EVALUASI PROGRAM TERAPI OKUPASI (OCCUPATIONAL THERAPY) BAGI PENYANDANG TUNADAKSA DI YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT (YPAC) JAKARTA
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Lusi Melani 1110054100040
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2014
Lusi Melani
ABSTRAK
Lusi Melani Evaluasi Program Terapi Okupasi (Occupational Therapy) Bagi Penyandang Tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta Penyandang tunadaksa adalah individu yang mengalami kecacatan pada bagian fisiknya. Upaya pemulihan dan perbaikan bagi penyandang tunadaksa dapat dilakukan dengan berbagai macam terapi, salah satunya adalah terapi okupasi. Terapi okupasi adalah suatu upaya pemulihan yang bertujuan memperbaiki kemampuan untuk merasakan sentuhan, rasa, bunyi, dan gerakan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran dan penjelasan mengenai pelaksanaan terapi okupasi bagi penyandang tunadaksa di YPAC Jakarta. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah evaluasi menurut Pietrzak, Ramler, Renner, Ford, dan Gilbert, yaitu berupa evaluasi input, evaluasi proses, dan evaluasi hasil. Pada skripsi ini peneliti menitik beratkan pada evaluasi proses saja. Dimana dalam evaluasi proses tersebut terdapat kriteria, terdiri dari standar praktek terbaik (best standard practice), kebijakan lembaga, tujuan proses (process goals), dan kepuasan klien. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian yang digunakan adalah evaluasi. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu sample yang ditarik dengan sengaja. Informan dalam penelitian ini terdiri dari, manager pelaksana, penanggung jawab terapi okupasi, terapis, keluarga atau pengasuh (care giver), dan klien. Hasil penelitian dan analisis menunjukkan bahwa proses terapi okupasi yang sangat besar pengaruhnya dalam membangun kemandirian klien untuk dapat hidup di tengah masyarakat tanpa ketergantungan terhadap orang lain. Meskipun ada beberapa kekurangan dalam pelaksaaan terapi okupasi. Untuk itu disarankan kepada penanggung jawab terapi okupasi agar senantiasa meningkatkan pelayanan, baik dari segi sumber daya manusia dengan memenuhi kualifikasi pendidikan para terapis dan menyediakan alat-alat tes pemeriksaan terapi okupasi yang belum tersedia. Selain itu perlu kerja sama semua pihak, salah satunya orangtua. Diharapkan pertemuan dengan keluarga semakin sering diadakan untuk mengevaluasi perkembangan klien. Sehingga dapat menunjang kesembuhan klien agar manfaat yang didapat dari terapi okupasi dapat mudah dan cepat dirasakan oleh klien.
i
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga pada akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Evaluasi Program Terapi Okupasi (Occupational Therapy) Bagi Penyandang Tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta”. Pada kesempatan ini pula, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang sangat berperan penting membantu dalam proses penyusunan skripsi ini, antara lain : 1.
Bapak Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Ibu
Siti
Napsiyah Ariefuzzaman, MSW, selaku Ketua Jurusan
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.
Bapak Ahmad Zaky, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu dalam hal akademis.
4.
Ibu Wati Nilamsari, M.Si, selaku Ketua Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus dosen pembimbing bagi peneliti, yang telah banyak memberikan pengarahan, pengetahuan, dan bersedia meluangkan waktu ditengah kesibukan guna membantu peneliti dalam menyelesaikan penyusunan skripsi. Mudahmudahan Allah SWT membalas kebaikan atas keikhlasan yang telah dicurahkan. ii
5.
Seluruh Dosen dan Staf Akademika Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan kepada peneliti selama kuliah.
6.
Ibu Purnamawati M.R, selaku Ketua Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta.
7.
Ibu Kiki Dian Avrianti, selaku Manager Pelaksana YPAC Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian di YPAC Jakarta.
8.
Ibu Robiatul Adawiyah, A.Md. OT, Skm., selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC Jakarta yang telah banyak memberikan informasi seputar terapi okupasi.
9.
Staf, petugas, klien, keluarga klien, dan pengasuh (care giver) klien YPAC Jakarta yang telah membantu peneliti selama penelitian.
10.
Ayahanda (Alm. Tukiran) dan Kakanda (Alm. Bripda Trio Cahyono), yang telah pergi mendahului peneliti. Terima kasih atas doa kalian dari alam sana dan semoga kalian tenang di alam sana.
11.
Ibunda tercinta (Sriyatun) dan Kakanda (Cahyo Budi Purnomo), yang selalu memberikan dukungan moril maupun materiil kepada peneliti mulai dari awal kuliah hingga menjalani masa penulisan skripsi. Bersama kalian, peneliti mampu melewati semua tantangan dan hambatan.
12.
Keluarga Besar Kromo Suwiryo, yang tak henti-hentinya mendoakan dan mendukung peneliti untuk tetap semangat selama penulisan skripsi.
13.
Teruntuk Ma’mur Rizki, yang tidak pernah peneliti lupakan. Masukan, pengetahuan, bantuan yang telah diberikan, sekaligus tempat berbagi iii
dalam segala hal, baik suka dan duka, sehingga menjadi inspirasi, motivasi, semangat, dan keyakinan untuk bisa meraih sukses...I’m so happy to be part of you in every moments. 14.
Kedua sahabatku yang berada disisiku dari awal skripsi, Prapty dan Novi. Alhamdulillah dengan perjuangan dan semangat yang kita miliki, Allah SWT memudahkan langkah kita semua untuk bisa menyelesaikan program studi S1 dan mudah-mudahan kita bisa meraih impian dan cita-cita dimasa depan...Always make unforgettable memonts during we are still together in campus.
15.
Kelompok Praktikum I di PSTW Budi Mulia 1, Prapty, Novi, Shabrina, Fifi, Isnaniyah, dan Hafiz.
16.
Kelompok Praktikum II di Desa Tanjung Pasir Timur Tangerang, Mamat, Fajar, Samsul, Ma’mur, Fadly, Daus, Jehan, Dysa, Fifi, Prapty, dan Novi. Terima kasih atas kerjasama dan kenangan manis bersama kalian.
17.
Teman-teman Kesejahteraan Sosial UIN angkatan 2010.
18.
Berbagai pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari sempurna,
mengingat kemampuan dan keterbatasan waktu peneliti. Akhir kata, semoga Allah SWT memberikan limpahan keberkahan atas segala bimbingan, bantuan, dan jasa semua pihak yang telah diberikan kepada peneliti.
Jakarta, September 2014
Lusi Melani iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR IS .................................................................................................... v DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................ 8 D. Metodologi Penelitian ............................................................. 9 E. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 18 F. Sistematika Penulisan .............................................................. 20
BAB II
LANDASAN TEORI A. Evaluasi ................................................................................... 22 1. Pengertian Evaluasi ........................................................... 22 2. Tujuan dan Manfaat Evaluasi............................................ 22 3. Model-Model Evaluasi ...................................................... 24 4. Pengertian Evaluasi Program ............................................ 32 B. Terapi ...................................................................................... 32 1. Pengertian Terapi .............................................................. 32 2. Macam-Macam Terapi ...................................................... 33 3. Terapi Okupasi .................................................................. 34 C. Tunadaksa ............................................................................... 36 1. Pengertian Tunadaksa ....................................................... 36 2. Klasifikasi Tunadaksa ....................................................... 38 3. Penyebab Tunadaksa ......................................................... 39 4. Karakteristik Tunadaksa.................................................... 39
v
BAB III
GAMBARAN UMUM YPAC JAKARTA A. Sejarah Berdirinya .............................................................. 41 B. Visi dan Misi ...................................................................... 44 C. Maksud dan Tujuan ............................................................ 45 D. Prosedur Penerimaan Klien ................................................ 45 E. Tahapan Terapi Okupasi .................................................... 47 F. Struktur Organisasi ............................................................ 50 G. Unit-Unit Pelayanan ........................................................... 51 H. Sumber Keuangan .............................................................. 58 I. Kerjasama........................................................................... 58
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Evaluasi Proses Dalam Pelaksanaaan Terapi Okupasi....... 60 1. Standar Praktek Terbaik ............................................... 60 2. Kebijakan Lembaga ..................................................... 78 3. Tujuan Proses (Process Goals) ..................................... 88 4. Kepuasan Klien ............................................................ 91
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ 102 B. Saran-saran ......................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104 LAMPIRAN .................................................................................................... 105
vi
DAFTAR TABEL
1.
Tabel 1 Jumlah Penyandang Cacat Berdasarkan Jenis Kecacatan.... 5
2.
Tabel 2 Rancangan Informan........................................................... 14
3.
Tabel 3 Teknik Pemeriksaan Data Kualitatif Moleong................... 16
4.
Tabel 4 Jadwal Kegiatan Penelitian................................................ 17
5.
Tabel 5 Struktur Organisasi YPAC Jakarta Periode 2013-2018...... 53
6.
Tabel 6 Daftar Media Terapi Okupasi............................................. 67
7.
Tabel 7 Jumlah Klien Berdasarkan Jenis Kelamin.......................... 79
8.
Tabel 8 Jumlah Klien Berdasarkan Usia.......................................... 80
9.
Tabel 9 Jumlah Klien Berdasarkan Status Biaya............................. 82
10.
Tabel 10 Latar Belakang SDM Terapi Okupasi................................84
11.
Tabel 11 Kualifikasi Pendidikan SDM Terapi Okupasi.................. 85
vii
DAFTAR GAMBAR
Skema Alur Penerimaan Klien YPAC Jakarta...............................................45
viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang merupakan pengamalan Pancasila mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa dan diselenggarakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama dalam pembangunan dan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing, melindungi, dan menumbuhkan suasana yang menunjang, saling mengisi, dan saling melengkapi agar tercapainya tujuan pembangunan nasional. Peningkatan peran penyandang cacat dalam pembangunan nasional sangat penting untuk mendapat perhatian. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Penyandang cacat dipandang sebagai kelompok orang yang tidak beruntung karena mereka dipandang tidak mampu
menikmati
keuntungan
material
dari
kehidupan
sosial
kontemporer.1 Tanggapan negatif orang-orang normal terhadap para penyandang cacat pada dasarnya berawal dari ketidakpedulian. Mereka menyimpulkan bahwa kecacatan adalah bencana, dan mereka takut, pada gilirannya rasa takut akan menjadikan mereka kikuk, menghindar, dan berprasangka.2 Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, para penyandang cacat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya, 1
Colin Barnes, Disabilitas: Sebuah Pengantar. Penerjemah Siti Napsiyah, MSW (Edisi Indonesia pada PIC UIN Jakarta, 2007), h. 14. 2 Peter Coleridge, Pembebasan dan Pembangunan: Perjuangan Penyandang Cacat di Negara-Negara Berkembang, Penerjemah Omi Intan Naomi (Edisi Indonesia pada Pustaka Belajar, 1997), h. 36.
1
2
seperti tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.3 Hingga saat ini sarana dan upaya untuk melindungi hak penyandang cacat telah banyak dilakukan. Namun demikian halnya upaya perlindungan saja belumlah cukup, dengan pertimbangan bahwa jumlah penyandang cacat akan meningkat pada masa yang akan datang, masih diperlukan sarana dan upaya lain terutama dengan penyediaan sarana untuk memperoleh kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Adapun pengertian kesejahteraan sosial seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.4 Dalam hal ini orangtua memegang peranan yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak-anaknya yang mempunyai kecacatan. Hubungan lingkungan keluarga kepada penyandang cacat haruslah diperlakukan seperti anak normal pada umumnya, karena bila keluarga membedakan sikap kepada anak penyandang cacat, maka anak tersebut akan merasa tersisih dalam keluarganya. Namun pada kenyataannya masih banyak keluarga yang merasa malu bila ada anggota keluarga yang
3
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 ayat 1. 4
3
diffabel.5 Namun tanpa disadari bahwa keluarga menjadi sandaran untuk para penderita diffabel ini.6 Disaat lingkungan sosialnya tidak dapat menerima kondisi fisiknya, hanya keluarga yang dapat menerima mereka seutuhnya. Umumnya para orangtua yang mempunyai anak penyandang cacat, mereka terlalu khawatir akan anak-anak mereka, sebab di mata mereka anak-anak itu tidak mampu melakukan apa pun juga dan harus diperlakukan sebagai bayi sepanjang umur mereka.7 Kemudian timbul pertanyaan dalam dirinya bagaimana cara membesarkan anaknya, apa yang dapat diajarkan kepada anaknya tersebut, dan bagaimana menggali kemampuan yang ada serta mengembangkannya secara optimal. Mereka mempertanyakan hal ini karena menyadari bahwa akibat cacat itu, proses belajar pada anaknya akan mengalami gangguan. Ini berarti mereka memerlukan proses belajar mengajar yang khusus.8 Oleh sebab itu keluarga perlu diarahkan dan diberi petunjuk dalam memperlakukan penyandang cacat, salah satunya penyandang tunadaksa. Penyandang tunadaksa
adalah
seseorang
yang
mempunyai
kecacatan fisik sehingga mengalami gangguan pada koordinasi gerak, persepsi, dan kognisi disamping adanya kerusakan saraf tertentu. 9 Pada
5
Diffabel adalah akronim dari different ability. Diffabel merupakan istilah yang banyak digunakan sebagai kata ganti bagi penyandang cacat. 6 Dati Fatimah, “Bencana dan Kerelawanan Perempuan Diffabel”, Jurnal Galang Vol. 3 No. 1, (Februari: 2008), h. 8. 7 Peter Coleridge, Pembebasan dan Pembangunan: Perjuangan Penyandang Cacat di Negara Negara Berkembang, Penerjemah Omi Intan Naomi, (Edisi Indonesia pada Pustaka Belajar, 1997), h. 40. 8 Phylis B, Doyle dan John F Goodman, Membantu Anak Yang Menderita Cacat Berat, (Edisi Indonesia pada Binacipta, 1986), h. 1. 9 Bandi Delpie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung: Refika Aditama, 2006), h. 123.
4
dasarnya penyandang tunadaksa memiliki keterbatasan yang dianggap sebagai salah satu faktor penghambat secara fisik dan psikologis dalam melaksanakan peran dan fungsi sosialnya di masyarakat. Terutama keterbatasan yang dimiliki penyandang tunadaksa begitu terlihat karena keterbatasannya tersebut terkait dengan kecacatan pada fisiknya yang mudah dilihat orang normal lainnya. Dimana gangguan fisik penyandang tunadaksa dapat mempengaruhi dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Penyandang tunadaksa bukanlah hambatan untuk memperoleh citacita dan masa depan yang lebih baik, karena tidak dapat dipungkiri terkadang ada laporan tentang orang berbakat kreatif yang tinggi sedangkan tingkat kecerdasannya rendah dan telah diketahui bahwa tidak semua orang dengan kecerdasan yang tinggi merupakan pencipta.10 Sebagaimana yang dijelaskan dalam Sûrah An-Nahl/16: 78 berikut :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Dari ayat tersebut jelas bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan fitrah dimana ia mempunyai potensi untuk berkembang dengan potensi yang ada pada dirinya. Dalam mengembangkan potensi dalam dirinya, terlebih dahulu mereka harus mengatasi kesulitan yang
10
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), edisi ke-6, h. 4.
5
dimilikinya, salah satunya dengan memperbaiki dan mengobati kelainan yang terjadi khusunya pada diri penyandang tunadaksa. Pada tahun 2010 Pusdatin Kementeriaan Sosial menyajikan data statistik disabilitas tahun 2010 dengan kategori kecacatan dengan jumlah total adalah 11.580.117 jiwa di Indonesia.
Tabel 1 Jumlah Penyandang Cacat Berdasarkan Jenis Kecacatan Jenis Kecacatan Jumlah (Jiwa) Tunanetra 3.474.035 Tunadaksa 3.010.830 Tunarungu 2.547.626 Cacat mental 1.389.614 Jumlah 11.580.117 Sumber : Pusdatin, Kementerian Sosial RI, 2010.
Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah penyandang cacat dengan jumlah terbanyak adalah penyandang tunadaksa. Maka dari itu, salah satu cara untuk mengatasi kecacatan yang terjadi pada seorang tunadaksa agar organ-organ tubuh penyandang tunadaksa berfungsi secara optimal adalah dengan melakukan berbagai macam terapi. Terapi itu sendiri mempunyai tujuan memperbaiki kecacatan yang sudah ada, mencegah adanya kecacatan baru, dan melatih agar aktivitas dapat berjalan maksimal meski mempunyai kecacatan. Penyandang tunadaksa yang tidak dilatih dan diterapi untuk mandiri, semakin besar akan semakin menjadi beban bagi orangtua dan keluarganya. Salah satu bentuk terapi yang dijalankan bagi penyandang tunadaksa yaitu melalui terapi okupasi. Terapi okupasi bertujuan untuk menimbulkan, meningkatkan, atau memperbaiki tingkat kemandirian
6
seseorang yang mengalami gangguan fisik maupun mental. Terapi okupasi terpusat untuk memperbaiki kemampuan penyandang tunadaksa agar dapat merasakan sentuhan, rasa, bunyi, dan gerakan. Terapi okupasi juga meliputi permainan dan keterampilan sosial, melatih kekuatan tangan, genggaman, kognitif dan mengikuti arah.11 Terapi okupasi dapat mencapai tujuan yang maksimal apabila terapis telah melakukan tahapan dan metode sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan penyandang tunadaksa. Evaluasi program terapi okupasi terhadap penyandang tunadaksa begitu penting diadakan, karena peneliti ingin mengetahui sampai sejauh mana pelaksanaan terapi okupasi bagi penyandang tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta. Sehingga nantinya akan terlihat seberapa jauh terapi okupasi memberikan keberhasilan bagi kliennya. YPAC Jakarta merupakan salah satu dari 16 institusi YPAC yang tersebar di seluruh Indonesia. YPAC Jakarta memberikan pelayanan berbagai macam terapi kepada para penyandang tunadaksa untuk mendorong dan membantu agar mereka mampu mengatasai kesulitannya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari tidak bergantung kepada orang lain. Adapun macam-macam terapi yang yang diberikan oleh YPAC tersebut antara lain, fisioterapi, terapi wicara, terapi musik, dan terapi okupasi. Dari beberapa terapi yang peneliti sebutkan di atas, peneliti hanya mengambil terapi okupasi sebagai bahan dalam penelitian ini. Terapi okupasi sudah ada di YPAC Jakarta sejak tahun 1953. Adapaun alasan 11
Geraldine Garner, Social and Rehabilitation Service, (United States: McGraw-Hill, 2008), h. 111.
7
peneliti mengambil pembahasan mengenai terapi okupasi karena menurut peneliti, terapi okupasi merupakan salah satu terapi yang memberikan pertolongan terhadap klien agar klien dapat menolong dirinya sendiri ketika hidup di tengah masyarakat. Peneliti ingin mengetahui lebih jauh tentang terapi okupasi ini secara teknis pelaksanaan. Sedangkan alasan peneliti memilih lokasi penelitian di YPAC Jakarta karena YPAC Jakarta merupakan lembaga pembinaan tunadaksa tertua di Indonesia yang melakukan perbaikan dan pemulihan untuk tunadaksa agar dapat memaksimalkan keberfungsian organ tubuhnya. Sebagai sebuah lembaga pelayanan sosial bagi penyandang tunadaksa, tentu mempunyai tujuan, yakni perubahan dalam diri klien, baik dalam kemandirian, peningkatan kemampuan sosialnya maupun peningkatan kemampuan pribadi sesuai kapasitas yang dimilikinya. Dimana tujuan akhir dari serangkaian upaya yang dilaksanakannya adalah terciptanya kesejahteraan pada klien tersebut. Atas dasar pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Evaluasi Program Terapi Okupasi (Occupational Therapy) Bagi Penyandang Tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta”.
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.
Pembatasan Masalah Dengan melihat latar belakang masalah di atas, agar tidak terjadi
pelebaran
pembahasan
permasalahan
maka
peneliti
8
melakukan penelitian pada evaluasi program menurut Pietrzak, Ramler, Renner, Ford, dan Gilbert yang terdiri dari evaluasi input, evaluasi proses, dan evaluasi hasil. Tetapi peneliti hanya membatasi pada evaluasi proses. 2.
Perumusan Masalah Berdasarkan
pembatasan
masalah
tersebut,
maka
perumusan masalahnya adalah sebagai berikut : a)
Bagaimana evaluasi proses dalam pelaksanaan terapi okupasi bagi penyandang tunadaksa di YPAC Jakarta ?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a)
Untuk mengetahui evaluasi proses dalam pelaksanaan terapi okupasi bagi penyandang tunadaksa di YPAC Jakarta.
2.
Manfaat Penelitian a)
Manfaat Akademis 1)
Diajukan sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar S1 (strata satu) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2)
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi yang signifikan bagi pengembangan ilmu kesejahteraan sosial khususnya yang berkaitan dengan pelayanan bagi penyandang tunadaksa
9
b)
Manfaat Praktis 1)
Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi YPAC Jakarta yang bergerak dalam pelayanan terapi okupasi bagi penyandang tunadaksa.
D.
Metodologi Penelitian 1.
Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy Moleong menjelaskan bahwa pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang lain dan perilaku yang diamati.12 Data yang dikumpulkan sesuai dengan tujuan penelitian yang dideskripsikan
yaitu
berbentuk
uraian-uraian
atau
kalimat,
merupakan informasi dari sumber data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif peneliti menggambarkan secara komprehensif melalui pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam dan pengamatan mengenai pelaksanaan pelayanan yang diselenggarakan oleh YPAC Jakarta melalui terapi okupasi bagi penyandang tunadaksa. Menurut peneliti, dalam penelitian kualitatif ini terdiri dari deskripsi rinci mengenai keadaan, kutipan-kutipan langsung, situasi yang terjadi dalam 12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), Cet. Ke-15, h.3.
10
penelitian, rekaman-rekaman. Sehingga diharapkan data yang peneliti hasilkan dapat lebih bervariasi isinya dan lebih terperinci. 2.
Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian evaluasi, yaitu menjelaskan dan menerangkan tentang evaluasi program terapi okupasi bagi penyandang tunadaksa yang bertujuan untuk mengetahui proses berlangsungnya kegiatan terapi okupasi tersebut. Evaluasi yang peneliti gunakan adalah evaluasi menurut Pietrzak, Ramler, Renner, Ford, dan Gilbert yang terdiri dari evaluasi input, evaluasi proses, dan evaluasi hasil. Namun peneliti mengambil dan membatasi pada evaluasi proses saja.
3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan, dari dokumen atau secara gabungan dari padanya.13 Teknik pengumpulan data diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan untuk mendapatkan penjelasan dan menjawab permasalahan penelitian ini. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan : a)
Observasi Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak terhadap gejala yang diamati.14 Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan langsung, dengan mendampingi ketika klien
13
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), Edisi Revisi, h. 234. 14 Maman Rahman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 77.
11
sedang mengikuti terapi okupasi yang dilakukan oleh terapis di YPAC Jakarta. Hal-hal yang peneliti amati, antara lain mengikuti proses terapi okupasi seperti latihan dengan menggunakan metode-metode terapi okupasi, sehingga diharapkan dengan latihan tersebut dapat mencapai tujuan program terapi yang pada akhirnya akan membangun kemandirian. Observasi ini peneliti lakukan agar peneliti dapat memperoleh data yang akurat dan konkrit tentang masalah yang diteliti. b)
Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu
dilakukan
oleh
dua
pihak,
yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.15 Peneliti mendapatkan data dengan cara bertanya jawab dan tatap muka antara peneliti dengan manager pelaksana, penanggung jawab, terapis, klien, dan keluarga atau pengasuh (care giver) klien mengenai proses terapi okupasi di YPAC Jakarta . c)
Dokumentasi Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui pembacaan dokumen-dokumen baik sumber primer ataupun yang sekunder. Peneliti berusaha mendapatkan
15
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007). Edisi Revisi. h. 186.
12
data-data dokumentasi yang ada di YPAC Jakarta, seperti berupa foto ketika program terapi okupasi sedang berlangsung, leaflet, buku panduan YPAC Jakarta, berkasberkas mengenai data klien yang mengikuti terapi okupasi di YPAC Jakarta. 4.
Teknik Pemilihan Informan Penelitian Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, dalam pemilihan informan penelitian ini dipilih dengan sengaja atau non random (purposive sampling), yaitu sample yang ditarik dengan sengaja. Purposive sampling (pengambilan sample berdasarkan tujuan) juga mempunyai arti bahwa siapa yang akan diambil data yang menurut dia atau penulis sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.16 Dengan demikian, pengambilan data dilakukan kepada orang yang terlibat langsung dalam penelitian ini. Peneliti melakukan penelitian ini dengan mengambil subjek penelitian dari 1 orang manager pelaksana. Peneliti mengambil subjek penelitian dari seorang manager pelaksana karena manager pelaksana di YPAC Jakarta sudah mendapat mandat dari ketua yayasan untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan kegiatan YPAC Jakarta. Sehingga manager pelaksana YPAC mengerti seputar gambaran umum yayasan.
16
Irawan Soeharto, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Dibidang Kesejahteraan Sosial, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 63.
13
Kemudian peneliti juga mengambil subjek penelitian 1 orang penanggung jawab terapi okupasi. Peneliti mengambil subjek penanggung jawab karena penanggung jawab mengetahui langsung mengenai proses terapi okupasi terkait dengan masalah yang peneliti bahas dalam penelitian ini. Lalu peneliti juga mengambil subjek 1 orang terapis dari 3 orang terapis. Peneliti hanya mengambil 1 orang saja dikarenakan, sedangkan yang 2 orang belum memenuhi standar pendidikan sebagai terapis. Sehingga diharapkan 1 orang tersebut mengerti proses terapi menggunakan metode terapi okupasi yang tepat. Subjek penelitian selanjutnya yang peneliti ambil adalah klien itu sendiri yaitu para penyandang tunadaksa. Jumlah yang peneliti ambil adalah 3 orang dari 44 klien yang mengikuti terapi okupasi. Peneliti hanya mengambil 3 orang saja, namun 3 orang tersebut sudah mewakili data yang akan peneliti ambil, yaitu ketiga klien tersebut seorang penyandang tunadaksa dengan memiliki kelainan yang berbeda-beda. Dan yang terakhir adalah data dari keluarga atau pengasuh (care giver) klien yang berjumlah 3 orang, yaitu keluarga atau pengasuh (care giver) yang mewakili dari para klien tersebut. Keluarga atau pengasuh klien tersebut yang mengetahui kondisi klien baik sebelum maupun sesudah mengikuti terapi okupasi.
14
Untuk lebih jelasnya peneliti menggambarkan tabel 2 yang menyajikan informasi dan informan yang dibutuhkan dalam penelitian ini dengan tabel sebagai berikut :
Tabel 2 Rancangan Informan
Informan
Jumlah
Manager pelaksana
1 orang
Penanggung jawab terapi okupasi
1 orang
Terapis
1 orang
Klien
3 orang
Keluarga atau pengasuh (care giver)
3 orang
Informasi Yang Dicari Gambaran umum yayasan Evaluasi proses terapi okupasi Evaluasi proses terapi okupasi Pelaksanaan terapi okupasi Proses dan manfaat terapi okupasi
Sumber : Data Primer
5.
Sumber Data Bila dilihat dari sumbernya, teknik pengumpulan data terbagi menjadi dua bagian, antara lain : a)
Data Primer adalah data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak perantara) yang secara khusus
dikumpulkan oleh
permasalahan
dalam
peneliti
penelitian.17
untuk Jadi
menjawab
data
primer
merupakan data yang diperoleh langsung dari narasumber, sehingga peneliti terlibat langsung. Dalam data primer ini, data diperoleh langsung dari sasaran penelitian, yaitu 17
Rosadi Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), h. 254.
15
manager pelaksana, penanggung jawab, terapis, klien serta keluarga atau pengasuh (care giver). b)
Data Sekunder adalah sumber yang diperoleh dari bahan bacaan.18 Data sekunder diperoleh dengan cara membaca, mempelajari, dan memahami yang diperoleh dari catatancatatan maupun dokumen tertulis yang berhubungan dengan penelitian ini seperti buku profil YPAC Jakarta.
6.
Teknik Analisis Data Analisis mempunyai kedudukan yang sangat penting jika dilihat dari tujuan penelitian. Analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan
dengan
jalan
bekerja
dengan
data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.19 Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan penelitian yaitu mengenai terapi okupasi. Data seputar terapi okupasi peneliti dapatkan ketika mengikuti proses terapi mengumpulkan,
lalu
menyusun,
okupasi. Setelah
menyajikan,
kemudian
menganalisis dan menyimpulkannya.
18
Nasution, Metode Research: Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), Cet. 12,
h. 143. 19
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007). Edisi Revisi, h. 248.
16
7.
Keabsahan Data Dalam menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).20 Kriteria tersebut akan digambarkan pada tabel berikut :
Tabel 4 Teknik Pemeriksaan Data Kualitatif Moleong Kriteria Kredibilitas (derajat kepercayaan)
Teknik Pemeriksaan 1. Perpanjangan keikutsertaan 2. Ketekunan pengamatan 3. Triangulasi 4. Pengecekan sejawat 5. Kecukupan referensial 6. Kajian kasus negatif 7. Pengecekan anggota Kepastian 8. Uraian rinci Kebergantungan 9. Audit kebergantungan Kepastian 10. Audit kepastian Sumber : Lexy. J. Moleong, 2007, h. 327.
Namun dalam penelitian ini, kriteria untuk pelaksanaan teknik pemeriksaan keabsahan data peneliti menggunakan derajat kepercayaan
(credibility).
Kemudian
derajat
kepercayaan
(credibility) dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulasi.
Adapun
pengertian
triangulasi
adalah
teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang
20
Ibid, h. 324.
17
lain.21 Maka dari itu, peneliti memfokuskan penelitian pada triangulasi sumber. Dalam hal ini peneliti menggunakan triangulasi sumber dengan cara mengecek data hasil pengamatan terhadap terapi okupasi yang diperoleh melalui beberapa sumber, yaitu manager pelaksana, penanggung jawab, terapis, klien, dan keluarga atau pengasuh (care giver) klien. 8.
Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian ini dilakukan pada YPAC Jakarta yang beralamat di Jalan Hang Lekiu III Blok F IV, N0. 19, Kelurahan Gunung, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120.
9.
Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, yakni sejak bulan April 2014 sampai dengan bulan Juni 2014. Berikut penjabaran waktu penelitian dalam tabel 4.
Tabel 4 Jadwal Kegiatan Penelitian No
Kegiatan
1.
Tahap Pra Lapangan Perumusan Masalah Obsaervasi Awal Studi Awal Penulisan Proposal Seminar 21
Ibid, h. 330.
Jan
Feb
Mar
Alokasi Waktu Apr Mei Jun
Jul
Ags
Sep
18
2.
