Sugeng Riadi dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 313-318, September 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN PETERNAK SAPI DI KABUPATEN BANYUMAS FACTORS AFFECTING INCOME OF BEEF CATTLE FARMERS IN BANYUMAS Sugeng Riadi*, Syarifuddin Nur dan Krismiwati Muatip Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik petani peternak sapi potong di Kabupaten Banyumas dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan peternak sapi potong. Subyek penelitian yang digunakan adalah peternak sapi potong di Kabupaten Banyumas. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei. Pengambilan sampel menggunakan Stratified Random Samplin. Jumlah sampel sebanyak 69 responden. Analisis data secara deskriptif dan uji regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa, petani peternak sapi di Banyumas umumnya sudah tidak produktif (berumur diatas 45 tahun) dan pekerjaan utama sebagai petani. Peternak memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 4 jiwa. Rata-rata pendidikan peternak 9 tahun. Lama berternak kisaran > 15 tahun dan jenis sapi yang dipelihara mayoritas adalah sapi PO. Variabel yang berpengaruh terhadap pendapatan adalah pekerjaan utama dengan nilai p<0,001. Kata Kunci : Pendapatan, Peternak Sapi Potong, Lama Berternak, Pekerjaan Utama. ABSTRACT The purposes study were to knowing characteristics of beef cattle farmers in Banyumas, (2) to determine factors affecting income of beef cattle farmers.The study was conducted using survey method for 69 respondents which were chosen using stratified random sampling. Data was analyzed using descriptive statistic and multiple linear regression tests. The results showed that the beef cattle farmers in Banyumas were in unproductive age (above 45 years old) and farmer was their livelihood. The farmers have a family size of more than 4 persons and attained minimum education level of 9 years. Their farming experience was more than 15 years and Ongole Crossing (PO) was mainly maintained by the farmers. Their livelihood (main occupation) was significant factors to affect the income of farmers (p<0.001). Key word : Income, Beef Cattle, Farming Experienced, Occupation. PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya gizi khususnya protein hewan setiap tahun selalu meningkat, menyebabkan permintaan produk hewan semakin meningkat. Salah satu produk peternakan yang mengalami peningkatan permintaan adalah daging sapi. Kondisi ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi peternak sapi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Jumlah populasi yang terbatas dan tingginya permintaan daging sapi di masyarakat menyebabkan pada kawasan sumber bibit/bakalan terjadi kekurangan stok bibit sehingga banyak terjadi pemotongan sapi betina dan betina produktif. Hal sebaliknya yaitu, hampir semua ternak jantan didistribusikan ke kawasan lain untuk memenuhi permintaan pasar di daerah yang populasi ternak sapinya hampir habis dan untuk konsumsi lokal dilakukan pemotongan sapi betina 313
Sugeng Riadi dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 313-318, September 2014
