J Kedokter Trisakti
Oktober-Desember 2004, Vol. 23 No. 4
Evaluasi program jaring pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK) di Kabupaten Bengkulu Selatan, Propinsi Bengkulu, 2001 Hadi Pratomo*, Suriah**, Sarifah Y. Hediyati**, dan Mardewi* *Jurusan Pendidikan Kesehatan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, ** Peserta Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
ABSTRAK Sejak 1998, Pemerintah melaksanakan program jaring pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK) untuk meningkatkan kesehatan dan gizi masyarakat akibat krisis. Untuk penilaian efektifitas program tersebut British Council (BC) dikontrak untuk melakukan monitoring dan evaluasi program tersebut. Survei dilakukan dengan cara kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi kualitatif bertujuan untuk menilai kelayakan pelaksanaan JPS-BK, penerimaan masyarakat dan kesesuaian dengan masalah yang ada serta persepsi tentang kualitas pelayanan yang diberikan. Lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Bengkulu Selatan. Evaluasi kualitatif dilakukan dengan metoda wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Data dianalisis menggunakan teknik content analysis dan matriks dari data kualitatif. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa Tim Koordinasi Kabupaten dan Kecamatan (TKKab & TKKec) masih bersifat formalitas. Diperkirakan 3 dari 10 penerima JPS-BK yang tepat sasaran karena belum ada data up-date sasaran. Agar lebih efektif pemberian makanan tambahan (PMT) perlu bersamaan dengan penyuluhan kesehatan. Informan tokoh masyarakat (Toma) mengusulkan agar program JPS-BK diteruskan karena banyak keluarga miskin (Gakin) yang belum memperolehnya. Kata kunci: Evaluasi, program, jaring pengaman sosial bidang kesehatan
Evaluation of the social safety net for health program (SSNHP) in South Bengkulu District, Bengkulu Province, 2001 ABSTRACT Since 1998, the Government implemented Social Safety Net for Health Program (SSNHP). For evaluating the effectiveness of this program, the British Council (BC) was hired to conduct a sentinel survey in 13 provinces. The objectives of the qualitative evaluation were to assess the feasibility of the implementation of the SSNHP, community acceptance of the program and suitability of the program with the existing health problems. In addition, it was also aimed to assess the perceived quality of the health care. The survey was performed using both quantitative and qualitative methods. The qualitative evaluation was conducted using three methods, namely in depth interview, group discussion and focus group discussion. Data were analyzed using content analysis and matrix of qualitative data. The results showed that the Coordinating Team both at the district and sub-district level was still formality. It was estimated that about 3 out of 10 of the target of the SSNHP was inappropriate due to a lack of up-dated data on the poor families. The knowledge of the informants regarding SSNHP was insufficient. However, they strongly felt that the program was beneficial. Efforts to boost the motivation of the village midwife should be made so each of them could complete the administrative report timely. It was also suggested that the SSNHP should be kept going on in order to help many of the poor families who were not targeted yet. Keywords: Evaluation, program, social safety net for health
134
J Kedokter Trisakti
PENDAHULUAN Krisis ekonomi yang seperti terjadi di Asia dan Amerika Latin, dan pasar dunia lain, menggaris bawahi pentingnya jaring pengaman sosial (JPS). Masyarakat miskin dan kelompok rawan lainnya, biasanya menghadapi masa kesulitan yang segera dan sering pada masa krisis ekonomi atau keadaan gawat darurat lainnya. Terlebih lagi, walaupun dalam kemakmuran ekonomi, ada beberapa keluarga yang mengalami kesulitan dikarenakan kehilangan pekerjaan, sakit, atau kemiskinan yang telah berlangsung lama. Jaring pengaman merupakan gambaran yang permanen dari kebijakan sosial. Pada kondisi yang baik, JPS membantu keluarga-keluarga pada keadaan yang sulit. Pada kondisi buruk, akan menjadi lebih mudah dan efektif untuk menyebarluaskan program yang telah ada dibandingkan untuk membentuk dari awal pada saat keadaan gawat darurat.