Fakultas Hukum - UNISAN
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Fakultas Hukum - UNISAN
JURNAL HUKUM
JUSTITIA
Diterbitkan oleh: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO ©2014
Fakultas Hukum - UNISAN
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
JURNAL HUKUM
JUSTITIA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO Penasehat : Dekan Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo Penanggung Jawab : Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo Pemimpin Redaksi
: Rafika Nur
Dewan Redaksi : Marwan Djafar Asdar Arti Muh. Nasir Alamsyah Djamaris Machmud Redaktur Pelaksana : Kingdom Makkulawusar Sekretaris Redaktur : Hijrah Lahaling Darmawati Mitra Bestari : Iin Karita Sakharina (Universitas Hasanuddin) Johan Jassin (Universitas Negeri Gorontalo) Kadarudin (Universitas Sulawesi Barat) Samsul Halim (Universitas Muhammadiyah Palu) Syamsul Bachrie (Universitas Hasanuddin) Desain Grafis & Layout : Ahsan Yunus Distribusi & Pemasaran : Nur Insani Zubair S. Mooduto Alamat Redaksi : Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo Jl. Raden Saleh No. 17, Kota Gorontalo, 96115 Telp/Fax : (0435) 829975 / (0435) 829976 E-mail :
[email protected] Website : http://www.fakultashukumunisan.ac.id
JURNAL HUKUM JUSTITIA Jurnal ilmiah yang diterbitkan secara berkala oleh Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Terbit tiap bulan Maret dan September. Harga Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah),
ii
Fakultas Hukum - UNISAN
DAFTAR ISI
Jurnal Hukum JUSTITIA Volume I, Nomor 2 Maret 2014 ISSN: 2338 - 9192
SENGKETA PERIKANAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL Syamsuddin Muhammad Noor.........................................................................
116-126
AKIBAT HUKUM TERHADAP KOPI TORAJA YANG TERDAFTAR SEBAGAI MEREK DAGANG DI INDONESIA DAN JEPANG Ibnu Munzir........................................................................................................
128-142
IMPLEMENTASI SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU CONCURSUS DI PENGADILAN Muh. Ardiansyah Arafah Putra........................................................................
144-183
KEDUDUKAN HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL Nam Rumkel.......................................................................................................
184-198
KAJIAN YURIDIS EMPIRIS TERHADAP JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Mulyadi...............................................................................................................
200-209
PEMBERIAN GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Marlyn Jane Alputila.........................................................................................
210-221
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Ramdhan Kasim................................................................................................. 222-236 INTEGRASI ADAT ISTIADAT DENGAN AJARAN ISLAM PADA AWAL MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI SELATAN Rahmawati..........................................................................................................
238-260
Ucapan Terima Kasih Indeks Pengarang (2013-2014) Indeks Subjek (2013-2014) Persyaratan Penulisan
Fakultas Hukum - UNISAN
iii
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
EDITORIAL Pembaca yang budiman, Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa dan yang telah memberikan kami kekuatan, kesempatan, dan karunia yang begitu besar sehingga penerbitan jurnal hukum “JUSTITIA” Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Volume I Nomor 2 Maret 2014 dapat terlaksana dengan baik, merupakan suatu langkah progresif yang digagas oleh Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo untuk melahirkan suatu jurnal ilmiah yang sekaligus dimaksudkan untuk mengisi kekosongan ruang ekspresi ilmiah khususnya isu-isu yang berhubungan dengan perkembangan ilmu hukum secara umum, baik itu dalam aspek perdata, pidana, tata negara, administrasi negara, maupun isu-isu internasional. Volume I Nomor 2 Maret 2014 menghadirkan beberapa penulis yang memiliki kepakaran di bidang masing-masing. Syamsuddin Muhammad Noor menuangkan gagasannya tentang isu sengketa perikanan internasional dan nasional, dan Ibnu Munzir yang menulis tentang akibat hukum terhadap Kopi Toraja yang terdaftar sebagai merek dagang di Indonesia dan Jepang, kedua isu ini sangat menarik karena tidak saja berimplikasi terhadap hukum nasional, namun juga terkait dengan hukum internasional. Selanjutnya Muh. Ardiansyah Arafah Putra, menulis tentang implementasi sanksi pidana terhadap anak pelaku concursus di pengadilan. Nam Rumkel yang menulis tentang kedudukan Hukum Adat dan Hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Kemudian Mulyadi yang menulis tentang kajian yuridis empiris terhadap jaminan penangguhan penahanan dalam proses penyelesiaan perkara pidana. Marlyn Jane Alputila yang menulis tentang pemberian grasi dalam perspektif hukum pidana, dan Ramdhan Kasim yang menulis tentang penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Dalam Volume I Nomor 2 Maret 2014 ditutup oleh gagasan yang dikemukakan oleh Rahmawati dengan tulisannya yang berjudul integrasi adat-istiadat dengan ajaran Islam pada awal masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Semoga berbagai isu-isu ilmu hukum yang tersaji baik itu isu hukum internasional, hukum pidana, hukum adat dan hukum Islam dalam Volume pertama ini, akan memberikan sebuah bentuk pencerahan baru yang bermanfaat bagi semua kalangan yang intens dan fokus mengkaji permasalahan ilmu hukum yang terus berkembang dewasa ini. Selamat membaca. Redaksi iv
Fakultas Hukum - UNISAN
Sengketa Perikanan
SENGKETA PERIKANAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL Syamsuddin Muhammad Noor Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar
[email protected] Abstract The oldest dispute in the world in the field of fisheries dispute. This is reflected in the various case studies recorded by history as well as the extension of the territorial sovereignty of the country in the ocean. Fishery disputes over territory to catch a lot of cause open warfare between the nations of the world, the true mark of how important doing in-depth study of the fisheries dispute. Keywords: Fisheries dispute, territorial sovereignty I. PENDAHULUAN Sengketa perikanan merupakon sengketa tertua di berbagai negara. Adanya kecenderungan perebutan petak-petak di lautan akibat klaim yurisdiksi perairan diakibatkan sengketa perikanan tersebut. Sengketa yang tertua diantaranya adalah perebutan daerah tangkapan dan wilayah navigasi antara Spanyol dan Portugis di Samudera Atlantik dan Samudera India pada tahun 1493. Keduanya sering terlibat perang apabila mereka bertemu di lautan. Peperangan ini meresahkan Paus Alexander VI sehingga dia menggagas suatu mediasi untuk menciptakan perdamaian di antara keduanya. Lalu kedua negara tersebut sepakat dalam suatu perjanjian yang terkenal dangan Perjanjian Tordesillas tahun 1494. Perjanjian Tordesillas 1494 yang digagas oleh Paus Alexander VI bukanlah akhir dari segala persoalan wilayah‑wilayah perikanan karena yang mendiami daerah-daerah pesisir Atlantik dan India bukan hanya Spanyol dan Portugis tetapi banyak negara yang juga sudah meluaskan wilayah tangkapannya terutama Inggris dan Belanda. Bahkan Ratu Elizabeth I mencela perjanjian itu bahwa lautan di dunia ini tidak bisa hanya dimiliki oleh Spanyol dan Portugis saja kerena Inggris sudah lama menjadi bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari lautan. Ratu Elizabeth I menghendaki adanya kebebasan di laut. Tantangan yang sama dikemukakan oleh seorang ahli hukum dari Belanda Hugo Grotius tahun 1609 yang bahkan telah menulis buku yang terkenal dangan doktrin “mare liberum”. Pada abad ke-17 Raja James I dari Inggris memproklamirkan bahwa penangkapan ikan di pantai negara-negara di bawah kekuasaannya hanya diperkenankan dangan memakai izin. Hal ini berarti bahwa nelayan-nelayan Belanda harus membayar semacam royalty di perairan Inggris. Beberapa waktu kemudian hal ini membawa kepada perdebatan yuridis yang sengit antara yuris Belanda dan Grotius yang mempertahankan mare liberum dengan Fakultas Hukum - UNISAN
116
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
pembelaan seorang ahli hukum Inggris John Seldan yang bergejolak dalam bukunya mare clausum. Baik Belanda maupun Inggris sama-sama tidak menghendaki monopoli Spanyol dan Portugis di lautan. Berikut salah satu kasus yang terkenal dan tertua dalam sengketa perikanan yang pernah diputuskan Mahkamah Internasional adalah Anglo-Norwegian Fisheries Case, kasus sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia 1951. Pelaut-pelaut Inggris telah melakukan penangkapan ikan di lepas pantai Norwegia sejak tahun 1906, dan berkali-kali terjadi perselisihan yang membawa kepada korespondensi diplomatik tentang batas perairan penangkapan ikan dari Norwegia. Pada tahun 1812, Norwegia menetapkan batas laut teritorial sejauh 4 mil. Kemudian dengan berbagai keputusan terakhir tahun 1889, diperkenalkan suatu sistem mengukur dangan menarik garis lurus dari batu karang dan pulau-pulau yang banyak terdapat di pantai Norwegia. Dangan keputusan tanggal 12 Juli 1935, Norwegia menerapkan suatu sistem yang lebih mendetail, dan keabsahan dari garis batas baru ini, memperoleh tantangan dari Inggris. Mahkamah berpendapat bahwa sistem mengukur dangan garis lurus mengikuti garis pantai telah diterapkan secara sungguh-sungguh oleh Norwegia dan tidak ditentang oleh negara-negara lain. Mahkamah kemudian menunjuk bahwa karena tidak adanya protes negara lain, dan keadaan demikian telah merupakan praktek yang telah lama dilaksanakan, maka Mahkamah berpendapat bahwa sistem garis pangkal Norwegia adalah sesuai dangan hukum internasional. Secara geografis, Norwegia memiliki pantai yang sangat berliku-liku atau berbentuk “fjord” dan di muka pantainya terdapat sederetan pulau-pulau yang dalam bahasa Norwegia disebut “skjaergaard”. Apabila Norwegia masih mempertahankan prinsip laut teritorial 3 mil yang diukur dari garis pasang surut dari masing-masing pulau, maka akan sulit baginya untuk melindungi para nelayan Norwegia yang beroperasi di sekitar pulau-pulau tersebut. Hal ini disebabkan oleh sedemikian banyak bagian wilayah laut yang sudah dianggap sebagai laut lepas di mana semua negara bebas untuk memanfaatkannya. Untuk itu, maka pada tahun 1935, Raja Norwegia mengeluarkan suatu dekrit (Royal Decree). Dekrit ini menyatakan bahwa lebar laut teritorial Norwegia adalah 4 mil yang ditarik sejajar dangan garis dasar yang terdiri dari garis‑garis lurus yang ditarik dari ujung ke ujung (straight baselines from point to point). Garis-garis ini menghubungkan titik-titik terluar daripada pulau-pulau terluar yang berderet sepanjang pantai Norwegia yang merupakan milik Norwegia. Akan tetapi Inggris tidak dapat menerima dekrit Raja Norwegia itu, karena dianggap bertentangan dengan hukum internasional. Juga disebabkan pada suatu wilayah, yang tadinya nelayan Inggris bebas melakukan penangkapan ikan di sana, kini sesuai dengan dekrit Raja Norwegia menjadi bagian dari wilayah Norwegia. Sehingga dengan sendirinya menjadi daerah tertutup bagi negara dan nelayan asing (dalam hal ini khususnya bagi negara Inggris). Oleh karena itu Inggris mengajukan masalah tersebut ke depan Mahkamah Internasional. Ternyata Mahkamah Internasional dalam keputusannya pada tanggal 18 besember 1951, membenarkan tindakan dan cara yang ditempuh oleh Norwegia dan dinyatakan tidak bertentangan dangan hukum 117
Fakultas Hukum - UNISAN
Sengketa Perikanan
internasional. Pertimbangan Mahkamah berdasarkan atas bentuk geografis negara Norwegia yang mempunyai corak yang khas, di mana pantainya sangat berluku-liku dan di muka pantainya terdapat sederetan pulau‑pulau yang patut dianggap sebagai bagian dari wilayah Norwegia dan atau menurut sejarahnya telah dianggap demikian. Yang penting di catat dari kasus di atas adalah pengakuan cara penarikan garis dasar dangan menarik garis-garis lurus dari ujung ke ujung daripada titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar untuk menentukan laut teritorial di mana negara itu mempunyai bentuk geografis yang khas. Mahkamah Internasional menganggap cara tersebut adalah sah dan tidak bertentangan dangan hukum internasional. Cara tersebut kemudian dapat diterima sebagai hukum internasional positif yang dimuat dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa Tahun 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Tindakan yang diambil oleh Norwegia itu dapat dibenarkan oleh Mahkamah Internasional, bahkan telah di jadikan sebagai salah satu pasal dalam Konvensi Hukum Laut Internasional. Kelihatannya hal itu banyak dipengaruhi oleh sedikitnya pihak yang langsung terlibat atau berkepentingan (hanya Inggris), sehingga kasus ini dapat diselesaikan oleh Mahkamah Internasional dalam waktu relatif singkat dangan kemenangan pihak Norwegia. Berdasarkan pendahuluan tersebut, maka tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai sengketa perikanan yang pernah terjadi, baik di tingkat internasional maupun di wilayah nasional Indonesia. II. PEMBAHASAN A. Proklamasi Truman dan Implikasi Internasional Bersamaan dangan proklamasi tentang landas kontinen, Presiden Amerika Serikat pada saat itu (Truman) pada tanggal 28 September 1945 mengumumkan pula proklamasi tentang penangkapan ikan pantai di beberapa bagian dari laut lepas. Di dalam pertimbangannya dikemukakan bahwa proklamasi tersebut dikeluarkan demi kepentingan untuk melindungi sumber-sumber perikanan terhadap penangkapan ikan yang destruktif. Proklamasi secara unilateral dari Presiden Truman ini menetapkan untuk pembentukan daerah-daerah perlindungan perikanan (conservation zones) di tempat-tempat di laut lepas yang bersambung dengan pantai Amerika Serikat, dan kegiatan menangkap ikan hanya diizinkan untuk warga negara Amerika Serikat saja. Amerika Serikat akan membentuk “bounded conservation zones” di dalam daerah mana kegiatan-kegiatan penangkapan ikan diatur dan diawasi oleh Amerika Serikat. Persetujuan-persetujuan (agreement) dapat diadakan untuk kegiatan penangkapan ikan yang telah biasa diadakan dangan bangsa lain di daerah perlindungan perikanan terbatas. Konservasi perikanan laut mengacu kepada alokasi dari sumber- sumber perikanan dan perjanjian-perjanjian internasional dapat mengatur keseimbangan antara kestabilan sumbersumber perikanan di satu pihak dangan eksploitasi komersil dari perikanan laut di lain pihak. Proklamasi Presiden Truman tentang perlindungan sumber-sumber perikanan laut ini hampir tidak memperoleh tantangan oleh negara-negara lain, bahkan sebaliknya dalam Fakultas Hukum - UNISAN
118
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
waktu yang relatif singkat, beberapa negara lain mengikuti jejak proklamasi Presiden Truman tersebut. Mexico adalah negara pertama yang mengikuti proklamasi Truman, di mana tanggal 29 Oktober 1945 menetapkan sebagai berikut: - Klaim ini dimasukkan dalam amandemen dari konstitusi Meksiko (pada tanggal 6 besember 1945) yang menyatakan bahwa perairan yang menutupi landas kontinen adalah wilayah Mexico. - Panama, pada tanggal 17 besember 1946 menyatakan bahwa yurisdiksi nasional negara ini untuk keperluan penangkapan ikan, membentang sepanjang lautan yang menutupi landas kontinennya. - Argentina, pada bulan Januari 1944 telah menyatakan bahwa wilayah lautan di atas kontinen (epicontinental sea) sementara ditetapkan sebagai zona cadangan mineral. - Kemudian Presiden Peron, pada bulan Oktober 1946 menyempurnakan keputusannya dangan menyatakan klaim kedaulatan. Walaupun tidak terang-terangan disebutkan perlindungan terhadap perikanan, namun hal tersebut dapat disimpulkan dari klaim terhadap wilayah lautan di atas kontinen wilayah negaranya. Di antara klaim yang terdesak sesudah proklamasi Presiden Truman, diadakan oleh negara-negara Chili, Equador, dan Peru (dan kemudian Costa Rica) di dalam Konperensi Pertama tentang Eksploitasi dan Konservasi Sumber-Sumber Maritim di Pasifik Selatan pada tanggal 18 Agustus 1952, dimana ketiga negara tersebut menyatakan kedaulatan penuh dan yurisdiksi atas zona (termasuk dasar laut) sampai sejauh 200 mil dari pantai antar pulaupulau. Hak lintas damai dari kapal-kapal dalam zona tersebut diperkenankan. Persetujuan ketiga negara ini merupakan perjanjian perlindungan sumber kekayaan alam di lautan Amerika Latin. Sebagai konsekuensi dari deklarasi Santiago 1952 di atas, dalam beberapa waktu kemudian penangkapan dilakukan terhadap kapal-kapal penangkap ikan Amerika Serikat yang beroperasi di dalam zona 200 mil dari pantai Peru dan Ekuador. Walaupun diadakan konperensi hubungan antara Amerika Serikat dan Ekuador (U.S. - Ekuador Fisheries Relations) di Quito bulan Maret dan April Tahun 1953, namun penangkapan-penangkapan terhadap kapal-kapal Amerika Serikat terus berlangsung pada zona 200 mil. Kongres Amerika Serikat tanggal 27 Agustus 1954 menyetujui Fisherman’s Protective Act, yaitu undang-undang yang menetapkan bahwa pemerintah Amerika Serikat akan mengadakan ganti kerugian kepada penangkap-penangkap ikan terhadap denda yang dikenakan terhadap mereka oleh negara-negara asing, karena melakukan penangkapan ikan pada zona atau laut teritorial yang tidak dipengaruhi oleh Amerika Serikat. Tujuh tahun setelah berakhirnya dunia kedua, dangan kekalahan Jepang dalam perang Pasifik, pada tahun 1952 ditandatanganilah North Pacific Fisheries Convention antara Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada. Satu tahun sebelumnya pada tahun 1951, suatu perjanjian perdamaian ditandatangani antara Amerika Serikat dan Jepang yang mengembalikan Jepang kepada kedudukan sebagai negara berdaulat. 119
Fakultas Hukum - UNISAN
Sengketa Perikanan
Namun sebelum uraian ini dilanjutkan, penulis ingin kembali kepada Proklamasi Presiden Truman Tentang Penangkapan Ikan Pantai, karena terdapat kaitan yang erat antara keluarnya Amerika Serikat sebagai pemenang Perang dunia ke-II atas Jepang dalam Perang Pasifik, di mana seperti akan diuraikan berikutnya dalam tulisan ini, Amerika Serikat memperlakukan terhadap Jepang prinsip abstain (abstention principle) yang melarang Jepang menangkap ikan di perairan Amerika Utara. Menurut Ann L. Hollick, salah satu aspek dari latar belakang Proklamasi Perikanan Presiden Truman, berakar pada perselisihan tentang penangakapan ikan salmon antar Amerika Serikat dan Jepang sejak tahun 1930. Perselisihan ini tidak terselesaikan sampai pecahnya Perang dunia ke-II. Industri‑industri Amerika Serikat memprotes pemerintahnya tentang kegiatan kapal-kapal penangkap ikan di Jepang, di Teluk Bristol di Perairan Internasional di lepas Pantai Alaska. Selanjutnya dikemukakan, bahwa pemerintah Amerika Serikat mengusulkan hal ini diselesaikan melalui suatu konvensi, namun dijawab oleh Jepang, bahwa perundingan untuk suatu konvensi balum dapat dimulai sebelum Jepang selesai dalam usahausaha penelitiannya tentang sumber-sumber perikanan, yang sedang mereka lakukan selama tiga tahun mulai tahun 1936, di Teluk Bristol. Dalam tahun1938 dicapai persetujuan antara kedua negara, di mana pemerintah Jepang tidak akan mengeluarkan izin-izin baru kepada kapal-kapal penangkap ikan Jepang di Teluk Bristol, namun di tahun-tahun berikutnya masalah penangkapan ikan Jepang di Alaska timbul kembali. Kongres mendesak Pemerintah Amerika Serikat untuk menguasai wilayah lepas pantai sejauh yang diperlukan untuk melindungi ikan salmon, serta rancangan persetujuan penangkapan salmon dipersiapkan dan dikirimkan ke Tokyo. Reaksi Jepang terhadap rancangan ini adalah negatif, kemudian oleh Kementerian Luar Negeri Jepang diberikan petunjuk, bahwa masalah tersebut sudah ditutup. Demikianlah keadaannya sampai pecahnya Perang Dunia ke-II. Kembali kepada konvensi Perikanan Pasifik Utara yang ditandatangani pada tahun 1952, setelah perjanjian perdamaian berlaku efektif, pembatasan-pembatasan geografis diterapkan kepada Jepang sebagai syarat-syarat untuk ditandatanganinya perjanjian perdamaian tahun 1951. Demikianlah terhadap Jepang diperlakukan prinsip (abstention principle) di mana praktis dalam konvensi tersebut Jepang tidak diperbolehkan menangkap ikan salmon, halibut, dan herring, di luar pantai Amerika Utara, karena disebutkan dalam konvensi, persediaan ikan di tempat tersebut telah diatur dalam perjanjian antara Amerika Serikat dangan Kanada. Konvensi berlaku selama sepuluh tahun, sesudah itu salah satu pihak dapat mengakhirinya dangan pemberitahuan satu tahun sebelumnya. Hal ini dipergunakan oleh Jepang yang keadaan ekonominya sepuluh tahun kemudian makin membaik, Jepang mengusulkan perubahan-perubahan utama pada konvensi tersebut abstention principle yang diterapkan Amerika Serikat terhadap Jepang, yang berasal dari industri ikan salmon Amerika Serikat, ingin dipertimbangkan Amerika Serikat menjadi asas hukum internasional. Perubahan-perubahan pada periode 1960-an tidak memungkinkan lagi Amerika Serikat Fakultas Hukum - UNISAN
120
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
memperoleh dukungan terhadap konsepsi prinsip abstain tersebut, karena prinsip ini tidak mendapat dukungan baik di negara Eropa Barat, maupun di Amerika Latin sewaktu dibicarakan dalam forum FAO technical comperence tahun 1955 di Roma, sehingga akhirnya Amerika Serikat dan Kanada mencabut abstention principle tersebut. B. Sengketa Perikanan dalam Perspektif Nasional Indonesia Mengacu pada wawasan internasional di atas, maka tidak jauh berbeda dengan implikasi timbulnya sengketa perikanan intra-nasional. Berlakunya Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah membawa implikasi tersendiri terhadap sistem pengelolaan wilayah perikanan. Adanya otonomi mutlak untuk pengelolaan daerah tangkapan telah disalah artikan oleh sebagian masyarakat, bahwa dia memiliki wilayah daerah pengelolaan perikanan tertentu berdasar batas-batas daerahnya di lautan. Padahal tidak ada batas-batas menetapkan demikian. Hal ini semata-mata sekedar mengejar pendapatan daerah dari sektor-sektor perikanan. Tidak sedikit timbul sengketa perikanan antar-daerah karena kelainan wilayah pengelolaan tersebut. Jika dimajukan ke pengadilan negeri, atau seringkali hakim kebingungan memberi putusan karena tidak aturan yang pasti tentang sengketa petak-petak lautan secara nasional. Kalaupun ada aturan, maka aturan-aturan tersebut saling berbenturan. Sebagai contoh tentang pembenturan antara Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dangan Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan (sebagaimna telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009). Dalam Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 misalnya dikemukakan bahwa: 1. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut. 2. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di dasar laut sesuai dangan peraturan perundang-undangan. 3. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut yang dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b. Pengaturan administratif; c. Pengaturan tata ruang; d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; e. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan f. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Sementara itu dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan (yang tidak mengalami perubahan dalam Undang-Undang RI Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan) dikemukakan bahwa nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indanesia. Selain itu adanya pertentangan 121 Fakultas Hukum - UNISAN
Sengketa Perikanan
Traditional fishing right serta bekerjasama regional dan internasional yang berbenturan dangan peraturan daerah tentang perikanan. Perhadapan sengketa intra-nasional bahkan menimbulkan tindakan destruktif yang dilakukan para nelayan karena merasa wilayah tangkapannya terganggu oleh nelayan dari daerah lain. Ironisnya, karena seringkali tindakan para nelayan tersebut mendapat dukungan oleh pemerintah daerah-nya. Hal tersebut tentu saja menimbulkan benturan antara daerah andaikata daerah tidak segera menjalin kerjasama di wilayah perikanan tersebut. Pembakaran dan pengrusakan perahu nelayan kecil di antara mereka dari daerah yang berbeda sudah terjadi di mana-mana, begitu pula pembakaran dan pengrusakan bagan, karena dinilai bagan didirikan bukan dalam wilayah tangkapan pemilik bagan tetapi di wilayah daerah lain. Sesungguhnya pembenturan wilayah tangkapan merupakan proses ketegasan dari perilaku adat nelayan secara turun-temurun dalam pemantauan batas wilayah penangkapan. Pada masyarakat suku Mandar (salah satu di antara empat etnis utama yang bermukim di Daerah Propinsi Sulawesi Selatan), batas-batas wilayah laut dikenali dengan berbagai cara, seperti warna air laut, keadaan ombak dan arus, serta alat penangkapan ikan. Orang-orang Mandar, yang umumnya pelaut dan nelayan, khususnya yang sudah berpengalaman, dangan melihat warna laut saja mereka sudah dapat memperkirakan wilayah perairan dimana mereka sedang berada. Misalnya, ketika mereka meninggalkan perairan Mandar dalam pelayaran ke arah barat di Selat Makassar, maka tatkala bertemu dengan laut yang berwana kekuningkuningan berarti mereka sudah berada dalam wilayah laut Kalimantan Timur. Begitu pula dengan melihat keadaan ombak dan arus, mereka akan tahu dalam wilayah mana mereka berada, karena berdasarkan pengalaman turun-temurun mereka, setiap wilayah laut suatu daerah memiliki ciri-ciri ombak dan pola arusnya masing-masing. Sementara itu, di desa Endokisi, batas-batas wilayah laut yang merupakan wilayah hak ulayat dikenali melalui tanda-tanda alam, seperti sungai, tanjung (yemo), pasir putih, danau, atau pulau. Wilayah perairan milik Suku Karuway terletak antara tanjung Maphiah (Maphich yemo) dan tanjung Sendei (Sendei yemo). Perairan suku Demena terletak antara Sande yemo dan pasir putih. Suku Mattiseray memiliki wilayah perairan antara pasir putih dan sungai. Wilayah perairan suku Nerokepou terletak antara sungai dan tanjung yang merupakan batas desa Senamay. Dangan demikian, wilayah laut Endokisi merupakan gabungan dari wilayah laut yang dimiliki keempat suku tersebut. Menurut cerita sebagian masyarakat, pada zaman dahulu, batas wilayah laut itu diberlakukan sangat tegas, yaitu orang luar desa tidak boleh menangkap ikan di wilayah perairan Endokisi, kecuali atas izin pemilik wilayah itu. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman beberapa perubahan terjadi. Saat ini, meskipun wilayah perairan desa masih diakui eksistensinya, orang luar desa dapat secara bebas mengeksploitasi terbatas pada penggunaan alat tangkap sederhana, seperti pancing, tombak, dan panah sumber daya laut yang ada di wilayahnya.
Fakultas Hukum - UNISAN
122
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Pelanggaran terhadap wilayah hak ulayat laut dikenai sanksi-sanksi adat, yang di desa Endokisi terdapat empat jenis, yaitu: Teguran, To bu (air kelapa), menangkap babi, dan hukuman mati. Hukuman berupa teguran di jatuhkan kepada orang yang baru pertama kali melanggar norma yang ada. Untuk pelanggaran kedua, hukumannya berupa kewajiban mencari kelapa dan memarutnya untuk keperluan pesta orang satu desa. Apabila orang yang bersangkutan kembali melakukan pelanggaran, maka hukumannya meningkat menjadi kewajiban menangkap babi dan dagingnya untuk pesta orang sekampung. Adapun jika masih melakukan pelanggaran, maka hukumannya sangat berat, yakni hukuman mati. Walaupun masyarakat masih mengenal baik sanksi-sanksi tersebut, tetapi sejak masuknya injil ke desa mereka, sanksi‑sanksi itu sudah tidak diberlakukan lagi karena dianggap tidak manusiawi. Dewasa ini, apabila terjadi pelanggaran wilayah hak ulayat laut, cenderung menyerahkan pelakunya kepada polisi yang biasanya diakhiri dangan pembayaran denda oleh si pelanggar kepada dewan adat. Selanjutnya, mengenai batas wilayah hak ulayat laut di desa Haruku, Maluku Tengah. Di desa ini, seperti umumnya di desa-desa lain dalam wilayah propinsi Maluku, wilayah hak ulayat laut tercermin dari petuanan laut yang disebut labuhan. Labuhan desa Haruku berada di sebelah barat desa, berbatasan dangan Labuhan desa Oma di sebelah selatan dan Labuhan desa Sameith di sebelah utara. Batas labuhan berupa garis imajiner yang ditarik dari batas petuanan darat, sedangkan ke arah laut sampai pada perbatasan antara laut dangkal (tohor) dengan laut dalam. Penetapan batas-batas labuhan tersebut, berarti pengelolaan sumber daya menjadi hak masyarakat desa Haruku. Masyarakat lain dilarang mengelola atau mengeksploitasi sumber daya laut yang terdapat di dalamnya. Di dalam wilayah labuhan, terdapat juga wilayah pada waktu tertentu di tutup atau dilarang eksploitasi, meskipun oleh anak negeri sendiri, kecuali dangan alat-alat dan jenis ikan tertentu. Wilayah yang demikian itu disebut dangan labuhan sasi. Labuhan Sasi di desa haruku terbagi menjadi dua bagian, yaitu labuhan sasi laut dan labuhan sasi ikan lompa. Batas labuhan sasi laut di sebelah utara adalah garis imajiner yang ditarik dari sudut balai desa bagian utara sepanjang 200 meter kearah laut, dan sebekah selatan sampai ke tanjung Wairusi, yaitu tanjung yang berada di dekat Fort New Zealand. Diperkirakan panjang labuhan sasi laut ini mencapai 600 meter. Batas labuhan sasi ikan lompa yakni dari tanjung Wairusi ke selatan sampai tanjung Hi-I dengan panjang sekitar 1500 meter dan lebar ke arah laut 200 meter. Eksklusivitas wilayah labuhan sasi laut disebabkan wilayah tersebut, merupakan daerah mobilitas satu jenis sumber daya yang sangat dilindungi masyarakat desa, yaitu ikan lompa (trisina baelama) dan ikan make, sejenis ikan sardine kecil. Wilayah tersebut, ditutup agar sumber daya yang ada dapat mencapai hasil yang optimal sehingga ketika saatnya dibuka untuk di eksploitasi, hasilnya cukup untuk dibagikan kepada seluruh warga masyarakat haruku. Selama masa penutupan wilayah, masyarakat dilarang mengeksploitasi sumber daya, kecuali dangan alat tangkap tertentu.
123 Fakultas Hukum - UNISAN
Sengketa Perikanan
Sementara itu, di desa Para kecamatan Manganitu, Sangihe Talaut, wilayah perairan yang di jadikan tempat penangkapan ikan (fishing ground) dibagi menjadi 3, yaitu: (1) Wilayah perairan nyare (saghe), (2) Wilayah perairan yang mejadi batas antara terumbu karang dan laut dalam (Inahe), dan (3) Wilayah perairan laut dalam (elie). Saghe adalah wilayah laut tempat terdapatnya terumbu karang (coral reef). Pada umumnya, kegiaatan penangkapan ikan dalam wilayah ini bersifat rekreasif. Inahe adalah wilayah perairan yang terletak antara saghe dan elie. Dalam wilayah Inahe, juga terumbu karang sehingga segala kegiatan eksploitasi juga berlangsung seperti dalam wilayah saghe. Elie adalah wilayah penangkapan ikan yang paling jauh dari daratan (off shore). Umumnya, aktifitas penangkapan ikan di wilayah ini menggunakan pancing rawai (long-lines). Bagi masyarakat Endokisi, laut merupakan tempat mata pencaharian pokok yang harus mereka pertahankan untuk generasi yang akan datang, sebagaimana yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, karena itu agar mereka dapat menggantungkan hidupnya dari hasil laut, maka sumber daya yang ada di dalamnya harus selalu di jaga kelestariannya dangan tidak menangkap sumber daya tertentu yang dianggap penting untuk menjamin kelestariannya. Pangetahuan dan kesadaran masyarakat setempat untuk mengeksploitasi sumber daya secara selektif merupakan hasil interpensi LSM. Wujud eksploitasi selektif itu adalah larangan menangkap ikan, teripang, dan anggrek. Larangan ini tidak mutlak, sebab apabila untuk kepentingan bersama masyarakat desa maka boleh saja dieksploitasi. Meski demikian, sebelum eksploitasi itu dilakukan, terlebih dahulu harus memperoleh izin dari dewan adat. Larangan menangkap udang, pada umumnya, dipatuhi oleh masyarakat sebab berdasarkan pengetahuan mereka yang diperoleh dari LSM, udang itu membuat lubanglubang di dasar laut dangkal yang berguna bagi ikan-ikan untuk bertelur. Semakin besar populasi udang semakin besar pula populasi ikan sehingga semakin besar pula ikan tangkapan para nelayan. Pelanggaran terhadap larangan tersebut pernah terjadi, tetapi kemudian dapat diselesaikan oleh dewan adat khususnya larangan menangkap teripang, tampaknya tidak dilakukan secara tepat sebab pada kenyataannya ada pengusaha perikanan di daerah lain justru diberikan izin untuk melakukan penangkapan teripang. Meski demikian, eksistensi masyarakat hukum adat tetap dihormati. Hal ini, ditandai oleh kenyataan bahwa yang memberikan izin penangkapan teripang ialah dewan adat dangan kewajiban menyerahkan sebagian dari hasil tangkapannya kepada dewan adat. Sementara itu, di desa Para, sangihe Talaud, hampir semua jenis ikan di eksploitasi oleh nelayan. Satu-satunya jenis ikan yang diperlakukan khusus oleh nelayan setempat adalah ikan Malalugis. Bagi masyarakat nelayan Para, ikan malalugis hanya boleh ditangkap dangan alat tangkap sake atau soma tatenda. Penangkapannya pun hanya pada waktu-waktu khusus pula yaitu pada saat matahari terbit dan saat matahari terbenam. Larangan penangkapan ikan malalugis, berkaitan dangan mitos local, bahwa jenis ikan ini merupakan pemeliharaan Dewa Laut yang bernama Ading. Apabila jenis ikan ini ditangkap secara sembarangan, maka dapat Fakultas Hukum - UNISAN
124
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
menyebabkan Dewa Laut marah sehingga berakibat pada penurunan hasil tangkapan seharihari. Masyarakat Para bahkan percaya, apabila Dewa laut marah bencana akan menimpa desa. Bencana itu dapat berupa wabah penyakit atau bencana alam seperti ombak besar. Merujuk pada gambaran hak ulayat maka modal hak ulayat laut dapat dikenali. Di desa Para, pada dasarnya hak ulayat tidak mengenal konsep batas yang jelas untuk daerah penangkapan ikan bentuk konsep wilayah yang mereka kenal adalah lokasi penangkapan ikan. Hak untuk menangkap ikan di Wilayah tersebut, didasarkan baik pada legalitas formal (berupa keputusan kepala desa) maupun pada legalitas informal atau tradisional (hukum adat). Desa berfungsi sebagai unit pemegang hak (right holding unit) yang memilki sekaligus menguasai tempat-tempat penangkapan ikan . Hak individu atas wilayah laut pada dasarnya tidak ada, tetaapi hak eksklusif atas wilayah tertentu oleh kelompok nelayan tertentu diakui, seperti hak kelompok nelayan seke dan soma lingkar atas jenis ikan malalugis. Berbeda dangan masyarakat Desa Para, di Desa Haruku, Maluku Tengah, konsep batas wilayah sangat jelas. Bahkan, karakteristik wilayah terbagi dengan jelas, yakni labuhan sasi laut dan labuhan sasi ikan lompa. Subyek pemegang hak ialah desa, yang dalam pelaksaannya di jalankan oleh lembaga kewang. Di desa ini juga tidak dikenal hak individual atas laut. Model hak ulayat laut yang lain di jumpai di masyarakat Desa Endokisi, Papua. Di desa ini, konsep batas sangat tegas, sehingga bila terjadi pelanggaran wilayah, konflik seringkali tidak dapat dihindarkan. Pada dasarnya, dewan adat yang berfungsi sebagai unit pemilik hak, tetapi pada kenyataannya wilayah laut itu sudah terbagi habis oleh masingmasing suku penduduk desa dan pelaksanaan eksploitasinya dikordinasikan oleh kepala suku (ondoafi). Batas-batas wilayah laut masing-masing suku diakui dan dihormati. Di desa ini juga tidak dikenal hak atas laut yang bersifat individual. III. KESIMPULAN Berdasarkan berbagai studi analisis di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Sesungguhnya sengketa tertua didunia adalah sengketa dibidang perikanan. Hal tersebut tercermin pada berbagai studi kasus yang dicatat oleh sejarah serta adanya usaha perluasan wilayah kedaulatan negara dilautan, yang tadinya lautan dapat dirambah oleh manusia secara bersama kemudian dikapling berdasar petak-petak yang ditentukan oleh negara sendiri. 2. Sengketa perikanan untuk memperebutkan wilayah tangkapan banyak menimbulkan perang terbuka diantara bangsa-bangsa di dunia, ini menandai betapa penting sesungguhnya melakukan studi mendalam mengenai sengketa perikanan. Hampir dapat dipastikan bahwa awal dari berbagai sengketa politik antar negara-negara pantai dimulai dangan sengketa perikanan. 3. Tiga kasus sengketa perikanan dalam hukum internasiolnal menarik untuk menjadi dasar studi pengembangan; Perang Portugis-Spanyol yang berlangsung selama 125
Fakultas Hukum - UNISAN
Sengketa Perikanan
kurang lebih 30 tahun untuk memperebutkan wilayah tangkapan di Samudera India dan Atlantik kemudian diakhiri dangan Perjanjian Tordesillas 1494 yang dimediasi oleh Paus Alexander VI; Proklamasi Presiden Truman pada tanggal 28 September 1945 tentang Perikanan Pantai; dan Keputusan Mahkamah Internasional tanggal 18 Desember 1951 tentang Kasus Sengketa Perikanan Inggris-Norwegia (AngloNorwegian fisheries Case). 4. Dalam Skala nasional munculnya berbagai sengketa wilayah tangkapan oleh akibat pemberlakuan Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah membawah implikasi yang menuntut penyelesaian, apalagi dengan terjadinya berbagai benturan bukan saja benturan di lapangan, melainkan benturan regulasi antar daerah serta nasional, terutama benturan antara Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan (sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang RI Nomor 45 tahun 2009) dengan Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. DAFTAR PUSTAKA Chairul Anwar, Horison Baru Hukum Laut Internasional, Jakarta: Jambatan, 1989. Hasjim Djalal, Perjuangan Indanesia Dibidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Bandung: Bina Cipta, 1979. Ian Browulie, Principle of Public Internasional Law, sixth Edision, New York: Oxfard, 2003. L. Hollik Ann, U.S. Foreign Policy and the Law of the Sea, New Jersey: Princeton, 1981. Marcel Hendrapati dan SM. Noor, Prinsip-Prinsip Hukum Laut Indanesia, Makassar: Pustaka Pena, 2009. O’Connell,D.P., The International Law of the Sea, Vol.I,Vo.II-1982-1988. Sudirman Saad, Politik Hukum Perikanan Indonesia, Jakarta: Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat, 2003.
