EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli
SKRIPSI PUTRI MULYA SARI
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN PUTRI MULYA SARI. D24103047. 2007. Evaluasi Penggunaan Bubuk Bawang Putih (Allium sativum) terhadap Kandungan Lemak Darah Ayam Kampung yang Diinfeksi Cacing Ascaridia galli. Skripsi. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Dwi Margi Suci, MS Pembimbing Anggota : Ir. Widya Hermana, MSi Pemeliharaan ayam kampung secara tradisional menyebabkan kesehatan dan perkembangan ayam sulit terkontrol, sehingga ayam mudah terserang penyakit seperti terinfeksi cacing. Ascaridia galli merupakan cacing yang banyak menyerang usus halus pada unggas. Infeksi penyakit terhadap tubuh ternak menyebabkan penyerapan zat-zat nutrisi tidak terjadi dengan sempurna, termasuk lemak. Bawang putih merupakan tanaman obat tradisional yang mengandung zat aktif yaitu dialilsulfida dan allicin yang diduga mempunyai daya bunuh parasit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bubuk bawang putih terhadap kandungan lemak darah ayam kampung yang diinfeksi telur infektif cacing Ascaridia galli pada ayam kampung umur 7 minggu dengan dosis 2.500 telur per ekor. Ransum grower diberikan untuk ayam umur 5-9 minggu dan ayam umur 10-11 minggu diberikan ransum perlakuan yaitu P1 (ransum grower sebagai kontrol), P2 (ransum grower + 2% piperazine sitrat dalam ransum), P3 (ransum grower + 2,5% bubuk bawang putih dalam ransum), P4 (ransum grower + 5,0% bubuk bawang putih dalam ransum), P5 (ransum grower + 7,5% bubuk bawang putih dalam ransum). Pengambilan darah dilakukan di pembuluh darah vena jugularis ayam kampung pada saat umur 6 minggu (sebelum infeksi), umur 9 minggu (saat infeksi), dan umur 11 minggu (setelah pemberian perlakuan). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Data dianalisis dengan menggunakan Analisis Varian (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan. Peubah yang diamati adalah kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL serum ayam kampung. Adanya infeksi cacing menyebabkan penurunan kolesterol sebesar 53,65% dan trigliserida sebesar 16,33%, serta peningkatan HDL sebesar 39,91% dan LDL serum ayam kampung sebesar 27,78%. Berdasarkan hasil analisa statistik, penambahan bubuk bawang putih dengan dosis 2,5-7,5% sebagai antelmintika alami tidak menunjukan hasil yang signifikan (p>0,05) terhadap kadar kolesterol, trigliserida dan LDL serum, namun signifikan (p<0,05) terhadap peningkatan HDL serum ayam kampung. Persentase perubahan kadar lemak darah sedikit meningkat yaitu kadar kolesterol sebesar 2,74-3,47%, trigliserida sebesar 18,37-20,00%, HDL sebesar 2,50-2,66% dan LDL sebesar 3,64-10,87% terjadi setelah penambahan bubuk bawang putih dengan dosis 2,5-5,0% ke dalam ransum jika dibandingkan dengan kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL serum sebelum pemberian bubuk bawang putih (saat penginfeksian). Kata kunci : Ascaridia galli, ayam kampung (Gallus gallus), bubuk bawang putih HDL, kolesterol, LDL, trigliserida.
ABSTRACT The Evaluation of Utilization Garlic Powder on Blood Lipid Content of Domestic Chicken which Infected of Ascaridia galli P. M. Sari., D. M. Suci., W. Hermana Ascaridia galli is one of parasite in domestic chickens (Gallus gallus). It is very harmfull especially for their performance, anthelmintics are usually need to kill the parasite. The experiment was conducted to study the evaluation of utilization garlic powder on blood lipid content of domestic chickens (Gallus galus) which infected by 2,500 dosages of Ascaridia galli infective eggs. One and a half month chickens were infected by infective eggs of Ascaridia galli. The diet grower was given for chickens with age 5-12 weeks and chickens with age 10-11 weeks was given the treatment diets, and they were P1 = diet grower, P2 = P1 + 2% piperazine sitrat, P3 = P1 + 2.5% garlic powder, P4 = P1 + 5% garlic powder, P5 = P1 + 7.5% garlic powder. The blood was taken from chicken’s jugular veins at age 6 weeks (before infection), age 9 weeks (after infection) and chickens at age 11 weeks (after treatment). Treatments were allocated in a completely randomized design with five treatment and three replication. The data were analyzed with Analysis of Variance (ANOVA) and if it was significant, continued with Duncan Multiple Range Test. Parameters observed were cholesterol, triglyceride, HDL, and LDL. The experiment showed that the effect of worm infection decreased cholesterol level 53.65% and trigliserida level 16.33%, and increased HDL level 39.91% and LDL level was 27.78%. The result showed that garlic powder as an anthelmintic had no significantly (p>0.05) effect of cholesterol, triglyceride, and LDL serum concentration and had significantly (p<0.05) increased HDL level was 2.50-10.36%. Keywords : Ascaridia galli, cholesterol, Gallus gallus, garlic powder, HDL, LDL, triglyceride
EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli
PUTRI MULYA SARI D24103047
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli
Oleh PUTRI MULYA SARI D24103047
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 21 Mei 2007
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Dwi Margi Suci, MS. NIP. 131 671 592
Ir. Widya Hermana, M.Si. NIP. 131 999 586
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRur.Sc. NIP. 131 624 188
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Januari 1985 di Magelang Jawa Tengah. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Chabibul Wadud dan Ibu Istichanah. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di SDN Blondo 3, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SLTP N 2 Magelang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2003 di SMU Almuayyad Surakarta. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2003. Selama kuliah penulis aktif menjadi anggota Tim Paduan Suara Fakultas Peternakan IPB (2004-2006). Selain itu penulis juga mengikuti kegiatan Pelatihan Feed Live Training 2005, serta Pelatihan Penulisan Proposal PKM dan LKTM Mahasiswa Departemen INTP IPB 2006.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT penguasa alam semesta hanya dengan pertolongan dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Evaluasi Penggunaan Bubuk Bawang Putih (Allium sativum) terhadap Kandungan Lemak Darah Ayam Kampung yang Diinfeksi Cacing Ascaridia galli merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Awal dari penelitian ini adalah penelitian Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang tergabung menjadi satu tim. Dalam tim ini, terdapat beberapa topik penelitian yaitu : 1. Pengaruh Pemberian Bawang Putih dalam Ransum terhadap Organ Dalam serta Histopatologi Usus dan Hati Ayam Kampung yang Diinfeksi Ascaridia galli (Siti Nurjanah). 2. Pengaruh Penambahan Bubuk Bawang Putih pada Ransum terhadap Gambaran Darah Ayam Kampung yang Diinfeksi Cacing Nematoda (Ascaridia galli) (Rachmad Budiman). 3. Pengaruh Penggunaan Bubuk Bawang Putih dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung yang Diinfeksi Ascaridia galli (Rani Pudjihastuti). Penggunaan bubuk bawang putih dalam ransum sebagai antelmintika alami diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dan mudah bagi peternak kecil dalam menanggulangi masalah infeksi cacing pada ayam kampung. Selain itu, penggunaan bubuk bawang putih lebih aman terhadap kesehatan jika dibandingkan dengan antelmintika komersial karena pemakaian antelmintika komersil secara terus menerus dapat menyebabkan timbulnya populasi cacing yang resisten terhadap antelmintika serta residu pada produk pangan asal hewan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca.
Bogor, Juni 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ..................................................................................................
i
ABSTRACT .....................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
x
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................ Tujuan .................................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
3
METODE .........................................................................................................
16
Lokasi dan Waktu ............................................................................... Materi .................................................................................................. Rancangan ........................................................................................... Prosedur ..............................................................................................
16 16 20 23
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
26
Keadaan Umum Penelitian .................................................................
