PROCEEDING BOOK “SCIENTIFIC ANNUAL MEETING Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI)” 2016
MEDICAL EDUCATION
Eksplorasi Peran Pendidikan Pesantren Terhadap Kemampuan Self-directed Learning Mahasiswa Kedokteran Francisca A Tjakradidjaja1, Harsono2, Yayi Suryo Prabandari2, Titi Savitri Prihatiningsih2 1 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Coresponding Authors: Francisca A Tjakradidjaja email:
[email protected]
ABSTRAK LATAR BELAKANG: Self-directed learning (SDL) merupakan inti dari pendidikan dewasa yang bercirikan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Kendali belajar terdapat pada peserta didik dan peserta didik memiliki kebebasan untuk belajar sesuai dengan kebutuhan mereka. Kemampuan SDL sangat dibutuhkan oleh seorang dokter untuk selalu dapat mengikuti perkembangan keilmuan terutama dalam bidang kedokteran dan kesehatan. Kemampuan SDL dibentuk selama pendidikan dokter dengan menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada siswa. Kemampuan SDL mahasiswa dan lulusan Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Jakarta (PSPD FKIK UIN Jakarta) Jakarta berada dalam kategori sedang. Empat puluh persen mahasiswa berasal dari pesantren, padahal dalam pendidikan pesantren telah ditumbuhkan kemandirian dalam hal belajar. Penelitan mengenai kaitan antara peran pendidikan pesantren dan kemampuan SDL mahasiswa kedokteran masih terbatas. TUJUAN: Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran pendidikan pesantren dalam membentuk kemampuan SDL mahasiswa kedokteran. METODE: Pendekatan penelitian adalah metode kualitatif. Penelitian dilakukan di PSPD FKIK UIN Jakarta dan pesantren asal mahasiswa. Informan meliputi mahasiswa asal pesantren, praktisi pendidikan Islam, pengurus pesantren, dan penanggung jawab modul dokter muslim. Informan diambil dengan metode purposive sampling. Metode pengumpulan data menggunakan tehnik wawancara mendalam. Data dikumpulkan sampai dicapai kejenuhan data. Analisis data menggunakan pendekatan tematik dengan bantuan software Atlas Ti. Etika penelitian telah didapatkan dari komisi etik penelitian PSPD FKIK UIN Jakarta. HASIL: Tema yang muncul dalam penelitian ini adalah habituasi, ketangguhan, nilai ibadah belajar, tanggung jawab, metode pembelajaran, tipologi pesantren, kerutinan, dan takzim. KESIMPULAN: Mahasiswa yang berasal dari pesantren mempunyai potensi yang baik dalam menjalani pendidikan dokter. Pendidikan di pesantren dapat mendukung proses SDL mahasiswa. Kata kunci: self-directed learning, pesantren, pendidikan kedokteran ABSTRACT BACKGROUND: Self-directed learning (SDL) is the core of adult education characterized by student centre learning. Learner take control of the learning process. They have freedom to learn based on their need and responsible for the quality of their own learning. SDL is needed by a physician to always be able to face the development of medical science. SDL established in medical school by student centre learning approach. SDL ability of student and graduate from Medicine Program, Faculty of Medicine and Health Science, UIN Jakarta are in the medium category. Forty percents of the student come from Islamic boarding school (pesantren). In pesantren, students have already accustomed to live independently. AIM: The purpose of the research was to explore the pesantren role in forming the medical students SDL ability. METHODS: This study was a qualitative research. The study was conducted in Medicine Program, Faculty of Medicine and Health Science, UIN Jakarta and pesantren. The informants were student from pesantren, Islamic education practitioners, administrators of pesantren, and chief of muslim doctor module. Informants were taken by purposive sampling method. Methods of data collection using in-depth interview techniques. Data were collected until saturated. Analysis of data used a thematic approach with the assistance of Atlas Ti software. Ethical approval has been obtained from Faculty of Medicine and Health Science, UIN Jakarta research ethics committee. RESULTS: The theme that emerged in this study are habituation, toughness, worship the value of learning, responsibility, learning methods, typology boarding, routine, and respectfully. CONCLUSION: Students from pesantren have good potential to undergo medical education. Education in pesantren can support students SDL process. Key words: self-directed learning, pesantren, medical education
