<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >>
Transmisi HF/NVIS sebagai back-up pada KomDar/EmComm (untuk cakupan jarak dekat dan sedang di band HF)
Pengantar: Bagi kebanyakan rekan sesama pengguna frekuensi, sub-judul artikel ini yang menyebutkan “untuk cakupan jarak dekat dan sedang di band HF” barangkali terasa agak janggal, karena adagium yang lazim terdengar di antara mereka yang bekerja di band HF adalah: “bentangkan antena sepanjang dan setinggi mungkin, agar dapat menjangkau jarak sejauh mungkin” Adalah kenyataan bahwa di YB-land ini memang belum lazim untuk memanfaatkan band HF untuk menjalin komunikasi jarak dekat dan sedang, taruhlah dalam radius 0-400 Km dari asal pancaran (yang bisa diandaikan misalnya sebagai TKP dari terjadinya bencana); karena untuk cakupan dengan jarak segitu umumnya rekans lebih mengandalkan pancaran di band V/UHF, apalagi kalau di area yang hendak dicakup sudah tersedia jaringan repeaters. Tulisan ini akan mengulas tentang pemanfaatan transmisi NVIS (Near Vertical Incidence Skywave) di band HF, yang setahu penyunting selama ini masih kurang dimanfaatkan secara “sengaja dan maksimal” oleh rekans pengguna frekuensi/band HF di sini, walaupun dalam praktek sehari-hari banyak yang secara tidak sadar (dan sengaja) telah melakukannya. Di samping memperkenalkan konsep HF/NVIS, tulisan ini juga dimaksudkan sebagai pengingat (reminder) bagi sesama rekan Amatir Radio, para relawan kebencanaan dan Penyunting sendiri akan tugas utama seorang Amatir Radio (dan relawan kebencanaan yang mengoperasikan radio), yakni sebagai pelaksana dukungan komunikasi radio dan penyampaian berita pada saat terjadi marabahaya dan bencana alam, penyelamatan jiwa manusia dan harta benda, serta sebagai cadangan nasional di bidang telekomunikasi ■ ~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kenapa harus NVIS? Pada saat terjadi bencana, di mana BESAR KEMUNGKINAN nyaris semua infrastruktur di bidang telekomunikasi setempat lumpuh, ada beberapa kelebihan dari penggunaan transmisi HF/NVIS yang menjadikannya sebagai salah satu alternatip yang bisa dilakukan seorang atau sekelompok “insan” Radio dalam upaya mengembalikan fungsi komunikasi di dan dari kawasan yang sedang ditimpa bencana: I INDEPENDENT (karena) TIDAK tergantung pada keberadaan infrastuktur telekomunikasi yang disediakan fihak lain seperti jaringan repeater dan/atau koneksi Internet. II Kemudahan OPERASIONAL: ramah LOKASI, dapat dioperasikan dari berbagai jenis contour dan topografi tanah, mis. : tanah datar/persawahan, bekas landasan terbang yang ditinggalkan/tak dapat digunakan karena bencana, area berbukit-bukit, hutan lebat, pegunungan kapur, lembah, pantai, kawasan rawa-rawa dsb. Juga karena tidak memerlukan tiang/mast yang tinggi maka instalasi dan operasi nya mudah dan bisa ditangani operatornya sendiri, tanpa harus mengandalkan bantuan orang lain. III Kelebihan TEKNIS/Technical Advantages: 1. Teoritis tidak akan ada SKIP-zone 2. Relatip bebas fading/QSB 3. Less QRN sehingga relatip lebih bebas derau/noise, terutama man made noise yang kebanyakan berpolarisasi vertical. 4. Less QRM (relatip lebih bebas interfence dari sumber sinyal yang berada di luar area cakupan, terutama dari pancaran dengan low elevation angle). 5. Butir 3 dan 4 berarti S/N (signal-to-noise) ratio yang lebih baik 6. Meningkatnya S/N ratio memungkinkan dipakainya Rig/XCVR dengan Power kecil = less Power, yang berarti penghematan enerji. 7. Less Power (6) = less complicated = LESS costly initial investment
[bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 1/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> Moda propagasi di band HF • Free Space = LOS (Line of sight) • Ground Wave: mengikuti garis lengkungan Bumi • Pancaran Ionosferik: I. Long Distance (DX) Sky Wave