3.
E.
Proposal Revisi Proposal Tahap Lapangan Perizinan Pengumpulan Data Pengolahan Data Tahap Pasca Lapangan Penyusunan dan Revisi Sidang Skripsi Revisi Skripsi
Tinjauan Pustaka Sebelum mengadakan penelitian lebih lanjut, peneliti kemukakan suatu tinjauan pustaka sebagai langkah awal dari penyusunan skripsi. Tinjauan pustaka digunakan sebagai acuan yang berkaitan dengan topik pembahasan atau bahkan yang memberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya penelitian. Dalam tinjauan pustaka ini juga dikemukakan hubungan antara penelitian-penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan.22 Adapun beberapa tinjauan pustaka dalam penulisan skripsi ini, antara lain laporan akhir Valentine.23 Dalam laporan tersebut Valentine menjelaskan mengenai terapi okupasi yang difokuskan pada aktivitas 22
Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), (Jakarta: Center For Quality Development and Assurance) (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 20. 23 Valentine, “Penatalaksanaan Okupasi Terapi Dalam Aktivitas Makan Dan Memegang Pensil Pada An.B Usia 11 Tahun Dengan Diagnosa Cerebral Palsy Spastik Diplegia Di Ruang OT YPAC,” (Laporan Akhir D3 Program Studi Okupasi Terapi, Program Vokasi, Universitas Indonesia, 2013).
19
makan dan memegang pensil pada salah satu penderita cerebral palsy, dimana cerebral palsy merupakan salah satu kelainan yang diderita oleh penyandang tunadaksa. Sedangkan skripsi yang peneliti buat mengevaluasi proses kegiatan terapi okupasi secara keseluruhan dengan berbagai macam kelainan yang diderita klien pada penyandang tunadaksa. Selain itu peneliti ingin mengeveluasi mengenai terapi okupasi untuk mengetahui sampai sejauh mana terapi tersebut berjalan, sehingga tidak sebatas pada aktivitas makan dan memegang pensil saja. Selanjutnya tinjauan pustaka lain yang peneliti gunakan adalah skripsi Eka Wati.24 Dalam skripsi tersebut Eka membahas mengenai evaluasi program bina diri. Keterkaitan skripsi tersebut dengan skripsi yang peneliti buat adalah sama-sama program untuk pembentukan dan pengembangan menuju kemandirian. Namun program bina diri adalah program yang dianjurkan kurikulum yang diberikan oleh Kemendiknas dalam sebuah sekolah anak penyandang cacat. Sedangkan peneliti membahas mengenai terapi okupasi, dimana terapi okupasi disediakan di luar jam sekolah. Tinjauan pustaka terakhir yang peneliti gunakan adalah skripsi Sri Rahayu.25 Dalam skripsi tersebut Sri Rahayu membahas evaluasi pelaksanaan terapi wicara dalam meningkatkan perkembangan anak terlantar. Keterkaitan antara skripsi tersebut dengan skripsi Sri Rahayu 24
Eka Wati, “Evaluasi Program Bina Diri Untuk Pengembangan Kemandirian Anak Tunagrahita Di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 01 Jakarta”, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012). 25 Sri Rahayu, “Evaluasi Pelaksanaan Program Terapi Wicara Dalam Meningkatkan Perkembangan Anak Terlantar Di Yayasan Sayap Ibu Kebayoran Baru, Jakarta Selatan”, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).
20
sama-sama membahas mengenai evaluasi program dan difokuskan kepada evaluasi proses saja. Namun peneliti mengambil model evaluasi menurut Pietrzak, Ramler, Renner, Ford, dan Gilbert dan membahas evaluasi proses tersebut secara terperinci dengan menjelaskan kriteria yang terdapat dalam evaluasi proses. Kemudian skripsi yang akan peneliti tulis lebih kepada terapi okupasi yang diikuti oleh penyandang tunadaksa.
F.
Sistematika Penulisan Dalam penelitian ini, skripsi peneliti terdiri dari sub-sub BAB dengan penyusunan sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN Dalam bab ini dikemukakan gambaran mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II :
LANDASAN TEORI Pada bab ini akan diuraikan tentang teori evaluasi yang terdiri dari pengertian, tujuan dan manfaat, model evaluasi, dan pengertian evaluasi program. Selanjutnya tentang terapi yang terdiri dari pengertian, macam-macam terapi, dan pengertian terapi okupasi. Kemudian terakhir mengenai pengertian, tunadaksa.
klasifikasi,
penyebab,
dan
karakteristik
21
BAB III :
GAMBARAN UMUM YAYASAN Dalam bab ini dikemukakan gambaran umum dari YPAC Jakarta yang merupakan objek penelitian yang meliputi sejarah berdirinya, visi dan misi, maksud dan tujuan, prosedur penerimaan klien, tahapan dalam terapi okupasi, struktur organisasi, unit-unit pelayanan, sumber keuangan, dan kerjasama yayasan.
BAB IV :
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini menguraikan analisis dan pembahasan masalah yang telah dikemukakan pada bab 1.
BAB V :
PENUTUP Dalam bab ini dikemukakan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya serta dikemukakan saran-saran yang mungkin dapat menjadikan masukan yang bermanfaat, baik bagi yayasan maupun bagi peneliti.
BAB II TINJAUAN TEORI
A.
Evaluasi 1.
Pengertian Evaluasi Menurut bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu evaluation.1 Menurut Ralph Tyler evaluasi adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan program dapat dicapai.2 Sehingga kesimpulannya bahwa mengevaluasi artinya memberikan suatu penilaian, kemudian dari penilaian tersebut akan diketahui apakah sudah mencapai hasil yang direncanakan atau belum. Selain itu dapat dikatakan bahwa evaluasi merupakan proses penting yang harus dilakukan secara seksama agar tujuan yang hendak dicapai dapat terlaksana dengan baik.3 Sesuai dengan beberapa pengertian evaluasi yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan yang menilai suatu program yang sedang berjalan untuk mengetahui apakah hasilnya sudah tercapai atau belum. Serta dipergunakan untuk mengambil keputusan selanjutnya setelah program tersebut dievaluasi.
2.
1
Tujuan dan Manfaat Evaluasi
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996),
h. 1. 2
Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 3. Nurul Hidayati, Evaluasi Program, (Jakarta: Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, 2008), h. 4. 3
22
23
Suatu program yang diselenggarakan perlu di evaluasi, karena biasanya evaluasi lebih difokuskan pada pengidentifikasian kualitas program. Dalam evaluasi akan berusaha mengidentifikasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada pelaksanaan atau penerapan program. Maka dari itu tujuan dari evaluasi antara lain : a)
Mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan.
b)
Mengukur dampak langsung yang terjadi pada kelompok sasaran.
c)
Mengetahui dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain yang mungkin terjadi diluar rencana (externalities).4 Sedangkan manfaat evaluasi menurut pendapat Isbandi
Rukminto dengan mengutip pendapat Feurstein menyatakan ada 10 alasan mengapa suatu evaluasi perlu dilakukan, antara lain : a)
Melihat apa yang sudah dicapai
b)
Mengukur kemajuan, yang dikaitkan dengan objektif (tujuan) program.
c)
Meningkatkan pemantauan, agar tercapai manajemen yang lebih baik.
d)
Mengidentifikasi
kekurangan
dan
kelebihan
untuk
memperkuat program itu sendiri.
4
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Jakarta: Refika Aditama, 2005), h. 119.
24
e)
Melihat apakah usaha sudah dilakukan secara efektif, guna melihat perbedaan apa yang telah terjadi setelah diterapkan suatu program.
f)
Melakukan analisa biaya dan manfaat (cost benefit), apakah biaya yang dikeluarkan cukup masuk akal (reasonable).
g)
Mengumpulkan berbagai informasi yang bisa dimanfaatkan dalam merencanakan dan mengelola kegiatan program secara lebih baik.
h)
Berbagi pengalaman, sehingga pihak lain tidak terjebak dalam kesalahan yang sama, atau mengajak pihak lain untuk ikut melaksanakan metode yang serupa bila metode yang dijalankan telah berhasil dengan baik.
i)
Meningkatkan
keefektifan,
agar
program
tersebut
memberikan dampak yang lebih luas. j)
Memungkinkan terciptanya perencanaan yang lebih baik, memberikan kesempatan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, komunitas fungsional dan komunitas lokal.5
3.
Model-Model Evaluasi Dalam melakukan evaluasi, tentunya ada beberapa model evaluasi yang digunakan. Adapun pada kegiatan evaluasi, Pietrzak,
5
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas: Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2001), h. 127.
25
Ramler, Renner, Ford, dan Gilbert mengemukakan tipe evaluasi guna mengawasi suatu program secara lebih seksama, yaitu6 : a)
Evaluasi input Memfokuskan pada berbagai unsur yang masuk dalam suatu pelaksanaan suatu program. Tiga unsur (variabel) utama yang terkait dengan evaluasi input adalah klien, staf, dan program. Pada evaluasi input dijelaskan bahwa variabel klien meliputi karakteristik demografi klien. Sedangkan variabel staf meliputi aspek demografi dari staf, seperti latar belakang pendidikan staf dan pengalaman staf. Dan yang terakhir adalah variabel program meliputi aspek tertentu, seperti lama waktu layanan yang diberikan dan sumbersumber rujukan yang tersedia.
b)
Evaluasi proses Evaluasi proses adalah evaluasi yang memfokuskan diri pada aktivitas program yang melibatkan interaksi langsung antara klien dengan staf terdepan (line staff) yang merupakan pusat dari pencapaian tujuan (objektif) program. Dalam upaya mengkaji nilai komponen pemberian layanan hasil analisa dikaji berdasarkan kriteria-kriteria seperti standar praktek terbaik (best practice standards), kebijakan lembaga, tujuan proses (process goals), dan kepuasan klien.
6
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas: Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2001), h. 129.
26
Pada intinya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan hambatan apa yang dialami selama proses berlangsung, serta komponen apa yang perlu diperbaiki. c)
Evaluasi hasil Diarahkan pada evaluasi keseluruhan dampak dari suatu program terhadap penerima layanan (recipients). Selain itu ada model evaluasi yang dikemukakan oleh
Daniel Stufflebeam pada tahun 1966, yaitu model CIPP. Model CIPP yang merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu Context, Input, Process, dan Product. Berikut akan dijabarkan empat jenis evaluasi model CIPP yang terdiri dari7 : a)
Evaluasi Konteks (Context Evaluation) Evaluasi konteks ini membantu merencanakan keputusan, menentukan, kebutuhan yang akan dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan program.
b)
Evaluasi Masukan (Input Evaluation) Evaluasi ini menolong mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan. Bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
c)
7
Evaluasi Proses (Process Evaluation)
Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 14.
27
Dalam evaluasi proses ini digunakan untuk membantu mengimplementasikan keputusan. Kemudian pada evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan didalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. d)
Evaluasi Produk (Product Evaluation) Evaluasi produk untuk merumuskan keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan. Pada tahap evaluasi ini seorang evaluator dapat menentukan atau memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan, dikembangkan atau bahkan dihentikan. Berdasarkan beberapa model evaluasi di atas, dalam
penelitian ini, peneliti akan menggunakan model evaluasi yang dikemukakan oleh Pietrzak, Ramler, Renner, Ford, dan Gilbert yang terdiri dari evaluasi input, evaluasi proses, dan evaluasi hasil. Tetapi peneliti hanya memfokuskan kepada evaluasi proses. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pelebaran pembahasan sehingga tetap fokus dengan batasan masalah yang diteliti. Evaluasi proses dilakukan ketika program sedang berjalan untuk menilai sejauh mana program dapat terlaksana. Seperti yang telah disebutkan di atas, dalam evaluasi proses menurut Pietrzak, Ramler, Renner, Ford, dan Gilbert, terdapat kriteria dalam evaluasi proses. Kriteria tersebut antara lain :
28
a)
Standar praktek terbaik (best practice standards) Standard Operating Procedures (SOP) merupakan pedoman yang berisi prosedur operasional standar yang ada didalam suatu organisasi yang digunakan untuk memastikan bahwa semua keputusan dan tindakan, serta penggunaan fasilitas-fasilitas proses yang dilakukan oleh orang-orang didalam organisasi yang adalah anggota-anggota organisasi berjalan secara efektif, efisien, konsisten, dan sistematis.8 Hal yang sama juga menyeburkan bahwa standar praktek merupakan norma atau penegasan tentang mutu pekerjaan yang dianggap baik, tepat, dan benar yang dirumuskan dan digunakan sebagai pedoman dalam pemberian pelayanan.9 Sehingga dapat disimpulkan bahwa standar praktek merupakan suatu model yang disusun berdasarkan wewenang, kebiasaan atau kesepakatan. Jadi pada intinya, standar praktek merupakan pengendali mutu dari kualitas sebuah pelayanan dimana pelayanan tersebut berjalan sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan dalam sebuah organisasi atau lembaga. Selain itu juga terdapat jenis standar praktek berdasarkan jenisnya, antara lain :
8
Rudi M. Tambunan, Standard Operating Procedurs, (Jakarta: Maiestas Publishing, 2008), h. 79. 9 Standar Praktek Keperawatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1988, h. 3.
29
1)
Standar struktur adalah standar tentang fasilitas fisik, peralatan, dan kondisi dimana pelayanan diberikan serta penunjang pelaksanaan pelayanan tersebut. Standar
struktur
perbekalan
dan
mencakup alat,
sarana
sistem
prasarana,
pencatatan,
dan
pelaporan pelayanan. 2)
Standar proses adalah standar yang menitik beratkan pada perilaku dan kegiatan dalam pemberian pelayanan. Standar proses mencakup pemberian pelayanan yang mencakup urutan kegiatan dan metode dalam pemberian pelayanan.10
b)
Kebijakan Kebijakan (policy) merupakan sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti goverment yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang
menyentuh
pengelolaan
sumber
daya
publik.
Kebijakan pada intinya keputusan atau pilihan tindakan yang
secara
langsung
mengatur
pengelolaan
dan
pendistribusian sumberdaya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan publik. Kebijakan merupakan ketetapan Pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat politik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
10
Standar Praktek Keperawatan, Departemen Kesehatan, 1988, h. 6.
Umumnya
30
kebijakan sumberdaya
berhubungan lembaga
dengan dan
cakupan
mempengaruhi
penggunaan kelompok-
kelompok klien.11 Selain itu dapat diartikan bahwa kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan.12 Kebijakan merupakan sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya. Dari beberapa pengertian kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu langkah yang diambil secara terencana untuk mengikat dan mengatur perilaku agar tercapai tujuan tertentu yang diinginkan dari sebuah organisasi ataupun lembaga pemerintahan. c)
Tujuan proses (process goals) Tujuan (goal) adalah suatu penyataan mengenai keadaan atau hasil yang ingin dicapai dimasa akan datang.13 Tujuan yang jelas dan spesifik akan memberikan dasar untuk mengelola kinerja dalam suatu organisasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan merupakan pencapaian keberhasilan untuk menetapkan tolak ukur yang harus dipenuhi sesuai dengan misi lembaga, agar benar-benar dapat dicapai oleh lembaga tersebut.
11
Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2011),
h. 3. 12
Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2010), h.7. Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen Strategik : Pengantar Proses Berpikir Strategik, (Medio : Binarupa Aksara, 1996), h. 73. 13
31
d)
Kepuasan klien Kepuasan
konsumen
(consumer
satisfaction)
didefinisikan sebagai keseluruhan sikap yang ditunjukkan konsumen atas barang atau jasa setelah mereka memperoleh dan menggunakannya.14 Kepuasan adalah suatu kondisi yang menggambarkan terpenuhinya, bahkan terlampauinya harapan atas suatu produk atau layanan yang dilakukan oleh pihak produsen atau pemberi layanan.15 Dari kedua pengertian diatas maka disimpulkan bahwa kepuasan adalah terpenuhinya kebutuhan, keinginan, dan harapan orang yang dilayani atas penyajian mutu pelayanan dari pemberi layanan. Adapun Kriteria penentu kualitas jasa, antara lain : 1)
Keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
2)
Ketanggapan (responsiveness), yaitu kemampuan untuk menolong dan ketersediaan untuk melayani dengan baik.
3)
Keyakinan
(assurance),
yaitu
pengetahuan,
kesopanan, serta sifatnya yang dapat dipercaya.
14
John C. Mowen dan Michael Minor, Perilaku Konsumen, Penerjemah Dwi Kartini Yahya (Edisi Indonesia Pada Penerbit Erlangga, 2002), h. 89. 15 Suharto Abdul Majid, Customer Service Dalam Bisnis dan Jasa Transportasi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), h. 54.
32
4)
Kepedulian (emphaty), yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual.
5)
Penampilan atau bukti fisik (tangible), meliputi fasilitas
fisik,
peralatan,
dan
penampilan
perorangan.16 4.
Pengertian Evaluasi Program Evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai hasil keberhasilan dari suatu program atau kegiatan.17 Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi program merupakan suatu kegiatan yang sangat signifikan, karena dengan evaluasi program kita dapat mengukur dan menilai sesuatu program, sehingga kita mengetahui nilai dari program tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori evaluasi program dengan model Pitrzak, Ramler, Renner, Ford, dan Gilbert. Tetapi peneliti hanya membatasi pada evaluasi input. Evaluasi input yang peneliti jadikan acuan dalam penelitian ini adalah evaluasi input dengan mengkaji berdasarkan unsur (variabel) utama yang terkait dengan evaluasi input, yaitu terdiri dari klien, staf, dan program.
B.
Terapi 1.
16 17
Pengertian Terapi
Ibid, h. 91. Wayan Nurkacana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1976), h. 85.
33
Terapi berasal dari bahasa Yunani yaitu therapia yang berarti penyembuhan.18 Terapi adalah upaya pelengkap dalam memperbaiki disfungsi pada tubuh.19 Selain itu terapi dapat juga diartikan sebagai usaha memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit. Apa pun yang dapat memberi kesenangan, baik fisik maupun mental, pada seseorang yang sedang sakit dapat dianggap terapi.20 Sehingga dapat disimpulkan pada intinya, terapi merupakan proses pengobatan atau penyembuhan yang terdiri dari seorang terapis (yang memberi pertolongan) dan klien (yang diberi pertolongan) dengan tujuan untuk memulihkan keadaan seseorang agar dapat kembali normal. 2.
Macam-Macam Terapi a)
Fisioterapi Fisioterapi atau yang biasa disebut terapi fisik. Fisioterapi menangani aspek perbaikan pada penyandang cacat.21 Fisioterapi atau terapi fisik ini biasanya dimulai pada usia satu tahun, dan dengan tujuan utama mencegah kelemahan
dan
gangguan
pada
otot
yang
dapat
menyebabkan pengecilan otot akibat tidak dilakukan aktivitas dan memperbaiki atau menghilangkan kontraktur 18
Richard Nelson Jones, Teori dan Praktik Konseling dan Terapi, (Jakarta: Pustaka Belajar, 2011), h.2. 19 Susandijani, Terapi Alternatif, (Yogyakarta: Yayasan Spiritia, 2004), h. 27. 20 Chris W. Green, Terapi Informasi Bagi HIV/AIDS, Aritikel diakses pada 20 September 2014 dari : http://www.google.com/url?sa=t&source=web&cd=9&ved=0CCsQFjAl&url=http%3A%2F%2Fs piritia.or.id%2FDok%2FTerapi.pdf%rct=j&q=arti%20terapi&ei=HJ0dVKDdBIuRuATIsoDICg& usg=AFQjCNGGAiUEhmjCsO-cLOqCuNNDL_RZbw&bvm=bv.75775273,d.c2E. 21 Jennifer M. Lee, Segi Praktis Fisioterapi, Penerjemah Hartono Satmoko, (Jakarta: Binarupa Aksara, h. 34.
34
yang akan menyebabkan otot menjadi kaku dan dalam posisi abnormal. b)
Terapi Wicara Terapi wicara adalah layanan terapi yang membantu bekerja pada prinsip-prinsip dimana timbul kesulitasn berkomunikasi atau gangguan pada berbahasa dan berbicara bagi orang dewasa maupun anak. Terapi wicara bertujuan untuk membantu seseorang yang mengalami gangguan komunikasi. Terapi wicara membantu anak mempelajari komunikasi secara bervariasi tergantung tingkat gangguan bicara dan bahasanya.
c)
Terapi musik Terapi musik adalah salah satu bentuk terapi yang bertujuan meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk, dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental.
3.
Terapi okupasi a)
Pengertian Terapi Okupasi Terapi okupasi berasal dari kata occupation yang artinya pekerjaan. Yang dimaksud pekerjaan disini bukan pekerjaan profesi, tetapi pekerjaan untuk melakukan aktivitas sehari-hari atau pun melakukan hobi dan merawat
35
diri. Terapi okupasi umumnya menekan pada kemampuan motorik halus, selain itu terapi okupasi juga bertujuan untuk membantu seseorang agar dapat melakukan kegiatan keseharian, aktifitas produktifitas dan pemanfaatan waktu luang. Terapi okupasi adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan bagian dari rehabilitasi medis. Pada terapi okupasi penyandang cacat akan dilatih untuk melakukan kegiatan aktivitas sehari-hari sehingga nantinya dapat mengurangi ketergantungan terhadap orang lain. Prinsip-prinsip terapi okupasi antara lain untuk menimbulkan gerakan dan melakukan aktivitas seharihari.22 Tujuan terapi okupasi adalah untuk membantu individu mencapai kemandirian dalam semua aspek kehidupan mereka.23 Pada dasarnya terapi okupasi terpusat pada pendekatan sensori atau motorik atau kombinasinya untuk
memperbaiki
kemampuan
dengan
merasakan
sentuhan, rasa, bunyi, dan gerakan. Selain itu, terapi okupasi juga meliputi permainan dan keterampilan sosial, melatih kekuatan tangan,
genggaman, kognitif, dan
mengikuti arah. Dalam terapi okupasi, biasanya terapis berkonsultasi dengan dokter, perawat, guru, terapis wicara atau fisioterapi, dan pekerja sosial atau conselors. 22
Andri Hartono, Buku Pegangan Terapi Okupasi, (Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica, 1990), h. 11. 23 Geraldine Garner, Social and Rehabilitation Service, (United States: McGraw-Hill, 2008), h. 109.
36
b)
Tujuan Terapi Okupasi Adapun tujuan dari terapi okupasi antara lain24 : 2)
Mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kegiatan otot, dan koordinasi gerakan.
3)
Mengajarkan aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti makan, berpakaian, belajar menggunakan fasilitas umum (telepon, televisi, dan lain-lain, baik dengan maupun tanpa alat bantu, mandi yang bersih, dan sebagainya.
4)
Membantu
untuk
menyesuaikan
diri
dengan
pekerjaan rutin di rumahnya, dan memberi saran penyederhanaan ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.
C.
Tunadaksa 1.
Pengertian Tunadaksa Dalam Undang-Undang pengertian penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya.25 Penyandang cacat fisik atau yang biasa disebut tunadaksa termasuk dalam kategori penyandang cacat. Tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang dan “daksa” berarti tubuh.
24
Charles H. Christiansen dan Carolyn M. Baum, Occupational Therapy: Enabling Function and Weell Being, (United States of America: Slack Incorporated, 1997), h. 5. 25 Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.
37
Secara definitif pengertian tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang kurang sempurna, sehingga untuk kepentingan pembelajaran diperlukan pelayanan secara khusus.26 Dari pengertian tersebut jelas bahwa seseorang yang mengalami ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengoptimalkan fungsi anggota tubuh akibat luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk dan akibat melakukan gerakan tubuh tertentu yang mengalami penurunan sehingga mengalami keterbatasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Selain itu ada definisi lain yang mengatakan bahwa tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, atau sendi dalam fungsi normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau pembawaan sejak lahir.27 Dengan kata lain, bahwa tunadaksa dapat diartikan sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.28
26
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 114. 27 Sunarya Kartadinata, Psikologi Anak Luar Biasa, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi), h. 99. 28 Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN, 2009), h. 108.
38
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa umumnya penyandang tunadaksa memiliki kelainan fisik. Dari kelainan fisik tersebut mengakibatkan keterbatasan pada anggota tubuhnya. Selain keterbatasan secara fisik, dapat juga mengalami kemampuan yang terbatas seperti pada kasus cerebral palsy (CP) karena intelegensi mereka dibawah normal. Dimana keterbatasan tersebut ada yang memang pembawaan sejak lahir, namun ada pula yang disebabkan karena penyakit atau kecelakaan. Sehingga kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, seperti makan, memakai pakaian, memakai sepatu, dan sebagainya. Oleh sebab itu biasanya para penyandang tunadaksa ini sangat membutuhkan pertolongan dari orang-orang disekitarnya. Hal ini yang menyebabkan para penyandang tunadaksa memiliki hambatan bagi dirinya untuk dapat melakukan kegiatan secara layak dan tidak dapat hidup mandiri karena begitu tergantung dari pertolongan orang lain. 2.
Klasifikasi Tunadaksa Pada dasarnya kelainan penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian besar, yaitu : a)
Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) Kelainan pada sistem serebral terletak di dalam sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Dimana dalam sistem saraf pusat tersebut terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat
39
sensoris, dan sebagainya. Kelainan pada sistem serebral disebut cerebral palsy (CP) b)
Kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system) Penggolongan penyandang tunadaksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan, yaitu kaki, tangan, sendi, dan tulang belakang.29
3.
Penyebab Tunadaksa Beberapa penyebab seseorang menjadi cacat daksa, antara lain disebabkan oleh30 : a)
b)
Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran 1)
Infeksi atau penyakit
2)
Kelainan kandungan
3)
Bayi dalam kandungan terkena radiasi
4)
Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan
Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran 1)
Proses kelahiran yang terlalu lama
2)
Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran, seperti tang, tabung, vacum, dan lain-lain.
3) c)
Sebab-sebab sesudah kelahiran 1)
29 30
Ibid, h. 112. Ibid, h. 114.
Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan
Kecelakaan atau trauma kepala, amputasi
40
2) 4.
Infeksi penyakit yang menyerang otak
Karakteristik Tunadaksa Derajat
keturunan
akan
mempengaruhi
kemampuan
penyesuaian diri dengan lingkungan, kecenderungan untuk bersifat pasif. Demikianlah pada halnya dengan tingkah laku anak tunadaksa sangat dipengaruhi oleh jenis dan derajat kecacatannya. Jenis kecacatan itu dapat menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai kompensasi akan kekurangan atau kecacatan. Ditinjau dari aspek psikologis, tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri, dan sensitif, memisahkan diri dari lingkungan. Disamping karakteristik tersebut terdapat beberapa masalah terkait anak tunadaksa, yaitu31 :
31
a)
Kelainan perkembangan intelektual
b)
Gangguan pendengaran
c)
Gangguan penglihatan
d)
Gangguan taktik dan kinestik
e)
Gangguan persepsi
f)
Gangguan emosi
Ibid, h. 116.
BAB III GAMBARAN UMUM YPAC JAKARTA
A.
Sejarah Berdirinya Pada awalnya Yayasan ini bernama Rehabilitasi Centrum (RC) yang didirikan oleh Prof. Dr. Soeharso di Solo pada tahun 1952. Dr. Soeharso merupakan seorang ahli bedah tulang yang pertama kali merintis upaya rehabilitasi bagi penyandang cacat di Indonesia. Tujuan Dr. Soeharso mendirikan RC untuk menangani para pasien akibat penyakit poliomyelitis, karena memang pada saat itu penyakit poliomyelitis sedang mewabah dan banyak menyerang anak-anak. Semakin banyak anak yang terlantar akibat penyakit poliomyelitis dan tidak tertangani. Kemudian pada tahun 1952 Prof. Dr. Soeharso menghadiri International Study a Conference of Child Welfare Bombay dan The Sixth International Conference on Social Work di Madras, sehingga Prof. Dr. Soeharso berinisiatif untuk mendirikan Yayasan bagi anak-anak cacat. Sehingga pada tahun 1953 didirikan Yayasan Penderita Anak Tjatjat (YPAT) dengan Akte Notaris No. 18 tanggal 17 Februari 1953. Ikut serta sebagai pendiri adalah Ny. Djohar Soeharso (istri Prof. Dr. Soeharso), Ny. Padmonagoro, dan Ny. Soendaroe. Itulah awal pengabdian YPAT yang diketuai oleh ibu Soeharso. Tahun 1954 YPAT mendapatkan bantuan sebuah gedung dari Yayasan Dana Bantuan Departemen Sosial. Lalu pada tanggal 5 Februari 1954 dilaksanakan peletakan batu pertama. Enam bulan kemudian pada 8
41
42
Agustus 1954 gedung YPAT yang terletak di Jalan Slamet Riyadi 316 secara resmi dibuka. Dalam perkembangannya Prof. Dr. Soeharso juga memotivasi perorangan maupun organisasi wanita untuk mendirikan Yayasan semacam YPAT yang memberikan pelayanan rehabilitasi pada anak cacat fisik (tunadaksa). Dari YPAT berubah nama menjadi Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Cabang Jakarta. Kemudian menyusul berdiri YPAC di beberapa daerah di Indonesia, antara lain1 : 1.
Surakarta sejak tahun 1953
2.
Jakarta sejak tahun 1954
3.
Semarang sejak tahun 1954
4.
Surabaya sejak tahun 1954
5.
Malang sejak tahun 1956
6.
Pangkal Pinang sejak tahun 1956
7.
Ternate sejak tahun 1956
8.
Jember sejak tahun 1958
9.
Bandung sejak tahun 1960
10.
Palembang sejak tahun 1960
11.
Medan sejak tahun 1964
12.
Manado sejka tahun 1970
13.
Makasar sejak tahun 1973
14.
Banda Aceh sejak tahun 1979
15.
Denpasar sejak tahun 1981
1
Sejarah Berdirinya YPAC, Artikel diakses pada Kamis 28 Mei 2014 dari www.ypacjakarta.or.id.
43
16.