22
ISBN: 978-602-1145-33-3
PENDAHULUAN Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran dan perkembangan masalah kesehatan haruslah dapat di hadapai oleh seorang dokter. Dokter sangat dituntut kemampuannya untuk mampu merespon semua kondisi perubahan keilmuan yang tidak terduga dan berkecepatan tinggi. Kemampuan belajar sepanjang hayat merupakan dasar dalam mengatasi hal tersebut. Konsil Kedokteran Indonesia (2012) menyatakan bahwa kemampuan belajar sepanjang hayat merupakan salah satu kompetensi yang harus dipunyai oleh seorang dokter. Salah satu pijakan kemampuan belajar sepanjang hayat adalah kemampuan untuk mengarahkan belajar secara mandiri (self-directed learning/SDL) (Bidokht dan Assareh, 2011). SDL mempunyai terjemahan sederhana bahwa kendali dan tanggung jawab belajar ada pada pembelajar. SDL merupakan inti dari pendidikan dewasa yang bercirikan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Kendali belajar terdapat pada peserta didik dan peserta didik memiliki kebebasan untuk belajar sesuai dengan kebutuhan mereka (Fisher et al., 2001). Kemampuan ini harus dimiliki oleh seorang dokter untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal demi keamanan pasien. Karakteristik mahasiswa di Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Jakarta (PSPD FKIK UIN Jakarta) mempunyai kekhasan dibandingkan fakultas kedokteran lain, yaitu: 40% mahasiswa berasal dari pesantren. Pendirian PSPD FKIK UIN Jakarta mempunyai misi salah satunya adalah untuk menampung para lulusan madrasah aliyah dan pondok pesantren yang berada di rural area. Lulusan pesantren biasanya termarginalisasi karena kalah bersaing, baik secara ekonomi maupun prestasi, untuk dapat memasuki program studi umum pada perguruan tinggi, terutama fakultas kedokteran (PSPD FKIK UIN Jakarta, 2013). Penelitian mengenai hubungan antara pendidikan pesantren dan kesiapan SDL masih terbatas. Penelitian yang dilakukan di PSPD FKIK UIN Jakarta menunjukkan bahwa kesiapan SDL mahasiswa tidak berhubungan dengan asal pesantren dan bukan pesantren (Tjakradidjaja, 2012; Aruan, 2013; Rahmadhani, 2013), walaupun pendidikan di pesantren secara implisit bermakna SDL. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini berangkat dari suatu kebutuhan untuk memahami peran pendidikan pesantren terhadap kemampuan SDL mahasiswa dalam konteks pendidikan kedokteran. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2014 di PSPD FKIK UIN Jakarta dan lokasi pesantren. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif eksploratif. Penelitian kualitatif memberikan peluang untuk mengumpulkan data dari pendapat informan dalam kata-kata mereka sendiri. Desain penelitian kualitatif juga memfasilitasi proses untuk lebih memahami suatu peristiwa atau fenomena dari deskripsi dan interpretasi data muncul (Creswell, 2012). Informan penelitian adalah mahasiswa asal pesantren, praktisi pendidikan Islam, penanggung jawab modul dokter muslim, dan pengurus pesantren. Kriteria praktisi pendidikan Islam adalah berlatar belakang ilmu pendidikan strata tiga dan berpengalaman dalam bidangnya minimal dua tahun. Kriteria penanggung jawab modul dokter muslim adalah aktif terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan modul dokter muslim. Kriteria mahasiswa adalah mahasiswa asal pesantren dari tiap semester yang aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pengurus pesantren adalah yang terlibat dalam keseharian kegiatan di pesantren. Pemilihan informan berdasarkan purposive sampling, yaitu peneliti memilih informan karena kesesuaian pemahaman atas topik penelitian. Kerahasiaan sumber data menjadi perhatian. Wawancara mendalam dilakukan langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman wawancara semi terstruktur dengan pertanyaan terbuka, sehingga memberikan keleluasaan untuk tidak terbatas kepada bahasan atau mungkin mengajukan topik bahasan lain yang terkait, selama wawancara itu berlangsung. Daftar pertanyaan untuk masing-masing kelompok informan disusun dengan mendiskusikannya beserta para pakar untuk menjaga validitas isi. Pencarian