Etnik dan Konflik Sosial di Indonesia Deni Khanafiah*, Hokky Situngkir**
* Dept.of Computational Sociology Bandung Fe Institute. e‐mail:
[email protected] ** Dept. Of Computational Sociology Bandung Fe Institue e‐mail:
[email protected]
Abstracts We analyze the ethnic diversity in all Indonesian provinces by using several indices which commonly used to measure the level of ethnic diversity, i.e. fractionalization, polarization and entropy index. We use these indices to find the connection between the ethnic heterogeneity in several regions in Indonesia and the occurrences of ethnic conflict. In order to find the pattern between ethnic diversity and ethnic conflict, we use visualization provided by cartogram model. We also perform this analysis to find the relation between the economic aspect and social conflict. Interestingly, we find that the heterogeneity of ethnic is not the dominant factor that causing the social conflict. Social conflict, particularly in Indonesia, is related by many aspects including economic, religion, and politics. Keywords: ethnic diversity, diversity indices, ethnic conflict, cartogram.
1
1. Pendahuluan Ras dan etnik merupakan salah satu konsep kategorisasi individu ke dalam kelompok sosial tertentu di masyarakat. Ras pada awalnya terkait dengan pengkategorian individu berdasarkan faktor‐faktor biologis tertentu seperti warna kulit, bentuk rambut, hingga struktur muka. Sementara etnik atau suku, dikategorisasi dengan melihat beberapa aspek kultural yang terdapat individu, seperti bahasa, agama, norma dan asal‐usul kultural leluhurnya. Namun baik ras maupun etnik bisa kita katakan sebagai sebuah identitas kolektif, yang kita proklamirkan sendiri berdasarkan atribut‐atribut tertentu yang melekat secara alamiah, dari mulai warna rambut, bahasa, agama, hingga wilayah tempat ia tinggal (Tambiah, 1989). Munculnya kelompok sosial – khususnya etnik, terkadang membawa dampak yang negatif, terutama jika dikaitkan terjadinya konflik sosial yang ditandai dengan adanya insiden berupa mobilisasi massa dan kekerasan sosial di antara dua kelompok sosial yang berbeda identitas kolektifnya (Fearon, 2004; Srbljinović et al, 2003). Beberapa teori menduga bahwa identitas etnik menjadi salah satu media yang memfasilitasi terjadinya aksi kolektif (Humphreys et al, 2002). Indonesia sendiri sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman etnik, berpotensi mengalami konflik dan kekerasan sosial yang didasarkan pada perbedaan etnik. Sukma (2005) bahkan melihat bahwa hampir seluruh konflik sosial yang ada di Indonesia semenjak zaman Orde Baru hingga pasca jatuhnya rezim tersebut, baik konflik antara kelompok (horisontal), maupun antara kelompok sosial tertentu dengan pemerintah (konflik vertikal), pada umumnya dipengaruhi oleh dimensi etnisitas. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa studi mengenai etnik dan kaitannya dengan konflik sosial menjadi penting untuk dilakukan, terutama untuk melihat sejauh mana pengaruh keheterogenan individu dalam sistem sosial berpotensi menjadi konflik dan kekerasan sosial. Beberapa penelitian telah dilakukan guna mengkaji keragaman etnik dan kaitannya dengan beberapa aspek sosial maupun ekonomi. Pendekatan klasik secara sederhana sering menduga bahwa tingginya tingkat keragaman membawa dampak negatif, seperti rendahnya pertumbuhan dan pendapatan serta buruknya kebijakan pemerintah (Easterly and Levine, 1997), rendahnya aspirasi individu terhadap kebutuhan publik, tingginya tingkat korupsi (Alesina, 2003), dan juga berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan sosial (Fearon and Latin 2003; Matuszeski et al , 2004). Dalam makalah ini, kita berupaya mengkaji konflik sosial dan kaitannya dengan keragaman individu dalam masyarakat, seperti suku, agama dan bahasa. Kita juga mengkaji kaitan antara aspek‐aspek ekonomi, seperti pendapatan dan kelayakan hidup, dengan terjadinya konflik sosial di Indonesia. Untuk mengkaji 2