Fakultas Hukum - UNISAN
126
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
127
Fakultas Hukum - UNISAN
Akibat Hukum Kopi Toraja
AKIBAT HUKUM TERHADAP KOPI TORAJA YANG TERDAFTAR SEBAGAI MEREK DAGANG DI INDONESIA DAN JEPANG Ibnu Munzir Kantor Notaris Fransiska Leman, Makassar
[email protected] Abstract Toraja coffee brand as an indication of source product owned by Tana Toraja and North Toraja has determined that in the use of Toarco Toraja brand by Key Coffee Inc. there should be an indication of the place of origin. Toraja coffee brand registered in Japan has legal implication in the registration of indication of source and trade activities. Keywords: Toraja coffee brand, indication of source product, legal implication I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan kaya akan produk potensi indikasi geografis. Dari segi sumber daya alam banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh : Java Coffee lada, Gayo Coffee, Toraja Coffee Tembakau Deli, Muntok White Pepper. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan usaha yang tidak sehat (www.scribd.com), agar dalam berinteraksi antarsesama tidak menimbulkan konflik atau sengketa (Birkah Latif dan Kadarudin “1”, 2013:89). Kopi Toraja adalah kopi yang diproduksi di Tana Toraja dan Toraja Utara. Penggemar kopi di Indonesia, bahkan mayoritas konsumen kopi di dunia, mengetahui kopi Toraja. Kopi yang berasal dari Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara (kabupaten di Indonesia) itu memiliki cita rasa tinggi, sehingga terkenal di pasar internasional. Kopi tumbuh di banyak kabupaten di Sulawesi Selatan seperti di Tana Toraja, Toraja Utara dan Enrekang. Namun kopi dari Tana Toraja dan Toraja Utara memiliki karakteristik dan cita rasa tinggikarena faktor alamnya. Keadaan alam Tana Toraja bergunung-gunung, berada pada ketinggian 300 meter sampai 2.889 meter di atas permukaan laut. Faktor alam tersebutlah yang membedakan rasa kopi Tana Toraja dengan kopi yang lain.Dengan cita rasanya yang tinggi itu, harga kopi yang berasal dari Tana Toraja dan Toraja Utara lebih mahal dibandingkan kopi lain, yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, kopi tersebut telah lama masuk ke pasar internasional (Apksa: www.google.com). Keterkenalan Kopi Toraja dimanfaatkan oleh perusahaan Key Coffee Inc. dari Jepang dengan mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722 di Jepang Fakultas Hukum - UNISAN
128
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Pada tanggal 14 Januari 1977. Merek tersebut selain menampilkan kata “Toraja” juga rumah adat Toraja sebagai latar merek. Hal ini terjadi karena tidak adanya undang-undang nasional yang mengatur tentang indikasi geografis dan indikasi asal pada saat didaftarkannya merek kopi Toraja oleh perusahaan Key Coffee Inc. pada tahun 1977 di Jepang. Tapi sebenarnya kopi Toraja dapat dilindungi sebagai Indikasi Asal melalui perjanjian-Perjanjian Internasional dan hukum nasional yang lahir sebelum dan sesudah adanya pendaftaran merek Kopi Toraja oleh perusahaan Key Coffee Inc. pada tahun 1977 di Jepang, misalnya Paris Convention (1883), Madrid Agreement (1891), Lisbon Agreement (1958), TRIPs Agreement (1994), UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis yang mengatur tentang perlindungan indikasi asal (www. scribd.com). Seharusnya perjanjian-perjanjian tersebut ditaati, karena ketaatan terhadap suatu perjanjian internasional sangat penting dilakukan agar terciptanya tertib hukum (Birkah Latif dan Kadarudin “2”, 2013:55). Indonesia dan Jepang terikat dalam suatu Perjanjian Internasional salah satunya adalah perjanjian TRIPs. Dalam Perjanjian TRIPs diatur mengenai indikasi geografis yang berkaitan dengan pemakaian merek (Ibnu Munzir, 2013:6). Dalam Article 22 (1) persetujuan TRIPs dikemukakan bahwa: “Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a goods as originating in the territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation, or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographycal origin”. Yang dimaksud dengan indikasi geografis berdasarkan persetujuan ini adalah tanda yang mengidentifikasi suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, dimana reputasi, kualitas, dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa asal suatu barang (termasuk jasa) yang melekat dengan reputasi, karakteristik, dan kualitas suatu barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara yuridis (O.K. Saidin, 2010:386). Dalam persetujuan TRIPs dilarang kepada produsen untuk memakai label atau tanda (atau juga merek) terhadap barang yang diproduksinya, yang tidak sesuai dengan indikasi geografis. Misalnya mencantumkan label Kopi Toraja pada merek tetapi produk yang diperdagangkan bukanlah merupakan kopi Toraja. Larangan itu dipertegas dalam article 22 (2) persetujuan TRIPs yang mengatakan bahwa: In respect of geographical indications, member shall provide the legal means for interested parties to prevent: a. the use of any means in the designation or presentation of a good that indicates or suggest that the good in question originates in a geographical area other than the true place of origin in a manner which misleads the public as to the geographical origin of the good. 129
Fakultas Hukum - UNISAN
Akibat Hukum Kopi Toraja
b. any use which constitutes an act of unfair competition within the meaning of article 10 bis of the Paris Convention (1979). Negara anggota wajib menyediakan sarana hukum bagi pihak yang berkepentingan untuk melarang digunakannya cara apapun dalam pemberian tanda terhadap barang yang memberikan petunjuk atau kesan yang menyesatkan masyarakat bahwa barang bersangkutan berasal dari wilayah lain selain dari wilayah asal yang sebenarnya dari barang tersebut (O.K. Saidin, 2010:387). Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah tindakan-tindakan yang dapat menyesatkan konsumen yang berakibat lebih lanjut ditimbulkannya persaingan curang (unfair competition), yang dijelaskan dalam article 10 bis Konvensi Paris (1979). Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Apakah yang dimaksud dengan merek? Bagaimanakah akibat hukum terhadap Kopi Toraja yang terdaftar sebagai merek dagang di Indonesia dan Jepang? II. PEMBAHASAN A. Tinjauan Terhadap Merek A.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Merek Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang tentang Merek, yang dimaksud dengan merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Selain menurut batasan yuridis beberapa pakar hukum juga memberikan pendapatnya tentang pengertian merek, yaitu: 1. H.M.N. Purwo Sutjipto, memberikan pengertian bahwa merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis (M.N. Purwa Sutjipto, 2010:343). 2. R. Soekardono, memberikan pengertian bahwa merek adalah sebuah tanda dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitas barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain (R. Soekardono, 2010:344). 3. OK. Saidin, memberikan pengertian merek bahwa merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan barangbarang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (R. Soekardono, 2010:345). Dari beberapa pengertian merek di atas, diketahui bahwa pada pokoknya pengertian merek menunjuk kepada tanda dan tanda tersebut sengaja dibuat untuk kepentingan Fakultas Hukum - UNISAN
130
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
perdagangan. Tampak terdapat hubungan erat antara tanda dengan produk yang diperdagangkan, yaitu sebagai tanda pengenal produk yang berfungsi untuk membedakan antara produk yang satu dengan yang lain (Gatot Supramono, 2008:15). Ruang lingkup merek meliputi merek dagang dan merek jasa. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya contoh: jamu sido muncul, kacang dua kelinci, teh botol sosro. Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya contoh: BNI Taplus, Tabungan Britama (Pasal 1 ayat (2) dan (3)). Walaupun dalam UU Merek digunakan istilah merek digunakan istilah merek dagang dan merek jasa, sebenarnya yang dimaksudkan dengan merek dagang adalah merek barang, karena merek yang digunakan pada barang dan digunakan sebagai lawan dari merek jasa (Ahmadi Miru, 2007:11). Disamping merek dagang dan merek jasa, juga dikenal adanya merek kolektif. Merek kolektif dapat berasal dari suatu badan usaha tertentu yang memiliki produk perdagangan yang berupa barang dan jasa. Contoh merek kolektif jenis ini misalnya merek Esia yang dimiliki perusahaan Bakrie Telecom yang digunakan untuk produk barang (Telepon Esia) dan produk jasa (kartu perdana dan kartu isi ulang), merek kolektif juga dapat berasal dari dua atau lebih badan usaha yang bekerja sama untuk memiliki merek yang sama, contohnya adalah undian Tabungan Simpeda yang dikelola oleh semua Bank Pembangunan Daerah (BPD) di Indonesia, dimana masing-masing BPD adalah badan usaha yang mandiri dan terpisah (Iswi Hariyani, 2010:88). Para pemilik merek yang telah terdaftar akan mendapatkan hak merek, yaitu hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk dalam jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan lisensi atau izin kepada pihak lain. Berdasarkan hak merek tersebut, para pemilik merek akan mendapatkan perlindungan hukum sehingga dapat mengembangkan usahanya dengan tenang tanpa takut mereknya diklaim oleh pihak lain. Pemberian lisensi merek kepada pihak lain dapat mendatangkan penghasilan berupa pembayaran royalti. Pemberian lisensi merek berbeda dengan pemberian waralaba (franchise). Jika dalam pemberian lisensi merek, pemilik merek hanya meminjamkan mereknya kepada pihak lain, maka dalam bisnis waralaba yang dipinjamkan oleh pemilik waralaba tidak hanya mereknya, tetapi juga proses produksi hingga tata cara pelayanan kepada para konsumen. Dengan demikian, pemilik waralaba, disamping memberikan lisensi merek, juga dapat memberikan lisensi paten, lisensi rahasia dagang, dan lisensi hak cipta. Sebagai contoh adalah waralaba jaringan Hard Rock Cafe, dimana di dalamnya ada kegiatan penyajian makanan, pertunjukan musik, dan pameran foto-foto selebritis. Sehinggga dapat disimpulkan, kegiatan waralaba selalu diikuti dengan pemberian satu atau beberapa macam lisensi di bidang HKI (Iswi Hariyani, 2010:88). 131
Fakultas Hukum - UNISAN
Akibat Hukum Kopi Toraja
A.2 Fungsi Merek Dengan menyimak rumusan pengertian merek yang disebutkan di atas, merek berfungsi sebagai pembeda dari produk barang atau jasa yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum dengan produk barang atau jasa yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum lain. Barang atau jasa yang dibuat oleh seseorang atau badan hukum tersebut merupakan barang atau jasa yang sejenis, sehingga perlu diberi tanda pengenal untuk membedakannya. Sejenis maksudnya adalah bahwa barang atau jasa yang diperdagangkan tersebut harus termasuk dalam kelas barang atau jasa yang sama pula, seperti tembakau, barang-barang keperluan pokok, korek api yang termasuk dalam kelas barang yang sejenis, atau angkutan, pengemasan dan penyimpanan barang-barang, pengaturan perjalanan yang termasuk dalam kelas jasa yang sejenis (Rachmadi Usman, 2003:322). Menurut P.D.D. Dermawan, fungsi merek itu ada tiga (O.K. Saidin, 2010:359), yaitu: 1. Fungsi indikator sumber, artinya merek berfungsi untuk menunjukkan bahwa suatu produk bersumber secara sah pada suatu unit usaha dan karenanya juga berfungsi untuk memberikan indikasi bahwa produk itu dibuat secara profesional; 2. Fungsi indikator kualitas, artinya merek berfungsi sebagai jaminan kualitas khususnya dalam kaitan dengan produk-produk bergengsi; 3. Fungsi sugestif, artinya merek memberikan kesan akan menjadi kolektor produk tersebut. Tiga fungsi merek tersebut, menyebabkan perlindungan hukum terhadap merek menjadi begitu sangat bermakna. Sesuai dengan fungsi merek, sebagai tanda pembeda, maka seyogianya antara merek yang dimiliki seseorang tidak boleh sama dengan merek yang dimiliki orang lain. Persamaan itu tidak saja sama secara keseluruhan, tetapi memiliki persamaan secara prinsip. Sama secara keseluruhan berarti merek tersebut secara totalitas ditiru. Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penelitian, atau kombinasi antara unsur-unsur atau pun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut (O.K. Saidin, 2010:359). B. Akibat Hukum Terhadap Kopi Toraja Yang Terdaftar Sebagai Merek Dagang Di Indonesia Dan Jepang. B.1 Akibat Hukum Terhadap Pendaftaran Indikasi Asal Pada tanggal 22 Juli tahun 1974 Kimura (Key Coffee) bersama Toshoku Ltd. mengajukan merek dagang Toraja Coffee ke badan Registrasi Paten Jepang yang kemudian dinyatakan resmi terdaftar sejak tanggal 14 Januari 1977. Kemudian di Indonesia PT. Toarco Jaya mengajukan merek dagang Toarco Toraja Coffee tanggal 30 Oktober tahun 1978 ke Direktorat Paten dan Hak Cipta (Sekarang telah berganti nama menjadi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual) dan selesai pendaftarannya tanggal 22 Desember tahun 1978 Fakultas Hukum - UNISAN
132
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
(AEKI, 2012:3). Pada tahun 1993 di Jepang, beberapa pihak memohon kepada Badan Musyawarah Perdagangan Adil Kopi seluruh Jepang agar Key Coffee melepas merek dagang Toarco Toraja Coffee, dan antara tahun 1997-1999 Key Coffee terlibat sengketa penyalahgunaan merek dagang dengan 2 (dua) perusahaan kopi lainnya di Jepang (AEKI, 2012:3). Terhadap perusahaan yang bersengketa dengan Key Coffee Inc salah satu diantaranya adalah perusahaan Avance Trading Co. Dalam sengketa tersebut berakhir dengan tiga kesepakatan yaitu (Surip Mawardi, 2005:3): 1) Perusahaan Avance Trading Co. mengakui bahwa “Toraja” adalah merek dagang yang telah disosialisasikan oleh Perusahaan Key Coffee Inc 2) Perusahaan Avance trading Co. dalam menggunakan nama “Toraja” sebagai Merek dagang harus peduli terhadap mutu produk yang prima dalam raangka mempertahankan citra baik. 3) Key Coffee Inc mengijinkan Avance Trading Co. untuk menggunakan merek “Avance Toraja”. Akibat dari pendaftaran yang dilakukan oleh Key Coffe Inc di Jepang dan Indonesia terhadap produk Kopi Toraja dengan nama merek dagang Toarco Toraja Coffee yaitu masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara tidak dapat mendaftarkan Kopi Arabika Toraja sebagai merek dagang di Indonesia karena telah didaftarkan oleh PT Toarco Jaya dengan nama merek dagang Toarco Toraja Coffee sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya di bagian atas. Nama Toarco adalah singkatan dari Toraja Arabica Coffee atau Kopi Arabika Toraja. Dalam kasus di atas apabila ada permohonan pendaftaran merek Kopi Arabika Toraja dari pemohon yang berasal dari Tana Toraja atau Toraja Utara kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, maka Ditjen HKI dapat menolak permohonan tersebut berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Merek Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual apabila merek tersebut: a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. Persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsurunsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penelitian atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merekmerek tersebut (Pasal 6 ayat (1) huruf (a) UU Merek). Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila ada permohonan pendaftaran merek Kopi Arabika Toraja dari pemohon yang berasal dari Tana Toraja atau Toraja Utara kepada 133
Fakultas Hukum - UNISAN
Akibat Hukum Kopi Toraja
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia maka permohonan tersebut dapat ditolak oleh ditjen HKI karena mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek Toarco Toraja Coffee yang masih terdaftar sebagai merek dagang sampai sekarang. Artinya bahwa ada kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain. Kemiripannya dapat dilihat pada kata Toarco Toraja Coffee (telah terdaftar sebagai merek) dan kata Kopi Arabika Toraja (belum terdaftar sebagai merek). Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Toarco adalah singkatan dari Toraja Arabika Coffee atau jika di diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi Kopi Arabika Toraja, yang dalam hal ini sama dengan merek yang belum terdaftar tersebut. Berbeda halnya apabila masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara mengajukan permohonan pendaftaran Kopi Arabika Toraja sebagai Indikasi Geografis ke Direktorat Jenderal HKI Republik Indonesia. Permohonan pendaftaran tersebut dimungkinkan karena tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan lain sebagaimana yang terdapat pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 Indikasi Geografis tidak dapat didaftar apabila tanda yang dimohonkan pendaftarannya: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum; b. Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai ciri, sifat, kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; c. Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis; atau d. Telah menjadi generik. Dari pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Kopi Arabika Toraja dapat didaftar sebagai Indikasi Geografis karena tidak bertentangan dengan pasal tersebut. Berdasarkan hal tersebut penulis berpendapat bahwa pada dasarnya pendaftaran produk Kopi Toraja dengan nama merek dagang Toarco Toraja Coffee di Jepang yang dilakukan oleh Key Coffe Inc dan pendaftaran yang dilakukan oleh PT Toarco Jaya dengan nama merek Toarco Toraja Coffee di Indonesia tidak menimbulkan akibat yang besar terhadap Indonesia dan khususnya hak-hak masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara. Penulis berpendapat demikian karena walaupun Kopi Toraja telah terdaftar sebagai merek dagang di Jepang, masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara masih bisa mendaftarkannya sebagai Indikasi Geografis di Indonesia (Ibnu Munzir, 2013:128). Untuk mendaftarkan Kopi Arabika Toraja sebagai Indikasi Geografis, masyarakat dan pemerintah Tana Toraja dan Toraja Utara harus mengikuti aturan dari Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, bahwa yang dapat mengajukan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis adalah lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan yang Fakultas Hukum - UNISAN
134
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
terdiri atas: 1. Pihak yang mengusahakan barang hasil alam atau kekayaan alam, produsen barang hasil pertanian, pembuat barang kerajinan tangan atau barang hasil industri, pedagang yang menjual barang tersebut; 2. Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; 3. Kelompok konsumen barang tersebut. Lembaga yang dimaksudkan di atas adalah antara lain koperasi, asosiasi, atau yayasan yang anggotanya adalah produsen setempat. Kemudian yang dimaksud dengan lembaga yang diberi kewenangan untuk itu adalah lembaga pemerintah di daerah yang membidangi barang yang diajukan untuk permohonan, seperti pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota Dalam hal ini lembaga pemerintah yang membidangi Kopi Arabika Toraja adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja dan Toraja Utara (Ibnu Munzir, 2013:128). Sesuai dengan pasal tersebut di atas bahwa salah satu persyaratan untuk mengajukan permohonan pendaftaran Kopi Arabika Toraja harus adanya asosiasi yang menaungi masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara. Kemudian pada tahun 2011 Asosiasi tersebut terbentuk dengan nama Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Toraja yang menaungi 2 (dua) kabupaten yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. MPIG dibentuk dengan tujuan sebagai berikut (Buku Permohonan Indikasi Geografis Kopi Arabika Toraja, 2012:6) : 1. Mendapatkan perlindungan hukum atas nama produk Kopi Arabika Toraja; 2. Mendapatkan pengakuan atas mutu dan kekhasan produk Kopi Arabika Toraja; 3. Melestarikan tradisi tata cara produksi kopi (adat-iastiadat) yang telah ada di daerah wilayah Toraja, yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Setelah terbentuknya Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Toraja, MPIG mengajukan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis ke Direktorat Jenderal HKI pada tanggal 12 September 2012 dengan nomor agenda formulir pendaftaran yaitu: IG.00.2012.000. Sampai akhir tahun 2012 Kopi Arabika Toraja belum resmi terdaftar sebagai Indikasi Geografis karena masih dalam tahap proses pendaftaran. Apabila Kopi Arabika Toraja telah terdaftar sebagai Indikasi Geografis, maka akibat hukum yang ditimbulkan terhadap merek dagang Toarco Toraja Coffee (PT Toarco Jaya sebagai pemilik merek) adalah merek tersebut dimungkinkan tetap digunakan dalam perdagangan produknya, dengan syarat yaitu: 1. Pemakai merek terdaftar yaitu PT Toarco Jaya harus ada itikad baik dalam menggunakan mereknya (yaitu memenuhi persyaratan ke 2 dan 3); 2. PT Toarco Jaya menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang; 3. PT Toarco Jaya menjamin bahwa pemakaian tanda atau nama Toarco Toraja Coffee tidak akan menyesatkan Indikasi geografis terdaftar. 135 Fakultas Hukum - UNISAN
Akibat Hukum Kopi Toraja
Demikian halnya menurut pendapat Syarifuddin selaku Kepala Seksi (Kasi) Evaluasi Teknis Sub Direktorat (Subdit) Indikasi Geografis yang mengatakan bahwa PT. Toarco Jaya bisa saja menggunakan nama/merek Kopi Toraja secara terus-menerus jika PT. Toarco Jaya ikut dalam keanggotaan MPIG Tana Toraja dan Toraja Utara (Hasil Wawancara 30 Oktober 2012). Menurut pendapat penulis apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka merek Toarco Toraja Coffee dapat dibatalkan atas pertimbangan bahwa tidak dipenuhinya syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Bunyi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut: “Dalam suatu tanda sebagaimana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 56 ayat (8) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, telah terdaftar atau dipakai sebagai merek sebelum atau pada saat permohonan suatu Indikasi Geografis atas barang sejenis atau yang sama dan tanda tersebut kemudian dinyatakan terdaftar sebagai Indikasi geografis, maka pemakaian tanda sebagai merek dengan iktikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak menggunakan Indikasi Geografis tetap dimungkinkan dengan syarat pemakai merek tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian merek dimaksud tidak akan menyesatkan Indikasi Geografis terdaftar”. B.2 Akibat Hukum Terhadap Kegiatan Perdagangan Di Indonesia terdapat lembaga yang mewadahi seluruh perusahaan ekportir, perusahaan pengolahan kopi dan perusahaan di bidang perkopian Indonesia lainnya. lembaga ini dinamakan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI). Tujuan dibentuknya AEKI pada dasarnya untuk mewujudkan masyarakat perkopian yang sejahtera, tangguh dan mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan perekonomian nasional. AEKI mempunyai tugas utama yaitu mengarahkan anggota menjadi profesional dan memiliki citra yang baik, memberikan perlindungan dan memperjuangkan kepentingan anggota, membantu upaya pemerintah dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani serta pelaku usaha lain dalam bidang perkopian, memberikan pendapat dan saran kepada pemerintah dan lembaga lain sebagai sumbangan dalam pengambilan keputusan kebijakan perkopian nasional, serta menjalin dan membina kerjasama dengan industri / lembaga terkait di bidang perkopian baik di dalam maupun di luar negeri (Anggaran Dasar AEKI Tahun 2009). Badan Pengurus Daerah (BPD) AEKI pada tahun 2012 berjumlah 12 yaitu: BPD AEKI Aceh. BPD AEKI Sumatera Utara, BPD AEKI Sumatera Barat, BPD AEKI Sumatera Selatan, BPD AEKI Bengkulu, BPD AEKI Jambi, BPD AEKI Lampung, BPD AEKI DKI Jaya, BPD AEKI Jawa Tengah, BPD AEKI Jawa Timur, BPD AEKI Sulawesi Selatan, BPD AEKI NTT. Perusahaan eksportir kopi yang dinaungi oleh BPD AEKI Sulawesi Selatan termasuk, PT Toarco Jaya dan Litha & CO. PT Toarco Toraja berkedudukan di Kabupaten Toraja Utara sedangkan Litha & Co berkedudukan di Kota Makassar. Fakultas Hukum - UNISAN
136
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Ekspor Kopi Indonesia ke negara-negara tujuan utama pada tahun 2002 / 2003 – 2005 / 2006 adalah sebagai berikut (AEKI 30 Tahun, 2010:25) : Tabel 1 Ekspor Kopi Indonesia Ke Negara-Negara Tujuan Utama Negara Tujuan
Robusta
Arabika
Olahan
Jumlah
42.611 44.442 40.022
24.152 6.078 7.212
535 1.159
67.297 50.520 48.393
127.075
37.442
1.694
166.210
19.271 11.369 6.157 9.047 4.428 6.818 5.936
111 2.295 977 194 5
56 2.892 3.587 482 1.223
19.438 11.369 11.344 10.024 8.209 7.300 7.164
Jumlah 4 – 10
63.026
3.582
8.240
74.848
Total Ekspor
260.660
49.927
12.454
323.041
1. Amerika Serikat (AS) 2. Jerman 3. Jepang Jumlah 1 – 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Italia Algeria Singapura Inggris Malaysia Romania Polandia
(Dalam ton / tahun)
Pada dasarnya ekspor Kopi Indonesia rata-rata ditujukan pada lebih dari 75 negara, tetapi lebih dari 70 % ditujukan pada 10 negar, dan sekitar 50 % pada 3 negara, yaitu Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang. Pasar Amerika Serikat rata-rata menyerap sekitar 20 %, Jerman 16 %, dan Jepang 15 % dari ekspor kopi Indonesia. Sementara itu ke tiga negara tersebut juga menyerap hampir 75 % ekspor kopi arabika dari Indonesia. Terutama Amerika Serikat dengan pangsa pasar lebih dari 48 %. Selain Jerman, negara tujuan utama di Eropa adalah Italia, Inggris, Romania, dan Polandia. Sedangkan di Asia, selain Jepang adalah Singapura dan Malaysia (AEKI 30 Tahun, 2010:25). Guna melindungi nama kopi-kopi spesialti agar tidak digunakan dalam oleh perusahaan asing secara tidak sah, maka AEKI telah mendaftarkan sejumlah nama kopi spesialti Indonesia untuk memperoleh sertifikat merek. Pada tahun 2004 Ditjen HKI telah menerbitkan sertifikat merek atas nama AEKI. Merek-merek dagang telah diterbitkan sertifikatnya merupakan hak merek asosiasi yang dapat digunakan secara kolektif oleh semua anggota AEKI sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dengan masa berlaku selama 10 tahun yang dapat diperpanjang. Merek-merek dagang tersebut adalah sebagai berikut (AEKI 30 Tahun, 2010:5) : 1. AEKI Arabica Mandheling 2. AEKI Arabica Gayo Takengon 3. AEKI Arabica Kalosi Toraja 4. AEKI Arabica Bali 5. AEKI Arabica Washed Java 6. AEKI Robusta Lampung Spesialty AP 7. AEKI Robusta Lampung Spesialty ELB 137
Fakultas Hukum - UNISAN
Akibat Hukum Kopi Toraja
8. AEKI Robusta Sumnedo Spesialty 9. AEKI Robusta Washed java 10 AEKI Robusta FLores Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa ada antisipasi dari AEKI untuk menggunakan mereknya dalam kegiatan ekspor anggotanya. AEKI telah menyadari bahwa merek yang telah didaftarkan di luar negeri yang merupakan nama wilayah geografis Indonesia seperti misalnya Toarco Toraja Coffee yang terdaftar sebagai merek dagang di Jepang yang haknya dimiliki oleh Key Coffee Inc sangat menyulitkan eksportir Indonesia untuk mengekspor kopinya dengan menggunakan kata Toraja. Kesulitan-kesulitan tersebut tidak menjadi masalah bagi PT Toarco Jaya, sebagaimana yang telah diketahui bahwa PT Toarco Jaya merupakan anak perusahaan dari Key Coffee Inc. Merek-merek kopi tersebut di atas sebenarnya lebih relevan untuk didaftarkan sebagai hak Indikasi Geografis, dan bukan sebagai hak merek. Masalahnya adalah bahwa pada waktu pendaftaran dilakukan pada tanggal 23 Mei 2003, perangkat hukum berupa Peraturan Pemerintah tentang hak Indikasi Geografis masih belum terbit (AEKI 30 Tahun, 2010:58) Bapak Miftakhul Kirom berpendapat bahwa Karena Perusahaan Key Coffee Inc di Jepang telah mendaftarkan Kopi Toraja sebagai merek dagang maka AEKI selama ini mengekspor biji Kopi Toraja dengan menggunakan nama yang berbeda, contoh: Menjadi tidak masalah jika AEKI mengekspor kopi dengan nama berbeda selain dari nama Kopi Toraja, misalnya AEKI mengekspor Kopi ke Jepang dengan menggunakan nama Rantepao Kopi, padahal produknya juga adalah Kopi Toraja, hanya penggunaan nama saja yang berbeda. Sebagai contoh lain, permintaan impor Kopi Toraja oleh perusahaan Japanese Kopi dimana Japanese Kopi ini adalah saingan dari perusahaan Key Coffee yang menjual produk Kopi Toraja di Jepang. Kemudian permintaan tersebut direalisasikan oleh perusahaan Litha & Co sebagai salah satu anggota AEKI. Litha & Co dilarang mengggunakan Label Kopi Toraja sebagai label Ekspornya ke perusahaan Japanese Kopi, demikian pula Japanese Kopi dilarang memperdagangkan produk Kopi Toraja dengan menggunakan label Kopi Toraja di Jepang. Untuk itu Litha & Co mengekspor produk Kopi dengan menggunakan nama Rantepao Kopi, demikian juga perusahaan Japanese Kopi memperdagangkan produk Kopi Toraja dengan Menggunakan nama Rantepao Kopi dalam label kemasanya di Jepang Hasil Wawancara 29 Oktober 2012). Penulis berpendapat bahwa Akibat dari pendaftaran merek Toarco Toraja Coffee di Jepang oleh Key Coffee Inc sangat dirasakan bagi perusahaan pengekspor kopi yang ada di Indonesia, khususnya ekspor produk Kopi Toraja karena adanya pelarangan-pelarangan dengan menggunakan nama Toraja sebagai label atau kemasan ekspornya. Sehingga perusahaan ekspor harus mengganti nama labelnya jika harus mengekspor ke Jepang misalnya mengganti nama dengan tidak menggunakan nama Toraja tetapi menggunakan nama Kopi Rantepao. Hal tersebut sangat mempersulit eksportir untuk mengekspor kopi Toraja ke Jepang kecuali PT Toarco Jaya. Fakultas Hukum - UNISAN
138
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Pelarangan-pelarangan tersebut mengakibatkan enggannya eksportir lain selain dari PT Toarco Jaya untuk mengekspor Kopi Toraja ke Jepang, dan memfokuskan untuk mengekspor kopi yang mempunyai kualitas sama misalnya Kopi Gayo atau Kopi Mandheling ke negara lain, misalnya Amerika Serikat. hal tersebut menguntungkan PT Toarco Jaya yang menjadi perusahaan eksportir satu-satunya yang mengekspor Kopi Toraja Ke Jepang. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel tujuan ekspor, yang memiliki peringkat pertama adalah Amerika Serikat, karena selain dari tingkat permintaan kopi yang banyak di Amerika Serikat, Amerika Serikat juga tidak menyulitkan perusahaan eksportir Indonesia untuk menggunakan nama Indikasi Geografis atau Indikasi Asal dalam produk ekspornya. Pada tahun 2001 sampai dengan 2005 Indonesia merupakan negara pengekspor kopi ke 4 (empat) terbesar ke negara Jepang, dengan kata lain bahwa impor kopi Jepang sangat bergantung pada Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan adanya pendaftaran Kopi Toraja dengan nama merek Toarco Toraja Coffee di Jepang. Untuk lebih jelasnya mengenai ekspor kopi negara-negara yang masuk ke Jepang dapat dilihat pada tabel di bawah ini (ASEAN Japan Centre, 2007:212) : Tabel 2 Negara-Negara Pengekspor Kopi Ke Jepang
Brazil Columbia Guatemala Indonesia Ethiopia Vietnam Tanzania U.S.A Costa Rica Others Total (E U) (ASEAN)
2001 Value 20,942 16,359 6,355 7,275 4,785 1,943 1,889 2,908 1,420 19,370 83,247 3,946 10,443
2002 Value 17,752 19,512 6,827 7,012 4,894 2,000 1,401 2,953 1,575 19,410 83,337 3,727 10,124
2003 Value 18,403 15,722 5,694 7,151 4,761 1,913 1,825 2,756 1,894 18,393 78,465 4,023 10,155
Value 19,386 19,245 6,083 7,326 6,277 2,183 1,796 2,373 1,714 16,669 83,054 3,288 10,299
2004 Volume 109,019 93,770 27,561 61,795 37,934 25,803 8,610 2,536 8,438 49,430 424,897 2,735 89,147
Value 32,775 27,8% 28,077 23,8% 10,172 8,6% 8,568 7,3% 7,849 6,7% 2,918 2,5% 2,760 2,3% 2,519 2,1% 2,144 1,8% 20,218 17,1% 118,000 100,0% 3,814 3,2% 12,701 10,8%
2005 Volume 125,855 28,7% 96,827 22,0% 33,307 7,6% 57,490 13,1% 30,476 6,9% 28,322 6,4% 10,011 2,3% 2,559 0,6% 7,305 1,7% 47,064 10,7% 439,217 100,0% 2,841 0,6% 88,477 20,1%
Average 260 290 305 149 258 103 276 984 293 430 269 1,342 144
Unit : Value = ¥ million, Volume = tons, Average Unit Price = ¥ per kg Sumber : Statistik Perdagangan (Kementerian Keuangan).
Penulis berpendapat sebagaimana yang diketahui bahwa Jepang adalah salah satu negara yang mempelopori masuknya Perjanjian TRIPs ke dalam struktur dasar Persetujuan WTO, dimana aturan-aturan dalam Perjanjian TRIPs khususnya yang terkait dengan Indikasi Geografis lebih menguntungkan negara Jepang. Dalam hal ini bahwa Jepang yang telah mendaftarkan Kopi Toraja sebagai merek dagang di Jepang Tahun 1977 dan kemudian memasukkan klausul-klausul dalam Perjanjian TRIPs yang tidak memberatkan untuk dilaksanakan oleh Jepang. Misalnya dalam klausul yang terdapat pada Pasal 22 ayat (2) dan 139
Fakultas Hukum - UNISAN
Akibat Hukum Kopi Toraja
ayat (3) Perjanjian TRIPs dimana tidak ada larangan bagi pemakaian merek yang menggunakan Indikasi Geografis atau Indikasi Asal hanya saja pemakai merek harus menyatakan kebenaran tempat asal atau Indikasi Asal dari produk / barang yang diperdagangkannya. Dan tidak melarang penggunaan merek yang memakai Indikasi Geografis dan Indikasi Asal suatu daerah atau wilayah selama barang / produk yang diperdagangkan itu tidak menyesatkan masyarakat, dengan kata lain bahwa barang yang diperdagangkan itu harus berasal dari wilayah asal atau Indikasi Asal yang digunakan dalam mereknya (Ibnu Munzir, 2013:140). III. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua pokok permasalahan adalah : 1. Merek merupakan sesuatu hal yang sangat penting artinya bagi kehidupan perekonomian suatu kelompok tertentu bahkan negara, khususnya dalam dunia perdagangan. Sesuai dengan fungsi merek, sebagai tanda pembeda, maka seyogianya antara merek yang dimiliki seseorang tidak boleh sama dengan merek yang dimiliki orang lain. Persamaan itu tidak saja sama secara keseluruhan, tetapi memiliki persamaan secara prinsip. Sama secara keseluruhan berarti merek tersebut secara totalitas ditiru. 2. Merek kopi Toraja yang terdaftar di Jepang berakibat hukum dalam 2 (dua) hal, yaitu (1) terhadap pendaftaran Indikasi Asal, dalam arti bahwa akibat dari pendaftaran yang dilakukan oleh Key Coffee Inc di Jepang dan Indonesia terhadap produk kopi Toraja dengan nama merek dagang Toarco Toraja Coffee yaitu masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara tidak dapat mendaftarkan Kopi Arabika Toraja sebagai merek dagang di Indonesia akan tetapi hanya bisa didaftarkan sebagai Indikasi Geografis; (2) Akibat hukum terhadap kegiatan perdagangan, dalam arti bahwa karena perusahaan Key Coffee Inc telah mendaftarkan kopi Toraja sebagai merek dagang di Jepang maka perusahaanperusahaan yang tergabung dalam AEKI tidak dapat mengekspor produk kopi ke Jepang dengan nama kopi Toraja, kecuali dengan menggunakan nama lain selain nama Toraja.
Fakultas Hukum - UNISAN
140
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
DAFTAR PUSTAKA
Buku : AEKI, 30 Tahun AEKI Berkarya, Jakarta, Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia, 2010. Ahmadi Miru, Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2007. ASEAN Japan Centre, Market Survey Program Marketing Guide for ASEAN Exporters to Japan Food, ASEAN Promotion Centre on Trade, Investment and Tourism, 2007. Birkah Latif dan Kadarudin “1”, Pengantar Hukum Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press, 2013. _______________________ “2”, Hukum Perjanjian Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press, 2013. Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Jakarta; Rineka Cipta, 2008. Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Yang Benar: Membahas Secara Runtut Dan Detail Tentang Tata Cara Mengurus Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta; Pustaka Yustisia, 2010. M.N. Purwa Sutjipto, “Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia,” dalam O.K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual: (Inttellectual Property Rights), Cet. 7, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010 O.K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual: (Inttellectual Property Rights), Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2010. Rachmadi Usman, Hukum Hak Kekayaan Intellektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung; P.T Alumni, 2003. R. Soekardono, “Hukum Dagang Indonesia,” dalam O.K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual: (Inttellectual Property Rights), Cet. 7, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010 Sumber Lain : Ibnu Munzir, Perlindungan Hukum Terhadap Kopi Toraja Sebagai Produk Indikasi Asal Milik Tana Toraja Dan Toraja Utara Yang Terdaftar Sebagai Merek Dagang Di Indonesia Dan Jepang, Tesis Tidak Di Publikasikan. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2013. Anggaran Dasar Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Toraja Anggaran Dasar Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indoneisia (AEKI) Tahun 2009. Buku Permohonan Pendaftaran Indikasi Geografis Kopi Arabika Toraja, Tahun 2012 P.T. Toarco Jaya: Perjalanan Panjang Toarco Toraja Coffee.
141
Fakultas Hukum - UNISAN
Akibat Hukum Kopi Toraja
Surip Mawardi. (Penerapan Sistem Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia: Peluang Dan Tantangan), Makalah diajukan pada seminar Hak Kekayaan Intelektual di Jakarta tahun 2005. www.google.com apksa, wadah diskusi pengetahuan kekayaan alam kaltim, Diakses pada tanggal 10 Juni 2012 http://www.scribd.com.
