Bahan ajar
Evaluasi Sumberdaya Lahan dengan Sistem Informasi Geografis
Oleh : Drs. Yagus Wijayanto, MA. Ph.D NIP. 196606141992011001 NIDN. 0014066602
Fakultas Pertanian Universitas Jember 2013
Kata Pengantar Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah, swt. karena atas rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan penulisan bahan ajar ini. Bahan ajar ini merupakan buku awal dari penerapan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk evaluasi sumberdaya lahan dan dapat digunakan untuk mahasiswa yang menempuh mata kuliah Evaluasi Sumberdaya Lahan dan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan, dimana keduanya merupakan matakuliah pada minat Tanah, Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jember.
Bahan Ajar ini dibuat dengan format yang memungkinkan mahasiswa untuk dapat memahami dengan lebih jelas mengenai aplikasi SIG dalam evaluasi sumberdaya lahan.
Pemahaman mengenai penerapan SIG beserta prosedur yang digunakan merupakan tujuan utama dari buku ini, dan menurut penulis merupakan bagiam penting karena menurut pengalaman penulis bagian ini membuthkan usaha keras bagi mahasiswa untuk dapat memahaminya. Oleh karena itu, buku ini disusun dengan maksud untuk lebih memberikan kemudahan kepada mahasiswa didalam menggunakan SIG untuk evaluasi sumberdaya lahan.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, penyempurnaan buku ini di masa yang akan datang sangatlah diperlukan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai fihak sangat penulis harapkan.
Jember, Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Pendahuluan
1
1.1 Karakteristik Lahan dan Sistem Informasi Geografis
1
1.2 Representasi Data Lahan dalam Sistem Informasi Georafis
5
1.3 Representasi Data Karakteristik Lahan
9 16
III
Penerapan Analisis Evaluasi Lahan Dalam Sistem Informasi Geografis Analisis Kemampuan Lahan dengan Sistem Informasi Geografis
IV
Evaluasi
30
4.1 Overlay dalam Raster dan Vektor
31
4.2 Queries
34
4.3 Reklasifikasi
35
4.4 Interpolasi
36
DAFTAR PUSTAKA
49
I
II
24
I.
PENDAHULUAN
Sistem Informasi Geografis (SIG) telah banyak digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Penggunaan SIG telah terbukti membantu dalam pengambilan keputusankeputusan yang berbasis pada data keruangan (spatial data). Salah satu keputusan dalam penggunaan SIG adalah penentuan jenis peruntukan lahan berdasarkan pada informasi faktorfaktor lahan. Penggunaan SIG dalam evaluasi lahan terbukti paling sering ditemui dibandingkan dengan aplikasi pada bidang-bidang lainya.
Namun demikian, patut diakui
bahwa penggunaan SIG dalam evaluasi lahan masih kurang memperhatikan kesesuaian antara jenis komponen lahan yang dipilih dan bagaimana data tersebut seharusnya direpresentasikan dalam SIG. Hal ini secara potensial dapat meyebabkan ketidak akuratan dalam hasil analisis, sehingga hasil tersebut diragukan untuk pengambilan keputusan. Buku ini bertujuan untuk melakukan kajian dari berbagai pustaka terkait dengan penggunaan SIG untuk evaluasi lahan dengan memberikan penekanana utama pada kajian struktur data yang digunakan dalam evaluasi lahan, dan penerapan SIG untuk evaluasi lahan. Bahan ajar ini akan disusun dengan struktur sebagai berikut: pertama, pembahasan mengenai pengertian sumberdaya lahan dan kegunaan serta karakteristik dan kualitas lahan akan dibahas, yang diikuti oleh kajian dari struktur data raster dan vektor yang digunakan dalam evaluasi lahan. Pembahasan selanjutnya akan menyangkut
bagaimana data keruangan dalam bentuk raster dan vektor tersebut
dianalisis dalam SIG dan evaluasi pada penerapan SIG akan dibahas. Buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa untuk memahami cara menggunakan SIG untuk evalusasi sumberdaya lahan.
1.1.KARAKTERISTIK LAHAN DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
Sumberdaya lahan mencakup dua kata yaitu: sumberdaya dan lahan. Sumberdaya dapat diartikan sebagai sesuatu benda/bahan yang dapat dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya dapat berkonotasi waktu, tempat dan ekonomi. Sedangkan lahan adalah bagian bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian tanah, lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi dan vegetasi yang menutupinya, yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan.
1
Wiradisastra (1981), mengatakan bahwa evaluasi lahan diperlukan terutama apabila telah diketahuinya kebutuhan akan perubahan misalnya dengan keinginan menerapkan jenis penggunaan lahan baru pada suatu wilayah, atau memindahkan penduduk ke daerah yang belum dibuka dan sebagainya. Evaluasi lahan dapat juga digunakan untuk menentukan jenis penggunaan lahan jika terdapat usaha untuk membuka suatu lahan baru dan belum diketahui jenis penggunaan apa yang paling sesuai untuk lahan tersebut. Evaluasi lahan adalah suatu proses yang merupakan penghubung antara sistem informasi dengan pengguna sistem informasi yang umumnya para perencana. Sebagai hasil proses evaluasi lahan akan dihasilkan peta kemampuan/kesesuaian lahan yang menunjukkan berbagai pilihan penggunaan yang dapat diterapkan pada daerah yang sedang dievaluasi. Peta ini selanjutnya akan digunakan oleh pengambil keputusan untuk melakukan perubahan terhadap penggunaan. Perkembangan teknologi informasi telah memungkinkan hubungan antara sistem informasi dengan teknologi informasi menjadi lebih efektif dan efisien. Sebagai dasar pemikiran utama dalam prosedur evaluasi lahan adalah kenyataan bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang berbeda-beda. Oleh karena itu dibutuhkan keteranganketerangan/informasi tentang lahan tersebut yang menyangkut berbagai aspek sesuai dengan rencana peruntukan yang sedang dipertimbangkan. Keterangan/informasi yang dimaksud paling tidak menyangkut tiga aspek utama yaitu: aspek lahan, penggunaan lahan, dan aspek ekonomi. Data-data tentang lahan dapat diperoleh dari kegiatan survei sumberdaya lahan termasuk survei tanah. Hasil survei sumberdaya lahan dapat menyajikan berbagai informasi dalam bentuk faktor lingkungna yang dipetakan. Sebagai contoh: peta tanah menunjukkan penggolongan tanah, peta vegetasi/penggunaan lahan, peta iklim dan peta lainnya. Namun dari contoh-contoh hasil survei tersebut belum dapat memberikan informasi mengenai apakah lahan dapat digunakan untuk budidaya tanaman tertentu misalnya untuk menanam cengkeh. Agar peta-peta dari hasil survei tersebut mempunyai makna bagi perencanaan pengelolaan lahan, diperlukan tahapan berikutnya yaitu dengan jalan membandingkan sifat-sifat tanah, vegetasi, iklim dan lain sebagainya dengan persyaratan yang dibutuhkan berbagai jenis penggunaan lahan. Lahan sangat bervariasi dalam berbagai faktor seperti keadaan topografi, iklim, geologi, tanah, vegetasi , yang menutupinya. Berbagai keterangan tentang kemungkinan pemanfaatan dan pembatas pembatas dari faktor lingkungan yang bersifat permanen maupun sementara sangat penting diperhatikan dalam membicarakan perencanaan dan perubahan 2
dalam pola penggunaan lahan. Berbagai keterangan tersebut sedapat mungkin harus terstruktur dan sistematis. Variasi berbagai faktor lahan tersebut berbeda-beda antara satu tempat ke tempat yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain. Kondisi tersebut memberikan implikasi bahwa daam proses pemasukan data, perubahan dan analisis data harus dilakukan dengan efisien dan efektif, tanpa mengurangi akurasi dari data dan hasil analisis data untuk kepentingan pemberian informasi kepada perencana. Salah satu tahapan penting dalam pelaksanaan evaluasi fisik lahan untuk menilai potensinya adalah menentukan dan memperoleh informasi tentang karakteristik/kualitas lahannya yang sedemikian bervariasi tersebut. Karakteristik lahan dapat didefinisikan semua faktor/komponen/sifat/ciri lahan yang dapat diukur atau ditaksir (diestimasi) seperti tekstur tanah, biomass, kedalaman efektif tanah, lereng permukaan dan sebagainyam. Lebih lanjut definisi operasional enurut FAO dalam Rossiter (1994), karakteristik lahan adalah: “Land Characteristics (LC) are simple attributes of the land that can be directly measured or estimated in routine survey in any operational sense, including by remote sensing and census as well as by natural resource inventory. Examples: surface soil texture and organic matter, current land cover, distance to the nearest road”. Definisi tersebut menunjukkan bahwa karakteristik lahan merupakan atribut sederhana dari lahan yang dapat diukur atau diestimasi dengan survei rutin, termasuk di dalamnya adalah atribut lahan yang diperoleh dari citra penginderaan jauh dan sensus begitu juga dengan inventarisasi sumberdaya alam. Konsep kualitas lahan disusun untuk mensintesis pemahaman tentang sifat-sifat lahan yang terpisah-pisah tersebut ke dalam satu kesatuan faktor yang saling berinteraksi. Menurut FAO dalam Roisster (1994), kualitas lahan adalah “complex attribute of land which acts in a manner distinct from the actions of other land qualities in its influence on the suitability of land for a specified kind of use” Definisi tersebut menjelaskan bahwa kualitas lahan merupakan atribut kompleks lahan yang bertindak sedemikian rupa sehingga berbeda dengan kualitas lahan yang lain dalam pengaruhnya pada kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan tertentu. Kualitas lahan adalah gabungan dari beberapa karakteristik lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kemampuan/kesesuaian lahannya. Masing-masing kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu. Kualitas lahan ada yang dapat diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan. Kualitas lahan kemungkinan 3