masalah tersebut, kita menggunakan beberapa pendekatan, dimulai analisis tingkat keragaman suku di Indonesia dengan menggunakan indeks fraksionaliasi, indeks polarisasi dan indeks entropi. Kita juga melakukan analisis dengan bantuan viasualisasi model kartogram dengan teknik difusi (Gastner & Newmann, 2000, Situngkir, 2007), untuk melihat bagaimana hubungan antara tingkat keberagaman etnik dan beberapa aspek ekonomi dengan terjadinya konflik sosial. 2. Tingkat Keragaman Etnik di Indonesia Kelompok etnik dan konflik etnik merupakan dua fenomena makro dalam sistem sosial yang menjadi bahan kajian banyak ilmuwan sosial, terutama untuk mencari hubungan sebab akibat dari kedua aspek tersebut. Salah satunya adalah dengan mengukur tingkat keberagaman suku, dengan menggunakan beberapa indeks sebagai pedekatan kuantitatifnya. mbagian wilayah etnis pada tahun 1972∗ Gambar 1 Pembagian kelompok etnik di Indonesia pada tahun 1972∗
Indonesia merupakan negara yang tersusun atas banyak kelompok etnik yang berbeda (gambar 1). Secara administratif, indonesia sendiri terbagi menjadi beberapa wilayah administratif yang lebih kecil berupa propinsi kemudian kabupaten hingga satuan terkecil berupa desa. Secara umum, tingkat keragaman etnik antara satu wilayah dengan wilayah lain di Indonesia berbeda, hal ini terkait dengan lingkaran‐lingkaran asal‐usul adat, bahasa dan nenek moyang dari penduduk setempat dan interaksi dengan pendatang (Liliweri, 2005). Untuk melihat keragaman tersebut, kita menggunakan beberapa perhitungan indeks yang umumnya digunakan oleh para ilmuwan sosial dan ekonomi untuk mengukur tingkat keberagaman etnik, yaitu indeks fraksionalisasi, indeks ∗
Peta dari PCL Map Library, Universitas Texas, USA. http://www.lib.utexas.edu/maps. ʺCourtesy of the University of Texas Libraries, The University of Texas at Austin.ʺ
3
polarisasi dan indeks entropi. Kita mengkalkulasi indeks tersebut untuk di setiap propinsi di Indonesia, dengan menggunakan data sensus penduduk tahun 2000. a. Indeks fraksionalisasi Etno‐linguistik (Ethno‐linguistic Fractinalization Index (ELF)). Etnik dan bahasa merupakan hal yang sulit terpisahkan, beberapa ilmuwan etnologi dan lingustik menggunakan perbedaaan bahasa untuk mengkalisifikasi individu ke dalam etnik yang berbeda (Alesina, 2003). Perbedaan etnik dan bahasa menjadi dasar bagi penyusunan indeks yang menyatakan heterogenitas agen, yang disebut sebagai indeks Ethno‐linguistic Fractinalization (ELF). Indeks ini digunakan pertama kali oleh ilmuwan Soviet Altlas Norodov Mira (1964) dan kemudian dipopulerkan oleh Taylor dan Hudson (1972). Indeks ini sendiri bisa kita artikan sebagai besarnya peluang dua orang individu yang diambil secara acak akan berada pada dua kelompok etnik yang berbeda. Dalam perhitungannya, indeks tersebut dikalkulasi berdasarkan indeks konsentrasi Herfindahl sebagai berikut: N
ELF = 1 − ∑ si 2
(1)
i =1
di mana N merupakan jumlah suku dan si merupakan share dari suku ke‐i terhadap keseluruhan total populasi. Besarnya indeks tersebut akan berada pada rentang 0 sampai dengan 1, dimana 0 menggambarkan populasi yang benar‐ benar homogen dan 1 menggambarkan populasi yang sangat heterogen. Indeks fraksionalisasi merupakan indeks yang cukup populer dan banyak digunakan, hal ini terutama dikarenakan kemudahannya dalam mengkalkulasi nilai indeks tersebut, yang dibutuhkan hanyalah nilai vektor dari share suatu populasi etnik terhadap keseluruhan populasi. Indeks ini kerap menjadi dasar analisis kuantitatif guna melihat bagaimana hubungan antara tingkat keheterogenan etnik dalam suatu wilayah dengan fenomena sosial dan ekonomi lainnya, seperti terjadinya konflik etnik (Cederman & Girarin, 2005; Fearon, 2003), pertumbuhan, performa pemerintah dan aspirasi publik (Alesina, et al, 2003). Representasi grafis untuk indeks fraksionalisasi di setiap propinsi di Indonesia dapat dilihat pada gambar 1, di mana secara umum propinsi‐propinsi di Indonesia mempunyai tingkat fraksionalisasi yang cukup tinggi, terutama di wilayah bagian timur Indonesia. Tingkat fraksionalisasi etnik yang rendah terkonsentrasi di wilayah sekitar Jawa dan Bali, terkecuali di wilayah Jakarta, yang merupakan ibu kota negara.
