0384: Yosmina Tapilatu
EN-39
EKSPLORASI BAKTERI LAUT PENGHASIL PROTEORHODOPSIN DARI PERAIRAN MALUKU UNTUK APLIKASI SEL TENAGA SURYA Yosmina Tapilatu UPT Balai Konservasi Biota Laut Ambon ELIPI Jl. Y. Syaranamual Guru-guru Poka Ambon 97233 Telepon (0911) 322676 e-mail:
[email protected]
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Eksplorasi bakteri penghasil proteorhodopsin dari perairan Maluku belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal wilayah laut yang meliputi sekitar 90% dari total luas provinsi tersebut memungkinkan terisolasinya kelompok bakteri penghasil proteorhodopsin yang diketahui sangat berlimpah di laut. Proteorhodopsin merupakan protein transmembraner yang mampu mengkonversi sinar matahari menjadi sumber energi. Nilai strategis kegiatan penelitian ini adalah potensi dihasilkannya bahan dasar semikonduktor organik dalam pembuatan sel tenaga surya yang ekonomis namun efektif, sehingga teknologi sel surya dapat dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat. Tujuan penelitian ini dengan demikian adalah untuk mengisolasi bakteri laut penghasil proteorhodopsin dari perairan Maluku untuk aplikasi pembuatan sel tenaga surya. Pengambilan sampel air dan sedimen dilakukan di dua lokasi yang berbeda di perairan Maluku pada bulan Februari hingga April 2012. Isolasi awal dilakukan dengan menggunakan metode dilution to extinction. Diperoleh enam isolat murni bakteri laut yang diduga mampu menghasilkan pigmen proteorhodopsin. Dari hasil identifikasi awal secara visual, di bawah mikroskop koloni individual berbentuk bulat, dengan permukaan tampak licin dan mengilap serta cenderung konkaf. Warnanya beraneka ragam sebagai fungsi dari jenis sampel, lokasi di mana sampel diambil dan media yang digunakan untuk isolasi. Enam isolat murni yang diperoleh dari isolasi awal diekstraksi DNA-nya, dan amplifikasi gen 16s rRNA dilakukan dengan PCR. Hasil sekuensing mengindikasikan bahwa hanya ada satu isolat, yaitu Pseudidiomarina sp. isolat TAPI yang termasuk bakteri Gram-negatif dari kelompok γproteobakteria. Pigmen isolat ini memiliki panjang gelombang maksimal pada 480 nm dan termasuk senyawa dari kelompok alkaloid dengan sifat cenderung semipolar. Kata Kunci: Bakteri laut, pigmen proteorhodopsin, perairan Maluku.
I.
PENDAHULUAN
Permintaan akan sumber-sumber energi terbarukan dalam beberapa dekade belakangan ini semakin meningkat, seiring dengan semakin menipisnya sumber energi fosil. Sebagai konsekwensinya, intensitas kajian terhadap berbagai jenis sumber energi terbarukan juga ikut meningkat. Kegiatan penelitian ini perlu dilaksanakan sehubungan dengan eksplorasi pemanfaatan proteo-rhodopsin yang dihasilkan oleh bakteri laut dalam pembuatan sel tenaga surya. Pembuatan sel tenaga surya berbasis pigmen didasarkan pada ide bahwa semikonduktor organik dapat mengurangi secara signifikan ongkos produksi panel tenaga surya, yang menjadi salah satu hambatan penggunaan sumber energi alternatif ini. Walaupun di Indonesia sendiri sudah dirintis pembuatan sel tenaga surya dengan menggunakan pigmen yang berasal dari bakteri laut,[1] namun sepan-
