EKSTENSIFIKASI BEA METERAI ATAS DOKUMEN ELEKTRONIK Harry Johan Yanwar1 dan Wisamodro Jati2 1. 2.
Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jl. Pangkalan Jati III/1, Jakarta Timur, 16424, Indonesia Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Perumahan Taman Melati, Blok BI/06, Sawangan, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini membahas mengenai potensi ekstensifikasi bea meterai atas dokumen elektronik. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan termasuk dalam penelitian cross sectional dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan wawancara. Data tersebut dianalisis menggunakan teknik analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat potensi ekstensifikasi objek bea meterai yang dapat dikembangkan dengan melakukan amandemenUndang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Bea meterai dapat dikenakan atas dokumen elektronik, tetapi perlu melihat batasannya, yaitu kemampuan objek tersebut dapat diawasi pemerintah. Kata kunci: bea meterai; dokumen elektronik; ekstensifikasi; meterai; pajak
Stamp Duty Extensification on Electronic Documents ABSTRACT This research discusses the potential of stamp duty extensification over electronic documents. The research was conducted by a qualitative approach and cross-sectional research with data collection techniques as literature study and interview. The data is analyzed by qualitative data analysis techniques. Research output shows that there is potention which can be developed by doing amendment at Law Number 13 Year 1985 on Stamp Duty. Stamp duty can be collected for electronic document, but is limited for the object itself which can be controlled by the government. Keywords: electronic document; extensification; stamp; stamp duty; tax
Pendahuluan Teknologi informasi semakin berkembang ke arah modern. Teknologi informasi memungkinkan manusia untuk mempermudah pekerjaannya. Salah satu teknologi informasi yang saat ini berkembang pesat adalah teknologi komputer. Komputer telah menjadi bagian dari manusia untuk mempermudah berbagai kegiatan manusia. Dalam hal administrasi, komputer menjadi media dokumentasi. Di zaman modern ini, dokumen-dokumen dibuat dengan mudah melalui proses pengetikan dengan komputer. Hasil pengetikan tersebut dapat
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
berupa dokumen elektronik (soft copy) maupun dokumen cetakan (hard copy) menggunakan kertas. Teknologi informasi juga mendorong masyarakat ke arah paperless. Mayarakat yang menggunakan metode paperless seperti ini akan mengakibatkan rendahnya pemakaian kertas. Di samping itu, metode paperless adalah cara yang mendukung terjadinya lingkungan yang lebih hijau (green environment). Hal ini didorong semakin intensifnya kampanye pelestarian alam karena semakin buruknya kondisi lingkungan yang disebabkan penebangan pohon. Penebangan pohon dilakukan untuk memproduksi berbagai bentuk barang, salah satunya adalah untuk produksi kertas. Dengan adanya metode paperless, masyarakat akan didorong untuk menggunakan teknologi yang ada untuk seminimal mungkin menggunakan kertas. Dalam hal kegiatan usaha, paperless menjadi opsi untuk meningkatkan efisiensi. Seluruh dokumen dapat disimpan di dalam komputer untuk mempermudah proses administrasi dan menurunkan biaya penyimpanan dibandingkan jika menggunakan dokumen kertas (hard copy). Sejalan dengan itu, transaksi elektronik pun semakin berkembang sehingga kontrak dapat dilakukan secara elektronik melalui jaringan internet. Melalui jaringan internet, perikatan dapat dilakukan tidak terbatas oleh waktu dan tempat oleh siapa saja. Setelah internet terbuka bagi masyarakat luas, internet mulai digunakan juga untuk kepentingan perdagangan. Setidaknya ada dua hal yang mendorong kegiatan perdagangan dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi, yaitu meningkatnya permintaan atas produk-produk teknologi itu sendiri dan kemudahan untuk melakukan transaksi perdagangan (Raharjo, 2002, p. 1). Dengan adanya internet, maka kegiatan perdagangan dapat dilakukan secara elektronik. Demikian juga di Indonesia, penggunaan internet di Indonesia sudah dimulai pada tahun 1993. Saat ini, penggunaan internet di Indonesia juga telah mencakup penggunaan untuk kepentingan perdagangan. Akibatnya, perikatan dapat terjadi dengan menggunakan dokumen elektronik melalui jaringan internet. Berkaitan dengan transaksi elektronik, Direktorat Jenderal Pajak pun sudah melakukan terobosan penggunaan dokumen elektronik. Direktorat Jenderal Pajak sudah menerapkan pembayaran elektronik dengan sebutan e-billing. E-billing merupakan aplikasi yang menawarkan kemudahan pembayaran pajak. Pembayaran pajak dilakukan dengan metode pembayaran elektronik. Kelebihan dari transaksi ini adalah cepat, mudah, nyaman, dan
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
