EKSISTENSI DAN FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh HANIF MASYKUR NIM: 11412004
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015
iii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. (0298)323706, 323433 Fax.323433 Salatiga 50721 Website : www.iainsalatiga.ac.id Email:
[email protected]
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi Saudara : Nama
: Hanif Masykur
NIM
: 11412004
Fakultas
: Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Judul
: “ Eksistensi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional ( pendekatan Historis antara tahun 2003 sampai 2014 )”
Telah kami setujui untuk dimunaqosyahkan.
Salatiga, 13 April 2015 Pembimbing
H. Achmad Maimun, M.Ag NIP. 19700510 199803 1003
iv
SKRIPSI EKSISTENSI DAN FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DISUSUN OLEH HANIF MASYKUR NIM : 11412004 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam , Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 18 April 2015 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Kependidikan Islam. Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Imam Mas Arum, M.Pd
__________________
Sekretaris
: H. Achmad Maimun, M.Ag
__________________
Penguji I
: Drs. Abdul Syukur, M.Si
__________________
Penguji II
: Maslikhah, M.Si
__________________
Salatiga, 18 April 2015 Dekan FTIK IAIN Salatiga
Suwardi, M.Pd. NIP. 19670121 199903 1 002
v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Hanif Masykur
NIM
: 11412004
Fakultas
: Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Program Studi : Pendidikan Agama Islam Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 16 Maret 2015 Yang Menyatakan
Hanif Masykur
\
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO “Hadapi hidup ini apa adanya!”( Al-Qarni. 2005: 31 ) “ Berkatalah yang baik atau diam” ( Hadist ) “ Allah menakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya” ( Hirata. 2010:105 ).
PERSEMBAHAN Skripsi ini spesial kupersembahkan untuk Istiku Kuni Masrohati Ulya, Beliaulah istri yang sangat luar biasa begitu kuat dalam menghadapi cobaan dan badai kehidupan, semoga Allah memberikan yang terbaik bagi Beliau dan keluarganya, Amin.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim allhamdulillahi rabbil ‘alamin, Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammadin, wa’alaalihi waashahbihi ajma’in waba’du. Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Ilahi rabbi, yang mempunyai sifat rahman dan rahim, maha pengasih lagi maha penyayang atas hidayah, kekuatan dan rahmatNya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai, shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad saw, beserta para shabat dan keluarganya, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya, amin. Penulisan skripsi yang berjudul “Eksistensi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional ini adalah merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Terkandung satu harapan mudah-mudahan skripsi ini merupakan sumbangan karya ilmiah bagi peningkatan mutu pendidikan, khususnya pendidikan Agama Islam. Penulis menyadari sepenuhnya, karya ini dapat terselesaikan semata-mata karena pertolongan Allah swt melalui perantara bantuan dari berbagai fihak ,untuk itu penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada :
viii
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, Rektor Institut Agama Islam Negeri Salatiga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan menimba ilmu pada almamater yang beliau pimpin 2. Bapak Suwardi, M.Pd. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga, yang senantiasa kami ikuti apa yang menjadi kebijakannya. 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga, yang senantiasa membimbing kami dalam urusan akademik. 4. Bapak Drs. Joko Sutopo Ketua Program PAI Ekstensi yang pada saat Institut Agama Islam Negeri Salatiga masih bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ). 5. Bapak H. Achmad Maemun, M.Ag selaku Pembimbing penulis, yang diselaselakesibukannya
senantiasa
meluangkan
waktu
untuk
membimbing
dan
memberikan pengarahan demi baiknya sebuah karya ilmiah, semoga Allah selalu memberikan umur yang barokah, dan semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau. 6. Seluruh Pejabat di Institut Agama Islam Negeri Salatiga mulai dari pimpinan, staf administrasi dan semua karyawan, yang senantiasa memfasilitasi penulis dalam belajar. 7. Bapak Serta Emak, orang tua penulis yang senantisa memberikan dukungan moril maupun materiil sehingga sekolah penulis dapat selesai dengan lancar dan sesuai harapan. 8. Kuni Masrohati Ulya isteri yang sangat luar biasa, yang senantiasa berdo’a dan berusaha untuk kesuksesan suaminya serta setia mendampingi meskipun dalam kondisi terpuruk. Kedua bidadari penulis yaitu Fiyya Azha Sorayya dan Adiiba
ix
Khalwaa Aqila anakku yang cantik dan hebat, terimakasih atas kerjasamanya tidak berebut komputer dan printer selama proses pembuatan skripsi. 9. Semua Sahabat, saudara mahasiswa PAI Ekstensi 2012, dan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Salatiga pada umunya yang senantiasa memberikan dorongan, masukan dan saran. Ahirnya, dengan hati yang terbuka kami tunggu saran dan kritik dari pembaca, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga yang menulis dan membaca mendapatkan ridho dan hidayah serta diberi kekuatan oleh Allah untuk selalu beribadah. Amin.
Salatiga, 16 Maret 2015 Penulis
HanifMasykur NIM. 11412004
x
ABSTRAK
Masykur, Hanif. 2015. Eksistensi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional ( Pendekatan Historis Antara Tahun 2003 sampai 2014 ). Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan . Jurusan Pendididikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: H. Achmad Maimun, M.Ag.
Kata Kunci : Eksistensi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
Penelitian ini merupakan kajian Pendidikan Agama Islam dalam sistem Pendidikan Nasional. Pernyataan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimanakah eksistensi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional ?, dan (2) Bagaimanakah Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini berjenis penelitian pustaka atau literatur menggunakan pendekatan historis lebih spesifiknya adalah pendekatan sejarah konstitusional. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Pendidikan Agama Islam masih sangat diakui keberadaannya, Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang dan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berahirnya kehidupan dimuka bumi ini. Bahkan, jika ditarik mundur lebih jauh, proses pendidikan ini ternyata telah berlangsung sejak Allah swt, baru selesai menciptakan Adam as hingga saat ini. Pendidikan Agama Islam di sekolah mengalami proses perkembangan yang cukup panjang. Sebagian ahli dalam kajian sejarah pendidikan agama Islam di Indonesia membuat periodisasi perkembangan PAI yaitu masa penjajahan dan periode kemerdekaan. Perkembangan PAI tidak terlepas dari perubahan politik, khususnya berkaitan dengan kenijakan tentang pendidikan agama yang dikeluarkan pemerintah pada zamannya.Kebijakan dalam bidang pendidikan hakekatnya merupakan produk politik dari suatu pemerintahan, sehingga kebijakan –kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut dengan sendirinya sangat tergantung pada kebijakan politik pemerintah pada umumnya.
Pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran dan nilai belum mampu xi
memberikan pemahaman dasar yang menghasilkan sikap laten sehingga dapat berfikir, bersikap dan berperilaku sesuai nilai-nilai tauhid, kemanusiaan, keseimbangan dan nilai rahmatan lil alamin belum dapat ditanamkan dalam kepribadian siswa. Kegagalan inilah yang kemudian para pakar mengatakan terjadinya kebobrokan dan rusaknya mental bangsa, kondisi ini cermin dari gagalnya dunia pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai lebih khusus lagi kegagalan dunia pendidikan agama.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL
........................................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO ....................................................................................................... ii JUDUL
............................................................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................................... iv PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................................................... vi MOTO DAN PERSEMBAHAN......................................................................................... vii KATA PENGANTAR ........................................................................................................ viii ABSTRAK
............................................................................................................ xi
DAFTAR ISI
............................................................................................................ xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ..................................................................................... 3
C.
Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3
D.
Kegunaan Penelitian ................................................................................. 3
E.
Metode Penelitian ..................................................................................... 3
F.
Penegasan Istilah ...................................................................................... 5
G.
Sistematika Penulisan ............................................................................... 6
UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL A.
Kelahiran Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ......................... 7
xiii
B. Pro dan Kontra Terhadap Pendidikan Agama dalam UU No. 20 Tahun 2003 ............................................................................................... 11 BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL A.
Sistem Pendidikan .................................................................................... 20
B.
Komponen Pendidikan ............................................................................. 25
C.
Fungsi Pendidikan .................................................................................... 33
D.
Agama dalam Sistem Pendidikan ............................................................. 35
BAB IV EKSISTENSI DAN FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL A.
Eksistensi Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan
nasional ............................................................................................................... 39 B. BAB V
Fungsi Pendidikan Agama Islam ............................................................. 51
PENUTUP A.
Kesimpulan .............................................................................................. 67
B.
Saran ......................................................................................................... 70
C.
Penutup ..................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN TENTANG PENULIS
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bangsa
Indonesia
masih
terus
dihadapkan
pada
krisis
multidimensional. Dari hasil berbagai kajian disiplin dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam krisis itu berpangkal pada krisis akhlak atau moral. Krisis ini, secara langsung atau tidak, berhubungan dengan pendidikan. Kontribusi pendidikan dalam konteks ini adalah pada pembangunan mentalitas manusia yang merupakan produknya, dan sementara pihak menyebutkan bahwa krisis tersebut karena kegagalan pendidikan agama, termasuk didalamnya pendidikan agama Islam. “Untuk mengantisipasi berbagai krisis tersebut, maka pembelajaran agama Islam
di
sekolah
maupun
perguruan
tinggi
harus
menunjukkan
kontribusinya"( Majid. 2012:10 ). Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan
pengetahuan
dan
membentuk
sikap,
kepribadian,
dan
keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal,
xv
memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu al qur‟an dan hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. “Semua aktifitas itu disertai dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa” ( Majid. 2012: 12 ). Dalam bahasa Inggris pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual. Pendidikan adalah hidup, pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. “Pendidikan adalah segala situasi hidup yang
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan
hidup”(Kadir.
2012:59). Berkaitan dengan hal tersebut, Majid ( 2012:16 ) menyatakan sebagai berikut. Pendidikan agama Islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. “Pendidikan Agama Islam pada dasarnya hendak mengantarkan peserta didik agar memiliki kemantapan aqidah dan kedalaman spriritual, keunggulan akhlak, wawasan pengembangan dan keluasan iptek”(Muhaimin. 2012:104). Pendidikan Agama Islam sebagai proses pembelajaran secara jelas disebutkan dalam undang-undang bahwa setiap lembaga pendidikan harus
xvi
mengajarkan pendidikan agama, ini artinya kekurangan dalam pendidikan agama tidak terlepas dari peraturan pemerintah maupun undang-undang . B.
Rumusan masalah Dari latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: a.
Bagaimana Eksistensi Pendidikan Agama Islam?
b.
Bagaimana Fungsi Pendidikan Agama Islam?
C. Tujuan Penelitian Dari pokok masalah tersebut ada beberapa tujuan yang hendak dicapai yaitu : a.
Untuk mengetahui keberadaan Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2014,
b.
Untuk mengatahui fungsi Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan nasional antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2014.
D. Kegunaan Penelitian Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik untuk penulis maupun orang lain, setelah melakukan penilitian diharapkan dapat : a.
Memberikan sumbangan teoritis dalam wacana sistem pendidikan nasional mulai dari sekarang dan yang akan datang.
b.
Memberikan sumbangan praktis kepada segenap guru Pendidikan Agama Islam ( PAI ) agar memahami lebih dalam terutama dibidang eksistensi dan fungsi Pendidikan Agama Islam.
E. Metode Penelitian
xvii
Sesuai dengan pedoman penulisan skripsi Sekolag Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga yang diterbitkan pada tahun 2009 ada tiga pendekatan dalam penelitian naskah yaitu (a) Pendekatan Tafsir, (d) analis isi, dan (c) hermeneutika. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan hermeneutika dengan langkah dimulai dengan menggali sumber sejarah yang berhubungan dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional. Caranya penulis menganalisis isi dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, kebijakan pemerintah yang dalam hal ini berbentuk Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sehingga dapat diketahui eksistensi dan fungsi Pendidikan Agama Islam. 1. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data Penulis membagi dua bagian penting yaitu data primer dan data skunder untuk mengetahui eksistensi pendidikan agama Islam dalam perspektif undang-undang, sumbernya berupa bahan-bahan kepustakaan, baik bahan-bahan kepustakaan yang termasuk sumber primer ( undangundang sistem pendidikan nasional dan peraturan Pemerintah ), sumbersumber skunder ( karya-karya yang mebahas Pendidikan Agama Islam kaitannya dengan perundang-undangan dan peraturan pemerintah ). 2. Analisis Data Sumber yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam dalam perspektif undang-undang digunkan untuk mengkaji eksistensi Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional. Kemudian sumber yang berhubungan dengan fungsi Pendidikan Agama Islam dianalisis dan
xviii
digunakan untuk mengetahui sejauh mana Pendidikan Agama Islam berfungsi dalam sistem pendidikan Nasional. F.
Penegasan Istilah 1.
Eksistensi adalah “keberadaan”(Dahlan. 2003:163). Maksudnya adalah keberadaan pendididikan agama Islam setelah terbit undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
2.
Fungsi berasal dari bahasa Inggris Function, menurut kamus bahasa Inggris-Indonesia artinya adalah kegunaan, “pekerjaan” (Ecchhilis. 2000:260). Sebuah fungsi adalah kumpulan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Sesuatu dikatakan berfungsi bila dapat memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan atau kebutuhan yang diharapkan oleh unsur-unsur yang ada dalam sebuah sistem.
