FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ANGGOTA KEPOLISIAN RESORT KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR
AL MUKHLAS FIKRI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor Risiko Obesitas Sentral pada Anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015 Al Mukhlas Fikri NIM I14110002
4
ABSTRAK AL MUKHLAS FIKRI. Faktor Risiko Obesitas Sentral pada Anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari faktor risiko obesitas sentral pada anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah subjek 50 orang. Subjek adalah polisi laki-laki yang bersedia untuk menjadi responden penelitian. Tempat penelitian dipilih secara purposive dengan pengambilan subjek secara accidental sampling. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari–Februari 2015. Berdasarkan uji korelasi pearson terdapat hubungan signifikan antara usia (p=0.02; r=0.423), pangkat (p=0.011; r=0.355), tingkat kecukupan lemak (p=0.01; r=0.360) dan aktivitas fisik (p=0.01; r=-0.363) dengan lingkar perut. Berdasarkan uji korelasi spearman terdapat hubungan antara status perkawinan (p=0.001; r= 0.513), ukuran keluarga (p=0.007; r=0.374) dengan lingkar perut. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lingkar perut dengan pendidikan terakhir, pengetahuan gizi, pendapatan, kebiasaan merokok, riwayat obesitas orang tua, tingkat kecukupan energi, protein dan serat (p>0,05). Berdasarkan uji regresi logistik, variabel yang berpengaruh signifikan yaitu tingkat kecukupan lemak (p=0.027; OR =1.181). Kata kunci : faktor risiko, obesitas sentral, polisi
ABSTRACT AL MUKHLAS FIKRI. Factors Affecting Central Obesity in The Police of Ogan Komering Ilir. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI. This research was aimed to study the risk factors of central obesity in The Police of Ogan Komering Ilir. The study design was cross sectional with 50 subjects. The subjects were policeman who were willing to be respondent. Place were selected purposively while subjects by accidental sampling. The research was conducted on January-February 2015. Pearson correlation test showed significant correlation between age (p=0.02; r=0.423), rank (p=0.011; r=0.355), the adequacy of fat (p=0.01; r =0.360), physical activity (p=0.01; r=-0.363) and waist circumference. Spearman correlation test showed significant correlation between marital status (p = 0.001; r=0513), family size (p=0.007; r=0.374) and waist circumference. There was no significant relationship between education level, nutritional knowledge, income, smoking, history of parental obesity, the adequacy of energy, protein, fiber and waist circumference (p>0.05). Logistic regression showed the variable that had a significant effect was the adequacy level of fat (p=0.027; OR=1.181). Key words : central obesity, police, risk factors
6
FAKTOR RISIKO OBESITAS SENTRAL PADA ANGGOTA KEPOLISIAN RESORT KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR
AL MUKHLAS FIKRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
8
Judul Nama NIM
: Faktor Risiko Obesitas Sentral pada Anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir : Al Mukhlas Fikri : I14110002
Disetujui oleh
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal lulus :
10
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 sampai Februari 2015 ini adalah obesitas sentral, dengan judul Faktor Risiko Obesitas Sentral pada Anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir. Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS selaku pembimbing akademik dan skripsi dan dr. Naufal Muharam Nurdin, S.ked, M.Si selaku dosen penguji. Penulis juga ucapkan terimakasih banyak kepada Ibu Siti Maryam dan Bapak Hatta serta Mareta, yang telah memeberikan dukungan yang luar biasa kepada penulis. Terimakasih kepada Kepolisan Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman Gizi Masyarakat 46,47,48 dan 49 yang telah menjadi keluarga penulis di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Imam Faqih sebagai orang yang secara tidak langsung mengkader saya, teman-teman Pongiz (Iqbal, Gagah, Sahl, Panji, Ijul dan Ahsan) sahabat SMA (Luki, Aby, Rike, Misbah, Juai dan Rani), Kantin Gizi Ceria dan BPH Kadiv HIMAGIZI (Kustarto, Ajeng, Dora, Dyas, Yuni, Nisfa, Vieta, Anggar, Nisya, Ina, Ifah) teman-teman Cebong (Lutfi, Andi dan Agus) dan adik saya Yusuf Malik. Terimaksih atas segala bantuannya dan semangatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang
iv iv 1
Tujuan Penelitian
2
Hipotesis
3
Manfaat
3
1
4 6
KERANGKA PEMIKIRAN METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
6
Jumlah dan Cara Pemilihan Subjek
6
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
6
Pengolahan dan Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Polres Resort Ogan Komering Ilir
12
12
Karakteristik Subjek
13
Kebiasaan Merokok
20
Pola Konsumsi Pangan
21
Tingkat Kecukupan Gizi
24
Aktivitas Fisik
28
Riwayat Berat Badan
29
Hubungan Karakteristik Subjek, Kebiasaan Merokok, Pola Konsumsi Pangan, Tingkat Kecukupan Gizi dan Aktivitas Fisik dengan Lingkar Perut
30
Faktor Risiko Obesitas Sentral
35
SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
36 38 44
iv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Jenis dan cara pengumpulan data Cara pengkategorian variabel penelitian Sebaran subjek berdasarkan pangkat Sebaran subjek berdasarkan usia, pendidikan terakhir, status perkawinan dan ukuran keluarga 5 Sebaran subjek berdasarkan divisi kerja 6 Sebaran subjek berdasarkan pangkat 7 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan 8 Sebaran subjek berdasarkan pengetahuan gizi 9 Sebaran subjek berdasarakn kategori IMT 10 Sebaran subjek berdasarkan tingkat obesitas sentral 11 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok 12 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan 13 Frekuensi konsumsi makanan berisiko 14 Tingkat kecukupan energi 15 Sebaran subjek berdasarkan kategori kecukupan energi 16 Tingkat kecukupan protein 17 Sebaran subjek berdasarkan kategori kecukupan protei 18 Tingkat kecukupan lemak 19 Sebaran subjek berdasarkan kategori tingkat kecukupan lemak 20 Tingkat kecukupan serat subjek 21 Tingkat aktivitas fisik subjek 22 Sebaran subjek berdasarkan tingkat aktivitas fisik 23 Sebaran subjek obesitas sentral berdasarkan riwayat obesitas orang tua 24 Faktor risiko obesitas sentral
7 10 12 13 15 16 17 18 18 19 20 22 23 24 25 25 26 26 27 27 28 28 29 36
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil Korelasi Karakteristik Subjek, Kebiasaan Merokok, Pola Konsumsi Pangan, Tingkat Kecukupan Gizi dan Aktivitas Fisik dengan Lingkar Perut 44 2 Hasil uji beda tingkat kecukupan energi, protein, lemak, serat, aktivitas fisik, dan kebiasaan konsumsi makanan berisiko antara subjek obesitas sentral dan normal 49
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah gizi ganda. Belum selesai dengan masalah gizi kurang, masalah gizi lebih kian meningkat. Berdasarkan Riskesdas (2013) balita pendek di Indonesia mencapai 37.2% dan underweight 19.6%. Namun di sisi lain berdasarkan sumber yang sama, prevalensi gizi lebih pada kelompok usia dewasa telah mencapai 26.3%. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan data Riskesdas (2010) dimana prevalensi gizi lebih di Indonesia baru mencapai 21.7%. Gizi lebih tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan saja melainkan juga pada masyarakat pedesaan dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah. Indonesia sendiri saat ini menempati peringkat sepuluh sebagai negara dengan angka obesitas terbesar di dunia (Gakidou et al. 2014). Obesitas merupakan kondisi dimana tubuh mengalami kelebihan lemak yang mengakibatkan berat badan berlebih. Pengukuran obesitas didasarkan pada indeks massa tubuh (IMT) yang memiliki korelasi kuat terhadap proporsi lemak (WHO 2000). Indeks massa tubuh merupakan perbandingan antara berat (kg) dan kuadrat tinggi badan (m). Badan yang terlalu gemuk cenderung membuat tubuh sulit untuk bergerak sehingga dapat menurunkan produktifitas dan meningkatkan biaya untuk pemeliharaan kesehatan (Colditz 1992). Timbunan lemak yang berlebih berisiko tinggi terkena penyakit kardiovaskular dan sindrom metabolik (Abbasi et al. 2013). Benotti et al. (1992) menemukan bahwa obesitas dapat meningkatkan workload dan hipertensi sehingga memicu terjadinya hipertrofi jantung. Menurut WHO (2000), obesitas merupakan masalah gizi kronis yang memerlukan waktu cukup panjang dalam pencegahan dan menejemennya. Obesitas bukan hanya masalah tunggal melainkan dalam penanganannya memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Jenis obesitas berdasarkan distribusi lemak dibedakan menjadi dua, yaitu obesitas umum dan obesitas sentral. Prevalensi obesitas sentral di Indonesia kian meningkat. Menurut Riskesdas (2013), obesitas sentral mencapai 26.6%, meningkat jika dibandingkan dengan data Riskesdas (2010) sebesar 18.8%. Banyak studi yang telah menjelaskan bahwa obesitas sentral lebih berisiko terhadap kesehatan dibandingkan dengan obesitas umum. Obesitas sentral merupakan prediktor yang kuat terhadap kejadian diabetes tipe 2 (Wang et al. 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Lee et al. (2007) menemukan bahwa obesitas sentral memiliki hubungan terhadap kejadian aterosklerosis akibat penumpukan lemak viseral di bagian perut. Lemak viseral tepat berada di atas organ perut dan langsung berhubungan dengan vena porta. Lemak viseral relatif resisten terhadap kerja insulin. Semakin banyak jumlah lemak viseral semakin tinggi kemungkinan seseorang mengalami resistensi insulin. Hasil serupa juga ditemukan oleh KohBanerjee et al. (2003), bahwa obesitas sentral merupakan faktor risiko dari total mortality, coronary heart diseases dan stroke.
2
Pertambahan lingkar perut dapat disebabkan oleh peningkatan asupan lemak trans, rendahnya asupan serat, merokok, rendahnya aktivitas fisik (KohBanerjee et al. 2003), rendahnya konsumsi sayur dan buah (Newby et al. 2003). Studi cohort yang dilakukan oleh Guallar-Castillón et al. (2007) juga menemukan bahwa konsumsi fried food yang berlebih dapat meningkatkan jumlah asupan energi dan berisiko meningkatkan kejadian obesitas sentral. Risiko obesitas sentral akan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Hal ini berkaitan dengan menurunnya aktivitas fisik dan degenerasi fungsi-fungsi organ tubuh. Menurut Dekkers et al. (2004), penumpukan lemak di bagian perut dipengaruhi oleh jenis kelamin, status sosial ekonomi, usia namun tidak dipengaruhi oleh ras. Obesitas tidak hanya terjadi pada masyarakat sipil. Anggota kepolisian juga banyak yang mengalami obesitas terutama obesitas sentral. Fenomena berat badan berlebih pada polisi mulai terlihat ketika polisi tersebut selesai melaksanakan pendidikan kepolisian. Prevalensi obesitas pada polisi di Amerika mencapai 40.5%. Kejadian obesitas pada polisi dapat disebabkan oleh ketidakteraturan jam tidur, tingkat stres yang tinggi dan pola makan yang tidak sehat (Takushi 2014). Hal yang sama juga terjadi pada anggota kepolisian di Indonesia. Banyak polisi terkena sanksi akibat berat badan dan lingkar perut yang tidak ideal. Hal inilah yang menjadi latar belakang peneliti menjadikan polisi sebagai subjek penelitian. Menurut UUD 1945 pasal 30 (4), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Tugas lebih lanjut Polri ditetapkan berdasarkan UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Agar dapat menjalankan tugas dengan baik, anggota kepolisian harus menjaga kondisi tubuh terutama status gizi agar tetap berada dalam kondisi ideal. Saat ini peningkatan aktivitas fisik telah dilaksanakan untuk menurunkan berat badan anggota polisi yang berlebih. Namun penelitian terkait upaya-upaya preventif terhadap masalah tersebut belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui penyebab-penyebab terjadinya obesitas sentral pada anggota kepolisian.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor risiko obesitas sentral pada anggota Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Ogan Komering Ilir. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir, meliputi : usia, pangkat, pendapatan, pendidikan, pengetahuan gizi dan ukuran keluarga. 2. Menganalisis pola konsumsi pangan anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir, meliputi : jenis pangan, frekuensi konsumsi pangan, jumlah konsumsi pangan dan tingkat kecukupan energi, protein dan lemak.
3
3. 4.
Menilai aktivitas fisik anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir. Menganalisis faktor risiko obesitas pada anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir
Hipotesis H0
H1
: Konsumsi pangan yang berlebih (TKE, TKP, TKL berlebih), asupan serat rendah, kurangnya aktivitas fisik, riwayat obesitas orang tua dan usia bukan merupakan faktor risiko obesitas sentral pada anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir. : Konsumsi pangan yang berlebih (TKE, TKP, TKL berlebih), asupan serat rendah, kurangnya aktivitas fisik, riwayat obesitas orang tua dan usia merupakan faktor risiko obesitas sentral pada anggota Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Manfaat Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi terutama kepada Polres Kabupaten Ogan Komering Ilir tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas sentral pada anggtoa kepolisian. Hal ini dapat menjadi bahan evaluasi dan rekomendasi dalam program kebugaran dan kesehatan anggota Polri. Harapannya dapat membantu kepolisian dalam menjaga status kesehatan para anggotanya sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerja. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam mengetahui hal-hal yang dapat menimbulkan kegemukan, sehingga masyarakat dapat memilih pola hidup yang sehat yang pada akhirnya dapat mempertahankan dan mencapai status gizi ideal.
4
KERANGKA PEMIKIRAN Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah gizi ganda. Disamping gizi kurang yang belum terselesaikan, prevalensi gizi lebih terus meningkat setiap tahunnya. Obesitas atau kelebihan berat badan dapat dijumpai dari balita hingga lansia (Riskesdas 2013). Obesitas bukan hanya menjadi masalah masyarakat golongan atas saja melainkan juga masyarakat dengan golongan ekonomi menengah ke bawah. Sebanyak satu dari lima orang dewasa di Indonesia mengalami obesitas sentral. Risiko obesitas sentral terus meningkat apabila tidak ada upaya untuk pencegahan lebih lanjut. Ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan menjadi masalah utama terjadinya penumpukan lemak berlebih di tubuh. Asupan yang berlebih dapat disebabkan oleh frekuensi makan yang terlalu sering atau pola konsumsi pangan yang tidak seimbang. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa konsumsi pangan tinggi energi dan rendahnya kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah dapat meningkatkan risiko obesitas. Makanan-makanan yang tinggi energi biasanya merupakan makanan yang berlemak dan memiliki rasa yang manis (GuallarCastillón et al. 2007). Kaitan konsumsi sayur dan buah dengan risiko obesitas adalah jumlah asupan serat. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa konsumi serat yang cukup mampu membantu pemeliharaan berat badan agar tetap ideal. Selain pola konsumsi pangan, gaya hidup juga mempengaruhi risiko seseorang terkena obesitas. Aktivitas fisik yang kurang dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak di tubuh. Ganggauan keseimbangan energi juga dipengaruhi oleh kebiasaan merokok. Faktor genetik merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi terhadap kejadian obesitas pada seseorang. Orang dengan riwayat keluarga obes memiliki kecenderungan untuk terkena obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Disamping faktor risiko yang telah disebutkan di atas, karakteristik subjek juga menjadi faktor yang ikut menentukan kejadian obesitas pada seseorang. Karakteristik yang dimaksud seperti usia, jenis kelamin, pengetahuan gizi, pendapatan, pendidikan, ukuran keluarga dan status perkawinan. Usia yang semakin tua mengakibatkan kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik dan fungsi organ semakin menurun sehingga memicu kejadian obesitas. Laki-laki memiliki kecenderungan untuk menyimpan lemak di bagian abdomen. Faktor-faktor lain seperti pengetahuan, pendapatan, pendidikan dan ukuran keluarga menjadi faktor risiko yang juga diteliti oleh peneliti. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambar pada skema Gambar 1.
