BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap bangsa mempunyai teks kanon yang membentuk sejarah ideal 1 bangsa yang bersangkutan. Teks tersebut mampu mengukuhkan diri sebagai sejarah ideal karena menjadi kanon yang dibaca terus menerus, sebagai kisah besar, cerita tentang kejayaan logos, sang hero. 2 Sehingga menempatkan sejarah ideal adalah satu-satunya sejarah yang benar, seperti yang diungkapkan Derrida, 3 sementara itu di lain sisi, sejarah faktis/empiris 4 hanyalah sisi luar dari sejarah ideal yang tidak mempengaruhi pencapaian sejarah ideal. Sejarah ideal menjadi muara segala peristiwa, seperti yang dijelaskan Husserl, bahwa sejarah ideal merupakan eidos atau makna ideal dari segala peristiwa. Ia adalah puncak dari akumulasi keinginan dan kesadaran seluruh umat manusia untuk bergerak dengan nilai-nilai yang disepakati. 5 Sedangkan Kant, merumuskan bahwa sejarah ideal adalah sejarah menuju otonomi dan kebebasan 1
Sejarah ideal ini merujuk kepada Husserl, seperti yang dikritik Derrida, bahwa sejarah ideal merupakan eidos atau makna ideal dari segala peristiwa. Ia adalah puncak dari akumulasi keinginan dan kesadaran seluruh umat manusia untuk bergerak dengan nilai-nilai yang disepakati bersama. Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta, 2006), hlm. 205. 2 Lihat, Ibid., hlm. 204. 3 Lihat, Ibid., hlm. 206. 4 Sejarah faktis merupakan oposisi dari sejarah ideal. Sejarah faktis disebut juga dengan sejarah empiris (factical/empirical history), yakni sejarah sebagaimana dialami oleh individu atau sekelompok orang. Sejarah ini akan selalu berubah, mengalami pasang-surut, dan tidak selamanya konstan. Lihat, Ibid., hlm. 205. 5 Lihat, Ibid., hlm. 205.
1
akal. 6 Manifestasi kebenaran dari sejarah ideal tersebut dapat kita lihat pada sejarah faktis. Sejarah faktis, seperti halnya peristiwa Bubat yang menggagalkan perkawinan Hayam Wuruk dengan Putri Dyah Pitaloka sebagai bentuk dari gagalnya sumpah palapa Gajah Mada dalam menyatukan Nusantara. Begitu juga dengan bangsa lainnya, seperti yang diungkapkan di awal, mempunyai sejarah ideal dengan sejarah faktis sebagai manifestasinya. Minangkabau salah satunya, menempatkan bangsa ini sebagai satu-satunya bangsa dengan sistem matrilineal di Indonesia. Tentu saja karena perbedaan tersebut banyak rongrongan yang datang, tidak terlepas dari sejarah faktis yang mencoba mengganggu untuk menuju makna ideal itu sendiri. Sebagaimana dengan filosofi dasar Minangkabau, bahwa alam takambang jadi guru 7. Bagi budaya Minangkabau, alam dianggap sebagai ibu, ibu dari segala ibu, jadi tidak mengherankan jika sampai saat ini sistem matrilineal di Minangkabau masih tetap bertahan dan tetap berusaha dipertahankan. Ibu sebagai cita-cita bersama, muara dari segala peristiwa yang bergerak terus menerus ke arah
kesempurnaan—kesempurnaan
Alam
Minangkabau
itu
sendiri—
menempatkannya sebagai yang ideal. Ibu sebagai makna ideal dari segala peristiwa. Konsep Alam Takambang Jadi Guru itu sendiri jelas memaparkan bahwa alam yang menciptakan Minangkabau sebagai budaya. Alam yang dipandang sebagai ibu telah ada dengan sendirinya, seperti pendapat yang sangat dipercaya
6 7
Lihat, Ibid. alam terkembang jadi guru (ind.)
2
oleh masyarakat Minangkabau, bahwa Alam Minangkabau ini telah ada dengan sendirinya. 8 Tentu saja, Alam Minangkabau, sebagai sebuah sejarah ideal, tidak terlepas dari sejarah faktis yang mengukuhkan ibu itu sendiri tetap konstan dalam budaya Minangkabau. Apa pun segala peristiwa empiris menuju pada ibu, semisalnya Ekspedisi Pamalayu yang bermuara pada ibu dengan sosok Dara Jingga atau Perang Paderi pun pada akhirnya berkompromi dengan ibu dengan lahirnya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah 9. Karya sastra berperan menggambarkan kembali bentuk sejarah ideal. Sebagaimana sifat dari karya sastra itu sendiri, maka karya tersebut tidak akan berposisi sebagai sesuatu yang ideal, karya tersebut akan berada dalam garis makna empiris, karena akan mengalami pasang-surut dan berasal dari penggambaran individu. Salah satu karya sastra tersebut adalah naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi. Melalui naskah drama Dara Jingga, Wisran Hadi kembali mengkonstruksi Tambo 10, teks kanon bangsa Minangkabau. Namun Wisran Hadi tidak melihat Tambo sebagai kejayaan logos atau pun sang hero sebagaimana ciri dari sejarah ideal. Wisran Hadi mempunyai versinya sendiri dalam membaca Tambo.
