1
TESIS
EKSISTENSI DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT PADA MASYARAKAT SUKU DAYAK DI PALANGKARAYA
ARMA DIANSYAH
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
2
TESIS
EKSISTENSI DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT PADA MASYARAKAT SUKU DAYAK DI PALANGKARAYA
ARMA DIANSYAH NIM : 0890561019
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
3
TESIS
EKSISTENSI DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT PADA MASYARAKAT SUKU DAYAK DI PALANGKARAYA
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
ARMA DIANSYAH NIM: 0890561019
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
4
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 31 MEI 2011
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Prof.Dr.Tjok Istri Putra Astiti,SH,MS NIP. 194711171975032001
I Ketut Wirta Griadhi,SH,MH NIP.19480304197101001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
Prof.Dr. Putu Sudarma Sumadi,SH,SU. NIP. 195604191983031003
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP. 195902151985102001
5
TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 31 Mei 2010
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 1021/UN14.4/HK/2011 Tanggal 27 Mei 2011
Ketua
: Prof.Dr. Tjok Istri Putra Astiti, SH,MS
Sekretaris : I Ketut Wirta Griadhi,SH,MH. Anggota
: 1. Prof.Dr.I Nyoman Sirtha, SH,MS. 2. Prof.Dr. Wayan P.Windia, SH,MSi. 3. I Ketut Sudantra, SH,MH
6
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Dengan ini saya, Arma Diansyah, menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Tesis ini adalah asli hasil karya saya sendiri dan Karya Ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) maupun Magister (S2) dari Universitas Udayana maupun Perguruan Tinggi lain.
Semua informasi yang dimuat dalam Karya Ilmiah ini yang berasal dari penulis lain baik dipublikasikan atau tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua isi dari Karya Ilmiah/Tesis ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya sebagai penulis.
Denpasar, 31 Mei 2011 Penulis,
ARMA DIANSYAH NIM 0890561019
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis haturkan kepada Ranying Hatala Langit, Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan tesis yang berjudul “Eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat pada masyarakat suku Dayak di Palangkaraya” Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu melalui kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1.
Bapak Prof.Dr.dr. I Made Bakta,Sp.PD(K),selaku Rektor Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan pada penulis dalam mengikuti pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana;
2.
Ibu Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, atas segala fasilitas dan pelayanan selama penulis mengikuti perkuliahan serta atas dorongan agar penulis dapat menyelesaikan studi;
3.
Bapak Prof.Dr.Putu Sudarma Sumadi,SH,SU, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah berkenan memberikan arahan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana;
4.
Ibu
Prof.Dr.Tjok Istri Putra Astiti,SH,MS dan bapak
I Ketut Wirta Griadhi,
SH,MH, selaku pembimbing I dan pembimbing II dengan penuh kesabarannya telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran, yang sangat berguna bagi penulis dalam penyelesaian tesis ini; 5.
Para penguji tesis ini, yaitu Prof.Dr. I Nyoman Sirtha,SH,MS, Prof.Dr.Wayan P.Windia,SH,MH, Prof.Dr.Tjok Istri Putra Astiti,SH,MS, I Ketut Wirta Griadhi, SH,MH dan I Ketut Sudantra,SH,MH, atas segala saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis untuk menyusun tesis ini;
6.
Para Dosen di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini;
8
7.
Para pegawai administrasi pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan kemudahan dan pelayanan administrasi selama penulis mengikuti kuliah sampai penyelesaian tesis ini;
8.
Pemerintah Republik Indonesia c.q. Kementerian Agama RI yang telah memberikan bantuan finansial dalam bentuk Bantuan Beasiswa sehingga meringankan beban saya dalam menyelesaikan pendidikan ini;
9.
Para responden, Sabran Ahmad, Basel A.Bangkan, Suhardi Monong, Drs.Sulman Jungan, Drs.Edie, Nurani Mahmuddin,S.Sos, Drs.Willy Bungai, Drs.Siun Ibat, Talisman D Daya, Salim, Ny.Efrida D Luhing, atas keterbukaannya dalam memberikan informasi pada penulis dalam melakukan penelitian;
10. Sahabat, Dr.Yasa Negara,SH,MH. Seorang dosen sunior IHDN Denpasar, yang telah
meluangkan
waktu
untuk
mendiskusikan
penulisan
tesis
ini
dan
meneladankan kerendahan hati dalam keilmuan. 11. Sahabat, Dr.des.Alexandra Landmann,MA phil. Seorang peneliti asal Jerman, atas motivasi, pemberian buku dan berbagai bahan bacaan koleksi pribadinya. 12. Keluarga tercinta, Sri Rami,Spd.H,(istri) dan pangeran kecilku Ari Yuliantara, Raden Arisuta, yang dengan penuh kecintaan memberikan dorongan, semangat dan dukungan dalam penyelesaian pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, di Denpasar Bali. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga Ranying Hatala Langit, Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Denpasar, 31 Mei 2011 Penulis,
9
ABSTRAK EKSISTENSI DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT PADA MASYARAKAT SUKU DAYAK DI PALANGKARAYA
Damang adalah pimpinan adat kedemangan yang berfungsi sebagai kepala adat. Eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat diakui dan ditaati oleh masyarakat suku Dayak di Palangkaraya. Kajian tesis ini membahas empat permasalahan pokok yaitu: pertama, pengaturan kedudukan dan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. Kedua, implementasi kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. Ketiga, budaya hukum masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan kedudukan dan fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat, dan kempat, upaya pemberdayaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang bersumberkan pada data primer dan data sekunder. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Keseluruhan hasil analisis tersebut disajikan secara deskripsi yaitu memaparkan secara lengkap masalah yang diteliti dengan disertai ulasan-ulasan yang kritis. Teori yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah teori Sistem Hukum (Legal System Theory) dari Lawrence M. Friedman dan ajaran mengenai penanganan perkara adat dari Moh.Koesnoe. Kedua teori inilah yang digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah dan menganalisis permasalahan yang akan dikaji. Pembahasan sampai simpulan dalam tesis ini, dapat dideskripsikan sebagai berikut : (1).Eksistensi kedudukan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat diakui secara yuridis dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan masih ditaati oleh masyarakat Dayak di Palangkaraya; (2).Dalam pelaksanaan fungsinya Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat senantiasa mengedepankan cara-cara penyelesaian perkara secara perdamaian yang dilandasi asas kerukunan, yaitu saling asah, saling asih, saling asuh, sehingga dapat menyelesaikan permasalahan secara tuntas dan hasilnya dapat memuaskan semua pihak; (3).Kenyataannya budaya hukum masyarakat Dayak di Palangkaraya masih mendukung efektifnya pelaksanaan tugas Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat, dari kasus yang masuk ke kedemangan belum ada yang membawa kasusnya ketingkat di atas kedemangan atau banding ke pengadilan negeri setempat; (4).Dalam kondisi sekarang ini paranan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat perlu ditingkatkan kemampuannya agar tetap efektif dan tidak kehilangan fungsinya. Langkah pemberdayaan dapat dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal lebih pada peningkatan SDM dan cara-cara dalam menyelesaikan kasus-kasus adat. Kemudian secara eksternal lebih kepada penyediaan sarana dan prasarana penunjang pelaksanaan tugas Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. Kata kunci : Eksistensi,Damang Kepala Adat,Hakim Perdamaian Adat,Suku Dayak.
10
ABSTRACT DEMANG EXISTENCE AS A PEACE JUDGE IN INDIGENOUS COMMUNITIES OF DAYAK TRIBES IN PALANGKARAYA
Demang is a customary leader who serves as the chief of customary region (kedemangan). Demang existence as a Peace Judge of indigenous communities is recognized and obeyed by the Dayak tribe in Palangkaraya. This thesis studies four main problems: firstly, the setting position and authority of Demang as Peace Judge in indigenous. Second, the implementation of the authority of Demang as a Judge of Peace of indigenous communities. Third, the legal culture of the Dayak community in relation to the position and function of Demang as a Peace Judge, and the fourth, an effort to empower Demang as Judge of Peace. The research method used in this research is based on empirical legal research on primary and secondary data. The data was qualitatively processed and analyzed. The overall results of the analysis are descriptively presented, that is describing the problems fully combined with critical commentaries. The theory used in this thesis is the theory of the Legal System Theory by Lawrence M. Friedman and some teachings on traditional case handling by Moh. Koesnoe. Both these theories are used as a analysis knife to dissect and analyze the issues being studied. The discussion and the conclusion of this thesis, can be described as follows: (1).The existence of the position of Demang as a Peace Judge of indigenous communities judicially recognized in the legislation in force and still adhered to by the Dayak people in Palangkaraya, (2).In performing its functions, Demang as a Peace Judge of indigenous communities, always prioritizes the ways of peace settlement based on the principle of harmony, mutual grindstones, mutual love, mutual care, so as to solve the problem completely and the results can satisfy all parties, (3).In fact, the Dayak community legal culture in Palangkaraya strongly supports the effective execution of tasks of Demang as a Judge of Peace, from the cases that came to kedemangan, none of the cases has been brought to the level above kedemangan or appeal to local courts, (4).In current conditions, the role of Demang as a Judge of Peace needs to be enhanced in order to remain effective and not lose its function. Steps of empowerment can be done internally and externally, internally more on improving human resources and ways to resolve cases of indigenous peoples. Then externally rather the provision of facilities and infrastructure supporting the Demang duties performance as a Indigenous Judge of Peace.
Keywords: Existence, Demang as customary leader, a Peace Judge of indigenous communities, Dayak Ethnic
11
RINGKASAN TESIS
Tesisi ini berjudul: “Eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat pada masyarakat suku Dayak di Palangkaraya” terdiri dari tujuh bab, adalah sebagai berikut: Bab I, merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang hal-hal yang melatar belakangi dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan kerangka berpikir serta metode penelitian. Bab II, merupakan bab yang berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian dan gambaran umum tentang kedemangan di Palangkaraya. Uraian dimulai dengan penyajian mengenai potret keadaan geografis, keadaan penduduk, agama dan kepercayaan, dan bidang pemerintahan. Pada bagian selanjutnya dikemukakan tentang gambaran umum kedemangan, didahului penjelasan megenai lembaga kedemangan, keanggotaan dan sistem pemerintahan kedemangan, struktur organisasi, pemerintahan adat kedemangan, Uraian selanjutnya mengenai perangkat pemerintahan adat kedemangan yang terdiri dari damang kepala adat, let adat, mantir adat, hukum adat Dayak, pengaturan sanksi adat (jipen/singer), majelis adat, serta harta kekayaan kedemangan. Bab III, pada bab ini dijelaskan tentang pengaturan kedudukan dan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. Bab ini menyajikan landasan yuridis eksistensi Damang Kepala Adat dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dan eksistensinya dalam Peraturan Daerah. Pada uraian berikutnya dijelaskan mengenai pengakuan terhadap kedudukan Damang Kepala Adat secara historis, kultural dan dari sudut pemerintah daerah. Selanjutnya dikemukakan mengenai kewewenangan dan fungsi Damang Kepala Adat dalam masyarakat. Bab IV, menguraikan mengenai implementasi kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. Pada bab ini disajikan mengenai kedemangan sebagai pelaksana fungsi peradilan adat. Selanjutnya mengenai kopetensi dan yurisdiksi Hakim Perdamain Adat, serta pola-pola dan tatacara penyelesaian perkara adat. Kemudian tatacara penyelesaian perkara adat, kendala-kendala dalam penyelesaian perkara adat dan cara-cara penanggulangannya. Bab V, merupakan uaraian mengenai budaya hukum masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan kedudukan dan fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. Dalam bab ini akan disajikan menganai sikap dan prilaku masyarakat terhadap kedemangan sebagai lembaga peradilan adat, kemudian sikap dan prilaku masyarakat terhadap putusan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat, dan efektifitas penyelesaian perkara oleh Damang Kepala Adat. Bab VI, dalam bab ini disajikan secara kritis mengenai upaya pemberdayaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat di Palangkaraya. Uaraian yang dipaparkan dalam bab ini merupakan analisis terhadap permasalahan keempat dari rumusan masalah yang terdapat pada bagian pendahuluan. Hal yang dipaparkan adalah mengenai makna pemberdayaan, kondisi riil kedudukan dan fungsi Damang Kepala Adat. Selanjutnya upaya pemberdayaan Damang Kepala Adat secara internal dan upaya pemberdayaan Damang Kepala Adat secara eksternal.
12
Bab VII, merupakan bab terakhir atau bab penutup dari penulisan tesis ini yang merupakan kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dikemukakan adalah berdasarkan pada rumusan masalah yang terdapat pada bagian pendahuluan dan berdasarkan hasil kajian pada bab III, IV, V dan VI. Sebagai kesimpulan dikemukakan bahwa eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat pada masyarakat suku Dayak di Palangkaraya, secara yuridis diakui oleh peraturan perundan-undangan yang berlaku, Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyetakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Di dalam Undang-undang Darurat No 1 Tahun 1951, Pasal 1 ayat (3) dapat diketahui bahwa Hakim Perdamaian Desa (hakim perdamaian adat) tidak termasuk dalam penghapusan itu. Eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat mendapat pengakuan dalam level peraturan daerah, didasarkan kepada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Dengan demikian Damang Kepala Adat mempunyai landasan hukum yang kuat untuk menyelesaikan perkara-perkara adat yang terjadi dalam wilayah kedemangan yang dipimpinnya. Dalam pelaksanaan tugas Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dalam kenyataannya menunjukan bahwa Damang kurang kreatif dalam menggali dan menemukan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Dayak, terkesan hanya sekedar melaksanakan apa yang ditugaskan kepadanya. Mengenai budaya hukum (sikap,prilaku) masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan kedudukan dan fungsi Damang Kepala Adat sebagai Hakim Perdamaian Adat, dalam hal ini adalah sangat tergantung pada tingkat kebutuhan dan keyakinan mereka terhadap perlunya penyelesaian perkara secara tradisional oleh Damang. Saat ini ada kecendrungan budaya hukum masyarakat menyelesaikan perkara ke pengadilan negeri, padahal sudah ada kearifan lokal tradisional untuk menyelesaikan perkara secara damai dan lebih bermartabat. Terkait upaya pemberdayaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dalam kenyataannya menunjukan belum ada upaya nyata yang dilakukan terkait pembinaan dan penataan institusi kelembagaan, sistem manajemen, tatalaksana dan mekanismenya serta sumber daya fisik yaitu sarana dan prasaran pendukung dari sistem penegakan hukum adat (peradilan adat) oleh karena itu para Damang Kepala Adat masih perlu untuk dibina dan didorong dalam upaya mengembangkan dan melestarikan adat istiadat dan budaya Dayak. Adapun saran-saran yang penulis ajukan kepada pemerintah daerah dan lembaga legislatif untuk segera melakukan revisi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 20008, karena dinilai oleh banyak kalangan terdapat berbagai kelemahan dan kekurangannya terutama menyangkut kedudukan dan kewenangan Damang Kepala Adat. Selanjutnya disarankan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (biro hukum) supaya melakukan pembinaan terhadap para Damang, Mantir Adat dan pemangku adat desa, melalui pendidikan dan pelatihan pengetahuan dibidang hukum adat, termasuk cara-cara menyelesaikan perkara adat secara damai berdasarkan musyawarah mufakat. Kemudian disarankan pula kepada (pilisi, jaksa, hakim) yang bertugas di daerah-daerah agar mempertimbangkan peranan para Damang dan mantir Adat setempat, agar putusan yang dibuat tidak mendapat resistensi dari masyarakat. Mengingat masih banyak warga Palangkaraya yang membawa kasusnya langsung ke pengadilan negeri tanpa melalui dan sepengetahuan Damang Kepala Adat setempat, Untuk itu disarankan kepada para Damang dan Mantir Adat untuk melakukan langkah
13
sosialisasi dan pembinaan hukum adat kepada warga kedemangan yang dipimpinnya. Kemudian agar kasus-kasus perkara yang terjadi dimasyarakat dapat diselesaikan secara tuntas dan dicegah agar supaya jangan sampai berkembang menjadi konflik yang lebih besar dan merugikan. Mengingat peran penting Damang Kepala Adat dalam masyarakat Dayak, Damang adalah sebagai pemangku adat dan Pembina terhadap hukum adat Dayak. Untuk itu, disarankan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota agar menyediakan fasilitas sarana dan prasarana pendukung dari sistem penegakan hukum adat (sistem peradilan adat). Penelitian ini dilakukan di kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau dalam wilayah kotamadya Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Pelaksanaan penelitian terhitung sejak tanggal 27 September s/d 27 Oktober 2010, selama 1(satu) bulan. Tesis ini ditulis oleh Arma Diansyah, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali.
14
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ………………………………………..…...…… i HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ………………..……....….. ii HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………..….…..…...…. iii HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ……………..…..…..…... iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH …………………….…………… v UCAPAN TERIMAKASIH ……………………………………………….…..…… vi ABSTRAK …………………………………………………….………...….…........ viii ABSTRACT …………………………………………………….….….…..….….… ix RINGKASAN TESIS …………………………………………..…..……….……… x DAFTAR ISI …………………………………………..……….……..…..…..…… xiii DAFTAR TABEL …… ………………………………..…………..………….…… xvi DAFTAR SKEMATIK …………………………………..……….….…...…….….. xvii
BAB
I PENDAHULUAN ………………………….…….….……...…………. 1 1.1. Latar Belakang ……..……………………….………....…..…....….. 1 1.2. Rumusan Masalah …………………………….…….…....…..…....... 11 1.3. Ruang Lingkup Masalah …………....…………………....…………. 11 1.4. Tujuan Penelitian ……………………………………..…….…..…... 12 1. Tujuan Umum ………..…………………………….…...……… 12 2. Tujuan Khusus ……………..…….………..………..…………… 12 1.5. Manfaat Penelitian ………………..……………….……..……..…… 13 1. Manfaat Teoritis ………..……………………..……….….…..…. 13 2. Manfaat Praktis …………..………………………….……...…… 13 1.6. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ..……..….…............….…. 13 1.6.1. Landasan Teoritis ………………………...…..….…..….…..... 13 1.6.2. Kerangka Berpikir …………………………...……………...... 29 1.7. Metode Penelitian ………………………………….…………...…… 32
15
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LOKASI PENELITIAN DAN KEDEMANGAN DI PALANGKARAYA ……….……..……....…..…. 37 2.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian …………………………...….... 37 2.2. Gambaran Umum Tentang Lembaga Kedemangan ……...…..……... 52 2.2.1. Lembaga Adat Kedemangan ……………...……...…...…….... 52 2.2.2. Keanggotaan, Sistem Pemerintahan Adat Kedemangan …...… 57 2.2.3. Struktur, Organisasi Pemerintahan Adat Kedemangan……..... 61 2.2.4. Perangkat Pemerintahan Adat Kedemangan …………..…....... 65
BAB III PENGATURAN KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT ….…………...…..……….. 91 3.1. Landasan Yuridis Eksistensi Damang Kepala Adat …………....…... 91 3.2. Pengakuan Terhadap Kedudukan Damang Kepala Adat ………....... 98 3.3. Kewenangan dan Fungsi Damang Kepala Adat Dalam Masyarakat… 104
BAB IV IMPLEMENTASI KEWENANGAN DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT ……..………………………………………..…. 109 4.1. Kedemangan Sebagai Pelaksana Fungsi Peradilan Adat …...……..… 109 4.2. Kompetensi dan Yurisdiksi Hakim Perdamaian Adat ……….....…... 112 4.3. Pola-Pola dan Tatacara Penyelesaian Perkara Adat ………...……… 128 4.4. Kendala-Kendala Dalam Penyelesaian Perkara Adat dan Cara-cara Penanggulangannya ……………………………...…..….… 147
BAB V BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DAYAK DALAM HUBUNGAN DENGAN KEDUDUKAN DAN FUNGSI DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT ….……………………..……………… 155 5.1. Sikap dan Prilaku Masyarakat Terhadap Kedemangan Sebagai Lembaga Peradilan Adat ………………………………….………... 155 5.2. Sikap dan Prilaku Masyarakat Terhadap Putusan Damang Sebagai Hakim Perdamaian Adat ………………………..………………....… 160 5.3. Efektifitas Penyelesaian Perkara Oleh Damang Kepala Adat …......... 166
16
BAB VI UPAYA PEMBERDAYAAN DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT ………………..….…………….…....……...…... 173 6.1. Makna Pemberdayaan ……………………...….……….…………….173 6.2. Kondisi Riil Kedudukan dan Fungsi Damang Kepala Adat ………… 176 6.3. Upaya Pemberdayaan Damang Kepala Adat Secara Internal …....…. 183 6.4. Upaya Pemberdayaan Damang Kepala Adat Secara Eksternal ……... 188
BAB VII P E N U T U P ……………………………………………….…………... 195 7.1. Simpulan ……………………………………………......……….........195 7.2. Saran ………………………………………………..….......................197
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….….….……..……… 201
LAMPIRAN : 1.
Ijin Penelitian
2.
Daftar Informan
3.
Pedoman Wawancara
4.
Poto Narasumber
5.
Peraturan-peraturan Pemerintah Hindia Belanda Tentang Kedemangan
6.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah
7.
Contoh Surat Putusan Demang Kepala Adat
8.
Peta wilayah Palangkaraya
17
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 : Perkembangan Penduduk Palangkaraya …………………………….…... 42 Tebel 2 : Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Palangkaraya ….…..…..…. 43 Tabel 3 : Komposisi Penduduk Palangkaraya Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur ……………………………………….………….… 44 Tabel 4 : Komposisi dan Prosentasi Penduduk Palangkaraya Berdasarkan Agama dan Kepercayaan ………………………………………………… 48 Tabel 5 : Jumlah Fasilitas Rumah Ibadah dalam Kecamatan di wilayah Kotamadya Palangkaraya …………………………………………..…… 49
18
DAFTAR SKEMATIK
Halaman
Skema 1 : Gambar Kerangka Berpikir Penelitian Eksistensi Damang Sebagai Hakim Perdamaian Adat di Palangkaraya …………….………. 31 Skema 2 : Gambar Struktur Organisasi Kedemangan di Palangkaraya …………… 63 Skema 3 : Gambar Konsep Bentuk Pertanggungjawaban Sanksi Adat Dayak ….… 83 Skema 4 : Gambar Proses Penyelesaian Perkara Adat Dayak …………………......146
19
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Suku Dayak termasuk dalam jajaran suku-suku tertua di Indonesia yang memiliki budaya yang sudah tua pula. Dayak adalah sebutan nama untuk menyebut penduduk asli di Kalimantan. Suku Dayak terdiri dari 7(tujuh) kelompok suku besar dan terbagi atas 405 sub suku kecil-kecil. Dari ketujuh kelompok suku, rumpun suku Dayak itu sebagian besar terdapat di Palangkaraya. Masyarakat suku Dayak sebagai masyarakat yang agraris sangat menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur nenek moyang yang tetap berlaku, misalnya nilai sosial religius dan komunal yang tujuannya untuk mencapai kehidupan yang harmonis. Nilai ideal tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem sosial dan budaya termasuk dalam pelaksanaan tradisi dan adat istiadatnya. Nilai religius yang tercermin dalam kehidupan sosial orang Dayak diliputi oleh suatu keyakinan tentang adanya hal-hal yang gaib dan sakral, hal itu diwarnai dengan adanya berbagai bentuk upacara ritual baik yang berhubungan dengan aktivitas adat maupun yang berhubungan dengan aktivitas agama. Selanjutnya, nilai komunal lebih mengutamakan kepentingan hidup bersama dalam kehidupan masyarakat Dayak.
Nilai
kebersamaan
mengandung
arti
bahwa
manusia
terikat
pada
masyarakatnya, manusia harus mengutamakan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan pribadinya. Hal tersebut diwujudkan melalui aktivitas gotong royong, tolong menolong, bekerjasama dalam memenuhi kepentingan hidup bersama yang harmonis sesuai prinsip hatamuei lingu nalatai hapangkaja karende malempang (mengembarai pikiran dan perasaan satu dan lainnya saling mengunjungi) dan prinsip penyang hinje simpei paturung humba tamburak (menjunjung tinggi kerjasama dan
20
nilai persatuan antara satu dan yang lain). Prinsip tersebut menjadikan sikap para warga untuk mencapai kerukunan dan kedamaian. Kenyataan lain, menunjukan bahwa masyarakat Dayak memiliki identitas yang membuat orang Dayak dan budayanya mampu bertahan dan tetap eksis, seperti adanya organisasi sosial religius yang khas Palangkaraya Kalimantan Tengah yang disebut dengan istilah kedamangan. Bagi masyarakat Dayak adanya lembaga ini berkaitan erat dengan nilai-nilai tradisional yang tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat suku Dayak. Nilai tersebut terangkum dalam sebutan Belom Badat (hidup beradat) sebagai suatu tatanan nilai berkenaan dengan hidup dan kehidupan yang sering diperbincangkan dalam kaitannya dengan kehidupan modern. 1 Sedangkan artinya yang paling mendasar dari lembaga kedemangan ini adalah sebagai wadah interaksi sosial masyarakat Dayak yang terpola dalam suatu pola hubungan yang khas dari kehidupan masyarakat adat. Secara khusus warga kedemangan diikat oleh tradisi adat yang membuat masyarakat Dayak sangat sensitif terhadap hukum adatnya. Norma adat dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat, siapapun yang melanggar ketentuan hukum adat harus menghadapi peradilan adat yang disebut perakara. Putusan diambil oleh para ketua adat yang berwibawa dengan mengacu hukum adat yang berlaku masih dipraktekan sampai sekarang. Pada zaman penjajah Belanda, lembaga kedemangan dikukuhkan dengan Besluiten van den Resident Zuider-en Oosterafdeeling van Boerneo tanggal 28 Oktober 1938 Nomor 349/c 7-1. Besluit ini mengatur tentang Penunjukan (aanwijzing) dari kedemangan-kedemangan (Demang Schappen) dalam onderafdeeling-onderafdeeling di
1
H.Abdurrahman,(a),2002, Lembaga Kedemangan di Kalimantan Tengah, Sekretarian Daerah Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya, hal.1.
21
wilayah tanah Dayak. Selanjutnya pada zaman penjajah Belanda yang digunakan istilah Demang, kemudian dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 disebutkan dengan istilah Damang. Dengan demikian dalam penelitian ini selengkapnya digunakan istilah Damang. Semenjak 1938 lembaga kedemangan dikenal sebagai lembaga yang bersifat semi formal. Dikatakan demikian oleh karena pada suatu pihak lembaga kedemangan diakui oleh warga sebagai lembaga adat, sedangkan dilain pihak pemerintah mengakui lembaga ini sebagai perpanjangan tangan dari lembaga pemerintah. 2 Tjilik Riwut, dalam tulisannya menyatakan bahwa Damang Kepala Adat yang dilahirkan pada tahun 1938 sebagai tebusan pengganti pejabat kepala adat zaman purba, oleh masyarakat suku Dayak dipandang sebagai rehabilitasi yang diberikan kepada perasaan mereka sebagai pengakuan adat istiadat leluhur mereka. 3 Bagi masyarakat setempat dan seluruh masyarakat Dayak dikawasan Kalimantan Tengah pada umumnya lembaga kedemangan dipadang sebagai lembaga asli yang sudah mereka kenal cukup lama, lembaga kedemangan ini diyakini telah ada sejak zaman purba, (abad 11) masehi berdasarkan legenda ”Sansana Bandar” dan merupakan warisan asli daerah. 4 Mengingat akan arti pentingnya lembaga kedemangan ini, maka pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah menaruh perhatian yang besar dan memberikan kewenangan yang cukup luas pada kedemangan sebagai lembaga peradilan adat. Dewasa ini, lembaga kedemangan secara lebih khusus diatur dalam Peraturan Daerah 2
Tim Peneliti Fakultas Hukum Unlam,1990, Peranan Damang Kepala Adat Dalam Pembinaan Hukum Adat Di Provinsi Dati I Kalimantan Tengah, Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Unlam, Banjarmasin, hal.7. 3
4
Tjilik Riwut,1973, Kalimantan Membangun, PT.Tirta Wacana, Yogyakarta, hal.295.
Y.Nathan Ilun, 1987, Tampung Bohol Warisan Purba Ragam Penunjang Tatakrama “Belom Bahadat” Warisan Budaya Asli Suku Dayak Ngaju Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah, tanpa penerbit, Kuala Kapuas, hal.108.
22
Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Di dalam Pasal 1 angka (25) Peraturan Daerah tersebut, disebutkan bahwa kedemangan adalah suatu lembaga adat yang memiliki wilayah adat, kesatuan masyarakat adat dan hukum adat dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa desa/kecamatan/ kabupaten dan tidak dapat dipisahpisahkan”. 5 Mengandung makna bahwa kedemangan tidak hanya sebagai lembaga adat biasa melainkan sebagai persekutuan masyarakat hukum adat Dayak. Pemimpin persekutuan masyarakat hukum adat itulah yang disebut dengan istilah Damang Kepala Adat. Menurut adat, kepala adat (kepala rakyat) bertugas memelihara hidup hukum di dalam persekutuan, menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya. 6 Dewasa ini peranan Damang Kepala Adat dalam menyelesaikan kasus-kasus adat yang timbul di masyarakat, dapat dibandingkan dengan fungsi “Hakim Perdamaian Desa” maka Damang Kepala Adat inilah yang melaksanakan fungsi sebagai Hakim Perdamaian Desa atau Peradilan Desa, seperti telah diatur oleh Pasal 3a Rechterlijke Organisatie (RO) yang diberlakukan dalam Staatsblad 1935 No.102. Menurut Pasal 3a RO yang mengatur wewenang Peradilan Desa ini, fungsi Hakim Perdamaian Desa dimaksud adalah memeriksa dan mengadili menurut hukum adat perkara-perkara yang terjadi dalam masyarakat hukum kecil-kecil (hakim adat di pedesaan). 7 Di samping mengadili menurut hukum adat, hakim desa wajib pula berusaha untuk merukunkan pihak-pihak yang berperkara. Biasanya yang bertindak sebagai hakim desa atau hakim
5
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah, Palangkaraya, hal.7. 6
R.Soepomo,(a), 2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ketujuhbelas, hal.66. 7 Ibid, hal.80-81
23
adat adalah para kepala adat (kepala rakyat) sebagai pimpinan dari masyarakat hukum kecil-kecil seperti yang dimaksud oleh Pasal 3a RO di atas. Peradilan adat adalah peradilan rakyat di pedesaan yang menyelesaikan perkara adat secara damai. 8 Perkara adat yang dimaksud adalah meliputi perselisihan, sengketa dan pelanggaran adat. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, maka peradilan Pribumi dan peradilan Swapraja secara berangsur dihapuskan kecuali “Peradilan Desa” tetap dapat menyelesaikan perkara perselisihan adat secara damai. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ketentuan yang disebut dalam ayat pertama tidak sedikitpun mengurangi hak kekuasaan yang selama ini diberikan kepada Hakim Perdamaian Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a RO. 9 Jadi dalam hal ini berarti hakim adat di pedesaan seperti lembaga kedemangan yang tak dihapuskan oleh undang-undang ini, masih bisa mengadili si pelanggar tindak pidana adat dan menjatuhkan sanksi adat yang masih hidup dimasyarakat. Penyelesaian perkara di luar pengadilan negara dengan mengakui dan menghormati hak, asal-usul dan adat istiadat desa, memang sudah sewajarnya. Menurut Koesnoe, hukum adat merupakan landasan dan sumber hukum nasional. 10 Pentingnya hukum adat sebagai sumber hukum nasional, juga dikemukakan oleh Soekanto yang menyatakan, hukum tertulis yang tidak didasarkan hukum adat yang telah mengalami 8
Hilman Hadikusuma,(a),1994, Peradilan Adat Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Edisi khusus “Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia”, Dalam HUT ke-30 Fakultas Hukum Univrsitas Udayana dan Lustrum VI tanggal 1 September, Denpasar, hal.211. 9
Ibid, Moh.Koesno,1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya, Airlangga University Press, hal.82. 10
24
saringan tidak akan mempunyai basis sosial yang kuat, sehingga tidak akan efektif. 11 Kenyataannya yang ada menunjukan bahwa pertama, secara diam-diam ketentuan di atas sering tidak berfungsi dengan baik oleh badan peradilan negara maupun para pihak. Sementara itu banyak Damang Kepala Adat tidak menyadari kedudukannya selaku Hakim Perdamaian Adat, ataupun sekali menyadari ia tidak cakap menjabatnya. Dilain pihak, semakin besarnya peranan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat, dimana campur tangannya sudah semakin jauh memasuki berbagai aspek kehidupan sosial mempunyai akibat melemahnya peranan Damang Kepala Adat dalam mengatur dan menyelesaikan berbagai perkara adat yang terjadi dalam masyarakatnya. Sedangkan apabila peranan Damang menjadi semakin berkurang maka akan menimbulkan pengaruh terhadap kedudukan hukum adat, mengingat Damang adalah pemangku hukum adat dan sebagai pembina terhadap adat. 12 Pembangunan hukum, menurut Abdul Manan salah satu aspeknya adalah menata sistem hukum yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum yang diskriminatif. Pengakuan terhadap hukum agama dan hukum adat dalam pembangunan hukum implementasinya tentu tidak lepas dari penghargaan terhadap kearifan lokal dalam pembangunan hukum. 13 Tentang kearifan lokal, Galentar dalam Ihromi menggunakan istilah“indigenous ordering” dan “indigenous law” (pengaturan pribumi dan hukum pribumi) yang mengacu pada penataan sosial asal penduduk setempat, yaitu dikenal dan diterapkan oleh partisipan dalam aktivitas sehari-hari yang
11
Soerjono Soekanto,2003, Hukum Adat Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta, hal.378.
12
Tim Peneliti Fakultas Hukum Unlam, 1990, op cit, hal.13-14. Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal.6.
13
25
menjadi objek pengaturan. Pengaturan pribumi dan hukum pribumi ini mengacu pada pola-pola penataan sosial yang terdapat pada aneka latar kelembagaan yang ditemukan di banyak lokasi dalam kehidupan mayarakat. 14 Untuk daerah Palangkaraya terdapat suatu mekanisme tertentu dengan media khusus sebagai pranata penyelesaian perkara yang mampu menopang pengendalian sosial di daerahnya. Pranata tersebut merupakan pranata adat yang biasa dipergunakan oleh orang Dayak untuk mencegah timbulnya konflik-konflik terbuka yang diketahui publik. Pelaksanaannya pada umumnya dilakukan dengan asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan, yang dalam pengambilan keputusan diupayakan dengan musyawarah dan mufakat. Penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat yang dikembangkan melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi jawaban dari sistem penyelesaian perkara secara eksklusif diselenggarakan oleh negara dengan paradigma legal centralisme (sentralisme hukum). Perkara artinya masalah atau bermasalah, yang meliputi perselisihan, sengketa, konflik dan pelanggaran adat. Mengingat keadilan itu terdapat di berbagai ruang dan tempat, yang tidak saja ditemukan di ruang pengadilan negara. Selain itu telah menjadi rahasia umum bahwa penyelesaian perkara dalam paradigma sentralisme hukum telah dikuasai oleh mafia peradilan, yang menyebabkan hukum negara menjadi menurun kewibawaannya karena merupakan komoditas yang bisa diperjual belikan. 15 Secara ekstrem dapat dikatakan hal tersebut merupakan suatu indikator bahwa semua orang tahu, sistem peradilan di negeri ini dapat direkayasa
14
Marc Galenter, 1993, Keadilan di berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat Serta Hukum Rakyat, dalam Ihromi,T.O (ed), “Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai “, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal.116-117. 15 Singkir Hudijono, 2008, Penyelesaian Sengketa Alternatif di Kabupaten Banyumas; Perspektif Kajian Budaya, Disertasi, Universitas Udayana, Denpasar, hal.5.
26
sedemikian rupa dan sama sekali tidak dapat dipercaya untuk menegakan kebenaran. 16 Lebih dari itu, penyelesaian perkara melalui pengadilan negara misalnya belum tentu menyelesaikan masalah yang dihadapi para pihak, walaupun suatu kasus berhasil diselesaikan secara damai di pengadilan, tetapi “suasana damai“ diantara para pihak tidak dapat dipulihkan. Ini berarti bahwa penyelesaian perkara dengan cara demikian tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Penyelesaian masalah secara tuntas berarti mengembalikan keadaan para pihak ke dalam ’suasana rukun dan damai’ seperti keadaan sebelumnya. Suasana yang demikian merupakan inti dari kehidupan masyarakat di pedesaan, dan menjadi tanggung jawab bersama semua warga untuk ikut serta mewujudkannya. 17 Di tengah gelombang dinamika sosial masyarakat yang semakin cepat saat ini, semakin dirasakan pentingnya penguatan peran dan fungsi para kepala adat agar tetap mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di lingkungannya. Berkaitan dengan peran penting ”kepala adat” di masyarakat, I Made Widnyana dalam orasi ilmiahnya telah menyinggung jauh sebelumnya tentang pentingnya peranan ”Kepala Adat sebagai Hakim Perdamaian Desa” dalam menyelesaikan konflik. Ia menyatakan bahwa penyelesaian oleh kelembagaan tradisional dipandang oleh masyarakat adat lebih mencerminkan rasa keadilan, karena itu ia menyatakan sebaiknya penyelesaian konflik adat dilakukan melalui lembaga
16
Affan Gafar, 2002, Rezim Tidak Berganti, dalam “Gatra” Nomor 34 Tahun VIII, 13 Juli, PT.Era Media Informasi, Jakarta, hal.23. 17
Tjok Istri Putra Astiti, 1997, Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa Dalam Menyelesaikan Kasus Adat Diluar Pengadilan, Orasi Ilmiah, PidatoPengenalan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar tanggal 30 April, hal.2.
27
tradisional, sedangkan penyelesaian melalui pengadilan adalah sebagai jalan terakhir. 18 Demikian pula Tjok Istri Putra Astiti, melalui orasi ilmiahnya pada tahun 1997, melihat bahwa peranan ”Hakim Perdamaian Desa” sangat penting dalam menyelesaikan kasuskasus adat secara damai. 19 Demikianlah pandangan kedua guru besar Fakultas Hukum Universitas Udayana di atas, memperlihatkan pandangan dunia akademis bahwa hukum adat dan lembaga adat mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, masih terdapat ruang-ruang kosong yang dapat diperankan oleh Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat khususnya dalam menyelesaikan perkara adat di Palangkaraya. Melalui lembaga adat yang dikelolanya seorang kepala adat bertindak sebagai perumus realitas berdasarkan kearifan lokal. Dalam konteks itulah perlunya dilakukan kajian mengenai eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat di Palangkaraya. Model penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat sangat penting dan strategis karena memberikan manfaat yang sangat besar tidak saja bagi para pihak yang berperkara, melainkan juga sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Prosedur penyelesaian perkara secara perdamaian adat sangat sederhana, cepat, epektif, adil dan dengan biaya murah akan memberikan keuntungan ekonomis bagi para pihak yang berperkara. Penyelasaian perkara melalui Hakim Perdamaian Adat, hasilnya lebih mengedepankan perdamaian diantara para pihak yang berperkara, dan memungkinkan tetap terpeliharanya hubungan-hubungan baik antara para pihak dalam jangka panjang sehingga dapat membawa ketentraman tidak saja bagi para pihak berselisih tetapi juga bagi keharmonisan hubungan dalam masyarakat secara lebih luas. Lebih dari itu dengan 18
I Made Widnyana, 1992, Eksistensi Delik Adat Dalam Pembangunan, Orasi Ilmiah, Universitas Udayana, Denpasar, hal.17-24. 19
Tjok Istri Putra Astiti, 1997, op cit, hal.13.
28
adanya Hakim Perdamaian Adat dapat mengurangi perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri sehingga tugas pengadilan negeri menjadi lebih ringan. Dengan beban yang lebih ringan memungkinkan pengadilan negeri dapat melaksanakan fungsinya secara lebih epektif sebagai benteng terakhir tertib hukum. 20 Dari aspek inilah tampak urgensi praktis kajian yang mendalam mengenai eksistensi Hakim Perdamaian Adat ini. Alasan lain pentingnya kajian ini adalah berkaitan dengan upaya penguatan kearifan-kearifan lokal dan hukum adat dalam sistem hukum di Indonesia, sebagai salah satu pintu solusi penyelesaian perkara yang dapat dikembangkan. Berpijak dari latar belakang pemikiran seperti diuraikan di atas, maka penulis menganggap sudah saatnya untuk diakukan penelitian yang mendalam mengenai eksistensi Damang Kepala Adat terkait dengan kewenangan dan fungsinya dalam penyelesaian perkara dikalangan masyarakat di pedesaan. Pengkajian tentang eksistensi Damang Kepala Adat dalam penyelesaian berbagai perkara dalam masyarakat Dayak, tidak saja mencakup normatifnya melainkan juga menyangkut aspek empirisnya. Dari pemikiran inilah mendorong penulis untuk melakukan penelitian, kemudian menuangkannya dalam bentuk tesis yang berjudul “Eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat pada masyarakat suku Dayak di Palangkaraya“.
1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan masalah pokok yang akan dibahas, yaitu : 1. Bagaimana pengaturan mengenai kedudukan dan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat? 20
I Ketut Sudantra, 2007, Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa Dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar, hal.19.
29
2. Bagaimana implementasi kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat? 3. Bagaimana budaya hukum masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan kedudukan dan fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat? 4. Upaya apa yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Masalah pokok yang akan diteliti disini adalah menyangkut fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat di Palangkaraya. Secara lebih khusus penelitian ini hanya akan dibatasi pada masalah-masalah yang berkenaan dengan : 1. Pengaturan kedudukan dan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. 2. Implementasi pelaksanaan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. 3. Budaya hukum masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan kedudukan dan fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. 4. Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. 1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis tentang Eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat pada masyarakat suku Dayak di Palangkaraya. 2. Tujuan Khusus
30
Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : a). Untuk mengetahui pengaturan kedudukan dan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. b). Untuk mengetahui implementasi pelaksanaan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. c). Untuk mengetahui budaya hukum masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan kedudukan dan fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. d). Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat.
1.5. Manfaat Penelitian Ada 2 (dua) manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan bidang kajian ilmu hukum adat, terkait dengan peranan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dalam menyelesaikan perkara adat di masyarakat, berdasarkan kearifan lokal di Palangkaraya. 2. Manfaat Praktis a). Bagi masyarakat setempat, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam menyelesaikan perkara yang terjadi di masyarakat. b). Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam penyempurnaan peraturan-peraturan yang mengatur tentang fungsi Damang Kepala Adat.
kedudukan dan
31
c). Bagi Damang Kepala Adat dan Mantir Adat, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam menyelesaikan perkara dalam masyarakat. d). Bagi peneliti sendiri, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pengembangan materi belajar dan bahan pengabdian pada masyarakat.
1.6. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir 1.6.1. Landasan Teoritis Untuk membahas permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini akan digunakan berupa teori, konsep, dan pandangan para ahli sebagai landasan teoritis. Berikut ini adalah uraian mengenai landasan teoritis yang digunakan: A. Teori Teori yang dipergunakan untuk mengkaji permasalahan dalam tesis ini adalah : 1) Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) dan 2) Ajaran Mengenai Penanganan Perkara Adat. 1. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory), dari Lawrence M. Friedman. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) akan digunakan untuk menganalisis permasalahan (pertama, kedua, tiga, dan empat). Menurut Lawrence M.Friedman, dalam bukunya The Legal System : A Social Science Perspective (Sistem Hukum: Sebuah Perspektif Ilmu Sosial) dikatakannya dalam sistem hukum mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu : a. Struktur hukum (legal structure) b. Subtansi hukum (legal substance) c. Budaya hukum (legal culture). 21
21
Lawrence M.Friedman,(a),1969, The Legal Sistem : A.Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York, hal.16.
32
Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan
berbagai macam
fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan berbagai perlengkapannya. Mengenai hal ini Friedman menulis,”….structure is the body, the framework, the longlasting shape of the system; the way courts of police depatements are organized, the lines of jurisdication, the table of organization”. 22 (struktur adalah bodi atau kerangka, bentuk sistem yang bermotif, cara pengorganisasian pengaturan departemen kepolisian, garis-garis yurisdiksi, bagan organisasi). Komponen struktur hukum dalam hal ini mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu institusi tersebut adalah lembaga kedemangan dan Damang Kepala Adat yang menjalankan fungsinya sebagai struktur hukum. Komponen struktur hukum (legal struktur) ini relevan untuk membahas permasalahan ke empat, yang menekankan pada upaya pemberdayaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat pada masyarakat suku Dayak di Palangkaraya. Substansi hukum meliputi aturan-aturan hukum, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan-keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Mengenai hal ini Lawrence M.Friedman, menyatakan sebagai berikut “Subtance is what we call the actual rules or norms used by institutions,(or as the case may be) the real observable behavior patterns
22
Ibid,
33
of actors within the system…. 23 (Subtansi adalah apa yang kita kenal dengan peraturan atau norma aktual yang digunakan oleh institusi, (atau sebagai kans mungkin) pola-pola tingkah laku yang dapat observasi secara nyata di dalam sistem). Subtansi hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan dan peraturan hukum adat kedemangan yang terkait dengan pokok pembahasan. Budaya hukum (legal culture) oleh Lawrence M.Friedman didifinisikan, 24 sebagai “….attitude and values that related to law and legal system, together with those attitudes and values affecting behavior related to law and its institutions, ether positively or negatively.(sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan sistem hukum, bersama dengan sikap dan nilai yang mempengaruhi tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan institusinya baik negatif maupun positif). Lawrence M.Friedman juga membedakan budaya hukum ini meliputi dua, yaitu: 1) budaya hukum eksternal (eksternal legal culture); 2)budaya hukum internal (internal legal culture). Mengenai hal ini Lawrence M. Friedman menyatakan sebagai berikut : We can distinguish between an external and an internal legal culture. The external legal culture is the legal culture of those members of society who perform specialized legal tasks. Every society has a legal culture but only societes with legal specialists have an internal legal culture. 25 Budaya hukum eksternal adalah budaya hukum dari warga masyarakat secara umum. Budaya hukum eksternal yang dimaksud dalam tesis ini adalah anggota warga kedemangan baik yang pernah perperkara di kedemangan maupun warga masyarakat
23
Ibid, hal.17.
24
Lawrence M.Friedman,(b),1969, On Legal Developmant, dalam “Rutgers Law Review” Vol.24, hal.28. 25
Ibid, hal.225.
34
sekitarnya. Budaya hukum internal adalah budaya hukum dari kelompok orang-orang yang mempunyai profesi di bidang hukum seperti Damang Kepala Adat dan Mantir Adat. 2. Ajaran Mengenai Penanganan Perkara Adat dari Moh. Koesnoe. Menurut Moh.Koesnoe, ada dua cara dalam menangani perkara adat yaitu dengan cara menyelesaikan dan memutus. Ajaran
pokok dari Koesnoe ini dapat
digunakan oleh para Damang dan Mantir Adat untuk mengidentifikasi dan menjelaskan mengenai bentuk penyelesaian perkara-perkara adat. Ajaran menyelesaikan berpendapat bahwa segala persoalan yang menyangkut kepentingan bersama hendaknya dipecahkan bersama-sama secara musyawarah mufakat oleh anggota-anggotannya atas dasar kebulatan kehendak bersama. Musyawarah diartikan sebagai tindakan seseorang bersama orang lainnya untuk menyusun suatu pendapat bersama yang bulat atas suatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh masyarakatnya. Kemudian mufakat diartikan sebagai penyelesaian perbedaan kepentingan-kepentingan pribadi seseorang terhadap orang lain, sebaiknya dilakukan atas dasar perundingan antara yang bersangkutan. Diupayakan sampai ada persamaan pendirian mengenai hal yang dipermasalahkan melalui suatu proses pemufakatan. Mufakat yang dikehendaki oleh adat, bukanlah mufakat asal mufakat saja, mufakat itu hanya suatu cara atau alat adalah sesuatu yang menurut alur dan patut, oleh sebab itu suatu mufakat yang tidak berdasarkan alur dan patut adalah hampa dan kosong. Disini bukan soal “menang-kalah” dari salah satu pihak, melainkan kembalinya keadaan keseimbangan yang terganggu sehingga masingmasing pihak dapat hidup bersama kembali dalam kehidupan secara tenang, tentram dan sejahtera.