Fakultas Hukum - UNISAN
142
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
143
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
IMPLEMENTASI SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU CONCURSUS DI PENGADILAN Muh. Ardiansyah Arafah Putra Praktisi Hukum Pidana
[email protected] Abstract The role of attorneys’ indictment and judges’ consideration and conviction have very important role in generally applying the concursus (either ideal concursus, continous acts, or real concursus) in a juvenile delinquency trial in the court, and 2) the implementation of criminal sanction to the concursus doers at Makassar District Court has not been optimal yet, the implementation of criminal sanction to the child doers of concursus at the Makassar District Court is very scarce, so that it is can not guarantee to bring about deterrent effect after having light sentence so the child may repeat the criminal actions in the future . Keywords: Child actors, Concursus, Makassar District court I. PENDAHULUAN Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan yang bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera merata meteriil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Salah satu bagian pembangunan nasional adalah pembangunan dibidang hukum. Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, oleh karena itu masalah hukum seolah menjadi salah satu fenomena yang tidak pernah surut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Seiring meningkatnya fenomena masalah hukum maka meningkat pula kajian yang bertujuan untuk menggali berbagai masalah dari perspektif hukum dan perundang-undangan yang ada. Kajian hukum yang menggunakan dasar-dasar hukum, teori dan perundangundangan dalam mengkaji suatu masalah, menjadi sangat penting dalam menemukan solusi hukum atas suatu masalah yang hendak dikaji. Masalah hukum sudah sangat banyak dikaji secara komprehensif termasuk salah satunya adalah tindak pidana. Tindak pidana adalah suatu kejatahatan yang semuanya telah diatur dalam undangundang, mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, baik itu yang tergolong sebagai satu tindak pidana maupun lebih dari satu tindak pidana yang biasa dikenal secara umum sebagai gabungan / perbarengan tindak pidana (concursus/samenloop) juga telah di Fakultas Hukum - UNISAN
144
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
atur secara jelas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP itu sendiri telah menjelaskan dan mengatur tentang macam-macam dari concursus beserta akibat hukum apabila melakukan concursus tersebut, aturan yang menjelaskan mengenai concursus/ samenloop secara umum diatur dalam Bab IV, Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 Buku 1 KUHP tentang Ketentuan Umum, dan masih banyak pula pasal-pasal lain yang berhubungan dengan pasal tersebut yang menjelaskan tentang concursus. Dari pasal-pasal tersebutlah yang nantinya dapat menghapus kesan yang selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Seiring dengan berjalannya waktu, perbarengan / gabungan tindak pidana saat ini bukan hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa saja, bahkan perbuatan anak-anakpun dapat dikategorikan sebagai suatu gabungan tindak pidana (concursus). Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan adanya jaminan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dapat diartikan bahwa anak dianggap belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi orang dewasa, baik orang tua, keluarga, masyarakat maupun bangsa untuk memberikan jaminan, memelihara dan mengamankan kepentingan anak serta melindungi dari gangguan yang datang dari luar maupun dari anak itu sendiri. Asuhan anak, terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua di lingkungan keluarga, akan tetapi demi kepentingan kelangsungan tata sosial maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu adanya campur tangan dari pemerintah agar anak-anak ataupun remaja dapat di arahkan kepada hal-hal yang positif, dan terhindar dari perilaku yang menyimpang (melakukan tindak pidana) bahkan dapat dikategorikan sebagai concursus. Putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa yaitu memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut, apakah akan menerima putusan atau akan melakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Sedangkan di lain pihak, apabila telah ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilainilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007:119). Berdasarkan pendapat tersebut, maka tampak bahwa moralitas dan mentalitas hakim dalam menangani perkara terletak pada putusan yang 145
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
dijatuhkan, karena putusan hakim merupakan mahkota atau puncak pencerminan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Namun pada kenyataannya, masih ada saja putusan hakim di pengadilan yang belum mengoptimalkan sanksi pidana (baik pidana pokok maupun pidana tambahan) terhadap anak pelaku concursus, sanksi yang hanya berupa tindakan banyak terdapat dalam putusan-putusan hakim (Hasil Penelitian di Pengadilan Negeri Makassar). Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak pelaksanaan sanksi pidana terhadap anak pelaku concursus cenderung tidak optimal, sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana khususnya pelaku concursus, Berdasarkan fenomena yang terjadi sebagaimana yang telah di uraikan, maka penulis hendak mengkaji dan meneliti implementasi sanksi pidana terhadap anak pelaku concursus oleh hakim pengadilan. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Bagaimanakah penerapan jenis concursus pada perkara anak sebagai pelaku tindak pidana di pengadilan? Bagaimanakah implementasi penjatuhan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana concursus di pengadilan? II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar, khususnya di instansi Pengadilan Negeri Makassar. Penentuan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa di kantor Pengadilan Negeri Makassar tersedia data yang diperlukan sebagai bahan analisis, data tersebut diperoleh dengan mengumpulkan dokumen-dokumen perkara anak yang meliputi berita acara penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang. B. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis (hukum normatif), yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum, kaidah, doktrin yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi (Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995:15,20,29). Juga dilakukan dengan meneliti sejumlah putusan Pengadilan Negeri Makassar yang terkait dengan perkara anak sebagai pelaku concursus. Selain melakukan penelitian hukum normatif, dilakukan pula penelitian hukum empiris untuk menunjang kepustakaan yaitu dengan melakukan penelitian dalam kenyataan tentang fakta-fakta (Sunaryati Hartono, 1994:95-96). Dalam penelitian ini akan melihat kenyataan dan fakta-fakta yang terjadi dalam persidangan dengan melakukan wawancara dengan sejumlah hakim anak yang ada di Pengadilan Negeri Makassar. C. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pihak-pihak yang terkait pada Pengadilan Negeri Makassar. Dari populasi tersebut ditetapkan atau dipilih sampel secara acak. Sampel yang dipilih adalah mereka yang berkompeten dibidangnya terkait dengan Fakultas Hukum - UNISAN
146
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
penulisan tesis penulis. Selain itu, dalam penelitian ini juga dipilih 3 (tiga) orang Hakim anak Pengadilan Negeri Makassar sebagai nara sumber, serta Putusan Pengadilan Negeri Makassar. Dalam membahas permasalahan yang dikaji, penulis menggunakan 3 (tiga) putusan perkara anak pelaku concursus. Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan metode seperti ini didasari pertimbangan bahwa, pihak-pihak tersebut di atas adalah pihak yang menurut peneliti sebagai representasi dari populasi yang calon peneliti tentukan sebelumnya. D. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan maka dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Wawancara, yaitu metode atau teknik pengumpulan data yang didapatkan secara langsung dari nara sumber dengan menggunakan pedoman wawancara. 2. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dengan mengkaji dokumen-dokumen penting dari instansi Pengadilan Negeri Makassar yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan dokumentasi tersebut bersifat sebagai bahan kajian yang relevan dengan penelitian. E. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder: 1. Data primer adalah data empirik yang diperoleh langsung dari lapangan penelitian yang bersumber dari responden dan narasumber yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. 2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi Pengadilan Negeri Makassar, yaitu bahan-bahan laporan, sejumlah putusan dan dokumen lain yang mempunyai hubungan erat dengan masalah yang di bahas dalam penulisan tesis ini. F. Analisis Data Sesuai dengan permasalahan yang ingin dijawab dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif, selanjutnya dideskripsikan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. III. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN A. Penerapan Jenis Concursus Pada Perkara Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Di Pengadilan A.1 Tindak Pidana dan Gabungan Tindak Pidana (Concursus) Sebelum membahas lebih dalam materi yang menjadi pokok dalam pengertian tindak pidana (delik) menurut beberapa pakar ilmu hukum. Maka istilah tindak pidana (delik) berasal 147
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
dari bahasa latin, yaitu delictum atau delicta yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa belanda dengan istilah strafbaar feit. Menurut Adami Chazawi menerangkan bahwa di Indonesia sendiri setidaknya dikenal ada tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit (Belanda). Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundangundangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah Strafbaar feit antara lain adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana (Adami Chazawi, 2008:67-68). Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Secara letterlijk, kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan. Sedangkan dalam bahasa Belanda feit berarti “sebagian dari suatu kenyataan” dan strafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. Menurut Jonkers yang telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertiaan yaitu : a. Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-undang. b. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertiaan straabar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau culpa (lalai) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (Bambang Poernomo, 1992:91). Menurut Moeljatno definisi tindak pidana atau delik adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut” (Moeljatno, 2002:54). Menurut Pompe yang mengemukakan bahwa suatu tindak pidana adalah “Tidak lain dari pada suatu tindakkan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum” Begitu juga dengan Vos yang merumuskan bahwa delik adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan” (Moeljatno, 2002:54). R. Tresna menyatakan bahwa delik adalah “Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman” (Moeljatno, 2002:54). Selanjutnya J.E. Jonkers yang merumuskan delik adalah “Perbuatan yang melawan hukum atau wederrechttelijk yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan” (Moeljatno, 2002:75). Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan tindak pidana adalah “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat Fakultas Hukum - UNISAN
148
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
dikenakan hukuman pidana” (Moeljatno, 2002:75). H.J. van Schravendijk, merumuskan bahwa tindak pidana adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan” (Moeljatno, 2002:75). Menurut Simons yang menyatakan bahwa delik adalah “Suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum” (Moeljatno, 2002:75). Achmad Ali (2008:192) mengemukakan bahwa “Delik adalah pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum atau pun undang-undang dengan tidak membedakaan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat atau pun hukum publik, termasuk hukum pidana”. Dalam kamus hukum yang ditulis oleh Sudarsono yang menyatakan bahwa delik adalah Perbuatan yang dapat dikenakan pidana karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (Sudarsono, 2007:92). R. Abdoel Djamali (2005:175) mengemukakan pengertian tindak pidana (delik) sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang, dimana tindak pidana yang dilakukan pertamakali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Pada pengulangan juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Perbedaan pokoknya ialah, bahwa pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan mempidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat, seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan (Adami Chazawi, 2009:109). Dari pengertian di atas, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu tentang pengertian gabungan melakukan tindak pidana itu sendiri dan mengenai penyertaan dan juga mengenai tindak pidana berulang. Pada delik penyertaan (delneming) terlibat beberapa orang dalam satu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan pada gabungan beberapa perbuatan atau concursus terdapat beberapa perbuatan yang dapat dihukum yang dilakukan oleh satu orang, sebagaimana dalam recidive. Akan tetapi dalam recividive, beberapa perbuatan pidana yang telah dilakukan diselingi oleh suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, sehingga karenanya terhukum dinyatakan telah mengulang kembali melakukan kejahatan. Sementara itu dalam gabungan melakukan tindak pidana, pelaku telah berturutturut melakukan beberapa perbuatan pidana tanpa memberi kesempatan pada pengadilan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman atas salah satu perbuatan tersebut. Gabungan melakukan tindak pidana juga sering dipersamakan dengan perbarengan melakukan tindak pidana yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan 149
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
itu belum mendapatkan keputusan tetap. Gabungan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai Pasal 63 sampai Pasal 71 buku I Bab VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Adapun pasal-pasal yang berkenaan dengan concursus, adalah : Pasal 63 tentang Concursus Idealis (1) Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana berlain, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya; (2) Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan. Dari pasal di atas maka orang yang melakukan tindak pidana sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan sebagaimana dimaksud oleh pasal ini. Sedangkan ayat (2) menjelaskan apabila ada sesuatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus di samping pidana yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah yang dipakai. Ini adalah penjelmaan adagium yang berbunyi lex specialis derogat lex generalis (http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2323842-pengertian-dan-dasar-hukum/#ixzz 2doWVxpgm). Pasal 64 tentang Vorgezette Handeling (1) Kalau antara beberapa perbuatan ada perhubungannya, meskipun perbuatan itu masing-masing telah merupakan kejahatan atau pelanggaran, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berturut-turut, maka hanyalah satu ketentuan pidana saja yang digunakan ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya; (2) Begitu juga hanyalah satu ketentuan pidana yang dijalankan, apabila orang disalahkan memalsukan atau merusak uang dan memakai benda, yang terhadapnya dilakukan perbuatan memalsukan atau merusak uang itu; (3) Akan tetapi jikalau kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 364, 373, 379 dan pasal 407 ayat pertama dilakukan dengan berturut-turut, serta jumlah kerugian atas kepunyaan orang karena perbuatan itu lebih dari Rp. 25,- maka dijalankan ketentuan pidana Pasal 362, 372, 378, atau 406. Pasal 64 ini menjadi dasar hukum bagi perbuatan yang berkelanjutan yaitu antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya ada kaitannya. Tindak pidana yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang berkelanjutan seperti pencurian ringan (Pasal 364), penggelapan ringan (Pasal 373), penggelapan biasa (Pasal 372) selanjutnya beberapa penipuan ringan (Pasal 379), penipuan biasa (Pasal 378), perusakan barang (Pasal 407 ayat 1) dan juga perusakan barang biasa (Pasal 406). Fakultas Hukum - UNISAN
150
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Pasal 65 tentang Concursus Realis (1) Jika ada gabungan beberapa perbuatan, yang masing-masingnya harus dipandang sebagai satu perbuatan bulat dan yang masing-masingnya merupakan kejahatan yang terancam dengan pidana pokoknya yang sama, maka satu pidana saja yang dijatuhkan; (2) Maksimum pidana itu ialah jumlah maksimum yang diancamkan atas tiap-tiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari yang terberat ditambah sepertiganya. Apa yang tersirat dalam Pasal 65 ini adalah bentuk gabungan beberapa kejahatan (concursus realis). Apabila terdapat seseorang yang melakukan beberapa kejahatan, akan dijatuhi satu hukuman saja apabila hukuman yang diancamkan adalah sejenis hukuman mana tidak boleh lebih dari maksimum bagi kejahatan yang terberat ditambah dengan sepertiganya. Pasal 65 ini membahas tentang gabungan kejahatan yang hukumannya sejenis. A.2 Pelaku dan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Untuk memastikan siapa yang harus dipandang seorang dader atau seorang pelaku itu tampaknya tidak terlalu sulit. Akan tetapi dalam kenyataanya pemastian seperti itu adalah tidak mudah. Pada delik-delik formal atau formale delicten, atau yang sering juga disebut deli-delik yang dirumuskan secara formal atau formeel omschreven delicten, yakni delikdelik yang dapat dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya, yaitu segera setelah pelakunya itu melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang ataupun segera setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang, untuk memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader itu, memang tidak sulit. Orang tinggal menemukan siapa yang sebenarnya telah melakukan pelanggaran terhadap larangan atau keharusan yang telah disebutkan di dalam undang-undang. Itulah sebabnya mengapa van ECK telah mengemukakan bahwa “Orang dapat memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seoarang pelaku dengan membaca suatu rumusan delik” (PAF. Lamintang, 1997:590). Lain halnya apabila orang harus memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader pada delik-delik material atau pada materiale delicten ataupun pada apa yang juga sering disebut sebagai materiel omschreven delecten, oleh karena untuk dapat memastikan siapa yang harus telah dapat memastikan apakah suatu tindakan itu dapat dipandang sebagai suatu penyebab dari suatu akibat yang timbul ataupun tidak. Menurut memori penjelasan mengenai pembentukan Pasal 55 KUHP itu, yang harus dipandang sebagai daders itu bukan saja mereka yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana, melainkan juga mereka “yang telah menyuruh melakukan” dan mereka “yang turut melakukan” suatu tindak pidana. Apabila rumusan ketentuan pidana di dalam Pasal 55 KUHP itu berbunyi antara lain: “Als daders van een strafbaar feit worden gestraft…” maka pembentuk undang-undang itu sendiri telah tidak memberikan suatu penjelasan tentang siapa yang sebenarnya harus dipandang sebagai dader van een strafbaar feit atau yang sebenarnya harus dipandang 151
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
sebagai pelaku suatu tindak pidana. Pembentuk undang-undang itu mungkin berpendapat, bahwa siapa yang seharusnya dipandang sebagai pelaku dari suatu tindak pidana itu adalah seharusnya jelas, sehingga ia tidak merasa perlu untuk menjelaskan lebih lanjut, akan tetapi seperti yang telah dijelaskandi atas, di dalam praktek kenyataanya adalah sangat sulit untuk memastikan siapa yang seharusnya dapat pandang sebagai pelaku, khususnya dalam delikdelik yang telah dirumuskan secara material. Oleh karena itulah, maka ilmu pengetahuan hukum pidana, orang telah berusaha memberikan penjelasan tentang siapa yang harus dipandang sebagai pelaku suatu tindak pidana, dengan membuat berbagai defenisi tentang hal tersebut. Van Hamel telah mengartikan pelaku dari suatu tindak pidana itu dengan membuat suatu defenisi yang mengatakan antara lain, bahwa “Pelaku suatu tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas. Jadi pelaku itu adalah orang yang dengan seorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan” (PAF. Lamintang, 1997:593). Selanjutnya van Hamel yang mengatakan bahwa “seseorang yang dipandang sebagai seorang pelaku itu tidak boleh semata-mata didasarkan pada suatu anggapan, akan tetapi hal tersebut selalu harus dibuktikan” (PAF. Lamintang, 1997:593). Adapun menurut Simons pengertian pelaku (dader) itu adalah sebagai berikut “Pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dihendaki oleh undang-undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan perkataan lain ian adalah orang yang memenuhi semua unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan di dalam undangundang, baik itu merupakan unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul karena digerakkan oleh pihak ketiga” (PAF. Lamintang, 1997:594). Dari rumusan-rumusan mengenai pengertian pelaku (dader) di atas itu, baik yang telah dibuat oleh van Hamel maupun yang dibuat oleh Simons, kita dapat mengetahui bahwa kedua orang guru besar tersebut mempunyai pendapat yang sama mengenai siapa yang harus dipandang sebagai pelaku dari suatu tindak pidana, yaitu dengan melihat bagaimana cara tindak pidana tersebut telah dirumuskan di dalam undang-undang ataupun pada sifat dari tindakan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang. Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Secara umum peraturan perundangundangan di berbagai Negara terutama pada pendekatan usia tidak ada keseragaman perumusan tentang anak. Di Amerika, batasan umur anak adalah 8-18 tahun. Di Australia Fakultas Hukum - UNISAN
152
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
disebut anak apabila berumur minimal 8 tahun dan maksimal 16 tahun, di Inggris batas umur anak 12 tahun dan maksimal 16 tahun sedangkan di Belanda yang disebut anak adalah apabila berumur antara 12-18 tahun, demikian juga di Srilangka, Jepang, Korea Filipina, Malaysia, dan Singapura (www.hukumonline.com). Dari berbagai batasan umur anak sebagaimana diuraikan diatas, nampak ada kesamaan antara negara-negara yakni disebut anak apabila batas minimal berumur 7 tahun dan batas maksimal berumur 18 tahun. Walaupun demikian, ada juga Negara mematok usia anak terendah berumur 6 tahun dan tertinggi 20 tahun, seperti Iran dan Srilangka. Perbedaan ini dapat saja terjadi karena adanya perbedaan pandangan yang disebabkan oleh kondisi sosial budaya masyarakat dari negara tersebut (www.hukumonline.com). Di Indonesia sendiri ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan berbagai peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah anak, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1/PUU-VIII/2010, dan yang terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 merumuskan sebagai berikut “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sebagai berikut “Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”. Sedangkan pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dimana rumusan pengertian anak dalam Pasal 1 Ayat (1) adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1/PUUVIII/2010, yang memberikan batasan umur anak yaitu batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah sekurang-kurangnya berumur 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Sedangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, memberikan batasan umur anak bahwa “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Menurut Sudarto yang dimaksud dengan anak nakal adalah sebagai berikut: 1. Yang melakukan tindak pidana; 2. Yang tidak dapat diatur dan tidak taat kepada orang tua/wali/pengasuh; 3. Yang sering meninggalkan rumah, tanpa ijin/pengetahuan orang tua/wali/ pengasuh; 4. Yang bergaul dengan penjahat-penjahat atau orang-orang yang tidak bermoral, sedang anak tersebut mengetahui hal itu; 153
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
5. Yang kerapkali mengunjungi tempat-tempat yang terlarang bagi anak; 6. Yang sering menggunakan kata-kata yang kotor; 7. Yang melakukan perbuatan yang mempunyai akibat yang tidak baik bagi perkembangan pribadi, sosial, rohani dan jasmani anak itu (Shanty Dellyana, 2004:67-68). Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa menarik batas antara belum dewasa dengan sudah dewasa, tidak perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual beli, berdagang, dan sebagainya, walaupun ia belum berwenang kawin (Maidin Gultom, 2008:7-8). Menurut Romli Atmasasmita (1995:48) bahwa kelalaian orang tua terhadapa anak akan dapat menimbulkan keterlantaran. Keterlantaran yang berkelanjutan tanpa penyelesaian, tindakan kekerasan dan kekejaman yang terus menerus dialami seorang anak, serta eksploitasi tenaga kerja anak secara di sengaja dan dibiarkan akan dapat mengakibatkan goncangan dan konflik batin pada diri si anak. Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada perkembangan fisik, mental emosinya serta sosialnya. Menurut Wagiati Soetodjo (2008:7-8) proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu: - Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 (tujuh) tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosianal, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (trozalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak. - Fase kedua adalah dimulai pada 7 sampai 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, di mana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu; a. Masa anak Sekolah Dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode intelektual. Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan sekolah kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan, kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi, namun masih bersifat tersimpan atau masa latensi (masa tersembunyi). b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan sebutan periode pueral. Pada periode ini, terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan berkembangannya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal, kurang sopan, liar dan lain-lain. Sejalan dengan berkembangannya fungsi jasmaniah, perkembangan intelektual pun berlangsung sangat intensif sehingga minat pada pengetahuan dan Fakultas Hukum - UNISAN
154
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
pengalaman baru pada dunia luar sangat besar terutama yang bersifat kongkrit, karenanya anak puber disebut sebagai fragmatis atau utilitas kecil, di mana minatnya terarah pada kegunaan-kegunaan teknis. - Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun, yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa remaja atau masa pubertas bisa dibagi dalam 4 (empat) fase, yaitu: a. Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueral/pra-pubertas. b. Masa menentang kedua, fase negatif, trozalter kedua, periode verneinung. c. Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas pada wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada masa pubertas anak lakilaki. d. Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar 19 hingga 21 tahun. Adapun pengertian anak yang dipakai sebagai rujukan oleh penulis dalam penulisan ini adalah pengertian anak berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1/PUU-VIII/2010, yang memberikan batasan umur anak yaitu batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah sekurang-kurangnya berumur 12 tahun sampai dengan 18 tahun. A.3 Konsep Penghukuman Bagi Pelaku Concursus dan Pengadilan Anak Di Indonesia Ada tiga bentuk concursus atau perbarengan (gabungan perbuatan), yaitu perbuatan berlanjut, concursus ideal (eedaadse samenloop) dan concursus realis (meerdaadse samenloop) dalam KUHP yang pengaturannya dalam 3 (tiga) pasal yang berbeda-beda yaitu karena pengaturannya mengenai sistem hukuman dari masing-masing bentuk tersebut adalah berbeda-beda. Menurut Utrecht (1962:177) “Jadi, dalam hal gabungan (samenloop) maka KUHP mengenal 4 (empat) ukuran untuk menetapkan beratnya hukuman, yaitu : 1. Sistem absorpsi; 2. Sistem absorpsi diperberat; 3. Sistem kumulasi yang diperingan; dan 4. Sistem kumulasi (yang murni, dan tidak terbatas)”. Selanjutnya, oleh J.E. Jonkers (1987:206) menjelaskan “Maka ketentuan mengenai keadaan kebersamaan ialah ketentuan mengenai penerapan pidana. Ada 4 (empat) sistem yang dijalankan dalam hal ini, yaitu : 1. Sistem absorpsi hanya aturan hukum yang terberat dijalankan. 2. Absorpsi yang dipertajam, peraturan pidana yang paling berat yang dijalankan ditambahi sedikit 1/3 di atas hukuman yang seberat-beratnya. 3. Sistem kumulasi yang murni yaitu bahwa dijatuhi pidana tanpa pengurangan. 155
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
4. Sistem kumulasi tanpa yang diperlunak, ada beberapa hukuman yang dijatuhkan, tetapi jumlah waktu dari semua hukuman yang paling lama dengan sebagian (sepertiganya)”. Jadi, ada 4 (empat) sistem atau cara penghukuman yang digunakan atau diterapkan dalam ketiga bentuk coneursus ialah sistem absorpsi, sistem absorpsi yang diperberat atau dipertajam, sistem kumulasi dan sistem kumulasi yang diperingan. Dalam hal perbuatan berlanjut itu hanyalah dapat dikenakan satu hukuman, jika perbuatan-perbuatannya diancam hukuman yang berbeda-beda, maka dikenakan adalah ketentuan yang termuat ancaman pidana pokok yang terberat. Dari ketentuan Pasal 64 KUHP ini jelas dalam perbuatan berlanjut, sistem hukumannya adalah sistem atau stelsel absorbsi. Sebab, dari beberapa perbuatan yang dilakukan, tetapi hanya dikenakan satu hukuman dimana satu hukuman yang dijatuhkan itu sudah menyerap yang lain. Hal yang sama juga, yaitu menggunakan sistem absorbsi, satu hukuman yang sudah menyerap yang lain yaitu berlaku terhadap concursus idealis, satu perbuatan yang terkena beberapa ketentuan pidana, dimana juga hanya dikenakan satu hukuman dan apabila ancaman hukumannya berbeda-beda hanya dikenakan satu hukuman yang maksimal adalah sama dengan pada ketentuan yang memuat ancaman hukuman yang paling berat. Hal yang agak berbeda adalah dalam hal adanya concursus realis pada Pasal 65 KUHP, yaitu “Dalam hal concursus realis, maka KUHP mengenal 3 (tiga) ukuran dalam menentukan beratnya hukuman, yaitu: 1) Sistem absorbsi diperberat; 2) Sistem kumulasi yang diperingan; dan 3) Sistem kumulasi” (Utrecht, 1962:177). Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang pelaku dan masing-masing perbuatan harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri, dan masingmasing diancamkan pidana pokok yang sejenis, hanya dijatuhkan satu pidana atau hukuman di mana maksimal hukuman yang dapat dikenakan tidak boleh melebihi ancaman terberat ditambah sepertiga. Bila beberapa perbuatan yang dilakukan itu masing-masing diancam hukuman pokok yang tidak sejenis, maka menurut Pasal 66 KUHP bahwa tiap-tiap hukuman yang dijatuhkan tapi jumlah hukuman tidak boleh melebihi yang terberat ditambah sepertiga. Jadi, masing-masing hukuman dijatuhkan merupakan sistem kumulasi, tetapi kumulasi mana dibatasi atau diperlunak (diperingan) ialah maksimalnya bukan hasil jumnlah ancaman masing-masing perbuatan, melainkan tidak boleh melebihi ancaman terberat ditambah sepertiganya, jadi sistem kumulasi tapi diperingan. Contoh yang dikemukakan E. Utrecht, yaitu : “... A telah melakukan beberapa kejahatan dan diancam dengan hukuman kurungan maksimal 9 bulan dan hukuman penjara maksimal 15 bulan, Hakim dapat menetapkan dua hukuman yaitu hukuman kurungan dan hukuman penjara, tetapi jumlah bulan yaitu (15 + 1/3 x 15 bulan) = 20 bulan. Jadi Hakim dapat menetapkan hukuman kurungan 5 bulan dan hukuman penjara maksimal 15 bulan”. Demikianlah contoh pengenaan hukum dalam concursus realis yang perbuatanperbuatannya diancam dengan hukuman pokok yang tidak sejenis. Jadi, bila beberapa Fakultas Hukum - UNISAN
156
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
perbuatan yang dilakukan merupakan gabungan kejahatan dan pelanggaran maka menurut ketentuan Pasal 70 KUHP, masing-masing dapat dikenakan sendiri-sendiri, dengan kata lam dapat dikenakan keseluruhan secara akumulasi. Dalam hal gabungan perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri ini, tapi dalam gabungan kejahatan dan pelanggaran ataupun pelanggaran dengan pelanggaran itu maka sistem penghukuman yang dikenakannya adalah sistem kumulasi murni. Demikianlah uraian-uraian singkat tentang cara penghukuman dalam gabungan beberapa perbuatan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memang sudah dilakukan penggantian dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa, namun demikian UU No. 11 Tahun 2012 ini baru mulai berlaku pada tahun 2014, oleh karena undang-undang tersebut mulai diberlakukan setelah 2 (dua) tahun sejak diundangkannya pada tahun 2012. Jadi penulis disini hanya akan menguraikan aturan-aturan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-undang tersebut berlaku lex specialis terhadap KUHP (WvS). Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Dengan mengacu pada aturan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal. a. Pidana pokok Ada beberapa pidana pokok dapat dijatuhkan kepada anak nakal yaitu : 1. Pidana penjara 2. Pidana kurungan 3. Pidana denda, atau 4. Pidana pengawasan. b. Pidana tambahan Seperti telah disebut bahwa selain pidana pokok maka terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan yang berupa: 1. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau 2. Pembayaran ganti rugi. 3. Tindakan Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah: 1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, 2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau 3. Menyerahkan kepada Depertemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. 157
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief (1994:20) bahwa hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan perbuatan anti sosial. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem peradilan pidana terhadap anak nakal berbeda dengan sistem peradilan pidana orang dewasa, di Indonesia juga terdapat kekhususan, dalam hal hukum acaranya, anak yang diduga melakukan tindak pidana dilakukan penahaanan ditempat yang berbeda dengan orang dewasa, ini bertujuan agar tidak terpengaruh orang dewasa, karena anak-anak cenderung meniru dan cepat mempelajari hal yang tidak diketahuinya. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Penyidik yang melakukan penyidikan terhadap anak adalah penyidik anak, Penuntut Umum adalah penuntut umum anak, Hakim adalah hakim anak (maupun hakim banding dan kasasi). Selain itu Undang-Undang Pengadilan Anak juga mengatur : Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas, Tujuan dari proses semua ini adalah agar anak lebih rileks dan tidak tertekan secara mental/psikologis serta bersedia menceritakan kejadian/hal yang di alami/ diketahuinya. Berikut akan diuraikan beberapa pidana pokok dapat dijatuhkan kepada anak nakal yaitu : a. Pidana penjara Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya ½ (satu perdua) dari ancaman pidana orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kecuali itu, pidana mati dan penjara seumur hidup tidak dapat dijatuhkan terhadap anak. Mengenai ancaman pidana penjara bagi anak yang menurut UU Nomor 3 tahun 1997, yang pada pokoknya sebagai berikut: 1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. 2) Apabila melakukan tindak pidana yang dancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. b. Pidana kurungan Dinyatakan dalam Pasal 27 Undang-Undang Pengadilan Anak bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. c. Pidana denda Seperti pidana penjara dan pidana kurungan maka penjatuhan pidana denda terhadap anak nakal paling banyak juga ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa (Pasal 28 ayat (1)). Undang-Undang Pengadilan Anak mengatur pula ketentuan yang relative baru yaitu apabila pidana denda tersebut ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Undang-undang Fakultas Hukum - UNISAN
158
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
menetapkan demikian sebagai upaya untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki keterampilan yang bermafaat bagi dirinya (Pasal 28 ayat (2)). Lama wajib latihan kerja sebagai pengganti denda, paling lama 90 (sembilang puluh) hari kerja lama latihan kerja tidak lebih dari 4 jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari (Pasal 28 ayat (3)). Tentunya hal demikian mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak serta perlindungan anak. d. Pidana bersyarat Garis besar ketentuan pidana bersyarat bagi anak nakal sesuai dengan rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 adalah : 1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, sedangkan janka waktu masa pidana bersyarat adalah paling lama 3 (tiga) tahun. 2) Dalam putusan pidana bersyarat diberlakukan ketentuan berikut: a. Syarat umum, yaitu anak nakal tersebut tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. b. Syarat khusus, yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. 3) Pengawasan dan bimbingan a) Selama menjalani masa pidana besyarat, Jaksa melakukan pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan melakukan bimbingan agar anak nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan. b) Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh balai permasyarakatan berstatus sebagai klien permasyarakatan. c) Selama anak nakal berstatus sebagai klien permasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah. e. Pidana pengawasan Pidana pegawasan dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, dengan ketenuan sebagai berikut: 1) La manya, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 dua) tahun. 2) Pengawasan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah tersebut dilakukan oleh Jaksa. 3) Pemberian bimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak (DS. Dewi Fatahillah A. Syukur, 2012:13). Di dalam pembangunan hukum, upaya pencapaian penegakan hukum tidak terbatas pada adanya aturan yang bersifat normatif saja, sejak hukum itu memasuki era hukum tertulis yang 159
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
menjadi salah satu ciri hukum modern, panggung hukum berubah menjadi panggung hukum tertulis dan menjadi sebuah skema. Hukum sebagai skema adalah hukum sebagaimana dijumpai dalam teks atau perundang-undangan atau hukum yang dirumuskan dengan sengaja secara rasional, disini hukum sudah mengalami pergeseran bentuk dari hukum yang muncul secara serta merta (interactional law) menjadi hukum yang dibuat dan diundangkan (legislatet law). A.4 Penerapan Jenis Concursus Pengertian dasar dari concursus (perbarengan tindak pidana) adalah terjadinya dua tindak pidana atau lebih tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang, dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana yang lain berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim (Adami Chazawi, 2009:109). Pada pengulangan juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Perbedaan pokoknya adalah bahwa penanggulangan tindak pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan mempidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau selurunya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan. Beradasarkan tiga kemungkinan yang dikemukakan oleh Utrecht, menciptakan dua pendapat, yang pertama mengemukakan bahwa concursus merupakan suatu pemberatan pidana dan pendapat yang kedua mengemukakan bahwa concursus merupakan peringanan pidana. Pada pendapat yang mengemukakan bahwa concursus merupakan suatu pemberatan pidana oleh karena pendapat tersebut berlandaskan pada pemikiran misalnya terjadi suatu pembunuhan (Pasal 338) yang mana ancaman pidananya 15 tahun penjara dan pencemaran (Pasal 310 ayat 1) yang mana ancaman pidananya 9 bulan penjara, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap si pembuat hanyalah satu pidana saja, meskipun sebelumnya si pembuat telah melakukan dua tindak pidana sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, yang mana pidana penjara yang akan dijatuhkan adalah maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiganya), yang apabila dipidana secara sendiri-sendiri secara maksimum dari total pidana penjara yang akan dijatuhkan adalah 15 tahun 9 bulan. Dalam kasus ini dapat terlihat jelas perbarengan adalah memperberat pidana. Pendapat kedua yang mengemukakan concursus merupakan peringanan pidana oleh karena pendapat tersebut berlandaskan pada pemikiran misalnya satu pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya korban (Pasal 365 ayat 4) diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun penjara, dan yang lain melakukan pemerkosaan (Pasal 285) yang ancaman pidana penjaranya adalah 12 tahun, maka menurut Pasal 66 hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap tindak pidana Pasal 365 ayat (4) dengan dapat ditambah sepertiganya yakni menjadi maksimum 20 tahun, apabila dipidana sendiri-sendiri dapat diakumulasikan secara menyeluruh yang total pidana penjaranya mencapai 27 tahun. Dalam hal perbarengan seperti ini tidak terjadi pemberatan pidana melainkan peringanan pidana. Fakultas Hukum - UNISAN
160
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Berdasarkan hal diatas, apakah perbarengan ini merupakan dasar pemberat atau peringanan pidana, bergantung pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa konkrit tertentu, tidak bersifat menyeluruh untuk segala kejadian. Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana kemudian dapat diperberat dengan sepertiga dari ancaman pidana yang terberat, tanpa melihat disana ada beberapa tindak pidana, maka disini perbarengan dapat dianggap sebagai alasan pemberatan pidana. Akan tetapi apabila dilihat semata-mata ada beberapa tindak pidana, tetapi hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidananya, walaupun dapat ditambah sepertiga dari yang teberat (sepert Pasal 65) maka tampaknya pada perbarengan tidak ada pemberatan pidana. Contoh orang yang dua kali melakukan pembunuhan yang masing-masing diancam pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu dapat dijatuhi pidana penjara dua kali yang masing-masingnya 15 (lima belas) tahun, sehingga total penjatuhan hukum berdasarkan akumulasi ancaman pidananya yakni adalah 30 (tiga puluh) tahun. Namun karena ketentuan perbarengan dia tidak dijatuhi pidana penjara dua kali yakni 30 (tiga puluh) tahun tapi satu kali maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiganya). Berdasarkan penjelasan diatas, maka lebih bijak kiranya dalam hal perbarengan ini tidak dimasukkan dalam pembicaraan tentang dasar pemberatan pidana maupun dasar peringan pidana. Pandangan ini juga lebih tepat jika dilihat bahwa penempatannya dalam KUHP berada diluar BAB III Buku I tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, dan pemberatkan pengenaan pidana. Ketentuan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan pidana (sistem penjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana dimana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Konkritnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan menentukan mengenai : a) Cara menyidangkan atau memeriksa (menyelesaikan) perkara: Dalam hal ini, undang-undang menghendaki ialah dengan memberkas beberapa tindak pidana itu dalam satu berkas perkara dan menyidangkannya dalam satu perkara oleh satu Majelis Hakim, dan tidak dipecah-pecah menjadi beberapa perkara dengan menyidangkannya secara sendiri-sendiri oleh beberapa Majelis Hakim. Perwujudan dari kehendak undang-undang ini juga terdapat dalam Pasal 141 KUHAP atau dulu Pasal 250 ayat 14 HIR. b) Cara atau sistem penjatuhan pidananya terhadap satu orang pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari satu yang semuanya belum diperiksa dan diputus: Mengenai hal ini yang berkaitan erat dengan kehendak undang-undang untuk menyidangkan beberapa tindak pidana (perbarengan) dalam satu pemeriksaan oleh satu Majelis Hakim, adalah mengenai bagaimana cara atau sistem penjatuhan pidana 161
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
terhadap satu orang tersebut. Aturan mengenai perbarengan dalam Bab VI pada dasarnya mengatur perihal sistem penjatuhan pidananya. Terdapat dua alasan pembentuk undang-undang dalam hal menghendaki agar beberapa tindak pidana perbarengan ini diadili secara serentak dan diputus dalam satu putusan pidana dan tidak dijatuhkan sendiri-sendiri dengan memperhitungkan sepenuhnya ancaman pidana pada masing-masing tindak pidana yang dilakukan, artinya agar tindak pidana dalam perbarengan itu tidak dipidana sepenuhnya sesuai ancaman pidananya masingmasing, ialah: a). pertimbangan psikologis dan b). pertimbangan dari segi kesalahan (Roeslan Saleh, 1981:106). a. Pertimbangan Psikologis; maksudnya ialah bahwa menjalani pidana satu kali dalam waktu yang lama dirasakan lebih berat daripada menjalani pidana dua kali dalam jumlah yang sama. Misalnya menjalani pidana penjara dua kali yang lamanya masingmasing dua dan tiga tahun, dirasa lebih ringan beban yang diderita orang itu dari pada menjalani pidana penjara satu kali berturut-turut selama lima tahun. b. Pertimbangan dari segi kesalahan si pembuat; maksudnya ialah kesalahan si pembuat dalam hal melakukan tindak pidana berikutnya dipandang lebih ringan daripada kesalahan dalam hal melakukan tindak pidana yang pertama. Pertimbangan ini dikemukakan berhubung dengan adanya anggapan bahwa penjatuhan pidana pada dasarnya adalah suatu peringatan oleh negara kepada si pelaku tindak pidana tentang kesalahannya karena melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal perbarengan, melakukan tindak pidana yang pertama tidak / belum adanya peringatan semacam itu, maka jika si pembuat tadi melakukan tindak pidana lagi sebelum ia dipidana atas tindak pidana yang pertama, maka kesalahan dalam hal melakukan tindak pidana kedua itu juga ada pada negara, tidak pada si pembuat semata-mata. Hal penting lainnya selain diatas dalam hal perbarengan ialah mengenai sistem penjatuhan pidananya. Mengenai sistem penjatuhan pidana pada perbarengan berkaitan langsung dengan macam atau bentuk-bentuk perbarengan, undang-undang membedakan tiga bentuk perbarengan, ialah: a) Perbarengan peraturan (Pasal 63 KUHP), dengan menggunakan sistem hisapan (absorbtie stelsel); b) Perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP), juga menggunakan sistem hisapan (sama dengan perbarengan peraturan); c) Perbarengan perbuatan, yang dibedakan lagi menjadi : (1). Perbarengan antara beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis (Pasal 65), dengan menggunakan sistem hisapan yang diperberat (verscherpte absorbtie stelsel). (2). Perbarengan antara beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis (Pasal 66), dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas (het gematigde cumulatie stelsel). Fakultas Hukum - UNISAN
162
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
(3). Perbarengan perbuatan antara : 1). Kejahatan dengan pelanggaran, 2). Pelanggaran dengan pelanggaran (Pasal 70) dengan menggunakan sistem kumulasi murni (het subiere cumulatie stelsel). KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab VI Pasal 63 sampai dengan Pasal 71. Dalam rumusan pasal maupun dalam Bab IX, KUHP tidak memberikan definisi / pengertian perbarengan tindak pidana (concursus) ini. Terkait dengan perbarengan tindak pidana, Utrecht (Adami Chazawi 2009:109-110) mengemukakan tentang 3 kemungkinan yang terjadi, yaitu : a. Terjadi perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidak telah ditetapkan satu pidana karena tindak pidana yang paling awal diantara kedua tindak pidana itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu berkas perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, dan oleh karenanya praktis disini tidak ada pemberatan pidana, yang justru terjadi peringanan pidana, karena dari beberapa tindak pidana itu tidak dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total yang besar, tetapi cukup dengan satu pidana saja tanpa memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang diancamkan pada masing-masing tindak pidana. Misalnya dua kali pembunuhan (Pasal 338) KUHP tidaklah dipidana dua kali yang masingmasing dengan pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, tetapi cukup dengan satu pidana penjara dengan maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiganya, Pasal 65). b. Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan memidana pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan. Pada pemidanaan pada si pembuat karena tindak pidana yang kedua ini terjadi pengulangan, dan disini terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya. c. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunya kekuatan hukum yang pasti, maka disini tidak terjadi perbarengan maupun pengulangan, melainkan tiaptiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut. Namun demikian, dari rumusan pasal-pasalnya, dapat diperoleh pengertian dan sistem pemberian pidana bagi concursus sebagai berikut : a. Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP) Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 KUHP, dan pidana penjara 2 tahun 163
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
8 bulan menurut Pasal 281 KUHP. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut Vos ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP. Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi / pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 KUHP telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341. b. Perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP) Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah: 1) harus ada satu keputusan kehendak; 2) masing-masing perbuatan harus sejenis; dan 3) tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama. Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. c. Concursus Realis (Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 KUHP) Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: a) Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. Misal A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan Fakultas Hukum - UNISAN
164
