Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan Kematangan Reza Mohammad Ganjar Gani, Yusi Firmansyah, Nisa Nurul Ilmi Abstrak Fokus penelitian dilakukan pada Formasi Pematang yang sudah dikenal sebagai Formasi yang dapat menghasilkan hidrokarbon di Cekungan Sumatra Tengah, adanya paradigma dan strategi baru dalam studi sistem hidrokarbon ini maka penulis tertarik mengkonfirmasi parameter-parameter geokimia yaitu: tipe material asal, kekayaan dan kematangan batuan induk di daerah penelitian. Lokasi penelitian ini sendiri adalah Sub-cekungan Aman Utara yang terletak di Cekungan Sumatra Tengah. Lapangan penyelidikan merupakan lapangan aktif dari salah satu perusahaan minyak besar yang beroperasi di Indonesia. Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia dari batuan inti. Contoh batuan sedimen berasal dari sumur-sumur eksplorasi, contoh batuan tersebut digunakan untuk analisis TOC, evaluasi pirolisis batuan dan reflektansi vitrinit (Ro). Data-data geologi dan geofisika digunakan sebagai analisis terhadap kondisi geologi yang berkembang di daerah penelitian dikorelasikan dengan hasil analisis geokimia. Input data berupa data stratigrafi seperti top formasi (kedalaman) Analisis yang dilakukan dalam evaluasi batuan induk meliputi potensi batuan induk, tipe material organik dan kematangan, analisis ini dilakukan pada lima sumur eksplorasi, yaitu: sumur SR-CAN, SR-KEL, SR-GUL, SR-PET dan SR-SID. Analisis karakteristik minyak dilakukan pada sepuluh sumur produksi yaitu sumur P1 Formasi Duri, sumur D1 Formasi Bangko, sumur D2 Formasi Menggala, sumur V1 Formasi Bangko, sumur R1 Formasi Bekasap, sumur U1 dan U2 Formasi Upper Sihapas, sumur Q1 Formasi Bekasap, sumur Q2 Formasi Duri dan sumur S1 Formasi Menggala. Formasi yang dapat berperan menjadi batuan induk daerah penelitian selain Formasi Brown Shale adalah Formasi Lower Red Bed, hal tersebut terbukti dengan analisis batuan induk dengan parameter potensi, tipe material organik dan kematangan pada formasi ini menunjukkan kualitas yang cukup baik. Kata kunci : Sub-cekungan Aman Utara, Formasi Brown Shale, Formasi Lower Red Bed. PENDAHULUAN Sistem hidrokarbon (petroleum system) sampai saat ini merupakan hal yang masih sangat menarik untuk dikaji, dengan banyaknya brown field (Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2011) yang ada di Indonesia maka eksplorasi untuk meningkatkan produksi dan mencari sistem hidrokarbon dari cekungan produksi yang telah ada adalah tujuan dari penyelidikan ini. Objek dari penelitian ini adalah data-data geokimia dan geologi yang terintegrasi menjadi sebuah penelitian tentang karakteristik batuan induk, kondisi geologi daerah penelitian dengan
pendekatan kesebandingan regional dan dengan peneliti terdahulu. Fokus penelitian dilakukan pada Formasi Pematang yang sudah dikenal sebagai Formasi yang dapat menghasilkan hidrokarbon di Cekungan Sumatra Tengah, adanya paradigma dan strategi baru dalam studi sistem hidrokarbon ini maka penulis tertarik mengkonfirmasi parameterparameter geokimia yaitu: tipe material asal, kekayaan dan kematangan batuan induk di daerah penelitian.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
LOKASI DAN DAERAH PENELITIAN Lokasi penelitian ini sendiri adalah Sub-cekungan Aman Utara yang terletak di Cekungan Sumatra Tengah. Lapangan penyelidikan merupakan lapangan aktif dari salah satu perusahaan minyak besar yang beroperasi di Indonesia
Gambar 2. Kerangka tektonik regional Cekungan Sumatra Tengah (Eubank dan Makki, 1981).
Gambar 1. Lokasi penelitian Cekungan Sumatra Tengah dan pada pembesaran adalah Subcekungan Aman Utara (Indrawardana, 2007). GEOLOGI REGIONAL KERANGKA TEKTONIK SUMATRA TENGAH
CEKUNGAN
Terdapat dua pola struktur utama di Cekungan Sumatra Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah utara-selatan (NS) dan pola-pola muda berumur Neogen Akhir yang berarah baratlaut-tenggara (NW-SE) (Eubank dan Makki, 1981) (Gambar 2).
Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan belakang busur (back-arc basin) yang berkembang sepanjang tepi Paparan Sunda di baratdaya Asia Tenggara. Cekungan ini terbentuk akibat penunjaman Lempeng Samudra Hindia yang bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke bawah Lempeng Benua Asia yang aktif selama Miosen. Geometri dari cekungan ini berbentuk asimentri dengan bagian terdalam berada di baratdaya dan melandai ke arah timur laut (Mertosono dan Nayoan, 1974). Menurut Heidrick dan Aulia (1993), perkembangan tektonik selama Tersier dapat dibagi menjadi empat fasa sebagai berikut (Gambar 3 dan Gambar 4):
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Separuh graben ini kemudian menjadi danau tempat diendapkannya sedimen-sedimen dari kelompok Pematang. Pada akhir episode F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan, ditandai oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan dataran peneplain. Hasil dari erosi tersebut berupa paleosoil yang diendapkan di atas Formasi Upper Red Bed. Episode Tektonik F2 Episode ini berlangsung pada Miosen BawahTengah (26-13 jtl). Pada awal episode ini terbentuk sesar geser menganan (dextral) yang berarah utaraselatan. Pada episode ini juga Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan pengendapan dari kelompok Formasi Sihapas. Episode Tektonik F3
Gambar 3. Peta tatanan tektonik regional Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick dan Aulia, 1996).
Episode Tektonik F0 Batuan Pra-Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng benua dan samudera yang berbentuk mosaik. Orientasi struktur pada batuan dasar akan memberikan efek pada lapisan sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan selanjutnya akan mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola struktur tersebut disebut sebagai elemen struktur F0.
Episode ini berlangsung pada kala Miosen Atas hingga sekarang (13 jtl-sekarang). Pada awal episode ini terjadi pengaturan kembali Lempeng Indo-Australia. Di saat itu pulalah terjadi awal pembentukan subduksi Sumatra-Jawa dan sistem sesar geser serta busur vulkanisme Bukit Barisan. Pada akhir dari F3 terjadi tektonik kompresi yang membentuk struktur pembalikan raksasa, sesar naik sepanjang jalur wrench fault (sesar geser) yang terbentuk sebelumnya pada busur F0, sesar F1 dan sesar geser berarah utara-baratlaut hingga barat yang kemudian menjadi perangkap hidrokarbon. Pada awal episode ini Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan pengendapan sedimen-sedimen dari Formasi Petani. Pada episode ini juga diendapkan Formasi Minas secara tidak selaras.
Episode Tektonik F1 Episode tektonik F1 berlangsung pada kala EosenOligosen (26-50 jtl), akibat dari tumbukan lempeng Samudera Hindia terhadap lempeng Benua Asia Tenggara sekitar 45 jtl., terbentuk suatu sistem rekahan trans-tensional yang memanjang ke arah selatan dari Cina bagian selatan menuju Thailand, Malaysia, hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan (Heidrick dan Aulia, 1993). Perekahan ini menyebabkan terbentuknya serangkaian separuh graben di Cekungan Sumatra Tengah.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 5. Kolom stratigrafi umum Cekungan Sumatra Tengah (Eubank dan Makki, 1981). Gambar 4. Diagram perkembangan tektonik Tersier di Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick dan Aulia, 1996). STRATIGRAFI PENELITIAN
REGIONAL
DAERAH
Secara umum stratigrafi regional Cekungan Sumatra Tengah tersusun atas beberapa unit formasi, paling tua adalah batuan dasar (basement) selanjutnya Kelompok Pematang selanjutnya Kelompok Sihapas selanjutnya Formasi Telisa selanjutnya Formasi Petani kemudian yang paling muda Formasi Minas (Gambar 5).