fleksibel. Walaupun demikian, penerapan e-billing ini masih dalam tahap uji coba. Untuk mendapatkan layanan ini, calon pengguna perlu melakukan registrasi melalui situs e-billing, www.sse.pajak.go.id (Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2013, pp. 4 - 5). Selain daripada itu, kegiatan perikatan sudah dapat dilakukan dengan menggunakan media elektronik. Ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dengan munculnya perubahan undang-undang ini, penggunaan dokumen elektronik untuk transaksi perlu melibatkan notaris. Dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, aturan tersebut berbunyi “Yang dimaksud dengan "kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan", antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta, ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.” Oleh karenanya, aturan ini telah membuka peran cyber notary dalam keperluan transaksi elektronik (HRS, 2014). Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang bea meterai, pasal 1 berbunyi, “Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini.” Berkaitan dengan itu, pasal 2 berbunyi, “Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihakpihak yang berkepentingan. …” Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa bea meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap objek berupa dokumen. Namun demikian, dokumen yang dimaksud adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengikat beberapa pihak. Oleh karena itu, hingga saat ini bea meterai yang dikenakan hanya terhadap dokumen berupa kertas. Berkaitan dengan praktik cyber notary, terdapat potensi objek penggunaan bea meterai. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, bea meterai dikenakan atas dokumen yang disebut di dalam undang-undang tersebut. Namun demikian, dokumen yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut masih terlalu sempit. Dokumen yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan. Melalui definisi seperti itu, dokumen diartikan hanya sebagai kertas sehingga dokumen yang berbentuk lainnya seperti dokumen elektronik tidak dapat terhutang bea meterai, hal ini sangat disayangkan dan menjadi pertanyaan, walaupun dari sisi hukum dokumen elektronik tetap sah menjadi suatu perikatan. Keabsahannya dokumen elektronik dan dokumen kertas tidak berbeda. Oleh karena hal itu, diperlukan ekstensifikasi bea meterai mengingat bahwa definisi yang begitu sempit. Ekstensifikasi bea meterai atas dokumen elektronik pun dianggap perlu agar potensinya dapat dimaksimalkan dan memberikan peningkatan penerimaan bagi pemerintah. Namun demikian, akan terjadi permasalahan dalam hal pengenaan bea meterai. Bea meterai masih mengacu pada definisi yang sempit dan belum mengembangkan potensi yang ada ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, pokok permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: bagaimana potensi penerapan bea meterai terhadap dokumen elektronik?
Tinjauan Konseptual/Teoretis Dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsep/teori yang membentuk kerangka berpikir dan digunakan dalam proses analisis, yaitu bea meterai dan ekstensifikasi pajak. Bea meterai adalah pajak tidak langsung yang dipungut secara insidental
jika dibuat
tanda/dokumen. Insidental mempunyai arti bahwa pajak itu dipungut sekali (tidak berulangulang seperti pajak langsung) jika dibuat suatu dokumen yang dapaat digunakan sebagai bukti dari keadaan, perbuatan, atau peristiwa di bidang hukum perdata oleh pemegangnya. Jadi, objek pajak ini adalah dokumen, bukan keadaan, perbuatan, atau peristiwanya sendiri. Dalam memungut bea meterai harus diperhatikan adanya tiga dasar umum, yakni (Poerwodihardjo, 1965): a. Yang dikenakan pajak/bea adalah tanda (dokumen). b. Satu tanda hanya terutang satu bea meterai. c. Eksemplar lain, salinan, tindasan dari suatu tanda dikenakan bea meterai yang sama dengan aslinya. Menurut Sumitro (1990), peningkatan pajak dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Berkaitan dengan topik permasalahan, ekstensifikasi pajak
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
adalah upaya memperluas subjek dan objek pajak serta penyesuaian tarif. Ekstensifikasi pajak dapat ditempuh melalui beberapa cara (Sumitro, 1990): a. perluasan wajib pajak; b. penyempurnaan tarif; dan c. perluasan objek pajak.
Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Peneliti memilih pendekatan kualitatif karena peneliti ingin memperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti yaitu mengenai bea meterai. Dalam penelitian ini, peneliti menggambarkan bagaimana prospek ekstensifikasi bea meterai atas dokumen elektronik. Peneliti menggunakan pola non-linear (cylical) sehingga memungkinkan peneliti untuk mengulang langkah-langkah penelitian hingga tercapai hasil optimal (logic in practice) (Prasetyo dan Jannah, 2005, p. 80). Jenis penelitian dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dimensi waktu penelitian, dan teknik pengumpulan data dari penelitian yang bersangkutan. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksploratif. Penelitian ekploratif ditandai dengan masih sedikitnya tulisan yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian eksploratif adalah memformulasikan pertanyaan penelitian yang lebih tepat sehingga hasil dari penelitian dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang diadakan di masa yang akan datang. Berdasarkan manfaatnya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian terapan. Berdasarkan dimensi waktunya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian cross sectional karena dilaksanakan pada satu waktu tertentu yaitu, pada bulan April – Desember 2014. Berdasarkan teknik pengumpulan datanya, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan wawancara. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bagian ini, akan dipaparkan mengenai pembahasan penelitian dengan mengolah dan menganalisis hasil penelitian berdasarkan teori/konsep yang ada. Melalui bagian ini, akan dipaparkan juga hasil wawancara dengan informan serta analisisnya.