35
Ajaran memutus berpandangan bahwa tidak semua perkara adat dapat diselesaikan, terutama segi-segi yang membahayakan kehidupan bersama begitu berat, sehingga perlu adanya langkah-langkah yang bersifat tegas dan jelas. Dalam hal ini, pengambilan keputusan tidak boleh secara sewenang-wenang, akan tetapi harus mengutamakan asas musyawarah-mufakat, keputusan yang di ambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan YME, dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dalam ajaran memutus ini hak dan kewajiban masing-masing pihak mendapat perhatian pokok dalam memberi keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi. Hak-hak dan kewajiban masing-masing dirumuskan secara rinci dan tegas, tanpa mempertimbangkan apakah pihak-pihak yang bersangkutan akan kembali atau tidak dalam kehidupan seperti semula. Ajaran memutus lebih menitik beratkan pada pertimbangan-pertimbangan akal sehat dan apa yang sebanarnya. Kedua ajaran itu menekankan pentingnya faktor teknik, pikiran dan perasaan. Dari itu untuk menjadi seorang hakim dalam urusan adat dituntut persyaratan yang dimiliki mengenai teknik-teknik menyelesaikan perkara, kehalusan perasaan dan penghayatan kesusilaan dan dasar-dasar hidup bermasyarakat, sehingga jawaban yang diberikan dapat memuaskan para pihak dan masyarakat secara menyeluruh. 26 Selain ajaran menyelesaikan dan memutus tersebut diatas, juga terdapat asas kerja lainnya yang dapat digunakan oleh Damang dan Mantir Adat sebagai Hakim Perdamaian Adat dalam mengadili perkara-perkara adat yaitu asas rukun, patut dan laras.
Asas rukun yaitu suatu asas yang isinya suatu pandangan dan sikap orang
menghadapi hidup bersama dalam lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai 26
Moh.Koesnoe,1979, op cit, hal.49.
36
suasana hidup bersama yang aman, tentram dan sejahtera. Suasana yang demikian disebut rukun yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Asas patut merupakan asas yang menekankan perhatian kepada cara bagaimana bersikap, berbuat, bertindak dan berprilaku dengan lebih mengedepankan etika dan rasa malu. Itu sebabnya asas kepatutan ini sering juga disebut dengan asas kelayakan. Dalam menghadapi suatu perkara penilaian baik buruk yang ditetapkan oleh petugas hukum mempunyai pelbagai derajat sesuai kasus yang dihadapi. Asas laras adalah asas yang berkaitan dengan pola prilaku masyarakat yang lebih mengutamakan adanya keseimbangan dan keselarasan antara dunia lahiriah dan dunia batiniah, dengan demikian keharmonisan hidup masyarakat dapat tercapai. Prinsip-prinsip tersebut di atas merupakan prinsip operasional yang melembaga di dalam struktur sosial masyarakat adat. Setiap kebijakan, keputusan dan tindakan selalu berorientasi pada kebijakan terwujutnya kerukunan, kepatutan dan keselarasan antar sesama anggota masyarakat, sehingga masyarakat dalam suasana yang ideal.
B. Konsep Konsep yang terdapat dalam pokok kajian ini adalah: 1) Konsep Eksistensi, 2) Konsep Damang Kepala Adat, 3) Konsep Hakim Perdamaian Adat, 4) Konsep Suku Dayak. 1. Konsep Eksistensi Eksistensi mengandung arti keberadaan, dalam hal ini eksistensi menunjukan keberadaan Damang Kepala Adat masih tetap ada dalam realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Dayak di Palangkaraya. Eksistensi Damang Kepala Adat yang dimaksud adalah keberadaan Damang Kepala Adat secara kenyataan (defacto) dan
37
adanya pengakuan secara yuridis (de-jure) terhadap kedudukan Damang Kepala Adat. Keberadaan Damang Kepala Adat secara de-facto mengandung arti bahwa Damang Kepala Adat benar-benar ada dan masih ditaati oleh masyarakat adat kedemangan. Menurut Abdurrahman bahwa eksistensi lembaga kedemangan sebagai lembaga adat yang dikenal khusus bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan peranan Damang selaku Kepala Adat dalam membina dan mengembangkan hukum adat Dayak cukup penting. 27 Secara umum yang paling besar peranannya adalah Damang selaku kepala adat dari masyarakat yang bersangkutan dimana ia akan bertindak selaku pimpinan yang menjalankan kegiatan fungsi peradilan. 28 Bagi orang-orang Dayak sendiri telah merata suatu kepercayaan menganggap lembaga kedemangan ini adalah suatu lembaga asli yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Suatu eksistensi peranan Damang sudah teruji mampu menyelesaikan berbagai perkara yang terjadi dikalangan suku Dayak sebagaimana telah dikukuhkan dalam musyawarah perdamaian Tumbang Anoi pada tahun 1894 silam. Karena itu secara historis keberadaan Damang Kepala Adat ini bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat Dayak di Palangkaraya, sehingga tetap dipelihara dan dipertahankan bersama oleh masyarakat dengan menyatakan dirinya dalam bentuk suatu lembaga kedemangan. Dalam kenyetaannya lembaga ini diakui dan diterima oleh masyarakat untuk menangani perkara-perkara yang terjadi dalam masyarakat, baik secara mandiri maupun secara sinergis, sehingga baik Damang maupun Mantir Adat secara secara sosiologis dapat melaksanakan fungsinya sebagai Hakim Perdamaian Adat. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa para Damang dan Mantir Adat merupakan ujung
27 28
H.Abdurrahman, (a), 2002, op cit, hal.1. Tim Peneliti Fakultas Hukum Unlam, 1990, op cit, hal.6.
38
tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas keadatan, sehingga sangat wajar apabila pemerintah daerah merasa perlu untuk melestarikan lembaga adat kedemangan ini, karena dinilai sebagai satu-satunya lembaga adat warisan asli daerah Kalimantan Tengah. 2. Konsep Damang Kepala Adat Damang adalah pimpinan adat dari suatu kedemangan yang berfungsi sebagai kepala adat dan sekaligus sebagai pembina hukum adat dalam wilayah kedemangan. Damang Kepala Adat diakui oleh masyarakat sebagai pimpinan adat kedemangan yang memiliki kesatuan wilayah hukum adat, dan tradisi yang sama secara temurun-temurun. Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah “Damang” diartikan sebagai kepala distrik atau wedana pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, atau gelar kepala daerah. Hal itu menunjukan bahwa istilah Damang itu sudah dikenal dalam bahasa Indonesia dan telah dipergunakan untuk menyebutkan jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan. 29 Tjilik Riwut dalam tulisannya yang berjudul “Kalimantan Membangun” 30 menyatakan adanya Damang Kepala Adat sebagai pengganti pejabat kepala-kepala suku Dayak zaman purba seperti (temanggung, damang, dambung, raden patih, ngabe, singa, mantir puluhan) yang dikukuhkan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1938 sebagai tindakan rehabilitasi sekaligus pengakuan terhadap adat istiadat leluhur orang Dayak. Menurut pakar hukum adat Hilman Hadikusuma, bahwa jabatan Damang ini berasal dari buatan Belanda yang sekarang kedudukannya agak lemah, dikarenakan tidak berfungsi lagi sebagai penguasa tunggal atau sebagai hakim tinggi terhadap kasus yang diajukan oleh penghulu adat. Hadikusuma juga menyebutkan bahwa Damang itu 29
30
Akarmedia, 2003, Kamus Lengkap Praktis Bahasa Indonesia, Surabaya, hal.245-246. Tjilik Riwut,1979, op cit, hal. 384.
39
ada di daerah Paju Epat(Barito Timur) Kalimantan Tengah. Damang di pilih oleh kumpulan penghulu adat dan pembakal dalam suatu lingkungan adat dan menerima gajih dari pemerintah. 31 Kemudian Nathan Ilun, menyatakan bahwa Damang Kepala Adat adalah pucuk pimpinan disegala urusan adat bertanggung jawab dalam bidang pengawasan, penuntutan peradilan dan pelestarian lingkungan dibantu oleh let adat. Mengenai peranan Damang Kepala Adat itu sendiri, jika dulunya sebagai “Hakim Peradilan Perdata Adat” dirobah menjadi “Hakim Perdamaian Adat” mengingat dan menyadari penerapan kesatuan hukum nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah. 32 Damang Kepala Adat adalah pimpinan lembaga kedemangan yang berfungsi sebagai kepala adat, berkedudukan di Kecamatan yang berwenang melindungi warganya dari pengaruh luar. Pasal 1 angka (24) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 menyatakan bahwa Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan ketua kerapatan adat yang berfungsi sebagai penegak hukum adat, yang diangkat
dan
dipilih
berdasarkan
hasil
pemilihan
oleh
beberapa
desa/kelurahan/kecamatan yang termasuk dalam wilayah kedemangan tersebut”. 33 Pada saat ini peranan Damang Kepala Adat disamping sebagai Hakim Perdamaian Adat, Damang juga membantu memperlancar pembangunan daerah terutama dibidang adat istiadat dan budaya daerah. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Damang Kepala Adat adalah merupakan pimpinan informal yang ketokohannya masih sangat dominan sebagai pemimpin masyarakat hukum adat di Palangkaraya. 3. Konsep Hakim Perdamaian Adat
31
Hilman Hadikusuma,(b),1977, Ensiklopedi Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia, Alumni, Bandung, hal.48. 32 Y.Nathan Ilun,1987, op cit, hal.64. 33
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, op cit, hal.7.
40
Istilah “Hakim Perdamaian Adat” bukanlah istilah teknis yuridis yang baku di gunakan secara resmi dalam peraturan perundang-undangan, melainkan istilah yang umumnya digunakan dalam dunia akademis. Itu sebabnya kalau ada anggapan bahwa Hakim Perdamaian Adat adalah suatu jabatan khusus yang melaksanakan tugas hakim, yang mempunyai kantor khusus seperti hakim pada lembaga peradilan umumnya, jelas adalah suatu anggapan yang keliru. Penyelesaian perkara dilakukan oleh lembaga Hakim Perdamaian Adat tentu saja tidak membutuhkan prosedur-prosedur formal seperti yang terjadi di pengadilan umum. Istilah “Hakim Perdamaian Adat” dalam penelitian ini ialah merupakan sinonim dari hakim-hakim di pedesaan (masyarakat kecil-kecil). Masyarakat Dayak di Palangkaraya juga terdapat lembaga-lembaga adat yang selama ini berfungsi secara simbolisasi dan kultural misalnya, lembaga kedemangan dengan peran Damang Kepala Adat dalam menyelesaikan perkara diantara warga masyarakat lokal hingga saat ini masih tetap hidup. Dengan demikian, setiap komunitas masyarakat hukum adat telah berdaulat atas wilayah adatnya masing-masing. Dari pendekatan historis dan budaya Von Savigny dan Eungen Ehrlich, mengelompokan fenomena hukum seperti itu sebagai “The Living Law” (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang berasal dari kenyataan sosial dan tidak tergantung pada otoritas negara. 34 Sehingga untuk mengatur hubungan timbal balik antar sesama warganya Hakim Perdamaian Adat tidak tergantung pada institusi pemerintah modern, melainkan bekerja secara otonom untuk memberikan jawaban atas perkara-perkara yang
34
Kajian Tentang The Living Law dapat dibaca dalam karya Roger Cotterrell, 1984, “The Sosiology of Law : An Introduction”, Butterworths, London, hal.34.
41
dihadapinya dalam keputusannya berpedoman kepada suatu asas hukum adat yang bersifat rukun dan patut. Untuk di Palangkaraya kedemangan termasuk dalam kwalifikasi lembaga peradilan adat, sehingga yang melaksanakan fungsi sebagai Hakim Perdamaian Adat adalah dilakukan oleh Damang Kepala Adat. Adanya istilah “Hakim Perdamaian Adat” yang dimaksud adalah suatu penyelesaian perkara secara perdamaian adat dilingkungan masyarakat suku Dayak di Palangkaraya. Hakim Perdamaian Adat mempunyai kewenangan memeriksa, menyidik, mengadili dan memberikan sanksi adat terhadap warga yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum adat setempat. Menurut Hilman Hadikusuma bahwa peradilan adat (adatrechtspraak) yaitu suatu peradilan diluar pengadilan negara yang berdasarkan hukum adat atau kebiasaan setempat yang sifatnya sederhana, yang hingga saat ini masih hidup dalam masyarakat adat. 35 Hakim Perdamaian Adat (hakim adat) peranannya bukan saja sebagai penengah tetapi juga sebagai pemakat diantara masyarakat yang berbeda hukum adat dan kepentingan hidupnya. Sistem peradilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat adat yang bersangkutan. Proses penyelesaian secara perdamaian lazimnya disebut “Hakim Perdamaian Adat” atau sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) UU Darurat No 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil, yang menyatakan bahwa Pasal ini tidak sedikitpun mengurangi hak kekuasaan yang selama ini diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa (hakim adat) sebagaimana dimaksud dalam pasal 3a RO. 36
35
Hilman Hadikusuma, (a),1994, op cit, hal. 216.
36
Tjok Istri Putra Astiti, 1997, op cit , hal.4.
42
Adanya penegasan demikian menunjukan eksistensi Peradilan Desa dan kewenangan Hakim Perdamaian Adat tetap diakui secara hukum. Dengan demikian hakim-hakim yang dimaksud dapat mengadili perkara adat menurut hukum adat setempat. Kenyataannya ini menunjukan bahwa Damang Kepala Adat dalam fungsinya sebagai Hakim Perdamaian Adat dapat menyelesaikan masalah perselisihan, sengketa dan konflik menurut ketentuan hukum adat yang berlaku. Penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat ini masih sangat memungkinkan di tumbuh kembangkan dalam kehidupan masyarakat Dayak di Palangkaraya, karena keadilan dapat diperoleh pada pengadilan yang menjalankan fungsi sebagai pengayom. Dengan demikian model penyelesaian perkara secara damai atau perdamaian adat menjadikan institusi adat sebagai tempat adjudikasi secara lokal, terus diusahakan supaya dapat berjalan secara wajar. 4. Konsep Suku Dayak Dayak sebuah istilah dari beragam istilah yang digunakan, seperti “Daya, Dajaks, dan Dya”. Para pakar antropologi Belanda dulunya di pulau Kalimantan terdapat suku Dayak besar yang terbagi ke dalam anak suku yang tersebar di seluruh pulau Kalimantan. Hudson, menyatakan penamaan “Dayak” adalah nama sebutan yang diberikan kemudian oleh bangsa Belanda untuk menyebut kelompok etnis Boerneo yang tidak beragama Islam. Ch.F.H.Dumont, menyatakan orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati. Dr.August Hardeland yang menyusun kamus DayakJerman”Dajaksches Woterbuch” Amsterdam 1859, 37
istilah Dayak adalah untuk
menyebut suku-suku asli yang mendiami pulau Kalimantan di perkenalkan oleh Dayak adalah sebutan nama untuk menyebut penduduk asli Kalimantan, tetapi bukan berarti 37
Fridolin Ukur,(a),1971, Tentang Jawab Suku Dayak, BPK.Gunung Mulia, Jakarta, hal.52.
43
Dayak itu hanya satu, ada beragam kelompok suku, rumpun suku yang dapat disebut dengan istilah Dayak. Kemudian Tjilik Riwut, membagi suku Dayak itu ke dalam 7(tujuh) kelompok suku besar yang kemudian diperinci sampai dengan 405 sub suku kecil, yaitu : 1. Dayak Ngaju; terbagi dalam 4 suku kecil dan terbagi lagi dalam 90 suku paling kecil, yaitu : a. Dayak Ngaju, terbagi lagi dalam 53 suku kecil b. Dayak Maanyan, terbagi dalam 8 suku kecil c. Dayak Dusun, terbagi lagi dalam 8 suku kecil d. Dayak Lawangan, terbagi lagi dalam 21 suku kecil 2. Dayak Apu Kayan; terbagi lagi dalam 3 suku kecil dan dibagi lagi dalam 60 suku paling kecil, yaitu : a. Dayak Kenyah, terbagi dalam 24 suku kecil b. Dayak Kayan, terbagi dalam 10 suku kecil c. Dayak Bahau, terbagi dalam 11 suku kecil 3. Dayak Iban atau Dayak Laut: terbagi lagi dalam 11 suku kecil-kecil. 4. Dayak Klemantan atau Dayak Darat : terbagi lagi dalam 2 suku kecil dan terbagi lagi dalam 87 suku paling kecil, yaitu : a. Dayak Klemantan/Dayak Darat, terbagi lagi dalam 47 suku kecil b. Dayak Ketungau, terbagi lagi dalam 40 suku kecil 5. Dayak Murut; terbagi lagi dalam 3 suku kecil dan terbagi lagi dalam 44 suku paling kecil, yaitu : a. Dayak Murut, terbagi lagi dalam 29 suku kecil b. Dayak Idaan (Dusun) terbagi lagi dalam 6 suku kecil c. Dayak Tidung, terbagi lagi dalam 10 suku kecil 6. Dayak Punan; terbagi lagi dalam 3 suku kecil dan terbagi lagi dalam 52 suku paling kecil, yaitu : a. Dayak Basap, terbagi lagi dalam 20 suku kecil b. Dayak Punan, terbagi lagi dalam 24 suku kecil c. Dayak Ot, terbagi lagi dalam 5 suku kecil 7. Dayak Ot Danum; terbagi lagi dalam 61 suku kecil-kecil. 38 Selanjutnya oleh Nila Riwut, masyarakat suku Dayak itu dibedakan menjadi 6(enam) kelompok besar, 39 yaitu : Kenyah-Apu Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam kelompok besar itu terbagi lagi menjadi beberapa rumpun suku dan sub suku, seperti : Dayak Ngaju, Dayak Bakumpai, Dayak Maanyan, 38
39
Tjilik Riwut,1979, op cit, hal.250.
Nila Riwut, 2003, Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur, Pusaka Lima, Yogyakarta, hal.6.
44
Dayak Lawangan, Dayak Siang Murung, Dayak Ot Danum, Dayak Dusun, Dayak Bawo, Dayak Taboyan, Dayak Sampit, Dayak Katingan dan Dayak Kotawaringin. Kelompok suku Dayak inilah yang disebut penduduk asli Kalimantan Tengah. Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah sub suku Dayak Ngaju atau penduduk asli yang berada di Palangkaraya. Menurut Danandjaja, bahwa orang Dayak di Kalimantan mempunyai corak kesatuan kebudayaan, yang menurut pendapatnya adalah berdasarkan persamaan dalam beberapa unsur kebudayaan, prinsip keturunan yang berdasarkan sistem patrilinial, dengan hidup berdasarkan perladangan, upacara kematian bersifat potlatch dan agama asli yang berdasarkan pemujaan roh leluhur tercampur unsur animisme dan danimisme yang kemudian dikenal dengan nama agama Kaharingan. 40 Menurut Roedy Haryo Widjono, 41 sistem religi bagi masyarakat adat, selain merupakan dasar dan norma tingkah laku, juga memberi sumbangan yang besar terhadap lahirnya sejumlah adat istiadat dan budaya sebagai manifestasi eksistensi mereka.
C. Pandangan Para Ahli Untuk mendukung teori dan konsep yang di gunakan dalam kajian ini maka akan digunakan beberapa pandangan dari para ahli, yaitu : 1. Menurut R.Soepomo, salah satu pekerjaan Kepala Adat (kepala rakyat) yang sangat penting adalah pekerjaan sebagai Hakim Perdamaian Desa (hakim adat). Kepala Adat bertindak untuk memulihkan hukum dan berupaya merukunkan apabila ada perselisihan atau sengketa antara teman-teman sedesa satu sama lain, apabila ada perbuatan40
James Danandjaja,1975, Kebudayaan Kalimantan Tengah, Dalam Koentjaraningrat(ed) “Kebudayaan Indonesia”, PT.Pembangunan, Jakarta, hal.120. 41
Roedy Haryo Widjono,1998, Masyarakat Dayak Menetap Hari Esok, Grafindo, Jakarta, hal.20.
45
perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat. Tujuan utama ialah untuk mencapai penyelesaian sedemikian rupa, sehingga perdamaian adat dapat dipulihkan. Dari pandangan R.Soepomo tersebut mengandung makna bahwa kepala adat adalah bapak masyarakat, dia mengetuai persekutuan sebagai ketua suatu keluaga besar, dia adalah pemimpin pergaulan hidup di dalam persekutuan tersebut. Kepala adat bertugas memelihara hidup hukum di dalam persekutuan, menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya. Menurut R.Soepomo, aktivitas Kepala Adat (kepala rakyat) secara fungsional dapat dibagi menjadi tiga pasal, 42 yaitu : a. Hal campur tangan kepala adat dalam urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian erat antara tanah dan persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah itu; b. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum, supaya hukum dapat berjalan semestinya; c. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum itu dilanggar. Sebagai pemegang hukum, kepala adat di dalam segala tindakannya dan di dalam memegang adat itu, seorang kepala adat wajib memperhatikan
adanya
perubahan-perubahan, adanya pertumbuhan hukum, ia harus memperhatikan lahirnya kebutuhan-kebutuhan baru, adanya perubahan-perubahan keadaan, sehingga dibawah pimpinan dan
pengawasan kepala adat, hukum adat tumbuh dan berkembang
sebagaimana mestinya. Dengan pendek kata, tidak ada satu lapangan pergaulan hidup di dalam badan persekutuan yang tertutup bagi kepala adat untuk ikut campur bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamaian, keseimbangan lahir dan batin untuk menegakan hukum.
42
Sifat Pimpinan Rakyat (kepala adat), menurut Soepomo, Suatu Pekerjaan Lain Dari Kepala Adat(Kepala Rakyat) Yang Sangat Penting Ialah Pekerjaan Sebagai Hakim Perdamaian Desa (Dorpsjustitie). Lihat R.Soepomo, 2007, “op cit”, hal.65-70.
46
2. Menurut Tjok Istri Putra Astiti, ada beberapa petunjuk bagi para Hakim Perdamaian Desa dalam penyelesaian kasus adat secara damai. Berkaitan dengan itu, beberapa petunjuk di bawah ini dapat dijadikan pedoman oleh para Hakim Perdamaian Desa (hakim adat), 43 dalam melaksanakan tugas-tugasnya. a. Hakim Perdamaian Desa harus berusaha mengarahkan para pihak supaya mau saling mengerti, saling memberi dan menerima, saling menjaga perasaan satu sama lain, saling berkorban dan saling memaafkan; b. Hakim Perdamaian Desa perlu mengetahui bahwa penyelesaian kasus menurut adat tidak bertujuan menetapkan “kalah-menang” melainkan mengembalikan keadaan harmonis yang terganggu, sehingga masing-masing pihak dapat hidup bersama kembali dalam kehidupan dan ikatan keseluruhan secara tenang, tentram dan sejahtera; c. Hakim Perdamaian Desa harus menempatkan status para pihak pada tempatnya, supaya para pihak tidak jatuh kealam rasa malu; d. Hakim Perdamaian Desa harus berusaha memberi pemecahan terhadap persoalan para pihak berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat, sehingga pemecahan yang diberikan dapat memuaskan masyarakat dan para pihak; e. Dalam mencari pemecahan terhadap persoalan adat tersebut, hakim perdamaian desa perlu berpedoman pada pengalaman dimasa lampau. Untuk itu, Hakim Perdamaian Desa perlu minta nasihat atau petunjuk kepada tetuatetua adat yang sudah berpengalaman; f. Hakim Perdamaian Desa juga perlu memperhatikan keadaan-keadaan yang telah berubah dan berusaha memahami rasa keadilan dan kepatutan yang hidup pada masyarakat di saat itu. Dengan demikian, kompetensi atau kemampuan para Hakim Perdamaian Desa (hakim adat) yang memimpin sidang Peradilan Desa sangat diperlukan, agar bisa diperoleh penyelesaian perkara terbaik mengacu asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan. Sasaran utama dari asas ini adalah supaya para pihak dan masyarakat dapat menerima dan merasa puas terhadap pemecahan yang diberikan.
1.6.2. Kerangka Berpikir
43
Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa, menurut Astiti Hakim Perdamaian Desa sangat penting dalam menyelesaikan kasus-kasus adat secara damai, Lihat Tjok Istri Putra Astiti, 1997, “op cit”, hal.1112.
47
Berdasarkan landasan teoritis di atas maka dijelaskan kerangka berpikir yang digunakan dalam penulisan tesis. Teori yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) dari Lawrence M. Friedman dan Ajaran Mengenai Penanganan Perkara Adat dari Moh.Koesnoe. Kedua teori inilah yang digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah dan menganalisis permasalahan yang akan dikaji. Adapun yang menjadi kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah bertolak dari anggapan bahwa Eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dalam masyarakat Dayak di Palangkaraya dari dulu hingga sekarang masih eksis dan tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Akan tetapi akhir-akhir ini tugas dan peranan dari para Damang Kepala Adat ini mulai semakin melemah dan mengalami kemerosotan, sedangkan untuk daerah pedalaman menurut informasi masih tetap kuat. Menghadapi kenyataan demikian, maka perlu adanya kajian mengenai eksistensi Damang Kepala Adat ini pada masa sekarang. Secara garis besar, kerangka berpikir tersebut tampak seperti gambar berikut ini.
48
Kerangka Berpikir Penelitian Eksistensi Damang Sebagai Hakim Perdamaian Adat Di Palangkaraya
KETENTUAN HUKUM TENTANG DAMANG KEPALA ADAT
IMPLEMENTASI
KEDUDUKAN
KEWENANGAN
KEWENANGAN
DAMANG SEBAGAI
DAMANG
HAKIM
HAKIM
PERDAMAIAN
PERDAMAIAN ADAT
DAN
SEBAGAI
ADAT
BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DAYAK DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEDUDUKAN DAN FUNGSI DAMANG HAKIM SEBAGAI PERDAMAIAN
ADAT
UPAYA PEMBERDAYAAN DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT 1. SECARA INTERNAL 2. SECARA EKSTERNAL
Keterangan kerangka berpikir: = Garis yang menandakan hubungan serta pengaruh antara satu variabel yang lainnya.
variabel dengan
49
2.7. Metode Penelitian 2.7.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris, (penelitian hukum empiris). Penelitian hukum empiris beranjak dari adanya kesenjangan antara (das Sollen and das Sein) yaitu kesenjangan antara teori dengan dunia realita. 44 Soetandyo Wignjosoebroto sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono menyatakan aspek penelitian hukum empiris juga disebut sebagai non-doctrinal research atau sociolegal research. 45 Penelitian hukum empiris berpijak dari adanya kesenjangan antara norma hukum yang ada dengan pelaksanaannya dalam masyarakat. Adanya kesenjangan antara ketentuan hukum yang mengatur kedudukan dan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dengan implementasinya di lapangan masih belum sepenuhnya dapat di realisasikan dengan baik. 2.7.2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya menggambarkan permasalahan secara rinci dan menganalisis permasalahan tersebut secara kritis permasalahan tentang eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dan upaya pemberdayaannya. Terkait hal tersebut, kajian ini akan difokuskan pada aspek kelembagaan, lingkup kewenangan, proses penerapan hukum adat, pandangan masyarakat, edukasi terkait dengan fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat. 2.7.3. Jenis data dan Sumber data
44
Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal.32-33. 45
Bambang Sunggono,2003, Metodelogi Penelitian Hukum, CV.Rajawali Pers, Jakarta, hal.43.
50
Jenis data yang digali dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer diperoleh melalui hasil penelitian lapangan (field research) yaitu data yang diperoleh dari informan berupa informasi-informasi yang terkait dengan pokok permasalahan. Sumber data sekunder diperoleh dari hasil kepustakaan (library Research). Data sekunder berupa bahan-bahan hukum, baik bahan primer maupun bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 46 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terkait dengan masalah yang dikaji, yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Peradilan-peradilan Sipil, Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, berupa bahan-bahan kepustakaan hukum di antaranya buku literatur, hasil penelitian, makalah, tesis, disertasi, dokumen internal dari Damang Kepala Adat seperti monografi desa, keputusan-keputusan kedemangan dan peraturan hukum adat yang terkait maupun hasil penelitian-penelitian terdahulu yang sangat mendukung dalam penulisan tesis ini dan bahan hukum tersier seperti kamus hukum yang digunakan untuk menjelaskan bahan-bahan hukum yang ditulis. 2.7.4. Teknik Pengumpulan Data
46
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV.Rajawali, Jakarta, hal.14-15.
51
Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan studi kepustakaan. a. Metode Wawancara Metode wawancara merupakan cara yang dipergunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan keterangan tentang permasalahan yang ingin diteliti. Wawancara dilakukan terhadap responden Edi (camat Pahandut), Nuraini Mahmuddin (camat Sabangau), Suhardi Monong (Damang Pahandut), Basel A.Bangkan (Damang Sabangau), Sulman Jungan(Damang Jekan Raya), Willy Bungai(Mantir Adat), Siun Ibat(Mantir Adat), dan Sabran Ahmad(ketua Majelis Adat). Selanjutnya wawancara dengan para informan (Salim, Efrida D.Luhing dan Talisman D.Daya) mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kedemangan dan peranan Damang Kepala Adat dalam masyarakat Dayak. Ada dua macam wawancara yang digunakan disini, yaitu wawancara terstruktur yang dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah disiapkan terlebih dahulu dan wawancara secara bebas dan mendalam mengenai pandangan, pengalaman, pendapat dan pengetahuan serta penilaian para responden dan informan tentang pokok permasalahan yang diteliti. Hal tersebut berangkat dari pada pandangan Nawawi, yang menyatakan dalam pengumpulan data diperlukan alat instrument yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap. 47 Pengumpulan data dengan teknik wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang bersifat terbuka dan terstruktur telah dipersiapkan sebelumnya. b. Studi Kepustakaan
47
Nawawi Hadari dan Martini Hadari,1992, Instrument Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal.69.
52
Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh data yang sifatnya sekunder yakni dengan membaca berbagai literatur yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. Bahan kepustakaan tersebut yaitu berupa : buku literatur, karya ilmiah, laporan penelitian, putusan-putusan kedemangan dan dokumen-dokumen yang relevan, diperoleh dari bagian perpustakaan daerah dan lembaga kedemangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Nasution,mengatakan kajian kepustakaan bermanfaat untuk melakukan penelusuran dan penelaahan referensi. 48 Sebagai alat dalam pengumpulan data sekunder selain peneliti sendiri, juga digunakan alat bantu yang oleh Moleong, disebut sebagai catatan lapangan (field notes) catatan lapangan tersebut memuat ringkasan-ringkasan informasi yang berhasil dijaring. 49 2.7.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposif sampling yaitu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Penelitian dilakukan di Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah, yang meliputi 5(lima) kedemangan, yaitu: 1)kedemangan Pahandut, 2)kedemangan Bukit Batu, 3)kedemangan Jekan Raya, 4)kedemangan Sabangau, 5)kedemangan Rakumpit merupakan populasi penelitian. Mengingat keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka dalam penelitian ini ditetapkanlah 2(dua) Kedemangan sebagai sampel, yaitu kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau, dengan pertimabangan pertama, kedemangan Pahandut adalah kedemangan asli dan kedemangan Sabangau adalah kedemangan pemekaran. Kedua, kedemangan Pahandut letaknya di pusat kota dan kedemangan Sabangau letaknya diluar
48
49
S. Nasution, 2003, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta, hal.113.
Lexy J.Moleong,1994, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT.Remaja Rosadakarya,Bandung, hal.153.
53
kota. Walaupun sebenarnya antara kedemangan asli dan kedemangan pemekaran kondisinya relatif sama tidak terlepas dari pengaruh perubahan globalisasi. 2.7.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah terkumpul baik dari hasil penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif. Menurut Miles dan Huberman, dalam analisis kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. 50 Pada tahap pengolahan, data yang telah terkumpul dikategorikan dan dikwalifikasikan berdasarkan permasalahan penelitian, selanjutnya disusun secara sistematis sesuai dengan kerangka yang telah disiapkan sebelumnya. Pada tahap analisis, data yang telah dikategorikan dan dikwalifikasi dianalisis dengan mengaitkan data satu dengan data lainnya, yaitu dengan mencocokan, membandingkan, mengelompokan dan verfikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai yuridis, akademis dan ilmiah. Selanjutnya diadakan penafsiran data untuk dapat menghasilkan simpulan tentang permasalahan yang diajukan. Kemudian keseluruhan hasil analisis, selanjutnya disajikan secara deskriptif, yaitu dengan memaparkan secara lengkap segala persoalan yang terkait dengan masalah yang diteliti disertai dengan memberikan usulan-usulan secara kritis dalam bentuk tesis.
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LOKASI PENELITIAN DAN KEDEMANGAN DI PALANGKARAYA
2.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 2.1.1. Lokasi dan Geografi 50
hal.15.
Miles B Maatew & Machel Huberman,1992, Aanalisa Data Kualitatif, PT.Rosdakarya, Bandung,
54
Palangkaraya adalah merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Tengah tepatnya terletak di tengah-tengah wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Daerah Palangkaraya terletak antara 1030’-2024’ Bujur Timur dan 6040’-7020’ Lintang Selatan. Adapun yang menjadi batas-batas dari wilayah kota Palangkaraya adalah sebagai berikut : •
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas.
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau.
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau.
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Katingan.
Struktur administrasi Palangkaraya lokasinya sangat strategis karena berada dibantaran Sungai Kahayan, daerah titik temu dari berbagai jalur yang memasuki Palangkaraya baik dari arah Utara, Timur, Selatan dan Barat, yakni dilintasi jalan raya utama lintas Kalimantan. Karena lokasi pusat pemerintahan sangat strategis maka relatif mudah untuk menuju tempat tersebut. Ada beberapa jalur untuk bisa memasuki wilayah Palangkaraya, diantaranya melalui pintu masuk yang ada di bagian Selatan dari jalan lintas Kalimantan, dari arah Timur dari jalan lintas Kabupaten, sedangkan dari arah Barat melalui jalan Tjilik Riwut. Tersedianya berbagai jalur penghubung sebagaimana disebutkan di atas mengakibatkan wilayah Palangkaraya menjadi ramai dilalui oleh berbagai jenis kendaraan umum sekaligus sebagai jalur perhubungan sungai. Wilayah Palangkaraya tergolong daerah dataran dan memiliki ketinggian sekitar 20-25 meter dari permukaan laut, dengan hamparan daratan yang kondisi permukaan tanah agak berbeda. Peta wilayah Palangkaraya memperlihatkan gambaran wilayah yang membentang agak memanjang dari arah Utara ke bagian Selatan. Bagian Utara merupakan daerah berbukit dengan titik tertinggi di kawasan Bukit Tangkiling mempunyai ketinggian mencapai 40-60 meter di atas permukaan laut, daerah ini
55
termasuk dalam wilayah Kecamatan Bukit Batu. Sementara di bagian Selatan merupakan daerah dataran rendah dan berawa dengan ketinggian kurang dari 16-19 meter dari permukaan laut, daerah ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Sabangau. Wilayah Palangkaraya termasuk beriklim tropis dengan tife iklim B1, yaitu terdiri dari bulan basah dan bulan kering yaitu enam bulan kering dan enam bulan basah, dengan curah hujan rata-rata 266 mm pertahun, mendapat penyinaran matahari di atas 50%, serta memiliki suhu rata-rata 22-34 derajad Celcius dan kelembaban udara relatif tinggi dengan rata-rata diatas 80%. 51 Berdasarkan
peta
geologi
wilayah
Palangkaraya
terdiri
atas
formasi
Aluvium(Qa) dan formasi Batu Api(Trv). Formasi Aluvium(Qa) merupakan formasi yang tersusun dari bahan liat kaolinit dan debu bersisipan pasir, gambut, kerakal dan bongkahan lepas yang merupakan endapan sungai dan rawa. Sementara formasi Batuan Gunung Api(Trv) merupakan formasi yang tersusun dari batuan abreksi gunung api berwarna kelabu kehijauan dengan komponennya terdiri dari andesit. Jenis tanah yang ada di wilayah Palangkaraya juga mengikuti pola kondisi tofografinya. Di bagian Selatan jenis tanah yang dominan adalah tanah gambut dan tanah Aluvial. Sedangkan di sebelah Utara wilayah Palangkaraya di dominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning, Podsol dan Alluvial. Sedangkan pada daerah-daerah pinggiran sungai umumnya didominasi oleh tanah Alluvial yang berasal dari endapan sungai. Daerah Palangkaraya juga dialiri oleh tiga buah Sungai, baik Sungai Besar maupun Sungai Kecil yang mengalir dari arah Utara ke Selatan yang sekaligus juga merupakan sarana perhubungan
51
Pemerintah Kota Palangkaraya, 2007,“Membangun Kota Palangkaraya, Evaluasi 50 Tahun Pembangunan Kota Palangkaraya”, hal.4-III.
56
yang utama bagi penduduk. Sungai-sungai tersebut antara lain adalah Sungai Kahayan, Sungai Rungan dan Sungai Sabangau. 52 Keadaan tanah di kawasan pusat kota Palangkaraya adalah berpasir dan bergambut serta memiliki keasaman tanah yang cukup tinggi maka kegiatan bercocok tanam dan pertanian kurang cocok dengan kondisi tanah yang demikian keculi jenis tanaman nenas, jambu mente dan sawit sangat cocok. Sebagian tanah-tanah yang lainnya ditumbuhi semak belukar dan berbagai kayu hutan kemudian banyak sekali tanah terlantar apabila dimusim kemarau sering terjadi kebakaran hutan. Akan tetapi sejak dasawarsa belakangan ini areal-areal tanah tersebut diatas telah mengalami perubahan fungsi yang demikian cepat, dimana areal-areal tanah yang kuarang produktif itu telah dimanfaatkan oleh para pengembang (developer) untuk membangun perumahan modern, rumah barak, ruko dan bangunan lainnya. Pada wilayah-wilayah inilah sekarang dapat disaksikan bertebaran bagunan-bangunan baru, terutama yang dibangun oleh para pengembang sebagai kawasan perumahan moderen. Kenyataannya ketika memasuki wilayah Palangkaraya akan nampak berjejer kawasan rumah toko dan rumah-rumah modern, sulit mengenal bentuk perkampungan tradisional karena rata-rata berwajah modern. Jadi dalam konteks ini penduduk asli Palangkaraya menghadapi lingkungan masyarakat dengan berbagai latar belakang perbedaannya yang sangat sarat diwarnai perkembangan multikultur.
2.1.2. Keadaan Penduduk Penduduk yang ada di Palangkaraya terdiri dari penduduk asli dan penduduk pendatang. Penduduk asli di daerah ini adalah suku Dayak Ngaju, kemudian juga dihuni
52
Ibid, hal.5-III.
57
oleh suku Dayak lainnya, seperti Dayak Maanyan, Dayak Lawangan, Dayak Siang Murung, Dayak Dusun, Dayak Bawo, Dayak Taboyan, Dayak Bakumpai, Dayak Katingan, Dayak Kotawaringin, Dayak Ot Danum, Dayak Sampit, Dayak Lamandau, Dayak Bulik, Dayak Menthobi dan Dayak Seruyan, yang sebenarnya masih termasuk dalam rumpun suku Dayak Ngaju. 53 Dalam kehidupan bermasyarakat untuk lebih mudah dan lancarnya komunikasi maka mereka menggunakan bahasa Dayak Ngaju (Biaju) yang digunakan oleh penduduk asli sebagai bahasa persatuan, sedangkan bagi penduduk pendatang pada umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai persatuan dan mudah dimengerti oleh semua orang penduduk disana. Mengenai mata pencaharian penduduk asli di daerah ini adalah lebih banyak sebagai petani, buruh jasa, peternak, dagang, karyawan swasta dan pegawai negeri sipil. Akan tetapi secara umum penduduk Palangkaraya sangat di dominasi oleh pegawai negeri, pelajar dan mahasiswa. Sehingga Palangkaraya selama ini sering dijuluki sebagai kota pegawai dan kota pelajar. Selain penduduk asli suku Dayak juga terdapat penduduk pendatang, mereka ini terutama sekali adalah orang Melayu Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan jumlah mereka cukup banyak dan kebanyakan mereka menjadi pedagang dan biro jasa angkutan kota. Selain itu masih ada golongan pendatang lainnya seperti orang Jawa, Madura, Bali, dan lain-lain. Sebagaimana diketahui bahwa di Basarang Kabupaten Kapuas tahun (1960-an) telah didatangkan transmigrasi dari Jawa dan Bali. Kemudian pada tahun 1978 pembukaan daerah transmigrasi di Pangkoh Kabupaten Kapuas mulailah gelombang yang cukup besar kedatangan dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selanjutnya tahun 1987 adanya mega proyek PLG di Kalimantan Tengah, didatangkanlah transmigrasi dari daerah Jawa, Sunda, Bima, Lombok, Plores untuk 53
James Danadjaja,1975, op cit, hal.120.
58
menempati lahan gambut satu juta hektar yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.54 Dapat dipastikan hampir semua suku bangsa di tanah air turut mewarnai hetrogenitas penduduk Palangkaraya. Diperkirakan saat ini antara penduduk asli dengan penduduk pendatang sudah mulai berimbang. Berdasarkan data yang dilakukan oleh Kantor Statistik Kota Palangkaraya pada tahun 2010 jumlah penduduk Palangkaraya saat ini berjumlah 220.223 jiwa, dengan perincian terdiri 112.369 jiwa penduduk yang berjenis klamin laki-laki, dan 109.854 jiwa penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Sementara kepadatan penduduk masih tergolong jarang, hanya sekitar 73 orang per-km2 dengan penyebaran penduduk yang tidak merata, sebagian besar penduduk terkosentrasi pada dua wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Pahandut dan Kecamatan Jekan Raya. Hal ini dapat dipahami karena posisi kedua Kecamatan tersebut termasuk pusat perkotaan erat kaitannya dengan pembangunan Palangkaraya sebagai pusat pemerintahan dan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam dasawarsa terakhir ini perkembangan penduduk Palangkaraya sangat pesat, dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1: Perkembangan Penduduk Palangkaraya antara Tahun 2001-2010 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 54
Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk 171.714 179.732 168.449 182.264 183.251 182.802 188.123 191.014 200.998 220.223
Kepadatan Per - Km2 71,55 74,89 62,89 68,05 68,42 68,25 70,23 71,31 75,04 75,09
Amu Lanu A Lingu, 2001, Menjawab Tantangan Terjadinya Kerusuhan di Kalimantan Tengah, Pusat Penelitian Kebudayaan Dayak Lembaga Penelitian Universitas Palangkaraya dengan Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya, hal.31.
59
Sumber : Kantor Statistik Kota Palangkaraya Dari data tersebut di atas, terlihat bahwa laju pertumbuhan penduduk di Palangkaraya tergolong cukup tinggi. Lajunya pertumbuhan penduduk di daerah ini terutama sekali akibat tingginya arus migran dari luar daerah yang masuk ke daerah ini. Daya tarik lain kedatangan para migran, karena daerah ini kaya akan sumber daya alam, juga telah dibukanya usaha perkebunan besar seperti karet, kelapa sawit dan tambang batubara, daya tarik berikutnya karena adanya kesempatan kerja disegala bidang telah terbuka luas dan cukup menjanjikan bagi kesejahteraan hidup. Untuk mengetahui jumlah penduduk Palangkaraya berdasarkan wilayah Kecamatan dapat dilihat pada tabel 2 berkut ini.
Tabel 2: Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Palangkaraya No
Kecamatan/Kelurahan
Luas Daerah
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk(Km2)
60
1.
2.
3.
4.
5.
Pahandut : 117,25 66.316 1. Pahandut 9,50 22.086 2. Panarung 23,50 18.310 3. Langkai 10,00 19.898 4. Tumbang Rungan 23,00 580 5. Tanjung Pinang 44,00 2.342 6. Pahandut Seberang 7,25 3.100 Sebangau : 583,50 12.709 1. Kereng Bangkirai 270,50 5.002 2. Sebagau 152,25 2.829 3. Kalampangan 46,25 3.013 4. Kameloh Baru 53,50 655 5. Bereng Bengkel 18,50 993 6. Danau Tundai 42,50 217 Jekan Raya : 352,62 97.411 1. Menteng 31,00 34.263 2. Palangka 24,75 38.876 3. Bukit Tunggal 237,12 22.547 4. Petuk Katimpun 59,75 1.725 Bukit Batu : 572,00 11.678 1. Marang 124,00 879 2. Tumbang Tahai 48,00 2.008 3. Banturung 72,00 3.332 4. Tangkiling 62,00 2.761 5. Sei Gohong 89,00 1.361 6. Kanarakan 105,50 461 7. Hambaring Hurung 71,50 876 Rakumpit : 1.053,14 2.900 1. Petuk Bukit 283,67 794 2. Pager 193,35 322 3. Panjehang 39,43 256 4. Gaung Baru 59,08 205 5. Petuk Barunai 147,10 553 6. Mungku Baru 187,25 542 7. Bukit Sua 143,26 228 Sumber: Kota Palangkaraya Dalam Angka Tahun 2010.
565,59 2.324,84 779,15 1.989,80 25,22 53,23 427,59 21,78 18,49 18,58 65,15 12,24 53,68 5,11 276,25 1.105,26 1.570,75 95,09 28,87 20,42 7,09 41,83 46,28 44,53 15,29 4,37 12,25 2,75 2,80 1,67 6,49 3,47 3,76 2,89 1,59
Berdasarkan data yang tertera dalam tabel 2 di atas, menggambarkan jumlah dan kepadatan penduduk per-km2 berdasarkan Kecamatan yang ada dalam wilayah administrasi Kota Palangkaraya. Jumlah penduduk terbanyak lebih terkosentrasi pada dua Kecamatan, seperti Kecamatan Jekan Raya dengan penduduk 97.411 jiwa dan Kecamatan Pahandut dengan penduduk 66.316 jiwa. Selanjutnya Kecamatan Sebangau
61
12.709 jiwa dan Kecamatan Bukit Batu 11.678 jiwa jumlah penduduknya relatif berimbang. Kemudian jumlah penduduk yang paling sedikit adalah di Kecamatan Rakumpit 2.900 jiwa, hal ini dapat dimaklumi karena Kecamatan Rakumpit baru dimekarkan dan letaknyapun jauh diluar perkotaan. Berikutnya untuk mengetahui komposisi penduduk kota Palangkaraya berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3: Komposisi Penduduk Palangkaraya Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur. Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ Jumlah
10.644 9.205 8.811 9.827 8.586 8.707 8.737 7.187 6.032 4.407 4.961 3.082 1.974 1.013 601 617 94.391
8.354 8.539 9.352 10.390 11.690 9.782 7.728 8.104 6.218 5.187 4.766 2.269 1.358 1.068 492 1.326 96.623
Laki-laki + Perempuan 18.998 17.744 18.163 20.217 20.276 18.489 16.465 15.291 12.250 9.594 9.727 5.351 3.332 2.081 1.093 1.943 191.014
Prosentese 9,95 9,29 9,51 10,58 10,61 9,68 8,62 8,01 6,41 5,02 5,09 2,80 1,74 1,09 0,57 1,02 100,00
Sumber: Kota Palangkaraya Dalam Angka Tahun 2010 Bahwa tabel 3 di atas, menunjukan adanya populasi yang berimbang antara penduduk yang berjenis kelamin Laki-laki 94.391 Jiwa (49,51%) dengan penduduk yang berjenis kelamin Perempuan 96.623 jiwa (50,49%). Komposisi penduduk yang tergolong usia produktif sekitar umur (25-50) tahun distribusinya relatif berimbang. Angka yang cukup tinggi sekitar 10,58% hanya terjadi pada dua peringkat umur yang tergolong produktif, yakni pada umur 15 sampai dengan 24 tahun. Sedangkan peringat
62
umur 50 sampai dengan 60 tahun (golongan umur produktif lainnya) hanya mencapai angka rata-rata sekitar 2,80%.
2.1.3. Agama dan Kepercayaan Salah satu persoalan penting dan cukup menentukan dalam kehidupan masyarakat Dayak adalah sistem religinya. Menurut Roedy Haryo Widjono, sistem religi bagi masyarakat adat, selain merupakan dasar dan norma tingkah laku, juga memberi sumbangan yang besar terhadap lahirnya sejumlah adat sebagai manifestasi eksistensi mereka. 55 Mengenai kepercayaan leluhur nenek moyang orang Dayak adalah dikenal dengan istilah Kaharingan atau agama Kaharingan. Selanjutnya H.Scharer, menyebutkan agama yang dianut oleh masyarakat Dayak dengan sebutan Ngaju Religion sedangkan secara umum bagi masyarakat Dayak di Kalimatan Tengah agama yang mereka anut di sebut agama Kaharingan. 56 Menurut Sarwoto Kartodiporo, Kaharingan adalah kepercayaan suku Dayak di wilayah pedalaman Kalimantan yang merupakan salah satu sisa-sisa tata kehidupan kerohanian nenek moyang kita di zaman purba. 57 Dipergunakannya istilah Kaharingan ini adalah sebagai suatu penamaan untuk agama asli nenek moyang suku Dayak di pulau Kalimantan yang hingga kini masih dianut oleh sebagian suku Dayak di Palangkaraya. Mengenai istilah Kaharingan itu sendiri berasal dari kata “haring” artinya hidup atau kehidupan, selanjutnya kata haring mendapatkan awalan “ka” dan akhiran “an” menjadi Kaharingan mengandung 55
Roedy Haryo Widjono,1998, op cit,hal.20.