berperan positif atau negatif pada penggunaan lahan tergantung dari sifat-sifatnya. Setiap kualitas lahan pengaruhnya tidak selalu terbatas hanya pada satu jenis penggunaan. Sebagai misal: kualitas lahan yang sama bisa berpengaruh terhadap lebih dari satu macam penggunaan. Demikian pula sebaliknya satu macam
penggunaan lahan tertentu akan
dipengaruhi oleh lebih dari satu kualitas lahan. Contoh: bahaya erosi dipengaruhi oleh berbagai keadaan sifat tanah, lereng dan iklim (curah hujan). Ketersediaan air bagi kebutuhan tanaman dipengaruhi antara lain oleh faktor iklim, topografi, drainase, tekstur, struktur, zona perakaran, dan bahan kasar (batu, kerikil) di dalam profil tanah. Rossiter dalam http://www.itc.nl/~rossiter/docs/scas494/s494ch1.pdf dengan tegas memberikan penekanan bahwa berbagai hal yang berkaitan dengan entitas keruangan (spatial entity) perlu mendapatkan perhatian dalam evaluasi lahan. Berbagai isu yang terkait dengan entitas keruangan adalah : skala dan presisi, sel grid,
satuan peta. FAO dalam
http://www.fao.org/docrep/U1980E/u1980e03.htm#2. collecting the data mengemukakan bahwa “The range of information that could be relevant to land evaluation is huge, and collecting data which are not essential can be costly in both time and money.” Berdasarkan kedua pernyataan tersebut dapat disimpukan bahwa data yang berkaitan dengan evaluasi lahan, baik data karakteristik lahan maupun kualitas lahan merupakan data berjumah banyak dan memiliki karakteristik
spasial (keruangan), yaitu sebuah data yang berorientasi
geografis, memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (attribut). Mapping Science Committee (1995) dalam Rajabidfard (2001) menerangkankan mengenai pentingnya peranan posisi lokasi yaitu, (1) pengetahuan mengenai lokasi dari suatu aktifitas memungkinkan hubungannya dengan aktifiktas lain atau elemen lain dalam daerah yang sama atau lokasi yang berdekatan dan (2) Lokasi memungkinkan diperhitungkannya jarak, pembuatan peta, memberikan arahan dalam membuat keputusan spasial yang bersifat kompleks. Oleh karena itu, penggunaan alat bantu untuk menjelaskan data-data evaluasi lahan serta karakteriknya yang bersifat lokasiona tersebut sangat diperlukan. Salah satu perkembangan teknologi informasi yang menjanjikan telah hadir, dan alat tersebut adalah Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi Geografis dapat membantu meningkatkan pengertian dari proses evauasi lahan dan pengambilan keputusan. Sistem informasi Geografis dapat meningkatkan efisiensi pemrosesan data, dapat membantu dalam memecahkan masaah integrasi data dan membantu analisis keruangan (Bronsveld, et al, 1994; Rossiter, 1996). Terlebih lagi SIG 4
dapat meningkatkan penjelasan dari tipe penggunaan lahan yang diperlukan untuk evauasi lahan (Van dePutte, 1989; Bronsveld et al, 1994; Rossiter, 1995). Sistem informasi geografis memiliki sistem pengelolaan basis data yang memungkinkan analisis data dalam jumlah besar dari berbagai sumber. Dalam proses evaluasi lahan sangat dimungkinkan untuk menggunakan data-data dalam jumlah besar tersebut. Karakteristik paling menonjol dalam SIG adalah kemampuan SIG untuk melakukan anaisis data keruangan yang didasarkan pada data atribut. Kemampuan lain dari SIG adalah dalam menurunkan permasalahan data integrasi yang disebabkan oleh perbedaan satuan geografis. Disamping itu kemampuan SIG untuk melalukan proses tumpang tindih (overlay) berbagai peta juga membantu dalam integrasi peta untuk memperoleh informasi baru. Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah bahwa data yang dipergunakan dalam evaluasi sumberdaya lahan adalah data spasial (data keruangan). Oleh karena itu, sebuah sistem yang mampu melakukan pemasukan, analisis, dan penyajian data data keruangan sangat diperlukan, dan sistem tersebut adalah Sistem Informasi Geografis (SIG).
1.2
REPRESENTASI DATA LAHAN DALAM SIG
Representasi data merupakan hal yang sangat penting dalam Sistem Informasi Geografis (SIG). Representasi data merupakan wujud permodelan dunia nyata dan model merupakan penyederhaan dari realita. Realita yang ada di permukaan bumi merupakan hal yang kompleks dan memiliki perwatakan. Perwatakan mengenai gejala atau banyak gejala di lapang sangat berpengaruh terhadap representasi data dalam SIG. Lahan dan faktor-faktor penyusun lahan merupakan gejala yang ada di permukaan bumi dan memiliki karakteristik. Berbagai data tentang karakteristik lahan sebarannya mengikuti pola tertentu dari faktorfaktor lain, sedang data lain tidak menunjukkan sebaran sistematis. Disamping itu data yang berhubungan dengan sifat-sifat kimia tanah sangat dipengaruhi oleh faktor pengolahan sehingga terjadi perbedaan pola sebaran. Berbagai studi menunjukkan bahwa data sifat kimia tanah dapat dikategorikan sebagai data dengan sebaran yang gradual. Dalam SIG, representasi data haruslah mengikuti pola sebaran data di lapang, karena representasi data hanyalah sebuah model dimana model hanyalah penyederhanaan dari realita. Terdapat dua cara utama dalam SIG, yakni raster dan vektor. Dalam Setiap jenis data tersebut terdapat dua jenis data lain, yakni data spatial dan data atribut, dimana keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Data atribut menerangkan data spasial. Gambaran 5
ringkas mengenai data spasial dan data atribut dapat diihat pada Gambar 1.1 dan Gambar 1.2 berikut.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa data atribut memberikan keterangan
mengenai data spasial. Perbedaan struktur data raster dan vektor menuntut adanya pemilihan jenis data tersebut dalam aplikasi. Pemilihan struktur data mana yang akan dipakai sangat tergantung pada fenomena karakteristik lahan yang akan direpresentasikan dalam SIG. Sebagai dasar pemilihan maka perbedaan kedua jenis data tersebut perlu dicermati. Adapun perbedaan kedua jenis data tersebut dapat diihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara struktur data raster dan vektor yang berhubungan dengan berbagai parameter yakni akurasi, atribut, kompleksitas, output, analisis, aplikasi daam penginderaan jauh dan simulasi. Perbedaan tersebut tentunya dapat memberikan pertimbangan di dalam memilih jenis struktur data apa yang akan digunakan dalam evaluasi sumberdaya lahan. Faktor-faktor lain yang juga dapat menentukan pemilihan kedua jenis data tersebut adalah tujuan dan data yang sudah ada untuk analisis. Dengan model data raster setiap lokasi direpresentasikan dalam bentuk piksel (pixel/matrik), dan setiap piksel memiliki satu nilai. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mode data raster membentuk susunan piksel yang membentuk sebuah matriks dengan susunan lajur dan kolombanyak piksel. Setiap piksel memiiki atribut dan koordinat yang unik. Nilai yang dikandung oleh piksel atau sel merupakan angka yang menunjukkan data nominal. Akurasi dari model data ini sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya ukuran piksel. Semakin besar ukuran piksel maka akurasinya akan semakin kecil dan sebaliknya. Dengan ciri tersebut maka mode data raster merupakan model data yang paling sederhana. Berbeda dengan raster, model data vektor menampilkan, menempatkan dan menyinpan data spasia berdasarkan titik, garis dan poligon. Model data vektor merupakan sebuah model yang berusaha untuk menyajikan objek sesempurna mungkin. Oleh karena itu ruang/koordinat objek diasumsikan sekontinyu mungkin agar dapat memberikan gambaran objek yang sempurna.
6
Gambar 1.1 Representasi Data Spasial dalam SIG
Gambar 1.2. Data non-spatial yang memberikan keterangan pada data spasial
Tabel 1.1 Perbandingan Model Data Raster dan Vektor
7
Lanjutan Tabel 1.1 ......
8
Lanjutan Tabel 1.1
1.3 REPRESENTI DATA KARAKTERISTIK LAHAN
Tabel 1.2 berikut menyajikan data karakteristik lahan menurut CSR/FAO (1983), FAO(1983) dan Sys, et a (1983). Seperti ditujukkan dalam Tabel 1.2, terdapat perbedaan karakteristik lahan menurut ketiga lembaga tersebut. Karakteristik/kualitas lahan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman cukup banyak, namun untuk kepentingan evaluasi lahan bisa dipilih dan ditentukan sesuai dengan keperluan dan kondisi lokal atau tujuan dan tingkatan evaluasi dari wilayah yang akan dievaluasi. Kualitas lahan yang terpilih/ditentukan sebagai dasar evaluasi lahan digolongkan ke dalam karakteristik/kualitas lahan diagnostik.
9
Salah satu tahapan penting dalam pelaksanaan evaluasi fisik lahan untuk menilai potensinya adalah menentukan dan memperoleh informasi tentang karakteristik/kualitas lahannya. Karakteristik lahan dapat didefinisikan semua faktor/komponen/sifat/ciri lahan yang dapat diukur atau ditaksir (diestimasi) seperti tekstur tanah, kedalaman efektif tanah, lereng permukaan dan sebagainya. Pertanyaan utama dalam kaitannya dengan pembahasan dalam Bab II buku ini adalah “ Bagaimana data karakteristik lahan tersebut dapat direpresentasikan dalam SIG?”. Pertanyaan-pertanyaan lain yang penting adalah : Tabel 1.2 Karakeristik Lahan Menurut Tiga Sistem Klasifikasi
(a)
“Pertimbangan apa sajakah yang digunakan untuk mrepresentasikan data dalam kedua struktur data tersebut? ”
(b)
“Bagaimana penggabungan data dilakukan jika data yang ada tersedia dalam bentuk
raster dan vektor ?”
Kedua pertanyaan tersebut sangat penting diperhatikan karena di dalam evaluasi lahan kita ingin memberikan informasi yang seakurat mungkin untuk kepentingan perencanaan, sehingga keakuratan data karakteristik lahan dan hasil analisis berbagai data karakteristik lahan tersebut dapat dijamin. Uraian berikut akan menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut beserta contoh-contoh representasi data karakteristik lahan.
