EDISI 3 NO 2 2015
MAJALAH TRIWULAN
EXPOSURE Kisah Lembusura di Berlinale
CAMPUS LIFE Film Bukan Sekadar Gambar Bergerak
POINT OF VIEW Anak-Anak Sinemateknya Pak Misbach
CLOSE UP Alejandro González Iñárritu: the Mexican wonderkid 1 | Majalah AKSI
Penasihat Umum R.B. Armantono, M.Sn. Penasihat Teknis Arda Muhlisiun, M.Sn. Sam Sarumpaet, M.Sn. Bambang Supriadi, S.Sn. Pemimpin Umum German G. Mintapradja, M.Sn. Pemimpin Redaksi Caecilia Sherina Wakil Pemimpin Redaksi Ella Putri Maning Sekretaris dan Bendahara Redaksi Bella Fitrianah Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Nabilah Putri Dewani Redaktur Bahasa dan Fotografi Bawuk Respati, Asaf Kharisma Putra
MAKSIMAL: Malam AKSI Saling Kenal Lihat Hlm. 16
TABLE OF CONTENTS
EDISI 3 NO. 2 2O15
03 Forewords 04 Contributors 05 Vox Pop & Talkies 06 Exposure 16 Campus Life 34 Close Up 36 Reportage 44 Point of View 56 Cinemascope 2 | Majalah AKSI
60 Viewfinder 62 Galerie de Photos 66 Photography Tips 68 Art & Music 70 Foodie Corner 72 Plot Point 76 Flash Forward 78 Bloopers 79 AKTRIS
Tim Penulisan Mubyar Parangina, Samuel Rustandi, Cemara Weda Chrisalit, Larry Luthfianza Kinanti Larasati, Tri Affandi, Muthiah Khairunnisa, Dhea Algani, Dinda A.F. Suratman, Auliyan Nisaa, Isidorus Kurniadi, Yohanes Rikat Parikesit, Nadyne Ovinda A. Tim Reportase Yudhistya Putri Bharati, Zafira Sekarnegara, Sekar Ayuning Wulansari Amira Shirvani Pasidena, Tamara C. Deliesza, Noprian Rauhul Mahfudz Medika Rahmaputri, Dea Almira A.Y., Adlino Dananjaya, Asfara Saniy Delavykhta, Annisa F.I. Tim Fotografi Alfathir Yulianda, Sabar Budiman, Yudhi Nopriyadi, Muh. Benny Prasetya, Fina Ayu Kumala Devi, Eki Ananda Saputra, Suci Hamidah Syari, Luvitasya Manopo Adelina Anggraini, Ferdy Syahwara Tim Artistik Adhi Abel, M.F. Navildi, Arinie Nur Ferrianti, Rizkia Putri
FOREWORDS
SELAMAT PAGI TEMAN AKSI! Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Seni itu relatif, berkembang dan tidak bisa diukur sampai taraf mana seseorang itu bisa nyeni. Kita semua seniman berada
Sudah 45 tahun sekolah (baca: institut) film pertama di Indonesia berdiri, yakni Institut Kesenian Jakarta, yang dahulu dikenal sebagai Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Selama kurun waktu yang tidak sebentar ini, Fakultas Film dan Televisi telah banyak melahirkan lulusan ahli madya Diploma 3 serta sarjana Strata 1 dan pasca sarjana Strata 2 yang kemudian berkecimpung dalam dunia perfilman dan pertelevisian Indonesia. Pengaruh besar dalam pemikiran dan kontribusi aktif para alumni di industri telah menimbulkan keterikatan emosional, ilmiah, dan bahkan ideologi secara mendalam dalam perkembangan film dan televisi nasional (bahkan internasional). Saya hanya bagian kecil dari Institut ini. Sejak awal saya berkuliah hingga menamatkan jenjang pasca sarjana.
The art of losing’s not too hard to master so many things seem filled with the intent to be lost that their loss is no disaster
Berbicara mengenai film, khususnya dalam bidang pendidikan, bidang studi ini seharusnya tidak dilihat sebagai bagian dalam ilmu komunikasi, namun lebih luas lagi sebagai ilmu kesenian. Saya merasa FFTV adalah wadah yang tepat bagi mereka yang tertarik terhadap ilmu film, bukan ilmu komunikasi apalagi ilmu sosial. Penyempitan kreativitas sedang terjadi sehingga kesadaran dalam berkreativitas perlu terus menerus dikembangkan. Menghadapi fenomena ini, kita perlu belajar seni menguasai (the art of mastering). Jangan hanya belajar nyeni film saja, namun juga harus mampu mengikuti tuntutan zaman. Kuasailah ilmu sebanyak dan sedalam mungkin. Dengan belajar, dari ruang kelas sampai dari pengalaman, maka sampailah kita pada aspek pencapaian, yakni prestasi. Prestasi sebagai pencapaian haruslah didukung dan disokong dengan prasarana serta sarana yang lengkap dan terus up to date. Inilah yang senantiasa menjadi tujuan IKJ seiring dengan pencapaian yang telah berhasil dilakukan. Tujuan akhir dari mengenyam pendidikan bukan hanya sekadar lulus dan mendapat tambahan titel di akhir nama, namun lebih jauh lagi berkontribusi pada masyarakat dan lingkungan.
dalam dunia kita sendiri. Mencapai taraf tertentu dalam berkesenian termasuk pemahaman tertentu dapat dikatakan sampai ke jenjang moksa (taraf tertinggi yang secara tersirat dan tersurat juga kehilangan). Seni kehilangan (the art of losing) menjadi bagian dari ilmu/pendidikan hidup. Seperti puisi yang ditulis oleh E. Bishop:
Kita tidak lagi menjadi anak muda yang sekadar berambisi, haus ilmu dan pengalaman. Namun juga harus mampu memegang kendali saat ‘kehilangan’, yakni saat menyerahkan kehausan serta obor semangat tersebut kepada penerus. Sekali lagi, kita dituntut untuk menguasai seni kehilangan. Institut Kesenian Jakarta kehilangan sahabat sekaligus sosok panutan: Mas Gotot Prakosa dan Bang Didi Widiatmoko. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Mas Heru Gotot Prakosa merupakan pengajar animasi juga mantan dekan FFTV IKJ (2008-2012), kemudian Bang Didi ‘Petet’ Widiatmoko juga merupakan seorang dosen, seniman, serta mantan dekan Fakultas Seni Pertunjukan. Tidak lupa teman kita Qurratuaini ‘Rara’, Mahasiswa Fakultas Seni Rupa angkatan 2014 yang telah meninggalkan kita. Semoga kehilangan kita menjadi semangat untuk terus mengasah diri, dan karya mereka senantiasa menjadi inspirasi bagi semua civitas academica IKJ yang hampir berumur setengah abad ini. Sekali lagi selamat ulang tahun, Institut Kesenian Jakarta! Semoga di umur yang matang ini dapat semakin memahami seni menguasai sekaligus seni kehilangan. Kesenian dan Kreativitas tidak boleh mati. Selamat ber-ask & see! Wassalam, German G. Mintapradja, M.Sn. Pemimpin Umum
3 | Majalah AKSI
CONTRIBUTORS
SABILA NURBAYANI
NIA SARI
JASSIN BURHAN
HYACINTHA PUTRI
Mahasiswi Fakultas Film dan Televisi Angkatan 2011 Peminatan produksi
Alumnus Fakultas Film dan Televisi Film / Video Producer 081212672185
Alumnus Fakultas Seni Pertunjukan Angkatan 1979 Peminatan gitar dan cello minor
Mahasiswi A movie enthusiast Universitas Padjadjaran
MELINDA RISA
FERI DESWANDI
Mahasiswi Fakultas Film dan Televisi Angkatan 2012 Peminatan penyutradaraan
Mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Angkatan 2014 @FeriKura
4 | Majalah AKSI
German Studies
VOXPOP
TALKIES
Kenapa harus ada Talkies di majalah AKSI?
“Kirim salam ke Hibatullah, Buyatak.” Thomas Jefferson Trenggono Rex
Oleh Prima Cita
Kenapa nggak boleh ada Talkies di majalah AKSI? (Krik krik krik...) Prima yang baik, rubrik Talkies adalah rubrik untuk para mahasiswa menyampaikan aspirasinya secara terbuka. Aspirasi ini tidak harus diperuntukkan pada seorang mahasiswa. Bisa juga untuk semua mahasiswa, atau dosen, dll. Yang penting, kirim aja aspirasi singkatmu (maksimal 140 huruf) ke
[email protected] atau temui langsung koordinatornya Larry Luthfianza (angkatan 2012).
Apa bedanya penulis bebas dan penulis AKSI? Oleh Julius Pandu
Penulis, ilustrator, layouter maupun fotografer bebas adalah orang yang kami sebut sebagai kontributor dan kontribusinya hanya satu buah karya per edisi. Sementara penulis maupun fotografer resmi AKSI memiliki hak dan kewajiban berorganisasi serta berkontribusi sebanyakbanyaknya dalam setiap penerbitan majalah AKSI sesuai periode kerjanya.
“Untuk semua kawan 2014, tetap semangat berjuang selama masa kuliah demi kelulusan dan kesuksesan bersama. All the best!” Ayu Puteri Ramagita “Salam buat Arin. Rin, kapan lo sadar, Rin. Glenn cuma jadi lintah darat lo. Cinta sejati lo gua, Rin. Inget, Rin.” Ageng Dewa “Salam buat Arin. Rin, cepet sembuh ya. Kalau udah sembuh pinjem GoPronya buat foto. Sama buat Arie Marya. Ri, apa kabar? Kita ngobrol lebih deket yuk biar makin kenal satu sama lain hehe.” Bayu Kholi Fadillah “Nges, selama masih ada pangeran, jangan harap bisa dapetin bidadari gue.” Wisnu Heru Luhur “Buat Sofie: sabar ya, jangan hiraukan rayuan mereka. Ngenges terbaik kok.” Ableh
5 | Majalah AKSI
exposure
Lembusura Oleh Wregas Bhanuteja
T
ujuh Februari 2015 adalah pengalaman pertamaku menginjakkan kaki di tanah Berlin. Kuhirup dalam-dalam udara musim dingin Bavaria yang bersuhu -4°C. Jam 9 pagi, panitia Berlinale menyambutku di pintu keluar Bandara Tegel, Berlin, Jerman, dan langsung mengantarku ke pusat festival di daerah Potsdamerplatz. Di sana suasana meriah 65th Berlin International Film Festival sudah terasa. Bendera, poster, spanduk, dan baliho merah berlogo beruang putih Berlinale sudah terpasang di tiap sudut kota. Semua orang memakai pakaian musim dingin sambil menenteng goody bag Berlinale. Sesampainya di Berlinale Office, panitia memberiku kartu akses untuk masuk ke berbagai program screening, katalog yang tebalnya seperti buku Sobotta untuk kuliah kedokteran, dan berbagai undangan party serta undangan makan malam. Film pendek kami, Lembusura, lolos seleksi dalam program Berlinale Shorts Competition dan akan berkompetisi dengan 26 film dari berbagai negara. Film tersebut dinilai oleh 3 juri: Madhusree Dutta (sineas dokumenter dan kurator film), Halil Altındere (seniman Turki), dan Wahyuni A.
6 | Majalah AKSI
Hadi (produser dan direktur festival film dari Singapura). Tanggal 10 Februari 2015 adalah waktu untuk premiere screening Lembusura di Berlinale. Pemutaran perdana itu dilakukan di Gedung Bioskop Cinemaxx, Potsdamerplatz. Lembusura diputar bersama 5 film lain dari Bhutan, Jerman, Amerika, Jepang, dan Brazil. Namun sebelum premiere, para sutradara diajak berkumpul terlebih dahulu di Audi Berlinale Lounge untuk mencicipi wine dan bir Jerman yang manis. Kemudian para sutradara berjalan bersama menuju studio Cinemaxx. Kupakai jas hitam dan sarung Madura pemberian ibuku. Kubawa serta topeng Lembusura pemberian Wulang Sunu, penata artistik kami. Orang-orang di jalan memandangku dengan aneh melihat setelan baju seperti itu. Di Cinemaxx, penonton sudah mengantri untuk masuk ke dalam studio. Akhirnya tirai yang menutupi layar bioskop dibuka dan moderator Mike Mia Hohne membuka premiere film hari itu. Film pun diputar. Lembusura mendapat sambutan meriah dari penonton yang tertawa melihat tarian dari aktor kami, Yohanes Budyambara. Setelah film usai diputar, Mike Mia Hohne memanggilku ke atas panggung
dan memperkenalkanku sebagai sutradara Lembusura. Sebagai pernyataan pembuka aku menyatakan bahwa syuting film ini diawali dengan hujan abu yang diakibatkan oleh letusan Gunung Kelud.
Banyak orang Jawa percaya bahwa letusan ini diakibatkan oleh kemarahan roh Lembusura penjaga Gunung Kelud. Karena kejadian itu, kami akhirnya membuat film di tengah hujan abu. Inilah cara orang Jawa menikmati sebuah bencana. Bencana tidak dipandang sebagai suatu kesedihan, melainkan sebagai suatu siklus hidup yang harus dijalani. Kita yakin bahwa setelah bencana itu, pasti ada kebahagiaan menanti. Pernyataan tersebut diakhiri dengan tepuk tangan dari penonton. Penonton Eropa mungkin tidak pernah melihat letusan gunung maupun hujan abu. Mereka banyak bertanya seperti, “Apakah di Jawa sering terjadi letusan
gunung berapi?” atau pun, “Apakah orang Jawa masih percaya pada mitos Lembusura sampai sekarang?” hingga pada pertanyaan, “Apakah kamu menulis skenario untuk film ini?” Kujawab bahwa tidak ada skenario yang digunakan. Semua dilakukan secara spontan dan cerita baru dibangun saat di meja editing. Akhirnya para penonton pun bertepuk tangan dan memintaku untuk memakai topeng Lembusura di panggung untuk dipotret. Setelah premiere tersebut, Lembusura diputar sebanyak tiga kali lagi di hari dan tempat yang berbeda. Pemutaran kedua, tanggal 11 Februari 2015, diadakan di Bioskop Colosseum di Schonhausser Alle dan dihadiri oleh Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Bapak Fauzi Bowo. Beliau datang bersama istri dan beberapa staf KBRI untuk menyaksikan film kami. Film-film pendek lain juga banyak yang luar biasa. Saya melihat besarnya keberanian dalam eksplorasi sinema yang mereka lakukan. Contohnya, film Hosanna karya Na Young Kil dari Korea Selatan dibuka dengan shot close up katak melompat di tengah aspal, lalu tiba-tiba ada mobil yang melindas katak itu sampai hancur. Semua penonton kaget. Kemudian, seorang anak kecil mengambil katak itu, menyentuhnya, dan kemudian katak itu hidup kembali. Film ini menceritakan tentang seorang anak kecil yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit di sebuah desa. Film lain berjudul Bad at Dancing karya Joanna Arnow, menampilkan ketelanjangan dengan vulgar. Film hitam putih ini menceritakan tentang seorang wanita yang mengalami permasalahan seksual. Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa wanita telanjang di dalam film
tersebut diperankan oleh Joanna Arnow, sang sutradaranya sendiri. Dia mengatakan bahwa film ini adalah kisah personalnya. Semua penonton bertepuk tangan mengapresiasi totalitasnya. Film yang tidak kalah mengejutkan berjudul Symbolic Threats karya Mischa Leinkauf, Lutz Henke, dan Matthias Wermke. Pada suatu pagi, sang sutradara secara sengaja mengganti bendera Amerika di atas jembatan Brooklyn, New York, menjadi bendera putih. Warga New York dihebohkan oleh kejadian itu dan semua berita Amerika meliput kejadian itu. Film ini hanya merupakan kumpulan berita yang membahas pencarian pelaku pengganti bendera putih itu. Ternyata pelakunya adalah sang sutradara itu sendiri. Selain melihat film pendek, aku juga datang ke premiere film competition dari beberapa sutradara besar. Aku datang ke premiere dari Knight of Cups karya Terrance Malick yang dihadiri oleh aktor utama Christian Bale dan Natalie Portman di Berlinale Palast. Aku pun datang ke premiere film Everything Will Be Fine karya Wim Wenders, dengan James Franco dan Charlotte Gainsbourg sebagai pemeran utama. Sampai
akhirnya aku juga sempat datang dalam diskusi film The Look of Silence yang dihadiri oleh sutradara Joshua Oppenheimer dan produser Werner Herzog. Betemu sosoksosok tersebut adalah pengalaman yang sangat berharga karena 2 tahun lalu, saya mempelajari film-film mereka di Institut Kesenian Jakarta. Saya tidak menyangka, kini saya berkesempatan untuk melihat sosoksosok tersebut secara langsung. Malam penghargaan dilangsungkan tanggal 14 Februari 2015 di Berlinale Palast. Kami para sutradara Berlinale Shorts, berjalan di red carpet masuk ke dalam gedung Berlinale Palast. Darren Arronofsky—sutradara Black Swan—menjadi ketua juri Berlinale. Juri yang lain adalah Bo Jong Hoo (sutradara Korea), Audrey Tatou (aktris) dan Daniel Brühl (aktor). Malam penghargaan itu berlangsung sangat meriah. Pemenang Golden Bear untuk film pendek adalah film Hosanna dari Na Young Kil. Sementara, penghargaan Silver Bear untuk film pendek didapat oleh Bad at Dancing karya Joanna Arnow. Di akhir acara, pemenang Golden Bear untuk film panjang diumumkan. Pemenangnya adalah TAXI karya sutradara Jafar Panahi dari Iran. Jafar Panahi tidak bisa menghadiri festival ini, karena dia masih menjadi tahanan rumah di Iran. Maka ia diwakili oleh keponakan perempuannya, Hanna Saeidi. Sembilan hari di Berlin adalah pengalaman yang sangat berharga. Aku melihat bagaimana sebuah masyarakat bisa sangat menghargai seniman dan sineas. Profesionalisme dari Berlinale juga membuat para sineasnya merasa dekat dan hangat. Banyak karya film dari seluruh dunia yang membuka mataku, bahwa sinema masih sangat luas untuk dijelajahi. Terima kasih Berlin, terima kasih seluruh insan film Indonesia yang telah mendukungku sampai ke Eropa. Pengalaman berharga ini akan kuresapi baik-baik!
7 | Majalah AKSI
exposure
Foto: Junichi Fujita, seksi dokumentasi
AND
ACTI N! Oleh Asaf Kharisma, Julita Pratiwi, dan Sabila Nurbayani
Mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari rangkaian program "… And Action! Asia" memberikan kami wawasan dan perspektif baru mengenai industri perfilman di luar Indonesia, khususnya dari Thailand, Filipina, dan Jepang. Perjalanan ini juga menyadarkan kami untuk berhenti mengeluhkan nasib perfilman Indonesia, dan mulai terlibat dalam mencari solusi atas permasalahan di negara tercinta. Kalau bukan kita generasi sineas muda yang memulai, siapa lagi?
8 | Majalah AKSI
Konnichiwa, Jepang! Setelah melewati tujuh jam penerbangan, kami bersama dengan Mas Seno Gumira Ajidarma, tiba di Narita International Airport, Tokyo. Kami langsung disambut oleh pihak Japan Foundation dan diantarkan menuju ke hotel tempat kami menginap. Perjalanan kami ke Jepang bukan sekadar melancong biasa. Kami mengikuti program “…And Action! Asia”—sebuah program pertukaran pelajar perfilman Jepang dengan Asia Tenggara yang dibentuk atas kerja sama Japan Foundation dan Japan Institute of Moving Image (JIMI). Tiga Negara Asia Tenggara yang terlibat di dalam program ini adalah Indonesia, Filipina, dan Thailand. Tujuan utama diadakannya program ini tak lain adalah meningkatkan pemahaman di antara peserta dan memelihara pandangan global untuk memperkaya kreativitas mereka khususnya dalam bidang perfilman. Program ini juga merupakan sebuah pilot project dari JIMI (bisa dibilang kami ini kelinci percobaan). Dalam program ini, masing-masing negara terdiri dari 3 mahasiswa dan 1 dosen pembimbing yang mewakili institut masingmasing. Dari Thailand ada Pingpong, Furn, dan Best didampingi oleh Mr. Donk sebagai dosen pembimbing dari Universitas Slipakorn dan Margarita, Rod serta Antonne yang didampingi oleh Mr. Roehl dari Universitas Phillipines. Program ini dilaksanakan pada tanggal 9-17 Maret 2015.
diberikan kebebasan memilih jurusan setelah 2 tahun menggeluti mata kuliah umum. Terdapat tujuh penjurusan (course) di JIMI, yakni penyutradaraan, penulisan skenario, sinematografi, suara, editing, dokumenter dan kajian sinema. Berbeda dengan IKJ, JIMI tidak memiliki peminatan produksi, artistik dan animasi. Selain itu yang menarik dari JIMI adalah mereka masih mempertahankan seluloid dalam praktek pembuatan film. Namun saat pembuatan tugas karya akhir, mahasiswa diberikan pilihan menggunakan analog atau digital dalam proses pembuatan film. Penting diketahui bahwa proses pembuatan film analognya pun tidak tanggung-tanggung, tidak hanya dari segi produksi melainkan hingga pasca produksi (editing dan suara). Pada hari pertama kami mengunjungi JIMI, mahasiswa JIMI yang diwakili oleh 7 mahasiswa—mereka adalah Daiki, Nozomi, Ayano, Jun, Kosho, Takumi dan Shouji—mempresentasikan tentang industri perfilman Jepang. Presentasi
mereka fokus pada topi industri sinema Jepang dalam dekade terakhir, pendapatan industri sinemanya, perkembangan sinema independen dan komersilnya. Dari presentasi tersebut kami dapat menyimpulkan bahwa industri perfilman Jepang termasuk produktif dalam menghasilkan film setiap tahunnya. MTidak heran, menurut data pada tahun 2011, Jepang menduduki peringkat ke-5 sebagai negara terproduktif dalam memproduksi film. Dari segi pendapatan film domestiknya pun mencapai 58,30% di tahun 2014. Angka ini tidak begitu jauh dari Iran, Amerika dan India yang berada di peringkat atasnya. Menariknya lagi, terdapat data yang menunjukkan bahwa masyarakat Jepang cenderung lebih suka menonton film mereka daripada film impor, sehingga prosentase jumlah film domestik lebih unggul daripada film impor. Hasil diskusi kami dengan para mahasiswa JIMI menyimpulkan bahwa salah satu alasan film domestik memiliki pasar yang kuat di negaranya tak lain adalah karena masyarakat Jepang bukanlah masyarakat yang suka menonton film dengan subtitle. Saat di bioskop mereka akan lebih memilih menyaksikan film dengan bahasa ibu mereka. Hal ini erat kaitannya dengan faktor kondisi budaya masyarakat Jepang yang telah terbentuk sebagai masyarakat nasionalis, yang mencintai budaya dan bahasa mereka sendiri. Keesokan harinya, giliran kami dari Indonesia yang melakukan presentasi. Topik presentasi kami adalah juga mengenai industri perfilman Indonesia, khususnya
Belajar di JIMI Japan Institute of Moving Image merupakan institusi perguruan tinggi yang berfokus pada pendidikan film. Kampus ini didirikan oleh Shohei Imamura pada tahun 1975. JIMI termasuk institusi yang memiliki corak perkuliahan yang sama dengan IKJ. Dari segi sistem perkuliahan, JIMI juga memiliki penjurusan (course), dan mahasiswa
9 | Majalah AKSI
exposure
sinema kontemporer Indonesia. Keberadaan sinema Indonesia mulai terdengar kembali semenjak munculnya sineas-sineas kunci di akhir tahun 1990an—seperti Riri Riza, Mira Lesmana, Hanung Bramantyo, Joko Anwar dan banyak lagi. Kita dapat mengatakan bahwa era perfilman kita memasuki era pasca reformasi. Di mana pada era ini, Indonesia sedang meraih jumlah penonton tertinggi. Contohnya seperti Petualangan Sherina (1999), Laskar Pelangi (2008), dan Habibie Ainun (2011). Ironisnya, perbandingan jumlah penonton tertinggi dengan populasi Indonesia sangatlah jauh. Sebagai negara dengan 240 juta jiwa, Film Laskar Pelangi hanya berhasil meraih 4,6 juta penonton dan jumlah tersebut sudah merupakan jumlah tertinggi. Itu artinya jumlah penonton Indonesia tidak mencapai 2% dari keseluruhan populasi penduduk. Teman-teman dari Thailand dan Filipina pun melakukan presentasi mengenai kondisi industri perfilman di negara mereka. Kami sesama peserta dalam program ini saling belajar dan memahami kelebihan dan kekurangan tiap industri perfilman di negara masing-masing. Misalnya mereka menyebutkan adanya sebuah sistem distribusi di mana film secara khusus sudah ditangani oleh lembaga-lembaga distribusi (distributor). Hal tersebut membuat kami mempertanyakan bagaimana keberadaan sistem distribusi film di Indonesia?