5
Karakteristik subjek Usia Jenis kelamin Jabatan Pengetahuan gizi Pendapatan Pendidikan Ukuran keluarga Status perkawinan
Pola konsumsi pangan Frekuensi makan sehari Kebiasaan konsumsi sayur dan buah Asupan energi, protein dan lemak
Gaya hidup Kebiasaan merokok Aktivitas fisik
Faktor keturunan Status gizi orang tua
Tingkat kecukupan energi, protein dan lemak
Obesitas sentral Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor risiko obesitas pada anggota Kepolisian Resort Kab. Ogan Komering Ilir : Variabel yang diteliti : Hubungan yang diteliti : Hubungan yang tidak diteliti
6
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) yaitu di Kepolisian Resort Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan atas pertimbangan prevalensi obesitas sentral di Sumatera Selatan meningkat sangat cepat. Sumsel merupakan provinsi dengan prevalensi obesitas sentral paling kecil pada tahun 2007 namun pada tahun 2013 prevalensi obesitas sentral di Sumsel telah melebihi angka 20% (Riskesdas 2013). Pertimbangan lainnya adalah kemudahan akses karena dekat dengan tempat tinggal peneliti. Pengambilan sampel secara accidental sampling. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2015.
Jumlah dan Cara Pemilihan Subjek Populasi dalam penelitian ini adalah anggota Polres Kabupaten Ogan Komering ilir. Sampel penelitian adalah anggota polisi yang memiliki status gizi obes sentral dan normal. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu 1) laki-laki dewasa 2) bersedia untuk menjadi subjek penelitian. Adapun kriteria eksklusinya adalah mengisi kuisioner tidak lengkap. Prevalensi obesitas sentral pada anggota kepolisian di Indonesia belum banyak diketahui. Peneliti melakukan pendekatan dengan menggunakan data obesitas sentral Riskesdas (2013) yaitu 26.6%. Penentuan jumlah minimal sampel menggunakan rumus berikut (Lwanga dan Lemeshow 1991).
n
z
1 / 2
P (1 P ) z 1 ( P1 P )
P1 (1 P1 )
2
2
n Z1-α/2 Z1-β P P1 P-P1
= besar sampel minimum = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α = 0,05 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β = 0,2 = proporsi di populasi (P=26,6%) = perkiraan proporsi di populasi yang diteliti (P1 = 10%) = perkiraan selisih proporsi yang diteliti dengan proporsi di populasi Berdasarkan rumus, jumlah sampel minimal yang dibutuhkan sebanyak 46 orang. Untuk menghindari terjadinya drop out, ditambahkan 10% sehingga menjadi 51 sampel.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan yaitu data primer. Data primer tersebut meliputi karakteristik subjek (usia, pangkat, jenis kelamin, pengetahuan gizi, pendapatan, pendidikan, ukuran keluarga dan status perkawinan), status gizi (berat badan, tinggi
7
badan dan lingkar perut), pola konsumsi pangan (jenis, frekuensi, jumlah konsumsi pangan), aktivitas fisik subjek, tingkat kecukupan gizi dan riwayat obesitas orang tua. Secara singkat, jenis dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 1, sedangkan kuisioner disajikan pada Lampiran 3. Kuisioner diadopsi dari kuisioner yang dikembangkan oleh Firdaus (2014). No 1
2
3
4
5
6
7
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data Variabel Jenis data Cara pengumpulan data Karakteristik subjek Primer - Usia Wawancara dengan kuisioner - Jabatan Wawancara dengan kuisioner - Jenis kelamin Wawancara dengan kuisioner - Pengetahuan gizi Wawancara dengan kuisioner - Pendapatan Wawancara dengan kuisioner - Pendidikan Wawancara dengan kuisioner - Ukuran keluarga Wawancara dengan kuisioner - Status perkawinan Wawancara dengan kuisioner Status gizi Primer - Berat badan Pengukuran dengan timbangan injak - Tinggi badan Pengukuran dengan microtoice - Lingkar perut Pengukuran dengan pita Pola konsumsi pangan Primer - Jenis pangan FFQ semikuantitatif - Jumlah pangan FFQ semikuantitatif - Frekuensi konsumsi FFQ semikuantitatif Kebiasaan merokok Primer - Jumlah rokok yang Wawancara dengan kuisioner dihisap subjek - Lama merokok Wawancara dengan kuisioner Aktivitas fisik Primer Kuisioner recall activity 2x24 - Jenis dan durasi hours kegiatan Tingkat kecukupan gizi Primer - Jumlah dan jenis Kuisioner Recall konsumsi konsumsi pangan pangan 2x24 jam dalam sehari Riwayat obesitas orang Primer Wawancara dengan kuisioner tua
Semua data karakteristik subjek didapat dengan melakukan wawancara. Variabel status gizi diketahui dengan mengukur berat badan, tinggi badan dan lingkar perut. Berat badan dan tinggi badan digunakan untuk menghitung indeks massa tubuh subjek (IMT) menurut WHO 2000 sedangkan lingkar perut digunakan untuk mengetahui status obesitas sentral pada subjek. Berat badan subjek diukur langsung dengan menggunakan timbangan injak dengan ketelitian 0.1 kg, dan pengukuran tinggi badan menggunakan microtoice dengan ketelitian 0.1 cm.
8
Adapun lingkar perut juga diukur langsung menggunakan pita pengukur yang tidak meregang. Pengukuran obesitas sentral dengan menggunakan lingkar perut lebih direkomendasikan daripada rasio pinggang dengan lingkar pinggul. Hal ini menurut Wang et al. (2005), terkait dengan kemampuan untuk memprediksi diabetes tipe 2. Pola konsumsi pangan subjek diketahui dengan menggunakan Food Frequency Questioner (FFQ) semi kuantitatif. Wawancara juga dilakukan untuk mengetahui kebiasaan merokok dan riwayat obesitas orang tua. Untuk aktivitas fisik, disediakan formulir tersendiri, meliputi : alokasi waktu dan jenis kegiatan selama 2 x 24 jam yaitu hari dinas dan hari libur. Untuk mengukur tingkat kecukupan gizi, jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi menggunakan food recall 2x24 hours. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh kemudian disajikan ke dalam bentuk tabel untuk dilakukan analisis deskriptif dan inferensia. Uji Kolmogorov-smirnov digunakan untuk melihat normalitas data hasil penelitian. Uji korelasi spearman dan pearson digunakan untuk melihat hubungan antara usia, pengetahuan gizi, pendapatan, pendidikan, kebiasaan merokok, asupan zat gizi, aktivitas fisik, ukuran keluarga dan status perkawinan dengan obesitas sentral. Uji korelasi juga digunakan untuk mengetahui hubungan antara riwayat obesitas orang tua dengan obesitas sentral. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui nilai faktor risiko variabel independen terhadap variabel dependen. Seluruh variabel yang diduga sebagai penyebab obesitas sentral dimasukkan ke dalam uji logistic regression. Data usia yang diperoleh melalui wawancara diklasifikasikan menjadi dua yaitu usia <45 tahun dan usia ≥45 tahun. Pengelompokan ini didasarkan penelitian yang dilakukan oleh Triwiarto et al. (2012), bahwa terjadi peningkatan risiko obesitas setelah berusia 45 tahun. Begitupun dengan data pendidikan terakhir yang diklasifikasikan menjadi dua yaitu SMA/sederajat dan perguruan tinggi (Dahlianti et al. 2005). Data besar keluarga dan pendapatan subjek didapatkan melalui metode wawancara, besar keluarga dikategorikan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥ 7 orang) (BKKBN 1997). Data pengetahuan gizi diperoleh dengan memberikan sebanyak sepuluh pertanyaan pilihan ganda terkait gizi. Skor maksimal sebesar 100 dimana masingmasing pertanyaan bernilai 10. Subjek dikatakan memiliki pengetahuan gizi baik apabila dapat menjawab pertanyaan ≥80%. Apabila subjek hanya mampu menjawab pertanyaan dengan benar sebanyak 60-80% maka subjek dikategorikan memiliki pengetahuan gizi cukup. Namun, jika subjek hanya mampu menjawab pertanyaan dengan benar ≤60% maka subjek dikategorikan memiliki pengetahuan gizi kurang (Khomsan 2000). Data status gizi subjek ditentukan dengan menggunakan metode IMT. Variabel yang digunakan berupa berat badan dan tinggi badan. Rumus perhitungannya sebagai berikut. 𝐼𝑀𝑇 =
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔) [𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)]2
9
Hasil perhitungan IMT dikategorikan berdasarkan rentang tertentu. IMT kurang dari 18.5 disebut kurus, 18.5-24.9 disebut normal, 25-29.9 overweight dan lebih dari 30 dikategorikan ke dalam obes (WHO 2000). Lain halnya dengan cara mengukur obesitas sentral, subjek dikatakan obesitas sentral apabila untuk laki-laki lingkar perut lebih dari 90 cm dan perempuan lebih dari 80 cm (WHO 2000). Data pendapatan subjek per bulan berdasarkan Sekretariat Kabinet Republik Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi Rp. 1-2 juta, Rp. 2-3 juta, Rp. 3-4 juta, Rp. 4-≤ 5 juta, dan Rp. > 5 juta (Setkab RI 2013). Data kebiasaan merokok diperoleh dari hasil jawaban wawancara pada kuisioner. Pengkategorian tipe perokok didasarkan pada jumlah rokok .Menurut Cahyono (2012), jika jumlah rokok yang dihisap per hari yaitu kategori ringan jika ≤ 10 batang, sedang 11-20 batang, dan berat ≥ 21 batang. Data konsumsi pangan didapat dengan menggunakan hasil wawancara food recall 2x24 hours dan FFQ. Jenis pangan yang dicatat dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT) kemudian dikonversikan ke dalam satuan gram. Jumlah zat gizi masing-masing pangan dihitung dengan menggunakan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Rumus yang digunakan sebagai berikut. 𝐾𝐺𝑖𝑗 = 𝐵𝐷𝐷/100 × 𝐺𝑖𝑗 × 𝐵𝑗/100 Keterangan : KGij = Kandungan gizi i pada pangan j BDD = Berat dapat dimakan Gij = kandungan zat gizi i pada pangan j dalam DKBM Bj = berat pangan j Pengukuran tingkat kecukupan gizi (TKG) diperoleh dengan membandingkan jumlah asupan gizi dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang sudah disepakati berdasarkan WNPG 2012. Rumus yang digunakan sebagai berikut. 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑠𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑔𝑖𝑧𝑖 𝑖 𝑇𝐾𝐺𝑖 = × 100% 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑘𝑒𝑐𝑢𝑘𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑔𝑖𝑧𝑖 𝑖 Tingkat kecukupan tersebut kemudian dikategorikan sebagai berikut : 1. Defisit berat : <70% AKG 2. Defisit sedang : 70-79% AKG 3. Defisit ringan : 80-89% AKG 4. Normal : 90-109% AKG 5. Kelebihan : ≥110% AKG Tingkat aktivitas fisik ditentukan berdasarkan hasil recall activity 2x24 jam yang terdiri dari hari libur dan hari dinas kerja. Variabel aktivitas fisik dinyatakan dalam physical activity level dengan rumus sebagai berikut. ∑𝑃𝐴𝑅 × 𝑎𝑙𝑜𝑘𝑎𝑠𝑖 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑃𝐴𝐿 = 24 𝑗𝑎𝑚 Keterangan: PAL = Physical Activity Level (Tingkat aktivitas fisik) PAR = Physical Activity Ratio (Jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktivitas per satuan waktu tertentu) Kategori menurut (FAO/WHO/UNU 2001) 1. Ringan (1.40 ≤ PAL ≤ 1.69) 2. Sedang (1.70 ≤ PAL ≤ 1.99) 3. Berat (2.00 ≤ PAL ≤ 2.39)
10
No 1 2
3
4. 5.
6. 7.
8.
9. 10.
11.
12.
13. 14. 15. 16.
Tabel 2 Cara pengkategorian variabel penelitian Variabel Kategori Pengukuran Usia 1. ≤45 tahun 2. ≥45 tahun Pengetahuan gizi (Khomsan 2000) 1. Rendah (< 60%) 2. Sedang (60-80%) 3. Tinggi (> 80%) Pendapatan 1. Rp. 1-2 juta (Sekretariat Kabinet Republik2. Rp. 2-3 juta Indonesia 2013) 3. Rp. 3-4 juta 4. Rp. 4-≤ 5 juta 5. Rp. > 5 juta Pendidikan (Dahlianti et al. 2005) 1. SMA/Sederajat 2. Perguruan Tinggi Ukuran keluarga (BKKBN 1997) 1. Kecil (≤ 4 orang) 2. Sedang (5-6 orang) 3. Besar (≥ 7 orang) Status perkawinan 1. Belum kawin 2. Sudah kawin Status gizi (WHO 2000) 1. Kurus (IMT < 18.5) 2. Normal (18.5 ≤ IMT < 25.0) 3. Overweight (25.0 ≤ IMT < 30.0) 4. Obesitas (IMT ≥ 30.0) Kebiasaan merokok (Cahyono 1. Ringan (≤ 10 batang/hari) 2012) 2. Sedang (11-20 batang/hari) 3. Berat (≥ 21 batang/hari) Riwayat obesitas orang tua 1. Ya 2. Tidak Aktivitas Fisik (FAO/WHO/UNU 1. Rendah (1.40 ≤ PAL ≤ 1.69) 2001) 2. Sedang (1.70 ≤ PAL ≤ 1.99) 3. Tinggi (2.00 ≤ PAL ≤ 2.39) Tingkat kecukupan energi dan 1. Defisit Berat (< 70%) protein (Hardinsyah et al. 2002) 2. Defisit Sedang (70-79%) 3. Defisit Ringan (80-89%) 4. Normal (90-109%) 5. Berlebih (≥ 110%) Tingkat kecukupan lemak 1. Cukup (20-30% kecukupan (Hardinsyah dan Tambunan dalam energi) WNPG VIII 2004) 2. Berlebih (> 30% kecukupan energi) Frekuensi makan sehari 1. 1-2 kali/hari 2. 2-3 kali/hari Kebiasaan konsumsi makanan 1. Ya berlemak 2. Tidak Kebiasaan konsumsi makanan 1. Ya manis 2. Tidak Kebiasaan konsumsi fast food 1. Ya 2. Tidak
11
Defenisi Operasional Subjek adalah pria dewasa yang memiliki pekerjaan sebagai polisi dan memenuhi kriteria inklusi Obesitas sentral adalah kondisi distribusi lemak tidak normal dimana ukuran perut laki-laki >90 cm dan perempuan >80 cm. Karateristik subjek adalah sifat, ciri, atau hal-hal yang melekat pada subjek yang meliputi, berat badan, tinggi badan, lingkar perut, usia, jenis kelamin, pendapatan, pengeluaran, pendidikan, pengetahuan gizi dan ukuran keluarga. Berat badan adalah nilai yang didapat dari hasil penimbangan berat tubuh dalam satuan kilogram. Tinggi badan adalah ukuran panjang badan yang diukur dengan menggunakan microtoice dalam satuan cm. Lingkar perut adalah ukurang keliling perut yang diukur dengan menggunakan pita ukur dalam satuan cm. Usia adalah lama hidup subjek terhitung sejak hari pertama dilahirkan. Pendidikan adalah kegiatan edukasi formal yang pernah didapatkan oleh subjek. Pendapatan adalah jumlah uang yang didapat subjek baik digunakan untuk konsumsi harian atau ditabung Pengetahuan gizi adalah tingkat kognitif subjek terkait gizi. Ukuran keluarga adalah besaranya keluarga yang dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga. Status perkawinan adalah status yang menunjukan bahwa subjek telah resmi menikah atau belum. Pola konsumsi pangan adalah kebiasaan konsumsi pangan subjek yang meliputi jumlah dan jenis pangan. Jumlah pangan adalah ukuran berat pangan yang dikonsumsi oleh subjek. Jenis pangan adalah macam pangan yang dikonsumsi oleh subjek. Frekuensi konsumsi adalah tingkat keseringan konsumsi suatu pangan oleh subjek baik dalam minggu, bulan maupun tahun. Kebiasaan merokok adalah pola jumlah rokok yang dihisap setiap harinya. Aktivitas fisik adalah kegiatan yang dilakukan sehari-hari yang diketahui melalui recall activity 2x24 hours meliputi jenis dan durasi kegiatan. Jenis kegiatan adalah macam-macam kegiatan yang dilakukan oleh subjek. Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan antara jumlah zat gizi yang diasup dengan angka kecukupan. Riwayat obesitas orang tua adalah riwayat berat badan orang tua subjek.