10
Informasi
tentang
tanah
merupakan
data
dasar
untuk
evaluasi
lahan
secaralangsung/tidak langsung. Informasi ini sering merupakan ciri lahan yang langsung dapat diamati atau dinilai. Informasi tanah merupakan bagian yang sangat penting karena tanah merupakan bagian dari sumberdaya lahan yang mempunyai pengaruh langsung dan terus menerus untuk penggunaan di bidang pertanian. Proses genesis, klasifikasi dan penyebaran tanah pada suatu daerah akan sangat mempengaruhi sifat-sifat tanah yang bersangkutan. Mengingat begitu pentingnya informasi tentang tanah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa representasi data tanah harusah seakurat mungkin daam Sistem Informasi Geografis. Gambar 1.3 menunjukkan peta sebaran tanah yang digambarkan dengan struktur data vektor. Seperti terlihat pada Gambar 1.3 sampai dengan Gambar 1.5, batas-batas disajikan dengan menggunakan garis yang tegas. Nampaknya penggambaran fenomena apakah dengan batas tegas atau kabur sangat dipengaruhi oleh fenomena di lapang. Batas tanah, batas vegetasi dan batas DAS memang dapat digambarkan dengan batas-batas yang tegas.
Gambar 1.3 Representasi Jenis Tanah dengan Menggunakan data Vektor
Gambar 1.4 Representasi Data Batas DAS yang digambarkan dengan garis tegas
11
Gambar 1.4 Representasi Data Batas Vegetasi Aami yang digambarkan dengan garis tegas Representasi karakteristik tanah dalam SIG bervariasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa batas-batas tanah dan sifat-sifat tanah menunjukkan batas yang tegas sehingga dapat direpresentasikan ke dalam struktur data vektor. Studi lain menunjukkan bahwa tanah sangat realistis jika batas-batasnya diwujudkan dalam bentuk struktur data raster. Kompleksnya perwujudan karakteristik tanah ini sangat memungkinkan karena dipengaruhi oleh faktorfaktor pembentuk tanah dan dalam arti analisis data sangat dipengaruhi oleh keberadaan data dan keterbatasan dalam melakukan survei tanah langsung di lapang. Sifat kimia tanah merupakan sifat-sifat yang sering direpresentasikan dalam struktur data raster. Shi, et al. (2009) sebagai contoh telah menggunakan teknik interpolasi sifat kimia tanah (pH) dengan berbagai teknik interpolasi, yang hasilnya dapat diihat pada Gambar 1.6 berikut. Lebih lanjut Kalivas, et al. (2002) menggunakan teknik yang sama untuk menggambarkan tekstur tanah permukaan (pasir dan lempung) untuk menggambarkan sebaran yang gradual kedua sifat tanah tersebut. Studi yang sama juga dilakukan oleh Poshtmasari, et al (2012) yang menunjukkan bahwa pH dan EC (Electrical Conductivity) dapat direpresentasikan dengan menggunakan struktur data raster. Dari berbagai studi tersebut menunjukkan bahwa untuk sifat-sifat tanah yang dianggap memiliki nilai gradual/berangsur maka sangat baik jika digambarkan dengan menggunakan struktur data raster. Ketinggian di atas muka laut, panjang dan derajat kemiringan lereng, posisi pada bentangan lahan, bentuklahan (landform) dinilai sangat penting dalam evaluasi lahan. Faktor topografi dapat berpengaruh terhadap kemungkinan bahaya erosi atau mudah tidaknya diusahakan, demikian juga di dalam program mekanisasi pertanian. Data topografi ini hampir 12
selalu digunakan dalam setiap sistem evaluasi lahan. Bentuklahan sangat erat kaitannya dengan potensi lahan sehingga tidak luput dari perhatian ahli evaluasi lahan. Sebagai contoh pada bentuklahan dataran banjir tidak disarankan untuk daerah pemukiman atau untuk jenisjenis tanaman yang memerlukan drainase tanah yang baik seperti kates, cengkeh, atau tanaman-tanaman tahunan lainnya. Gambar 1.6 dan 1.7 menunjukkan peta dan geologi dan topografi yang disajikan dengan menggunakan struktur data vektor.
Gambar 1.5. Representasi Data pH dalam berbagai teknik interpolasi
Gambar 1.6 Peta geologi yang disajikan dengan menggunakan struktur data vektor
13
Gambar 1.7 Peta Topografi yang digambar dengan struktur data Vektor
Struktur dan formasi geologi mempunyai banyak pengaruh langsung/tidak langsung pada penggunaan lahan khususnya pada bidang pertanian. Relief/topografi sangat berhubungan erat dengan keadaan geologinya. Formasi geologi sangat mempengaruhi struktur daerah dan merupakan bahan dasar dari bahan induk tanah. Oleh karena itu adanya informasi tentang geologi sangat memudahkan dalam mengevaluasi potensi (kemampuan dan kesesuaian lahan) untuk suatu penggunaan tertentu. Manfaat seperti ini telah ditunjukkan oleh penggunaan data geologi di dalam sistem evaluasi lahan seperti pada sistem lahan (land system). Vegetasi merupakan salah satu unsur lahan yang dapat berkembang secara alami atau sebagai hasil dari aktivitas manusia baik pada masa lalu maupun masa kini. Data vegetasi (vegetasi permanent) perlu dipertimbangkan dengan alasan bahwa vegetasi sering dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui potensi (kemampuan/kesesuaian lahan) bagi suatu penggunaan tertentu melalui kehadiran/kenampakan tanaman-tanaman indikator. Sebagai contoh bila tanaman kelapa tumbuh subur dan berbuah lebat dapat digunakan sebagai indikator bahwa kedalaman tanahnya dalam sampai sangat dalam. Mengacu pada berbagai karakteristik lahan yang disajikan pada Tabel 1.2 dan contohcontoh yang disajikan maka nampak bahwa hampir semua data yang disajikan pada Tabel 1.2 tersebut sangat mungkin seharusnya direpresentasikan ke daLam struktur data raster, dengan alasan sebagai berikut: (a) Memiliki karakter kontinyu/gradual/smooth; (b) Berkonotasi dengan angka/numerik dan data-data yang bersifat numerik dalam analisisnya dapat diakukan daam bentuk struktur data raster:
14
(c) Jika mengacu pada Tabe 1.2, serta mempertimbangkan Tabel 1.1 maka semakin memberikan dasar bahwa penggunaan struktur data raster jelas akan lebih memberikan bantuan (support) dalam analisis daripada data vektor. Selain itu dengan data raster akan diperoleh visualisasi fenomena yang lebih atraktif dan nampaknya permodelan faktor-faktor lingkungan (termasuk didalamnya data karakteristik lahan pada Tabel 1.1) akan sangat efisien dilakukan dengan menggunakan struktur data raster.
Dari pembahasan yang diberikan di atas nampak bahwa struktur data vektor sangat sesuai digunakan untuk menggambarkan data dasar dalam proses evaluasi lahan, sedang data raster sangat sesuai untuk representasi data-data untuk kepentingan analisis dalam proses evaluasi sumberdaya lahan.
15
II . PENERAPAN ANALISIS EVALUASI LAHAN DALAM SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Bab II sudah menjelaskan mengenai bagaimana data-data karakteristik lahan dan kualitas lahan disajikan dengan menggunakan berbagai macam struktur data dalam Sistem Informasi Geografis. Bagaimana menggunakan data-data spasial tersebut dalam konteks penggunaan nyata dalam Sistem Informasi Geografis untuk evaluasi lahan belum dibahas pada Bab II. Bab III ini akan menjelaskan secara prosedural penggunaan SIG dalam evaluasi lahan secara nyata. Berbagai pustaka sudah menjelaskan mengenai prosedur evaluasi lahan dan ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang cukup nyata dalam penggunaan data tersebut. Gambar 2.1 berikut menyajikan bagaimana data diperoleh dan digunakan untuk evaluasi lahan dalam salah satu pustaka (Muhsoni, 2010). Gambar tersebut menunjukkan bahwa dalam analisis evaluasi lahan, serangkaian proses pada berbagai data spasial harus dilakukan untuk menghasilkan peta kesesuaian lahan. Berbagai sumber data juga digunakan dalam awal proses, sepeti data penginderaan jauh, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1 tersebut adalah citra satelit. Gambar 2.1 tersebut menunjukkan bahwa peta lereng, peta penggunaan lahan, peta jenis tanah dan peta hujan digunAkan untuk menyusun satuan pemetaan (satuan lahan)melalui proses tumpang susun (overlay) dalam Sistem Informasi Geografis. Prosedur selanjutnya adalah prosedur standard yang dilakukan dengan membandingkan (matching) antara karakteristik lahan dan persyaratan penggunaan lahan, dan hasilnya adalah peta kesesuaian lahan. Satu jenis peta juga dapat menghasilkan jenis peta yang lain, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1. Peta Rupa Bumi (RBI), dapat diinterpolasi sehingga menghasilkan Digital Elevation Model (DEM) dan dari DEM kemudian dapat dibuat peta lereng (slope) yang telah terklasifikasi. Data curah hujan dari stasiun penangkar hujan juga dapat diinterpolasi untuk menghasilkan peta curah hujan yang juga merupakan salah satu masukan bagi penentuan satuan pemetaan. Hasil analisis kesesuaian lahan untuk tanaman tembakau yang diperoleh dari Muhsoni (2010) dapat disajikan pada Gambar 2.2 berikut.
16
Gambar 2.1 Prosedur analisis data spasial untuk penentuan kesesuaian lahan tanaman tembakau (Muhsoni, 2010)
17
Gambar 2.2 Hasil analisis kesesuaian lahan tanaman tembakau pada studi yang dilakukan oleh Muhsoni (2010)
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa data keruangan (spasial) yang telah dimasukkan dan dianalisis dalam SIG terbukti mampu dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan penentuan mengenai lokasi dimana tembakau secara potensial akan ditanaman di Pulau Madura. Prosedur lain dalam penggunaan data spasial untuk analisis kesesuaian lahan juga telah dilakukan, seperti ditunjukkan pada studi yang dilakukan oleh Fauzy, et al (2009). Secara prosedur, studi yang dilakukan oleh Fauzy, et al (2009) mirip dengan yang dilakukan oleh Muhsoni (2010) seperti disajikan pada Gambar 2.1, perbedaan hanyalah terletak pada data dan cara analisis spasial yang digunakan. Metode pembobotan dan penyekoran digunakan pada studi yang dilakukan oleh Fauzy, et a. (2009) ini, sedang cara analisis spasial yang digunakan berdasar pada cara matematik dengan menggunakan formula matematik berikut.