jang pengetahuan kami upaya isolasi bakteri laut penghasil pigmen proteorhodopsin belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal diduga terdapat 1028 bakteri laut yang mengekspresikan proteorhodopsin, membuat mereka menjadi salah satu dari organisme yang paling berlimpah di muka bumi.[2, 3] Penemuan proteorhodopsin pertama kali dilaporkan pada tahun 2000.[4] Pigmen ini ditemukan pada genom beberapa spesies γ-proteobakteri laut yang tidak dikultur, yang diisolasi dari Samudera Pasifik Selatan, Samudera Pasifik Utara Tengah dan Samudera Antarktika Timur.[2] Homolog protein ini terdapat pada manusia, vertebrata lainnya, beberapa jenis serangga, eukaryota laut dan archaea.[5–7] Apabila pada manusia protein retinal ini berguna untuk mendeteksi berkas cahaya dalam kegelapan, homolog protein yang ditemukan pada bakteri laut memiliki fungsi yang hamProsiding InSINas 2012
0384: Yosmina Tapilatu
EN-40 pir sama dengan yang ditemukan pada archaea (bakteriorhodopsin), yaitu untuk mengubah cahaya menjadi energi. Fungsi yang disebut terakhir ini merupakan salah satu strategi untuk bertahan hidup dalam kondisi lingkungan minim sumber karbon lewat proses fototrofik yang difasilitasi oleh kerja proteorhodopsin.[8, 9] Sama seperti bakteriorhodopsin pada archaea, proteorhodopsin merupakan protein transmembraner yang terikat pada molekul retinal dan bekerja seperti sebuah pompa proton yang diaktivasi oleh cahaya. Bakteri penghasil proteorhodopsin memiliki sebaran yang luas dan spektra absorpsi yang berbeda menurut kondisi lingkungan laut di mana mereka berada.[2, 10–15] Luas wilayah laut Indonesia yang mencapai sekitar 88% dari total wilayah Negara, dan luas wilayah perairan Maluku yang bahkan mencapai sekitar 90% dari total wilayah provinsi, pastilah menyimpan potensi besar bakteri laut penghasil proteorhodopsin. Di samping itu yang terpenting adalah posisi Indonesia yang berada pada garis khatulistiwa dengan iklim tropis memungkinkan penyerapan sinar surya yang optimal sepanjang tahun, sehingga berpotensi menyeleksi bakteri laut penghasil proteorhodopsin. Nilai strategis kegiatan penelitian ini dengan demikian adalah potensi dihasilkannya bahan dasar semikonduktor organik dalam pembuatan sel tenaga surya yang ramah lingkungan, ekonomis dan efektif, sehingga teknologi sel surya dapat dimanfaatkan oleh berbagai lapisan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi bakteri laut penghasil proteorhodopsin dari perairan Maluku untuk aplikasi pembuatan sel tenaga surya. TABEL 1: Rekapitulasi data sampel yang diambil pada dua lokasi. N/A: data tidak tersedia.
Lokasi Waktu pengambilan Kedalaman (m) Alat Posisi geografis (BT;LS) Kode sampel Jenis sampel pH S (psu) T ( ◦ C) NO3 (ppm) PO4 (ppm)
Laut Perairan Teluk Aru Ambon Februari ∼ April 2012 Maret 2012 21 400 2 CTD Boks Botol corer nansen 134.719;- 128.147 ; -3.697 5.237 Aru TAL TAL 15.2 karang 400 m m Air Sedimen Air laut laut N/A N/A 8,01±0.05 N/A N/A 33.97±0.01 N/A N/A 29.69±0.02 N/A N/A 0.05±0.01 N/A N/A 0.04±0.01
II.
METODOLOGI
A. Waktu dan Lokasi Kegiatan Pengambilan sampel dilakukan pada dua lokasi berbeda pada monsun barat (musim kering), yaitu pada bulan Februari-April 2012. Pertimbangan waktu pengambilan sampel ini didasarkan pada pengamatan bahwa pada periode inilah paparan sinar matahari mencapai titik optimum sepanjang tahun, sehingga sangat berpotensi menyeleksi bakteri penghasil pigmen tersebut. B.