Batuan Dasar (Basement) Batuan dasar berumur Pra-Tersier ini berfungsi sebagau landasan Cekungan Sumatra Tengah, yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama dengan kedudukan hampir paralel berarah utara-baratlaut hingga baratlaut. Kelompok-kelompok yang dimaksud adalah: a. Malacca Terrane Kelompok ini tersusun atas kuarsit, batugamping kristalin, sekis dan serpih yang berumur 295 Ma, 112-122 Ma dan 150 Ma, yang diintrusi oleh pluton granodiorit dan granit berumur Jura. Kelompok ini dijumpai pada pantai bagian timur dan timurlaut Cekungan Sumatra Tengah. b. Mutus Assemblage (kelompok Mutus) Kelompok ini merupakan zona suture yang memisahkan Quartzite Terrane dan DeepWater Assemblage. Kumpulan Mutus ini terletak di sebelah baratdaya dari dataran pantai dan terdiri dari batuan ofiolit dan sedimen laut dalam. c. Graywacke Terrane
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Kelompok ini terletak di bagian baratdaya dari Kelompok Mutus yang tersusun atas greywacke, batulumpur kerikilan dan kuarsit. Grup Pematang Kelompok Pematang merupakan batuan induk sumber hidrokarbon utama bagi perangkapperangkap minyak bumi yang ada di Cekungan Sumatra Tengah dan merupakan sedimen tertua berumur Paleogen (24-65 jtl). Sedimen syn-rift Formasi Pematang ini diendapkan secara tidak selaras pada separuh graben yang berarah utaraselatan dan terdiri dari sedimen kipas aluvial, sungai, delta dan danau. Menurut Heidrick dan Aulia (1993), dengan ditemukannya fosil ostracoda, gastropoda air tawar, spora, polen, dinoflagelata, alga dan dern debris pada contoh batuan inti dan serbuk bor di semua palung utama, serta dengan tidak hadirnya sama sekali foraminifera memberikan indikasi lingkungan pengendapan non-marin ada suasana lembab dan tropis. Batuan yang mendominasi adalah fanglomerat, konglomerat, batupasir, batulanau, batulumpur, batulempung dan serpih. Kelompok Pematang dibagi menjadi ke dalam tiga formasi, mulai dari yang tertua adalah: a. Formasi Lower Red Bed Formasi ini terdiri dari batulempung, batulanau, batupasir arkose dan konglomerat yang diendapkan pada lingkungan darat dengan sistem pengendapan kipas alluvial dan berubah secara lateral menjadi lingkungan sungai dan danau. Formasi ini memiliki ketebalan sekitar 3000 kaki. b. Formasi Brown Shale Formasi ini terdiri dari serpih berlaminasi baik, warna coklat sampai hitam dan kaya akan material organik ciri dari lingkungan pengendapan danau dengan kondisi air yang tenang. Formasi dengan ketebalan lebih dari 600 kaki ini diyakini sebagai penghasil minyak dan gas bumi yang terdapat di Cekungan Sumatra Tengah. c. Formasi Upper Red Bed Formasi ini terdiri dari batupasir, konglomerat dan serpih merah kehijauan yang diendapkan di lingkungan danau.
LANDASAN TEORI Batuan Induk Secara umum pembentukan minyak bumi terjadi karena penumpukan zat organik terutama plankton pada dasar laut, dan tertimbun dengan sedimen halus dalam keadaan reduksi, sehingga terawetkan. Hal ini hanya terjadi di cekungan sedimen yang terdapat pada suatu ambang dari laut terbuka, dengan sedimentasi yang cepat, dibarengi dengan penurunan. Setelah itu kita mendapatkan suatu urut – urutan batuan serpih yang kaya akan zat organik dan berwarna hitam yang disebut batuan induk. Waples (1985) membagi batuan induk mejadi tiga jenis, yaitu: 1. Batuan induk efektif Batuan sedimen yang telah membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon. 2. Mungkin batuan induk Batuan sedimen yang potensinya belum dievaluasi, tetapi mempunyai kemungkinan untuk membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon. 3. Batuan induk potensial Batuan sedimen pra-matang yang diketahui dapat membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon apabila tingkat kematangan termalnya cukup tinggi (mencapai oilwindow/jendela minyak). Untuk menentukan batuan termasuk ke dalam batuan induk ada beberapa parameter yang harus dipenuhi oleh batuan tersebut, yaitu: a. Kekayaan material organik. b. Tipe material organik. c. Kematangan material organik. Kekayaan Material Organik Jumlah kandungan material organik dalam batuan induk merupakan aspek penting untuk dievaluasi. Konsentrasi minimum material organik yang hadir dalam batuan harus dipenuhi agar dapat berubah menjadi hidrokarbon dan hidrokarbon tersebut dapat dikeluarkan melalui migrasi primer. Selain itu, jumlah minimum material organik harus dipenuhi untuk suatu ketebalan dan pelamparan batuan tertentu, agar jumlah ekonomis hidrokarbon tercapai. Peters dan Cassa (1994) menggunakan hasil analisis TOC dan pirolisis Rock-Eval sebagai
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
parameter penentu potensi atau kekayaan material organik (Tabel 1).
