Estimasi Stok Sumber Daya ..... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono)
ESTIMASI STOK SUMBER DAYA IKAN DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN KABUPATEN BENGKALIS Asep Priatna1) dan Wijopriono2) 1)
2)
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 8 Oktober 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 22 Nopember 2010; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011
ABSTRAK Perairan Bengkalis termasuk wilayah pengelolaan perikanan Selat Malaka, merupakan kawasan dengan status pemanfaatan tinggi sehingga diperlukan tahapan pemantauan yang intensif dan penelitian potensi sumber daya ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai estimasi biomassa dan kepadatan stok sumber daya ikan dengan metode akustik. Data kuantitatif yang diperoleh akan menjadi sumber informasi terkini dari kondisi sumber daya ikan di perairan Kabupaten Bengkalis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 di perairan Kabupaten Bengkalis yang merupakan bagian dari Selat Malaka. Perangkat akustik yang digunakan adalah split beam echosounder Simrad EY60 dengan frekuensi 120 kHz. Data hasil tangkapan dengan trawl dari jenis ikan pelagis dan demersal yang dominan di perairan ini digunakan untuk memverifikasi data akustik. Estimasi biomassa pada luas daerah 5.433 km2 adalah 9.374 ton dengan kepadatan stok 0,44 ton/ km2 untuk ikan pelagis dan 4.441,5 ton dengan kepadatan stok 0,17 ton/km2 untuk ikan demersal. KATA KUNCI:
hidroakustik, biomassa, kepadatan stok, ikan pelagis, ikan demersal, Bengkalis
ABSTRACT:
Fish stock estimation by hidroacoustic survey in Bengkalis waters. By: Asep Priatna and Wijopriono
Bengkalis waters was included in the regional fisheries management of Malacca Strait, having high utilization in fisheries. Therefore intensive monitoring as well as research on fish stock is needed. The aim of the research was to estimate fish biomass and stock density based on acoustic method. The quantitative data are source of current information for fish resources condition in Bengkalis waters. The survey was conducted in October 2009 in Bengkalis waters. Simrad EY60 split beam echosounder with frequency 120 kHz was used for acquisition of acoustic data. Both pelagic and demersal fish as dominant species caught were used for verification acoustic data. The biomass estimation on 5,433 km2 covered area was about 9,374 ton with stock density about 0.44 ton/km2 for pelagic fish, while 4,441.5 ton with stock density about 0.17 ton/km2 for demersal fish. KEYWORDS:
hidroacoustic, biomass, stock density, pelagic fish, demersal fish, Bengkalis
PENDAHULUAN Semakin pesatnya perkembangan pembangunan perikanan, maka upaya penyajian informasi sumber daya perikanan terbaru mutlak diperlukan bagi para perencana pembangunan perikanan di suatu daerah. Pendugaan kuantitatif atas ukuran populasi ikan sangat diperlukan dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya ikan. Pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara optimal apabila sediaan (stock) dan sebaran sumber daya ikan tersebut diketahui secara pasti sehingga langkahlangkah kebijakan eksploitasi dapat dilakukan dengan tepat tanpa membahayakan kelestariannya. Informasi sumber daya secara kuantitatif yang dapat digunakan sebagai indikator stok sangat ditentukan oleh tersedianya informasi dasar seperti dari hasil survei kapal-kapal penelitian maupun informasi yang
terkumpul melalui sistem pemantauan berkala (Balai Riset Perikanan Laut, 2007). Perairan Bengkalis termasuk wilayah pengelolaan perikanan Selat Malaka, merupakan kawasan yang berbeda pada status pemanfaatan tinggi dan telah memasuki tahapan diperlukannya pemantauan yang sangat intensif serta dilakukannya penelitian yang lebih spesifik terutama terhadap potensi sumber daya ikan (Anonimus, 2009). Di dalam pembangunan perikanan, angka potensi sangat diperlukan yang akan menunjukkan bahwa sumber daya ikan tersebut mempunyai batas. Ini berarti bahwa pembangunan perikanan tidak dapat dipacu terus-menerus tanpa melihat batas kemampuan sumber daya tersebut ataupun daya dukungnya. Di lain pihak, berapa angka potensi sumber daya ikan yang tersedia belum banyak diketahui.
___________________ Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021) 6602044
1
11J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10
Menurut Widodo et al. (1998) potensi ikan demersal 119.600 ton/tahun sedangkan hasil penelitian dengan Baruna Jaya VII tahun 2001 sebesar 147.300 ton/tahun. Penelitian oleh Sumiono (2008) tentang ikan demersal di Selat Malaka sub daerah Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat, diperoleh rata-rata laju tangkap 34,1 kg/jam dengan kepadatan stok 0,9 ton/km2 dan biomassa 7.800 ton pada daerah yang disurvei seluas 8.676 km2.
dengan metode akustik. Data kuantitatif yang diperoleh diharapkan dapat menjadi sumber informasi terkini dari kondisi sumber daya ikan di perairan Kabupaten Bengkalis. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 di perairan Kabupaten Bengkalis yang merupakan bagian dari Selat Malaka mulai dari utara Pulau Rupat sampai timur Pulau Bengkalis. Wahana penelitian ini adalah kapal nelayan setempat. Perangkat hidroakustik yang digunakan adalah SIMRAD EY60 portable splitbeam echosounder dengan frekuensi transducer 120 kHz.
Beberapa metode langsung yang dapat dipergunakan untuk pengkajian stok ikan antara lain model dinamika biomassa, dinamika kolam, Thomson & Bell, VPA, swept area, transek visual, dan hidroakustik telah banyak dilakukan (Widodo, 2002). Identifikasi jenis ikan serta verifikasi terhadap echo dari sasaran yang terdeteksi sangat diperlukan dalam estimasi stok ikan dengan metode akustik. Verifikasi echo terhadap ikan target di perairan tropis menggunakan ukuran ikan target dominan yang terdapat di perairan tersebut, mengingat sumber daya ikan di perairan tropis yang bersifat multi species dan berinteraksi satu sama lain sehingga sangat sulit untuk memisahkan masing-masing jenis ikan tersebut (Afas, 2007).
Akuisisi data akustik dilakukan terus-menerus pada siang dan malam hari selama periode pelayaran dengan kecepatan kapal berkisar antara 7-8 knot. Jalur akuisisi data mencakup luasan daerah yang memungkinkan analisis secara spasial yang dibuat dengan bentuk zig-zag menurut MacLennan (1992) dengan panjang tiap transek sekitar 12 nmi dari batas gugusan pulau ke arah luar. Selama penelitian diperoleh 14 stasiun trawl. Hasil tangkapan ikan secara in situ dengan menggunakan jaring trawl ditujukan untuk memverifikasi data akustik untuk estimasi biomassa ikan. Rata-rata waktu penarikan jaring (towing) tiap stasiun adalah 1 jam dan rata-rata kecepatan 3 knot.
Penerapan metode akustik dalam pendugaan stok ikan mempunyai beberapa keunggulan yaitu menghasilkan data yang cepat, in situ, relatif akurat, serta tidak membahayakan sumber daya ikan yang diamati. Selain untuk pendugaan stok ikan, hasil pengamatan hidroakustik dapat memberikan suatu gambaran mengenai distribusi dari pengelompokkan sumber daya ikan yang berada di suatu perairan.
Gambaran lokasi penelitian, jalur akuisisi data akustik dan posisi stasiun trawl ditunjukkan dalam Gambar 1.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai dugaan stok serta sebaran kelimpahan ikan 2.5°
3
21
4 Titinaka
Lintang Utara
2°
5
6 9
7
10
Batupanjang
8 11
Guntung Sepahat
1.5°
Bengkalis
0 nmi 15
12 13 Kudap 14
Lalang
101.5°
102°
trawl
Kurau
102.5°
45
trek akustik Sinunjung Merbau
1° 101°
30
103°
Bujur Timur
Gambar 1. Figure 1.
2
Lokasi penelitian, trek akuisisi data akustik, dan posisi stasiun trawl. Research location, acoustics track, and trawling positions.
Estimasi Stok Sumber Daya ..... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono)
Pengolahan dan Analisis Data Data akustik diolah dengan menggunakan software SONAR ver.4. Analisis untuk estimasi ikan pelagis dilakukan mulai dari kedalaman 5-55 m dengan strata tiap 10 m, sementara strata untuk ikan demersal 5 m dari dasar perairan.
Menurut Mac Lennan & Simmonds (1992) dalam Natsir et al. (2005) persamaan panjang dan bobot untuk mengkonversi panjang dugaan menjadi bobot dugaan adalah: i
Wt=a{ ∑{ni(Li+ÄL/2)b+1-(Li-ÄL/2)b+1}/{(b+1)ÄL}} ... (6 1
Dengan mengingat sifat-sifat ikan demersal yaitu kelompok ikan yang menghuni dasar atau dekat dasar perairan (Aoyama, 1973), maka diasumsikan kolom air dengan ketinggian 5 m dari dasar perairan merupakan habitat ikan demersal dan selebihnya merupakan habitat ikan pelagis. Elementary sampling distance unit adalah 1 nmi. Hasil ekstraksi berupa nilai area backscattering coeficient (sA, m2/nmi2) dan distribusi nilai target strength ikan tunggal dalam satuan decibel (dB) sebagai indeks refleksi ukuran ikan. Hubungan target strength dan óbs (backscattering cross-section, m 2 ) dihitung berdasarkan atas MacLennan & Simmonds (1992) yaitu: TS=10 log óbs .............................................. (1 Persamaan untuk densitas ikan (ñA, ind./nmi2) adalah: ñA=sA/óbs .................................................... (2 Panjang ikan (L) berhubungan dengan óbs yaitu: óbs=aLb ...................................................... (3 Hubungan target strength dan L adalah: TS=20 log L+A ............................................. (4 di mana: A = nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target strength) Konversi nilai target strength menjadi ukuran panjang (L) untuk ikan pelagis digunakan persamaan TS = 20 log L-73,97 (Hannachi et al., 2004) sedangkan untuk ikan demersal digunakan persamaan TS = 21,8 log L-74,9 (Anonimus, 2002). Menurut Hile (1936) dalam Effendie (2002), hubungan panjang (L) dan bobot (W) dari suatu spesies ikan yaitu:
di mana: Wt = ÄL = Li = ni = a, b =
bobot total (g) selang kelas panjang (cm) nilai tengah dari kelas panjang ke-i (cm) jumlah individu pada kelas ke-i konstanta untuk spesies tertentu
Selain nilai estimasi stok ikan berdasarkan atas komposisi ukurannya, hasil analisis juga disajikan dalam bentuk peta sebaran densitas tiap strata kedalaman. HASIL DAN BAHASAN Pendugaan Ukuran dan Bobot Ikan Berdasarkan atas komposisi hasil tangkapan (Lampiran 1 dan 2), ikan puput (Pellona ditchela) sebagai ikan pelagis dan ikan gerot-gerot (Pomadasys sp.) sebagai ikan demersal, merupakan jenis yang tertangkap di semua stasiun trawl dengan persentase komposisi jenis yang paling banyak pada masingmasing stasiun trawl. Kedua jenis ikan tersebut dipilih untuk mewakili populasi ikan pelagis dan demersal pada daerah penelitian karena merupakan jenis yang mendominansi dengan nilai penyebaran yang luas. Hubungan panjang bobot ikan puput diperoleh persamaan W = 0,005*L3,392 dan untuk ikan gerot-gerot adalah W = 0,03*L2,695 (Gambar 2). Konstanta a dan b digunakan dalam konversi dari ukuran panjang dugaan berdasarkan atas nilai target strength menjadi bobot dugaan. Dugaan Stok Ikan Total luas perairan yang diamati 1.584 nmi2 atau 5.433 km2. Terdapat perbedaan luas daerah perairan pada masing-masing strata kedalaman dikarenakan adanya perubahan kontur dasar perairan pada daerah yang diamati, sehingga terdapat perbedaan cakupan luas daerah tiap strata kedalaman. Cakupan luas daerah serta rata-rata kepadatan ikan (ekor/1.000 m3) tiap strata kedalaman disajikan pada Tabel 1.
W=aLb .......................................................... (5
3
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10
Gambar 2. Figure 2. Tabel 1. Table 1.
Grafik hubungan panjang bobot ikan puput dan ikan gerot-gerot. Length weight relationship Pellona ditchela and Pomadasys maculates.
Cakupan luas daerah serta rata-rata kepadatan ikan (ekor/1.000 m3) tiap strata kedalaman Area covered and mean of fish density (ind./1,000 m3) each depth strata
Dari pengambilan contoh akustik diperoleh nilai estimasi total biomassa ikan pelagis sampai kedalaman 55 m adalah 9.374 ton dengan kepadatan stok 0,44 ton/km2. Berdasarkan atas data produksi perikanan pelagis Kabupaten Bengkalis tahun 2008 diperoleh nilai estimasi 7.767 ton (Balai Riset Perikanan Laut, 2008), sehingga berdasarkan atas hasil akustik dari penelitian ini tingkat pemanfaatan ikan pelagis sudah 83% dari potensinya. Komposisi jumlah individu, biomassa, serta kepadatan stok untuk masing-masing selang ukuran ikan tiap strata kedalaman disajikan dalam Tabel 2. Sementara nilai estimasi total biomassa ikan demersal 4.441,5 ton dengan kepadatan stok 0,17 ton/km2. Berdasarkan atas data produksi perikanan demersal Kabupaten Bengkalis tahun 2008 diperoleh
4
Strata/ Luas daerah/ Densitas rata-r Persentase luas/ Level Total area Average dens of area 2 nilai (m) estimasiPercentage 3.642 ton (Balai Riset Perikanan (km ) Laut, (ekor/1.000 m 2008), sehingga tingkat demersal 5-15 86,6pemanfaatan ikan 4.710 2 15-25 52,7 2.866 7 sudah 82% dari potensinya. 25-35 50,4 2.741 10 35-45 37,6 2.044 11 Hasil penelitian menunjukkan nilai estimasi biomassa 45-55 25,6 1.396 14 maupun kepadatan stok ikan demersal lebih rendah 0-5 100,0 5.433 8 dibandingkan hasil penelitian sebelumnya dengan
metode swept area oleh Sumiono (2008), terjadi penurunan nilai biomassa ikan demersal 40% dan penurunan nilai kepadatan stok 80%. Meningkatnya tekanan penangkapan akibat penambahan jumlah armada dan alat tangkap (Balai Riset Perikanan Laut, 2008), merupakan salah satu faktor yang menyebabkan semakin turunnya sumber daya ikan di perairan Bengkalis. Komposisi jumlah individu, biomassa, serta kepadatan stok untuk masing-masing selang ukuran ikan disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 2. Table 2.
Komposisi jumlah individu, biomassa, serta kepadatan stok untuk masing-masing selang ukuran ikan pelagis tiap strata kedalaman Number of pelagic fish composition, biomass, and stock density by size distributions each depth strata
Tabel 3. Table 3.
(-60)-(-57) 5,0-7,1 1,2-3,8
(-57)-(-54) 7,1-10,0 3,8-12,2
(-54)-(-51) 10,0-14,1 12,2-39,3
(-51)-(-48) 14,1-19,9 39,3-126,9
(-48)-(-45) 19,9-28,1 126,9-409,5
55,4 58,7 55,7 49,8 32,8
24,0 23,5 25,0 28,6 35,2
11,5 9,9 11,3 12,9 19,1
6,1 4,9 5,4 5,8 8,8
3,0 3,0 2,6 2,9 4,0
67,8 136,1 174,5 132,4 73,2
94,9 175,9 252,5 244,9 253,2
146,8 240,0 368,6 357,1 444,3
250,3 380,0 567,0 517,3 656,2
395,5 741,9 886,6 840,3 976,7
0,001 0,005 0,006 0,006 0,005
0,002 0,006 0,009 0,012 0,018
0,003 0,008 0,013 0,017 0,032
0,005 0,013 0,021 0,025 0,047
0,008 0,026 0,032 0,041 0,070
Komposisi jumlah individu, biomassa, serta kepadatan stok untuk masing-masing selang ukuran ikan demersal Number of demersal fish composition, biomass, and stock density by size distributions each depth strata
Nilai target strength (dB) Panjang (cm) Bobot (g) Komposisi individu (%) Biomassa (ton) 2 Kepadatan stok (ton/km )
(-60)-(-57) 5,6-7,9 3,1-7,7 35,7 230,9 0,01
(-57)-(-54) 7,9-11,1 7,7-19,7 27,6 453,1 0,02
(-54)-(-51) 11,1-15,7 19,7-49,8 18,4 765,8 0,03
(-51)-(-48) 15,7-22,1 49,8-126,4 11,8 1.248,4 0,05
(-48)-(-45) 22,1-31,3 126,4-320,7 6,5 1.743,3 0,06
5
Estimasi Stok Sumber Daya ..... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono)
Nilai target strength (dB) Panjang (cm) Bobot (g) Komposisi individu (%) 5-15 m 15-25 m 25-35 m 35-45 m 45-55 m Biomassa (ton) 5-15 m 15-25 m 25-35 m 35-45 m 45-55 m 2 Kepadatan stok (ton/km ) 5-15 m 15-25 m 25-35 m 35-45 m 45- 55 m
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10
Sebaran Spasial Sumber Daya Ikan Nilai kepadatan stok ikan pelagis dan demersal yang diperoleh merupakan jumlah biomassa dari sumber daya ikan terhadap luasan daerah yang diamati. Perolehan nilai kepadatan stok tersebut belum mencerminkan kondisi sumber daya ikan yang sebenarnya, karena menurut sifat hidupnya terdapat ikan yang berkelompok (schoals) dan menyendiri (soliter). Analisis terhadap sebaran spasial berguna untuk mengetahui pola agregasi dari sumber daya ikan di suatu perairan yang diamati sehingga dapat diketahui kondisi dari keberadaan sumber daya ikan yang mendekati sebenarnya di alam. Gambar 3 merupakan gambaran sebaran spasial sumber daya ikan pelagis dan demersal. Hasil deteksi akustik pada saat survei memperlihatkan bahwa keberadaan ikan pelagis maupun demersal lebih
Hasil overlay antara daerah penangkapan, trek akustik dan sebaran spasial sumber daya ikan, menunjukkan bahwa sasaran sumber daya ikan sebagian besar terdeteksi pada jalur pelayaran di daerah pinggiran atau pada kedalaman yang lebih dangkal. Penyebaran sumber daya ikan yang tidak merata diduga akibat aktivitas penangkapan nelayan setempat, di mana kegiatan penangkapan di perairan Pulau Bengkalis lebih banyak dibandingkan di perairan Pulau Rupat. Selain itu daerah penangkapan cenderung berada di perairan bagian tengah atau yang lebih dalam (Gambar 4).
5-15 m
2.5°
Titinaka
Lintang Utara
2°
15-25 m
Titinaka
2° Lintang Utara
2.5°
banyak terdapat di perairan sekitar Pulau Rupat dibanding ikan di perairan sekitar Pulau Bengkalis. Keberadaan sumber daya ikan di perairan sekitar Pulau Rupat terdeteksi hampir di sepanjang jalur pelayaran. Sementara ikan hanya terdeteksi di sebagian kecil wilayah perairan di sebelah utara Pulau Bengkalis.
Batupanjang Guntung
Batupanjang Guntung
Sepahat
Sepahat
1.5°
1.5°
Bengkalis
Bengkalis
ekor/1000 m3
Sinunjung Merbau Lalang
101.5°
Lalang
102°
25-35 m
102.5°
1° 101°
103°
Bujur Timur 2.5°
Titinaka
Lintang Utara
2°
Sinunjung Merbau
20 to 25
Kurau
101.5°
Batupanjang Guntung
Kurau
102°
35-45 m
102.5°
103°
Bujur Timur
Titinaka
2° Lintang Utara
2.5°
Kudap
10 to 15
5 to 10 10 to 15 1° 101°
5 to 10
Kudap
ekor/1000 m3
Batupanjang Guntung
ekor/1000 m 3
Sepahat
Sepahat
1.5°
1.5°
Bengkalis
ekor/1000 m 3
5 to 20
Bengkalis
20 to 40
5 to 20
Kudap
Kudap
40 to 60
20 to 40 Sinunjung Merbau
40 to 60 Lalang
1° 101°
101.5°
102° Bujur Timur
6
Sinunjung Merbau
60 to 80 Lalang
Kurau
102.5°
103°
1° 101°
101.5°
102° Bujur Timur
Kurau
102.5°
103°
Estimasi Stok Sumber Daya ..... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono)
45-55 m
0 - -5 m (demersal)
Gambar 3. Figure 3.
Sebaran spasial ikan pelagis dan demesal. Spatial distributions of pelagic and demersal fish.
2.5°LU
P.BERUK P.BABI
Tanjungmedang Titakar
2°LU
P.KETAM
Teluklencah Rempong
P.PAYUNG P.MAMPU P.BARU
BATUPANJANG
Sela tR
upat
DUMAI Perapattunggal Selatbaru
1.5°LU Kampungjawa
Se lat B
BENGKALIS en gk alis
Sungaiselar
LEGENDA
Telukpambong
2.5° Limau
Tanjungpadang
SUNGAIPAKNING
SKALA 1 : 2.000.000
Dedap
Pangkalanjambu
Teluknipah Sekodi
DURI
Gill net monofilament
Tanjungdatuk
Tramel net Jaring Batu Bubu kawat 1°LU 101°BT
Gambar 4. Figure 4.
101.5°BT
102°BT
Biran
Kuat
Kualamerbau
Telesung Tanjungrangsang
SELATPANJANG
102.5°BT
103°BT
Daerah penangkapan ikan di perairan Kabupaten Bengkalis. Fishing ground in Bengkalis waters.
Titinaka
2°
Tanjungkedabu
TELUKBELITUNG Kurau
ekor/1000 m 3
Lintang Utara
Selat Panjang
Gillnet nylon Rawai dasar
5 to 20 Batupanjang
20 to 40
40 to 60
60 to 80
KESIMPULAN 1. Estimasi biomassa sumber daya ikan pelagis di perairan Kabupaten Bengkalis pada luas daerah 5.433 km2 adalah 9.374 ton dengan kepadatan stok 0,44 ton/km2. Sementara biomassa ikan demersal 4.441,5 ton dengan kepadatan stok 0,17 ton/km2. 2. Keberadaan ikan pelagis maupun demersal pada saat survei dilaksanakan lebih banyak terdapat di perairan sekitar Pulau Rupat dibanding di perairan sekitar Pulau Bengkalis. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset pengkajian stok, lingkungan sumber daya ikan demersal dan pelagis ekonomis penting dan
Guntung
Sepahat
1.5°
sistem operasi penangkapan di Selat Malaka dan 80 to 100 pantai timur Sumatera, T. A. 2009, di Balai 1°Riset 101° 101.5° Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Aoyama, T. 1973. The Demersal Fish Stocks and Fisheries of South China Sea. IPFC/SCS/DEV/ 73/3. Rome. Afas. 2007. Report of the 1 st Asian Fisheries Acoustics Society. 6-8 November 2007. Dalian. China. Anonimus. 2009. Kajian Potensi Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Kabupaten Bengkalis. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis.
7
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10
Balai Riset Perikanan Laut. 2007. Status dan Tren Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Laut Arafura. Executive Summary. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2 pp. Balai Riset Perikanan Laut. 2008. Riset pengkajian stok, lingkungan sumber daya ikan demersal dan pelagis ekonomis penting, dan sistem operasi penangkapan di Selat Malaka dan pantai timur Sumatera. Laporan Akhir Tahun. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 63 pp. Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 pp. Hannachi, M. S., L. B. Abdallah, & O. Marrakchi. 2004. Acoustic Identification of Small Pelagic Fish Species: Target Strength Analysis and School Descriptor Classification. MedSudMed Technical Documents No.5. Mac Lennan, D. N. 1992. Acoustical measurement of fish abundance. Journal Acoust. Soc. Am. 62: 1-15.
8
Mac Lennan, D. N. & E. J. Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman and Hall. London. 325 pp. Natsir, M., B. Sadhotomo, & Wudianto. 2005. Pendugaan biomassa ikan pelagis di perairan Teluk Tomini dengan metode akustik bim terbagi. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11 (6): 101-107. Sumiono, B. 2008. Sumber daya ikan demersal dan struktur komunitas makrozoobentos di perairan Selat Malaka. Thesis. Program Pasca Sarjana. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. 96 pp. Widodo, J., K. A. Aziz, B. E. Prijono, G. H. Tampubolon, N. Naamin, & A. Djamali (eds). 1998. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 251 pp. Widodo, J. 2002. Pengantar Pengkajian Stok Ikan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 11 pp.
Lampiran 1. Appendix 1.
No.
Famili/Family Apogonidae Ariidae Bothidae Centriscidae Charcarinidae Cynoglossidae Dasyatididae
8.
Ephippidae
9. 10. 11. 12. 13. 14.
Gerridae Haemulidae Harpadontidae Kurtidae Lactaridae Leiognathidae
15. 16. 17. 18. 19. 20.
Lutjanidae Monacanthidae Mullidae Muraenesocidae Platycephalidae Polynemidae
21.
Scianidae
22. 23. 24. 25. 26.
Siganidae Sillaginidae Soleidae Sygnathidae Synodontidae
27. 28.
Teraponidae Tetraodontidae
29. 30.
Triacantidae Trchiuridae
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Spesies/Species Apogon sp. Arius sp. P. spinosus Centriscus sp. Charcharinus sp. Cynoglossus sp. Dasyiatis sp. Himantura sp. Drepane longimana Ephippus orbis Gerres kapar Pomadasys sp. Harpadon sp. Kurtus indicus Lactarius sp. Gazza minuta Leiognathus bindus Leiognathus decorus Secutor ruconius Lutjanus ruselli Monacanthus sp. Upeneus sulphureus Muraenesox Platycephalus sp. P. microstoma P. nigripinnis Johnius sp. Otolithes ruber Pennahia sp. Siganus sp. Sillago robusta Aesopia sp. Hyppocampus sp. S. micropectoralis Synodus sp. Terapon therap Arothron sp. Lagocephalus sp. Lagocephalus inermis Triacanthus sp. Trichiurus sp.
2
3
w
n
0,08
1
0,12
4
w 0,01 0,30 0,20 0,01
n 4 3 4 1
0,04 1,80
0,20 0,19 0,27
5
w
n
0,80 0,32
3 8
3 1
0,25 0,04 1,70 0,30
1 2 3 1
11 13 18
0,06 0,38 0,26
5 27 19
w 0,30
n 55
0,02
5
0,10 6,70
6 11
0,35
3
0,01
1,60 0,25
12
0,33
118
2,55
133
0,07 12,35
980
3,75
1.112 1 152
1,20
64
1,45
99
0,08 0,03
4 1
0,21 0,01
8 1
0,20 0,14
4 5
0,70
48
0,34
13
7
0,50 0,01
2 1
0,13
1
0,80 0,15
47 1
0,96
127
5,30
330
0,01
1
0,01
1
0,04 0,30
13 3
1,20
51
0,03 0,55 0,06 3,93 1,50
3 15 5 179 12
3
1,75
30
2,32
47
0,25
3
0,16
4
0,20
12
0,56
29
2,05
72
0,55 1,50
0,11
2
1,23 2,61
126 611
0,05
1
0,47
60
0,05 0,10
9 88
11
13
n
w
n
w
0,20
1
0,05
3
1,65
6
0,24 0,05 0,20 0,40 0,03
3,40 0,02
600 2
0,01 6,50 0,40
1 383 52
0,47 0,70 0,50
0,09
29 0,02
2,32
114
0,02
2
1,70
48
0,55
15
0,07
2
5,60
585
3,70
344
2,30 0,10
310 1
0,01
1
0,95
5
0,01
1
0,02 1,84 0,02 0,02
1 35 1 1
0,08 0,02 1,45 1,13
1
7
1
9 3
1
0,08
0,05
3,80
0,10 0,75
10 w
69 0,05
0,05
1
1 1.017
0,01 1,74
1,80
Stasiun trawl/Trawl stations 7 8 w n w n 0,26 47 2,02 12 0,35 6 0,17 4
13 55
1,05 2,72 0,19
13 27 6
0,71 0,70 0,10
17 7 2
0,10
0,50 0,25 0,30 0,80
1 6 5 22
1,20 2,30 0,07
27 82 2
0,03
1
0,10
4
0,16 0,30
9 8
Keterangan/Remarks: w = bobot jenis ikan hasil tangkapan (kg); n = jumlah ikan hasil tangkapan (ekor); stasiun 1, 6, 9, dan 12 unsuccessful
0,10 0,02
1 1
0,02
2
0,03
0,02
9
Estimasi Stok Sumber Daya ..... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komposisi hasil tangkapan jenis ikan demersal dengan jaring trawl di perairan Kabupaten Bengkalis pada bulan Oktober 2009 The composition of the catch of demersal fish species with trawl nets in the waters of the Bengkalis District in October 2009
No. 1.
2. 3.
4.
5. 6. 7.
Famili/Family Carangidae
Chirocentridae Clupeidae
Engraulidae
Scombridae Sepiidae Stromateidae Other
Komposisi hasil tangkapan jenis ikan pelagis dengan jaring trawl di perairan Kabupaten Bengkalis pada bulan Oktober 2009 The composition of the catch of pelagic fish species with trawl nets in the waters of the Bengkalis District in October 2009
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Spesies/Species Alectis ciliaris Atule mate Carangoides malabaricus Megalaspis cordyla Pampus argenteus Scomberoides sp. Selaroides leptolepis Chirocentrus dorab Anodontostoma chacunda Dusumieria sp. Ophisthopterus sp. Pellona ditchela Coilia sp. (bulu ayam) Ophisthopterus tardoore Setipinna tenuifilis Thryssa sp. Thryssa setirostris Rastriliger kanagurta Sepia sp. Pampus argenteus Echinoidea Gastropoda Shrimp Squid starfish Crab
2
3
w
n
0,01
1
0,01
0,80
2
0,08
36
0,11
8
w
n
0,05 0,02 0,14
1 1 3
w
n
Stasiun trawl/Trawl stations 7 8 w n w n 0,02
0,03
0,10 0,01
1
0,27 0,07 0,05 1,19
6 3 3 880
10 w
11 n
w
n
w
0,01
1
0,01
0,03 0,80 2,00
4,00 79 400
0,01 0,26
1 0,01
1
0,30 0,05
5 11
0,01 5,36 1,20
1 219 340
0,86 1,80
36 534
0,05 0,36
11 33
0,05 1,40
1 149
1,00
25
1,20
2
3
0,02
1
3,80
521
2
8,10
209
23,38
514
2,13 0,03
213 11
0,45
12
0,20 0,10 0,05 0,01 3,39
3 5 1 1 617
0,04
2
0,11
8
0,20 0,30
9 10
0,05 0,15
5 7
0,20
1,45 0,12
291 17
1.317 29
2,38 0,09
532 13
3,08 0,04
1 30
0,20
21
1.231 41 2 65
4,40 0,16
0,05 0,10
6,30 0,20 0,05 0,20
0,19
41
1,10
506
0,40
9 1 0,03
0,08 0,12
n 1 1 2
5
1
1,29
0,06 0,04
w 0,03 0,01 0,07
4
21 1
1 0,50
18
0,24 0,33
72 104
0,76 0,24
125 54
0,24
19
0,25
8
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10
10
Lampiran 2. Appendix 2.
Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.)