12
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Polres Resort Ogan Komering Ilir Kepolisian Resort Ogan Komering Ilir (OKI) terletak di Jalan Letnan Muchtar Saleh No. 120, Kota Kayuagung. Kantor Polres OKI berada di wilayah administratif Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Polres OKI diresmikan pada tanggal 18 Desember 1981 dan saat ini telah membawahi beberapa sektor yaitu Polisi sektor Kayuagung, Pedamaran, Mesuji, Tanjung Lubuk, Tulung Selapan, Pampangan, SP. Padang, Lempuing, Air Sugihan, Cengal dan Jejawi. Polsek tersebut tersebar di seluruh wilayah kecamatan Kabupaten OKI dan dibantu oleh beberapa sub sektor di bawahnya. Jumlah personel Polres Ogan Komering Ilir berdasrkan Laporan Bulanan Kekuatan Personel pada bulan September 2014 sebanyak 618 personel. Personelpersonel tersebut tersebar dari berbagai pangkat yaitu AKBP, KOMPOL, AKP, IPTU, IPDA, AIPTU, AIPDA, BRIPKA, BRIGADIR, BRIPTU dan BRIPDA. Personel terbanyak berasal dari pangkat BRIGADIR dengan jumlah personel sebanyak 272 dan personel paling sedikit berasal dari pangkat AKBP yaitu sebanyak satu personel. Tabel 3 berikut menyajikan sebaran personel Kabupaten OKI berdasarkan pangkat sebagai anggota Polri. Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan pangkat Pangkat n AKBP 1 KOMPOL 4 AKP 14 IPTU 8 IPDA 34 AIPTU 79 AIPDA 16 BRIPKA 130 BRIGADIR 272 BRIPTU 91 BRIPDA 30 Total 618 Sumber : Laporan Kekuatan Personel Polres OKI Bulan September 2014
Pimpinan Polres OKI terdiri atas Kapolres dan Wakapolres dengan pangkat AKBP dan KOMPOL. Divisi-divisi yang terdapat di Polres OKI yaitu Bagian Operasional, Sumda, Perencanaan, Sikeu, Sie Propam, Sie Was, SPKT, Sat Intelkam, Sat Reskrim, Sat Narkoba, Sat Binmas, Sat Sabhara, Sat Lantas, Sat Polair, Sat Tahti dan Sitipol. Dalam pelaksanaan kegiatannya, Polres OKI juga dibantu oleh tenaga kontrak sebanyak tiga belas orang dan Pegawai Negeri Sipil sebanyak sepuluh orang. Pendidikan personel tersebar dari mulai SMA hingga sarjana.
13
Karakteristik Subjek Karakteristik subjek dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan terakhir, pangkat pekerjaan, divisi, status perkawinan, ukuran keluarga, pengetahuan gizi, pendapatan, lingkar perut dan status gizi. Tabel di bawah ini menyajikan beberapa data terkait karakteristik subjek yang diteliti. Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan usia, pendidikan terakhir, status perkawinan dan ukuran keluarga Karakteristik subjek n % Usia a. ≤45 42 84 b. >45 8 16 Total 50 100 Pendidikan terakhir a. SMA/sederajat 31 62 b. PT/sederajat 19 38 Total 50 100 Status Perkawinan a. Belum kawin 14 28 b. Sudah kawin 36 72 Total 50 100 Ukuran keluarga a. Kecil (≤4) 41 82 b. Sedang (5-6) 9 18 c. Besar (≥7) 0 0 Total 50 0 Usia Usia merupakan faktor yang tidak dapat diubah terhadap kejadian obesitas. Rata-rata usia subjek 32.6 ± 10.2 tahun dengan rentang 18-58 tahun. Subjek dengan usia termuda merupakan anggota polisi yang baru saja menyelesaikan sekolah kepolisian sedangkan subjek dengan usia tertua merupkan anggota polisi yang akan memasuki masa purna tugas. Sebagian besar subjek (84%) berusia ≤45 tahun selebihnya subjek berusia >45 tahun (Tabel 4). Berdasarkan uji Kolmogorovsmirnov, diperoleh nilai signifikansi p=0.354 atau p>0.05 yang menunjukkan bahwa data tersebar normal. Menurut Triwinarto et al. (2012), semakin tua usia maka prevalensi obesitas sentral semakin meningkat. Laki-laki dengan usia di atas 45 tahun mengalami peningkatan prevalensi obesitas kemudian turun pada kelompok usia 55-74 dan meningkat kembali setelah umur 74 tahun. Terjadi penurunan massa otot dan perubahan hormon yang memicu penumpukan lemak di perut. Hasil serupa juga didapatkan oleh Young & Sevenhusyen (1989) yang melakukan penelitian di bagian utara Kanada dan India bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan penumpukkan lemak adalah usia. Usia juga menjadi perhatian pada penelitian yang dilakukan oleh Baumgartner et al. (1990) bahwa prevalensi kelebihan lemak di bagian perut semakin meningkat dengan semakin meningkatnya usia pada laki-laki
14
namun tidak pada perempuan. Selaras dengan Riskesdas (2013) bahwa prevalensi obesitas semakin meningkat dengan semakin bertambahnya usia. Meningkatnya prevalensi obesitas sentral pada usia tua menurut Kantachuvessiri et al. (2005) diduga karena lambatnya metabolisme, kurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering. Selain itu, orang tua biasanya tidak begitu memperhatikan ukuran tubuhnya. Pendidikan Terakhir Tingkat pendidikan subjek dibedakan menjadi dua kelompok yaitu sekolah menengah atas (SMA)/sederajat dan perguruan tinggi (PT)/sederajat (Dahlianti et al. 2005). Pemilihan kategori ini didasarkan pada syarat minimal untuk menjadi anggota polisi yaitu lulusan SMA/sederajat. Sebanyak 62% pendidikan terakhir subjek merupakan lulusan SMA/sederajat, selebihnya merupakan lulusan perguruan tinggi (Tabel 4). Subjek dengan pendidikan akhir SMA merupakan anggota polisi lulusan Sekolah Polisi Negara (SPN) sedangkan subjek dengan pendidikan akhir PT/sederajat merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) atau yang melanjutkan pendidikan umum ke perguruan tinggi. Berdasrkan uji Kolmogorov-smirnov, didapatkan nilai signifikansi p=0.001 atau p<0.05 yang menunjukkan bahwa data pendidikan terakhir tersebar tidak normal. Pendidikan formal dan non-formal akan berpengaruh pada sikap dan perilaku masyarakat terhadap gizi dan kesehatan. Pengaruhnya dapat dalam hal konsumsi maupun produksi (Rifai dan Gulat 2003). Kesalahan dalam memilih pangan untuk pemenuhan kebutuhan gizi menjadi manifestasi dari rendahnya pengetahuan terkait kesehatan dan manfaat makanan bergizi (Uliyah dan Hidayat 2008). Selain itu pendidikan juga akan menentukan status sosial ekonomi, status ekonomi yang rendah dapat meningkatkan depresi dan berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Namun penelitian terakhir yang dilakukan oleh Sugianti (2009) terkait risiko obesitas di beberapa daerah di Indonesia, bahwa salah satu faktor risiko obesitas sentral adalah tingginya pendidikan. Tingkat obesitas tertinggi justru berada pada responden dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Status Perkawinan Sebagian besar subjek (72%) berstatus sudah kawin sedangkan selebihnya belum kawin (Tabel 4). Rata-rata usia subjek yang sudah kawin yaitu 38 ± 9.2 tahun dengan subjek termuda dan sudah kawin yaitu 26 tahun. Rata-rata usia subjek yang belum kawin yaitu 22 ± 3.9 tahun. Berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov, didapatkan nilai signifikansi p=0.001 atau p<0.05 yang menunjukkan bahwa data status perkawinan tersebar tidak normal. Penelitian yang dilakukan oleh Sugianti (2009) menunjukan bahwa orangorang yang mengalami obesitas sentral cenderung telah melakukan perkawinan baik berpasangan atau sudah cerai. Hasil tersebut selaras dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Young dan Sevenhusyen (1989) bahwa status perkawinan memiliki hubungan yang signifikan terhadap peningkatan massa lemak tubuh. Istiqamah et al. (2013) juga mendapatkan bahwa sebagian besar responden yang sudah menikah mengalami obesitas sentral.
15
Ukuran Keluarga Ukuran keluraga subjek dibedakan menjadi tiga kategori yaitu kecil (≤4), sedang (5-6) dan besar (≥7). Sebagian besar subjek memiliki ukuran keluarga kecil yaitu sebesar 82% dan selebihnya memiliki ukuran keluarga sedang (Tabel 4). Kisaran ukuran keluarga subjek antara kecil hingga sedang. Tidak terdapat subjek yang memiliki ukuran keluarga dengan kategori besar (≥7). Data ukuran keluarga tersebar tidak normal berdasrkan uji Kolmogorov-smirnov dengan nilai signifikansi p=0.001 atau p<0.05. Penelitian yang dilakukan oleh Sugianti (2009) menemukan bahwa ukuran keluarga merupakan salah satu faktor risiko obesitas sentral di DKI Jakarta dan Gorontalo. Prevalensi tertinggi berada pada keluarga dengan ukuran keluarga 1-2 orang. Besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi pangan yang akan diterima oleh masing-masing individu. Terlalu banyaknya individu dalam sebuah keluarga selain dapat mengurangi distribusi pangan dapat juga mengurangi kenyamanan dalam hidup berkeluarga (Adiningrum 2008). Namun penelitian yang dilakukan oleh Kantachuvessiri et al. (2005) menemukan bahwa besar keluarga tidak berhubungan dengan obesitas sentral di Thailand. Divisi Kerja Pelaksanaan tugas kepolisian dilakukan melalui pembagian divisi-divisi yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tabel 5 berikut menyajikan secara lengkap sebaran subjek berdasarkan divisi kerja. Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan divisi kerja Divisi n Reskrim 2 Sumda 12 Sabhara 9 Sium 1 Perencanaan 2 Polsek Pedamaran 1 Polsek Lempuing 1 Polsek Kayuagung 1 Si Was 1 Sikeu 1 Propam 5 ADC 2 Intelkam 2 Tahti 1 Binmas 5 Oprasional 3 Si Was 1 Total 50
% 4 24 18 2 4 2 2 2 2 2 10 4 4 2 10 6 2 100
16
Subjek penelitian berasal dari tujuh belas divisi. Divisi dengan jumlah subjek terbanyak yaitu divisi Sumda sebanyak 24%. Divisi Sumda atau sumber daya manusia memiliki peranan penting dalam hal pendataan SDM, administrasi personel, pembinaan karier dan peningkatan personel Polri termasuk juga mutasi anggota. Subjek penelitian juga berasal dari unsur pelaksana tugas kewilayahan yang berasal dari Polsek Pedamaran, Polsek Kayuagung dan Polsek Lempuing. Pangkat Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkatan seseorang pegawai negeri sipil (PNS) berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian (PP No 12 tahun 2002). Pangkat pegawai negeri bermacam-macam tergantung pada profesi kerja masing-masing. Untuk kepolisian, pangkat paling bawah adalah Barada sedangkan paling tinggi yaitu Jenderal. Sebagian besar subjek penelitian memiliki pangkat Brigpol, Bripda dan Bripka, masing-masing sebanyak 26%, 22% dan 22%. Berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov didapatkan nilai signifikansi p= 0.016 atau p<0.05 yang menunjukkan bahwa data pangkat tersebar tidak normal. Tabel 6 berikut menyajikan sebaran subjek berdasarkan pangkat. Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan pangkat Pangkat n Bripda 11 Briptu 6 Brigpol 13 Bripka 11 Aiptu 4 Ipda 2 AKP 2 Kompol 1 Total 50
% 22 12 26 22 8 4 4 2 100
Pendapatan Pendapatan merupakan salah satu faktor penentu konsumsi pangan keluarga. Pendapatan tersebut diukur dari pendapatan kepala keluarga dan pendapatan anggota keluarga lainnya baik dari pekerjaan pokok maupun dari pekerjaan sampingan. Tingkat pendapatan akan menggambarkan jumlah uang yang tersedia dalam suatu keluarga sehingga daya beli keluarga dapat menjadi indikator tingkat daya beli. Uang yang tersedia tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik untuk pangan maupun non pangan sehingga membentuk pola pengeluaran pangan dan non pangan keluarga (Rifai dan Gulat 2003). Rata-rata pendapatan sebesar Rp 5 528 300 ± 2 821 755 dengan rentang Rp 2 500 000 – 16 300 000. Tidak terdapat responden dengan pendapatan di bawah angka dua juta. Sebagian besar responden (42%) memiliki pendapatan di atas lima juta per bulan (Tabel 7). Uang yang dikeluarkan responden untuk pangan rata-rata Rp 2 108 000 ± 1 167 562 dengan pengeluaran pangan terbesar yaitu Rp 6 000 000
17
dan terendah Rp 500 000. Melalui uji Kolmogorov-smirnov dimana nilai signifikansi p=0.131 atau p>0.05, diketahui bahwa data pendapatan tersebar normal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sugianti (2009), kebanyakan orang dengan obesitas sentral memiliki pendapatan pada kuantil 5 atau penduduk terkaya. Hal ini juga didukung oleh Mendez et al. (2004) yang menyebutkan bahwa pendapatan yang lebih tinggi mememiliki hubungan yang lebih kuat terhadap kejadian obesitas sentral pada laki-laki dewasa di Jamaika. Lebih lanjut penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa laki-laki dengan pendapatan tinggi memiliki lima hingga tujuh kali lebih besar terhadap kelebihan lemak dibandingkan dengan lakilaki dengan penghasilan rendah. Tabel 7 di bawah ini menyajikan data sebaran subjek berdasarkan pendapatan. Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan Kelompok (Setkab 2013) n 1-2 juta 0 2-3 juta 3 3-4 juta 16 4-5 juta 10 >5 juta 21 Total 50
% 0 6 32 20 42 100
Pengetahuan Gizi Sebanyak sepuluh soal diberikan kepada subjek dimana soal tersebut berisi tentang pengetahuan gizi secara umum dan pengetahuan tentang obesitas sentral. Masing-masing soal bernilai sepuluh sehingga total nilai seratus. Skor pengetahuan gizi selanjutnya dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah (<60%) sedang (60-80%) dan tinggi (>80%). Rata-rata skor pengetahuan gizi subjek yaitu 51 ±14.6% dengan rentang 20-80%. Tidak ada subjek yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar lebih dari 80%. Sebagian besar subjek (54%) memiliki pengetahuan gizi rendah dan selebihnya memiliki pengetahuan gizi sedang. Rendahnya pengetahuan gizi subjek dapat diakibatkan kurang terpaparnya subjek terhadap pendidikan gizi. Subjek masih menganggap bahwa susu merupakan hal yang wajib untuk dikonsumsi setiap hari. Selin itu, subjek juga belum memahami cara untuk menurunkan risiko terkena obesitas sentral dan belum mampu membedakan jenis pangan yang dibolehkan dan tidak bagi penderita obesitas sentral. Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-smirnov, data pengetahuan gizi tersebar normal dengan nilai signifikansi p=0.052 atau p>0.05. Hasil serupa juga didapatkan oleh Yani (2014) sebanyak 52% subjek dewasa di Makassar yang mengalami obesitas memiliki pengetahuan gizi rendah. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Deni dan Dwiriani (2009) terhadap anak yang mengalami obesitas di Kota Bogor, sebanyak 32.5% subjek memiliki pengetahaun gizi rendah dan hanya 17.5% yang memiliki pengetahuan gizi tinggi. Hasil tersebut juga didukung oleh penelitian Firdaus (2014) terhadap anggota polisi di Kota Bogor, hanya 5.7% subjek memiliki
18
pengetahuan gizi tinggi. Tabel 8 di bawah ini menyajikan data tentang sebaran subjek berdasarkan pengetahuan gizi. Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan pengetahuan gizi Pengetahuan Gizi n % Rendah 27 54 Sedang 23 46 Tinggi 0 0 Total 50 100 Indeks Massa Tubuh Pengukuran lemak tubuh secara akurat sulit dilakukan karena memerlukan teknologi canggih yang saat ini masih belum tersedia. Hal ini yang membuat pengukuran menggunakan IMT lebih banyak digunakan. IMT dihitung dengan membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (m). Indeks tersebut memiliki hubungan dengan persentase lemak tubuh pada usia muda dan dewasa (Villareal et al. 2005). Obesitas umum merupakan kondisi kelebihan berat badan yang biasanya ditentukan menggunakan IMT. Sebagian besar subjek memiliki status gizi lebih dimana sebanyak 30% mengalami overweight dan 26% mengalami obesitas. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Firdaus (2014) bahwa sebanyak 52.9% polisi di Kota Bogor mengalami gizi lebih. Berdasarkan Riskesdas (2013) prevalensi gizi lebih di Indonesia telah mencapai 26.3% meningkat dari hasil Riskesdas (2010) dimana prevalensi gizi lebih baru mencapai 21.3%. Berdasarkan uji Kolmogorovsmirnov, didaptkan nilai signifikansi p=0.546 atau p>0.05 yang menunjukkan data IMT tersebar normal. Tabel 9 di bawah ini menyajikan sebaran subjek berdasarkan kategori status gizi yang ditentukan mengggunakan indeks massa tubuh (IMT) Tabel 9 Sebaran subjek berdasarakn kategori IMT Status gizi n % Kurus 1 2 Normal 21 42 Overweight 15 30 Obesitas 13 26 Total 50 100 Obesitas merupakan kondisi yang tidak sehat dimana tubuh mengalami kelebihan lemak. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko berbagai macam penyakit dan kematian dini. Badan yang terlalu gemuk cenderung membuat tubuh sulit untuk bergerak sehingga dapat menurunkan produktifitas dan meningkatkan biaya untuk pemeliharaan kesehatan (Colditz 1992). Timbunan lemak yang berlebih berisiko tinggi terkena penyakit kardiovaskular dan sindroma metabolik (Abbasi et al. 2013). Benotti et al. (1992) menemukan bahwa obesitas dapat meningkatkan workload dan hipertrofi jantung sehingga memicu terjadinya hipertensi. Menurut Guallar-Castillón et al. (2007) seringnya mengonsumsi makanan yang digoreng dan rendahnya asupan serat menjadi salah satu penyebab terjadinya obesitas.