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
Pengertian Bea Meterai dan Dokumen yang Diterapkan sebagai Kebijakan Saat Ini Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, pengertian tentang bea meterai adalah sebagai berikut. (1) Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini. (2) Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan; b. … Melalui pengertian ini, bea meterai adalah pajak atas dokumen. Selanjutnya berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa dokumen yang dimaksud adalah berupa kertas sehingga bea meterai adalah pajak atas dokumen kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam peraturan lama yang dikenakan pajak (bea metrai) adalah tanda yang pengertiannya hampir sama dengan dokumen yang diatur dalam Undang-Undang Bea Meterai sehingga dapat dikatakan sejak dahulu bea meterai di Indonesia merupakan pajak atas pembuatan dokumen di Indonesia (Siahaan, 2005). Merujuk pada peraturan yang berlaku tersebut, dapat dinyatakan bahwa bea meterai adalah biaya, yaitu pajak atas dokumen, dengan memberikan cap tanda (meterai). Saat ini, bea meterai hanya terutang pada dokumen berupa kertas. Pengertian dokumen belum berkembang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai sehingga undang-undang tersebut tidak dapat mencakup seluruh dokumen, yaitu dokumen elektronik. Perkembangannya saat ini, dokumen sudah dapat berupa elektronik. sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, “Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Melalui pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dokumen elektronik adalah dokumen dalam bentuk soft dan dapat dilihat melalui media berupa teknologi informasi yang memiliki isi berupa apa pun. Lebih jauh lagi, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 6, dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Selanjutnya, diterangkan lebih rinci dalam penjelasannya sebagai berikut. “Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi degan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.” Dokumen juga berkaitan dengan perikatan. Perikatan antara dua orang atau lebih akan menghasilkan dokumen, seperti perjanjian, kontrak, kerja sama, dan lain sebagainya. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1233, secara umum, perikatan lahir karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu (pasal 1234). Secara khusus, perikatan lahir dari kontrak atau persetujuan. Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih (pasal 1313). Syarat-syarat terjadinya suatu persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat (pasal 1320): a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu pokok persoalan tertentu; dan d. suatu sebab yang tidak terlarang.
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
Istilah perikatan merupakan terjemahan dari kata verbintenis yang berasal dari bahasa Belanda. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mencantumkan pengertian mengenai perikatan secara spesifik. namun Subekti berpendapat bahwa suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (Subekti, 2008, p. 1). Dalam membentuk perikatan, dokumen dibutuhkan agar jika sewaktu-waktu terjadi ingkar di antara pihak yang membentuk ikatan, dokumen dapat dijadikan bukti sehingga pihak yang dirugikan dapat menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain. Dokumen elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan dokumen kertas karena syarat dalam membentuk suatu persetujuan yang sah dapat dipenuhi seperti yang tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Selain itu, dokumen elektronik juga sudah diakui dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, UndangUndang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai belum mengatur terkait dengan dokumen elektronik. Perlunya Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 sebagai Upaya Ekstensifikasi Bea Meterai Berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi, penggunaan dokumen elektronik semakin meningkat. Dokumen saat ini bukan hanya berbentuk kertas saja, tetapi juga sudah memiliki bentuk/wujud lain, yaitu dokumen elektronik. Karena terjadinya perubahan ini, peraturan bea meterai seharusnya diubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dokumen elektronik sebaiknya dikenakan bea meterai melihat bahwa esensi yang berada pada dokumen kertas maupun dokumen elektronik adalah sama, hanya wujudnya saja yang berbeda. Purwodihardjo menyatakan bahwa ada tiga dasar umum yang perlu diperhatikan dalam memungut bea meterai, yaitu (Poerwodihardjo, 1965): a. Yang dikenakan pajak/bea adalah tanda (dokumen). b. Satu tanda hanya terutang satu bea meterai. c. Eksemplar lain, salinan, tindasan dari suatu tanda dikenakan bea meterai yang sama dengan aslinya. Pertama, yang dikenakan pajak/bea adalah tanda (dokumen). Dokumen elektronik dikatakan sebagai “dokumen” juga sebagaimana dokumen kertas. Dengan kata lain, dokumen elektronik
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
