W
buletin
ra
ai
merupakan media informasi sosialisasi demokrasi yang diterbitkan setiap 3 bulan oleh Elpagar (Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat), bekerjasama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) dan Kemitraan.
SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab : Furbertus Ipur (Direktur Elpagar) Pemimpin Redaksi : Muhammad Isa Redaktur Pelaksana : Ar Irham Sidang Redaksi : Furbertus Ipur, Muhammad Isa, Ar Irham Tim Liputan : Yooce Febrina Tutkey, Jodia Sekar FL. Kontributor : Peserta Sekolah Demokrasi Desain Visual : Rudy Fransiskus Alamat Redaksi : Jalan Karya Baru Kompleks Pondok Agung Permai Nomor A1 Pontianak 78121 Telepon: (0561) 6580420 Email:
[email protected] Situsweb: sekolahdemokrasi.elpagar.org Redaksi menerima kiriman artikel/opini dan pemasangan iklan layanan masyarakat.
EDITORIAL
Memilih Wakil Rakyat yang Tepat
E
uforia pemilihan bupati Sanggau baru saja mulai berlalu. Bupati terpilih yang baru telah ditetapkan KPU. Tapi bukan pilbup yang menjadi warna cerita Rawai Edisi 10 kali ini. Justru tentang pemilihan legislatif yang akan dilaksanakan pada
2014. Ibarat kontes pencarian bakat, Pemilu adalah ajangnya para kandidat wakil rakyat sekarang ini menebarkan simpati agar banyak rakyat yang memilihnya. Turun langsung menemui calon-calon pemilihnya , agar dikenal dan sang calon pemilih mau memberikan suara dukungan. Tak ada yang salah dengan praktik tebar pesona calon legislatif, memang sudah seharusnya dia dikenal dan mengenal calon pemilih. Tapi rakyat sudah sangat hapal bagaimana perilaku kebanyakan anggota legislatif ketika sudah duduk di kursi empuk Dewan Perwakilan Rakyat. Kekecewaan rakyat terhadap para wakil rakyat, adalah kisah panjang dalam pro ses demokrasi bangsa ini. Sampai sekarang masih banyak suara-suara kekecewaan itu menggema., tapi nyatanya di Kabupaten Sanggau angka partisipasi pemilih mencapai 75 persen. Ini bisa diartikan bahwa rakyat masih sangat peduli terhadap sistem Pemilu sebagai sarana demokrasi. Atau malah sebaliknya bisa jadi tingginya angka partisipasi pemilih semata lantaran dukungan terhadap pemimpin yang menggiring mereka. Bukannya justru memberikan informasi tepat tentang tindak tanduk para calon legislatif. Rakyat tak ingin salah pilih, mereka sangat mendambakan sosok anggota legislatif yang mampu memperjuangkan aspirasi mereka. Agar keinginan itu bisa terwjud, sebenarnya langkah utama yang harus dimiliki calon pemilih adalah memiliki informasi luas tentan sisi kelebihan dan kekurangan calon anggota legislatif. Pemilih cerdas, mampu menganalisa sosok idolanya. Harapan terhadap hasil kerja nyata tentu harus didukung latar belakang kecerdasan terhadap sensitivitas kebutuhan rakyat, mau mengabdikan hidup dalam konteks secara bersungguh-sungguh meliat dan mendengar kondisi rakyat. Bukannya bekerja demi keuntungan pribadi dan golongan semata selama mendapatkan kekuasaan sebagai wakil rakyat. Karya terbaik para wakil rakyat, tentu sangat mempengaruhi kuaitas hidup generasi mendatang. Sesungguhnya amanat yang disandangkan ke bahu anggota legislatif, mampu dijawab dengan kebijakan-kebijakan demi menjamin keberlangsungan hidup yang lebih baik di masa kini dan mendatang. . Redaksi
DAFTAR ISI RAWAI
8
RESENSI BUKU
Mari Dengarkan Suara Rakyat 9
CERITE KITE
Badam Zari Terobos Aturan Taliban 10
KABAR KITA
Selamat Datang di Kantor Baru Elpagar 3-4
6
Demokrasi dalam Dambaan
Damba Perbaikan Pelayanan Publik
LAPORAN UTAMA
VOX POPULI
5
7-8
No More Black Campaign
Ironi Bangsa di Tanah Pertiwi
OPINI
2
Wai
ra
RUANG PUBLIK
11
STUDIUM GENERALE
Belajar Corak Demokrasi Indonesia 12
GALERI FOTO
Pagi di Pasar Kaget Sanggau
ISTIMEWA
LAPORAN UTAMA
Demokrasi dalam Dambaan n Sanggau Menyongsong Pemilu Legislatif
T
anggal 15 September ditetapkan sebagai Hari Demokrasi Internasional oleh Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Indonesia sebagai salah satu negara yang tercatat sebagai negara demokrasi, dengan titik tinggi sejarah penggulingan pemimpin oleh rakyat di tahun 1998. Demokrasi menjadi suatu utopis di negeri-negeri tiran dan suatu pucuk yang masih terus dalam pencapaian sempurna di Indonesia ini. Kebetulan pada 15 September lalu Kabupaten Sanggau telah melaksanakan agenda pesta demokrasi pemilihan bupati. Serentak dengan Kota Pontianak, Kabupate Kubu Raya, dan Kabupaten Pontianak. Pengertian tentang demokrasi hanya akan diperoleh mana kala masyarakat telah menemukan diri mereka sendiri. Solidaritas menjadi hal yang yang pen ting untuk mengubah suatu kondisi; dari
kondisi yang tidak menguntungkan bagi solidaritas itu sendiri hingga ke kondisi menguntungkan yang merata di semua orang. Sementara itu, demokrasi suatu negara terukur dari pemenuhan kebutuhan masyarakat, pelayanan masyarakat, serta kebijakan penyelenggara negara. Belum lagi adanya pengaruh isu-isu nasional maupun internasional, kepanikan publik akan menuntut peran kontrol besar terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara. Pemilu sebagai bentuk penya
“
Pada Pemilu Legislatif 2009 di Kabupaten Sanggau terdapat empat daerah pemilihan dengan jath 35 kursi, sedangkan Pemilu Legislatif 2014 mempunyai 40 kursi dan penambahan menjadi lima dapil.”