19
Lingkar Perut WHO (2000) membagi obesitas menjadi dua jenis. Pembagian tersebut berdasarkan distribusi lemak, yakni obesitas umum (general obesity) dan obesitas sentral (central obesity). Obesitas sentral ditentukan berdasarkan besarnya penumpukan lemak di bagian abdominal (abdominal obesity). Apabila lingkar perut lebih dari 90 cm maka dapat dikategorikan ke dalam obesitas sentral. Sebagian besar lemak yang menumpuk di bagian perut merupakan jenis lemak visceral. Lemak visceral merupakan komponen lemak tubuh penting sebagai faktor risiko sindrom metabolik. Jaringan lemak visceral memiliki sel per unit massa lebih banyak, aliran darah lebih tinggi, reseptor kortisol, testosteron dan ketakolamin lebih banyak dibandingkan dengan lemak subkutan. Tingginya lemak visceral memicu jaringan adiposa menghasilkan hormon dalam jumlah yang tidak normal. Hormon insulin akan dihasilkan lebih banyak karena terjadi resistensi insulin. Selain itu, akumulasi lemak visceral juga mengakibatkan tingginya level testosteron, kortisol, dan rendahnya hormon pertumbuhan (WHO 2000). Pengukuran obesitas sentral telah distandarisasi oleh WHO pada tahun 1995. Menurut WHO (1995) subjek berdiri tegak dengan jarak antar kaki 25-30 cm. Berat badan terdistribusi secara merata. Bagian yang diukur merupakan titik pertengahan antara inferior rusuk terakhir dengan puncak ileum. Setelah posisi tersebut didapat, lingkarkan pita secara horizontal mengelilingi perut dan tidak menekan bagain jaringan tubuh. Pita yang digunakan tidak meregang dan memiliki ketelitian 0,1 cm. Rata-rata lingkar perut subjek yaitu 90,76 ± 11,29 cm dengan rentang 68114 cm. Sebanyak 48% subjek mengalami obesitas sentral. Angka tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah subjek yang memiliki lingkar perut normal sebesar 52% (Tabel 10). Data lingkar perut tersebar normal berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov (p=0.818 atau p>0.05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi obesitas sentral di Kepolisian Resort OKI tergolong tinggi. Berdasarkan Riskesdas (2013) penderita obesitas sentral di Indonesia terus meningkat. Saat ini sebanyak 26.6% orang dewasa di Indonesia mengalami obesitas sentral. Tingginya prevalensi obesitas sentral juga didapatkan oleh Istiqamah et al. (2013) yang melakukan penelitian di Makassar bahwa jumlah penderita obesitas sentral pada usia 31-40 tahun mencapai 36.9%. Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan tingkat obesitas sentral Lingkar perut n % Obesitas sentral (LP>90 cm) 24 48 Normal (LP≤90 cm) 26 52 Total 50 100 Risiko penyakit degeneratif tidak hanya berkaitan dengan besarnya jumlah lemak tubuh melainkan juga distribusinya dalam tubuh. Orang dengan obesitas sentral mengalami penumpukan lemak berlebih di bagian perut. Obesitas sentral merupakan faktor riskio terjadinya berbagai macam sindrom metabolik. Sindrom metabolik yang dimaksud terdiri atas diabetes tipe 2, intoleransi glukosa, hipertensi
20
dan dislipidemia. Gangguan tersebut dipicu oleh tingginya kadar lemak visceral yang menumpuk di bagian abdomen tubuh (WHO 2000). Hubungan obesitas sentral dengan kardiometabolik belum diketahui secara pasti. Menurut Klein et al. (2007) ada dua hipotesis yang dapat ditegakkan. Pertama, rendahnya kemampuan jaringan lemak subkutan dalam menyimpan kelebihan energi mengakibatkan terjadinya disfungsi organ. Kedua, terjadinya lipolisis jaringan adiposa yang melepaskan asam lemak bebas. Tingginya asam lemak bebas dalam darah dapat menginduksi terjainya resitensi insulin. Semakin tinggi laju lipolisis akibat substrat jaringan lemak yang tinggi, risiko resistensi insulin semakin besar. Ketiga, predisposisi gen yang secara bebas menyebabkan terjadinya penyakit kardiometabolik. Orang dengan BMI normal ada kemungkinan mengalami obesitas sentral. Hal ini telah ditemukan oleh McKeigue (1991), bahwa obesitas sentral orang Asia Selatan sangat tinggi namun secara BMI tergolong rendah.
Kebiasaan Merokok Rata-rata usia awal merokok subjek yaitu17.6 ± 4.6 tahun dengan rentang 10-30 tahun. Sebanyak 76% subjek pernah merokok sedangkan selebihnya tidak pernah merokok. Dari sebanyak 76% yang pernah merokok hanya 71% di antaranya yang berlanjut menjadi kebiasaan. Rata-rata usia merokok menjadi kebiasaan yaitu 18.6 tahun. Secara keseluruhan, sebagaian besar subjek (51%) yang memiliki kebiasaan merokok hanya menghisap kurang dari 10 batang per hari Sebanyak 24% subjek saat ini telah memilih berhenti untuk merokok (Tabel 11). Sebagian besar alasan berhenti merokok yaitu kesehatan dan ekonomi. Data kebiasaan merokok tersebar tidak normal berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-smirnov (p=0.001 atau p<0.05). Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok Riwayat merokok n Pernah merokok 38 Tidak pernah 12 Total 50 Kebiasaan merokok 27 Tidak 11 Total 38 Jumlah yang dihisap <10 batang 14 11-20 batang 9 >21 batang 4 Total 27
% 76 24 100 71 29 100 52 33 15 100
Menurut Chiolero et al. (2008) merokok dapat meningkatkan resisten insulin dan berhubungan dengan akumulasi lemak pusat. Xu et al. (2007) menyatakan bahwa merokok berhubungan negatif dengan peningkatan berat badan (IMT) tetapi positif berhubungan dengan lingkar perut pada laki-laki. Merokok dalam jangka waktu lama berpengaruh pada obesitas sentral daripada obesitas
21
umum. Erem et al. (2004) menemukan hubungan negatif merokok dengan obesitas sentral. Mantan perokok berhubungan positif dengan obesitas sentral (Erem et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Kebiasaan merokok menurunkan 0,68 cm lingkar perut, sedangkan mantan perokok berhubungan dengan peningkatan 1,98 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al. 2003). Mekanisme biologi antara merokok dengan pola distribusi lemak tidak jelas. Meskipun perokok memiliki nilai rata-rata IMT yang lebih rendah daripada bukan perokok, perokok memiliki profil distribusi lemak yang mencerminkan konsekuensi metabolik merokok dengan lebih tingginya lemak pusat (Canoy et al. 2005).
Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan atau food habbit merupakan cara seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan yg dikonsumsinya yg dipengaruhi oleh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial. Penganekaragaman konsumsi pangan meliputi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi akan ikut menentukan kualitas sumber daya manusia melalui status gizi (Barasi 2003). Kebiasaaan Makan Frekuensi makan subjek dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu 1-2 kali dan 2-3 kali. Kebiasaan makan yang diteliti juga meliputi kebiasaan makanan manis, makanan jeroan/lemak dan fast food. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 58% subjek makan lengkap 2-3 kali per hari sedangkan sisanya hanya 1-2 kali per hari. Subjek yang biasa mengonsumsi makanan 1-2 kali per hari biasanya tidak sarapan. Hal ini dikarenankan subjek harus sudah mengikuti apel pagi pada pukul 07.00 WIB sehingga waktu untuk sarapan menjadi terbatas. Sebagian besar subjek (64%) memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan manis. Makanan yang biasa dikonsumsi yaitu gula (6 kali/minggu), teh manis (3 kali/minggu) dan susu kental manis (3 kali/minggu). Sebanyak 46% subjek memiliki kebiasaan makan jeroan/berlemak, sedikit lebih rendah dari yang tidak yaitu sebanyak 54%. Makanan berlemak yang sering dikonsumsi yaitu jenis gorengan dengan rata-rata konsumsi 2 kali/minggu. Makanan berlemak lain yang juga sering dikonsumsi yaitu mentega, kerang-kerangan, soto ayam, bakso dan santan. Uji Mann-Whitney dilakukan untuk melihat perbedaan antara pola konsumsi subjek obes sentral dan tidak (Lampiran 2). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada kebiasaan konsumsi makan makanan manis, makanan jeroan, dan konsumsi fast food dengan nilai signifikansi masing-masing p=0.381 p= 0.252 dan p= 0.134. Namun subjek dengan obesitas sentral cenderung memiliki frekuensi makan lengkap 1-2 kali lebih tinggi daripada subjek normal. Sebagian besar subjek penelitian yang makan lengkap 1-2 kali per hari tidak sarapan. Menurut Huang et al. (2010) orang yang melakukan breakfast skipping memiliki risiko 1.23 kali lebih tinggi terkena obesitas. Prevalensi obesitas akan semakin meningkat dengan menurunnya frekuensi sarapan (p < 0.001). Breakfast skipping membuat persepsi kesehatan, vitalitas, fungsi sosial, emosi, dan kesehatan
22
mental yang lebih rendah. Tabel 12 berikut menyajikan data tentang sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan. Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan makan Normal Total Obesitas Sentral n % n % Kebiasaan makan n % Frekuesi makan lengkap 21 42 1-2 kali 11 46 10 38 29 58 2-3 kali 13 54 16 62 50 100 Total 24 100 26 100 Kebiasaan makan makanan manis Ya 15 63 17 65 32 64 Tidak 9 37 9 35 18 36 Total 24 100 26 100 50 100 Kebiasaan makanan jeroan/berlemak Ya 14 58 9 35 23 46 Tidak 10 42 17 65 27 54 Total 24 100 26 100 50 100 Kebiasaan makan cepat saji Ya 8 33 10 38 18 36 Tidak 16 67 16 62 32 64 Total 24 100 26 100 50 100
p-value 0.249
0.381
0.252
0.134
Hampir semua subjek baik dengan obesitas sentral maupun normal memiliki kebiasaan yang hampir sama terhadap kebiasaan makan makanan manis. Sebagian besar subjek memiliki kebiasaan megonsumsi teh manis dan susu kental manis di pagi hari. Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) menunjukkan adanya fenomena urbanisasi pada negara berkembang kuat hubungannya dengan peningkatan konsumsi makanan manis. Konsumsi makanan manis dapat meningkatkan lemak tubuh akibat tingginya densitas energi dan efek rasa lezat makanan manis dan efek lemahnya rasa kenyang. Subjek dengan obesitas sentral memiliki kebiasaan lebih tinggi dalam mengonsumsi makanan jeroan/berlemak dibandingkan dengan subjek normal. Sebanyak 58% orang dengan obesitas sentral memiliki kebiasaan makan makanan jeroan sedangkan subjek normal hanya sebanyak 35%. Penelitian yang dilakukan oleh Guallar-Castillon et al. (2007) terhadap 33542 orang Spanyol berumur 29-69 tahun menunjukkan bahwa makanan yang digoreng berhubungan positif dengan obesitas umum dan obesitas sentral karena dapat menghasilkan asupan energi yang tinggi. Drapeau et al. (2004) juga menyatakan bahwa makanan berlemak dapat meningkatkan lingkar perut dan berat tubuh. Sebagian besar subjek baik dengan obesitas sentral (67%) maupun normal (62%) tidak memiliki kebiasaan konsumsi makanan jenis fasat food. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya akses terhadap jenis makanan tersebut. Hingga saat ini belum ditemukan restoran makanan cepat saji di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Menurut Lipoeto et al. (2012) yang melakukan penelitian di Indonesia, Malaysia
23
dan Filipina, pola konsumsi pangan ditentukan oleh akses terhadap pangan dan daya beli. Selain itu juga dijelaskan bahwa, makanan cepat saji hanya dimakan sebagai makanan rekreasi sehingga pengaruhnya sangat rendah terhadap nutrition trantition. Namun menurut St-Onge et al. (2003) memang tidak ada pengaruh konsumsi makanan cepat saji dengan kejadian obesitas apabila desain yang digunakan adalah cross-sectional study. Konsumsi fast-food akan terlihat pengaruhnya terhadap obesitas apabila desain penelitian dilakukan secara longitudinal. Penambahan satu porsi makanan cepat saji per minggu dapat menambah asupan energi 56 kkal/hari atau menambah berat badan sebesar 0.72 kg. Frekuensi Konsumsi Makanan Berisiko Terdapat tiga jenis makanan berisiko yang ditanyakan kepada subjek. Makanan tersebut terdiri atas makanan manis, makanan berlemak dan jeroan. Menurut Barkeling et al. (2002) tingginya asupan energi dari makanan manis memiliki hubungan yang kuat terhadap kejadian obesitas dan kanker. Menurut Guallar-Castillon et al. (2007) makanan yang berlemak juga memiliki hubungan yang erat dengan kejadian obesitas baik general obesity mapun central obesity. Makanan-makanan tersebut memiliki densitas energi tinggi dan mempengaruhi mekanisme tubuh dalam menghantarkan sinyal rasa kenyang. Tabel 13 Frekuensi konsumsi makanan berisiko Frekuensi makan (kali/minggu) Obes sentral Normal Total Makanan manis Kue-kue manis Coklat Susu kental manis Teh manis Gula pasir Makanan berlemak Mentega Gajih Kerang-kerangan Gorengan Soto ayam (santan/bening) Soto daging Bakso Santan Jeroan Hati
1 1 3 3 6
2 1 3 4 6
1 1 3 3 6
1 1 1 2 1 1 1 1
0 0 0 2 0 0 1 1
1 1 1 2 1 0 1 1
1
0
0
Makanan-makanan yang disajikan pada Tabel 13 merupakan makanan berisiko yang paling sering dikonsumsi oleh subjek. Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi konsumsi makanan manis baik pada subjek obes sentral maupun normal tidak jauh berbeda. Hampir kedua kelompok subjek memiliki kebiasaan yang sama dalam mengonsumsi kue-kue manis, coklat, susu kental manis, teh manis dan gula pasir. Perbedaan telihat pada frekuensi konsumsi makanan berlemak, subjek
24
obesitas sentral memiliki frekuensi yang lebih sering dibandingkan dengan subjek normal. Jenis makanan berlemak yang dikonsumsi juga lebih banyak seperti mentega, gajih, kerang-kerangan, soto ayam dan soto daging. Konsumsi jeroan pada kedua kelompok subjek relatif jarang. Jeroan yang paling sering dikonsumsi yaitu hati sebanyak 1 kali/minggu. Mayoritas subjek jarang mengonsumsi jeroan hal ini diduga disebabkan oleh faktor budaya. Bagi masyarakat setempat, jeroan jarang diolah untuk menjadi makanan karena dianggap kotor dan biasanya langsung dibuang.
