ESTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PENYU BELIMBING (DERMOCHELYS CORIACEA) DI PANTAI JAMURSBA MEDI DAN WERMON OLEH MASYARAKAT DI PESISIR UTARA PAPUA Ferawati Runtuboi1, Luky Adrianto2, Mukhlis Kamal2, Program Studi Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan FPPK UNIPA Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Departemen Managemen Sumberdaya Perairan IPB email :
[email protected]
ABSTRACT Leatherback populations globally has decline to 97% within a period of 22 years. This study aims to determine the level of utilization of resources such as the leatherback turtle egg collection, egg consumption rate, the rate of catch and consumption rate mean of leatherback. The method used in this study is a survey method with the approach of questionnaires and interviews. The research to explain Wau_Weyaf village has the highest value of egg retrieval nest 13.75, followed by 11.25 Saubeba nest, Bremi of 9.5 nests, Sarray of 6.9 nests, and Sausapor at 3.85 nest for 0.84 nest in Waybeam. Futuremore egg consumption results showed the highest egg consumption by the public as much Wau_Weyaf 7012.5 points, followed Bremi much as 5486.44 points, 5400 points Saubeba much, much Sarray 3757.5 points, at 2362.5 points and Sausapor Waybeam much as 1596 points. To catch the public, seen villages Bremi catch rate as 10.45 tails, tails Sarray of 8.76, 2.905 Sausapor as tails, tails Waybeam much as 2.34, 1.37 Wau_Weyaf Saubeba tail and low tail as much as 1.125. As for meat consumption, the analysis shows that high meat consumption occurred in the village Bremi is 16.4 kg, 12.99 kg Sarray much, Waybeam and Wau_Weyaf of 4.2 kg and 4.12 kg, 3.74 Sausapor and much Saubeba kg and 3.37 kg. High utilization of resources by the public because leatherbacks life styles subsistent which means utilizing all available resources for the benefit of the household. In addition to subsistence, resource leatherbacks become the preferred source of income due to lower economic and simple lifestyle. Another factor is the lack of knowledge due to lack of education and lack of protection from the government regarding the utilization of sea turtle eggs has continued until today. Keywords: Estimates of utilization, leatherback turtle, the northern coast of Papua
PENDAHULUAN Populasi penyu belimbing secara global mengalami penurunan mencapai 97% dalam periode 22 tahun terakhir. Laporan Conservation International (CI) pada simposium tahunan ke 24 di Costa Rica menyatakan penurunan populasi dari 115.000 ekor betina dewasa menjadi 2.300 ekor sejak tahun 1982. Lima spesies penyu lainnya juga beresiko punah, walaupun dengan rentang waktu relatif lama dibandingkan dengan penyu belimbing sebagaimana dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) dengan status Appendix 1 yang artinya melarang untuk diperdagangkan (Hitipeuw et al. 2007). Kondisi lingkungan laut dan pantai adalah faktor penentu keberlanjutan hidup dan populasi penyu. Ackerman (1997); Wallace et al. (2004) menyatakan faktor biologi dan fisik lingkungan pantai, pesisir dan laut memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan dan proses ekologi penyu belimbing yaitu proses peneluran dan proses penetasan. Selain faktor lingkungan, indikasi lainnya adalah faktor sosial antropogenik yaitu pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tak langsung. Pemanfaatan langsung seperti perburuan penyu dan pengambilan telur, sedangkan pemanfaatan tak langsung seperti tangkapan sampingan dari perikanan skala besar (Hitipeuw et al. 2007).