termasuk juga yang produktif. Diperkirakan jumlah pemotongan sapi betina produktif sekitar 200 ribuan ekor (Puslitbangnak, 2008). Puslitbangnak dengan sistem observasi cepat pada tahun 2009 mendapatkan pada salah satu kawasan memotong 97% sapi betina dan 80%nya adalah betina produktif. Hal ini menyebabkan stok bibit nasional semakin berkurang dan pada gilirannya pertambahan populasi sapi lokal terhambat. METODE Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei. Penetapan sampel menggunakan Stratified Random Sampling, jumlah sampel sebanyak 69 responden. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banyumas. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data hasil wawancara dengan kuesioner kepada responden serta data sekunder tentang data jumlah peternak dari Dinas Peternakan Purwokerto. Variabel yang diukur yaitu: 1) pendapatan (Y), 2) umur (X1), 3) pekerjaan utama(X2), 4) jumlah anggota keluarga (X3), 5) tingkat pendidikan (X4), 6) lama berternak (X5), 7) jumlah sapi (X6), 8) jenis sapi (X7). Analisis data secara deskriptif dan uji regresi linier berganda. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Berdasarkan hasil penelitian didapat hasil bahwa, sebnayak 37 responden (53.60%) pada usia tidak produktif yaitu pada kisaran umur diatas 45 tahun. Chamdi (2003), semakin muda usia peternak (usia produktif 20–45 tahun) umumnya rasa keingintahuan tarhadap sesuatu semakin tinggi dan terhadap introduksi teknologi semakin tinggi. Sebanyak 61 responden (88,4%) memiliki mata pencaharian sebagai petani/buruh. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang mampu mendogkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, sebagian masyarakat beternak sapi sebagai pekerjaan sampingan. Hadi, et all (2002) menyatakan, kecilnya skala usaha pemeliharaan sapi di daerah pertanian intensif disebabkan peternakan merupakan usaha yang dikelola oleh rumah tangga petani dengan modal tenaga kerja dan manajemen yang terbatas. Sebagian besar responden (60.90%) mempunyai keluarga besar yaitu lebih dari 4 jiwa. Jumlah tanggungan keluarga dapat mempengaruhi kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga (Soekartawi, 2002). Sebanyak 67 responden (97,1%) memiliki tingkat pendidikan dasar (9 tahun). Tingkat pendidikan yang rendah tidaklah menjadi penghalang untuk memelihara ternaknya karena responden sudah mempunyai banyak pengalaman selama memelihara ternaknya maupun pengalaman orang lain dalam beternak. Wirdahayati (2010) menyatakan bahwa, peternak yang berpendidikan rendah biasanya lebih sulit menerima inovasi teknologi baru yang berkaitan dengan usaha ternak, dan cenderung menekuni apa yang biasa dilakukan oleh orang tuanya. Sebanyak 29 responden (42,00%) memiliki lama beternak kurang dari 5 tahun. Sebanyak 28 responden (40,60%) memiliki lama berternak lebih dari 15 tahun, 6 responden (8,70%) memiliki lama brternak 5–9 tahun, 6 responden sisanya (8,70%) memiliki lama berternak 10–15 tahun. Semakin lama responden berternak, maka makin banyak pengalaman yang didapatkan. Umumnya pengalaman beternak di daerah penelitian diperoleh dari orang tuanya secara turun temurun. Soeharsono et all (2010) mengemukakan bahwa, semakin lama pengalaman peternak 314
Sugeng Riadi dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 313-318, September 2014