Tingkat Kecukupan Gizi Tingkat Kecukupan Energi Energi dapat dihasilkan dari tiga jenis zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein dan lemak. Kelebihan asupan energi dapat menyebabkan obesitas (WHO 2000). Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tingkat kecukupan energi subjek sebesar 88.3 ±12.4% dengan rentang 55.9-113.6% (Tabel 14). Data tingkat kecukupan energi tersebar normal berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov dengan nilai signifikansi p = 0.993 atau p > 0.05. Tabel 14 Tingkat kecukupan energi TKE Subjek obesitas Subjek Total (%) sentral (%) normal (%) 88.3 Rata-rata 92.0 85.0 113.6 Maksimum 113.6 103.5 55.9 Minimum 63.7 55.9 12.4 Standar deviasi 12.7 11.3
p-value 0.001*
*Signifikansi bermakna (P < 0.05)
Terdapat perbedaan antara kecukupan energi subjek obesitas sentral dan subjek normal. Hal tersebut berdasarakan uji beda T-Test dengan nilai signifikansi p = 0.001 atau p < 0.05 (Lampiran 2). Rata-rata tingkat kecukupan energi subjek obesitas sentral sebesar 92.0 ± 12.7% dengan rentang 63.7-113.7% sedangkan subjek normal sebesar 85.0 ± 11.3% dengan rentang 55.9-103.5. Berdasarkan Tabel 14, terlihat bahwa subjek dengan obesitas sentral cenderung memiliki tingkat kecukupan energi lebih tinggi dibandingkan dengan subjek normal. Mustamin (2010) menjelaskan bahwa semakin tinggi asupan energi risiko untuk terkenan obesitas sentral semakin tinggi. Hal ini juga didukung oleh Guallar-Castillo´n et al. (2007) bahwa makan makanan dengan densitas energi tinggi dapat memicu terjadinya obesitas baik general obesity maupun central obesity akibat semakin tingginya asupan energi. Sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan energi (TKE) dalam kategori cukup (42%). Menurut Mustamin (2010) asupan energi memiliki hubungan secara bermakna terhadap kejadian obesitas sentral. Keseimbangan energi terjadi sebagai akibat dari selisih antara asupan energi dengan pengeluaran energi total. Pengeluaran energi total sendiri terdiri dari metabolisme basal dan aktivitas fisik. Asupan energi yang berlebih dibandingkan dengan pengeluarannya secara terus-menerus dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan obesitas.
25
Pada penelitian ini asupan energi mempengaruhi status obesitas. Artinya asupan energi yang sesuai dengan kebutuhan jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik maka tetap akan menjadi penumpukan lemak pada jaringan tubuh. Tabel 15 di bawah ini menunjukkan sebaran subjek berdasarkan kategori kecukupan energi. Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan kategori kecukupan energi Kategori n % Defisit berat 2 4 Defisit sedang 11 22 Defisit ringan 14 28 Cukup 21 42 Lebih 2 4 Total 50 100 Tingkat Kecukupan Protein Protein adalah zat gizi makro yang terdiri atas ranta-rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain dengan ikatan peptida. Protein menyusun organorgan penting tubuh seperti otot, tulang, kulit dan organ penting lainnya. Protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh, enzim, hormon, asam nukleat dan pada kondisi khusus bertindak sebagi sumber energi (Almatsier 2009). Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tingkat kecukupan protein subjek sebesar 86.2 ± 17.4% dengan rentang 146.4-48.7% (Tabel 16). Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-smirnov, data tingkat kecukupan protein tersebar normal dengan nilai signifikansi p = 0.670 atau p > 0.05. Tabel 16 di bawah ini menyajikan tingkat kecukupan protein subjek.
Rata-rata Maksimum Minimum Standar deviasi
Tabel 16 Tingkat kecukupan protein TKP Subjek obesitas Subjek normal sentral (%) (%) 86.5 86.0 146.4 118.9 48.7 58.6 20.1 14.8
Total (%) 86,2 146.4 48.7 17.4
p-value 0,001*
*Signifikansi bermakna (P < 0.05)
Terdapat perbedaan antara tingkat kecukupan protein subjek dengan obesitas sentral dan normal. Hal ini berdasarkan uji beda T-Test dengan nilai signifikansi p = 0.001 atau p < 0.05. Berdasarkan Tabel 16, TKP subjek obesitas sentral dan normal memiliki rata-rata yang hampir sama (masing-masing 86.5% dan 86.0%) dengan rentang 48.7-146.4% untuk TKP subjek obesitas sentral dan 58.6-118.9% untuk TKP subjek normal. Menurut Brandhagen et al. (2012) asupan protein memiliki hubungan yang positif terhadap IMT, persentase lemak tubuh dan lingkar perut. Hal ini juga ditemukan oleh Wang & Beydoun (2009) bahwa konsumsi daging yang berlebih sebagai sumber protein memiliki hubungan yang positif terhadap kejadian obesitas sentral dan obesitas secara umum. Orang yang mengonsumsi daging berlebih memiliki risiko terkena obesitas sentral lebih tinggi sebesar 1.13 kali.
26
Tabel 17 Sebaran subjek berdasarkan kategori kecukupan protei Kategori n % Defisit berat 7 14 Defisit sedang 8 16 Defisit ringan 17 34 Cukup 13 26 Lebih 5 10 Total 50 100 Sebagian besar tingkat kecukupan protein (TKP) subjek dalam kategori cukup (42%). Protein merupakan jenis zat gizi yang berfungsi untuk membangun jaringan tubuh. Kekurangan protein dapat menyebabkan terjadinya penurunan massa otot. Namun jika terjadi kelebihan, protein akan mengalami deaminase untuk membentuk lemak. Nitrogen akan dikeluarkan dari tubuh dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak untuk disimpan sebagai lemak. Dengan demikian, asupan protein yang berlebih dapat memicu kegemukan (Almatsier 2009). Tingkat Kecukupan Lemak Lemak merupakan zat gizi makro yang larut dalam senyawa non polar. Lemak berfungsi sebagai sumber energi cadangan, penghemat protein, dan memberikan rasa kenyang serta kelezatan pada makanan. Tingginya asupan lemak mengakibatkan tubuh meyimpan lemak lebih banyak sehingga risiko kegemukan menjadi lebih tinggi (Almatsier 2009). Data hasil penelitian menunjukkan rata-rata kecukupan subjek yaitu 21.8 ± 5.3 % dari total energi dengan rentang 11.4-32.8 % total energi. Sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan lemak dalam kategori cukup (92%). Berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-smirnov, data tingkat kecukupan lemak tersebar normal dengan nilai signifikansi p = 0.982 atau p > 0.05. Tabel 18 di bawah ini menyajikan data terkait tingkat kecukupan lemak subjek. Tabel 18 Tingkat kecukupan lemak % konstribusi energi Subjek obes sentral Subjek normal Total 21.8 Rata-rata 23.9 19.8 32.8 Maksimum 32.8 27.8 11.4 Minimum 16.4 11.4 5.3 Standar deviasi 5.2 4.8
p-value 0.001*
*Signifikansi bermakna (P < 0.05)
Uji beda pada konstribusi lemak terhadap energi antara subjek dengan obesitas sentral dan normal menunjukkan adanya perbedaan. Hal tersebut berdasarkan uji T-Test (p= 0.001 atau p < 0.05). Rata-rata konstribusi lemak subjek obesitas sentral terhadap total energi cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan subjek normal. Subjek dengan obesitas sentral memiliki rata-rata persentase konstribusi energi dari lemak sebesar 23.9 ± 5.2 dengan rentang 16.4-32.8 %. Berbeda halnya dengan subjek normal, rata-rata persentase konstribusi energi dari lemak sebesar 19.8 ± 4.8 dengan rentang 11.4-27.8%. Menurut Togo et al. (2004) pola makan yang tinggi lemak, daging merah, dan rendah sayur buah menghasilkan
27
lingkar perut dan indeks massa tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan pola makan tinggi sayur dan buah, rendah lemak serta tinggi karbohidrat kompleks. Tabel 19 Sebaran subjek berdasarkan kategori tingkat kecukupan lemak Kategori n % Cukup 46 92 Lebih 4 8 Total 50 100 Menurut Guallar-Castillon et al. (2007) terhadap 33 542 orang Spanyol berumur 29-69 tahun menunjukkan bahwa makanan yang digoreng berhubungan positif dengan obesitas umum dan obesitas sentral karena dapat menghasilkan asupan energi yang tinggi akibat tingginya kandungan lemak. Drapeau et al. (2004) juga menyatakan bahwa makanan berlemak dapat meningkatkan lingkar perut dan berat tubuh. Modifikasi diet dengan mengurangi asupan makanan berlemak dapat menurunkan lingkar perut dan berat badan pada jangka waktu tertentu. Tingkat Kecukupan serat Serat merupakan polisakarida yang sering menyusun dinding sel. Ada dua golongan serat yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat memiliki fungsi untuk meningkatkan massa feses, menurunkan kadar kolesterol darah dan memberikan rasa kenyang yang lebih lama pada perut. Anjuran asupan serat yaitu 20-30 g per hari (Almatsier 2009). Berdasarkan hasil penelitian, asupan serat semua subjek dalam kategori kurang dengan rata-rata 9.8 ± 2.9 g dengan rentang 5.3-18.2 g. Data asupan serat subjek tersebar normal berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-smirnov dengan nilai signifikansi p = 0.283 atau p > 0.05. Tabel berikut membandingkan asupan serat subjek dengan obesitas sentral dan subjek normal. Tabel 20 Tingkat kecukupan serat subjek Asupan serat Subjek obesitas Subjek Total (g) sentral (g) normal (g) 9.8 Rata-rata 9.9 9.8 18.2 Maksimum 18.2 16.2 5.3 Minimum 5.3 5.9 2.9 Standar deviasi 2.9 2.9
p-value 0.001*
*Signifikansi bermakna (P < 0.05)
Uji beda T-Test antara asupan serat subjek dengan obesitas sentral dan subjek normal menununjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0.001 atau p < 0.05). Rata-rata asupan serat subjek obesitas sentral sebesar 9.9 ± 2.9 g dan subjek normal sebesar 9.8 ± 2.9 g. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Jahari dan Sumarno (2001) yang melaporkan bahwa rata-rata tingkat asupan serat serat penduduk Indonesia adalah 10.5 gram/orang/hari. Asupan serat subjek obesitas sentral sedikit lebih tinggi diduga disebabkan oleh meningkatnya kesadaran subjek terhadap manfaat konsumsi sayur dan buah terhadap penurunan lingkar perut. Penelitian kohort menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara asupan sayuran atau buah dengan risiko obesitas. Perempuan yang
28
mengonsumsi buah lebih tinggi dapat menurunkan 25% risiko obesitas dibandingkan yang lebih rendah (OR=0.75) (Drapeau et al. 2004).
