EVALUASI AKTIVITAS ANTIDIARE ISOLAT Lactobacillus DARI AIR SUSU IBU
APRILIANA WAHYU HARTANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
xv
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus Dari Air Susu Ibu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Apriliana Wahyu Hartanti NRP. F251080121
xvi
ABSTRACT APRILIANA WAHYU HARTANTI. Evaluation on Anti-Diarrhea Activity of Lactobacillus Isolates From Breast Milk. Under direction of LILIS NURAIDA and ENDANG PRANGDIMURTI Some of Lactobacillus species isolated from breast milk are known to have anti-microbes activities, including against E. coli. Based on previous research, the isolates are also known to have good probiotic properties, such as ability to survive in acidic environment and bile salt resistant. The aims of this study were to evaluate the antimicrobial activity of Lactobacillus species isolated from breast milk against enteropathogenic E. coli strain (EPEC K1.1), and to evaluate the effectiveness of Lactobacillus isolates to prevent diarrhea on animal experiment. The present study was conducted in three stages. The first stage was the evaluation the antimicrobial activity of Lactobacillus isolates against EPEC K1.1 (using contact method). The second method was the determination of EPEC K1.1 infection dose to induce diarrhea without causing death of the experiment animal. The third stage was evaluation of effectiveness of Lactobacillus to prevent diarrhea on rats. Based on antimicrobial activity study there were three isolates of Lactobacilli with good inhibition against EPEC K1.1, they were L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, and L. rhamnosus B16 (R14, R23 and B16). The determination of EPEC dose shows that 108 cfu of EPEC K1.1 was sufficient to induce diarrhea on rat without causing death. Animal experiment indicated that Lactobacillus isolates show an activity to prevent diarrhea, but Lactobacillus rhamnosus R23 had the best capabilities of preventing diarrhea in rats compared to two other isolates of Lactobacillus. The numbers of diarrhea rats and severity level in group treated with Lactobacillus were lower than on EPEC K1.1 control group. Count of E. coli on negative control group tend to stable whereas on EPEC K1.1 control group increased sharply at first day after administration of EPEC K1.1. Treatment of R14 and B16 isolate increased slightly the amount of E. coli at first day after administration of EPEC K1.1 and decreased until last period. Treatment of R23 isolate decreased the amount of E. coli at first day after administration of EPEC K1.1 and continuesly until last period. The count of Lactobacillus on rat feces a long the evaluation period was sufficient to perform significant effect. Treament of Lactobacillus isolate increased the amount of Lactobacillus in rat feces. This indicated that three Lactobacillus isolates could survive on the gastrointestinal track of rats. Based on result evaluation of treatment Lactobacillus and EPEC K1.1 isolate toward the amount of Lactobacillus and E. coli on rats cecum and colon shows not significant effect. Based on this study it was concluded that the three Lactobacillus isolated from breast milk had good inhibition againts EPEC K1.1, but Lactobacillus rhamnosus R23 had the best capabilities of preventing diarrhea in rats compared to two other isolates of Lactobacillus. Keyword : probiotic, breast milk, diarrhea, Lactobacillus, E. coli
xvii
RINGKASAN APRILIANA WAHYU HARTANTI. Evaluasi Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus dari Air Susu Ibu. Dibimbing oleh LILIS NURAIDA dan ENDANG PRANGDIMURTI. Sebagian besar isolat Lactobacillus yang berasal dari air susu ibu (ASI) diketahui memiliki sifat antimikroba termasuk terhadap E. coli. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, isolat-isolat tersebut mampu bertahan dalam lingkungan asam dan garam empedu sehingga menjadi kandidat probiotik. Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas antimikroba isolat Lactobacillus asal ASI terhadap isolat E. coli patogenik (EPEC K1.1) dan mengetahui efektivitas isolat Lactobacillus asal ASI untuk mencegah kejadian diare pada tikus percobaan serta untuk menentukan tiga isolat Lactobacillus asal ASI yang dapat mencegah diare pada tikus percobaan. Penelitian mengenai aktivitas antidiare isolat Lactobacillus asal ASI ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pengujian aktivitas antibakteri isolat Lactobacillus asal ASI terhadap EPEC K1.1 dengan metode kontak. Tahap kedua adalah pengujian dosis EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan diare tanpa menimbulkan kematian yang dilakukan secara in vivo menggunakan tikus percobaan. Selanjutnya dosis yang diperoleh dari tahap dua dan tiga isolat Lactobacillus terpilih dari tahap pertama yang memiliki penghambatan terbaik terhadap EPEC K1.1 diuji aktivitasnya sebagai antidiare dengan menggunakan tikus percobaan Sprague Dawely jantan berumur 28 hari. Tahap pertama adalah pengujian aktivitas antimikroba Lactobacillus terhadap EPEC K1.1 yang dilakukan dengan metode kontak. Pada awalnya jumlah bakteri yang dikontakkan adalah sebesar 106 cfu/ml untuk Lactobacillus dan 105 cfu/ml untuk EPEC K1.1. Selanjutnya beberapa isolat Lactobacillus yang menunjukan penghambatan EPEC K1.1 yang relatif tinggi (menurunkan jumlah EPEC K1.1 sekitar 2 log cfu/ml) diuji kembali penghambatannya dengan jumlah Lactobacillus yang dikontakkan lebih tinggi, yaitu sebesar 108 cfu/ml, untuk melihat apakah akan dihasilkan penghambatan yang lebih besar. Pada tahap pengujian dosis dilakukan pemberian EPEC K1.1 dengan dosis 6 10 cfu, 107 cfu, dan 108 cfu dengan cara disonde sebanyak 1ml. Pada uji ini tikus percobaan terbagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol yang hanya diberikan larutan fisiologis (NaCl 0,85%), kelompok tikus yang diberi EPEC sebanyak 106 cfu, kelompok tikus yang diberi EPEC sebanyak 107 cfu, dan kelompok tikus yang diberi EPEC sebanyak 108 cfu. Pengamatan dilakukan terhadap feses tikus setiap hari selama lima hari setelah pemberian EPEC K1.1. Pada tahap pengujian aktivitas antidiare secara in vivo, tikus dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok tikus yang tidak diintervensi Lactobacillus maupun EPEC (kontrol negatif), kelompok tikus yang diintervensi EPEC tetapi tidak diintervensi isolat Lactobacillus (kontrol EPEC), dan tiga kelompok tikus yang diintervensi baik oleh EPEC maupun salah satu dari tiga jenis isolat Lactobacillus. Pemberian isolat Lactobacillus maupun EPEC dilakukan dengan cara disonde. Parameter yang diamati adalah konsumsi ransum (setiap hari), berat badan (setiap 2 hari), konsistensi dan warna feses (setiap hari), jumlah laktobasili dan E. coli
xviii
feses sebelum perlakuan (H0), setelah intervensi Lactobacillus selama 1 hari (H1), setelah intervensi Lactobacillus selama 3 hari berturut-turut (H3), sebelum intervensi EPEC (H7), 5 hari berturut-turut setelah intervensi EPEC (H8, H9, H10, H11, dan H12), jumlah laktobasili dan E. coli pada kolon dan sekum (H12), pengamatan kolon tikus dengan SEM (H12). Dari pengujian aktivitas antimikroba Lactobacillus terhadap EPEC K1.1 yang dilakukan dengan metode kontak diperoleh tiga isolat dengan nilai penghambatan tertinggi terhadap EPEC K1.1, yaitu isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16 yang mampu menghambat perumbuhan EPEC K1.1 sekitar 3 log cfu/ml. Ketiga isolat tersebut dan digunakan dalam pengujian aktivitas antidiare dengan tikus percobaan. Berdasarkan hasil pengujian dosis EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan diare tanpa menimbulkan kematian, diperoleh bahwa pada kelompok tikus yang diberi EPEC dengan dosis 108 cfu terdapat jumlah tikus yang mengalami diare lebih banyak dibandingkan kelompok lainnya. Dengan demikian, dosis EPEC K1.1 yang digunakan dalam pengujian aktivitas antidiare dengan tikus percobaan adalah 108 cfu. Hasil pengujian pengaruh intervensi isolat Lactobacillus terhadap kejadian diare akibat infeksi EPEC K1.1 menunjukkan manfaat pencegahan diare akibat infeksi EPEC K1.1 oleh konsumsi isolat Lactobacillus. Pada kelompok kontrol EPEC K1.1 terdapat tiga ekor tikus yang mengalami diare pada hari pertama setelah intervensi EPEC dan satu ekor tikus diare pada hari kedua setelah intervensi EPEC. Pada kelompok tikus perlakuan isolat R23 tidak terdapat satu ekor tikuspun yang mengalami diare. Pada kelompok tikus perlakuan isolat R14 terdapat satu ekor tikus yang mengalamai diare pada hari ketiga dan dua ekor tikus pada hari keempat setelah intervensi EPEC, sedangkan pada kelompok tikus perlakuan isolat B16 terdapat dua ekor tikus yang mengalami diare pada hari pertama setelah intervensi EPEC, meskipun diare yang terjadi pada kelompok tikus perlakuan isolat Lactobacillus memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah dibandingkan dengan tikus kelompok control EPEC. Gejala diare yang ditimbulkan oleh infeksi EPEC K1.1 tidak menyebabkan penurunan berat badan tikus meskipun dapat sedikit menurunkan tingkat konsumsi ransum tikus. Jumlah E. coli pada feses tikus selama masa pengujian aktivitas pencegahan diare oleh isolat Lactobacillus cukup menunjukkan perbedaan yang berarti. Pada kelompok kontrol negatif jumlah E. coli relatif stabil meski ada sedikit kenaikan dan penurunan. Jumlah E. coli pada kelompok kontrol EPEC terjadi kenaikan yang sangat tajam pada hari pertama setelah intervensi EPEC (kenaikan 0,83 log cfu/g) dan mengalami penurunan sampai 1,23 log cfu/g hingga akhir pengujian. Pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus R14 terjadi sedikit kenaikan jumlah E. coli pada hari pertama setelah intervensi EPEC (kenaikan 0,45 log cfu/g) dan mengalami penurunan sampai 0,67 log cfu/g hingga akhir pengujian. Pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus R23 jumlah E. coli justru mengalami penurunan pada hari pertama setelah intervensi EPEC dan terus menurun hingga akhir pengujian (penurunan sebesar 1,39 log cfu/g). Pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus B16 terjadi sedikit kenaikan pada hari pertama setelah intervensi EPEC (kenaikan 0,37 log cfu/g) dan mengalami penurunan sampai 0,96 log cfu/g hingga akhir pengujian.
xix
Jumlah Lactobacillus pada feses tikus selama masa pengujian aktivitas pencegahan diare oleh isolat Lactobacillus cukup menunjukkan perbedaan yang berarti. Pada kelompok kontrol negatif jumlah Lactobacillus cenderung stabil. Pada kelompok kontrol EPEC jumlah Lactobacillus mengalami penurunan yang cukup drastis terutama pada H1, H2, dan H3 setelah intervensi EPEC K1.1. Sedangkan pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus, jumlah Lactobacillus cenderung stabil bahkan terdapat sedikit kenaikan. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga isolat Lactobacillus dapat bertahan dalam saluran pencernaan. Dari hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum dan kolon tikus tampak bahwa jumlah Lactobacillus pada sekum tikus hampir sama dengan jumlah Lactobacillus pada kolon tikus (perbedaan tidak signifikan), baik antara kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan isolat Lactobacillus, meskipun sebagian besar kelompok memiliki jumlah Lactobacillus yang lebih tinggi di dalam sekum dibandingkan di dalam kolon, kecuali pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 dan isolat Lactobacillus rhamnosus R23 yang memiliki jumlah Lactobacillus di dalam kolon sedikit lebih tinggi dibandingkan di dalam sekum. Dari hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum dan kolon dapat terlihat bahwa jumlah E. coli pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif maupun kelompok kontrol EPEC pada sekum dan kolon. Hal ini berkorelasi dengan tingginya jumlah Lactobacillus dalam sekum pada kelompok perlakuan, yang berarti bahwa Lactobacillus tersebut dapat menekan jumlah E. coli dalam sekum. Dari penelitian aktivitas antidiare isolat Lactobacillus asal ASI yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga isolat Lactobacillus asal ASI yang bersifat antibakteri terhadap EPEC K1.1, yaitu L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Akan tetapi, isolat Lactobacillus rhamnosus R23 merupakan isolat yang dapat mencegah terjadinya diare secara sempurna pada tikus percobaan, meskipun kedua isolat BAL lain juga cukup dapat mencegah terjadinya diare. Hal ini juga sejalan dengan kemampuan isolat L. rhamnosus R23 dalam menurunkan jumlah E. coli pada feses tikus kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok control EPEC dan dua kelompok perlakuan isolat Lactobacillus lainnya.
Kata kunci: probiotik, air susu ibu, diare, Lactobacillus, E. coli
xx
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
xxi
EVALUASI AKTIVITAS ANTIDIARE ISOLAT Lactobacillus DARI AIR SUSU IBU
APRILIANA WAHYU HARTANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
xxii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, M. S.
xxiii
Judul Tesis
: Evaluasi Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus Dari Air Susu
Nama
: Apriliana Wahyu Hartanti
NRP
: F251080121
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc.
Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si.
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 27 Juli 2010
Tanggal Lulus: 18 Agustus 2010
xxiv
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT atas karunia dan rahmatNya-lah sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Evaluasi Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus Dari Air Susu Ibu” ini. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat bagi mahasiswa pascasarjana program S2 untuk meraih gelar Megister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc selaku ketua komisi pembimbing atas segala waktu, pikiran, dan saran yang diberikan selama proses pembimbingan. Kepada Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MSi selaku anggota komisi pembimbing, kami ucapkan terima kasih atas segala waktu, pikiran, dan saran yang telah diberikan kepada kami, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, M.S. atas kesediaannya sebagai dosen penguji luar komisi dalam ujian tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada DIKTI yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Tahun 2009, sehingga penelitian dapat berjalan lancar. Kepada Dr. dr. Sri Budiarti dari Lab. Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, penulis ucapkan terima kasih atas kesediaan untuk memberikan koleksinya berupa isolat E. coli Enteropatogenik K.1.1 (EPEC K.1.1) sebagai bakteri uji pada penelitian ini. Kepada SEAFAST Center IPB, penulis ucapkan terima kasih atas bantuan fasilitas yang diberikan selama penelitian ini berlangsung. Kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Kepada Mbak Hana, penulis juga ucapkan terima kasih atas segala bantuan, masukan, dan saran yang diberikan selama penelitian berlangsung. Kepada bapak dan ibu tercinta, terima kasih atas doa yang tulus, semangat, dan nasihat yang diberikan kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Mbak Maya dan Dek Tria tercinta yang selalu memberikan segala kritik, saran, dan keceriaan selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
xxv
kepada Dwi Suprastyo atas segala doa, semangat, dan nasihat yang diberikan pada penulis. Kepada Mbak Dhenok, Mbak Ari, Sofah, Yeris, dan rekan-rekan di SEAFAST Center IPB yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuan, dukungan, semangat, dan waktu yang diluangkan untuk berdiskusi selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan tesis ini. Kepada rekan-rekan IPN 2008, penulis ucapkan terima kasih atas segala kebersamaan yang telah memberikan semangat tak terlupakan bagi penulis. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda dan semoga penelitian ini dapat memberi manfaat.
Bogor, Agustus 2010
Apriliana Wahyu Hartanti
xxvi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lumajang pada tanggal 10 April 1985 dari pasangan Ir. Siyari Suhartono dan Sri Hardini. Penulis menghabiskan masa kanak-kanaknya di TK Sekar Indah Batang. Penulis melanjutkan belajarnya di SDN Kauman 07 Batang, kemudian di SLTPN 3 Batang, dan SMUN 1 Batang. Penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007-2008 penulis bekerja sebagai staf Research and Development di PT. Adijaya Guna Satwatama-JAPFA FOOD Cirebon. Pada September 2008 penulis melanjutkan studi S2 di Institut Pertanian Bogor, Program studi Ilmu Pangan. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis menyelesaikan tesisnya dengan judul Evaluasi Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus Dari Air Susu Ibu.
xxvii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvii I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................... .............................................. B. Tujuan ............................................ ..................................................... C. Hipotesis ...............................................................................................
1 3 3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mikrobiota Usus dan Perlindungan terhadap Infeksi ........................... B. Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) ........................................... C. Diare Akibat Infeksi EPEC .................................................................. D. Probiotik dan Peranannya dalam Mencegah Diare .............................. E. Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu (ASI) ................... ................
4 7 9 12 17
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. B. Bahan dan Alat ................. ................................................................... C. Metode Penelitian 1. Pemeliharaan Tikus Percobaan......................................................... 2. Pengujian Aktivitas Antibakteri Lactobacillus terhadap E. coli Enteropatogenik (EPEC)...................................................... 3. Penentuan dosis E.coli yang Menyebabkan Tikus Diare................. 4. Pengujian Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus asal ASI ......... . a. Pengambilan dan Persiapan Sampel Feses Tikus......................... b. Pengambilan dan Persiapan Sampel Sekum dan Kolon.............. c. Penghitungan Jumlah Laktobasili dan E. coli pada Feses, Sekum, dan Kolon Tikus.............................................................. d.Preparasi Spesimen Kolon Untuk Analisis SEM (Scanning Electron Microscope .................................................................. e. Pewarnaan Gram Isolat Bakteri .................................................. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Aktivitas Antibakteri Lactobacillus terhadap E.coli Enteropatogenik (EPEC) ........................................................... B. Penentuan Dosis E. coli Patogenik yang Menyebabkan Tikus Diare ......................................................................................... C. Pengujian Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus Asal ASI 1. Pengaruh Intervensi Isolat Lactobacillus terhadap Kejadian Diare ............................................................................... 2. Pengaruh Pemberian Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1
20 20 21 24 24 26 28 28 29 30 30
32 36
40
xxviii
3. 4. 5.
6.
7.
Berat Badan dan Konsumsi Ransum Tikus ……………………... Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah E. coli pada Feses Tikus ..................................... Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah Lactobacillus pada Feses Tikus ………………. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah Lactobacillus pada Sekum, Kolon, dan Feses Tikus pada Akhir Masa Pengujian ……………………….. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah E. coli pada Sekum, Kolon, dan Feses Tikus pada Akhir Masa Pengujian ……………………….. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Kondisi Mikrobiota Kolon Tikus ……………………...
V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………... DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN ..................................................................................................
43 44 46
48 52 56 61 63 70
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Faktor yang mengontrol komposisi flora bakteri usus ..................................
6
2. Komposisi ransum yang digunakan dalam penelitian …………………….... 22 3. Perlakuan tikus percobaan selama pengujian antidiare preventif .................. 28 4. Hasil uji dosis EPEC K1.1 yang menyebabkan tikus diare ………………... 37 5. Pengaruh intervensi isolat Lactobacillus terhadap kejadian diare akibat infeksi EPEC K1.1 …………………………………………….. 41 6. Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum, kolon, dan feses tikus pada H12 ………………………………………………….. 49 7. Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum, kolon, dan feses tikus pada H12 ………………………………………………….
52
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Skema kerusakan mikrovili usus oleh EPEC ……………………………...
10
2. Diagram alir tahapan penelitian antidiare Lactobacillus asal ASI ..............
23
3. Skema Perlakuan dan Pengamatan Dalam Uji Dosis EPEC ......................
25
4. Skema Perlakuan dan Pengamatan Dalam Uji Aktivitas Antidiare ...........
27
5. Skema saluran pencernaan tikus …………………………………………..
29
6. Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 19 isolat Lactobacillus asal ASI selama 24 jam …………………………………….
32
7. Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 5 isolat Lactobacillus asal ASI selama 24 jam …………………………………….
