al '.-
I
LAPORAN HIBAH BERSAING TAHUN 2OII
Ekspresi Protein Yim dan GFAP Terhadap Penipisan Jaringan Serebral Korteks dan Dampaknya Terhadap Penurnnan Kecerdasan Otak Akibat z-ME
Dra. Yulia Irnidayanti, M.Si. Prof. Win Darmanto, M.Si. P.hD
Dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Dengan no mor kontrak : 0 2/ SP2I{/D it.L itab mas/[IB ILP -
LINJ/VY2Afi
Universitas Negeri Jakarta Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan AIam 201,1,
LAPORAN HIBAH BERSAING TAHUN 2011
Ekspresi Protein Vim dan GFAP Terhadap Penipisan Jaringan Serebral Korteks dan Dampaknya Terhadap Penurunan Kecerdasan Otak Akibat 2-ME
Dra. Yulia Irnidayanti, M.Si. Prof. Win Darmanto, M.Si. P.hD
Dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Dengan nomor kontrak : 02/SP2H/Dit.Litabmas/HB/LPUNJ/VI/2011
Universitas Negeri Jakarta Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2011 1
LEMBAGA PENELITIAN Gedung Sarwahita, Lantai 2, Kampus A Universitas Negeri Jakarta, Jalan Rawamangun Muka, Jakarta 13220Telp/Fax(62-21)4890856, www.unj.ac.id;
[email protected]
IDENTITAS dan PENGESAHAN LAPORAN HIBAH BERSAING Judul Penelitian : Ekspresi Protein Vim, dan GFAP Terhadap Penipisan Jaringan Serebral Korteks dan Dampaknya Terhadap Penurunan Kecerdasan Otak Akibat 2-ME Kepala Proyek Penelitian Nama
: Dra. Yulia Irnidayanti, M.Si
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pangkat/Gol/NIP
: Lektor/IIIC/196507232001122001
Jabatan
: Penata
Fakultas/Jurusan
: FMIPA/Biologi
Jakarta, November 2011 Mengetahui, Dekan Fakultas MIPA
Ketua Peneliti, Universitas Negeri Jakarta
( Dra. Marheni M.Si ) NIP. 195006061974122001
(Yulia Irnidayanti, M.Si) NIP.196507232001122001
Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian
(Prof. Dr. Mulyana, M.Pd) NIP. 196408151990031001
2
ABSTRACT
Irnidayanti, Y.,Win Darmanto, Ekspresi Protein Vim, dan GFAP Terhadap Penipisan Jaringan Serebral Korteks dan Dampaknya Terhadap Penurunan Kecerdasan Otak Akibat 2-ME
Abstract---Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan ekspresi protein vimentin dan Gfap pada otak fetus mencit Mus msculus (Swiss webster) selama periode perkembangan otak
uk-11 sampai dengan uk-18 hari, yang induknya dinjeksi 2-
metoksietanol secara intraperitoneal dengan 7,5 mmol/kg berat badan pada umur kebuntingan 10 hari. Otak fetus diisolasi dikumpulkan dan dimasuk kan kedalam tabung, yang mengandung larutan Cell Lytic M reagent. Konsentrasi protein diukur dengan nanodrops dan Smart BCA Kit Cat No 21071 Japan. Untuk mengetahi ekspresi protein dilakukan western blot dan chemiluminasi serta immunohistokimia dengan menggunakan anti bodi primer vimentin dan Gfap. Jumlah kandungan protein yang terekspresi diukur dengan immnodotblot dan teknik densitometri, dengan mengukur kerapatan warna yang dipancarkan.Hasil immunodotblot menunjukkan bahwa ekspresi protein vimentin selalu lebih tinggi dibandingkan protein gfap pada otak fetus uk-11 sampai dengan uk-18 hari. Jumlah ekspresi protein vimentin tertinggi terdapat pada otak fetus uk-17 dan 18 hari. Ekspresi gfap tertinggi terdapat pada otak fetus uk-14. Secara Umum dapat disimpulkan bahwa protein vimentin memang sangat diperlukan selama periode perkembangan otak fetus, terutama untuk proses penyembuhan luka akibat senyawa 2 ME. Keyword:GFAP, 2-Methoxyethanol, brain, vimentin
3
KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul: ” Ekspresi Protein Vim dan GFAP Terhadap Penipisan Jaringan Serebral Korteks dan Dampaknya Terhadap Penurunan Kecerdasan Otak Akibat 2-ME”. Pada kesempatan ini kami sampaikan rasa terima kasih kepada :Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Direktur Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Dirjen Dikti Depdiknas Republik Indonesia yang telah berkenan memberikan biaya sehingga penelitian ini dapat dilakukan. Ketua Lembaga Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Negeri Jakarta, atas kepercayaannya mengabulkan proposal ini. Rasa terima kasih yang besar, peneliti ucapkan kepada Prof. Yukio Hattory, PhD, Faculty of Health Sciences, Yamaguchi University School of Medicine, Japan, yang telah memberikan fasilitas dan undangan kerjasama penelitian dengan Universitas Negeri Jakarta, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian hibah bersaing ini. Terima kasih pula peneliti ucapkan kepada Prof. Yasuhiro Yamashiro, PhD dan Prof. Yukio Hattori, P hD, Faculty of Health Sciences, Yamaguchi University School of Medicine, Japan, yang telah memberikan fasilitas dan bimbingan dalam teknik molekuler yang berhubungan dengan penelitian, sehingga peneliti dapat menyelesikan penelitiannya sesuai dengan yang diharapkan. Kami menyadari bahwa laporan ini masih kurang sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan sangat kami harapkan, agar karya ilmiah ini menjadi lebih sempurna. Jakarta, 3 Desember 2011
Peneliti
4
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN……………...............…………..…………….
i
ABSTRAK
……….................…………………………..
ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
iii
DAFTAR ISI……………………………………..........................................
iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
v
DAFTAR TABEL
vi
……………
…………………………….........................................
BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
1.2.Kerangka berpikir...............................................................................
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teoritik 2.1.Tinjauan tentang 2-Methoxyethanol.........................................
7
2.2.Tinjauan Tentang Mencit ........................................................
9
2.3.Tinjauan Malformasi Tabung Neural ......................................
12
2.4.Perkembangan Tabung Neural ................................................
13
2.5.Protein ekstraseluler yang terlibat dalam Pembentukan Tabung Neural ..........................................................................
22
BAB III. METODA PENELITIAN 3.1.Rancangan Penelitian ..............................................................
27
3.2.Sampel Penelitian.....................................................................
27
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitan...................................................
28
3.3.Tahap Pelaksanaan Penelitian ..................................................
28
3.4.Analisa Data..............................................................................
34
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian......................................................................
35
4.2.Pembahasan ...........................................................................
43
BAB V. KESIMPULAN...................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
52
LAMPIRAN .......................................................................................
56
5
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Metabolisme Diethylene glycol dimethyl ether ...................
8
Gambar 2.2. Kelainan eksternal dan vertebrae akibat 2-ME......................
12
Gambar 2.3. Proses neurulasi Primer.....................................................
14
Gambar 2.4. .Perubahan bentuk sel..........................................................
15
Gambar 2.5. Skema empat tahap elevasi neural fold .............................
16
Gambar 2.6. Ilustrasi proses pembentukan neural tube dan peranan Hinge points dalam neurulasi ............................................
17
Gambar 2.7. Proses pembelahan sel pada tabung neural ........................
18
Gambar 2.8. Differensiasi dinding tabung neural...................................
20
Gambar 2.9. Kondisi histologis serebelum normal..................................
20
Gambar 2.10. Migrasi sel neuroblas dengan bantuan sel Bregmann..........
21
Gambar 2.11. Skema Migrasi neuron pada serebrum dan proses Laminasi pada kortek serebrum .......................................
22
Gambar 4.1. Hasil optimasi antibodi primer dan sekunder.......................
35
Gambar 4.2. Hasil elektroforesis protein otak embrio dari induk Kontrol uk-11 sampai dengan uk-18.................................
36
Gambar 4.3. Hasil chemiluminasi protein otak embrio dari induk kontrol uk-11 sampai dengan uk-18 hari........................................
37
Gambar 4.4. Hasil chemiluminasi protein vimentin otak embrio uk-11 sampai dengan uk-18 hari dari induk perlakuan...........
37
Gambar 4.5. Hasil chemiluminasi protein GFAP otak embrio uk-18 hari dari induk perlakuan...........................................
38
Gambar 4.6. Hasil immunodotblot protein vimentin otak fetus kontrol dan kontrol negatifnya......................................................
38
Gambar 4.7. Hasil immunodotblot protein vimentin otak fetus perlakuan dan kontrol negatifnya......................................................
39
6
Gambar 4.8. Hasil immunodotblot protein GFAP otak fetus kontrol dan kontrol negatifnya......................................................
39
Gambar 4.9. Hasil immunodotblot protein GFAP otak fetus perlakuan dan kontrol negatifnya......................................................
40
Gambar 4.10.Hasil densitometri protein vimentin otak fetus kontrol dan perlakuan .................................................................
40
Gambar 4.11.Hasil densitometri protein GFAP otak fetus kontrol dan perlakuan .................................................................
40
Gambar 4.12.Hasil densitometri protein vimentin otak fetus kontrol dan GFAP kontrol.................................................................
42
Gambar 4.13.Hasil densitometri protein vimentin otak fetus perlakuan dan GFAP perlakuan.................................................................
42
Gambar 4.14.Grafik garis hasil densitometri protein otak fetus keseluruhan Uk11 sampai dengan uk-18.......................................................
44
7
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 4.1.Hasil pengukuran kandungan protein .............................
36
Tabel 4.2. Hasil densitometri terhadap protein gfap kontrol dan Perlakuan dan densitometri protein vimentin kontrol Dan protein perlakuan.....................................................
45
Tabel 4.3. Hasil densitometri terhadap protein vimentin perlakuan GFAP perlakuan dan densitometri protein vimentin kontrol dan GFAP kontrol ............................................................
46
8
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pada dasawarsa terakhir ini, telah dilaporkan adanya dampak negatif dari bahan-bahan kimia pencemar lingkungan, di antaranya menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat, efek teratogenik maupun embriotoksik baik pada hewan maupun manusia (Colborn et al., 1993 dan Hutchison, 1997). Senyawa 2- Methoxyethanol (2ME) tergolong senyawa phthalate ester (ester ftalat) yang merupakan salah satu bahan dasar plastik (plasticizer) dan bahan pelarut dalam industri cat. Senyawa tersebut diketahui bersifat toksik baik pada individu dewasa maupun pada embrio yaitu embriotoksik dan teratogenik (penyebab cacat kandungan) pada beberapa spesies mamalia (Feuston et al.,1990, Darmanto et al., 1998). Sifat embriotoksik dan teratogenik 2-ME pada hewan percobaan juga telah dipelajari baik secara in vivo maupun in vitro (Darmanto et al., 1994a; Darmanto et al., 1994b; Darmanto et al.,1994c; Yonemoto and Brown, 1984), efek tersebut diduga disebabkan oleh hasil metabolisme 2-ME di dalam sel liver menjadi methoxyacetic acid (MAA), dengan bantuan katalisator alcohol dehydrogenase (ADH) (Brown et al.,1984, Moslen et al., 1995). Senyawa 2-ME juga diketahui sangat potensial menyebabkan kelainan perkembangan otak yaitu menyebabkan otak terdedah (excencephaly) (Ketti et al., 1996; Darmanto et al., 1994a; Darmanto et al., 1998). Penelitian kami sebelumnya menyebutkan bahwa, 2-ME menyebabkan kelainan pada otak fetus mencit yang induknya diberi 2-ME, kelainan yang muncul berupa eksensefali, penipisan kortek serebrum, kelainan pola foliasi pada cerebellum (Darmanto, 2004). Kelainan eksensefali adalah kelainan otak berupa terdedahnya
9
jaringan otak keluar yang diakibatkan kegagalan penutupan neural tube. Pada awal organogenesis,
proses
pembentukan
otak
didahului
oleh
proliferasi
sel-sel
neuroepithelium yang berdiferensiasi dari jaringan ektoderm (Dias, 2004). Otak berkembang dari jaringan berbentuk lempengan yang kemudian mengalami diferensiasi membentuk suatu tabung yang disebut neural tube. Peristiwa pembentukan tabung ini didahului oleh terjadinya perubahan bentuk sel, pembentukan dorsal lateral hingepoints (DLHPs) dan terjadi perlekatan sel pada daerah middorsal (Hildbrand, 1999). Kegagalan proliferasi sel-sel neuroepithelium, kegagalan perubahan bentuk sel dan pembentukan DLHPs dapat menyebabkan kegagalan penutupan neural tube (Hildebrand, 1999). Di samping itu, pada penelitian yang telah kami lakukan menunjukkan bahwa perlakuan dengan 2-ME dapat menyebabkan peningkatan kematian sel yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol pada sel-sel neuroepithelium (Darmanto, 2003). Diduga kematian sel ini merupakan penyebab terjadinya kegagalan penutupan neural tube, karena terjadi ketidak seimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel (Hildebrand, 1999). Biasanya jaringan yang mengalami gangguan atau kerusakan akibat suatu zat yang bersifat toksik, akan berusaha untuk melakukan penyembuhan sampai batasbatas tertentu.