8
Lihat, A.A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, (Jakarta: 1986), hlm. 9. adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kitabullah (ind.) 10 Adapun menurut A.A. Navis, “Tambo berasal dari bahasa Sanskerta, yakni Tambay atau Tambe yang artinya bermula. Tambo merupakan salah satu warisan kebudayaan Minangkabau yang penting (maksudnya Tambo Minangkabau –pen),. Ia merupakan kisah yang disampaikan secara lisan oleh tukang kaba yang diucapkan oleh juru pidato (maksudnya para pemangku adat seperti para penghulu atau Datuk –pen). Orang sering membagi Tambo itu dalam dua jenis, yakni Tambo Alam, yang mengisahkan asal-asal nenek moyang serta bangunan kerajaan Minangkabau, dan Tambo Adat, yang mengisahkan adat atau sistem dan aturan pemerintahan Minangkabau pada masa lalu”. Lihat, A.A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, (Jakarta, 1984), hlm. 45 – 46. 9
3
Jika dibaca secara teliti, ada teks-teks tersembunyi yang melahirkan oposisi hierarki antara narasi yang dibangun Wisran Hadi dengan narasi keminangkabau-an. Wisran Hadi, telah membongkar teks Dara Jingga. Saini menegaskan hal tersebut, bahwa naskah drama Dara Jingga merupakan dekonstruksi terhadap tafsiran sejarah yang umum. 11 Keberadaan naskah drama ini ingin menghancurkan impian sejarah ideal. Penghancuran terhadap sejarah ideal itu sendiri sudah menjadi prinsip dari arus balik postmodernisme. Al-fayyadl menegaskan bahwa, dekonstruksi memperlihatkan bahwa perbedaan itu perlu dan tak mungkin dihilangkan. Karena itu, sejarah masa depan, sejarah yang tak lagi dikuasai oleh nostalgia masa lalu dan kehadiran, haruslah dibangun dari penghormatan akan perbedaan. 12 Naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi tersebut menggambarkan konstruksi kembali akan masa depan dari teks kanon Minangkabau. Pada naskah drama Dara Jingga ini dapat diasumsikan bahwa budayalah yang menciptakan alam. Ibu bukan yang ada dengan sendirinya, namun ibu bagian dari differance karena diciptakan oleh budaya, yang notabene Derrida menganggapnya sebagai sebuah teks yang tidak netral. Hal tersebut kemudian terlihat pada naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi, karena tidak akan terlepas dari pengaruh tulisan dan tanda. Penelitian terhadap naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi dalam hubungannya dengan makna ideal suatu suku bangsa di Indonesia menjadi penting, karena diharapkan menjadi studi kasus perkembangan sastra Indonesia. 11
Lihat, Saini KM, Dunia Orang Melayu Wisran Hadi, Majalah Horison /xxxv/12, (Jakarta: 2000), hlm. 8 – 9. 12 Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta, 2006), hlm. 204.
4
Penelitian ini juga diharapkan bisa menjelaskan bagaimana makna ideal berjalan dalam suatu teks, dalam hal ini naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi, sehingga dapat ditemukan pembongkaran teks itu sendiri akan makna ideal tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka ada dua rumusan masalah yang dianggap paling penting untuk dijawab kemudian, yakni sebagai berikut: 1. Apa bentuk makna ideal yang ada dalam naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi tersebut? 2. Apa bentuk penolakan makna ideal yang ada dalam naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Memaparkan bentuk makna ideal yang ada dalam naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi. 2. Menemukan bentuk penolakan makna ideal yang ada dalam naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi.
5
Tujuan yang lain adalah memperkenalkan cara baca dekonstruksi Derrida sebagai kajian sastra kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat sastra. Diharapkan kemudian penelitian ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap perkembangan kritik sastra.