luran aspirasi orang banyak yang terwakilkan oleh visi misi para kandidat, setelah publik secara mandiri melakukan evaluasi kondisi yang mereka rasakan. Selain pemilihan bupati, Sanggau sedang menyongsong pemilihan legislatif 2014 merupakan event pesta demokrasi yang akan “disuarakan” oleh 344.943 jiwa penduduk Kabupaten Sanggau, berdasarkan data daftar penduduk potensial pemilih (DP4). Tetapi berdasarkan data KPU, adanya penambahan penduduk Kabupaten Sanggau menjadi lebih dari 400 ribu jiwa. Hal ini berpengaruh terhadap penambahan jumlah kursi DPRD Kabupaten Sanggau pada pemilihan legislatif 2014 nanti. Pada Pemilu Legislatif 2009 terdapat empat daerah pemilihan dengan jath 35 kursi, sedangkan Pemilu Legislatif 2014 mempunyai 40 kursi dan penambahan
Wai
ra
3
menjadi lima dapil, yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2013 tentang tata cara penetapan dapil dan jumlah kursi legislatif. Secara serentak, warga di 15 keca matan, antara lain Kapuas, Mukok, Parindu, Bonti, Meliau, Sekayam, Jangkang, Beduai, Kembayan, Noyan, Entikong, Balai, Tayan Hulu, Tayan Hilir, dan Toba akan memilih wakil rakyat mereka untuk duduk di kursi DPRD tersebut. Sekarang umumnya masyarakat sudah mengerti akibat dari janji-janji kampanye yang sedianya dulu selalu diumbar para kandidat politik menjelang Pemilu. Parto, dari kecamatan Noyan, mengungkapkan apa yang telah dia laminya, masyarakat yang trauma de ngan janji-janji palsu dari caleg-caleg yang dulu berkampanye hingga hampir akhir jabatannya. “Tidak bertanggungjawab dengan janji-janjinya,” ujar Parto sambil mengherankan prosedur pelayanan pu blik dengan akibat infrastruktur, jalan yang belum ada perkembangan. Saat ini, para kandidat politik yang cerdik akan memanfaatkan situasi jaringan informasi yang berkembang untuk menarik suara-suara keberpihakan rakyat pada masing-masing kandidat. Dengan kata lain, janji-janji kampanye terbarukan menjadi “bentuk halus” lewat suatu citra yang merakyat atau membumi. Dulu Pemilu masih sarat nepotisme dan politik uang seperti diungkapkan oleh Sekdes Upe di Kecamatan Bonti, Jumpa, yang dulu ia dan warga desanya memilih atas dasar hubungan keluarga, kekerabatan, dan lain-lain. “Kadang-
4
Wai
ra
ISTIMEWA
LAPORAN UTAMA
“
Kadang-kadang dulu tu pengaruh baju (kampanye). Ndak dapat baju, ndak mau milihnya (caleg/cabup).” Jumpa Sekdes Upe di Kecamatan Bonti
kadang dulu tu pengaruh baju (kampanye). Ndak dapat baju, ndak mau milihnya (caleg/cabup)”, ujar pria yang tinggal Dusun Lanong, Bonti, Kabupaten Sanggau ini. Berbeda dengan Jumpa, Parto me ngatakan prinsip orang-orang di kampungnya sudah berbeda. Katanya, “Daripada milih orang kampung yang kita kenal, setelah duduk tidak ada apaapanya, lebih baik pilih orang yang tidak dikenal.” Pada pileg 2014 kali ini, KPU mengu sung daftar calon sementara. Daftar tersebut akan ditampilkan KPU guna agar masyarakat lebih tahu dan me ngenal wajah-wajah yang akan mereka pilih sebagai perwakilan suara mereka, sebelum akhirnya ditetapkan dalam DCT (daftar calon sementara). Rentang waktu yang digelar KPU untuk para caleg adapun sebagai objek pengawasan mandiri di masyarakat. Masyarakat dapat menilai dan melihat sendiri kualitas para caleg dalam rentang panjang pencalonan tersebut, seperti halnya uji kelayakan sebelum memasuki forum yang mengurusi hajat hidup orang banyak.