26
Pengaruh Infeksi Cacing terhadap Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Ayam Kampung ........................................................
27
Pengaruh Penambahan Bubuk Bawang Putih terhadap Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Ayam Kampung .................
30
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
35
Kesimpulan ......................................................................................... Saran ...................................................................................................
35 35
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
36
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
37
LAMPIRAN .....................................................................................................
40
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Kimia Bawang Putih per 100 gram yang Dapat Dimakan ...............................................................................................
4
2. Bahan Aktif Beberapa Derifat Piperazine ............................................
7
3. Tahapan Pemberian Ransum selama Pemeliharaan..............................
17
4. Susunan Ransum Ayam Kampung .......................................................
17
5. Komposisi Premix ................................................................................
18
6. Kandungan Zat Nutrisi Ransum Ayam Kampung................................
18
7. Kandungan Zat Nutrisi Bubuk Bawang Putih ......................................
20
8. Waktu Pengambilan Darah ..................................................................
21
9. Rataan Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Ayam Kampung Sebelum dan Saat Penginfeksian...............................
27
10. Persentase Perubahan Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Ayam Kampung Saat Penginfeksian ................................
28
11. Rataan Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih..................
30
12. Persentase Perubahan Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih Dibandingkan dengan Saat Penginfeksian............................................
31
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Komponen Kimiawi Bawang Putih .....................................................
5
2.
Cacing Ascaridia galli Jantan dan Betina.............................................
8
3.
Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli ....................................................
9
4.
Diagram Absorpsi Zat Makanan Lemak ..............................................
12
5.
Proses Pembuatan Bubuk Bawang Putih .............................................
19
6.
Telur Cacing Ascaridia galli ................................................................
24
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Halaman Rataan Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Ayam Kampung Saat Penginfeksian ……………………………………. .....
41
Analisis Ragam Rataan Kadar Kolesterol Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih.............................................
41
Analisis Ragam Rataan Kadar Trigliserida Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih.............................................
41
Analisis Ragam Rataan Kadar HDL Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih.............................................
41
Analisis Ragam Rataan Kadar LDL Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih.............................................
42
Analisis Ragam Rataan Konsumsi Lemak Kasar Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih.............................................
42
PENDAHULUAN Latar Belakang Tuntutan ketersediaan bahan pangan baik hewani maupun nabati semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, tingkat pendidikan, serta pendapatan. Ayam buras dalam hal ini ayam kampung merupakan salah satu aset nasional yang turut menunjang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Namun pengembangan usaha ini umumnya masih bersifat tradisional atau ekstensif. Pemeliharaannya merupakan usaha sambilan tanpa memperhitungkan untung rugi dan tidak menggunakan teknologi maju. Usaha pemeliharaan secara tradisional dengan sistem umbar menyebabkan perkembangan dan kesehatan ayam sulit terkontrol. Salah satu kendala penyakit yang menyerang ayam kampung adalah gangguan parasit seperti terinfeksi cacing. Ascaridia galli merupakan cacing yang banyak menyerang usus halus pada unggas. Upaya pengendalian cacing dapat dilakukan dengan sistem pemeliharaan yang baik serta pemberian antelmintika komersil yang beredar di pasaran. Akan tetapi pemakaian antelmintika komersil secara terus menerus dapat menyebabkan timbulnya populasi cacing yang resisten terhadap antelmintika serta residu pada produk pangan asal hewan. Bawang putih merupakan tanaman obat tradisional yang memiliki zat aktif yaitu dialilsulfida yang dapat digunakan sebagai antelmintika dan allicin sebagai zat aktif yang diduga mempunyai daya bunuh parasit. Infeksi penyakit terhadap tubuh ternak menyebabkan perubahan patologis pada usus sehingga penyerapan zat-zat nutrisi tidak terjadi dengan sempurna, termasuk lemak. Lemak atau lipid adalah suatu zat yang kaya akan energi dan sebagai sumber asam-asam lemak esensial yang tidak dapat disintesa oleh tubuh melainkan harus disuplai dalam makanan. Lemak yang beredar di dalam tubuh diperoleh dari dua sumber yaitu dari makanan dan hasil produksi organ hati, yang bisa disimpan di dalam sel-sel lemak sebagai cadangan energi. Penggunaan bubuk bawang putih diduga mampu mengatasi infeksi cacing sehingga diharapkan penyerapan zat nutrisi khususnya lemak dapat berjalan dengan baik.
Perumusan Masalah Pemeliharaan ayam kampung secara tradisional atau ekstensif masih dilakukan oleh masyarakat. Usaha pemeliharaan dengan sistem umbar menyebabkan kesehatan ayam sulit terkontrol sehingga pertumbuhan ayam akan terhambat. Cacing yang banyak menyerang usus halus adalah Ascaridia galli. Infeksi Ascaridia galli mengakibatkan peradangan mukosa usus yang mengganggu pencernaan, penyerapan serta sekresi zat-zat yang berperan dalam proses pencernaan makanan. Infeksi cacing menyebabkan penurunan penyerapan vitamin A, enteritis, anemia serta diare, tetapi efek infeksi cacing terhadap kandungan lemak belum diketahui. Penanggulangan infeksi cacing pada ayam menggunakan obat sintetik dirasa masih kurang baik dari segi ekonomi bagi peternak maupun segi kesehatan karena meninggalkan residu pada produk pangan. Pemilihan tanaman obat yang mudah didapat, serta efektif membunuh cacing diharapkan dapat mengatasi kerugian akibat efek negatif penggunaan obat-obatan sintetik. Bawang putih sebagai tanaman obat memiliki zat aktif yang dapat mengatasi infeksi cacing Ascaridia galli. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penggunaan bubuk bawang putih terhadap kandungan lemak darah pada ayam kampung yang diinfeksi cacing Ascaridia galli.
