sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXI, Nomor 2, 2006 : 41 - 49
ISSN 0216-1877
EPIBIOSIS Thecacineta calix (PROTOZOA, CILIOPHORA) PADA MEIOFAUNA Paradesmodora sp. (NEMATODA, DESMODORIDAE) DARI PERAIRAN INDONESIA Oleh Susetiono 1) ABSTRACT A RECORD EPIBIOSIS Thecacineta calix (PROTOZOA, CILIOPHORA) ON MEIOFAUNA Paradesmodora sp. (NEMATODA, DESMODORIDAE) FROM INDONESIAN WATERS. An epibiosis suctorian ciliate, Thecacineta calix, has been recorded living on meiofaunal nematode Paradesmodora sp. in sediment samples collected from Siladen and Nias Island waters. The epibiont seemed large in size were zooid (length 50-60 μm, widest dia. 25 μm), stalk (length 10-20 μm), and basal plate (dia. approx. 25 μm). This oval bell-shaped body was completely covered by the lorica. Macronucleus was large and underneath of it was a contractile vacuole. The stalk length was 15-20 μm with thin longitudinal striations. Attachment of epibiont on basibiont by means dissolving exoskeleton enzymatically and formed a circular hole. After epibiont have left the basibiont became susceptible to infections and these can become more severe, even fatal. Therefore, it is presumed that heavily infected nematodes may have caused their sick and dead, and also have decreased movement capabilities of the basibiont. This is the first record of a suctorian on an meiobenthic nematode living in Indonesian waters.
PENDAHULUAN
babi dan gajah. Di antara suktorian tersebut ada yang hidup secara parasitik baik yang bersifat ektoparasitik maupun endoparasitik. Suktorian parasitik adalah hewan yang hidup pada hewan multisel yaitu rotifera, moluska, polikhaeta, dan turbellaria (DOVGAL, 2002). Epibiosis adalah assosiasi fakultatif antara dua organisme yaitu "epibiont" dan "basibiont" adalah fenomena yang sering terjadi pada beberapa organisme invertebrata
Suctorea (Ciliophora) adalah hewan yang dapat dijumpai hampir di semua habitat dan massa air yang hidup pada beragam inang dengan cara hidup hewan tersebut pada inangnya juga beragam. Kebanyakan dari kelompok hewan ini, hidup secara komensal pada tubuh berbagai hewan invertebrata dan atau vertebrata (ikan atau penyu). Suktorian juga diketahui hidup dalam usus kuda, badak, 1)
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta
41
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
(krustasea dan meiofauna). Epibiont adalah organisme yang dalam kurun masa hidupnya mempunyai fase menempel (sessile) pada permukaan tubuh organisme hidup lainnya, sedangkan basibiont adalah organisme yang ditempati dan mendukung kehidupan epibiont. Dari hasil pendataan oleh FERNANDEZLEBORANS & TATO-PORTO (2000) terhadap fenomena epibiosis, dapat diketahui sebanyak 124 jenis epibiont yang hidup pada permukaan tubuh berbagai hewan-hewan krustasea, antara lain Cladocera, Copepoda, Cirripedia, Isopoda, Amphipoda, dan Decapoda. Epibiosis juga dijumpai pada cangkang dan mantel "scallop" Chlamys farreri (HU & SONG; 2001, SONG et al., 2002), abalone (JI et al., 2004), insang ikan
MORFOLOGI DAN BIOLOGI EPIBIONT Suktorian Thecacineta calix ini hidup dengan menempel pada permukaan invertebrata. Pada stadia dewasa atau disebut juga sebagai "trophont", tubuhnya (zooid) berbentuk oval menyerupai lonceng dan diselubungi oleh lorica, serta mempunyai tangkai pendukung (Gambar 1A-C dan 2B-C). Zooid berukuran panjang 50-60 μm dan diameter terlebar 25 μm, tidak mempunyai rambut-rambut getar (cilia) melainkan tentakeltentakel yang menjulur keluar dari mulut lorica. Permukaan zooid terdapat cincin-cincin yang melingkar sebanyak 10 cincin. Mulut lorica mempunyai diameter 15 μm disertai dengan bibir yang menebal dan mempunyai semacam celah yang menuju ke arah lateral (lateral furrow) dengan panjang sekitar 4 μm. Dalam lorica terdapat makronukleus yang cukup besar dan sebuah vacuola contractile (diameter 5 μm) yang terletak di bawah macronukleus atau di dalam pangkal bawah lorica. Tubuh Thecacineta calyx menempel pada basibiont, dengan menggunakan sebuah tangkai pendukung (stalk) panjang 15-20 μm disertai alur-alur halus yang memanjang, tampak elastis tetapi sangat sulit