251
Manusia merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup penyu, baik di wilayah pesisir maupun di perairan laut lepas. Wibowo (2007) melaporkan bahwa eksploitasi penyu di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Laporan ProFauna menyatakan bahwa perdagangan penyu dan bagian-bagian tubuhnya dijumpai di Jawa. Selama bulan Januari sampai April 2005, ProFauna mencatat tentang jenis, jumlah, harga dan asal penyu yang diperdagangkan pada enam lokasi pantai Selatan P. Jawa, antara lain: pantai Teluk Penyu Cilacap (Jawa Tengah), pantai Puger Banyuwangi (Jawa Timur), pantai Pangandaran (Jawa Barat), pantai Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), pantai Pangumbahan Sukabumi (Jawa Barat) dan pantai Samas (Yogyakarta). Pemanenan telur penyu dengan tujuan bisnis terjadi di kecamatan Tambelan Propinsi Riau, kecamatan Paloh Kalimantan Barat, Kepulauan Derawan Kalimantan Timur dan Pangumbahan Jawa Barat. Sebagai ilustrasi di Propinsi Kalimantan Timur, pengusaha telur penyu memberikan masukan pendapatan asli daerah (PAD) PEMDA Kabupaten Berau seperti pada Gambar 10. Perolehan PAD selama tahun 1999 hingga 2000 mencapai hampir Rp 1 milyar atau sekitar 38% dari PAD yang besarnya Rp 2,8 milyar (Hamdan 2001 in Wibowo 2007). Lima dekade terakhir menunjukkan penurunan hebat populasi penyu di Kepulauan Derawan, diperkirakan mencapai 90% dari jumlah yang bisa ditemukan 50 tahun lalu. Penyebab yang paling dominan adalah pengambilan telur penyu secara intensif. Perburuan terhadap telur dan induk penyu menjadi salah satu aktivitas yang sulit dihentikan dan ditanggulangi. Kondisi ini mengarah pada suatu kondisi yaitu ancaman kepunahan dari penyu. Wibowo (2007) menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad ini telah didokumentasikan dan menyatakan bahwa penyebab utama karena aktivitas manusia dan kerusakan habitat. Ancaman kepunahan penyu belimbing sama seperti yang dialami spesies penyu laut lainnya. Populasi penyu belimbing mengalami penurunan akibat eksploitasi manusia (Wibowo 2007). Ancaman manusia memberi tekanan pada sepanjang hidup penyu baik ketika masih berwujud telur hingga penyu dewasa. Ackerman (1997) menyatakan ancaman manusia adalah pemanen telur penyu dan penangkapan induk penyu secara sengaja di daerah peneluran. Ancaman lain yang bersifat insidentil adalah dampak dari perubahan lingkungan di daratan maupun laut, tangkapa n sampingan, kerusakan habitat, serangan penyakit dan predator, kematian penyu karena teknik penangkapan ikan dengan menggunakan drift netting, shrimp trawling, dynamite fishing, dan longline, pembangunan gedung daerah pantai, penambangan pasir dan abrasi pantai. Adanya cahaya lampu di daerah peneluran mempengaruhi perilaku bertelur induk penyu dan perjalanan anakan penyu (Wibowo 2007). Pencemaran air laut dan pengaruh eksplorasi minyak gas perairan lepas pantai telah menyebabkan ancaman serius terhadap populasi penyu
(Wibowo 2007.
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan mengestimasi laju pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing seperti pengambilan telur, laju konsumsi telur, laju tangkapan dan tingkat konsumsi daging penyu belimbing di pesisir utara kepala burung Papua.
METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan pendekatan wawancara. Pengumpulan data sosial dilakukan pada empat kampung didalam KKLD Abun dan dua kampung diluar KKLD sebagaimana digambarkan pada peta lokasi Lampiran 1 Gambar 1. Pengumpulan data sosial antropogenik dilakukan dengan metode wawancara kepada masyarakat. Jenis data yang terambil dalam pengumpulan data sosial antropogenik adalah pengambilan telur, konsumsi telur, tangkapan penyu dan konsumsi daging. Pemilihan jenis responden
252
sebagai unit penelitian untuk data sosial ekonomi ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sesuai tujuan penelitian dengan pertimbangan: (1) responden merupakan penduduk dewasa yang mampu berpikir positif dalam pengambilan keputusan, (2) responden terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya penyu, (3) responden merupakan keterwakilan dari satu kepala keluarga. Purposive sampling dalam pemilihan responden untuk data sosial ekonomi menurut Adrianto (2007) merupakan pemilihan responden secara langsung atau sengaja menurut kriteria yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Untuk kepentingan penelitian ini maka jenis responden yang digunakan adalah (1) pengambil telur (2) konsumen telur (3) penangkap penyu (4) konsumen daging.
HASIL DAN PEMBAHASAN a.