10 | Majalah AKSI
Selain mempresentasikan materi tentang industri perfilman di negara masing-masing, kami juga mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan film. Kami membawa film Warga Baru, sebuah film mahasiswa yang disutradarai oleh Chairil Anwar. Setelah film dipresentasikan, terdapat sesi tanya-jawab mengenai film yang baru saja ditonton untuk bisa mengenal dan mengetahui secara lebih mendalam, baik dari segi sistem produksi maupun konten dari film tersebut. Begitu pula dengan teman-teman dari Thailand dan Filipina yang membawa film hasil tugas kuliah mereka. Sangat disayangkan, pada kesempatan itu kami tidak mendapatkan kesempatan untuk menonton film karya mahasiswa JIMI. Wisata Sinema Kami bersama-sama mengunjungi National Film Center, sebuah lembaga pemerintahan yang bergerak di bidang pengarsipan film. National Fim Center dibentuk pada tahun 1986, langsung oleh Pemerintah Jepang pada masa itu. NFC memiliki 20 gudang film (tempat penyimpanan film dengan temperatur yang telah disesuaikan). Masing-masing gudang menyimpan sekitar 15.000 film can. Sebelum film disimpan, film diproses melalui tahapan pemeriksaan film di dalam ruang inspeksi. Di tempat ini, kami bukan hanya mempelajari bagaimana cara merawat film, tetapi juga
“Film (seluloid) disadari cepat atau lambat akan hilang, digital secara tidak langsung membunuh film itu sendiri, suatu saat anak-anak mereka akan bertanya, 'Apa itu film (seluloid)?' NFC akan menjadi tempat anak-anak itu menemukan jawaban.” ujar penjaga NFC dengan ekspresi yang hangat.
bagaimana pemerintahan Jepang telah menyadari film sebagai warisan seni, budaya dan sejarah yang wajib dilestarikan. Selanjutnya, kami berkunjung ke
yang menceritakan perkembangan film laga Indonesia dari tahun 1930 s/d 2014. Cine Nouveau Osaka merupakan salah satu tempat pemutaran film yang
tidak akan memiliki penerus dari generasi muda. Bila kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia, tempat ini tak lain
Ghibli Museum. Seperti yang kita ketahui Ghibli adalah salah satu studio animasi terbesar di Jepang. Film-film animasinya sejak tahun 1980 sudah melalang-buana ke berbagai belahan dunia, seperti My Neighbor Totoro (1988), Grave of The Fireflies (1988), Spirited Away (2001), Howl’s Moving Castle (2004), dst. Cara para animator-animator Ghibli dalam mengeksplorasi fantasi amatlah luar biasa. Setelah usai program acara di Tokyo, kami berpindah ke Osaka, kota kedua terbesar setelah Tokyo. Di tempat ini sedang diselenggarakan Osaka Asian Film Festival, di mana beberapa film dari Asia diputar di berbagai venue. Salah satu venue yang cukup berkesan bagi kami adalah saat mengunjungi Cine Nouveau. Salah satu film yang ditayangkan di tempat ini adalah Garuda Power: The Spirit Within (2014) film dokumenter garapan Indonesia dan Perancis
berfokus pada film-film avant-garde, dokumenter, eksperimental, foreign film, yang pada intinya memberikan ruang bagi film-film di luar jenis mainstream. Tempat ini sudah dibangun sejak tahun 1984, dengan 2 ruang pemutaran: main theatre di lantai dasar dan mini theatre di lantai atas. Selain menonton, kami juga berdiskusi dengan pemilik Cine Nouveau. Beliau menceritakan kondisi Cine Nouveau yang setiap tahun sering mengalami defisit. Kini pendapatan mereka hanya bergantung pada donasi dan beberapa festival yang datang menyewa tempat mereka. Dari segi penonton yang rutin datang ke tempat ini lebih banyak jumlah orang lanjut usia dibandingkan dengan anak muda. Alasannya adalah karena para orang tua merasa senang dapat menikmati film-film klasik Jepang. Namun, hal ini menjadi kerisauan dari pemilik Cine Nouveau yang takut tempat ini nantinya
seperti Kineforum atau Paviliun 28. Bedanya yakni pada penonton; di Indonesia tempat semacam ini justru dipenuhi kalangan muda. Sebab tempat-tempat ini memiliki sistem publikasi acara yang cukup baik melalui jejaring sosial di dunia maya. Sayonara, Jepang! Menjelang hari terakhir, kami juga berkunjung ke Kyoto. Di sana terdapat banyak sekali studio film. Saat masa keemasan sistem studio di Jepang, Kyotolah yang menjadi pusat industrinya. Bisa dikatakan bahwa Kyoto adalah “Hollywoodnya Jepang”. Salah satu studio yang kami kunjungi bernama Shoichiku Film Studio. Studio ini sudah berdiri sejak tahun 1940an dan salah satu film Akira Kurosawa— Rashomon (1950)—diproduksi di studio ini. (A.K./J.P.)
Foto: Junichi Fujita, seksi dokumentasi
11 | Majalah AKSI
exposure
Pengalaman Menjadi Doraemon Oleh Nabilah Putri Dewani
S
ebuah kesempatan yang sangat langka untuk bisa menginjakkan kaki di negeri matahari terbit alias Negara Jepang secara gratis. Melalui program Jenesys 2.0 batch 11-mass media ini, saya mewujudkan mimpi yang sempat terkubur sekitar 4-5 tahun yang lalu. Ya, saya pernah gagal untuk lolos seleksi di program yang sama. Lalu apa yang saya dapatkan selama 9 hari istimewa di sana? Warga Jepang itu ibarat robot doraemon. Mengapa demikian? Tentu bukan menjadi rahasia lagi bahwa Negara Jepang terkenal akan kedisiplinan dan ketepatan waktu. Hal itu membuat semua sistem berjalan sangat teratur, mulai dari sistem trasportasi, ekonomi, hingga kebiasaankebiasaan yang sebenarnya tidak memiliki aturan tertulis pun tetap dipatuhi oleh warganya, misalnya mengantri dengan tertib. Seperti robot, kan? Semua harus sesuai dengan sistem serta tata aturan yang berlaku. Hal itu membuat kita berpikir bahwa warga Jepang kurang memiliki kehidupan sosial. Saya sempat merasakannya saat menjelajahi Kota Shibuya. Di sana, orang berlalu-lalang tanpa mempedulikan orang di sekitarnya. Bahkan kalau saya
12 | Majalah AKSI
perhatikan lebih saksama, mereka cenderung menghindari untuk melihat mata orang lain. Sehingga kesan ‘individualitas’ warga Jepang terasa sangat kental. Sampai suatu ketika saya menjalani program homestay (sebuah program di mana saya ditempatkan di suatu keluarga keturunan Jepang asli, namun saya tidak mengenali mereka sebelumnya). Saya harus menjalani rutinitas bersama mereka selama 3 hari 2 malam. Tentu saya sangat menjaga perilaku, mengingat kebiasaan orang Indonesia dan Jepang sangatlah berbeda. Takut jika apa yang saya lakukan sebenarnya baik-baik saja menurut saya tapi tidak bagi mereka. Ternyata apa yang saya bayangkan di luar ekspektasi. Kehadiran orang asing di rumah host family disambut dengan sangat baik. Bahkan saya (dan seorang teman Jenesys) diberikan kue selamat datang. Mereka sudah mempersiapkan semuanya dari jauh-jauh hari. Kegiatan berikutnya adalah merayakan kedatangan kami dengan makan malam yang agak lebih mewah dari biasanya. Bagi saya, perayaan malam ini sangatlah berkesan. Perayaan tersebut dilakukan
setelah semua anggota keluarga berkumpul. Jadi pada saat itu, kami harus menunggu kedatangan salah satu anak perempuan dan ayah angkat saya yang baru tiba di rumah sekitar pukul 20.00. Setelah semua anggota keluarga lengkap, barulah kami mulai makan malam. Saya kira hanya di tempat saya yang melakukan hal tersebut. Namun setelah bertukar pengalaman dengan teman-teman Jenesys yang lain, mereka juga mengalami hal yang sama. Makan malam selalu dilakukan ketika seluruh anggota keluarga telah berkumpul. Saya menarik kesimpulan bahwa dengan berbagai kesibukan dan padatnya jadwal kerja mereka, warga Jepang tetap menghargai kebersamaan dengan melakukan makan malam bersama-sama. Sesuatu yang justru sangat jarang saya temukan di Indonesia. Layaknya Doraemon, meskipun ia robot dengan segala sistem konfigurasi yang terstruktur, tapi ia juga memiliki perasaan. Saya rasa sama halnya dengan warga Jepang. (N.P.D.)
Kehangatan Keluarga Ozaki Oleh Larry Luthfianza M.F.Y. Keluarga Ozaki Secara keseluruhan keluarga Ozaki adalah keluarga yang baik dan menyenangkan. Yang paling unik dalam keluarga ini adalah cara mereka melayani satu sama lain. Suatu hari, Tatsuya menangis karena ia ingin bermain video games, akan tetapi ibunya tidak mengizinkan. Maksud ibu
Ibu Izumi
T
idak pernah terlintas di benak saya, tinggal bersama keluarga yang saya tidak kenal dan bahkan tidak berbahasa yang saya pahami. Rasanya mungkin menyeramkan, karena saya harus ke luar dari comfort zone. Tapi ternyata setelah merasakannya, homestay merupakan pengalaman yang luar biasa. Bulan Februari 2015 lalu saya berkesempatan melakukan homestay di keluarga Ozaki, daerah Okayama, Jepang. Homestay ini merupakan bagian dari program pertukaran pelajar Jenesys 2.0 yang disponsori oleh Menteri Luar Negeri Jepang. Keluarga tempat saya tinggal terdiri dari Tomoo Ozaki (ayah), Izumi Ozaki (ibu), Reina Ozaki (anak perempuan), dan Tatsuya Ozaki (anak laki-laki). Awal pertemuan saya dengan keluarga Ozaki sangatlah menyenangkan. Hal pertama yang menyenangkan adalah karena ibu Izumi bisa berbahasa Inggris, jadi kami dapat berkomunikasi dengan baik. Sisanya, ayah Tomoo, Reina dan Tatsuya tidak dapat berbicara Bahasa Inggris sama sekali, sehingga saya selalu membutuhkan ibu Izumi untuk berbicara dengan mereka.
Ibu Izumi sangat suka berbicara dengan siapapun dan dengan topik yang beragam. Saya dan Ibu Izumi bisa membicarakan musik, film, politik, sejarah hingga kondisi sosial di Jepang, khususnya di Okayama. Ayah Tomoo Ayah Tomoo sangat senang jalanjalan, khususnya pergi ke onsen (tempat pemandian air panas). Saya sempat diajak untuk ikut, ternyata panasnya luar biasa. Saking panasnya air tersebut, saya hanya bertahan kurang dari satu jam, sementara ayah Tomoo bertahan hingga tiga jam! Ayah Tomoo memang senang sekali dengan air panas.
Izumi baik, karena sudah waktunya Tatsuya tidur. Namun, dasar anak kecil, Tatsuya tetap menangis dan merengek ingin bermain. Hebatnya, ibu Izumi hanya perlu beberapa saat untuk menenangkan Tatsuya yang cengeng. Saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi saya bisa melihat ibu Izumi mengelus-elus kepala Tatsuya sambil berbicara dengan nada yang lembut sekali. Setelah itu, Tatsuya memeluk ibunya dan pergi ke kamar sambil mengucapkan, "Oyasumi," pada saya. Artinya selamat malam. Saya tersenyum sambil melihat Tasuya pergi ke kamarnya. Saya merasa takjub pada ibu Izumi dan bersyukur, pengalaman homestay saya berakhir dengan kehangatan keluarga Ozaki. (L.L.M.F.Y.)
Reina Reina sangat senang bermain dan makan. Reina sempat mengajak saya bermain sepak bola dan kasti di sebuah taman dekat rumah. Reina sangat senang dengan permainan yang berhubungan dengan olah raga, seperti bola kasti, bola basket, sepak bola dan bulu tangkis. Tatsuya Tatsuya sangat menyukai video games. Dia paling suka bermain Mario Bros di hari libur. Tatsuya juga senang sekali makan. Ia menyukai makanan seperti onigiri, sukiyaki dan masih banyak lagi.
13 | Majalah AKSI
exposure
Bunga Sakura Lambang Cinta Oleh Bella Fitrianah
S
iapa yang tak mengenal negeri Sakura? Ya, Jepang! Sebuah negara yang menyimpan berbagai keindahan alam yang patut untuk dikunjungi. Pada tanggal 23 Februari 2015 lalu, saya berkesempatan untuk menikmatinya secara gratis! Berbekal tekad, pengetahuan bahasa Inggris seadanya, dan badan yang fit akhirnya saya pergi ke Jepang. Eits, namun perjalanan ini bukan untuk liburan! Saya dan 96 orang lainnya mewakili Indonesia pergi ke Jepang dalam program pertukaran pelajar JENESYS 2.0 Batch 11.
Bagi saya, oleh-oleh paling berharga yang bisa didapatkan adalah pengetahuan dan pengalaman. Tak bisa dipungkiri bahwa 10 hari jalan-jalan di Jepang secara cuma-cuma itu sangat menyenangkan dan sangat berharga. Mulai dari berangkat naik pesawat, tinggal di hotel mewah, makan 4 sehat 5 sempurna (di Jepang, susu itu minuman wajib setiap harinya!), jalan-jalan naik bus, menikmati pemandangan super indah dan bersih, bertemu dengan orang baru—pemikiran baru, dan mendapat pengetahuan baru! Sayangnya, Jepang pada bulan Februari sedang dingin banget! Suhu paling dingin mencapai -1°C (bisa bayangin dinginnya kan?). Tapi meskipun dingin,
14 | Majalah AKSI
musim dingin itu menawan juga. Pernah lihat film-film Hollywood di mana si aktor mengeluarkan uap dari mulutnya ketika bicara? Yup, saya merasakan itu setiap hari. Tapi kita harus berhati-hati juga. Kalau tidak pakai sarung tangan, bisa-bisa tangan membeku hingga tidak bisa digerakkan. Pada akhirnya, everything was fine. Syukurlah, saya sehat selama 10 hari di Jepang, tanpa mimisan atau mendadak kram karena kedinginan. Bicara soal Jepang tidak lengkap rasanya jika tidak membahas bunga Sakura. Ya, Sakura adalah maskot negara maju ini. Sakura terlihat sangat indah, terlebih kalau dipandang dengan hati. Pertama kali melihatnya pasti langsung jatuh cinta. Sayang Sakuranya tidak bisa dibawa pulang karena tidak boleh dipetik. Ini merupakan peraturan negara dan orang Jepang pun tidak berani memetiknya loh! Sakura bisa jadi adalah bunga yang paling rapuh yang pernah saya temui. Ketika teman saya memegangnya (memegang kok, bukan memetik), kelopak bunganya langsung lepas dari tangkainya. Semenjak saat itu, saya berpikir bahwa Sakura bisa disimbolkan sebagai lambang cinta. Terlihat secantik apapun kamu, tetapi ketika kamu tidak memiliki cinta, maka rapuhlah jiwamu. Ettssaahhh... Cinta dalam konteks ini tidak melulu soal perasaan terhadap lawan jenis, tapi juga pada orang tua dan sesama. Cinta akan selalu membuatmu bahagia dan tersenyum. So guys, always smile and spread the love! (B.F.)
Bunga Sakura, warna pink yang mempesona.
Warisan Eyang Memenangkan XXI Short Film Festival Oleh Amira S. Pasidena
X
XI Short Film Festival adalah salah satu festival film pendek terbesar tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Cinema 21 sebagai bentuk kepedulian kepada para sineas muda. Acara ini berlangsung sejak tanggal 19-22 Maret 2015 di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta. Setelah tiga tahun diadakan, Alumnus Fakultas Film dan Televisi kembali memenangkan penghargaan dalam festival bergengsi ini. Tahun 2015 ini, pemenangnya adalah Wregas Bhanuteja dengan film pendeknya Lemantun, yang mendapatkan penghargaan kategori Film Pendek Fiksi Naratif (pilihan juri Indonesian Motion Picture Association), Film Pendek Fiksi Naratif Terbaik pilihan juri dan Film Pendek pilihan penonton. Wregas Bhanuteja adalah yang baru saja menyelesaikan studinya pada bulan Desember 2014 lalu, mengatakan bahwa film merupakan sebuah medium yang mampu menyalurkan gagasan dan perasaannya, dan ia ingin sekali bisa berbagi gagasan itu
kepada orang lain. Lemantun adalah salah satu contoh film yang ia buat untuk menyampaikan pesannya kepada orang lain. Lemantun terinspirasi dari pengalaman keluarganya saat berada di Solo untuk Lebaran. Saat itu eyang putrinya ingin membagikan warisan namun tidak dalam bentuk uang maupun tanah, melainkan dalam bentuk lemari. Maka terkumpullah 8 buah lemari. Lemari-lemari ini akan dibagikan secara acak pada 8 orang anaknya. Setelah semua anak membawa pulang warisan lemari itu, ternyata tersisa satu orang anak yang tidak bisa membawa pulang lemarinya. Dia adalah sang anak tengah, satu-satunya yang belum memiliki rumah sendiri, dan belum menikah sampai sekarang. Akhirnya ia bingung, harus membawa pulang ke mana lemari itu. Wregas hanya ingin membagi perasaan Tri, tokoh di film itu, yang akhirnya menemukan makna hidupnya. Mungkin ia (Tri) memang tidak seberuntung kakak dan adiknya yang sudah berumah tangga dan memiliki pekerjaan mapan. Namun dengan
tetap tinggal di rumah Ibu, ia menjadi satusatunya anak yang bisa menjaga sang Ibu sampai akhir hayat. Di situlah ia menemukan makna hidup dari merawat orang yang ia cintai.
“Lemantun mewakili perasaan saya yang konvensional tentang keluarga saya. Bentuk sinema naratif yang konvensional ini adalah formula yang paling tepat untuk menggambarkannya. Dan saya rasa bentuk sinema ini lebih dapat diterima oleh masyarakat Indonesia,” tambah Wregas. (A.S.P.)
15 | Majalah AKSI
campus life
MAKSIMAL: MALAM AKSI SALING KENAL Oleh Isidorus Kurniadi Foto oleh fotografer AKSI
16 | Majalah AKSI
Foto: Eki Ananda
Para anggota AKSI baru hiking di pegunungan Cisarua
S
oe Hok Gie, seorang sastrawan dan jurnalis Indonesia era 50an pernah berkata, “Bagaimana kita bisa mencinta, jika kita tidak saling mengenal. Maka cintailah alam negerimu dulu.” Dua poin tentang saling mengenal dan mencintai alam tadi tergambarkan dengan maksimal pada acara Malam AKSI Saling Kenal, atau disingkat MAKSIMAL! Acara itu berlangsung pada tanggal 25-26 April 2015 di Bogor. Baik para senior AKSI, anggota baru AKSI, maupun karyawan FFTV melebur dalam keceriaan di Wisma Arga Mulya KEMENDIKBUD, Cisarua. Hangatnya keakraban keluarga aksi yang baru ini diperkaya dengan sosis BBQ a la Chef Benny yang menepis hawa dingin bercampur embun di sana. Kami juga bernyanyi hingga larut malam dan tak adil rasanya jika waktu harus menghentikan gelak tawa kami. Tapi tunggu, apakah MAKSIMAL itu sebenarnya? Apakah ini hanya acara hura-hura? Kenapa tidak pernah terdengar di lingkungan kampus?
Caecilia Sherina, pemimpin redaksi majalah AKSI saat itu menjelaskan,
"MAKSIMAL memang acara ekslusif untuk anggota redaksi majalah AKSI. Acara ini baru pertama kali diadakan, dan diselenggarakan untuk mengakrabkan anggota baru AKSI dengan anggota lama, serta mempersiapkan para anggota baru agar siap berkarya di penerbitan majalah selanjutnya." Selain itu, ia juga mengakui bahwa acara ini juga menjadi ajang bagi para senior untuk melihat potensi-potensi
calon pemimpin majalah AKSI yang akan menggantikan kepemimpinan saat ini. Dalam penyelenggaraan MAKSIMAL, Ella Putri Maning (wakil pemimpin redaksi) dipilih sebagai ketua acara. Ia dibantu tenaga dari luar AKSI seperti Try Nurguna, Gilang Haryo dan lainnya agar anggota AKSI dapat fokus mengikuti acara MAKSIMAL dengan maksimal.