menjadi tanda pula sebagaimana dokumen kertas yang isinya dapat menunjukan suatu hal tertentu. Kedua, satu tanda hanya terutang satu bea meterai. Dokumen elektronik, sebagaimana pada perihal pertama, merupakan tanda yang seharusnya terutang (satu) bea meterai. Dokumen elektronik lain yang memiliki isi berbeda juga seharusnya dikenakan bea meterai. Ketiga, eksemplar lain, salinan, tindasan dari suatu tanda dikenakan bea meterai yang sama dengan aslinya. Dokumen elektronik biasanya memiliki eksemplar lain berupa copy-an dokumen atau salinan dokumen. Masing-masing salinan tersebut seharusnya dikenakan (satu) bea meterai. Dengan kata lain, dokumen elektronik yang memiliki isi yang sama seharusnya dikenakan bea meterai sebagaimana dokumen dasar/aslinya. Yang dikenakan bea meterai adalah tanda, yaitu dokumen. Saat ini, dokumen sudah menggunakan dokumen elektronik, sedangkan dokumen ini yang merupakan bentuk tanda juga belum dikenakan bea meterai. Satu tanda hanya terutang satu bea meterai, tetapi hal ini belum terjadi bagi dokumen elektronik. Padahal, dokumen elektronik sudah memiliki sifat yang sama dengan dokumen kertas, yaitu menjadi/menimbulkan tanda. Demikian pula halnya dengan dokumen salinan yang berbentuk elektronik, dokumen elektronik tersebut juga memiliki esensi yang sama dengan yang ada pada dokumen kertas. Oleh karena itu, salinan berupa dokumen elektronik yang merupakan suatu tanda pula seharusnya dapat dikenakan bea meterai yang sama dengan aslinya. Esensi daripada bea meterai adalah pajak yang terutang atas timbulnya suatu tanda berupa tulisan. Dengan demikian, sudah seharusnya dokumen elektronik juga dikenakan bea meterai sebagaimana halnya dengan dokumen kertas yang selama ini sudah terutang. Pada tahun 1985, dikeluarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Latar belakang yang terkandung dalam undang-undang tersebut salah satunya adalah agar objek menjadi lebih luas (Mardiasmo, 1999). Dalam rangka perluasan yang sama sebagaimana ada pada Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, ekstensifikasi bea meterai atas dokumen elektronik perlu dilakukan agar objek menjadi lebih luas sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara. Pengenaan bea meterai atas dokumen elektronik dianggap layak diterapkan menurut Mosik Saura, “Melihat undang-undang. Kalau misalnya … pemerintah, ga bakalan bisa karena dia sudah dikunci. Terus, kelayakan dokumen elektronik dikenakan bea meterai, kalau kita melihat dari … apa namanya, pengertiannya sendiri di undang-undang kita kan
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
sudah jelas kan bahwa termasuk kertas dan bukan kertas kan ya, sementara untuk bea meterainya sendiri, itu kan fungsinya, apa ya, kalo soal layak ganya, dia akan memberikan manfaat buat si pemilik dokumennya kan. Jadi, meskipun bentuknya seperti apa, meskipun dia elektronik pun, ketika itu sudah bisa menjadi bukti, kalau misalnya bisa ada meterainya” Hal tersebut sejalan pula degan pernyataan Prof. Gunadi, Ak., M. Sc., “Ya dokumen elektronik dikenakan aja.” Bea meterai, saat ini, masih dikenakan hanya kepada dokumen berupa kertas. Sebagaimana dikatakan Nurlaidi, “Pajak atas dokumen, tapi atas dokumen yang di undangundang itu dokumennya belum, belum diperluas, masih berupa kertas.” Sementara itu, tidak diatur pengenaan bea meterai tentang dokumen elektronik. Berdasarkan fungsinya, yaitu memberikan manfaat kepada pemilik dokumen tersebut, seharusnya dokumen bisa dikenakan bea meterai. Hal ini disebabkan dokumen elektronik juga dapat dijadikan alat pembuktian karena hanya wujudnya saja yang menjadi pembeda antara dokumen kertas dan elektronik sehingga manfaat yang diperoleh sebagai dokumen tetap sama antara kertas dan elektronik. Nurlaidi juga mengiyakan bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 perlu diubah sebagai upaya ekstensifikasi bea meterai. Nurlaidi mengatakan, “Iya karena enam kali dikenakan, udah mentok.” Nurlaidi melihat pengubahan undang-undang tersebut dari sudut pandang tarif, yaitu tarif maksimum sudah dicapai padahal sudah tidak sesuai dengan keadaan inflasi di Indonesia. Nurlaidi melihat bahwa tarif tersebut sudah tidak sesuai sehingga perlu dikaji lagi, “Saya bikin juga sih kajian ini, tapi saya cuman, apa, tarif. Saya mau bikin, kan enam ribu, karena udah ada kenaikan inflasi adanya. Kira-kira kalo bisa dinaikin layak apa ga? Saya udah buat itu, pake alat apa, konsepnya itu pake ability to pay, asas kesanggupan. Padahal, spirit-nya sudah layak.” Pernyataan Nurlaidi berkaitan dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985. Disebutkan bahwa “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikan setinggi-tinggi enam kali atas dokumendokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.” Oleh karena itu, dari segi tarif, nilai bea meterai sudah maksimum diterapkan. Tarif yang mulai berlaku adalah Rp500 dan Rp1.000 dan sekarang tarif ini sudah maksimum sebagaimana terakhir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai, yaitu Rp3.000 dan Rp6.000. Nilai ini sudah enam kali dari nilai tarif awal. Selanjutnya, Mosik Saura menyatakan, “Itu sudah bisa masuk ke, apa namanya, kalau kita melihat pasal sebelas undangundang yang sekarang, kan pejabat publik tidak diperkenankan mengunakan dokumen yang … tidak bermeterai. Jadi kalau misalnya itu sebenarnya adalah dokumen objek meterai juga, cuma karena bentuknya yang elektronik, jadi ga kena. Kalau misalnya bisa dikenakan dengan apalah cara lain elektronik ini, mungkin bisa juga” Ini tidak berarti bahwa pejabat publik tidak bisa menggunakan dokumen elektronik. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai menyebutkan (1) Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan a.
menerima, mempertimbangkan, atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;
b.
melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan .
c.
membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;
d.
memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya;
(2) Pelelangan terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat publik dilarang menggunakan dokumen jika bea meterainya tidak atau kurang dibayar, sedangkan dokumen elektronik sama sekali tidak terutang bea meterai. Dengan demikian, tidak menjadi masalah jika pejabat publik menggunakan dokumen elektronik karena tidak ada kewajiban bea meterai yang terutang atas dokumen elektronik. Ekstensifikasi bea meterai terhadap dokumen elektronik dapat dilakukan di Indonesia sepanjang undang-undang telah mengatur. Ekstensifikasi bisa dilakukan, tetapi perlu mengubah undang-undang terlebih dahulu sebelum diterapkan dalam masyarakat. Untuk saat ini, Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat menjaring dokumen elektronik sebagai bagian dari dokumen sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
Meterai. Rahmah Parama Iswari menyatakan, “karena kan kekunci di tarif, kekunci di,” dilanjutkan oleh Mosik Saura, “jenis dokumen” dan dilanjutkan kembali oleh Rahmah Parama Iswari, “yang dikenakan bea meterai” Untuk memperluas objek pajak, berpendapat Mosik Saura bahwa diperlukan perubahan undang-undang agar dapat segera diterapkan. Hal ini sebagaimana dalam pernyataan Mosik Saura berikut ini, “Kalo perkembangannya, ya, kita ga bisa bilang secara pasti karena kita kan kalaupun misalnya nanti akan dilakukan perubahan undang-undang, pasti kan segera …”. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan undang-undang sehingga pengertian dokumen sebagaimana tertera pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dapat berubah dan mengatur objek bea meterai lebih luas dari pada pengertian yang sekarang diterapkan. Agar suatu kebijakan bisa berubah dan diterapkan di dalam masyarakat, diperlukan perubahan undang-undang yang mengatur hal tersebut. Untuk mengubah undang-undang itu, diperlukan usulan untuk perubahan undang-undang melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), atau Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Ini merupakan kunci dalam perubahan kebijakan yang ada saat ini, sebagaimana dalam pernyataan Rahmah Parama Iswari, “Undang-undang kan bisa dua cara. Pengusul bisa dari DPR atau dari pemerintah … Bisa dari DJP, bisa dari BKF” Perubahan undang-undang pun hanya bisa dilakukan di DPR sebagaimana dikatakan Nurlaidi, “Iya, undang-undang harus di DPR.” Proses pengubahan undang-undang tersebut perlu diawali dengan membuat naskah akademis dan melakukan diskusi bersama pihak terkait. Hal ini seperti yang Nurlaid katakan, “Ya itu kan bikin naskah akademis dulu, setelah akademis, dengan melalui DJP … melakukan … diskusi, misalnya ngundang OJK. Kemarin udah, kita ngundang … ngundang OJK, terus ngundang BEI kan, bursa efek, saham. Gimana itu kan kalau misalkan mau dikenakan? …” Namun demikian, suatu kebijakan tidak bisa menjamin penerapan sepenuhnya di dalam masyarakat. Jika ekstensifikasi sudah diberlakukan melalui perubahan undang-undang sehingga bea meterai atas dokumen elektronik telah ditetapkan, ini tidak bisa menjamin bahwa masyarakat akan patuh atau beralih kepada dokumen elektronik. Hal ini mirip dengan kebijakan e-commerce yang saat ini berlaku di masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Rahmah Parama Iswari, “e-commerce juga kan kita ga bisa menjamin semuanya sudah tercover.” Ditambah lagi dengan pernyataanya,
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
“Kan itu pasti mempertimbangkan aspek siapa yang diizinkan untuk mengenakan bea meterai atas dokumen elektronik itu. Itu kan bisa dipertimbang, bisa, pasti mempertimbangkan pengawasan terhadap si pemberi … Pasti yang diberi izin, tertentu ya” Jadi menurut Direktorat Peraturan Perpajakan I, sekiranya aturan terkait telah dibuat, perlakuan terhadap bea meterai atas dokumen elektronik masih terbatas pada pihak-pihak atau subjek-subjek tertentu sehingga izin terkait dengan penggunaan dokumen elektronik hanya pada pihak tertentu dengan mempertimbangkan aspek pengawasan. Mosik Saura menambahkan, “… dokumennya bentuknya seperti apa, siapa yang menerbitkan, penggunanya siapa. Terus mungkin volume penerbitannya, kayak misalnya itu hanya sekalisekali misalnya, sekali-sekali.” Melalui pernyataanya, dokumen pun perlu diatur sehingga pengertiannya dapat jelas diketahui apa saja yang dapat dikenakan bea meterai, seperti pengaturan bentuk/jenis, penerbit, dan pengguna dokumen. Jenis Dokumen Elektronik yang Layak dikenakan Bea Meterai Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dokumen elektronik seharusnya dapat dikenakan bea meterai melihat perkembangan zaman saat ini dan esensi yang sama dengan dokumen kertas. Oleh karena itu, bea meterai pun seharusnya dapat dikenakan kepada dokumen dengan pengertian yang seluas-luasnya, tanpa membedakan hard atau soft copy. Hal ini juga dikaitkan dengan kesederhanaan (simplicity). Akta notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta pembayaran dapat dikenakan seharusnya jika ekstensifikasi telah dilakukan mengingat definisi dokumen pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai yang terlalu sempit. Akibatnya, bea meterai tidak berpotensi secara maksimal. Terkait hal tersebut Prof. Gunadi, Ak., M. Sc. menyatakan, “Yang dokumen elektronik itu ya misalnya untuk ke akta notaris, PPAT, mungkin juga pembayaran …. Ya ya bisa aja … meterai tentukan aja: akta notaris harus berapa lembar, … berapa lembar, kuitansi ini berapa lembar …. Jadi misalnya kalo pegangan barang satu triliun, … berapa lembar. Kalo kayak gitu kan susah. Kuitansinya kan … ada kuitansi nilainya seratus ribu, ada yang seratus juta, kemudian ada yang satu milyar. Ini kan gimana ya tentukan aja. Jadi untuk simplicity juga. Kalo dibebaskan, ya anu.”