56
Hans Scharer,1963, Ngaju Religion, The Conception of God Among A South Borneo People, Translation Series 6, Koninklijk Instituut Voor Taal, Land En Volkenkunde, hal.170. 57
Sarwoto Kartodiporo,1963, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Pehuluan Kalimantan, Sumur, Bandung, hal.80.
63
pengartian yaitu kehidupan yang tidak berawal dan tidak berakhir atau kekal abadi. Dalam pengertian kamus Dayak, terutama dalam hubungan kepercayaan yang erat sekali dengan roh yang disebut liau haring Kaharingan (dalam bahasa Dayak Ngaju) atau adiau dalam bahasa Dayak Maanyan. Istilah Kaharingan ini biasanya dipakai dalam bahasa sangiang nyalung Kaharingan belom yang artinya adalah air kehidupan. Sebab itu dalam upacara-upacara kematian maka tubuh yang mati itu akan dimandikan atau diminyaki dengan nyalung kaharingan belom, dengan suatu kepercayaan bahwa anak liau (roh yang meninggal) terlebih dahulu dimandikan pada tujuh buah telaga air, dengan demikian roh (salumpuk liau) menjadi suci di hidupkan kembali pada alam yang kekal di lewu tatau (sorga). Menurut Fridolin Ukur, agama Kaharingan itu adalah tidak lain dari pada agama suku dan kepercayaan suku Dayak. 58 Dengan adanya kristenisasi yang gencar dikembangkan oleh para misionaris, yang menganggap Kaharingan itu menyembah langit, menyembah bumi, menyembah dewa-dewa, menyembah berhala dan menyembah roh-roh nenek moyang sehingga dianggap itu bertentangan dengan nilai agama Kristen berakibat lunturnya keyakinan Kaharingan, sehingga banyak penganut kaharingan meninggalkan kepercayaan lama dengan menganut agama Kristen dan Islam. Dipihak lain karena sulit mendapat pembinaan dan pelayanan dari pemerintah, maka sejak tahun 1980 penganut agama Kaharingan ini bergabung dengan agama Hindu. Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama tanggal 28 April 1980 No : 37 /MA/203/1980 tentang penggabungan/Integrasi penganut agama Kaharingan ke dalam Agama Hindu Dharma Indonesia. Dengan
58
Fridolin Ukur,(b),1963,Tuaiannya Sungguh Banyak, Gereja Kalimantan Evanelis, Banjarmasin, hal.114.
64
demikian, secara pembinaan dan pengembangannya dilakukan oleh Kementerian Agama RI dan Pembimas Hindu untuk ditingkat daerah. Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan bahwa agama yang dianut penduduk Palangkaraya sangat kental bercirikan pluralisme agama, bahwa semua agama yang ada seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha juga ada dianut oleh masyarakatnya. Secara historis pula bahwa Desa Pahandut, Palangkaraya merupakan salah satu titik awal dari penyebaran agama Kristen yang ada di Kalimantan Tengah. Bersamaan dengan dibangunnya berbagai komplek perumahan diberbagai wilayah Palangkaraya, maka diikuti pula masuknya pendatang yang berasal dari berbagai daerah, yang sekaligus membawa ciri khas budayanya. Kenyataan itu menyebabkan karakteristik penduduk Palangkaraya menjadi semakin hetrogen serta mempengaruhi perkembangan multikultur penduduk Palangkaraya. Berdasarkan data yang dilakukan Kantor Departemen Agama Kota Palangkaraya pada tahun 2010, jumlah penduduk Palangkaraya adalah 220.223 orang, sekitar 13,3% penduduknya beragama Hindu, dan sekitar 86,7% yang beragama non-Hindu. Selanjutnya untuk mendapat gambaran yang semakin jelas tentang karakteristik penduduk dan agama yang dianutnya maka akan diketengahkan melalui tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4: Komposisi dan Prosentase Penduduk di Palangkaraya Berdasarkan Agama No
Agama
Jumlah
Prosentase
65
1.
Isla m
870.264
66,1 %
2.
Kristen Protestan
398.651
18,7 %
3.
Hindu/Kaharingan
184.634
13,3 %
4.
Katolik
28.937
1,8 %
5.
Budha
3.915
0,1 %
Jumlah 1.286.481 Sumber: Kantor Departemen Agama kota Palangkaraya
100,0 %
Dari tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa penganut agama Islam dan Kristen merupakan bagian terbesar dari penduduk di Palangkaraya. Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan bahwa hampir sebagaian besar dari penduduk Palangkaraya beragama Islam, yang merupakan sebagai penduduk pendatang seperti Melayu Banjar dan Jawa. Sementara pemeluk Kristen dan Katolik sebagaian besar merupakan ketururnan dari warga setempat, pada umumnya mereka bermukim dilingkungan kelompok-kelompok organisasi komunal setempat dan hidup bersama dengan warga yang beragama kaharingan lainnya. Warga Kristen Dayak tersebut secara kultural pada umumnya masih memperlihatkan hubungan keterikatan sosial yang erat dengan pranatapranata lokal setempat. Sedangkan mereka yang berasal dari kelompok pendatang tidak ada keterikatan langsung dengan pranata adat lokal, umumnya melaksanakan praktik keagamaan melalui cara yang lebih bersifat universal. Mereka menempati perumahan baru atau rumah kontrakan milik warga masyarakat Palangkaraya. Kemudian untuk mengetahui jumlah fasilitas rumah ibadah di Palangkaraya dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini. Tabel 5: Jumlah fasilitas Rumah Ibadah dalam Kecamatan di Palangkaraya Kecamatan 1. Pahandut
Masjid/ Langgar 174
Gereja/ Ketegral 37
Pura 0
Wihara 0
Balai Kaharingan 1
66
2. Jekan Raya
162
65
2
2
2
3. Sebangau
30
9
0
1
1
4. Bukit Batu
39
9
1
1
3
5. Rakumpit
9
5
0
0
5
414
125
3
4
12
Jumlah
Sumber: Kantor Departemen Agama Kota Palangkaraya Berdasarkan data di atas menunjukan kehidupan masyarakat Palangkaraya sangat hetrogen, yaitu terdiri dari berbagai suku, bangsa dan agama yang anutnya. Meskipun penduduk Palangkaraya menganut berbagai agama akan tetapi mereka dapat hidup saling berdampingan. Kenyataan ini menunjukan bahwa toleransi antar umat beragama di Palangkaraya saat ini cukup tinggi.
2.1.4. Bidang Pemerintahan Ditinjau dari sudut historis Palangkaraya dibentuk berdasarkan Undang-undang Darurat No.10 Tahun 1957 Jo Undang-undang No.21 Tahun 1958, yang menyatakan berdirinya Provinsi Kalimantan Tengah dengan ibukotanya Palangkaraya, yang diresmikan oleh Presiden RI Ir.Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957, ditandai dengan pemancangan tiang pertama pembangunan kota Palangkaraya. 59 Sejak tanggal 20 Desember 1959 kedudukan pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah secara resmi di pindahkan ke-Palangkaraya, memisahkan dari induknya yaitu Provinsi Kalimantan Selatan di Banjarmasin. Sesuai dengan kedudukannya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, maka pemerintah daerah Palangkaraya segera melakukan pembenahan mulai dari pemekaran wilayah administrasi, pembentukan Kecamatan dan penataan kampung59
Pemerintah Kota Palangkaraya,2003, Buku Sejarah Kota Palangkaraya, Edisi pertama, Cetakan pertama, hal.11.
67
kampung. Sejak dilakukan pemekaran Palangkaraya pada tahun 2003 menjadi 5 (lima) Kecamatan dan 30 (tiga puluh) Kelurahan, 60sebagai berikut : 1. Kecamatan Pahandut, membawahi 6(enam) Kelurahan, yakni Kelurahan Pahandut, Kelurahan Panarung, Kelurahan Pahandut Seberang dan Kelurahan Tanjung Pinang. 2. Kecamatan Jekan Raya, membawahi 4(empat) Kelurahan, yakni Kelurahan Palangka, Kelurahan Menteng, Kelurahan Bukit Tunggal dan Kelurahan Petuk Katimpun. 3. Kecamatan Sabangau, membawahi 6(enam) Kelurahan, yakni Kelurahan Kereng Bangkirai, Kelurahan Bereng Bengkel, Kelurahan Kalampangan, Kelurahan Sabaru, Kaelurahan Danau Tundai dan Kelurahan Kameloh Baru. 4. Kecamatan Bukit Batu, membawahi 7(tujuh) Kelurahan, yakni Kelurahan Marang, Kelurahan Tumbang Tahai, Kelurahan Banturung, Kelurahan Tangkiling, Kelurahan Sei Gohong, Kelurahan Kanarakan dan Kelurahan Habaring Hurung. 5. Kecamatan Rakumpit, membawahi 7(tujuh) Kelurahan, yakni Kelurahan Petuk Bukit, Kelurahan Panjehang, Kelurahan Petuk Barunai, Kelurahan Mungku Baru, Kelurahan Pager, Kelurahan Gaung Baru dan Kelurahan Bukit Sua. Disamping pemerintahan kecamatan yang disebutkan di atas, juga terdapat sistem Pemerintahan tradisional masyarakat Dayak yang disebut “kedemangan”. Kedemangan ini sudah ada sejak zaman dahulu dan merupakan warisan budaya asli suku Dayak di Kalimantan Tengah. Pada umumnya suatu kedemangan dipimpin oleh perangkat yang disebut “Damang Kepala Adat” yaitu pejabat yang mengurusi soal-soal adat. Kedemangan merupakan lembaga adat tradisional yang bercorak sosial religius
60
Pemerintahan Kota Palangkaraya,2009, Kota Palangkaraya Dalam Angka Tahun 2009, Palangkaraya, hal.25.
68
dan mempunyai pemerintahan yang bersifat otonom berdasarkan hak asal usul. Dalam melaksanakan tugasnya seorang Damang didampingi oleh Let Adat (pembantu damang) dan dibantu Jurutulis (sekretaris). Meskipun kedemangan berkedudukan di tingkat Kecamatan, namun secara struktur tidak ada hubungan kelembagaan antara kedemangan dengan kecamatan, karena diikat oleh strukturnya masing-masing mempunyai status dan fungsi yang berbeda. Secara implisit hubungan antara pemerintah kedemangan dengan pemerintah kecamatan dapat dilihat dalam Bab V Kedudukan, Tugas Dan Fungsi Damang Kepala Adat, yaitu Pasal 7 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008
yang mengatur tugas dan wewenang kedemangan ini, disebutkan
adanya suatu hubungan kedemangan dengan pemerintah yaitu sebagai hubungan yang bersifat kemitraan dan partisipatif. Pasal 8 huruf (g) menyatakan bahwa kedemangan mempunyai tugas bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama dibidang adat istiadat, kebiasaan dan hukum adat. Istilah bersamasama pemerintah menunjukan bahwa kedemangan adalah mitra pemerintah Kecamatan dalam melaksanakan pembangunan. Selanjutnya dalam Pasal 10 angka (2.b) dinyatakan bahwa kedemangan mempunyai wewenang membantu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada dilingkungan wilayahnya terutama dibidang adat istiadat, ketentuan yang demikian menggambarkan bahwa kedemangan mempunyai hubungan dengan pemerintah yang bersifat partisipatif. Dalam praktiknya, walaupun secara kelembagaan antara kedemangan dengan kecamatan mempunyai struktur kelembagaan masing-masing, tetapi tetap ada hubungan yang bersifat kordinatif dan konsultatif dalam pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing tetap terpelihara dan dikembangkan. Pemerintahan kedemangan dan pemerintahan kecamatan mempunyai otonomi tersendiri. Dalam kaitan ini, seperti yang
69
di kemukakan Dharmayudha dalam Windia, bahwa istilah otonom atau otonomi, semula berarti peraturan sendiri atau mempunyai hak atau kewenangan untuk membuat peraturannya sendiri. Kemudian istilah otonom tersebut berkembang menjadi pemerintahan sendiri. 61 Walaupun pemerintahan kedemangan dan pemerintahan kecamatan berbeda status dan fungsinya, masing-masing mempunyai otonominya sendiri, akan tetapi keberadaannya bersifat saling melengkapi dan saling mendukung dalam mensukseskan program pembangunan.
2.2. Gambaran Umum Tentang Lembaga Kedemangan 2.2.1. Lembaga Adat Kedemangan Secara historis masyarakat Dayak sudah mengenal kedemangan jauh sebelum kedatangan bangsa Barat di tanah Dayak. Warga kedemangan pada waktu itu disebut uluh atau ulun (orang) sedangkan untuk menunjuk wilayah tempat tinggal uluh (orang) itu di sebut dengan istilah lewu atau kampung, dan untuk menunjuk wilayah kesatuan territorial digunakan istilah kedemangan.
Kata “kedemangan” berarti persekutuan
orang yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah dimana mereka saling kenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak tergantung kepada alam. Kedemangan adalah organisasi tradisional yang bersifat sosial religus, sebagai wadah intraksi sosial masyarakat Dayak terkait upacara adat dan upacara agama. Dalam kedemangan sistem demokrasi masih kuat sebagai bagian dari adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah hidup komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama. Saling ketergantungan dan saling kerjasama antar rumah tangga merupakan citra yang sudah melekat pada masyarakat adat, meskipun 61
Wayan P.Windia, 2004, Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pakraman di Bali, LPM Universitas Udayana, Denpasar, hal.31.
70
pada saat sekarang citra tersebut telah mulai tergerus oleh perkembangan baru yang berlawanan dengan citra tersebut. 62 Dalam pengertian ini terdapat kesan kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan mayarakat adat hanya bisa diketahui dan disediakan oleh masyarakat adat itu sendiri dan bukan oleh pihak luar. Secara kultural kedemangan menjadi inti dari pelestarian nilai-nilai adat dan budaya Dayak, aktivitasnya tidak tergantung pada paktor diluar dirinya. Secara formal istilah “kedemangan” pertama kali ditemukan dalam Pasal 1 angka (25) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa kedemangan adalah suatu lembaga adat Dayak yang memiliki wilayah adat, kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten dan tidak dapat dipisah-pisahkan”. 63 Adanya pernyataan tersebut menegaskan bahwa kedemangan mengandung pengertian yang sama dengan persekutuan masyarakat hukum adat atau masyarakat adat. Istilah “masyarakat adat” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris indigenous people yaitu masyarakat asli atau penduduk asli. Istilah masyarakat adat lebih tepat untuk menggambarkan tentang keberadaan masyarakat dalam segala aspek kehidupan mereka, baik agama, hukum, politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Masyarakat Adat adalah sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, idiologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri, 64 Selanjutnya Hazairin, menyatakan 62
63
bahwa
masyarakat-masyarakat
hukum
adalah
kesatuan-kesatuan
Wawancara dengan Sabran Ahmad tanggal 16 Oktober 2010.
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, op cit, hal.7. Panitia Adhoc I DPD RI, 2009, Naskah Akademi Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Masyarakat Adat, Materi Uji Sahih, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, hal.91. 64
71
kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya, penghidupan mereka berciri komunal, dimana gotong-royong, tolong-menolong, saling asah, saling asuh, serasa dan semalu mempunyai peranan besar”. 65 Dari rumusan di atas kelihatannya memberikan petunjuk bahwa masyarakat yang memperkembangkan ciri-ciri khas hukum adat itulah disebut persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeneschap). Dengan demikian secara fakta dapat dikatakan kedamangan itu masih hidup (actual existence) setidaknya mengandung unsur-unsur, yaitu : 1). Adanya masyarakat yang wargannya memiliki perasaan kelompok (ingroup feeling) 2). Adanya prananta pemerintahan adat 3). Adanya perangkat norma hukum adat 4). Adanya harta kekayaan (benda-benda adat) 5). Adanya wilayah tertentu (kesatuan masyarakat hukum adat bersifat teritorial). 66 Berdasarkan pemikiran diatas maka keberadaan kedemangan Pahandut dan kedemangan
Sabangau
dapat
digolongkan
sebagai
masyarakat
hukum
adat.
Sebagaimana dikatakan R.Soepomo bahwa istilah masyarakat hukum adat yang lazim disebut dengan persekutuan hukum (adatrechtsgemeneschap) diartikan sebagai kelompok pergaulan hidup yang bertingkah laku sebagai suatu kesatuan terhadap dunia
65
I Gede A.B.Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Pekembangannya dari Masa ke Masa, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.74. 66 Terkutif dalam I Gede Mahendra Wijaya, 2009, Eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Politik Hukum Nasional: Pengakuan Hak-hak Desa Pakraman dan Subak, dalam Tjok Istri Putra Astiti dan Wayan P.Windia, editor, “Warna-warni Pemikiran tentang Adat dan Budaya Bali”, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal.4.
72
luar, lahir batin. Kelompok-kelompok ini mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang yang ada di dalamnya masing-masing mengalami kehidupannya sebagai hal yang sewajarnya, yang menurut kodrat alam dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompoknya itu. Kelompok manusia tersebut mempunyai harta benda, milik keduniawian dan milik gaib. 67 Kedemangan Pahandut merupakan salah satu kedemangan yang asli, sebab keberadaan kedemangan ini sudah ada sejak tahun 1950-an. 68 Dalam sejarahnya Damang Pahandut pertama adalah F.Sahay (1950-1956), Damang Syawal (1956-1972), Damang Simal Penyang (1972-2008), Damang Suhardi Monong (2008-sekarang). Kedemangan Pahandut dalam sistem pemerintahan adat masih mempertahankan polapola tradisional namun dalam sistem keanggotaannya didasarkan pada sistem penggabungan antara sistem keaslian dan sistem domisili. Sementara kedemangan Sabangau merupakan kedemangan yang relatif baru dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, sebagai hasil pemekaran dari kedemangan induknya yaitu Kedemangan Pahandut. Berdasarkan Peraturan Daerah tersebut menyebutkan bahwa kemungkinan pembentukan atau pemekaran lembaga kedemangan berdasarkan ketetapan oleh bupati/walikota atas usulan masyarakat adat setempat. 69 Kedemangan Pahandut dan Sabangau yang menjalankan fungsi sosial religius mempunyai kekhasan yaitu dalam menyelenggarakan kepemerintahannya dilandasi oleh
67
R.Soepomo, (a), 2007, op cit, hal.50.
68
Wawancara dengan Suhardi Monong tanggal 18 Oktober 2010. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, op cit, hal.12.
69
73
filosofi “belom bahadat” yang terwujud dalam aktivitas-aktivitasnya. Menurut Nathan Ilun, bahwa perwujudan konsepsi “belom bahadat” ini dalam kehidupan warga kedemangan dapat dilihat dalam tiga unsur pembentuk, yaitu : 1). Harmonis hubungan antara sesama manusia, baikperorangan maupun dengan kelompoknya. 2). Harmonis hubungan manusia dengan alam lingkungan (alam flora, fauna, dan mahluk lainnya). 3). Harmonis hubungan antara manusia dengan dunia gaib, arwah leluhur, sahur parapah, Tuhan. 70 Kemudian secara lebih konkrit oleh M.P.Lambut diterjemahkan sebagai himpunan tatakrama keadatan dan kesopanan terhadap ragam hidup dan kehidupan serta kemanusiaan menuju suasana luhur, serasi, selaras dan seimbang. 71 Menurut Lambut, konsep belom bahadat tidak hanya untuk hidup di dunia ini tetapi juga untuk kehidupan sesudah kematian. Hidup sebelum mati adalah persiapan untuk sesudah kematian. Pembatinan konsep belom bahadat tersebut sebagai prilaku warga masyarakat yaitu: mikeh, mahamen, dan mangalah. Mikeh berarti takut, takut berbuat salah, takut terhadap ancaman fisik maupun terhadap akibat kurang baik terhadap suatu tindakan. Mahamen berarti malu, malu berbuat salah atau merasa malu karena tidak lazim dilakukan. Mangalah merupakan sikap mengalah dalam arti positif untuk menghindari dampak yang lebih luas. Mikeh, mahamen dan mangalah merupakan keseimbangan perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap prinsip hormat dan menghargai terhadap sesama, untuk mencapai suasana tertib, aman dan damai (ruhui rahayu).
70
71
Y.Nathan Ilun, 1987, op cit, hal.31.
M.P.Lambut, 2001, Prinsip-perinsip Belom Bahadat (Hidup Beradat) Tata Kehidupan Pribumi Boerneo Sepanjang Zaman, Makalah disampaikan dalam pertemuan dengan para kepala adat di Tanjung, Kalimantan Selatan, hal.2.
74
2.2.2. Keanggotaan, Sistem Pemerintahan Adat Kedemangan Salah satu unsur penting terbentuknya masyarakat hukum adat menurut B.Ter Haar adalah adanya kelompok masyarakat yang bertindak sebagai satu kesatuan ke dalam maupun keluar. Kelompok masyarakat atau kelompok orang dalam kedemangan inilah yang disebut (ulun=uluh). Kelompok orang yang merupakan satu kesatuan dalam wadah kedemangan itu disebut uluh lewu, yang merupakan anggota dari kedemangan. Anggota dari kedemangan inilah yang lazim disebut warga kedemangan. Sistem keanggotaan suatu kedemangan yang ada di Palangkaraya, sebenarnya hampir sama tetapi secara garis besarnya dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu : a. Sistem Keaslian, yaitu sistem keanggotaan kedemangan yang berdasarkan keaslian, oleh masyarakat setempat disebut uluh itah atau uluh Dayak. Sistem keanggotaan hanya dimungkinkan karena yang bersangkutan asli orang Dayak atau memiliki garis keturunan sebagai orang Dayak. Sistem keaslian mempunyai hak penuh terhadap kedemangan, termasuk berhak dipilih menjadi pengurus kedamangan. b. Sistem Domisili, yaitu sistem keanggotaan kedemangan yang berdasarkan faktor tempat tinggal dan domisili seseorang. Sistem ini tidak membedakan antara penduduk asli atau penduduk pendatang (uluh lumpat atau uluh luar) selama yang bersangkutan tinggal menetap dan berdomisili dalam wilayah kedemangan tersebut maka ia otomatis diakui sebagai warga kedemangan setempat. Namun demikian meskipun mereka diakui sebagai warga akan tetapi tidak mempunyai hak yang penuh untuk menjadi pengurus adat, seperti Damang dan Mantir Adat mereka hanya diakui sebagai warga biasa. 72
72
Wawancara dengan Basel A. Bangkan tanggal 20 Oktober 2010.
75
Kedemangan sebagai tempat domisili, dimana didalamnya selain penduduk asli suku Dayak juga terdapat beberapa suku dan etnis lainnya, dengan berbagai latar belakang pendidikan dan profesi. Dimana warga kedemangan adalah semua warga masyarakat yang tinggal menetap pada wilayah kedemangan setempat, kecuali bagi warga negara asing (tamu, turis) yang tinggal sementara. Menurut Siun Ibat, warga kedemangan hidup berdampingan dengan berpegang pada prinsip dasar yaitu dimana “bumi dipijak disitu langit dijunjung” artinya setiap orang yang datang dan tinggal di Palangkaraya wajib tunduk, patuh dan menjunjung tinggi adat istiadat, hukum adat setempat. 73 Terlepas dari variasi-variasi yang ada, suatu hal yang melekat pada warga kedemangan adalah bahwa masing-masing anggota masyarakatnya terikat dengan kampung halaman tanah kelahirannya, yang didiami oleh orang tuannya dan oleh nenek moyangnya. Sistem ini umumnya dianut pada warga kedemangan yang masih sangat kuat pengaruhnya. Masyarakat Dayak di Palangkaraya sudah terbuka dan telah mendiami perkampungan yang terdiri dari kesatuan-kesatuan kerabat dengan menguasai tanahtanah sendiri walaupun hubungan kekerabatannya tidak terhapus. Pada umumnya orangorang yang memiliki tanah asal mereka disebut penduduk asli. Di samping para pemuka adat dan pembuka tanah, terdapat struktur lain, yaitu basir, balian, telun (ulama kaharingan). Masing-masing keluarga tinggal dalam suatu ikatan keluarga batih yang terdiri dari orang tua dan anak-anaknya, dan beberapa keluarga orang tua yang tinggal menetap di kampung atau lewu. Kampung atau lewu inilah menjadi wilayah persekutuan hukum adat dari suatu kedemangan, Di dalam kelompok masyarakat inilah
73
Wawancar dengan Siun Ibat tanggal 22 Oktober 2010.
76
bangkitnya serta dibinanya kaidah-kaidah hukum adat sebagai suatu endapan dari kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat. Berdasarkan penelitian pada kedemangan Pahandut dan Sabangau, umumnya Pemerintahan adat kedemangan dilakukan oleh pengurus kedemangan yang lazim disebut Damang Kepala Adat. Sistem pemerintahan adat kedemangan juga tidak terlalu jauh berbeda, karena memiliki pedoman yang sama yaitu berdasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008. Sistem pemerintahan kedemangan
Pahandut
dan
kedemangan
Sabangau
adalah
menganut
sistem
pemerintahan tunggal. Dikatakan sistem pemerintahan tunggal karena dalam struktur kepemimpinan adat kedemangan terdapat seorang pejabat puncak yang disebut Damang Kepala Adat, yang dibantu oleh Jurutulis dan Let Adat. Jurutulis adalah berfungsi sebagai sekretaris dalam organisasi modern, sedangkan Let adat berfungsi membantu tugas Damang dalam menegakan hukum adat. Let Adat terdiri dari para tokoh adat yang berperan untuk memberikan pertimbangan hukum dalam proses peradilan adat. Sedangkan untuk ditingkat desa/kampung pemerintahan adat dipimpin oleh seorang pemangku adat yang disebut Mantir Adat. Mantir Adat berperan untuk mengawasi berlakunya hukum adat di tingkat kampung bersama para tetua adat kampung. Namun dalam pelaksaan tugasnya Mantir Adat harus mendapat petunjuk dari Damang Kepala Adat. Kedemangan adalah organisasi sosial religius masyarakat adat Dayak, yang berdasarkan pada kesatuan wilayah (territorial) tempat tinggal dan persamaan adat istiadat dalam berintraksi dikalangan masyarakat Dayak. Dalam pemerintahan adat kedemangan disamping Damang Kepala adat dan Mantir Adat juga terdapat tetua-tetua adat lainnya seperti basir, pisur, balin, dan juru sangiang memiliki peran penting terkait
77
urusan religi kaharingan, (agama asli suku Dayak) dalam pelaksanaan upacara kehamilan, kelahiran, kematian, perkawinan, dan pengobatan. Meskipun tidak termasuk dalam struktur kedemangan namun tetua-tetua adat ini sangat dihormati, kadang-kadang juga dapat dilibatkan dalam urusan tertentu oleh kedemangan terutama menyangkut upacara adat dan ritual agama. Antara tetua adat (basir, pisur, balian, juru sangiang) dengan Damang Kepala Adat merupakan satu komponen penting dalam sistem hukum adat Dayak di Palangkaraya. 74 Suatu kedemangan pada umumya dipimpin oleh Damang Kepala Adat yang dipilih oleh para kepala desa atau lurah, mantir adat dan pejabat kecamatan yang ada diwilayah kedemangan setempat, kemudian Damang terpilih tersebut diangkat dan ditetapkan melalui surat keputusan pemerintah daerah (bupati/walikota) untuk masa jabatan selama enam tahun. Kedemangan juga memiliki hak otonomi asli seperti menjalankan pemerintahan adat, membuat perturan-peraturan adat, dan melaksanakan peradilan dan penuntutan. Dalam hal ini kedemangan dapat dikatakan sebagai pusat pelestarian dan pengembangan nilai-nilai adat dan budaya suku Dayak, oleh karena itu sangat wajar apabila lembaga adat ini tetap terus dipertahankan. Di dalam struktur organisasi pemerintahan kedemangan, posisi dan kedudukan Damang Kepala Adat berada pada bagian yang paling tinggi, ini menunjukan bahwa Damang sebagai penguasa tunggal di wilayahnya.
2.2.3. Struktur, Organisasi Pemerintahan Adat Kedemangan Kedemangan merupakan kesatuan masyarakat hukum adat Dayak yang berdasarkan pada kesatuan wilayah tempat tinggal dan kesatuan geneologis dimana
74
Wawancara dengan Basel A. Bangkan tanggal 20 Oktober 2010.
78
anggotanya merasa terikat dalam suatu keturunan yang sama. Disamping itu juga diikat oleh territorial kewilayahan yang sama pula. Setiap kelompok kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai susunan pengurus yang menyatu diatur menurut hukum adat (kebiasaan) masyarakat adat setempat. Struktur organisasi kedemangan meliputi susunan, sistem keanggotaan dan sistem pemerintahannya. Dilihat dari susunannya, secara umum baik kedemangan Pahandut maupun kedamangan Sabagau memiliki kesamaan yaitu berstruktur tunggal, dimana dalam struktur kedemangan terdapat seorang pejabat puncak yaitu disebut Damang Kepala Adat. Secara umum sistem pemerintahan kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau memiliki kesamaan yaitu memiliki susunan bertingkat. Dikatakan bersusunan bertingkat karena dalam suatu kedemangan masih terdapat kelembagaan di bawahnya yaitu pemangku adat desa yang dipimpin oleh Mantir Adat Desa. Pasal 35 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, menyebutkan bahwa Mantir Adat Desa adalah sebagai pemangku adat desa yang diangkat dan diberhentikan berdasarkan usulan Damang Kepala Adat. Dengan demikian, apa yang disebut pemangku adat desa tidak lain adalah merupakan bagian kedemangan itu sendiri. Struktur organisasi “Kepemangkuan Adat Desa” belum ada ketentuan yang baku tetapi disesuaikan dengan keadaan setempat, namun paling tidak terdapat seorang Mantir Adat sebagai petugas pelaksana adat kedemangan diwilayah tersebut. Istilah “pemangku adat desa” dapat di definisikan sebagai kelompok-kelompok masyarakat adat yang merupakan bagian terkecil dari wilayah kedemangan itu sendiri. Terkait hal tersebut Basel A.Bangkan, menyatakan “Mantir Adat punya kewenangan dalam memberi keputusan adat di tingkat kampung atau desa, apabila ada yang tidak dapat mengajukan
79
banding ketingkat kedemangan”.75 Hal ini menunjukan bahwa Damang Kepala Adat tidak bekerja sendiri dalam menegakan hukum adat karena dibantu oleh Mantir Adat yang sebenarnya juga melaksanakan fungsi kedemangan. Berdasarkan penelitian di kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau di dapat bahwa struktur organisasi kedemangan pada umumnya memiliki kesamaan. Sebagai contoh di kedemangan Pahandut, misalnya terdiri dari seorang pimpinan puncak yaitu Damang Kepala Adat, dengan dibantu oleh Let Adat (tetua adat) paling tidak tiga orang dan paling banyak lima orang yang bertugas membantu Damang dalam bidang penegakan hukum adat dalam wilayah kedemangan yang bersangkutan. Selanjutnya
dibantu oleh seorang Juru Tulis yang menjalankan tugas di bidang
kesekretariatan untuk memeperlancar kegiatan kedemangan. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur oraganisasi kedemangan dapat dilihat dalam gambar berikut ini. Struktur Oraganisasi Kedemangan DAMANG KEPALA ADAT ( Pimpinan ) JURU TULIS (Sekretaris) LET ADAT Pembantu Demang
Mantir Adat Desa
Mantir Adat Desa
Mantir Adat Desa
Mantir Adat Desa
WARGA KEDEMANGAN Sumber : Kedemangan Pahandut, Palangkaraya, Oktober 2010.
75
Wawancara dengan Basel A.Bangkan tanggal 20 Oktober 2010.
Mantir Adat Desa
Mantir Adat Desa
80
Sebagai pimpinan lembaga kedemangan seorang Damang Kepala Adat memiliki peran penting untuk mewakili masyarakat adat baik ke dalam maupun ke luar kedemangan. Satu hal yang melekat pada suatu kedemangan yaitu sebagai organisasi sosial religius yang terkait dengan upacara adat, agama dan alam lingkungan sekitarnya. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, kedemangan merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki otonomi asli yang menerima penyerahan kewenangan dari pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat adat (warga kedemangan) yang dipimpinnya. Masyarakat hukum adat dapat pula diartikan sebagai kelompok masyarakat yang membentuk aturan hukumnya sendiri dan tunduk sendiri kepada aturan hukum yang dibuatnya itu. 76 Hal ini menunjukan bahwa kedemangan sebagai subyek hukum bertanggung jawab penuh dalam mengayomi warganya. Di dalam wilayah kedemangan juga terdapat unit lain yang membantu kedemangan yaitu Dewan Adat Dayak atau Majelis Adat Dayak adalah lembaga adat yang sengaja dibentuk sebagai wadah kordinasi untuk menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat adat Dayak di Palangkaraya. Dalam Pasal 1 angka (29) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 menyebutkan bahwa “Majelis Adat Dayak adalah lembaga adat Dayak tertinggi yang mengemban tugas sebagai lembaga koordinasi, komunikasi, pelayanan, pengkajian dan wadah menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat, berkedudukan di salah satu ibu kota provinsi di Kalimantan secara bergiliran”. Dalam hal tertentu Majelis Adat atau Dewan Adat dapat
76
Terkutif dalam Anak Agung Gede Geriya,2006, Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pembentukan Peraturan daerah Tentang Desa Pakraman, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 41.
81
berperan sebagai penengah, terutama menyangkut konflik antara kedamangan dengan kedemangan atau konflik antara Damang yang satu dengan Damang lainnya, maka lembaga ini berwenang untuk mencari jalan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, berupaya agar masalah itu tidak dibawa penyelesaiannya kepada pihak diluar lembaga adat. Semua unit-unit diatas dapat mewakili masyarakat adat adat, untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai budaya Dayak.
2.2.4. Perangkat Pemerintahan Adat Kedemangan 2.2.4.1. Damang Kepala Adat Selain warga kedemangan, keberadaan Damang Kepala Adat sangat penting artinya dalam menjalankan pemerintahan kedemangan. Dalam Pasal 1 angka (24) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 menyebutkan bahwa “Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan ketua kerapatan mantir adat yang berwenang menegakan hukum adat Dayak dalam wilayah adat kedemangan yang diangkat berdasarkan hasil pemilihan para kepala desa, mantir adat dan pejabat kecamatan yang termasuk dalam wilayah kedemangan tersebut”. 77 Tjilik Riwut, menyatakan bahwa istilah “Damang” merupakan suatu jabatan Kepala Adat dimasa lampau, yang diakui oleh masyarakat Dayak sebagai pengakuan terhadap adat istiadat leluhur mereka. 78 Dengan demikian Damang Kepala Adat merupakan pimpinan
77
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, op cit, hal.6.
78
Tjilik Riwut,1979, op cit, hal.250.
82
informal yang berperan sebagai pemangku adat Dayak. Menurut adat, seorang akan menjadi Damang bilamana mempunyai kedalaman pengetahuan tentang hukum adat, dan juga menguasai suasana kebatinan dari masyarakat yang bersangkutan sehingga mempunyai wibawa yang besar dalam mengatur masyarakatnya. Damang Kepala Adat merupakan ujung tombak dalam upaya penggalian dan pelestarian nilai-nilai seni budaya asli daerah. 79 Arti pentingnya Damang Kepala Adat terutama untuk menjalankan roda pemerintahan adat kedemangan terkait dengan pelaksanaan, penegakan dan pembinaan di bidang hukum adat. Mengenai peranan Damang Kepala Adat dalam masyarakat Dayak adalah bapak masyarakat dia mengetuai persekutuan masyarakat adat sebagai ketua suatu keluarga besar, dia adalah pemimpin pergaulan hidup di dalam persekutuan masyarakat adat. Damang Kepala Adat pemegang adat, berkewajiban memperhatikan segala perubahan, ia selalu memperhatikan lahirnya kebutuhan-kebutuhan baru yang terjadi dalam masyarakat adat. Pendek kata, tidak ada satu lapangan kehidupan di dalam wilayah kedemangan yang tertutup bagi Damang Kepala Adat untuk ikut campur bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamaian, keseimbangan lahir dan batin untuk menegakan hukum. Menurut R.Soepomo, bahwa seorang kepala adat (kepala rakyat) memegang adat di dalam segala tindakannya selalu berdasarkan adat, ia selalu memperhatikan adanya perubahan-perubahan dan pertumbuhan hukum, adanya perubahan-perubahan keadaan, timbulnya perasaan-perasaan hukum baru berhubungan dengan kebutuhan hukum baru, sehingga dibawah pimpinan dan pengawasan kepala
79
Y.Nathan Ilun,1987, op cit, hal.114.
83
adat, hukum adat tumbuh dan berkembang dengan mestinya. Aktivitas kepala adat sehari-hari meliputi seluruh lapangan masyarakat. 80 Dalam penyelenggaraan pemerintahan kedemangan Damang Kepala Adat secara fungsional menjalankan tugas menyelesaikan perkara apabila ada perselisihan antar warga sedesa, apabila ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat maka Damang bertindak sebagai pendamai untuk memulihkan keseimbangan dan menjaga keharmonisan di dalam masyarakat. Dalam menghadapi ancaman dari luar, Damang Kepala Adat adalah sebagai pembela anggota persekutuan yang diketuainya. Memang arti penting dari tindakan Damang Kepala Adat sebagaimana disebutkan di atas, ialah bahwa membantu dilakukannya perbuatan hukum terkait masalah perkawinan, penceraian, perkelahian, waris, jual beli, pertanahan dan sebagainya, agar perbuatan hukum itu terang, tidak melanggar hukum adat. Sebaliknya apabila Damang Kepala Adat menolak bantuan yang diminta, maka perbuatan hukum yang dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan itu, adalah suatu perbuatan yang akan melanggar hukum adat. Perbuatan tersebut jika dilangsungkan tanpa bantuan Damang adalah perbuatan tidak dilindungi oleh hukum adat. Prinsip-perinsip tersebut di atas, sangat relevan dengan ajaran mengenai penanganan perkara adat dari Moh.Koesnoe, bahwa dalam pengambilan keputusan harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan YME, dengan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Oleh sebab itu menurut Koesnoe, bahwa setiap kebijakan, keputusan dan tindakan selalu berorientasi pada kebijakan terwujudnya kerukunan, kepatutan dan keselarasan antara sesama anggota masyarakat, sehingga masyarakat dalam suasana yang idial. Asas 80
R.Soepomo, 2007, op cit, hal.66.
84
hukum adat sebagai filosofi dasar dan sebagai pedoman bagi kepala adat dalam penanganan perkara adat. 81 Dalam hal ini, kompetensi seorang Damang sangat menentukan dalam proses penyelesaian perkara secara adat agar bisa diperoleh penyelesaian perkara terbaik dengan mengacu asas kepatutan, sehingga putusan yang diberikan dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa. Tidak heran apabila penyelesaian perkara lewat kedemangan sebagai lembaga Hakim Perdamaian Desa, jarang sekali sampai berbuntut gugatan di pengadilan negara. Karena pihak korban maupun terdakwa sama-sama merasa puas atas penyelesaian secara perdamaian adat. Dengan demikian secara kelembagaan Damang Kepala Adat memiliki otoritas dan legitimasi untuk memecahkan masalah atau sengketa yang timbul dalam wilayah hukum kedemangan yang dipimpinnya.
2.2.4.2. Let Adat Dilihat dari istilahnya Let Adat maka Let berarti wadah atau tempat dan Adat artinya nilai atau norma. Jadi yang dimaksud Let Adat adalah suatu wadah untuk menegakan norma-norma adat (etika tradisional). Secara umum Let Adat berarti wadah bagi tetua adat, mantir adat yang biasanya diikut sertakan oleh Damang Kepala Adat dalam persidangan-persidangan adat dalam menyelesaikan suatu perkara, mereka inilah sering disebut sebagai Let Adat yang jumlahnya tidak seragam. Mereka ini adalah tokoh masyarakat yang dianggap banyak mengatahui soal adat dan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Peranan lain dari Let adat adalah sebagai pembantu Damang Kepala Adat dalam bidang penegakan, penuntutan, dan peradilan adat. Berkaitan dengan 81
Ajaran Mengenai Penanganan Perkara Adat, Menurut Moh.Koesnoe, Dalam pengambilan keputusan harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan YME, dengan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, Lihat Moh.Koesnoe,1979, op cit, hal.61.
85
peranan dan Let Adat tersebut, Tjilik Riwut dalam tulisannya menyebutkan bahwa Damang Kepala Adat tidak berhak untuk mengambil keputusan sendiri dengan sesukanya, tetapi haruslah diambil dengan keputusan orang banyak dalam kerapatan adat yang terdiri dari beberapa orang kepala-kepala adat, tetua-tetua kampung, mantir adat, pembakal, dengan Damang menjadi ketua kerapatan adat. 82 Dari penegasan tersebut memberikan petunjuk bahwa dalam memutuskan suatu perkara adat bahwa Damang Kepala Adat tidak boleh melakukannya sendiri tetapi harus dilakukan bersama pembantu Damang lainnya yaitu Let Adat. Dengan demikian, maka Let Adat inilah yang berfungsi sebagai dewan penasihat hukum untuk memberikan pertimbangan hukum kepada Damang Kepala Adat dalam menyelesaikan perkara adat, memang itulah sifat dari peradilan adat sehingga putusan yang diambilpun dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Mengenai format Let Adat tergantung tife wilayah kedemangan yang bersangkutan. Namun setidaknya setiap kedemangan memiliki tiga orang Let Adat dalam rangka membantu tugas-tugas Damang dalam menegakan hukum adat di wilayah kedemangan setempat. Let Adat berasal dari tokoh adat, pemuka masyarakat, kelompok intelektual dan kelompok rohaniawan, dipilih dari beberapa desa/kampung berdasarkan atas usulan Damang Kepala Adat setempat. Jabatan Let Adat memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu tugas Damang Kepala Adat, terutama dalam upaya menghadirkan pihak-pihak yang bersengketa kedepan persidangan adat basara, mengumpulkan keterangan-keterangan beserta barang bukti lain atas terhadap suatu tindakan pelanggaran adat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Let Adat sebenarnya adalah sebuah jabatan adat tertentu, bagi para tokoh adat 82
Tjilik Riwut,1979, op cit, hal.384.
86
(ahli adat) dengan tugas utamanya membantu Damang dalam menegakan hukum adat di wilayah kedemangan setempat. Di samping itu sebagai pembantu Damang, Let Adat dapat mewakili Damang dalam melaksanakan tugas ke dalam maupun keluar kedemangan apabila Damang Kepala Adat berhalangan.
2.2.4.3. Mantir Adat Di dalam suatu kedemangan disamping jabatan Damang Kepala Adat, terdapat jabatan lain dibawahnya yaitu adanya jabatan Mantir Adat. Istilah “Mantir Adat” sudah tidak asing dan cukup dikenal dalam kultur masyarakat Dayak, Mantir Adat adalah sebutan bagi seseorang karena kemampuan dan keahliannya di bidang adat dan hukum adat. Dalam stuktur pemerintahan kedemangan, jabatan Mantir Adat berada di bawah kedemangan tepatnya di tingkat desa atau kampung. Mantir Adat ini berperan sebagai pemangku adat desa yang melaksanakan tugas dan fungsi kedemangan. Oleh karena itu peranan Mantir Adat sangat menentukan, bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak dalam upaya penegakan hukum adat di tingkat kampung. Dewasa ini keberadaan Mantir Adat semakin sempurna setelah terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, Pasal 35 menyatakan bahwa “Mantir Adat Desa” diangkat membantu tugas Damang Kepala Adat untuk menegakan hukum adat dalam wilayah kedemangan setempat, dengan masa bakti selama enam tahun, yang ditetapkan dan diberhentikan dengan Keputusan Walikota atas
87
usul Damang Kepala Adat. 83 Dalam Peraturan Daerah tersebut dinyatakan bahwa Mantir Adat Desa adalah perangkat adat kedemangan untuk ditingkat desa atau kelurahan, yang berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam menegakan hukum adat di wilayahnya. Keanggotaan Mantir Adat Desa adalah semua warga masyarakat desa yang berada dalam wilayah pemangku adat desa. Sedangkan struktur pemangku adat desa disesuaikan dengan keperluan setempat, akan tetapi paling tidak terdapat seorang Mantir Adat Desa untuk tiap-tiap desa/kampung. Dalam hal penyelesaian perkara Mantir Adat Desa tidak boleh dengan sewenang-wenang menentukan keputusan sesuai dengan kehendak hati, akan tetapi dalam mengambil keputusan terlebih dahulu diadakan musyawarah yang dihadiri oleh tetua adat kampung dan pejabat desa. Mantir Adat Desa bertindak selaku mediasi dengan melakukan komunikasi dua arah hingga dicapai kesepakatan antara kedua belah pihak tentang permasalahan yang di sengketakan. Kedua belah pihak langsung dipertemukan agar masalahnya tidak perlu di selesaikan melalui jalur formal, tetapi cukup secara perdamaian. Apabila perkara tersebut tidak dapat diselesaikan di tingkat desa/kampung maka persoalan itu dibawa ke-tingkat banding yaitu di kedemangan untuk diproses lebih lanjut oleh Damang Kepala Adat. Dari penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Mantir Adat Desa adalah merupakan jabatan adat tertentu atau gelar bagi seseorang yang dianggap memahami adat istiadat dan hukum adat. Mantir Adat Desa adalah jabatan adat ditingkat kampung berperan sebagai pemangku adat desa untuk melaksanakan fungsi kedemangan, karena pemangku adat desa merupakan bagian dari kedemangan itu sendiri.
83
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, op cit, hal.25.
88
2.2.4.4. Hukum Adat Dayak Mengenai istilah “Hukum Adat” di Palangkaraya, hampir sama dengan istilah yang diberikan oleh pemerintahan kolonial Belanda Adat Recht yang dikemukakan oleh Cornelis Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adat Recht van Nederlands-Indie, menyebutkan bahwa hukum adat itu adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang dilain pihak mempunyai sanksi. 84 Sekilas mengenai Hukum Adat Dayak, dalam 19 pembagian lingkaran hukum adat (rechtskring) yang dibuat oleh Van Vollenhoven, hukum adat Dayak termasuk dalam lingkaran hukum adat, yang ke-7. Sebenarnya, lingkungan hukum adat ke 7 tersebut tidak dinamakan lingkungan sebagai hukum adat Dayak oleh Van Vollenhoven, tetapi lingkungan hukum adat Kalimantan. 85 Kemudian Provinsi Kalimantan Tengah termasuk dalam lingkungan hukum adat Kalimantan sebagaimana disebutkan oleh Van Vollenhoven tersebut. Kalimantan Tengah sendiri dalam perkembangannya kemudian menjadi provinsi yang otonom terpisah dari provinsi induknya Kalimantan Selatan sejak tahun 1957.86 J.Mallincrodt menulis Het Adatrecht van Boerneo ketika menguraikan tentang bagaimana hukum adat Kalimantan pada umumnya dan Kalimantan Tengah pada khususnya, bahwa tiap masyarakat terorganisir memiliki sistem hukum adat yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum dan sanksinya, prosedur hukum, mekanisme pelaksanaan, demikian halnya dengan masyarakat adat Dayak mereka juga memiliki
84
Kamal Firdaus,1980, Seraut Wajah Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, hal.103.
85
Soerojo Wignjodipoero,1995, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, hal.86. 86
Kalimantan Tengah menjadi provinsi tersendiri melalui Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 jo Lembaran Negara Nomor 53 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah. Lihat “buku sejarah Kota Palangkaraya”,2003, hal.11.