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah kebiasan sehari-hari yang meliputi jenis dan durasi waktu dalama melakukan aktivitas fisik dalam sehari (Firdaus 2014). Tingkat aktivitas fisik (physical activity level) diukur dengan menggunakan kuisioner untuk mencatat setiap kegiatan. Rata-rata physical activity level (PAL) subjek yaitu 1.6 ± 0.13 dengan rentang 1.3-1.9. Sebagian besar subjek (70%) memiliki tingkat aktivitas fisik kategori ringan. Data PAL tersebar normal berdasarkan uji normalitas Kolmogorov-smirnov dengan nilai signifikansi p = 0.944 atau p > 0.05. Tabel di bawah ini menyajikan data terkait tingkat aktivitas fisik subjek yang diperoleh melalui recall activity 2 x 24 jam. Tabel 21 Tingkat aktivitas fisik subjek PAL Subjek Subjek obesitas sentral normal Rata-rata 1.57 1.66 Maksimum 1.71 1.94 Minimum 1.37 1.34 Standar deviasi 0.09 0.15
Total 1.6 1.94 1.34 0.13
p-value 0.001*
*Signifikansi bermakna (P < 0.05)
Terdapat perbedaan yang signifikan antar PAL subjek dengan obesitas sentral dan subjek normal. Hal ini didasarkan pada uji beda T-Test dengan nilai signifikansi p = 0.001 atau p < 0.05. Berdasarkan tabel 21, PAL subjek dengan obesitas sentral lebih rendah dibandingkan dengan subjek normal. Rata-rata PAL subjek obesitas sentral yaitu 1.57 ± 0.09 dengan rentang 1.37-1.71 sedangkan subjek normal yaitu 1.66 ± 0.15 dengan rentang 1.34-1.94. Mustelin et al. (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan kuat antara aktivitas fisik dan lingkar perut. Aktivitas fisik secara nyata memodifikasi efek dari faktor genetik seseorang. Peningkatan aktivitas fisik lebih berhubungan secara nyata dengan lingkar perut daripada IMT. Menurut Koh-Banerjee et al. (2003), aktivitas fisik berat lebih dari 0.5 jam/hari menurunkan 0.91 cm lingkar perut. Aktivitas fisik menurunkan obesitas sentral melalui penggunaan lemak dari daerah perut, sebagai hasil redistribusi jaringan adiposa. Tabel 22 menunjukkan sebaran subjek berdasarkan tingkat aktivitas fisik. Tabel 22 Sebaran subjek berdasarkan tingkat aktivitas fisik % Kategori PAL n 6 Sangat ringan 3 70 Ringan 35 24 Sedang 12 0 Berat 0 Total 100 50
29
Rendahnya aktitas subjek selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Firdaus (2014) bahwa sebagian besar aktivitas fisik polisi di Kota Bogor termasuk ke dalam kategori ringan. Rendahnya aktivitas fisik berhubungan positif dengan obesitas pada perempuan tetapi tidak pada laki-laki (Janghorbani et al. 2007). Aktivitas fisik dapat berpengaruh terhadap perubahan jaringan lemak pusat, bahkan pada anak-anak (Barbeau et al. 2007). Riwayat Berat Badan Riwayat Berat Badan Subjek Rata-rata berat badan subjek saat tahun pertama menjadi anggota kepolisian sebesar 57.7 ± 6.1 kg dengan rentang 47-78 kg. Subjek mulai merasa mengalami peningkatan berat badan dan kemudian tidak turun kembali pada tahun keempat sebagai anggota kepolisian. Peningkatan berat badan pada tahun tersebut dapat diakibatkan mulai menurunnya aktivitas fisik. Setiap empat tahun sekali terjadi kenaikan pangkat dalam anggota kepolisan. Kenaikan tersebut biasanya menempatkan anggota polisi menjadi staf dimana aktivitas subjek menjadi lebih dominan duduk. Hal ini didukung dengan penelitan yang dilakukan oleh Boyce et al. (2008) bahwa terjadi peningkatan massa tubuh yang signifikan (p ≤ 0.001) pada staf polisi Hawai di Amerika Serikat selama menjadi anggota kepolisian. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kenaikana massa tubuh polisi di Hawai sebesar 1.8 kg per tahun. Peningkatan massa tubuh tersebut juga diikuti dengan kenaikan persentase lemak dan penurunana persentase lean mass dalam tubuh. Riwayat Berat Badan Orang Tua Subjek Obes Sentral Menurut Zainun (2002) orang tua yang gemuk cenderung memiliki anak yang gemuk pula. Faktor genetik turut menentukan jumlah sel lemak yang secara otomatis akan diturunkan kepada bayi selama dalam kandungan. Tidak heran bila bayi yang lahir memiliki jumlah sel yang relatif sama besar. Sebanyak 45% orang tua subjek yang mengalami obesitas sentral juga mengalami kegemukan (Tabel 23). Menurut Garn et al. (1989) individu obes dengan rentang usai 20-49 tahun memiliki ayah obes sebesar 42.8% dan ibu obes sebesar 60.8%. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa individu yang memiliki orang tua obes risiko terkana obes 1.5 kali lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Pramudita (2011) pada kelompok anak obes sebagian besar orang tuanya mengalami overweight (45%). Berdasarkan hasil penelitian, data riwayat obesitas orang tua tersebar tidak normal berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov dengan nilai signifikansi p = 0.001 atau p < 0.05. Tabel 23 Sebaran subjek obesitas sentral berdasarkan riwayat obesitas orang tua Obesitas pada orang tua n % Orang tua pernah gemuk 11 46 Orang tua tidak gemuk 13 54 Total 24 100
30
Hubungan Karakteristik Subjek, Kebiasaan Merokok, Pola Konsumsi Pangan, Tingkat Kecukupan Gizi dan Aktivitas Fisik dengan Lingkar Perut Hubungan Usia dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi pearson terhadap hubungan usia dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.02 yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara usia dengan lingkar perut (p < 0.05). Korelasi untuk hubungan antar dua variabel tersebut adalah sedang (r = 0.423) (Lampiran 1). Menurut Kuk et al. (2005) terdapat hubungan positif yang signifikan (p < 0.05) antara usia dan lingkar perut. Laki-laki yang usianya lebih tua memiliki lingkar perut dan persentase jaringan visceral yang lebih besar daripada laki-laki dengan usia yang lebih muda. Penelitian tersebut juga didukung oleh hasil review yang dilakukan oleh Stevens et al. (2010) bahwa lingkar perut orang dewasa hingga usia 70 tahun lebih besar dibandingkan dengan subjek yang usianya lebih muda. Berdasarkan data NHANES, terjadi peningkatan lingkar perut dari 92 cm pada usia 20-29 tahun menjadi 105,4 cm pada usia 60-69 tahun. Namun pada usia lebih dari 70 tahun, terjadi penurunan lingkar perut sebesar 3 cm. Menurut Ebrahimi-Mameghani et al. (2008) yang melakukan penelitian cohort di Skotlandia selama sembilan tahun menemukan bahwa terjadi peningkatan berat badan dan lingkar perut yang signifikan pada subjek penelitiannya (p < 0.001). Terdapat dua kelompok subjek dalam penelitan ini yaitu kelompok dengan usia 39 tahun dan 59 tahun. Terjadi peningkatan lingkar perut sebesar 5.46 cm selama sembilan tahun atau sebesar 0.61 cm per tahun untuk kelompok laki-laki usia 39 tahun, sedangkan peningkatan sebesar 3.74 cm selama 9 tahun atau 0.42 cm per tahun untuk kelompok laki-laki usia 59 tahun. Menurut Du et al. (2013) usia yang semakin tua mengakibatkan waktu luang semakin banyak dan menurunkan aktivitas fisik sehingga risiko peningkatan lingkar perut semakin besar. Hubungan Pendidikan Terakhir dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi spearman terhadap hubungan antara pendidikan terakhir dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.515 yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara pendidikan terakhir dengan lingkar perut (p > 0.05) (Lampiran 5). Hasil tersebut berbeda dengan penelitian dilakukan oleh Ong et al. (2009) tentang faktor yang mempengaruhi perubahan berat badan dan lingkar perut pada orang Asia. Hasil penelitian tersebut adalah terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan peningkatan lingkar perut (p < 0.05). Hasil penelitian juga berbeda dengan Du et al. (2013) yang melakukan penelitan di China, menemukan bahwa tingginya tingkat pendidikan cenderung mengakibatkan rendahnya aktivitas fisik dan risiko peningkatan lingkar perut semakin tinggi. Perbedaan tersebut dapat diakibatkan oleh mayoritas pendidikan subjek penelitian hampir sama yaitu SMA/sederajat. Selain itu pendidikan subjek hanya terdiri dari dua jenjang saja. Berbeda dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Ong et al. (2009) dan Du et al. (2013) yang membedakan tingkat pendidikan dari mulai tidak sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah, hingga perguruan tinggi. Menurut Stewart-Knox et al. (2012) yang meneliti tentang hubungan antara obesitas (IMT dan lingkar perut) dengan sosidemografi orang Portugal dan Inggris
31
menemukan bahwa pendidikan merupakan salah satu determinan obesitas. Determinan utama dari obesitas masing-masing negara berbeda-beda tergantung pada kondisi psikososial dan budaya negara tersebut. Hubungan Status Perkawinan dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi spearman terhadap hubungan antara status perkawinan dengan lingkar perut diketahui bahwa nilai signifikansi p = 0.001 yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara status perkawinan dengan lingkar perut (p < 0.01). Koefisien korelasi antar kedua variabel tersebut kuat (r = 0.513). Hal ini diakibatkan saat subjek telah menikah, subjek sudah tidak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat rumah tangga. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya aktivitas fisik subjek. Menurut Kantachuvessiri et al. (2005) bahwa laki-laki yang sudah menikah cenderung mengalami kenaikan berat badan karena secara budaya laki-laki akan menjadi kepala keluarga dan tidak lagi melakukan kegitan yang bersifat rumah tangga. Selain itu menurut Ong et al. (2009) orang yang sudah menikah baik masih berpasangan atau sudah cerai cenderung memiliki lingkar perut yang lebih besar daripada yang belum menikah. Keterkaitan ini diduga berasal dari umur, orang yang sudah menikah relatif lebih tua sehingga risiko mengalami peningkatan lingkar perut lebih besar. Menurut Ball et al. (2002) laki-laki yang sudah menikah memiliki nilai perbandingan lingkar perut dan panggul dan indeks massa tubuh yang lebih besar daripada laki-laki yang belum menikah. Penelitian ini juga menemukan bahwa terjadi peningkatan perbandingan lingkar perut dan panggul sebesar 20-80% pada orang yang sudah menikah dan memiliki status pendidikan yang rendah. Rosmond et al. (1999) menyatakan bahwa lelaki yang sudah menikah namun berpisah memiliki risiko yang lebih besar terkena obesitas sentral. Hubungan Ukuran Keluarga dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi speraman terhadap hubungan ukuran keluarga dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.007 yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara ukuran keluarga dengan lingkar perut (p < 0.01). Korelasi antar dua variabel adalah sedang dengan nilai r = 0.374. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka risiko obesitas semakin meningkat. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosdiana (2014) yang menyatakan bahwa terdapat kecenderungan negatif hubungan antara ukuran keluarga dengan kejadian obesitas sentral. Semakin kecil jumlah anggota keluarga risiko terkena obesitas sentral semakin besar. Perbedaan tersebut dapat diakibatkan oleh berbedanya latarbelakang ekonomi subjek. Penelitan yang dilakukan Rosdiana (2014) dilaksanakan di sebuah pedesaan dimana sebanyak 36.5 % subjek berada di bawah garis kemiskinan. Berbeda dengan subjek penelitian yang saat ini dilakukan, rata-rata pendapatan subjek berada di atas di atas lima juta. Angka tersebut jauh di atas upah minimum Kabupaten Ogan Komering Ilir tahun 2013 yaitu sebesar Rp 1 195 220. Pendapatan merupakan faktor yang akan menentukan kebiasaan konsumsi makan seseorang. Meningkatnya kasus gizi lebih menurut Lipoeto et al. (2012) bahwa terjadinya masalah gizi ganda di Indonesia berkaitan dengan akses pangan yang semakin meningkat dan daya beli yang semakin tinggi. Pendapatan merupakan faktor yang ikut menentukan akses pangan dan kekuatan daya beli. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin besar pendapatan maka semakin besar
32
aksesnya terhadap pangan dan risiko untuk mengonsumsi pangan secara berlebih juga meningkat. Hubungan Pangkat dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi pearson terhadap hubungan antara pangkat dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.011 yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pangkat dengan lingkar perut (p < 0.05). Korelasi antar dua variabel tersebut sedang (r = 0.355). Semakin tinggi pangkat terdapat kecenderungan semakin tinggi kejadian obesitas sentral. Hubungan pangkat dengan peningkatan lingkar perut diduga terjadi secara tidak langsung. Meningkatnya pangkat seiring dengan lamanya menjadi anggota polisi dan usia. Kenaikan pangkat ini juga berhubungan dengan kenaikan tingkat pendapatan. Menurut Stevens et al. (2010) obesitas sentral cenderung ditemukan pada usia yang lebih tua. Selain itu menurut Du et al. (2013) bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendapatan dengan lingkar perut. Hal ini juga didukung oleh Mendez et al. (2004) bahwa pendapatan yang lebih tinggi mememiliki hubungan yang lebih kuat terhadap kejadian obesitas sentral pada laki-laki dewasa di Jamaika Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi pearson terhadap hubungan antara pengetahuan gizi dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.482 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara pengetahuan gizi dengan lingkar perut (p > 0.05). Hasil tersebut juga sama dengan Gordon-Larsen (2001) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara hubungan obesitas dengan pengetahuan gizi. Penelitian tersebut menekankan bahwa untuk mengontrol obesitas sebaiknya memperhatikan aktivitas fisik dan body image. Menurut Kantachuvessiri et al. (2005) orang yang memiliki pengetahuan gizi baik justru cenderung memiliki status gizi obes. Namun peneliti menambahkan bahwa baiknya pengetahuan gizi subjek obes dikarenakan subjek memiliki ketertarikan yang lebih tinggi pada pengetahuan gizi untuk memperbaiki status gizinya. Penemuan tersebut menegaskan bahwa untuk mengontrol obesitas sebaiknya tidak hanya memberikan edukasi tetapi juga menekankan pada perubahan kebiasan. Hubungan Pendapatan dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi pearson terhadap hubungan antara pendapatan dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.277 yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan lingkar perut (p > 0.05). Hal tersebut berbeda dengan Du et al. (2013) bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendapatan dengan lingkar perut. Orang dengan tingkat pendapatan yang tinggi cenderung memiliki aktivitas fisik yang lebih rendah. Hal tersebut juga selaras dengan Rosdiana (2014) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan per kapita keluarga dengan kejadian obesitas. Adanya perbedaan hasil pada penelitian ini diakibatkan rata-rata pendapatan subjek cukup tinggi sebesar Rp 5 528 300. Jumlah tersebut menurut Setkab (2013) termasuk golongan lima atau kelompok dengan penghasilan paling tinggi.Tidak ada subjek yang memiliki pendapatan di bawah upah minimum Kabupaten Ogan Komering Ilir 2013 yaitu sebesar Rp 1 195 220. Menurut Sugianti (2009)
33
kebanyakan orang dengan obesitas sentral memiliki pendapatan pada kuantil lima atau penduduk terkaya. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi spearman terhadap hubungan antara kebiasaan merokok dengan lingkar perut didapatkan nilai signifikansi p = 0.391 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan lingkar perut (p > 0.05). Menurut Ong et al. (2013) orang yang memiliki bentuk tubuh ideal cenderung tidak merokok. Studi propektif di Amerika yang melibatkan 16 587 lakilaki selama sembilan tahun, menemukan bahwa kebiasaan merokok dapat menurunkan 0.68 cm lingkar perut, sedangkan mantan perokok berhubungan dengan peningkatan 1.98 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al. 2003). Menurut Firdaus (2014) yang melakukan penelitian di Kepolisian Resort Kota Bogor, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan indeks massa tubuh (IMT). Penelitian ini beranggapan bahwa kebiasaan merokok tidak memiliki pengaruh langsung terhadap status gizi. Banyaknya zat kimia yang terkandung di dalam rokok akan mempengaruhi status kesehatan seseorang. Status kesehatan tersebut yang akan berpengaruh terhadap komposisi tubuh. Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi dengan Lingkar Perut Tingkat Kecukupan Energi Berdasarkan uji korelasi pearson terhadap hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.074 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan lingkar perut. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya perbedaan antara asupan energi subjek obesitas sentral dan normal berdasarkan uji T-Test. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Halkjær et al. (2006) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan lingkar perut dengan total asupan energi. Namun terdapat hubungan yang postif pada penambahan lingkar perut dengan asupan energi dari gula dan hubungan negatif dengan asupan energi dari sayur dan buah. Hasil penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap peningkatan lingkar perut adalah sumber dari energi bukan dari total energi. Sama halnya dengan Gordon-Larsen (2001) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan asupan energi subjek obes dan tidak pada penelitian yang dilakukannya di perkotaan Filadelpia. Tingkat Kecukupan Protein Berdasarkan uji korelasi pearson terhadap hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.486 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan lingkar perut. Hal tersebut berbeda dengan Halkjær et al. (2006) terdapat hubungan negatif antara asupan protein terutama berasal dari hewani terhadap penambahan lingkar perut. Sama hal nya dengan Due et al. (2004) yang menyatakan bahwa diet tinggi protein memiliki hubungan negatif terhadap lingkar perut. Hal ini dapat disebabkan oleh meningkatnya rasa kenyang dan sifat termogenik dari protein. Selain itu diet tinggi protein pada penurunan lingkar perut, pengaruhnya juga diduga berasal dari hormon kortisol.
34
Perbedaan hasil pada penelitian ini dapat disebabkan oleh desain penelitian yang lebih lemah dibandingkan dengan dua penelitian tersebut. Halkjær et al.(2006) mealakukan penelitian di Denmark selama lima tahun. Sedangkan Due et al. (2004) melakukan penelitian dengan memberikan intervensi diet selama satu tahun. Selain itu perbedaan ini juga diduga berasal dari perbedaan pola makan subjek dimana subjek dari kedua penelitian tersebut berasal barat dengan pola konsumsi pola hewani yang cukup tinggi. Tingkat Kecukupan Lemak Berdasarkan uji korelasi pearson terhadap hubungan antara tingkat kecukupan lemak dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.01 yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara tingkat kecukupan lemak dengan lingkar perut. Korelasi antar dua variabel tersebut sedang (r = 0.360). Menurut Newby et al. (2009) bahwa diet rendah lemak akan menurunkan indeks massa tubuh dan lingkar perut. Lemak merupakan sumber energi yang paling besar sehingga apabila dikonsumsi berlebih akan memberikan keseimbangan energi positif. Menurut Koh-Banerjee et al. (2003) yang melakukan penelitian di Amerika selama sembilan tahun menemukan bahwa dengan melakukan pengurangan asupan lemak mampu meningkatkan persentase asupan energi dari karbohidrat. Dengan meningkatnya asupan energi dari karbohidrat, asupan serat akan meningkat karena berasal dari peningkatan asupan karbohidrat. Lebih spesifik lagi, jenis lemak yang paling berpengaruh terhadap penumpukan lemak di perut yitu asam lemak trans. Peningkatan sebanyak 2% lemak trans dari asupan energi dapat meningkatkan sebesar 0.77 cm lingkar perut. Tingkat Kecukupan Serat Berdasarkan uji korelasi pearson terhadap hubungan antara tingkat kecukupan serat dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.719 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan serat dengan lingkar perut. Namun terdapat kecenderungan hubungan negatif antar dua variabel tersebut (r = -0.052). Menurut Koh-Banerjee et al. (2003) serat memiliki pengaruh pada sesitifitas insulin. Serat larut air mampu menurunkan indeks glikemik pangan dan meningkatkan respon insulin di usus halus. Hal tersebut mampu mempengaruhi rasa lapar dan asupan energi. Penelitian ini menemukan bahwa peningkatan asupan serat 12 g per hari secara signifikan dapat menurunkan lingkar perut sebesar 0.63 cm (p < 0.01). Menurut Newby et al. (2009) serat mampu meningkatkan rasa kenyang dan menurunkan rasa lapar. Hal tersebut disebabkan lambatnya pengosongan lambung dan menurunkan indeks glikemik pangan serta memetabolisme asam lemak rantai pendek sehingga menurunkan asupan energi menjadi. Perbedaan hasil dengan penelitian yang dilakukan dapat disebabkan oleh asupan serat subjek yang sebagian besar kurang dari kebutuhan. Rata-rata asupan subjek baik subjek dengan obesitas sentral dan normal tidak berbeda berdasarkan uji beda T-Test. Asupan serat subjek jauh di bawah anjuran 20-30 g per hari (Almatsier 2009). Menurut Zulaika (2011) tidak terdapat perbedaan antara asupan serat penderita obesitas dengan subjek normal. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa konsumsi serat subjek mayoritas di bawah 20 g. Penyebab rendahnya asupan serat yaitu kurangnya konsumsi sayur dan buah.