untuk dicabut dari tubuh basibointnya tersebut. Pada pangkal pendukung tersebut, terdapat suatu bentuk organ penempel yang berbentuk seperti cakram (diameter ± 20 μm) yang agak meninggi dan disebut sebagai "basal plate". Penempelan epibiont tersebut ke badan nematoda dibantu oleh adanya organella penghasil semacam cairan yang dapat menyebabkan larutnya chitin pada permukaan cacing dan membentuk pengerasan baru. Pengerasan pada pangkal tangkai pendukung epibiont juga berfungsi sebagai (a) sarana memperluas area penempelan; (b) memperkokoh tangkai pendukung; serta (c) sebagai area pengaman terhadap tangkai pendukung dan lorica. Pola melekat epibiont pada basibiontnya sangat
Gadus morhua dan Platichthys flesus (DOBBERSTEIN & PALM, 2000), dan insang ikan mugil, Mugil cephalus dan Liza aurata, (ÖZER & ÖZTÜRK, 2004), serta pada permukaan daun dan akar lamun (ALADROLUBEL & MARTINEZ-MURILLO, 1999). Fenomena epibiosis suktorian pada cacing nematode ditemukan ketika dilakukan pengambilan contoh (sampling) meiofauna di perairan Pulau Siladen tahun 1999 dan Pulau Nias tahun 2004. Sehubungan keberadaan epibiosis yang masih langka dijumpai dari perairan Indonesia, maka dilakukan ulasan terhadap temuan tersebut. Individu yang dikoleksi dari Pulau Siladen, dipotret dengan
menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) JEOL JSM-T220 di Seto Marine Biological Laboratory, Kyoto University, Jepang. Sedangkan, individu yang diperoleh dari lokasi lain dilakukan pemotretan dengan menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran kuat. Tulisan ini membahas beberapa aspek biologis epibiont termasuk dampaknya pada basibiont.
42
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
berkaitan erat dengan berbagai faktor, antara lain hidrodinamika perairan, suhu, oksigen dan bahan organik terlarut (DOVGAL, 2002). Seperti telah diketahui bahwa cacing Paradesmodora sp. termasuk kelompok meiofauna, yang selama hidupnya selalu berada pada rongga-rongga di antara butiran-butiran pasir. Untuk mempertahankan keberadaannya agar selalu melekat erat pada tubuh cacing nematode tersebut, maka epibiont ini mempunyai cara melekat yang kuat. Perbanyakan diri Thecacineta calyx berlangsung secara vermigemi (vermigemmy) seperti halnya pada suktorian lainnya yang hidup pada basibiont krustasea. Terkait dengan perilaku basibiont yang sering ganti kulit, hal ini menyebabkan tubuh krustasea tersebut sulit untuk dipadati oleh epibiont ini. Oleh karena itu, stadia muda maupun larva krustasea jarang yang ditempati oleh suktorian. Masih terkait dengan hal-hal yang telah diutarakan di atas, maka epibiont yang menempel pada permukaan organisme hidup juga mempunyai kemampuan untuk mengenali siklus berubahnya morfologi inang, seperti pertumbuhan dan ganti kulitnya inang, serta kemampuan untuk meninggalkan basibiont dan mencari substrat baru pada saat yang tepat (WAHL, 1989). Khusus untuk epibiont yang hidup pada permukaan tubuh krustasea, pada umumnya sangat tepat dalam memilih waktu untuk meninggalkan dan mencari substrat baru, baik yang sejenis maupun tidak sejenis serta reproduksi terjadi ketika masih menempel pada basibiont. Epibiosis pada level ekosistem, dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas perairan. Sebagai contoh seperti yang dilaporkan oleh HENEBRY & RIDGEWAY (1979), bahwa prevalensi peritricha dan suctorian yang hidup sebagai epibiont pada krustasea zooplankton di perairan yang mengalami eutrofikasi menunjukkan adanya peningkatan prevalensi. Sebelumnya juga dikenal bahwa kommensalisme antara ciliata
dan inang invertebrata dapat digunakan sebagai indikator pencemaran perairan. ANTIPA (1977) menunjukan bahwa pada perairan yang bersih selalu terdapat kommensalisme antara ciliata Conchophtirus curtus dan Heterocinetopsis uniondarum pada inang moluska bivalva Lampsilis ventricosa dan Anodonta grandis, tetapi apabila perairan tersebut tercemar dengan sampah maka cara hidup secara kommensalisme ini akan menghilang. Meskipun begitu, fenomena epibiosis ini masih belum termasuk dalam aspek pemantauan pencemaran perairan ataupun sebagai indeks kualitas perairan.