Adanya acara pelatihan jurnalistik oleh para ahli di berbagai bidang dalam susunan acara menjelaskan bahwa acara ini bukan sekadar acara ‘akrab-akraban’. Keberangkatan Mengenai transportasi, para anggota baru dikejutkan dengan tugas pertama, yaitu mencari jalur dan transportasi sendiri menuju tempat penginapan. Dengan
17 | Majalah AKSI
campus life
Bambang Bujono
Tatan Syuflana
Berfoto bersama Tatan Syuflana
jumlah 26 orang anggota baru AKSI ditambah 3 senior pendamping, anggota baru harus berhasil mencapai penginapan tepat waktu dengan bermodalkan uang Rp24.000,00 per orang. Setelah berpikir keras bersama-sama, akhirnya kami sepakat untuk menempuh rute berjalan kaki menuju Stasiun Cikini dari Taman Ismail Marzuki, lalu melanjutkan perjalanan ke Stasiun Bogor. Nantinya di Bogor kita sudah menyewa angkot yang akan mengantarkan kita ke Wisma Arga Mulya. Dalam perjalanan, anggota baru AKSI lainnya masih merasa asing dan kaku. Kami
18 | Majalah AKSI
lama membisu, mungkin karena belum begitu kenal, maka belum saling sayang. Kedatangan Sesampainya di wisma tepat pukul 12 siang, kami disambut para senior dan karyawan FFTV IKJ. Hawa sejuk langsung menyibak rambut; hilang penat kami ketika merebahkan diri di kamar wisma yang cukup mewah. Satu kamar diisi oleh 2 orang, dan gedung berlantai 2 itu pun penuh oleh kami dan beberapa pengunjung wisma lain. Seusai makan siang, MAKSIMAL dibuka
oleh dosen pembimbing AKSI, German G. Mintapradja, M.Sn. yang menduduki jabatan pemimpin umum. Pidato singkatnya kemudian dilanjutkan dengan pelatihan desain grafis oleh Ehwan Kurniawan yang telah lama malang-melintang di dunia desain majalah, khususnya majalah Tempo. Setelah itu pelatihan fotografi oleh Tatan Syuflana, seorang fotografer jurnalistik, dan pelatihan diakhiri dengan pelatihan menulis dari Bambang Bujono, penulis senior. Setelah banyak bertukar pendapat dan pengalaman bersama kedua orang
Party sederhana dengan sosis, ubi, gitar, dan kawan baru
Kami semua melebur, tertawa, dan bernyanyi. Tak ada lagi batas-batas kekakuan di antara kami. Malam yang pendek untuk mengisi jiwa pemuda-pemudi majalah AKSI ini. yang luar biasa itu, kami bersiap untuk mengadakan party di belakang pekarangan wisma. Ternyata di sana para senior sudah membangun panggung kecil dan alat pembakaran yang sederhana. Lampu-lampu bohlam kuning berjejer menghiasi tembok menambah kesan retro dan klasik. Kemudian kami duduk menghadap ke arah panggung yang membelakangi kaki gunung. Alat-alat musik akustik sudah siap untuk dimainkan oleh Fira Budiman, senior kami yang ahli mendendangkan lagu-lagu Ed Sheeran. Suasana pun semakin panas
Tamara mencicipi karaoke gratis dengan semangat membara
dengan karaoke. Di pinggir panggung ada jagung, sosis, dan ubi cilembu yang sedang dibakar agak gosong. Kami semua melebur, tertawa, dan bernyanyi. Tak ada lagi batasbatas kekakuan di antara kami. Malam yang pendek untuk mengisi jiwa pemuda-pemudi majalah AKSI ini. Keesokan paginya, dengan mata yang masih berat kami mendaki bukit yang berada tepat di samping wisma. Hawa dingin menusuk sampai ke tulang. Beberapa dari kami bahkan tercebur ke sungai kecil yang membatasi jalan menyusuri kaki bukit.
Namun, perjuangan kami terbayar. Semua keindahan terbuka ketika sinar matahari pagi menelanjangi perbukitan. Hawa yang tadinya dingin, merambat menjadi hangat. Kami berdiri di atas bukit, berjejer, menarik nafas. Kami tersadar dari perjalanan ini, di kiri dan kanan kami bukan lagi orang asing, kami adalah rekan-rekan majalah AKSI. Selamat datang di AKSI! Salam Ask & See! (I.K.)
19 | Majalah AKSI
campus life
Menggurat Bumi dan Rasa Dalam Tajuk Kebersamaan Oleh Bella Fitrianah dan Mubyar Parangina
I
nsan yang berbeda dipersatukan dalam suatu kegiatan bersama, bukan hanya untuk mempererat tali kebersamaan, tetapi juga untuk mempertajam rasa dan apresiasi terhadap keindahan alam nusantara. Jakarta, 7 Februari 2015. Civitas akademika FFTV IKJ angkatan 2014 sebanyak 180 orang beramai-ramai berangkat dengan 4 bus menuju Klaten. Senyum merekah menghiasi wajah mereka. Bagi sebagian orang, SPL (Studi Penghayatan Lingkungan) merupakan ajang jalan-jalan berwawasan. “SPL itu kuliah yang sifatnya lapangan,” ujar Arda Muhlisiun, M.Sn. selaku Wakil Dekan I FFTV, menurut beliau, mahasiswa hanya kuliah di kelas dan teori sehingga perlu diadakan kegiatan yang dapat mengangkat hal-hal lain di luar film. SPL pertama kali dimulai pada tahun 2007. Apabila kita tengok pada SPL 2013 dan 2014, SPL 2015 merupakan kolaborasi dari kedua tahun tersebut. Pada SPL 2013 mahasiswa membuat gerabah dan SPL 2014 mahasiswa membuat batik. SPL 2015 ini mahasiwa membuat keduanya, gerabah dan batik dengan tema “Gurat Bumi”. Di Klaten, rombongan FFTV mengunjungi tiga tempat wisata yang memiliki warisan seni rupa yaitu Desa
20 | Majalah AKSI
Melikan yang memiliki kerajinan gerabah putaran miring dan Desa Jarum yang memiliki kerajinan batik kayu dan batik tulis pewarna alam. Selama 5 hari di Klaten, mahasiswa dan panitia menginap di Hotel Galuh, salah satu hotel terbesar di Klaten menurut Arda. Seni rupa pertama yaitu Batik Alam Natural di Desa Jarum, merupakan kerajinan batik dengan proses pewarnaan yang menggunakan bahan alam. “Merah dari kulit kayu mahoni, krim dari buah jalawe, biru dari warna indigo atau daun nila dan oranye dari warna mengkudu. Sedangkan untuk membuat warna hijau dari kolaborasi biru dan krim,” ujar Bapak Sarwidi, pemilik batik alam natural yang memulai usahanya pada tahun 2006. Seni rupa kedua yaitu batik kayu juga berada di Desa Jarum. Terakhir, ada kerajinan gerabah putaran miring di Desa Melikan. Kata “miring” yang ada di sini, merujuk pada teknik pembuatan gerabah, yaitu alas untuk membentuk tanah sengaja diposisikan miring. Hasilnya, ketebalan gerabah menjadi lebih tipis dibanding gerabah yang dibuat dengan teknik biasa. Merupakan kebanggaan tersendiri bagi peserta yang dapat menyelesaikan karyanya meskipun tidak sempurna, karena prosesnya memang cukup sulit. Diperlukan konsentrasi yang penuh dan kesabaran saat membuat
gerabah miring. Berbicara soal SPL tentu tidak lepas dari sang pembimbing yang membina mahasiswa selama SPL berlangsung. Dilihat dari sudut pandangnya, dalam SPL kali ini pembimbing memiliki tugas yang berbeda. Rahmad Rizal yang akrab dipanggil Bang Jalu, pembimbing kelompok 4, 5 dan 6, mengatakan, “Beda dengan tahun lalu yah, pembimbing kali ini memiliki tugas mendokumentasikan kegiatan, sehingga harus pegang kamera,” Sama halnya dengan pembimbing kelompok 14, 15 dan 16 yaitu Yoga Prayuda, S.Sn. “Pembimbing tugasnya mengarahkan dan mengawasi mahasiswa membuat karya sesuai dengan prosedur. Kalau tahun lalu saya ikut terlibat dan ikut berkolaborasi membuat karya, karena tahun lalu bebas dan rasanya ‘gatel’ kalau cuma sekadar lihat doang, jadi pengen ikutan bikin. Kalau tahun ini enggak bisa karena terlibat untuk dokumentasi juga, jadi kurang bisa untuk ikut terjun langsung berkarya bersama mahasiswa,” jelas Yoga. SPL 2015 memang terasa berbeda dari sebelumnya, menurut Devina Sofiyanti, S.Sn., “SPL kali ini mahasiswanya lebih aktif ketimbang tahun sebelumnya.”
Uniknya, jika sebelumnya ada awarding untuk mahasiswa dari panitia, SPL kali ini mahasiswa yang memberikan awards untuk panitia. Dalam kegiatan SPL, diharapkan mahasiswa menampilkan hasil karyanya, maka tibalah di acara puncak bagi mahasiswa SPL berupa pameran yang dilakuakan di desa Melikan. Jagis dari kelompok 9 mengaku, “Ada sekitar 17 mahasiswa yang mendekorasi tempat pameran ini. Awalnya ide muncul dari Mas Sintu, karena temanya alam dan hasil bumi, jadi dekorasinya langsung dari hasil bumi dan dipetik langsung oleh warga desa kayak rambutan, wortel, tomat, daun jati dan
singkong. Dan dekorasi kayak ini itu seni banget.” Selain pameran, mahasiswa juga diberikan diary harian mengenai kegiatan SPL, diary terbaik diraih oleh kelompok 16, menurut Tamara, “Isi diari sebenarnya jayus semua, karena kita sudah kehabisan akal dan ide. Kelompok lain pada pakai warna-warna dan kita cuma spidol item doang satu. Jadi akhirnya kita bikin formatnya kayak koran. Ada TTS-nya, ada info orang hilang, ada iklan tapi iklannya aneh-aneh kayak iklan kacamata kuda gitu.” Kedatangan mahasiswa IKJ ternyata membawa pengaruh bagi sebagian warga di Klaten. Bapak Joko Wiyono, selaku kepala Dinas Pariwisata Klaten mengatakan, “Kehadiran mahasiswa IKJ membuat kami senang karena melalui kegiatan ini kerajinan di Klaten dapat terekspos. Dan mahasiswa tentu mendapat banyak pelajaran baru yah
soal bagaimana membuat gerabah putaran miring yang tentunya ini langka di Indonesia, hanya ada satu dan itu di Desa Melikan, dan di Desa Jarum juga ada batik yang memiliki corak khusus, batik kan di Indonesia sudah ada banyak, tapi hanya di Klaten yang menggunakan warna alam. Harapan kami, mahasiswa IKJ dapat mempromosikan dan menyebarluaskan produk-produk dari Klaten ini.” Meskipun tidak berlangsung lama, kegiatan ini dapat membuat setiap peserta mendapatkan berbagai pengalaman dan pengetahuan baru. Tidak hanya sekadar melakukan, mereka pun dapat lebih menghayati dan mengesksplor diri untuk berkarya dengan keceriaan dan kreativitas yang mengiringi setiap langkah mereka. (B.F./M.P.)
21 | Majalah AKSI
campus life
Oleh Asfara Saniy Delavykhta Foto oleh Sabar Budiman, dkk.
Film Bukan Sekadar Gambar Bergerak
Hari Film Nasional tahun 2015 ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Fakultas Film dan Televisi IKJ bekerja sama dengan IKAFI (Ikatan Alumni FFTV IKJ) mengadakan Beyond the Screen yang diadakan tanggal 28-31 Maret 2015. Acara ini sekaligus sebagai ajang interaksi antar mahasiswa, alumni dengan pelaku industri perfilman, pertelevisian dan fotografi. Berbagai macam kegiatan diadakan mulai dari Film Screening, diskusi film, Career Days, workshop fotografi, dan musyawarah IKAFI. Puncaknya pada tanggal 31 Maret, serangkaian acara ini ditutup dengan A Night of Celebration: Beyond the Screen.
I
de acara ini lahir dari tiga orang alumni: Naswan Iskandar, S.Sn. (ketua panitia pelaksana); Arda Muhlisiun, M.Sn.; dan Suryana Paramita, S.Sn. Ketiganya merasakan FFTV seperti ‘ada dan tiada’. ‘Ada’ dalam artian FFTV IKJ dianggap sebagai saudara tua institusi perfilman oleh institusi-institusi lainnya. ‘Tiada’ karena meskipun sejarah perfilman Indonesia erat kaitannya dengan IKJ, institusi ini justru kian tak terdengar namanya di masyarakat luas. Selain itu, mereka juga sadar bahwa karya film yang telah dihasilkan dari dulu hingga sekarang tidaklah sekadar media hiburan. Film bisa membuat penonton marah, sedih; menginspirasi; memprovokasi;
22 | Majalah AKSI
mengubah cara pikir, cara hidup, hingga tatanan hidup masyarakat. “Hati-hatilah berkarya dengan layar, karena ditonton banyak orang. Berulang-ulang bisa ditonton orang, dan berulang-ulang bisa meracuni orang. FFTV harus membicarakan banyak hal bersamasama, di dunia yang lebih luas, dan nyata,” ungkap Naswan Iskandar. Maksudnya, FFTV harus menjadi motor bagi orang-orang yang berkecimpung di bidang film dan televisi “Film bukan sekadar layar” adalah inti dari pesan yang ingin disampaikan dari rangkaian acara Beyond the Screen. Acara ini juga ingin kembali mengumpulkan serta mengajak para alumni
untuk berbagi pengalaman dan ilmu mereka pada adik-adik saat di kampus. Tak heran, seluruh keluarga FFTV IKJ pun ikut andil dalam acara ini: mahasiswa, dosen, alumni, dan juga karyawan. Film Screening Film-film yang ditayangkan dalam kegiatan film screening adalah Tugas Akhir mahasiswa FFTV IKJ periode 1970-1980, 1980-1990, 1990-2000, 2000-2010, dan 2010-2015. Jumlahnya mencapai 15 film hasil kurasi dari tim kurator dibantu oleh perpustakaan FFTV dan Sinematek dengan waktu seleksi sekitar 3 minggu. Tim kurator diketuai oleh bapak German G. Mintapradja,
M.Sn. (Wakil Dekan III FFTV), mengaku sempat ada kesulitan dalam proses pemilihan film yang mewakili dekadenya. Selain karena harus objektif, kondisi material dari film-film juga berlainan, ada yang dalam bentuk 16 mm, 8 mm, video tape, dan digital file. Apabila harus melalui kinetransfer dan telecine tentu akan memakan waktu dan biaya yang besar. Akhirnya tim memutuskan untuk melakukan teleding, yaitu gambar diproyeksikan ke dinding. Kemudian gambar di dinding tersebut direkam kembali menggunakan kamera DSLR atau kamera EX-3. “Walaupun hasilnya kurang prima, tetapi penonton yang juga terdiri dari alumni yang sudah malang-melintang di dunia perfilman, tertawa sekaligus menangis haru melihat kembali karya-karya Tugas Akhir mereka,” ungkap German. Diskusi Film yang diadakan di ruang Sjuman selama 4 jam penuh oleh peserta yang hadir hingga banyak yang duduk di karpet. Mayoritas peserta merupakan mahasiswa FFTV. Tema diskusi film tersebut yaitu “Film Kita, Problem Kita”. Dr. Anies Baswedan, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah RI menjadi salah satu pembicara dalam diskusi ini. “Film adalah bagian dari kebudayaan,” ungkap Dr. Anies Baswedan
yang juga ikut memperjuangkan bahwa film merupakan salah satu bentuk kesenian. Para pembicara lainnya ada pula dari Badan Ekonomi Kreatif, Badan Perfilman Indonesia, Persatuan Produser Film Indonesia, Blitzmegaplex, dan dimoderatori oleh bapak Arturo G.P., M.Sn. (dosen di FFTV ). Career Days Career Days merupakan program sosialisasi pekerjaan dari kalangan industri. Tujuannya yaitu memberikan informasi pada mahasiswa-mahasiswi serta alumni tentang peluang karir yang tersedia, seperti apa prospek dan tantangan yang akan dihadapi, dan bagaimana tuntutan yang harus dipenuhi oleh para pekerja ketika memasuki dunia profesional. Career days diikuti oleh beberapa perusahaan, antara lain P.T. Media Nusantara Citra Tbk., P.T. Galva Technovision, Biznet, iBox, Bank Mandiri, dan Nikon Corporation. Workshop Fotografi Workshop fotografi, yang pertama diadakan pada tanggal 28 Maret 2015 dengan tema “Pola dan Cara Digital Imaging”. Pembicaranya adalah Romel Luhulima (angkatan 1993). Berikutnya pada tanggal 29 Maret dengan tema “Photo Story”, pembicaranya yaitu Ilham Anas (angkatan
1995). Para pembicara tentu saja membagi kan ilmu dan pengalaman fotografinya, sebagai salah satu tujuan IKAFI yakni pengabdian masyarakat. Musyawarah IKAFI Musyawarah IKAFI, “We Are Family” yang diadakan pada tanggal 29 Maret merupakan ajang berkumpul para alumni untuk membicarakan peran IKAFI dalam industri film, televisi, dan fotografi di tanah air. Beyond the Screen Malam puncak acara Beyond the Screen dihadiri oleh para tamu undangan dari generasi FFTV IKJ terdahulu hingga generasi baru. Selain tamu undangan, segelintir mahasiswa-mahasiswi FFTV IKJ juga turut menghadiri acara night of celebration ini. Acara yang dilaksanakan begitu khidmatnya dibuka dengan sentuhan multimedia menawan berupa pemutaran video dokumentasi rangkaian acara Beyond The Screen pada tanggal 28-29 Maret lalu. Kemudian disambung dengan video profil FFTV IKJ, dan berbagai kata sambutan. Setelah itu, bapak Arda Muhlisiun, M.Sn. (Wakil Dekan I FFTV IKJ) memberikan orasi yang berjudul “Film Sebagai Seni” yang
Para peserta acara berfoto bersama Anies Baswedan.
23 | Majalah AKSI
Pameran di lobby FFTV saat Career Days
ketua yayasan, Slamet Rahardjo dan ketua panitia, Indrayanto Kurniawan
Stand majalah AKSI merupakan pengembangan dari pernyataan yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh FFTV IKJ terdahulu. Orasi diakhiri dengan tepuk tangan riuh penonton. Acara dilanjutkan dengan Tali Kasih IKAFI “We Are Family” memberikan penghargaan untuk tiga orang alumni FFTV dari generasi terdahulu, yakni Sri Atmo, Nurhadi Irawan, dan Mustapha M.C.H. Sayangnya Mustapha tidak bisa hadir saat itu karena sedang sakit, maka diperlihatkanlah video beberapa perwakilan dari IKAFI datang menjenguk ke rumahnya. Indrayanto selaku ketua IKAFI menyerahkan langsung di tempat duduk mereka. Mereka menerimanya dengan senang, hingga Nurhadi Irawan pun menangis haru. Setelah itu disambung dengan pemberian penghargaan sepanjang
24 | Majalah AKSI
masa kepada 8 tokoh pendiri FFTV IKJ yang semuanya telah wafat, yakni Asrul Sani, Chalid Arifin, M.D. Aliff, Sjumandjaja, Misbach Yusa Biran, Soemardjono, Soetomo Gandasubrata, dan D.A. Peransi. Kemudian dilanjutkan dengan penayangan film Jagawana, sebuah film tugas akhir produksi tahun 2014. Acara ditutup dengan peluncuran program dan produk FFTV IKJ, yaitu 5 buku terbitan terbaru FFTV IKJ Press: Krisis dan Paradoks Film Indonesia (Garin Nugroho dan Dyna Herlina S.), Animasi: Pengetahuan Dasar Film Animasi Indonesia (Gotot Prakosa), Gerakan Sinema Dunia: Bentuk, Gaya, dan Pengaruh (M. Ariansah), Skenario: Teknik Penulisan Struktur Cerita Film (R.B. Armantono dan Suryana Paramita), dan Penyemaian Industri Perfilman Indonesia: Produksi, Distribusi, dan Eksibisi Film (Gerzon
R. Ayawaila, dkk.). Program dan produk lainnya yaitu majalah AKSI, Jurnal Imaji, Rintisan Museum FFTV IKJ, website FFTV IKJ, Forum TV Kampus Perguruan Tinggi Seni Se-Indonesia, serta Asosiasi Program Studi Film dan Televisi (APROFISI). Beyond The Screen tahun ini cukup sukses walaupun ada pula kekurangan. Tapi ke depannya, acara ini akan terus diadakan setiap tahun dengan tema berbeda. Rencananya di dalamnya juga akan ada pekan karya mahasiswa FFTV IKJ untuk membicarakan, mendiskusikan, serta memasarkan karya-karya FFTV IKJ dengan pemerintah dan masyarakat luas. Pengembangan untuk membuat acara yang lebih baik pastinya akan terus dilakukan. “Kalau tidak memulai, tidak akan pernah terjadi,” tutup Naswan Iskandar. (A.S.D.)
Oleh Ella Putri Maning
SENDAL Ulang Tahun!
S
ENDAL atau Seni dan Alam merupakan satu-satunya UKM yang bertahan paling lama di IKJ. SENDAL telah berdiri sejak tanggal 28 maret 1994, dan pada bulan Maret lalu, SENDAL merayakan ulang tahunnya yang ke-21. Ulang tahun SENDAL kali ini lebih meriah dari biasanya, sebab dikunjungi oleh: Gerakan Pecinta Alam (GPA) GPA terdiri dari para alumni LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) atau IKJ yang memiliki kegiatan mendaki gunung dan jalan-jalan pada masa itu. Mereka adalah inspirator terbentuknya UKM Seni Dan Alam. Kini sebagian dari mereka telah menjadi dosen di IKJ. Salah satu anggota GPA,
Clement Steve sekaligus mempromosikan bukunya yang berjudul Menelusuri Garis Bumi. Buku ini mengisahkan perjalanan GPA dengan keterbatasan alat dan materi namun tetap kompak dan bahagia. AKSA 7 ARTspedition Kumpulan para alumni muda Institut Kesenian Jakarta yang sedang melakukan ekspedisi di tujuh gunung tertinggi di Indonesia. Sebagian dari mereka adalah anggota Seni dan Alam. Sementara itu para penghibur yang ikut meramaikan HUT SENDAL adalah: S.K. Triolekso, Ferdinand Jacob, Bremol, dan DJ Sound Go Sound.
Di usia ke-21 ini, SENDAL yang diketuai oleh Ferdy Ramadhan, Mahasiswa dari Fakultas Seni Rupa IKJ angktan 2012 akan berusaha untuk menjadi lebih seru lagi dengan berbagai kegiatan outdoor. Menurut Ferdy, SENDAL berbeda dengan UKM pecinta Alam di Perguruan tinggi lainya yang sangat serius dalam berkegiatan di alam. "Organisasi ini lebih menggunakan alam sebagai media inspirasi dalam berkesenian. Namun tentunya tidak dengan tangan kosong untuk menjelajahi inspiraiinspirasi dari alam. Tetap harus ada perbekalan pendidikan tentang berkegiatan di alam bebas," ungkap Ferdy menutup acara riang gembira tersebut. (E.P.M.)
Ketua SENDAL Ferdy Ramadhan
25 | Majalah AKSI
campus life
Sumber: blog.bird-rescue.org
Taylor Brodsky: Behind the Screen Oleh Kevin Jones Parr dan Tamara C. Deliesza
L
ast April 20, an Oscar Award nominee gave a visit to Film and Television Faculty. Surprisingly, it was not only a visit, but as well as a masterclass for students who were eager to further enhance their documentary filmmaking skills. Let us introduce you, Irene Taylor Brodsky, an American documentary film maker who won Emmy Awards (2004 and 2012), Sundance Film Festival Audience Award, and last but not least, Peabody Award. She was also nominated in Oscar at 2009 for her movie entitled The Final Inch. Documentary filmmakers are often recognized simply as filmmakers, since they often take roles as everything. Just like what Brodsky did.
She is well known as a director, producer, writer, cinematographer and as well as an editor. The first time we met her, she emitted a strong down-to-earth-impression. We could not imagine that we got the opportunity to actually talk and help her preparing her masterclass that day. Along with Mr. German G. Mintapradja (Vice Dean III), we gave Ms. a little tour around campus. We took her to see our mini-museum, art cinema, and other facilities. When she was looking at the
26 | Majalah AKSI
paintings of our founding fathers, she asked, "Is there any girl?" We did not answer her right away, but after a second of thought, "Yes, there is!" The Show Preparation Ms. Brodsky brought a lot of her movies, and asked our opinion to which was the most appropriate to be screened that day. We tried to choose her movies by watching only by scenes. One of the film was Four Walls Around Me, which the story was very ironic. Four walls means feeling safe, and Ms. Brodsky portrayed a guy, who was living in a prison for a really long time that he finally accepted his cell as a home—a safe place. Another movie, Saving Pelican 895 talked about Pelican birds. The movie did not use many dialogues, hence it emphasized more about the usage of music. That was why the composer asked for more fee, since he needed to told the audience of how the birds felt when birds got no expression at all. Then, there was a film which told us about an African girl who was raped by her boyfriend and got AIDS. Unfortunately his boyfriend left her when she was pregnant. After she gave a birth to a boy, the mother raised him alone. One day when her boy was big enough, she begged him to kill herself. This movie was very touching, because it was not a fiction. It was really documented. We could see at the ending, the boy made a poison for her mother. For us who have a
decent life like this, we could not imagine how that story sounded fictional but then it did exist somewhere across the globe. “I want to show you one of my favorite. In fact, this is the second time for me to watch it. Cause I don’t want to let my tears drop. The film was so touching. I will show you. But, let me go behind,” told Ms. Brodsky to us. We nodded, then she walked to the back and left us with suspense. It was Brodsky’s friend movie. The film was about a little family: there was a mother, a father, and a baby. The baby was sick and needed some breathing apparatus, so she was left in the hospital. One day her mom said, "Why do we leave our baby alone there?" So, the parents took the baby home and tried to keep her alive every night with everything they had got. The scenes were mostly shot still, but it gave so much emotions to the audience. Knowing that this little family struggled to keep the baby alive while they know there would be no way to cure their baby. It felt like you were running in place. Then there were some camera movement as well, and the director placed the camera very close to the subject, that it gave us the sense of "closeness". At the end of our masterclass preparation with Ms. Brodsky, we learnt a lot of things from her movies: let the audience be a part of the story. (T.C.D.)