Bitumenc
Material Organik
Potensi
TOC
Pirolisis Rock-Eval
(% berat)
S1a
S2b
Buruk
0-0,5
0-0,5
Sedang
0,5-1
Baik
Hidrokarbon
a
Tabel 1 Parameter geokimia dalam analisis potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang (Peters dan Cassa, 1994). HK
(% berat)
(ppm)
(ppm)
0-2,5
0-0,05
0-500
0-300
0,5-1
2,5-5
0,05-0,10
500-1000
300-600
1-2
1-2
5-10
0,10-0,20
1000-2000
600-1200
Sangat Baik
2-4
2-4
10-20
0,20-0,40
2000-4000
1200-2400
Istimewa
>4
>4
>20
>0,40
>4000
>2400
S1 hidrokarbon bebas (migas) yang dinyatakan dalam mg HK/g batuan (data pirolisis).
b
S2 potensi hidrokarbon yang dapat dikeluarkan, dalam mg HK/g batuan (data pirolisis).
c
Bitumen, hasil analisis C15+ extracable organic matter (EOM).
Tipe Material Organik Penentuan tipe material organik merupakan hal yang sama pentingnya dengan evaluasi kekayaan material organik. Hal tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa perbedaan tipe material organik akan menghasilkan fraksi hidrokarbon berbeda. Hasil analisis geokimia dari data pirolisis, dapat dijadikan parameter dalam menentukan tipe kerogen dan produk hidrokarbon yang akan dihasilkan pada puncak kematangan (Peters dan Cassa, 1994). Parameter data pirolisis yang digunakan untuk penentuan tipe hidrogen adalah indeks hidrogen (HI) dan rasio antara S2 terhadap S3 (Tabel 2). Diagram van Krevelen, pada awalnya digunakan untuk menentukan tipe kerogen dalam batubara berdasarkan perbandingan atom H/C dengan O/C, kemudian dikembangkan untuk menentukan tipe batubara dan penyebaran kerogen dalam batuan sedimen (Tissot dan Welte, 1984). Selanjutnya, diagram van Krevelen digunakan Peters dan Cassa (1994) untuk menentukan tipe kerogen dan kecenderungan produk yang dihasilkan berdasarkan rasio indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) yang diperoleh dari data pirolisis.
Tabel 2. Parameter penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan pada puncak kematangan (Peters dan Cassa, 1994). HI
Produk Utama
Tipe Kerogen
(mg HC/g TOC)
S2/S3
pada Puncak Kematangan Minyak
I
> 600
>15
Minyak
II
300 600
– 10 15
II / III
200 300
– 5 – 10
Minyak dan Gas
III
50 200
– 1–5
Gas
IV
< 50
– Minyak
<1
Tidak Ada
Kematangan Material Organik Evolusi termal (pematangan) kerogen dalam batuan induk secara fisika dan kimia sama dengan proses pembatubaraan (coalification). Peningkatan
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
pembebanan sedimen akan menaikkan suhu secara progresif, akibatnya akan terjadi perubahan fisika dan kimia dari lignit menjadi bitumen yang pada akhirnya akan membentuk antrasit (Thomas, 2002).
bitumen didapat dari data kromatografi gas (GC) dan kromatografi gas spektrometri massa (GCMS). Kompilasi hasil analisis reflektansi vitrinit, nilai Tmaks dan indeks produksi data pirolisis Rock-Eval, dapat diaplikasikan untuk mengetahui tingkat kematangan suatu batuan. Parameter geokimia dalam penentuan fasa kematangan termal menurut Peters dan Cassa (1994) dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Kematangan diperlukan untuk mengetahui apabila suatu batuan induk telah memasuki jendela minyak. Batas jendela minyak ini sangat tergantung pada tipe material organiknya. Pada umumnya jendela minyak dicapai pada nilai Ro sekitar 0,6%. Penentuan kematangan dari fraksi
Tabel 3. Parameter geokimia dalam penentuan fasa kematangan termal (Peters dan Cassa, 1994). Kematangan Stadium Kematangan Tmaks Termal Migas Ro (%) (º C) 0,2 - 0,6
< 435
Genesa Bitumen
Bitumen PI
TOC
(mg/g batuan)
1,5 - 2,6 < 0,05
< 50
< 0,10
TAI
Belum Matang Awal Matang
0,6 0,65
- 435 - 445
2,6 - 2,7 0,05 - 0,10
50 - 100
0,1 - 0,15
Puncak
0,65 0,9
- 445 - 450
2,7 - 2,9 0,10 - 0,25
150 - 250
0,25 - 0,4
Akhir
0,9 1,35
- 450 - 470
2,9 - 3,3 -
-
> 0,40
Lewat Matang
> 1,35
> 3,3
-
-
> 470
Kerogen Kerogen merupakan bagian material organik dalam batuan sedimen yang tidak dapat larut dalam pelarut organik biasa (Waples, 1985), sedangkan bagian yang larut disebut dengan bitumen. Kerogen tidak larut karena molekulnya berukuran besar.