II. NVIS (Near Vertical Incidence Sky Wave)
[bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 2/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> atau kalau dalam gambar yang teramat disederhanakan kedua pancaran ionosferik tersebut di atas dapat dilihat seperti pada gambar berikut:
NVIS/Near-Vertical Incidence Skywave Sebutan NVIS merujuk kepada pancaran radio di band HF, yang memancar dengan sudut pancaran (Take off atau Elevation Angle) yang nyaris tegak lurus (= near vertical), sehingga sinyal yang dipantulkan lapisan ionosfir jatuh kembali ke area yang berjarak sekitar 0-400 Km dari asal pancaran. Dalam praktek seharihari, tergantung frekuensi atau band yang dipakai sering terjadi pada jam-jam tertentu jarak segitu tidak bisa diliput dengan baik karena adanya SKIP ZONE: area yang terlalu jauh untuk rambatan ground wave, tetapi belum cukup jauh atau masih terlalu dekat untuk menerima pantulan sky wave dari ionosfir. Sejarahnya: NVIS sudah dipakai sebagai backbone (tulang punggung) sistim komunikasi pasukan Nazi Jerman (yang memang mengandalkan komunikasi taktis di band HF) pada tahun-tahun menjelang dan selama Perang Dunia (PD)-II. Pasca PD-II tehnik NVIS kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh militer Uni Soviet dengan sebutan Zenith Radiation. Dengan kondisi geografis wilayah Uni Soviet (dan Blok Timur waktu itu) yang begitu luas -- membentang dari pantai Atlantik di barat sampai ke pantai Pasifik di timur -- komunikasi di band HF menjadi satu-satunya pilihan bagi sistim komunikasi mereka, baik di masa damai (jaringan pemerintahan) maupun di saat-saat ada clash militer (termasuk di era Perang Dingin sampai tahun 80-an). Di fihak lain, AS dan sekutunya (blok Barat) menggunakan HF/NVIS ini pada D-Day 6/6-1944 di Normandia, yang menandai awal serangan balik fihak Sekutu terhadap Nazi Jerman, tapi kemudian karena terlena dengan kemajuan di bidang komunikasi satelit (Satcomm) di dasawarsa 60-70an, fihak Barat terutama AS seakan melupakan potensi sistim komunikasi di band HF untuk aplikasi militer -- dan baru tergerak untuk memanfaatkan NVIS di saat Perang Vietnam hampir berakhir (paruh kedua dasawarsa 70an), sesudah melakukan serangkaian uji coba di wilayah Vietnam dan Thailand. Adalah Lt Col David M. Fiedler dari US Army Signal Corps yang di tahun 80-an gigih memperjuangkan (advocating) agar HF/NVIS dimasukkan dalam doktrin dan pelatihan bagi pelaku sistim komunikasi militer AS, … otherwise tactical commanders will be tied to LOS/line-of-sight communications and area system, which will not respond adequately to high-mobility battle situation …[Army Communicator Magazine, Winter/Spring 1987] [bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 3/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> HF/NVIS di lingkungan Amatir radio Awal dekade 90-an YL Patricia Gibbons WA6UBE (SK) dengan serangkaian eksperimen dan ujicoba yang kebanyakan dilakukannya dengan menggunakan perangkat alkom dem-deman/dump/surplus dari Signal Corps/PHB AS gigih sekali meng-sosialisasikan NVIS di lingkungan amatir, tetapi yang kemudian boleh disebut resmi memperkenalkan NVIS ke lingkungan ARRL adalah Mayor Edward J. Farmer (di lingkungan amatir lebih dikenal sebagai Ed Farmer AA6ZM, penyandang gelar Master di bidang Fisika dari California State University, pemegang 4 patent di bidang industrial control & communication systems terutama untuk aplikasi di bidang eksplorasi minyak dan gas) lewat artikelnya di majalah QST edisi January 1995, untuk akhirnya mendunia karena pelanggan QST tersebar di seantero pelosok negara-negara anggota IARU/International Amateur Radio Union.