Belasan Mahasiswi Cantik Menyerbu FFTV
T
erbiasa melihat pria berambut gondrong, mahasiswa Fakultas Film dan Televisi dikejutkan dengan datangnya belasan mahasiswi cantik dari negeri Sakura tanggal 11 Maret silam. Para mahasiswi ini berasal dari Kinjo Gakuin University, sebuah universitas khusus wanita yang berbasis agama Kristen Protestan. Mereka melakukan kunjungan ke Indonesia, khusus untuk mempelajari seni media
Oleh Caecilia Sherina
rekam dan kebudayaan asing. Hal ini juga sesuai dengan program studi mereka, yakni Masyarakat Kontemporer dan Kebudayaan, dan khususnya dari departemen Informasi dan Kebudayaan. Mereka juga mempelajari ilmu film, namun lebih mengacu pada konteks media dan kebudayaan. Kunjungan singkat mereka disambut oleh Wakil Dekan IV FFTV, Bambang Supriadi, S.Sn. serta segenap karyawan FFTV bagian HUMAS, dan
beberapa mahasiswa lainnya untuk bersama-sama memperkenalkan FFTV kepada mahasiswa Jepang. Sayang, sulit sekali mendekati para mahasiswi cantik ini, sebab mereka tidak fasih berbahasa Inggris. Komunikasi dengan mereka sangat bergantung pada penerjemah yang mereka sediakan sendiri dari travel agency-nya. (C.S.)
Foto: Supriyanta Budisukardjo, S.Sn.
Humas FFTV-IKJ
27 | Majalah AKSI
campus life
FFTV Buka PASAR?!
Oleh Tamara C. Deliesza Foto oleh Fathir Salim
Loh, FFTV buka PASAR? Tunggu dulu! Saya bukan membahas peran fakultas yang pindah haluan maupun menginformasikan harga cabai atau obligasi pasar! Kata PASAR yang saya maksud, merujuk pada tema pameran fotografi hasil kolaborasi antar mahasiswa fotografi FFTV. Foto-foto yang dipamerkan mengambil lokasi pasar-pasar tradisional di area Jabodetabek. Pameran ini diselenggarakan selama 3x24 jam dari tanggal 11-13 Mei 2015 di lobby FFTV, Institut Kesenian Jakarta. Pameran ini tentu saja diselenggarakan oleh mahasiswa/i Fotografi 4 yang selain sebagai peserta juga merangkup sebagai panitia. Pameran ini diselenggarakan selain untuk memenuhi nilai ujian tengah semester, juga sebagai ajang apresiasi karya fotografi sesama mahasiswa, dan sosialisasi mayor fotografi agar bertambah peminatnya. Salah satu peserta, Tian Reffina mengungkapkan pengalamannya, “Kita yang motoinnya juga harus sebisa mungkin bikin suasana santai, nggak kayak kita seorang wartawan. Makanya di sini kita belajar bedain diri kita sebagai fotografer yang bikin karya, sama wartawan yang pengen bikin berita, dengan cara pendekatan-pendekatan selayaknya seorang temen sendiri.” Dengan segala usaha yang telah dikerahkan panitia serta para peserta PASAR, tetap saja ada beberapa kekurangan yang dapat dijadikan pelajaran untuk pameranpameran berikutnya. “Tema dan konsep seharusnya jelas tentang foto dokumenter itu apa, dan ada proses kuratorial. Mesti lebih panjang preparation-nya.” ujar Agni Raraswulan, salah satu pengunjung pameran PASAR.
28 | Majalah AKSI
Salah satu cara membuat pameran yang sukses dikunjungi dan disukai banyak orang adalah bagaimana cara panitia mempresentasikan karya para peserta. Budi, salah seorang fotografer profesional yang lebih sering disapa Mas Budi, memberi masukan bahwa pameran sebaiknya disajikan dengan konsep yang eksentrik. Misalnya dengan menggantung beberapa sisir pisang. Fungsinya, jika salah satu pengunjung mengambil pisang tersebut, mereka harus menukarnya dengan pin BBM atau ID Line. Tapi untuk apa informasi kontak pengunjung? “Orang yang menikmati visual foto dan menikmati food sangat berbeda pandangan dengan perasaan dan emosinya. Perasaan dan emosi itu, kalau bisa diutarakan dalam jaringan Line atau BBM, " jelas Mas Budi. Maksudnya agar pengalaman pengunjung mendatangi sebuah pameran menjadi pengalaman yang berkesan dan tidak terlupakan. Kembali ke pameran PASAR, secara keseluruhan pameran ini meski tidak begitu berkesan, namun tetap bermanfaat dalam membagikan pengetahuan baru tentang fotografi di FFTV. Semoga penyajian pameranpameran berikutnya lebih termotivasi untuk eksentrik dan kreatif. Setuju? (T.D.)
Foto: japanesefilmfestival.net
Red Peony Gambler (1969)
Mengenal Yakuza Jepang Oleh Sekar Ayuning Wulansari
F
akultas
Film
dan
Televisi
IKJ kembali bekerja sama dengan Jepang untuk melakukan pertukaran pelajar perfilman. Penandatanganan kerja sama ini dilakukan antara FFTV dengan Japan Institute of Moving Image (JIMI) dan Japan Foundation pada tanggal 20 April lalu di ruang Sjuman, Art Cinema, dan dirayakan dengan pemutaran film serta diskusi bersama aktornya. Beberapa brosur telah dibagikan satu minggu sebelum acara, dan film yang diputar merupakan film-film pilihan bertema yakuza.
Semua film ini dibintangi oleh seorang aktor terkenal, Ken Takakura. memperkenalkan aktor fenomenal Jepang, Ken Takakura melalui beberapa film yakuza yang dibintanginya. Selain mahasiswa dan dosen FFTV IKJ, acara ini tentunya juga dihadiri oleh Tadao Sato (pendiri JIMI, kritikus film), Kenji Ishizaka (perwakilan Japan Foundation) dan ketua Japan Foundation Indonesia. Pukul 14.00 WIB, hari pertama dibuka dengan sambutan dari presiden Japan Foundation Indonesia, Hiroyasu Ando dan dilanjutkan dengan pemutaran film Red Peony Gambler: Flower Cards Match (1969). Setelah film kedua selesai, Tadao Sato (pendiri JIMI) membahas hubungan film tersebut dengan Ken Takakura. Menurut penuturannya, film tersebut merupakan titik balik hidup Ken Takakura. Berkat perannya di film tersebut, ia mulai mendapat
pengakuan
masyarakat
hingga
akhirnya
menjadi aktor yakuza terkenal di Jepang. Sayangnya Takakura telah meninggal dunia pada 10 November 2014 lalu di usia 83 tahun. Kemudian diskusi film dilanjutkan dan diramaikan oleh beberapa tokoh penting perfilman: Riri Riza (sutradara Laskar Pelangi), Arman Dewarti (perwakilan Institut Kesenian Makassar), serta Edwin (sutradara Babi Buta Yang Ingin Terbang). Pada hari kedua, acara dilanjutkan dengan sharing pengalaman oleh Julita Pratiwi, Asaf Kharisma, dan Sabila Nurbayani yang menjadi peserta pertukaran pelajar ke Jepang pada bulan Maret 2015 lalu. Ketiga mahasiswa ini berkesempatan mengkorek perfilman Jepang khususnya dari proses perilisan hingga pengarsipan, dan juga berkesempatan untuk kenal dengan mahasiswa perfilman dari negara ASEAN lainnya. Setelah berbincang-bincang seputar perfilman ASEAN, diskusi ditutup dengan coffee break, dan dilanjutkan dengan pemutaran film Hot Pursuit (1976). Acara pada hari ketiga hingga hari terakhir hanya diisi dengan pemutaran film: hari ke-3 diputar film Yasha (1985) dan Saputangan Kuning (1977); hari ke-4 diputar film Stasiun (1981) dan Panggilan Musim Semi (1980); sementara hari ke-5 mengulang kembali semua film yang telah diputar di harihari sebelumnya. Film-film tersebut merupakan titik penting dari proses pencapaian Ken Takakura sebagai seorang aktor profesional. Dengan adanya acara pemutaran film ini, mahasiswa FFTV IKJ tentu selangkah lebih akrab dengan perfilman Jepang dan sosok Ken Takakura, sang yakuza. (S.A.W.)
Foto: 951465021.r.lightningbase-cdn.com
29 | Majalah AKSI
campus life
SINEGELAS Oleh Noprian Rauhul Mahfudz Foto oleh Eki Ananda
30 | Majalah AKSI
B
erawal dari tugas kelompok, menjadi sebuah acara berkumpul lintas angkatan untuk menyaksikan karya satu sama lain. Itulah SINEGELAS, acara pemutaran film tahunan yang diadakan tiap generasi ke generasi. Kegiatan semacam ini juga memperkuat tali persaudaraan antara senior dan junior yang semakin menyadarkan para mahasiswa film, bahwa filmmaking adalah suatu pekerjaan kolaboratif, bukan pekerjaan individualistik. Siang itu di hari Rabu, 13 Mei 2015, lobby FFTV telah dipadati oleh para panitia angkatan 2013 yang sibuk menyulap stage. Tahun ini acaranya dinamakan SINEGELAS, hasil pelesetan lucu dari Sinema Tiga Belas. Film-film yang akan diputar adalah film-film dari tugas Penyutradaraan I yang biasanya didapatkan pada semester 2. Terdapat 19 judul film Penyutradaraan I yang ditampilkan, antara lain: Let’s, Dour, TV Keluarga, Salah, Circle, Sesak, A Peculiar Dilly Dally, Sebelum, Her, Hope, Trapper’s Trap, Hallo Manis, Aqla, Glass, Tis Of Thee Cuisine, Colder Than Earth, Odium, Harmoni, dan Kenangan. Tepat pukul 15.00 WIB, banyak mahasiswa dari berbagai angkatan mulai
AKSI: Seperti apa tanggapan terhadap acara SINEGELAS? YL: “Niat banget dan sangat menarik. Mungkin acara seperti ini dapat melatih mahasiswa film untuk mulai berkreasi. Seorang calon sutradara harus sejak dini berlatih menciptakan suatu karya-karya film."
memadati halte (julukan mahasiswa pada lobby FFTV), dan duduk di level/undakan yang sudah disediakan oleh panitia acara. Sore itu pun MC Rikat & Wahyu memulai acara dengan pertama-tama menampilkan music performance dari Tracy & Rikat, kemudian dilanjutkan dengan pidato singkat oleh German G.M. selaku Wakil Dekan III. Kata sambutan disambung oleh Aling Firmansyah, Ketua Senat FFTV-IKJ, dan Ketua Panitia Agus. Acara selanjutnya yaitu pemutaran 2 film Workshop Visual angkatan 2014: Make Over dan Acuh, dan 1 film Praktika Terpadu angkatan 2012 yang berjudul Tunai. Setelah itu barulah film tugas Penyutradaraan I angkatan 2013 diputar satu-persatu. Pukul 18.00 WIB, acara dihentikan sementara untuk melakukan shalat Isoma. Semua mahasiswa yang hadir pada saat itu disuguhkan dengan lezatnya sosis bakar dan sirup dingin sehingga membuat semua semarak dalam kemeriahan. Pukul 18.30 WIB, acara dilanjutkan dengan music performance dari Radak Banu. Kemudian pemutaran film dari ranah D3: Putri, Passion, dan Takut, dan film Praktika Terpadu angkatan 2011 yang berjudul Titik Balik. Setelah itu dilanjutkan dengan pemutaran film Penyutradaraan I kembali.
Seluruh rangkaian acara film berakhir pada pukul 21.00 WIB dan ditutup dengan music performance dari Dias and Friends, serta (yang paling menarik) dengan sengaja didatangkan grup pedangdut dari Jatinegara sebagai hiburan terakhir dalam acara SINEGELAS ini.
Agus sang ketua panitia menambahkan sebagai penutup, “SINEGELAS bukan sekadar acara pemutaran film Penyutradaraan I saja, tetapi juga ajang berkumpul dengan temanteman seangkatan untuk bersama-sama menyaksikan karya yang telah dibuat. Tempat ini bukan sebuah arena kompetisi, tetapi tempat inilah tempat kita membangun sebuah kolaborasi," lanjutnya, "Perlu disadari juga bahwa kita bukanlah teman tetapi saudara." (N.R.M.)
AKSI: Apa tujuan diselenggarakannya SINEGELAS? Agus: “SINEGELAS ini sebenarnya bertujuan untuk kumpul-kumpul dengan satu angkatan khususnya angkatan 2013. Kalau tidak ada SINEGELAS ini kapan lagi kita bisa kumpul untuk seru-seruan seperti ini? SINEGELAS ini juga sebagai wadah bertukar pikiran dan memperlihatkan karya masing-masing."
31 | Majalah AKSI
campus life
MALES: Perjalanan Senang Berakhir Duka
B
eberapa waktu lalu, SENDAL (Seni dan Alam) mengadakan kegiatan MALES. Kegiatan ini bukan ajang bermalasmalasan, melainkan ajang para mahasiswa saling kenal satu sama lain dan kenal dengan alam sekitarnya. Acara ini dinamakan MALES, sebagai singkatan dari Mengapresiasikan Alam Lewat Seni. Tujuan dari kegiatan ini salah satunya adalah membuat instalasi sampah di Lembah Surya Kencana, Gunung Gede, Jawa Barat. Jumat, 29 Mei adalah hari di mana semua peserta dan panitia memulai persiapan di kampus IKJ. Tepat pukul 8 malam, sekitar 34 mahasiswa berangkat dari kampus menuju lokasi. Terdapat tiga jalur untuk menuju Gunung Gede: Cibodas, Putri dan Salabintana. Saat itu kami telah berencana untuk melewati jalur Putri. Setelah matahari terbit dengan cantiknya, kami memulai pemanasan untuk pendakian pertama kami di sana. Pendakian dimulai sekitar pukul 6:30 pagi dengan cuaca yang sangat cerah dan udara masih terasa dingin dengan suasana hutan yang padat dan lembab. Meskipun demikian, kami semua tetap bersemangat menjalani perjalanan ini. Ada kebahagiaan tersendiri, ketika saya dapat
32 | Majalah AKSI
Oleh Feri Deswandi memandang hutan yang sepi dari hiruk-pikuk keramaian mahasiswa lainnya. Rasanya begitu melegakan. Mendekati sunset, satupersatu kelompok telah mencapai camp Surya Kencana. Di sana kami beristirahat sejenak dalam tenda sambil ditemani ratusan bintang di langit. Hari kedua di Gunung Gede, kami memulai instalasi yang telah kami rencanakan. Ada kelompok yang bertugas membuat kerangka, ada pula kelompok yang menyusuri daerah camp untuk mengumpulkan sampah. Setelah instalasi yang menguras energi ini selesai, kami makan bersama di tengah tenda yang kami dirikan kemarin. Saat itu, Rara, salah satu sahabat kami mulai terlihat lesu. Hari Terakhir Matahari yang hangat mulai menyinari Surya Kencana saat kami terbangun dan mulai meregangkan badan yang kaku. Satu persatu keluar dari tenda masing-masing untuk masak, sementara beberapa mulai packing untuk melanjutkan perjalanan nanti. Pagi itu jadwal kami sudah ditetapkan: turun dari Gunung Gede melalui jalur Cibodas. Namun untuk melewati jalur tersebut, kami harus mendaki beberapa menit ke puncak gunung.
Saat kami telah menyantap sarapan pagi dan siap berjalan kembali, tiba-tiba teman kami Rara nampak lebih pucat dari sebelumnya. Rara mengatakan bahwa ia tidak kuat lagi untuk berjalan, sehingga para panitia yang terdiri dari 12 orang termasuk anak SENDAL memutuskan untuk membagi kelompok. Ada kelompok yang turun gunung lewat jalur Putri agar dapat cepat menghubungi ranger, ada kelompok yang turun lewat jalur Cibodas, dan ada pula kelompok yang stay di tempat untuk menjaga Rara. Saya termasuk salah satu yang melanjutkan perjalanan lewat Cibodas. Perjalanan saya dan kawankawan ke puncak aman-aman saja, dan di sana kami melihat pemandangan alam
yang luar biasa indahnya. Namun dalam perjalanan turun gunung, kabut mulai datang menghalangi penglihatan. Saat itu kami semua menyalakan headlamp, namun tetap tidak mudah untuk melihat. Ditambah udara dingin menusuk hingga ke tulang rusuk. Saya sempat khawatir dengan keadaan kelompok lainnya. Malam itu saya dan teman-teman beristirahat di pos terakhir. Hari berikutnya adalah hari di mana kami semua mendapat kabar yang tidak ingin kami dengar. Teman kami, Qurratuaini, atau biasa kami sapa Rara, pulang ke sisi Allah. Rupanya saat teman-teman yang lain meminta pertolongan pada ranger di kaki gunung, para ranger ini tidak kunjung datang menjemput Rara karena harus menyelamatkan beberapa pendaki lainnya (dari rombongan lain) yang terkena hipotermia. Akhirnya banyak teman meneteskan air mata, dan pendakian yang pada awalnya begitu menyenangkan berakhir menjadi perjalanan duka yang tidak mungkin terlupakan. Selamat jalan, Rara.
33 | Majalah AKSI
close up
THE MEXICAN Wonderkid
Oleh Dhea Algani
“Cinema is universal, beyond flags and borders and passports.” Alejandro González Iñárritu
34 | Majalah AKSI
A
“Yes, I am a Mexican, and I have a past and a culture. But what matters is the film itself, not where it was financed or cast.”
lejandro González Iñárritu, born on August 15, 1963, is a Mexican film director. He crossed the Atlantic Ocean on a cargo ship at the age of 16 and 18, making his way to Europe and Africa. He had noted that these early travels as a young man made a great influence on him as a filmmaker. After his travels, he started a career as a radio host at the Mexican radio station, WFM, a rock and eclectic music station. From 1987 to 1989, he composed music for six Mexican feature films. He stated that he believed music had a bigger influence on him as an artist than film itself. In the 1990s, González Iñárritu started writing, producing and directing short films and advertisements. Then, he created Z films, a production company, with Raul Olvera in Mexico. He studied under a well-known Polish theater director, Ludwik Margules, as well as Judith Weston in Los Angeles. In 1995, González Iñárritu wrote and directed his first TV pilot for Z Films, called Detras del dinero. After that Z Films
went on to be one of the biggest and strongest film production companies in Mexico. Iñárritu directed his first feature film Amores Perros in 1999, a film written by Guillermo Arriaga. Amores Perros explored Mexican society in Mexico and was told via three intertwining stories. The movie was then premiered at the Cannes Film Festival in 2000 and won the Critics Weeks Grand Prize. After the success of Amores Perros, Iñárritu and Guillermo Arriaga revisited the intersected stories structure of Amores Perros in Iñárritu’s second film, 21 Grams. The film starred Benicio del Toro, Naomi Watts, and Sean Penn. It competed at the Venice Film Festival, winning the Volpi Cup for actor Sean Penn. At the 2004 Academy Awards, Del Toro and Watts received nominations for their performances. In 2005, Iñárritu embarked his third film, Babel, set in four countries across three continents, and in 4 different languages. Babel comprises four stories set in Morocco, Mexico, United States, and Japan. The film starred Brad Pitt, Cate Blanchett, Adriana Barraza, Gael Garcia Bernal, Rinko Kikuchi and Kōji Yakusho. The rest of the cast are non-professional
actors. The film then competed at Cannes 2006, where Iñárritu received the Best Director Award (Prix de la mise-en-scène), becoming the first Mexican-born director to win the award. For the same film, he also received seven nominations at the 79th Academy Awards, including Best Picture and Best Director. Gustavo Santaolalla, the film’s composer, won the Academy Award that year for Best Original Score. The film won Best Motion Picture in the drama category at the Golden Globe Awards on January 15, 2007. Hence Iñárritu became the first Mexican director to be nominated for the Academy Award for Best Director and the Directors Guild of America Award for Outstanding Directing in 2007 for Babel. In 2014, Iñárritu directed, co-produced, and co-wrote his first comedy, Birdman, starring Michael Keaton, Edward Norton, Emma Stone, Naomi Watts, Zach Galifianakis, and Andrea Riseborough. The film and Iñárritu himself won the Golden Globe for Best Screenplay, as well as the Academy Award for Best Picture, Best Director, and Best Original Screenplay. (D.A.)
35 | Majalah AKSI
Oleh Adlino Dananjaya
M
NONTON YUK!
emperingati Hari Film Nasional (HFN) yang bertepatan pada tanggal 30 Maret lalu, cukup banyak acara yang berlangsung di beberapa daerah khususnya Ibukota Jakarta. Acaranya berupa pemutaran film, diskusi dengan para pembuat film, workshop film, hingga bazaar film. Salah satu acara yang turut menyemarakkan HFN ialah acara “Nonton Yuk!” yang diselenggarakan oleh MUVILA. com di Galeri Indonesia Kaya. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengapresiasi para filmmaker Indonesia terutama pada karya film pendek mereka. Daftar film yang di putar pada acara Nonton Yuk! adalah Kebaya Pengantin (Nia Dinata), Lembusura (Wregas Bhanuteja), Return to Sender (Vera Lestafa), Rock & Roll (Wisnu Suryapratama), dan Gula-Gula Usia (Ninndi Raras). Hal menarik dari film-film di atas adalah semuanya memiliki benang merah (kecuali Lembusura). Tanpa kita sadari hampir semua film ini memiliki kesamaan tentang pasangan. Ada yang tentang pasangan tua, pasangan transgender, pasangan yang nggak bisa move on, hingga tentang sahabat yang saling suka. Selain itu pemilihan film-film ini tidak berdasarkan ketentuan telah
36 | Majalah AKSI
memenangkan festival. Tujuan utama MUVILA adalah murni mempertemukan pembuat film dengan penontonnya agar tercipta diskusi yang menarik. Mengapa acara ini diberi nama Nonton Yuk!, mungkin jawabannya karena MUVILA.com ingin memberikan kesan "kedekatan" dalam mengajak masyarakat umum turut menonton film lokal yang ciamik! Jadi ya, ayo kita nonton yuk! Berikut adalah hasil rangkuman ide atau pun pengalaman yang menginspirasi para pembuat film di atas menciptakan filmfilm pendek ciamik mereka: Lembusura (Wregas Bhanuteja) Pada 14 februari lalu, Wregas pulang ke Jogja dan ingin sekali melakukan hunting lokasi untuk film tugas akhirnya yang berjudul Lemantun. Sesampainya di Jogja ternyata sedang terjadi hujan abu akibat letusan Gunung Kelud. Alhasil hunting lokasi pun dibatalkan. Namun karena pada dasarnya jiwa filmmaking itu begitu mendarah-daging, bingung ngapain di rumah, Wregas pun lebih memilih merekam kejadian tersebut daripada bertahan dan berlindung di rumah. Setelah stock shot abu itu terkumpul, ia pun teringat akan mitos Lembusura penjaga Gunung Kelud. Maka ia pun langsung meminta temannya untuk menarikan tarian Lembusura
menurut interpretasinya. Return to Sender (Vera Lestafa) Berawal dari curhatan teman tentang perasaan cinta yang terpendam, Vera pun terinspirasi untuk mengeksplorasi ide tersebut. Karena film ini mengenai perasaan cinta yang tidak terungkapkan, maka akan lebih afdol apabila tidak diberikan dialog sama sekali. Rock & Roll (Wisnu Suryapratama) Awalnya ada sebuah acara membuat skenario untuk layar lebar, dan Wisnu mencoba mengirimkan skenario filmnya. Setelah diproses ternyata hasilnya malah menjadi film pendek. "Ngomongin tentang Jakarta, oke yang saya pilih adalah makanan dan romance. Saya adalah orang yang gemar kuliner dan menggemari film romantic comedy. Jadi saya pilih tema itu," ungkap Wisnu. Kebaya Pengantin (Nia Dinata) Film Kebaya Pengantin sebenarnya dibuat untuk film panjang, namun masih dalam tahap skenario dan masih perlu direvisi. Nia menjelaskan, "Namun saya coba pilih beberapa adegan yang saya suka, dan jadilah film pendek dari Kebaya Pengantin." (A.D.)