33
8. Penggolongan feses berdasarkan kondisi fisik ……………………………
36
9. Pertambahan berat badan tikus selama pengujian dosis EPEC K1.1 yang menyebabkan tikus diare ………………………………
39
10. Jumlah ransum yang dikonsumsi tikus selama pengujian dosis EPEC K1.1 yang menyebabkan diare …………………………………..
40
11. Pertambahan berat badan tikus selama pengujian aktivitas antidiare …..
44
12. Jumlah ransum yang dikonsumsi tikus selama pengujian aktivitas antidiare …………………………………………………………
44
13. Perubahan jumlah E. coli pada feses tikus pada kelompok kontrol negatif, kontrol EPEC, perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, dan Lactobacillus rhamnosus B16 ...................................................................
45
14. Perubahan jumlah Lactobacillus pada feses tikus pada kelompok kontrol negatif, kontrol EPEC, perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, dan Lactobacillus rhamnosus B16 ................................
47
15. Kondisi mikrobiota kolon tikus pada akhir masa pengujian aktivitas antidiare dengan Scanning Electron Microscope Model –JSM 5310 LV menggunakan perbesaran 10000x ……………….. 16. Hasil pengamatan mikroskop dengan perbesaran 1000x
57
xvi
dari pewarnaan Gram beberapa isolat yang digunakan dalam pengujian aktivitas antidiare ……………………………………….
58
17. Hasil pewarnaan Gram isolate EPEC K1.1 dan Lactobacillus rhamnosus B16 ……………………………………………………………
59
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Metode Perhitungan Ransum Standar …………………………………
70
2. Perhitungan Komposisi Ransum Standar ………………………………
71
3. Kondisi feses tikus selama masa pengujian dosis EPEC K1.1 ………...
72
4. Kondisi feses tikus selama masa pengujian aktivitas antidiare ……….
73
5. Hasil analisis ragam jumlah Lactobacillus dalam sekum tikus ………...
74
6. Hasil analisis ragam jumlah Lactobacillus dalam kolon tikus …………
75
7. Hasil analisis ragam jumlah Lactobacillus dalam feses tikus ………….
76
8. Hasil analisis ragam jumlah Lactobacillus dalam sekum, kolon, dan feses tikus …………………………………………………...
77
9. Hasil analisis ragam jumlah E. coli dalam sekum tikus ………………...
78
10. Hasil analisis ragam jumlah E. coli dalam kolon tikus ………………..
79
11. Hasil analisis ragam jumlah E. coli dalam feses tikus ………………...
80
12. Hasil analisis ragam jumlah E. coli dalam sekum, kolon, dan feses tikus ………………………………………………….
81
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Penyakit ini tidak dapat dianggap sepele dengan banyaknya kematian yang terjadi terutama pada bayi dan balita, serta seringnya menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Diare dan gastroentritis karena infeksi tertentu menjadi urutan pertama penyebab rawat inap di rumah sakit Indonesia, bahkan pada tahun 2006 penyakit ini menempati urutan ke-3 penyakit utama penyebab kematian di rumah sakit di Indonesia setelah stroke dan perdarahan intrakranial (Depkes RI 2008). Di negara-negara berkembang, penyakit diare pada anak-anak disebabkan oleh berbagai macam patogen seperti Escherichia coli, Shigella, Vibrio cholerae, Salmonella, dan termasuk rotavirus (Semba 2002). Laporan Dirjen P2M & PLP DepKes RI tahun l984 menyebutkan bahwa propinsi Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah kasus diare terbesar dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia. Daerah lain di Indonesia yang memiliki prevalensi cukup tinggi terhadap diare adalah Jakarta yang disebabkan oleh infeksi bakteri E. coli patogen sebanyak 12,2%, V. parahaemlyticus sebanyak 1,6%, Campylobacter sebanyak 1,2%, Vibrio cholera sebanyak 0,8%, Shigella sebanyak 0,6%, Salmonella sebanyak 4,0%; terlihat bahwa penyebab terbesar adalah E. coli patogen. Untuk daerah Yogyakarta infeksi enterobakteri patogen pada penderita diare anak terdiri dari V. cholera, Salmonella, Shigella dan E. coli patogen. Dirjen PP & PL DepKes RI tahun 2008 menyatakan bahwa pada tahun 2007 propinsi Jawa Timur memiliki kasus diare terbesar dengan 1.468 penderita dan 8 kematian, disusul dengan propinsi Banten dengan 1.057 penderita dan 3 kematian, sedangkan propinsi Jawa Barat pada tahun 2007 tidak diketahui terdapat kasus diare pada masyarakatnya. Sebagian besar kejadian diare pada masyarakat ini disebabkan oleh adanya infeksi bakteri (Depkes RI 2008). Kondisi dan fungsi saluran pencernaan yang sehat sangat penting bagi kehidupan manusia. Sistem pertahanan tubuh sepanjang saluran ini sangat penting dalam melawan segala macam bahaya yang mengiringi masuknya makanan ke
2
dalam tubuh. Mikrobiota dalam saluran percernaan ini amat penting dalam pencegahan penyakit, khususnya infeksi. Beberapa waktu belakangan ini terapi intervensi bakteri probiotik untuk masalah infeksi maupun penyakit lainnya semakin mendapat perhatian untuk terus diteliti dan dikembangkan. Bengmark (1998) menyebutkan bahwa WHO merekomendasikan pengembangan berbagai pendekatan yang dapat mengurangi penggunaan antibiotik untuk mengatasi infeksi, termasuk diantaranya penggunaan intervensi bakteri probiotik. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya kejadian resistensi terhadap antibiotik. Muncul kekhawatiran bahwa pengembangan antibiotik oleh pihak industri tidak akan mampu menyaingi kecepatan timbulnya resistensi mikroba. Bengmark (1998) juga menyebutkan bahwa kerentanan akibat perubahan komposisi flora (yang disebabkan oleh antibiotik) turut meningkatkan perhatian terhadap metode intervensi mikroba dalam melawan infeksi. Bakteri probiotik kini semakin diakui secara efektif dapat mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang berpotensi patogen dan dapat menyebabkan diare. Bakteri probiotik diketahui dapat mengontrol berbagai bakteri patogen enterik, seperti Salmonella typhimurium, Shigella, Clostridium difficile, Campylobacter jejuni dan Escherichia coli (Bengmark 1998). Selain itu berbagai penelitian juga telah menunjukkan potensi isolat bakteri asam laktat untuk mengurangi kejadian diare, baik yang disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, virus, maupun diare yang disebabkan oleh konsumsi antibiotik (Heyman & Menard 2002). ASI (Air Susu Ibu) merupakan sumber isolat probiotik karena mengandung glikoprotein
dan bifidogenic factor berupa N-acetylglucosamine yang dapat
menunjang pertumbuhan BAL, khususnya Bifidobakteria (Salminen et al. 2004). Bifidobacterium ditemukan pertama kali pada tahun 1889 oleh Tissier sebagai bakteri yang mendominasi saluran usus bayi yang meminum ASI (Holzapfel 2006). Kelebihan lain yang dimiliki probiotik dari ASI adalah penerimaan konsumen yang lebih baik daripada probiotik yang berasal dari sumber lain (hewan, feses). FAO/WHO (2002) juga menyebutkan bahwa salah satu kriteria suatu mikroorganisme
sebagai
kandidat
probiotik
yang
baik
adalah
bahwa
3
mikroorganisme tersebut berasal dari spesies yang sama dengan inang yang ditujukan sebagai pengguna probiotik tersebut. Dengan demikian, isolat Lactobacillus yang berasal dari ASI menjadi sangat potensial untuk lebih lanjut dikembangkan sebagai produk fungsional probiotik bagi konsumsi manusia. Potensi dan keunggulan ASI tersebut dijadikan sebagai pertimbangan untuk melakukan isolasi bakteri probiotik. Nuraida et al. (2008) telah mengisolasi bakteri asam laktat (BAL) dari Air Susu Ibu (ASI) yang sebagian besar berpotensi sebagai probiotik. Sebagian besar isolat menunjukkan ketahanan yang baik terhadap asam lambung dan atau garam empedu serta dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Pada penelitian ini akan diuji potensi aktivitas antidiare beberapa isolat Lactobacillus asal air susu ibu melalui pengujian in vivo menggunakan tikus percobaan.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui aktivitas antimikroba isolat Lactobacillus asal ASI terhadap isolat E. coli patogenik (EPEC K1.1). 2. Mengetahui efektivitas isolat Lactobacillus asal ASI untuk mencegah kejadian diare pada tikus percobaan.
C. Hipotesis Isolat Lactobacillus dari Air Susu Ibu (ASI) memiliki aktivitas antimikroba terhadap enteropatogenik E. coli baik secara in vitro maupun in vivo. Melalui aktivitasnya sebagai antimikroba ini, isolat Lactobacillus dari ASI diduga dapat mencegah diare karena kemampuannya untuk bertahan dalam saluran pencernaan.
4
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Mikrobiota Usus dan Perlindungan terhadap Infeksi Usus merupakan sebuah ekosistem kompleks yang terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu sel inang, nutrisi, dan mikrobiota. Fungsi usus antara lain untuk proses pencernaan makanan, penyerapan zat gizi, dan pertahanan terhadap serangan dari luar. Komponen pertahanan usus terdiri atas 3 jenis yaitu mikrobiota, mucosal barrier, dan sistem imun lokal (Bourlioux et al. 2002). Manusia mulai memiliki mikrobiota usus sejak dilahirkan dari kandungan. Janin hidup dan tumbuh dalam kondisi steril dalam kandungan. Janin akan terekspos oleh mikroba yang berasal dari saluran genital, feses, mikroba kulit ibunya, dan lingkungan setelah dilahirkan. Mikrobiota usus ini terdiri dari bermacam-macam mikroba yang memiliki fungsi penting bagi inangnya (Brassart & Schiffrin 2000). Di dalam usus manusia terdapat sekitar 100 spesies dan sekitar 1014 bakteri merupakan mikrobiota usus. Berat keseluruhan bakteri-bakteri tersebut dapat mencapai 1-1,5 kg atau 1/50 sampai 1/60 berat tubuh orang dewasa. Mikrobiota usus dapat tumbuh pada kondisi anaerob dan berkoloni pada bagian-bagian tertentu dari sistem pencernaan manusia (Yughuci et al. 1992). Fungsi utama dari mikrobiota usus yaitu aktivitas metaboliknya yang menyebabkan penyimpanan energi dan nutrisi, efek nutrisi bagi epitel usus, dan perlindungan atas inang terhadap serangan bakteri merugikan (Harish & Varghese 2006). Peranan mikrobiota usus dapat dibagi dua yaitu yang aktivitasnya menguntungkan dan merugikan. Bifidobakteria, Lactobacillus spp. dan Eubacteria hanya memiliki aktivitas menguntungkan sedangkan Clostridium perfingens, Veillonella spp., dan Proteus spp. hanya memiliki efek merugikan. Beberapa bakteri usus memiliki sifat menguntungkan maupun merugikan, contohnya adalah Bacteroides, Streptococcus spp., Escherichia coli, serta Enterococcus (Yughuchi et al. 1992).
5
Bakteri yang merugikan dalam usus dapat menghasilkan senyawa-senyawa karsinogen, toksin, NH3, H2S, amin, serta fenol. Berbagai pengaruh buruk yang dapat ditimbulkannya adalah penyakit-penyakit seperti diare, konstipasi, kerusakan hati, penurunan kekebalan, kanker, hipertensi, dan sebagainya (Yughuchi et al. 1992). Sedangkan bakteri asam laktat sebagai salah satu mikrobiota normal manusia mempunyai peran yang menguntungkan bagi kesehatan manusia yaitu untuk mencegah infeksi usus yang diakibatkan oleh bakteri enterik patogen dan infeksi pada saluran urogenital, mencegah intoleransi laktosa dan pertumbuhan kanker/tumor usus, dan untuk menstimulasi sistem imun dan gerakan usus (Yuguchi et al. 1992). Lima kelompok utama bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan mamalia
normal
adalah
Lactobacillus,
Enterococcus,
Bacteriodes,
Enterobacteriaceae, serta kelompok bakteri Gram positif yang anaerob dan tidak berspora. Pada bagian jejunum, kelima kelompok tersebut memiliki jumlah yang relatif sama sekitar 102-103 cfu/g. Jumlah bakteri pada bagian jejunum relatif rendah karena lokasinya paling dekat dengan sekresi garam empedu. Pada bagian ileum mulai terjadi pertumbuhan bakteri. Jumlah bakteri di dalam ileum sekitar 102 cfu/g (kelompok Gram positif) sampai 105 cfu/g (Lactobacillus dan Enterococcus). Jumlah di dalam kolon dapat mencapai 106-107 cfu/g dan didominasi oleh Enterococcus dan Bacteroides (Salminen & Wright 1998). Kolon merupakan ekosistem yang sarat dengan kolonisasi mikrobiota
yang dapat
mencapai 50 genera bakteri sehingga usus besar menjadi bagian tubuh dengan aktivitas metabolik paling tinggi. Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson 2000).
Sedangkan jumlah 9
bakteri akhir di dalam feses didominasi oleh Bacteroides (10 cfu/g) (Salminen et al. 2004). Pada manusia dewasa yang sehat, mikrobiota usus berada dalam keseimbangan walaupun terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Komposisi mikrobiota usus berubah seiring meningkatnya umur seseorang. Pada bayi, Bifidobacterium spp. merupakan bakteri yang paling dominan. Pada saat bayi disapih, beberapa bakteri anaerob seperti Bacteroidaceae, Eubacterium, dan Peptococcaceae mulai tampak dan akhirnya menjadi dominan.
6
Pada periode tersebut, Bifidobacterium spp. akan semakin menurun jumlahnya sedangkan Clostridium perfringens, Escherichia coli, Streptococcus spp., serta Lactobacillus semakin meningkat jumlahnya (Mizutani 1992). Mitsuoka (1990) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada mikroflora disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain bertambahnya usia, stres, konstipasi, dan diare. Salminen dan Wright (1998) menyatakan komposisi mikroflora usus pada lokasi spesifik ditentukan oleh lingkungan fisik (gerakan usus) dan lingkungan kimia (perubahan pH). L. acidophilus, L. reuteri, dan Bifidobacteria merupakan mikroba yang dominan terdapat pada flora bayi yang diberi ASI, sedangkan bayi yang diberi susu formula memiliki flora yang lebih beragam meliputi Bifidobacteria, mikroba aerobik dan anaerobik (Mitsuoka 1990). Menurut Hill (1998) terdapat beberapa faktor yang mengontrol komposisi flora bakteri usus, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Faktor yang mengontrol komposisi mikrobiota usus (Hill 1998) Fisikokimia
pH Potential oksidasi-reduksi Tekanan oksigen Suplai nutrisi
Interaksi inang-bakteri
Saliva Cairan empedu Sekresi asam lambung Sekresi pankreatik Sistem imun
Interaksi mikroba
mikroba- Bacteriophage Bakteriosin Toksik metabolit
Kemampuan mikrobiota usus dalam mencegah infeksi patogen diantaranya melalui kompetisi nutrisi, memanfaatkan musin dan polisakarida dari bahan pangan yang mikroba dari luar tidak dapat memanfaatkannya. Mikrobiota usus berperan menghasilkan asam lemak bebas untuk menghambat proliferasi patogen,
7
menurunkan
keasaman
usus,
menghasilkan
bakteriosin,
mempercepat
mengeluarkan kotoran dengan menstimulir motalitas dan juga menstimulir imunitas usus (Surono 2004). Sebagai saluran pencernaan, usus memiliki aktivitas imunologis yang sangat tinggi. Usus dilapisi oleh suatu membran mukosa yang dilindungi oleh lapisan musin yang dihasilkan oleh sel-sel goblet. Musin bertindak sebagai pelumas yang melindungi kerusakan membran mukosa dari makanan dan partikel-partikel lain serta berperan sebagai penghalang bakteri sebelum mencapai membran mukosa. Membran mukosa mempunyai sistem imun spesifik. Dikenal dua sistem imun pada membran mukosa, yaitu Gastrointestinal-Associated Lymphoid Tissue (GALT), yang tidak dimiliki oleh semua permukaan dan Mucosa-Associated Lymphoid Tissue (MALT). MALT merupakan pusat perlindungan kolonisasi bakteri dan infeksi pada tahap awal. Aktivitas MALT menghasilkan antibodi sIgA (imunoglobulin
A
sekretori).
Selain
sebagai
penghalang,
musin
juga
menghasilkan substansi yang dapat membunuh bakteri dan menghambat pertumbuhannya, diantaranya adalah lisozim (Salyer & Whitt 1994). Bila bakteri melekat pada permukaan mukosa usus, bakteri akan berhadapan dengan sel-sel imunitas. Bakteri akan didegradasi oleh makrofag dan menghasilkan reruntuhan (debris) yang akan dikeluarkan oleh makrofag, dan fragmen peptida dari protein bakteri akan ditransfer ke permukaan makrofag. Selanjutnya akan dibentuk kompleks peptida-MHC (Major Histocompatibility Complex). Kompleks ini akan menstimulasi sel T helper yang akan menstimulasi sel B untuk membentuk antibodi (Bellanti 1995).
B. Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) Escherichia coli termasuk genus Escherichia dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini berbentuk batang, berukuran lebar 1.1-1.5 mikron dan panjang 2.0-6.0 mikron, terdapat dalam bentuk berpasangan atau tunggal, bersifat motil dengan flagela peritrikat atau non motil (Buchanan & Gibbons 1974). Bakteri ini merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat anaerobik fakultatif (Fardiaz 1989). Pada kondisi aerobik, bakteri ini dapat menggunakan karbohidrat, asam amino, dan asam organik sebagai sumber energi melalui
8
mekanisme reaksi. Pada keadaan anaerobik, bakteri memfermentasi gula melalui jalur glikolisis. Produk akhir glikolisis, yaitu asam piruvat, dipecah menjadi asam laktat, asetat, dan format. Sebagian dari asam format akan dipecah oleh enzim format hidrogeniliase menjadi CO2 dan H2 (VanDemark & Batzing 1987). Menurut modifikasi bagan Kauffman, serotipe E. coli dibagi berdasarkan profil antigen permukaan O (somatic), H (flagellar), dan K (capsular)-nya (Nataro & Kaper 1998). Totalnya terdapat 170 antigen O yang berbeda dimana masing-masing didefinisikan sebagai satu serogrup. Analisis serotipe ini yang dijadikan fektor virulensi spesifik untuk identifikasi strain E. coli penyebab diare. Antigen O dan K merupakan polisakarida yang melindungi mikroba dari efek bakterisidal dari komplemen dan sel fagosit pada kondisi tidak adanya antibodi spesifik (Gross 1995). EPEC (Enteropatogenik E. coli) merupakan salah satu penyebab diare yang paling banyak di beberapa negara selain lima strain E. coli lain, yaitu enterotoxigenic
E.
coli
(ETEC),
enterohemorrhagic
E.
coli
(EHEC),
enteroaggregative E. coli (EAEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), dan diffusely E. coli (DAEC), serta beberapa bakteri lain seperti Shigella, Vibrio cholerae, Salmonella, dan termasuk rotavirus (Semba 2002). Pada suatu outbreak diare terjadi pada 32 anak berumur kurang dari 2 tahun di daerah tropis Australia Utara dan teridentifikasi kurang lebih 59% kejadian diare tersebut disebabkan oleh enteropatogenik E. coli di samping patogen lain yang ditemukan, yaitu Salmonella spp. (16%), Campylobacter spp. (3%), Giardia (3%), dan Shigella spp (3%) (Barlow et al. 1999). Pada kurun waktu 8 sampai 13 Juli 2007, suatu outbreak gastroenteritis akut terjadi pada 117 orang (anak-anak dan dewasa) di suatu perkemahan Romania yang diinvestigasi oleh Constanta District Public Health Authority (CDPHA). Kompleks perkemahan tersebut memiliki kapasitas 4,200 orang dan empat kantin. Dari beberapa sampel feses yang diuji memberikan hasil positif akan keberadaan EPEC dan Salmonella enteridis (Ibram et al. 2007). EPEC adalah salah satu dari kelas patogen yang dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan kerusakan pada
9
mikrofili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel mukosa duodenum dan proximal jejunum. Menimbulkan kerusakan pada epitel jejunal melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002). EPEC dapat menyebabkan diare pada bayi yang berumur di bawah 2 tahun. Diare tersebut disebabkan oleh pembentukan lesi attaching dan effacing pada mikrovili usus. Pada model tikus balita, pemberian EPEC dengan dosis 106 cfu/ml menunjukkan difusi adhesi sebagian pada sel epitelial usus dan menunjukkan A/E lession dalam 24 jam (Bhunia & Wampler 2005). Menurut Janda dan Abbot (2006), dosis infeksi dari EPEC berkisar antara 106-1010 cfu/ml, dengan periode inkubasi berkisar 9-19 jam, dan lamanya diare (durasi diare) yang ditimbulkan oleh infeksi EPEC kurang lebih terjadi selama 5 hari.