4
Gambar 1 Indeks Ethno‐linguistic Fractionalization (ELF) untuk 30 propinsi di Indonesia. (a). Berdasarkan etnik (b). Berdasarkan agama b. Indeks Polarisasi Indikator lain yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat keberagaman dalam suatu masyarakat adalah indeks polarisasi. Indeks ini sendiri merupakan pengembangan dari indeks fraksionalisasi, dengan memperhitungkan “jarak” antara kelompok sosial atau etnik yang diobservasi. Jarak tersebut merupakan suatu besaran tertentu yang bisa mengukur sejauh mana perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Hal ini cukup penting diperhatikan, mengingat pembedaan individu berdasarkan etnik melibatkan banyak dimensi, tidak hanya berdasarkan warna kulit tetapi juga aspek‐aspek kultural, agama dan bahasa, dan aspek alamiah lainnya. Dengan demikian, dalam pengukuran tingkat keberagaman suatu populasi, tidak semata‐mata hanya dengan memperhitungkan share suatu etnik terhadap keseluruhan populasi – seperti dalam indeks fraksionalisasi – melainkan juga dengan memperhitungkan tingkat perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya (Reynal‐Querol & Montalvo, 2005). Indeks polarisasi merupakan besaran yang memperhitungkan tingkat perbedaan tersebut, dan dirumuskan sebagai:
5
N
N
P = K ∑∑ si1+α s j yi − y j
(2)
i =1 j =1
Dengan N adalah jumlah etnik, si menyatakan share dari suku ke‐i terhadap keseluruhan total populasi, K > 0 dan α ∈ (0, α * ) merupakan kostanta, dimana
α * ~ 1.6 , dan yi − y j merupakan ukuran jarak. Untuk kasus α = 0 , nilai P merupakan koefisien Gini yang umumnya digunakan untuk mengukur ketidak‐ samaan (inequality), share suatu kelompok dipangkatkan dengan 1 + α untuk menunjukkan penekanan terhadap polarisasinya daripada ketidaksamaannya. Namun perhitungan indeks ini menjadi cukup sulit mengingat ketersediaan data yang ada, oleh karenanya persamaan indeks polarisasi dimodifikasi dengan hanya memperhitungkan share suku ke‐i dalam suatu populasi saja, indeks ini lebih dikenal sebagai indeks Reynal‐Querol (RQ) yang dirumuskan sebagai: N
RQ = 1 − 14 ∑ ( 12 − si ) 2 si
(3)
i =1
dimana N menyatakan jumlah suku dan si menyatakan share dari suku ke‐i terhadap keseluruhan total populasi. Indeks ini menekankan bahwa perbandingan yang cukup berimbang antara dua kelompok yang berbeda dalam suatu populasi menyebabkan polarisasi yang lebih besar daripada perbandingan yang lebih besar. Tingkat polarisasi etnik untuk 30 propinsi di Indonesia dapat dilihat pada gambar 2. Secara umum ke‐30 wilayah propinsi di Indonesia memiliki tingkat polarisasi yang cukup tinggi. Dengan merujuk pada definisi polarisasi, bisa kita melihat bahwa pada hampir keseluruhan propinsi di Indonesia, terutama untuk propinsi‐propinsi hasil pemekaran, akan terdapat kelompok etnik minoritas tertentu yang hampir sama besarnya dengan etnik dominan di wilayah tersebut, sementara etnik‐etnik minoritas lainnya hadir dengan share yang lebih kecil. Dengan hanya berdasarkan pada indeks polarisasi, potensi konflik etnik di seluruh wilayah tersebut, bisa dikatakan sama besarnya. Seperti yang dikemukakan oleh Horowitz (1985) bahwa potensi konflik akan menjadi lebih besar ketika suatu etnik minoritas dalam jumlah yang besar bertemu dengan etnik dominan. Fakta yang berbeda didapati ketika kita menggunakan pehitungan indeks polarisasi berdasarkan data agama. Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi utara, merupakan propinsi dengan tingkat polarisasi yang tinggi untuk agama, hal ini menunjukkan adanya fraksi agama minoritas tertentu dalam jumlah yang cukup besar relatif terhadap agama yang dominan
6