3.
Menurut Muhaimin (2012:11), “pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional‟. “Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al qur an dan hadits, melalui kegiatan bimbingan , pengajran, latihan, serta penggunaan pengalaman, disertai dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan anatar umat beragama dalam masyarakathingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa” ( Majid. 2012:11 ).
xix
4.
“Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional seperti tertuang dalam undang-undang” ( UU.no23. 2003 ).
G. Sistematika Penulisan Sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab pertama yang berisi pendahuluan sebgai gambaran utuh skripsi yang meliputi, latar belakang masalah, dari latar belakang masalah dapat dirumuskan masalah, Tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan sistematika pembahasan. Bab dua berisi biografi naskah yang berisi sejarah lahirnya undangundang Nomor 20 tahun 2003, pro dan kontra terhadap undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 . Bab tiga tentang pendidikan agama dalam undang-undang sistem pendidikan nasional yang meliputi sistem pendidikan, komponen pendidikan dan fungsi pendidikan. Bab empat fungsi pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi eksistensi dan fungsi pendidikan agama Islam. Bab lima Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
xx
BAB II UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Kelahiran Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional “Undang-undang
no. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
Nasional telah disahkan DPR RI 11 Juni 2003 dan diundangkan 8 Juli 2003”(Soebahar. 2013:137). Undang-undang tersebut bisa disebut konstitusi yang dimaksud adalah undang-undang sistem pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 merupakan implementasi dari amanat undang-undang dasar 1945 pada bab XIII tentang pendidikan dan kebudayaan pasal 13, pasal tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional. Yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Undang-undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai undang-undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama. Undang-undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Undang-undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur tentang pendidikan agama. Secara sederhana sikap
xxi
pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak terhadap pendidikan agama. Berangkat dari kenyataan itu maka, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan, akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap undang-undang nomor 2 tahun 1989 sebagai undangundang sistem pendidikan Nasional jilid dua yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam undang-undang yang muncul 39 tahun kemudian dari undang-undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan dibandingkan dengan yang sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis jalur dan jenjang pendidikan.Lebih dari itu Undang-undang ini menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan Nasional keimanan dan ketakwaan adalah terminologi yang sangat identik dan akrab dengan pendidikan agama dan keagamaan. Sembilan tahun setelah undang-undang nomor 2 tahun 1989 diundangkan, pendidikan Nasional mendapat banyak kritik, bahkan hujatan dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan bangsa saat itu, bahkan UUD 1945 pun yang memayungi lahirnya setiap undang-undang pendidikan tak mampu menahan dari desakan amandemen sehingga pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR memutuskan berlakunya UUD hasil empat kali amandemen tersebut. UUD hasil amandemen ini mengamanatkan agar pemerintah menyusun sebuah sistem pendidikan Nasional. Demi memenuhi
xxii
amanat tersebut, desakan masyarakat serta tuntutan reformasi pendidikan bergulir, maka pada tanggal 8 juli 2003 diundangkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional. Pada masa inilah pendidikan agama yang setidaknya ditegaskan dan diisyaratkan dalam 12 point dari undang-undang tersebut, yaitu pada : 1) konsideran “menimbang”, 2) bab I tentang ketentuan umum , 3) pasal 3 tentang fungsi pendidikan Nasional, 4) pasal 12 ayat 1 a tentang hak peserta didik , 5) pasal 17 ayat2 tentang bentuk pendidikan dasar, 6) pasal 18 ayat 3 tentang bentuk pendidikan menengah , 7) pasal 26 ayat 4 tentang bentuk satuan pendidikan non formal, pasal 30 tentang pendidikan keagamaan, 9) pasal 36 ayat 3 tentang aspek kurikulum , 10) pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan dasar , 11) pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan 12 ) pasal 38 ayat 2 tentang koordinasi dan supervisi Departemen Agama. Lahirnya undang-undang sistem pendidikan Nasional nomor 20 Tahun 2003 tidak semudah pada perkiraan semula, ternyata harus melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut mewarnai proses lahirnya undang-undang ini. Singkat cerita, undang-undang ini menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis. Kritik tajam terhadap undang-undang ini ( saat masih RUU ) dapat dicatat antara lain berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif, bersifat diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain diluar
xxiii
lima agama yang selama ini diakui resmi oleh Negara, visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralism, serta member peluang intervensi berlebihan Negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga – lembaga pendidikan, campur tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama, dan kentalnya nuansa politik yang membidani lahirnya undang-undang tersebut. Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak undangundang tersebut. Sementara pada sisi lain, undang-undang ini dimaksudkan sebagai jawaban legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa Indonesia. Dalam peringatan hari pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati Soekarno Putri, presiden Republik Indonesia saat itu misalnya menegaskan, kegagalan dan kekurangan keberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan dari kegagalan dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang membangun. Semua itu bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan Nasional kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia dinilai sebagai Negara yang paling ketinggalan dalam pendidikan baik dari biaya, output maupun manajerial.
xxiv
Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu, sedikitnya isu-isu sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu : 1. Pendidikan agama sebagai basis pendidikan Nasional 2. Pemerataan kesempatan pendidikan 3. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan 4. Efisiensi manajemen pendidikan Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab oleh undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional. Namun menjelang disahkannya undang-undang nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU sebelumnya seperti ramai diberitakan oleh media massa. Seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal yang berpihak terhadap pendidikan agama. “Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen agama” ( Fathoni. 2005:2 ). B. Pro Kontra Terhadap Pendidikan Agama dalam UU No 20 Tahun 2003 Sebuah perhelatan yang menyedot perhatian masyarakat Yogyakarta hingga beberapa sekolah meliburkan kegiatan belajar mengajar untuk melibatkan siswa-siswi mereka dalam sebuah demonstrasi, adalah ketika Rancangan Undang-undang sistem pendidikan Nasional disosialisasikan. Sekolah-sekolah yang umumnya dari yayasan Kristen menolak rancangan undang-undang
ini
dan
sekolah
xxv
dari
yayasan
Islam
mendukung
pengsahannya. Pada suatu saat kedua kelompok yang berbeda pendapat ini bertemu di seputar jalan Malioboro. Dua pihak ini terpancing oleh pasal-pasal yang berbicara tentang pendidikan agama di sekolah umum. “ Hanya ada sedikit kelompok yang menolak rancangan undang-undang sistem pendidikan Nasional karena menangkap kesan bahwa Negara akan mengurangi tanggung jawab di bidang pendidikan” ( Arham. 2007:123 ). Di hampir seantero kota Yogyakarta berkibar spanduk-spanduk berisi himbauan kalangan muslim tertentu yang menyerukan para orang tua untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka disekolah-sekolah Kristen dan Katolik. Seruan ini praktis mengejutkan publik yang meiliki kepekaan atas isu-isu agama, yang pada saat itu hampir bersamaan dengan tampilnya dua kelompok gerakan Islam politis: Laskar Jihad Ahlusunnah Waljamaah dan Gerakan Pemuda Ka‟bah ( GPK ). Kedua organisasi ini memang tidak mengambil isu pendidikan agama di Yogyakarta. Namun, sepak terjang mereka telah memberi ilham bagi pergerakan lain yang mengatasnamakan gerakan amar ma‟ruf nahi mungkar, gerakan anti komunis dan berikutnya gerakan yang mereka sebut sebagai kampanye penyelamatan aqidah. “Berikutnya Majelis Ulama Indonesia DIY mengadakan sidang yang menyerukan fatwa supaya para orang tua muslim tidak menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah Kristen protestan dan katolik” (Arham. 2007:124). Seruan dan mobilisasi ini terutama dipelopori oleh kalangan Muhammadiyah, simpatisan Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) dan kelompok
xxvi
remaja muslim yang mempunyai organisasi bernama Forum Remaja Masjid Yogyakarta, yang berpusat di masjid Jogokaryan Yogyakarta. Tidak cukup hanya dengan spanduk, tapi dalam khutbah jum‟at para khatiib selalu menyampaikan pesan keagamaan yang langsung terkait dengan aqidah dan pendidikan, tanggaung jawab orang tua untuk membentengi dari ancaman aqidah Kristen Protestan dan katolik. Upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga maupun pribadipribadi yang perhatian pada masalah pendidikan mengajak masyarakat lebih memperhatikan masalah pendidikan di Indonesia.Arus seruan dan mobilisasi baru meredup pasca musim penerimaan siswa baru.Aksi serupa berlanjut hingga menjelang disahkannya Rancangan Undang-undang sistem pendidikan Nasional menjadi Undang-undang tahun 2003. Pertentangan di seputar pasal 13 tentang pendidikan agama telah membelah lembaga-lembaga pendidikan yang berlatar belakang Yayasan keagamaan yang menghadapkan mereka satu sama lain dalam kancah perebutan politik pendidikan. Sebagian kalangan muslim merasa lega dengan disahkannya Undang-undang tersebut, sementara kelompok Kristen yang diantaranya tergabung dalam Forum Komunikasi Yayasan Kristen dan forum Komunikasi Sekolah-sekolah Kristen di Yogyakarta merasa terdiskriminasi. Namun demikian, sesungguhnya ada kelompok muslim yang prihatin dengan pengesahan Undangan-Undangan ini. Mereka adalah kelompok yang aktif dalam pendampingan terhadap kelompok miskin, keluarga besar mahasiswa IAIN Sunan kalijogo Yogyakarta dan Hisbut Tahrir Indonesia ( HTI ) yang lebih memperhatikan masalah
xxvii
kapitalisasi pendidikan yang terfasilitasi dalam undang-undang ini, tetapi ide penolakan mereka ini tidak mendapat perhatian dari kelompok yang lebih mempermasalahkan pasal-pasal pendidikan agama. Sebagai perbandingan di beberapa daerah, dimana kelompok agama tertentu merasa banyak generasi mudanya sekolah di lembaga-lembaga pendidikan milik kelompok minoritas mereka merasa perlu dengan UU tersebut, di Bali, dimana kalangan Hindu banyak bersekolah di sekolahsekolah Kristen maupun Katolik, ikut mendukung pasal-pasal UU sistem pendidikan Nasional ini. Sebenarnya bagi umat Hindu pada umumnya di Bali, tidak ada urusan dan kepentingan politik yang menonjol dalam bidang pendidikan. “Pada sekolah formal, tidak dipandang sebagai sumber pendidikan agama yang penting, karena ada dukungan kultural yang besar untuk mengajarkan agama dalam tradisi mereka “( Arham. 2007:124 ).1 Ini sangat berbeda dengan sebagian umat Islam dan Kristen-Katolik yang bersitegang selama berbulan-bulan, memperebutkan “ makna politik “ dari pendidikan keagamaan ini. Bila
dilihat
kembali
persoalan-persoalan yang diperdebatkan,
penolakan pihak yayasan Kisten atau katolik atas pasal-pasal ini ada pada kesiapan dan tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan guru-guru agama yang sesuai dengan visi pendidikan para pengelola di lembagalembaga pendidikan tersebut. Selain itu ada perbedaan yang bersifat “ontologism” diantara para pendukung maupun penolak pasal 13 itu dalam 1
Darmaningtiyas, merupakan salah seorang kritikus pendidikan yang paling handal di Indonesia saat ini. Secara mendalam, luas dan panjang lebar, kritik tersebut telah dituangkan dalam bukunya Pendidikan yang memiskinkan ( 2004 ).
xxviii
memandang konsep publik dan privat dalam Negara Indonesia.Dalam sebuah diskusi yang dihadiri oleh para tokoh –tokoh Islam, Katolik dan Kristen di Yogyakarta, mereka memperdebatkan persoalan privat dan publik ini.Hal ini mengajak mereka untuk mendebatkan peran Negara, hubungan agama dan Negara, dimana masing-masing pihak, tidak menemukan titik temu. Tahun 2003, parlemen akhirnya menetapkan lahirnya undang-undang sistem pendidikan Nasional yang baru, yang disebut undang-undang sistem pedidikan Nasional nomor 20 tahun 2003.Dalam undang-undang ini pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. “ Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama, Pasal 12 Ayat a )”.Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3. Dari beberapa hal antara pro dan kontra Undang undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional dapat dibagi dua kelompok antara yang menerima dan yang menolak. 1.