Kegagalan dalam proses penyembuhan ini dapat menyebabkan
gangguan pada ekspresi protein yang diperlukan untuk penutupan tabung neural. Oleh karena itu terdapat dugaan, bahwa adanya gangguan kandungan protein pada otak yang diberi senyawa toksik berupa 2-methoxyethanol. Karena pada kondisi patologis akan terdapat perbedaan penampakan kandungan protein (Ruyani, 2003). Untuk mempelajari perbedaan kandungan protein yang diekspresikan pada kondisi patologis dibandingkan dengan kondisi normal dapat digunakan teknik Western 10
blot dan immunodotblot. Dengan mengidentifikasi dan mengkarakterisasi jenis protein fungsional ini, maka dapat menggambarkan fungsi yang sebenarnya di dalam sel atau jaringan (Ruyani, 2003). Hasil penelitian kami yang terdahulu menunjukkan bahwa terdapat penurunan kadar protein total pada sampel otak kelompok perlakuan dengan menggunakan 2-ME dosis 12,5 pada umur kebuntingan 11 hari dibandingkan sampel otak kelompok kontrol (Prihiyantoro dan Darmanto, 2004). Berdasarkan hasil tersebut diduga ada suatu jenis protein tertentu yang tidak diekspresikan akibat induksi senyawa 2-ME. Pada penelitian ini akan diungkapkan jenis protein yang tidak diekspresikan akibat induksi senyawa 2ME pada masa kritis perkembangan otak, dengan menggunakan teknik proteomik. 1.2.Kerangka Berpikir Teratogen adalah suatu bahan yang bersifat teratogenik terhadap perkembangan normal embrio atau fetus. Bahan tersebut dapat menyebabkan munculnya malformasi pada embrio atau fetus. Salah satu bahan toksik yang bersifat teratogenik, yang banyak digunakan dalam perindustrian adalah senyawa 2-methoxyethanol (2-ME). Senyawa ini banyak digunakan untuk bahan cat,
industri kulit, pelarut cat dan vernis, pabrik
semikonduktor, dan cairan rem, (Hays, et al.,2000; dalam Ruyani, et al., 2003) bahkan sebagai bahan dasar plastik yang digunakan untuk pembungkus makanan (Johanson, 2000; dalam Darmanto, 2006). Pada dasawarsa terakhir ini, telah dilaporkan adanya dampak negatif dari bahan-bahan kimia pencemar
lingkungan, di antaranya
menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat, efek teratogenik maupun embriotoksik baik pada hewan maupun manusia (Colborn et al., 1993 dan Hutchison, 1997). 2-Methoxyethanol (2-ME) adalah salah satu contoh senyawa teratogen, yang merupakan turunan dari senyawa phthalate ester (ester ftalat), yang banyak digunakan 11
sebagai bahan dasar plastik (plasticizer). Limbah senyawa ini sering terbuang ke lingkungan dan menjadi bahan polutan, khususnya pada lingkungan perairan atau sungai (Miller et al., 1983). Senyawa 2-ME juga dapat diperoleh dari hasil oksidasi Ester ftalat, yang merupakan pelentur utama dalam pembuatan plastik polivinil klorida (PVC) dan dapat larut dalam plasma darah selama darah tersebut disimpan dalam kantung plastik transfusi (Ruyani et al., 2001). 2-ME masuk ke dalam tubuh melalui pemaparan pada kulit dan saluran pernapasan (Dugard et al., 1984). 2-ME dan metabolitnya di dalam tubuh dapat merusak sel-sel dan jaringan. Sifat teratogenik 2-ME disebabkan oleh hasil metabolisme 2-ME di dalam sel hati menjadi 2-metoksiasetaldehid (MALD) dengan bantuan katalisator alcohol dehydrogenase (Brown et al., 1984, Moslen et al., 1995). 2-metoksiasetaldehid (MALD) selanjutnya akan dioksidasi lagi dengan bantuan enzim aldehid dehidrogenase menjadi asam metoksiasetat (MAA). MAA inilah yang masuk ke dalam tubuh dan dapat menyebabkan toksisitas serta kelainan fetus. MAA yang masuk ke dalam tubuh dapat mempengaruhi sintesis DNA dan RNA, sehingga terjadi pula penghambatan sintesis protein (Ellis et al., 1991; Umansky, 1996). Senyawa 2ME, telah diketahui bersifat toksik maupun teratogenik dan dapat menyebabkan cacat kandungan pada beberapa spesies mamalia (Feuston et al., 1990). Disamping itu, 2-ME sangat potensial menyebabkan kelainan perkembangan otak yaitu menyebabkan otak terdedah (Ketti et al., 1996). Otak merupakan organ yang penting karena memiliki fungsi koordinasi. Kegagalan perkembangan otak akan mengakibatkan gangguan hampir semua fungsi tubuh. Oleh karena itu, masa pembentukan organ otak, dibentuk paling awal, namun selesai pembentukannya juga paling akhir. Terpaparnya jaringan yang akan berkembang 12
menjadi calon otak ini terhadap bahan toksik akan menyebabkan kegagalan pembentukan tabung neural. Kegagalan penutupan tabung neural ini menyebabkan kelainan yang serius karena bersifat letal. Kegagalan penutupan tabung neural pada bagian anterior menyebabkan terjadinya eksensefali atau anensefali, sedangkan kegagalan penutupan pada bagian posterior disebut spina bifida (Dias et al., 2004). Perkembangan calon otak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah protein ekstraselular dan intraseluler. Nerurofilament, merupakan protein yang terdapat di sel-sel neuron. Vimentin dan Glial fibriler acidic protein merupakan protein ekstraseluler yang sel-sel glial. Neurofilamen, berperan dalam pembentukan neuron, khususnya dalam menstabilkan prosesus dendritik dan akson, terutama saat neuronneuron bersinapsis. Pengaturan komposisi Nf neuron sangat diperlukan, Kegagalan pengaturan ini, berpengaruh terhadap ekspresi subunit neurofilamen, dan menyebabkan agregrasi Nf (Julien et al., 1998; Julien, 1999; Strong et al., 2004; Thyagarajan dan Szaro, 2007). Keadaan demikian menyebabkan penumpukan Nf di badan sel, dan menghambat proses migrasi sel. Vimentin dan GFAP (glial acidic acid protein). Protein filamen berperan dalam pembentukan kerangka struktural sel, bentuk sel dan mengorganisir organel organel di dalam sitoplasma. Peran struktural dari filamen ini adalah sebagai sitoskeleton, yang bertanggung jawab tidak hanya dalam pergerakan di dalam sel, tepai juga untuk transpor internal organel dan struktur lainnnya di dalam sitoplasma. Adanya protein sitoskeleton memberikan sifat sel menjadi lentur. Vimentin dan GFAP dapat diekspresikan secara simultan pada sel-sel glial khusus yaitu sel astrosit serabut, sel Bergmann (astrosit unipolar), sel schawnn dan sel Muller reaktif. Selama
13
perkembangannya, glial radial (astrosit) yang tampak pada awal perkembangan, akan memandu pertumbuhan neuron-neuron dengan dendrit dan aksonnya. 2-ME dan metabolitnya di dalam tubuh, dapat mempengaruhi sintesis DNA dan RNA, hal ini dapat menghambat sintesis protein, sehingga dapat merusak sel-sel dan jaringan di dalam tubuh. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian MAA dapat mengganggu ketersedian basa purin dan pirimidin. Hal ini diharapkan dapat mempengaruhi DNA dan atau sintesis RNA, yang pada akhirnya mempengaruhi proliferasi dan differensiasi sel di dalam perkembangan embrio (Mebus and Welsch,1989). Akibat gangguan sintesis protein yang disebabkan oleh MAA atau 2ME, dapat pula mengganggu lingkungan di sekitar sel. Hal ini menyebabkan, sinyal internal yang dilepaskan oleh sel, dapat mengganggu ultrastruktur dari sel. Gangguan ultrastruktur seperti gangguan asimetris fosfolipid dan membran sitoplasma, menyebabkan fosfatidilserin terdedah kelapisan luar membran. Sinyal internal maupun eksternal sangat diperlukan selama proses organogenesis. Untuk itu akan dilakuakan penelitian untuk tehadap ekspresi protein dan DNA untuk mengetahui protein yang berperan dalam perkembangan otak.
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tinjauan Tentang 2-Methoxyethanol 2.1.1. Sifat Fisika dan Kimia 2-ME Senyawa 2- Methoxyethanol (2-ME) dengan nama lain ethylene glycol monomethyl ether, mempunyai rumus kimia C3H8O2. Ciri-ciri yang dimiliki 2-ME diantaranya yaitu tidak berwarna, mudah terbakar, larut dalam air, mempunyai titik didih 124,6 OC dan titik beku 85,1OC. Senyawa 2-ME dilaporkan banyak digunakan sebagai bahan campuran cat, tinta, percetakan foto, zat anti beku yang ditambahkan pada bahan adiktif pompa hidrolik dan bahan bakar jet (Johanson, 2000). 2.1.2. Metabolisme 2-Methoxyethanol Prinsip jalur biotransformasi 2-methoxyethanol melibatkan dimetilasi gugus Oksigen (O) yang dilanjutkan dengan oksidasi, dengan membuang gugus aldehyd, untuk membentuk metabolit-metabolit utama 2-methoxyacetic acid (MAA). Pada tikus, sekitar 60%-70% senyawa MAA diekresikan di dalam urin. Jalur kedua, hasil dealkalisasi ikatan ether membentuk senyawa 2-methoxy ethanol, yang selanjutnya dioksidasi menjadi 2-methoxyacetic acid (MAA). Jalur biotransformasi dan metabolisme 2-methoxyacetic acid tertera pada gambar 2. 1. Sifat toksisitas senyawa 2-ME disebabkan oleh hasil metabolismenya di dalam sel hati menjadi 2-methoxyacetic acid (MAA) dengan bantuan alkoholdehidrogenase (Darmanto,
1998).
Senyawa
2-ME
sangat potensial
menyebabkan
perkembangan otak yaitu menyebabkan otak terdedah (exencephaly).
15
kelainan
Gambar 2. 1 Metaboloisme Diethylene glycol dimethyl ether (Daniel et al., 1986; Cheever et al.,1988; Toraason et al., 1996; CICADAS 41, 2002) Senyawa 2-ME masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan atau kontak langsung dengan kulit. Di dalam tubuh senyawa 2-ME akan dioksidasi menjadi 2methoxyacetaldehyd (MALD) dengan bantuan enzim alkohol dehidrogenase (ADH). MALD dioksidasi lebih lanjut menjadi asam metoksiasetat dengan bantuan aldehid dehidrogenase. Senyawa methoxyacetic acid (MAA), akan melintasi plasenta dan mengganggu perkembangan fetus, sehingga bersifat toksik di dalam tubuh. Senyawa 2ME juga dapat diperoleh dari hasil oksidasi Ester ftalat, yang merupakan pelentur utama dalam pembuatan plastik polivinil klorida (PVC), dapat larut dalam plasma darah selama darah tersebut disimpan dalam kantung plastik PVC dan selama pencucian darah (Ruyani et al., 2001). 16
Hasil metabolit utama Diglema berupa asam methoxyaseticacid (MAA), MAA ini akan ditransfer ke fetus dan merupakan satu satunya metabolit yang dijumpai dalam tubuh fetus (CICADS 41, 2002). Senyawa Glycol ether tidak diakumulasi tetapi tersebar diseluruh tubuh, sedangkan metabolitnya MAA diakumulasi dan mempunyai waktu paruh 77,1 jam. 2. 2. Tinjauan Tentang Mencit Klasifikasi Mencit (Mus musculus L.) menurut Storer dan Usinger (1957) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Classis
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Familia
: Muridae
Genus
: Mus
Spesises
: Mus musculus L.
Mencit termasuk kedalam kelas Mamalia, ordo Rodentia, famili Muridae dan spesies Mus musculus. Mencit mempunyai siklus hidup yang pendek, kemampuan hidup 2,5-3 tahun, mencapai tingkat kedewasaan dan dikawinkan pada umur 8-10 minggu. Masa kebuntingan mencapai umur 18-21 hari dengan siklus birahi 4-5 hari, masa reproduksinya antara 2-14 bulan. Jumlah anak yang dilahirkan berkisar antara 10-14 ekor, dengan masa menyusui selama 21 hari. Mencit termasuk hewan nokturnal, dimana masa kawin terjadi pada sore hari yang dibuktikan dengan adanya sumbat 17
vagina (Rugh,1968). Perkembangan terdiri dari 3 fase yaitu: (1) perkembangan awal, dimulai dari fertilisasi sampai Pembentukkan lapisan-lapisan germinal (2) Organogenesis dasar (3) Differensiasi jaringan. Setelah terjadi fertilisasi, inti ovum dan sperma membentuk pronuklei jantan dan betina. Selanjutnya pada umur kebuntingan 1 hari, zigot pembelahan menjadi 1-2 sel, di dalam oviduk. Pembelahan terus berlangsung hingga membentuk 2-16 sel,
dan
bermigrasi dari oviduk menuju uterus. Pada umur kebuntingan 3 hari, sel tersebut memasuki tahap morula. Blastula terbentuk pada umur kebuntingan 4 hari dan umur kebuntingan 4,5 hari terjadi implantasi awal pada dinding uterus (Rugh, 1968). Setelah proses implantasi berjalan dengan sempurna pada umur kebuntingan 6 hari, maka proses organogenesis awal mulai terjadi. Proses organogenesis ditandai dengan terbentuknya tiga lapisan germinal, yaitu ektoderm, endoderm dan mesoderm, pada umur kebuntingan sekitar 7,5 hari.