Padang sejak tahun 1991 Pada tanggal 5 November 1954 YPAC Cabang Jakarta diresmikan
sebagai cabang resmi YPAC Solo oleh Walikota Jakarta, yaitu Bapak Sudiro. Karena belum memiliki tempat dan dana yang memadai, maka segala kegiatan YPAC Cabang Jakarta dilakukan di tempat darurat, yaitu garasi kediaman milik Ny. Soemarno Sostroatmodjo, yang pada waktu itu merupakan istri dari Gubernur DKI Jakarta sekaligus ketua YPAC Cabang Jakarta, yang beralamat di Jalan Kebon Sirih II/6 Jakarta. YPAC Cabang Jakarta memulai kegiatan dengan melatih dan mendidik anak-anak cacat. Saat itu YPAC Cabang Jakarta dipimpin oleh seorang lulusan sekolah guru Taman Kanak-Kanak (TK) serta dibantu oleh tenaga sukarela yang merupakan siswa pendidikan kemasyarakatan. Beberapa waktu kemudian tanggal 5 November 1957 oleh Presiden Soekarno, diresmikanlah gedung baru YPAC Cabang Jakarta yang terletak di Jalan Hang Lekiu III/19 Blok F IV Gunung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120. Gedung baru ini berdiri diatas lahan yang diberikan oleh Pemerintah DKI Jakarta seluas kurang lebih 7000 m2. YPAC Cabang Jakarta sebagai lembaga sosial yang bergerak dalam pembinaan anak cacat. Pada mulanya pelayanan YPAC Cabang Jakarta diawali dengan mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah-sekolah tersebut dibuka pada tahun 1970. Dimana di sekolah tersebut, para siswasiswi diberikan pendidikan yang bersifat umum. Lalu pada tahun 1976 mulai dibuka sebuah unit karya untuk meningkatkan kreativitas penyandang tunadaksa di YPAC Cabang Jakarta. Dan mulai dibuka
44
kembali pelayanan berupa bengkel orthotic, yaitu layanan pembuatan sepatu orthopedi dan sepatu penyangga untuk memenuhi kebutuhan anak penyandang tunadaksa. Selanjutnya dibuka berbagai macam jenis terapi sebagai upaya rehabilitasi untuk para penyandang tunadaksa. Seiring berjalannya waktu, YPAC Cabang Jakarta yang awalnya hanya memberikan pelayanan hanya kepada penderita poliomyelitis, namun saat ini pelayanan tersebut juga diberikan kepada penyandang tunadaksa yang antara lain cerebral palsy (CP), kelayuan otot, cacat bawaan dan amputee.2 Sesuai dengan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) YPAC di Bali, pada tahun 2003 YPAC Cabang Jakarta telah berdiri sendiri dengan nama Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta sesuai dengan akta pendiriannya Nomor 4 tertanggal 26 Mei 2003.3
B.
Visi dan Misi 1.
Visi a)
Bahwa
setiap
manusia
mempunyai
hak
untuk
mengembangkan pribadinya. b)
Bahwa
setiap
manusia
mempunyai
kesadaran
dan
tanggungjawab sosial terhadap sesama manusia. 2.
Misi Sebagai upaya pencegahan agar kecacatan yang dialami tidak semakin parah dan memahami bahwa anak dengan kecacatan perlu mendapatkan pelayanan rehabilitasi oleh tim rehabilitasi, agar
2 3
Brosur YPAC Jakarta Buku Profil YPAC Jakarta, 2012. h. 1.
45
mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga tumbuh menjadi generasi yang berkualitas, serta mampu mengatasi kesulitan dan menjadi manusia mandiri.
C.
Maksud dan Tujuan 1.
Membina, dalam arti menyiapkan anak-anak yang menderita cacat tubuh atau ganda, agar dikemudian hari dapat hidup sebagai anggota masyarakat yang berguna.
2.
Membantu
pemerintah
dalam
upaya
ke
arah
tercapainya
kesejahteraan anak pada umumnya.
D.
Prosedur Penerimaan Klien Klien baru yang akan mengikuti terapi atau sekolah di YPAC Jakarta harus melewati prosedur penerimaan klien. Prosedur tersebut dijelaskan pada gambar 1 berikut.
Gambar 1 Skema Alur Penerimaan Klien YPAC Jakarta
Loket
Datang
Dokter umum
Psikolog
Penentuan Pendidikan Atau Terapi
Sumber : Buku Profil YPAC Jakarta, h. 17.
46
Dari gambar 1 diatas dapat dijelaskan, pertama kali klien harus datang ke loket untuk melakukan pendaftaran. Apabila klien sudah memenuhi persyaratannya, selanjutnya akan dirujuk ke dokter umum untuk diperiksa masalah kesehatan secara umum. Lalu dibawa ke Spesialis Keterapian Fisik (SKF) atau biasa disebut dokter rehab medik. Di SKF tersebut diperiksa bagian tubuh mana saja yang cacat. Kemudian klien mendatangi dokter syaraf untuk mengetahui syaraf mana saja yang terkena kecacatan. Selanjutnya dibawa ke psikolog untuk mengetahui keadaan psikologis klien. Dan yang terakhir dokter beserta psikolog berdiskusi untuk menentukan pendidikan atau terapi apa saja yang harus diikuti oleh klien. Seperti kutipan hasil wawancara berikut ini : “Klien harus diterapi disini disitu itu yang menentukan sebenernya yang menentukan itu dokter dan psikolog. Pertama klien dirujuk ke dokter dulu terus ke psikolog nanti baru apa namanya anak ini butuh terapi apa kaya gitu”.4 Keseluruhan dari hasil wawancara dan pengamatan bahwa prosedur pelayanan yang diberikan pihak Yayasan tidak berbelit. Setelah melengkapi administrasi maka klien akan mendapatkan pelayanan terapi. Lalu biasanya setiap klien dapat mengikuti lebih dari 1 macam terapi, seperti terapi okupasi, terapi fisik (fisioterapi), terapi wicara, dan terapi musik (hanya untuk siswa-siswi sekolah YPAC Jakarta). Penerimaan di YPAC Jakarta merupakan hasil konsultasi antara tim ahli medis, kepala sekolah, pekerja sosial, dan keluarga. Apabila seorang penyandang 4
Wawancara dengan Ibu Kiki Dian Avrianti (selaku Manager Pelaksana YPAC), Jakarta, 23 Mei 2014, pukul 09.20 WIB.
47
tunadaksa diterima di YPAC Jakarta maka semua pihak akan berupaya untuk menggali potensi yang masih ada pada klien tersebut dan berupaya mencegah kecacatan menjadi lebih parah. Untuk itu diperlukan masa observasi yang menentukan layanan terapi dan pendidikan yang paling tepat bagi klien. Penerimaan di YPAC Jakarta dapat dilaksanakan atas dasar5 :
E.
1.
Rujukan dokter
2.
Permintaan orangtua
3.
Informasi dari keluarga, teman, lembaga atau institusi
Tahapan Terapi Okupasi Menurut Manager Pelaksana YPAC Jakarta, tahapan yang harus diikuti klien ketika melakukan terapi okupasi, antara lain : 1.
Asessment Asessment yaitu pemeriksaan awal terhadap klien. Ketika klien mendaftarkan diri ke bagian administrasi, maka klien akan dirujuk oleh dokter dan psikolog untuk mengikuti terapi okupasi. Dalam assessment ini terdiri dari interview orangtua, observasi keadaan klien, pemeriksaan asset dan melihat limitasi klien.
2.
Rencana program terapi Setelah terapis mengetahui keadaan klien, terapis membuat rencana program terapis yang bersifat jangka pendek dan jangka
5
Buku Profil YPAC Jakarta, h. 17.
48
panjang. Program terapi dibuat berdasarkan hasil asessment dan kesimpulan diagnosis yang terjadi pada klien. 3.
Proses terapi Proses terapi adalah pelaksanaan program terapi dengan menggunakan metode-metode treatment yang sesuai dengan kebutuhan klien berdasarkan hasil assesment. Dalam proses terapi ini, terapis okupasi menggunakan beberapa metode dalam menangani kliennya, metode tersebut terdiri dari : a)
Neuro Development Treatment (NDT) NDT merupakan sebuah metode yang berfungsi untuk memperbaiki dan mencegah postur dan pola gerakan abnormal dan mengajarkan postur dan pola gerak yang normal.
b)
Sensory Integration (SI) SI merupakan sebuah metode yang mengorganisasikan sensori (indera perasa) yang berasal dari tubuh klien dan dari lingkungannya, yang memungkinkan tubuh beradaptasi dengan lingkungannya.
c)
Activity Daily Living (ADL) ADL merupakan sebuah metode yang dilakukan dengan memberikan keterampilan hidup lebih mandiri dan terampil.
d)
Behaviour Treatment (BT) BT merupakan sebuah metode yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan-keterampilan klien dengan
49
perbaikan terhadap perilaku klien, agar klien mempunyai pilihan yang lebih untuk merespon. Dari metode yang disebutkan diatas dapat peneliti simpulkan
bahwa
metode
yang
digunakan
seperti
Neuro
Development Treatment (NDT), Sensory Integration (SI), Activity Daily Living (ADL), dan Behaviour Treatment (BT) diberikan kepada klien sesuai dengan masalah kelainan yang diderita oleh klien. 4.
Evaluasi Terapis melakukan evaluasi kepada klien setiap 3 bulan sekali. Evaluasi tersebut sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan proses terapi yang dilakukan. Evaluasi dilakukan antara terapis dengan pihak keluarga klien. Sehingga keluarga mengetahui mana saja yang sudah dicapai klien dan yang belum tercapai. Apabila belum tercapai akan segera dilakukan perbaikan.
5.
Follow-up Follow-up merupakan tindakan lanjutan dalam tahapan terapi okupasi dari sebuah proses yang telah dilewati. Follow-up merupakan penting dari tahapan terapi. Setelah melakukan evaluasi, maka dilakukan follow-up. Dengan dilakukan follow-up maka akan mengetahui keinginan keluarga dari terapi okupasi.
Dari penjelasan di atas dapat peneliti simpulkan bahwa setiap klien harus mengikuti tahapan terapi mulai dari asessment yang terdiri dari
50
interview, observasi, pemeriksaan asset, dan litimasi, kemudian terapis membuat rencana program terapi, proses terapi, evaluasi, dan yang terkahir adalah follow-up. Dari semua tahapan tersebut harus dilalui oleh klien secara bertahap. Sehingga nantinya proses terapi okupasi yang dilakukan dapat mencapai tujuan kemandirian yang diharapkan terhadap klien.
F.
Struktur Organisasi Dalam struktur dan pembagian tugas yang ada di YPAC Jakarta, setiap staf diharuskan melaporkan dan mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan kepada bagian yang berada di atasnya, yaitu pengurus lembaga. Setiap pengambilan keputusan, keputusan akhir berada di tangan pimpinan melalui rapat pengurus. Adapun susunan kepengurusan organisasi YPAC Jakarta akan dikemukakan pada tabel 5 berikut ini :
Tabel 5 Struktur Organisasi YPAC Jakarta Periode 2013-2018 Bidang Penasehat Pembina
Pengawas
Pengurus
Bidang Pemberdayaan
Nama Ny. Iriana Joko Widodo Ketua : Dr. H. Muki Reksoprodjo, Sp.Og Anggota : 1. Bapak Sofyan Wanadi 2. Bapak Chris Kanter 3. Ny. Sri Ismartini Djokopranoto, SH Ketua : dr. Paruhum Ulitua Siregar, MD.FICS Anggota : 1. Ny. Louise Suparto 2. Ny. Yasmin Wirjawan 3. Ny. Siti Nuraini Ketua : Ny. Purnamawati Muki Reksoprodjo Wakil Ketua : Ny. Riantini S. Wanandi Sekretaris : Ny. Tetty Kintarty Bendahara : Ny. Ilona Agus Hari S. Penanggungjawab : Ny. Titi Kanter
51
Masyarakat Bidang Umum Bidang Layanan Medis Bidang Layanan Pendidikan dan Unit Karya Bidang Sumber Daya Manusia Sumber : Wawancara6
G.
Ny. Riantini S. Winandi Penanggungjawab : 1. Ny. Dr. Sri Heryanti Sampoerno 2. Ny. Trees Wibisono Penanggungjawab : 1. Ny. Ratna Dewi Antarina 2. Ny. Muktirini Priutomo Penanggungjawab : Ny. Ir. Kumala Insiwi Suryo
Unit-Unit Pelayanan 1.
Bagian Loket Loket yang ada di YPAC Jakarta merupakan bagian yang pertama kali harus dilalui oleh setiap klien, baik yang datang dengan rujukan atau tanpa rujukan. Petugas yang berada di loket ini berjumlah dua orang. Tugas bagian loket ini, antara lain7 :
2.
a)
Mendata klien baru
b)
Menerima pembayaran iuran terapi dan iuran sekolah
c)
Menerima pembayaran alat bantu
Bagian Sekretariat Pada bagian sekretariat YPAC Jakarta merupakan pelaksana kegiatan administratif. Jumlah staf pada bagian ini adalah lima orang dengan job desk seperti bagian sekretariat pada umumnya, yaitu mengurussurat-surat dan penyimpanan data lainnya.
3.
6
Layanan Medis
Wawancara dengan Ibu Kiki Dian Avrianti (selaku Manager Pelaksana YPAC), Jakarta, 25 Maret 2014, pukul 10.00 WIB. 7 Wawancara dengan Ibu Kiki Dian Avrianti (selaku Manager Pelaksana YPAC), Jakarta, 25 Maret 2014, pukul 10.00 WIB.
52
Pada bagian layanan medis ini, ditangani oleh tim dokter ahli yang bertugas menentukan terapi apa saja yang diperlukan oleh klien. Layanan medis yang diberikan meliputi : a)
Poliklinik Poliklinik
memberikan
layanan
kesehatan
mencakup
pemeriksaan fisik dan gigi. Tim ahli medis juga memeriksa dan menentukan jenis terapi yang diperlukan oleh para klien. Poliklinik didukung oleh tim ahli medis yang terdiri dari :
b)
1)
Dokter umum
2)
Dokter spesialis bedah tulang
3)
Dokter spesialis syaraf
4)
Dokter gigi
Terapi YPAC Jakarta sebagai pusat rehabilitasi para penyandang tunadaksa tentu didukung oleh berbagai macam terapi di yayasan ini, terapi tersebut terdiri atas : 1)
Fisioterapi Terapi diberikan secara perorangan, tergantung kepada jenis kecacatannya, dan berlangsung selama 30-60 menit.
2)
Terapi wicara Terapi
diberikan
secara
perorangan
atau
berkelompok dan berlangsung selama 30-60 menit.
53
3)
Terapi memakai media air (hydro therapy) Terapi
diberikan
secara
perorangan
atau
berkelompok dan berlangsung selama 30-60 menit. 4)
Terapi okupasi Terapi
diberikan
secara
perorangan
atau
berkelompok dan berlangsung selama 30-45 menit. c)
Bagian Orthotic Memberikan
layanan
penyandang
tunadaksa
rehabilitasinya, seperti
untuk
memenuhi
yang sepatu
kebutuhan
berkaitan orthopedi
dengan
dan sepatu
penyangga yang dibuat sesuai dengan kondisi fisik penyandang tunadaksa. Hasil produksi pada bagian orthotic ini antara lain : 1)
KAFO (knee ankle foot orthosis) : long leg brace
2)
AFO (ankle foot orthosis) : short leb brace
3)
Sepatu orthopedi : outfair thomas heel shoes, reverse thomas heel shoes, boot
4) 4.
Splint : leg splint, hand splint, knee splint
Layanan Pendidikan Layanan pendidikan yang berada di YPAC Jakarta meliputi pendidikan dan pembinaan penyandang tunadaksa yang menurut Kementeriaan
Pendidikan
Nasional
Sekolah Khusus Tunadaksa (D/D1).
(Kemendiknas)
disebut
54
a)
Jenjang Pendidikan Pra Sekolah (TKLB
dan Unit
Observasi) Dalam
mempersiapkan
memasuki
jenjang
penyandang
pendidikan
tunadaksa
dasar,
maka
untuk TKLB
memberikan layanan pendidikan yang bersifat terbuka, artinya tidak membatasi usia. Salah satu layanan program yang diberikan di jenjang ini adalah unit observasi yang memberikan layanan penilaian edukatif terhadap calon siswa. Bila setelah menjalani penilaian diketahui calon siswa memiliki kemampuan dasar akademik yang cukup, maka calon siswa tersebut dapat langsung mengikuti pendidikan
dengan
jenjang dan
kelas
yang sesuai
kemampuannya. b)
Jenjang Pendidikan Dasar (SDLB.D dan D1) Pada jenjang pendidikan dasar ini terdiri dari 6 tingkatan kelas. Program yang diberikan di semua tingkatan kelas meliputi : 1)
Program akademik. Terdiri dari sejumlah mata pelajaran sesuai kurikulum Pemerintah.
2)
Program pengembangan diri, yaitu beberapa mata pelajaran khusus dan kegiatan penunjang kurikulum (ekstra kulikuler) yang menitikberatkan upaya pengembangan sikap, mental, dan kemandirian.
c)
Jenjang Pendidikan Menengah (SMPLB,D dan D1)
55
SMPLB.D1 disediakan bagi lulusan SDLB.D1. Bagi siswa lulusan SDLB.D dan mampu mengikuti pendidikan integrasi dapat melanjutkan ke sekolah umum. Akan tetapi, kendala aksesbilitas di sekolah umum seringkali menjadi hambatan, maka YPAC Jakarta memberikan layanan pendidikan lanjutan untuk jenjang SMPLB.D. d)
Jenjang Pendidikan Atas (SMALB.D1) Pada jenjang pendidikan ini merupakan jenjang pendidikan lanjutan bagi siswa yang telah menyelesaikan jenjang SMPLB.D1. Selain materi mata pelajaran pada umumnya, kurikulum yang diatur oleh Pemerintah bagi jenjang ini lebih dititikberatkan pada program keterampilan.
e)
Kelas Khusus (Sheltered Workshop) Pada kelas khusus untuk SMALB ini yang mengikuti adalah siswa-siswi yang secara akademik sudah tidak mampu mengikuti pendidikan di jenjang-jenjang sebelumnya. Tetapi
masih
memiliki
kemampuan
untuk
melatih
keterampilan-keterampilan khusus tertentu.
Namun selain jenjang pendidikan di atas, ada juga layanan pendukung lain yang diselenggarakan di bagian pendidikan, antara lain : a)
Terapi musik Bentuk terapi dengan media musik merupakan pendekatan terpadu antara seni dan latihan fisik ke dalam suatu
56
pengalaman yang merangsang dan menggembirakan. Irama dan lagu yang dihasilkan, menggairahkan penyandnag tunadaksa untuk berani mencoba melakukan gerakangerakan yang semula tidak dapat dilakukan. b)
Olahraga Olahraga merupakan kegiatan rutin YPAC Jakarta yang dilakukan setiap hari Jum’at. Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan jenis dan tingkat kecacatannya.
c)
Kepramukaan Diikuti seluruh siswa yang merupakan anggota aktif dan secara periodik dikukuhkan oleh Gugus Depan Pramuka Luar Biasa (Gudep -1.067-01.068). berpartsipasi dalam berbagai kegiatan kepramukaan antara lain mengadakan perkemahan tingkat Gugus Depan, mengikuti Jamboree, dan pesta siaga.
d)
Sosialisasi Mengunjungi tempat-tempat bersejarah, kantor pos, bank, dan berbagai tempat atau fasilitas umum lainnya. Dengan demikian siswa dapat belajar untuk menyadari hambatan yang ditemui dengan kondisinya dan dapat mempersiapkan diri untuk terjun ke dalam masyarakat dikemudian hari.
e)
Perpustakaan
57
Menyediakan berbagai jenis buku cerita, bacaan anak dan remaja, majalah, buku-buku paket pelajaran, buku-buku keterampilan, buku-buku pengetahuan umum populer, sejarah, kesehatan, lingkungan, dan beragam topik bahasan lainnya. f)
Laboratorium sekolah Berisikan media pembelajaran dari bidang ilmu sains, biologi, matematika yang digunakan untuk memberikan pengalaman belajar langsung pada siswa melalui metode praktik dan demonstrasi.
5.
Layanan Sosial a)
Tempat Penitipan Anak (TPA) atau day care centre YPAC Jakarta menyediakan layanan penitipan harian bagi anak-anak
penyandang
cerebral
palsy
(CP)
selama
orangtuanya bekerja. Layanan ini dimaksudkan untuk membantu para orangtua agar dapat menjalankan tugasnya sehari-hari atau kegiatan lainnya, tanpa perlu rasa khawatir akan keadaan anaknya. Walaupun demikian, pihak YPAC tetap memiliki peraturan untuk orangtua yang menitipkan anaknya tersebut. Salah satu peraturannya adalah anak harus dijemput atau pulang setiap pukul 16.00 WIB. b)
Program keluarga angkat
58
Tujuan dari program keluarga angkat yang diselenggarakan oleh YPAC Jakarta adalah membantu mencarikan orangtua angkat bagi yang memerlukan. c)
Konsultasi Psikologi YPAC Jakarta memberikan bantuan konsultasi psikologi bagi orangtua yang anak-anaknya merupakan siswa atau klien di YPAC Jakarta.
H.
Sumber Keuangan Anggaran dana yang merupakan tulang punggung dan sarana penting untuk kesinambungan pelayanan YPAC harus digali secara terus menerus oleh pengurus. Uluran tangan para dermawan sangat membantu pengurus untuk melanjutkan upayanya dalam pembinaan anak-anak cacat. Anggaran dana yang digunakan untuk menjalankan program di YPAC Jakarta tidak semua diperoleh dari YPAC Pusat, melainkan berasal dari usaha masing-masing cabang. Karena kini masing-masing cabang YPAC telah menjadi otonom. YPAC Jakarta menerima bantuan tenaga guru PNS dari Kementerian Pneidikan dan Kebudayaan. Hal tersebut sangat membantu meringankan biaya pengelolaan. YPAC Jakarta juga menerima bantuan keuangan dari luar, seperti Yayasan Dharmais, perusahaan-perusahaan maupun bantuan perorangan yang sifatnya tidak terikat.
I.
Kerjasama
59
Menjadi kebanggaan tersendiri bahwa SLB.D dan D1 YPAC Jakarta menjadi sumber rujkan layanan pendidikan penyandang tunadaksa bagi sekolah-sekolah umum atau reguler di Jakarta dan sekitarnya. Selain itu menjadi pusat sumber dalam memberikan informasi mengenai model pendampingan bagi penyandang tunadaksa yang bersekolah di sekolah umum (inklusi). Disamping itu YPAC Jakarta merupakan ajang pelatihan, penelitian, dan persiapan skripsi bagi mahasiswa dalam berbagai disiplin ilmu dari berbagai institusi pendidikan.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Berdasarkan hasil temuan lapangan diperoleh data mengenai pelaksanaan terapi okupasi (occupational therapy) yang dilakukan Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta. Dalam bab ini analisis pelaksanaan terapi okupasi dijelaskan melalui evaluasi menurut Pietrzak, Ramler, Renner, Ford, dan Gilbert, yang terdiri dari evaluasi input, evaluasi proses, dan evaluasi hasil. Akan tetapi dalam hal ini peneliti akan memfokuskan penjelasan mengenai evaluasi proses. Berikut ini akan dijelaskan mengenai evaluasi proses dalam pelaksanaan terapi okupasi tersebut. A.
Evaluasi Proses Dalam Pelaksanaan Terapi Okupasi Dalam mengkaji pemberian pelayanan terapi okupasi, terdapat kriteriakriteria pada evaluasi proses. Kriteria dalam evaluasi proses tersebut terdiri dari standar praktek terbaik (best practice standards), kebijakan lembaga, tujuan proses (process goals), dan kepuasan klien. Berikut ini dijelaskan mengenai kriteria dalam evaluasi proses tersebut. 1.
Standar Praktek Terbaik (Best Practice Standards) Standar praktek merupakan salah satu tolak ukur dalam menjamin mutu pelayanan yang diberikan. Berikut ini pembahasan tentang standar praktek terapi okupasi di YPAC Jakarta : a) Standar struktur Standar struktur mencakup sarana prasarana, perbekalan dan alat, sistem pencatatan, dan pelaporan pelayanan.
60
61
1)
Ruang terapi Ruang terapi okupasi sebagai salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan harus memiliki tempat praktek yang menetap dengan ukuran minimal 3x4 m2.1 Ruangan tersebut terdiri dari ruang terapi individual, ruang terapi kelompok, dan ruang sensori integrasi (SI). Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan terhadap terapi okupasi YPAC Jakarta, terdapat ruang terapi dengan ukuran 4x8 m2 yang digunakan untuk terapi individual dan terapi kelompok. Hanya ruang sensori integrasi (SI) yang keberadaan ruangnya terpisah.2 Sehingga pada pelaksanaannya, terapi individual dan terapi kelompok yang seharusnya dilakukan pada ruang terpisah, dilakukan dalam 1 ruangan. Seperti pernyataan dalam hasil wawancara berikut ini : “Kalo dari YPAC sendiri sih sebenernya untuk ruangan kita yang akan mengajukan ke yayasan, nanti yayasan setelah mempelajari baru akan menindak lanjuti apa yang sudah kita ajukan kaya gitu. Nah tapi sekarang ruang terapi okupasinya masih ruangan darurat nih. Jadi makanya saya ngajuin untuk kebutuhan ruangan ke pihak yayasan”.3 Tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan oleh Ibu Rizka Sastika Dewi, dalam hal ini Ibu Rizka selaku terapis okupasi mengutarakan bahwa sebenarnya ada pembagian ruangan yang terdiri dari terapi individual dan ruang terapi
1
Panduan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Swasta, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009, h. 5. 2 Observasi terhadap ruang terapi, Jakarta, 13 Mei 2014, pukul 09.00 WIB. 3 Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.28 WIB.
62
kelompok. Apabila dalam sebuah ruangan dilakukan berbagai aktivitas, maka akan berdampak terhadap klien itu sendiri. Ketika ruangannya berkurang maka konsenterasi klien juga akan berkurang saat sedang menjalani proses terapi. Hal tersebut juga diperkuat dengan hasil wawancara berikut ini : “Belom sesuai menurut saya hehehe. Kalo menurut saya belom soalnya dulu sebenernya ini ruangan lebih besar gitu, sekarang kepotong sama ruang SI. Kalau ruangan berkurang, konsenterasi anaknya juga berkurang. Arti kata sebenernya tuh anak butuh tempat yang khusus antara terapis dan anak 1 (satu) orang gitu loh. Jadi anak-anak bisa fokus, misalnya untuk terapi individual itu harusnya 1 (satu) ruangan untuk 1 (satu) terapis dan 1 (satu) anak. Karena anak disini kan ada yang konsenterasinya cacat juga gitu bukan cacat secara fisik aja. Jadi mereka mudah teralihkan”.4 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ruang terapi okupasi perlu pemisahan ruangan. Agar pelaksanaan terapi individual dan terapi kelompok dapat dilakukan dalam ruang terpisah, seperti ruang sensori integrasi (SI) yang berada di ruang terpisah. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan secara maksimal. Dalam pelayanan secara individual atau personal, hanya berdua antara terapis dan klien. Dalam hal ini terapi secara individual diperlukan untuk klien yang memang belum dapat berinteraksi dengan baik secara kelompok. Terutama untuk klien baru dimana mereka 4
Wawancara dengan Ibu Rizka Sastika Dewi (selaku terapis okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 14.41 WIB.
63
masih
memerlukan
adaptasi
dengan
lingkungannya.
Kemudian ruang terapi kelompok berfungsi untuk sosialisasi klien dengan lingkungannya dan orang-orang disekitarnya.5 2)
Ruang administrasi Ruang administrasi dalam sebuah pelayanan kesehatan berperan
penting
untuk
melakukan
pendaftaran
dan
pencatatan data klien. Umumnya posisi ruang administrasi dekat dengan sumber pelayanan untuk memudahkan proses pelayanan. Di YPAC Jakarta ruang administrasi tersebut biasa disebut loket. Loket berfungsi untuk pendaftaran klien, pembayaran iuran terapi klien, dan menyimpan hasil rekam medis klien. Posisi loket berdekatan dengan pintu masuk YPAC Jakarta dan mudah terlihat dari depan pintu masuk. Sehingga ketika ada klien datang dapat langsung menuju loket untuk melakukan pendaftaran maupun pembayaran iuran sebelum melakukan terapi. Selain itu letak loket juga berdekatan dengan ruang terapi okupasi sehingga memudahkan keluarga atau pengasuh (care giver) klien. 3)
Ruang tunggu Ruang tunggu diperuntukkan bagi keluarga yang mengantar klien untuk menunggu. Dalam terapi okupasi YPAC Jakarta sudah terdapat ruang tunggu untuk para
5
Pedoman Teknis Ruang Rehabilitasi Medik, Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, h. 9.
64
keluarga dan pengasuh (care giver) menunggu selama klien menjalani terapi. Mereka tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam ruang terapi bersama klien. Hal ini sebagai upaya dalam melatih kemandirian klien. Sebagaimana hasil wawancara berikut : “Orangtua atau keluarga atau mbaknya harus menunggu di luar yah, karena kan kita perlu ada interaksi antara klien dengan terapis. Karena kalau ada orangtua biasanya anak lebih manja ke orangtua atau mbaknya gitu”.6 Ruang tunggu di terapi okupasi YPAC Jakarta letaknya di sebelah kiri dari pintu masuk ruang terapi okupasi. Ruang tunggu tersebut tersedia kursi dengan pemandangan berupa taman kecil di depan ruang tunggu. Sehingga membuat ruang tunggu terasa sejuk dan asri. Dengan demikian keberadaan ruang tunggu berperan penting untuk para keluarga atau pengasuh (care giver) menunggu ketika klien sedang di terapi. Dengan mereka menunggu di luar dapat membangun kemandirian klien, agar klien tidak selalu bergantung kepada keluarga maupun pengasuhnya (care giver) dalam melakukan aktivitas sehari-hari. 4)
Parkiran kursi roda Parkiran kursi roda merupakan salah satu standar yang harus ada, karena setiap klien yang mengikuti terapi dalam keadaan belajar sehingga diharuskan untuk duduk di kursi
6
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 30 Mei 2014, pukul 10.13 WIB.
65
yang sudah disediakan di ruang terapi. Pada terapi okupasi YPAC Jakarta belum menyediakan parkiran kursi roda untuk klien.7 Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara berikut ini : “Ya kita memang belum punya parkiran kursi roda, seharusnya ada. Klien pas sedang terapi harus pakai kursi karena dalam posisi belajar”.8 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa klien terapi okupasi di YPAC Jakarta merupakan para penyandang tunadaksa. Penyandang tunadaksa adalah mereka yang memiliki keterbatasan secara fisik. Umumnya mereka memiliki gangguan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Dalam hal ini banyak klien yang memiliki kecacatan pada kakinya, sehingga kesulitan ketika berjalan dan harus menggunakan alat bantu berjalan, salah satunya kursi roda. Namun keadaan yang demikian belum ditunjang dengan parkiran kursi roda, karena di ruang terapi okupasi belum tersedia parkiran kursi roda. Sehingga kursi roda yang digunakan klien masuk ke dalam ruang terapi. Membuat ruangan terasa sempit dan dapat menghambat selama proses terapi. 5)
7
Media terapi
Observasi terhadap parkiran kursi roda di ruang terapi, Jakarta, 30 April 2014, pukul 08.00 WIB. 8 Wawancara dengan Ibu Rizka Sastika Dewi (selaku terapis okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 14.41 WIB.