35
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi pearson terhadap hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.01 yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara tingkat aktivitas fisik dengan lingkar perut. Korelasi antar dua variabel tersebut adalah negatif dan sedang (r = -0.363). Menurut Du et al. (2013) yang melakukan penelitian di China menemukan bahwa terdapat hubungan negatif dengan korelasi kuat antara aktivitas fisik dengan lingkar perut. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa laki-laki memiliki waktu luang yang lebih banyak daripada perempuan. Masyarakat yang tinggal di perkotaan cenderung memiliki aktivitas fisik yang lebih rendah daripada pedesaan. Menurut Koh-Banerjee et al. (2003) aktivitas fisik yang tinggi memiliki hubungan negatif dengan pertambahan lingkar perut. Laki-laki yang melakukan aktivitas berat 1-3 jam per minggu memiliki hubungan yang signifikan terhadap penurunan lingkar perut. Aktivitas fisik seperti berkebun tidak memiliki hubungan terhadap penurun lingkar perut. Aktivitas fisik dapat menurunkan obesitas sentral melalui penggunaan lemak dari bagian intraabdominal. Sama halnya dengan Saelans et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara aktivitas fisik dengan lemak visceral yang mayoritas terdapat di bagian abdominal dan lemak subkutan. Hubungan Riwayat Obesitas Orang Tua dengan Lingkar Perut Berdasarkan uji korelasi spearman terhadap hubungan antara riwayat obesitas orang tua dengan lingkar perut diketahui nilai signifikansi p = 0.061 yang menunjukkan tidak ada hubungan antara riwayat obesitas orang tua dengan lingkar perut. Namun terdapat kecenderungan positif pada hubungan kedua variabel (r = 0.267). Subjek yang memiliki lingkar perut besar cenderung memiliki orang tua gemuk baik bapak maupun ibu. Hubungan yang tidak signifikan juga didapatkan dari penelitian Rosdiana (2014) bahwa obesitas pada orang tua tidak berpengaruh pada obesitas sentral subjek penelitian. Menurut Kantachuvessiri et al. (2005) tidak terdapatnya hubungan antara riwayat obesitas keluarga dengan obesitas sentral pada subjek dapat disebabkan oleh perubahan pola asuh makan akibat bertambahnya usia dan adanya interaksi antara gen dengan lingkungan. Penelitan ini juga menambahkan bahwa lingkungan diduga memiliki pengaruh yang lebih besar.
Faktor Risiko Obesitas Sentral Menurut Koh-Banerjee et al. (2003) variabel yang berhubungan dengan pertambahan lingkar perut yaitu kebiasaan merokok, aktivitas fisik, asupan serat, asupan lemak trans. Menurut Rosidana (2014) berdasarkan hasil analisis multivariate bahwa pendapatan merupakan faktor risiko obesitas sentral. Menurut Stewart-knox (2012) bahwa faktor penyebab obesitas sentral di Inggris dan Portugal yaitu rendahnya pendidikan, konsumsi alkohol, stres dan aktivitas fisik yang rendah. Faktor-faktor yang memilik hubungan signifikan dengan lingkar perut pada penelitian ini selanjutnya dimasukkan ke dalam model regresi. Uji regresi logistik digunakan untuk mengetahui variabel yang menjadi faktor risiko obesitas sentral
36
pada subjek. Tabel 24 menyajikan hasil analisis multivariate variabel dependen dan independen dengan selang kepercayaan 95%. Tabel 24 Faktor risiko obesitas sentral Variabel Sig. Usia 0.818 Status perkawinan 0.596 Pangkat 0.246 *Tingkat kecukupan lemak 0.027 Aktivitas fisik 0.138 Ukuran keluarga 0.206
OR 0.976 1.915 1.781 1.181 0.004 11.046
*Signifikansi bermakna (p < 0.05)
Berdasarkan hasil yang terdapat pada tabel di atas, faktor risiko yang berhubungan signifikan dengan obesitas sentral adalah tingkat kecukupan lemak (p = 0.027 ; OR = 1.181). Orang yang memiliki asupan lemak berlebih akan berisiko 1,181 kali mengalami obesitas sentral dibandingkan dengan orang yang memiliki asupan lemak cukup. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya menurut Newby et al. (2009) lemak merupakan zat gizi makro dengan kandungan energi paling besar per satuannya dan memiliki hubungan yang positif terhadap kenaikan massa tubuh dan lingkar perut. Perubahan diet dengan menurunkan kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak mampu menurunkan indeks massa tubuh dan lingkar perut. Hal tersebut juga didukung oleh Koh-Banerjee et al. (2003) yang melakukan penelitian di Amerika Serikat selama sembilan tahun menemukan bahwa dengan melakukan pengurangan asupan lemak mampu meningkatkan persentase asupan energi dari karbohidrat yang pada akhirnya dapat meningkatkan asupan serat. Variabel selain tingkat kecukupan lemak yang secara analisis bivariate memiliki hubungan signifikan dengan lingkar perut, secara multivariate tidak berhubungan secara signifikan. Variabel-variabel tersebut bisa jadi berhubungan namun tidak dapat dikategorikan sebagai faktor risiko obesitas sentral. Hal ini dapat disebabkan adanya faktor-faktor lain yang diduga juga menjadi penyebab obesitas sentral. Adanya interaksi antar variabel dalam analisis dapat menyebabkan suatu variabel menjadi tidak signifikan (Kantachuvessiri et al. 2005).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Lebih dari setengah subjek berusia ≤ 45 tahun. Sebagian besar tingkat pendidikan akhir subjek adalah SMA/sederajat. Lebih dari 50% subjek sudah kawin. Ukuran keluarga subjek mulai dari kecil hingga sedang dengan proporsi terbanyak pada kelompok keluarga kecil. Sebagian besar pangkat subjek yaitu Bripda, Brigpol dan Bripka. Sebagian besar subjek (52%) menghisap rokok <10 batang per hari. Rata-rata pendapatan subjek sebesar Rp 2 108 000 ± 1 167 562. Pengetahuan gizi subjek sebagian besar termasuk kategori rendah. Sebagian besar subjek memiliki kebiasaan merokok.
37
Lebih dari 50% subjek memiliki frekuensi makan 2-3 kali per hari dan memiliki kebiasaan makan makanan manis. Kurang dari 50% subjek yang memiliki kebiasaan makan makanan berlemak/jeroan dan makanan cepat saji. Tidak terdapat perbedaan kebiasaan makan baik pada subjek obesitas sentral maupun normal. Makanan manis yang sering dikonsumsi yaitu gula pasir, teh manis dan susu kental manis sedangkan makanan berlemak yang sering dikonsumsi yaitu gorengan. Sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan energi, protein dan lemak masing-masing cukup, defisit ringan dan cukup. Asupan serat subjek tergolong rendah. Terdapat perbedaan pada tingkat kecukupan protein, energi dan lemak antara subjek dengan obesitas sentral dan normal namun tidak terdapat perbedaan pada asupan serat. Aktivitas fisik subjek sebagian besar tergolong ringan. Terdapat perbedaan antara aktivitas fisik subjek obesitas sentral dengan subjek normal. Aktivitas fisik subjek dengan obesitas sentral lebih rendah dibandingkan dengan subjek normal. Lebih dari 50% subjek memiliki status gizi lebih (overweight 30% dan obesitas 26%). Proporsi subjek obesitas sentral dan normal hampir sama namun sedikit lebih tinggi pada subjek normal. Berdasarkan uji korelasi pearson terdapat hubungan signifikan antara lingkar perut dengan usia (p = 0.02; r = 0.423), pangkat (p = 0.011; r = 0.355), tingkat kecukupan lemak (p = 0.01; r= 0.360) dan aktivitas fisik (p = 0.01; r = 0.363). Berdasarkan uji korelasi spearman terdapat hubungan antara lingkar perut dengan status perkawinan (p = 0.001; r = 0.513) dan ukuran keluarga (p = 0.007; r = 0.374). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lingkar perut dengan pendidikan terakhir, pengetahuan gizi, pendapatan, kebiasaan merokok, riwayat obesitas orang tua, tingkat kecukupan energi, protein dan serat (p > 0,05). Berdasarkan analisis multivariate, variabel yang berhubungan signifikan dengan lingkar perut adalah tingkat kecukupan lemak (p = 0.027; OR = 1.181). Orang yang memiliki asupan lemak berlebih akan berisiko 1,181 kali mengalami obesitas sentral dibandingkan dengan orang yang memiliki asupan lemak cukup.
Saran Tingkat kegemukan dan obesitas sentral di Kepolisan Resort Ogan Komering Ilir (OKI) cukup tinggi. Program-program untuk pencegahan dan peyelesaian masalah tersebut sebaiknya segera dilakukan contohnya senam kebugaran yang dilaksanakan minimal dua kali per minggu. Selain itu, edukasi gizi kepada seluruh anggota juga sebaiknya dilakukan. Hal ini dikarenakan skor pengetahuan gizi subjek sebagiann besar tergolong dalam kategori rendah. Edukasi yang diberikan mengenai pemilihan bahan makanan terutama terkait pembatasan asupan lemak. Hal tersebut berkaitan dengan faktor risiko obesitas sentral pada Kepolisian Resort Kabupaten OKI yaitu tingkat kecukupan lemak. Desain peneilitian ini adalah cross sectional. Desain tersebut kurang menggambarkan hubungan sebab akibat. Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan desain yang lebih baik dalam menggambarkan hubungan sebab akibat sehingga dapat menjelaskan faktor risiko obesitas sentral lebih baik. Desain yang disarankan seperti desain cohort.
38
DAFTAR PUSTAKA Abbasi F, Blasey C, Reaven GM. 2013. Cardiometabolic risk factors and obesity: does it matter whether BMI or waist circumference is the index of obesity?. Am J Clin Nutr. 98:637–40. Adiningrum. 2008. Karakteristik kegemukan pada anak sekolah dan remaja di Medan dan Jakarta Selatan. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor Almatsier S. 2009. Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID) : Gramedia. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1997. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN. Ball K, Mishra G, Crawford D. 2002. which aspects of socioeconomic status are related to obesity among men and women. Internatonal Journal of Obesity. 26:559-565. Barasi ME. 2003. Human Nutrition a Health Perspective 2nd Edition. Boca Ratom (US): CRC Press Taylor & Francis Group Barbeau P, Johnson MH, Howe CA, Allison J, Davis LD, Gutin B, Lemmons, CR. 2007. Ten months of exercise improves general and visceral adiposity, bone, and fitness in Black girls. Obesity. 15(15):2077-2085. Baumgartner RN, Roche AF, Guo S, Chumela WC, Ryan AS. 1990. Fat patterning and centralized obesity in Mexican-American Children in the Hispanic Health and Nutrition Examination. Am J Clin Nutr. 53:936S-43S. Benotti PN, Bistrian B, Benotti JR, Blackburn G, Forse RA. 1992. Heart disease and hypertension in severe obesity:the benefits of weight. Am J Clin Nutr. 55:586S-90S. Beydoun MA, Kuczmarski MTF, Mason MA, Ling SM, Evans MK, Zonderman AB. 2009. Role of depressive symptoms in explaining socioeconomic status disparities in dietary quality and central adiposity among US adults: a structural equation modeling approach. Am J Clin Nutr. 90:1084-1095. Boyce R, Jones G, Lloyd C, Boone E. 2008. A longitudinal observation of police: body composition changes over 12 years with gender and race comparasion. Journal of Exercise Physiologyonline. 11:1-13. Brandhagen M, Forslund, Lissner L, Winkvist A, Lindroos AK, Carlsson LM, Sjostrom L, Larsson I. 2012. Alcohol and macronutrient intake patterns are related to general and central adiposity. European Journal of Clinical Nutrition. 66:305-313. doi:10.1038/ejcn.2011.189. Canoy D et al. 2005. Cigarette smoking and fat distribution in 21.828 British men and women: a population-based study. Obesity. 13: 1466-1475. Chiolero A, Jacot-Sadowski I, Faeh D, Paccaud F, Cornuz J. 2007. Association of cigarettes smoked daily with obesity in a general adult population. Obesity. 15:1311-1318. Dahlianti R, Nasoetion A, Roosita K. 2005. Keragaan perawatan kesehatan masa nifas, pola konsumsi jamu tradisional dan pengaruhnya pada ibu nifas di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Bogor (ID). Media Gizi dan Keluarga. 29 (2): 55-56.
39
Dekkers JC, Podolsky RH, Treiber FA, Guti B, Sneider H. 2004. Development of general and central obesity from childhood into early adulthood in African American and European American males and females with a family history of cardiovascular disease. Am J Clin Nutr. 79:661– 8. Deni, Dwiriani CM. 2009. Pengetahuan gizi, aktivitas fisik, konsumsi snack dan pangan lainnya pada murid sekolah dasar di Bogor yang berstatus gizi nromal dan gemuk. Jurnal Gizi dan Pangan. 4(2):91-96. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2013. Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam Angka. [internet]. [diunduh pada 2015 Maret 6]. Tersedia pada http://go.kaboki.go.id/profil/kabupaten-oki-dalam-angka Colditz GA. 1992. Economic cost of obesity. Am J Clin Nutr.55:503S-7S. Drapeau V, Despres JP, Bouchard C, Fournier G, Leblanc C, Tremblay A. 2004. Modifications in food-group consumption are related to long-term bodyweight changes. Am J Clin Nutr. 80:29–37. Drewnoski A, Specter SE. 2004. Poverty and obesity: the role of energy density and energy costs. Am J Clin Nutr. 79:6 –16. Du et al. 2013. Physical activity and sedentary leisure time and their associations with BMI, waist circumference, and precentage body fat in 0,5 million adults: The China Kadoorie Biobank study. Am J Clin Nutr. 97:487-496. Ebrahimi-Mameghani M, Scott JA, Der G, Lean MEJ, Burns CM. 2008. Change in weight and waist circumference over 9 years in Scottish population. European Journal of Clinical Nutrition. 62:1208-1214. Erem C et al. 2004. Prevalence of obesity and associated risk factors in a Turkish population (Trabzon City, Turkey). Obesity. 12:1117–1127. Firdaus A. 2014. Gaya hidup, pola konsumsi pangan, status gizi, dan produktivitas kerja penderita hipertensi dan non-hipertensi. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Gakidou E et al.2014. Global, regional, and national prevalence of overweight and obesity in children and adults during 1980—2013: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2013. The Lancet. 14:60460-8. doi:10.1016/S0140-6736 Garn SM, Sullivan TV, Howthrone VM. 1989. Fatness and obesity of the parents of obese individuals. Am J Clin Nutr. 50:1308-1313. Gordon-Larsen P. 2001. Obesity-related knowledge, attitudes, and behaviors in obese and non-obese urban philadelphia female adolescents. Obesity research. 9:112-118 Guallar-Castillo´n P, et al. 2007. Intake of fried foods is associated with obesity in the cohort of Spanish adults from the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition. Am J Clin Nutr. 86:198 –205. Halkjær J, Tjønneland A, Thomsen BL, Overvand K, Sørensen TIA. 2006. Intake of macronutrients are predictors of 5-y changes in waist circumference. Am J Clin Nutr. 84:789-787. Hardinsyah, Tambunan . 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII
40
:Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta, 17-19 Mei 2004. ________, Retnaningsih, Herawati T, dan Wijaya R. 2002. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor : Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG). Bogor (ID): IPB. Huang C-J, Hu H-T, Fan Y-F, Liao Y-M, Tsai P-S. 2010. Association of breakfast skipping with obesity and health-related quality of life: evidence from a national survey in Taiwan. International Journal of Obesity. 34:720-725. Istiqamah N, Sirajuddin S, Indriasari R. 2013. Hubungan pola hidup sedentarian dengan kejadian obesitas sentral pada pegawai pemerintah di kantor bupate kabupaten Jeneponto. Program Studi Imu Gizi, FKM Unhas. Jahari AB, Sumarno I. 2001. Epidemiologi Konsumsi Serat di Indonesia. Gizi Indonesia volume 25. Persatuan Ahli Gizi Indonesia. Bogor. Janghorbani M et al. 2007. First nationwide survey of prevalence of overweight, underweight, and abdominal obesity in Iranian adults. Obesity. 15:27972808. Kantachuvessiri A, Sirivichayakul C, KaewKungwal J, Tungtrongchitr R, Lotrakul M. 2005. Factor associated with obesity among workers in a metropolitan waterworks authority. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 36: 10571065. Kepolisian Resort OKI. 2014. Laporan bulanan kekuatan personel pada Bulan September 2014. Palembang (ID). Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB. Klein S, Allison DB, Heymsfield SB, Kelley DE, Leibel RL, Nonas C, Kahn R. 2007. Waist circumference and cardiometabolic risk: a consensus statement from Shaping America’s Health: Association for Weight Management and Obesity Prevention; NAASO, the Obesity Society; the American Society for Nutrition; and the American Diabetes Association. Diabetes Care. 30:16471652. Koh-Banerjee P, Chu N, Spiegeman D, Rosner B, Colditz G, Willet W, Rimm E. 2003. Prospective study of the association of changes in dietary intake, physical activity, alcohol consumption, and smoking with 9-y gain in waist circumference among 16 587 US men. Am J Clin Nutr. 78:719–727. Kuk JL, Lee S, Heymsfield SB, Ross R. 2005. Waist circumference and abdominal adipose tissue distribution: influence of age and sex. Am J Clin Nutr. 81:1330-1334. Lee CD, Jacobs DR, Schriener PJ, Iribarren C, Hankinson A. 2007. Abdominal obesity and coronary artery calcification in young adults: the Coronary Artery Risk Development in Young Adults (CARDIA) Study. Am J Clin Nutr. 86:48 –54. Lipoeto NI, Lin KG, Angeles-Agdeppa I. 2012. Food consumption patterns and nutrition transition in South-East Asia. Public Health Nutrition. 16(9): 1637-1643.