Di Indonesia QST edisi January 1995 tersebut tentunya beredar juga, tetapi karena dalam bahasa Inggris maka penyebaran dan pemahamannya bisa dibilang mandeg di tangan para pembaca atau pelanggannya saja, sehingga pengetahuan tentang kiat NVIS ini “resminya” baru diperkenalkan oleh Wyn Purwinto AB2QV di depan para peserta Temu Kangen Lintas Generasi dan Sarasehan Tehnis Murnajati 2006, yang diselenggarakan atas kerjasama ORARI Lokal-Lokal Gresik, Surabaya Selatan, Sidoarjo Baru dan Malang pada bulan Juli 2006 di Diklat DepKes di Murnajati, Lawang, Jawa Timur. Parameter keberhasilan pancaran NVIS Tergantung jarak yang hendak dicapai, tingkat keberhasilan dan efisiensi sebuah jaringan komunikasi radio selalu merupakan perpaduan antara pilihan yang tepat atas tiga faktor: Power Output (Po), pilihan Frekuensi dan Elevation (Take off) angle (untuk faktor ketiga ini ada yang menyebutkan sebagai Ketinggian Antena). Dalam ber-NVIS, faktor yang paling menentukan adalah Elevation Angle atau Sudut Pancaran, dan karena Sudut Pancaran ini antara lain juga ditentukan oleh tinggi rendahnya posisi Feedpoint antena, maka syahsyah saja kalau ada yang lantas menyebutkan bahwa tinggi rendahnya bentangan antenalah yang merupakan salah satu faktor penentu tersebut. [bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 4/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> 1. ELEVATION ANGLE: Untuk mencakup liputan dalam radius 0 - 400 Km dari asal pancaran yang diperlukan adalah antena dengan Sudut Pancaran yang tinggi (High Elevation Angle), nyaris mendekati 900. Pengertian High Elevation angle dapat dianalogikan dengan apa yang terjadi kalau seseorang menyemprotkan (lewat slang) air ke langit-langit (plafond) kamar. Bertambah rendah sudut kemiringan semprotan, bertambah jauh pula jatuhnya air yang dipantulkan (oleh) langit-langit; sedangkan kalau slang diarahkan nyaris tegak lurus ke atas maka air akan dipantulkan kembali tidak jauh dari asal semprotan itu sendiri. 2. POWER OUTPUT/LEVEL: karena jarak yang harus di”jangkau” (dari titik asal pancaran sampai ke titik pantul di ionosfir) relatip lebih dekat (ketimbang jarak yang harus dijangkau sinyal dengan sudut pancaran rendah), maka Power Level yang diperlukan untuk ber-NVIS relatip juga lebih kecil (ketimbang Power untuk sinyal dengan “perjalanan” yang lebih jauh). Dalam praktek, untuk ber-NVIS Power Output sekitar 50 watt dianggap sudah cukup, malah untuk komunikasi taktis/tactical (yang juga meliput jarak dekat & sedang) perangkat alkom yang tersedia di pasaran (baik untuk keperluan militer maupun sipil seperti patroli hutan, kegiatan eksplorasi di ladangladang minyak) kebanyakan cukup dengan output 20 watt saja (misalnya transceiver militer -terutama dalam bentuk man/backpack -- seperti AN/PRC-74, PRC 1099A, Barret 2040, QMac HF90M, Codan 2110M (yang terakhir ini dipakai sebagai perangkat tactical standard di lingkungan NATO), berbagai versi manpack lawas dari Racal, Thomson CSF, Harris dsb., sedangkan di lingkungan amatir dikenal Tentec Argonout V dan SGC 2020. 