2
TINJAUAN PUSTAKA Bawang Putih Klasifikasi dan Morfologi Tanaman bawang putih adalah herba semusim berumpun yang memiliki ketinggian sekitar 60 cm. Tanaman ini banyak ditanam di ladang daerah pegunungan yang cukup mendapat sinar matahari. Batangnya batang semu dan berwarna hijau. Bagian bawahnya bersiung-siung, bergabung menjadi umbi besar berwarna putih. Tiap siung terbungkus kulit tipis dan kalau diiris baunya sangat tajam. Daunnya berbentuk pita (pipih memanjang), berakar serabut, dan bunganya berwarna putih (Asiamaya, 2000). Secara taksonomi, tanaman bawang putih dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Devisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotiledone
Ordo
: Lilliflorae
Bangsa
: Liliaceae
Genus
: Allium
Species
: Allium sativum
Sumber : Wibowo (1994)
Kandungan Bawang Putih Bawang putih mengandung bermacam-macam zat kimia yang berkomposisi sedemikian rupa sehingga menimbulkan khasiat yang berguna bagi manusia maupun hewan. Menurut Reynold (1982), sejumlah senyawa bisa diekstrak dari bawang putih antara lain: air, protein, lemak, karbohidrat, vitamin B komplek, vitamin C, mineral kalsium, fosfor, magnesium dan kalium. Komposisi kimia bawang putih per 100 gram yang dapat dimakan, baik mentah maupun bubuk dapat dilihat dalam Tabel 1. Reynold (1982) juga menambahkan bahwa bawang putih mengandung zat-zat kimia aktif lainnya seperti allicin, skordinin, alliil, saponin, diallylsulfida dan prophyl allyl sulfida, serta methilalil trisulfida. Allicin (thiopropen sulfinic acid allyl ester) merupakan senyawa yang diduga dapat menurunkan kadar kolesterol darah
dan diduga mempunyai daya bunuh parasit. Skordinin memberi bau yang tidak sedap pada bawang putih, tetapi senyawa ini berkhasiat sebagai antiseptik. Kandungan alliil (propenyl sulfinyl alanina) memberikan bau yang khas pada bawang putih dan juga berfungsi sebagai antiseptik dan antioksidan. Saponin berasal dari kata sapo (bahasa latin = sabun) merupakan senyawa permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dengan air. Pada beberapa tahun saponin tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari tumbuhan dengan hasil yang baik sebagai bahan baku hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan. Kandungan saponin dalam bubuk bawang putih dapat menyebabkan sel-sel cacing menjadi terhidrolisis. Diallyl sulfida dan prophyl allyl sulfida bersifat antelmintika dan trombolik (penghancur gumpalan darah). Methilalil trisulfida merupakan zat yang dapat mencegah terjadinya perlengketan sel darah merah. Tabel 1. Komposisi Kimia Bawang Putih per 100 gram yang Dapat Dimakan Jumlah
Kandungan Mentah
Bubuk
58,58
6,446
Energi (kkal)
149
332,261
Protein (g)
6,36
16,798
Lemak (g)
0,5
0,759
33,07
72,711
Kalsium (mg)
181
79,5
Fosfor (mg)
153
416,667
Kalium (mg)
401
1.101,25
Air (g)
Karbohidrat (g)
Sumber : Asiamaya (2000)
Menurut Asiamaya (2000), bawang putih mentah dan bubuk mengandung protein berturut-turut 6,36 dan 16,798 gram/100 gram. Protein tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan biji pepaya sebagai antelmintika yaitu 24,3 gram/100 gram (Setiaji, 2003). Kandungan lemak pada bubuk bawang putih juga lebih rendah dari biji pepaya yaitu 0,759 gram/100 gram, sedangkan pada biji pepaya 25,3 gram/100 gram. Karbohidrat bubuk bawang putih mencapai 72,711 gram/100 gram. Nilai
4
tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan karbohidrat biji pepaya yaitu 32,5 gram/100 gram. Perubahan Kimia Bawang Putih Menurut Amagase et al. (2001), umbi bawang putih mengandung polisakarida,
protein,
enzim,
asam-amino, S-alilsistein,
sulfoksida dan
γ-
glutamylcysteines. Kandungan tersebut dapat membentuk alliin melalui pemecahan sel. Apabila bawang putih mengalami proses pemotongan, enzim allinase dengan cepat menguraikan alliin untuk membentuk cytotoxic dan odoriferus alkyl alkanethiosulfinates seperti allicin. Allicin melalui jalur dekomposisi cepat menghasilkan bahan lainnya seperti diallyl sulfida, diallyl disulfida dan diallyl trisulfida. Pada saat yang bersamaan γ-glutamylcysteines pada umbi bawang putih diubah menjadi S-allyl cysteine (SAC) melalui penuaan alami. Komponen umbi bawang putih dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian larut minyak dan bagian larut air. Komponen larut minyak antara lain dialil sulfida (DAS), dialil disulfida (DADS), dialil trisulfida dan ayone, sedangkan komponen yang larut air seperti S-alilsistein (SAC), Salilmerkaptosistein, dan asam amino. Komponen kimiawi bawang putih bisa dilihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Komponen Kimiawi Bawang Putih (Amagase et al., 2001)
5
Hubungan Kandungan Bawang Putih dengan Infeksi Cacing Ascaridia galli Bawang putih mengandung bahan berkhasiat antelmintik allicin yang setelah diteliti lebih lanjut terdiri dari dialilsulfida, dialil disulfida, dialil trisulfida, propil alil disulfida, suatu enzim sulfhdril yang dapat menembus dinding telur dan cacing. Enzim
sulfhdril
mempunyai
kemampuan
kuat
berikatan
dengan
enzim
fosfofruktokinase dari sel (telur dan cacing). Enzim fosfofruktokinase berfungsi mengkatalis perubahan fruktosa-6-fosfat menjadi fruktosa-1,6-difosfat pada jalur glikolitik protein dan glukosa, karena berikatan dengan allicin menyebabkan perubahan fruktosa-6-fosfat tidak terjadi dan pada akhirnya ATP tidak terbentuk. Tidak terbentuknya ATP menyebabkan pembelahan sel di dalam telur tidak akan berlangsung sehingga pada akhirnya embrio tidak terbentuk. Tidak terbentuknya ATP menyebabkan cacing akan kekurangan tenaga dan akhirnya mati (Bagus, 2003). Hubungan Kandungan Bawang Putih dengan Sintesa Kolesterol Nyoman (1997) berpendapat bahwa pengaruh bawang putih pada lipid darah kemungkinan disebabkan oleh senyawa-senyawa yang mengandung sulfur yang terdapat di dalamnya seperti allicin. Allicin merupakan senyawa aktif disulfida tidak jenuh yang mempunyai efek hipokolesterolemia dengan mekanisme sebagai berikut : 1. Rantai alil propil dari allicin dengan mudah akan tereduksi menjadi rantai propil sehingga menurunkan kadar NADPH dalam tubuh, padahal NADPH dibutuhkan dalam biosintesa kolesterol, sehingga sintesa kolesterol terganggu. 2. Allicin juga mempunyai sifat mengikat pada bagian fungsional dari enzim KoA pada gugusan sulfhidril yang diperlukan untuk biosintesa kolesterol. Piperazine Piperazine sebagai Antelmintika Antelmintika atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi parasit cacing di dalam lumen usus atau jaringan badan (Sukarban dan Santoso, 1995). Permin dan Hansen (1998) mendefinisikan antelmintika sebagai komponen yang membunuh cacing atau menyebabkan mereka dikeluarkan dari saluran pencernaan atau organ-organ dan jaringan yang mereka tempati di dalam tubuh inang. Antelmintika yang ideal adalah mempunyai spektrum yang luas, tidak toksik, batas keamanan yang tinggi, cepat dimetabolisme, mudah
6
diaplikasikan, dan biayanya murah. Kegagalan pengobatan antelmintika dapat disebabkan oleh kesalahan dalam perhitungan dosis, reinfeksi inang, kesalahan pemilihan antelmintika dan resistensi antelmintika. Resistensi menurut Permin dan Hansen (1998) adalah kenaikan kemampuan individu parasit secara signifikan dalam mentoleransi dosis pengobatan yang secara umum dapat mematikan sebagian besar individu parasit dalam populasi normal pada spesies hewan yang sama. Resistensi antelmintik terkait dengan frekuensi pemakaian obat, waktu pengobatan, faktor biologis, dan genetik cacing. Bahan Aktif Piperazine Pemberian piperazine melalui oral bisa dalam bentuk adipat, sitrat, hidrat, atau fosfat. Kandungan bahan aktif pada masing-masing garamnya berbeda-beda. Bahan aktif beberapa derivat piperazine bisa dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Bahan Aktif Beberapa Derifat Piperazine Derifat Piperazine Piperazine sitrat Piperazine adipat Piperazine dihidroklorida Piperazine heksahidrat Piperazine fosfat Piperazine sulfat
Bahan aktif (%) 35 48 50-53 44 42 46
Sumber : Booth dan McDonald (1982)
Efek Antelmintika Piperazine dan garam-garamnya bertindak seperti GABA (γ-aminobutyric acid) yang merangsang flaccid paralysis (kelumpuhan yang diikuti kelemahan) sehingga terjadi hiperpolarisasi membran sel pada parasit nematoda dan cacing mudah dikeluarkan oleh gerakan peristaltik usus (EMEA, 2001). Ascaridia galli Klasifikasi dan Morfologi Menurut Soulsby (1986), klasifikasi cacing Ascaridia galli sebagai berikut : Filum : Nemathelminthes; Kelas : Nematoda; Subkelas : Secenentea; Ordo : Ascaridia; Superfamili : Ascaridoidea; Famili : Ascarididae; Genus : Ascaridia.