89
sistem hukum adat tersendiri. 87
Setiap suku atau kelompok masyarakat tertentu
mempunyai hukumnya sendiri-sendiri yang bersumber dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan pengaruh dari ajaran agama atau kepercayaan yang mereka anut. Menurut Ihromi, apa yang dinamakan hukum adat dalam kenyataannya mempunyai eksistensi yang tidak dapat dipisahkan dari adat pada umumnya. 88 Menurut Ugang apa yang dikenal sebagai hadat, hukum adat atau jalan hadat dan segala sesuatu yang menyangkut sanksi-sanksi terhadap pelanggaran hukum tradisional, tidak lain adalah penerapan kekuatan hukum adat leluhur yang bersumber pada kekuatan dan kekuasaan yang akodrati. 89 Ugang menyebutkan beberapa aspek dari adat atau hukum adat yaitu, adat sebagai jaminan hidup, adat tentang perdamaian, adat melestarikan jaminan kesehatan, adat melestarikan jaminan keamanan, dengan peranan adat melestarikan keluhuran perkawinan. 90 Secara umum yang dimaksud dengan hadat atau hukum adat adalah patokanpatokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Hadat adalah petunjuk yang diperlukan dalam menjalani kehidupan sehingga seluruh aspek kehidupan harus di dasarkan pada adat. Hukum ini punya peran yang cukup menentukan dan mempengaruhi warga masyarakatnya. Akan tetapi seperti yang dikatakan oleh Erhlich “law is derived from social fact and depends not on state anthority but on social compulsion” (hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan refleksi dan peradaban 87
J.Mallincrodt menulis Het Adatrecht van Boerneo, (Leden, Peter J.Bruns,1999) The Leiden Legacy Concepts Of Law in Indonesia, PT.Pradnya Paramita,Jakarta,hal.145. 88 Ihromi, 1981, Adat Perkawinan Toraja Saadan Tempatnya Dalam Hukum Positif Masa Kini, Gajah Mada University Press,Yogyakarta,hal.158. 89
Hermogenes Ugang,1993, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran, GPK, Gunung Mulia, Jakarta, hal.49.
90
Ibid, hal.70-78.
90
masyarakat), karena itu menurut Gijssls & Hocke “het rechts is dus en moet zijn een spiegelbeeld van een beschaving” (sebagian besar hukum yang hidup itu tertuang dalam bentuk hukum adat atau hukum kebiasaan yang berlaku secara lokal). 91 Mengenai apakah “hukum adat” adalah hukum yang hidup (the living law) R.Soepomo secara tegas dalam pidatonya pada tahun 1952 menyatakan “hukum adat” adalah suatu hukum yang hidup, karena ia merupakan penjelmaan perasaan hukum yang nyata dari rakyat, sesuai sifatnya hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. 92 Sebagai Hukum yang hidup maka hukum adat mengalami pasang surut dari masa ke masa, dimana ia mengalami perkembangan dan ada masa hukum tersebut mengalami penciutan. Dalam masyarakat Dayak juga dikenal adanya naskah “Hukum Adat Suku Dayak Kalimantan” yang ditulis oleh Tjilik Riwut pada tahun 1944, kemudian diterbitkan kembali pada tahun 1954 dengan judul “Hukum Adat Suku Dayak” yang mengandung 96 pasal yang diyakini sebagai hasil kesepakatan musyawarah perdamaian di Tumbang Anoi 1894. Naskah inilah yang kemudian diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1969 yang sering disebut sebagai Hukum Adat Dayak. Berbagai naskah yang dikemukakan di atas merupakan rekaman dari hukum adat yang hidup (living law) yang dilakukan oleh para fungsionaris adat, sehingga ia berstatus sebagai “hukum adat tersurat” (beschreven recht) bukan dalam artian “hukum yang tidak tertulis” (ongeschreven recht) yang bisa dihadapkan dengan ”hukum tertulis” (geschreven recht). Dengan demikian hukum adat tidak seluruhnya 91
Jan Gijssls & Mark van Hocke, 1982, What is Rechtstorie?, Antwerpen Kluwer Rechtwetenschappen, hal.21. 92
H.Abdurrahman,(b),2005, Penegakan Hukum Adat atau Revitalisasi Hukum Adat, Makalah disampaikan pada pertemuan para Damang Kepala Adat se-Kalimantan Tengah, Palangkaraya tanggal 17 Nopember, hal.3.
91
merupakan hukum yang tidak tertulis, karena untuk masyarakat Dayak ditemukan juga ada unsur-unsur tertulis dalam hukum adat Dayak. Dalam hubungannya dengan hukum adat Dayak tidak banyak dikaji (penelitian) secara spesifik sebagai sebuah sistem hukum adat substantif dalam pengertian hukum materil, hukum formil. Pada dasarnya beberapa literatur hanya menggambarkan sekilas tentang perbuatan yang dilarang yang masih hidup dalam sistem hukum adat Dayak. Berbagai bentuk perbuatan yang dilarangan tersebut dapat dikwalifikasikan, 93 sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 93
Tidak boleh membunuh Tidak boleh berzinah Tidak boleh memperkosa Tidak boleh berbohong Tidak boleh mencuri Tidak boleh menipu Tidak boleh memfitnah Tidak boleh menganiaya Tidak boleh merampas istri orang lain Tidak boleh merampas tunangan orang lain Tidak boleh menikah ada hubungan darah (incest) Tidak boleh memasuki kamar tempat tidur wanita Tidak boleh membawa pergi anak gadis tanpa ijin orang tuannya Tidak boleh bertamu pada saat wanita sendirian dirumah Tidak boleh melahirkan anak hasil hubungan gelap (anak sarau) Tidak boleh memperdaya anak-anak dibawah umur Tidak boleh memasuki rumah orang lain secara diam-diam Tidak boleh menyembunyikan barang-barang curian Tidak boleh merusak barang-barang hak milik orang lain Tidak boleh merubah, menggeser patok batas tanah,kebun,ladang. Tidak boleh membakar rumah, kampung, ladang milik orang lain Tidak boleh merusak kuburan, sandung, pantar, sapundu Tidak boleh membunuh binatang dengan sembarangan Tidak boleh mencemari, meracuni sungai tempat permandian umum Tidak boleh mengambil tanah,bekas kebun,bekas ladang orang lain Tidak boleh merusak tempat keramat, pohon keramat, hutan keramat Tidak boleh mengganggu, merusak simbol-simbol ritual adat Tidak boleh membuat keributan, mengganggu upacara ritual tiwah Tidak boleh menyantet, mengguna-guna, ilmu hitam, mistik Tidak boleh melanggar peraturan adat dan hukum adatyang berlaku
Biro Pemerintahan Desa Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah, 1969, Lembaga Kedamangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya, hal. 25-75.
92
Berbagai peraturan tersebut di atas tersebut berlaku bagi warga kedemangan dan masyarakat yang berada di Palangkaraya. Namun dalam literatur tersebut tidak ada perincian lebih lanjut mengenai perbuatan-perbuatan terlarang lainnya. Literatur tersebut juga tidak menjelaskan dasar filosofi ditentukannya perbuatan yang dilarang tersebut. Terbatasnya pencantuman perbuatan yang dilarang tersebut dapat dimaklumi mengingat minimnya penelitian menyangkut hukum adat Dayak di Palangkaraya. 94 Namun hal ini tidak berarti bahwa Damang Kepala Adat dan masyarakatnya tidak mengetahui larangan-larangan yang ada dalam adat Dayak. Pengetahuan mengenai larangan adat diperoleh masyarakat secara turun temurun berdasarkan budaya lisan dan kebiasaan. Selain ketentuan yang disebutkan di atas, menurut Sulman Jungan masih terdapat pula beberapa bentuk larangan lainnya, seperti: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Dilarang berjudi Dilarang mabuk-mabukan Dilarang berbuat cabul atau porno Dilarang poligami dan polianri Dilarang bersetubuh dengan binatang Dilarang pergaulan bebas antara pria dan wanita Dilarang melakukan hubungan sek sebelum nikah Dilarang menjual diri atau menjadi WTS Dilarang meminta-minta atau mengemis Dilarang melanggar aturan adat istiadat yang berlaku. 95
Perbuatan-perbuatan tersebut di atas merupakan perbuatan terlarang oleh hukum adat Dayak. Bagi siapapun yang melanggar ketentuan di atas, maka akan dikenakan sanksi (jipen) yaitu membayar denda adat, dan kadang kala harus melakukan upacara selamatan perdamaian adat sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan akibat 94
Tim Monografi Hukum Adat, 1989, Tim Monografi Hukum Adat Kalimantan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, hal. 4. 95
Wawancara dengan Sulman Jungan tanggal 16 Oktober 2010.
93
adanya gangguan tersebut. Karena itu menurut R.Soepomo, segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat adalah merupakan perbuatan illegal, oleh karena itu hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum (rechtsherstel) jika hukum itu diperkosa. 96 Menurut hukum adat Dayak pelanggaran yang paling berat, ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat. Misalnya perbuatan membunuh, membakar kampung, kuburan, orang yang berbuat demikian dianggap mengeluarkan diri dari persekutuan, ia dapat dibuang seumur hidup dari persekutuan. Kemudian perbuatan yang mengganggu kekuatan batin masyarakat dan mencemarkan suasana batin yang menentang kesucian masyarakat, misalnya seorang wanita melahirkan anak dari hubungan gelap hasil zinah. Apabila ada kejadian-kejadian demikian maka upaya koreksi adat dari para petugas hukum ialah diadakannya upacara pembersihan masyarakat dari pengaruh aib. Pelanggaran selanjutnya yang merusak dasar susunan masyarakat dan dianggap pelanggaran berat ialah incest (bersetubuh atau berjinah) yang diketahui mereka berhubungan darah sangat dekat. Menurut adat perbuatan ini dapat mencemarkan masyarakat dan mengganggu keseimbangan dapat mendatangkan malapetaka bagi kehidupan masyarakat umum. Bagi orang yang bersumbang dapat diasingkan dari masyarakat (dikeluarkan dari adat). Selain diusir juga harus melakukan upacara ritual adat pembersihan desa, mereka harus menyembelih kerbau dan babi untuk membersihkan masyarakat dari kotoran aib tersebut. Pelanggaran adat lainnya yang melanggar kehormatan golongan famili ialah mengambil istri orang lain menyebabkan famili terhina martabatnya, bagi suami dibolehkan membunuh lelaki 96
R.Soepomo,(a), 2007, op cit, hal.112.
94
dan istrinya yang berzinah apabila tertangkap basah, dapat pula didenda membayar seekor kerbau bagi suami si wanita tersebut. 97 Satu hal yang perlu dicatat dari rumusan di atas adalah adanya unsur terganggunya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat sebagai unsur perbuatan yang dilarang. Dalam masyarakat Dayak keseimbangan yang senantiasa dipeliharanya suasana harmonis antara unsur-unsur, hubungan antara manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan alam lingkungannya (flora, fauna dan mahluk lain), dan keseimbangan hubungan manusia dengan roh-roh leluhur, para dewa sangiang. Pola hubungan itulah harus seimbang dan selaras yang dikehendaki oleh adat, semua itu dimaksudkan agar dapat dicapainya tujuan bersama yaitu kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan lahir batin (ruhui rahayu, tuntung tulus). Kehidupan yang serba harmonis, serba seimbang dan lestari merupakan bagian cita-cita masyarakat Dayak, suatu konsep berpikir yang merupakan repleksi dari filosofi “belom bahadat”. Dalam konteks hukum, suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dapat dimaksudkan sebagai suasana yang tertib, adil, aman dan damai yang merupakan tujuan dari hukum. 98 Terkait dengan istilah penulisan hukum adat hal ini menunjukan bahwa hukum adat juga ada yang dalam bentuk tertulis atau dalam pengertian dalam bentuk tercatat yang merupakan rekaman dari hukum yang hidup (living law) yang dilakukan oleh fungsionaris adat (Damang Kepala Adat), sehingga ia berstatus sebagai “hukum adat tersurat” (beschrevenrecht) bukan dalam artian “hukum yang tidak tertulis” (ongeschreven recht) yang biasa dihadapkan dengan hukum tertulis (geschreven
97
R. Soepomo,(a), 2007, op cit, hal.130.
98
E.Utrecht,1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, hal.11.
95
recht). 99 Demikian halnya dengan materi hukum adat yang ada di kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau merupakan hukum yang tertulis berdasarkan hasil rapat besar perdamaian di Tumbang Anoi 1894 yakni “96 pasal hukum adat Dayak” yang dalam pelasanaannya mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008. Pencatatan suatu peraturan hukum (hukum adat Dayak) dipandang penting untuk mendapatkan kepastian hukum. Sejak tahun 1969 pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah menulis kembali hasil rapat perdamaian Tumbang Anoi tersebut di dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No16/DPRGR/1969 sebagai pedoman bagi para Damang Kepala Adat dalam melaksanakan tugasnya. Sejak saat itu ada kecendrungan kedemangan untuk mencatat hukum adatnya. Pada mulanya hukum adat Dayak hanya merupakan hal-hal yang diputuskan dalam kerapatan adat yang kemudian dijadikan acuan dalam memutuskan suatu perkara yang sama yang timbul kemudian. Hal ini pula yang disebut oleh Hilaire & Nigel sebagai “Jurisprudence and its substantive context” 100 jadi putusan hukum sebelumnya dapat dijadikan acuan apabila menemukan perakara yang serupa. Dalam penerapan hukum adat Dayak juga menerapkan asas kekeluargaan, dimana para pihak (pelaku dan korban) selalu diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan mereka sendiri secara damai. Tahap awal selalu diusahakan diselesaikan di pihak keluarga atau secara kekeluargaan namun jika tidak selesai maka diserahkan pada pihak lembaga kedemangan untuk penyelesaiannya.
99
H.Abdurrahman, (c),2002, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Menurut Hukum Adat Dayak, Ringkasan Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, hal.28. 100
Hilaire Mc Coubrey & Nigel D.White,1996, Texbook on Jurisprudence, Blackstone Press Limited, University of Nottingham, London, hal.9.
96
2.2.4.5. Pengaturan Sanksi Adat (Jipen atau Singer) Dalam sistem Hukum Adat Dayak di Palangkaraya, juga diatur mengenai sanksi adat. Sanksi adat jipen atau singer mempunyai peran dalam kehidupan masyarakat Dayak. Sanksi adat jipen atau singer yang merupakan salah satu ciri dari hukum adat yang berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Secara umum istilah sanksi sering disamakan dengan istilah hukuman atau tindakan. Dalam kamus bahasa Indonesia sanksi diartikan sebagai tindakan-tindakan, hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau apa-apa yang sudah ditentukan. 101 Sanksi pada umumnya merupakan alat pemaksa agar seorang warga mentaati normanorma yang berlaku. Soeroso, menyatakan bahwa sanksi adalah ketentuan-ketentuan hukum yang menetapkan apakah hukum yang ada dapat dikenakan kepada seseorang yang melanggar kaidah-kaidah undang-undang atau kaidah-kaidah hukum lainnya. 102 Misalnya sanksi-sanksi yang bersifat biologis seperti pengucilan, cemohan, celaan, tidak ditegus sapa atau tidak diberi bantuan yang merupakan sanksi-sanksi yang halus sifatnya dan sangat informal, tetapi bisa lebih efektif dari hukum tubuh. 103 Merujuk beberapa pendapat tentang pengertian sanksi maka secara umum sanksi adat jipen atau singer dapat diartikan tindakan yang dikenakan untuk memaksa seseorang mentaati norma hukum adat Dayak di Palangkaraya. Sanksi adat jipen atau singer umumnya diatur dalam hukum adat Dayak hasil rapat besar perdamaian di Tumbang Anoi 1894 yaitu (96 pasal hukum adat Dayak) disebut hukum adat Dayak, merupakan pedoman dalam bertingkah laku yang mengandung sifat mangatur dan 101
Ahmad A.K.Muda, 2006, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Reality Publisher, hal.474.
102
R.Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.189.
103
Hilman Hadikusuma,(c), 2004, Pengantar Antropologi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.115.
97
memaksa demi terciptanya keserasian dan ketentraman dalam masyarakat adat setempat. Setiap pelanggaran aturan adat (hukum adat Dayak) akan mengakibatkan ketidak seimbangan pada masyarakat. Oleh karena itu setiap pelanggaran aturan adat harus diberi sanksi (jipen/singer) yang berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Sanksi jipen merupakan sanksi yang sangat ditakuti dalam masyarakat adat, namun akhir-akhir ini sanksi adat jipen banyak mendapat tanggapan antara pro dan kontra. Bahkan ada sebagian pihak yang menganggap sanksi jipen sudah tidak relevan dan sudah ketinggalan zaman, sedangkan sebagian lagi menganggap masih perlu untuk mempertahankan norma-norma hukum adat. Adapun istilah “jipen” berasal dari bahasa Dayak Ngaju yang artinya adalah “budak belian” atau budak yang diperjual belikan. Istilah “budak” atau “jipen” dijadikan sanksi adat mulai sejak dikenalnya sistem perbudakan pada masa lampau. Terkait adanya tradisi orang Dayak “hutang darah di bayar darah, hutang nyawa dibayar nyawa” apabila ada keluarga dibunuh maka dibenarkan untuk melakukan pembalasan (mambaleh bunu), untuk menghentikan hukum pembalasan(perang suku) biasanya pihak pelaku harus menyerahkan seorang dari keluarga mereka sebagai pengganti untuk dijadikan budak. Hal lain, yaitu apabila seseorang tidak mampu untuk membayar utang piutangnya maka yang bersangkutan harus menyerahkan dirinya sebagai budak bagi tuannya. Selanjutnya, apabila seorang budak tadi mau ditebus maka nilai tebusan seorang budak = 15 kati ramu, atau 15 kiping emas, atau sama dengan 30 rupiah, atau 12 ringgit perak. Nilai tebusan budak (jipen) itulah yang dijadikan nilai standar denda adat disebut singer bisa berupa uang adat, barang adat, barang bangunan yang nilainya sama dengan nilai tebusan seorang budak. Akan tetapi sejak adanya perdamaian di Tumbang Anoi tahun 1894 maka sistem
98
perbudakan (hajipen) itu sudah dihapuskan. Oleh sebab itu menurut Nathan Ilun, sebagaimana dikutif oleh Herdiwang Tabat, menyatakan untuk saat ini sudah tidak tepat lagi menggunakan istilah jipen dan lebih tepat disebut singer. istilah “jipen” sudah merupakan istilah yang umum digunakan di masyarakat, maka istilah “jipen” masih digunakan sampai sekarang. 104 Sebenarnya istilah jipen dan singer mengandung pengertian yang sama yaitu sanksi adat. Berbagai jenis sanksi jipen/singer yang masih hidup di masyarakat dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu : 1). Mengganti kerugian dalam berbagai rupa, seperti pembayaran uang adat kepada orang yang terkena, menyerahkan barang adat seperti guci, gong, pisau mandau sebagai pengganti kerugian rohani. 2). Melaksanakan upacara adat (korban) untuk pembersihan batin si korban, membersihkan masyarakat dari segala aib, sebagai bentuk permohonan maaf si pelaku kepada para leluhur secara rohaniah. 3). Pengasingan (dikucilkan) dari masyarakat diluar tata hukum, bentuk pertangung jawaban secara batiniah si pelaku atas pelanggaran adat yang dilakukannya. Pada prinsipnya, penjatuhan sanksi adat jipen adalah sebagai tindakan hukum bukan ditujukan sebagai pembalasan atas tindakan pelanggar hukum adat, melainkan lebih ditujukan sebagai sarana untuk mengenbalikan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat adat, baik dalam kehidupan duniawi nyata mapun dunia tidak nyata (gaib), baik secara batiniah maupun secara rohaniah sehingga perlu adanya pembersihan.
104
Herdiwang Tabat,2008, Buku Hukum Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, tanpa penerbit, Panagkaraya, hal.04-05.
99
Untuk lebih jelasnya mengenai penjelasaan di atas dapat digambarkan dalam skema berikut ini. Konsep Bentuk Pertanggungjawaban Sanksi Adat Dayak Dinasihati
Pertanggun gjawaban lahiriah
Ditegor Minta maaf Ganti rugi Dikucilkan Dikeluarkan
Pel ak u Tampung Tawar,
Pertanggun gjawaban batiniah
Hasaki Hapalas
Upacara balian mapas lewu
Pembersihan secara batiniah diwujudkan dengan membayar ganti kerugian materi dan dikucilkan sebagai bentuk pertanggung jawaban atas pelanggaran adat yang dilakukan. Pembersihan secara rohaniah diwujudkan melalui upacara adat seperti hasaki hapalas, dan balian mamapas lewu. Upacara pembersihan rohaniah hasaki hapalas sebagai pembersihan batin si korban, pembersihan hasaki hapalas atas pelanggaran adat yang tidak terlalu berat. Upacara balian mapas lewu (pembersihan desa) adalah pembersihan rohaniah atas tindakan yang dianggap paling berat. Upacara pembersihan balian mamapas lewu secara integral juga merupakan pembersihan desa atas pelanggaran adat yang telah terjadi dengan memohon maaf kepada para leluhur yang dipimpin oleh basir balian. Dalam upacara pembersihan secara batiniah tampung tawar, hasaki hapalas dan balian mapas lewu ada beberapa bahan untuk keperluan upacara adat yang harus disediakan oleh keluarga pihak bersalah(pelaku) diantaranya perangkat tersebut, darah hewan kerbau, babi, telor ayam kampung, air tampung tawar, minyak kelapa, beras,
100
pisau, manik lamiang, pedupaan, dan berupa sesaji. Jika si pelaku sudah meninggal namun belum sempat upacara perdamaian adat, maka bahan perdamaian ditambahkan dengan upacara manawur. Dalam perdamaian adat tampung tawar dan hasaki hapalas untuk membersihkan batiniah si korban, sedangkan upacara balian mamapas lewu bertujuan pembersihan desa yang telah tercemar akibat tindak pelanggaran yang dilakukannya. Upacara balian mapas lewu (pembersihan desa) dilakukan atas tindak pelanggaran yang dianggap berat misalnya pembunuhan, sebab si pelaku telah menghilangkan nyawa (mampatei) yang merupakan hak yang maha kuasa. Penelitian yang didapat dari kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau, tidak ada perbedaan mengenai peraturan hukum maupun bentuk sanksi adat yang digunakan. Karena telah dibuat norma standar bersifat tertulis, 96 Pasal Hukum Adat Dayak hasil perdamaian Tumbang Anoi 1894 dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 secara tegas menjadi pedoman untuk mengatur prilaku masyarakat. Hal tersebut sangat meringankan tugas dari pengurus kedamangan dalam menerapkan hukum adat, sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi semua kalangan. Pasti bagi Damang Kepala Adat sendiri, pasti pula bagi masyarakat dan pasti juga bagi pemerintah. Adanya hukum adat yang ditulis tersebut dapat menutup peluang terhadap penyimpangan hukum atau pemaksaan kehendak dalam penjatuhan sanksi adat oleh para pengurus kedemangan. Bilamana ditinjau dari teori sistem hukum (legal system theory) maka sanksi jipen dalam hukum adat Dayak adalah termasuk dalam substansi hukum (legal substance) sebagaimana yang dimaksud oleh Lawrence M.Friedman adalah aturanaturan, norma-norma dan sanksi adat yang berada dalam persekutuan masyarakat hukum setempat. Berdasarkan teori sistem hukum tersebut yang termasuk substansi
101
hukum adalah (96 Pasal: hukum adat Dayak) hasil perdamaian Tumbang Anoi 1894, dan ketentuan sanksi yang terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, kemudian berbagai larangan dan pantangan kedemangan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Mengenai prosedur dan tatacara penjatuhan sanksi adat ternyata belum diatur secara tegas dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008. Prosedur dimaksud adalah mekanisme dan proses pentahapan sampai suatu perkara dijatuhi sanksi adat dari yang paling ringan sampai pada tahap sanksi berat (dikeluarkan dari adat). Ini artinya masih ada kekosongan norma hukum terhadap pengaturan tahapan-tahapan sanksi adat dalam Peraturan Daerah tersebut. Adanya kekosongan norma hukum terhadap tatacara pemberian sanksi adat menjadikan multi tafsir, akibatnya penjatuhkan sanksi adat oleh para Damang Kepala Adat menjadi tidak pernah dilakukan secara bertahap melainkan hanya berpatokan pada sanksi denda material saja.
2.2.4.6. Majelis Adat Dalam wilayah kedemangan juga terdapat lembaga lainnya yaitu majelis adat atau dewan adat Dayak. Dengan diterbitnya Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 juga diadakan lembaga baru, yaitu dibentuknya semacam organisasi kemasyarakatan, lembaga baru tersebut adalah Majelis Adat Dayak. Majelis Adat Dayak adalah organisasi sosial kemasyarakatan yang sengaja dibentuk, memiliki peran sebagai lembaga kordinasi, komunikasi, wadah menampung, menindak lanjuti aspirasi masyarakat dan untuk membantu tugas kedemangan. Dalam Pasal 4 Peraturan Daerah tersebut, menyatakan bahwa Majelis Adat Dayak terdiri dari :
102
(a). Majelis Adat Nasional untuk tingkat Pusat, yang berkedudukan di ibukota Negara. (b). Dewan Adat Provinsi untuk tingkat Provinsi, yang berkedudukan di ibukota Provinsi (c). Dewan Adat Kabupaten untuk tingkat Kabupaten, yang berkedudukan di ibukota Kabupaten. (d). Dewan Adat Kecamatan untuk tigkat Kecamatan, yang berkedudukan di ibu kota Kecamatan. (e). Dewan Adat Desa/Kelurahan untuk tingkat desa/kelurahan, yang berkedudukan di ibukota desa/kelurahan. Setelah dilakukan sosialisasi mengenai Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, 105 akhirnya Majelis Adat Dayak dapat terbentuk juga yang beranggotakan para tokoh adat, pemuka masyarakat, kelompok intelektual, kelompok rohaniawan, pejabat pemerintah daerah. Di dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, Pasal 16 menyebutkan beberapa tugas dari Majelis Adat Dayak adalah sebagai berikut : (a). Mengayomi adat istiadat dan hukum adat. (b). Membantu memberdayakan peran dan fungsi Damang Kepala Adat sehingga mampu meningkatkan perannya menghadapi perubahan dan perkembangan zaman. (c). Membantu kelancaran tugas Damang Kepala Adat dalam pembinaan, pengembangan, pelestarian nilai-nilai adat dan budaya daerah agar tetap terjaga dan lestari. (d). Memberikan usul, saran dan pendapat kepada berbagai pihak tentang masalah-masalah adat dan hukum adat. (e). Melaksanakan penyuluhan dan sosialisasi tentang hukum adat Dayak secara menyeluruh. Dalam penjelasan Pasal ini disebutkan Majelis Adat Dayak memiliki wewenang untuk memusyawarahkan berbagai masalah adat istiadat dan hukum adat, dan sebagai penengah dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat. Di samping itu juga bertugas untuk membantu setiap kebuntuan tugas dan fungsi Damang dalam lapangan penegakan hukum adat. Terbentuknya Majelis Adat diharapkan akan dapat
105
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah ,2009, op cit, hal.7.
103
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, juga akan dapat menggali nilainilai adat istiadat yang ada dalam masyarakat, serta mampu membangun solideritas masyarakat, berdasarkan prinsif adat hapakat bulat, bahandep, haruyung, harubuh. Perinsip tersebut menjadikan sikap para warga untuk mencapai kerukunan, ketentraman dan kedamaian. 106
2.2.4.7. Harta Kekayaan Kedemangan Kedemangan adalah oraganisasi sosial religius masyarakat Dayak yang diyakini sebagai warisan leluhur mereka. Kedemangan bukan badan hukum biasa melainkan sebagai badan hukum yang mempunyai kewibawaan dan kearifan dalam melaksanakan dan memelihara hukum adat. Dalam Pasal 10 poin (b) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, menyebutkan bahwa Damang Kepala Adat mempunyai hak dan wewenang untuk mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan kedemangan untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat kearah yang lebih baik. Hak adat itu adalah hak untuk hidup dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan wilayah adat kedemangan. Terkait harta kekayaan kedemangan, bisa berupa harta berwujud dan tidak berwujud, material maupun inmaterial serta benda-benda yang bersifat religius-magis. Harta kekayaan yang dikuasai oleh adat yang diserahkan pengawasannya kepada badan persekutuan hukum adat (kedemangan) setempat, seperti tanah hutan, termasuk hutan lindung, semak
106
Majelis Adat Dayak adalah lembaga adat Dayak tertinggi yang sengaja dibentuk, memiliki peran sebagai lembaga kordinasi, komunikasi, untuk membantu tugas Kedemangan. Lihat Perda No.16 Tahun 2008, op cit, hal.7.
104
belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas peladangan yang telah ditinggalkan yang bukan milik kerabat, milik perorangan, perusahaan dan sebagainya. 107 Berdasarkan hasil wawancara dengan Sulman Jungan seorang Damang Jekan Raya, terungkap bahwa lembaga kedemangan yang mereka pimpin tidak memiliki harta kekayaan yang bernilai ekonomis, seperti bangunan kantor, alat-alat kantor atau badan usaha lainnya sebagaimana organisasi modern. Kedemangan hanya memiliki harta kekayaan bersifat religius-magis seperti pahewan (hutan keramat), patahu (tanah keramat), sandung (rumah tulang), adat istiadat, hukum adat dan budaya daerah. 108 Hal ini adalah wajar, karena keberadaan lembaga kedemangan dari sebelum zaman penjajahan hingga saat ini telah mengalami pasang surut, timbul tenggelam. Seperti kita ketahui, jauh sebelum zaman penjajahan hampir diseluruh pelosok tanah air Indonesia terdapat masyarakat hukum asli yang melaksanakan pemerintahan sendiri dan menjalankan kekuasaan peradilan adat dalam bidang pidana maupun perdata. Pada zaman penjajah hingga zaman kemerdekaan, campur tangan pemerintah terhadap pemerintahan masyarakat hukum adat tersebut begitu besar, sehingga peranan Damang Kepala Adat akhirya merosot dan kemudian terabaikan. Pengabaian yang bertahuntahun itu menyebabkan lembaga kedemangan di beberapa tempat di Palangkaraya tidak berfungsi lagi, akan tetapi di kedemangan Pahandut dan Sabangau tetap berjalan sebagaimana biasanya. Dengan adanya perkembangan sejarah yang demikian mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali terhadap tugas dan wewenang lembaga ini sampai sekarang.
107
Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalamam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung, Cetakan kedua, hal.389. 108
Wawancara dengan Sulman Jungan tanggal 16 Oktober 2010.
105
Dengan kondisi yang ada di kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau, terkait hal itu perlu melihat kembali pernyataan dari L.M.Friedman tentang beroperasinya hukum dimasyarakat, pada intinya agar hukum dapat bekerjanya dengan baik maka hukum itu harus mengandung tiga komponen, yaitu struktur hukum, subtansi hukum, budaya hukum, dan ketiga komponen ini saling berkaitan dan saling mendukung. Menurut Friedman, struktur hukum (legal struktur)
adalah sebagai
kerangka dasar dalam sistem hukum. Oleh karena itu komponen struktur hukum sangat penting
untuk mendukung pelaksanaan hukum, tanpa adanya komponen struktur
hukum seperti institusi pelaksana, aparatur atau petugas, sarana dan fasilitas pendukung lainnya maka hukum yang dijalankan tidak akan efektif. Memang selama ini sudah ada perhatian dari pemerintah daerah terhadap lembaga kedemangan, adanya keinginan untuk mempertahankan lembaga adat tersebut. Terhadap para Damang dan Mantir Adat sudah diberikan uang insetif namun menurut para Damang bantuan tersebut masih sangat minim masih belum layak. Padahal dengan tegas disebutkan dalam Pasal 40 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No16 Tahun 2008, menyebutkan bahwa untuk mendukung program kerja dan operasional lembaga kedemangan wajib dianggarkan oleh pemerintah daerah melalui APBD daerah masing-masing. Namun dalam pelaksanaannya masih belum sepenuhnya dapat direalisasikan. Meskipun dengan keterbatasan yang dimilikinya, tetapi lembaga adat ini masih memiliki idialisme terhadap nilai-nilai adat tradisionalnya. Keberadaan Damang Kepala Adat dalam masyarakat adalah tergantung dari kuat atau tidaknya hukum adat dalam masyarakat yang bersangkutan dan karenanya pelaksanaan tugas Damang tidak terpisahkan dari hukum adat itu sendiri. Suatu yang perlu digaris bawahi, bahwa pengakuan dan dukungan berlakunya hukum adat yang utama adalah pada masyarakatnya sendiri bukan
106
pada penguasa atau negara. Orang luar masyarakat akan menghormati dan menghargai hukum adat yang bersangkutan bilamana masyarakatnya memberikan penghargaan yan tinggi terhadap hukum adat secara faktual bukan hanya sekedar simbolik, kurangnya penghargaan terhadap hukum adat akan menyebabkan hukum adat itu menjadi lumpuh dan tidak berdaya. 109 Dalam konteks itulah perlunya upaya pemberdayaan untuk meningkatkan fungsi dan peranan Damang dalam masyarakat.
BAB III PENGATURAN KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN DAMANG SEBAGAI HAKIM PEDAMAIAN ADAT
3.1. Landasan Yuridis Eksistensi Damang Kepala Adat Untuk melihat dasar hukum kedudukan dan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat, maka sebelumnya harus dilihat terlebih dahulu pengaturanya dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Konstitusi Negara Republik Indonesia merupakan suatu aturan hukum yang levelnya paling tinggi dalam hukum nasional. 110 Terkait dengan eksistensi secara yuridis kedudukan dan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat, maka terlebih dahulu akan dikaji dari konstitusi Negara
109
H.Abdurrahman, 2005, op cit, hal.9. Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal.110. 110
107
Republik Indonesia yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD 1945). Istilah “Hakim Perdamaian Adat” secara teknik yuridis belum ada pengaturan yang jelas dalam bentuk peraturan perundang-undangan, walaupun demikian “Hakim Perdamaian Adat” sangat identik dengan Hakim Perdamaian Desa pada masyarakat kecil-kecil yang sering digunakan dalam dunia akademis. Untuk melihat dasar hukum tentang kedudukan dan wewenang Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat, dapat dikaji melalui Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, antara lain : 3.1.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Dasar 1945, Pasal 18B ayat (2) dengan tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang. 111 Dari ketentuan tersebut sangat jelas bahwa adanya perhatian dan pengakuan yang kuat terhadap masyarakat hukum adat, hal tersebut dipertegas lagi dalam penjelasan umum Undang-undang Dasar RI 1945 Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Pasal 18 poin II yang menyatakan dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 Zelfbestuurende landchappen dan Volksgemeenschappen,seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia
111
Asamandiri, 2007, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, (Amendemen), Penerbit Asamandiri, Jakarta, hal.13.
108
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala pengaturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. 112 Dari pengakuan Undang-undang Dasar 1945 terhadap masyarakat hukum adat besarta hak-hak tradisionalnya ini dapat diketahui bahwa secara implisit konstitusi mengakui keberadaan kedemangan, karena kedemangan dapat digolongkan sebagai masyarakat hukum adat (Adatrechtgemeenchappen) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 UUD 1945 tersebut di atas. Seperti diketahui, salah satu hak tradisional masyarakat hukum adat adalah kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara diantara warga masyarakat di desa secara perdamaian, dan kewenangan demikian tidak lain merupakan fungsi dari Damang Kepala Adat. Pengakuan konstitusi terhadap keberadaan kedemangan ini sangat penting dan memiliki nilai yuridis yang tinggi dalam hukum nasional suatu negara. Di dalam UUD 1945 meskipun tidak disebutkan secara khusus kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat, akan tetapi mengingat Hakim Perdamaian Adat adalah salah satu fungsi yang diperankan oleh kepala-kepala masyarakat hukum adat (kepala adat) maka keberadaan Damang Kepala Adat dapat dilihat dari pengakuan masyarakat hukum adat itu sendiri. Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dalam menyelesaikan berbagai perselisihan dan sengketa di masyarakat mempunyai landasan hukum yang kuat karena telah mendapat pengakuan berdasarkan konstitusi UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3.1.2. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Menurut Undang-undang ini Hakim Perdamaian Desa tetap diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara menurut hukum adat sebagaimana diatur dalam 112
Ibid, hal..38.
109
Pasal 3a Rechterlijke Organisatie (RO). Dalam Pasal 3a RO dinyatakan bahwa “Peradilan Desa” dapat mengadili perkara menurut hukum adat, akan tetapi mereka tidak bisa menjatuhkan hukuman, melainkan hanya dapat menetapkan reaksi adat untuk memulihkan keseimbangan atau keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. Hukuman yang tidak boleh dijatuhkan adalah hukuman yang bentuk dan jenisnya sama diatur dalam hukum negara (KUHP, dan lain-lain) sehingga tidak ada halangan para Hakim Perdamaian Desa (hakim adat) untuk menjatuhkan sanksi adat seperti yang telah diatur dalam hukum adat, baik bentuk penyelesaian maupun mekanisme penyelesaian dari kasus adat tersebut. Menurut ketentuan adat Dayak setiap perselisihan, sengketa dan pelanggaran hukum yang terkait ruang lingkup hukum adat pada prinsipnya harus diselesaikan dengan cara musyawarah perdamaian adat. Segala kasus adat yang telah diproses melalui keputusan kerapatan adat kedemangan merupakan putusan terakhir yang bersifat final dan mengikat para pihak. 113 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 sesungguhnya mengatur tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, merujuk kepada peraturan pada zaman Hindia Belanda yaitu Pasal 3a RO (Rechterlijke Organisatie) yang diberlakukan dalam Staatsblad 1935 No102. Walaupun sesungguhnya sebelum itu dalam kenyataannya hakim-hakim desa itu sudah ada dalam masyarakat Indonesia. Mengenai hak kekuasaan hakim desa, Pasal 3a RO yang selengkapnya menyebutkan sebagai berikut: (1) Perkara-perkara yang pemeriksaannya menurut hukum adat menjadi wewenang hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil (hakim desa) tetap diserahkan kepada pemeriksaan mereka;
113
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, op cit, hal.24.
110
(2) Apa yang ditentukan dalam ayat 1, sekali-kali tidak mengurangi wewenang dari para pihak untuk setiap waktu menyerahkan perkaranya kepada hakim yang dimaksudkan dalam ayat 1,2, dan 3; (3) Hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat 1, mengadili menurut hukum adat, mereka tidak boleh mengenakan hukuman. Istilah “hak kekuasaan” Hakim Perdamaian Desa, yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Darurat No 1 Tahun 1951 dapat diterjemahkan sebagai fungsi dari Hakim Perdamaian Desa. Adanya penegasan demikian, menunjukkan bahwa eksistensi Peradilan Desa dan kewenangan Hakim Perdamaian Desa tetap diakui sepanjang menurut hukum yang hidup merupakan sutu bagian hukum tersendiri dari pengadilan adat. Adanya istilah hukum yang hidup adalah merupakan istilah lain dari pada hukum adat. Dengan demikian, berdasarkan Undang-undang tersebut “fungsi” dari Hakim Perdamaian Desa (hakim adat) adalah memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya menurut hukum adat. 114 Undang-undang ini dianggap sebagai satu-satunya landasan hukum dalam tataran Perundang-undangan, yang telah diakui oleh banyak kalangan menjadi landasan yuridis Hakim Perdamaian Desa atau hakim adat. Sebenarnya apa yang disebut “Hakim Perdamaian Desa” dalam Pasal 3a RO di atas sesungguhnya mengandung makna yang sama dengan Hakim Perdamaian Adat, karena yang bertindak sebagai Hakim Desa itu adalah para kepala adat dari masyarakat hukum kecil-kecil (hakim adat). Proses internalisasi nilai-nilai dan norma adat umumnya mengejewantah dalam bentuk musyawarah (badamai) di dalam masyarakat adat jikalau ada pelanggaran-pelanggaran hukum adat, dan musyawarah ini dipimpin oleh pemuka-pemuka masyarakat adat yang bersangkutan. Di Palangkaraya Kalimantan Tengah dilakukan oleh Damang Kepala Adat adalah bentuk-bentuk institusi adat yang masih berlaku. Pengakuan ini penting 114
I Ketut Sudantra, 2007, op cit, hal.100.
111
sebab dengan demikian Damang Kepala Adat mempunyai landasan hukum yang kuat untuk menyelesaikan perkara-perkara adat yang terjadi di dalam wilayah kedemangan yang dipimpinnya. Disinilah hukum adat bagi komunitas masyarakat adat menampakan eksistensinya. 3.1.3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), menyebutkan dalam rangka penegakan hak asasi manusia perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. 115 Dari ketentuan Undang-undang No 39 Tahun 1999 tersebut, memberikan penjelasan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, justru dalam Undang-undang ini secara tegas dan jelas bahwa masyarakat hukum adat harus dilindungi baik melalui peraturan-peraturan hukum, maupun oleh masyarakatnya sendiri dan oleh instansi pemerintah. Untuk daerah Palangkaraya khususnya dan Kalimantan Tengah pada umumnya bahwa kedemangan dapat diklasifikasi sebagai masyarakat hukum adat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka (25) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 menyatakan, bahwa kedemangan adalah kesatuan masyarakat adat yang memiliki wilayah adat dalam Provinsi
Kalimantan
Tengah
yang
yang
terdiri
dari
himpunan
beberapa
desa/kelurahan/kecamatan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian, sebagai
115
Departemen Kehakiman dan HAM dan POLRI, 2002, Instrumen Pokok HAM Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum, hal.278.
112
persekutuan masyarakat hukum adat asli kedaerahan maka kedemangan ini wajib dilindungi dan dilestarikan keberadaannya. 3.1.4. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Eksistensi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat mendapat pengakuan dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. istilah “Perdamaian Adat” tercermin dalam Pasal 7 ayat (4) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 dengan tegas menyatakan bahwa Damang Kepala Adat karena jabatannya, secara otomatis menjadi ketua kerapatan perdamaian adat dan sebagai peradilan adat tingkat terahkir. Selanjutnya Pasal 27 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam penyelesaian sengketa, perselisihan, konflik terkait ruang lingkup pelanggaran terhadap hukum adat pada prinsipnya diselesaikan dengan cara musyawarah perdamaian adat baik oleh kerapatan adat kedemangan. Kemudian Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala sengketa, perselisihan dan pelanggaran hukum adat yang telah didamaikan dan diberi sanksi adat melalui keputusan secara perdamaian adat adalah bersifat final dan mengikat para pihak. 116 Satu hal yang perlu digaris bawahi dari penjelasan tersebut adalah setiap sengketa, perselisihan dan permasalahan yang terkait ruang lingkup pelanggaraan terhadap hukum adat pada prinsipnya harus diselesaikan dengan cara musyawarah perdamaian adat. Untuk lebih jelasnya mengenai tugas Damang Kepala Adat, dapat dilihat dalam Pasal 8 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 menyatakan Damang Kepala Adat memiliki tugas :
116
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, op cit, hal.24.
113
(a). Damang Kepala Adat bertugas menegakan hukum adat serta memelihara lembaga-lembaga adat; (b). Menyelesaikan perselisihan interen suku dan antar satu suku dengan suku lain yang berada dalam wilayahnya secara damai, dimungkinkan juga masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana adat, baik dalam pemeriksaan pertama maupun dalam sidang penyelesaian tahap akhir; (c). Berusaha untuk menyelesaikan dengan cara damai jika terdapat perselisihan intern siku antar suku dengan suku lainnya yang berada di wilayahnya. (d). Memelihara, mengembangkan dan menggali kesenian dan kebudayaan asli daerah serta memelihara benda-benda dan tempat-tempat bersejarah warisan nenek moyang. (e). Membantu pemerintah daerah dalam mengusahakan kelancaran peleksanaan pembangunan di segala bidang, terutama bidang adat istiadat, kebiasaankebiasaan dan hukum adat. (f). Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat dan budaya Dayak dalam rangka memperkaya dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan keudayaan Dayak khususnya. (g). Menentapkan besarnya uang siding, uang meja, uang komisi dalam rangka pelayanan penyelesaian sengketa atau kasus yang diajukan kepada kedemangan. (h). Mengelola hak-hak adat, harta kekayaan kedamangan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemajuan dan tarap hidup masyarakat kearah yang lebih baik. (i). Dapat memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut perkara adat sesuai hukum adat setempat. Rumusan Pasal 8 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 tersebut di atas, dapat ditafsirkan sebagai pengakuan atas kewenangan dan fungsi Damang Kepala Adat dalam suatu wilayah hukum adat kedemangan. Pengakuan ini penting, sebab dengan demikian Damang Kepala Adat mempunyai landasan hukum yang kuat untuk menyelesaikan perkara-perkara adat yang terjadi di dalam wilayah kedemangan yang dipimpinnya. Dengan demikian, kewenangan dan fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat mendapat pengakuan dalam level Peraturan Daerah.
3.2. Pengakuan Terhadap Kedudukan Damang Kepala Adat Eksistensi Damang Kepala Adat di Palangkaraya khususnya dan Kalimantan Tengah pada umumnya sudah dikenal sejak zaman dahulu, hingga sekarang tetap eksis
114
dan ajeg, meskipun di sana sini sudah mengalami perubahan. Secara faktual dalam prakteknya ada tiga aspek yang menyangkut kedudukan Damang Kepala Adat dan lembaga kedemangan dalam masyarakat Dayak pada umumnya, yaitu : 3.2.1. Kedudukan Secara Historis Secara historis, keberadaan Damang Kepala Adat juga pernah mengalami zaman-zaman keemasannya sebagai sesuatu yang perlu dibanggakan, yakni adanya rapat damai Tumbang Anoi pada tahun 1894 yang pelaksanaannya berada di bawah kordinasi seorang Damang Kepala Adat kenamaan pada saat itu yaitu Damang Batu (1821-1918). Damang Batu diangkat sebagai Damang Kepala Adat di desa Tumbang Anoi pada tahun 1873 dalam usia (52 tahun). Keberadaan rapat besar Tumbang Anoi ini dilaksanakan sejak tanggal 22 Mei sampai dengan 24 Juli 1894 kurang lebih selama tiga bulan, dihadiri oleh para pejabat Pemerintah Hindia Belanda, para tokoh pribumi, para utusan dari 400 anak suku Dayak termasuk utusan dari wilayah Kalimantan Utara(Serawak) sehingga mencapai jumlah ribuan orang hadir dalam pertemuan tersebut. 117 Ada kaitannya pelaksanaan musyawarah perdamaian Tumbang Anoi dengan usaha penghentian peperangan dengan Belanda, karena menjelang diadakannya pertemuan Tumbang Anoi pada tahun 1894, perlawanan dari suku Dayak terhadap Kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya dilakukan diberbagai kawasan pulau Kalimantan. Salah satu strategi Belanda adalah melalui cara perundingan untuk meredam serangan dari para kepala suku Dayak yang dipimpin oleh Damang Kepala Adat, menjadi salah satu alasan diselenggarakannya rapat perdamaian Tumbang Anoi
117
Johly Friady,1989, Sejarah Singkat Damang Baru, Betang dan Rapat Perdamaian Tumbang Anoi 1894 Monografi, Palangkaraya, hal.25.
115
1894 tersebut. Hal lain yang cukup menjadi perhatian dari pertemuan ini adalah berkenaan dengan masalah internal suku Dayak, karena secara kultur sosial masih sering terjadi perang antara sesama suku Dayak (habaleh bunu), pemburuan kepala manusia (mangayau), sistem perbudakan (hajipen) dan adat istiadat suku yang beragam. Karena itu dalam musyawarah para Damang Kepala Adat tersebut diadakan penyelesaian, penghapusan dan sinkronisasi hukum adat tanpa mengabaikan kenyataan adanya keragaman pada masing-masing daerah. Berbagai tanggapan yang berbeda tentang pristiwa sejarah Tumbang Anoi 1894 tersebut, dari segi fositifnya pristiwa Tumbang Anoi tersebut dipandang sebagai tonggak sejarah kebangkitan hukum adat Dayak untuk mengokohkan kedudukan kedemangan dan Damang Kepala Adat. 118 Selain itu musyawarah damai Tumbang Anoi itu telah memperlihatkan suatu bentuk utama penyelesaian perkara secara perdamaian adat yang berlaku di kalangan masyarakat Dayak, di dalamnya telah diadakan penyelesaian sengketa di antara berbagai kelompok suku Dayak dan sekaligus menawarkan alternatif penyelesaian perkara kedepan melalui hukum adat yang ditetapkan dalam musyawarah tersebut. Sekaligus menunjukan kemampuan pranata tradisionalnya ternyata mampu menyelesaikan segala silang sengketa, dendam kesumat dan pelanggaran adat melalui lembaga Hakim Perdamaian Adat yang dipimpin Damang Batu yaitu seorang Damang Kepala Adat yang sangat berpengaruh pada saat itu. Kemudian dari sisi negatifnya, dengan terselenggaranya suatu musyawarah damai Tumbang Anoi tersebut bisa dianggap sebagai kekalahan orang Dayak terhadap perlawanannya bagi bangsa Belanda. Membawa dampak pengaruh masuknya kristenisasi di tanah Dayak, yang beranggapan kepercayaan leluhur orang Dayak adalah 118
Ibid, hal.29.
