwulan I-2013, Indeks Tendensi Konsumen Jatim 105,50. Diambil dari http://kominfo.jatimprov. go.id
McEachern, W. (2001) Ekonomi Mikro. Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat. Soegiono, F. (2012) Impor vs Lokal: Studi Kasus Tentang Keputusan Membeli Makanan Kemasan. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya , 1 (1), 1-10. Sugiyono (2005).Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Sukirno, S. (2004).Pengantar Teori Makro Ekonom. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
www.irdhresearch.com