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara. Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun. b) Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan. c) Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. d) Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) KUHP (penganiayaan ringan terhadap hewan), Pasal 352 KUHP (penganiayaan ringan), Pasal 364 KUHP (pencurian ringan), Pasal 373 KUHP (penggelapan ringan), Pasal 379 KUHP (penipuan ringan), dan Pasal 482 KUHP (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana 8 bulan kurungan. e) Untuk concursus realis, baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 KUHP yang mengatur : “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.” Misalkan A tanggal 1 Januari melakukan kejahatan pencurian (Pasal 362 KUHP, pidana penjara 5 tahun), tanggal 5 Januari melakukan penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP, pidana penjara 2 tahun 8 bulan), tanggal 10 Januari melakukan penadahan (Pasal 480 KUHP, pidana penjara 4 tahun), dan tanggal 20 Januari melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP, pidana penjara 4 tahun), maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada A adalah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara untuk keempat tindak pidana itu, maka jika kemudian ternyata A pada tanggal 14 Januari melakukan penggelapan (Pasal 372 KUHP, pidana penjara 4 tahun), maka putusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak banyak hanya dapat dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahun (putusan I), yaitu 8 bulan penjara. Dengan demikian Pasal 71 KUHP itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Putusan II = (putusan sekaligus) - (putusan I)
165
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
A.5 Penerapan Jenis Concursus Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tidak ada aturan secara khusus yang mengatur mengenai aturan concursus bagi anak sebagai pelaku (anak nakal), oleh karena itu aturan concursus idealis (Pasal 63 KUHP), perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP), dan concursus realis (Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 KUHP) juga diterapkan dalam perkara-perkara anak nakal yang melakukan tindak pidana atau anak nakal yang melakukan hal-hal yang terlarang bagi anak, hanya saja yang membedakannya adalah terletak pada sistem pemidanaannya, yakni setiap sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak, dikurangi setengah (1/2) dari hukuman yang di ancamkan terhadap orang dewasa (sebagaimana perhitungan ancaman hukuman dalam KUHP). Untuk lebih jelasnya, maka penulis menguraikannya sebagai berikut : a) Pada concursus idealis sistem penghukumannya adalah absorpsi. Absorpsi maksudnya adalah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku hanya satu saja dengan memberlakukan hukuman yang terberat ancaman hukuman pokoknya. Contoh, jika seorang terdakwa melanggar Pasal 170 dan 189 secara concursus idealis maka yang dijatuhkan hukuman yang terberat yaitu ancaman pokok paling lama dua belas tahun, dan dalam perkara anak anak, maka ancaman hukumannya paling lama enam belas tahun. b) Konsekuensi dari perbuatan berlanjut adalah sistem pemidanaannya dijatuhkan satu ancaman hukuman pokok saja. Hal ini disebabkan karena salah satu syarat perbuatan berlanjut adalah adanya kesatuan kehendak serta dalam perbuatannya terlibat dalam peristiwa yang sama. c) Sedangkan dalam concursus realis dikenal adanya tiga sistem pemidaan, karena concursus realis-pun dibagi menjadi tiga jenis, yaitu concursus realis yang ancaman hukuman pokoknya sejenis, concursus realis yang ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis, dan concursus realis antara pelanggaran dengan kejahatan atau antara kejahatan dengan pelanggaran. - Concursus realis yang ancaman pidananya sejenis sistem pemidanaannya disebut dengan sistem pemidanaan absorpsi yang dipertajam. Sistem pemidaan absorpsi yang dipertajam adalah sistem penghukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah ancaman hukumannya yang terberat ditambah sepertiga, dan dalam perkara anak anak, maka ancaman hukumannya dikurangkan kembali seperduanya. - Concursus realis yang ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Sistem pemidaan realis yang ancaman hukuman pidana pokoknya tidak sejenis disebut dengan sistem pemidanaan kumulasi yang diperhalus. Maksudnya adalah jika pelaku melakukan concursus realis yang ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis seluruh ancaman hukumannya digabungkan, akan tetapi gabungan seluruh ancaman hukuman tidak boleh lebih dari ancaman hukuman yang terberat ditambah sepertiga, dan dalam perkara anak, jumlah ancaman hukuman tadi dikurangkan kembali menjadi seperdua-nya. Fakultas Hukum - UNISAN
166
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
- Concursus realis antara kejahatan dengan pelanggaran atau antara pelanggaran dengan kejahatan disebut dengan sistem pemidaan kumulasi murni. Kumulasi murni berarti seluruh ancaman pidananya digabungkan tanpa dikurangi, dan dalam perkara anak anak, maka ancaman hukuman yang telah digabung tadi dikurangkan seperdua-nya. Namun demikian, tidak selamanya hakim dalam perkara anak nakal memutus seorang anak yang melakukan tindak pidana (Lihat lebih lanjut isi Pasal 1 ayat (2) poin a UndangUndang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak) dengan sanksi pidana, dan bisa saja hakim hanya menjatuhkan sanksi tindakan saja (Lihat lebih lanjut isi Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak). ini tergantung dari pertimbangan dan kebijakan hakim yang berhak menjatuhkan sanksi pidana atau sanksi tindakan. Kecuali dalam perkara anak nakal yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Lihat lebih lanjut isi Pasal 1 ayat (2) poin b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak), hakim hanya dapat menjatuhkan sanksi tindakan (Lihat lebih lanjut isi Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak) dan tidak diperbolehkan menjatuhkan sanksi pidana. Menurut pendapat penulis disinilah salah satu kelemahan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dimana aturan Pasal 25 ayat (1) memberikan peluang/kesempatan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana, seharusnya aturan Pasal 25 ayat (1) UU Pengadilan Anak tidak memberikan pilihan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana atau sanksi tindakan, ini dikarenakan bagi anak pelaku tindak pidana (terlebih lagi jika perbuatan anak tersebut dipandang sebagai gabungan tindak pidana/concursus) jika hanya diberikan sanksi tindakan, maka efek jera dari suatu perbuatannya tersebut menjadi lemah, dan bisa saja di kemudian hari perbuatan tersebut di ulanginya lagi karena mengingat hukuman yang diberikannya hanya tindakan saja, yang hanya berupa : a. dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; atau b. diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. diserahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja (Lihat lebih lanjut isi Pasal 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak). Walaupun menurut Marlina (2009:42) yang menyatakan bahwa “Seorang delinkuen (pelaku tindak pidana) sangat membutuhkan adanya perlindungan hukum, yang merupakan salah satu cara untuk melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan ini perlu karena anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mental”. 167
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
Oleh karena itu nafas hukum perlindungan anak nakal adalah anak nakal tidak dipandang sebagai penjahat, dan tetap harus diberikan perlindungan di setiap tahap, jadi tujuannya untuk di bina dan bukan di hukum. Namun penulis tidak sepenuhnya sependapat dengan pandangan tersebut, penulis berpandangan bahwa tidak semua perkara anak nakal (anak sebagai pelaku) menitikberatkan kepada keharusan untuk diberikan perlindungan, jika melihat kasus anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (dalam perkara anak nakal), maka sah-sah saja jika seorang anak nakal patut untuk diberikan perlindungan, namun jika melihat kasus lain, dimana anak melakukan suatu tindak pidana, atau bahkan di kategorikan sebagai concursus, maka menurut penulis anak tersebut tidak patut untuk diberikan perlindungan, ini dikarenakan perbuatannya yang dipandang sebagai perbuatan yang seharusnya hanya dilakukan oleh orang dewasa namun dilakukan juga oleh anak akibat kenakalannya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Makmur (Hakim Anak) pada hari Rabu tanggal 9 Oktober 2013, ia menjelaskan bahwa : “Sebelum menjatuhkan sanksi terhadap perkara anak, maka hakim melihat kondisi dari perkara tersebut, karena hakim diperhadapkan dalam hal yang sangat dilematis dimana dalam sisi normatifnya anak dipandang butuh perlindungan, sedangkan sisi realitasnya perbuatan anak tersebut di kategorikan sebagai perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa (sehingga hakim sulit mengeneralisir). Jadi menurut hemat penulis jika seorang anak nakal yang melakukan tindak pidana (bahkan concursus), seharusnya hakim memandang perbuatan dari anak tersebut (yang perbuatannya di pandang sebagai perbuatan orang dewasa), dan bukan berdasarkan dari pelakunya (sebagai seorang anak) sehingga hakim berkewajiban untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap perkara tersebut (terlepas dari pilihan yang diberikan oleh UU Pengadilan Anak kepada hakim sebagaimana yang di atur dalam Pasal 25 ayat (1)), karena sanksi pidana yang di jatuhkanpun tidak hanya berupa pidana penjara saja, melainkan sanksi pidana yang dijatuhkan dapat berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan atau pidana pengawasan (Lihat lebih lanjut isi Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak), bahkan UU Pengadilan Anak telah memberikan beberapa keringanan di dalam penjatuhan sanksi pidana tersebut, yang salah satunya adalah pada pidana penjara dan kurungan itu hanya dapat dikenakan paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara dan kurungan bagi orang dewasa (Lihat lebih lanjut isi Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak). Namun jika seorang anak nakal yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, disini hakim memandang anak sebagai pelaku (yang sifatnya dapat dimaafkan, oleh karena anak tersebut memiliki keterbatasan secara fisik dan mental), sehingga hakim berkewajiban untuk menjatuhkan Fakultas Hukum - UNISAN
168
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
sanksi tindakan saja terhadap perkara anak nakal tersebut. Pandangan penulis tersebut di dasarkan teori yang penulis telah jelaskan pada babbab sebelumnya, dengan menggunakan teori relatif (sebagai salah dari teori-teori tujuan pemidanaan), yakni memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Dengan kata lain pemidanaan bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan kejahatan melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak memiliki nilai, tetapi hanya sekedar sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat (social defence). Jadi, dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan “supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi di kemudian hari”. Oleh karena itu bagi anak nakal yang melakukan tindak pidana, maka seyogyanya hakim memberikan sanksi pidana agar efek jera dari suatu pemidanaan dapat terwujud sehingga anak nakal tersebut ketika telah selesai menjalankan hukumannya, ia akan berpikir keras untuk tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Perbedaan penjatuhan sanksi pidana dengan sanksi tindakan dikemukakan lebih lanjut oleh Sholehuddin (2003:31-32), yang menjelaskan bahwa : “Sanksi pidana dan sanksi tindakan berbeda di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar (mengapa di adakan pemidanaan), sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar (untuk apa di adakan pemidanaan itu). Atau dengan kata lain sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera) maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah.” Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan), yang merupakan penderitaan yang sengaja di bebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers bahwa sanksi pidana di titik beratkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial (Sholehuddin, 2003:32). A.6 Penerapan Jenis Concursus Terhadap Anak Sebagai Pelaku Di Pengadilan Jenis concursus khususnya di pengadilan telah banyak di terapkan dalam perkaraperkara anak nakal, namun sepanjang penulusuran dan pengamatan penulis dalam perkaraperkara anak nakal selama tiga tahun terakhir (dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012) di pengadilan, penulis tidak menemukan perkara-pekara anak nakal yang menerapkan concursus idealis dan perbuatan berlanjut, dari sejumlah perkara yang diputus selama tahun 2010 hingga tahun 2012 perkara-perkara anak nakal yang terkait dengan concursus, penulis hanya menemukan concursus realis terhadap perkara-perkara anak nakal tersebut. 169
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
Namun dari sejumlah perkara-perkara anak nakal yang terkait dengan concursus realis, maka penulis menggunakan 3 (tiga) sampel putusan pengadilan dalam membahas kajian ini, yakni : 1. Putusan Nomor : 942/Pid.B/2011/PN.MKS. 2. Putusan Nomor : 1354/Pid.B/2011/PN.MKS. dan 3. Putusan Nomor : 1700/Pid.B/2011/PN.MKS. Untuk lebih jelasnya terhadap penerapan concursus realis dalam perkara-perkara anak nakal tersebut, maka penulis akan menguraikannya sebagai berikut : 1. Putusan Nomor : 942/Pid.B/2011/PN.MKS. Dalam perkara anak nakal yang di putus oleh pengadilan, pada hari Kamis tanggal 21 Juli 2011, dengan terdakwa Nur Muhajis (yang berusia 16 Tahun), kronologis kasusnya yaitu terdakwa telah mengambil 1 (satu) buah celengan atau kotak amal yang berisikan uang Rp. 18.000 (delapan belas ribu rupiah) pada waktu malam di sebuah mesjid, awalnya terdakwa masuk ke dalam mesjid kemudian berpura-pura berbaring di dalam mesjid di samping Budi Santoso (saksi) sambil memperhatikan keadaan sekitar. Pada saat Budi Santoso (saksi) sudah tertidur, terdakwa kemudian diam-diam bangun menuju tempat disimpannya kotak amal mesjid, setelah sampai di tempat kotak amal tersebut kemudian terdakwa merusak kotak amal dengan menggunakan senjata tajam yang sudah ia persiapkan sebelumnya, setelah merusak kotak amal kemudian terdakwa mengambil semua isi kotak amal sejumlah Rp. 18.000 (delapan belas ribu rupiah) dan lari meninggalkan mesjid. Hal tersebut kemudian di lihat oleh Budi Santoso (saksi) yang selanjutnya berteriak “pencuri” dari dalam mesjid. Mendengar teriakan tersebut, terdakwa kemudian tertangkap oleh beberapa warga yang ada di sekitar tempat tersebut. Setelah tertangkap dan di geledah, warga kemudian menemukan 1 (satu) buah senjata tajam berupa badik dengan ukuran ± 15 CM yang disimpan oleh terdakwa di dalam tasnya. Jaksa Penuntut Umum kemudian mendakwa terdakwa dengan dakwaan : - Kesatu : Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP - Kedua : Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Dengan tuntutan sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa Nur Muhajir alias Adi, telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Pencurian dan tanpa hak memiliki senjata tajam yang dilakukan oleh anak” sebagaimana surat dakwaan kesatu dan kedua kami; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) Bulan dikurangi selama terdakwa di tahan, dengan perintah untuk tetap di tahan; 3. Menyatakan barang bukti berupa : Fakultas Hukum - UNISAN
170
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
- 1 (satu) buah kotak amal masjid Quraisy - Uang sebesar Rp. 18.000 (delapan belas ribu rupiah) dikembalikan kepada pengurus masjid Quraisy - 1 (satu) bilah badik dengan panjang ± 15 cm, di rampas untuk di musnahkan 4. Menetapkan agar terdakwa dibebani dengan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah). Di sini sangat terlihat jelas bahwa Jaksa Penuntut Umum menerapkan concursus realis dalam perkara anak nakal tersebut. Berdasarkan dakwaan tersebut Hakim tunggal (Makmur) dalam memutus perkara anak di pengadilan mengabulkan dakwaan jaksa dan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa berdasarkan Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 (atau dengan kata lain, jaksa penuntut umum dan hakim pengadilan menerapkan concursus realis dalam perkara anak nakal tersebut). 2. Putusan Nomor : 1354/Pid.B/2011/PN.MKS. Dalam perkara anak nakal yang di putus oleh pengadilan, pada hari Senin tanggal 03 Oktober 2011, dengan terdakwa Rukmana (yang berusia 17 Tahun), kronologis kasusnya yaitu berawal pada saat terdakwa mengobrol bersama teman-temannya, tiba-tiba Jeriawan Jemmy (saksi korban) datang dan langsung menempeleng kepala terdakwa, namun terdakwa tidak melawan dan hanya diam saja, kemudian terdakwa bersama teman-temannya pergi meninggalkan tempat tersebut dan pindah ketempat lain, kemudian Jeriawan Jemmy (saksi korban) datang lagi dan langsung menempeleng pipi kanan terdakwa sebanyak 1 (satu) kali, setelah tempelengan itu kemudian terdakwa langsung membalas saksi korban dengan cara menikam menggunakan sebilah badik sebanyak 1 (satu) kali dan mengenai bagian pinggang saksi korban, kemudian terdakwa kembali menikam sebanyak 1 (satu) kali dan mengenai perut saksi korban, setelah itu terdakwa kembali menikam sebanyak 1 (satu) kali dan mengenai lengan kiri saksi korban, ketika saksi korban hendak lari tetapi terpeleset, dan di saat itulah kemudian terdakwa kembali menikam sebanyak 1 (satu) kali dan mengenai leher bagian belakang dari saksi korban, sehingga Jeriawan Jemmy (saksi korban) mengalami luka parah di sekujur tubuhnya. Jaksa Penuntut Umum kemudian mendakwa terdakwa dengan dakwaan : - Kesatu : Pasal 351 ayat (1) KUHP - Kedua : Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Dengan tuntutan sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa Rukmana alias Pangeran Bin Riswan, terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” sebagaimana di atur dan di ancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP dalam dakwaan ke-1 dan melakukan tindak pidana tanpa hak menguasai, membawa, menyimpan atau mempergunakan senjata penikam atau senjata penusuk” sebagaimana di atur dan di ancam pidana 171
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
dalam Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 (L.N. Nomor 78 Tahun 1951 dalam dakwaan ke-2) 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rukmana alias Pangeran Bin Riswan, dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun dikurangi selama terdakwa di tahan; 3. Menyatakan barang bukti : - 1 (satu) bilah badik model bugis dan bergagang dan bersarung kayu, di rampas untuk di musnahkan 4. Menetapkan agar terdakwa dibebani dengan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah). Di sini sangat terlihat jelas bahwa Jaksa Penuntut Umum menerapkan concursus realis dalam perkara anak nakal tersebut. Berdasarkan dakwaan tersebut Hakim tunggal (Makmur) dalam memutus perkara anak tersbut di pengadilan mengabulkan dakwaan jaksa dan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa berdasarkan Pasal 351 ayat (1) KUHP dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 (atau dengan kata lain, jaksa penuntut umum dan hakim pengadilan menerapkan concursus realis dalam perkara anak nakal tersebut). 3. Putusan Nomor : 1700/Pid.B/2011/PN.MKS. Dalam perkara anak nakal yang di putus oleh pengadilan, pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2011, dengan terdakwa Wahyu Hidayat (yang berusia 17 Tahun), kronologis kasusnya yaitu terdakwa melakukan penganiayaan terhadap Anhar Anasyari (saksi korban) yang di akibatkan saling ejek di dalam kelas, dengan cara setelah jam pelajaran selesai, terdakwa mendatangi Anhar Anasyari (saksi korban) yang di dalam kelas mengejek terdakwa dengan sebutan “butet”, kemudian terdakwa mengancam saksi korban dengan busur dan ketapel namun ditangkis oleh saksi korban sehingga busur terjatuh, dan pada saat teman-teman terdakwa dan saksi korban memisahkan mereka, terdakwa mengambil busur yang terjatuh dan menusuk di leher sebelah kiri korban (tepatnya dibelakang telinga) sebanyak 1 (satu) kali. Jaksa Penuntut Umum kemudian mendakwa terdakwa dengan dakwaan : - Kesatu : Pasal 351 ayat (1) KUHP - Kedua : Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Dengan tuntutan sebagai berikut : 1. Menyatakan bahwa terdakwa Wahyu Hidayat alias Yayat, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” sebagaimana di atur dan di ancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP dalam dakwaan ke-1 dan melakukan tindak pidana tanpa hak menguasai, membawa, menyimpan atau mempergunakan senjata penikam atau senjata penusuk” sebagaimana di atur dan di ancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 (L.N. Nomor 78 Tahun 1951 dalam dakwaan ke-2) Fakultas Hukum - UNISAN
172
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Wahyu Hidayat alias Yayat, dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun dikurangi selama terdakwa di tahan, dengan perintah terdakwa tetap di tahan; 3. Menyatakan barang bukti : - 1 (satu) bilah batang anak panah/busur yang berserabut talia rapiah warna hijau, di rampas untuk di musnahkan 4. Menetapkan agar terdakwa dibebani dengan membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah). Di sini sangat terlihat jelas bahwa Jaksa Penuntut Umum menerapkan concursus realis dalam perkara anak nakal tersebut. Berdasarkan dakwaan tersebut Hakim tunggal (Arie Winarsih) dalam memutus perkara anak tersbut di pengadilan mengabulkan dakwaan jaksa dan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa berdasarkan Pasal 351 ayat (1) KUHP dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 (atau dengan kata lain, jaksa penuntut umum dan hakim pengadilan menerapkan concursus realis dalam perkara anak nakal tersebut). Dari uraian 3 (tiga) tuntutan jaksa penuntut umum yang terdapat dalam materi dakwaan dan telah di uraikan di atas, maka penulis berpendapat bahwa dalam menerapan jenis concursus secara umum (baik itu concursus idealis, perbuatan berlanjut, maupun concursus realis) dalam sebuah perkara anak nakal di pengadilan, maka peran dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan pertimbangan serta keyakinan dari seorang hakim sangat berperan penting dalam hal menerapkan jenis concursus, ini dikarenakan bahwa seorang hakim dalam perkara pidana (bersifat pasif) dimana ia tidak dapat menjatuhkan putusan selain daripada apa yang telah di dakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan. Begitupun sebaliknya, jika hakim di dalam pertimbangannya serta tidak berkeyakinan bahwa itu suatu perbuatan concursus atau bahkan bisa saja hakim berpendapat bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum kabur (obscure libel), maka hakim dapat saja tidak menerapkan concursus dalam putusannya, bahkan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Pudjo Hunggul (Hakim Anak) pada hari Rabu tanggal 9 Oktober 2013, ia menjelaskan bahwa : “Dalam menerapkan concursus dalam sebuah putusan yang di putus oleh seorang hakim, dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum itu sangat berperan di dalamnya, oleh karena hakim hanya memutus sebuah perkara berdasarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, jadi hakim sangat sulit menerapkan concursus jika dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum tidak mendakwa concursus dalam perkara yang di ajukannya”. Oleh karena itu dakwaan dari seorang Jaksa Penuntut Umum dan pertimbangan serta keyakinan hakim sangat berperan penting dalam upaya penerapan jenis concursus, khususnya concursus realis dalam perkara-perkara anak nakal yang di putus oleh pengadilan, Hal ini sejalan dengan teori pengambilan keputusan oleh hakim yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan hakim yang baik yaitu proses bagaimana menetapkan suatu keputusan yang terbaik, 173
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
logis, rasional dan ideal berdasarkan fakta, data dan informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif dan efisien, yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang. Secara teoritis, ini sesuai dengan teori yang penulis kemukakan di bab sebelumnya, teori gabungan yang merupakan bagian dari tujuan pemidanaan, sebagaimana yang dikemukakan Andi Hamzah bahwa teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat, oleh karena itu disini jaksa penuntut umum menerapkan jenis concursus dengan memberikan tuntutan kepada terdakwa tersebut di atas karena memandang bahwa perbuatan pidana (concursus) yang dilakukan harus sama dengan sanksi yang bersifat pembalasan, agar efek jera dapat terwujud. B. Implementasi Penjatuhan Sanksi Pidan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Concursus Di Pengadilan B.1 Penjatuhan Sanksi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Concursus Sebelum penulis menguraikan lebih jauh tentang penjatuhan sanksi terhadap anak sebagai pelaku concursus, maka terlebih dahulu harus dijelaskan bahwa tidak selamanya anak sebagai pelaku tindak pidana atau bahkan melakukan concursus di jatuhi sanksi pidana oleh hakim, bisa saja hakim hanya memberikan sanksi tindakan terhadap anak tersebut, ini tergantung dari pertimbangan dan keyakinan hakim sebelum memutus sebuah perkara. Hal ini di dasarkan pada kategori perbuatan anak nakal, dan sanksi yang di atur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak (Sebagai catatan bahwa sebenarnya sudah ada undangundang yang menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun dalam Pasal 108 UU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut mengatur bahwa “undang-undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal di undangkan” maka secara otomatis UU Sistem Peradilan Pidana Anak baru berlaku pada tanggal 30 Juli 2014, sehingga saat ini aturan yang dipakai dalam perkara anak sebagai pelaku adalah masih tetap mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak). Kategori anak nakal terbagi menjadi dua menurut Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1997, kategori pertama yakni anak yang melakukan tindak pidana, dan kategori kedua yakni anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Jika dikaitkan dengan sanksi yang dijatuhkan, maka kategori anak nakal yang pertama menurut Pasal 25 UU Nomor 3 Tahun 1997 dapat di jatuhi sanksi pidana (baik berupa pidana pokok dan pidana tambahan) atau sanksi tindakan, sedangkan kategori anak nakal yang kedua maka sanksi yang dapat dijatuhkan hanyalah sanksi tindakan (dengan kata lain tidak dapat di jatuhi sanksi pidana). Oleh karena itu jelaslah bahwa penjatuhan sanksi terhadap anak pelaku concursus tidak selamanya dijatuhi sanksi pidana, melainkan juga dapat berupa sanksi Fakultas Hukum - UNISAN
174
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
tindakan saja. Namun jika sanksinya adalah berupa pidana, maka perhitungan pidananya telah di atur lebih lanjut oleh UU Pengadilan Anak, yakni Pasal 26 UU Pengadilan Anak mengatur bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal menurut kategori pertama paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, dan apabila anak tersebut melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan perhitungan sanksi pidana bagi anak nakal kategori pertama (khususnya pidana kurungan), maka Pasal 27 UU Pengadilan Anak mengatur bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut adalah paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Begitupun dengan pidana denda, menurut Pasal 28 UU Pengadilan Anak mengatur bahwa pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa, dan apabila pidana denda ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja (Menurut Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari). Dan pengaturan pidana pengawasan yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal kategori pertama adalah paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dengan ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan. Oleh karena itu jika perbuatan anak nakal di kategorikan sebagai concursus, maka sanksi pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda yang di jatuhkan oleh hakim disesuaikan dengan jumlah perhitungan concursus dalam KUHP dikurangkan setengah (1/2) dari hukuman orang dewasa. Konsekuensi dari terbaginya concursus menjadi tiga jenis yaitu concursus idealis, perbuatan berlanjut dan concursus realis adalah berbedanya sistem pemidanaan pada masing-masing jenis concursus. a. Concursus Idealis Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis (sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya) adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Misalnya karena kenakalan remaja terjadi pemerkosaan di tempat umum (yang pelakunya adalah anak), maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 KUHP, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 KUHP. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara, namun karena pelakunya adalah seorang anak, maka sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, maka ancaman yang dijatuhkan kepada anak adalah 6 tahun penjara (karena hukuman bagi anak dikurangi setengah (1/2) dari hukuman yang di ancamkan terhadap orang dewasa). 175
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
Contoh lain misalkan ada seorang anak (yang akibat pergaulan bebasnya sehingga menyebabkan ia hamil sebelum menikah) namun karena ia takut di ketahui kehamilannya oleh orang tuanya, maka ia melakukan tindakan aborsi (Mengenai tindakan aborsi lihat lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro, 2012:74), maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 KUHP telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana seorang ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. anak tersebut hanya diancam dengan Pasal 341 yang ancaman hukumannya 7 tahun penjara, namun karena pelakunya adalah seorang anak, maka sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak, maka ancaman yang dijatuhkan kepada anak tersebut adalah penjara selama 3 tahun 6 bulan. b. Perbuatan berlanjut Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. Misalnya seorang anak yang bekerja di tempat penjualan + reparasi elektronik melakukan pencurian sebuah televisi yang di jual di toko, karena keahliannya membongkar, memperbaiki, dan memasang barang-barang elektronik, maka anak tersebut mencuri dengan cara mengambil komponen-komponen televisi tersebut setiap hari, sehingga selama 1 bulan anak tersebut berhasil mencuri satu unit televisi yang telah ia rakit sedemikian rupa dari hasil pencurian komponen-komponen televisi di toko tempat dimana ia bekerja, maka anak (pelaku) dapat diancam dengan pidana penjara 5 tahun menurut Pasal 362 KUHP, namun karena pelakunya adalah seorang anak, maka sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak, maka ancaman yang dijatuhkan kepada anak adalah pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan. c. Concursus Realis Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan). Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu: 1) Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam. Misal seorang anak nakal melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara, namun karena pelakunya adalah seorang anak, maka sesuai Fakultas Hukum - UNISAN
176
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
2)
3)
4)
5)
dengan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak, maka ancaman yang dijatuhkan kepada anak adalah pidana 6 tahun penjara. Jika anak nakal melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara. Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun (namun karena pelakunya adalah seorang anak, maka sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak, maka ancaman yang dijatuhkan kepada anak adalah pidana 5 tahun penjara). Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misalkan seorang anak nakal melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan (namun karena pelakunya adalah seorang anak, maka sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak, maka ancaman yang dijatuhkan kepada anak adalah pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan). Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan (dan khusus bagi perkara anak nakal, maka ketentuan ini dibatasi sampai maksimum 8 bulan kurungan). Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) KUHP (penganiayaan ringan terhadap hewan), Pasal 352 KUHP (penganiayaan ringan), Pasal 364 KUHP (pencurian ringan), Pasal 373 KUHP (penggelapan ringan), Pasal 379 KUHP (penipuan ringan), dan Pasal 482 KUHP (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana 8 bulan kurungan (dan khusus bagi perkara anak nakal, maka ketentuan ini dibatasi sampai maksimum 4 bulan kurungan). Untuk concursus realis, baik kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh anak, perkara anak nakal diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 KUHP yang mengatur :
“Jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.”
177
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
Misalnya A (seorang anak nakal) tanggal 1 Januari melakukan kejahatan pencurian (Pasal 362 KUHP, pidana penjara 5 tahun), tanggal 5 Januari melakukan penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP, pidana penjara 2 tahun 8 bulan), tanggal 10 Januari melakukan penadahan (Pasal 480 KUHP, pidana penjara 4 tahun), dan tanggal 20 Januari melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP, pidana penjara 4 tahun), maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada A adalah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan (namun karena pelakunya adalah seorang anak, maka sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak, maka ancaman yang dijatuhkan kepada anak adalah pidana penjara selama 3 tahun 4 bulan). Andaikata hakim menjatuhkan pidana 3 tahun penjara (putusan 1) untuk keempat tindak pidana itu, maka jika kemudian ternyata anak nakal tersbut pada tanggal 14 Januari melakukan penggelapan (Pasal 372 KUHP, pidana penjara 4 tahun), maka putusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak banyak hanya dapat dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan / 3 tahun 4 bulan dalam perkara anak nakal (putusan sekaligus) dikurangi 3 tahun (putusan 1), yaitu 8 bulan penjara / 4 bulan dalam perkara anak nakal. Dengan demikian Pasal 71 KUHP itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Putusan II = (putusan sekaligus) - (putusan 1). Oleh karena itu berdasarkan perhitungan tadi, maka hakim anak tidak merasa kesulitan dalam mempertimbangkan dan memperhitungkan sanksi pidana (khususnya pidana penjara dan pidana kurungan) yang hendak di putuskan terhadap terdakwa anak nakal. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Pudjo Hunggul (Hakim Anak) pada hari Rabu tanggal 9 Oktober 2013, ia menjelaskan bahwa “Tidak ada kesulitan yang di hadapi oleh hakim dalam memperhitungkan jumlah lamanya pidana, terkait dengan penjatuhan sanksi pidana penjara atau pidana kurungan dalam perkara anak nakal, apalagi sebelumnya Jaksa Penuntut Umum telah menguraikan tuntutannya terhadap anak nakal tersebut, sehingga hakim hanya tinggal mempertimbangkan tuntutan yang di ajukan Jaksa Penuntut Umum”. B.2 Implementasi Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Concursus Di Pengadilan Implementasi penjatuhan sanksi pidana terhadap anak pelaku concursus di pengadilan belum optimal, dimana putusan yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan selama tahun 2010 hingga tahun 2012, hanya 30% (tiga puluh persen) yang menjatuhkan sanksi pidana, dan 70% (tujuh puluh persen) putusan hanya menjatuhkan sanksi tindakan saja. Dari 3 (tiga) sampel putusan perkara-perkara anak nakal yang terkait dengan concursus realis di pengadilan, yakni : 1. Putusan Nomor : 942/Pid.B/2011/PN.MKS. 2. Putusan Nomor : 1354/Pid.B/2011/PN.MKS. dan 3. Putusan Nomor : 1700/Pid.B/2011/PN.MKS. Namun hanya ada satu putusan yang memberikan sanksi pidana, berupa pidana kurungan yakni Putusan Nomor: 1354/Pid.B/2011/PN.MKS, selebihnya (Putusan Nomor: 942/Pid.B/2011/PN.MKS. dan Putusan Nomor: 1700/Pid.B/ 2011/PN.MKS.) hanya memberikan sanksi tindakan saja. Untuk lebih jelasnya maka akan di uraikan sebagai berikut: Fakultas Hukum - UNISAN
178
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
1. Putusan Nomor : 942/Pid.B/2011/PN.MKS. Memperhatikan Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP dan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Mengadili - Menyatakan terdakwa Nur Muhajir (16 Tahun), telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian dan tanpa hak memiliki senjata tajam yang di lakukan oleh anak”; - Menjatuhkan tindakan berupa menjadikan terdakwa sebagai anak negara dengan menempatkan pada dinas sosial masyarakat untuk mengikuti pembinaan, pelatihan dan pendidikan selama 9 (Sembilan) bulan; - Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah di jalani oleh para terdakwa dikurangi seluruhnya dari masa pembinaan, pelatihan dan pendidikan tersebut; - Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; - Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) buah kotak amal mesjid, uang sebesar Rp. 18.000 (delapan belas ribu rupiah) dikembalikan kepada pengurus mesjid. 1 (satu) bilah badik dengan panjang ± 15 CM di rampas untuk di musnahkan; - Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah). 2. Putusan Nomor : 1354/Pid.B/2011/PN.MKS. dan Memperhatikan Pasal 351 ayat (1) KUHP dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Mengadili - Menyatakan terdakwa Rukmana (17 Tahun), telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penganiayaan dan tanpa hak memiliki senjata tajam yang di lakukan oleh anak”; - Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa kurungan selama 6 (enam) bulan; - Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah di jalani oleh para terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang di jatuhkan; - Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; - Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) bilah badik model bugis, bergagang dan bersarung kayu di rampas untuk di musnahkan; - Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah). 3. Putusan Nomor : 1700/Pid.B/2011/PN.MKS. Memperhatikan Pasal 351 ayat (1) KUHP dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Mengadili - Menyatakan terdakwa Wahyu Hidayat (17 Tahun), telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penganiayaan dan tanpa hak 179
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
memiliki senjata tajam yang di lakukan oleh anak”; - Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa dengan menyerahkan kepada Kementerian Sosial dalam hal ini Panti Sosial Marsudi Putra Toddpuli Makassar untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan pelatihan kerja selama 5 (lima) bulan; - Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah di jalani oleh para terdakwa dikurangi seluruhnya dari masa terdakwa mengikuti pendidikan, pembinaan dan pelatihan tersebut; - Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; - Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) batang anak panah / busur yang berserabut tali rupiah warna hijau di rampas untuk di musnahkan; - Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu rupiah). Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Arie Winarsih (Hakim Anak) pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 2013, ia menjelaskan bahwa : “Hakim yang khusus menangani perkara-perkara anak nakal sebelum menjatuhkan putusan, baik itu putusan yang berupa sanksi pidana ataupun sanksi tindakan, maka para hakim mempertimbangkan beberapa hal, yakni : 1) putusan tersebut dapat memberikan kemanfaatan bagi anak sebagai pelaku, 2) putusan tersebut dapat memberikan pemulihan keadaan, dan 3) sanksi yang akan diberikan bersifat kasuistik apakah layak di jatuhi sanksi pidana atau hanya cukup berupa sanksi tindakan saja”. Penjatuhan sanksi yang diberikan hakim terhadap terdakwa anak pelaku concursus di pengadilan berdasarkan 3 (tiga) putusan yang penulis jadikan sampel penelitian, maka terlihat bahwa sanksi pidana sangat jarang di implementasikan oleh hakim anak di pengadilan, ini tidak sejalan dengan teori relatif (sebagai salah dari teori-teori tujuan pemidanaan), yang menyatakan bahwa dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan “supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi di kemudian hari”, jadi penjatuhan sanksi tindakan bagi anak nakal pelaku concursus oleh hakim, tidak akan menjamin efek jera dari suatu sanksi dapat terwujud sehingga mungkin saja anak nakal tersebut ketika telah selesai menjalankan hukumannya, dapat mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Selain itu juga berdasarkan 3 (tiga) putusan hakim sebagaimana yang telah di uraikan, juga tidak sejalan dengan teori pengambilan keputusan oleh hakim yang menyatakan bahwa suatu putusan hakim merupakan proses bagaimana menetapkan suatu keputusan yang terbaik, logis, rasional dan ideal berdasarkan fakta, data dan informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif dan efisien, yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang. Dengan melihat teori tersebut, maka 3 (tiga) putusan yang penulis jadikan sampel penelitian tidak efektif dalam memberikan efek jera di masa yang akan datang. Fakultas Hukum - UNISAN
180
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua pokok permasalahan adalah : 1. Penerapan jenis concursus pada perkara anak sebagai pelaku tindak pidana di pengadilan sangat bergantung pada peran dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan pertimbangan serta keyakinan dari seorang hakim sangat penting dalam menerapkan jenis concursus secara umum (baik itu concursus idealis, perbuatan berlanjut, maupun concursus realis) dalam perkara anak nakal di pengadilan, bahwa seorang hakim dalam perkara pidana (bersifat pasif) ia tidak dapat menjatuhkan putusan selain apa yang telah di dakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan. Begitupun sebaliknya, jika hakim di dalam pertimbangannya serta tidak berkeyakinan bahwa itu suatu perbuatan concursus atau bahkan bisa saja hakim berpendapat bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum kabur (obscure libel), maka hakim dapat saja tidak menerapkan concursus dalam putusannya, bahkan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. 2. Implementasi penjatuhan sanksi pidana terhadap anak pelaku concursus di pengadilan belum optimal, Penjatuhan sanksi terhadap terdakwa anak pelaku concursus di pengadilan terbukti bahwa sanksi pidana sangat jarang diimplementasikan, sehingga tidak akan menjamin efek jera dari suatu sanksi dapat terwujud dan mungkin saja anak nakal tersebut ketika telah selesai menjalankan hukumannya yang tergolong ringan (sanksi tindakan), dapat mengulangi perbuatannya di kemudian hari. V. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang ada, maka penulis merekomendasikan 2 (dua) hal pokok sebagai berikut: 1. Bagi Instansi Kejaksaan, khususnya Jaksa Penuntut Umum harus mengoptimalkan dakwaan terkait dengan perkara anak nakal yang melakukan concursus, ini dikarenakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum merupakan dasar bagi hakim dalam memutus dan menjatuhkan sanksi terkait dengan jenis concursus yang diterapkannya. 2. Bagi para Hakim yang menangani perkara-perkara anak khususnya bagi anak pelaku concursus, agar lebih obyektif dalam menjatuhkan sanksi. Sanksi yang di jatuhkan terhadap pelaku concursus sangat berpengaruh terhadap terdakwa, apakah sanksi tersebut memberikan efek jera atau tidak bagi perbuatannya di kemudian hari.
181
Fakultas Hukum - UNISAN
Anak Pelaku Concursus
DAFTAR PUSTAKA Buku : Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana), Bagian 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. _____________, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan Dan Ajaran Kausalitas, Bagian 2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009. Antonius Sudirman. Eksistensi Hukum dan Hukum Pidana Dalam Dinamika Sosial Suatu Kajian Teori dan Praktek di Indonesia. Semarang: BP Undip Semarang, 2009. Bambang Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1992. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang: CV. Ananta, 1994. Bintan R. Saragih, 70th Prof. Dr. Bintan R. Saragih, S.H. Percikan Pemikiran Hukum, Ketatanegaraan, dan Kebijakan Publik. Jakarta: Wildan Akademika dan Universitas Ekasakti Press, 2010. D.S. Dewi Fatahillah A. Syukur. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. Depok: Indie Pre Publishing, 2012. E. Utrecht, Hukum Pidana II, Bandung: Penerbitan Universitas, 1962. J. E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: Bina Aksara, 1987. Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008. Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung: Refika Aditama, 2009. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rhineka Cipta, 2002. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997. R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. Romli Atmasasmita. Kapita Selekta Hukum Pidana Dan kriminologi, Bandung: CV. Mandar Maju, 1995. Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2004. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003. Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Pers, 1995. Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rhineka Cipta, 2007. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994. Fakultas Hukum - UNISAN
182
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2012. Sumber Lain : http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2323842-pengertian-dan-dasarhukum/#ixzz2doWVxpgm http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2208125136.pdf, www.hukumonline.com.
183
Fakultas Hukum - UNISAN
Sistem Hukum Nasional
KEDUDUKAN HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL Nam Rumkel Fakultas Hukum Universitas Khaerun
[email protected] Abstract Customary law and Islamic law is an integral part of the national legal system because both the laws are in the territory of the Republic of Indonesia. The presence of customary law and Islamic law enforced constitutionally not formally legal instruments as the others but in fact may reflect the lives of the native people of Indonesia can always uphold traditional values and the values of the ideology of a Muslim-majority nation in Indonesia Keywords: Customary law, Islamic law, national legal system I. PENDAHULUAN Sistem hukum Indonesia adalah system hukum yang berlaku secara nasional diwilayah Republik Indonesia, system hukum Indonesia dapat dimaknai atau dapat dipahami sebagai suatu system yang bersifat majemuk. Kemajemukan system tersebut tidak terlepas dari kehadiran hukum Adat, hukum Islam.dan hukum Barat.Dalam perkembanganya ketiga system hukum tersebut khususnya hukum adat dan hukum Islam berjalan sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan bangsa Indonesia, sedangkan hukum barat menjadi turunan dari berbagai hukum yang ada di Indonesia sekarang. Bangsa Indonesia yang kaya dengan berbagai khasanah budaya yang dimiliki, maka penguatan terhadap system-sistem hukum tersebut menjadi suatu keharusan dengan tidak menguatkan atau melemahkan antara satu dengan yang lain. Dalam perjalanan sejarah hukum di Indonesia ketiga system hukum tersebut setidaknya hukum adat sebagai hukum yang tertua umurnya dari hukum Islam maupun hukum barat. Bahkan dalam sejarah perjalanan hukum adat telah mengalami tiga tahapan yaitu (1) sejarah penemuan hukum adat sebelum dikenal hingga ia menjadi hukum adat; (2) sejarah politik hukum adat dalam pergolakan politik hukum di Indonesia sejak zaman colonial Belanda hingga sekarang dan (3) sejarah ilmu hukum adat (Dominikus Rato, 2011:139). Proses-proses tersebut berjalan sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran hukum adat bukan saja menjadi suatu system hukum yang harus diberlakukan ditengah-tengah masyarakat yang beragam suku, agama dan ras tetapi sesungguhnya hukum adat menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia karena tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat secara dinamis walaupun tidak tertulis. Fakultas Hukum - UNISAN
184
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Sementara hukum Islam walaupun penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam tetapi baru dikenal di Indonesia setelah Islam disebarluaskan di tanah air. Kejelasan atau kepastian tentang keberadaan hukum Islam di Indonesia, para ahli juga belum memberikan suatu kepastian. Ada yang berpendapat bahwa kehadiran hukum Islam di Indonesia terjadi sejak abad ke I Hijiriah atau abad ke 7 Masehi. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa pada abad 13 Masehi. Walaupun terjadi perbedaan pandangan tentang kepastian hukum Islam masuk di Indonesia tetapi salah satu kelebihan dari kehadiran hukum Islam di Indonesia langsung di ikuti oleh para pemeluknya di banding dengan kedua sistem hukum yang lain dengan berbagai upaya yang sistematis dan tersuktur, agar dapat meyakinkan berbagai pihak tentang kehadiran hukum tersebut. Melihat kehadiran kedua hukum tersebut baik hukum adat maupun hukum Islam, bagi bangsa Indonesia hampir tidak ada masalah karena kedua hukum tersebut bagi orang-orang Indonesia asli disamakan dengan penduduk bumi putra. Walaupun sejak pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, para penjajah tersebut berhasil mengendalikan hukum adat dan hukum Islam. Mereka menyadari betul bahwa kedua hukum tersebut dapat memberikan andil yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia pada, bahkan menjadi satu kekuatan bagi masyarakat untuk melawan berbagai upaya dan strategi yang dilakukan oleh penjajah waktu itu. Bahkan dalam sejarah politik hukum adat waktu itu dapat dimaknai sebagai hukum agama dan keduukan di bawah hukum-hukum eropa pada waktu itu. Namun kondisi tersebut tidak bertahan lama karena sejak kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945 pemerintahan Belanda juga meninggalkan Indonesia,maka pemberlakuan hukum adat dan hukum Islam hampir tidak menghadapi masalah yang sirus lagi. Bahkan pada waktu telah dikeluarkan sebagian peraturan perundang-undangan sebagai bukti tentang keberlakuan dari kedua hukum tersebut. Perjalanan kedua hukum tersebut baik hukum adat maupun hukum Islam, dapat menunjukkan kepada kita bahwa keragaman masyarakat Indonesia dengan memiliki nilainilai adat istiadat yang kuat harus dijaga dan dapat dilestarikan dari waktu ke waktu. Tentu hal itu tidak harus kita dapat menjadikan kedua system hukm tersebut menjadi sumber hukum formal yang dapat diberlakukan di negeri yang tercinta ini, tentu hal itu dapat membutuhkan kajian yang matang tetapi sebenarnya apa yang telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari setidaknya dapat menunjukkan substansi dari kedua system hukum tersebut dalam berbagai lapisan masyarakat yang ada di Indonesia. Bahkan hukum adat dan hukum Islam mendapat pengakuan dari berbagai pihak termasuk pemerintah walaupun hal itu tidak diformalkan dalam berbagai peraturan yang dilahirkan di Indonesia tetapi sebenarnya secara garis besar spirit berbagai peraturan yang telah telah dilahirkan mencerminkan kedua hukum tersebut sebagaian bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi isi dari system hukum nasional Indonesia. Karena kedua hukum tersebut tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat Indonesia dengan memiliki krakteristik masing-masing.