7
Ascaridia galli adalah cacing nematoda berukuran besar, tebal dan berwarna putih kekuningan. Cacing jantan memiliki ukuran panjang 50-76 mm dan lebar 0,491,21 mm, sedangkan cacing betina memiliki panjang 60-116 mm dan lebar 0,9-1,8 mm. Ekor cacing jantan memiliki sayap yang lebih jelas, dilengkapi dengan 10 pasang papil yang pendek, besar dan alat penghisap dengan sisi yang tebal (Kusumamihardja, 1992). Gambar cacing Ascaridia galli jantan dan betina disajikan pada Gambar 2. Telur yang dihasilkan berbentuk oval, belum berkembang pada saat bertelur, dan berdinding licin.
Cacing jantan
Cacing betina
Gambar 2. Cacing Ascaridia galli Jantan dan Betina (Perbesaran 10x) Siklus Hidup Menurut Kusumamihardja (1992), cacing Ascaridia galli memiliki siklus hidup yang langsung yaitu telur dikeluarkan bersama tinja. Cacing Ascaridia galli akan mencapai tahap infektif dalam waktu 10 hari atau lebih. Telur akan mati pada kondisi kering dan terkena cahaya matahari langsung. Telur infektif akan termakan oleh hewan, kemudian masuk ke saluran pencernaan dan akan menetas di dalam usus halus. Untuk mendukung terjadinya penetasan telur membutuhkan CO2 sebagai faktor terpenting. Selain itu agen pereduksi, komposisi garam, pH yang bervariasi dan suhu juga mempengaruhi laju penetasan. Seminggu kemudian pada periode pertumbuhan, larva merayap dan membenam di dalam mukosa usus yang menyebabkan pendarahan usus halus. Rata-rata cacing menghabiskan waktu 17 hari dalam selaput lendir usus halus untuk melakukan proses molting menjadi cacing muda. Larva kemudian kembali ke lumen usus untuk selanjutnya menjadi cacing dewasa dan bertelur kembali. Seluruh masa perkembangan cacing, sejak telur infektif ditelan hingga menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu 6-8 minggu (Kusumamihardja, 1992). Siklus hidup cacing Ascaridia galli dapat dilihat pada Gambar 3.
8
Cacing A. galli dewasa bertelur di usus halus
Telur keluar bersama feses ayam
Telur infektif pada hari ke-10 atau lebih
Kembali ke usus halus menjadi cacing dewasa
Telur tertelan inang definitif
Berpenetrasi dalam mukosa usus (moulting) Telur menetas dalam usus halus
Keterangan : Siklus hidup cacing Ascaridia galli dimulai dari keluarnya telur bersamaan dengan feses ayam, kemudian berkembang menjadi telur infektif (L1) yang berisi larva infektif (L2) pada hari ke10 atau lebih. Telur infektif yang tertelan inang definitif akan menetas dalam usus dan larva hidup dalam lumen usus selama 8 hari sesudah infeksi. Antara hari kedelapan dan ketujuhbelas larva menempel pada mukosa usus. Larva ekdisis menjadi larva ketiga (L3) pada hari kedelapan dan ekdisis menjadi larva keempat (L4) pada hari ke 14-15 sesudah infeksi, kemudian larva kembali ke lumen usus dan berkembang menjadi cacing dewasa sekitar 6-8 minggu setelah infeksi.
Gambar 3. Siklus Hidup Cacing Ascaridia galli (Kusumamihardja, 1992) Patogenitas Ascaridia galli Kulkarni et al. (1993) menyatakan bahwa infeksi Ascaridia galli adalah penyebab masalah yang kompleks dalam kesehatan ayam. Infeksi Ascaridia galli pada ayam muda lebih rentan daripada ayam dewasa. Lesio-lesio pada mukosa duodenum dapat terjadi pada ayam muda, selain itu juga dapat mengakibatkan penurunan penyerapan vitamin A, enteritis, anemia serta diare. Ayam menjadi kurus, lemah dan produksi telurnya menurun. Pada infeksi yang berat dapat menyebabkan penyumbatan usus oleh cacing dewasa.
9
Peradangan mukosa umumnya diikuti gangguan dalam pencernaan, penyerapan dan sekresi zat-zat yang berperan dalam proses pencernaan makanan. Perubahan patologi anatomi yang terlihat adalah kekurusan yang sangat menyolok pada daerah dada dan paha. Kepucatan pada daerah paruh dan jengger yang mengindikasikan anemia. Kerusakan pada mukosa duodenum terjadi pada saat cacing muda menancapkan diri pada mukosa (Soulsby, 1986). Infektifitas dan Kebutuhan Cacing dalam Saluran Pencernaan Inang Kelangsungan hidup parasit dalam tubuh inangnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini sangat berpengaruh pada perkembangan maupun kelangsungan hidup dan daya tahan cacing Ascaridia galli mulai dari penetasan telur infektif sampai mapan dalam saluran pencernaan inang. Infektifitas adalah kemampuan cacing untuk menginfeksi atau daya infeksi pada inang sehingga mencapai tahap perkembangan tertentu. Infektifitas cacing pada inang dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain dosis infeksi atau jumlah telur infektif yang tertelan oleh inang. Tubuh cacing membutuhkan karbohidrat, protein, serta lipid untuk hidup. Umumnya cacing nematoda menyimpan glikogen di jaringan sebagai cadangan energi. Pada cacing Ascaridia galli akan terjadi penurunan jumlah glikogen jika inangnya (unggas) tidak mau makan. Cacing Ascaridia galli lebih banyak membutuhkan karbohidrat daripada protein karena jumlah enzim pencerna proteinnya lebih sedikit daripada cacing yang lain (Zalizar, 2006). Ayam Kampung Ayam kampung merupakan salah satu keluarga ayam buras yang berukuran kecil dan bentuknya agak ramping. Berat badannya mencapai 700-800 gram pada umur 3 bulan, dan produksi telurnya mencapai 135 butir/tahun (Iskandar, 2004). Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetisnya yang tidak seragam. Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan cermin dari keragaman genetisnya. Sistem pemeliharaan tradisional tidak dapat menghasilkan produksi yang maksimum baik dari segi produksi daging maupun telur (Martojo et al., 1995). Menurut Sinurat (1991) ayam buras memperoleh sebagian zat nutrisi dari
10
lingkungannya sehingga sulit untuk menyusun ransum sesuai dengan kebutuhan zat gizi secara tepat karena jumlah zat gizi yang didapat dan jenis sumber pakan yang tersedia pada suatu lingkungan dengan lingkungan yang lainnya sangat bervariasi. Kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi yaitu selama minggu awal dari kehidupan, oleh karena itu perlu diberikan ransum yang cukup mengandung energi, protein, mineral, dan vitamin dalam jumlah yang seimbang. Berdasarkan hasil penelitian Candrawati (1999), kebutuhan energi metabolis ayam kampung umur 0-8 minggu sebesar 2.970,2 kkal/kg dan protein 19%. Ayam kampung yang dipelihara secara tradisional di pedesaan mencapai dewasa kelamin pada umur 6-7 bulan dengan bobot badan 1,4-1,6 kg. Margawati (1989) melaporkan bahwa berat badan ayam kampung umur 8 minggu yang dipelihara secara ekstensif hanya mencapai 258 gram, sedangkan ayam kampung yang dipelihara intensif pada umur yang sama dapat mencapai 637 gram. Rendahnya pertambahan bobot badan pada anak ayam buras yang dipelihara secara ekstensif, karena adanya penyakit serta kurang terpenuhinya kebutuhan gizi sehingga menghambat laju pertumbuhan. Lemak Darah Metabolisme Lemak Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006), bahan makanan mengandung lemak akan mengalami lubrikasi dan mastikasi di dalam mulut. Proses mekanis dilanjutkan pada gerakan peristaltik dalam kerongkongan dan pada saat makanan berada pada lambung. Di dalam lambung, enzim lipase yang diproduksi lambung memulai proses hidrolisa bahan makanan yang mengandung lemak tinggi. Pada waktu trigliserida meninggalkan lambung dan masuk ke duodenum, maka sel-sel dalam usus halus mengeluarkan hormon cholecystokinin yang akan ditranspor dalam darah menuju kelenjar empedu. Getah empedu disintesa oleh sel-sel dalam hati yang kemudian disimpan dalam kelenjar empedu sampai zat tersebut diperlukan untuk pencernaan lemak. Produk akhir pencernaan lemak dalam saluran usus halus adalah monogliserida, asam lemak, dan kolesterol. Beberapa fosfolipid dan trigliserida dengan rantai pendek dan medium akan tetap terdapat dalam bentuk esensial dalam zat makanan. Dalam lumen usus halus, monogliserida, asam-asam lemak, kolesterol,
