ETIKA PERS DAN KERJA JURNALISTIK DALAM SURAT KABAR (STUDI ETNOMETODOLOGI WARTAWAN SURAT KABAR LAMPU HIJAU JAWA POS)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)
Oleh
Atika Suri NIM: 1112051100009
KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang, 2 Juni 2016
Atika Suri
ABSTRAK
ATIKA SURI Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau) Kode Etik Jurnalistik (KEJ) merupakan aturan yang dikeluarkan Dewan Pers sebagai tatanan perilaku ideal yang seharusnya dilaksanakan wartawan. Namun berdasarkan data disebutkan masih ada 80 persen wartawan yang belum pernah membaca KEJ, sehingga sangat berpotensi untuk melakukan pelanggaran. Salah satu media, terutama media cetak yang kerap menjadi perbincangan mengenai penerapan KEJ, adalah surat kabar Lampu Hijau. Berdasarkan latar belakang tersebut, timbul pertanyaan bagaimana pelaksanaan etika pers oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau? Bagaimana kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau? Pelaksanaan etika pers terkait Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau terbagi ke dalam beberapa poin seperti penerapan, pelanggaran, pelaksanaan tentatif, serta improvisasi yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau. Beberapa hal jenis pelaksanaan ini dapat diketahui dari kinerja wartawan dalam memuat berita sehari-hari. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian etnometodologi, dengan penjabaran yang bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi yang dilakukan berupa observasi partisipatif dengan terjun langsung mengikuti kegiatan wartawan di lapangan. Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara informal dan wawancara dengan pedoman umum. Pengumpulan dokumen juga dilakukan untuk melengkapi kebutuhan data. Teori utama yang digunakan adalah teori Kode Etik Jurnalistik dan didukung dengan teori-teori lain yang berkaitan dengan etika, kejurnalistikan, serta kewartawanan. Terdapat 11 pasal dengan poin-poin yang berbeda dalam Kode Etik Jurnalistik sebagai acuan kinerja wartawan yang ideal. Setiap media termasuk surat kabar Lampu Hijau memiliki ciri khas tersendiri dalam melaksanakan kerja jurnalistik. Namun kerja jurnalistik sudah sepatutnya disesuaikan dengan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku. Hal ini dilakukan agar hasil kerja sesuai dengan harapan berbagai pihak, sehingga nantinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kata kunci: Kode Etik Jurnalistik, wartawan, surat kabar Lampu Hijau, kerja jurnalistik, etika pers.
i
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum Wr. Wb Puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan begitu banyak karunia dan nikmat kepada penulis, termasuk berbagai kemudahan dalam penyusunan skripsi ini. Dengan ridho-Nya lah akhirnya penulis dapat melewati berbagai proses untuk merampungkan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW., Rasul teladan umat. Sebagai peneliti awam, penulis tentu memiliki begitu banyak keterbatasan. Namun berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat tetap memiliki energi untuk terus melangkah melaksanakan perkuliahan hingga akhirnya menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir perkuliahan. Karena itulah dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Kedua orangtua yang sangat penulis cintai, Ibunda Hj. Iyum Rumsinah dan Ayahanda H. Rafiudin yang telah memberikan dukungan dan doa tanpa lelah. 2. Keluarga tercinta, kakak Masyhuri Sidik, S. Sos.I, Galih Mugni, S.E, dan Rizka Alamsyah, S.Pdi beserta keluarga kecil mereka masingii
masing, dan adik penulis satu-satunya Muhammad Said Assurur atas energi positif yang selalu diberikan. 3. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya. 4. Dr, Arief Subhan, MA., Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi beserta jajarannya. 5. Kholis Ridho, M.Si, Ketua Jurusan Konsentrasi Jurnalistik, dan Dra. Hj. Musfirah Laily, MA., Sekretaris Jurusan Konsentrasi Jurnalistik. 6. Siti Nurbaya, M.Si, Dosen Pembimbing Akademik mahasiswa konsentrasi jurnalistik A angkatan 2012. Beserta seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya semasa perkuliahan kepada penulis. 7. Rachmat Baihaky, MA., Dosen Pembimbing Skripsi, terima kasih atas bimbingan, waktu, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Keluarga besar surat kabar Lampu Hijau, Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau; Sri Nurganingsih, Sekretaris Redaksi surat kabar Lampu Hijau; M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan; dan seluruh wartawan surat kabar Lampu Hijau atas bantuan dan sambutan hangat yang telah diberikan selama proses penelitian. 9. Dedi Fahrudin, M. Ikom, pembimbing DNK TV, serta Deden Mauli Darajat, M.Sc, Pemimpin Redaksi zamzamedia.com atas wawasan,
iii
ilmu dan pengalaman yang diberikan selama penulis bergabung dalam DNK TV dan zamzamedia.com. 10. Annisa Novianti, Ruqoyah Raudhatul Jannah, Devi Yuliana, Rahmah Putri Awaliah, dan Avissa Suseno atas kebersamaan selama masa perkuliahan. Terima kasih telah menjadi tempat bernaung dan berbagi cerita yang nyaman dan aman. 11. Asti Niswatussoliha, Lisfa Novianti, Fadhla Rizkia, dan Riezky Romadhona atas warna lain yang telah diberikan dalam menjalani kehidupan di tanah rantau selama masa perkuliahan. 12. Seluruh teman Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2012, spesial untuk Jurnalistik A 2012. Tak lupa pula teman-teman DNK TV 2012, zamzamedia.com dan KKN Pelangi atas pengalaman berharga yang telah kita lewati bersama. Terima kasih pula untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Aamiin. Wassalamualaikum Wr. Wb Tangerang, 2 Juni 2016 Atika Suri
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Fokus Penelitian ..................................................................... 5 C. Rumusan Masalah .................................................................. 5 D. Tujuan Penelitian.................................................................... 5 E. Manfaat Penelitian .................................................................. 6 F. Metodologi Penelitian ............................................................. 7 1. Pendekatan Penelitian ......................................................... 7 2. Metode Penelitian ............................................................... 8 3. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 13 G. Tinjauan Pustaka .................................................................... 16 H. Sistematika Penulisan............................................................. 17 v
BAB II
LANDASAN TEORI A. Etika ....................................................................................... 19 B. Moral dan Moralitas ............................................................... 22 C. Surat Kabar ............................................................................. 23 D. Empat Teori Pers .................................................................... 25 1. Teori Pers Otoritarian ......................................................... 28 2. Teori Pers Libertarian ......................................................... 34 3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial ..................................... 36 4. Teori Pers Soviet Komunis ................................................. 39 E. Kode Etik Jurnalistik .............................................................. 45 F. Etika Profesi Jurnalistik .......................................................... 52 G. Wartawan dan Etikanya ......................................................... 53
BAB III
GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Perkembangan Pers di Indonesia .............. 57 1. Media Massa Era Penjajahan .............................................. 57 2. Memasuki Kemerdekaan .................................................... 58 3. Indonesia di Iklim Reformasi ............................................. 61 B. Sejarah Perkembangan Koran Kuning ................................... 70 C. Gambaran Umum Surat Kabar Lampu Hijau ......................... 75 1. Profil dan Sejarah Lampu Hijau ......................................... 75 2. Visi dan Misi ...................................................................... 78 vi
3. Karakteristik Pembaca ........................................................ 78 4. Distribusi ............................................................................ 78 5. Ciri Khas ............................................................................. 79
BAB IV
HASIL
PENELITIAN
JURNALISTIK
ETIKA
DALAM
ETNOMETODOLOGI
PERS
SURAT
WARTAWAN
DAN
KERJA
KABAR
(STUDI
SURAT
KABAR
LAMPU HIJAU) A. Etika Pers Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau .................... 80 1. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik oleh Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau ............................................................ 80 2. Improvisasi oleh Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau...... 117 B. Kerja Jurnalistik Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau .......... 124
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 144 B. Saran ....................................................................................... 146
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 147 LAMPIRAN ....................................................................................................... 151
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 perbedaan empat teori pers secara umum ........................................... 43 Tabel 3.1 perbandingan jumlah pers dan total tiras tahun 1965 dan 1966 .......... 64 Tabel 4.1 pelaksanaan pasal 1 Kode Etik Jurnalistik .......................................... 81 Tabel 4.2 pelaksanaan pasal 2 Kode Etik Jurnalistik .......................................... 88 Tabel 4.3 pelaksanaan pasal 3 Kode Etik Jurnalistik .......................................... 97 Tabel 4.4 pelaksanaan pasal 4 Kode Etik Jurnalistik .......................................... 100 Tabel 4.5 pelaksanaan pasal 5 Kode Etik Jurnalistik .......................................... 104 Tabel 4.6 pelaksanaan pasal 6 Kode Etik Jurnalistik .......................................... 106 Tabel 4.7 pelaksanaan pasal 7 Kode Etik Jurnalistik .......................................... 109 Tabel 4.8 pelaksanaan pasal 8 Kode Etik Jurnalistik .......................................... 110 Tabel 4.9 pelaksanaan pasal 9 Kode Etik Jurnalistik .......................................... 112 Tabel 4.10 pelaksanaan pasal 10 Kode Etik Jurnalistik ...................................... 114 Tabel 4.11 pelaksanaan pasal 11 Kode Etik Jurnalistik ...................................... 115
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Logo Surat Kabar Lampu Hijau ...................................................... 75 Gambar 4.1 Penyertaan Sumber Gambar oleh Wartawan .................................. 91 Gambar 4.2 Contoh Pemuatan Berita Sadis dan Cabul....................................... 102 Gambar 4.3 waktu pengambilan gambar tidak dicantumkan .............................. 103 Gambar 4.4 tidak menyebutkan identitas korban kejahatan seksual .................. 105 Gambar 4.5 penyebutan identitas korban kejahatan seksual ...........................................105 Gambar 4.6 tidak menyebutkan identitas anak pelaku kejahatan ...................................106
Gambar 4.7 Headline Lampu Hijau edisi 3 Mei 2016 ........................................ 119 Gambar 4.8 Headline Lampu Hijau edisi 7 Mei 2016 ........................................ 120 Gambar 4.9 Headline Lampu Hijau edisi 9 Mei 2016 ........................................ 120 Gambar 4.10 Sisi Humanis Pada Judul Berita .................................................... 123 Gambar 4.11 Contoh Penulisan Profil Tokoh ..................................................... 135 Gambar 4.12 suasana Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan ........... 140
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Secara umum, media mencakup sarana komunikasi seperti pers, media penyiaran (broadcasting) dan sinema.1 Produk media secara umum dapat dilihat sebagai proses di mana makna-makna diproduksi melalui teks media. Makna tersebut bagi produsen dan bagi audiens dapat berbeda. Proses produksi tersebut juga merupakan proses pemilihan. Media dapat dideskripsikan sebagai memproduksi komoditas, budaya, dan maknamakna tentang masyarakat. Produksi dikendalikan oleh pelbagai imperative yang merupakan bagian dari sistem kapitalis, dibentuk oleh pelbagai praktik yang merutinkan (routinise) dan menjual produk, serta dipengaruhi oleh konteks komersial.2 Berita secara khusus merupakan bentuk produk yang khusus karena hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu pandangan yang bermanfaat tentang dunia. Proses pembuatan berita dipengaruhi oleh ideide di ruang berita tentang profesionalisme, nilai-nilai berita, dan agenda yang memberikan prioritas terhadap beberapa cerita dibandingkan ceritacerita yang lain. 1 2
Graeme Burton, Media dan Budaya Populer (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 9 Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, h. 130
1
2
Berita adalah sesuatu yang diproduksi. Wartawan memberi tekanan untuk mendapatkan cerita yang nyata dan mendapatkan fakta apa adanya.3 Namun demikian terdapat faktor lain yang dapat memengaruhi pemilihan dan penyajian berita, yakni kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat berupa kekuasaan tersembunyi yang meliputi ideologi, hegemoni, serta wacana.4 Wartawan menurut tugasnya terbagi dalam dua golongan, yakni yang pertama mencari dan menghimpun informasi, dan kedua mengerjakan berita dan menulis.5 Bahkan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pertama, Mr. Sumanang menegaskan: “Tiap wartawan Indonesia berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa dengan senantiasa mengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan Negara”.6 Tak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya media memiliki idealisme, peran, dan fungsi sebagai tuntutan yang mau tidak mau akan selalu mengiri media tersebut. Terkait dengan peran dan fungsi yang dimiliki media dan kenyataan bahwa masih terdapatnya kemungkinan media melakukan pelanggaran, Dewan Pers sebagai lembaga pengawas Pers di Indonesia menerapkan Kode Etik Jurnalistik untuk semua pers. Kode Etik Jurnalistik telah ditetapkan berlaku untuk semua wartawan sejak 14 Maret 2006. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya penulisan kolom di media massa pada awal kemerdekaan yang bernuansa satir, sinis, dan
3
Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, h. 108 Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, h. 71-74 5 Floyd G. Arpan, Wartawan Pembina Masjarakat (Bandung: Binatjipta, 1970), h. 36 6 Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 48 4
3
penuh dengan anekdot yang menimbulkan sejumlah kontroversi termasuk perdebatan apa yang boleh dan tidak boleh ditulis dalam bidang jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik pertama ini akhirnya terbentuk pada tahun 1947, yang diketuai oleh Tasrif, seorang wartawan yang kemudian menjadi pengacara. Isi kode etik ini lebih merupakan terjemahan dari Canon of Journalism, Kode Etik Jurnalistik wartawan Amerika pada masa itu.7 Karena itulah isi Kode Etik Jurnalistik pada masa itu sama seperti Canon of Journalism, hanya saja penyebutannya disesuaikan dengan bahasa Indonesia. Sayangnya hingga saat ini belum semua pers menerapkan Kode Etik Jurnalistik tersebut sepenuhnya. Berkenaan dengan hal ini, bahkan menurut Sukardi, ternyata 80 persen wartawan Indonesia dewasa ini sama sekali belum pernah membaca Kode Etik Jurnalistik dan UU No. 40/1999 tentang pers.8 Bahkan ketua dewan pers periode 2010-2013, Bagir Manan, pernah mengungkapkan bahwa dewan pers sempat menemukan 80 persen pemberitaan atau siaran melawan kode etik.9 Kode Etik Jurnalistik bersifat otonom karena disusun melalui ketentuan-ketentuan tertulis oleh, dari, dan untuk wartawan yang tergabung dalam organisasi kewartawanan, untuk kemudian berikrar melaksanakannya. 7
Wina Armada Sukardi, Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Jakarta: Dewan Pers, 2012), h. 327 8 Menurut Sukardi seperti dikutip dalam Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, h. 57 9 Pernyataan Bagir Manan disela pertemuan Bali Media Forum di Kuta, kepada pihak Antara News (http://www.antaranews.com/print/288120/ketua-dewan-pers-80-persen-pengaduanpelanggaran-kode-etik, diakses pada 7 Maret 2016)
4
Dewasa ini banyak anggapan bahwa adanya Kode Etik Jurnalistik akan menghambat kebebasan pers. Wartawan Indonesia tetap dianggap memiliki kebebasan pers, asal bersamaan dengan itu tetap menghayati tanggung jawab etisnya ke berbagai segi seperti terhadap hati nuraninya sendiri, sesama warga negara yang juga memiliki kebebasan, kepentingan umum yang diwakili pemerintah, serta terhadap rekan seprofesinya.10 Melihat
fenomena
tersebut,
penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui bagaimana penerapan etika pers dan kerja jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan surat kabar, khususnya pada wartawan surat kabar Lampu Hijau. Surat kabar Lampu Hijau diterbitkan oleh Rakyat Merdeka yang merupakan bagian dari Jawa Pos. Surat kabar ini merupakan perubahan dari surat kabar Lampu Merah pada tahun 2008 karena dilarang terbit. Namun nyatanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara Lampu Hijau dengan pendahulunya tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebutlah maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai penerapan etika pers dan kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau dalam skripsi yang berjudul “Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)”.
10
Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, h. 71
5
B. Fokus Penelitian Penelitian mengenai etika pers dan kerja jurnalistik ini difokuskan pada pelaksanaan etika pers yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik serta kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau.
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pelaksanaan etika pers oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau? 2. Bagaimana kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau?
D. Tujuan Penelitian 1. Mengungkap pelaksanaan etika pers oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau 2. Mengungkap kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau
6
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mengungkap pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pada media massa cetak.
2. Manfaat Praktis a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk praktisi komunikasi,
khususnya
mahasiswa
jurnalistik,
agar
lebih
mengetahui hal-hal terkait Kode Etik Jurnalistik dan penerapannya dalam media massa cetak. b) Sebagai acuan bagi media agar senantiasa menerapkan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku demi terciptanya lingkungan pers yang sehat. c) Untuk melengkapi penelusuran dan referensi keilmuan serta koleksi skripsi pada Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7
F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif secara deskriptif. Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui. Pada dasarnya ada tiga unsur utama penelitian kualitatif, pertama yaitu data, data bisa berasal dari berbagai macam sumber biasanya dari wawancara dan pengamatan. Kedua, penelitian kualitatif terdiri atas berbagai prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan untuk memahami data. Ketiga, laporan tertulis dan lisan dapat dikemukakan dalam jurnal ilmiah atau konferensi.11 Alasan peneliti menggunakan metode kualitatif adalah karena jenis penelitian ini membutuhkan wawancara serta pengamatan untuk mengetahui bagaimana penerapan etika pers serta kerja jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Penjabaran hasil analisis secara deskriptif juga dinilai sesuai karena penelitian ini tidak menggunakan penjabaran angka-angka yang biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif. 11
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 4-7
8
2. Metode Penelitian Metode
penelitian
yang
digunakan
adalah
metode
etnometodologi. Hal ini dilakukan guna mengungkap etika pers dan kerja jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Etnometodologi berasal dari bahasa Yunani „Etnos‟ yang berarti orang, „Metodos‟ yang berarti metode, dan „Logos‟ yang berarti Ilmu, sehingga secara harfiah etnometodologi adalah “sebuah studi atau ilmu tentang metode yang digunakan oleh orang awam atau masyarakat biasa untuk menciptakan perasaan keteraturan atau keseimbangan di dalam situasi di mana mereka berinteraksi”.12 Etnometodologi menurut Heritage dapat didefinisikan sebagai “kajian
mengenai
pengetahuan,
aneka
ragam
prosedur
dan
pertimbangan yang dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa, mereka bisa mencari jalan dan bisa bertindak dalam keadaan di mana mereka bisa menemukan dirinya sendiri”.13 Di sisi lain Mehan dan Wood mengartikan etnometodologi sebagai “keseluruhan penemuan, suatu metode, suatu teori, suatu pandangan dunia. Pandangan etnometodologi berasal dari kehidupan”.14 Selain itu, Muhadjir
12
Soleh Hamdani, “Etnometodologi”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari https://solehhamdani.wordpress.com/sosiologi/etnometodologi/ 13 Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi (Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia, 2013), h. 145 14 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 200
9
menyatakan bahwa “etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana
masyarakat
memandang,
menjelaskan,
dan
menggambarkan tata hidup mereka sendiri”.15 Dengan
demikian
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
etnometodologi merupakan suatu metode untuk mengetahui bagaimana masyarakat memandang tata kehidupan yang mereka jalani. Adapun dalam penelitian ini, masyarakat yang dimaksud adalah wartawan yang mendedikasikan dirinya bekerja untuk surat kabar Lampu Hijau. Dengan demikian, metode etnometodologi ini digunakan untuk mengetahui bagaimana kerja jurnalistik dan penerapan etika pers yang dilakukan oleh wartawan, dan bagaimana pandangan wartawan terhadap hal tersebut. Pelopor kajian etnometodologi ini adalah Harold Garfinkel. Ia merupakan professor Emeritus di University Of California, Los Angeles.16 Sejarah penemuan metode etnometodologi diawali saat Garfinkel diajak oleh Fred Strodtbeck dan Saul Mendlovitz untuk meneliti anggota dewan juri di suatu pengadilan.17 Strodbeck meletakkan alat perekam secara tersembunyi di ruang rapat pengadilan Wichita, untuk merekam kegiatan musyawarah para juri. Garfinkel terkejut oleh kenyataan bahwa para juri yang tidak diajarkan teknik-teknik hukum mampu menguji, mengkaji tindak pidana, dan mengutarakan kesalahan para pelakunya. Untuk dapat melakukan itu, mereka menggunakan berbagai prosedur dan logika 15
Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 146 16 Ferry Roen, “Harold Garfinkel: Ethnometodology”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://perilakuorganisasi.com/harold-garfinkel-ethno-metodelogy.html 17 Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 141
10
penilaian bersama, seperti membedakan benar dan salah, kemungkinan, serta ketepatan; mereka mampu mengevaluasi ketepatan argumen yang dikemukakan selama proses pengadilan.18 Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat sebuah praktik evaluasi dan penilaian yang dapat dideskripsikan. Melalui kejadian tersebutlah akhirnya Garfinkel mengetahui metode yang mulai tahun 1955 disebut sebagai etnometodologi.19 Etnometodologi yang diperkenalkan oleh Harold Garfinkel adalah suatu ranah ilmiah yang unik, sekaligus radikal dalam kajian ilmu sosial karena dikenal keras dalam mengkritik cara-cara yang dilakukan
para
sosiolog
sebelumnya.20
Etnometodologi
yang
diperkenalkan Garfinkel ini memiliki tatanan secara teoritis maupun praktis. Pada tatanan teoritis, Harold Garfinkel di tahun 1940 telah menolak pemikiran Emile Durkheim mengenai “fakta sosial” karena baginya justru “aktor sosial” itulah yang sangat menentukan dan tidak pernah dibatasi oleh struktur dan pranata sosial.21 Sedangkan pada tatanan praktisnya, etnometodologi Garfinkel menekankan pada kekuatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.22
18
Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 141 19 Alain Coulon, Etnometodologi, (Jakarta: Lengge, 2008), h. 56 20 Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 142 21 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif, h. 199 22 Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 142
11
Kelahiran etnometodologi tak lepas dari pengaruh karya-karya yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan lain. Etnometodologi Garfinkel ini diilhami oleh karya-karya dari Talcot Parson dan Alfred Schutz. Adapun sumber lain yang ikut memberikan pengaruh di antaranya Durkheim, Weber, Mannheim, Edmun Husserl, Aaron Gurwitsch, Maurice Merleau-ponty, dan lain-lain.23 Meskipun telah disebutkan bahwa etnometodologi Garfinkel ini diilhami serta dipengaruhi oleh para pemikir lain, Garfinkel mengakui bahwa sumber utama yang memberikan pengaruh baginya adalah fenomenologi oleh Schutz.24 Validitas dalam etnometodologi dapat dilihat dengan sederhana karena tidak menggunakan cara-cara konvensional dalam mengukur suatu konsep. Etnometodologi sangat bergantung pada kekuatan interpretasi peneliti terhadap masalah sosial yang sedang dihadapinya. Penelitian etnometodologi memiliki beberapa tujuan utama, yakni: (1) untuk mempelajari bagaimana anggota masyarakat selama berlangsungnya interaksi sosial, membuat pengungkapan istilahistilah; (2) berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, mengerti, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia seharihari di tempat mereka hidup; (3) Pemanfaatan metode ini lebih dilatari oleh pemikiran praktis dibanding kemanfaatan logika formal; dan (4)
23
Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 142 24 Ferry Roen, “Harold Garfinkel: Ethnometodology”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://perilakuorganisasi.com/harold-garfinkel-ethno-metodelogy.html
12
Hasil penelitian dari etnometodologi dapat berupa program atau prinsip perubahan dan pembaruan.25 Dalam melakukan penelitian, peneliti tentu memerlukan sebuah strategi tersendiri, termasuk dalam penelitian menggunakan metode etnometodologi. Dalam penelitian etnometodologi, terdapat tiga strategi
yang
dapat
dilakukan,
yaitu
(1)
strategi
responsif,
mengungkapkan bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya; (2) strategi provokatif, mengungkapkan reaksi orang terhadap situasi atau bahasa; dan (3) strategi subersif, yang lebih menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari.26 Adapun
tahap
pengumpulan
data
dalam
penelitian
etnometodologi adalah dengan melakukan wawancara, terutama pada penelitian kualitatif menggunakan etnometodologi seperti yang dilakukan peneliti. Wawancara dalam penelitian etnometodologi itu sendiri dapat dibedakan menjadi tiga pendekatan dasar seperti wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum, serta wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka.27 Wawancara informal, yakni proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara
25
Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 147 26 Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 151 27 Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154-155
13
spontan dalam interaksi alamiah, dengan tipe wawancara observasi partisipatif.28 Wawancara dengan pedoman umum dilakukan oleh peneliti dengan dilengkapi pedoman wawancara (interview guide) yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit.29 Sedangkan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka, yakni pedoman wawancara ditulis secara rinci dan lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Dalam penelitian ini peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai dengan sekuensi yang tercantum, serta menanyakannya dengan cara yang sama pada narasumber berbeda.30
3. Teknik Pengumpulan Data a) Observasi Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah jenis observasi partisipatif dengan mengikuti kegiatan wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan selama 14 hari sejak tanggal 2 hingga 15 Mei 2016. Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti
28
Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154 29 Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154 30 Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 155
14
dalam melakukan observasi partisipatif adalah dengan mengikuti berbagai rangkaian kegiatan wartawan dalam proses pencarian informasi. Peneliti ikut terjun ke lapangan untuk proses peliputan, mengikuti kegiatan wartawan dalam meramu informasi menjadi naskah berita utuh yang siap saji, dan peneliti juga turut mengikuti rapat redaksi yang dilakukan tim redaksi wartawan surat kabar Lampu Hijau untuk lebih mengetahui secara lebih detail kerja jurnalistik yang dimulai dari perencanaan yang disusun dalam rapat redaksi. Observasi partisipatif ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui kerja jurnalistik wartawan surat kabar Lampu Hijau dan bagaimana penerapan Kode Etik Jurnalistik yang dilakukannya secara lebih real dan mendalam. Dengan observasi partisipatif peneliti juga dapat merasakan bagaimana menjadi wartawan yang bekerja di surat kabar Lampu Hijau.
b) Wawancara Secara umum dapat dibedakan tiga pendekatan dasar dalam memperoleh
data
kualitatif
melalui
wawancara
secara
etnometodologi, yakni wawancara informal, wawancara dengan
15
pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka.31 Terdapat dua jenis wawancara yang dilakukan oleh peneliti, yakni wawancara informal dan wawancara dengan pedoman umum. Wawancara informal dilakukan saat peneliti melaksanakan observasi partisipatif pada 2-15 Mei 2016 dengan turut terjun langsung bersama Muhammad Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan di lapangan. Selama proses penelitian tersebut peneliti melakukan wawancara secara informal untuk menggali data dari objek penelitian. Adapun wawancara dengan pedoman umum telah terlebih dahulu dilakukan sebelum peneliti melaksanakan onservasi partisipatif. Wawancara dengan pedoman umum dilakukan secara formal dengan interview guide yang telah disiapkan peneliti. Wawancara dengan pedoman umum dilangsungkan pada 14 April 2016 bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi dari surat kabar Lampu Hijau bertempat di Gedung Rumah Pena, Jakarta Barat.
c) Dokumentasi Dokumentasi yang dilakukan peneliti untuk melengkapi data penelitian adalah berupa foto-foto kegiatan, rincian kegiatan penelitian, rekaman suara wawancara yang telah ditranskrip, 31
Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154
16
naskah berita wartawan pra dan pasca cetak, serta dokumen resmi berupa Company Profile Lampu Hijau yang diperoleh melalui email langsung dari General Manager Lampu Hijau.
G. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka pada penelitian “Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)” ini adalah penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, yakni sebagai berikut: 1. Skripsi
berjudul
“Dinamika
Kerja
Citizen
Journalism
dalam
Manajemen Redaksi Rubrik Rohani www.kabarindonesia.com” oleh Cucu Sulastri, Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, tahun 2014.
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Cucu Sulastri ini adalah mengetahui bagaimana struktur kerja citizen journalism dalam manajemen redaksi rubrik rohani www.kabarindonesia.com, kebijakan redaksional www.kabarindonesia.com dalam mengelola rubrik rohani, serta tujuan ideologi www.kabarindonesia.com dalam mengelola rubrik rohani. Ketiga hal tersebut diungkap dengan menggunakan metode etnometodologi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa persamaan antara penelitian mengenai “Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)” dengan
17
penelitian
berjudul
“Dinamika
Kerja
Citizen
Journalism
dalam
Manajemen Redaksi Rubrik Rohani www.kabarindonesia.com” oleh Cucu Sulastri ini adalah berada pada metode penelitian yang dilakukan yang sama-sama menggunakan medote etnometodologi. Adapun perbedaan terletak pada objek penelitian. Cucu Sulastri menjadikan media online www.kabarindonesia.com sebagai objek penelitian, sedangkan peneliti menjadikan media cetak surat kabar Lampu Hijau sebagai objek penelitian. Fokus penelitian juga berbeda. Cucu Sulastri fokus pada dinamika kerja citizen journalism di media www.kabarindonesia.com, yang diketahui sebagai pihak eksternal media. Sedangkan peneliti fokus terhadap etika pers dan kerja jurnalistik wartawan surat kabar Lampu Hijau yang merupakan pihak internal media.
H. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN Bab ini memaparkan latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini diuraikan berbagai teori yang terkait dengan masalah penelitian seperti etika, moral dan moralitas, surat kabar, empat teori pers, kode etik jurnalistik, etika profesi jurnalistik, serta wartawan dan etikanya.