Pengambilan dan jenis sampel Jenis sampel yang diambil adalah sampel air dan sampel sedimen. Pada periode pengambilan sampel yang pertama pada akhir Februari hingga awal Maret 2012 (TABEL 1), sampel air diambil dengan menggunakan rosette van Dorn yang secara otomatis terbilas dengan air laut in situ saat diturunkan pada kedalaman 21 m. Air yang diperoleh kemudian ditampung dalam botol polipropilena steril sekali pakai berkapasitas 1,5 L dan diberi label. Sampel sedimen diambil dengan menggunakan boks corer yang diturunkan pada kedalaman 400 m dan subsampel sekitar 100 gr kemudian disimpan dalam plastik sampel aseptik yang diberi label pada -10 ◦ C hingga saat analisa. Pada pengambilan sampel yang kedua (April 2012), sampel air laut diambil dengan menggunakan botol Nansen yang secara otomatis terbilas dengan air laut in situ saat diturunkan pada kedalaman 2 meter. Air yang diperoleh kemudian ditampung dalam botol polipropilena steril sekali pakai berkapasitas 1,5 L, diberi label dan langsung disimpan pada suhu 0-4 ◦ C hingga kembali ke laboratorium, dan setelah itu disimpan pada sekitar -10 ◦ C hingga saat analisa. Khusus pada pengambilan sampel yang kedua, pengukuran parameter fisika-kimia juga dilakukan. C.
Isolasi bakteri Isolasi dilakukan dengan menggunakan metode dilution to extinction (pengenceran) sampel air dan sedimen hingga 10−6 pada air laut, baik buatan (Artificial Sea Water, ASW) maupun alami (Natural Sea Water, NSW) yang sudah diautoklaf terlebih dahulu (121 ◦ C, 15 menit). Hasil pengenceran (100 µl) kemudian digoreskan pada media padat. Beberapa media tumbuh digunakan untuk menguji media terbaik pertumbuhan optimum bakteri penghasil pigmen proteorhodopsin. Media tumbuh yang pertama (media a) mengandung ASW yang terbuat dari garam-garam (NaCl 22,1 g/L, MgCl2.6H2 O 9,9 g/L, Na2 SO4 3,9 g/L, MgSO4 .7H2 O 0,5 g/L, FeSO4 .7H2 O 0,01 g/L, CaCl2 .2H2 O 1,5 g/L, KCl 0,61 g/L, KH2 PO4 2 g/L) dan oligo mineral serta air suling 1 L. Ke dalamnya ditambahkan Trypticase Soy Broth (TSB) 0,7 g/L dan agar 15 g/L. Media tumbuh yang kedua (media b) yang diujicobakan mengandung ASW 1 L, yang ke dalamnya ditambahkan pepton Prosiding InSINas 2012
0384: Yosmina Tapilatu
EN-41
TABEL 2: Deskripsi isolat yang diduga sebagai penghasil pigmen proteorhodopsin pada media tumbuh optimal (b, c dan d) yang mengandung malt extract, yeast extract, glukosa dan pepton serta hasil identifikasi awal berdasarkan sekuens 16S rRNA (∼1500 bp).
Kode isolat
Asal sampel
Deskripsi koloni murni Warna
Bentuk Bulat dan konkaf
PAK
Aru karang
putih susu
KAK
Aru karang
kuning terang
TAK
TAL 400 m
TAKI
TAL 15.2 m TAL 15.2 m
kuning gading/krem kuning muda putih cenderung merah muda merah terang
TAPI
TAM
TAL 15.2 m
Tekstur permukaan Licin dan mengilap
5 g/L, yeast extract 3 g/L, malt extract 3 g/L, glukosa 10 g/L dan agar 15 g/L. Media tumbuh ketiga (media c) mengandung NSW 1 L, yeast extract 10 g/L, glukosa 5 g/L dan agar 20 g/L. Sebelum dipakai media padat ini diautoklaf pada 121 ◦ C selama 15 menit. Koloni individual kemudian dipindahkan kembali pada media padat dengan komposisi yang sama pada cawan petri lainnya untuk pemurnian. Isolat murni yang diperoleh kemudian disimpan pada -20 ◦ C dalam 30% gliserol dan media d steril (NSW 1 L, yeast extract 3 g/L, malt extract 3 g/L, pepton 5 g/L dan glukosa 10 g/L). D.