66
Dalam terapi okupasi tersedia meja, kursi, dan media terapi untuk menunjang pelayanan kepada klien. Hal tersebut sudah tersedia di terapi okupasi YPAC Jakarta, yang terdiri dari 2 jenis meja dan kursi. Pertama adalah meja dan kursi untuk klien berusia remaja dan dewasa yang berjumlah 2 buah dengan posisi meja dan kursi menyatu. Kemudian yang kedua adalah meja dan kursi untuk anak-anak berusia 2 sampai 5 tahun yang terdiri dari 1 meja besar dan setiap sisinya terdapat 4 buah kursi.9 Pada tiap sisi meja dibentuk cekungan setengah lingkaran. Hal ini untuk menahan agar anak dapat duduk di tempat pada saat terapi sedang berlangsung. Lalu untuk klien berusia kurang dari 1 tahun dapat menggunakan matras yang sudah tersedia, karena memang usia kurang dari 1 tahun belum dapat duduk di kursi. Selain itu ada 4 buah kursi tambahan yang dipakai untuk klien yang tubuhnya berukuran besar tetapi tidak ada mejanya. Karena kedua jenis meja dan kursi yang tersedia tidak dapat dipergunakan oleh klien yang tubuhnya besar. Biasanya klien yang bertubuh besar duduk di kursi dan meja staf ataupun duduk di atas kursi rodanya. Sebagaimana tertuang dalam hasil wawancara di bawah ini : “Sarana dari terapi okupasi sendiri yah heeem kalo dibilang lengkap secara keseluruhan pasti ada lah kurang-kurangnya gitu kan. Contohnya untuk anak 9
WIB
Observasi terhadap sarana terapi (meja dan kursi), Jakarta, 20 April 2014, pukul 14.00
67
yang tubuhnya besar seandainya anak itu butuh kursi atau bangku gitu kan sesuai dengan ukuran badannya, ergonomis bangku. Kursinya udah ada cuman kan ga semua anak bisa make seperti itu”.10 Dari hasil penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perlu penambahan sarana terapi seperti meja dan kursi untuk klien yang disesuaikan dengan ukuran tubuh klien, terutama klien yang bertubuh besar. Dimana meja dan kursi tersebut berfungsi sebagai salah satu program untuk control postural terhadap klien. Selain itu sarana terapi lain yang digunakan selama proses terapi adalah media terapi. Berikut ini adalah daftar media terapi yang digunakan selama proses terapi okupasi.
Tabel 6 Daftar Media Terapi Okupasi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13 14. 15. 16. 17. 10
Jenis Media Menara Pelangi Bola Bola Kacang Bola Kettler Bola Duri Cone Tongkat Panjang Sikat Sensori Wire Game Puzzle Pasak Geometri Puzzle Knop Geometri Puzzle Fraction Flying Fox Ayunan Jepitan Papan Titian Papan Duri
Jumlah 30 buah 50 buah 2 buah 3 buah 3 buah 5 buah 2 buah 2 buah 3 buah 15 buah 20 buah 15 buah 1 buah 2 buah 4 buah 3 buah 2 buah
Wawancara dengan Ibu Rizka Sastika Dewi (selaku terapis okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 14.41 WIB.
68
18. Kolam Bola 19. Batu Tanjakan 20. Papan Jembatan 21. Terowongan 22. Trampolin Kettler 23. Piano 24. Kaca Sumber : Hasil Observasi11
1 buah 5 buah 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah 1 buah
Berdasarkan tabel 6 di atas dapat disimpulkan bahwa media terapi yang tersedia bermacam-macam jenisnya. Hal ini dikarenakan para klien mudah mengalami kejenuhan ketika sedang terapi. Media terapi tersebut ada yang berasal dari pihak yayasan maupun para donatur. Sarana terapi lain yang berada di ruang terapi okupasi untuk menunjang selama proses terapi, seperti lemari simpan yang digunakan untuk menyimpan media terapi setelah selesai digunakan. Kemudian ada lemari besar yang digunakan untuk menyimpan arsip-arsip klien, dan meja staf untuk penerimaan klien baru. 6)
Alat tes pemeriksaan Sarana pemeriksaan terapi okupasi terdiri dari alat tes pemeriksaan dan pencatatan perkembangan klien. Untuk alat tes pemeriksaan, umumnya alat tes pemeriksaan terdiri dari alat tes respirasi, alat tes sensorik, alat tes koordinasi dan
11
WIB.
Observasi terhadap sarana terapi (media terapi), Jakarta, 26 Mei 2014, pukul 11.00
69
keseimbangan, serta alat tes kognitif.12 Namun alat tes tersebut belum tersedia di terapi okupasi. Sebagaimana pernyataan pada hasil wawancara berikut : “Kebutuhan yang belum terpenuhi insya Allah mudahmudahan terpenuhi yaitu standarisasi dari Kemenkes yang belum kita penuhi kaya alat pemeriksaan terapi okupasi. Alat-alat tes pemeriksaan itni bentuknya seperti alat tes psikologi, hampir sama seperti itu namun dengan variasi yang berbeda tentunya. Terusnya format yang berbeda juga tentunya, disini belum ada yang seperti itu”.13 Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi okupasi YPAC Jakarta belum memiliki alat pemeriksaan. Dimana alat pemeriksaan tersebut untuk mengetahui sampai sejauh mana perkembangan yang sudah dicapai klien yang dilihat dari sudut pandang terapi okupasi. Sehingga perlu adanya penambahan alat pemeriksaan terapi okupasi. Meski nantinya menggunakan alat pemeriksaan, maka tetap membutuhkan profesi lain seperti dokter, psikolog, maupun pekerja sosial. Misalnya saja seperti dokter dibutuhkan untuk menganalisa masalah fisik secara umum, entah gangguan dari syarafnya ataupun gangguan dari tulangnya. Sedangkan psikolog untuk menganalisa masalah kejiwaan klien. Selain itu sarana pemeriksaan lain yang digunakan adalah pencatatan perkembangan. Pencatatan perkembangan 12
Standar Lahan Praktik DIII Okupasi Terapi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Badan PPSDM Kesehatan, 2012, h. 19. 13 Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.28 WIB.
70
dibuat terapis secara benar, jelas, dan lengkap. Menurut salah satu terapis, sistem pencatatan ini dilakukan dalam sebuah buku setiap klien datang terapi. Perlu dilakukan pencatatan untuk mengetahui kemajuan dari perkembangan klien. Seperti dalam hasil wawancara yang tertuang dibawah ini : “Kalo yang di YPAC sendiri klien bawa buku catetan gitu. Itu salah satu upaya untuk memaksimalkan treatment yang ada. Artinya setiap pertemuan kita lakukan evaluasi, kemarin bisa ini yah terus selanjutnya kira-kira harus maju sedikit nih gitu”.14 Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pencatatan perkembangan klien fungsinya sangat penting, karena dengan pencatatan perkembangan tersebut akan memudahkan terapis untuk mengetahui tujuan-tujuannya sudah tercapai atau belum. Selain itu pihak keluarga juga akan mengetahui klien sudah melakukan terapi sampai tahapan mana. Sehingga diharapkan nantinya keluarga atau pengasuh (care giver) dapat melatih klien di rumah sesuai perkembangan yang sudah dicapai klien
b) Standar proses Standar proses mencakup pemberian pelayanan dari urutan kegiatan dan metode dalam pemberian pelayanan. Adapun tahapan terapi okupasi, antara lain sebagai berikut : 1)
14
Assessment
Wawancara dengan Ibu Rizka Sastika Dewi (selaku terapis okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 14.41 WIB.
71
Asessment yaitu pemeriksaan awal terhadap klien. Ketika klien mendaftarkan diri ke bagian administrasi, maka klien akan dirujuk oleh dokter dan psikolog untuk mengikuti terapi okupasi. Setelah terapis melihat rekam medik klien, terapis kembali melakukan pemeriksaan ulang. Pemeriksaan ulang (asessment) tersebut terdiri dari interview dan observasi. Sedangkan prosedur yang harus dilewati untuk klien baru, antara lain15 : (a)
Setiap klien baru yang masuk ke unit terapi okupasi, diterima oleh assessor untuk terlebih dahulu dilakukan observasi.
(b)
Keluarga atau pengasuh (care giver) memberikan hasil pemeriksaan dokter, kartu observasi, dan kartu absen kepada asessor.
(c)
Selama observasi kepada klien berlangsung, keluarga atau pengasuh (care giver) menunggu di ruang tunggu. Dalam melakukan observasi kepada klien, terapis melihat kemampuan dan keterbatasan apa saja yang dimiliki klien.
(d)
Keluarga atau pengasuh (care giver) dapat masuk ke dalam ruangan terapi jika diperlukan.
(e)
Assessor melakukan interview dengan keluarga atau pengasuh (care giver). Dalam interview ini biasanya
15
Prosedur Tetap Penerimaan Klien Baru Terapi Okupasi, 2014.
72
terapis bertanya kepada keluarga seputar kecacatan yang dialami pada klien, pertanyaan dalam interview tersebut seperti, sejak kapan kecacatan itu terjadi dan usaha apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasi kecacatan tersebut. (f)
Assessor menyampaikan hasil observasi dan rencana program terapi kepada keluarga atau pengasuh (care giver).
(g)
Setelah observasi selesai, keluarga atau pengasuh (care giver),
menyerahkan
hasil
observasi,
melakukan
pembayaran di loket sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan, dan akan mendapatkan jadwal terapi di loket. 2)
Rencana program terapi Setelah terapis mengetahui keadaan klien, terapis membuat rencana program terapis yang bersifat jangka pendek
dan
jangka
panjang.
Program
terapi
dibuat
berdasarkan hasil asessment dan kesimpulan diagnosis yang terjadi pada klien. Hal ini tertuang pada hasil wawancara sebagai berikut : “Dalam program terapi ini terapis membuat program terapi dengan melihat keterbatasan. Keterbatasan yang masih bisa kita tingkatkan atau kemampuan yang masih bisa kita pertahankan. Sehingga untuk programnya rata-rata kita lebih banyak lebih dominan ke program maintenance. Program mantenance itu program mempertahankan kemampuan yang masih ada, misalnya sekarang dia kedua tangannya sudah
73
bisa melakukan gerakan, kita harus pertahankan anak itu supaya tidak kaku lagi tangannya. Program terapi dilakukan setelah terapis mengasessment klien”.16 3)
Proses terapi Proses terapi adalah pelaksanaan program terapi dengan menggunakan metode-metode treatment yang sesuai dengan kebutuhan klien berdasarkan hasil assesment. Adapun rangkaian proses terapi sebagai berikut : (a)
Terapis mengajak klien memasuki ruang terapi dan mempersilahkan klien duduk di bangku yang telah disediakan.
(b)
Terapis mengajak klien untuk berdoa sesuai agamanya masing-masing.
(c)
Terapis melakukan stretching (peregangan). Stretching ini dilakukan dengan menggerakkan tangan atau kaki klien secara perlahan.
(d)
Untuk mengarahkan perilaku klien, agar klien tersebut dapat mengikuti perintah yang diberikan terapis, maka terapis menggunakan metode Behaviour Treatment (BT). BT merupakan sebuah metode yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan-keterampilan klien dengan perbaikan terhadap perilaku klien, agar klien mempunyai pilihan yang lebih untuk merespon. Hal tersebut seperti hasil wawancara berikut ini :
16
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 21 Mei 2014, pukul 11.07 WIB.
74
“Banyak anak disini yang nangis, misalnya anak itu nangis berati kan yang bermasalah adalah emosional dia berarti kita galih adalah kepatuhan. Makanya kita punya behavior treatment untuk interaksi dengan anak”.17 (e)
Ketika
sudah
keterbatasan
mengetahui
yang
dialami
klien
dan
melihat
klien,
maka
terapis
menggunakan metode Neuro Development Treatment (NDT). NDT adalah sebuah metode yang berfungsi untuk memperbaiki dan mencegah postur dan pola gerakan abnormal dan mengajarkan postur dan pola gerak yang normal. Sebagaimana hasil wawancara berikut ini : “Jadi NDT melihat pola perkembangan anak, kalo anak itu terjadi kerusakan otaknya sejak lahir kita melihat dari pola perkembangannya. Misalnya anak 12 tahun tapi kemampuannya masih seperti anak 6 bulan. 6 bulan itu kan baru tengkurep, mau belajar duduk kaya gitu. Berarti kita latih anak itu seperti anak usia 6 bulan tapi karena dia punya tuntutan lingkungan yang berbeda, masa sih anak 12 tahun cuma bisa duduk kaya gitu. Jadi kita lihat lagi kekmampuan lain yang bisa dikembangkan, entah dari segi genggaman atau kognitifnya. Jadi intinya NDT biasanya terkait dengan kasus-kasus yang berkaitan dengan neuro (saraf) dan developmental (perkembangan) klien”.18 (f)
Selanjutnya terapis melakukan program modulasi sensorik melalui metode Sensori Integrasi (SI). SI adalah sebuah metode yang mengorganisasikan sensori
17
Wawancara dengan Ibu Rizka Sastika Dewi (selaku terapis okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 14.41 WIB. 18 Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi), Jakarta, 21 Mei 2014, pukul 11.07 WIB.
75
(indera perasa) yang berasal dari tubuh klien dan lingkungannya, yang memungkinkan tubuh beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara berikut : “Metode SI itu digunakan untuk kasus yang terkait dengan masalah sensori yang berdampak pada adaptasi klien dengan lingkungan dalam melakukan aktivitas”.19 (g)
Melakukan program terapi seperti, hand skill, control postural, dan fine-motor.20
(h)
Melatih klien untuk mengajarkan pola kemandirian melalui metode Activity Daily Living (ADL). ADL merupakan sebuah metode yang dilakukan dengan memberikan keterampilan hidup lebih mandiri dan terampil. Sebagaimana yang diutarakan dalam hasil wawancara berikut ini : “ADL itu activity daily living heeem melath kemampuan misalnya untuk melakukan aktivitas sehari-hari, ya misalkan makan. Tapi memang tidak sesimpel ketika kita mengajarkan atau melatih makan anak normal yah, karena ketika makan kita juga menganalisis kemampuan makannya saat ini untuk bisa kita treatment kita akan mencapai goalnya seperti maknnya seperti apa nih. Misalnya mau makan anak udah ada respon untuk buka mulut. Tapi untuk anak-anak disini belum tentu langsung buka mulut kaya gitu. Nah dari situ jadi memang ada tahapan-
19
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi), Jakarta, 21 Mei 2014, pukul 11.07 WIB. 20 Observasi terhadap program terapi klien, Jakarta, 26 Mei 2014, pukul 13.00 WIB.
76
tahapan aktivitas sehingga anak itu mulai mampu sedikit demi sedikit”.21 (i)
4)
Doa penutup
Evaluasi Terapis melakukan evaluasi kepada klien setiap 3 bulan sekali. Evaluasi tersebut sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan proses terapi yang dilakukan. Sebagaimana dalam hasil wawancara berikut ini : “Saya emang anter cucu saya tiap terapi, tapi pas tiap tiga bulan sekali saya suruh dateng sama orangtuanya juga buat bicarain perkembangannya cucu saya gimana udah bisa apa aja”.22 Hal demikian juga diungkapkan oleh Ibu Rizka Sastika Dewi berikut ini : “Setiap tiga bulan sekali kita lakukan pertemuan untuk evaluasi. Misalnya kemarin bisa ini yah, terus selanjutnya kira-kira harus maju sedikit nih. Kenapa harus tiga bulan sekali, karena emang secara garis besar anak-anak itu akan muncul perubahan atau keluar kemampuan dia itu dalam tiga bulan”.23 Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi sangat berperan penting dalam proses terapi. Dengan dilakukannya evaluasi, akan terlihat perkembangan klien sudah sampai sejauh mana. Evaluasi dilakukan antara terapis dengan pihak keluarga klien. Sehingga keluarga mengetahui
21
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi), Jakarta, 21 Mei 2014, pukul 11.07 WIB. 22 Wawancara dengan Informan SP (selaku kakek klien BK), Jakarta, 19 Juni 2014, pukul 11.28 WIB. 23 Wawancara dengan Ibu Rizka Sastika Dewi (selaku terapis okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 14.41 WIB.
77
mana saja yang sudah dicapai klien dan yang belum tercapai. Apabila belum tercapai akan segera dilakukan perbaikan 5)
Follow-up Follow-up merupakan tindakan lanjutan dalam tahapan terapi okupasi dari sebuah proses yang telah dilewati. Followup merupakan penting dari tahapan terapi. Setelah melakukan evaluasi, maka dilakukan follow-up. Dengan dilakukan follow-up maka akan mengetahui keinginan yang diharapkan keluarga dari terapi okupasi tersebut. Seperti hasil wawancara berikut : “Sehabis evaluasi, biasanya kita melakukan follow-up. Follow-up ini kesepakatan dengan keluarga kapan dihentikan proses terapi. Kapan dihentikan tergantung kesepakatan dengan keluarga kaya gitu. Ketika kita mau menghentikan, tapi misalnya orangtua punya keluhan lain. Keluhan yang mana anaknya itu emang dasarnya dia sudah mampu itu tapi tantangannya berbeda lagi. Kembali lagi ke keputusan keluarga ingin seperti apa”.24 Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu Rizka Sastika Dewi : “Sesudah proses terapi kita melakukan perjanjian ke keluarga. Misalnya, Bu anak Ibu sudah mencapai ini, mya akan seperti ini. jadi kita menyamakan pemikiran dulu tentang perkembangan yang sudah didapat pada klien. Setelah itu meminta persetujuan bagaiman selanjutnya, mau dihentikan atau tidak”.25 Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan evaluasi dengan menyampaikan hasil perkembangan klien yang didapat
24
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 21 Mei 2014, pukul 11.07 WIB. 25 Wawancara dengan Ibu Rizka Sastika Dewi (selaku terapis okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 14.41 WIB.
78
selama melakukan proses terapi, maka dilakukan follow-up. Follow-up adalah rencana tindak lanjut terapis terhadap proses terapi yang sudah diberikan kepada klien. Kalau memang klien tersebut sudah mencapai kemandirian yang diharapkan maka klien tersebut dapat mengakhiri proses terapi. Namun apabila klien tersebut belum mencapai kemandirian dan harus melakukan proses terapi selanjutnya, maka terapis meminta persetujuan keluarga klien. Apakah proses terapi berakhir tanpa mencapai kemandirian klien atau ingin dilanjutkan. Karena follow-up ini melibatkan keluarga, untuk mendapatkan persetujuan apakah proses terapi ini akan dilanjutkan atau dihentikan
2.
Kebijakan Lembaga Kebijakan (policy) adalah tindakan maupun ketetapan yang berlaku untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Kebijakan bersifat mengikat dan mengatur perilaku, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya. Berikut ini kebijakan yang terkait terapi okupasi di YPAC Jakarta berkaitan dengan klien dan sumber daya manusia dalam terapi okupasi. a) Klien dalam terapi okupasi 1)
Berdasarkan jenis kelamin
79
Tabel 7 Jumlah Klien Terapi Okupasi Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Anak-anak 17 (39%) 17 (39%) Remaja 4 (9%) 4 (9%) Dewasa 1 (2%) 1 (2%) Sumber : Data primer yang telah diolah Kategori
Jumlah 34 (78%) 8 (18%) 2 (4%)
Berdasarkan tabel 7 di atas dapat dijelaskan bahwa klien yang mengikuti terapi okupasi, kategori anak-anak, untuk laki-laki sebanyak 17 klien atau sebesar 39% dan perempuan sebanyak 17 klien atau sebesar 39%. Kategori remaja, untuk laki-laki sebanyak 4 klien atau sebesar 9% dan perempuan sebanyak 4 klien atau sebesar 9%. Sedangkan kategori dewasa, untuk laki-laki sebanyak 1 klien atau sebesar 2% dan perempuan sebanyak 1 klien atau sebesar 2%. Dengan melihat tabel 7 di atas, bahwa tidak ada jenis kelamin yang mendominasi dalam terapi okupasi. Jenis kelamin laki-laki maupun perempuan dipersilahkan untuk mengikuti terapi. Seperti pada hasil wawancara berikut ini : “Klien yang mengikuti terapi okupasi tidak membatasi baik laki-laki atau perempuan. Tidak harus lebih banyak perempuan atau lebih banyak laki-laki. Yang jelas selama klien itu butuh penyembuhan terapi maka diperkenankan untuk mendaftarkan diri disini”.26
26
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.28 WIB.
80
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa klien yang mengikuti terapi okupasi tidak menjadi prioritas harus jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Kebetulan dari tabel 7 di atas saat ini jumlahnya seimbang, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga dari segi jenis kelamin tidak ada yang mendominasi dalam mengikuti terapi okupasi 2)
Berdasarkan usia
Tabel 8 Jumlah Klien Terapi Okupasi Berdasarkan Usia Kategori Usia Jumlah Anak-anak 2-12 tahun 34 (77%) Remaja 13-18 tahun 8 (18%) Dewasa 19-60 tahun 2 (5%) Sumber : Data primer yang telah diolah Berdasarkan tabel 8 di atas dapat dijelaskan untuk klien yang mengikuti terapi okupasi, kategori anak-anak, untuk usia 2-12 tahun sebanyak 34 klien atau sebesar 77%. Kategori remaja, untuk usia 13-18 tahun sebanyak 8 klien atau sebesar 18%. Sedangkan kategori dewasa, untuk usia 1960 tahun sebanyak 2 klien atau sebesar 5%. Dengan melihat dari tabel 8 di atas bahwa usia terbanyak adalah kategori anak-anak dengan rentan usia 2-12 tahun dan usia paling sedikit adalah kategori dewasa dengan rentan usia 19-60 tahun. Dalam hal ini usia anak-anak ataupun usia dewasa tidak menjadi halangan untuk klien agar
81
dapat mengikuti selama mereka mamiliki keinginan untuk memperbaiki kecacatan pada kondisi fisiknya. Sebagaimana dalam hasil wawancara berikut ini : “Klien SK heeem usianya dewasa yah, udah umur 20 lebih segini kondisinya masih gini kaya yang mbak liat ini. Tapi dia ga malu buat ikut terapi okupasi, soalnya temen-temen yang lain disini kan masih anak-anak. Terus dari keluarga juga mendukung dan yakin kalau dia bisa sembuh meski usianya bukan anak kecil lagi terus dari semangatnya juga cukup tinggi buat terapi”.27 Hal demikian juga diungkapkan dalam kutipan hasil wawancara berikut ini : “Klien yang mengikuti terapi okupasi tidak membatasi usia, karena kemampuan dan keterbatasan setiap anak kan berbeda yah. Usia paling muda itu balita dan paling tua itu sekitar 30-an”.28 Sehingga dari segi usia memang tidak ada pembatasan, dari mulai usia anak-anak hingga usia dewasa pun dapat mengikuti terapi okupasi ini. Saat ini usia klien yang tertua adalah 32 tahun. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa klien dengan usia berapa pun dapat mengikuti terapi okupasi di YPAC Jakarta selama keluarga dan klien itu sendiri berkeinginan untuk melakukan perbaikan dan pemulihan kondisi fisiknya agar nantinya dapat mencapai kemandirian. 3)
27
Berdasarkan status biaya
Wawancara dengan Informan YL (selaku pengasuh (care giver) klien SK), Jakarta, 21 Juni 2014, pukul 13.45 WIB. 28 Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.28 WIB.
82
Tabel 9 Jumlah Klien Terapi Okupasi Berdasarkan Status Biaya Status Biaya Free Non Free Anak-anak 7 (16%) 27 (61%) Remaja 2 (5%) 6 (13%) Dewasa 0 (0%) 2 (5%) Sumber : Data primer yang telah diolah Kategori
Jumlah 34 (77%) 8 (18%) 2 (5%)
Berdasarkan tabel 9 dapat dijelaskan bahwa klien terapi okupasi, kategori anak-anak, untuk status biaya free sebanyak 7 klien atau sebesar 16% dan status biaya non free sebanyak 27 klien atau sebesar 61%. Sedangkan kategori remaja, untuk status biaya free sebanyak 2 klien atau sebesar 5% dan status biaya non free sebanyak 6 klien atau sebesar 13%. Sedangkan kategori dewasa, untuk status biaya free tidak ada atau sebesar 0% dan status biaya non free sebanyak 2 klien atau sebesar 5%. Dengan melihat tabel 9 di atas dapat dijelaskan bahwa ada beberapa klien dengan status biaya free meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak hanya sebesar 21%. Klien dengan status biaya tersebut berasal dari kalangan kurang mampu. Namun pihak Yayasan memberikan kesempatan kepada mereka agar dapat mengikutiterapi okupasi dengan memberikan keringanan atau bahkan pembebesan biaya terapi
bagi
klien kalangan kurang mampu
tersebut.
Sebagaimana hasil wawancara kepada salah satu orangtua
83
yang anaknya mendapatkan pembebasan biaya terapi berikut ini : “Alhamdulillah anak saya kan termasuk yang free ya. Jadi emang saya ga mampu untuk sekolahin anak saya, apalagi untuk ikut terapi gini. Jadi waktu itu saya dirujuk dari RSCM tempat TH dirawat waktu sakit TBC, kemudian saya urus di loket, dan dari pihak yayasan datang ke rumah saya buat mengecek bener apa ga”.29 Hal tersebut senada dengan hasil wawancara kepada Ibu Kiki Dian Avrianti selaku Manager Pelaksana YPAC Jakarta berikut : “Yayasan menerima klien dari kalangan manapun, termasuk kalangan bawah. Pihak yayasan memberikan keringanan atau bahkan pembebasan biaya terapi atau sekolah untuk klien yang tidak mampu dengan persyaratan dan kunjungan rumah untuk pengecekan kondisi”.30 Dari keterangan di atas, bahwa biaya terapi tidak menjadi persoalan selama klien tersebut tetap berkeinginan melakukan terapi. Karena bagi klien yang kurang mampu, dapat mengajukan diri ke pihak Yayasan untuk mendapatkan keringanan biaya atau pembebasan biaya. Berdasarkan tabel 9 di atas, saat ini terdapat 9 klien yang status biayanya free ketika mengikuti terapi okupasi. Untuk golongan yang kurang mampu, dapat mengajukan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang kemudian pihak Yayasan akan
29
Wawancara dengan Informan MY (selaku orangtua dari klien TH), Jakarta, 24 Juni 2014, pukul 12.26 WIB. 30 Wawancara dengan Ibu Kiki Dian Avrianti (selaku Manager Pelaksana YPAC), Jakarta, 3 Juli 2014, pukul 09.19 WIB.
84
mendatangi rumahnya dan menindak lanjuti akan diberikan keringanan biaya atau pembebasan biaya. b) Sumber daya manusia terapi okupasi Kualifikasi SDM dalam terapi okupasi terdiri dari, latar belakang dan pendidikan SDM dalam melakukan terapi okupasi di YPAC Jakarta. 1)
Latar belakang Sumber daya manusia (SDM) dalam terapi okupasi terdiri dari 4 orang. Berikut tabel 10 akan menjelaskan tentang daftar SDM dalam terapi okupasi.
Tabel 10 Latar Belakang SDM Terapi Okupasi Nama Robiatul Adawiyah, A.Md. OT, Skm. Rizka Sastika Dewi, A.Md. OT
Jabatan
Suku Bangsa
Penanggung jawab
Jakarta
Terapis
Jakarta
Dwi Setyawati
Terapis
Anna
Terapis
Jawa Timur Jawa Tengah
Usia 32 tahun 21 tahun 32 tahun 59 tahun
Status Menikah Belum Menikah Menikah Menikah
Sumber : Wawancara31 Usia SDM dalam terapi okupasi di YPAC Jakarta masuk dalam kategori produktif (33-45) tahun sebanyak 3 orang. Meskipun ada 1 orang yang memang secara usia sudah masuk kategori lanjut. Namun walaupun sudah usia lanjut,
31
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 26 Mei 2014, pukul 10.00 WIB.
85
semangat beliau begitu tinggi dalam menangani terapi okupasi bagi penyandang tunadaksa ini. Ibu Robiatul Adawiyah merupakan seseorang yang dipertanggung jawabkan oleh YPAC Jakarta sebagai penanggung
jawab
terapi
okupasi.
Dimana
sebagai
penanggung jawab terapi okupasi bertugas untuk mengelola dan memonitoring terapi okupasi. Sedangkan 3 orang terapis bertugas untuk melakukan pelayanan terapi terhadap klien yang datang. 2)
Pendidikan Berikut ini adalah kualifikasi SDM dalam terapi okupasi di YPAC Jakarta. Kualifikasi pendidikan SDM akan digambarkan pada tabel 11.
Tabel 11 Kualifikasi Pendidikan SDM Terapi Okupasi Nama Robiatul Adawiyah, A.Md. OT, Skm. Rizka Sastika Dewi, A.Md. OT Dwi Setyawati Anna Sumarsih Sumber : Wawancara32
Pendidikan Terakhir Strata 1 Kesehatan Masyarakat Diploma III Terapi Okupasi SMA SMA
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah sumber daya manusia di terapi okupasi berjumlah 4 orang, dengan 1 penanggung jawab dan 3 orang sebagai terapis. Berdasarkan kualifikasi pendidikan untuk terapis okupasi yang ada saat ini
32
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 26 Mei 2014, pukul 10.00 WIB.
86
adalah terapis okupasi terampil. Terapis okupasi terampil adalah terapis yang mempunyai ijazah minimal Diploma III terapi okupasi yang program pendidikannya telah disahkan oleh Pemerintah.33 Sehingga latar belakang pendidikan yang ditempuh terapis cukup berpengaruh dalam pemberian terapi kepada klien. Seperti yang dikatakan dalam hasil wawancara berikut ini : “Latar belakang pendidikan terapis itu berpengaruh yah heeem prinsip kita kan terapi kan butuh kemajuan yah dari klien. Artinya kita kalo dengan yang pendidikan mungkin kita punya modal ilmu. Meskipun ilmu kuliah ga seratus persen kita terapkan dalam proses terapi tapi dengan kita pernah menduduki bangku kuliah, berarti kita sudah tau ilmu itu secara teori dan lebih real. Artinya kita punya buku panduan gitu kan, buku ilmu dan buku pelajaran. Ketimbang dengan orang yang tidak ada pendidikannya, kadang mereka hanya melakukan pendekatan, seperti “oh anak ini udah nangis, tapi ga tau setelah nangis mau diapain lagi”. Itu kata saya makanya perlu banget pendidikan”.34 Hal lain juga diungkapkan oleh Informan MY : “Anak saya udah terapi okupasi selama 3 taun ya. Kalo pas diterapi ganti-gantian, kadang bu Atun, Bu Ana, Bu Dwi apa Bu Rizka. Tapi pas awal saya ke sini yang wawancarain saya itu Bu Atun. Selama ini Bu Ana sama Bu Dwi mereka baik-baik aja kalo nerapi klien yang dateng. Apalagi bu Ana kan udah puluhan taun di sini”.35 Secara pendidikan terapis okupasi adalah orang yang memiliki pengalaman seputar terapi okupasi, walaupun 33
Pedoman Standar Profesi Terapi Okupasi, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, h. 8. 34 Wawancara dengan Ibu Rizka Sastika Dewi (selaku terapis okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 14.41 WIB. 35 Wawancara dengan Informan MY (selaku orangtua dari klien TH), Jakarta, 24 Juni 2014, pukul 12.26 WIB.