Hasil penelitian Fauzy, et al (2009) dapat diihat pada Gambar 2.3 berikut ini. Gambar 2.3 tersebut menunjukkan bahwa kelas-kelas kesesuaian lahan dapat dibedakan berdasarkan anaisis spasial data spasial yang telah dimasukkan dalam SIG. Secara metodologi, hasil
18
penelitian ini menunjukkan potensi SIG sebagai alat untuk analisis data keruangan bagi penentuan kesesuaian lahan. Studi yang dilakukan oleh Fauzy, et al (2009) ini jelas berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Muhsoni (2010). Perbedaanya teretak pada cara anaisis data keruangan, pada Muhsoni lebih banyak menggunakan cara kualitatif, sedang pada Fauzy, et al (2009) lebih banyak menggunakan cara kuantitatif.
Gambar 2.3 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk tambah pada studi yang dilakukan oleh Fauzy, et al (2009).
Studi lain yang juga menggunakan data keruangan (spatial) untuk analisis kesesuaian lahan yang digabungkan dengan teknik yang lebih baru (AHP/ Analytical Hierarchical Processes) sudah dilakukan oleh Chuong (2011), yang secara prosedural dapat disajikan pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5 berikut. Gambar 2.4 menunjukkan bagaimana data spasial digunakan untuk menentukan kelas kesesuaian lahan fisik, sedang pada Gambar 2.5 menunjukkan bagaimana kombinasi anatara hasil analisis kesesuaian fisik digabungkan dengan kondisi ekonomi, sosial dan ingkungan untuk menghasilkan kesesuaian lahan melalui teknik AHP. Studi yang dilakukan oleh Chong (2011) ini nampaknya lebih rumit bila dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Muhsoni (2010) dan Fauzy, et al (2009). Studi ini menunjukkan bahwa kesesuaian lahan ternyata bukan hanya kesesuaian lahan secara 19
fisik, namun juga kesesuaian lahan secara ekonomi, sosial dan sebagainya. Hasil analisis kesesuaian lahan fisik dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut, sedang hasil analisis kesesuaian lahan dengan penggabungan kesesuaian lain dengan AHP dapat disajikan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.4 Prosedur analisis data untuk penentuan kesesuaian lahan fisik pada studi yang dilakukan oleh Chuong (2011)
Gambar 2.4 menunjukkan persamaan dengan studi yang telah dibahas sebelumnya dalam hal prosedur yang digunakan. Teknik dalam SIG yang digunakan juga serupa, yakni teknik tumpang tindih (overlay) yang digunakan. Namun demikian Gambar 2.4 tersebut lebih menunjukkan gambaran yang lebih jelas mengenai jenis data spasial dan proses data dalam SIG. Perbedaan yang dapat dibandingkan dengan studi yang telah dibahas sebelumnya adalah terletak pada data yang digunakan, yang dalam hal ini data yang digunakan adalah tanah, lereng, kedalaman tanah, tekstur tanah dan kesuburan tanah, dimana data spasial tersebut ditumpang tindihkan dalam SIG untuk menghasilkan peta satuan evaluasi lahan (land evaluation map unit)
20
Gambar 2.5 Prosedur analisis kesesuaian lahan yang telah menggabungkan data fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan dengan teknik analisis AHP pada studi yang dilakukan oleh Chong, 2011).
Gambar 2.6 Hasil analisis kesesuaian lahan fisik pada studi yang dilakukan oleh Chong (2011) 21
Gambar 2.7 Hasil analisis kesesuaian lahan dari penggabungan fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan.
Hasil analisis pada Gambar 2.6 dan 2.7 menunjukkan bahwa kesesuaian fisik dan kesesuaian akhir sebagai hasil penggabungan berbagai jenis kesesuaian menunjukkan hasil yang berbeda. Perbedaan ini sangat jelas disebabkan oleh karena perbedaan jumlah data yang dimasukkan sebagai bahan analisis.
AHP yang digunakan pada studi ini menggunakan
sumber-sumber data yang diperoleh dari interview expert, opini expert dan studi pustaka untuk menentukan skor pada derajad pentingnya faktor penentu kesesuaian lahan ekonomi, sosial dan lingkungan. Studi yang menggunakan AHP juga telah dilakukan oleh Duc (2006) yang secara prosedural dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terdapat dua faktor penting yang menentukan penerapan AHP untuk analisis kesesuaian lahan, kedua faktor tersebut adalah kondisi lokal (local condition) dan opini akhli (expert opinion). Gambar 2.8 tersebut menunjukkan bahwa tipe-tipe penggunaan lahan diseleksi berdasar pada praktek-praktek pertanian lokal, opini petani, ilmuwan dan pemimpinpemimpin lokal. Kesemua data tersebut kemudian ditumpang tindihkan dalam SIG untuk menghasilkan satuan-satuan pemetaan lahan (Land Mapping Units). Berbagai data yang telah ada dalam SIG kemudian dimasukkan dalam satuan pemetaan tersebut, yang kemudian 22
diikuti oleh penentuan skor yang kemudian dapat ditentukan kesesuaian lahannya. Gambar tersebut menunjukkan bahwa SIG digunakan sebagai tempat untuk melakukan analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan teknik AHP ini. Hasil analisis penggunaan metode AHP dalam SIG ini dapat disajikan pada Gambar 2.9 berikut.
Gambar 2.8 Prosedur yang digunakan untuk analisis kesesuaian lahan pada studi yang dilakukan oleh Duc (2006).
Gambar 2.9 Hasil analisis kesesuaian lahan yang dilakukan pada studi yang dilakukan oleh Duc (2006)
23
III Analisis Kemampuan Lahan dengan Sistem Informasi Geografis Berbeda dengan analisis kesesuaian
lahan yang teah disajikan pada II, analisis
kemampuan lahan lebih memberikan gambaran umum mengenai penggunaan lahan. Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakan-tindakan pengelolaannya. Tujuannya adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian (arable land) berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan. Sistem Informasi Geografis (SIG) juga telah diterapkan untuk analisis kemampuan lahan. Uraian berikut akan menyajikan berbagai kasus / studi mengenai aplikasi SIG dalam evaluasi lahan. Hsu, et al (http://www.dupad.hku.hk/asiagis/fall03/Full_Paper/Hsu_Chiu_Ling.pdf) menggunakan SIG untuk menentukan kemampuan lahan berlereng di Taiwan dan menentukan kelas kemampuna lahan berlereng. Studi ini menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Gobal Positioning System (GPS) untuk membantu penentuan lokasi di lapang. Terdapat empat faktor yang digunakan daam analisis yakni: kemiringan lereng, kedalaman tanah, bahan induk dan estimasi erosi. Prosedur yang digunakan dalam studi ini dapat diihat pada Gambar 3.1 berikut. Seperti disajikan pada Gambar 3.1 tersebut nampak bahwa terdapat tingkatan dalam anailisis kemampuan lahan yang diakukan yang intinya adalah melakukan screening pada lokasi-lokasi yang memerlukan kajian lebih lanjut, dengan melakukan pengujian pada daerah-daerah kunci. Hasil analisis kemampuan lahan dapat disajikan pada Gambar 3.2 berikut. Studi lain yang dilakukan oleh Panhalkar (2011) menggunakan kombinasi citra penginderaan jauh dan SSIG untuk analisis kemampuan lahan. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini dapat disajikan pada Gambar 3.3 berikut. Gambar 3.3 tersebut menunjukkan bahwa kedalaman tanah (soil depth), tekstur tanah (soil texture) dan kelerengan digunakan untuk menentukan satuan lahan / satuan pemetaan terkecil pada daerah yang dikaji, yang kemudian digabungkan dengan informasi penutupan lahan dan penggunaan lahan akan menghasilkan Klasifikasi Kemampuan Lahan (LCC). Hasil penelitian dari studi ini ditunjukkan pada Gambar 3.4 berikut ini. 24
Gambar 3.1 Prosedur yang digunakan dalam analisis kemampuan lahan pada studi yang diakukan oleh Hsu, et al dalam http://www.dupad.hku.hk/asiagis/fall03/Full_Paper/Hsu_Chiu_Ling.pdf
25
Gambar 3.2 Hasil Analisis Kemampuan Lahan yang digunakan dalam studi yang dilakukan oleh Hsu, et al dalam http://www.dupad.hku.hk/asiagis/fall03/Full_Paper/Hsu_Chiu_Ling.pdf
Gambar 3.3 Metode yang digunakan dalam studi yang dilakukan oleh Panhalkar (2011).
26
Gambar 3.4 Hasil analisis kelas kemampuan lahan (LCC = Land Capability Classes) pada studi yang dilakukan oleh Panhalkar (2011). Hasil analisis kelas kemampuan lahan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4 ini dapat memberikan informasi mengenai lokasi dimana kelas kemampuan lahan tertentu dijumpai serta dapat dilakukan estimasi mengenai luasan setiap kelas kemampuan lahan yang ada. Gambar 3.4 tersebut juga dapat menunjukkan daerah mana yang perleu dikembangkan dan daerah–daerah yang memang diperuntukkan untuk wilayah konservasi. Data penginderaan jauh merupakan sumber data lain yang digunakan untuk memperoleh informasi mengenai penutupan lahan dan tataguna lahan. Penggunaan data 27
penginderaan jauh terbukti meningkatkan efisiensi dalam perolehan data tutupan lahan dan penggunaan lahan. Studi yang dilakukan oleh Pareta dan Pareta (2013) menunjukkan penggunaan SIG dalam kombinasinya dengan data penginderaan jauh untuk analisis kemampuan lahan di salah satu bagian India. Dengan penggabungan SIG dan penginderaan jauh maka dapat ditenatukan kelas kemampuan lahan yang kemudian dari data hasil analisis tersebut terbukti dapat membantu pengambil keputusan dalam menentukan area yang dikembangkan untuk pertanian. Pada studi ini data keruangan yang digunakan meliputi berbagai peta: tanah, penutupan lahan/penggunaan lahan, lereng, kepadatan saluran, dan peta fisiografi. Dengan melalui proses pembuatan skor dan pembobotan maka kemudian dapat diperoleh kelas kemampuan lahan dari kelas I sampai kelas VIII. Secara prosedur, penelitian yang dilakukan oleh Pareta dan Pareta (2013) ini dapat dilihat pada Gambar 3.5 berikut. Sedang hasil analisis kemampuan lahan dapat disajikan pada Gambar 3.6.