C. Diare Akibat Infeksi EPEC Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Guerrant et al. 2001). Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat (Lung 2003). Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala
10
dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear. Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit (Lung 2003). Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja, yaitu peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses (Lung 2003). Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat bakteri enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus (Lung 2003). EPEC Mikrovili usus
Gambar 1 Skema kerusakan mikrovili usus inang oleh EPEC Sumber : Nataro dan Kaper (1998)
Diare oleh infeksi EPEC (enteropatogenik E. coli) termasuk dalam diare infeksi non-invasif. Mekanisme adhesi yang terjadi pada infeksi enteropatogenik E.coli (EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF) melalui BFP
11
(Bundle Forming Pili), menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi intraseluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini (Zein et al. 2004). Skema kerusakan mikrovili usus inang oleh infeksi EPEC dapat dilihat pada Gambar 1. Diare seringkali terjadi ketika sodium klorida (NaCl) tidak dapat diserap dari nutrient selama dalam saluran pencernaan. Penyerapan NaCl terjadi melalui transport membran sel usus yang disebut sebagai coupled ion exchange. Proses ini menjaga muatan netral dalam sel usus ketika penyerapan muatan sodium (Na+) dan klorida (Cl-). Pada kejadian diare yang disebabkan oleh infeksi EPEC pengeluaran klorida oleh sel-sel usus berkurang karena adanya EPEC. EPEC mensekresi molekul-molekul bacterial ke dalam sel inang yang merusak transport protein penukar ion klorida. Ketidakseimbangan ion sodium dan klorida dalam sel menyebabkan diare berair (watery diarrhea) (Gill et al. 2007). Bakteri EPEC melekat pada permukaan sel epitelial usus dengan merusak mikrovili inang dan menyusun kembali sitoskeleton sel untuk membentuk tumpuan pada permukaan sel inang (Donnenberg et al. 1997). Penyebab terjadinya diare selama infeksi EPEC lebih kompleks dibandingkan hilangnya area penyerapan yang disebabkan oleh attachment and effacement lesions. Collington et al. (1998) menyatakan bahwa setelah pengikatan (attachment) awal, dengan cepat EPEC mengatur transport elektrolit sel inang pada sel monolayer Caco-2. Di samping sekresi klorida, yang dapat mengkontribusi diare selama infeksi, EPEC kemungkinan dapat memfasilitasi suatu influx sodium dan asamasam amino ke dalam sel inang. Munculnya gejala diare ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba patogen untuk melekat pada epitelium usus dan menimbulkan sakit pada inang. Selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi pada sisi kolonisasi dan mekanisme pertahanan inang. Nutrisi yang terbatas mempengaruhi sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik, fagositosis, lisozim, dan faktor lainnya. Pada kondisi tertentu, meskipun mikroorganisme patogen dalam jumlah besar dapat bertahan terhadap respon imun inang dan dapat berkembang biak dalam waktu yang cepat dalam tubuh inang, tetapi tidak menimbulkan penyakit pada inang tersebut (Boyd & Marr 1980). Pada kondisi ini mikroorganisme tersebut disebut
12
carrier dan menjadi berperan seperti mikroflora normal. Adanya kemampuan mikroflora usus untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem usus juga menjadi pertimbangan dalam hal ini (Tannock 1999). Oleh karena itu, pada konsentrasi tertentu mungkin berpengaruh terhadap kecepatan timbulnya gejala diare, tetapi jika konsentrasinya ditingkatkan menjadi tidak berarti.
D. Probiotik dan Peranannya dalam Mencegah Diare Probiotik didefinisikan sebagai sediaan sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Schmid et al. 2006). Sebagai bahan konsumsi manusia, lebih khusus probiotik didefinisikan sebagai suplemen atau komponen makanan berupa mikroba hidup yang telah terbukti memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan manusia. Mikroorganisme probiotik sebagian besar merupakan bakteri dari galur Lactobacillus dan Bifidobacterium. Salminen et al. (2004) menyebutkan beberapa bakteri asam laktat yang telah digunakan sebagai probiotik komersial antara lain Lactobacillus casei,
Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus acidophillus,
Bifidobacterium longum dan Bifidobacterium bifidum. Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh bakteri asam laktat yang berfungsi sebagai mikroba probiotik antara lain (Salminen et al. 2004): (1) Suatu probiotik harus nonpatogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, dan masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus halus (2) Suatu probiotik yang baik harus mampu tumbuh dan bermetabolisme dengan cepat dan terdapat dalam jumlah yang tinggi dalam usus (3) Probiotik yang ideal dapat mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara (4) Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan (5) Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan hidup selama kondisi penyimpanan. Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat menjadi probiotik karena pH asam lambung yang sangat
13
rendah (sekitar 2.5) (Jacobsen et al 1999). Toleransi BAL terhadap asam disebabkan oleh kemampuannya untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar akan merugikan karena translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu, gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Bakteri asam laktat merupakan mikroorganisme fermentatif yang dapat hidup pada kisaran pH luas. Pertahanan utama sel bakteri dari lingkungannya adalah membran seluler yang terdiri atas struktur lemak dua lapis. Bila sel bakteri terpapar pada kondisi asam, maka membran sel dapat mengalami kerusakan dan berakibat hilangnya komponen-komponen intraseluler, seperti Mg, K, dan lemak dari sel. Biasanya kerusakan ini menyebabkan kematian pada sel. Kondisi ini dapat dideteksi dengan cara mengukur konsentrasi komponen intraseluler yang keluar dari dalam sel. Bakteri yang toleran terhadap asam, membran selnya lebih tahan terhadap kebocoran akibat pH rendah dibandingkan dengan bakteri yang tidak tahan asam. Penelitian yang dilakukan Bender et al. (1987) yang dikutip oleh Hutkins dan Nannen (1993) menyatakan bahwa pada galur streptokoki yang kurang tahan terhadap asam, ion Mg keluar dari dalam sel ketika pH ekstraseluler 4.0, sedangkan pada L.casei hal tersebut terjadi pada pH ekternal di bawah 3.0. Bender et al. (1987) menyatakan bahwa perbedaan ketahanan terhadap kerusakan membran yang disebabkan oleh pengasaman tampak bervariasi untuk setiap organisme dan derajat toleransi asam. Toleransi bakteri asam laktat yang cukup tinggi terhadap asam biasanya juga disebabkan karena bakteri tersebut mampu mempertahankan pH sitoplasma lebih alkali daripada pH ekstraseluler (Hutkins & Nannen 1993). Untuk mempertahankan pH sitoplasma supaya lebih basa sel harus mempunyai barier terhadap aliran proton. Barier ini umumnya adalah membran sitoplasma. Perbedaan kerentanan membran sitoplasma terhadap kondisi asam menentukan toleransi bakteri tersebut pada pH rendah. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya
14
penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Bagi BAL gradien proton yang besar tidak menguntungkan sebab translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Komposisi asam lemak penyusun membran sitoplasma beragam diantara spesies bakteri dimana keragaman tersebut mempengaruhi karakteristik dan permeabilitasnya. Beberapa protein dalam membran secara spesifik juga memfasilitasi pergerakan senyawa melewati membran. Komposisi dan struktur protein berbeda pada membran sitoplasma juga menentukan karakteristik dan permeabilitas membran tersebut. Keragaman asam lemak dan protein pada membran sitoplasma diduga juga mempengaruhi keragaman ketahanan bakteri terhadap pH rendah. Menurut Booth et al. (1989) pada beberapa bakteri Gram positif terjadi peningkatan sintesis asam amino fosfolipid yang bermuatan positif jika ditumbuhkan pada media yang ber-pH rendah. Perubahan ini diduga karena ionisasi asam amino pada pH rendah menyebabkan permukaan membran bermuatan positif sehingga dapat bertindak sebagai barrier proton. Setelah bakteri tersebut berhasil melalui lambung, mereka akan memasuki saluran usus bagian atas dimana garam empedu disekresikan sehingga ketahanan BAL terhadap garam empedu juga sangat penting. Seperti halnya ketahanan terhadap asam, menurut Zavaglia et al. (1998) dan Jacobsen et al. (1999), semua mikroba yang berhasil hidup setelah tumbuh dalam MRSA yang ditambah 0.3% oxgal, dinyatakan bersifat tahan terhadap garam empedu. Konsentrasi
garam
empedu sebesar 0.3% merupakan konsetrasi yang kritikal, nilai yang cukup tinggi untuk menyeleksi isolat yang resisten terhadap garam empedu. Pada saat bakteri memasuki bagian atas saluran usus, bakteri akan terpapar cairan empedu yang disekresikan ke dalam usus. Cairan empedu merupakan campuran dari asam empedu, kolesterol, asam lemak, fosfolipid, pigmen empedu dan sejumlah xenobiotik terdetoksifikasi. Sekresi pankreas juga mengandung serangkaian enzim pencernaan, dimana enzim yang bersifat lipolitik diaktifkan oleh karakteristik aktif dari empedu. Kombinasi tersebut bersifat bakterisidal bagi
15
mikroorganisme komensal dalam tubuh manusia kecuali bagi beberapa genus penghuni usus yang tahan terhadap empedu. Gilliland (1984) menyatakan bahwa derajat toleransi terhadap empedu merupakan karakteristik yang penting bagi bakteri asam laktat sebab hal tersebut berpengaruh terhadap aktivitasnya dalam saluran pencernaan. Pada penelitian yang dilakukan Gilliland (1984) terbukti bahwa sel yang diinkubasi pada larutan penyangga yang mengandung oxgal mengalami peningkatan kebocoran materi intraseluler yang terabsorbsi pada panjang gelombang 260 nm, yang berarti terjadi perubahan sifat permeabilitas pada membran sel bakteri. Isolat yang tidak tahan garam empedu kemungkinan mengalami kebocoran materi intraseluler sehingga menyebabkan kematian. Isolat-isolat yang relatif resisten terhadap garam empedu kemungkinan memiliki karakteristik biologis yang membuatnya bertahan terhadap keberadaan garam empedu. Smet et al. (1995) menyatakan bahwa beberapa Lactobacillus mempunyai enzim untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase). Enzim ini mampu mengubah kemampuan fisika kimia yang dimiliki garam empedu, sehingga tidak bersifat racun bagi bakteri asam laktat. Berbagai penelitian telah menunjukkan potensi isolat bakteri asam laktat untuk mengurangi kejadian diare, baik yang disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, virus, maupun diare yang disebabkan oleh konsumsi antibiotik. Michail dan Abernathy (2002) menemukan bahwa Lactobacillus plantarum dapat menurunkan respon sekretori dari sel epitelial usus karena infeksi enteropatogenik E. coli. Lactobacillus rhamnosus GG juga ditemukan dapat mencegah dan menyembuhkan diare akut akibat rotavirus pada anak-anak (Szajewska et al. 2001; Shornikova et al. 1997). Probiotik juga diketahui mempunyai pengaruh yang baik terhadap diare yang disebabkan oleh penggunaan antibiotik. Laktobasili seringkali dilaporkan memiliki efek yang menguntungkan bagi diare jenis ini. Pada orang dewasa, pemberian L. acidophillus dan L. bulgaricus secara profilaktik efektif mencegah diare pada pasien yang mendapat perawatan ampisilin. Selain itu ditemukan pula bahwa pemberian kultur L. acidophillus atau L. rhamnosus dapat mencegah efek
16
samping (diare) pada pasien yang menjalani iradiasi abdomen (Heyman & Menard 2002). De Roos dan Katan (2000) menyebutkan bahwa probiotik kemungkinan mencegah diare karena menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan memproduksi bakteriosin atau dapat berkompetisi dengan patogen untuk berikatan dengan sel epitel. Qin et al. (2005) menemukan bahwa terdapat peningkatan integritas ikatan epitel usus dan mikrofili pada kelompok tikus yang diberi probiotik L. acidophilus. Ikatan kompleks tersebut memungkinkan masih terjadinya difusi paraseluler ion dan solut lainnya tetapi tidak untuk mikroorganisme dan makromolekul yang berpotensi toksik. Penempelan galur Lactobacillus tertentu pada sel epitel usus dapat menghambat pengikatan patogen enterik secara signifikan melalui eksklusi kompetitif. Penghambatan patogen enterik ini dapat berhubungan dengan induksi ekspresi gen musin usus dan kemampuan bakteri probiotik untuk berikatan dengan mukus dan galur sel kolon manusia (Heyman & Menard 2002). De Roos dan Katan (2000) juga menyebutkan bahwa probiotik dapat mencegah atau meringankan diare melalui pengaruhnya terhadap sistem imun. Infeksi oleh bakteri menginduksi pembentukan antibodi humoral yang disekresikan oleh plasma darah pada nodus limfe regional dan pada submukosa saluran pernapasan dan pencernaan. Antibodi IgA sekretori spesifik untuk struktur bakteri tertentu dapat memblok penempelan bakteri pada sel epitel mukosa dan merupakan pertahanan inang utama terhadap penempelan bakteri. IgA sekretori berperan penting sebagai fungsi efektor pada permukaan membran, yang merupakan tempat masuk utama organisme patogen. Pengikatan IgA sekretori pada permukaan bakteri dan virus mencegah penempelan patogen pada sel mukosa sehingga mencegah infeksi dan kolonisasi (Goldsby et al. 2007). Beberapa studi telah menunjukan adanya pengaruh konsumsi probiotik terhadap sistem imun inang. Beberapa jenis bakteri asam laktat seperti L. casei, L. rhamnosus dan L. plantarum dapat meningkatkan imunitas sistemik maupun imunitas mukosa. Bahan pangan yang mengandung bakteri probiotik dapat menstimulasi respon imun immunoglobulin A (IgA) (Galdeano & Perdigon 2006). Link-Amster et al. (2000) di dalam De Roos dan Katan (2002) menemukan bahwa
17
pada relawan yang divaksinasi Salmonella typhimurium dan mengkonsumsi yogurt yang mengandung B. bifidum dan L. acidophilus terjadi peningkatan konsentrasi IgA dalam serum darahnya. Antibodi IgA terarah untuk melawan antigen O dan K Escherichia coli dan enterotoksin (Hanson 1976). Bakteri asam laktat mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel. Bakteri asam laktat melakukan kontak dengan sistem imun saluran usus melalui sel M atau sel folikel epitelium dari Peyer’s patch atau melalui sel epitelial saluran usus halus atau usus besar. Interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel M hanya menstimulasi respon imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel folikel epitel menstimulasi respon imun non spesifik atau peradangan meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik (Surono 2004). Probiotik selain mempunyai efek modulasi flora normal saluran pencernaan, probiotik juga mampu berperan sebagai modulator sistem imun (Gorbach 2000). Lactobacilli meningkatkan fungsi imunitas seluler dan humoral (Vanderhoof 2001). Bakteri ini mampu menstimulasi sistem imun antara lain meningkatkan fungsi fagositosis makrofag, sel natural killer (NK), monosit dan netrofil. Lactobacillus GG mampu merangsang sekresi IgM setelah vaksinasi rotavirus dan meningkatkan produksi IgA dengan
hasil akhir meningkatkan produksi
imunoglobulin (Walker 2000).
E. Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu (ASI) Menurut
Young
(1998)
ASI
mengandung
banyak
oligosakarida
(fruktooligosakarida), yaitu suatu karbohidrat tidak dicerna yang merupakan makanan bagi bakteri menguntungkan. Selain itu, ASI juga mengandung laktoferin, yaitu protein yang berikatan dengan zat besi sehingga dapat menunjang pertumbuhan BAL dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen tertentu, seperti Staphylococcus aureus dan E. coli (Salminen et al 2004). Salah satu bakteri asam laktat (BAL) yang ditemukan di dalam ASI adalah Bifidobacteria bifidum (yang kemudian dikenal dengan Lactobacillus bifidus) (Ballongue 2004). Menurut Mitsuoka (1989) bifidobakteria merupakan genus yang dominan pada mikrobiota bayi yang diberi ASI (Air Susu Ibu)¸ sedangkan
18
bayi yang diberi susu formula memilki mikrobiota yang lebih beragam meliputi Bifidobakteria¸ dan beberapa mikroba aerobik dan anaerobik. Isolasi BAL dari ASI yang dilakukan oleh Martin et al. (2005) berhasil mendapatkan dua isolat Lactobacillus gasseri dan satu isolat L. fermentum yang berpotensi sebagai probiotik. Hasil pengujian tersebut menunjukkan potensi probiotik isolat L. gasseri dan L. fermentum mempunyai kemiripan dengan produk komersial. Spesies Lactobacillus yang diisolasi dari ASI sampai saat ini adalah L. gasseri, L. rhamnosus, L. acidophilus, L. plantarum, L. fermentum, dan L salivarius (Heikkila & Saris 2003; Martin et al. 2003 ; Martin et al. 2005). Nuraida et al. (2008) mengisolasi bakteri asam laktat yang berasal dari air susu ibu (ASI). Dari tiga puluh satu sampel air susu ibu (ASI) diperoleh 88 isolat macam kultur bakteri asam laktat (BAL). Kultur tersebut diidentifikasi berdasarkan pengamatan morfologi, ciri-ciri fisiologis, dan sifat-sifat biokimia bakteri. Dengan uji fisiologis dan biokimia yang dilakukan pada uji identifikasi awal
diperoleh
54
isolat
yang
teridentifikasi
sebagai
Lactobacillus
homofermentatif, 18 isolat teridentifikasi sebagai Lactobacillus heterofermentatif, 9 isolat teridentifikasi sebagai Bifidobacterium, 1 isolat teridentifikasi sebagai Pediococcus, serta 6 isolat teridentifikasi sebagai Streptococcus. Bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif kurang baik untuk dikembangkan menjadi produk probiotik yang berupa susu fermentasi. Hal ini disebabkan gas CO2 yang dihasilkan akan merusak tekstur produk probiotik yang berupa susu fermentasi. Sehingga dalam pengujian ketahanan terhadap asam hanya BAL yang bersifat homofermentatif yang diikutsertakan. Nuraida et al. (2008) selanjutnya juga melakukan pengujian ketahanan terhadap kondisi asam yang dilakukan pada 54 isolat Lactobacillus asal ASI yang bersifat homofermentatif. Dari 54 isolat tersebut terdapat 35 isolat yang bersifat tahan terhadap asam dengan penurunan log < 3,0 log cfu/ml. Pengujian ketahanan terhadap garam empedu 35 isolat Lactobacillus asal ASI yang bersifat terhadap kondisi asam juga dilakukan. Hasil pengujian menunjukkan terdapat 30 isolat Lactobacillus yang bersifat tahan terhadap garam empedu dengan penurunan log < 3,0 log cfu/ml. Isolat-isolat Lactobacillus yang memiliki total penurunan log oleh kondisi asam dan garam empedu < 3,0 log cfu/ml akan digunakan dalam
19
penelitian aktivitas antidiare secara in vivo menggunakan tikus percobaan ini. Nuraida et al. (2008) melaporkan bahwa 25 isolat Lactobacillus, yaitu L. rhamnosus A15, L. fermentum A20, L. acidophilus 1 A22, L. rhamnosus A23, L. rhamnosus A24, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, Lactobacillus A38, L. rhamnosus R12, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R22, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R24, Lactobacillus R25, L. rhamnosus R26, Lactobacillus R27, L. rhamnosus R28, Lactobacillus R32, L. rhamnosus R34, Lactobacillus B3, L. rhamnosus B10, L. fermentum 2 B11, Lactobacillus B13, dan L. rhamnosus B16 memiliki kemampuan yang sangat baik untuk bertahan dari kondisi asam lambung dan garam empedu melalui pengujian secara in vitro. Isolat-isolat BAL asal ASI juga memiliki aktivitas antimikrobial terhadap beberapa bakteri patogen seperti Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus. Nuraida et al. (2008) juga melaporkan bahwa isolat-isolat BAL asal ASI yang diperoleh memiliki aktivitas penghambatan yang baik terhadap keempat bakteri patogen tersebut. Martin et al. (2005) menyatakan bahwa beberapa isolat asal ASI yang diperoleh menghasilkan sejumlah komponen yang diduga berkemampauan sebagai antimikroba. L. gasseri CECT 5714, L. gasseri CECT 5715, dan L. johnsonii La1 dilaporkan positif menghasilan hydrogen peroksida. Selain itu, juga dilaporkan bahwa L. gasseri CECT 5714, L. gasseri CECT 5715, dan L. fermentum CECT 5716 secara signifikan menghasilkan asam laktat enantiomer (sekitar 50% untuk masing-masing enantiomer). L. rhamnosus GG dan L. casei juga menghasilkan L-asam laktat, sedangkan pada L. johnsonii La1 dihasilkan Dasam laktat. Produksi asam asetat hanya terjadi pada dua isolat, yaitu L. fermentum CECT 5716 dan L. rhamnosus GG. Mekanisme aktivitas penghambatan antimikroba menurut Branen dan Davidson (1993) dapat melalui beberapa faktor, antara lain (1) mengganggu komponen penyusun dinding sel, (2) bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan
peningkatan
permeabilitas
dan
menyebabkan
kehilangan
komponen penyususn sel, (3) menginaktifkan enzim esensial yang berakibat pada terhambatnya sintesis protein dan destruksi atau kerusakan fungsi material genetik.
