J*mafVtnguuferuanJau6 VoC 4
=
Wo. I Jumi 2007:50-59
EKSTRAKSI OTOMATIS INFORMASI DEM DARI CITRA STEREO PRISM-ALOS Bambang Trlsaktl Researcher of Remote Sensing Application and Development Center (LAPAN) E-mail:
[email protected]
ABSTRACT ALOS satellite w a s launched on J a n u a r y 2 4 t h 2 0 0 6 a n d is equipped by PRISM sensor which h a s a mission to produce stereoscopic image. PRISM is a panchromatic radiometer with 2.5 spatial resolution, and it h a s 3 telescopes for recording the image from nadir, forward a n d backward views. Combination of 2 images or more from different view is known as stereoscopic image which is useful to generate earth surface height or DEM (Digital Elevation Model). Automatic DEM extraction w a s done by areabased matching technique u s i n g PRISM DEM software. This technique correlates area/pixel in master image with same area/pixel in target image based on grey value similarity of pixel. Relief displacement (parallax) of each area/pixel was extracted from the correlation process, a n d then it was u s e d to generate earth surface height or DEM. The generated DEM was compared with reference data (SRTM X a n d C band) to analyze the level of DEM accuracy. The result shows t h a t DEM from automatic extraction needs geoids correction (Earth surface relief correction). After doing t h e correction, t h e DEM h a s similar distribution height but smoother DEM pattern than the referenced DEM. Finally, RMSE of PRISM DEM are around 16 m relative to the referenced DEM. ABSTRAK Satelit ALOS yang diluncurkan p a d a bulan J a n u a r i 2006 dilengkapi dengan sensor PRISM yang salah satu misinya u n t u k menghasilkan citra stereo. PRISM adalah radiometer pankromatik dengan resolusi spasial 2.5 m d a n mempunyai 3 teleskop u n t u k merekam citra dari arah nadir, depan dan belakang. Kombinasi citra yang direkam dari arah berbeda m e r u p a k a n citra stereo yang d a p a t diproses u n t u k menghasilkan inforrnasi ketinggian permukaan b u m i atau DEM [Digital Elevation Model}. Ekstraksi otomatis DEM dari citra stereo dilakukan dengan melakukan proses image matching m e n g g u n a k a n teknik area-based matching. Teknik ini digunakan u n t u k mengkorelasikan area/piksel p a d a citra u t a m a dengan area/piksel yang sama p a d a citra target berdasarkan k e s a m a a n nilai keabuan dari piksel. Dari korelasi tersebut diperoleh j a r a k paralak yang digunakan u n t u k m e n u r u n k a n ketinggian obyek yang terekam p a d a citra. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi otomatis DEM dari citra stereo PRISM menggunakan software Prism DEM. DEM yang dihasilkan dibandingkan dengan d a t a reference (SRTM band X a n d C) u n t u k menganalisis tingkat akurasinya. Hasil memperlihatkan b a h w a DEM hasil ekstraksi otomatis memerlukan koreksi geoid (koreksi b e n t u k m u k a bumi). DEM hasil koreksi mempunyai distribusi ketinggian yang relatif sama, tetapi pola DEM yang lebih halus dibandingkan dengan DEM referensi. RMSE u n t u k perbedaan ketinggian a n t a r a DEM PRISM dan DEM referensi sebesar 16 m. Kata kunci : DEM, citra stereo, PRISM-ALOS
50
'Efotrafgi Otomatis Informasi GXEM dan Citra Stereo (
1
PENDAHULUAN