Pengambilan dan konsumsi telur penyu belimbing
Hasil estimasi menunjukkan perbedaan frekuensi pengambilan telur pada keenam kampung di lokasi penelitian. Kampung Wau_Weyaf memiliki nilai pengambilan telur tertinggi yaitu 13,75 sarang, diikuti Saubeba sebesar 11,25 sarang, Bremi sebesar 9,5 sarang, Sarray sebesar 6,9 sarang, Sausapor sebesar 3.85 sarang dan Waybeam sebesar 0,84 sarang. Tingginya pengambilan telur di Wau-Weyaf dan Saubeba karena jarak dari kampung berdekatan dengan pantai Jamursba Medi dan Wermon. Kedua pantai ini merupakan pantai yang dilindungi tetapi aktivitas pengambilan telur masih dilakukan meskipun dengan frekuensi yang rendah. Secara jelas pengambilan telur ditampilkan pada Gambar 2. Estimasi jumlah pengambilan telur di kampung Sausapor rata-rata sebanyak 1,3 sarang/KK/musim, maka diperkirakan jumlah sarang terambil sebanyak 38,5 sarang/musim dari 35 KK. Hasil estimasi di Saubeba cenderung lebih tinggi, sekitar 112,2 sarang/musim dari 45 KK. Rata-rata pengambilan sarang di pantai Jamursba Medi dari dua kampung tersebut adalah 75,5 sarang/musim. Berdasarkan jumlah total sarang Jamursba Medi tahun 2011 sebanyak 1.534 sarang maka persentasi telur yang terekploitasi masyarakat sebesar 5,12% sarang/musim atau sekitar 5.813,50 butir per musim seperti pada Tabel 1. Pengambilan telur dikampung Wau-Weyaf dalam satu musim adalah 137,5 sarang/musim dari 55 KK. Selanjutnya estimasi pengambilan sarang oleh masyarakat kampung Waybeam di pantai Wermon sebanyak 8,4 sarang/musim dari 28 KK. Rata -rata estimasi pengambilan telur di pantai Wermon adalah 72,95 sarang./musim. Berdasarkan jumlah sarang per tahun 2011 adalah 1.392 sarang/musim/kampung maka perkiraan laju eksploitasi telur sebesar 5,34 % sarang dalam satu musim seperti pada Tabel 34. Rata-rata pengambilan telur oleh masyarakat Sarray adalah 6,9 sarang/KK/musim, maka diperkirakan 69 sarang/musim terambil dari 28 KK. Sementara kampung Bremi, rata-rata pengambilan telur sebanyak 9,5 sarang/KK/musim, maka diperkirakan sekitar 95 sarang terambil dari 38 KK. Jumlah populasi sarang di pesisir pantai utara Manokwari tidak teridentifikasi karena pantai ini bukan merupakan pantai indeks sehingga tidak diketahui persentase ekploitasi sarang terhadap populasi sarang. Pengambilan telur penyu belimbing berbanding lurus dengan konsumsi telur oleh masyarakat di kampung sekitar pantai peneluran. Gambar 3 menunjukkan konsumsi telur tertinggi oleh masyarakat Wau_Weyaf sebanyak 7012.5 butir, diikuti Bremi sebanyak 5.486,44 butir, Saubeba sebanyak 5.400 butir, Sarray sebanyak 3.757,5 butir, Sausapor sebesar 2.362,5 butir dan Waybeam sebanyak 1.596 butir. Estimasi konsumsi telur oleh masyarakat Sausapor sebanyak 2.364,2 butir/musim dari 35 KK, sementara masyarakat kampung Saubeba sebanyak 5.400 butir/musim dari 45 KK. Rata-rata konsumsi telur dari dua kampung ini adalah 3.881,25 butir/musim dengan persentasi 3,3% dari jumlah telur normal dipantai Jamursba Medi. Konsumsi telur oleh masyarakat kampung
253
Wau_Weyaf sebanyak 7.012,5 butir/musim dari 55 KK, sementara kampung Waybeam sebanyak 3.135 butir/musim dari 28 KK. Rata-rata konsumsi telur dari dua kampung ini sebanyak 5.073,75 butir/musim dengan persentasi 5.10% dari jumlah total telur normal di pantai Wermon. Berdasarkan penjelasan diatas maka disimpulkan tingginya eksploitasi jumlah sarang dan telur oleh masyarakat di pesisir Utara Papua. Hal ini berdampak pada penurunan persentasi sukses penetasan sehingga jumlah individu baru yang dihasilkan. Kondisi ini semakin kritis apabila tukik yang dihasilkan hanya 1% yang mencapai umur dewasa (Hitipeuw et al. 2007).
b.