(1) Program JPS yang dilakukan di banyak negara bervariasi. Menurut Grosh (2001),(2) kegiatan JPS yang banyak digunakan adalah menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat banyak, kupon makan gratis bagi kelompok yang kurang gizi, dan memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan secara gratis. Sebagai contoh, Colombia mengadakan program bagi keluarga miskin (Gakin) dengan memberikan uang tunai kepada Gakin tersebut, dengan syarat keluarga harus dapat menjamin anak-anak mereka mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Melalui program ini diharapkan akan dapat membantu lebih dari satu juta anak.(1) Sedangkan yang dilakukan oleh Korea untuk menanggulangi banyaknya pengangguran dengan cara membuat program kerja yang melibatkan masyarakat banyak.(2) Untuk dapat meningkatkan keadaan kesehatan dan gizi masyarakat dan Gakin, pemerintah Indonesia mengadakan program JPS salah satunya adalah jaring pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK). Menurut laporan kemajuan dari sekretariat tim koordinasi pengelolaan programprogram (TKPP) JPS Pusat, total alokasi dana JPSBK adalah sebesar Rp 1,030 trilyun dan dilaksanakan dalam 4 tahap pencairan dana.(3) JPS-
Vol. 23 No. 4
BK menyandang peran strategis dalam melindungi kelompok rentan, terutama ibu hamil dan anak umur 0-24 bulan yang menjadi tumpuan masa depan bangsa. JPS-BK dirancang sebagai proyek dengan sasaran spesifik Gakin. Kegiatan pelayanan yang diberikan dalam JPS-BK meliputi pengobatan, pelayanan rujukan, suplementasi gizi dan pengendalian wabah. (4) Untuk meningkatkan efisiensi dan melakukan penilaian efektifitas program JPS-BK pihak British Council (BC) dikontrak oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk memonitor dan mengevaluasi implementasi dari JPS-BK tersebut. Untuk memonitor pelaksanaan Program JPSBK, BC dengan dukungan dana Asian Development Bank (ADB) ditugaskan melakukan Survei Sentinel di 13 propinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Lampung, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Irian Jaya. Tujuan dari survei ini adalah untuk memonitor peningkatan kinerja Puskesmas dalam melaksanakan program JPS-BK. Survei dilakukan menggunakan dua metode yaitu kuantitatif dan kualitatif. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ditugaskan melakukan evaluasi komponen kualitatif. Evaluasi kualitatif ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai kelayakan pelaksanaan JPS-BK, penerimaan masyarakat dan kesesuaian dengan masalah yang ada serta persepsi tentang kualitas pelayanan yang diberikan. METODE Sampel kabupaten dipilih secara purposif yang memenuhi kriteria mempunyai cakupan dan penyaluran dana JPS-BK yang buruk dan pendapatan per kapita yang rendah yaitu Kabupaten Bengkulu Selatan. Berdasarkan kecukupan informasi dan waktu yang tersedia jumlah informan ditentukan sebagai berikut: Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) 1 orang, Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (Kapuskesmas) 2, staf Puskesmas dan bidan 24, tokoh masyarakat (Toma) 16, kader 6, 135
Pratomo, Suriah, Hediyati, Mardewi
Jaring pengaman sosial bidang kesehatan
ibu yang memiliki kartu sehat (KS) 20, dan ibu balita gizi buruk (IBGB) 6. Jumlah semua informan adalah 65 orang. Yang dimaksud dengan kelayakan pelaksanaan program JPS-BK adalah peran Tim Koordinasi Kabupaten/Kecamatan (TK Kab/Kec), kriteria sasaran JPS-BK, penyaluran dana dan pelaksanaan JPS-BK itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan penerimaan masyarakat dan kesesuaian dengan masalah kesehatan yang ada meliputi: persepsi mengenai masalah kesehatan, imunisasi dan keluarga berencana (KB) serta pengetahuan tentang JPS-BK dan persepsi terhadap manfaat program itu sendiri. Persepsi tentang kualitas pelayanan adalah tanggapan informan terhadap pelayanan yang mereka terima. Penjelasan tentang informasi yang dikumpulkan, informan beserta jumlahnya, dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam (WD) dan diskusi kelompok (DK). Pengumpul data untuk WD adalah peneliti / staf FKM UI dibantu peserta Program Pascasarjana (S2) FKM dan staf Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) setempat yang telah dilatih.