1.4. Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi, sejauh penulis ketahui sudah ada yang meneliti, namun dengan objek formal dan pendekan teori yang berbeda, penelitian tersebut, yakni: Rusyda Ulva dalam tesis Master (S2) Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011 dengan judul Dara Jingga; Naskah Lakon Karya Wisran Hadi; Sebuah Parodi Kekuasaan. Rusyda Ulva menyimpulkan pada penelitiannya bahwa naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi tersebut merupakan kritikan pengarang terhadap kondisi sosial di sekitarnya mengenai fenomena penyimpangan kekuasaan yang dilakukan para penguasa. Kritik terhadap kondisi sosial dan kekuasaan tersebut disampaikan Wisran Hadi melalui mitos dan teks sejarah. Mitos dan teks sejarah tersebut dihadirkan secara parodi, yaitu menyimpang dari cerita dan fakta yang ada. Mitos dan teks sejarah merupakan peristiwa masa lalu yang diparodikan untuk kepentingan masa kini. Wisran Hadi dianggap sebagai salah satu dramawan besar di Indonesia, yang telah melahirkan banyak naskah drama yang penting bagi perkembangan
6
kesastraan Indonesia, maka naskah dramanya yang lain, yang telah diteliti, di antaranya: 1. Mursal Esten dalam disertasi Doktor (S3) Universitas Indonesia pada tahun 1990 tentang naskah drama Cindua Mato karya Wisran Hadi dengan judul Tradisi dan Modernitas dalam Sandiwara; Teks Sandiwara Cindua Mato karya Wisran Hadi dalam Hubungan dengan Mitos Minangkabau Cindua Mato, kemudian dibukukan dengan judul Kajian Transformasi Budaya, Penerbit Angkasa Bandung, 1999. Mursal Esten membicarakan tentang hubungan interteks antara naskah drama Cindua Mato dengan kaba Cindua Mato, yang pada intinya membicarakan hubungan antara tradisi dan modernitas di dalam perkembangan kebudayaan. Esten menjelaskan bahwa modernitas tidak selalu harus dilihat sebagai sesuatu yang dikotomis dalam hubungannya dengan tradisi. Modernitas bukan saja terlihat sebagai sesuatu yang bisa berdampingan dengan tradisi, bahkan modernitas juga bisa menjadi faktor yang membuat tradisi langgeng dan bertahan. 2. Umar Junus dalam bukunya Realitas dan Mitos dalam Puti Bungsu, penerbit Sinar Harapan, tahun 1983. Penggabungan aspek mitos, tiga mitos yang berbeda, yakni Malin Kundang, Malin Deman, dan Sangkuriang, di tangan Wisran Hadi melahirkan suatu demitefikasi. Tiga mitos tersebut oleh Wisran Hadi, tidak diceritakan sebagaimana adanya keberadaan cerita itu di tengah masyarakat. Menurut Umar Junus, mitos tersebut oleh Wisran Hadi telah mengalami proses
7
demitefikasi. Penyatuan ketiga tokoh dalam cerita rakyat itu saja, sesungguhnya sudah merupakan demitefikasi, sehingga melahirkan mite baru yang bernama Puti Bungsu. Demitefikasi yang dilakukan Wisran Hadi memalui naskah drama Puti Bungsu tersebut digunakan untuk mencari keadaan sosio-budaya yang oleh Wisran Hadi dilihat melalui naskah drama tersebut. Junus menyimpulkan, Wisran telah menyesuaikan mitos kepada hakikatnya yang dianggapnya ada pada keadaan sosio-budaya yang dilukiskannya. 3. Ivan Adilla dalam tesis Pascasarjana (S2) Universitas Gadjah Mada pada tahun 1996 dengan judul Puti Bungsu (Wanita Terakhir), Analisis Struktural dan Hubungan Intertekstual, memaparkan bahwa Ivan Adilla
memaparkan
bahwa
sesungguhnya
Wisran
memiliki
kecenderungan memberi penafsiran baru terhadap sesuatu, sesuatu itu antara lain bisa berupa cerita rakyat yang sudah ada. Wisran Hadi tidak melihat Malin Kundang sebagai cerita anak durhaka. Tetapi misalnya, ia ingin memberi isian baru untuk melihat struktur keluarga Minangkabau melalui tokoh-tokoh yang ada. Ia melihat sisi lain dari cerita yang sama. Alternatif demikianlah yang cenderung disodorkan Wisran Hadi, misalnya, Malin Kundang sebenarnya tidak melupakan ibunya, tetapi ibunyalah yang cemburu kenapa Malin Kundang pulang bersama seorang istri, tidak bersama ayahnya. Ditegaskan Ivan, bahwa dari tokoh yang sama, sebagai penulis, Wisran Hadi secara tersirat telah memberi alasan tentang tindakan tokoh dari sudut yang selama
8
ini tidak diperhatikan orang, yakni Wisran Hadi menggugat ibu Malin Kundang yang mengutuk anaknya. Jika dalam cerita berjudul Malin Deman dikatakan bahwa Malin Deman menyembunyikan pakaian Puti Bungsu, sehingga bidadari itu tidak bisa lagi terbang ke langit. Tetapi, oleh Wisran Hadi, bukan Malin Deman yang menyembunyikan pakaiannya, melainkan Puti Bungsu itu sendiri yang tidak mau lagi ke langit, karena ia jatuh hati pada Malin Deman.
1.5. Landasan Teori
Pada latar belakang penelitian ini telah dipaparkan tidak ada teks yang dianggap telah sampai pada satu kesimpulan makna, ada makna-makna yang tertunda, yang berujung pada tidak ada kesimpulan makna, seperti yang ditemukan pada teks ke-minangkabau-an yang berusaha dibangun dalam naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi tersebut. Begitu juga pada rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dipaparkan di atas, diperlukan sebuah teori untuk melanjutkan penelitian tersebut. Sesuai dengan permasalahan yang muncul, maka penulis akan melihatnya dengan cara pandang pembacaan Dekonstruksi-Derrida.
Cara
pandang
pembacaan
Dekonstruksi-Derrida
merupakan tataran pemikiran yang berada dalam paham postrukturalisme.