3. FREQUENCY: Untuk pemakaian di lingkungan militer, maritim, dinas pemerintahan maupun komersial dipakai rentang frekuensi 2- 10 MHz. Biasanya dipakai 2 frekuensi: frekuensi tinggi untuk pemakaian di siang hari dan frekuensi rendah untuk malam hari, atau bila diperlukan komunikasi 24 jam PENUH maka diperlukan satu frekuensi tambahan sebagai frekuensi transisi. Frekuensi persisnya ditentukan lewat prediksi MUF (Maximum Usable Frequency) dan/atau (terutama di lingkungan militer) prediksi ALE (Automatic Link Establihment), yang selalu berubah sesuai dengan musim, siklus bintik/noda matahari, jam (time of the day) serta berbagai fenomena alam lainnya. Untuk lingkungan amatir radio, hanya ada 2 band yang berada pada rentang frekuensi 2 – 10 MHz tersebut, karenanya hanya tersedia pilihan di band 40m untuk siang hari dan 80m untuk malam hari. Sebenarnya ada band yang ideal sebagai band transisi (katakanlah di pagi hari, saat band 80m sudah mulai tertutup tetapi 40m belum sepenuhnya terbuka, atau kondisi sebaliknya di sore hari), yaitu band 60m/5 MHz. Pada rig buatan pabrik, baik dari khazanah YAECOMALWOOD (YAEsu-iCOM-ALinco-KenWOOD) maupun dari pabrikan Amerika (seperti TenTec dan Elecraft) keluaran tahun-tahun terakhir, band 60m sudah ter-install pada produk mereka, walaupun pada beberapa merk hanya tersedia sebagai opsi, yang baru dipasang jika diminta saja, karena di beberapa negara di wilayah IARU (International Amateur Radio Union) Region I dan II ada Regulator setempat yang sudah memberikan persetujuan untuk penggunaannya walaupun sifatnya masih sangat terbatas (misalnya on sharing basis, rentang frekuensi yang sempit, channelized, hanya untuk eksperimen dan sebagainya). Sebagai anggota IARURegion III, di Indonesia band 60m MASIH BELUM BOLEH dipakai karena masih harus menunggu ratifikasi oleh DPR-RI atas keputusan IARU Reg. III Conference (Bali, Oktober 2015) dan WRC-2015 (Geneva, November 2015 - lihat kopasan di bawah). Namun kemudian ada kesepakatan bahwa ketentuan-ketentuan yang sangat teknis diserahkan ke Kementerian Teknis, termasuk diantaranya ratifikasi keputusan WRC-2015 tersebut yang langsung disepakati dalam bentuk revisi pada TASFRI (Tabel Alokasi Spektrum Freuensi Radio Idonesia). Hal ini yang kemudian dikerjakan oleh Titon Dutono YB3PET (saat penyuntingan ini masih menjabat sebagai IARU Region 3 Monitoring System Coordinator), dan sudah diselesaikannya sebelum beliau balik ke Surabaya pada Januari 2017 lalu (setelah 8 tahun bertugas sebagai staf regulator telekomunikasi di kantor KemKomInfo), sehingga pada saat penyuntingan ini Revisi TASFRI tersebut tinggal menunggu ditanda tangani oleh Menteri KomInfo saja (update 23 Februari 2017) [bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 5/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> World Radiocommunication Conference 2015 Outcomes The ITU World Radiocommunication Conference recently (November 2015) held in Geneva Switzerland has resulted in modified Radio Regulations that will become an international treaty in January 2017. Dale Hughes VK1DSH, who chaired a key working group, said there was a lot of interest in the new amateur service secondary allocation at 5 MHz. The amateur service gained 5351.5-5366.5 kHz with regional power limits of 15 watts to 25 Watts measured in effective isotropic radiated power (EIRP). It wasn’t easy as, in the beginning; there was a strong push for no such allocation from countries such as Russia, the RCC (which is a grouping of some former Soviet Union states), France, Iran and joining them later were Romania, Japan, Korea, Egypt and one African country. After lengthy talks a 15 kHz wide allocation with a power limit began to emerge. Although the opposition slowly changed, it was not until very late in the process that the final no-change position was withdrawn.