Moderator DK adalah peneliti dibantu oleh peserta Program Pascasarjana (S2) FKM UI sebagai notulis. Sedangkan analisis data dilakukan dengan analisis isi (content analysis) yang sebelumnya diolah dulu dengan membuat matriks data kualitatif. HASIL Karakteristik informan Informan petugas kesehatan terdiri dari Kadinkes, Kapuskesmas, staf Puskesmas, dan bidan berumur rata-rata di atas 30 tahun. Latar belakang pendidikan Kadinkes dan Kapuskesmas adalah kedokteran, sedangkan staf Puskesmas dan bidan sesuai dengan pekerjaan profesi mereka, dengan masa kerja di atas 5 tahun. Untuk Toma, usia mereka berkisar 27-65 tahun dengan pendidikan terakhir rata-rata. Sekolah Menengah Umum (SMU) dan latar belakang pekerjaan mereka bervariasi antara lain nelayan, guru, petani, dan pedagang. Sedangkan informan kader berumur 2545 tahun, dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi pula. Demikian pula dengan pekerjaan mereka antara lain ibu rumah tangga, guru agama, guru Sekolah Dasar (SD), dan pedagang dan masa kerja mereka rata-rata di atas 10 tahun.
Tabel 1. Matriks metode kualitatif
Keterangan : TKK/TK Kec: Tim koordinasi kabupaten/kecamatan; Toma: tokoh masyarakat; JPSBK: jaring pengaman sosial bidang kesehatan; WD: wawancara mendalam; KS: kartu sehat; DK: diskusi kelompok; Kadinkes: Kepala Dinas Kesehatan; Puskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat; IBGB: ibu balita gizi buruk 136
J Kedokter Trisakti
Informan penerima JPS-BK diwakili oleh ibu pemilik KS berjumlah 20 orang yang berumur 2040 tahun dan latar belakang pendidikan bervariasi antara tidak tamat SD hingga tamat SMU. Pekerjaan mereka adalah petani, pedagang, dan ibu rumah tangga. Rata-rata anak yang dipunyai adalah 2 tapi salah satu ibu KS ada yang memiliki anak 6 orang. Untuk kepemilikan kartu sehat, rata-rata mereka telah memilikinya selama satu atau dua tahun. Untuk informan IBGB, rata-rata pendidikan mereka adalah SMP, sedangkan di wilayah desa semua IBGB tidak tamat SD. Di wilayah kota mereka adalah ibu rumah angga, sedangkan di wilayah desa, IBGB bekerja di kebun atau di industri rumah tangga agar dapat membantu pendapatan keluarga. Pekerjaan suami mereka sendiri bervariasi seperti nelayan, petani, buruh harian, dan supir. Jumlah anak yang dimiliki ratarata 2-3 anak tetapi salah satu mempunyai 7 anak dan yang lainnya mempunyai 3 balita. Kelayakan Pelaksanaan Program JPS-BK Peran tim koordinasi kabupaten/kecamatan (TKKab/TKKec) Menurut Kadinkes, TKKab hanya bersifat formalitas, di mana kegiatan pelaporan aktif jika ada dana. Terlihat bahwa Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merupakan anggota yang sangat aktif dan JPS-BK bukan merupakan prioritas bagi TKKab. Bahkan menurutnya, banyak inisiatif yang dilakukan sendiri karena yang bersangkutan adalah Sekretaris TKKab. Di Kabupaten Bengkulu Selatan, peran TKKec tidak berperan banyak. Informasi yang berhasil didapat hanyalah bahwa camat pernah melakukan satu kali pertemuan untuk mensosialisasikan JPS di wilayah kota. Sedangkan di desa, camat mempunyai kepedulian terhadap masalah kesehatan. Kriteria sasaran JPS-BK Menurut Kadinkes, kriteria JPS-BK yang digunakan berdasarkan standar dari BKKBN yang