KELIMPAHAN STOK SUMBER DAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SUB AREA LAUT JAWA Badrudin1), Aisyah1), dan Tri Ernawati2) 1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta 2) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 25 Nopember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 Pebruari 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011
ABSTRAK Tulisan ini menyajikan data dan informasi tentang present status perikanan demersal di Laut Jawa, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di sub area Laut Jawa yang tidak merata. Data yang dianalisis merupakan sebagian hasil survei Balai Riset Perikanan Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal pada tahun 2010 dan pada periode tahun sebelumnya. Eksploitasi sumber daya ikan demersal di perairan Laut Jawa sudah berlangsung sejak lama dan mencapai puncaknya pada sekitar tahun 1970-an di mana trawl dioperasikan secara intensif terutama di sepanjang pantai utara Jawa. Tingginya tekanan penangkapan di perairan pantai sampai kedalaman 40-an m telah menyebabkan menurunnya kelimpahan sumber daya, sebagaimana tampak pada hasil tangkapan cantrang kecil dan jaring arad yang dioperasikan secara harian. Kelimpahan dan ukuran individu ikan demersal di kawasan yang lebih dalam tampak cukup besar sebagaimana tercermin dari hasil tangkapan cantrang besar yang dioperasikan lebih lama. Dari fenomena tersebut dapat diduga bahwa sumber daya ikan demersal di perairan pantai sudah mengalami tangkap lebih (overfishing) yang mengarah kepada penurunan stok atau bahkan depleted. Kegiatan penangkapan ikan di perairan yang lebih dalam di mana tekanan penangkapan relatif lebih rendah tampak memberikan keuntungan. KATA KUNCI:
ikan demersal, kelimpahan stok, sub area Laut Jawa
ABSTRACT:
Demersal fish stock abundance in the Java Sea sub areas. By: Badrudin, Aisyah, and Tri Ernawati
Based on data analysis and information collected, this paper describes the present status of demersal fisheries in the Java Sea and the uneven level of exploitation of the fish resources in the Java Sea sub areas. Data analyzed provide part of research results carried out by the Research Institute for Marine Fisheries. Data were obtained from a number of surveis carried out in Tegal landing place in 2010 and from the previous years. Demersal resources in the Java Sea have been exploited for years, where high fishing intensity occurred in the north coast of Java. High fishing pressure in the coastal waters lead to the decreasing fish resources abundance, as reflected by the catch of small size cantrang and arad operated on daily bases. The relatively high abundance of demersal fish and bigger size of individual fish caught by the offshore cantrang in the deeper waters indicating that this waters provide a lightly exploited area. From this phenomenon it is likely that the status of exploitation of fish resources in the coastal waters are already overfishing that lead to decreasing stock or even depleted. Fishing activities in the relatively lower fishing pressure of the deeper waters area is still likely profitable. KEYWORDS:
demersal fisheries, resources abundance, Java Sea sub areas
PENDAHULUAN Perairan yang relatif dangkal yang dikenal sebagai continental shelf dengan dasar yang relatif rata dan berlumpur merupakan daerah penangkapan sumber daya ikan demersal. Perairan yang cukup luas dengan kondisi yang demikian hanya terdapat di kawasan Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Daerah penangkapan ikan demersal di kawasan Indonesia lainnya relatif sempit. Kelompok ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang sebagian besar dari siklus hidupnya berada di dasar atau sekitar dasar perairan. Ciri-ciri kelompok ikan tersebut adalah aktivitas yang
rendah dan gerak ruaya yang tidak jauh (Aoyama, 1973). Pelaksanaan kerja sama penelitian sumber daya ikan demersal Indonesia-Jerman yang dimulai pada tahun 1974 dapat dianggap sebagai benchmark bagi penelitian sumber daya ikan demersal yang dilaksanakan secara teratur di kawasan barat Indonesia. Pada awal periode kerja sama penelitian telah diidentifikasi bahwa berdasarkan atas sebaran jenis ikan peperek (Leiognathus splendens) perairan Laut Jawa dibagi menjadi perairan inshore yang dicirikan oleh kehadiran jenis ikan peperek tersebut
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail:
[email protected]
11
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 11-21
dan offshore di mana tidak dijumpai lagi ikan peperek dalam hasil tangkapan. Perairan inshore Laut Jawa meliputi perairan inshore utara Jawa, timur Lampung
Gambar 1.
Figure 1.
atau Sumatera Selatan, selatan Kalimantan, dan perairan offshore meliputi kawasan bagian tengah Laut Jawa (Gambar 1).
Garis imajiner sebaran ikan peperek, Leiognathus splendens sub area Laut Jawa (Aj1 = inshore timur Lampung/Sumatera Selatan; Aj2, Aj3, Aj4 = inshore pantai utara Jawa; Aj5, Aj6, Aj7 = inshore selatan Kalimantan; Aj8, Aj9, Aj10, Aj11 = offshore Laut Jawa*). Distribution area of pony fish, Leiognathus splendens in the Java Sea sub areas (Aj1 = inshore area of East Lampung/South Sumatera; Aj2, Aj3, Aj4 = inshore North Java coast; Aj5, Aj6, Aj7 = inshore area of south coast of Kalimantan; Aj8, Aj9, Aj10, Aj11 = offshore area of Java Sea*) Sumber/Sources: *) Deskripsi sub area Laut Jawa (Losse & Dwiponggo, 1977) Keterangan/Remarks: Sub area inshore Laut Jawa: Aj1 = dieksploitasi oleh trawlers dari Jakarta Aj2 = dieksploitasi oleh trawlers dari Jakarta, Cirebon; dan purse seine dari Tegal Aj3 = dieksploitasi oleh trawlers dari Semarang, Pekalongan; purse seine Pekalongan dan Tegal; gill netters dan bagan Aj4 = dieksploitasi oleh trawlers dari Surabaya; gill netters dan artisanal dari Madura Aj5 = dieksploitasi oleh trawlers dari Jakarta secara musiman Aj6 = dieksploitasi oleh trawlers secara musiman (pukat udang) Kotabaru Aj7 = dieksploitasi oleh trawlers dari Kotabaru (terlihat pada bulan Juli 1976) Offshore Laut Jawa: Aj8 = tidak ada kegiatan penangkapan ikan. Virgin ground (?) Aj9 = tidak ada kegiatan penangkapan ikan. Tidak ada trawlers. Jamur meja (sponges). Virgin ground (?) Aj10 = tidak ada kegiatan penangkapan ikan. Trawlers dari Semarang dilaporkan menangkap ke Karimun Jawa. Virgin ground (?) Aj11 = tidak ada kegiatan penangkapan, kecuali gillnetter dari Bangka. Virgin ground (?)
Data dasar yang diperoleh dari sejumlah survei kerja sama di perairan tersebut adalah laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok. Laju tangkap yang tinggi mencerminkan kepadatan stok yang tinggi (Badrudin et al., 2004). Laju tangkap tersebut merupakan dasar bagi penghitungan kepadatan stok (stock density), biomassa (standing stock), dan potensi (potential yield) yang setara dengan maximum sustainable yield. Sebagaimana diketahui bahwa indeks kelimpahan stok (stock abundance) merupakan salah satu indikator dari keberlanjutan
12
pengembangan (sustainability development) sumber daya ikan secara runtun waktu. Salah satu indeks kelimpahan stok adalah catch per unit of effort atau catch rate. Eksploitasi sumber daya ikan demersal di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Dengan berkembangnya teknologi penangkapan sampai dewasa ini dapat dikatakan hampir tidak ada lagi daerah penangkapan ikan yang virgin, kecuali sumber daya inkonvensional ikan laut dalam di Samudera Hindia (Badrudin et al., 2006; Suprapto & Badrudin, 2006) dan perairan slope Laut Arafura (Badrudin et
Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.)
al., 2005). Dengan demikian, asumsi dasar yang sering diterapkan dalam pendugaan potensi sumber daya ikan demersal, di Laut Jawa seperti potential yield = 0,5 biomassa (Guland, 1983) mestinya sudah tidak akurat lagi. Berdasarkan atas hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 dan hasil-hasil penelitian pada tahun sebelumnya, tulisan ini membahas kelimpahan sumber daya ikan demersal di Laut Jawa sebagai salah satu indikator tentang present status yang dapat menjadi salah satu dasar bagi pengelolaan (Food and Agriculture Organization, 2009). Menurut definisi (Larcombe & McLoughlin, 2007) secara umum, kondisi sumber daya ikan demersal di Laut Jawa sudah mengalami overfishing/overfished atau bahkan depleted sebagaimana terjadi pada stok tuna sirip biru (southern bluefin tuna) di Samudera Hindia (Majkowski, 2007). BAHAN DAN METODE Data yang dianalisis merupakan sebagian hasil survei Balai Riset Perikanan Laut, Pusat Riset Perikanan Tangkap pada tahun 2010 dan pada periode sebelumnya. Data laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok periode tahun 1974-1986 merupakan hasil survei dengan menggunakan kapal penelitian K. M. Mutiara 4. Data (sampel) komposisi hasil tangkapan cantrang besar, cantrang kecil, dan jaring arad diperoleh dari sebagian catatan hasil lelang (buku bakul kapal cantrang besar, cantrang kecil, dan arad) yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal pada tahun 2006, 2008, 2009, dan 2010. Hasil tangkapan cantrang besar diperoleh di perairan offshore, sedangkan hasil tangkapan cantrang kecil dan arad diperoleh di perairan inshore. Dengan mengacu kepada hasil penelitian sebelumnya (Losse, 1981), perairan offshore dan inshore tersebut merupakan sub area Laut Jawa, di mana stok sumber daya ikan demersal yang ada diasumsikan sebagai sub stok atau populasi yang terpisah. Asumsi tersebut didasarkan atas hasil penelitian Lloyd et al., 1996, yang mengatakan bahwa stok ikan anggoli (Pristipomoides multidens) yang merupakan jenis ikan demersal famili Lutjanidae di Laut Arafura sektor Indonesia terpisah dengan populasi ikan yang sama yang ada Laut Arafura sektor Australia. Terpisahnya stok ikan demersal di kedua sektor Laut Arafura tersebut disebabkan karena pergerakan yang rendah atau migrasi yang tidak jauh.
HASIL DAN BAHASAN Indeks Kelimpahan Stok Dari sejumlah kegiatan survei di perairan inshore dan offshore tersebut diperoleh informasi adanya kecenderungan dari kelompok ikan demersal untuk menggerombol di perairan inshore tertentu dalam kaitannya dengan musim timur dan barat. Pada musim timur di mana angin tenggara berhembus kencang telah menyebabkan timbulnya kawasankawasan perairan yang teduh (lee area) di perairan Tanjung Selatan-Muara Barito dan Tanjung PutingTeluk Kumai. Kegiatan pengambilan contoh penangkapan pada musim timur di kawasan perairan tersebut menghasilkan laju tangkap, sebagai indeks kelimpahan stok, yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan perairan lainnya. Sebaliknya pada periode musim barat di mana kawasan yang relatif teduh terjadi di perairan pantai timur Lampung atau Sumatera Selatan, telah menghasilkan laju tangkap yang tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya (Badrudin et al., 1989). Perilaku pengelompokkan ikan demersal tersebut diduga berkaitan erat dengan adanya arus atau massa air dengan organisme atau ikan yang ada di dalamnya yang membentuk sejenis pusaran yang kemudian membentuk kawasan perairan yang teduh. Dari tabel distribusi ikan demersal menurut kedalaman perairan (Saeger et al., 1976) tampak bahwa ada kecenderungan bahwa sebaran ikan demersal akan menurun sesuai dengan bertambahnya kedalaman. Dengan kata lain, bahwa makin dalam suatu perairan kepadatan stoknya semakin kecil. Untuk perairan Paparan Sunda kepadatan stok yang tinggi berada pada kedalaman sampai 40 m. Keadaan ini diduga berlaku umum. Potential Yield Potential yield adalah hasil tangkapan yang dapat diambil dari suatu perairan tanpa menggangu kelestarian stoknya (Saeger et al., 1976). Dugaan besarnya potential yield tersebut diperoleh dari hasil survei penangkapan dengan trawl melalui metode swept area. Pada dasarnya potential yield tersebut adalah sama dengan the maximum sustainable yield yang diperoleh dari analisis data catch dan effort melalui aplikasi model produksi surplus (the surplus production model). Dari survei penangkapan tersebut dapat diperoleh dugaan angka rata-rata laju tangkap (catch rate) sebagai indeks kelimpahan stok yang kemudian dapat dikembangkan menjadi dugaan ratarata kepadatan stok (dalam satuan bobot per satuan luas, ton/km2). Dengan asumsi, bahwa kepadatan
13
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 11-21
stok tersebut adalah merata, maka perkalian antara kepadatan stok dengan luas perairan yang di survei dapat diperoleh dugaan standing stock atau biomassa. Dikatakan oleh Gulland (1983) dengan mengambil separuh dari biomassa yang ada maka sumber daya ikan tersebut diperkirakan akan lestari yang dikatakan dengan rumus: Py=0,5 MBo .................................................. (1 di mana: M = mortalitas alami Bo = biomassa Dengan perkataan lain, bahwa dengan menyisakan separuh dari stok yang ada, diharapkan keberadaan (availability) sumber daya ikan tersebut akan berlanjut. Potential yield sumber daya ikan demersal di wilayah pengelolaan perikanan Laut Jawa yang dibagi berdasarkan atas sub area inshore dan offshore secara keseluruhan sekitar 714.000-an ton, yang terdiri atas perairan inshore utara Jawa, timur Lampung, dan selatan Kalimantan sekitar 245.680 Tabel 1. Table 1.
ton (Losse, 1981) sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Dari hasil survei selama tahun 1976-1977 di Laut Jawa diperoleh estimasi besarnya potensi sumber daya ikan demersal di berbagai perairan sub area Laut Jawa, seperti perairan inshore utara Jawa, perairan offshore Laut Jawa dan perairan inshore Kalimantan Selatan. Sebagaimana diketahui pada waktu itu, tekanan penangkapan sumber daya ikan demersal di berbagai sub area Laut Jawa tidak merata, di mana tekanan yang paling tinggi terjadi di perairan inshore timur Lampung atau Sumatera Selatan dan utara Jawa. Hal ini didasarkan atas bahwa basis operasi penangkapan dengan trawl pada waktu itu hanya terpusat di perairan utara Jawa, mulai dari Banten atau Kronjo, Jakarta, Subang atau Blanakan, Cirebon, Tegal, Semarang, Juwana, Rembang, dan Tuban. Sebaliknya tekanan penangkapan di perairan selatan Kalimantan dan di bagian offshore (lepas pantai) Laut Jawa pada kedalaman lebih dari 40 m relatif rendah. Relatif rendahnya tekanan penangkapan tersebut juga tercermin dari angka laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok yang relatif lebih tinggi (Tabel 1).
Indeks kelimpahan stok (laju tangkap), kepadatan stok, dan potential yield sumber daya ikan demersal di Laut Jawa Stock abundance index (catch rate), stock density, and potential yield of demersal fish in the Java Sea
Sub area
Utara Jawa Selatan Kalimantan Timur Lampung/Sumatera Selatan Lepas pantai Laut Jawa Total
Luas/ Width (km2)
Laju tangkap/ Catch rate (kg/jam)
26.160 113.590 27.180 298.750 465.680
189 201 181 209 -
Kepadatan stok/ Stock density 2 (ton/km ) 2,8 3,0 2,7 3,1 -
Biomassa/ Biomass (103 ton)
Potential yield (103 ton)
74 343 74 938 1.429
37 171 37 469 714
Sumber/Sources: Losse (1981)
Tampak bahwa sebaran laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok di perairan sub area Laut Jawa sedikit berbeda. Hal ini diduga akibat tidak meratanya tekanan penangkapan pada masing-masing sub area tersebut. Lebih kecilnya indeks kelimpahan stok di perairan pantai utara Jawa dan timur Lampung diduga terkait dengan intensifnya kegiatan penangkapan di kawasan perairan itu. Sebagaimana diketahui bahwa kedua perairan tersebut telah secara bersama-sama dieksploitasi oleh kapal-kapal penangkapan yang berbasis di utara Jawa. Pantai timur Lampung atau Sumatera Selatan merupakan daerah penangkapan (fishing ground) kapal-kapal yang berbasis di Kronjo
14
(Tangerang atau Banten) dan Muara Karang dan Pasar Ikan, Jakarta. Dari pengamatan di lapangan sampai saat ini Pelabuhan Kronjo, Tangerang merupakan basis kapal cantrang yang beroperasi di timur Lampung, Laut Jawa, dan bahkan sampai ke selatan Kalimantan. Basis-basis Perikanan cantrang yang utama di utara Jawa mulai dari barat ke timur adalah Kronjo, Blanakan (Subang-Jawa Barat), Tegal-Jawa Tengah, dan Brondong-Jawa Timur. Selain itu ada sejumlah pendaratan ikan hasil perikanan cantrang yang relatif lebih kecil mulai dari barat ke timur sepanjang pantai utara Jawa seperti Muara Sabak atau Tangerang, Eretan, Indramayu, Losari, Brebes,
Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.)
Batang, dan Rembang. Tingginya tekanan penangkapan Perikanan cantrang sebagai generasi penerus trawl tersebut diduga terus berlangsung sampai saat ini, sebagaimana terbukti dari hasil survei pada tahun 2010 di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Tegal. Sub Area Perairan Pantai Utara Jawa 1. Indeks kelimpahan stok sumber daya ikan demersal
320 Kg/jam 240
CPUE Peperek CPUE Demersal
160
CPUE Total 80
0 1977
Gambaran tentang pengaruh penangkapan terhadap indeks kelimpahan stok sumber daya ikan demersal di perairan utara Jawa Tengah pada tiga tahun sebelum dan sesudah pelarangan penggunaan trawl melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang pelarangan penggunan trawl, dikatakan oleh Badrudin (1987) sebagaimana pada Gambar 2. Dari gambar tersebut tampak bahwa komunitas sumber daya ikan yang tertangkap dengan trawl di perairan utara Jawa Tengah yang merupakan daerah penangkapan sumber daya ikan demersal yang terluas di perairan utara Jawa di dominansi oleh kelompok sumber daya ikan demersal. Komunitas sumber daya ikan demersal tersebut juga didominansi oleh kelompok ikan peperek. Hal ini tampak jelas dari tiga kurva paralel yang terbentuk yang selama tiga tahun sebelum dan sesudah pelarangan trawl (Gambar 2). Tampak bahwa antara tahun 1978-1979, trend catch per unit of effort sebagai indeks kelimpahan stok cenderung menurun. Hal ini diduga akibat tingginya tekanan penangkapan terhadap sumber daya ikan demersal tersebut. Antara tahun 1984-1986 menunjukkan kenaikan yang signifikan yang diduga karena rendahnya tekanan penangkapan sebagai akibat dilarang beroperasinya kapal penangkapan ikan dengan trawl. Antara tahun 1980-1983 kegiatan pengambilan contoh penangkapan trawl dengan kapal penelitian di perairan utara Jawa untuk sementara dihentikan akibat diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tersebut. Perairan paparan (shelf) utara Jawa Timur relatif sempit dibandingkan dengan pantai utara Jawa Barat atau Jawa Tengah. Perairan paparan utara Jawa Tengah merupakan kawasan perairan paparan yang terluas di utara Jawa. Berdasarkan atas data laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok dari sejumlah kelompok ikan pada periode tiga tahun sebelum dan beberapa tahun
Gambar 2.
Figure 2.
1978
1979
1984
1985
1986
Tren indeks kelimpahan stok (catch per unit of effort) total, total demersal, dan ikan peperek (Leiognathidae) pada periode sebelum dan sesudah penghapusan trawl di pantai utara Jawa Tengah. Trend of total index of abundance (catch per unit of effort), demersal fish, and pony fish (Leiognathidae) in the pre and after trawl ban period in the north coast of Central Java.
setelah dihapusnya trawl melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980, tampak adanya perubahan laju tangkap dari beberapa kelompok ikan. Pada periode tiga tahun sebelum dihapusnya trawl, tampak adanya sedikit penurunan trend dari laju tangkap secara umum baik dari laju tangkap total maupun laju tangkap kelompok ikan demersal. Kelompok ikan peperek (Leiognathidae) dengan ke kecualian pada tahun 1978 yang menunjukkan kenaikan, tren secara umum dapat dikatakan relatif konstan. Keadaan yang sebaiknya terjadi pada periode sesudah dihapusnya trawl. Setelah tahun 1984, baik laju tangkap total, kelompok ikan demersal dan kelompok ikan peperek menunjukkan peningkatan laju tangkap yang sangat menonjol (Gambar 2). Perubahan yang cepat dari laju tangkap kelompok ikan demersal lainnya juga ditunjukkan oleh kelompok ikan kuniran (Mullidae) dan kapas-kapas (Gerreidae), di mana kecenderungan yang menurun tajam terjadi pada tiga tahun sebelum dihapusnya trawl, sebaliknya sejak tahun 1984-1986 trend laju tangkap tersebut naik secara tajam (Gambar 3). Keadaan yang sama dengan bobot yang lebih kecil terjadi pada tren laju tangkap kelompok ikan kurisi (Nemipteridae), beloso (Synodontidae), dan kelompok ikan rucah. Ikan rucah adalah jenis-jenis ikan yang (pada waktu itu) merupakan kelompok yang belum dimakan (Lampiran 1).
15
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 11-21 15
16 Kg/jam
Gerreidae
Kg/jam Mullidae
12
Nemipteridae
Ariidae
10
Lactaridae 8
Syndontidae
Lutjanidae Trashfish
5
Pomadasyidae
4
Stromateidae 0
0 1977
Gambar 3.
Figure 3.
1978
1979
1984
1985
1986
Tren indeks kelimpahan stok lima kelompok ikan demersal pada periode sebelum dan sesudah penghapusan trawl di sub area perairan pantai utara Jawa Tengah. Trend of five groups of demersal fish in the pre and after trawl ban period in the sub area of the north coast of Central Java. Sumber/Sources: Badrudin (1987)
Suatu fenomena yang berbeda ditunjukkan oleh kelompok ikan lemah (Lactaridae), manyung (Ariidae), gerot-gerot (Pomadasyidae), kakap merah (Lutjanidae), dan layur (Trichiuridae). Dari penampilan tren laju tangkap kelima kelompok ikan tersebut tampak bahwa tekanan penangkapan yang cukup tinggi yang berlangsung saat itu diduga tidak berpengaruh langsung terhadap indeks kelimpahan stoknya. Hal ini diduga kuat bahwa kelima kelompok ikan tersebut berada di luar daerah penangkapan trawl. Sebagaimana diketahui bahwa sasaran utama dari perikanan trawl tersebut adalah udang, sedangkan ikan dapat dikatakan merupakan hasil tangkap sampingan. Dengan proporsi hasil tangkapan udang sekitar 5% dari hasil tangkapan total, sudah dapat mengembalikan seluruh biaya operasional pada trip tersebut (Baum, 1978). Hal yang mengherankan adalah tren dari ikan gerot-gerot (Pomadasyidae) pada periode tahun 1984-1986 yang cenderung menurun, sedangkan ikan kakap merah (Lutjanidae) dan bawal putih (Stromateidae) pada periode tahun 1984-1985 cenderung naik yang kemudian menurun pada periode satu tahun berikutnya (Gambar 4). Sub Area Perairan Selatan Kalimantan Secara administratif, sebagian perairan selatan Kalimantan termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Tengah dan sebagian masuk ke dalam Provinsi Kalimantan Selatan. Pada masingmasing kedua wilayah administratif tersebut terdapat adanya tanjung yang selama periode kegiatan
16
1977
Gambar 4.
Figure 4.
1978
1979
1984
1985
1986
Tren indeks kelimpahan stok lima kelompok ikan demersal pada periode sebelum dan sesudah penghapusan trawl di sub area perairan pantai utara Jawa Tengah. Trend of five groups of demersal fish in the pre and after trawl ban period in the sub area of the north coast of Central Java. Sumber/Sources: Badrudin (1987)
penelitian dianggap mencirikan wilayah perairan. Perairan Tanjung Puting merupakan ciri khas perairan Kalimantan Tengah dan perairan Tanjung Selatan merupakan ciri khas Kalimantan Selatan. Dengan asumsi bahwa antara bulan April sampai Oktober adalah musim timur dan bulan Oktober sampai April adalah musim barat, kegiatan penelitian di perairan selatan Kalimantan yang dilakukan antara tahun 19761984, dapat dikelompokkan menjadi tiga kegiatan (cruise) yang dilakukan pada musim timur dan lima kegiatan pada musim barat (Tabel 2). Tingginya indeks kelimpahan stok di selatan Kalimantan tampaknya ada kaitannya dengan musim timur dan musim barat. Pada periode musim timur sebagimana telah dikatakan terdahulu, perairan Tanjung Selatan diduga merupakan tempat berlindungnya ikan demersal dari tekanan arus akibat hembusan angin tenggara yang terus-menerus pada kecepatan yang tinggi. Sebagaimana tampak dari rata-rata indeks kelimpahan stok pada tiga tahun berturut-turut (tahun 1977, 1978, dan 1979) sekitar 409 kg/jam dengan koefisien variasi yang relatif rendah (15%). Sebaliknya pada periode musim barat ratarata indeks kelimpahan stok antara tahun 1978, 1980, 1982, 1983, dan 1984 hanya sekitar 176 kg/jam. Tingginya indeks kelimpahan stok tersebut diduga tetap berlangsung sampai saat ini, yang diduga sebagai akibat relatif rendahnya tekanan penangkapan. Gambaran tersebut diperoleh dari wawancara dengan nakhoda kapal cantrang berbasis Tegal yang beroperasi di perairan selatan Kalimantan.
Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.)
Tabel 2. Table 2.
Indeks kelimpahan stok jenis-jenis ikan demersal (kg/jam) di perairan Laut Jawa sub area Tanjung Selatan, Kalimantan Selatan Stock abundance index of some demersal fish (kgs/hour) in Tanjung Selatan waters of the Java Sea sub area
Keterangan/Remarks: + = <0,5 kg. a) dilaksanakan pada musim peralihan barat Sumber/Sources: Badrudin et al. (1989)
Sub Area Perairan Offshore Laut Jawa Kegiatan penangkapan ikan dengan cantrang yang dilakukan nelayan di perairan offshore Laut Jawa secara rinci belum diperoleh contoh. Namun dari
wawancara dengan nakhoda kapal cantrang yang mengaku menangkap ikan di selatan Kalimantan tersirat dari data global positioning system ternyata menangkap sampai ke perairan offshore Laut Jawa. Jenis ikan/Kind of fish Ariidae Carangidae Clupeidae Drepanidae Leiognathidae Lutjanidae Pomadasyidae Rays Lain-lain Total catch rate Rata-rata musim Sd (koef.var.) Rata-rata
Gambar 5. Figure 5.
Musim timur/East monsoon 1976 1977 1979 1978 38 87 64 24 13 14 7 4 56 30 35 22 12 27 45 14 77 122 82 11 16 14 23 13 15 25 32 14 25 66 41 19 104 90 68 29 356 475 397 150 409 60,45 (15 %) 264 (Sd: 137; K
Indeks kelimpahan stok di perairan offshore Laut Jawa. Index of stock abundance in the offshore waters of the Java Sea. Sumber/Sources: Losse & Dwiponggo (1977)
Sebagaimana tampak pada Gambar 5 tersebut indeks kelimpahan stok di perairan offshore cukup tinggi. Kondisi tersebut diduga tetap berlangsung sampai saat ini sebagaimana terbukti dari hasil tangkapan cantrang kecil dan besar yang didaratkan
di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Tegal. Komposisi hasil tangkapan dan indeks kelimpahan stok dari kedua jenis cantrang (besar dan kecil) disajikan pada Tabel 3. Komposisi hasil tangkapan utama cantrang yang dioperasikan di peraian offshore
17
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 11-21
dan inshore Laut Jawa tampak berbeda. Ini menunjukkan bahwa komunitas ikan demersal di perairan inshore sudah berubah. Adanya perubahan komposisi jenis ikan merupakan hal yang terjadi pada perikanan yang dieksploitasi, di mana penyebab utamanya adalah tingginya tekanan penangkapan. Sebagimana diketahui bahwa tiap jenis ikan memiliki ketahanan yang berbeda terhadap tekanan penangkapan. Jenis ikan hasil tangkapan utama cantrang pada tahun 2008, 2009, dan 2010 yang tertangkap dominan, antara lain ikan swanggi (Priacanthus spp.), coklatan (Scolopsis taeniopterus), kurisi (Nemipterus spp.), dan gulamah, tigawaja (Sciaenidae).
besar dan ukuran tersebut tidak pernah dijumpai tertangkap di perairan inshore (Gambar 6 dan 7). Jenis ikan hasil tangkapan utama cantrang pada tahun 2008, 2009, dan 2010 antara lain ikan swanggi, coklatan, kurisi, gulamah, dan tigawaja. Menurut Beck & Sudrajat (1978) jenis-jenis ikan tersebut di Laut Jawa merupakan tipe jenis ikan yang habitatnya berada di perairan yang lebih dalam. Hasil tangkapan di perairan inshore sebagimana tercermin pada hasil tangkapan cantrang kecil dan arad tahun 2009 didominansi oleh kelompok ikan beloso (Saurida spp.) dan ikan peperek (Leiognathidae). Kelompok ikan coklatan tidak tertangkap dengan arad di perairan inshore, sebaliknya di perairan offshore tidak dijumpai adanya simping (scallops, Amusium spp.), cumi-cumi (squids), sotong (cuttle fish), dan udang dalam hasil tangkapannya.
Dari data ukuran panjang ikan contoh, yang diambil pada bulan Agustus 2010, yaitu jenis ikan swanggi dan kurisi pada umumnya berukuran relatif Tabel 3. Table 3.
Persentase komposisi jenis hasil tangkapan utama cantrang di perairan offshore dan inshore Percentage composition of the main catch of cantrang in the offshore and inshore waters
Priacanthus spp. Nemipterus spp. Upeneus spp. Scolopsis taeniopterus Scianidae Leiognathus sp. P. longimanus Saurida spp. Pari (Dasyiatis spp.) Tetraodontidae Selar Sardinella spp. Epinephelus spp. Arius sp. Abalistes stellaris Total % Rata-rata bulanan catch/kapal (kg)
2006 (18) 11,5 4,1 17,6 22,1 3,9 3,2 7,6 3,6 6,8 1,4 0,5 0 0 4,8 1,4 88,5 81.13
Offshore *) 2008 (4) 2010 (10) 27,2 21 7,5 21 5,7 13,2 12,7 9,2 7,6 2,9 0,6 3,7 2,2 1,3 0,6 2,1 2,5 1 0,3 4,9 0,2 3,1 11 0 3,8 0 0,6 0,2 2,4 1,3 85,2 84,9 8.857
15.471
Keterangan/Remarks: *) angka dalam kurung: jumlah kapal contoh Sumber/Sources: Buku bakul/Individual/private auction book
18
2009 Saurida spp. Leiognathidae Nemipteridae P. longimanus Upeneus sulphureus Soleidae Pari (Dasyatidae) Stolephorus spp. Scianidae Ikan campuran Cumi-cumi Sontong Simping Udang Rajungan Total % Rata-rata bulanan catch/kapal (kg)
Inshore Cantrang Arad 9,6 24,1 5,2 7,5 11,6 7,5 2,9 0,7 5,5 0,8 2,4 0,4 2,9 2,9 3,1 4,2 3,1 5,6 15,2 14,0 22,5 2,0 3,9 4,3 0,4 8,5 0,6 7,1 1,7 1,7 90,5 91,4 66,8
71,1
Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.)
depleted, sedangkan kegiatan penangkapan ikan di perairan offshore diduga memberikan keuntungan. KESIMPULAN 1. Eksploitasi sumber daya ikan demersal di perairan Laut Jawa sudah berlangsung sejak lama dan mencapai puncaknya pada sekitar tahun 1970-an di mana trawl dioperasikan secara intensif terutama di pantai utara Jawa.
Gambar 6.
Figure 6.
Contoh sebaran frekuensi panjang ikan swanggi, Priacanthus tayenus (14-23 cm). Sample of length frequency of red big eye, Priacanthus tayenus (1423 cm).
2. Tingginya tekanan penangkapan di perairan pantai sampai kedalaman 40-an m telah menyebabkan menurunnya kelimpahan sumber daya, sebagaimana tampak pada hasil tangkapan cantrang kecil dan jaring arad yang dioperasikan secara harian. 3. Kelimpahan dan ukuran individu ikan demersal di kawasan yang lebih dalam tampak cukup besar sebagaimana tercermin dari hasil tangkapan cantrang besar yang dioperasikan lebih lama. 4. Dari fenomena tersebut dapat diduga bahwa sumber daya ikan demersal di perairan pantai sudah mengalami overfishing yang mengarah kepada depleted. 5. Kegiatan penangkapan ikan di perairan yang lebih dalam di mana tekanan penangkapan relatif lebih rendah tampak memberikan keuntungan.
Gambar 7.
Figure 7.
Contoh sebaran frekuensi panjang ikan kurisi, Nemipterus hexodon (929 cm). Sample of length frequency of threadfin fish, Nemipterus hexodon (9-29 cm).
Dari fenomena tersebut diduga terjadi perubahan komposisi komunitas sumber daya ikan demersal di kawasan perairan pantai utara Jawa. Sebaliknya di perairan lepas pantai kondisi sumber daya ikan diduga relatif stabil sejak beberapa tahun yang lalu akibat rendahnya tekanan penangkapan ikan. Dari rata-rata bulanan hasil tangkapan arad atau cantrang kecil yang jumlahnya sekitar 66,8 dan 71,1 kg, dapat dikatakan bahwa sumber daya ikan demersal di perairan inshore utara Jawa sudah dalam kondisi depleted, sebagimana telah terjadi terhadap sumber daya ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna) di Samudera Hindia (Majkowski, 2007). Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa pergerakkan ikan demersal yang lamban dan migrasi yang tidak jauh, sehingga status eksploitasi di kawasan inshore utara Jawa sudah
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset indeks kelimpahan stok dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan demersal di wilayah pengelolaan perikanan Laut Jawa, T. A. 2010, kerjasama antara Badan Riset Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Riset dan Teknologi. DAFTAR PUSTAKA Aoyama, T. 1973. The Demersal Stocks and Fisheries of the South China Sea. SCS/DEV/73/3. Food and Agriculture Organization. Rome. 80 pp. Baum, G. A. 1978. A Cost/Benefit Calculation for Bagansiapi-Api Trawlers Operating Out of Surabaya and Gresik at Java. 34 pp. Beck, U. & A. Sudradjat. 1978. Variation in size and composition of demersal trawl catches from the North Coast of Java with estimated growth parameters for three important food fish species.