20
III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium South East Asian Food and Agriculture Science dan Technology (SEAFAST) Center, kampus IPB Darmaga, Bogor. Penelitian akan dilakukan pada bulan Agustus 2009 - April 2010.
B. Bahan dan Alat Isolat Lactobacillus asal ASI sebanyak 19 isolat yang berasal dari koleksi SEAFAST Center IPB (L. rhamnosus A15, L. fermentum A20, L. acidophilus 1 A22, L. rhamnosus A23, L. rhamnosus A24, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, L. rhamnosus R12, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R22, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R24, Lactobacillus R25, L. rhamnosus R26, Lactobacillus R27, Lactobacillus R32, L. rhamnosus B10, dan L. rhamnosus B16), mikroba uji adalah Escherichia coli enteropatogenik (EPEC K1.1) dari Dr.dr.Sri Budiarti dari Lab. Bioteknologi Hewan dan Biomedis, Pusat Penelitian Bioteknologi IPB. Tikus percobaan Sprague-Dawley berasal dari Biofarmaka Bogor. Bahan penyusun ransum terdiri kasein, maizena, minyak jagung, vitamin mix, mineral mix dan selulosa. Media untuk uji mikrobiologi yaitu medium agar dan medium cair Nutrient Agar dan Nutrient Broth (NA dan NB), medium cair dan medium agar de Mann Rogosa Sharpe (MRSB dan MRSA), medium agar EMBA, medium agar Rogosa, asam asetat, NaCl, dan susu skim bubuk. Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas laboratorium, kandang tikus percobaan beserta perlengkapan pemeliharaan lainnya, alat sonde, timbangan, vorteks, refrigerator, deep freezer -80oC, sentrifus berpendingin, perangkat alat bedah tikus, inkubator, dan autoklaf.
21
C. Metode Penelitian Penelitian aktivitas antidiare isolat Lactobacillus (Lab) asal ASI ini secara umum dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pengujian aktivitas antibakteri isolat Lactobacillus asal ASI terhadap EPEC dengan metode kontak. Tahap kedua adalah pengujian dosis EPEC yang dapat menimbulkan diare tanpa menimbulkan kematian yang dilakukan secara in vivo menggunakan tikus percobaan. Selanjutnya dosis yang diperoleh digunakan pada tahap ketiga, yaitu isolat Lactobacillus terpilih yang dihasilkan dari tahap pertama memiliki penghambatan yang terbaik terhadap EPEC (3 isolat) diiuji aktivitasnya sebagai antidiare dengan menggunakan tikus percobaan. Tahapan studi yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2.
1. Pemeliharaan Tikus Percobaan Pengujian secara in vivo dilakukan dengan tikus percobaan (jenis Sprague Dawley) jantan berumur 28 hari. Sebelum dilakukan pengujian, tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama dua minggu dimana tikus hanya diberikan ransum standar dan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Pemberian ransum standar sebanyak 20 gram/ekor dan air minum (AMDK) diberikan kepada setiap tikus setiap hari secara ad libitum. Ransum standar dibuat berdasarkan AIN (1976) yang telah dimodifikasi dengan kadar protein menjadi 15% (20% untuk standar AIN 1976), dan serat menjadi 1% (5% untuk standar AIN 1976). Modifikasi ini dilakukan karena pada penelitian awal tikus mengalami diare dengan kadar protein dan serat yang terlalu tinggi. Perhitungan dan komposisi ransum yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 dan lebih lanjut dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Berat badan tikus ditimbang setiap 2 hari sekali dan sisa ransum ditimbang setiap hari. Kandang dan perlengkapan tikus dibersihkan setiap hari dengan cara: 1. Penggantian botol minum dan wadah ransum tikus dengan dicuci dan dibilas menggunakan air panas (mendidih).
22
2. Pencucian kandang dengan sabun dan air bersih serta dibilas dengan klorin 200 ppm. 3. Penggantian sekam sebagai alas dalam kandang setiap hari, sekam terlebih dahulu disterilkan dalam autoklaf pada 121oC selama 15 menit.
Tabel 2 Komposisi ransum yang digunakan dalam penelitian
Komponen
Komposisi ransum (%)
Protein
15
Minyak
5
Mineral
3.5
Serat
1
Air
10
Vitamin
1
Pati
Ditambahkan sampai dengan 100%
23
Tahap 1. Pengujian aktivitas antibakteri isolat Lactobacillus terhadap EPEC
Tahap 2. Penentuan dosis EPEC yang dapat menyebabkan tikus diare tanpa menimbulkan kematian
Tahap 3. Pengujian antidiare secara preventif (mencegah diare) dari 3 isolat terpilih dari Tahap 1 secara in vivo dengan menggunakan tikus percobaan
Analisis jumlah total BAL dengan media MRSA dan total E. coli dengan media EMBA
Parameter yang diamati: - konsumsi ransum (setiap hari), - berat badan (setiap 2 hari) - kondisi feses tikus setiap hari, yaitu sehari sebelum diintervensi EPEC dan selama 5 hari setelah perlakuan. Parameter yang diamati: - konsumsi ransum (setiap hari), - berat badan (setiap 2 hari) - konsistensi dan warna feses (setiap hari) - jumlah laktobasili dan E. coli feses sebelum perlakuan (H0), setelah intervensi Lab selama 1 hari (H1), setelah intervensi Lab selama 3 hari (H3), sebelum intervensi EPEC (H7), 5 hari berturut-turut setelah intervensi EPEC (H8, H9, H10, H11, dan H12) - jumlah laktobasili dan E. coli pada kolon dan sekum (H12) - pengamatan kolon tikus dengan SEM (H12)
Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian antidiare Lactobacillus asal ASI
24
2. Pengujian
Aktivitas
Antibakteri
Lactobacillus
terhadap
E.
coli
Enteropatogenik (EPEC) (modifikasi Parish & Davidson 1993) Pengujian aktivitas antibakteri Lactobacillus terhadap EPEC dilakukan dengan metode kontak. Kultur Lactobacillus dan EPEC disegarkan terlebih dahulu masing-masing dalam medium MRSB dan NB selama 24 jam. Pengujian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu pengujian antara 106 cfu/ml isolat Lactobacillus dengan EPEC 105 cfu/ml, dan 108 cfu/ml isolat Lactobacillus dengan dosis EPEC yang sama. Tahap pertama adalah sebanyak 1 ml (dari 107 cfu/ml) isolat Lactobacillus ditambahkan ke dalam kultur EPEC dalam tabung berisi media susu skim 10%, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Selanjutnya dihitung jumlah total BAL dan E. coli dengan metode agar tuang menggunakan medium MRSA dan EMBA sebelum dan sesudah masa inkubasi. Isolat Lactobacillus yang dapat menghambat pertumbuhan EPEC dan menurunkan pertumbuhaannya sebesar > 2 log cfu/ml diikutsertakan pada uji tahap kedua. Pada uji tahap kedua, sebanyak 1 ml (dari 109 cfu/ml) isolat Lactobacillus ditambahkan ke dalam 105 cfu/ml kultur EPEC dalam tabung berisi media susu skim 10%, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Selanjutnya dihitung jumlah BAL dan E. coli dengan metode agar tuang menggunakan medium MRSA dan EMBA sebelum dan sesudah masa inkubasi. Selain itu juga digunakan kontrol EPEC yang ditumbuhkan dalam media susu skim 10% tanpa penambahan isolat Lactobacillus. Tiga isolat Lactobacillus
yang memiliki
penghambatan
terbesar terhadap EPEC
diikutsertakan dalam uji aktivitas antidiare menggunakan tikus percobaan.
3. Penentuan Dosis E. coli Patogenik yang Menyebabkan Tikus Diare (Fitrial 2009; Oyetayo 2004) Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemberian inokulum EPEC pada beberapa konsentrasi (cfu/ml) sehingga tikus menjadi diare ditandai dengan feses yang cair. Tikus yang diare ditandai dengan feses yang lembek hingga berair, berukuran lebih besar, berwarna lebih pucat, sampai memiliki lapisan lendir.
25
Pada penentuan dosis EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan tikus diare tanpa menimbulkan kematian digunakan 20 ekor tikus yang terbagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol (5 ekor tikus) yang hanya diberikan larutan fisiologis, kelompok tikus yang diberi EPEC sebanyak 108 cfu/ml (5 ekor tikus), kelompok tikus yang diberi EPEC sebanyak 107 cfu/ml (5 ekor tikus), dan kelompok tikus yang diberi EPEC sebanyak 106 cfu/ml (5 ekor tikus). Sebelum pemberian EPEC tikus diadaptasikan dahulu selama dua minggu dengan pemberian ransum standar secara ad libitum dan air minum dalam kemasan (AMDK). Pemberian EPEC dilakukan dengan cara disonde. Tikus kelompok kontrol disonde dengan larutan fisiologis (NaCl 0.85%) yang digunakan sebagai media pengencer untuk bakteri EPEC. Pengamatan feses tikus dilakukan sebelum perlakuan (H0), sehari setelah perlakuan (H1), dua hari setelah perlakuan (H2), tiga hari setelah perlakuan (H3), empat hari setelah perlakuan (H4), dan lima hari setelah perlakuan (H5). Gambar 3 menunjukkan skema perlakuan dan pengamatan yang dilakukan di dalam uji dosis EPEC.
Gambar 3 Skema perlakuan dan pengamatan dalam uji dosis EPEC
Isolat EPEC dipersiapkan dengan menumbuhkannya dalam media Nutrient Broth selama 24 jam pada suhu inkubasi 37oC. Selanjutnya media
26
yang telah ditumbuhi EPEC disentrifugasi menggunakan alat sentrifuse berpendingin pada kecepatan 4000 rpm pada suhu 4oC selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dan sel bakteri disuspensikan dalam larutan NaCl 0.85% dan diencerkan sampai didapatkan pengenceran yang sesuai dengan dosis menggunakan larutan NaCl 0.85%.
4. Pengujian Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus Asal ASI (Oyetayo 2004; Ishida-Fuji et al. 2007) Tikus dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus, yaitu kelompok tikus yang tidak diintervensi Lactobacillus maupun EPEC (kontrol negatif), kelompok tikus yang diintervensi EPEC tetapi tidak diintervensi isolat Lactobacillus (kontrol EPEC), dan tiga kelompok tikus yang diintervensi baik oleh EPEC maupun salah satu dari tiga isolat Lactobacillus. Pemberian ransum standar dan air minum (AMDK) diberikan setiap hari secara ad libitum. Setelah dua minggu masa adaptasi (yaitu hanya mendapat ransum dan air minum), selanjutnya tikus percobaan kelompok perlakuan isolat Lactobacillus
diintervensi
dengan
isolat
Lactobacillus,
jumlah
isolat
Lactobacillus yang diberikan adalah sebanyak 109 CFU per hari, sedangkan kelompok kontrol EPEC dan negatif dicekok dengan larutan fisiologis selama 7 hari. Untuk melihat manfaat pencegahan diare, tikus percobaan kelompok perlakuan isolat Lactobacillus dan kelompok kontrol EPEC diintervensi dengan EPEC pada H8. Intervensi Lactobacillus dan EPEC dilakukan dengan cara disonde. Tikus kelompok kontrol, yang tidak dicekok EPEC maupun Lactobacillus (kontrol negatif), dicekok dengan larutan fisiologis. Lebih jelasnya perlakuan tikus percobaan selama pengujian dapat dilihat pada Tabel 3. Evaluasi aktivitas antidiare isolat Lactobacillus terhadap tikus percobaan dilakukan dengan mengamati: berat badan tikus (setiap 2 hari) konsumsi ransum (setiap hari) konsistensi dan warna feses (setiap hari)
27
jumlah laktobasili dan E. coli feses sebelum perlakuan (H0), setelah intervensi Lab selama 1 hari (H1), setelah intervensi Lab selama 3 hari (H3), sebelum intervensi EPEC (H7), 5 hari berturut-turut setelah intervensi EPEC (H8, H9, H10, H11, dan H12) Jumlah laktobasili dan E. coli pada kolon dan sekum: pengamatan dilakukan 5 hari setelah intervensi EPEC (H12). Skema perlakuan dan pengamatan dalam uji aktivitas antidiare (secara preventif) dapat dilihat pada Gambar 4. Pengamatan kolon tikus dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) pada H12.
Gambar 4 Skema perlakuan dan pengamatan dalam uji aktivitas antidiare
28
Tabel 3 Perlakuan tikus percobaan selama pengujian antidiare preventif Perlakuan Kelompok
Adaptasi (H-13 sampai H0)
Kontrol negatif
Hanya diberi ransum dan air minum
Kontrol EPEC
Hanya diberi ransum dan air minum
Perlakuan isolat Lactobacillus strain 1 Perlakuan isolat Lactobacillus strain 2 Perlakuan isolat Lactobacillus strain 3
Hanya diberi ransum dan air minum Hanya diberi ransum dan air minum Hanya diberi ransum dan air minum
H1 sampai H7 Intervensi diganti dengan disonde air steril Intervensi diganti dengan disonde air steril
H8 Intervensi diganti dengan disonde air steril Diintervensi EPEC
H9 sampai H12 Intervensi diganti dengan disonde air steril Intervensi diganti dengan disonde air steril
Diintervensi Lactobacillus
Diintervensi Lactobacillus dan EPEC
Diintervensi Lactobacillus
Diintervensi Lactobacillus
Diintervensi Lactobacillus dan EPEC
Diintervensi Lactobacillus
Diintervensi Lactobacillus
Diintervensi Lactobacillus dan EPEC
Diintervensi Lactobacillus
a. Pengambilan dan Persiapan Sampel Feses Tikus Feses tikus diambil secara aseptis langsung dari anus tikus dan ditampung dalam plastik steril. Pengambilan feses dilakukan pada setiap tikus dalam tiap kelompok dan feses disatukan tiap dua ekor tikus untuk feses yang memiliki kriteria yang sama (diare atau normal). Feses kemudian dihomogenasikan dalam larutan garam fisiologis (NaCl 0.85%) dan diencerkan secara bertingkat.
b. Pengambilan dan Persiapan Sampel Sekum dan Kolon (modifikasi Blay et al. 1999; Krause et al. 1995) Sampel sekum dan kolon dari tikus dalam tiap kelompok diambil secara aseptis pada hari ke-13 (saat pengataman H12) dengan cara
29
membedah tikus. Pengambilan sekum dan kolon dilakukan secara terpisah dan masing-masing diletakkan dalam cawan petri steril. Selanjutnya isi sekum dan kolon masing-masing dikeluarkan dengan cara merobek sekum maupun kolon menggunakan gunting steril kemudian mengeluarkan isinya menggunakan sudip steril. Isi sekum dan kolon masing-masing ditimbang. Isi sekum dan kolon tersebut masing-masing kemudian dihomogenasikan dalam larutan garam fisiologis (NaCl 0.85%) dan diencerkan secara bertingkat.
c. Penghitungan Jumlah Laktobasili dan E. coli pada Feses, Sekum, dan Kolon Tikus Pengenceran yang sesuai pada feses, sekum, dan kolon tikus kemudian dipupukkan pada media Rogosa agar untuk menghitung jumlah laktobasili (Harrigan 1998) dan EMBA untuk menghitung jumlah E. coli (Swanson et al. 2002). Untuk dapat membedakan letak sekum dan kolon pada sistem pencernaan tikus dapat dilihat pada Gambar 5. Jumlah laktobasili dan E. coli pada kolon dan sekum pada pengamatan H12 yang kemudian dianalisis dengan program SPSS 13.0 dan uji beda lanjut dengan uji Duncan.