Informasi topografi yang bersumber dari d a t a DEM dapat dihasilkan mengg u n a k a n citra stereo satelit penginderaan j a u h . Citra stereo m e r u p a k a n 2 a t a u lebih citra yang diambil dari s u d u t perekaman yang berbeda u n t u k lokasi yang s a m a di p e r m u k a a n bumi. Saat ini banyak satelit/sensor resolusi tinggi s u d a h dilengkapi dengan k e m a m p u a n u n t u k mengambil citra stereo seperti, satelit: SPOT, ALOS d a n ASTER. ALOS adalah satelit milik J e p a n g yang dilunc u r k a n p a d a tanggal 24 J a n u a r i 2006 yang membawa 3 instrumen sensor yaitu PRISM, AVNIR dan PALSAR. PRISM (The panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) adalah sensor u n t u k merekam citra optis pankromatik p a d a panjang gelombang 0.52 - 0.77 mm dan mempunyai resolusi spasial 2.5 m. Sensor ini mempunyai 3 teleskop u n t u k merekam citra stereo dari a r a h depan (Forward), a r a h tegak l u r u s (Nadir) d a n a r a h belakang (Backard) searah dengan orbit satelit (along track). Kombinasi citra stereo tersebut dapat digunakan u n t u k menghasilkan DEM dengan akurasi yang c u k u p u n t u k m e m e t a k a n p e r m u k a a n bumi dalam skala 1:25.000 atau lebih besar. Teleskop p a d a a r a h tegak lurus dapat merekam citra dengan lebar 70 Km, sedangkan a r a h depan d a n a r a h belakang merekam dengan lebar sebesar 35 Km. S u d u t yang dibentuk teleskop a r a h depan d a n a r a h belakang terhadap a r a h tegak lurus adalah 24°, ini bertujuan u n t u k menghasilkan data stereo dengan rasio lebar/tinggi (base to height ratio) yang mendekati nilai 1 (JAXA, 2006). Penelitian yang terkait dengan p e n u r u n a n DEM d a n pengujian tingkat akurasi menggunakan citra stereo optis PRISM telah dilakukan oleh beberapa peneliti, aik yang menggunakan data
simulasi PRISM ALOS a t a u p u n mengu n a k a n d a t a r e k a m a n sensor PRISM (Chen T. et at (2004), JAXA (2006)) seperti p a d a Tabel 1-1. Tetapi karena satelit ALOS memang relatif baru m a k a penelitian tersebut masih terhitung sedikit dibandingkan dengan penelitianpenelitian sejenis u n t u k citra stereo satelit lain, seperti : citra stereo SPOT a t a u ASTER. Padahal melihat kemamp u a n n y a m a k a satelit ALOS k h u s u s n y a citra stereo optis PRISM sangat bermanfaat u n t u k m e m e t a k a n topografi dengan skala tinggi u n t u k wilayah Indonesia yang mempunyai beragam variasi ketinggian. Berdasarkan hal tersebut di atas sangat diperlukan s u a t u kajian mengenai metode p e n u r u n a n data DEM d a n tingkat akurasi dari DEM yang dihasilkan dengan m e n g g u n a k a n citra stereo optis PRISM u n t u k wilayah Indonesia. Dimana hasil kajian tersebut a k a n menjadi referensi yang sangat bermanfaat bagi kegiatan p e m e t a a n topografi wilayah Indonesia. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi otomatis DEM dari citra stereo optis PRISM menggunakan software Prism DEM u n t u k daerah g u n u n g Merapi dan sekitarnya. Selanjutnya DEM yang dihasilkan dibandingkan dengan data reference (SRTM X- and C- band) u n t u k menganalisis tingkat akurasinya. Tabel 1-1: AKURASI DARI DEM PRISM DAN DEM SRTM BERDASARKAN BEBERAPA PENELITIAN Nama Sensor PRISM ALOS PRISM ALOS SRTM b a n d X SRTM b a n d XdanC
Akurasi DEM < 3 m (93%) < 6.5 m 3 - 5 m 5.6-9.6m
Keterangan ( C h e n T . et al., 2004) (JAXA, 2006) (Gesch D., 2005) (Yastikh E., 2006)
51
:)araat>P>mgituferaan]auHVoL4 Wo. 1 Juni 2007:50-59
2
PENGUKURAN KETINGGIAN DARI DATA CITRA STEREO
Gambar 2-1 memperlihatkan algoritma p e n g u k u r a n tinggi objek Ah dari perbedaan paralak (jarak paralak) Ap p a d a sistem stereo sensor ASTER (Lang H.; and Welch (1999), Trisakti et al. (2006)). Objek p a d a p e r m u k a a n bumi dengan ketinggian Ah, direkam dengan d u a teleskop dari a r a h 1 (tegak lurus) d a n arah 2 (miring). Teleskop 1 a k a n melakukan merekam bagian p u n c a k dan bagian dasar objek p a d a waktu yang s a m a (waktu t l ) , sedangkan teleskop 2 a k a n merekam terlebih d a h u l u p a d a bagian p u n c a k objek (waktu t2 dan j a r a k X2 dari posisi rekam sensor 1) kemudian merekam bagian dasar (waktu t3 dan jarak XI dari posisi rekam sensor 1). Sehingga terjadi perbedaan waktu dan j