19
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 11-21
Special Report. Contrib. of the Dem. Fish. Pro. LPPL-GTZ. No.4-1978: 1-80. Badrudin, M. 1987. The recovery of demersal fish stock and the stock parameters of the splendid pony fish, Leiognathus splendens, in the North Coast of Central Java, Indonesia. M.Sc. Thesis. School of Animal Biology. University College of North Wales. Bangor. U. K. 57 pp. Badrudin, H. Wahyuono, & S. Umiyati. 1989. Sumber daya ikan demersal yang potensial bagi bahan baku pakan ikan budi daya. Prosiding Temu Karya Ilmiah Penelitian menuju Program Swa-Sembada Pakan Ikan Budi Daya. Prosiding Pusat Penelitian dan Pengembangan No.17/1989: 73-77. Badrudin, S. Nurhakim, & B. Fegan. 2004. Catch rate and catch composition of trawl fish net in the Arafura Sea. Indonesian Fisheries Research Journal. 10 (1): 1-7. Badrudin, N. N. Wiadnyana, & B. Wibowo. 2005. Deep water exploratory bottom long lining in the waters of the Arafura Sea. Indonesian Fisheries Research Journal. AMFR. MMAF. 11 (1): 41-46. Badrudin, Wudianto, N. N. Wiadnyana, & S. Nurhakim. 2006. Deep sea fish resources diversity and potential in the waters of Western Sumatera of the Eastern Indian Ocean. Indonesian Fisheries Research Journal. 12 (2): 115-129. Food and Agriculture Organization. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. Food and Agriculture Organization Fisheries and Aquaculture Department. Food and Agriculture Organization-UN. Rome. 176 pp. Gulland, J. A. 1983. Fish Stock Assessment-A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. New York. 223 pp.
20
Losse, G. F. & A. Dwipoggo. 1977. Report on the Java Sea south east monsoon trawl survei, JuneDesember 1976. Special Report. Contrib. of the Dem. Fish. Project. No.3. Marine Fisheries Research Report. 119 pp. Losse, G. F. 1981. Final report of the IndonesianGerman demersal fisheries project 1973-1979. Special Report. Contrib. of the Dem. Fish. Project. No.8. Marine Fisheries Research Report. RIMFGTZ. 45 pp. Lloyd, J., J. Ovenden, S. Newman, & C. Keenan, 1996. Stock structure of Pristipomoides multidens resources across Northern Australia. Fish. Res. Dev.Corp. Fish. WA, NT-DPIF, QDPI. Fishery Report No.49. 36 p+21 p Tables; 28 p App; 14 p Figs. Larcombe, J. & K. McLoughlin (Eds.). 2007. Fishery Status Report 2006. Status of Fish Stocks Managed by the Australian Government. Australian Government. Department of Agriculture. Fisheries and Forestry. Bureau of Rural Sciences. Canberra. 285 pp. Majkowski, J. 2007. Global fishery resources of tuna and tuna like species. Food and Agriculture Organization Fish.Tech.Pap. 483. Food and Agriculture Organization-UN. Rome. 54 pp. Saeger, J., P. Martosubroto, & D. Pauly. 1976. First report of the Indonesian-German demersal fisheries project (result of a trawl survei in the Sunda Shelf area). Special Report. Contrib. of the demersal fisheries project. No.1. Marine Fisheries Research Report. RIMF-GTZ. 46 pp. Suprapto & Badrudin. 2006. Stock abundance index, density, composition, and distribution of deep sea shark and ray resources in the Eastern Indian Ocean. Indonesian Fisheries Research Journal. 12 (1): 27-36.
Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.)
Lampiran 1. Appendix 1.
Jenis-jenis ikan trash fish (belum biasa dikonsumsi) Types of trash fish (not ordinary consumpted)
Nama ilmiah/Scientific name Anacanthidae Aluteridae Antennaridae Apogonidae Balistidae (excl. Abalistes stellaris) Bregmacerotidae Blenniidae Callyonymidae Centriscidae Chaetodontidae Dactylopteridae Diodontidae Echeneidae Fistulariidae Gobiidae Labridae Lagocephalidae Ostraciontidae Parapercidae Platycephalidae Plotosidae Pomacanthidae Pomacentridae Scaridae Scorpaenidae Syngnathidae Tetraodontidae Triacanthidae Triglidae Uranoscopidae Zanclidae
Nama Inggris/English name Barbld leather jacket Leather jacket Toad fishes Cardinal fish
Blennies Dragonets Razor fish Butterfly/coral fish Flying gurnard Porcupine fish Sucker fish Flutemouth Gobies Wrases Blowfish Box fish (cowfish) Grubfish Flathead Barble Angelfish Demoiselles Parrotfish Scorpionfish Pipefish Blowfish Tripodfish Gurnards Stargazers Moorish ideols
Nama lokal/local name
Serinding
Kepe-kepe
Julung-julung
Buntal
Ikan anjing Sembilang
Kakaktua
Buntal Kakitiga
Ikan hias
21
Daya Tangkap Kapal Pukat ….. Pelagis Kecil di Laut Jawa (Purwanto & D. Nugroho)
DAYA TANGKAP KAPAL PUKAT CINCIN DAN UPAYA PENANGKAPAN PADA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI LAUT JAWA Purwanto dan Duto Nugroho Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 26 Oktober 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 7 Pebruari 2011
ABSTRAK Pelaku usaha perikanan cenderung untuk terus memperbesar ukuran kapal, ukuran alat tangkap, dan alat bantu penangkapan ikan guna meningkatkan daya tangkapnya agar tercapai hasil tangkapan yang dapat memberikan jaminan kelangsungan usahanya. Oleh karena itu, estimasi perkembangan upaya penangkapan ikan tanpa memperhitungkan perubahan daya tangkap kapal perikanan tidak akan menggambarkan secara tepat perkembangan tekanan penangkapan terhadap sumber daya ikan. Hasil analisis regresi berganda menggunakan ordinary least square menunjukkan bahwa faktor yang secara signifikan mempengaruhi daya tangkap mencakup kekuatan mesin kapal, serta volume pukat cincin dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Pada periode tahun 1988-2004 ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya tangkap juga cenderung meningkat. Koreksi terhadap upaya penangkapan nominal untuk mengakomodasikan pengaruh perubahan daya tangkap dari tahun ke tahun telah memperbaiki hasil analisis produktivitas kapal. Untuk kebutuhan pengendalian penangkapan ikan guna memperkecil ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan, Pemerintah perlu mengatur kekuatan mesin kapal dan ukuran jaring kaitannya dengan ukuran kapal serta kekuatan maksimum lampu yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan. KATA KUNCI:
daya tangkap, upaya penangkapan, perikanan pelagis kecil, Laut Jawa
ABSTRACT:
Fishing power of purse seiners and fishing effort in the Java Sea small pelagic fishery. By: Purwanto and Duto Nugroho
Fishers tend to increase the size of fishing vessel, fishing gear, and supporting equipment in order to enlarge its fishing power as an attempt to get greater catch. Therefore, an estimation of the development of fishing effort without taking into account the development of the fishing power would not result in a correct figure of fishing pressure on a fish stock. The result shows that fishing power of purse seiners was affected by vessel engine power, purse seine volume, and lamp power used in fishing. During 1988-2004, there was a tendency of those three factors to increase. Consequently, fishing power of the fleet had a tendency to increase. A correction to the nominal fishing effort by taking into account the annual development of fishing power resulted in a better result of statistical analysis on vessel productivity. For the purpose of controlling fishing activity to minimise risk to the sustainability of fishery resources resulting from over exploitation, it should issue measures on the power of vessel engine and the volume of seinenet relating to vessel size, and the maximum power of light used in fishing. KEYWORDS:
fishing power, fishing effort, small pelagic fishery, Java Sea
PENDAHULUAN Penangkapan ikan di Laut Jawa merupakan salah satu kegiatan perikanan yang relatif dinamis di Indonesia dan memberikan sumbangan yang relatif besar terhadap produksi perikanan laut nasional tahun 2007, yaitu sekitar 25,4% (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009). Salah satu kelompok sumber daya ikan utama yang menjadi sasaran kegiatan penangkapan ikan di Laut Jawa adalah sumber daya ikan pelagis kecil. Kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa telah dilaksanakan jauh sebelum Indonesia merdeka dengan menggunakan alat tangkap tradisional
(Butcher, 1995; Dwiponggo, 1987). Perkembangan pesat perikanan pelagis kecil tersebut terjadi setelah diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin kepada nelayan pantai utara Jawa pada awal tahun 1970-an (Bailey & Dwiponggo, 1987). Sumber daya ikan pelagis kecil yang relatif melimpah, tingkat permintaan akan ikan yang relatif tinggi dan cenderung terus meningkat, tingkat keuntungan ekonomi yang relatif menarik, dan ketersediaan teknologi penangkapan pukat cincin telah mendorong nelayan untuk terus meningkatkan upaya penangkapannya. Peningkatan upaya penangkapan tersebut berdampak penurunan hasil
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail:
[email protected]
23
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 23-30
tangkapan dan keuntungan per unit upaya penangkapan. Namun, dengan status sumber daya ikan yang merupakan sumber daya milik umum atau milik bersama (common property), tidak seorang pun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sendiri atau pun melarang orang lain yang ikut memanfaatkan sumber daya alam tersebut meningkatkan upaya penangkapannya. Akibatnya, setiap pelaku usaha berlomba meningkatkan upaya penangkapannya dengan harapan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Jumlah dan ukuran kapal diperbesar guna meningkatkan daya jelajah operasi penangkapan dan memperbesar daya tangkap kapal agar hasil tangkapan per hari per kapal meningkat. Peningkatan daya tangkap juga dilakukan dengan memperbesar ukuran jaring dan mengoperasikan alat bantu penangkapan, antara lain berupa lampu. Upaya peningkatan daya tangkap tersebut telah menyebabkan peningkatan eksploitasi terhadap sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa (Purwanto, 2003; Cardinale et al., 2009). Kontribusi perikanan pukat cincin terhadap produksi perikanan pelagis kecil Laut Jawa pada tahun 2007 adalah sekitar 61,4% (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009). Adapun sumbangan perikanan pelagis kecil terhadap produksi ikan dari Laut Jawa tahun 2007 adalah sekitar 29,8% (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009).
kapal. Namun demikian, sejauh ini belum ada kajian yang mengidentifikasikan faktor yang mempengaruhi daya tangkap dan menggunakannya dalam mengestimasi perkembangan upaya penangkapan riil pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa.
Pangkalan utama pukat cincin yang beroperasi di Laut Jawa adalah Pekalongan dan Juwana. Volume produksi ikan pelagis kecil yang didaratkan di dua pangkalan ini mencapai 40% dari produksi perikanan pelagis kecil Laut Jawa (Nugroho, 2006). Atmaja & Nugroho (2006); Nugroho (2006); Atmaja (2007), telah mengestimasi upaya penangkapan dari armada pukat cincin Pekalongan dan Juwana yang dioperasikan untuk memanfaatkan sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Upaya penangkapan tersebut diukur dengan menggunakan jumlah hari operasi penangkapan, tanpa mempertimbangkan perkembangan daya tangkap yang juga mempengaruhi produktivitas kapal. Bila kemampuan kapal dalam menangkap ikan meningkat dari tahun ke tahun, jumlah hari penangkapan ikan tidak mencerminkan tingkat upaya penangkapan, sehingga tidak dapat digunakan untuk mengukur besarnya upaya penangkapan riil. Oleh karena itu upaya penangkapan yang diukur dengan jumlah hari penangkapan perlu dikoreksi dengan memperhitungkan perubahan daya tangkap armada perikanan dari tahun ke tahun agar dapat diperoleh tingkat upaya penangkapan riil. Koreksi perlu dilakukan dalam mengestimasi upaya penangkapan ikan dengan memperhitungkan pengaruh dari perkembangan daya tangkap terhadap produktivitas
Ewt=It.Ent …………………………………………. (1
24
Tulisan ini menganalisis faktor yang mempengaruhi daya tangkap, yaitu kemampuan kapal dalam menangkap ikan, dan mengevaluasi perkembangan daya tangkap tersebut. Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk melakukan koreksi terhadap upaya penangkapan yang diukur dengan jumlah hari penangkapan ikan sehingga diperoleh perkiraan upaya penangkapan riil yang menunjukkan tingkat upaya penangkapan secara tepat. BAHAN DAN METODE Upaya penangkapan nominal diukur dengan jumlah hari operasi penangkapan ikan. Koreksi terhadap upaya penangkapan nominal pada tahun t (Ent) dilakukan dengan indeks daya tangkap (fishing power index) pada tahun yang sama (It) sehingga diperoleh perkiraan upaya penangkapan riil pada tahun t (Ewt). Hubungan dari ketiga variabel tersebut sebagai berikut:
Indeks daya tangkap pada tahun t (It) dihitung dengan rumus berikut ini. Indeks daya tangkap bernilai satu pada tahun yang dijadikan standar. I t= t/
ts
……………………………………... (2
di mana: = rata-rata daya tangkap pada tahun t t = rata-rata daya tangkap pada tahun t yang ts dijadikan standar Daya tangkap (fishing power) kapal perikanan, yaitu kemampuan kapal dalam menangkap ikan, diukur dengan rata-rata kemampuan kapal menangkap ikan dengan satuan ton per hari. Hubungan antara daya tangkap kapal perikanan pada tahun t dengan sejumlah faktor yang mempengaruhinya pada tahun t (xit) dianalisis dengan dua alternatif persamaan berikut ini: k
ht = a0 + ∑i = 1 aixit k
............................... (3a
ln ht = b0 + ∑1 = 1 bi ln xit di mana: a0, ai, b0, bi = koefisien
......................... (3b
Daya Tangkap Kapal Pukat ….. Pelagis Kecil di Laut Jawa (Purwanto & D. Nugroho)
Faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi daya tangkap kapal perikanan pelagis kecil di Laut Jawa adalah ukuran kapal dengan proxy kekuatan mesin penggerak kapal (x1), ukuran jaring untuk menangkap ikan (x2), dan kekuatan lampu yang merupakan alat bantu penangkapan (x3), masingmasing diukur dengan satuan tenaga kuda (HP), meter kubik dan watt. Analisis untuk memilih bentuk persamaan yang paling sesuai di antara persamaan (3a) dan (3b) serta untuk mengestimasi faktor yang berpengaruh dan nilai koefisiensinya dilakukan dengan ordinary least square. Selanjutnya dilakukan estimasi produktivitas kapal penangkap ikan yang diukur dengan satuan ton per hari. Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan digunakan sebagai indikator dari produktivitas kapal. Angka produktivitas kapal penangkap ikan pada tahun t (Ujt) yang diestimasi dengan Ewt dibandingkan secara statistik dengan angka produktivitas yang diestimasi dengan E nt . Persamaan yang menggambarkan hubungan antara hasil tangkapan per unit upaya dengan upaya penangkapan dari Schaefer (1957); Fox (1970) berikut ini digunakan dalam analisis statistik tersebut:
HASIL DAN BAHASAN Hasil Daya Tangkap Kapal Pukat Cincin Hasil analisis daya tangkap dari kapal pukat cincin yang dioperasikan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa disajikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: h=-1048,884+8.290x1+0,00131x2+0,124x3;R2=0,586,n=140(5a (-2,23)* (3,97)*** (2,78)*** (1,45)ns ln h=-5.502 + 0,546 ln x1+ 0,438 ln x2+ 0,498ln x3; (2,52)** (3,30)*** (2,36)** (2,39)** R2=0,593;n=140 ......................................................(5b
di mana: 1. Angka dalam kurung adalah nilai t-statistik dari pengaruh variabel independen terhadap daya tangkap. 2. ***, **, dan * menunjukkan bahwa nilai t-statistik masing-masing signifikan pada P<0,01, P<0,02, dan P<0,05. 3. ns menunjukkan bahwa pengaruh variabel yang bersangkutan secara statistik tidak nyata.
Ujt=d0-d1 Ejt ............................................... (4a
Analisis untuk membandingkan antara Ewt dengan Ent dan memilih persamaan produktivitas kapal yang paling sesuai di antara persamaan (4a) dan (4b) serta untuk mengestimasi nilai koefisiensinya dilakukan dengan ordinary least square.
Hasil analisis dengan menggunakan persamaan linear (persamaan (5a)) menunjukkan bahwa di antara tiga variabel hanya dua yang secara statistik memiliki pengaruh sangat nyata terhadap daya tangkap kapal pukat cincin. Dua variabel tersebut adalah kekuatan mesin kapal dan ukuran jaring untuk menangkap ikan. Pengaruh dari kekuatan lampu secara statistik tidak nyata. Koefisien determinasi (R2) hasil analisis dengan model persamaan linear tersebut adalah 0,586, yang mengindikasikan bahwa persamaan ini menjelaskan 58,6% dari variasi daya tangkap.
Data untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya tangkap kapal perikanan merupakan hasil monitoring kegiatan penangkapan ikan dari 140 kapal yang beroperasi di perairan sekitar Pulau-Pulau Bawean dan Masalembo pada bulan Oktober 1993. Data untuk mempelajari perkembangan daya tangkap dan indeks daya tangkap kapal perikanan merupakan hasil monitoring kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil Laut Jawa selama 17 tahun mulai tahun 1988-2004. Sementara itu data untuk menganalisis produktivitas kapal penangkap ikan merupakan hasil monitoring kegiatan penangkapan ikan dari armada pukat cincin yang berpangkalan di Pekalongan dan Juwana selama tahun 1988-2004 bersumber dari Atmaja & Nugroho (2006); Nugroho (2006); Atmaja (2007).
Sementara itu, analisis dengan menggunakan data yang ditransformasikan ke dalam nilai logaritma menghasilkan model persamaan yang lebih sesuai dengan data, yaitu persamaan (5b). Berdasarkan atas hasil analisis terakhir ini, ketiga variabel yang diuji memiliki pengaruh yang secara statistik signifikan terhadap daya tangkap. Ketiga variabel tersebut adalah kekuatan mesin kapal, ukuran jaring untuk menangkap ikan, dan kekuatan lampu yang merupakan alat bantu penangkapan. R2 persamaan (5b) adalah 0,593, yang mengindikasikan bahwa persamaan ini menjelaskan 59,3% dari variasi daya tangkap. Angka ini relatif lebih tinggi dibanding R2 dari persamaan (5a). Oleh karena itu persamaan (5b) digunakan lebih lanjut dalam mengevaluasi perkembangan daya tangkap kapal pukat cincin di Laut Jawa (Gambar 1).
ln Ujt=d0-d1 Ejt ............................................... (4b di mana: j = w dan n
25
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 23-30
Gambar 1.
Figure 1.
Perkembangan kekuatan mesin penggerak kapal, volume pukat cincin, dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa, serta perkiraan nilai dan indeks daya tangkapnya (daya tangkap tahun 1988 sebagai standar, IDT1988=1). The development of vessel engine power, purse seine volume, and lamp power used in the small pelagic fishery of the Java Sea, and the estimated value and index of fishing power (average fishing power of vessels in the year 1988 as standard, FPI1988=1).
Pada periode tahun 1991-1996, rata-rata kekuatan mesin, ukuran jaring, dan kekuatan lampu yang digunakan kapal pukat cincin dalam operasi penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa cenderung terus meningkat (Gambar 1 dan Lampiran 1). Karena itu, daya tangkap kapal pukat cincin juga cenderung meningkat pada periode tahun tersebut. Pada tahun-tahun selanjutnya sampai 2007 ketiga faktor tersebut cenderung tidak banyak berubah sehingga tidak terdapat perubahan menyolok pada daya tangkap kapal yang berhubungan dengan tiga faktor tersebut.
26
Upaya dan Produktivitas Kapal Penangkap Ikan Upaya penangkapan nominal, yang diukur dengan jumlah hari penangkapan, cenderung meningkat selama tahun 1988-2004 (Gambar 2 dan Lampiran 2). Namun, jumlah hari operasi penangkapan ikan tersebut tidak mencerminkan tingkat upaya penangkapan riil, karena kemampuan kapal dalam menangkap ikan per hari cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 1). Oleh karena itu, upaya penangkapan nominal dikoreksi dengan menggunakan rata-rata daya tangkap (IDT) kapal pukat cincin, dengan IDT tahun 1988 sebagai standar (IDT1988=1), sehingga diperoleh perkiraan upaya penangkapan riil tahun tahun 1988-2004 (Gambar 2).
Daya Tangkap Kapal Pukat ….. Pelagis Kecil di Laut Jawa (Purwanto & D. Nugroho)
Gambar 2. Figure 2.
Perkembangan upaya penangkapan dan produktivitas kapal penangkap ikan pelagis kecil di Laut Jawa, tahun 1988-2004. The development of fishing power and estimated productivity of vessels in the Java Sea small pelagic fishery, 1988-2004.
Karena daya tangkap kapal cenderung meningkat dari tahun ke tahun, maka perbedaan antara upaya penangkapan nominal dengan upaya penangkapan riil juga semakin besar dari tahun ke tahun (Gambar 2). Penggunaan upaya penangkapan nominal tanpa dikoreksi dengan perubahan daya tangkap kapal perikanan menghasilkan estimasi upaya penangkapan yang lebih rendah (under estimated fishing effort). Akibatnya, produktivitas kapal yang diukur dengan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan nominal tersebut menjadi lebih tinggi dari produktivitas riil (over estimated vessel productivity) (Gambar 2). Hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan selain mencerminkan produktivitas kapal perikanan juga mengindikasikan kelimpahan sumber daya ikan. Analisis hubungan antara hasil tangkapan per unit upaya penangkapan dengan upaya penangkapan dilakukan baik dengan menggunakan upaya penangkapan nominal maupun upaya penangkapan riil. Koreksi terhadap upaya penangkapan nominal dilakukan untuk mengakomodasikan pengaruh dari perubahan daya tangkap dari tahun ke tahun, dengan indeks daya tangkap tahun 2004 sebagai standar (IDT2004=1). Hasil analisis produktivitas kapal menggunakan tingkat upaya penangkapan nominal, dengan alternatif model persamaan linear dan non linear, sebagai berikut:
Unt=194,11636-0,08930 Ent;R2=0,511; n=17 .. (6a (5,71)*** (-2,30)* ln Unt=5,42161-0,00081 Ent; R2=0,541; n=17 . (6b (18,97)*** (-2,49)* Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik model persamaan non linear lebih sesuai dengan data. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi dan nilai t-statistik yang lebih tinggi. Sementara itu hasil analisis produktivitas kapal menggunakan tingkat upaya penangkapan riil, juga dengan alternatif model persamaan linear dan non linear, sebagai berikut: Uwt=561,13205-0,46817 Ewt; R2=0,873; n=17 .(7a (11,14)*** (-6,92)*** ln Uwt=6,50573-0,00195 Ewt; R2=0,956; n=17 .(7b (56,49)*** (-12,64)*** Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa secara statistik model persamaan non linear lebih sesuai dengan data, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi dan nilai t-statistik yang lebih tinggi. Membandingkan hasil analisis yang menggunakan model persamaan non linear (persamaan (6b) dan (7b)), dapat disimpulkan bahwa koreksi terhadap
27
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 23-30
upaya penangkapan nominal untuk mengakomodasikan pengaruh perubahan daya tangkap dari tahun ke tahun telah memperbaiki hasil analisis statistik, baik koefisien determinasi maupun nilai t-statistiknya. Analisis dengan menggunakan upaya penangkapan tanpa koreksi menghasilkan persamaan (6b), dengan nilai koefisien determinasi 0,541, yang berarti bahwa hanya 54,1% dari variasi pada produktivitas kapal yang dapat dijelaskan dengan persamaan tersebut. Sementara itu, analisis dengan menggunakan upaya penangkapan yang dikoreksi dengan daya tangkap menghasilkan persamaan (7b), dengan nilai koefisien determinasi 0,956. Hal ini berarti bahwa 95,6% dari variasi pada produktivitas kapal dapat dijelaskan dengan persamaan tersebut. Dengan demikian, model produktivitas dari Fox (1970) dengan menggunakan upaya penangkapan yang dikoreksi dengan daya tangkap adalah paling sesuai untuk data hasil pengamatan pada perikanan pelagis kecil Laut Jawa. Bahasan Upaya penangkapan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah keseluruhan dari hari operasi kapal perikanan dan kemampuan kapal dalam menangkap ikan (daya tangkap kapal perikanan). Jumlah hari operasi penangkapan ikan dari seluruh kapal perikanan dipengaruhi oleh jumlah kapal dan rata-rata lama waktu operasi penangkapan dari masing-masing kapal. Sementara itu, daya tangkap kapal pukat cincin yang dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis kecil, sebagaimana ditunjukkan dari hasil analisis, dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring pukat cincin, dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Kekuatan mesin, ukuran jaring, dan kekuatan lampu yang digunakan kapal pukat cincin dalam operasi penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa cenderung meningkat, sebagaimana dijelaskan oleh Cardinale et al. (2009), sehingga daya tangkap kapal pukat cincin juga cenderung meningkat. Oleh karena itu, upaya penangkapan yang diukur dengan jumlah hari penangkapan ikan tanpa dikoreksi dengan daya tangkap kapalnya, sebagaimana dilakukan oleh Atmaja & Nugroho (2006); Nugroho (2006); Atmaja (2007), tidak akan mencerminkan tingkat upaya penangkapan secara tepat. Jumlah hari operasi penangkapan dari seluruh kapal perikanan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 2) mengindikasikan bahwa jumlah kapal perikanan juga cenderung meningkat. Di lain pihak, daya tangkap kapal perikanan juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 1). Konsekuensinya, tekanan penangkapan terhadap
28
sumber daya ikan pelagis kecil juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pengendalian terhadap kapasitas penangkapan ikan diperlukan untuk menjamin agar tekanan penangkapan tidak melebihi daya dukung sumber daya ikannya. Pemerintah telah melakukan pengendalian kapasitas penangkapan ikan untuk masing-masing perusahaan dengan menggunakan perizinan sebagai instrumennya. Dalam pengendalian perikanan pukat cincin, melalui perizinan penangkapan ikan, pemerintah telah membatasi tonase dan jumlah kapal, ukuran mata jaring, maupun daerah penangkapan, namun tidak mengatur kekuatan mesin maksimum kaitannya dengan tonase kapal. Selain itu juga belum terdapat ketentuan yang mengatur ukuran jaring kaitannya dengan ukuran kapal dan ukuran kekuatan lampu maksimum yang dapat digunakan dalam pengendaliannya. Dengan demikian, resiko ancaman terdapat kelestarian sumber daya ikan memungkinkan timbul sebagai akibat dari belum diaturnya kekuatan mesin kapal dan ukuran jaring kaitannya dengan ukuran kapal serta kekuatan maksimum lampu yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan. Untuk kebutuhan pengendalian penangkapan ikan pemerintah juga perlu mengatur hal-hal tersebut. KESIMPULAN 1. Daya tangkap kapal pukat cincin yang dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis kecil di Laut Jawa dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring pukat cincin, dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya tangkap kapal pukat cincin juga cenderung meningkat. Oleh karena itu, upaya penangkapan yang diukur dengan jumlah hari penangkapan ikan tanpa dikoreksi dengan daya tangkap tidak akan mencerminkan tingkat upaya penangkapan secara tepat. 2. Untuk kebutuhan pengendalian penangkapan ikan, Pemerintah perlu mengatur kekuatan maksimum mesin kapal, dan ukuran maksimum jaring kaitannya dengan ukuran kapal serta kekuatan maksimum lampu yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B. & D. Nugroho. 2006. Interaksi antara biomassa dengan upaya penangkapan: Studi kasus perikanan pukat cincin di Pekalongan dan
Daya Tangkap Kapal Pukat ….. Pelagis Kecil di Laut Jawa (Purwanto & D. Nugroho)
Juwana. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (1): 57-68. Atmaja, S. B. 2007. Ketidakstabilan besaran stok ikan dari model produksi surplus. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (1): 1-11. Bailey, C. & A. Dwiponggo. 1987. Indonesian marine fisheries: Structure and change. In C. Bailey et al. (eds.) Indonesian Marine Capture Fisheries. ICLARM Studies and Reviews 10. 64-88. Butcher, J. G. 1995. Extending the frontier: the marine fisheries of Southeast Asia since 1850. In J. Roch et al. (eds.) Proceedings of Socioeconomics, Innovation, and Management of the Java Sea Pelagic Fisheries (SOSEKIMA). 4-7 December 1995. Java Sea Pelagic Fishery Assessment Project. Jakarta. 19-28. Cardinale, M., D. Nugroho, & L. Hernroth. 2009. Reconstructing historical trends of small pelagic fish in the Java Sea using standardized commercial trip based catch per unit of effort. Fisheries Research. 99: 151-158. Dwiponggo, A. 1987. Indonesian marine fisheries resources. In C. Bailey et al. (eds.). Indonesian Marine Capture Fisheries. ICLARM Studies and Review 10. 10-63.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2009. Statistik Perikanan Indonesia 2007. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. Fox, W. W. 1970. An exponential surplus yield model for optimizing exploited fish populations. Trans. Amer. Fish. Soc. 1: 80-88. Nugroho, D. 2006. Kondisi trend biomassa ikan layang (Decapterus spp.) di Laut Jawa dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (3): 167174. Purwanto. 2003. Status and management of the Java Sea fisheries. 793-832. In G. Silvestre, L. Garces, I. Stobutzki, M. Ahmed, R. A. Valmonte-Santos, C. Luna, L. Lachica-Aliño, P. Munro, V. Christensen, & D. Pauly (eds.) Assessment, Management, and Future Directions for Coastal Fisheries in Asian Countries. WorldFish Center Conference Proceeding 67. 1,120 pp. Schaefer, M. B. 1957. Some considerations of population dynamics and economics in relation to the management of marine fisheries. Journal of the Fisheries Research Board of Canada. 14: 66981.
29
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 23-30
Lampiran 1. Appendix 1.
Perkembangan kekuatan mesin kapal, volume pukat cincin, dan kekuatan lampu yang dioperasikan dalam penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa, tahun 1998-2007 The development of vessel engine power, purse seine volume, and lamp power used in the small pelagic fishery of the Java Sea, 1988-2007
Keterangan/Remarks: pada tingkat upaya penangkapan ikan setara dengan kondisi tahun 1993/at the level of fishing effort equal to that of 1993
Rata-rata Rata-rata volume kekuatan pukat cincin/ Lampiran 2. Perkembangan hasil tangkapan, upaya penangkapan ikan, dan hasil tangkapan per unit mesin kapal/ Tahun/ Average purse seine upaya pada perikanan pelagis kecil di Laut Year Jawa, tahun 1998-2004 Average vessel volume power 3 Appendix 2. The development of catch, fishing effort, and catch engine per unit effort in the Java small (mSea ) (HP) pelagic fishery, 1998-2004 1988 136 785.525 1989 124 752.135 Upaya penangkapan Hasil tangkapan114 per unit upaya penangkapan 1990 728.232 (100 hari operasi)/ (ton/100 hari)/ 1991 105 715.610 Fishing effort (E) Hasil tangkapan Catch 1992 111 per unit effort 727.893 (100 fishing days) (tonnes/100 days) Tahun/ (ton)/ 1993 176 947.772 Year Catch Estimasi dengan178 E Estimasi dengan E 1994 983.847 (tonnes) 1995 nominal/ 172 952.801 Dikoreksi/ dikoreksi/ Nominal 1996 281 1.103.510 Corrected Estimation by using Estimation by using 1997 nominal E 271 1.140.173 corrected E 1998 84,21 266 1.124.842 1988 47.884 569 179 268,03 1999 110,10 263 1.157.559 1989 65.660 596 170 386,00 2000 131,85 264 1.137.954 1990 71.903 545 140 514,59 2001 169,69 263 1.131.745 1991 102.780 606 146 705,35 2002 177,16 265 1.176.435 1992 129.719 732 186 698,76 2003 271 1.147.699 1993 115.217 769 344 149,77 335,34 2004 172,64 267 1.185.732 1994 144.200 835 383 376,18 2005 270 1.142.086 1995 123.386 903 397 136,69 310,78 2006 106,77 288 1.113.484 1996 110.278 1.033 1.030 107,08 2007 284 1.176.696 1997 115.405 908 900 127,15 128,24 1998 118.077 994 970 118,83 121,70 1999 85.914 885 868 97,13 98,99 2000 82.952 892 872 92,95 95,16 2001 93.622 872 846 107,32 110,61 2002 85.337 1.203 1.192 70,94 71,57 2003 83.936 1.149 1.143 73,03 73,42 2004 79.029 1.046 1.046 75,58 75,58
30
Rata-rata kekuatan lampu Average lamp power (watt) 4.560 4.291 3.932 3.831 3.953 5.888 5.960 5.810 15.483 15.494 15.506 15.466 15.478 15.421 15.423 15.451 15.451 15.527 15.589 15.677
Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang ….. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.)
TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LAYANG ABU-ABU (Decapterus macrosoma) DAN LAYANG BIRU (Decapterus macarellus) DARI PERAIRAN KENDARI Tuti Hariati Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 10 Agustus 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Nopember 2010; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011
ABSTRAK Sumber daya ikan layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus macarellus) di perairan Pantai Kendari tertangkap dengan pukat cincin mini. Sampai saat ini kajian stok belum pernah dilakukan sehingga belum diperoleh data dan informasi tingkat pemanfaatannya. Dalam upaya pelestarian pemanfaatan sumber daya ikan layang, dilakukan pengkajian stok untuk memperoleh nilai dugaan parameter populasi dan tingkat pemanfaatan. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai alternatif kebijakan dalam perkembangan dan pengelolaan. Data frekuensi panjang kedua spesies dikumpulkan tiap bulan dari bulan Maret 2009 sampai dengan Pebruari 2010. Kemudian data dianalisis menggunakan paket program FiSAT. Hasil kajian menunjukkan, nilai tingkat pemanfaatan (E) ikan layang abu-abu (Decapterus macrosoma) di perairan Kendari sudah tinggi (0,56) melewati nilai Emax (0,47), sedangkan nilai E ikan layang biru (Decapterus macarellus) rendah (0,50) belum mencapai nilai E dengan keuntungan yang maksimal (E0,10=0,56) dan nilai E yang maksimal (0,64). Dalam rangka pengembangan pemanfaatan sumber daya ikan layang biru, alternatif perluasan daerah penangkapan dapat dilakukan ke perairan Banggai kepulauan. Untuk sumber daya ikan layang abuabu, pengembangan dapat dilakukan di sepanjang perairan pantai dekat pulau-pulau kecil dari sebelah barat Laut Kendari sampai ke perbatasan dengan wilayah Sulawesi Tengah. KATA KUNCI:
tingkat pemanfaatan, ikan layang abu-abu dan layang biru, perairan Kendari
ABSTRACT:
The exploitation rate of both short fin scad (Decapterus macrosoma) and mackerel scad (Decapterus macarellus) from Kendari waters. By: Tuti Hariati
Scads resource in the coastal waters of Kendari general caught by small purse seiner. So far, the assessment of scads stock has not been conducted that data and information of the exploitation rate was not available yet. In order to sustain the resource, assessment was carried out to obtain the population parameters and exploitation rate. The result might be used as a basic for the fisheries development or management policy. A set of length frequency data of the 2 species was collected every month from March to June 2009. These data were analyzed using the FiSAT Package Program. Results show, the value of exploitation rate (E) of short fin scad in the Kendari waters was high (0.56) exceeding the value of Emax (0.47), whereas mackerel scad was 0.50, lower than E.10 (0.56). In order to extend the exploitation of mackerel scad, it is suggested to move the fishing ground to the waters around Banggai Archipelago. The exploitation of short fin scad could be developed along the coast especially around the small islands lays from the waters north west of Kendari to the border with the Central Sulawesi Province. KEYWORDS:
exploitation rate, short fin scad, mackerel scad, Kendari waters
PENDAHULUAN Perairan Kendari di Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari perairan Laut Banda di tepi sebelah barat. Jenis-jenis sumber daya ikan yang terdapat di perairan Kendari di antaranya terdiri atas kelompok-kelompok sumber daya ikan karang (Hartati & Pralampita, 1993), ikan pelagis, demersal, dan biota laut lainnya (Linting et al., 1994). Alat tangkap sumber daya ikan pelagis di antaranya pukat cincin yang pada tahun 2008 berjumlah 98 unit, dengan hasil tangkapan yang
dominan adalah ikan tongkol (Euthynnus affinis) (pelagis besar) 60% dan ikan layang (pelagis kecil) 35% dari total hasil tangkapan yang mencapai 6.330 ton. Daerah penangkapan saat ini sampai ke Pulau Manui, lepas Pantai Kendari. Jika cuaca buruk operasi penangkapan terpusat di Pulau Saponda dan pantai utara Pulau Wowoni (Langara) dekat mulut Teluk Kendari. Ikan layang yang tertangkap dari perairan terdiri atas ikan layang abu-abu yang bersifat neritik oseanik dan layang biru yang bersifat oseanik. Kedua jenis ikan layang tersebut pada ukuran-ukuran tertentu
___________________ Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021) 6602044
31
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 31-40
dapat dijadikan sebagai umpan di dalam perikanan rawai tuna, di samping sebagai bahan dalam industri bumbu masak. Dalam upaya pelestarian pemanfaatan sumber daya ikan layang dilakukan pengkajian stok untuk memperoleh nilai dugaan parameter populasi dan tingkat pemanfaatan. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan alternatif kebijakan. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pengumpulan data sebaran frekuensi panjang ikan layang abu-abu dan layang biru dari hasil tangkapan pukat cincin contoh di perairan Kendari dilaksanakan tiap bulan dari bulan Maret 2009 sampai Pebruari 2010 (12 bulan). Daerah penangkapan pukat cincin Kendari saat ini meliputi perairan dekat Pantai Kendari ke arah utara yang banyak pulau-pulau kecil (di antaranya Pulau Umbele), arah ke timur laut yaitu di seputar Pulau Menui dan Pulau Saponda, serta Pulau Wowoni arah ke timur yang hanya berjarak 1 mil dari Kendari (di ujung Teluk Kendari). Prosedur Pengumpulan Data Pengambilan contoh sesuai dengan prosedur standar operasional (Mat et al., 2004). Berdasarkan atas prosedur dalam Sparre & Venema (1999), seperti yang dilakukan oleh Hariati & Pralampita (2008) di perairan Laut Cina Selatan. Satu keranjang ikan (40 kg) hasil tangkapan diambil secara acak dari tiap kapal contoh. Tiap-tiap jenis ikan pelagis kecil disortir lalu ditimbang. Contoh ikan layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus macarellus) dipisahkan menurut spesies kemudian panjang cagak tiap-tiap spesies diukur menggunakan kertas ukur khusus. Untuk memperoleh sebaran frekuensi panjang tiap spesies ikan layang. Pengambilan contoh pada tiap bulan dilakukan sekitar enam kali, dari satu minggu sebelum periode bulan gelap sampai satu minggu sesudahnya (tiga minggu), untuk memperoleh jumlah yang diukur tiap spesies ikan layang sekitar 300 ekor. Data frekuensi panjang dari setiap pengambilan contoh disusun dari yang terkecil sampai yang terbesar dan ditabulasi menurut nilai tengah dengan kisaran 0,5 cm. Nama kapal, tanggal pengukuran, dan komposisi jenis ikan dicatat dalam kertas ukur.
32
Hasil tangkapan per jenis ikan dari kapal contoh, terutama hasil tangkapan ikan layang (campuran dua spesies-W L) dicatat dari nakhoda kapal. Hasil tangkapan Decapterus macrosoma atau layang abuabu (WLA) dan Decapterus macarellus atau layang biru (WLB) per kapal diduga berdasarkan atas perbandingan bobot contoh tiap spesies ikan layang (Wlb dan Wld). Bobot contoh Wla dan Wlb dari tiap kali pengamatan selain dari hasil penimbangan juga dihitung ulang dari data frekuensi panjang dengan persamaan hubungan panjang dan bobot ikan layang sebagai berikut: a. Decapterus macrosoma: W=0,0066*Fl^3,2178 …….............……………. (1 b. Decapterus macarellus: W=0,0077*Fl^3,1557 ……………………….….. (2 di mana: W = bobot individu ikan FL = panjang cagak Pembobotan data contoh sebaran frekuensi panjang terhadap data frekuensi panjang tiap spesies ikan layang dari tiap kapal contoh dilakukan pembobotan (rise) terhadap hasil tangkapan tiap spesies ikan layang dalam kapal tersebut dengan rising factor (rf1)=WLA/Wla untuk ikan layang abu-abu dan WLb/Wlb untuk ikan layang deles. Seluruh data frekuensi panjang tiap spesies dari tiap kapal dalam satu bulan digabung (pooled) sehingga hanya ada satu contoh data frekuensi panjang setiap spesies pada tiap bulan. Data frekuensi panjang (pooled) bulanan dari tiap lokasi tersebut diboboti lagi terhadap hasil tangkapan bulanan ikan layang (WM) yang terdiri atas hasil tangkapan bulanan ikan layang abu-abu (WMA) dengan faktor (rf2) = WMA/”WLA(1-6), dan ikan layang biru dengan faktor (rf2) = WMD/”WLB(1-6), di mana WM = hasil tangkapan ikan layang bulanan, WMA = hasil tangkapan ikan layang abu-abu bulanan WMD = hasil tangkapan ikan layang biru bulanan. Data yang sudah disusun menurut bulan (Lampiran 1 dan 2) siap untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis Data Untuk memperoleh dugaan parameter pertumbuhan (L∞ dan K), dan parameter kematian ikan (Z, M, dan F), digunakan paket program FiSAT (Gayanilo & Pauly, 1997). Pertumbuhan ikan yang dieksploitasi mengikuti model von Bertalanffy dengan persamaan berikut:
Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang ….. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.)
Lt = L∞ -eks (K*(t-t0) …………........................... (3 di mana: Lt = panjang ikan pada umur t L∞ = rata-rata panjang maksimum K = konstanta pertumbuhan t0 = umur pada panjang 0 cm
Analisis yield per recruit relatif dilakukan terhadap data frekuensi panjang masing-masing spesies Setelah menambahkan nilai-nilai lc/L∞ dan M/K, akan keluar nilai-nilai E0,05, E0,1, dan Emax dalam grafik untuk mengetahui status pemanfaatan E saat ini. HASIL DAN BAHASAN
Data frekuensi panjang bulanan dianalisis secara langsung dengan program ELEFAN 1. Sebaran jumlah ikan menurut kelompok panjang diperoleh dari pengambilan contoh hasil tangkapan polymodal. Dalam program ELEFAN 1 modus-modus atau puncak-puncak teridentifikasi dengan proses restrukturisasi. Puncak-puncak tersebut diasumsikan mewakili kohor-kohor dan paling cocok dalam pembentukan suatu kurva pertumbuhan von Bertalanffy secara interaktif, nilai-nilai L∞ dan K dari Rn yang tertinggi.
Di perairan Kendari, sebaran frekuensi panjang ikan layang abu-abu (Lampiran 1) menunjukkan kisaran panjang 7-33 cm panjang cagak sedangkan sebaran frekuensi panjang ikan layang biru (Lampiran 2) menunjukkan kisaran panjang 14-32 cm panjang cagak. Hasil analisis dengan program FiSAT menghasilkan parameter populasi yaitu parameter pertumbuhan, kematian, dan tingkat pemanfaatan ikan layang.
Kematian total (Z) diperoleh dari analisis kurva penangkapan yang dikonversikan ke panjang (length converted catch curve):
Dalam Tabel 1 tercantum panjang asimptotik (L∞ ) Decapterus macrosoma (ikan layang abu-abu) dan Decapterus macarellus (ikan layang biru) yang diperoleh dari perairan Kendari memiliki panjang maksimum masing-masing 34 dan 34,7 cm Tl. Di perairan Teluk Ambon yang juga bagian dari perairan Laut Banda pada tahun 1996 diperoleh nilai L∞ yang tidak jauh berbeda. Ikan layang abu-abu yang tertangkap di perairan paparan seperti perairan Natuna dan Anambas (Hariati & Pralampita, 2008); perairan Tawi-Tawi (Aripin & Showers, 2000); dan perairan Teluk Honda (Ramos et al., 2003) keduanya di Filipina, serta perairan Karnabha di India (Rohit & Shanbhogue, 2005) memiliki nilai-nilai L∞ yang lebih rendah (23 cm Tl). Dalam daur hidupnya, ikan layang abu-abu hidup di perairan paparan kemudian bermigrasi ke laut yang lebih dalam (Potier, 1995). Nilai L∞ ikan layang biru di perairan Kendari berada dalam kisaran nilai L∞ di perairan Teluk Tomini (Anonimus, 2005) yang letaknya relatif dekat; sedangkan L∞ ikan layang biru di perairan Sri Langka (Dayaratne, 1997), Samudera Hindia bernilai lebih tinggi.
Ln (C(L1, L2)/dt(L1,L2)) = c-Z*(t*((L1+L2)/2) ......... (4 Dalam analisis ini, digunakan data frekuensi panjang dan nilai-nilai L∞ dan K sebagai input. Setelah kurva terbentuk dipilih data panjang ikan yang terkena eksploitasi, untuk dianalisis (regresi) menghasilkan Z (-b). Kematian alami (M) diduga dengan rumus empiris Pauly dalam Sparre & Venema (1999): M = Exp(-0,0152-0,279*Ln L∞ +0,6543*Ln K+0,463* Ln T) ..(5
di mana: T = suhu perairan dari survei laut di daerah penangkapan 29°C dimasukan sebagai input Mengingat ikan layang mempunyai sifat menggerombol (Sparre & Venema, 1999) maka nilai M dikoreksi menjadi 20% lebih rendah, sehingga rumus Pauly tersebut menjadi: M = 0,8* Exp(-0,0152-0,279*Ln L”+0,6543*Ln K+0,463*Ln T) . (6
Kematian karena penangkapan (F) diperoleh dari nilai Z dikurangi M, sedangkan dugaan tingkat pemanfaatan (E) dari F dibagi Z. Selanjutnya, panjang pertama kali tertangkap (lc) masing-masing spesies ikan layang diperoleh dari probability of capture.
Parameter Pertumbuhan
Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa nilai-nilai konstanta pertumbuhan (K) ikan layang abu-abu di perairan Anambas dan Natuna dan perairan lainnya relatif tinggi dibandingkan dengan di perairan Kendari atau memiliki kecepatan pertumbuhan yang lebih besar, diduga karena L∞ yang lebih pendek dan juga akibat tingginya eksploitasi.
33
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 31-40
Tabel 1. Table 1.
Parameter pertumbuhan dua spesies ikan layang dari perairan Kendari dan perairan-perairan lainnya di wilayah Asia Tenggara Growth parameter of the 2 species of scads from Kendari waters and others in the South East of Asia Region
0,68
Perairan/ Waters Ambon
Tahun/ Year 1996
0,77 1,3 0,75 1,20 1,20 0,87 0,80 1,0-1,1 0,92
Tawi-tawi Honda Bay Karnabha Natuna Anambas Kendari Sri Lanka TelukTomini Kendari
2000 2003 2005 2005 2005 2009 1997 2003 2009
Spesies/Species
L∞ (cm)
K
Decapterus macrosoma
35,0
Decapterus macrosoma Decapterus macrosoma Decapterus macrosoma Decapterus macrosoma Decapterus macrosoma Decapterus macrosoma Decapterus macarellus Decapterus macarellus Decapterus macarellus
24,9 24,76 23,8 24,60 23,1 33,8 41,2 33-36 35,98
Gambar 1. Figure 1.
34
Keterangan/Remarks Syahailatua & Sumadiharga (1996); Syahailatua (1997) Aripin & Showers (2000) Ramos et al. (2003) Rohit & Shanbhogue (2005) Hariati & Pralampita (2008) Hariati & Pralampita (2008) This research Dayaratne (1997) Anonimus (2005) This research
Kurva pertumbuhan layang abu-abu Decapterus macrosoma (atas) dan Decapterus macarellus (bawah) yang tertangkap dari perairan Kendari. Growth curve of mackarel scad Decapterus macrosoma (above) and Decapterus macarellus (under) caught from Kendari waters.
Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang ….. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.)
Dalam Gambar 1 berdasarkan atas pangkal dari garis pertumbuhan, diperoleh petunjuk musim pemijahan ikan layang abu-abu dari perairan Kendari berlangsung sekitar bulan September, sedangkan untuk ikan layang biru sekitar bulan Oktober. Dugaan ini perlu diperjelas dengan hasil pengamatan kematangan gonad yang dilakukan secara kontinu. Suwarso et al. (2008) berdasarkan atas pengamatan kematangan gonad, menemukan bahwa musim pemijahan ikan layang di perairan Laut Cina Selatan berlangsung dari akhir musim timur (bulan Agustus) berlanjut sampai musim peralihan 2 (bulan September sampai Nopember). Parameter Kematian Dalam Tabel 2 ditunjukkan bahwa nilai-nilai parameter kematian total (Z), kematian alami (M), dan kematian karena penangkapan (F) ikan layang abuabu dan layang biru dari perairan Kendari relatif rendah dibandingkan dengan nilai-nilai Z, M, dan F ikan layang Tabel 2. Table 2.
abu-abu dari perairan Teluk Ambon dan Natuna. Hal ini menyebabkan tingkat pemanfaatan (E) ikan layang abu-abu dan layang biru dari perairan Kendari juga relatif lebih rendah daripada di kedua perairan tersebut. Diduga karena pemanfaatan sumber daya ikan layang abu-abu secara intensif menggunakan pukat cincin di perairan Kendari relatif belum lama. Adapun nilai E ikan layang abu-abu dari perairan Kendari saat ini hampir sama dengan nilai E ikan layang abu-abu dari perairan Anambas sedangkan nilai E ikan layang biru dari perairan Kendari menyamai nilai E jenis ikan yang sama dari perairan Teluk Tomini. Dalam Tabel 2 terlihat bahwa nilai-nilai F (kematian karena penangkapan) ikan layang abu-abu hampir di setiap perairan relatif lebih tinggi dari nilai M masingmasing. Artinya di perairan-perairan tersebut telah mengalami tekanan penangkapan dengan intensitas masing-masing. Kecuali di perairan Teluk Tomini di mana kisaran nilai F tidak jauh dari kisaran nilai M sehingga memiliki nilai E yang sama.
Parameter kematian (Z, M, dan F) dan tingkat pemanfaatan (E) ikan layang dari perairan Kendari dan di perairan lainnya di wilayah Asia Tenggara Mortality parameters and exploitation rate (E) of scads from Kendari waters and others in the South East of Asia region Spesies/Species Decapterus macrosoma Decapterus macrosoma Decapterus macrosoma Decapterus macrosoma Decapterus macrosoma Decapterus macarellus Decapterus macarellus
Gambar 2. Figure 2.
Z 2,94 4,86 3,49 5,09 4,11 2,4-2,5 2,68
M 1,29 0,92 1,59 1,76 1,75 1,0-1,1 1,34
F 1,65 3,94 1,90 3,33 2,36 0,8-1,3 1,34
Kurva penangkapan dan parameter kematian Decapterus macrosoma (kiri) dan Decapterus macarellus (kanan) dari perairan Kendari. Catch curve and mortality parameters of both Decapterus macrosoma and Decapterus macarellus (right) from Kendari waters.
35
0
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 31-40
Untuk ikan layang biru dari perairan Kendari, nilai F sama dengan nilai M sehingga tingkat pemanfaatan (E) ikan layang abu-abu bernilai 0,50 (Tabel 2 dan Gambar 2). Maka di perairan Kendari nilai E ikan layang biru lebih rendah dibandingkan dengan nilai E ikan layang abu-abu. Diduga ada kaitannya dengan ketersediaan ikan layang abu-abu di perairan Kendari yang selama pengamatan lebih melimpah daripada ikan layang biru. Ini berarti bahwa daerah penangkapan di perairan Kendari memiliki kondisi lingkungan yang lebih cocok untuk kehidupan ikan layang abu-abu (neritik oseanik) daripada ikan layang biru yang lebih cocok hidup di perairan oseanik. Dalam Gambar 3, persentase keberadaan ikan layang biru dalam hasil tangkapan selama pengamatan makin berkurang sedangkan ikan layang abu-abu semakin meningkat dan mencapai 100% pada bulan Maret 2010. Diduga karena turunnya kadar garam di perairan Kendari (daerah pantai Laut Banda) akibat saat itu sering terjadi hujan.
Status Tingkat Pemanfaatan Status tingkat pemanfaatan ikan layang abu-abu dari perairan Kendari saat ini (Epresent) dalam Tabel 4 dan Gambar 4 (kiri) sudah melewati tingkat-tingkat E0,05 (E=0,29), E0,1 (E=0,35), dan Emax, (E=0,47) sudah berada di bagian kanan kurva yang berarti upaya di daerah penangkapan yang sekarang sudah berlebih dan jika terus-menerus dilakukan akan membahayakan stok ikan layang. Tabel 4.
Table 4.
Status tingkat pemanfaatan ikan layang abu-abu dan layang biru dari perairan Kendari Status of exploitation rate of both short fin scad and mackerel scad caught from Kendari waters
Pengembangan daerah penangkapan Decapterus macrosoma dapat dilakukan ke arah utara di perairan sepanjang pantai Sulawesi Tenggara, terutama di pulau-pulau kecil dari sebelah barat Laut Kendari (Pulau Bahulu) sampai perbatasan dengan Sulawesi E050 E10 E Epresent 100%Spesies/Species Tengah seperti di Kepulauan Umbele dan max Kepulauan Decapterus macrosoma 0,29 0,35 0,47 0,56 90% Salabangka. Decapterus macarellus 0,35 0,56 0,64 0,50 80%
Gambar 3.
Figure 3.
36
Perbandingan persentase ikan layang abu-abu dan layang biru yang tertangkap dari perairan Kendari. Percentage ratio of both short fin scad and mackerel scad caught from Kendari waters.
Adapun Epresent dari ikan layang biru berada di 70% sebelah kiri nilai-nilai E0,1 dan Emax (Gambar 4, kanan) 60% antara lain disebabkan karena hasil tangkapan ikan 50% biru di daerah penangkapan saat ini kurang. layang Keberadaan ikan layang biru yang lebih melimpah 40% diduga terdapat di luar daerah penangkapan sekarang 30% salah satu di antaranya di sekitar mulut Teluk Tomini 20% bagian selatan tepatnya di perairan Banggai, Provinsi 10% Sulawesi Tengah, arah ke utara dari perairan Kendari. Menurut Anonimus (2005) perairan Banggai kaya akan 0% M nabati A M sebagai J J makanan A S Oikan N layang D J biru. F plankton Month 2009-2010 Layang abu-abu
Layang biru
M
Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang ….. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.)
Gambar 4. Figure 4.
Kurva yield per recruit relative ikan layang abu-abu Decapterus macrosoma (kiri) dan layang biru Decapterus macarellus (kanan) dari perairan Kendari. Curve of relative yield per recruit of short fin scad Decapterus macrosoma (left) and mackerel scad Decapterus macarellus (right) caught from Kendari waters.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Nilai tingkat pemanfaatan (E) ikan layang abu-abu di perairan Kendari sudah tinggi (0,56) melewati nilai Emax (0,47), sedangkan nilai E ikan layang biru rendah (0,50) belum mencapai nilai E dengan keuntungan yang maksimal (E0,10=0,56) dan nilai E yang maksimal (0,64). Saran Dalam rangka pengembangan pemanfaatan sumber daya ikan layang biru, perluasan daerah penangkapan diduga dapat dilakukan ke perairan Banggai kepulauan. Untuk sumber daya ikan layang abu-abu, pengembangan dapat dilakukan di sepanjang perairan pantai dekat pulau-pulau kecil di barat Laut Kendari sampai ke perbatasan dengan wilayah Sulawesi Tengah. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset studi hubungan filogenetik dan biologi ikan layang (Decapterus spp. famili Carangidae) di Indonesia Tahap II, T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Aripin, I. E. & P. A. T. Showers. 2000. Population parameters of small pelagic f Vol. 23 ishes caught of Tawi-tawi. Philippines. Naga. 4: 21-26.
Anonimus. 2005. Teluk Tomini: Ekologi, Potensi Sumber Daya, Profil Perikanan, dan Biologi Beberapa Jenis Ikan Ekonomis Penting. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Bada Riset Kelautan dan Perikanan. 114 pp. Dayaratne, P. 1997. Review of small pelagic fishes of Sri Lanka. In Devaraj, M. & P. Martosubroto (Eds.) Small pelagic fishes in Asia-Pasific region. Proceeding of the APFIC Working Party on Marine Fishes. 1st Session 13-15 May 1997. Bangkok. Thailand. R. A. P. Publication 1997/31. 300-336. Gayanilo, Jr. F. C. & D. Pauly. 1997. FiSAT-reference manual. ICLARM. Food and Agriculture Organization. 262 pp. Hartati, S. T. & W. A. Pralampita.1993. Potensi dan tingkat pengusahaan sumber daya perikanan kerang ekonomis penting di perairan Kendari, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 76: 59-66. Hariati, T. & W. A. Pralampita. 2008. Analisis frekuensi panjang ikan layang dari perairan Laut Cina Selatan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V: Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2008. Jilid 2 Manajemen Sumber Daya Perikanan. No. Paper MS-7. Kerja Sama Jurusan Perikanan dan Kelautan. Fakultas Pertanian. Universitas Gadja Mada dengan Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 9 pp.
37
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 31-40
Linting, M. L., Badruddin, & N. Wirdaningsih. 1994. Indeks kelimpahan stok sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 87: 48-55. Mat, I. M., S. Siriraksophon, R. Rumpet, S. A. S. A. Kadir, S. Ishikawa, & M. Supongpan. 2004. Standard Operating Procedures for Data Collection and Analysis in the South China Sea. 9 pp. Potier, M. 1995. Biodynex workshop. In Biodynex. Potier, M. & S. Nurhakim Eds. AARD Indonesian Ministry of Agriculture. Orstom. European Union. 263-272. Ramos, M. H., M. B. Caudelario, E. M. Mendoza, & F. C. Gonzales. 2003. An Assessment of the Honda Bay Fisheries. Ramos. pdf. Adobe Reader. 50 pp. Rohit, P. & S. L. Shanbhogue. 2005. Age and growth of Decapterus russelli and Decapterus macrosoma
38
along Karnataka coast. India. Jur. Mar. Biol. Ass India. 47 (2) July-December 2005. 180-184. Syahailatua, A. & K. Sumadiharga. 1996. Dinamika populasi dua jenis ikan layang (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma) di Teluk Ambon. TORANI Buletin Ilmu Kelautan. 1 (6): 31-46. Syahailatua, A. 1997. Aspek biologi dan eksploitasi sumber daya perikanan ikan layang Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma di Teluk Ambon. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional. IKN 218-IKN 223. Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I: Manual. Food and Agriculture Organization. UNO. 438 pp. Suwarso, A. Zamroni, & Wudianto. 2008. Biologi reproduksi dan dugaan musim pemijahan ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14 (4): 379-390.
Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang ….. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.)
Lampiran 1. Appendix 1.
Frekuensi panjang ikan layang abu-abu dari perairan Kendari bulan Maret 2009 sampai Pebruari 2010 Length frequency distribution of scad from Kendari waters March 2009 to February 2010
Mid length 7,25 7,75 8,25 8,75 9,25 9,75 10,25 10,75 11,25 11,75 12,25 12,75 13,25 13,75 14,25 14,75 15,25 15,75 16,25 16,75 17,25 17,75 18,25 18,75 19,25 19,75 20,25 20,75 21,25 21,75 22,25 22,75 23,25 23,75 24,25 24,75 25,25 25,75 26,25 26,75 27,25 27,75 28,25 28,75
Maret 2009
2.028 1.014 1.014 10.826 16.989 11.995 33.070 54.710 87.261 100.045 70.364 89.634 108.088 96.418 83.288 62.395 33.728 41.990 28.755 59.943 48.851 37.709 18.331 10.002 5.328 2.658 1.014 1.656 5.970
April
3.409 6.072 2.936 3.652 8.093 19.312 37.432 39.754 44.509 40.218 56.471 61.173 54.684 40.797 44.004 38.719 44.130 29.845 20.046 5.503 2.184 7.314 1.782 11.737 3.380 2.672
Mei
2.332 2.553 5.921 8.103 11.178 11.354 15.692 12.987 16.904 10.871 22.593 17.491 20.525 15.426 17.236 23.639 11.964 11.670 14.026 14.169 12.624 16.682 17.360 20.128 18.578 20.929 17.597 23.598 22.067 11.953 10.342 5.120 7.489 5.034 2.249 1.552
Juni
61.280 142.103 194.467 268.268 272.488 376.599 311.693 405.693 260.903 542.233 419.786 492.604 370.223 413.654 567.332 287.131 280.080 336.621 340.051 302.972 400.373 416.651 483.073 445.884 502.307 422.322 566.341 529.618 286.882 248.206 122.868 179.725 120.825 53.967 37.254
Juli
633 1.075 1.211 49.80 1.012 5.631 10.620 5.526 6.854 6.697 9.178 17.061 16.422 19.065 32.351 49.085 71.296 86.800 60.010 79.755 91.786 109.374 79.645 72.643 85.598 68.466 112.427 96.976 72.132 80.207 46.385 53.223 30.323
Agustus
59 0 253 693 1.384 1.201 461 878 1.597 3.389 5.854 4.283 5.104 5.682 11.819 16.119 9.605 13.198 13.890 13.290 21.401 22.540 22.847 30.066 33.476 42.337 41.175 43.101 54.011 62.061 56.120 53.693 45.532 68.341 72.791 48.907 39 47.637 78.141 70.664 54.196 51.882
September 44 271 530 960 1.052 1.020 1.331 2.792 1.077 3.304 4.014 3.491 9.118 10.957 10.755 12.017 10.033 12.190 14.065 12.275 15.624 19.464 22.135 15.788 18.193 16.465 20.223 32.167 33.339 37.426 57.981 67.468 55.658 61.588 78.603 63.520 50.806 20.615 19.189 23.303 6.183 9.834 10.415 10.415
1 1 5 5 4 6 5 9 9 8 1 2 2 2 2 3 4 3 2 3 3 2 4 5 6 5 6 5 5 6 8 8 1.1 1.1 9 5 3 7 5 4 5 4
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 31-40
Lampiran 2. Appendix 2.
Mid length 14,25 14,75 15,25 15,75 16,25 16,75 17,25 17,75 18,25 18,75 19,25 19,75 20,25 20,75 21,25 21,75 22,25 22,75 23,25 23,75 24,25 24,75 25,25 25,75 26,25 26,75 27,25 27,75 28,25 28,75 29,25 29,75 30,25 30,75 31,25 31,75
40
Maret 2009
1.633 1.633 0 7.917 20.026 14.770 12.880 22.301 30.705 38.446 19.604 28.840 41.425 27.333 36.152 31.813 61.083 40.241 36.645 33.239 40.760 35.537 14.010 10.034 7.005 1.977 7.016 1.000 988 4.953 988
Frekuensi panjang ikan layang biru dari perairan Kendari Length frequency distribution of scad from Kendari waters
April
2.079 2.258 4.192 676 2.079 2.258 4.192 1.604 7.755 16.018 35.258 37.667 47.538 31.295 47.649 29.353 29.791 37.694 28.965 18.369 12.437 14.598 4.880 4.614 839 419 419
Mei 869 2.599 3.459 11.808 7.998 21.554 20.855 22.355 33.588 37.197 42.171 36.798 54.763 52.032 52.460 30.748 22.449 20.291 11.415 26.803 11.965 15.849 8.519 4.379 3.372 689 689 689
Juni
2.577 2.577 4.241 11.420 4.828 5.679 20.591 8.188 26.054 6.744 19.303 15.617 22.990 40.352 47.082 47.921 52.268 56.463 63.953 47.119 48.835 62.182 49.715 38.854 26.302 22.531 7.479
Juli
8.407 8.407 0 0 0 8.407 8.407 0 10.872 0 24.653 156.077 208.983 167.313 55.518 185.630 256.988 290.185 113.579 136.215 121.227 334.579 310.751 143.809 99.914 0 6.188
Agustus
September
Oktober
Nopember
4.190 4.190 4.190 19.968 8.380 20.949 31.557 40.205 36.015 45.865 68.144 66.978 104.628 75.522 114.746 84.392 77.157 12.161
5.347 0 0 9.155 35.036 15.272 63.738 57.201 68.410 74.587 131.235 79.796 70.383 54.322 36.382 25.367 32.620 5.944
3.294 0 0 4.768 24.112 8.973 34.194 37.640 62.042 38.143 99.374 78.599 69.650 35.664 34.066 17.533 33.844 9.215
66.874 0 0 96.799 489.481 182.148 694.146 764.099 1.259.450 774.298 2.017.294 1.595.553 1.413.886 723.974 691.548 355.925 687.025 187.056
Desember
1.672 7.513 17.468 23.888 23.598 30.879 25.216 27.678 21.870 22.472 20.254 24.580 28.693 11.537
Januari 2010
Pebruari
803 0 0 3.255 2.408 4.113 5.699 20.733 21.471 20.327 12.739 8.556 13.992 7.380 9.175 4.852 5.182
2.369 4.996 11.942 11.580 18.444 15.315 11.685 9.944 10.996 11.196 5.733 2.906
Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan ........ Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.)