18
BAB III GAMBARAN UMUM Bab ini menjabarkan gambaran umum perkembangan pers di Indonesia, sejarah perkembangan Koran kuning, serta gambaran umum surat kabar Lampu Hijau yang meliputi profil dan sejarah Lampu Hijau, visi dan misi, karakteristik pembaca, distribusi, dan ciri khas. BAB IV HASIL PENELITIAN Bab ini menjelaskan hasil penelitian berupa etika pers wartawan surat kabar Lampu Hijau dan kerja jurnalistik wartawan surat kabar Lampu Hijau. BAB V PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran
BAB II LANDASAN TEORI
A. Etika Secara etimologis, kata “Etika” berasal dari bahasa Yunani Kuno, ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir.1 Secara epistemologis, etika memiliki beberapa pengertian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).2 Guwandi menyebutkan ada tiga macam pengertian etika, yakni: (1) etika sebagai nilai-nilai dan asas-asas moral yang dipakai seseorang atau suatu kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya; (2) etika sebagai kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan moralitas, sesuatu yang dianggap baik atau buruk; (3) etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dari sudut norma dan nilai moral.3
1
K. Bertens, Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013), h. 3-4 KBBI Online, “Surat Kabar”, pengertian kata diakses pada 16 Mei 2016 dari http://kbbi.web.id/etika 3 Armansyah, Pengantar Hukum Pers (Bekasi: Gramata Publishing, 2015), h. 103 2
19
20
Menurut Ward, etika juga didefinisikan sebagai “analisis, evaluasi dan promosi perilaku yang benar dan/ atau karakter yang bagus menurut standar terbaik yang ada”.4 Altschull mendefinisikan etika sebagai “studi tentang pembentukan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip mengenai benar dan salah”.5 Adapun menurut American Heritage Dictionary: Description of Ethic, disebutkan bahwa etik memiliki beberapa arti yakni: (1) seperangkat prinsip perilaku yang benar; suatu teori atau sistem nilai-nilai moral; (2) studi tentang sifat umum dari moral dan pilihan-pilihan moral yang spesifik yang dibuat oleh seseorang.6 Dari beberapa pengertian etika di atas, dapat disimpulkan bahwa etika merupakan suatu aturan mengenai baik dan buruk serta benar atau salah mengenai perilaku yang ditetapkan berdasarkan standar tertentu. Dalam hal ini memungkinkan adanya perbedaan penerapan etika di setiap tempat, karena dikembalikan pada standar yang diberlakukan di wilayah yang bersangkutan. Namun intinya etika memberikan sebuah penilaian tersendiri terhadap perilaku, apakah dianggap baik atau buruk, maupun benar atau salah. Menurut Zulkarimein Nasution setidaknya ada dua alasan mengapa etika tumbuh di masyarakat yaitu: (1) pada hakikatnya manusia sadar bahwa mereka butuh dan ingin berbuat baik sehingga secara otomatis
4
Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 27 5 Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 84 6 Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 27
21
sebenarnya manusia memiliki potensi untuk berperilaku baik; (2) karena adanya kesadaran akan kebutuhan dan keinginan untuk berperilaku baik tersebutlah maka sudah selayaknya ditegakkan aturan berperilaku dengan konsekuensi mendapat sanksi sosial bagi pihak yang melanggar.7 Aturan perilaku yang terbentuk itulah yang kemudian disebut sebagai etika. Adapun kemungkinan buruk akan adanya sanksi sosial kepada pihak yang dianggap melanggar etika adalah karena meskipun pada hakikatnya manusia ingin berperilaku baik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak juga manusia yang tidak mengindahkan hakikat tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap sebagai tindakan yang tidak seharusnya. Terdapat banyak etika dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah etika pers. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya terkait pengertian etika yang terkait dengan hal baik dan buruk, maka dapat dikatakan bahwa etika pers merupakan hal yang dianggap baik maupun buruk dalam kehidupan pers. Bahkan menurut Franz Magnis-Suseno, etika pers menyangkut peranan dan tanggung jawab pers dalam masyarakat modern.8 Peranan dan tanggung jawab pers yang paling utama dalam masyarakat tentunya adalah menyampaikan informasi. Karena itulah pers dituntut untuk menyajikan informasi yang berorientasi pada kebenaran.
7 8
13
Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 20-21 Sudirman Tebba, Etika Media Massa Indonesia, (Tangerang: Pustaka irVan, 2008), h.
22
B. Moral dan Moralitas Istilah “moral” berasal dari bahasa latin “mos”, dan jamaknya adalah “mores” yang artinya adat, kebiasaan.9 Secara etimologis makna kata “moral” sama dengan “etika” meskipun bahasa asalnya berbeda. Kata “etika” berasal dari bahasa Yunani, sedangkan “moral” berasal dari bahasa Latin. Adapun menurut KBBI, moral adalah: (1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.10 Secara epistemologis, atau pengertian yang lebih luas, moral memiliki beberapa arti, yakni: (1) ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.11 Sedangkan “Moralitas” yang berasal dari bahasa Latin moralis mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada lebih abstrak. Jika berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya.Moralitas adalah sifat
9
Sudirman Tebba, Etika Media Massa Indonesia, h. 10 KBBI Online, “Moral”, pengertian kata diakses pada 16 Mei 2016 dari http://kbbi.web.id/moral 11 Sudirman Tebba, Etika Media Massa Indonesia, h. 10 10
23
moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.12
C. Surat Kabar Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), surat kabar adalah “lembaran-lembaran kertas bertuliskan berita dan sebagainya”.13 Di masyarakat, surat kabar dikenal juga dengan nama koran. Apriadi Tamburaka mengatakan “surat kabar atau koran merupakan media massa paling tua sebelum adanya film, radio, dan televisi. Media yang satu ini hanya dapat dinikmati oleh mereka yang melek huruf atau mampu baca tulis”.14 Apriadi juga mengungkapkan bahwa pelanggan surat kabar biasanya berasal dari golongan menengah ke atas yang berpendidikan tinggi dan juga dari kelompok pekerja kantoran yang mapan.15 Mereka yang berada pada golongan menengah ke atas dan kelompok pekerja kantoran biasanya memiliki pendidikan tinggi, yang secara otomatis tentunya mereka melek huruf sehingga dapat menikmati surat kabar. Selain itu, masyarakat yang ada pada golongan ini juga biasanya melek informasi dan merasa butuh akan informasi, khususnya informasi yang sesuai dengan bidang yang mereka geluti.
12
K. Bertens, Etika, h. 6 KBBI Online, “Surat Kabar”, pengertan kata diakses pada 6 Mei 2016 dari http://kbbi.web.id/surat%20kabar 14 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 45 15 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 45 13
24
Sebagai media cetak, kelebihan surat kabar adalah sebagai catatan tertulis yang dapat mendokumentasikan suatu peristiwa yang pernah terjadi.16 Berbeda dengan televisi dan radio yang siarannya hanya dapat dinikmati dalam sekali waktu, karena bentuknya berupa lembaran kertas yang tercetak, surat kabar dapat disimpan dan jika sewaktu-waktu kembali dibaca, peristiwa yang pernah disajikan tetap terdokumentasi di sana. Pada dasarnya surat kabar memiliki sifat profesionalisme untuk menekankan akurasi dan objektivitas pemberitaan.17 Tentu sikap profesionalisme jurnalisme seperti itu adalah harapan masyarakat selaku konsumen informasi. Namun pada kenyataannya dengan berbagai macam alasan, ada sebagian surat kabar yang terkadang tidak lagi peduli pada akurasi dan objektivitas pemberitaan, bahkan lebih mengutamakan keuntungan. Persoalan yang dihadapi surat kabar saat ini adalah kompetisi berupa persaingan, baik dengan sesama platform media cetak maupun dengan media elektronik.18 Namun persaingan ini tidak begitu menggairahkan lagi karena munculnya konglomerasi media di abad ke 20, sehingga surat kabar akan mewakili satu komunitas tertentu.19 Jika surat kabar menjadi perwakilan dari komunitas tertentu, tidak dapat dipungkiri akan memiliki keberpihakan. Pers hanya akan menjadi alat pewujud tujuan sang empunya. 16
Elisa Zakaria, “Surat Kabar”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://elisazakaria18.blogspot.co.id/2016/03/surat-kabar.html 17 Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 50 18 Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 137 19 Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 138
25
Robert McChesney mengatakan “ketika kepemilikan secara nasional terkonsentrasi pada bentuk rantai, jurnalisme menjadi refleksi kepentingan para pemilik dan pengiklan daripada ragam kepentingan dari sebuah masyarakat”.20 Salah satu kepentingan para pemilik adalah untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Karena itulah tak heran jika akhirnya surat kabar rela mengganti ruang pada halaman koran, yang seharusnya dapat digunakan untuk memuat berita, dengan iklan. Hal ini disebut sebagai komersialiasi media.21 Dengan menempatkan iklan pada kolom di surat kabar, secara otomatis kuantitas berita akan menurun. Padahal tujuan utama dari penerbitan surat kabar adalah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.
D. Empat Teori Pers Menurut Haris Sumadiria, Pers seringkali dianggap sama dengan jurnalistik meski sebenarnya tidak.22 Anggapan adanya kesamaan antara pers dan jurnalistik ini mungkin dapat terjadi karena adanya hubungan yang sangat erat antar keduanya. Hubungan yang erat tersebut tentu terjalin karena pers dan jurnalistik berada dalam ruang lingkup yang sama, yakni mengenai pemberitaan.
20
Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 139 Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 139 22 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), h. 1 21
26
Haris Sumadiria dalam bukunya yang berjudul “Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional” juga mengatakan bahwa “jurnalistik menunjuk pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media”.23 Dengan demikian perbedaan antara pers dan jurnalistik dapat terlihat dari spesialisasi yang dimiliki. Seperti yang telah disebutkan bahwa jurnalistik adalah bagian dari proses kegiatan wartawan mengumpulkan informasi, sedangkan pers adalah media yang menampung ataupun menyalurkan pemberitaan. Dalam hal ini terlihat bahwa jurnalistik fokus kepada objek manusia, sedangkan pers lebih kepada wadah media itu sendiri. Dengan adanya hubungan yang erat dan saling berkesinambungan antara pers dan jurnalistik, maka muncullah apa yang disebut dengan jurnalistik pers. Jurnalistik pers ini dapat diartikan sebagai proses kegiatan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat, dan menyebarkan berita melalui media berkala pers kepada masyarakat.24 Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Jurnalistik tanpa pers akan menyebabkan kegiatan pencarian berita sia-sia karena tidak sampai kepada masyarakat. Pers tanpa jurnalistik juga akan pincang karena tidak memiliki bahan informasi untuk disampaikan. Kembali pada teori pers, di dunia ini terdapat empat macam teori pers yang muncul seiring berjalannya waktu sesuai dengan keadaan,
23
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 1 24 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 1
27
situasi, serta kondisi yang terjadi pada masa perkembangannya. Keempat teori pers tersebut di antaranya adalah teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers bertanggung jawab sosial, dan teori pers komunis Soviet.25 Keempat teori pers ini seperti yang telah disebutkan sebelumnya, berkembang sesuai dengan keadaan, situasi, serta kondisi yang terjadi pada masa perkembangannya masing-masing.Hal ini tentu menyebabkan adanya perbedaan dari masing-masing teori pers tersebut. Dalam buku “Empat Teori Pers” yang merupakan terjemahan dari buku “The Four Theories of the Press” diungkapkan bahwa perbedaanperbedaan di antara keempat teori pers: “sebagiannya mencerminkan kemampuan sebuah negara dalam membiayai persnya, kesederhanaan dan sumber daya mekanik yang dapat mendukung komunikasi massa,dan tingkat urbanisasi relatif yang menyebabkan sirkulasi media massa sekaligus lebih mudah dan lebih diperlukan”.26 Selain perbedaan, teori pers Otoritarian, Libertarian, Tanggung jawab Sosial, serta Komunis Soviet juga memiliki keterkaitan. Teori Komunis Soviet merupakan pengembangan dari teori Otoritarian, sedangkan teori Tanggung jawab Sosial merupakan pengembangan dari teori Libertarian.27 Berikut adalah penjabaran lebih lanjut mengenai keempat teori pers tersebut:
25
Menurut Siebert seperti dikutip dalam Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 172 26 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, (Jakarta: PT Intermasa, 1986), h. 1 27 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 2
28
1. Teori Pers Otoritarian Teori pers yang pertama yakni teori pers otoritarian. Otoritarian berasal dari kata otoriter, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “berkuasa sendiri, sewenang-wenang”.28 Dari pengertian tersebut dapat terlihat bahwa dalam teori pers otoritarian terdapat pihak yang memiliki kuasa yang lebih dibandingkan dengan pihak lainnya. Teori pers Otoritarian secara jelas berpendapat, bahwa negara, ekspresi tertinggi dari kelompok organisasi manusia, mengungguli orang-perorangan dalam skala nilai, karena tanpa negara orangperorangan tidak sanggup mengembangkan atribut-atribut manusia yang berbudaya.Ketergantungan perorangan terhadap negara dalam mencapai dan mengembangkan peradaban, muncul sebagai formula umum dari semua sistem otoritarian.29 Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa teori pers Otoritarian
menganggap
negara
memiliki
kedudukan
tertinggi
dibandingkan dengan sekelompok manusia yang tinggal dalam negara tersebut.
Hal
ini
dikarenakan
manusia
tidak
akan
dapat
mengembangkan atribut kemanusiaannya seperti budaya tanpa negara. Ketidakmampuan manusia mengembangkan diri dan kehidupan tanpa adanya negara inilah yang menunjukkan adanya ketergantungan manusia. Karenanya kedudukan negara menjadi lebih tinggi dibanding manusia itu sendiri. Hal semacam ini adalah formula umum dalam
28
KBBI Online, “Otoriter”, pegertian diakses http://kbbi.web.id/otoriter 29 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 10-11
pada
24
Juni
2016
dari
29
sistem otoritarian karena dalam sistem ini semua pihak termasuk pers harus tunduk kepada negara. Pada awal perkembangannya, teori pers otoritarian digunakan oleh semua negara di Eropa Barat sebagai pondasi teoritis untuk sistem pengawasan terhadap pers, dan hingga kini telah menjadi doktrin dasar bagi sebagian besar dunia selama berabad-abad.30 Pers otoritarian dianggap dapat memberikan pengawasan terhadap pers karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa negara memiliki kedudukan tertinggi dibandingkan organisasi kelompok manusia, sehingga segala atribut manusia termasuk pers harus tunduk terhadap negara.Hal ini secara otomatis tentu akan memberi kemudahan kepada negara untuk melakukan pengawasan. Fred S. Siebert mengatakan bahwa “teori Otoritarian memberikan jawaban yang sama terhadap problem-problem filosofis yang lebih mendasar, tentang hakikat pengetahuan dan kebenaran”.31 Hakikat pengetahuan dan kebenaran yang dimaksud tentu memiliki keterkaitan dengan peran pers yang berjalan di negara yang menganut teori otoritariantersebut. Pengetahuan yang bukan berasal dari Tuhan seperti agama didapat dari hasil usaha manusia dan Fred berpandangan bahwa usaha ini sudah selayaknya disalurkan melalui negara demi kebaikan semua orang agar pengetahuan yang didapat tersebut dapat menjadi
30 31
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 9 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 11
30
patokan seluruh masyarakat yang pada akhirnya memunculkan kebaikan.32 Teori pers Otoritarian ini rupanya juga mendapat perhatian dari ilmuwan lain seperti Plato. Filsuf Yunani Kuno ini memiliki keyakinan bahwa masyarakat ideal akan terbentuk dalam negara yang membentuk dan memaksakan tujuan politik dan kultural.33 Hal ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa Plato mendukung teori pers Otoritarian yang menjadikan negara sebagai pemangku kedudukan tertinggi dibanding sekelompok organisasi manusia. Dalam keyakinannya tersebut Plato jelas-jelas beranggapan bahwa peran negara amat besar dalam membentuk masyarakat ideal. Dapat disimpulkan bahwa keyakinan Plato ini memiliki makna bahwa dengan adanya paksaan dari negara, masyarakat akan lebih terkontrol sehingga masyarakat ideal sesuai harapan negara akan terwujud. Terlepas dari adanya tujuan dan harapan negara, teori pers otoritarian memiliki sistem pengawasan terhadap media massa yang ada di negara penganutnya. Dalam hal ini otoritarian memiliki filsafat utama yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk pengorganisasian pemerintah yang memiliki banyak variasi namun tetap memiliki kesamaan dalam karakteristik pengawasannya.34 Salah satu bentuk pengawasan negara terhadap media massa dalam teori pers otoritarian ini adalah berupa pemberian paten kepada 32
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 11 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 12 34 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 19 33
31
orang yang terlibat dalam proses penyajian berita kepada masyarakat. Pemberian paten ini juga tidak sembarang dilakukan. Paten atau yang bisa disebut sebagai izin khusus pada pemberlakukan pers otoritarian ini hanya diberikan kepada pihak yang disukai oleh pemerintah dan dinilai dapat mendukung kebijakan negara.35 Fred S. Siebert memaparkan bahwa di Inggris, sistem paten ini tumbuh dengan baik selama 200 tahun. Dalam periode panjang itu, jelas terlihat bahwa metode ini lebih sukses dari metode yang lain. Sistem ini mencapai puncaknya ketika dibentuk sebuah organisasi para pemegang paten atau para pencetak “yang punya hak khusus” (dikenal dengan nama Stationers' Company) yang melalui para pegawai dan anggotanya dapat mengawasi perdagangan barang-barang cetakan, praktis tanpa biaya negara.36 Namun kesuksesan sistem pengawasan dengan menggunakan hak paten tersebut rupanya tidak bertahan selamanya. Di akhir abad 17 sistem ini mengalami keruntuhan.37 Hal ini menunjukkan bahwa tak ada yang abadi dalam dunia ini. Bahkan sistem yang telah berhasil bertahan selama ratusan tahun pun akhirnya runtuh. Hal ini tentu dipengaruhi juga oleh keadaan, situasi, serta kondisi yang terus berkembang seiring perubahan zaman. Sistem lain yang juga sempat diterapkan adalah berupa sistem lisensi. Sistem lisensi atau yang disebut juga sebagai sistem “penyensoran” pada abad ke 17 dan 18 ini digunakan untuk karyakarya perorangan, yang sempat diterapkan di negara-negara Eropa
35
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 21-22 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 22 37 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 22 36
32
Barat.38 Jika dilihat dari namanya, sistem penyensoran tentu akan membatasi aktivitas pemberitaan. Lagi-lagi segala hal yang disajikan tentu harus mampu mendukung kebijakan dan tujuan negara. Melalui sistem ini pula negara tetap dapat melakukan pengawasan terhadap pers. Selain sistem paten dan lisensi, pengawasan pers dengan sistem otoritarian juga menggunakan cara pendakwaan. Pengawasan dengan metode yang berkembang saat monopoli negara dan sistem lisensi tidak lagi mampu mengawasi pers ini, dilakukan di depan pengadilan terhadap pihak yang dianggap melanggar aturan, yang tentunya telah dibuat oleh negara. Metode pendakwaan ini tentu berkaitan dengan hukum. Menurut Fred S. Siebert, dua masalah tradisional mengenai hal ini dalam bidang hukum yakni berupa penghianatan (treason) dan hasutan (sedition).39 Dalam hal penghianatan, terdapat tiga hal yang dianggap sebagai perilaku penghiatan yakni (1) usaha menggulingkan negara, (2) terlibat dalam kegiatan yang dapat mengarah kepada penggulingan negara, dan (3) mendukung serta menganjurkan kebijaksanaan yang dapat mengarahkan kepada penggulingan negara.40 Jika diperhatikan, inti dari tindakan yang dianggap sebagai penghianatan terhadap negara adalah hal-hal yang dapat mengancam
38
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 23 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 25 40 Ucan, “Sistem Pers Otoriter”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://ucanmencarimakna.blogspot.co.id/2011/10/sistem-pers-otoriter.html 39
33
keamanan negara, berupa penggulingan negara. Mengingat pandangan otoritarian yang menganggap bahwa negara memiliki kedudukan tertinggi, tentu menggulingkan negara adalah hal yang tidak pantas dilakukan. Sebaliknya, seluruh masyarakat termasuk pers yang berada dalam suatu negara tersebut haruslah mendukung tujuan serta kebijakan yang dimiliki negara. Masalah lain pada hukum dalam metode pendakwaan adalah hasutan.
Jika
telah
disebutkan
sebelumnya
bahwa
tindakan
penghianatan berkaitan dengan tindakan penggulingan negara, maka tindakan menghasut lebih kepada perkara-perkara kecil yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap menentang penguasa.41 Baik penghianatan ataupun penghasutan, keduanya sama-sama tindakan yang dianggap dapat mengancam kedudukan negara, dan juga penguasa selaku pemimpin negara. Hal ini wajar dimasukan ke dalam ranah hukum dalam sistem otoritarian, mengingat sistem ini memang memandang posisi negara lebih tinggi dibanding yang lainnya, sehingga tidak ada pihak yang diperkenankan untuk mengganggu hal tersebut.
41
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 26
34
2. Teori Pers Libertarian Teori pers libertarian berangkat dari konsep liberal atau kebebasan.42 Teori ini mulai tumbuh pada abad ke 17, kemudian mulai benar-benar hadir di abad ke 18 serta berkembang di abad ke 19.43 Fred S. Siebert dalam buku “The Four Theories of the Press” yang telah diterjemahkan dalam buku berjudul “Empat Teori Pers” mengatakan bahwa: Abad ke 18 merupakan abad di mana prinsip-prinsip pers secara keseluruhan beralih dari otoritarian ke libertarian. Pada awal abad itu sistem pengawasan pers otoritarian sedang sekarat. Kekuasaan kerajaan untuk mengatur pers telah dihapuskan, gereja tidak lagi berfungsi sebagai agen-agen pengatur, dan monopoli negara dalam penerbitan telah dihapuskan. Menjelang akhir abad itu, prinsip-prinsip libertarian disisipkan di hukum dasar dan kalimat Undang-Undang yang melindungi kebebasan berbicara dan kebebasan pers.44 Selain Fred S. Siebert, tokoh lain yang juga turut berpengaruh terhadap perkembangan teori pers libertarian ini adalah Thomas Jefferson. Filsuf sekaligus negarawan ini memiliki keinginan agar pemerintahan memberi kesempatan kepada setiap orang karena ia memiliki keyakinan meskipun warga negara secara individual memiliki kemungkinan melakukan kesalahan, namun suatu kelompok akan mampu membuat keputusan yang tepat.45 Dalam masing-masing pernyataannya, baik Fred S. Siebert maupun Thomas Jefferson sama-sama mengakui bahwa warga negara
42
M. Ilham Nugraha, “Teori Pers Libertarian”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://hanz-one.blogspot.co.id/2013/09/teori-pers-libertarian.html 43 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 3 44 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 48-49 45 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 52
35
sudah selayaknya diberikan kebebasan berbicara dan membuat keputusan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pandangan otoritarian yang menganggap negara memiliki kedudukan tertinggi sehingga manusia harus tunduk kepada negara. Kemunculan libertarian sebagai tanda keruntuhan otoritarian membentuk sejarah baru perkembangan teori pers dunia. Dengan pandangan manusia perlu diberi kesempatan untuk memiliki kebebasan, Thomas Jefferson mengungkapkan bahwa untuk mempersiapkan semua itu maka setiap orang memerlukan pendidikan dan diberikan informasi.46 Bahkan menurut Thomas Jefferson, “Fungsi pers adalah untuk berpartisipasi dalam pendidikan orang-perorangan dan pada saat yang sama juga menjaganya dari penyimpangan oleh pemerintah dari tujuan-tujuannya semula”.47 Melihat hal tersebut, tentu pers perlu memiliki kebebasan dari pengawasan pemerintah agardapat melaksanakan fungsinya dengan lebih leluasa. Bahkan dalam pernyataan itu disebutkan bahwa pers harus menjaga penyimpangan pemerintah dari tujuannya semula. Hal ini tentu tidak mungkin dapat terlaksana jika negara masih mengungkung kebebasan pers. Di bawah konsep libertarian, fungsi media komunikasi massa adalah untuk memberi informasi dan menghibur. Fungsi ketiga dikembangkan sebagai suatu korelasi dengan dua fungsi sebelumnya, untuk mempersiapkan suatu basis pendukung ekonomi dan yang karenanya dapat menjamin ketidaktergantungan finansial.Fungsi ini adalah fungsi penjualan dan periklanan. Secara dasarnya, tujuan dari media adalah untuk menolong menemukan kebenaran, membantu 46 47
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 52 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 52
36
penyelesaian masalah-masalah politik dan sosial dengan mengetengahkan semua bentuk bukti dan opini sebagai dasar pembentukan keputusan.48 Dari pemaparan tersebut kita dapat mengetahui bahwa fungsi media dalam konsep libertarian fokus terhadap pelayanan yang dilakukan oleh media itu sendiri terhadap semua pihak yang membutuhkannya. Dalam teori pers libertarian, media atau bisa kita sebut sebagai pers tentu harus memiliki kebebasan dari tekanan atau pengaruh apapun agar dapat memberi sajian yang bebas dari campur tangan pihak lain terutama pemerintah. Bahkan pers itulah yang memiliki hak dan tugas untuk mengawasi pemerintah agar para pejabat pemerintah tidak menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki.49
3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial Teori pers tanggung jawab sosial mulai berkembang sejak abad ke 20 saat secara bertahap orang-orang mulai menjauhi libertarianisme murni.50 Asumsi utama dari teori pers tanggung jawab sosial ini adalah bahwa kebebasan dan pers harus bertanggung jawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern.51 Dalam hal ini dikatakan bahwa tanggung jawab sosial yang dimiliki pers harus dilaksanakam kepada
48
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 57 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 63 50 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 83 51 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 83 49
37
masyarakat, karena masyarakat itu sendiri lah yang menjadi target penerima informasi. Adapun
fungsi-fungsi
komunikasi
massa
yang
harus
dilaksanakan pers terkait dengan tanggung jawabnya kepada masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pers diantaranya melayani sistem politik, memberi penerangan kepada masyarakat, menjadi
penjaga
hak
perorangan,
melayani
sistem
ekonomi,
menyediakan hiburan, dan mengusahakan sendiri biaya finansial.52 Kembali kepada asumsi dasar teori pers tanggung jawab sosial yang menyebutkan bahwa kebebasan pers harus bertanggung jawab kepada masyarakat, hal ini jelas menunjukkan bahwa kebebasan yang dimiliki pers merupakan kebebasan yang terbatas. Pers harus mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masyarakat terkait pemberitaan yang dimuat. Kebebasan yang dimiliki pers adalah kebebasan dengan aturan. Masyarakat itu sendiri lah yang menjadi pengontrol dari kebebasan yang dimiliki pers. Teori pers tanggung jawab sosial juga merupakan kelanjutan dari teori pers libertarian yang mendewakan kebebasan individu termasuk pers.