a r a k u n t u k merekam a n t a r a bagian p u n c a k d a n dasar obyek sebesar t3-t2 d a n X1-X2. Perbedaan ini a k a n mengakibatkan terjadinya perbedaan posisi a n t a r a p u n c a k d a n d a s a r objek p a d a citra perekaman a r a h miring, sedangkan p a d a citra perekaman tegak lurus, p u n c a k a t a u d a s a r objek a k a n mengacu hanya pada posisi dasar objek. Perbedaan ini disebut perbedaan paralak atau j a r a k paralak Ap yang besarnya s a m a dengan j a r a k perekaman a r a h miring a n t a r a p u n c a k d a n d a s a r objek X1-X2, a t a u Ap= X1-X2. S u d u t a r a h miring terh a d a p garis vertikal (atau s u d u t yang dibentuk antara teleskop 1 dan teleskop 2) adalah sebesar a, d i m a n a t a n a senilai dengan XI dibagi ketinggian satelit dari p e r m u k a a n bumi, a t a u B / H . J a d i p e r s a m a a n yang d a p a t dibentuk adalah sebagai berikut: Ap= XI-X2 tana - B / H
(2-1) (2-2)
Selanjutnya ketinggian objek Ah dapat dihitung dengan formula trigonometri sederhana yaitu: t a n a = (X1-X2)/ 52
Ah. Sehingga p e r s a m a a n n y a sebagai berikut:
menjadi (2-3) (2-4) (2-5)
Ah = (Xl-X2)/tan a Ah = Ap/ (B/H) Ah = H*Ap/B
Dari Persamaan ini diketahui bahwa ketinggian objek dapat ditentukan dengan c a r a m e n e n t u k a n j a r a k paralak terlebih d a h u l u .
Jarak paralax' Ap '
Bass B
Gambar 2 - 1 : Pendekatan pengukuran ketinggian Ah dari perbedaan paralak (jarak paralak) Ap p a d a sistem stereo (Sumber: Lang H. a n d Welch (1999), Trisakti et al (2006)) 3
MATERIAL DAN METODE
Data yang digunakan adalah d a t a PRISM ALOS level 1B2R (Geo reference data) u n t u k kombinasi a r a h tegak l u r u s (N) d a n a r a h depan (F), yaitu d a t a yang s u d a h dilakukan proses mozaik dan mengalami koreksi sistematis. Data yang digunakan diperlihatkan p a d a Gambar 3 - 1 . Daerah penelitian terletak di kaki g u n u n g Merapi, Kabupaten Boyolali dan sekitarnya. Topografi wilayah ini raempunyai ketinggian yang sangat bervariasi mulai dari 800 m hingga mencapai ketinggian 2500 m dari perm u k a a n laut.
'Ekjtrakji Otomatis Informasi (MLTA. dari Citra Stereo
Proses ekstraksi otomatis DEM dari citra stereo dilakukan dengan menggunakan software ALOS PrismDEM ver. 2.0 yang dibuat oleh Dr. Makoto Ono dari RESTEC {Remote Sensing Technology Center of Japan). Alur p e m b u a t a n DEM secara u m u m dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: tahap pertama adalah proses image matching menggunakan teknik area-based matching (melakukan korelasi a n t a r a area/piksel p a d a d u a citra stereo b e r d a s a r k a n k e s a m a a n nilai keabuan dari piksel). Korelasi dilakukan dengan menghitung nilai koefisien korelasi tertinggi u n t u k m e n e n t u k a n piksel yang s a m a yang terdapat p a d a citra u t a m a d a n citra target. Tahap kedua adalah perhitungan j a r a k paralak yang terjadi p a d a setiap piksel, d a n ekstraksi ketinggian u n t u k setiap piksel tersebut. 3-1 Tahap Pertama (Image matching) Pada t a h a p awal dilakukan pemb u a t a n piramid layer, yaitu m e m b u a t beberapa level citra yang mempunyai resolusi lebih r e n d a h dari citra asli, disini dibuat 4 level citra, yaitu resolusi: 1/4 resolusi awal (10 m), 1/8 resolusi awal (20 m), 1/16 resolusi awal (40 m) d a n 1/32 resolusi awal (80 m). Korelasi dilakukan p a d a level terendah (1/32 resolusi awal) terlebih dahulu, kemudian secara bertahap dinaikan resolusi hingga menjadi 1/4 resolusi awal. Korelasi menggunakan model piramid layer digunakan u n t u k mempersingkat waktu proses dan mempertinggi tingkat akurasi dari korelasi tersebut. Selanjutnya dilak u k a n masking a w a n / a i r d a n pemb u a t a n titik ikat di 4 titik s u d u t dari citra. Masking dilakukan u n t u k membatasi s u a t u wilayah sehingga wilayah tersebut tidak menjadi error dalam proses korelasi, sedangkan titik ikat dilakukan sebagai matching awal dari citra master d a n target. Berikutnya perlu dilakukan p e m b u a t a n beberapa