PERILAKU POLA MAKAN Ciliophora mempunyai cara makan yang sangat beragam dan sangat berkaitan erat dengan ragam lingkungan berikut habitatnya, serta ketersediaan makanan dari makanan tersebut. Sedangkan untuk Suctorea yang tubuhnya dilengkapi dengan satu atau lebih tentakel dan pada stadia dewasanya menempel pada permukaan tubuh invertebrata mempunyai tata cara makan, yaitu menangkap makanan yang kemudian dilanjutkan dengan phagosome dan mencernanya. Lebih lanjut McKANNA (1973) mengutarakan, bahwa suctorian termasuk hewan predator, yaitu ditandai dengan adanya tentakel yang dapat menangkap protozoa dan melubangi sel mangsanya.
Thecacineta
43
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
calyx
merupakan
Ciliophora yang bersifat ektosimbiotik, yaitu hidup menempel pada permukaan cacing nematode dengan bagian mulut lorica yang menjulur menjauhi tubuh inangnya. Tentakel pada Thecacineta calyx tidak berbeda dengan tentakel pada kelompok suctorian lainnya, yaitu berbentuk silindris dengan ketebalan 1-2 μm dan panjang ketika menjulur bisa mencapai 30 μm. Tentakel dapat dijulurkan dan dimasukan ke dalam rongga tubuhnya dan pada ujung
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
tentakel tampak membesar berbentuk seperti knob (distal bulge) dan pada bagian ini terdapat banyak ekstrusome (extrusome) yang disebut haptocyst. Tentakel ini tersusun atas dua lapis mikrofibrilla (microfibrille), yaitu lapis terluar berbentuk silindris dan berasal dari mikrotubula (microtubules) yang saling terpisah satu dengan lainnya. Sedangkan, lapisan bagian dalam tersusun atas beberapa percabangan pita-pita mikrotubula yang tampak sebagian saling tumpang-tindih. Selanjutnya, knob pada ujung tentakel mempunyai selubung berupa selapis membran tipis yang mempunyai banyak pori (VERNI & GUALTIERI, 1997). Secara keseluruhan tentakel tersebut merupakan penangkap mangsa, dan bahkan juga berperan sebagai penyeleksi makanan yang sangat efektif, seperti yang diutarakan oleh RUDZINSKA (1965) dalam DOVGAL (2002) bahwa tentakel berikut deretan mikrotubulanya secara keseluruhan berfungsi sebagai penghisap mangsa yang tertangkap. Setelah mangsa tertangkap oleh tentakelnya, segera haptocyst yang terdapat pada knop menembus tubuh mangsa sampai menyentuh membrane plasma mangsa. Melalui luka yang terdapat pada mangsa yang ditembus oleh haptocyst tersebut, maka dengan segera cytoplasma mangsa dihisapnya. VERNI & GUALTIER (1997) mengamati bahwa laju kecepatan hisap cytoplasma mangsa tersebut relatif konstan, yaitu berkisar 1 -20 μm per detik. Cytoplasma yang dihisap, kemudian dilewatkan melalui mikrotubula menuju ke vakuola makanan untuk selanjutnya makanan dicerna melalui proses enzymatik. Setelah proses menghisap cytoplasma mangsa selesai, dan mangsa menjadi kosong (sekitar 3-23 menit), maka segera mangsa tersebut dilepas untuk dibuang.