Jika
dalam
teori
pers
libertarian
para
warga
negara
memperjuangkan kebebasan pers dari tekanan dan pengawasan pemerintah, dalam teori pers tanggung jawab sosial pers justru
52
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 84
38
mendapat “tekanan” baru berupa tanggung jawab kepada masyarakat sosial. Ada dua teori mengenai masyarakat: teori individualistis dan teori kolektivistis. Teori individualistis berpandangan bahwa individu lebih penting dibandingkan masyarakat. Sebaliknya, teori kolektivistis menganggap bahwa masyarakat lebih penting dibandingkan individu.53 Teori tanggung jawab sosial memperlihatkan adanya penggabungan pemikiran seperti itu. Ini bukanlah berarti bahwa teori tanggung jawab sosial pada titik ekstremnya menunjukkan kecenderungan ke arah totalitarianisme. Sebaliknya, teori ini menganggap tanggung jawab sosial media sebagai benteng terhadap totalitarianisme.54 Sementara itu Lukman Solihin dalam artikel yang berjudul “Etnografi Sejarah Koran Kuning (1) menyebutkan bahwa: Totalitarianisme merupakan sistem sosio-politis yang ditandai campur tangan secara lalim oleh negara yang bersifat otoriter dan birokratis dalam kehidupan masyarakat dan individu-individu. Dengan kata lain, sistem ini meletakkan martabat tertinggi pada negara yang menguasai segala golongan dalam masyarakat dalam segala bidang: politik, ekonomi, ilmu, agama, dan sebagainya.55 Dalam teori tanggung jawab sosial, pers memiliki beberapa tuntutan terhadap pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal ini Komisi Kebebasan Pers telah menyebutkan lima hal yang dituntut masyarakat modern kepada persnya dan tuntutan-tuntutan tersebut merupakan ukuran pelaksanaan kegiatan pers.56 beberapa tuntutan yang dimiliki pers tersebut diantaranya: (1) pers dituntut untuk menyajikan laporan 53
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 93 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 93 55 Lukman Solihin, “Etnografi Sejarah Koran Kuning (1)”, artikel diakses pada 26 April 2016 dari http://arti-definisi-pengertian.info/arti-totalitarianisme/ 56 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 99 54
39
tentang kejadian sehari-hari secara jujur, mendalam dan cerdas; (2) pers harus menjadi wadah diskusi berupa pertukaran komentar dan kritik; (3) pers hendaknya menonjolkan representatif kelompok masyarakat; (4) pers harus bertanggungjawab dalam penyajian dan penguraian tujuan dan nilai masyarakat; (5) pers harus menyajikan berita setiap hari.57
4. Teori Pers Soviet Komunis Teori pers soviet komunis didasarkan pada pemikiran Karl Marx. Melalui pemikirannya Marx memberikan sumbangan terhadap pandangan umum yang menjadi landasan Soviet, dan pandangan yang dimilikinya tersebut terlihat bahwa Marxisme mencoba untuk serba merangkum, merenungkan totalitas, melenyapkan subjektifisme dalam memilih pemikiran-pemikiran, serta mencoba mengungkap akar-akar yang sama dari semua pemikiran dan kecenderungan yang berbeda.58 Tradisi Marxis memperlihatkan otoritarianisme, keteguhan, serta kecenderungan membuat perbedaan yang jelas antara yang salah dan yang benar.59 Dalam hal ini terlihat adanya ketegasan dari tradisi Marxis untuk menentukan mana hal yang dianggap benar, dan mana yang dianggap salah. Dengan adanya pembeda yang jelas antara hal yang salah dan hal yang benar, maka tidak akan muncul keraguan untuk mengambil sikap berdasarkan pakem-pakem kebenaran yang 57
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 99-104 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 123 59 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 123 58
40
ada. Namun justru melalui konsep ini pers tidak memungkinkan menjadi lembaga yang dapat memberikan kritik terhadap pemerintah, bahkan pers dianggap sebagai “alat untuk menginterpretasi doktrin, melaksanakan kebijakan-kebijakan kelas pekerja atau partai militan” dan kontrol terhadap pers itu sendiri dipegang oleh mereka yang memiliki kekuasaan baik di bidang percetakan, penerbitan, maupun pemilik stasiun siaran.60 Dengan demikian terlihat bahwa pers dalam teori pers soviet komunis ini tidak memiliki kebebasan bergerak karena setiap gerakannya dikontrol dan diawasi oleh penguasa. Pers juga tidak bekerja secara independen untuk masyarakat, melainkan menjadi corong penguasa untuk mengukuhkan doktrin kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pers dituntut untuk berpihak kepada para penguasa yang memiliki akses dan kemudahan dalam bidang penyampaian informasi kepada masyarakat. Kekuasaan dalam teori Soviet ini bersifat sosial karena berada di orang-orang, bersembunyi di lembaga sosial, serta dipancarkan dalam tindakan masyarakat.61 Wilbur Schramm dalam buku Empat Teori Pers mengatakan bahwa “kekuasaan ini mencapai puncaknya (a) jika ia digabungkan dengan sumberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi, dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan”.62
60
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 127 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 135 62 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 135 61
41
Adapun sumber kepemimpinan dalam kekuasaan pada teori Soviet berasal dari partai komunis. Partai ini dianggap memiliki hak untuk bertindak sebagai penjaga dan pemimpin massa.63 Sebagai penjaga dan pemimpin massa, partai tentu memiliki kewenangan untuk menentukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian peran partai menjadi lebih aktif, dan peran massa menjadi semakin pasif.64 Partai ini menjalankan kepemimpinan dalam prakteknya dengan memiliki tuntutan-tuntutan. Pada prakteknya, tuntutan partai Soviet adalah sebagai berikut: (1) paling pertama, partai berusaha menempatkan kandidatkandidatnya pada pos-pos pemerintahan dalam pemilihan Soviet – pekerja terbaik yang mengabdi untuk kepentingan pembangunan sosialis dan sangat dipercaya oleh massa rakyat. Dalam hal ini partai berhasil… (2) “partai memeriksa kerja organ-organ pemerintahan dan organ-organ kekuasaan yang mengoreksi kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan tak terhindarkan, membantu mengambil keputusan pemerintahan dan mencoba memastikan dukungan massa bagi mereka – dan tak ada satu keputusan pun yang diambil tanpa arahan-arahan dari partai.” (3) “Dalam membuat rencana kerja bagi sebuah organ kekuasaan tertentu – baik dalam bidang industry dan pertanian maupun dalam bidang perdagangan dan kebudayaan – partai memberi pengarahan-pengarahan umum yang menentukan sifat dan arah kerja itu…”65 Jika dalam teori ini massa atau lebih khususnya pers harus tunduk kepada partai, maka partai pun harus tunduk kepada kediktaktoran birokrasi dan pimpinan pusatnya.66 Dalam hal ini terlihat adanya sikap penguasaan berantai, dengan partai sebagai pihak penengah, dikuasai namun juga menguasai. 63
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 135 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 135 65 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 136 66 Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 136 64
42
Konsep Soviet memiliki beberapa pandangan, diantaranya: (1) menurut pandangan Soviet, tidak mungkin ada kebebasan yang absolut, (2) menurut pandangan Soviet, yang berguna adalah kebebasan untuk menyatakan apa yang mereka anggap benar, (3) di Uni Soviet kebebasan yang bertentangan dengan negara tidak diizinkan, (4) Soviet menjamin akses dan menghapuskan kontrolkontrol yang tersembunyi, dan (5) kebebasan bertanggung jawab erat terikat dalam teori Soviet.67 Pandangan tidak adanya kebebasan mutlak dari teori ini tentu didasari dari kenyataan bahwa pers harus tunduk kepada partai, dan partai harus tunduk kepada keditaktoran penguasa. Adanya sikap penguasaan ini secara langsung membatasi kebebasan yang dimiliki pers. Teori pers soviet komunis ini juga kerap disebut dengan panggilan “totalitarian”. Teori totalitarian dan teori otoritarian memiliki persamaan dalam penggunaan kata “kebebasan” untuk masyarakat,
yang mana
kebebasan masyarakat bagi otoritarian adalah untuk kepentingan bisnis,
sedangkan
bagi
totalitarian
adalah
kebebasan
untuk
melancarkan kepentingan partai.68
67
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 147-150 Fachri, “Empat Teori Pers”, artikel diakses pada https://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/empat-teori-pers/ 68
12
Mei
2016
dari
43
Adapun beberapa perbedaan keempat teori pers secara umum dapat dilihat pada tabel berikut:69 Otoritarian
Libertarian
Di Inggris pada abad 16 dan 17; dipakai secara meluas di dunia dan masih dipraktekkan di beberapa tempat sekarang ini Filsafat kekuasaan monarki absolut, kekuasaan pemerintahan absolut, atau kedua-duanya
Di Inggris dipakai setelah 1688, dan kemudian di AS; di tempat lainnya teori ini juga berpengaruh Tulisan-tulisan Milton, Locke, Mill, dan filsafat umum tentang rasionalisme dan hak-hak asasi
Tujuan utama
Mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa; dan mengabdi pada negara
Memberi informasi, menghibur, dan berjualan
Siapa yang berhak menggunaka n media?
Siapa saja yang punya hak paten dari kerajaan atau izin lain semacam itu
Bagaimana media diawasi
Melalui patenpaten dari pemerintah,
Siapa saja yang punya kemampuan ekonomi untuk menggunakann ya Dengan “proses pelurusan sendiri untuk
Berkembang
Muncul dari
69
Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 8
Tanggung jawab sosial Di AS pada abad ke 20
Soviettotalitarian Di Uni Soviet
Tulisan W.E Hocking. Komisi kebebasan pers, para pelaksana media; kodekode etik media Memberi informasi, menghibur, dan berjualan – tetapi terutama untuk mengangkat konflik sampai tingkatan diskusi Siapa saja yang ingin mengatakan sesuatu
Pemikiran Marxis- LeninisStalinis dengan campuran pemikiran Hegel dan pandangan orang Rusia abad 19
Melalui pendapat masyarakat,
Pengawasan dan tindakan politik atau ekonomi
Memberi sumbangan bagi keberhasilan dan kelanjutan sistem sosialis Soviet, dan terutama bagi kediktaktoran partai
Anggota-anggota partai yang loyal dan ortodoks
44
(dikontrol)?
serikat-serikat kerja, izin-izin, dan kadangkadang sensor
mendapatkan kebenaran” dalam “pasar ide yang bebas”; serta melalui pengadilan Penghinaan, kecabulan, kerendahan moral dan penghianatan pada massa perang
Apa saja yang dilarang?
Kritik terhadap mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa
Pemilikan
Swasta perorangan atau umum (masyarakat)
Terutama perorangan
Perbedaan utama dengan teori lainnya
Media massa dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, walaupun tidak harus dimiliki pleh pemerintah
Media massa adalah alat untuk mengawasi pemerintah dan memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat lainnya
tindakantindakan konsumen, etika-etika kaum profesional
oleh pemerintah
Invasi serius terhadap hakhak perorangan yang dilindungi dan terhadap kepentingan vital masyarakat Perorangan, kecuali jika pemerintah harus mengambil alih demi kelangsunga n pelayanan terhadap masyarakat Media harus menerima tanggung jawabnya terhadap masyarakat; dan kalau tidak harus ada pihak yang mengusahaka n agar media mau menerimanya
Kritik-kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik partai
Tabel 2.1 perbedaan empat teori pers secara umum
Masyarakat
Media massa adalah milik negara dan media yang dikontrol sangat ketat semata-mata dianggap sebagai tangan-tangan negara
45
E. Kode Etik Jurnalistik Kode Etik Jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan, dan juga norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku dan tata krama penerbitan.70 Dasar berlakunya Kode Etik Jurnalistik yang sekarang berlaku antara lain berdasarkan kesepakatan 29 organisasi pers seluruh Indonesia di Jakarta tanggal 14 maret 2006, peraturan Dewan Pers No. 6/peraturan-DP/V/2008, serta pasal 7 ayat 2 undang-undang no. 40 tahun 1999 tentang pers yang menyebut “wartawan Indonesia memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik”.71 Kode Etik Jurnalistik yang berlaku saat ini sudah dirancang dengan memperhatikan kemungkinan daya lakunya di berbagai media. Kode Etik Jurnalistik mengandung nilai-nilai dasar di bidang jurnalistik yang dapat dipakai di semua media. Dengan demikian Kode Etik Jurnalistik ini juga berlaku untuk media cetak, radio, televisi, dan sebagainya.72 Inti kandungan dari Kode Etik Jurnalistik adalah empat asas, yakni asas moralitas, asas demokratis, asas profesionalitas, dan asas supremasi hukum.73 Asas moralitas adalah nilai-nilai moralitas yang menjadi kandungan utama dari Kode Etik Jurnalistik, Asas demokratis adalah nilai demokratis
70
yang
dikandung
oleh
Kode
Etik
Jurnalistik,
Asas
Menurut Kees Bertens seperti dikutip dalam Rosihan Anwar, Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, (Jakarta: Jurnalindo Aksara Grafika, 1996), h. 11-12 71 Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Jakarta: Dewan Pers, 2012), h. 329 72 Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 334 73 Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 336
46
profesionalitas adalah nilai-nilai professional yang dikandung dalam Kode Etik Jurnalistik, Dan asas hukum dalam Kode Etik Jurnalistik adalah nilai hukum yang diadopsi dan atau didukung oleh Kode Etik Jurnalistik.74 Kandungan asas moralitas dalam Kode Etik Jurnalistik diantaranya adalah: (1) wartawan tidak boleh beritikad buruk; (2) wartawan tidak boleh membuat berita cabul dan sadis; (3) wartawan tidak menyebut identitas korban kesusilaan; (4) wartawan tidak menyebut identitas anakanak yang melakukan kejahatan; (5) wartawan tidak berprasangka dan diskriminatif terhadap segala jenis perbedaan, baik itu perbedaan jenis kelamin, bahasa, suku agama, dan antar golongan (SARA); (6) wartawan tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, dan sakit (jasmani dan rohani); (7) wartawan tidak menerima suap; (8) wartawan menghormati kehidupan pribadi, kecuali untuk kepentingan umum; dan (9) wartawan melaksanakan kewajiban koreksi.75 Asas demokratis dalam Kode Etik Jurnalistik meliputi keharusan wartawan untuk menghasilkan berita yang berimbang dan bersikap independen, serta kewajiban untuk melayani hak jawab dan hak koreksi.76 Adapun dalam asas profesionalitas, Kode Etik Jurnalistik mengandung nilai-nilai profesional yang harus dimiliki oleh para wartawan seperti: (1) wartawan harus membuat berita yang akurat; (2) menunjukkan identitas kepada narasumber; (3) menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; (4) selalu menguji informasi; (5) dapat membedakan fakta dan opini; (6) wartawan juga tidak boleh membuat berita bohong dan fitnah; (7) wartawan diminta untuk mencantumkan waktu peristiwa dan atau pengambilan/ penyiaran gambar; (8) wartawan juga harus menghargai ketentuan embargo, off the record, informasi latar belakang dan (9) wartawan juga harus menjelaskan reka ulang.77
74
Wina Armada Jurnalistik, h. 336-340 75 Wina Armada Jurnalistik, h. 337 76 Wina Armada Jurnalistik, h. 339 77 Wina Armada Jurnalistik, h. 338
Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik
47
Terakhir, asas supremasi hukum diantaranya wartawan tidak boleh melakukan plagiat, wartawan menghormati asas praduga tak bersalah, wartawan memiliki hak tolak, serta tidak menyalah gunakan profesinya.78 Keempat asas tersebut merupakan intisari dari Kode Etik Jurnalistik secara keseluruhan. Kode Etik Jurnalistik dikeluarkan oleh Dewan Pers. Dewan Pers dibentuk berdasarkan pasal 15 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.79 Adapun fungsi dibentuknya Dewan Pers berdasarkan pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 diantaranya adalah untuk melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, melakukan
pengkajian
menetapkan
dan
untuk
mengawasi
mengembangkan pelaksanaan
Kode
kehidupan Etik
pers,
Jurnalistik,
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Selain itu Dewan Pers juga berfungsi untuk memfasilitasi organisasiorganisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan dibidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, serta mendata perusahaan pers.80
78
Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 341 79 Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 222 80 Wina Armada Sukardi, kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, h. 223
48
Adapun Kode Etik Jurnalistik yang saat ini berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik adalah sebagai berikut:81 Kode Etik Jurnalistik Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik: Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran b. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. c. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan ojektif ketika peristiwa itu terjadi. d. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. e. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan sematamata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Pasal 2 81
Dewan Pers, “Kode Etik Jurnalistik”, diakses pada 7 Maret 2016 dari http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik
49
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran Cara-cara profesional adalah: b. c. d. e. f.
Menunjukkan identitas diri kepada narasumber Menghormati hak privasi Tidak menyuap Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang g. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyiaran gambar, foto, suara h. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri i. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitahukan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran b. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu c. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional d. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretative, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta e. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul Penafsiran b. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi c. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk
50
d. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan e. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi f. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan Penafsiran b. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. c. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap Penafsiran b. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. c. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran a. Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. c. Informasi latar belakang adalah adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
51
d. “off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Pasal 9 Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhatihati. b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Penafsiran a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Penafsiran a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
52
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
F. Etika Profesi Jurnalistik Tindakan etis yang berlandaskan etika tentu perlu diterapkan dalam segala aspek kehidupan, oleh setiap orang, dalam berbagai profesi yang dijalankan, termasuk pers. Karenanya, berkaitan dengan etika jurnalistik, pers didorong untuk ikut mengabdi kepada kepentingan masyarakat, bukan demi kepentingan pribadi ataupun golongan. Hal ini kemudian menyebabkan pers dianggap sebagai abdi masyarakat (public servant).82 Anggapan pers sebagai public servant membuat pers harus memiliki sifat jujur, objektif. Bahkan menurut Joseph Pulitzer, jurnalistik membutuhkan orang-orang yang berani dan bermoral.83 Jurnalisme memerlukan etika sebagai panduan dalam melakukan tugasnya mencari dan menyampaikan kebenaran. Tugas mulia itu dipercayakan masyarakat kepada pers karena percaya bahwa para jurnalis akan menjalankan tugas mereka sebaik-baiknya. Pada dasarnya etika memberi arah kepada para jurnalis untuk melakukan pekerjaan secara amanah kepercayaan tersebut dijaga dan dipelihara oleh media dan wartawannya dengan cara menaati sejumlah prinsip yang dirumuskan dalam kode etik.84
82
Armansyah, Pengantar Hukum Pers, h. 105 Armansyah, Pengantar Hukum Pers, h. 105 84 Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-prinsip Dasar, h. 13 83
53
Meskipun secara gamblang telah disebutkan bahwa jurnalis memerlukan dan bahkan telah memiliki etika, nyatanya masih saja ada jurnalis nakal yang kerap kali melakukan tindakan yang tidak seharusnya. Tindakan-tindakan yang disebut sebagai dosa-dosa pers ini diantaranya berupa penyimpangan informasi, dramatisasi fakta, serangan privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran anak, dan penyalahgunaan kekuasaan.85 “dosa-dosa pers” semacam ini lah yang kerap kali menodai profesionalisme dari kinerja wartawan itu sendiri.
G. Wartawan dan Etikanya Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wartawan diartikan sebagai orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, dan televisi.86 Dengan demikian jelas bahwa wartawan memiliki tugas sebagai mediator antara informasi dan masyarakat. Wartawan memiliki tanggung jawab untuk dapat menyajikan beragam informasi kepada masyarakat. M. Gani menyebutkan ada beberapa syarat untuk menjadi wartawan, yakni “bakat, pengetahuan umum, kecakapan memperdalam suatu masalah, kecerdasan mengadakan analisa yang tajam, dan menguasai bahasa-bahasa asing”.87 Kelima syarat yang diungkapkan oleh M. Gani tersebut tentu merupakan sosok ideal wartawan yang diharapkan banyak 85
Lukas Luwarso dan Samsuri, Pelanggaran Etika Pers, (Jakarta: Dewan Pers bekerjasama dengan FES, 2007), h. 36-38 86 http://kbbi.web.id/wartawan, diakses pada 5 April 2016 pukul 21.19 87 M. Gani, Surat Kabar Indonesia pada Tiga Zaman, (Jakarta: Proyek Pusat Publikasi Pemerintah, Departemen Penerangan RI, 1978), h. 28
54
pihak. Dengan bakat, pengetahuan umum, kecakapan, kecerdasan, serta kemampuan berbahasa asing yang dimiliki, wartawan dianggap mampu menyajikan
berbagai
informasi
yang
akurat
untuk
kepentingan
masyarakat. Adapun menurut tugasnya, wartawan terbagi dalam dua golongan. Pertama, mencari dan menghimpun informasi, kedua mengerjakan berita dan menulis.88 Kedua hal tersebut merupakan penyokong dari tugas utama wartawan, yakni menyampaikan informasi kepada khalayak. Dengan mencari berita kemudian menuliskannya, barulah wartawan akan dapat menyampaikan kepada khalayak. Dalam proses penyampaian berita tersebut hendaknya wartawan memperhatikan etika yang berlaku, agar berita yang disampaikan benarbenar sesuai dengan kaidah yang seharusnya. Etika juga menunjukkan bagaimana kualitas seorang wartawan. Karena dalam menjalankan etika terdapat idealisme yang dipertahankan. Bukan semata-mata melakukan sesuatu hanya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian jelas bahwa terdapat hubungan erat antara wartawan dengan etika, terutama tentunya etika pers yangtelah ditetapkan. Melalui hubungan yang erat tersebutlah secara normatif seharusnya wartawan menerapkan etika yang berlaku agar hasil dari kerja jurnalistik yang dilakukan dapat sesuai dengan apa yang diharapkan.
88
Floyd G. Arpan, Wartawan Pembina Masjarakat, (Bandung: Binatjipta, 1970), H. 36
55
Hazra mengungkapkan bahwa ada tiga tanggung jawab dasar (basic responsibilities) yang dimiliki oleh setiap jurnalis, yakni hal-hal yang bersifat sosial, legal, dan profesional.89 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para jurnalis, atau yang kerap kali disebut juga sebagai wartawan memiliki tiga bentuk tanggung jawab, yakni tanggung jawab sosial, tanggung jawab legal, dan tanggung jawab profesional. Dalam tanggung jawab sosial yang dimilikinya, pers dianggap sebagai pihak yang mencerminkan potret masyarakat, sehingga pers memiliki tugas untuk mengamati berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat, dan kemudian menyajikannya dengan cara yang sopan.90 Tanggung jawab ini berhubungan langsung dengan masyarakat yang merupakan bagian dari kehidupan sosial, karenanya disebut sebagai tanggung jawab sosial. Di lain pihak, seperti yang telah disebutkan sebelumnya para jurnalis juga memiliki tanggung jawab legal. Tanggung jawab ini disebut juga sebagai tanggung jawab hukum, di mana para jurnalis dalam menjalankan tugasnya harus memiliki pengetahuan mengenai segala hal yang berhubungan dengan hukum untuk meminimalisasi timbulnya masalah.91 Jika jurnalis terlibat masalah, apalagi masalah yang berkaitan dengan hukum, tentu akan menghambat proses penyampaian informasi, yang merupakan tugas pokok dari jurnalis itu sendiri.
89
Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 46 Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 46 91 Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 47 90
56
Adapun tanggung jawab profesional yang dimiliki jurnalis adalah bahwa seorang jurnalis diharapkan memiliki ketulusan dan komitmen kepada profesi yang dijalankannya, sehingga nantinya dapat menyajikan berita mengenai kejadian apa pun untuk khalayak dengan jelas dan fair.92 Secara normatif, seseorang yang mencintai pekerjaannya tentu akan mengerahkan segala daya yang dimiliki agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Ketulusan untuk menjalankan profesi juga akan berpengaruh pada semangat kerja, sehingga ia akan semaksimal mungkin mengumpulkan data yang akurat agar informasi yang ia sampaikan benar-benar mengandung nilai kebenaran demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi. Jika seorang jurnalis ataupun wartawan menjalankan tiga tanggung jawab berupa tanggung jawab sosial, tanggung jawab hukum, dan juga tanggung jawab profesional, maka secara otomatis wartawan tersebut telah memiliki control dalam dirinya sendiri untuk senantiasa menjadi wartawan yang beretika, yang tentunya menjalankan etika pers yang berlaku. Karena dalam tanggung jawab sosial, hukum, maupun profesional tersebut secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan kode etik yang telah ditetapkan dan diberlakukan. Sehingga antara wartawan dan etika seharusnya sudah memiliki keterkaitan yang erat yang tidak terpisahkan.
92
Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 47
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Perkembangan Pers di Indonesia Indonesia sebagai negara yang sudah merdeka selama 71 tahun tentu memiliki banyak sejarah, termasuk mengenai pers. Perkembangan pers di Indonesia tentunya mengikuti era yang terjadi pada zamannya. Secara umum, perkembangan pers di Indonesia tersebut terbagi dalam tiga era, yakni era penjajahan, kemerdekaan, dan pasca reformasi. 1. Media Massa Era Penjajahan Haris Sumadiria mengatakan “di Indonesia jurnalistik pers mulai dikenal pada abad ke 18, tepatnya pada tahun 1744 ketika surat kabar bernama Bataviasche Nouvelles diterbitkan dengan penguasaan orangorang Belanda”.1 Kemudian beberapa media lainnya muncul di tahuntahun berikutnya, di antaranya pada tahun 1776 terbit surat kabar Vendu Niews, tahun 1854 terbit majalah Bianglala, tahun 1885 terbit Bromartani, dan pada tahun 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe.2 Selain ditandai dengan kemunculan media massa yang telah disebutkan di atas, pada abad ke 20 muncul surat kabar pertama milik 1
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), h. 19 2 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 19
57
58
bangsa Indonesia, yang dibuat dengan modal dari dan untuk bangsa Indonesia yang diberi nama Medan Prijaji.3 Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisurjo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, 1907, berbentuk mingguan.Baru tiga tahun kemudian, 1910, berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara pemuatan karangan dan iklan.4 Dari pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa sejarah perkembangan pers di Indonesia tak lepas dari Belanda, pihak yang menjajah negara Indonesia selama 350 tahun. Bahkan awal kemunculan media massa surat kabar di Indonesia merupakan surat kabar terbitan Belanda, untuk kepentingan pemerintah Belanda pad masa itu. Barulah kemudian muncul surat kabar yang benar-benar berasal dari warga pribumi, untuk negara Indonesia.
2. Memasuki Kemerdekaan Perkembangan jurnalistik pers yang sudah dimulai sejak masa penjajahan, rupanya tak ikut berhenti saat kemerdekaan sudah berhasil diraih oleh bangsa ini. Perkembangan tetap terus berlanjut di era kemerdekaan Indonesia.Bahkan pada tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, pers Indonesia dapat dikatakan menikmati masa bulan madu. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya surat kabar baru di berbagai kota di 3
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 19 4 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 19-20
59
Indonesia,
yang
menunjukkan
jati
dirinya
sebagai
pers
perjuangan.5 Haris Sumadiria mengatakan “Orientasi mereka hanya pada bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Lain tidak. Bagi pers saat itu, tak ada tugas yang paling mulia kecuali mengibarkan merah putih setinggi-tingginya”. Dalam pernyataan yang dilontarkan Haris Sumadiria dalam bukunya yang berjudul “Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature
Panduan
Praktis
Jurnalis
Profesional”
tersebut
menunjukkan betapa pers yang muncul di masa awal kemerdekaan benar-benar mencintai negara ini, dan karena kecintaannya tersebutlah mereka rela mengabdi pada negara untuk menjaga keamanannya dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang tidak merugikan negara. Rasa cinta tersebut juga lah yang membuat mereka merasa bahwa mengibarkan bendera merah putih setinggitingginya adalah tugas yang paling mulia bahkan tidak ada tugas lain yang lebih mulia dibanding itu. Dalam kalimat “mengibarkan bendera merah putih setinggitingginya” tersebut peneliti mendapat pemahaman bahwa tidak hanya makna tersurat yang terkandung dalam kalimat itu, melainkan juga mengandung makna tersirat.Makna tersurat, tentulah benar-benar mengibarkan bendera merah putih sebagai bentuk apresiasi dari keberhasilan perjuangan yang telah diraih. 5
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 20
60
Adapun makna tersiratnya adalah mengisi kemerdekaan dengan melakukan hal-hal positif yang akan mengangkat harkat dan martabat bangsa, bukan hanya di mata para penghuninya namun juga di mata dunia. Terlebih masa awal kemerdekaan merupakan sebuah fase kehidupan baru yang dialami bangsa ini setelah dijajah selama berabad-abad. Namun rupanya masa bulan madu yang dialami pers Indonesia tak berlangsung lama. Lima tahun setelah kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1950, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis, sehingga pers pada saat itu lebih banyak menjadi corong partai-partai politik besar dan masa ini disebut sebagai pers partisan.6 “Pers partisan artinya pers secara dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik yang disukai dan didukungnya”.7 Jika
orientasi
pers
sudah
beralih
dari
orientasi
“mengamankan dan mengisi kemerdekaan” menjadi orientasi “politik”, tentu cara kerja yang dilakukan juga berubah. Jika sebelumnya pers perjuanganmerasa mulia mengabdikan diri untuk kepentingan negara, maka pers partisan ini justru mengabdikan diri untuk kepentingan golongan partai tertentu. Hal ini juga tentu akan mengubah cara penyajian yang awalnya objektif menjadi
6
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 20 7 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 20
61
subjektif, dan yang awalnya netral menjadi memihak. Persatuan Indonesia dalam situasi seperti ini secara otomatis terpecah oleh partai-partai yang bermunculan tersebut. Hal ini dikarenakan kemunculan partai, memunculkan golongan baru yang memecah golongan “Indonesia” secara keseluruhan.