2.3. Tinjauan Malformasi Tabung Neural (Neural Tube) Malformasi merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada saat lahir, sering disebut malformasi kongenital atau cacat bawaan. Cacat bawaan didefinisikan sebagai cacat/kelainan struktural makroskopis yang terdapat pada saat lahir. Sedangkan pengertian lebih luas yaitu kelainan congenital atau ”anomaly congenital” adalah cacat struktural baik secara makroskopik, mikroskopik maupun secara molekuler serta gangguan metabolisme atau gangguan fisiologik yang terdapat waktu lahir. Terjadinya malformasi biasanya pada periode sensitiv, pada mencit terjadi pada masa organogenesis. Kelainan yang terjadi dapat berdampak terhadap fisik maupun mental. Cacat bawaan yang dimunculkan bisa tunggal atau ganda, masih 18
memungkinkan anak untuk hidup atau tidak hidup. Teratogen adalah agen atau bahan yang menyebabkan malformasi fetus, bila diberikan atau dipakai oleh wanita yang sedang hamil. Zat teratogen yang dipakai dalam penelitian ini adalah 2-Methoxyethanol (2-ME), diduga dapat menyebabkan malformasi pada otak. Malformasi otak itu sendiri diartikan sebagai suatu kumpulan gangguan dari perkembangan otak yang terdapat pada saat lahir (Moore, 2002). Perkembangan otak dimulai dengan cepat, terjadi setelah terbentuknya tiga lapisan benih dan terus berlangsung selama pertumbuhan fetus. Program genetik yang kompleks akan mengkoordinasi pembentukan, pertumbuhan dan migrasi berjuta-juta sel syaraf dan berkembang menjadi wilayah otak yang terpisah dan saling berinteraksi. Gangguan pada program genetik ini, khususnya pada awal perkembangan dapat menyebabkan malformasi struktural pada otak. Malformasi otak mungkin juga dapat disebabkan oleh faktor genetik yang diturunkan, mutasi spontan pada gen semasa embrio, atau karena embrio terkena infeksi yang berasal dari induk, trauma atau penggunaan obat. Pada awal perkembangan otak, suatu jaringan pipih yang berada di bagian dorsal fetus akan mengalami pelekukan membentuk tabung neural. Tabung neural ini juga akan berkembang menjadi batang spinal dan sisi lainnya akan berkembang menjadi otak (Moore, 2002). Penutupan tabung neural diperlukan untuk perkembangan selanjutnya dari jaringan yang ada di dalamnya. Banyak jenis-jenis kelainan perkembangan otak, yang disebabkan oleh gangguan penutupan tabung neural. Kalainan tersebut antara lain adalah anencephali, terjadi karena bagian atas tabung neural gagal menutup; encephalocel, penonjolan bagian otak melalui kranium; Spina bifida (gambar 2. 2), kagagalan penutupan tabung neural; meningomyelocel, penutupan
19
tabung neural yang tidak sempurna; dan masih banyak malformasi lainnya. Segera setelah penutupan tabung neural, otak terbagi menjadi 2 belahan hemisphere. Kegagalan pemisahan ini juga dapat menyebabkan terjadinya malformasi berupa holoprosencephali, yang diiringi dengan cacat-cacat lainnya. dan menings menonjol ke luar; hidrosefalus, terbentuknya kista pada ventrikel. Pematang dan lembah yang normal pada otak yang matur, dibentuk setelah sel-sel di bagian dalam otak yang sedang berkembang, bermigrasi ke lapisan lebih dalam dan mengalami proliferasi. Jika sel-sel tersebut gagal bermigrasi maka dapat menimbulan kelainan berupa “smooth brain” ( lissencephali). Jika terjadi selama pertumbuhan, 20 minggu pertama kehamilan, maka jaringan otak akan terhenti, sementara jaringan di sekitar otak terus tumbuh. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya celah pada permukaan otak disebut schizencephali.
Gambar 2. 2 Kelainan eksternal pada otak dan vertebrae akibat 2-ME dosis 10 mmol/Kg BB yang diamati pada umur kehamilan 18 hari, (A) Otak terdedah keluar (eksensefali), (B) Kelainan pada vertebrae (Spina bifida) (Darmanto, 2006) .
20
Kelainan otak berupa Neural Tube defects (NTDs) pada proses penutupan neural tube bersifat menurun pada manusia, terutama pada ibu yang pernah melahirkan bayi NTDs. Kelainan ini terjadi dengan rasio 1/1000 kelahiran manusia dan berpeluang terulang kembali diketurunannya sekitar 2-5 % (Harris dan Juriloff, 1999). Peningkatan kematian sel di bagian neural dapat menimbulkan Open Neural Tube (ONT) yang merupakan indikasi dari NTDs (Terry et al., 1996). Diketahui terdapat 40-50 gen yang berpotensi terhadap munculnya NTDs (Harris dan Jurillof , 1999). 2. 4. Perkembangan Tabung Neural (Neural Tube) Neurulasi adalah proses pembentukan sistem saraf, dalam hal ini otak. Proses neurulasi dimulai pada tahap akhir gastrulasi, dimana sudah terbentuk tiga lapisan benih, yang saling berinteraksi. Formasi pembentukan otak dibedakan menjadi dua tahap yaitu tahap pembentukan tabung neural dan tahap diferensiasi tabung neural. Tahap pembentukan tabung neural terdiri dari dua tahapan yaitu tahapan neurulasi primer dan tahap neurulasi sekunder. Pada tahan neurulasi primer sel-sel disekitar neural plate secara langsung akan menjadi sel neural plate dan sel tersebut berproliferasi, invaginasi ke wilayah bagian dorsal, membentuk tabung berongga. Selama proses neurulasi primer, dari lapisan ektoderm akan dibentuk tiga kelompok sel, yaitu sel bagian dalam tabung neural, berkembang menjadi otak dan spinal cord;
sel bagian luar berkembang menjadi
epidermis dari kulit; dan sel neural crest. Sel neural cerst berasal dari wilayah yang menghubungkan epidermis dan tabung neural, kemudian bermigrasi ke semua tempat. Sel tersebut akan membentuk sel saraf perifer dan ganglia, sel pigmen kulit, beberapa jenis sel lainnya (Gilbert, 2000). Neurulasi terjadi dengan cara yang berbeda di setiap bagian tubuh. Pada wilayah
kepala dan badan dibagi menjadi empat tahap yang 21
terkadang saling tumpang tindih. Tahap tersebut terdiri dari: 1) pembentukan neural plate, 2) perubahan bentuk sel neuroektoderm, 3) pelekukan neural plate merubah neural plate menjadi neural groove, 4) menutup neural groove menjadi neural tube (gambar 2. 3). Proses neurulasi dimulai dari signal yang dihasilkan dari mesoderm dorsal kearah sel-sel disekitar ektoderm. Signal tersebut menyebabkan sel ektoderm yang berbentuk panjang berubah menjadi sel yang berbentuk kolumnar (gambar 2.4). Bentuk sel yang memanjang merupakan bakal sel neural plate. Neural plate ini terletak memanjang disepanjang aksis anterior-posterior. Setelah terbentuknya keping neural,
Gambar 2.3 Proses neurulasi primer.(A,1) sel neural plate ditandai dengan sel yang memanjang pada bagian dorsal ectoderm. Pelekukan dimulai di bagian sel medial neural hinge point (MHP). (B,2) pelekukan mulai meninggi dan terus bergerak ke wilayah dorsal tengah.(C,3) Penyatuan lipatan neural di sel dorsolateral hinge point (DLHP). (D, 4) Lipatan neural bertemu dengan lipatan neural lainnya dan terbentuk tabung neural.( Schoenwolf and Smith 1990).
22
bagian sisi kiri dan kanan mengalami penebalan, bergerak ke arah dorsal membentuk neural fold. Neural groove akan tampak pada bagian tengah dari plete tersebut. Neural fold akan bermigrasi ke arah midline dari embrio, berfusi membentuk neural tube. Lapisan yang menutupi permukaan dorsal dari neural tube adalah ektoderm.Pada saat neural fold berfusi akan dilepaskan sel-sel neural crest. Pelekukan neural plate melibatkan pembentukan wilayah engsel (hing regions), suatu tempat dimana neural tube kontak dengan jaringan sekitarnya. Pada region hing, bakal sel-sel epidermal berlekatan dengan sisi lateral dari neural plate, bergerak menuju midline. Sel pada midline neural plate ini disebut sel medial hing points (MHP). Sel MHP ini berasal dari bagian neural plate, hanya bagian anterior dan tengah dari
nodus
Hensen’s.
A B
C
Gambar 2. 4 Perubahan bentuk sel. A. Selapis sel neuroektoderm B. Bentuk sel Neuroektoderm memanjang, sehingga sel berubah menjadi kolumnar C. Filamen aktin berkondensasi di bagian apikal, sehingga terjadi penyempitan di bagian apikal membentuk kumpulan sel yang berbentuk baji (Van Der Put et al., 2001).
Notokord yang berada di bawah MHP, menginduksi sel-sel MHP, untuk memperendah bentuk sel yang tinggi menjadi bentuk yang salah satu ujungnya tipis atau tebal. Selain MHP, terdapat dua hing region lainnya, yang terlibat dalam pelekukan neural plate. Region ini disebut dorso-lateral hing points (DLHPs). DLHPs merupakan tempat perlekatan permukaan ektoderm dengan neural fold (gambar 2. 5 dan 2.6). Hing region berperan sebagai engsel, agar sel dapat melekuk membentuk 23
seperti tabung, bukan seperti buku yang melipat. Proses perubahan bentuk sel pada hing region, melibatkan mikrotubul dan mikrofilamen. Proses penutupan neural tube terjadi di wilayah midline. Pada saat penutupan neural tube di daerah kranial atau leher, sel neural crest yang dilepaskan segera bermigrasi, walaupun neural tube belum menutup. Sementara di wilayah kaudal, sel neural crest tidak bermigarsi, sampai neural tube tertutup sempurna. Proses penutupan neural tube tidak terjadi secara simultan, dimana penutupan
di kepala lebih cepat dibandingkan dengan penutupan di wilayah
kaudal. Regionalisasi neural tube terjadi sebagai akibat perubahan pada bentuk neural tube. Serangkaian perubahan itu adalah penggelembungan, berupa konstriksi di berbagai bagian kompartemen otak. Pada bagian kaudal, neural tube masih berupa tabung sederhana, yang ramping pada bagian ekornya. Dua ujung neural tube masih terbuka membentuk neuropore anterior dan neuropore posterior. Pada embrio, neural tube terbentuk pada usia kebuntingan 8-10 hari.
A. C.
B. D.
Gambar 2. 5. Skema empat tahap elevasi neural fold. A.sel neuro epitelium memanjang membentuk seperti sebuah bukit B. pembentukan neural groove C. delaminasi, awal elevasi neural fold D. Pelekukan dibantu oleh DLHPs. DLHP, dorsolateral hingepoint; ec, ectoderm; np, neural plate; nf, neural fol (Colas dan Schoenwolf, 2001).
24
Tahap neurulasi sekunder melibatkan pembentukan cord medulla dan berongganya cord medulla menjadi neural tube. Differensiasi neural tube menjadi berbagai sistem syaraf pusat terjadi secara simultan dengan tiga cara yang berbeda.Secara anatomi, neural tube mengalami konstriksi membentuk ruang-ruang otak dan spinal cord. Populasi sel di dalam dinding neural tube menata dirinya untuk membentuk sel-sel otak dan spinal cord. Pada tingkat selular, sel neuroepitelium berdifferensiasi menjadi bermacammacam sel syaraf dan sel glia (sel pendukung sel syaraf). Pada mamalia, bagian tabung neural yang berkontriksi membentuk prosencephalon (forebrain), mesencephalon (midbrain)
dan
rhombencephaoln
(hindbrain).