Kelompok
Ekstraksi DNA, amplifikasi PCR dan analisa sekuens 16S rRNA Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan kit ekstraksi sel bakteri (Invitrogen). Satu ml kultur diekstraksi sesuai dengan petunjuk dari produsen kit. Amplifikasi 16S rRNA dilakukan dengan menggunakan primer 9F (5’-GAG TTT GAT CCT GGC TCAG3’) dan 1510R (5’-GGC TAC CTT GTT ACG ACTT-3’) dengan kondisi denaturasi 95 ◦ C selama 2 menit, 10 siklus 95 ◦ C 30 detik, 65 ◦ C 1 menit, 72 ◦ C 2 menit, diikuti 30 siklus 95 ◦ C 30 detik, satu siklus 55 ◦ C 1 menit, 72 ◦ C 2 menit, dan diakhiri dengan terminasi pada 72 ◦ C selama 2 menit. Hasil amplifikasi kemudian dipurifikasi dan disekuensing (PT Genetika Science Indonesia - First Base, Singapura). Sekuens 16SrRNA masing-masing isolat diperiksa secara visual untuk memastikan kualitasnya dengan menggunakan
Gram positif (Firmicutes) Gram positif (Actinobacteria)
Gram negatif (γ-proteobacteria) Gram positif (Firmicutes)
Galur bakteri terdekat berdasarkan sekuens 16S rRNA Staphylococcus caprae ATCC 35538 Pseudoclavibacter helvolus CJ-G-TSA2 Knoellia sp. O-008
Tingkat similaritas sekuens (%)
Brevibacterium sp. L8 Pseudidiomarina sp. SW104
97
Bacillus DSM10
96
subtilis
97
99
96
94
program BioEdit, kemudian dibandingkan dengan basis data NCBI GenBank untuk prokaryota menggunakan tipe BLAST MegaBlast, dan tingkat kesamaan tertinggi pada basis data dicatat. E.
Pengamatan pertumbuhan, ekstraksi dan identifikasi pigmen proteorhodopsin Isolat murni yang diketahui berpotensi menghasilkan pigmen proteorhodopsin kemudian diamati densitas optik kultur (50 ml pada shaker 200 rpm, 30±1 ◦ C) dengan menggunakan Spektrofoto-meter UV1700 Pharma-Spec UV-Vis (Shimadzu). Pelet sel isolat murni dipanen dari kultur yang berada pada tahap eksponensial akhir dengan cara disentrifuse pada kecepatan 2500 rpm selama 15 menit pada suhu ruang dan kemudian dicuci dengan air suling. Ekstraksi pigmen dilakukan dengan menggunakan tiga tipe pelarut, masing-masing MeOH, Aseton:MeOH (7:3) dan Heksana:MeOH (1:1). Pelet diinkubasi dalam tiga jenis pelarut tersebut di atas pada shaker (350 rpm, 29±1 ◦ C) selama 48 jam, kemudian disentrifuse (2500 rpm, 15 menit, suhu ruang) untuk memanen pigmen. Pigmen yang diperoleh kemudian dianalisa spektra absorbansinya dengan menggunakan Spektrofoto-meter yang sama. Sebagian fraksi pigmen (3 ml) dipekatkan untuk separasi senyawa yang ada di dalamnya menggunakan teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT), dengan spesifikasi chamber 20×20 cm, pelat TLC alumina gel silika 60 F254 - Merck, fase Prosiding InSINas 2012
0384: Yosmina Tapilatu
EN-42 mobile aseton: metanol (6:4). Nilai Retention factor (Rf ) kemudian dihitung menggunakan P ERS . (11). Rf =
III.