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
E-commerce memungkinkan terkena bea meterai. Transaksi e-commerce sudah diterapkan di Indonesia sehingga menimbulkan pembayaran secara elektronik. E-commerce memungkinkan dikenakan bea meterai karena transaksinya yang dianggap banyak terjadi sehingga menimbulkan dokumen/kuitansi-pembayaran (elektronik) yang terutang banyak pula. Hal ini seperti yang dikatakan Mosik Saura, “Mungkin kalo dia, mungkin e-commerce ya, jual apa, terus terkait transaksinya itu dokumen yang terutang ada banyak, mungkin bisa. … tapi yang pasti itu mesti dilihat dulu jenis dokumennya”. Aplikasi dan Pengawasan Bea Meterai atas Dokumen Elektronik Setelah peraturan perundang-undangan diubah, ekstensifikasi bea meterai dapat dilakukan, khususnya ekstensifikasi bea meterai terkait dengan perluasan objek. Menurut Sumitro (1990), peningkatan pajak dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Berkaitan dengan topik permasalahan, ekstensifikasi pajak adalah upaya memperluas subjek dan objek pajak serta penyesuaian tarif (Sumitro, 1990). Untuk menerapkan kebijakan, diperlukan pengawasan pula agar kebijakan tersebut dapat berjalan dengan baik. Pengawasan bea meterai pun perlu dilakukan agar kebijakannya dapat dipatuhi oleh Subjek (Wajib) Pajak. Oleh karena itu, pengawasan bea meterai dapat dilakukan kepada beberapa pihak terkait, di antaranya adalah notaris, pengadilan, dan Bursa Efek Indonesia (BEI). Setiap notaris pasti memiliki pencatatatan nomor bagi dokumen yang telah dibuat sehingga dapat dicek jumlah dokumen yang dibuat dengan jumlah bea meterai yang dilunasi. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Rahmah Parama Iswari, “dari notaris dan transaksinya … berapa kali, kan dia juga ada penomoran untuk transaksi, untuk bikin perjanjiannya di nomornya kan. Nah kan bisa diawasi, tapi kalo memang seperti itu pasti bikin, apa, membuat aturannya pasti mempertimbangkan siapa nanti bisa kita awasi. Kalo yang transaksi dua orang kayak lewat transaksi. PPAT juga dapat ditetapkan sebagai pengawas walaupun biasanya notaris merangkap sebagai PPAT. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Prof. Gunadi, Ak., M. Sc. yang juga menyatakan, “Tentu kepada, yang pertama kalo akta-akta itu, kepada jumlah akta yang dianu ke notaris. Jadi yang jelas, yang, apa, teridentifikasi. Kemudian, PPAT itu kira-kira berapa. Nah itu harus ketahuan dari penerimaan bea meterainya berapa.”
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
Berdasarkan pernyataan tersebut, jumlah dokumen harus jelas sehingga dapat teridentifikasi. Dengan demikian, penerimaan bea meterai dapat dicek sebagaimana dokumen yang ada. Selain itu menurut Prof. Gunadi, Ak., M. Sc., bea meterai atas dokumen elektronik dapat diterapkan dengan menghitung secara borongan. Borongan yang dimaksud ini adalah dengan menghitung jumlah dokumen yang mungkin ada dalam satu media penyimpanan. Hal ini sebagaimana disampaikan Prof. Gunadi, Ak., M. Sc., “Jadi, nanti paling-paling kalo nanti, ya, borongan apa gimana model-modelnya itu. … soft copy-soft copy-nya dalam satu flash disk atau satu disk card kan berapa banyak dokumen-dokumen anu kan.” Alternatif lain penerapan dan pengecekan dokumen elektronik sebaiknya adalah dengan menggunakan suatu sistem terintegrasi yang mengumpulkan seluruh data dokumen secara elektronik dan dikelola oleh pemerintah. Nurlaidi mendukung hal tersebut, “Registernya itu, apa, memang harusnya berseri itu nomornya. Jadi menagih meterai itu harusnya ada serinya. Mengeluarkan, menagih, apa menerbitkan selain itu kayak faktur pajak standar lah ya, seharusnya begitu. Jangan sembarangan nagih. Ya, sepuluh juta, sepuluh juga aja. Kalo kurang, nambah gitu kan, bayar lagi. Itu yang memang belum …. Lembaga pengawasan, bentuk dan jenis. Ini bentuk-bentuk ini …” Dengan sistem tersebut, jumlah dokumen yang ada dapat dicek dengan jumlah bea meterai yang sudah dilunasi. Nurlaidi juga menyatakan bahwa perlu adanya nomor berseri untuk menagih bea meterai seperti menerbitkan nomor faktur pajak. Selain itu, diperlukan juga lembaga pengawasan. Penerapan sistem terintegrasi ini adalah dengan penggunaan sistem elektronik. Misalnya, pada kasus notaris, seluruh dokumen yang dihasilkan melalui notaris dikumpulkan dan disimpan ke dalam sistem data terpusat. Sistem ini dikelola oleh pemerintah sehingga seluruh dokumen dapat diawasi dan dapat dicek pelunasan bea meterainya. Nurlaidi mengatakan, “Jadi sepanjang kalo bukan ke rangkaian ya bisa, pemerintah bisa aja bikin. … ngumpul semua data-data notaris itu kan. Ini yang terutang bea meterai dokumen elektronik bisa ditarik pemerintah.” Dengan menggunakan sistem seperti ini, dokumen hanya terutang bea meterai pada dokumen yang tersimpan di pusat. Penggunaan sistem ini akan mempermudah pengawasan. Nurlaidi mengapresiasi ide ini, “Bisa juga sih, kan nanti memang sampe saat ini kan belum ada aturannya. Itu bagus kalo dibikin kayak gitu. … Misalnya dia … transaksi elektronik kan berapa kan bisa dilaporkan sama dia. …” Walaupun demikian, dokumen hasil cetakannya sudah tidak dikenakan bea meterai lagi karena sudah dikenakan pada dokumen yang disimpan di pusat. Selain itu,
