EKONOMI KEPENDUDUKAN DARI PERSPEKTIF MAKRO DAN MIKRO Bab 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
2 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 3 3.1. 3.2. 3.3. 3.4.
Judul Bab dan Sub Bab Hubungan antara Kependudukan dan Pembangunan Teori Kependudukan Teori Pembangunan Manusia Peranan Penduduk dalam Pembangunan Kondisi Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Makro Kependudukan Perencanaan Kependudukan dari Masa Kemasa Teori Perencanaan Kependudukan Perencanaan Kependudukan Periode Orla Perencanaan Kependudukan Periode Orba Perencanaan Kependudukan Periode Otda Tantangan Kedepan Perencanaan Kependudukan Kependudukan dan Peningkatan Kualitas Pembangunan Manusia Teori Amartya Sen tentang Kapabilitas IPM sebagai indikator kualitas Pembangunan Perkembangan IPM di Indonesia Strategi Peningkatan Pembangunan Manusia
4 Bonus Demografi dan Pertumbuhan ekonomi 4.1. Teori Tentang Ketergantungan (Dependency Ratio) 4.2. Teori Produktivitas 4.3. Teori Penuaan Penduduk 4.4. Perkembangan Bonus Demografi di Dunia dan Indonesia Mikro Kependudukan 5 Dinamika Penduduk: Pertumbuhan Penduduk, Fertilitas, mortalitas dan Migrasi 5.1. Pertumbuhan Penduduk 5.2. Fertilitas 5.3. Mortalitas 5.4. Migrasi 5.5. Kebijakan Dinamika Kependudukan 6. 6.1. 6.2. 6.3. 6.4 6.5.
Migrasi Penduduk dan Perkembangan Ekonomi Daerah Surplus Labor Teori Teori Migrasi (didalamnya motivasi migrasi) Perkembangan Migrasi Internasional Perkembangan Migrasi Antar Daerah Migrasi dan Perkembangan Daerah
7. 7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5.
Ketenagakerjaan dan Pengangguran Teori Labor Force Teori Unemployment dan Underemployment Dinamika Ketenagakerjaan di Indonesia (umur, pendidikan, gender, kota-desa) Dinamika Unemployment dan Underemployment di Indonesia Kebijakan Ketenaga kerjaan di Indonesia
8 Kependudukan dan Kesehatan 8.1. Hubungan tidak terpisahkan antara kependudukan dan kesehatan 8.2. Dampak Ekonomi dan Sosial dari Kondisi Kependudukan dan Kesehatan 8.3. Status Gizi, Penyakit tidak Menular dan Kualitas SDM 8.4 Penyakit Infeksi sebagai ancaman kelangsungan hidup 9. Kependudukan dan Pendidikan 9.1. Teori Ekonomi Pendidikan - Pendidikan sebagai modal manusia - Tingkat Pengembalian Pendidikan - Perencanaan Pendidikan, Penduduk dan Ekonomi 9.2. Indikator-Indikator Pembangunan Pendidikan 9.3. Kesesuaian Tingkat Partisipasi Penddidikan dengan Lapangan Pekerjaan 9.4. Akses dan Pemerataan dalam Pendidikan 9.5. Kebijakan Pemerintah dalam Peningkatan Partisipasi Pendidikan
PERAN PENDUDUK DALAM PEMBANGUNAN
Oleh Sutyastie Soemitro Remi
1. Pendahuluan Untuk menganalisis peran penduduk dalam pembangunan berkelanjutan bidang ekonomi perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana hubungan pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak sama dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi sendiri memiliki tiga kemungkinan yakni menghambat, menunjang dan tidak ada hubungan (Birdsall dan Sinding, 2001; Bloom, Canning dan Sevilla, 2003 dalam Pidato Pengukuhan Sri Moertiningsih, 2005). Pertumbuhan penduduk Indonesia pada periode 1971 – 1980 tercatat 2,32 persen pertahun. Angka ini kemudian menurun menjadi 1,97 persen per tahun pada periode 1980-1990 dan menurun lagi menjadi 1,49 persen per tahun pada periode 19902000. Penurunan pertumbuhan penduduk tersebut menyebabkan jumlah penduduk menjadi relatif terkendali. Pada tahun 1971 jumlah penduduk Indonesia tercatat 119,2 juta jiwa dan menjadi 205,8 juta jiwa pada tahun 2000. Turunnya LPP (Laju Pertumbuhan Penduduk) ini tidak terlepas dari keberhasilan Indonesia menurunkan angka