data akan dihentikan jika telah terjadi saturasi data, ini terjadi jika tema dan kategori terulang terus serta tidak diperoleh informasi baru lagi. Selama pelaksanaan wawancara mendalam dilakukan perekaman secara audio dan visual serta dilakukan pencatatan. Pewawancara adalah peneliti dibantu oleh asisten peneliti yang telah mendapat pengarahan dan menjalani latihan. Peneliti adalah sebagai human instrument (alat manusia). Informasi yang diperoleh melalui wawancara mendalam, dan berbagai temuan yang didapatkan selama pengambilan data di lapangan dianalisis secara deskriptif kualitatif selama pengumpulan data dan setelahnya. Semua informasi ditranskripkan kata perkata. Analisis data dilakukan berdasarkan metode analisis konten dengan pendekatan induktif (Elo & Kyngas, 2008). Penyajian data dilakukan secara sistematis dengan mengembangkan hasil yang diperoleh di lapangan, kutipan-kutipan kata per kata untuk memperkuat ilustrasi penafsiran peneliti dan perumusan teoritis. Kredibilitas data dicapai melalui cara triangulasi. Triangulasi berfungsi sebagai mekanisme untuk mengukur
2
PROCEEDING BOOK “SCIENTIFIC ANNUAL MEETING Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI)” 2016
beberapa persepsi terhadap hal atau fenomena yang sama dan untuk mengkonfirmasi proses. Triangulasi yang digunakan meliputi triangulasi sumber, pengecekan data dengan membandingkan dan mengecek ulang data yang diperoleh dari satu informan dengan informan lainnya. Pemilihan informan yang bervasiasi akan meningkatkan keteralihan dari hasil penelitian untuk dapat diaplikasikan pada situasi lain yang sesuai. Ketergantungan (dependability) adalah bentuk konsistensi antara data dan hasil penelitian. Untuk meningkatkan nilai ketergantungan dari penelitian ini dilakukan penjelasan proses penelitian secara rinci meliputi metode pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi data. Peneliti juga melakukan refleksi mengenai perasaan, kesan, dan pemikiran yang muncul sejak saat penyusunan proposal, pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi data. Kepastian mengenai kesesuaian antara pertanyaan wawancara dan pertanyaan penelitian, proses penelitian, kebenaran data, proses analisis, dan interpretasi data dijaga dengan menerapkan siklus penelitian kualitatif secara berulang-ulang. Selain itu, analisis dan interpretasi data dilakukan dengan mendiskusikannya bersama teman sejawat. Rekan dalam analisis data terdiri dari dua orang. Keduanya berprofesi sebagai dokter, salah satunya adalah staf pengajar klinik dan yang lainnya adalah lulusan dari FKIK UIN Jakarta. HASIL PENELITIAN Informan mahasiswa terdiri dari lima orang perempuan dan tujuh orang laki-laki. Sebelas informan berasal dari pulau Jawa, satu informan dari Sumatera. Semua informan tinggal di rumah kos. Tiga informan berasal dari sekolah menengah atas dan sembilan informan dari madrasah aliyah. Karakteristik informan mahasiswa dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik informan mahasiswa
Dua orang informan praktisi pendidikan Islam sudah memiliki pengalaman belajar selama > 15 tahun, berlatar belakang pendidikan strata tiga (Kode informan WPI.1 dan WPI.2). Informan pengurus pesantren yang diwawancara adalah pengurus pesantren di daerah Sawangan, Depok (Kode informan: WPP.1) dan pesantren di daerah Krawang, Jawa Barat (Kode informan: WPP.2). Pemilihan lokasi pesantren berdasarkan alasan bahwa salah satu mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan di PSPD FKIK UIN Jakarta berasal dari pesantren tersebut. Satu orang informan penanggung jawab dokter muslim, berlatar belakang pendidikan strata dua (Kode informan: WPDM. 1). Tema yang muncul dari hasil penelitian ini adalah: 1. Habituasi Habituasi adalah penyesuaian supaya menjadi terbiasa pada kondisi tertentu. Para mahasiswa asal pesantren memerlukan waktu untuk dapat beradaptasi dari keadaan di pesantren ke suasana di fakultas kedokteran, seperti yang disampaikan oleh informan berikut: Ya kan dari lingkungannya dari pesantren di kawasan perkampungan ke perkotaan dari hawanya aja sudah beda dok.. apalagi kehidupan sosialnya ya udah beda lah dok (WMH.11.2). Penyesuaian meliputi adaptasi lingkungan, budaya, dan juga peralihan tanggung jawab
2
ISBN: 978-602-1145-33-3
2.