DAMPAK EPIBIONT PADA BASIBIONT Pada awalnya fenomena epibiosis ini dipandang sebagai bentuk hubungan kommensal antara dua organisme atau lebih, namun belakangan para peneliti yang mempelajari epibiosis cenderung mengatakan bahwa epibiont mempunyai dampak yang merugikan bagi inangnya (basibiont). Sebagai contoh, KANKAALA & ELORANTA (1987) menemukan, bahwa antara cladocera Daphnia longispina dan epibiontnya Vorticella sp., ternyata sama-sama memperebutkan partikel makanan yang mempunyai kisaran ukuran yang serupa, sehingga terjadi perebutan makanan antara epibiont dan basibiont. Sebagai epibiont (Vorticella sp.) mempunyai laju pengumpulan makanan 50-80 % lebih cepat dibandingkan basibiontnya (cladocera, Daphnia longispina), selanjutnya Daphnia longispina yang selalu kalah dalam memperebutkan makanannya tersebut akan mengalami kekurangan makan. Begitu juga XU & BURNS (1991) melaporkan, bahwa dalam kondisi lingkungan yang tidak cukup menyediakan makanan alami bagi copepod Boeckella triarticulata. Apabila tubuh copepod ini ditempeli epibiont, Epistylis daphniae, maka akan terjadi penurunan yang sangat tajam terhadap reproduksi, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup copepod tersebut. Kemampuan berenang bagi copepod juga sangat terganggu bahkan menjadi sulit untuk berenang karena adanya epibiont, misal pada copepod Acartia hudsonica yang ditempeli peritricha, Rhabdostyla sp., Akibatnya pergerakannya menjadi sulit dan enerji yang dibutuhkan untuk bergerak menjadi lebih besar, sehingga secara perlahan-lahan akan jatuh ke dasar perairan (WEISSMAN et al., 1993). Berkurangnya kecepatan berenang copepod tersebut akan menyebabkan menjadi semakin mudah ditangkap oleh pemangsanya. WILLEY et al. (1990) mengamati, bahwa
44
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
cladocera dan copepod yang pada permukaan tubuhnya terdapat epibiont Colacium calvum akan lebih mudah dipilih untuk dimangsa ikan Menidia beryelina. Hal serupa juga terjadi pada populasi Daphnia pulex dan Daphnia galeata mendotae, yaitu individu yang membawa epibiont Colacium calvum, Colacium vesiculosum dan Synedra cyclopum lebih cenderung dimangsa anakan ikan Perca flavescens dan Dorosoma cepedianum (CHIAVELLI et al., 1993). Seperti telah diutarakan di atas, bahwa anggota kelompok suktorian ini menempel pada tubuh basibiont dengan cara melarutkan eksoskeleton cacing secara enzymatik yang akhirnya membentuk suatu pengerasan pada pangkal tangkai pendukung. Proses enzymatik tersebut, selain menyebabkan larutnya khitin pada permukaan tubuh nematoda dan juga akan menimbulkan degerasi pada sel-sel epithelium. Lebih lanjut, ternyata pada “basal plate’ tersebut diduga sebagai tempat berkumpulnya berbagai organisme bakteria. Kondisi menjadi lebih parah setelah epibiont meninggalkan basibiont, sehingga terbentuk lubang pada tubuh nematoda yang tembus ke dalam bagian tubuh nematoda tersebut (Gambar 2C). Adanya kerusakan permukaan luar yang berlanjut pada kerusakan sel-sel epithelium maka bagian tersebut akan menjadi pintu masuknya bakteria, virus, dan jamur, yang dapat memperpendek masa hidup cacing yang dimaksud. Terkait dengan perilaku nematode yang sepanjang hidupnya tidak pernah ganti kulit, maka tubuhnya menjadi sangat menguntungkan bagi epibiont tersebut untuk selalu memperbanyak diri tanpa harus pindah ke basibiont lainnya. Hal serupa juga terjadi pada copepod harpacticoid dimana pada stadia dewasanya tidak pernah ganti kulit, maka tidak mengherankan kalau epibiosis sering dijumpai (DOVGAL, 2002). Mudahnya epibiont berkembang biak pada permukaan basibiont diduga juga akan menghambat pergerakan maupun perpindahan meiofauna yang memang hidupnya secara interstitial.