Bagian kolon yang diambil Bagian sekum yang diambil
Gambar 5 Skema saluran perncernaan tikus
30
d. Preparasi Spesimen Kolon Untuk Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) (modifikasi Savage & Blumershine 1974) Satu ekor tikus tiap kelompok dibedah dan diambil bagian kolonnya. Kolon dibersihkan dari isinya dengan cara diambil menggunakan sudip steril kemudian kolon dipotong pendek sekitar 0.5 cm. Selanjutnya potongan kolon tersebut direndam dalam larutan 2% glutaraldehyde dalam buffer phosphate pada pH 7.3 dan suhu 4oC yang kemudian disimpan selama 2 hari (tahap prefiksasi). Tahap ini bertujuan untuk mematikan sel tanpa mengubah struktur sel yang akan diamati. Pada tahap fiksasi, sampel direndam dalam tannic acid 2% selama 6 jam, selanjutnya dicuci dengan cacodylate buffer selama 15 menit sebanyak 4 kali, kemudian dicuci dengan osmium tetraoksida 1% selama 1-4 jam dan dicuci dengan akuades selama 15 menit sebanyak 1 kali. Tahap ini terutama bertujuan untuk memberikan kontras yang lebih baik sehingga lebih mudah untuk diamati. Pada tahap dehidrasi, sampel direndam dengan alkohol konsentrasi bertingkat, yaitu 50% selama 5 menit sebanyak 4 kali, 70% selama 20 menit, 85% selama 20 menit, 95% selama 20 menit, dan alkohol absolut selama 10 menit sebanyak 2 kali. Tahap dehidrasi ini bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam sayatan sehingga tidak mengganggu proses pengamatan. Spesimen kemudian dibekukan dalam freezer sampai beku, selanjutnya dimasukkan freeze dryer sampai kering. Spesimen selanjutnya direkatkan pada stub menggunakan perekat karbon, disepuh dengan emas (metal coating). Pelapisan dengan emas ini bertujuan untuk mempertinggi kontras terhadap sel. Sampel siap diamati dengan SEM. e. Pewarnaan Gram Isolat Bakteri (Hadioetomo 1993) Sebanyak 1 lup penuh air steril diletakkan pada kaca obyek, kemudian dengan jarum ose steril dipindahkan sedikit isolat ke atasnya, selanjutnya dicampurkan dan disebarkan hingga rata dan dibiarkan olesan mengering oleh udara. Kaca obyek dilalukan di atas api Bunsen, di mana kaca obyek harus terasa agak panas bila ditempelkan pada
31
punggung tangan, atau sekali-kali dikering anginkan di udara hingga terbentuk lapisan kultur yang tipis dan merata. Pewarnaan Gram dimulai dengan meneteskan pewarna primer (kristal violet) secara merata di atas kultur pada kaca obyek, dan dibiarkan selama 1 menit. Kemudian kaca obyek dimiringkan untuk membuang kelebihan kristal violet, lalu dibilas dengan air dari botol pijit, dan sisa air diserap dengan menggunakan kertas serap. Olesan ditetesi dengan lugol selama 2 menit, kemudian dimiringkan seperti di atas dan kemudian dibilas dengan air, sisa warna yang masih ada dihilangkan dengan pemucat warna etanol 95%, tetes demi tetes selama 10-20 detik sampai zat warna kristal tidak terlihat lagi mengalir dari kaca obyek. Selanjutnya dicuci kembali dengan air dari botol pijit, lalu ditiriskan dan ditetesi dengan larutan safranin selama 10-20 detik. Kaca obyek kemudian dimiringkan dan kembali dibilas dengan air dari botol pijit, ditiriskan dan sisa air yang masih ada diserap dengan kertas serap. Preparat siap untuk diperiksa dengan mikroskop. Pemeriksaan
dengan
mikroskop
dilakukan
dengan
menggunakan lensa obyektif minyak imersi (1000x), dimulai dari perbesaran yang terendah dan berangsur-angsur diganti dengan yang tinggi.
Pengamatan
dilakukan
terhadap
ukuran,
bentuk,
cara
pengelompokan (tunggal, berpasangan, rantai, bergerombol, dan sebagainya). Reaksi Gram positif ditandai dengan warna sel ungu atau biru dan Gram negatif berwarna merah muda.
32
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengujian
Aktivitas
Antibakteri
Lactobacillus
terhadap
E.
coli
Enteropatogenik (EPEC K1.1) Pada pengujian pertama, yaitu kontak antara isolat Lactobacillus 106 cfu/ml dengan EPEC K1.1 105 cfu/ml, dari 19 isolat Lactobacillus yang diujikan hanya terdapat 5 isolat Lactobacillus yang dapat menurunkan jumlah E. coli > 2 log cfu/ml, yaitu isolat L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25, sedangkan untuk isolat L. rahmnosus R12, L. rhamnosus R26, dan L. rhamnosus B10 jumlah E. coli meningkat hingga lebih dari 105 cfu/ml yaitu meningkat sekitar 1 log cfu/ml. Jika dibandingkan dengan kontrol EPEC dimana isolat EPEC K1.1 ditumbuhkan dalam susu skim 10% tanpa penambahan isolat Lactobacillus, ketiga isolat Lactobacillus tersebut cukup dapat menghambat pertumbuhan E. coli, karena pada kontrol EPEC peningkatan pertumbuhannya hingga sebesar 3,01 log cfu/ml. Untuk 11 isolat Lactobacillus lainnya dapat menghambat pertumbuhan EPEC K1.1, tetapi tidak lebih dari 2 log cfu/ml. Hasil pengujian pertama aktivitas antibakteri Lactobacillus terhadap EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 19 isolat Lactobacillus 106 cfu/ml
33
Kelima isolat Lactobacillus yang dapat menurunkan jumlah E. coli sebesar > 2 log cfu/ml dengan konsentrasi Lactobacillus sebesar 106 cfu/ml, yaitu L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25 diujikan kembali dengan EPEC 105 cfu/ml tetapi dengan konsentrasi Lactobacillus sebesar 108 cfu/ml. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Lactobacillus dengan konsentrasi 108 cfu/ml terhadap EPEC K1.1. Konsentrasi Lactobacillus yang tinggi ini digunakan dengan pertimbangan bahwa akan terjadi penurunan sejumlah Lactobacillus di dalam saluran pencernaan karena adanya kondisi keasaman lambung dan garam empedu. Berdasarkan penelitian Nuraida et al. (2007) menyatakan bahwa 19 isolat Lactobacillus yang digunakan dalam pengujian tersebut seluruhnya mengalami total penurunan oleh asam lambung dan garam empedu sebesar < 3 log cfu/ml dengan pengujian secara in vitro. Dengan pertimbangan tersebut, diharapkan kelima isolat Lactobacillus (L. rhamnosus B16, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R23, dan isolat R25) dengan 108 cfu/ml maka akan masih terdapat sisa Lactobacillus yang bertahan kurang lebih 105-106 cfu/ml yang masih dapat menurunkan EPEC K1.1 sebesar > 2 log cfu/ml. Hasil pengujian tahap kedua antara kelima isolat Lactobacillus konsentrasi 108 cfu/ml dengan EPEC K1.1 dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Penurunan jumlah EPEC K1.1 oleh 5 isolat Lactobacillus 108 cfu/ml
Dari hasil pengujian dengan menggunakan jumlah Lactobacillus kontak yang lebih besar (108 cfu/ml) terdapat tiga isolat dengan nilai penghambatan
34
tertinggi terhadap EPEC K1.1, yaitu isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Ketiga isolat tersebut dapat menghasilkan penghambatan terhadap EPEC K1.1 sekitar 3 log cfu/ml. Berdasarkan hasil tersebut diatas maka dipilih 3 isolat Lactobacillus yang akan digunakan dalam pengkajian aktivitas antidiare secara preventif menggunakan hewan percobaan, yaitu L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Hasil tersebut juga berkorelasi dengan hasil penelitian Nuraida et al. (2007) yang menyatakan bahwa ketiga isolat BAL tersebut memiliki daya penghambatan yang cukup baik terhadap E. coli dengan menggunakan metode difusi agar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat L. rhamnosus R14 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 2,8 mm, L. rhamnosus R23 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 3,6 mm, dan L. rhamnosus B16 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 4,1 mm. Efektifitas penghambatan terhadap mikroba tertentu dapat bersifat menginaktifkan, merusak, atau menghancurkan sel yang berlanjut ke arah kematian. Menurut Pelczar dan Chan (1986), senyawa antimikroba dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk, dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran nutrisi dari dalam sel. Dengan rusaknya membran sitoplasma akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel. Ada beberapa senyawa yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang bersifat antimikroba, diantaranya adalah asam-asam organik, hidrogen peroksida, dan senyawa protein atau kompleks spesifik yang disebut bakteriosin (Ouwehand & Vesterland 2004). Dalam penelitian ini tidak diidentifikasi jenis senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh galur-galur Lactobacillus yang digunakan, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa BAL menghasilkan beberapa senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroba. Asam laktat dan asam asetat adalah salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh BAL. Akan tetapi, BAL yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan Lactobacillus homofermentatif, dimana BAL homofermentatif ini memecah gula terutama
35
menjadi asam laktat sehingga dapat diprediksikan bahwa asam yang dihasilkan oleh Lactobacillus homofermentatif dan diduga memiliki kemampuan sebagai antimikroba adalah asam laktat. Bakteri asam laktat memproduksi asam organik (asam laktat, asam format, dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida, karbondioksida, dan bakteriosin yang berpotensi untuk menghambat beberapa mikroorganisme lain (Davidson & Hoover 1993). Sebagian besar bakteri asam laktat telah dilaporkan dapat menginaktivasi bakteri patogen serta menghambat pertumbuhan kapang dan beberapa substansi antibakteri telah berhasil diisolasi (Gourama & Bullerman 1995). Asam akan menyebabkan penurunan pH di bawah kisaran pH pertumbuhan bakteri, di mana asam-asam ini dalam bentuk tidak terdisosiasi yang dapat berdifusi secara pesat ke dalam sel mikroba. Menurut Ostling dan Lindgren (1990) asam tidak terdisosiasi akan terurai menjadi anion dan proton, di mana proton (H+) akan masuk ke dalam sel, akibatnya fungsi metabolisme akan terganggu seperti terjadinya pengasaman sitoplasma, penghambatan transfer substrat, sintesis makromolekul, yang secara keseluruhan pertumbuhan bakteri akan dihambat. Salah satu senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL adalah bakteriosin yang merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan pada fase stasioner yaitu rata-rata setelah 24 jam inkubasi. Bakteriosin berperan lebih baik apabila bakteri asam laktat terus-menerus dikonsumsi sehingga mampu melekat pada sel epitelial dan mengkoloni di permukaan usus. Perjalanan makanan maupun bakteri hanya membutuhkan waktu kira-kira 12 jam dari mulut ke rektum, sehingga konsumsi bakteri probiotik harus dilakukan secara rutin setiap hari (Surono 2004). Beberapa jenis bakteriosin yang dihasilkan oleh spesies laktobasili, yaitu L.acidophilus menghasilkan lactatin (Barefoot & Klaenhammer 1983; Muriana & Klaenhammer 1991), L.plantarum menghasilkan plantaricin (Franz et al. 1998), dan L.sake menghasilkan sakacin (Schillinger & Lucke 1989). Menurut Dover et al. (2007), menyatakan bahwa bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus rhamnosus adalah lactocin.
36
B. Penentuan Dosis E. coli Patogenik yang Menyebabkan Tikus Diare Pada uji dosis E. coli enteropatogenik yang menyebabkan diare ini dilakukan pemberian inokulum EPEC K1.1 pada beberapa tingkat dosis sehingga tikus menjadi diare. Kriteria diare tikus dibagi menjadi lima golongan, yaitu: N
= feses normal (berbentuk bulat atau lonjong, berwarna hitam, menggelinding, dan keras)
TD (1) = tanda diare skor 1 (feses berbentuk bulat atau lonjong, berwarna hitam, menggelinding, agak lembek) TD (2) = tanda diare skor 2 (feses berbentuk bulat atau lonjong, berwarna hitam, tidak menggelinding, lembek) TD (3) = tanda diare skor 3 (feses tidak berbentuk bulat maupun lonjong, berwarna agak kecoklatan, sangat lembek, hingga muncul lendir) TD (4) = tanda diare skor 4 (feses cair tidak berbentuk, berwarna coklat, hingga muncul lendir) Kondisi feses yang dinyatakan diare adalah golongan TD (3) dan TD (4), sedangkan TD (1) dan TD (2) masih dinyatakan feses normal. Gambar golongan kondisi feses dapat dilihat sebagai berikut:
N
TD (1)
TD (2)
TD (3)
TD (4)
Gambar 8 Penggolongan feses berdasarkan kondisi fisik
Hasil uji dosis EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan diare tanpa menimbulkan kematian dapat dilihat pada Tabel 4 dan Lampiran 3. Pada kelompok tikus yang hanya diberikan larutan fisiologis tanpa intervensi EPEC tidak mengalami diare sama sekali. Pada dosis EPEC K1.1 sebesar 108 cfu dapat menimbulkan diare (tanda diare 3) terhadap empat ekor tikus dari lima ekor tikus anggota pada hari pertama setelah intervensi. Sedangkan pada hari kedua setelah
37
intervensi, hanya terdapat dua ekor tikus yang mengalami diare (tanda diare 3). Salah satu tikus yang diare pada H2 merupakan tikus yang mengalami diare pada H1, hal ini menunjukkan bahwa tikus tersebut belum juga pulih dari efek diare EPEC. Sedangkan satu ekor tikus lagi merupakan tikus yang pada H1 tidak mengalami diare. Hal ini menunjukkan bahwa tikus tersebut memiliki sistem imunitas tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan tikus lainnya pada kelompok yang sama, sehingga efek timbulnya diare mengalami penundaan sebagai tanda bahwa EPEC K1.1 membutuhkan waktu yang lama untuk menyebabkan lesi pada sel epitel usus. Selain itu juga dapat disebabkan oleh tingginya jumlah bakteri baik dalam usus sehingga menghalangi intervensi dari EPEC. Pada H3, H4, dan H5 kelima tikus pada kelompok tersebut telah pulih dari efek diare.
Tabel 4 Hasil uji dosis EPEC K1.1 yang menyebabkan tikus diare Dosis EPEC K1.1 per hari Kontrol 108 cfu 107cfu 106 cfu
Jumlah tikus diare/jumlah seluruh tikus setelah pemberian EPEC K1.1 selama: 1 Hari 2 hari 3 Hari 4 Hari 5 hari 0/5 0/5 0/5 0/5 0/5 4/5 2/5 0/5 0/5 0/5 2/5 0/5 1/5 0/5 2/5 0/5 1/5 3/5 2/5 1/5
Pada kelompok tikus yang diintervensi dengan EPEC K1.1 dengan dosis 107 cfu tampak terdapat dua ekor tikus dari lima ekor tikus yang mengalami diare, dimana tikus C2 mengalami tanda diare 3, sedangkan tikus C5 mengalami tanda diare 4. Akan tetapi, pada H2 kedua tikus tersebut telah sembuh dari diare. Sedangkan pada H3 terdapat satu ekor tikus yang mengalami diare, yaitu tikus C4 dengan tanda diare 4 dan pada H4 tikus tersebut juga telah pulih dari diare. Pada H5 terdapat dua ekor tikus yang mengalami diare, yaitu tikus C1 dengan tanda diare 3 dan tikus C3 dengan tanda diare 3 yang dilapisi dengan lendir. Lambatnya efek EPEC K1.1 terhadap munculnya diare pada tikus dapat disebabkan karena jumlah EPEC yang lebih rendah sehingga kemampuan EPEC untuk menyebabkan lesi pada sel epitel usus lebih lambat. Pada kelompok tikus yang diintervensi dengan EPEC K1.1 dosis 106 cfu tidak ada satupun tikus yang mengalami diare pada H1, tetapi pada H2 terdapat
38
satu ekor tikus yang mengalami diare, yaitu tikus D3 yang mengalami tanda diare 3 dan pada H3 tikus tersebut telah pulih dari diare. Akan tetapi, pada H3 tersebut terdapat tiga ekor tikus yang mengalami diare, yaitu tikus D2 dengan tanda diare 4, tikus D4 dengan tanda diare 4, dan tikus D5 dengan tanda diare 3. Pada H4, tikus D2 dan D4 belum pulih dari diare meskipun gejala diare telah berkurang menjadi tanda diare 3, sedangkan tikus D3 telah pulih dari diare. Pada H5, tikus D2 belum juga pulih dari diare, sedangkan tikus D4 dan D5 telah pulih dari diare. Seperti halnya pada kelompok sebelumnya, pada kelompok ini efek timbulnya diare juga lebih lambat dibandingkan dengan kelompok tikus yang diintervensi dengan EPEC K1.1 dengan dosis 108 cfu. Hal ini bertentangan dengan penelitian Bhunia dan Wampler (2005) yang menyatakan bahwa pemberian EPEC dengan dosis 106 cfu/ml menunjukkan difusi adhesi sebagian pada sel epitelial usus dan menunjukkan A/E lession dalam 24 jam. Pada penelitian ini efek tercepat yang menimbulkan diare pada tikus adalah dosis EPEC sebesar 108 cfu. Hal ini disebabkan karena tikus yang digunakan pada penelitian ini bukanlah kelompok gnotobiotik, yaitu kelompok hewan percobaan yang tubuhnya tidak mengandung organisme atau mikroorganisme (germ free) dan hewan percobaan yang tubuhnya mengandung satu atau lebih organisme yang diketahui spesiesnya (Malole & Pramono 1989). Akan tetapi, tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan kelompok konvensional yang dipelihara dengan cara aseptis untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme lain, sehingga kemungkinan di dalam saluran pencernaan tikus sudah pernah terinfeksi EPEC dan memicu sistem imun spesifik. Sebelumnya diduga akan terjadi penurunan berat badan tikus percobaan selama diare, akan tetapi selama uji coba dosis EPEC K1.1 diketahui bahwa berat badan tikus masih meningkat selama pengujian. Diare yang dialami tikus memang tidak mengakibatkan tikus kekurangan cairan terlalu banyak, feses tikus yang diare tidak sampai menjadi cair, tetapi hanya lembek, berukuran lebih besar, dan berwarna lebih pucat. Grafik pertambahan berat badan tikus selama pengujian dapat dilihat pada Gambar 9. Kebanyakan pasien diare yang disebabkan oleh infeksi EPEC mengalami gejala ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Lamanya
39
penyakit ini rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih (Zein et al. 2004).
Gambar 9 Pertambahan berat badan tikus selama pengujian dosis EPEC K1.1 yang menyebabkan tikus diare
Akan tetapi, efek diare oleh EPEC K1.1 pada pengujian dosis ini sedikit menurunkan tingkat konsumsi ransum tikus meski tidak terlalu signifikan (cenderung stabil) (Gambar 10). Berkurangnya tingkat konsumsi ransum tikus dapat disebabkan oleh timbulnya stress pada tikus ketika dilakukan penyondean isolat EPEC K1.1. Akan tetapi, hal ini tidak berpengaruh terhadap berat badan tikus (berat badan tikus tetap meningkat). Dilihat dari tingkat keparahan diare yang ditimbulkan dan waktu yang diperlukan untuk munculnya gejala diare tersebut maka disimpulkan bahwa dosis EPEC K1.1 yang dapat menimbulkan diare tanpa menimbulkan kematian adalah EPEC K1.1 dengan dosis 108 cfu. Sehingga dosis ini digunakan dalam pengujian aktivitas antidiare dengan menggunakan tikus percobaan.
40
Gambar 10 Jumlah ransum yang dikonsumsi tikus selama pengujian dosis EPEC K1.1 yang menyebabkan diare C. Pengujian Aktivitas Antidiare Isolat Lactobacillus Asal ASI 1. Pengaruh Intervensi Isolat Lactobacillus terhadap Kejadian Diare Akibat Infeksi EPEC K1.1 Pengaruh intervensi isolat Lactobacillus terhadap kejadian diare akibat infeksi EPEC K1.1 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 4. Dari hasil pengujian pengaruh intervensi isolat Lactobacillus terhadap kejadian diare akibat infeksi EPEC K1.1 diperoleh bahwa pada kelompok tikus yang hanya diberikan larutan fisiologis (kontrol negatif) tidak terdapat satu ekor tikus pun yang mengalami diare, kondisi feses kelompok ini normal selama masa pengujian, sedangkan pada kelompok yang hanya diintervensi dengan EPEC K1.1 pada H8 tanpa diintervensi Lactobacillus (kelompok kontrol EPEC) terdapat tiga ekor tikus dari enam ekor tikus anggota mengalami diare pada H1 setelah intervensi EPEC (tikus B4, B5, dan B7). Gejala diare yang terjadi pada ketiga tikus adalah tanda diare 3, dimana feses tidak berbentuk bulat maupun lonjong, berwarna agak kecoklatan, sangat lembek, hingga muncul lendir. Akan tetapi, pada H2 tikus B4 dan B5 telah pulih dari diare sedangkan tikus B7 masih mengalami diare dengan gejala tanda diare 3.