9
1.5.1. Strukturalisme dan Postrukturalisme
Pada dasarnya
teori-teori
yang
disebut
sebagai
postrukturalisme
merupakan teori-teori yang muncul sesudah teori-teori struktural. Berdasarkan hal tersebut, postrukturalisme memang merupakan paham baru yang muncul, paham baru yang muncul setelah strukturalisme seperti yang terimplikasi pada namanya. Jadi, postrukturalisme bukan sebuah inovasi, bukan sesuatu yang sepenuhnya orisinil, melainkan paham baru yang masih terkait dengan paham yang ada sebelumnya, yaitu strukturalisme. 13 Saussure berpandangan bahwa bahasa mempunyai sistem yang stabil dan tidak berubah-ubah. Ada tiga aspek bahasa yang dibedakan dalam pandangan Saussure tersebut, yaitu langue, parole, dan langage. 14 Langue merupakan abstraksi dari seluruh aktivitas berbahasa masyarakat. Parole adalah seluruh hal yang diujarkan oleh orang, termasuk konstruksi-konstruksi yang muncul dari pilihan individu, atau bentuk-bentuk pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan berbagai konstruksi tersebut. Sedangkan langage berlaku setetelah parole mematuhi kaidah bahasa yang ada, namun karena parole sifatnya wicara dan tuturan individu, maka parole bergantung pada masing-masing orang atau kelompoknya. Pada tiga aspek bahasa tersebut, Saussure hanya memfokuskan pada struktur yang implisit (langue), karena Saussure menyadari bahwa linguistik tidak mungkin mempelajari peristiwa atau parole yang luar biasa banyaknya. 13
Lihat, Faruk, Metode Penelitian Sastra; Sebuah Penjelajahan Awal, (Yogyakarta, 2012), hlm. 176. 14 Lihat, Harimukti Kridalaksana, Mongin-Ferdinand de Saussure (1857 – 1913), Bapak Linguistik Modern dan Pelopor Strukturalisme, dalam, de Saussure, Pengantar Linguistik …, hlm. 5.
10
Pandangan tersebutlah, bahwa bahasa (langue) bukanlah sekedar katakata, melainkan juga semesta tanda. Menurut Saussure, langue adalah khasanah tanda (lexion of signification). 15 Dalam pandangan Saussure, tanda terdiri atas dua komponen: (1) citra akustik yang disebut penanda (signifier/signifiant); dan konsep atau citraan mental yang disebut tinanda (signified/signifie). 16 Penanda merupakan kesan bunyi yang dapat kita imajinasikan dari mulut penutur, sedangkan tinanda adalah konsep yang ditunjuk oleh penanda, tetapi gambarannya hanya bisa dirasakan secara mental di dalam pikiran penutur. Perbedaan sistem langue tersebut, dalam strukturalisme, menunjukkan bahwa tanda memiliki mekanisme sendiri dengan tanda-tanda lain. Mekanisme itu adalah perbedaan atau diferensi (difference). Bahasa seperti yang dikatakan Saussure, bukanlah substansi, tetapi bentuk. 17 Saussure mendeskripsikan struktur tanda sebagai salah sesuatu yang muncul dari pengasosiasian penanda dan petanda. 18 Dalam sistem tanda, bentuk-bentuk ini tidak bisa berdiri sendiri, tetapi selalu bergantung pada relasi dan hubungannya dengan tanda-tanda lain, inilah yang disebut dengan oposisi biner. Oposisi biner dalam tanda Saussurian masih berada dalam lingkup struktur paradigmatik metodologi kaum strukturalis, Barthes mengatakan bahwa, mau tidak mau mesti menggunakan pasangan seperti
15
John Sturrock, Introduction, dalam, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta, 2006), hlm. 36. 16 Lihat, ibid., hlm. 37. 17 Lihat, ibid., hlm. 38 & 39. 18 Lihat, Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pemikiran Jaques Derrida; Sebuah Pengantar, terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta, 2003), hlm. 109.
11
penanda/petanda dan sinkronik/diakronik agar dapat membedakan strukturalisme dari corak pemikiran yang lain. 19 Derrida tidak menolak pandangan tersebut, namun inilah kemudian yang dilihat Derrida untuk melampaui strukturalisme, tidak hanya sekedar melampaui, namun juga meradikalkannya sebagai strategi terhadap pembacaan teks. Derrida memaparkan konsep tanda biner itu sendiri, dalam peranannya sebagai penuntun usaha-usaha pengobjektifan pada sebuah ilmu tentang kehadiran. Pernyataan kaum strukturalis tentang keobjektifan struktural didasarkan pada pembedaan antara subjek dan objek. Objek ditemukan oleh subjek: “Tujuan dari segenap aktivitas strukturalis, apakah reflektif atau puitik, adalah merekonstruksi
‘objek’
dengan
cara
sedemikian
rupa
hingga
dapat
memperlihatkan peran dan fungsi objek. 20 Deskripsi objektif tersebut kemudian dipermasalahkan oleh Derrida, baginya sebuah teks, apakah bersifat “literer”, “psikis”, “antropologis” atau lain sebagainya adalah permainan kehadiran dan ketidakhadiran, tempat jejak yang hilang. 21 Dalam hal tersebut, bagaimanapun, Derrida harus menggunakan konsep tanda itu sendiri, karena struktur adalah tanda yang disilangi. Derrida mengatakan bahwa, konsep biner Saussure tentang tanda, konsep yang membahas makna primer
yang
bisa
dipisahkan—petanda
transdental—sebenarnya
menawarkan jalan keluar dari metafisika kehadiran. 22
19
Lihat, ibid,. hlm. 115. Lihat, ibid., hlm. 111 – 112. 21 Lihat, ibid., hlm. 112. 22 Lihat, ibid., hlm. 114. 20
12
ingin
Derrida menemukan cara lain untuk pembacaan teks, yang disebut dengan dekonstruksi. Dekonstruksi itu sendiri, seperti yang dijelaskan Spivak, adalah pengincaran terhadap satu titik yang ditutupi teks, kemudian memperlihatkan bagaimana struktur gramatologis titik tersebut. 23 Sebagaimana kaum strukturalis menggunakan konsep tanda sebagai bentuk kehadiran, yang juga tidak ditolak oleh Derrida. Namun Derrida mempunyai pandangan tersendiri akan hal tersebut, itulah yang kemudian didekonstruksinya.