Mengingat kabupaten Sanggau terdata mempunyai partisipasi pemilih seba nyak 75% pada setiap pemilu. Demokrasi akan teruji dan terkonversi pada suarasuara tersebut. Akses informasi melalui teknologi yang berkembang, baik menguntungkan maupun menyesatkan, penting untuk dimanfaatkan masyarakat sebagai salah satu alat pengawasan sosial-politik. Edukasi masyarakat sangat penting untuk kemajuan kualitas pemilih dalam hak politik dan tidak akan cukup didapat dari pendidikan formal atau sosialisasi saja. Pola pikir holistik adalah ideal untuk menepis segala kesalahpahaman sosial politik. Sehingga masyarakat mengerti apa yang mereka inginkan. Dukungan dari berbagai institusi dan kelembagaan demokrasi juga seyogyanya saling berjajar. Tantangan-tantangan demokrasi mengenai pemenuhan kebutuhan pu blik, hendaknya dijawab dengan sistemsistem pelayanan terstruktur yang transparan tanpa kecurangan dan pembodohan yang fatal. Semoga Kabupaten Sanggau mendapatkan wakil rakyat yang bijaksana. (yooce tutkey)
RUANG PUBLIK
No More Black Campaign Yohanes Sunardi Peserta Sekolah Demokrasi Sanggau Angkatan III
K
ampanye dan kesadaran kritis, kedua hal ini menarik untuk direfleksikan, terutama pada hari-hari dimana para calon legislatif akan bergiat untuk berkampanye. Berkaca pada pengalaman sejarah, pada masa kampanye selalu ada “oknum” kandidat yang memanfaatkan setiap hal untuk merebut hati pemilih dengan melambungkan janji. Selain itu, ada juga “oknum” kandidat, atau pihak lain pendukungnya, melakukan “kampanye hitam” (black campaign). Black Campaign atau kampanye hitam adalah metode kampanye dengan rayuan yang merusak, sindiran atau rumor yang disebarkan mengenai sasaran tentang para kandidat atau calon kepada masyarakat agar menimbulkan presepsi yang dianggap tidak etis terutama dalam hal kebijakan publik. Komunikasi ini diusahakan agar menimbulkan fenomena sikap resistensi dari para pemilih. Kampanye hitam umumnya dapat dilakukan oleh kandidat atau calon, atau pihak lain karena kekurangan sumber daya untuk menyerang salah satu kandidat atau calon lain dengan bermain pada ranah emosi para pemilih agar pada akhirnya dapat meninggalkan kandidat atau calon pilihannya. Karakter dari kampanye hitam adalah penyembunyian kebenaran, entah seluruhnya atau sebagian, dan pembentukan persepsi yang dimanipulasikan. Pelaku kampanye hitam tidak memiliki sumber daya yang kuat untuk “menjadikan” dirinya atau kandidat yang didukungnya “merebut” hati pemilih. Rekayasa pembentukan persepsi menjadi “andalan” guna menjauhkan pemilih dari sosok potensial pilihan mereka. Isu-isu kampanye hitam dapat beragam. Paling ampuh bila berkaitan dengan sesuatu yang tampak mata, namun memiliki kompleksitas perkara yang tidak selalu disadari oleh banyak orang. Misalnya isu tentang kerusakan fasilitas jalan. Jalan rusak tentu tampak mata; kerumitan peraturan yang menyangkut kewenangan atasnya tidak selalu disadari. Kerumitan itu menyangkut pembagian kewenangan yang terurai dalam sebutan jalan negara, provinsi, atau kabupaten. Kerumitan yang tak kasat mata inilah peluang untuk manipulasi informasi dan emosi publik. Persepsi yang dibangun ter-
arah pada ketidakpedulian atau tiadanya tanggungjawab pihak pemangku jabatan pada kepentingan publik. Di sisi lain, pengalaman memangku kekuasaan dapat pula menjadi bahan kampanye hitam terselubung. Argumentasi logis yang sering diajukan adalah “pengalaman selalu identik dengan kemampuan lebih” untuk menangani masalah. Identifikasi “pengalaman” dengan “kemampuan lebih” sesungguhnya tidak dengan sendirinya benar. Persepsi logis yang dibentuk dengan argumentasi ini adalah “yang tidak berpengalaman, atau kurang pengalaman” TIDAK mampu menangani masalah. Inilah salah satu peluang yang umumnya dimainkan oleh kandidat incumben. Kampanye hitam pun dapat mengambil isu dari tema-tema kesukuan, agama, dan ras. Isu agama paling potensial dan panas. Agama berkaitan dengan keyakinan seseorang tentang kebenaran dasar terkait dengan hidup dan matinya. Karena fundamental, isu agama ini paling berdaya untuk dijadikan pemicu dan pemecah hubungan. Kesukuan menjadi isu potensial kedua untuk kampanye hitam. Dengan menyebut seseorang dan mengikatkannya pada kesukuannya, memungkinkan orang untuk defensif, sekaligus ofensif. Defensif ke dalam lingkup suku, dan ofensif terhadap orang dari lingkup suku berbeda. Apakah kampanye hitam dengan isuisu di atas masih berdaya guna? Di sinilah kesadaran seseorang mengambil peran penting.
Kemajuan teknologi informasi, terutama akses informasi lewat internet dapat dilakukan oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun, memungkinkan orang untuk memperoleh informasi lebih dari satu sumber. Serbarupa sosial media: facebook, twitter, dan lainnya, memberdayakan orang untuk mencari dan menemukan kebenaran suatu informasi lewat orangorang atau relasi group tertentu. Kesadaran orang (masyarakat) menjadi dipertajam dan semakin kritis. Masyarakat kini bukan tanpa kesadaran, mereka memiliki kesadaran mandiri. Mereka tidak dapat begitu saja dibohongi. Kesadaran kritis masyarakat ini perlu dijadikan pertimbangan para kandidat yang berkampanye. Pilihan yang tidak tepat dalam berkampanye, misalnya dengan kampanye hitam, bisa saja menjadi bumerang bagi diri sendiri. Mengapa? 1. Tingkat kesadaran masyarakat yang sudah mencapai tahap “kesadaran kritis”, membuat mereka memahami aspek buruk kampanye hitam, yakni pembodohan publik. Masyarakat kritis mampu menguji apakah sebuah pernyataan entah kampanye hitam atau janji mengandung kebenaran, atau kebohongan. Jika kampanye hitam dilaksanakan, hati-hati!, masyarakat kritis bisa merasa dibohongi dan bersikap kontra produktif: bukannya mendukung dan simpati, melainkan berbalik melawan, atau meninggalkannya. Bagaimana seseorang dapat diandalkan, jika kebenaran tidak ada di dalam perkataannya? 2. Masyarakat dengan kesadaran kritis lebih mampu melihat perbedaan sebagai kekayaan, dan kekuatan, daripada sebagai ancaman. Orang tidak lagi bersukacita atas perpecahan, melainkan persatuan. Refleksi di atas mengajarkan dua prinsip penting: 1. Pentingnya berkampanye secara cerdas, rasional, dan mengedepankan kebenaran. 2. Pentingnya menjunjung tinggi persatuan kesatuan. Dua prinsip ini menjadi seruan yang pantas dikumandangkan: No More Black Campaign! Jangan ada lagi kampanye hitam!