di daerah tersebut. Fakta ini memunculkan dugaan bahwa konflik sosial di daerah tersebut, lebih disebabkan karena adanya motivasi karena unsur ketidakpuasan yang tersulut oleh perbedaan agama, seperti diskriminasi dari agama mayoritas terhadap agama minoritas (Fox, 2000). Gambar 2 Indeks polarisasi untuk 30 propinsi di Indonesia. (a) Suku. (b) Agama c. Indeks Entropi Indeks lainnya yang dibangun untuk menyatakan tingkat keragaman (diversity) etnik dalam suatu populasi adalah indeks entropi. Indeks entropi merupakan indeks yang dibangun untuk menyatakan “kerataan” atau evenness suatu populasi. Indeks ini akan menjadi ukuran mengenai rata‐rata perbedaan antara masing‐masing unit dalam sistem terhadap keseluruhan sistem tersebut (Theil, 1972). Indeks entropi atau H juga dapat diinterpretasikan sebagai perbedaan antara keragaman (entropi) dalam sistem dan bobot keragaman dari unit‐unit individualnya, yang umumnya dinyatakan sebagai fraksinya terhadap total entropi dari sistem. Dari sini, ada dua besaran yang bisa dilihat didalam suatu populasi yaitu nilai entropi sistem (E) yang menyatakan keragaman sistem tersebut:
7
r
E = ∑ sr ln [1/ sr ]
(4)
r =1
Dimana sr menyatakan faksi atau share satu etnik tertentu terhadap total populasi dalam suatu wilayah, dan indeks entropi (H) yang menyatakan distribusi suatu kelompok terhadap kelompok tetangganya: m ⎡ t ( E − Ei ) ⎤ H = ∑⎢ i (5) ET ⎥⎦ i =m ⎣ Dimana ti adalah total populasi dari track atau ruang observasi ke‐i dan T adalah jumlah track dalam sistem. Indeks ini terkadang bisa dipandang sebagai tingkat integrasi dan segregasi, dimana nilai 0 menyatakan tingkat integrasi yang paling tinggi dan 1 menyatakan tingkat segregasi paling tinggi. Gambar 3 Indeks entropi (etnik) untuk 30 wilayah di Indonesia Dengan menggunakan perhitungan di atas kita mengkalkulasi indeks entropi suku untuk 30 propinsi di Indonesia, dengan membaginya ke dalam kabupaten/kotamadya sebagai track yang menyusun propinsi tersebut. Hasil dari
8
perhitungan ini dapat dilihat pada grafik di gambar 3. Jakarta sebagai ibukota negara memiliki tingkat integrasi yang tinggi, dimana tingkat keragaman untuk setiap wilayah penyusunnya bisa dikatakan sama tingginya dan merata. Daya tarik ibukota, baik secara sosial politik maupun ekonomi, tentunya bisa diduga menjadi faktor yang menyebabkan migrasi penduduk yang berlainan suku ke daerah ini. Sementara, tingkat segregasi berdasarkan etnik yang cukup tinggi terjadi dibeberapa wilayah, khusunya di NTT dan NTB, menandakan adanya pengelompokan satu etnik tertentu di satu wilayah atau tidak meratanya keberagaman etnik diantara wilayah‐wilayah penyusunnya (kabupaten/ kotamadya). 3. Masyarakat Multi‐Etnik dan Konflik Sosial di Indonesia – analisis kartogram konflik sosial di Indonesia Konflik dan kekerasan sosial merupakan suatu fenomena yang kerap menandai kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terutama pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Insiden yang ditandai dengan mobilisasi massa dan kekerasan terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia, terutama di Maluku, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Aceh dan Papua (Sukma, 2005; Tadjoeddin, 2002). Pada dasarnya harus kita sadari bahwa konflik sosial merupakan fenomena kompleks yang disebabkan oleh banyak aspek, seperti tingkat kesulitan ekonomi dan sosial, pengelompokkan sosial dan terjadinya kesenjangan hingga ketidakpuasan terhadap pemerintah dan rejim politik tertentu. Beberapa pendekatan telah dilakukan guna mengkaji faktor‐faktor yang cukup dominan dalam menyebabkan konflik sosial dan bagaimana struktur konflik sosial di Indonesia (Situngkir, 2003; Khanafiah and Situngkir, 2007) Salah satu aspek yang diduga menjadi faktor utama dalam menyebabkan konflik sosial di Indonesia adalah faktor kesukuan atau etnisitas. Indonesia sendiri yang secara alamiah merupakan bangsa yang tersusun atas banyak etnik, sehingga sangat berpotensi menimbulkan konflik. Untuk melihat hal tersebut kita menggunakan analisis kartogram untuk melihat sejauh mana keragaman etnik yang telah kita deskripsikan dengan menggunakan beberapa indeks dan kaitannnya dengan konflik sosial di Indonesia. Teknik kartogram sendiri merupakan salah satu metode yang diharapkan akan mempermudah pemahaman kita tentang bagaimana kaitan antara aspek‐ aspek sosial dan ekonomi dengan potensi terjadinya konflik sosial di Indonesia. Model kartogram yang digunakan adalah model kartogram difusi (Situngkir, 2007, Situngkir dan Dahlan, 2007), dimana visualiasi suatu geografis akan ditentukan oleh kerapatan data tertentu dari wilayah tersebut.