1.5.2. Fonosentrisme dan Logosentrisme
Perhatian Derrida akan peran dan fungsi bahasa melahirkan metode membaca teks secara cermat. Teks dianggap tidak konsisten, sehingga teks dianggap gagal akan dirinya sendiri yang menimbulkan paradoks dalam konsepnya. Metafisika kehadiran yang sudah lama mengakar dalam filsafat disangkal Derrida dengan menolak adanya kehadiran dalam pengertian momen tunggal yang dapat didefenisikan, yaitu masa kini. 24 Konsep tersebut menempatkan kehadiran sebagai pusat, sehingga kerinduan pada pusat inilah sebagai kekuatan pengekang yang membiakkan oposisi-oposisi hierarki. Terma yang superior ada di tangan kehadiran dan logos; sedangkan yang inferior ada untuk meneguhkan status yang superior dan
23
Lihat, ibid., hlm. 144. Lihat, Madan Sarup, Postrukturalisme dan Posmodernisme, terj. Medhy Aginta Hidayat, (Yogyakarta, 2011), hlm. 50. 24
13
menandai kejatuhan, 25 seperti oposisi antara yang terpikirkan dengan yang terindra atau jiwa dan tubuh. Setelah menyatakan tidak ada wilayah penanda yang bebas, Derrida menyimpulkan: pertama, bahwa tidak ada tanda apa pun yang dapat dianggap merujuk pada petanda tertentu; dan kedua, bahwa tidak mungkin melepaskan diri dari sistem penanda. 26 Sistem ini menunjukkan bahwa kehadiran yang lengkap itu tidak ada. Di lain sisi, karena asumsi kehadiran tersebut, kaum strukturalis lebih memprioritaskan ujaran daripada tulisan. Derrida menyebut prioritas tersebut dengan fonosentrisme. Ujaran dianggap lebih penting karena lebih dekat dengan kemungkinan kehadiran. Ujaran dianggap lebih dekat dengan kehadiran ujaran menunjukkan
kesertamertaan. 27
Sehingga
tidak
dapat
dielakkan
bahwa
fonosentrisme akibat dari kehadiran, sehingga Derrida berupaya untuk mendekonstruksi oposisi antara ujaran dan tulisan dihubungkan dengan metafisika kehadiran secara keseluruhan. Ketergantungan akan logos 28 juga dikritik oleh Derrida, atas dasar terdapatnya kebenaran yang berperan sebagai dasar semua keyakinan kita; oleh karena
itu
pasti
ada
disposisi,
penanda
transendental
yang
langsung
menghubungkan, membuat makna menjadi stabil, kukuh dan tidak tergoyahkan, semisal ruh, tuhan, dan lain sebagainya, yang membentuk sebuah pusat dan asal-
25
Lihat, Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pemikiran Jaques Derrida; Sebuah Pengantar, terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta, 2003), hlm. 135. 26 Lihat, Madan Sarup, Postrukturalisme dan Posmodernisme, terj. Medhy Aginta Hidayat, (Yogyakarta, 2011), hlm. 50. 27 Lihat, ibid., hlm. 50 – 51. 28 Derrida menggunakan istilah “logosentris” sebagai ganti “metafisika”. Lihat, ibid., hlm. 52.