87
secara gelar memang ada 2 orang yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Misalnya saja seperti pendidikan Bu Ana dan Bu Dwi memang tertinggal jauh dengan 2 orang terapis lain, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Bu Ana dan Bu Dwi dapat melakukan terapi seperti yang terapis lakukan. Sehingga tidak dijadikan persoalan ketika mereka mempunyai latar belakang yang tidak sesuai standar, karena secara pengalaman di lapangan mereka sudah cukup berpengalaman dengan para penyandang tunadaksa tersebut. Mereka tetap dapat melakukan terapi terhadap klien dengan banyak memperkaya ilmu dan pengalaman di bidang terapi okupasi. Adapun pihak YPAC Jakarta telah melakukan berbagai upaya untuk pengembangan kompetensi para terapis tersebut, misalnya saja melalui pelatihan. Pengembangan kompetensi ini dilakukan melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh profesi terapi okupasi dan YPAC Jakarta sendiri. Sebagaimana dikutip dari hasil wawancara Ibu Kiki Dian Avrianti berikut ini : “Yayasan mengupayakan pelatihan dan pengembangan SDM. Dimana pelatihan dan pengembangan SDM tersebut ya untuk perbaikan mutu dan kualitas SDM itu agar nantinya semakin baik dalam memberikan pelayanan”.36
36
Wawancara dengan Ibu Kiki Dian Avrianti (selaku Manager Pelaksana YPAC), Jakarta, 3 Juli 2014, pukul 09.19 WIB.
88
Hal itu sejalan dengan pernyataan Ibu Robiatul Adawiyah berikut : “Kalo dari segi pengetahuan ya Alhamdulillah disini juga difasilitasi sama YPAC. Kalo saya ngerasa kurang kaya misalnya metode SI (sensori integrasi) kita ngerasa kurang nih, kita bisa ngajuin juga ke YPAC untuk ngikutin pelatihan kaya gitu. Yaa sepanjang selama saya disini setiap tahun saya pasti mengajukan untuk apa namanya harus ada pelatihan untuk setiap terapisnya kaya gitu. Jadi disini dijatahin yah setaun itu sekali. Setaun ada acara workshop atau seminar yang harus dihadiri terapis. Tapi itu semua dibiayai oleh pihak yayasan”.37 Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kompetensi bagi terapis yang memberikan layanan terhadap klien sangat penting. Pengembangan kompetensi dilakukan setiap tahun untuk masing-masing 1 terapis, dengan waktu yang tidak menentu namun rutin dilaksanakan. Pengembangan kompetensi tersebut tidak hanya pelatihan tetapi juga ditunjang dengan seminarseminar
atau
diklat-diklat
dari
institusi
lain
yang
mengadakan. Hal tersebut dilakukan agar terapis semakin mengembangkan pengetahuannya, karena kecacatan klien yang datang untuk mengikuti terapi okupasi semakin beragam seiring dengan perkembangan zaman.
3.
37
Tujuan Proses (Process Goals)
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.28 WIB.
89
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tinjauan teori pada penelitian ini bahwa terapi okupasi merupakan sebuah upaya rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa yang bertujuan untuk melatih klien agar dapat melakukan kegiatan sehari-hari sehingga mengurangi ketergantungan terhadap orang lain. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Robiatul Adawiyah selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC Jakarta ditemukan bahwa tujuan utama dari terapi okupasi adalah untuk mengoptimalkan organ-organ tubuh yang masih berfungsi dengan berlatih melakukan kegiatan sehari-hari agar nantinya dapat hidup mandiri ditengah masyarakat. Hal ini terungkap dari hasil wawancara pribadi yang dilakukan peneliti dengan Ibu Robiatul Adawiyah selaku penanggung jawab terapi okupasi, adapun hasil wawancara tersebut adalah sebagai berikut : “Tujuan terapi okupasi itu sendiri memberikan terapi atau membantu anak dengan kebutuhannya, keterbatasan fisik atau mental dengan melakukan aktivitas guna mencapai kemandirian. Dalam mencapai kemandirian itu dengan memberikan program terapi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan yang dia punya, misalnya si anak sudah bisa duduk lalu si anak dilatih untuk melakukan aktivitas misalnya makan, berpakaian sendiri, minum. Misalnya sudah siap sekolah, kesiapan sekolahnya bagaimana. Pencapaiannya heem biasanya dilihat dari level program yang sudah dilewati anak tersebut”.38 Ibu Rizka Sastika Dewi selaku terapis juga mengatakan bahwa tujuan terapi okupasi sendiri bahwa goalnya adalah kemandirian pada klien. Hal tersebut terungkap pada wawancara berikut ini : “Terapi okupasi ini merupakan bagian dari rehabilitasi medis yah, tujuan terapi ini untuk mencapai kemandirian. Kemandiriannya 38
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.28 WIB.
90
tergantung dari program-programnya sudah tercapai apa belom. Tiap klien punya goal masing-masing tergantung kemampuannya. Misalnya anak harus duduk tenang, harus konsenterasi, atau anak ini harus menggerakkan tangannya. Jadi kalo goalnya udah tercapai, program terapinya meningkat”.39 Tujuan terapi okupasi bila disesuaikan pada tingkat yang diharapkan oleh yayasan telah tercapai seperti dalam wawancara yang dilakukan peneltiti dengan Ibu Kiki Dian Avrianti selaku Manager Pelaksana YPAC Jakarta mengatakan bahwa : “Tujuan yang diharapkan ini tercapai walaupun bila dalam presentasinya belum mencapai seratus persen karena kan kemandirian seseorang atau setiap klien itu berbeda. Apalagi klien di YPAC Jakarta ini rata-rata terdiagnosis CP yah. Sehingga tujuan tersebut kembali lagi kepada kasusnya masing-masing, kasusnya ringankah, sedang, atau berat. Tapi pada umumnya tujuan umum bahwa terapi okupasi ini dapat dicapai, melihat dari kemajuan program terapinya masing-masing dan berdasarkan laporan dari terapisnya, bahwa beberapa goalnya tercapai”.40 Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tujuan secara keseluruhan memang kemandirian pada klien. Namun tujuan-tujuan tersebut disesuaikan kembali kepada kondisi klien. Tujuan yang telah dicapai dalam terapi okupasi ini yaitu berupa semakin meningkatnya program terapi yang diberikan kepada klien. Misalnya saja klien tersebut terdiagnosis CP spastic, ketika awal datang klien tersebut tidak dapat melakukan gerakan apapun, tetapi saat ini sudah mampu menggenggam melalui program terapi hand skill. Keberhasilan terapi okupasi tersebut telah dirasakan nyata oleh klien terapi okupasi. Hal ini tertuang dalam hasil wawancara dengan keluarga klien :
39
Wawancara dengan Ibu Rizka Sastika Dewi (selaku terapis okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 14.41 WIB. 40 Wawancara dengan Ibu Kiki Dian Avrianti (selaku Manager Pelaksana YPAC), Jakarta, 21 Mei 2014, pukul 11.07 WIB.
91
“Terapinya makin berkembang, kaya cucu saya yang awalnya pas dateng ke sini ga bisa ngapa-ngapain. Tapi alhamdulillah sekarang mah udah sedikit-sedikit megang sendok buat makan. Karena disini dilatih tangannya itu diterapi lewat alat permainannya yang ada disini”.41 Tujuan-tujuan dari terapi okupasi terhadap para klien yang telah tercapai saat ini menurut pengamatan peneliti serta hasil wawancara dengan terapis, klien, dan keluarga klien yang terkait dalam terapi okupasi ini adalah disesuaikan dengan indikator dari masing-masing program yang diberikan. Misalnya saja saat ini klien yang mengikuti program hand skill saat ini sudah mampu menggenggam suatu benda, serta dapat melakukan aktivitas keseharian seperti menggegam sendok makan. Kemudian untuk program terapi control postural tujuan-tujuan yang telah dicapai saat
ini
klien
dapat
melakukan
perencanaan
gerak
dengan
menggerakkan anggota tubuhnya dan menjaga keseimbangan tubuhnya. Dari penjelasan di atas membuktikan bahwa memang terjadi perubahan terhadap kondisi klien setelah mengikuti terapi okupasi
4.
Kepuasan Klien Kepuasan klien merupakan hasil yang dirasakan dari penggunaan jasa atau pelayanan yang diberikan. Penilaian terhadap kepuasan klien berkaitan dengan : a) Keandalan (reliability)
41
Wawancara dengan Informan SP (selaku kakek klien BK), Jakarta, 19 Juni 2014, pukul 11.28 WIB.
92
Keandalan
(reliability)
merupakan
kemampuan
untuk
melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan. Jam kerja terapis berlaku dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 15.00 WIB. Apabila dilihat dari jam kerja terapis, dapat diketahui bahwa jam kerja terapis tidak tepat waktu. Seperti kutipan hasil wawancara berikut ini : “Heeem gimana ya, ya kadang-kadang kalo saya dateng pagi, itu terapisnya belom dateng semua. Jadi yang udah dateng baru dua orang aja, tapi klien yang dateng udah banyak. Jadi mau ga mau harus nunggu antri gantian”.42 Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapakan informan YL : “Kalo misalnya mau terapi ya biasanya sih terapisnya udah ada di tempat jadi udah siap nunggu klien dateng gitu. Jadi yaa gitu yaa apa sih, heeem semua udah siap nanganin klien pas sesuai sama waktunya. Cuma kadang-kadang ga sampe sore, waktu itu pernah dateng jam tiga, eeh ga taunya udah pada pulang Bu Ana dan yang lain (sambil tertawa)”.43 Selain itu apabila dilihat dari pembagian jadwal terapi klien, terapis memberikan pelayanan terapi sesuai ketepatan jadwal yang telah ditentukan. Klien terapi okupasi sendiri berjumlah 44 orang, sehingga untuk menghindari agar tidak terbentur jadwal terapi antara klien yang satu dengan yang lain, maka dari itu terapis membagi jadwal terapi. Setiap klien terapi okupasi sejak mendaftarkan diri mengikuti terapi okupasi akan mendapatkan jadwal terapi. Klien dapat mengikuti terapi okupasi 1 minggu sebanyak 2 kali. Sebagaimana pernyataan berikut ini : 42
Wawancara dengan Informan MY (selaku orangtua dari klien TH), Jakarta, 24 Juni 2014, pukul 12.26 WIB. 43 Wawancara dengan Informan YL (selaku pengasuh (care giver) dari klien SK), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.58 WIB.
93
“Kedatangan anak untuk terapi seminggu 2 kali, yang jelas tidak boleh dilakukan diluar jadwal karena masing-masing udah ada pembagian jadwalnya. Dengan waktunya ada yang 30 atau 45 menit. Tiap anak berbeda-beda kenapa ada yang 30 dan 45 menit. Biasanya kita melihat kondisi anaknya, misalkan anak itu baru bisa bertahan sebentar paling kita cuma 30 menit. Dan kalau dia bertahannya lebih lama kita bisa sampai 45 menit”.44 Hal senada juga disampaikan oleh Informan MY sebagai berikut : “Pas saya sama anak saya mau terapi, saya dateng sesuai sama jadwal yang udah ada di kartu merah. Anak saya terapi hari Selasa sama Kamis. Jadi ya ga bisa terapi selain hari itu, karena kan yang mau terapi banyak juga ga anak saya aja. Jadi ganti-gantian harinya”.45 Dari hasil wawancara di atas terlihat bahwa klien mengikuti terapi sudah sesuai dengan jadwal. Setiap klien tidak dapat mengikuti terapi di luar jadwal yang telah ditetapkan. Waktu terapi klien juga sudah di atur, waktunya berkisar antara 30 sampai 45 menit. Untuk waktunya sendiri tidak ada penambahan waktu. Apabila waktunya telah selesai maka proses terapi dapat diakhiri. Sehingga dapat disimpulkan dari hasil pernyataan keluarga klien, terapis datang tidak tepat waktu, memang jam kerja yang berlaku bagi terapis okupasi belum dijalankan sepenuhnya oleh terapis. Hal ini menunjukkan bahwa klien beserta keluarganya menginginkan keandalan terapis dalam menjalankan jam kerjanya sesuai ketepatan waktu yang berlaku berdasarkan jam kerja mulai pukul 08.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB.
44
Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.28 WIB. 45 Wawancara dengan Informan MY (selaku orangtua klien TH), Jakarta, 24 Juni 2014, pukul 12.26 WIB.
94
Sedangkan untuk pembagian jadwal terapi bagi klien dapat disimpulkan bahwa sudah memuaskan, dengan pembagian jadwal sebanyak 2 kali seminggu dengan waktu 30-45 menit maka hal ini tidak akan menyebabkan jadwal berbenturan antara klien satu dengan klien yang lain. Terapis memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara segera, akurat, dan memuaskan sesuai jadwal klien yang telah ditentukan. b) Ketanggapan (responsiveness) Ketanggapan (responsiveness) merupakan kemampuan dalam memberikan pelayanan kepada klien untuk cepat tanggap dalam menghadapi masalah yang timbul. Selain itu ketanggapan (responsiveness) juga dapat diartikan dengan ketersediaan untuk melayani klien dengan baik. Terapis juga tanggap terhadap permintaan bantuan dari klien. Seperti yang dikatakan salah satu klien sebagai berikut : “Baik ko semuanya, pas awal dateng mereka ramah. Anggep aku sama mamah kaya keluarga sendiri. Buktinya mereka suka nolong pas aku baru dateng, kan aku digendong mamah turun dari kursi. Nah Bu Ana biasanya suka bantu angkat bangku buat aku duduk”.46 Selain itu ketanggapan (responsiveness) yang ditunjukkan terapis kepada klien melalui pendekatan saat pertama kali klien datang ke terapi okupasi. Sebagaimana hasil wawancara berikut ini : “Pas awal kan anak saya nangis dateng ke sini ya, jadi ya terapisnya ngedektin pelan-pelan. Akhirnya lama-lama ga 46
Wawancara dengan klien TH, Jakarta, 24 Juni 2014, pukul 15.26 WIB.
95
nangis. Ngedeketin itu awalnya pake mainan, kebetulan namanya cowo yah suka mainan bola hehehehe. Ya menurut saya udah bagus ko, bisa bikin anak saya yang nangis jadi ga nangis lagi”.47 Dalam hal ini saat klien pertama kali datang klien tersebut belum mampu beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga tidak sedikit klien yang menangis ketika memasuki ruang terapi. Maka dari itu umumnya terapis tanggap terhadap perilaku klien tersebut dan segera menanganinya dengan mencari hal yang digemari oleh klien. Dari hasil wawancara diatas, bahwa terapis selalu tanggap kepada klien apabila klien sedang menjalani terapi ketika berada di dalam ruang terapi karena orangtua tidak diperbolehkan masuk dan harus menunggu di luar. Selain itu sikap tanggap terapis dengan melakukan pendekatan terhadap klien baru agar klien baru tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya. c) Keyakinan (assurance) Keyakinan (assurance) adalah kemampuan memberikan kepercayaan dan kebenaran atas pelayanan yang diberikan kepada klien. Pengetahuan merupakan salah satu bekal yang harus dimiliki terapis ketika memberikan layanan terapi kepada klien. Dalam hal ini terapis yang memberikan pelayanan terapi okupasi ada beberapa yang belum memenuhi standar pendidikan sebagai seorang terapis.
47
Wawancara dengan Informan MY (selaku orangtua Klien TH), Jakarta, 24 Juni 2014, pukul 12.26 WIB.
96
Dapat diketahui bahwa SDM terapi okupasi 4 orang, terdiri dari, 1 penanggung jawab, dan 1 terapis sudah memenuhi standar pendidikan, sedangkan 2 terapis bukan lulusan terapi okupasi. Namun kedua orang tersebut meskipun bukan lulusan terapi okupasi tetapi sanggup dan dapat melakukan terapi terhadap klien dengan berbagai kelainan. Mereka sudah menjadi terapis selama puluhan tahun. Sehingga mengerti cara memperlakukan klien yang berbeda-beda kecacatannya. Selain itu sikap kedua orang terapis tersebut juga ramah dalam memberikan pelayanan terapi okupasi. Maka dari itu meskipun kedua orang tersebut belum memenuhi kualifikasi pendidikan terapi okupasi, tetapi para klien dan keluarganya tidak ada yang keberatan dengan hal tersebut. Selain pengetahun sebagai bentuk keyakinan atau jaminan (assurance) kepada klien, sikap sopan yang dimiliki terapis juga berperan dalam pemberian penanganan kepada klien. Hal ini seperti yang diungkapkan Informan YL : “Bagus ko ya kesopanannya, nyapa yang dateng panggil namanya, kata-katanya baik gitu. Tapi ya ga terlalu kaku juga sih, kalo terlalu kaku yang dateng terapi pasti ga deket sama mereka. Ya pokonya santai lah”.48 Kemudian hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah sikap terapis yang dapat dipercaya. Sifat dapat dipercaya merupakan salah satu kode etik dalam profesi terapi okupasi. Sebagaimana dikutip dari hasil wawancara berikut :
48
Wawancara dengan Informan YL (selaku pengasuh (care giver) dari klien SK), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.58 WIB.
97
“Bisa dipercaya, cucu saya kan udah dua taun ya ikut terapi okupasi di sini dan tiap mau terapi saya yang anter. Jadi saya udah tau lah dan percaya sama terapis-terapisnya”.49 Hal lain juga diungkapkan dari hasil wawancara dengan terapis berikut ini : “Selama ini berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kerahasiaan tentang klien. Heeem cara menjaganya dengan tidak menyebarkan informasi, ya informasi keluar kaya misalnya dari rekam medisnya kaya gitu. Terusnya dengan tidak membicarakan kasus-kasusnya keluar gitu”.50 Kesimpulan dari hasil wawancara tersebut bahwa kerahasiaan seputar klien sangat terjamin di YPAC Jakarta. Terapis sebagai pemberi layanan kepada klien sangat memegang teguh prinsip untuk tidak menyebutkan informasi seputar klien. Karena menjaga kerahasiaan klien merupakan salah satu tanggungjawab yang diberikan klien kepada terapis. Ketika klien mengikuti terapi okupasi, klien beserta keluarga percaya bahwa segala identitas dirinya akan sepenuhnya dijaga oleh terapis dengan baik. Oleh karena itu terapis mempunyai kewajiban menjaga infromasi seputar kondisi klien yang diperolehnya dari hasil pengkajian dan proses terapi, kecuali dengan klien itu sendiri, dengan orangtua klien, dengan kolega klien ataupun pada saat persidangan ketika ada kasus pembelaan hukum. d) Kepedulian (emphaty)
49
Wawancara dengan Informan SP (selaku kakek dari klien BK), Jakarta, 19 Juni 2014, pukul 11.28 WIB. 50 Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.28 WIB.
98
Kepedulian (emphaty) merupakan kemampuan membina hubungan, perhatian, dan memahami kebutuhan klien, serta kemudahan untuk dihubungi. Memberikan perhatian kepada klien adalah sebuah nilai tambah bagi seorang terapis. Dengan perhatian yang terapis berikan tersebut akan memberikan kenyamanan kepada klien ketika melakukan terapi yang pada akhirnya akan semakin cepat dalam mencapai tingkat keberhasilan terapi tersebut. Seperti yang diungkapkan sebagai berikut : “Yaaaa gitu kak mereka baik ko selalu nanya kalo aku dateng. Jadi pas aku baru duduk biasanya ditanya, “apa kabar hari ini ? udah makan belum ? tadi dianter siapa ?”.51 Dari hasil wawancara tersebut hasilnya bahwa semua terapis memiliki rasa kepeduliaan yang tinggi. Ramah tamah dalam bersikap dibuktikan dengan memberikan perhatian dengan bertanya kabar kepada klien. Dimana hal kecil itu sebagai salah satu upaya untuk membina kedekatan hubungan antara terapis dengan klien. Rasa kepedulian (emphaty) lain yang diberikan terapis adalah dengan membina hubungan dengan klien dan keluarganya. Terapis membuka diri kepada keluarga apabila ada hal yang ingin ditanyakan di luar waktu terapi. Sebagaimana hasil wawancara berikut : “Komunikasi saya lakukan ada yang langsung, ada yang lewat sms atau telpon kaya gitu. Pokonya ya apa namanya saya menerima komunikasi dengan keluarganya dengan cara apapun”.52 51
Wawancara dengan klien BK, Jakarta, 19 Juni 2014, pukul 10.04 WIB. Wawancara dengan Ibu Robiatul Adawiyah (selaku penanggung jawab terapi okupasi YPAC), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.28 WIB. 52
99
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa terapis memberikan pelayanan secara individual kepada klien. Kemudian terapis juga berupaya untuk memperhatikan keadaan klien. Dari sikap peduli yang ditunjukkan terapis, hal ini dapat membuat klien beserta keluarganya merasa nyaman. Kemudian terapis juga bertanggung jawab terhadap klien dengan membuka diri untuk mudah dihubungi, juga dapat berdampak positif terhadap klien. Pada saat terapis mudah untuk diakses maka mendekatkan diri kepada keluarga klien akan semakin mudah. Dengan demikian ketika terapis dan keluarga sudah terjalin hubungan hal ini akan semakin memudahkan untuk saling mendukung penyembuhan klien. e) Bukti langsung (tangible) Bukti langsung (tangible) merupakan fasilitas fisik dan penampilan perorangan yang dapat dirasakan langsung oleh penerimanya, baik itu klien sendiri yang mengikuti terapi ataupun keluarga dan pengasuh (care giver) yang mengantar klien terapi. Penataan ruangan memadai dengan ruangan yang tertutup dan berbagai sarana yang digunakan. Media terapi yang digunakan sudah memadai dan kebersihannya terjaga. Sebagaimana hasil wawancara berikut ini : “Heeem ya bagus, alat-alatnya lengkap dan sesuai sama penyakit klien yang dateng ke sini. Kan anak saya CP ya jadi ada alat mainan supaya CP nya cepet sembuh, meskipun butuh waktu lah. Terus ruangannya enak ko nyaman, malah suka bikin saya ngantuk pas masuk ke dalemnya hehehehe
100
terus rapi, kalo alat-alatnya kalo abis dipake langsung ditaro di lemari biasanya”.53 Namun hal tersebut tidak sejalan dengan yang diungkapkan oleh Informan SP, yaitu sebagai berikut : “Agak kurang yah menurut saya. Di dalem ada bangku kan, tapi itu ga bisa dipake sama cucu saya. Soalnya badannya makin ke sini makin gede jadi bangkunya udah ga muat dipake. Kalo dulu masih bisa pake, tapi sekarang ga bisa. Jadinya ya akhirnya kursi rodanya masuk ke dalem”.54 Dari keterangan hasil wawancara di atas bahwa untuk sarana seperti media terapi memang bermacam-macam. Dengan media terapi yang bermacam-macam jenisnya tersebut sudah cukup sebagai bahan terapi untuk klien. Namun sarana lain seperti bangku untuk klien duduk ketika melakukan terapi hanya terdiri dari dua macam, yaitu ukuran kecil dan ukuran sedang. Belum tersedia ukuran besar untuk klien yang memiliki ukuran tubuh besar. Akan tetapi, selama ini bagi klien yang tidak dapat menggunakan bangku tersebut, maka klien melakukan terapi di atas matras yang telah disediakan atau di atas kursi roda yang mereka pakai. Sehingga diperlukan penambahan bangku yang beragam sesuai dengan kondisi klien. Kemudian kebersihan dari fasilitas fisik yang ada sangat terjaga dengan baik. Sehabis dipakai biasanya media terapi yang digunakan langsung dirapikan kembali dimasukkan ke dalam lemari sehingga membuat alat-alat tersebut terhindar dari kotoran. 53
Wawancara dengan Informan MY (selaku orangtua dari klien TH), Jakarta, 24 Juni 2014, pukul 12.26 WIB. 54 Wawancara dengan Informan SP (selaku kakek dari klien BK), Jakarta, 19 Juni 2014, pukul 11.28 WIB.
101
Dan bangku ataupun meja sesudah dipakai langsung ditata kembali ke posisi awalnya. Lalu bukti langsung yang dirasakan oleh klien maupun keluarganya adalah penampilan terapis. Terapis sebagai pemberi layanan sudah menjadi kewajiban untuk memiliki penampilan yang bersih dan rapi. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara berikut : “Yang saya perhatiin sih penampilannya sopan dan rapi yah. Soalnya kan yang diliat orang pasti dari penampilan luarnya yah. Yang penting baju yang dipake itu sopan-sopan”.55 Penampilan mencerminkan bahwa terapi yang diberikannya dapat meyakinkan klien beserta keluarganya. Dalam setiap harinya terapis datang dengan penampilan yang rapi dan bersih. Karena terapis yang memberikan pelayanan dengan penampilan yang rapi, bersih, dan sopan akan membuat klien dan keluarganya semakin memberikan kenyamanan saat melakukan terapi.
55
Wawancara dengan Informan YL (selaku pengasuh (care giver) dari klien SK), Jakarta, 20 Juni 2014, pukul 12.58 WIB.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Ruang terapi okupasi berukuran 4x8 m2 digunakan untuk terapi individual dan terapi kelompok. Seharusnya setiap ruang terapi individual dan
kelompok
konsenterasi
keberadaannya
klien.
Terapi
terpisah
okupasi
agar
tidak
menggunakan
mengganggu
metode
Neuro
Development Treatment (NDT), Sensory Integration (SI), Activity Daily Living (ADL), dan Behaviour Treatment (BT). Ruang administrasi dan ruang tunggu sudah tersedia digunakan sebagai penunjang pemberian layanan. berfungsi untuk pendaftaran klien baru, pembayaran iuran sekolah atau terapi klien, dan menyimpan hasil rekam medis klien. Tahapan dalam terapi okupasi teridri dari asessment, rencana program terapi, proses terapi, evaluasi, dan follow-up. Dalam terapi okupasi dipimpin oleh seorang penanggung jawab dan terdiri dari 3 orang terapis. Sasaran terapi okupasi adalah klien yang memiliki keterbatasan fisik tanpa membedakan jenis kelamin, usia, dan status sosial. Setiap klien yang mengikuti terapi okupasi mempunyai program terapi masing-masing. Program terapi tersebut disesuaikan dengan kemampuan dan kelainan yang diderita oleh klien. Sedangkan tujuan akhir dari program terapi itu berupa pemulihan dan peningkatan organ tubuh agar terbentuk kemandirian. Waktu pelayanan terapi okupasi yang dimulai dari pukul 08.00 WIB sampai 15.00 WIB. Terapi cepat tanggap terhadap permintaan bantuan klien. Pengetahuan terapis sudah diterapkan dalam proses terapi,
102
103
terapis memberi program terapi sesuai dengan kelainan klien. Terapis memiliki kepedulian yang tinggi kepada klien. Bukti fisik seperti fasilitas dan penampilan terapis sudah cukup baik sehingga memberikan kenyamana terhadap klien. Sehingga dapat disimpulkan hasil dari penelitian evaluasi proses ini bahwa, pelayanan terapi okupasi yang diselenggarakan YPAC Jakarta yaitu sedang. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal yang belum terpenuhi seperti belum adanya alat tes pemeriksaan, belum tersedia parkiran kursi roda untuk menunjang pelayanan, dan terdapat 2 orang terapis yang belum memenuhi standar pendidikan sebagai terapis yaitu minimal Diploma III
B.
Saran-saran Dari hasil penelitian ini, peneliti ingin memberikan beberapa saran yang dapat disampaikan, antara lain : 1.
Peningkatan pengembangan kompetensi dapat ditingkatkan untuk terapis yang latar pendidikannya belum sesuai standar, agar mereka semakin memperkaya ilmu pengetahuannya.
2.
Perlu adanya pemisahan antara ruang terapi individual dan terapi kelompok.
3.
Diperlukan penambahan parkiran kursi roda agar kursi roda yang digunakan klien tidak masuk ke dalam ruang terapi.
4.
Diharapkan adanya pengadaan alat tes pemeriksaan seperti alat tes respirasi, alat tes sensorik, alat tes koordinasi dan keseimbangan, serta alat tes kognitif.
DAFTAR PUSTAKA
Adi,
Isbandi Rukminto. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas: Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2001.
Agustyawati dan Solicha. Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN, 2009. Barnes, Colin. Disabilitas: Sebuah Pengantar. Penerjemah Siti Napsiyah, MSW. Edisi Indonesia pada PIC UIN Jakarta, 2007. Brosur YPAC Jakarta Buku Profil YPAC Jakarta, 2012. Chaplin, JP. Kamus Lengkap Psikologi, Penerjemah Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Press. Christiansen, Charles H. dan Baum, Carolyn M. Occupational Therapy: Enabling Function and Weell Being. United States of America: Slack Incorporated, 1997. Coleridge, Peter. Pembebasan dan Pembangunan: Perjuangan Penyandang Cacat di Negara-Negara Berkembang, Penerjemah Omi Intan Naomi. Edisi Indonesia pada Pustaka Belajar, 1997. Delpie, Bandi. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Refika Aditama, 2006. Doyle, Phylis B dan Goodman, John F. Membantu Anak Yang Menderita Cacat Berat. Edisi Indonesia pada Binacipta, 1986. Efendi, Mohammad. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Fatimah, Dati. “Bencana dan Kerelawanan Perempuan Diffabel”, Jurnal Galang. Vol. 3 No. 1. Februari: 2008. Fauziah, Rizki. “Hubungan Antara Penerimaan Orangtua Dan Konsep Diri Dengan Motivasi Berprestasi Remaja Penyandang Tunadaksa.” Skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Garner, Geraldine. Social and Rehabilitation Service. United States: McGrawHill, 2008. Hartono, Andri. Buku Pegangan Terapi Okupasi. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica, 1990.