41
Tabel 5 Pengaruh intervensi isolat Lactobacillus terhadap kejadian diare akibat infeksi EPEC K1.1 Kelompok Tikus Kontrol negatif Kontrol EPEC R14 R23 B16
H0 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6
Jumlah tikus diare/jumlah seluruh tikus Perlakuan Lactobacillus H1 H3 H7 H8 H9 H10 H11 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 3/6(a) 1/6(a) 0/6 0/6 (b) 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 1/6 2/6(b) 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6 2/6(b) 0/6 0/6 0/6 Intervensi EPEC K1.1
Keterangan : (a) = menunjukkan tanda diare 3 (b) = menunjukkan tanda diare 2 Tiga ekor tikus lain yang tidak mengalami diare pada kelompok kontrol EPEC kemungkinan telah memiliki sistem imun yang baik untuk menangkal serangan EPEC. Sistem imun merupakan semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja 2002). Sistem imun terbagi menjadi dua, yaitu sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme dan tidak berubah oleh infeksi. Sel yang penting adalah fagosit dan sel NK (natural killer), sedangkan molekul yang penting pada sistem imun non spesifik adalah lisozim, komplemen, protein fase akut, dan interferon. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel imun tersebut. Bila sel sistem imun yang sudah tersensitasi tersebut terpapar kembali dengan benda asing yang sama maka benda asing yang terakhir akan dikenal lebih cepat kemudian dihancurkan. Sel yang penting pada sistem imun ini adalah limfosit T dan B, sedangkan molekul yang penting adalah antibodi, sitokin, dan mediator. Sistem imun spesifik inilah yang kemungkian terjadi pada tikus lain yang
H12 0/6 0/6 0/6 0/6 0/6
42
tidak mengalami diare, kemungkinan tikus-tikus tersebut telah terpapar oleh EPEC sebelumnya dalam jumlah yang cukup tinggi mengingat tikus yang digunakan bukanlah tikus germ free,
ditandai dengan rata-rata
jumlah awal E. coli pada awal pengujian yang sangat tinggi, dan memungkinkan tikus-tikus tersebut telah memiliki sistem pertahanan yang sangat kuat. Pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 pada H8 dan telah diintervensi isolat Lactobacillus rhamnosus B16 terdapat dua ekor tikus yang mengalami sedikit gejala diare, yaitu tanda diare 2 (masih tergolong feses normal) pada H1 setelah intervensi EPEC. Hal ini menunjukkan bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus B16 cukup dapat mencegah terjadinya diare akibat EPEC K1.1 karena efek diare yang ditimbulkan lebih ringan dibandingkan dengan kelompok tikus yang tidak diintervensi Lactobacillus terlebih dahulu. Hal ini juga terjadi pada kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 dan telah diintervensi dengan isolat Lactobacillus rhamnosus R14 terlebih dahulu. Satu ekor tikus mengalami gejala diare 2 pada H3 setelah intervensi EPEC dan dua ekor tikus mengalami gejala diare 2 pada H4 setelah intervensi EPEC. Gejala diare 2 tersebut segera sembuh setelah satu hari. Hal ini juga menunjukkan bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus R14 cukup dapat mencegah efek diare menjadi lebih ringan dan memperlambat munculnya gejala diare tersebut. Melalui pengujian tersebut juga diperoleh hasil bahwa kelompok tikus yang diintervensi EPEC K1.1 dan telah diintervensi isolat Lactobacillus rhamnosus R23 sebelum dan sesudahnya tidak ada satu ekor tikus pun yang mengalami diare. Hal ini menunjukkan bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus R23 dapat mencegah terjadinya diare secara sempurna. Berdasarkan hasil penelitian Budiarti dan Mubarik (2007), EPEC K1.1 dapat menghasilkan enzim protease ekstraseluler yang dapat mendegradasi mucin sehingga dapat melekat pada sel epitel usus dan menimbulkan diare pada inang. EPEC adalah salah satu dari kelas patogen
43
yang dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan kerusakan pada mikrovili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel mukosa duodenum dan proximal jejunum, selanjutnya menimbulkan kerusakan pada epitel jejunal melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002). Selain itu, bakteri ini juga melekat dan berkolonisasi pada kolon/usus besar bagian ascending dan transverse (Jay 2000). Jumlah tikus yang diare dan tingkat keparahan pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus lebih sedikit daripada jumlah tikus yang diare pada kelompok kontrol EPEC K1.1, hal tersebut menunjukan bahwa terdapat indikasi manfaat pencegahan diare akibat infeksi EPEC K1.1 oleh konsumsi isolat Lactobacillus. 2. Pengaruh Pemberian Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Berat Badan dan Konsumsi Ransum Tikus Selama masa pengujian aktivitas antidiare berat badan tikus terus meningkat dan tidak terjadi penurunan berat badan walaupun sudah diinfeksi dengan EPEC K1.1. Dilihat dari penampakan feses, diare yang ditimbulkan memang tidak mengakibatkan tikus banyak kekurangan cairan, sehingga berat badan tikus masih relatif stabil bahkan meningkat. Begitu pula dengan tingkat konsumsi ransum yang masih cenderung stabil selama pengujian berlangsung. Grafik pertambahan berat badan tikus dan tingkat konsumsi ransum selama pengujian dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.
44
Gambar 11 Pertambahan berat badan tikus selama pengujian aktivitas antidiare
Gambar 12 Jumlah ransum yang dikonsumsi tikus selama pengujian aktivitas antidiare 3. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah E. coli pada Feses Tikus Hasil yang diperoleh pada pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli dalam feses tikus dapat dilihat pada Gambar 13. Pada kelompok kontrol negatif dimana selama pengujian seluruh tikus hanya diberikan larutan fisiologis, mengalami kenaikan dan penurunan jumlah E. coli secara wajar (cenderung stabil). Pada kelompok kontrol EPEC dimana tikus kelompok
45
tersebut diintervensi dengan EPEC K1.1 tanpa intervensi isolat Lactobacillus menunjukkan kenaikan jumlah E. coli yang sangat drastis terutama sehari setelah intervensi EPEC (pengamatan H8), sedangkan pada hari-hari selanjutnya hingga akhir masa pengujian jumlah E. coli mengalami penurunan sedikit demi sedikit. Hal ini berkorelasi dengan jumlah tikus yang mengalami diare pada pengamatan H8 yang berjumlah 3 ekor tikus yang menunjukkan bahwa EPEC telah dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus sehingga terjadi diare pada ketiga tikus tersebut.
Intervensi EPEC K1.1
Gambar 13 Perubahan jumlah E. coli pada feses tikus pada kelompok kontrol negatif, kontrol EPEC, perlakuan isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16.
Pada kelompok perlakuan isolat L. rhamnosus R14 tampak menunjukkan sedikit kenaikan jumlah E. coli sehari setelah intervensi EPEC, tetapi kemudian menurun dengan drastis pada pengamatan H10. Hal ini berkorelasi dengan tidak adanya tikus yang mengalami diare pada pengamatan H8 meskipun pada pada H10 dan H11 terdapat beberapa ekor tikus yang mengalami diare, tetapi hal ini telah menunjukkan bahwa L. rhamnosus R14 cukup dapat mencegah diare pada tikus. Pada kelompok perlakuan isolat L. rhamnosus R23 tampak menunjukkan sedikit
46
penurunan jumlah E. coli sehari setelah intervensi EPEC (pengamatan H8) dan terus mengalami penurunan secara perlahan hingga akhir periode perlakuan. Hal ini berkorelasi dengan tidak adanya tikus yang mengalami diare selama periode perlakuan yang menunjukkan bahwa L. rhamnosus R23 sangat baik dalam mencegah diare pada tikus. Pada kelompok perlakuan isolat L. rhamnosus B16 tampak menunjukkan sedikit kenaikan jumlah E. coli sehari setelah intervensi EPEC (pengamatan H8), tetapi kemudian mengalami penurunan pada pengamatan H11 hingga akhir periode perlakuan. Hal ini berkorelasi dengan adanya dua ekor tikus yang mengalami diare pada H8 tetapi diare yang terjadi tidak parah, sehingga dapat dikatakan bahwa L. rhamnosus B16 cukup dapat mencegah diare pada tikus. Bernet et al. (1994) menyatakan bahwa L. acidophilus LA 1 menghambat asosiasi sel dan masuknya sel enteropatogen penyebab diare. Hal ini dapat terjadi melalui (1) non-spesific steric hindrance reseptor enterosit apical dari patogen oleh seluruh sel Lactobacillus, (2) aksi antimikroba dari molekul yang disekresikan Lactobacillus dengan spektrum yang luas (seperti bakteriosin), (3) stimulasi sekresi suatu substansi antimikroba oleh sel usus (seperti defensin), setelah sel Lactobacillus terikat. 4. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah Lactobacillus pada Feses Tikus Jumlah Lactobacillus dalam feses tikus kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol EPEC K1.1 bervariasi selama masa pengujian. Grafik jumlah Lactobacillus pada feses tikus selama pengujian manfaat pencegahan diare oleh isolat Lactobacillus dapat dilihat pada Gambar 14.
Pada kelompok kontrol negatif jumlah Lactobacillus cenderung stabil pada kisaran 8,16-8,89 log cfu/g. Pada kelompok kontrol EPEC tampak terjadi penurunan jumlah Lactobacillus yang sangat drastis pada pengamatan H8 dan H9 meskipun kemudian mengalami kenaikan kembali hingga akhir periode perngujian. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian EPEC 108 cfu pada tikus dapat menyebabkan terjadinya gangguan
47
keseimbangan mikrobiota usus ditandai dengan penuruan jumlah Lactobacillus karena terjadinya kompetisi dalam kolonisasi sel epitelial usus
Intervensi EPEC K1.1
Gambar 14
Perubahan jumlah Lactobacillus pada feses tikus pada kelompok kontrol negatif, kontrol EPEC, perlakuan isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16.
Pada kelompok tikus perlakuan L.rhamnosus R14 tampak jumlah Lactobacillus yang cenderung stabil selama periode pengujian. Pada kelompok tikus perlakuan L. rhamnosus R23 tampak kenaikan jumlah Lactobacillus pada pengamatan H9 dan selanjutnya cenderung stabil hingga akhir periode pengujian. Pada kelompok tikus perlakuan L. rhamnosus B16 menunjukkan jumlah Lactobacillus yang cenderung stabil selama periode pengujian. Hasil tersebut diatas menunjukan adanya pengaruh perlakuan isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16 terhadap jumlah Lactobacillus dalam feses tikus. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga isolat Lactobacillus tersebut dapat bertahan dalam kondisi ekstrim saluran pencernaan tikus, sehingga cukup mampu menurunkan jumlah E. coli dalam feses tikus dan mampu mencegah terjadinya diare. De Roos dan Katan (2000) menyebutkan
48
bahwa probiotik dapat mencegah diare karena menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan memproduksi bakteriosin atau dapat berkompetisi dengan patogen untuk berikatan dengan sel epitel, serta pengaruhnya terhadap sistem imun. Hasil tersebut diatas menunjukan adanya pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, dan Lactobacillus rhamnosus B16 terhadap kandungan Lactobacillus dalam feses
tikus.
Lactobacillus
Hal
tersebut
mengindikasikan
bahwa
ketiga
isolat
tersebut dapat bertahan dalam saluran pencernaan tikus
sehingga meningkatkan jumlah isolat Lactobacillus dalam feses tikus. Daya tahan hidup setelah melalui saluran pencernaan merupakan syarat mikroorganisme untuk dapat memberikan manfaat kesehatan setelah dikonsumsi. Stres yang pertama terjadi pada sel bakteri yang memasuki saluran pencernaan adalah terpapar pada asam lambung (Drouault et al. 1999; Chou & Weimer 1999). Dengan demikian, bakteri yang berpotensi sebagai probiotik harus tahan terhadap pH rendah pada lambung di samping ketahanannya juga terhadap garam empedu pada usus duabelas jari. 5. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah Lactobacillus pada Sekum, Kolon, dan Feses Tikus pada akhir Masa Pengujian Selain pada feses, pengamatan terhadap mikrobiota usus pada penelitian ini juga dilakukan pada bagian sekum dan kolon. Sekum merupakan bagian proksimal usus besar. Pada hewan non-ruminansia seperti tikus, proses fermentasi oleh mikrobiota sebagian besar terjadi di bagian sekum (Blay et al. 1999). Usus besar (kolon) merupakan bagian yang mempunyai fungsi biologis yang penting, yaitu untuk absorpsi dan sekresi air, elektrolit, serta bahan-bahan sisa pencernaan. Saat ini perhatian banyak ditujukan pada fungsi-fungsi usus besar (kolon) yang berkaitan dengan
nutrisi dan
kesehatan, terutama yang berhubungan dengan kehidupan mikrobiota di dalamnya (Gibson 2000).
49
Pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum dan kolon dapat diketahui melalui penghitungan jumlah Lactobacillus dari isi sekum dan kolon tikus yang diambil pada H13 setelah intervensi EPEC K1.1 (pada akhir masa perlakuan). Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum dan kolon dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum, kolon, dan feses tikus pada H12 Jumlah Lactobacillus (log cfu/g)
Kelompok tikus
Sekum
Kolon
Feses
Kontrol negatif
8,62
8,56
8,16
Kontrol EPEC
8,65
8,30
8,34
R14
8,43
8,16
8,90
R23
8,40
8,49
8,67
B16
8,64
8,34
8,31
Dari hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum dan kolon tikus tampak bahwa jumlah Lactobacillus pada sekum tikus hampir sama dengan jumlah Lactobacillus pada kolon tikus (perbedaan tidak signifikan), begitu pula dengan jumlah Lactobacillus dalam feses tikus pada H12 (akhir masa pengujian berlangsung). Hal ini juga dikuatkan dengan
hasil
analisis
ragam
yang menunjukkan
bahwa
jumlah
Lactobacillus dalam sekum, kolon, dan feses tikus masing-masing tidak berbeda nyata (P>0.05) (Lampiran 8). Jumlah Lactobacillus dalam sekum, kolon, dan feses baik antara kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan isolat Lactobacillus juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, meskipun sebagian besar kelompok memiliki jumlah Lactobacillus yang lebih tinggi di dalam
50
sekum dibandingkan di dalam kolon dan feses. Hal ini juga diperkuat dengan analisis ragam yang menunjukkan bahwa perlakuan L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16 masing-masing tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah Lactobacillus pada sekum (P>0.05) (Lampiran 5). Demikian pula dengan jumlah Lactobacillus pada kolon tikus yang menunjukkan bahwa jumlah Lactobacillus pada kolon hampir sama untuk semua perlakuan. Hal ini juga diperkuat dengan analisis ragam yang menunjukkan bahwa kelompok perlakuan L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16 masing-masing tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah Lactobacillus pada kolon (P>0.05) (Lampiran 6). Jumlah Lactobacillus dalam feses tikus untuk perlakuan L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16 masing-masing juga tidak berpengaruh nyata (P>0.05) (Lampiran 7). Lebih tingginya jumlah Lactobacillus dalam sekum dibandingkan dalam kolon dan feses pada sebagian besar kelompok tikus dapat disebabkan oleh adanya kolonisasi bakteri lain dalam kolon yang cenderung sangat tinggi jumlahnya. Jumlah bakteri di dalam kolon dapat mencapai 106-107 cfu/g dan didominasi oleh Enterococcus dan Bacteroides (Salminen & Wright 1998). Lima kelompok utama bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan
manusia
normal
adalah
Lactobacillus,
Enterococcus,
Bacteriodes, Enterobacteriaceae, serta kelompok bakteri Gram positif yang anaerob dan tidak berspora.
Pada bagian jejunum kelima kelompok
tersebut memiliki jumlah yang relatif sama sekitar 102-103 cfu/g. Jumlah bakteri pada bagian jejunum relatif rendah karena lokasinya paling dekat dengan sekresi garam empedu. Pada bagian
ileum mulai terjadi
pertumbuhan bakteri. Jumlah bakteri di dalam ileum sekitar 102 cfu/g (kelompok
Gram
positif)
sampai
105
cfu/g
(Lactobasillus
dan
Enterococcus) (Salminen & Wright 1998). Meskipun secara umum perlakuan isolat Lactobacillus tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah Lactobacillus baik pada sekum, kolon, dan feses tetapi jumlah Lactobacillus dalam sekum, kolon, dan feses masih
51
cenderung tinggi. Masih tingginya jumlah Lactobacillus dalam sekum kelompok tikus perlakuan Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, dan Lactobacillus rhamnosus B16 pada hari ke-5 setelah intervensi EPEC K1.1 menunjukkan bahwa ketiga isolat masih dapat survive di dalam sekum meskipun telah melewati rintangan kondisi asam lambung dan garam empedu dalam usus. Diantara ketiga isolat Lactobacillus, isolat Lactobacillus rhamnosus B16 memiliki kemampuan paling baik bertahan di dalam sekum dibandingkan ketiga isolat Lactobacillus lainnya. Berdasarkan hasil penelitian Nuraida et al. (2007) isolat probiotik asal ASI yang digunakan dalam penelitian ini tahan terhadap pH 2 selama 5 jam dan tahan terhadap garam empedu 0.5% selama 5 jam. Toleransi bakteri asam laktat yang cukup tinggi terhadap asam biasanya juga disebabkan karena bakteri tersebut mampu mempertahankan pH sitoplasma lebih alkali daripada pH ekstraseluler (Hutkins & Nannen, 1993). Untuk mempertahankan pH sitoplasma supaya lebih basa sel harus mempunyai barier terhadap aliran proton. Barier ini umumnya adalah membran sitoplasma. Perbedaan kerentanan membran sitoplasma terhadap kondisi asam menentukan toleransi bakteri tersebut pada pH rendah. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Bagi BAL gradien proton yang besar tidak menguntungkan sebab translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Menurut Smet et al. (1995) beberapa Lactobacillus mempunyai enzim dengan aktivitas untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase). Enzim ini mampu mengubah kemampuan fisika-kimia yang dimiliki oleh garam empedu, sehingga tidak bersifat racun bagi Lactobacillus. Hal inilah yang dimungkinkan menjadi penyebab beberapa isolat Lactobacillus tahan terhadap keberadaan garam empedu.