Wai
ra
5
VOX POPULI
S
aya harap jalan yang rusak segera diperbaiki, sedangkan jalan tanah dapat dibangun. Jalan di Kecamatan Kapuas masih jalan tanah. Kalau musim kemarau jalannya berdebu, kalau musim hujan banjir. Banyak yang sudah jadi korban kecelakaan akibat jalan rusak. BLASIUS BAGUNG, GURU
Damba Perbaikan Pelayanan Publik Pelayanan publik apa yang sangat diharapkan untuk diperbaiki setelah terpilihnya kepala daerah dan anggota DPRD baru?
P
erbaikan jalan di Sanggau selalu dilakukan tiap tahun, namun kita masih bisa melihat banyak jalan rusak. Pelayanan kesehatan juga kurang memadai . Pembuatan e-KTP di Sanggau sangat lamban. Padahal Sekadau yang melakukan perekaman belakangan dari Sanggau , malah e-KTP sudah dibagikan. MARIA MERI, GURU
P
elayanan kesehatan di Sanggau belum maksimal. Untuk kelas menengah ke bawah, sarana dan prasarana kesehatan yang dapat dijangkau masyarakat terbatas. Posyandu dan kadernya di Kecamatan Kapuas agak jarang. Selain itu perlu penambahan tenaga medis.
HERMINA ANGGIANA, IBU RUMAH TANGGA
D
i daerah saya, Batang Tarang, kekurangan informasi karenanya banyak masyarakat yang ditekan dengan biaya-biaya birokrasi. Penyuluh pertanian juga harus giat dalam menyampaikan informasi. Porgram pemuda juga belum banyak didukung pemerintah. PHILIPUS JHONI, WIRASWASTA
K
urangnya tenaga medis mengakibatkan pelayanan kesehatan masyarakat tak terjangkau. Di Mukok bidannya hanya satu. Banyak pasien yang datang dari jauh tidak dapat menemukan bidan. Puskesmas hanya ada satu di pusat desa. Selain itu peralatan kesehatan juga terbatas. YOS SUDARSO, GURU HONORER
S
emoga kepala daerah atau DPRD yang terpilih dapat memperjuangkan keinginan dan ke sejahteraan masyarakat. Bukan memperjuangkan kesejahteraan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Agar pendapatan pajak daerah dapat dipergunakan secara efektif untuk pembangunan daerah, khususnya Kota Sanggau dan sekitarnya. SRI WAHYUNI, IBU RUMAH TANGGA
6
Wai
ra
RUANG PUBLIK
Ironi Bangsa di Tanah Pertiwi Fatkhur Rahman Peserta Sekolah Demokrasi Sanggau Angkatan III
B
angsa Indonesia (dahulu) adalah bangsa yang besar, jaya dan hebat. Laksamana Malahayati, RA Kartini, Diponegoro, Sultan Agung dan para pahlawan lain menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa pahlawan (hero), pemberani dan yang pasti adalah pembela kebenaran. Namun apa lapuk dikata, semakin tua umur bangsa ini justru tidak menjadikan bangsa kita menjadi bangsa yang semakin dewasa, tapi justru semakin kekanak-kanakan (mirip “anak TK” kata Gus Dur) dan kolokan . Ada pula yang menganalisa dengan gurauan, bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami puber kedua. Kembali liar, binal, suka berpura-pura, tegar penampilan luar tapi keropos di dalam. Di satu sisi seorang sosiolog menga nalisa bahwa bangsa kita sedang krisis kepercayaan diri. Gagap dan tergopohgopoh menghadapi bombardir bom te roris atapun juga bom budaya hedonis, material centris. Indonesia tidak siap menghadapi laju arus zaman dan terancam oleh gerusan zaman itu sendiri. Ini sedikit berbeda dengan sejarah Persia, Romawi, Yunani Kuno, India, Arab Islam maupun China. Mereka sempat besar, jaya, kuat dan mempengaruhi peradaban luar-baru kemudian ambruk. Sedangkan bangsa Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945 belum sempat menikmati kejayaan dan kebesaran dirinya, sudah terancam bangkrut, ambruk dan akhir nya roboh. Karut-marut permasalahan di tanah air, ibarat sebuah kubangan lumpur dimana pelaku-pelaku (aktor) di dalamnya terjebak dalam hasrat nafsu kekuasaan sesaat. Nafsu ini akhirnya menyingkirkan apa kata hati nurani, pikiran jernih maupun kesantunan dalam bernegara. Konstalasi dan permainan yang terjadi sulit diprediksikan dan ditebak arahnya. Siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak dapat ditentukan, ada kekaburan dalam indicator kemenangan dan kekalahan itu sendiri. Di sisi yang lain dikarenakan tidak adanya kesepakatan tentang awal maupun akhir permainan yang menentukan si pemenang berhak menyandang gelar sang juara, yang ada adalah sang “jawara-jawara” yang tetap bertarung (on fighting) sampai titik darah penghabisan.