104
105
Hidayati, Nurul. Evaluasi Program. (Jakarta: Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, 2008). Hurlock, Elizabeth B. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 1978. Jones, Richard Nelson. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Jakarta: Pustaka Belajar, 2011. Kartadinata, Sunarya. Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kementeriaan Kesehatan. Panduan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Swasta, 2009. Lee, Jennifer M. Segi Praktis Fisioterapi. Penerjemah Hartono Satmoko. Jakarta: Binarupa Aksara. Majid, Suharto Abdul. Customer Service Dalam Bisnis dan Jasa Transportasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001. Mowen, John C dan Minor, Michael Perilaku Konsumen. Penerjemah Dwi Kartini Yahya. Edisi Indonesia Pada Penerbit Erlangga, 2002. Hamid, Nasuhi. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: Center For Quality Development and Assurance. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Nasution. Metode Reseacrh: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Nurkacana, Wayan. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1976. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Fasilitas Pelayanan Kesehetan Swasta. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Standar Profesi Terapi Okupasi. Rahayu, Sri. “Evaluasi Pelaksanaan Program Terapi Wicara Dalam Meningkatkan Perkembangan Anak Terlantar Di Yayasan Sayap Ibu Kebayoran Baru, Jakarta Selatan”. Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
Rahman, Maman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia, 1999. Ruslan, Rosadi. Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004. Sejarah Berdirinya YPAC, Artikel diakses pada Kamis 28 Mei 2014 dari www.ypacjakarta.or.id. Standar Praktek Keperawatan. Departemen Kesehatan. 1988. Suharto, Edi. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta, 2010.
106
Suharto, Edi. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta, 2011. Suharto, Edi. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Jakarta: Refika Aditama, 2005. Soeharto, Irawan. Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Dibidang Kesejahteraan Sosial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Sudijono, Anas. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996. Susandijani. Terapi Alternatif. Yogyakarta: Yayasan Spiritia, 2004. Tambunan, Rudi M. Standard Operating Procedurs. Jakarta: Maiestas Publishing, 2008. Tayibnapis, Farida Yusuf. Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 ayat 1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Valentine. “Penatalaksanaan Okupasi Terapi Dalam Aktivitas Makan Dan Memegang Pensil Pada An.B Usia 11 Tahun Dengan Diagnosa Cerebral Palsy Spastik Diplegia Di Ruang OT YPAC”. Laporan Akhir D3 Program Studi Okupasi Terapi, Program Vokasi, Universitas Indonesia, 2013. Wahyudi. Agustinus Sri. Manajemen Strategik : Pengantar Proses Berpikir Strategik. Medio : Binarupa Aksara, 1996. Wati, Eka. “Evaluasi Program Bina Diri Untuk Pengembangan Kemandirian Anak Tunagrahita Di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 01 Jakarta”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
107
108
109
Catatan Observasi Penelitian Terapi Okupasi YPAC Jakarta Tanggal Waktu Tempat Fokus Observasi
: 20 April 2014 : Pukul 14.00 WIB : YPAC Jakarta : Sarana terapi (meja dan kursi) Hasil Observasi
Di dalam ruang terapi terdapat sarana terapi, sarana terapi tersebut terdiri dari meja dan kursi yang dipergunakan untuk klien selama proses terapi. Ada dua jenis meja dan kursi, yang pertama adalah meja dan kursi untuk klien berusia dewasa yang berjumlah 2 (dua) buah dengan posisi meja dan kursi menyatu, berwarna cokelat. Kemudian yang kedua adalah meja dan kursi untuk anak-anak berusia 2 (dua) sampai 5 (lima) tahun yang terdiri dari 1 (satu) meja besar dan setiap sisinya terdapat 4 (empat) buah kursi, berwarna merah dengan dominan warna biru dan kuning. Pada tiap sisi meja dibentuk cekungan setengah lingkaran. Hal ini untuk menahan agar anak dapat duduk di tempat pada saat terapi sedang berlangsung. Selain itu ada 4 (empat) buah kursi tambahan yang dipakai untuk klien yang tubuhnya berukuran besar tetapi tidak ada mejanya. Karena kedua jenis meja dan kursi yang tersedia tidak dapat dipergunakan oleh klien yang tubuhnya besar. Biasanya klien yang bertubuh besar duduk di kursi dan meja staf ataupun duduk di atas kursi rodanya. Sehingga diperlukan tambahan kursi untuk klien yang tubuhnya besar.
Tanggal Waktu Tempat Fokus Observasi
: 30 April 2014 : Pukul 08.00 WIB : YPAC Jakarta : Parkiran kursi roda Hasil Observasi
Di depan ruang terapi selain terdapat ruang tunggu, seharusnya juga terdapat parkiran kursi roda. Parkiran kursi roda tersebut letaknya tepat di depan ruang terapi okupasi, sehingga ada tempat untuk tempat kursi roda tersebut di atur dengan posisi sejajar. Karena sebagian besar klien di terapi okupasi menggunakan kursi roda. Namun parkiran kursi roda tersebut belum tersedia di ruang terapi okupasi. Sehingga klien yang menggunakan kursi roda biasanya kursi roda yang digunakan masuk ke dalam ruang terapi. Ukuran kursi roda yang digunakan oleh klien bermacam-macam, ada kursi roda berukuran kecil maupun besar. Hal ini membuat ruang terapi menjadi sempit dan menghalangi klien lain yang sedang terapi. Selain itu klien yang mengikuti terapi berada dalam posisi belajar yang seharusnya duduk di kursi yang telah disediakan bukan duduk di kursi rodanya. Terlebih lagi kursi roda yang digunakan para klien tersebut berasal dari luar,
sehingga ketika masuk ke dalam ruang terapi akan membuat lantai ruang terapi agak berdebu akibat kotoran yang dibawa dari luar pada kursi roda tersebut. Namun posisi ruang terapi yang berada di lantai bawah sangat strategis, sehingga untuk diakses oleh klien kursi roda maupun yang menggunakan alat bantu lain tidak terlalu sulit. Karena tidak perlu naik tangga dengan bentuk lantainya pun sejajar dengan jalanan yang rata, sangat memudahkan klien pengguna kursi roda.
Tanggal Waktu Tempat Fokus Observasi
: 13 Mei 2014 : Pukul 09.00 WIB : YPAC Jakarta : Ruang terapi Hasil Observasi
Peneliti melakukan observasi terkait ruang terapi. Ruang terapi okupasi letaknya sebelah kanan dari pintu masuk YPAC Jakarta. Di depan ruang terapi okupasi terdapat papan nama pelayanan. Kemudian di dalam ruang terapi terdapat ventilasi udara yang menjamin peredaran udara dan dilengkapi AC serta penerangan lampu yang cukup. Pada ruang terapi okupasi YPAC Jakarta terdiri dari dua ruangan. Pertama adalah ruang SI dan yang kedua adalah ruangan untuk terapi individual dan terapi kelompok yang pelaksanaan terapinya digabungkan menjadi satu. Dalam ruang terapi tersebut untuk lantainya menggunakan keramik berwarna putih dengan ukuran 30x30 cm dan berbentuk bujur sangkar. Lantai keramik memang cocok digunakan di ruang terapi okupasi ini karena mudah dibersihkan dan terbuat dari bahan yang tidak licin walaupun dalam kondisi basah. Kemudian lantainya tidak menggunakan perbedaan ketinggian, hal ini untuk memudahkan klien ketika berjalan, melompat ataupun untuk klien yang memakai kursi roda. Selanjutnya adalah dinding di dalam ruang terapi okupasi, material yang digunakan adalah batu bata dan semen yang diberi finishing cat warna putih. Warna putih tersebut membuat ruangan terlihat luas dan membuat klien nyaman karena warna putih yang digunakan memberikan efek menenangkan. Adapun terapi secara individual dilakukan untuk klien baru yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan sekaligus untuk evaluasi perkembangan klien. Dan juga untuk klien yang belum dapat atau belum mampu untuk berinteraksi dengan cukup baik didalam suatu kelompok sehingga dianggap akan mengganggu kelancaran suatu kelompok bila klien tersebut dimasukan dalam kelompok tersebut. Sedangkan terapi secara kelompok merupakan klien yang mengikuti terapi kelompok atas dasar dengan masalah yang sama atau hampir bersamaan dengan tujuan melakukan suatu aktivitas untuk mencapai tujuan. Dari segi ukuran, ruang terapi berukuran 4x8 m2. Namun pelaksanaan terapi individual dan terapi kelompok dijadikan satu dalam ruangan tersebut. Sehingga dapat mempengaruhi tingkat konsenterasi ketika klien melakukan terapi. Misalkan saja ketika banyak klien yang datang untuk terapi, bisanya dilakukan terapi secara bersamaan. Padahal untuk klien yang belum mampu terapi secara
kelompok tidak dapat melakukan hal demikian. Karena bila digabungkan secara kelompok klien tersebut belum dapat berinteraksi secara kelompok dan dianggap akan mengganggu kelancaran terapi. Umumnya klien yang belum mampu interaksi, belum dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya tersebut, hal itu biasanya ditandai dengan tangisan klien, ketakutan terhadap orang baru, tidak kooperatif, hal itu terlihat ketika diterapi belum dapat mengikuti intruksi dari terapis, lalu tidak ingin berdekatan dengan terapis maupun sesama klien, atau bahkan ada pula yang perilakunya belum bisa diarahkan sehingga cenderung mengganggu klien lain yang sedang menjalani proses terapi. Oleh sebab itu, diperlukan pemisahan ruang untuk masing-masing pelayanan terapi, seperti ruang SI yang memiliki ruang sendiri.
Tanggal Waktu Tempat Fokus Observasi
: 26 Mei 2014 : Pukul 11.00 WIB : YPAC Jakarta : Sarana terapi (media terapi) Hasil Observasi
Sarana terapi yang digunakan selain meja dan kursi adalah media terapi untuk menunjang selama proses terapi. Media terapi tersebut memiliki tujuan untuk masing-masing program terapi, seperti program maintenance, control postural, visual feel, hand skill, dan self regulation. Selain itu media terapi terdiri dari berbagai ukuran dan juga berwarna-warni. Media terapi ada yang untuk metode Sensori Integrasi (SI), untuk terapi individual, terapi kelompok, dan relaksasi. Untuk metode SI umumnya media terapi tersebut berukuran besar yang terdiri dari : 1. Flying fox (1 buah) berfungsi untuk melatih keberanian agar klien tidak merasa takut. 2. Ayunan (2 buah) berfungsi untuk mengendalikan tubuh klien ketika mendorong ke depan dan ke belakang, melatih keseimbangan dengan berayun-ayun klien akan menemukan titik keseimbangan tubuh agar tidak jatuh, dan juga mengajarkan konsep cepat dan lambat kepada klien karena semakin cepat atau lambatnya ditentukan oleh dorongan dari klien itu sendiri. 3. Papan titian (3 buah) berfungsi untukmelatih keseimbangan dalam berdiri, berjalan dan meniti, melatih keberanian dan kepercayaan diri, konsep tinggi rendah juga melatih koordinasi mata, dan juga dapat menguatkan bagian otot kaki klien. 4. Papan duri (2 buah) berfungsi untuk merangsang saraf-saraf tubuh klien. 5. Kolam bola (1 buah) berfungsi untuk sebagai pengaturan emosional klien agar menimbulkan rasa senang dalam jiwa klien, melatih keterampilan motorik halus dan motorik kasar, dan juga memperkenalkan bentuk maupun warna pada bola.
6. 7. 8.
9.
10.
Papan jembatan (1 buah) berfungsi untuk melatih ketinggian dalam keseimbangan klien sehingga klien tidak merasa takut. Batu tanjakan (5 buah) berfungsi untuk melatih keseimbangan dan memperkenalkan konsep tinggi-rendah. Terowongan (1 buah) berfungsi untuk melatih keberanian klien dan mengajarkan klien untuk mencoba mencari jalan keluar ketika sedang berada dalam terowongan. Trampolin kettler (3 buah) berfungsi untuk meningkatkan koordinasi gerak tubuh, control postural, melatih keseimbangan, dan melatih kemampuan mototik kasar. Bola kacang (2 buah) dan bola kettler (3 buah) berfungsi untuk meningkatkan keseimbangan, atensi konsenterasi, koordinasi, control postural, dan respon perubahan posisi.
Sedangkan media terapi yang digunakan untuk terapi individual, terapi kelompok ukurannya tidak terlalu besar, media terapi tersebut terdiri dari : 1. Bola (40 buah) berfungsi untuk melatih kekuatan tangan dengan melempar dan melatih kekuatan kaki dengan menendang, melatih koordinasi antara tangan, mata, dan kaki, serta melatih konsenterasi agar klien dapat tetap fokus. 2. Menara pelangi (20 buah) berfungsi untuk memperkenalkan konsep warna dan bentuk, memperkenalkan konsep hirarki atau urutan, serta melatih motorik halus. 3. Bola duri (3 buah) berfungsi untuk merangsang saraf-saraf yang terganggu agar dapat merespon. 4. Cone (5 buah) berfungsi untuk melatih motorik halus dan mengajarkan klien untuk menyusun sesuai bentuknya. 5. Tongkat panjang (2 buah) berfungsi untuk melatih kekuatan tangan. 6. Sikat sensori (2 buah) berfungsi untuk meningkatkan respon tactile, umumnya digunakan untuk klien yang mengalami gangguan sensorik. 7. Wire game (3 buah) berfungsi untuk memperhalus gerakan tangan agar lebih lentur, memperkuat konsenterasi, memperbaiki tulisan dan gambar, menambah kepercayaan diri, serta memperkuat hubungan otak kanan dan kiri sehingga terlatih untuk menyelesaikan masalah dengan lebih cepat. 8. Puzzle pasak geometri (10 buah), puzzle knop geometri (15 buah), dan puzzle fraction (10 buah) berfungsi untuk melatih hand skill, melatih konsenterasi, ketelitian dan kesabaran, memperkuat daya ingat, mengenalkan kepada klien konsep hubungan, serta dengan memilih gambar atau bentuk dapat melatih klien untuk berfikir matematis (menggunakan otak kiri). 9. Jepitan (4 buah berfungsi untuk melatih kekuatan tangan, memperkenalkan warna 10. Piano (1 buah) berfungsi untuk relaksasi klien ketika klien sedang mengalami kejenuhan saat terapi dan sebagai hiburan. 11. Kaca (1 buah) berfungsi untuk mengajarkan kepada klien untuk mengenali dirinya sendiri.
Media terapi ada yang berasal dari pihak yayasan maupun dari pihak donatur yang menyumbang. Apabila telah selesai digunakan untuk proses terapi, biasanya media terapi tersebut dimasukkan ke dalam lemari besar, kecuali media terapi untuk metode SI.
Tanggal Waktu Tempat Fokus Observasi
: 26 Mei 2014 : Pukul 13.00 WIB : YPAC Jakarta : Program terapi klien Hasil Observasi
Dalam terapi okupasi klien dilatih dari tahapan-tahapan aktivitas yang diperlukan. Sehingga yang mengikuti terapi okupasi adalah klien dengan kecacatan yang memiliki masalah aktivitas kehidupan sehari-hari, karena pada dasarnya ketika seorang individu mempunyai keterbatasan gerak atau kognitif pasti akan kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Maka dari itu tujuan akhir dari terapi okupasi adalah kemandirian agar klien mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Namun perlu diingat bahwa kemandirian bagi seorang penyandang tunadaksa bukan kemandiri seperti orang normal pada umumnya. Bagi klien penyandang tunadaksa, kemandirian itu ada yang akan mandiri sempurna, ada yang tetap pakai alat, entah itu mandiri dengan adaptasi (adaptasi dengan maupun adaptasi cara melakukannya). Cara melakukannya mungkin berbeda antara klien yang satu dengan klien yang lain. Lalu ada mandiri dengan pengawasan. Mandiri dengan pengawasan itu bisa melakukan tetapi harus diarahkan dan diawasi. Kemudian ada yang mandiri tetapi masih membutuhkan bantuan. Tujuan dari terapi okupasi memang sebuah kemandirian. Namun kemandirian tersebut dapat dicapai setelah klien melewati serangkaian program terapi yang telah ditentukan. Setiap klien yang mengikuti terapi okupasi mereka akan mendapatkan program terapi sesuai dengan diagnosis penyakit yang dialaminya. Program terapi didapatkan setelah terapis melakukan asessment kepada klien tersebut. Adapun macam-macam program terapi yang diberikan terapis berupa : 1. hand skill : hand skill merupakan program terapi untuk melatih keterampilan dan kekuatan tangan klien. Media terapi yang digunakan untuk program terapi hand skill ini seperti puzzle pasak geometri. Cara menggunakannya pertama melakukan stretching (peregangan), lalu terapis mengambil media terapi dan duduk disamping klien. Misanya terapis menggunakan puzzle pasak geometri sebagai media terapinya dalam program hand skill. Dimana dalam puzzle pasak geometri bentuknya terdiri dari diamond (bujur sangkar), trapezoid (trapesium), octagon (segi delapan), square (segi empat), circle (lingkaran), oval (bujur telur), triangle (segi tiga), rectangle (empat persegi panjang), dan pentagon (segi lima). Kemudian terapis meletakan puzzle pasak geometri dihadapan klien.
2.
3.
Lalu terapis meminta klien untuk melepaskan puzzle pasak geometri dari papannya kemudian diminta lagi untuk memasangkan kembali ke tempat yang tepat sesuai dengan bentuknya. Ketika klien memasang puzzle pasak geometri, terapis sambil memperkenalkan warna kepada klien dengan cara menunjukkan kepingan puzzle pasak geometri. Sesudah itu terapis memperkenalkan kepingan warna, terapis meminta klien untuk memasangkan kepingan puzzle pasak geometri berdasarkan bentuk yang terapis minta. Control postural : control postural merupakan program terapi mengontrol posisi tubuh. Media terapi yang digunakan untuk program terapi control postural ini seperti trampolin. Trampolin berfungsi untuk membantu membangun kondisi stamina, meningkatkan kontrol dan koordinasi. Adapun cara penggunaannya pertama klien dipersilahkan masuk ruang sensori integrasi (SI), lalu klien diminta untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu dengan berjalan di papan gabus maupun papan tanjakan. Pemanasan dilakukan selama kurang lebih 5 menit. Kemudian klien diarahkan untuk menaiki trampolin tersebut kemudian diminta agar klien melompat di atas trampolin dengan menggerakan anggota tubuhnya seperti tangan. Sehingga ketika melompat, klien dapat menjaga anggota tubuhn dengan tetap menjaga keseimbangan. Fine-motor : Fine-motor merupakan latihan meningkatkan kemampuan motorik halus pada klien. Salah satu media terapi yang digunakan dalam program terapi fine-motor adalah menara pelangi. Cara menggunakan menara pelangi yang pertama yaitu klien memasuki ruang terapi kemudian diminta untuk duduk dibangku yang ada pada ruang terapi. Terapis melakukan stretching (peregangan), kemudian terapis mengambil media terapi di lemari. Setelah itu terapis meletakkan menara pelangi di meja, dimana meja tersebut letakkan di depan klien duduk. Lalu terapis mengarahkan tangan untuk memasukkan kepingan menara ke dalam tiang menara tiang yang disediakan.
DATA KLIEN TERAPI OKUPASI DI YPAC JAKARTA No.
Inisial
No. MR
1.
ABI
00.32.72
AKS
3.
Jenis Kelamin
Status
Jakarta, 01 Mei 2007
P
Non Free
CP Spastic TBI
00.29.32
Jakarta, 30 Juli 2000
L
Non Free
CP mixed type (kelainan kromosom)
RS
00.21.32
Jakarta 04 Juni 2004
L
Non Free
CP TBI
4.
ERM
00.31.80
Jakarta, 01 Juli 2011
L
Non Free
CP TBI
5.
MFF
00.08.95
Jakarta, 31 Desember 1983
L
Non Free
CP TBI
6.
KS
00.31.73
Jakarta, 12 Oktober 2005
L
Non Free
CP Spastic Diplegi
7.
ME
00.32.99
Jakarta, 28 Juli 2011
P
Non Free
Downsyndrome
8.
NAP
00.27.07
Hongkong, 29 Januari 2003
P
Non Free
CP TBI
9.
ST
00.32.89
Jakarta, 12 November 2010
P
Non Free
CP Spastic TBI
10.
WL
00.25.01
Jakarta, 15 Juni 2005
P
Non Free
CP Spastic Quadriplegic
11.
AAN
00.32.21
Jakarta, 07 Juni 2010
L
Free
CP Diplegic
12.
AS
00.32.48
Jakarta, 19 Juni 2006
P
Free
CP monoplegic
13.
MS
00.30.13
Jakarta, 12 April 1998
L
Free
CP Spastic TBI
14.
ANJ
00.27.96
Jakarta 22 Juli 2001
P
Free
CP
15.
DKP
00.32.05
Jakarta, 03 Mei 2006
P
Free
CP TBI
2.
Tempat/Tanggal Lahir
Diagnosis
16.
RM
00.32.00
Jakarta, 06 Maret 2003
P
Free
CP Spastic Diplegic
17.
SJ
00.32.23
Jakarta, 27 Juli 2009
P
Free
CP Spastic Quadriplegic
18.
SAPS
00.31.01
Depok, 26 April 2006
P
Free
CP Hipotonik Microsefalus
19.
TH
00.30.91
Jakarta, 09 Juli 2003
L
Free
CP Spastic Diplegic
RW
00.15.11
Semarang, 18 Mei 1998
L
Non Free
CP Total Body (mild) pasca operasi
21.
AP
00.30.84
Depok, 04 Oktober 2008
L
Non Free
CP Spastic TBI
22.
AL
00.32.75
Jakarta, 07 Agustus 1996
P
Non Free
CP
23.
GA
00.31.38
Jakarta, 28 Agustus 2005
L
Non Free
CP Spastic TBI
24.
BK
00.31.61
Jakarta, 10 Juni 2001
L
Non Free
CP TBI
25.
DTM
00.31.69
Bandung, 26 Agustus 2005
L
Non Free
CP Spastic
26.
KLI
00.32.66
Sydney, 03 Mei 2010
P
Non Free
CP Hemiplegic
SK
00.32.11
Jakarta, 05 November 1992
P
Non Free
CP Tetraparesis Spastic + Microsephalus
28.
JS
00.21.99
Jakarta 21 Agustus 2009
L
Non Free
CP Spastic Total Body
29.
RKA
00.32.64
Jakarta 27 Februari 2005
P
Non Free
CP Spastic
30.
AV
00.32.63
Depok, 27 Oktober 2012
P
Non Free
CP Hemiplegic
31.
MAP
00.33.09
Jakarta, 28 Desember 2010
L
Non Free
CP
32.
KA
00.31.76
Jakarta, 20 Juni 1996
P
Non Free
CP + MR
33.
FK
00.32.74
Jakarta, 15 Januari 2007
P
Non Free
CP
20.
27.
34.
FA
00.31.65
Sydney, 08 April 2009
P
Non Free
CP
35.
JRK
00.33.25
Jakarta, 17 Desember 2012
L
Non Free
CP Spastic Diplegic
36.
ORP
00.33.26
Melbourne, 29 September 2008
L
Non Free
CP Monoplegic + Austism
37.
SAR
00.33.27
Jakarta, 17 Oktober 2006
L
Non Free
CP
38.
WW
00.33.33
Jakarta, 12 Juni 1999
P
Non Free
CP Spastic
39.
ABS
00.32.73
Depok, 10 Mei 2006
L
Non Free
CP
40.
EAP
00.29.50
Jakarta, 12 Agustus 2006
L
Non Free
CP
41.
MH
00.32.80
Jakarta, 26 Mei 2008
L
Non Free
CP
42.
RMI
00.33.10
Tanggerang, 28 Februari 2006
P
Non Free
CP Spastic TBI
43.
MSA
00.33.12
Samarinda, 06 Agustus 2011
L
Non Free
Delayed Development
44.
RA
00.31.48
Jakarta, 01 Januari 2011
P
Non Free
CP
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK MANAGER PELAKSANA
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: : : : Identitas Manager Pelaksana
Nama Usia Agama Alamat Masa Jabatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
: : : : :
Bagaimana tanggapan anda mengenai sarana dan prasarana yang tersedia dalam ruang terapi okupasi ? Bagaimana sistem rekrutment untuk terapis okupasi ? Bagaimana menurut anda mengenai kualifikasi pendidikan terapis okupasi ? Bagaimana reward atau timbal balik yang diberikan oleh yayasan kepada terapis okupasi untuk meningkatkan kinerja terapis ? Apakah pihak yayasan mengatur tata ruang terapi okupasi sudah sesuai standar ? Menurut tanggapan anda, apakah selama ini terapis okupasi sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Menurut anda, pelayanan terapi okupasi berasal dari ketetapan Pemerintah atau yayasan ? Apakah pihak yayasan dapat menerima klien terapi okupasi dari semua kalangan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan status sosial ? Apakah pihak yayasan mempunyai kebijakan untuk klien kalangan menengah ke bawah, dari segi pembayarannya, fasilitas yang digunakan, dan waktu terapi ? Bagaimana pencapaian tujuan dalam terapi okupasi ? Apakah pihak yayasan memupnyai hambatan dalam mencapai tujuan terapi okupasi ? Apakah ada keluhan dari keluarga klien terkait pelayanan terapi okupasi ? Bagaimana strategi yang dilakukan pihak yayasan untuk memperkenalkan pelayanan terapi okupasi kepada masyarakat ?
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK PENANGGUNG JAWAB
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: : : : Identitas Penanggung Jawab
Nama Usia Agama Alamat Masa Jabatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
: : : : :
Bagaimana tanggapan anda mengenai sarana dan prasarana yang kurang di dalam terapi okupasi ? Bagaimana dengan latar belakang pendidikan terapis yang tidak sesuai dengan standar yang ada ? Bagaimana cara mengatasi keterbatasan kemampuan yang anda dimiliki terapis ? Bagaimana upaya untuk mencapai kesembuhan klien dengan lebih cepat ? Apakah pelayanan terapi okupasi secara individu dan kelompok (grup) sudah berjalan selama ini ? Apakah pihak YPAC mengatur tata ruang terapi okupasi sudah sesuai standar ? Apakah selama ini terapis sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Bagaimana cara menjaga kerahasiaan seputar klien ? Bagaimana cara anda membina hubungan dan bekerja sama dengan sesama terapis atau profesi lain ? Apakah terapi okupasi YPAC Jakarta dapat menerima klien dari semua kalangan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, dan status sosial ? Apakah ada kebijakan khusus untuk klien kalangan menengah ke bawah, dari segi pembayarannya, maupun fasilitas yang digunakan, dan waktu yang diberikan ? Bagaimana pencapaian tujuan dalam terapi okupasi ? Apakah ada hambatan dalam mencapai tujuan terapi okupasi ? Bagaimana cara mempertahankan atau menigkatkan kepuasan klien ? Bagaimana cara anda cepat tanggap dalam menghadapi masalah yang timbul terhadap klien atau menanggapi keluhan yang disampaikan klien ? Bagaimana strategi yang dilakukan untuk memperkenalkan terapi okupasi kepada masyarakat ?
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK TERAPIS
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: : : : Identitas Terapis
Nama Usia Agama Alamat Masa Jabatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
: : : : :
Bagaimana tanggapan anda mengenai sarana dan prasarana yang kurang di dalam terapi okupasi ? Bagaimana cara anda untuk mendekatkan diri kepada klien dan langkah apa saja yang dilakukan untuk melakukan pendekatan terhadap klien ? Menurut anda kira-kira berpengaruh atau tidak apabila terapis memiliki latar belakang pendidikan yang tidak sesuai dengan standar yang ada ? Bagaimana upaya yang dapat anda lakukan untuk mencapai kesembuhan klien dengan lebih cepat ? Apakah pelayanan terapi okupasi secara individu dan kelompok (grup) sudah anda lakukan selama ini ? Apakah pihak YPAC mengatur tata ruang terapi okupasi sudah sesuai standar ? Apakah selama ini anda sebagai terapis sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Bagaimana cara anda menjaga kerahasiaan seputar klien ? Bagaimana cara anda membina hubungan dan bekerja sama dengan sesama terapis atau profesi lain disini ? Apakah pihak YPAC dapat menerima klien dari semua kalangan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, dan status sosial ? Apakah terapi okupasi dapat dihentikan apabila klien sudah mencapai tingkat kemandiriannya ? Bagaimana pencapaian tujuan dalam terapi okupasi ? Apakah ada hambatan dalam mencapai tujuan terapi okupasi ? Bagaimana cara anda mempertahankan atau menigkatkan kepuasan klien ? Bagaimana cara anda cepat tanggap dalam menghadapi masalah yang timbul terhadap klien atau menanggapi keluhan yang disampaikan klien ? Strategi apa yang dilakukan YPAC untuk memperkenalkan pelayanan-pelayanannya, salah satunya pelayanan terapi okupasi, sehingga klien mengetahui keberadaan YPAC dan klien tertarik ?
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK ORANGTUA KLIEN Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: : : :
Nama Usia Agama Alamat Status
: : : : :
Identitas Keluarga atau Pengasuh (Care Giver) Klien
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Bagaimana pendekatan yang dilakukan terapis kepada klien selama ini ? Menurut tanggapan anda apakah selama ini sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Bagaimana respon anda terhadap pelayanan yang diberikan terapis ? Apakah terapi okupasi sudah mencapai tujuan yang anda harapkan ? Apakah terapis memberikan pelayanan sesuai ketepatan waktu ? Apakah pelaksanaan terapi sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan ? Apakah terapis memiliki kemampuan menolong apabila klien mengalami kendala saat proses terapi okupasi ? Apakah pengetahuan yang dimiliki terapis sudah sesuai untuk menjalani proses terapi okupasi ? Bagaimana kesopanan terapis dalam menghadapi klien atau keluarganya ? Apakah sikap terapis dapat dipercaya dalam menjaga kerahasiaan seputar klien ? Apakah terapis memiliki rasa peduli untuk memberikan perhatian kepada klien ? Bagaimana cara terapis memberi tahu perkembangan klien ? Bagaimana menurut anda keadaan fasilitas dan peralatan yang digunakan selama proses terapi okupasi ? Bagaimana keadaan ruang terapi okupasi ? Bagaimana tanggapan anda mengenai penampilan terapis ? Dari mana anda mengetahui keberadaan YPAC ? Apa harapan anda terhadap pelayanan terapi okupasi ?
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK KLIEN Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: : : : Identitas Klien
Nama Usia Jenis Kelamin Agama Alamat Status Awal terapi
1. 2. 3. 4. 5. 6.
: : : : : : :
Bagaimana pendekatan yang dilakukan terapis kepada anda selama ini ? Apakah terapis memberikan pelayanan sesuai ketepatan waktu ? Apakah pelaksanaan terapi sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan ? Apakah terapis memiliki kemampuan menolong anda saat proses terapi okupasi ? Apakah terapis memiliki rasa peduli untuk memberikan perhatian kepada anda ? Bagaimana menurut anda keadaan fasilitas dan peralatan yang digunakan selama proses terapi okupasi ?