kelahiran secara bermakna. Angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) dapat diturunkan dari 5,6 per wanita pada sensus penduduk tahun 1971 menjadi 2,34 per wanita pada sensus penduduk tahun 2000. Namun demikian, bila dicermati dengan memperhatikan latar belakang sosial ekonomi ternyata menunjukan perbedaan. SDKI 2002-2003 melaporkan bahwa mereka yang memiliki kesejahteraan terendah memiliki TFR 3,0 per wanita atau lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki tingkat kesejahteraan tertinggi yang memiliki TFR 2,2 per wanita. Penurunan angka kelahiran di Indonesia erat kaitan dengan keberhasilan program KB meningkatnya prevalensi pemakaian kontrasepsi. Angka prevalensi ber-KB berhasil ditingkatkan dari 26 persen pada tahun 1980 menjadi 57 persen pada SDKI 1997 dan 60,3 persen pada SDKI 2002-2003. Pencapaian prevalensi ini di tingkat provinsi cukup beragam yaitu berkisar antara 35 persen di Nusa Tenggara Timur hingga 75 persen di DI Yogyakarta. Penduduk pada hakekatnya dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi penduduk yang besar dan berkualitas akan menjadi aset yang sangat bermanfaat bagi pembangunan, namun sebaliknya penduduk yang besar tapi rendah kualitasnya justru akan menjadi beban yang berat bagi pembangunan. Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa kemajuan suatu bangsa sebagian besar ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan bukan oleh sumber daya alamnya. Negara-negara seperti Singapura, Hongkong, Korea, Taiwan, Jepang dan sebagian besar negara-negara maju di dunia dapat dikatakan miskin akan sumber daya alam, tapi mereka dapat berkembang dan maju dengan pesat karena mereka mempunyai kualitas sumber daya manusia yang tinggi dan tetap melakukan investasi pembangunan yang memadai dalam bidang ini. Penduduk Indonesia kualitasnya saat ini masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan penilaian UNDP, pada tahun 2003 kualitas sumber daya manusia yang diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (human development index) Indonesia mempunyai ranking yang sangat memprihatinkan, yaitu 112 dari 175 negara di dunia. Dalam kaitan ini program kependudukan dan keluarga berencana merupakan salah satu program investasi
pembangunan jangka panjang yang mesti dilakukan sebagai landasan membangun SDM yang kokoh di masa mendatang. Dalam proyeksi tersebut, asumsi fertilitas ditetapkan bahwa secara nasional tahun 2015 sebagai waktu tercapainya NRR=1 atau setara dengan TFR=2,1. Target ini disesuaikan dengan visi keluarga berkualitas BKKBN dan sasaran Millenium Development Goals (MDGs). Setelah TFR mencapai 2,1 maka akan diupayakan konstan sampai dengan tahun 2025. Sebagaimana tingkat nasional, apabila TFR suatu provinsi sudah mencapai TFR=2,1 juga akan diupayakan konstan. Untuk provinsi-provinsi yang saat ini mempunyai TFR di bawah 2,1 maka angkanya akan diturunkan hingga mencapai 1,6. Sementara itu jika suatu provinsi telah memiliki TFR di bawah 1,6 angkanya akan dipertahankan atau diusahakan konstan. Berkenaan dengan fenomena permasalahan serta hasil proyeksi penduduk hingga 2025 tersebut di atas maka bagian ini mencoba mengurai beberapa hal yang relevan diantaranya adalah i) meninjau sejauh mana integrasi aspek kependudukan ke dalam paradigma pembangunan berkelanjutan di Indonesia, khususnya di bidang ekonomi, (ii) mengupas pentingnya variabel penduduk dalam konteks perencanaan pembangunan bidang ekonomi meliputi persebaran penduduk, pengangguran, dan penanggulangan kemiskinan serta (iii)) implikasi hasil proyeksi untuk bidang-bidang ketenagakerjaan, dan kemiskinan.