Neural
tube
tersusun
atas
neuroepitelium, berupa satu lapisan sel yang tebal. Sel pada neuroepitelium terus membelah dari lumen neural tube ke arah tepi neural tube (gambar 2. 7). Sel yang terletak di lumen neural tub
Gambar 2. 6 Ilustrasi proses pembentukan neural tube dan peranan hinge point dalam proses neurulasi (Colas and Shoenwolf, 2001) setelah membelah akan bermigrasi, sehingga membentuk lapisan sekunder, disekitar neural tube. Sel neuroblast dan sel glial (sel pendukung), yang bermigrasi ke perifer tabung neural selanjutnya akan berdiferensiasi. Diferensiasi tabung neural selanjutnya tergantung pada posisi neuroblast yang terdapat pada wilayah yang membelah (Gilbert, 25
2000). Sel yang berdekatan dengan lumen tabung neural terus membelah, migrasi beberapa sel-sel membentuk lapisan sekunder disekitar tabung neural tersebut. Sel pada lapisan ini secara progresif terus bertambah dan lapisannya bertambah tebal. Lapisan yang baru ini disebut lapisan mantel (zona mantel). Epitel germinal yang terletak berbatasan dengan lumen, sekarang membentuk lapisan ependim. Sel-sel pada lapisan mantel berdiferensiasi menjadi beberapa neuron dan sel glia. Neuron berhubungan satu dengan yang lainnya dan membentuk perluasan neuron (akson) dari lumen, sehingga terbentuk lapisan marginal. Akhirnya sel glial membungkus akson ini dengan selaput mielin, sehingga lapisan ini tampak berwarna keputihan. Jadi pada lapisan mantel mengandung badan sel neuron, sedangkan lapisan marginal mengandung akson, yaitu perluasan neuron. Akhir dari pembentukan otak terbentuk tiga lapisan yaitu lapisan ependim, lapisan mantel dan lapisan marginal (gambar 2. 8). Migrasi, diferensiasi dan apoptosis terjadi pada ketiga lapisan ini . Lapisan ini disebut lapisan ektranal granuler layer (EGL). Sel pada lapisan EGL ini akan
Gambar 2. 7. Proses pembelahan sel pada tabung neural. Sel yang bermitosis tedapat berdekatan dengan lumen tabung neural. (B) Scanning electron micrograph menunjukkan tabung neural yang baru dibentuk pada stadium siklus sel yang berbeda beda (Colas and Shoenwolf, 2001)
26
Pada proses perkembangan awal cerebellum tidak jauh berbeda dengan serebrum. Pada cerbellum, beberapa sel neuroblast pada lapisan ventrikel bermigrasi, untuk membentuk lapisan germinal yang baru, yang berbatasan dengan bagian luar tabung neural. membentuk sel bergranuler dan sel glial yang baru. Sel granuler pada lapisan EGL mensintesis protein Reelin, yang diperlukan untuk matrix adhesion molecule yang membantu pengaturan pola posisi sel syaraf dan migrasi. Pada perbatasan EGL sebelah luar, segera setelah sel granuler berproliferasi akan bermigrasi ke lapisan dibawah lapisan marginal, melalui lapisan sel purkinye, membentuk lapisan internal granuler (IGL). Sel neuroblas lainnya yang bermigarsi, akan berbentuk neuron besar disebut Purkinye. Sehingga terbentul lapisan sel purkinye. Jika lapisan granuler sudah terbentuk, maka prekursor sel Purkinye yang telah bermigrasi ke bawah lapisan ekstragranuler layer akan berdiferensiasi membentuk cabang dendritik (gambar 2. 9). Dalam migrasinya, sel Purkinye dipandu oleh sel glial Bregmann (gambar 2. 10). Tanpa sel glial Bregman, maka sel purkinye tidak kontak dengan sel granuler, sehingga migrasi terhambat dan terjadi degenerasi pada neuroblast. Sel purkinye itu sendiri berperan dalam
mensintesis protein Sonic hedgehog. Protein ini berperan
mempertahankan pembelahan prekursor neuron granuler pada IGL. Pengorganisasian penempatan sel Purkinye, merupakan periode kritis dalam perkembangan fungsi cerebellum. Hal ini merupakan indikator untuk mengetahui kegagalan perkembangan otak. Lapisan cerebrum tersusun atas tiga zona, yaitu zona ventrikular, zona intermedate dan zona marginal. Pada proses perkembangan cerebrum, terutama pada korteks cerebral, ditandai oleh proliferasi sel, migrasi, laminasi dan diffrensasi. Tahap 27
Gambar 2. 8. Diferensiasi dinding tabung neural, terdiri dari 3 zona yaitu ventricular (ependymal), intermediat (mantle), and marginal. Pada spinal cord dan medulla,zona ependima merupakan satu satunya sumber neuron dan sel glial. Pada cerebellum lapisan ekstra granuler terletak pada wilayah yang jauh dari lapisan ependim, neuroblast dari lapisan ini akan bermigrasi balik ke lapisan intermediate membentuk sel sel granula. Pada cerebrral korteks, migrasi neuroblasts dan glioblasts membentuk korteks plate yang terdiri dari enam lapisan (Jacobson 1991; Gilbert, 2000).
Gambar 2. 9. Kondisi histologis normal cerebellum, Eksternal Granuler Layer (EGL), Purkinye Cell (PC), Internal Granuler Layer (IGL) pada fetus mencit postnatal UK-9 hari (Darmanto,2002) 28
Gambar 2. 10. Migrasi sel neuroblast dengan bantuan sel Bregmann (J. Comp. Neurol. 145:61–84, 1972.) korticogenesis dimulai pada lapisan preplate di zona ventrikular, merupakan tahap proliferasi sel di korteks untuk membentuk sel Cajal-Retzius dan sel neuron subplate (Sp). Posisioning sel pada lapisan ventrikel otak dipengaruhi oleh protein reelin. Protein Reelin disintesis oleh sel Cajal-Retzius yang berlokasi di zona marginal dari korteks cerebral (Dutta, 2005). Migrasi sel dalam perkembangan otak terjadi melalui migrasi radial, yang paling umum terjadi. Sel neuron zona ventrikular kontak dengan sel radial glial, yang akan memandu migrasi neuron ini ke zona intermediate. Migrasi akan berhenti tepat di bawah sel Cajal-Retzius, pada zona marginal dan membentuk lapisan kortek plate (Cp). Pada cerebral korteks yang normal, reelin disintesis oleh sel Cajal-Retzius dan terekspresi di lapisan Marginal zone. Apabila sintesis protein reelin terganggu maka sel neuron pada lapisan Subplate akan terakumulasi di wilayah zona marginal membentuk zona Superplate (Spp). Sel neuron cortical plate tidak bermigrasi ke lapisan subplate dan terakumulasi di zona marginal (gambar 2. 11). 29
2. 5. Protein Ektraselular yang Terlibat Dalam Pembentukan Neural Tube Jaringan tidak hanya dibangun oleh sel-sel saja , akan tetapi juga dibangun oleh substansi yang mengisi ruang-ruang ekstraselular yaitu matriks ekstraselular. Matriks tersebut tersusun oleh berbagai macam protein ekstraselular dan sel-sel jaringan ekstraselular. Protein ekstraselular disekresikan oleh sel jaringan ekstraselular yang dapat membentuk kerangka jaringan yang saling berhubungan erat dengan permukaan sel yang menghasilkannya. Matriks ekstraselular pada vertebrata, berperan tidak hanya sebagai kerangka untuk menstabilkan struktur fisik dari suatu jaringan, tetapi juga berperan sebagai substrat bagi sel untuk bermigrasi, memberikan signal untuk perkembangan dan memberikan arah pergerakan dari sel, pengatur tingkah laku sel-sel yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya, mempengaruhi kemampuan hidup sel, perkembangan, bentuk dan fungsi sel (Bruce et al., 2002). Sementara sel-sel yang terdapat di dalam matriks ekstraselular, juga
berperan untuk mengorganisir
substansi matriks,
Gambar 2. 11. Skema migrasi sel neuron pada cerebrum dan proses laminasi Cortical plate (Cp), Intermediate zone (Iz), Ventricular zone (Vz), Superplate (Spp), Subplate (Sp)(Dutta, 2005).
30
melalui
orientasi sitoskeleton di dalam sel, sehingga dapat mengontrol orientasi
matriks yang dihasilkan ke luar sel. Pada sistem saraf pusat, beberapa sel yang terdapat di dalam matriks ekstraselular diantaranya adalah sel radial glial, astroglial. Sel matriks ekstraselular tersebut mensekresi protein filament di dalam sitoplasmanya. Protein tersebut di antaranya berupa vimentin dan GFAP (glial acidic acid protein). Protein filamen ini berperan dalam pembentukan kerangka struktural sel, bentuk sel dan mengorganisir organel organel di dalam sitoplasma. Peran struktural dari filamen ini adalah sebagai sitoskeleton, yang bertanggung jawab tidak hanya dalam pergerakan di dalam sel, tetapi juga untuk transpor internal organel dan struktur lainnnya di dalam sitoplasma. Adanya protein sitoskeleton memberikan sifat sel menjadi lentur. Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) dan Vimentin, keduanya merupakan komponen filamen intermediet dari sel-sel astroglial. Ekspresi dari GFAP secara kuantitatif dan kualitatif berhubungan erat dengan ekspresi dari protein vimentin (Galou et al., 1996). Pada perkembangan awal sistem syaraf pusat, filamen intermediet dari sel-sel glial dan astrosit dewasa, tersusun oleh vimentin (Franke et al., 1978 ; Bignami et al., 1982; Galou et al., 1996), pada saat menjelang lahir, vimentin akan digantikan oleh GFAP. GFAP terekspresi pada sel-sel astroglial yang berdifferensiasi. Pada tikus, GFAP
pertama kali dideteksi pada sistem saraf pusat fetus tikus umur
kehamilan ke-18, di beberapa prosesus sel (lewis and Cowan, 1985; Landry et al., 1990; Sarthy et al., 1991; Galou et al., 1996), setelah lahir GFAP meningkat dan menjadi filamen intermediate utama di dalam sel-sel astrosit dewasa (Bignami et al. 1972; Lewis et al., 1984., Galou et al., 1996). Vimentin dan GFAP dapat diekspresikan secara simultan pada sel-sel glial khusus yaitu sel astrosit serabut, sel Bergmann (astrosit unipolar), sel schawnn dan sel Muller reaktif. Dari hasil penelitian Galou et al., 31
1996, menunjukkan bahwa pada mencit knockout (Vim ¯ ), memiliki astrosit reaktif dan tidak mengekspresikan GFAP, sehingga
gagal membentuk kerangka jaringan
filamen. Jadi tampaknya vimentin sangat penting untuk menstabilkan filamen-filamen GFAP sehingga kerangka jaringan terbentuk. Hasil analisis westren blot menunjukkan bahwa gangguan pembentukan GFAP pada serebelum disebabkan oleh gangguan mekanisme post translasi. GFAP merupakan komponen protein filamen intermediat di dalam sel-sel astroglial, sel yang terdapat di dalam jaringan ikat syaraf. Tepatnya di dalam serabut astrosit. Astrosit merupakan salah satu dari sel-sel astroglial. Selama perkembangannya, sel radial glial (astrosit) yang tampak pada awal perkembangan, akan memandu pertumbuhan neuron-neuron dengan dendrit dan aksonnya. Astrosit yang sudah dewasa mungkin akan mempengaruhi perkembangan oligodendrosit dan endotelium. Pada sistem syaraf pusat, astrosit berperan sebagai struktur yang mendukung sel-sel disekitarnya, mengatur tingkatan ion-ion dan neurotransmiter di dalam cairan ekstraselular. Dengan demikian, astrosit mempengaruhi sifat-sifat fisiologis neuron-neuron yang ada disekitarnya. Prekursor astrosit, pertama
kali
mengekspresikan vimentin, setelah berdifferensiasi, akan mengekspresikan GFAP. GFAP biasanya dipakai sebagai marker astrosit dalam perkembangan sistem syaraf pusat. Hasil penelitian Pekny et al., 1999, menyatakan bahwa pada sistem syaraf yang luka, astrosit akan menjadi reaktif dan menunjukkan ekspresis GFAP dan vimentin yang rendah. Keadaan ini diikuti oleh regenerasi sinaptik yang luar biasa. Pada tingkat molekular, astrosit reaktif tidak dapat mengatur lebih jauh reseptor endotelin B, yang diperkirakan pengaturannya bergantung pada vimentin dan GFAP. Pada astrosit reaktif, memiliki beberapa ciri yaitu astrosit mengalami hipertropi pada prosesusnya dan hiperplasia. Adanya astrosit reaktif merupakan inhibitor yang sangat berpotensi dalam 32
menghambat proses neuroregenerasi dan pertumbuhan neurit (Silver and Miller, 2004; Wilhelmsson et al., 2004). Keadaan yang demikian biasanya diikuti dengan penyakit degeneratif, stroke, tumor dan neurotoma (Wilhelmsson et al., 2004). Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa ekspresi GFAP dan vimentin sangat berhubungan erat satu dengan lainnya. Vimentin merupakan protein filamen intermediet, merupakan struktur penting pada sel-sel eukariot. Bersama mikrotubul dan mikrofilamen aktin membangun sitoskeleton. Vimentin berperan penting sebagai pendukung dan mengatur posisi organel-organel di dalam sitoplasma, sehingga dapat dikatakan bahwa vimentin berperan dalam mempertahankan struktur intregitas di dalam sel, mempertahankan bentuk sel dan stabilitas sel (wikepedia, http://en. wikipedia. org/wiki/Vimentin). Vimentin yang merupakan vilamen intemediate berperan sebagai signal transduksi (Helfand et al., 2005). Vimentin dapat berinteraksi dengan MAP (mitogen-activated protein) kinase, yang terdapat pada ujung akson yang luka. Vimentin berperan untuk mentranspor kinase ke badan sel dan menuju inti sel. Kinase tersebut mengaktifkan dan mempengaruhi ekspresi gen neuron sedemikian rupa, sehingga neuron dapat memberi respon terhadap kerusakan yang terjadi. Vimentin dijumpai pada stadium embrionik, pada sel-sel glial immature dan selsel progenitor multipotensial. Seperti yang telah dikatakan dimuka bahwa pada sistem syaraf yang luka, astrosit akan menjadi reaktif. Gangguan astrosit reaktif juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan vimentin, dimana pada otak yang mengalami luka, menunjukkan ekspresi vimentin yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa vimentin diperlukan dalam mereparasi jaringan otak yang luka melalui migrasi sel-sel yang aktif dan pembentukan parut jaringan (Moon et al., 2004). Pada sistem syaraf yang mengalami luka, terbentuk parut dan diikuti dengan pendarahan. Parut yang terbentuk 33
berupa massa yang kurang padat. Hal ini menunjukkan, bahwa untuk pembentukan parut yang normal dan padat, maka diperlukan GFAP dan vimentin yang cukup.