Gambar 3.5 Prosedur penentuan kelas kemampuan lahan yang dilakukan oleh Pareta dan Pareta (2013) Seperti disajikan pada Gambar 3.6 kemampuan lahan dibedakan menjadi 8 (delapan) Kelas yakni kelas I sampai dengan kelas VIII, dengan sebaran masing-masing keas yang berbeda dan seperti disebutkan oleh Pareta dan Pareta (2011), dimana kelas V mendominasi sebaran kelas kemampuan lahan pada area yang dikaji.
28
Gambar 3.6 Hasil analisis kemampuan lahan pada studi yang dilakukan oleh Pareta dan Pareta (2013)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis kemampuan lahan telah memanfaatkan teknologi SIG dan penginderaan jauh. Teknik tumpang tindih (overlay) dalam SIG merupakan teknik yang sangat sering digunakan untuk mementukan satuan pemetaan (land mapping unit) dan untuk analisis kemampuan lahan baik pada model data raster dan vektor. Data penginderaan jauh umumnya digunakan untuk menentukan faktor penggunaan lahan dan penutupan lahan, yang umumnya digunakan citra satelit skala kecil, mengingat kajian kemampuan lahan umumnya bersifat umum.
29
IV. EVALUASI Bab I sampai dengan Bab III telah menunjukkan bahwa lahan merupakan bagian bumi yang kompleks dan apa yang bisa dilakukan adalah penyederhanaan dari realita yang ada pada lahan tersebut. Untuk melakukan studi apapun, penyederhanaan realita yang kompleks tersebut perlu dilakukan. Penyederhanaan realita tersebut seperti diuraikan pada Bab I sampai dengan Bab III nampaknya bukan hanya terjadi pada representasi realita menjadi data vektor dan raster, namun yang lebih penting lagi adalah pada berbagai bentuk rules (aturan-aturan) untuk menghasilkan kesesuaian lahan dan kemampuan lahan, seperti mis alnya
model
matematis untuk menentukan kesesuaian lahan dan Analytical Hierarchical Process. Karena faktor-faktor lahan, seperti ikim, tanah, geologi, vegetasi, dan lain-lain menempati ruang maka jelaslah bahwa analisis keruangan (spatial analysis) akan sangat bermanfaat dalam menyajikan dan menganalisis serta memanipulasi data-data keruangan tersebut. Namun demikian patut diakui bahwa tidak ada satu set analisis spatial pun yang berlaku menyeluruh untuk setiap kajian kemampuan lahan dan kesesuaian lahan, yang nampaknya disebabkan oleh kompleksnya realitas di permukaan bumi, yang memberikan konsekuensi bahwa berbagai teknik analisis keruangan pun diujicobakan dan dinilai kemungkinan keakuratan hasil analisis. Terdapat banyak manfaat jika kita melakukan analisis keruangan untuk analisis evaluasi lahan: (a) pola-pola faktor-faktor lahan dan kesesuaian lahan bisa kita amati; (b) dapat dilakukan studi perubahan gejala dari satu waktu ke waktu yang lain; (c) integrasi berbagai sumber data dapat dilakukan; (d) hubungan satu faktor/gejala dengan satu atau lebih gejala dapat dikaji, dan masih banyak manfaat lain seiring dengan perkembangan teknik analisis spasial. Analisis keruangan merupakan satu set alat yang didasari prinsip-prinsip matematika dan statistik yang digunakan untuk menemukan pola (pattern) atau tingkatan (order), yang dalam hal ini adalah pola keruangan dan order keruangan. Penjelasan sebelumnya sudah menunjukkan dengan jelas bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan kemampuan analisisnya dapat digunakan hampir pada setiap tahap analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan. Selaian kemampuanya di dalam memasukkan dan menyajikan data, kemampuan analisis, misalnya tumpang tindih (overlay), buffer, analisis kedekatan (proximity analysis) dan analisis-analisis
lainnya terbukti 30
sangat membantu dalam
menghasilkan peta kemampuan ahan dan kesesuaian lahan.Terlebih lagi, dengan kemampuan analisis spasial SIG ini, kita bisa melakukan berbagai skenario kesesuaian lahan seperti telah ditunjukkan dalam studi yang dilakukan oleh Wahid, et al (2009). Variasi teknik analisis terhadap data spasial juga telah dilakukan untuk analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan seperti dijelaskan sebelumnya. Patut diakui bahwa tidak banyak studi sebelumnya yang telah melakukan uji akurasi pada hasil analisis, walaupun diakui bahwa hasil analisis adalah informasi penting bagi pembuat kebijakan. Selama kurun waktu kurang lebih 10 tahun dari tinjauan pustaka menunjukkan adanya perubahan dari sisi analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan. Nampaknya, penggunaan analisis yang menggabungkan antara qualitatif dan kuantitatif banyak dijumpai. Penggunaan teknik Analytical Hierarchical Process (AHP) menunjukkan peningkatan yang tajam, baik secara sendiri maupun dalam konteks penggabungan AHP dengan analisis spasial. Hal ini terutama terjadi pada studi yang bertujuan untuk melakukan evaluasi lahan bukan hanya ditinjau dari segi fisik, tetapi juga dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta kemungkinan aspek lain. Ditinjau dari segi teknik analisis spasial dalam SIG yang digunakan untuk analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan nampak bahwa berbagai teknik digunakan untuk analisis baik pada data tunggal mapun banyak data. Teknik-teknik yang digunakan dapat diringkas sebagai berikut : (a) tumpang tindih (overlay) dalam raster dan vektor; (b) queries pada data spasial dan data atribut; (c) reklasifikasi; (d) interpolasi spasial (e) analysis permukaan (surface analysis), termasuk didalamnya dalam pembuatan DEM (Digital Elevarion Model, lereng, aspek lereng) dan (f) teknik yang kompleks seperti misalnya AHP dan MCM. Masing-masing teknik tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
4.1 Overlay dalam raster dan vektor Teknik ini merupakan teknik yang paling lama dan sering digunakan dalam analisis kemampuan dan kesesuaian lahan seperti ditunjukkan pada Bab I sampai dengan Bab III. Tahapan analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan penting yang sering menggunakan teknik analisis ini adalah pada penentuan Satuan Pemetaan Lahan (Land Mapping Units), dan pada penentuan kelas kemampuan dan kesesuaian lahan. Gambar 4.1 berikut menunjukkan gambaran mengenai overlay pada raster dan pada vektor. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1, terdapat perbedaan antara overlay pada vektor (polygon pada vektor dan piksel pada raster seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1). Gambar 4.2 menunjukkan gambaran mengenai berbagi jenis overlay jika dilakukan dalam model data vektor. 31
Gambar 4.1. Overlay pada vektor dan pada raster
Gambar 4.2 Jenis-jenis overlay pada Model data Vektor
32
Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2 terdapat berbagai macam cara yang dapat digunakan dalam overlay pada vektor. Pemilihan setiap jenis overlay tersebut sangat tergantung pada tujuan analisis. Gambaran yang lebih jelas mengenai beberapa dari teknik overlay vektor tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.19 berikut
(e) Clip
(d) Dissolve
(c) Erase
(b) Intersect
(a) Union
Gambar 4.2 Bebagai macam teknik overlay dalam vektor GIS 33
Gambar 4.3 menunjukkan contoh map overlay dengan cara aljabar peta (map algebra) yang juga merupakan teknik yang sering digunakan dalam model data raster.
Gambar 4.3. Contoh Aljabar peta yang sering digunakan dalam overlay data raster Cara aljabar peta ini sangat sering digunakan bila berhubungan dengan formulaformula penentuan kemampuan dan kesesuaian lahan.
4.2 Queries
Queri merupakan pertanyaan atau permintaan untuk melakukan seleksi terhadap data. Queri sering muncul dalam bentuk pernyataan atau ekspresi logika. Cakupan analisis spasial dapat meliputi berbagai queri : mulai dari queri sederhana tentang gejala keruangan sampai pada kombinasi dari queri atribut, query spasial dan perubahan dari data asli. Teknik Queri 34
ini merupakan teknik yang sangat sering digunakan pada setiap tahap analisis kemampuan dan kesesuaian lahan.
4.3. Reklasifikasi Gambar 4.4 menunjukkan sebuah model bagaimana proses reklasifikasi pada data keruagan dilakukan. Pada prinsipnya reklasifikasi merupakan upaya untuk membuat nilai baru pada field (kolom) pada atribut tabel berdasarkan pada proses yang dilakukan pada nilai pada field yang lain pada atribut tabel yang sama. Proses reklasifikasi ini dilakukan jika ingin melakukan pengkelasan kembali dengan maksud untuk menyederhanakan. Sebagai contoh jika kita telah memiliki nilai kesesuaian lahan dengan cara numerik dari 0 – 10.000 dan kemudian kita ingin mengekalaskan ke dalam empat kelas dengan rentang masing-masing kelas sebesar 2500, maka akan kita jumpai empat kelas. Terdapat banyak aplikasi dari teknik reklasifikasi ini baik untuk mengkelaskan faktor-faktor yang akan digunakan untuk analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan (misalnya: erosi, lereng, topografi, kesuburan, sifatsifat kimia tanah, dan masih banyak lainnya) maupun untuk mengkelaskan hasil analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan. Proses reklasifikasi ini dapat dilakukan pada model data vektor dan raster. Setelah data direklasifikasi umumnya data tersebut diproses dengan cara tumpang susun (overlay) maupun dengan cara diberikan pembobotan untuk menghaslkan informasi baru. Teknik reklasifikasi ini secara umum disebut sebagai cara manipulasi data (data manipulation). Dalam Sistem Informasi Geografis, reclassification dapat juga dijelaskan dengan Gambar 4.5 berikut.
Gambar 4.4. Reklasifikasi pada data yang dilanjutkan dengan proses pembobotan dan dataset terkombinasi. 35
Gambar 4.5. Contoh lain reklasifikasi dalam SIG dengan struktur data raster
4.4. Interpolasi Spasial (Spatial Interpolator) Interpolasi spasial merupakan sebuah teknik untuk meprediksi nilai pada suatu tempat yang tidak diketahui nilainya berdasar pada nilai-nilai pada tempat lain yang dijumpai nilainya. Teknik ini umumnya dipakai untuk fenomena yang berbasis pada data titik: curah hujan dari stasiun hujan; ketinggian tempat dari titik-titik yang diketahui ketinggianya; 36
konsentrasi kimia dari sifat-sifat kimia tanah dari titik-titik yang diketahui konsentrasinya. Ilustrasi mengenai interpolasi spasial ini dapat dilihat pada Gambar 4.6 berikut.