PROPORSI UDANG DAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PERIKANAN PUKAT UDANG DI SUB AREA LAUT ARAFURA Bambang Sumiono, Aisyah, dan Badrudin Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 25 Nopember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 Pebruari 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011
ABSTRAK Dengan mengurangi hasil tangkapan sampingan secara sadar, nelayan udang telah ikut membantu menjamin kesehatan, keanekaragaman dan keutuhan lingkungan perairan; meningkatkan stok udang dengan cara mengurangi penangkapan yuwana udang; dan melindungi stok ikan dengan cara membiarkan yuwana dan ikan dewasa lolos dari tertangkap jaring. Kajian ini membahas lebih dalam proporsi udang dan ikan demersal pada perikanan pukat udang di Laut Arafura. Gambaran umum masalah hasil tangkapan sampingan yang utama dalam perikanan udang di Indonesia adalah tingginya hasil tangkapan sampingan sehingga mengurangi proporsi udang yang diperoleh. Proporsi udang dan hasil tangkapan sampingan pada perikanan udang di Laut Arafura bervariasi baik pada sub area ataupun tahunan. Makin tinggi proporsi hasil tangkapan sampingan, makin kecil proporsi udang yang diperoleh. Bertentangan dengan logika umum di mana setelah hampir empat dekade eksploitasi, ada anggapan proporsi udang terhadap ikan makin mengecil, ternyata tren persentase udang terhadap ikan periode tahun 1982-2008 cenderung naik, sedangkan di sub area Kaimana relatif stabil sebagaimana tampak pada tren yang hampir mendatar. Tren proporsi udang Laut Arafura periode tahun 1982-2008 yang cenderung naik tampaknya ditopang (supported) oleh data proporsi udang dari sub area Aru. KATA KUNCI:
proporsi udang, hasil tangkapan sampingan, sub area Aru, Kaimana, Dolak, Laut Arafura
ABSTRACT:
Shrimp and bycatch proportion in the shrimp trawl of the Arafura Sea shrimp fisheries. By: Bambang Sumiono, Aisyah, and Badrudin
By reducing bycatch, the shrimp fishers involved intentionally in ensuring environmental health, biodiversity, and environmental integrity; increasing shrimp stock by reducing catch of juvenile; and protect the stock through releasing juvenile and adult fish caught by the net. This study discusses the proportion of shrimp and demersal fish as bycatch in the Arafura Sea shrimp fisheries. The main picture regarding bycatch in shrimp fisheries in Indonesia is that the higher level of bycatch will lead to the decreasing percentage of shrimp in the net. The annual proportion of shrimp and bycatch in the Arafura Sea shrimp fisheries varied in both by sub area and from year to year. The higher the proportion of bycatch causes the lower the proportion of shrimp. Contrary with public opinion that after more than four decades of shrimp exploitation in which proportion of shrimp in the catch becoming smaller and smaller, in fact, the trend of shrimp percentage in the catch during 19982-2008 have been increasing. The trend of shrimp proportion in Kaimana sub area was almost horizontal/stable, while in the total Arafura Sea (Kaimana, Aru, and Dolak combined) was increasing. The proportion of shrimp on demersal fish in the Arafura Sea was likely supported by the proportion of shrimp from Aru sub area. KEYWORDS:
shrimp proportion, bycatch, Aru sub area, Kaimana, Dolak, Arafura Sea
PENDAHULUAN Perikanan trawl udang secara komersial di perairan Arafura dan sekitarnya dengan menggunakan teknik dan peralatan modern dimulai sejak tahun 1969 melalui usaha patungan antara Indonesia dengan Jepang dan dalam pengembangannya sudah menjadi usaha Penanaman Modal Dalam Negeri. Basis operasional kapal penangkapan udang terutama terdapat di Sorong, Tual, Bintuni, Benjina, Merauke, dan Kendari. Menurut Naamin (1984) daerah penangkapan udang yang diusahakan secara intensif di Laut Arafura seluas
131.500 km2. Secara geografis dan pemusatan daerah penangkapan dapat dibagi menjadi empat lokasi, yaitu sub area I atau kawasan kepala burung dengan luas lebih kurang 27.500 km2 meliputi perairan Selat Sele dan Teluk Bintuni; sub area II yaitu kawasan FakFak, sekitar Pulau Adi, dan Kaimana sampai muara Sungai Uta dengan luas sekitar 24.000 km2; sub area III yang meliputi kawasan sekitar Pulau Aru dengan luas 32.000 km2; sub area IV yang meliputi perairan Kokonao, Aika, Mimika, Aiduna, muara Sungai Digul, dan Dolak dengan luas sekitar 48.000 km2 (Lampiran 1 dan Tabel 1).
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail:
[email protected]
41
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 41-49
Perairan di kawasan barat Laut Papua relatif cukup tenang dan banyak muara sungai besar dan kecil. Perairan dengan kondisi tersebut merupakan daerah penangkapan udang. Perairan paparan Laut Arafura yang dangkal merupakan salah satu daerah penangkapan sumber daya ikan demersal yang paling produktif di Indonesia, karena perairan tersebut secara regular diduga diperkaya oleh nutrient rich upwelling dari Laut Banda dan tambahan nutrien dari sungaisungai yang bermuara yang berasal dari kawasan terrestrial Papua dengan hutan mangrove yang padat. Kondisi ini yang diduga merupakan sumber kesuburan perairan Laut Arafura sektor Indonesia yang mengakibatkan berkembangnya populasi sumber daya ikan demersal termasuk sumber daya udang. Dibandingkan dengan kawasan sekeliling Laut Arafura, produktivitas primer yang tertinggi terdapat di pantai barat daya Papua (Purwanto, 2008). Penangkapan pada umumnya dilakukan pada kedalaman antara 5-40 m. Dasar perairan terdiri atas lumpur berpasir dan berwarna abu-abu. Di sepanjang Pantai Sele, Teluk Bintuni, dan Kaimana terdapat hutan mangrove yang cukup luas, demikian pula daerah Dolak. Penangkapan udang di muara Sungai Digul dan sekitar Dolak dilakukan pada kedalaman antara 5-50 m. Dasar perairan pada umumnya berlumpur, kadang-kadang terdiri atas campuran antara lumpur dan pasir, di mana sering terdapat kulit kepiting dan kerang-kerangan. Warna air yang kecoklatan menunjukkan besarnya pengaruh aliran sungai. Perairan di sekitar Kepulauan Aru dasar perairannya agak keras, terdiri atas lumpur campur pasir atau pasir. Di sepanjang Pantai Kepulauan Aru pada umumnya terdapat hutan mangrove. Penangkapan udang dilakukan pada kedalaman antara 5-50 m.
42
Tulisan ini disusun sebagai informasi tambahan tentang kecenderungan (trend) proporsi udang dan ikan (yang menjadi hasil tangkapan sampingan) pada perikanan pukat udang di Laut Arafura, yang dapat merupakan informasi tambahan bagi pemanfaatan dan pengelolaannya. BAHAN DAN METODE Data yang dianalisis merupakan sebagian hasil survei atau penelitian yang dilakukan pada periode tahun 1981-2008 oleh peneliti Balai Riset Perikanan Laut atau Pusat Riset Perikanan Tangkap dan para perekayasa Balai (Besar) Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang, dan sejumlah kajian referensi yang lebih bersifat desk study (Tabel 1). Data tersebut pada umumnya merupakan data laju tangkap udang dari kapal-kapal penangkap komersial dari sejumlah perusahaan anggota Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang dan data tambahan dari kapal penelitian dan kapal latih Sekolah Tinggi Perikanan. Sejumlah informasi tambahan diperoleh melalui wawancara dengan beberapa nakhoda dan anak buah kapal pukat udang yang berbasis di Ambon, Tual, Sorong, dan Merauke. Data tersebut diolah melalui analisis tren sehingga kecenderungannya dapat diidentifikasi apakah naik, menurun, atau mendatar. Karena analisis tersebut hanya mengidentifikasi tren, maka keeratan hubungan yang dicirikan oleh tingginya koefisien korelasi, antara kedua parameter yang dianalisis tidak dilakukan. Tren yang mendatar menunjukkan bahwa proporsi udang dan ikan yang menjadi hasil tangkapan sampingan pukat udang relatif stabil. Trend yang naik menunjukkan bahwa proporsi udang cenderung naik dengan berjalannya waktu dan tingkat eksploitasi, sebaliknya jika trend tersebut menurun merupakan indikasi bahwa populasi udang secara keseluruhan adalah makin berkurang.
Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan ........ Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.)
Tabel 1. Table 1.
Tahun/ Year 1992 1993 1993 1995 1996 1997 1998 2001 2002 1982 1991 1993 1996 1997 1998 2001 2002 2004 2008 1982 1982 1985 1993 2006 2008
Proporsi hasil tangkapan sampingan dan udang di sub area Laut Arafura Bycatch and shrimp proportion in the Arafura Sea sub areas
Sub area/ Sub area I Bintuni I Bintuni II Kaimana II Kaimana II Kaimana II Kaimana II Kaimana II Kaimana II Kaimana III Aru III Aru III Aru III Aru III Aru III Aru III Aru III Aru III Aru III Aru IV Dolak IV Dolak IV Dolak IV Dolak IV Dolak IV Dolak
Luas/ 2 Width (km ) 27.500 24.000
32.000
48.000
HASIL DAN BAHASAN Hasil Tangkapan Sampingan (Bycatch) Dalam arti luas, hasil tangkapan sampingan adalah semua hasil tangkapan selain target penangkapan baik hewan (termasuk ikan) ataupun material non hayati yang disebut debris. Dalam perikanan trawl udang, hasil tangkapan sampingan dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang tidak diniatkan untuk tertangkap, misalnya penyu, ikan, kepiting, cucut, pari, bongkahan karang, tanaman air, dan debris. Hasil tangkapan sampingan juga termasuk hewan-hewan dan material non hayati yang berinteraksi dengan alat tangkap tapi tidak sampai naik ke dek kapal, seperti karang (coral) dan tanaman air (weed) yang disapu oleh tali ris bawah serta ikanikan kecil yang terjerat oleh jaring. Interaksi tersebut walaupun berlangsung hanya sekejap tapi merupakan penyebab mortalitas (kematian) yang tidak diperhitungkan. Hasil tangkapan sampingan yang seperti ini belum diteliti secara memadai. Jika tidak diperhitungkan akan bertentangan dengan kaidah perikanan yang berlanjut (sustainable fisheries) dan dapat merupakan ancaman bagi kesehatan ekosistem.
Rasio HTS/ Bycatch ratio 9:1 5:1 4:1 5:1 9:1 8:1 8:1 5:1 6:1 11:1 13:1 12:1 8:1 11:1 13:1 12:1 4:1 17:1 6:1 18:1 19:1 21:1 12:1 12:1 12:1
Sumber/Sources Prisantoso et al. (1992) Badrudin & Karyana (1993) Badrudin & Karyana (1993) Nasution (1997) Widodo (1997) Suharyanto (1997) Sumiono et al. (1998) Sumiono & Wiadnyana (2008) Budihardjo & Budiman (2003) Sumiono (1982) Widodo (1991) Widodo (1997) Widodo (1997) Suharyanto (1997) Sumiono et al. (1998) Sumiono & Wiadnyana (2008) Suariyoto et al. (2002) Purnomo (2004) Sumiono & Hargiyatno (2009) Sumiono (1982) Naamin & Sumiono (1983) Rusmadji & Soselisa (1985) Badrudin & Karyana (1993) Anonimous (2006) Sumiono & Hargiyatno (2009)
Penangkapan ikan trawl relatif merupakan metode penangkapan yang tidak selektif, karena besarnya volume hasil tangkapan sampingan yang tertahan dalam kantong jaring yang terdiri atas ratusan jenis (species). Pada perikanan industri yang besar hasil tangkapan sampingan ini dibuang (discarded) kembali ke laut. Pada perikanan skala kecil hasil tangkapan sampingan tersebut mempunyai nilai komersial dan dapat digunakan untuk konsumsi manusia ataupun hewan. Di Asia Tenggara dan Afrika Barat, bagian dari hasil tangkapan sampingan tersebut disebut ikan rucah (trash fish). Di Australia bagian hasil tangkapan yang dapat dijual tersebut disebut byproduct (Eayrs, 2007). Permasalahan Hasil Tangkapan Sampingan Masalah hasil tangkapan sampingan yang utama dalam perikanan udang di Indonesia adalah tingginya tingkat hasil tangkapan sampingan yang dibuang (discard) dari industri perikanan udang di Laut Arafura, dampak buruk secara biologis dari perikanan udang skala kecil, langkah-langkah yang memadai untuk mengurangi masalah hasil tangkapan sampingan dan kesulitan penegakkan hukum terkait dengan peraturan
43
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 41-49
hasil tangkapan sampingan. Dalam kajiannya, Kelleher (2005) vide Gillett (2006), memberikan komentar tentang hasil tangkapan sampingan yang dibuang, kecuali Laut Arafura perikanan trawl udang di sebagian besar Asia Tenggara telah sepakat bahwa laju hasil tangkapan sampingan yang dibuang adalah sekitar 1%, suatu jumlah yang oleh para ahli dianggap insignificant. Perikanan trawl udang Laut Arafura telah membuang sekiar 80% dari hasil tangkapan total yang jumlahnya sekitar 230.000 ton/tahun. Walaupun telah diintroduksikan alat pemisah hasil tangkapan sampingan (bycatch exclusion devices), total hasil tangkapan sampingan yang dibuang masih tinggi, karena lemahnya penegakan hukum dari peraturan yang ada dan tidak adanya pasar setempat yang dapat menyerap hasil tangkapan sampingan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan perikanan udang tersebut terletak sangat jauh dari pusat-pusat pemukiman. Pada tahun 2001 Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan memberikan informasi tambahan tentang Laut Arafura di mana hasil tangkapan sampingan yang didaratkan lebih rendah karena beberapa faktor operasional dan kondisi sosio ekonomi setempat. Faktor operasional tersebut antara lain kecilnya ukuran kapal (sehingga tidak cukup ruangan untuk menyimpan hasil tangkapan sampingan), waktu yang diperlukan dalam penanganan hasil tangkapan sampingan dan waktu berlayar yang singkat antara daerah penangkapan dan tempat pendaratan (Ambon, Sorong). Faktor sosial ekonomi antara lain rendahnya harga ikan hasil tangkapan sampingan di pasar lokal dan tingginya biaya penyimpanan dan pengangkutan, padahal jumlahnya dapat mencapai lebih dari 300.000-an ton/ tahun (Purbayanto et al., 2004). Dari tahun 1999 sampai saat ini jumlah ikan yang dibuang (discarded catches) dan hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (misreported) cenderung menurun (Wagey et al., 2009). Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1982 mensyaratkan bahwa alat pemisah hasil tangkapan sampingan digunakan pada pukat udang. Dalam keputusan tersebut juga dikatakan bahwa hasil tangkapan sampingan tersebut diserahkan kepada perusahaan milik pemerintah. Kapal pukat udang di Laut Arafura diharuskan untuk memasang alat untuk melepaskan penyu (turtle excluding devices) dan surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor 868/ Kpts/IK.340/II/2000 mensyaratkan agar alat untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan (bycatch reduction device) dipasang pada kapal pukat udang.
44
Menurut sumber-sumber dari pihak industri, suatu kebiasaan bagi pukat udang Arafura untuk menghentikan penggunaan bycatch reduction device pada sekitar 10 hari menjelang akhir trip penangkapan, sehingga para anak buah kapal dapat memperoleh ikan untuk keperluan konsumsi dan untuk dijual. Langkah-langkah lain yang menyarankan untuk menurunkan laju pembuangan hasil tangkapan sampingan di Arafura antara lain mengharuskan memperbesar mata jaring, mengembangkan bentuk bycatch reduction device yang memadai, penegakan hukum yang lebih ketat untuk melarang pengoperasian pukat udang di kawasan pantai, mengingkatkan penggunaan kapal induk untuk mengumpulkan hasil tangkapan sampingan di laut dan mengurangi upaya penangkapan. Proporsi Udang dan Ikan Pengoperasian trawl udang di Laut Arafura berpengaruh terhadap rasio ikan sebagai hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang. Semakin banyak jumlah armada trawl yang beroperasi, rasio ikan terhadap udang cenderung lebih besar. Pada tahun 1981 di mana terdapat 124 kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura, memberikan rasio hasil tangkapan sampingan terhadap udang di daerah Dolak dan Aru cukup tinggi, yaitu sekitar 19:1 di mana 95% di antaranya tidak dimanfaatkan (Naamin & Sumiono, 1983). Pada tahun 1991 rasio tersebut berkisar antara 8:1 sampai 13:1 (Widodo, 1991; Badrudin & Karyana, 1993). Pada tahun 1991 jumlah kapal penangkap ikan yang mendapat ijin beroperasi di Laut Arafura sekitar 250 buah. Penelitian pada bulan Oktober sampai Nopember 1992 di sub area Sele dan Bintuni diperoleh rasio hasil tangkapan sampingan terhadap udang 9:1 (Prisantoso et al., 1992). Sementara hasil observasi pada tahun 2000 di perairan Aru memberikan rasio 12:1 (Sumiono et al., 2001). Rangkuman proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap udang menurut sub area disajkan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut tampak bahwa proporsi hasil tangkapan sampingan yang tinggi terdapat di sub area Dolak, yaitu perairan meliputi muara Sungai Digul, perairan Pantai Aika, Mimika, dan Agats. Berdasarkan atas data proporsi hasil tangkapan sampingan tersebut (Tabel 1), proporsi udang terhadap ikan (hasil tangkapan sampingan) disajikan pada Tabel 2. Proporsi udang dan ikan di perairan Laut Arafura periode tahun 1982-2008 tampak bervariasi, sesuai dengan lokasi daerah penangkapan. Di perairan Aru proporsi udang tertinggi dalam hasil tangkapan 20% dari total hasil tangkapan terjadi pada tahun 2002
Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan ........ Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.)
dan yang terendah 5,6% terjadi pada tahun 2004. Di perairan Kaimana proporsi tertinggi 20% terjadi pada tahun 1993 dan terendah 10% terjadi pada tahun 1996. Di sub area Dolak proporsi yang tinggi hanya 7,7% dan yang terendah sekitar 4,5%. Tinggi rendahnya proporsi udang di ketiga sub area tersebut mencerminkan proporsi udang di perairan Laut Arafura. Kisaran yang lebar dari proporsi udang tersebut terjadi di sub area perairan Aru, yaitu pada 5,6-20%. Proporsi yang relatif terdapat di sub area Kaimana sedangkan yang terendah terjadi di sub area Dolak. Tabel 2.
Table 2.
1982 1985 1991 1993 1995 1996 1997 1998 2001 2002 2004 2006 2008 Jumlah Rata-rata (%)
Proporsi udang (%) pada perikanan pukat udang di sub area Laut Arafura periode tahun 1982-2008 Proportion of shrimp (%) in the shrimp trawl fisheries in the Arafura Sea sub areas 1982-2008
Aru Kaimana 8,33 7,14 7,69 20,00 16,67 11,11 10,00 8,33 11,11 7,14 11,11 7,69 16,67 20,00 14,29 5,56 14,29 99,84 97,29 9,7 14,3
Dolak 5,13 4,55 7,69 7,69 7,69 32,75 6,6
Total Arafura 6,73 4,55 7,14 11,79 16,67 10,56 9,72 9,13 12,18 17,14 5,56 7,69 10,99 129,85 10,0
Tingginya proporsi udang di sub area Kaimana tersebut diduga terkait dengan kondisi lingkungan pantai yang subur. Sebagaimana dikatakan oleh Naamin & Sumiono (1983) suburnya perairan di sekitar Kaimana, Teluk Bintuni, dan Kepala Burung ditopang oleh luasnya kawasan mangrove serta banyaknya muara sungai besar dan kecil yang bermura ke daerah tersebut. Dari rata-rata persentase udang pada masing-masing sub area Laut Arafura periode tahun 1982-1008, tampak bahwa proporsi udang tertinggi 14,3% terjadi di sub area Kaimana dan yang terendah 6,6% di sub area Dolak (Tabel 2). Tren Proporsi Tahunan Udang dan Ikan Demersal Mengacu kepada data proporsi udang (Tabel 1), telah dilakukan analisis tren dari proporsi tersebut untuk sub area Aru, Kaimana, dan Dolak periode tahun
1982-2008. Tampak bahwa, kecuali di sub area Kaimana yang menunjukkan tren yang hampir mendatar, sub area Aru dan Dolak menunjukkan tren yang relatif sama yaitu cenderung naik. Demikian juga halnya dengan tren proporsi udang dari gabungan ketiga sub area Laut Arafura tampak cenderung naik (Gambar 1). Tren proporsi udang Laut Arafura periode tahun 1982-2008 yang cenderung naik tampaknya ditopang (supported) oleh data proporsi udang dari sub area Aru. Kondisi tersebut tampak bertentangan dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa proporsi hasil tangkapan sampingan perikanan udang cenderung makin naik dari tahun ke tahun atau dengan kata lain proporsi udang cenderung menurun. Gambar tersebut menunjukkan suatu keadaan yang sebaliknya di mana secara umum tren proporsi udang pada perikanan pukat udang di Laut Arafura cenderung naik. Naiknya proporsi udang dan ikan demersal tersebut ternyata ditunjang oleh proporsi kelompok udang lainnya (krosok) yang menunjukkan yang terus naik, sebagaimana disajikan dalam Census of Marine Life (Wagey & Arifin, 2008). Dari referensi lain diperoleh informasi bahwa secara agregat estimasi maximum sustainable yield perikanan udang di Laut Arafura tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada satu dekade terakhir ini. Perbedaan yang ada terjadi pada komposisi hasil tangkapan udang tahunan (Badrudin et al., 2002). Hal ini diduga terkait dengan adanya fenomena interaksi jenis (species interaction) yang terjadi dalam komunitas udang-demersal. Dari fenomena interaksi tersebut tampak bahwa kelompok udang lainnya (krosok) yaitu kelompok udang berukuran kecil diduga memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap tekanan penangkapan dibandingkan dengan udang jerbung (Penaeus merguiensis) atau udang windu (Penaeus semisulcatus, Penaeus monodon). Perairan paparan Laut Arafura yang dangkal merupakan salah satu daerah penangkapan yang paling produktif di Indonesia, karena perairan tersebut secara regular diduga diperkaya oleh nutrient rich upwelling dari Laut Banda dan tambahan nutrien dari sungai-sungai yang bermuara yang berasal dari kawasan terrestrial Papua dengan hutan mangrove yang padat. Dibandingkan dengan kawasan sekeliling Laut Arafura, produktivitas primer yang tertinggi terdapat di pantai barat daya Papua (Purwanto, 2008). Kondisi ini yang diduga merupakan pemicu suburnya perairan Laut Arafura sektor Indonesia yang mengakibatkan berkembangnya populasi sumber daya ikan demersal (Badrudin & Aisyah, 2009), termasuk sumber daya udang.
45
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 41-49
Gambar 1. Figure 1.
Tren persentase tahunan udang periode tahun 1982-2008 di sub area Laut Arafura. Annual trend of shrimp proportion (%) in the Arafura Sea sub areas 1982-2008.
KESIMPULAN
PERSANTUNAN
1. Proporsi udang dan hasil tangkapan sampingan pada perikanan udang di Laut Arafura tampak bervariasi baik menurut sub area ataupun waktu (tahunan). Makin tinggi proporsi hasil tangkapan sampingan, makin kecil proporsi udang yang diperoleh.
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan perikanan udang di Laut Arafura, T. A. 2009, di Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Ancol, Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Korservasi Sumber Daya Ikan atas dukungan moral dan material sampai terwujudnya tulisan ini.
2. Bertentangan dengan logika umum di mana setelah hampir empat dekade eksploitasi ada anggapan proporsi udang terhadap ikan makin mengecil, ternyata tren persentase udang terhadap ikan periode tahun 1982-2008 cenderung naik, sedangkan di sub area Kaimana relatif stabil sebagaimana tren yang hampir mendatar. 3. Tren proporsi udang Laut Arafura periode tahun 1982-2008 yang cenderung naik tampaknya ditopang (supported) oleh data proporsi udang dari sub area Aru. Dari fenomena interaksi tampak bahwa kelompok udang krosok yang berukuran kecil diduga memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap tekanan penangkapan dibandingkan dengan udang jerbung atau udang windu.
46
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2006. Riset pengkajian stok sumber daya ikan, oseanografi perikanan, dan sistem perikanan di Laut Halmahera, Banda, dan Arafura. Laporan Survei Lapangan. (Tidak Dipublikasikan). Badrudin & Karyana. 1993. Proporsi dan komposisi hasil tangkap sampingan pukat udang di perairan Maluku, Irian Jaya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 79: 14-23.
Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan ........ Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.)
Badrudin, B. Sumiono, & N. Wirdaningsih. 2002. Laju tangkap, hasil tangkapan maksimum (maximum sustainable yield) dan upaya optimum perikanan udang di perairan Laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 8 (4): 23-30.
1995-1996. Paper in Program of Food and Agriculture Organization’s Cooperative Research Network in Asia and Indian Ocean Region on Selective Tropical Shrimp Trawling. Res. Inst. For Mar. Fish. (Unpublished).
Budihardjo, S. & Budiman. 2003. Laju tangkap udang dan ikan demersal di Laut Arafura, bulan Agustus 2003. Laporan Observasi pada Kapal Komersial. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta. (Tidak Dipublikasikan).
Purnomo, A. 2004. Laporan Survei Kegiatan Produktivitas Kapal Pukat Udang di Laut Arafuru, Bulan Juni sampai Juli 2004. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang. (Tidak Dipublikasikan).
Badrudin & Aisyah. 2009. Separate stock of red snapper exploitation and management in the Indonesian sector of the Arafura Sea. Indonesian Fisheries Research Journal. 15 (2) December: 8188.
Purbayanto, A., S. H. Wisudo, J. Santoso, R. I. Wahyu, Dinarwan, Zulkarnain, Sumintohadi, A. D. Nugraha, D. A. Soeboer, B. Pramono, A. Marpaung, & M. Riyanto. 2004. Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura, Provinsi Papua. Dinas Perikanan dan Kelautan. Provinsi Papua. Sucofindo. 68 pp.
Badrudin, B. Sumiono, Wedjatmiko, Aisyah, S. Triharyuni, I. T. Hargiyatno, H. H. Latief, R. T. Mahulete, P. S. Sulaeman, & R. F. Anggawangsa. 2009. Kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan perikanan udang di Laut Arafura. Laporan Akhir. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. (Tidak Dipublikasikan). 57 pp.
Purwanto. 2008. Resource rent generated in the Arafura shrimp fishery. A Report of a Case Study Submitted to the FAO/World Bank PROFISHFunded Project the Rent Drain Study November 2008. 29 pp.
Eayrs, S. 2007. A Guide to Bycatch Reduction in Tropical Shrimp Trawl Fisheries. Food and Agriculture Organization-UN. 110 pp.
Rusmadji, R. & Y. Soselisa. 1985. Laporan Survei dengan K. M. Bawal Putih II di Perairan Irian Jaya, Bulan Maret sampai Mei 1985. Sub Balai Penelitian Perikanan Laut. Semarang. (Tidak dipublikasikan).
Gillett, R. 2006. An overview of shrimp fishing in Indonesia. Food and Agriculture Organization Project on Global Shrimp Studies. Unpublished. 27 pp.
Sumiono, B. 1982. Survei udang dengan K. M. Binama VIII di perairan Arafura, bulan September 1982. Laporan Survei Balai Penelitian Perikanan Laut. (Tidak Diterbitkan). 12 pp.
Prisantoso, B. I., B. Sumiono, & Sarjana. 1992. Penelitian potensi udang dan hasil tangkap sampingan di perairan Maluku dan Irian Jaya. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Perikanan Laut. (Tidak Dipublikasikan). 15 pp.
Suharyanto. 1997. Laporan Survei Pengamatan Sumber Daya Perikanan Demersal Menggunakan K. M. Bawal Putih II di Perairan Kawasan Timur Indonesia (Bulan Januari sampai Juli 1997). Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang. (Tidak Dipublikasikan).
Naamin, N. & B. Sumiono. 1983. Hasil sampingan (bycatch) pada penangkapan udang di Laut Arafura dan sekitarnya. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 24: 45-55. Naamin, N. 1984. Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi Doktor. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 281 pp. Nasution, C. 1997. Highlight of shrimp trawling in the Arafura Sea: Fleet, shrimp catch, and export in
Sumiono, B., T. S. Soselisa, & Murtoyo. 1998. Survei Laju Tangkap Udang dan Ikan Demersal dengan K. M. Bawal Putih II di Laut Arafura, Sub Area Kaimana dan Aru (Bulan Agustus sampai September 1997). Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. (Tidak Dipublikasikan). Sumiono, B., T. S. Murtoyo, Y. Soselisa, & M. Rijal. 2001. Survei Laju Tangkap dan Kepadatan Stok Udang dan Ikan Demersal di Laut Arafura dengan Armada Komersil. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. (Tidak Dipublikasikan). 26 pp.
47
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 41-49
Suariyoto, Y., A. Sumitro, Budihardjo, L. Madrah, & E. Alves. 2002. Identifikasi dan Pemetaan Sumber Daya Perikanan Demersal di Laut Arafura. (Tidak Dipublikasikan). Sumiono, B. & N. N. Wiadnyana. 2008. Hasil Tangkap Sampingan (Bycatch) pada Penangkapan Udang Komersil di Laut Arafura. Masyarakat Perikanan Nusantara. Sumiono, B. & I. T. Hargiyatno. 2009. Kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan perikanan udang di Laut Arafura. Laporan Survei Lapangan. (Tidak Dipublikasikan). Widodo. 1991. Bycatch assessment of the shrimp fishery in the Arafura Sea and its adjacent waters. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 63: 43-49.
48
Widodo, 1997. Laporan Survei Pengamatan Sumber Daya Perikanan Demersal Menggunakan K. M. Bawal Putih II di Perairan Kawasan Timur Indonesia (Bulan Nopember 1995 sampai April 1996). BPPI. Semarang. (Tidak Dipublikasikan). Wagey, G. A. & Z. Arifin (Eds). 2008. Marine Biodiversity Review of the Arafura and Timor Seas. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Indonesian Institute of Sciences. United Nation Development Programme. Census of Marine Life. 136 pp. Wagey, G. A., S. Nurhakim, V. P. H. Nikijuluw, Badrudin, & T. J. Pitcher. 2009. A Study of Illegal, Unreported and Unregulatd Fishing in the Arafura Sea. RCCF.AMFR. MMAF. 54 pp.
Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan ........ Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.)
Lampiran 1. Appendix 1.
Peta daerah penangkapan udang di Laut Arafura Map of fishing ground for shrimp in the Arafura Sea
49
Komposisi dan Kelimpahan Stok ..... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati)
KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN STOK IKAN KARANG SERTA PERTUMBUHAN BIOTA PENEMPEL PADA TERUMBU KARANG BUATAN DI TELUK SALEH, NUSA TENGGARA BARAT Mujiyanto1) dan Sri Turni Hartati2) 1)
2)
Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 18 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 9 Pebruari 2011
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober dan Desember 2005 pasca pemasangan terumbu karang buatan pada bulan Mei 2005 di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelimpahan stok ikan karang dan komposisi jenisnya serta pertumbuhan biota penempel di terumbu karang buatan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis ikan yang teridentifikasi selama pengamatan 121 jenis, dengan jumlah jenis bervariasi menurut waktu dan lokasi antara 18-46 jenis. Kelimpahan stok ikan berkisar antara 4-36 ekor/m2. Pada bulan Oktober 2005 organisme penempel yang ditemukan yaitu teritip dalam jumlah sedang, turf algae dan coralline algae dalam jumlah yang tinggi pada setiap unit terumbu, sedangkan pada bulan Desember 2005 ditemukan jenis-jenis biota penempel pada ke empat unit terumbu karang buatan hampir sama, terdiri atas 12-18 jenis/terumbu karang. Komunitas biota penempel yang merupakan salah satu indikator perkembangan terumbu karang buatan yaitu jenis Enteromorpha clathrata menutupi hampir 95% seluruh luasan permukaan terumbu. KATA KUNCI:
terumbu karang buatan, pemulihan, sumber daya, ikan, Teluk Saleh
ABSTRACT:
Composition and abundance of fish stock of bio fouling and growth in artificial reefs of the Teluk Saleh, West Nusa Tenggara. By: Mujiyanto and Sri Turni Hartati
The study was conducted in October and December 2005 after the seltlement of artificial reefs in May 2005 in the waters of Teluk Saleh, West Nusa Tenggara. The aim of the study is to investigate abundance of reef fish stocks and species composition and growth of bio fouling. The results showed that the fish species identified during the observation is 121 species, with the number of species varies between 18-46 species according to time and location. Abundance of fish stocks ranged between 436 ind./m2. In October 2005 bio fouling organisms found are barnacles in artificial reef relatively moderate, turf algae, and coralline algae in a high amount on each unit of coral, while in December 2005 found the bio fouling organism on with relatively same artificial reef, 12-18 species/unit. Community as an indicator of the development of artificial reefs i.e. Enteromorpha clathrata cover almost 95% of the entire area of the reef surface. KEYWORDS:
artificial reefs, recovery, resources, fish, Teluk Saleh
PENDAHULUAN Terumbu karang mempunyai hubungan yang erat dengan keanekaragaman spesies ikan-ikan karang. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di terumbu adalah karena adanya variasi habitat yang terdapat di terumbu karang tersebut. Terumbu karang tidak hanya terdiri atas karang, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah algae, dan juga perairan yang dangkal dan dalam daerah-daerah yang berbeda di antara karang (Nybakken, 1982). Dewasa ini ekosistem terumbu karang mulai terancam dengan banyaknya tekanan dari aktivitas di daratan, seperti adanya aktivitas penebangan hutan dan
perubahan lahan yang dapat meningkatkan pasokan sedimen pada daerah terumbu karang. Kerusakkan terumbu karang juga diakibatkan oleh tekanan fisik yang disebabkan oleh pengambilan karang, tingkat penyelaman yang tinggi, dan aktivitas kapal (Salvat, 1987 dalam Gitting, 1992). Seperti terjadinya degradasi lingkungan akan semakin meningkat dengan adanya polusi dari industri (Burke et al., 2002). Permasalahan utama yang dapat menyebabkan degradasi terumbu karang adalah akibat pengelolaan pantai dan daerah hulu yang kurang baik sehingga tingginya tingkat sedimentasi yang masuk ke perairan dan menutupi terumbu karang. Melihat kondisi dan
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Cilalawi, Purwakarta, Purwakarta 41152, E-mail:
[email protected] dan
[email protected]
51
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 51-59
status terumbu karang di Indonesia, salah satu rumusan kebijakkan nasional pengelolaan terumbu karang adalah mengupayakan pelestarian, perlindungan, perbaikan atau rehabilitasi, dan peningkatan kondisi atau kualitas ekosistem terumbu karang bagi kepentingan seluruh masyarakat. Salah satu upaya menanggulangi masalah kerusakkan ekosistem terumbu karang di Indonesia telah dilakukan melalui pengembangan terumbu karang buatan.
ikan yang berasosiasi di sekitar terumbu (Rachmawati, 2001; Sya’rani & Agung, 2006). Kelompok ikan tersebut adalah kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi ekonomis tinggi yang menjadi sasaran penangkapan oleh nelayan; kelompok ikan indikator sebagai penciri kesuburan atau keutuhan ekologis (ecological integrity); dan kelompok ikan utama, sesuai dengan perannya dalam susunan rantai makanan atau lebih berperan dalam keseimbangan ekologis.