-
berbagai sumber, jadi hanya sedikit sekali kerogen yang terdiri atas satu macam maseral saja. Waples (1985) membagi kerogen menjadi empat tipe berdasarkan jenis maseralnya (Tabel 4), dan van Krevelen membagi tipe kerogen berdasarkan rasio hidrogen dan oksigen (Gambar 6).
Kerogen terdiri atas partikel yang berbeda-beda yang disebut maseral, suatu terminologi yang diambil dari petrologi batubara. Maseral adalah “mineral organik”, hubungannya terhadap kerogen sama dengan hubungan mineral terhadap batuan. Kerogen di dalam batuan sedimen tertentu terdiri atas banyak partikel yang seringkali berasal dari
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Tabel 4. Tipe kerogen (Waples, 1985). MASERAL
TIPE KEROGEN
ASAL MATERIAL ORGANIK
Alginit
I
Alga air tawar
Eksinit
II
Polen, Spora
Kutinit
II
Lapisan lilin tanaman
Resinit
II
Resin tanaman
Liptinit
II
Lemak tanaman, alga laut
Vitrinit
III
Material tumbuhan tinggi (kayu, selulosa)
Inertinit
IV
Arang, material tersusun-ulang yang teroksidasi
Kerogen tipe ini berasal dari beberapa sumber, yaitu alga laut, polen dan spora, lilin dari daun, dan resin fosil. Selain itu, kerogen
Gambar 6. Diagram van (www.aapgbull.geoscienceworld.org)
Krevelen
Berdasarkan analisis kimia, Institut Francais du Petrole (IFP) membagi kerogen menjadi empat tipe yaitu: 1. Kerogen tipe I Kerogen tipe ini sangat jarang ditemukan karena berasal dari alga danau. Kehadiran kerogen tipe ini terbatas pada danau yang anoksik dan jarang didapatkan pada lingkungan laut. Kerogen tipe ini memiliki kapasitas yang tinggi untuk menghasilkan hidrokarbon cair. 2. Kerogen tipe II
ini juga mengandung lemak dari sel bakteri. Berbagai macam sumber tersebut dikelompokkan ke dalam satu tipe karena sama-sama mempunyai kapasitas yang baik untuk menghasilkan minyak. Kerogen tipe II pada umumnya ditemukan dalam batuan sedimen yang diendapkan di laut pada kondisi reduksi. 3. Kerogen tipe III Kerogen tipe ini terdiri dari material organik darat yang hanya sedikit mengandung lemak atau zat lilin. Selulosa dan lignin adalah penyumbang terbesar pada kerogen tipe III. Kerogen tipe III mempunyai kapasitas produksi hidrokarbon cair lebih rendah daripada kerogen tipe II, dan jika tanpa campuran kerogen tipe II biasanya kerogen tipe III ini menghasilkan gas. Kerogen tipe III ini kaya akan struktur aromatik, dengan O/C cukup tinggi dan H/C yang relatif rendah, dapat dibandingkan dengan vitrinit dari batubara. 4. Kerogen tipe IV Kerogen tipe ini terdiri dari rombakan organik dan material yang teroksidasi yang berasal dari berbagai sumber. Kerogen ini biasanya tidak memiliki potensi menghasilkan hidrokarbon. Komposisi kerogen dipengaruhi oleh proses pematangan termal (katagenesis dan metagenesis) yang akan mengubah kerogen. Kerogen berubah
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
secara progresif selama proses pembebanan sedimen (burial) menjadi molekul yang lebih kecil, pemanasan bawah permukaan menyebabkan terjadinya reaksi kimia yang memecahkan sebagian fragmen kerogen menjadi molekul minyak atau gas. Tahapan perubahan kerogen tersebut menurut Bordenave (1993) adalah: 1. Diagenesis awal Proses ini ditandai oleh hilangnya nitrogen dan sulfur pada kedalaman beberapa meter. 2. Diagenesis Proses ini ditandai oleh hilangnya oksigen, karbon mono- dan dioksida, serta sejumlah kecil material yang mengandung oksigen pada suatu zona kedalaman dengan temperatur di bawah 70 - 80°C. 3. Katagenesis Proses ini ditandai oleh hilangnya semua hidrogen ke dalam bentuk hidrokarbon: minyak berat terbentuk lebih dulu, kemudian hidrokarbon yang lebih ringan, kondensasi, dan pada akhirnya terbentuk gas kering. 4. Metagenesis Proses ini terjadi pada sedimen yang dalam, pada temperatur lebih dari 150°C. Pada tahap ini terjadi penyusunan kembali fraksi aromatik.