52
6. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Jumlah E.coli pada Sekum, Kolon, dan Feses Tikus pada Akhir Masa Pengujian Pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum dan kolon dapat diketahui melalui penghitungan jumlah Lactobacillus dari isi sekum dan kolon tikus yang diambil pada hari ke-5 setelah intervensi EPEC K1.1 (pada akhir masa perlakuan). Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum dan kolon dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum, kolon, dan feses tikus pada H12 Jumlah E. coli (log cfu/g)
Kelompok tikus
Sekum
Kolon
Feses
Kontrol negatif
7,94
7,64
7,90
Kontrol EPEC
7,63
7,72
7,78
R14
7,82
7,45
7,35
R23
7,82
7,67
7,12
B16
7,31
7,52
7,07
Dari hasil pengujian pengaruh perlakuan isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap jumlah E. coli pada sekum dapat terlihat bahwa jumlah E. coli pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti bahwa ketiga isolat Lactobacillus dapat menurunkan jumlah E. coli dalam sekum. Akan tetapi, pada kelompok kontrol EPEC justru menunjukkan jumlah E. coli yang agak rendah dalam sekum. Hal ini menunjukkan bahwa E. coli tidak cukup survive dalam sekum karena letak sekum yang sangat dekat dengan bagian atas saluran usus dimana empedu diseksresikan ke dalam usus. Cairan empedu merupakan campuran dari
53
asam empedu, kolesterol, asam lemak, fosfolipid, pigmen empedu, dan sejumlah xenobiotik terdetoksifikasi. Sekresi pankreas juga mengandung serangkaian enzim pencernaan, dimana enzim yang bersifat lipolitik diaktifkan oleh empedu. Kombinasi tersebut bersifat bakterisidal bagi mikroorganisme komensal dalam tubuh manusia kecuali bagi beberapa genus penghuni usus yang tahan terhadap empedu (Hill 1995). Kerentanan EPEC terhadap empedu dapat disebabkan karena mengalami kebocoran materi intraseluler yang sangat besar sehingga menyebabkan kematian. Empedu bersifat sebagai senyawa aktif permukaan sehingga dapat menembus dan bereaksi dengan sisi membran sitoplasma yang bersifat lipofilik, menyebabkan perubahan dan kerusakan struktur membran. Sifat aktif permukaan dari empedu juga mengakibatkan aktifnya enzim lipolitik yang disekresikan pankreas (Hill 1995). Enzim tersebut juga dapat bereaksi dengan asam lemak pada membran sitoplasma bakteri menyebabkan perbedaan permeabilitas dan karakteristiknya sehingga dapat mempengaruhi katahanannya terhadap garam empedu, mengingat EPEC merupakan Gram negatif yang memiliki kandungan lipid yang cukup tinggi, yaitu 11-22%. Sebaliknya Lactobacillus yang merupakan Gram positif dengan kandungan lipid hanya 1-4% pada dinding selnya menyebabkan Lactobacillus lebih tahan terhadap garam empedu dibandingkan dengan EPEC. Hal ini yang juga menjadi salah satu sebab jumlah Lactobacillus dalam sekum cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah E. coli. Jumlah E. coli pada kolon cenderung tinggi pada kelompok kontrol EPEC. Hal ini dapat disebabkan E. coli cukup mampu mengkolonisasi kolon karena rendahnya jumlah Lactobacillus dalam kolon sehingga EPEC dapat tumbuh dengan lebih baik. Akan tetapi, pada kelompok perlakuan isolat Lactobacillus jumlah E. coli pada kolon cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena tingginya jumlah Lactobacillus dalam kolon sehingga menghambat pertumbuhan E. coli. Meskipun pada kelompok perlakuan isolat B16 terjadi kenaikan jumlah E. coli pada kolon. Hal ini berarti isolat B16 tidak
54
cukup dapat menurunkan E. coli di dalam kolon meski jumlah E. coli dalam sekum cukup rendah. Berdasarkan analisis ragam tampak jumlah E. coli pada sekum hampir sama untuk semua perlakuan. Analisis ragam menunjukkan bahwa kelompok perlakuan L. rhamnosus R14, L rhamnosus R23, L rhamnosus B16 masing-masing tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah E. coli pada sekum (P>0.05). Berdasarkan analisis ragam untuk jumlah E. coli pada kolon juga menunjukkan bahwa kelompok perlakuan L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus B16 masing-masing tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah E. coli pada kolon (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan isolat Lactobacillus tidak cukup dapat menurunkan E. coli di dalam kolon. Analisis ragam untuk jumlah E. coli dalam sekum, kolon, dan feses juga menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan satu sama lain (P>0.05). Meskipun secara umum perlakuan isolat Lactobacillus tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah Lactobacillus dan E. coli baik pada sekum maupun kolon, tetapi ketiga isolat Lactobacillus telah menunjukkan kemampuannya dalam mencegah diare, dengan pencegahan terbaik oleh isolat L. rhamnosus R23. Hasil pengujian aktivitas antidiare dengan menggunakan tikus percobaan tidak selalu berkorelasi dengan hasil pengujian aktivitas antibakteri dengan metode kontak. Pada hasil pengujian aktivitas antibakteri dengan metode kontak diperoleh hasil bahwa L. rhamnosus R23 memiliki daya penghambatan paling rendah dibandingkan dengan L. rhamnosus R14 dan L. rhamnosus B16, meskipun sebenarnya tidak terlalu signifikan. Hal ini dapat disebabkan karena dalam pengujian aktivitas antibakteri dengan metode kontak, kondisi selama pengujian tidak sama persis seperti kondisi dalam saluran pencernaan tikus, dimana selama dalam saluran cerna isolat Lactobacillus mengalami berbagai rintangan seperti asam lambung dan garam empedu, serta faktor yang paling penting lagi adalah kemampuan isolat Lactobacillus untuk menempel pada usus. Semua kondisi ini tidak
55
dialami Lactobacillus selama uji kontak, sehingga adanya perbedaan hasil memang dapat terjadi diantara kedua metode. Menurut Qin et al. (2005), probiotik dapat meningkatkan ekspresi dari transmembrane binding protein, menjaga struktur tight junction, meningkatkan kolonisasi bakteri usus oleh infeksi abdominal pada tikus, menurunkan bacterial translocation rate (BTR), dan menjaga fungsi barrier. Pada kelompok kontrol yang tidak diberikan probiotik, tampak terjadinya gangguan bakteri usus dan kerusakan dinding mukosa, tetapi fungsi dinding usus dapat meningkat dengan penggunaan probiotik. Penempelan bakteri patogen pada permukaan usus tergantung dari tahap pertama dalam infeksi usus, yang dapat dihambat oleh bloking reseptor secara fisik oleh penempelan spesifik atau oleh steric hindrance. Beberapa
probiotik
lactobacilli
dengan
manfaat
kesehatan
telah
menunjukkan penempelan terhadap mukosa usus (Tuomloa et al. 1999). Penempelan pada mukosa epithelium dapat menghambat pengikatan organism patogen secara kompetitif (Mack et al. 1999). Michail dan Abernathy (2002) menyatakan bahwa Lactobacillus ditemukan dapat menghambat pengikatan EPEC pada monolayer epitelial usus selama Lactobacillus diberikan pada inang sebelum infeksi EPEC (efek pencegahan). Efek proteksi dari Lactobacillus plantarum dalam mengurangi perubahan EPEC-induced secretory dapat disebabkan oleh penghambatan pengikatan EPEC atau mekanisme kompetitif. Lactobacilli dan bifidobacteria asal ASI yang berhasil diisolasi oleh Nuraida et al. (2007) secara in vitro mampu menghambat beberapa bakteri patogen seperti E.coli, Bacillus cereus, Staphilococcus aureus dan Salmonella typhimurium. Ketiga isolat Lactobacilus yang digunakan dalam pengujian memiliki daya penghambatan yang cukup baik terhadap E. coli dengan menggunakan metode difusi agar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat L. rhamnosus R14 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 2,8 mm, L. rhamnosus R23 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 3,6 mm, dan L. rhamnosus B16 menghasilkan diameter penghambatan sebesar 4,1 mm.
56
7. Pengaruh Perlakuan Isolat Lactobacillus dan EPEC K1.1 terhadap Kondisi Mikrobiota Kolon Tikus Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kolon (usus besar) merupakan
ekosistem
yang
sarat
dengan
kolonisasi
mikrobiota
(mengandung 1012 bakteri/gram isi kolon), sehingga usus besar menjadi bagian tubuh dengan aktivitas metabolik paling tinggi. Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson 2000). Kolon mempunyai ekosistem mikrobiota yang sangat kompleks, didiami sekurang-kurangnya 50 genera bakteri, yang terdiri atas lebih 400 spesies bakteri yang berbeda. Oleh karena itu, pada akhir pengujian aktivitas antidiare ini dilakukan pengamatan terhadap kondisi mikrobiota usus besar (kolon) tikus dengan SEM (Scanning Electron Microscopy). Pengamatan dilakukan terhadap satu ekor tikus pada tiap kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol EPEC, perlakuan R14, perlakuan R23, dan perlakuan B16. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi mikrobiota kolon tikus dan membandingkan pada tiap kelompok. Hasil foto SEM juga dibandingkan dengan pewarnaan Gram yang juga dilakukan terhadap isolat Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, Lactobacillus rhamnosus B16, dan juga isolat EPEC K1.1. Scanning
Electron
Microscopy
(SEM)
digunakan
untuk
memvisualisasikan kondisi habitat mikrobiota pada permukaan epitelial saluran pencernaan tikus. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kolon tikus. Hal ini dianggap cukup mewakili terhadap kondisi mikrobiota kolon tikus pada akhir masa pengujian. Hasil pengamatan kolon tikus dengan SEM dapat dilihat pada Gambar 15 dan dibandingkan dengan hasil pewarnaan Gram pada EPEC K1.1, Lactobacillus rhamnosus R14, Lactobacillus rhamnosus R23, dan Lactobacillus rhamnosus B16 pada Gambar 16. Pada gambar A yaitu kolon dari tikus kelompok kontrol negatif tampak bakteri yang berbentuk batang dan diduga kuat sebagai Lactobacillus sebagai mikrobiota yang secara alami terdapat dalam usus
57
mengingat bahwa kelompok kontrol tersebut tidak diberi perlakuan apapun dan hanya diberikan larutan fisiologis. Lactobacillus yang tampak pada gambar tersebut sangat sedikit. Pada Gambar B yang merupakan kolon tikus kelompok kontrol EPEC justru tidak tampak adanya bakteri yang berbentuk batang. Hal ini berkorelasi dengan banyaknya jumlah tikus yang diare pada kelompok kontrol EPEC karena rendahnya kolonisasi Lactobacillus pada kolon sehingga tidak dapat menekan pertumbuhan E. coli yang menyebabkan diare.
A
B
D
C
E
Keterangan: bagian gambar yang berada dalam lingkaran putih merupakan bakteri yang diduga sebagai Lactobacillus Gambar 15
Kondisi mikrobiota kolon tikus pada akhir masa pengujian aktivitas antidiare dengan Scanning Electron Microscope Model –JSM 5310 LV menggunakan perbesaran 10000x. (A) kontrol negatif, (B) kontrol EPEC, (C) perlakuan L. rhamnosus R14, (D) perlakuan L.rhamnosus R23, dan (E) perlakuan L.rhamnosus B16. Pada Gambar C yaitu kolon tikus dari kelompok perlakuan isolat
Lactobacillus rhamnosus R14 tampak kolonisasi usus oleh beberapa bakteri berbentuk batang yang diduga kuat merupakan Lactobacillus. Pada
58
gambar tersebut tampak bakteri dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Gambar A dan B. Hal ini membuktikan bahwa tikus dari kelompok tersebut didominasi oleh isolat Lactobacillus mengingat tikus dari kelompok tersebut diintervensi dengan isolat Lactobacillus rhamnosus R14. Guna memperkuat dugaan ini dapat dilakukan pembandingan dengan hasil pewarnaan Gram terhadap isolat Lactobacillus rhamnosus R14. Pada hasil pewarnaan Gram tampak bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus R14 merupakan isolat bakteri berbentuk batang pendek menyerupai bakteri yang tampak dalam foto hasil SEM pada Gambar C.
EPEC K1.1
Lactobacillus rhamnosus R14
Lactobacillus rhamnosus R23
Lactobacillus rhamnosus B16
Gambar 16
Hasil pengamatan mikroskop dengan perbesaran 1000x dari pewarnaan Gram beberapa isolat yang digunakan dalam pengujian aktivitas antidiare
Seperti halnya Gambar C, pada Gambar D yaitu gambar kolon tikus dari kelompok perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus R23 juga tampak kolonisasi permukaan kolon tikus oleh beberapa bakteri berbentuk batang yang diduga kuat sebagai Lactobacillus. Akan tetapi, pada Gambar D
59
Lactobacillus yang tampak lebih banyak dengan membentuk gerombolan pada permukaan usus. Hal ini dapat membuktikan bahwa kolon tikus yang diintervensi
isolat
Lactobacillus
rhamnosus
R23
lebih
banyak
mengandung Lactobacillus. Guna memperkuat dugaan ini dapat dilakukan membandingan
dengan
hasil
pewarnaan
Gram
terhadap
isolat
Lactobacillus rhamnosus R23. Pada hasil pewarnaan Gram tampak bahwa isolat Lactobacillus rhamnosus R23 merupakan isolat bakteri berbentuk batang pendek menyerupai bakteri yang tampak dalam foto hasil SEM pada gambar D. Hal ini berkorelasi dengan kemampuan L. rhamnosus R23 yang sangat baik dalam mencegah diare. Pada gambar E yaitu gambar kolon tikus dari kelompok perlakuan isolat Lactobacillus rhamnosus B16 tampak adanya beberapa bakteri yang berbentuk batang cukup panjang dan beberapa lagi bakteri berbentuk batang pendek. Berdasarkan pembandingan dengan hasil pewarnaan Gram, bakteri yang berbentuk batang panjang tersebut menyerupai dengan EPEC K1.1 seperti terlihat pada Gambar 16. Akan tetapi, hasil pewarnaan Gram pada isolat B16 juga menunjukkan bentuk bakteri yang cukup panjang jika dibandingkan dengan kedua isolat Lactobacillus lainnya. Sebagai perbandingan dapat dilihat Gambar 17 yang merupakan hasil pewarnaan Gram campuran antara isolat B16 dengan EPEC K1.1.
Gambar 17 Hasil pewarnaan Gram isolat EPEC K1.1 dan Lactobacillus rhamnosus B16 dengan perbesaran 1000x
60
Menurut Buchanan dan Gibbons (1974), E. coli merupakan bakteri yang berbentuk batang, berukuran lebar 1.1-1.5 mikron dan panjang 2.06.0 mikron, terdapat dalam bentuk berpasangan atau tunggal, bersifat motil dengan flagela peritrikat atau non motil dan seringkali flagela ini tampak dalam
pengamatan
menggunakan
Scanning
Electron
Microscope.
Sedangkan pada gambar hasil SEM tidak tampak adanya flagela, sehingga dapat dipastikan bahwa bakteri tersebut merupakan Lactobacillus batang panjang dan tidak menutup kemungkinan bahwa bakteri tersebut adalah Lactobacillus rhamnosus B16.
61
V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Beberapa isolat Lactobacillus asal ASI yang menunjukkan daya penghambatan terbaik diantara 19 isolat Lactobacillus yang digunakan terhadap EPEC K1.1, yaitu isolat L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16. Ketiga isolat tersebut dapat menghasilkan penghambatan terhadap EPEC K1.1 sekitar 3 log cfu/ml. Dosis EPEC K1.1 yang dapat menyebabkan tikus diare tanpa menimbulkan kematian adalah 108 cfu, sehingga digunakan sebagai acuan dosis pengujian aktivitas antidiare secara preventif pada hewan percobaan. Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antidiare Lactobacillus terhadap diare akibat infeksi EPEC K1.1 dapat disimpulkan bahwa ketiga isolat Lactobacillus (L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R23, dan L. rhamnosus B16) memiliki indikasi dalam mencegah diare yang disebabkan oleh infeksi EPEC K1.1. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tikus yang mengalami diare, tingkat keparahan diare, dan waktu munculnya gejala diare tersebut. Akan tetapi, dari ketiga isolat Lactobacillus tersebut, Lactobacillus rhamnosus R23 memiliki aktivitas antidiare terbaik dibandingkan kedua isolat Lactobacillus lainnya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa jumlah E. coli dalam feses tidak selalu berkorelasi dengan munculnya diare pada tikus percobaan. Selain itu juga hasil pengujian aktivitas antidiare dengan tikus percobaan tidak selalu berkorelasi dengan hasil pengujian aktivitas antibakteri dengan metode kontak.
B. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Kajian aktivitas antidiare isolat BAL dapat juga dilihat dari segi pengaruhnya terhadap sistem imunitas tubuh untuk diamati pengaruh asupan isolat BAL terhadap sistem imunitas hewan percobaan (baik diinfeksi dengan E. coli patogenik maupun tidak diinfeksi). Parameter yang diamati dapat berupa kandungan Immunoglobulin A (IgA) pada hewan percobaan.
62
2. Aktivitas antidiare dari isolat Lactobacillus yang diperoleh dari penelitian ini dapat diujikan kembali terhadap hewan percobaan dalam bentuk produk pangan, seperti minuman fermentasi untuk melihat kemampuan untuk hidup isolat Lactobacillus dalam produk dan saluran pencernaan hewan percobaan. 3. Kajian aktivitas antidiare juga dapat diperdalam dengan pengujian tentang mekanisme penempelan isolat Lactobacillus maupun bakteri pathogen penyebab infeksi dalam saluran pencernaan hewan dengan menggunakan model sel Caco-2.
63
DAFTAR PUSTAKA
Ballongue J. 2004. Bifidobacteria and probiotic action. Di dalam: Salminen et al. editor. Lactic Acid Bacteria, Microbiology and Functional Aspect. Ed ke-3. New York: Marcell Dekker, Inc. [BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. Center for Food Safety and Applied Nutrition: U.S. Food & Drug Administration (FDA). Barlow RS, Hirst RG, Norton RE, Ashhurst SC, Bettelheimt KA. 1999. A novel serotype of enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) as a major pathogen in an outbreak of infantile diarrhea. J Med Microbiol 48:11231125. Barnet MF, Lievin V, Brassart D, Nesser, JR, Servin AL, Hudault S. 1994. The human Lactobacillus acidophilus strain secretes a non bacteriosin antimicrobial substance(s) active in vitro dan in vivo. Appl Environ. Microbiology 63:2747-2753. Bellanti JA. 1993. Immunologi. Ed ke-3. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Bender GR, Marquis RE. 1987. Membrane ATPase and acid tolerance of actinomyces viscous and Lactobacillus casei. Appl Environ Microbiology 53:2124-2128. Bengmark S. 1998. Ecological kontrol of gastrointestinal tract; the role of probiotic flora. Gut 42:2-7. Bhunia AK, Wampler JL. 2005. Animal and cell culture models for foodborne bacterial pathogenes. Di dalam Fratamico PM, Bhunia AK, Smith JL, editor. Foodborne Pathogens-Microbiology and Molecular Biology. UK : Academic Press. Blay GL, Chaterine M, Harve MB, Christine C. 1999. Prolonged intake of fructooligosaccharides induces a short-term elevation of lactic acid-producing bacteria and a percistent increase in cecal butyrate in rats. J. Human Nutritional Research Centre 2231-2235. Booth IR, Kroll RG. 1989. The preservation of food by low pH. Di dalam: Gould, GW, editor. Mechanism of Action of Food Preservation Procedures. London: Elsevier Applied Science. Bourlioux P, Koletzko B, Guarner F, Braesco V. 2002. The intestine and its microflora are partners for the protection of the host. Am J Clin Nutr 78: 675-83.