((BamSang Trisa^fi)
titik ikat t a m b a h a n {seed point) sebagai referensi dalam proses korelasi sehingga proses dapat lebih cepat d a n akurat. Proses berikutnya adalah melak u k a n korelasi otomatis a n t a r a piksel p a d a citra master d a n citra target. Pada citra master ditetapkan s e b u a h piksel, kemudian dilakukan pencarian piksel yang s a m a p a d a citra target. Pencarian dilakukan dengan metoda line moving (melakukan scan p a d a s u m b u X dan bergeser kearah s u m b u Y) dan search windows (Pencarian dilakukan menggunakan window u k u r a n tertentu). Besarnya u k u r a n line moving d a n search windows yang digunakan dapat diseting sesuai dengan keinginan, tapi u m u m n y a menggunakan scan 3 piksel s u m b u X dan 7 piksel s u m b u Y u n t u k line moving (Total scan terhadap 21 piksel) dan 9 X 9 piksel u n t u k search windows. Proses korelasi menggunakan koefisien korelasi yang ditampilkan seperti p e r s a m a a n 3-1 (Leica Geosystem, 2002). Nilai koefisien korelasi tertinggi (p) a k a n dijadikan dasar bahwa piksel p a d a citra master
Keterangan: p g(c,r) ci,n C2,r2 n i, j
= = = = = =
Koefisien korelasi Nilai k e a b u a n dari piksel (c,r) Koordinat piksel pada citra u t a m a Koordinat piksel p a d a citra target J u m l a h total piksel p a d a window Indeks piksel dalam search window
53
JurnaC
G a m b a r 3 - 1 : Citra stereo sensor PRISM ALOS 3-2 Tahap Kedua (Ekstraksi DEM) Proses korelasi otomatis menghasilkan informasi besarnya jarak antara piksel yang s a m a p a d a citra master dengan citra target a t a u lebih dikenal dengan j a r a k paralak. Kemudian dilakukan perhitungan ketinggian untuk setiap piksel b e r d a s a r k a n j a r a k paralak yang diperoleh. Algoritma p e n u r u n a n DEM diperlihatkan p a d a p e r s a m a a n 3-2. Proses editing dilakukan u n t u k melakuk a n interpolasi p a d a piksel yang tidak mempunyai nilai ketinggian akibat terjadi error a t a u tingkat korelasi yang r e n d a h . Editing j u g a d a p a t dilakukan dengan mengisi nilai p a d a s u a t u wilayah yang diketahui ketinggiannya, sebagai contoh d a n a u diberi nilai ketinggian yang s a m a d e n g a n ketinggian d a e r a h yang bersinggungan dengan d a n a u tersebut. Proses editing ini menghasilkan d a t a s e b a r a n DEM di lokasi penelitian. Ah = Ap * d* H / B
(3-2)
Keterangan: Ah= Ketinggian Ap = J a r a k paralak d = Resolusi spasial, 2.5 m Data DEM yang dihasilkan a k a n diuji tingkat a k u r a s i n y a dengan mem54
b a n d i n g k a n d a t a tersebut dengan d a t a referensi yaitu: SRTM b a n d X d a n C s p a s i a l 30 m d e n g a n a k u r a s i b e r k i s a r 3 - 9 m seperti p a d a Tabel 4-1 (Gesch D. (2005), Yastikh et at (2006)). Data SRTM ini diperoleh dari DLR (German Aerospace Center). Penggunaan DEM SRTM b a n d X d a n C yang m e m p u n y a i resolusi lebih r e n d a h disebabkan k a r e n a keterbatasan d a t a referensi, tetapi w a l a u p u n begitu DEM SRTM mempunyai a k u r a s i vertikal yang memadai sebagai data pembanding DEM PRISM dari ALOS. 4
HASIL DAN DISKUSI
Table 4-2 memperlihatkan perbandingan nilai uji statistik a n t a r a DEM dari d a t a stereo PRISM yang dihasilkan menggunakan model ekstraksi otomatis d a n DEM referensi. Sedangkan Gambar 4-1 memperlihatkan perbandingan pola ketinggian dari k e d u a DEM. Dari hasil uji statistik diketahui b a h w a nilai ratar a t a ketinggian a n t a r a k e d u a DEM tidak terlalu berbeda, tetapi DEM PRISM mempunyai range (perbedaan nilai antara nilai m i n i m u m d a n maksimum) yang lebih b e s a r dibandingkan d e n g a n DEM referensi. Perbedaan ini mungkin disebabkan k a r e n a beberapa hal, yaitu:
'Efytrafji Otomatu Imfonuui t&E!M dari Citra Suno
(QamBang rmafji)
Tabel 4-l:PERBANDINGAN NILAI STATISTIK DAR1 DEM Nilai Hin. (m)
Nilai Max. (m)
Nilai rata-rata (m)
DEM PRISM
312
2980
909
DEM referensi
468
2643
872
• Terjadinya tingkat korelasi yang rendah saat proses matching sehingga menghasilkan nilai DEM yang lebih tinggi atau lebih r e n d a h dari semestinya. Beberapa error terlihat dalam bentuk spot-spot yang mempunyai ketinggian berbeda dibandingkan dengan daerah sekitarnya, seperti p a d a Gambar 4-2. • Perbedaan titik a c u a n ketinggian, di m a n a algoritma perhitungan DEM yang d i g u n a k a n b e r a c u a n p a d a model bumi berbentuk Elipsoid. Sedangkan SRTM sudah beracuan pada model Geoid atau m u k a b u m i yang s e b e n a m y a berdasarkan tinggi m u k a laut. Gradasi w a r n a dari w a r n a p i n k / biru ke w a r n a m e r a h memper-lihatkan perubahan elevasi yang semakin bertambah tinggi. Daerah penelitian terdapat di dalam kotak putih p a d a DEM referensi. Kedua DEM mempunyai pola ditribusi ketinggian yang relatif sama, tetapi dari p e n g a m a t a n secara visual dengan zooming terlihat b a h w a DEM dari stereo PRISM mempunyai tingkat kedetilan dan gradasi w a r n a yang lebih h a l u s . Ini disebabkan k a r e n a DEM dari stereo PRISM mempunyai resolusi spasial 10 m, a t a u 3 kali lebih baik daripada DEM referensi dengan resolusi spasial 30 m. Gambar 4-3 memperlihatkan perbandingan distribusi ketinggian sepanjang garis transek vertikal dan horisontal antara DEM PRISM d a n Dem referensi. Terlihat bahwa secara pola DEM PRISM mempunyai pola distribusi yang s a m a dengan DEM referensi, tetapi secara nilai diketahui bahwa ketinggian DEM PRISM lebih besar dibandingkan dengan DEM referensi. Perbedaan nilai a n t a r a kedua DEM relatif s a m a di sepanjang
garis transek, dengan arti lain bahwa perbedaan tersebut terjadi secara sistematis. Rata-rata perbedaan yang terjadi antara kedua DEM tersebut adalah 55 m. Alasan terjadinya perbedaan ini telah dijelaskan sebelumnya yaitu karena a d a n y a perbedaan titik a c u a n dalam perhitungan ketinggian. Ketinggian yang diturunkan dengan mctode ekstraksi otomatia m e n g g u n a k a n b a s e to height ratio y a n g b e r a c u a n p a d a model elipsoid, yaitu b u m i dimodelkan sebagai bentuk elips d a n garis clips tersebut dijadikan titik 0 m u n t u k m e n g u k u r ketinggian objek di p e r m u k a a n b u m i . Sedangkan ketinggian p a d a DEM referensi telah mengalami proses koreksi sehingga telah mengacu p a d a model geoid, yaitu bumi dalam b e n t u k yang s e b e n a m y a naik dan turun yang disebabkan perbedaan gravitasi yang berbeda di setiap lokasi yang dipacu k a r e n a perbedaan jenis tanah d a n b a t u a n . Umumnya model geoid dapat d i s a m a k a n dengan rata-rata tinggi m u k a laut, di m a n a unggi m u k a laut dijadikan titik 0 m. Perbedaan a n t a r a tinggi elipsoid d a n tinggi geoid disebut undulasi, yang dapat bernilai positif a t a u negatif. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa DEM yang dihasilkan dalam proses ekstraksi otomaus masih memerlukan koreksi geoid dengan mengurangkan ketinggian yang diperoleh dengan undulasi di lokasi tersebut. Pada penelitian ini tidak digunakan distribusi undulasi, tetapi h a n y a mengurangkan nilai DEM tersebut dengan rata-rata perbedaan ketinggian (55 m) a n t a r a DEM PRISM d a n DEM referensi yang dapat diasumsikan sebagai rata-rata nilai u n d u l a s i di lokasi tersebut.