3.
4.
5.
belajar pada diri sendiri yang terkait dengan peralihan model pembelajaran yang semula berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa. Pada awal mereka merasa bingung, kemudian berproses untuk dapat melebur melalui penyesuaian diri. Proses ini kebanyakan dapat dilalui dengan baik, pada akhirnya mereka dapat mengikuti proses pembelajaran tanpa kendala yang berarti, tergambar pada pernyataan informan berikut: satu semesterlah dok baru bisa lancar. Awalnya bingung juga. (WMH.11.2). Ketangguhan Mahasiswa asal pesantren mempunyai modal ketangguhan yang kuat, tabah, dan tahan banting. Kurang tidur sih dok jadi dulu kalo tidur sejam dua jam udah biasa. terutama sih kemampuan buat begadang itu sih dok semenjak SMP sih dok. emang biasa belajar malem tuh enak (WMH.09.2). Menurut informan berikut, beban kegiatan di pesantren membuat mereka menjadi lebih tangguh baik dalam kondisi fisik maupun kejiwaan. Terbiasa work under pressure juga mereka gitu jadi ibaratnya tahan banting karna mereka terbisa perihatin (WPDM. 1). Hal ini juga didukung oleh informan lain, yaitu: Di pesantren sudah ada mental qanaah, mental kemandirian, mental tawakal berjuang sudah ada modal itu. Terutama yang ekonominya rendah mereka berjuang. Anak pesantren ditaruh di mana saja mereka hidup (WPI.2). Sebagai orang yang mencari ilmu di tempat lain di luar dari tempat tinggalnya, pengalaman tinggal jauh dari orangtua adalah sebuah tantangan hidup yang perlu dihadapi oleh para santri. Karna kan kalo kaya di pesantren tuh ya kamu harus punya kemauan sendiri kan ga ada orangtua yang ayo kamu belajar gitu...iya sudah biasa kaya udah mulai tumbuh sendiri iya aku harus belajar harus belajar..kalo engga ya aku gak bisa gitu... (WMH.09.1). Kondisi ini membuat santri menjadi lebih kuat dan menimbulkan kemandirian dan tanggung jawab. Santri yang mengikuti pesantren ada yang tipe mukim dan yang tidak. Santri yang hanya belajar agama di pesantren pada malam hari biasa disebut santri kalong. Ada satu informan mahasiswa yang merupakan santri kalong. Nilai ibadah belajar Kegiatan belajar mengajar merupakan sesuatu yang dianggap sakral dan memiliki nilai ibadah yang sangat tinggi sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Pendidikan merupakan sarana penting untuk mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah) dan meraih ridla-Nya. Wahyu pertama pun kan iqro.. disuruh baca artinya disuruh belajar kan itu jadi motivasi saya juga untuk terus belajar sampai kapanpun (WMH.11.2). Mahasiswa sudah memahami nilai ini dan ini merupakan pendorong untuk terus belajar, seperti terungkap dalam pernyataan berikut:Ya kan Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu..apa namanya ya emang kita memang dituntut untuk belajar..dari dulu juga ditanamkan (WMH.08.1). Tanggung jawab Pada pendidikan pesantren masing-masing santri bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan juga diberi tanggung jawab untuk membimbing adik kelasnya. Jadi hari itu tuh setengah jam itu waktu buat nyetor..waktu buat ngapalinnya terserah kamu..jadi hari tafsin itu kamu nyetor sama gurunya (WMH.09.1.). Tanggung jawab bukan hanya dalam hal belajar tetapi juga dalam kehidupan keseharian. Mandiri, dia tau menempatkan diri itu dari sisi perilaku ya mba dan kemandirian belajar itu sudah jelas (WPDM. 1). Metode pembelajaran Metode pembelajaran utama yang digunakan di pesantren adalah metode sorogan dan wetonan/bandongan. Metode sorogan berasal dari kata sorog yang mempunyai arti menyodorkan. Para santri ditugaskan membaca kitab di hadapan kyai atau ustadz yang akan menyimak dan mengoreksi bacaan santri. Metode ini merupakan belajar secara individual. Santri langsung berhadapan dengan guru untuk didengarkan dan dikoreksi bacaannya. Kedisiplinan pribadi santri sangat menentukan keberhasilan metode ini. Metode wetonan/bandongan merupakan metode ceramah, kyai membacakan kitab dan santri mendengarkan sambil mencatat. Selain itu, ada metode mudzakarah, yaitu: santri dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk membahas serta menyelesaikan permasalahan keagamaan yang ada dalam masyarakat. Metode