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
dokumen hasil cetakan sulit untuk diawasi oleh pemerintah. Nurlaidi menyatakan, “Ya harusnya gitu. Jadi udah terkontrol juga. …” Jadi, dokumen yang tersimpan di pusat data dapat dilihat berapa jumlahnya pada kantor notaris tertentu sehingga dapat dicek jumlah bea meterai yang harus dilunasi oleh notaris tersebut. Nilai tersebut harus disetor oleh notaris yang bersangkutan ke negara. Lebih jauh lagi, penerimaan bea meterai juga dapat diestimasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Gross Domestic Product (GDP), atau sejenisnya dalam rangka pengawasan/kontrol. GDP dapat mencerminkan estimasi jumlah kuitansi yang beredar di masyarakat. Perhitungan estimasi ini dianggap dapat dilakukan menurut Prof. Gunadi, Ak., M. Sc., “Kalo kuitansi-kuitansi itu kan, mungkin dari besaran-besaran APBN atau transaksi nasional. Ini dari GDP atau apa ukurannya yang kira-kira mengukur dokumen itu berapa. Itu pake estimasi. Nah dari dokumen yang kita … berapa, tentu harus ada peningkatan penerimaan. Tentu kan indikasinya kalo GDP naik, kan tentu dokumennya naik juga kan mestinya. … Itu rasio naiknya berapa. Kalo dari APBN naik, ya tentu ya, APBN-nya juga perlu kuitansi-kuitansi penjualan-penjualan itu. Nah itu berapa itu. Jadi kontrolnya, kontrol makro itu.” Dengan adanya kenaikan GDP, transaksi yang terjadi akan lebih banyak sehingga kuitansi pun sebagai dokumen bukti transaksi seharusnya akan meningkat pula. Hal ini akan sulit dilakukan jika dilakukan pengawasan tingkat mikro, sebagaimana dikatakan Prof. Gunadi, Ak., M. Sc. “Kalo kontrol mikro, agak sulit itu. Gimana? Meriksa kuitansi-kuitansinhya gimana?” Pengawasan bea meterai dapat pula dilakukan kepada dokumen yang bersifat perdata. Pengawasan ini baru dapat dilakukan di pengadilan dengan melihat berapa banyak kasus perdata atau putusan-putusan yang dimunculkan. Sepanjang untuk pembuktian di muka pengadilan, dokumen tersebut harus dikenakan bea meterai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prof. Gunadi, Ak., M. Sc., “Tapi kalo dokumen perdata, gimana ngontrolnya? Ya misalnya, dari kasus-kasus perdata. Kasus perdata berapa putusan-putusan yang dimunculkan. Kalo putusan itu kaitannya dengan perkaranya kan. Ini pembuktiannya kan ketika perkara kan perlu pemeteraian. … Orang cerai berapa? Ga ada orang cerai, pa. Ya sudah. Harus kontrolnya, kontrol makro. Kan nda mungkin dia itu meriksa orang satu per satu.”
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
Lain halnya lagi dikatakan tentang saham, “Kalo saham, yang diperiksanya dari berapa lembar transaksi.” Transaksi saham dapat diawasi dengan pemeriksaan jumlah lembar transaksi yang ada. Nurlaidi memiliki pendapat berkaitan dengan pemungutan bea meterai, “… Kemudian siapa yang ditunjuk, instansinya jadi sebagai pemungut kayak apa bisa mungut. Misalnya, BEI, bursa efek Indonesia harus mungut. Dia nanti yang mungut nol koma satu persen. Nah nanti kalo dia yang mungut, dia yang lapor. Jadi siapa yang sistemnya udah oke, mereka harus siap, setuju. Sebenarnya, di mana yang mau dikenakan itu, tapi akhirnya di, kita konfirmasi, trace confirmation. Itu yang ini.” BEI dapat ditunjuk sebagai pihak yang mampu memungut dan melaporkan bea meterai atas transaksi saham. Sistem pun harus dibangun dengan baik agar proses pengawasan juga dapat berjalan dengan baik sehingga transaksi yang terjadi dapat dikenakan bea meterai. Bea meterai dianggap dapat dikenakan atas dokumen elektronik, tetapi tetap perlu melihat batasannya, yaitu kemampuan objek tersebut dapat diawasi sehingga yang tidak dapat diawasi tidak diperlukan. Prof. Gunadi, Ak., M. Sc. menyatakan, “Dikenakan saja, cuma nanti yang controllable itu apa. Jadi terbatas kepada dokumen-dokumen yang bisa diawasi, jangan dokumen-dokumen private. Kalo dokumen private itu, dengan persyaratan pada saat dipakai untuk pembuktian, bisa diawasi. …, susah diawasinya.” Dokumen-dokumen privat, misalnya, tidak dapat diawasi sehingga tidak memungkinkan jika aturan dibuat tanpa melihat aspek controllable object. Namun demikian, ada pengecualian kepada dokumen privat yang bisa diawasi, yaitu dokumen yang digunakan untuk pembuktian.