14
usul dari semua tanda lain. Sehingga segalanya menjadi terporos, menjadi asalusul dari semua makna lainnya. Sarup menjelaskan bahwa, makna-makna itu tidak selalu dilihat dalam pengertian asal-usul, makna-makna itu sering dilihat dalam pengertian tujuan, yang merupakan tujuan semua makna. 29 Sehingga, seperti yang telah dipaparkan tadi, segala sesuatunya menjadi satu arah menuju pusat. Inilah yang berusaha dibongkar Derrida dengan oposisi hierarki. Spivak menambahkan bahwa, kerinduan pada pusat (centre) inilah, sebagai kekuatan pengekang, yang membiakkan oposisi-oposisi hierarki. 30 Menurut penanda/petanda, percakapan
Derrida, yang
oposisi dapat
(parole)/bahasa
biner metafisik
diindra/yang (langue),
dapat
(logosentris) meliputi: dinalar,
ujaran/tulisan,
diakroni/sinkroni,
ruang/waktu,
pasivitas/aktivitas. 31 Para pemikir strukturalis tidak meletakkan konsep-konsep tersebut di bawah tanda silang, sehingga oposisi-oposisi tersebut melahirkan deskripsi objektif yang tidak bermasalah lagi. Bertolak belakang dengan hal tersebut, Derrida mengatakan kita harus menghancurkan oposisi dengan menunjukkan bahwa satu pengertian tergantung pada dan ada dalam pengertian lainnya, yang kemudian dikenal dengan oposisi hierarki tersebut. Berangkat dari oposisi biner, yang menurut Sarup adalah cara pandang, agak mirip ideologi seperti pusat dan pinggiran, 32 bagi Derrida hal
29
Lihat, ibid., hlm. 53. Lihat, Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pemikiran Jaques Derrida; Sebuah Pengantar, terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta, 2003), hlm. 135. 31 Lihat, Madan Sarup, Postrukturalisme dan Posmodernisme, terj. Medhy Aginta Hidayat, (Yogyakarta, 2011), hlm. 53. 32 Lihat, ibid., hlm. 54. 30
15
tersebut harus dihancurkan, oposisi yang biasa digunakan untuk berpikir dan yang melestarikan metafisika dalam pola pikir, seperti misalnya: materi/ruh, subjek/objek,
topeng/kebenaran,
tubuh/jiwa,
teks/makna,
interior/eksterior,
representasi/kehadiran, kenampakan/esensi, dan lain-lain. Pada konsep oposisi hierarki, pengertian yang lebih tinggi kedudukannya dalam oposisi tersebut masuk dalam kategori kehadiran dan logos, sementara pengertian yang lebih rendah berfungsi mendefinisikan statusnya dan berarti kemunduran. 33 Pandangan tersebut dapat ditemukan pada naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi, di mana terdapat logos di dalamnya yang memunculkan oposisi hierarki dalam makna ideal yang terbangun tersebut. Oposisi hierarki membalikkan bahkan menghancurkannya, kehadiran atau logos tidak dapat diterima, segalanya berada di bawah tanda silang. Bahkan kemudian Derrida melihat bahwa di bawah tanda silang tersebutlah terdapat makna yang tertunda (differance).
1.5.3. Differance
Setiap teks adalah permainan. Prinsip dari permainan yang dikemukakan Derrida adalah membebaskan penanda dari beban makna. Derrida mengajak kita untuk melampaui bahasa yang telah dekonstruksi oleh beban makna, seperti yang telah dihasilkan oleh sistem linguistik dan logika. Sehingga makna jadi tertunda, karena setiap teks meninggalkan sisa-sisa dari kehadiran yang telah sirna dan
33
Lihat, ibid., hlm. 54.
16
tertunda. Akibatnya, makna tidak lagi bisa diselamatkan, yang dapat menyelamatkan makna hanyalah differance, struktur perbedaan dan penundaankehadiran dalam teks itu sendiri. 34 Sedangkan Spivak menjelaskan bahwa, differance adalah struktur yang akan mendekonstruksi strukturalisme. 35 Lebih jauh Spivak menjelaskan pemikiran Derrida tentang differance dalam Of Grammatology, “tulisan” adalah nama dari sesuatu yang tak pernah dinamai, dengan demikian memberikan differance merupakan kekerasan jika kita tetap memaksakan diri menamai atau menamainya dengan nama asli. 36 Dengan kata lain ini bukan berarti Derrida menempatkan penanda menjadi sesuatu yang transenden, perbedaan-perbedaan yang ada akan tetap menjadi kontradiksi abadi yang memiliki banyak nama panggil. Hukum differance menyatakan bahwa, hukum apa pun dibentuk berdasarkan penangguhan dan perbedaan diri. 37 Lebih jauh Spivak menjelaskan bahwa, differance mengajak kita menghapus keinginan untuk menyeimbangkan persamaan, untuk melihat bahwa satu terma dalam sebuah oposisi sebenarnya bukanlah sekedar pelengkap keberadaan terma lawannya. 38 Setiap tulisan mempunyai ruang-ruang kosong, ruang-ruang kosong itulah differance, karena selalu ada yang retak pada teks. Selalu ada differance yang menciptakan kemungkinan tak terbatas dalam tubuh teks dan mustahil dibingkai
34
Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta, 2006), hlm. 110. Lihat, Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pemikiran Jaques Derrida; Sebuah Pengantar, terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta, 2003), hlm. 116. 36 Lihat, ibid., hlm. 138 – 139. 37 Lihat, ibid., hlm. 111. 38 Lihat, ibid., hlm. 115 – 116. 35
17
ke dalam satu keutuhan makna kecuali dalam bentuk penundaan yang tak terbatas pula. Sebagaimana konsep pemikiran Derrida bahwa segala sesuatunya adalah teks, maka differance ini pun dapat ditemukan dalam setiap sistem pemikiran, institusi penafsiran, sejarah, atau pun yang berupaya membakukan makna, memberi tafsiran tunggal terhadap realitas, atau menghadirkan satu model pembacaan atas segala sesuatu. 39 Seperti sifat teks, maka segala sesuatunya terbuka untuk dibaca, dibongkar, dan ditafsirkan ulang secara tak berhingga. Lebih jauh Al-Fayyadl menuliskan, 40 Differance menciptakan penandapenanda baru yang ambigu, seperti pharmacon atau hymen. Differance juga menggerakkan seluruh permukaan teks yang terlihat datar dengan memfungsikan kembali logika permainan yang direpresi oleh logika yang dominan (logika pengarang). Karena itu, kebenaran, makna, atau referens dalam teks tidak menjadi prioritas utama yang dicari. Semua ini dialami lebih sebagai proses. Dengan differance, kita terus-menerus mempertanyakan asumsi yang mapan dan mengujinya dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih radikal, paradoks, atau bahkan absurd. Dengan kata lain, differance adalah ruang mencari (berbagai) perspektif terhadap teks. Berdasarkan hal tersebutlah, jika melihat teks naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi yang berangkat dari sejarah ideal bangsa Minangkabau, yakni Tambo, yang sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat Minangkabau.