34
BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Rancangan Penelitian Penelitian yang akan dilakukan adalah studi eksperimental di laboratorium, rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie, 1989 ). Dalam rangka membuktikan hipotesis, strategi penelitian secara garis besar yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: Optimasi antibodi primer dan sekunder dilakukan untuk mengetahui konsentrasi yang diperlukan untuk westerblot.Perhitungan kandungan protein total dengan alat nanodrop dan kit BCA.Pengamatan ekspresi protein Vim dan GFAP dari otak fetus UK-11 sampai dengan UK-18 hari, secara elektroforesis protein dan westernblot dan chemiluminasi. Pengamatan ekspresi protein Vim dan GFAP dari otak fetus UK-11 sampai dengan UK-18 hari secara immunodotblot dan densitometri. 3.2.Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah mencit Mus musculus (Swiss webster), yang diperoleh dari Puslitbangkes dan Toksikologi hewan Coba Universitas Indonesia, sebanyak 20 ekor. Pengambilan sampel secara acak (random). Sampel pada penelitian tahap pertama terdiri dari 20 ekor, dimana 10 induk mencit bunting diberi 2-ME dengan dosis 7,5 mmol/kg berat badan, secara intraperitoneal, pada hari kebuntingan 10. Pada umur kebuntingan ke-11, 12,13,14,15,16,17,dan ke-18, semua induk mencit dibunuh, kemudian fetus disimpan dalam larutan freezer suhu 20ºC untuk persiapan elektroforesis protein Vimentin dan GFAP secara Western blot.
35
3.3.Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Universitas negeri Jakarta, Laboratorium Toksikologin Departemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Yamaguchi University. Waktu penelitian mulai bulan April sampai dengan bulan November 2011. 3.4.Tahap Pelaksanaan Penelitian Penelitian kedua dirancang dengan tujuan untuk mengetahui ekspresi protein Vim dan GFAP yang berperan penting dalam perkembangan jaringan serebral korteks. Sehingga dapat dipakai sebagai model untuk mempelajari mekanisme dan peran dari protein dalam perkembangan otak. Mencit jantan dan mencit betina dipelihara secara terpisah. Setiap mencit dara yang sedang dalam keadaan estrus, berumur 12-13 minggu, dengan berat badan 2530gr, dikawinkan dengan mencit jantan yang sama umurnya. Penyatuan mencit jantan dan betina dilakukan pada pukul 17.00. Adanya sumbat vagina pada keesokan paginya, yang merupakan tanda telah terjadinya kopulasi dan dinyatakan sebagai hari kebuntingan ke-nol (Rugh, 1968). Lalu mencit betina tersebut ditimbang berat badannya dan dipisahkan dari yang jantan. Kemudian diberi makan dan minum secara ad libitum serta kandang mencit dibersihkan setiap minggu. Sampel pada penelitian tahap pertama terdiri dari 20 ekor. Kelompok pertama diberi 2-ME secara intraperitoneal dengan dosis 7,5 mmol/kg berat badan, volume penyuntikan 10 ml/kg berat badan. Kelompok kedua adalah kontrol yang hanya diberi aqubides. Pemberian 2-ME dilakukan pada hari kebuntingan ke-10 dan pengamatan ke11, 12,13,14,15,16,17,dan ke-18. Induk mencit di korbankan secara dislokasi serviks dan uterus dibedah untuk diambil fetusya. Otak fetus diisolasi kemudian direndam 36
dalam larutan Cell Lytic M Reagent. Untuk proses elektroforesis digunakan larutan buffer, larutan Coomassie brilliant R” 0,05 %, larutan asam asetat glacial 7% , Marker Seeblue protein, Agarose powder, Akuabidest steril, larutan buffer salin phosfate, membran nitrosellose, Stacking gel, Separating gel solution. Protein otak disolasi menggunakan kit protein buatan sigma. Analisis protein otak dilakukan secara elektroforesis SDS gel poliakrilamida diskontinu dengan metode Laemmli (Ausubel., 1989: dalam Abinawanto, 1993). Optimasi Anti bodi primer dan sekunder Anti bodi primer yang dipakai dalam penelitian ini adalah anti bodi vimentin dan gfap (glial fibriler acidic protein). Optimasi dilakukan untuk mengetahui konsentrasi yang tepat, dalam pemakain penelitian. Antibodi vimentin, masing-masing dilarutkan didalam PBS milk
5%, dengan perbandingan 1: 100, 1:200, 1:400.
Sebanyak 5 µl antibodi tersebut, diteteskan pada membran nitroselulosa, sampai kering. Membran dimasukkan ke dalam kantung plastik yang telah berisi anti bodi sekunder. Antibodi sekunder yang dipakai pada penelitian ini adalah Ig G rabbit sc 2005 HRP buatan santa cruz, yang sebelumnya diencerkan dulu dengan perbandingan 1:1000. Inkubasi selama semalam. Pencucian membran dilakukan sebanyak 3x, untuk menghilangkan sisa susu. Setelah pencucian dilakukan pewarnaan membran dengan larutan pewarna. Jika membran berwarna ungu maka menunjukkan kondisi antibodi primer dan sekunder yang dipakai dalam penelitian tersebut dalam keadaan bagus. Perhitungan Kandungan Total Protein Penghitungan kandungan total protein diperlukan untuk uji protein dengan western blot, agar kandungan tiap sumur sama. Perhitungan ini dilakukan dengan Smart BCA Kit Cat No 21071 Japan. Kit terdiri dari larutan A, Larutan B dan larutan BSA 2 37
mg/ml. Pembutan larutan standar BSA diperlukan untuk kalibrasi pada alat nanaodrops, sehingga diperoleh grafik lurus. Pembuatan larutan BSA dilakukan dengan menambah larutan stok BSA dan aquades, dengan konsentrasi semakin meningkat. Langkah selanjutnya sebelum mengukur kandungan protein adalah membuat larutan WS (working solution). Cara pembuatan larutan ini adalah dengan menambah larutan A
dan larutan B dengan perbandingan 50:1. Pengukuran sampel protein
dilakukan dengan menambah masing-masing 5 µl protein sampel dan protein BSA ke dalam masing-masing tabung, yang telah berisi larutan working solution. Larutan di campur dengan alat shaker selama 30 detik. Diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37ºC di dalam waterbath. Pendinginan dilakukan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan alat nanodrops.
Preparasi gel poliakrilamid Gel poliakrilamid terdiri atas “separating gel” 10 % dan “Stacking gel”. “Separating gel” 10 % terbuat dari larutam akrilamida 30 % / bisakrilamida 0,8% sebanyak 6,7 ml, Tris buffer HCl pH 8,9 3M sebanyak 2,5 ml dan akuades sebanyak 8,5 ml, SDS 20% 0,1 ml, Temed 0,5% sebanyak 2 ml, dan terakhir dimasukkan larutan
38
ammonium-persulfat 10 % sebanyak 0,2 ml. Larutan diaduk merata dan segera dituangkan ke dalam lempengan kaca pencetak gel sampai terjadi polimerisasi. Setelah larutan “separating gel” terpolimerisasi menjadi “separating gel”, lalu dituangkan larutan “stacking”gel”. Pembuatan “stacking gel” dilakukan dengan mencampurkan larutan akrilamid 40% bis akrilamid 1,5% bisakrilamid sebanyak 1,2 ml; larutan Tris buffer HCl pH 6,8 sebanyak 2,5 ml dan akuades sebanyak 5,15 ml; 20% SDS 0,05 ml; 0,5% TEMED 1 ml, lalu terakhir dimasukkan larutan ammonium-persulfat 10% sebanyak 0,1ml. Sebelum terpolimerisasi, ke dalam larutan “stacking gel” dimasukkan sisir. Jarak antara ujung sisir dengan permukaan “separating gel” kurang lebih 1 cm. Jika sudah terjadi polimerisasi, maka sisir dikeluarkan dan terbentuklah sumur-sumur pada gel. Persiapan sampel protein Protein yang telah diisolasi dengan larutan cell lytic M reagent dan telah dihitung kandungan proteinnya, ditambahkan larutan buffer sampel dan sisanya agar volume tiap sumur sama maka ditambahkan dengan aquades. Sebelum penambahan larutan tersebut, maka dilakukan penghitungan konsentrasi semua sampel protein, agar setiap sumur mempunyai konsentrasi yang sama. Larutan buffer sampel terdiri dari 2mercaptoethanol ditambah loading buffer. Campuran protein dipanaskan di dalam water bath pada suhu 99ºC selama 5 menit. Proses elektroforesis Kedalam sumur pertama, mula-mula dimasukkan larutan marker protein, buatan APRO SP-2120 Lot No A8F04040, sebanyak sebanyak 5 mikroliter. Pada setiap sumur berikutnya dimasukkan 30 µl sampel protein. Larutan buffer elektroda pH 8,3 diisikan ke dalam ruang atas dan di bawah gel masing-masing sebanyak 300 ml, sampai alat 39
tersebut terendam. Untuk menghilangkan gelembung udara digunakan jarum suntik. Kemudian alat elektroforesis dihubungkan dengan “power supply” yang besar tegangannya 14 mA selama 1 jam. Proses elektroforesis dilakukan sampai “tracking dye” mencapai bagian dasar “separating gel”. Gel hasil elektroforsis dikeluarkan dari alat tersebut secara hati-hati dan siap ditransfer ke membran nitroselulose.
alat elektroforesis
Alat semidry blot
Western Blot Untuk mentransfer gel pada kertas atau membran nitroselulosa, maka membran yang diperlukan harus direndam terlebih dahulu di dalam larutan towbin. Ukuran kertas membran untuk transfer disesuaikan dengan ukuran dari gel yag diperoleh. Letakkan masing-masing membran dengan urutan sebagai berikut, di atas mesim semi dry blot. Hubungkan mesin dengan power suplay 36 mA. Ukuran arus listrik tergantung pada ukuran membran gel yang akan ditransfer. Setiap ukuran 1 cm mendapat arus listrik 0,8 mA. Transfer dilakukan selama 1 jam. Setelah gel tertransfer pada membran nitroselulos, maka membran direndam dalam larutan skim 5% PBS 1x, _________________ _________________ _________________ _________________ _________________ _________________ _________________ _________________
Kertas saring Membran gel Membran nitroselulosa Kertas saring 40
selama 30 menit atau diinkubasi selama semalam. Inkubasi selanjutnya dilakukan di dalam larutan antibodi primer yaitu anti Vimentin dengan perbandingan 1: 200 selama semalam. Penambahan antibodi sekunder yaitu anti Ig G rabbit dilakukan setelah pencucian dengan PBST 20x 0,05 % sebanyak 3 kali. Inkubasi di dalam larutan antibodi sekunder dengan perbandingan 1:1000 dilakukan selama 3 jam, kemudian dicuci kembali dengan larutan PBST 20x 0,05% sebayak 2 kali. Deteksi Membran dengan Fujifilm FLA 9000 Untuk mendeteksi membran menggunakan kit RPN 2109 Cat 394930, yang terdiri dari larutan A dan larutan B. Untuk setiap ukuran 1 Cm2 memerlukan larutan campuran sebanyak 0,125 ml. Pembuatan larutan campuran (larutan A: larutan B) dilakukan dengan perbandingan 1:1. Larutan campuran, diteteskan di atas membran nitroselulosa, diamkan selama beberapa menit. Pentetesan dilakuakn di dalam ruang gelap. Membran dibungkus dengan plastik, yang sebelumnya membran dikeringkan terlebih dahulu. Membran yang sudah dibungkus dengan plastik siap di baca dengan mesin fujifilm FLA 9000.
Fujifil FLA 9000
Kit RPN 2109 Cat 394930
41
Pewarnaan protein Pewarnaa protein dilakukan, bila membran tidak terdeteksi dengan mesin karena jumlah protein terlalu sedikit. Dengan melakukan elektroforesis ulang, membran gel tidak ditransfer tetapi diwarnai dengan larutan “Coomassie brilliant R” 0,05 % selama kira-kira 12 jam. Proses destaining yaitu proses penghilangan warna latar belakang pada gel selama dua jam dengan memakai larutan destaining selama beberapa kali sampai pita-pita gel terlihat.Setelah warna latar belakang jernih maka akan terlihat pitapita protein. Gel dapat disimpan sementara dalam larutan asam asetat glacial 7% . Agar dapat disimpan secara permanen, gel dikeringkan di atas kertas saring Whatman 3 mm dan kertas selofan dengan memakai alat pengering gel. Hasil elektroforesis yang diamati adalah pita-pita yang terbentuk, yaitu tebal tipisnya pita dan jumlah pita. Selain itu dari masing-masing pita dihitung nilai mobilitas proteinnya dan harga berat molekulnya.