Gambar 4.6 Gambaran teknik interpolasi spasial Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.6 bahwa teknik interpolasi merupakan sebuah teknik untuk memprediksi nilai pada lokasi yang tidak diketahui nilainya berdasar pada nilainilai yang ada. Pembahasan mendetail mengenai berbagai teknik interpolasi spasial dan berbagai aplikasi dapat dilihat pada Li dan Heap (2008). Walaupun nampaknya teknik ini sangat membantu dalam membuat sebuah layer data dalam SIG, penerapan dari teknik ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati, mengingat beberapa hal : (a) Terdapat berbagai teknik interpolasi yang sangat sensitif terhadap karakteristik data dan jumlah data; (b) Memerlukan pemahaman mendalam mengenai perwatakan dari setiap jenis teknik interpolasi sebelum diterapkan untuk tujuan tertentu; (c) Tidak ada satu teknikpun yang lebih baik bila dibandingkan dengan teknik yang lain.
Teknik ini telah diterapkan pada fenomena dengan karakteritik yang bersifat kontinyu, seperti curah hujan, sifat tanah dan sifat-sifat lain yang memiliki ciri gradual/kontinyu. Walaupun teknik ini sudah diterapkan daam analisis kemampuan dan kesesuaian lahan, namun yang perlu dipertimbangkan adalah akurasi dari proses interpolasi ini, apalagi jika hasil analisis dari data yang diinterpolasi akan digunakan sebagai masukan dalam proses evauasi lahan. Terdapat lima faktor utama yang menentukan dalam aplikasi 37
teknik interpolasi spasial ini : distribusi (distribution), isotropisme (isotropism) and anisotropisme (anisotropism), varian an julat (variance and range), akurasi(accuracy), korelasi spatial (spatial correlation) dan faktor lain, dan variabel sekunder (secondary variable). Penjelasan lengkap mengenai kelima faktor tersebut dapat dilihat pada Li dan Heap (2008). Interpolasi spasal merupakan teknik yang sangat penting dalam analisis kemampuan lahan dan kesesuaian lahan mengingat alasan-alasan sebagai berikut : (a) Pada konsep spasial, semua titik pada ruang yang diamati harus terukur/mempunyai nilai. Jika setiap titik pada ruang tersebut memiliki nilai maka akan memudahkan kita untuk melakukan perlakuan pada titik tersebut; (b) Survey dilakukan dengan menggunakan sampling, artinya tidak semua titik diukur/diamati, dengan menggunakan interpolasi maka hanya sebagian titik yang dambil sebaga sampel; (c) Menghemat biaya dan waktu, dengan perbedaan hasil yang tidak signifikan. Teknik interpolasi akan menghemat waktu dan biaya, karena dapat mengurangi jumlah tenaga dan jumlah sampel yang diambil; (d) Merubah data yang diskret menjadi kontinyu. Dengan teknik interpolasi spasial dan seperti yang disajikan pada Gambar 4.6 maka jelaslah bahwa dengan menggunakan teknik interpolasi maka proses perubahan data diskrrit menjadi kontinyu bisa kita lakukan.
Meskipun terdapat keunggulan dari teknik interpolaso seperti disajikan diatas, teknik ini dalam aplikasinya menuntut adanya pemilihan teknik mana yang memberikan hasil yang akurat mengingat terdapat sejumlah besar variasi dari teknik ini. Sebagai pedoman adalah bahwa penerapan teknik perlu dilakukan dengan trial and error dan teknik yang terpilih adalah teknik interpolasi yang memberikan akurasi yang tinggi. Sebagai contoh, Prasasti, et al (2005) menunjukkan bahwa penggunaan metode inverse distance untuk lokasi yang memiliki titik-titik informasi (tetangga) yang rapat akan lebih efektif dibandingkan dengan metode krigging. Teknik-teknik interpolasi spasial ini umumnya digunakan untuk membuat surface yang menunjukkan fenomena yang disamping memiliki koordinat juga memiliki nilai (value). Besarnya nilai inilah yang menentukan surface yang terbentuk. Nilai-nilai ini dapat diperoleh dari : pengamatan dan pengukuran langsung di lapang dan dari teknik interpolasi seperti disebutkan di atas. Surface ini umumnya dapat disajikan dengan menggunakan raster, TIN, kontur dan sejumah titik (array of points). Namun demikian dalam penyajiannya dering 38
digunakan raster dan Triangular Irregular Network (TIN). Gambar 4.7 dan Gambar 4.8 berikut menyajikan bagaimana surface bisa dibuat dengan menggunakan teknik interpolasi.
Gambar 4.7. Surface yang dibentuk dengan teknik interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW) (Sumber:http://resources.esri.com/help/9.3/arcgisengine/java/gp_toolref/geoprocessin g/surface_creation_and_analysis.htm
Gambar 4.8. Surface yang dibentuk dengan teknik interpolasi Spline (Sumber:http://resources.esri.com/help/9.3/arcgisengine/java/gp_toolref/geoprocessin g/surface_creation_and_analysis.htm
Teknik surface ini nampaknya sangat baik untuk tujuan presentasi data, dimana pengguna dapat dengan mudah melihat perubahan data dari satu tempat ke tempat lain 39
dengan lebih cepat. Teknik ini juga dapat digunakan untuk menempatkan satu atau lebih peta tematic di atas surface, sehingga dengan cara tersebut pengguna dapat lebih melihat perubahan satu atau lebih gejala dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah.
Metode AHP merupakan metode yang pada saat sekarang digunakan seiring dengan semakin kompleksnya tuntutan pengambilan keputusan berbasisi data majemuk dan dari berbagai jenis, baik kualitatif dan kuantitatif. Menurut Hartati dan Nugroho (2012) proses yag dilakukan dalam AHP dapat diuraikan sebagai berikut. Pada tahap pertama penerapan model AHP, para pengambil keputusan
memecah permasalahan kriteria majemuk yang akan
diambil keputusannya menjadi bagian-bagiannya, dimana masing-masing atribut yang dapat dirancang dalam bentuk peringkat-peringkat hierarki majemuk. Selanjutnya, masing-masing kriteria dan sub-subkriteria di bawahnya seringkali tidak memiliki tingkat kepentingan yang sama dan masing-masing kriteria dan sub-subkriteria itu seringkali juga memiliki bobotbobot yang berbeda. Setelah masalah terdekomposisi, maka ada dua tahap penilaian atau membandingkan antar elemen yaitu perbandingan antarkriteria dan perbandingan antarpilihan untuk setiap kriteria. Metoda AHP pada dasarnya mampu menyediakan proses analitis secara semi-terstruktur yang pada gilirannya mampu digunakan untuk mengkombinasikan penilaianpenilaian dari berbagai alternatif dan kriteria yang ada. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemberian bobot-bobot pada 2 elemen yang akan dibandingkan secara dramatis akan mengurangi kerumitan konseptual pada analisis yang akan dilakukan dan, setelah kita mampu melakukannya dengan seksama, analisis akan dilakukan menggunakan 3 tahap utama, yaitu: 1) Mengembangkan matriks perbandingan pada masing-masing peringkat hierarki, 2) Menghitung bobot relatif dan prioritas untuk masing-masing elemen pada hierarki, dan 3) Menghitung rasio konsistensi untuk menilai konsistensi penilaian. Berdasarkan cara analisis AHP seperti disebutkan di atas nampak bahwa perhitungan komponen-komponen sampai pada pengambilan keputusan AHP belum sepenuhya terintegrasi dalam SIG, seperti dikemukakan oleh Hartati dan Nugroho (2012). Namun demikian, teknologi telah berkembang dengan pesat terutama menyangkut analisis AHP dalam SIG. Perkembangan terkahir menunjukkan bahwa integrasi AHP dan SIG telah ada, terbukti dengan adanya teknik analisis yang disebut SMCE (Spatial Multi-Criteria Evaluation) dalam software ILWIS (Integrated Land and Water Information Systems), dan mungkin merupakan satu-satunya perangkat lunak yang menyediakan tekik analisis AHP yang telah terintegrasi dengan analisis spasial. Semula AHP memang merupakan teknik ang didesain bukan terintegrasi dengan analisis spasial, oleh karena itu menurut Sharifi dan Retsios (2004), yang membedakan AHP dengan SMCE hanyalah terletak pada integrasi analisis spasial. Lebih
40
lanjut Sharifi dan Retsios (2004) mengemukakan bahwa terdapat dua cara dalam integrasi AHP ke dalam SIG, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.9 berikut. Seperti terlihat pada Gambar 4.9 perbedaan terletak pada susunan dimana agregasi terjadi. Pada jalur pertama, integrasi terjadi pada satuan spasial, sedang pada jalur kedua integrasi terjadi pada kriteria.
Gambar 4.9 Dua jalur dalam Spatial Multi-Criteria Evaluation Prosedur analisis yang digunakan untuk seleksi lokasi pada penelitian yang dilakukan pada Sharifi dan Retsios (2004) dapat ditunjukkan pada Gambar 4.10 berikut. Gambar tersebut menunjukkan bahwa dalam SMCE terdapat berbagai data yang dapat dikelompokkan ke dalam dua macam data yakni : data biofisik dan data sosial ekonomi yang kemudian kedua data tersebut diintegrasikan untuk menghasilkan tempat-tempat yang terseleksi.
Gambar 4.10. Prosedur yang digunakan dalam analisis seleksi tempat pada studi yang dilakukan oleh Sharifi dan Retsios (2004) 41
Roudgarmi, et al (2007) telah menggunakan teknik SMCE dalam ILWIS untuk menilai dampak lingkungan dan memberikan kesimpulan bahwa SMCE merupakan teknik analisis AHP dalam SIG yang sangat lengkap dalam komponen analisis, karena beberapa alasan berikut : (a) Thenik SMCE telah memungkinkan untuk SIG untuk melakukan evaluasi alternatif dan seleksi yang optimal sehingga dapat digunakan untuk melakukan pemilihan mengani aktifitas yang memiliki dampak lingkungan. (b) Teknik pembobotan yang ada dalam SMCE memungkinkan untuk melakukan analisis pembobotan mengani dampak lingkungan dari aktivitas; (c) Metode standardisasi yang memungkinkan penilaian mengenai skala dampak lingkungan; (d) Dengan SMCE dapat dilakukan agregasi dari bobot dampak lingkungan; (e) Dengan SMCE dapat ditentukan besar dan lokasi dampak lingkungan.