3. Indonesia di Iklim Reformasi Kelahiran orde reformasi dimulai sejak Kamis, 21 Mei 1998 pukul 12:00 siang setelah Soeharto menyerahkan jabatan presiden kepada wakilnya, BJ Habibie.8 Pergantian penguasa ini juga berdampak pada pergantian kebijakan, termasuk dalam hal ini mengenai kebebasan pers. Pada periode ini kebebasan jurnalistik berubah menjadi kemerdekaan jurnalistik, yang ditandai dengan pergantian UU Pokok Pers No.21/1982 menjadi UU Pokok Pers No.40/1999.9 UU baru yang berlaku pada periode tersebut memberikan kebebasan kepada warga Indonesia yang ingin terjun ke dalam dunia jurnalistik. Hal ini seperti yang tergambar dalam Pasal 9 ayat 1 dan 2 UU Pokok Pers No.40/1999 yang mengungkapkan bahwa: “(1) setiap warga negara
8
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 25 9 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 25
62
Indonesia berhak mendirikan perusahaan pers; (2) setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia”.10 Kewenangan yang dimiliki pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut Pasal 6 UU Pokok Pers No. 40/1999, pers nasional melaksanakan peranan: (a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan; (c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.11 Dengan demikian terlihat bahwa pada periode ini pers mendapatkan ruang yang lebih besar untuk bergerak namun tetap diawasi dengan adanya kewenangan yang disebutkan dalam 6 UU Pokok Pers No. 40/1999 tersebut. Kewenangan yang tertulis dalam Undang-Undang tersebut pun jelas tidak “menekan” pers, karena halhal yang disebutkan memanglah hal yang sepatutnya diperhatikan dan dilaksanakan oleh pers sebagai penyampai informasi. Dalam masa orde baru di tahun 1966-1974, terjadi perubahan besar dalam dunia jurnalistik yang disebabkan oleh tiga hal yang di antaranya adalah (1) peristiwa tegang yang terjadi setelah G30S/PKI;
10
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 25 11 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, hal. 25
63
(2) kebebasan pers menjadi lebih leluasa; (3) munculnya sikap profesionalisme dalam redaksi dan pengolaan bisnis.12 Perkembangan
pers
pada
masa
ini
diawali
dengan
berkembangnya situasi konflik yang membawa ketegangan di berbagai segi kehidupan sehingga masyarakat tergerak untuk mencari informasi melalui pers.13 Karenanya tak heran jika pada periode ini jumlah pers bertambah banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini terlihat dari angka statistik yang dikeluarkan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat tahun 1971 yang menyatakan bahwa “pada tahun 1965 terdapat 111 harian dengan total tiras 1.432.850 eksemplar dan mingguan 84 buah dengan total tiras 1.153.800 eksemplar”.14 Sedangkan pada tahun berikutnya, yakni 1966 berdasarkan hasil penelitian Judith B. Agassi terdapat 132 harian Indonesia dengan total tiras 2 juta eksemplar dan mingguan sebanyak 114 buah dengan total tiras 1.542.200 eksemplar.15 Secara lebih jelas, perbandingan jumlah pers dan total tiras antara tahun 1965 dan tahun 1966 dapat dilihat pada tabel berikut:
12
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 21 13 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 21 14 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 1995), h. 45 15 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 45
64
1965
1966
Jumlah Surat Kabar 111 Harian
132
Total Tiras Kabar Harian
2 juta
Surat 1,4 juta
Jumlah Surat Kabar 84 Mingguan
114
Total Tiras Surat 1.15 juta Kabar Mingguan
1,5 juta
Tabel 3.1 perbandingan jumlah pers dan total tiras tahun 1965 dan 1966
Menurut Ahmad Zaini Abar, kenaikan tiras surat kabar, baik harian maupun mingguan pada tahun 1966 ini selain disebabkan oleh banyaknya pers baru yang bermunculan, juga didukung oleh kembalinya surat kabar lama yang pernah dibredel di masa demokrasi terpimpin.16 Beberapa surat kabar yang sempat dibredel dan pada akhirnya kembali muncul pada periode ini di antaranya harian Merdeka (terbit kembali Juni 1966), Berita Indonesia (terbit kembali Mei 1966), Indonesian Observer (terbit kembali September 1966).17 Perkembangan signifikan yang terjadi pada tahun 1966 tersebut rupanya tidak bertahan lama. Setahun kemudian, atau tepatnya 1967, angka kenaikan jumlah pers maupun tiras yang diperoleh menurun drastis, bahkan lebih rendah dibanding tahun 1965, saat perkembangan 16 17
Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 45 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 45
65
signifikan belum terjadi.18 “Pada awal kebangkitannya, orde baru mewarisi hiper-krisis ekonomi yang mencapai titik puncak yang sangat mengkhawatirkan. Karena itu, penguasa orde baru melakukan usaha stabilisasi dan rehabilitasi perekonomian secara besar-besaran dan drastis”.19 Salah satu program stabilisasi ekonomi yang dilakukan pemerintah pada masa ini adalah dengan mengurangi subsidi di berbagai sektor ekonomi, termasuk menghapus subsidi untuk kertas koran bagi pers.20 hal ini tentu akan memengaruhi perekonomian dalam perusahaan pers, terlebih perusahaan pers yang belum begitu mapan. Perusahaan yang tadinya mendapat bantuan dana subsidi untuk membeli kertas koran, mulai sejak diberlakukannya kebijakan baru tersebut tentu harus mengeluarkan biaya pembelian kertas koran secara pribadi. Hal ini tentu saja secara otomatis akan memengaruhi ongkos produksi, yang selanjutnya berpengaruh pada harga jual. Lebih jauh lagi, harga jual akan berpengaruh pada minat beli masyarakat, yang akhirnya memengaruhi tiras surat kabar. Inilah yang secara berkelanjutan menjadi seleksi alam, mana pers yang tetap bertahan dan mana yang tidak. Selain mengalami perubahan dalam segi jumlah, pers Indonesia pada masa orde baru ini juga mengalami perubahan baik dari segi
18 19 20
Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 45 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 47 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 47
66
orientasi dan posisi pers, “peta ideologi” pers, serta persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa terhadap pers.21 Pada tahun 1962-1965, “peta ideologi” pers dapat digambarkan sebagai pers komunis dan pers simpatisannya yang menduduki posisi dominan dalam menciptakan opini memengaruhi
kebijaksanaan
publik dan politik serta
pemerintah,
dan
pers
lain
yang
menempati posisi periferal seperti pers agama, pers kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), dan pers militer.22 Adapun pers agama merupakan pers yang berafiliasi dengan partai agama, di antaranya adalah harian Duta Masyarakat yang berafiliasi dengan partai Naadhlatul Ulama (NU), harian Sinar Harapan yang berafiliasi dengan Partai Kristen indonesia (Parkindo), serta harian Kompas yang berafiliasi dengan partai katolik.23 Pers kelompok BPS di antaranya surat kabar yang terbit di Jakarta seperti harian Merdeka, Berita Indonesia, Indonesian Observer, dan Warta Kota, di Medan seperti Indonesia Baru dan Waspada, di Semarang seperti Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, harian Suara Rakyat di Surabaya, dan Pikiran Rakyat di Bandung. 24 Pers militer yang terpenting adalah Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Harian Berita Yudha terbit pada 9 Februari 1965, di bawah control Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Ibnu Subroto. Harian Angkatan Bersenjata, terbit pada 15 Maret 1965
21 22 23 24
Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 50 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 51-52 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 52 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 52-53
67
berada di bawah control Kepala Penerangan Staf ABRI, Mayor Jenderal Sugandhi.25 Pers militer ini diterbitkan sebagai reaksi dan tindakan politik Angkatan Darat atas dilarangnya sebagian besar pers BPS, dan penerbitan surat kabar ini juga merupakan usaha politik Angkatan Darat untuk mengisi kekosongan peran media yang saat itu banyak dilarang terbit oleh pemerintah dengan cara menahan dan melawan aksi informasi dari pers komunis.26 Hal ini terjadi karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pada masa itu pers komunis mendominasi “peta ideologi” pers. Namun akhirnya pada 1 Oktober 1965, seluruh pers komunis dan simpatisannya dibredel.27 Namun kemudian seiring berjalannya waktu dan perubahan kondisi yang terjadi, beberapa surat kabar yang telah dibredel akhirnya kembali terbit, disertai dengan terbitnya “surat kabar baru yang kebanyakan dikelola oleh mahasiswa dan intelektual kampus di sekitar pertengahan 1966”.28 Hal ini membuat dominasi pers militer dalam “peta ideologi” merosot, dan sejak pertengahan tahun 1966 tersebut “peta ideologi” pers berada dalam keadaan seimbang.29 Selain mengalami perubahan dalam segi “peta ideologi”, pers pada masa orde baru ini juga mengalami perubahan dalam segi 25
Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 53 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 53-54 27 Azhar Irfansyah dan Nella A. Puspitasari, “Tentang Pasang Surutnya Pers itu: Riwayat Pers Kiri di Indonesia (Part II)”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://indoprogress.com/2014/05/tentang-pasang-surutnya-badai-itu-riwayat-pers-kiri-diindonesia-bagian-ii/ 28 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 56 29 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 56-57 26
68
persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa terhadap pers. Ahmad Zaini Abar mengatakan bahwa pada periode Demokrasi Terpimpin “persepsi, sikap dan perlakuan penguasa terhadap pers Indonesia telah melampaui batas-batas toleransi”.30 Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik. Pers seakan-akan dilihat seperti sebuah senapan yang siap menembakkan peluru (informasi) ke arah massa atau masyarakat yang tak berdaya.31 Jadi dalam hal ini terlihat bahwa penguasa Demokrasi Terpimpin pada masa orde baru ini menjadikan pers sebagai alat untuk melancarkan kepentingan yang ingin dicapai. Bahkan pers disebut sebagai alat revolusi yang digunakan untuk menggerakkan massa melalui power yang dimilikinya. Jika pers dianggap sebagai “alat”, maka otomatis pemerintah tentu merasa harus menguasai pers agar dapat lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kehendaknya. Pada masa ini, surat kabar maupun majalah diwajibkan memiliki izin terbit.32 Setiap penerbit pers yang mengajukan izin terbit tersebut diharuskan menyetujui 19 pasal perjanjian sebagai berikut:33 1. Kami sanggup mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan/ atau akan dikeluarkan/ diberikan oleh penguasa tertinggi dan lain-lain instansi pemerintah yang berwenang mengenai penerbitan; 2. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Manifesto Politik R.I. secara keseluruhan; 3. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela program pemerintah; 30 31 32 33
Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 60 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 60 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 62 Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 62-64
69
4. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Dekrit Presiden 5 Juli 1959; 5. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela UndangUndang Dasar 1945; 6. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Pancasila; 7. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Sosialisme Indonesia; 8. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Demokrasi Terpimpin; 9. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Ekonomi Terpimpin; 10. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela kepribadian nasional Indonesia; 11. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela martabat Negara Republik Indonesia; 12. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memberantas imperialism dan kolonialisme, liberalism, federalism/ separatism; 13. Penerbitan kami wajib menjadi pembela/ pendukung dan alat pelaksana dari politik bebas dan aktif Negara Republik Indonesia serta tidak menjadi pembela/ pendukung dan alat dari perang dingin antar blok negara asing; 14. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Pancasila; 15. Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Manifesto Politik R.I; 16. Penerbitan kami wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamanan umum serta ketenangan politik; 17. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisanlukisan, atau gambar-gambar yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak; 18. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisanlukisan, atau gambar-gambar yang mengandung penghinaan terhadap Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dari negara asing yang bersahabat dengan Negara Republik Indonesia; 19. Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisanlukisan, atau gambar-gambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan atau dilarang berdasarkan Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960. Ke 19 pasal yang menjadi syarat untuk mendapat izin terbit tersebut sangat jelas tergambar adanya kekangan dari penguasa kepada pers. Kewajiban-kewajiban pers yang disebutkan dalam pasal-pasal
70
tersebut dianggap sangat efektif untuk mengebiri pers.34 Pers tampak tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri dengan menyajikan berita sesuai dengan cara mereka. Bahkan topik pemberitaan pun sudah ditentukan dalam 19 pasal yang harus ditepati tersebut. Dengan demikian, akhirnya pers yang tersisa dan bersedia menyanggupi perjanjian tersebut adalah pers yang sudah jinak kepada pemerintah dan memiliki kesetiaan kepada pemerintah.
B. Sejarah Perkembangan Koran Kuning Koran kuning atau yang dalam tradisi jurnalisme barat disebut sebagai yellow paper atau yellow journalism merupakan koran yang dikenal memiliki fokus pada penyajian berita yang sensasional dan memberikan penekanan sensasi tersebut berupa isu politik, kriminalitas, seksualitas, maupun gosip selebritis.35 Apriadi Tamburaka mengatakan bahwa “penyebutan istilah yellow paper merujuk pada surat kabar yang mengabaikan norma dan kaidah jurnalistik dengan menampilkan sisi emosionalisme dan sensasional yang berlebihan”.36
Dengan
demikian
secara
tidak
langsung
Apriadi
mengungkapkan bahwa koran kuning (yellow paper) merupakan surat kabar yang tidak layak karena tidak mengikuti norma dan kaidah jurnalistik yang berlaku. Tentu norma dan kaidah jurnalistik merupakan
34
Ahmad Zaini Abar, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, h. 64 Lukman Solihin, “Etnografi Sejarah Koran Kuning (1)”, artikel diakses pada 11 Maret 2016 dari http://etnohistori.org/etnografi-sejarah-koran-kuning-1-lukman-solihin.html 36 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 150 35
71
pakem untuk menggiring surat kabar berjalan di jalur yang seharusnya, sesuai dengan nilai yang di anut masyarakat. Dalam
TheFreeDictionary.com
disebutkan
bahwa
“Yellow
journalism, or the yellow press, is a type of journalism that presents little or no legitimate well-researched news and instead use eye-catching headlines to sell more newspaper”.37 Dari pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa koran kuning merupakan tipe surat kabar yang menyajikan berita tanpa benar-benar meneliti kebenarannya. Koran kuning juga sengaja menggunakan headline yang mencolok agar lebih laku dipasaran. Adapun pengertian koran kuning menurut para ahli seperti Baran, Shirley, Campbell, dan Frank Luther Mott adalah sebagai berikut: Menurut Baran, yellow paper diambil dari nama yellow kid, tokoh kartun populer, yellow journalism merupakan kajian yang melampaui batas seperti seks yang sensasional, kejahatan, berita bencana; dengan judul berita besar; ilustrasi yang berat; dan menitik beratkan pada cerita kartun dan warna. Judul berita dan gambar di halaman depan, penggunaan foto dan ilustrasi kartun merupakan karakteristiknya. 38 Menurut Shirley, yellow journalism merupakan “by extension, the term yellow journalism is used today asa pejorative to decry any journalism that treats news in an unprofessional or unethical fashion”. Inti dari pernyataan Shirley tersebut adalah bahwa koran kuning 37
Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 150 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 150
38
72
merupakan surat kabar yang memperlakukan berita secara tidak profesional dan tidak etis.39 Definisi koran kuning menurut Campbell adalah surat kabar yang salalu menyajikan banyak kolom di halaman depan dengan banyak judul seperti olahraga dan skandal dengan menggunakan layout huruf bold disertai dengan ilustrasi dan warna yang berat dan sumber yang tidak jelas. Istilah ini menurut Campbell sempat digunakan untuk menggambarkan sebagian besar surat kabar di New York sekitar tahun 1990-an dalam pertarungan sirkulasi.40 Selanjutnya Frank Luther Mott juga mengungkapkan pengertian koran kuning (yellow paper/ yellow journalism). Menurutnya, yellow journalism ini memiliki lima karakteristik yakni: (1) menggunakan judul yang menggemparkan dengan dicetak huruf besar, sering kali justru hanya mengandung sedikit berita; (2) fokus kepada penggunaan gambar atau lukisan imajinatif; (3) menggunakan wawancara palsu, menyesatkan berita utama, pseudo-science, pengetahuan dari sumber yang bukan ahli; (4) menekankan pada warna penuh, biasanya dengan serangkaian gambar komik; dan (5) mendramatisasi rasa simpati sebagai pihak “underdog” melawan sistem yang ada.41 Dari berbagai pengertian yang telah diungkapkan para ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa koran kuning merupakan surat kabar yang
39
Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 150 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 151 41 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 15140
152
73
menyajikan berita yang diraih dengan cara yang tidak profesional dan tidak etis, bahkan melampaui batas, dengan layout dan judul mencolok untuk tujuan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, tentu terlihat bahwa koran kuning mengabaikan norma dan kaidah jurnalistik yang berlaku. Sisi emosional dan sensasi yang kerap dihadirkan oleh koran kuning menurut Yusuf Awaluddin dapat terlihat dari headline, lead, dan body berita.42 Ketiganya dapat terlihat terlihat dari pemilihan kata, frasa, maupun kalimat berupa luapan emosi wartawan yang tampak dari narasi yang disajikan.43 Apriadi Tamburaka menyebutkan penilaiannya terhadap koran kuning dari berbagai segi seperti: (1) dari segi pemberitaan, koran kuning mengabaikan kaidah jurnalistik yang ada; (2) dari segi pendidikan, koran kuning menurunkan kualitas pendidikan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar; (3) dari segi peliputan, koran kuning tidak mengindahkan kaidah liputan media yang menekankan pada objektivitas sehingga informasi menjadi bias; (4) dari segi akurasi pemberitaan, koran kuning cenderung mengabaikan pemberitaan yang berimbang, di mana sumber berita seperti korban menjadi eksploitasi pemberitaan tanpa adanya cover both side dan pengecekan ulang informasi.44
42 43
Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 153 Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 154-
155 44
Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 156
74
Demikian gambaran umum dari koran kuning, yang merupakan bagian dari media massa cetak yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan pers di Indonesia. Adapun mengenai perkembangan koran kuning itu sendiri ternyata tidak tercatat secara khusus dalam sejarah. Meskipun tidak ada catatan sejarah khusus mengenai perkembangan koran kuning di Indonesia, namun hal ini dapat ditelusuri dengan melihat lima periode perkembangan pers di Indonesia. Pertama, masa pra-1945 dengan ciri perlawanan terhadap penjajah; kedua, masa 1945-1949 dengan ciri mempertahankan kemerdekaan; ketiga, masa 1950-1959 dengan ciri kemelut liberalism; keempat, masa 1960-1965 dengan ciri “politik adalah panglima”; dan kelima masa 1965- seterusnya dengan ciri menegakkan demokrasi Pancasila dan mendukung pembangunan.45 Jika melihat pada periode perkembangan pers di Indonesia tersebut, maka dapat diketahui bahwa periode pertama hingga periode keempat merupakan masa di mana kondisi Indonesia masih genting pasca kemerdekaan. Hal ini juga akan memengaruhi pemberitaan yang dimuat. Dalam peristiwa genting semacam ini, berita yang lebih di prioritaskan tentulah berita yang berfokus pada kepentingan kenegaraan seperti kepentingan politis sebagai alat perjuangan.Pada masa itu juga diketahui bahwa pembaca surat kabar masih terfokus pada kalangan tertentu seperti kaum elite dan kaum terpelajar.
45
Lukman Solihin, “Etnografi Sejarah Koran Kuning (1)”, artikel diakses pada 11 Maret 2016 dari http://etnohistori.org/etnografi-sejarah-koran-kuning-1-lukman-solihin.html
75
Melihat fenomena ini, dapat diperkirakan bahwa koran kuning baru memiliki kemungkinan muncul pada periode kelima, di mana kondisi negara sudah mulai stabil. Terlebih ditandai dengan kemunculan Pos Kota sebagai koran kuning pertama pada tahun 1970. Karena itulah dapat disimpulkan bahwa titik awal perkembangan koran kuning berasal dari kemunculan Pos Kota di tahun 1970 atau bertepatan dengan periode kelima perkembangan pers di Indonesia. Selain Pos Kota, koran kuning yang saat ini kerap diperbincangkan adalah Lampu Hijau.
C. Gambaran Umum Surat Kabar Lampu Hijau46 1. Profil dan Sejarah Lampu Hijau
Gambar 3.1 logo surat kabar Lampu Hijau
Surat kabar Lampu Hijau adalah metamorfosis dari surat kabar Lampu Merah. Surat kabar Lampu Merah mulai terbit tanggal 26 November 2001. Dibentuk atas gagasan Margiono selaku Direktur Utama Rakyat Merdeka Group. Lampu Merah sendiri berada di bawah Rakyat Merdeka Group dan secara manajemen juga berada di bawah pengelolaan manajemen Rakyat Merdeka Group.
46
Wek Anggoro, “Company Profile LH”, profil perusahaan diterima via email pada 19 April 2016 dari
[email protected]
76
Latar belakang munculnya surat kabar Lampu Merah bermula dari pemikiran untuk membuat sebuah koran segmentif. Ada beberapa segmen yang dipilih, di antaranya hiburan, politik, sosial budaya, café n resto, tapi akhirnya dipilih segmen kriminal. Pada akhirnya segmen yang terpilih adalah kriminal karena belum ada satu koran pun di Indonesia yang khusus menyajikan semua berita tentang kriminal. Nama Lampu Merah sendiri muncul secara spontan dan langsung disepakati. Pertimbangan Lampu Merah dengan segmen kriminal karena selama ini masyarakat Indonesia buta akan informasi kriminal secara menyeluruh. Rakyat Merdeka Group yakin Lampu Merah akan berkembang pesat. Sejak awal, Lampu Merah mengusung motto: love, peace and friend. Maknanya Lampu Merah ada sebagai sebuah wujud cinta dari orang-orang yang berada di dalamnya, untuk mengabdikan diri pada perusahaan dan masyarakat, demi memenuhi kebutuhan informasi seputar kriminal. Adanya informasi seputar kejahatan, diharapkan mampu memberikan rasa aman, damai dan ketenangan bagi masyarakat. Dan, dalam kehidupan sehari-hari, Lampu Merah membangun relasi dengan banyak rekan, demi tercapainya sebuah informasi yang berimbang seputar berita kriminalitas. Hanya perlu waktu setahun, Lampu Merah sudah mencapai tiras di atas 70 ribu eksemplar per hari. Dalam setahun, Lampu Merah sudah memperoleh banyak keuntungan sehingga sudah tidak memiliki
77
utang, baik ke percetakan maupun Rakyat Merdeka Group. Selanjutnya, Lampu Merah pernah mencapai tiras di atas 130 ribu eksemplar per hari. Berdasarkan survei AC Nielsen, Lampu Merah langsung bercokol di peringkat ke 3 untuk koran terbesar tingkat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dan Nasional pada saat itu. Dalam perkembangannya, Lampu Merah kemudian berganti nama menjadi Lampu Hijau, tepatnya pada 18 Oktober 2008. Hal ini adalah sebuah evolusi untuk memperbaiki nama Lampu Merah yang terlanjur dicap sebagai koran porno. Bergantinya nama diharapkan mampu mengubah citra yang melekat. Lampu Hijau lebih soft dalam pemberitaan, meski tidak mengubah gaya penjudulan yang atraktif, inovatif, menarik dan selalu menampilkan sisi unik. Perubahan yang menonjol bisa dilihat dari segi layout, headline, rubrik, isi, foto/gambar dan bahasa penulisan. Dari segi layout, Lampu Hijau lebih rapi dari Lampu Merah dan lebih elegan. Dari sisi rubrik, Lampu Hijau lebih banyak rubrik kreatif, dibanding Lampu Merah. Dari sisi foto/gambar, Lampu Hijau mengurangi foto berdarah-darah, sadistik dan foto-foto yang lebih sopan. Dari sisi bahasa dan penulisan, Lampu Hijau tak berbeda banyak dengan Lampu Merah, karena Lampu Hijau tetap ingin menampilkan gaya atraktif yang inovatif dan mudah dipahami oleh komunikan atau masyarakat pembaca sesuai segmentasi Lampu Hijau yang menengah ke bawah. Adapun jumlah
78
oplah yang diraih surat kabar Lampu Hijau Sejak Januari 2011 sampai saat ini berkisar 50 ribu eksemplar.
2. Visi dan Misi a. Visi Visi yang dimiliki oleh surat kabar Lampu Hijau adalah menjadi pusat informasi masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kejadian-kejadian kriminal, dunia hiburan, sex education dan lain sebagainya.
b. Misi Surat kabar Lampu Hijau memiliki misi untuk menjadi trendsetter koran kriminal nasional dan menjadi rujukan seluruh koran metro di Indonesia.
3. Karakteristik Pembaca Target pasar Lampu Hijau adalah kalangan usia produktif (19-45 tahun) dengan sosial ekonomi BC. Sebagai koran dengan tampilan trendi, Lampu Hijau membidik komunitas-komunitas anak muda.
79
4. Distribusi Surat kabar Lampu Hijau didistribusikan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Jawa Barat (Karawang, Purwakarta, Subang, Bandung, Tasikmalaya, Garut, Banjar dan Ciamis, Cirebon, Indramayu), Banten (Serang, Lebak, Cilegon dan Pandeglang).
5. Ciri Khas Ciri khas dari surat kabar Lampu Hijau adalah pada karakter koran, sistem penjudulan, tampilan yang atraktif dan bahasa yang digunakan. Lampu Hijau adalah media stylist yang punya gaya sendiri untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Bahasa juga merupakan salah satu ciri khas yang melekat dari surat kabar Lampu Hijau ini. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mudah dipahami oleh golongan menengah ke bawah. Sehingga tidak heran jika beberapa kalangan merasa tidak begitu terbiasa dengan gaya bahasa yang disajikan surat kabar Lampu Hijau.
BAB IV HASIL PENELITIAN ETIKA PERS DAN KERJA JURNALISTIK DALAM SURAT KABAR (STUDI ETNOMETODOLOGI WARTAWAN SURAT KABAR LAMPU HIJAU JAWA POS)
A. Etika Pers Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Etika pers terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik sebagai acuan tata perilaku yang selayaknya diterapkan oleh para wartawan Indonesia dari semua media, termasuk wartawan surat kabar Lampu Hijau. Dalam hal ini wartawan surat kabar Lampu Hijau melakukan pelaksanaan dan juga improvisasi.1 1. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik oleh Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Dalam segi hal pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, terdapat tiga poin yang dapat disimpulkan dari kegiatan yang dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau, yakni berupa penerapan,
pelanggaran,
dan
kegiatan
tentatif.2
Berikut
pemaparan ketiga poin tersebut yang akan dijabarkan melalui masing-masing pasal yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik:
1
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 2 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
80
81
a. Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk3 Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 5 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:4 Poin
Penerapan
Pelanggaran
Tentatif
1.
-
Bersikap independen
-
2.
-
-
Menghasilkan berita yang akurat
3.
-
Menghasilkan berita berimbang
-
Tidak beritikad buruk
-
4.
Tabel 4.1 pelaksanaan pasal 1 Kode Etik Jurnalistik
Dari tabel tersebut terlihat bahwa terdapat tiga poin yang dilanggar dan satu poin yang dilaksanakan secara tentatif dari empat poin yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Wartawan surat kabar Lampu Hijau dinilai tidak menerapkan prinsip bersikap independen karena wartawan 3
Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 4 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
82
didoktrin oleh perusahaan agar dapat menyajikan beritaberita yang dinilai menarik, bombastis, dan sensasional.5 Meskipun tuntutan tersebut sekilas terlihat sejalan dengan teori jurnalistik, namun nilai “menarik, bombastis, dan sensasional” yang disajikan oleh surat kabar Lampu Hijau lebih kepada hal-hal nyeleneh. Dengan adanya tuntutan dari perusahaan, wartawan tidak dapat berjalan sesuai dengan kehendaknya sendiri, melainkan harus berjalan sesuai jalur yang sudah ditetapkan oleh perusahaan. Bahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut tak jarang wartawan tidak hanya mengabarkan esensi dari suatu peristiwa, melainkan mencari bumbu-bumbu lain. Selain itu wartawan surat kabar Lampu Hijau kedapatan menerima uang senilai Rp. 50.000,- dari seorang narasumber saat melakukan peliputan mengenai kasus bullying yang dilakukan oleh siswa sebuah SMA Negeri di Jakarta.6 Hal ini tentu terindikasi dapat memengaruhi sikap independen yang dimiliki oleh wartawan karena akan berpengaruh pada penulisan berita. Pemberitaan yang disajikan wartawan kerap kali juga tidak berimbang karena tak jarang hanya memunculkan satu 5
Hasil temuan observasi partisipatif pada 8 Mei 2016 bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan 6 Hasil temuan observasi partisipatif pada 2 Mei 2016 di parkiran gedung Kantor Wali Kota Jakarta Selatan
83
sudut pandang dari salah satu pihak yang terlibat dalam suatu kejadian. Wartawan sudah puas dengan mendapatkan wawancara dari salah satu pihak saja tanpa mencoba mengimbanginya dengan melakukan wawancara pada pihak lain yang juga bersangkutan. Hal ini jelas akan menjadi berat sebelah dan prinsip cover both side tidak dijalankan.7 Berikuti salah satu contohnya:8 Penipu Tiket Exo dibekuk, Rp 40 juta rupiah hasil Nipu dibelanjain Make Up Lampu Hijau, Jakarta Selatan Postur tubuhnya gempal. Pipinya chuby. Kulitnya putih. Itulah wanita yang terlihat di Mapolsek Tebet, Jakarta Selatan. Dia bukan model, melainkan pelaku penipuan yang baru saja ditangkap polisi. ni i ik h i ini i l 22 . Dia baru saja dibekuk di Jalan Kayu Manis 1, Jakarta Timur lantaran melakukan penipuan dengan dalih menjual tiket konser palsu Group band exo seharga Rp 40 juta dari 17 tiket. Peristiwa itu sendiri berawal dari Dhea Fitria (18) korban yang berkenalan dengan pelaku melalui media sosial. Kepada korban, pelaku menawarkan kerja sama tentang penjualan tiket Exo kepada teman-temannya dengan harga miring. Saat itu pelaku menjanjikan korban 20 persen dari hasil penjualan tiket tersebut. Dari situ korban pun gencar menawarkan kepada teman-temannya. Alhasil 17 tiket pun terjual. Saat itu pelaku pun memberikan tiket tersebut kepada korban. Tanpa dikroscek kembali, korban pun langsung memberikan kepada pelangganya. Namun nahas, beberapa waktu kemudian para pelanggan korban kembali menghubunginya untuk meminta ganti rugi. 7
Hasil temuan observasi partisipatif pada 3 Mei 2016 Naskah siap cetak karya M. Isa Bustomi, diterima via email pada 12 Mei 2016 dari
[email protected] 8
84
“ i ko n imin g n i gi, karena tiket yang diberikan palsu. Uang dari pelanggannya sudah ditransferkan korban ke p l k ,” j K pol k T , Kompol N in R hm n, K mi (12/5). Saat itu korban pun mencoba menghubungi pelaku, namun nomor yang digunakan sudah tidak aktif. Hingga pada akhirnya, korban pun sempat memosting di salah satu forum online jual beli. Namun tak dapat hasil apapun. Dengan pasrah, korban yang merasa tertipu langsung melaporkan ke Mapolsek Tebet, Jakarta Selatan. Polisi yang mendapatkan laporan tersebut langsung melakukan penyelidikan. l h m ng h i p m n i n p l k , poli i l ng ng m ng j n m m k kn Dari jumlah uang yang ditransfer korban, polisi hanya mendapatkan barang bukti sebesar Rp 21 juta rupiah. “
ng ng m k k p l k Rp 40 j g i ng ki nf ungkapnya.
T pi ng ki Rp 21 j
m nk n pi h,”
Dari pengakuan pelaku, uang hasil penipuan tersebut telah dibelanjakan sejumlah alat Make up dan dugem dikawasan Jakarta Selatan. Kini, akibat perbuatannya pelaku terancam dikenakan pas l 3 K n ng p nip n ng n n m n 4 h n p nj
Dari naskah tersebut terlihat bahwa wartawan lebih fokus menonjolkan angle dari sudut pandang korban dan pihak kepolisian, tanpa mencantumkan pernyataan dari pelaku kejahatan yang akan memengaruhi keberimbangan berita. Jika melihat pemaparan mengenai pelanggaran Kode Etik Jurnalistik di atas, maka dapat dikatakan bahwa wartawan surat kabar Lampu Hijau terindikasi memiliki
85
itikad buruk karena secara sadar melakukan pelanggaran. Meskipun demikian, pihak surat kabar Lampu Hijau menyatakan bersedia melayangkan permohonan maaf apabila ada pihak tertentu yang merasa dirugikan.9 Selain melakukan pelanggaran terhadap tiga poin yang terdapat dalam pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, terdapat satu poin yang dilaksanakan secara tentatif oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau yakni poin “menghasilkan berita yang akurat”. Di satu sisi, wartawan surat kabar Lampu Hijau dinilai tidak menerapkan prinsip menghasilkan berita yang akurat, karena wartawan sendiri mengakui kerap kali melakukan pelintiran data.10 Lagi-lagi hal ini terjadi karena tuntutan yang mereka miliki untuk selalu menghadirkan berita yang menarik, bombastis, dan sensasional. Salah satu contoh yang jelas terlihat adalah pada saat wartawan akan menuliskan kasus bullying yang dilakukan oleh siswa sebuah SMA Negeri di Jakarta. Salah satu perbuatan yang dilakukan saat mem-bully adalah dengan menyiramkan air mineral kepada korban. Dalam hal ini wartawan terpikir untuk mengganti data penggunaan air
9
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 10 Pengakuan secara tersirat oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau pada 9 Mei 2016
86
mineral dengan air teh. “Kalau air putih kayaknya kurang seru deh, ganti pake air teh aja kali ya,” ujar wartawan saat akan menuliskan berita.11 Hal ini pada akhirnya memang tidak dilakukan, mengingat berita tersebut juga dimuat oleh wartawan media lain, sehingga akan menjadi rancu jika ia menghadirkan data yang berbeda. Namun terlihat bahwa wartawan telah memiliki niat untuk melakukan pelintiran data. Wartawan juga kerap kali menerima informasi dari berbagai pihak seperti informan, rekan sesama wartawan, media online, dan media sosial, yang tak jarang tidak diperiksa lagi kebenarannya.12 Wartawan kerap kali akan menulis mentah-mentah sehingga akurasi berita perlu dipertanyakan. Dengan adanya pengubahan data yang sengaja diatur agar lebih terkesan dramatis dan sensasional serta tidak mengecek kebenaran informasi, maka esensi dari akurasi berita sudah menghilang. Namun di sisi lain, wartawan juga tetap menghadirkan berita yang terjaga akurasinya, jika kejadian yang ada benarbenar telah dianggap menarik apa adanya, sehingga tanpa dilakukan pelintiran pun data yang tersaji sudah menarik. 11
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2 Mei 2016 12 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
87
Selain menerima informasi dari berbagai pihak termasuk informan, wartawan juga melakukan peliputan sendiri dengan langsung terjun ke lapangan. Jika hal ini dilakukan maka akurasi berita akan lebih terjaga. Karena di satu sisi wartawan dapat menjaga akurasi berita, sedangkan di sisi lain wartawan itu sendiri yang mengganggu akurasi berita, maka poin “menghasilkan berita yang akurat” yang terdapat dalam pasal 1 Kode Etik Jurnalistik ini dapat dinyatakan sebagai pelaksanaan tentatif terhadap Kode Etik Jurnalistik pasal 1 yang dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau.
b. Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik13 Terdapat
delapan
poin
dalam
penafsiran
cara
profesional yang semestinya dilakukan oleh wartawan, yakni: (1) menunjukkan identitas diri kepada narasumber; (2) menghormati
hak
privasi;
(3)
tidak
menyuap;
(4)
menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; (5) rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan
13
Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi
88
ditampilkan secara berimbang; (6) menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; (7) tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; (8) penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.14 Dari ke delapan poin yang terdapat dalam pasal 2 Kode Etik Jurnalistik tersebut, berikut pemaparan pelaksanaan yang dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau:15 Poin
14
Penerapan
Pelanggaran
Tentatif
1.