Reformasi Mei ‘98 yang diharapkan mampu membawa perubahan dan pencerahan (enlighment) dalam berbagai aspek kehidupan di ranah pertiwi ini, ternyata malah membawa dampak titik balik yang terparahkan. Kebebasan diartikan sebagai kemerdekaan ekpresi fisik yang “out of control”, lepas kendali. Otonomi diartikan sebagai “hak paten” untuk menjadi raja kecil. Kekuasaan diartikan sebagai kewenangan untuk merampok. KKN semakin menggejala, kemiskinan, keterpurukan dan ataukah sebentar lagi kehancuran. Cap terakhir diberikan kepada bangsa yang dulu membanggakan diri sebagai bangsa yang berbudi pekerti luhur ini, Indonesia adalah negara bia dab (the savage country), fundamentalis dan sarang teroris Indonesia, Bangsa yang Bukan-Bukan Kiranya bisa dikatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang tanggung dalam status ataupun bangsa yang bukanbukan. Bukan bangsa yang kaya namun bila dianggap miskin juga tidak mau. Banyak warganya yang sudah kaya nan jutawan namun ternyata negara kita juga supplier tenaga PRT terbanyak di dunia. Disebut bangsa pemarah juga bukan, namun kalau dianggap sopan ramah tamah juga tidak. Bangsa Indonesia memang murah senyum, terbuka,ramah terhadap siapa saja, namun emosipun mudah tersulut sekedar masalah kalah tanding bola. Diberikan julukan negara diktator manipulator tidak mau dengan bukti banyaknya pujian (basa-basi) dari luar terhadap proses demokratisasi di Indonesia, Akan tetapi bila disebut ne gara demokratis yang bersih juga bukan, dengan bukti rangking koruptor kelas dunia (International Transparancy) yang masih tidak bergesar dari rangking 5 besar, terkuaknya kasus Gayus, Century, Wisma Atlet berikut upaya rekayasa manipulatif yang dilakukan. Dalam hal prestasi juga demikian, masih dalam status bukan-bukan. Bangsa juara juga bukan, karena sepak bola dan bulutangkis terus menerus mengalami kekalahan. Namun disebut miskin prestasi juga bukan, karena tunas-tunas Indonesia terbukti jawara dalam olim-
piade biologi, fisika, merakit robot dan tanding ilmu sains lainnya. Bangsa cinta damai juga bukan, karena bukti banyaknya bom, kekerasan fisik dan tawuran massal di bumi pertiwi ini. Sementara diberikan julukan bangsa konflik juga tidak mau, karena masih ada kegiatan forum kerukunan, doa bersama dan silaturahmi antar elemen masyarakat di beberapa tempat. Bumi bangsa ini sudah tidak layak lagi disebut zamrud khatulistiwa, karena sudah sekian banyak hutan terbabat habis, kerusakan lahan gambut, lautan yang tercemar ataupun udaranya yang tidak lagi menyegarkan. Sementara di sebut bumi yang parah tercemar juga bukan, ternyata masih banyak pemandangan elok di pulau Nias, Bali dan Kalimantan, nuansa indah di kedalaman laut Banda ataupun udara yang menyegarkan di Danau Sentarum Kapuas Hulu. Bangsa kita memang berazas Ketuhanan, religius dalam konsep namun rakus dalam pelaksanaan. Iman tidak bisa bersambung dengan amal, perkataan tidak ditindaklanjuti dengan perbuatan serta komitmen hanya dalam aturan, diskusi dan seminar. Bangsa ini memang masih religius dan moralis, tapi tidak bisa dipungkiri seringkali munafik, mengada-ada, kiboy-kiboy atau kata pepatah Melayu, jauh panggang dari apinya. Moralis tapi hedonis, religius tapi ambisius, sosialis namun egois, keadilan dalam cita-cita namun musykil dan mustahil untuk kenyataannya. Bangsa yang Sedang Sakit Kondisi bangsa Indonesia saat ini sedang dalam fase sakit, demam dan meriang. Hidup segan, matipun tak mau (life on dying and die on living). Indonesia sedang terkena penyakit akut KKN, gagap zaman, mati suri nurani, radang prestasi dan kanker moral level akut. Bangsa ini memang masih ada dan berdiri di antara bangsa-bangsa lain, tapi ternyata ruhnya sudah tidak ada. Bangsa ini tidak mau belajar dari kegagalan-kegagalan yang pernah dialami ataupun berupaya mempertahankan keberhasilan-keberhasilan yang pernah diraih. Negara ini pernah miss management, salah pengaturan selama 32 tahun,
Wai
ra
7
RUANG PUBLIK namun ternyata itu kembali kita lakukan karena ada yang merasa lebih asyik dan menguntungkan dengan kondisi seperti ini. Negara ini harusnya trauma dengan krisis ekonomi yang pernah dialami dimana sempat menghancurkan sendisendi fundamen bangsa. Namun ternyata tetap banyak yang merasa nyaman bermain api dalam sekam aturan moneter, asyik masyuk dalam permainan fiskal serta terlena dalam ayunan praktik kolusi dan tawar-menawar kepentingan. Bahkan bangsa ini harusnya traumatis akan maraknya bencana dan musibah yang melanda, mulai dari tsunami, tanah longsor, puting beliung, gempa bumi sampai dengan kapal tenggelam maupun pesawat yang jatuh. Namun iman dan nurani bangsa ini mungkin sudah beku dan tidak lagi mengambil hikmah dari segala peringatan yang diberikan Yang Maha Kuasa. Indonesia pernah memiliki Maha-
patih Gajah Mada yang menyatukan seluruh kepulauan Nusantara bahkan hampir Asia Tenggara, namun saat ini pulau-pulau itu dianeksasi, ataupun di beli sebagai hak pribadi oleh orang luar dan kita hanya diam saja. Kita pernah bangga sebagai bangsa maritim, namun saat ini nelayan-nelayan kita lemah tak berdaya ketika melihat kapal-kapal asing hilir mudik menyedot hasil lautan kita. Bangsa ini pernah dikagumi dengan keberaniannya menyatakan ”go to hell with your aids” untuk Amerika, Inggris dan negara adikuasa lain yang berupaya menebarkan pengaruhnya dominasinya. Namun sekarang sekedar berkata ”inilah resiko liberalisme perdagangan” ketika komoditas tekstil, elektronik sampai dengan rumah sakit asing atau bahkan kelereng dan peniti dari luar negeri membanjri pangsa pasar dalam negeri yang kemudian berimbas pada sekaratnya Usaha Mikro. Bangsa ini membuka
pintu ”welcome to my country” kepada pemain bola asing, dokter asing, pekerja asing, konsultan asing dan tidak menyadari akhirnya kita menjadi penonton di stadion (negeri) sendiri. Waba’du, bangsa ini perlu tabib yang bisa mengembalikan memori kejayaan negeri sekaligus memberikan suplemen energi untuk segera bangkit dari keterpurukan. Bangsa ini membutuhkan sang Mesiah, Imam Mahdi yang bisa menghidupkan kembali kebekuan nurani yang sekian lama telah mati. Bangsa ini memimpikan tampilnya kaum muda dengan track record bersih yang lebih siap menghadapi tantangan zaman, jujur, kreatif dan inovatif. Bangsa ini perlu aturan, undang-undang dan pranata yang bebas kepentingan, aplikatif dan berpihak pada kebenaran. Bangsa ini memerlukan guru bangsa yang bisa memberikan petuah keteladanan dan mengajarkan hikmah kehidupan.