ASEAN
Literary Festival Oleh Zafira Sekarnegara
Berbeda dengan konsep tahun lalu yang hanya berlangsung dalam beberapa hari saja, tahun ini ASEAN Literary Festival berlangsung lebih panjang, yaitu selama 8 hari sejak tanggal 15-22 Maret 2015, di Jakarta. Pembukaan acara dilakukan di Taman Menteng dengan pembacaan puisi, kemudian pada 3 hari berikutnya diadakan tour ke Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Negeri (UIN), serta perpustakaan di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Pada hari Kamis tanggal 19 Maret 2015 acara ini mulai diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan diisi dengan berbagai diskusi. “Acara ini berawal dari kami melihat pentingnya festival sastra di Indonesia. Kemudian kenapa kita tidak sekaligus merangkul negara-negara di ASEAN? Karena kita sendiri juga tidak tahu bagaimana perkembangan sastra di negara ASEAN,” kata Kurai Rayrahman Indra yang merupakan Communication Manager dalam acara ini. Tujuan diadakan acara ini bukan hanya sekedar event, tetapi juga menjadi sebuah tradisi untuk membangkitkan kembali minat baca, dan mengajak audience lebih sadar akan karya sastra.
Di sini juga merupakan tempat berkumpul penulis Indonesia, penulis daerah, penulis dari dan luar ASEAN. "Di sini kita membangun kesepahaman antar penulis," lanjutnya. Pada tahun 2015 ada sekitar 20 negara yang ikut serta dalam acara ini, tidak hanya dari ASEAN tetapi ada juga
dari Republik Rakyat China, Jepang, India, Amerika Serikat, Australia, Mesir, Finlandia, Algeria, dan banyak lagi. Kurai juga menambahkan, selain terdapat diskusi, workshop, dan performance, acara ini juga menyelenggarakan book fair. “Ditambah lagi acara ini gratis dan terbuka untuk umum, kecuali workshop dramatic reading (Jumat), writing for freedom (Jumat), pratical workshop with Shintaro Uchinuma: Starting Your Own Unique and Attractive Library and Bookstore (Sabtu).” (Z.S.)
37 | Majalah AKSI
reportage
Film and Art Celebration Oleh Noprian Rauhul Mahfudz Foto oleh Fathir Salim
J
umat siang, 27 maret 2015, tepatnya pukul 13.00 WIB ratusan orang yang tergolong masyarakat umum dan pecinta film Indonesia datang meramaikan acara FILARTC Celebration di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini 73, Jakarta Pusat. Indonesia mempunyai Hari Film Nasional yang diperingati setiap tanggal 30 maret. Memanfaatkan momentum itu, para penggiat perfilman yang terdiri dari APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia), Dewan Kesenian Jakarta, KINEFORUM, dan beberapa asosiasi perfilman serta komunitas film lainnya ikut serta menggelar acara bertajuk Film and Art Celebration (FILARTC). Acara ini menjadi sebuah kegiatan yang tergolong baru di Jakarta dan berlangsung selama 3 hari mulai dari 27-29 Naret 2015. Hari pertama diselenggarakannya FILARTC, semua masyarakat dan penggiat film lainnya datang meramaikan acara tersebut. Sebut saja Lukman Sardi, Matias Muchus, Tio Pakusadewo, Ria Irawan, dan masih banyak lagi. Sambil menikmati alunan musik di panggung, pengunjung juga terhibur dengan adanya bazaar yang lengkap dari peralatan syuting, makanan, hingga fashion, dan lain-lain.
38 | Majalah AKSI
Selain itu rangkaian acara FILARTC juga menampilkan acara-acara menarik seperti pemutaran film gratis, kelas apresiasi film, pameran (fotografi, poster, kostum dan makeup effect), serta workshop dengan tema “Dari Anak dan Untuk Anak”. Beberapa film yang diputar adalah Dalam Sepotong Roti (1992) yang disutradarai oleh Garin Nugroho, dan film Darah dan Doa (1950) yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Sementara kelas apresiasi film berupa diskusi singkat dengan para pakar yang tergabung dalam asosiasi, misalnya oleh INAFEd (Indonesian Film Editors), dengan pembahasan utama “Masa Transisi Teknologi Editing Mulai Dari Film Seluloid Hingga Era Digital”. Hari kedua diselenggarakannya FILARTC, antusias masyarakat semakin bertambah dalam mengikuti acara ini.
Di hari kedua memang tidak jauh berbeda dengan rangkaian acara di hari pertama, namun hari kedua menjadi lebih menarik karena Anies Baswedan selaku
Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan menambah daftar pengunjung FILARTC. Malam harinya suasana semakin panas karena ratusan orang sesak memadati halaman Teater Jakarta ketika FILARTC menampilkan band dan penyanyi ternama seperti Rike Roeslan, SK & Trio Lekso, Saphira Singgih, Amanda, T.O.R., P.A.L.L.O., Calltonette Serenades, dan Sound Solution. Selain itu ada juga pemutaran film Cahaya Dari Timur Beta Maluku (2014) yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko. Hari ketiga atau hari terakhir berlangsungnya acara FILARTC ini semua masyarakat dan penggiat film lainnya berbaur dalam suasana kemeriahan. Seperti biasanya acara pada malam hari adalah pemutaran film: Ayat-Ayat Cinta (2008) yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Tepat ketika pukul 22.00 WIB, ratusan orang memadati area panggung yang disediakan untuk menyaksikan malam puncak FILARTC Celebration 2015. Acara pun ditutup dengan penampilan dari band Mata Jiwa, Pandai Besi, dan DJ Gantung. (N.R.M.)
Editing di Masa Lampau Oleh Caecilia Sherina
INAFEd (Indonesian Film Editors) adalah sebuah asosiasi editor film Indonesia yang pada hari Jumat, 27 Maret lalu mengadakan sebuah diskusi mengenai teknologi editing film dari masa ke masa. Acara ini diberi nama Flash Back, dan berlokasi di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki pada pukul 7 malam dengan narasumbernya, para editor Indonesia: George Kamarullah, Norman Benny, Sentot Sahid, Sastha Sunu, Dewi S. Alibasah, Andhy Pulung, dan Ryan Purwoko. Diskusi dibuka dengan pengantar sejarah editing singkat dari Norman Benny, selaku editor paling senior di antara kelimanya. Ia telah memulai karir sejak tahun 80an, di mana pada masa itu film Indonesia masih hitam-putih. Kemudian secara bergilir, perkembangan teknologi editing ini dilanjutkan melalui cerita Sentot Sahid, Sastha Sunu, Andhy Pulung, dan diakhiri
“Persiapan sama, dari jaman masih hitam-putih hingga sekarang. Bagaimana cara melihat materi lapangan, membaca shot dari lapangan, semuanya sama, kecuali saat era penggunaan dubbing system, agak kacau,” jawab Norman Benny menjelaskan bahwa pada saat dubbing system, editor mengedit film tanpa suara. Sehingga sangat susah untuk menentukan titik potong yang tepat
oleh Ryan Purwoko yang telah memasuki era digital secara keseluruhan. Di antara diskusi tersebut, di belakang para narasumber juga disediakan sebuah layar besar untuk menampilkan foto-foto mesin editing dan pemutaran film dokumentasi pendek buatan Dwi Koencoro yang berjudul Old School Movie Editing (1987). Sehingga percakapan mengenai teknologi masa lalu ini menjadi lebih jelas di benak penonton, yang pada umumnya belum pernah menyentuh alat editing analog. Mendekati akhir acara, Cesa memberikan pertanyaan kepada para narasumbernya, “Apa yang perlu dipersiapkan saat mengedit baik secara mental maupun raga?” dan pertanyaan itu pun disambut dengan penuh senyuman dari narasumber.
dengan dialog yang diucapkan di gambar. Pekerjaan ini tentu dibantu oleh pencatat skrip yang bertugas mencatat dialog-dialog saat syuting berlangsung. Celakanya, seringkali pencatat skrip kehilangan beberapa kata karena improvisasi aktor yang terlalu banyak. “Dari dulu, musuh editor adalah pencatat skrip,” tambah Sentot Sahid dengan gelak tawa. “Bahkan sampai sekarang pun masih, Mas. Mungkin perlu kita adakan acara rekonsiliasi?” canda Cesa David, dan para peserta diskusi pun semakin terbalut dalam tawa meski malam semakin larut. Kembali ke topik, Sentot Sahid menambahkan bahwa pada zaman dulu, selain harus memanjangkan kuku jempol agar dapat dengan mudah mengupas selotip
dari ujung seluloid yang ditempel ke ujung lainnya, juga perlu siap menerima kenyataan bahwa tangan seorang editor tidak akan pernah halus. “Di luar negeri, seharusnya pakai sarung tangan agar tidak terbeset pinggiran seluloid yang dalam kecepatan tinggi jadi seperti pisau. Tapi karena kita mau cepat, jadi ya saya langsung pegang pakai tangan, jadi sering sekali berdarah di mana-mana,” ujar Sastha Sunu. Pada akhirnya, diskusi ini ditutup dengan kesimpulan dari Sastha mengenai perkembangan teknologi yang semakin pesat, “Semua teknologi memiliki fungsi yang sama, yakni memudahkan kita dan membuat kita nyaman bekerja. Tapi, sayangnya rentan membuat kita kurang disiplin, dan rentan dalam pengarsipan. Coba kalau film disimpan dalam external hard disk saja? Kena air sedikit, data corrupt. Kalau dalam seluloid kan kena air, ya tinggal dikeringin dengan hati-hati. Jadi menurut saya, teknologi analog dan seluloid film tetap penting dipertahankan, selain sebagai pilihan dalam film style, juga terutama untuk pengarsipan.” (C.S.)
39 | Majalah AKSI
Ada Zombie di @America Oleh Sekar Ayuning Wulansari Foto oleh Ferdy Syahwara
Selama ini kita mengetahui zombie melalui film-film Hollywood. Mereka selalu digambarkan sebagai manusia yang sudah mati, namun bangkit kembali untuk mencari otak manusia dan menyebarkan virus zombie. Namun ternyata zombie tidak hanya ada di film! Hari Kamis, 7 Mei lalu, beberapa zombie ditemukan di Jakarta. Apakah ini pertanda kiamat sudah dekat?
Rupanya bukan. Para zombie yang berkeliaran itu bukanlah zombie yang sesungguhnya. Dalam rangka memperingati hari Hak Kekayaan Intelektual Sedunia yang ke-14 pada tanggal 26 April 2015, Motion Picture Association (MPA) Asia Pasifik berkolaborasi dengan makeup artist Indonesia, Reza Pramesworo, untuk menunjukkan betapa pentingnya peranan makeup artist di balik layar industri perfilman. Acara yang diberi nama Film 101: DIY Makeup Effect Workshop itu mengajak pesertanya untuk belajar membuat makeup effect sendiri. Acara berlangsung di @America, Pacific Place. Pukul 14.00 WIB, acara dibuka dengan pidato sambutan dari Duta Besar Amerika Serikat, Robert O. Blake, Jr., dan dilanjutkan dengan kata sambutan dari Direktur Komunikasi MPA, Stephen Wegner.
Beliau mengajak semua pihak untuk melindungi hak kekayaan intelektual dan hak cipta karya-karya film, salah satunya dengan memerangi pembajakan. Acara hari itu juga turut mengundang Dennis Adhiswara (aktor, pemilik Layaria) dan M.M. Earlene (cosplayer, makeup artist) sebagai moderator acara dan untuk berbagi pengalaman mengenai bidang masing-masing. Setelah perbincangan singkat, workshop makeup effect bersama Reza Pramesworo pun dimulai. Reza yang juga merupakan salah satu pencetus Indonesian Zombie Club memperkenalkan diri. Meskipun latar belakang pendidikannya bukan di bidang perfilman, sejak tahun 2003 Reza
40 | Majalah AKSI
sudah menyutradarai beberapa film pendek. Ia juga tidak pernah belajar makeup effect secara formal, namun karena ketertarikannya terhadap film-film yang banyak menggunakan makeup karakter, seperti Star Wars dan serial The Walking Dead, ia memutuskan untuk belajar makeup effect dari berbagai sumber. “Learn by doing and keep trying,” katanya. Reza juga menjelaskan berbagai macam special effect lainnya yang banyak digunakan dalam produksi film, di antaranya wardrobe effect (kostum kotor atau dekil), miniature effect, pyrotechnic effect (efek ledakan), property effect, atmosphere effect (kabut), dan engineering effect (penggunaan alat untuk membuat ombak, dsb.). Kemudian Reza menjelaskan proses pengerjaan special effect dengan makeup. Proses tersebut ternyata membutuhkan waktu yang cukup panjang karena dibutuhkan ketelitian dan kesabaran yang tinggi. Peserta yang hadir untuk mengikuti workshop berjumlah 200 orang, sehingga panitia memutuskan untuk membagi mereka ke dalam 10 tim. Masing-masing tim diberi peralatan makeup dan harus memilih satu anggota sebagai modelnya. Sementara Reza mempraktikkan di depan, para peserta dengan antusias mencoba makeup effect yang dicontohkan. Selain untuk belajar makeup effect, acara ini juga menjadi sarana untuk mengenal orang-orang baru. Kebanyakan peserta berasal dari kalangan mahasiswa di bidang broadcasting, film, dan DKV. Terdapat pula di antaranya yang merupakan cosplayer. Beberapa saat kemudian, hasil kerja tim mulai terlihat. Ada tim yang membuat makeup effect luka-luka, ada pula yang membuat makeup effect zombie. Semua terlihat puas dengan apa yang dikerjakan. Setelah acara selesai, beberapa “zombie” terlihat mondar-mandir di @America. Untungnya mereka hanya tipuan, sehingga para pengunjung Pacific Place tidak perlu resah. (S.A.W.)
Oleh Yudhistya Putri Bharati
Selamat Jalan, Didi Petet
K
abar duka dunia perfilman mendadak terdengar kembali. Aktor senior Indonesia Didi Widiatmoko alias Didi Petet meninggal dunia pada hari Jumat, 15 Mei 2015, sekitar pukul 04.30 WIB. Seniman kelahiran Surabaya, 12 Juli 1956 (58 tahun) ini meninggal di rumah duka yang bertempat di Jl. Bambu Apus No. 76, Kedaung Ciputat, Tangerang Selatan. Informasi dari keluarga, pagi itu usai shalat subuh beliau mengeluh sesak napas. Kemudian ia ketiduran, dan setelahnya beliau sudah tidak ada. Didi Petet sudah mulai terlihat sakit sepulang dari Milan pada tanggal 10 Mei 2015 dalam rangka Milano
World Expo. Aktor yang dikenal dalam perannya sebagai Emon di film Catatan Si Boy dan sempat pula lekat dengan sosok Kabayan ini terakhir ikut berperan dalam film Guru Bangsa: Tjokroaminoto dan sinetron drama komedi Preman Pensiun. Selain akting, Didi juga giat dalam kegiatan penjurian film seperti Indonesian Movie Awards dan Festival Film Indonesia. Tak hanya para kalangan artis yang ramai melayat ke pemakaman mendiang Didi Petet di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, bahkan para penggemar setia serta anakanak didiknya dari Institut Kesenian Jakarta maupun sekolah acting lainnya yang turut
berduka pada saat itu. Hingga jenazah akhirnya disemayamkan sekitar pukul 14.30 WIB. Mengingat pada hari ulang tahun IKJ yang ke-44 beliau masih sempat turut meramaikan sekaligus mengisi acara. Sedangkan tahun ini IKJ melewatkan ulang tahun yang ke-45 tanpa kehadiran canda beliau. Segala jasa beliau masih dikenang melalui karya-karya luar biasanya sampai kapanpun juga.
Selamat jalan Mas Didi, karyamu akan tetap abadi. (Y.P.B.) 41 | Majalah AKSI
“Keras kepala, sifat paling nyata yang melekat pada sosok Gotot Prakosa. Kunjungan jenguk saya ke Jogjakarta awal Januari 2015 lalu—ketika beliau baru saja terserang stroke untuk kesekian kalinya—menegaskan sekali lagi sifat itu. Dalam status ‘istirahat’ yang dipersyaratkan dokternya, ia tetap bersikeras untuk ke Jakarta, menyelesaikan editing film untuk studi doktoralnya yang hampir rampung. Terlihat bahwa kekuatan pikiran dan keinginan dia kadang melampaui batas kemampuan fisiknya. Saya melihatnya sebagai motivasi, terutama untuk diri sendiri—yang juga sedang dalam proses perampungan program doktor. Dari sini saya akhirnya harus meralat sedikit kesan itu; keras kepala saya konversikan sebagai ‘keras kemauan’.”
R.B. Armantono, M.Sn. Dekan Fakultas Film dan Televisi
“Gotot Prakosa bagaikan ‘gudang ide’. Namun ide-ide yang ditawarkannya selalu membawa persoalan, karena berada di luar logika orang lain untuk memahaminya. Bahkan tidak jarang beberapa ide beliau akhirnya dikerjakan sendiri, karena memang hanya beliau yang tahu bagaimana ide tersebut direalisasikan. Beberapa waktu kemudian barulah kita ketahui bahwa ide-ide tersebut rupanya memiliki kualifikasi yang sangat tinggi—yang tidak semua orang mampu ‘membacanya’. Bagi Gotot Prakosa, ide menjadi semacam permainan strategi dalam kepalanya—yang bisa saja ia kalah, bisa pula ia menangkan.”
Arda Muhlisiun, M.Sn. Wakil Dekan I Fakultas Film dan Televisi
“Saya dan Pak Gotot satu angkatan di tahun 1975. Almarhum selalu menjadi yang paling unik, karena latar belakangnya berbeda sendiri: pelukis. Saya sering melihatnya sedang melukis di film positif 35 mm yang sudah tidak terpakai. Bekas potongan film itu beliau gunakan sebagai kanvas untuk melukis dengan cara menggoreskan cutter hingga membentuk suatu imaji. Kemudian materi itu ia shoot dengan kamera 8 mm dan jadilah sebuah film animasi yang unik, seunik penciptanya. Sekarang Mas Gotot sudah tiada, namun karyanya tetap abadi.”
Sam Sarumpaet, M.Sn. Wakil Dekan II Fakultas Film dan Televisi
OBITUARI
Gotot Prakosa “Saya mengenal sosok Mas Gotot sejak almarhum menjadi senior saya di Departemen Sinematografi yang saat ini sudah berubah namanya menjadi Fakultas Film dan Televisi. Sejak semula, beliau merupakan praktisi yang berani dan ulet karena sejak zaman analog, pembuatan film animasi membutuhkan ketekunan yang tinggi frame by frame dan saat itu belum seterkenal sekarang. Pernah suatu waktu saya bermaksud memapahnya jalan, beliau berseru, 'Jangan pegang saya!' di depan umum. Semua orang syok, begitu pula saya. Begitulah sosok Mas Gotot, penuh percaya diri, yakin dengan apa yang dijalankan, dan tidak menyerah pada keadaan.”
German G. Mintapradja, M.Sn. Wakil Dekan III Fakultas Film dan Televisi
“Gotot Prakosa, sosok yang ulet, gigih, serta penuh semangat kreatif yang pantang menyerah. Daya itulah yang menyertai proses berkaryanya. Sekitar 600 roll film yang selama 10 tahun lebih terbelengkalai dan dalam kondisi rusak pun mampu dirangkainya hingga menjadi kesatuan yang utuh; seperti apa yang dilakukannya pada film Kantata Takwa. Meski terkadang, kreativitas serta semangat yang dimilikinya melewati batas fisiknya. Gotot Prakosa adalah salah seorang perintis film pendek dan animasi di Indonesia. Tentu saja, kita semua merasa kehilangan atas kepergiannya. Selamat jalan Mas Gotot. Terima kasih atas ilmu serta pengetahuan yang sudah diberikan. Semoga Allah menerima amal ibadahmu. Amin Y.R.A.”
Bambang Supriadi, S.Sn. Wakil Dekan IV Fakultas Film dan Televisi Foto: Hanief Jerry, M.Sn.
42 | Majalah AKSI
Asisten Kepala Program Studi D.3
IN MEMORIAM
DIDI WIDIATMOKO
QURRATUAINI "RARA"
GOTOT PRAKOSA
Dekan 2004-2008 Fakultas Seni Pertunjukan
Mahasiswi Angkatan 2014 Fakultas Seni Rupa
Dekan 2008-2012 Fakultas Film dan Televisi
May God grant them eternal rest.
43 | Majalah AKSI
point of view
Oleh German G. Mintapradja, M.Sn. Ilustrasi oleh M.F. Navildi
GENERASI X DAN Y Gen Next yang di sebut juga Generasi Z atau dengan nama lain Net Generation/ Digital Generation.
P
erkembangan zaman begitu pesat, hingga dapat dikatakan bahwa hampir semua kegiatan manusia menggunakan teknologi canggih. Setidaknya kita semua membuktikan pernyataan di atas dengan menggunakan telepon genggam untuk berkomunikasi, serta tab maupun pad sebagai perangkat menbaca dan menulis. Pada era ini, lahirlah generasi muda dan baru yang dikenal dengan sebutan Generasi Z. Generasi yang dibesarkan oleh Generasi Y yang lebih dahulu “bersentuhan” dengan teknologi dan membuat Generasi Z menjadi generasi yang lebih fasih dalam menggunakan teknologi dan gadget. Generasi Z ini, hidupnya cenderung bergantung pada teknologi digital seperti internet dan jejaring sosial. Sebuah generasi adalah sekelompok manusia dengan umur serta tahap kehidupan yang nyaris sama. Grail Research membagi generasi lampau dan saat ini ke dalam 5 terminologi, yakni:
44 | Majalah AKSI
1. Generasi Baby Boomer (1945-1965) Generasi yang menjadi saksi pada perubahan sosial yang cukup drastis. Pasca perang mewarnai setiap tingkah-laku masyarakat saat itu. Selain perjuangan hak asasi, kesetaraan dan pergerakan kaum perempuan, generasi ini juga dikenal dengan karakter optimistik dan kompetitif. 2. Generasi X (1960-1980) Pada generasi ini teknologi mulai menjadi tolak-ukur dan lifestyle. Manusia mulai hidup berdampingan dengan televisi, kulkas dan juga video games. 3. Generasi Y (1980-1995) Generasi ini juga disebut sebagai generasi milenial dikarenakan generasi inilah yang menjadi saksi munculnya teknologi digital yang dapat mengecilkan dunia dengan memendekkan jarak sebenarnya melalui fasilitas komunikasi seperti e-mail, SMS dan WhatsApp juga Wechat sekaligus melihatmendengar dan bercakap-cakap melalui layar via Skype. seakan dunia tanpa jarak.