Menunjukkan identitas diri kepada narasumber
2.
-
Menghormati hak privasi
-
3.
Tidak menyuap
-
-
4.
-
-
Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya
5.
Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan
-
-
-
Penafsiran pasal 2 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 15 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
89
keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang 6.
-
Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara
-
7.
-
-
Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri
8.
Penggunaan caracara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik
-
-
Tabel 4.2 pelaksanaan pasal 2 Kode Etik Jurnalistik
Dari tabel tersebut terlihat bahwa terdapat empat poin yang diterapkan, tiga poin yang dilanggar, dan satu poin yang tentatif dari pasal 2 Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau.
90
Keempat poin
yang diterapkan diantaranya: (1)
menunjukkan identitas diri kepada narasumber; (2) tidak menyuap; (3) mencantumkan sumber gambar dan foto; dan (4) penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. Wartawan surat kabar Lampu Hijau dibekali kartu pers yang dapat ditunjukkan kapanpun ketika dibutuhkan. Kartu pers tersebut selalu dibawa ke mana pun oleh wartawan saat sedang bertugas.16 Hal ini memperlihatkan kesediaan wartawan untuk menunjukkan identitasnya kepada pihak narasumber ataupun pihak yang berkepentingan. Wartawan juga tidak malu untuk memperkenalkan diri sebagai wartawan dari surat kabar Lampu Hijau saat bertemu dengan wartawan dari media lain di lokasi kejadian. Dengan demikian jelas bahwa wartawan surat kabar Lampu Hijau menerapkan poin pertama dari pasal 2 Kode Etik Jurnalistik. Untuk memperoleh informasi yang menarik, bombastis, dan sensasional wartawan memiliki cara tersendiri seperti mengajukan pertanyaan yang anti mainstream, unik, serta nyeleneh
mengenai
hal-hal
ringan
yang
kerap
kali
terabaikan.17 Karena itulah wartawan tidak perlu menyuap 16
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 17 Pernyataan wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 8 Mei 2016 pukul 11.00 s/d 15.30 WIB di kantin Polres Metro Jakarta Selatan
91
narasumber ataupun pihak lainnya demi mendapatkan informasi. Sehingga dalam hal ini terlihat bahwa wartawan surat kabar Lampu Hijau menerapkan poin ketiga dari pasal 2 mengenai cara profesional yang dilakukan wartawan dengan tidak memberi suap kepada siapa pun. Untuk
melengkapi
pemberitaan
dibutuhkan
data
pendukung seperti foto. Dalam menyajikan foto sebagai pelengkap
pemberitaan,
surat
kabar
Lampu
Hijau
menampilkan keterangan sumber foto dengan tulisan berukuran kecil di sudut foto.18 Hal ini secara jelas menunjukkan penerapan Kode Etik Jurnalistik pasal 2 poin ke
lima
yang
mengharuskan
wartawan
menyertakan
keterangan sumber gambar maupun foto. Hal ini terlihat pada contoh berikut:19
Gambar 4.1 penyertaan sumber gambar oleh wartawan Lampu Hijau
18
Hasil pengecekan terhadap surat kabar Lampu Hijau yang telah terbit edisi 3-16 Mei
19
Surat kabar Lampu Hijau edisi 3 Mei 2016
2016
92
Sebagai
wartawan
yang
sudah
terbiasa
dengan
tantangan dalam proses pengumpulan informasi, wartawan surat kabar Lampu Hijau sudah barang tentu akan mempertimbangkan
cara-cara
tertentu
untuk
peliputan
berbagai berita, termasuk berita investigasi yang dilakukan demi kepentingan publik. Hal ini menunjukkan penerapan Kode Etik Jurnalistik pasal 2 poin ke 8 yang menyatakan bahwa salah satu cara profesional yang mesti ditempuh wartawan adalah mempertimbangkan cara tertentu untuk peliputan berita. Disamping telah menerapkan beberapa poin dalam pasal 2 Kode Etik Jurnalistik seperti yang telah dipaparkan dalam tabel, wartawan surat kabar Lampu Hijau juga kedapatan masih melakukan pelanggaran dalam beberapa poin. Beberapa poin
yang masih dilanggar tersebut
diantaranya adalah menghormati hak privasi, menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar dan foto.20 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa wartawan surat kabar Lampu Hijau memiliki tuntutan untuk selalu menyajikan berita yang menarik, bombastis, dan sensasional. Salah satu cara yang dilakukan agar dapat 20
2016
Hasil pengecekan terhadap surat kabar Lampu Hijau yang telah terbit edisi 3-16 Mei
93
memperoleh berita yang menarik, bombastis, dan sensasional tersebut adalah dengan mengorek informasi sedetail mungkin dari narasumber, yang tak jarang merupakan privasi yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik. Hal ini tentu merupakan perbuatan yang tidak menghormati hak privasi narasumber.
Belum
lagi
wartawan
juga
kerap
kali
menyodorkan pertanyaan berulang-ulang jika narasumber tidak bersedia menjawab, sehingga pada akhirnya narasumber akan merasa tertekan dengan pertanyaan berulang tersebut sehingga akhirnya memutuskan untuk menjawab.21 Surat kabar Lampu Hijau sebagai koran kriminal tentu memiliki kepuasan tersendiri saat berhasil memperoleh berita kriminal yang mencengangkan. Euphoria tersebut kerap ditunjukkan dengan disajikannya foto kejadian yang tak jarang membuat ngilu para pembaca, dan besar kemungkinan akan membangkitkan pengalaman traumatik narasumber ataupun
keluarga
dan
orang-orang
terdekat
korban
kejahatan.22 Hal ini tentu jelas-jelas telah melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 2 poin 6. Ini lagi-lagi berkaitan pula dengan tuntutan untuk selalu menyajikan berita yang menarik, bombastis, dan sensasional. 21
Hasil temuan observasi partisipatif bersama wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 8 Mei 2016 22 Hasil pengecekan terhadap surat kabar Lampu Hijau yang telah terbit edisi 3-16 Mei 2016
94
Selain terdapat penerapan dan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang secara berkala dilakukan, wartawan surat kabar Lampu Hijau juga memiliki pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik yang tentatif. Artinya, dalam satu kesempatan wartawan akan menerapkan dan di kesempatan lain wartawan bisa saja melanggar Kode Etik Jurnalistik tersebut. Dalam pasal 2 poin 4 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa wartawan harus menyajikan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Hal ini dinilai menjadi tentatif dilakukan oleh wartawan Lampu Hijau karena wartawan selain melakukan peliputan sendiri dengan langsung terjun ke lapangan, mereka juga kerap menerima naskah berita dari wartawan
lain
sebagaimana
yang
telah
dipaparkan
sebelumnya. Saat melaksanakan peliputan sendiri dengan langsung terjun ke lapangan, wartawan dapat menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya karena wartawan sendirilah yang menggali informasi tersebut. Wartawan dapat memantau dan melihat kejadian langsung dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan tentu akan dapat memperoleh wawancara dengan pihak yang bersangkutan, sehingga sumber berita menjadi jelas. Ini menunjukkan adanya penerapan pasal 2 poin 4 Kode Etik Jurnalistik.
95
Lain halnya saat wartawan hanya menerima naskah berita jadi dari wartawan lain. Wartawan tidak bisa menjamin keakuratan berita, dan sumber utama dari informasi tersebut menjadi samar. Hal ini secara jelas menunjukkan adanya pelanggaran pasal 2 poin 4 Kode Etik Jurnalistik. Melalui kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pasal 2 poin 4 Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau bersifat tentatif. Di satu sisi mereka menerapkan, dan di sisi lain juga melakukan pelanggaran. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik yang tentatif juga terlihat pada poin 7 yang terdapat dalam pasal 2. Saling berbagi informasi antar sesama wartawan telah menjadi hal lumrah bagi wartawan surat kabar Lampu Hijau dengan wartawan dari berbagai media lainnya.23 Informasi tersebut dibagikan dengan saling mengirimkan naskah lengkap dari suatu kejadian melalui email ke wartawan yang memiliki kedekatan hubungan baik secara emosional atau sesama wilayah. Wartawan
yang
menerima
informasi,
termasuk
wartawan surat kabar Lampu Hijau tidak perlu lagi ke lapangan untuk meliput. Mereka hanya tinggal meramu 23
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
96
naskah yang diterima dan disesuaikan dengan gaya bahasa dan angle yang sesuai dengan identitas diri media masingmasing. Hal ini tentu sangat membuka kesempatan untuk terjadinya plagiasi dan menyebabkan lumrahnya mengakui hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri. Di sisi lain, wartawan surat kabar Lampu Hijau tidak selalu menerima data dari wartawan lain. Wartawan surat kabar Lampu Hijau ini di satu sisi juga melaksanakan peliputan
sendiri
sehingga
informasi
yang
diperoleh
berdasarkan karya pribadi. Dalam hal ini wartawan tidak mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri. Dengan begitu dapat diketahui bahwa pelaksanaan pasal 2 poin 7 Kode Etik Jurnalistik ini bersifat tentatif.
c. Pasal 3: wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah24 Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 3 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:25
24
Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 25 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
97
Poin
Penerapan
Pelanggaran
Tentatif
1.
-
-
menguji informasi
2.
-
Memberitakan secara berimbang
-
3.
Tidak mencampurkan fakta dan opini
-
-
4.
Menerapkan asas praduga tak bersalah
-
Tabel 4.3 pelaksanaan pasal 3 Kode Etik Jurnalistik
Dari tabel di atas terlihat bahwa wartawan surat kabar Lampu Hijau melaksanakan satu poin secara tentatif, satu poin pelanggaran, dan dua poin penerapan Kode Etik Jurnalistik pada pasal 3. Kegiatan pengujian informasi tidak selalu dilaksanakan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Hal ini dikarenakan wartawan memiliki
banyak akses untuk
memperoleh
informasi baik itu dari informan maupun rekan sesama wartawan yang bekerja di media lain. Jika pemberi informasi dianggap sudah dapat dipercaya maka wartawan tidak melaksanakan
pengecekan
uji
keakuratan
informasi.
98
Wartawan akan langsung menuliskan informasi tersebut menjadi berita.26 Namun saat informasi yang diterimanya masih terasa samar atau dinilai masih terdapat data yang kurang, wartawan akan menguji keakuratan informasi tersebut melalui pihak kepolisian
untuk
mengonfirmasi
kebenaran
peristiwa
kriminal yang terjadi.27 Karena itulah pelaksanaan kegiatan menguji informasi yang disebutkan dalam pasal 3 poin 1 dinyatakan tentatif. Adapun pelanggaran yang dilakukan wartawan terkait pemberitaan
yang
tidak
berimbang
telah
dijelaskan
sebelumnya pada pasal 1 poin 3, yakni mengenai pengabaian asas cover both side yang kerap dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Selanjutnya wartawan surat kabar Lampu Hijau melakukan penerapan pada pasal 3 poin 3 dan 4 Kode Etik Jurnalistik terkait pencampuran fakta dan opini serta pelaksanaan asas praduga tak bersalah. Dalam
penyajian
pemberitaan,
wartawan
tidak
menunjukkan adanya pencampuran fakta dan opini. Kejadian ditururkan dengan gaya bercerita berupa informasi yang 26
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 27 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
99
didapatkan oleh wartawan. Kalimat yang dipakai juga menggunakan gaya tutur dan tidak terlihat adanya unsur menyisipan opini di dalam penggunaan bahasanya. Wartawan kerap menggiring arah pembicaraan agar narasumber mengungkapkan hal yang dianggap menarik.28 Cara ini lah yang dilakukan untuk menghindari adanya pencampuran fakta dan opini. Wartawan juga menerapkan asas praduga tak bersalah, karena wartawan tidak menghakimi seseorang tanpa alasan. Hal ini erat kaitannya dengan pencampuran fakta dan opini. Jika
sebelumnya
dikatakan
bahwa
wartawan
tidak
mencampurkan fakta dan opini, maka tentu wartawan tidak menghakimi tanpa adanya data awal yang kuat.
d. Pasal 4: wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul29 Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 4 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:30
28
Hasil temuan observasi partisipatif bersama wartawan surat kabar Lampu Hijau pada 8
Mei 2016 29
Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 30 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
100
Poin
Penerapan
Pelanggaran
Tentatif
1.
-
-
Tidak membuat berita bohong
2.
Tidak membuat berita fitnah
-
-
3.
-
Tidak membuat berita sadis
-
4.
-
Tidak membuat berita cabul
-
5.
-
Mencantumkan waktu pengambilan gambar yang dimuat
-
Tabel 4.4 pelaksanaan pasal 4 Kode Etik Jurnalistik
Dari tabel tersebut terlihat bahwa terdapat satu poin yang tentatif dilaksanakan, satu poin yang diterapkan, dan tiga poin yang dilanggar dalam pasal 4 Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Tuntutan untuk menghasilkan berita yang menarik, bombastis, dan sensasional terkadang membuat wartawan melakukan pelintiran berita terhadap berita yang dianggap kurang
menarik.31
Pelintiran
berita
ini
tentu
akan
memengaruhi akurasi berita dan tentu membuat wartawan
31
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
101
melakukan kebohongan karena menyajikan berita yang tidak sesuai dengan fakta yang seharusnya. Namun di sisi lain, banyak juga kejadian yang memang benar-benar bombastis dan sensasional, sehingga wartawan surat kabar Lampu Hijau dapat langsung memberitakan sesuai dengan fakta yang sebenarnya dan apa adanya. 32 Saat melakukan hal ini, wartawan tentu menerapkan prinsip untuk tidak menyajikan berita bohong. Ada masa di mana wartawan terpaksa berbohong, dan sering kali wartawan tetap menyajikan berita sesuai fakta yang sebenarnya dan apa adanya. Karena itulah poin yang melarang
penyajian
berita
bohong
dinilai
tentatif
dilaksanakan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Dalam pasal 4 ini juga terdapat poin yang menyatakan larangan untuk membuat berita fitnah. Hal ini diterapkan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau karena Berita yang disajikan dalam surat kabar Lampu Hijau didasarkan kepada fakta. Meskipun terkadang wartawan melakukan pelintiran data agar terkesan lebih menarik, namun hal itu tidak sampai menimbulkan fitnah kepada pihak tertentu.33 Pelintiran data dilakukan terhadap hal-hal yang ringan, dan fokus wartawan 32
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 33 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
102
adalah untuk menyajikan berita yang menarik, namun fitnah bukanlah jalan yang mereka tempuh. Lain halnya dengan berita sadis dan cabul. Wartawan surat kabar Lampu Hijau memang secara jelas melanggar poin yang melarang pemuatan berita sadis dan cabul karena keduanya merupakan berita kriminal yang justru banyak terjadi di tengah masyarakat. Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya pemuatan iklan dan gambar bermuatan cabul dan sadis. Berikut beberapa contohnya:34
Gambar 4.2 contoh pemuatan berita sadis dan cabul
34
Surat kabar Lampu Hijau edisi 14 dan 16 Mei 2016
103
Poin tambahan dalam pasal 4 menyebutkan bahwa wartawan harus mencantumkan waktu pengambilan gambar yang dimuat.35 Hal ini juga dilanggar oleh surat kabar Lampu Hijau karena dalam pemuatan gambar berupa foto surat kabar Lampu Hijau tidak mencantumkan waktu pengambilan gambar. Lampu Hijau hanya mencantumkan sumber gambar tersebut. Seperti yang terlihat pada contoh berikut:36
Gambar 4.3 waktu pengambilan gambar tidak dicantumkan
e. Pasal 5: wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan37
35
Penafsiran pasal 4 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 36 Surat kabar Lampu Hijau edisi 7 Mei 2016 37 Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi
104
Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 5 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:38 Poin
Penerapan
Pelanggaran
Tentatif
1.
-
-
Tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila
2.
Tidak menyebutkan identitas anak pelaku kejahatan
-
-
Tabel 4.5 pelaksanaan pasal 5 Kode Etik Jurnalistik
Dari tabel tersebut terlihat bahwa terdapat satu poin yang dilaksanakan secara tentatif, dan satu poin yang diterapkan dari pasal 5 Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Di satu sisi surat kabar Lampu Hijau tidak menyebutkan identitas korban kejahatan, termasuk kejahatan susila dengan hanya menyebutkan inisial nama korban. Namun di sisi lain terdapat juga penyajian berita yang menyebutkan secara gamblang identitas berupa nama jelas korban. Karena itulah pelaksanaan pasal 5 poin 1 Kode Etik Jurnalistik oleh 38
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
105
wartawan surat kabar Lampu Hijau ini dapat dikatakan tentatif. Seperti yang terlihat pada contoh berikut:39
Gambar 4.4 tidak menyebutkan identitas korban kejahatan seksual
Seperti disambar petir di siang bolong, Begitu yang dirasakan Yaya Jaidi, Fitroh, dan Eroh, ketiga buruh pabrik plastik PT Polyta Global Mandiri (PGM) ini kaget bukan main. Betapa tidak, Jumat (13/5) pagi sepulang kerja dan kembali ke mess di Kampung Jatimulya, Kosambi, Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, mereka mendapati Enno Farhihah, rekannya tewas.
Gambar 4.5 penyebutan identitas korban kejahatan seksual
Selanjutnya terkait identitas anak pelaku kejahatan, wartawan surat kabar Lampu Hijau tidak menyebutkannya secara jelas. Nama anak hanya ditulis menggunakan inisial sehingga nama baik sang anak masih terjaga. Karenanya dapat dikatakan bahwa pasal 5 poin ke 2 telah diterapkan
39
Surat kabar Lampu Hijau edisi 7 dan 14 Mei
106
oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Seperti terlihat pada contoh berikut:40
Gambar 4.6 tidak menyebutkan identitas anak pelaku kejahatan
f. Pasal 6: wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap41 Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 6 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:42 Poin
Penerapan
Pelanggaran
Tentatif
1.
Tidak menyalah gunakan profesi
-
2.
-
Tidak menerima suap
-
Tabel 4.6 pelaksanaan pasal 6 Kode Etik Jurnalistik
40
Surat kabar Lampu Hijau edisi 8 Mei 2016 Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 42 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 41
107
Dalam pasal 6 disebutkan bahwa “wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”.43 Dari dua poin yang terdapat pada pasal 6 ini wartawan menerapkan salah satu poin, yakni tidak menyalah gunakan profesi. Hal ini terlihat dari cara kerja wartawan yang santai dalam menggali informasi karena wartawan fokus terhadap hal-hal
menarik
yang bombastis.44
Dengan
demikian
wartawan tidak perlu menyalah gunakan profesinya untuk memeras narasumber ataupun pihak yang terkait dengan pemberitaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Hal lain yang menunjukkan bahwa wartawan tidak menyalahgunakan profesinya ditunjukkan oleh kejadian yang dialami wartawan surat kabar Lampu Hijau saat dalam perjalanan menuju ke tempat liputan. Wartawan sempat diberhentikan
polisi
karena
kedapatan
membonceng
seseorang yang tidak mengenakan helm. Saat diberhentikan tersebut wartawan tidak menggunakan “kekuasaan” kartu pers yang dimilikinya, melainkan tetap mengikuti aturan yang berlaku dan lebih memilih mengikuti sidang tilang.45
43
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 44 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 45 Kejadian pada 9 Mei 2016 pukul 13.00 WIB dalam perjalanan menuju lokasi peliputan
108
Namun di sisi lain wartawan surat kabar Lampu Hijau kedapatan melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 6 poin 2 mengenai larangan menerima suap.46 Saat hari pertama peneliti mengikuti kegiatan wartawan yakni pada tanggal 2 Mei 2016, wartawan surat kabar Lampu Hijau bersama dua rekannya dari media cetak lain kedapatan menerima sejumlah uang saat melakukan wawancara dengan seorang narasumber, seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan pelanggaran pasal 1 poin 1 mengenai sikap independen. Hal ini jelas terindikasi melanggar Kode Etik Jurnalistik.
g. Pasal 7: wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan47 Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 7 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:48
46
Hasil temuan observasi partisipatif pada 2 Mei 2016 di parkiran Kantor Wali Kota Jakarta Selatan 47 Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 48 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
109
Poin
Penerapan
Pelanggaran
Tentatif
1.
-
-
-
2.
-
-
-
3.
-
-
-
4.
-
Menghargai ketentuan off the record
-
Tabel 4.7 pelaksanaan pasal 7 Kode Etik Jurnalistik
Dalam pasal 7 ini, poin 1, 2, dan 3 tidak teridentifikasi karena tidak ditemukan pelaksanaan terkait hak tolak, ketentuan embargo, maupun ketentuan latar belakang selama proses penelitian. Sedangkan poin 4 secara jelas diakui sendiri oleh wartawan. Wartawan kerap kali melanggar ketentuan off the record demi memperoleh berita yang menarik, bombastis, dan sensasional.49 Sehingga jelas bahwa wartawan surat kabar Lampu Hijau melanggar pasal 7 poin 4 Kode Etik Jurnalistik.
h. Pasal 8: wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan
berita
berdasarkan
prasangka
atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa
49
2016
Pengakuan wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2 Mei
110
serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa dan cacat jasmani50 Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 8 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:51 Poin
Penerapan
Pelanggaran
Tentatif
1.
Tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan prasangka
-
-
2.
Tidak melakukan diskriminasi
-
-
Tabel 4.8 pelaksanaan pasal 8 Kode Etik Jurnalistik
Selanjutnya dalam pasal 8 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa “wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani”.52 Berdasarkan poin-poin yang dijabarkan
50
Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 51 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 52 Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi
111
tersebut dapat dikatakan bahwa wartawan surat kabar Lampu Hijau menerapkan Kode Etik Jurnalistik pasal 8. Hal ini dikarenakan wartawan memang tidak menulis atau menyiarkan berita yang didasarkan pada prasangka ataupun yang mendiskriminasi. Meskipun surat kabar Lampu Hijau dikenal sebagai surat kabar yang sensasional, wartawan tetap menulis hal-hal yang sensasional berdasarkan temuan yang didapatkan di lapangan.53 Wartawan juga tidak menulis hal yang mendiskriminasi dan merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, maupun cacat. Meskipun orang-orang tersebut tidak luput menjadi objek pemberitaan, namun wartawan tetap fokus untuk lebih menonjolkan runtutan kejadian.54 Keadaan sang objek pemberitaan memang kerap disebutkan, namun hal tersebut
dijadikan
sebagai
keterangan
tambahan
dan
menghormati
hak
ditempatkan sesuai porsi yang dibutuhkan.
i. Pasal
9:
wartawan
Indonesia
narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik55
53
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 54 Berdasarkan pengecekan terhadap surat kabar yang telah terbit edisi 3-16 Mei 2016 55 Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi
112
Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 9 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:56 Poin 1.
Penerapan -
Pelanggaran Menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya
Tentatif -
Tabel 4.9 pelaksanaan pasal 9 Kode Etik Jurnalistik
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pada pasal 2, wartawan surat kabar Lampu Hijau melanggar pasal 2 poin ke 2 mengenai menghormati hak privasi. Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan pasal 9 ini. Jika wartawan tidak menghormati hak privasi narasumber, maka secara otomatis wartawan juga tidak menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya. Kehidupan pribadi narasumber justru sengaja di ekspose oleh surat kabar Lampu Hijau untuk memperoleh informasi dari sisi humanis narasumber yang pada akhirnya akan membuat berita yang disajikan menjadi lebih menarik.57 Kehidupan pribadi tersebut seperti alasan dibalik perilaku kejahatan yang dilakukan oleh tersangka dalam kasus 56
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 57 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
113
kriminal yang dibongkar secara detail. Wartawan surat kabar Lampu Hijau juga kerap menanyakan hal-hal yang ringan namun bersifat pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum seperti “sudah makan atau belum?” atau pertanyaan nyeleneh lainnya kepada narasumber pelaku kejahatan.58 Perbuatan tidak menghormati kehidupan pribadi narasumber ini jelas melanggar Kode Etik Jurnalistik. Tujuan wartawan melakukan hal tersebut adalah untuk menggali sisi humanis yang terabaikan oleh pihak lain.59 Mungkin wartawan memang memiliki tujuan yang baik karena ingin mengungkap sesuatu yang sering terabaikan sehingga mampu menyentuh sisi emosional pembaca. Namun kembali lagi bahwa negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan atas dasar hukum. Sehingga aturan yang telah dibuat tetap harus tetap ditegakkan karena aturan tentu dibuat dengan penuh pertimbangan dan demi kebaikan berbagai pihak.
58
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 59 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
114
j. Pasal 10: wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa60 Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 10 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:61 Poin 1.
Penerapan
Pelanggaran
Wartawan bersedia mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru
Tentatif -
Tabel 4.10 pelaksanaan pasal 10 Kode Etik Jurnalistik
Wartawan surat kabar Lampu Hijau menerapkan Kode Etik Jurnalistik pasal 10 “wartawan
Indonesia
segera
yang menyebutkan bahwa mencabut,
meralat,
dan
memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.62 Hal ini memang jarang terjadi, namun saat dihadapi dengan masalah seperti ini pihak Lampu Hijau menyatakan bersedia melakukan ralat ataupun menyatakan 60
Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 61 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 62 Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi
115
permohonan maaf secara resmi, tergantung dari permintaan pihak yang bersangkutan dan hasil kesepakatan bersama.63 Jika pihak yang bersangkutan dan dalam hal ini yang memberikan teguran hanya meminta permohonan maaf secara pribadi, maka pihak Lampu Hijau akan melakukan hal tersebut dan tidak perlu membuat berita ralat pada edisi selanjutnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keputusan mengenai kejadian pemberitaan informasi yang keliru tersebut berdasarkan hasil kesepakatan kedua belah pihak.
k. Pasal 11: wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional64 Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pasal 11 oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau adalah sebagai berikut:65 Poin
Penerapan
Pelanggaran
Tentatif
1.
Melayani hak jawab
-
-
2.
Melayani hak koreksi
-
-
Tabel 4.11 pelaksanaan pasal 10 Kode Etik Jurnalistik
63
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 64 Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 65 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
116
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa wartawan surat kabar Lampu Hijau menerapkan Kode Etik Jurnalistik pasal 11. Dalam pasal ini disebutkan bahwa “wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional”.66 Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan pasal 10 yang membahas ralat terhadap pemberitaan yang keliru. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pihak Lampu Hijau bersedia memperbaiki kekeliruan apabila terdapat teguran dari pihak yang bersangkutan.67 Hal ini tentu menunjukkan bahwa pihak Lampu Hijau melayani hak jawab dan hak koreksi. Media yang tidak melayani hak jawab maupun hak koreksi tentu tidak akan mau mendengarkan aspirasi dari para pembaca. Lain halnya dengan surat kabar Lampu Hijau yang masih mau memedulikan teguran dari pihak lain bahkan bersedia melakukan ralat jika memang terbukti terdapat kekeliruan dari pemberitaan yang disajikan.