Pengguna NVIS Di samping untuk komunikasi taktis di lingkungan militer dan instansi pemerintah di tempat terpencil (remote areas) dengan prasarana telekomunikasi yang terbatas, sekitar 1-2 dasawarsa belakangan ini komunikasi HF/NVIS berkembang pesat sebagai penunjang/back up bagi Komunikasi Darurat atau EmComm/Emergency Communication, yaitu komunikasi di saat dan dari lokasi bencana. Pelaku EmComm bisa berasal dari organisasi manapun, seperti di AS dicontohkan operator bisa dari Red Cross, Salvation Army, satuan-satuan militer, NGO/LSM dan tentunya amatir radio (ARES/RACES) EmComm di Indonesia Sesuai dengan kondisi geografis dan sistim pemerintahan di Indonesia, EmComm dapat dipakai untuk cakupan (coverage): 1. LOKAL – tingkat Kabupaten kebawah 2. REGIONAL – ke ibukota Propinsi 3. NASIONAL – ke Pusat (kadang-kadang saja, lebih bersifat untuk laporan ketimbang operasional taktis dan koordinatip seperti pada butir 1 dan 2). Dalam kondisi NORMAL, kebutuhan akan komunikasi REGULER di suatu daerah lazimnya dilayani oleh: Jaringan Telepon Publik/PSTN Jaringan seluler/GSM Jaringan V/UHF (dengan Repeaters) Telepon Satelit (mis.: Byru, Inmarsat) Internet based: FB Messenger, WhatsApp, Skype, Telegram, Echolink, e/i-QSO, APRS VSAT/very small aperture terminal dari TELKOM [bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 6/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> Namun dalam kondisi (terjadi) BENCANA, sering ditemui bahwa sebagian besar prasarana dasar komunikasi reguler tersebut lumpuh: badai, gempa bumi, tanah longsor dan tsunami bisa meroboh/lumpuh-kan bukan saja menara BTS, V/UHF repeaters, tiang dan menara listrik tegangan rendah, menengah dan tinggi, sentral telepon dan bentangan kawat/kabel telepon, gedung pusat komunikasi, bahkan setasiun bumi atau tiang dan antena parabola dari sistim komunikasi satelit --- dan seperti yang di alami di belahan bumi manapun, dalam keadaan seperti ini maka komunikasi berbasis HF akan kembali menjadi pilihan. Dalam berbagai kasus bencana, bantuan darurat misalnya bahan makanan, pakaian, obat-obatan atau lojistik lainnya, tenaga medis dan para medis, para relawan (seperti satgas CORE, TAGANA, berbagai LSM) dan sebagainya biasanya begitu datang akan terkonsentrasi di tingkat Kabupaten atau Kecamatan saja. Dari ibukota Kabupaten/Kecamatan ke lokasi bencana jaraknya masih bisa bervariasi dalam hitungan puluhan sampai ratusan kilometer …. dan di sinilah -- dalam kondisi lumpuh atau belum pulihnya sarana komunikasi reguler – komunikasi berbasis HF/NVIS bisa berperan sebagai penyedia layanan komunikasi, terutama di bidang koordinasi dan penyaluran lojistik. Kenapa harus NVIS? Seperti sudah disebut di awal tulisan (dalam urutan dan redaksionil teks yang tidak persis sama), dalam keadaan darurat ada kelebihan HF/NVIS yang bisa menjadikannya sebagai pilihan, opsi atau alternatip: I – INDEPENDENT: TIDAK tergantung pada keberadaan infrastuktur telekomunikasi yang disediakan fihak lain seperti jaringan repeater, koneksi Internet; TIDAK memerlukan bantuan fihak ke-3 (Telkom, PHB instansi lain dsb.) II – Kelebihan TEKNIS/Technical Advantages 1. TIDAK ada Skip-zone 2. Relatip lebih bebas fading/QSB 3. Relatip lebih bebas derau (noise), terutama man made noise yang kebanyakan berpolarisasi vertikal 4. Relatip lebih bebas interfence/QRM dari sumber sinyal yang berada di luar area cakupan (= pancaran dengan low elevation angle) 5. Butir 5 dan 6 berarti S/N (signal-to-noise) ratio yang lebih baik 6. Meningkatnya S/N ratio memungkinkan dipakai nya Perangkat/Rig dengan Power yang relatip lebih rendah, yang berarti penghematan enerji. 7. Karena di band dan menggunakan perangkat HF, secara sistim lebih sederhana/less complicated, sehingga lebih menghemat beaya dalam arti initial investment cost yang lebih rendah/murah. III - Kemudahan OPERASIONAL: ramah LOKASI, dapat dioperasikan dari berbagai jenis contour dan topografi tanah, mis. : lembah, rawa, pantai, dikelilingi genangan air (banjir), padang rumput, tanah datar/persawahan, hutan lebat, bekas landasan terbang yang ditinggalkan/tak dapat digunakan karena bencana, area perbukitan, lereng gunung, pegunungan kapur, dsb. Juga karena tidak memerlukan tiang/mast yang tinggi maka instalasi dan operasi nya mudah dan bisa ditangani operatornya sendiri, tanpa harus mengandalkan bantuan orang lain. KONFIGURASI HF/NVIS SET-UP Merujuk kepada sifat (nature) dari bencana yang dihadapi (misalnya gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, tanah longsor, angin topan, banjir dsb.), maka prasarana perangkat alkom bagi KomDar/EmComm harus bisa memenuhi persyaratan berikut: Ringan dan kompak sehingga mudah diangkat dan dipindahkan (easily deployable/movable and