Vol. 23 No. 4
dimodifikasi. Diperkirakan hanya 3 yang tepat di antara 10 sasaran dikarenakan KS diberikan kepada orang yang kenal dengan bidan di desa (BdD). Sedangkan di kecamatan kota menurut Kapuskesmas sasaran secara keseluruhan telah tepat akan tetapi proporsi antar desa tidak sama. Menurut BdD, dalam menentukan sasaran, dilakukan kerjasama dengan petugas lapangan keluarga berencana (PLKB), lurah dan pihak Puskesmas dan menurut mereka sasaran sudah tepat. Hal yang sama dikemukakan oleh bidan, yang menjadi masalah adalah sering timbul protes dari yang tidak menerima KS, bahkan ada beberapa yang sudah meminta surat keterangan dari lurah sebelum ke bidan untuk minta KS. Penyaluran dana Menurut Kadinkes, alokasi dana disesuaikan dengan jumlah Gakin. Selain itu prosedur pencairan dana tidak dapat dikontrol karena tidak ada laporan yang masuk. Di wilayah kota, baik staf maupun Kapuskesmas dan bidan merasa tidak ada masalah dengan penyaluran dana. Bidan menyatakan untuk pertanggungjawaban dana merepotkan karena uangnya harus dirinci dan tidak ada ganti rugi terhadap obat-obatan yang telah digunakan. Di wilayah pedesaan, staf Puskesmas tidak mengetahui apapun tentang dana, mereka hanya melaksanakan pelayanan. Di kedua wilayah, masyarakat mengeluh mengenai penundaan penyaluran dana tahap kedua. Pelaksanaan program Menurut Kapuskesmas di kedua wilayah, bagi pemilik KS diberikan pelayanan kesehatan di semua poklinik Puskesmas antara lain pengobatan, KB, imunisasi, gizi dan gigi. Bahkan menurut Kapuskesmas di wilayah kota, dikenal KS “jagajaga” bagi masyarakat yang akan datang meminta KS untuk keperluan operasi atau sakit berat. Staf Puskesmas dan bidan menginformasikan setiap Gakin mendapatkan pelayanan secara gratis. Akan tetapi terkadang ada masyarakat yang tidak mempunyai KS, tetapi meminta pelayanan secara gratis. Ada pula Gakin yang seharusnya diberi KS, tetapi yang bersangkutan tidak mau karena tidak mau disebut miskin. Bila ada masyarakat non-gakin 137
Pratomo, Suriah, Hediyati, Mardewi
yang datang berobat, tetapi memiliki KS, maka kartunya akan ditarik. Menurut bidan, untuk pelayanan kehamilan seringkali ibu hamil (Bumil) KS melakukan kunjungan pemeriksaan kehamilan lebih dari 4 kali. Walaupun dana tidak turun, pelayanan masih tetap diberikan oleh bidan. Selain itu masalah lain yang dihadapi adalah peralatan dan obat-obatan untuk persalinan oleh bidan tidak diganti oleh dokter Puskesmas. Menurut Kapuskesmas masalah yang dihadapi adalah kesulitan untuk mendeteksi anak yang mengalami kurang gizi, di mana biasanya si ibu tidak lagi membawa anaknya ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) setelah usia satu tahun (imunisasi telah lengkap). Menurut staf Puskesmas, sasaran untuk pemberian makanan tambahan (PMT) diperoleh dari bidan antara lain bayi, balita, ibu nifas (Bufas) dan Bumil. Masalah lain diinformasikan oleh bidan yaitu makanan tambahan yang diberikan sering dimakan oleh anggota keluarga lainnya dan terkadang susu yang diberikan tidak disukai anak-anak