halaqah adalah metode diskusi untuk memahami lebih jauh kitab yang diajarkan oleh kyai. Metode belajar di pesantren terungkap pada pernyataan informan berikut: Kayak dikasih kasus fiqih yang ngasih ustadnya, terus disuruh menyimpulkan apa hukumnya, terus yang benar gimana yang salah gimana seperti itu dok, dibahas mencari referensinya darimana. (WMH.11.2). Ciri khas metode pembelajaran pesantren adalah metode hafalan. Para santri mempunyai kewajiban untuk menghafal Al Quran, hadist dan doa-doa serta kosa kata Bahasa Arab selama menempuh pendidikan. Dalam metode hafalan ini santri akan menghafal sendiri dan selanjutnya mempunyai kesempatan untuk menilai dirinya sendiri untuk kemudian diuji kemampuan menghafalnya. Hafalan ayat
2
PROCEEDING BOOK “SCIENTIFIC ANNUAL MEETING Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI)” 2016
6.
7.
8.
ngapalin sendiri, nanti kaya tiap hari ada setor ayat terus diakhir taun itu ada ujiannya dok biasanya dok… tiap tahun dihafalannya. Itu sama pengurusnya dok (WMH.08.2). Kalau di pesantren kan mereka harus membaca, menghapal, mengemukakan yang tidak ada dalam kitab (WPI.2). Tipologi pesantren Tipe pesantren ada beberapa macam, terkait dengan materi yang dipelajari. Di pesantren dulukan pelajaran umumnya ada dua kurikulum gitu dok jadi lebih sedikit dok jadi kaya pelajaran biologinya itu kurang… pas disini jadi kok jauh banget gitu (WMH.08.2). Kalo kelas science tetep ada agamanya tapi 50 % 50 % . Saya masuk yang science (WMH.11.1). Ilmu di dalam Alquran itu luas, di pesantren itu kapling yang asriyah, Karena kita sadar semua santri itu tidak selalu jadi ulama, maksimal 50% (WPP.1). Bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren pada saat ini sudah bervariasi. Awalnya belajar agama, lamalama berkembang juga mempelajari materi selain agama misalnya matematika, kewarganegaraan, life skill (WPI. 1). Mahasiswa yang berasal dari tipe pesantren modern dan komprehensif dapat mudah mengikuti pendidikan keilmuan umum, sedangkan yang berasal dari pesantren tradisional dapat menghadapi lebih banyak tantangan. Rutinitas Kegiatan dalam pesantren sudah terpola dalam kesehariannya, sesuai dengan yang disampaikan oleh salah satu informan sebagai berikut: Pagi bangun jam tiga buat solat tahajud di masjid bareng sama pak kyai setelah itu pengajian sampe jam enam, setelah pengajian terus sampe diberi waktu satu jam buat ishoma nah setelah itu jam tujuh sudah mulai upacara sebelum masuk ke kelas, dari jam tujuh sampe jam 12 udah selesai formal, setelah itu jam satu sampe jam tiga ashar itu istirahat setelah itu dari ashar sampe magrib ada pengajian, dan dari setelah magrib sampe isya itu ada diniah ataupun tentang agamanya setelah itu dari jam abis magrib sampe jam tujuh tadi terus jam tujuh sampe seterusnya itu waktu luang untuk belajar. rutin tiap hari seperti gitu (WMH.12.2). Informan lain juga mendukung adanya rutinitas dalam pendidikan pesantren. Mereka sedikit tidurnya gitu misalkan dibangunkan jam 3 untuk shalat tahajud, kemudian habis shalat tahajud menghafal pelajaran atau mengahafal ayat kemudian shalat subuh berjamaah setelah shalat berjamaah kemudian olahraga kemudian mereka mandi setelah mandi mereka masuk ke kelas ruang belajar dan itu ilakukan secara bersama sama terus berulang-ulang (WPDM.1). Hal-hal yang dilakukan adalah prosedur yang teratur dan dalam kecenderungan tidak berubah sehari-harinya. Pola ini berlangsung cukup lama selama pendidikan pesantren, sehingga diharapkan sudah terinternalisasi dalam diri mahasiswa. Takzim Rasa hormat dan sopan yang dalam (takzim) ditujukan pada guru (kyai) di pesantren. Dalam pendidikan pesantren, guru (kyai) mempunyai kedudukan yang sangat penting. Kyai merupakan pemeran utama dalam semua proses pendidikan di pesantren. Kyai yang mungkin karena karismanya sangat kuat, jadi membuat murid dependent dengan kyainya. Tapi pada pesantren modern, biasanya pemikiran lebih moderat. Sikap terhadap kyai tidak sekuat yang tradisional (WPI. 1). Proses pembelajaran yang berpusat pada guru di pesantren Ngaji besar serombongan besar itu ga ada sesi tanya jawab juga dok (WMH.08.2).