Kalangan yang Menerima Dukungan
terhadap
Rancangan
Undang-undang
sistem
pendidikan Nasional (RUU Sisidiknas) terus mengalir. Kemarin, ratusan ribu masyakarat Jawa Timur diberbagai daerah berbondong-bondong
xxix
melakukan aksi mendukung RUU dalam Tablig Akbar mendukung RUU Sisdiknas yang menurut rencana akan disahkannya pada 10 Juni mendatang. Di wilayah Jawa Timur, mendukung RUU Sisdiknas digelar hampir bersamaan di dua wilayah berbeda, Sabtu (7/6). Di Sidoarjo, aksi mendukung RUU Sisdiknas diiikuti puluhan ribu pelajar dan anggota organisasi massa Islam se-Jatim di Stadion Delta Sidoarjo. Sejumlah ormas Islam yang mengikuti apel akbar tersebut di antaranya Muhammadiyah, Pondok pesantren Gontor, Pengurus Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Basra), Hidayatullah, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim), Al Isyad, dan ormas-ormas serupa lainnya. Dalam aksinya, mereka mendesak DPR RI segera mengesahkan RUU tersebut menjadi UU. Alasannya, pendidikan agama adalah hak asasi setiap manusia. Itulah sebabnya, mereka menganggap tak ada lagi alasan penyelenggara pendidikan untuk menolak menyediakan guru atau pendidik agama bagi anak muridnya sesuai agama yang dianutnya. Selain itu, Mereka juga mengusulkan agar pendidikan pondok pesantren dijadikan pendidikan alternatif dalam Sisdiknas. Tak heran, ribuan umat Islam se-Jatim yang memenuhi GOR Delta Sidoarjo pada waktu melakukan aksi unjuk rasa. Selain dihadiri para pelajar Islam dan ormas kepemudaan Islam, dukungan yang dikemas dalam bentuk tablig akbar itu dihadiri para tokoh Islam berbagai daerah. Tampak hadir dalam kesempatan tersebut Sekjen MUI Pusat Dr. H. Dien Syamsudin, Ketua PW NU Jatim KH.Drs. Nuruddin Abdurrahman, SH, Ketua PW
xxx
Muhammadiyah Jatim Prof. Dr. H. Fasichul Lisan, pengasuh Ponpes Gontor KH. Zarkasi Nur, dan pengasuh Ponpes Al Amien, Prenduan, Sumenep, KH. Tijani Juhari. Dalam kesempatan orasinya di hadapan ribuan massa tersebut, Dien Syamsudin menegaskan bahwa pihaknya mendukung sepenuhnya diundangkannya RUU Sisdiknas. “Karena itu, teman-teman di Jakarta berencana menggelar aksi sejuta umat. Kami akan mendesak agar DPR segera mengesahkan RUU Sisdiknas menjadi undang-undang. Dan, kami tidak akan meninggalkan gedung DPR sebelum hal itu terlaksana,” jelasnya disambut tepuk tangan dan aplaus para peserta tablig. Sebelum berorasi, Dien menjelaskan, pihaknya menengarai ada pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin menghalanghalangi diundangkannya RUU Sisdiknas. Padahal, kata dia, RUU Sisdiknas itu sudah sangat sesuai dengan moral bangsa Indonesia, Pancasila, dan hak asasi manusia (HAM) yang sering digembargemborkan seluruh bangsa akhir-akhir ini. “Sehingga, siapa pun yang menghambat
diundang-undangkannya
RUU
Sisdiknas
berarti
bertentangan dengan keyakinan tersebut,” tegasnya. Jawa Timur Selain di Sidoarjo, aksi serupa terjadi di beberapa kota di Jawa Timur. Ribuan massa ormas Islam di Pasuruan dan Probolinggo dari NU, Muhammadiyah, dan Al Irsyad melakukan unjuk kekuatan (show of force) kemarin. Aksi itu mereka lakukan dalam rangka mendukung diundangkannya RUU Sisdiknas. Di Probolinggo, unjuk kekuatan tiga ormas itu dipusatkan di halaman depan Stadion Bayuangga, Probolinggo.
xxxi
Dalam aksinya, mereka membentangkan kain putih sepanjang 10 meter. Di atas kain itulah ribuan massa membubuhkan tanda tangan sebagai tanda mendukung RUU Sisdiknas. “Aksi tanda tangan ini tidak lain sebagai rasa kepedulian warga muslim untuk mendukung RUU Sisdiknas” (Arham. 2007:127). 2.
Kalangan yang menolak Kalangan yang menolak UU Sisdiknas, menegaskan bahwa keharusan menyelenggarakan pendidikan agama bagi satuan pendidikan yang menerima peserta didik yang berbeda agama merupakan pemaksaan kehendak dan intervensi terlalu jauh pihak pemerintah. Inilah yang mereka maksud pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), tidak mencerminkan sikap demokratis dan diskriminatif. Pendidikan agama sebaiknya diserahkan kepada masyarakat dan sudah selayaknya tidak diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas. Bahkan pendidikan agama yang dilaksanakan selama ini tidak nampak faedahnya, banyak masyarakat Indonesia dalam mengaplikasikan hidupnya jauh dari nilai-nilai agama, sehingga
kegiatan-kegiatan
maksiat,
kolusi,
korupsi
semakin
merajalela.Hal senada disampaikan oleh kurang lebih 40 (empat puluh) kelompok yang mengatasnamakan lembaga, asosiasi, dan organisasi masyarakat (Media Indonesia, 09/06/03) bahwa RUU/UU Sisdiknas bukan semata-mata pro dan kontra, tetapi sudah merupakan pelanggaran HAM, Tujuan Nasional, UUD 1945, dan miskin filosofi dan substansi.
xxxii
Kita sebagai umat dan bangsa beragama merasa prihatin dan nelangsa melihat kondisi seperti itu.Negara Indonesia adalah negara agamis “katanya”, tetapi ketika permasalahan agama (termasuk pendidikan agama) diatur dalam sebuah undang-undang terjadi berbagai kontroversi. Barangkali kontroversi dinilai baik dan sah-sah saja sepanjang substansinya mengarah pada perbaikan hasil yang optimal. Yang menjadi permasalahan adalah terjadinya kontroversi yang tendensius dan dipolitisasi. Kita semua merasa prihatin, sekian tahun kita bernafas di era reformasi dan jauh dari masa orde baru masih ada kelompok-kelompok yang mau dimanfaatkan dan memanfaatkan. Sebaiknya semua pihak harus bisa berlapang dada, legowo, berhati dingin dan berpikiran jernih sehingga semua permasalahan termasuk masalah Pendidikan Agama dalam UU Sisdiknas dapat diselesaikan. Dengan demikian tujuan sistem pendidikan Nasional dapat terwujud sesuai dengan harapan kita tanpa adanya diskriminasi atau pihak-pihak yang dirugikan.
xxxiii
BAB III KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Sistem Pendidikan 1. Pengertian Sistem Sistem adalah suatu kegiatan yang telah ditentukan caranya dan biasanya dilakukan berulang-ulang. Dalam konteks sistem pengendalian manajemen, maka sistem adalah sekelompok komponen yang masingmasing saling menunjang-saling berhubungan maupun tidak, yang keseluruhannya merupakan sebuah kesatuan ( Suadi. 1995:3 ). “Dapat dikatakan bahwa sistem berupa hal yang ritmis, berulangkali terjadi atau langkah-langkah terkoordinasi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu” ( Halim. 2000:3 ). Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa sistem berarti perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, susunan yang teratur dari Pandangan, teori, asas dan sebagainya. “Sistem juga diartikan dengan metode” ( Khoriyah. 2012:14 ). “Sistem berasal dari bahasa Yunani, System yang berarti hubungan fungsional yang teratur antar unit-unit atau komponenkomponen” ( Mustamar. 2000:38 ). “Sistem terdiri atas bagian-bagian (dapat disebut sub sistem atau komponen) yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu dalam bagian itu, terdapat interrelasi, interaksi dan interdependensi dalam menuju suatu tujuan, sehingga jika salah satu bagian tidak berfungsi, keseluruhan sistem akan terganggu kerjanya (Sunarwan. 2001:4 ).
xxxiv
Pada
umumnya
ciri-ciri
suatu
sistem
adalah
bertujuan
mempunyai batas, terbuka, tersusun dari subsistem ada saling keterkaitan atau saling ketergantungan, merupakan satu kebulatan yang utuh, melakukan kegiatan transformasi, “ ada mekanisme kontrol ada kemampuan untuk mengatur dan menyesuaikan dirinya sendiri “ ( Nasir. 2005:28 ). Sistem terbuka adalah sistem yang berhubungan dengan lingkungannya. Komponen-komponen sistem dibiarkan mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Komponen-komponennya dibiarkan mengadakan hubungan keluar dari batas sistem, sedangkan sistem tertutup adalah sistem yang terisolasikan dari segala pengaruh diluar sistem itu sendiri, dari pengaruh sistem yang lebih besar atau lebih luas atau dari lingkungannya. Baik sistem terbuka maupun sistem tertutup dimungkinkan mempunyai komponen statis dan komponen dinamis. Pada kenyataannya tidak ada sistem yang benar-benar tertutup, mengingat
komponen-komponennya
selalu
dipengaruhi
berbagai
kekuatan yang berada dilingkungannya, karena itulah maka sistem pada dasarnya bersifat terbuka maka keterbukaan merupakan ciri khas sistem. Sistem pendidikan merupakan jenis sistem mekanik yang telah terstruktur dan memfungsikan bagian-bagian dengan baik. Jadi lingkungan merupakan sumber bahan yang akan dipergunakan oleh sistem, disamping itu juga menjadi pemakai hasil keluaran sistem. “ Sesuai dengan dinamika perkembangan sistem pendidikan itu selalu
xxxv
dikonsepsikan ulang dan diinterpretasikan kembali pada setiap periode historis ruhaniah dan pada setiap orde politik tertentu “ ( Nasir. 2005:41. 2. Pengertian Pendidikan Pendidikan dari segi bahasa dapat diartikan sebagai perbuatan mendidik; berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan badan, batin, dan sebagainya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, secara bahasa pendidikan berasal dari kata dasar didik
yang diberi
awalan me- menjadi mendidik ( kata kerja ) yang artinya memelihara dan memberi latihan. „Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan” ( AlFandi. 2011:96 ). Menurut Fatah ( 2012:39 ), dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan “Pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan yang tetap ( permanen ) didalam kebiasaan-kebiasaan tingkah lakunya, pikirannya, dan sikapnya”. Pengertian pendidikan dalam arti teoritis filosofis adalah pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan untuk memecahkan dan menyusun teori-teori baru dengan mendasarkan kepada pemikiran normatif, spekulatif, rasional empirik, rasional filosofis maupun historis filosofis. Sedangkan pendidikan dalam arti praktik, adalah suatu proses pemindahan atau potensi-potensi yang dimiliki subyek didik untuk mencapai perkembangan secara optimal, serta membudayakan manusia melalui transformasi nilai-nilai yang utama.
xxxvi
“Pendidikan adalah hasil peradaban suatu bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa” ( Muchsin. 2009:1 ). Dalam sebuah sistem dibutuhkan unsur-unsur dalam persepsi dan pemahaman untuk menuju sebuah kesatuan komitmen sehingga dapat mencapai
tujuan
yang
telah
ditetapkan,
maka
koordinasi
dan
pengorganisasian menjadi penting perannya dalam sistem mekanik yang telah terstuktur
dan
melembaga.
menurut
Mastuhu
kata
kunci
untuk
menggambarkan sistem pendidikan Nasional yangdiperlukan dalam abad abad mendatang ialah pendidikan yang bermutu, mutu merupakan suatu istilah yang dinamis yang terus bergerak; jika bergerak maju dikatakan mutunya bertambah baik, “sebaliknya jika bergerak mundur dikatakan mutunya merosot” (Yamin. 2012:110). Dalam kebijakan tentang pendidikan terdapat hirarki sebagai berikut : 1.
Undang-undang Dasar 1945 Dalam undang-undang dasar tahun 1945 pemerintah sudah mengatur dalam pasal-pasal yang terdapat dalam bab pendidikan. Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan (UUD:1945) setiap warga Negara mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (UUD:1945), pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang (UUD:1945).
Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
xxxvii
persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
Nasional
(UUD:1945).
Pemerintah
memajukan
ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia (UUD:1945). 2.
Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah (disingkat PP) adalah Peraturan Perundangundangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan undang-undang. Didalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan
dinyatakan
bahwa
Peraturan Pemerintah sebagai aturan "organik" daripada undang-undang menurut hierarkinya tidak boleh tumpang tindih atau bertolak belakang. 3.