Tangkapan dan konsumsi daging penyu belimbing
Tangkapan individu penyu belimbing teridentifikasi merupakan bagian dari aktivitas pemanfaatan langsung selain aktivitas pengambilan telur. Hasil penelitian menunjukkan estimasi tangkapan penyu mengalami peningkatan yang terjadi diluar Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun yaitu kampung Sarray dan Bremi (Gambar 4 dan 5). Kampung Bremi diketahui memiliki laju tangkapan sebanyak 10,45 ekor, Sarray sebesar 8,76 ekor, Sausapor sebanyak 2,905 ekor, Waybeam sebanyak 2,34 ekor, Wau_Weyaf sebanyak 1,37 ekor dan terendah Saubeba sebanyak 1,125 ekor. Secara jelas, estimasi penangkapan penyu belimbing pada saat penelitian ditampilkan pada Gambar 5. Gambar ini menyatakan bahwa laju tangkapan penyu terbanyak dilakukan oleh masyarakat Bremi dan Saray dengan rata-rata tangkapan 9,05 ekor/musim, dibandingkan dengan Sausapor/Saubeba sekitar 2.01 ekor/musim dan Wau_Weyaf/Waybeam sebanyak 2,1 ekor/musim. Penangkapan penyu belimbing terjadi seiring dengan konsumsi daging oleh masyarakat disekitar pesisir utara Papua. Hasil menunjukkan bahwa tingginya konsumsi daging terjadi di kampung Bremi yaitu 16,4 kg, Sarray sebanyak 12,99 kg, Waybeam dan Wau_Weyaf sebanyak 4,2 kg dan 4,12 kg, Sausapor dan Saubeba sebanyak 3,74 kg dan 3,37 kg. Secara jelas konsumsi daging ditampilkan pada Gambar 6. Kondisi ini sejalan dengan rata-rata konsumsi daging oleh masyarakat Bremi dan Sarray yaitu 14,7 kg/musim diikuti Wau_Weyaf/Waybeam yaitu 7,3 kg/musim dan Sausapor/Saubeba yaitu 3,6 kg/musim. Tingginya laju tangkapan dan konsumsi daging oleh masyarakat lokal mengindikasikan ketergantungan terhadap sumberdaya sangat besar. Keseluruhan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing yang terjadi didalam KKLD Abun maupun diluar KKLD ditampilkan pada Tabel 2. Hasil pemanfaatan langsung yang terjadi di pesisir utara Tambrauw teridentifikasi adalah pemanfaatan telur dan daging untuk konsumsi keluarga. Laju pengambilan telur dengan frekuensi tinggi juga terjadi di kampung Sarray dan Bremi. Tingginya laju pengambilan telur dikedua kampung ini karena kedua kampung ini merupakan bagian dari pantai peneluran di pesisir utara Manokwari yang dijadikan pantai alternatif untuk bertelur. Berbeda dengan keempat pantai diatas, laju pengambilan telur cenderung rendah terlihat di kampung Sausapor dan Waybeam disebabkan jarak pantai peneluran yang jauh dari kampung. Peningkatan pengambilan terhadap telur oleh masyarakat di pesisir KKLD Abun disebabkan karena posisi pantai peneluran yang berdekatan dengan pemukiman dan merupakan jalur transportasi untuk menjangkau lahan agroforestri ataupun penghubung antara kampung. Kondisi ini sama dengan yang terjadi di PNG dimana masyarakat lokal memiliki andil besar dalam pengambilan telur penyu belimbing. Jefft et al. (2009) melaporkan bahwa dari 46 sarang yang ditemukan di pantai peneluran PNG, 26 sarang telur diambil oleh masyarakat lokal karena sarang yang berdekatan dengan pemukiman. Selain penduduk asli yang bertempat tinggal disekitar pantai peneluran, nelayan yang melakukan aktivitas menangkap dipesisir KKLD juga berpeluang mengambil telur di pantai.