66
Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006, dalam buku “Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” karya Wina Armada Sukardi 67 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
117
2. Improvisasi oleh Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Selain pelaksanaan terhadap Kode Etik Jurnalistik, surat kabar Lampu Hijau juga memiliki improvisasi yang pada akhirnya menjadi ciri khas dari surat kabar yang mendedikasikan dirinya pada berita kriminal ini. Setidaknya terdapat empat improvisasi yang dibuat oleh surat kabar Lampu Hijau, yakni: (1) penggunaan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami pembaca; (2) penyajian judul dengan kalimat panjang yang sudah menggambarkan isi berita; (3) penuturan kejadian dengan gaya bercerita; dan (4) penekanan pada sisi humanis objek pemberitaan.68 Surat kabar Lampu Hijau banyak dikenal masyarakat karena gaya bahasanya yang khas. Tidak seperti surat kabar pada umumnya yang menggunakan bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar, surat kabar ini justru sangat berani untuk menggunakan bahasa sehari-hari yang tidak baku. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dipahami oleh pembaca, karena memang target pasar surat kabar Lampu Hijau ini adalah golongan menengah ke bawah.69 Contoh penggunaan bahasa yang tidak baku tersebut diantaranya terlihat pada salah satu judul berita edisi 3 Mei 2016: 68
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap naskah berita yang telah terbit edisi 3-16 Mei
2016 69
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
118
“Kantor Koperasi Dwi Tunggal Disatroni 4 Rampok Bersenpi Ogah Kasih Tau Lokasi Brankas Satpam Apes, Diinjek-injek Sampe Bonyok”. Dari judul tersebut sudah terlihat penggunaan bahasa yang tidak baku, yakni pada kata “ogah”, “apes”, “diinjek-injek”, dan “sampe bonyok”. Bagi surat kabar Lampu Hijau masyarakat dari golongan menengah ke bawah juga berhak memperoleh informasi mengenai peristiwa yang terjadi di sekitarnya.70 Karena itulah surat kabar Lampu Hijau memang sengaja menggunakan bahasa yang tidak biasa dengan tujuan lebih mudah dipahami sehingga pesan yang ingin mereka sampaikan dapat diterima dengan baik. Penerapan penggunaan bahasa yang tidak biasa sangat jelas terlihat pada judul berita. Selain menggunakan bahasa yang tidak baku, judul berita yang disajikan oleh surat kabar Lampu Hijau memiliki ciri khas menggunakan kalimat panjang yang secara tidak langsung sudah menggambarkan isi berita. Untuk pembaca yang tidak memiliki banyak waktu atau tidak memiliki minat baca yang begitu tinggi, penyajian judul semacam ini tentu dapat sangat membantu. Hal ini dikarenakan dengan hanya membaca judul, pembaca sudah dapat mengetahui inti berita meskipun tentu tidak selengkap mendapatkan informasi jika membaca
70
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
119
keseluruhan. Berikut beberapa contoh penggunaan kalimat panjang dalam judul berita pada surat kabar Lampu Hijau: a. “Play Boy Kenalan Ama Pembokat Di Facebook Abis Ngeseks Jadi Bad Boy Pacar Diikat Trus Mobil Majikan Pacar Dibawa Kabur Bad Boy Dan Penadahnya Dibekuk”, judul headline surat kabar Lampu Hijau edisi 3 Mei 2016.
Gambar 4.7 Headline Lampu Hijau edisi 3 Mei 2016
b. “Diancem Nggak Diakui Sebagai Anak 3 Tahun Cewek Abg Jadi Budak Seks Bapak Kandung”, judul headline surat kabar Lampu Hijau edisi 7 Mei 2016.
120
Gambar 4.8 Headline Lampu Hijau edisi 7 Mei 2016
c. “2 Kali Dilayani, Nggak Pernah Bayar Masih Ngutang 2 Ronde Udah Minta Ngeseks Lagi Gigolo Sakit Hati Pasangan Homonya Digorok Sampe Mati”, judul headline surat kabar Lampu Hijau edisi 9 Mei 2016.
Gambar 4.9 Headline Lampu Hijau edisi 9 Mei 2016
121
Selain berimprovisasi dari segi judul, surat kabar Lampu Hijau juga berimprovisasi pada penyajian badan berita. Dalam badan berita rincian kejadian dipaparkan secara detail dan runtut seperti orang yang bercerita. Berikut contoh penyajian badan berita:71 Cewek 12 Tahun Diajak Nongkrong Empat Cowok Udah Nongkrong, Gilir Gelas Pas Giting, Tuh Cewek Digiri Empat Cowok Lampu Hijau, Jakarta Selatan Y, wanita berusia 12 tahun ini hanya tertunduk malu saat berada di Mapolres Jakarta Selatan. Dia didampingi anggota polisi ke ruang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) untuk dimintai keterangan. Pasalnya, dia baru saja menjadi korban kekejian empat orang remaja yang telah memperkosanya. Kejadian pilu itu sendiri terjadi di sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Kawasan Pancoran Barat 2, Tegal Parang, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (12/5) dini hari. Dari informasi yang dihimpun, awalnya korban ini diajak oleh Muhammad Robi (23), dari rumahnya di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Saat itu korban diajak nongkrong sebuah tempat terpencil dikawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Disitu telah menunggu tiga orang temannya yakni Ikhsan (37), Alam (20) dan Angga (28). Saat itu korban diajak nongkrong bersama empat cowok tersebut. Disitulah telah tersedia miras berjenis anggur merah telah disiapkan mereka. Diduga korban rupanya sengaja dicekoki hingga mabuk. Setelah mabuk korban pun dibawa dua dari empat cowok tersebut, satu diantaranya Rony. Korban pun dipaksa kesebuah kuburan yang warga sekitar 71
Naskah siap cetak karya M. Isa Bustomi, diterima via email pada 12 Mei 2016 dari
[email protected]
122
menamankan Cuborong. Korban yang telah teler hanya bisa pasrah. Saat itulah korban dilucuti pakaianya dan digilir keempat pelaku. Nahas, saat melakukan perbuatan keji tersebut, keempat remaja itu dipergoki warga sekitar. "saya yang mengamankan. Saat itu bajunya korban sudah terbuka. Pelaku namanya Rony sama satu lagi saya kurang kenal. Yang kuat dugaan melakukan itu dua orang itu," ujar Ondang, salah satu saksi yang memergoki pelaku saat berada di Mapolres Jakarta Selatan, Kamis (12/5). Saat itulah pelaku dan korban langsung digiring ke Mapolsek Pancoran Jakarta Selatan. Korban pun dilarikan ke rumah sakit dan pelaku pun diperiksa. Dari hasil visum yang dilakukan korban, terdapat luka pada kemaluannya yang diduga kuat kalau korban benar dilakukan pemerkosaan secara bergiliran. " kalao dari hasil visum hasilnya begitu (diperkosa). Ditangkepnya dikuburan di pancoran Tegal parang," tutupnya seiring digiring polisi. Sementara itu, Kapolsek Pancoran Kompol Aswin saat dikonfirmasi membenarkan adanya kejadian tersebut. Saat itu korban benar dimabuki oleh keempat pelaku sebelum akhirnya diperkosa. " jadi korban dan pelaku mabuk-mabukan terus digituinnya dikeburan. Sepertinya memang ada dugaan 285 kalau diliat dari hasil visum. Tapi kasusnya kita udah limpahkan ke Polres," ungkapnya saat dihubungi Lampu Hijau. Sementara Kanit PPA Polres Jakarta Selatan, AKP Nunu mengatakan telah menerima kasus yang dilimpahkan dari Mapolsek Pancoran. Pihaknya telah berkoordinasi dengan Polsek untuk menangani kasus tersebut. " sudah kita tangani. Cuma untuk pelakunya belum bisa kita sebutkan. Karena saya juga belum bertemu pelaku dan korbannya," ungkapnya. Sementara itu, Kasubag Humas Polres Jakarta Selatan Kompol Purwanta mengatakan kalau dari pengakuan pelaku, mereka tidak melakukan persetubuhan terhadap korban. Saat dalam keadaan tidak sadar, korban hanya dilecehkan dengan cara memasukmasukan jari ke kemaluan korban.
123
"awal mulanya korban diberikan minuman hingga tidak sadarkan diri. Kemudian korban dilecehkan kemaluannya pakai tangan. Itu pengakuan sementara dari pelaku. Saat ini masih ditangani. Masih kita periksa," paparnya. Kini akibat perbuatannya, saat ini keempat pelaku pemerkosa tersebut telah ditahan di Mapolres Metro Jakarta Selatan. (ISA)
Terakhir, improvisasi yang dibuat oleh surat kabar Lampu Hijau adalah berupa penekanan pada sisi humanis objek pemberitaan. Sisi humanis dianggap menjadi kekuatan bagi setiap berita yang disajikan karena akan membuat berita menjadi lebih menarik dan tak jarang dapat meningkatkan nilai sensasionalitas pemberitaan. Sisi humanis merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan, yang dapat menyentuh segi emosional para pembaca. Hal ini biasanya didapatkan dari kisah pribadi objek pemberitaan yang dianggap menarik. Berikut contoh penyajian berita menggunakan sisi humanis:72
Gambar 4.10 Sisi Humanis Pada Judul Berita 72
Surat kabar Lampu Hijau edisi 18 Mei 2016
124
Hujan + Petir, Petani Woles Aja (Tetap Garap Sawah) KESAMBAR PETIR, INNALILLAHI DAH Duki, petani asal Desa Jambak, Cikedung, Kabupaten Indramayu bikin geger warga sekitar, Senin (16/5) petang. Ya, cowok 45 tahun ini ditemukan sudah meninggal dunia di sawah masuk Blok Deling, Desa Jambak, Cikedung. Lampu Hijau, Indramayu Yang pertama kali menemukan Duki adalah dua orang petani yang merupakan warga sekitar, Sadi (45), dan Dirmanto (40). Waktu itu keduanya melintas dan melihat Duki sudah terkapar dengan kondisi l k k …
Sisi humanis yang diangkat dari berita di atas adalah mengenai kerja keras yang dilakukan seorang petani yang tetap bekerja meski hujan dan petir menguyur hingga akhirnya ia meninggal dunia tersambar petir.
B. Kerja Jurnalistik Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Sebelum seseorang dinyatakan resmi menjadi wartawan surat kabar Lampu Hijau, ia harus mengikuti tahapan seleksi dan perekrutan. Proses seleksi dan perekrutan surat kabar Lampu Hijau dilaksanakan secara langsung di lapangan selama 3 bulan.73 Namun sebelumnya calon wartawan sudah harus melewati tahap wawancara yang akan menguji pengetahuan wartawan mengenai dunia kejurnalistikan. Hal ini 73
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
125
dilakukan agar pihak surat kabar Lampu Hijau mengetahui bekal dasar yang telah dimiliki calon wartawannya. Dengan demikian, nantinya pihak penyelenggara penyeleksian dan rektutmen dapat lebih mudah melakukan pengarahan sesuai segmen surat kabar Lampu Hijau itu sendiri. Setelah dinyatakan lolos tahapan seleksi, barulah calon wartawan resmi bekerja sebagai wartawan di surat kabar Lampu Hijau dan akan dibekali kartu pers sebagai tanda identitas. Calon wartawan maupun wartawan yang sudah resmi bekerja di surat kabar Lampu Hijau tidak dibekali dengan pengetahuan terhadap Kode Etik Jurnalistik karena pihak Lampu Hijau menganggap bahwa pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dunia kejurnalistikan sudah dimiliki oleh setiap orang yang mendaftar.74 Meskipun demikian pihak Lampu Hijau mengaku tetap membuka diri untuk menghadiri undangan acara-acara yang dilaksanakan Dewan Pers seperti uji kompetensi wartawan, atau acara lainnya yang berkaitan dengan dunia kejurnalistikan.75 Dalam
menghadiri
uji
kompetensi
wartawan
yang
diselenggarakan pihak Dewan Pers, pihak surat kabar Lampu Hijau mengirimkan perwakilan secara bergantian dalam setiap periode acara.
74
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 75 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
126
Sehingga pada akhirnya Pemimpin Redaksi mengklaim bahwa seluruh wartawan surat kabar Lampu Hijau telah lulus uji kompetensi.76 Selain menunggu undangan acara uji kompetensi dari Dewan Pers, kelompok kerja wartawan per wilayah yang mereka ikuti diizinkan untuk mengadakan uji kompetensi sendiri, tentunya dengan tetap melibatkan pihak Dewan Pers. Jika wartawan surat kabar Lampu Hijau sudah dinyatakan lulus uji kompetensi wartawan melalui jalur mandiri tersebut mereka tetap harus melapor untuk arsip kantor.77 Sistem kerja wartawan surat kabar Lampu Hijau dibagi berdasarkan wilayah, dengan satu wilayah dipegang oleh satu orang wartawan.78 Artinya, satu orang wartawan yang ditempatkan di suatu wilayah bertanggungjawab untuk memantau serta memberitakan segala macam peristiwa yang sesuai dengan segmentasi Lampu Hijau, yakni berupa berita kriminal di masing-masing wilayah yang dipegangnya. Pembagian
wilayah
tersebut
berada
di
sekitar
wilayah
Jabodetabek berupa Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Bekasi, serta Tangerang. Selain itu, wartawan ada pula yang ditugaskan untuk memegang wilayah di
76
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 77 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 78 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
127
Daerah, seperti Purwakarta, Subang, Karawang, Tasikmalaya, Garut, Cirebon, dan Indramayu.79 Wartawan surat kabar Lampu Hijau bekerja pada hari Minggu hingga Jumat, dan libur setiap hari Sabtu. Jika terdapat libur tambahan seperti libur nasional, para wartawan mendapat jatah libur H-1 sebelum hari libur, sedangkan pada hari H libur nasional tetap melaksanakan tugas seperti biasa untuk menyiapkan berita yang akan dimuat keesokan harinya. Hal ini dikarenakan surat kabar tidak terbit pada saat hari libur nasional, namun tetap terbit keesokan harinya. Wartawan surat kabar Lampu Hijau dituntut untuk memiliki inisiatif dalam mencari informasi. Artinya wartawan bekerja secara aktif, bukan hanya menunggu perintah dari atasan. Namun dalam beberapa kasus terkadang wartawan juga mendapatkan perintah untuk meliput suatu kejadian tertentu sesuai dengan kebutuhan, yang disebut sebagai plotingan. Namun tugas plotingan tersebut hanyalah sebagai tugas tambahan, sedangkan aktif mencari berita sendiri tetap menjadi tugas utama.80 Setiap Jumat wartawan bekerja double karena harus menyiapkan stok berita untuk di muat pada hari Minggu. Hal ini harus dilakukan sebagai konsekuensi karena wartawan mendapatkan jatah libur di hari Sabtu, sedangkan hari minggu surat kabar tetap harus terbit. Untuk
79
Tercantum dalam halaman 2 surat kabar Lampu Hijau seluruh edisi Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 80
128
menyiasati berita agar tetap dapat dikatakan aktual meskipun stok sudah disimpan sebelumnya, wartawan akan melakukan wawancara pada hari H penulisan berita.81 Dengan kata lain stok berita yang disimpan adalah berupa informasi kejadian atau kasus yang dianggap menarik, namun tetap di-upgrade keaktualannya dengan wawancara di hari H penulisan. Pakem khusus yang harus dipatuhi wartawan surat kabar Lampu Hijau tidak jauh berbeda dengan media cetak lainnya, namun hal yang paling ditekankan oleh surat kabar ini adalah dari segi angle pemberitaan.82 Untuk dapat mempertahankan esensi unik dan menarik, wartawan harus mampu melihat angle berbeda yang tidak dilihat oleh media lainnya sehingga pemberitaan yang disajikan akan lebih menarik dan segar. Untuk jam kerja sendiri wartawan diberi kebebasan, asalkan tetap dapat mengirimkan berita sebelum batas akhir deadline. Biasanya, wartawan telah mengirimkan berita pada pukul 16.00 WIB hingga 17.00 WIB, tetapi batas akhir adalah pada pukul 20.00 WIB, karena setelah itu akan masuk pada bagian layout, dan proses layout harus selesai maksimal sekitar pukul 21.00 WIB.83 Hal ini dikarenakan surat
81
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 82 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 83 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
129
Kabar Lampu Hijau mendapatkan jatah cetak pertama di percetakan yang berada di Bekasi sehingga harus sesegera mungkin diselesaikan.84 Dalam perusahaan apapun termasuk media, tentu dibutuhkan rapat untuk menentukan arah kerja maupun evaluasi hasil kerja. Karena itulah surat kabar Lampu Hijau juga melakukan rapat redaksi rutin untuk
memantau
kerja
wartawannya
serta
menyusun
rencana
pemberitaan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Adapun rapat redaksi rutin diadakan satu kali dalam seminggu, yakni di hari Senin malam, dimulai pada pukul 22.00 WIB setelah naskah selesai di layout dan siap cetak, hingga selesai, biasanya hingga pukul 03.00 dini hari. Rapat redaksi tersebut dilaksanakan di lantai 3 kantor Lampu Hijau yang berlokasi di gedung Rumah Pena, Jalan Kebayoran Lama no. 5/1D, Jakarta Barat 11540.85 Rapat redaksi rutin setiap hari Senin malam hanya dihadiri oleh wartawan yang bertugas di wilayah Jabodetabek, sedangkan untuk wartawan yang bertugas di daerah hanya perlu menghadiri rapat di hari Senin pada minggu pertama setiap bulannya. Sehingga wartawan daerah hanya mengikuti rapat satu kali dalam sebulan.86 Rapat redaksi dilaksanakan dengan format rapat informal dan tidak terstruktur. Rapat redaksi hanya berbentuk perbincangan santai
84
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 85 Hasil observasi partisipatif mengikuti rapat redaksi pada 9 Mei 2016 pukul 22.00 WIB03.00 WIB di Gedung Rumah Pena lantai 3 86 Hasil observasi partisipatif mengikuti rapat redaksi pada 9 Mei 2016 pukul 22.00 WIB03.00 WIB di Gedung Rumah Pena lantai 3
130
antar anggota tim redaksi, tanpa adanya notulen ataupun daftar pembahasan rapat yang rinci. Selama rapat, para anggota tim redaksi diberi kebebasan dalam hal posisi duduk ataupun dalam menanggapi apapun yang disampaikan Pemimpin Redaksi. Rapat semakin terasa santai karena didukung pula oleh sajian cemilan dan minuman yang dapat dinikmati.87 Selain membahas rencana penyajian pemberitaan satu minggu ke depan, dalam rapat redaksi juga dilakukan evaluasi kerja dari para wartawan. Pemimpin redaksi memantau bagaimana kinerja para wartawan dan apa saja hambatan yang dialami para wartawan. Pemimpin redaksi juga memberikan solusi dan wejangan kepada para wartawan dengan cara yang tidak menggurui atau bahkan bossy, melainkan seperti layaknya seorang teman. Rapat redaksi juga diiringi dengan canda tawa sehingga sama sekali jauh dari kesan kaku dan formal. singkatnya, rapat redaksi dalam surat kabar Lampu Hijau bersifat kekeluargaan.88 Dalam rapat redaksi, meskipun semua anggota memiliki kebebasan dalam hal mengungkapkan pendapat dan juga menanggapi penyampaian pemimpin redaksi, dominasi pemimpin redaksi tetap terlihat. Porsi berbicara dari pemimpin redaksi tetap lebih banyak, namun para wartawan tetap mendengarkan dengan seksama. 87
Hasil observasi partisipatif mengikuti rapat redaksi pada 9 Mei 2016 pukul 22.00 WIB03.00 WIB di Gedung Rumah Pena lantai 3 88 Hasil observasi partisipatif mengikuti rapat redaksi pada 9 Mei 2016 pukul 22.00 WIB03.00 WIB di Gedung Rumah Pena lantai 3
131
Tidak ada absensi untuk mencatat kehadiran para wartawan, dalam rapat karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa rapat dilaksanakan secara informal. Meskipun demikian, para wartawan tetap antusias dan rutin menghadiri rapat yang dilaksanakan setiap Senin malam itu. Padahal seperti yang juga telah disebutkan, bahwa para wartawan memiliki tugas di berbagai wilayah yang berbeda. Absensi juga tidak dilakukan saat bertugas selama jam kerja. Kehadiran wartawan hanya dilihat dari berita yang mereka kirimkan kepada tim redaksi melalui email. Selain itu hal ini terjadi karena kinerja wartawan yang tidak setiap hari ke kantor. Mereka langsung menjalankan tugas di wilayah masing-masing, namun tetap dengan jalur koordinasi yang jelas dengan tim redaksi menggunakan aplikasi chat grup Whatsapp.89 Tugas
utama
dari
seorang
wartawan
tentulah
mencari,
mengumpulkan, meramu, dan menyajikan informasi. Dalam hal ini, wartawan surat kabar Lampu Hijau memiliki berbagai cara dalam pencarian informasi, diantaranya adalah (1) memantau informasi di kantor Polres wilayah “kekuasaannya” untuk mendapatkan informasi dari bagian humas kepolisian; (2) jika tidak ada hal menarik yang di dapatkan di Polres, wartawan akan berkeliling ke Polsek-polsek di wilayah bersangkutan yang masih terintegrasi dengan Polres di wilayah tersebut; (3) press release kepolisian; (4) memantau media online dan 89
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
132
media sosial; (5) informasi bisa juga di dapatkan dari para informan. Informan adalah orang-orang yang secara sukarela memberikan informasi mengenai kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya kepada para wartawan. Para informan tersebut diantaranya adalah rekan, teman, maupun kenalan dari sang wartawan. Karenanya wartawan surat kabar Lampu Hijau memiliki tugas tambahan tak tertulis, yakni menjalin hubungan baik dan pertemanan sebanyak-banyaknya agar dapat memperoleh informasi sebanyak-banyaknya; (6) wartawan surat kabar Lampu Hijau juga dapat memperoleh informasi dari rekan sesama wartawan di media lain. Para wartawan rupanya memiliki kebiasaan untuk saling berbagi informasi satu sama lain. Bahkan tak jarang wartawan surat kabar Lampu Hijau tidak perlu mendatangi lokasi kejadian karena telah mendapatkan naskah informasi yang lengkap dari wartawan lain. Wartawan surat kabar Lampu Hijau hanya perlu meramu dengan gaya bahasa yang menjadi ciri khas mereka sendiri, dan membedakan angle pemberitaan.90 Dari beberapa cara pencarian informasi yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau tersebut, terdapat cara pencarian berita yang dominan, yakni menjalin hubungan baik dengan semua orang di segala kalangan, serta menjaga kepercayaan yang telah diberikan. Bagaimana mungkin wartawan surat kabar Lampu Hijau akan mendapatkan berbagai informasi dari berbagai pihak jika ia tidak menjalin hubungan 90
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
133
baik dengan berbagai pihak tersebut. Karena hubungan baik yang terjalin tersebutlah wartawan surat kabar Lampu Hijau dapat dengan lebih mudah mendapatkan informasi dari berbagai pihak, seperti pihak kepolisian, teman dari berbagai kalangan profesi, maupun rekan yang sama-sama berprofesi sebagai wartawan. Untuk interaksinya dengan rekan sesama wartawan, wartawan surat kabar Lampu Hijau tidak hanya memperoleh informasi, namun juga berbagi informasi.91 Sehingga dalam hal ini terdapat hubungan simbiosis mutualisme yang terjadi antara wartawan dari berbagai media. Namun demikian, wartawan surat kabar Lampu Hijau tetap memiliki trik tersendiri dalam membagikan informasi yang telah ia peroleh. Wartawan surat kabar Lampu Hijau akan terlebih dulu meramu dan mengirimkan naskah yang telah siap saji kepada tim redaksi, barulah ia akan membagikannya kepada rekan sesama wartawan yang lain. Hal ini dilakukan agar wartawan tidak kecolongan, dan tetap dianggap sebagai pihak yang telah lebih dahulu memperoleh informasi tersebut.92 Surat kabar Lampu Hijau dikenal sebagai surat kabar yang selalu menghadirkan berita dengan judul-judul yang bombastis, sensasional, serta menggegerkan. Hal ini memang menjadi daya jual dari surat kabar Lampu Hijau ini. Untuk dapat membuat judul yang anti mainstream 91
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 92 Hasil temuan observasi partisipatif bersama wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 8 Mei 2016
134
tersebut, wartawan memiliki cara tersendiri. Cara yang dilakukan wartawan demi memperoleh judul yang tidak biasa adalah menggali informasi dengan cara yang juga tidak biasa. Wartawan akan memberikan pertanyaan yang berbeda, unik, menggelitik, nyeleneh, tidak terpikirkan oleh media lainnya, bahkan hal tersebut mungkin dianggap sebagai hal yang sepele bagi wartawan yang bekerja di surat kabar
mainstream.93
Hal-hal
yang
dianggap
menarik
karena
keunikannya tersebutlah yang pada akhirnya diangkat sebagai judul. Sedangkan untuk isi berita, wartawan tetap menyampaikan data-data pokok yang diperoleh mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pertanyaan-pertanyaan yang berbeda, unik, menggelitik, dan nyeleneh
tersebut
pemberitaan. Entah
berkaitan
dengan
sisi
humanis
dari
objek
yang menjadi objek pemberitaan tersebut
merupakan korban ataupun pelaku, sisi humanis tetap digali dan jika dianggap menarik akan dimunculkan sebagai judul pemberitaan. Sisi humanis ini berkaitan dengan alasan personal para pelaku kejahatan, perasaan sang korban, ataupun cara unik pelaku melakukan kejahatan.94 Wartawan surat kabar Lampu Hijau dituntut untuk memiliki kepekaan yang tinggi agar mampu menangkap dan menginterpretasikan hal-hal kecil yang kerap luput dari pandangan dan perhatian orang
93
Hasil temuan dalam observasi partisipatif pada 8 Mei 2016 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 94
135
biasa.95 Secara tidak langsung wartawan juga terlatih untuk memiliki trik tersendiri dalam menggali informasi unik tersebut. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan membuat nyaman narasumber, atau bahkan menekannya agar mengeluarkan pernyataan yang diharapkan.96 Karena surat kabar Lampu Hijau mendedikasikan dirinya sebagai koran kriminal,97 maka tak heran jika berita-berita yang disajikan dominan pada berita-berita kriminal. Dalam sehari, tidak menutup kemungkinan wartawan tidak memperoleh berita kriminal. Untuk menyiasati hal tersebut, maka wartawan akan beralih pada berita perkotaan, mengenai hal-hal lain yang dianggap menarik, yang terjadi di wilayah “kekuasaannya” maupun profil mengenai tokoh tertentu.
Gambar 4.11 Contoh Penulisan Profil Tokoh 95
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 96 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 97 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
136
Wartawan memiliki target paling tidak mengirimkan tiga berita setiap harinya, namun penentuan apakah berita yang dikirimkan tersebut pada akhirnya akan dimuat atau tidak, tetap berada di tangan redaktur. Begitupun untuk pemilihan headline, redaktur lah yang memiliki kekuasaan sebagai sang penentu.98 Untuk memberikan apresiasi terhadap hasil kinerja wartawan, surat kabar Lampu Hijau selain memberikan gaji pokok senilai sekitar Rp. 2.200.000,- juga memberikan berbagai macam tambahan bonus seperti tunjangan prestasi yang diberikan setiap tanggal 15 setiap bulannya dengan jumlah disesuaikan dengan banyaknya berita wartawan yang dimuat. Bonus prestasi ini berada di kisaran Rp. 300.000,- hingga Rp. 500.000,-. Selain tunjangan prestasi, bonus lain yang diberikan juga berupa bonus jika berita wartawan dimuat menjadi headline, bonus akhir tahun, dan juga Tunjangan Hari Raya (THR).99 Dengan adanya berbagai macam bonus yang diberikan, secara tidak langsung akan memacu semangat kerja wartawan dan juga menimbulkan kompetisi tersendiri di antara para wartawan untuk menghadirkan berita yang paling menarik agar dapat dimuat sebagai headline pemberitaan. Secara lebih khusus peneliti mengikuti kegiatan wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan. Untuk kerja jurnalistik 98
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 99 Hasil temuan dalam observasi partisipatif pada 8 Mei 2016
137
wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan secara lebih rinci dapat dijabarkan sebagai berikut: Wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan memulai aktivitas pencarian berita sekitar pukul 10.00 WIB. Aktivitas dimulai dengan terlebih dulu memantau informasi di Polres Metro Jakarta Selatan, kemudian mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP) jika diperlukan. Namun jika informasi dianggap sudah lengkap, maka wartawan akan langsung menggarap berita tersebut.100 Jika ternyata di Polres Metro Jakarta Selatan tidak ada informasi yang dianggap menarik, maka wartawan akan mencari informasi dari Polsek di wilayah Jakarta Selatan.101 Polsek yang berlokasi di wilayah Jakarta Selatan tersebut diantaranya Polsek Kebayoran Lama, Pancoran, Metro Setiabudi, Tebet, Mampang Prapatan, Cilandak, Pasar Minggu, jagakarsa, dan Pesanggrahan.102 Selain melakukan pemantauan informasi di Polres dan Polsek, wartawan Lampu Hijau juga memiliki berbagai sumber informasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yakni dari press release kepolisian, media online dan media sosial, informan, dan informasi dari rekan sesama wartawan media lain.103
100
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 101 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 102 Pernyataan humas kepolisian Polres Metro Jakarta Selatan pada 2 Mei 2016 di kantor humas kepolisian Polres Metro Jakarta Selatan 103 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
138
Untuk informasi yang berasal dari press release kepolisian, sama seperti cara yang dilakukan sebelumnya bahwa wartawan harus mendatangi Polres atau Polsek setempat. Bedanya dalam hal ini bukan wartawan yang mencari dan menanyakan informasi dari humas kepolisian, melainkan pihak kepolisian sendiri yang merilis informasi untuk para wartawan.104 Wartawan juga sudah selayaknya peka terhadap kejadian di sekitarnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memantau media online dan juga media sosial. Seperti yang telah diketahui bersama dewasa ini informasi dapat dengan mudahnya beredar dari internet hanya dalam hitungan detik. Setelah wartawan memperoleh informasi yang dianggap menarik, wartawan akan segera menindak lanjuti informasi tersebut. Sumber informasi selanjutnya yang dimiliki wartawan adalah informan. Informan yang dimiliki wartawan Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan berasal dari berbagai kalangan baik teman sang wartawan ataupun sebatas kenalan yang memiliki hubungan baik dengannya. Para informan ini secara suka rela memberikan informasi kepada wartawan mengenai kejadian yang ada di sekitar mereka. Dan sebagai rasa terima kasih, wartawan akan memberikan pulsa sebagai wujud apresiasi dan rasa terima kasih kepada informan. 105 104
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 105 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
139
Terakhir, wartawan juga dapat memperoleh informasi dari rekan sesama wartawan yang bekerja di media lain. Wartawan surat kabar Lampu Hijau tak hanya menerima informasi, namun juga berbagi informasi. Sehingga
terjadi simbiosis mutualisme, yakni hubungan
yang saling menguntungkan. Adapun cara wartawan saling berbagi informasi adalah dengan memberi tahu informasi kejadian dan kemudian meliput bersama, atau bahkan juga berbagi dengan cara mengirimkan naskah jadi melalui email kepada wartawan media lain. Naskah yang dikirimkan tersebut nantinya akan diolah kembali sesuai dengan gaya khas masing-masing media, dan juga penggunaan angle yang berbeda.106 Tempat singgah wartawan setelah mengumpulkan berbagai informasi yang siap digarap menjadi berita adalah di Balai Wartawan yang terletak di gedung Kantor Walikota Jakarta Selatan.107 Di tempat itulah biasanya wartawan “menjahit” informasi yang telah diperoleh menjadi berita utuh. Di tempat itu pula lah biasanya wartawan bertemu dan berkumpul dengan wartawan dari media lain yang juga bertugas di wilayah Jakarta Selatan. Balai Wartawan di Kantor Walikota Jakarta Selatan dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap. Mulai dari komputer beserta jaringan internetnya, televisi, kipas angin, sofa, hingga air minum. 106
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 107 Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
140
Gambar 4.12 suasana Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan
Wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan biasanya akan singgah di Balai Wartawan sekitar pukul 14.00 WIB hingga selesai melakukan “penjahitan” dan pengiriman berita. Biasanya wartawan dapat menyelesaikan penulisan berita dan mengirimkan email sebelum magrib, dan setelah magrib wartawan sudah pulang. 108 Namun menurut pemaparan wartawan, peristiwa kriminal di wilayah Jakarta Selatan justru lebih banyak terjadi malam hari setelah magrib. Jika hal itu terjadi, maka wartawan akan meliput dan sesegera mungkin mengirimkan naskah kepada tim redaksi agar tidak melebihi batas deadline pukul 20.00 WIB karena berita yang dikirim melebihi batas tenggat waktu yang diberikan secara otomatis tidak akan dimuat keesokan harinya.