116
sesat dan bertentangan dengan nilai-nilai agama Kristen (budaya Barat) menimbulkan dampak melemahnya sistem nilai dan tradisi adat istiadat leluhur karena orang Dayak yang berpindah agama berusaha keras melepaskan dirinya dari ikatan budaya-budaya nenek moyang mereka. Namun demikian, diakui semua pihak bahwa getaran semangat Tumbang Anoi memberikan perubahan bagi bangsa Dayak untuk hidup lebih beradap.
3.2.2. Kedudukan Secara Kultural Sejak zaman purba manusia sudah hidup berkelompok dan memiliki pemimpinnya, pimpinan kelompok mahluk manusia itulah yang disebut kepala adat. Sang kepala adatlah yang bertanggung jawab tampil sebagai “pengurus” lingkungan hidup kelompoknya baik keluar maupun kedalam. Dalam masyarakat adat Dayak pimpinan kelompok tersebut adalah Damang Kepala Adat. Bagi orang Dayak sendiri peranan Damang Kepala Adat adalah di samping memimpin persekutuan juga sebagai pemangku hukum adat, sehingga apabila peranannya menjadi lemah maka akan berpengaruh pula terhadap sistem hukum adat itu sendiri sehingga keberadaannya tetap dipertahankan. Sebagai pimpinan masyarakat adat, maka Damang berkewajiban untuk melindungi keberlangsungan adat istiadat, hukum adat dan budaya Dayak dalam wilayah kedemangan yang bersangkutan. Kedudukan Damang Kepala Adat pada masa lalu sangat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan (religi) dan adat istiadat leluhur nenek moyang. Pada masa lalu keberadaan Damang Kepala Adat mendapat dukungan yang kuat dari agama Kaharingan (agama asli suku Dayak) yang mereka anut dan sistem hukum adat serta nilai adat istiadat yang
117
berlaku. 119 Dengan terjadinya kristenisasi yang menganggap Kaharingan itu menyembah langit, menyembah bumi, menyembah roh leluhur, menyembah berhala sehingga dianggap itu bertentangan dengan nilai agama Kristen maupun agama Islam berakibat lunturnya keyakinan Kaharingan. Padahal bukan soal apa yang disembah oleh penganut Kaharingan itu yang di persoalkan melainkan adat tradisi yang luhur, menyangkut hubungan sesama manusia, hubungan denagan alam sekitar dan hubungan manusia yang masih hidup terhadap leluhurnya termasuk roh gaib. Adanya panatisme agama itulah salah satu penyebab yang paling mendasar sistem budaya Dayak mulai mengalami pergeseran. 120 Kebanyakan orang-orang Dayak yang telah berpindah agama, mereka cendrung melepaskan diri dari ikatan tradisi dan budaya leluhur, hal inilah yang menyebabkan orang Dayak hampir kehilangan identitasnya. Memang sejak dulu sudah ada beberapa Damang yang beragama Kristen atau Islam, tetapi sebagian dari responden berpendapat idealnya seorang Damang Kepala Adat harus beragama Kaharingan. Mengingat sistem adat istiadat leluhur suku Dayak berakar dan bersumber dari sistem religi (agama Kaharingan). Karena itu sistem religi ternyata juga menjadi sendi dasar sistem hukum adat dan budaya Dayak yang sekarang ini sudah mulai mengalami perubahan dan pergeseran. Secara sosial kultur, Damang juga dianggap sebagai simbol adat yang dapat mewakili kelompok masyarakat adat. Karena itu para Damang sering dilibatkan dalam berbagai aktivitas politik praktis, baik pada level kecamatan maupun kabupaten yang umumnya akrab dengan pejabat-pejabat daerah memperkokoh kedudukan Damang dalam masyarakat walaupun hanya bersifat simbolik. Hal itu tampak dalam pengukuhan
119 120
Tim Peneliti Fakultas Hukum Unlam, 1990, op cit, hal.122. Y.Nathan Ilun, 1987, op cit, hal.111-112.
118
secara politis seorang pejabat tertentu yang bukan berasal dari putra daerah untuk diakui sebagai putra daerah, diperlukan adanya tindakan pengukuhan secara adat oleh para Damang yang ada di Palangkaraya. Kenyataannya menunjukan para Damang sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik para elit didaerah untuk mendapatkan pengaruh dimata mansyarakat, mengingat Damang sangat dominan pengaruhnya dalam masyarakat Dayak. Mereka juga diperlukan dalam hubungannya dengan penyambutan tamu atau pejabat yang memerlukan upacara adat, umumnya diperlukan dalam pelaksanaan perkawinan adat Dayak, walaupun dirasakan juga menyangkut figur Damang sendiri yang mulai kurang mendapat dukungan dari warga masyarakat setempat. 3.2.3. Dari Sudut Pemerintah Daerah Dari sudut pemerintahan daerah, sekalipun dalam struktur pemerintahan umum ditingkat Kecamatan maupun Desa, dan ketentuan hukum yang berlaku bahwa kedemangan tidak termasuk dalam jajaran struktur pemerintahan daerah namun secara faktual Kedemangan dapat di sejajarkan dalam struktur yang serupa dengan itu, hal itu tampak antara lain : a.
Adanya pengakuan Damang Kepala Adat dalam suatu jabatan formal oleh pemerintah daerah di Palangkaraya. Meskipun seorang Damang dipilih oleh warga tetapi kenyataannya Damang dilantik, diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah daerah melalui Keputusan Walikota. Hal itu menunjukan bahwa Damang Kepala Adat mempunyai landasan hukum formal untuk melaksanakan fungsinya sebagai pimpinan adat dalam wilayah kedemangan setempat.
b.
Adanya pemberian uang tunjangan (gajih) kepada Damang Kepala Adat sebesar Rp.980.000 per-bulan oleh pemerintah daerah di Palangkaraya, hal ini menunjukan
119
bahwa Damang Kepala Adat dapat digolongkan sebagai aparatur pemerintah yang khusus mengurus masalah adat. c.
Penetapan secara resmi Damang Kepala Adat berkedudukan di Kecamatan sebagai pembantu Camat dalam bidang urusan adat, menunjukan sangat kuatnya kedudukan Damang sebagai pejabat walaupun Damang itu bukan merupakan suatu jabatan struktural pemerintah daerah. Di sini, akan tampak bahwa lembaga kedemangan dan Damang Kepala Adat
telah menjalankan tugas ganda, disamping kedudukannya sebagai kepala adat, Damang juga pengemban tugas membantu kelancaran roda pemerintahan daerah. Mengenai kedudukan kedemangan dan Damang Kepala Adat hampir semua pejabat pemerintah di lapangan terutama para Camat menganggap keberadaan lembaga ini masih penting karena sangat membantu Camat terutama untuk menjaga kelestarian adat istiadat, hukum adat dan budaya daerah. 121
3.3. Kewenangan dan Fungsi Damang Kepala Adat Dalam Masyarakat Damang adalah kepala adat dari suatu kedemangan yang diangkat dan dipilih berdasarkan hasil pemilihan oleh para kepala desa, mantir adat dan pejabat kecamatan. Demang Kepala Adat
memiliki kewenangan dan fungsi dalam
melakukan
pengintegrasian terhadap proses pengendalian sosial masyarakat adat Dayak. Kewenangan dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. 122 Menurut Philipus M.Hadjon cara memperoleh kewenangan ada
121
122
520.
Tim Peneliti Fakultas Hukum Unlam, 1990, op cit, hal.124-125. W.J.S. Poerwadarmintra,1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN.Balai Pustaka,Jakarta, hal
120
dua cara yaitu
atribusi dan delegasi, di samping itu ada juga mandat. 123 Atribusi
merupakan kewenangan yang diperoleh bersumber dari Undang-undang. Delegasi diartikan kewenangan yang diperoleh karena ada penyerahan wewenang oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Mandat diartikan sebagai suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Ketiga komponen tersebut ditunjuk sebagai dasar hukum adanya standar wewenang, yaitu standar umum untuk semua jenis wewenang tertentu dan standar khusus untuk jenis wewenang tertentu. Mengacu pada pendapat dari Philipus M.Hadjon di atas, maka kewenangan dan fingsi Damang Kepala Adat sebagai Hakim Perdamaian Adat didasarkan pada kewenangan atribusi, kewenangan delegasi atau mandat tersebut. Istilah “fungsi” menunjuk kepada pekerjaan yang dilakukan dalam hal ini pekerjaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat yang ditugaskan oleh hukum karena jabatannya. Menurut ketentuan Pasal 3a RO yang mengatur mengenai wewenang Hakim Pedamaian Desa (hakim adat) di pedesaan adalah memeriksa dan mengadili menurut hukum adat perkara-perkara yang terjadi dalam masyarakat kecil-kecil (masyarakat adat). 124 Dari pengertian tersebut kiranya kewenangan itu merupakan salah satu syarat dalam menjalankan fungsi dan mengatur jalannya suatu pemerintahan adat kedemangan. Dengan demikian, Damang Kepala Adat dalam menjalankan fungsi sebagai Hakim Perdamaian Adat sangat erat kaitannya dengan adanya kewenangan yang dimiliki. Secara formal dasar kewenangan Damang Kepala Adat saat ini diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Dalam Peraturan Daerah tersebut secara jelas
123
Philipus M.Hadjon,1988, Tentang Penataan Hukum Administrasi,Tahun 1997/1998, Tentang Wewenang, Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, hal.2. 124 I Ketut Sudantra, 2007, op cit, hal.21.
121
disebutkan bahwa Damang Kepala Adat memiliki kewenangan untuk mengatur, mengurus dan membina persekutuan masyarakat hukum adat (kedemangan) yang dipimpinnya, Terkait masalah kewenangan dan fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dapat dilihat dalam Pasal 9 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, 125 yang menyatakan Damang Kepala Adat mempunyai fungsi, taitu: (a). Mengurus, melestarikan, memberdayakan dan mengembangkan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, hukum adat dan lembaga kedamangan yang dipimpinnya. (b). Menegakan hukum adat dengan menangani kasus atau sengketa berdasarkan hukum adat dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir. (c). Sebagai penengah dan pendamai atas sengketa yang timbul di dalam masyarakat berdasarkan hukum adat. (d). Selain itu Damang Kepala Adat juga mempunyai fungsi sebagai inisiator dalam sengketa antara para Damang untuk membawa penyelesaian terakhir ke tingkat Majelis Adat. Di sini tampak bahwa fungsi dan kewenangan Damang Kepala Adat sangat luas, bukan hanya sekedar melaksanakan tugas-tugas di bidang peradilan akan tetapi juga menyangkut tugas-tugas kemasyarakatan. Peradilan adat menjadi penting, karena tanpa ada peradilan adat maka tidak ada fungsi Damang Kepala Adat. Hal ini akan tampak lebih jelas lagi dari apa yang menjadi wewenang Damang Kepala Adat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 bahwa seorang Damang Kepala Adat memiliki wewenang, seperti : (a). Mewakili masyarakat adat ke dalam maupun ke luar dalam hal yang menyangkut kepentingan adat. (b). Mengelola hak-hak adat atau harta kekayaan kedamangan untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih layak dan lebih baik. (c). Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut adat istiadat, kebiasaankebiasan dan hak-hak adat masyarakat masyarakat adat Dayak.
125
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, op cit, hal.12-15.
122
(d). Menganugrahkan gelar adat kepada seseorang yang telah berjasa mengangkat harkat dan martabat masyarakat suku Dayak. (e). Menetapkan paraturan kedamangan, membuat surat keputusan, mengesahkan surat pernyataan, membuat surat keterangan tanah adat dan atau hak-hak adat di atas tanah. (f). Melaksanakan upacara adat, seperti perkawinan secara adat, penceraian secara adat dan lain-lain yang berkaitan dengan hukum adat sepanjang diminta oleh pihak-pihak berkepentingan. Sedangkan yang menjadi kewajiban Damang Kepala Adat menurut ketentuan Peraturan Daerah No 16 Tahun 2008 tersebut adalah untuk melakukan hal-hal sebagai berikut : (a). Membantu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan terutama dalam pemanfaatan hak-hak adat dan harta kekayaan kedemangan agar tetap memperhatikan kepentingan masyarakat adat setempat. (b). Ikut memelihara stabilitas daerah dan nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yag luas kepada aparat pemerintah terutama pemerintahan kecamatan/desa dalam melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis. (c). Ikut menciptakan suasana yang tetap dapat menjamin terpeliharanya semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam masyarakat di wilayahnya. (d). Mengawasi dan mengantisipasi budaya luar yang dipandang negatif dan dapat mengancam keberadaan adat dan budaya Dayak. (e). Selalu mengingatkan dan mendorong agar seluruh warga masyarakat Dayak ikut bertanggung jawab dalam menjaga melestarikan, mengembangkan dan membudayakan falsafah hidup “belom bahadat”. Adanya Peraturan Daerah tersebut ditunjuk sebagai dasar standar kewenangan Damang Kepala Adat dalam melaksanakan fungsi-fungsi peradilan adat. Meskipun demikian dalam melaksanakan tugasnya Damang Kepala Adat tidak boleh terlalu kaku dan terpaku pada norma-norma yang ada saja, mengingat apa yang terdapat dalam Peraturan Daerah tersebut sifatnya masih umum. Hal demikian telah disinggung oleh Van Vollenhoven bahwa kewajiban hakim adat untuk aanvulling van het adatrecht (menambah hukum adat) berdasar atas pertimbangan, bahwa perubahan yang cukup
123
besar (aanmerkelijk veranderde levensomstandigheden) di dalam situasi kehidupan rakyat menghendaki dibentuknya peraturan hukum baru. 126 Karena sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat maka hukum adat akan mengalami pasang surut, ada masa dimana ia mengalami perkembangan, ada masa hukum tersebut mengalami penciutan, dan selalu mengalami perubahan dan pergeseran seiring dengan perubahan yang terjadi dalam pola kehidupan masyarakat. Hukum adat itu terdiri atas tiga bagian yaitu bagian yang sudah mulai ditinggalkan, hukum adat yang sedang berlaku dan hukum adat yang baru terbentuk, karena itu tidak mungkin memaksa menegakan hukum adat yang sudah ditinggalkan, yang belum tentu sesuai dengan kondisi masa sekarang. Sangat tepat dikatakan Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa sekalipun penguasa menyatakan suatu ketentuan hukum tidak berlaku tetapi masyarakat yang bersangkutan mengakui dan mempertahankan hukum maka hukum tersebut tetap akan berlaku. Begitu juga sebaliknya kalau penguasa mempertahankan berlakukanya sustu ketentuan hukum tetpi masyarakat sudah meninggalkannya maka usaha tersebut akan sia-sia saja. 127 Dengan demikian Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat tidak diwajibkan harus mendasarkan putusannya atas peraturan-peraturan hukum yang positif telah berlaku, oleh sebab itu Damang berwenang untuk mewujudkan putusan menurut anggapannya sesuai dengan keinginan masyarakat artinya dalam penerapan hukum adat harus fleksibel.
126 127
R.Soepomo,(a), 2007, op cit, hal.41. H.Abdurrahman, 2005, op cit, hal.6.
124
BAB IV IMPLEMENTASI KEWENANGAN DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT 4.1. Kedemangan Sebagai Pelaksana Fungsi Peradilan Adat Masyarakat Dayak sebagian besar hidup dalam naungan hukum adat, norma adat dijadikan pedoman dalam mengatur kehidupan sosial. Sengketa dimasyarakat ditangani dan diselesaikan melalui lembaga kedemangan yang berfungsi sebagai lembaga peradilan adat diakui dan ditaati oleh masyarakat Dayak di Palangkaraya. Kelembagaan inilah yang oleh Lawrence M.Friedman dalam teorinya legal system disebut sebagai legal structure. 128 Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsi dalam mendukung bekerjannya sistem hukum tersebut. Hal yang sama, juga dikatakan Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah hukum dalam kenyataan di masyarakat. 129 Mengenai peranan lembaga kedemangan, Nathan Ilun dalam tulisannya yang berjudul “Tampung Buhul Warisan Purba Ragam Penunjang Tatakrama ‘Belom
128
129
Teori Lewrence M Friedman mengenai legal system telah diuraikan dalam Bab I tesis ini.
Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara Hukum dan Pembangunan bekerjasama dengan penerbit PT.Alumni, Bandung, hal.4.
125
Bahadat’ Warisan Budaya Asli Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah” menyatakan kalau dulu lembaga kedemangan berperan sebagai “Peradilan Perdata Adat” diubah menjadi “Hakim Perdamaian Adat” mengingat dan menyadari penerapan kesatuan hukum nasional, yang dipegang oleh hakim pengadilan negeri sudah mampu diandalkan oleh pemerintah. 130 Hal itu juga ditegaskan dalam Surat Edaran Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah tanggal 5 April 1983 No.180/1011/KUK, disebutkan bahwa lembaga kedemangan yang ada di Kalimantan Tengah adalah berfungsi sebagai “Hakim Perdamaian Desa” yang bertugas mendamaikan warga desa kalau misalnya ada perselisihan atau percekcokan tentang hak dan kepentingannya, baik perkara perdata maupun perkara pidana yang terjadi dilingkungannya. 131 Dalam penjelasan umum Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa “Lembaga kedemangan dapat dipandang sebagai lembaga sentral yang bertanggung jawab penuh atas tetap lestari, berdaya guna dan berkembangnya hukum adat Dayak, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan positif dalam kehidupan masyarakat adat”. Lembaga kedemangan sebagai lembaga adat Dayak yang hidup, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dengan kedudukan di Kecamatan dan oleh masyarakat Dayak tetap dipertahankan keberadaannya. Lembaga kedemangan juga mempunyai fungsi sebagai lembaga Hakim Perdamaian Adat secara ekplisit dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, menjelaskan bahwa lembaga
kedemangan
mempunyai
fungsi
melestarikan,
130
Y.Nathan Ilun,1987, op cit, hal.114.
131
Tim Peneliti Fakultas Hukum Unlam,1990, op cit, hal.110.
mengembangkan
dan
126
memberdayakan masyarakat adat Dayak beserta semua kearifan lokalnya”. 132 Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa kedemangan secara normatif mempunyai peranan penting dalam upaya memelihara ketertiban hukum di Palangkaraya, sekaligus juga dalam rangka menunjang pembangunan hukum nasional. Dalam melakukan penyelenggaraan pemerintahan kedemangan, peran Damang Kepala Adat sangat penting dalam melakukan perbuatan hukum baik kedalam maupun keluar. Terhadap masalah-masalah yang berupa kejahatan atau pelanggaran hukum adat yang terjadi di wilayah hukum kedemangan, biasanya Damang Kepala Adat dan Mantir Adat akan menyelesaikan permasalahan tersebut berdasarkan asas musyawarah perdamaian adat. Karena pada dasarnya orang Dayak sangat terbuka untuk melakukan musyawarah (barunding), dapat dikatakan bahwa musyawarah merupakan inti dari kehidupan masyarakat adat Dayak. Dalam hal penyelesaian perkara-perkara adat yang terjadi dalam kedemangan itu dilakukan secara berjenjang. Apabila perkara tersebut terjadi tingkat desa/kampung maka penyelesaiannya akan dilakukan oleh Mantir Adat Desa sebagai pemangku adat kampung atau desa. Apabila perkara tersebut tidak dapat diselesaikan pada tingkat kampong/desa atau karena perkara tersebut dianggap tergolong berat maka dapat dibawa langsung ketingkat kedemangan melalui Damang Kepala Adat. Bentuk dari penyelesaian perkara tersebut dapat berupa suatu keputusan atau perdamaian. Bentuk penyelesaian berupa keputusan diberikan bila melakukan pelanggaran hukum adat, sedangkan yang berupa perdamaian berlaku untuk kasus perselisihan atau sengketa dalam hal ini sengketa adat. Hal ini menunjukan bahwa Damang Kepala Adat sudah menjalankan fungsi-fungsi peradilan sepanjang kasus
132
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, op cit, hal.10.
127
diajukan kepadanya, keputusan-keputusan dalam kenyataannya masih diikuti oleh warga sepanjang tidak keluar dari kontek hukum adat. Damang Kepala Adat selaku pimpinan dalam masyarakat hukum adat memang mempunyai tugas memelihara hukum dengan semestinya, dalam setiap perkara yang dihadapkan kepadanya seorang Damang Kepala Adat harus terlebih dahulu melakukan pemilahan-pemilahan berdasarkan substansi perkara tersebut. Setelah masalah dianalisa, kemudian Damang Kepala Adat memutuskan apakah perkara itu menjadi kopetensi lembaga kedemangan ataukah kewenangan aparat pemerintah (kepolisian). Apabila perkara itu menurut Damang Kepala Adat berkaitan erat dengan masalah adat dan agama, maka perkara tersebut
dimintakan penyelesaiannya kepada lembaga
kedemangan, sebaliknya apabila perkara tersebut dianggap masalah kriminal murni dan tidak berhubungan dengan masalah adat dan agama maka tanpa keraguan Damang Kepala Adat membawa perkara tersebut kepada pihak aparat kepolisian untuk diselesaikan lebih lanjut. Memang diakui bahwa tidak semua perkara dapat diselesaikan pada tingkat kedemangan, menurut Suhardi Monong beberapa kasus yang tidak bisa ditangani oleh lembaga kedemangan, misalnya kasus korupsi, narkoba, teroris, dan perampokan, demikianlah menurut Damang Pahandut tersebut, 133 hal itu disebabkan kasus-kasus tersebut adalah perkara kriminal murni yang merupakan kewenangan aparat kepoisian untuk memprosesnya.
4.2. Kompetensi dan Yurisdiksi Hakim Perdamaian Adat Peradilan Adat adalah peradilan rakyat di pedesaan yang menyelesaikan perkara perselisihan secara damai dan kekeluargaan untuk merukunkan kembali para pihak yang
133
Wawancara dengan Suhardi Monong tanggal 18 Oktober 2010.
128
saling bertentangan, dengan sistem musyawarah dan mufakat menurut hukum adat masyarakat bersangkutan. Menurut Hilman Hadikusuma yang dimaksud dengan Peradilan adat adalah peradilan desa yang dilakukan pada masyarakat hukum adat baik yang bersifat teritorial maupun bersifat genealogis atau bilateral, seperti kerapatan nagari (Minangabau), kerapatan kuria (Batak), kerapatan marga (Sumatra Utara), kerapatan negorij (Maluku) atau kumpulan kerabat yang hingga sekarang masih hidup. 134 Sistem peradilan ini tidak tergantung pada peraturan perundang-undangan yang berlaku melainkan berdasarkan hukum adat yang berlaku pada masyarakat adat yang sudah melembaga. Penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat (Hakim Adat) tentu saja tidak membutuhkan prosedur-prosedur formal seperti yang terjadi di Pengadilan umum. Untuk di Palangkaraya lembaga yang melaksanakan fungsi sebagai peradilan adat adalah lembaga kedemangan. Pada umumnya suatu kedemangan dipimpin oleh perangkat yang disebut Damang Kepala Adat. Peranan Damang disamping tugasnya sebagai pimpinan persekutuan yang bertugas memelihara hidup rukun, ketentraman dan kesejahteraan dalam persekutuan, Damang juga mempunyai tugas lain yaitu sebagai Hakim Perdamaian Adat. Kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamian Adat bukan saja sebagai penengah tetapi juga sebagai pemakat diantara masyarakat yang berbeda adat dan kepentingan hidupnya. Seorang hakim memiliki tugas pokok untuk mengadili menurut hukum setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan seadil-adilnya, dengan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, jabatan dan kekayaan. 135
134
Hilman Hadikusuma,(a),1994, op cit, hal.212.
135
K.Wantjik Saleh, 1977, Kehakiman dan peradilan, Ghalia Indonesia, hal.39.
129
Selain menegakan keadilan, sang hakim adat juga bertugas untuk menegakan kembali hukum yang telah dilanggar. Dalam pengertian sempit, pengertian pelanggaran hukum adalah pelanggaran terhadap kaidah hukum yang tertulis saja. Sedangkan dalam artian luas, pelanggaran hukum adalah meliputi pelanggaran hukum yang tertulis dan hukum tidak tertulis, termasuk kebiasaan dalam masyarakat. Pengertian yang terakhir ini lebih dominan dianut dalam hukum adat. Hal ini terkait erat dengan sifat hukum adat yaitu sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, menjadi peganggan utama dalam system hukum adat Dayak di Palangkaraya. Pada hakikatnya bahwa tugas hakim adat dalam menegakan hukum adat, hkususnya dalam menegakan kembali peraturan-peraturan adat kedemangan yang telah dilanggar oleh para pihak atau si pelanggar dapat berjalan dengan baik dan lancer, apabila jiwa dari peraturan hukum adat yang ada sesuai dengan perasaan hukum dan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya, jika peraturan adat yang telah dilanggar itu tidak relevan lagi dengan realitas dalam masyarakat, hakim adat akan menemui kesulitan dalam menegakannya kembali. Apabila hakim memaksakan diri untuk menerapkan peraturan tersebut terhadap pristiwa konkret, besar kemungkinan akan terciptanya ketidakadilan. Dalam hal ini menurut R.Soepomo tugas penting seorang Kepala Adat adalah untuk menyelesaikan dan mendamaikan apabila ada perselisihan antara teman-teman sedesa, memulihkan perdamaian adat dan keseimbangan masyarakat desa apabila ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, dan berusaha untuk merukunkan para pihak yang bersengketa agar bisa hidup rukun seperti sediakala. Hakim Perdamaian Adat ini tetap diakui oleh pemerintah nasional Republik Indonesia
130
dalam Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951. 136 Selanjutnya Tjok Istri Putra Astiti, menyatakan meskipun lembaga peradilan ini sangat sederhana namun tidak dapat dipandang rendah, karena dalam menegakan hukum adat pada dasarnya Hakim Perdamaian Desa (hakim adat) menjalankan perannya yang mendidik, penegakan hukum didasarkan pada prinsip bahwa adanya hukum itu bukan untuk dilanggar melainkan untuk ditaati. Penjatuhan sanksi kepada si pelanggar bukanlah dimaksudkan untuk menghukumnya, melainkan sebagai upaya membuat ia merasa malu dan untuk mempengaruhi warga lainnya agar menyadari bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut merupakan ”keberatan batin”. Penerapan sanksi pada prinsipnya dilakukan dimuka umum atau dihadapan rapat warga dengan maksud menekan warga yang lainnya supaya tidak ikut melakukan perbuatan melanggar hukum. Disamping menerapkan sanksi, peradilan yang bersifat mendidik juga berkewajiban memberikan penjelasan kepada si-pelanggar hukum bahwa perbuatan yang dialkukannya itu keliru dan tidak baik, selanjutnya menasehatinya agar ia tidak mengulangi perbuatan seperti itu. Peranan Hakim Perdamaian Desa (hakim adat) mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam Pasal 13 ayat 1 R.I.B (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) menyatakan bahwa ”mereka harus mengikhtiarkan supaya penduduk desanya tetap dalam kesentosaan dan bersatu padu serta menyingkirkan segala sesuatu yang dapat menyebabkan perselisihan dan perbantahan”. Selanjutnya Pasal 13 ayat (2) R.I.B menyatakan, bahwa perselisihan yang kecil-kecil dan semata-mata hanya mengenai kepentingan penduduk desa itu saja, sedapat-dapatnya harus didamaikan
136
R.Soepomo,(a), 2007, op cit, hal.70.
131
dengan tidak berpihak dan dengan semufakat orang-orang tertua dari desa itu. 137 Untuk dapat menghadapi perkembangan yang demikian kompleks, seorang hakim desa (hakim adat) dituntut mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup mengenai caracara penyelesaian perkara adat secara damai. Berkaitan dengan itu, seorang hakim desa perlu memahami hukum adat yang berlaku di desanya, selain itu ia perlu melihat kembali apa yang telah ditempuh oleh para Damang dimasa lalu dalam menyelesaikan persoalan yang sejenis. Namun tidak berarti Hakim Perdamaian Desa (hakim adat) harus mengikuti secara mutlak, karena selain perlu berpedoman ke-masa lalu, juga perlu memperhatikan perubahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, Hakim Perdamaian Desa (hakim adat) dalam menyelesaikan kasus adat harus menerapkan hukum adat secara luwes, sesuai dengan sifat hukum adat itu sendiri yang senantiasa berubah mengikuti tempat, waktu, keadaaan dan perkembangan masyarakat (desa, kala, patra). 138 Kemudian, untuk menemukan cara pemecahan kasus adat yang sedang dihadapi Hakim Adat (hakim desa) juga perlu memahami tiga asas pokok (asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan yang menjadi pedoman dalam mencarikan pemecahan terhadap persoalan adat yang dihadapi. Asas kerukunan adalah suatu asas yang isinya berhubungan erat dengan pandangan dan sikap orang menghadapi hidup bersama dalam lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai suasana hidup bersama yang aman, tentram, dan sejahtera. Di dalam pengertian hukum adat “rukun” merupakan suatu asas kerja yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan perkara adat. Asas kepatutan merupakan asas yang menekankan perhatian kepada cara menemukan jawaban tentang
137
Tjok Istri Putra Astiti,1997, op cit, hal.4-5.
138
Tjok Istri Putra Astiti,1997, op cit, hal.12.
132
bagaimana kualitas suatu perkara dan status para pihak dapat diselamatkan sebaikbaiknya. Pada intinya sasaran utama dari asas ini adalah menghindarkan para pihak jatuh kedalam rasa malu. Dalam penerapan asas kepatutan Hakim Perdamaian Desa atau Hakim Perdamaian Adat tidak boleh bersikap kaku, melainkan harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di masyarakat, karena apa yang dianggap patut di masa lalu belum tentu dianggap patut di masa kini. Asas keselarasan adalah asas yang berkaitan dengan cara bagaimana melihat suatu persoalan itu secara bijaksana, sehingga pemecahan yang diberikan dapat diterima oleh para pihak dan masyarakat sebagai suatu yang melegakan perasaan. Sasaran utama dari asas ini adalah supaya para pihak dan masyarakat dapat menerima dan merasa puas terhadap pemecahan yang diberikan. Dengan demikian, sangat diperlukan kemampuan dan keahlian Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat untuk mengauasi cara-cara penyelesaian perkara secara damai atau perdamaian adat, sehingga memperoleh penyelesaian yang terbaik dan dapat memuaskan para pihak yang terlibat berperkara. Mengenai perkara-perkara yang terjadi di kedemangan Pahandut dan Sabangau sangat bervariasi, demikian pula sanksi yang dijatuhkanpun juga bervariasi. Secara umum perkara-perkara yang terjadi dalam wilayah kedemangan dapat dikwalifikasikan menjadi dua jenis, yaitu berupa pelanggaran adat dan berupa sengketa. Pelanggaran terhadap norma-norma hukum adat secara teoritis menurut kalangan para sarjana sering disebut dengan delik adat. Sebagaimana yang disebutkan oleh B.Ter Haar, berikut :
Di masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-rupanya yang dianggap suatu pelanggaran (delik) ialah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu barang-barang kehidupan materiil dan inmateriil orang seorang atau daripada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan), tindakan itu menimbulkan suatu
133
reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat ialah reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang dan uang). 139 Suatu hal yang penting dicatat dari rumusan di atas bahwa adanya unsur terganggunya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat sebagai unsur delik yaitu perbuatan dilarang. Dalam masyarakat Dayak keseimbangan yang senantiasa dipelihara adalah keseimbangan atau suasana harmonis antara sesama manusia, manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan para roh leluhur yang terangkum dalam konsep “belom bahadat”. Keselarasan unsur--unsur “belom bahadat” itulah yang dikehendaki oleh adat, agar dapat tercapainya tujuan bersama yaitu kesejahteraan, kedamaian lahir batin (ruhui tahayu, tuntung tulus). Pelanggaran adat menyangkut setiap gangguan keseimbangan hubungan antara unsur-unsur “belom bahadat” diatas. Di samping pelanggaran hukum adat, Damang Kepala Adat Pahandut dan Sabangau juga menangani perkara yang berupa sengketa. Sengketa dapat terjadi karena adanya konflik antara dua atau lebih pihak akibat ketidak sesuaian yang menyangkut nilai-nilai, perbedaan pendapat maupun perbedaan kepentingan. Secara umum sengketa atau konflik dapat diartikan sebagai sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, dan konflik tidak akan menjadi sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya meredam perasaan ketidak puasan atau keprihatinannya, sedangkan konflik akan berubah menjadi sengketa apabila pihak yang merasakan dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. Kemudian konflik akan menjadi sengketa bila konflik tersebut tidak dapat 139
Terkutif dalam Anak Agung Istri Atu Dewi, 2008, Eksistensi Adat Kasepekang Ditinjau Dari Perspetif Hak Asasi Manusia, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar, hal.124.
134
diselesaikan secara tuntas. 140 Bushar Muhamad menyatakan sengketa dalam kenyataannya bisa terjadi antar individu, antar kelompok, dan kelompok dengan pemerintah, perbuatan tersebut merupakan tindakan yang mengganggu kepentingan bersama dan oleh karena itu harus cepat diselesaikan secara arif dengan menggunakan pola penyelesaian perkara secara adat. Sebab masyarakat adat selalu menjunjung tinggi nilai kebersamaan, bilamana dibandingkan dengan nilai-nilai individual. 141 Artinya jika terjadi sengketa atau kejahatan dan pelanggaran hukum maka masyarakat merasakan adanya ketidak seimbangan dalam kehidupan masyarakat hukum adat, oleh karena itu masyarakat akan menyelesaikan perkara tersebut melalui mekanisme hukum adat. Berkaitan dengan kasus pelanggaran hukum adat dan sengketa yang ditangani oleh kedemangan Pahandut dan Sabangau ternyata cukup beragam. Keragaman obyek yang menjadi sumber konflik yang terjadi di kedua kedemangan tersebut dapat dikwalifikasikan dalam dua kelompok besar yaitu perkara yang berlatar belakang masalah adat murni dan perkara yang berlatar belakang campuran. Perkara yang berlatar belakang masalah adat murni yaitu suatu perkara yang berkaitan erat dengan adat dan agama. Sedangkan perkara yang berlatar belakang masalah campuran adalah suatu perkara yang terkaitan erat dengan pelanggaran hukum adat juga melanggar hukum lainnya. Di kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau, sengketa yang paling banyak terjadi dan diselesaikan oleh Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat adalah perkara antara individu melawan individu, seperti kasus perjinahan, perkelahian, penganiayaan ringan, kekerasan dalam rumah tangga, penceraian, dan kasus kecelakaan lalu lintas, yang selengkapnya diuraikan berikut ini : 140
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.1. 141
Bushar Muhamad, 1995, Pokok-pokok Hukum Adat, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, hal.61
135
1. Kasus di Kedemangan Pahandut Berdasarkan hasil penelitian pada kedemangan Pahandut dapat diketahui bahwa kasus yang masuk ke kedemangan Pahandut untuk periode tahun 2009 sampai tahun 2010 sangat beragam jenisnya, yaitu : a) Kasus Perjinahan Kasus terjadi pada tanggal 11 Agustus 2009 telah terjadi kelahiran anak diluar nikah (berjinah) dari seorang perempuan Ika Faridae Sari. Kejadian itu berawal kisah percintaan antara Wardiwet Dimie Mahat (32 tahun) status sudah punya istri, berselingkuh dengan Ika Faridae Sari (28 tahun) bujangan. Dari hubungan tersebut menyebabkan Faridae Sari hamil, hingga melahirkan anak perempuan diberi nama Angel Florencia. Kemudian pristiwa ini dilaporkan warga kepada Damang Kepala Adat Pahandut. Dalam kasus ini Damang Kepala Adat berupaya menegakan hukum adat yang telah dilanggar yaitu: (a) tekap bau mate (memasuki tempat tidur perempuan) dengan singer 30 kati ramu, (b) dusa sala (jinah) dengan singer 45 kati ramu, (c) saki tihi (upacara kehamilan) dengan singer 15 kati ramu, (d) palas bidan (biaya melahirkan) dengan singer 20 kati ramu, dan (e) diminta bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan tersebut. Kesimpulan jumlah denda adat yaitu (siger 110 kati ramu) dinilai rupiah menjadi 11 juta rupiah, sebagai ganti kerugian bagi Ika Faridae Sari. Karena kedua belah pihak tidak mau dinikahkan maka kepada mereka harus melakukan upacara pensucian (hasaki hapalas) untuk mensucikan alam sekitarnya yang tercemar akibat perbuatan jinah tersebut. b). Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kasus terjadi pada tanggal 19 April 2009 terjadi kekerasan dalam rumah tangga, dilakukan oleh Radison Laun (45 tahun) terhadap istrinya Elisabet Binti Margo (28
136
tahun). Kejadian itu berawal istrinya Elisabet minta cerai karena sering dipukul dan selalu diancam oleh suaminya Radison. Pada saat itu korban Elisabet langsung melapor kejadian pristiwa itu kepada kedemangan Pahandut. Sengketa tersebut akhirnya dapat diselesaikan dengan cara mediasi oleh Damang Kepala Adat. Kedua belah pihak diberi nasihat bahwa bercerai itu tidak baik apalagi dampaknya terhadap anak-anak. Ikatan kekeluargaan janganlah sampai retak hanya karena masalah-masalah yang tidak seberapa, yang menjadi tujuan berumah tangga adalah membina keluarga yang sejahtera dan hidup rukun. Selanjutnya Damang Kepala Adat menganjurkan kedua belah pihak untuk berdamai, akhirnya kedua belah pihak menerima untuk berdamai sehingga perkara tersebut dapat diselesaikan melalui suatu perdamaian adat. Dalam kasus ini Damang Kepala Adat memberikan sanksi adat (jipen:1) Radison Laun, yaitu membayar sejumlah uang adat dan mengadakan acara tampung tawar kepada pihak keluarga dan istrinya. Berdasarkan mediasi yang dilakukan oleh Damang Kepala Adat maka sengketapun dapat diselesaikan dengan baik.
c). Kasus Penganiayaan Ringan Kasus terjadi pada tanggal 25 Juni 2009 terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh Zaitun (52 tahun) terhadap Ariyanto,S.Pd (37 tahun) guru SDN-8 Langkai. Kejadian itu berawal Ariyanto,Spd seorang guru menjewer kuping muridnya Moh.Reza Arifansyah di sekolah, mengetahui perbuatan tersebut orang tua murid tidak terima. Kemudian orang tua murid (Zaitun ayah dari Moh.Reza) mendatangi sekolah menemui guru Ariyanto,S.Pd dan langsung memukulnya. Pristiwa pemukulan tersebut langsung dilaporkan Ariyanto,S.Pd kepada Kedamangan Pahandut. Kedua belah pihak diberi
137
nasihat bahwa sebaiknya sengketa diselesaikan secara kekeluargaan, akhirnya kedua belah pihak bersedia untuk berdamai melalui suatu bentuk perdamaian adat. Dalam kasus ini Damang menjatuhkan sanksi adat (singer: 2 kati ramu) kepada Zaitun orang tua dari Moh.Reza, mengganti biaya pengobatan guru Ariyanto,S.Pd yang (dinilai uang rupiah Rp.200.000) dan mengadakan acara tampung tawar, dengan demikian sengketa dapat diselesaikan dengan cara mediasi oleh Damang Kepala Adat. d). Kasus Penganiayaan Kasus terjadi pada tanggal 19 Maret 2009 terjadi penganiayaan dilakukan oleh Erni Sri Dewi (42 tahun), terhadap diri Etta Sunan Tua, (25 tahun). Kejadian itu berawal kisah perselingkuhan Etta Suanan Tua dengan suami Erni Sri Dewi, akibatnya terjadilah penganiayaan dengan kekerasan terhadap diri Etta Sunan Tua. Pada saat itu korban Etta Sunan Tua langsung melapor kejadian tersebut kepada kedemangan Pahandut. Sengketa tersebut diselesaikan dengan cara dimediasi oleh Damang Kepala Adat. Kedua belah pihak diberikan nasihat bahwa sengketa itu tidak baik, kalaulah salah harus minta maaf dan pihak yang merasa disakiti harus memberi maaf. Damang memberi jalan damai, akhirnya kedua belah pihak menerima untuk berdamai dan permasalahan pun dapat diselesaikan melalui perdamaian adat. e). Kasus Lalu Lintas Kasus terjadi pada tanggal 27 Mei 2009 terjadi kecelakaan lalu lintas sehingga mengakibatkan meninggalnya korban Erni Lisa D.Luhing (40 tahun). Kejadian itu berawal Erni Lisa bersama suaminya naik kendaraan bermotor mau pulang kerumah namun ditengah jalan diserepet mobil taksi kota, akibatnya Erni Lisa jatuh dari motor dan terlempar di aspal kemudian meninggal dunia. Pada saat itu oleh keluarga korban Efrida D.Luhing (52 tahun) melapor sopir taksi H. Salimi (40 tahun) kepada
138
Kedamangan Pahandut. Sengketa tersebut dimediasi oleh Damang Kepala Adat, kedua belah pihak diberi nasihat bahwa sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan. Damang menjatuhkan singer yaitu ganti biaya penguburan sebesar 10 juta rupiah kepada H.Salimi dan disanggupi oleh yang bersangkutan. Damang Kepala Adat menganjurkan kedua belah pihak untuk berdamai dan menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan, karena kecelakaan itu adalah suatu pristiwa yang tanpa disengaja, akhirnya kedua belah pihak bersedia berdamai dan perkara pun dapat diselesaikan melalui suatu perdamaian adat. f). Kasus Lalu Lintas Kasus terjadi pada tanggal 29 Juni 2009 terjadi kecelakaan lalu lintas (tabrakan) mengakibatkan meninggalnya korban Edite LP.Awan (42 tahun). Kejadian itu berawal ketika korban pulang dari kantor dengan mengendarai kendaraan bermotor tanpa disadari oleh korban dari arah yang berlawanan ada mobil kijang yang sedang melaju, dengan demikian terjadilah pristiwa tabrakan yang mengakibatkan Edite LP.Awan meninggal dunia.
Menyadari atas pristiwa itu pihak keluarga sopir kijang (Davit)
berinisiatif menyerahkan proses tersebut kepada Damang Pahandut. Damang kepala adat memberi nasihat sebaiknya masalah tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan, karena musibah tersebut tidak ada unsur disengaja. Akhirnya keluarga korban bersedia berdamai dan tidak menuntut pristiwa itu melalui jalur hukum positif, namun hanya meminta biaya pengurusan jenjah dan pemakaman. Sengketa tersebut akhirnya dapat diselesaikan dengan cara mediasi oleh Damang Kepala Adat. g). Kasus Lalu Lintas Kasus terjadi pada tanggal 30 September 2009 terjadi kecelakaan lalu lintas (tabrakan) mengakibatkan meninggalnya korban Titus (18 tahun). Kejadian itu berawal
139
ketika korban pulang sekolah dengan mengendarai kendaraan bermotor tanpa disadari oleh korban dari arah yang berlawanan ada mobil kijang super yang sedang melaju, sehingga terjadilah pristiwa tabrakan yang mengakibatkan Titus meninggal dunia ditempat. Menyadari pristiwa tersebut pihak keluarga sopir kijang (Sadri Jardi) berinisiatif menyerahkan proses tersebut kepada demang Pahandut. Dalam hal ini Demang Kepala Adat menyarankan agar pemasalahan tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan, karena pristiwa tersebut tidak ada unsur disengaja. Akhirnya keluarga korban bersedia berdamai, namun meminta biaya untuk perawatan jenajah dan penguburan sebesar 25 juta, kemudian disanggupi oleh Sadri Jardi (sopir mobil kijang super). Atas mediasi yang dilakukan oleh Damang Kepala Adat maka perkara tersebut dapat diselesaikan secara damai.
h). Kasus Lalu Lintas Kasus terjadi pada tanggal 6 Januari 2010 terjadi kecelakaan lalu lintas (tabrakan) mengakibatkan meninggalnya korban Sunan Tua (54 tahun). Kejadian itu berawal korban dengan mengendarai motor bermaksud menyeberangi perempatan jalan Cristopel Mihing, namun tanpa disadari oleh korban dari arah kanan ada kendaraan bermotor yang dikendarai Diyah Ayu Kusumastuti (27 tahun) yang sedang melaju, sehingga terjadilah pristiwa tabrakan yang mengakibatkan Sunan Tua meninggal dunia. Menyadari pristiwa tersebut pihak keluarga Diyah Ayu berinisiatif menyerahkan proses tersebut kepada Damang Pahandut. Atas perihal tersebut Damang menyarankan agar permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan, mengingat peristiwa tersebut tidak ada unsur disengaja. Akhirnya pihak keluarga korban bersedia untuk berdamai, namun meminta biaya pengurusan jenajah dan penguburan sebesar Rp.25 juta
140
rupiah, kemudian disanggupi oleh Diyah Ayu (pihak yang menabrak). Dengan melalui mediasi oleh Damang Kepala Adat maka permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara damai. Perkara-perkara tersebut di atas sebenarnya termasuk kategori sebagai perkara campuran (adat dan hukum lainnya) yang penangananya dilakukan oleh Damang sebagai Hakim Adat. Inisiatif penyelesaian kasus diatas datangnya dari para pihak yang menghendaki agar diselesaikan melalui lembaga kedamangan, karena dirasakan dapat memberikan rasa keadilan, prikemanusiaan, secara kekeluargaan dan bersifat perdamaian jangka panjang. i). Kasus Tanah Kasus tanah tersebut terjadi pada awal tahun 2009 lalu, dimana ahliwaris tanah menjual sebidang tanah kepada pengembang pasar besar Palangkaraya, padahal telah diketahui bahwa tanah tersebut sejak lama digunakan untuk kuburan bagi umat Kaharingan, akibatnya terjadi gugatan dari pihak keluarga pemilik makam diatasnya. Terhadap kasus Damang Pahandut telah berupaya untuk menyelesaikan secara adat tetapi nampaknya salah satu pihak lebih memilih untuk diselesaikan melalui jalur pengadilan negeri. Menurut keterangan Damang Pahandut (Suhardi Monong) bahwa sampai saat ini kasus tersebut masih dalam proses di pengadilan negeri dan masih belum ada putusan. 142
2. Kasus di Kedemangan Sabangau Mengenai perakara-perakara adat yang terjadi di kedemangan Sabangau sejak tahun 2009 sampai tahun 2010 sangat bervariasi, demikian pula jenis dan bentuk pelanggaran yang dilakukan warga pun bervariatif. Kalau dilihat dari permasalahan
142
Wawancar dengan Suhardi Monong tanggal 18 Oktober 2010.
141
yang menjadi obyek sengketa, sengketa yang paling banyak ditangani oleh kedemangan yang melaksanakan fungsi Hakim Perdamaian
Desa adalah menyangkut sengketa
antara individu dengan individu. Di kedemangan Sabangau perkara yang paling banyak terjadi dan dapat diselesaikan adalah perkara yang berlatar belakang agama dan adat. Akan tetapi karena di kedemangan Sabangau
tidak ada pembukuan yang khusus
mengenai data kasus, sehingga penulis mendapat kesulitan untuk menggali tentang perkara yang di tangani di kedemangan Sabangau. Sedangkan data yang berhasil dihimpun yaitu berupa data jumlah kasus yang ditangani, namun tidak menyebutkan secara rinci mengenai tepat, waktu, nama dan kronologis pristiwa yang terjadi. Mengenai perakara-perakara adat yang terjadi di kedemangan Sabangau sejak tahun 2009 sampai tahun 2010 adalah sebagai berikut : (a) kasus tanah ada sembilan kasus; (b) kasus rumah tangga (KDRT) ada tujuh kasus; (c) kasus perkelahian ada tiga kasus; (d)kasus pencurian ada dua kasus; (e) kasus perjinahan ada dua kasus; dan (f) kasus penceraian ada dua kasus. Perkara-perkara tersebut telah diselesaikan oleh Kedamangan Sabangau berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku. Menurut Damang Sabangau (Basel A Bangkan), bahwa tidak semua perkara dapat diselesaikan melalui lembaga kedemangan yang berfungsi sebagai lembaga peradilan adat. Basel, mencontohkan kasus perkelahian antara Rudi (30 tahun) dengan Masri (26 tahun) yang tidak bisa diselesaikan di tingkat kedamangan yang diteruskan kepada pihak kepolisian untuk diproses selanjutnya 143. Dilihat dari subtansi kasus tersebut, sejak kasus dilaporkan kepada Damang Sabangau jelas menampakan karakter sebagai perkara kriminal yaitu tindak pidana penganiayaan. Pristiwa terjadi pada saat pesta miras bersama, entah apa masalahnya sehingga terjadi pertengkaran mulut antara 143
Wawancara dengan Basel A.Bangkan tanggal 20 Oktober 2010.