254
Tinggi laju konsumsi telur oleh masyarakat dikarenakan pola hidup masyarakat yang bersifat subsisten artinya memanfaatkan semua sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan rumah tangga. Selain sifat subsisten, telur penyu menjadi pilihan masyarakat disebabkan rendahnya sumber pendapatan ekonomi dan pola hidup sederhana. Faktor lain adalah rendahnya pengetahuan karena tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait perlindungan penyu menyebabkan kegiatan pemanfaatan telur masih berlangsung hingga saat ini. Berdasarkan penjelasan diatas maka disimpulkan tingginya eksploitasi jumlah sarang dan telur oleh masyarakat di pesisir Utara Papua. Hal ini berdampak pada penurunan persentasi sukses penetasan sehingga jumlah individu baru yang dihasilkan. Kondisi ini semakin kritis apabila tukik yang dihasilkan hanya 1% yang mencapai umur dewasa (Hitipeuw et al. 2007). Tingginya tangkapan oleh masyarakat Sarray dan Bremi dikarenakan kebiasaan menangkap dan mengkonsumsi penyu sebagai makanan. Status pantai dan pesisir utara Manokwari yang bukan kawasan konservasi juga memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk melakukan penangkapan. Kondisi ini semakin kritis mengingat peran pemerintah tidak optimal. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya sosialisasi tentang perlindungan penyu kepada masyarakat. Akibatnya penangkapan terus terjadi seiring dengan permintaan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Laju konsumsi daging oleh masyarakat masih didominasi oleh masyarakat kampung Sarray dan Bremi. Tingginya laju konsumsi daging oleh masyarakat pada kedua kampung ini disebabkan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Rendahnya pendapatan ekonomi menyebabkan ketergantungan terhadap semua sumberdaya yang tersedia. Kompensasi dari aktivitas ini berdampak pada peningkatan laju pemanfaatan seiring dengan peningkatan kebutuhan hidup. Ketergantungan terhadap sumberdaya terlihat dari pola pemanfaatan dengan frekuensi tinggi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Rendahnya pendapatan ekonomi dan minimnya pilihan matapencaharian alternatif menyebabkan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing menjadi pilihan terbaik dalam pemenuhan kebutuhan makan dan ekonomi. Kondisi ini menggambarkan rendahnya taraf ekonomi masyarakat di pesisir Abun. Kondisi diperparah dengan lemahnya peran pemerintah terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan pengawasan perlindungan penyu. Apabila pemerintah mengoptimalkan perbaikan ekonomi masyarakat dengan memberikan matapencaharian alternatif maka akan terjadi pengalihan aktivitas, sehingga masyarakat tidak bergantung kepada penangkapan penyu tetapi lebih terfokus pada alternatif kegiatan yang ditawarkan. Solusi ini semestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam mengelola sumberdaya dimana masyarakat menjadi prioritas utama. Hasil menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing masih didominasi oleh masyarakat diluar KKLD Abun. Dominasi pemanfaatan ini berkaitan dengan keleluasaan memanfaatkan tanpa batasan ataupun larangan. Keleluasaan pemanfaatan berdampak pada peningkatan frekuensi terhadap sumberdaya penyu belimbing baik telur maupun individu dewasa. Pemanfaatan sumberdaya penyu juga terjadi dalam KKLD Abun meskipun dengan nilai yang lebih rendah. Rendahnya nilai pemanfaatan ini dikarenakan status pantai Jamursba Medi dan Wermon sebagai kawasan konservasi menyebabkan adanya larangan pemanfaatan meskipun, ada beberapa masyarakat yang tetap memanfaatkan. Ekploitasi sumberdaya penyu belimbing secara nyata berdampak pada penurunan populasi di pantai Jamursba Medi dan Wermon yang merupakan penyuplai populasi terbesar di Pasifik Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini jumlah populasi penyu belimbing yang tersedia dialam hanya 2.300
255