transportable). Praktis ( = mudah instalasi dan operasinya) Handal (reliable) Dapat dioperasikan 24 jam Hemat Enerji
[bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 7/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >>
Konfigurasi dasar sebuah siskom untuk ber-HF/NVIS I- TRANSCEIVER LOW-band HF/SSB Multibander, setidaknya duo-bander (80/40m), 12-13.8 VDC, Po 20-50 watt. Dari awal harus diantisipasi terjadinya power breakdown di lapangan, sehingga disamping Catu daya (Power Supply), perlu disiapkan juga Genset kapasitas 500-750 VA; atau idealnya Solar Panel @ 50100 watt yang dilengkapi terminal untuk meng-charge sediaan batere kering/aki (MF Type) setidaknya 2 bh @ 50Ah. II. ATU (Antenna Tuning Unit): optional, untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan pada antena yang dibawa dari rumah, atau harus membuat antena baru di lapangan. Salah satu jenis ATU yang direkomendasikan adalah Zee-matcher (baik bikinan pabrik seperti misalnya Emtech atau LDG, ataupun yang bikinan sendiri), yang mempunyai terminal untuk keluaran unbalance (coaxial) DAN balance (misalnya open wire atau kabel Twinlead TV ataupun yang bikinan sendiri) III. SISTIM ANTENA, yang terdiri dari: 1. Antena untuk pancaran NVIS 2. Saltran (saluran transmisi/Transmission Line) 3. Tiang atau Mast III.1 - Antena untuk NVIS Antena untuk dibawa ke lapangan harus memenuhi persyaratan sbb. : • Polarisasi HORIZONTAL • Sudut elevasi TINGGI Antena NVIS yang paling sederhana adalah sebuah (atau dua buah untuk mengcover 2 band) DIPOLE 1/2λ biasa yang dinaikkan dengan posisi feedpoint pada ketinggian 0.2 – 0.1λ. Untuk mengurangi ground losses serta pengaruh dari pancaran ground wave maka kalau bisa (kondisi lapangan memungkinkan) bentangkan sebuah Reflektor sepanjang 1.05x panjang elemen yang dipasang 0.15λ di bawah bentangan antena. III.2 – SALTRAN/saluran transmisi Dari segi kepraktisan seyogyanya digunakan antena yang memakai kabel coax 50 ohm (Type RG-58 dan variantnya) sebagai saltrannya, namun dalam sikon yang memerlukan antena yang bekerja multiband dapat dipertimbangkan juga penggunaan balanced feeder atau open wire baik yang buatan pabrik seperti 300 ohm Super Low Loss TV TwinLead type 15-1175 dari Radio Shack (pabriknya sudah tutup, tapi mungkin masih bisa didapat penggantinya yang ex Jepun atau Cina), atau 450 ohm windowtype Ladder line dari berbagai suppliers, ataupun yang bikinan sendiri.
[bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 8/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> III.3 – TIANG/MAST Seyogyanya yang terbuat dari material NON conductive seperti pipa PVC atau joran pancing Fibreglass. Karena tidak perlu terlalu tinggi (cukup ketinggian 4-5 mtr untuk band 40m) maka seyogyanya SELALU disiapkan di base -- dalam bentuk teleskopis dengan ukuran 1-1,5 mtr per section -- supaya mudah dibawa-bawa setiap saat diperlukan. CONTOH berjenis antena untuk ber-NVIS Di lingkungan militer umumnya dipakai antena AS-2599 GR, tactical antenna yang dipakai satuan-satuan Signal Corps (PHB) Angkatan Bersenjata AS baik dalam penugasan di dalam maupun di luar negeri. Antena ini juga merupakan antena standard yang digunakan untuk ber-NVIS di lingkungan NATO/North Atlantic Treaty Organization AS-2599 GR berbentuk dua buah Dipole yang masing-masing bekerja pada Low dan High Frequency (pada gambar di halaman berikut disebutkan sebagai LONG dan SHORT wires) di sepanjang rentang frekuensi 2 – 30 Mhz. Kedua Doublet (sebutan bagi Dipole yang tidak dibuat untuk resonan di frekuensi tertentu) yang dipasang dalam konfigurasi Inverted Vee tersebut dibentang tegak lurus satu sama lain, membentang ke empat jurusan, sehingga sekaligus berfungsi sebagai guy-wires bagi tiang/mast-nya. Kedua doublet diumpan jadi satu dengan kabel coaxial yang menghubungkannya dengan ATU sebelum tersambung ke XCVR. AS-2599 GR (termasuk mast-nya) dikemas dalam sebuah tas kanvas yang bisa digulung, sehingga praktis untuk diselipkan dalam ransel tempat unit manpack tactical transceiver-nya.