maupun Bumil. Di wilayah kota, Kapuskesmas menginformasikan bahwa dana yang tersedia bagi pelaksanaan revitalisasi Posyandu dibagi secara rata ke semua Posyandu. Sementara itu di wilayah desa, Kapuskesmas terlihat tidak peduli terhadap program revitalisasi Posyandu dikarenakan tidak adanya sosialisasi program kepada staf Puskesmas. Di kedua wilayah, berdasarkan informasi Kapuskesmas dan staf Puskesmas, penyakit menular yang banyak ditemui adalah tuberkulosis. Sementara itu staf Puskesmas di wilayah desa mengindikasikan bahwa penyakit menular yang banyak ditemui adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare dan lepra. Untuk program imunisasi, di wilayah kota ada ibu yang kadangkadang menyediakan alat suntik mereka sendiri. Untuk monitoring, Kadinkes menginformasikan bahwa monitoring dilakukan melalui Unit Keluhan Masyarakat (UKM) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “Semaku” dan “Forum Lintas Peduli”. Di wilayah kota, menurut Kapuskesmas, monitoring dilakukan melalui laporan yang dimasukkan oleh bidan. Sedangkan di wilayah desa, Kapuskesmas tidak mengetahui tentang kegiatan monitoring. 138
Jaring pengaman sosial bidang kesehatan
Penerimaan Masyarakat dan Kesesuaian dengan Masalah yang Ada Persepsi tentang masalah kesehatan, imunisasi dan KB Menurut Ibu KS dan IBGB, untuk makanan sehari-hari, yang dipentingkan adalah nasi, dengan lauk sayur, tempe, dan ikan, sedangkan konsumsi telur jarang dan daging bila ada pesta. Diinformasikan bahwa makanan bagi balita dan orang tua sama saja, hanya yang membedakan adalah makanan untuk balita tidak pedas. Untuk pemberian makanan tambahan bagi bayi, menurut Toma, ibu KS dan IBGB, biasanya diberikan promina, nasi tim dan pisang. Informasi dari kader mengenai PMT yang diberikan di Posyandu berupa bubur kacang hijau, telur, sayur sop dan pisang yang dimasak oleh kader dan dana diperoleh dari pembangunan desa (Bangdes) dan secara sukarela. Menurut Toma, persalinan, umumnya ditolong oleh BdD dan dukun. Alasan yang dikemukakan bila dengan dukun antara lain dapat dibayar dengan barang, lebih dekat, dan biasanya kalau ditolong dukun tidak hanya sekedar dibantu persalinannya tetapi juga dipijit. Sedangkan informasi mengenai imunisasi, menurut ibu KS, hampir semua anak diimunisasi agar kebal dari penyakit dan sehat. Tapi menurut IBGB, ada pula anaknya yang tidak pernah diimunisasi karena malu bila bertemu dengan masyarakat “diolok-olok” karena anaknya banyak. Menurut informasi ibu KS di wilayah kota, mereka menggunakan pil untuk alat kontrasepsi, karena cocok dan tidak ada efek samping. Sedangkan IBGB, menggunakan alat KB suntik. Ada pula IBGB yang berhenti menggunakan alat kontrasepsi karena harus membayar setengah harga di Puskesmas. Pengetahuan tentang JPS-BK dan Persepsi terhadap manfaat JPS-BK Informan Toma berpendapat bahwa mereka baru mendengar mengenai JPS-BK. Bahkan menurut informan kader, JPS-BK merupakan bantuan kesehatan dari Jepang. Ibu KS dan IBGB sendiri berpendapat bahwa KS digunakan untuk berobat ke Puskesmas gratis, yang ditujukan untuk orang-orang yang tidak mampu atau miskin.