2. Integrasi Aspek Berkelanjutan.
Kependudukan
dalam
Paradigma
Pembangunan
Ekonomi
Dalam praktek pembangunan di beberapa negara, setidaknya pada awal pembangunan, umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi. Peranan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam strategi semacam ini hanyalah sebagai ”instrumen” atau salah satu ”faktor produksi ” saja. Manusia ditempatkan dalam posisi instrumen dan bukan merupakan subjek dari pembangunan. Titik berat pada nilai produksi dan produktivitas telah mereduksi manusia sebagai penghambat maksimisasi kepuasan maupun maksimisasi keuntungan. Alternatif lain dari strategi pembangunan manusia adalah apa yang disebut sebagai ”people centered development” atau ”putting people first” (Korten, 1981 dalam Mudrajat Kuncoro, 2005). Artinya manusia (rakyat) merupakan tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas manusia merupakan sumberdaya yang paling penting. Dimensi pembangunan semacam ini jelas lebih luas daripada sekedar membentuk manusia profesional dan trampil sehingga bermanfaat dalam proses produksi. Penempatan manusia sebagai subjek pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan manusia yaitu : kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan segala potensinya. Kebalikan yang pertama yang menekankan bahwa kualitas manusia yang meningkat dijadikan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi tuntutan masyarakat industrial. Berdasarkan hasil Proyeksi penduduk tahun 2000-2025 dengan asumsi tersebut di atas diperoleh beberapa hal penting yaitu :
Jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,8 juta pada tahun 2000 menjadi 273,7 juta pada tahun 2025. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata pertahun selama periode 2000-2025 menunjukan kecenderungan terus menurun. Pada periode 2000-2025, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,36 persen per tahun. Pada periode 2020-2025 turun menjadi 0,98 persen per tahun . Turunya laju pertumbuhan penduduk ini diakibatkan oleh turunnya angka kelahiran dan kematian. Namun penurunan angka kalahiran lebih cepat daripada penurunan angka kematian. Crude Birth Rate (CBR) turun dari 21 per 1000 penduduk pada awal proyeksi menjadi 15 per 1000 penduduk pada akhir periode proyeksi, sedangkan Crude Date Rate (CDR) tetap sekitar 7 per 1000 penduduk pada kurun waktu yang sama. Persebaran penduduk Indonesia antar pulau dan antar provinsi tidak merata. Persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa terus menurun yaitu dari sekitar 58,9 persen pada tahun 2000 menjadi 55,4 persen pada tahun 2025. Sebaliknya persentase penduduk yang tinggal di pulau lain meningkat. Sebagai contoh, pulau Sumatera mengalami kenaikan dari 21 persen menjadi 23,1 persen selama periode proyeksi. Persentase penduduk umur belum produktif (0-14 tahun) secara nasional menunjukan kecenderungan semakin menurun yaitu dari 30,7 persen pada tahun 2000 menjadi 22,8 persen pada tahun 2025. Sementara itu persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) meningkat dari 64,6 persen pada tahun 2000 menjadi 68,7 persen pada tahun 2025, dan mereka yang berusia 65 tahun ke atas (sudah tidak produktif) naik dari 4,7 persen menjadi 8,5 persen. Perubahan struktur umur ini mengakibatkan beban ketergantungan atau Dependency Ratio turun dari 54,7 persen pada tahun 2000 menjadi 45,6 persen pada tahun 2025. Terkait dengan perubahan Dependency Ratio, maka Indonesia akan mendapatkan demographic bonus (kondisi dimana dependency ratio berada pada tingkat yang terendah) selama 10 tahun yaitu antara tahun 2015 sampai 2025, dengan syarat TFR 2.1 atau NRR=1 dapat dicapai pada tahun 2015. Pada kurun waktu tersebut dependency ratio berada pada tingkat 0,4 sampai 0,5 atau disebut dengan “Window Opportunity”. Dengan asumsi penurunan fertilitas dan mortalitas serta perubahan struktur umur seperti diuraikan di atas, Indonesia akan mencapai “Replacement Level”. (NRR=1) atau setara dengan TFR 2,1 pada tahun 2015. Beberapa provinsi yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Utara sudah mencapai tingkat NRR=1, jauh sebelum tahun 2015 yaitu pada periode tahun 1996-1999. Pada akhir periode proyeksi hampir semua provinsi telah mencapai “Replacement Level”. Angka harapan hidup, diperkirakan meningkat dari 67,8 tahun pada periode 20002005 menjadi 73,6 tahun pada periode akhir proyeksi (2020-2025). Pada awal proyeksi, angka harapan hidup terndah terdapat di NTB (60,9 tahun) dan tertinggi di
DI Yogyakarta (73,0 tahun). Pada akhir periode proyeksi, angka harapan hidup berkisar antara 70,8 hingga 75,8 tahun untuk provinsi yang sama seperti pada awal proyeksi. Tingkat urbanisasi Indonesia diproyeksikan mencapai 68 persen pada tahun 2025. Untuk beberapa provinsi seperti Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari tingkat nasional. Tingkat urbanisasi di 4 provinsi di Jawa, pada tahun 2025 sudah di atas 80 persen. Provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Banten.