Pengembangan terumbu karang buatan di Indonesia telah dirintis oleh Dinas Perikanan DKI pada tahun 1980-1988 dengan menenggelamkan bekas kerangka bis dan becak. Pada tahun 1990-1993 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap juga telah mengembangkan terumbu karang buatan dengan bahan ban mobil di enam provinsi, yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali. Demikian pula dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, telah mendukung pengembangan terumbu karang buatan dengan menggunakan bahan beton berbentuk kubus berongga yang disusun dalam formasi piramid.
Secara umum, diketahui bahwa terumbu karang buatan memiliki daya afinitas yang kuat untuk menarik kedatangan ikan-ikan karang dan ikan-ikan pelagis, yang merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem sumber daya hayati di wilayah pesisir dan laut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan stok ikan karang dan komposisi jenisnya serta pertumbuhan biota penempel di terumbu karang buatan di perairan Teluk Saleh pasca pemasangan pada bulan Mei 2005. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian
Kajian dan evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan pemasangan terumbu karang buatan, pada umumnya berdasarkan atas komunitas yang muncul pada ekosistem baru tersebut, dalam hal ini adalah ikan karang. Produksi sumber daya ikan tergantung pada kondisi terumbu karang, kualitas pemanfaatan, dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Pada umumnya kelompok ikan yang dapat dijadikan sebagai indikator adanya perubahan lingkungan perairan di sekitar terumbu karang, besarnya kelimpahan dan keanekaragaman jenis-jenis
52
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober dan Desember 2005, sedangkan pemasangan terumbu karang buatan di lakukan di perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat pada bulan Mei 2005 (Gambar 1). Terumbu karang buatan terbuat dari bahan beton berbentuk kubus berongga 0,6x0,6x0,6 m, disusun dalam formasi piramida, dengan satu unit piramida tersusun dari 80 kubus beton, di mana setiap lokasi terdiri atas dua piramida.
Komposisi dan Kelimpahan Stok ..... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati) 8.5°
Kondisi karang rusak Kondisi karang bagus Mangrove dan padang lamun
Katapang
Dompo
8.6° Taikabo
Ganteng
RAKIET Lipan Baloso
Santigi Jambu Nangapela Liang
8.7° Jontal
Labuhaji Santong Bonto
S
8.8° 117.8°
Gambar 1. Figure 1.
U
M
B
A
W
117.9°
A
118°
118.1°
Lokasi penelitian di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Map of research area in the Teluk Saleh waters, West Nusa Tenggara.
Metode Pengumpulan Data
Struktur Komunitas Ikan
Data indeks kelimpahan stok ikan dan komposisi jenisnya, serta identifikasi dan pencacahan biota penempel pada terumbu karang buatan diperoleh dengan cara pengamatan sensus visual.
Perhitungan untuk menentukan kelimpahan ikan karang dilakukan secara langsung dengan metode transek garis pada wilayah perairan penempatan terumbu karang buatan. Rumus untuk menentukan keanekaragaman iktiofauna digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sebagai berikut (Bakus, 1990):
Persentase Penutupan Karang Nilai persentase penutupan terumbu karang diperoleh dari hasil pengukuran lifeform (intercept koloni) karang dengan menggunakan formula (English et al., 1994): Li L = x100% ............................................. (1 N di mana: L = persentase penutupan karang (%) Li = panjang intercept koloni jenis ke-i yang dilewati garis transek N = panjang transek (50 m) Kisaran nilai persentase tutupan terumbu karang didasarkan atas hasil monitoring coral for global change oleh United Nation Environment Programme (1993), dengan masing-masing kisaran yaitu kategori sangat rusak (1-10%), rusak (11-30%), sedang (3150%), baik (51-75%), dan sangat baik (76-100%).
H '= −
s
∑
i =1
ni ni N log 2 N ................... (2
di mana: H’ = indeks keanekaragaman S = jumlah spesies ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu Perbandingan antara keanekaragaman dan keanekaragaman maksimum dikatakan sebagai regularitas atau keseragaman populasi, dengan rumus sebagai berikut (Bakus, 1990):
E =
H' H max
……………………….…………. (3
53
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 51-59
di mana: E = indeks regularitas atau keseragaman H’ = indeks keanekaragaman ShannonWiener Hmax = indeks keanekaragaman maksimum Shannon-Wiener Rumus untuk mengevaluasi adanya dominansi spesies, digunakan indeks dominansi Simpson sebagai berikut (Bakus, 1990):
C =
s ni ∑ n =1 N
2 ….………………………… (4
di mana: C = indeks dominansi Simpson ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu S = jumlah spesies HASIL DAN BAHASAN Komunitas Ikan Karang Hasil sensus visual dan identifikasi ikan pada setiap lokasi dan waktu disajikan pada Tabel 1. Jenis ikan yang teridentifikasi selama pengamatan 121 jenis, dengan jumlah yang bervariasi menurut waktu Tabel 1. Table 1.
dan lokasi antara 18-46 jenis dengan kelimpahan individu ikan berkisar antara 4-36 ekor/m2. Hasil sensul visual yang dilakukan dengan berkonsentrasi pada distribusi ikan di lokasi sekitar terumbu karang buatan sebagai habitatnya yaitu kelompok atau jenis-jenis ikan diurnal (ikan siang hari), yang mana mereka mencari makan dan tinggal di permukaan karang dan memakan plankton sekitarnya. Ikan karang yang ditemukan selama pengamatan, jumlah jenis tertinggi dari masing-masing stasiun di sekitar unit terumbu karang buatan memiliki jumlah jenis yang berbeda di mana jumlah jenis pada stasiun di Pulau Rakit memiliki jumlah lebih tinggi dari jenisnya pada kondisi setelah penempatan terumbu karang buatan dibandingkan sebelum penempatan terumbu karang buatan yaitu sebelum penempatan pada stasiun 1, 12 jenis (bulan Mei) dan stasiun 2 berjumlah 19 jenis (bulan Mei). Kenaikan jumlah jenis ikan karang yang tersaji pada Tabel 1 diduga disebabkan adanya perbedaan lingkungan yang berpengaruh terhadap pola hidup dari komunitas ikan di sekitar unit terumbu karang buatan Pulau Rakit. Hasil pengamatan terhadap jumlah jenis ikan di Pulau Ganteng pada stasiun 4 memiliki perbedaan jenis dibandingkan dari ketiga stasiun yang lain, dengan jumlah jenis sebelum dan sesudah penempatan unit terumbu karang buatan memiliki perbedaan dari jumlah jenis ikan di perairan sekitar terumbu karang buatan (Tabel 1).
Komunitas ikan karang di sekitar terumbu karang buatan selama penelitian di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 2005 Reef fish communities around the artificial reefs for aquatic research in the Teluk Saleh, West Nusa Tenggara in 2005
Kategori/Category Jumlah jenis (spesies) Jumlah individu (ekor)
Pulau Rakit Stasiun 1 Stasiun 2 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** 32 25 20 29 22 25 379 554 1.123 99 1.229 3.112
Pulau Ganteng Stasiun 3 Stasiun 4 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** 46 26 28 18 22 27 1.947 1.186 1.309 106 1.335 3.583
Keterangan/Remarks:* = sebelum pemasangan terumbu karang buatan (bulan Mei 2005); ** = setelah pemasangan terumbu karang buatan (bulan Oktober 2005); *** = setelah pemasangan terumbu karang buatan (bulan Desember 2005)
Jenis komunitas ikan karang yang ditemukan memilki perbedaan jumlah individu yang cukup signifikan, di mana rata-rata jumlah kehadiran individu setelah penempatan unit terumbu karang buatan memilki perbedaan yang cukup tinggi (Tabel 1). Hal ini diduga bahwa lingkungan sekitar habitat terumbu karang terdapat indikasi adanya hubungan antara kelimpahan maupun keragaman spesies ikan dengan ekosistem terumbu karang (Risk, 1972). Selanjutnya dikatakan juga bahwa daerah yang mempunyai
54
keragaman terumbu karang lebih banyak, maka akan bervariasi pula jenis ikannya. Dengan asumsi lain, bahwa semakin kompleks habitat (terumbu karang) akan memberikan relung ekologi yang lebih banyak bagi organisme laut yang berasosiasi. Tingkat kesamaan ekosistem terumbu karang sangat menentukan pola distribusi dan kelimpahan organsime laut, karena ikan dapat dijadikan sebagai indikator kestabilan pada masing-masing tipe ekosistem.
Komposisi dan Kelimpahan Stok ..... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati)
Tabel 2. Table 2.
Nilai indeks biologi komunitas ikan karang di sekitar terumbu karang buatan selama penelitian di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 2005 Indeks of biology reef fish communities around the artificial reefs in the Teluk Saleh, West Nusa Tenggara in 2005 year
Pulau Rakit Pulau Ganteng Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** - H’/Keanekaragaman 2,52 1,92 0,90 2,80 1,22 1,33 1,87 1,58 1,75 2,63 1,35 0,97 - E/Keseragaman 0,73 0,59 0,30 0,83 0,39 0,41 0,49 0,49 0,52 0,91 0,39 0,29 - C/Dominans 0,131 0,261 0,658 0,80 0,426 0,396 0,382 0,284 0,274 0,87 0,510 0,553 Keterangan/Remarks:* = sebelum pemasangan terumbu karang buatan (bulan Mei 2005); ** = setelah pemasangan terumbu karang buatan (bulan Oktober 2005); *** = setelah pemasangan terumbu karang buatan (bulan Desember 2005) Indeks/ Index
Indeks keanekaragaman jenis ikan berkisar antara 0,9-2,8. Dalam kondisi alamiah berdasarkan atas nilai indeks keanekaragaman di antara tiga dalam kategori sedang (Tabel 2). Keseimbangan populasi yang serasi dan keanekaragaman yang tinggi adalah gambaran dari suatu ekosistem yang stabil. Kondisi tersebut disebut steady state, di mana kisaran keseimbangan dianggap moderat dan berada pada skala 0,6-0,8. Secara umum, kisaran keanekaragaman dikatakan dengan skala simpson 0-1. Keanekaragaman maksimum, di mana proporsi jumlah individu antar populasi sama besar, tercapai apabila nilainya satu. Akan tetapi, pada kenyataannya secara alamiah keanekaragaman maksimum dapat terjadi di alam. Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun pengamatan berkisar antara 0,2-0,9 (Tabel 2).
populasi biota yang dapat bertahan dan menjadi berkembang sehingga mendominansi komunitas biota tersebut. Hal ini berarti bahwa nilai indeks dominansi akan mengalami perubahan lebih besar dari nol dan mendekati satu. Nilai indeks dominansi selama pengamatan pada stasiun terpilih tersebut di atas, berkisar antara 0,08-0,65 (Tabel 2).
Indeks dominansi berbanding terbalik dengan indeks keanekaragaman di mana semakin besar prediksi nilai dominansi terhadap komunitas biota, berarti semakin kecil nilai prediksi terhadap nilai keanekaragaman komunitas tersebut. Keanekaragaman komunitas dianggap terbaik jika nilai dominansi mendekati nol dan nilai terburuk jika nilainya mendekati satu. Dalam kondisi lingkungan yang buruk dapat menyebabkan bahwa hanya sebagian kecil
Hasil pengamatan organisme penempel pada bulan Oktober yaitu adanya kehadiran teritip pada terumbu karang buatan dalam jumlah sedang dan terlihat adanya Turf algae dan Coralline algae dalam jumlah yang tinggi pada setiap unit terumbu. Kehadiran algae ini melimpah berdasarkan atas intensitas cahaya yang diterima terhadap kedalaman dan susunan terumbu karang buatan (Tabel 3).
Komunitas Biota Penempel Biota penempel pada terumbu karang buatan di Pulau Rakit dan Pulau Ganteng mulai terlihat pada waktu pengamatan bulan Oktober 2005. Biota penempel seperti algae hijau menutupi hampir sepertiga bagian dari luasan permukaan terumbu karang buatan.
55
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 51-59
Tabel 3. Table 3.
Biota penempel di terumbu karang buatan perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, pada bulan Oktober 2005 Fouling organism in the artificial reef of the Teluk Saleh waters, West Nusa Tenggara, in October 2005 year
No.
Jenis/Species
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Teritip (Balanus spp.) Alga rumput (Turt algae) Ganggang berkapur (Coralline sp.) Ulva (iding hijau) (Enteromorpha sp.) Termasuk alga hijau laut (Chaetomorpha sp.) Termasuk jenis rumput laut (Bornetella sp.) Termasuk jenis rumput laut (Cladophoropsis sp.) Alga merah (Rhodophyta sp.) Genus alga merah nama daerah: Bulung tombang iding (Lombok) (Acanthophora sp.) Sponge Ganggang (Macro algae) Anemon (Stichodactyla sp.) Kerang mutiara (Pteri sp.) Kerang bolang-baling (Trisidos sp.) Tiram bakau (Plicatula sp.) Tiram mutiara (Pinctada sp.) Jenis siput laut (Latirus sp.) Kumbang kutu (Chirocerus sp.) Jenis siput laut (Patelloida sp.) Jenis siput laut (Cerithium sp.) Ascidian sp. Bulu babi (Echinoidea sp.) Ubur-ubur (Aurelia aurita)
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Tanjung Bila Stasiun 1 Stasiun 2 xx xx xxx xxx xxx xxx xx xx xx
xx x
Pulau Ganteng Stasiun 3 Stasiun 4 xx xx xxx xxx xxx xxx x x
x x x
x x x x
x x
x
x
x
x x x x
x x x x
x x
x xx x
x xx x
x x x xx x
x x x xx x
Keterangan/Remarks:x = kehadiran rendah; xx = kehadiran sedang (1/3 bagian permukaan); xxx = kehadiran tinggi (lebih dari 1/ 3 bagian permukaan)
Penempelan biota pada unit terumbu karang buatan di Pulau Rakit ditemukan jenis algae berbentuk benang (Enteromorpha) dan berbentuk balon (Bornetella) dalam jumlah sedang, serta kehadiran dictyota yang rendah dari golongan chlorophyta, anemon, bivalvia (pteria dan plitaula), gastropoda (lairus, chricoreus dan patelloida), ascidian dan uburubur merupakan beberapa biota yang terlihat dengan kehadiran rendah, sedangkan echinoderamata (bulu babi) terlihat dalam jumlah yang sedang. Jenis-jenis biota penempel pada keempat unit terumbu karang buatan memilki kesamaan yaitu terdiri atas 12-18 jenis/unit. Dua jenis biota penempel pada terumbu karang buatan di Pulau Rakit yang perkembangan atau reproduksinya relatif cepat yaitu teritip (Saccostrea cuccullata) dari kelas bivalvia dan turf algae (Avrainville erecta) dari kelas chlorophyta. Unit terumbu karang buatan di Pulau Genteng
56
pertumbuhan biota penempel selain teritip ditemukan jenis biota yang memiliki pertumbuhan relatif cepat yaitu Rhopalaea cussa dari kelas ascidian dan pinctada margaritifera dari kelas bivalvia. Enteromorpha clathrata adalah salah satu jenis dari kelompok algae hijau dengan kelimpahan sangat tinggi, menutupi semua permukaan luasan beton, baik pada terumbu karang buatan di Pulau Rakit maupun di Pulau Genteng. Kelimpahan dan komposisi jenis biota penempel pada terumbu karang buatan bulan Desember 2005 disajikan pada Tabel 4. Teritip pada terumbu karang buatan di Pulau Rakit dalam tingkatan juvenile, tampak berwarna keabuabuan, menutupi hampir semua bagian permukaan terumbu yang menghadap ke daratan. Sedangkan teritip yang menempel pada terumbu karang buatan di Pulau Genteng terlihat dalam kondisi lebih dewasa.
Komposisi dan Kelimpahan Stok ..... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati)
Tabel 4. Table 4.
Biota penempel pada terumbu karang buatan perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, bulan Desember 2005 Bentic life pasting in the artificial reef waters of the Teluk Saleh, West Nusa Tenggara in December 2005 year
No.
Jenis/Species
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis siput karang (Tectus niloticus) Bintang laut (Siliquaria cumingi) Jenis siput karang (Chicoreus torrefactus) Kerang mutiara (Pinctada margaritifera) Jenis siput laut (Pteria penguin) Sejenis kerang (Saccostrea cuccullata) Termasuk jenis sponge (Rhopalaea sp.) Alga rumput (Lissoclinum japanicum) Ganggang berkapur (Aplidium sp.) Ganggang berkapur (Eusyntyela sp.) Termasuk jenis sponge (Polycara aurata) Termasuk jenis karang lunak (Dendonephtya sp.) Alga rumput (Protula sp.) Karang dengan bentuk seperti cambuk (Cirrihiphates sp.) Alga rumput (Plumularia sp.) Ubur-ubur (Aurelia aurita) Bulu babi dengan duri warna hitam (Diadema savignyi) Bulu babi dengan duri warna putih (Echinothrix calaramis) Bintang laut (Fromia monilis) Ganggang berkapur (Chathia sp.) Alga coklat (Hyrtios erecta) Kipas laut (Distichopora sp.)
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Pulau Rakit (individu) Stasiun 1 Stasiun 2 1 11 21 8 31 1 2 172 106 20 3 7 9 1
1 1
8 3
11
1 6 64
2 85
Pulau Ganteng (individu) Stasiun 3 Stasiun 4
129 75 144 13 10 27
3
3 3 1 135 58 2 4 69 13
50
1 35
3 9 1
1 5 205 10
165 3
2 12 60
2 15
Keterangan/Remarks:luas daerah per kubus terumbu karang buatan = 0,216 m3; jumlah kubus per unit terumbu karang buatan = 80 buah; luas daerah terumbu karang buatan = 12,96 m2
Avrainvillea erecta, dengan bentuk seperti daun dan warna orange juga terlihat lebih banyak menempel pada sisi terumbu yang menghadap ke daratan. Rhopalaea crussa adalah salah satu jenis dari kelas ascidian yang berwarna orange. Pinctada margaritifera terlihat banyak menempel di sela-sela beton terumbu karang buatan. Beberapa jenis biota penempel lain yang teramati dengan kehadiran rendah sampai sedang dapat dikelompokan sebagai berikut: a. Kelompok makro algae (Dictyota dichotoma), terlihat di bagian dalam terumbu karang buatan dengan kehadiran rendah. b. Pteria penguin dari kelas bivalvia dengan kehadiran sangat rendah. c. Kelas gastropoda atau keong, ditemukan pada bagian terumbu yang menghadap ke daratan. Jenis-jenisnya adalah Chirocereus torrefactus, Siliquaria cumingi, dan Tectus niloticus, dengan kehadiran antara rendah sampai sedang. d. Jenis lainnya dari kelas Ascidian adalah Aplidium sp., Eusynstyela sp., dan Polycarpa aurata
kehadirannya rendah sampai sedang. e. Kelas Echinodermata, seperti bulu babi (Diadema savigyi) kehadirannya sedang dan bintang laut (Fromia monilis) kehadirannya sangat rendah. f. Kehadiran dari kelompok Caidarian rendah, jenis yang diamati adalah soft coral (Dendronephyta sp.), ubur-ubur (Scyphozoa sp.), jelatang (Plunnularia sp.), dan akar bahar (Cirripathes sp.). Menurut Sukarno (1981) biota penempel berasal dari pelekatan planula atau larva biota yang terbawa arus dan sebagai pioneer adalah kelompok algae yang dapat berkembang dengan cepat, seperti Enteromorpha sp. adalah jenis dari algae hijau yang dapat menentukan kehadiran biota lainnya, tanpa terganggu pertumbuhannya. Algae hijau tersebut memberikan kesempatan melekat untuk benih atau biota lainnya, seperti tertitip, ascidian, soft coral, dan algae lainnya.
57
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 51-59
Terumbu Karang Buatan (Artificial Reef) sebagai Ekosistem Baru Terumbu karang buatan (artificial reef) merupakan alternatif untuk membuat habitat baru dalam rangka meningkatkan produktivitas perairan, di samping upaya preventif dan rehabilitasi untuk mengurangi tingkat pengrusakan terumbu karang. Dasar dari pelaksanaan kegiatan pemasangan terumbu karang buatan di perairan Teluk Saleh dikarenakan bahwa kondisi terumbu karang di perairan tersebut sudah mengalami banyak kerusakan, terutama pada perairan yang dangkal yaitu pada kedalaman kurang dari 15 m. Kerusakkan terumbu karang tersebut akibat dari kegiatan penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak. Kondisi terumbu karang di perairan pantai barat Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Besar, persentase penutupan karang mati (dead coral) mencapai kisaran antara 48,24-66,37%. Hasil pengamatan terumbu karang alami di perairan Pulau Rakit dan perairan Pulau Genteng terlihat adanya penurunan persentase tutupan karang hidup antara bulan Mei dan Oktober 2005. Pada bulan Mei penutupan karang hidup di perairan Pulau Rakit ±16,25% menjadi 27,79% pada bulan Oktober. Demikian juga dengan di perairan Pulau Genteng, terjadi penurunan persentase penutupan karang hidup daripada bulan Mei 18,38% menjadi 38,26% pada bulan Oktober. Perbedaan titik pengambilan contoh pada bulan Mei dan Oktober dengan sendirinya ikut mempengaruhi perbedaan persentase penutupan karang hidup tersebut. Dari hasil pengamatan kondisi terumbu karang pada bulan Mei tersebut diperoleh ketepatan titik lokasi penempatan terumbu karang buatan. Analisis hasil sensus visual ikan karang menunjukkan bahwa jumlah jenis, marga, dan suku pada semua lokasi penempatan terumbu karang buatan (Pulau Rakit dan Pulau Genteng) tergolong rendah jika dibandingkan pada daerah terumbu karang yang sehat. Seperti yang dikatakan oleh Dahuri (2000), bahwa pada terumbu karang yang sehat dapat ditemukan lebih dari 200 jenis ikan karang. Hasil penelitian Edrus et al. (1992) dalam Hartati et al. (2005) di perairan Kepulauan Banda dijumpai 142-224 jenis ikan karang yang berasal dari 33-41 suku. Jumlah jenis ikan pada waktu pengamatan sebelum penceburan terumbu karang buatan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan waktu pengamatan sesudah penceburan, bahkan pada stasiun 3 Pulau Genteng, jumlah jenis relatif banyak pada waktu sebelum penceburan. Sedangkan jumlah individu terlihat lebih banyak pada waktu pengamatan
58
sesudah penceburan terumbu karang buatan (bulan Oktober dan Desember 2005) dan pada waktu sebelum penceburan (bulan Mei 2005). Jumlah individu ikan yang lebih banyak tersebut karena adanya sekelompok ikan mayor (kelompok ikan karang sejati atau ikan hias) dalam jumlah banyak berlindung pada terumbu karang buatan. Kelompok ikan target atau ikan pangan yang hadir dalam kelompok besar hanya ekor kuning (Caesio cuning) dan ikan-ikan pasir (Scolopis sp.). Kelompok ikan target lainnya dijumpai dalam kelompok yang kecil. Kelompok ikan indikator yang merupakan petunjuk kesehatan terumbu karang dan memiliki kemampuan ekonomis tinggi kehadirannya sangat rendah, seperti ikan kepe-kepe (Chaetodontidae). Menurut Nybakken & Mackay dalam Edrus & Syam (1988), ketertarikkan ikan kepekepe terhadap terumbu karang sangat kuat sekali dan ini disinyalir karena alasan jenis makanan. Chaetodon trifascialis keberadaannya tergantung dengan adanya Acropora confertus dan Acropora hyacinthus (Reese, 1977). Kehadiran Chaetodon baronessa merupakan suatu pertanda adanya karang keras Acropora tubular dan bercabang, karena makanan pokoknya adalah polyp karang dari marga acropora. Untuk alasan tersebut kehadiran Chaetodontidae di setiap stasiun pengamatan sangat rendah. Pertumbuhan biota penempel pada terumbu karang buatan di perairan Pulau Rakit terlihat tidak berbeda dengan yang ada di terumbu karang buatan Pulau Genteng. Algae hijau (Enteromorpha clathrata) menutupi hampir 95% permukaan terumbu karang buatan baik di Pulau Rakit maupun di Pulau Genteng. Demikian juga dengan biota penempel lainnya yang mendominansi seperti teritip (Saccostrea cuccullata). Dari hasil pengamatan posisi penempelan biota pada terumbu karang buatan, kelihatannya yang mempengaruhi kehadiran jenis biota penempel adalah cahaya dan arus selain kemampuan biota itu sendiri untuk hidup dan melekatkan bysusnya. KESIMPULAN 1. Jenis ikan yang teridentifikasi 121 jenis, dengan jumlah yang bervariasi menurut waktu dan lokasi antara 18-46 jenis dengan kelimpahan individu ikan berkisar antara 4-36 ekor/m2. 2. Penempelan biota pada unit terumbu karang buatan di Pulau Rakit ditemukan jenis algae berbentuk benang (Enteromorpha) dan berbentuk balon (Bornetella) dalam jumlah sedang, serta kehadiran dictyota yang rendah dari golongan chlorophyta, anemon, bivalvia (pteria dan plitaula), gastropoda (lairus, chricoreus, dan patelloida), ascidian dan ubur-ubur.
Komposisi dan Kelimpahan Stok ..... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati)
3. Di Pulau Genteng pertumbuhan biota penempel selain teritip ditemukan jenis biota yang memiliki pertumbuhan relatif cepat yaitu rhopalaea cussa dari kelas ascidian dan pinctada margaritifera dari kelas bivalvia. 4. Secara keseluruhan, biota penempel jenis Enteromorpha clathrata sebagai indikator perkembangan terumbu karang buatan sudah tampak menutupi hampir 95% seluruh luasan permukaan terumbu. Diduga bahwa hal tersebut dipengaruhi adanya kondisi dasar perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng dengan reef flat yang relatif luas, dasar perairan keras dan tidak berlumpur memenuhi persyaratan untuk penempatan terumbu karang buatan.
terumbu karang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. (3): 1-10. Gitting. 1992. Coral reef population and growth on the flower Garden Bank, North West Gulf of Maxico. Procceding of the 7th International Coral Reef Symposium. Guam. Hartati, S. T., Krismono, A. Thamrin, S. E. Purnamaningtyas, Mujiyanto, I. Supriyanto, S. M. Syarif, & Wasilun. 2005. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian Rehabilitasi Habitat dan Pemacuan Stok Sumber Daya Perairan Karang di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Perikanan. (Tidak Dipublikasikan).
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset rehabilitasi habitat dan pemacuan stok sumber daya perairan karang di Teluk Saleh Nusa, Tenggara Barat, T. A. 2005, di Loka Riset Pemacuan Stok Ikan-Jatiluhur, Purwakarta. DAFTAR PUSTAKA Bakus, G. J. 1990. Quantitave Ecology and Narine Biology. Department of Biological Science. University of Sothern California. Los Angeles. Burke, L., L. Selig, & M. Spalding. 2002. Reef at Risk in Southest Asia. http://reefsatrisk.wri.org. Diakses Tanggal 17 Februari 2008. Dahuri, R. 2000. Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang Indonesia. Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terumbu Karang Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. COREMAP. Jakarta. English, S., C. Wilkinson, & V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resource (2nd Edition). Australian Institute of Marine Science. Australia. X: 390 pp. Edrus, I. N. & A. R. Syam. 1998. Sebaran ikan hias suku Chaeodontidae di perairan karang Pulau Ambon dan peranannya dalam penentuan kondisi
Nybakken, J. W. 1982. Marine Biology. An Ecological Approach. PT. Gramedia. Jakarta. 445 pp. Risk, M. J. 1972. Fish diversity on a coral reef in the Virgin Island. Atoll Research Bulletin. No.153. Washington. Reese, E. 1977. Coevolution of coral and coral feeding fishes of family Chaetodontidae. Proceeding of the Thi International Coral Reef Symposium. 1: 267274. Rachmawati, R. 2001. Terumbu Karang Buatan (Artificial Reef). Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 53 pp. Sukarno. 1981. Terumbu Karang di Indonesia: Sumber Daya, Permasalahan, dan Pengelolaan. Lembaga Oseanografi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sya’rani, L. & S. Agung. 2006. Gambaran Umum Kepulauan Karimun Jawa. Unissula Press. Semarang. Cetakan Pertama 2006. 148 pp. United Nation Environment Programme. 1993. Monitoring Coral Reef for Global change. United Nation Environment Programme. Monaco.
59
Dampak Perubahan Luasan Habitat ….. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.)
DAMPAK PERUBAHAN LUASAN HABITAT SUMBER DAYA IKAN TERHADAP PERIKANAN PERANGKAP PASANG SURUT (APONG) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Hufiadi1), Suherman Banon Atmaja1), Duto Nugroho2), dan Mohamad Natsir1) 2)
1) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 1 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Pebruari 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011
ABSTRAK Saat ini, proses sedimentasi yang terjadi di Laguna Segara Anakan telah mengakibatkan penyempitan luasan Laguna. Berkurangnya luasan badan air berkorelasi dengan berkurangnya daerah penangkapan maupun daya dukung keberadaan sumber daya ikan terutama spesies ikan yang memiliki tingkah laku ruaya inter habitat. Selama periode tahun 1900-2005, laju penurunan luasan Laguna tertinggi terjadi pada kurun waktu tahun 1983-1995. Kajian ini ditujukan untuk mengungkap dampak perubahan luasan habitat sumber daya ikan terhadap komposisi hasil tangkapan dan produksi perikanan jaring apong. Hasil kajian menunjukkan bahwa di wilayah Ujung Gagak, terjadi penurunan hasil tangkapan/unit/trip sementara di daerah Kuta Weru hasil tangkapan relatif tinggi jika dibandingkan dengan hasil tangkapan periode sebelumnya. Jumlah spesies yang tertangkap jaring apong di wilayah Kuta Weru menurun 47% pada tahun 2010 jika dibandingkan dengan tahun 1985 dan meningkat delapan jenis ikan jika dibandingkan dengan hasil tangkapan tahun 1999. Di daerah Ujung Gagak jumlah jenis ikan yang tertangkap jaring apong menurun jika dibandingkan dengan tahun 1985. Jumlah jenis yang tertangkap pada tahun 2010 menurun 36% jika dibandingkan dengan tahun 1985 dan meningkat 12 jenis ikan jika dibandingkan dengan hasil tangkapan tahun 1999. KATA KUNCI:
Habitat, jaring pasang surut, hasil tangkapan, Segara Anakan
ABSTRACT:
The impact of habitat change on tidal traps fisheries in Segara Anakan Waters. By: Hufiadi, Suherman Banon Atmaja, Duto Nugroho, and Mohamad Natsir
Currently, the sedimentation process in Segara Anakan as a resulted in reducing the lagoon area. Reducing area of estuarine water bodies is strongly correlated with decreasing fishing area and its carrying capacity, particularly to the fish species which have inter habitat migrating behavior during their life cycle. Observation based on serial available publication during 1900-2005, showed that the highest declining rate of the lagoon area occurred in the period 1983-1995. This study aimed to reveal the impact of diminishing habitat area to fish resource availability and alteration of catch composition on production of tidal trap fishing nets (apong). Catch data analysis shows that declining catch/unit/trip occurred in Ujung Gagak while in the Kuta Weru. The catch relatively high compared with previous periods. Number of species caught in tidal traps net at Kuta Weru area decreased by 47% in 2010 compared to year 1985, but increased about 8 fish species compared with 1999. In ujung Gagak number of fish species caught in nets decreased compared to the year 1985. The number of species captured in 2010 decreased by 36% compared to 1985 and increased by a total of 12 species of fish when compared to the catch in 1999. KEYWORDS:
Habitat, tidal trap fishery, catch, Segara Anakan
PENDAHULUAN Peningkatan tekanan ekologis pada zona pesisir sebagai konsekuensi berbagai aktivitas manusia di kawasan terestrial kerapkali berujung pada penurunan kualitas lingkungan dan hilangnya habitat sumber daya ikan yang berdampak serius pada kesehatan dan produktivitas ekosistem pantai. Pada tahun 1980-an, negara-negara di dunia ini telah menyadari fakta
bahwa di samping kemajuan pembangunan juga terjadi degradasi lingkungan hidup. Seiring dengan peningkatan pembangunan di Indonesia, khususnya di kawasan Segara Anakan, berbagai permasalahan lingkungan telah menjadi tema media massa, baik lokal, nasional, maupun internasional. Peran nyata media massa telah berhasil menarik perhatian berbagai pihak, sehingga sejak tahun itu perhatian pada keberadaan Segara Anakan pun terus
___________________ Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021) 6602044
61
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 61-71
bermunculan, termasuk pemerintah yang mendapat pinjaman lunak dari Asian Development Bank (Sonjaya, 2007). Beberapa data dan informasi yang tersedia memperlihatkan hutan mangrove di kawasan ini telah mengalami penebangan dalam skala berat. Selama periode tahun 1974-2003, secara keseluruhan kehilangan hampir 50% tutupan hutannya (Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, 2005) dan selama periode tahun 1987-2006 penurunan hutan mangrove lebih dari 40% (Ardli & Wolff, 2008). Sementara itu, luas badan air Segara Anakan sangat menurun drastis sebagai akibat dari proses sedimentasi dan pendangkalan di kawasan muara sungai. Sonjaya (2007) mengatakan pada tahun 1978 luas Laguna sekitar 4.038 ha menurun menjadi 400 ha pada tahun 2004. Pada tahun 1986 luas Segara Anakan 6.450 ha, namun yang tertutup air saat pasang hanya 2.700 ha atau hanya 42% dari luas Segara Anakan dan pada tahun 1992 sekitar 1.800 ha. Pada tahun 2000 luas estuari ini hanya tinggal 1.600 ha, pada tahun 2005 luas perairan di Segara Anakan diperkirakan hanya tersisa 600 ha (Kusnida et al., 2009). Pada tahun 1980 luas Laguna Segara Anakan di atas 3,636 ha, tetapi terus menurun pada tahun 2002 hanya sekitar 600 ha (White et al., 1989; Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, 2005). Antar habitat dan keanekaragaman jenis hayati kelautan terdapat keterkaitan di mana pada tingkat penyusutan habitat alami 50% berakibat terhadap penyusutan keanekaragaman spesies 10%; sedangkan bila penyusutan habitat alami 90% berakibat penyusutan keanekaragaman spesies 50% (Keanekaragaman Hayati Kelautan-Keanekaragaman Hayati Laut. web.ipb.ac.id/~mujizat/). Sukardjo (2002) mengatakan tidak ada keraguan bahwa permasalahan dan konflik dalam pengelolaan terpadu daerah pantai di Indonesia, termasuk: 1. Hilangnya hutan mangrove dan rawa-rawa pasang surut yang mendukung perikanan tradisional, seperti perikanan artisanal, silvofisheries, pengumpulan moluska, kepiting bakau (Scylla serrata). 2. Pemanfaatan daerah pantai yang tidak terkendali, seperti, konversi besar-besaran hutan mangrove menjadi tambak dan kolam ikan. 3. Peluang status, ketenagakerjaan dan ekonomi sosial penduduk menurun, serta masyarakat desa miskin yang terus meningkat. 4. Tinggi dan meningkatnya tingkat polusi pantai. 5. Overfishing dan overexploitation sumber daya pantai, termasuk cara penangkapan sumber daya ikan yang merusak, seperti pemboman terumbu karang.