Sebagai kesimpulan dari buku ini, dan dalam kaitannya dengan aplikasi SIG dalam evaluasi lahan ada baiknya kita ungkap kembali prosedur evaluasi lahan yang berlaku umum, seperti disajikan pada Gambar 4.11 berikut ini. Gambar 4.11 tersebut semakin menunjukkan bahwa data keruangan (spatial data)merupakan data yang sangat diperlukan dalam evaluasi lahan.
Gambar 4.11 Prosedur evaluasi sumberdaya lahan
42
Seperti disajikan pada Gambar 4.11, data data dalam bentuk peta dan foto udara dan citra sangatlah penting dalam tahap awal analisis data untuk evaluasi lahan. Keberadaan datadata tersebut sangat penting untuk menentukan satuan lahan (land unit) dimana semua datadata lapang yang dikumpulkan akan masuk pada satuan lahan tersebut. Peranan analisis spasial sangat nampak juga dalam penentuan zone agroekologi, kemampuan lahan dan kesesuaian lahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Data kemampuan lahan, kesesuaian lahan dan digabungkan dengan zona agroekologi akan digunakan sebagai dasar untuk rekomendasi penggunaan lahan. Berdasarkan uraian yang telah diberikan terdahulu dan berdasarkan pada Gambar 4.11 tersebut semakin jelaslah bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai sebuah alat untuk analisis data keruangan sangat berperan dalam setiap tahap dalam evaluasi lahan, mualai dari persiapan sampai dengan tahap pemberian rekomendasi/arahan penggunaan lahan. Gambar 4.11 tersebut juga menunjukkan bahwa data yang diperlukan dalam proses evaluasi lahan berjumlah banyak, baik data primer maupun data sekunder. Data survei lapang, data wawancara, data sekunder, data dalam bentuk peta dan data lain sangat mungkin diperlukan dalam evaluasi lahan. Kemampuan SIG sebagai sebuah integrator data sangat nampak, karena kesemua data tersebut akan masuk dalam SIG dan akan dianalisis dalam SIG. Hal yang paling menentukan dalam analisis evaluasi lahan dengan menggunakan SIG adalah dalam tahap penentuan satuan lahan yang digunakan. Tahap ini merupakan tahap kritis, karena semua data akan masuk pada satuan lahan, oleh karena itu penentuan faktor lahan yang digunakan dan proses yang dilakukan dalam penentuan satuan lahan tersebut menjadi sangatlah penting. Penentuan faktor-faktor lahan yang digunakan untuk proses overlay dalam SIG haruslah benar-benar representatif dan benar-benar merupakan faktor dominan pada daerah tersebut. Disamping itu, skala peta dan resolusi citra yang digunakan juga harus mewakili sebaran faktor-faktor lahan yang akan digunakan untuk analisis evaluasi lahan. Hal ini harus diupayakan untuk menjamin keakuratan hasil analisis. Penggunaan banyak sumber data spasial untuk menentukan satuan lahan mungkin akan memberikan hasil terlalu banyak poligon, namun tidak akurat. Sebaliknya, jika digunakan sedikit sumber data spasial kemungkinan juga akan memberikan informasi yag kurang lengkap. Oleh arena itu penentuan faktor-faktor lahan yang akan digunakan dalam penentuan satuan lahan menjadi sangat kritis pada tahap ini. Evaluasi kemampuan lahan dan kesesuaian lahan adalah berbeda, dalam kaitannnya dengan tujuan yang umum dalam kemampuan lahan dan khusus pada kesesuaian lahan. Pada kemampuan lahan sangat mungkin akan menggunakan data-data 43
dengan skala yag kecil, dan sebaliknya pada evaluasi kesesuaian lahan akan menggunakan data dengan sakala yang besar. Perbedaan tujuan itu akan menentukan pemilihan sumber data yang digunakan agar tujuan utama evaluasi lahan dapat dicapai. Melupakan pertimbangan penggunaan skala yang sesuai akan berakibat pada kelebihan atau kekurangan informasi yang disesuaikan dengan tujuan evaluasi lahan. Seperti disebutkan pada Gambar 4.11, salah satu sumber data yang dipakai adalah citra penginderaan jauh. Pemilihan citra penginderaan jauh haruslah mempertimbangkan tujuan evaluasi, apakah untuk kesesuaian ataukan untuk kemampuan lahan. Pada evaluasi kemampuan lahan, citra pengeinderaan jauh berbasis citra satelit sangatlah potensial digunakan mengingat kenyataan bahwa citra tersebut mencakup daerah yang luas dan tidak mendetail, oleh karena itu informasi yang disajikan juga bersifat umum dan pada skala kecil. Pada evaluasi kesesuaian lahan untuk tujuan khusus maka data penginderaan jauh yang digunakan haruslah berskala lebih besar, karena evaluasi ini memiliki tujuan khsusu untuk memberikan rekomendasi jenis tanaman pada suatu wilayah. Pemilihan jenis citra yang digunkan merupakan alternatif untuk mengatasi besarnya biaya untuk survei lapang yang intensif. Oleh karena itu, pemilihan jenis citra penginderaan jauh menjadi sangatlah penting. Mengingat harga citra yang mahal maka pemilihan citra haruslah benar-benar sesuai dengan tujuan evaluasi lahan. Adanya berbagai sistem atau metode yang digunakan dalam evaluasi lahan tanpa mempertimbangkan tingkat dan skala peta dalam hubungannya dengan ketersediaan dan kehandalan (accuracy) data, dapat mengakibatkan terjadinya kerancuan dalam interpretasi dan evaluasi lahan. Pernyataan tersebut sangat penting diperhatikan karena
data tidak
tersedia pada versi terkini (up to date). Kekinian data akan menjamin akurasi data karena akan mewakili kondisi pada saat data itu dibuat. Data sifat kimia tanah merupakan data yang mengalami perkembangan cepat, sedang data sifat fisika tanah merupakan data yang mengalami perubahan lama, sebagai contoh tekstur tanah. Fungsi evaluasi sumberdaya lahan adalah memberikan pengertian tentang hubunganhubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil. Oleh karena evaluasi lahan berfungsi untuk memberikan informasi bagi perencana, maka jelaslah bahwa akurasi dari informasi menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Akurasi informasi yang diberikan kepada perencana akan sangat bergantung pada akurasi dari setiap tahap pengumpulan data yang dilakukan, serta pemilihan jenis teknik analisis dalam SIG yang sesuai. 44
Sumber data yang tidak akurat akan memberikan informasi yang tidak akurat pula. Sampah masuk dan sampah yang keluar (Garbage In Garbage Out) merupakan pernyataan yang harus selalu ada dalam setiap tahap analisis evaluasi lahan. Bahkan jika data yang masuk dalam sistem informasi kurang akurat, maka hasil analisis data juga akan semakin jauh dari akurat yang disebabkan oleh adanya kesalahan (error) yang merayap (error creep). Rayapan kesalahan bisa terjadi pada setiap tahap analisis data dalam SIG. Dan jika data yang masuk tidak akurat maka jelaslah akan terjadi kesalahan yang besar pada hasil analisis. Teknologi SIG hanyalah merupakan alat bantu, sedang data merupakan bahan yang dengan alat bantu tersebut, informasi mengenai kemampuan dan kesesuaian lahan akan dihasilkan. Dalam proses evaluasi lahan terdapat banyak tahap yang merubah data menjadi informasi. Data adalah sesuatu apa adanya, sedang informasi adalah data yang telah diolah sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi penggunanya. Perubahan data menjadi informasi harus menjamin bahwa informasi yang dihasilkan akurat. Manfaat dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Hal ini penting terutama apabila perubahan penggunaan lahan tersebut diharapkan akan menyebabkan perubahan-perubahan besar terhadap keadaan lingkungannya. Mengingat manfaat evaluasi sumberdaya lahan tersebut maka sangat penting bahwa keakuratan informasi yang dihasilkan dari analisis dapat terjaga dan mempertimbangkan variabilitas dari faktor-faktor lahan yang dianalisis. Terdapat dua jenis utama evaluasi lahan, yakni evaluasi lahan kualitatif dan kuantitatif.
Keduanya memiliki tujuan yang sama, perbedaanya hayalah teletak pada
kenyataan bahwa pada evaluasi lahan kauntitaif, pertimbangan ekonomi dimasukkan pada tahap analisis. Perbedaannya terletak pada jenis data yang digunakan. Dalam hubungannnya dengan data spasial, juga terdapat data spasial yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan in menuntut cara penggunaan SIG yang berbeda pula. Pemilihan struktur data, teknik analisis, teknik manipulasi data dan penyajian data spasial akan berbeda pula. SIS dengan kemampuan utama sebagai alat untuk analisis data spasial sangat membantu di dalam evaluasi smberdaya lahan, baik kuantitatif maupun kualitatif. Teknik-teknik analisis spasial data kuantitatif tidak dapat diterapkan pada data kualitatif begitu juga sebaliknya. SIG menyediakan berbagai teknik analisis baik untuk analisis data kualitatif dan kuantitatif secara spasial. Oleh karena itu jelaslah bahwa SiG dengan kemampuan analisis data spasial sangatlah membantu dalam analisis baik kualitatif dan kuantitatif.