PEMBAHASAN Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini hanya melibatkan satu institusi, sehingga hasil ini kemungkinan diindikasikan sesuai dengan kondisi lokal dari lokasi penelitian. Bila karakteristik institusi serupa dengan lokasi penelitian, maka hasil ini dapat diaplikasikan. Kedua, kemungkinan bias dalam analisis data. Peneliti adalah instrumen utama, sehingga subjektivitas peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian ini. Untuk mengatasai hal tersebut maka dilakukan peer coder yang melibatkan dua coder lain dan member checking. Ketiga, peneliti adalah staf pengajar di lokasi penelitian. Penelitian di institusi sendiri dapat menimbulkan risiko seperti nilai data berkurang, informasi tidak diberikan sepenuhnya, dan indikasi politis. Hal ini diatasi dengan membina hubungan yang baik dengan informan, menciptakan hubungan yang didasari kepercayaan, sehingga eksplorasi data menjadi lebih terbuka. Para mahasiswa asal pesantren memerlukan waktu untuk dapat beradaptasi dari keadaan di pesantren ke suasana di fakultas kedokteran. Selama proses penyesuaian berlangsung, mahasiswa akan mengalami perubahan dalam kehidupannya karena masuk dalam lingkungan yang baru dan bertemu dengan mahasiswa lain yang memiliki latar belakang berbeda. Interaksi ini akan memperkecil kesenjangan yang ada sehingga akan terbentuk kondisi sosial baru dalam kesehariannya. Kebingungan yang dialami oleh mahasiswa sejalan dengan penelitian yang
26
ISBN: 978-602-1145-33-3
dilakukan oleh Brown (2008), yang menemukan bahwa mahasiswa pendatang mengalami kecemasan, kebingungan menghadapai suasana kampus dan lingkungan, tertekan, dan kesendirian pada awal masa pendidikan. Mahasiswa asal pesantren mempunyai modal ketangguhan yang kuat, tabah, dan tahan banting. Beban kegiatan di pesantren membuat mereka menjadi lebih tangguh baik dalam kondisi fisik maupun kejiwaan. Proses SDL membutuhkan karakter pembelajar yang tangguh mengingat proses itu berjalan terus menerus dalam jangka waktu panjang. Merriam (2001) menyampaikan karakter dari self directed learner salah satunya adalah menunjukkan tingkat usaha yang tinggi. Tempaan selama pendidikan pesantren menjadikan para santri dapat mengatur dirinya untuk menjadi pribadi yang tangguh dalam menyikapi kondisi yang dihadapi. Pribadi tangguh diharapkan membuat selalu produktif, menumbuhkan motivasi, rasa percaya diri, semangat tidak menyerah, dan semangat berjuang mencari solusi dari tantangan yang dihadapi. Pemahaman bahwa belajar memiliki nilai ibadah sebagai bentuk pengabdian kepada Allah, sudah diberikan pada para santri, sehingga kesadaran untuk belajar diharapkan dapat meningkatkan motivasi dalam kegiatan belajar. Sebagai orang yang mencari ilmu di tempat lain di luar dari tempat tinggalnya membuat santri menjadi lebih kuat dan menimbulkan kemandirian dan tanggung jawab yang merupakan komponen penting dalam SDL (Garrison, 1997; Stockdale & Brockett, 2011). Tanggung jawab muncul setelah seseorang berani mengambil keputusan yang didasari oleh pemahaman dari akibat yang timbul sebagai konsekuensi dari tindakannya. Metode sorogan, mudzakarah, dan halaqah akan mendukung kemampuan SDL mahasiswa. Metode pembelajaran di pesantren yang sudah memperkenalkan pembelajaran yang mengaktifkan mahasiswa dapat membuat mahasiswa lebih mudah menjalani pendidikan di kedokteran yang menggunakan metode belajar berdasarkan masalah (problem based learning/PBL). Dalam metode halaqah para santri belajar dalam kelompok yang memungkinkan terjadi interaksi belajar antar individu (collaborative learning). Santri lebih terbiasa dengan budaya kebersamaan. Kebersamaan ini juga merupakan sarana menuju terwujudnya ukhuwah islamiyyah. Penilaian terhadap diri sendiri merupakan salah satu modal dalam proses self-directed learning. Kemampuan untuk mengevaluasi diri sendiri, seperti pada kemampuan hafalan sebelum mereka menghadap guru untuk diuji, sangatlah dibutuhkan. Pembagian tipe pesantren menurut perkembangannya ada tiga macam bentuk (Umar, 2014), yaitu: 1. Pondok pesantren tradisional. Pondok pesantren ini masih mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. 