Peraturan Menteri Sebagai salah satu instrumen hukum, keberadaan peraturan menteri masih sangat diperlukan dalam rangka melaksanakan peraturan perundangundangan di atasnya yang secara jelas mendelegasikan. Bagaimana jika pendelegasian tersebut tidak jelas atau sama sekali tidak ada delegasian dari peraturan di atasnya, tetapi menteri memerlukan pengaturan. Kemandirian menteri untuk mengeluarkan suatu peraturan atas dasar suatu kebijakan, bukan atas dasar pemberian kewenangan
xxxviii
mengatur (delegasi) dari peraturan di atasnya. Tindakan menteri untuk mengeluarkan peraturan tersebut didasarkan pada tertib penyelenggaraan pemerintahan yang diinginkan dalam rangka mempermudah pelaksanaan administrasi atau kepentingan prosedural lainnya, dan Peraturan Menteri dapat dijadikan dasar penyelenggaraan pendidikan yang resmi. Sistem pendidikan mengandung proses pendidikan khususnya di sekolah yang bekerja untuk langsung atau tidak langsung mencapai tujuan pendidikan. Proses ini merupakan interaksi fungsional antara omponen-komponen pengambil kebijakan pendidikan pada pemerintah di pusat, pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten atau kota, serta penyelenggaraan Nasional. Semua masukan pendidikan disusun menurut pola tertentu menjadi bagian-bagian baik dalam bentuk jenjang maupun jenis pendidikan yang mempunyai hubungan fungsional mencapai suatu tujuan. Penyusunan tersebut menghasilkan suatu sistem yang mempunyai fungsi- fungsi tertentu yaitu komponen-komponen sistem dalam pendidikan. Di Indonesia sistem pendidikan diatur dalam sebuah undang- undang yang diterbitkan pada tahun 2003, dan selanjutnya dijalankan dengan Standar Nasional Pendidikan dan selanjutnya lembaga yang mengurusi disebut Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP ), BSNP memantau pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Untuk menentukan kriteria lembaga pendidikan yang ideal Badan Standar Nasional pendidikan membagi dalam 8 standar yaitu , standar kompetensi kelulusan, standar Isi, standar proses, standar
xxxix
pendidik dan pendidikan, Standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan , Standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. B. Komponen Pendidikan Dari delapan standar pendidikan yang diterakpkan BSNP ada beberapa hal yang melekat pada standar pendidikan : 1. Dasar dan Tujuan pendidikan Pendidikan yang berjalan di Indonesia di atur dalam Undangundang no 20 Tahun 2003 tentang sitem pendidikan Nasional, dan sebagai dasar pendidikan Nasional adalah pancasila dan undang-undang dasar 1945. Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangkan
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan akan sama dengan gambaran manusia terbaik menurut orang tertentu. Mungkin saja seseorang tidak mampu melukiskan dengan kata-kata tentang bagaimana manusia yang baik yang Ia maksud. Sekalipun demikian tetap saja Ia menginginkan tujuan pendidikan itu haruslah manusia terbaik. Pendidikan bertujuan membentuk manusia supaya mempunyai kepribadian yang menjunjung tinggi spiritualitas dan moralitas. Jadi sesuai dengan apa yang dikatakan KH. Sahal Mahfudz
xl
bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terenca dan terarah. Sedangkan Noeng Muhadjir mensyaratkan bahwa aktifitas pendidikan adalah aktifitas interaktif anatar pendidik dan subyek didik untuk mencapai tujuan yang baik dengan cara yang baik dan dalam konteks positif. Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan , menurut jenisnya terbagi dalam beberapa jenis, yaitu tujuan Nasional, institusional, kurikuler dan intruksional. Tujuan Nasional adalah tujuan pendidikanyang ingin dicapai oleh suatu bangsa; tujuan institusional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan; Tujuan kurikuler adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai suatu suatu mata pelajaran tertentu ; dan “ tujuan instruksional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu pokok atau sub pokok bahasan tertentu” ( Suwarno. 2014: 34 ). 2. Kurikulum Pendidikan Secara etimologis, istilah kurikulum berasal dari bahasa Yunani yaitu, curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti tempat berpacu, istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga, terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi kuno di Yunani. Dalam bahasa perancis, istilah kurikulum berasal dari kata Courier yang berarti berlari. Kurikulum berarti suatu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start sampai dengan garis finish untuk memperoleh medali atau
xli
penghargaan. Jarak yang harus ditempuh tersebut kemudian diubah menjadi program sekolah dan semua orang yang terlibat didalamnya. “Dengan demikian secara terminolgi istilah kurikulum dalam pendidikan adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik disekolah untuk memperoleh ijazah” (Arifin. 2012:2). Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19 tentang sistem pendidikan Nasional pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengertian kurikulum dapat disimpulkan dari dua sisi yang berbeda, yakni menurut pandangan lama dan pandangan baru. Pandangan lama, atau sering juga disebut pandangan tradisional, merumuskan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk memperoleh ijazah. Pengertian tadi mempunyai implikasi sebagai berikut : a. Kurikulum terdiri atas sejumlah mata pelajaran, mata pelajaran sendiri pada hakikatnya adalah pengalaman nenek moyang dimasa lampau. b. Mata pelajaran adalah sejumlah informasi atau pengetahuan, sehingga penyampaian mata pelajaran pada siswa akan membentuk mereka menjadi manusia yang mempunyai kecerdasan berfikir c. Mata pelajaran menggambarkan kebudayaan masa lampau, adapun pengajaran berarti penyampaian kebudayaan kepada generasi muda.
xlii
d. Tujuan mempelajari mata pelajaran adalah untuk memperoleh ijazah. Ijazah diposisikan sebagai tujuan, sehingga menguasai mata pelajaran berarti telah mencapai tujuan belajar e. Adanya aspek keharusan bagi setiap siswa untuk mempelajari mata pelajaran yang sama. Akibatnya, faktor minat dan kebutuhan siswa tidak dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum. f. “Sistem penyampaian yang digunakan oleh guru adalah sistem penuangan . akibatnya, dalam kegiatan belajar gurulah yang lebih banyak bersikap aktif, sedangkan siswa hanya bersifat pasif belaka” ( Hamalik. 2011:1). Seiring
berkembangnya
dunia
pendidikan,
pengertian
kurikulumpun berkembang. Ronald C. Doll mengatakan bahwa pengertian kurikulum secara umum diterima, yakni sebagai isi pelajaran atau kumpulan mata pelajaran, telah berubah menjadi pengalaman yang ditawarkan siswa dibawah bimbingan arahan sekolah. Kurikulum terdiri dari struktur dan fungsi.” Struktur kurikulum merupakan rencana yang tertulis, sedangkan fungsi kurikulum merupakan pelaksanaan, evaluasi, dan pengembangan kurikulum” (Aziz. 2010:63). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan pasal 1 ayat 16 kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
xliii
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pendidikan di Indonesia telah diatur daam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam penjelasan atas undang- undang nomr 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional dikemukakan bahwa pendidikan Nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memperdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Berdasarkan visi pendidikan tersebut, pendidikan Nasional mempunyai misi sebagai berikut: (a) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (b) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai ahir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (c) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan
kepribadian
yang
bermoral;
(d)
meningkatkan
keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar Nasional dan global; dan (e) memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prisip otonomi dalam konteks Negara kesatuan Republik Indonesia.
xliv
Kurikulum adalah kegiatan yang mencakup berbagai rencana kegiatan peserta didik yang terperinci berupa bentuk-bentuk bahan pendidikan, saran-saran strategi belajar-mengajar, pengaturan-pengaturan program agar dapat diterapkan, dan hal-hal yang mencakup pada kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan ( Mujib. 2006:122). Dalam proses belajar mengajar kedudukan kurikulum sangat penting, yakni kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, yakni tujuan terahir yang dicapai: tujuan pendidikan Nasional, sampai pada tujuan pendidikan terendah yakni tujuan yang akan dicapai setelah selesai kegiatan belajar mengajar. “Sistem kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan, sistem persekolahan dan sistem masyarakat‟ ( Ismawati. 2012: 9). 3. Peserta Didik “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu” ( Suwarno. 2014: 36 ). Anak didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui proses pendidikan. “Definisi tersebut memberi arti bahwa anak didik adalah anak yang belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa” (Aziz. 2010:24). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipahami dalam masalah anak didik:
xlv
a. Anak didik bukan miniatur orang dewasa. Ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar yang digunakan untuk anak tidak sama dengan orang dewasa. b. Perkembangan anak didik mengikuti periode dan tahap perkembangan tertentu c. Anak didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin. d. Anak didik memiliki perbedaan anatar individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari endogen ( fitrah ) maupun eksogen. e. Anak didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Dengan berpijak pada paradigma “ belajar sepanjang masa” maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta ddik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. “Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan di masyarakat, seperti majelis (
taklim, paguyuban, dan sebagainya” Mujib.2012:103). Peserta
didik adalah anggota
masyarakat
yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Pendidikan Nasional
xlvi
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa. 4. Lingkungan Pendidikan “ Lingkungan Pendidikan adalah lingkungan yang melingkupi terjadinya
proses
pendidikan.
Lingkungan
pendidikan
meliputi
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat” ( Suwarno. 2014:39 ). Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia baik berupa benda mati ataupun hidup, ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi termasuk kondisi masyarakat terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat terhada individu. Seperti lingkungan tempat pendidikan berlangsung dan lingkungan tempat anak bergaul. Lingkungan ini kemudia secara khusus disebut lembaga pendidikan sesuai dengan jenis dan tanggung jawab yang secara khusus menjadi bagian dari karakter lembaga tersebut ( Kadir. 2014:157). Menurut Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan mengatakan bahwa lingkungan pendidikan yang lebih luas adalah masyarakat global, masyarakat selalu membangun kekuatan untuk berubah dan berkembang, yang dalam banyak hal belum ada pada tradisitradisi yang dipertahankan. C. Fungsi Pendidikan Secara umum dikatakan bahwa pendidikan merupakan interaksi anatara pendidik dengan peserta didik. Interaksi pendidikan dapat terjadi di rumah, sekolah, atau masyarakat. Namun secara khusus, pendidikan diartikan
xlvii
sebagai interaksi belajar mengajar di Sekolah. Karena itu, pendidikan di sekolah disebut disebut pendidikan formal, sementara pendidikan di luar sekolah disebut pendidikan non formal. Sistem persekolahan terdiri atas empat subsistem, yakni mengajar,belajar, pembelajaran, dan kurikulum sebagai subsitem pendidikan. Setiap praktik pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan tujuan tertentu. Tujuan-tujuan beserta materi yang hendak dicapai dalam pendidikan disusun dalam kurikulum. Prof. Dr. Hasan Langgulung berpendapat bahwa secara garis besar fungsi pendidikan itu ada 3. Pertama, menyiapkan generasi muda untuk memiliki kemampuan agar bisa memegang peranan-peranan pada masa yang akan datang di tengah kehidupan bermasyarakat. Kedua, memindahkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan peranan-peranan di atas dari generasi tua ke ke genarasi muda. Ketiga, Memindahkan nilai-nilai dari generasi tua ke generasi muda dengan tujuan agar keutuhan dan kesatuan masyarakat terpelihara, sebagai syarat utama berlangsungnya kehidupan suatu masyarakat dan
juga
peradaban.
Sementara Broom berpendapat bahwa fungsi pendidikan adalah agar terjadi proses tansmisi budaya, selain itu juga untuk mengembangkan kepribadian, mengingkatkan persatuan atau integrasi sosial masyarakat, serta mengadakan seleksi dan alokasi tenaga kerja. Semua fungsi menurut Broom tersebut memang suatu proses yang sangat penting agar kehidupan bermasyarakat terus bertahan dan berkembanag menjadi jauh lebih baik lagi.
xlviii
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian dan fungsi pendidikan dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan itu merupakan suatu proses yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Pendidikan ini harus terus berjalan untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia, karena tanpa pendidikan tidak akan ada perpindahan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai dan norma sosial dari generasi tua ke generasi muda. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengembangkan kemampuan berorientasi pada individu adalah usaha mengembangkan semua potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik dalam rangka mempersiapkan hidupnya sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa mempunyai kepribadian yang terpuji dan dapat berinteraksi dengan masyarakat lain. Kata Nurcholis Majid Tidak ada bangsa yang mencapai kebesaran jika tidak bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan tidak sesuatu yang dipercayai itu mempunyai dimensi moral guna menopang peradaban yang besar . dan kepercayaan kepada sesuatu itu agama. Mencerdasakan kehidupan bangsa sebagai sasaran pendidikan Nasional pada hakekatnya adalah transformasi budaya, yaitu suatu proses transformasi dari masyarakat tradisional feodalistik menuju masyarakat yang maju dan demokratis serta berkeadilan sosial. D. Agama dalam Sistem Pendidikan
xlix
Undang-undang sistem pendidikan Nasional no.20 tahun 2003 bab I tentang ketentuan umum menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Sedangkan pendidikan Nasional dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional. Yang dimaksud dengan tujuan pendidikan Nasional dalam sisdiknas adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Pada beberapa bab lainnya juga sangat tampak bahwa kata agama dan nilai-nilai agama kerap mengikutinya. Misalnya, dalam bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
l
kemajemukan bangsa. Begitupula dalam bab IX tentang kurikulum, bahwa dalam penyusunannya diantaranya harus memperhatikan peningkatan iman dan takwa serta peningkatan ahlak mulia. Dari rumusan diatas menunjukkan bahwa agama menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal yang wajar jika pendidikan Nasional berlandaskan pada nilai-nilai agama, sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragama. Agama bagi bangsa Indonesia adalah modal dasar yang menjadi penggerak dalam kehidupan berbangsa. Agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan diri sendiri. Dengan demikian terjadilah keserasian dan keseimbangan dalam hidup manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Jika hal tersebut dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia Indonesia dan menjadi dasar kepribadian, maka manusia Indonesia akan menjadi manusia yang paripurna atau insan kamil. Dengan dasar inilah agama menjadi bagian terpenting dari pendidikan Nasional yang berkenaan dengan aspek pembinaan sikap, moral, kepribadian dan nilai-nilai ahlakul karimah. Sejalan dengan hal tersebut, Mastuhu mengungkapkan bahwa pendidikan islam di Indonesia harus benar-benar mampu menempatkan dirinya sebagai suplemen dan komplemen bagi pendidikan Nasional, sehingga sistem pendidikan Nasional mampu membawa cita-cita Nasional,
li
yakni bangsa Indonesia yang modern dengan tetap berwajah iman dan takwa ( Nata. 2011:291). Tidak jauh beda dengan pendapat Mastuhu, guru besar Ilmu Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Ahmadi yang dikutip oleh Endin Surya Solehudin, menyebutkan bahwa implikasi dari pemaknaan Pendidikan Agama Islam adalah reposisi pendidikan dalam sistem pendidikan Nasional. Mengenai reposisi Pendidikan Agama Islam dalam pendidikan Nasional, Ahmadi mengemukakan tiga alasan, pertama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid); kedua, pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakat. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada posisi konsep. Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan Islam lebih universal karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam konteks Nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan Nasional.