Dengan hasil proyeksi tersebut berarti penduduk Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan terus meningkat jumlahnya, walaupun program KB telah berhasil menurunkan tingkat kelahiran. Hal ini dimungkinkan karena masih banyak jumlah perempuan dalam usia reproduksi sebagai akibat dari tingginya kelahiran di masa lalu. Penduduk tidak lagi mengalami pertambahan (Zero Population Growth=ZPG) setelah dalam jangka waktu yang panjang (minimal satu generasi) telah mencapai tumbuh seimbang yang diperkirakan akan dicapai pada tahun 2050 dengan jumlah penduduk 293 juta jiwa.
3. Implikasi Proyeksi Penduduk Terhadap Pengangguran dan kemiskinan.
Ada dua pandangan yang berbeda mengenai pengaruh penduduk pada pembangunan. Pertama, adalah pandangan pesimis yang berpendapat bahwa penduduk (pertumbuhan yang pesat) dapat mengantarkan dan mendorong terjadinya pengurasan sumber daya, kekurangan tabungan, kerusakan lingkungan, kehancuran ekologis yang kemudian dapat memunculkan masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan , keterbelakangan dan kelaparan (Ehrlich, 1981). Kedua, adalah pandangan optimis yang berpendapat bahwa penduduk adalah asset yang memungkinkan untuk mendorong pengembangan ekonomi dan promosi inovasi teknologi dan institusional (Simon, Schumpeter, 1990) sehingga dapat mendorong perbaikan kondisi sosial. Kedua pandangan tersebut muncul sampai dengan tahun 1970an. Di kalangan pakar pembangunan telah ada konsensus bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak hanya berdampak buruk terhadap suplai bahan pangan, namun juga semakin membuat kendala bagi pengembangan tabungan, cadangan devisa, dan sumberdaya manusia (Meier, 1995). Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memperlambat pembangunan. Pertama, akan mempersulit pilihan antara meningkatkan konsumsi saat ini dan investasi yang dibutuhkan untuk membuat konsumsi di masa mendatang semakin tinggi. Kedua, di negara-negara yang penduduknya tergantung pada sektor pertanian, pertumbuhan penduduk mengancam keseimbangan antara sumberdaya alam yang langka dan penduduk. Sebagian karena pertumbuhan penduduk memperlambat perpindahan penduduk dari sektor pertanian yang rendah produktivitasnya ke sektor pertanian modern dan pekerjaan modern lainnya. Ketiga, semakin sulit melakukan perubahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan perubahan ekonomi dan sosial. Tingginya kelahiran merupakan penyumbang utama bagi pertumbuhan
kota yang cepat dan bermekarnya kota membawa masalah-masalah baru dalam menata maupun mempertahankan kesejahteraan warga kota. Kajian Okita dan Kureda (1981) yang berusaha mengupas perubahan demografis (transisi) dan dampaknya terhadap pembangunan, khususnya pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa perubahan struktur penduduk usia kerja di Jepang, sebagai akibat pesatnya pertumbuhan penduduk berpengaruh pada perluasan kapasitas produksi per kapita dan mempunyai kontribusi cukup penting pada pertumbuhan ekonomi. Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa perubahan demografis dapat menyebabkan kemiskinan. Tetapi diakui bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat dapat berimplikasi negatif pada pertumbuhan ekonomi dan upah serta kemiskinan jika tidak dibarengi oleh program pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar bagi publik.