3.5. Analisi Data Sebagian data, diuji secara kualitatif, seperti ekspresi pita-pita protein Vimentin dan GFAP, pada membran PVDV, pita pada gel, dan secara densitometri. Uji statistik dilakukan terhadap data densitometro dengan Uji t pada α 0,01.
42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.HASIL PENGAMATAN Hasil Optimasi Antibodi Primer Vimentin dan Gfap Terhadap Goat anti rabbit IgG GRP
A Gambar 4.1 Hasil optimasi antibodi vimentin terhadap antibodi sek
B
Gambar 4.2 Hasil Optimasi antibodi GFAP terhadap antibodi sekunder
Ganbar 4.1. Hasil optimasi antibodi primer dan antibodi sekunder, A: Vimentin; B: GFAP
Optimasi dilakukan untuk mengetahui perbandingan larutan yang digunakan untuk westerblot, agar ikatan antara antibodi primer dan sekunder terjadi maksimal. Anti bodi vimentin dan gfap yang digunakan dalam penelitian ini adalah perbandingan 1:200, sedangkan untuk antibodi sekunder digunakan perbandingan 1:1000. Hasil Pengukuran Protein otak embrio dari uk11 sampai uk 18 Dari hasil pengukran dengan alat nanodrops dan Kit BCA Smart diperoleh kandungan protein total otak fetus uk 11 sampai dengan uk 18 hari, tertera pada tabel 4.2.
Hasil elektroforesis protein dan chemiluminasi 43
Hasil elektroforesis protein otak kontrol menunjukkan protein terseparasi dengan baik, namun protein sangat tipis. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan protein terdeteksi sekitar 57 kDa, yang ditunjukkan dengan marker protein See Blue Plus. Setelah dikhemiluminasi, protein dengan berat molekul 57 kDA tidak terdeteksi, begitu pula dengan protein GFAP dengan berat molekul 50kDA.
Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Kandungan Protein Total Otak fetus Mencit dari Induk Kontrol pada uk 11 sampai dengan uk 18 hari
Gambar 4.2 Hasil elektroforesis Protein Otak Embrio dari induk kontrol uk 11 sampai dengan uk 18 hari
44
Gambar 4.3. Hasil Chemiluminasi Protein Otak Embrio dari induk kontrol uk 11 sampai dengan uk 18
Gambar 4.4.Hasil Chemiluminasi Protein Vimentin Otak Embrio uk 11 sampai dengan uk 18 dari induk Perlakuan yang diberi 2ME pada uk 10 hari.
45
Gambar 4.5 Hasil Chemiluminasi Protein GFAP Otak Embrio uk 18 dari induk Perlakuan yang diberi 2ME pada uk 10 hari.
Hasil Immunodotblot protein Vimentin dan GFAP
Gambar 4.6 Hasil Immunodotblot protein Vimentin otak fetus kontrol dari induk yang tidak diberi perlakuan senyawa 2-ME. C11 s/d C18 (Protein Fetus kontrol uk 11 s/d uk 18 + vim AB dan 2nd AB) C11- s/d C18 - (kontrol negatif tanpa sampel protein, hanya vim AB dan 2nd AB)
46
Gambar 4.7 Hasil Immunodotblot protein Vimentin otak fetus perlakuan dari induk yang diberi perlakuan senyawa 2-ME. T11 s/d T18 (Protein fetus Perlakuan uk 11 s/d uk 18 + vim AB dan 2nd AB) T11- s/d T18 - (Perlakuan negatif, tanpa sampel protein hanya vim AB dan 2nd AB)
Gambar 4.8 Hasil Immunodotblot protein Glial Fibriler Acidic Protein otak fetus kontrol dari induk yang tidak diberi perlakuan senyawa 2-ME. C11 s/d C18 (Protein fetus kontrol uk11s/duk18+ gfap AB dan 2nd AB) C11- s/d C18 - (kontrol negatif tanpa sampel protein, hanya gfap AB dan 2nd AB) 47
Gambar 4.9
Hasil Immunodotblot protein Glial Fibriler Acidic Protein otak fetus perlakuan dari induk yang diberi perlakuan senyawa 2-ME. T11 s/d T18 (Protein fetus Perlakuan uk11 s/d uk18 + gfap AB dan 2nd AB) T11- s/d T18 - (Perlakuan negatif, tanpa sampel protein hanya gfap AB dan 2nd AB)
Gambar 4.10. Hasil densitometri protein vimentin otak fetus kontrol dan perlakuan dari uk11 s/d uk18. C11 s/d C18 (Protein Fetus kontrol uk 11 s/d uk 18 + vim AB dan 2nd AB) T11 s/d T18 (Protein fetus Perlakuan uk11 s/d uk18+ vim AB dan 2nd AB)
48
Pada penelitian ini, menggunakan kontrol positif dan kontrol negatif. Kontrol negatif biasanya dipakai untuk mengontrol kerja immunodotblot. Kontrol positif dipakai sebagai pembanding terhadap perlakuan.
Haisl immunodotblot tersebut kemudian
dihitung secara densitometri menggunakan adobe photoshop dan dinyatakan dalam bentuk grafik batang. Dari Tabel (4.10), terlihat bahwa ekspresi protein vimentin meningkat sangat tajam pada otak fetus uk 17 dan uk 18 hari, bila dibandingkan dengan kontrol. Sementara pada protein GFAP, ekspresi tertinggi terjadi pada otak fetus uk 12 dan uk 14 hari, yaitu pada umur yang lebih muda (Tabel 4.11). Pada fetus uk 14 biasanya proses penyembuhan terjadi, dimana pada jaringan yang mengalami luka akam bersifat respon terhadap kerusakan yang terjadi, dengna mengekspresikan protein. Jika dibandingkan kedua tabel 4.10 dan 4.11, secara umum menunjukkna bahwa ekspresi protein vimentin meningkat sedangkan ekspresi protein gfap semakin rendah.
Gambar 4.11. Hasil densitometri protein GFAP otak fetus kontrol dan perlakuan dari uk11 s/d uk18. C11 s/d C18 (Protein Fetus kontrol uk 11 s/d uk 18 + gfap AB dan 2nd AB) T11 s/d T18 (Protein fetus Perlakuan uk11 s/d uk18+gfap AB dan 2nd AB)
49
Jika dibandingkan antara protein vimentin dan gfap pada kelompok kontrol, protein vimentin selalu terekpresi lebih tinggi dibandingkan dengan protein gfap.Hal ini membuktikan bahwa memang protein vimentin dibutuhkan pada awal perkembangan otak. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok perlakuan dengan 2ME. Ekspresi protein vimentin antara kelompok perlakuan juga selalu lebih tinggi bila dibandingkan dengan ekspresi gfap kelompok perlakuan (gambar 4.12 dan gambar 4.13). Biasanya protein gfap terekspresi sangat tinggi pada otak fetus post natal. Pada periode post natal, terjadi proses differensiasi sel syaraf. Untuk melihat secara keseluruhan perbandingan ekspresi protein tertera pada gambar 4.14.
Gambar 4.12. Hasil densitometri protein vimentin otak fetus kontrol dan GFAP kontrol dari uk11 s/d uk18
Gambar 4.13. Hasil densitometri protein vimentin otak fetus perlakuanl dan GFAP perlakuan dari uk11 s/d uk18.
50
II.PEMBAHASAN Perkembangan Otak melibatkan berbagai peristiwa yang mencakup proliferasi sel epitel dan migrasi prekursor neuron-neuron ke tempat semestinya pada tabung neural (Jacobson, 1991, dalam Götz et al.,1996).
Interaksi neuron dan glial sel,
berperan penting dalam proses migrasi tersebut. Dalam hal ini protein-protein matriks ekstraselular yang memperantarai proses migrasi dan proliferasi. Pada sel-sel neuroepitel yang berproliferasi, mengekspresikan protein vimentin (Sheppard et al.,1995), Pada jaringan otak, vimentin dapat dideteksi pada
embrio uk-11 hari,
merupakan stadium awal perkembangan. Tepatnya terdapat pada serabut-serabut radial tabung neural, pada sel-sel ventrikular yang sedang membelah (Schnitzer et al, 1981). Proses proliferasi sel merupakan proses paling awal dalam perkembangan otak, yang terjadi pada uk-10 sampai dengan 12 hari dan pada uk-13 hari, memasuki fase organogenesis (Rugh, 1968). Pada gambar (4.14), menunjukkan bahwa protein vimentin pertama kali terekspresikan pada uk-11 hari, baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan.
Namun pada uk-12 hari terjadi peningkatan pada
kelompok kontrol dan sebaliknya setelah pemberian 2-ME terjadi penurunan. Pada uk13 hari, terjadi titik dimana ekspresi protein vimentin baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan sama. Kami menduga bahwa pada kebuntingan umur ke-13, merupakan titik terjadi proses penyembuhan.
Sel-sel saraf yang baru terbentuk
diarahkan ke tempat yang mengalami luka, tempat di mana sel-sel saraf berpartisipasi pada proses perbaikan dan fungsi penyembuhan (Jin et al, 2003). Setelah paska proses penyembuhan yang terjadi pada uk-14 sampai 16 hari, ekspresi protein vimentin pada kelompok perlakuan tampak menurun, berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan sel-sel masih dalam tahap persiapan transkripsi, namun setelah 51
Gambar 4.14. Garfik garis hasil densitometri protein otak fetus vimentin, kontrol, gfap dan kontrol pada uk 11/sd uk 18 hari.
52
Tabel 4.2 Hasil Densitometri terhadap protein gfap kontrol dan gfap perlakuan dan densitometri protein vimentin kontrol dan vimentin Perlakuan
53
Tabel 4.3 Hasil Densitometri terhadap protein vmentin perlakuan dan gfap perlakuan dan densitometri protein vimentin kontrol dan gfap perlakuan
54
uk-16 hari terjadi peningkatan ekspresi vimentin yang sangat nyata dibandingkan dengan kontrol. Tingginya ekspresi protein vimentin kelompok perlakuan pada tahap tersebut, berhubungan dengan peran vimentin dalam proses proliferasi sel-sel saraf yang baru. Berdasarkan penelitian irnidayanti et al., 2011, menunjukkan bahwa senyawa 2-ME yang diberikan pada induk bunting uk-10 hari menyebabkan ekspresi mRNA pada kelompok kontrol mulai tampak pada uk-11 hari, kemudian mengalami penurunan pada uk-12. Dalam penelitian ini justru sebaliknya, di mana ekspresi protein vimentin kontrol mengalami peningkatan. Sementara pada protein vimentin perlakuan uk-12, terjadi penurunan . Hal ini disebabkan mRNA protein vimentin kelompok perlakuan terekspresi sangat tinggi (irnidayanti, 2010), dan protein vimentin belum ditranslasikan, sehingga protein terekspresi sangat rendah. Protein vimentin perlakuan terus mangalami peningkatan sejalan dengan pertambahan umur kebuntingan. Berdasarkan hasil perhitungan, sejalan dengan perkembangan embrio, maka protein vimentin juga terekspresi sangat tinggi, kemudian cenderung menurun
pada saat memasuki fase
organogenesis. Oleh Karena itu, keberadaan ekspresi protein tampaknya berhubungan dengan fungsi seluler selama perkembangan embrionik (Viebahn, 1988).Oleh karena itu kami menduga bahwa peningktan ekspresi protein vimentin disebabkan oleh pengaruh pemberian 2-methoxyethanol. Ekspresi protein vimentin, sangat diperlukan untuk memperbaiki jaringan yang rusak. Pemberian 2-ME menyebabkan sel-sel menjadi aktif membelah akan mereparasi jaringan yang rusak akibat senyawa 2-ME, sehingga sel-sel berada dalam tahap proliferasi. Data ini didukung oleh Sarnat (1998), bahwa pada selsel neuroepitel yang sedang membelah, mengekspresikan
vimentin sangat tinggi.