4. Generasi Z (1995-2010) Generasi cerdas yang dibesarkan oleh generasi sebelumnya yang lebih dahulu dikenalkan oleh teknologi maju, membuat generasi Z menjadi generasi yang amat sangat bergantung pada koneksi dan teknologi digital. 5. Generasi Alpha (2010-2023) Generasi ini lahir ke dunia yang baru, muncul dalam krisis ekonomi yang luas dan diprediksi akan lebih cepat dan fasih terhadap semua kemajuan teknologi. Generasi ini juga lebih berpendidikan dari generasi-generasi sebelumnya. Membahas generasi Z tidak luput dari bagaimana teknologi memegang peranan penting bagi kehidupan generasi tersebut. Coba saya tes, apabila Anda termasuk dalam kategori generasi Z, bukankah anda akan merasa sangat tidak berarti jika telepon genggam atau gadget lain anda tertinggal atau low batt? Anda menjadi panik, cenderung histeris seakan tidak bisa hidup tanpa gadget. Coba kita mundur sekitar 15 tahun dari sekarang. Saat itu handphone belum populer. Hubungan komunikasi hanya melalui telepon kabel atau telepon umum yang menggunakan koin untuk berbayar. Bahkan, sudah dianggap canggih apabila sudah memakai pager. Tumbuh berkembang pesat dengan internet, handphone, laptop dan perangkat elektronik lainnya memaksa orang tua dan perusahaan gadget untuk bersaing mendapatkan perhatian dari generasi Z. Melalui riset pada tahun 2010, lebih dari 35% anak-anak yang tumbuh di kota besar pada usia 6-12 tahun, lebih menginginkan ponsel baru dan canggih sebagai hadiah kenaikan kelas dibanding mendapatkan hadiah jalanjalan ke rumah nenek di kampung halaman. Pola pikirnya kini, "Kan nanti bisa telepon nenek dan say hello pada beliau?" Riset lebih jauh, keinginan mempunyai komputer sebesar 20% dan dalam survey global terhadap Generasi Z, generasi ini lebih menyukai menonton dengan streaming melalui Video on Demand (VOD) dibanding melalui televisi. Lihat dan simak situasi serta kondisi yang ada pada anak-muda saat ini, nampaknya riset tersebut dapat dipercaya. Sebagai tambahan hanya kurang dari 50% anak Generasi Z yang masih menggunakan komputer, dan sekitar 40% Generasi Z lebih menganggap handphone jauh lebih penting daripada televisi.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Salah satu penyebabnya adalah dengan melihat acaraacara pada TV swasta Indonesia. Hampir semua acara adalah banyolan semata dan yang lainnya mencari perseteruan sebagai mata acara yang dibanggakan. Generasi Z memiliki akses yang sangat besar terhadap teknologi, hal ini menyebabkan generasi ini selalu terhubung
serta berkomunikasi melalui berbagai saluran jejaring sosial. Bagi generasi ini internet sangatlah penting, tidak hanya untuk mengakses situs jejaring sosial saja, akan tetapi juga mempengaruhi aktivitas mereka seperti melakukan belanja secara online dan juga bermain game online. Kira-kira lebih dari 35% anak berusia 12 tahun ke atas pasti sudah memiliki perangkat game portable. Teknologi juga mempengaruhi cara belajar dan mengajar. Belajar sudah bukan di sekolah tetapi pindah ke café-café yang ber-free wi-fi. Pertanyaannya kemudian apakah masih perlu sekolah? Home schooling sudah bukan hal aneh dan asing pada saat ini. Generasi Z mengaku bahwa mereka lebih menyukai pendekatan dengan digital dan merasa lebih mudah mempelajari sesuatu melalui internet. Apapun tinggal
tanya ke mbah Google, dan masalah mereka pun terjawab. Generasi ini memilih untuk mengkombinasikan belajar melalui buku dan online. Hanya tersisa kurang dari 15% yang masih menyukai belajar lewat buku konvensional. Selain memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada teknologi dikarenakan akses informasi yang begitu terbuka, generasi Z juga memiliki concern atas global issue seperti global warming serta terorisme. Kita membicarakan isu generasi adalah untuk bisa meraba serta meramu acara-acara yang harus diciptakan ke depan yang lebih dekat melalui survey kecil-kecilan terhadap generasi-genarasi tentang apa dan bagaimana konten yang harus tersaji sehingga masa depan televisi bisa lebih panjang. (G.G.M)
45 | Majalah AKSI
point of view
Catatan Pertama Stase di Sinematek:
Anak-Anak Sinemateknya Pak Misbach Oleh Julita Pratiwi
Sinematek diresmikan sebagai lembaga arsip film semenjak tahun 1975. Yang menarik dari Sinematek di sini, perlu diketahui bahwa tidak seperti kebanyakan lembaga arsip film yang dibangun berdasarkan respon pemerintah terhadap pentingnya menjaga film sebagai bagian dari sejarah dan budaya bangsa, kehadiran Sinematek hanya didasari oleh seorang kolektor film dengan keinginan terpendam: mengarsipkan film. Seseorang itu tak lain adalah Misbach Jusa Biran.
P
enulis mengingat saat pertama ke perpustakaan Sinematek dan mencari literasi mengenai Sinematek Indonesia, Mas Ardian selaku penjaga perpustakaan memberikan semacam Laporan Perkembangan Sinematek Indonesia yang ditulis langsung oleh Pak Misbach. Fotofoto beliau beserta piagam penghargaan banyak terpampang di sana. Membaca laporan tersebut menyadarkan penulis bahwa tidaklah mudah bagi lembaga arsip film untuk memaksakan hidup mandiri. Perlu ada pihak berwenang yang menangani keberlangsungan lembaga tersebut. Memang perawatan dan perlindungan film tidaklah semudah dan semurah yang dipikirkan. Proses ini membutuhkan biaya dan waktu yang sangat cukup menguras jiwa-raga.
46 | Majalah AKSI
Segala cara diupayakan oleh pak Misbach ketika itu, dari mulai menggunakan teknik perawatan film dengan cara murah a la Vietnam hingga menjalin kerja sama dengan Arsip Nasional dan Perpustakaan Umum Daerah. Sirkulasi keuangan selain dari Yayasan terdapat juga donasi. Membaca laporannya saja sebenarnya tidak cukup
(ada buku beliau yang berjudul Kenangkenangan Orang Bandel yang menceritakan sebagian besar kisah hidupnya dalam memperjuangkan Sinematek). “Anak-anak Sinematek,” itulah sebutan pak Misbach kepada mereka yang bekerja di Sinematek. Anak-anak Sinematek pak Misbach inilavh yang sekarang menceritakan banyak hal ke penulis tentang Sinematek dan juga mengajarkan penulis cara merawat film. Pak Firdaus, penjaga ruang perawatan film yang mengajarkan penulis mengenai bagaimana membersihkan film sebelum disimpan di gudang, mengecek film dengan teliti, serta memastikan suhu dan kelembapan gudang sesuai dengan yang dibutuhkan film, yakni 9°C. Ia menceritakan suka dukanya selama 18 tahun bekerja, bagaimana yang
dulu ada sekitar 6 perawat film, setelah pak Misbach selesai menjabat, lambat laun banyak pekerja keluar, hingga tersisalah satu perawat film yaitu Pak Firdaus. Ia mengakui dari dulu memang kondisi Sinematek sudah sulit, tetapi walaupun sulit, pak Misbach masih tetap mengusahakan yang terbaik untuk bagian perawatan film. Suatu saat pernah cairan pembersih film TCl habis dan Pak Firdaus membuatkan laporannya. Ia berpikir bahwa kantor akan membelikan 1 liter botol, namun ketika pak Misbach tahu beliau langsung membelikan satu kardus penuh berisi cairan yang kualitasnya lebih baik dari TCl. Baik ke bagian perawatan, perpustakaan, hingga administrasi, selalu ada cerita yang menarik tentang sosok Pak Misbach. Penulis bisa memahami bahwa Pak Misbach adalah sosok yang teramat berkesan bagi mereka.
“Pak Misbach selalu mengajarkan kita yang namanya bekerja karena memang mencintai film; bukan karena mencari uang atau apa. Kalau memang begitu, Sinematek bukanlah tempatnya,” ungkap Mas Ardian saat mengenang apa
yang ditanamkan Pak Misbach padanya. “Kalau bukan karena mimpi Beliau, saya juga sudah cari pekerjaan lain dari kapan tahu,” tambah Pak Satiri, sesama penjaga perpustakaan. Mengenai kondisi para pekerjanya sendiri, jumlah dapat terhitung dengan jari. Mereka yang masih meluangkan waktunya untuk Sinematek dengan segenap jiwa hanyalah mereka yang ingin tetap mempertahankan mimpi Pak Misbach akan tempat itu. Pak Misbach sendiri sudah seperti jantung Sinematek, sementara anakanaknya adalah sisa darah yang masih mengalir. Seiring waktu darah ini bisa saja tidak mengalir lagi. Kalau sudah habis, lalu.. siapa yang nantinya benar-benar mau melindungi Sinematek? Siapa anak-anak Sinematek penerus mimpi Pak Misbach? Pengalaman penulis selama beberapa minggu di Sinematek telah membukakan mata, bahwa ada bahaya besar dalam bangsa ini, di mana budaya hanya diteriakkan harus dilestarikan namun tidak ada aksi nyata dalam restorasi. Padahal restorasi film juga merupakan restorasi budaya. Apabila nanti anak-cucu kita ingin melihat film, gaya bahasa, dan segala bentuk kebudayaan di masa lampau, dari mana lagi bila ia tidak mengunjungi Sinematek. Bahaya! Sinematek butuh jantung dan darah yang sungguh peduli akan arsip film sebagai warisan budaya dan bangsa. (J.P.)
47 | Majalah AKSI
point of view
Oleh Yohanes Rikat Parikesit Foto oleh Fina Ayu Kumala Devi dan Maya Wulandari
Sekarang Semua Orang Bisa Bikin Film
I
Kabar baik: sekarang semua orang bisa bikin film. Kabar buruk: sekarang semua orang bisa bikin film.
48 | Majalah AKSI
tulah yang sedang terjadi di dunia perfilman Indonesia, atau bahkan dunia. Membuat film– dalam definisi fundamentalnya sebagai motion picture–menjadi mudah dilakukan di masa sekarang. Dengan majunya teknologi, termasuk beralihnya film ke medium digital, banyak kemudahan yang dirasakan oleh para pembuat film. Dari segi harga misalnya, dengan budget 4-10 juta rupiah saja, kini kita bisa mendapatkan tools yang cukup mumpuni untuk membuat film. Sebut saja action cam milik GoPro, dan pocket cinema camera milik Black Magic yang memiliki kualitas sensor amazing. Dari segi teknis pengoperasian, kita tahu bahwa digitalisasi film mendatangkan banyak kemudahan dalam pembuatannya. Belum lagi ditambah dengan kemajuan teknologi yang semakin dahsyat. Sekarang seorang pengambil gambar tidak perlu
mempelajari cara melangkah dengan pernapasan tertentu agar kamera stabil. Banyak bermunculan rancangan glide cam, yang ditambah dengan teknologi robot dan sensor, yang membuat siapapun bisa mengambil gambar dengan stabil. Belum lagi kemunculan helicam yang semakin canggih, yang dapat dikendalikan hanya dengan menentukan koordinat saja. Dampak positifnya, tentu kemudahan dalam pembuatan film ini dapat memunculkan kemungkinan atau alternatif berkreasi yang semakin tanpa batas. Bayangan visual si pembuat film semakin dapat direalisasikan secara utuh, tanpa terbatas oleh teknis yang tak mampu mencapainya. Hal ini akan melahirkan variasi film yang semakin banyak dan kreatif. Namun, di sisi lain, hal ini juga berdampak pada peningkatan kuantitas produksi film yang signifikan, yang justru
berbanding terbalik dengan kualitasnya. Banyak film yang terkesan dibuat dengan tergesa-gesa, demi mengejar waktu tayang semata. Konsentrasi terhadap pengambilan gambar pada tiap shot juga berkurang, akibat sikap meremehkan yang timbul dari perasaan kemudahan tersebut. Alhasil, muncullah film-film berkualitas seadanya yang memenuhi layar bioskop Indonesia. Selain itu, di tengah laju produksi film yang berkembang pesat tersebut, berkembang pula persaingan yang ketat. Orang dapat membuat film hanya dengan memiliki (atau meminjam) kamera, dan mempelajari program editing via Youtube. Dan mereka yang belajar secara otodidak ini tentu saja akan memiliki tarif kerja yang lebih murah, dibanding yang sungguh-sungguh mempelajarinya lewat pendidikan formal. Tentu saja, yang murah akan lebih mudah laku di Indonesia. Lalu di manakah posisi mahasiswa sekolah film, yang memang mengkhususkan diri untuk belajar film, di tengah ketatnya persaingan dunia film ini?
Kekuatan mahasiswa film terletak pada wawasan dan pengetahuannya, yang tidak hanya jago praktek tapi juga jago teori.
Mahasiswa film mempelajari ilmu tentang film, bukan hanya pengetahuan tentangnya. Ilmu, yang berupa teori-teori, merupakan endapan dari pengalamanpengalaman para filmmaker dari zaman ke zaman, yang disusun berdasarkan kaidah metodologi yang sudah teruji kredibilitasnya. Teori inilah yang membuat para mahasiswa film paham tentang why, dan bukan sekadar how. Saya dan para mahasiswa film lainnya belajar untuk memiliki kesadaran penuh akan alasan dalam memilih alternatif pembuatan film, bukan sekadar mengikuti insting dan mood semata. Teori ini menuntut kami untuk memiliki konsep yang utuh dalam setiap karya, bukan sekadar mencomot teknik sana-sini agar terlihat wah. Dan dari sinilah film yang lahir akan lebih kredibel dan utuh. Dengan demikian, kurang tepat apabila seseorang mengatakan, "Teori tidak akan terpakai kok di lapangan." Jika ada yang berkata demikian, sesungguhnya ada dua kemungkinan yang terjadi. Yang pertama, ia tidak sadar bahwa ia sedang mengaplikasikan teori di dalam praktek. Teori secara tidak langsung mengajarkan tentang kerangka berpikir, sehingga bersifat bawah sadar. Tidak mungkin tidak, hal ini akan berpengaruh dalam proses pembuatan film yang akan dilakukan. Kemungkinan kedua, bisa jadi ia memang tak berniat mempelajari teori, sehingga tak ada yang membekas dalam kerangka berpikirnya. Tapi, tidak tepat juga kalau kita
menyimpulkan bahwa teori adalah yang terutama, hingga seorang mahasiswa akademis hanya perlu memiliki konsep yang baik saja. Tanpa kemampuan mengeksekusi yang didapat dari pengalaman dan pengetahuan, seorang akademisi akan tenggelam di tengah arus persaingan film.
Teori dan praktek mirip seperti sepasang sayap burung yang membutuhkan kerja sama di antara keduanya untuk bisa terbang. Kemudahan-kemudahan yang kita dapatkan dari perkembangan teknologi, sudah cukup membantu kita dalam urusan teknisnya. Sekarang semua orang bisa membuat film. Kami bisa membuat film, kamu bisa membuat film, dan mereka bisa membuat film. Namun apakah kita siap bersaing, atau siap tersaingi? Apakah itu kabar baik, atau kabar buruk? (Y.R.P.)
49 | Majalah AKSI
point of view
Oleh Dea Almira A.Y. Ajang Academy Awards atau yang lebih dikenal sebagi Piala Oscar tahun 2015 berakhir sudah. Sebagai ajang yang bergengsi setiap tahunnya Academy Awards menjadi sorotan media internasional termasuk Indonesia. Juri yang bertugas memberikan suara dalam setiap nominasi berasal dari sebuah organisasi yang bernama Academy of Motion Picture Arts and Sciences atau biasa disingkat AMPAS. Organisasi ini mengakui dari sebuah polling yang diadakan The Hollywood Reporter, bahwa dalam menentukan Best Picture Oscars 2015, sekitar 5,5% dari keseluruhan juri hanya menonton beberapa film nominasi Oscar. Dengan metode seperti ini agaknya kita perlu meragukan validasi penilaian Penilaian yang dilakukan oleh AMPAS memang belum tentu dapat menjadi patokan. Namun para pemenang Oscar, tentu saja tetap memiliki kelebihan yang mampu membuat para juri terpukau dan terkesan. Jadi tidak ada salahnya jika kita menjadikan film-film pemenang Piala Oscar sebagai referensi dalam berkarya. Berikut adalah daftar pemenang di tahun 2015 yang dapat menjadi referensi kamu: (D.A.A.Y.)
BIRDMAN BEST PICTURE, BEST ORIGINAL SCREENPLAY, BEST CINEMATOGRAPHY 50 | Majalah AKSI
BEST ACTOR: EDDIE REDMAYNE (THE THEORY OF EVERYTHING)
BEST ACTRESS: JULIANNE MOORE (STILL ALICE)
BEST SUPPORTING ACTOR: J.K. SIMONS (WHIPLASH)
BEST SUPPORTING ACTRESS: PATRICIA ARQUETTE (BOYHOOD)
BEST ADAPTED SCREENPLAY: THE IMITATION GAME
BEST FOREIGN LANGUAGE FILM: IDA (POLAND)
BEST DOCUMENTARY FEATURE: CITIZEN FOUR
BEST ANIMATED FILM: BIG HERO 6
BEST DOCUMENTARY SHORT SUBJECT: CRISIS HOTLINE VETERANS PRESS 1
51 | Majalah AKSI BEST ANIMATED SHORT FILM: FEAST
BEST LIVE ACTION SHORT FILM: THE PHONE CALL
BEST DIRECTOR: ALEJANDRO GONZÁLEZ IÑÁRRITU (BIRDMAN)
BEST ORIGINAL SONG: GLORY (SELMA)
BEST VISUAL EFFECTS: FRANKLIN, LOCKLEY, HUNTER, FISHER (INTERSTELLAR)
BEST SOUND EDITING: A.R. MURRAY, BUB ASMAN (AMERICAN SNIPER)
WHIPLASH BEST FILM EDITING, BEST SOUND MIXING
THE GRAND BUDAPEST HOTEL BEST COSTUME DESIGN, BEST MAKEUP, BEST PRODUCTION DESIGN, BEST ORIGINAL SOUNDTRACK
52 | Majalah AKSI
Foto: http://www.wfmradio.org/wp-content/ uploads/2012/02/Apollo-Stormtroopers-1.jpg
How We Watch Movies (in cinema) Matters Oleh Hyacintha Putri
We watch movies in cinema not only because we want to (or we have to), but also because the experience it offers. We want the whole package, the rush that comes with proper installments (lighting, sound, screen adjustment, etc.). But there’s something more important: the audiences' reactions. I, myself, (like any other normal human being) react towards movie. When I saw a horror movie, and spotted the ghost, I would have gasped or screamed. When I saw my favorite hero die, I could have been sad and made noises. Most people reacted in the same manner as I did. Apparently, the rest of us simply do not know how to behave in cinema.
Yes. We could scream, but not too loud. We could laugh, but not too loud. We were allowed to react, but please, not too loud.
We were in public places after all, and when people made excuses like, "I paid the ticket, so it’s okay for me to do anything here," that was the worst. It was your id talking. How could you clap when the movie has not finished yet? How could you laugh when the others were scared. Was it just because you were not afraid of the ghost? How could you giggle when the hero was about to save the world? Audiences' reaction built the whole atmosphere. It impacted others. Please don’t forget, when you go to a cinema, you share the experience with others. It means, you have got to respect your fellow audiences. I merely emphasize the effect of audience improper reaction in public places. So please, please, please, act and react accordingly. If it was funny, by all means– laugh. If it was not–then, please don’t.
Foto: http://media.aphelis.net/wp-content/ uploads/2013/12/EYERMAN_1952_3D_Bwana_Devil_A.jpg
53 | Majalah AKSI
point of view
Film Pertama, Semester Pertama Oleh Tri Affandi Foto oleh Dinda Ainur Fajriati
54 | Majalah AKSI
Hari itu penuh dengan orang-orang dan tiang besi berkaki yang berdiri tegak di antaranya. Sangat sulit untuk berlalu-lalang karena tiap sisi telah dipadati beberapa kelompok orang yang menyebar kebagian dalam dan luar. Terdengar keluhan dari tiaptiap kelompok tersebut. Beberapa mengeluh karena tidak boleh ada camera movement, yang lainnya mengeluh dengan batas durasi
untuk diperbincangkan, dan terlalu banyak celah untuk di cela. Film yang dibuat atas dasar tugas dari mata kuliah Workshop Visual. Film yang terdiri dari pemahaman film yang mendasar. Tanpa dialog, tanpa camera movement, tanpa visual effect yang berarti, hanya still camera dan bahasa visual yang berbicara. Sampai-sampai kami merasa bahwa kreativitas kami ditekan karena
yang terlalu singkat: 5 menit. Tak banyak juga yang terdiam lemas karena merasa filmnya terlalu sulit untuk dibuat. Tidak ada waktu untuk minum jus dingin, atau berlamalama di perpustakaan. Tidak ada kesempatan untuk tertawa keras di halaman depan atau bermalas-malas di kursi kelas. Semua sibuk pada filmnya masing-masing, fokus pada tugasnya masing-masing, dan bekerja untuk satu tujuan yang sama, yaitu menyelesaikan UTS Workshop Visual di semester pertama. Kira-kira begitulah suasana gedung FFTV saat saya dan anak semester satu lainnya memulai film pertama kami tanpa persiapan dan bekal yang matang. Film Pertama yang kami buat di semester pertama; sebuah karya yang rasanya sangat layak untuk ditertawakan, terlalu singkat
peraturan kelayakan film yang terlalu ketat. Waktu itu, saya tidak mengerti kenapa harus membuat film yang seperti itu. Rasanya pun sudah terbayang bahwa hasilnya akan sangat membosankan. Saya dan anak semester satu lainnya yakin, dengan banyaknya camera movement film kami akan jauh lebih baik, dan dengan dialog cerita, film kami akan lebih mudah dimengerti. Pada proses produksi, jadwal kuliah saya dan anak semester satu lainnya berantakan. Kami bolos kelas demi menyelesaikannya, bahkan sampai menyingkirkan tugas-tugas lain yang tak berhubungan dengan film itu. Bagi kami, tugas film ini jauh lebih penting daripada tugas yang hanya menghasilkan tumpukan kertas dengan teks rapat yang menjenuhkan.