108
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016
141
Singgah di Balai Wartawan tidak selalu di lakukan. Jika wartawan tidak sempat singgah ke Balai Wartawan dikarekan satu dan lain hal seperti tempat liputan yang jauh dari Balai, maka wartawan akan langsung mengetik naskah berita melalui smartphone dan langsung mengirimkannya melalui email seperti biasa.109 Esensinya tetap sama, melakukan pengiriman naskah siap terbit via email. Tidak dapat dipungkiri, begitu banyak pihak yang memandang kerja jurnalistik wartawan surat kabar Lampu Hijau dengan sebelah mata. Namun pihak Lampu Hijau tetap berusaha mempertahankan keberadaan mereka. Mereka justru menganggap pandangan negatif berbagai pihak sebagai sebuah tantangan.110 Dengan percaya diri Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau mengungkapkan bahwa Lampu Hijau adalah wadah untuk mengeluarkan ide-ide gila, yang tentunya tetap dalam aturan. Surat kabar Lampu Hijau lah wadah untuk penggarapan berita-berita yang anti mainstream karena manusia tidak melulu harus dijejali dengan berita-berita serius.111 Surat kabar Lampu Hijau memiliki tujuan yang tidak tertulis, yakni untuk memberikan peringatan kepada banyak orang, serta untuk memanusiakan manusia.112
109
Hasil observasi partisipatif bersama M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan pada 2-15 Mei 2016 110 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 111 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 112 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
142
Peringatan yang dimaksud adalah untuk membuka pandangan manusia bahwa ternyata masih banyak modus kejahatan yang terjadi di luar sana. Sehingga dengan membaca Lampu Hijau, mereka dapat lebih waspada dan berhati-hati karena tidak menutup kemungkinan hal demikian akan menimpanya suatu saat nanti.113 Memanusiakan manusia yang dimaksud adalah bahwa surat kabar Lampu Hijau ingin memberikan ruang bagi semua pihak dan segala pemberitaan yang luput dari perhatian. Karena surat kabar Lampu Hijau menilai bahwa semua manusia memiliki hak yang sama untuk
menyalurkan
aspirasinya,
semua
manusia
juga
berhak
mengetahui hal-hal yang terjadi di luar sana, yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya. 114 Motivasi terbesar yang dimiliki pihak Lampu Hijau untuk tetap mempertahankan diri di tengah pandangan negatif berbagai pihak adalah karena mereka merasa masyarakat masih membutuhkan mereka. Lampu Hijau merupakan surat kabar yang dapat merangkul berbagai kalangan. Berita kriminal yang disajikan bukan sekadar untuk menakutnakuti pembaca, namun juga memberikan edukasi agar dapat terhindar dari kejahatan yang tidak diinginkan. 115
113
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 114 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat 115 Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
143
Senjata utama yang dimiliki oleh pihak Lampu Hijau adalah ketulusan hati dan pikiran positif agar mereka tetap mampu bertahan di tengah persaingan dan pandangan negatif berbagai pihak. Pihak Lampu Hijau juga menyatakan kesediaannya untuk senantiasa berbenah dari waktu ke waktu.116
116
Hasil wawancara bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau pada 14 April 2016 pukul 18.30 s/d 19.30 di Gedung Rumah Pena lantai 3, Jakarta Barat
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos), diketahui bahwa terdapat tiga poin pelaksanaan etika pers yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Ketiga poin tersebut diantaranya penerapan, pelanggaran, serta pelaksanaan tentatif terhadap Kode Etik Jurnalistik yang dibuat sebagai acuan tata perilaku wartawan yang ideal. Selain itu, wartawan surat kabar Lampu Hijau juga memiliki inovasi berupa hal-hal yang tidak disebutkan dalam Kode Etik Jurnalistik. Penerapan berarti perilaku wartawan sesuai dengan ketentuan yang dipaparkan dalam Kode Etik Jurnalistik. Sedangkan pelanggaran berarti wartawan tidak melaksanakan etika yang telah disebutkan dalam pasalpasal Kode Etik Jurnalistik. Adapun pelaksanaan tentatif berarti pelaksanaan wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik dinilai tidak berkesinambungan melainkan tergantung pada kejadian yang dihadapi. Wartawan di satu sisi menerapkan, namun di saat yang berbeda juga melanggar poin yang sama dalam Kode Etik Jurnalistik tersebut. Wartawan surat kabar Lampu Hijau juga membuat inovasi dari segi penyajian berita berupa gaya bahasa, teknik penggunaan judul, cara
144
145
pemaparan berita, serta pemilihan sudut pandang yang lebih menekankan pada aspek humanis dari suatu kejadian. Selanjutnya diketahui pula bagaimana kerja jurnalistik yang dilaksanakan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Sebelum resmi dinyatakan sebagai wartawan surat kabar Lampu Hijau, calon wartawan harus melewati tahapan seleksi dan perekrutan yang dilakukan selama 3 bulan, dengan mengikuti tes wawancara serta tes terjun langsung ke lapangan. Setelah resmi dinyatakan sebagai wartawan dengan dibekali kartu pers, maka wartawan akan mendapat pembagian tugas per wilayah. Wartawan bertanggungjawab untuk memantau, mencari informasi, serta memberitakan berbagai peristiwa yang terjadi di wilayah kekuasaannya. Sistem kerja wartawan dilaksanakan secara informal, termasuk dalam pelaksanaan rapat redaksi. Rapat redaksi yang diadakan selama satu minggu sekali pada hari Senin malam bersifat kekeluargaan, jauh dari kata formal, bahkan tidak menggunakan absensi. Meski demikian, wartawan tetap antusias mengikuti rapat redaksi setiap minggunya. Surat kabar Lampu Hijau memiliki tujuan tak tertulis, yakni untuk memberikan peringatan kepada banyak orang, serta untuk memanusiakan manusia. Pihak surat kabar Lampu Hijau juga menyadari banyaknya pihak yang memandang sebelah mata kepada media mereka, karenanya surat kabar Lampu Hijau ini menyatakan bersedia berbenah dari waktu ke waktu. Namun saat ini Pihak Lampu Hijau mengakui tidak ada pengenalan Kode Etik Jurnalistik kepada para wartawan.
146
B. Saran Setelah melakukan penelitian pada surat kabar Lampu Hijau, peneliti merasa perlu menyampaikan saran sebagai masukan demi kemajuan bersama, sebagai berikut: 1. Pihak surat kabar Lampu Hijau diharapkan memberi pengenalan Kode Etik Jurnalistik kepada para wartawannya agar wartawan dapat melaksanakan tugas dengan lebih baik dan profesional serta dapat mewujudkan tujuan mulia yang dimiliki. 2. Para wartawan diharapkan memiliki kesadaran untuk mempelajari hal-hal terkait kejurnalistikan termasuk Kode Etik Jurnalistik agar hasil kerja sesuai dengan yang diharapkan semua pihak. 3. Perlu adanya penambahan jumlah wartawan di setiap wilayah agar dapat lebih meng-cover seluruh pemberitaan yang terhambat karena terlalu luasnya wilayah jangkauan tugas. 4. Untuk para generasi muda yang kelak akan melanjutkan jejak mengisi posisi sebagai wartawan diharapkan lebih mempersiapkan diri untuk menjadi wartawan yang profesional dan beretika sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi berbagai pihak.
147
DAFTAR PUSTAKA
Abar, Ahmad Zaini. 1966-1974 Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: LKis, 1995. Anwar, Rosihan. Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik. Jakarta: Jurnalindo Aksara Grafika, 1996. Armansyah. Pengantar Hukum Pers. Bekasi: Gramata Publishing, 2015. Arpan, Floyd G. Wartawan Pembina Masjarakat. Bandung: Binatjipta, 1970. Bertens, K. Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013. Burton, Graeme. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra, 2012. Coulon, Alan. Etnometodologi. Yogyakarta: Lengge, 2008. Gani, M. Surat Kabar Indonesia pada Tiga Zaman. Jakarta: Proyek Pusat Publikasi Pemerintah, Departemen Penerangan RI, 1978. Luwarso, Lukas dan Samsuri. Pelanggaran Etika Pers. Jakarta: Dewan Pers Bekerja Sama dengan FES, 2007. Nasution, Zulkarimein. Etika Jurnalisme Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2015. Pambayun, Ellys Lestari. One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi. Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia, 2013.
148
Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Siebert, Fred S. Empat Teori Pers. Jakarta: PT Intermasa, 1986. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Sukardi, Armada Wina. Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jakarta: Dewan Pers, 2012. Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006. Tamburaka, Apriadi. Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa. Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Tebba, Sudirman. Etika Media Massa Indonesia. Tangerang: Pustaka irVan, 2008. Wibowo, Wahyu. Menuju Jurnalisme Beretika. Jakarta: Kompas, 2009.
Internet: Arti Definisi Pengertian, “Arti Totalitarianisme”, artikel diakses pada 26 April 2016 dari http://arti-definisi-pengertian.info/arti-totalitarianisme/
149
Azhar Irfansyah dan Nella A. Puspitasari, “Tentang Pasang Surutnya Pers itu: Riwayat Pers Kiri di Indonesia (Part II)”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari
http://indoprogress.com/2014/05/tentang-pasang-surutnya-badai-itu-
riwayat-pers-kiri-di-indonesia-bagian-ii/ Dewan Pers, “Kode Etik Jurnalistik”, diakses pada 7 Maret 2016 dari http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik Elisa Zakaria, “Surat Kabar”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://elisazakaria18.blogspot.co.id/2016/03/surat-kabar.html Fachri, “Empat Teori Pers”, artikel diakses pada 12 Mei 2016 dari https://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/empat-teori-pers/ Ferry Roen, “Harold Garfinkel: Ethnometodology”, artikel diakses pada 25 Juni 2016
dari
http://perilakuorganisasi.com/harold-garfinkel-ethno-
metodelogy.html KBBI Online, “Etika”, pengertian kata diakses pada 16 mei 2016
dari
http://kbbi.web.id/etika KBBI Online, “Moral”, pengertian kata diakses pada 16 mei 2016
dari
http://kbbi.web.id/moral KBBI Online, “Otoriter”, pegertian diakses pada 24 Juni 2016 dari http://kbbi.web.id/otoriter
150
KBBI Online, “Surat Kabar”, pengertian kata diakses pada 6 Mei 2016 dari http://kbbi.web.id/surat%20kabar KBBI Online, “wartawan”, pengertian kata diakses pada 5 April 2016 dari http://kbbi.web.id/wartawan Lukman Solihin, “Etnografi Sejarah Koran Kuning”, artikel diakses pada 11 Maret 2016 dari http://etnohistori.org/etnografi-sejarah-koran-kuning-1lukman-solihin.html M. Ilham Nugraha, “Teori Pers Libertarian”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://hanz-one.blogspot.co.id/2013/09/teori-pers-libertarian.html Pernyataan Bagir Manan disela pertemuan Bali Media Forum di Kuta, kepada pihak Antara News (http://www.antaranews.com/print/288120/ketua-dewanpers-80-persen-pengaduan-pelanggaran-kode-etik, diakses pada 7 Maret 2016) Soleh Hamdani, “Etnometodologi”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari https://solehhamdani.wordpress.com/sosiologi/etnometodologi/ Ucan, “Sistem Pers Otoriter”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://ucanmencarimakna.blogspot.co.id/2011/10/sistem-pers-otoriter.html Wek Anggoro, “Company Profile LH”, profil perusahaan diterima via email pada 19 April 2016 dari
[email protected]
151
LAMPIRAN Sesi wawancara bersama Pemimpin Redaksi surat kabar Lampu Hijau (14 April 2016 pukul 18.30 - 19.30 WIB)
152
Observasi partisipatif bersama wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan (2-15 Mei 2016)
153
154
155
156
Rapat redaksi surat kabar Lampu Hijau (9 Mei 2016)
157
Bukti pengiriman Company Profile surat kabar Lampu Hijau
158
Bukti pengiriman naskah siap cetak oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau
159
Keterangan dewan pers mengenai status perusahaan media Lampu Hijau (http://dewanpers.or.id/perusahaan, diakses pada 19 Maret 2016 pukul 12.27 WIB)
DAILY ROUTINE HASIL OBSERVASI PARTISIPATIF BERSAMA MUHAMMAD ISA BUSTOMI, WARTAWAN SURAT KABAR LAMPU HIJAU WILAYAH JAKARTA SELATAN
Hari 1 Waktu : Senin, 2 Mei 2016 Pukul : 10.00 s/d 19.00 WIB Lokasi : 1. Polres Metro Jakarta Selatan 2. Kebayoran Lama 3. Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan Hasil temuan: 1. Wartawan surat kabar Lampu Hijau hanya mendapat jatah libur satu hari, yakni pada hari sabtu (untuk jam kerja normal) 2. Jika terdapat libur nasional, maka wartawan mendapat jatah libur H-1 libur nasional 3. Liputan di lapangan diawali dengan stand by di Polres Metro Jakarta Selatan, mencari informasi mengenai peristiwa yang terjadi, kemudian eksekusi 4. Jika tidak ada kejadian yang dianggap menarik di Polres Metro Jaksel, maka wartawan akan keliling mencari informasi ke Polsek yang berada di wilayah Jakarta Selatan 5. Wartawan melihat pemberitaan dari sisi humanis suatu kejadian. Contoh: dalam kasus pencurian wartawan menanyakan alasan pencuri melakukan tindak kriminal, untuk membeli susu anak misalnya 6. Hal sekecil apapun asalkan dianggap menarik dan bombastis akan diberitakan. Contoh: Kapolsek tidak mau berkomentar tentang kejadian, wartawan benarbenar menuliskan bahwa Kapolsek tidak mau berkomentar dalam pemberitaannya 7. Wartawan mencari alternatif agar berita menjadi lebih seru 8. Wartawan mengakui adanya pelanggaran terhadap off the record hasil wawancara 9. Wartawan mengakui penulisan judul berita tak jarang melanggar Kode Etik Jurnalistik. 10. Wartawan kedapatan menerima sejumlah uang saat melakukan wawancara dengan narasumber di parkiran Kantor Walikota Jakarta Selatan 11. Koordinasi intens dilakukan melalui whatsapp 12. Wartawan mengikuti rapat rutin setiap Senin malam 13. Jika tidak ada berita kriminal, wartawan akan beralih ke berita perkotaan 14. Wartawan jarang menggunakan press release dari kepolisian, kalaupun harus menggunakannya wartawan akan mengambil angle yang berbeda
15. Jam kerja fleksibel 16. Deadline paling akhir pengiriman naskah sebelum jam 20.00 WIB 17. Pengiriman naskah berita melalui email 18. Wartawan juga memantau berita dari kejadian di media sosial 19. Perilaku kriminal di wilayah Jakarta Selatan lebih banyak terjadi malam hari Hari 2 Waktu : Selasa, 3 Mei 2016 Pukul : 14.00 s/d 18.30 WIB Lokasi : 1. Polres Metro Jakarta Selatan 2. Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan Hasil temuan: 1. Para wartawan dari berbagai media berkumpul di Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan 2. Terjadi bincang santai diantara wartawan 3. Wartawan menggunakan walky talky untuk memantau situasi 4. Berlangsung acara apel persiapan libur panjang di Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan 5. Biasanya wartawan surat kabar Lampu Hijau sudah stand by di Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan sejak pukul 14.00 WIB untuk menjahit berita 6. Wartawan saling berdiskusi dan berbagi informasi 7. Wartawan melakukan kloning berita 8. Wartawan tidak cover both side dan mengecek kembali pemberitaan karena langsung menulis dan mengirim berita yang didapatkan dari rekan sesama wartawan 9. Pada saat melakukan wawancara bersamaan dengan wartawan lain, wartawan tidak banyak mengajukan pertanyaan, ia lebih fokus mengamati angle lain dengan menanyakan pertanyaan nyeleneh 10. Wartawan pulang pukul 18.30 WIB Hari 3 Waktu : Rabu, 4 Mei 2016 Libur H-1 kenaikan Isa Al-Masih Hari 4 Waktu : Kamis, 5 Mei 2016 Libur H-1 Isra Mi’raj Hari 5 Waktu Pukul Lokasi
: Jumat, 6 Mei 2016 : 10.00 s/d 19.30 WIB : Polres Metro Jakarta Selatan
Hasil temuan: 1. Wartawan kerja double untuk persiapan stok berita hari Minggu karena Sabtu libur dan Minggu tetap terbit 2. Wartawan memperoleh informasi dari informan, sehingga tidak perlu terjun langsung ke lokasi perampokan (peristiwa kriminal yang terjadi hari ini) 3. Wartawan melengkapi data dengan melakukan wawancara via telepon 4. Wartawan berbagi informasi dengan wartawan dari media lain Hari 6 Waktu : Sabtu, 7 Mei 2016 LIBUR Hari 7 Waktu : Minggu, 8 Mei 2016 Pukul : 11.00 s/d 15.30 WIB Lokasi : kantin samping Polres Metro Jakarta Selatan Hasil temuan: 1. Wartawan telah memiliki stok berita sejak Sabtu malam. Untuk menyiasati agar tetap update maka wartawan melakukan wawancara pada hari H penulisan berita 2. Wartawan berbagi informasi kepada wartawan dari media lain setelah meramu dan mengirimkan naskah yang telah ia buat kepada redaktur agar tidak kecolongan 3. Wartawan memperoleh gaji sebesar Rp. 2.200.000,- dan juga mendapatkan beberapa bonus seperti: a. Tunjangan prestasi, diberikan setiap tanggal 15 setiap bulannya. Jumlah disesuaikan dengan banyaknya berita wartawan yang dimuat. Berkisar antara Rp. 300.000,- hingga Rp. 500.000,b. Bonus akhir tahun c. Tunjangan Hari Raya (THR) 4. Stok berita yang disiapkan wartawan untuk diterbitkan tanggal 8 Mei ini rupanya profil tokoh, yang berjudul “Iptu Rosni Erlinda, Kasie Humas Polsek Kebayoran Baru 23 tahun jadi Polisi, Masih Suka Pekerjaan Menantang” 5. Jam kerja di hari minggu lebih santai, biasanya wartawan sudah pulang pukul 15.00 WIB namun tetap memantau kejadian dari rumah 6. Hari ini wartawan tidak ke TKP, hanya mengumpulkan data dari para informan dan melakukan wawnacara via telepon 7. Wartawan mendapatkan bantuan dari para informan yang secara sukarela memberikan informasi, seperti: a. Teman-teman yang tidak bekerja sebagai wartawan b. Masyarakat biasa yang mengenal dan berhubungan baik dengan wartawan (seperti tukang parker, tukang Koran, dsb) c. Rekan sesama wartawan dari berbagai media
8. Kunci utama yang dimiliki wartawan agar memperoleh banyak informasi adalah dengan banyak bergaul 9. Untuk apresiasi terhadap para informan, biasanya wartawan akan mengirimkan sejumlah pulsa 10. Tips membuat judul yang menarik: a. Perhatikan hal sedetail dan serinci mungkin b. Cari keunikan yang kerap lalai dari pandangan orang lain c. Dalam badan berita tetap disajikan kronologis seperti berita pada umumnya 11. Wartawan mengakui adanya doktrin dari perusahaan agar selalu menyajikan dan membuat berita-berita yang unik dan nyeleneh. Setiap rapat redaksi diberikan semangat agar tidak putus asa menanggapi pandangan negatif orang-orang terhadap media mereka 12. Absensi kehadiran jam kerja wartawan hanya berdasarkan pengiriman berita melalui email 13. Wartawan mengirimkan berita melalui smartphone 14. Polres Metro Jakarta Selatan sepi setiap hari minggu 15. Pembeda surat kabar Lampu Hijau dari media lain adalah dari pertanyaan yang dilontarkan saat melakukan wawancara 16. Tidak ada batasan jumlah berita yang harus dikirim setiap harinya 17. Rapat redaksi rutin yang diadakan setiap Senin malam salah satunya membahas mengenai topik hari Minggu 18. Wartawan mengamati media online, jika ada yang menarik ia akan menindaklanjutinya 19. Wartawan menggiring arah pembicaraan saat wawancara agar mendapat statement yang menarik. Hari 8 Waktu : Senin, 9 Mei 2016 Pukul : 11.00 s/d 03.00 WIB Lokasi : 1. Polres Metro Jakarta Selatan 2. Polsek Kebayoran Baru 3. Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan 4. Gedung Rumah Pena lantai 3 (kantor Lampu Hijau) Hasil temuan: 1. Mengikuti konferensi pers di Aula Polsek Kebayoran Baru mengenai penangkapan penjual kaos bergambar palu arit 2. Wartawan mengakui adanya pelintiran data secara tersirat 3. Wartawan dari berbagai media saling bekerja sama (ada yang meliput ke lapangan, ada yang melakukan transkrip rekaman hasil wawancara) 4. Rapat redaksi dilaksanakan secara informal pada pukul 22.00 – 03.00 WIB setelah naskah selesai di layout dan siap cetak 5. Tidak ada absensi dalam rapat redaksi
6. Tidak ada notulen dalam rapat redaksi 7. Tidak ada list pembahasan rapat redaksi 8. Dalam rapat redaksi dilakukan kontroling, evaluasi, pembagian tugas, serta menyusun rencana topik/tema serta bagaimana cara mengemasnya Hari 9 Waktu : Selasa, 10 Mei 2016 Pukul : 14.00 s/d 18.30 WIB Lokasi : Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan Hasil temuan: 1. Wartawan kelelahan setelah mengikuti rapat hingga dini hari 2. Hanya mengandalkan data dari para informan Hari 10 Waktu : Rabu, 11 Mei 2016 Pukul : 11.00 s/d 18.30 WIB Lokasi : 1. Polres Metro Jakarta Selatan 2. Polsek Pesanggrahan 3. Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan Hasil temuan: 1. Salah satu wartawan Lampu Hijau mengirimkan naskah berita yang seluruh datanya berasal dari media online 2. Wartawan surat kabar Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan memiliki jaringan yang luas 3. Wartawan tetap bersedia di tilang meskipun membawa kartu pers 4. Wartawan meliput pemberitaan mengenai penembakan pengendara bermotor Hari 11 Waktu : Kamis, 12 Mei 2016 Pukul : 14.00 s/d 18.30 WIB Lokasi : 1. Polres Metro Jakarta Selatan 2. Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan Hasil temuan: 1. Wartawan menulis berita tentang seorang remaja yang membawa senjata tajam 2. Wartawan mendapat data dari berbagai sumber data termasuk informan 3. Pembagian data berita antar sesama wartawan dari berbagai media dilakukan melalui email
Hari 12 Waktu : Jumat, 13 Mei 2016 Pukul : 14.00 s/d 18.30 WIB Lokasi : Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan Hasil temuan: 1. Wartawan kerja double menyiapkan stok berita untuk hari Minggu 2. Wartawan tidak melakukan peliputan ke lapangan Hari 13 Waktu : Sabtu, 3 Mei 2016 LIBUR Hari 14 Waktu : Minggu, 15 Mei 2016 Hasil temuan: 1. Wartawan hanya memantau kejadian dari rumah 2. Jika mendapatkan iklan yang besar biasanya karyawan Lampu Hijau berlibur bersama ke puncak 3. Berita yang terpilih menjadi headline mendapatkan bonus tambahan
TRANSKRIP WAWANCARA BERSAMA WARTAWAN SURAT KABAR LAMPU HIJAU WILAYAH JAKARTA SELATAN – DALAM PROSES OBSERVASI PARTISIPATIF
Narasumber: Muhammad Isa Bustomi, wartawan Lampu Hijau wilayah Jaksel
Waktu : Senin, 2 Mei 2016 Pukul : 10.00 s/d 19.00 WIB Lokasi : 1. Polres Metro Jakarta Selatan 2. Kebayoran Lama 3. Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan
Berapa hari dalam seminggu Anda bekerja? Saya hanya mendapatkan jatah libur satu hari, yakni pada hari Sabtu sehingga dapat disimpulkan bahwa saya bekerja enam hari dalam seminggu. Namun jika terdapat libur nasional, maka saya mendapat jatah libur pada H-1 tanggal merah. Bagaimana sistem kerja yang Anda jalankan? Setiap hari saya mulai bekerja dengan terlebih dahulu stand by di Polres Metro Jakarta Selatan untuk menggali informasi dari pihak humas kepolisian. Jika ada berita yang dianggap menarik maka saya akan melakukan eksekusi terhadap berita tersebut. Namun jika tidak mendapatkan informasi di Polres Metro Jakarta Selatan, maka saya akan keliling ke Polsek yang berada di wilayah Jakarta Selatan untuk mencari informasi. Bagaimana cara Anda membuat berita agar menjadi lebih menarik, terutama dalam penulisan judul berita? Banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat judul, namun tak jarang dapat melanggar kode etik jurnalistik, nanti lu tulis lagi. Nanti bisa di filter ko Ah, nanti kayak wartawan. Bilang off the record tetap saja nanti dimasukkan ke dalam berita. Wah, berarti Anda juga seperti itu? Iya, terkadang seperti itu. itu kan salah satu trik agar mendapatkan berita yang menarik.
Kalau dari segi pemberitaan, hal apa yang membedakan surat kabar Lampu Hijau dengan media lainnya? Kita lebih banyak melihat sisi humanis dari suatu kejadian. Kita juga peka terhadap hal-hal kecil yang tak jarang luput dari perhatian wartawan media lain. Nah kalau mendapatkan data yang menarik biasanya kita angkat menjadi judul. Jalur koordinasinya sendiri seperti apa? Oh kita koordinasi dengan menggunakan grup whatsapp. Setiap hari tetap dipantau melalui grup tersebut. Kita juga dapat langsung melakukan konsultasi mengenai pemberitaan kepada Pemimpin Redaksi langsung melalui aplikasi chat ini. Dalam sehari pernahkah tidak mendapatkan berita kriminal sama sekali? Dalam sehari pasti ada saja berita kriminal. Setidaknya laporan kehilangan barang. Sejauh ini sih belum pernah tidak dapat berita. Tapi kalau memang berita kriminal sedang sepi kita bisa beralih ke berita perkotaan. Oh iya biasanya kejadian kriminal di wilayah Jakarta Selatan ini lebih banyak terjadi ba’da magrib. Bagaimana jam kerja Anda? Untuk jam kerja fleksibel, asalkan dapat mengirimkan berita via email sebelum jam 20.00 WIB Oh jadi deadline terakhir adalah jam 20.00 WIB? Iya, karena setelah itu harus masuk pada proses layout sebelum akhirnya dicetak.
Waktu : Selasa, 2 Mei 2016 Pukul : 14.00 s/d 18.30 WIB Lokasi : 1. Polres Metro Jakarta Selatan 2. Balai Wartawan Kantor Walikota Jakarta Selatan
Jam berapa biasanya Anda sudah stand by di Balai wartawan? Biasanya saya sudah stand by jam 14.00 WIB siang, untuk menjahit informasi yang telah didapatkan untuk kemudian langsung dikirim via email kepada tim redaksi.
Waktu Pukul Lokasi
: Jumat,6 Mei 2016 : 10.00 s/d 19.30 WIB : Polres Metro Jakarta Selatan
Hari Sabtu kan libur, sedangkan hari Minggu tetap terbit. Bagaimana Anda tetap dapat menyajikan berita? Nah karena besok libur, jadi biasanya kita hari ini kerja double agar dapat menyimpan stok berita untuk hari Minggu. Lalu bagaimana agar berita yang disajikan tetap update? Caranya adalah dengan melakukan wawancara kepada pihak yang bersangkutan pada hari penulisan berita. Stok yang disimpan hanya berupa informasinya saja.
Waktu Pukul Lokasi
: Minggu,8 Mei 2016 : 11.00 s/d 15.30 WIB : Kantin samping Polres Metro Jakarta Selatan
Anda dan wartawan dari media lain saling berbagi informasi. Bagaimana sistem berbagi informasi yang Anda lakukan? Saya akan menulis dan mengirimkan berita yang sudah saya dapatkan terlebih dahulu sebelum dibagikan ke wartawan di media lain agar tidak kecolongan. Mengapa anda tetap mau berbagi informasi? Oh itu harus, agar nantinya ketika yang lain berhasil mendapat informasi kita juga diberi tahu. Ya saling membantu saja sebagai sesama wartawan. Kalau boleh tahu, berapa gaji yang Anda terima setiap bulannya? Standar, Rp. 2.200.000,- tapi kami mendapatkan bonus seperti tunjangan prestasi, bonus akhir tahun, dan Tunjangan Hari Raya (THR). Tunjangan prestasi itu seperti apa? Tunjangan prestasi diberikan setiap tanggal 15 di setiap bulannya. Jumlah disesuaikan dengan berita yang dimuat. Ya kisarannya antara Rp. 300.000,- sampai Rp. 500.000,Hari Minggu seperti ini tetap kerja penuh? Oh tidak, biasanya kalau hari Minggu seperti ini pukul 15.00 WIB juga sudah pulang, tapi tetap memantau berita dari rumah. Hari Minggu lebih santai, karena Polres juga sepi.