Tabel 5 SUMUR
SR-GUL
HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada Sub-cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah. Penelitian evaluasi batuan induk terfokus pada Formasi Brown Shale (Kelompok Pematang). Ada lima buah sumur untuk analisis dan evaluasi batuan induk, pada beberapa sumur dibahas juga formasiformasi dari Kelompok Pematang lainnya seperti Formasi Lower Red Bed dan Formasi Upper Red Bed. Pada umumnya data geokimia yang digunakan berupa data evaluasi pirolisis batuan (Rock-Eval pyrolysis), kandungan material organik (%TOC), analisis reflektansi vitrinit (Ro%). Potensi Batuan Induk
Analisis potensi batuan induk mengacu kepada klasifikasi potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang oleh Peters dan Cassa, 1994. Analisis menggunakan metode TOC dan evaluasi pirolisis batuan. Hasil analisis potensi dan kekayaan batuan induk dapat dilihat pada Tabel IV.1 untuk parameter TOC dan Tabel 5. untuk parameter evaluasi pirolisis batuan berikut ini:
Analisis potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang dengan parameter TOC (Peters dan Cassa, 1994). FORMASI
LITOLOGI
Lower Red Bed
Batupasir, batulempung serpih
Brown Shale
Batulempung serpih
Brown Shale
Serpih dan lanau
Upper Red Bed
Batupasir, serpih, lanau dan 0,05 – 1,5 batulumpur
Brown Shale
Serpih
SR-CAN
SR-KEL
Produk yang dihasilkan adalah metana, hidrogen sulfida, dan nitrogen.
TOC (wt %)
KLASIFIKASI
dan 0,31 – 4,63
Buruk - istimewa
dan
0,30 – 6,67
Sedang sekali
0,69 – 5,8
Sedang - istimewa
0,35 – 5,42
–
baik
Buruk - baik
Buruk - istimewa
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Serpih, batupasir dan lanau
Lower Red Bed
Batulempung, serpih, lanau, 0,19 – 4,45 batupasir dan batulumpur
Buruk – istimewa
Brown Shale
Batulempung, serpih, lanau dan batupasir
3,21 – 6,06
Baik – istimewa
Upper Red Bed
Serpih, lanau dan batupasir
0,19 – 2,17
Buruk – baik
Brown Shale
Serpih dan lanau
0,9 – 4,29
Cukup – istimewa
SR-PET
SR-SID
Tabel 6
SUMUR
0,18 – 3,93
Buruk baik
–
Upper Red Bed
sangat
Analisis potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang dengan parameter evaluasi pirolisis batuan (Peters dan Cassa, 1994).
S1 + S2
S2
(mgHC/g )
(mgHC/g )
Lower Red Bed
0,9 – 58,12
21,12
Sedang – baik sekali
Brown Shale
0,76 – 40,77
18,83
Sedang – baik sekali
Brown Shale
2,64 – 39
4,9
Sedang - istimewa
Upper Red Bed
0,9 – 2,9
1,1
Buruk - baik
Brown Shale
0,35 – 5,42
8,42
Baik
Upper Red Bed
0,18 – 3,93
4,6
Cukup
Lower Red Bed
0,98 – 11,26
3,65
Buruk – istimewa
Brown Shale
3,10 – 39,55
9,55
Baik – istimewa
Upper Red Bed
0,62 – 8,93
7,6
Buruk – baik
Brown Shale
3,10 – 39,55
9,55
Cukup – istimewa
FORMASI
KLASIFIKASI
SR-CAN
SR-KEL
SR-GUL
SR-PET
SR-SID
Hasil analisis menunjukkan secara umum potensi dan kekayaan material organik pada formasiformasi di daerah penelitian cukup baik, khusus
untuk Formasi Brown Shale di beberapa sumur terdapat klasifikasi yang istimewa, dan bila melihat potensi untuk menghasilkan hidrokarbon yaitu
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
parameter S1+S2, formasi yang memiliki kualitas yang baik adalah Formasi Brown Shale. Maka dapat diasumsikan di daerah penelitian klasifikasi batuan induk yang baik dalam hal potensi kekayaan dan kemampuan untuk menghasilkan hidrokarbon adalah Formasi Brown Shale.
Analisis kualitas material organik menggunakan perbandingan nilai indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) juga evaluasi pirolisis batuan (S2/S3) untuk penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan pada puncak kematangan dengan klasifikasi yang dikemukakan oleh Peters dan Cassa, 1994. Hasil analisis untuk tipe material organik tiap-tiap formasi pada sumur-sumur di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:
Kualitas Material Organik
Tabel 7
Analisis penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan dengan metode evaluasi pirolisis batuan (Peters dan Cassa, 1994).