9
Untuk menganalisis konflik sosial di Indonesia, kita menggunakan data terjadinya insiden kekerasan sosial yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1990‐2001. Konflik sosial di sini dipandang sebagai bentuk mobilisasi massa yang menyebabkan terjadinya korban (Tadjoeddin, 2002). Secara umum, seperti yang terlihat dalam gambar 4, konflik sosial di Indonesia terkonsentrasi di beberapa wilayah, terutama Aceh dan Maluku, Papua dan Kalimantan Tengah, serta propinsi‐propinsi di Pulau Jawa. Aceh menjadi daerah yang cukup banyak mengalami insiden kekerasan sosial, sebagai konsekuensi terjadinya terjadinya konflik yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah pusat, dimulai sejak diprolamasikannya kemerdekaan Aceh oleh Hasan di Tiro pada tahun 1976 di Pidie. Di susul dengan Maluku, yang mengalami konflik antar etnik yang juga berdurasi cukup lama antara tahun 1999‐2004. Propinsi‐propinsi di pulau Jawa menunjukkan tingkat konflik yang tinggi, terutama dengan adanya kerusuhan sosial pasca kejatuhan Soeharto antara tahun 1998‐1999, khususnya kerusahan Mei 1998, beberapa daerah lainnya tercatat juga mengalami konflik antar etnik dengan durasi yang lebih pendek seperti Kalimantan Tengah dan Barat, serta Papua (Pudjiastuti, 2002). Gambar 4 Kartogram konflik sosial di Indonesia, dinyatakan dalam jumlah insiden yang terjadi. Semakin besar luas wilayahnya menunjukkan semakin sering terjadinya insiden kekerasan sosial di wilayah tersebut. Lalu bagaimana kerapatan insiden tersebut dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti keberagaman etnik, agama, bahasa dan juga faktor‐faktor ekonomi? Faktor apa‐apa saja yang cukup dominan yang mempengaruhi terjadinya konflik sosial di beberapa wilayah di Indonesia tersebut?
10
Seringkali keragaman etnik menjadi salah satu alasan yang cukup dominan yang memicu terjadinya konflik. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Fearon (2003) dan Horowitz (1985) menunjukkan bagaimana negara‐negara yang memiliki tingkat keberagaman etnik yang tinggi umumnya mengalami konflik sosial. Untuk kasus Indonesia, kita menvisualisasikan keberagaman etnik yang direpresentasikan dengan besaran indeks fraksionalisasi dengan frekuensi terjadinya insiden kekerasan sosial di beberapa wilayah di Indonesia seperti terlihat pada gambar 5. Gambar 5 Keragaman etnik dan konflik sosial. Ukuran wilayah merepresentasikan jumlah insiden kekerasan sosial, sementara indeks warna menunjukan tingkat fraksionalisasi etnik yang ternormalisasi. Hal yang cukup menarik, dari gambar 5 kita bisa melihat bahwa pada umumnya konflik sosial terjadi pada propinsi‐propinsi yang memiliki tingkat fraksionalisasi etnik yang tidak terlampau tinggi, seperti Aceh, Maluku dan propinsi‐propinsi di Jawa. Propinsi‐propinsi yang memiliki tingkat fraksionalisasi etnik yang cukup tinggi seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur justru memiliki frekuensi insiden kekerasan sosial yang lebih sedikit relatif terhadap propinsi‐propinsi lainnya. Penemuan serupa juga didapati dalam penelitian empirik Collier dan Hoeffler (1998), yang melihat bahwa perang sipil antar dua etnik yang berbeda justru terjadi pada negara yang memiliki tingkat fraksionalisasi menengah. Ia mengemukakan bahwa perang sipil lebih dikarenakan faktor ketidakpuasan ekonomi dan politik daripada unsur etnik. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya konflik sosial, yang juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia tidak disebabkan semata‐ mata karena perbedaan etnik melainkan juga melibatkan faktor lainnya seperti agama, ekonomi dan politik.