J Kedokter Trisakti
Baik Kadinkes dan staf Puskesmas mengindikasikan bahwa JPS-BK menyebabkan beban kerja mereka menjadi bertambah dan tidak adanya insentif bagi pegawai Puskesmas. Di wilayah kota, Kapuskesmas berpendapat bahwa JPS-BK tidak memberikan manfaat banyak bagi masyarakat dikarenakan masyarakat masih mampu membayar perawatan kesehatan di Puskesmas. Sedangkan di wilayah desa, Kapuskesmas berpendapat bahwa JPS sangat bermanfaat bagi Gakin dalam mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, rujukan ke rumah sakit dan pelayanan KB. Melalui JPS mereka merasa dapat melakukan hal yang baik bagi kepentingan masyarakat. Persepsi tentang kualitas pelayanan Menurut informasi ibu KS dan IBGB di kedua wilayah, tidak ada perbedaan pelayanan antara yang mempunyai KS dan tidak. Namun demikian di Puskesmas pembantu (Pustu), menurut IBGB di wilayah perkotaan, mereka tetap harus membayar setengah biaya pelayanan walaupun mereka memiliki KS (seharusnya gratis) dan mereka merasa diperlakukan berbeda dikarenakan mereka mempunyai KS. Menurut Toma, pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas di wilayah kota dirasakan cukup baik. Namun, masih dilaporkan Puskesmas dibuka terlambat dan tutup lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Toma di wilayah desa memberikan informasi bahwa masyarakat tidak banyak yang ke Puskesmas dikarenakan lokasi yang jauh. Selain itu, Puskesmasnya kurang bersih dan jam pelayanannya terlambat walaupun pelayanan Puskesmas dianggap baik. PEMBAHASAN Di Kabupaten Bengkulu Selatan TKKab dan TKKec tidak berperan aktif. Seharusnya TKK mempunyai peran dalam menetapkan data sasaran sebagai dasar penetapan alokasi dana untuk setiap Puskesmas dan BdD. Di sini yang terlihat berperan aktif hanyalah Kadinkes, sedangkan seharusnya TKKab beranggotakan wakil dari Dinkes, BKKBN, Pendidikan Agama, dan Sosial dan diketuai oleh ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Vol. 23 No. 4
(Bappeda) kabupaten atau kota. Sedangkan TKKec diketuai oleh camat dan beranggotakan Kapuskesmas, Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayan Kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dan lintas sektor terkait lainnya serta semua kepala desa/lurah di wilayah kecamatan.(5) Salah satu masalah yang dihadapi dalam pelayanan khusus Gakin adalah penetapan sasaran. Informasi yang didapat dari informan memberi petunjuk banyak penerima KS yang tidak sesuai dengan kriteria. Hal ini berdampak pada penyerapan dana ke tingkat pusat. Untuk itu perlu dilakukan pemutakhiran data sasaran yang harus dilakukan secara transparan dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat. Sebagai contoh, bila ada keluarga yang termasuk miskin dalam daftar keluarga miskin, tetapi tidak miskin lagi, maka keluarga tersebut harus dikeluarkan dari daftar sasaran program JPS-BK. Kemudian hasil validasi data sasaran ditetapkan oleh kepala desa, untuk kemudian disampaikan ke Puskesmas.(6) Hal ini berhubungan dengan pencairan dana yang tidak dapat dikontrol dikarenakan tidak adanya laporan yang masuk. Terlebih lagi di wilayah desa, mereka tidak mengetahui apa-apa mengenai dana. Dalam pelaksanaan program JPS-BK terlihat pelayanan yang diberikan telah mencakup semua pelayanan. Bahkan beberapa ibu hamil yang mempunyai kartu JPS-BK memeriksakan kehamilannya lebih dari 4 kali, walaupun demikian bidan tetap memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Namun ditemui kesulitan untuk menentukan balita yang mengalami status gizi yang buruk dan makanan tambahan yang tidak diberikan kepada sasaran yang seharusnya. Pemberian makanan tambahan dapat diberikan berupa susu atau ditambah dengan pendamping lainnya mengingat PMT yang sekarang dibagikan mirip makanan pokok sehari-hari dan berasal dari daerah setempat.(3) Namun perlu disadari bahwa upaya penanggulangan masalah gizi kurang melalui program JPS-BK merupakan salah satu program yang tepat dalam mencegah memburuknya keadaan gizi generasi di masa yang akan datang.(7) Untuk persepsi masalah kesehatan, informasi yang didapat dari informan ibu KS dan IBGB, untuk konsumsi protein hewani hanya diperoleh dari ikan, 139