Karena
posisinya
sebagai
subsistem,
kadangkala
dalam
penyelenggaraan pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen. Mengingat bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam relevan
lii
dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan Nasional, bahkan secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset Nasional, maka posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan Nasional bukan sekadar berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial. Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat menentukan perjalanan pendidikan Nasional. Terlepas dari nilai-nilai agama yang menjadi dasar dari pendidikan Nasional, pendidikan agama sempat menjadi masalah ketika masuk dalam sistem pendidikan Nasional. Persoalan yang diperdebatkan adalah posisi pendidikan agama tertentu dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki latar belakang pemihakan pada agama tertentu. Misalnya, pada lembaga pendidikan muslim terdapat siswa yang bukan muslim, mungkinkah bisa diajarkan pendidikan agama lain pada lembaga tersebut dan atau sebaliknya.
liii
BAB IV EKSISTENSI DAN FUNGSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
C. Eksistensi Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional Dalam lintasan sejarah umat manusia, hamper tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa dating dan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Aktivitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berahirnya kehidupan dimuka bumi ini. “Bahkan, jika ditarik mundur lebih jauh, proses pendidikan ini ternyata telah berlangsung sejak Allah swt, baru selesai menciptakan Adam , as “( Al-Fandi. 2011:106 ). Ketika Allah mengajarkan Adam tentang nama-nama benda,2 tujuannya bukan hanya agar Adam as tahu dan sadar akan sifat-sifat Allah dan hubungan anatar Allah dengan ciptaanNya. Integrasi kesadaran intelektual dengan kesadaran spiritual inilah yang menjadi dasar konsepsi pendidikan Islam sejak awal. Konsepsi pendidikan Agama Islam yang dibangun atas dasar metafisika, dimana hubungan antara Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagai subject di muka bumi berada dalam suatu 2
QS al Baqarah (2): 31, yang artinya dan Dia mengajarkan kepada Adam namanama ( benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, “ Sebutkanlah kepda-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar”
liv
rangkaian orientasi religious dan kerangka etis inilah yang menurut al ghazali menjadi cirikhas konsep pendidikan agama Islam. Usaha
meningkatkan mutu sumber daya
manusia, mengejar
ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mengesahkan Undang-undang sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang sisdiknas nomor 2003 yang terdiri dari 22 bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam undang-undang sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokrasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur dan jenjang pendidikan serta peserta didik. Pendidikan merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Masalah pendidikan sangat berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum yang ikut mengendalikan kekuasaan. Pendidikan Agama Islam menjadi institusi penting dalam keseluruhan system pendidikan nasional, dapat dilihat dari keberadaan pendidikan islam berpengaruh besar terhadap pertumbuhan masyarakat, maka keberadaan pendidikan agam Islam sebagai Mata Pelajaran dan nilai
menjadi institusi
penting dalam tatanan sosial masyarakat. Pendidikan Agama Islam di sekolah mengalami proses perkembangan yang cukup panjang. “Sebagian ahli dalam kajian sejarah pendidikan agama Islam di Indonesia membuat periodisasi
lv
perkembangan PAI yaitu masa penjajahan dan periode kemerdekaan” (Zuhairi. 2000:146 ). Perkembangan PAI tidak terlepas dari perubahan politik, khususnya berkaitan dengan kenijakan tentang pendidikan agama yang dikeluarkan pemerintah pada zamannya.Kebijakan dalam bidang pendidikan hakekatnya merupakan produk politik dari suatu pemerintahan, sehingga kebijakan –kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut dengan sendirinya sangat tergantung pada kebijakan politik pemerintah pada umumnya. Kebijakan politik pemerintah pada masa penjajahan secara umum merupakan
suatu
instrument
politik
yang
digunakan
untuk
meletarikankolonialisme.Kebijakan dalam bidang pendidikan yang terbit pada masa penjajahan dengan sendirinya juga diorientasikan untuk mendukung kepentingan penjajah, sedangkan pada masa kemerdekaan, pendidikan diupayakan sebagai instrument untuk mencerdaskan, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Undang-undang system pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 merupakan amanat dari undang-undang dasar 1945 pada bab xiii tentang pendidikan dan kebudayaan pasal 13 yang mengamantkan pemerintah untuk mengusahakan sistem pendidikan nasional. Pembahasan pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran lebih banyak kepada eksistensi pendidikan Islam pada sekolah umum pada lembaga Pondok Pesantren, Madrasah, sekolah Islam , pendidikan Islam menjadi ruh pendidikan pada lembagalembaga tersebut.
lvi
Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 keberadaan pendidikan Agama Islam sesungguhnya telah dapat dilacak jejaknya dari UUD 1945 itu sendiri sebagai induk Undang-undang system pendidikan Nasional sebagai berikut: 1. Memposisikan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia sebagai tujuan pendidikan nasional. 2. Menempatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak sebagai dasar-dasar kecerdasan
yang
merupakan
visi
pendidikan
nasional.
Hal
ini
menunjukkan konsepsi kecerdasan yang dimanfaatkan adalah kecerdasan yang merambah pada wilayah spiritualitas dan karakter. 3. Tiga terminologi kunci tersebut sangat identik dengan domain agama, sehingga secara tidak langsung UUD 1945 ini mengamanatkan pentingnya pendidikan agama sebagai basis dan fondasi pendidikan nasional. Dengan sangat kontras hal ini berbeda dari UUD 1945 sebelum diamandemen yang hanya berhenti pada penyelenggaraan system pendidikan nasional tanpa penyebutan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulai sebagai tujuan dan visi pendidikan nasional. Eksistensi pendidikan Agama Islam dalam undang-undang system pendidikan Nasional dapat ditemukan pijakan dan akarnya pertama kali dalam konsideran penyususnan Undang-Undang sisdiknas tersebut.Inti dari konsideran tersebut adalah perlunya membentuk undang-undang tentang sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
lvii
kepada tuhan yang maha esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada Bab I tentang Ketentuan Umum yang memaparkan penjelasan konsep sebagai gambaran paradigm yang dianut Undang-Undang system pendidikan Nasional ini kita bisa menemukan kembali jejak religiusitas tersebut. Item pertama dari ketentuan itu menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya
untuk memiliki
kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Spiritual keagamaan dan akhlak mulia sebagai komptensi yang harus dimiliki peserta didik merujuk kepada pendidikan agama. Pendidikan agamalah jalan paling memungkinkan untuk tidak menyebut satunya mengantarkan peserta didik memiliki spiritualitas keagamaam dan karakter positif yang terbingkai dalam rumusan akhlak mulia. Rumusan pendidikan yang mengedepankan spiritualitas ini kemudian menentukan arah tujuan pendidikan nasional. Tentang hal ini dalam pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
lviii
Muhammad Athiyal al Abrasyi dan Mohammad al Toumy al Saibany tentang tujuan umum yang fundamental bagi pendidikan agama Islam, dapat disimpulkan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan nasional ini selaras dengan tujuan pendidikan agama Islam. Dengan demikian maka pasal 3 ini pun memberikan angin segar bagi pendidikan agama dan keagamaan. Dalam bab X pasal 36 dan 37 disebutkan bahwa penyususnan kurikulum pada semua jalur dan jenjang pendidikan pertama adalah mempertimbangkan penigkatan iman dan taqwa yang secara spesifik hanya dapat dilakukan oleh pendidikan agama. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa serta berakhlak mulia. Dari rumusan diatas dapat diambil pengertian bahwa pendidikan agama kembali mendapat perhatian besar bahkan dominan dalam pengaturan kurikulum ini. Perihal prinsip-prinsip penyusunan kurikulum, peningkatan iman dan taqwa serta peningkatan akhlak mulia dan agama ditempatkan sebagai prinsip paling atas. Pendidikan agama kemudian menjadi semakin kuat eksistensinya dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional ini dengan keharusan pendidikan agama masuk dalam muatan kurikulum semua jenjang pendidikan mulai dari dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi, namun demikian, pasal ini mengandung kelemahan konsep. Kelemahan atau kekeliruan konsep ini terletak pada penyamaan pendidikan dengan sekolah.Padahal sekolah hanya merupakan bagian kecil dari pendidikan.Ada pendidikan itu sendiri mencakup keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dari
lix
analisis ini dapat dikritisi bahwa maksud pendidikan agama sebagai muatan wajib kurikulum adalah mata pelajaran agama atau pengajaran agama. Karena pendidikan agama dalam arti yang sesungguhnya tidak mungkin dipkulkan tanggung jawabnya penuh pada sekolah. Eksistensi pendidikan Agama Islam dalam system pendidikan Nasional semakin terlihat dengan beberapa hal seperti beberapa peraturan yang diterbitkan : 1.
Peraturan pemerintah no 55 tahun 2007 Peraturan Pemerintah atau sering disingkat PP ini membahas tentang
pendidikan
agama
dan
keagamaan,
pendidikan
agama
didefinisikan sebagai pendidikan sebagai pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Kelebihan rumusan ini terletak pada jangkauan pendidikan agama terhadap ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang justru selama ini terabaikan dari pendidikan agama. Pengabaian ini pula yang melahirkan kritik terhadap pendidikan agama yang hanya mengajarkan pengetahuan agama bukan cara beragama. Rumusan pendidikan yang dianut peraturan pemerintah ini dengan demikian telah ada pada konsep yang benar tentang pendidikan. Sayangnya kelemahan konsep juga terkandung dalam rumusan ini. Rumusan ini mengidentikkan pendidikan dengan persekolahan sehingga
lx
untuk pelaksanaanya berorientasi pada mata pelajaran atau mata kuliah bukan pada kultur keagamaan. Peraturan pemerintah ini selanjutnya mengatur tentang fungsi pendidikan agama, tujuan pendidikan agama, pengelolaan pendidikan agama, hak peserta didik pendidikan agama, kurikulum pendidikan agama, dan sanksi bagi satuan pendidikan yang melanggar ketentuan tentang pendidikan agama ini. Keberpihakan yang besar terhadap pendidikan agama ternyata kurang didukung dengan konsep yang kuat tentang komponen-komponen pendidikan agama yang diaturnya. Dari sudut pandang ini terungkap beberapa point yang patut dikritisi dari Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 ini. Dalam hal pendidik tidak disebutkan secara jelas kualifikasi yang harus dimiliki. Peraturan Pemerintah ini tidak jauh berbeda dari undang-undangnya yang hanya menyebut pendidik tersebut harus seagama dengan peserta didik. Pengaturan pendidik yang diangkat dalam Peraturan Pemerintah ini hanya sekitar pengadaaan tenaga pendidik. Dengan hanya merujuk PP ini, siapa pun boleh mengajarkan agama selama ia seagama dengan peserta didik yang diajarinya. Selanjutnya Peraturan Pemerintah ini sarat dengan rumusan dan konsep yang ideal tentang pendidikan agama. Pada pasal 5 ayat 4 dapat ditemukan konsep yang sangat ideal yang menyebutkan bahwa pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya
lxi
diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. Ayat ini menyebutkan sepuluh karakter unggulan yang di Negara-negara lain ramai dikejar melalui pendidikan karakter. Tetapi sayangnya, di sini pulalah letak kelemahan pendidikan agama di Indonesia selama ini.Bahkan setelah UU sisdiknas ini disahkan dan PP yang mengatur pendidikan agama lahir, pendidikan agama di sekolah-sekolah masih belum meiliki korelasi dengan pembentukan karakter seperti yang diamanatkan PP ini. Pendidikan agama masih berkutat sebagai pengajaran pengetahuan agama yang mengeram dalam ranah kognitif. Pendekatan dan strategi pembelajaran juga dirumuskan secara ideal, ayat 7 dari pasal 5 menjelaskan, pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang mendorong kreatifitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses, jauh panggang dari api, demikian barang kali ilustrasi tentang implementasi pendidikan agama yang sangat jauh dari strategi ideal yang diamanatkan. Eksistensi pendidikan agama dalam Peraturan Pemerintah ini semakin mengikat dan berani dengan adanya sanksi bagi satuan pendidikan yang menyalahi ketentuan dalam pasal 3 ayat (1), pasal 4 ayat (2) sampai dengan ayat (7), dan pasal 5 ayat (1). Sanksi yang diberikan berbentuk sanksi administratif berupa peringatan sampai dengan penutupan pengaturan lebih lanjut tentang hal ini dilimpahkan kepada menteri agama. Hal ini dipahami sebagai tanggung jawab pemerintah
lxii
untuk
melindungi
keyakinan
warganya
dari
upaya-uaya
mempropagandakan agama kepada orang yang telah beragama. Hingga saat ini bangsa Indonesia masih mengalami suasana keprihatinan yang bertubi-tubi.Hasli survey menunjukkan bahwa kita masih bertengger dalam jajaran Negara yang paling korup di dunia. Dari lingkungan pejabat tinggi hingga yang paling rendah, disiplin makin longgar, tingkat penindasan yang kuat terhadap yang lemah sebagaimana tampak dalam tingkah laku semerawut dan saling menindas para pelakulalu lintas yang tidak kunjung berkurang; semakin meningkatnya tindak kriminal, tindak kekerasan, penyalahgunaan narkoba, korupsi kolusi dan nepotisme. Sedangkan nilai-nali masyarakat paguyuban ( gemainschraft) ditinggalkan sehingga yang tanpak dipermukaan adalah timbulnya konflik kepentingan-kepentingan, baik kepentingan individu kelompok, agama, etnis politik maupun kepentingan lainnya. Menurut Abdul halim Soebahar dalam bukunya “Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonasi guru sampai uu sisdiknas” mengatakan terbitnya peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan Agama dan pendidikan
keagamaan
sangat
menggembirakan
karena
semakin
memperkuat legalitas pendidikan agama islam dalam prespektif system pendidikan Nasional, baik secara kurikuler maupun institusi. Dari deskripsi dan konseptualisasi tersebut ada empat benang merah yang perlu dikemukakan:
lxiii
a.