142
Misri dan adik dari Rudi, mengetahui adiknya dipukul oleh Misri sepontan Rudi marah dan mendatangi tempat itu dan menusuk Misri, akibatnya Misri mengalami luka yang cukup parah. Kasus penganiayaan tersebut telah diproses oleh Damang Kepala Adat, namun keluargan korban tidak puas dan mengingikan kasus itu di selesaikan melalui jalur hukum publik. Ketika kasus ini tidak bisa diselesaikan di tingkat kedamangan, selanjutnya Damang Sabangau mengkordinasikan penyelesaian kasus ini dengan pihak kepolisian, untuk menyerahkan penyelesaian selanjutnya berdasarkan ketentuan hukum publik. Dengan demikian, antara kepolisian dan Damang sama-sama berperan dalam penyelesaian perkara baik secara mandiri maupun secara bersinergi, sehingga baik kelembagaan adat maupun kepolisian sama-sama melaksanakan fungsinya. Disinilah tampak bekerjanya faktor budaya hukum (legal cultur) pelaksanaan fungsi Hakim Perdamaian Adat di Kedamangan Sabangau. Uraian di atas memperlihatkan sejumlah kasus yang telah ditangani oleh Damang Pahandut dan Damang Sabangau dalam priode tahun 2009 sampai 2010, dari sekian kasus yang masuk ke kedemangan itu ternyata ada beberapa kasus yang tidak mampu di selesaikan pada tingkat kedamangan, sehingga harus melibatkan pihak luar kedemangan. Adanya kasus-kasus yang penyelesaiannya berlarut-larut dan tidak dapat diselesaikan di tingkat kedemangan tersebut, menunjukan bahwa Damang Kepala Adat maupun Mantir Adat kurang mampu melaksanakan peranannya sebagai Hakim Perdamaian Adat dengan baik, maka perlu dilakukan langkah-langkah tertentu untuk pemberdayaannya.
4.3. Pola-Pola dan Tatacara Penyelesaian Perkara Adat 4.3.1. Pola Penyelesaian Perkara Adat
143
Pola penyelesaian perkara adalah bentuk-bentuk atau rancangan yang secara ajeg, digunakan dalam penyelesaian perkara di lokasi penelitian sejak dahulu hingga sekarang, baik bentuk-bentuk yang digunakan sendiri-sendiri atau secara simultan. Pada dasarnya keseluruhan pola-pola penyelesaian perkara adat di kedemangan Pahandut dan Sabangau, dan apapun sifat keterlibatan pihak ketiga yang menangani proses penyelesaian perkara tersebut adalah suatu perdamaian. Hakim Perdamaian Adat adalah pihak ketiga dalam suatu penyelesaian perkara yang terjadi di dalam wilayah kedemangan. Namun perdamaian yang dimaksud dalam penyelesaian perkara melalui Hakim Perdamaian Adat di Palangkaraya, bukan perdamaian sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Atau yang biasa disebut (Penyelesaian Sengketa Alternatif/Alternatif Dispute Resolution). 144 Unsur non-litigasi pada Undangundang Arbitrase adalah pengaturan tentang Alternatif penyelesaian sengketa dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri untuk mencapai kesepakatan dan perdamaian. Pasal 1 ayat (1) undang-undang itu menyebutkan arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang dibuat pada perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Selanjutnya Pasal 1 ayat (3) undang-undang tersebut menentukan, perjanjian arbitrase adalah berupa kesepakatan yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Perdamaian yang dimaksud dalam penyelesaian perkara
144
I Wayan Wiryawan & I Ketut Artadi, 2009, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Udayana University Press, Denpasar, hal.26.
144
di Palangkaraya, bukan pula perdamaian sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab ke Delapanbelas Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam pasal-pasal tentang perdamaian yang memuat dalam Bab kedelapan belas harus dibuat secara tertulis dan di tandatangani secara bersama oleh para pihak yang berperkara. Penyelesaian perkara secara perdamaian adat di Palangkaraya, mendapat payung hukum dari Pasal 8 huruf (c) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, disebutkan bahwa Damang Kepala Adat bertugas menyelesaikan perselisihan, sengketa atau pelanggaran adat, dimungkinkan juga masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana, baik dalam pemeriksaan pertama maupun dalam sidang penyelesaian terakhir sebagaimana
lazimnya
menurut
adat
yang
berlaku.
Peraturan
Daerah
ini
mengakomodasi eksistensi kepala adat yang secara nyata masih mempunyai peran dalam menyelesaikan perkara antar warga di Palangkaraya. Sebenarnya, meskipun tidak ada undang-undang yang akan mengakuinya, di dalam pergaulan masyarakat sehari-hari penyelesaian perkara melalui perdamian adat akan tetap berjalan sesuai dengan kesadatan hukum masyarakat dan rasa keadilan yang dihayati masyarakat itu. Penyelesaian perkara yang berbasis lokal, sebagai hukum yang hidup (living law), akan tetap hidup selama ada budaya hukum masyarakat. Inilah yang menyebabkan penyelesaian perkara yang berbasis kearifan lokal bersifat terbuka, untuk segala pristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Ukurannya adalah rasa keadilan menurut kesadaran hukum masyarakat, sesuai dengan perkembangan tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra).
145
Karena berbasis kearifan lokal yang mendasarkan pada hukum adat yang tidak memisahkan antara hukum perdata dan pidana. Penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat di Palangkaraya, juga menyelesaikan kasus-kasus pidana yang termasuk delik aduan atau kasus-kasus yang sebenarnya telah diselesaikan oleh pengadilan, namun dianggap tidak memuaskan keadilan rakyat, sehingga masih dibutuhkan upaya-upaya adat untuk memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu. Dalam menyelesaikan akibat dari pristiwa yang telah mengganggu keseimbangan masyarakat, maka Damang Kepala Adat dan Mantir Adat biasanya menerapkan tindakan berupa pengganti kerugian immaterial seperti paksaan menikahi gadis yang dicemarkan, menanggung biaya hidup anak yang dialahirkan dari hubungan seks
diluar
nikah,
pembayaran
penggatian
kerugian
kepada
yang
terkena,
memerintahkan permintaan maaf dari pelaku kepada pihak-pihak yang dirugikan, pengasingan dari masyarakat seandainya hal yang terakhir ini dikehendaki oleh masyarakat, terkadang penyelesaian sengketa diakhiri dengan selamatan adat dan upacara pembersihan desa untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib. Selamatan merupakan materai, bahwa perdamaian telah mendapat legalitas secara kultur. Pada acara seperti ini, biasanya biaya ditanggung oleh pihak-pihak yang mengakibatkan keseimbangan dalam masyarakat terganggu. Sehingga tidak ada lagi dendam kesumat, hilang pula cibiran dari warga sekitarnya. Penyelesaian perkara secara perdamaian adat di Palangkaraya bersumber pada hukum tidak tertulis, yang biasa dikenal dengan hukum adat. Agar fungsi hukum tersebut dapat berjalan, maka hukum tidak boleh statis, dan harus berkembang sesuai perkembangan zaman (desa, kala, patra).
146
Berdasarkan penelitian sifat keterlibatan Damang Kepala Adat, Mantir Adat yang menangani proses penyelesaian perkara di lapangan penelitian, terdapat tiga pola yang berlaku secara ajeg, berlaku sejak dahulu kala. Pola-pola penyelesaian perkara tersebut adalah berupa konsultasi (barunding), negosiasi (hapakat), dan mediasi (nyangkelang). 1). Negosiasi (barunding) Dalam bahasa sehari-hari di Palangkaraya, negosiasi diartikan sebagai barunding, yang berarti berunding atau bermufakat. Jika dalam hubungan dua orang manusia atau kelompok situasi mulai ‘memanas’ maka orang-orang Dayak akan mengatakan ela hakalawan keleh hapakat maksudnya, bila ada sesuatu yang tidak mengenakan hati, lebih baik dimusyawarahkan atau dibicarakan bersama. Kata negosiasi berasal dari bahasa Inggris ‘negotiation’ yang berarti perundingan. Negosiasi dilakukan dengan pertemuan langsung oleh pihak-pihak yang bersengketa atau yang mewakilinya, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Melalui negosiasi (hapakat) para pihak yang berperkara atau berselisih dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak. Pemecahan masalah yang mereka hadapi dilakukan mereka berdua, mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang mencampuri. Kedua pihak berupaya untuk saling meyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada. Kasus (tabrakan) yang terjadi di jalan raya Pulang Pisau Kuala Kurun, dapat dijadikan contoh tentang keberhasilan sebuah negosiasi. Pristiwa tersebut menewaskan Edite LP.Awan (42 tahun), seorang guru sekolah dasar negeri (SDN) Pahawan. Hasil negosiasi menghasilkan kesepakatan bahwa kasus tersebut tidak dilanjutkan melalui
147
jalur hukum positif, karena semata-mata dianggap sebagai musibah, walau korban tewas ditempat kejadian. Namun masih ada permintaan dari keluarga korban, yaitu santunan terhadap biaya pemakaman korban hingga selesai acara 40 hari mengenang kematian. Permintaan tersebut disanggupi oleh pihak pelaku. Keberhasilan negosiasi ini karena para pihak menganggap pihak lawan tidak sebagai musuh, namun sebagai sejawat untuk mencapai kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan akal sehat untuk menjajaki kerja sama. Tujuannya adalah untuk mencari penyelesaian yang adil berdasarkan objektivitas dan fakta-fakta yang dapat dipercaya. Negosiasi tidak selamanya menghasilkan kesepakatan. Bisa saja suatu ketika mengalami kebuntuan. Hal tersebut disebabkan masing-masing pihak bersikukuh pada pendiriannya dalam rangka mempertahankan kepentingannya. Negosiasi dapat tercapai dengan baik apabila para pihak yang bersengketa penuh kesadaran untuk bersedia bernegosiasi secara sukarela. Hasil wawancara menujukan, proses negosiasi diatas dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, pihak-pihak yang berperkara mempersiapkan mengenai apa yang dibutuhkan atau yang dikehendaki dari negosiasi yang akan berlangsung tersebut. Dalam tahap ini, pihak-pihak yang berperkara juga sudah menentukan pilihan-pilihan kebutuhan lain, apabila pilihan utama tidak bisa didapat dengan maksimal. Pada tahap ini pula pihak-pihak yang berperkara perlu memperkirakan apa yang dibutuhkan atau kepentingan pihak lawan, strategi mengenai sejauh mana informasi tertentu harus diberikan, serta memperkirakan sejauhmana negosiator lawan dapat dipercaya. Kedua, adalah tahap tawar-menawar. Jika negosiasi ingin berhasil, tidak boleh ada pihak-pihak yang memberikan ‘harga mati’ terhadap suatu tawaran. Jika ada tawaran yang ekstrem, hendaklah ditunggu sampai terjadi modifikasi penawaran. Hendaklah dicari titik tengah
148
antara dua tawaran, agar mencapai titik yang memuaskan. Ketiga, adalah pemberian konsensi (kelonggaran), dengan cara menurunkan tawaran sampai pada batas tertentu yang dikehendaki. Manuver seorang negosiator tentu tergantung pada seberapa jauh ia akan menjaga hubungan baik dengan negosiator pihak lawan, seberapa besar penghargaan kepada kehendak atau keinginan pihak lawan, dan pandangannya tentang keadilan, kejujuran dan kemanusiaan. Keempat, adalah tahap terakhir, tahap ini berupa pelaksanaan negosiasi. Prosesnya dilakukan dengan membuat rincian akhir kesepakatan, dan diformalisasikan menurut keinginan pihak-pihak yang bersengketa, sehingga hasilhasil negosiasi dapat dilaksanakan. 2). Konsultasi (hapakat) Disebut konsultasi (hapakat), karena dalam penyelesaian perkara pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa meminta pendapat/nasihat pihak lain untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam menyelesaikan perkara yang terjadi. Dalam pola seperti ini, konsultan memberi pandangan-pandangan dari segi hukum misalnya, dan tidak ada kewajiban bagi pihak-pihak yang berperkara untuk menaati. Hal ini terlihat dalam kasus penganiayaan yang dilanjutkan kepengadilan antara Rudi (30 tahun) terhadap Masri (26 tahun) adalah salah satu contoh. Dalam kasus ini, Damang Kepala Adat setempat memberi konsultasi kepada kedua belah pihak atas permintaan pihak-pihak yang berperkara. Dipilihnya Damang Kepala Adat sebagai juru runding oleh kedua belah pihak dengan alasan, Damang Kepala Adat dipandang mengetahui peraturan-peraturan hukum untuk menyelesaikan perkara. Di samping itu, karena kasus perkelahian tersebut terjadi dalam wilayah hukum kedemangan setempat, juga merupakan kewenangan dari Damang Kepala Adat untuk menanggani setiap kasus yang terjadi dalam wilayah kedemangan yang dipimpinnya. Dalam perkara ini Damang Kepala Adat hanya sebagai
149
juru damai (juru runding) dan tidak berpihak kepada pihak-pihak yang berperkara. Pihak ketiga itu disebut “mediator” atau “penengah” yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang berperkara dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Keputusan mengenai penyelesaian perkara akan diambil sendiri oleh para pihak. Namun, dalam kasus ini konsultan diberi kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian perkara yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang berperkara, sehingga perdamaian dapat dicapai. 3). Mediasi (nyangkelang). Sebagai suatu proses penyelesaian perkara atau sengketa dengan bantuan seseorang perantara yang bersikap netral serta tidak memihak yang disebut mediator (nyangkelang). Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua pihak yang berperkara atau ditunjukan oleh pihak yang berwenang untuk itu. Dalam penyelesaian perkara dengan mediasi (nyangkelang) tidak terdapat unsur paksaan, karena para pihak secara sukarela meminta kepada mediator untuk menyelesaikan perkara mereka. Walaupun bersifat netral, namun mediator bersifat aktif untuk membantu para pihak untuk menyatukan pandangan atau persepsi, hingga pertentangan dapat diselesaikan. Dalam kasus sengketa rumah tangga (penceraian) antara Ny.Yetti M.Barau (43 tahun) dan Saliter E.Dohong (52 tahun) di Kelurahan Sabaru (wilayah kedemangan Sabangau), bentuk mediasi bisa berlaku dengan memadai karena mediator dapat menyatukan persepsi yang diamaksud. Ny.Yetti meminta cerai dengan suaminya karena sudah tidak tahan dengan kelakuan Saliter yang berselingkuh bahkan telah menikah tanpa ijin dari Ny.Yeti selaku istri yang sah. Basel A.Bangkan sekalu Damang Kepala Adat Sabangau sebagai mediator berhasil meredam suasana panas dari pihak Ny.Yetti, sehingga mengharuskan mereka untuk bercerai
karena
mempertimbangkan
perbuatan
Saliter
E.Dohong
yang telah
150
berselingkuh dan telah menikah dengan perempuan lain sehingga keluarga rumah tangga mereka menjadi berantakan. Namun masih ada permintaan dari Ny.Yetti yaitu harta benda (harta gono gini) hasil perkawian Saliter dan Ny.Yetti, yaitu rumah dengan isinya dan tanah tempat tinggal di kelurahan Sabaru, kemudian sebidang tanah ukuran 25 x 50m terletak di desa taruna jaya, dua bidang kebun karet di Sei gita kecamatan Mantangai dan dua buah sepeda motor merek Suzuki Tornado dan Honda Supra menjadi hak bersama anak-anak mereka. Tidak hanya itu Saliter E.Dohong juga harus bertanggung jawab penuh terhadap biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya yang belum dewasa dan masih bersekolah. Permintaan tersebut disanggupi oleh Saliter E.Dohong. Dalam kasus ini mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan kehendak dan kemauan para pihak yang bersengketa. Sebagai pihak yang berada diluar perkara, mediator tidak memiliki kewenangan memaksa. Namun mediator mempunyai kewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mendapatkan masukan mengenai pokok persoalaan yang disengketakan oleh para pihak. Dari sini, mediator dapat menentukan duduk persoalan yang sebenarnya, sehingga dapat menyusun rencana penyelesaian yang kemudian dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung. Mediator dalam kasus ini harus menciptakan keadaan yang kondusif bagi terselenggaranya kesepakatan di antara kedua belah pihak yang brsengketa untuk mendatangkan putusan yang saling mengutungkan (win-win). Untuk itu, seorang mediator membantu para pihak mengemas persoalan yang ada agar menjadi persoalan yang dapat dihadapi secara bersama. Selain itu, mediator juga harus mengemas berbagai pilihan penyelesaian perkara yang dapat disepakati kedua belah pihak. Oleh karena itu seorang mediator seyogianya dapat mempertemukan
151
kepentingan-kepentingan kedua belah pihak yang saling berbeda tersebut untuk mencapai titik temu, serta mengendalikan emosi kedua belah pihak. Dengan bekal ini mediator dapat menilai alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin, serta mendapatkan pemecahan yang kreatif bagi sengketa mereka. Dalam kasus ini, seorang mediator mendorong para pihak dalam proses tawar-menawar dan memahami proses mediasi. Dengan kekayaan informasi yang dimiliki, setelah dianalisis, mediator Damang Kepala Adat membuat rumusan kesepakatan bersama sebagai solusi yang akan ditindak lanjuti secara bersama pula. Dalam pelaksanaannya, ia mengawasi aturan-aturan perundingan agar perdebatan yang terjadi dapat berlangsung dengan cara-cara santun. Ketika salah satu pihak tampak lebih dominan, dengan pengalaman yang ada seorang mediator mendorong pihak yang kurang mampu untuk lebih dapat mengemukakan pandangannya. Dengan demikian, pola penyelesaian perkara yang dilakukan oleh Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dapat dikualifikasikan sebagai pola-pola penyelesaian mediasi.
4.3.2. Tatacara penyelesaian Perkara adat Cara penyelesaian perkara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu metode yang dipakai dalam menyelesaikan suatu perkara, yang disesuaikan dengan efektivitas maupun efesiensi terkait dengan waktu, biaya, tenaga, syarat-syarat penyelesaian sengketa, posisi tawar, ketidak puasan, penggunaan power yang berlebihan. Setiap komonitas sesuai dengan kearifan lokalnya akan menegakan kebenaran dan keadilan dengan caranya masing-masing, sebagai kebutuhan dasar yang menjadi basis kehidupan sosialnya. Cara penegakan
kebenaran dan keadilan yang
berdimensi lokal yang lebih natural dalam bekerja, tidak begitu saja lenyap dengan
152
hadirnya hukum nasional. Ia hanya tertutup oleh kibaran hukum nasional, namun sekalisekali ia akan menyeruak ke luar melalui celah-celah sempit manakala kekuatan hukum negara melemah atau adanya resistensi masyarakat karena menganggap hukum negara tidak mampu melindungi hak-hak mereka. Hukum tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan cara berpikir masyarakat, karena hukum lahir dari masyarakat. Setiap produk hukum yang dibuat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat, harus melihat dan mengikuti kebudayaan di mana hukum tersebut akan diterapkan. Hukum tidak akan efektif apabila dipaksakan berlaku kepada masyarakat. Hukum tidak akan bisa meminggirkan semua kekuatan-kekuatan lokal masyarakat dalam mengatur dirinya sendiri. Oleh karena itu diperlukan pola dan cara penyelesaian perkara, agar masyarakat dapat memperoleh keadilan yang didambakannya. Salah satu bentuk pintu solusinya ialah melalui pola penyelesaian perkara secara damai dan kekeluargaan. 1). Penyelesaian Perkara Melalui Hakim Perdamaian Adat Bersifat Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat yang dikembangkan di Palangkaraya bukanlah suatu pilihan yang dimaksudkan untuk menafikan hukum negara, namun untuk
berhukum dengan cara yang lebih cerdas, bermakna dan
berbudaya. Menjalankan hukum dengan tidak mempersempit arti dari praktik menjalankan undang-undang secara hitam putih, dengan melakukan penyelesaian perkara secara perdamaian adat telah menjadi kenyataan bukan hanya selogan-selogan yang hampa. Bagi masyarakat Dayak, menjalankan hukum dengan menerapkan undangundang dan peraturan tertulis tentu tidak salah. Namun apabila penerapan undangundang belum membuat masyarakat merasa bahagia, tentu masih ada yang perlu dicermati. Masyarakat membutuhkan solusi yang sederhana, cepat, kreatif dan bersifat
153
perdamaian abadi. Sederhana, dalam arti tidak memerlukan syarat-syarat formalitas dan melalui tahapan birokrasi yang panjang. Cepat artinya tidak bertele-tele dan tidak memakan waktu lama dalam waktu segera. Pengertian kreatif yaitu mengandung trobosan-trobosan sebagai suatu solusi yang disepakati oleh para pihak yang berperkara. Perdamaian abadi, dalam arti hasil penyelesaian perkara yang dapat dipertahankan untuk jangka panjang kemudian antara para pihak dapat hidup rukun kembali sebagaimana sebelumnya. Karena yang menangani adalah kepala adat yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, dalam kasus ini Damang Kepala Adat. Karena sesungguhnya mereka lebih memahami, lebih peka dan lebih cepat bertindak dibandingkan dengan pengadilan atau pihak di luar kedemangan dalam menangani permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adat. Sederhana, cepat, kreatif dan bersifat perdamaian abadi menjadi tujuan penyelesaian perkara secara perdamaian adat akan nampak pada prosedur, aturan penyelesaian. Dalam penyelesaian perkara secara perdamaian adat, prosedur yang dijalankan sangat informal, karena tak perlu memakai prosedur-prosedur yang ditentukan dalam hukum acara. Sedangkan pada penyelesaian perkara litigasi, prosedurnya sangat formalistik dan teknis. Dalam hal pembuktian selalu menurut ketentuan perundang-undangan yang sangat teknis. Salah satu keuntungan penyelesaian perkara melalui Hakim Perdamaian Adat memiliki keuntungan biaya ringan, sedangkan penyelesaian perkara melalui peradilan umum memakan biaya sangat mahal dan waktu yang cukup lama, termasuk kewajiban untuk membayar pengacara. Dalam kasus perdata yang tak kunjung usai, bisa saja terjadi biaya perkara melampaui jumlah hasil kemenangan yang diperoleh. Bahkan ada pepatah lama yang mengatakan bahwa berperkara di pengadilan “menang jadi arang, kalah jadi debu” kemudian “melapor
154
kehilangan kambing, malah kehilangan sapi” mengandung makna bahwa betapa mahalnya biaya berperkara di pengadilan. Oleh sebab itu umumnya orang Dayak sangat menghindari untuk berurusan dengan aparat hukum atau hukum formal, dan cendrung minta untuk diselesaikan secara adat. 2). Penyelesaian Perkara Melalui Hakim Perdamaian Adat Bersifat Sukarela Penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat di Palangkaraya tidak terlepas dari budaya masyarakat Dayak tersebut. Pada umumnya, masyarakat Dayak lebih mengunggulkan nilai moral (keiklasan, keparcayaan, kejujuran) dari pada kebenaran yang dihasilkan oleh hukum negara. Bagi kebanyakan orang Dayak, berperkara di pengadilan merupakan bentuk kegagalan menjalankan etika tradisional asli orang Dayak dan itu sangat memalukan. Kebanyakan orang Dayak tidak mau terjebak dalam cara-cara legalistik, melainkan sangat menjunjung penyelesaian yang bersifat dari hati ke hati tanpa menggunakan hukum negara. Cara berhukum seperti ini, tidak bisa dilepaskan dari watak sosial masyarakatnya. Seseorang itu selalu dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosialnya. Sukarela dan keiklasan merupakan sifat dasar dalam penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat. Dalam penyelesaian sengketa melalui Hakim Perdamaian Adat tidak dibenarkan melakukan paksaan terhadap para pihak yang berperkara, sepanjang para pihak bersepakat menyerahkan penyelesaian secara damai maka Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat akan menyelesaikan perkara itu secara hukum adat yang berlaku. Oleh sebab itu para pihak yang berperkara harus berjiwa besar untuk menerima keputusan Damang Kepala Adat dalam bentuk sanksi adat sebagai bentuk pertanggung jawaban atas pelanggaran yang dilakukannya. Hubungan kerja sama dimasa depan merupakan hal penting bagi kedua belah pihak dalam hal ini tidak ada
155
yang dikalahkan atau dimenangkan, apabila ada kemenangan itu adalah kemenangan semua pihak. Dalam penyelesaian perkara secara perdamaian adat, kesepakatankesepakatan dinegosiasikan secara sukarela dengan memperhatikan kebutuhankebutuhan pihak-pihak yang terlibat. Karenanya proses ini jauh lebih mampu mempertahankan hubungan-hubungan kerjasama yang sedang berjalan maupun untuk waktu yang akan datang dari pada prosedur kalah menang seperti yang terjadi di pengadilan. 3). Penyelesaian Perkara Melalui Hakim Perdamaian Adat Menjamin Kerahasiaan Bagi Setiap Pihak Penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat dapat memberikan jaminan kerahasiaan yang sama besarnya bagi para pihak yang berperkara. Sifat rahasia ini dikarenakan hasil penyelesaian perkara sampai taraf tertentu tertutup untuk umum. Dengan demikian tetap terpelihara nama baik para pihak dalam pergaulan masyarakat. Hal-hal yang tak perlu tersebar keluar, yang tahu hanya mediator, negosiator, atau orang-orang tertentu yang membantu jalannya penyelesaian perkara tersebut. Berbeda dengan penyelesaian perkara melalui sidang di pengadilan umum lebih bersifat terbuka yang dapat menjatuhkan martabat seseorang. Jika pun dalam kasus-kasus yang menyangkut kejahatan kesusilaan atau yang terdakwanya anak-anak pemeriksaannya dalam sidang terbuka. Ini tentu berbeda dengan penyelesaian perkara melalui Perdamaian Adat yang hasilnya tetap hanya diketahui oleh pihak-pihak yang berperkara dan lingkup kecil yang terlibat di dalamnya.
4). Penyelesaian Perkara Melalui Hakim Perdamaian Adat Lebih Fleksibel
156
Dalam pola penyelesaian perkara secara Hakim Perdamaian Adat di atas, para pihak dapat menegosiasikan sendiri hal-hal yang menjadi sengketa, sehingga mempunyai control yang lebih besar terhadap hasil-hasil penyelesaian perkara. Orangorang Dayak di Palangkaraya dalam menyelesaikan perkara berupaya menegosiasikan sendiri masalahnya. Dengan cara ini sering kali mereka merasa lebih banyak keleluasaan dari pada melalui pengacara misalnya. Cara-cara seperti ini akan lebih melestarikan hubungan antara pihak-pihak yang berperkara, atau apabila hubungan terpaksa menjadi renggang, dilakukan dengan cara yang lebih ramah. Dengan fleksibelitas yang tinggi, memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian perkara secara damai menghindarkan diri dari jebakan-jebakan untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah seperti halnya dalam penyelesaian perkara melalui jalur litigasi. Penyelesaian perkara Hakim Perdamaian Adat di Palangkaraya sejak lama mendapat tempat di hati masyarakat, karena memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian perkara mengembangkan cara penyelesaian perkara yang lebih kondusif dalam membahas penyebab-penyebab pokok dari persengketaan, serta dalam mencari solusinya. Prosedur ini memeperkecil kendala-kendala sebagaimana yang terjadi dalam prosedur judicial yang kaku karena keras pada prinsip dan sering mengakibatkan bergejolaknya emosi. Demikianlah cara-cara penyelesaian perkara yang berlaku di kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau. Dalam Hukum Adat Dayak (96 pasal hukum adat Dayak hasil perdamaian Tumbang Anoi 1894) tidak ada penjelasan mengenai prosedur dan tatacara penyelesaian perkara adat. Sementara di dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 tahun 2008 yang dimaksudkan dalam Pasal 27, sehingga harus ditafsirkan dengan penafsiran hukum yang ada. Adapun prosedur dan tatacara
157
penyelesaian perkara dimaksud dalam Pasal 27 disebutkan, bahwa setiap perkara adat yang diajukan kepada Damang Kepala Adat baik pada tingkat desa maupun pada tingkat kecamatan, wajib untuk diterima, diproses dan diputuskan 145 tampaknya Peraturan Daerah tersebut menghendaki adanya suatu kepastian hukum dalam penyelesaian suatu perkara dengan memberikan kewenangan kepada Damang Kepala Adat dan Mantir Adat yang melaksanakan fungsi Hakim Adat untuk menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ditinjau dari ajaran menyelesaikan dan ajaran memutus perkara yang diajukan oleh Koesnoe, sangat relevan dengan kondisi kedemangan di Palangkaraya. Karena di dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 sebagaimana disebutkan Pasal 27 diatas, dengan tegas menyatakan bahwa Damang Kepala Adat wajib untuk menyelesaikan, memproses dan memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Koesnoe, mengajarkan ada dua cara penggarapan suatu perkara adat yaitu menyelesaikan dan memutus. Dalam ajaran menyelesaikan, penggarapan suatu perkara haruslah sedemikian rupa sehingga pihak-pihak yang berselisih dikemudian hari dapat meneruskan kehidupan bersama kembali sebagaimana sebelumnya. Dalam menggarap persengketaan secara demikian masing-masing pihak dilihat sebagai seorang manusia yang merupakan bagian tak terpisahkan baik satu dengan yang lainnya maupun dengan lingkungannya. Segala sesuatunya diperhitungkan, seperti perasaan-perasaannya, kepentingan-kepentingannya dan integrasinya sebagai orang dalam masyarakatnya. Untuk itulah pengertian hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang berlawanan ditempatkan dalam rangkaian dari segala segi kehidupan yang ada. Bilamana untuk itu dibutuhkan pengorbanan itu bukan untuk dapat ditukar dengan kewajiban dari pihak 145
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.16 Tahun 2008, op cit, hal.24.
158
lain secara seimbang, disini bukan masalah “kalah-menang” dari salah satu pihak, melainkan kembalinya keadaan keseimbangan yang terganggu sehingga masing-masing pihak dapat hidup bersama kembali dalam kehidupan dan ikatan dengan keseluruhan secara tenang, tentram dan sejahtera. Selanjutnya ajaran memutus, bahwa suatu perselisihan tidak mungkin digarap secara penyelesaian, sehingga perlu adanya suatu langkah yang bersifat tegas dan jelas dengan tidak usah menghawatirkan konsekwensikonsekwensi yang timbul tentang kembali tidaknya keadaan semula yang telah terganggu. Dalam sikap yang demikian, segi-segi hak dan kewajiban mendapat perhatian yang menonjol. Dalam menenetukan jawaban yang harus diberikan terhadap persoalan yang dihadapi, jalannya ialah memberikan jawaban dengan perumusanperumusan yang rinci dan tegas apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing. Persoalan apakah pihak-pihak yang bersangkutan akan kembali atau tidak ke dalam kehidupan sehari-harinya sebagaimana semula, tidak begitu menjadi perhatian penting. Dalam ajaran memutus lebih menitik beratkan pada pertimbangan-pertimbangan akal sehat dan lebih pada apa yang sebenarnya oleh sebab itu keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan YME dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. 146 Berdasarkan hasil penelitian, ajaran memutus dalam penggarapan suatu perkara digunakan dalam perkara-perkara pelanggaran hukum (aturan adat, hasil kerapatan adat, putusan kedemangan) seperti yang terjadi dalam kasus perjinahan di kedemangan Pahandut. Dalam penanganan kasus tersebut ketentuan hukum adat benar-benar dilaksanakan secara konsekwen. Dalam penggarapan perkara ini, diselenggarakan sidang adat (basara) yang dihadiri Damang Kepala Adat, Mantir Adat dan let adat. 146
Moh.Koesnoe, 1979, op cit, hal.49.
159
Pelaku perjinahan dihadirkan dan didengar keterangannya. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan sifat pelanggaran. Sidang adat (basara) yang dipimpin Damang Kepala Adat kemudian memutuskan bahwa pelaku telah bersalah melakukan perbuatan berjinah sehingga terhadapnya dijatuhkan sanksi (jipen/singer) yaitu membayar sejumlah uang adat kepada si-wanita, bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan dari perbuatan jinah tersebut. Kemudian diwajibkan melakukan upacara pensucian (hasaki hapalas) untuk membersihkan masyarakat yang tercemar akibat perbuatan jinah tersebut. Adapun tujuan penjatuhan sanksi tersebut adalah untuk mengembalikan kesucian kampung/desa. Lain dari penanganan perkara yang berupa pelanggaran hukum, terhadap perkara-perkara yang berupa sengketa tampaknya ajaran menyelesaikan yang diterapkan oleh Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat di kedemangan Pahandut dan Sabangau. Dalam penanganan perkara yang berupa sengketa, biasanya salah satu pihak atau oleh keluarga yang bersengketa melapor, kepada Damang Kepala Adat, menyampaikan permasalahan
yang
dihadapinya
dan
memohon
bantuan
Damang
untuk
menyelesaikannya. Damang Kepala Adat kemudian memanggil para pihak yang bersengketa untuk diajak berunding. Dengan kata-kata yang halus dan penuh simpatik, biasanya Damang Kepala Adat meminta masing-masing pihak untuk menyampaikan masalahnya, keinginan-keinginannya dan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan masalahnya.
Damang
memberikan
pertimbangan-pertimbangan
dengan
tetap
menekankan agar setiap masalah supaya diselesaikan secara baik-baik dengan mengutamakan asas kekeluargaan dan kerukunan (saling memberi dan saling menerima) sehingga masalah dapat diselesaikan dengan baik, memuaskan semua pihak, tanpa ada yang merasa kalah dan tidak ada yang merasa menang, sehingga tidak ada perasaan dendam diantara mereka. Demikianlah, lembaga kedemangan Pahandut dan
160
Sabangau sebagai peradilan adat, senantiasa berupaya untuk menyelesaikan perkaraperkara adat, agar penyelesaiannya dapat bermanfaat bagi para pihak dan bermanfaat pula bagi ketentraman bersama. Secara skematik prosedur penyelesaian perkara adat Dayak melalui kedemangan sebagai lembaga peradilan adat dapat digambarkan, berikut ini. Gambar Proses Penyelesaian Perkara Adat Dayak Pelan ggara n adat
Penyelesaian antara keluarga korban dan pelaku
Tidak Bersa lah Bersala h
Seles ai
• Perdamaian adat • Ganti rugi
Tidak Seles ai
Mantir Adat Proses pembukt ian
• Kedeman gan • Kerapatan Adat Besar
Dalam kondisi tertentu dilakukan sumpah adat
Bentuk Pelanggaran : 1.Pelanggaran adat murni (pelanggaran adat dan agama) 2.Pelanggaran non-adat (kriminal murni) 3.Pelanggaran campuran (pelangaran adat dan pelanggaran hukum lain)
• Mantir adat • Demang Kpla Adat • Majelis adat
• • • • • •
Nasihat Tegoran Genti rugi Minta maaf Dikucilkan Dikeluarka n/diusir • Angkat saudara • Ritual adat • Pesta adat
Dalam sistem hukum adat Dayak yang tergolong pelanggaran adat yang berat semisal pembunuhan maka penyelesaian di tingkat keluarga dapat dilangkahi langsung menuju penyelesaian oleh Damang Kepala Adat. Menurut Basel A.Bangkan seorang Damang Sabangau, bahwa sanksi adat (jipen/singer) baru bisa diberikan kepada pelaku setelah melalui proses sidang adat basara. Pelaku kemudian diberikan sanksi adat sebagai bentuk pertanggung jawaban terhadap perbuatan yang dilakukannya. Jika kemudian si pelaku melarikan diri maka Mantir Adat yang bertanggung jawab mencari. Penyelesaian sengketa secara perdamaian melalui lembaga Hakim Perdamaian Adat
161
adalah format-format yang mempermudah bagi satuan-satuan masyarakat lokal untuk ‘berhukum’ sesuai dengan bentuk khas kehidupan sosialnya.
4.4. Kendala-Kendala Dalam Penyelesaian Perkara Adat dan Cara-Cara Penanggulangannya Tidak selamanya penyelesaian perkara adat menghasilkan suatu perdamaian atau kesepakatan. Bisa saja suatu ketika mengalami dead lock, terutama jika masing-masing pihak bersikukuh pada posisi tawaran awal dan terjadi persaingan yang tinggi antara dua pihak yang berperkara. Masing-masing pihak ingin mempertahankan kepentingan dan hak-hak mereka serta unjuk kekuasaan (power) yang mereka miliki. Pihak-pihak yang berperkara
ingin
kepentingannya
terakomodasi,
hak-haknya
terlaksana
dan
kekuasaannya dapat dimanfaatkan. Jika keadaan tetap seperti ini dan tidak ada yang mau ‘melunak’ maka kebuntuan penyelesaian perkara adat pasti akan terjadi. Dalam hal ini perlu adanya langkah-langkah yang bersifat tegas dan jelas. Jadi, apakah penyelesaian suatu perkara itu diselesaikan sendiri atau melibatkan pihak ketiga sebagai mediator seyogianya harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat meredam semua gejolak dan ketegangan yang terjadi, dengan cara-cara sebagai berikut :
1). Cara Untuk Meredam Reaksi Berlebihan Para Pihak Yang Berperkara Reaksi adalah akibat dari aksi, namun sebagian orang mempunyai kecendrungan untuk bereaksi yang berlebihan apabila mendapat serangan dari lawan dan segera melakukan serangan balasan. Reaksi yang berlebihan dalam penyelesaian perkara adat dengan tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, cendrung mengakibatkan pihak-pihak yang berperkara tidak akan mendapatkan apa-apa. Keadaan seperti itu akan
162
gampang dieksploitasi oleh pihak-pihak lain. Untuk mencegah reaksi yang berlebihan agar tidak keras tetapi juga tidak terlalu lunak, orang Dayak memakai filosofi ‘timbangan’ (di tengah-tengah). Filosifi ‘timbangan’ berangkat dari pandangan tentang neraca timbangan. Filosofi ini menurut Basel A.Bangkan, dalam setiap memutus suatu permasalahan hendaknya laksana timbangan, jika keadaannya menjadi seimbang maka masing-masing pihak merasakan tidak ada yang akan dirugikan. Cara timbangan menumbuhkan sikap menerima dengan iklas, dalam arti tidak menginginkan yang berlebihan serta tidak merasa iri hati dengan kebahagiaan orang lain. Dengan tumbuhnya sikap keseimbangan, hasil-hasil penyelesaian perkara akan ditepati sesuai dengan kesepakatan yang dicapai. Pihak-pihak yang tidak menepati kesepakatan, telah melakukan dusta dan akan mendapat celaan dari masyarakat. Masing-masing pihak harus mempunyai kemampuan untuk mencegah reaksi yang berlebihan, caranya adalah dengan melakukan colling down jika suasana memanas. 147 Dengan colling down para pihak akan merasa tenang dan jernih, kemudian dapat mengevaluasi sengketa seperti halnya pihak ketiga yang bersifat netral. Kadang-kadang juga perlu merenung dan berpikir konstruktif, sehingga saat kembali ke meja perundingan dapat memunculkan gagasan-gagasan baru yang dapat menjernihkan persoalan, dan bukan justru membuat persoalan menjadi rumit. 2). Cara Untuk Meredam Emosi Berlebihan Para Pihak Yang Berperkara Tidak semua manusia dapat meredam emosi bila mendapat serangan dari lawan. Hal seperti ini tentu merupakan kendala yang sulit dihindari, terutama bila salah satu atau kedua belah pihak memperlihatkan emosi yang bersifat negatif kepada pihak lainnya. Emosi-emosi negatif tersebut bisa berupa sikap tidak kooperatif, sikap marah, 147
Singkir Hudijono, 2008, op cit, hal.260.
163
sikap takut, sikap tidak percaya, sikap curiga, sehingga menimbulkan sikap bertahan pada posisi semula. Sikap-sikap seperti ini sering mengakibatkan salah satu pihak tidak mau mendengar pihak lainnya, apalagi bila salah satu pihak sudah berasumsi pertahanan yang terbaik adalah menyerang dan pihak lain segera melakukan serangan balik. Oleh karena itu dalam penyelesaian sengketa adat, melalui atau tanpa pihak ketiga, pihakpihak yang berperkara perlu menciptakan iklim yang kondusif dalam suasana kekeluargaan. Masing-masing pihak harus dapat menetralisir kemarahan, ketidak percayaan, kekhawatirkan, kecurigaan baik diri sendiri maupun pihak lain. Caranya, yaitu dengan tidak melakukan serangan balik, namun mau mendengarkan dan memahami usulanusulan yang dikemukakan pihak lain, dan mengemukakan persetujuan sepanjang memungkinkan. Cara untuk meredam emosi yang berlebihan ini di Palangkaraya biasanya dilakukan dengan sikap randah atei (rendah hati) dapat merasakan apa yang dirasakan pihak lain, 148yang tergambar dalam pedoman masyarakat Palangkaraya, yaitu suka mengalah dan tidak suka kekerasan. Randah atei adalah pedoman untuk selalu mawasdiri bagi semua orang sebagai posisi tawar yang tinggi. Dengan demikian, sekeras apapun seseorang, namun karena prilaku orang yang rendah hati akan selalu ingat kepada sesamanya. 3). Cara Untuk Meredam Posisi Tawar Para Pihak Yang Berperkara Bersikukuh pada posisi awal yang ditawarkan oleh salah satu pihak adalah suatu kendala penyelesaian perkara adat yang serius, karena pihak lain akan dengan serta merta memberikan penolakan. Selain itu, pihak lain juga akan semakin keras mempertahankan posisi tawarnya. Oleh karena itu, dalam penyelesaian perkara adat 148
Wawancara dengan Willy Bungai tanggal 22 Oktober 2010.
164
masing-masing pihak harus dapat memahami pihak lainnya. Caranya, yaitu dengan merumuskan kembali hal-hal yang telah dikemukakan oleh pihak lain dengan mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang tidak bersifat menggurui, namun memecahkan masalah. Dalam hal ini sangat relevan ajaran dari Moh.Koesnoe, mengenai penanganan perkara adat. Koesnoe mengajarkan bahwa segala persoalan sebaiknya dilakukan atas dasar perundingan antara yang bersangkutan, diupayakan sampai ada persamaan pendirian mengenai hal yang dipermasalahkan melalui suatu proses pemufakatan, berdasarkan asas rukun, patut dan laras. 149 Di Palangkaraya, dalam posisi seperti itu, pihak ketiga sebagai penengah biasanya akan mengatakan ungkapan berikut mandinun lauk ela keruh danum arti harfiahnya, mendapat ikannya jangan sampai keruh airnya. Ikan adalah simbol dari persoalan yang harus diselesaikan, sedang air berarti rusaknya hubungan sosial dari orang-orang yang terlibat dalam persoalan tersebut. Dengan demikian, maksud dari paribahasa (kata-kata bijak) tersebut adalah penyelesaian perkara harus dilakukan dengan arif dan bijaksana sehingga tidak merusak hubungan baik yang selama ini ada. Paribahasa tersebut sangat tepat bagi upaya menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi antara orang-orang yang berasal dari satu komonitas. Misalnya perkara antara orang-orang yang tinggal dalam satu kedemangan, persengketaan antar warga sekampung yang telah saling mengenal dan memiliki hubungan baik sebelumnya, atau antar karyawan dalam satu lingkungan kerja. 4). Cara Untuk Meredam Ketidakpuasan Para Pihak Yang Berperkara Tidak semua penyelesaian perkara adat dapat memuaskan para pihak, baik prosesnya maupun hasil-hasil kesepakatan yang dicapai. Sebabnya, manusia ingin 149
Moh. Koesnoe ,1979, op cit, hal.44.
165
berada dalam suatu ikatan yang dibuatnya sendiri, namun pada saat yang sama ia ingin melepaskan diri dari ikatan yang dibuatnya itu, apabila dirasa kurang menguntungkan. Gagasan kesepakatan dari pihak pertama ada kalanya ditolak oleh pihak kedua, karena pihak kedua tersebut tidak melihat kemanfaatan dari kesepakatan yang diajukan oleh pihak pertama. Penolakan kadang-kadang dilakukan hanya semata-mata karena ide yang muncul bukan berasal dari pihak kedua. Seandainya pihak pertama dapat memberikan kensekuensi-konsekuensi tertentu pun, tidak serta merta pihak kedua dapat merasa puas, karena ada rasa kekhawatiran jika sampai kehilangan muka. Dalam keadaan yang demikian, jika salah satu pihak berkeras maka salah satu pihak harus memberi keyakinan akan kemanfaatan dari solusi yang dimunculkan, tidak boleh bertahan pada argument semula. Jika memaksakan suatu argumen, perlawanan dari pihak lainpun akan semakin keras. Salah satu pihak biasanya memakai kata-kata bijak berikut rugi isut diamen ih, asal are kawal artinya, rugi sedikit tak jadi masalah asal banyak teman. Sesungguhnya kalimat itu mempunyai pengertian yang lebih luas, yaitu mengajarkan kepada semua pihak tentang pentingnya pertemanan atau persahabatan dalam pergaulan, bahwa untuk meraih prestasi perlu menjalin jejaring yang luas. Dengan cara merugi sedikit tak jadi masalah dalam pengertian yang lebih luas, akan memudahkan pihak lain yang tadinya bersikeras ‘menganggukan kepala’ karena merasa terlibat dalam proses secara intens, dengan di satu padukannya gagasan pihak yang satu dengan pihak yang lain. Cara-cara seperti ini dapat mengatasi ketidak puasan salah satu pihak, karena merasa kebutuhannya tercapai, tidak pernah merasa kehilangan muka (dipermalukan) serta memberikan kesan keberhasilan bagi pihak yang tidak merasa puas tersebut.
166
5) Cara Untuk Meredam Penggunaan Power Yang Berlebihan Oleh Para Pihak Yang Berperkara Di Palangkaraya, penyelesaian perkara secara hakim perdamaian adat adalah penyelesaian perkara yang bersifat win-win solution (sama-sama menang). Namun kadang-kadang terdapat pula salah satu pihak yang berperkara yang ingin menciptakan ‘menang-kalah’ menjadi kemenangan di satu pihak. Biasanya pihak seperti ini berpikir bahwa ia harus menang, karena mempunyai power yang lebih besar dari pihak lainnya. Dalam mengadapi pihak seperti ini, maka pihak ketiga (mediator) yang bertindak sebagai penengah harus segera mencegah cara yang bertujuan menciptakan ‘menangkalah’ tersebut. Langkah yang ditempuh adalah dengan meyakinkan pihak yang menggunakan power (kekuatan) yang berlebihan itu bahwa biaya sosial yang harus dibayar jauh lebih mahal dibanding bila terjadi kesepakatan. Dalam hal meyakinkan tersebut, salah satu kata-kata bijak ‘kalute ye kalute, tapi ela kalute’ (begitu ya begitu, tapi jangan begitu) menunjukan bahwa orang harus bertindak secara wajar, dalam arti orang harus bertindak dan bersikap dengan menggunakan ukuran dan etika yang umum berlaku. Terkait hal tersebut ada pepatah lama yang mengatakan berperkara di pengadilan adalah yang menang menjadi arang dan yang kalah menjadi debu. Dengan demikian, orang tidak akan bertindak berlebihan dan mau menang sendiri serta dapat menghargai dan menghormati orang lain, itulah inti dari penyelesaian perkara secara perdamaian adat. Terkait tugas untuk mendamaikan perselisihan atau sengketa di masyarakat, para Damang dan Mantir Adat selaku pelaksana fungsi Hakim Perdamaian Adat harus memiliki kesabaran, ketenangan dan kematangan kepribadian yang baik. Hendaknya seorang Damang sedapat mungkin menghindari kata-kata kasar yang dapat
167
menyinggung pihak lain karena akan menghambat komunikasi dan orang lain akan menghindari karena takut menjadi korban berikutnya. Selain itu seorang Hakim Perdamaian Adat perlu mengetahui hukum adat (adat Dayak) yang berlaku di desanya (kedemangan), juga perlu memahami tiga asas pokok hukum adat yaitu asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan yang menjadi pedoman dalam mencarikan pemecahan terhadap persoalan adat yang dihadapi. Denagn demikian para pihak dan masyarakat dapat menerima dan merasa puas terhadap pemecahan yang diberikan. Hasil penelitian di kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau dalam menyelesaikan pelanggaran hukum yang telah menganggu keseimbangan masyarakat, Damang Kepala Adat dan Mantir Adat biasanya menerapkan tindakan berupa pengganti kerugian immaterial seperti menanggung biaya hidup anak yang dilahirkan dari hubungan seks diluar nikah, pembayaran pengganti kerugian kepada yang terkena, memerintahkan permintaan maaf dari pelaku kepada pihak-pihak yang dirugikan, dan dikucilkan dari masyarakat. Penyelesaian pekara kadang diakhiri dengan suatu pesta selamatan adat dan upacara pembersihan desa untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib. Upacara perdamaian adat tersebut dapat diartikan sebagai ‘meterai’ bahwa perdamaian telah mendapat pengakuan dan legalitas secara kultural. Pada acara seperti ini, biasanya biaya ditanggung oleh pihak-pihak yang mengakibatkan keseimbangan dalam masyarakat terganggu. Dengan demikian tidak ada lagi dendam kesumat, hilang pula cibiran dan gunjingan bagi mereka yang tadinya melakukan kesalahan. Karena menurut pandangan adat, hukuman berupa cibiran dan gunjingan itu jauh lebih menyedihkan dibandingkan hukuman badan karena langsung berdampak terhadap psikologis dan sosiologis.