11
Faktor perbedaan agama juga diduga menjadi faktor penyulut terjadinya beberapa konflik etnik di Indonesia. Salah satunya adalah konflik Ambon, Maluku – konflik yang berdurasi paling lama, yaitu antara tahun 1999 hingga 2004, dan menyebabkan korban yang juga paling banyak. Seperti terlihat pada gambar 6, tingkat frasionalisasi etnik berdasarkan agama untuk daerah Maluku sangatlah tinggi. Hal inilah yang memunculkan dugaan bahwa faktor keagaamaan merupakan faktor yang dominan dalam memicu konflik sosial di daerah tersebut. Perbedaan agama menjadi begitu dominan dibandingkan dengan aturan tradisional Pela Gandong yang mengatur keharmonisan interaksi antar etnik di Maluku. Beberapa ilmuwan sosial mengemukakan bahwa pada dasarnya keterikatan individu berdasarkan atas agama lebih kuat dibandingkan etnik atau bahasa. Ada beberapa alasan yang kemudian menyebabkan faktor agama lebih kuat, yang pertama karena agama merupakan faktor yang tetap dan tidak bisa dinegosiasikan. Seseorang bisa berbicara dalam bahasa yang berbeda dan memiliki etnik campuran, namun tidak demikian halnya dengan agama. Yang kedua, dalam agama sendiri terdapat beberapa pandangan hidup, hubungan sosial dan lain sebagainya, yang berbeda satu sama lain (Reynal‐ Querol, 2002). Gambar 6 Tingkat fraksionalisasi etnik berdasarkan agama dan terjadinya insiden kekerasan sosial. Ukuran wilayah menyatakan jumlah insiden dan indeks warna menunjukkan tingkat fraksionalisasi/keberagaman etnik berdasarkan agama yang dinormalisasi. Pola yang berbeda di dapati di propinsi‐propinsi lain di Indonesia, Aceh dan propinsi‐propinsi di Pulau Jawa. Wilayah‐wilayah tersebut memiliki tingkat keheterogenan etnik dan agama yang relatif rendah di lihat dari tingkat frasionalisasi etnik dan agama, namun memiliki tingkat insiden kekerasan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa faktor utama yang berpengaruh terhadap konflik sosial di daerah tersebut, bukan semata‐mata perbedaan etnik atau agama. Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah faktor kemiskinan atau
12
kesulitan ekonomi. Perebutan akan tanah dan sumber daya menjadi motivasi terjadinya konflik diantara kelompok sosial dan perang sipil (Collier and Hoeffler, 1998). Hal ini dapat ditunjukkan dari gambar 7, dimana kita bisa melihat bahwa daerah‐daerah yang memiliki tingkat frekuensi insiden kekerasan sosial yang tinggi, seperti Aceh, Maluku, Kalimantan Tengah dan Propinsi‐ propinsi di Jawa dan Sumatera bagian selatan, pada umumnya memiliki tingkat Gross Domestic Produk atau GDP perkapita yang rendah. Perbedaan kelas dan tingkat ekonomi sendiri bukanlah faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik sosial, tetapi adanya ketidaksetaraan (inequality) tingkat ekonomi antar kelompok etnik yang berbeda aka mendorong terjadinya konflik sosial dan bahkan pemberontakan (Ray and Esteban, 2006). Gambar 7 GDP perkapita tahun 2007 dan jumlah insiden kekerasan sosial. Ukuran wilayah menyatakan jumlah insiden dan indeks warna menunjukkan GDP perkapita (BPS, 2005) Fakta lain yang cukup menarik adalah uniknya properti keberagaman etnik di Indonesia, bukan hanya beragam dalam aspek etnik atau kultural semata melainkan juga agama, dan bahasa. Seperti kita lihat pada gambar 8, sebagian besar wilayah di Indonesia memiliki keberagaman etnik dan juga agama yang cukup tinggi, kecuali untuk propinsi‐propinsi di pulau Jawa dan Bali. Pengkajian konflik sosial, tidak hanya terkait dengan faktor‐faktor yang berpengaruh dan struktur konflik sosial, melainkan juga dampak yang diakibatkan olehnya. Pengungsian dan kekurangan tempat tinggal, kerugian ekonomi, rendahnya kelayakan hidup dan sumber daya, merupakan beberapa dampak yang umumnya ditemukan pasca terjadinya konflik sosial di beberapa wilayah di Indonesia. Pasca konflik ditandai dengan adanya kerapuhan
13
(vulnerability) aspek sosial, kemanusian dan juga ekonomi di wilayah tersebut (Jayasinghe, 2006). Gambar 8 Fraksionalisasi etnik dan agama di Indonesia. Ukuran wilayah Pendapatan Domestik Bruto (BPS, 2005) dan indeks warna menunjukkan tingkat fraksionalisasi etnik berdasarkan agama Untuk kasus Indonesia, pasca konflik di beberapa wilayah yang mengalaminya ditandai dengan tingginya biaya untuk kelayakan hidup. Hal ini ditunjukkan pada gambar 9, di mana kebutuhan hidup yang tinggi terdapat pada propinsi‐propinsi yang sering mengalami insiden kekerasan sosial, seperti Maluku, Aceh, Lampung, Kalimantan Tengan dan Sebagian Propinsi di Pulau Jawa. Kurangnya sumber daya dan kurang berjalannya sektor‐sektor ekonomi menjadi penyebab utama tingginya biaya untuk kehidupan yang layak di wilayah tersebut. Ironisnya, tingginya biaya untuk kehidupan pasca konflik di wilayah‐ wilayah tertentu di Indonesia, seperti Maluku, Aceh, Lampung, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah, diiringi dengan tingkat pendapatan yang rendah untuk masyarakat di wilayah tersebut. Pada gambar 10 kita bisa melihat bahwa daerah‐daerah seperti Maluku, Kalimantan Tengah dan Barat, Sulawesi, dan sebagian besar propinsi di pulau Jawa, memiliki upah minimum yang lebih rendah relatif terhadap daerah‐daerah lain di Indonesia. Fakta ini tentunya menjadi cukup penting untuk diperhatikan tatkala kita berbicara mengenai penanganan wilayah pasca konflik.