membudidayakan ternak sapi potong, memungkinkan untuk lebih banyak belajar dari pengalaman, sehingga dapat dengan mudah menerima inovasi teknologi yang berkaitan dengan usaha ternak sapi potong menuju perubahan baik secara individu maupun kelompok. Sebanyak 44 responden (63.80%) memilih tipe sapi PO. Populasi sapi PO masih sangat dominan karena, pada awalnya daerah tersebut merupakan basis lokasi pengembangan bangsa sapi tersebut. Pemilihan bangsa sapi berkaitan dengan permintaan bakalan untuk usaha penggemukan (Hadi dan Ilham, 2000). Pendapatan Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa, sebanyak 57 responden (82,6%) memiliki pendapatan yang kurang dari Rp 1.000.000/bulan. Hal ini menunjukan bahwa, pendapatan responden masih kecil. Penerimaan responden didapat dari penjualan ternak sapi. Peternak belum memanfaatkan limbah ternak untuk pupuk bagi tanaman petaninya ataupun dijual untuk menambah pendapatan. Biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses produksi, baik secara tunai ataupun tidak tunai (Daniel, 2002). Biaya yang dikeluarkan responden pada penelitian terdiri dari penyusutan kandang, peralatan kandang, pakan, obat-obatan dan IB. Biaya pembuatan kandang bervariasi berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 800.000 dengan umur ekonomis 5 tahun. Pemasaran ternak sapi di daerah penelitian dilakukan dengan penjualan sapi hidup (jogrogan), peternak tidak menjual ternaknya dalam produk daging. Siregar (2003) menyatakan, besarnya penerimaan dari penjualan sapi tergantung pada pertambahan bobot badan sapi dan harga per kg bobot badan. Harga jual produsen di wilayah Banyumas berkisar antara Rp 5.000.000/ekor sampai dengan Rp 15.000.000/ekor pada periode tahun 2012-2013. Hendra (2013) menyatakan, peningkatan harga daging sapi secara terus-menerus berdampak negatif bagi masyarakat namun juga tidak berdampak positif bagi peternak sapi. Kondisi yang ada di sektor produksi, dikhawatirkan semakin besar kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan daging sapi asal domestik dan mengakibatkan harga daging terus mengalami kenaikan. . Jumlah Sapi Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa, sebanyak 50 responden (72,5%) memiliki jumlah tenak sapi kurang dari 3 ekor. Sebanyak 19 responden (27,5%) memiliki jumlah ternak sapi antara 3-6 ekor. Kepemilikan ternak sapi yang sedikit disebabkan modal kecil yang dimiliki peternak, reproduksi sapi yang relatif cukup lama juga lamanya waktu pemeliharaan pedet sampai dewasa untuk siap di jual. Sebanyak 19 responden (27,5%) memiliki jumlah ternak sapi 3-6 ekor. Hal ini karena pada saat penelitian sapi dewasa belum dijual oleh peternak. Peternak menjual ternaknya pada saat peternak membutuhkan biaya untuk keperluannya seperi perbaikan rumah dan hajatan. Selain itu, menjelang idul adha peternak juga banyak yang menjual ternaknya. Peternak belum melakukan seleksi secara ketat pada ternak calon bibit. Peternak mengawinkan ternaknya dengan cara alami atau IB, kemudian setelah pedet lahir dan di sapih maka induk atau pedet salah satunya akan dijual. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab kepemilikan ternak yang cenderung tetap. Berbagai hambatan untuk meningkatkan populasi sapi dapat diidentifikasi, yaitu bibit, pakan, penyakit dan lahan yang sempit (Soekartawi, 2002).
315
Sugeng Riadi dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 313-318, September 2014
Hasil Analisis Regresi Antara Pengaruh Umur, Pekerjaan Utama, Jumlah Anggota Keluarga, Tingkat Pendidikan, Lama Berternak, Jumlah Sapi dan Jenis Sapi Terhadap Pendapatan Peternak Sapi Table 1. Hasil Analisis Pengaruh Umur, Pekerjaan Utama, Jumlah Anggota Keluarga, Tingkat Pendidikan, Lama Berternak, Jumlah Sapi dan Jenis Sapi Terhadap Pendapatan peternak Sapi Variabel Umur Pekerjaan Anggota Keluarga Pendidikan Lama Beternak Jumlah Ternak Jenis Sapi Konstan
B .000 .484 -.002.178 .000 .073 .072 .953 R2
S.E.
Exp(B)
t
Sig.