RESENSI BUKU
Mari Dengarkan Suara Rakyat
S
istem demokrasi yang dijalankan oleh pemerintahan saat ini hanya dijadikan alat untuk mencapai kepentingan golongan. Demokrasi telah kehilangan akarnya, saat ini hanya dijadikan alat. Kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tidak hanya itu, secara ekstrem bahwa demokrasi saat ini bukan lagi demokrasi rakyat melainkan demokrasi kapital. Di mana kepentingan penguasa selalu mendominasi arah kebijakan demokrasi. Sekarang ini demokrasi seolah telah menjadi candu, karena hampir setiap ne gara mengedepankan sistem demokrasi. Akan tetapi, kenyataan demokrasi di Indonesia, hanya pemegang kekuasaan yang merasakan, rakyat tidak. Keadilan sosial bukanlah keadilan formal, sebagaimana yang disiratkan dalam bunyi pasal-pasal Undang-undang hasil kesepakatan badan legislatif, atau dalam perspektif apapun hasil derivat-derivatnya. Keadilan sosial adalah keadilan yang dirasakan dan dinyatakan berdasarkan asasasas moral, yang diyakini secara kolektif oleh warga masyarakat setempat. Manakala keadilan formal menurut apa yang diisyaratkan Undang-undang terekspresikan sebagai moral rakyat, kalaupun tidak akan bervariasi dari waktu ke waktu akan bervariasi dari tempat ke tempat. Gerakan rakyat pada dasarnya sarat interpretasi sebagai gerakan yang menentang kekuasaan dominan, apakah domi-
8
Wai
ra
nasi modal ataupun dominasi negara. Pemaknaan ini berangat dari kenyataan, dalam banyak hal gerakan rakyat digerakkan oleh ideologi perlawanan, yang dibutuhkan sebagai pembenaran. Dirumuskan dalam tujuan gerakan dengan maksud agar gerakan tersebut mempunyai landasan dan motivasi kuat, serta aspirasi tangguh, supaya mampu melawan kekuatan lebih besar. Dengan kata lain, gerakan rakyat umumnya menganut ideologi anti-ekstorsi atau ideologi anti-pemerasan, dan menekankan penolakan terhadap sistem yang dianggap tidak adil dan menindas. Dalam gerakan rakyat kita temukan kombinasi spontanitas yang diturunkan dari identifikasi emosional yang membeludak, kadang didukung sepenuh hati oleh rakyat meski hanya dalam waktu yang pendek, dengan gambaran nasib masa depan lebih baik. Bentuk gerakan di sekitar tujuan umum sangat terdifusi, dan pencapaian tujuan ini dipercaya bisa memecahkan semua masalah besar. Sekalipun rakyat tampaknya pasif, sungkan, dan diam, mereka dapat saja menolak kondisi-kondisi yang tidak me reka sukai melalui tindakan mengu rangi produksi, atau tidak mengindahkan informasi-informasi penting dari para penindasnya. Bentuk perlawanan secara diam-diam atau terselubung dari eksploitasi adalah lebih umum dilakukan daripada melawan secara terang-terangan. Rakyat biasanya bersedia mengambil risiko dengan menga
dakan konfrontasi langsung, bila mereka menganggap ketidakadilan tidak lagi dapat ditoleransi. Jika tuntutan kebutuhan mereka melonjak tiba-tiba, sementara institusi lokal dan nasional, serta kondisi kultural cenderung meminta mereka menggunakan jubah kolektif. (*) Penulis : B. Herry Priyono, A.E. Priyono, Zumrotin K. Susilo Penerbit : Yayasan Obor Indonesia Tanggal terbit : 2012 Jumlah Halaman : 328 Jenis Cover : Soft cover
CERITE KITE n Perempuan Adat Pakistan Pertama yang Ikut Pemilu
B
adam Zari, 45 tahun, tengah menyiapkan makan siang untuk dia dan suaminya. Ia seorang ibu rumah tangga, suaminya adalah kepala sekolah. Burka Zari menutupi hampir seluruh wajahnya, kita hanya bisa melihat matanya. “Lewat TV saya menyaksikan keadaan negara tiap hari makin hancur. Saya memutuskan ikut pemilu walaupun saya tak punya cukup kualifikasi.” Zari tidak bisa baca tulis, tapi menurut Undang-undang Pakistan, hal itu bukanlah masalah. “Suami saya bilang, tidak perlu kualifikasi karena saya punya kecerdasan. Saya punya niat melayani pria dan wanita dari seluruh negara, lebih baik dari lainnya jika diberi kesempatan. ” Zari maju sebagai calon independen dari Bajaur dalam Wilayah Federasi Otonomi Tribal. Perempuan adat lain yang bertarung untuk kursi yang sama, sudah mengundurkan diri setelah menerima ancaman dari Taliban. “Tujuan dan misi saya adalah bekerja untuk perdamaian di wilayah saya, negara dan seluruh dunia. Saya ingin perdamaian dan kemakmuran berjaya di mana-mana di dunia. Saya harap sesama rakyat dan komunitas internasional mendukung saya mencapai tujuan saya.” Suaminya, Sultan Khan, mendukung keputusan Zari maju ke Parlemen. Sebagai pria berpendidikan, ia ingin menyaksikan reformasi di tengah masyarakat Pakistan. “Badam Zari selalu membela hak-hak rakyat yang terpinggirkan. Karena itu saya mendukungnya. Semula kami berencana membangkitkan kesadaran akan hak-hak bagi laki-laki dan perempuan, dan tidak menargetkan ikut Pemilu. Tapi Pemilu adalah cara untuk meraih tujuan kami. Setelah itu kami memperhatikan kalau selama kampanye pemilu, banyak orang yang terpinggirkan hak-hak dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan dan jalur komunikasi seperti jalanan. Kami akan angkat isu itu di berbagai kesempatan, terlepas mereka yang berkuasa mende ngarkan kami atau tidak.” Wilayah suku Pakistan dikenal sangat konservatif. Perempuan tidak bersekolah dan tidak diizinkan meninggalkan rumah tanpa suami atau saudara laki-laki me reka. Bahkan pepatah populer Pasthu menyebutkan kalau “perempuan hidupnya di rumah, atau di kuburan.”