Typical AS-2599/GR installation Yang susah untuk dibiksen atau dijiplak oleh average homebrewers di sini adalah konstruksi tiang/mastnya, yang dalam keadaan extended (yang dilakukan dengan menyekrupkan masing-masing section saling sambung-menyambung dari bawah ke atas) sekali gus juga berfungsi sebagai COAXIAL FEEDLINE (!!!), [bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 9/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> sehingga upaya maksimal yang bisa dilakukan adalah dengan menyontek CARA KERJA dari skema antena ini seperti yang bisa diamati pada gambar berikut:
Skema AS-2259/GR: 1 (atau 2) buah DIPOLE (atau Inverted Vee) – disebut sebagai Long dan Short wire -- dengan feedpoint pada ketinggian 0.1-0.2λ Alternatip lain: Beberapa tahun belakangan Penyunting mengamati bahwa antena EFHW/end fed half wave baik yang versi monobander (40m) maupun yang duo bander (misalnya di 60/40m) MUNGKIN dapat digunakan sebagai antena alternatip (yang relatip lebih mudah instalasinya). EFHW relatip mudah untuk dibiksen, yang agak susah (tapi bukan berarti TIDAK MUNGKIN) adalah mencari toroid FT 140-43, komponen untuk merakit 1:50 - 64 Matching transformer-nya.
Keterangan Gambar: 1. Gambar di atas (kiri) adalah konfigurasi EFHW versi Multibander 40-20-10m, yang terdiri dari kawat NYAF (serabut) 1.5 mm (atau kabel speaker jenis Monster 2x50) sepanjang 10.1 mtr sebagai radiator 1/4λ untuk 40m; + trap 34 μH dan pigtail sepanjang 1.85 mtr (untuk “menggenapkan” panjang total elemen sebagai half wave (1/2λ) radiator untuk 40m) 2. Gambar kanan adalah 1:50-64 Matching Transformer (atas) untuk menurunkan impedansi TINGGI pada Feedpoint ke impedansi 50-70 ohm pada keluaran Transceiver dan trap 34 μH (bawah). 3. 1:50-64 Matching transformer dibuat dari 2x 7 lilit kawat 0.8 – 1 mm pada Toroid FT 140-43, sedangkan trap 34 μH dibuat dari 90-100 lilitan rapat (close wound) kawat 0.8 mm pada koker PVC dia. 19 mm (Penyunting pakai potongan counduit merk Clipsal) Catatan: dengan power rating komponen-komponen seperti disebutkan dalam Keterangan Gambar di atas maka antena EFHW ini memang hanya tibang pas untuk digunakan ber-NVIS dengan menggunakan rig yang bekerja QRP, QRP+ (20 watt PEP) dan barefoot (nir-thèklèk), dan JANGAN sekali-kali digunakan untuk WKG QRO kalau tidak mau toroid dan trap-nya meleyot kepanasan (dan SWR-nya ‘ngejeplak naik). [bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 10/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> Yang salah kaprah … adalah anggapan (persepsi) bahwa NVIS = investasi baru yang relatip HARUS mahal !!! Persepsi salah ini berkembang dari beredarnya foto-foto mereka yang ber-NVIS dengan kendaraan 4WD/ four wheel drive (berpenggerak roda empat) yang dilengkapi dengan whip antenna yang ketholangtholang di depan ataupun di belakang mobil mereka. Rig yang di-install di kendaraan mereka juga rig jenis berkelas dari khazanah YAECOMALWOOD yang disebut di depan; padahal di lingkungan “bursa on-line” barang-barang bekas (yang biasanya masih SANGAT layak-pakai) masih mudah didapatkan rig lawas yang terbukti keandalannya untuk digunakan di lingkungan yang serba darurat seperti itu seperti Yaesu FT-80C (yang sudah dimodify), Kenwood TS-130S/TS-430S, Icom IC-706 Mk dan sebagainya, ataupun rig JADI (bukan kit) produksi hombrewers lokal seperti serie BITX dari Yoke Kurnia YB3LVK (aslinya berupa Kit, tapi banyak rekan yang bersedia merakit dan menalanya sampai siap pakai), berbagai rancangan monobander 40m dari Joko Basuki YD1GYL, JJ series dari Oding/Dwie Sepdyanto YD1BEM (bisa ex stock, atas pesanan, atau di Bukalapak), Emprit Haji/H.Amiruddin YC2MAP (atas pesanan), Blekok series dari Indra YD1JJJ (berupa Kits, atas pesanan atau ex-stock yang bisa didapat di saat ada Hamfest di berbagai tempat) dll .