Kesimpulan Bea meterai memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Untuk mengembangkan potensi ini diperlukan ekstensifikasi bea meterai. Ekstensifikasi bea meterai terhadap dokumen elektronik dapat dilakukan di Indonesia sepanjang undang-undang telah mengatur. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan mengamandemen Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Setelah peraturan perundang-undangan diubah, ekstensifikasi bea meterai dapat dilakukan, khususnya ekstensifikasi bea meterai terkait dengan perluasan objek. Bea meterai dapat dikenakan atas dokumen elektronik, tetapi terbatas pada kemampuan otoritas yang berwenang dalam mengawasi objek tersebut. Dokumen-dokumen yang tidak
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
dapat diawasi tidak dapat dijadikan objek bea meterai. Jenis dokumen elektronik yang layak dikenakan di antaranya adalah akta notaris, akta tanah, serta dokumen atas transaksi ecommerce dan saham. Pengawasan dapat dilakukan melalui pihak-pihak yang terkait, yaitu notaris, PPAT, pengadilan, dan bursa efek. Pengawasan melalui sistem elektronik juga dapat dilakukan dengan menggunakan suatu sistem terintegrasi yang mengumpulkan seluruh data dokumen secara elektronik yang dikelola satu pihak, misalnya pemerintah. Selain itu, penggunaan nomor berseri juga efektif, seperti yang diterapkan pada penerbitan faktur pajak.
Saran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai memiliki definisi dokumen yang terlalu sempit sehingga sebaiknya undang-undang ini diubah. Definisi dokumen pada saat ini sudah menjadi lebih luas akibat dari adanya kemajuan teknologi informasi sehingga telah mencakup dokumen elektronik. Oleh karena itu, disarankan agar dilakukan amandemen peraturan tersebut dengan memerhatikan aspek pengawasan. Untuk mendukung ekstensifikasi bea meterai atas dokumen elektronik, pemerintah sebaiknya menerbitkan meterai elektronik. Meterai elektronik sebaiknya tetap menggunakan nomor berseri sebagaimana dinilai efektif dalam proses administrasi. Untuk mendukung proses pengawasan, disarankan agar pemerintah melakukan pengawasan dengan melakukan pemeriksaan kepada pihak terkait untuk menguji kepatuhan pembayaran bea meterai. Dalam rangka pengawasan, pemerintah juga sebaiknya melakukan perhitungan estimasi jumlah bea meterai yang dapat dipungut melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Gross Domestic Product (GDP), atau sejenisnya.
Daftar Referensi Buku Poerwodihardjo, S. (1965). Aturan Bea Meterai. Bandung: Eresco. Raharjo, A. (2002). Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Siahaan, M. P. (2006). Bea Meterai di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014
Soemitro, R. (1992). Aturan Bea Meterai. Bandung: Eresco. Subekti. (2008). Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.
Wawancara Gunadi. (2014, Juni 6). Wawancara Mendalam dengan Prof. Gunadi, Ak., M. Sc. tentang Ekstensifikasi Bea Meterai atas Dokumen Elektronik. (H. J. Yanwar, Pewawancara) Jakarta Barat, DKI Jakarta, Indonesia. Nurlaidi. (2014, November 26). Wawancara Mendalam dengan Subbidang PBB, BPHTB dan Bea Meterai tentang Ekstensifikasi Bea Meterai atas Dokumen Elektronik. (H. J. Yanwar, Pewawancara) Saura, M., & Iswari, R. P. (2014, Juni 3). Wawancara Mendalam dengan Subdirektorat Peraturan Perpajakan I tentang Ekstensifikasi Bea Meterai atas Dokumen Elektronik. (H. J. Yanwar, Pewawancara)
Karya Lain dan Karya Noncetak Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Republik Indonesia. (1985). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. -------------. (2008). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. -------------. (2014). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Publikasi Elektronik Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2013, Agustus 19). Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat. Dipetik Maret 25, 2014, dari E-Billing,Layanan Pembayaran Pajak Elektronik: www.pajak.go.id/content/e-billinglayanan-pembayaran-pajak-elektronik HRS. (2014, Februari 8). Ini Gembira Cyber Notary masuk ke UU Jabatan Notaris. Dipetik Mei 13, 2014, dari Hukumonline.com: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f6010370d79/ini-gembira-cyber-notarymasuk-ke-uu-jabatan-notaris
Ekstensifikasi bea..., Harry Johan Yanwar, FPSI, 2014