Substansi pendidikan agama Islam yang tercermin pada substansi istilah
pendidikan agama,
dalam
bentuk
materi
kurikulum
Pendidikan Agama Islam ( PAI ) yang diberikan pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan baik sekolah umum ( SD, SMP, SMA ), di sekolah berciri khas Islam ( MI, MTs, MA, MAK), maupun dilembaga pendidikan keagamaan ( madrasah Diniyah, Pondok Pesantren, Ma‟had Aly, Majelis Taklim, dan sebagainya ). “Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003, eksistensi pendidikan Agama adalah sebagai materi wajib yang berada di grade pertama ”(Soebahar. 2013:140). b.
Substansi pendidikan agama Islam yang tercermin dalam istilah pendidikan beciri khas Islam. Penddikan jenis ini kita kenal dengan nama madrasah.Substansi pendidikan agam islam yang tercermin dalam istilah pendidikan keagamaan ( PK ) menunjukkan perkembangan lebih signifikan.
c.
Substansi pendidikan agama Islam yang tercermin pada substansi rumusan tujuan pendidikan Nasional , yaitu “ manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur/ berakhlak mulia.
2.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Dalam peraturan menteri Agama ini yang dimaksud dengan Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam
lxiv
mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. 3.
Peraturan Menteri Agama nomor 13 Tahun 2012 Ke depan eksistensi Pendidikan Agama Islam ( PAI ) pada sekolah semoga semakin menggembirakan setelah pada tanggal 24 Agustus 2012 diundangkan Peraturan Menteri Agama ( PMA ) Republik Indonesia tentang organisasi dan tata kerja organisasi vertikel kementerian agama. Kenapa, karena melalui PMA ini, selain memperjelas instansi vertical di jajarn kementerian agama, sekaligus juga memperkuat posisi pendidikan agama Islam, karena baru kali ini pendidikan agama Islam dikoordinasi dibawah kasi khusus yang namanya kasi pendidikan agama Islam. Selama ini yang mengkoordinasi Pendidikan Agama Islam ( PAI ) adalah kasi Mapenda . kasi penma, kerjanya kurang focus, karenamengkoordinasi madrasah dan pendidikan agama sekaligus dengan potensi ketenagaan yang sangat terbatas, baik kuantitas maupun kualitas.
4.
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 Dalam peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan Nasioanl yang bermutu. Disini jelas terlihat eksistensi Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional terutama pada pasal 7 ayat (1) yang berbunyi
lxv
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD / MI / SDLB / Paket A, SMP / MTs / SMPLB / Paket B, SMA / MA / SMALB /Paket C, SMK / MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. 5.
Peraturan Pemerintah nomor 32 Tahun 2013 Peraturan Pemerintah ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah yang telah diterbitkan sebelumnya yaitu PP nomor 19 Tahun 2005, salah satu hal yang berbeda dari PP No. 32 Tahun 2013 adalah mengatur tentang Pendidikan Agama Islam di sekolah setelah berlakunya kurikulum 2013, yaitu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang tadinya 3 jam mata pelajaran dalam seminggu menjadi 4 jam untuk jenjang Sekolah Dasar, sedangkan untuk SMP dan SMA dari 2 jam mata pelajaran menjadi 3 jam mata pelajaran dalam seminggu.
D. Fungsi Pendidikan Agama Islam 1. Pendidikan Keimanan Sesungguhnya
esensi
pendidikan
agama
Islam
adalah
pendidikan ketuhanan, untuk mewujudkan fakus utamanya adalah terbentuknya ikatan yang kuat antara seorang hamba yang fana dengan Allah penguasa alam yang kekal. Atau dengan kata lain, agar kehidupan individu itu bermakna, aktifitasnya mempunyai tujuan, motivasi untuk belajar dan bekerja berkembang secara terus menerus, jiwanya menjadi suci dan senantiasa menjadi cakap untuk menjadi khalifah Alah di muka
lxvi
bumi ( Hafidz. 2009:70 ). Pendidikan Agama Islam untuk sekolah berfungsi sebagai Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah swt, yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. “Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran, dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya” ( Majid. 2012:15 ) . “Beriman kepada Allah ialah membenarkansecara pasti tentang keberadaan ( wujud ) Allah, semua kesempurnaan dan keagungan yang dimilikiNya, hanya Dialah yang berhak untuk diibadahi, hati diiringi dengan kemantapan akan hal itu yang tercermin dari perilakunya, konsekuen dengan perintahNya, dan menjauhi segala laranganNya” (Atsari. 2000:15). Sahl bin Abdullah at Tustari ketika ditanya tentang apakah sebenarnya iman itu beliau menjawab “ Ucapan yang disertai dengan perbuatan diiringi dengan ketulusan niat dilandasi dengan sunnah, Sebab iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalah kufur apabila hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat adalah nifaq sedang apabila hanya ucapan perbuatan dan ketulusan niat tanpa dilandasi dengan sunnah adalah bid’ah”. Dengan demikian iman itu bukan sekedar pengertian dan keyakinan dalam hati; bukan sekedar ikrar dengan lisan dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi tapi hati dan jiwa kosong. Imam Hasan Basri mengatakan “ Iman itu bukanlah sekedar angan-angan dan bukan pula sekedar basa basi dengan ucapan akan tetapi
lxvii
suatu keyakinan yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan” ( Tim Dosen. 2010:102 ). “Pengertian Iman secara bahasa adalah percaya.Dalam kitab al Munjid disebutkan bahwa iman itu artinya adalah membernarkan secara mutlak.Pengertian iman secara terminologi adalah mempercayai dan meyakini sesuatu di dalam hati, mengikrarkan dengan lisan dan merealisasikan dalam perbuatan” ( Aziz. 2010:102 ). Pendidikan
keimanan
sudah
barang
tentu
menyangkut
pennguatan aqidah, pendidikan aqidah terdiri dari pengesaan Allah, tidak mensyarikatkan-Nya, dan mensyukuri segala nikmat-Nya, larangan mensyarikatkan Alah swt tertuang dalam surat luqman ayat 13. “Sudah jelas bahwa ayat ini mendidik manusia bahwa keyakinan pertama dan utama yang perlu ditanamkan dan diresapkan kepada anak didik adalah tauhid “ ( Arief. 2007:186 ). Bila seseorang ragu akan kagungan Allah, namun lebih yakin pada kemampuan dirinya dengan pertolongan makhluk, maka jangan salahkan siapapun kalau dalam hidupnya ia akan menemukan banyak kekecewaan. “Barang siapa ingin hidupnya selalu dilindungi, dibela, dimudahkan urusannya oleh Allah, dikabulkan doa doanya, tetapi tidak pernah bersungguh-sungguh untuk meningkatkan mutu akidah ( keyakinannya ) kepada Allah, maka keyakinannya hanya akan menjadi sebuah angan-angan” ( Alim. 2003:132 ). Aqidah merupakan paham pokok utama dalam ajaran Islam karena aqidah merupakan dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan seseorang yang harus dimilikinya untuk dijadikan pijakan dalam segala sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Seorang invidu dikatakan muslim atau bukan muslim tergantung pada aqidahnya. “Jika ia
lxviii
berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan dinilai sebagai alamiah seorang muslim, apabila tidak, maka segala amalnya tidak akan bernilai sebagai amaliah seorang muslim” (Wiyani. 2013:75). “Menurut bahasa aqidah berasal dari kata „aqada yang artinya ikatan terhadap sesuatu.Akidah adalah sesuatu yang dapat diyakini oleh seseorang” ( Ubaidah. 2008: 9 ). Jika kita lihat pengertian pendidikan agama Islam maka sudah jelas
fungsi
pendidikan
agama
Islam
adalah
Memelihara
dan
mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam. Untuk memperjelas fungsi pendidikan agama islam dapat ditinjau dari fenomena yang muncul dalam perkembangan peradaban manusia, dengan
asumsi
bahwa
peradaban
manusia
senantiasa
tumbuh
danberkembang melalui pendidikan. Fenomena tersebut dapat ditelusuri melalui kajian antropologi budaya dan sosiologi yang menunjukkan bahwa peradaban masyarakat manusia dari masa ke masa semakin berkembang maju, kemajuan itu diperoleh melalui interaksi komunikasi sosialnya, semakin intens interaksi sosialnya semakin cepat pula perkembangannya. Dengan kajian antropologi dan sosiologi dalam perspektif al qur‟an dapat disimpulkan bahwa fungsi pendidikan agama Islam adalah mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran ilahi, sehingga tumbuh
lxix
kemampuan membaca fenomena alam dan kehidupan serta memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Fungsi Pendididikan Agama Islam mempersiapkan pesera didik menjadi anggota masyarakat yang memahami danmengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam/ menjadi ahli agama Islam, nilai – nilai tersebut relative tetap atas pola-pola tingkah laku,peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tervapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran adalah hal yang tidak dapat dipisahkan, mata pelajaran pendidikan Agama Islam memuat materi keislaman yang mempunyai nilai-nilai Islam artinya terjadi transfer knowledge dan transfer viline dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam dan bukan hanya transfer pengetahuan. Pada sekolah Islam mata pelajaran pendidikan agama Islam bila dilihat dari enisnya sama dengan madrasah tetapi jumlah jamnya lebih sedikit( 20% pelajaran agamaIslam 80% mata pelajaran Umum), pelajaran Agama Islam kedudukannya tidak sekuat madrasah, pada sekolah Islam factor penentu kenaikan dan kelulusan seperti dalam sekolah umum yaitu mata pelajaran yang di ujian nasionalkan. Pada sekolah umum pendidikan agama tidak dipecah sesuai dengan disiplin ilmu tetapi jadi satu dengan nama mata pelajaran agama Islam. Dalam struktur kurikulum menempatkan mata pelajaran agama pada pada posisi paling diutamakan akan tetapi secara praktis mata
lxx
pelajaran agama belum manjadi penentu indicator tingkat keberhasilan proses pendidikan, dapat dilihat jumlah jam yang minim yaitu dua jam pelajaran perminggu, dengan beban materi yang tidak seimbang dengan jam yang diberikan, pada perubahan kurikulum yang sekarang berlaku yang disebut denga kurikulum 2013 atau K13 sudah selangkah lebih baik untuk SMP, SMA dan SMK yang semula 2 jam pelajaran per minggu sekarang menjadi 3 jam pelajaran perminggu. Disisi yang lain mata pelajaran agama Islam mempunyaikarakteristik yang berbeda dengan mata pelajaran yang lain maka sesungguhnya menjadi keharusan bila mata pelajaran pendidikan Agama menjadi dasar dari semua mata pelajaran. Mata pelajaran agama disekolah secara praktis belum menjadi penentu indicator tingkat keberhasilan proses pendidikan. Penentu tingkat keberhasilan pendidikan dalam mata pelajaran yang di Ujian Nasionalkan (UN kan) bagus meslipum anak tersebut tidak mempunyai komitmet keagamaan yang ditunjukan dengan ibadah dan perilakunya anak tersebut dengan mulus dikatakan berhasil. Memang secara eksplisit disebutkan dalam kriteria kelulusan siswa akan lulus bila pelajajaran agama dan akhlak mulia mendapatkan nilai baik tetapi pada praktiknya ketentuan itu tidak dapat difungsikan karena setiap sekolah mempunyai target kuantitas kelulusan yang tinggi tanpa mempertimbangkan tingkat kualitasnya, pendidikan agama dan akhlak mulia tidak mempunyai indicator kuantitas yang pasti dan tidak di UN kan dengan sistem penilaian tanpa manipulasi maka setiap sekolah
lxxi
berusaha menaikkan tingkat kelulusan dengan memanipulasi angka penilaian mata pelajaran yang tidak di UN kan dan itu termasuk pendidikan agama. Dikotomi pengetahuan dalam sekolah umum semakin terbuka, pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran tidak dapat memenuhi fungsinya seperti yang disampaikan Wan Muhamman Wan Daud Ibrahim bahwa pendidikan Agama Islam menginternalisasi serta menyelaraskan fungsi-fungsi yang lain, sehingga berdampak pada tidak rubahnya lingkungan apalagi memelihara nilai-nilai dan pola perilakunya. Pada masa presiden Habibi ada muatan imtak dan iptek dengan realisasi nyata disekolah adanya keterkaitan dan pemberian dasar mata pelajaran agama dalam mata pelajaran umum misalnya matematika, ilmu pendidikan alam dan ilmu pendidikan social dengan mengutip beberapa ayat al qur‟an yangberkaitan dengan materi yang disampaikan. Meskipun pendidikan agama menjadi topic yang hangat dibicarakan menjelang disahkannya Rancangan Undang-undang system pendidikan nasional, pendidikan agama disekolah diangap penting dan harus diberikan sesuai dengan anak didiknya, baik agama maupun gurunya tetapi bila dilihat pada realitasnya pendidikan agama islam yang diberikan di sekolah, ternyata masih bersifat doctrinal, monolog, dan dipenuhi muatan formalitas normative yang kurang dapat menanamkan budaya dan nilai keagamaan kepada anak didinya. Selain itu, penilaiannya cenderung bias, karena tolok ukurnya yang tidak jelas apakah pada penguasaan formal ajaran keislaman