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: Kamis, 3 Juli 2014 : 09.19 WIB : Ruang kerja manager : Manager Pelaksana YPAC Jakarta Identitas Manager Pelaksana
Nama Usia Agama Alamat Masa Jabatan
: Kiki Dian Avrianti : 38 tahun : Islam : Jalan Kubis III, Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan : Sudah menjabat sejak 2010
HASIL WAWANCARA 1.
Bagaimana tanggapan anda mengenai sarana dan prasarana yang tersedia dalam ruang terapi okupasi ? Jawaban : Kalau ada yang masih kurang, dari pihak yayasan biasanya mengupayakan untuk dilengkapi sesuai dengan permintaan atau kebutuhan dari terapi okupasi itu sendiri.
2.
Bagaimana sistem rekrutment untuk terapis okupasi ? Jawaban : Sistem rekrutment biasanya kita melalui iklan. Lalu tahapan yang harus dilalui adalah wawancara, job test, tes psikologi, dan tes kesehatan. Selanjutnya apabila sudah diterima, masa percobaan selama 3 bulan. Setelah itu dilakukan seleksi karyawan tetap dan selanjutnya proses pengangkatan karyawan tetap.
3.
Bagaimana menurut anda mengenai kualifikasi pendidikan terapis okupasi ? Jawaban : Ya kualifikasi pendidikan itu sesuai sama peraturan Pemerintah, kalau ga salah itu harus DIII ya. Untuk penanggung jawab terapi okupasi susah sesuai lulusan D III, untuk 1 orang terapisnya juga sudah sesuai lulusan D III. Namun memang ada 2 terapis yang bukan lulusan D III. Tetapi kedua orang itu sudah berpengalaman cukup lama sama anak-anak tunadaksa terutama yang menderita kelainan CP. Pengabdian mereka sudah cukup lama sehingga kita membolehkan untuk mereka tetap menjadi terapis tapi cuma asisten. Selain itu pihak yayasan juga membekali asisten terapis dengan pengembangan kompetensi walaupun secara gelar bukan D III. Yayasan mengupayakan pelatihan dan pengembangan SDM. Dimana pelatihan dan pengembangan SDM tersebut ya untuk perbaikan mutu dan kualitas SDM itu sendiri agar nantinya semakin baik dalam memberikan pelayanan.
4.
Bagaimana reward atau timbal balik yang diberikan oleh yayasan kepada terapis okupasi untuk meningkatkan kinerja terapis ? Jawaban : Heeem tidak ada reward untuk para terapis. Dari pihak yaysan hanya berupaya untuk memenuhi standar UMP saja.
5.
Apakah pihak yayasan mengatur tata ruang terapi okupasi sudah sesuai standar ? Jawaban : Ruang terapi okupasi ini disini tempatnya pindah-pindah. Kalau ga salah sudah 3 kali pindah dan yang terakhir yang saat ini. untuk luas ruangannya belum sesuai karena dalam ruang terapi okupasi ada macem-macem, ada untuk terapi, meja kerja penanggung jawab dan terapisnya, belum lagi ada klien yang sedang terapi. Tapi kita sedang merencanakan revitalisasi ruang terapi. Kemudian kalau ruang tunggu untuk para keluarga atau pengasuh klien sudah ada. Loket untuk menyimpan rekam medis ataupun pembayaran terapi klien juga sudah ada.
6.
Menurut tanggapan anda, apakah selama ini terapis okupasi sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Jawaban : Dari evaluasi yang kami lakukan sih sudah yaa sesuai dengan peran dan fungsi mereka.
7.
Menurut anda, pelayanan terapi okupasi berasal dari ketetapan Pemerintah atau dari pihak yayasan ? Jawaban : Berasal dari yayasan, lalu bila dilihat dari pendirian yayasan sendiri juga bukan dari ketetapan Pemerintah. Pemerintah hanya memberikan lahannya saja, ya lahan yang sekarang dipakai saat ini. YPAC Jakarta ini salah satu lembaga sosial yang bergerak dalam pembinaan anak cacat yang mengedepankan rehabilitatif. Jadi makanya disini banyak macam-macam terapinya, salah satunya okupasi.
8.
Apakah pihak yayasan dapat menerima klien terapi okupasi dari semua kalangan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan status sosial ? Jawaban : Sejauh ini pihak yayasan menerima tanpa pebedaan jenis kelamin, usia, atau status sosial. Kebijakan ini berlaku untuk bidang pendidikan maupun terapi-terapinya.
9.
Apakah pihak yayasan mempunyai kebijakan untuk klien kalangan menengah ke bawah, dari segi pembayarannya, fasilitas yang digunakan, dan waktu terapi ? Jawaban : Yayasan menerima klien dari kalangan manapun, termasuk kalangan bawah. Pihak yayasan memberikan keringanan atau bahkan pembebasan biaya terapi atau sekolah untuk klien yang tidak mampu dengan persyaratan dan kunjungan rumah untuk pengecekan kondisi. Kalau fasilitas seperti fasilitas dalam terapi okupasi dapat semuanya digunakan tanpa pengecualian. Fasilitas seperti kendaraan operasional yayasan tidak menyediakan fasilitas traansportasi anatar jemput untuk klien terapi okupasi. Fasilitas transportasi dipergunakan hanya untuk sisa-siswi saja. Tetapi pihak yayasan menyediakan area parkir. Waktu terapinya sama yang klien free juga sama.
10.
Bagaimana pencapaian tujuan dalam terapi okupasi ? Jawaban : Tujuan yang diharapkan ini tercapai walaupun bila dalam presentasinya belum mencapai seratus persen karena kan kemandirian seseorang atau setiap klien itu berbeda. Apalagi klien di YPAC Jakarta ini rata-rata terdiagnosis CP yah. Sehingga tujuan tersebut kembali lagi kepada kasusnya masing-masing, kasusnya ringankah, sedang, atau berat. Tapi pada umumnya tujuan umum bahwa terapi okupasi ini dapat
dicapai, melihat dari kemajuan program terapinya masing-masing dan berdasarkan laporan dari terapisnya, bahwa beberapa goalnya tercapai 11.
Apakah pihak yayasan mempunyai hambatan dalam mencapai tujuan terapi okupasi ? Jawaban : Hambatan itu biasanya kita sulit menyamakan persepsi orangtua. Orangtua maunya ini tapi kan belum sampai disitu kemampuan anaknya. Karena kalau persepsi orangtua sudah sama dengan tujuan terapis, secara tidak langsung akan mempengaruhi kesembuhan klien.
12.
Apakah ada keluhan dari keluarga klien terkait pelayanan terapi okupasi ? Jawaban : Pernah ada complain, karena besarnya kesenjangan antara harapan orangtua dengan kemampuan anak.
13.
Bagaimana strategi yang dilakukan pihak yayasan untuk memperkenalkan pelayanan terapi okupasi kepada masyarakat ? Jawaban : Strategi yang dilakukan itu seperti mengikuti kegiatan pameran misalnya berpartisipasi dalam kegiatan CSR perusahaan atau universitas, mengupayakan kegiatan pencarian dana, mencetak brosur atau leaflet, dan mengupayakan pembuatan website
Peneliti
(Lusi Melani)
Manager Pelaksana YPAC Jakarta
(Kiki Dian Avrianti)
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: Jum’at, 20 Juni 2014 : 12.28 WIB : Ruang terapi okupasi : Penanggung jawab terapi okupasi YPAC Jakarta Identitas Penanggung Jawab
Nama Usia Agama Alamat Masa Jabatan
: Robiatul Adawiyah, A.Md. OT, Skm. : 32 tahun : Islam : Pondok Pinang, Jakarta Selatan : Sudah menjabat sejak 2011
HASIL WAWANCARA 1.
Bagaimana tanggapan anda mengenai sarana dan prasarana yang kurang di dalam terapi okupasi ? Jawaban : Oh sarana dan prasarana yang kurang (sambil tertawa) heeem yang kurang maksudnya ? (Ya misalkan apakah ada sarana prasarana yang kurang dan belum terpenuhi oleh pihak yayasan lalu menurut ibu bagaimana ?) Ohh gitu heeem kalo selama ini sih apa kalo kita kekurangan sarana atau prasarana kita ajukan ke yayasan Alhamdulillah ditanggapi tapi memang perlu waktu yah. Jadi kalo ada sarana prasarana yang kurang mengajukannya dari sini bawah ke atas. Nanti kalo misalnya memang kita ada dananya biasanya langsung ditanggapi, tapi kalo tidak ada kita akan mencari donatur kaya gitu untuk apa namanya fasilitas, karena memang alat-alatnya cukup mahal, dari segi ruangan aja sudah mahal, terusnya sama peralatan-peralatannya lumayan cukup mahal. Misalnya kebutuhan yang belum terpenuhi insya Allah mudah-mudahan terpenuhi yaitu standarisasi dari Kemenkes yang belum kita penuhi kaya alat pemeriksaan terapi okupasi. Alat-alat tes pemeriksaan itni bentuknya seperti alat tes psikologi, hampir sama seperti itu namun dengan variasi yang berbeda tentunya. Terusnya format yang berbeda juga tentunya, disini belum ada yang seperti itu
2.
Bagaimana dengan latar belakang pendidikan terapis yang tidak sesuai dengan standar yang ada ? Jawaban : Sebenernya sangat berpengaruh yah. Berpengaruhnya itu lebih ke progress anaknya. Kalo ditanya dari latar belakang pendidikan yaa pengaruhnya ke situ. Sebab kalo tidak punya latar belakang pendidikan yang sama akhirnya goal terapi untuk selanjutnya selanjutnya itu ga terarah.
3.
Bagaimana cara mengatasi keterbatasan kemampuan yang dimiliki terapis ? Jawaban :
Kalo dari segi pengetahuan ya alhamdulillah disini juga difasilitasi sama YPAC. Kalo saya ngerasa kurang kaya misalnya metode SI (sensori integrasi) kita ngerasa kurang nih, kita bisa ngajuin juga ke YPAC untuk ngikutin pelatihan kaya gitu. Yaa sepanjang selama saya disini setiap tahun saya pasti mengajukan untuk apa namanya harus ada pelatihan untuk setiap terapisnya kaya gitu. Jadi disini dijatahin yah setaun itu sekali. Setaun ada acara workshop atau seminar yang harus dihadiri terapis. Tapi itu semua dibiayai oleh pihak yayasan. 4.
Bagaimana upaya untuk mencapai kesembuhan klien dengan lebih cepat ? Jawaban : Kesembuhan yang lebih cepat yah, cepat atau tidak kan tergantung dari kondisinya masingmasing yah. Kalo kondisinya ringan kita bisa percepat. Kita bisa percepat dengan apa namanya stimulasi yang terus menerus. Harusnya biasanya menjadwalkan seminggu dua kali, ini kalo mau cepet ya tiap hari, itu bisa. Tapi kita mengajarkan anak untuk bisa hidup dengan keterbatasannya. Beda dengan ketika kita datang ke dokter, mungkin kita dikasih obat harapannya sembuh. Tapi kalo kita tidak, tidak memberikan harapan anak akan sembuh karena memang dia sudah terjadi kerusakan kaya gitu. Nah ketika terjadi kerusakan timbul gejala, misalnya ada gejalanya yang kaku, ada gejalanya yang lemes kaya gitu. Nah tinggal bagaimana caranya anak itu bisa hidup dengan keterbatasannya, supaya bisa survive kaya gitu. Nah jadi apa namanya cepet atau lambat ya tergantung tingkat keparahannya kaya gitu. Kalo terlalu banyak yang rusak kan kita juga ga bisa terlalu banyak berharap. Dengan dia sudah bisa tersenyum aja, sudah alhamdulillah kaya gitu kan.
5.
Apakah pelayanan terapi okupasi secara individu dan kelompok (grup) sudah berjalan selama ini ? Jawaban : Kalo disini heem ga hanya grup tapi juga individual. Heeem kalo grup justru kita lebih insidental yah, insidental itu artinya ketika misalkan yang datang itu banyak terusnya anak itu sebenernya memang butuh treatment untuk sosialisasi ya sekalian kita gabung (Lalu untuk pelayanan individual yang benar-benar personal bagaimana ?) Kalo yang individual belum maksimal.
6.
Apakah pihak YPAC mengatur tata ruang terapi okupasi sudah sesuai standar ? Jawaban : Heeem apa namanya tata ruang itu kalo standarnya itu kan memang ada ruangan. Terus ada meja kursi, terus ada media, sebenernya standar minimalnya itu saja. Sebenernya ya sudah memenuhi standar minimal kaya gitu. Itu standar profesinya begitu. Kalo dari YPAC sendiri sih sebenernya untuk apa untuk ruangan kita yang akan mengajukan ke yayasan, nanti yayasan setelah mempelajari baru akan menindak lanjuti apa yang sudah kita ajukan kaya gitu. Nah tapi sekarang ruang terapi okupasinya masih ruangan darurat nih. Jadi makanya saya ngajuin untuk kebutuhan ruangan ke pihak yayasan.
7.
Apakah selama ini terapis sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Jawaban :
8.
Heeem ya alhamdulillah kalo disini mereka ya disinilah akhirnya bisa menerapkan profesi yang mereka jalani saat ini kaya gitu. Bagaimana cara menjaga kerahasiaan seputar klien ? Jawaban : Selama ini berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kerahasiaan tentang klien. Heeem cara menjaganya dengan tidak menyebarkan informasi, ya informasi keluar kaya misalnya dari rekam medisnya kaya gitu. Terusnya dengan tidak membicarakan kasuskasusnya keluar gitu.
9.
Bagaimana cara anda membina hubungan dan bekerja sama dengan sesama terapis atau profesi lain ? Jawaban : Membina hubungan ya komunikasi yah, kita ada konferensi ada sebenernya, apa namanya case conference atau konferensi kasus. Itu biasanya kita lakukan sebulan sekali di YPAC. Karena kita kan ketika menangani anak kita bekerja dalam tim, mislanya satu anak itu ditangani terapi okupasi, ditangani dokter, semuanya kita kumpul disitu untuk membicarakan satu kasus kaya gitu. Terus masalahnya apa. Terus apa yang harus kita perbaiki untuk selanjutnya kaya gitu, langkah selanjutnya itu apa. Waktunya sih setiap awal bulan minggu pertama tapi apa namanya sudah dua bulan ini lagi off case conferencenya.
10.
Apakah terapi okupasi YPAC Jakarta dapat menerima klien dari semua kalangan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, dan status sosial ? Jawaban : Klien yang mengikuti terapi okupasi tidak membatasi baik laki-laki atau perempuan dan usia, karena kemampuan dan keterbatasan setiap anak kan berbeda yah. Usia paling muda itu balita yah dan paling tua itu sekitar 30-an
11.
Apakah ada kebijakan khusus untuk klien kalangan menengah ke bawah, dari segi pembayarannya, maupun fasilitas yang digunakan, dan waktu yang diberikan ? Jawaban : Kalo yang saya tau kalo dari segi fasilitas semua mendapatkan fasilitas yang sama kaya gitu dan mereka kan bisa mendapatkan fasilitas, fasilitas dan pelayanan gratis. Terus dari waktunya juga sama, artinya mereka mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang sama dengan yang lain. Bahkan mereka juga bisa mendapatkan pelayanan yang lebih hehehehe. Karena disini kan ada yang lebih mampu yah. Kadang yang lebih mampu itu juga ketika melihat, “ah ternyata senasib yah, ternyata ada yang lebih parah yah, kondisi ekonominya juga kondisi fisiknya juga”. Ya akhirnya mereka dengan rela hati mereka akan memberikan apa, misalnya belum punya kursi roda kadang dia kursi roda yang udah kekecilan dikasih atau misalnya sepatunya dikasih kaya gitu. Anak-anak yang kurang mampu ya mereka mendapatkan perhatian dari sesamanya kaya gitu. Makanya kalo ke sini tuh yah alhamdulillah kalo ngeliatnya apa namanya kekeluargaannya.
12.
Bagaimana pencapaian tujuan dalam terapi okupasi ? Jawaban :
Tujuan terapi okupasi itu sendiri memberikan terapi atau membantu anak dengan kebutuhannya, keterbatasan fisik atau mental dengan melakukan aktivitas guna mencapai kemandirian. Dalam mencapai kemandirian itu dengan memberikan latihan berdasarkan aktivitas sehari-hari untuk meningkatkan kemampuan yang dia punya, misalnya si anak sudah bisa duduk lalu si anak dilatih untuk melakukan aktivitas misalnya makan, berpakaian sendiri, minum. Misalnya sudah siap sekolah, kesiapan sekolahnya bagaimana. Pencapaiannya heem biasanya dilihat dari level program yang sudah dilewati anak tersebut. 13.
Apakah ada hambatan dalam mencapai tujuan terapi okupasi ? Jawaban : Heeem kalo ada anak baru dateng terus nangis itu tantangan hehehe kalo anak nangis ya itu sudah pekerjaan kita. Nah yang jadi hambatan ketika orangtuanya juga tidak siap untuk melepaskan anaknya kaya gitu. Artinya mempercayakan sepenuhnya pada kita. Kalo orangtuanya masih “ah jangan sampe nangis anakku, ga mau deh kalo anak aku sampe nangis kaya gitu”. Nah biasanya orangtua kalo udah mulai kaya gitu kan biasanya akan beralih, “ah ga mau ke sini lagi ah nanti nangis”, kaya gitu. Kalo orangtuanya cenderung kaya gitu, terusnya kita tidak bisa komunikasi yang ada akhirnya kan ga ada kemajuan buat anaknya juga. Itu hambatannya yah. (Lalu bagaimana cara ibu untuk mengatasi hambatan tersebut ?) Jadi untuk mengatasinya ya dengan komunikasi. Kalo komunikasinya artinya orangtuanya itu langsung mengungkapkan ke kita masalahnya itu lebih enak. Tapi terkadang ada orangtua yang langsung bertindak tanpa ada komunikasi lagi, “kenapa nih ko ga dateng lagi ?”, kaya gitu. (Tapi ibu biasanya menerima komunikasi dengan cara apa ?) komunikasi saya lakukan ada yang langsung, ada yang lewat sms atau telepon kaya gitu. Pokonya ya apa namanya saya menerima komunikasi dengan keluarganya dengan cara apapun.
14.
Bagaimana cara mempertahankan atau menigkatkan kepuasan klien ? Jawaban : Meminimalkan ketidakpuasan itu ya kembali lagi dengan komunikasi. Ya dengan komunikasi yang terjalin. Biasanya kan ketidakpuasan itu muncul karena ketidaktahuan juga karena kurangnya informasi juga kaya gitu. Makanya dengan kita komunikasi berarti kan kita mengkomunikasikan yang kurang puasnya kaya gitu. Apa sih yang mereka pahami tentang terapi yang dijalani oleh anaknya, mereka punya harapan apa sih. Kalo misalnya kita punya persepsi yang sama tentang proses treatment terus apa yang harus dijalani terus goalnya akan seperti apa mungkin ketidakpuasan itu tidak akan muncul kaya gitu. Justru malah bisa saling mensupport kaya gitu. Kebanyakan sih kaya gitu, kalo misalnya kita komunikasinya baik ya baik ke anaknya.
15.
Bagaiaman pembagian jadwal terapi klien ? Jawaban : Kedatangan anak untuk terapi seminggu 2 (dua) kali, yang jelas tidak boleh dilakukan diluar jadwal karena masing-masing udah ada pembagian jadwalnya. Dengan waktunya ada yang 30 atau 45 menit. Tiap anak berbeda-beda kenapa ada yang 30 dan 45 menit. Biasanya kita melihat kondisi anaknya, misalkan anak itu baru bisa bertahan sebentar
paling kita cuma 30 menit. Dan kalau dia bertahannya lebih lama kita bisa sampai 45 menit. 16.
Bagaimana cara anda cepat tanggap dalam menghadapi masalah yang timbul terhadap klien atau menanggapi keluhan yang disampaikan klien ? Jawaban : Heeem cepat tanggap yah langsung memperbaikilah mungkin apa namanya apa yang masih kurang, apa yang dikeluhkan kaya misalnya klien yang kurang nyaman dengan terapisnya kaya gitu misalnya. Nah kita langsung bertindak siapa yang mungkin dianggap paling nyaman sama anak ini kaya gitu. Terusnya ya orangtuanya juga nyamannya ke siapa kaya gitu. Itu yang apa namanya langsung kita tanggapi.
17.
Bagaimana strategi yang dilakukan untuk memperkenalkan terapi okupasi kepada masyarakat ? Jawaban : Nah itu kita masih punya keterbatasan. Keterbatasannya itu kan lebih ke managemen pemasarannya, lebih ke promosi. Kalo keterbatasan kita ya artinya kita juga harus memberikan layanan terusnya juga harus memberikan promosi itu kerja yang cukup berat buat kita kaya gitu hehehhe. Sebenernya sih idealnya kita pengennya juga dari pihak yayasan yang mempromosikan juga kaya gitu. Tapi ya juga di yayasan masih punya kendala gitu. Paling ya selama ini ya kita hanya membukanya ya akhirnya di web terusnya dibrosur-brosur YPACnya sendiri.
Peneliti
(Lusi Melani)
Penanggung Jawab Terapi Okupasi YPAC Jakarta
(Robiatul Adawiyah, A.Md. OT, Skm)
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: Jum’at, 20 Juni 2014 : 14.41WIB : Ruang terapi okupasi : Terapis okupasi YPAC Jakarta Identitas Terapis
Nama Usia Agama Alamat Masa Jabatan
: Rizka Sastika Dewi, A.Md. OT : 21 tahun : Islam : Kelurahan Kranji, Kecamatan Bekasi Barat : Sudah menjadi terapis sejak Agustus 2013
HASIL WAWANCARA
1.
Bagaimana tanggapan anda mengenai sarana dan prasarana yang kurang di dalam terapi okupasi ? Jawaban : Sarana dari terapi okupasi sendiri yah heeem kalo dibilang lengkap secara keseluruhan pasti ada lah kurang-kurangnya gitu kan. Contohnya untuk anak yang tubuhnya besar seandainya anak itu butuh kursi atau bangku gitu kan sesuai dengan ukuran badannya, ergonomis bangku. Kursinya udah ada cuman kan ga semua anak bisa make seperti itu.
2.
Bagaimana cara anda untuk mendekatkan diri kepada klien dan langkah apa saja yang dilakukan untuk melakukan pendekatan terhadap klien ? Jawaban : Kita disini pertama terapis itu ga menuntut anak bisa itu yah. Pertama yang kita cari adalah posisi nyaman anak, artinya gini loh kita kan, anak itu kan beda dengan orang-orang yang bisa kita ajarkan. Ketika anak-anak yang disable itu pertama yang kita cari celahnya aja dia posisi nyamannya gimana. Artinya kita melakukan pendekatan yang happy-happy aja dulu gitu loh. Kita menyatukan apa yah kita maunya seperti apa kita yang menjadi anak dulu seperti apa. Misalnya jadi kita mencoba mengerti ini anak maunya apa sih gitu. Kan pendekatannya itu biasanya kita menggunakan apa yang dia sukai contohnya permainan. Terus juga dari orangtua, kita wawancara orangtuanya dulu, anaknya dirumah biasa main apa gitu kan. Artinya kita terapis bukannya asal nebak gitu kan, asal menggunakan media. Soalnya ga semua anak bisa langsung menerima ketika anak-anak disable itu pasti mereka shock gitu, biasanya mereka emosional kenapa dia mengalami kekurangan. Sedangkan anak-anak normal dikasih bola mungkin langsung main gitu kan. Ketika anak disable dia ngeliat bola aja belom tentu suka bola gitu kan. Jadi artinya kita melakukan pendekatan dari orangtuanya dulu baru kita anaknya mau apa kita ikutin kemauan anak gitu.
3.
Menurut anda kira-kira berpengaruh atau tidak apabila terapis memiliki latar belakang pendidikan yang tidak sesuai dengan standar yang ada ?
Jawaban : Latar belakang pendidikan terapis itu berpengaruh yah heeem prinsip kita kan terapi kan butuh kemajuan yah dari klien. Artinya kita kalo dengan yang pendidikan mungkin kita punya modal ilmu. Meskipun ilmu kuliah ga seratus persen kita terapkan dalam proses terapi tapi dengan kita pernah menduduki bangku kuliah, berarti kita sudah tau ilmu itu secara teori dan lebih real. Artinya kita punya buku panduan gitu kan, buku ilmu dan buku pelajaran. Ketimbang dengan orang yang tidak ada pendidikannya, kadang mereka hanya melakukan pendekatan, seperti “oh anak ini udah nangis, tapi ga tau setelah nangis mau diapain lagi”. Itu kata saya makanya perlu banget pendidikan. 4.
Bagaimana upaya yang dapat anda lakukan untuk mencapai kesembuhan klien dengan lebih cepat ? Jawaban : Heeem ada upayanya karena kita melakukan evaluasi tiap tiga bulan. Kita kan punya form khusus tiap tiga bulan kita evaluasi lagi. Evaluasi itu kaya buku laporan. Kalo yang di YPAC sendiri klien bawa buku catetan gitu. Itu salah satu upaya untuk memaksimalkan treatment yang ada. Artinya setiap pertemuan kita lakukan evaluasi, kemarin bisa ini yah terus selanjutnya kira-kira harus maju sedikit nih gitu. Itu salah satu upaya untuk apa yah memaksimalkan treatment yang ada.
5.
Apakah pelayanan terapi okupasi secara individu dan kelompok (grup) sudah anda lakukan selama ini ? Jawaban : Heeem individual dan grup keduanya udah jalan, meskipun yang grup itu belom terlalu maksimal. Arti kata grup disini masih antar terapis antar profesi. Kan kalo grup itu kan bisa pasien banyak, terapisnya beberapa kita gabungin satu aktivitas. Artinya kita kaya bernyanyi bersama gitu kan, bermain bersama, ngaji bersama gitu. Tapi kalo disini masih antar profesi artinya karena disini fisio, terapi wicara, OT sendiri, dokter, dan tim daycare gitu kan. Kalo untuk grupnya grup per profesi, dari profesi lain digabungkan. Artinya kalo seandainya, tapi kalo grup disini belom terlalu jalan. Artinya kalo ada pasien ngumpul bareng aja kita. Harusnya seandainya menurut definisi grup treatment itu sendiri artinya antar klien jadi klien banyak kita kumpulin digabungin satu aktivitas. Kita lakuin di satu waktu dan juga kita evaluasi saat itu juga gitu, itu kan membantu interaksi.
6.
Apakah pihak YPAC mengatur tata ruang terapi okupasi sudah sesuai standar ? Jawaban : Belum sesuai menurut saya hehehe. Kalo menurut saya belom soalnya dulu katanya ini sebenernya ini ruangan lebih besar gitu, sekarang kepotong sama ruangan SI. berarti ruangannya berkurang kan dan konsenterasi anaknya berkurang. Arti kata sebenernya tuh anak butuh tempat yang khusus antara terapis dan anak 1 (satu) orang gitu loh. Jadi anakanak bisa fokus, misalnya untuk terapi individual itu harusnya 1 (satu) ruangan untuk 1 (satu) terapis dan 1 (satu) anak. karena anak disini kan ada yang konsenterasinya cacat juga gitu bukan cacat secara fisik aja. Jadi mereka mudah teralihkan. Terus jug kita ya kita memang belum punya parkiran kursi roda, mungkin seharusnya ada parkiran kursi roda sendiri di depan ada. Klien pas sedang terapi harus pakai kursi karena dalam posisi belajar.
7.
Apakah selama ini anda sebagai terapis sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Jawaban : Heeem karena saya orang yang jujur saya jawab jujur hahahaha. Sejauh mungkin kaya yang aku tau kaya peraturan harus di tempat pada saat ada klien, sejauh ini saya ngelakuin gitu. Kaya saya waktu kemarin keluar pun lagi di Mayestik yah ditelepon ada pasien, “aduhhhh kataku” hehehehe. Harusnya kalo seandainya ada terapis disini anak bisa dipegang siapapun karena emang itu membangun interaksi anak yah, jadi ga harus sama aku terus. Kalo sama aku terus jatohnya ke aku itu anak gitu kan. Jadi ga harus bu Rizka bu Rizka bu Rizka. Ketika bu Rizkanya ga ada, dia ga terapi gitu kan. Tapi karena saya mempunyai jiwa yang cukup tinggi hahahaha akhirnya aku ngebut sampe sini hahahah. Dan sejauh ini baru kali itu aku ngalamin. Untuk tepat waktu alhamdulillah saya ga telat lagi sejauh ini. kalau untuk klien saya udah memperlakukan dengan baik ko hehehehe.
8.
Bagaimana cara anda menjaga kerahasiaan seputar klien ? Jawaban : Heeem... itu yang sulit tapi sejauh ini saya udah menjaganya. Karena dulu waktu angkat sumpah, waktu wisuda kan angkat sumpah, emang pasal terakhirnya itu tidak akan menyebutkan kerahasiaan pasien gitu kan, kecuali dengan pasien itu sendiri atau orangtua atau kolega pada saat persidangan saat pembelaan hukum.
9.
Bagaimana cara anda membina hubungan dan bekerja sama dengan sesama terapis atau profesi lain disini ? Jawaban : Heeem dengan cara banyak komunikasi yah. Kalo disini kita sangat terbuka yah, aku dengan bu Atun, bu Atun dengan aku, atau aku dengan bu Ana bu Dwi gitu kan. Interaksi dan juga rasa tenggang rasa lah. Artinya terikat gitu loh, intinya kita kaya satu keluarga disini. Buruknya saya adalah buruknya terapi okupasi ini gitu loh. Cacatnya saya adalah cacatnya terapi okupasi ini. Ya itu aja membangun rasa keterikatan lah antar terapis. Kalo ke profesi lain saya lebih banyak berinteraksi contohnya kita jalin kerjasama misalnya makan bareng gitu. Jadi ga walaupun kita ga ada perlu nih, kita juga jalin interaksi jadi ga putus cuma sampe pekerjaan. Jadi kita saling tegur sapa gitu, berbagi ya gitu loh say hello.
10.
Apakah pihak YPAC dapat menerima klien dari semua kalangan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, dan status sosial ? Jawaban : Sejauh ini iyaa heeem karena banyak juga pasien yang free disini setau saya yah. Tapi untuk sejauh ini OT selalu menerima. Tapi kita juga ga menerima gitu aja, tapi harus dari dari loket. Loket itu kan yang bagian managemen itu lah, managemen jadwal schedule klien. Juga melihat ini orangtuanya mampu atau tidak. Ya managemen dari atasan, ini dia keluarganya tidak mampu, kebijakan dari atasan lebih kepada managemennya. Artinya mereka ga pernah diskriminasi gitu loh. Soalnya banyak juga klien free disini kan.
11.
Apakah terapi okupasi dapat dihentikan apabila klien sudah mencapai tingkat kemandiriannya ?
12.