39 40
Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta, 2006), hlm. 111. Lihat, ibid., hlm. 112.
18
Pada naskah drama ini terdapat permainan teks di dalamnya dan harus melepaskannya dari beban makna sesuai dengan prinsip Dekonstruksi.
1.5.4. Eidos
Sejarah selama ini dipahami sebagai nostalgia akan masa lalu untuk mengontrol masa depan. Pemahaman tersebut diwariskan oleh kaum modernitas dan semangat pencerahan. Sejarah pun dibaca terus menerus sebagai kisah besar, cerita tentang kejayaan logo, sang hero. 41 Menurut Derrida, hal tersebut telah selesai seiring dengan berakhirnya modernitas. Sejarah mesti bergeser dari “sejarah” ke “kesejarahan”, karena sejarah itu sendiri dipahami sebagai “sejarah ideal” (ideal history) yang berproses secara teleologi, mempunyai awal dan akhir, dan merupakan bentuk pemahaman diri akan akal dan penyingkapan. Tentu saja hal tersebut bermaksud ingin mencapai masa depan yang ideal. Dekonstruksi berusaha menyangkal hal tersebut. Dekonstruksi ingin membuktikan bahwa masa depan ideal tidak akan pernah mungkin, karena “sejarah” adalah bentuk dari pemadatan berbagai peristiwa kecil yang kerap kali tak terpahamkan. 42 Oposisi dari sejarah ideal adalah sejarah faktis. Pada konsep modernitas, sejarah ideal merupakan pusat yang mempunyai kedudukan oposisional yang istimewa, sedangkan sejarah faktis merupakan oposisional yang terpinggirkan. Derrida ingin meyakinkan, melalui dekonstruksinya, bahwa sejarah ideal tidak terpisah dari sejarah faktis. Sejarah faktis tidak dapat dianggap sebagai sesuatu 41 42
Lihat, ibid., hlm. 204. Lihat, ibid., hlm. 203.
19
yang eksterior dari sejarah ideal. 43 Lebih lanjut, diterangkan bahwa sejarah ideal ini mengandaikan kesadaran bersama seluruh umat manusia untuk terus-menerus bergerak ke arah kesempurnaan dengan tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya, sedangkan sejarah faktis atau empiris (faktical/empirical history) merupakan sejarah sebagaimana dialami oleh individu atau sekelompok orang. Sejarah ini akan selalu berubah, mengalami pasang-surut, dan tidak selalu konstan. 44 Melihat keberadaan naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi, yang berangkat dari peristiwa Ekspedisi Pamalayu tersebut, dapat dikatakan bahwa naskah drama tersebut sebagai representasi dari sejarah faktis itu sendiri, jika disandingkan dengan Tambo yang menjadi kitab bangsa Minangkabau. Hal tersebut sesuai seperti yang dikatakan Husserl, sejarah ideal merupakan eidos atau makna ideal dari segala peristiwa, puncak dari akumulasi keinginan dan kesadaran seluruh umat manusia untuk bergerak dengan nilai-nilai yang disepakati bersama. Dari sejarah ideal tersebut membentang kebenaran yang dapat kita lihat manifestasinya pada sejarah faktis.
45
Untuk melihat makna ideal tersebut, dalam
konteks ini, kita harus melihat sejarah faktis, seperti keberadaan naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi, karena di dalamnya banyak pergulatan tentang sejarah faktis, sebagaimana ciri dari sejarah faktis itu sendiri yang banyak mengalami tragedi, kegagalan, dan sekian penyimpangan dari grand design sejarah ideal.
43
Lihat, ibid., hlm. 208. Lihat, ibid., hlm. 205. 45 Lihat, ibid., hlm. 205. 44
20
Oleh karena itulah maka sejarah ideal tidak akan pernah netral dari differance. Idealitas makna dan kebenaran di dalamnya terstruktur dari perbedaanperbedaan yang implisit dan perbedaan tersebut muncul dari pengaruh tulisan dan tanda. Dengan kata lain, idealitas makna dan kebenaran yang ada pada sejarah ideal, menurut Husserl, membentuk sejarah transendental yang melampaui segala bentuk sejarah faktis. Namun demikian, sejarah transendental itu hanya dapat diungkapkan dengan bahasa, sementara karakter dari bahasa itu sendiri adalah diferensial dan sarat perbedaan. 46 Di sini, Derrida ingin menunjukkan bahwa sejarah transendental tidak mungkin ada tanpa dipengaruhi oleh bahasa dan tanda. 47 Sejarah transendental justru dibangun dari sistem diferensial yang diakibatkan oleh perbedaan tanda dan terkontaminasi secara langsung oleh tulisan dan differance. 48
1.6. Hipotesis Penelitian
Naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi tersebut berangkat dari muatan makna ideal, dalam hal ini Tambo Minangkabau. Keberadaan makna ideal tersebut dalam naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi tersebut berusaha ditolak dan ditunda.