55
JurnaC
(a) PrismDem
Om 2500m (b) SRTM b a n d X-C G a m b a r 4 - 1 : Perbandingan DEM PRISM d a n SRTM
(a) PrismDem
Om 2500m (b) SRTM b a n d X a n d C
G a m b a r 4-2: Error akibat korelasi yang r e n d a h p a d a proses matching
2000
4000
6000
8000
Piksel sepanjang garis transek (-)
10000
0
1000
2000
3000
4000
5000
Piksel Sepanjang garis transek (-)
(b) Distribusi ketinggian sepanjang (a) Distribusi ketinggian sepanjang garis garis vertikal horisontal G a m b a r 4-3:Perbandingan distribusi ketinggian sepanjang garis t r a n s e k citra DEM 56
l
E%§tra£§i Otomatis Informasi 4XEM dari Citra Stereo
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
(
9000
10000
Piksel sepanjang garis transek (-)
G a m b a r 4-4:Perbandingan distribusi ketinggian sepanjang garis t r a n s e k horisontal Tabel4-2: NILAI UJI STATISTIK PERBEDAAN ANTARA DEM PRISM DAN DEM REFERENSI
DEM PRISM DEM referensi
-
Min. (m)
Max. (m)
rata-rata (m)
RMSE (m)
-18
38
1.6
16
Perbandingan distribusi ketinggian antara DEM PRISM yang telah terkoreksi dan DEM referensi sepanjang garis transek horisontal diperlihatkan pada Gambar 4-4. Perbedaan yang semula terjadi pada Gambar 4-3 dapat dihilangk a n dan pola serta nilai dari DEM PRISM menjadi sangat mendekati dengan pola d a n nilai dari DEM referensi. Pengujian tingkat akurasi dari DEM dilakukan dengan mengurangkan DEM PRISM dengan DEM referensi, kemudian melakukan perhitungan statistik terhadap perbedaan antara kedua data tersebut, seperti: nilai minimum, maksimum, ratarata d a n RMSE {Root Mean Square Error). P e r h i t u n g a n ini d i l a k u k a n t e r h a d a p seluruh citra DEM, sekitar 2.8 j u t a piksel. Hasil pada Tabel 4-2 memperlihatkan bahwa RMSE yang terjadi antara DEM PRISM dan DEM referensi sekitar 16 m. Nilai RMSE dapat diperkecil dengan cara mempertimbangkan beberapa faktor, yang salah satunya adalah menambah modul pada programing u n t u k memodelkan bentuk kurva bumi [geoidj, sehingga diperoleh nilai ketinggian
yang lebih mendekati ketinggian sebenarnya dipermukaan bumi. Data DEM merupakan data yang sangat penting u n t u k menyelesaikan beberapa permasalahan, seperti kesalahan geometrik. Kesalahan geometrik dapat digolongkan menjadi kesalahan geometrik sistematis (pengaruh rotasi bumi, kesalahan instrumen dll), dan kesalahan non-sistematis (pembelokan gelombang oleh atmosphere, bentuk kurva bumi, ketinggian permukaan bumi). Cara yang u m u m digunakan u n t u k mengurangi kesalahan geometrik adalah penggunaan GCP d a n proses orthorektifikasi. Koreksi orthorektifikasi dilakukan u n t u k citra PRISM-Nadir menggunakan GCP dari citra ortho Landsat-7 ETM d a n DEM PRISM, kemudian dilakukan pengabungan u n t u k membuat tampilan citra 3D. Hasil citra ortho dan tampilan citra 3D diperlihatk a n seperti Gambar 4-5. Terlihat bahwa daerah penelitian m e r u p a k a n daerah dengan elevasi bervariasi dari ketinggian yang rendah kaki gunung sampai ketinggian yang tinggi di p u n c a k gunung Merapi dan gunung Merbabu.