Jarak tempuh senyawa Jarak tempuh pelarut
(4)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Enam isolat murni yang berpotensi menghasilkan pigmen proteorhodopsin berhasil diperoleh dengan menggunakan media tumbuh yang mengandung pepton, malt extract, yeast extract dan glukosa (media b∼d). Permukaan koloni tampak licin dan mengilap serta cenderung konkaf (TABEL 2). Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh keberadaan glukosa seperti tersebut di atas. Di samping itu, keanekaragaman warna koloni yang didapatkan mungkin dipengaruhi oleh jenis media yang digunakan. Hasil sekuensing 16S rRNA menunjukkan bahwa dari keenam isolat murni di atas, hanya ada satu yang termasuk dalam kelompok penghasil pigmen proteorhodopsin (γ-proteobakteria) yaitu isolat TAPI (TABEL 2). Isolat ini memiliki tingkat similaritas. Sekuens 16S rRNA yang cukup tinggi (94%) dengan bakteri Pseudidio-marina sp. SW104. Bakteri ini pernah dilaporkan sebelumnya berhasil diisolasi dari sampel air dan sedimen di perairan laut pesisir.[16–18] Bertolak dari hasil sekuensing di atas maka pengamatan pertumbuhan dan analisa pigmen hanya dilakukan pada Pseudidiomarina sp. isolat TAPI. Dari pengamatan densitas optik pertumbuhan kultur pada panjang gelombang 530 nm, isolat ini mencapai fase eksponensial kurang dari 24 jam pada media cair d dan memasuki fase stasioner setelah diinkubasi selama 30 jam. Hal ini mengindikasikan bahwa Pseudidiomarina sp. isolat TAPI memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup cepat. Di samping itu secara visual nampak bahwa masa sel yang dihasilkan cukup banyak. Uji coba ekstraksi pigmen dengan menggunakan tiga jenis pelarut berbeda menunjukkan bahwa pigmen yang dihasilkan oleh Pseudidiomarina sp. isolat TAPI dapat terekstraksi secara optimal dengan menggunakan MeOH (G AMBAR 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pigmen yang dihasilkan termasuk dalam kelompok alkaloid, di mana salah satu prekursor biologisnya mencakup lysine. Lysine sendiri dikenal merupakan salah satu protein yang terikat pada molekul retinal proteorhodopsin.[15] Spektra absorpsi dari pigmen Pseudidiomarina sp. isolat TAPI dalam methanol menunjukkan bahwa panjang gelombang maksimal berada pada 480 nm (G AM BAR 2 ). Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh beberapa kajian terdahulu[19, 20] bahwa panjang gelombang maksimum proteorhodopsin berkisar antara 440 dan 525 nm.
G AMBAR 1: Perbandingan hasil ekstraksi pigmen dengan tiga pelarut berbeda, dari kiri ke kanan Aseton:MeOH (7:3), MeOH, dan heksana:MeOH (1:1). Perhatikan gradasi warna yang nampak, di mana warna yang lebih pekat (ekstraksi paling optimal) diperoleh dengan menggunakan MeOH (tengah).
G AMBAR 2: Spektra absorpsi dari Pseudidiomarina sp. isolat TAPI dalam MeOH.
Upaya pemisahan komponen-komponen yang mungkin berada dalam pigmen yang diperoleh dengan menggunakan teknik KLT mengindikasikan bahwa pigmen yang diperoleh bersifat semi polar. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Rf yang cukup tinggi, yakni 0.75. Hanya ada satu spot yang dapat diamati (G AMBAR 3). Diperlukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan fase mobile yang lain seperti campuran dikhlorometana dan etil asetat dengan perbandingan Prosiding InSINas 2012
0384: Yosmina Tapilatu
EN-43 Willy Werinussa atas bantuan dan akses fasilitas KLT untuk separasi komponen pigmen.
DAFTAR PUSTAKA
G AMBAR 3: Uji coba separasi komponen pigmen dengan KLT.
yang berbeda.
IV.