Film pertama itu membuat kami lupa bahwa mata kuliah yang lain juga berperan penting untuk membuat film yang baik dalam elemen yang komplet. Sebagian besar mengerjakannya di ujung waktu. Berangkat pagi lalu pulang tengah malam. Para editor pun harus rela tidak tidur karena esoknya adalah harga mati. Tentu saja, hasilnya menjadi tidak maksimal. Film pertama itu membuat kami sadar, bahwa manajemen waktu yang baik sangat penting untuk membuat semuanya tetap stabil. Kemudian keadaan makin kacau saat director of photography (DP) saya harus menjadi talent untuk kelompok yang lain. Lalu editor saya adalah talent untuk kelompok saya sendiri, dan begitu juga yang lainnya. Salah satu orang dari satu kelompok pasti menjadi talent untuk kelompok lain, lalu meninggalkan tugas di kelompoknya sendiri. Kemudian, demi kelangsungan pembuatan film, salah seorang harus rela merangkap tugas yang ditinggalkan crew-nya tersebut. Film pertama itu membuat kami mengerti bahwa tugas dan tanggung jawab, juga kerja-
sama tim merupakan hal yang penting. Hal yang paling menyebalkan dari semuanya adalah pemilihan kelompok yang dilakukan seperti budaya di Sekolah Dasar: berdasarkan nomor absen. Hasilnya, ada yang satu kelompok dengan orang yang dibenci, ada yang satu kelompok dengan orang yang benar-benar merepotkan, ada juga yang harus bersaing dengan temannya sendiri karena berada pada kelompok yang terpisah. Film pertama itu mengajarkan kami untuk siap pada keadaan apapun, termasuk bekerja dengan orang-orang yang tidak diinginkan. Demi keberhasilan, kami harus beradaptasi dan bekerja sama dengan baik. Setelah istirahat minum kopi yang panjang, sekarang saya sudah menginjak semester dua dan melaluinya dengan penuh perhitungan. Tidak seperti semester sebelumnya yang saya lalui tanpa persiapan, tanpa ancang-ancang, atau pun hanya dengan dugaan-dugaan yang cukup menekan. Banyak yang berubah, banyak yang hilang dan datang tiba-tiba. Warung es di sisi jalan sekarang sudah pindah ke sisi dinding arah jam enam dari tempatnya dulu menetap. Sasaran makan siang dengan sambal yang nikmat itu kini sedikit bergeser dengan penataannya yang telah berubah, namun ia tetap akrab dipanggil ‘Bude’. Jalanan kasar
tak beraturan kini rapi dengan semen berpola yang manis. Jika dulu kami menyebutnya ‘Abas’, sekarang kami bisa tersenyum lebar sambil menyebutnya ‘kantin’. Kantin itu kini dipadati dengan bangku dan meja panjang, juga pedagang baru yang ada di setiap sisinya lengkap dengan aroma masakan yang menelusup ke dalam tenggorokan. Bersama transisi yang berjalan, ingatan merangkak mengikutinya. Ingatan tentang banyak hal di semester pertama, tahap yang bisa disebut sebagai masa permulaan di perkuliahan. Masa yang mengawali banyak perkembangan seperti sakarang. Saat di mana kami memulainya tanpa pengetahuan apa-apa. Saat di mana film pertama itu dibuat. Seperti kampus ini yang sekarang mengalami banyak perkembangan, saya harap film pertama itu juga merupakan awal untuk kami berkembang.
Dan seperti yang selalu Bang Jerry, dosen Workshop Visual kami ucapkan dulu, “Jangan pernah lupakan yang dasar karena dasar adalah fondasi buat ke yang lebih tinggi.” (T.A.) 55 | Majalah AKSI
cinemascope
Kereta Sebagai Miniatur Dunia Oleh Auliyan Nisa
K
ali ini Bong Joon Hon sukses memukau para kritikus film melalui film Snowpiercer dengan visualisasi futuristik yang menarik dan kuatnya isu yang diangkat di dalam cerita. Diadaptasi dari novel grafis asal Perancis berjudul Le Transperceneige (1982) karya Jacques Lob, Benjamin Legrand and JeanMarc Rochette, Snowpiercer mengolahnya menjadi naratif padat yang sederhana namun penuh makna implisit. Debut pertama Bong Joon-ho dengan film berbahasa Inggris ini dibintangi oleh Chris Evans yang membintangi film The Avengers, Captain America, dan Fantastic Four. Ada juga John Hurt yang bermain dalam film V for Vendetta, Hellboy, dan Alien. Bintang Koreanya adalah Kang-ho Song dan Ah-sung Ko. \Diceritakan pada 1 Juli 2014 kondisi Bumi semakin bermasalah oleh global warming, para ilmuan pun menemukan solusi permasalahan dengan penemuan suatu
56 | Majalah AKSI
formula disebut CW7 yang dilepaskan ke atmosfer, memang mendinginkan bumi yang panas, namun malah membuatnya terlalu dingin sehingga kehidupan pun hampir punah membeku. Hanya beberapa manusia yang bertahan hidup di kereta panjang milik Wilford dengan mesin abadinya. Perbedaan kelas sosial sangat diperlihatkan melalui gerbong mana mereka ditempatkan. Pada gerbong-gerbong depan dekat dengan mesin, mereka yang kaya hidup dengan fasilitas mewah dan segala hiburannya. Sedangkan yang miskin tinggal di gerbong paling belakang, tanpa persediaan air dan setiap hari makan sepotong jelly hingga mereka lupa bagaimana rasa daging. Pada struktur sosial bertingkat seperti ini posisi kelas bawah sebagai proletariat, tak punya alat produksi dan objek yang kehidupannya diatur oleh kaum kapitalis. Masyarakat gerbong belakang sudah muak dengan sistem kelas yang
mendiskriminasi hingga tepat 17 tahun kemudian Curtis (Chris Evans) dan Edgar (Jamie Bell) mulai memperhitungkan bagaimana cara memperjuangkan hak mereka dengan menerobos hingga ke gerbong mesin kereta. Gilliam (Hurt) yang lebih dituakan karena umur dan kebijaksanannya turut mendukung revolusi Curtis. Ketika anak dari Tanya (Octavia Spencer) juga diambil petugas ke gerbong depan, kejadian ini semakin menyadarkan mereka untuk merebut kendali mesin kereta. Mereka dibantu oleh Namgoong Minsu (Song Kang-Ho) yang dulunya terlibat membuat sistem pertahanan dalam kereta. Penonton selalu dibuat tertarik dengan fungsi tiap gerbongnya. Di zaman punahnya kehidupan atau distopia, kita masih bisa melihat gerbong khusus daging segar, perkebunan, maupun akuarium besar. Semua ekosistem itu diciptakan dan dijaga karena kelangkaannya. Ada pula gerbong sekolah bagi pelajar. Disana anak-anak terus menerus ditanamkan betapa heroiknya Wilford dan mesin kereta abadinya yang telah menyelamatkan kehidupan mereka, karena jika tanpanya mereka akan mati membeku diluar sana.
sejarah bangsa seringkali direvisi sesuai kepentingan pemilik modal atau orang yang memiliki otoritas lebih. Tapi, kembali lagi pada cerita, Wilford pun menyiagakan tentara untuk menjaga keamanan dan mengutus seorang menteri sebagai penegak hukum. Wilford, sebagai pemilik otoritas ia mampu mengendalikan
baik aspek sosial, ekonomi dan politik. Di akhir pun penonton diberi surprise dengan pernyataan Wilford bahwa pemberontakan Curtis telah direkayasa atas kerjasama Wilford dan Gilliam, agar populasi manusia berkurang dan tercipta keseimbangan sumber daya manusia. Gerbong kereta dicerminkan sebagai miniatur dunia. Wilford membangun propaganda di ‘dunia’nya. Tampaknya Bong Joon Ho meyakini, bahwa hanya spesies manusia di antara spesies lain di bumi ini yang bisa menciptakan kiamat bagi diri mereka sendiri dan seluruh kehidupan di muka bumi. (A.N.)
Scene ini menarik, karena dekat dengan situasi di dunia nyata, di mana pendidikan 57 | Majalah AKSI
cinemascope
An Amazing Life Experience in a Movie
Warga Baru, sebuah film pendek Tugas Karya Akhir dari empat mahasiswa Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta ini merupakah sebuah film yang diadaptasi dari kisah nyata. Menariknya, kisah nyata ini dialami langsung oleh sang sutradara, Chairil Anwar, yang juga bertugas sebagai sinematografer dalam film ini. Ia dengan berani menuturkan sepenggal kisah gelap dalam salah satu fase hidupnya bersama dengan Alfian sang penulis skenario, Lani sebagai produser dan Ferdi sebagai penata artistik. Oleh Asaf Kharisma 58 | Majalah AKSI
F
ilm Warga Baru menceritakan tentang Chairil, seorang pemuda yang secara tidak sengaja memukul seseorang setelah pertandingan futsal. Karena kejadian tersebut Chairil dimasukkan ke dalam penjara selama 27 hari. Di dalam penjara Polres Indramayu itu, Chairil tinggal bersama dengan R.T. Cobra, Cabul, Bebek dan Marbot, serta orangorang lainnya di dalam ruang sel tersebut. Kehadiran Marbot yang sejak kedatangannya selalu mengaji di dalam ruang sel tersebut, membuat Chairil berubah dan kembali kepada ibadahnya. Warga Baru menjadi sebuah film dengan suguhan cerita yang dramatis dan menyentuh. Sentuhan personal dari Chairil yang mengalami langsung dan menuturkan kembali cerita pribadinya menjadi sebuah nilai lebih dari film ini. Meskipun hampir seluruhnya hanya berlokasi di ruang sel tempat Chairil ditahan, akan tetapi dengan susunan dramatik yang begitu menarik, film pendek dengan durasi 37 menit ini–durasi yang cukup panjang untuk sebuah film pendek–tidak membosankan ketika ditonton. Sentuhan nilai dramatik dan sedikit komedi
serta keharuan yang perlihatkan pada film realis ini, membuat saya merasa bahwa ini adalah film yang wajib untuk ditonton. Berbincang dengan Chairil dan Lani, mereka mengatakan bahwa hampir semua pemeran di dalam film ini mereka datangkan langsung dari Indramayu yang notabenenya bukanlah aktor profesional. Akan tetapi ketika saya menonton film ini, saya tidak merasakan adanya “keamatiran” para aktor. Dengan akting yang begitu luwes dan meyakinkan, mereka memainkan setiap perannya dengan sangat baik. Salah satu alasan mengapa Chairil mendatangkan para pemain langsung dari Indramayu adalah karena film ini menggunakan dialek Indramayu. Bagi saya ada kelemahan dan kelebihan pada penggunaan bahasa daerah dalam film ini. Pertama, film ini sangat kuat dalam konten lokal dan kedaerahannya, akan tetapi di sisi lain, penonton yang tidak bisa berbahasa Indramayu agaknya harus berkonsentrasi ekstra ketika menonton untuk sepenuhnya menangkap isi dari film ini. Sebuah kebanggan tersendiri bagi FFTV-IKJ ketika Warga Baru mendapatkan sambutan yang positif dari para mahasiswa JIMI (Japan Institut of Moving Image) dan peserta dari program And Action Asia! ketika Lani membawa dan menayangkan film ini di Jepang, Maret 2015 lalu. Mahasiswa film dari Jepang, Thailand dan Filipina pun begitu antusias untuk bertanya ketika dibuka sesi diskusi setelah penayangan film tersebut. Sebagian dari mereka pun merasa tersentuh melalui film ini, meskipun mereka mengakui agak cukup sulit menangkap secara seutuhnya karena budaya dan penggunaan bahasa yang berbeda dengan mereka. (A.K.)
59 | Majalah AKSI
viewfinder
THE INVENTION
of HUGO CABRET Oleh Dinda A.F. Suratman
Judul Buku: The Invention of Hugo Cabret Penulis: Brian Selznick Ilustrator: Brian Selznick Penerbit Asli: Scholastic Corporation Distributor: Mizan Media Utama Tebal: 544 Halaman
B
agi kebanyakan orang Indonesia, membaca buku adalah hal yang kurang menyenangkan. Terlebih apabila bukunya tebal dan tulisannya kecil-kecil. Namun, hal ini justru berbeda ketika saya membaca buku The Invention of Hugo Cabret karya Brian Selznick. Brian Selznick adalah seorang penulis dan juga ilustrator buku fiksi asal Amerika. Brian telah menghasilkan empat buah buku fiksi dan telah mengisi ilustrasi 20 buku. Salah satunya, The Invention of Hugo Cabret. Buku ini ia tulis dan ia ilustrasikan sendiri sebagai persembahannya kepada salah satu tokoh perfilman dunia, yaitu Georges Méliès, yang ia sangat kagumi. Sebagai informasi tambahan, The Invention of Hugo Cabret telah diadaptasi
60 | Majalah AKSI
menjadi sebuah film, yang digarap dengan teknologi 3D oleh Martin Scorsese pada tahun 2011 atau tiga tahun setelah bukunya rilis di Amerika. Hugo Cabret Buku ini menceritakan tentang Hugo, seorang anak yatim piatu yang hidup bersama pamannya di loteng stasiun. Setiap hari ia berkewajiban untuk memantau dan memperbaiki apabila jam stasiun rusak. Setting waktu berkisar pada tahun 1920an di Paris, Prancis. Hugo yang merasa hidupnya berantakan, memutuskan untuk membawa automaton peninggalan ayahnya. Sayang, automaton itu rusak. Melalui bantuan buku catatan ayahnya, Hugo mencoba memperbaiki robot tersebut, walau harus
mencuri beberapa mesin kecil di salah satu toko mainan yang berada di sudut stasiun. Suatu hari ketika Hugo hendak mencuri, sang pemilik toko, Mr. Georges menyadarinya. Ia memarahi Hugo dan mengambil buku kecil yang ada d itangan anak itu dan mengancam akan membakarnya. Hugo tidak terima dan hendak merayu Mr. Georges dengan mengikutinya pulang ke rumah. Tetapi sayang, Mr. Georges mengacuhkan kehadiran Hugo. Di saat itulah ia juga bertemu dengan Isabelle, anak baptis Mr. Georges. Keesokan harinya, Hugo mendatangi toko mainan itu untuk meminta bukunya kembali. Namun, Mr. Georges tetap enggan. Bahkan Mr. Georges terlihat sedih saat membicarakan tentang buku itu. Pada akhirnya Mr. Georges menawarkan pekerjaan
untuk Hugo di toko mainannya karena ia tahu Hugo memiliki bakat untuk meperbaiki barang. Semenjak itu, hubungan Mr. Georges dan Hugo sedikit membaik. Hugo juga sering bermain dengan Isabelle. Automaton Hugo pun hampir beroperasi setelah ia pasangkan dengan beberapa mesin mainan yang ia ambil di toko. Tak lama setelah itu, Mr. Georges menyadari bahwa Hugo mengambil buku yang ia sita (melalui bantuan Isabelle). Mr. Georges marah besar dan mengusirnya. Sebelum kabur dari amukan Mr. Georges ia mengambil sebuah kalung dengan bandul kunci di leher Isabelle. Bandul kalung yg berbentuk kunci milik Isabelle sangat pas dengan lubang kunci yang ada di automaton-nya. Ketika
hendak ia putar kunci itu, Isabelle masuk ke kamarnya dan marah karena Hugo tega mencuri kalungnya. Namun Isabelle terdiam dan terpaku; perhatiannya terpecah saat melihat automaton. Hugo kemudian memutar kunci itu. Tak berapa lama, automaton itu bergerak dan melukiskan sebuah gambar bulan berwajah dengan matanya yang terkena roket. Sebuah cuplikan film A Trip to the Moon (1902). Setelah cuplikan gambar itu selesai, nampak sebuah tanda tangan di pojok kanan bawah yang terbaca: George Méliès. Tekanan Dari awal hingga akhir, salah satu hal yang membuat pembaca dapat bertahan dan tidak dapat meletakkan buku ini adalah pada kisahnya yang begitu penuh tekanan.
Misalnya tekanan akan kematian ayah Hugo yang penuh misteri, pamannya yang pemabuk, pemilik toko mainan yang galak, hingga polisi keamanan stasiun yang siap mengirimnya ke panti asuhan apabila ia terlihat berkeliaran di sekitar stasiun. Automaton milik Hugo pun, digambarkan semisterius mungkin hingga membuat pembacanya menjadi penasaran, dan sedikit ketakutan. Pembaca, dari awal telah dibuat ngos-ngosan dengan cerita yang penuh tekanan, adegan kejar-mengejar dan amukan para antagonis terhadap protagonis. Sebuah buku yang menarik untuk mengisi waktu luang. Penuh dengan misteri, imajinasi, dan ilustrasi yang indah karya sang penulis sendiri. (D.A.F.S.)
61 | Majalah AKSI
by Fathir Salim
Garis merupakan elemen terpenting dalam fotografi. Tanpa garis tidak akan ada bentuk; tanpa bentuk tidak akan ada wujud; dan tanpa garis serta bentuk tidak akan ada pola (pattern). Garis dapat terbagi ke dalam 4 jenis: vertikal, horizontal, diagonal, dan lengkung. Kali ini para fotografer AKSI beraksi mencari garis dalam kehidupan sehari-hari.
GALERIE by Eki Ananda 62 | Majalah AKSI
by Kurniawan Andi Saputra
DE PHOTOS
by Ferdy Syahwara
63 | Majalah AKSI
by Kurniawan Andi Saputra
by Yudhi Nopriyadi
64 | Majalah AKSI
by Ferdy Syahwara
by Fathir Salim
by Adelina Anggraini
65 | Majalah AKSI
photography tips
Oleh Fathir Salim
TOYS PHO TO GRA PHY
66 | Majalah AKSI
T
oy Photography atau bisa diartikan dengan 'memotret mainan', sedang banyak diminati oleh kalangan fotografer di Indonesia. Dengan menggabungkan ilmu fotografi dan juga hobi mengkoleksi mainan, seseorang dapat berimajinasi dengan memotret mainan yang dimilikinya. Memotret mainan tidak harus menggunakan kamera DSLR, tetapi juga dapat menggunakan kamera handphone. Yang terpenting dari memotret mainan adalah kreativitas dari fotografernya untuk membuat mainan “menjadi hidup” dan tidak terlihat seperti plastik.
Walau hanya dalam sebuah karya foto, sebuah mainan akan menjadi hidup di tangan orang-orang kreatif. Apalagi jika foto bisa menceritakan karakter dari mainan itu. Ketelitian, kesabaran, daya imajinasi, penguasaan teknik, serta pengetahuan yang luas mengenai sebuah mainan akan menghasilkan sebuah karya foto yang bisa menceritakan sebuah tempat atau kejadian dari masing-masing karakter mainan tersebut.
Beberapa tips bagi yang ingin memotret mainan:
1
Mengerti skala standar ukuran mainan yang akan difoto. Dengan mengerti bentuk dan ukuran sebuah mainan, kita bisa mempersiapkan properti dan hal-hal kecil yang bisa jadi aksesoris saat pemotretan.
2
Biasakan foto dari sudut rendah (low angle). Mainan akan terlihat lebih besar, bahkan serupa skala manusia.
3
Siapkan perekat yang bisa dipakai berulang kali. Tidak semua mainan punya titik keseimbangan yang mudah disesuaikan. Blue Tack atau lilin perekat bisa jadi modal yang bagus untuk mempertahankan pose mainan. Demikian pula untuk menambah daya rekat di tangan mainan, apabila seolah-olah sedang memegang objek tertentu.
4
Yang diperhatikan juga: lampu dan pencahayaan. Meletakkan lampu di posisi yang tepat bisa menghasilkan perbedaan yang signifikan. Kalau memang menggunakan cahaya natural dari matahari untuk foto outdoor, perhatikan arah cahaya matahari dan sesuaikan menurut kebutuhan.
5
Simpan mainan di lokasi penyimpanan yang baik. Mainan yang tersebar tanpa ada sistem atau cara mengatur yang baik akan menimbulkan frustrasi bagi pemiliknya. Kotak penyimpanan dengan sekat bisa jadi solusi yang baik agar mainan koleksi untuk difoto tidak bercecer ke manamana. (F.S.)
67 | Majalah AKSI
art & music
Perjalanan Orkestra di Indonesia Oleh Jassin Burhan
68 | Majalah AKSI
U
ntuk memastikan secara tepat kapan masuknya musik barat ke bumi nusantara seperti peninggalan keroncong tugu di Jakarta yang kental dengan Bangsa Portugis. Walter Spies, seorang pelukis Jerman, yang juga seorang musisi pernah mewarnai perjalanan musik Barat di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan Bali. Selain itu ada pula Ludwig Ingwer Nommensen di Medan, Sumatera Utara, seorang misionaris yang berhasil meluluhkan suku Batak di melalui musik—nyanyian gereja yang bisa diterima oleh warga lokal. Musik Barat sebelum kemerdekaan; sudah ada pengarang-pengarang lagu (komponis) seperti Ismail Marzuki, Maladi, Syaiful Bachri, Iskandar, Ibu Sud, Soetedjo dan yang lainnya. Mereka membuat lagu untuk menyemangati pejuang-pejuang Indonesia yang sedang mengusir para penjajah. Periode pendudukan Jepang (19421945) dan revolusi, orkes radio militer Jepang (Hozo Kanri Kyeku) yang dipimpin oleh M. Sagi juga sebagai pemain biola untuk lagulagu keroncong dan lagu-lagu khas Betawi. Melalui Konferensi Meja Bundar, yang pada awalnya Radio Omroep in Overgangsteit (ROIO) diubah menjadi Radio Repoeblik Indonesia Serikat di tahun 1947, yang mana pemusik-pemusik Indonesia hijrah ke Bukit Duri Jakarta. Hasil Perundingan Konferensi Meja Bundar juga melahirkan tiga orkestra di Radio Repoeblik Indonesia Serikat (sekarang RRI), atas kesepakatan IndonesiaBelanda yang diwakili oleh Yusuf Ronodipuro.
Radio Philharmonis Orchest Dipimpin oleh Ivon Barchpe. Khusus memainkan karya-karya klasik Barat dengan anggota yang berasal dari Eropa. Cosmopolitan Orchest Dipimpin oleh Jos Cleber (penggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya) dan asistennya Tom Disweld yang memainkan lagu-lagu klasik Barat dan lagu-lagu Indonesia. Tom Disweld juga memberikan ilmu musik pada Ismail Marzuki dan Syaiful Bachri. Orkes Studio Jakarta Mayoritas anggota adalah orang Indonesia, dan memainkan lagu-lagu Indonesia dan keroncong. Orkes Studio Jakarta pernah dipimpin oleh Ismail Marzuki, Soetedjo dan Syaiful Bachri. Kehidupan orkestra di era Orde Lama (1955-1965) hanya berjalan di tempat, namun orkestra di era Orde Baru (1965 -1998) mengalami kemajuan. Orkes Studio Jakarta menjadi pionir di RRI. Hilangnya kedua orkes (Radio Philharmonis Orchest dan Cosmopolitan Orchest) peninggalan Belanda ini anggota-anggotanya pulang ke negaranya. Orkes Studio Jakarta menjadi satu-satunya orkestra di Indonesia yang bergengsi pada saat itu. Ladang mata pencaharian para musisi orkestra di era Orde Baru sangat baik, dalam kehidupan perekonomian lahirnya orkestra-orkestra yang mewakili pribadi maupun lembaga pendidikan musik bermunculan seperti jamur
dan Pemerintah Provinsi DKI juga turut ambil bagian untuk memperbaiki orkestra. Masuknya teknologi digital ke Indonesia juga turut mempengaruhi kehidupan bermusik, terutama musik klasik dan lagu-lagu klasik nasional semakin menjauh dari tujuan intinya (pendidikan musik yang berkualitas), seperti sistem playback, dubbing, dll. Tanpa disadari para pemain musik klasik seperti biola, cello, flute, oboe, dll. sudah digiring ke wilayah industri jangka pendek. Pada akhirnya siswa maupun calon siswa musik, baik yang belajar secara formal di perguruan tinggi maupun yang kursus di sekolah musik menjadi instan, terabaikan teknik bermain musik di masingmasing instrumennya (concerto, sonata, scale, arpeggio, dll.) dan semakin turun kadar virtuositas si instrumentalis itu sendiri. Awalnya masuk musik modern (avant garde) ke Indonesia di awal tahun 1980an, menjadi fenomena baru; banyak musisi-musisi dan komponis Indonesia yang belajar ke Eropa maupun Amerika dan Jepang. Mereka kembali ke Tanah air setelah menimba ilmu di luar negeri dan membawa oleh-oleh dari negara d itempat mereka belajar—yang kemudian disebarkan di tanah air. Contohnya adalah musik seri, quarte tone, minimalis, microtonal dan spectral. Semua jenis ini menjadi barang baru di kalangan musisi dan komponis yang sudah tidak lagi membicarakan sejarah musik Indonesia (Ismail Marzuki, Maladi, Syaiful Bachri, dll.). Sehingga ada Istilah yang diucapkan untuk musisi dan komponis Indonesia, lebih barat dari orang Barat.