PUCKETT & CARMAN (2002) melakukan uji dalam laboratorium tentang pengaruh epibiont terhadap meiobenthik copepod (Coullana sp.). Uji tersebut untuk mengetahui dampak epibiont terhadap kemampuan basibiont (Coullana sp.) dalam aktifitasnya untuk mencari makan, persediaan energi dan kerentanan inang terhadap bahan pencemar PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon). Hasil dari uji laboratoris ini menunjukkan, bahwa keberadaan epibiont pada permukaan tubuh copepod harpacticoid tidak mempengaruhi kemampuannya dalam hal mencari makan maupun cadangan energi di dalam tubuhnya. Namun, pada PAH dengan konsentrasi yang relatif rendah epibiont tersebut banyak yang tidak dapat bertahan hidup, sedangkan copepodnya masih bisa bertahan hidup meskipun tidak begitu lama. Tetapi bila dibandingkan dengan individu copepod meiobenthik yang tidak ditempeli epibiont, terlihat bahwa tanpa epibiont mempunyai tingkat kelulusan hidup yang lebih tinggi. Dari hasil uji ini dapat disimpulkan, bahwa keberadaan epibiont merupakan sumber stress bagi meiofauna tersebut dan ditambah dengan adanya bahan pencemar maka tidak mengherankan kalau tingkat mortalitasnya menjadi lebih tinggi. Pada beberapa kejadian serangan suktorian terhadap biota budidaya seperti udang dan ikan ternyata tidak dapat diabaikan begitu saja, karena akan menimbulkan kematian masal. Serangan yang fatal umumnya apabila terjadi pada bagian insang baik itu pada udang maupun ikan, khususnya ketika masih pada stadia anakan. Penelitian lebih lanjut tentang epibiosis ini masih perlu ditingkatkan lagi dengan harapan akan menambah kasanah ilmu pengetahuan khususnya dari organisme yang kurang diketahui secara luas ini. Pemahaman mengenai inang spesifik akan mengarahkan kepada pengetahuan tentang kejadian epibiosis di lingkungan perairan. Hal ini akan
45
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mendorong kepada penelitian lebih lanjut yang berkaitan erat dengan siklus hidup epibiont, dan tidak kalah pentingnya adalah untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan keberadaan epibiont apabila basibiont spesifiknya tidak tersedia.
HENEBRY, M. S. and B.T. RIDGEWAY 1979. Epizoic ciliated protozoa of planktonic copepods and cladocerans and their possible use as indicators of organic pollution. Transactions of the American Microscopical Society 98 (4) : 495-508. HU, X. and W. SONG 2001. Description of Zoothamnium chlamydis sp. n. (Protozoa: Ciliophora: Peritricha), an ectocommensal peritrichous ciliate from cultured scallop in North China. Acta Protozoologica 40 : 215-220.
DAFTAR PUSTAKA ALADRO-LUBEL, M.A. and M.E. MARTINEZMURILLO 1999. Epibiotic protozoa (Ciliophora) on community of Thalassia testudinum Banks ex König in a coral reef in Veracruz, Mexico. Aquatic Botany 65 : 239-254.
JI, D.; W. SONG and A. WARREN 2004. Rediscovery and redescription of the marine peritrichous ciliate Epicarchesium abrae (Precht, 1935) nov. comb. (Protozoa, Ciliophora, Peritrichia). European Journal of Protistology 40 : 219-224.
ANTIPA, G. A. 1977. Use of commensal protozoa as biological indicators of water quality and pollution. Transactions of the American. Microscopy Society 96 (4) : 482-489.
KANKAALA, P. and P. ELORANTA 1987. Epizooic ciliates (Vorticella sp.) compete for food with their host Daphnia longispina in a small polyhumic lake. Oecologia 73: 203-206.