14
Gambar 10 Jumlah insiden kekerasan sosial dan upah minimum regional. Ukuran kartogram menyatakan jumlah insiden, sementara indeks warna menunjukkan tingkat upah minimum regional tahun 2007 untuk setiap wilayah. 4. Catatan Simpulan Dari paparan di atas kita telah menunjukkan bagaiamana tingkat keheterogenan etnik di seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan beberapa indeks yang umumnya digunakan. Pada umumnya dengan menggunakan indeks‐indeks tersebut, setiap propinsi memiliki tingkat kehetogenan etnik yang tinggi. Konflik sosial di Indonesia yang banyak terjadi di beberapa propinsi di Indonesia, terutama pasca kejatuhan rezim orde baru, tidak seluruhnya terkait dengan isu keheterogenan etnik, melainkan juga dengan beberapa aspek, seperti buruknya tingkat ekonomi, ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, hingga faktor‐faktor sosio‐religius masyarakat setempat. Penyusunan indeks tertentu yang memperhatikan faktor‐faktor tersebut tentunya diperlukan untuk mengukur sejauh mana tingkat potensi konflik dari masyarakat tersebut. Penanganan konflik sosial di Indonesia tentunya perlu memperhatikan faktor‐faktor apa yang cukup berpengaruh dalam menimbulkan konflik di daerah tersebut. Telaah lebih jauh tentang bagaimana struktur hubungan antar etnik di setiap wilayah di Indonesia tentunya akan sangat bermanfaat dalam mengambil kebijakan ekonomi dan politik yang mampu mengantisipasi terjadinya konflik sosial di daerah tersebut yang tak sedikit memakan korban
15
jiwa. Sebagai contoh, konflik Maluku dan Konflik Aceh tentunya mempunyai struktur yang berbeda di lihat dari latar belakang dan faktor‐faktor sosio‐ ekonomik yang memicu konflik di daerah tersebut. Hal yang juga perlu kita perhatikan adalah penanganan daerah pasca terjainya konflik. Kerapuhan kondisi sosial dan ekonomi dari wilayah tersebut tentunya harus diatasi secepatnya guna mencegah terjadinya dampak berkelanjutan dari konflik sosial. Lebih jauh, makalah ini juga menunjukkan bagaimana analisis kartogram dan analisis kuantitatif berupa indeks keheterogenan etnik dapat kita padukan untuk melihat sejauh mana pengaruh faktor etnisitas dan faktor‐faktor lainnya seperti ekonomi terhadap kemungkinan terjadinya konflik sosial. Pengakuan Makalah ini disusun dalam kerangka penelitian berkode CS07004b Dept. of Computational Sociology Bandung Fe Institute. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kolega di Bandung Fe Institute dan Surya Research International atas dukungannya. Daftar Pustaka 1. Alesina,A., Devleeschauwer, A., Easterly, W., Kurlat, S., Wacziarg, R. (2003). Fractionalization. Journal of Economic Growth, 8. 155‐194, 2003. Kluwer Academic Publisher, Netherland. 2. Atlas Narodov Mira. (1964). Moscow: Miklukho‐Maklai Ethnological Institute of the Department of Geodesy and Cartography of the State Geological Committee of the Soviet Union. 3. Cederman, Lars‐Erik, & Girardin, Luc.(2005). Beyond Fractionalization: Mapping Ethnicity onto Ethno‐Nationalist Insurgencies. Working Paper v.1.33 Center at Comparative and International Studies (CIS) Swiss Federal Institute of Technology, Zurich (ETH). 4. Collier,Paul & Hoeffler, Anke.(1998). On Economic Causes of Civil War. Oxford Economic Papers 50 (1998), 563‐73 5. Dahlan, Rolan M., & Situngkir, H. (2007). Menuju perspektif Ekonofisika untuk Posisi Strategis Ekonomi Indonesia di Kawasan Asia Pasifik. Working Paper WPR 2007. Bandung Fe Institute. 6. Easterly, William and Ross Levine. (199&). Africa’s Growth Tragedy: Policies and Ethnic Divisions. Quarterly Journal of Economics. 111, 1203‐1250.