Dan dari telaahan terhadap beberapa penelitian menjelang tahun 2000, diperoleh kesimpulan bahwa (1) pertumbuhan penduduk mempunyai hubungan kuat-negatif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, (2) penurunan pesat dari fertilitas memberikan kontribusi relevan terhadap penurunan kemiskinan. Penemuan baru ini memberikan kesan yang amat kuat, dibanding sebelumnya, bahwa fertilitas tinggi di negara berkembang selama ini ternyata merupakan salah satu sebab dari kemiskinan yang terus menerus, baik pada tingkat keluarga ataupun pada tingkat makro (Birdsal dan Sanding, 2001 dalam Sri Moertiningsih, 2005).
Berdasarkan temuan serta hasil proyeksi penduduk Indonesia yang memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan penduduk yang pada tahun 2005 sebesar 1,29% akan menurun menjadi 1,21% pada tahun 2010 dan seterusnya konsisten mengalami penurunan hingga 0,82% pada tahun 2025, maka kita berharap secara konsisten pula tingkat kemiskinan di Indonesia akan semakin menurun. Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh menurunnya mortalitas akan memicu pertumbuhan, sedangkan yang disebabkan oleh peningkatan fertilitas akan menekan pertumbuhan ekonomi. Namun hasil proyeksi yang sama menunjukkan bahwa proporsi penduduk usia kerja (15-64) relatif konstan yaitu 67% pada tahun 2005 berubah sedikit menjadi 68% pada tahun 2025, padahal proporsi penduduk usia kerja yang besar diharapkan menjadi sumber angkatan kerja yang produktif dan berkemampuan menabung tinggi dibanding penduduk muda (dibawah 15 tahun) dan penduduk tua (di atas 65 tahun) atau yang digolongkan bukan usia kerja. Dengan pertumbuhan angkatan kerja Indonesia yang diperkirakan tetap tinggi (di atas 3%) hingga 2025 maka tentu sangat berpengaruh terhadap tingkat pengangguran mengingat penciptaan kesempatan kerja yang tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja akibat laju pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan agak melambat yang disebabkan oleh karena sumber-sumber pertumbuhan yang makin terbatas (sumber daya alam) serta kapasitas sumberdaya manusia yang tidak bisa dipacu dalam jangka pendek serta faktor teknologi dan inovasi yang juga terkendala karena Indonesia condong sebagai pengguna daripada pencipta teknologi. Terlebih jika dikaitkan dengan struktur umur penduduk Indonesia yang masih tergolong muda yang juga pada umur-umur
muda (15-24) dari data yang ada memperlihatkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi ( 14%) daripada umur di atas 25 tahun (4%).
4. Penutup Untuk mencapai sasaran proyeksi di atas maka Indonesia wajib mempertahankan dan bahkan meningkatkan komitmennya pada program keluarga berencana. Melemahnya komitmen terhadap program KB akan berdampak pada lebih tingginya jumlah penduduk dari angka yang telah diperkirakan. Hal ini tentu akan semakin mempererat persoalan sosial, ekonomi dan lingkungan. Demikian pula dengan pembangunan SDM utamanya pendidikan dan kesehatan harus benar-benar menjadi perhatian sejak dini. Meningkatnya persentase penduduk usia produktif di satu sisi merupakan modal untuk melakukan pembangunan namun jika negara tidak mampu menyediakan lapangan kerja dan sarana aktualisasi diri akan berdampak pada kondisi ketidakstabilan. Mencermati kondisi kependudukan tersebut diatas, diperlukan antisipasi kebijakan dan perencanaan jangka panjang, menengah dan tahunan dari berbagai instansi termasuk BKKBN, agar lebih segmentatif sesuai kebutuhan kondisi masing-masing wilayah. Komitmen dan dukungan yang tinggi dari berbagai sektor untuk melaksanakan secara sungguhsungguh kebijakan kependudukan dan KB menjadi prasyarat agar asumsi dan proyeksi yang telah disepakati dapat terwujud, sehingga dampak social, ekonomi dan lingkungan sebagai akibat dari melesetnya asumsi dan proyeksi penduduk dapat terhindarkan.