Pratomo, Suriah, Hediyati, Mardewi
Jaring pengaman sosial bidang kesehatan
juga makanan untuk balita yang tidak dibedakan dengan makanan orang dewasa. Untuk persalinan, masih ada ibu yang melahirkan dengan dukun, tidak dengan bidan. Sedangkan untuk imunisasi dan penggunaan alat KB dirasa sudah cukup baik, walaupun masih ada beberapa informan yang belum mengimunisasikan anaknya dan tidak menggunakan alat KB. Pengetahuan informan yaitu Toma terhadap JPS-BK dirasa masih kurang bahkan masih ada yang salah persepsi. Namun demikian, program ini dirasa sangat bermanfaat bagi keluarga miskin. Di wilayah desa, persepsi kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan terhadap penerima program JPS-BK dirasakan tidak ada perbedaan oleh informan. Artinya pelayanan petugas terhadap pengguna JPS maupun bukan pengguna JPS dianggap sama. Namun tidak demikian dengan wilayah kota, di mana informan pengguna JPS harus membayar setengah dari biaya pelayanan yang seharusnya gratis dan mereka juga merasakan perlakuan yang berbeda dengan pasien lain yang tidak menggunakan kartu JPS.
mendapatkan pelayanan di pusat kesehatan dibandingkan dengan pasien lain dikarenakan menggunakan kartu JPS-BK. Kriteria sasaran program JPS-BK sebaiknya dipantau oleh semua pihak, tidak hanya oleh bidan di desa saja, agar penerimaan ibu balita lebih baik. Juga diusulkan memotivasi BdD untuk memberikan laporan pertanggungjawaban sehingga dapat dipantau penyaluran dan penyerapan dana. Program JPS-BK diusulkan sebaiknya dilanjutkan karena masih banyak Gakin yang menghadapi masalah ekonomi di wilayah ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
2.
Dari hasil di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa TKK baik TKKab dan TKKec masih bersifat formalitas, belum berperan dalam pelaksanaan program JPS-BK. Diperkirakan masih banyak penerima JPS-BK yang belum tepat sasaran dan belum adanya pemutakhiran data sasaran. Kurangnya pengontrolan dana menyebabkan tidak masuknya laporan pertanggungjawaban yang seharusnya dilakukan. Masalah-masalah kesehatan yang ditemui yaitu konsumsi makanan dirasa masih kurang, demikian juga dengan persalinan yang masih dilakukan oleh dukun. Namun ada pula masalah kesehatan yang telah membaik seperti imunisasi dan penggunaan alat KB. Dari informan Toma dirasakan kurangnya pengetahuan dan sosialisasi terhadap program JPS-BK. Dilihat dari persepsi kualitas pelayanan, masih ada IBGB yang merasakan diperlakukan berbeda dalam
140
UCAPAN TERIMA KASIH Evaluasi ini terlaksana karena didukung oleh bantuan dana dari ADB melalui BC. Daftar Pustaka 1.
3.
4.
5.
6.
7.
Social safety nets. 2003. Available at: http:// www.worldbank.com. Akses tanggal 5 Nopember 2003. Grosh M. Weaving the social safety net. 2001. Available at: http://www.worldbank.com. Akses tanggal 5 Nopember 2003. Kusnanto H. Ketepatan sasaran keluarga miskin dalam JPS-BK: survei di Jateng, Jatim Bagian Selatan dan DIY. Medika, 1999. Edisi khusus September: 24-26. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan program jaring pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK). Jakarta: Departemen Kesehatan; 1999. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk teknis program jaring pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK) Bagi Bidan di Desa. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1999. Laporan Tahunan Tim Pengendali JPS, 2000. Available at: http://www.jps.or.id. Akses tanggal 5 Nopember 2003 Hadju V, Thaha AR, Dahlan DM, dan Ramli. Status gizi anak balita pada keluarga miskin di Propinsi Sulsel. Medika, 1999. Edisi khusus September: 27-32.