168
BAB V BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DAYAK DALAM HUBUNGAN DENGAN KEDUDUKAN DAN FUNGSI DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT 5.4. Sikap dan Prilaku Masyarakat Terhadap Kedemangan Sebagai Lembaga Peradilan Adat Secara kultural, kedemangan berakar dalam sistem budaya lokal atau budaya orang-orang Dayak, memiliki kaitan erat dengan berbagai sistem kepercayaan dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak sebenarnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat warisan leluhur mereka. Hal itu dapat dilihat dalam sikap dan prilaku masyarakat yang terbuka untuk melakukan perdamaian secara kekeluargaan setiap ada permasalahan atau sengketa di masyarakat. Dalam tesis ini lebih difokuskan pada budaya hukum masyarakat di kedemangan Pahandut dan
169
Sabangau. Perlu dikemukakan kondisi antara kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau sebenarnya tidaklah jauh berbeda. Warga kedemangan Pahandut dan Sabangau adalah sangat hetrogen dan multi kultural, maka pandangan mereka tentang lembaga kedemangan pun sangat beragam pula. Terutama bagi warga pendatang (nonDayak) lebih suka membawa penyelesaian perkaranya di luar kedemangan seperti pengadilan agama dan pengadilan negeri setempat. Sedangkan bagi warga Dayak sendiri masih mempercayaakan penyelesaian perkara mereka melalui lembaga adat kedemangan. Warga pendatang tidak merasa adanya keterikatan langsung dengan lembaga tradisional itu, karena mereka beranggapan lembaga kedemangan hanya untuk kepentingan orang Dayak saja. Padahal secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 angka (18) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No16 Tahun 2008, yang menyebutkan bahwa kedemangan berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai perkara yang terjadi di masyarakat berdasarkan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku, artinya bahwa Perda tersebut berlaku umum bagi setiap warga masyarakat Palangkaraya dan Kalimantan Tengah pada umumnya. Meskipun demikian, menurut Suhardi Monong bahwa dalam melaksanakan tugas Damang Kepala Adat tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada para pihak untuk menyelesaikan perkara mereka melalui lembaga kedemangan, hal itu tergantung kepada pihak-pihak yang bersengketa apabila mereka meminta penyelesaian melalui kedemangan maka akan diselesaikan menurut ketantuan hukum adat yang berlaku. 150 Pada umumnya masyarakat Dayak memiliki kecendrungan menyelesaikan perkara-perkara melalui norma-norma adat yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan orang Dayak tidak mau terjebak dalam cara-cara formal dan legalistik, melainkan sangat 150
Wawancara dengan Suhardi Monong tanggal 18 Oktober 2010.
170
menjunjung cara-cara penyelesaian dari hati ke hati serta menghindari berurusan dengan hukum negara. Cara berhukum seperti ini, tidak bisa dilepaskan dari watak sosial masyarakat Dayak itu sendiri. Karena dalam pandangan orang Dayak, seseorang itu selalu dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosialnya (masyarakat). Di Palangkaraya, terutama di pedesaan, seseorang dipahami sebagai bagian partisipan sosial selalu terikat oleh identitas kesukuan dan kekerabatan yang kuat, seseorang sebagian besar ditentukan oleh hubungan-hubungan sosial yang dibangunnya. Orang Dayak memiliki budaya suka mengalah, terbuka dan sangat kompromi. Terkait hal itu, Sabran Ahmad menyatakan bahwa : Jika anggota masyarakat Palangkaraya banyak memilih menggunakan prosedur penyelesaian perkara secara perdamian adat, karena mereka percaya bahwa penyelesaian hakim perdamaian adat memberikan jalan keluar yang lebih baik atau lebih menguntungkan dibandingkan dengan jalur formal. Secara umum, tidak ada seorang pun yang memaksa penggunaan prosedur penyelesaian perkara melalui peradilan adat (desa). Karena sifat penyelesaian melalui hakim perdamaian adat tidak bersifat formal dan kaku, maka pihak-pihak yang berperkara mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan syarat-syarat penggunaannya secara sukarela. 151 Sabran Ahmad, selanjutnya menjelaskan bahwa jika hubungan kerjasama di masa depan merupakan hal penting bagi kedua belah pihak, maka penyelesaian sengketa melalui lembaga Hakim Perdamaian Adat (kedemangan) merupakan hal yang menguntungkan. Dalam penyelesaian perkara oleh Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat, selalu terbuka adanya kesepakatan-kesepakatan di negosiasikan secara sukarela dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak yang terlibat perkara. Karenanya proses ini jauh lebih mampu untuk mempertahankan hubungan-hubungan sosial untuk waktu yang akan datang dari pada prosedur kalah menang seperti yang terjadi di pengadilan. 151
Wawancara dengan Sabran Ahmad tanggal 16 Oktober 2010.
171
Penyelesaian perkara secara damai melalui lembaga Hakim Perdamaian Adat, dikalangan masyarakat Dayak adalah format-format yang mempermudah satuan-satuan masyarakat dengan otoritas-otoritas otonom dan kelembagaan tradisional serta kearifan lokalnya untuk ‘berhukum’ sesuai dengan bentuk khas kehidupan sosialnya. Hal ini sesuai dengan semangat bahwa hukum harus dirumuskan atas dasar prinsip harmonisasi sosial yang bertujuan untuk mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat yang bersifat plural. Upaya penyelesaian perkara melalui kedemangan sebagai institusi peradilan adat adalah bertujuan menjaga keseimbangan hubungan antar sesama manusia, manusia dengan alam lingkunnya dilandasi oleh alam pikiran yang bersifat komunal atau jiwa kekeluargaan. Dalam alam pikiran ini, masyarakat dipandang sebagai suatu keluarga besar yang saling menyayangi, saling tenggang rasa, solideritas dan kebersamaan yang kuat dimana individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakatnya yang bebas terikat. Mereka merupakan satu kesatuan yang bulat dalam menghadapi dunia luar, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif (ancaman) dari luar, sehingga perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh individu juga membuat terpuji seluruh masyarakat, demikian sebaiknya hal-hal negatif yang dialami individu dari luar dirasakan pula oleh seluruh masyarakat. Seperti halnya sebuah keluarga, dalam hubungannya dengan kepentingan maka dalam masyarakat tidaklah ada penonjolan kepentingan individu. Alam pikiran demikian, sesungguhnya tidak hanya berlaku lokal dalam masyarakat Dayak, melainkan merupakan alam pikiran universal yang dianut oleh masyarakat Indonesia secara umumnya. Menurut Soepomo, dalam menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan manusia, masyarakat Indonesia dilandasi oleh alam pikiran yang bersifat komunal atau jiwa kekeluargaan. 152 152
R.Soepomo,(b), 1979, Hubungan individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Pradnya Paramta,
172
Bagi masyarakat Dayak Palangkaraya, perwujudan asas komunal atau kekeluargaan ini tampak dari asas-asas yang sangat kuat dianut oleh masyarakat Dayak dalam kehidupan kemasyarakatan, seperti asas ‘penyeng hinje simpei’ yang menghendaki adanya kebersamaan dalam keadaan suka maupun duka, asas ‘hapakat bulat sagulung segaling’ yang menghendaki adanya suasana saling memberi dan saling menerima satu dalam kehidupan yang bulat. Kemudian asas
‘bahandep haruyung
harubuh’ yang menghendaki bekerjasama dan tolong-menolong, selanjutnya dalam pengambilan keputusan didasarkan ‘barembuk atau hapakat’ artinya bermusyawarah. Kemudian pepatah adat “hatangku manggetu bunu, hanangkalau penang mangun betang” (bersatu bersama masyarakat menyelesaikan permasalahan, sepakat untuk membangun kebersamaan). Asas-asas tersebut adalah perwujudan dari konsep “belom bahadat”. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya tujuan dari penyelesaian suatu perkara menurut alam pikiran masyarakat Dayak adalah untuk menjaga, memelihara suasana aman, tentram dan damai dalam kehidupan masyarakat di desa tidak saja dalam kehidupan sesama manusia, melainkan juga dalam hubungannya dengan lingkungan alam sekitar dan Tuhan. Pendeknya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram dan damai, jasmani maupun rohani yang dalam konsep masyarakat Dayak disebut ‘ruhui rahayu’. Penyelesaian perkara melalui lembaga peradilan adat (kedemangan) adalah suatu penyelesaian yang tidak hanya mendasarkan diri pada ‘logika peraturan’ namun juga mendasarkan diri pada logika-logika yang lain. Logika peraturan hanyalah salah satu aspek dalam penyelesaian perkara, dan apabila penyelesaian perkara hanya mendasarkan pada ‘logika peraturan’ maka akan berhenti pada penerapan pasal-pasal Jakarta, hal.11.
173
dalam undang-undang semata, yang bisa menimbulkan kesalahan besar karena melupakan basis-basis spiritual yang merupakan ruh dari suatu penyelesaian perkara yang berkeadilan. Ruh ini, sering tenggelam dalam proses penyelesaian perkara yang hanya memakai ‘logika peraturan’. Terkait dengan hak tersebut, Satjipto Rahardjo menyatakan ada logika-logika yang lain selain ‘logika peraturan’ dalam berhukum. Pertama,
adalah
‘logika
kepatutan
sosial’
(social
reasonnablennes)
yang
mempertimbangkan apakah yang ingin dilakukan sudah sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat, proses penyelesaian perkara itu telah memasuki ‘logika kepatutan sosial’. Kedua, yaitu ‘logika keadilan’ logika seperti ini tidak bisa segera dicari dalam peraturan-peraturan, tetapi memerlukan perenungan yang mendalam karena dalam proses penyelesaian perkara harus terbebas dari kepentingan-kepentingan. Penyelesaian perkara melalui lembaga Hakim Perdamaian Desa di Palangkaraya adalah salah satu usaha pembangunan hukum. 153 Kemudian diharapakan menjadi kontribusi dalam lingkup nasional, dimana kearifan-kearifan lokal masih dihayati dan dipedomani karena oleh warga dianggap sebagai daya penguatan masyarakat.
5.5. Sikap dan Prilaku Masyarakat Terhadap Putusan Damang Sebagai Hakim Perdamaian Adat Masyarakat Dayak sebagaimana masyarakat lainnya, bukanlah suatu yang statis tetapi mengalami dinamika. Sikap dan prilaku yang timbul dari masyarakat Palangkaraya terhadap putusan-putusan yang diberikan oleh Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat menimbulkan respon atau reaksi yang berbeda dikalangan masyarakat. Respon atau reaksi masyarakat yang berbeda ini timbul karena belum adanya
153
Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.123-124.
174
pemahaman yang sama terhadap kedudukan dan fungsi Damang Kepala Adat, baik pengertian, peranan dan kinerjanya. Hasil penelitian pada kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau terkait dengan budaya hukum (sikap, prilaku) masyarakat Dayak terhadap putusan-putusan yang diberikan oleh Damang Kepala Adat ternyata mendapat respon dan tanggapan yang beragam. Dalam hubungan ini seperti yang dikemukakan oleh Salim (76 tahun) dan Ny.Efrida D.Luhing (51 tahun) sebagai orang yang pernah mengalami berperkara di kedemangan Pahandut dalam wawancara dirumahnya pada tanggal 22 Oktober 2010 menyatakan bahwa pada prinsipnya mereka setuju dan dapat menerima keputusan Damang Kepala Adat, sepanjang tidak keluar dari fungsi pokoknya yakni tetap menjaga stabilitas hubungan sosial antar warga masyarakat. 154 Karena dalam budaya hukum internal kedemangan, Damang Kepala Adat memiliki andil sangat besar untuk penyelesaian berbagai perselisihan atau sengketa, bukan hanya berlaku bagi orang Dayak saja tetapi juga berlaku bagi seluruh warga masyarakat Palangkaraya pada umumnya. Namun demikian, menurut Efrida D.Luhing, bahwa Damang Kepala Adat masih perlu untuk dipertahankan demi keberlangsungan tradisi dan budaya Dayak. 155 Berbeda pendapat, seorang warga yang bernama Talisman D.Daya (55 tahun) yang juga ketua RT Pahandut, ia menyatakan pendapatnya bahwa figur dan kualitas Damang Kepala Adat yang ada saat ini masih belum memuaskan, terutama menyangkut pengetahuan dan pengalaman di bidang adat istiadat dan hukum adat. 156 Faktanya kebanyakan Damang masih bersifat pasif dalam artian kurang kreatif, karena hanya
154
Wawancara dengan Salim tanggal 22 Oktober 2010.
155
Wawancara dengan Efrida D.Luhing pada tanggal 22 Oktober 2010.
156
Wawancara dengan Talisman D.Daya tanggal 23 Oktober 2010.
175
sekedar melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya. Hal ini menyangkut rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh para Damang Kepala Adat. Tokoh masyarakat Kristen yang sekaligus sebagai antir adat Panarung, yakni Willy Bungai (53 tahun), dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2010 mengemukakan sikapnya, bahwa terhadap putusan-putusan yang diberikan oleh Damang Kepala Adat selama ini dinilai sudah cukup efektif dan bisa diterima masyarakat luas, selama ini selalu berjalan lancer-lancar karena sudah ada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No16 Tahun 2008 sebagai payung hukum bagi para Damang Kepala Adat dalam melaksanakan tugasnya. 157 Dalam penyelesaian perkara adat, apa yang dilakukan Damang Kepala Adat tidak jauh berbeda dari cara penyelesaian perkara sebagaimana lazimnya di pengadilan umum. Kemudian hal yang sama pula dikemukakan oleh Siun Ibat yang juga mantir adat Pahandut ini, yang menyatakan pandangannya bahwa meskipun masih banyak kekurangannya namun peranan Damang Kepala Adat dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa antar warga masyarakat di Palangkaraya sangat efektif. Oleh kerananya Siun Ibat, setuju dilakukan upaya pemberdayaan Damang Kepala Adat dan lembaga adat kedemangan sehingga semakin bisa diandalkan sebagaimana harapan masyarakat. Sabran Ahmad (76 tahun), seorang tokoh masyarakat Dayak yang beragama Islam dan bertempat tinggal dalam wilayah kedemangan Pahandut, memberikan respons positif ketika di wawancarai pada tanggal 22 Oktober 2010, bahwa dalam hal menetapkan keputusan adat maupun dalam menjatuhkan sanksi adat terhadap warganya yang bersalah, Damang Kepala Adat selalu berdasarkan kelaziman dan tidak bersifat memaksa oleh sebab itu selalu diterima warga masyarakat. Menurut Sabran Ahmad, 157
Wawancara dengan Willy Bungai tanggal 18 Oktober 2010.
176
seluruh masyarakat Palangkaraya apapun agama dan keyakinan yang dianutnya wajib tunduk dan patuh terhadap sistem adat istiadat dan hukum adat setempat, sebagaimana pepatah ‘dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’ bilamana hal ini dilakukan dengan baik niscaya tidak akan terjadi konflik. 158 Karena tidak sedikit suku lokal (suku Dayak) yang merasa tress dengan kehadiran suku-suku non-Dayak, yang merasa ‘wilayah kerja’ diambil oleh pendatang. Jangan sampai terjadi konflik seperti konflik eknis pada tahun 2001 lalu yang membikin situasi saling dendam kesumat. Sebab dengan prinsip menghormati adat dan budaya setempat, potensi konflik baik yang tersebunyi maupun yang terbuka tidak muncul ke permukaan. Pandangan dari kalangan para Damang sendiri seperti diungkapkan oleh Damang Pahandut (Suhardi Monong), kemudian Damang Sabangau (Basel A. Bangkan) dan Damang Jekan Raya (Sulman Jungan), dalam wawancara pada tanggal 25 Oktober 2010 mereka menyatakan, bahwa kedudukan dan peranan Damang Kepala Adat saat ini masih penting dan diperlukan terutama untuk menjaga kelestarian adat dan hukum adat Dayak. Sebab apabila
peranan Damang Kepala Adat menjadi lemah maka akan
berpengaruh terhadap sistem hukum adat dan budaya Dayak karena Damang adalah sebagai pemangku hukum adat. Dengan demikian apabila terjadi sengketa atau pelanggaran adat maka kepadanya dimintakan penyelesaian oleh pihak warga kedemangan,
berdasarkan
permintaan
itu
Damang
Kepala
Adat
dapat
menyelenggarakan peradilan adat bertempat dirumahnya. Untuk kelompok masyarakat Dayak yang menganut agama Hindu Kaharingan dalam pelaksanaan upacara adat dan perkawinannya masih memerlukan banyak ‘jasa’ seorang Damang Kepala Adat dalam menentukan sah dan tidaknya upacara perkawinan mereka. Kebanyakan dari mereka 158
Wawancara dengan Sabran Ahmad tanggal 16 Oktober 2010.
177
yang beranggapan bahwa kedudukan Damang Kepala Adat harus terus dipertahankan dalam sistem hukum adat Dayak. Kemudian dari sudut pandangan pemerintah, terutama para Camat seperti dikemukakan Edie (41 tahun), seorang Camat Pahandut dalam wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 16 Oktober 2010, mengemukakan pendapatnya bahwa untuk menghadapi pengaruh zaman globalisasi yang ditandai dengan adanya berbagai perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, maka sudah semestinya masyarakat mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan itu. 159 Demikian pula para Damang Kepala Adat dituntut mampu menyesuaikan diri menghadapi perubahan sosial. Artinya aturan hukum adat yang bagaimana tetap dipertahankan dan aturan hukum adat yang mana perlu disesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Sedangkan, menurut Nurani Mahmuddin (42 tahun), seorang Camat Sabangau yang menganggap dengan adanya Damang Kepala Adat sedikit banyaknya telah membantu tugas Camat dalam mensukseskan pembangunan, terutama yang berkaitan dengan adat istiadat dan budaya setempat. 160Pada prinsipnya Nurani, juga sangat setuju dilakukan upaya pemberdayaan Damang Kepala Adat sehingga dapat berperan sebagaimana yang diharapkan. Berdasarkan respon masyarakat yang timbul di kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau, baik masyarakat yang pernah berperkara maupun masyarakat sekitar serta pemerintah daerah, yang mengetahui terhadap keberadaan lembaga kedemangan. Diakui bahwa kedudukan kedemangan dan peranan Damang Kepala Adat pada saat ini sudah mengalami proses penggrogotan sedangkan dilain pihak masih ada kecendrungan untuk mempertahankannya dengan berbagai pertimbangan dan alasan
159
Wawancara dengan Edie tanggal 16 Oktober 2010.
160
Wawancara dengan Nurani Mahmuddin tanggal 26 Oktober 2010.
178
tertentu, sementara dilain pihak masih ada para elit politik dan pejabat di daerah yang masih bersifat mendua hati mengenai masalah ini. Dalam kaitan ini, jika dikaji melalui teori sistem hukum khususnya budaya hukum dari Lawrence M.Friedman, yang secara jelas menyatakan bahwa budaya hukum (legal culture) merupakan suasana pikiran sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau disalah gunakan. Budaya hukum meliputi ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan, harapan dan pandangan tentang hukum. Kesadaran hukum di sini diartikan sebagai persepsi hukum dari seorang individu atau masyarakat terhadap hukum adat. 161 Menurut Friedman, bahwa wujud putusan yang diberikan oleh lembaga kedemangan melalui suatu kerapatan adat menggunakan juru bicara para akhli adat dan proses yang cepat, hal ini merupakan budaya hukum yang menandakan bahwa masyarakat mendukung keputusan lembaga kedemangan. Ini adalah bentuk penyelesaian perkara yang sesuai dengan kebutuhan komunitas dan lebih mendekatkan masyarakat kepada kesejahteraan. Konsep ini dapat mencegah sengketa atau pertentangan yang berkepanjangan atau bila terjadi sengketa atau pertentangan pun dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus melukai perasaan para pihak. Penyelesaian perkara melalui Hakim Perdamaian Adat dimaksudkan untuk mengaktualisasi peran lembaga adat yang ada seperti lembaga kedemangan. Pada aspek yang lain, Damang Kepala Adat mempunyai hak dan kewenangan terhadap lembaga kedemangan yang dipimpinya, tidak ingin diintervensi oleh pihak tertentu untuk dipaksa supaya pelaksanaan tugas kedemangan sepenuhnya harus mengacu kepada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008, karena Perda tersebut hanya mengatur hal yang bersifat umum, oleh karena itu perlu 161
M.Friedman,(b),1969, lok cit, hal.28.
179
penjabaran lebih khusus dan Damang wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Di dalam kerangka sistem hukum adat, Demang sebagai Hakim Perdamaian Adat berwenang malahan berkewajiban jikalau terhadap suatu soal belum ada peraturan hukum yang positif memberikan putusan yang mencerminkan rasa keadilan rakyat yang bertumbuh baru,wajib menuangkan menjadi konkrit dalam keputusannya apa yang menurut keyakinannya sesuai dengan aliran masyarakat. 162 Setiap tindakan Damang Kepala Adat baik dalam hal mencegah adanya pelanggaran hukum maupun dalam hal memulihkan hukum melahirkan kesimpulan tentang berlakunya suatu peraturan hukum adat. Dengan keputusan itu, Damang Kepala Adat melakukan secara konkret dan memberi bentuk konkrit kepada apa yang hidup di dalam masyarakat desanya sebagai rasa keadilan ataupun rasa kesadaran keadilan rakyat. Namun demikian Damang tidak boleh mengabaikan azas-azas dan prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku universal.
5.6. Efektifitas Penyelesaian Perkara Oleh Damang Kepala Adat Bedasarkan hasil kajian di kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau, menunjukan bahwa penyelesaian perkara melalui kelembagaan Hakim Perdamaian Adat lebih efektif dalam mencapai tujuan-tujuan di atas dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan. Keefektivitas tersebut dapat diukur dari tiga segi, yaitu dari segi kualitas perkara yang berhasil ditangani ditingkat kedemangan dibandingkan dengan perkara yang diselesaikan di luar kelembagaan adat kedemangan, dari pencapaian tujuan penyelesaian perkara, yakni perkara dapat diselesaikan dengan baik sehingga suasana aman, tentram dan damai dalam masyarakat dapat dijaga, dan dari
162
Talib Setiady,2009, op cit, hal.375.
180
segi penerimaan para pihak yang berperkara terhadap hasil penyelesaian perkara. Dilihat dari ukuran pertama, jelas sekali dapat diketahui bahwa pelaksanaan fungsi Hakim Perdamaian Adat di kedemangan Pahandut dan Sabangau masih efektif, karena dari jumlah perkara atau kasus yang ditangani oleh Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat, ternyata hanya 2(dua) perkara yang prosesnya dilanjutkan sampai ke pengadilan negeri padahal dari jumlah perkara yang terjadi cukup banyak. Terkait hal tersebut sangat tepat dikatakan oleh Ter Haar, bahwa dalam kehidupan mayarakat Indonesia berperkara ke Pengadilan bukanlah sesuatu yang lazim, walaupun bukan berarti sama sekali tidak ada. Selanjutnya Ter Haar, menyatakan bahwa perkara-perkara yang terjadi di lingkungan penduduk Indonesia terutama perkara perdata, kebanyakan masih berada di tangan para kepala-kepala adat dan orang-orang tua dari suatu suku. Walaupun kerapkali kekuasaan-kekuasaan Hakim Perdamain Adat (hakim adat) dikurangi atau diubah sehingga menjadi suatu pengadilan yang kurang lebih tersembunyi, akan tetapi di kebanyakan daerah perkara yang diadili oleh hakim formal sebagaimana misalnya pengadilan negeri telah melalui saringan hakim perdamian desa. 163 Seperti itulah yang terjadi di kedemangan Pahandut dan Sabangau, semua perkara yang terjadi di masyarakat diupayakan semaksimal mungkin agar dapat diselesaikan di tingkat kedemangan, sehingga semua perkara yang pernah terjadi baik perkara-perkara yang berupa pelanggaran hukum maupun berupa perselisihan atau sengketa hampir semuanya dapat ditangani tanpa melibatkan pihak luar. Tidak hanya itu, berperkara melalui kedemangan (lembaga peradilan adat) keputusannya bersifat mengikat, bersifat pinal, sanksi adat tidak berupa hukuman penjara. Dari sudut
163
Ter Haar,1972, dalam I Ketut Sudantra,2007, Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa Dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa Di Bali, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar, op cit, hal.181.
181
kepentingan para pihak, penyelesaian di tingkat kedemangan dipandang lebih menguntungkan semua pihak karena dapat memperoleh penyelesaian yang cepat, tidak bertele-tele, biaya murah dan dapat menjaga hubungan baik. Apabila dilihat dari sudut kepentingan para pemimpin adat (Damang dan Mantir Adat) dan masyarakat adat, penyelesaian perkara di kedemangan dipandang dapat menjaga wibawa adat dan kehormatan kedemangan, karena kalau sampai diselesaikan di luar kedemangan maka Damang Kepala Adat dianggap gagal dalam mengemban fungsinya menjaga ketentraman dan kedamaian warga masyarakat, itu sebabnya para pemimpin kedemangan senantiasa mengusahakan setiap perkara yang terjadi jangan sampai berlanjut kepada proses hukum diluar kedemangan. Dalam hal ini memang dibutuhkan kemampuan dan keahlian dari seorang Damang dan Mantir adat sebagai Hakim Perdamaian Adat. Apabila ada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, maka Damang Kepala Adat bertindak untuk menegakan hukum dan memulihkan keseimbangan di dalam suasana desa. 164 Kalau dilihat dari segi pencapaian tujuan, pelaksanaan fungsi Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat di kedemangan Pahandut dan Sabangau secara umum sudah cukup efektif, namun belum benar-benar memuaskan. Karena masih banyak warga masyarakat yang secara langsung membawa perkaranya ke pengadilan umum tanpa sepengetahuan oleh Damang Kepala Adat setempat, kemudian masih ada perkara yang belum berhasil diselesaikan dengan tuntas. Perkara-perkara tersebut adalah perkara melibatkan individu melawan individu dan antara individu melawan kelompok, seperti kasus penjualan tanah kuburan oleh pihak ahliwaris pemilik tanah itu kepada pengembang pasar Palangkaraya. Sengketa tanah kuburan ini sudah berlangsung cukup 164
Tolib Setiady,2009, op cit, hal. 144.
182
lama, dapat dikwalifikasikan sebagai sengketa berkepanjangan dan telah melibatkan pihak aparat pemerintah (kepolisian dan pengadilan) setempat. Akan tetapi dengan adanya satu atau dua kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak kedemangan, tidak berarti bahwa pelaksanaan fungsi Damang Kepala Adat tidak efektif, karena sesungguhnya diluar kasus tersebut dalam banyak kasus Damang Kepala Adat telah dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Kemudian, dilihat dari segi penerimaan para pihak yang berperkara atau pihak yang pernah berperkara melalui kedamangan, terhadap hasil penyelesaian perakara oleh Damang Kepala Adat pada umumnya para pihak dapat menerima dengan baik dan mematuhinya. Hal itu dapat dilihat dari tanggapan para warga yang pernah berperkara di kedemangan, mereka dapat menerima segala keputusan Damang dan belum pernah ada upaya-upaya hukum lainnya, seperti misalnya melanjutkan perkaranya ke pengadilan, sepanjang perkara-perkara tersebut dipercayakan penyelesaiannya melalui lembaga kedemangan belum pernah ada konflik. Dengan begitu, mereka menganggap perkaranya telah selesai dan mereka kembali melakukan kehidupannya dengan normal seperti sedia kala, dan mengadakan hubungan-hubungan dengan pihak lainnya tanpa ada rasa permusuhan. Dalam hal ini ketokohan seorang Damang Kepala Adat sangat mentukan sehingga para pihak yang bersengketa dapat menghormati setiap putusan yang diberikan. Menurut adat seseorang dapat menjadi Damang harus memahami seluk beluk hukum adat, pengetahuan yang luas, berkepribadian yang baik, memiliki pengalaman kehidupan bermasyarakat yang cukup, dengan demikian menjadikan seorang Damang semakin dihargai dan dihormati di masyarakat dan setiap keputusannya akan diikuti secara sukarela. Namun untuk saat ini pigur yang demikian sudah dirasakan kelangkaannya.
183
Dalam konteks untuk memelihara suasana hidup rukun dalam kehidupan masyarakat, penyelesaian perkara melalui lembaga Hakim Perdamaian Adat lebih memungkinkan tetap terpeliharanya hubungan-hubungan baik antara para pihak yang berperkara sehingga suasana aman, tentram dan damai dalam kehidupan masyarakat tetap dapat dijaga. Terpeliharanya hubungan yang baik tersebut dimungkinkan karena penyelesaian perkara di tingkat kedemangan lebih mengedepankan cara-cara musyawarah dan mufakat dari pada segi benar-salah dan kalah-menang, seperti umumnya perperkara di pengadilan. Penyelesaian perkara secara perdamaian adat, oleh masyarakat Dayak merupakan cara penyelesaian perkara yang sesuai dengan nilai budaya Dayak yang asli dank has, serta amat cocok dengan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokalnya, mampu memelihara perdamaian solideritas warga yang dilanda silang sengketa. Penyelesaian perkara secara perdamaian mempunyai kekuatan spiritual yang bersumber dari mutiara nilai kearifan budaya Dayak. Artinya antara penyelesaian perkara secara perdamaian adat dan mutiara kearifan budya Dayak “belom bahadat” merupakan sesuatu yang tak terpisahkan satu sama lain, dan merupakan gaya penyelesaian
perkara
tradisional
masyarakat
Dayak
yang membumi,
karena
dilaksanakan dengan kearifan-kearifan lokal yang disepakati. Penyelelesaian perkara di palangkaraya berdampak pada terciptanya kerukunan, keselarasan, dan kepatutan antar warga, disebabkan latar belakang yang menjiwai kehidupan seperti itu bersifat kosmis. Anggota masyarakat yang satu dianggap bertautan dengan yang lain, maka yang satu tak dapat dipisah-pisahkan dengan yang lain. Kebenaran dan makna itu tergantung kepada tempatnya, lokasi di mana anggota-anggota masyarakat berada. Dengan demikian, penyelesaian perkara melalui Hakim Perdamaian Adat berlaku secara
184
memadai sehingga menjadi bermakna cultural keterpeliharaan kerukunan, keselarasan dan kepatutan dalam pengembangan hukum progresif. Basis-basis kearifan lokal yang dipedomani dalam penyelesaian perkara adat di Palangkaraya adalah suatu ‘lawatan budaya’ yang bisa dipakai untuk memperkenalkan kearifan lokal masyarakat setempat. Bagi masyarakat Dayak, model penyelesaian perkara secara perdamaian adat yang menyandarkan diri pada kearifan lokal, memiliki urgensi untuk dikembangkan dalam kehidupan saat ini. Dalam konteks kekinian, dimana berbagai bentuk kekerasan merajalela dimana-mana, pada beberapa kelompok masyarakat tertentu muncul kesan bahwa kekerasan adalah usaha yang sah dalam menyelesaikan perkara atau konflik kepentingan. Pola seperti itu menggejala, baik dalam tingkat lokal maupun nasional. Masyarakat terperangkap dalam klaim sepihak, menyatakan dirinya yang paling benar, sehingga berujung pada pemaksaan “kebenaran” tersebut kepada pihak lain dan jalan kekerasan pun dianggap sah-sah saja digunakan, padahal kekerasan akan menimbulkan kekerasan yang baru. Kenyataan seperti itu bagi masyarakat Dayak mendatangkan kesan bahwa penyelesaian perkara secara perdamaian adat yang menjadi model penyelesaian perkara yang dilakukan oleh warga masyarakat dapat dilakukan dengan cara yang lebih substansial. Itu sebabnya Tjok Istri Putra Astiti, guru besar hukum adat pada Fakultas Hukum Unud, juga mengakui bahwa penyelesaian perkara melalui pengadilan umum belum tentu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh para pihak. Walaupun suatu kasus dapat diselesaikan di pengadilan, tetapi belum tentu suasana damai diantara para pihak dapat dipulihkan, sehingga penyelesaian demikian tidak menyelesaikan masalah secara tuntas. Menurutnya penyelesaian masalah secara tuntas berarti pengembalian keadaan para pihak kedalam suasana rukun dan damai seperti keadaan sebelumnya. Suasana demikian merupakan inti dari kehidupan
185
masyarakat di pedesaan dan menjadi tanggung jawab bersama setiap warga untuk ikut serta mewujudkannya. Dalam hal inilah Damang Kepala Adat memegang peranan yang sangat penting dan menentukan.
BAB VI UPAYA PEMBERDAYAAN DAMANG SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN ADAT DI PALANGKARAYA
6.1. Makna Pemberdayaan Secara konseptual istilah “pemberdayaan” berasal dari bahasa Inggris yaitu empowerment, berasal dari kata power artinya sebagai suatu kekuasaan, kekuatan dan daya, demikian menurut Jim Ife seperti dikutip Suharto. 165 Pemberdayaan atau empowerment
adalah
suatu
upaya
pencapaian
tujuan
yaitu
pengembangan,
pemberdayaan, juga bermakna untuk memperkuat kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan. Pemberdayaan sebagai suatu cara dengan
165
Edi Suharto,1997, Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial : Spektrum Pemikiran. Lembaga Studi Pembangunan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, hal.214-215.
186
mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya. Dalam pandangan Kartasasmita, memberdayakan adalah upaya
untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam
kondisi sekarang, tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. 166 Selanjutnya, dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 (34) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 disebutkan, pemberdayaan adalah rangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan budaya, adat-istiadat, kebiasaankebiasaan, hukum adat dan lembaga adat dapat lestari dan makin kokoh, sehingga hal itu dapat berperan positif dalam pembangunan sebagai aset nasional dan berguna bagi masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan tingkat kemajuan dan perkembangan jaman. Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap suku bangsa, setiap daerah memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Di Palangkaraya, kebudayaan asli orang Dayak, masih menjadi bagian dari pedoman dalam kehidupan masyarakat Palangkaraya kontemporer sesuai dengan logika kekenyalan budaya. Proses reproduksi lokalitas merupakan teknik yang penting di dalam usaha tokoh-tokoh peduli budaya Dayak, menghadirkan kembali kearifan masa silam. Keinginan itu terungkap dalam Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT) di Palangkaraya tanggal 4-7 Juni 2001, dalam rangka mensikapi terjadinya berbagai pristiwa kerusuhan di Kalimantan Tengah awal tahun 2001 lalu. Dalam salah satu kesimpulannya adalah perlunya dilakukan “revitalisasi hukum adat Dayak”, juga mengandung makna pemberdayaan sehingga hukum adat yang tadinya lumpuh dan
166
Ginandjar Kartasasmita,1999, Power dan Empowermant: Sebuah Telaah Mengenai Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembebasan Budaya-budaya Kita. Editor Agus R.Sarjono. PT.Gramedia dengan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, hal.190-192.
187
tidak berdaya diberikan vitalitas baru sehingga mampu berperan sebagaimana yang diharapkan yaitu mengatur tata kehidupan masyarakat secara baik. 167 Hal ini untuk mengantisipasi konflik horizontal di berbagai daerah, karena banyak orang yang tidak ingat budayanya sendiri, khususnya jika sedang bersengketa. Padahal budaya adalah nutrisi dan roh kejiwaan agar kehidupan tetap terjaga, tanpa budaya yang kuat suatu masyarakat akan hilang, bahkan ditinggalkan oleh peradaban yang lebih dominan atau yang lebih besar. Kekuatan budaya ibarat tonggak agar masyarakat tidak kehilangan pegangan, sehingga kehidupannya menjadi jelas. Karenannya budaya menjadi fondasi yang seharusnya kokoh dipertahankan sebagai modal untuk bertahan di era-global. 168 Pemikiran tersebut dalam kenyataannya telah mampu memberikan dasar-dasar yang kuat terhadap tumbuh dan berkembangnya hukum adat sebagai hukum warisan budaya Indonesia, yang merupakan perwujudan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pemberdayaan dimaksudkan untuk membangun daya atau potensi dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat hukum adat. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu pengurus kedemangan tetapi juga menyangkut pranata-pranantanya. Menanamkan nilainilai budaya modern, seperti suka kerja keras, hemat, keterbukaan, solideritas, tanggung jawab adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Pemberdayaan juga mengandung arti melindungi, sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Proses pemberdayaan dapat dilakukan, agar kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan, dalam hal ini pemerintah daerah agar selalu melihat potensi lokal. Upaya pemberdayaan
167
H.Abdurrahman,(b),2005, op cit, hal.6.
168
Singkir Hudijono, 2008, op cit, hal.97.
188
dimuka haruslah diikuti oleh pemberdayaan aparatur penegak hukum seperti Damang Kepala Adat dan Mantir Adat. Pemberdayaan dimaksud haruslah dititik beratkan pada pemberian
tanggung jawab dan kemandirian secara kelembagaan. Oleh karenanya
kebijakan harus memihak terhadap lembaga kedemangan, kebijakan dimaksud tidak saja menyangkut wewenangnya tetapi juga struktur manajemen, saran dan prasarana sesuai dengan keberadaan kedemangan yang bersangkutan. Demikian
pula
pembaharuan-pembaharuan
secara
kelembagaan
dan
pengintegrasian ke dalam kegiatan pembangunan, serta peranan warga kedemangan di dalamnya, melalui strategi gotong-royong, strategi musyawarah-mufakat, strategi tolong-menolong dan strategi kerjasama. Pemberdayaan harus mampu menumbuh kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri warga kedemangan yang menunjang
kemandirian
mereka
dalam
mendukung
program
kedemangan.
Pemberdayaan dimaksudkan tersebut melingkupi berbagai sistem nilai, sosial-budaya dan religius. Lebih dari pada itu, pemberdayaan juga bermakna terhadap pelestarian warisan budaya daerah. Secara sederhana dengan adanya pemberdayaan itu maka keberadaan Damang Kepala Adat sebagai bagian integral dari sistem hukum adat akan tetap bertahan. Dengan adanya pemberdayaan tersebut diharapkan Damang sebagai Hakim Adat akan lebih mampu mengembangkan dirinya, serta mempertahankan keberadaannya ditengah-tengah dinamika perubahan zaman.
6.2. Kondisi Riil Kedudukan dan Fungsi Damang Kepala Adat Berdasarkan hasil penelitian di kedemangan Pahandut dan Sabangau dapat diketahui kondisi riil kedudukan kedemangan dan fungsi Demang Kepala Adat tetap eksis hingga sekarang meskipun di sana sini sudah mengalami perubahan. Keberadaan
189
kedemangan sebagai suatu lembaga yang khas masyarakat Dayak yang sudah dikenal sejak zaman dahulu, menjadi salah satu dasar yang mengokohkan keberadaan hukum adat. 169 Kedemangan Pahandut, termasuk di pusat perkotaan sekaligus pusat perdagangan dan perekonomian di Palangkaraya. Dalam wilayah kedemangan Pahandut selain suku Dayak juga terdapat berbagai kelompok etnis lainnya, seperti Banjar, Jawa, Madura dan lain sebagainya yang bermukin disini. Dalam lokasi yang demikian perkembangan birokrasi pemerintahan, ekonomi dan pendidikan relatif sudah dapat dianggap maju, dimana orang bertindak dan bertingkah laku sudah mulai rasional dan pengorganisasian kehidupan masyarakat sudah mulai sangat menonjol, membawa akibat melemahnya berbagai pranata tradisional dan model-model penyelesaian perkara secara tradisional. Peranan seorang Damang Kepala Adat lebih banyak bersifat serimonial, seperti mengurusi upacara perkawinan, upacara penyambutan tamu kehormatan, memberikan pengahargaan adat dan acara serimonial lainnya, ketimbang memelihara ksucian alam sekitar dan menjaga keseimbangan flora, fauna, mahluk hidup lainnya. Sementara tugas Damang sebelumnya yang menyangkut penyelesaian sengketa sudah banyak diambil alih oleh jajaran aparat birokrasi seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta dari pemerintah daerah. Hal ini pula yang menyebabkan Damang menjadi pasif dan menjadi kurang berfungsi. Berikutnya kedemangan Sabangau yang letaknya berada diluar kota namun tidak terlalu jauh ke pedalaman. Namun fakta menunjukan tidak berarti semakin jauh keluar kota lembaga kedemangan semakin berperan, karena saat ini pengaruh moderenisasi sudah memasuki setiap ruang kehidupan masyarakat Dayak hingga ke pelosok pedesaan. Kondisi kedemangan Sabangau sebenarnya tidak jauh berbeda dengan 169
Tim Peneliti Fkultas Hukum Unlam,1990, op cit, hal. 121.
190
kedemangan Pahandut, jumlahnya penduduk asli suku Dayak jauh ebih sedikit dari jumlah penduduk pendatang yaitu para migrant yang berasal dari luar daerah. Dalam wilayah kedemangan Sabangau juga terdapat kawasan taransmigrasi yang mayoritas berasal dari etnis Jawa, yaitu di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau. Dapat digambarkan bahwa penduduk asli di Palangkaraya saat ini semakin terdesak dan sudah dikepung dari berbagai arah oleh para migran yang datang dari berbagai daerah di tanah air. Faktor lain kerena masyarakat Dayak sangat terbuka terhadap orang asing, kemudian orang Dayak suka mengalah dan memberikan kesempatan yang sama bagi penduduk pendatang untuk hidup dan tinggal di Palangkaraya. Dalam kondisi yang sangat majemuk itu membuat kesulitan tersendiri bagi para Damang dan Mantir Adat dalam upaya menjaga keberlangsungan hukum adat setempat. Bertambahnya jumlah penduduk pendatang, pada wilayah kedemangan Pahandut dan Sabangau menyebabkan karakteristik mayarakatnya bersifat sangat kompleks, karena yang menjadi warga kedemangan tidak saja warga asli akan tetapi juga penduduk pendatang. Dalam hubungan ini yang sering berhadapan dengan masyarakat luas adalah Damang Kepala Adat, menghadapi kenyataan ini Damang Kepala Adat tidak mungkin sepenuhnya bisa melaksanakan tugas sesuai ketentuan karena masyarakat yang dihadapi sangat kompleks. Dalam konteks ini, menurut Suhardi Monong seorang Damang Kepala Adat Pahandut, dalam wawancara tanggal 18 Oktober 2010 bahwa dalam melaksanakan tugas Damang Kepala Adat harus disesuaikan dengan keadaan mayarakat, termasuk mengakomodasi tuntutan masyarakat luas. 170 Jika tidak disesuaikan maka Damang pasti disoroti, dikatakan sok kuasa, membisnis kasus, tidak praktis dan berbagai julukan lainnya yang tidak menyenangkan. Pada suatu pihak 170
Wawancara dengan Suhardi Monong tanggal 20 Oktober 2010.
191
Damang Kepala Adat dituntut harus bertindak sesuai ketentuan yang berlaku, sedangkan pada sisi yang lain masyarakat sudah mengalami perubahan dan pergeseran. Dalam hal ini terkadang Damang serba salah, apalagi warga masyarakat yang tinggal dalam wilayah kedemangan Pahandut dan Sabangau adalah masyarakat luas, terdiri dari berbagai latar belakang kepentingan. Mengahapi kenyataan seperti itu, perlu upaya yang konkrit dan rencana untuk mengantisipasi persoalan-persoalan penduduk pendatang dan penduduk asli sejak dini. Apabila persoalan-persoalan ini tidak disikapi secara hati-hati dan menyeluruh akan memunculkan masalah sensitif dan kursial yang dapat membangkitkan sentimen-sentimen identitas, etnisitas dan kebudayaan. Kemajemukan etnik dan multikulturalisme dalam masyarakat Dayak dapat menjadi sumber konflik sosial yang terbuka di kemudian hari, jika tidak diantisipasi oleh masyarakat secara intensip. 171 Dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik sosial, pendekatan institusional masih tetap relevan dilakukan, dengan cara memberdayakan berbagai bentuk lembaga adat masyarakat Dayak seperti kedemangan bersama-sama dengan Damang Kepala Adat, Mantir Adat, dan tetua-tetua Adatnya. Mengingat kedemangan Pahandut dan kedemangan Sabangau masyarakatnya mengalami proses perkembangan, dari masyarakat monokultur menjadi multikultur maka dalam hubungan ini kedemangan dengan Damang Kepala Adat perlu melakukan pembenahan, karena lingkungannya mengalami perubahan yang demikian pesat. Terjadinya perubahan tersebut tidak mungkin di tangani dengan nilai-nilai lama akan tetapi perlu dilakukan kombinasi dengan nilai-nilai baru, sebab menurut Abdul Manan, disorganisasi dan reorganisasi
171
Wawancara dengan Sabran Ahmad tanggal 16 Oktober 2010.
192
biasanya terjadi secara bersamaan dan serentak. 172 Menghadapi kenyataan itu maka Damang Kepala Adat dan Mantir Adat pada garda terdepan perlu menyesuaikan diri sehingga perlu dilakukan pemberdayaan tugasnya menghadapi perkembangan mayarakat yang terus berubah. Dilihat dari proses internal, sepertinya kedemangan dan Damang Kepala Adat hanya bersifat bertahan saja alias sangat fasif dan belum banyak yang dapat dilakukan oleh para Damang Kepala Adat selaku ketua persekutuan masyarakat adat. Terlihat sekali masih lemahnya kordinasi dan sosialisasi secara internal kedemangan terhadap warga kedemangan dan masyarakat sekitarnya. Dilain pihak masih dirasakan rendahnya SDM para Damang Kepala Adat yang ada saat ini, menyebabkan kedemangan itu hanya berjalan ditempat dan hanya sekedar menjalankan apa yang ditugaskan kepadanya. Kemudian faktor eksternal juga sangat mempengaruhi kedua kedemangan tersebut. Seperti misalnya, belum tersedianya sarana dan prasaran penunjang tugasnya dalam menyelesaikan berbagai perkara yang terjadi di wilayah kedemangan yang bersangkutan. Kelihatannya sitem kerja dan manajemen kelembagaan pada kedemangan Pahandut dan Sabangau masih sifatnya tradisional yang sudah melembaga. Sepertinya Para Damang Kepala Adat sangat tergantung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, oleh sebab itu peranan Damang Kepala Adat pun mengalami pasang surut, timbul tenggelam, tergantung kepada siapa yang menjadi pejabat di daerah itu. Memang ada keinginan untuk lebih meningkatkan peran kedemangan namun ada pula pejabat yang masih bersifat mendua hati mengenai keberadaan lembaga adat ini. 173 Nampaknya adanya ketergantungan yang kuat antara kedamangan dengan pemerintah, sehingga
172
Abdul Manan, 2005, op cit, hal.26. Tim Peneliti Fakultas Hukum Unlam,1990, op cit, hal. 118.