16
7. Esteban, Joan & Ray, Debraj, (2006). A Model of Ethnic Conflict. The Polarization and Conflict Research Project. The European Commission. 8. Fearon, James D. and Laitin, David D.(2003). Ethnicity, Insurgency, and Civil War. The American Political Science Review, Vol. 97, No. 1. (Feb., 2003), pp. 75‐90. 9. Fearon, James.D. (2003). Ethnic Structure and Cultural Diversity around the World: A Cross‐National Data Set on Ethnic Groups. Paper presented at the 2002 Annual Meeting of the American Political Science Association, August 29‐ Sept 1, Boston. 10. Fearon, James D. (2004). Ethnic Mobilization and Ethnic Violence. Possibly forthcoming in the Oxford Handbook of Political Economy. Oxford Press. 11. Fox, Jonathan (2000).Religious Causes of Discrimination against Ethno‐Religious Minorities. International Studies Quarterly, Vol. 44, No. 3. (Sep., 2000), pp. 423‐450. 12. Gastner, M.T. & Newman, M.E.J. (2004). Diffusion‐based Method for Producing Density‐Equalizing Maps. PNAS 101 (20): 7499‐504. 13. Horowitz, D. (1985). Ethnic groups in conflict. University of California Press. 14. Humphreys, Macartan., Posner, Daniel N., Weinstein, and Jeremy M. (2002). Ethnic Identity, Collective Action, and Conflict: An Experimental Approach. Paper prepared for Presentation at APSA, Boston, September 2002 15. Jayasinghe ,Namalie (2006). Post‐tsunami Sri Lanka and the Ethnic Conflict: A Critical Analysis of Vulnerability. MSc Environment and Development. London School of Economics. 16. Khanafiah, D., & Situngkir, H. (2007). Bird’s Eye View to Indonesian Mass Conflict: Revisiting the Fact of Self‐Organized Criticality. Working Paper WPG 2007. Bandung Fe Institute. 17. Liliweri, Alo. (2005). Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. LKiS Yogyakarta. 18. Matuszeski, Janina., Schneider, Frank.(2006). Patterns of Ethnic Group Segregation and Civil Conflict. Harvard Economics Department Macroeconomics and Development Workshops. URL: http://www.people.fas.harvard.edu/ matuszes/papers.html 19. Montalvo, Jose G. and Marta Reynal‐Querol (2005). Ethnic Polarization, Potential Conflict, and Civil Wars. American Economic Review, 95, 796—816.
17
20. Pudjiastuti, Tri N. (2002). Migration and Conflict in Indonesia. Paper presented at 2002 IUSSP Regional Population Conference in Bangkok, 10‐13 June 2002. 21. Reynal‐Querol, M. (2002). Ethnicity, Political Systems, and Civil Wars. Journal of Conflict Resolution 46: 29‐54 22. Situngkir, Hokky. (2004). On Massive Conflict: Macro‐Micro Link. Working Paper WPD 2004. Bandung Fe institute. 23. Situngkir, Hokky. (2007). Peluang untuk Studi Kartografi Politik Indonesia‐ Representasi Spasial Sistem Sosial Kompleks. Working Paper WPP 2007. Bandung Fe Institute. 24. Srbljinovic, A., Penzar, D., Rodik, P., & Kardov, K. (2003). An Agent Based model of Ethnic Mobilization. Journal of Artificial Societies dan Social Simulation 6(1). URL: http://jasss.soc.surrey.ac.uk/6/1/1.html 25. Sukma, Rizal (2005). Ethnic Conflict in Indonesia: Causes and the Quest for Solution. Paper in Ethnic conflicts in Southeast Asia edited by Kusuma Snitwongse and W. Scott Thompson. ISEAS Publications. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. 26. Tadjoeddin,M. Zulfan,. (2002). Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia, 1990‐2001. Working paper UNSFIR, 2002 27. Tambiah, Stanley J. (1989). Ethnic Conflict in the World Today. American Ethnologist, Vol. 16, No. 2. (May, 1989), pp. 335‐349. 28. Taylor, C, and. Hudson, M.C. (1972). The World Handbook of Political and Social Indicators, 2nd Ed. New Haven, CT. Yale University Press. 29. Theil, Henri. (1972). Statistical decomposition analysis. North‐Holland Publishing Company. Amsterdam
18