57
JurnaC'PenginderaanJauA'UoC 4 No. 1 Juni 2007:50-59
Merapi Merbabu
(a) Citra Ortho Prism-Nadir (b) Citra 3D Prism-Nadir u n t u k Boyolali Boyolali G a m b a r 4-5:Citra ortho PRISM nadir d a n tampilan 3D 5
KESIMPULAN
Penelitian ini mengkaji ekstraksi otomatis DEM dari citra stereo optis PRISM m e n g g u n a k a n software Prism DEM, k e m u d i a n DEM t e r s e b u t dibandingkan dengan DEM referensi (SRTM b a n d X d a n C), b e b e r a p a kesimpulan yang diperoleh: • Software PrismDEM dapat digunakan u n t u k m e n u r u n k a n DEM stereo PRISM secara otomatis dengan resolusi spasial bervariasi mulai 80 m, 40 m, 20 m d a n 10 m. P e n u r u n a n DEM dapat dilakukan dengan berbagai kombinasi citra yaitu: nadir-forward, forward-backward dan nadir-backward, • Ketinggian DEM dari software DEM b e r a c u a n p a d a model elipsoid, sehingga m e m e r l u k a n koreksi geoid (koreksi b e n t u k m u k a bumi). Walaupun begitu DEM PRISM mempunyai pola distribusi ketinggian yang relatif s a m a dengan DEM referensi, tetapi dengan tingkat kedetilan d a n gradasi warna yang lebih halus, • Analisis tingkat akurasi memperlihatk a n RMSE relatif a n t a r a DEM yang dibuat dengan DEM referensi adalah sebesar 16 m. RMSE dapat dikurangi dengan m e m a s u k a n pengaruh kurva b u m i d a n pengaturan seting parameter (line moving d a n window search) dalam proses korelasi a n t a r a citra master d a n citra target. 58
Ucapan Terima kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Makoto Ono dari RESTEC (Remote Sensing Technology Center of Japan) yang telah mengembangkan software PRISM DEM d a n mengijinkan pemakaian software tersebut. Ucapan terima kasih diucapkan pula kepada JAXA dan DLR yang telah memberikan citra stereo PRISM and SRTM X-C band DEM u n t u k keperluan kegiatan penelitian. DAFTAR RUJUKAN Chen T.; Shibasaki R.; Tsuno K.; d a n Morita K., 2004. Triplet Matching for DEM Generation with PRISM ALOS, ISPRS XX, Istambul, Turkey. Gesch D., 2005. Vertical Accuracy of SRTM Data of the Accuracy of SRTM Data of the United States: Implications for Topographic Change Detection, SRTM Data Validation and Applications Workshop. JAXA, 2006. Annual Report 2005, EORC Bulletin, No. 9, March 2006. JAXA, 2006. The 2nd ALOS Research Announcement: Calibration and Validation, Utilization Research, and Scientific Research, Earth Obser-vation Research Center J a p a n Aerospace Exploration Agency, J a p a n . Lang H.; and Welch R., 1999. ATBD-AST08 Algorithm theoretical Basic
ZfftraifiOtomatU
Lang H.; and Welch R., 1999. ATBD-AST08 Algorithm theoretical Basic Document for Aster Digital Elevation Models, Standart product AST14, pp. 1-69. Leica Geosystems, 2002. Imagine Orthobase User's Guide, GIS and Mapping division Atlanta Georgia. Trisakti B.; a n d P r a d a n a F.A., 2006. Pemanfaatan DEM data Stereo Sensor
lafomosi
EM
dsn
O'ra
Sterco
ftamBangTruaffi)
ASTER untuk Pengem-bangan Model Updating Topograji, Laporan Kegiatan 2006, Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan J a u h , LAPAN. Yastikh, 2006. Accuracy and Morphological Analyses of GTOPO30 and SRTM X-C band DEMS in the Test Area Istambul, ISPRS Workshop, Ankara.
59