penyu betina dewasa. Jumlah ini terbilang sangat rendah dan berpeluang mengalami kepunahan apabila terjadi peningkatan jumlah tangkapan. Oleh sebab itu, perlu adanya pengawasan yang dilakukan secara kontinue untuk meminimalkan laju pemanfaatan dengan pengalihan aktivitas serta pilihan matapencaharian alternatif guna meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat. Eksploitas terhadap sumberdaya penyu belimbing menggambarkan keterkaitan ekologi dan sosial secara tidak langsung Keterkaitan tersebut tergambar dari fungsi ekologis penyu belimbing sebagai penyeimbang populasi uburubur laut yang merupakan predator jurvenil ikan (zooplankton) sehingga mempengaruhi sistem ekologis dimana menurunkan produksi perikanan. Penurunan produksi perikanan diketahui akan mempengaruhi ketersediaan stok perikanan dan pola konsumsi manusia terhada sumberdaya ikan. Berdasarkan penjelasan ini terlihat adanya keterkaitan hubungan dan ketergantungan antara sistem ekologi dan sosial, dimana apabila terjadi perubahan pada sistem ekologis maka akan mempengaruhi sistem sosial, dan sebaliknya seperti pada Gambar 6. Gambar 6 menjelaskan populasi penyu belimbing yang terdiri dari telur, tukik dan penyu dewasa. Telur penyu merupakan makanan bagi beberapa jenis hewan karnivora seperti babi hutan, biawak dan anjing. Tukik dimangsa oleh burung elang dan ikan hiu. Sementara penyu dewasa memiliki peran vital karena berfungsi sebagai penyeimbang populasi ubur-ubur. Peran ini memberikan nilai positif terhadap peningkatan produksi perikanan secara alami. Selanjutnya predator utama populasi penyu belimbing adalah manusia melalui dua pola pemanfaatan yaitu pemanfaatan langsung dan tidak langsung. Masyarakat yang melakukan pemanfaatan langsung terindikasi pada masyarakat di KKLD Abun dan Kei Maluku. Sementara pemanfaatan tidak langsung merujuk pada aktivitas perikanan skala besar. Berdasarkan fakta ini diketahui bahwa manusia memberikan tekanan akibat dari eksploitasi yang berdampak pada penurunan populasi baik individu baru maupun individu dewasa dan secara langsung menjadi penyebab terganggunya sistem ekologis dialam.
KESIMPULAN Dari uraian hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa laju pemanfaatan sumberdaya penyu untuk pengambilan dan konsumsi telur didominasi oleh masyarakat di kampung Saubeba, Wau-Weyaf, Sarray dan Bremi. Selanjutnya laju pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing untuk tangkapan dan konsumsi daging didominasi oleh masyarakat di kampung Sarray dan Bremi Kabupaten Manokwari.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada semua pihak yang sudah membantu dalam membiayai kegiatan penelitian ini baik Kemertrrian Pendidikan Tinggi, WWF Indonesia Region Sorong dan semua masyarakat di pesisir daereah Abun Kabupaten Tambrauw.
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. (2004). Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan (Sustainable Small Islands Development and Management). In Working Paper Kebijakan Pengelolaan Perikanan dan Wilayah Pesisir Tahun 2004 (Eds : Adrianto L). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Part-5. Ackerman RA. ( 1997). The Nest Environment and The Embryonic Development Of Sea Turtles. In: Lutz, P.L., and Musick, J.A. (Eds.). The Biology of Sea Turtles. Boca Raton: CRC Press, pp. 83-106 Hitipeuw C, Dutton PH, Benson S, Thebu Julianus and Bakarbessy J. (2007). Population Status and Internesting 256
Movement of Leatherback Turtles, Dermochelys coriacea, Nesting on the Northwest Coast of Papua, Indonesia. Chelonian Conservation Biology, Chelonian Conservation Biology 6(6):28-36. Jeff K, Anderson P, Anna K. (2009). Assessment of Leatherback Turtle Nesting and Consumtion in the Autonomons Region of Bougainville Papua New Guinea Wertern Pacific Regional Fisheries Management Council Honolulu (Report prepard). Wallace BP, Sotherland PR, Spotila JR, Reina RD, Franks BF, Paladino FV. ( 2004). Abiotic and Biotic Factors Affect The Nest Environment Of Embryonic Leatherback Turtles, Dermochelys coriacea. Physiological and Biochemical Zoology 77: 423-432 Wibowo TE. (2007). Rancangan Perlindungan Habitat Penyu Hijau (Kasus kepulauan Derawan). Disertasi. Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor.
257