185
Fakultas Hukum - UNISAN
Sistem Hukum Nasional
Legitimasi dari kedua hukum tersebut bisa dapat terlihat di dalam UUD 1945 pasca amendemen yang menegaskan secara jelas dalam pasal 18 B pada pasal 2 bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keastuan Republik Indonesia yang diatur oleh undang-undang. Sedangkan dalam hukum Islam terlihat pada pasal 29 pada ayat 2 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Pasal inilah yang melahirkan Undang-undang Perkawinan yang dalam Pasal 1 ayat 2 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama, dalam konteks tersebut maka hukum keberadaan hukum Islam menjadi sumber hukum bagi orang yang beraga Islam adalah peradilan agama. Bahkan pengadilan agama juga diperbolehkan menggunakan hukum adat asalkan tidak bertentangan hukum Islam. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Bagaimanakah kedudukan Hukum Adat dalam perspektif UUD NRI 1945? Bagaimanakah kedudukan Hukum Adat dalam perspektif perundang-undangan? Bagaimanakah kedudukan Hukum Islam dalam sistem hukum nasional? dan yang terakhir Bagaimanakah hubungan antara Hukum Islam dan pembinaan hukum nasional? II. PEMBAHASAN Hukum Adat sebagaimana dipahami sebagai hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah. Walaupun demikian dalam sistem hukum di Indonesia, hukum adat disebut sebagai hukum yang tidak tertulis/unstatuto law, yang berbeda dengan hukum kontinental sebagai hukum tertulis/statute law (Djamanat Samosir, 2013:1). Hukum adat sebagaimana yang dibahasakan oleh R. Soepomo, Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Menurut van Vollenhoven Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif dimana di satu pihak mempunyai sanksi sedangkan di pihak lain tidak dikodifikasi. Dari kedua pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Dalam sistem hukum di Indonesia baik hukum adat maupun hukum nasional memiliki keberlakuan yang secara konsep dapat berbeda tetapi secara substansi bisa sama. Dalam hukum adat bentuk hukunya adalah sebagaian besar adalah tidak tertulis sebagaimana pengertian tersebut diatas, sedangkan dalam sebuah negara hukum, dapat berlaku asas yaitu disebut dengan asas legalitas. Asas ini dimaknai bahwa tidak ada hukum selain hukum yang tertulis. Apabila hukum itu dituliskan, maka kepastian hukum itu pasti dapat dijamin dalam bentuk apapupun. Konsepsi ini tidak harus menghilangkan hukum yang tidak tertulis karena Fakultas Hukum - UNISAN
186
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
hukum adat sebagaimana yang diatur dalam UU No 5 pasal 5 tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria dan UU No 19/1960 jo UU No 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menganjurkan kepada para hakim apabila tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks tersebut Diakui atau tidak, namun Hukum Adat juga mempunyai peran yang penting dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia. Keberlakuan hukum adat menjadi suatu pegangan yang bukan saja pada masyarakat tetapi juga para penegak hukum menunjukkan bahwa hukum adat itu sebagai living law (hukum yang hidup/ hukum posotif yang baik)sebagaimana yang dikemukakan oleh Eugene Erlich bahwa hukum itu bukan ada dalam Undang-undang atau Dokrin- pendapat tetapi hukum ada di dalam Masyarakat. Satjipto Rahardjo (Harian Kompas Tahun 2008:20) mengatakan bahwa “hukum itu adalah persoalan manusia dan bukan semata-mata persoalan peraturan, serta hukum itu ada untuk manusia bukan sebaliknya, bukankah sebaiknya hukum itu mengalir saja”. Hal yang sama dikemukakan oleh Eugen Ehrlich dalam Bernard L. Tanya (2007:164-165), yang mengatakan bahwa hukum bukanlah konsep intelektual tetapi adalah realitas hubungan antara manusia itu sendiri, hukum merupakan hubungan antar manusia. Manusia merupakan sebuah sentral dalam menempatkan fungsi hukum dalam masyarakat, artinya hukum hanyalah sarana dan bukan tujuan. Karena itu perbedaan hukum adalah hal yang lumrah dalam suatu masyarakat. Menurut Eughen Ehrlich dalam Bernard L. Tanya (2007:164), masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomis dunia dan lain-lainnya, yang artinya hubungan sosial berarti bahwa orang-orang dikumpulkan dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi yang berwibawa. Eughen Ehrlich (1963:493) berpendapat bahwa norma-norma hukum berasal dari kenyataan sosial. Kenyataan-kenyataan yang melahirkan hukum menyangkut hidup sosial yang bermasyarakat, yang kemudian manusia sadar akan kebutuhannya (opinion necessitatis) dan kesadaran inilah yang menyebabkan timbulnya hukum secara langsung, atau Eugen Ehrlich menamakan sebagai Living Law, karena merupakan hukum yang mendominasi kehidupan itu sendiri, hal ini merujuk pada sumber pengetahuan tentang hukum itu adalah :pertama dokumen hukum modern seperti kontrak dan sebagainya, kedua observasi langsung pada kehidupan, perdagangan, adat budaya, kebiasaan dan pemenfatan semua aspek-aspek kehidupan dalam bentuk asosiasi, yang tidak hanya diakui oleh hukum tetapi juga yang diabaikannya bahkan yang tidak dibenarkan oleh hukum juga. Luasnya sasaran yang hendak dicakup oleh Eugen Ehrlich sehingga ada yang menamakan ajaran tersebut sebagai megalomaniac Jurisprudence, dengan pendekatan istilah para ahli sosiologi sekarang, maka banyak menekankan pada kenyataan yang terdapatnya pada social lag dalam kehidupan hukum, dimana peraturan-peraturan hukum itu tertinggal oleh kenyataan-kenyataan sosial (Satjipto Rahardjo, 2010:165). The living law menurut Eugen 187
Fakultas Hukum - UNISAN
Sistem Hukum Nasional
Ehrlich seperti dikutip oleh Ahmad Ubbe, dapat digambarkan dalam berbagai peryataan (Zainuddin Ali, 2009:91). Pertama, the living law ditemukan dalam kebiasaan yang sekarang berlaku di dalam masyarakat, khususnya dari norma yang tercipta dari aktivitas-aktivitas sejumlah kelompok dan di dalam kelompok itu warga masyarakat terlibat (derived from current custume within society and, in particular, from the normcreating activities of the numerous groupings in which members of society were involued). Kedua, ditambahkan bahwa the living law adalah hukum yang mendominasi kehidupan masyarakat, meskipun tidak selalu diubah menjadi formal ke dalam proposisi-proposisi legal, namun living law mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat (it was the ‘living law’ that dominated society’s life even though it had not always been reduced to forma, legal propositions.It reflected the values of society). Ketiga, the living law merupakan suatu “tertib dalam” dari kehidupan masyarakat, merupakan pola-pola kultur hukum yang tidak pernah statis. Nilai-nilai berubah; sikapsikap tentang perbuatan salah, berbeda dari waktu ke waktu; konsep-konsep tentang apa yang ditentukan sebagai tindak kriminal, berubah dari tahun ke tahun (the ‘inner order’ of society’s life-its’ culture patteren’-was never static. Values changed;attitudes to wrong-doing varied from time to time; concepts of what constituted’criminal conduct’ altered over the years). Keempat, the living law hanya dapat diketahui dari suatu pengujian terhadap putusanputusan pengadilan, suatu investigasi tertutup tentang isi dari dokumen-dokumen bisnis dan lain-lain, dan di atas dari semua itu, the living law dapat diketahui dari observasi terhadap orang-orang (the living law’can be discovered,…only from an examination of judicial decisions, a close investigation of the content of business documents etc and above all, from observation of people) (Satjipto Rahardjo, 1975:18). Berdasarkan pandangan Eugen Ehrlich tersebut, maka menurut Ahmad Ubbe unsurunsur utama yang terkandung dalam pengertian the living law, adalah sebagai berikut (Satjipto Rahardjo, 1975:18) : a. Ditemukan dalam kebiasaan yang sekarang berlaku di dalam masyarakat. b. Merupakan hukum yang mendominasi kehidupan masyarakat. c. Adalah aturan-aturan hukum yang digunakan dalam hubungan-hubungan kehidupan yang sedang berlangsung. d. Selalu berubah dari waktu ke waktu. e. Dapat diketahui, misalnya dari putusan hakim, dokumen perjanjian, dan investigasi kepada orang-orang tertentu. Satjipto Rahardjo, dengan mengutip Vinogradof, menguraikan bahwa the living law timbul secara serta merta dari kandungan masyarakat, dari praktik secara langsung tumbuh dari konvensi, baik bagi masyarakat maupun perorangan itu sendiri. Tidak timbul karena inisiatif perundang-undangan karena timbulnya perselisihan, melainkan dari praktik seharihari yang dituntun oleh pertimabangan memberi dan mengambil dari suatu lintas perhubungan yang adil dan kerja sama sosial (Satjipto Rahardjo, 1975:19). Fakultas Hukum - UNISAN
188
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Berdasarkan unsur-unsur tersebut yang memiliki keterkaitan maka, hukum dalam masyarakat, dikenal baik sebagai sarana pengendalian sosial (a tool of social control) maupun sebagai sarana pembaharuan (a tool of social engineering). Dalam kaitan itu, Sarjono Soekanto menyatakan bahwa secara sosiologis maka hukum berfungsi untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup.Pengertian menciptakan itu dalam bahasa asing digambarkan dengan istillah social engineering, sedangkan pengertian memelihara dan mempertahankan digambarkan dengan istillah social control (Muhammad Galna Ohorella, 1993:22). Bahkan lebih jauh memandang bahwa pengendalian sosial tersebut mencakup semua kekuatan yang menciptakan dan memelihara ikatan-ikatan sosial dalam masyarakat. Dengan demikian hukum berfungsi sebagai suatu sarana pemaksa yang melindungi warga dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta bedanya. Dampak dari perubahan tersebut dapat diatasi manakala semua proses-proses dalam masyarakat itu tetap menjadikan hukum sebagai tolak ukurnya, karena hukum adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan salah satu cerminan (reflectic) sistem nilai budaya masyarakat (culture value system).Bahkan menurut Koentjaraningrat memandang bahwa sistem nilai budaya pada setiap masyarakat terdiri atas, konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatanya lebih kongkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya berpedoman kepada sistem nilai budaya. Lebih jauh menurut Koentjaraningrat setidaknya terdapat tiga wujud kebudayaan, yakni (Koentjaraningrat, 2009:150) : 1. Wujud sebagai kompleks cita-cita gagasan, konsep serta pikiran manusia, lazim disebut sistem budaya (culture system) wujud ideal kebudayaan ini disebut pula covert culture atau unsur-unsur kebudayaan yang tidak tampak serta paling abstrak, antara lain sistem nilai budaya, pandangan hidup, etika, ideologi dan sistem norma. Sebagai kompleks gagasan, konsep dan pikirannya maka wujud ini tidak dapat dilihat, diraba, dan difoto. Lokasinya berada di dalam kepala dan pikiran para warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan. 2. Wujud sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola serta saling berinteraksi dari manusia dalam masyarakat, lazimnya disebut sistem sosial (social system). Wujud kebudayaan ini disebut overtculture atau unsur-unsur kebudayaan yang tampak, bersifat lebih konkrit, dapat diamati atau diobservasi, difoto dan difilm. 3. Wujud sebagai benda-benda hasil karya manusia, lazim disebut kebudayaan fisik (phsical culture atau material culture), seperti halnya lukisan, patung, candi, pesawat udara. Wujud kebudayaan ini juga merupakan overt culture, bahkan paling konkret dan biasanya paling dilihat oleh orang asing yang baru berkunjung pada masyarakat yang bersangkutan atau yang di pahami wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. 189
Fakultas Hukum - UNISAN
Sistem Hukum Nasional
Dari ketiga aspek di atas nampak bahwa adat adalah wujud yang sangat ideal dari kebudayaan, karena dapat di bagi dalam empat tingkatan yang menurut Koentjaraningrat (2009:150) yaitu tingkatan nilai budaya, tingkatan norma-norma, tingkatan hukum dan tingkatan aturan khusus bahwa tingkat nilai budaya yang merupakan ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat yang biasanya lugas dan kabur, tetapi berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Tingkat yang kedua yaitu norma-norma,merupakan nilai budaya yang, sudah terkait dengan peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Tiap peranan membawakan baginya sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya yang bersangkutan. Tingkat yang ketiga, ialah sistem hukum baik hukum adat maupun hukum yang tertulis. Jumlah hukum dalam suatu masyarakat jauh lebih banyak dari pada norma yang menjadi pedomannya. Tingkat adat yang keempat ialah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas yang amat jelas dan terbatas yang memperhatikan setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya secara khusus dengan pendirian bahwa setiap persoalan berbeda dari persoalan lainnya, walaupun dalam banyak hal tampak sekali kemiripan. Kajian terhadap berbagai aspek-aspek tersebut setidaknya menunjukkan bahwa hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat Kekuaatan itu bisa dapat terlihat dari, adanya sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat, walaupun sanksi tersebit tidak dapat diformalkan sebagaimana yang terdapat di dalam hukum posotif. Dinamika perkembangan zaman setidaknya juga dapat memberikan pengaruh kuat terhadap tingkat komitmen dan konsekwensi dalam melaksanakan nilai-nilai hukum adat tersebut, hal itu setidaknya dapat terlihat pada generasi muda yang terutama tingkat pendidikanya menghabiskan di luar kampung halamannya atau daerah asalnya, lebih tertarik mengkaji berbagai persoalan baik itu politik, ekonomi dan social budaya yang muncul dengan hukum formal yang ada ketimbang hukum adat itu sendiri. Namun juga sebagaian masyarakat yang masih kuat adat istiadatnya masih menjadikan hukum adat sebagai suatu rujukan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh warganya terutama persoalan-persoalan yang berkenaan dengan adat ketimbang menyelesaikan persoalan tersebut dengan hukum formal yang berlaku. Cerminan dari masih betapa kuatnya hukum adat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi telah terjadi pada masyarakat di Kepulauan Kei Maluku Tenggara dengan hukum adat Larwul Ngabal yang terdiri dari 7 (tujuh pasal) yang terbagi dalam 3 (tiga) pendekatan yang menunjukkan ciri khas masyarakat Kei dimanapun dia berada baik di Kepulauan Kei sendiri maupun di tanah rantau orang. Ketiga pasal tersebut yaitu (Nam Rumkel, 2013:113) Pasal 1, 2, 3 dan 4 yang disebut dengan hukum Nevnev yang penguatanya pada mengatur kehidupan manusia, Pasal 5 dan 6 yang disebut dengan hukum Hanilit yang berfungsi dalam mengatur dan menjaga persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kesusilaan dan moralitas, sedangkan Pasal 7 tentang hukum Hawear Balwirin yang menjadi Fakultas Hukum - UNISAN
190
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
pengangan dalam mengatur hak-hak dan keadilan sosial. Kekuatan dari ketujuh pasal tersebut bukan saja menjadi suatu symbol tetapi telah teruji mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang harus diselesaikan dengan hukum formal tetpi tidak mampu tetapi dengan pendekatan hukum adat tersebut mampu dapat menyelesaikan dan itu diterimah dengan baik bagi semua pihak walaupun dalam konteks keadilan belum bisa memuaskan semua pihak yang terlibat sebagaimana kasus kerusuhan social yang terjadi di Maluku dan khususnya di Kepulauan Kei pada tahun 1998. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdata-nya masyarakat Indonesia. A. Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945 Berbagai konstitusi atau UUD 1945 yang diberlakukan di Indonesia sejak kemedekaan bangsa Indonesia pada tanggal 1945 baik itu UUD 1945 itu sendiri maupun Konstitusi RIS dan UUDS 1945, bahkan secara sederhana dapat dibahasakan bahwa UUD tahun 1945 sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusanrumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Namun setelah amandemen UUD 1945 pada tahun 1998- 2002, maka secara jelas hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara : 1. Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya; 2. Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu; 3. Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup); 4. Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula; 5. Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran 191
Fakultas Hukum - UNISAN
Sistem Hukum Nasional
kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil; 6. Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003:32-33) Rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka: dengan melihat pada (1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, (2. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup; (3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan (4. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian UUD 1945 hasil amendemen ini dapat memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat: 1. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat; 2. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang; B. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang/ Perpu; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; dan 5. Peraturan Daerah. Memang harus diakui bahwa untuk mewujudkan hukum adat sebagai suatu sumber hukum yang secara formal dapat diberlakukan sebagaimana sumber hukum perundangundangan yang berlaku di Indonesia merupakan suada perdebatan yang belum tuntas dikalangan para pakar maupun kalangan mahasiswa yang konsen dengan hukum adat sampai sekarang, karena ada yang berpandangan bahwa kekuatan hukum adat itu hanya bisa diwujudkan sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana. Tetapi juga ada yang berpandangan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan karena kelemahan utama pada hukum adat itu bersifat local, sifat majemuk masyarakat Indonesia dan kompleksnya masalah-masalah antara yang satu dengan yang lain. Bagi penulis perdebatan ini tidak perlu terjadi karena sebenarnya substansi dari tentang hukum adat itu sesungguhnya sudah terdapat di dalam UUD NRI 1945 hasil amendemen Pasal 18B ayat 1 dan 2, yang dibutuhkan sekarang adalah mendorong political will dari pemerintah agar melaksanakan perintah tersebut dengan baik dengan melahirkan berbagai regulasi yang menjadi penguatan terhadap Pasal 18B tersebut. Fakultas Hukum - UNISAN
192
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Merujuk pada kesimpulan-kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975 di atas telah dijelaskan secara rinci dimanakah sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundangundangan, maupun dalam putusan hakim. Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat. Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun keputusan. Pengadilan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum nasional dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. C. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya beragama umat islam yang terbanyak di dunia. Hal ini juga tolak ukur yang kuat dalam melahirkan berbagai aturan dan kebijakan untuk mengatur warganya dan sekaligus menjadi pegangan dalam menjalankan berbagai aktivitas kehidupanya. Indonesia memang secara jelas bukan negara-negara yang menagunut salah satu faham agama walaupun populasi yang terbanyak adalah umat Islam tetapi tidak memberlakukan hukum Islam sebagai dasar bernegara, tetapi hukum Islam ditentukan oleh perundang-undangan dapat berlaku langsung tampa harus melalui hukum adat (Muhammad Daud Ali, 1990:226). Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam itu sendiri.Sebagai penduduk umat Islam yang terbanyak memiliki peran yang sangat strategis maka kedudukan hukum Islam dalam system hukum di Indonesia memilki derajat yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh oleh hukum adat dan hukum barat. Hukum Islam harus menjadi inspirasi atau sumber pembentukan hukum nasional yang akan diberlakukan atau menjadi pegangan bagi mayoritas 193
Fakultas Hukum - UNISAN
Sistem Hukum Nasional
penduduk yang mayoritas di negeri ini. Secara realitas umat Islam di Indonesia dalam aktivitas kehidupan sehari-seharinya telah memberlakukan hukum Islam walaupun tidak diformalkan sebagaimana juga yang dipraktekkan dalam hukum adat selama ini. Dan tidak juga dapat mengganggu umat yang beragama lain bahkan mereka saling menerima dengan keramagan tersebut walaupun dalam perbedaan idologi masing-masing. Berlakunya hukum Islam di Indonesia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Gani Abdullah bahwa dilandasi oleh tiga alas an yang mendasar (Abdul Gani Abdullah, 1994:94-106). Pertama alasan Filosofis yang merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas umat muslim di Indonesia yang mempunyai peran penting bagi tercapainya fundamental Negara Pancasila. Kedua, alasan Sosiologis, perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan, dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 29 UUD 1945 hasil amendemen yang memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal. Pada pembukaan Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta pada tanggal 21 Desember 1981, menurut Ali Said, mantan Menteri Kehakiman RI bahwa hukum Islam terdiri dari dua bidang yaitu (Abdul Gani Abdullah, 1994:272-278) bidang ibadah dan bidang muamalah. Hal yang berkaitan dengan ibadah dapat diatur lebih rinci sedangkan hal-hal yang bersifat muamalah tidak terlalu rinci dalam pengaturanya, bahkan yang terlihat pada hal-hal yang prinsip-prinsip saja. Konsep dan formulasinya maupun pengembanganya dari prinsip-prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya oleh para penyelenggara Negara dalam hal ini pemerintah agar bisa dapat berjalan dan bersinerji dengan berbagai regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah. Peranan hukum Islam dengan populasi penduduk yang banyak itu baik secara kualitas maupun kuantitas tidak boleh diabaikan maka harus ada upaya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang itu dipandang sebagai sesuatu yang bisa berdampak posotif apabila dapat dilaksanakan dengan baik dan dipandang secara negative abila dapat diabaikan terutama oleh pemegang kekuasan, dan itu bisa berdampak dan dapat mempengaruhi dalam segala segi kehidupan. Pemberlakuan suatu hukum tentu memiliki berbagai konsekwensi-konsekwensi yang harus dilakukan begitu juga dengan mengabaikan satu hukum yang sesuai dengan perintah agama dan keyakinanya harus dilaksanakan. Dalam konteks tersebut maka hukum Islam bagi masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang harus dilaksanaka oleh pemegang otoritas kekuasaan di negeri ini baik yang berada di pusat maupun di daerah. Berbagai kasus yang terjadi di negeri bahkan samapai sekarang perdebatan tentang hal-hal yang bersifat agama selalu dapat dimaknai sebagai hal yang bersifat sensitif dalam kehidupan, padahal itu persolana yang harus dicari jalan keluarnya agar semua orang merasakan bahwa ada jaminan atau tanggung jawab negara terhadap kehidupan umat beragama yang harmonis, tentram aman dan damai.Komitmen itu hanya bisa dapat terwujud apabila pemerintah dan DPR sebagai pembuat regulasi mampu mentransformasikan norma-norma hukum Islam yang menjadi Fakultas Hukum - UNISAN
194
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
keyakinan dari sebagian besar umat Islam di Indonesia kedalam hukum nasional yang akan diberlakukan di Indonesia, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 hasil amendemen, serta relevan dengan tuntutan dan kebutuhan hukum khususnya umat Islam di Indonesia sebagai mayoritas. D. Hukum Islam dan Pembinaan Hukum Nasional Menurut Daud Ali (1990:266-278) yang diperlukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah badan yang berwenang merancang dan menyusun hukum nasional yang akan datang dengan menekankan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islamnya dalam segala bidang, baik itu bersifat umum maupun bersifat khusus. Muatan-muatan yang terdapat dalam umum itu mengatur ketentuan-ketentuan umum mengenai perundang-perundangan yang akan berlaku di tanah air kita. Sedangkan di dalam khusus itu dapat diharapkan mengatur hal-hal yang bersifat khusus contohnya asas-asas hukum baik yang ada di perdata Islam, asas pidana Islam, asas hukum tata Negara, administrasi pemerintahan maupun hukum acara dalam Islam dan lain-lain. Asas-asas tersebut secara konsep dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi khususnya bagi umat Islam. Olehnya itu Lembaga pembinaan hukum nasional hurus merumuskan asas-asas tersebut secara jelas baik secara konsep maupun maknanya, agar menghindari multi tafsir dari kalangan masyarakat yang beragama Islam sendiri yang akan melaksanakannya maupun dari umat yang beragama lain, dengan mudah memahami dan dapat menerimahnya dengan baik tanpa ada rasa takut atau khawatiran terhadap akan ada hukum baru yang sedang diberlakukan. Kebutuhan bangsa Indonesia tentang berbagai asas tersebut menjadi penting karena secara kenyataan masyarakat yang beragama Islam dalam hal-hal tertentu lebih sukan menyelesaikan persoalan yang dihadapi dengan pendektan hukum Islam ketimbang dengan hukum formal yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam sebagaian mengganggap bahwa penerapan hukum Islam itu tidak harus secara formal tetapi itu bisa dapat diterapkan secara parsial dalam kehidupan sehari-sehari. Konsep pengembangan hukum Islam, kalau diteaah lebih jauh dengan dilihat secara kuantitatif dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan itu sendiri baik itu dalam tatanan social budaya , politik, ekonomi maupun hukum itu sendiri dalam masyarakat. Olehnya itu konsep-konsep tersebut harus diakomodir secara kualitatif dalam berbagai perundang-perundang yang telah drancang atau dibahas oleh lembaga negara baik oleh pemerintah dan DPR. Upaya yang demikian ini harus menjadi komiten dan tanggung jawab dari berbagai pihak yang terlibat terutama lembaga badan pembinaan hukum nasional itu sendiri. Memang harus disadari bahwa dalam proses melahirkan suatu produk hukum atau undang-undang, kadang-kadang logika rasionalitas dapat dikalahkan oleh logika politik dan kepentingan dari pihak-pihak yang tidak diuntungkan dengan kehadiran dari produk hukum tersebut. Memang benar dalam proses suatu undang-undang yang dominan adalah proses politik dan kepentingan tetapi manakalah undang-undang itu disahkan menjadi suatu produk 195
Fakultas Hukum - UNISAN
Sistem Hukum Nasional
hukum maka yang bermain adalah komitmen menegakan aturan tersebut yang terdapat di dalam pasal atau ayat-ayat dalam undang-undang tersebut. Transformasi hukum agama menjadi hukum nasional, bukan saja menjadi kepentingan atau keinginan dari bangsa Indonesia, tetapi hal itu sudah terjadi di berbagai negara terutama negara-negara muslim seperti Mesir, Syiriah, Irak, Jordania dan Libya. Secara substansi hampir tidak ada masalah dan semua orang bisa dapat menerimah dengan baik transformasi hukum tersebut. Yang sedikit berbeda dari proses tersebut adalah bisa dapat dilihat dari kadar atau unsur-unsur hukum Islam dalam hukum negara tersebut ada yang begitu dominan tetapi ada juga kurang dominan, bahkan hukum Islam dan hukum negara memiliki porsi yang sama. Indonesia sebagai negara yang mayoritas beragama Islam dengan beragam suku dan budaya yang dimiliki maka transformasi hukum yang hendak diwujudkan adalah perpaduan antara hukum adat, hukum Islam dan hukum barat yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia. Diantara sebagaian besar produk hukum Islam yang ada dalam system nasional di Indonesia pada umumnya memiliki tiga bentuk (Didi Kusnadi, 2010:14), yaitu (1) Hukum Islam yang secara formil maupun materiil menggunakan corak dan pendekatan keIslaman, (2) Hukum Islam dalam proses transformasi diwujudkan sebagai sumber-sumber materi hukum, di mana asas-asas dan prinsip-prinsipnya menjiwai setiap produk aturan dan perundangpeundangan, (3) Hukum Islam yang secara formil dan materiil ditransformasikan secara persuasive. Pada kenyataanya, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun materil tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam antara lain; UU No 1 tahun 1974 tentang hukum Perkawinan, UU No 7 tahun 1989 jo UU No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, UU No 72 tahun 1992 tentang Perbankan Syari’ah, UU No 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang diganti lagi dengan UU No 13 tahun 2008, UU No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakaat, Infak dan Shadaqah, UU No 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam, UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. III. KESIMPULAN Perkembangan hukum adat dan hukum Islam di Indonesia mengalami dinamika yang sangat menggembirakan bagi penduduk Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam, suku dan agama dengan berbagai multi etnis yang ada. Dalam konteks yang tersebut maka nilai-nilai universal baik yang terkandung di dalam hukum adat dan hukum Islam menjadi modal yang dasar dalam berkesinambungan bagi upaya transformasi ke dalam system hukum nasional, hal itu bisa dilihat dari berbagai regulasi yang telah dilahirkan sebagai penguatan dari kedua hukum tersebut sejak kemerdekaan Indonesia sampai sekarang Indonesia. Keniscayaan tersebut dapat memberikan makna bahwa kedudukan hukum adat dan hukum Islam dalam system hukum nasional dapat memberikan dampak yang posotif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Fakultas Hukum - UNISAN
196
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Berbagai regulasi yang telah dilahirkan selama ini, menunjukkan bahwa nilai-nilai universal yang terdapat baik dalam hukum adat maupun hukum Islam tercermin di dalamnya. Hal yang seperti ini harus merupakan suatu komitmen yang kuat dari dari berbagai pihak terutama pemerintah baik di pusat dan daerah bersama dengan DPR/DPRD dalam melahirkan berbagai regulasi yang ada di negeri ini sebagai suatu system hukum nasional. Bangsa yang besar seperti bangsa Indonesia harus memiliki system hukum nasional yang kuat dengan mengadopsi nilai-nilai universal yang terkandung baik dalam hukum adat maupun hukum Islam Dengan demikian maka cerminan dari system hukum nasional Indonesia adalah cerminan dari kehidupan masyarakat Indonesia, yang memiliki culture dan budaya yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, dan agama sebagai symbol ideology pada suatu negara dengan tidak mempersoalkan pada konteks minoritas maupun mayoritas tetapi mencerminkan pada suatu system hukum nasional Indonesia yang kuat. Harus menjadi suatu komitmen bersama dari semua pihak terutama pemerintah pusat dan daerah maupun DPR, DPRD sebagai kewenangan yang diberikan dalam pembuat atau perancang berbagai regulasi baik itu berupa UU maupun Perda-Perda, yang akan dijadikan sebagai rujukan atau pegangan bagi semua warga negara Indonesia di manapun dia berada dalam melaksanakan berbagai aktivitas kehidupanya, menjadi suatu keharusan untuk menjadikan nilai-nilai universal yang terkandung dalam hukum adat maupun hukum Islam yang selama ini dalam prakteknya tidak bertentangan dengan Pancasilah dan UUD NRI 1945, untuk dapat ditransformasikan kedalam berbagai regulasi yang dilahirkan sebagai system hukum nasional Indonesia. Hal itu penting dilakukan dengan menunjukkan bahwa kedua sistem hukum tersebut tampa di formalkan juga sebagai suatu undang-undang yang berlaku secara nasional di Indonesia, spirit dan semangatnya maupun nilai-nilainya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam histem hukum nasional. DAFTAR PUSTAKA Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No 7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam’ dalam Mimbar Hukum No I tahun V. Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinpera Islam Depag RI, 1994. Bernad L. Tanya Dkk, Teori Hukum Surabaya: CV Kita, 2007. Dominukus Rato, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat Di Indonesiai): Yogyakarta: Laks Bang Press Sindo, 2011. Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia Bandung; CV Nuansa Aulia, 2013. Didi Kusnadi, Hukum Islam di Indonesia (Tradisi Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010. Eugen Ehrlich, Fundamental Principles of the Sociology of Law (New York Originally Published: Cambridge, Mass, Harvard University Pres, 1936. 197
Fakultas Hukum - UNISAN
Sistem Hukum Nasional
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Asdi Mahasatya, 2009 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum Yogyakarta: Genta Publishing, 2010 ______________, Biarkan Hukum Mengalir, Harian Kompas Tahun 2008, ______________, Pengertian Hukum Adat, Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat (living law) Dalam Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional :Bandung: Binacipta, 1975 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum da Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1990. ___________________, Peradilan Agama Pasca UU No 7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islamdi Indonesia’ dalam Mimbar Hukum No 1 tahun V: Jakarta: al-Hikmah dan Ditbinpera Islam Depag RI, 1994. Muhammad Galna Ohorella, Desertasi Hukum Adat Mengenai Tanah dan Air Di Pulau Ambon dan Sumbanganya Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional (UUPA), Makassar: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, 1993 Nam Rumkel, Eksistensi Hukum Adat Larwul Ngabal Di Kepulauan Kei Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang Berbasis Pada Kearifan Lokal, (Disertasi). Makassar: Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2013. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Fakultas Hukum - UNISAN
198
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
199
Fakultas Hukum - UNISAN
Penangguhan Penahanan
KAJIAN YURIDIS EMPIRIS TERHADAP JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Mulyadi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Merauke
[email protected] Abstract Guarantor responsibility in terms of the suspect or the accused escape moral responsibility only course, the responsibility borne by the surety underwriters who uses people as collateral will eventually return to the form of matter that is money. If the suspect or the accused fled at the time of the surety, the surety is liable in accordance with Article 36 Government Regulations 27/1983. Keywords: Guarantor, responsibility, collateral I. PENDAHULUAN Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat dalam masyarakat. Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dilihat dan dibaca atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Dapatlah dikatakan bahwa setiap individu melaksanakan hukum. Setiap hari kita melaksanakan hukum. Bahkan seringkali kita tanpa sadari kita melaksanakan hukum. Jadi pelaksanaan hukum bukan dimonopoli oleh pihak tertentu seperti pejabat atau penegak hukum. Dalam kehidupan bermasyarakat pasti terwujud suau interaksi, dimana intereaksi tersebut memerlukan batasan-batasan atau bisa dikatakan suatu aturan yang mengatur interaksi tersebut. Dengan telah disahkannya Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), membawa perubahan yang mendasar bagi hukum acara pidana Indonesia yang sebelumnya berpedoman pada HIR. Perubahan yang mendasar tersebut sesuai dengan tujuan KUHAP itu sendiri yaitu memberikan perlindungan hak asasi bagi tersangka atau terdakwa dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum. Tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum dalam undang-undang ini nampaknya sudah bukan merupakan suatu tujuan utama, namun tujuan perlindungan atas harkat dan martabat seorang tersangka atau tertuduh atau terdakwalah yang merupakan tujuan yang utama. Meskipun telah diadakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang bersifat nasional yang telah disesuaikan dengan keadaan atau kehidupan hukum Indonesia, KUHAP itu sendiri tidak luput dari adanya kekurangan. Kekurangan yang terdapat dalam KUHAP memang banyak menimbulkan suatu permasalahan baru diantaranya dalam hal penahanan Fakultas Hukum - UNISAN
200
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
seorang tersangka atau terdakwa. Permasalahan mengenai penahanan akan tetap menjadi suatu pembicaraan yang sangat menarik karena penahanan sangat erat kaitannya dengan perampasan hak kebebasan seseorang. Dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan tersangka atau terdakwa disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh panyidik, penuntut umum, hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam pasal lain dalam KUHAP. Oleh karena penahanan tersebut merupakan pembatasan terhadap suatu kebebasan yang dimiliki oleh seseorang khususnya kebebasan bergerak seseorang maka hendaknya penahanan tersebut dilakukan bilamana memang sangat diperlukan bagi kepentingan penegakan hukum. Selain itu penahanan juga menimbulkan dua pertentangan azas yaitu disatu pihak penahanan menyebabkan hilangnya kebebasan bergerak seseorang, dan di pihak yang lain penahanan dilakukan untuk menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas perbuatan jahat yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa (Andi Hamzah, 1993:164). Oleh karena itu, segala tindakan penahanan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan harus sesuai dengan KUHAP, hal ini untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan penahanan yang nantinya dapat menyebabkan akibat hukum yang fatal bagi pejabat yang melakukan penahanan yang mana dapat berupa adanya tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan bahkan bisa berupa ancaman pidana sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004. Untuk menjaga dan agar tidak merugikan kepentingan tersangka atau terdakwa dikarenakan adanya penahanan yang kemungkinan dapat dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama maka dalam hukum acara pidana kita diatur suatu ketentuan mengenai bahwa tersangka atau terdakwa dapat memohon penahanannya untuk ditangguhkan. Mengenai penangguhan penahanan tersebut diatur dalam Pasal 31 KUHAP, dimana penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dengan adanya pengaturan mengenai dapat dimohonkannya penangguhan terhadap suatu penahanan, mungkin memberikan sedikit angin segar kepada para tersangka atau terdakwa. Namun, mengenai penangguhan penahanan ini juga tidak luput dari kekurangan dan sudah barang tentu dapat menimbulkan suatu permasalahan yang baru bagi masyarakat yang mencari kepastian hukum. Dalam Pasal 31 KUHAP hanya menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa dapat memohon suatu penangguhan, penangguhan tersebut dapat dikabulkan 201
Fakultas Hukum - UNISAN
Penangguhan Penahanan
oleh penyidik, penuntut umum, hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan syarat-syarat tertentu serta apabila syarat tersebut dilanggar maka penangguhan tersebut dapat dicabut kembali dan tersangka atau terdakwa tersebut dapat kembali ditahan. Pengaturan tersebut dirasa sangat kurang memberi kejelasan pelaksanaan penangguhan penahanan dalam praktek beracara pidana. Diatas telah diuraikan bahwa penangguhan dapat dilaksanakan dengan atau tidak adanya jaminan berupa uang atau jaminan orang, namun KUHAP tidak menjelaskan mengenai besarnya jumlah uang jaminan tersebut apabila penangguhan tersebut dilaksanakan dengan adanya jaminan uang dan apabila penangguhan dilaksanakan dengan jaminan orang KUHAP juga tidak memberikan penjelasan. Selain itu Pasal 31 KUHAP juga tidak menjelaskan mengenai akibat hukum dari si penjamin apabila tersangka atau terdakwa yang ia jamin tersebut melarikan diri. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Apa yang menjadi dasar pertimbangan bagi aparat penegak hukum untuk menentukan besarnya uang jaminan dalam menetapkan suatu penangguhan penahanan? Bagaimana akibat hukum dari si penjamin dalam penangguhan penahanan dengan jaminan orang saja bila terdakwa melarikan diri? II. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penulisan ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, dengan pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendasarkan pada data lapangan dan pustaka. B. Sumber Data Data Lapangan (Field Research) adalah merupakan data primer yang diperoleh dengan melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Merauke dan Polres Merauke. Data Pustaka (Library Research) adalah merupakan data sekunder yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas sebagai bahan hukum primer, serta literatur-literatur sebagai bahan hukum sekunder, serta dari kamus sebagai bahan hukum tersier. C. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah untuk data lapangan atau data primer diperoleh dengan melakukan wawancara. Wawancara yang dimaksud ialah dalam artian secara fisik. Wawancara dilakukan dengan informan sedangkan untuk data sekunder atau data pustaka diperoleh dengan membaca, menganalisa literatur-literatur, ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas. Fakultas Hukum - UNISAN
202
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
D. Analisis Data Analisa data yang dipergunakan adalah secara kualitatif yaitu dengan memilih data dengan kualitasnya untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan. Data yang dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber dikumpulkan untuk mendapatkan data yang relevan dengan masalah yang diangkat dan disajikan secara deskriptif analisis yaitu penyajian yang menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek tertentu yang bersangkutan dengan permasalahan dan selanjutnya dianalisa kebenarannya. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan Aparat Penegak Hukum Dalam Menetapkan Jumlah Uang Jaminan Seorang tersangka/terdakwa yang disangka melakukan suatu tindak pidana oleh aparat penegak hukum diperiksa dan disidik dan untuk kepentigan pemeriksaan tersebut tersangka/terdakwa dapat ditahan berdasarkan waktu yang telah ditetapkan dalam KUHAP. Oleh karena penahanan tersebut merupakan pembatasan terhadap suatu kebebasan yang dimiliki oleh seseorang khususnya kebebasan bergerak seseorang maka hendaknya penahanan tersebut dilakukan bilamana memang sangat diperlukan bagi kepentingan penegakan hukum. Selain itu penahanan juga menimbulkan dua pertentangan azas yaitu disatu pihak penahanan menyebabkan hilangnya kebebasan bergerak seseorang, dan di pihak yang lain penahanan dilakukan untuk menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas perbuatan jahat yang disangkakan kepada tersangka atau terdakwa. Ketentuan penangguhan penahanan diatur dalam KUHAP yaitu dalam Pasal 31 yang isinya: (1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. (2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dari ketentuan Pasal 31 KUHAP tersebut diatas maka suatu penangguhan penahanan dapat dimohonkon oleh semua tersangka atau terdakwa dengan jalan mengajukan permohonannya kepada instansi yang melakukan penahanan baik instansi kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan yang dalam hal ini diwakili oleh hakim. Setelah permohonan tersebut diutarakan maka instansi yang berwenang mempertimbangkan apakah permohonan penangguhan penahanan dari tersangka atau terdakwa dikabulkan atau ditolak. Permintaan atau permohonan penangguhan penahanan tersebut haruslah mencantumkan alasan-alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan yang nantinya dapat dipakai dasar pertimbangan mengabulkan penangguhan tersebut. 203
Fakultas Hukum - UNISAN
Penangguhan Penahanan
Menurut Kasat Reserse Polres merauke alasan-alasan tesebut misalnya : - Tersangka/ terdakwa dalam keadaan sakit dan perlu perwatan dokter, atau - Tersangka/terdakwa merupakan tulang punggung keluarga untuk menafkahi seluruh keluarga. - Tersangka/terdakwa selama hidupnya selalu berbuat baik terhadap keluarga - Anak kami masih kecil sehingga butuh bimbingan dari tersangka/terdakwa selaku ayahnya - Bersedia hadir apabila mendapat panggilan dan tidak mempersulit pemeriksaa (hasil wawancara dengan Kasat Reserse Polres Merauke. tanggal 17 Januari 2014). Dari alasan alasan tersebut diataslah nantinya dipakai sebagai dasar penetapan penangguhan. Dan apabilla permohonan penangguhan tersebut ternyata dikabulkan maka aparat yang menangguhkan membuatkan suatu perjanjian yang berisikan penetapan syarat dan jaminan dalam penangguhan penahanan tersebut. Dalam Pasal 31 telah dinyatakan bahwa penangguhan diadakan berdasar syarat yang ditentukan, namun dalam pasal tersebut tidak menjelaskan syarat syarat tersebut, hanya saja dalam penjelasan Pasal 31 tersebut hanya menyatakan bahwa syarat tersebut hanyalah wajib lapor, tidak keluar rumah atau tidak keluar kota. Adanya syarat dalam penangguhan penahanan tersebut merupakan hal yang harus ada, jadi aparat harus menetapkan syarat apakah yang dikenakan kepada tersangka/terdakwa tersebut. Dalam Pasal 31 KUHAP juga telah mengatur bentuk dari jaminan penangguhan penahanan namun keberadaan jaminan bukan merupakan hal yang mutlak. Adanya suatu jaminan dalam penangguhan penahanan bukan merupakan sesuatu yang harus ada namun lebih berupa suatu kesepakatan dan apabila tidak diperlukan maka jaminan tersebut tidak akan ada, hal tersebut tergantung dari kesepakatan antara aparat penegak hukum yang berwenang menetapkan penangguhan penahanan dengan tersangka/terdakwa, keluarga tersangka/ terdakwa atau penasehat hukumnya. Hal senada juga disebutkan oleh salah satu Penyidik Reserse bahwa dalam penetapan adanya jaminan tersebut tergantung dari kesepakatan bersama antara aparat dengan tersangka/ terdakwa, selain itu apabila telah disepakati harus ada jaminan maka untuk menentukan bentuk jaminan apakah berupa uang atau orang ataupun keduanya, hal tersebut juga berdasarkan kesepakatan bersama. (hasil wawancara dengan Penyidik Reserse. 17 Januari 2014). Bila suatu penangguhan penahanan dikabulkan dengan menetapkan adanya jaminan berupa uang, namun KUHAP dan peraturan lainnya yang mengatur mengenai penangguhan penahanan tidak ada yang menerangkan mengenai jumlah uang yang digunakan sebagai jaminan. Penetapan jumlah uang yang sebagai jaminan dalam penangguhan penahanan disesuaikan berdasar kondisi dari tersangka tersebut, misalnya keadaan ekonomi, tindak pidana yang dilakukannya apakah tergolong berat atau ringan atau berdasar kerugian yang ditimbulkan atas kejadian atau perbuatan yang disangkakan kepada tersangka. (hasil wawancara dengan Penyidik dan Anggota Reskrim Polres Merauke tanggal 17 Januari 2014) Fakultas Hukum - UNISAN
204
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Kondisi dari tersangka atau terdakwa yang dilihat dari aspek ekonomi sangat penting untuk diperhatikan agar nantinya dapat mencerminkan adanya suatu keseimbangan, sebagai contoh misalnya bagi tersangka atau terdakwa yang kurang mampu maka penetapan jumlah uang jaminannya tidak terlalu besar begitu juga sebaliknya dengan tersangka/terdakwa yang kondisi ekonominya dapat dikatakan berkecukupan maka jumlah uang jaminannya nantinya jangan terlalu ringan. Jadi pada dasarnya disesuaikan dengan kondisi yang ada dan kondisi kemampuan ekonomi dari tersangka/terdakwa sangat berperan terhadap kebijaksanaan dari pejabat yang menentukan besarnya uang jaminan penangguhan tersebut. Selain hal tersebut menurut Penulis penetapan jumlah uang jaminan penangguhan harus juga didasarkan dengan tindak pidana yang disangkakan agar dalam penetapan jaminan ini dapat dirasakan bahwa keadilan itu ada, karena jangan sampai nantinya penetapan jumlah uang jaminan seorang tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang berat diberikan penetapan uang jaminan yang sangat ringan dan begitu juga sebaliknya. Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Pengadilan Negeri Merauke, bahwa penetapan besarnya uang jaminan dilakukan berdasar adanya negosiasi antara pejabat yang berwenang melakukan penangguhan dengan pemohon penangguhan. Selain itu penetapan juga didasarkan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dari tersangka atau terdakwa dan juga dapat dilihat dari tindak pidana yang disangkakan. Disitulah tugas dari aparat agar lebih jeli dan teliti serta memprtimbangkan dengan seksama agar jangan sampai dengan tidak melihat dan mempertimbangkan hal tersebut nantinya akan mengakibatkan hal yang fatal misalnya, seorang tersangka yang kondisi ekonominya tinggi dikabulkan penangguhan penahanannya dengan menetapkan jaminan uang sebesar Rp. 1.000.000,- yang dianggap kecil oleh tersangka, maka tersangka tidak akan berfikir lama untuk menghindar dari jeratan hukum karena menganggap jaminannya sangat kecil. (hasil wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Merauke tanggal 20 Januari 2014 ). Besarnya jumlah uang jaminan yang ditetapkan dalam penetapan suatu penangguhan penahanan sepenuhnya merupakan kewenangan dan kebijaksanaan dari instansi yang mengabulkan penanguhan penahanan tersebut dan sudah tentu tidak terlepas dengan adannya kesepakatan antara instansi tersebut dengan pemohon penangguhan tersebut. Dengan tidak adanya suatu ketentuan manapun yang mengatur mengenai penetapan jumlah uang jaminan tersebut maka yang terjadi ialah adanya perbedaan rasa keadilan dimana dalam kasus yang serupa penetapan jumlah uang jaminan dapat berbeda-beda. Setelah mempertimbangkan alasan alasan yang dikemukakan tersangka/terdakwa dan menetapkan besarnya jumlah uang jaminan dan menentukan syarat yang harus dipenuhi oleh tersangka/terdakwa maka instansi yang mengabulkan suatu permohonan penangguhan membuatkan suatu bentuk perjanjian penangguhan berupa berita acara penangguhan, surat perintah penangguhan maupun penetapan penangguhan penahanan. Selama tersangka atau terdakwa tersebut mentaati seluruh syarat atau ketentuan penangguhan penahanannya maka secara materiil dan yuridis uang jaminan tersebut masih 205
Fakultas Hukum - UNISAN
Penangguhan Penahanan
tetap milik tersangka/terdakwa, hanya saja uang jaminan tersebut untuk sementara waktu dipisahkan dari kekuasaan tersangka/terdakwa dengan cara menyetor dan menitipkannya pada kepaniteraan pengadilan negeri sehingga secara nyata uang tersebut tidak dapat digunakan selama perjanjian penangguhan masih berlangsung. Uang jaminan penangguhan baru kembali secara riil ke tangan tersangka/ terdakwa setelah perjanjian penangguhan penahanan berakhir. Akan tetapi jika tersangka/terdakwa melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian berupa tindakan “melarikan diri”, uang jaminan yang dititipkan di kepaniteraan pengadilan negeri dengan sendirinya berubah menjadi “milik negara” dan disetorkan ke Kas Negara oleh panitera bersangkutan. Hal inilah yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 35 ayat 2 PP. No.27/1983 dan angka 8 huruf I Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14-PW.07.03/1983. Dalam ketentuan-ketentuan inilah diatur landasan dasar dan tatacara peralihan uang jaminan menjadi milik negara yakni: - Karena tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 bulan tidak diketemukan. Kejadian inilah yang menjadi landasan dasar peralihan uang jaminan menjadi milik negara. Yakni apabila yang bersangkutan “melarikan diri” dan selama 3 bulan dari tanggal ia melarikan diri tidak diketemukan, maka sejak tanggal dilewatinya masa 3 bulan, uang jaminan beralih menjadi milik negara. - Peralihan uang jaminan menjadi milik negara ditetapkan dalam suatu penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri jadi apabila tersangka/terdakwa yang sedang ditangguhkan penahanannya melarikan diri dan dalam tempo 3 bulan tidak ditemukan maka Pengadilan Negeri membuat penetapan yang berisi pengambil alihan uang jaminan menjadi milik negara serta sekaligus memerintahkan Panitera untuk menyetorkan uang tersebut ke kas Negara B. Akibat Hukum Dari Si Penjamin Dalam Penangguhan Penahanan Dengan Jaminan Orang Saja Bila Tersangka atau Terdakwa Melarikan Diri Berbicara mengenai suatu penangguhan yang dikabulkan dengan menetapkan jaminan berupa orang saja tidak bisa dilepaskan dari kata sepakat. Seperti yang telah diuraikan dimuka bahwa suatu penengguhan berbentuk suatu perjanjian tertulis antara pejabat dari instansi yang berwenang melakukan penangguhan penahanan dengan pemohon penangguhan. Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan dalam angka 8 huruf a Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14 – PW. 07.03 tahun 1983 yang berbunyi “Dalam hal ini permintaan untuk penangguhan penahanan yang dikabulkan, maka diadakan perjanjian antara pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dengan tersangka/terdakwa atau penasihat hukumnya beserta sarat-syaratnya”. Yang dimaksudkan jaminan penangguhan penahanan berupa jaminan orang yakni berupa perjanjian penangguhan dimana seseorang bertindak dan menyediakan diri dengan sukarela sebagai jaminan. Orang penjamin itu bisa penasihat hukumnya, keluarga atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan tahanan. Orang yang merelakan dirinya Fakultas Hukum - UNISAN
206
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
sebagai penjamin dalam penangguhan penahanan harus memberikan pernyataan dan kepastian kepada instansi yang melakukan penahanan bahwa ia menanggung semua resiko yang ada dan akibat yang akan timbul apabila tersangka/terdakwa tidak menepati perjanjian penangguhan penahanan tersebut. Selain hal tersebut penjamin harus mencantumkan identitasnya sebagai penjamin secara jelas dalam perjanjian penangguhan penahanan tersebut. Apabila penangguhan penahanan ingin dikabulkan maka penjamin harus melakukan perjanjian dan menepati hal hal yang tercantum dalam perjanjian tersebut. Syarat ataupun hal-hal yang harus dipenuhi dapat berupa : - adanya jaminan baik itu uang ataupun orang - jaminan bahwa tersangka / terdakwa tidak akan melarikan diri - tersangka/terdakwa tidak akan merusak ataumenghilangkan barang bukti - tersangka/terdakwa tidak akan mengulangi tindak pidana - wajib lapor - harus datang memenuhi panggilan jika sewaktu-waktu diperlukan (Martiman Prodjohamidjojo, 1982:52). Penulis berpendapat semua syarat yang dicantumkan dalam perjanjian harus diperhatikan sungguh-sungguh oleh pihak tersangka atau terdakwa, apabila tidak ingin penangguhan penahanannya dicabut. Penangguhan penahanan sewaktu-waktu dapat dicabut apabila si tersangka atau terdakwa melanggar atau tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati. ”Oleh sebab itu di dalam melaksanakan penangguhan penahanan ini pejabat yang berwenang hendaknya berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan apakah tersangka atau terdakwa penahanannya perlu ditangguhkan” (Leden Marpaung, 1992:117). Mengenai jaminan dalam penangguhan penahanan yang dikabulkan menggunakan orang sebagai penjamin, maka apabila tersangka melarikan diri maka yang bertanggung jawab adalah orang yang sebagai penjamin tersebut. Mengenai apakah orang yang sebagai jaminan dapat diperiksa atau bahkan ditahan sehubungan dengan tanggung jawab yang harus dipikulnya karena tersangka/terdakwa yang ia jamin melarikan diri, dalam KUHAP maupun peraturan pelaksananya dan peraturan lainnya tidak ada yang mengaturnya. Menurut Ketua Pengadilan Negeri Merauke, tanggung jawab penjamin dalam hal tersangka atau terdakwa melarikan diri hanyalah tanggung jawab moral saja. Aparat penegak hukum tidak bisa menahan penjamin. (hasil wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Merauke tanggal 20 Januari 2014). Penjamin dalam hal penangguhan penahanan yang menggunakan jaminan orang tidak dapat ditahan karena tidak ada dasar hukumnya bahwa penjamin menggantikan kedudukan tersangka/terdakwa yang melarikan diri tersebut. Hanya saja dalam Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983 yang mengatur mengenai tanggung jawab penjamin yang menggunakan jaminan orang menyebutkan dalam ayat (1) bahwa: “Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.” 207
Fakultas Hukum - UNISAN
Penangguhan Penahanan
Pada kenyataannya tanggung jawab yang dipikul penjamin dalam penangguhan penahanan yang menggunakan orang saja sebagai jaminan pada akhirnya juga akan kembali kepada bentuk materi yaitu uang. Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri pada saat berlangsungnya penangguhan penahanan, maka tanggung jawab si penjamin sesuai dengan Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983, adalah bahwa apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri, maka setelah lewat waktu 3 bulan tidak diketemukan, penjamain diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Jadi apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri maka diambil tindakan paksa terhadap si penjamin untuk membayar sejumlah uang yang di tetapkan untuk dijadikan atau dimasukan ke kas Negara. Apabila orang yang menjamin tidak melaksanakan penyetoran uang tanggungan, maka untuk memaksakan pemenuhan penyetoran diperlukan penetapan perintah kepada juru sita pengadilan untuk melakukan sita eksekusi terhadap barang milik orang yang menjamin. IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua pokok permasalahan adalah : 1. Mengenai penetapan besarnya jumlah uang sebagai jaminan dalam penangguhan penahanan tidak diatur didalam KUHAP maupun peraturan pelaksanaannya. Namun dalam praktek ditentukan sendiri menurut ukuran yang diambil oleh pejabat yang berwenang melakukan penahanan tersebut. Penetapan jumlah uang yang digunakan sebagai jaminan dalam penangguhan penahanan disesuaikan berdasar kondisi dari tersangka/terdakwa tersebut misalnya keadaan ekonomi tersangka/terdakwa, tindak pidana yang dilakukannya apakah tergolong berat atau ringan atau berdasar kerugian yang ditimbulkan atas kejadian atau perbuatan yang disangkakan kepada tersangka / terdakwa. 2. Tanggung jawab penjamin dalam hal tersangka atau terdakwa melarikan diri hanyalah tanggung jawab moral saja, tanggung jawab yang dipikul penjamin dalam penangguhan penahanan yang menggunakan orang saja sebagai jaminan pada akhirnya juga akan kembali kepada bentuk materi yaitu uang. Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri pada saat berlangsungnya penangguhan penahanan, maka tanggung jawab si penjamin sesuai dengan Pasal 36 PP No. 27 Tahun 1983, adalah bahwa apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri, maka setelah lewat waktu 3 bulan tidak diketemukan, penjamain diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Jadi apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri maka diambil tindakan paksa terhadap si penjamin untuk membayar sejumlah uang yang di tetapkan untuk dijadikan atau dimasukan ke kas Negara. Uang tersebut merupakan uang tanggungan yang harus dibayarkan atas hilangnya tersangka atau terdakwa.