62
6. Kurangnya pemahaman akan pentingnya ekologi daerah pantai dan pemeliharaan sumber daya pantai oleh pengembang dan pembuat keputusan di pemerintahan. 7. Pengembangan pertanian melalui konversi daerah pantai. Tujuan penelitian adalah melakukan evaluasi dampak sejalan krisis habitat dan pendugaan dampakdampak yang merugikan dari aktivitas penangkapan sumber daya ikan di Segara Anakan. BAHAN DAN METODE Survei dilakukan di dua lokasi utama yaitu Kuta Weru dan Ujung Gagak yang mewakili aktivitas perikanan di Laguna Segara Anakan pada bulan Juli dan Nopember 2010. Pengumpulan data berupa jenis, komposisi, dan ukuran hasil tangkapan jaring apong yang dilakukan melalui pengamatan dan pengukuran secara langsung serta pencatatan data berkaitan dengan ekosistem mangrove di Laguna Segara Anakan. Sumber data lain berasal dari data perikanan dan lingkungan yang berasal dari instansi-instansi terkait serta temuan hasil penelitian terdahulu yang berhasil dirangkum dari berbagai sumber yang dapat diperoleh. Analisis data dilakukan secara deskriptif, melalui tabulasi data terkumpul untuk menjelaskan trend dan rata-rata baik melalui bentuk diagram maupun grafikal. HASIL DAN BAHASAN Keadaan Umum Laguna Segara Anakan Segara Anakan adalah sebuah Laguna yang terletak di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Dari perspektif lingkungan hidup, Laguna tersebut merupakan suatu ekosistem unik yang terdiri atas badan air (Laguna) bersifat payau, hutan mangrove, dan lahan rendah yang dipengaruhi pasang surut air laut. Ekosistem tersebut berfungsi sebagai tempat pemijahan udang dan ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis reptil dan mamalia serta berbagai jenis flora. Dari perspektif sumber daya air, Laguna tersebut termasuk dalam daerah aliran Sungai Segara Anakan yang merupakan bagian hilir dari wilayah Sungai Citanduy (Anonimus, 2006). Perairan Laguna Segara Anakan merupakan perairan pasang surut yang sangat dipengaruhi oleh masa air Sungai Citanduy dan masa air pantai selatan Jawa yang terutama masuk melalui muara sungai di sekitar Desa Majingklak di bagian barat dan muara
Dampak Perubahan Luasan Habitat ….. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.)
Sungai Donan, Cilacap di bagian timur, sehingga pertukaran masa air dengan perbedaan salinitas selalu terjadi melalui proses pasang surut. Perubahan pasang surut tersebut berhubungan erat dengan perubahan karakteristik lingkungan yang berasosiasi dengan keberadaan dan kelimpahan temporal sumber daya ikan di kawasan ini. Pemanfaatan melalui aktivitas penangkapan dengan teknologi sederhana
merupakan penopang utama kehidupan masyarakat pantai yang telah berjalan sejak lama. Luasan perairan Laguna Segara Anakan telah mengalami penyempitan akibat terjadinya proses sedimentasi di kawasan hulu (Ludwig, 1985 dalam White et al., 1989; Anonimus, 2006).
A B
Gambar 1. Figure 1.
Laguna Segara Anakan (titik A adalah lokasi Ujung Gagak dan B adalah lokasi Kuta Weru). Segara Anakan Lagoon (A ferer to Ujung Gagak and B refer to Kuta Weru location). Sumber/Sources: Sudjastani (1989) dalam White et al. (1989)
Perubahan Luasan Laguna Pemanfaatan lahan di kawasan hulu bagi berbagai kepentingan masyarakat berakibat perubahan pada kandungan transport sedimen daerah aliran Sungai Citanduy. Akumulasi kandungan tersebut menyebabkan tingginya laju pendangkalan Sungai Citanduy serta penumpukan materi terendapkan di kawasan Laguna Segara Anakan yang mengakibatkan berkurangnya luasan perairan Laguna. Laguna berfungsi sebagai daerah pemijahan ikan di mana
sebagian besar antara lain dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir melalui aktivitas perikanan perangkap pasang surut. Secara perekonomian masyarakat, kerusakkan ekosistem menyebabkan penduduk kesulitan menangkap ikan sehingga terjadi penurunan produktivitas hasil tangkapan para nelayan. Perubahan historis luasan Laguna Segara Anakan pada kurun waktu tahun 1900-2005 memperlihatkan kecenderungan laju penyempitan yang semakin tinggi (Gambar 2).
63
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 61-71 7000
y = -10.885x + 27166
6000 y = -58.676x + 119905
LUAS LAGUNA (Ha)
5000 4000
1900-1939 1940-1982
3000
y = -154.48x + 309574
1983-1995 1998-2005
2000 y = -83.695x + 168500
1000 0 1900
1910
1920
1930
1940
1950
1960
1970
1980
1990
2000
2010
TAHUN
Gambar 2.
Figure 2.
Perubahan laju penyempitan luasan Laguna Segara Anakan (tahun 19002005). The rate of change of narrowing Segara Anakan Lagoon (1900-2005). Sumber/Sources: Diolah kembali berdasarkan atas data Anonimus (2006)
Dengan menggunakan analisis sederhana hubungan antara luasan dan tahun pengamatan pada kurun waktu tertentu diperoleh besarnya koefisien kecuraman yang semakin tinggi di mana koefisien laju penyusutan tertinggi terjadi pada kurun waktu tahun 1983-1995 kemudian cenderung melandai pada tahun 1998-2005. Luasan minimum terjadi pada tahun 2003 sebesar 600 ha kemudian relatif meningkat pada tahun 2005 menjadi (834 ha) setelah tahun 2004 dilakukan pengerukkan lumpur perairan Laguna. Menurunnya luasan Laguna menyebabkan penyempitan daerah asuhan ikan di mana sebagian antara lain merupakan daerah penangkapan bagi aktivitas perikanan pasang surut. Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Jenis sumber daya ikan yang didaratkan oleh aktivitas perikanan tangkap sangat beragam. White et al. (1989) mengatakan bahwa 25-40% komposisi hasil tangkapan didominansi oleh jenis-jenis ikan sedangkan selebihnya merupakan jenis krutasea yang terdiri atas 10 spesies sedangkan Naamin (1972) mengatakan jenis udang di Laguna Segara Anakan terdiri atas 20 jenis udang di mana enam spesies antara lain memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu jenis udang jerbung yang terdiri atas spesies Penaeus merguiensis, Penaeus chinensis, Penaeus monodon,
64
dan Penaeus semisulcatus; jenis udang dogol yang terdiri atas Metapenaeus ensis, Metapenaeus elegans, dan Metapenaeus affinis; udang campur (krosok), terdiri atas Parapenaeopsis coromandelica, Metapenaeus dobsoni, dan Solenosera crassiconis; Sergestidae dan Mysidaceae. Sudjastani (1982) dalam White et al. (1989) mengatakan bahwa terdapat 21 jenis ikan demersal dan 12 jenis ikan pelagis yang didaratkan di Cilacap, sedangkan White et al. (1989) mengatakan secara keseluruhan terdapat 60 jenis ikan yang didaratkan di kawasan Laguna. Alat Tangkap Perangkap Pasang Surut (Apong) Alat tangkap yang digunakan nelayan di Segara Anakan antara lain apong (tidal traps net), bubu (trap), jaring sirang (gill net), jaring ciker (gill net), dan jala (cast net). Alat tangkap yang dominan dan banyak menangkap udang adalah perangkap pasang surut yang dikenal dengan sebutan jaring apong. Data jaring apong pada tahun 1995 adalah 645 unit, tahun 2000 sebanyak 1.660 unit, dan tahun 2003 sebanyak 1.444 unit. Purnamaji (2003) mengatakan bahwa konstribusi apong terhadap hasil tangkapan udang di Segara Anakan berkisar antara 84,6-93,9%. Efektivitas dan daya tangkap apong untuk menangkap udang ditentukan oleh konstruksi dan metode atau cara mengoperasikan alat tangkap tersebut. Apong adalah sejenis tidal filter net, berbentuk kerucut yang memanjang dari kedua ujung sayap paling depan ke belakang dan mulai dari bukaan mulut kantong mengerucut sampai ujung kantong (cod end). Bentuknya mirip jaring pukat seperti trawl dan cantrang (Zarohman, 2001) (Gambar 3). Bagian sayap yang berfungsi sebagai pengarah (leader) terhadap sasaran penangkapan menuju bagian kantong lewat bukaan mulut jaring terbuat dari webing PE berukuran mata jaring 6-10 inci dan 2-5 inci dengan ukuran panjang 827 m. Panjang tali ris atas dan tali ris bawah masingmasing berkisar 16-18 m. Tali ris atas dilengkapi pelampung dan tali ris bawah dilengkapi dengan pemberat. Panjang lingkar mulut jaring berkisar 6001.200 mata tergantung kedalaman perairan. Ukuran mata jaring mulai dari mulut jaring sampai bagian badan kantong yang paling ujung berturut turut 5; 4,5; 4; 3,5; 3; 2,75; 2,5; 2,25; 2; 1,75; 1,5; 1,25; 1; dan 0,75 inci. Bagian ujung kantong (cod end) pada umumnya mempunyai ukuran mata jaring berkisar 0,75-1 inci. Panjang jaring mulai dari bagian mulut terdepan sampai ujung belakang bagian badan kantong berkisar 10-28 m.
Dampak Perubahan Luasan Habitat ….. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.)
Dua, Klaces, Motean/Ujungalang, beberapa cabang anak sungai, alur pelayaran Sapuregel. Hasil tangkapan sebagian berupa udang dan ikan demersal. Hasil Tangkapan Dari sejumlah 16 contoh unit (trip) jaring apong di Kuta Weru, diperoleh total hasil tangkapan rata-rata 8,34 kg/unit/trip/hari dengan kisaran 4,7-18,6 kg/unit/ trip, sedangkan apong yang beroperasi di daerah Ujung Gagak menunjukkan hasil tangkapan yang relatif lebih kecil yaitu rata-rata 2,9 kg/unit/trip dengan kisaran 0,6-9,1 kg/unit/trip. Gambar 3. Figure 3.
Jaring apong. Tidal traps net. Sumber/Source: Boesono (2003)
Operasi penangkapan dilakukan dua kali dalam sebulan pada saat terjadinya arus pasang surut kuat. Pengoperasian bersifat menetap dengan cara dipancang berjajar menghadang arus pasang dan menyilang alur pintu masuk dari laut terbuka ke perairan Laguna atau menyilang alur sungai dan cabang-cabang sungai yang ada dalam Laguna. Penyebaran pasang jaring apong mulai dari kawasan barat sampai timur adalah dari Sungai Cibeureum, Muara Cibeureum, Cimeneng ke arah selatan sampai di Pelawangan Barat, dan ke arah timur daerah Muara
(a) Gambar 4. Figure 4.
Gambaran rata-rata tangkapan dari ke-16 contoh armada jaring apong Kuta Weru dan 19 contoh kapal di Ujung Gagak pada bulan Nopember 2010 tertera pada Gambar 4a dan 4b. Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa untuk tangkapan Anguilla sp. merupakan hasil tangkapan tertinggi yaitu rata-rata 3 kg, sementara hasil tangkapan terendah kelompok jenis teri (Stolephorus sp.) yaitu rata-rata 0,54 kg, jenis ini pada umumnya tertangkap pada saat musim kering di mana masa air dengan salinitas tinggi dapat mencapai kawasan Laguna. Pada Gambar 4b terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi di daerah Ujung Gagak (Pangandaran) adalah Oxyeleotris marmorata dan Anguilla sp. masing-masing 0,13 dan 0,11 kg.
(b)
Komposisi hasil tangkapan rata-rata jaring apong di Kuta Weru (a) dan Ujung Gagak (b) bulan Nopember 2010. Average catch composition of apong in Kuta Weru (a) and Ujung Gagak (b) during November 2010.
65
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 61-71
Berdasarkan atas pengelompokkan jenis hasil tangkapan di Kuta Weru, rata-rata hasil tangkapan dari ke-16 contoh unit jaring apong untuk tangkapan udang rata-rata berturut-turut untuk udang dragon merupakan udang berukuran kecil terdiri atas campuran udang jari, udang peci, udang pletok, udang rebon (Paelamonidae), udang jambu (Metapenaeus dobsoni) rata-rata 2,52 kg/trip (1,5-3,8 kg), udang jari 1,88 kg/trip (0,2-5,7 kg), udang jerbung (Penaeus merguensis de man) 1,35 kg (0,5-3,1 kg), dan udang windu (Penaeus monodon) 0,54 kg/trip (0,1-1,5 kg). Saputra (2005) mengatakan bahwa bobot per jenis udang hasil tangkapan jaring apong di Segara Anakan, terlihat bahwa kontribusi terbesar diberikan oleh Metapenaeus elegans yaitu 62,5%, disusul Penaeus
Gambar 5. Figure 5.
merguensis (13%), Metapenaeus dobsoni (11,7%). Hasil Tangkapan udang di Ujung Gagak didominansi oleh jenis udang krosok (Metapenaeus lysianassa) yaitu 91,15% dari total keseluruhan udang yang tertangkap. Pada Gambar 5a terlihat bahwa perbandingan hasil tangkapan keseluruhan ikan dan udang dari 16 contoh jaring apong di Kuta Weru, diperoleh komposisi hasil tangkapan udang mencapai 93,68 kg (70,21%) dan hasil tangkapan ikan diperoleh 39,75 kg (27,79%). Persentase rata-rata hasil tangkapan jaring apong di Ujung Gagak dari 19 contoh jaring apong diperoleh tangkapan udang 75,83%, ikan 18,11%, dan lain-lain 6,05% (Gambar 5b).
Perbandingan komposisi udang dan ikan hasil tangkapan jaring apong bulan Nopember 2010 (a) Kuta Weru dan (b) Ujung Gagak. Comparison between shrimp composition of apong net catches in November 2010 (a) Kuta Weru and (b) Ujung Gagak.
Penurunan dan Perubahan Hasil Tangkapan Penurunan produksi ikan diduga disebabkan adanya penyempitan habitat bagi ikan-ikan. Kerusakkan tersebut ditandai berkurangnya kawasan mangrove. Hubungan kawasan Laguna dan produksi ikan ditunjukkan pada Gambar 6 (hasil reanalisis data produksi perikanan dan luasan Laguna dalam Boesono, 2003), adapun persamaan hubungan antara luas kawasan Laguna (ha) dan produksi ikan (kg) adalah: Y = 0,275x+465,5 dengan R2 0,942 …………… (1 di mana: Y = produksi (ton) x = luasan Laguna (ha)
Gambar 6.
Figure 6.
66
Hubungan penyusutan luasan Laguna dengan produksi perikanan periode tahun 1978-2008. Relationship between Laguna area and fisheries production 1978-2008 period.
Dampak Perubahan Luasan Habitat ….. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.)
Berkurangnya total produksi ikan di kawasan Laguna Segara Anakan ini mempunyai kecenderungan bersamaan dengan berkurangnya jenis-jenis ikan yang ada di daerah tersebut. Jumlah alat tangkap di Segara Anakan berperan dalam meningkatkan produksi perikanan. Banyaknya jumlah alat tangkap pada tahun-tahun tertentu menyebabkan peningkatan yang berarti pada produksi ikan. Pada tahun 1987 produksi ikan tampak cukup tinggi karena pada tahun tersebut jumlah alat tangkap cukup banyak yaitu 9.691 unit, sebaliknya pada tahun 1994 dan 2001 produksi ikan menurun akibat penurunan jumlah alat tangkap yaitu secara berturut-turut 8.543 dan 7.948 unit. Secara umum, dari gambaran hasil tangkapan 16 contoh armada jaring apong Kuta Weru dan 19 contoh kapal di Ujung Gagak pada bulan Nopember 2010 dapat dilihat pada Gambar 7a dan 7b. Pada Gambar 7a terlihat bahwa perolehan hasil tangkapan jaring apong di Kuta Weru total hasil tangkapan rata-rata 8,34 kg/ unit/trip yaitu berkisar dari 4,35-18,60 kg. Berdasarkan atas hasil pengamatan di daerah Ujung Gagak, Kampung Laut diperoleh hasil tangkapan jaring apong berkisar antara 0,623-9.092 kg, dengan rata-rata hasil tangkapan 3.261 kg (Gambar 7b).
Gambar 7b.
Figure 7b.
Hasil tangkapan per unit upaya nominal apong di Segara Anakan bulan Nopember 2010 di daerah Ujung Gagak. Catch per unit of nominal effort of Apong net in Segara Anakan during November 2010 in Ujung Gagak area.
Sementara kajian Dudley (2000) menyimpulkan bahwa hasil tangkapan jaring apong yang beroperasi mencakup kawasan bagian barat Laguna Segara Anakan, tertangkap sekitar 27 famili.
Gambar 7a.
Figure 7a.
Hasil tangkapan per unit apong di Segara Anakan bulan Nopember 2010 di daerah Kuta Weru. Catch per unit of Apong net in Segara Anakan during November 2010 in Kuta Weru Area.
Berdasarkan atas hasil penelitian terdahulu menunjukkan selama kurun waktu 14 tahun (Djuwito, 1985; Murni, 2000) telah terjadi hilangnya beberapa famili. Pada tahun 1985 di Segara Anakan ditemukan 45 jenis ikan dari 36 famili (Djuwito, 1985). Murni (2000) mengatakan bahwa di Segara Anakan pada tahun 1999 ditemukan 16 jenis ikan dari 12 famili beberapa jenis yang hilang antara lain Anguilla sp., Apogon aureus, Areus maculates, dan lain-lain (Lampiran 1).
Penurunan kondisi lingkungan yang mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan antara lain berkurangnya habitat fauna benthik dan berkurangnya tingkat perkembangbiakan ikan dan udang (Toro & Sukardjo, 1988). Dari beberapa kajian sebelumnya juga menunjukkan deforestasi hutan mangrove dan sedimentasi menyebabkan berkurangnya luasan badan air dan daerah penangkapan, sehingga berdampak langsung terhadap daya dukung dan keberadaan sumber daya ikan, serta penurunan produksi ikan di Laguna Segara Anakan, terutama spesies ikan yang memiliki tingkah laku antar koneksi habitat (inter habitat connectivity), seperti udang dan kepiting (Lampiran 1). Dari hasil perbandingan komposisi jenis yang tertangkap pada tahun 1985, 1999, dan 2010 dapat dilihat adanya penurunan jumlah jenis ikan yang tertangkap jika dibandingkan dengan tahun 1985. Di wilayah Kuta Weru terjadi penurunan jumlah jenis yang tertangkap jaring apong pada tahun 2010 sebesar 47% yaitu tinggal 53% (24 jenis) jika dibandingkan dengan jumlah jenis yang tertangkap tahun 1985. Sementara di daerah Ujung Gagak terjadi
67
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 61-71
penurunan jumlah jenis ikan yang tertangkap jaring apong jika dibandingkan dengan tahun 1985. Penurunan jumlah jenis yang tertangkap pada tahun 2010 mencapai 36% yaitu tinggal 64% (29 jenis) jika dibandingkan dengan jumlah jenis yang tertangkap tahun 1985. Secara umum, jika dibandingkan dengan komposisi tangkapan tahun 1999 baik di Kuta Weru dan Ujung Gagak ada peningkatan jenis, namun secara produksi hasil tangkapan mengalami penurunan. Peningkatan jenis pada tahun 2010 diduga terkait dengan penurunan aktivitas penangkapan dengan jaring apung. Penurunan daya tangkap per unit jaring apong disikapi oleh nelayan Kuta Weru dengan cara menambah unit jaring apong yang dioperasikan dalam setiap trip operasinya. Sehingga rata-rata setiap unit perahu membawa dua buah unit jaring apong untuk dioperasikan dalam waktu yang sama. Hasil tangkapan pada umumnya adalah jenis udang dan ikan berukuran kecil atau muda, dengan dominannya hasil tangkapan udang dan ikan berukuran kecil atau muda dapat mengganggu atau mengancam pada kelestarian sumber daya dan lingkungan di perairan Segara Anakan. Berdasarkan atas kondisi riil kegiatan penangkapan perikanan jaring apong di lapangan, sangat diperlukan adanya alternatif dan upaya alih teknologi atau alih usaha lain yang mengarah pada kegiatan perikanan yang lebih bertanggungjawab. Alternatif kegiatan nelayan jaring apong di Kuta Weru yang pernah dilakukan adalah budi daya lele dumbo, namun berbagai kendala saat ini sudah tidak berjalan lagi. Alternatif lainnya adalah kegiatan pembesaran kepiting melalui sistem mutilasi. Kegiatan budi daya kepiting yang ada di Kuta Weru tersebut relatif terbatas di samping banyak dijumpai berbagai kendala terutama kesulitan memperoleh bibit dan kendala pemasaran dari hasil pembesaran kepiting tersebut. Di masa yang akan datang sangat diperlukan adanya terobosan baru alternatif usaha selain jaring apong yang dapat diterima oleh nelayan lokal. KESIMPULAN 1. Penurunan luasan habitat Segara Anakan berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan ikan dan udang di laut sepanjang pesisir selatan Cilacap. Berdasarkan atas data produksi hasil tangkapan menunjukkan kecenderungan penurunan hasil tangkapan dari tahun ke tahun baik di dalam maupun di luar Laguna.
68
2. Adanya degradasi lingkungan juga ditandai oleh penurunan jumlah jenis yang tertangkap jaring apong. Rata-rata terjadi penurunan jumlah jenis 45,5% di kedua daerah jika dibandingkan kondisi tahun 1985. Terjadi perubahan strategi penangkapan di mana nelayan cenderung menambah jumlah jaring apong yang dioperasikan untuk meningkatkan hasil tangkapan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset dampak krisis habitat terhadap perikanan tangkap: Kasus perairan Sagara Anakan, Cilacap, T. A. 2010, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta-Dewan Riset Nasional. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2006. Konservasi dan Pengendalian Daya Rusak Air Demi Penyelamatan Segara Anakan. Balai Data dan Informasi Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat. 15 pp. Ardli, E. R. & M. Wolff. 2008. Land Use and Land Cover Change Affecting Habitat Distribution in the Segara Anakan Lagoon, Java, Indonesia. Regional Environmental Change. Springer-Verlag. Boesono, S. H. 2003. Perkembangan perikanan tangkap akibat perubahan luasan Laguna Segara Anakan Cilacap (Jawa Tengah). Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan. 2005. Laporan Mini Survei Sosial Ekonomi Kawasan Segara Anakan. Cilacap. Djuwito. 1985. Analisa struktur komunitas ikan di Segara Anakan, Cilacap. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dudley, R. G. 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plan. Segara Anakan Conservation and Development Project Components B. & C. Consultant’s Report. 33 pp. Kusnida, D., I. W. Lugra, & L. Sarmili. 2009. Batimetri, Pola Arus, dan Perubahan Garis Pantai di Segara Anakan, Cilacap. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. ww.mgi.esdm.go.id/.../batimetri-pola-arus-danperubahan-garis-pantai-di-sagara-anakan-cilacap.
Dampak Perubahan Luasan Habitat ….. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.)
Murni, C. N. H. 2000. Perencanaan pengelolaan kawasan konservasi estuaria dengan pendekatan tata ruang dan zonasi (Studi kasus Segara Anakan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Naamin, N. 1972. Perkembangan Perikanan Udang di Perairan Cilacap dan Pangandaran. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 1: 59 pp.
Sonjaya, J. A. 2007. Kebijakan untuk Mangrove: Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. IUCN and Mangrove Action Project. Indonesia. 46 pp. Toro, V. & Sukardjo. 1988. Mangrove forest of Segara Anakan Lagoon, fisheries resource, and substrate of paneid shrimp. Proceeding of National Seminar on Fish and Shrimp Breeding. Bandung. 5-7 Juli 1988. 454-481.
Purnamaji, S. 2003. Analisis tingkat eksploitasi sumber daya udang putih (Penaeus merguensis De Man, 1888) di Laguna Segara Anakan dengan simulasi model dinamis. Tesis. Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
White, A. T., P. Martosubroto, & M. S. M. Sadorra. 1989. The coastal environmental profile of Segara Anakan, Cilacap, South Java, Indonesia. Iclarm Technical Reports 25. 82 pp.
Sukardjo, S. 2002. Integrated Coastal Zone Management in Indonesia: A View from a Mangrove Ecologist/Southeast Asian Studies. 4 (2).
Zarochman. 2001. Penataan apong untuk keselamatan tumbuh udang dalam Segara Anakan. Jurnal Gema Segara Anakan. III (9).
69
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 61-71
Lampiran 1. Appendix 1.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.
70
Perbandingan komposisi ikan hasil tangkapan jaring apong untuk tahun 1985, 1999, dan 2010 Comparison of tidal traps nets catch composition for 1985, 1999, and 2010
Famili/Family Anguillidae Apogonidae Aridae Belonidae Bothhidae Carangiadae
Chaetodontidae Clupeidae Cynoglossidae Drepanidae Engraulidae
Gerreidae Gobiidae Hemirphamlidae Labridae Lagocephalidae Leiogonahidae
Lutjanidae
Monodactylidae Mugillidae Mullidae Muradaeneidae Polynomidae Pomadacidae Patabouridae Scathopagidae Scianidae Sciaenidae Scombridae Serranidae Sparidae Stromnteidae Synodontidae Tetrodontine Theraponidae Trichluridae Trygonidae Trypanichheridae
Jenis/Species
1985
1999
Anguilla sp. Apogon aureus Arius maculatus Tylosurus Crossorhombus azureus Alectis indicus Alepes sp.1 Alepes sp.2 Chaetodon fasciatus Anchoviella commersonii Cynoglossus lingua Opisthopterus tardoore Drepane longimana Setipinna taty Stolephorus indicus Thryssa malabarica Thryssa mystax Geres filamentosus Acentrogbius sp. Hemirphamphus sp.
v v v v v v v v v v v 0 v v v v v v v v
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Sphacnoroldes lunaris Leiognathus dussumieri Leiognathus equulus Leiognathus bindus Lutjanus fulviflamma Lutjanus johni Lutjanus sp.1 Lutjanus sp.2 Monodactylus falciformis Mugil buchanani M. dussumieri Upeneus tragula Muraenesox cinerius Polynemus indicus Pamadasys hasta Rataboura bicolor Scatophagus argus Johnistus sp.1 Johnius sp.2 Scomberomorus guttatus Epinephelus sp. Sillago sihema Acenthopagus berda Pampus argenteus Saurida tumbil Thrachicephalus sp. Tetrodon reticulatus Therapon theraps Trichiurus lepturus Himanturus varnak Trypauchen vagina
v v
0 0
v 0 0 v
0 v** v** 0
v v v v v v v v v 0 v v v v v v v v v v v v
0 v** v** 0 0 0 0 0 0 v** 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Tahun/Years 2010Ujung Gagak 2010Kuta Weru v v v v v** v 0 0 0 v** v v 0 0 0 0 0 0 0 0 v v 0 v** 0 0 0 v v v 0 0 v V v v** v V 0 0 0 v** 0 v** 0 0 v V v v** v** V 0 0 0 0 0 0 v** 0 0 v** v 0 0 v** v v** v 0 0 v** v v** v V 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 v v 0 0 0 0 0 0 v** v 0 0 v 0 0
Dampak Perubahan Luasan Habitat ….. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.)
53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65.