SUMUR
FORMASI
HI
S2/S3
TIPE
PRODUK
(mg HC/g TOC) Lower Red Bed
125 – 564
7,93
II
Minyak
Brown Shale
230 – 667
14,59
I dan II
Minyak
Brown Shale
81 – 382
6
II dan III
Minyak dan gas
Upper Red Bed
69 – 237
1
II dan III
Gas
Brown Shale
125 – 564
8,66
II dan III
Minyak dan gas
Upper Red Bed
11 – 343
5,47
II dan III
Minyak dan gas
Lower Red Bed
55 – 556
1,71
II dan III
Gas
Brown Shale
101 – 434
8,1
II dan III
Minyak dan gas
Upper Red Bed
96 – 269
3,14
II dan III
Gas
Brown Shale
166 – 528
5,93
II dan III
Minyak dan gas
SR-CAN
SR-KEL
SR-GUL
SR-PET
SR-SID
Hasil analisis penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan seperti terlihat pada tabel di atas menunjukkan bahwa Formasi Brown Shale adalah formasi dengan tipe kerogen yang mempunyai
kecenderungan menghasilkan minyak lebih besar dibandingkan dengan Formasi Lower Red Bed maupun Formasi Upper Red Bed, hal tersebut terlihat dari dominansi tipe kerogen tipe II dan
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
rasio S2/S3 yang mempunyai kecenderungan utama menghasilkan minyak.
pada diagram van Krevelen untuk melihat tipe-tipe kerogen dari tiap-tiap formasi yang ada (Gambar 7, 8, 9, 10), terkecuali untuk sumur SR-SID plot tidak dapat dilakukan dikarenakan ketiadaan data indeks oksigen.
Analisis juga dilakukan dengan membuat plot silang antara indeks hidrogen dan indeks oksigen
Diagram van Krevelen
900 Brown Shale
800
Lower Red Bed
700 HI (mg HC/g TOC)
600 500 400 300 200 100 0 0
50
100
150
OI (mg Co2/g TOC)
Gambar 7
Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-CAN (van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Diagram van Krevelen 1000
Brown Shale
900
Upper Red Bed
800
HI (mg HC/g TOC)
700 600 500 400 300 200 100 0 0
200
400
600
OI (mg Co2/g TOC)
Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-KEL (van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).
Gambar 8
Diagram van Krevelen 1000
Brown Shale Upper Red Bed
900 800
HI (mg HC/g TOC)
700 600 500 400
300 200 100 0 0
100
200
300
OI (mg Co2/g TOC)
Gambar 9
Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-GUL (van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Diagram van Krevelen 1000 Upper Red Bed
900 Brown Shale
800
Lower Red Bed
HI (mg HC/g TOC)
700 600 500 400 300 200 100
0 0
400
Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-PET (van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).
Kematangan Material Organik Analisis kematangan dilakukan menggunakan nilai suhu maksimum (Tmax) dan reflektansi vitrinit (Ro) menurut Peters dan Cassa, 1994. Tabel 8 SUMUR
600
OI (mg Co2/g TOC)
. Gambar 10
200
Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel IV.4 dan Tabel IV.5 berikut ini:
Analisis penentuan fasa kematangan termal dengan menggunakan Tmax (Peters dan Cassa, 1994). FORMASI
Tmax (⁰C)
KLASIFIKASI
Lower Red Bed
395 - 441
Belum matang – awal matang
Brown Shale
432 - 441
Awal matang - matang
Brown Shale
338 - 450
Belum matang – puncak matang
Upper Red Bed
366 - 431
Belum matang - matang
Brown Shale
420 - 458
Belum matang – akhir matang
Upper Red Bed
329 - 457
Belum matang – awal matang
SR-CAN
SR-KEL
SR-GUL
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
SR-PET
SR-SID
Lower Red Bed
442 - 460
Awal matang – lewat matang
Brown Shale
434 - 447
Belum matang – puncak matang
Upper Red Bed
409 - 446
Belum matang – puncak matang
Brown Shale
434 - 447
Belum matang – puncak matang
Secara umum hasil dari analisis kematangan dengan parameter Tmax pada tiap-tiap sumur dan formasi di daerah penelitian menunjukkan bahwa Formasi Brown Shale memiliki kualitas kematangan yang lebih baik daripada Formasi Lower Red Bed dan Formasi Upper Red Bed, hal
itu terlihat pada klasifikasi puncak matang yang mendominasi kualitas kematangan pada Formasi Brown Shale.