41
Lwangan SK, Lemeshow S. 1991. Sample Size Determination in Health Studies. Geneva (SW): World Health Organization. McKeigue PM, Shah B, Marmot MG. 1991. Relation of central obesity and insulin resistence with high prevalence and cardiovascular risk in Sotuh Asians. Lancet. 1991;337:382-386. Mendez MA, Cooper RS, Luke A, Wilks R, Bennet F, Forrester T. 2004. Higher income is more strognly associated with obesity than with obesity related metabolic disorder in Jamaican adults. International Jounal of Obesity. 28:543-550. Mustamin. 2010. Asupan energi dan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas sentrla pada ibu rumah tangga di Kelurahan Ujung Pandang Baru di Kecamatan Tallo Kota Makassar. Media Pangan dan Gizi. 10: 60-65. Mustelin L, Silventoinen, Pietilainen, K, Rissanen A, Kaprio L. 2009. Physical activity reduces the influence of genetic effects on BMI and waist circumference: a study in young adult twins. International Journal of Obesity. 33:29-36. Newby PK, Muller D, Hallfrisch J, Qiao N, Andreas R, Tucker KL. 2003. Dietary patterns and change in body mass index and waist circumference in adults. Am J Clin Nutr. 77: 1417-1425. Ong SK, Fong CW, Ma S, Lee J, Heng D, Deurenberg-Yap M, Low Y-L, Tan M, Lin W-Y, Tai ES. 2009. Longitudinal study of socio-demographic determinants of change in body weight and waist circumference in a multiethnic Asian population. International Joutnal of Obesity. 33:1299-1308. Peraturan Pemerintah RI No 12 tahun 2002. Perubahan atas peraturan No 99 tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat PNS RI. Pramudita RA. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Rifai A, Gulat MEM. 2003. Identifikasi Tingkat Konsumsi Pangan Masyarakat di Kabupaten Pelalawan [internet]. Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru (ID). SAGU, Maret 2003, Vol. 2 No. 3: 34-44 ISSN 1412-4424; [diunduh 2014 Okt 29]. Tersedia pada http://download.portalgaruda.org/article.php?article=32207&val=2286 [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Prevalensi obesitas sentral. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. ____________. 2010. Prevalensi obesitas sentral. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. Rosdiana AL. 2014. Pengaruh demografi, sosial-ekonomi, gaya hidup, status gizi dan kesehatan terhadap kejadian obesitas sentral pada ibu rumah tangga. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Rosmond R, Bjorntop P. 1999. Psuchosocial and socio-economic factors in women and their relationship to obesity and regional body fat distribution. International Journal of Obesity. 23:138-145.
42
Saelans BE, Seeley RI, Schaick Kv, Donnelly LF, O’Brien KJ. 2007. Visceral abdominal fat is correlated with whole-body fat and physical activity among 8-y-old children at risk of obesity. Am J Clin Nutr. 85:46-53 [Setkab RI] Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. 2013. Gaji Pokok Terendah Anggota TNI/Polri Rp. 1.392 Juta, tertinggi Rp. 5,025 Juta [internet]. [diunduh 2014 Nov 28]; Tersedia pada: http://setkab.go.id/berita-8522-gajipokok-terendah-anggota-tnipolri-rp-1393-juta-tertinggi-rp-5025-juta.html Stevens J, Katz EG, Huxley RR. 2010. Association between gender, age and waist circumference. European Journal of Clinical Nutrition. 64:6-15 Stewart-Knox B, Duffy ME, Bunting B, Parr H, Almeida MDV, Gibney M. 2012. Association between obesity (BMI and waist circumference) and sociodemographic factors, physical activity, dietary habits, life events, resilence, mood, perceived stress and hopelessness in healthy older Europeans. BMC Public Health. 12:424. St-Onge M-P, Keller KL, Heymsfield SB. 2003. Change in childhood food consumption patterns: a cause fo concern in light of increasing body weight. Am J Clin Nutr. 78: 1068-1073. Sugianti E. 2009. Faktor risiko obesitas sentral pada orang dewasa di Sulawesi Utara, Gorontalo dan DKI Jakarta. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Takushi. 2014. Obesity is a sizable problem for police officer [internet]. [diunduh pada 2014 November 18]. Tersedia pada http://guardianlv.com/2014/04/obesity-is-a-sizable-problem-for-policeofficers/. Diakses pada hari selasa 24 September 2014. Togo P, Osler M, Sorensen TIA, Heitman BL. 2004. A longitudinal study of food intake patterns and obesity in adult Danish men and women. International Journal of Obesity. 28: 583-593. Triwinarto A, Muljati S, Jahari AB. 2012. Cut-Off indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut sebagai indikator risiko diabetes dan hipertensi pada orang dewasa di Indonesia. Penel Gizi Makanan 2012;35(2):119-135 Uliyah M, Hidayat AAA. 2008. Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan Ed ke-2. Nurdini A, editor. Jakarta (ID): Penerbit Salemba Medika. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 30 (4). 1945. Tugas dan Kewajiban Polri. Undang-Undang RI No 2. 2002. Kepolisian Negara Republik Indonesia. Viillareal DT, Apovian CM, Kushner RF, Klein S. 2005. Obesity in older adults: technical review and position statement of the American Society for Nutrition and NAASO, The Obesity Society. Am J Clin Nutr 2005;82:923– 34. Wang Y, Beydoun MA. 2009. Meat consumpotion is associated with obesity and central obesity among US adults. International Journal of Obesity. 33:621628 Wang Y, Rimm EB, Stampfer MJ, Willet WC, Hu FB. 2005. Comparison of abdominal adiposity and overall obesity in predicting risk of type 2 diabetes among men. Am J Clin Nutr. 81:555– 63.
43
WHO. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Report of a WHO consultation. Geneva, Switzerland. ______1995. Physical Status : The Use and Interpretation of Anthropometry. Geneva, Switzerland. Xu F, Yin XM, Wang Y. 2007. The Association between amount of cigarettes moked and overweight, central obesity among Chinese adults in Nanjing, China. Asia Pac J Clin Nutr. 16 (2):240-247. Yani S, Syam A, Alharini S. 2014. Hubungan pengetahuan gizi dan pola makan dengan overweight dan obesitas pada mahasiswa Universitas Hasanudi angkatan 2013. Bagian Ilmu Gizi Kesehatan FKM Unhas. Young TK, Sevenhusyen G. 1989. Obesity in northern Canadian Indians: patterns, determinants, and consequences. Am J Clin Nutr. 49: 786-793. Zainun M. 2002. Obesitas dan faktor penyebabnya. www.e-psikologi.com [2 Desember 2014] Zulaika. 2011. Konsumsi serat dan fast food serta aktivitas fisik orang dewasa yang berstatus gizi obes dan normal. [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
44
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil Korelasi Karakteristik Subjek, Kebiasaan Merokok, Pola Konsumsi Pangan, Tingkat Kecukupan Gizi dan Aktivitas Fisik dengan Lingkar Perut Korelasi Pearson LP LP
Korelasi Pearson
Pangkat .355*
1
Sig. (2-tailed)
.011
N Pangkat
Korelasi Pearson Sig. (2-tailed)
50
50
.355*
1
.011
N
50 LP
LP
Korelasi Pearson
50 Pendapatan
1
.157
Sig. (2-tailed)
.277
N Pendapatan
50
50
Korelasi Pearson
.157
1
Sig. (2-tailed)
.277
N
50 LP
LP
Korelasi Pearson
TKE 1
Sig. (2-tailed) N TKE
50
.255 .074
50
50
Korelasi Pearson
.255
1
Sig. (2-tailed)
.074
N *. Signifikansi bermakana (p < 0.05)
50
50
45
Korelasi Pearson (lanjutan) LP LP
Korelasi Pearson
TKL .360*
1
Sig. (2-tailed)
.010
N TKL
Korelasi Pearson Sig. (2-tailed)
50
50
.360*
1
.010
N
50 LP
LP
Korelasi Pearson
50 TKG
1
.101
Sig. (2-tailed)
.486
N TKP
50
50
Korelasi Pearson
.101
1
Sig. (2-tailed)
.486
N
50 LP
LP
Korelasi Pearson
50 usia .423**
1
Sig. (2-tailed)
.002
N usia
Korelasi Pearson Sig. (2-tailed)
50
50
.423**
1
.002
N
50 LP
LP
Korelasi Pearson
PAL 1
Sig. (2-tailed) N PAL
Korelasi Pearson Sig. (2-tailed) N *. Signifikansi bermakna (P < 0.05) **. Signifikansi bermakna (P < 0.01)
50
-.363** .010
50
50
-.363**
1
.010 50
50
46
Korelasi Perason (lanjutan) LP LP
Korelasi Pearson
PenGiz 1
Sig. (2-tailed)
.482
N PenGiz
50
50
Korelasi Pearson
.102
1
Sig. (2-tailed)
.482
N
50 LP
LP
Korelasi Pearson
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
50 Asupan_Serat
1
Sig. (2-tailed)
Asupan_Serat
.102
-.052 .719
50
50
-.052
1
.719 50
50
47
Korelasi Spearman LP Spearman's rho
LP
Koefisien korelasi
1.000
.267
.
.061
50
50
Correlation Coefficient
.267
1.000
Sig. (2-tailed)
.061
.
50
50
Sig. (2-tailed) N Riwayat_Obesitas
Riwayat_Obesitas
N LP Spearman's rho
LP
Koefisien korelasi
1.000
.374**
.
.007
50
50
.374**
1.000
.007
.
50
50
Sig. (2-tailed) N Ukuran_Keluarga
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed)
Ukuran_Keluarga
N LP Spearman's rho
LP
Koefisien korelasi
1.000
.513**
.
.000
50
50
.513**
1.000
.000
.
50
50
Sig. (2-tailed) N Status_Perkawinan Koefisien korelasi Sig. (2-tailed)
Status_Perkwinan
N LP Spearman's rho
LP
Koefisien korelasi
1.000
.094
.
.515
50
50
Koefisien korelasi
.094
1.000
Sig. (2-tailed)
.515
.
50
50
Sig. (2-tailed) N Pendidikan
Pendidikan
N *. Signifikansi bermakna (P < 0.05) **. Signifikansi bermakna (P < 0.01)
48
Korelasi Spearman (lanjutan) LP Spearman's rho LP
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
Kebiasaan_Merokok
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
Kbiasn_Merokok
1.000
-.124
.
.391
50
50
-.124
1.000
.391
.
50
50
49
Lampiran 2 Hasil uji beda tingkat kecukupan energi, protein, lemak, serat, aktivitas fisik, dan kebiasaan konsumsi makanan berisiko antara subjek obesitas sentral dan normal Uji Beda Test Selang kepercayaan 95%
Sig. t
Df
(2-tailed)
Rata-rata
Nilai terkecil
Nilai terbesar
TKE_Obes
35.470
23
.000
92.04167
86.6737
97.4097
TKE_Nrm
38.407
25
.000
84.92308
80.3692
89.4769
TKP_Obes
21.122
23
.000
86.41667
77.9531
94.8802
TKP_Nrm
29.516
25
.000
86.03846
80.0350
92.0419
Selang kepercayaan 95%
Sig. t
Df
(2-tailed)
Rata-rata
Nilai terkecil
Nilai terbesar
TKL_Obes
22.464
23
.000
23.83333
21.6386
26.0281
TKL_Nrm
20.877
25
.000
19.84615
17.8883
21.8040
Selang kepercayaan 95%
Sig. t
Df
(2-tailed)
Rata-rata
Nilai terkecil
Nilai terbesar
Serat_obes
15.378
23
.000
9.33333
8.0778
10.5889
Serat_Normal
16.016
25
.000
9.30769
8.1108
10.5046
Selang kepercayaan 95%
Sig. t
Df
(2-tailed)
Rata-rata
Nilai terkecil
Nilai terbesar
PAL_Obes
81.023
23
.000
1.57020
1.5301
1.6103
PAL_Normal
56.295
25
.000
1.65921
1.5985
1.7199
Selang kepercayaan 95%
Sig. t
Df
(2-tailed)
Rata-rata
Nilai terkecil
Nilai terbesar
TKL_Obes
22.464
23
.000
23.83333
21.6386
26.0281
TKL_Nrm
20.877
25
.000
19.84615
17.8883
21.8040
*. Signifikansi bermakna (P < 0.05) **. Signifikansi bermakna (P < 0.01)
50
Uji Beda Mann-Whitney Frekuesi makan Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Konsumsi Makanan manis
Konsumsi jeroan
Konsumsi fast food
53.000
52.000
48.000
44.000
108.000
188.000
84.000
180.000
-1.152
-.876
-1.146
-1.499
.249
.381
.252
.134
.341a
.490a
.350a
.238a
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Serigeni, Kecamatan Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 7 Juli 1994 dari pasangan Hatta dan Siti Maryam. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Awal pendidikan penulis dimulai dari SDN 1 Serigeni Baru tahun 1999-2005 kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 4 Kayuagung tahun 20052008. Tahun 2008-2011 penulis menempuh pendidikan di SMAN 1 Kayuagung. Tahun 2011 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan dan mendapatkan Beasiswa Bidik Misi dari Kementerian Pendidikan RI. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis merupakan pengurus HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi), pada tahun 2013 sebagai anggota Divisi Peduli Pangan dan Gizi dan pada tahun 2014 diamanahkan menjadi Ketua HIMAGIZI. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti Nutrition Fair, pada tahun 2013 sebagai staf Divisi Acara dan pada tahun 2014 menjadi steering committee. Penulis sering kali mendapat dana Hibah Dikti pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2012, 2013 dan 2014. Penulis pernah mendapatkan Juara 2 National Nutrition Olympiad di Malang dan sebagai finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah di Kendari. Tahun 2014 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Kalongliud, Kecamatan Nanggung, Bogor. Pada Bulan November-Desember, penulis mengikuti Internship Manajemen Sistem Penyelenggaraan dan Dietetik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.