Fakultas Hukum - UNISAN
208
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
V. SARAN Terkait dengan pembahasan mengenai jaminan penangguhan penahanan dalam penyelesaian perkara pidana, maka Penulis dapat memberikan saran sekiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan: 1. Dalam pembentukan KUHAP yang baru nantinya diharapkan dapat mengumpulkan perihal penahanan dan penangguhan penahanan yang masih tersebar di berbagai peraturan kedalam satu buku. 2. Oleh karena mengenai dasar pertimbangan bagi aparat dalam mengabulkan ataupun menolak suatu penangguhan penahanan tidak diatur secara jelas maka diharapkan nantinya dapat dibuatkan suatu aturan yang lebih jelas dan terperinci agar aparat tidak hanya menetapkan suatu penangguhan berdasar keyakinan saja. 3. Dalam menetapkan jumlah uang sebagai jaminan penangguhan penahanan, pejabat yang berwenang diharapkan lebih bersifat manusiawi dan penuh kehati-hatian, dan penetapan besarnya jumlah uang dapat disesuaikan dengan kondisi dari pemohon penangguhan. 4. Pejabat yang memiliki kewenangan dalam mempertimbangkan permohonan penangguhan penahanan diharapkan lebih mempertimbangkan adanya syarat uang sebagai jaminan untuk memperkecil resiko bila tersangka atau terdakwa melarikan diri.
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Arikha Media, 1993. Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1992. Martiman Prodjohamidjojo, Penjelasan Sistematis Dalam Bentuk Tanya Jawab KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), Ghalia Indonesia, 1982.
209
Fakultas Hukum - UNISAN
Grasi Dalam Hukum Pidana
PEMBERIAN GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Marlyn Jane Alputila Fakultas Hukum Universitas Musamus, Merauke
[email protected] Abstract Clemency is not a remedy. Although the pardon can change the status of a person’s sentence, a pardon is seen as a prerogative that exists only in the hands of the President. Efforts law only mentioned in the Criminal Code. Granting clemency in criminal law perspective: Pardon the rights of citizens (the Applicant filed a clemency not as a convict but as a citizen who has the right to ask forgiveness for his mistakes to the President as head of state), the state clemency as the abolishment of the right to run a criminal (Although not listed in the criminal Code, but clemency can abort the state’s right to execute the criminal. Keywords: Clemency, remedy, criminal law I. PENDAHULUAN Kewenangan Presiden memberikan grasi terkait dengan hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negara untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana. Hak negara yang demikian ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan. Oleh karena itu, Presiden dalam memberikan grasi harus didasarkan pada teori pemidanaan. Masalah grasi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, sejak pertengahan 2003 lalu presiden Megawati Soekarno putri menolak permohonan grasi enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang dalam kasus narkoba (www. pikiran rakyat.com/cetak/0203/10/151 4.htm). Pemberian grasi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan oleh presiden Soeharto (
[email protected]). Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun. Pada tahun 1997, hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan menjatuhkan vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan rekannya didakwa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Soleh Bin Zaidan di Mariana, Banyuasin, Sumatera Selatan, lewat Putusan No 310/Pid B/1997 PN Sekayu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dengan Putusan No 30/Pid/PT, 21 April 1998, Fakultas Hukum - UNISAN
210
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya. Putusan ini sekaligus menguatkan putusan dari pengadilan sebelumnya. Kemudian mereka langsung mengajukan grasi, namun grasi ini ditolak oleh presiden. Sedangkan permohonan Peninjauan Kembali Jurit terdaftar di Pengadilan Negeri Sekayu pada 17 Febuari 2003. Permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan secara pribadi oleh Jurit melalui LP Kelas I Palembang, tempat dirinya menjalani hukuman. Permohonan Peninjauan Kembali ini juga ditolak. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Dalam kasus ini hakim Pengadilan Negeri Palembang memvonis pidana penjara seumur hidup. Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga dinyatakan tidak dapat diterima. Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa saja terjadi (Muladi:2003). Boleh dibilang grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan. Berdasarkan paparan yang telah diuraikan di atas, maka penulis berinisiatif untuk menuangkan tulisan yang berjudul “Pemberian Grasi Dalam Perspektif Hukum Pidana”. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Bagaimanakah pemberian grasi dalam perspektif hukum pidana? II. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penulisan ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, dengan pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendasarkan pada data kepustakaan atau data sekunder. B. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berdasarkan pada data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari studi kepustakaan dan dokumen, terutama bahan hukum yang berkaitan dengan grasi. C. Teknik Pengumpulan Data Data didapatkan dengan menggunakan bahan hukum yang berkaitan dengan masalah grasi. Data yang diperoleh dari bahan hukum yaitu bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan 211
Fakultas Hukum - UNISAN
Grasi Dalam Hukum Pidana
hukum yang mengikat yang terdiri dari: a) KUHP; b) KUHAP; c) RKUHP; d) Amandemen UUD 1945; e) Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi; dan f) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. D. Analisis Data Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data dan mengolah data tersebut, maka dilanjutkan dengan menganalisis data yang diperoleh baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan membahas permasalahannya. Dengan penganalisaan data primer dan data sekunder secara kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian telah disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian dianalisa untuk mendapatkan suatu kesimpulan. III. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN A. Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan (Vonis) Berdasarkan prinsip pemisahan kekuasan, fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, merupakan cabang-cabang kekuasan yang terpisah satu sama lain. Dengan diterapkannya sistim pemisahan kekuasaan dan prinsip check and balances antara lembaga-lembaga negara, struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang terdiri dari tiga cabang kekuasaan tersebut, saling mengontrol dan saling mengimbangi satu sama lain. Tiga kekuasaan tersebut yakni, kekuasaan eksekutif oleh presiden dan wakil presiden, kekuasaan lelegislatif oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (terdiri atas DPR dan DPRD), dan Kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman sebagai satu kesatuan sistem, berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi tidak dikenal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi baru terdapat dalam Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945. sebelum adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945, kekuasan kehakiman hanya terdiri atas badan-badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah agung. Dalam lingkungan Mahkamah Agung, terdapat empat lingkup peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Sebelumnya, administrasi Peradilan Umum berada di bawah Departemen Kehakiman, administrasi Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama, dan Peradilan Militer di bawah organisasi tentara. Namun kini, keempat lingkup peradilan tersebut berada di bawah satu atap, yaitu Mahkamah Agung. Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, yamg berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal senada dituangkan juga dalam Pasal 2 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara RI Fakultas Hukum - UNISAN
212
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Tahun 2004 No. 08), dan Pasal 10 ayat (2) yang lebih spesifik berbunyi: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”. Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk: - Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; - Sengketa kewenangan (kompetensi pengadilan); - Permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht); - Menguji Perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undangundang (juditial review). Selain beberapa hal tersebut, Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk memberikan pendapat hukum atas pemerintahan presiden ataupun lembaga Negara lainnya. Hal ini dianggap perlu agar Mahkamah Agung benar-benar dapat berfungsi sebagai rumah keadilan bagi siapa saja dan lembaga mana saja yang memerlukan pendapat hukum mengenai suatu masalah yang dihadapi (Jimly Ashiddiqe:193). Mengenai hal ini, diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.08), yang berbunyi: “Mahkamah agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum pada lembaga negara dan lembaga pemerintah apabila diminta”. Pasal 24 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Ketentuan tersebut mengandung makana bahwa kekuasan kehakiman itu bebas dari segala campur tangan kekuasaan ekstra yudisial. Sehingga kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman tidak diperkenankan untuk turut campur tangan dalam urusan pengadilan. Cabang kekuasaan lainnya hanya dapat saling mengontrol dengan sistem check and balances, tanpa turut campur tangan. Namun apabila kita telusuri lebih lanjut, pada Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945”. Pernyataan ini mengandung makna pengecualian bagi Pasal 1 yang disebutkan sebelumnya. Maksudnya, mengenai campur tangan dalam kekuasaan kehakiman diperbolehkan sejauh yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Dalam Pasal 14 Amandemen Undang-undang Dasar 1945, secara umum dapat disimpulkan mengenai adanya intervensi atau campur tangan di bidang kekuasaan yudisial, 213
Fakultas Hukum - UNISAN
Grasi Dalam Hukum Pidana
yang dilakukan oleh Presiden. Jadi mengenai pemberian grasi yang menyangkut dalam lingkup kekuasaan yudisial (peradilan). Dengan pengabulan grasi, seseorang dapat lebih ringan, berkurang, atau bahkan hapus sama sekali pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Seperti diketahui sebelumnya, permohonan grasi hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, tapi dapat dengan jalan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa menurut KUHAP (Undang-undang No.8 Tahun 1981), terdiri dari: perlawanan (verzet), banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa terdiri atas: kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukun tetap. Bila diperinci lebih lanjut, putusan pengadilan dapat berupa: 1. bebas dari segala tuntutan (vrijspraak); 2. lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging); 3. pemidanaan (veroordelend vonnis). Putusan pengadilan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaan eksekusinya dilaksanakan oleh jaksa, dan pengawasannya dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal pemgajuan permohonan grasi, tidak dapat menunda pelaksanaan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa pemidanaan dalam bentuk apapun, tidak dapat dibatalkan dan diberikan putusan oleh kekuasaan pemerintahan di luar lingkup badan peradilan. Dengan kata lain, putusan tersebut tidak dapat diganggu gugat. Pemberian grasi bukan dimaksudkan untuk menganulir hukum atau membatalkan hukum. Hukum telah ditegakkan. Pemberian grasi sifatnya hanya memberikan pengampunan, tanpa meniadakan kesalahan terpidana. B. Pemberian Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana Undang- undang tidak mengatur secara eksplisit yang merinci mengenai alasan dari pemberian grasi. Jan Remmelink mengemukakan alasan-alasan pemberian grasi sebagai berikut: 1. Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti terpidana menghadapi suatu keadaan khusus yang sangat tidak menguntungkan baginya. Misalnya terpidana menderita penyakit tidak tersembuhkan atau keluarganya terancam akan tercerai berai; 2. Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti, ternyata bahwa hakim secara tidak layak telah tidak memberi perhatian pada keadaan, yang bila ia ketahui sebelumnya, akan mengakibatkan penjatuhan pidana yang jauh lebih rendah. Patut dicermati bahwa hal ini bukanlah alasan untuk memohonkan peninjauan kembali. Terpikirkan juga sejumlah kesalahan hakim lainnya yang tidak membuka peluang Fakultas Hukum - UNISAN
214
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
bagi permohonan peninjauan kembali; 3. Jika semenjak putusan berkekuatan hukum pasti, ternyata situasi kemasyarakatan telah berubah total, misalnya deklarasi perihal situasi darurat sipil karena tiadanya pangan telah dicabut atau pandangan politik yang dulu berlaku telah mengalami perubahan mendasar; 4. Jika ternyata telah terjadi kesalahan hukum yang besar. Terbayangkan di sini putusan-putusan pengadilan terhadap para pelaku kejahatan perang, yang di periksa dan diadili setelah perang usai. Melalui grasi, putusan-putusan yang nyata sangat tidak adil masih dapat diluruskan (Jan Remmelink, 2003:587). Sedangkan Utrecht, menyebutkan 4 alasan pemberian grasi secara singkat, yaitu 1. 2. 3. 4.
kepentingan keluarga terpidana; terpidana pernah berjasa pada masyarakat; terpidana menderita penyakit yang tidak dapat di sembuhkan; terpidana berkelakuan baik selama berada di lembaga permasyarakatan dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya (E. Utrecht, 1965:240). Grasi dalam hukum pidana, tidak hanya mengenai ampunan atau pengurangan hukuman terhadap putusan hakim saja. Kita perlu melihat grasi dari sisi lainnya, untuk mengetahui mengenai Pemberian grasi dalam perspektif hukum pidana. Sisi-sisi lain tersebut, yakni grasi sebagai hak warga negara, grasi mengatasi keterbatasan hukum (recovery system), grasi sebagai dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana, dan grasi dihubungkan dengan tujuan pemidanaan. B.1 Grasi Sebagai Hak Warga Negara Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pemberian grasi merupakan pencabutan atau upaya meringankan sanksi yang dijatuhkan melalui putusan pengadilan pidana. Dahulu kala, penguasa beranjak dari kekuasaan mutlak yang dimilikinya menganugerahkan grasi sebagai wujud kebajikan hatinya. Sekarang kita tak lagi mengenal grasi dalam bentuk seperti itu, terutama karena hak prerogatif (hak istemewa) telah diserahkan kepada pemerintah dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Kepala Negara atau dalam sistem pemerintahan presidensiil ada di tangan presiden. Dalam uraian sebelumnya juga telah dijelaskan mengenai perubahan sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, yaitu menjadi presidensiil murni. Dalam sistem pemerintahan presidensiil murni, meskipun tidak ada pembedaan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tugas dan wewenang presiden sebagai puncak kepemimpinan negara, tetap saja ada tugas dan wewenangnya yang merupakan lingkup pemerintahan atau eksekutif dan kewenangan yang berada di luar lingkup tersebut. Meskipun hal ini tidak secara nyata dibedakan, seperti nampak dalam sistem pemerintahan parlementer. Kewenangan presiden di luar lingkup eksekutif tersebut, misalnya kewenangan di bidang judisial. Kewenangan ini mencakup pemulihan yang terkait dengan putusan pengadilan, 215
Fakultas Hukum - UNISAN
Grasi Dalam Hukum Pidana
yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan. Mengenai pemberian ampunan atau grasi, perlu diketahui konsep bahwa terpidana yang mengajukan permohonan grasi ini bukan sebagai terpidana, melainkan sebagai warga negara. Sebagai seorang warga negara, seseorang berhak meminta ampun kepada presiden sebagai pemimpin negara. Pasal 28 D ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 dalam sub mengenai Hak Asasi Manusia, diatur mengenai “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Inilah yang menjadi dasar setiap warga negara apapun status yang sedang disandangnya, untuk mendapatkan suatu kepastian hukum. Pemberian grasi bukan isu kepastian hukum, tetapi cerminan tingkat kearifan hukum presiden dan juga masyarakat. Dengan adanya pertimbangan dari Mahkamah Agung, dan berbagai faktor sosial serta respon dari kelompok tertentu, pemberian grasi mencerminkan kearifan hukum dari presiden. Mungkin kita lupa bahwa pemberian grasi adalah juga tempat dimana kita memberikan tempat bagi hati nurani kemanusiaan kita. Bagi pemohon yang dijatuhi pidana mati, grasi merupakan persoalan hidup dan mati. Melalui pemberian grasi, mungkin saja seseorang yang dijatuhi pidana mati dapat menjadi penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu. Hal seperti ini akan terasa lebih arif. Karena terpidana akan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Berbeda dengan pidana mati yang tidak memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki kesalahannya. Seorang pemohon yang mengajukan permohonan grasi mempunyai satu dari dua alasan berikut, mengapa ia mengajukan grasi: 1. Seorang yang telah mengakui kesalahannya dan memohon ampun atas kesalahannya, namun pidana yang dijatuhkan kepadanya dirasakannya terlalu berat. Sehingga ia mengajukan grasi dengan harapan memperoleh keringanan pidana (hukuman); 2. Seorang yang merasa dirinya benar-benar tidak bersalah, berniat ingin mencari keadilan bagi dirinya. Dengan mengajukan grasi ia berharap presiden dapat mengoreksi kesalahan pengadilan sebelumnya, sehingga keadilan dapat ditegakkan. Menurut Adami Chazawi, dengan mengajukan grasi berarti dari sudut hukum pemohon telah dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan permohonan ampuan (grasi) berarti dia telah mengakui kesalahannya itu (Adami Chazawi, 2002:192). B.2 Grasi Mengatasi Keterbatasan Hukum (Recovery System) Keterbatasan dan kelemahan dalam sistem hukum, dapat terjadi dimana saja dan pada tingkat masyarakat manapun. Negara-negara maju seperti Amerika, meskipun tingkat kejahatan dan kontrol terhadap aparat pelaksana hukum sangat tinggi, namun orang masih menyadari kemungkinan terjadi kekeliruan pada subjek orang dan penerapan hukumnya. Lebih dari pada itu, terdapat pula pengertian bahwa sampai di suatu titik tertentu hukum Fakultas Hukum - UNISAN
216
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
mempunyai keterbatasan internal (the limit of law). Seperti tentang adanya kelemahankelemahan dalam sistim pengumpulan informasi di lingkungan peradilan pidana yang dapat merusak kehidupan atau masa depan seseorang. Di negara yang menganut sistim common law, dalam hal ini Amerika, sebelum seseorang didakwa dengan pasal pidana mati (capital punishment), saksi- saksi yang mmberatkan terdakwa (ade charge) harus digelar dalam sebuah sidang terpisah atau pendahuluan (preliminary hearing), untuk menentukan apakah kesaksian itu dapat diterima secara hukum dan dapat dijadikan alat bukti di persidangan utama. Tidak dengan mudah sebuah kesaksian yang memberatkan terdakwa dapat diperlakukan sebagai alat bukti. Sistim yang demikian ini tidak terdapat dalam sistim beracara di Indonesia. Seorang terdakwa yang diancaman pidana mati mempunyai kedudukan yang sangat rentan atau lemah. Satu kesaksian atau lebih dapat dengan mudah di gelar tanpa diperiksa tingkat kelayakannya, yang seharusnya dilaksanakan khusus untuk itu. Bedanya, sistim beracara pidana di Indonesia terkesan begitu mudah memperlakukan sebuah kesaksian menjadi alat bukti yang nota benenya dapat mengakibatkan kehancuran hidup si terdakwa. Beban mengejar pengajuan target perkara, sering kali mendorong aparat Kepolisian menggunakan cara-cara yang tidak fair untuk menjebak terdakwa. Saksi terdakwa yang dijadikan saksi memperoleh kemudahan seperti pengurangan hukuman atau bebas dari tuntutan hukum (www.Indonesiawatch.org). Praktik demikian ini telah umum di lingkungan para penyidik perkara pidana di Kepolisian. Hakim di Indonesia, sesuai dengan sistim beracara hakim aktif, mempunyai peran yang aktif dalam persidangan. Peran aktif ini sering kali tidak dijalankan sesuai standar profesi kehakiman. Banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya gaji yang relatif rendah, dan tingkat pendidikan hukum yang hanya S1. Kita dapat membayangkan seseorang yang baru selesai dari program S1, kemudian diterima sebagai hakim dan mengikuti kursus calon hakim selama 12 bulan, kemudian magang selama 6 bulan, lalu mulai menangani perkara. Putusan-putusan dan analisa hukum hakim tidak tebuka untuk umum. Sehingga publik tidak dapat mengetahui bobot analisa hukum hakim. Hal ini di satu pihak tidak mendidik hakim, karena tidak ada sarana mempertajam analisa hukum hakim akibatnya sebuah putusan dapat menjadi bias atau error. Keadaan jauh berbeda dengan hakim-hakim di negara maju, sebelum seseorang menjadi hakim yang bersangkutan harus menjadi jaksa (rata- rata 10 tahun), kemudian menjadi pembela (rata-rata 10 tahun), baru kemudian dia dapat dicalonkan menjadi hakim. Begitupun mengenai putusan pengadilan, meskipun peran hakim pasif dalam sistim juri, hakim selalu memberikan argumen hukum secara tertulis yang dapat dibaca oleh siapapun. Semua keterbatasan dan kelemahan sistem hukum tersebut, mengharuskan kita untuk menyingkapi prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum. Bidang-bidang hukum sendiri telah menyediakan lembaga atau sarana untuk memungkinkan memperbaiki ”errorerror hukum itu”, seperti adanya lembaga peninjauan kembali (herziening) yang dapat 217
Fakultas Hukum - UNISAN
Grasi Dalam Hukum Pidana
digunakan oleh terpidana. Di luar ranah hukum, lembaga rekoveri untuk error itu adalah grasi. Grasi dapat sebagai sarana mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam penyelenggaraan hukum. Oleh karenanya lembaga ini tidak dengan kebetulaan berada di luar sistim peradilan. Di sini sebenarnya presiden dapat melakukan koreksi-koreksi dengan menunjukan kearifan hukumnya. Kearifan hukum di perlukan untuk megisi lubang-lubang dalam penyelenggaraan sistem hukum dan peradilan pada khususnya. B.3 Hapusnya Hak Negara Untuk Menjalankan Pidana Jan Remelink memasukan grasi sebagai salah satu dari tiga alasan gugurnya kewenangan untuk mengeksekusi pidana (Jan Remmelink:583). Adami Chazawi juga menyebutkan hal yang sama, namun ia menyebutnya dengan istilah hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana (Adami Chazawi, 2002:168). Dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana yang di tentukan dalam KUHP, ialah: 1. Matinya terpidana (Pasal 83) 2. Daluarsa dari eksekusi (Pasal 84) Sedangkan dasar dari hapusnya hak negara menjalankan pidana di luar KUHP adalah grasi yang diberikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Amademen Undang-undang Dasar 1945 Pasal 14 jo. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002). Prinsip dasar pemberian grasi ialah diberikan pada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sifat pemberian grasi sekedar mengoreksi mengenai pidana yang dijatuhkan, tidak mengoreksi substansi pertimbangan pokok perkaranya. Sifat yang demikian ini tampak dari tiga hal yang dapat diputuskan oleh presiden dalam permohoanan grasi, yakni: 1. Meniadakan pelaksanaan seluruh pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan pengadilan; 2. Melaksanakan sebagian saja dari pidana yang dilakukan dalam putusan; 3. Mengubah jenis pidana (komutasi) jenis pidananya yang telah dijatuhkan dalam putusan menjadi pidana yang lebih ringan seperti tersebut dalam Pasal 10 KUHP. Dari tiga hal tersebut di atas, yang menjadi dasar dari hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana adalah poin no1 saja. Sedangkan poin no 2 dan 3 tidak menghapuskan hak negara untuk melaksanakan pidana, tetapi sekedar meringankan pelaksanaan pidananya. B.4 Hubungan Grasi dengan Tujuan Pemidanaan Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, mengenai pemberian grasi harus didasarkan pada tujuan pemidanaan, presiden baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan, haruslah disandarkan pada tujuan pemidanaan. Menurut literatur mengenai KUHP (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946) dengan menilik sistim dan susunan yang masih tidak berubah dari materi hukum induknya (WvS Ned.) dapat dikatakan mempunyai tujuan Fakultas Hukum - UNISAN
218
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
pemidanaan dengan aliran kompromis atau teori gabungan, mencakup semua aspek yang ada di dalamnya (Bambang Waluyo:33). Jadi, dalam permohonan grasi ini presiden harus mempertimbangkan masalah pembalasan juga tidak lupa mempertimbangkan masalah mengenai perlindungan tertib hukum masyarakat, baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi dari permohonan. Dalam hal ini masukan dari Mahkamah Agung sangat diperlukan oleh presiden sebagai badan yang memang brekompeten untuk itu, dalam pengambilan putusan oleh presiden. IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari pokok permasalahan di atas adalah Grasi bukan merupakan upaya hukum. Meskipun grasi dapat merubah status hukuman seseorang, grasi dipandang sebagai hak prerogatif yang hanya ada di tangan Presiden. Upaya hukum hanya yang disebutkan di dalam KUHAP. Pemberian grasi dalam perspektif hukum pidana: Grasi sebagai hak warga negara (Pemohon yang mengajukan grasi tidak sebagai terpidana melainkan sebagai warga negara yang berhak meminta ampun atas kesalahannya kepada Presiden sebagai pemimpin negara), Grasi sebagai hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana (Meskipun tidak tercantum dalam KUHP, namun grasi dapat menggugurkan hak negara untuk menjalankan pidana. Dengan dikabulkannya grasi, maka pidana yang dijatuhkan kepada seseorang dapat hapus, berkurang, atau berubah jenisnya), Hubungan grasi dengan tujuan pemidanaan (Berkaitan dengan jawaban atas permohonan grasi, dalam hal grasi dikabulkan maupun ditolak harus disandarkan pada tujuan pemidanaan), Grasi bukan merupakan intervensi eksekutif (Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Grasi tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim dan tidak dapat menghilangkan kesalahan terpidana). V. SARAN Saran-saran yang dapat penulis kemukakan berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Setelah diperhatikan, peraturan mengenai grasi yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 dirasa perlu diperbaiki. Undang-undang tersebut tidak mengatur dengan jelas batasan waktu maksimal pengajuan grasi. Undang-undang grasi tersebut hanya menyebutkan grasi ke dua dapat diajukan dua tahun setelah grasi pertama. Grasi juga dapat diajukan oleh terpidana maupun keluarga. Sehingga jika grasi dari terpidana mati ditolak, keluarga bisa mengajukannya lagi dan itu bisa masing-masing dilaksanakan dua kali. Keadaan seperti ini memakan waktu yang sangat lama, dan dapat menunda pelaksanaan eksekusi bagi terpidana mati. 219
Fakultas Hukum - UNISAN
Grasi Dalam Hukum Pidana
2. Para pihak yang berperan dibalik permohonan grasi seperti pengadilan pada tingkat pertama, Mahkamah Agung, bahkan sampai Presiden, agar dapat memproses permohonan grasi secara sungguh-sungguh. Sehingga grasi tidak hanya dijadikan alasan untuk menunda atau mengulur pelaksanaan eksekusi, khususnya dalam hal eksekusi pidana mati. 3. Grasi sebenarnya dapat dijadikan sebagai lembaga rekoveri untuk mengkoreksi “kesalahan-kesalahan” dalam penyelenggaraan hukum. Meskipun sudah ada lembaga peninjauan kembali (herziening) yang dapat digunakan oleh terpidana, namun grasi yang berada diluar ranah hukum dan berada di luar sistim peradilan pidana ini, dapat dijadikan presiden sebagai sarana untuk mengoreksi dan menunjukkan kearifan hukumnya. Di Amerika sebagai negara maju yang tingkat kehati-hatian dan kontrol terhadap pelaksana hukumnya sangat tinggi, terjadinya kekeliruan dalam hukum masih sangat tinggi pula. Hal seperti ini bisa saja terjadi di Indonesia. Menjadi tugas Presiden untuk mengobati keragu-raguan atas kelemahan hukum yang mungkin terjadi. Sehingga grasi dapat mencerminkan tingkat kearifan hukum Presiden dan juga masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Buku : Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Terbitan Ketujuh, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994. E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Bandung: Universitas, 1965. Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 2001. Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Eresco, 1981. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Keempat) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Undang-Undang Darurat RI Nomor 3 Tahun 1950 tentang Grasi Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Fakultas Hukum - UNISAN
220
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Sumber Lain :
[email protected], Mulyana W. Kusumah, Pengampunan Politik, MIM Edisi 6 Agustus 1995. Muladi, Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia: Relevansi dan signifikasinya, 7 Mei 2003, Gedung The Habibie Center, Jakarta. Thomas Sunaryo, Hukuman Mati, Penyelenggaraan HAM dan Reformasi, Kompas,25 Febuari 2003 Tim Imparsial, Sebuah Kebijakan di Indonesia: Jalan Panjag Menghapus Praktik Hukuman Mati di Indonesia, Juni 2004 www.indonesiawatch.org (Dikunjungi 10 Agustus 2006)
221 Fakultas Hukum - UNISAN
Pencucian Uang
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Ramdhan Kasim Praktisi Hukum Pidana
[email protected] Abstract Money laundering is a method to hide, move, and use the proceeds of a crime, the crime of the organization’s activities, economic crimes, corruption, drug trafficking and other activities that constitute the crime of activity. Prevention and eradication of money laundering may not be done by PPATK without the help of others. In this regard the support and cooperation of all parties, especially the financial industry, law enforcement officers (police, prosecutors, and judges), the press and the wider community is needed. Keywords: Money laundering, law enforcement, criminal sanction I. PENDAHULUAN Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk mengatur tingkah laku yang sudah ada dalam suatu masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah ada. Lebih jauh dari itu, hukum telah mengarah kepada penggunaanya sebagai suatu sarana atau alat. Globalisasi yang ditandai oleh pergerakan yang cepat dari manusia, informasi perdagangan dan modal, di samping menimbulkan manfaat bagi kehidupan manusia juga harus diwaspadai efek sampingnya yang bersifat negatif, yaitu globalisasi kejahatan dan meningkatnya kuantitas serta kualitas kejahatan di berbagai negara dan antar negara. Menghadapi efek negatif dari globalisasi yaitu peningkatan terhadap kuantitas dan kualitas kejahatan, hukum mengambil peranannya sebagai sarana atau alat untuk mengatur ketertiban umum dan memulihkan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Modernisasi dan globalisasi yang melanda dunia karena kemajuan teknologi, komunikasi, transportasi dan informatika nampaknya tidak hanya membawa manfaat bagi kehidupan umat manusia, tetapi sebaliknya juga menimbulkan mudarat yang cukup memprihatinkan. Hal ini diakibatkan oleh ulah manusia yang seringkali memanfaatkan perkembangan tersebut untuk memudahkan perilaku jahat yang tidak dikendalikan akal dan hati nurani dan sebaliknya justru menggunakan alat-alat teknologi modern tersebut untuk melakukan kejahatan, tidak jarang disertai violence yang bertentangan dengan peradaban manusia. Berkembangnya berbagai jenis kejahatan yang semakin kompleks menuntut adanya sarana penanganan yang mampu untuk memecahkan dan tanggap akan kondisi tersebut. Fakultas Hukum - UNISAN
222
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Kejahatan transnasional yang bersifat terorganisasi meresahkan negara-negara di dunia, oleh karena kejahatan tersebut melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsurunsurnya yang sangat kondusif. Unsur pertama adalah adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat solid baik karena ikatan etnis, kepentingan politis maupun kepentingankepentingan lain, dengan kode etik yang mantap. Unsur kedua adalah adanya kelompok (protector) yang antara lain terdiri atas para oknum penegak hukum dan professional. Unsur ketiga tentu saja adalah kelompok-kelompok masyarakat yang menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara tersistematis tersebut. Tindak pidana pencucian uang sebagai salah satu bentuk kejahatan transnasional yang tersistematis menuntut bekerjanya hukum nasional dalam konteks kerjasama internasional sebagaimana yang telah dihimbau oleh UNCAC Tahun 2003 yang berupa kewajiban negaranegara peserta untuk mengambil tindakan-tindakan pencegahan melalui hukum nasionalnya serta mewajibkan setiap negara untuk mengadopsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum nasionalnya, tindakan-tindakan legislatif dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan, untuk menangani kegiatan-kegiatan yang digolongkan kedalam bentuk tindak pidana pencucian uang (Money Laundering). Pada saat ini, penegakan hukum dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menjadi sorotan publik terkait munculnya anggapan bahwa aparat penegak hukum kurang serius dalam mengimplementasikan undang-undang ini, sekalipun kriminalisasi terhadap pencucian uang telah dilakukan sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), kemudian pada Oktober 2003 diamandemen dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003, dan terakhir Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU), yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional. Munculnya anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, karena jika dikaitkan dengan banyaknya kasus-kasus kejahatan ekonomi yang merupakan kejahatan asal dari TPPU, seperti korupsi, perbankan, illegal logging, perpajakan, penyelundupan dan lain-lain, seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Ironisnya, putusan pengadilan terhadap kejahatan ekonomi yang dikaitkan dengan UUTPPU sangat sedikit sejak pertama kali UUTPPU diundangkan. TPPU adalah salah satu jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Pada dasarnya jenis kejahatan ini dilakukan oleh orang dengan latar belakang pendidikan tinggi, memiliki status sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi, serta memiliki jaringan yang sangat luas. Dengan karakteristik demikian, sudah sewajarnya apabila pengungkapan kasus TPPU relatif berbeda dengan pengungkapan kejahatan konvensial. Mengingat pelaku TPPU umumnya berasal dari kalangan masyarakat dengan tingkat intelektual yang tinggi, memiliki kekuasaan (sosial, politik maupun ekonomi) dan didukung dengan jaringan yang luas, maka pelaku dapat dengan mudah memperhitungkan secara 223
Fakultas Hukum - UNISAN
Pencucian Uang
cermat berbagai kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan kejahatan yang dilakukannya. Tujuannya untuk mengaburkan atau menutupi agar perbuatannya tidak terbongkar dan diperiksa oleh aparat penegak hukum. Selain itu, dengan kemampuan yang dimilikinya, pelaku baik sendiri maupun dengan bantuan orang lain, mampu menyamarkan hasil-hasil kejahatannya dalam berbagai bentuk, seperti penyembunyian kedalam struktur bisnis (concealment within business structure), penyalahgunaan bisnis yang sah (missuse of legitimate businesses), penggunaan identitas palsu, dokumen palsu atu perantara (use of false identities), dan penggunaan tipe-tipe harta kekayaan yang tanpa nama (use of anonymous asset types), dan sebagainya. Umumnya, pada saat aparat penegak hukum akan memulai proses penegakan hukum yang diawali dengan tindakan penyelidikan, pada saat bersamaan, pelaku akan melakukan perlawanan, dengan cara menghilangkan barang bukti, mempengaruhi saksi, membentuk opini di masyarakat bahwa dirinya tidak bersalah, mencari dukungan lewat partai politik, hingga menggugat balik aparat penegak hukum. Semua cara ini dilakukan supaya pelaku dapat bebas dari jeratan hukum. Tidak aneh jikalau dalam pengungkapan kasus TPPU, aparat penegak hukum harus bekerja ekstra keras, hati-hati serta cerdik, karena dalam proses pemeriksaannya selalu saja ada pihak-pihak yang akan mengarahkannya ke hal-hal yang non-yuridis. Permasalahan tindak pidana pencucian uang yang dalam prakteknya tidak hanya dilakukan individu melainkan juga dilakukan korporasi menimbulkan penyelesaian yang berbeda di antara keduanya dengan melihat unsur kejahatan dan pertanggungjawaban pidana yang menjadi dasar penjatuhan sanksi dalam kasus tindak pidana pencucian uang tersebut. Penanganan secara penal maupun non penal terhadap tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pelaku menarik minat penulis untuk melakukan penelitian ini yang berjudul “Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia”. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang di Indonesia? Bagaimanakah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia? II. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu cara pengumpulan data dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka. Studi ini akan menganalisis obyek penelitian dengan menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka yang bertujuan untuk melakukan identifikasi-identifikasi terhadap pengertian pokok atau dasar hukum, dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Fakultas Hukum - UNISAN
224
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
B. Sumber Bahan Hukum Studi ini akan menganalisis obyek penelitian dengan menggunakan sumber bahan hukum yaitu yang diperoleh dari hasil penelitian dan kajian bahan-bahan pustaka. Sebagai suatu penelitian hukum, sumber bahan hukum yang dipergunakan terdiri dari: 1. bahan hukum primer, yang berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengikat serta berkaitan dengan studi ini; 2. bahan hukum sekunder, yang berupa literatur-literatur tertulis yang berkaitan dengan pokok asalah dalam studi ini, baik berbentuk buku-buku, makalah-makalah, laporan penelitian, dan lain sebagainya, 3. bahan hukum tersier, yang merupakan bahan penjelasan mengenai bahan hukum tersier maupun sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, dan sebagainya. C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum, yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan bahan hukum didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan penelitian ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang dihadapi selanjutnya peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik judul penelitian ini. D. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif, dalam hal ini mengkaji secara mendalam bahan hukum yang ada kemudian digabungkan dengan bahan hukum yang lain, lalu dipadukan dengan teori-teori yang mendukung dan selanjutnya ditarik kesimpulan. III. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN A. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia Saat ini pemberantasan pencucian uang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut menggantikan undang-undang sebelumnya yang mengatur pencucian uang yaitu, Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2003. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010, tindak pidana yang menjadi pemicu (disebut sebagai “tindak pidana awal”) terjadinya pencucian uang meliputi : - korupsi; - penyuapan; - narkotika; 225
Fakultas Hukum - UNISAN
Pencucian Uang
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Harta hasil tindak pidana dalam pengertian formil merupakan harta yang dihasilkan dari suatu tindak pidana yang disebutkan sebagai tindak pidana asal pencucian uang. Selain harta hasil tindak pidana asal tersebut, harta lain yang dipersamakan dengan harta hasil tindak pidana menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah harta yang patut diduga atau diketahui akan digunakan atau digunakan secara langsung maupun tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, ataupun terorisme perorangan. Cakupan pengaturan sanksi pidana dalam UU TPPU meliputi tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh orang perseorangan, tindak pidana pencucian uang bagi korporasi, dan tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang. TPPU dapat dikelompokkan dalam 2 klasifikasi, yaitu TPPU aktif dan TPPU pasif. Secara garis besar, dasar pembedaan klasifikasi tersebut, penekanannya pada : 1. TPPU aktif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 dan pasal 4 UU TPPU, lebih menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi: a. Pelaku pencucian uang sekaligus pelaku tindak pidana asal. b. Pelaku pencucian uang, yang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil tindak pidana. Fakultas Hukum - UNISAN
226
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
2. TPPU pasif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU TPPU lebih menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi : a. Pelaku yang menikmati manfaat dari hasil kejahatan. b. Pelaku yang berpartisipasi menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan. Selain tindak pidana pencucian uang, UU TPPU juga mengatur tindak pidana bagi pelaku yang membocorkan dokumen dan keterangan yang diterima yang berkaitan dengan pemberantasan pencucian uang, kecuali dalam rangka pelaksanaan kewajiban sebagaimana undang-undang (anti- tipping-off). Dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) dijelaskan tentang perbuatan, sanksi pidana dan denda dalam tindak pidana pencucian uang, yang dituangkan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 10 sebagai berikut : Pasal 3 Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 4 Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 5 1. Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undangundang ini.
227
Fakultas Hukum - UNISAN
Pencucian Uang
Pasal 6 (1) Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi. (2) Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang: a. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi; b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Pasal 7 (1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. pengumuman putusan hakim; b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi; c. pencabutan izin usaha; d. pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; e. perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau f. pengambilalihan korporasi oleh negara. Pasal 8 Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Pasal 9 (1) Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. (2) Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar. Pasal 10 Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. Uraian mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, dijelaskan dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) sebagai berikut: Fakultas Hukum - UNISAN
228
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Pasal 11 (1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut undang-undang ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang ini. (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 12 (1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. (2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada lembaga pengawas dan pengatur. (3) Pejabat atau pegawai PPATK atau lembaga pengawas dan pengatur dilarang memberitahukan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada pengguna jasa atau pihak lain. (4) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-Undang ini. (5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 13 Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidanadenda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Pasal 14 Setiap orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 15 Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 229
Fakultas Hukum - UNISAN
Pencucian Uang
Pasal 16 Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. B. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia B.1 Aspek Pencegahan Dalam setiap birokrasi sesungguhnya mempunyai bagian yang di dalamnya berperan dalam upaya pencegahan TPPPU, baik dalam bentuk pengawasan/kontrol maupun dalam bentuk sistem administrasi yang terintegrasi dalam bekerjanya birokrasi.Dalam berbagai kasus korupsi yang dibawa ke persidangan, terkadang TPK itu tidak tampak atau dengan kata lain lolos dari pengamatan kontrol internal birokrasi itu, namun demikian ketika lembaga penegak hukum masuk, di dalamnya ditemukan adanya penyimpangan yang berujung pada kasus TPK. Persoalannya adalah apakah lolosnya sebuah kasus dari pengamatan kontrol internal birokrasi itu karena kebetulan, atau memang fungsi kontrol itu hanya sebagai bagian dari aksesories birokrasi semata, atau di sisi lain ada kelemahan sistem administrasi sehingga memungkinkan adanya penyimpangan yang berakhir pada kasus korupsi. Sistem administrasi birokrasi yang transparan, akuntable, dengan SOP yang jelas, yang didukung dengan pelaksanaan fungsi kontrol internal yang tegas serta adanya jaminan anggaran yang rasional dalam sebuah birokrasi dengan sendirinya akan membangun atmosfer birokrasi yang meminimalisasi TPPPU. Di sisi lain, mengingat TPPU bukan sebagai sebuah tindakan yang berhenti begitu saja, artinya masih ada tindakan lain sebagai tindak lanjut dari TPPU guna memanfaatkan hasil dari TPPU baik secara langsung maupun tidak langsung, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan orang lain, maka dalam rangka mencegah terjadinya TPPU juga perlu adanya sistem administrasi dalam birokrasi yang tidak memungkinkan seseorang menempatkan harta kekayaannya yang bersumber dari Korupsi. Oleh sebab itu perlu dibangun sistem administrasi birokrasi yang mampu mencegah atau memotong mata rantai hasil kejahatan. Dalam konteks ini maka jalinan antar lembaga menjadi sangat penting baik lembaga penyedia jasa keuangan maupun lembaga penegak hukum. Namun demikian tetap harus diperhatikan bahwa dalam membangun sistem tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik dan core business dari birokrasi itu. B.2 Aspek Pemberantasan Dilihat dari aspek pemberantasan, TPPU yang ditangani KPK hanya terbatas pada TPPU yang predicate crime-nya TPK, hal ini sejalan dengan ketentuan UU RI Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 71, bahwa penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini. Penjelasan: Yang dimaksud dengan “penyidik Fakultas Hukum - UNISAN
230
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan, KPK, BNN, serta Dirjen Pajak dan Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu RI. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan TPPU apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU saat melakukan tindak pidana asal sesuai dengan kewenangannya. Konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana. Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik. Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya. Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian 231
Fakultas Hukum - UNISAN
Pencucian Uang
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif. PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang. Dalam melaksanakan tugas tersebut, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut : a.) pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; b.) pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; c.) pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan d.) analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain. Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud di atas maka PPATK berwenang : a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/ atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan; c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait; d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang; e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; f. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. Sesuai UU TPPU, tugas PPATK antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh, membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi lain yang berwenang mengenai informasi yang diperoleh sesaui ketentuan UU, memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan Fakultas Hukum - UNISAN
232
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Sedangkan kewenangan PPATK antara lain: meminta dan menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencuian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penunut umum. Dari tugas dan kewenangan yang diamanatkan oleh UU TPPU, maka PPATK setidaknya memiliki 5 fungsi yaitu intelijen keuangan, regulator, koordinator, mediator dan pembantuan dalam penegakan hukum 1) PPATK sebagai intelijen keuangan. Sebagai intelijen keuangan, PPATK melakukan kegiatan : a. pengumpulan data (Data Collection) yaitu pengumpulan berbagai informasi dari segala sumber baik dari aparat penegak hukum, PJK maupun individual, seperti : laporan yang diwajibkan oleh UU TPPU kepada PJK dan Ditjend Bea dan Cukai;
b.
c.
d.
e.
f.