Vimentin dijumpai pada stadium embrionik, pada sel-sel glial immatur dan jaringan yang mengalami kerusakan. Pada sistem saraf yang luka, astrosit akan menjadi reaktif 55
(Stagaard and Mollgard, 2004). Astrosit reaktif, sangat dipengaruhi oleh keberadaan vimentin, sehingga otak yang mengalami luka, menunjukkan ekspresi vimentin yang tinggi. Diduga bahwa sel-sel berusaha untuk meraparasi jaringan yang rusak melalui mekanisme dedifferensiasi kembali, sehingga sel berada dalam tahap proliferasasi. Data ini didukung oleh Moon (2004) bahwa vimentin diperlukan dalam mereparasi jaringan otak yang luka melalui migrasi sel-sel yang aktif dan pembentukan parut jaringan. Dapat disimpulkan bahwa perubahan level ekspresi protein vimentin lebih disebabkan oleh senyawa toksik, 2-methoxyethanol Pada mencit, tikus dan manusia, peningkatan ekspresi GFAP pada astrosit terjadi secara bertingkat sepanjang hidup (Lawrence et al., 2000). GFA protein, berupa filamen intermediet akan terekspresikan pada sel-sel astrosit pada akhir kebuntingan yaitu umur kebuntingan ke 18 hari (Dudprey dan Paulin, 1993). Selama perkembangan embrio, GFAP tidak diekspresikan pada sel-sel astroglial sistem saraf pusat embrio secara khusus. Pada mencit, GFAP pertama kali terekspresikan pada ventrikel otak embrio uk-16 hari. Hasil studi secara immunohistokimia menunjukkan bahwa, protein GFAP pertama kali terdeteksi pada otak embrio uk-14 hari dan pada medula spinalis pada k-16 hari. Data penelitian menunjuk- kan bahwa pada otak fetus kontrol uk-12 dan uk 14 terjadi peningkatan ekspresi protein GFAP dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada uk-13 menurun tajam. Penurunan ekspresi GFAP berlanjut terus mulai uk15 sampai dengan uk-18 hari. Ekspresi GFAP pada otak fetus perlakuan menunjukkan hal sebaliknya, dimana pada uk 12 dan uk-14 terjadi penurunan, kecuali pada uk-13 meningkatkan tajam. Jika dibandingkan dengan kontrol, ekspresi protein GFAP juga mengalami penurunan mulai uk-15 sampai dengan uk-18 hari. Kami menduga bahwa ekspresi protein GFAP yang terus menurun baik pada kontrol maupun perlakuan, diduga
56
disebabkan oleh pemberian 2-methoxyethanol. Hal ini disebabkan pada data ekspresi vimentin terus meningkat, pada kelompok kontrol maupun perlakuan. Hal ini menunjukkan, protein Vimentin memang sangat diperlukan untuk proses perbaikan dan penyembuhan jaringan otak yang mengalami kerusakan akibat pemberian 2methoxyethanol. Selama perkembangan embrio, protein GFAP tidak diekspresikan oleh sel-sel radial glial, sel-sel astroglial pada sistem saraf pusat hanya mengekspresikan protein vimentin (Dahl et al., 1981; dalam Dudprey dan Paulin, 1993). Ekspresi protein GFAP akam meningkat setelah lahir. Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa GFAP dan Vimentin selalu diekspresikan bersamaan. Data tersebut didukung oleh hasil penelitian Dudprey dan Paulin, 1993, yang menyatakan bahwa sel-sel astroglial masih mengekspresi GFAP dan Vimentin bersamaan pada masa dewasa. Meskipun perbandingan vimentin terhadap GFAP selama perkembangan dan diffrerensiasi pada sel-sel glial dapat berubah-rubah, namun vimentin terekspresi lebih dahulu dari pada GFAP (Schnitzer et al., 1981; shaw et al., 1981; Dahl et al., 1981; dalam Herpers et al.,1986).Sel-sel astrosit pada sistem saraf pusat yang sehat tidak mengekspresikan protein GFAP, atau mengekspresikan GFAP akan tetapi sangat rendah. Proses pergantian astrosit pada sistem saraf pusat yang sehat, rendah serta beberapa astrosit berproliferasi dan beberapa baru berproliferasi. Sel astrosit yang baru terutama astrosit pasca-mitosis dan mempunyai umur panjang. Data ini mendukung penelitian kami bahwa memang pada otak fetus kontrol, ekspresi GFAP memang selalu rendah bila dibandingkan dengan ekspresi protein vimentin. Sementara pada kelompok perlakuan ekspresi GFAP lebih tinggi dari kelompok kontrol. Pada otak fetus kelompok perlakuan yang diberi 2-Methoxyethanol, menyebabkan sel-sel astrosit menjadi respon. Apabila terjadi kerusakan pada jaringan otak, maka sel sel yang pertama kali respon terhadap
57
kerusakan jaringan adalah sel-sel astrosit. Sel astrosit yang reaktif mengalami perubahan secara progresif dalam mengekspresikan gen dan perubahan seluler. Astrosit merupakan populasi utama sel-sel glial dalam sistem saraf pusat. Sel-sel tersebut mempunyai peran fisiologis
dalam fungsi otak. Melalui pelepasan neuro trofik faktror pada lintasan
astrosit-sel saraf, merupakan cara untuk mempertahankan homeostatis sistem saraf pusat (Brahmachari et al., 2006). Baru baru ini telah dibuktikan bahwa astrosit merupakan selsel immunokompeten dalam otak (Dong and Benveniste, 2001; dalam Brahmachari et al., 2006). Setelah teraktifasi, sel-sel astrosit mensekresi berbagai substansi neurotoksik dan level ekspresi GFAP meningkat (Eng et al., 1994; dalam Brahmachari et al., 2006). Dilaporkan
bahwa pada penyakit neuroimflamsi, terjadi peningkatan GFAP sesuai
dengan tingkat keparahan dari sel-sel astroglial yang reaktif. Namun mekanisme ekspresi GFAP pada sel sel astroglial pada penyakit neurodegeneratif masih belum jelas. Pada penyakit alzheimer ternyata ekspresi GFAP positif terekspresi pada astrosit reaktif (Nagele et al., 2004; dalam Brahmachari et al., 2006). Hal ini jelas bahwa ekpresi protein GFAP kelompok perlakuan yang lebih tinggi dari kontrol jelas disebabkan oleh senyawa 2-Methoxyethanol.hal ini disebabkan astrosit menjadi reaktif dan mengekskerikan neurotrofik faktor yang selanjutnya mensekresi GFAP. Namun demikian, ekspresi GFAP selalu lebih rendah dari ekspresi protein vimentin kontrol dan perlakuan. Tinggi rendahnya ekspresi GFAP sangat bergantung pada tingkat keparahan astrosit reaktif.
58
BAB V KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Ekspresi protein Vimentin pada otak fetus kontrol dan perlakuan terekspresi secara bersamaan pada uk-11 hari, namun setelah uk 15 hari, ekspresi protein vimentin pada kelompok perlakuan meningkat tajam, yang berbeda nyata dari kontrol. Oleh karena itu terjadi peningkatan ekspresi protein vimentin perlakuan disebabkan oleh pengaruh senyawa 2-methoxyetanol. 2. Ekspresi protein GFAP pada otak fetus kontrol terekpresi lebih rendah dari pada kelompok perlakuan pada uk-11 hari. Namun setelah pemberian 2-Methoxyethanol ekspresi protein GFAP pada kelompok kontrol meningkat dan sebaliknya terjadi penurunan pada kelompok perlakuan pada uk-12 hari . Setelah uk-12 hari, peningkatan ekspresi protein GFAP perlakuan terus terjadi seiring terjadinya pertambahan umur fetus dan berbada nyata dari kontrol. Kami menduga bahwa peningkatan ekspresi protein GFAP disebabkan oleh senyawa 2-Methoxyethanol. 3. Ekspresi protein vimentin selalu lebih tinggi dibandingkan ekspresi protein GFAP baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan.
59
DAFTAR PUSTAKA Aolad HMD, Inouye M, Darmanto W, Hayasaka S, Murata Y. 2000a. Hydrocephalus in mice following X-irradiation at early gestational stage: Possible due to persistent deceleration of cell proliferation. J Radiat Res; 41: 213-226. Brahmachari, S., Yiu K. Fung, and Kalipada Pahan, 2006, Induction of Glial Fibrillary Acidic Protein Expression in Astrocytes by Nitric Oxide, The Journal of Neuroscience, 26(18):4930–4939. Colas, J. F., and Schoenwolf, G.C., 2001. Towards a Cellular and Molecular Understanding of Neurulation. Developmental Dinamics 221:117–145
(2001).
Choi, B.H. and Lapham, L.W., 1980. Evolution of Bergmann glia in developing human fetal cerebellum: A Golgi, electron microscopic and immunofluorescence study. Brain Res. 190: 369-383. Concise International Chemical Assessment Document 41 (CICADS 41), WHO. http://www.inchem.org/document/cicads/cicads41.htm Darmanto W, Sudarwati S and Sutasurya LA. 1994. Effects of methoxyacetic acid on prenatal development of mice. Environmental Medicine 38: 25-28. Darmanto W., 1998. Efek 2-methoxyethanol terhadap pembentukan somite dan kelainan rangka aksial pada mencit. Proceeding Temu Ilmiah VII, Hiroshima, Japan : p.19-22. Darmanto W., Inouye M., Takagishi Y., Ogawa M., Mikoshiba K., Murata Y. 2000. Derangement of Purkinje Cells in the rat cerebellum Following Prenatal Exposure to X-Irradiation: Decreased Reelin Level is Possible Cause. Journal Neuropathology and Experimental Neurology. 59: 245-256. Darmanto W. 2002. Apoptosis pada sel granulosa cerebellum tikus akibat radiasi sinar-X: Deteksi apoptosis dengan metode TACS TM insitu apoptosis detection kit. Journal of Mathematics and Science. 2002; 7(3): 133-140. Darmanto, W., 2006. Ekspresi Neurofilament dan NCAM Secara Whole-Mount Immunohistokimia pada Embrio Mencit Akibat Induksi 2-Methoxyethanol. Berk Penel Hayati. p. 129-134. Darmanto, W Prihiyantoro E.. Pidada, I.B., Soepriandono, H. (2004) Gangguan Migrasi dan Perkembangan Sel Saraf Pada Cerebrum dan Cerebelum Mencit Akibat Induksi 2-Methoxyethanol; Sebagai Model Mekanisme Kelainan Otak. Laporan Penelitian Hibah Bersaing X/3.
60
Darmanto, W. Prihiyantoro E. Pidada, I.B., Soepriandono, H. (2003) Gangguan Migrasi dan Perkembangan Sel Saraf Pada Cerebrum dan Cerebelum Mencit Akibat Induksi 2-Methoxyethanol; Sebagai Model Mekanisme Kelainan Otak. Laporan Penelitian Hibah Bersaing X/2. Dias, M.S. and Partington, M.. Embryology of Myelomeningocele and Anencephaly. Neurosurg Focus 16(2) February 2004. Dutta, S., Ghosh, S., Gangopadhyay, P. K., and Usha, R. 2005. Role of Reelin in The Development of Cerebral Cortex. Journal of the Cell and Tissue research. Vol. 2. 497-505. Duprey, P and Paulin, D., What can be learned from intermediete filament gene regulation in the mouse embryo, 1995, Int.J. Dev. Biol. 39: 443-457, riview. Gilbert, S. F., 2000, Development Biology, sixth edition, Sinauer Associates, Inc. Harris, M.J and Jurillof, D. M., 1999. Mini-Review : Toward Anderstanding Mechanism Of Genetic Neural Tube Defect in Mice. Teratology, 1996, 60:292-305. Hatten, M.E., 1993. The role of migration in central nervous system neuronal development. Curr Bioliology. 3: 38-44 Hayati, A., et al, 2005. Spermatozoa Motility And Morphological Recovery Process In Mice (Mus musculus) After the Induction of 2-Methoxyethanol. Folia Medica Indonesiana. Vol. 41:90-95. Herpers, M.J.H.M., Ramaekers, F.C.S., Aldeweireldt, J., Moesker, O., and Slooff, J., 1986, Co-expression of Glial Fibrillary Acidic Protein-and Vimentin-Type Intermediete Filamnet in Human Astrocytomas, Acta Neuropathol, 70; 333-339. Hildebrand, J.D., and Doriano P. (1999). Shroom, a PDZ domain-contacting actinbinding protein, is required for neural tube morphogenesis in mice. Cell 99, 485497.Impagnatiello F, Guidotti AR, Pesold C, et al. 1998. A decrease of reelin expression as a putative vulnerability factor in schizophrenia. Proc Natl Acad Sci. 26: 15718-15723. Jindo, Y. Wine, R. N. Li Hong, L. And Chapin, R. E. 2001.Protein Kinase Activity Is Central to Rat Germ Cell Apoptosis Induced by Methoxyacetic Acid. Toxicologic Pathology, 29: 607-616. Johanson, G., 2000. Toxycity Review Of Ethylene Glycol Monomethyl Ether and Its Acetate Ester. Critical Review In Toxicology, 30(3) : 307-345. Kunlin Jin, Yunjuan Sun, Lin Xie, Alyson Peel, Xiao Ou Mao, Sophie Batteur,and David A., 2003, Directed migration of neuronal precursors into the ischemic cerebral cortex and striatum, Molecular and Cellular Neuroscience 24:171–189
61
Lawrence F. Eng, Roopa S., Ghirnikar and Yuen L. Lee., 2000, Glial Fibrillary Acidic Protein: GFAP-Thirty-One Years (1969–2000), Neurochemical Research, Vol. 25: 1439–1451 Moore, Keith L., et al. Before We Are Born: Essentials of Embryology and Birth Defects. Kent, UK: Elsevier— Health Sciences Division, 2002. Miller RR., Hermann E.A., Langvardt PW., McKenna .J and Schwetz B.A., 1983. Comparative Metabolism and Disposition of Ethylene Glycol Monomethyl Ether and Propylen Glycol Monomethyl Ether in Male Rats. Toxicology and Applied Pharmacology, 67: 229-237. Moslen MT., Kaphalia L., Balasubramanian H., Yin Y.-M., William WA, 1995. Species differences in testicular and hepatic biotransformation of 2-methoxyethanol. Toxicology, 96: 217-224. Rakic P. 1981. Neuron-glia interaction during brain development. Trends Neuros ciense. 4: 184-187. Rugh, R., 1968. The Mouse : Its Reproduction and Development. Burgess Publishing Company, Minneapolis. Ruyani, A. (2003). Teratogenesitas asam metoksiasetat pada tunas anggota tubuh depan mencit swiss webster; suatu pendekatan analisis protein. Desertasi Institut Teknologi Bandung. Ruyani, A, et al., 2003. The Laminin Binding Protein p40 Is Involved in Inducing Limb Abnormality of Mouse Fetuses as The Effects of Methoxyacetic Acid treatment. Toxicological Science. 75. p. 148-153. Ruyani, A., et al., 2001. Perubahan Profil Protein Tunas Anggota Tubuh Depan Mencit (Mus musculus) Swiss Webster Akibat Perlakuan dengan Asam Metoksiasetat (MAA). Medika. 27: 363-367. Scott, W.J., Fradkin, R., Wittfoht, W., and Nau, H., 1989. Teratologic Potential of 2Metoxyethanol and Transplacental Distribution of its Metabolite, 2-Methoxyacetic Acid, in Non-Human Primates. Teratology, 39: 363-373. Schoenwolf, G. and J.L. Smith. Mechanisms of Neurulation. Traditional Viewpoint and Recent Advances. Development. 109:243-270 (1990). Steel, R. G. D. dan Torie, J. H. 1981. Principles and procedures of statistics a biometrical approach. Mc Graw Hill Book Co. Singapore. p. 86-111, 137-144. Storer, T. I., and Usinger, R. L., 1957. General Zoology. Thirth Edition. Mac Grow-Hill Company, Inc. USA
62
Terry, K. K., Steadman, D. B., Bolan, B. and Welsch, F., 1996. Effect of 2Metoxyethanol On Mouse Neurulation. Teratology, 1996: 54 (5) : 219- 229. A Telling of Wonders: Teratology in Western Medicine through 1800. Retrieved February 14, 2005, From http://www.nyam.org/initiatives/imhiste_terl.shtml. Van Der Put, M. J. Nathalie., Van Strateen, W.M., Henny., Frans J.M. Trijbell. and H. J. Blom., 2001. Minireview Folate, Homocysteine and Neural Tube Defects:An Overview. Experiment Biological Medicine Vol. 226(4):243–270. Wine, R.N., Ku, W.W., Li, L.H. and Chapin, R.E. 1997. Cyclophilin is a present in rat germ cells and is associated with spermatocyte apoptosis. Biology Reproduction, 56: 493 – 446.