CHIAVELLI, D.; A.E. MILLS and S.T. THRELKELD 1993. Host preference, seasonality, and community interactions of zooplankton epibionts. Limnology and Oceanography 38 (3) : 574-583.
McKANNA, J.A. 1973. Cyclic membrane flow in the ingestive-digestive system of peritrich protozoans. I. Vesicular fusion at the cytopharunx. Journal of Cell Science 13 : 663-675.
DOBBERSTEIN R.C. and H.W. PALM 2000. Trichodinid ciliates (Peritrichia: Trichodinidae) from the Bay of Kiel, with description of Trichodina claviformis sp. n. Folia Parasitologica 47 : 81-90.
ÖZER, A. and T. ÖZTÜRK 2004. Trichodina puytoraci Lom, 1962 and Trichodina lepsii Lom, 1962 (Peritrichida: Ciliophora) infestations on mugilids caught at the Black Sea Coast of Sinop in Turkey. Turk Journal Zoology 28 : 179-182.
DOVGAL, I.V. 2002. Evolution, phylogeny and classification of Suctorea (Ciliophora). Protistology 2(4): 194 – 270.
PUCKETT, G.L. and K.R. CARMAN 2002. Ciliate epibiont effects on feeding, energy reserves, and sensitivity to hydrocarbon contaminants in an estuarine harpacticoid copepod. Estuaries 25 (3) : 372-381.
FERNANDEZ-LEBORANS, G. and M.L. TATOPORTO 2000. A review of the species of protozoan epibionts on crustaceans. II. Suctorian ciliates. Crustaceana 73 (10) : 1205 – 1237.
46
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SONG, W.; K.A.S. AL-RASHEID and X. HU 2002. Notes on the poorly-known marine peritrichous ciliate, Zoothamnium plumula Kahl, 1933 (Protozoa: Ciliophora), an ectocommensal organism from cultured scallop in Qingdao, China. Acta Protozoologica 41: 163-168.
WEISSMAN, P.; D.J. LONSDALE and J. YEN 1993. The effect of peritrich ciliates on the production of Acartia hudsonica in Long Island Sound. Limnology and Oceanography 38: 613-622. WILLEY, R.L.; P.A. CANTRELL and S.T. THRELKELD 1990. Epibiotic euglenoid flagellates increase the susceptibility of some zooplankton to fish predation. Limnology and Oceanography 35 : 952959.
VERNI, F. and P. GUALTIERI 1997. Feeding behaviour in ciliated protists. Micron 28(6): 487-504. WAHL, M. 1989. Marine epibiosis : I. Fouling and antifouling some basic aspects. Marine Ecology Progress Series 58 : 175-189.
XU, Z. and C.W. BURNS 1991. Effects of the epizoic ciliate Epistylis daphinae, on growth, reproduction and mortality of Boeckella triarticulata (Thompson) (Copepoda:Calanoida). Hydrobiologia 209 : 183-189.
47
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
A
C
B
Gambar 1. Epibiosis Thecacineta calix pada nematoda Paradesmodora sp. A. Menunjukan posisi epibiont pada permukaan tubuh basibiont. B. Epibiont yang sedang menjulurkan tentakelnya. C. Tentakel epibiont ditarik masuk ke dalam lorica. bp. basal plate, l. lorica, mn. makronukleus, st. tangkai pendukung, t. tentakel. A. dan B. foto dari mikroskop cahaya, C. foto dari scanning electron microscopy (SEM).
48
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
A
B
C Gambar 2. Epibiosis Thecacineta calix pada nematoda Paradesmodora sp. dilihat dengan menggunakan SEM JEOL JSM-T220. A. Foto detail Thecacineta calix pada tubuh Paradesmodora sp. B. Sebagian dari tubuh Nematoda, Paradesmodora sp., yang padat dengan epibiont. C. Lubang pada permukaan tubuh Paradesmodora sp. setelah ditinggalkan oleh Thecacineta calix. bp. basal plate, l. lorica, lf. fateral furrow, st. tangkai pendukung.
49
Oseana, Volume XXXI No. 2, 2006