Catatan: pada foto-foto di atas terlihat digunakannya whip antenna yang aslinya berpolarisasi vertikal dengan take off angle yang relatip rendah, yang sebenarnya KURANG COCOK untuk ber-NVIS (yang memerlukan antena dengan polarisasi horizontal dan take off angle yang tinggi)
Contoh rigs besutan anak negeri, baik yang masih prototype (kiri) maupun yang sudah SIAP PAKAI (kanan) Paradigma baru Dengan makin populernya aplikasi konsep NVIS dimana-mana sejak dua dasa warsa belakangan ini, paradigma lama yang menganggap band HF hanya cocok untuk komunikasi jarak jauh CARA LAMA (pra era komunikasi satelit, dimana HF memang satu-satunya moda komunikasi jarak jauh) rasanya sudah sepantasnya dikaji kembali. [bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 11/12]
<< ‘Ngobrol SERSAN (serious tapi santai) ihwal ke-SIAGA BENCANA-an >> Adagium (lama) yang menyebutkan:
HF = DX ke depan tentunya harus dimaknai lebih luas setelah mengkaji kelebihan komunikasi di band HF di saat terjadinya kelumpuhan (failure) pada jaringan komunikasi reguler seperti disebutkan di bagian awal tulisan ini, sehingga terlahir adagium baru:
HF/NVIS, if else fails … What next? Aplikasi HF/NVIS sebagai back-up (cadangan) bagi KomDar/EmComm di Indonesia masih perlu lebih disosialisasikan di lingkungan amatir radio dan pengguna frekuensi lainnya, termasuk juga para penyelenggara, penggiat dan pelaku EmComm lain seperti di lingkungan RAPI, TAGANA/Taruna Siaga Bencana yang dikembangkan Departemen Sosial, unit-unit SAR dari kelompok-kelompok LSM atau kelompok relawan, pecinta alam, penjaga/polisi hutan, Pemda dengan areal rawan bencana dan sebagainya. Juga bagi pengguna dan calon pengguna “serious” perlu dipelajari penggunaan berbagai software Propagation Prediction Tool/prediksi propagasi (dan pencarian frekuensi yang sesuai bagi aplikasi NVIS) seperti HFWIN32 (silah selancari www.greg-hand.com/hfwin32.html), VOACAP/ Voice of America Coverage Analysis Program (for HF Propagation Prediction and Ionospheric Communications Analysis), bisa dilihat di www.voacap.com), REC 533 (www.itu.int/rec/R-REC-P.533/en, www.voacap.com/itshfbc-help/rec533general.html) sebagai sarana penunjang bagi keberhasilan penggunaan kiat HF/NVIS ini. Rujukan: + Majalah QST January 1995 serta berbagai literatur ex ARRL lainnya, + Kliping majalah Army Communicator (untuk artikel dari Lt Col David M. Fiedler) + US Army Signal Corps.: NVIS Field Manual 24-18
[bam yb1ko: Xmisi HF/NVIS sebagai back up pada KomDar/EmComm, hlmn 12/12]