Tabel 1 ESTIMASI PENDUDUK MENURUT PROVINSI, TAHUN 2000-2025 (dalam ribuan) TAHUN No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
PROVINSI (1) NA Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tgh Kalimantan Sltn Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua INDONESIA
2000 (2) 3,929.3 11,642.6 4,248.5 4,948.0 2,407.2 6,899.1 1,564.8 6,730.8 900.0 8,361.0 35,724.0 31,223.0 3,121.1 34,766.0 8,098.1 3,150.0 4,008.6 3,823.1 4,016.2 1,855.6 2,984.0 2,451.9 2,000.9 2,176.0 8,050.8 1,820.3 833.5 1,163.2 732.2 2,213.8 205,843.6
2005 2010 (3) (4) 4,037.9 4,112.2 12,452.8 13,217.6 4,402.1 4,535.4 6,108.4 7,469.4 2,657.3 2,911.7 7,526.8 8,164.0 1,744.2 1,930.3 7,291.3 7,843.0 971.5 1,044.7 8,699.6 8,981.2 39,066.7 42,555.3 31,887.2 32,451.6 3,280.2 3,349.0 35,550.4 36,269.5 9,309.0 10,661.1 3,378.5 3,596.7 4,355.5 4,701.1 4,127.3 4,417.6 4,394.3 4,771.5 2,137.9 2,439.9 3,240.1 3,503.3 2,810.9 3,191.0 2,141.9 2,277.2 2,404.0 2,640.5 8,493.7 8,926.6 2,085.9 2,363.9 872.2 906.9 1,172.0 1,170.9 780.3 862.5 2,518.4 2,819.9 219,898.32. 234,139.4
2015 (5) 4,166.3 13,923.6 4,693.4 8,997.7 3,164.8 8,780.8 2,119.8 8,377.4 1,116.4 9,168.5 46,073.8 32,882.7 3,580.3 36,840.4 12,140.0 3,792.6 5,040.8 4,694.9 5,142.5 2,757.2 3,767.8 3,587.9 2,402.8 2,884.2 9,339.9 2,653.0 937.5 1,163.1 870.4 3,119.5 248,180.0
2020 (6) 4,196.5 14,549.6 4,785.4 10,692.8 3,409.0 9,389.6 2,308.2 8,881.0 1,183.0 9,262.6 49,512.1 33,138.9 3,694.7 37,183.0 13,717.6 3,967.7 5,367.7 4,957.6 5,493.6 3,085.8 4,023.9 3,995.6 2,517.2 3,131.2 9,715.1 2,949.6 962.4 1,148.5 908.9 3,410.8 261,539.6
2025 (7) 4,196.3 15,059.3 4,846.0 12,571.3 3,636.8 9,960.3 2,488.8 9,330.0 1,240.0 9,259.9 52,740.8 33,152.8 3,776.5 37,194.5 15,343.5 4,122.1 5,671.6 5,194.8 5,809.1 3,414.4 4,258.0 4.400.4 2,615.5 3,372.2 10,023.6 3,246.5 979.4 1,125.3 939.2 3,682.5 273,651.4
Tabel 2 LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK MENURUT PROVINSI TAHUN 2000 -2025 TAHUN NO.