63
Lampiran T-Test Densitometri protein gfap Kontrol dan Perlakuan Notes Output Created Comments Input
Missing Value Handling
19-Nov-2011 22:37:37 Active Dataset Filter Weight Split File N of Rows in Working Data File Definition of Missing Cases Used
DataSet0 <none> <none> <none> 5
Processor Time Elapsed Time
00 00:00:00,016 00 00:00:00,072
Syntax
Resources
User defined missing values are treated as missing. Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis. T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=C11 T11 C12 T12 C13 T13 C14 T14 C15 T15 C16 T16 C17 T17 C18 T18 /CRITERIA=CI(.95).
64
One-Sample Test Test Value = 0
C11 T11 C12 T12 C13 T13 C14 T14 C15 T15 C16 T16 C17 T17 C18 T18
t df 327,197 4 519,122 4 617,904 4 133,042 4 1063,023 4 1427,167 4 1268,649 4 846,819 4 2330,378 4 493,591 4 386,331 4 279,565 4 412,964 4 214,943 4 720,263 4 238,365 4
Sig. (2tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
Mean Difference 130,67000 119,57400 114,31400 138,60600 142,56400 107,69200 133,54000 168,50200 142,78200 115,38200 127,91800 115,98200 112,93200 103,57800 95,10200 91,48800
65
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 129,5612 131,7788 118,9345 120,2135 113,8004 114,8276 135,7134 141,4986 142,1916 142,9364 107,4825 107,9015 133,2477 133,8323 167,9495 169,0545 142,6119 142,9521 114,7330 116,0310 126,9987 128,8373 114,8301 117,1339 112,1727 113,6913 102,2401 104,9159 94,7354 95,4686 90,4224 92,5536
T-Test Densitometri Protein Vimentin Kontrol dan Perlakuan Notes Output Created Comments Input
Missing Value Handling
19-Nov-2011 23:31:27 Active Dataset Filter Weight Split File N of Rows in Working Data File Definition of Missing Cases Used
Syntax
Resources
Processor Time Elapsed Time
DataSet1 <none> <none> <none> 5 User defined missing values are treated as missing. Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis. T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=C11 C17 T15 T18 C18 T17 T16 C16 T11 T14 C15 C12 C14 T13 C13 T12 /CRITERIA=CI(.95). 00 00:00:00,016 00 00:00:00,015
66
One-Sample Statistics
C11 T11 C12 T12 C13 T13 C14 T14 C15 T15 C16 T16 C17 T17 C18 T18
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Mean 141,8840 139,2380 151,5560 123,6060 135,0640 137,4760 151,5420 131,9340 154,7240 146,5440 139,0300 138,4200 120,3940 175,9680 133,0860 163,5820
Std. Error Std. Deviation Mean ,28562 ,12773 ,58683 ,26244 ,25284 ,11308 ,15453 ,06911 ,46280 ,20697 ,36916 ,16509 ,32034 ,14326 ,49707 ,22230 ,14046 ,06282 ,38501 ,17218 ,44811 ,20040 ,22249 ,09950 ,36719 ,16421 ,20981 ,09383 ,47857 ,21402 ,32522 ,14544
One-Sample Test Test Value = 0
C11 T11 C12 T12 C13 T13 C14 T14 C15 T15 C16 T16 C17 T17 C18 T18
t 1110,776 530,555 1340,312 1788,576 652,582 832,714 1057,796 593,503 2463,084 851,109 693,764 1391,173 733,156 1875,399 621,829 1124,707
df 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Mean Sig. (2-tailed) Difference ,000 141,88400 ,000 139,23800 ,000 151,55600 ,000 123,60600 ,000 135,06400 ,000 137,47600 ,000 151,54200 ,000 131,93400 ,000 154,72400 ,000 146,54400 ,000 139,03000 ,000 138,42000 ,000 120,39400 ,000 175,96800 ,000 133,08600 ,000 163,58200
67
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 141,5294 142,2386 138,5094 139,9666 151,2421 151,8699 123,4141 123,7979 134,4894 135,6386 137,0176 137,9344 151,1442 151,9398 131,3168 132,5512 154,5496 154,8984 146,0660 147,0220 138,4736 139,5864 138,1437 138,6963 119,9381 120,8499 175,7075 176,2285 132,4918 133,6802 163,1782 163,9858
T-Test Densitometri Protein vimentin dan GFAP Kontrol One-Sample Statistics
vim11 gfap11 vim12 gfap 12 vim13 gfap 13 gfap 14 vim14 vim15 gfap 15 vim16 gfap 16 vim17 gfap 17 vim18 gfap 18
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Mean 141,8840 130,6700 151,5560 114,3140 135,0640 142,5640 133,5400 151,5420 154,7240 142,7820 139,0300 127,9180 120,3940 112,9320 133,0860 95,1020
Std. Error Std. Deviation Mean ,28562 ,12773 ,89300 ,39936 ,25284 ,11308 ,41368 ,18500 ,46280 ,20697 ,29988 ,13411 ,23537 ,10526 ,32034 ,14326 ,14046 ,06282 ,13700 ,06127 ,44811 ,20040 ,74039 ,33111 ,36719 ,16421 ,61149 ,27347 ,47857 ,21402 ,29525 ,13204
68
Output Created Comments Input
Missing Value Handling
19-Nov-2011 23:42:30 Active Dataset Filter Weight Split File N of Rows in Working Data File Definition of Missing Cases Used
Syntax
Resources
Processor Time Elapsed Time
DataSet2 <none> <none> <none> 5 User defined missing values are treated as missing. Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis. T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=vim11 gfap 11 vim12 gfap 12 vim13 gfap 13 gfap 14 vim14 vim15 gfap 15 vim16 gfap 16 vim17 gfap 17 vim18 gfap 18 /CRITERIA=CI(.95). 00 00:00:00,000 00 00:00:00,014
69
One-Sample Test Test Value = 0
vim11 gfap 11 vim12 gfap 12 vim13 gfap 13 gfap 14 vim14 vim15 gfap 15 vim16 gfap 16 vim17 gfap 17 vim18 gfap 18
t 1110,776 327,197 1340,312 617,904 652,582 1063,023 1268,649 1057,796 2463,084 2330,378 693,764 386,331 733,156 412,964 621,829 720,263
df 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Mean Sig. (2-tailed) Difference ,000 141,88400 ,000 130,67000 ,000 151,55600 ,000 114,31400 ,000 135,06400 ,000 142,56400 ,000 133,54000 ,000 151,54200 ,000 154,72400 ,000 142,78200 ,000 139,03000 ,000 127,91800 ,000 120,39400 ,000 112,93200 ,000 133,08600 ,000 95,10200
70
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 141,5294 142,2386 129,5612 131,7788 151,2421 151,8699 113,8004 114,8276 134,4894 135,6386 142,1916 142,9364 133,2477 133,8323 151,1442 151,9398 154,5496 154,8984 142,6119 142,9521 138,4736 139,5864 126,9987 128,8373 119,9381 120,8499 112,1727 113,6913 132,4918 133,6802 94,7354 95,4686
T-Test Densitometri Protein Vimentin dan GFAP Perlakuan
Notes Output Created Comments Input
Missing Value Handling
19-Nov-2011 23:54:51 Active Dataset Filter Weight Split File N of Rows in Working Data File Definition of Missing Cases Used
Syntax
Resources
Processor Time Elapsed Time
DataSet3 <none> <none> <none> 5 User defined missing values are treated as missing. Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis. T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=vim11 gfap11 vim12 gfap12 vim13 gfap13 vim14 gfap14 vim15 gfap15 gfap16 vim16 vim17 gfap17 vim18 gfap18 /CRITERIA=CI(.95). 00 00:00:00,016 00 00:00:00,017
71
One-Sample Statistics
vim11 gfap11 vim12 gfap12 vim13 gfap13 vim14 gfap14 vim15 gfap15 gfap16 vim16 vim17 gfap17 vim18 gfap18
N 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Mean 139,2380 119,5740 123,6060 138,6060 137,4760 107,6920 131,9340 168,5020 146,5440 115,3820 115,9820 138,4200 175,9680 103,5780 163,5820 91,4880
Std. Error Std. Deviation Mean ,58683 ,26244 ,51505 ,23034 ,15453 ,06911 2,32958 1,04182 ,36916 ,16509 ,16873 ,07546 ,49707 ,22230 ,44494 ,19898 ,38501 ,17218 ,52270 ,23376 ,92767 ,41487 ,22249 ,09950 ,20981 ,09383 1,07753 ,48189 ,32522 ,14544 ,85824 ,38382
One-Sample Test Test Value = 0
vim11 gfap11 vim12 gfap12 vim13 gfap13 vim14 gfap14 vim15 gfap15 gfap16 vim16 vim17 gfap17 vim18 gfap18
t 530,555 519,122 1788,576 133,042 832,714 1427,167 593,503 846,819 851,109 493,591 279,565 1391,173 1875,399 214,943 1124,707 238,365
df 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Mean Sig. (2-tailed) Difference ,000 139,23800 ,000 119,57400 ,000 123,60600 ,000 138,60600 ,000 137,47600 ,000 107,69200 ,000 131,93400 ,000 168,50200 ,000 146,54400 ,000 115,38200 ,000 115,98200 ,000 138,42000 ,000 175,96800 ,000 103,57800 ,000 163,58200 ,000 91,48800
72
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 138,5094 139,9666 118,9345 120,2135 123,4141 123,7979 135,7134 141,4986 137,0176 137,9344 107,4825 107,9015 131,3168 132,5512 167,9495 169,0545 146,0660 147,0220 114,7330 116,0310 114,8301 117,1339 138,1437 138,6963 175,7075 176,2285 102,2401 104,9159 163,1782 163,9858 90,4224 92,5536
I,EMRAGA PI'NIiI,ITIAN Gedung Sarwahitit, Lantai 2, Kanrpus A Univcrsitas Ncgcri Jakurta, Jalun ltarvunlaugul M uka, Jakarta l 3 220T elpl F ax(62 -21)4 890 8 5 6, t_vf[uLu_ql ac i d ; !,gu]jlgX rrUa"q.i d
IDIINTI'I'AS dan PIING IISAIIAN LAPOII.AN IIII}AII I}EITSAIN(;
l.
Judul Penelitian : Ekspresi Protein virn, Nf dan GF'Ap "ferhadap lrenipisan Jaringan Serebral Korteks dan Dampaknya Terhadap Penurunan Kecerdasan Otak Akibat 2-ME 2. Kepala Proyek Penelitian a. Nama : Dra. Yulia Irnidayanti, b. Jenis Kelarnin :Perempuan o. PangkatlGol/l..IIP : Lektor/IIIC/l e650723200 I I ??00 I d.
Jabatan
: l)cnata
Fakultas/Jurusan Instansi g- Bidang Ilmu yang diteliti e.
:FMIPA/Biologi
f.
: Universitas Negeri Jakarta :Teratologi Molekular
Jakarta, Novernber 201 I
MIPA
Ketua Peneliti,
LJakarta
$7*
(Yulia Irnidairanti. M. Si) NrP I 9650723200 1 12200
) 4122001
I
99003 I 00 I
t