ISTIMEWA
Badam Zari Terobos Aturan Taliban
Zari berjanji akan menjadi suara bagi perempuan. “Saya adalah seorang perempuan dan saya lebih mengerti persoalan dan masalah yang dihadapi perempuan di wilayah ini. Jadi saya bisa kerjakan ini dengan lebih baik. Saya tidak berpendidikan tapi saya tahu pentingnya pendidikan. Jika terpilih, saya akan memfokuskan pada pendidikan dan kesehatan perempuan di wilayah ini. Saya tidak punya anak, jadi saya menyadari semua anak muda adalah anak saya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk masa depan dan kehidupan yang lebih sukses bagi mereka.” Kandidat lainnya telah memulai kampanye mereka dengan memasang poster dan papan iklan di sepanjang kota. Tapi, Zari miskin dan tidak mampu membiayai kampanyenya. Jadi, ia berkunjung dari pintu ke pintu, meyakinkan orang untuk memilihnya. Ia beruntung mendapat bantuan dari Javed Khan. Pria 22 tahun ini bekerja di toko obat. Dia adalah salah satu pendukung utama Zari dan telah memulai kampanye untuk mendukungnya. Ia mencoba meyakinkan siapa pun yang datang ke tokonya untuk memilih Zari. “Perempuan akan mendapatkan hak mereka dan akan mengenali hak mereka jika Badam Zari menang pemilu. Kami telah memlih pemimpin laki-laki selama bertahun-tahun tapi tidak ada yang berubah. Mereka tidak berbuat apa-apa bagi perdamaian di wilayah ini. Tidak ada kesempatan dalam hidup kami. Kami
akan memberi Badam Zari kesempatan kali ini.” Dari 1,8 juta rakyat Bajaur, sekitar 70 ribu-nya adalah perempuan. Menurut konstitusi, 70 kursi parlemen dialokasikan untuk perempuan dan minoritas agama. – tapi tak ada yang menyebutkan secara spesifik kursi untuk perempuan adat. Presiden Partai Rakyat Pakistan, Aurangzeb Inqelabi. “Kami adalah masyarakat demokratis dan menghargai keputusan Badam Zari untuk ikut Pemilu. Tapi ia berasal dari suku minoritas, karena itu saya menentang keputusan ini. Tidak pas bagi dia untuk ikut Pemilu atau bahkan memenangkannya. Dia tidak boleh keluar rumah dan bakal sulit bagi dia untuk menyebarkan gagasannya atau meminta warga untuk memilih dia. Saya jadi bertanya-tanya, dari mana dia bakal dapat suara?” Militan Taliban sudah mengancam bakal menyerang kampanye politik yang dianggap berseberangan dengan mereka. Sejauh ini, Zari belum menerima ancaman langsung. Tapi dengan gagasan soal hak pendidikan dan perempuan, ini menjadikan dia sebagai sasaran empuk. Tapi, itu tidak menghalangi Zari. “Saya bertarung dalam pemilu dengan hasrat, dengan hati bersih dan penuh kesadaran. Saya belum melakukan apapun yang salah jadi, saya tidak merasa terancam atau takut pada siapapun.” Tidak diketahui bagaimana hasil akhir Pemilu tersebut. Andaipun kalah, setidaknya dia telah membuat sejarah baru di Pakistan. (*)
Wai
ra
9
KABAR KITA
S
kami sepuh dengan cat baru, mengganti beberapa keping atap dan karpet plastik baru supaya suasana kantor lebih cerah dan menyenangkan. Semua kru bahu membahu memindahkan dan menata barang-barang, tak terkecuali juga Pluto, si anjing peliharaan kesayangan di Elpagar. Beberapa teman dari luar Elpagar kadang-kadang ikut pula membantu kepindahan kami. Kelelahan menjadi hal yang biasa, tetapi keadaan lelah akan berkurang saat setiap sore kami duduk dan makan ber-
RAWAI
RAWAI
RAWAI
ejak akhir April 2013, rumputrumput di halaman kantor Elpagar di Jl Abdurrahman Saleh 3 Pontianak, sudah tumbuh tinggi. Kadang-kadang terlihat sepi dan tak berpenghuni. Salah satu tamu yang sering berkunjung ke Elpagar berceletuk, “Kukira kalian sudah pindah,” katanya sambil menunjuk rerumputan itu. Kami hanya terkekeh membenarkan gurauan itu. Kantor Elpagar memang sedang berbenah untuk berpindah lokasi. Setiap sore ketika matahari khatulistiwa tidak lagi panas menyengat, para kru Elpagar sibuk mengangkut barang-barang ke mobil untuk dipindahkan ke lokasi yang baru. Adalah Hendra alias Een yang menemukan tempat baru untuk kantor kami setelah kurang lebih 2 bulan mencari, yaitu di jalan Karya Baru, di kompleks Pondok Agung Permai, tak jauh dari jalan Purnama. Lingkungan kompleks yang ramai dilalui orang-orang ini berbeda suasananya dengan kantor lama. Jika di kantor lama suasananya lebih tenang dan teduh, di kantor baru suara kendaraan yang lewat seakan tak pernah putus. Tak jauh dari sana ada bangunan yang menampung burung walet, sehingga kicauan walet juga terdengar setiap waktu. Pada bangunan dua lantai itu, perlahan-lahan