.005 .139 .028 .277 .004 .050 .093 .267 = 23,2%
-.005.409 -.010.079 .006 .187 .091
-.0343.486 -.084.644 .040 1.457 .776 3.568
.973 .001** .933 .522 .968 .150 .441 .001
Sumber: Data Primer Diolah, 2013. Tabel 1. menunjukkan bahwa, koefesien determinasi (R2) sebesar 23,2%, yang berarti bahwa variabel dependent (pendapatan peternak sapi) dipengaruhi oleh variabel independent (umur, pekerjaan utama, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, lama berternak, jumlah sapi dan jenis sapi) sebesar 23,2%, sedangkan sisanya 76,8% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Ekowati (2012) menyatakan bahwa, pendapatan usaha ternak sapi potong dipengaruhi oleh harga induk, jumlah sapi potong, harga pakan hijauan, upah tenaga kerja dan bangsa ternak. Umur memiliki nilai signifikansi 0,973 berarti bahwa, umur berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan peternak dan ada kecenderungan memiliki pengaruh positif. Umur peternak mempengaruhi tingkat produktifitas peternak. Hal ini menunjukan bahwa, setiap penambahan umur peternak menyebabkan kenaikan pendapatan peternak sapi. Tarmidi (1992) menyatakan, orang muda memiliki kemampuan fisik yang kuat juga mempunyai kemampuan berfikir lebih tajam serta lebih mudah menerima hal-hal baru serta mampu mengembangkan usahanya dan ada kemungkinan menambah pengetahuan serta metode budidaya di bidang usaha ternak sapi potong. Pendapatan rata-rata responden (88,4%) di bawah Rp 1.000.000/bulan. Pendapatan peternak didapat dari pendapatan dari pekerjaan utama ditambah penjualan sapi dikurangi biaya produksi. Sejalan dengan Maulana (2006) yang menyatakan, usaha ternak sapi potong ternyata termasuk ke dalam usaha sampingan dimana pendapatannya kurang dari 30% dari total pendapatan rumah tangga petani peternak sebesar Rp 1.054.000. Anggota keluarga memiliki nilai signifikan 0,933 berarti bahwa, anggota keluarga berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan dan ada kecenderungan memiliki pengaruh negatif. Banyaknya anggota keluarga menjadi beban kerja bagi peternak (suami dan istri) sehingga produktivitas peternak tidak optimum dalam memelihara ternaknya. Jumlah tanggungan keluarga 316
Sugeng Riadi dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 313-318, September 2014
yakni anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga terdiri atas istri, anak, maupun anggota keluarga lainnya. Sebagian besar responden (60,90%) memiliki anggota keluarga lebih dari 4 jiwa. Mestinya makin banyak anggota keluarga makin banyak pekerja yang merawat ternak, tetapi pada kenyataanya tenaga kerja yang bertanggung jawab terhadap ternaknya hanya bapak dan ibu petani sedangkan anak tidak dibebani untuk ikut merawat ternaknya. Menurut Suryana dan Hartanto (2008), bahwa tenaga kerja dalam usaha peternakan berasal dari tenaga kerja sendiri seperti istri dan anak, makin banyak anggota keluarga makin banyak sumber tenaga kerja yang ada. Pendidikan memiliki nilai signifikansi 0,522 terhadap pendapatan berarti bahwa, pendidikan berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan peternak dan ada kecenderungan memiliki pengaruh positive. Hal ini menunjukan bahwa, setiap kenaikan tingkat pendidikan menyebabkan kenaikan pendapatan peternak sapi. Pendidikan responden yang rendah (97,1%) mengakibatkan pengetahuan berternak terbatas, responden memelihara ternaknya berdasar pengalaman yang ada. Meskipun pendidikan rendah tetap berternak sapi potong, berternak sapi potong tidak memerlukan ilmu dari pendidikan formal tetapi dari pengalama. Selaras dengan Yusuf (2004) yang menyatakan, pendidikan yang cukup belum tentu dapat mendorong seseorang untuk mengatasi persolan yang dihadapi, khususnya peternak dalam hal peningkatan pendapatan dan usahanya. Lama berternak memiliki nilai signifikansi 0,968 terhadap pendapatan berarti bahwa, lama berternak berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan namun cenderung memiliki pengaruh positif. Lamanya berternak tidak menjamin dapat meningkatkan pendapatn peternak, karena peternak cenderung menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang sama dalam pemeliharaan ternakya. Semakin lama beternak pengalaman yang diperoleh semakin banyak, sehingga