11
fosfolipid bersatu dengan empedu membentuk agregat khusus disebut micelles. Garam empedu bertindak sebagai pengemulsi yang akan bergabung bersama komponen asam lemak untuk diabsorbsi melalui dinding usus halus. Absorpsi lemak terutama melalui permukaan jejunum. Micelle lemak bersama-sama dengan trigliserida rantai pendek dan medium diabsorbsi secara langsung ke dalam mukosa sel jejunum. Pada saat kandungan lemak dalam micelle diabsorpsi, maka garam empedu tetap tinggal dalam lumen untuk diabsorbsi kembali. Asam-asam lemak yang diangkut ke dalam darah akan terikat dengan protein serta albumin (Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Diagram absorpsi zat makanan lemak dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Absorpsi Zat Makanan Lemak (Piliang dan Djojosoebagio, 2006)
Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006), sesudah lemak dicerna dan diabsorpsi, maka lemak tersebut baru dapat dimanfatkan oleh jaringan tubuh, kemudian oleh lipoprotein. Jika lemak yang terdapat dalam sirkulasi diperlukan untuk fungsi sel, maka enzim lipoprotein lipase akan melepaskan bagian lemak dari
12
karier protein dan menghidrolisis komponen trigliserida menjadi gliserol dan asamasam lemak. Molekul-molekul lemak ini sekarang siap untuk masuk ke dalam sel untuk selanjutnya dimanfaatkan jaringan-jaringan tubuh. Kolesterol Jumlah kolesterol bervariasi baik untuk setiap individu maupun pada setiap organ tubuh. Mekanisme pengaturan kolesterol di dalam tubuh hewan pada dasarnya tergantung pada sintesis kolesterol dan ekskresi steroid dalam feses. Beberapa faktor yang mempengaruhi kolesterol serum adalah keturunan, umur, musim, diet serat, dan obat tertentu (Menge et al., 1974). Kolesterol disintesis dalam tubuh, terutama oleh sel-sel hati, usus halus dan kelenjar adrenal, meskipun seluruh sel-sel mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sterol. Hasil sintesa kolesterol ditransport di antara jaringan yang terikat pada lipoprotein, terutama kilomikron dan lipoprotein dengan densitas rendah. Semua jaringan tubuh mempunyai kemampuan untuk mensintesis kolesterol, tetapi paling aktif adalah hati. Sintesis kolesterol terdiri dari tiga tingkat yaitu : 1) Pengubahan asetil CoA menjadi senyawa antara tioester berkarbon enam, 3-hidroksi3-metilglutaril CoA (HMGCoA), 2) Pengubahan HMGCoA menjadi skualen, suatu hidrokarbon asiklik yang mengandung 30 atom karbon, dan 3) Pengubahan skualen menjadi siklik dan diubah menjadi sterol dengan 27 atom karbon yaitu kolesterol (Ismadi, 1993). Lipoprotein Lipid dalam darah berbentuk kompleks makromolekul yang disebut lipoprotein. Kompleks ini terdiri atas gabungan fraksi lipid dengan protein khusus yang disebut apoprotein. Pembentukannya dalam rangka membuat lipid seolah-olah dapat larut dalam air plasma, sebab seperti diketahui lipid umumnya bersifat hidrofobik. Fraksi lipid yang paling sulit larut seperti trigliserida ditempatkan sebagai inti lipoprotein. Fraksi yang bersifat bipolar adalah kolesterol bebas, kolesterol ester, fosfolipid dan asam lemak bebas (Mayes et al., 1992). Lipoprotein digunakan sebagai sarana khusus untuk mengangkut kolesterol dalam darah ke bagian tubuh yang membutuhkan (Brunzell et al., 1978). Lipoprotein adalah suatu partikel dengan struktur tertentu yang mempunyai susunan sebagai berikut :
13
1. Bagian inti di tengah sel, merupakan bagian non polar yang terdiri dari trigliserida dan ester kolesterol. 2. Bagian permukaan, merupakan lapisan polar terdiri dari kolesterol bebas, fosfolipid, dan apoprotein (Brunzell et al., 1978). Menurut Piliang dan Djojosoebagio (2006), lipoprotein dalam plasma darah digolongkan dalam beberapa fraksi, yaitu : 1. Kilomikron (chylomicron) : komponen utamanya adalah trigliserida, tipe lipoprotein densitas rendah yang berasal dari absorpsi lemak intestine postprandial. Peranan utamanya adalah transport lipid eksogen, trigliserida dan membawa sebagian kolesterol. 2. VLDL (Very Low Density Lipoprotein) : yang disintesa dalam hati dan kaya akan trigliserida endogen. Dalam darah akan mengalami degradasi menjadi LDL. Fungsi utama sebagai pembawa trigliserida yang dibawa dari hati ke jaringanjaringan lain dalam tubuh, terutama ke jaringan adiposa yang disimpan. 3. LDL (Low Density Lipoprotein) : mengandung banyak ester kolesterol. LDL merupakan hasil degradasi dari VLDL melalui IDL. Kompleks inilah yang mampu melakukan penetrasi ke dalam sel melalui reseptor khusus di permukaan sel. LDL merupakan lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar untuk disebarkan ke seluruh endotel jaringan perifer pembuluh nadi. 4. HDL (High Density Lipoprotein) : mempunyai densitas yang tinggi karena kandungan apoproteinnya yang tinggi. Fungsinya mengambil kolesterol dari jaringan perifer untuk dibawa ke hati guna mengalami degradasi dan kolesterol hasil pemecahannya diekskresi melalui empedu. Menurut Miller (1979) fungsi lipoprotein plasma adalah sebagai alat pengangkut trigliserida dan kolesterol dalam darah. Sistem pengangkutan lemak dalam darah dapat dibagi dalam dua jalur yaitu : 1. Jalur pengangkutan lemak eksogen yang mengangkut kolesterol dan trigliserida dari usus. 2. Jalur pengangkutan lemak endogen yang terdiri atas: a) pengangkutan kolesterol dan trigliserida dari hati ke jaringan perifer, b) pengangkutan kolesterol dari jaringan perifer ke hati.
14
Swenson (1984) menyatakan bahwa kolesterol darah ayam petelur berkisar 125-200 mg/dl darah. Penelitian Salim (2001) menunjukkan kandungan kolesterol ayam buras yang diberi ransum komersial, rataannya adalah 130,16 mg/dl. Berdasarkan hasil penelitian Nyoman (1997), kadar kolesterol darah ayam broiler berkisar antara 149-193 mg/dl. Kadar HDL dan LDL ayam broiler berturut-turut yaitu 73,00-100,30 mg/dl dan 38,50-66,30 mg/dl.