Hari ini tidak ke TKP? Tidak, data-data berita sudah terkumpul. Tinggal dijahit saja. Dari mana Anda mendapatkan data jika tidak ke TKP? Saya mendapatkan informasi dari informan. Nah informan itu macam-macam. Ada yang bekerja sebagai sesama wartawan, ada juga masyarakat biasa yang tidak bekerja sebagai wartawan, atau teman-teman saya. Intinya mereka yang memiliki hubungan baik dengan saya. Wah berarti sangat membantu sekali ya, lalu bagaimana cara mereka memberi tahu Anda, dan bagaimana Anda berterima kasih? Mereka memberi tahu via sms, dan kalau beritanya bagus biasanya saya mengirimkan pulsa untuk mereka sebagai tanda terima kasih. Dengan seperti itu mereka juga menjadi senang untuk terus berbagi informasi kepada saya. Selain dari informan dan dari pihak kepolisian, biasanya dari mana Anda mendapatkan informasi? Saya juga memantau berita di media online. Kalau ada berita yang dianggap menarik ya langsung ditindak lanjuti. Karena media online kan pergerakannya cepat. Apa saja tips untuk membuat judul yang menarik? Untuk membuat judul yang menarik kita harus memperhatikan hal sedetail dan serinci mungkin, cari keunikan yang kerap lalai dari pandangan orang lain, tapi nanti di badan berita tetap disajikan kronologis berita seperti biasa. Adakah target khusus jumlah berita yang harus dikirimkan setiap harinya? Tidak ada batasan jumlah, yang penting kita selalu mengirimkan. Toh pada akhirnya keputusan untuk dimuat atau tidak berada di tangan redaktur karena saya juga bersaing dengan berita-berita dari wartawan yang bertugas di wilayah lain. Oh iya, kalau untuk rapat redaksi diadakan kapan? Rapat redaksi diadakan setiap Senin malam dimulai pukul 22.00 WIB setelah naskah selesai di layout dan siap terbit sampai pukul 03.00 WIB dini hari. Tapi wartawan yang rutin setiap minggu hanya yang bertugas di wilayah Jabodetabek, sedangkan yang bertugas di daerah hanya datang di senin malam minggu pertama setiap bulannya.
TRANSKRIP WAWANCARA BERSAMA PEMIMPIN REDAKSI KORAN LAMPU HIJAU (14 APRIL 2016 PUKUL 18.30 S/D 19.30) LOKASI: RUMAH PENA BUILDING LANTAI 3 Narasumber: Syahroni, Pemimpin Redaksi Koran Lampu Hijau
Seperti apa gambaran umum dari Koran Lampu Hijau itu sendiri? Lampu Hijau adalah Koran metro di Jakarta dengan oplah sebesar 50 ribu eksemplar dengan jumlah pembaca dua kali lipat dari itu. Koran kita berisi beritaberita kriminal, perkotaan dengan bahasa yang lebih mudah dicerna. Bagaimana sistem perekrutan awal untuk menjadi wartawan Lampu Hijau? Perekrutan sama seperti Koran-koran lain. kita perekrutan, seleksi, dan biasanya kita kan karena laporan kita fokus di berita kriminal jadi kita seleksinya itu di lapangan. Sebelumnya ada tes-tes wawancara tentang pengetahuan dia mengenai masalah jurnalistik dulu. Dasar-dasarnya dia tahu apa, sehingga nanti pas di lapangan kita tinggal ngarahin segmen kita untuk memenuhi sesuai dengan segmen kita. Bagaimana sistem kerja wartawan? Apakah ada spesialisasi khusus? Kalo kita reporter, untuk saat ini dituntut untuk bisa meliput segala hal yang ada di wilayahnya. Hanya saja mungkin itu kita pembagiannya per wilayah. Jadi ada Jakarta Barat, dikuasai sama satu reporter, Jakarta Selatan satu reporter, dan semua peristiwa baik itu kriminal, perkotaan, dan politik itu dicari sama dia. Jadi itu diserahkan perwilayah, dengan inisiatif dari wartawan itu sendiri, bukan menunggu perintah? Ada beberapa yang plotingan, jadi kalau misalnya ada undangan, kita ngebell ke perwakilan wilayah untuk menghadiri undangan tersebut. Jadi wartawan berhak memilih berita sendiri gitu ya?
Itu tugas utamanya, plotingan itu justru hanya tambahan. Seperti apa style book lampu hijau? Tetap ngepop dengan bahasa-bahasa yang lebih mudah dicerna oleh golongan menengah ke bawah. Oh jadi target pasarnya memang golongan menengah ke bawah? Iya target kita memang menengah ke bawah, sehingga bahasa yang digunakan sengaja menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Adakah pakem khusus yang harus dilaksanakan dan tidak boleh dilaksanakan oleh para wartawan lampu hijau? Kalau itu mah standar, kita sama seperti media-media lain, wartawan-wartawan media lain. Paling kalo kita lebih ke angle. Penekanannya lebih ke angle. Jadi ketika ada berita-berita kriminal itu kita sebisa mungkin nyari sudut pandang yang gak diliat sama media-media lain. Contohnya begini, ketika ada polisi menangkap pelaku narkoba kita tidak hanya membahas masalah hukum yang dilakukan, tapi kita juga banyak mengambil sisi humanis dari pelaku. Kenapa ia melakukan hal seperti itu, latar belakangnya seperti apa. Kita tekankan hal itu untuk diambil buat contoh ke masyarakat aja, kalo dia tertekan dengan hal seperti ini, ia akan bertindak seperti ini. Jadi buat pelajaran orang banyak aja dengan latar belakang itu. Jadi intinya lebih kepada penekanan angle? Iya Nah tadi kan dikatakan diserahkan kepada masing-masing wilayah, namun apakah tetap ada rapat redaksi? Ada, rapat redaksi itu. Setiap hari kita tetap selalu koordinasi, kalo rapat redaksi gitu kita kumpulnya setiap hari senin. Disitu kita bikin mau konsepin apa, mau bikin apa. Kalo buat harian, perencanaan, kita kan menekankan soal metro, soal
kriminal jadi buat rapat soal rencana yang mau ditentuin hari itu waktunya sangat mepet makanya kalo buat ngumpulin temen-temen itu kita gak keburu. Makanya via whatsapp, bbm, ya seperti itu saja buat matengin berita yang kita rasa bisa dijadikan HL (headline) atau untuk kurang-kurang data ya kita minta langsung dari reporter. Selain kriminal, adakah berita lain yang juga diangkat di Koran Lampu Hijau? Ada, kita punya politik, kita punya perkotaan, tapi topik utama memang berita kriminal karena kita Koran kriminal., Koran metro jadi lebih mengedepankan berita kriminal. Adakah alasan khusus memutuskan fokus ke berita kriminal dibanding dengan topik lain? Mungkin basic jurnalistik itu adanya di berita kriminal, jadi kami lebih mengedepankan berita kriminal itu. Kalo konsep kita mainin berita kriminal sudah dari dulu. Adakah target jumlah berita perhari untuk wartawan? Ada, minimal 3 berita. Paling minim. Tapi 3 berita itu diluar berita kriminal. Kalo misalnya peristiwa itu kan kita gak bisa matok sehari harus ada peristiwa ini, itu kan kita gak bisa. Nah untuk mengantisipasi hal itu maka harus main ke perkotaan, atau main di politik, kaya gitu. Pernahkah dalam sehari tidak memperoleh kasus apapun? Ya, ada. Kalo seperti itu banyak terjadi di sabtu minggu ketika berita kriminal sedang sepi sedangkan perkotaan dan reporter itu kan pada libur. Tapi hal itu dapat diantisipasi dengan kita mengambil isu tertentu yang bisa kita lakukan konfirmasi karena mau tidak mau berita harus tetap ada dan tidak bisa kosong sama sekali. Kalo per personal mungkin ada. Misalnya nih satu wilayah misalnya Jakarta Selatan kosong total tidak ada berita apa-apa, nah hal itu sering terjadi juga.
Sebelum melakukan peliputan apakah wartawan harus melapor terlebih dahulu? Oh kalo itu pokoknya semua berita harus dibungkus dulu, baru setelah itu lapor ke korlip. Jadi nanti yang menentukan berita itu masuk di halaman ini, halaman ini, itu ditentukan korlip. Jadi setiap dapet berita reporter laporan ke kita, nanti dibagi untuk mengisi halaman berapa, seperti itu. Ketika nanti ada yang mau dikembangkan dari pagi itu paling plotingan, jadi ya udah, bagian ini misalnya mau di jadiin HL, di halaman politik misalnya butuh penegasan. Kalau untuk jalur koordinasi sendiri? Wartawan memperoleh berita, laporan ke korlip, korlip nantinya yang akan menentukan mau ditaro di halaman berapa aja itu berita-berita mereka. Jika ada satu berita yang layak masuk halaman satu atau HL, nah itu tugas korlip. Jadi tugas wartawan pure mencari berita sebanyak-banyaknya. Lalu seperti apa peran pemimpin redaksi? Korlip menawarkan berita ada ini, ini, ini, kalo kita melihat ada yang lebih cocok untuk HL nanti kita minta korlip menyuruh reporter untuk mengembangkan. Kalau saya lebih ke penentuan HL, perwajahan, sama rubrik-rublik baru. Begitu aja. Tapi untuk pemenuhan naskahnya itu sendiri 100 persen dari reporter. Tapi apakah tetap menggunakan editor? Kalo disini ada. Redaktur, editor, itu ada. Jadi per halaman kita punya redaktur satu orang. Jadi para redaktur itu bertanggung jawab per halaman. Apakah benar Lampu Hijau ini anaknya jawa pos? Kalau grup kita namanya cahaya rakyat merdeka ya. Kalo jawa pos kayaknya agak kejauhan ya. Kita grup kita satu perusahaan dengan cahaya rakyat merdeka. Jadi wartawan Lampu Hijau itu khusus dari Lampu Hijau saja dan tidak ada campur tangan dari pihak lain?
Iya, khusus. Dan tidak ada campur tangan dari pihak lain. Plotingan-nya juga masing-masing. Mereka lebih bermain di ranah politik, sedangkan kita pemain kriminal, pemain hiburan. Jadi kita sendiri-sendiri dengan segmen masingmasing. Awal wartawan masuk, apakah ada pelatihan dulu seperti penyamaan ideologi dan sebagainya? Kalau kita lebih ke seleksi di tiga bulan pertama. Nanti kita liat perkembangannya, kita kasih arahan, ketika nanti tidak ada perkembangan ya tidak akan kita pake. Jadi justru penggemblengan terjadi di tiga bulan awal perekrutan, bukan setelah diterima? Oh tidak. Karena untuk penerimaan itu sendiri kita udah ngasih syarat-syarat yang sudah kita perlukan. Nanti tinggal kita lihat di lapangannya seperti apa. Jadi kita tidak membuka peluang untuk pelatihan apa-apa, kecuali anak magang, ya itu beda lagi. Jadi tidak ada perkenalan mengenai kode etik jurnalistik? Kalau untuk itu, dari awal kan sudah menjadi syarat utama. Makanya kita tidak terlalu mengenalkan itu karena itu sudah menjadi syarat utama mereka untuk masuk kesini.
Dari CV juga, ada juga dari lowongan kan kita juga udah
nyantumin. Dan sebenarnya anak-anak jurnalistik itu kan sebetulnya sudah tahu kaidah-kaidah jurnalistik itu seperti apa. Ya paling nanti kalau ada acara apa-apa, kita paling ngirim beberapa orang untuk datang, seperti itu. Tapi itu kalo lagi ada undangan-undangan aja. Jadi tidak ada acara khususnya? Iya, tidak ada. Kalo reporter-reporter baru itu yang sekarang kayaknya belum ada. Kalo udah karyawan dulu kita ada, namanya uji kompetensi. Itu Dewan Pers, itu wajib. Nah kita entar kirim orang kesana.
Kalau begitu hanya perwakilan saja yang mendapatkan uji kompetensi dari Dewan Pers? Iya, perwakilan tapi gantian. Misalnya bulan ini berapa orang, dan akhirnya karyawan semuanya sudah lulus uji kompetensi semua. Kadang kalau mereka tidak mau menunggu jatah, kalau seperti itu kan ada ininya ya. Kadang tementemen per wilayah juga bikin sendiri, jadi kelompok kerja wartawan mereka itu bikin uji kompetensi dengan mereka mengundang Dewan Pers. Biasanya yang banyak seperti itu. Nah kalo mereka udah dapet itu, ya mereka tetap laporan ke kita buar arsip juga. Pernahkah mendapat teguran akibat pemberitaan? Selama ini kita bermain masih di titik aman. Selama ini gak ada yang kita langgar. tapi namanya kesalahan penulisan atau miss komunikasi itu kan kadang ada. Ya kita tetap membuka peluang untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang komplain itu, dan itu juga sudah ada prosedurnya. Narasumber punya hak jawab, kita punya hak koreksi. Lalu apabila melakukan kesalahan, apakah selanjutnya akan mengoreksi di edisi berikutnya? Ya tergantung ininya, mau gimana. Kadang ada mereka minta kita cuma melakukan permintaan maaf atau apa. Kita juga melakukan negosiasi lagi. Misalnya ya udah kita bikini berita ulang karena kemaren saya belum konfirmasi ke dia. Nah itu kita bikin konfirmasi dengan menggunakan quote-qoute atau statement-statement yang dari dia gitu. Apa saja kesulitan dan hambatan dalam memperoleh berita-berita kriminal? Kalau sekarang, kemarin ada dari Mabes Polri itu mengeluarkan peraturan baru untuk tidak boleh mewawancarai tersangka. Itu kan menjadi hambatan untuk kita dalam mencari angle. Dan kadang itu menjadi mengekang kebebasan kita untuk menulis. Ada dari Kapolri itu ngeluarin peraturan baru, banyak lah masalah tersangka tidak boleh diwawancarai wartawan, sementara kita dulu sering
mendapatkan pengakuan berbeda dari wartawan. Ada yang begini, ada yang begitu. Nah itu menjadi tugas kita buat mengembalikan fungsi media. Lalu bagaimana cara menanggulangi hal tersebut? Iya, kalau sudah masuk ke ranah hukum memang sudah menjadi ranah mereka. Makanya kita nekanin untuk mengambil kasus yang masih di lapangan sebelum polisi datang. Ya kita main cepet-cepetan aja. Jadi sebelum masuk ke ranah polisi. Kalo maling masih di keroyok gitu kan polisi belum ada kita masih bisa wawancara, Tanya-tanya. Apakah tetap dari dua sisi, baik itu dari tersangka maupun korban? Nanti kita konfirmasi, di lokasi itu kan kadang ada korban, ada pelaku. Nanti kita tinggal minta keterangan kepolisiannya laporannya apa, gitu aja. Malah jadinya lebih lengkap. Kalo cuma dari polisi aja kan jadinya searah gak bisa dari pelaku, dari korban. Tapi buat beritanya sih udah kuat sebenenernya. Adakah kejadian kriminal tertentu yang dilarang disajikan di Koran Lampu Hijau, seperti berita SARA misalnya? Selama ini tidak ada, kalau ada isu SARA yang berkaitan dengan kriminal ya kita gak mainin dari sisi SARA nya itu. Kalaupun ada krirminal yang menyangkut SARA ya kita mainin di peristiwanya aja. Kejadiannya apa, ya itunya aja kita. Dan jika ada hal seperti itu kita lebh mengedepankan ke nilai moralnya aja, begitu. Mengingat berita kriminal yang lebih memiliki tantangan, adakah tips untuk para wartawan yang ingin melakukan liputan berita kriminal? Kalo saya sih ke temen-temen reporter saya selalu bilang ‘mobile’ dan perbanyak teman di lapangan entah itu dari polisi, warga, komunitas, ataupun orang-orang yang biasanya dapet informasi pertama itu yang kita cari. deketin mereka. Ajak berteman. Perbanyak link. Kalo kita punya temen banyak, banyak juga informasi
yang akan masuk ke kita, gitu. Kita bakalan lebih mudah di lapangan. Sama rajin muter. Udah gitu aja. Kalau untuk jam kerja? Kita deadline sebenarnya itu dari jam 4, jam 5 sore, sampe jam 9 malem itu kita udah harus selesai layout, nulis berita setelah itu dikirim ke Bekasi untuk dicetak. Apalagi karena Koran kita dapat jatah pertama untuk dicetak, makanya jam 9 itu udah harus selesai jadi format pdf. Disana tuh terakhir sekitar jam 12an kalo gak salah. Bagaimana Anda menanggapi tanggapan miring terhadap Koran Lampu Hijau ini? Jujur ya, kalo saya jujur mungkin orang banyak yang mandang sebelah mata Koran Lampu Hijau gitu. Tapi kalo kita tuh disini sebenernya tuh ini Koran yang ngasih banyak peringatan untuk banyak orang. Ketika terjadi kasus pencabulan oleh paman, tetangga, mereka sudah tahu modus-modus yang dilakukan. Ditempat ini tuh modusnya kayak gini, jadi gak menutup kemungkinan hal ini akan terjadi di diri lu. Karena mereka gak tahu modus-modus seperti itu. Misalnya anak itu ko jadi begini, ketika mereka baca ko bisa ya paman kaya gitu sama keponakannya. Jadi orang tua kalau baca begitu bisa lebih meningkatkan kewaspadaannya terhadap orang-orang terdekatnya. Dan banyak juga sisi-sisi human interest yang miris, masih ada di Jakarta. Ternyata masih ada orang-orang seperti itu dan mungkin orang mandang gak mungkin lah ada kayak gitu. Dan itu banyak, orang yang bilang Lampu Hijau tuh bener gak sih beritanya kaya gini. Padahal itu nyata, itu ada di hadapan kita. Dan kita tidak bisa menutup mata. Jika kita udah gak mau lihat, ya susah juga. Jadi Lampu Hijau itu justru mengangkat hal-hal yang tidak dilihat oleh media lain, ya supaya lebih terbuka lagi pikirannya ya? Kalo saya sih lebih memanusiakan manusia. Mungkin orang bilang Koran Lampu Hijau lebih ke Koran rendahan lah.
Nah kalo menanggapi orang-orang yang seperti itu gimana? Ya saya suruh mereka untuk pergi lebih jauh, pulang lebih pagi. Karena dunia itu gak cuma didepan pintu rumah lu doang. Makanya minimal ya main jauhan dikit, pulang agak pagian. Ya Jakarta kan kota besar, kalo main di lingkup yang itu-itu aja ya bakalan kebuka matanya, gituloh. Disisi lain banyak pandangan yang negatif untuk lampu hijau, tapi Lampu Hijau tetap mendapatkan oplah terbanyak. Kira-kira kenapa? Karena kita punya segmen sendiri. Masih banyak golongan menengah ke bawah itu yang suka dengan berita kita. Dengan nasehat kita yang seperti ini. Ini kalo saya bilang ini nasihat. Masih ada orang yang terlalu terbiasa dengan pemberitaan yang gitu-gitu aja. Biar mereka juga gak bosen, jenuh nanti kalo liat berita yang itu-itu aja. Gak ada yang bisa menghibur mereka, gak ada yang bisa kasih pelajaran buat mereka. Padahal ada yang bisa diambil pelajaran untuk mereka. Kalo Koran-koran konvensional kan kalo menurut saya ya kurang, ya kurang greget aja. Jadi emang berbeda ya pihak yang memandang negatif dan pihak yang menjadi peminat? Iya, kan gak melulu kita menyajikan suatu berita itu harus yang serius, kalo kita bikin suatu peristiwa yang menyedihkan itu kita kemas dengan menarik, seperti ini kan lebih menarik, ya. Lebih enak dibaca. Untuk penyajian bahasa sendiri kan rata-rata memang seperti itu gaya bahasanya sama, nah itu kan berasal dari wartawan yang beda-beda. Nah itu bagaimana? Itulah tugas editor. Ngedit naskah, kasih judul. Juga kan kita mengangkat redaktur pasti kan kita sudah satu visi. Dia udah masuk kriteria, soul-nya dapet, gitu lah. Karena memang itu tugasnya redaktur kan. Nah baru kita tarik. Karena kita memang menulisnya seperti itu. Tapi kalo kita disuruh nulis yang bener juga ya bukan perkara yang sulit. Justru bikin produk seperti ini yang sulit. Kita harus
mikirin judulnya gimana. Banyak orang yang tetep gak mau, saya bilang sih ya baca, baca, baca. Dia menganggap koran apa ini, koran sampah. Tapi coba lu buat Koran kaya gini. Pasti mikir. Lu coba dikasih materi, bisa gak bikin berita kaya gini dengan data yang ada. Coba bisa gak bikin berita begini? Cuma gitu doang. Males saya debat-debat. Kalo koran-koran lain kan biasa, pembuatan judulnya juga ya paling ambil dari lead. Udah gitu doang. Jadi kurang tantangan aja kalo buat kita. Disini juga kan banyak dari koran putih, yang sama-sama koran kuning. Jadi ini kan emang tuntutan Koran lampu hijau. Kalau kita disuruh bikin berita yang biasa ya amat sangat mudah malahan. Dengan data yang ada, tinggal kasih judul yang gampang. Ini bukan sekadar Koran, ini produk seni kalo saya bilang. Terus saya pernah dengar, ada yang bilang kalau Lampu Hijau bukan produk jurnalistik. Bagaimana anda menanggapi hal itu? Yang dibilang bukan produk jurnalistik ini dari segi apanya nih? Mungkin dari segi bahasanya, kali ya Kalo bahasa, jurnalistik itu memperbolehkan kita menggunakan bahasa-bahasa yang tidak terlalu formal. Koran-koran kuning itu kan emang seperti itu. Coba kaidah jurnalistik apa coba yang kita langgar, kita udah jarang foto mayat yang berdarah-darah, foto-foto porno juga udah gak ada. Seksi sama porno itu beda ya. Harus dibedakan dulu itu. Seksi sama porno itu beda. Mungkin dulu masalahnya itu ya itu mungkin terlalu vulgar. Ya mungkin mereka gak melihat produk kita yang sekarang-sekarang. waktu berjalan, kita terus berbenah kan. Jadi justru tetap memperhatikan etika-etika itu ya? Iya, semakin kesini ya salah satunya ya itu, kita kalo misalnya denger teguranteguran dari orang yang bilang kita ini bukan produk jurnalis, apa sih yang bikin kita bukan produk jurnalis?
Oh jadi memang banyak ya yang beranggapan seperti itu? Adakah yang memberi teguran secara langsung? Ya tidak, maksudnya juga gak secara langsung, tapi udah banyak banget lah yang bilang seperti itu. Nah itu kita juga bingung sih. Kenapa sih, gitu. Yang disebut bukan produk jurnalistik itu yang seperti apa. Foto-foto terlalu vulgar, mana ada sekarang foto yang terlalu vulgar. Sejak peraturan baru itu juga kan, undangundang pers itu kan kita udah ngikutin juga. Gak ada yang kita langgar. Makanya itu, seksi sama porno itu orang susah membedakan mana yang seksi mana yang porno. Orang yang menggunakan baju renang di kolam renang apakah dia porno? Dia kan pakai baju itu tidak ditengah jalan. Dia pake itu ya di kolam renang. Kalo di tengah jalan, itukan mengumbar syahwat, ya. Ya kalo di kolam renang kan emang tempatnya. Jadi perbedaan seksi dan porno tergantung situasi? Ya engga, itu satu contoh yang gampang lah. Kita kan gak menyajikan orang pake bikini two piece yang dipake di pinggir jalan. Kalaupun ada ya paling di kolam renang, ditempatnya. Umpamanya ya gitu doang, gampang kan. Kenapa dibilang pornografi? Jadi orang yang ada di kolam renang porno semua dong? Ya begitulah tantangannya. Sebenernya sih udah capek menjawab masalah kaya gitu. Karena mereka gak merasakan. Kita yang tahu ya paling cuma bisa ketawa doang. Tapi apa akhirnya yang bikin Lampu Hijau tetap bisa bertahan? Ya tantangannya itu. Oh jadi justru itu menjadi tantangan, dan bukan malah membuat down ya? Kalo saya bilang salah satunya Koran yang bisa mengeluarkan ide-ide gila itu ya lampu hijau. Tapi ide gila bukan dalam arti kita tidak punya aturan. Kita tetap punya aturan. Tapi kita tetap media yang menampung ide seperti itu. Lu punya apa, ada ide apa, ya kita tampung. Temen-temen juga gitu. Mereka mau garap
sesuatu yang sama dengan media mainstream ya biasa. Itu mah gak layak. Cuma karena sudah kita kemas akhirnya layak aja karena kita mengemasnya begitu. Dari kemasannya itu mungkin malah. Kalau ada kemasan bagus ya kita manfaatin. Ya gitu aja. Kalo misalnya mau ambil soal tukang parkir, tukang parkir itu kan biasa banget. Tapi kita itu ikutin sehari-harinya dia ngapain. Kita ikutin kegiatannya sehar pasti ada sesuatu yang menarik. Tidak mungkin akan datar-datar saja. Jadi banyak juga dari kita yang bertahan di Lampu Hijau berasal dari media besar juga banyak. Malah ada yang bilang Lampu Hijau tuh kaya kampus. Kalau seandainya anda diberi kesempatan untuk mengungkapkan statement bahwa Lampu Hijau layak untuk tetap dipertahankan, apa kira-kira jawaban anda? Masyarakat masih butuh Koran ini. Itu yang bikin kita tetap ada. Berita hiburan itu bukan hanya untuk orang-orang menengah ke atas aja, orang-orang menengah ke bawah justru mereka yang lebih butuh. Karena itu kita kemas berita yang bisa menghibur untuk mereka. Jadi dari setiap berita yang disajikan tetap mengandung unsur edukasi juga? Iya, kita selalu selipin hal-hal seperti itu. Ketika kita menyajikan berita-berita pencabulan, itu sebenarnya kita sedang mengedukasi orang-orang yang gak tahu. Apalagi hal-hal seperti itu biasanya terjadi pada orang yang tingkat pendidikannya rendah. Dan mereka itu kan kalo dikasih tahu kan agak-agak susah. Tapi kalo misalnya mereka liat dan disajikan seperti ini mereka bisa meningkatkan kewaspadaan. Jadi tahu modus-modusnya itu yang saya bilang. Jadi berarti tamparan secara tersirat begitu ya, sehingga tidak perlu menasehati secara langsung tapi menggunakan cara lain? Iya, kewajiban kita kan hanya menyajikan. Bagaimana caranya agar penyajian kita itu biasa digunakan oleh orang-orang seperti itu. Kita gak berhak men-judge
mereka seperti itu. Kita kan tetap harus netral. Kalo lu baca serius, pasti bakalan ada sesuatu yang bisa dipake disini. Tarolah dengan kita menyajikan modus penipuan seperti mengenai transfer. orang-orang susah kan gak tahu hal-hal seperti itu. Kadang bukti transferan itu kan belum tentu jadi duit. Kita kasih tahu disini. Kasarnya lu tuh kalo dikasih slip doang, cek dulu. Jangan langsung pergi, harus cek dulu. Karena bisa aja slip itu palsu. Tapi liat aja kejadian-kejadian sekarang kan sering seperti itu. Mungkin untuk media-media lain hal seperti itu adalah berita kecil. Jarang ada yang mau ambil Jangankan berkas-berkas. Saya juga malah salut dengan reporter disini. Mereka berkas-berkasnya dapet, bukti-buktinya tuh ada. Nah itu karena sering nongkrong. Liat orang ada tampang sedih aja kenapa pak? Saya bikini berita deh supaya gak ada lagi orang seperti bapak yang jadi korban. Mereka rata-rata welcome. Jadi orang-orang tahu, oh ternyata sekarang modus penipuan itu begini. Tapi itu gak malah bikin orang lain terinspirasi untuk menipu juga kan? Nah itu, kalo koin itu kan ada dua muka ya. Kalo kita sih berharap nyampe ke yang positifnya. Makanya kita kasih tahu nih ada modus-modus seperti ini. Kalo pelaku itu mereka rata-rata enggak belajar dari ini, mereka selalu menciptakan modus-modus baru. Karena kalo modus itu udah rame, udah bakalan banyak orang yang udah gak percaya. Jadi ruang mereka ya jadi lebih sempit. Jadi mereka paling bikin modus baru. Kalo modus barunya ketahuan lagi, ya paling kita bikin berita lagi. Makanya untuk membaca Koran ini, positif thinking dulu lah harusnya. Kita selalu berusaha seperti itu. Kalo dia baca berita harus positif thinking. Kalo saya sih selalu seperti itu. Karena kita memproduksi dengan energi positif. Sehingga kita berharap apa yang disampaikan, dibaca dengan positif juga. Entah orangorang luar bilang apa yang penting kita menggarapnya dengan setulus hati, positif, jadi ya udah. Terserah deh sisanya penilaian orang.
Jadi poinnya adalah menyajikan dengan setulus hati dan positif? Iya, ya seperti itu lah. hahaha Berapa jumlah wartawan lampu hijau? Jakarta 5 wilayah, tangerang, bekasi, bogor, depok. Udah 8. Cirebon, indramayu satu orang. Tasik satu orang, sama purwakarta satu orang. Bagaimana teknis kerja? By phone, menggunakan laptop, modem. Jadi tinggal dikirim aja. Kebanyakan ya via telepon aja. Tapi tetap untuk hari senin wajib hadir semua untuk rapat redaksi. Jadi perwakilan setiap wilayah juga tetap harus datang untuk kita rapat. Rapat menyamakan persepsi, apa yang akan diberitakan, apa yang bisa dikerjakan bareng-bareng. Adakah variasi lain dalam pemberitaan? Untuk edisi minggu kita lebih bikin ke feature. Jadi mengedukasinya itu dengan feature. Kita punya tema apa, jadi fokusnya ke situ. Tema per halaman. Ada juga tentang profil orang, politikus, atau juga kadang profil kepolisian. Kadang yang bukan pejabat juga kita bikini profil. Kaya tukang sampah. Ya itu saya bilang. Kalo kita ngikutin pasti ada hal unik dari diri dia yang bisa kita angkat.