Serranidae Chaetodontidae Apogonidae Polynomidae Clupeidae Goblidae Balistidae
Syngnathidae Eleotridae Synbranchidae
Ephinepelus tauvina Chaetodon auriga Eleutronema tridactylum Engraulis mordax Balistapus rectangulus Pseudobalistapus fuscus B. undulates B. encharpe Hippocampus kuda Oedura marmorata Monopterus albus
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
v v** v** v** v** v** v** v** v** v** v** 0 0
0 0 0 0 0 v** 0 0 0 0 0 v v
0 0 0 0 0 0 0 0 0 v** v v v
Keterangan/Remarks: v ditemukan lebih dari 10 ekor; v** ditemukan kurang dari 10 ekor; 0 tidak ditemukan
71
Struktur Komunitas dan Relung ….. Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes (Purnomo, K. & A. Warsa)
STRUKTUR KOMUNITAS DAN RELUNG MAKANAN IKAN PASCA INTRODUKSI IKAN PATIN SIAM (Pangasianodon hypophthalmus) DI WADUK MALAHAYU, KABUPATEN BREBES Kunto Purnomo dan Andri Warsa Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Teregistrasi I tanggal: 8 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Pebruari 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011
ABSTRAK Studi tentang struktur komunitas ikan dan pembagian sumber daya pakan ikan pasca introduksi ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) di Waduk Malahayu (620 ha) dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komposisi jenis ikan, preferensi makanan, dan luas relung tiap jenis ikan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei pada bulan Agustus sampai Nopember 2009 dan bulan Maret sampai Oktober 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur komunitas ikan terdiri atas 13 jenis ikan, yang didominansi oleh ikan nila (Oreochromis niloticus), udang (Macrobrachium sp.), dan gabus (Channa striata). Jenis-jenis sumber daya pakan yang dimanfaatkan oleh ikan adalah fitoplankton (20%), detritus (19%), zooplankton (17%), insekta (11%), tumbuhan air (9%), ikan (9%), udang (9%), dan moluska (6%). Ikan patin siam, mujair (Oreochromis mossambicus), dan beunteur (Puntius binotatus) bersifat generalis karena mampu memanfaatkan semua sumber daya pakan alami yang tersedia. Ikan sili (Macrognathus aculeatus) dan keting (Mystus nigriceps) lebih bersifat spesialis karena hanya memanfaatkan insekta sebagai makanan utamanya. Peluang kompetisi antara ikan patin siam (diintroduksikan tahun 2009) dan ikan nila relatif kecil sebab sumber daya pakan utamanya berbeda, yaitu ikan patin siam memanfaatkan moluska sebagai makanan utamanya sedangkan ikan nila sebagian memanfaatkan fitoplankton. Hasil tangkapan ikan di waduk ini berkisar antara 34,3-1.323,1 ton/tahun dengan rata-rata 157,3 ton/tahun. KATA KUNCI:
struktur komunitas, introduksi, patin siam, relung makanan, Waduk Malahayu
ABSTRACT:
Community structure and food resource partitioning of fishes after the introduction of catfish (Pangasianodon hypophthalmus) in Malahayu Reservoir, Brebes Regency. By: Kunto Purnomo and Andri Warsa
Malahayu Reservoir located in Brebes Regency, was impounded in 1930, with a surface area of 620 hectares, a mean water depth of 8 m. Its main function are flood control and irrigation. Study on fish community structure and food resource partitioning of fishes in Malahayu Reservoir were conducted from August to November 2009 and March to October 2010. The aim of the study was to evaluate the existing condition of fish resources, with emphasis on species composition, food preferency, and niche breadth of fishes. Results of this study showed that the structure of fish community compose of thirteen fish species which were dominated by nile tilapia (Oreochromis niloticus), freshwater prawn (Macrobrachium sp.), and snakehead (Channa striata). The food resources consumed by fishes in this reservoir are phytoplankton (20%), detritus (19%), zooplankton (17%), insect (11%), aquatic plants (9%), fish (9%), shrimp (9%), and molusc (6%). The striped catfish, mozambique tilapia and spotted barb were generalist because used all of the food resources. The lesser spiny eel (Macrognathus aculeatus) and twospot catfish (Mystus nigriceps) were specialist, only used the insect larva as the food item. The striped catfish (introduced in 2009) and nile tilapia in this reservoir not compete each other because the main food item are different, the striped catfish mainly eats the molusc while nile tilapia eats phytoplankton. The fish production range from 34.3-1,323.1 ton/yr with average 157.3 ton/yr. KEYWORDS:
community structure, introduction, Siamese catfish, food resource, Malahayu Reservoir
PENDAHULUAN Waduk Malahayu terletak pada ketinggian 29 m, dpl. yaitu pada koordinat geografis 108º49’12" BT dan
07º01’48" LS, terbentuk karena pembendungan aliran Sungai Ciomas dan Cikabuyutan di Desa Malahayu. Secara administratif, waduk ini termasuk wilayah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Waduk
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Cilalawi, Purwakarta, Purwakarta 41152, E-mail:
[email protected] dan
[email protected]
73
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 73-82
yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930 tersebut kini luasnya hanya tinggal 620 ha dan kedalaman rata-rata sekitar 10 m. Tujuan utama pembangunannya semula adalah sebagai penyedia air baku untuk kebutuhan rumah tangga dan irigasi pertanian di daerah pantai utara. Fungsi tersebut kini sudah bertambah, yaitu untuk pengembangan usaha perikanan tangkap, pariwisata, dan transportasi air. Dalam hal pemanfaatan perairan untuk kegiatan perikanan, Kantor Badan Pengelola Wilayah Sungai setempat berkeberatan bila perairan waduk ini dimanfaatkan untuk pengembangan budi daya ikan dalam keramba jaring apung. Kekhawatiran kantor tersebut cukup beralasan, yaitu supaya kualitas lingkungan perairan tidak rusak seperti yang terjadi di Waduk Saguling dan Cirata (Kartamihardja, 1991; Nastiti et al., 2001). Kegiatan perikanan yang berkembang di Waduk Malahayu hanya berupa perikanan tangkap. Produksi perikanan tangkap waduk ini meningkat cukup signifikan, yaitu dari 348 ton pada tahun 2003 sampai 1.025 ton pada tahun 2007 (Kustanto, 2008). Upaya untuk lebih meningkatkan produksi tangkapan ikan sudah lama dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Perikanan setempat yang bekerjasama dengan kelompok nelayan setempat yaitu Nila Jaya. Upaya tersebut antara lain berupa penebaran ikan berbagai jenis ikan yaitu ikan nila, mas (Cyprinus carpio), dan tawes (Puntius javanicus) yang jumlahnya antara tahun 2001-2009 berkisar antara 150.000-325.000 ekor/tahun. Jadi secara tidak disadari sebenarnya masyarakat nelayan setempat sudah lama melaksanakan program pengembangan perikanan melalui pola perikanan tangkap berbasis budi daya (culture based fisheries). Program ini dapat dirasakan manfaatnya oleh para nelayan dan terasa dampaknya, oleh karena itu para nelayan sangat menghargai lembaga kelompok nelayan yang sudah ada sekarang ini. Untuk lebih meningkatkan capaian produksi tangkapan ikan saat ini maka perlu dicarikan terobosan jenis ikan baru yang juga disukai masyarakat dan memiliki nilai jual yang lebih tinggi, terlebih bila juga mempunyai pangsa ekspor yang cukup baik. Obsesi ini untuk mewujudkannya memerlukan dukungan data dan informasi, terutama misalnya tentang pola dan tingkat pemanfaatan sumber daya pakan alami oleh komunitas ikan di Waduk Malahayu. Data dan informasi yang diperoleh selanjutnya dapat dipakai sebagai dasar dalam penyusunan rencana kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan ke depan. Tentunya data dan informasi tersebut sebaiknya berasal dari serangkaian hasil-hasil penelitian mendasar yang aplikatif sehingga dapat
74
diserap oleh pengguna (users), dan bukan dari hasil proses coba-coba (trial by error) di lapangan seperti yang telah banyak dilakukan di beberapa perairan waduk dan danau selama ini. Bertolak dari permasalahan tersebut di atas maka penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komposisi jenis ikan, preferensi makanan, dan luas relung tiap jenis ikan di Waduk Malahayu. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan rencana pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan di waduk tersebut. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Waduk Malahayu menggunakan metode survei lapangan yang dilakukan pada bulan Agustus sampai Nopember 2009 dan bulan Maret sampai Oktober 2010. Untuk mempermudah jalannya penelitian maka di waduk tersebut ditetapkan beberapa stasiun penelitian untuk pemantauan pengamatan kualitas air dan lokasi pemasangan jaring percobaan (experimental gillnet). Stasiun tersebut adalah di Desa Karacak, Malahayu (di daerah dermaga perahu), Cawiri, dan Pananggapan (Gambar 1). Survei fisika dan kimiawi air hanya mencakup beberapa parameter penting kualitas air yang diukur secara insitu menggunakan metode standar seperti yang telah ditetapkan oleh American Public Health Association (1989), antara lain suhu dan kecerahan air, kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen), konsentrasi karbon dioksida (CO2), dan pH air. Contoh ikan untuk keperluan penelitian ini diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di keempat stasiun penelitian di atas dan juga dari hasil percobaan penangkapan ikan memakai jaring insang percobaan (experimental gillnet) yang terbuat dari benang monofilamen. Jumlah jaring insang yang dipakai dalam penelitian ini adalah empat set, tiap set terdiri atas beberapa ukuran mata jaring (mesh size), yaitu ukuran 0,50; 0,75; 1,00; 1,50; 1,75; 2,00; 2,25; 2,50; 3,0; dan 3,50 inci (stretched mesh). Di tiap stasiun dipasang satu set jaring yang posisi pemasangannya adalah tegak lurus garis pantai (perpendicular). Jaring tersebut dipasang pada sore hari dan diangkat (pengambilan hasil tangkapan) pada keesokan pagi harinya. Ikan hasil tangkapan dipisahkan menurut ukuran mata jaring, kemudian dicatat nama jenis ikannya dan ukuran panjang (cm) serta bobot (g) tiap individu ikan. Identifikasi untuk memastikan nama tiap jenis yang ditemukan dilakukan memakai buku dari Kottelat et al. (1993). Selanjutnya perut ikan dibedah dan diambil saluran pencernakannya, kemudian
Struktur Komunitas dan Relung ….. Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes (Purnomo, K. & A. Warsa)
dimasukan ke dalam kantung plastik dan diawetkan memakai larutan formalin 4%. Setelah itu contoh awetan tersebut dibawa ke Laboratorium Biologi Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, JatiluhurPurwakarta untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis
Gambar 1. Figure 1.
contoh di laboratorium mencakup pengamatan organisme jenis makanan secara mikroskopis dan identifikasi memakai buku-buku dari Needham & Needham (1963); Edmonson (1978); Quigley (1977); Sachlan (1982).
Lokasi stasiun penelitian di Waduk Malahayu. The sampling stations in Malahayu Reservoir.
Analisis data untuk mengetahui preferensi dan kebiasaan makanan ikan dilakukan menggunakan metode indeks bagian terbesar (index of preponderance) dari Natarajan & Jhingran dalam Effendie (1979) sebagai berikut:
IPi = {vioi/ ∑ ( vioi)}*100% .....……………… (1 di mana: IPi = indeks bagian terbesar (index of preponderance) makanan ke-i vi = persentase volume makanan ke-i oi = persentase frekuensi kejadian makanan ke-i Luas relung (niche breadth) makanan ikan dihitung menggunakan model Levins dalam Colwell & Futuyma (1971) sebagai berikut: Bi=1/ ∑k(pik)2 ……………………………………. (2 di mana: Bi = luas relung jenis ikan ikan ke-i pik = proposi jenis ikan ke-i dalam memanfaatkan sumber daya makanan ke-k
Analisis untuk mengetahui adanya peluang kompetisi antar jenis ikan (niche overlap) dihitung menggunakan model dari Pianka (1986) sebagai berikut: Oij=∑(pikpjk)/(∑pik2∑pjk2)1/2 ………………………… (3 di mana: Oij = tumpang-tindih relung (niche overlap) antara jenis ikan ke-i dan ke-j pik = proposi jenis ikan ke-i dalam memanfaatkan sumber daya makanan ke-k pjk = proposi jenis ikan ke-j dalam memanfaatkan sumber daya makanan ke-k Tingkatan peluang terjadinya kompetisi ditentukan seperti menurut kriteria yang diajukan oleh Moyle & Senanayake (1984) sebagai berikut: 1. Bila Oij<0,3: peluang terjadinya kompetisi tergolong rendah. 2. Bila Oije”0,3-0,8: peluang terjadinya kompetisi tergolong sedang. 3. Bila O ij> 0,8: peluang terjadinya kompetisi tergolong tinggi.
75
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 73-82
HASIL DAN BAHASAN Kualitas Air dan Sumber Daya Makanan Alami Ikan Hasil pengukuran beberapa parameter penting fisika dan kimiawi air selama penelitian di Waduk Malahayu (Tabel 1) tidak memperlihatkan suatu kondisi yang ekstrim, artinya nilai-nilai konsentrasi tiap parameter terukur adalah seperti yang lazim dijumpai di perairan lainnya. Sampai saat ini kondisi perairannya baik untuk kehidupan ikan, belum pernah dilaporkan adanya kematian ikan dalam kondisi yang ekstrim sekalipun, misalnya musim kemarau yang panjang sehingga air waduk menjadi sangat rendah. Selain itu, sungai yang masuk ke dalam waduk yaitu Sungai Cikabuyutan dan Ciomas alirannya hanya melalui daerah pertanian dan pemukiman yang tidak terlalu padat sehingga limbah domestik hanya relatif sedikit dan perairan waduk tetap terlihat bersih. Tabel 1. Table 1.
Di perairan ini tidak ada stratifikasi suhu air (ratarata antara 27,0-25,6ºC) dan kandungan oksigen terlarut (rata-rata antara 8,8-5,0 mg/L). Hal ini disebabkan perairannya relatif dangkal, kedalaman maksimum hanya sekitar 10-12 m sehingga kondisi perairan di bagian bawah terpengaruh efek penyinaran oleh sinar matahari yang dapat menembus sampai kedalaman tertentu. Pengaruh yang sama juga terjadi untuk kandungan oksigen terlarut yang dari lapisan atas sampai ke bawah penurunannya hanya sedikit. Perairan waduk yang tidak terlalu dalam dan pengadukan massa air oleh angin menyebabkan perairan menjadi keruh, tapi kekeruhan tersebut bukan akibat proses siltasi melainkan karena kelimpahan fitoplankton yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 79.104-707.600 sel/L (rata-rata 246.235 sel/L). Keadaan ini mengindikasikan perairan Waduk Malahayu tergolong subur dan cocok untuk perkembangan jenis-jenis ikan yang tergolong pemakan plankton (planktivora).
Fisika, kimiawi, dan biologi perairan Waduk Malahayu, tahun 2010 Water, physico, and chemical and biology features of Malahayu Reservoir, in 2010 Parameter
Suhu Air (ºC) O2 (mg/L) CO2 (mg/L) pH (unit) Kelimpahan fitoplankton (sel/L) Kelimpahan zooplankton (ind./L)
0 25,7-29,3 (27,0) 5,3-13,1 (8,8) 0,0-3,0 (0,7) 7,0-8,0 (7,4) 5.752-49.483 (26.800) 1.475-11.569 (4.299)
Kedalaman/Depth (m) 2 4 25,7-27,6 (26,4) 25,9-27,4 (26,2) 5,3-9,5 (7,1) 5,3-8,9 (6,6) 0,0-5,9 (1,7) 0,0-5,9 (1,3) 7,0-8,0 (7,4) 7,0-8,0 (7,5) 5.792-655.568 4.658-46.204 (176.900) (22.760) 1.006-31.438 1.006-18.443 (9.746) (5.659)
10-12 25,0-25,9 (25,6) 4,7-5,3 (5,0) 1,5-3,0 (2,2) 7,5-8,0 (7,6) 3.805-41.749 (19.776) 1.006-12.072 (3.420)
Keterangan/Remarks:Kecerahan air antara 29,0-160,0 cm; suhu udara antara 24,8-28,8ºC; angka dalam kurung menunjukan nilai rata-rata/Water transparency 29.0-160.0 cm, air temperature 24.8-28.8ºC, number in the bracket is the average
Kelimpahan fitoplankton di Waduk Malahayu didominansi oleh kelas Cyanophyceae dan Dinophyceae (Gambar 2). Kelimpahan yang tinggi tersebut terdapat baik pada kedalaman 0,5; 2,0; dan 4,0 m, yang paling tinggi adalah pada kedalaman 2 m. Cyanophyceae merupakan kelas fitoplankton
76
dengan kelimpahan tertinggi setelah Dinophyceae. Secara umum, genera fitoplankton yang sering ditemukan dan berlimpah adalah Chlorella, Pediastrum, Oscillatoria, Synedra, Peridinium, Scenedesmus, Coleastrum, dan Nitzchia.
Struktur Komunitas dan Relung ….. Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes (Purnomo, K. & A. Warsa)
Individu (x1000) Liter
Kelimpahan (x1000) sel/L -
20
40
60
80
100
Bacteria
Chlorophyceae
Rotifera Cyanophyceae Bacillariophyceae
Cladocera
Desmideacea
Copepoda
Dinophyceae Euglenophyceae
-
Gambar 2. Figure 2.
2,000
3,000
4,000
5,000
Kelimpahan fitoplankton di Waduk Malahayu, tahun 2010. Abundance of phytoplankton of Malahayu Reservoir, in 2010.
Struktur Komunitas Ikan Dari monitoring terhadap hasil tangkapan ikan oleh nelayan selama penelitian berlangsung ada 10 jenis ikan yang menghuni Waduk Malahayu (Tabel 2), adapun jenis ikan yang tergolong dominan adalah ikan nila (50,83%), beunteur (18,19%), dan patin (15,06%). Keberadaan ikan patin siam yang diintroduksikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tanggal 11 Juli 2009. Jenis ikan tersebut kini sudah berkembang pesat, ukuran terbesar yang pernah tertangkap sampai akhir tahun 2010 adalah panjang 66,0 cm dan bobot 3.900 g. Pola pertumbuhan ikan patin selama ini bersifat Tabel 2. Table 2.
1,000
alometrik positif (b = 3,144), artinya ikan ini terlihat gemuk sebab pertambahan bobot badannya lebih cepat dibanding pertumbuhan panjangnya. Informasi ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa habitat Waduk Malahayu cocok untuk kehidupan ikan patin siam. Indikasi ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam alinea pembahasan tentang komposisi makanan ikan di waduk tersebut. Selain ikan patin siam maka jenis-jenis ikan introduksi lainnya mampu hidup dan berkembang di waduk ini adalah ikan nila, mujair, mas, dan tawes. Jenis-jenis ikan yang ditemukan kebanyakkan pola pertumbuhannya isometrik (pertumbuhan panjang badan seimbang dengan bobot badannya), kecuali ikan beunteur, gabus dan mujair yang bersifat alometrik (Tabel 2).
Hubungan panjang dan bobot tiap jenis ikan di Waduk Malahayu Length and weight relationship of fishes in Malahayu Reservoir
Jenis ikan/Species Nila (Oreochromis niloticus) Beunteur (Puntius binotatus) Gabus (Channa striata) Mujair (Oreochromis mossambicus) Patin (Pangasianodon hypophthalmus) Sepat (Trichogaster trichopterus) Mas (Cyprinus carpio) Keting (Mystus nigriceps) Tawes (Barbonymus gonionotus) Sili (Macrognathus aculeatus)
Persamaan/Equation 2,986 B=0,020P 2,377 B=0,052P 2,383 B=0,068P 2,727 B=0,034P 3,144 B=0,006P 2,740 B=0,024P 2,839 B=0,041P 2,921 B=0,012P 2,919 B=0,024P
Dalam penelitian ini juga ditemukan jenis ikan sili (Macrognathus aculeatus) dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Jenis ikan ini juga banyak ditemukan di beberapa perairan waduk seperti Waduk Gajahmungkur, Kedungombo, Sempor, dan lain-lain. Pada umumnya ditemukan di daerah sekitar inlet
2
R 0,970 0,638 0,825 0,918 0,930 0,824 0,947 0,935 0,924
n 1.657 593 140 303 491 143 10 7 12 4
Pertumbuhan/Growth Isometrik Alometrik Alometrik Alometrik Alometrik Isometrik Isometrik Isometrik Isometrik
sungai ke dalam waduk atau danau, sebab jenis ikan ini aslinya adalah ikan sungai (riverine). Menurut Anonimus (2010), seorang peneliti dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto mengatakan bahwa di Indonesia ada 11 jenis ikan sili (nama lainnya adalah sisili, tilan) di mana tiga jenis antara lain
77
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 73-82
ditemukan di Jawa yaitu Macrognathus aculeatus, Macrognathus maculatus, dan Mastacembelus unicolor. Macrognathus dan Mastacembelus sepintas sama perwujudannya, bedanya adalah pada jumlah spina dan duri di punggung di mana Macrognathus memiliki 31 duri sedangkan Mastacembelus mempunyai 33 duri. Keduanya tergolong jenis ikan yang mahal, mulai langka dan banyak dimanfaatkan sebagai ikan hias. Hasil percobaan penangkapan ikan memakai jaring insang percobaan (Tabel 3) memperlihatkan bahwa ikan kebanyakan tertangkap pada ukuran mata Tabel 3. Table 3.
Komposisi hasil tangkapan jaring insang percobaan di Waduk Malahayu Catch composition of experimental gillnet in Malahayu Reservoir
Mata jaring/ Mesh size (inci) 1,00
1,25
1,50 1,75 2,00
2,25
2,50 3,00
Jenis ikan/ Species
Panjang/Length (cm)
Bobot/Weight (g)
Total bobot/ Total weight (g)
Mujair Beunteur Sili Mujair Sili Nila Gabus Sepat Beunteur Mujair Nila Mujair Nila Mujair Nila Gabus Mujair Nila Gabus Nila Nila
6,7 7,5-11,5 (9,3) 22 6,5-12,5 (9,6) 25,5 7,5-12 (8,9) 17,5-23 (20,3) 8,5 10-15(11,3) 8,2-12 (10,2) 9,2-11,5 (10,6) 8,3-13,5 (11,4) 7-13 (10,9) 12,5-13,5 (13,6) 12-15,5 (13,8) 19,5 13-16 (14,3) 12-19,5 (16,5) 37 15,5-20 (17,6) 15,5-20 (18,3)
5,6 6,3-17,4 (11,1) 33,4 7,2-36,8 (17,6) 53,1 7,2-36,8 (17,6) 51,5-105 (78,3) 9,6 15-29,1 (19,4) 10,5-29,1 (19,3) 14-30 (21,7) 14-30 (21,7) 7-35,1 (24,6) 43,3-50,7 (46,8) 41,7-76,9 (52,9) 221,5 49,1-77 (59,8) 35,6 (161) 480,8 76,4-157 (114,3) 62,3-145,2 (120,8)
5,6 489,7 33,4 1.075,5 53,1 1.109,0 156,5 9,6 232 573,8 65 1.193 638,7 187 582,9 221,5 599 642,1 480,8 686 483,3
Relung Makanan Sumber Daya Ikan Komunitas adalah kumpulan beberapa spesies yang hidup secara bersama-sama menurut ruang dan waktu. Habitat adalah tempat keberadaan suatu makhluk hidup atau organisme atau komunitas guna memenuhi kebutuhannya. Apabila kebutuhannya tidak ditemukan atau tidak mencukupi maka organisme tadi akan mati atau berpindah ke lokasi lain yang lebih cocok. Relung ekologi atau niche ekologi (ecological niches) merupakan bagian ilmu ekologi yang lebih menekankan pada peranan atau profesi suatu organisme di dalam habitatnya (Giller, 1984; Krebs, 1999). Jika dalam habitat tersebut terdapat atau hidup
78
jaring antara 1,00-1,75 inci. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa populasi ikan di waduk ini didominansi oleh individu ikan yang berukuran kecil. Untungnya nelayan setempat sangat mentaati Peraturan Daerah setempat yang melarang penggunaan ukuran mata jaring kurang dari dua inci (<2 inci). Dari Tabel 3 juga terlihat bahwa ukuran ikan yang tertangkap tidak meningkat secara linier dengan bertambahnya ukuran mata jaring, artinya ukuran mata jaring yang kecil mungkin saja menangkap ukuran ikan yang lebih besar. Ikan-ikan ini kemungkinan hanya tertangkap dengan posisi tersangkut atau terpuntal (tangled).
Jumlah/ Number (ekor) 1 44 1 61 1 76 2 1 12 30 3 46 27 4 11 1 10 7 1 7 7
beberapa berbagai jenis organisme lain yang niche ekologinya sama maka akan terjadi kompetisi atau persaingan dalam mendapatkan ruang (spatial niche) maupun utamanya adalah makanan (trophic niche). Kompetisi tersebut dikenal dengan istilah kompetisi eksploitatif (Piet, 1996). Dalam kompetisi ini masingmasing spesies tersebut akan mempertinggi efisiensi cara hidup sehingga masing-masing akan cenderung lebih bersifat spesialis dan luas relungnya akan menyempit. Akan tetapi bila populasi semakin meningkat. maka juga akan terjadi persaingan antara individu di dalam spesies yang sama (Krebs, 1999; Piet, 1996).
Struktur Komunitas dan Relung ….. Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes (Purnomo, K. & A. Warsa)
Hasil analisis isi saluran pencernaan beberapa jenis ikan yang ditemukan ternyata sumber daya pakan alami yang dapat dimanfaatkan oleh ikan di Waduk Malahayu cukup beragam yaitu berupa udang, anak ikan, tumbuhan air, moluska, insekta, fitoplankton, zooplankton, dan detritus (Gambar 3). Pada Gambar 3 tersebut juga terlihat bahwa ikan nila, mujair, dan sepat (Trichogaster trichopterus) makanan utamanya adalah fitoplankton. Ikan gabus makanan utamanya anak ikan. Ikan tawes makanan utamanya berupa tumbuhan air sedangkan makanan tambahannya berupa fitoplankton. Ikan sili dan keting (Mystus nigriceps) makanan utamanya adalah larva insekta.
Gambar 3. Figure 3.
Menurut jenis-jenis makanan alami yang dikonsumsi oleh ikan di Waduk Malahayu ternyata luas relung paling besar pada tahun 2009 adalah ikan beunteur, sedangkan pada tahun 2010 adalah ikan patin, mujair, dan beunteur (Tabel 4). Menurut Giller (1984); Piet (1996); Krebs (1999), luas relung yang besar mencirikan bahwa jenis ikan tersebut bersifat generalis, artinya dapat memanfaatkan semua jenis sumber daya pakan yang tersedia di perairan. Sebaliknya ikan dikatakan bersifat spesialis adalah bila hanya dapat memanfaatkan jenis sumber daya pakan alami tertentu, misalnya ikan sili dan keting.
Komposisi makanan ikan di Waduk Malahayu. Diet composition of fishes in Malahayu Reservoir.
Tabel 4 juga menerangkan peluang terjadinya kompetisi antar jenis ikan, yaitu dengan melihat nilai tumpang-tindih relungnya (niche overlap), atau untuk lebih jelasnya dapat dilihat juga dari dendrogram
pengelompokkan jenis ikan berdasarkan atas kesamaan makanannya, seperti tersaji dalam Gambar 4 dan 5.
79
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 73-82
Tabel 4. Table 4.
Luas dan tumpang-tindih relung ekologi ikan di Waduk Malahayu Niche breadth and overlap of fishes in Malahayu Reservoir
Jenis ikan/ Kind of fish (tahun) Nila 09 Mujair 09 Beunteur 09 Gabus 09 Sepat 09 Keting 09 Patin 09 Jenis ikan/ Kind of fish (tahun) Nila 10 Tawes 10 Patin 10 Mujaer 10 Gabus 10 Sepat 10 Sili 10 Beunteur 10
Luas relung/ Broad niche 1,489 1,248 2,612 1,220 1,310 1,220 1,837 Luas relung/ Broad niche 1,715 1,923 2,691 2,420 1,060 1,737 1,000 2,378
Nila 09
Mujair 09
Beunteur 09
Gabus 09
Sepat 09
Keting 09
0,993 0,903 0,000 0,993 0,000 0,975 Nila 10
0,858 0,000 1,000 0,000 0,974 Tawes 10
0,000 0,858 0,269 0,861 Patin 10
0,000 0,110 0,000 Mujair 10
0,000 0,980 Gabus 10
0,000 Sepat 10
Sili 10
0,556 0,247 0,973 0,022 0,991 0,000 0,219
0,194 0,537 0,000 0,508 0,000 0,110
0,460 0,004 0,235 0,048 0,792
0,047 0,958 0,012 0,369
0,000 0,000 0,000
0,000 0,287
0,001
Keterangan/Remarks: Angka 09 atau 10 di belakang nama jenis ikan menunjukan tahun penelitian
Figure 4.
Dendrogram pengelompokkan jenis ikan berdasarkan atas kesamaan makanannya, pada tahun 2009. Dendrogram indicating the similarity of fish diets, in 2009.
Bila digabungkan antara Tabel 4, Gambar 4 dan 5, maka satu hal yang menarik adalah keberadaan ikan nila dan patin siam sebagai sesama jenis ikan introduksi. Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab kekhawatiran sebagian masyarakat nelayan dan pengelola perikanan setempat terhadap kemungkinan terjadinya kompetisi dan terdesaknya populasi ikan nila akibat introduksi ikan patin siam pada tahun 2009. Ikan nila luas relungnya lebih kecil dibanding ikan patin siam (Tabel 4), tapi peluang terjadinya kompetisi dalam mendapatkan makanan di alam pada tahun
80
Sili 10
Gabus 10
Beunteur 10
Jenis ikan
Jenis ikan
Gambar 4.
Patin 10
100.00
Tawes 10
80.37
Mujaer 10
Gabus 09
Keting 09
Beunteur 09
Patin 09
Sepat 09
100.00
Mujair 09
82.49
60.74
Sepat 10
64.99
Nila 10
Tingkat kesamaan (%)
41.11
Nila 09
T ingkat kesamaan (%)
47.48
Gambar 5
Figure 5.
Dendrogram pengelompokkan jenis ikan berdasarkan atas kesamaan makanannya, pada tahun 2010. Dendrogram indicating the similarity of fish diets, in 2010.
2009 (nilai tumpang-tindih = 0,975) lebih besar dibanding keadaannya pada tahun 2010 (nilai tumpang-tindih = 0,247). Peluang terjadinya kompetisi untuk mendapatkan makanannya di alam kemungkinan hanya terjadi pada saat ikan patin berukuran kecil (kisaran panjang 4,0-29,0 cm; ratarata 19,9 cm), sedangkan setelah berukuran lebih besar (kisaran panjang 15,0-70,0 cm; rata-rata 25,5 cm) peluang kompetisi tersebut semakin kecil sebab makanannya sudah berbeda, yaitu lebih banyak memanfaatkan moluska berupa kelas Bivalvia (Pelecypoda) (perhatikan juga Gambar 2). Informasi
Struktur Komunitas dan Relung ….. Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes (Purnomo, K. & A. Warsa)
ini akan semakin jelas dengan ditampilkannya dendrogram pada Gambar 3 dan 4 tersebut di atas, di mana ketika ikan patin siam berukuran kecil (tahun 2009) berada dalam satu kelompok bersama ikan nila sedangkan setelah besar (tahun 2010) jenis makanannya lebih mirip dengan ikan beunteur. Produksi Tangkapan Ikan Hasil analisis terhadap hasil tangkapan ikan di Waduk Malahayu yang dimonitor setiap hari dari tahun Tabel 5. Table 5.
2009-2010 (Tabel 5) memperlihatkan bahwa hasil tangkapan nelayan di waduk ini berkisar antara 34,31.323,1 ton/tahun (rata-rata 157,3 ton/tahun). Data hasil percobaan penangkapan ikan memakai gill net eksperimental (Tabel 2) maupun hasil tangkapan oleh nelayan (Tabel 5) menunjukkan bahwa waduk ini dihuni oleh 13 jenis ikan. Jenis ikan yang tergolong dominan (hampir selalu tertangkap setiap hari) adalah ikan nila (77,0%), udang (7,3%), dan ikan gabus (6,7%).
Rata-rata hasil tangkapan ikan harian di Waduk Malahayu Average daily fish catch in Malahayu Reservoir Hasil tangkapan/Fish catch (kg)
Bulan/ Month
Nila
Gabus
Udang
Jul-09 Aug-09 Sep-09 Oct-09 Nov-09 Dec-09 Jan-10 Feb-10 Mar-10 Apr-10 May-10 Jun-10 Jul-10 Aug-10 Sep-10 Oct-10
103,6 471,2 1023,6 795,9 905,7 228,8 135,9 136,8 138,3 133,1 153,0 214,1 201,4 184,7 294,7 439,9
19,7 66,1 90,0 58,3 29,0 2,5 5,4 5,4 26,9 13,2 25,4 20,7 26,3 22,9 29,4 41,6
29,9 41,0 56,5 65,8 40,2 13,2 20,6 38,8 35,6 33,0 29,9 23,2 21,2 16,3 26,8 37,2
Belut
Keting
Mendo
25,0 9,7
12,3 57,6 2,4 2,7 10,8 9,2 9,0 14,4 9,0 5,2 120,0 10,5
Mujair
Paray
18,6 9,5 24,8 14,7 6,6 5,8 14,3 3,8 17,6 20,0 16,8 13,1 17,3 2,4 15,1
Mas
Patin
Beunteur
52,3 0,6 0,7 5,8 14,1 6,8 5,6 3,7 3,0 1,7 12,4
2,3 3,7 7,8 5,9 5,4 2,9 4,1 5,9 4,2
1,8
Nelayan/ Fisherm en (orang) 24 81 99 91 76 54 40 45 27 51 57 54 55 65 46 70
KESIMPULAN
PERSANTUNAN
1. Waduk Malahayu dihuni oleh 13 jenis ikan, adapun jenis ikan yang dominan adalah ikan nila 77,0%, udang 7,3%, dan gabus 6,7,1%.
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset perikanan berbasis budi daya (culture based fisheries) di Waduk Malahayu (Kabupaten Brebes) dan Situ Panjalu (Kabupaten Ciamis), T. A. 2009 dan 2010, di Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta.
2. Sumber daya makanan alami yang dimanfaatkan oleh ikan adalah udang, anak ikan, tumbuhan air, moluska, insekta, fitoplankton, zooplankton, dan detritus. 3. Berdasarkan atas makanan alami yang dikonsumsi menunjukkan bahwa ikan nila, mujair, dan sepat merupakan ikan pemakan plankton (plankton feeder), ikan gabus bersifat predator, ikan tawes bersifat herbivora, ikan sili, dan keting merupakan ikan pemakan serangga (insektivora) dan ikan patin siam bersifat omnivora. 4. Peluang kompetisi sumber daya makanan alami antara ikan patin siam dan nila sebagai sesama jenis ikan introduksi sangat kecil (koefisien kompetisi = 0,247) sehingga keberadaan ikan patin siam tidak akan mendesak populasi ikan nila.
DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association. 1989. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. 17 th ed. American Public Health Association. Washington D. C. 1,193 pp. Anonimus. 2010. Ikan Sili Nyaris Punah. http:// kompas.com/read/2010/07/21/10110231/ Ikan.Sili.Nyaris.Punah. Diakses Tanggal 31 Maret 2011. Colwell, I. C. & D. J. Futuyma. 1971. On the measurement of niche breadth and overlap. Ecology. 52: 567-576.
81
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 73-82
Edmonson, W. T. 1978. Freshwater Biology. Second Edition. University of Washington. Seattle. Effendie, M. I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Cetakan pertama. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Giller, P. S. 1984. Community Structure and the Niche. Chapman and Hall. New York. 153 pp. Kartamihardja, E. S. 1991. Some Note on Limnological Aspects and Fisheries of the Saguling, Cirata, and Jatiluhur Reservoirs in West Java, Indonesia. RIFF. AARD. (Unpublished). 20 pp. Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S. Wiroatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions Ltd. Indonesia. Krebs, C. J. 1999. Ecological Methodology. 2nd Edition. Addison-Wesley. New York. 654 pp. Kustanto, H. 2008. Sukses story pemacuan sumber daya ikan di Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes. Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Brebes. Disampaikan pada Lokakarya Pemacuan Sumber Daya Ikan di Perairan Umum. Direktur Sumber Daya Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hotel Saphir, Yogyakarta, Tanggal 4-7 Nopember 2008.
82
Moyle, P. B. & F. R. Senanayake. 1984. Resource partitioning among fishes of rainforest streams in Sri Lanka. J. Zool. London. 202: 195-223. Nastiti, A. S., Krismono, & E. S. Kartamihardja. 2001. Dampak budi daya ikan dalam keramba jaring apung terhadap peningkatan unsur N dan P di perairan Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (2): 2230. Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology. Constable & Co. Ltd. London. Pianka, E. R. 1986. Ecology and Natural History of Desert Lizards. Princeton University Press. Princeton, N. J. Piet, G. J. 1996. (Ed). On the Ecology of a Tropical Fish Community. M.C. Escher/Cordon Art-BoarnHolland. 189 pp. Quigley, M. 1977. Invertebrates of stream and rivers. A key to Identification. Edward Arnold. Northampton. 84 pp. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang. 156 pp.