pengelolaan usaha peternakan semakin baik. Namun, pada usaha sapi potong di Kabupaten Banyumas, pengalaman peternak belum mampu memperbaiki tata laksana pemeliharaan sehingga produtivitas ternaknya relatif tetap. Jumlah tenak berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan karena memiliki nilai signifikan 0.150 dan ada kecenderungan semakin banyak jumlah ternak semakin bertambah pendapatannya. Hal ini selaras dengan Raditya (2006) yang menyatakan bahwa, banyaknya jumlah ternak berpengaruh pada pendapatan, semakin banyak jumlah kepemilikan maka pendapatannya juga besar. Kecilnya skala usaha pemeliharaan sapi di daerah pertanian intensif disebabkan peternakan merupakan usaha yang dikelola oleh rumah tangga petani dengan modal, tenaga kerja dan manajemen yang terbatas. Dewanta (2004) menyatakan, peternak mandiri dalam menjalankan aktivitasnya usahanya dibiayai dengan menggunakan modal sendiri. Semakin banyak ternak yang dipelihara maka semakin tinggi modal yang dibutuhkan oleh peternak untuk melakukan usaha atau mendirikan suatu usaha. Jenis sapi memiliki nilai signifikansi 0,441 berarti bahwa, jenis sapi berpengaruh tidak nyata terhadap pendapatan dan ada kecenderungan memiliki pengaruh yang positif. Umumnya bangsa sapi yang dipelihara adalah Peranakan Ongole (PO). Bila sapi yang dipelihara bukan PO pendapatannya semakin tinggi karena harga jual sapi non PO ditempat penelitian harganya lebih tinggi dari sapi PO. Pengamatan saat penelitian diperoleh data bahwa, peternak pada akhir-akhir ini cenderung mengawinkan ternaknya dengan Simmental dan Limousine. Belakangan ini permintaan peranakan bangsa Simmental dan Limousine di pasar meningkat, sehingga permintaan 317
Sugeng Riadi dkk /Jurnal Ilmiah Peternakan 2(1): 313-318, September 2014
untuk bangsa PO cenderung menurun. Pemilihan bangsa sapi berkaitan dengan permintaan bakalan untuk usaha penggemukan (Hadi dan Ilham, 2000). SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan bahwa, petani peternak sapi di Banyumas umumya sudah tidak produktif karena berumur diatsa 45 tahun, dengan pekerjaan utama yaitu sebagai petani. Peternak memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 4 jiwa. Rata-rata pendidikan peternak 9 tahun. Lama berternak kisaran > 15 tahun. Jenis sapi yang dipelihara adalah sapi PO dan variabel yang berpengaruh terhadap pendapatan adalah variabel pekerjaan utama dengan nilai sig. 0,001. DAFTAR PUSTAKA Daniel, M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian Untuk Perencanaan. Univesrsitas Indonesia Press, Jakarta. Hadi, P.U, et all. 2002. A progress report summary: Analytic Framework to Facilitate Development of Indonesia’s Beef Industry. Paper Presented at the “Routine Seminar”. Center for Argo Socio Economic Reserarch and Development. Bogor, 8 Maret 2002. Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2000. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. Bogor. Hendra, S. 2013. Instrumen Pengendalian Harga Daging. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Sekretariat Jenderal DPR RI. Maulana, B. 2006. Kajian Pengembangan Peternak Sapi Potong di Kecamatan Agrabinta Kabupaten Cianjur. Skripsi. IPB. Bogor. Puslitbangnak. 2008. Hasil observasi cepat pemotongan sapi betina produktif di Sumatera Barat, Bengkulu, NTT dan Jawa Timur. Disampaikan dalam diskusi pemotongan sapi betina produktif. Puslitbang Peternakan, November 2008. Raditya. 2006. Analisis Hubungan Struktur Kepemilikan Dengan Kinerja Keuangan Perusahaan Perbankan Persero Dan Perusahaan Swasta Nasional. Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Tarmidi, L.T. 1992. Ekonomi Pembangunan. Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Wirdahayati, R. B. 2010. Kajian Kelayakan dan Adopsi Inovasi Teknologi Sapi Potong Mendukung Program PSDS: Kasus Jawa Timur dan Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional dan Veteriner. Bogor 3-4 Agustus 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hlm 339346. Yudjsa, Y dan Ilham, N. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Agribisnis Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertania. Bogor. Yusuf, M.F 2004. Pendidikan berbasis Sosial Paolo Freire dan YB. Mangunwijaya Longung, Yogyakarta.
318