KESIMPULAN
Hasil penelitian yang telah diperoleh mengindikasikan potensi ditemukannya bakteri laut penghasil pigmen proteorhodopsin pada perairan Maluku. Eksplorasi bakteri laut penghasil pigmen proteorhodopsin dari perairan Maluku berhasil mengisolasi satu isolat, yang dari identifikasi berdasarkan sekuens 16S rRNA termasuk dalam kelompok bakteri γ-proteobakteria dari marga Pseudidiomarina. Hasil awal pengujian pigmen yang diperoleh mengindikasikan beberapa karakteristik khas dari proteorhodopsin, yaitu memiliki panjang gelombang maksimum (480 nm) pada rentang yang pernah dilaporkan sebelumnya dan tergolong dalam kelompok senyawa alkaloid. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan berbagai teknik, baik biologi molekuler maupun kimia organik sangat penting dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih mendetil mengenai pigmen yang dihasilkan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibiayai dengan dana Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional 2012 (No. identifikasi: RD-20120384), dengan bantuan pengambilan sampel penelitian pada Laut Aru dan perairan Teluk Ambon Luar (periode Februari-Maret) dari dana DIPA 2012 UPT BKBL LIPI Ambon. Terima kasih kepada W. Tattipata, Abdul Sudin Malik dan ABK KR BJ VII atas bantuan pengambilan sampel. Terima kasih juga kepada Yopi, Kabid Biofermentasi dan Bioproses Puslit Bioteknologi LIPI untuk akses fasilitas inkubasi in vitro dan PCR. Terima kasih kepada Helty Kainama, penanggung jawab program Kimia Internasional Universitas Pattimura dan
[1] Prihastyanti, M., Brotosudarmo, THP., (2012), From Quantum Dots to Biohybrid Solar Cell Nanotechnology, Poster EBTKE Conex, Jakarta. [2] Venter, JC., Remington, K., Heidel-berg, JF., Halpern, AL., et al (2004), Science 304 (5667): 66E4. [3] Morris, RM., Rappe, MS., Connon, SA., Vergin, KL., Siebold, WA., Carlson, CA., Giovannoni, SJ., (2002), Nature 420:806. [4] Beja, O., Aravind, L., Koonin, EV., et al (2000), Science 289 (5486): 1902E904. [5] Spudich, JL., Yang, C-S., Jung, K-H., Spudich, EN., (2000), Ann. Rev. Cell Dev. Biol. 16: 365-392. [6] Oren, A., (2006), The Prokaryotes, Vol. 3. Dworkin, M., et al (eds), Springer, New York, pp. 113-164. [7] Slamovits, CH., Okamoto, N., Burri, L., James, ER., et al (2011), Nature Communications 2 (2): 183. [8] Gomez-Consarnau, L., Akram, N., Lindell, K., Pedersen, . A., Neutze, R., et al. (2010), PLoS Biol 8(4): e1000358. doi:10.1371/journal.pbio.1000358. [9] DeLong, EF., Beja, O., (2010), PLoS Biol 8(4): e1000359. doi:10.1371/journal.pbio.1000359. [10] Sabehi, G., Loy, A., Jung, KH., Partha, R., et al (2005), PLoS Biol 3:1409E417. [11] Sabehi, G., Beja, O., Suzuki, MT., Preston, CM., et al (2004) Environ Microbiol 6:903E10. [12] Man-Aharonovich, D., Sabehi, G., Sineshchekov, OA., Spudich, EN., et al (2004), Photochem Photobiol Sci 3:459E62. [13] Sabehi, G., Massana, R., Bie-lawski, JP., Rosenberg, M., et al (2003), Environ Microbiol 5:842E49. [14] de la Torre, JR., Christianson, LM., Beja, O., Suzuki, MT., et al (2003) Proc Natl Acad Sci USA 100:12830E2835. [15] Beja, O., Spudich, EN., Spudich, JL., Leclerc, M., et al (2001) Nature 411:786E89. [16] Hu, Z-Y., Li, Y., (2007), Intl J System Evol Microbiol 57:2572-2577 [17] Wu, Y-H., Shen, Y-Q., Xu, X-W., Wang, C-S., et al (2009), Intl J System Evol Microbiol 59:1321-1325. [18] Park, SC., Lim, CH., Baik, KS., Lee, KH., et al (2010), Intl J System Evol Microbiol 60:2071-2075. [19] Man, D., Wang, W., Sabehi, G., Aravind, L., Post, AF., Massana, R., Spudich, EN., Spudich, JL., Beja, O. (2003), EMBO J. 22: 1725-1731. [20] Jung, JY., Choi, AR., Lee, YK., Lee, HK., et al (2008), FEBS Letters 582:1679E684.
Prosiding InSINas 2012