15
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini berlangsung pada bulan Februari sampai Juni 2006 di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisa lemak darah dilaksanakan di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengkoleksian telur cacing Ascaridia galli dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak Penelitian ini menggunakan 100 ekor DOC (Day Old Chick) ayam kampung yang diinfeksi cacing Ascaridia galli dengan dosis 2.500 telur pada umur 7 minggu, kemudian diambil sebanyak 35 ekor untuk dianalisis darahnya. Pengambilan darah dilakukan dalam tiga tahap yaitu sebelum penginfeksian (ayam umur 6 minggu), saat terinfeksi (ayam umur 9 minggu), dan setelah pemberian bawang putih (ayam umur 11 minggu). Kandang dan Peralatan Penelitian ini menggunakan kandang sistem litter yang disekat dengan pen berukuran 60 x 60 x 60 cm sebanyak 20 buah. Kandang dilengkapi dengan tempat makan, tempat air minum, dan lampu pijar 60 watt. Bahan litter yang digunakan adalah sekam padi setebal 1 cm untuk menampung ekskreta ayam. Peralatan lain yang dipakai adalah timbangan untuk menimbang bobot badan ayam, tirai plastik, termometer untuk mengukur suhu lingkungan, sapu, kawat untuk menggantungkan tempat minum, plastik untuk ransum. Ransum Ransum grower dengan energi 2.900 dan protein 20% diberikan untuk ayam umur 5-9 minggu. Umur 10-11 minggu ayam diberi ransum grower (P1), ransum grower + 2 % piperazine sitrat (P2) dan ransum grower + bubuk bawang putih sesuai dengan perlakuan (P3, P4, P5). Tahapan pemberian ransum dapat diterangkan dalam
Tabel 3. Susunan ransum ayam kampung dan hasil analisis ransum ayam kampung umur 5-12 minggu dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 6. Tabel 3. Tahapan Pemberian Ransum Selama Pemeliharaan Umur Ayam
Ransum P1
P2
P3
P4
P5
5-9 minggu
Grower
Grower
Grower
Grower
Grower
10-11 minggu
Grower
Grower + 2% piperazine sitrat
Grower + 2,5% bawang putih
Grower + 5% bawang putih
Grower + 7,5% bawang putih
Tabel 4. Susunan Ransum Ayam Kampung Bahan makanan
Jagung
Jumlah (%) Umur 5-12 Minggu (grower) 58,55
Dedak padi
6
Pollard
6
Tepung ikan*
5
Bungkil kedelai
21
Minyak kelapa
1
DCP
0,55
CaCO3
1,4
Premix**
0,5
Total
100
*) Kandungan protein kasar tepung ikan : 55% **) Komposisi premix dapat dilihat dalam Tabel 5.
17
Tabel 5. Komposisi Premix Premix Setiap 1 kg mengandung : Vitamin A Vitamin D3 Vitamin E Vitamin K3 Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin B6 Vitamin B12 Ca-d pantothenate Folid Acid Nicotinic Acid Choline Chloride DL-Methionine L-Lysine Ferros Copper Manganese Zinc Cobalt Iodine Selenium Antiox. Carrier add
4.000.000 IU 800.000 IU 4.500 mg 450 mg 450 mg 1.350 mg 480 mg 6 mg 2.400 mg 270 mg 7.200 mg 28.000 mg 28.000 mg 50.000 mg 8.500 mg 700 mg 18.500 mg 14.000 mg 50 mg 70 mg 35 mg 1 mg
Sumber : PT. Mensana Aneka Hewan
Tabel 6. Kandungan Zat Nutrisi Ransum Ayam Kampung *) Kandungan Zat Nutrisi
Komposisi
Bahan Kering (%)
Umur 5-12 Minggu (grower) 85,66
Protein Kasar (%)
20,87
Serat Kasar (%)
4,26
Lemak Kasar (%)
4,64
Beta-N (%)
49,58
Abu (%)
6,31
Ca (%)
1,44
P Total (%)
0,68
NaCl (%)
0,08
Energi Bruto (kkal/kg)
3.906
*Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2006)
18
Pembuatan Bubuk Bawang Putih Bawang putih yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih impor yang biasa dijual di pasar. Proses pembuatan bubuk bawang putih dimulai dari pemisahan siung menjadi siung tunggal, bawang putih tunggal dikupas kulitnya. Setelah itu bawang putih diiris tipis (2-3 mm) kemudian diangin-anginkan sebentar. Bawang putih yang telah diiris tipis, dikeringkan dalam oven pada suhu 60 0C selama 10 jam. Kemudian bawang putih ditimbang dan dihaluskan. Bawang putih yang telah dihaluskan diayak dengan menggunakan ayakan 40 mesh. Proses pembuatan bubuk bawang putih bisa dilihat dalam Gambar 5. Bubuk bawang putih diambil sampelnya untuk dinalisis kandungan zat nutrisinya. Hasil analisa laboratorium bubuk bawang putih dalam Tabel 7. Bawang putih Pemisahan siung menjadi siung tunggal Pengupasan kulit Pengirisan tipis (2-3 mm) Pengovenan pada suhu 60 0 C selama 10 jam Penghalusan Pengayakan (40 mesh) Bubuk bawang putih Gambar 5. Proses Pembuatan Bubuk Bawang Putih
19
Tabel 7. Kandungan Zat Nutrisi Bubuk Bawang Putih*) Kandungan Zat Nutrisi
Komposisi
Bahan Kering (%)
83,09
Protein Kasar (%)
16,78
Serat Kasar (%)
0,42
Lemak Kasar (%)
4,11
Beta-N (%)
58,61
Abu (%)
3,17
Ca (%)
0,26
P Total (%)
0,38
NaCl (%)
0,07
Energi Bruto (kkal/kg)
3.344
*Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2006)
Obat-obatan dan Vaksinasi Obat-obatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vita Stress, Vita Chick, Vaksin ND untuk mencegah penyakit tetelo dan Vaksin Gumboro. Vita Chick dan Vita Stress digunakan sebagai suplemen vitamin. Vaksin ND I diberikan pada ayam berumur tiga hari melalui tetes mata dan vaksin ND II diberikan pada waktu ayam berumur tiga minggu melalui air minum. Vaksin gumboro diberikan pada ayam berumur 10 hari. Ayam dipuasakan terlebih dahulu dari air minum selama 2 jam, kemudian diberikan vaksin yang telah dilarutkan dalam air minum. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Model matematika dalam rancangan percobaan ini adalah : Yij = μ + αi + εij Keterangan : Yij : nilai respon dari perlakuan ke –j µ : nilai rataan umum αi : pengaruh perlakuan ke -i εij : galat percobaan pada perlakuan ke –j i : perlakuaan terhadap bubuk bawang putih (1, 2, 3, 4, 5) j : ulangan (1, 2, 3, 4)
20
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan Uji Lanjut Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Perlakuan Perlakuan yaitu penambahan dosis piperazine sitrat dan bawang putih ke dalam ransum grower untuk diberikan pada ayam umur 10-11 minggu setelah ayam diinfeksi cacing Ascaridia galli mulai umur 7-9 minggu. Perlakuan tersebut yaitu : P1 = Ransum grower (kontrol) P2 = Ransum grower yang ditambahkan 2% piperazine sitrat dalam ransum P3 = Ransum grower yang ditambahkan 2,5 % bubuk bawang putih dalam ransum P4 = Ransum grower yang ditambahkan 5,0 % bubuk bawang putih dalam ransum P5 = Ransum grower yang ditambahkan 7,5 % bubuk bawang putih dalam ransum Pengambilan Darah Pengambilan darah dilakukan dalam tiga tahap, yaitu sebelum penginfeksian (ayam umur 6 minggu), saat infeksi (ayam umur 9 minggu), dan setelah pemberian bawang putih (ayam umur 11 minggu). Sebelum pengambilan darah, ayam dipuasakan selama dua jam. Masing-masing ulangan diambil 1 ekor untuk diambil darahnya. Darah diambil dari vena jugularis yang terdapat di bagian leher sebanyak 1 ml dengan shyringe ukuran 3 ml. Darah yang diperoleh disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm kurang lebih 10 menit. Supernatan berupa serum diambil dengan pipet steril dan ditempatkan pada wadah kecil dan siap untuk dianalisis. Waktu pengambilan darah selama penelitian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Waktu Pengambilan Darah Waktu pelaksanaan