RAWAI
Selamat Datang di Kantor Baru Elpagar
10
Wai
ra
sama sebelum pulang ke rumah, sambil masing-masing berkeluh kesah, berbagi saran, mengkritik, dan bergurau. Sebagai direktur, Furbertus Ipur se ring mewanti-wanti kami soal kesehatan. “Tidak ada yang boleh sakit!” pesannya sambil bercanda. Walaupun masih berjibaku dengan penataan kantor baru, masing-masing kru masih menjalankan tugas/pekerjaan pokok. Selamat tinggal kantor lama, selamat datang kantor baru, dan selamat berkunjung. (yooce tutkey)
STUDIUM GENERALE
M
RAWAI
alam 19 April 2013 hujan deras melanda kota Sanggau. Jalanan kota yang berbukit dibasahi air hujan. Licin dan landai. Daun-daun di pepohonan tunduk pada derasnya kucuran hujan, tetapi Profesor Qosim Mathar tetap semangat menyampaikan Studium Generale. “Apakah ketika Anda menang kelompok agama minoritas, kepercayaan tidak akan mengalami kondisi ketidakmanusiaan?” begitulah pertanyaannya kepada para peserta Studium Generale. Profesor Qosim menyampaikan pengantar dalam Studium Generale berisi sejarah tentang demokrasi sejak Indonesia merdeka. Corak-corak demokrasi yang beragam telah dirasakan masyarakat sejak periode pemerintahan beberapa presiden sebelum SBY. Sebagai pengalaman, ada tiga corak utama demokrasi; yang pertama Demokrasi Liberal yang berlangsung menjelang dan sesudah Pemilu 1955, yang kedua adalah Demokrasi Terpimpin sejak Dekrit Sukarno pada tahun 1959 hingga Bung Karno disingkirkan 1966, dan corak yang ketiga adalah Demokrasi Pancasila dari zaman Suharto menjadi presiden hingga dia lengser pada tahun 1998. Terkait Pemilu dan Pilkada terhadap demokrasi, Profesor Qosim menegaskan bahwa rakyat sebagai pemilik suara diharapkan semakin jernih dan cerdas dalam menjatuhkan pilihan ketika menggunakan haknya dalam Pemilu dan Pilkada, tidak terpengaruh oleh politik uang. Menurutnya, politik uang adalah proksi dari elit pada semua bidang trias politika. Masih banyak calon wakil rakyat yang mempunyai sejarah hitam, dan agaknya rakyat belum dipercaya sebagai warga yang cerdas maka itu mereka menganggap masih gampang dipolitik uang.
RAWAI
Belajar Corak Demokrasi Indonesia
Selain itu, KPU sebagai pelaksana Pemilu seharusnya lebih siap menjalankan setiap tahapan dalam Pemilu. Isu yang berkembang saat ini yaitu adanya kericuhan massa akibat Pilkada, salah satunya yaitu bentrok para pendukung calon kepala daerah serta pendukung partai. Gerakan rakyat tidak akan hidup jika tidak ada pemimpinnya, maka para calon kepala daerah yang kalah harus lebih siap dan bersikap nyata, tidak hanya berkomitmen di bibir saja untuk mewujudkan Pilkada yang damai. Harus kita lihat dan sadari bahwa peran strategis KPU, media dan kepolisian yang harus menjadi netral, independen, profesional juga pentingnya proporsionalitas me-
dia dalam pemberitaan untuk tidak provokatif. Pada akhir kata Studium Generale yang singkat tersebut, Profesor Qosim Mathar juga mengungkapkan “..bahwa karena itulah semua yang mendorong KID bersama rekannya di 8 provinsi dan kabupaten melaksanakan sekolah demokrasi karena demokrasi kita masih tertatih-tatih dalam demokrasi basa basi dan prosedural”. Studium Generale yang dimulai setelah makan malam bersama peserta Sekolah Demokrasi angkatan ketiga bersama alumni Sekolah Demokrasi tahun 2011 dan 2012, dihadiri kurang separuh dari jumlah undangan. Hujan yang tiba-tiba turun sangat deras tersebut mengurungkan banyak orang untuk pergi. Silaturahmi saat makan malam antara peserta dan alumni diisi dengan canda dan tawa. Kemudian aula YPSBK turut pula menjadi saksi peneguhan secara de yure alumni Sekolah Demokrasi tahun 2012 sebagai anggota KKDS oleh Profesor Qosim Mathar. Secara simbolis beliau juga menyerahkan sertifikat kelulusan peserta Sekolah Demokrasi tahun 2012 kepada Ela Karnela dan Heri Priyanto sebagai perwakilan peserta. Selanjutnya Studium Generale menghangatkan semangat para pesertanya. Para peserta berpartisipasi sangat aktif dalam diskusi pada sesi berikutnya. Beragam pertanyaan dan opini dilontarkan dan dibagi bersama secara antusias, baik dari alumni Sekolah Demokrasi maupun peserta ang katan terbaru. Demikian hujan di malam Studium Generale tersebut tidak menghalangi sejuk dan redupnya semangat para pejuang demokrasi. (yooce tutkey)
Wai
ra
11
Galeri Foto
FOTO-FOTO: RAWAI
Pagi di Pasar Kaget Sanggau
12
Wai
ra