Tabel 9
Analisis penentuan fasa kematangan termal dengan menggunakan metode reflektansi vitrinit (Peters dan Cassa, 1994).
SUMUR
FORMASI
Ro (%)
KLASIFIKASI
Lower Red Bed
-
-
Brown Shale
0,24 – 0,70
Belum matang - matang
Brown Shale
0,57 – 1,25
Belum matang – lewat matang.
Upper Red Bed
0,42 – 0,48
Belum matang - matang
Brown Shale
0,57 – 1,27
Belum matang – lewat matang
Upper Red Bed
0,53 – 0,84
Belum matang – matang
Lower Red Bed
0,48– 1,39
Awal matang – lewat matang
Brown Shale
0,54 – 0,93
Belum matang – puncak matang
Upper Red Bed
0,41 – 0,54
Belum matang – puncak matang
Brown Shale
0,54 – 0,93
Belum matang – lewat matang
SR-CAN
SR-KEL
SR-GUL
SR-PET
SR-SID
Nilai reflektansi vitrinit untuk sumur SR-CAN kurang dapat dipercaya karena adanya gejala
supresi untuk tipe kerogen yang mempunyai nilai indeks hidrogen yang cukup tinggi. Secara umum
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
hasil analisis menggunakan reflektansi vitrinit untuk tiap-tiap sumur dan formasi di daerah penelitian menunjukkan kualitas kematangan yang baik khususnya untuk Formasi Brown Shale karena mendominasi kualitas kematangan puncak matang dibandingkan dengan Formasi Lower Red Bed dan Formasi Upper Red Bed. KESIMPULAN Pada umumnya Formasi Brown Shale adalah formasi yang baik dalam parameter potensi, kualitas dan kematangan batuan induk. DAFTAR PUSTAKA Bordenave, M.L., (1993): Applied Petroleum Geochemistry, Edition Technip, hlm 101 – 107. Eubank, R.T., dan Makki, A.C., (1981): Structural Geology of the Central SumatraBackarc Basin. Proceedings 10th Annual Convention, Indonesian Petroleum Association, Jakarta, hlm. 153-196. ten Haven, H.L., dan Schiefelbein, C.F., (1995). The Petroleum Systems of Indonesia, Proc. Of Indonesian Petroleum Association, 24th Annual Convention, Jakarta, IPA. Heidrick, T.L., dan Aulia, K., (1993): A Structural and Tectonic Model and Tectonic Model of The Coastal Plains Block, Central Sumatra Basin, Indonesia, hlm 286 – 307. Hunt. J.M., (1996) : Petroleum Geochemistry and Geology, 2nd edition, New York, W.H. Freeman and Company, hlm 273 – 351. Hwang, R.J., Heidrick, T., Mertani, B., dan Qivayanti, (2002): Correlation and Migration Study of North Central Sumatra Oils, Organic Geochemistry 33, hlm 1361 – 1379.
Indrawardana., (2007): Perkembangan Struktur Paleogen di Sub-cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah. Tesis S-2, Program Studi Teknik Geologi, ITB. Lambiase, J.J., and Bosworth, W (1995): Structural controls on sedimentation in continental rifts, in Lambiase, J.J., ed., Hydrocarbon habitat in rift basins: Geological Society Special Publication 80, hlm. 117-144.
Mertosono, S., dan Nayoan, G.A.S., (1974): The Tertiary Basinal Area of Central Sumatra, Proceedings Indonesian Petroleum Association, Third Annual Convention, hlm 63 -75. Peters, K.E., dan Cassa, M.R., (1994): Applied Source Rock Geochemistry, The Petroleum System – From Source to Trap, American Association of Petroleum Geologists, hlm. 93 – 117. Peters, K.E., dan Moldowan, J.M., (1993): The Biomarker Guide: Interpreting Molecular Fossils in Petroleum and Ancient Sediments, Prentice-Hall. Peters, K.E., dan Moldowan, J.M., (2005): The Biomarker Guide Volume 1: Biomarkers and Isotopes in the Environment and Human History, Cambridge University Press, 269. Satyana, A.H., 2004. Petroleum Geochemistry: Essential Concepts and Methods for Hydrocarbon Exploration and Production. Pre-convention Short Course of 33rd Annual Convention, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Bandung, hlm 59-134. Santika, R., (2011) : Evaluasi dan Korelasi Batuan Induk dan Minyak Bumi Subcekungan Balam, Cekungan Sumatra Tengah. Skripsi Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Geologi Unpad.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”