233
informasi dari regulator; hasil penyelidikan dan penyidikan pihak Kepolisian; informasi dari kantor imigrasi; dan hasil permintaan informasi dari pihak lain. Evaluasi data (data evaluation) yaitu melakukan penyaringan data atau informasi yang diterimaagar proses analisis dapat dilakukan dengan lebih baik dan pada gilirannya dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang relatif tepat. Penyimpanan (collation) yaitu kegiatan penyimpanan secara aman dan rapi terhadap informasi benar-benar relevan melalui system peng-index-an dan cross referenced. Analysis adalah proses penggabungan dan pengkajian atas semua informasi yang dimiliki sehingga nantinya dapat membentuk suatu pola atau arti tersendiri. Berdasarkan pola tersebut dapat dibuat suatu hipotesa atau beberapa hipotesa yang tentunya masih perlu dilakukan pengujian atas hipotesa tersebut. Dalam melakukan kegiatan analisis ini, dapat digunakan suatu analytical tools & techniques seperti link charting, event charting, flow charting, activity charting, dan data correlation Dissemination of Intelligence yaitu penyampaian hasil analisis (kesimpulan/ ramalan/perkiraan) yang didapat dari ke-empat proses di atas kepada pihakpihak yang membutuhkan seperti aparat penegak hukum, regulator atau pihak lainnya. Penyampaian informasi intelijen kepada pihak lain harus memperhatikan ketentuan “3 C’s” yaitu clear, concise and clock. Berkaitan dengan tugas ini, PPATK telah menyerahkan 411 kasus ke penegak hukum (406 kasus ke Polri, 5 kasus ke Kejaksaan). Re-evaluation adalah proses review yang dilakukan secara berkesinambungan atas seluruh proses intelijen yang dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi
Fakultas Hukum - UNISAN
Pencucian Uang
setiap kelemahan/kekurangan yang ada dalam setiap tahapan proses intelijen. Dengan demikian kelemahan yang ada tersebut dapat segera ditanggulangi. 2) PPATK dalam kewenangan mengeluarkan pengaturan. Untuk membantu PJK dalam mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan dan melaporkannya kepada PPATK, PPATK telah menerbitkan Keputusan Kepala PPATK yang berisi pedoman bagi penyedia jasa keuangan. No. 2/4/KEP.PPATK/2003 Tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan, tanggal 15 Oktober 2003. Pedoman ini berlaku bagi PJK berbentuk bank umum, BPR, perusahaan efek, pengelola reksa dana, bank kustodian, perusahaan perasuransian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan. Pedoman ini dikeluarkan dalam rangka memberikan pemahaman dan acuan kepada PJK tentang bagaimana melakukan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan dengan tepat, untuk menghasilkan laporan LTKM yang berkualitas. PPATK juga telah mengeluarkan Keputusan Kepala PPATK No. 2/6/KEP. PPATK/2003 Tentang Pedoman Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan, tanggal 15 Oktober 2003. Pedoman ini berlaku bagi PJK bank umum, BPR, perusahaan efek, pengelola reksa dana, bank kustodian, perusahaan perasuransian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan. Pedoman ini diperlukan agar penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan oleh PJK dapat dilakukan secara tepat, benar dan dapat dipertanggungjawabkan, mengingat laporan tersebut merupakan salah satu sumber informasi utama yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas PPATK. Kedua pedoman di atas melengkapi Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP. PPATK/2003 Tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi Penyedia Jasa Keuangan, tanggal 9 Mei 2003, yang berlaku bagi seluruh PJK. Tujuan pedoman umum ini adalah untuk memberikan gambaran umum mengenai rezim anti pencucian uang yang dapat digunakan sebagai acuan bagi PJK untuk membantu mendeteksi kegiatan pencucian uang. 3) Mediator antara sektor lembaga keuangan dan penegakan hukum. PPATK sebagai mediator antara sektor lembaga keuangan dengan penegak hukum terutama terkait dengan pelaporan dan penegakan hukumnya. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya LTKM langsung diserahkan kepada aparat penegak hukum. Hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri paling tidak ada beberapa alasan yaitu : a. LTKM bukan suatu laporan tindak pidana melainkan hanya informasi rahasia mengenai transaksi yang tidak wajar b. Perlu adanya penyaringan oleh PPATK melalui kegiatan analisis untuk mengetahui adanya indikasi tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, aparat penegak hukum hanya akan melakukan hubungan secara langsung dengan PJK apabila terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang melalui mekanisme yang diatur oleh undang-undang. Fakultas Hukum - UNISAN
234
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
c. Seringkali adanya perbedaan persepsi antara aparat penegak hukum dengan PJK. Berkaitan dengan hal ini, untuk menyamakan persepsi senantiasa dilakukan semacam pertemuan untuk mencari jalan keluar atas permasalahan dimaksud. 4) Pembantuan (assistancy) dalam penegakan hukum PPATK senantiasa memberikan bantuan dalam upaya penegakan hukum terkait dengan tindak pidana berdimensi ekonomi melalui pemberian informasi transaksi keuangan. Di samping itu, PPATK sering pula dimintai keterangannya sebagai ahli dalam kasus tindak pidana pencucian uang. 5) Pengawasan kepatuhan Dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pelaporan, sejak Juli 2005 sampai dengan pertengahan Juni 2006 telah dilakukan audit kepada 28 kantor bank di beberapa daerah seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Mataram, Kupang, Medan, Palembang, Manado, Padang, Makasar, Ambon, Balikpapan, dan Pontianak. Audit juga dilakukan terhadap 23 Penyedia Jasa Keuangan berbentuk non-bank. IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari pokok permasalahan di atas adalah pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. Perbuatan, sanksi pidana dan denda dalam tindak pidana pencucian uang diatur Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) Pasal 3 sampai dengan Pasal 10. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, dijelaskan dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang tidak mungkin dapat dilakukan oleh PPATK tanpa bantuan pihak lain. Dalam kaitan ini dukungan dan kerjasama seluruh pihak terutama industri keuangan, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), kalangan pers dan masyarakat luas sangat diperlukan. Menyadari ancaman tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan serius (extraordinary crime) yang dapat menggangu stabilitas sistem keuangan dan sistem perekonomian serta dapat berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bangsa, maka upaya pencegahan dan pemberantasan harus dilakukan melalui langkah-langkah luar biasa secara konseptual, sporadis dan menyeluruh (komprehensif). Mengingat bahwa kejahatan pencucian uang kebanyakan dilakukan oleh transnational organized crime yang melintasi batas-batas negara, maka kerjasama internasional antara PPATK dengan law enforcement agency dan lembaga sejenis PPATK di luar negeri sangat diperlukan. 235
Fakultas Hukum - UNISAN
Pencucian Uang
DAFTAR PUSTAKA Buku : Deni Krisnawati, dkk, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006. M. Arif Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Malang: Bayu Media Publising, 2004. Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Refika Aditama, 2005. Sutan Remy Sjandeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama, 2004. Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang, Jakarta: Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2003. Yunus Husein, Bunga Rampai Pencucian Uang, Jakarta: Book Tarace & Libarari, 2007. Sumber Lain : Yenti Garnasih, Anti Pencucian Uang Sebagai Strategi Untuk Memberantas Kejahatan Keuangan (Profit Oriented Crimes), Jurnal Hukum Progresif, PDIH Undip Semarang, 2006. http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/10/22/uu-82010-tentang-pencegahan-danpemberantasan-tindak-pidana-pencucian-uang-wajib-dipahami-kepala-daerahpejabat-negara-dan-masyarakat-601244.html, di akses terakhir 20 Februari 2014 http://anismukhsal-netpublishing.blogspot.com/2011/04/tinjauan-umum-tentang-tindakpidana.html di akses terakhir 21 Februari 2014
Fakultas Hukum - UNISAN
236
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
237
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
INTEGRASI ADAT ISTIADAT DENGAN AJARAN ISLAM PADA AWAL MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI SELATAN Rahmawati Praktisi Budaya dan Agama Islam
[email protected] Abstract The arrival of Islam in South Sulawesi in XVII Masehi as the official religion of the empire, but previously there was development of the Malays who are Muslims in Makasssar. The spread of Islam in South Sulawesi can be supported by several factors, one of which is a system and a culture of pre-Islamic beliefs there are similarities with the value brought by Islam, so that cultural clashes with the teachings of Islam as a newcomer can be avoided, then the value of the integration is straightforward the two elements. Keywords: Islamic, culture, integration I. PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dilihat dari golongan etnis, agama, organisasi-organisasi sosial politk atau kelompok dan lapisan masyarakat. Dalam skala kecil kemajemukan itu terlihat pula pada masyarakat Sulawesi Selatan. Ada empat suku yang mendiami daerah ini yaitu suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Ke-empat suku tersebut mempunyai karakteristik kebudayaan yang berbeda yang terlihat pada bahasa yang digunakan sehari-hari, di samping persamaan-persamaan seperti dalam sistem mata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor geografis . Di antara suku tersebut, suku Bugis yang merupakan mayoritas. Mereka mendiami daerah Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai, sebahagian Bulukumba, Sebahagian Bantaeng, Sebahagian Maros, Pangkajene Kepulauan, Barru, Pare-Pare, Sidrap, Pinrang, Sebahagian Enrekang, dan Sebahagian Luwu. Suku Makassar mendiami daerah Gowa, Takalar, Jeneponto, Sebahagian Maros, sebahagian Bulukumba, sebahagian Bantaeng dan sebahagian Pangkep. Suku Mandar mendiami daerah Mamuju, Majene, dan Polmas. Sedangkan Suku Toraja mendiami Tator. Adapun penduduk yang mendiami kabupaten Enrekang sebagiannya mengidentifikasi dirinya sebagai suku Massenrengpulu dan Duri. Kebanyakan mereka menganggap dirinya sebagai orang Bugis. Secara menyeluruh, masyarakat Sulawesi Selatan memegang adat yang berlaku. Bagi mereka, adat istiadat merupakan suatu sistem nilai dan sistem norma nilai yang mengatur dan memelihara keharmonisan hubungan individu dengan masyarakat yang biasa disebut pangngadereng. Konsep pangngadereng terkadang tidak hanya dipahami sama dengan aturan-aturan adat sistem norma saja, akan tetapi pangngadereng juga meliputi hal-hal Fakultas Hukum - UNISAN
238
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
dimana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan dirin dalam kegiatan sosialnya, merupakan bagian integral dari pangngadereng. Pangngadereng adalah bahagian dari dirinya sendiri dalam keterlibatannya dengan keseluruhan pranata-pranata masyarakat. Dengan demikian, pangngaderang dapat dikatakan adalah wujud kebudayaan yang saling mencakup pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat tata tertib. Juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia bertingkah laku dan mengatur prasarana kehidupan berupa peralatan-peralatan materil dan non materil. Sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang Bugis-Makassar disebut ade’. Ade’ adalah salah satu aspek parengngngade yang mendominasi kehidupan masyarakat, karena ade’ melipti segala keharusan tingkah laku dalam kegiatan-kegiatan orang Bugis. Ade’ berarti tata tertib yang bersifat normatif, yang memberikan pedoman kepada sikap hidup dalam menghadapi, menanggapi, dan menciptakan hidup kebudayaaan, baik ideologis, mental spritual maupun fisik. Semenjak seseorang lahir di dunia, menghirup udara di luar rahim ibunya, memperdengarkan tangis kehadirannya, ia pun diperlakukan sebagai pendatang baru ke dalam pangngadereng. Sebelum itupun, ketika ia masih atau dengan ibu yang mengngandungnya dalam rahim, ia telah diperlakukan dalam pangngadereng sebagai satu eksistensi. Anak itu kemudian bertumbuh dalam asuhan pangngadereng, memiliki dan berperanan pula didalamnya,. Ia menjaga dan memelihara pangngadereng yang telah memotovasinya dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Pangngadereng telah mengantar kepadanya untuk melihat, menegtahui, dan memiliki dunianya, di samping mengetahui diri dan membangun tanggung jawab terhadap dunianya itu. Tak ada pilihan baginya untuk bersikap atau berbuat lain selain berbuat dan bersikap dan berbuat terhadap segala sesuatu di luar dirinya. Pangngadereng adalah dunianya; pangngadereng adalah dirinya sendiri bersama seluruh yang bergantung kepadanya dan yang menjadi tempat bergantungnya. Ia tidak mempunyai kebebasan mutlak untuk memberikan sesuatu nilai kepada sesuatu di luar dirinya, terlepas dari nilai-nilai umum yang bersumber dari pangngadereng sebagai pola umum yang harus diikuti seteguh-teguhnya. Ia menjadi kebiasaan yang hidup dan sukarlah orang meninggalkannya. Pada abad XV-XVI, dapat dikatakan sebagai zaman terbentuknya pola-pola mengenai konsepsi kekuasaan pemerintah orang Bugis-Makassar dalam acuan pangngadereng atau pangngadakkang. Dengan pola-pola itu, mereka memperluas wilayah kekuasaan melalui persaingan-persaingan yang panas dan mengandung permusuhan serta peperangan yang berkepanjangan . Saat itu orang bugis –Makassar belum memiliki pola-pola kehidupan yang mantap dan dapat di andalkan. tibalah abad XVII yang amat keras membawa perubahan saat diterimanya Islam di jadikannya sara’ sebagai bagian integral dari pangngadereng di Sulawesi Selatan . Dengan di terimanya Islam dan di jadikannya Sara’ sebagai bagian integral pangngandereng, maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya orang Bugis-Makassar 239
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
memperoleh warna baru, karena sara’ budaya. Penerimaan sara’ ke dalam pangngadereng menjadi sarana utama berlangsungnya sosialisasi dan akulturasi islam ke dalam budaya orang Bugis-Makassar. Proses itu berlangsung demikian intensif sehingga di kalangan mereka terjadi pengidentikan diri dengan islam. Sangat janggal bagi bagian terbesar orang Bugis-Makassar apabila dikatakan ada di antara mereka yang bukan islam, karena orang yang demikian itu menyalahi Pangngadereng. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hasil perpanduan ini memberi dampak positif yang berkesinambungan kepada ajaran islam. Sehubungan dengan integrasi ajaran islam dengan adat dan kehidupan masyarakat, dikatakan dalan Lontara Latoa sebagaimana dikutip Mattulada berikut : Eppami uangena padecengie tana, iami negenne limampuangeng, narapi ‘mani asellengeng naripattama tona sarae’, seuani adee’. Maduanna sarae, matelluna warie’ naia adee’ ianappadecengiwi tau maegae. Naia rapengnge, ianapeuwatangiwi arajangnge. Naia warie’ ianappeassekiwi aseajingenna tana masswajingge. Naia bicarae ianassapei gaubawana tau maggau bawange ritu. Naia sarae’, iana sanresenna to madodongnge. (‘Empat macam saja yang memperbaiki negara. Barulah dicukupkan lima macamnya, ketika sampai kepada keislaman dan dimasukkan juga sara’ (ajaran islam) Islam itu. Pertama ade’, kedua rapang, ketiga wari’, keempat bicara, kelima ajaran Islam. Adapun adat itu ialah yang memperbaiki rakyat dan adapun wari’ itu, ialah yang mengokohkan kerajaan, dan adapun bicara itu adalah yang memagari perbuatan sewena adanya, dan adapun ajaran sewenang-wenang adanya, dan adapun ajaran Islam itu, ialah sandarannya orang lemah yang jujur). Sebelum Islam menjadi agama kerajaan, yang mengurus dan merawat kerajaan di istana ialah kelompok bissu (laki-laki berpakaian wanita). Kelompok inilah yang mengadakan sajian dan nyanyian-nyanyian pemujaan kepada arajang yaitu alat-alat kerajaan yang menjadi atribut raja seperti keris, tombak, guci, dan benda-benda yang dihormati oleh masyaerakat, dan mereka tinggal dalam istana. Setelah Islam dijadikan agama kerajaan, fungsi lembaga ini diganti oleh pejabatpejabat sara’ (parewa sara’) yang terdiri dari kali, imam, khatib, dan bilal. Parewa sara’ yang diketahui oleh kali mempunyai kedudukan yang sama dengan pejabat-pejabat adat dalam pangngadereng. Walaupun jabatan itu mempunyai fungsi yang berlainan dan adakalanya dapat berlawanan, akan tetapi raja sebagai penguasa tertinggi dalam pangngadereng adalah tempat untuk mendamaikan setiap pertentangan. Beberapa asumsi di atas cukup memberikan gambaran bahwa ajaran Islam telah eksis dalam adat Bugis-Makassar (pangngadereng). Eksistensi ajaran Islam telah semakin nyata apabila ditinjau dari sudut kelembagaan, baik kelembagaan sara’ yang dibentuk pada masa kerajaan, maupun lembaga peradilan agama. Ditambah lagi jika ditinjau dari dari segi aspek sosiologis, bahwa selama ini masyarakat Bugis-Makassar pada khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dikenalsebagai salah satu suku bangsa indonesia yang taat menjalankan perintah agama Islam. Bahkan ada pendapat yang mengidentikkan dengan Islam ketaatan mereka pada sara’ sama dengan ketaatran mereka pada unsur-unsur pangngadereng Fakultas Hukum - UNISAN
240
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
lainnya. Dari sini terlihat bahwa walaupun pangngadereng sebagai suatu ikatan untuk sistem nilai yang menjadi kerangkan dalam kehidupan orang Bugis-Mkassar yang dianggap sakral dan keramat, namun Islam dapat mensosialisasikan diri, berintegrasi, bahkan mewarnai unsurunsur pangngadereng yang telah melembaga dalam pangngadreng tanpa memperlihatkan benturan-benturan nilai. Untuk ajaran Islam (sara’) dalam masyarakat adat Bugis-Makassar, tidaklah cukup memahami asumsi-asumsi umum yang berkembang dalam masyarakat. Tetapi lebij dari itu, asumsi-asumsi tersebut harus pula dikaji dan dihayati secara mendalam melalui proses sejarah penerapan ajaran Islam. Atas pertimbangan tersebut, penulis tertarik untuk membahas integrasi pangngadereng dengan ajaran Islam pada awal datangnya Islam di Sulawesi Selatan dengan melihat aspek historisnya. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Bagaimanakah proses masuknya Islam di Sulawesi Selatan? Sejauhmana integrasi nilai-nilai pangngadereng dengan ajaran Islam pada proses masuknya Islam di Sulawesi Selatan? Dan Faktor-faktor apa saja sebagai pendukung, penghambat, dan solusinya? II. PEMBAHASAN A. Proses Masuknya Islam Di Sulawesi Selatan A.1 Kedatangan Islam Di Sulawesi Selatan Masuknya Islam di Indonesia terdapat beberapa pendapat yang di dukung oleh fakta sejarah dan argumentasi masing-masing. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan interpretasi terhadap suatu fakta, di lain segi terhadap pula perbedaan pemahaman tentang apa yang di maksudkan dengan masuknya Islam di suatu daerah. Ada tiga pengertian yang berbeda tentang masuknya Islam di suatu daerah, yaitu: Pertama, bahwa yang dimakusd dengan masuknya Islam adalah kedatangan untuk pertama kali seorang yang beragama Islam dari luar, masuk kedaerah itu. Kedua, bahwa yang dimaksud dengan masuknya Islam, adalah adanya penduduk setempat menerima Islam di daerah itu. Ketiga, suatu pemahaman tentang masuknya Islam di suatu daerah, setelah agama Islam diterima dalam suatu kerajaan dengan melembaganya agama Islam tersebut, kemudian disusul dengan proses pengislaman, terutama dalam kaitannya dengan struktur kekuasaan Islam. Menurut sejarawan, Islam datang ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Pendapat ini didasarkan pada situasi perdagangan internasional pada waktu itu, dimana orang-orang muslim ikut terlibat dalam dunia perdagangan. Hal ini didasarkan pula pada posisi strategis Indonesia yang terletak disepanjang jalur perdagangan maritim, Samudera Hindia dan Selat Malaka. Melihat jalur perdagangan maritim, Samudera Hindia dan Selat Malaka yang sejak abad ke 7-8 sudah ramai di lalui oleh para pedagang muslim, begitu pula posisi Indonesia terletak sepanjang jalan tersebut, maka tentunya Indonesia telah di datangi agama Islam. Penyebaran agama islam di Nusantara yang pada awalnya di bawa oleh para muballigh dan pedangnya ternyata di terima oleh masyarakat secara sukarela, bahkan dakwah para 241
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
muballigh tersebut dapat menembus dan mempengaruhi elit penguasa. Karena itu, Islamisasi di Indonesia justru datang dari elit penguasa, yakni dari raja yang bekerja secara haemonis dengan para muballigh. Keberhasilan mubaliigh di dukung oleh pendekatan dan irama dakwah para muballigh sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat dalam berbagai aspeknya. Terdapat beberapa versi tentang awalnya kedatangan islam, asal kedatangannya dan para pembawanya di nusantara. Pijnappel, seorang ahli dari Universitas Leiden, mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, orang-orang arab yang bermazhab syafi-iy yang bermigrasi dan menetap di wiliyah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori tersebut sama dengan teori yang dianut oleh Snouck Hurgronye, dengan alasan bahawa begitu Islam mulai berkuasa di anak benua India, banyak di antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nuasantara, datang ke Nusantara sebagai penyebar Islam pertama. Baru kemudian disusul oleh orang-orang Arab yang melanjutkan penyebaran Islam di Nuasantara. Selanjutnya Snouck Hurgronye menyebutkan bahwa abad ke-12 M. Sebagai periode dari permulaan penyebaran Islam di Nusatanra. Teori tentang Islma masuk ke Nusantara abad ke-12 Masehi dibantah oleh Thomas W. Arnold. Menurut Arnold, bahwa mungkin agama Islam telah dibawa ke Indonesia oleh pedagang-pedagang Arab sejak abad pertama Hijriah. Dugaan tersebut diperkuat dengan dunia luar pengetahuan tentang adanya perdagangan yang luas dengan dunia luar yang dilakukan oleh orang-orang Arab sebelum Islam. Bahkan pada abad ke-2 sebelum masehi, perdagangan dengan Ceylon sepenuhnya berada di tangan orang-orang Arab. Pada awal abad ke-7 Masehi, perdagangan dengan Ceylon mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat, sehingga pada pertengahan abad ke-8 Masehi, sudah banyak pedagang Arab yang ditemui di Canton. Teori yang dikemukakan Arnold tersebut, oleh sebagian sejarawan muslim Indonesia, seperti terlihat dalam kesimpulan seminar masuknya Islam ke Indonesia pada tahun 1969 dan 1987, bahwa Islam datang langsung dari Arabia, bukan dari India, bukan pada abad ke-12 atau abad ke-13, melainkan dalam abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi. Dari teori tersebut dapat dinyatakan bahwa meskipun terjadi perbedaan yang cukup tajam mengenal awal masuknya Islam ke Indonesia dan Asal kedatangannya, tetapi dapat dinyatakan bahwa Islam dibawa langsung darin Arabia pada abad pertama Hijriah. Sedangkan pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi adalah datangnya para penyebar Islam ke Nusantara, baik yang datang untuk berdagang maupun yang secara khusus sebagai muballiqh, baik dari anak benu India, maupun dari Arab. Abad ke-12 dan ke-13 Masehi ini sekaligus menandai proses Islamisasi di Nusantara, yang dimulai dar Kerajaan Pasai di Aceh. Proses Islamisasi di Kerajaan Pasai, diikuti oleh Kerajaan Malaka pada abad ke-15 Masehi yang ditandai dengan masuknya Raja Malaka kedalam Islam dengan gelar Sultan Iskandar Syah sekaligus menjadikan Malaka sebagai Kerajaan Islam. Dari Malaka, Islam Fakultas Hukum - UNISAN
242
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
tersebar sampai ke Jawa dan daerah-daerah lainnya di Nusantara. Mengenai masuknya Islam di Sulawesi Selatan, secara umum sejarawan mengatakan bahwa Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada abad ke-12 M. Tetapi masuknya Islam yang dimaksudkan di sini adalah penerima Islam sebagai agama resmi kerajaan sekaligus menandai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi Selatan. Dalam kaitan ini Mattulada menjelaskan bahwa sejak abad ke-16 M. Sudah terdapat perkampungan orang-orang Melayu yang beragama Islam di Makassar. Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-12 yang bernama Karaeng Tunijallo (1565-1590), Baginda mendirikan Masjid bagi pedagang-pedagang itu di Mangngallekana (Somba Opu) tempat kediaman mereka di Makassar. Sedangkan menurut sumber Portugis dan Makassar menyebutkan bahwa saudagar-saudagar Melayu yang memeluk Islam, sudah menetap di Makassar san Sulawesi Selatan Barat Daya sejak awal abad ke-16 M. Sekalipun saudagar Melayu muslim berdiam di Makassar sejak awal abad ke-16 M. Akan tetapi Raja dan penguasa belum memeluk agama Islam. Para saudagar Melayu yang ada di Sulawesi Selatan tidak hanya berdiam di Makassar, akan tetapi juga di bagian Utara Sulawesi Selatan, yaitu Luwu. Mereka berada disana sebelum datangnya tiga serangkai ulama Sematera Barat (Khatib Tunggal Abdul Makmur, Sulaiman Khatib Sulung dan Abdul Khatib Bungsu). Orang Melayu tersebut memperkenalkan Islam kepada masyarakat secara pribadi-pribadi. Setelah datangnya tiga ulama tersebut yang langsung menghubungi Raja Luwu dan mempengaruhi raja untuk memeluk Islam, Raja secara resmi menganut agam Islam pada tanggal 13 Ramadhan 1013 H. (1603 M). Raja Luwu pada waktu itu adalah La Patiware Daeng Parabbung dan diberi gelar oleh ulama tersebut dengan Sultan Muhammad. Dari sini Islam dimulai menyebarkan sayapnya keberbagai daerah kerajaan di Sulawesi Selatan. Setelah Raja Luwu masuk Islam, diikuti Raja Tallo pada malam Jumat tanggal 22 September 1605 M. Bertepatan dengan 9 Jumadil Awal 1014 H., kemudian disusul oleh Raja Gowa. Setelah kerajaan kembar Gowa-Tallo (Kerajaan Makassar) menerima dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan Makassar, kerajaan Makassar pada waktu itu sudah menjadi kerajaan yang terkuat di Sulawesi Selatan. Raja yang memeluk agama Islam pada waktu itu adalah Raja Tallo yang juga menjabat sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa yang bernama I Mallingkaang Daeng Manynyonri dan diberi gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam. Beberapa waktu kemudian, Raja Gowa yang bernama I Mangarrangi Daeng Manrabia menerima jug pengislamn dan Baginda diberi gelar Sultan Alauddin. I Mallingkaan Daeng Manyori adalah raja ke-14 dan pertama-tama memeluk Islam dalam usia kurang lebih 19 tahun, yaitu setelah Baginda duduk diatas tahta kurang lebih 12 tahun lamanya. Ada beberapa versi dalam cerita rakyat Makassar mengenai pengislaman Raja Gowa dan Tallo, di samping catatan-catatan ringkas yang terdapat dalam Lontara Bilang dan Patturioloanga Ri Tu Gowayya, yaitu : 1. Mattulada mengemukakan bahwa menurut Lontara Patturioloanga Ri Tu Gowayya, 243
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
Raja Tallo di-Islam-kan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat oleh seorang mubaliqh dari Minangkabau (Khatib Tunggal) yang kemudian diberi gelar Datuk Ri Bandang, setelah ia berdiam di ujung kampung Pamtong. 2. Menurut cerita rakyat Makassar, seorang ulama dari Minagkabau Tengah, Sumatera Barat yang bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal, tiba di pelabuhan Tallo pada tahun 1605, dengan menumpang sebuah perahu. Setibanya di pantai, ia melakukan sholat yang mengherankan rakyat. Ia menyatakan keinginannya untuk menghadap Raja Tallo. Raja Tallo yang mendengar berita kedatangan orang ajaib itu bergegas ke pantai. Ditengah perjalanan kepantai itu, di pintu gerbang halaman istana Tallo, Baginda bertemu dengan orang tua yang menanyakan tentang tujuan perjalanan Baginda. Orang tua itu menulis sesuatu di atas kuku ibu jari Raja Tallo, dan mengirimkan salam kepada orang ajaib yang ada di pantai (khatib Tunggal). Waktu Khatib Tunggal diberitahu tentang pertemuan Raja dengan orang tua itu, ia melihat bahwa yang tertulis di atas kuku ibu jari Raja Tallo itu adalah Surah al-Fatihah. Khatib Tunggal menyatakan bahwa orang tua itu yang dijumpai Baginda itu adalahpenjelmaan Nabi Muhammad SAW. Sendiri. setelah pertemuan Raja Tallo dan Khatib Tunggal, maka Baginda pun memeluk agama Islam dan menyebarkannya ke semua orang Makassar. Khatib Tunggallah yang memegang peranan dalam mengajarkan agama Islam di Kerajaan Makassar. 3. Menurut cerita rakyat versi lain, yang diceritakan oleh mereka yang mempunyai cara interpretasi lain terhadap cerita rakyat tersebut pada versi 2 di atas adalah sebagai berikut : Bahwa tokoh Abdul Makmur Khatib Tunggal memegang pernah ada dan menjadi guru agama dalam Istana Raja Gowa-Tallo. Ia adalah salah seorang di antara tiga orang ulama yang didatangkan oleh Kerajaan untuk menjalankan dakwah Islamiyah di Makassar. Ketika Raja Tallo menyongsong kedatangan Khatib Tunggal di Istana Tallo, Raja Tallo telah mengucapkan salam. Hal itu menunjukkan bahwa Baginda sudah Islam ketika Khatib Tunggal menemui Baginda. Versi tiga ini, mencoba menunjukan bahwa agama Islam sudah ada di Sulawesi Selatan dan dianut oleh perorangan-perorangan yang mempelajarinya. Sebelum agama itu dengan resmi dinyatakan sebagai agama Kerajaan Gowa-Tallo. Walaupun terdapat berbagai versi mengenai cerita penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, dalam hubungan kedatangan Khatib Tunggal dan penerimaan Raja Gowa dan Tallo terhadap agama Islam sebagai agamanya, namun satu hal yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya, bahwa kedua orang itu, dengan ulama Khatib Tunggal telah memainkan peranan penting dalam penyebaran ajaran Islam, Khususnya dalam lapangan pengajaran hukum Syari’at Islam dan Ilmu Kalam. Berdasarkan keterangan terdahulu tentang kedatangan Islam di Sulawesi Selatan, maka dapat disimpulkan bahwa melihat jalur perdagangan yang melalui pesisir, di mana geografis Sulawesi Selatan termasuk daerah maritim, dann dengan dukungan keteranganketerangan yang dapat memberikan petunjuk bahwa Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada Fakultas Hukum - UNISAN
244
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
awal abad ke-17, yaitu dengan diterimanya Islam sebagai agam resmi kerajaan kembar Gowa-Tallo. A.2 Sistem Penyebaran Islam Secara Damai. Setelah kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan, maka timbullah hasrat sesuai dengan tuntunan syaria’at Islam yang diterimanya sebagai kebenaran yang harus disebarkan keseluruh pelosok, kerajaan tetangga dan rajaraja kerajaan sahabat. Dengan demikian, Makassar menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Proses pengislaman dipimpin oleh Raja Gowa-Tallo yang lebih dahulu menerima Islam. Selanjutnya Raja Gowa-Tallo menyerukan kepada raja-raja Bugis unruk menerima Islam. Seruan tersebut diterima baik, terutama oleh kerajaan-kerajaan kecil, sehingga berlangsunglah proses pengislaman secara damai. Yang menyambut Islam secara damai, yakni Bantaeng dan Selayar pada tahun 1607. Dalam Lontarak, Islam diterima di Mandar pada masa pemerintahan Raja Balanipa IV bernama Daetta alias Kanna I Pattang yang memerintah pada awal abad XVIII (1607). Melalui Peperangan. Berbeda dengan hal di atas, kerajaan-kerajaan Bugis yang berpengaruh, pada mulanya seruan tersebut ditolak oleh mereka, sehingga melahirkan perang antara kerajaan Gowa-Tallo dengan kerajaan-kerajaan Bugis yang dikenal dengan Musu Asellengeng (Peperangan Islam). Meskipun secara konsep, ajaran Islam tidak mengenal adanya pemaksaan kepada seseorang atau kelompok untuk menganut agama Islam, tetapi perang pengislaman yang dialkukan Raja Gowa terhadap raja-raja Bigis, lebih didasarkan pada konvensi yang pernah disepakati pada waktu lalu oleh Gowa dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, yaitu suatu ikrar (paseng) di antara mereka bahwa barang siapa yang di antara mereka menemukan jalan yanglebih baik, meka hendaklah disampaikan hal yang baik yang ditemukannya itu kepada yang lain. Sesuai dengan tuntunan syaria’at dan sejalan dengan konvensi itu, maka Raja Gowa menyampaikan hal yang diyakini sebagai sebagai jalan yang lebih baik itu kepada raja-raja di Sulawesi Selatan. Terjadinya perang antara Gowa dan kerajaan-kerajaan Bugis dalm proes penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena seruan tersebut ditanggapi secara kritis oleh raja-raja Bugis terutama yang terikat dalam aliansi TellumpoccoE, yakni Bone, Soppeng dan Wajo, yang melahirkan LamumpatuE RiTimurung pada tahun 1582. Yang intinya menggalang persatuan untuk bersama-sama menghadapi ekspansi kerajaan Gowa. Bagi mereka, seruan Raja Gowa itu hanyalah satu strategi untuk menanamkan kembali didominasi politik dan ekonominya terhadap kerajaan-kerajaan Bugis. Dengan demikian, ajakan untuk menerima islam menurut TellumnpoccoE adalah sebagai siasat Gowa untuk menguasai mereka.untuk itu, mereka sepakat menolak ajakan pengislaman. Tetapi penolakan itu menjadi alasan bagi gowa untuk mengangkat senjata dan memerangi kerajaan-kerajaan bugis. Empat kali Gowa mengirim tentaranya ke tanah Bugis. Pertama kalinya dalam tahun 1608, tentara Gowa di kalahkn oleh pasukan-pasukan pertahanan kerajaan-kerajaan Bugis yang bergabung. Akan tetapi pada tahun berikutnya selama empat 245
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
tahun berturut-turut, kerajaan-kerajaan Bugis itu dilakukan satu demi satu. Tersebarlah Islam di tanah Bugis. Sindereng dan Soppeng dikalahkan dan di-Islam-kan dalam tahun 1609, Wajo dikalahkan dan di-Islam-kan dalam tahun 1601 dan Bone diklahkan dan di-Islam-kan dalam tahun 1611. Demikianlah peperangan Gowa melawan kerajaan-kerajaan Bugis selama empat tahun, yang telah menjadikan seluruh Sulawesi Selatan menganut agama Islam secara resmi kecuali Tanah Toraja. Menurut Abu Hamid, ada tiga pendekatan dalam penyebaran Islam kepada penduduk, yaitu: 1. Pendekatan syari’ah (Fiqih). Datuk Ri Bandang mengunjungi daerah-daerah Makassar dan Bugis yang kuat yang melakukan perbuatan Riba. 2. Pendekatan Ilmu Kalam. Datuk Patimang mengunjungi daerah-daerah Bugis yang kuat kepada kepercayaan lama yang menganggap bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Dewata SewwaE. Suatu kepercayaan yang sekarang dikenal dalam mitologi Lagaligo. Datuk Patimang lebih mengutamakan pengajaran Tauhid, yaitu pemahaman tentang sifat-sifat Allah SWT. Yang tercermun dalam kedua kalimat syahadat. 3. Pendekatan Ilmu Tasawuf, dilakukan oleh Datuk Di Tiro, kemudian mengganti dengan ajaran Tasawuf yang mendekatkan diri kepada Allah swt. Masyarakat sebagai sasaran dakwah terutama pada masa kedatangan Islam banyak memiliki kebatinan, sehingga seorang mubaliqh harus mampu memperlihatkan hal-hal yang dapat melemahkan dan mengalahkan kebatinan mereka supaya dapat tunduk dan menerima Islam. Proses penyebaran Islam di Sulawesi Selatan secara politis dan militer, dapat di nyatakan selesai setelah Kerajaan Bone menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan. Tetapi perlu dinyatakan bahwa upaya para penyiar Islam, tidak berhenti setelah proses penyebaran Islam pada awal thap itu berakhir, karena penyebaran Islam pada tahap berikutnya masih tetap berlangsung yaitu, pengembangan ajaran Islam dan pemantapannya dalam pelaksanaan politik tiap-tiap kerajaan dan pemantapan integrasi ajaran Islam ke dalam adat istiadat dan kehidupan masyarakat. Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, tidak dapat dipisahkan dari peran yang dimainkan oleh Datuk Ri Bandang, Datuk Patimang dan Datuk Ri Tiro. Abdurrazak Dg. Panturu menjelaskan bahwa yang mengislamkan Raja Gowa-Tallo ialah seorang ulama yang bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal, kemudian lazim disebut Datuk Ri Bandang yang berasal dari Kota Tengah Minangkabau, Sumatra. Ajaran yang beliau sebarkan adalah syari’at. Beliau bersama dua orang temannya, yang seorang adalah Khatib Sulaiman (Datuk Patimang) ia adalah yang mengislamkan Raja Luwu yang bernama La Patiware Daeng Parabbung dan memberinya gelar Sultan Muhammad. Teman Datuk Ri Bandang yang lainnya bernama Khatib Bungsu yang mengajarkan Islam dengan jalan Tasawuf di Tiro dan daerah lainnya. Peranan Datuk Ri Bandang atau Syekh Abdul Chadir Khatib Tunggal sebagai guru atau kiyai sangatlah besar berpengaruh dakwah yang disampaikan kepada masyarakat diikuti dengan usaha mendidik serta mengajar mereka yang baru masuk Islam,tentang bagaimana menjalankan sembahyang serta ibadah lainnya. Juga tentang mu’amalah sebagai pembinaan Fakultas Hukum - UNISAN
246
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
suatu masyarakat yang bersusila dan berbudaya, pelajaran tentang halal dan haram dan tentang keyakinan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, tentang hari kiamat dan lain-lain. Dari suatu sumber sejarah menyebutkan tentang seorang ulama yang besar bantuannya kepada Datuk Ri Bandang, baik dalam tugas-tugas dakwah, maupun dalam tugas mendidik serta mengajar penduduk kerajaan-kerajaan Gowa dan Bugis yang baru masuk Islam, ulama tersebut adalah Datuk Sulaeman. Di kalangan masyarakat, terutama penduduk Kerajaan Wajo dan Luwu, nama Datuk Sulaeman sangatlah populer. Beliau di kenal dengan nama Datuk Patimang, karena Datuk Sulaeman wafat dan dimakamkan di desa Patimang Luwu. Selain dua ulama tersebut di atas, dalam sejarah Islam Sulawesi Selatan termasuk pula nama seorang ulama yang besar jasanya dan tidak dapat dipisahkan peranannya dengan peran dua orang ulama. Ulama yang ketiga ini adalah terkenal dengan nama Datuk Ri Tiro atau Khatib Bungsu, salah satu peran yang cukup besar yang dihasilkan oleh ketiga mubaliqh dalam menyiarkan Islam di Sulawesi Selatan adalah kemampuan mereka mensinkronkan ajaran Islam dengan adat istiadat, meskipun secara potensial kedua hal tersebut dapat berbenturan. Hal ini dapat berhasil karena sejak semula, penyebaran agama Islam dilakukan atas prakasa dan perlindungan raja-raja, sehingga perkembangan agama Islam memperoleh tempat yang layak dalam rangka perkembangan masyarakat dan kebudayan seluruhnya yang disebut pangngadereng. Keberhasilan ketiga mubaliqh tersebut, karena sellu berpedoman kepada Alquran sebagai petunjuk manusia, dimana seorang muslim di dalam mendakwahkan Islam harus penuh hikmah dan dengan nasehat yang baik, bahkan di dalam berdebat dengan cara yang terbaik. seorang muslim tidak di perkenenkan memaksa seseororang masuk islam.kesemuanya itu menjadi faktor kesuksesan muballigh tersebut, di samping pangngadereng yang merupakan wujud kebudayaan bugis-makassar, banyak yang sesuai dengan ajaran islam, sehingga orang yang menpelajarinya akan mendapat kesan seakan-akan di nafasi oleh ajaran Islam. Islam di perkenalkan kepada orang-orang Bugis-Makassar dengan meniti di atas tradisi dan kebudayaan yang sudah ada, penyiar islam tidak ekstrim di dalam mendakwahkan islam, perbuatan halal danharam terhadap sesuatu perbuatan tetap didakwahkan tanpa menggoyahkan sendi-sendi masyarakat. Penyiar islam mendapat perlindungan dari raja-raja, tetapi di lain pihak mereka di tuntut supaya tidak terjadi benturan antara adat dengan ajaran islam yang dapat menganggu sistem sosial. Metode dan cara itulah yang di kemukakan oleh ketiga datuk dari Sumatera ketika menghadapi sasaran dakwahnya. Apabila terdapat tradisi dan lembaga sosial yang bertentangan dengan islam, tidak sekaligus merombaknya, namun dengan penuh kebijaksanaan di cari gantinya yang sesuai dengan ajaran islam. B. Integrasi Nilai-Nilai Pangngadereng Dengan Ajaran Islam Salah satu kekuatan untuk menopang kelangsungan hidup masyarakat Sulawesi Selatan adalah adat istiadat. Hal itu menjadi pegangan di dalam mengatur pranata sosial yang telah mereka terima dari nenek moyang, secara turun menurun dan melalui proses waktu yang 247
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
panjang. Pada permulaan abad XV, ketika Sulawesi Selatan sedang berlangsung kegiatan kerajaan berdasarkan konsepsi kekuasaan To Manurung untuk mempertegas keberadaan atau eksistensi sebagai kerajaan lokal yang merdeka dan berdaulat. Pelengkap kekuasaan menurut kaidah-kaidah atau norma-norma kehidupan adat istiadat disebut pangngadakkang/ pangngadereng. Ada kalanya orang memahami konsep pangngadereng sama dengan aturan-aturan adat dan sistem norma saja. Pangngadereng selain meliputi hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai di mana seseorang dalam tingakh lakunya dan dalam memperlakukan dirinya dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih jauh dari pada itu, ialah adanya semacam “larutan perasaan” bahwa seseorang itu adalah bahagian integral dari pangngadereng. Pangngadereng adalah bahagian dari dirinya sendiri dalam keterlibatannya dengan keseluruhan pranata-pranata masyarakatnya. Pangngadereng dengan demikian dapat dikatakan adalah wujud kebudayaan yang selain mencakup pengertian semua norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia bertingkah laku dan mengatur prasarana kehidupan berupa pralatan-peralatan materil dan non materil. Semenjak seseorang lahir di dunia, menghirup udara di luar rahim ibunya, memperdengarkan tangis kelahirannya, iapun diperlakukan sebagai pendatang baru ke dalam pangngadereng. Sebelum itupun, ketika ia masih satu dengan ibu yang mengandungnya dalam rahim, ia telah diperlakukan dalam pangngadereng sebagai suatu eksistensi. Anak itu kemudian bertumbuh dalam asuhan pangngadereng, memiliki dan kemudian berperan pula di dalamnya, ia menjaga dan memelihara pangngadereng itu, yang telah memotivasi segala sikap, tingkah laku dan perbuatannya dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Panngadereng telah memungkibnkan ia melihat, mengetahui dan memiliki dunianya itu. Tak ada pilihan baginya untuk bersikap atau berbuat lain, selain berbuat dan bersikap sebagaimana layaknya ia bersikap dan berbuat terhadap diri dan terhadap segala sesuatu di luar dirinya. Pangngadereng, adalah dirinya sendiri bersama seluruh yang bergantung padanya dan menjadi tempat bergantungnya. Ia tidak mempunyai kebebasan mutlak memberikan sesuatu di luar dirinya, terlepas dari nilai-nilai umum yang bersumber dari pangngadereng, sebagai pola umum yang harus diikuti seteguh-teguhnya. Ia telah menjadi kebiasaan yangh hidup dan disukarlah orang meninggalkannya. Kebiasaan itu berperanan sangat besar dalanm menentukan pola tingkah laku manusia. Akan tatapi bukan kebiasaan itu satu-satunya faktor yang menentukan terjadinya pola-pola tingkah laku yang diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga menimbulkan kesukaran-kesukaran untuk merubahnya. Kalau kebiasaan itu telah menjadi sistem dalam pangngadereng, dalam arti kebiasaan yang dihormati dan dipelihara, maka kita akan sampai pada dugaan bahwa dengan mengikuti dan menaati dengan seksama semua kebiasaan adat dan peraturan-peraturannya sebagai aspek pangngadereng, segala sesuatu akan beres dengan sendirinya, atau segala sesuatunya sudah akan berjalan dengan sepantasnya. Hal itu niscaya tidak demikian adanya. Dengan bahwa segala sesuatunya akan beres dan lancar, manakala segala peraturan kebiasaan dan adat diikuti dengan cermat dan Fakultas Hukum - UNISAN