46
Lihat, ibid., hlm. 208. Caputo, Radical Hermeneutics..., hlm. 126. Dalam, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta, 2006), hlm. 111. 48 Lihat, Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta, 2006), hlm. 208. 47
21
1.7. Metode Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan kerangka teori pada penelitian ini, maka untuk menganalisis naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi tersebut akan digunakan metode dekonstruksi dalam membaca teks-teks di dalamnya. Prosedur pembacaan teks tersebut, seperti yang disampaikan Faruk, berupa meneliti dengan cermat momen-momen yang tidak terputuskan, pemlesetan yang hampir tidak tertangkap, yang, jika tidak, akan membuat terlewatkan oleh pembaca. 49 Pembacaan cermat tersebut bertujuan untuk menginterogasi teks. Faruk, lebih menjelaskan, sesudah menginterogasi teksnya, menghancurkan pertahanannya, dan menunjukkan bahwa seperangkat oposisi berpasangan ditemukan di dalamnya. Oposisi itu tersusun secara hierarkis dengan menempatkan salah satu pasangan sebagai yang istimewa. Dekonstruktor kemudian menunjukkan bahwa identitas yang istimewa itu tergantung pada pengeklusiannya atas yang lain dan menunjukkan
bahwa
keutamaan
justru
terletak
pada
yang
justru
disubordinasikan. 50 Secara sistematis, menurut Culler, strategi dekonstruksi Derrida tersebut dapat dirumuskan dalam tiga langkah. Pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks seperti biasanya, hingga tampak peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan
mengusulkan
privilese (hak
49
istimewa) secara terbalik.
Ketiga,
Lihat, Faruk, Metode Penelitian Sastra; Sebuah Penjelajahan Awal, (Yogyakarta, 2012), hlm. 217. 50 Lihat, ibid.
22
memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang bisa dimasukkan ke dalam oposisi
lama. 51
Menurut
Derrida,
seperti
yang
dipaparkan
Culler,
mendekonstruksi suatu oposisi adalah membalikkan suatu hierarki. Akan tetapi, aktivitas itu baru pada tahap pertama. Pada tahap berikutnya, pembalikan harus dilakukan terhadap keseluruhan yang di dalamnya oposisi itu menjadi bagiannya. Hanya dengan syarat itulah dekonstruksi dapat memberikan alat untuk menembus lapangan oposisi-oposisi yang dikritiknya yang juga merupakan lapangan kekuatan non-diskursif. 52 Sebelum melakukan cara kerja tersebut, pada penelitian naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi ini, terlebih dahulu akan mengklasifikasikan elemen-elemen makna ideal yang berada di luar teks naskah drama tersebut. Sebelumnya telah dipaparkan, bahwa naskah drama Dara Jingga berangkat dari Tambo, sebagai makna ideal bangsa Minangkabau, maka terlebih dahulu akan dipaparkan elemen peristiwa-peristiwa ideal yang ada di dalamnya, kemudian elemen dari peristiwa-peristiwa faktis yang selama ini menjadi manifestasi dari Tambo tersebut dan sumber-sumber makna yang ada di dalamnya. Dari
temuan
tersebut, baru dapat dilihat oposisi-oposisi yang terbangun di dalam naskah drama Dara Jingga tersebut dan menjungkirbalikkan oposisi-oposisi hierarkis secara dekonstruksi seperti yang telah dijelaskan di atas. Uraian
tersebut,
dapat
disimpulkan,
dekonstruksi
berusaha
memperlihatkan ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya dari teks itu untuk menutup diri. Dekonstruksi juga mau menumbangkan hierarki konseptual yang 51
Lihat, Mashuri, Dekonstruksi Wayang dalam Novel Durga Umayi. Jurnal Poetika Vol. 1 No. 1, Juli 2013, hlm. 22 – 23. 52 Lihat, ibid., hlm. 23.
23
menstrukturkan sebuah teks dan menghidupkan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi yang telah membangun sebuah teks, sehingga sebuah teks tidak lagi merupakan tatanan makna yang utuh. 53 Oleh karena itu, maka dalam naskah drama Dara Jingga karya Wisran Hadi tersebut, usaha untuk membongkar teks-teks yang ada di dalamnya akan membuka ruang penafsiran lain dalam kajian ini.
1.8. Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian penelitian ini terdiri dari empat bab. Keempat bab tersebut terdiri dari sebagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis penelitian, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab kedua merupakan makna ideal dan manifestasi yang terdiri dari sejarah ideal, sumber makna, dan sejarah faktis. Bab ketiga merupakan pembacaan dekonstruksi yang terdiri dari oposisional berpasangan dan membongkar makna ideal. Bab keempat merupakan kesimpulan dari hasil penelitian.
53
Lihat, ibid.
24