69 | Majalah AKSI
foodie corner
Menggoyang Lidah Dengan Bakmi Oleh Suci Hamidah Syari
S
ebagai penikmat, kita juga perlu mengetahui perjalanan bakmi di nusantara hingga bisa menyentuh indera perasa kita. Bakmi atau mi adalah makanan sehari-hari yang umum ditemukan. Pada mulanya makanan sejenis ini dikonsumsi oleh rakyat Tiongkok pada zaman Dinasti Han yaitu pada tahun 206 Sebelum Masehi (2214 tahun lampau). Makanan berbentuk adonan tipis panjang yang telah digulung, dikeringkan dan dimasak dalam air mendidih ini merupakan salah satu makanan populer di kawasan Asia. Mi
diperkirakan telah ada sejak 4.000 tahun lalu. Namun sejarah asal usul mi masih simpang siur (Bangsa Italia, Cina dan Arab masingmasing mengklaim sebagai pencipta mi!). Bakmi adalah salah satu jenis mi yang dibawa oleh pedagang Tionghoa ke Indonesia. Bakmi ini merupakan makanan yang terkenal terutama di daerah-daerah pecinan di Indonesia. Terkadang, dapat pula disebut sebagai yamien atau yahun. Seiring waktu berjalan, bakmi telah diadaptasi dengan menggunakan bumbu-bumbu Indonesia dan penghilangan bak atau daging
MI AYAM GONDANGDIA
hal yang paling juara adalah pangsit rebusnya! Seporsi bakmi pangsit akan didampingi oleh 3 buah pangsit rebus dengan kulit kenyal, tidak terlalu tebal, dan sangat lembut bila dimakan selagi hangat.
Tempat makan yang sebelumnya terletak di Jl. R.P. Soeroso ini, setelah kebakaran tempo hari, akhirnya pindah ke tempat yang tidak jauh dari tempat sebelumnya. Bahkan tempatnya menjadi lebih nyaman dan memiliki atmosfer yang lebih nyaman untuk disinggahi berlama-lama.
Minuman rekomendasi: es lidah buaya. Pas sekali dinikmati di kala hari cerah untuk melepas dahaga. Disajikan dengan es batu dan potongan lidah buaya yang cukup besar, serta air manis yang pas.
Restoran ini selalu ramai oleh pengunjung di jam makan atau pun tidak. Menu makanan yang tersedia sangat bervariatif, mulai dari nasi goreng, ikan, udang, hingga ayam. Tetapi menu makanan yang paling banyak dicari adalah mi ayam. Mi ayam Gondangdia memiliki ukuran mi yang kecil dan pipih. Teksturnya lembut, kenyal dan licin. Rasa kuah pelengkapnya menggunakan kaldu sapi yang terasa kuat di lidah. Namun,
70 | Majalah AKSI
babi dari bahan utama. Pada waktu itu bakmi masih berupa adonan gandum yang berbentuk persegi (lembaran sedikit lebih tebal dari kulit pangsit saat ini), atau berbentuk lonjoran. Bakmi atau mi, pada mulanya disebut “pia” atau dalam bahasa Mandarin disebut “bing” (baca: ping). Kali ini saya akan mengelilingi kawasan sekitar Institut Kesenian Jakarta untuk menemukan beberapa mi terenak yang patut dicoba para pecinta kuliner! (S.H.S.)
Mi pangsit Rp26.000,00 dan es lidah buaya Rp12.000,00
AC : yes Parkir : yes Wifi : no Harga : IDR 5.000-80.000 Rasa : 8/10 Alamat : Jl. Cikini IV No. 12 A Jam operasional : 09.00-22.00 WIB Twitter : @MieGondangdia
CABANG BAKMI ROXY
pangsit tersebut tersembunyi di dalam balutan kulitnya. Sementara tekstur dari mi-nya kenyal dan berukuran kecil. Campuran dari mi-nya hanya diberikan sedikit minyak tanpa ada rasa asin atau pun gurih. Tetapi kedua rasa ini akan kita dapati dari kuah bakminya yang dipisahkan di mangkuk lain. Kuah sangat terasa gurih dengan rasa kaldu yang enteng, dan nikmat bila dinikmati selagi hangat.
Bertempat di pinggir Jl. Cikini Raya, Bakmi cabang Roxy mudah untuk diakses. Walau di pinggir jalan, tetapi tempat makan yang satu ini sudah mempunyai bangunan tetap di ruko dan terjamin kebersihannya. Pilihan menu makanannya memang tidak terlalu banyak, hanya ada bakmi ayam, bihun ayam, kwetiau ayam, bakso sapi, pangsit rebus dan pangsit goreng.
Terakhir, jangan khawatir, bagi yang tidak suka dengan bawang daun. Di cabang bakmi Roxy ini, bawang daun dipisahkan dan ditaruh di setiap meja makan.
Menu makanan yang paling terkenal sama seperti nama warungnya, yaitu bakmi. Bakmi ayam komplit berisikan semangkuk bakmi dengan taburan ayam dan sawi rebus, dan di mangkuk terpisah diberikan 2 buah bakso dan 3 buah pangsit rebus. Baksonya merupakan bakso sapi biasa, sedangkan pangsit rebusnya memiliki kulit yang berlapis agak tebal dan menggumpal, sehingga isi dari
Bakmi ayam komplet Rp17.000,00
BAKSO TETEH CIKINI
kuah bakso, yang bisa menghidupkan rasa dari mi ayam tersebut.
Tempatnya kecil namun strategis, sehingga tempat ini selalu ramai oleh pengunjung di kala makan siang tiba. Apabila mau kebagian tempat tanpa harus menunggu, harus sesegera mungkin datang dan memesan.
Satu hal yang unik dari tempat ini, yaitu sambalnya. Terlihat dari fisik, nampak seperti sambal kacang yang berwarna pucat, tetapi setelah dicicipi maka akan terasa bahwa sambal itu terbuat dari cabai dan sangat terasa pedasnya di mulut!
Makanan yang ditawarkan cukup banyak variasinya, sehingga pengunjung dapat memilih tanpa takut bosan dengan makanan yang itu-itu saja. Sesuai namanya, makanan yang paling di jagokan adalah bakso kuahnya. Tetapi selain itu, makanan yang paling banyak dipesan ialah mi ayam bakso. Mi ayam bakso dilengkapi oleh 4 buah bakso sapi dan 4 buah pangsit goreng, dilengkapi sawi rebus dan juga bawang daun. Mi-nya bertekstur kenyal, berukuran kecil dan rasanya tawar, hanya diberi sedikit minyak untuk bumbu. Sementara kuahnya merupakan
AC : no Parkir : yes Wifi : no Harga : IDR 1.000-18.000 Rasa : 7/10 Alamat : seberang Indomaret Cikini Jam Operasional : 08.00-01.00 WIB
NOTES: bagi penggemar pangsit rebus harus berkecil hati, karena tidak adanya pangsit rebus untuk menemani seporsi mi ayam.
Mi ayam bakso Rp13.000,00
AC : no Parkir : yes (but sempit) Wifi : No Harga : IDR 1.000-15.000 Rasa : 7/10 Alamat : seberang Toko Laba-Laba Jam Operasional : 10.00-18.30 WIB (Senin-Jumat, hari libur tutup)
71 | Majalah AKSI
plot point
Warisan
Oleh Muhammad Abdillah Ilustrasi oleh M.F. Navildi
Dialah pria yang meski tengah diam sendirian tapi otaknya bergejolak ribut. Izinkan aku memperkenalkan pria ini pada kalian. Namanya adalah Poernama Servus. Servus bukanlah nama yang wajar dimiliki oleh seorang Indonesia, apalagi kalau nama itu disandingkan dengan tampilan pemilik nama. Secara visual pria ini bertampang pribumi, tapi kita sedang berada pada zaman di mana para orang tua bebas memberi nama pada anaknya, sebebas manusia menyerap inspirasi. Pria berumur 22 tahun ini memiliki wajah lonjong yang menyampaikan ciri Melayu-nya pada orang-orang yang menyaksikannya. 72 | Majalah AKSI
P
ada sebuah atap gedung tinggi ibukota, pria ini sedang termenung, ditemani sebuah pengeras suara portabel yang bermusik penuh dentum. Ada pula sebuah komputer jinjing tampak tergeletak tak jauh dari pria ini. Apa yang bergejolak pada pikirannya saat ini? Pada kemegahan langit malam yang menikah dengan gedunggedung menjulang, dia menantang dunia dengan gundah. Pada malam penuh bintang yang berpadu dengan hembusan angin yang membahagiakan, apa yang ia gundahkan? Lalu mendadak ia berdiri, tiba-tiba ia menari. Mendadak pula ia terduduk kelelahan, kembali ia menunduk penuh gundah. Jakarta, 14 Mei 2014. Dialah Servus yang duduk sendiri di meja kerjanya. Dia berpikir dan menulis. Jika kita tanya kegiatan apa yang paling dia gemari, menulis dan berpikir barangkali adalah jawabannya. Era ini menulis tak lagi perlu tinta dan kertas, semua bebas memilih cara menulis sesuai yang ia mau. Servus memilih menulis dengan mengetik, melalui sebuah komputer jinjing miliknya yang tampak jauh lebih kusam dari sendal jepit ibu-ibu pasar. Apa yang Servus ketik? Sebuah surat. Memang bukan kebiasaannya menulis surat, tapi Servus telah biasa menulis hal lain. Mengenai surat yang tengah ditulis Servus, tidaklah ditujukan pada siapapun. Ini tunggal, surat ini hadir untuk surat ini sendiri.
Pagi buta kutulis surat, sembari mengingat-ingat kemarin. Kemarin masih bersenang-senang bersama teman-teman, masih kurasakan bahagianya dihargai sebagai orang. Kemarin kunang-kunang datang ke dalam mimpi. Nikmat berhenti. Pagi tadi aku terjaga akibat denting tanda masuknya surat elektronik, kubuka telepon genggamku. Dengan membaca surat itu aku memahami sesuatu. Sebelum kusampaikan, sebaiknya kujelaskan dahulu apa isi surat yang kuterima. Surat menyampaikan tentang rumah yang masih aku huni sampai detik
ini, rumah yang akan lenyap. Rumah ini ibuku yang mewariskannya, diwariskan lengkap dengan isi-isinya, termasuk notebook PC yang sedang aku gunakan sekarang. Surat yang aku terima menyampaikan pesan bahwa rumah Ibuku ini dan seluruh isinya akan menjadi milik mereka. Siapa mereka? Penyedia jasa peminjaman uang. Ibuku tak hanya mewariskan rumah beserta isinya, Ibu juga mewariskan hutangnya. Ibuku berhutang untuk apa? Untuk gengsinya. Semua perabotan mewah di rumah ini, semua pakaian, tas, gelas, benda elektronik, dan seluruh barang lainnya yang terdapat di dalam rumah ini adalah hasil berhutang. Bahkan celana dalam yang tengah kupakai detik ini juga hasil hutang. Ayahku pegawai pos rendahan. Ayahku berkali-kali marah terhadap tabiat ibuku. Marah itu siasia, bahkan sampai Ayahku tiada. Sedangkan ibuku meninggal tak lama setelah Ayahku tiada. Apa yang aku pahami setelah membaca surat elektronik pagi tadi? Jika rumah ini beserta isinya mereka ambil, maka tinggallah aku bersama tubuhku. Sebenarnya tak masalah jika aku tak memiliki apaapa. Yang aku permasalahkan adalah notebook yang masih aku pegang detik ini. Bukan pula benda ini yang aku permasalahkan, tapi pikiranku. Pikiranku yang telah tertumpah dalam bentuk data-data elektronik. Aku yang merasa jenius ini tak lagi mampu untuk minimal pura-pura jenius tanpa hasil pemikiranku yang rapi dalam sempurnanya penyusunan data elekronik di komputerku ini. Apa yang mampu aku lakukan? Haruskah aku selalu ditopang banyak hal? Esok lusa, mereka akan datang ke rumah ini. Esok lusa pula akan kulakukan sebuah aksi, ingin menari. 73 | Majalah AKSI
Itulah Servus pada 14 Mei 2014. Berikutnya, kembali ke atap gedung tempat Servus kini terduduk dalam gundah. Ini adalah hari yang disebut “esok lusa” pada surat Servus. Sebelumnya Servus sempat jatuh terduduk ketika sedang menari tak karuan. Mendadak, Servus menukar lagu penuh dentum yang sedang berputar dengan sebuah alunan gesekan biola yang bertempo sangat lambat. Mendengar musik tersebut Servus menyatu dengan musik. Ia lepas, bebas sebebas keinginannya, sebebas imajinasi. Sebuah nada gesekan biola terdengar panjang. Servus melonjak tinggi. Pada saat yang sama, tepat di depan pintu rumah warisan, sejumlah orang yang menggedor-gedor. Kita tahu apa tujuan mereka. Sedangkan di atas atap gedung, Servus terus menari bebas. Nada gesekan biola tersebut mendadak menjadi cepat, Servus bergerak cepat pula. Servus menggerakkan kakinya sehingga membuat tubuhnya berputar-putar dengan kencang. Pada saat yang sama, pintu rumah Servus telah didobrak. Di atap gedung, Servus begitu lepas. Gesekan biola tersebut kini menjadi jauh lebih kencang dari sebelumnya, Servus masih berputar-putar cepat sembari sesekali meloncat. Pada saat yang sama, di dalam rumah Servus, telah ramai orang yang berkeliling sambil menempelkan stiker segel pada tiap barang yang ada di rumah tesebut. Suara biola masih terpancar di atap gedung, Servus masih asyik menari, semakin kencang dan tak karuan, berputar, meloncat, berguling-guling. Mendadak Servus mendekati komputer jinjingnya. Servus merenggutnya kasar, ia peluk sembari menari lepas. Musik habis. Tepat di detik musik habis Servus berada di atas tembok pemagan tepian atap gedung. Dengan memeluk komputer jinjingnya, Servus menjatuhkan diri ke belakang. Maka jatuhlah Servus bersama otaknya, lalu pecahlah Servus bersama komputer jinjingnya tepat di aspal. Servus berakhir. Pada saat yang sama pagar rumah Servus tengah diikat rantai dan digembok, ditancapkan pula sebuah papan besar, tanda segel. Ngomong-ngomong, siapakah aku yang telah menceritakan kisah ini pada kalian? Perkenalkan, akulah komputer jinjing milik Servus. (M.A.) 74 | Majalah AKSI
Musim Gugur, Aku Jatuh Cinta Oleh Melinda Risa Ilustrasi oleh M.F. Navildi
Mungkin di sepanjang tahun, Di antara ratusan hari, Kita hanya memiliki seperempatnya, Hari itu musim gugurku mengatakan padaku, dia sedang jatuh cinta. Tak tahu pada bumi bagian mana, dia hanya merasa jatuh cinta. Mungkin kepada tempat, Di mana angin yang membawanya hadir dan dicintai sebagai rumah pelepas nyawa dedaunan, atau mungkin kepada tempat penghadir langit terindah di sepanjang hari miliknya. Musim gugurku mengatakan padaku, dia sedang jatuh cinta, Tak tahu pada siapa, pada langit atau tanah yang dia singgahi. Dia hanya jatuh cinta. Dan mungkin kepada langit dan tanah yang aku tempati, kubiarkan dia singgah, kubiarkan dia terus membuatku selalu jatuh cinta. Pada langit dan tanah yang tak pernah dia sadari, dialah asal dari segala keindahan. 75 | Majalah AKSI
FLASH FORWARD PRODUKSI
Perkuliahan: Ada sedikit perang dingin dengan si kapten. Jika bisa meredam emosi, hal ini nggak akan terjadi. Nggak ada salahnya lo mengalah dan menjernihkan masalah. Romansa: Jangan terlalu keras kepala, karena kalau berbicara soal cinta, lo selalu membutuhkan orang lain juga. Keuangan: Udah waktunya lo mengikat pinggang dan menekan napsu belanja yang berlebihan.
SKENARIO
Perkuliahan: Pada beberapa kasus, menjadi perfeksionis memang baik, tapi ketahuilah, itu cukup memperlambat pekerjaan lo dan tim. Romansa Percayalah, jika lo jatuh cinta diam-diam dengan seseorang. Di tempat lain ada orang yang jatuh cinta diam-diam juga dengan lo. Keuangan Dompet lo angker. Udah berapa lama nggak ada penghuninya?
PENYUTRADARAAN
Perkuliahan: "Jangan terlalu serius," lo udah belajar konsep itu berkali-kali kan? Santai lah sedikit. Terlalu serius membuat orangorang selalu salah di mata lo. Begitu juga sebaliknya. Romansa: “Cobalah ngertiin aku. Aktivitas aku dan kerjaan aku.” Berhentilah menggunakan kalimat itu saat kalian sedang berdebat hebat. Keuangan: Bingung mana yang mesti diprioritaskan? Cobalah pertimbangkan. Atur semuanya dengan baik supaya nggak ada pengeluaran yang sia-sia.
KAMERA
Perkuliahan: Job numpuk nih. Tanggung jawab juga makin bertambah. Jangan lupa sama nasib kuliah sendiri. Romansa: Lepaskanlah jika kejenuhan mulai merenggut hubungan kalian. Keuangan: Uang jajan lagi banyak, jangan lupa sama temen seperjuangan.
76 | Majalah AKSI
Ilustrasi oleh M.F. Navildi
ARTISTIK
Perkuliahan: Nongkrong di halaman belakang emang asik. Tapi jangan lupa, halaman depan adalah tempat supaya perkuliahan lo tetep lancar. Romansa: Kadang sendirian bukan masalah kok, toh temen lo banyak ini. Keuangan: Mereka cukup senang dengan lo yang nggak pernah lupa teman. Apalagi kalau soal uang, nggak peduli ada atau enggak, lo tetap suka berbagi. Pertahankan.
EDITING
DOKUMENTER
Perkuliahan: Jangan terlalu santai. Makin sering lo menunda, makin banyak lo kehilangan kesempatan. Dan otomtis, makin besar juga kemungkinan lo untuk ngulang. Romansa: Dengan cuek begitu, lo tetep oke di mata doi. Keuangan: Isi dompet lagi penuh warna.
ANIMASI
Perkuliahan: Tahap awal emang lo bisa santai. Giliran di ujung waktu, kemampuan lo-lah yang dipertaruhkan. Romansa: Jangan nyerah. Bukannya lo udah terbiasa dengan tekanan? Keuangan: Banyak uang, sedikit waktu untuk menghabiskannya.
Perkuliahan: Lo nggak pernah sadar, lo terlalu sering menjatuhkan orang lain. Kalau begitu terus, lo bisa kehilangan banyak temen di kampus. Romansa: Maaf. Tapi sepertinya lo harus berganti haluan. Dia sudah memilih orang lain. Keuangan: Cepat dateng, cepat pergi. Baca: uang.
SUARA
KAJIAN SINEMA
Perkuliahan: Jangan kebanyakan aktivitas di luar, cuy. Bagi waktu dengan baik supaya kuliah lo nggak berantakan. Romansa: Sejauh ini aman, tapi tetap waspada. Semua yang kita punya bisa diambil kapan aja, termasuk doi. Keuangan: Jangan lupa diri. Tetep stabilkan berat dompet supaya nggak keteteran.
FOTOGRAFI
Perkuliahan: Job di luar sudah benar-benar menyita waktu kuliah lo. Mulai hati-hati deh. Romansa: Lo emang lebih suka sendirian, tapi cobalah untuk lebih sedikit peduli dengan doi. Keuangan: Job banyak, yang belum cair juga banyak.
Perkuliahan: Terbukalah sedikit untuk hal sosial dan hubungan. Dan lagi, lo pasti akan butuh orang lain untuk tugas akhir. Romansa: Banyak sikap yang menunjukan bahwa lo tidak sungguh-sungguh dalam menjalani hubungan. Siap-siap, doi akan pergi. Keuangan: Tau deh yang banyak uang.
IKLAN AUDIO VISUAL
Perkuliahan: Lo cukup baik dalam bersosialisasi. Itu adalah modal awal untuk sukses di perkuliahan. Romansa: Sesekali sisain waktulah buat doi. Keuangan: Dompet tebel sama tagihan dan bon.
77 | Majalah AKSI
bloopers
Oleh Arinzilla
MAHASISWA ABADI
78 | Majalah AKSI
AKTRIS AKSI TRANSAKSI MAHASISWA
STEP GUN Alat masih baru dan bagus. Dapet dari syutingan nih, guys, karena udah punya jadi dijual. Anak mayor artistik kayaknya paling butuh barang satu ini.
Punya barang baru/bekas yang ingin dijual/disewakan? Kirimkan foto dan keterangan ke
[email protected] dengan subjek: AKTRIS
KAIN HITAM (10 X 10) M Kain hitam masih bagus dan baru. MURAH! Calling aja dulu.
MONITOR WONDLAND Masih mulus banget. Ciamik! Harga bersahabat!
Yopi +62-856-4078-4757
Paps Bill +62-812-8781-0300
TAS KLASIK Tas bekas tapi jarang pakai. Sulaman rapi dan nggak ada yang lepas. Dijual karena nggak terpakai.
OVERLENGTH CABLE (PERLENG) Masih baru dan bagus. Belum pernah dipakai. Dijual karena beli kebanyakan.
Pasky +62-878-6477-6036
Gill Haryo +62-857-4798-2626
Try Sehati Nurguna +62-878-7797-8182
DIMMER 150 WATT Barang ini bisa dipasang di table lamp sampai kino flo, fren. Kalau intensitas cahayanya mau dikurangin atau dilebihin, alat ini jawabannya! Daleman masih oks bingits. Maning +62-8520-1607-1000
79 | Majalah AKSI
SUBMIT YOUR ARTWORKS! Terbuka untuk keluarga besar Institut Kesenian Jakarta: Fakultas Film dan Televisi, Fakultas Seni Rupa, Fakultas Seni Pertunjukan, dan Sekolah Pasca Sarjana. Kirimkan karya Anda ke aksi.redaksi@gmail. com dengan subjek sesuai jenis karya. Jumlah kata 400-800.
Cerpen Puisi Pantun Ilustrasi Opini/feature Resensi film Resensi buku film
Artikel reportase: 1. kuliner 2. kegiatan di IKJ 3. kegiatan perfilman
Majalah AKSI diterbitkan oleh Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Majalah ini bertujuan untuk membangun semangat menulis dan membaca, serta menjadi sarana komunikasi antara Fakultas Film dan Televisi dengan Fakultas Seni Rupa dan Fakultas Seni Pertunjukan.
80 | Majalah AKSI