2. Pondok pesantren modern. Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pondok pesantren karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi semua sistem belajar modern dan meninggalkan sistem belajar tradisional. 3. Pondok pesantren komprehensif. Pondok pesantren ini merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara tradisional dan modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab Kuning, dan sekolah formal. Pembagian tipe pesantren yang lain menurut Dhofier (1985) dalam Umar (2014), yaitu: 1. Pesantren salafiyah, adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan. 2. Pesantren khalafiyah, adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti; madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar, madrasah tsanawiyah/sekolah menengah pertama, madrasah aliyah/sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan, dan bahkan perguruan tinggi. Mahasiswa yang berasal dari tipe pesantren modern dapat mudah mengikuti pendidikan keilmuan umum. Lulusan pesantren tradisional akan mengalami kesulitan untuk dapat melanjutkan sekolah atau bekerja pada bidang yang mensyaratkan memiliki pengetahuan, penguasaan teknologi, dan keterampilan umum. Modal ilmu keagamaan yang mereka punyai mempunyai nilai lebih karena khusus di PSPD FKIK UIN Jakarta ada kompetensi tambahan yaitu, dokter muslim. Mereka yang sejak sekolah menengah sudah memperdalam ilmu keagamaan seperti fiqih, hafalan Al Quran, hafalan doa dan ibadah lainnya akan lebih mudah mengikuti modul ini. Untuk menjembatani kesenjangan materi umum, di PSPD FKIK UIN, Jakarta dilakukan program matrikulasi. Program matrikulasi ini mencakup empat ranah ilmu sains, yaitu: biologi, kimia, matematika, dan fisika. Tujuan dari program ini adalah memberi penguatan materi bagi mahasiswa asal pesantren agar kemampuannya menjadi setara dengan mahasiswa yang berasal dari sekolah umum. Rutinitas kegiatan di pesentren membuat mereka menjadi disiplin dan berkemampuan baik dalam pengaturan waktu, ini merupakan komponen penting dalam SDL (Fisher, 2001). Guru (kyai) mempunyai kedudukan yang sangat penting pada pendidikan pesantren, membuat poses pembelajaran berpusat pada guru. Dampaknya adalah dapat menimbulkan sikap ketergantungan pada guru sehingga menimbulkan keterbatasan kreativitas dari para santri. Kyai mempuyai dua tipe otoritas, yaitu: otoritas tradisional dan otoritas karismatik. Otoritas tradisional adalah otoritas yang didasari oleh tradisi, adat istiadat atau spontan oleh pengikutnya, sedangkan
2
PROCEEDING BOOK “SCIENTIFIC ANNUAL MEETING Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI)” 2016
otoritas karismatik adalah otoritas yang dimiliki karena ciri kepribadian yang luar biasa pada dirinya, sehingga memunculkan rasa kepercayaan dari para pengikutnya (Max Weber dalam Umar, 2014). Peran guru dalam SDL bukanlah sebagai sumber utama informasi yang akan mentransfer ilmu yang dipunyainya secara langsung kepada mahasiswa (Tjakradidjaja et al, 2016). Guru berperan sebagai instrukstur atau fasilitator dalam proses belajar dan bukan hanya seorang yang ahli di bidang yang terkait dengan materi, tetapi juga harus memahami proses belajar dalam diri seseorang, mempunyai kemampuan untuk memotivasi dan mendorong mahasiswa dalam belajar serta mampu memberikan umpan balik yang konstruktif bagi mahasiswa (Miflin et al., 2000; Silen dan Uhlin, 2008; Kek dan Huijser, 2011). KESIMPULAN Tema yang muncul dalam penelitian ini adalah