Pengambilan Darah
Umur Ayam Kampung
Pemberian Ransum
Sebelum infeksi
6 minggu
Grower
Saat infeksi
9 minggu
Grower
Setelah pemberian bawang putih
11 minggu
Ransum perlakuan
21
Peubah yang Diamati 1. Kolesterol Total Disiapkan tabung blanko berisi 10μl aquades dan 1.000 μl reagen kit, tabung standar berisi 10 μl standar kolesterol dan 1.000 μl reagen kit, tabung sample berisi 10 μl serum reagen kit dan 1.000 μl reagen kit. Campuran kemudian dihomogenkan, diinkubasi pada suhu 20 – 25oC selama 10 menit. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang Hg 546 nm dalam waktu satu jam. Kolesterol total (mg/dl) = absorban sampel x konsentrasi standar (mg/dl) absorban standar 2. HDL (High Density Lipoprotein) Sebanyak 500 μl serum ditambah dengan 1.000 μl presipitasi, dicampur sampai homogen, kemudian didiamkan selama 10 menit pada suhu kamar. Sentrifuse selama 10 menit dengan 3.500 putaran permenit. Supernatan dipersiapkan dari endapan dalam waktu dua jam setelah sentrifugase. Sebanyak 100 μl supernatan ditambah 100 μl reagent CHOD-PAP dicampur, diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-250 C. Absorbansi dibaca dalam waktu satu jam pada panjang gelombang Hg 546 nm. Untuk blanko reagent dibuat dari 100 μl air suling ditambah dengan 1.000 μl reagent CHOD-PAP dan standar terbuat dari 100 μl standar kolesterol ditambah dengan 1.000 μl reagent CHOD-PAP. Kolesterol-HDL (mg/dl) =
absorban sampel x konsentrasi standar (mg/dl) absorban standar
3. LDL (Low Density Lipoprotein) Sebanyak 100 μl serum ditambah dengan 1.000 μl presipitasi, dicampur sampai homogen, kemudian didiamkan selama 10 menit pada suhu 15-250C. Sentrifuse selama 15 menit dengan 3.500 putaran permenit. Supernatan dipersiapkan dari endapan dalam waktu dua jam setelah sentrifugase. Sebanyak 50 μl supernatan ditambah 100 μl reagent kit dicampur, diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20250C. Absorbansi dibaca dalam waktu satu jam pada panjang gelombang Hg 546 nm. Untuk blanko reagent dibuat dari 50 μl air suling ditambah dengan 1.000 μl reagent
22
kit dan standar terbuat dari 50 μl standar kolesterol ditambah dengan 1.000 μl reagent kit. Kolesterol-LDL (mg/dl) = absorban sampel x konsentrasi standar (mg/dl) absorban standar 4. Trigliserida Disiapkan tabung blanko berisi 10μl aquades dan 1.000 μl reagen kit, tabung standar berisi 10 μl standar trigliserida dan 1.000 μl reagen kit, tabung sample berisi 10 μl serum
dan 1.000 μl reagen kit. Campuran kemudian dihomogenkan,
diinkubasi pada suhu 20 – 25oC selama 10 menit. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang Hg 546 nm dalam waktu satu jam. Trigliserida (mg/dl) =
absorban sampel x konsentrasi standar (mg/dl) absorban standar Prosedur
Persiapan Kandang Persiapan kandang dilakukan tiga minggu sebelum pemeliharaan. Persiapan kandang meliputi pemasangan kawat penyekat antar pen, lampu, serta tirai plastik. Setelah pemasangan selesai dilakukan pengapuran, didiamkan selama dua hari, kemudian dilaksanakan fumigasi untuk menanggulangi terserangnya penyakit bagi ayam. Penambahan sekam ke dalam tiap pen dilakukan dua hari setelah fumigasi. Tempat pakan dan minum digantung di atas sekam agar tidak cepat kotor. Pemeliharaan Ayam yang digunakan adalah DOC ayam kampung sebanyak 100 ekor. Pada awal penelitian dilakukan penimbangan bobot badan. Setelah selesai ditimbang, ayam diberi air minum yang telah dilarutkan gula untuk mengembalikan kondisi tubuh ayam seperti semula. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Perhitungan konsumsi pakan serta penimbangan bobot badan dilakukan setiap minggu. Vaksinasi ND dan gumboro dilakukan melalui air minum, sebelum dan sesudah vaksinasi diberikan vitamin anti stress. Penginfeksian telur infektif cacing Ascaridia galli dilakukan pada saat ayam berumur 7 minggu. Penambahan bubuk bawang putih ke
23
dalam ransum dilakukan 3 minggu setelah penginfeksian yaitu selama 2 minggu atau pada saat ayam berumur 10-11 minggu. Penyediaan Telur Infektif Telur infektif yang digunakan untuk menginfeksi hewan percobaan pada penelitian ini diperoleh dari hasil pupukan telur cacing Ascaridia galli yang diisolasi dari uterus cacing betina dewasa. Cacing dewasa diperoleh dari usus ayam yang terinfeksi cacing Ascaridia galli. Telur infektif yang diperoleh kemudian diinkubasi dalam cawan petri berisi aquabidest steril selama 10-14 hari sampai terbentuk telur infektif. Penggunaan telur infektif yang diperoleh dari hasil pupukan, sebelumnya dihitung terlebih dahulu untuk menentukan dosis yang akan diinfeksikan. Dosis telur infektif yang digunakan adalah 2.500 telur/ekor. Telur cacing yang telah siap diinfeksikan pada ayam disimpan pada tabung ependouf sesuai dengan dosis. Pemeriksaan Kecacingan Prainfeksi Pemeriksaan
kecacingan
pada
ternak
dilakukan
1-2
hari
sebelum
penginfeksian untuk memastikan bahwa ternak tersebut tidak terinfeksi cacing. Feses ayam diambil sebagai sampel kecacingan pada ternak yang kemudian diperiksa pada larutan pengapung. Larutan pengapung terdiri dari campuran 400 gram garam dan 500 gram gula yang dilarutkan pada 1 liter air. Campuran garam, gula dan air dimasak sampai mendidih dan semua tercampur dan menjadi larutan jenuh dengan berat jenis 1,280. Dua gram tinja dilarutkan kedalam 58 ml larutan pengapung yang kemudian disaring dan dihomogenkan kembali. Larutan tersebut diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat telur cacing. Telur cacing Ascaridia galli bisa dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 . Telur Cacing Ascaridia galli (Perbesaran 10x)
24
Penginfeksian Telur Infektif Penginfeksian dilakukan pada saat ayam berumur 7 minggu, selama 3 minggu. Telur infektif diberikan melalui oral atau mulut dengan menggunakan spoit yang dihubungkan dengan sonde. Dosis yang digunakan untuk menginfeksi hewan percobaan adalah 2.500 telur dalam 1 ml aquadest. Untuk menjamin semua telur masuk ke dalam oesophagus kemudian dilakukan pembilasan dengan aquadest sebanyak 1 ml. Pemberian Bubuk Bawang Putih Pemberian bubuk bawang putih dilakukan saat ayam berumur 10 minggu hingga berumur 11 minggu. Bubuk bawang putih diberikan pada ternak selama 2 minggu untuk melihat pengaruh antelmintikanya. Penambahan bubuk bawang putih ke dalam ransum ayam kampung disesuaikan dengan dosis perlakuan.