45
Kemampuan SIG sebagai sebuah alat bantu dalam evaluasi lahan telah terbukti sangat membantu dalam setiap tahap analisis. Kemampuan nyata dari SIG sebenarnya lebih dari seperti yang telah dijelaskan diatas. Beberapa kemampuan SIG yang secara potensial dapat dimanfaatkan dalam evaluasi sumberdaya lahan dapat diuraikan sebagai berikut. (a) SIG dengan keberadaan teknik-teknik analisis di dalamnya terbukti mampu membantu dalam penyelesaian tugas kompleks yang tidak mungkin diselesaikan dengan menggunakan teknik analisis tradisional dengan menggunakan kertas. Pada masa lalu jelas bahwa proses analisis data dalam wujud peta dilakukan dengan penggambaran pada kertas atau kertas, yang sangat tidak efektif dan efisien. (b) Kemampuan SIG sebagai basis data juga merupakan potensi yang sangat baik untuk analisis data keruangan. Kemampuan SIG di dalam memasukkan, menganalisis dan menyajikan data keruangan dalam jumlah yang sangat besar memungkinakan untuk dapat memberikan fasilitas penyedia data (basis data) bagi analisis sekarang dan masa dating. Dengan menggunakan pengelolaan basis data relational yang ada SIG maka proses penyimpanan data dan penambahan data dapat dilakukan dengan mudah pada basis data tersebut; (c) SIG dapat melakukan integrasi data dari berbagai sumber data. Seperti ditunjukkan pada pembahasan sebelumnya data dari berbagai sumber dapat diintegrasikan dan dianalisis dalam lingkungan SIG. Citra, foto udara, Digital Elevation Model, kontur, peta thematic dan data raster semuanya dapat dianalisis dan dalam SIG. Hal ini sangat menguntungkan karena data tidak selalu tersedia dalam format yang kita inginkan. Kemampuan SIG dalam melakukan transformasi data dan transformasi koordinat juga telah memungkinkan data dari berbagai sumber dapat dianalisis dalam SIG. Proses perubahan data juga dapat dilakuakn dalam SIG, misalnya data vector dirubah ke dalam bentuk raster melalui proses rasterisasi dan data raster dapat diubah ke dalam bentuk vektor melalui proses vektorisasi; (d) Data dalam bentuk digital akan lebih baik kualitasnya bila disbanding dengan data yang tersedia dalam bentuk kertas. Kemampuan SIG untuk dapat menyimpan data dalam jumlah yang besar akan menjamin akurasi dari data untuk penerapan data tersebut di masa yang akan datang. Atau dapat dikatakan bahwa data yang tersedia dalam format digital akan jauh lebih stabil bila dibandingkan dengan data dalam bentuk kertas (hardcopy);
46
(e) Data dalam bentuk peta digital akan lebih mudah dilakukan updating data daripada data dalam bentuk kertas. Hal ini akan memberikan keuntungan dalam hal efisiensi penggunaan sumberdaya manusia, dan berarti penghematan biaya dan waktu untuk perbaruan data; (f) Reproduksi peta juga merupakan keunggulan lain dari SIG. dengan menggunakan SIG, proses reproduksi peta dapat dilakuakn dengan lebih cepat dan biaya yang lebih rendah daripada peta dalam wujud kertas atau material lain; (g) Sharing data juga dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan lebih mudah dengan menggunakan SIG. Dengan kemampuan ini maka pengguna data dapat melakukan perubahan dan analisis pada data tersebut dengan lebih baik; (h) SIG berkemampuan menghilangkan bias, karena konsistensi dalam melakukan analisis dengan menggunakan prosedur yang sama untuk sejumlah computer yang berbeda-beda. Hal ini sangat menguntungkan di dalam melakukan kalibarasi hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan SIG; (i) SIG dengan kemampuan analisisnya terbukti telah merubah cara berfikir seseorang atau banyak orang dalam melihat fenomena dan hubungan antar fenomena melalui penggunaan berbagai teknik analisis yang ada SIG. Dengan kemampuan ini maka sangatlah layak jika SIG dianggap sebagai sebuah alat bantu dalam pengambilan keputusan, baik keputusan-keputusan yang bersifat teknik maupun strategis
dari
hubungan antar objek tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah bahwa berbagai teknik dalam SIG telah digunakan dalam analisis spasial data evaluasi lahan. Pada konteks yang lebih luas dan seperti telah ditunjukkan pada pembahasan sebelumnya bahwa kemampuan SIG dapat meliputi : kombinasi data melalui overlay dan aljabar peta, permodelan medan (terrain modeling); menemukan dan menghitung hubungan; generalisasi, statistik spasial, geostatistik, interpolasi, model interkasi spasial, dan banyak lagi. Nampak jelas bahwa pemilihan teknik analisis sangat ditentukan oleh tujuan dan data yang tersedia. Teknik analisis yang digunakan bisa sangat berbeda antara satu kajian dengan kajian yang lain yang menunjukkan bahwa tidak tedapat suatu panduan yang berlaku umum dalam hal pemilihan data, jenis data. Terlepas dari teknik analisis yang digunakan, kemampuan manusia dalam hal pengetahuan mengenai data dan karakter data akan sangat menentukan di dalam hasil analisis yang dilakukan dalam Sistem Informasi Geografis. Manusia sebagai salah satu komponen Sistem Informasi Geografis (selain perangkat keras, perangkat lunak dan data) merupakan bagian 47
sentral dalam analisis apapun dalam SIG. Kemampuan manusia di dalam memahami data dan karakter data, kemampuan manusia dalam memahami teknik analisis dalam SIG, kemampuan manusia di alam menginterpretasikan hasil analisis merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dalam penggunaan SIG. Semakin jelaslah bahwa SIG merupakan sekumpulan alat analitis (analytical tool box), yang bertujuan untuk membantu mencapai tujuan, dan bukan tujuan dari evaluasi.
48
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, I . W.S., dan As-syakur, A. R. 2012. “Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Berbasis Data Raster Untuk Pengkelasan Kemampuan ahan di Provinsi Bai dengan Metode Nilai Pikse Pembeda” dalam Journal Manusia dan ingkungan, 19(1):21-29 Beek, K.J. 1978. Land Evaluation for Agricultural Development. International Institute for Land Reclamation and Improvement/ILRI. Wageningen The Netherlands. Chuong, H.P. 2011. LAND SUITABILITY ANALYSIS AND EVALUATION FOR PRODUCTION OF FRUIT TREES USING GIS TECHNOLOGY :A case study at Thua Thien Hue dalam JOURNAL OF SCIENCE, Hue University, Vol. 67, No. 4A, 2011 Duc, T.T. 2006. USING GIS AND AHP TECHNIQUE FOR LAND-USE SUITABILITY ANALYSIS dalam International Symposium on Geoinformatics for Spatial Infrastructure Development in Earth and Allied Sciences 2006 Kalivas, D.P., Triantakonstantis, D.P. and Kollias, V.J. 2002. Spatial Prediction of Two Soil Properties Using Topographic Information, dalam Global Nest : The International Journal , 4(1) :41-49 Li, J dan Heap, A.D. 2008. A Review of Spatial Interpolation Methods for Environmental Scientists. Commonwealth 2008. Australia. Bronsveld K. Huizing, H. and Omakupt M. (1994) Improving land evaluation and land use planning. ITC Journal 4, 359-365. Fauzi, Y, Susilo, B dan Mayasasi, Z. 2009. ANALISIS KESESUAIAN LAHAN WILAYAH PESISIR KOTA BENGKULU MELALUI PERANCANGAN MODEL SPASIAL DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) dalam Forum Geografi, Vol. 23, No. 2, Desember 2009: 101 – 111 Hartati, S. dan Nugroho, A. 2011. SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN BERBASIS AHP (ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS) UNTUK PENENTUAN KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN (STUDI KASUS: KABUPATEN SEMARANG) dalam JURNAL INFORMATIKA Vol 6, No. 2, Juli 2012 Masri, R.M dan Yulianti, V. 2009. “Evaluasi Kemampuan Lahan di Kabupaten Bandung Utara dan Bandung Barat Menggunakan Sistem Informasi Geografis” dalam GEA , 9(2) Muhsoni, F.F. 2010. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Jagung di Madura dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam Embryo, 7(1):45-52.
49
Panhalkar, S. 2011. LAND CAPABILITY CLASSIFICATION FOR INTEGRATED WATERSHED DEVELOPMENT BY APPLYING REMOTE SENSING AND GIS TECHNIQUES dalam ARPN Journal of Agricultural and Biological Science, VOL. 6, NO. 4, APRIL 2011 Pareta, K dan Pareta, U. 2013. Remote Sensing and GIS Based anduse/Landcover, Soil and Land Capability Analysis for Agricutural Resource Management in Sagar District of Mahdya Pradesh (India) dalam Indian Journal Of Engineering, 5(12):18-26 Poshtmasari, H.K., Sarvestani, Z.P., Kamkar, B., Shataei, S. dan Sadeghi, S. 2012. Comparison of interpolation methods for estimating pH and EC in agricultural fields of Golestan province (north of Iran) dalam International Journal of Agriculture and Crop Sciences, 4(4): 157-167 Prasasti, I., Wijayanto, H, dan Christanto, M. 2005. ANALISIS PENERAPAN METODE KRIGGING DAN INVERS DISTANCE PADA INTERPOLASI DATA DUGAAN SUHU, AIR MAMPU CURAH (AMC) DAN INDEKS STABILITAS ATMOSFER (ISA) DARI DATA NOAA-TOVS dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa” Rajabidfard, Abbas, and I.P. Williamson. "Spatial Data Infrastructures : Concept, SDI Hierarchy and Future Directions." Melbourne, Victoria: Spatial Data Research Group, Department of Geomatics, The University of Melbourne, 2000a. Rossiter D.G. (1995) Economic land evaluation: why and how. Soil use and management 11,132-140. Rossiter, D.G. (1994) Lecture Notes : Land Evaluation. dalam http://www.itc.nl/~rossiter/docs/scas494/s494ch1.pdf. Diakses tanggal 15 Nopember 2013 Rossiter D.G. (1996) A theoretical framework for land evaluation . Discussion paper. Geoderma 72,165-190. Roudgarmi, P., Khorasani, N., Monavari, M., dan Nouri, J. 2007. Environmnetal Impacts Evaluation By Spatial Multi-Criteria Evalutaion Technique. Proceeding of the 10 International Conference on Environmental Science and Technology. Shi, W., Liu, J., Du, Z.,Song. Y.,Chen, C.,Yue, T. 2009. Surface Modelling of Soil pH dalam Geoderma (150) : 113-119. Wahid, A., Madden, M., Khalaf, K., dan Fathy, I. 2009. LAND SUITABILITY SCENARIOS FOR ARID COASTAL PLAINS USING GIS MODELING: SOUTHWESTERN SINAI COASTAL PLAIN, EGYPT dalam Journal of Urban and Environmental Engineering, v.3, n.2, p.73-83
50