248
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
seksama, adalah suatu kekeliruan. Kedatangan To Manurung diterima sebagai konsepsi kepemmimpinan kerajaan. Kerajaan terkemuka seperti Luwu, Gowa dan Bone yang merupakan tiga kerajaan puncak yang dipandang sebagai kerajaan rujukan bagi perkembangan kehidupan pangngadereng di seluruh Sulawesi Selatan. Pangngadereng/ pangngadakkang adalah wujud kebudayaan orang Bugis-Makassar yang mempunyai empat unsur, yaitu: ade’, bicara, rapang dan wari’, yang menjadi dasar penyelenggaraan ketertiban pemerintahan dan peradilan kerajaan di Sulawesi Selatan. Setelah Islam diterima menjadi agama resmi dalam kerajaan, maka ditetapkanlah sara’ menjadi unsur kelima dalam pangngadereng. Penataan masyarakat dalam kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan mengalami perkembangan, sejak kedatangan To Manurung sebagai konsepsi kekuasaan yang membangun negeri-negeri yang menjadi kerajaan yang lebih luas wilayah teritorialnya, dan semakin banyak pula petugas penyelenggara kekuasaannya atas rakyat yang semakin banyak jumlahnya, dan memerlukan penataan masyarakat lebih baik, pula pangngadereng merupakan konsep dasar dalam penataan masyarakat Sulawesi Selatan dalam kerajaan lokal. Seperti telah disebutkan pada bahagian terdahulu, bahwa pangngadreng (sebelum Islam) memiliki empat unsur material, yaitu: ade, bicara, rapang dan wari’. Unsur-unsur tersebut akan dibicarakan satu demi satu, yakni; Pertama (Ade), Ade’ adalah salah satu aspek pangngadereng, yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, atau ade’ adalah segala kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan yang meliputi pribadi dan kemasyarakatan, terlalu sukar untuk melepaskan diri dari asosiasi dengan istilah “adat” yang telah meresap ke dalam kehidupan kebudayaan indonesia. Orang asing pada umunya menyebut ade’ atau adat itu dengan de oude gewonten atau common customes. Hal itu dipahami karena gejala-gejalanya selaku manifetasi dalam cara berpikir dan menyatakan sikap dalam rangka apa yang disebut ade’ atau adat mempunyai basis yang tak berbedabeda secara azasi. Semuanya berpangkalan pada dasar pandangan yang mirip kepada azas kemasyarakatan kekeluargaan yang berurat-berakar dalam kehidupan kebudayaan fonologis. Karena ade’ meliputi segala aktivitas kehidupan dalam masyarakat, maka ade’ yang paling penting dan yang meliputi kegiatan pemerintahan dan kekuasaan, yakni yang menyangkut hak dan kewajiban rakyat dan pemimpin dalam kehidupan kerajaan lokal di Sulawesi Selatan antara lain: Ade’ tana (tata negara), meliputi ade’ akuasang, ade mapparenta. Ade tana memuat hal-hal tentang penyelenggaraan kekuasaan dan pemerintahan yang berasas pada mangelle’ pasang-massolompawo (kekuasaan dari rakyat-pengayoman dari pemerintah) adalah asas kekuasaan dan pemerintahan yang bersifat kerakyatan. Untuk mengetahui dari mana asal atau sumber kekuasaan itu rujukanya adalah pada apa yang disebut ulu ada, yaitu perjanjian kekuasaan pemerintahan antara rakyat atau ulu anang dengan To Manurung. Rakyat memberikan wewenang kekuasaan pemerintah kepada To Manurung untuk diselenggarakan bagi kepentingan rakyat. Apabila kekuasaan berasal dari bawah, maka ia disebut mangelle 249
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
pasang (membentangkan air-pasang) dan pemimpin atau pemerintah menyalurkannya kembali untuk kepentingan rakyat, maka ia disebut massolompawo (mengalirkannya dari atas). Itulah asas kerakyatan atau demokrasi di Sulawesi Selatan menurut pangngadereng. Di samping ade’ tana atau ade’ wanua (tata negara) ada beberapa istilah ade’ dalam arti pranata masyarakat, antara lain: 1) Ade’ puraonro, adalah norma-norma fundamental yang sukar dirobah. 2) Ade’ abiaseng, atau ade’ assituruseng, adalah norma-norma yang lahir dari kebiasaan dan 3) Ade maraja, adalah semua ketetapan yang berasal dari rakyat, yang dijadikan pedoman penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh para pelaksana kekuasaan pemerintah. Dari ketiga ade’ tersebut, merupakan konkritisasi atau perwujudan dalam segenap tata tertib yang meliputi semua orang dalam bersikap dan bertindak di dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Maka itu berarti pula bahwa semua orang, keadaan dan benda yang terlibat di dalamnya adalah aspek ade’ adanya. Ade’ merupakan pemberian bentuk dalam wujud watak masyarakat dan kebudayaan serta orang-orang yang menjadi pendukungnya. Dengan kata lain, adat memberikan kepribadian masyarkat. Menurut R. Soepomo, dalam menggambarkan kepribadian masyarakat serta melukiskan jiwa perhubungan antara individu dengan masyarakat. Setelah beliau menggambarkan watak hukum Barat, beliau-beliau, hukum Barat adalah hasil dari kepribadian yang individualistis, hasil dari zaman individualisme, di mana individu merupakan pokok pangkal dari semua peristiwa hukum. Lain halnya hubungan antara individu dengan masyarakat dalam hukum adat, yakni masyarakat yang primer bukanlah individu, individu adalah alat hidup masyarakat demi mencapai tujuannya. Pernyataan hidup dari individu adalah terutama ditujukan guna menjalankan kewajiban-kewajiban demi masyarakat. Kewajibankewajiban kemasyarakatan di tempatkan sebagai fungsi yang sesuai dengan kodrat hidup manusia. Dari pendapat tersebut, dapatlah diperoleh kejelasan, bahwa hukum adat adalah bahagian dari ade’ bagi orang Bugis yang memberikan perwujudan pada kenyataan sosial dalam bentuk kolektif, di mana individu adalah sekunder dalam tujuan peranannya di tengahtengah keastuan masyarakatnya. Bicara adalah unsur atau bahagian dari pangngadereng yang bertalian dengan segala kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkutan paut dengan masalah peradilan. Ia dapat diartikan sebagai hukum acara, menentukan prosedur hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan kasusnya kepada pengadilan atau mengajukan penggugatan. Tentang kedudukan unsur bicara dalam kaitannya dengan pangngadereng, Mattulada menyebutkan bahwa bicara, selaku salah satu unsur pokok dari pangngadereng dengan sendirinya tak mungkin melepaskan dari pada landasan kejiwaan keseluruhan sistem. Karena itu, tak dapat dipisahkan secara tegas batas-batas kegiatan aspek dari aspek lainnya, tanpa menyinggung segi-segi lainnya yang akan tetap masuk-memasuki kegiatan integral hidup kemasyarakatan. Akan tetapi, sesuatu aspek karena sudah menyatakan diri dalam suatu simbol ucapan bicara, maka niscaya sejak dari awalnya telah menonjolkan segi-seginya yang khas dan mengambil peranan lebih kuat dari aspek-aspek lain dalam sistem yang bulat itu. Fakultas Hukum - UNISAN
250
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Aspek bicara dengan dengan demikian memiliki kedudukan yang khas di dalam mencari keadilan dan kebenaran di lingkungan masyarakat Sulawesi Selatan. Dengan bicara sebagai suatu aspek penting dalam kelangsungan hidup masyarakat Sulawesi Selatan, di dalam relisasinya harus pula berusaha mendekati keadilan berdasarkan kebenaran. Bicara dalam operasionalnya, sebagai tindakan repressif, harus berpijak pada keadaan obyektif. Oleh karena itu, menimbang sama berat dan sama ringannya kedua pihak yang bersangkut tentang saksi dan pendirian kedua pihak. Bicara bertujuan menetapkan kembali atau memulihkan yang benar. Sistem yang berlaku dalam bicara, dan ancaman-ancaman hukuman yang disediakan bagi tiatp-tiap pelanggaran atau kejahatan yang terjadi, maka timbul kesan bahwa ancaman-ancaman hukuman itu seolah-olah menjadi alat untuk menakuti-nakuti orang sehingga tak beranilah orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap pangngadereng. Dengan demikian, ancaman atau ketakutkanlah yang menyebabkan seseorang taat kepada pangngadereng. Akan tetapi apibila dilihat lebih jauh, bahwa ancaman-ancaman demikian berat dan kebanyakan tertuju kepada hukuman mati, atau pembuangan/pengusiran dan berlakunya asas legalitas, maka dapat dipandang bahwa ancaman hukuman bukan sekedar ancaman, melainkan suatu pernyataan bahwa yang bersalah, telah melepaskan diri dari sistem pangngadereng itu sendiri. Tidak lagi memiliki siri’ pada dirinya, sehingga hukuman yang dijalaninya akan diterimanya, dengan menerima hukuman itu sebagai kewajaran dan tanpa penyesalan, berarti ia menunujukan bahwa baginya masih ada harga diri yang menjadi unsur penting dalam siri’. Dengan mengalami hukuman itu dia merasa bahwa ia ikut menegakkan pangngadereng yang pernah dilanggarnya. Dalam penegakan keadilan hanya akan terwujud, jika ada lembaga pengawasan di dalam pelaksanaannya. Untuk pelaksanaan dan pembinaan bicara di dalam masyarakat, terdapat lembaga-lembaga pengawas seperti pabbicarae/ pabbicarayya. Mereka merupakan pejabat adat yang berfungsi sebagai hakim. Dalam menjalankan ketentuan-ketentuan bicara seperti tersebut di atas, maka pangngadereng menekankan adanya kesadaran dari setiap pelaksana kekuasaan pemerintah atau pelaksana kekuasaan peradilan, agar sebelum menjatuhkan hukuman, menyadari sedalam-dalamnya bahwa keputusan itu akan berguna bukan saja bagi penerima hukuman, melainkan juga akan berguna bagi orang lain. Oleh karena itu, para pelaksana kekuasaan, harus sanggup membebaskan diri dari perasaan senang, perasaan marah serta perasaan segan dalam melaksanakan kekuasaan peradilan terhadap siapapun, ia menghukum dengan kesadaran terhadap sesama manusia yang membimbingnya ke arah pelaksanaan kewajiban. Bahagian terpenting dalam pelaksanaan bicara, adalah daerah atau sanksi hukuman yang ditimpakan kepada para pembuat kejahatan atau kesalahan. Dalam Latoa sebagaimana yang dikemukakan Mattulada, yakni sebagai berikut: a. Ri-Uno (hukuman mati), dengan macam-macam jenisnya, sebagai berikut: 1. Uno sobbu (dibunuh sembunyi-sembunyi) 2. Ri ladung atau ri losoro (ditenggelamkan) 251
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
3. Ri rappa gajang (dihukum tikam beramai-ramai) 4. Ri pappuli (pembunuh dibunuh) 5. Ri pettu tigerro (hukuman pancung) Selaku tambahan, diikutsertakan anak keluarga penjahat itu memukul hukumanhukuman tambahan, seperti membayar denda, pemecatan dari jabatan resmi dan sebagainya. b. Pali’ (hukuman pengasingan), dengan jenisnya: 1) Ri paoppangi tana (pengasingan keluar negeri) 2) Ri suromeddek (persona non grata) c. Calla (hukuman deraan badan, dengan pukulan), dengan jenisnya: 1) Calla na pakkaroda (dera disertai umpatan) 2) Calla bawang (deraan badan saja) d. Rappa (hukuman sita), dengan jenisnya: 1) Rappa waramparang (sita harta benda) 2) Ri dosa (didenda) e. Ri rappung (hukuman tawanan) f. Ri balu (hukuman dijual) dengan jenis-jenisnya: 1) Balu ata (dijadikan ata oleh pembelinya) 2) Ri waramparangi (diberi pinjaman uang untuk menebus kesalah belum dihitung sebagai ata) Hukuman-hukuman tersebut di atas dapat dijatuhkan atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seseorang dengan ancaman hukuman mati, dan lain-lain, sesuai dengan berat ringannya kesalahan-kesalahan tersebut. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bicara adalah aspek repsesif dari pangngadereng yng diikuti dengan sanksi bagi para pelanggar pangngadereng. Sanksi-sanksi yang ditimpakan oleh bicara adalah kewajiban fitrah yang telah dipilih secara sadar yang telah melakukannya dan penguasa hanyalah alat pangngadereng untuk melaksanakan tun tutan fitrah itu, terlepas dari kepentingan atau perasaan pribadinya. Kedua (Rappang), Rappang juga adalah unsur atau bahagian dari pangngadereng, yang berarti contoh, perumpamaan, kias atau analog. Sebagai unsur atau bahagian dari pangngadereng. Maka rappang bertugas menjaga kepastian dan kesinambungan dari satu keputusan hukum tak tertulis dari masa yang lampau sampai sekarang, dengan kasus yang sedang berlangsung. Rappang juga berwujud sebagai perumpamaan-perumpamaan yang menganjurkan kelakuan ideal pemerintahan dan negara lain-lain kegiatan hidup. Rappang juga dihormati dan dihargai untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta ancaman terhadap keagamaan warga masyarakat. Adapun kandungan isi dari rappang, dilihat dari segi fungsinya, adalah : a. Stabilisator, karena memang sifat undang-undang untuk menjaga ketetapan, uniformitas dan kontinitas sesuatu tindakan dari wkatu ke waktu bahkan sampai kini. b. Membanding, dalam keadaan tidak ada atau belum ada norma-norma atau undangundang yang mengatur sesuatu, maka rappang diberi fungsi membanding atas sesuatu ketetapan di masa lampau yang pernah terjadi. Fakultas Hukum - UNISAN
252
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
c. Melindungi dengan membrikan batasan-batasan dalam bentuk pamali-pamali atau gangguan perseorangan, serta berfungsi melindungi seseorang dari gangguan keadaan berbahaya. Dengan demikian, unsur rappang ini sebagai kias atau perumpamaan kelakuankelakuan dan etika dalam lapangan hidup tertentu, seperti dalam lapangan kehidupan politik dan memerintah negara. Di samping itu juga rappang berwujud pandangan-pandangan sakral untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap keamanan seorang warga masyarakat. Dari segi kebudayaan, rappang berfungsi menciptakan kontuinitas dari suatu pola kehidupan yang telah membawa pembenaran dalam sejarah kehidupan dan memperkokohnya. Ia berarti memberikan ketegasan atas suatu sistem tertuntu dalam masyarakat yang sedang berlangsung dan dapat memberikan tentang latar belakang sistem yang berakar dalam pola kebudayaan itu. Sehubungan dengan fungsi rappang untuk memberikan kemungkinan buat mengemukakan perbandingan antara suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya agar dapat menemukan garis kebijaksanaan yang tetap,maka rappang mendorong orang untuk tidak berpandangan sempit. Oleh karena itu, maka pelajaran sejarah Sulawesi Selatan, digolongkan pada rappang sebagai suatu sure’ (sastra) yang dihormati. Rappang-lah yang dapat mempertemukan kerajaan-kerajaan untuk mengadakan hubungan persahabatn dan kekeluargaan. Hukum antara kerajaan diletakkan dalam bidang rappang dan kepandaian diplomasi termasuk lingkup rappang. Menyatakan pendapat atau buah pikiran yang sesuai dengan kebenaran masuk dalam lingkup rappang. Ketiga (Wari), Wari’ adalah unsur atau bahagian dari pangngadereng yang menata klasifikasi dari segala benda, peristiwa dan segenap aktivitas dalam kehidupan masyarakat, misalnya untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat, untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja dengan rajaraja dari negara lain, sehingga dapat ditentukan nama yang tua dan mana yang muda dalam tata upacara kerajaan atau kebesaran lainnya. Sehubungan dengan itu di dalam kehidupan kenegaraan ad yang disebut wari’ tana yang mengandung aturan pengaturan ketatanegaraan. Dengan demikian, wari’ tana mengandung aturan tata kekuasaan pemerintahan. Misalnya, bagaimana raja memperlakukan diri terhadap rakyatnya dan sebaliknya bagaimana rkyat memperlakukan diri terhadap rajanya. Juga dikenal wari’ assoajingeng/wari’ passibijaeng yang mengatur tata tertib dan menentukan garis keturunan dan gari kekeluargaan. Dalam wari’ inilah dibicarakan siapa menempati anak arung, siapa to maradeka dan ata, sehingga ia merupakan tata tertib tentang sendi-sendi pelapisan masyarakat. Dalam kehidupan kawin-mawin, wari’-lah yang memegang peranan penting. Di dalam pemahaman orang Sulawesi Selatan, apabila wari’ dikacaukan, maka tidak menentulah keturunan dan hubungan kekeluargaan di dalam masyarakat. Akibtanya, masyarakat menjadi kacau balau. Kemudian jug ada jenis wari’ yang menyangkut sistem tata hukum yang menentukan undang-undang atau hukum batal atau 253
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
berlakunya dilihat dari sudut materil dan formalnya yang disebut wari’ pangoriseng. Melihat makna dan fungsi wari’ dalam pangngadereng, maka tampaklah saling isi mengisi dalam satu aspek dan aspek lain dari pangngadereng, yaitu ade’, bicara, rappang dan wari’. Apabila ade’ berfungsi previntif dalam pergaulan hidup untuk menjag kelangsungan hidup masyarakat dan kebudayaan, bicara berfungsi repressif, untuk mengembalikan suatu pada tempatnya, rappang berfungsi sebagai stabilisator untuk menjaga kesinambungan pola peradaban, maka wari’ berperan dalam mengatur kompetensi masing-masing aspek, sehingga tidak bertubrukan satu sama lain. Wari’ memberikan ukuran keserasian dalam perjalanan hidup kemasyarakatan dalam pangngadereng secara keseluruhan. Keempat (Sara’), Sara’ adalah unsur atau bahagian dari pangngadereng yang ditetapkan setelah Islam diterima sebagai agam resmi dalam kerajaan. Diterimanya sara’ sebagai salah satu unsur di dalam pangngadereng. Maka pranata-oranata kehidupan sosial budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang tumbuh dari aspek-aspek pangngadereng, memperoleh warna baru yang lebih tegas. Sara menjadi padu sebagai aspek pangngadereng laninnya, ketaan mereka pada sara’ sama dengan ketaan mereka kepada aspek pangngadereng. Di dalam pengaturan sistem kehidupan, di kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, pelaksanaan sara’ di atur menurut organisasi ade’. Hal ini mewujudkan suatu pembagian lapangan pekerjaan. Sara’ mengatur kehidupan keagamaan dan ade’ mengatur kehidupan duniawi dan politik negara. Jika kita perhatikan unsur-unsur pangngadereng yang seperti dikemukakan diatas, maka nampak bahwa di dalamnya terdapat aturan-aturan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia di dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Aturan itu menyangkut ketika manusia lahir sampai berkembang menjadi manusia yang dewasa yang anggota masyarakatnya sampai kepada saat akhir hidupnya di dunia. Berdasarkan aturan-aturan yang terkandung di dalam setiap unsur pangngadereng, maka nampak dengan jelas manusia memiliki peranan penting dan aktif di dalam dunia relitas. Tentang hal ini, Hamid Abdullah menyatakan bahwa: Manusia bukanlah hanya menjadi obyek dalam kehidupan masyarakatnya. Manusia dapat menjatuhkan pilihan yang terbaik untuk memilih jalan hidupnya, asal tidak merugikan orang lain, atau bertentangan dengan norma yang berlaku dalam kehidupan masyrakat. Manusia dapat mengembangkan daya ciptanya, kebebasannya dan potensi yang terdapat di dalam dirinya. Kemudian di dalam kehidupan dunia realitas, martabat manusia menduduki posisi yang terhormat. Hak dan kewajibannya di jamin oleh penguasa dan keamanan hidupnya dilindungi. Dari sekian banyak peranan manusia yang telah ditentukan dalam pangngadereng yang terpenting adalah peranan aktifnya sebagai pengontrol kehidupan masyarakat. Peranan ini sangat penting artinya, karena kontrol ini mencakup hal kestabilan hidup dalam masyarakat, mengawasi tingkah laku pemimpin agar tidak menyeleweng dari tugas dan tanggung jawabnya, bahkan dapat pula memecat pimpinan apabila merugikan masyarakat. Jadi, peranan manusia merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari berlangsungnya pangngadereng dalam kehidupan dunia realitas. Fakultas Hukum - UNISAN
254
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Pangngadereng, memilki lima unsur: ade’, bicara, rappang, wari’ dana sara’. Semua itu diperteguh dalam satu pengikat yang mampu menopangnya, yaitu siri’. Ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam kelima unsur pangngadereng itu, maka kita akn menemukan pula empat hal yang oleh Mattulada disebut asas. Keempat asas itu adalah: a. Asas mappasilasa’e, diwujudkan dalam manifestasi ade’ terjadi keserasian dalm sikap dan tingkah laku manusia di dalam memperlakukan dirinya dalam pangngadereng. Di dalam tindakan-tindakan operasionalnya ia berfungsi sebagai pencegah atau tindakan penyelamatan. b. Asas mappasisaue, diwujudkan dalam manifestasi ade’ untuk menimpakan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Asas ini menyatakan adanya pedoman legalitas dan repsesif yang sangat konsekwen dijalankan. c. Asas mappasenrupae, diwujudkan dalam manifestasi ade’ untuk memelihara kesinambungan pola-pola yang sudah ada lebih dahulu guna stabilisasi perkembanganperkembangan yang muncul. Hal ini dinyatakan dalam rappang d. Asas mappalaiseng, diwujudkan dalam manifestasi ade’ untuk memberikan batasan yang jelas tentang hubungan antara manusia dan lembga-lembaga sosialnya, sehingga masyarakat terhindar dari ketiadaan ketertiban dan kekacau-balauan. Keempat asas yang disebut itu, masing-masing dikemukakan dalam berbagai bentuk aspek ideal pangngadereng. Keempatnya menyatakan diri dalam keseluruhan sistem untuk membangun pribadi-pribadi yang bertumpu pada harga diri manusia yang berwujud dalam konsep siri’. C. Faktor-Faktor Pendukung, Penghambat, dan Solusinya Adat merupakan keyakinan masyarakat Sulawesi Selatan, terhadap adatnya menasari segenap gagasannya mengenai hubungan-hubungannya, baik sesama manusia, dengan pranata-pratana sosialnya maupun dengan alam sekitarnya. Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam penyebaran agama Islam adalah persinggungannya dengan budaya-budaya asli dari daerah yang dituju. Seperti yang dipertanyakan oleh Von Frunebaum, “bagaimana mungkin agama yang bersumber dari daerah “asing” ini dapat dianggap oleh pemeluknya sebagai suatu yang telah terkaitn erat dengan tradisi mereka. Problema ini adlah hal yang wajar dalam proses akulturasi. Di sinilah tampak salah satu kedinamisan Islam sebagai agama universal. Islam sebagai agama mengandung tiga nilai yakni, Islam mengajarkan adanya kehidupan akhirat yang berkesinambungan dengan kehidupan sekarang ini, Islam mendidik pemeluknya untuk selalu menghayati dan mengamalkan norma-norma hukum dan moral sebagai proses peningkatan kualitas moral dan etika setiap individu yang memeluk Islam. Islam mengajarkan pula aturan-aturan dan cara-cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, selama pencapaian ketentuan yang sesungguhnya belum terpenuhi, maka selama itu pula pergumulan Islam dengan lingkungannya sendiri harus selalu berjalan. Jadi 255
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
proses pengislaman haruslah dilihat sebagai hal yang tanpa henti begitu juga pedalaman dan penghayatan terhadap ajaran Islam, atau pencarian bentuk yang lebih sesuai dengan ketentuan agama, sesungguhnya harus pula berjalan. Kenyataan yang di alami di Sulawesi Selatan memang begitulah tampaknya. Integrasi ajaran Islam ke dalam kehidupan bermasyarakat sangat cepat melalui aspek ubudiyah dari ajaran Islam. Budaya pra-Islam dijadikan media penyiaran Islam, bahwa berbagai pranata sosial diganti dan diisi jiwa Islam tampa menggoyahkan sendi-sendi masyarakat. Dengan demikian terjadilah suatu proses perubahan kebangsaan secara damai antara adat dan ajaran Islam.ulama yang dianggap terpandang dalam masyarakat diangkat menjadi Qadhi, untuk berdampingan dengan raja, khususnya di dalam mengurusi masalah atau urusan keagamaan. Keadaan ini menjadikan Islam semakin kokoh kedudukannya dan peranannya, baik dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan faktor pendukung tersebut, maka yang menjadi faktor penghambat dalam proses dan pertumbuhan dan perkembangan ajaran Islam yakni, adanya hal-hal yang menyangkut adat istiadat, yaitu pemujaan terhadap Arajang, pemberian sesajen kepada saukang dan pantasak sesudah panen. Kebiasaan yang berasal dari zaman pra-Islam dan hakekatnya bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu terdapat pula kepercayaan terhadap animisme, bahwa arwah leluhur juga mempunyai struktur sosial sebagaimana halnya manusia. Arwah yang menempati lapisan atas memiliki pengaurh yang paling menentukan kehidupan manusia. Dengan demikian, pemujaan terhadapnya dilakukan lebih serius dibanding dengan yang lainnya, karena itu arwah lapisan atas, mereka menamakannya dewa. Kepercayaan tersebut mereka aplikasikan dalam bentuk pemujaan terhadap kuburan dan tempat-tempat tertentu yang merek anggap sakral. Kelihatannya dapat terjadi berbagai pertentangan antara syariat Islam dengan pangngadereng. Akan tetapi sejak dari permulaannya telah dijaga agar perbedaan-perbedaan yang memungkinkan timbulnya pertentangan tidak terjadi dan agar sistem sosial tidak mengalami gangguan. Penjagaan itu rupanya dapat berhasil kerena semula, penyebaran agama Islam di lakukan atas prakarsa dan perlindungan kekuasaan raja-raja, sehingga perkembangan agama baru itu (Islam) memperoleh tempat yang layak dalam rangka perkembangan masyarakat dan kebudayaan seluruhnya yang disebut pangngadereng itu. Di masukannya sara’ sebagai salah satu unsur pangngadereng memungkinkan perbedaan-perbedaan itu dapat diperkecil pengaruhnya. Pejabat-pejabat sara’ (parewa sara’) dan pejabat-pejabat adat (parewa ade’) mempunyai kedudukan yang sama dalam pangngadereng, walaupun masing-masing jabatan itu mempunyai fungsi yang berlainan dan adakalanya dapat dipandang sebagai orang yang tertinggi kekuasaannya dalam pangngadereng adalah tempat untuk mendamaikan setiap perbedaan dan pertentangan. Dalam perkembangan berikutnya, pemujaan terhadap arajang dan kepercayan terhadap arwah-arwah, lambat laun diperkecil penyelenggaraannya. Tidak dapat disangkah bahwa pola-pola ajaran Islam membentuk jaringan-jaringan dalam pola budaya. Sejak masuknya Islam penerimaan dan penyebaran lebih lanjut kedalam masyarakat, yang ditandai Fakultas Hukum - UNISAN
256
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
dengan diberlakukannya syaria’at Islam dalam interaksi sosial dan menjiwai adat istiadat. Hukum syari’at Islam menjadi bagian dari tata nilai berdampingan dengan pangngadereng. Sara’ memasuki tindakan dan keputusan pangngadereng, serta memberi pedoman dan nafas terhadap ajaran Islam. Ditinjau dari kenyataan bahwa kedatangan Islam di suatu daerah tidaklah benar-benar mengancam landasan utama masyarakat. Sebagai pengganti unsurunsur budaya yang lenyap, maka unsur-unsur budayanya, tetapi intinya adalah bahwa mereka juga memberikan dimensi lain bagi pertentangan di dalam masyarakat. Adanya pertentangan di antara perubahan tradisi dan kebiasaan setempat dalam adat adalah dipersenyawakan oleh kotradiksi yang ada di dalam doktrin ajaran Islam dengan menyingkirkan pertentangan yang potensial, maka Islam dapat membentuk kembali pola nilai masyarakat. Dua sisi dalam struktur kebudayaan, yaitu sara’ dan pangngadereng menjalin hubungan saling kait berkait dalam kehidupan masyarakat. Struktur kebudayaan dapat di maksudkan terdiri atas sistem budaya, sistem sosial, dan sistem kepribadian. Tiga sistem tersebut merupakan struktur kebudayaan, dengan arti kata bahwa di dalam struktur terdiri atas norma-norma dan nilai ajaran Islam dan pangngadereng membangun struktur secara bulat dan terpadu dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan. III. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari pokok permasalahan di atas adalah Proses masuknya Islam di Sulawesi Selatan pada abad XVII Masehi sebagai agama resmi kerajaan, tetapi senelumnya terdapat perkembangan orang-orang Melayu yang beragama Islam di Makasssar. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XII yang bernama Karaeng Tunijallo (1565-1590), Baginda mendirikan masjid bagi pedagang-pedagang itu di Mangallekana (Somba Opu), tempta kediaman mereka di Makassar. Penerimann Islam di kerjaan BugisMakassar pada abad XVII Masehi tidak dapat dipisahkan dari peran yang dimainkan oleh Datuk ri Bandang, Datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Yang mengislamkan raja Gowa-Tallo adalah seorang ulama yang bernama Abdul Makmur Khatib Tunggal (Datuk ri Bandang) yang berasal dari Kota Tengah (Minangkabau-Sumatera). Ajaran yang beliau sebarkan ialah syariat. Beliau bernama dua orang temannya. Yang seorang adalah Khatib Sulaiman (Datuk Sulaiman), dialah yang mengislamkan Raja Luwu yang bernama La Patiware Daeng Parabbung dan memberikan gelar Sultan Muhammad. Teman Datuk ri Bandang yang lainnya bernama Khatib Bungsu yang mengajarkan Islam dengan jalan tasawuf di daerah Tiro. Islam dengan resmi masuk sebagai agama kerajaan Gowa-Tallo pada malam Jumat tanggal 9 Jumadil ‘Ula 1014 H. Atau 22 September 1605 M. Raja yang mula-mula masuk Islam adalah raja Tallo yang bernama I Mallingkaang Daeng Manynyonri, kemudian diberi gelar Sultan Awwalulu Islam, kemudian menyusul Raja Gowa yang bernama I Mangarrangi Daeng Manrabia, kemudian diberi gelar Sultan Alauddin. Salah satu peran yang cuckup besar yang dihasilkan oleh penyiar Islam dalam proses masuknya Islam di Sulawesi Selatan 257
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
adalah kemampuan mereka mengimplementasikan ajaran Islam ke dalam pangngadereng. Hal ini ditandai dengan masuknya Islam sebagai salah satu unsur pangngadereng. Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya sara’ sebagai bagian dari pangngadereng, maka pranatapranata kehidupan sosial budaya orang Bugis-Makassar memperoleh warna baru. Karena keataatan orang Bugis-Makassar terhadap sara’ sama dengan ketaatan mereka kepada aspekaspek pangngadereng lainnya. Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dapat didukung oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Sistem budaya dan kepercayaan pra-Islam ada persamaan dengan nilai yang dibawah oleh Islam, sehingga bentruran-benturan oleh antara budaya dengan ajaran Islam sebagai pendatang dapat dihindari, maka dengan mudah terbinanya integrasi nilai dari kedua unsur tersebut. 2. Sebelum Islam melembaga, sebahagian masyarakat sudah mengenal Islam lewat pedagang-pedagang muslim yang menetap di Sulawesi Selatan. 3. Pengaruh raja-raja terhadap rakyatnya sangat besar, sehingga penerimaan raja terhadap Islam mempercepat penyebaran Islam. 4. Terbentuknya pejabat agama (parewa sara’) yang diketahui oleh kali dan dibantu oleh imam, hkatib dan bilal mempunyai kedudukan yang sama dngan pejabat adat (parewaade’). 5. Pangngadereng yang merupakan norma kenegaraan yang terdiri dari ade, bicara, rapang dan wari’, setelah Islam masuk dan melembaga, maka sara’ melengkapi pangngadereng menjadi lima komponen. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik (ed). Agama dan perubahan Sosial. Cet. I: Jakarta: CV. Rajawali, 1989. ___________________. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995. Abidin, A. Zainal. Kapita Selekta Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press, 1981. _______________. Persepsi Orang Bugis-Makassar tentang Hukum Amanna Gappa. Ujungpandang: UNHAS, 1976 _______________. Butir-Butir Kata Berhikmat Negarawan-Negarawan Bugis-Makassar Tentang Kepeminpinan dan Pemerintahan dari Abad XV samapi abad XVIII, Di dalam Tentang Kepemimpinan dan Pemerintahan. Ujung Pandang: Kopertais VII, 1973. Abdullah Hamid. Manusia Bugis-Makassar; Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis-Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press, 1985. Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam, diterjemahkan oleh Hassan Ibrahim Hassan Fakultas Hukum - UNISAN
258
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
dengan judul al-Da’wah ‘lla al-Islam. Mesir: Al-Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyaj, 1976. Azis Syah, M. T. Lontarak Pattodioloang di Mandar. Ujung Pandang: YPK Taruna Remaja, 1993. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994. Balandicr, Georges. Antropologi Politi. Jakarta: Rajawali, 1986. Classen, H. M. J. Antropologi Politik Suatu Orientasi, diterjemahkan oleh R. G. Sukadio. Jakarta: Erlangga, 1987. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha Putra, tanpa tahun. Djamas, Nurhayati. Agama Orang Bugis. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama RI., 1998. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua; Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Daeng Patunru, Abdurrazak. Sejarah Gowa. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1976. De Franca, Antonio Pinto Portuguese Influence in Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1970. Departemen Agama RI. Perbandingan Agama, Jilid I. Jakarta: Direktoriat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1981. Dg. Mattata, Sanusi Luwu Dalam Revolusi. Makassar: tanpa penerbit, 1967. Dg. Patunru, Abdurrazak. Sejarah Bone. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1989. Friedericy, H.J. De Standen Bij De Boeginezen en Makassaren, 1933. Gongngong, Anhar. Abdul Qahhar Mudzakkar; dari Patriot Hingga Pemberontakan. Jakarta: Gramedia, 1992. Hamid, Abu. Syekh Yusuf, Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Hasjmy, A. Sejarah Masuknya dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: al-Ma’arif, 1989. Hanafi, A. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970. La Side, “Referensi Tentang Pengertian, Perkembangan Sirik pada Suku Bugis”, Makalah yang disampaikan di dalam Seminar Masalah Sirik di Sulawesi Selatan, tanggal 11-13 Juli 1977. Limpo, Syahrul Yasin. Profil Sejarah Budaya dan Pariwista Gowa. Makassar: Pemerintah Daerah Tingkat II Gowa, Kerjasama Dengan Yayasan Eksponen 66, tanpa tahun. Lontarana Sukuna Wajo, Proyek Naskah Universitas Hasanuddin. Mattulada, H. A. Islamisasi di Sulawesi Selatan. Dalam Taufik Abdullah (Ed.). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Press, 1983 ______________. Latoa; Suatu Lukisan Analistis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985 ______________. Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1998. 259
Fakultas Hukum - UNISAN
Integrasi Adat Istiadat
______________. “Bugis-Makassar Manusia dan Kebudayaan”. [Berita Antropologi]. Terbitan Khusus. No 16 Tahun VI, Juli 1974 _______________. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah. Bakti Baru: Berita Utama, 1982. Mukhlis (ed.). Dinamika Bugis-Makassar. Ujung Pandang: Pusat Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan YIIS, 1986. Mulyana, Slamet. Negara Kertagama dan Tafsir Sejarah. Jakarta: Brata Karya Abstrak, 1979. Noordyn. De Islaming van Makassar. Diterjemahkan dengan judul Islamisasi Makassar. Jakarta: Bhatara, 1972. ________. “Sejarah Agama Islam di Sulawesi Selatan”. Dalam WB. Sidja (Ed.). Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964. Patunru, Abd. Razak Daeng. Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1969. Rahim, H. A. Rahman. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis-Makassar. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1981. ___________________. Semangat Orang Bugis. Makasaar: Hasanuddin University Press, 1981. Rasdiyanah, Andi (Ed.). Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1982. Sewang, Ahmad M. Laporan Penelitian Islamisasi Kerajaan Gowa Abad VII. Makassar: IAIN Alauddin, 1997/1998. Soepomo, R. De Verhoulding Van Individu En Gemeonschap. Jakarta: tanpa penerbit, 1947. Sorokin, Patirim A. “Social Stratification” dalam Selo Sumardjan, Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekinomi UI., 1964 Sumardjan, Selo Sosiologi, Suatu pengantar. Jakarta: UI Press, 1981. Suryanegara, Ahmad Mansyur. Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Cet. II; Bandung: Mizan, 1995. Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali, 1983. Tiem Penelitian Lektur Keagamaan, Laporan Hasil Penelitian Tentang Masuknya Islam di SulawesiSelatan. Ujung Pandang: Balai Penelitian Lektur Keagamaan Ujung Pandang, 1988. Tim Penyusun Textbox. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1983/1984. Tjandrasasmita U. K. (Ed.). Sejarah Nasional III. Jakarta: Balai Pustaka, 1984 Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Hukum Syaria’ah. Jakarta: Haji Masagung, 1990. Zuhri, Zaifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: al-Ma’arif, 1981. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Mutiara Subur, 1995.
Fakultas Hukum - UNISAN
260
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
UCAPAN TERIMA KASIH Seluruh jajaran Dewan Redaksi Jurnal Hukum “JUSTITIA” Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Syamsul Bachrie, S.H., M.S. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. 2. Prof. Dr. Johan Jassing, S.H., M.H. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Gorontalo. 3. Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A. Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. 4. Dr. Samsul Halim, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UNISMUH) Palu. 5. Kadarudin, S.H., M.H., DFM. Dosen Luar Biasa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sulawesi Barat (UNSULBAR) Majene. Atas kerjasamanya sebagai Penyunting Ahli/Mitra Bestari dalam artikel yang telah dimuat dalam Jurnal Ilmu Hukum “JUSTITIA” Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo 2013-2014.
Fakultas Hukum - UNISAN
INDEKS PENGARANG (2013-2014) Alputila, M.J.__(2) 210-221 Anwar, I.__(1) 35-48 Beddu, S.__(1) 107-115 Darmawati.__(1) 83-99 Kadarudin.__(1) 1-15 Kasim, R.__(2) 222-236 Lobubun, M.¬¬__(1) 17-34 Mooduto, Z.S.__(1) 71-82 Mulyadi.__(2) 200-209 Munzir, I.__(2) 128-142 Nasir, M.__(1) 101-106 Noor, S.M.__(2) 116-126 Nur, R.__(1) 49-55 Pede, A.__(1) 57-69 Putra, M.A.A.__(2) 144-183 Rahmawati.__(2) 238-260 Rumkel, N.__(2) 184-198
INDEKS SUBJEK (2013-2014) Akibat Hukum Kopi Toraja.__(2) 128-142 Anak Pelaku Concursus.__(2) 144-183 Grasi Dalam Hukum Pidana.__(2) 210-221 Integrasi Adat Istiadat.__(2) 238-260 Okupasi Areal Tanah HGU.__(1) 107-115 Pembuktian Tindak Pidana.__(1) 71-82 Penangguhan Penahanan.__(2) 200-209 Penanggulangan Pelacuran Anak.__(1) 17-34 Pencegahan Kekerasan.__(1) 83-99 Pencucian Uang.__(2) 222-236 Penyalahgunaan Izin Keimigrasian.__(1) 35-48 Penyitaan Minuman Beralkohol.__(1) 57-69 Perlindungan Hak Masyarakat.__(1) 101-106 Persona Non Grata.__(1) 1-15 Prostitusi Anak.__(1) 49-55 Sengketa Perikanan.__(2) 116-126 Sistem Hukum Nasional.__(2) 184-198 Fakultas Hukum - UNISAN
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
JURNAL HUKUM
JUSTITIA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
Persyaratan Penulisan Jurnal Hukum “JUSTITIA” Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo memuat naskah yang berupa artikel konseptual dan hasil penelitian, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Artikel Konseptual Isi dalam kerangka konseptual dituangkan ke dalam sistematika penulisan yang berintikan pembahasan penulis yang berasal dari rumusan pokok permasalahan. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam penulisan artikel konseptual adalah: (1) Judul; (2) Nama penulis; (3) Abstrak dan kata kunci; (4) Bagian pendahuluan; (5) Bagian Inti atau pembahasan; (6) Penutup; (7) Daftar pustaka 2. Artikel Hasil Penelitian Unsur penulisan artikel hasil penelitian adalah: (1) Judul; (2) Nama penulis; (3) Abstrak dan kata kunci; (4) Bagian Latar Belakang; (5) Metode Penelitian (6) Hasil penelitian dan pembahasan; (6) Kesimpulan, (7) Saran; (8) Daftar pustaka
3. Format Naskah Naskah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Naskah harus memenuhi kaidah penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar; b. Naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia disertai abstrak berbahasa Inggris, dan naskah yang ditulis dalam bahasa Inggris disertai abstrak berbahasa Indonesia, abstrak maksimal 50 kata; c. Jumlah halaman artikel konseptual 10-20 halaman, artikel penelitian 20-30 halaman, diserahkan dalam bentuk printout dan softcopy; d. Kertas A4, Huruf Times New Roman, ukuran 12; e. Menggunakan spasi ganda; f. Pemuatan tabel dan grafik harus disertai sumber dan penomorannya; g. Tulisan yang diserahkan wajib disertai dengan bahan pustaka yang dibuat alpabetik (kecuali bagi penulis dengan reputasi nasional dan internasional, tulisan dibolehkan untuk tidak disertai bahan pustaka); dengan ketentuan sebagai berikut: i. Buku Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan], Tempat terbit, :, Penerbit, dan Tahun). Contoh: Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: Refika Aditama, 2010.
116
Fakultas Hukum - UNISAN
Persyaratan Penulisan
ii. Buku Berbahasa Inggris (Nama penulis [dibalik], Judul [ditebalkan dan dimiringkan], Tempat terbit, :, Penerbit, dan Tahun). Contoh: Kneebone, Susan, Refugees, Asylum Seekers and The Rule of Law, Comparative Perspective, UK: Cambridge University Press, 2009. iii. Jurnal Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkankan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman (hanya menuliskan angka halaman). Contoh: Rafika Nur, Pengaturan Self Determination Dalam Hukum Internasional, Studi Kemerdekaan Negara Kosovo, Jurnal Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Vol. I, No.1 Juli, (2013) : 87 iv. Jurnal Berbahasa Inggris (Nama penulis [dibalik], Judul [dimiringkankan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman (hanya menuliskan angka halaman). Contoh: Shiva, V., TRIPs, Human Rights and the Public Domain, The Journal of World Intellectual Property, Vol.7, No. 5 (2004) : 668-670. v. Website Berbahasa Indonesia dan Inggris (Nama penulis, Judul, Alamat website, Tanggal akses) Contoh: Lufsiana, Konflik Kewenangan Penegakan Hukum Perikanan, file:///F:/ Konflik-Kewenangan-Penegakan-HUKUM-PERIKANAN.aspx.htm, diakses 23 Nopember 2010. Stephen A. Hasen, A. S. and Vanfleet, W. J., Traditional Knowledge and Intellectual Property Rights: A Handbook on Issues and Option for TK Holder in Protecting Their IP and Maintaining Biological Diversity, in http://shr.aaas.org./tek/ handbook/handbook /pdf , accessed 12 March 2010 vi. Surat kabar dalam rubrik berita disebutkan hanya nama Surat Kabarnya dan tanggal terbitnya. Akan tetapi, surat kabar dalam rubrik opini disebutkan (Nama, Judul [ditebalkan], Opini Nama Surat kabar, Tempat terbit, dan Tahun). Contoh: Harian KOMPAS, 17 Oktober 2010 Arief Budiman, Menakar Sebuah Kepercayaan Publik, Opini pada Kompas, Jakarta, 2012. vii. Teknik kutipan yang digunakan adalah catatan badan (bodynotes). 4. Penyerahan Tulisan a. Tulisan dapat diserahkan langsung di Sekretariat Jurnal Hukum ”JUSTITIA” Fakultas Hukum Uiversitas Ichsan Gorontalo; atau b. Dikirim via-email ke :
[email protected] c. Setiap artikel yang diserahkan, harap mencantumkan alamat jelas Penulis (instansi dan e-mail). Fakultas Hukum - UNISAN
117
Jurnal Hukum JUSTITIA Vol. I, No. 2 Maret 2014
Fakultas Hukum - UNISAN