lxxii
sebagai sebuah doktrin, atau lebih dalam lagi pada realitas kesalehan social sebagai manifaestasi dari iman seseorang yang beraga Islam. 2. Akhlak Mulia Islam menempatkan akhlak pada tempat yang sangat stategis, hal ini terwujud dalam beberapa hal diantaranya; Rasulullah saw.diutus kepada umatnya dengan membawa risalah yang telah diwahyukan Allah swt. memalui Jibril, diantaranya yaitu untuk menyempurnakan ahkak. Out put Pendidikan Agama Islam belum menghasilkan individu yang memiliki integritas tinggi, yang bisa bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, menyatukan dirinya ( tidak terjadi split personality), menyatu dangan masyarakat ( tidak ada disintegrasi social ) dan menyatu dengan alam ( tidak membuat kerusakan ). Untuk menacapai kesana, menurut Usman Abu Bakar sekurang-kurangnya output pendidikan Islam harus mengarah kepada profil individu yang mempunyai spiritualitas yang tinggi, ketinggian dan kedalaman ilmu, komitmen kepada profesionalisme, dan komitmen kepada ahlakul karimah. Spiritualitas yang tinggi berarti pendidikan Agama Islam sebagai suatu pendidikan yang melatih perasan terdidik dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, dipengruhi sekali oleh nilai spiritual mentalnya menjadi begitu berdisiplin. Sehingga mendapatkan pengetahuan bukan semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektual, atau hanya memperoleh keuntungan material saja, melainkan
lxxiii
untuk berkembang sebagai intelektual rasional yang berbudi luhur dan melahirkan kesejahteraan, spiritual, moral dan fisik bagi keluarga, bangsa dan seluruh umat manusia. Sikap-sikap diatas, menurut Ali Ashraf berasal dari keyakinan yang mendalam terhadap Allah swt dan penerimaan seluruh hati atas ketentuan moral yang diberikan olehNya. Keabadian kepentingan dan makna dari ketentuan semacam itu, menurut Ashraf, untuk perkembangan wajar dari seorang manusia rasional dan spiritual dijalani dan dipahami melalui prisnip-prinsip itu dalam alam masyarakat, dalam perspektif ini, maka seseorang yang menerima pendidikan Agama Islam tumbuh menjadi pribadi pecinta damai, selaras, mantap dan berbudi luhur dengan keyakinan dan kepercayaan pada belas kasih Allah yang tidak habisnya dan keadilannya yang tak ada tandingannya, serta hidup rukun dan tidak bertentangan dengan alam. Pendidikan Agama Islam di sekolah, seharusnya dikembalikan pada pendidikan iman sebagai proses pendakian spiritualitas yang menyatu dalam tahap-tahap praktik kesalehan sosial jika pendidikan agama di sekolah masih diajarkan dengan semangat antirealitas, amka pendidikan agama akan menjadi proses pendangkalan iman, merobek keindonesiaan dan mengukuhkan paradoks dalam kehidupan masyarakat. Di mana dalam masyarakat yang dikenal taat beragama, tetapi justru merebak konflik kekerasan tindak kejahatan dan korupsi.
lxxiv
Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran belum mampu mengikat komitmen kepada keimanan dan akhlakul karimah, bahwa orang yang berakhlak mulia meliliki kesadaran sejarah yang tinggi , yakni asal kejadiannya, sejarah perkembangan hidupnya, dan kemudahan serta kesukaran yang pernah diperolehnya, orang berakhlak berarti orang yang memiliki kesadaran ilahiyah yang tinggi, ini juga memunculkan rasa pengabdian yang tinggi dan rasa tanggung jawab terhadap peningkatan kualitas hidupnya sebagai makhluk mulia, berarti orang yang berakhlak merupakan orang yang memiliki kesadaran terhadap posisinya sebagai makhluk Allah, melahirkan sifat kebersamaan dan kesadaran social yang tinggi. Undang-undang
sistem
pendidikan
Nasional
seharusnya
menjauhkan diri dari pendidikan agama yang menekankan pada kulitnya saja tetapi melupakan isinya.Jika tidak, sebaiknya pendidikan agama ditarik mundur dari pendidikan di sekolah kita. Lahirnya Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nnasional adalah karena ingin meningkatkan mutu pendidikan, sehingga dapat mencapai tingkat yang setara dengan Negara lain, berkenaan dengan keinginan tersebut, maka strategi yang ditempuh oleh undang-undang antara lain sebagai berikut: a. Bahwa dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional tidak hanya mencakup pendidikan formal tingkat madrasah Ibtidaiyah ( Mi ), Madrasah Tsanawiyah ( MTs ), Madrasah
lxxv
Aliyah ( MA ) dan Madrasah Aliyah Kejuruan ( MAK ), melainkan juga termasuk pendidikan keagamaan, yakni madarsah diniyah dan pesantren, serta pendidikan diniyah non formal, yakni pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan al qur‟an, diniyah takmiliyah, atau bentuk lain sejenis. Dengan dimasukkannya pendidikan agama dan keagamaan ini kedalam undang-undang tersebut menunjukan kesungguhan yang tinggi dari pemerintah, agar mutu pendidikan Agama Islam dapat ditingkatkan. Hal yang demikian terjadi, karena dengan dimasukannya kedalam undang-undang dan peraturan tersebut, berarti pendidikan agama akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan pendidikan umum, dalam hal pendanaan, sarana danprasarana, pembinaan dan lain sebagainya. b. Di dalam bab IX, pasal 35 undang-undang nomor 20 tahun 2003 telah ditetapkan adanya standar nasional pendidikan, yang meliputi standar isi, proses, komponen kelulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Upaya ini lebih lanjut dijabarkan dalam peraturan pemerintah republic Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, serta dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan menteri. Dalam teknis pelaksanaannya, peningkatan mutu pendidikan melalui penetapan standar nasional pendidikan ini dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah
lxxvi
dan madrasah. Melalui institusi ini, maka mutu pendidikan dengan berbagai komponennya benar-benar diawasi dengan seksama. c. Dalam peraturan pemerintah RI nomor 19 tahuan 2005 tentang standar nasional pendidikan, pada bab XV pasal 91 terdapat ketentuan tentang penjamin mutu, yakni: (1) setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan non formal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan, (2) penjaminan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk memenuhi atau melampaui standar nasional pendidikan dan (3) penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang meliki target dan kerangka waktu yang jelas. Penjamin mutu pendidikan ini termasuk pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. d. Di dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, bab XVII, bagian ketiga, pasal 61 terdapat ketentuan tentang sertifikasi. Ketentuan ini selanjutnya diperkuat oleh undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang sertifikasi guru dan dosen, serta berbagai peraturan turunannya. Didalam ketentuan tersebut dinytakan, bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan peningkatan mutu guru dan dosen melalui program sertifikasi yang diarahkan pada peningkatan guru kearah yang lebih baik dan profesioanal. Persoalan akhlak terseubut dikaji sedemikian rupa oleh ulama, sehingga timbul ilmu akhlak, yaitu ilmu yang menentukan batas antara
lxxvii
baik dan buruk, antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Atau menurut rumusan Ahmad Amin adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada sebagian lainnya, “menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat” ( Zuhri. 1995:128). Istilah akhlak juga mengandung pengertian etika dan moral. Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Sedangkan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Dalam kajian filsafat, istilah etika dibedakan dengan moral, yakni etika lebih bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. “ Etika memandang laku perbuatan manusia secara universal, sedangkan etika menjelaskan ukuran itu” ( Azra. 1999:97 ). Perbedaan akhlak dengan etika dan moral terutama menyangkut sumbernya. Akhlak bersumber dari Khaliq ( Allah swt ), sunnah nabi Muhammad saw, dan ijtihad manusia, sedangkan etika dan moral hanya bersumber dari manusia. Karena itu penggunaan istilah etika dan moral yang mengandung pengertian akhlak, perlu ditambah dengan kata islam yaitu etika Islam atau moral Islam. Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia, dalam arti bagaimana sistem norma yang
lxxviii
mengatur hubungan manusia dengan Allah ( ibadah dalam arti khas ) dan hubungan 3. Toleransi dalam Beragama Islam berasal dari Allah. Memahami Islam secara benar akan mengantarkan umatnya untuk mengamalkannya secara benar pul. Sekarang ini problematika umat yang mendasar yaitu ketidak fahaman terhadap Islam sebagaimana yang dikehendaki Allah dan rasulNya. Oleh karena itu memahami “ Dinnul Islam” adalah suatu keharusan bagi umat Islam. Aslama artinya adalah menundukkan atau menghadapkan wajah. Sebagaimana Allah swt berfirman dalam surat An Nisa ayat 125: “ dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadikesayanganNya” Perbedaan atau keragaman adalah sebuah keniscayaan, tidak bias ditolak dan merupakan kehendak Allah swt. Karena keragaman adalah sunnatullah, maka hidup tanpa toleransi sangat tidak mungkin.Tanpa toleransi,
konflik
dan
pertumpahan
darah
adalah
sebuah
keniscayaan.Toleransi merupakan obat penghilang konflik yang seringkali muncul bersamaan dengan adanya perbedaan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia toleransi didefinisikan sebagai sifat atau sikap menenggang ( menghargai, membiarkan, membolehkan ) pendirian ( pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan lain sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan pengertian toleransi
lxxix
sebagai istilah budaya, social dan politik, ia disimbolkan sebagai kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, maka toleransi dimaknai sebagai kerukunan sesama warga Negara dengan saling menghargai berberapa perbedaan yang ada. Sebagai makhluk sosial seorang individu dituntut untuk menjalin hubungan atau relasi dengan orang lain. Orang lain tersebut bias jadi berasal dari suku, agama, ras , dan adat ( sara) yang sama bahkan bias jadi mereka berbeda dalam hal kesukaan, agama, ras dan adat dengan kita. Tak jarang sekarang perbedaan sara tersebut melahirkan hubungan yang tidak harmonis. Untuk merefresh jiwa unat Islam yang toleran, maka harus disosialisasikan konsep toleransi dalam prespektif Islam. Harapannya setelah mengetahui bagaimana konsep toleransi dalam perspektif Islam, umat Islam dapat kembali menjadi warga Negara yang baik. Sistem pendidikan agama di Indonesia mendorong pihak sekolah secara institusional untuk menyelenggarakan acara/upacara keagamaan sesuai dengan agama yang dipeluk oleh tiap-tiap warga sekolah. Ritual yang dilakukan oleh siswa beragama Islam berbeda dengan ritual siswa beragama Kristen, katolik, protestan, hindu, atau budha. Disamping itu, ada pula ragam ritual yangberbeda dari sekolah-sekolah tertentu, sebagai cerminan dari identitas dan orientasi keagamaan masing-masing.diantara sekolah-sekolah yang berada dibawah panji Islam, misalnya terdapat kaifiyah ritual yang beragam meskipun tujuannya sama, Ragam ritual tampaknya terjadi pula di
lxxx
sekolah Kristen dan katolik akibat perbedaan perspektif, meskipun keduanya mempunyai pedoman dasar yang sama pula ( Saerozi. 2004:42 ). Karena adanya tuntutan orientasi akademis yang plural, sekolahsekolah negeri di Indonesia bersifat akomodatif terhadap ragam ritual para siswa sesuai dengan keyakinan masing-masing siswa.Misalnya, pihak sekolah cukup memberikan aba-aba atau perintah menghaningkan cipta guna mengarahkan kegiatan berdoa menurut agama dan keyakinan masingmasing.Perintah seperti ini ditemui pada upacara peringatan hari besar nasional atau upacara lain di sekolah, dan juga pada do‟a bersama yang dilakukan di dalam kelas.