habituasi, ketangguhan, nilai ibadah belajar, tanggung jawab, metode pembelajaran, tipologi pesantren, kerutinan, dan takzim. Tradisi belajar di pesantren sudah sesuai dengan SDL dan mahasiswa asal pesantren memerlukan proses penyesuaian dalam mengikuti pendidikan di fakultas kedokteran. Pendidikan di pesantren juga memiliki gambaran kaidah pendidikan modern dalam hal ini adalah SDL. SARAN Kedepannya perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menguji hubungan antar tema-tema yang muncul dan juga proses penyesuaian mahasiswa asal pesantren dengan lebih mendalam. Pihak institusi dapat mempertimbangkan karakteristik pesantren yang dapat mengirimkan santrinya untuk mengikuti pendidikan di fakultas kedokteran. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya peneliti sampaikan pada Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN Jakarta, yang telah memberikan hibah dana penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Aruan, N., 2013. Gambaran kesiapan self-directed learning pada mahasiswa tahap klinik PSPD FKIK UIN SH Jakarta dan faktor-faktor yang berhubungan, Jakarta: Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bidokht, M. H. & Assareh, A., 2011. Life-long learners through problem-based and self directed learning. Procedia Computer Science, pp. 1446-1453. Brown, L. and Holloway, I., 2008. The initial stage of the international sojourn: excitement or culture shock? British Journal of Guidance and Counselling, 36 (1), pp. 33-49. Creswell, J. W., 2012. Research Design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed, Terjemahan. 3nd penyunt. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Elo, S. & Kyngas, H., 2007. The qualitative content analysis process. Journal of Advanced Nursing, 62(1), pp. 107-115. Fisher, M., King , J. & Tague, G., 2001. Development of a self-directed learning readiness scale for nursing education. Nurse Education Today, Volume 21, pp. 516-525. Garrison, D. R., 1997. Self-directed learning: Toward a comprehensive model. Adult Education Quarterly, pp. 18-33. Kek, M. & Huijser, H., 2011. Exploring the combined relationships of student and teacher factors on learning approaches and self-directed learning readiness at a Malaysian university. Studies in Higher Education, 36(2), pp. 185-208. Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
2
ISBN: 978-602-1145-33-3
Merriam, S. B., 2001. Andragogy and self-directed learning: Pillars of adult learning theory. New direction for adult and continuing education, pp. 3-13. Miflin, B. M., Campbell, C. B. & Price, D. A., 2000. A conceptual framework to guide the development of selfdirected, lifelong learning in problem-based medical curricula. Medical Education, Issue 34, pp. 299306. PSPD FKIK UIN Jakarta. 2012. Pedoman Kurikulum 2012. 1 penyunt. Jakarta: UIN Jakarta. Rahmadhani, E., 2013. Hubungan antara kesiapan self-directed learning dan nilai modul mahasiswa tahun pertama PSPD UIN-SH Jakarta, Jakarta: Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Silen, C. & Uhlin, L., 2008. Self-directed learning - a learning issue for students and faculty!. Teaching in Higher Education, 13(4), pp. 461-475. Stockdale, S. L. & Brockett, R. G., 2011. Development of the PRO-SDLS: A Measure of self-direction in learning based on the personal responsibility orientation model. Adult Education Quarterly, 61(2), pp. 161-180. Tjakradidjaja, F. A., 2012. Hubungan antara skor self-directed learning readiness dengan pendekatan belajar serta pencapaian nilai mahasiswa. Laporan penelitian Hibah FKIK UIN. Tjakradidjaja, F.A., Prabandari, Y.S., Prihatiningsih, T.S., Harsono. (2016). The Role of Teacher in Medical Student Self-Directed Learning Process. Journal of Education and Learning. Vol. 10 (1) pp. 78-84. Umar, N., 2014. Rethinking Pesantren. Jakarta: Gramedia.
2