64
Boyd RF, Marr JJ. 1980. Medical Microbiology. Ed ke-1. Boston: Little, Brown, and Company. Branen AL, Davidson PM. 1993. Antimicrobials in Foods. New York: Marcel Dekker. Brassart D, Schiffrin EJ. 2000. Pre-and probiotics. Di dalam: Schmild MK, Labuza, editor. Essential of Fonctional Foods. Maryland: Aspen Publishers. Bratawidjaja KG. 2002. Imunologi Dasar. Ed ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buchanan RE, Gibbons. 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Ed ke-8. USA: Woverly Inc. Budiarti S, Mubarik NR. 2007. Extracelluler protease activity of enteropathogenic Escherichia coli on mucin substrate. J Hayati Biosciences 14:36-38. Chou LS, Weimer B. 1999. Isolation and characterization of acid and bile tolerant isolates from strains of Lactobacillus acidophilus. Journal Dairy Science. 62:23-31. Davidson PM, Hoover DG. 1993. Antimicrobial components from lactic acid bacteria. Di dalam: Salminen S, Wright AV, editor. Lactic Acid Bacteria. New York: Marcel Dekker. De Roos NM, Katan MB. 2000. Effects of probiotic bacteria on diarrhea, lipid metabolism, and carcinogenesis. Am J Clin Nutr 71:405-411. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dover SE, Aroutcheva AA, Faro S, Chikindas ML. 2007. Safety study of an antimicrobial peptide Lactocin 160 produced by the vaginal Lactobacillus rhamnosus. Iniseases in Obestetrics and Gynecology. Drouault SG, Corthier SD, Erlich, Renault P. 1999. Survival physiology and lysis of Lactococcus lactis in the digestive tract. Applied and Environmental Microbiology. 65:4881-4886. FAO/WHO.2002. Guidelines for The Evaluation of Probiotics in Food. London, Ontario, Kanada. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
65
Fitrial Y. 2009. Analisis potensi biji dan umbi teratai (Nymphaea pubescens Willd) untuk pangan fungsional prebiotik dan antibakteri Escherichia coli Enterpaptogenik K1.1 [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Franz Z, Jane AW, Hanz K.1998. Bacteriosins of Lactic Acid Bacteria. New York: Marcel Dekker. Galdeano CM, Perdigon G. 2006. The probiotic bacterium Lactobacillus casei induces activation of the gut mucosal immune system through innate immunity. Clinical and Vaccine Immunology 13:219-226. Gibson GR. 2000. Probiotics and prebiotics : gut microflora management for improved health. Medical Progress 27: 34-6. Gibson GR, Fuller R. 2000. Aspect of in vitro and in vivo researches directed toward identifying probiotics and prebiotics for human use. J Nutr 130(2S Suppl):391S-395S. Gill H, Rutherfurd KJ, Cross ML, Gopal PK. 2007. Enhancement of immunity in the elderly by dietary supplementation with the probiotic Bifidobacterium lactis HN019. J Clin Nutr. 74: 833-839. Gilliland SE. 1984. Role of starter culture bacteria in food preservation. Di dalam:. Gilliland SE, editor. Bacterial Starter Cultures for Food. Florida: CRG Press. p175-188. Gourama H, Bullerman LB. 1995. Inhibition of growth and aflatoxin production of Aspergillus flavus by Lactobacillus sp. J of Food Protection 58:11. Guerrant RL. 1983. Pathophysiology of the enterotoxic and viral diarrhea. Di dalam: Chen LC, Scrimshaw NS. Diarrhea and Malnutrition. New York: Plenum Press. Guerrant RL, Gilder TV, Steine TS. 2001. Practice guidelines for the management of infectious diarrhea. Clinical Infectious Diseases. 32:33151. Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Jakarta: Gramedia. Hanson LA. 1976. Escherichia coli infections in childhood; significance of bacterial virulence and immune defence. Arch Dis Child 51: 737-742. Harish K, Varghese T. 2006. Probiotics in humans-evidence based review. Calicut Medical Journal 4: e3. Harrigan WF. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. London: Academic Press.
66
Heikkila MP, Saris PE. 2003. Inhibition of Staphylococcus aureus by the commensal bacteria of human milk. J Appl Microbiol 95:471–478. Heyman M, Menard S. 2002. Probiotic microorganism: how they affect intesinal pathophysiology. Cell Mol Life Sci 59:1-15. Hill MJ. 1998. Role of Gut Bacteria in Human Toxicology and Pharmacology. New York: Taylor. Holzapfel WH. 2006. Introduction to prebiotics and probiotics. Di dalam: Goktepe I, Juneja VK, Ahmedna M, editor. Probiotics in Food Safety and Human Health. Boca Raton: Taylor. Hull RR, Conway PL, Evans AJ. 1992. Probiotics foods: a new opportunity. Food Australia. 44:112-113. Hutkins RW, Nannen NL. 1993. pH homeostatis in lactic acid bacteria. J Dairy Sci 76:2354-2365. Ibram S, Munteanu A, Stolica B, Enescu M, Savulescu C, Costinea R, Popa MI. 2007. An outbreak of gastroenteritis in a campsite in Romania. Euro Surveill 12: pp3249. Ishida-Fuji K, Sato R, Goro S, Yang X, Kuboki H, Hirano S, Sato M. 2007. Prevention of pathogenic Escherichia coli infection and stimulation of macrophage activation in rats by an oral adminstration of probiotic Lactobacillus casei I-5. Biosci Biotechnol Biochem 71:866-873. Jacobsen CN et al. 1999. Screening of probiotics activities of forty-seven strains of Lactobacillus spp. by in vitro techniques and evaluation og the colonization bility of five selected strains in humans. J Appl and Environ Microbial 65:4949-4959. Janda JM, Abbot SL. 2006. The Enterobacteria, editor. Washington : ASM Press. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Edisi ke-6. Maryland: Aspen Publishing. Krause LJ, Forsberg CW, and L O’Connor D. 1996. Feeding human milk to rats increases Bifidobacterium in the cecum and colon which correlates with enhanced folate status. J Nutr. Lambert J, Hull R. 1996. Upper gastrointestinal tract disease and probiotics. Asia Pacific J Clin Nutrition 5:31-35. Lung E. 2003. Acute diarrheal disease. Di dalam: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in
67
Gastroenterology. Edisi ke-2. New York: Lange Medical Books. p131 50. Mack DR, Michail S, Wei S, McDougall L, Hollingsworth M. 1999. Probiotics inhibit enteropathogenic E. coli adherence in vitro by inducing intestinal mucin gene expression. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 276:941-950. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institu Pertanian Bogor. Martin R et al. 2003. Human milk is a source of lactic acid bacteria for the infant gut. J Pediatr 143:754–758. Martin R, Monica O, Maria LM, Leonides S. 2005. Probiotic potential of 3 Lactobacilli strains isolate from breast milk. Journal of Human Lactation 21:18-17. Michail S, Abernathy F. 2003. Lactobacillus plantarum inhibits the intestinal epithelial migration of neutrophils induced by Enteropathogenic Escherichia coli. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition 36:385–391. Mitsuoka T. 1990. Profile of Intestinal Bacteria. Yakult Honsa Co. Ltd. Mizutani T. 1992. The relationship between microorganisms and the physiology of ageing. Di dalam: Nakazawa Y, Hosono A, editor. Function of Fermented Milk: Challenges for the Health Sciences. Cambridge: Elsevier Science Publisher Ltd., University Press. p305-323. Moat AG, Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial Physiology. Edisi ke-4. New York: Willey Interscience Publication. Nataro JP, Kaper JB. 1998. Diarrheagenic Escherichia coli. Clinical Microbiology Reviews 11:142–201. Nuraida L, Susanti, Hana, Palupi NS, Hartanti AW. 2008. Probiotic potency of lactic acid bacteria isolated from breast milk. International Symposium on Probiotic from Asia Traditional Fermented Foods for Healthy Gut Function. Jakarta. Ostling CE, Lindgren SE. 1990. Inhibition of Enterobacteria and Listeria growth by lactic, acetic, and formic acid. J Appl Bacteriol 73:18-24. Ouwehand AC, Vesterland S. 2004. Antimicrobial components from lactic acid bacteria. Di dalam: Salminen S, von Wright A, editor. Lactic Acid
68
Bacteria: Microbiology and Functional Aspects. Edisi ke-3. New York: Marcel Dekker. Oyetayo VO. 2004. Performance of rats orogastrically dosed with faecal strains of Lactobacillus acidophillus and challenged with Escherichia coli. African Journal of Biotechnology 3:409-411. Parish ME, Davidson PM. 1993. Methods for evaluation. Di dalam: Davidson PM, Branen AL, editor. Antimicrobial In Foods. Edisi ke-2. New York: Marcel Dekker. Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobologi. Jakarta: UI Press. Qin HL, Shen TY, Gao ZG, Fan XB, Hang XM, Jiang YQ, Zhang HZ. 2005. Effect of Lactobacillus on the gut microflora and barrier function on the rats with abdominal infection. World J Gastroenterol 11:2591-2596. Salminen S, von Wright A, Ouwehand A. 2004. Lactic Acid Bacteria. New York: Marcell Dekker. Salminen S, von Wright A. 1998. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and Functional Aspects. Edisi ke- 2. New York: Marcel Dekker. Salyer AA, Whitt DD. 1994. Bacterial Pathogenesis, A Molecular Approach. Washington DC: Department of Microbiology, University of Illinois, ASM Press. Savage DC, Blumershine RVH. 1974. Surface-surface associations in microbial communities populating epithelial habitats in the murine gastrointestinal ecosystem: Scanning Electron Microscopy. J Infection and Immunity 10:240-250. Schillinger C, Lucke. 1989. Antimicrobial Components. New York: Pergamon Press. Schmid K, Schlothauer RC, Friedrich U, Staudt C, Apajalahti J, Hansen EB. 2006. Development of probiotic food ingredients. Di dalam: Goktepe I, Juneja VK, Ahmedna M, editor. Probiotics in Food Safety and Human Health. Boca Raton: Taylor. Semba RD. 2002. Vitamin A and immune function. Di dalam: Calder PC, Field CJ, Gill, editor. Nutrition and Immune Function. New Rork: CABI Publishing. Shornikova AV, Isolauri E, Burnakova L, Lukovnikova S, Vesikari T. 1997. A trial in the Karelian Republic of oral rehydration and Lactobacillus GG for treatment of acute diarrhea. Acta Paediatr 86:460-5.
69
Siegumfeldt H, Rechninger BK, Jacobsen M. 2000. Dynamic changes of intracellular pH in individual lactic acid bacterium cells in response to a rapid drop in extracellular pH. Applied and Environmental Microbiology 66:2330-2335. Smet ID, Hoorde LV, Woestyne MV, Christiaens H, Verstraete. 1995. Significance of bile salts hydrolytic activities of Lactobacilli. Journal Applied Bacteriology 79:292-301. Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. Jakarta: YAPMMI. Swanson KS, Grieshop CM, Flickinger EA, Bauer LL, Chow JM, Wolf BW, Garleb KA, Fahey GC. 2002. Fructooligosaccharides and Lactobacillus acidophilus modify gut microbial populations, total tract nutrient digestibilities and fecal protein catabolite concentrations in healthy adult dogs. J Nutr 132:3721-3731. Szajewska H, Kotowska M, Murkowiez JZ, Armanska M, Milkolajezyk W. 2001. Efficacy of Lactobacillus GG in prevention of nosocomial diarrhea in infants. J Pediatr 138:361-5. Tannock GW, editor. 1999. Probiotics: A Critical Review. London: Horizon Scientific Press. Vandehoof JA, Young RJ. 2001. The use of probiotics for prevention, management and treatment of gastrointestinal disease. Nutrition and Clinical Care 4: 209-213. Walker WA. 2000. Role of nutrient and bacterial colonization in the development of intestinal host defense. J Pediatr Gastrointesterol Nutr 30 Suppl 2:S2-7. Young J. 1998. European market development in prebiotic and probiotic containing foodstuffs. Br J Nutr 80: S231-3. Yuguchi H, Goto T, Okonogi S. 1992. Fermented milkslactic drinks, and intestinal microflora. Di dalam: Nakazawa Y, Hosono A, editor. Function of Fermented Milk, Chalange for The Health Science. New York: Elsevier Applied Science.p247. Zavaglia AG, Kociubinski, Perez P, Antoni GD. 1998. Isolation and characterization of Bifidobacterium strain for probiotics formulation. J Food Protect 61:865-873. Zein U. 2004. Gastroenteritis akut pada dewasa. Di dalam : Tarigan P, Sihombing M, Marpaung B, Dairy LB, Siregar GA, editor. Buku Naskah Lengkap Gastroenterologi-Hepatologi Update 2003. Medan: Divisi Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU.
70
Lampiran 1. Metode Perhitungan Ransum Standar
Bahan Campuran
Jumlah per 100 gram (gram)
Makanan sumber protein
A = (1.6 x 100)/ % N sampel (a)
Minyak
5 – (A x % kadar lemak/100) (b)
Mineral mixture
3.5 – (A x % kadar abu/100) (c)
Vitamin mixture
1 (d)
Selulosa
1 – (A x % kadar serat/100) (e)
Air
10 – (A x % kadar air/100) (f)
Pati jagung
100 - (a)-(b)-(c)-(d)-(e)-(f)
71
Lampiran 2. Perhitungan Komposisi Ransum Standar
Data Proksimat Kasein yang Digunakan Komponen
Komposisi (%)
Kadar protein
87
Kadar lemak
0.17
Kadar abu
3.36
Kadar serat
0.03
Kadar air
7.54
Komposisi ransum standar Komponen
Komposisi ransum (%)
Protein
15
Minyak
5
Mineral
3.5
Serat
1
Sumber
Komposisi per 100 gram (gram)
Kasein
17.24
Kasein
0.03
Minyak jagung
4.97
Kasein
0.58
Mineral mix
2.92
Kasein
0.0052
Selulosa
1
Kasein
1.30
Air
8.70
Air
10
Vitamin
1
Fitkom
1
Pati
(ditambahkan s.d. 100 gram)
Maizena
62.25
Total
100
72
Lampiran 3. Kondisi feses tikus selama masa pengujian dosis EPEC K1.1
Kode tikus A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 B5 C1 C2 C3 C4 C5 D1 D2 D3 D4 D5
H0 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
H1 N N N N N TD (3) TD (3) TD (3) TD (3) N N TD (3) N N TD (4) N N N N N
Kondisi feses H2 H3 N N N N N N N N N N N N N N TD (3) N N N TD (3) N N N N N N N N TD (4) N N N N N TD (4) TD (3) N N TD (4) N TD (3)
Keterangan : Kelompok A = kontrol Kelompok B = diintervensi EPEC K1.1 108 cfu Kelompok C = diintervensi EPEC K1.1 107 cfu Kelompok D = diintervensi EPEC K1.1 106 cfu N
= feses normal
TD (1)
= tanda diare skor 1
TD (2)
= tanda diare skor 2
TD (3)
= tanda diare skor 3
TD (4)
= tanda diare skor 4
H4 N N N N N N N N N N N N N N N N TD (3) N TD (3) N
H5 N N N N N N N N N N TD (3) N TD (3) N N N TD (3) N N N
73
Lampiran 4. Kondisi feses tikus selama masa pengujian aktivitas antidiare Kode Tikus A1 A2 A3 A4 A5 A6 B1 B2 B3 B4 B5 B6 C1 C2 C3 C4 C5 C6 D1 D2 D3 D4 D5 D6 E1 E2 E3 E4 E5 E6
Ho N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
H1 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
H3 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Perlakuan Lactobacillus H7 H8 H9 H10 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N TD3 N N N TD3 N N N N N N N TD3 TD3 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N TD2 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N TD2 N N N N N N N TD2 N N N N N N
Keterangan : Kelompok A = kontrol negatif Kelompok B = kontrol EPEC Kelompok C = perlakuan isolat R14 Kelompok D = perlakuan isolat R23 Kelompok E = perlakuan isolat B16
H11 N N N N N N N N N N N N N N TD2 TD2 N N N N N N N N N N N N N N
N = feses normal TD (1) = tanda diare skor 1 TD (2) = tanda diare skor 2 TD (3) = tanda diare skor 3 TD (4) = tanda diare skor 4
H12 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
74
Lampiran 5. Hasil analisis ragam jumlah Lactobacillus dalam sekum tikus
ANOVA log_cf upergram
Betw een Groups Within Groups Total
Sum of Squares .040 1.247 1.288
df 4 10 14
Mean Square .010 .125
log_cfuper gram a
Dunc an
kelompok_tikus R23 R14 kontrol EPEC kontrol negatif B16 Sig.
N 3 3 3 3 3
Subs et f or alpha = .05 1 8.3802 8.4243 8.4896 8.5062 8.5133 .678
Means f or groups in homogeneous subsets are dis played. a. Uses Harmonic Mean Sample Siz e = 3.000.
F .081
Sig. .986
75
Lampiran 6. Hasil analisis ragam jumlah Lactobacillus dalam kolon tikus ANOVA Log_c f upergram
Betw een Groups Within Groups Total
Sum of Squares .380 1.241 1.621
df 4 9 13
Mean Square .095 .138
Log_cfuper gram a,b
Dunc an
kelompok_tikus kontrol EPEC R14 B16 kontrol negatif R23 Sig.
N 3 2 3 3 3
Subs et f or alpha = .05 1 8.0604 8.1483 8.2839 8.4470 8.4799 .252
Means f or groups in homogeneous subsets are dis played. a. Uses Harmonic Mean Sample Siz e = 2.727. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group s iz es is used. Type I error levels are not guaranteed.
F .690
Sig. .617
76
Lampiran 7. Hasil analisis ragam jumlah Lactobacillus dalam feses tikus
ANOVA Log_c f upergram
Betw een Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.080 2.185 3.265
df 4 10 14
Mean Square .270 .219
Log_cfuper gram a
Dunc an
kelompok_tikus kontrol negatif B16 kontrol EPEC R23 R14 Sig.
N 3 3 3 3 3
Subs et f or alpha = .05 1 8.1600 8.3067 8.3367 8.6633 8.8967 .106
Means f or groups in homogeneous subsets are dis played. a. Uses Harmonic Mean Sample Siz e = 3.000.
F 1.235
Sig. .356
77
Lampiran 8. Hasil analisis ragam jumlah Lactobacillus dalam sekum, kolon, dan feses tikus
ANOVA Log_c f upergram
Betw een Groups Within Groups Total
Sum of Squares .290 6.174 6.464
df 2 41 43
Mean Square .145 .151
Log_cfuper gram a,b
Dunc an
kelompok_tikus kolon sekum f es es Sig.
N 14 15 15
Subs et f or alpha = .05 1 8.2936 8.4627 8.4727 .246
Means f or groups in homogeneous subsets are dis played. a. Uses Harmonic Mean Sample Siz e = 14.651. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group s iz es is used. Type I error levels are not guaranteed.
F .963
Sig. .390
78
Lampiran 9. Hasil analisis ragam jumlah E. coli dalam sekum tikus
ANOVA log_cf upergram
Betw een Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.781 3.351 6.132
df 4 10 14
Mean Square .695 .335
log_cfuper gram a
Dunc an
kelompok_tikus B16 kontrol EPEC R23 R14 kontrol negatif Sig.
N 3 3 3 3 3
Subs et for alpha = .05 1 2 6.6528 7.5864 7.5864 7.6264 7.6264 7.6816 7.6816 7.8920 .070 .559
Means f or groups in homogeneous subsets are dis played. a. Uses Harmonic Mean Sample Siz e = 3.000.
F 2.075
Sig. .159
79
Lampiran 10. Hasil analisis ragam jumlah E. coli dalam kolon tikus
ANOVA log_cf upergram
Betw een Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.405 5.722 8.128
df 4 10 14
Mean Square .601 .572
log_cfuper gram a
Dunc an
kelompok_tikus B16 R14 R23 kontrol negatif kontrol EPEC Sig.
N 3 3 3 3 3
Subs et f or alpha = .05 1 6.7552 6.7648 7.4598 7.5717 7.6673 .204
Means f or groups in homogeneous subsets are dis played. a. Uses Harmonic Mean Sample Siz e = 3.000.
F 1.051
Sig. .429
80
Lampiran 11. Hasil analisis ragam jumlah E. coli dalam feses tikus
ANOVA log_cf upergram
Betw een Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.712 1.568 3.280
df 4 10 14
Mean Square .428 .157
log_cfuper gram a
Dunc an
kelompok_tikus B16 R23 R14 kontrol EPEC kontrol negatif Sig.
N 3 3 3 3 3
Subs et for alpha = .05 1 2 7.0733 7.1167 7.3533 7.3533 7.7800 7.7800 7.8967 .069 .139
Means f or groups in homogeneous subsets are dis played. a. Uses Harmonic Mean Sample Siz e = 3.000.
F 2.728
Sig. .090
81
Lampiran 12. Hasil analisis ragam jumlah E. coli dalam sekum, kolon, dan feses tikus
ANOVA Log_c f upergram
Betw een Groups Within Groups Total
Sum of Squares .508 17.540 18.048
df 2 42 44
Mean Square .254 .418
Log_cfuper gram a
Dunc an
kelompok_tikus kolon f es es sekum Sig.
N 15 15 15
Subs et f or alpha = .05 1 7.2438 7.4440 7.4879 .336
Means f or groups in homogeneous subsets are dis played. a. Uses Harmonic Mean Sample Siz e = 15.000.
F .608
Sig. .549