lxxxi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan kajian dan analisa dengan menggunakan pendekatan hermeneutika dalam pembahasan tentang “Eksistensi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasiona”, maka dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Keberadaan Pendidikan Agama Islam dalam perspektif undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional mempunyai kedudukan yang kuat artinya sangat eksis , hal tersebut dibuktikan dengan terbitnya beberapa peraturan yang mendukung: a. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Dalam peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan Nasioanl yang bermutu. Disini jelas terlihat eksistensi Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan Nasional terutama pada pasal 7 ayat (1) yang berbunyi kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD / MI / SDLB / Paket A, SMP / MTs / SMPLB / Paket B, SMA / MA / SMALB /Paket C, SMK / MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan
melalui
muatan
lxxxii
dan
atau
kegiatan
agama,
kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Dalam Peraturan Pemerintah ini sudah sangat jelas semakin terlihat eksistensinya, karena terbukti PP ini mengatur tentang fungsi pendidikan agama, tujuan pendidikan agama, pengelolaan pendidikan agama, hak pesera didik pendidikan agama, kurikulum pendidikan agama, dan sanksi bagi satuan pendidikan yang melanggar ketentuan tentang pendidikan agama ini. c. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Dalam peraturan menteri Agama ini yang dimaksud dengan Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurangkurangnya melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. d. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 Selain memperjelas instansi vertikal di jajaran kementerian Agama, PMA ini juga memperkuat posisi Pendidikan Agama Islam, karena baru setelah penerbitan PMA ini Pendidikan Agama Islam dikoordinasi dibawah kasi kusus yang namanya kasi Pendidikan Agama Islam, karena selama ini yang mengkoordinasi Pendidikan Agama Islam adalah kasi Mapenda.
lxxxiii
e. Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2013 Peraturan Pemerintah ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah yang telah diterbitkan sebelumnya yaitu PP nomor 19 Tahun 2005, salah satu hal yang berbeda dari PP No. 32 Tahun 2013 adalah mengatur tentang Pendidikan Agama Islam di sekolah setelah berlakunya kurikulum 2013, yaitu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang tadinya 3 jam mata pelajaran dalam seminggu menjadi 4 jam untuk jenjang Sekolah Dasar, sedangkan untuk SMP dan SMA dari 2 jam mata pelajaran menjadi 3 jam mata pelajaran dalam seminggu. 2.
Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan nasional secara garis besar dapat dilihat dari tiga pokok : a. Pendidikan Agama Islam berfungsi untuk meningkatkan Keimanan, Pendidikan
Agama
Islam
untuk
sekolah
berfungsi
sebagai
Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah swt, yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga b. Pendidikan Agama Islam berfungsi untuk mendidik siswa dalam urusan akhlak, etika dan moral c. Pendidikan Agama Islam memberikan pelajaran tentang budi pekerti termasuk di dalamnya kerukunan antar umat beragama, atau sering dikenal dengan istilah toleransi antar umat beragama. B. Saran 1. Bagi Pembuat Kebijakan
lxxxiv
Memberikan skala prioritas kepada Pendidikan Agama Islam, mengingat pendidikan agama menjadi landasan dasar moralitas bangsa, sangat menguntungkan jika Pendidikan Agama menjadi salah satu Mata Pelajaran yang diujikan secara Nasional ( UN ). 2. Bagi Praktisi Pendidikan Sekolah hendaknya melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesui dengan sitem pendidikan Nasional yang mana fungsi pendidikan adalah mencerdaskan anak bangsa yang berakhlak mulia, hal ini bisa tercapai jika mata pelajaran Pendidikan Agam Islam terlaksana dengan baik. Pengembangan pemikiran Islam kontemporer dengan merespon perkembangan ilmu dan teknologi, penguasaan bahasa asing ( inggris ) dan pemberian pelajaran life skill, tidak kalah pentingnya meningkatkan jenjang pendidikan guru Pendidikan Agama Islam, yang belum S1 diwajibkan S1 dan yang sudah S1 disarankan untuk kuliah S2 begitu seterusnya. Diperlukan integrasi kurikulum bukan hanya memberikan mata pelajaran agama dan umum secara terpisah-pisah tetapi dengan kurikulum yang terintegrasi, menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan C. Penutup Dengan mengucapkan syukur kepada Allah swt atas segala rahman dan rahimNya, taufiq dan hidayahNya, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Dan tidaklupa penulis banyak mengucapkan terima kasih kepda semua pihak yang telah membantu studi dan selesainya skripsi ini.
lxxxv
Penulis mohon maaf apabila ada fihak yang merasa terganggu dalam membantu pelaksanaan studi dan penyelesaian skripsi ini, semoga bantuan baik yang berupa moril maupun materiil dapat menjadi amal ibadah serta mendapat balasan yang berlipat dari Allah swt, amin. Disadari banyak kekurangan dan jauh dari harapan dalam penulisan skripsi ini, maka saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan sehingga skripsi ini dapat diperbaiki sampai pada drajat yang lebih memuaskan dan bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Semoga Allah swt selalu menunjukkan dan membimbing ke jalan yang lurus dan diridloiNya sehingga kita dapat menjadi hambaNya yang senantiasa mensyukuri nikmatNya, Amin
lxxxvi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid al Atsari, Abdullah. 2010. Intisari Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-syafi‟i. Abu Bakar , Usman dan Surohim. 2007. Fungsi ganda Lembaga Pendidikan Islam, Yogyakarta: Safira Insania pres. Abu Ubaidah, Darwis. 2008. Panduan Akidah Ahlu Sunah wal Jamaah. Jakarta: Pustaka Al kautsar. Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Al-Fandi, Haryanto. 2011. Desain Pembelajaran yang Demokratis dan Humanis. Yogyakarta: Arruzz Media. Alim, Muhammad. 2011. Pendidikan Agama Islam, Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim. Bandung: Remaja Rosdakarya. Al-Qarni, Aidh. 2005. Latahzan, Jangan Bersedih. Jakarta: Qisthi Press. Ardy Wiyani, Novan. 2013. Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Alfabeta. Arief, Armai. 2007. Reformulasi Pendidikan Islam. Ciputat: Ciputat Press Group. Arifin, Zaenal. 2012. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Aziz, Abd. 2010. Orientasi Sistem Pendidikan Agama di Sekolah. Yogyakarta: Teras. Dahlan.2003. Kamus Induk Istilah Ilmia. Surabaya: Target Press. Fattah, Nanang. 2013. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hafidz dan Kastolani. 2009. Pendidikan Islam Antara Tradisi dan modernitas. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
lxxxvii
Halim Sobahar, Abd. 2013. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi guru sampai UU sisdiknas. Depok: PT. Rajagrafindo Persada. Halim, Abdul. 2000. Sistem Pengendalian Manajemen. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Manajemen Perusahaan. Hamalik, Oemar. 2011. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hirata, Andrea. 2010. Laskar Pelangi. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. Ismawati, Esti. 2012. Telaah Kurikulum dan Pengembangan bahan Ajar. Yogyakarta: Ombak. Kadir, Abdul. 2014. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Khamid Fathoni, Muhammad. 2005. Pendidikan Islam dan pendidikan Nasional. Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam. Khoiriyah.2012. Menggagas Sosiologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras. Laode Arham, Listia. 2007. Problematika Pendidikan Agama di sekolah. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2007. M. Saerozi. 2004. Politik Pendidikan dalam Era Pluralisme, Telaah historis atas kebijaksanaan pendidikan agama konfensional di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. Majid, Abdul. 2012. Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid. 2009. Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung: PT. Refika Aditama. Muhaimin. 2009. Rekontruksi Pendidikan Islam, Dari ParadigmaPengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajagrafind Persada . ________. 2004. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pustaka Pelajar. ________. 2012. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mujib, Abdul. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media.
lxxxviii
Mustamar, Tohari. 2000. Bimbingan Sebagai Suatu Sistem. Yogyakarta: Cendia Sarana Informatik. Nasir, Ridwan. 2005. Mencari Format Pendidikan Islam Ideal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shadily, Hasan. 2000. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Soedijono. 2008. landasan dan Arah Pendidikan Nasional. Jakrta: Kompas. Suadi, Afief. 1995. Sistem Pengendalian Manajemen. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi UGM. Sunarwan. 2001. Pendekatan Sistem dalam Pendidikan. Surakarta: Sebelas Maret University. Suwarno, Wiji. 2014. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Arruz Media. Tim Dosen Agama Islam MPK Universitas Mulawarman. 2010. Pendidikan Agama Islam, membangun kepribadian generasi Islam. Samarinda: MPK. Yamin, Martinis dan Maisah. 2012. Orientasi Baru Ilmu Pendidikan. Jakarta: Referensi. Zuhairi. 2000. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara kerjasama dengan Ditjen Binbaga Islam Depag RI.
lxxxix
Tentang Penulis
Hanif Masykur. dilahirkan di Salah satu Pelosok yang ada di Temanggung Jawa Tengah tepatnya di sebuah desa
kecil
yang
bernama
Caruban
kecamatan
Kandangan pada pada tanggal 16 Maret 1981 bertepatan dengan hari senin dari ayah yang bernama Djamhuri dan ibu bernama Malichatun. Hanif Masykur merupakan anak ke 3 dari empat bersaudara, dalam keluarga ini sangat sederhana namun bermakna. Untuk mewujudkan cita-citanya, Penulis yang kala itu berusia sekitar 5 tahun diantar Bapaknya menuju lembaga pendidikan dan diserahkan kepada Kepala Taman kanak-kanak Budi Buyung di desanya untuk dididik tata krama, di Taman kanakkanak Penulis hanya betah 3 bulan kemudian minta pindah dan dimasukkan di Madrasah Kecil yaitu MI Nurul Burhan Caruban Kandangan Temanggung lulus tahun 1992, setelah belajar di Madrasah Ibtidaiyah melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah dengan harapan agar bisa mendapatkan mata pelajaran Agama Islam lebih banyak dari pada di sekolah Umum, itu pun ditempuh dengan jalan kaki dan harus melewati sawah, kampung dan sekolah lain yang setingkat, setelah lulus MTs tahun 1995 Penulis mulai diperkenalkan dengan kehidupan yang lebih Nyata, disamping melanjutkan studi kejenjang lebih tinggi, orang tua mengharapkan anak ketiganya ini belajar mandiri maka pada jenjang SLTA/SMA Penulis harus belajar di luar kota dan tidak setiap hari pulang kerumah. Penulis belajar di MAN Salatiga dan tinggal di asrama dengan aturan pulang kerumah setiap liburan ahir catur wulan atau liburan semester di Pesantren, di MAN salatiga belajar sampai kelas 2 semester Genap Tahun Pelajaran 1996/1997 dan pada tahun pelajaran 1997/1998 harus menyelesaikan pendidikannya di MAN 1 Kodya Magelang Alhamdulillah lulus dengan hasil baik. Penulis melanjutkan pendidikannya di sebuah LPK atau lembaga kursus untuk belajar komputer yang pada waktu itu masih merupakan teknologi bergengsi bagi siswa Madrsah Aliyah
xc
seumuran penulis. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan studi di STAIN Kudus namun karena suatu hal hanya bertahan sampai semester genap tahun pelajaran 1999/2000. Program S1 diselesaikan di STAINU Temanggung dengan menyandang gelar Sarjana Hukum Islam. Tahun 2003 penulis mulai mengabdi di lembaga pendidikan milik orang-orang NU di wilayah kecamatan Kandangan, penulis mulai menjadi tenaga pengajar yang merangkap staf tata usaha di SMA Islam Kandangan. Setelah memasuki dunia pengabdian tentunya banyak hal yang harus dipelajari di usia yang relative muda, penulis mulai aktif berorganisasi dengan menjadi anggota IPNU PAC Kandangan dan tahun 2000, sampai ahirnya menjadi Pengurus IPNU tingkat kabupaten Temanggung masa bakti 2004 sampai selesai. Setelah usia menginjak 27 Tahun penulis harus lebih banyak belajar bermasyarakat dengan tetap aktif di organisasi kemasyarakatan karena penulis menyadari dahwa dalam dirinya tidak ada hal yang bisa dibanggakan dari sisi manapun, dengan berpikiran bagaimana kita bisa
bermanfaat bagi orang lain
meskipun sedikit, dengan kata lain lakukanlah apa yang bisa dilakukan, di usia ini penulis aktif sebagai Pengurus Cabang Gerakan Pemuda ANSOR Kabupaten Temanggung, Pengurus Badko TPQ kabupaten Temanggung, menjadi sekretaris Lembaga Pendidikan Ma‟arif NU Cabang Temanggung sekaligus di desanya juga mengabdi sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa. Pada tahun 2012 hanif mulai masuk STAIN salatiga sebagai mahasiswa PAI ekstensi untuk menunjang profesinya sebagai tenaga ewang-ewang di SMA Islam Kandangan.
xci