25
DAFTAR PUSTAKA Amagase H.,B.L. Petesch, H. Matsuura, S. Kasuga and Y. Itakura. 2001. Intake of garlic and its bioactive components. J. Nutr. 131:955S-962S. Asiamaya. 2000. Nutrisi bawang putih, http://www.Asiamaya.com/nutrient/bawangputih.html.22-6-2000. 2006]
mentah. [19 April
Bagus, I.M.O.2003. Ovisidal dan vermisidal bawang putih terhadap telur dan cacing Ascaridia galli pada ayam kampung. J. Veteriner. 4.1-6. Booth, N.H and L.E. Mc Donald. 1982. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 5th Edition. The Lowa State University Press. Ames. Brunzell, J.D., A. Chait and E.L. Bierman.1978. Pathophysiology of lipoprotein transport. Metabo. 27:1109-1124. Candrawati, D.P. M.A.1999. Pendugaan kebutuhan energi dan protein ayam kampung umur 0-8 minggu. Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Castro C. A. 1990. Intestinal Pathology. In: Behnke J. M (Ed) Parasites; Immunity and Pathology: The Consequences of Paracitic Infection in Mamals. Taylor and Francis, Philadelphia [EMEA] The European Agency for Evaluation of Medical Products Veterinary Medicines and Inspection. 2001. Piperazine Summary Report (3). Commite for Veterinary Medical Products. http://www.emea.eu.int.[Maret, 2006]. Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hastuti, R.P. 2007. Evaluasi penggunaan bubuk bawang putih dalam ransum terhadap performans ayam kampung yang diinfeksi cacing Ascaridia galli. Unpublish. Iskandar, S. 2004. Karakter dan manfaat ayam pelung. http://balitnak.litbang.deptan.go.id/mod.php?mod=userpage&menu=60100&pa ge_id=21. [1 Maret 2006] Ismadi, 1993. Biokimia, Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Jilid 2. Edisi Keempat, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kulkarni D, Rao Y. V. G, Padmavath P, Ramesh A. J. 1993. Controlled laboratory trials on the efficacy of morantel citrate (Banmint II) againts Ascaridia galli in experimentally infected chicken. The Journal of Indian Veteriner 70: 705-707.
Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Laihad, J.T. 2000. Pengaruh penambahan teh hijau dalam pakan pada kadar kolesterol ayam broiler. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Margawati, E. T. 1989. Efisiensi penggunaan ransum oleh ayam kampung jantan dan betina pada periode pertumbuhan. Proceeding Seminar Nasional tentang Unggas Lokal. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. 127132. Martojo, H., Sri Darwati, dan K.J.A. Kahono. 1995. Persilangan ayam kampung dengan ayam pelung dengan pemanfaatan dedak padi untuk meningkatkan produksi daging ayam buras yang dipelihara secara intensif di Desa Cikarawang, Kec. Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Artikel Ilmiah. Lembaga Pengabdian Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mayes, P. A., D. K. Granner, V. W. Rodwell and D. W. Martin. 1992. Biokimia (Harper’s Review of Biochemistry). Edisi 20. Alih bahasa : Dr. Iyan Darmawan. CV. EGC. Jakarta.pp. 276-281. Menge. H., L.H. Littefield, L.T. Frobish, and B.T. Weinland. 1974. Effect of cellulase and cholesterol on blood and yolk lipid and reproductive efficiency of the hen. J. Nutr. 104:1554-1566. Miller, N. E. 1979. Plasma lipoprotein, lipid transport and atherosclerosis. Recent developments. J. Clin. Patho. 32: 639-649. Nurjanah, S. 2007. Pengaruh pemberian bawang putih dalam ransum terhadap organ dalam serta histopatologi usus dan hati ayam kampung yang diinfeksi Ascaridia galli. Unpublish. Nyoman, I.S. 1997. Pengaruh penambahan bawang putih (Allium sativum) dalam pakan pada kadar kolesterol ayam broiler. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Permin, A. dan J.W. Hansen. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Poultry Parasites. FAO Animal Health Manual No.4 Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Piliang, W.G. dan S. Djojosoebagio Al Haj. 2006. Fisiologi Nutrisi. Vol. 1.Institut Pertanian Bogor Press. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Post, J., Rebel, M.J and Huurne, H.M. 2002. Automated Blood Cell Count: A sensitive and reliable method to study corticosterone-related stress in broilers. Poult Sci 82:591-595.
38
Reynolds, J.E.F. 1982. Martindale the Extra Pharmacopeia. 28th Edition, The Pharmaceutical Press, London. pp. 688-689. Salim, M.N. 2001. Pengaruh lemak sapi dan minyak kelapa terhadap kadar kolesterol darah dan histopatologi aorta ayam (Gallus gallus). Media Kedokteran Hewan. Fakultas Kedokteran Hewan. 17:26-28. Setiaji, D. 2003. Efektifitas infus biji pepaya sebagai antelmintik pada ayam buras terinfeksi cacing secara alami. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sinurat, A. P. 1991. Penyusun Ransum Ayam Buras. Wartazoa. 2(1-2):1-4. Soulsby, E.J.L. 1986. Texbook of Clinical Parasitology Volume I: Helminth, Blackwell Scientific Publication. Oxford, London. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometerik. Terjemahan: Bambang, Sumantri. Cet ke-2. PT. Gramedia, Jakarta. Sukarban, S. dan S.S. Santoso. 1995. Kemoterapi Parasit. Anthelmintik. Di dalam: Ganiswara, S. Editor Utama. Farmakologi dan Terapi. Ed. Ke 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. PT Intermasa. Jakarta. Swenson, M. J. 1984. Duke`s Physiology of Domestic Animals. 10th Edition. Publishing Assocattes A Division of Cornell University. Ithaca and London. Wibowo, S. 1994. Budidaya Bawang: Bawang Putih, Bawang Merah, Bawang Bombay. Penebar Swadaya. Jakarta. Winarno, F.G. 1992. Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Zalizar, L. 2006. Dampak infeksi nematoda parasitik Ascaridia galli dan pemberian antelmintika terhadap kinerja ayam petelur. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
39
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rataan Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Ayam Kampung Saat Penginfeksian (Minggu ke-9 pemeliharaan) Peubah
K1
K2
Kelompok*) K3
K5
Rata-rata Kelompok
127,57±14,04
121,81±4,32
57,14±3,17
51,85±4,43
65,73±1,76
62,31±6,52
25,09±1,49
23,45±3,37
K4
Kolesterol (mg/dl) 125,10±8,67 117,70±10,28 118,52±8,90 120,16±7,94 Trigliserida (mg/dl) 53,97±6,35 45,50±13,22 51,85±10,21 52,91±7,99 HDL 61,83±8,84 52,24±4,71 69,85±3,19 (mg/dl) 61,92±10,99 LDL (mg/dl) 26,70±7,85 18,19±7,07 22,13±6,22 25,13±1,30 *)Keterangan : Ransum yang diberikan untuk semua kelompok masih sama
Lampiran 2. Analisis Ragam Rataan Kadar Kolesterol Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih sk perlakuan eror total
db 4 10 14
jk 160.13 764.11 924.25
kt 40.03 76.41
f 0.52tn
f0.05 3.48
f0.01 5.99
Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 3. Analisis Ragam Rataan Kadar Trigliserida Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih sk perlakuan eror total
db 4 10 14
jk 291.58 1169.09 1460.67
kt 72.89 116.91
f 0.62tn
f0.05 3.48
f0.01 5.99
Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 4. Analisis Ragam Rataan Kadar HDL Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih sk perlakuan eror total
db 4 10 14
jk 915.64 402.35 1641.43
kt 228.91 40.23
f 5.69*
f0.05 3.48
f0.01 5.99
Keterangan : * = nyata (p<0,05)
Uji Lanjut Duncan
Perlakuan
Ulangan
Superskrip 1
2 1 3 4 5
3 3 3 3 3
2 52.2867 52.8800 53.6267 71.5933 72.5367
41
Pemberian Superskrip : P1 54,88a
P2 52,28a
P3 53,63a
P4 71,60b
P5 72,54b
Lampiran 5. Analisis Ragam Rataan Kadar LDL Serum Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih sk perlakuan eror total
db 4 10 14
jk 77.36 344.98 422.34
kt 19.34 34.49
f 0.56tn
f0.05 3.48
f0.01 5.99
Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 6. Analisis Ragam Rataan Konsumsi Lemak Kasar Ayam Kampung Setelah Pemberian Bubuk Bawang Putih sk perlakuan eror total
db 4 10 14
jk 2.85 2.14 4.99
kt 0.71 0.214
f 3.32tn
f0.05 3.48
f0.01 5.99
Keterangan : tn = tidak nyata
42