173
193
menimbulkan pertanyaan apakah kedemangan itu benar-benar lahir dan hidup bersama masyarakat ataukah sebuah kreasi bentukan dari pemerintah atau penguasa. Disamping itu semakin memudar atau terkikisnya nilai penghargaan dan penghormatan kepada para Damang, Mantir Adat di kalangan para genarasi muda akibatnya semakin melemah peranan institusi adat ini. Kemudian dengan adanya faktor globalisasi ikut mempercepat terkikisnya nilainilai adat dan kearifan lokal lainnya dari kalangan para generasi penerus bangsa. 174 Globalisasi merupakan faktor yang dominan mempengaruhi karakter masyarakat Dayak, mengakibatkan melemahnya sistem ikatan-ikatan tradisional dan membuka ruang untuk beroperasinya sikap individualistis dan meterialistis dalam berekspresi. Hal inilah yang oleh Lawrence M.Friedman dikategorikan faktor budaya hukum (eksternal legal culture) dalam bekerjanya suatu sistem hukum dalam kenyataannya. 175 Globalisasi punya wajah mendua, baik dan buruk. Bagi yang terdidik dalam idiom teknologi global dan punya akses yang baik pada globalisasi, maka globalisasi dipandang sebagai berkah. Sebaliknya, bagi yang tidak fasih dengan kinerja global, akan menganggap globalisasi sebagai kutukan, sebab secara kultural globalisasi selain mencairkan sekatsekat budaya membuat setiap bangsa semacam kehilangan identitasnya. Dalam proses globalisasi, terdapat kekuatan raksasa yang menerobos masuk dan beroperasi secara luas, entah itu bidang kultural, ekonomi, finansial, politik dan sebagainya, sehingga bentuk penyelesaian perkara diluar pengadilan saat ini telah berkembang sedemikian rupa, sehingga peranan Damang Kepala Adat di Palangkaraya bukan satu-satunya figur yang dapat menyelesaikan perkara secara perdamaian. 174
Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat & Hukum Nasional, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.272. 175
Lawrence M.Friedman,(a),1969, op cit, hal.223.
194
Dalam kontek ini, I.Nyoman Sirtha menjelaskan perkembangan dan dinamika masyarakat mepengaruhi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Seiring dengan terjadinya pergeseran nilai, maka norma yang menjadi patokan berprilaku bagi kelompok masyarakat juga mengalami pergeseran. Terjadinya perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, mempengaruhi norma yang diperlukan untuk mengatur kepentingan kehidupan kelompok masyarakat tersebut. Nilai dan norma tersebut adalah hidup santun, menghormati sesama, saling percaya dan menghendaki perdamaian yang kesemuanya berbasis rukun, patut dan laras, menurut Sirtha tumbuh dan berkembang dalam kesatuan masyarakat hukum yang terwujud dalam filosofi, adat-istiadat, hukum adat, kepercayaan dan lembaga sosial. Dalam sistem nilai budaya, kearifan lokal merupakan nilai budaya yang paling abstrak, yang berfungsi sebagai pengatur dan pengendali prilaku manusia, sehingga mampu beradaptasi dengan perubahan masyarakat. 176 Terkait hubungan Damang Kepala Adat dengan pemerintah daerah, dalam konteks ini pemerintah daerah adalah sebagai pihak yang membuat peraturan dan Damang Kepala Adat sebagai pihak yang mengimplementasikan peraturan tersebut. Dalam kaitan ini tampaknya hegemoni pemerintah daerah lebih dominan menjadi faktor pengikat terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan keberadaan kedemangan, karena pemerintah yang membuat peraturan-peraturan menyangkut tugas dan fungsi Damang. Lebih lagi, pemerintah daerah pula yang mengangkat dan menetapkan seorang Damang Kepala Adat melalui surat keputusan dan juga memberhentikannya. 177
176
I Nyoman Sirtha, 2003, Legislasi dan pelembagaan Kearifan Lokal di Era Otonomi Daerah” Makalah, disampaikan dalam dialog Budaya Revitalisasi Kearifan Lokal Berbasis Otonomi Daerah dan Wawasan Kebangsaan di Bali, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Denpasar, 3 September, hal.1. 177
Tim Peneliti Fakultas Hukum Unlam,1990, op cit, hal.119-120.
195
Peraturan Daerah adalah seperangkat aturan atau norma, pada dasarnya dirasakan mempunyai kekuatan yang memaksa bagi setiap institusi kedemangan. Namun demikian, pada aspek yang lain Peraturan Daerah mempunyai makna yang dapat mempertahankan keberadaan lembaga kedemangan khususnya menyangkut peranan Damang Kepala Adat. Pada aspek yang lainnya, Perda tersebut juga mengindikasikan adanya hegemoni Majelis Adat terhadap Damang Kepala Adat, hal itu dapat dilihat dalam Pasal (13 dan 25) menyatakan bahwa Damang Kepala Adat diangkat dan diberhentikan oleh bupati/walikota berdasarkan usulan Majelis Adat. Proses pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian menyangkut substansi Pasal (13 dan 25) tersebut tidak melibatkan warga kedemangan dan masyarakat sekitar kedemangan secara utuh, karena hanya diwakili oleh para kepala desa/lurah, mantir adat dan pejabat kecamatan setempat. Nampaknya kehadiran Damang Kepala Adat sepertinya keinginan dari atas, belum mempertimbangkan kenyataan obyektif yang dihadapi Damang manakala ia bertugas dalam masyarakat Palangkaraya yang mengalami pertumbuhan. Lembaga kedamangan adalah sebuah organisasi sosial religius masyarakat Dayak, yang sudah ada sejak zaman dahulu memiliki wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai perkara yang terjadi dimasyarakat dengan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat setempat. Untuk itu dalam rangka mewujudkan peran Damang Kepala Adat yang sesuai harapan masyarakat perlu mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda, dan disesuaikan dengan tuntutan masyarakat Palangkaraya yang mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya.
6.3. Upaya Pemberdayaan Damang Kepala Adat Secara Internal
196
Sebagai pimpinan kedemangan, Damang Kepala Adat mempunyai wewenang untuk menegakan hukum adat, baik berupa pelanggaran hukum maupun sengketa antar warga masyarakat dalam wilayah kedemangan yang dipimpinnya. Melalui penegakan hukum itulah kaidah atau norma hukum adat dapat diterapkan, sehingga dapat tercapainya ketertiban dan keamanan dalam masyarakat yang langgeng. Penegakan hukum mengandung pengertian sebagai proses kegiatan menyerasikan nilai atau kaidah untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup. Menurut Siswanto Soenarso, bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasi aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang di cita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame work) yang telah ditetapkan oleh suatu undang-undang atau hukum. 178 Dalam kontek inilah pentingnya pemberdayaan Damang Kepala Adat agar mampu menghadapi permasalahan dan tantangan kedepan, terutama dalam menghadapi kasus-kasus adat yang terjadi dilingkungannya, untuk mewujudkan prinsip “belom bahadat”. Karena itu, Damang dan Mantir Adat hendaknya dapat bekerja lebih tekun dan lebih keras lagi dalam rangka mewujudkan kemandirian kedemangan, dengan senantiasa menjamin kerja sama dan hubungan yang harmonis dalam melaksanakan tugas di tingkat kedemangan. Pemberdayaan dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan dari dalam (internal) lembaga kedemangan itu sendiri. Upaya itu harus diikuti dengan melakukan langkah-langkah positif selain dari hanya menciptakan iklim atau suasana, Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang merasa aman dan nyaman. Disinilah Damang Kepala
178
Siswanto Soenarso,2005, Wawasan Penegakan Hukum Bandung, hal.12.
di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti,
197
Adat mempunyai peranan yang sangat penting, karena senantiasa terlibat dalam penyelesaian perkara adat di masyarakat. Seorang Damang Kepala Adat harus mengarahkan warga untuk mewujudkan suasana yang nyaman sehingga tercipta ketertiban dan ketentraman hidup bermasyarakat. Proses pemberdayaan yang dapat dilakukan, yaitu : (a). Mematuhi setiap peraturan dan tata tertib di yang berlaku dimasyarakat, untuk menunjukan kedisiplinan dalam menjalankan norma hukum yang berlaku. (b). Membina masyarakat agar senantiasa menyukai suasana yang merangsang terciptanya tertib, dan mematuhi petunjuk dan ketentuan yang berlaku dan tidak saling bertentangan. (c). Menciptakan rasa disiplin, kejujuran, keadilan dan menghindari kerancuan dalam kehidupan bermasyarakat, menghindari perkelahian, menjauhi pantangan dan larangan serta mematuhi segala aturan, semua sama-sama merasakan sebagai tanggung jawabnya. (d). Melakukan tindakan preventif terhadap kriminalitas dan tindakan yang merugikan, dan satuan pengamanan mewaspadai terhadap krimanalitas dan tindakan yang merugikan. (e). Memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan dalam masyarakat. Keadaan aman merupakan tindakan yang tidak menimbulkan rasa takut, kegelisahan dan kekawatiran diharapkan semua serba tentram, suasana tidak terganggu atau terancam, baik yang datangnya dari luar maupun dari dalam. Digambarkan suasana yang tenang dan tentram, damai dan suntosa dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat, bebas dari rasa takut, kawatir dan was-was atas keselamatan jiwa maupun raga, serta
198
harta benda, juga bebas dari ancaman gangguan, hambatan maupun tantangan, terhindar dari marabahaya, tindakan kekerasan dan kejahatan, sehingga semua fasilitas terpelihara dengan baik. Terkait hal itu Damang Kepala Adat perlu melakukan langkah-langkah yang nyata, yaitu : (a). Aparat kedemangan dan masyarakat harus tanggap dan sigap terhadap keluhan dan gejala yang mencurigakan dan terus meningkatkan kewaspadaan. (b). Agar aparat kedemangan mampu untuk berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan yang lebih luas. (c). Membimbing dan membina masyarakat agar berprilaku baik, menggalakan semangat gotong royong, tolong menolong dan kerjasama antar sesama warga kedamangan. (d). Melakukan pewarisan nilai-nilai hukum adat secara dini kepada warga masyarakat, terutama generasi muda dalam wilayah kedemangan yang dipimpinnya. (e). Membina generasi muda supaya tidak sok jagoan, anarkis, minum miras, dan supaya ikut memelihara ketertiban dan keamanan lingkungan. Bentuk-bentuk reproduksi sistem nilai tersebut di atas telah melahirkan semangat baru merupakan kerangka acuan yang dianggap dapat mengatur bagaimana suatu kedemangan menjadi ideal dapat terwujud. Namun proses ini oleh orang Dayak tidak berarti membangun wilayah simbolik sendiri dan juga tidak merasa lebih dari kelompok yang lain. Karena dalam konsep “belom bahadat” tetap menghargai prinsip keragaman identitas. Untuk mewujudkan derajad keberdayaan kelembagaan adat kedemangan secara internal tersebut perlu dilakukan langkah-langkah secara runtun dan simultan antara
199
lain: 1)perlu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia(SDM) para Damang dan Mantir Adat, melaui pendidikan dan pelatihan menyakut pemahaman hukum adat setempat dan cara-cara penyelesaian perkara secara perdamaian adat; 2)perlu upaya penguatan secara kelembagaan, melalui pembaharuan struktur organisasi kedemangan terutama untuk di tingkat desa atau kampung perlunya pembentukan lembaga “pemangku adat desa” untuk melaksanakan tugas-tugas kedemangan di tingkat desa; 3)perlu upaya penguatan kebijakan terkait masalah hukum adat, perlu langkah kretif untuk menggali dan menemukan format hukum adat termasuk membuat aturan-aturan kedemangan yang lebih jelas untuk mengantisifasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh kedemangan dewasa ini; 4)perlu upaya meningkatkan kemampuan dalam mengendalikan diri dan lingkungannya melalui kesatuan pengamanan adat terutama dalam menghadapi gangguan hambatan dalam pelaksanaan penegakan hukum adat yang terjadi dilingkungannya, 5)perlu upaya kemandirian kelembagaan kedemangan untuk itu Damang dan Mantir Adat hendaknya dapat bekerja lebih tekun dengan senantiasa menjamin kerja sama dan hubungan yang harmonis dalam melaksanakan tugas di tingkat kedemangan. Sudah saatnya paradigma pembangunan yang selalu menempatkan pemerintah sebagai sumber segala-galanya mulai digeser dengan menempatkan wagra masyarakat sebagai pemain utama. Kekuasaan sejatinya dikembalikan kepada masyarakat, agar masyarakat (warga kedemangan) menjadi
aktor utama dalam
pembangunan
kedamangan. Sebuah proses seharusnya dilakukan untuk meningkatkan derajat dan peran lembaga kedemangan sampai kepada tingkat keberdayaan Damang Kepala Adat yang optimal. Karena ada yang berangagapan bahwa lembaga adat yang telah berkembang dikalangan rakyat pedesaan cendrung tidak efektif bahkan menghambat
200
pembangunan merupakan suatu pandangan yang keliru. Anggapan ini membuat lemaga adat kurang dimanfaatkan di lapisan masyarakat
sehingga tidak berikhtiar
memperbaharuinya, memperkuat serta memberdayakannya. Dalam kontek inilah dimaksudkan pemberdayaan Damang Kepala Adat sebagai Hakim Perdamaian Adat, agar mampu menghadapi berbagai hambatan dan tantangan di masyarakat yang sedang mengalami perubahan.
6.4. Upaya Pemberdayaan Damang Kepala Adat Secara Eksternal Pada saat ini masyarakat Dayak harus membuka mata lebar-lebar bahwa budaya dan masyarakat Dayak sedang mengalami perubahan yang sangat pesat, menuju suatu bentuk masyarakat yang kompleks dan kurang dapat diramalkan di kemudian hari. Masyarakat Dayak telah memasuki relitas sosial multi-etnik dan multikulturalisme yang sangat dinamis sebagai dampak pembangunan dan keterbukaan. Kini seolah-olah rasa sebagai orang Dayak, memiliki tanah Dayak sendiri sirna. Tanah Dayak (Bumi Tambun Bungai) bukan milik orang Dayak saja, melainkan milik bangsa bahkan miliki dunia. Kemajemukan etnik dan multikulturalisme dalam masyarakat Dayak dapat menjadi sumber konflik sosial yang terbuka di kemudian hari, jika tidak diantisipasi oleh masyarakat secara intensip. 179 Dengan demikian upaya pemberdayaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat perlu dilakukan karena didorong tuntutan lingkungannya, dalam hubungan ini adalah warga masyarakat yang ada di kedemangan Pahandut dan Sabangau yang memiliki berbagai latar belakang perbedaan. Adanya perbedaan pandangan terhadap lembaga kedemangan, antara penduduk pendatang dengan penduduk asli oarnga Dayak.
179
Wawancara dengan Sabran Ahmad tanggal 16 Oktober 2010.
201
Terutama bagi warga pendatang keberadaan lembaga adat itu hanya untuk kepentingan orang Dayak saja dan mereka tidak merasa ada keterikatan dengan lembaga tersebut. Sebaliknya bagi orang Dayak mereka sangat terikat dengan lembaga kedemangan dan menganggap lembaga itu sebagai warisan budaya leluhur mereka dan wajib dilestarikan. Dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik sosial, pendekatan institusional masih tetap relevan dilakukan, dengan cara memberdayakan berbagai bentuk lembaga adat, seperti kedemangan bersama-sama dengan Damang Kepala Adat, Mantir Adat, dan tetua-tetua adatnya. Mengingat saat ini kedemangan Pahandut dan Sabangau masyarakatnya mengalami proses perkembangan, dari masyarakat monokultur menjadi multikultur maka dalam hubungan ini kedemangan dan Demang Kepala Adat perlu melakukan pembenahan, karena lingkungannya mengalami perubahan yang demikian pesat. Terjadinya perubahan tersebut tidak mungkin di tangani hanya dengan nilai-nilai lama akan tetapi perlu dilakukan kombinasi dengan nilai-nilai baru, sebab menurut Abdul Manan, disorganisasi dan reorganisasi biasanya terjadi secara bersamaan dan serentak. 180 Berbicara mengenai masyarakat, maka hal ini sedikit banyaknya menyangkut masalah budaya hukum dan derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Terkait dengan budaya hukum, sangat relevan dikemukakan pandangan Lawrence M.Friedman dalam bukunya “The Legal System: A Social Science Perspective” (Sistem Hukum:Sebuah Perspektif Ilmu Sosial). Dikatakannya dalam sistem hukum mengandung 3(tiga) komponen, 181 yaitu struktur hukum (legal structure), subtansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Komponen hukum tersebut
180
Abdul Manan, 2005, op cit, hal.26.
181
Lawrence M. Friedman,(a),1969, op cit, hal.14-15.
202
merupakan prasyarat bagi berjalannya penegakan hukum. Sebuah sistem hukum apapun di dunia ini tidaklah dapat berjalan tanpa adanya tiga komponen tersebut. Friedman menempatkan struktur hukum sebagai elemen dasar dari sistem hukum. Hal ini dapat dipahami mengingat struktur hukum adalah subsistem yang akan menjalankan sebuah sistem hukum. Sementara substansi hukum digambarkan Friedman secara umum terdiri dari dua bagian yaitu peraturan atau kaidah substansif dan peraturan tentang bagaimana lembaga penegak hukum harus bekerja. Ini berarti substansi hukum meliputi hukum materil, hukum formil atau prosedural. Maka berbeda dengan dua subsistem hukum sebelumnya (struktur hukum dan substansi hukum), Friedman memberikan gambaran terlebih dahulu baru kemudian menyebutkan penamaan subsistem terakhir, sebagai kultur hukum yang terdiri dari perilaku masyarakat dan nilai-nilai. Kultur hukum yang dijelaskan Friedman tersebut pada umumnya dipisahkan menjadi eksternal legal culture dan internal legal culture. Budaya hukum eksternal adalah nilai-nilai, kebiasaan, harapan terhadap hukum yang ada dalam masyarakat, sementara budaya hukum internal adalah nilai-nilai, cara berfikir dan kebiasaan berhukum yang ada pada aparat penegak hukum. 182 Hal inilah merupakan faktor yang sangat menentukan dalam bekerjannya suatu sistem hukum dalam kenyataannya. Penjelasan Friedman tersebut menunjukan bahwa meskipun diakui bahwa struktur hukum dan substansi hukum merupakan komponen inti dari sistem hukum, namun tanpa kultur hukum sebuah sistem hukum, sekalipun dapat berjalan, namun akan terasa ‘hambar’ karena tidak disertai ‘ruh’. Kultur hukum menjadi ‘jiwa’ dalam sebuah sistem hukum, demikian sebaliknya sebuah sistem hukum dengan kultur hukum saja
182
Esmi Warasih Pujirahayu,2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang. Suryandaru Utam, hal.82.
203
tanpa adanya struktur hukum dan substansi hukum tidak dapat berjalan, kerena struktur hukum dan substansi hukum adalah komponen inti dari hukum. Hal ini berarti struktur hukum dan substansi hukum merupakan ‘raga’ atau ’badan’ dari sistem hukum dan kultur hukum menjadi ‘jiwa’ atau ’ruh’ sistem hukum. Budaya hukum eksternal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah budaya hukum para anggota masyarakat, baik warga yang terkena kasus adat maupun warga sekitar kedemangan yang mendukung bekerjanya sistem hukum dimasyarakat. Berdasarkan uraian tersebut menunjukan bahwa faktor budaya dan kepatuhan masyarakatlah yang menentukan apakah Hakim Perdamaian Adat dapat melaksanakan fungsinya secara efektif atau tidak. Derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Disamping itu, faktor yang sangat mempengaruhi bekerjannya hukum dalam masyarakat adalah budaya hukum (sikap,prilaku) masyarakat terhadap suatu peraturan hukum, apakah peraturan hukum tersebut di dayagunakan atau tidak. Hal-hal yang menyangkut nilai-nilai, pandangan ataupun sikap orang-orang yang mempunyai profesi dibidang hukum seperti (polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan lain-lain) yang oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai budaya hukum internal (internal legal culture) dari suatu sistem hukum. 183 Suatu peraturan hukum (legal substance) yang baik tidak akan berfungsi dengan baik jika sikap dan prilaku dari para penegak hukum tidak mendukungnya. Sebaliknya, suatu peraturan hukum yang kurang lengkap atau kurang baik dari segi yuridis tidak akan mengganggu tercapainya tujuan-tujuan penegakan hukum yaitu keamanan, ketentraman dan kedamaian masyarakat, jika sikap para penegak hukum mendukungnya. 183
Lawrence M.Friedman,(a),1969, op cit, hal.223.
204
Kemudian agar suatu aturan hukum itu bisa efektif dan dapat mencapai sasarannya, maka seluruh komponen dalam system hukum itu harus berjalan atau berfungsi dengan baik pula. Elemen dasar dari sistem hukum tersebut adalah : (1). Aturan hukumnya harus jelas (hukum adat Dayak) (2). Penegak hukumnya harus berjalan dengan baik dan fair (demang, mantir adat, dan majelis adat) (3). Penegak hukum harus bekerja dengan sungguh-sungguh, kreatif dan tidak memihak (4). Budaya hukum masyarakat harus mendukung pelaksanaan hukum adat (5). Riword atau sanksi hukum harus efektif, preventif dan represif. Langkah-langkah di atas hanyalah merupakan suatu model belaka, yang pasti mempunyai kelemahan-kelemahan. Akan tetapi dengan model tersebut di atas, setidaknya dapat di identifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan tidak efektifnya sistem kaidah hukum tertentu di dalam mengubah dan mengatur perilaku masyarakat. Setidaknya menggambarkan petunjuk-petunjuk bahwa adanya kelemahankelemahan dalam penerapan hukum adat dalam kenyataannya. Permasalahannya mungkin saja terletak pada aturan hukum yang sudah tidak begitu efektif di dalam mengubah perilaku warga masyarakat, mungkin juga masalahnya terletak pada Peraturan Daerah yang mengatur tentang kewenangan dan fungsi Damang Kepala Adat yang terlelu abstrak atau terlalu rumit,
mungkin juga terletak pada para penegak
hukumnya (Damang, Mantir Adat, Majelis Adat) dan sikap warga masyarakat pendukungnya. Kemungkinan pula terletak pada fasilitas pendukungnya, karena tanpa adanya sarana dan prasarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung lancer. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang
205
memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. 184 Starategi untuk mengatasi permasalahan tersebut untuk masa yang akan datang akan diupayakan berbagai penejaman kegiatan yang terfokus pada pembaharuan yang pada hakikatnya adalah memperbaiki sebuah sistem dengan membuat berbagai perubahan pada sistem tersebut. Tiga hal yang patut diperhatikan dari penjelasan tersebut adalah : (1). Perlu dilakukan pembaharuan struktur hukum (legal structure), yang meliputi antara
lain
pembaharuan
atau
penataan
institusi
kelembagaan,
sistem
manajemen/tata laksana dan mekanismenya serta sumber daya fisik yaitu sarana dan prasarana pendukung dari sistem penegakan hukum (sistem peradilan adat). (2). Perlu dilakukan pembaharuan substansi hukum (legal substance), yang meliputi pembaharuan hukum adat, aturan-aturan kedemangan dan Peraturan Daerah tentang kedemangan. Pembaharuan dimaksud adalah peraturan adat mana yang masih relevan untuk dipertahankan dan yang mana yang harus ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Selanjutnya untuk mengatisipasi perkembangan masyarakat perlu dibuatkan aturan adat kedemangan yang baru secara independen. (3). Perlu dilakukan pembaharuan budaya hukum (legal culture) masyarakat dan para aparat kedemangan. Budaya hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap dan prilaku dari warga kedemangan temasuk para demang kepala adat, mantir adat dan majelis adat. Perlu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan hukum
184
Soerjono Soekanto,1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Grafindo Persada, Jakarta, hal.37.
206
adat, baik mengenai larangan adat, perbuatan yang yang dilarang oleh adat juga menyangkut sanksi adat setempat. Dengan demikian masyarakat akan meningkat kesadarannya karena takut akan sanksi adat kalau ia melanggar aturan-aturan adat yang berlaku. Dalam kondisi kedemangan saat ini, dituntut peranan yang lebih besar bagi para Damang dan Mantir Adat agar dapat melaksanakan fungsinya dengan baik tanpa hambatan. Hal ini menjadi sangat penting bagi warga masyarakat dan pemerintah daerah, karena ditengarai sejak lama hingga sekarang ini banyak warga masyarakat Dayak yang kehilangan jati diri. Kondisi ini bisa dilihat dengan semakin bergesernya nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Orang Dayak yang tadinya ramah mendadak menjadi ganas dan lebih menyeramkan, orang Dayak yang tadinya suka menolong mulai egois dengan kehidupan pribadinya. Kalangan generasi muda Dayak lebih senang musik modern dari pada kesenian tradisional, akibatnya budaya Dayak semakin asing, dan kearifan lokal dalam penyelesaian sengketa secara perdamaian adat semakin tidak dikenal oleh orang Dayak sendiri. Dalam kontek inilah konsep pemeberdayaan yang dimaksud.
BAB VII PENUTUP
7.1. Simpulan Dari keseluruhan uraian yang telah dikemukakan di atas, akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
207
1). Pengaturan kedudukan dan kewenangan Damang Kepala Adat sebagai Hakim Perdamaian Adat dalam masyarakat Dayak mempunyai latar belakang historis dan kutural tersendiri jauh sebelum zaman kolonial Belanda di tanah Dayak. Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum
tradisionalnya.
implisit
Pengakuan
tersebut
secara
adat besarta hak-hak mengakui
kedudukan
kedemangan, karena kedemangan dapat digolongkan sebagai persekutuan masyarakat hukum adat. Di dalam Undang-undang Darurat No 1 Tahun 1951, Pasal 1 ayat (3) dapat diketahui bahwa Hakim Perdamaian Desa (hakim perdamaian adat) tidak termasuk dalam penghapusan itu. Dengan demikian kedudukan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat mempunyai landasan hukum yang kuat untuk menyelesaikan perkara-perkara adat yang terjadi dalam wilayah kedemangan yang dipimpinya. Secara yurisis kedudukan dan kewenangan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat mendapat pengakuan dalam level Peraturan Daerah, didasarkan kepada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Akan tetapi Peraturan Daerah tersebut dinilai masih banyak kekurangan dan kelemahannya, sebab dalam Perda tersebut selain mengatur lembaga kedemangan juga mengatur lembaga majelis adat yang sesungguhnya memiliki visi dan misi yang berbeda. Kedemangan adalah organissasi sosial religius yang berdasarkan keaslian dan tradisional, sedangkan lembaga majelis adat yaitu organisasi yang sengaja dibentuk dan memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sendiri bagaimana mungkin diatur dalam satu Perda yang sama.
208
2). Dalam implementasi pelaksanaan tugasnya Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dalam kenyataan yang ada menunjukan bahwa Damang kurang kreatif dalam menggali dan menemukan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Dayak dimana ia bertugas, terkesan hanya sekedar melaksankan apa yang ditugaskan kepadanya. Kebanyakan Damang Kepala Adat tidak menyadari kedudukannya selaku Hakim Perdamaian Adat, ataupun sekali menyadari ia tidak cakap menjabatnya. Seorang Damang lebih banyak mengurus berbagai upacara adat dan acara serimonial lainnya, sedangkan tugas-tugas sebelumnya yang menyangkut penyelesaian perkara sudah banyak diambil alih oleh jajaran aparat birokrasi, seperti polisi, kejaksaan dan pengadilan, serta dari unsur pemerintah daerah mempunyai akibat melemahnya peranan Damang Kepala Adat dalam masyarakat Dayak, sedangkan apabila peranan Damang menjadi semakin berkurang maka akan menimbulkan pengaruh terhadap kedudukan hukum adat, mengaingat Damang adalah pemangku hukum adat dan sebagai pembina terhadap adat. 3). Budaya hukum (sikap,prilaku) masyarakat Dayak dalam hubungannya dengan kdudukan dan fungsi Damang Kepala Adat sebagai Hakim Perdamaian Adat, dalam hal ini adalah sangat tergantung pada tingkat kebutuhan warga masyarakat sesuai dengan tradisi dan keyakinan mereka terhadap perlunya penyelesaian perkara secara tradisional oleh Damang. Masyarakat Dayak juga mengalami perubahan termasuk dalam hal penyelesaian perkara, sehingga Damang Kepala Adat bukan satu-satunya pilihan untuk meyelesaikan perkara di masyarakat. Pergeseran kesadaran hukum masyarakat terbukti dengan adanya kecendrungan menyelesaikan perkara ke pengadilan negeri, padahal sebenarnya ada kearifat lokal (tradisional) untuk penyelesaian perkara secara damai dan kekeluargaan, dan lebih berbudaya.
209
Di lain pihak adanya pengaruh pengkodifikasian hukum nasional merambah masuk kedalam komonitas masyarakat, karena itu secara sistematis mematikan peran strategis Damang Kepala Adat dalam kehidupan masyarakat Dayak. 4). Upaya yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan Damang sebagai Hakim Perdamaian Adat dalam kenyataannya menunjukan belum ada upaya nyata, yang dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan pemerintah Kabupaten/Kota terkait pembinaan dan penataan institusi kelembagaan, sistem manajemen, tata laksana dan mekanismenya serta sumber daya fisik yaitu sarana dan parasarana pendukung dari sistem penegakan hukum (peradilan adat). Kenyataannya para Damang dan Mantir Adat saat ini telah banyak mengalami berbagai kendala dan hambatan dalam upaya mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai adat istiadat, hukum adat dan budaya Dayak di Palangkaraya.
7.2. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, akhirnya dapat disampaikan beberapa saran-saran sebagai berikut : 1). Mengingat Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No16 Tahun 2008 yang mengatur hubungan lembaga kedemangan dan Majelis Adat Dayak dalam satu Peraturan Daerah yang sama. Adanya dua lembaga yang berbeda diatur dalam satu Peraturan Daerah akan menimbulkan kerancuan dan tumpang tindih kewenangan antara Damang Kepala Adat dengan Majelis Adat Dayak dan Dewan Adat Dayak dalam pelaksanaanya. Untuk itu, disarankan agar pemerintah Provinsi Kalimatan Tengah dan pemerintah Kabupaten/Kota bersama badan Legislatif segera merevisi Pengaturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 tersebut,
210
dengan membuat suatu Peraturan Daerah tersendiri yang mengatur kewenangan masing-masing lembaga adat tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya potensi konflik kewenangan antara Damang Kepala Adat dan Dewan Adat Dayak pada umumnya, khususnya dalam bidang pembinaan dan penegakan hukum adat dimasyarakat. Kemudian, perlu ditegaskan kembali sistem pemilihan dan pengangkatan Damang Kepala Adat dan Mantir Adat yang lebih demokratis, terbuka, langsung dipilih oleh warga kedemangan yang bersangkutan dan bukan diwakili oleh para kepala desa/lurah dan mantir adat, dalam hal ini pemerintah sebaiknya tetap netral. Dengan demikian, Damang Kepala Adat dan Mantir Adat dapat lebih dekat dengan masyarakat pendukungnya, sehingga setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat tidak luput dari pengawasannya. 2). Masih perlu dikembangkan model-model pembinaan para Damang Kepala Adat dan Mantir Adat, karena dalam pelaksanaan tugasnya banyak mengalami berbagai kendala dan hambatan. Untuk itu, disarankan kepada pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan pemerintah kabupaten/kota melalui biro hukum, supaya melakukan pembinaan terhadap para Damang, Mantir Adat dan pemangku adat desa melalui pendidikan dan pelatihan pengetahuan dibidang hukum adat, dan caracara menyelesaikan perkara adat secara damai dan kekeluargaan berdasarkan asas musyawarah mufakat. Hal ini patut di tumbuh kembangkan agar masyarakat benarbenar dapat diberdayakan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang muncul di lingkungannya sendiri berdasarkan cara-cara yang mereka yakini. Dan oleh karena itu sebaiknya penyelesaian perkara secara yudisial tidak harus dipaksakan oleh para penegak hukum. Disarankan pula kepada (polisi, jaksa, hakim) yang bertugas di daerah-daerah agar mempertimbangkan peranan para Damang Kepala Adat dan
211
Mantir Adat setempat, agar putusan yang dibuat tidak mendapat resistensi dari masyarakat. 3). Mengingat masih banyak warga Palangkaraya yang membawa kasusnya langsung ke luar kedemangan tanpa melalui dan sepengetahuan oleh Damang Kepala Adat setempat, diusahakan agar supaya kasus-kasus sengketa yang terjadi dimasyarakat dapat diselesaikan secara tuntas dan dicegah agar supaya jangan sampai berkembang menjadi sesuatu yang meresahkan atau menimbulkan konflik yang lebih besar dan merugikan. Untuk itu, disarankan kepada para Damang Kepala Adat dan Mantir Adat agar melakukan langkah-langkah sosialisasi dan pembinaan hukum adat kepada warga kedamangan, sekolah, perguruan tinggi, instansi pemerintah dan masyarakat luas untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman mereka tentang berbagai aturan hukum adat Dayak. Perlu dilakukan bentuk-bentuk penyelesaian perkara alternatif dengan memanfaatkan bentuk-bentuk penyelesaian tradisional dan melibatkan para kepala desa/lurah, RT, RW di wilayah kedemangan yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendukung kebijakan lembaga kedemangan sehingga dapat berperan lebih optimal sebagaimana yang diharapkan. 4). Mengingat akan arti pentingnya Damang Kepala Adat dalam masyarakat Dayak di Palangkaraya, untuk itu perlu langkah pemberdayaan dan pengembangannya oleh pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan pemerintah Kabupaten/Kota, agar para Damang ini benar-benar dapat berperan optimal dalam menyelesaikan berbagai kasus sengketa, perselisihan, konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pemberdayaan dimaksud bukan hanya meliputi penguatan individu pengurus kedamangan dalam hal ini Damang dan Mantir Adat, tetapi juga menyangkut
212
pranata-pranatanya meliputi penataan secara institusi kelembagaan, organisasi, sistem manajemen, tata laksana dan mekanismenya serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan tugas Damang Kepala Adat dan Mantir Adat, terkait (sistem peradilan adat). Dengan demikian, diharapkan Damang Kepala Adat dan Mantir Adat mampu melaksanakan tugasnya untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam wilayah kedemangan yang dipimpinnya.
213
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, H, 2002, Lembaga Kedemangan di Kalimantan Tengah, Makalah disampaikan pada Rapat Kordinasi Biro Hukum dengan Kepala-kepala Bagian Hukum se-Propinsi Kalimantan Tengah dan Departemen Kehakiman dan HAM Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya, tanggal 28 Januari. ………..…,2002, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Menurut Hukum Adat Dayak, Ringkasan Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta. …………..,2005, Penegakan Hukum Adat atau Revitalisasi Hukum Adat Makalah disampaikan pada pertemuan umum para Demang Kepala Adat se Kalimantan Tengah, di Palangkaraya tanggal 17 Nopember. Abbas, Syahrizal, 2009, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat & Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Akarmedia, 2003, Kamus Lengkap Praktis Bahasa Indonesia, Surabaya. Asamandiri, 2007, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, (Amendemen, Penerbit Asa Mandiri, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safaa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Astiti, Tjok Istri Putra, 1997, Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa Dalam Penyelesaian Kasus Adat Di Luar Pengadilan, Orasi Ilmiah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Atu Dewi, Anak Agung Istri, 2008, Eksistensi Adat Kasepekang Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar. Biro Pemerintahan Desa Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah, 1969, Lembaga Kedemangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Coubrey, Mc.Hilaire & Nigel D.White, 1996, Texbook on Jurisprudence, Balckstone Press Limited, Universtas of Nottingham, London. Cotterrell, Roger, 1984, The Sosiology of Law : An Introduction, dapat dibaca dalam “Kajian Tentang The Living Law”, Butterworths, London. Danandjaja, James,1975, Kebudayaan Kalimantan Tengah, Dalam Koentjaraningrat (ed) “Kebudayaan Indonesia”, PT.Pembangunan, Jakarta.
214
Departemen Kehakiman dan HAM dan POLRI, 2002, Instrumen Pokok HAM Internasional Bagi Aparatur Penegak Hukum, Jakarta. Firdaus, Kamal, 1980, Seraut Wajah Hukum, Penerbit Alumni, Bandung. Friady, Johly, 1989, “Sejarah Singkat Demang Batu, Betang dan Rapat Perdamaian Tumbang Anoi 1894 Monografi”, Palangkaraya. Friedman, Lawrence M, 1969, The Legal Sistem : A.Social Science Perspektive, (Russel Sage Foundation), New York. …………,1969, On Legal Developman, dalam “Rutgers Law Review”, Vol.24. Fokusmedia, 2009, Undang-undang Kehakiman dan Mahkamah Agung, Anggota IKAPI, Bandung. Gafar, Affan, 2002, Rezim Tidak Berganti, dalam “Gatra” Nomor 34 Tahun VIII, 13 Juli, PT.Era Media Informasi, Jakarta. Galenter,Marc,1993, Keadilan di Berbagai Ruangan : Lembaga Peradilan, Penataan Masyarakat Serta Hukum Rakyat, dalam Ihromi,T.O (ed), “Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Gede Griya, Anak Agung, 2006, Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Tentang Desa Pakraman, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Gijssls, J & Mark van Hocke, 1982, What is Rechtsteorie?, Antwerpen Kluwer, Rechtwetenschappen. Hadikusuma, Hilman, 1977, Ensiklopedi Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia, Alumni, Bandung. ………….,1994, Peradilan Adat Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Edisi khusus “Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia” Dalam HUT ke-30 Fakultas Hukum Univrsitas Udayana dan Lustrum VI tanggal 1 September, Denpasar. …………,2004, Pengantar Antropologi Hukum, PTCitra Aditya Bakti, Bandung, hal.115. Haar, Ter, 1972, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (dalam I Ketut Sudantra, 2007, Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa Dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali),Tesis, Universitas Udayana, Denpasar. Hadjon, M. Philipus, 1988, Tentang Penataan Hukum Administrasi, Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya.
215
Hadari, Nawawi dan Martini Hadari, 1992, Instrument Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hudijono, Singkir, 2008, Penyelesaian Sengketa Alternatif di Kabupaten Banyumas: Perspektif Kajian Budaya, Disertasi, Universitas Udayana, Denpasar. Ilun, Y.Nathan, 1987, Tampung Buhul Warisan Purba Ragam Penunjang Tatakrama (Belom Bahadat) Warisan Budaya Asli Suku Dayak Ngaju Daerah Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah, tanpa penerbit, Kuala Kapuas. Ihromi, T.O, 1981, Adat Perkawinan Toraja Sa’dan Tempatnya Dalam Hukum Fositif Masa Kini, Gajahmada University Press, Yogyakarta. Kartasasmita, Ginandjar, 1999, Power dan Empowerment, Sebuah Telaah Mengenai Konsep Pemberdayaan Masyarakat dan Pembebasan Budaya-budaya Kita, PT.Gramedia dengan Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kartodiporo, Sarwoto, 1963, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Pedalaman Kalimantan, Sumur, Bandung. Koesnoe, Moh, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga University Press, Surabaya. Kusumaatmadja, Mochtar, 2002, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerjasama dengan penerbit PT.Alumni, Bandung. Lambut, M.P, 2001, Prinsip-prinsip Belom Bahadat (Hidup Beradat) Tata Kehidupan Pribumi Boerneo Sepanjang Zaman, Makalah disampaikan dalam pertemuan umum dengan Kepala-kepala Adat di Tanjung, Kalimantan Selatan. Lingu, A. Amu Lanu, (ed), 2001, Menjawab Tantangan Terjadinya Kerusuhan di Kalimantan Tengah, Pusat Penelitian Kebudayaan Dayak, Lembaga Penelitian Universitas Palangkaraya dengan Majelis Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Manan, Abdul, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta. Maatew, B. Miles & Machel Huberman, 1992, Analisa Data Kualitatif, PT.Rosdakarya, Bandung. Mallincrodt, J, menulis Het Adatrecht van Boerneo,(Leden, Peter J.Bruns, 199) The Leiden Legacy Concepts Of Law in Indonesia, PT.Pradnya Paramita, Jakarta. Milovanovic, Dragan, 1994, A Primer in The Sosiology of Law, Northeastern Ilinois University, New York.
216
Moleong, J. Lexy, 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung. Muda, A.K,Ahmad, 2006, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Reality Publisher. Muhamad, Bushar,1995, Pokok-Pokok Hukum Adat, PT.Pradnya Paramita, Jakarta. Nasution, S, 2003, Metode Research (Penelitian Ilmiah), PT.Bumi Aksara, Jakarta. Panitia Adhoc I DPRD RI, 2009, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan Masyarakat Adat, Materi Uji Sahih, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia,Jakarta. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, 2009, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Pemerintah Kota Palangkaraya, 2003, Buku Sejarah Kota Palangkaraya, Edisi pertama, Cetakan pertama, Palangkaraya. ……….…,2007, Membangun Kota Palangkaraya, Evaluasi 50 Tahun Pembangunan Kota Palangkaraya, Palangkaraya. …………,2009, Kota Palangkaraya Dalam Angka Tahun 2009, Palangkaraya. Poerwadarmintra,W.J.S, 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN.Bali Pustaka, Jakarta. Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis Ilmu Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar. Rahardjo, Satjipto, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta. Riwut, Tjilik, 1973, Kalimantan Membangun, PT.Tirta Wacana,Yogyakarta. Riwut, Nila, 2003, Maneser Panatau Tatu Hiang, Menyelemi Kekayaan Leluhur, Pusaka Lima, Yogyakarta. Saleh, K.Wantjik, 1977, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Salman, Otje, Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer, Alumni, Bandung.
217
Scharer, Hans, 1963, Ngaju Religion, The Conception of Good Among A South Boerneo People, Translation Series 6, Koninklijk Instituut Voor Taal, Land En Volkenkunde. Setiady, Tolib, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia(Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Ceakan Kedua, Bandung. Sirtha, I Nyoman, 2003, Legalitas dan Pelembagaan Kearifan Lokal di Era Otonomi Daerah, Makalah disampaikan dalam dialog Budaya Revitalisasi Kearifan Lokal Berbasis Otonomi Daerah dan Wawasan Kebangsaan di Bali, Balai Kajian dan Nilai Tradisional, Denpasar. Soenarso, Siswanto, 2005, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Soeroso, R, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV.Rajawali, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1983, Hukum Adat Indonesia, Cetakan II, PT.Grafindo Persada, Jakarta. ……………,1983, Faktor-Faktor Yang PT.Grafindo Persada, Jakarta.
Mempengaruhi
Penegakan
Hukum,
……………,2003, Hukum Adat Indonesia, PT.Grafindo Persada, Jakarta. Soepomo, R, 1979, Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, PT.Pradnya Paramita, Jakarta. ……….….,2003, Hukum Adat Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. ……...…...,2007, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, PT.Pradnya Paramita, Cetakan Ketujuhbelas, Jakarta. Sudantra, I. Ketut, 2007, Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa Dalam Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa Di Bali, Tesis,Universitas Udayana, Denpasar. Suharto, Edi, 1997, Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Lembaga Studi Pembangunan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, (tanpa penerbit). Sunggono, Bambang, 2003, Metodelogi Penelitian Hukum, CV.Rajawali Pers, Jakarta. Tabat, Herdiwang, 2008, Buku Hukum Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah, Palangkaraya.
218
Tim Monografi Hukum Adat, 1989, Tim Monografi Hukum Adat Kalimantan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. Tim Peneliti UNLAM, 1990, Peranan Damang Kepala Adat Dalam Pembinaan Hukum Adat di Provinsi Dati I Kalimantan Tengah, Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Ugang, Hermogenes, 1993, Menelusuri Jalur-Jalur Kelurahan, BPK.Gunung Mulia, Jakarta. Utrecht, E, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan. Ukur, Fridolin, 1963, Tuaiannya Sungguh Banyak, Gereja Kalimantan Evanelis, Banjarmasin. ……..…,1971, Tentang Jawab Suku Dayak, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Usman, Rachmadi, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Warasih, Esmi Pujirahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosialogis, Suryadaru Utama, Semarang. Widnyana, I. Made, 1992, Eksistensi Delik Adat Dalam Pembangunan, Orasi Ilmiah, Universitas Udayana, Denpasar. Widjono, Roedy Haryo, 1998, Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Grasindo, Jakarta. Wignjodiporo, Soerojo,1995, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT.Alumni, Bandung. Wijaya, I Gede Mahendra, 2009, Eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Politik Hukum Nasional: Pengakuan Hak-hak Desa Pakraman dan Subak, dalam Tjok Istri Putra Astiti dan Wayan P.Windia, editor, Warna-warni Pemikiran tentang Adat dan Budaya Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Windia, Wayan P, 2004, Pecalang Perangkat Keamanan Desa Pakraman di Bali, LPM.Universitas Udayana, Denpasar. Wiranata, I Gede A.B, 2005, Hukum Adat Indonesia : Perkembangannya Dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung. Wiryawan I Wayan & I Ketut Artadi, 2009, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Udayana University Press, Denpasar.
219
DAFTAR INFORMAN
1. a. b. c. d. e. f. g.
Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : : : :
Suhardi Monong Stepanus 65 Tahun Laki-Laki Kristen Protestan SMA Demang Kepala Adat (Pahandut) Jln. Yosdarso 12, No.1. Kel.Menteng
2. a. b. c. d. e. f. g.
Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : : : :
Basel A.Bangkan 58 Tahun Laki-laki Hindu Kaharingan SMA Demang Kepala Adat (Sabangau) Jln. Karyawan,No.6. Kel.Kereng Bangkirai
3. a. Nama
: Drs. Edie
220
b. c. d. e. f. g.
Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : : :
41 Tahun Laki-laki Islam Sarjana Camat Pahandut Jln.Diponegoro, No.19.Kel.Langkai
4. a. b. c. d. e. f. g.
Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : : : :
Nuraini Mahmuddin, S.Sos. 47 Tahun Laki-laki Islam Sarjana Camat Sabangau Jln. Kenanga,No.1.Kel.Sabaru
5. a. b. c. d. e. f. g.
Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : : : :
Drs. Sabran Ahmad 76 Tahun Laki-laki Islam Sarjana Ketua Majelis Adat Dayak Jln. Piere Tendean,No.3.Kel.Pahandut
6. a. b. c. d. e. f. g.
Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : : : :
Drs.Sulman Jungan 68 Tahun Laki-laki Hindu Kaharingan Sarjana Demang Kepala Adat (Jekan Raya) Jln. Yusdarso,No.122.Kel.Menteng.
7. a. b. c. d. e. f. g.
Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : : : :
Drs.Willy Bungai 64 Tahun Laki-laki Kristen Protestan Sarjana Mantir Adat (Panarung) Jln.Tanggaring No.23, Kel.Panarung
8. a. b. c. d. e. f. g.
Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Drs.Siun Ibat : 65 Tahun : Laki-laki : Kristen Protestan : Sarjana : Mantir Adat (Langkai) : Jln.Nyi Rendem,No.4.Kel.Langkai
221
9. a. b. c. d. e. f. g.
Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Salim : 78 Tahun : Laki-laki : Kristen Protestan : SR : Mantan Demang Kepala Adat (Katingan hulu) : Jln.Gang Remaja,No.68.Kel.Langkai
10. a. b. c. d. e. f. g.
Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Efrida D.Luhing : 52 Tahun : Perempuan : Kristen Protestan : SMA : Masyarakat Adat Dayak : Jln.Karet,No.38B.Kel.Panarung.
LAMPIRAN FOTO
Wawancara dengan Suhardi Monong (65 tahun), seorang Demang Kepala Adat Pahandut di kantornya pada tanggal 18 Oktober 2010.
222
Wawancara dengan Drs.Edie,(41 tahun) Camat Pahandut di kantornya pada tanggal 16 Oktober 2010.
Wawancara dengan Basel A Bangkan (56 tahun), seorang Demang Kepala Adat Sabangau di rumahnya pada tanggal 18 Oktober 2010.
223
Wawancara dengan Nuraini Mahmuddin,S.Sos (45 tahun) kantornya pada tanggal 26 Oktober 2010.
Camat Sabangau
di
Wawancara dengan Sabran Ahmad Ahmad (76 tahun), seorang tokoh masyarakat Dayak juga sebagai ketua Dewan Adat Dayak, wawancara dirumahnya pada tanggal 16 Oktober 2010.
224
Wawancara dengan Sulman Jungan (68 tahun),seorang Demang Kepala Adat Jekan Raya di rumahnya pada tanggal 16 Oktober 2010.
Wawancara dengan Willy Bungai (64 tahun), seorang Mantir Adat Panarung di rumahnya pada tanggal 22 Oktober 2010.
225
Wawancara dengan Siun Ibat (65 tahun) seorang Mantir Adat Pahandut dirumahnya pada tanggal 22 Oktober 2010.