Jawaban : Heeem iya bisa dan bisa dihentikan juga kalo anak belom sembuh dan orangtuanya minta dihentikan. Bagaimana pencapaian tujuan dalam terapi okupasi ? Jawaban : Terapi okupasi ini merupakan bagian dari rehabilitasi medis yah, tujuan terapi ini mencapai kemandirian. Kemandiriannya tergantung dari program-programnya sudah tercapai apa belom. Tiap klien punya goal masing-masing tergantung kemampuannya. Misalnya anak harus duduk tenang, harus konsnterasi, atau anak ini harus menggerakkan tangannya. Jadi kalo goalnya udah tercapai, program terapinya meningkat
13.
Apakah ada hambatan dalam mencapai tujuan terapi okupasi ? Jawaban : Untuk mencapai kemandirian berarti mencapai tujuan yah, hambatannya macem-macem. Hambatan itu macem-macem dari orangtua juga pasti ada, dari klien juga ada gitu kan. Misalkan kalo dari orangtua seperti orangtua yang protektif, ketika anaknya nangis sedikit, “ko anak saya nangis” atau “ko anaknya ga ada perubahan”, gitu kan. Pasti ada orangtua yang sedikit protektif. Artinya mereka belom paham gitu loh, belom paham apa yang kita lakukan itu sepenuhnya langsung, seperti orang sakit langsung sembuh gitu kan, itu problem kita ke orangtua atau beberapa orangtua lah. Kalo ke klien sendiri ya Lusi liat sendiri kan hahahah cry cry cry gitu kan hehehe nangis nangis nangis kalo ga nangis bikin kesel bikin dumel. Tapi itu salah satu hal yang buat kita justru menambah ilmu gitu loh kan. (Lalu bagaimana cara kamu untuk mengatasi hambatan tersebut ?) Cara ngatasinnya kan kita punya metode. Arti kata eee... misalnya anak itu nangis berarti kan yang bermasalah adalah emosionalnya dia, berarti yang kita galih adalah kepatuhan. Nah kita punya behavior atau cbt atau ada behavior treatment gitu, ada juga behavior therapy.
14.
Bagaimana cara anda mempertahankan atau meningkatkan kepuasan klien ? Jawaban : Ya pertama kita sebelum melakukan terapi, kita membuat perjanjian kepada orangtua. Artinya orangtua itu, kita pemikirannya harus sama dengan orangtua. Menyamakan pemikiran antara aku dan orangtua klien, “bu anak ibu mungkin awalnya akan seperti ini, mungkin nanti selanjutnya akan seperti ini”. Pertama menyamakan pemikiran, kedua meminta persetujuan orangtua. Kalo seandainya dia tidak setuju kita cari tidak setujunya seperti apa gitu loh. Tidak puasnya seperti apa dan juga puasnya akan seperti apa. Tapi mungkin yang ketiga kita sikonin ke anak, nanti kita liat kita evaluasi secara tiga bulan, kita maksimalnya seperti ini. Naah perjanjian itu kan sudah disetujui antara orangtua dan terapis gitu. Selanjutnya kalo masih tidak setuju bisa serahkan ke orangtua itu lagi, bagaimana mau dihentikan atau tidak gitu.
15.
Bagaimana cara anda cepat tanggap dalam menghadapi masalah yang timbul terhadap klien atau menanggapi keluhan yang disampaikan klien ? Jawaban : Heeem dengan perbanyak pengalaman hehehe artinya kan kita ga mungkin langsung paham yah. Kalo menanggapi keluhan klien caranya dengan bertanya. Kita baca rekam
mediknya, apa yang tidak tersampaikan pada saat kita bertanya itu seperti apa, mungkin dokter mencatatnya gitu kan. Intinya lebih ke ya banyak komunikasi.
16.
Strategi apa yang dilakukan YPAC untuk memperkenalkan pelayananpelayanannya, salah satunya pelayanan terapi okupasi, sehingga klien mengetahui keberadaan YPAC dan klien tertarik ? Jawaban : Heeem kebetulan kan saya kerja didua tempat yah, YPAC dan satu lagi di klinik di Bekasi. Caranya dengan cara ya seperti itu, saya ngasih unjuk ke orangtua, kan saya juga dapet pasien CP di sana, “heem saya selain di sini saya punya tempat bu namanya YPAC gitu, kalo mungkin ibu mau ke sana”. Jadi saya mempromosikannya lewat lisan atau lewat brosur YPAC gitu. Dan juga update status hahahaha.
Peneliti
Terapis Okupasi YPAC Jakarta
(Lusi Melani)
(Rizka Sastika Dewi, A.Md. OT)
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: Selasa, 24 Juni 2014 : 12.26 WIB : Di ruang tunggu terapi okupasi : Ibu MY Identitas Keluarga Klien
Nama Usia Agama Alamat Status
: MY : 31 tahun : Islam : Jalan Priggandi, Kel. Harjamukti, Cimanggis : Orangtua dari klien TH
HASIL WAWANCARA 1.
Bagaimana pendekatan yang dilakukan terapis kepada klien selama ini ? Jawaban : Pas awal kan anak saya nangis dateng ke sini ya, jadi ya terapisnya ngedektin pelan-pelan. Akhirnya lama-lama ga nangis. Ngedeketin itu awalnya pake mainan, kebutalan namanya cowo yah suka mainan bola hehehehe. Ya menurut saya udah bagus ko, bisa bikin anak saya yang nangis jadi ga nangis lagi.
2.
Menurut tanggapan anda apakah selama ini sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Jawaban : Iya udah ko, meskipun saya disini kan klien free ya. Ga bayar alias gratis tapi perlakuan mereka ke saya dan anak saya apa ke yang lain itu sama. Jadi mereka ga pilih kasih ke saya. Misalkan lagi banyak yang dateng nih, terus anak saya pertama ya anak saya yang langsung dipegang. Tapi kalo dateng belakangan ya paling akhir dipegangnya. Jadi sama ya ga ada perbedaan.
3.
Bagaimana respon anda terhadap pelayanan yang diberikan terapis ? Jawaban : Bagus ko bagus, mereka terapisnya juga enak semua. Baik ke anak saya, baik juga ke saya. Jadi mereka nganggep saya udah kaya keluarga sendiri.
4.
Apakah terapi okupasi sudah mencapai tujuan yang anda harapkan ? Jawaban : Tujuan kan emang biar mandiri tapi ga secepet itu, kalo kata Bu Atun butuh proses. Ya saya sebagai orangtua ngertiin ko karena emang kondisi anak saya juga begitu. Jadi kalo tujuannya sih udah yah dari awal dateng ke sini anak saya parah banget. Sekarang mendingan misalnya udah bisa pegang mainan, makan biskuit.
5.
Apakah terapis memberikan pelayanan sesuai ketepatan waktu ? Jawaban : Heeem gimana ya, ya kadang-kadang kalo saya dateng pagi, itu terapisnya belom dateng semua. Jadi yang udah dateng baru dua orang aja, tapi klien yang dateng udah banyak. Jadi mau ga mau harus nunggu antri gantian.
6.
Apakah pelaksanaan terapi sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan ? Jawaban : Pas saya sama anak saya mau terapi, saya dateng sesuai sama jadwal yang udah ada di kartu merah. Anak saya terapi hari Selasa sama Kamis. Jadi ya ga bisa terapi selain hari itu, karena kan yang mau terapi banyak juga ga anak saya aja. Jadi ganti-gantian harinya.
7.
Apakah terapis memiliki kemampuan menolong apabila klien mengalami kendala saat proses terapi okupasi ? Jawaban : Punya, anak saya kan pake kursi roda, kadang saya dorong sampe dalem, jadi biasanya saya gendong dari kursi roda. Nah pas mau duduk ke kursi roda, ada bu Ana yang bantu.
8.
Apakah pengetahuan yang dimiliki terapis sudah sesuai untuk menjalani proses terapi okupasi ? Jawaban : Anak saya udah terapi okupasi selama 3 taun ya. Kalo pas diterapi ganti-gantian, kadang bu Atun, Bu Ana, Bu Dwi apa Bu Rizka. Tapi pas awal saya ke sini yang wawancarain saya itu Bu Atun. Selama ini Bu Ana sama Bu Dwi mereka baik-baik aja kalo nerapi klien yang dateng. Apalagi bu Ana katanya udah puluhan taun di sini.
9.
Bagaimana kesopanan terapis dalam menghadapi klien atau keluarganya ? Jawaban : Sopan semua di sini.
10.
Apakah sikap terapis dapat dipercaya dalam menjaga kerahasiaan seputar klien ? Jawaban : Bisa, selama ini ga pernah saya denger terapisnya mengumbar-ngumbar tentang keadaan klien.
11.
Apakah terapis memiliki rasa peduli untuk memberikan perhatian kepada klien ? Jawaban : Iya memiliki, kaya misalnya pas baru dateng biasanya mereka pada nanya, “gimana kabarnya hari ini ?” dan kalo saya bilang itu bagian dari perhatian mereka ke klien.
12.
Bagaimana cara terapis memberi tahu perkembangan klien ? Jawaban : Perkembangannya ya paling saya tau lewat omongan aja kalo saya lagi anter Tegar terapi. Soalnya ga ada buku catetan yang ditulis terapis selama ini. Tapi ya namanya Tegar klien free jadi ga bisa nuntut lebih mbak heheheh.
13.
14.
Bagaimana menurut anda keadaan fasilitas dan peralatan yang digunakan selama proses terapi okupasi ? Jawaban : Heeem ya bagus, alat-alatnya lengkap dan sesuai sama penyakit klien yang dateng ke sini. Kan anak saya CP ya jadi ada alat mainan supaya CP nya cepet sembuh, meskipun butuh waktu lah. Bagaimana keadaan ruang terapi okupasi ? Jawaban : Ruangannya enak ko nyaman, malah suka bikin saya ngantuk pas masuk ke dalemnya hehehehe terus rapi, kalo alat-alatnya kalo abis dipake langsung ditaro di lemari biasanya. Jadi ruangannya rapi terus.
15.
Bagaimana tanggapan anda mengenai penampilan terapis ? Jawaban : Heeem ya rapi semua ko.
16.
Dari mana anda mengetahui keberadaan YPAC ? Jawaban : Dari dokter di RSCM. Dulu kan sempet ikut fisioterapi di sana. Alhamdulillah anak saya kan termasuk yang free ya. Jadi emang saya ga mampu untuk sekolahin anak saya, apalagi untuk ikut terapi gini. Jadi waktu itu saya dirujuk dari RSCM tempat TH dirawat waktu sakit TBC, Terus Tegar kan belom sekolah nah pas itu dari dokternya coba ngusulin supaya Tegar sekolah di YPAC dengan syarat bikin surat keterangan dr rt dan kelurahan gitu buat keringanan biaya. Nah abis itu ternyata Tegar bisa ikut terapi freenya juga di sini, ya Alhamdulillah. Jadi emang saya ga mampu untuk sekolahin anak saya apalagi ikut terapi gini. Terus saya urus di loket, dan dari pihak yayasan datang ke rumah saya buat mengecek bener apa ga.
17.
Apa harapan anda terhadap pelayanan terapi okupasi ? Jawaban : Harapan saya ya supaya program dapat berkembang dan lebih menarik aja, jadi biar anakanak ga pada bosen pas lagi di terapi. Terus semoga orang-orang yang ga mampu bisa dapet terapi seperti saya dan anak saya.
Peneliti
(Lusi Melani)
Orangtua Klien
(Informan MY)
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: Kamis, 19 Juni 2014 : Pukul 11.28 WIB : Di ruang tunggu terapi okupasi : Bapak SP
Nama Usia Agama Alamat Status
Identitas Keluarga Klien : SP : 66 tahun : Islam : Pondok Maharta, Blok H4, Pondok Aren, Tanggerang : Kakek dari klien BK
HASIL WAWANCARA 1.
Bagaimana pendekatan yang dilakukan terapis kepada klien selama ini ? Jawaban : Dia mah gampang adaptasi sih orangnya, ya pas dateng ke sini OT langsung bisa, bisa dia mah. Ga takut atau nangis pas waktu pertama dateng. Daya ingetnya juga kuat aja dia mah. Jadi terapisnya buat ngedeketin diri ke cucu saya ga susah. Gampang apal juga sama orang yang dia temuin.
2.
Menurut tanggapan anda apakah selama ini sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Jawaban : Heeem ya udah ko udah sesuai.
3.
Bagaimana respon anda terhadap pelayanan yang diberikan terapis ? Jawaban : Gimana ya, yang pasti perkembangannya badannya makin gede hahahaha. Ya udah cukup memuaskan yang pada dateng ke sini. Ya selama ini sih kalo terapisnya baik di sini mah, cara menyambutnya terus pelayanan yang dikasih juga cukup baik. Misalnya cucu saya mau terapi, pas buka pintu disambut dengan baik ramah gitu. Terus muka-muka terapisnya juga ceria-ceria jadi anak-anak juga pada nyaman sama terapisnya. Ya intinya bagus lah.
4.
Apakah terapi okupasi sudah mencapai tujuan yang anda harapkan ? Jawaban : Terapinya makin berkembang, kaya cucu saya yang awalnya pas dateng ke sini ga bisa ngapa-ngapain. Tapi alhamdulillah sekarang mah udah sedikit-sedikit megang sendok buat makan. Karena disini dilatih tangannya itu diterapi lewat alat permainannya yang ada disini
5.
Apakah terapis memberikan pelayanan sesuai ketepatan waktu ? Jawaban : Udah sesuai ko, tiap saya anter mau terapi, terapisnya udah siap sedia buat nyambut klien yang dateng gitu.
6.
Apakah pelaksanaan terapi sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan ? Jawaban : Sudah sangat sesuai, kalo cucu saya dapet jadwal hari Senin dan Selasa. Jadi cucu saya cuma bisa terapi hari itu aja.
7.
Apakah terapis memiliki kemampuan menolong apabila klien mengalami kendala saat proses terapi okupasi ? Jawaban : Iya punya, jadi biasanya saya cuma nganter sampe depan pintu aja nih karena kan emang orangtua apa keluarga ga boleh masuk ya, nunggunya harus di luar. Dari pintu situ terapis deh yang dorong kursi rodanya, ya jadi menurut saya mah ada jiwa menolong kliennya yah.
8.
Apakah pengetahuan yang dimiliki terapis sudah sesuai untuk menjalani proses terapi okupasi ? Jawaban : Sesuai ko yang saya liat mah. Ini kan yayasan udah cukup punya nama ya dari yang saya denger. Jadi pasti yang kerja di sini juga ga sembarang orang. Pegawai atau terapisnya pasti udah punya pengetahuan masing-masing buat nanganin yang dateng ke sini.
9.
Bagaimana kesopanan terapis dalam menghadapi klien atau keluarganya ? Jawaban : Semuanya sopan dan ramah-ramah ko.
10.
Apakah sikap terapis dapat dipercaya dalam menjaga kerahasiaan seputar klien ? Jawaban : Bisa dipercaya, cucu saya kan udah dua taun ya ikut terapi okupasi di sini dan tiap mau terapi saya yang anter. Jadi saya udah tau lah dan percaya sama terapis-terapisnya.
11.
Apakah terapis memiliki rasa peduli untuk memberikan perhatian kepada klien ? Jawaban : Perhatian apa rasa pedulinya ada ko kalo ke Bima apa yang lainnya.
12.
Bagaimana cara terapis memberi tahu perkembangan klien ? Jawaban : Kan dia dikasih kartu merah, itu ada dicatet terapinya hari ini gitu. Jadi dikartu merah itu cuma ditandain aja hari ini ke loket terapi apa ga gitu doang. Kalo dulu waktu fisioterapi di rumah itu mah ada bukunya, hari ini ngapain aja, tapi kalo ini mah kita ga pernah dikasih tau, jadi cuma kartu merah itu aja. Mamahnya Bima juga ga pernah nanya ngapain aja jadi ya kita ga tau Bima udah bisa ngapain aja. Paling diliat langsung ke Bimanya udah ada peningkatan apa belom gitu.
13.
Bagaimana menurut anda keadaan fasilitas dan peralatan yang digunakan selama proses terapi okupasi ? Jawaban : Agak kurang yah menurut saya. Di dalem ada bangku kan, tapi itu ga bisa dipake sama cucu saya. Soalnya badannya makin ke sini makin gede jadi bangkunya udah ga muat dipake. Kalo dulu masih bisa pake, tapi sekarang ga bisa. Jadinya ya akhirnya kursi rodanya masuk ke dalem.
14.
Bagaimana keadaan ruang terapi okupasi ? Jawaban : Bersih dan tertata rapi gitu, tiap saya liat sih ga pernah berantakan. Tapi gimana ya kalo kata saya, ruangannya sempit ga begitu luas. Jadi misalkan lagi banyak yang dateng itu sumpek gitu penuh orang.
15.
Bagaimana tanggapan anda mengenai penampilan terapis ? Jawaban : Penampilan terapisnya juga rapi-rapi semua.
16.
Dari mana anda mengetahui keberadaan YPAC sehingga anda tertarik untuk melakukan proses terapi okupasi disini ? Jawaban : Dari orang-orang ada yang nyaranin katanya di sini rame gitu. Soalnya pada nyaranin katanya yang namanya anak kaya gini harus diterapi soalnya takut tambah parah kalo ga digituin. Awalnya dulu cuma ikut fisioterapi dan dipanggil ke rumah. Tapi kata orangorang di sini bagus. Yaudah coba diterapi di sini.
17.
Apa harapan anda terhadap pelayanan terapi okupasi ? Jawaban : Harapannya ya apa yah, cuma kalo kata saya mah, kalo bisa ya diajarin cebok gitu kan. Kalo bisa mah masa kita nyebokin mulu, kan repot kalo udah gede. Diajarin cara megang gayung, ya kalo udah gede kan nyebokin rasanya juga gimana gitu.
Peneliti
Kakek Klien
(Lusi Melani)
(Informan SP)
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: Jum’at, 20 Juni 2014 : Pukul 12.58 WIB : Di ruang tunggu terapi okupasi : Ibu YL Identitas Pengasuh (Care Giver) Klien
Nama Usia Agama Alamat Status
: YL : 49 tahun : Islam : Jalan Kramat Jati Baru Dalam, Cipete, Jakarta Selatan : Pengasuh (care-giver) klien SK selama 14 tahun
HASIL WAWANCARA 1.
Bagaimana pendekatan yang dilakukan terapis kepada klien selama ini ? Jawaban : Waktu pertama kali dateng ke OT ini ga nangis, cuman kalo baru-baru kenal sama orangorang apa sama terapis disini itu pemalu. Tapi lama-lama sih engga, Bu Dwi atau Bu Ana mereka cara ngedeketinnya ya diajak ngobrol. Obrolannya ngebahas yang disuka sih, kan suka sinetron yah, nah bu Dwi apa bu Ana biasanya ngedeketinnya sambil ngobrolin kesukaannya itu yaa sinetron. Pendekatan yang dilakuin bagus sih kalo kata saya, mereka tau gimana cara ngambil hati yang terapi.
2.
Menurut tanggapan anda apakah selama ini sudah menjalankan peran dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab ? Jawaban : Udah yah udah sesuai yang tadi mbak bilang. (Lalu contohnya apa bu yang sudah dilakukan terapis ?) Ya misalnya mereka ngelakuin terapi ke semua anak yang disini dengan baik. Misalnya ya ga ngebeda-bedain terapi yang dilakuin ke A atau ke B . misalnya si A lebih kaya dari si B. Tapi terapisnya ngelakuin terapinya sama ga ada keistimewaan buat lebih kaya gitu.
3.
Bagaimana respon anda terhadap pelayanan yang diberikan terapis ? Jawaban : Heeem ya udah cukup memuaskan juga sih pelayanan yang dikasih dari sini. Soalnya terapisnya pada sabar semua ngadepin anak-anak ini. Terus juga bisa ngerti cara ngadepin anak-anaknya gimana, misalnya cara ngadepin klien SK mereka cari celahnya ya nyari kesukaan klien SK yang suka sinetron gitu. Jadi kalo mereka tau cara ngadepin ya jadinya nurut sama mereka dan mau diarahin sama perintah yang dikasih Bu Atun gitu.
4.
Apakah terapi okupasi sudah mencapai tujuan yang anda harapkan ? Jawaban :
5.
Tujuan yah udah mendingan dari pada dulu. Dulu kan tangannya lemes banget sekrang dia udah bisa dikit-dikit. Dia itu pemalu, apalagi sama orang baru. Sekarang dikit-dikit ga takut sama orang. Terus pelan-pelan ga terlalu lemes jarinya. Apakah terapis memberikan pelayanan sesuai ketepatan waktu ? Jawaban : Heeem sudah ko, mereka dateng udah tepat waktu. Kalo misalnya saya dan klien SK mau terapi ya biasanya sih terapisnya udah ada di tempat jadi udah siap nunggu klien dateng gitu. Jadi yaa gitu yaa apa sih, heeem semua udah siap nanganin klien pas sesuai sama waktunya. Cuma kadang-kadang ga sampe sore, waktu itu pernah dateng jam tiga, eeh ga taunya udah pada pulang Bu Ana dan yang lain hehehehe.
6.
Apakah pelaksanaan terapi sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan ? Jawaban : Jadwal pas baru ikut terapi ke sini kan dapet hari Senin sama Jum’at. Nah itu dari dulu sampe sekarang ga berubah-ubah, tiap terapi ya cuma hari itu aja, ga boleh hari lain.
7.
Apakah terapis memiliki kemampuan menolong apabila klien mengalami kendala saat proses terapi okupasi ? Jawaban : Punya yah yang saya perhatiin, kan klien SK pake kursi roda yah. Nah biasanya pas mau terapi dipindahin duduknya dari kursi roda ke bangku yang di dalem tuh. Terus badannya klien SK juga gede gitu yah, jadi susah kalo saya sendiri yang mindahin. Makanya kadangkadang Bu Ana ikut bantu mindahin gitu dari kursi roda ke bangku.
8.
Apakah pengetahuan yang dimiliki terapis sudah sesuai untuk menjalani proses terapi okupasi ? Jawaban : Kayanya sih udah sesuai ya. Saya juga ga terlalu ngerti sih, Cuma katanya klien SK kan CP yah, saya juga ga ngerti sih CP itu gimana. Pokonya jari-jarinya itu kaku yah, jadi pas terapi ya terapisnya nyesuain alat yang mainannya sama sakit yang dialami itu. Jari-jarinya kaku makanya dikasih alat mainan supaya bisa ngelemesin jari jadi bisa megang barang.
9.
Bagaimana kesopanan terapis dalam menghadapi klien atau keluarganya ? Jawaban : Bagus ko ya kesopanannya, nyapa kata-katanya baik gitu. Tapi ya ga terlalu kaku juga sih, kalo terlalu kaku pasti yang dateng ga deket sama mereka. Ya pokonya santai lah.
10.
Apakah sikap terapis dapat dipercaya dalam menjaga kerahasiaan seputar klien ? Jawaban : Iya bisa dipercaya ko dan mamahnya juga percaya sama terapis disini.
11.
Apakah terapis memiliki rasa peduli untuk memberikan perhatian kepada klien ? Jawaban : Iya udah ko, kaya yang saya liat. Kan saya nunggunya di luar ya ga boleh di dalem. Waktu itu pas lagi terapi mau minum. Nah terapisnya itu keluar minta ke saya buat ngambilin minum gitu.
12.
Bagaimana cara terapis memberi tahu perkembangan klien ? Jawaban : Dikasih taunya Cuma lewat omongan, biasanya pas saya dateng nganter Hani terapi aja.
13.
Bagaimana menurut anda keadaan fasilitas dan peralatan yang digunakan selama proses terapi okupasi ? Jawaban : Gimana yah, bagus dan lengkap sih.
14.
Bagaimana keadaan ruang terapi okupasi ? Jawaban : Bersih dan selalu rapi kalo misalnya ada yang kotor biasanya langsung cepet dibersihin. Terus juga ruangannya di bawah kan jadi enak, gampang buat klien SK dan anak lainnya yang pake kursi roda yah.
15.
Bagaimana tanggapan anda mengenai penampilan terapis ? Jawaban : Yang saya perhatiin sih penampilannya sopan dan rapi yah. Soalnya kan yang diliat orang pasti dari penampilan luarnya yah. Yang penting baju yang dipake itu sopan-sopan.
16.
Dari mana anda mengetahui keberadaan YPAC ? Jawaban : Yang jelas kalo disini ini baru belom ada setaun. Taunya dari temen mamahnya, kan ada temennya ngajar di sini terus katanya ikut terapi aja gitu di YPAC. Terus juga tau dari sodaranya ada yang sering kunjungan ke sini jadinya nyaranin ke sini aja gitu. Kalo dulu kan sebelum di sini pernah terapi di Kemang dan di Pondok Indah. Cuma kan di sana tempatnya susah buat dilewatin yang pake roda jadi pindah ke sini aja, jadi yaa pindah ke YPAC ini sampe sekarang.
17.
Apa harapan anda terhadap pelayanan terapi okupasi ? Jawaban : Harapannya apa ya, ya biar klien SK makin pinter aja, diajarin angka dan nulis gitu.
Peneliti
(Lusi Melani)
Pengasuh (Care Giver) Klien
(Informan YL)
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: Selasa, 24 Juni 2014 : Pukul 15.26 WIB : Di ruang terapi okupasi : Klien TH
Identitas Klien Nama Usia Jenis Kelamin Agama Alamat Status Awal terapi
: TH : 11 tahun : Laki-laki : Islam : Jalan Priggandi, Kel. Harjamukti, Cimanggis : Klien terapi okupasi : Januari 2011
HASIL WAWANCARA 1.
Bagaimana pendekatan yang dilakukan terapis kepada anda selama ini ? Jawaban : Aku suka bola kak, mau jadi pemain bola hehehe waktu itu Bu Atun suka ngajarin aku cara pegang bola terus ngelampar bolanya.
2.
Apakah terapis memberikan pelayanan sesuai ketepatan waktu ? Jawaban : Iya kalo udah selesai terapinya juga udah, gantian sama yg lain.
3.
Apakah pelaksanaan terapi sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan ? Jawaban : Mamah selalu nganterin dua kali seminggu, biasanya ke sini pas di sekolah lagi istirahat.
4.
Apakah terapis memiliki kemampuan menolong anda saat proses terapi okupasi ? Jawaban : Mereka suka nolong pas aku baru dateng, kan aku digendong mamah turun dari kursi roda. Nah Bu Ana biasanya suka bantu angkat bangku buat aku duduk.
5.
Apakah terapis memiliki rasa peduli untuk memberikan perhatian kepada anda ? Jawaban : Aku suka, dari awal dateng mereka ramah. Anggep aku sama mamah kaya keluarga sendiri. Terus mamah lagi hamil kan jadi sering nanya dede bayi mamah.
6.
Bagaimana menurut anda keadaan fasilitas dan peralatan yang digunakan selama proses terapi okupasi ? Jawaban : Udah lengkap kak, aku biasa duduk dibangku. Aku diajarin macem-macem dari alat yang ada disini.
Peneliti
Orangtua Klien TH
(Lusi Melani)
(Informan TH)
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: Kamis, 19 Juni 2014 : Pukul 10.04 WIB : Di ruang terapi okupasi : Klien BK
Nama Usia Jenis Kelamin Agama Alamat Status Awal terapi
Identitas Klien : BK : 13 tahun : Laki-laki : Islam : Pondok Maharta, Blok H4, Pondok Aren, Tanggerang : Klien terapi okupasi : Juni 2012
HASIL WAWANCARA 1.
Bagaimana pendekatan yang dilakukan terapis kepada anda selama ini ? Jawaban : Baik ko, ya gitu kak, mereka di sini juga ga susah buat deketnya. Mereka waktu pertama iya ngajak aku main kak.
2.
Apakah terapis memberikan pelayanan sesuai ketepatan waktu ? Jawaban : Kalo aku dateng biasanya agak pagi, mereka ada ko.
3.
Apakah pelaksanaan terapi sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan ? Jawaban : Aku terapi seminggu dua kali, ya udah itu aja ga lebih.
4.
Apakah terapis memiliki kemampuan menolong anda saat proses terapi okupasi ? Jawaban : Bu Ana suka bantu aku dorong kursi roda pas selesai.
5.
Apakah terapis memiliki rasa peduli untuk memberikan perhatian kepada anda ? Jawaban : Yaaaa gitu kak mereka baik ko nanya kalo aku dateng. Jadi pas baru duduk biasanya ditanya, “udah makan belum ? tadi dianter siapa ?” gitu kak.
6.
Bagaimana menurut anda keadaan fasilitas dan peralatan yang digunakan selama proses terapi okupasi ? Jawaban :
Mainan yang di lemari ada banyak, kalo aku bosen puzzle ada angka susun, bola, pokonya banyak.
Peneliti
Kakek Klien BK
(Lusi Melani)
(Informan SP)
Hari/Tanggal Waktu Tempat Informan
: Selasa, 24 Juni 2014 : Pukul 13.45 WIB : Di ruang terapi okupasi : Klien SK
Identitas Klien Nama Usia Jenis Kelamin Agama Alamat Status Awal terapi
: SK : 22 tahun : Perempuan : Islam : Jalan Kramat Jati Baru Dalam, Cipete, Jakarta Selatan : Klien terapi okupasi : November 2013
HASIL WAWANCARA 1.
Bagaimana pendekatan yang dilakukan terapis kepada anda selama ini ? Jawaban : Aku suka sinetron heheheh paling hapal sinetron itu Bu Dwi.
2.
Apakah terapis memberikan pelayanan sesuai ketepatan waktu ? Jawaban : Tiap mau datengnya terapi udah ada Bu Dwi didalem kak. Pernah ke sini sore tapi udah kosong di dalem ga ada orang.
3.
Apakah pelaksanaan terapi sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan ? Jawaban : Aku dua kali ke sininya.
4.
Apakah terapis memiliki kemampuan menolong anda saat proses terapi okupasi ? Jawaban : Pas sampe dari roda aku pindah ke bangku itu, biasanya dibantu Bu Ana apa Bu Dwi.
5.
Apakah terapis memiliki rasa peduli untuk memberikan perhatian kepada anda ? Jawaban : Bu Dwi suka bantu, misalnya yang aku pegang jatoh, aku susah buat ambil ke bawah, Bu Dwi bantu ngambilin.
6.
Bagaimana menurut anda keadaan fasilitas dan peralatan yang digunakan selama proses terapi okupasi ? Jawaban :
Banyak macem-macem, warnanya juga macem-macem jadi bikin aku suka.
Peneliti
(Lusi Melani)
Pengasuh (Care Giver) Klien SK
(Informan YL)
YPAC Jakarta
Ruang Terapi Okupasi
Sarana (Media Terapi)
Proses Terapi Okupasi
Menggunakan Metode Sensory Integration (SI)