PROVINSI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
(1) NA Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tgh Kalimantan Sltn Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua INDONESIA
2000-2005 (2) 0.55 1.35 0.71 4.30 2.00 1.76 2.19 1.61 1.54 0.80 1.81 0.42 1.00 0.45 2.83 1.41 1.67 1.54 1.82 1.87 1.66 2.77 1.37 2.01 1.08 2.76 0.91 0.15 1.28 2.61 1.36
2005-2010 (3) 0.37 1.20 0.60 4.11 1.85 1.64 2.05 1.47 1.46 0.64 1.73 0.35 0.95 0.40 2.75 1.26 1.54 1.37 1.66 2.68 1.57 2.57 1.23 1.89 1.00 2.53 0.78 -0.02 1.16 2.29 1.29
2010-2015 (4) 0.26 1.05 0.69 3.79 1.68 1.47 1.89 1.33 1.34 0.41 1.60 0.26 0.81 0.31 2.63 1.07 1.41 1.23 1.51 2.48 1.47 2.37 1.08 1.78 0.91 2.33 0.67 -0.13 1.04 2.04 1.21
2015-2020 (5) 0.14 0.88 0.39 3.51 1.50 1.35 1.72 1.17 1.17 0.20 1.45 0.16 0.63 0.19 2.47 0.91 1.26 1.09 1.33 2.28 1.32 2.18 0.93 1.65 0.79 2.14 0.53 -0.25 0.87 1.80 1.11
2020-2025 (6) 0.00 0.69 0.25 3.29 1.30 1.19 1.52 0.99 0.95 -0.01 1.27 0.01 0.44 0.01 2.27 0.77 1.11 0.94 1.12 2.04 1.14 1.95 0.77 1.49 0.63 1.94 0.35 -0.41 0.66 1.54 0.98
Tabel 3 PARAMETER HASIL PROYEKSI PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2000 – 2025 PARAMETER
PENDUDUK Laki-laki (000) Perempuan (000) Laki-laki+Perempuan (000) Laju Pertumbuhan (%) Komposisi Umur (%) 0 – 14 15 – 64 65 Ratio Ketergantungan (%0 FERTILITAS Angka Kelahiran Total (TFR) Angka Reproduksi Kotor (GRR) Angka Reproduksi Bersih (NRR) Angka Kelahiran Kasar (CBR) Jumlah Kelahiran (000) MORTALITAS Harapan Hidup Waktu Lahir (Eo) Laki-laki Harapan Hidup Waktu Lahir (Eo) Perempuan Eo Laki-laki + Perempuan Angka Kematian Bayi (IMR) Lakilaki Angka Kematian Bayi (IMR) Perempuan IMR Laki-laki + Perempuan Angka Kematian Kasar (CDR) Jumlah Kematian (000) MIGRASI Angka Migrasi Bersih/Net Migration Rate (0/00)
2000
2005
2010
2015
2020
2025
103,179.9 102,663.7 205,843.6 1.36
110,156.4 109,741.9 219,898.3 1,29
117,220.6 116,918.8 234,139.4 1.21
124,167.1 124,012.9 248,180.0 1,11
130,734.4 130,805.2 261,539.6 0.98
136,527.2 137,124.2 273,651.4 0.82
30.70 64.60 4.70 54.70
28.30 66.70 5.00 49.80
26.0 68.6 5.3 45.7
25.0 69.1 5.9 44.7
23.9 69.1 7.0 44.7
22.8 68.7 8.5 45.6
2.33 1.14 1.06 20.6 4,240.4
2.23 1.09 1.03 19.7 4,288.4
2.15 1.05 1.00 18.4 4,308.3
2.11 1.03 0.99 17.3 4,293.4
2.08 1.02 0.99 16.3 4,263.0
2.07 1.01 0.98 15.3 4,187.1
65.1
67.1
68.9
70.3
71.2
71.5
69.1
71.1
72.9
74.3
75.5
76.1
67.1 46.2
69.0 36.9
70.8 29.5
72.3 24.0
73.3 19.8
73.7 18.0
35.2
27.5
21.6
17.2
14.0
12.8
40.8 7.0 1,440.9
32.3 6.6 1,451.3
25.7 6.3 1,475.1
26.7 6.2 1,538.7
17.0 6.5 1,700.0
15.5 7.1 1,942.9
0
0
0
0
0
0
TEORI KAPABILITAS AMARTYA SEN
Oleh: Bagdja Muljarijadi
Teori Kapabilitas Amatya Sen Pembangunan yang berbasis kepada pengembangan modal manusia (Human Capital) telah menjadi fokus pembangunan saat ini. Teori Pembangunan manusia modern dikembangkan oleh Amartya Sen - sejalan dengan perkembangan ukuran keberhasilan pembangunan dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diera tahun 1990an. Pembangunan yang memfokusan pada membangunan manusia dan juga kemampuan mereka (yang disebut sebagai kapabilitas) merupakan fokus utama dari model pembangunan Amartya Sen ini. Teori pembangunan ini kemudian dikenal dengan nama Teori Kapabilitas. Teori Kapabilitas merupakan kerangka kerja normatif yang digunakan sebagai penilaian mengenai pengaturan sosial masyarakat dan juga keadilan serta kesetaraan dan kualitas hidup masyarakat. Teori pembangunan ini berusaha utuk mengurangi adanya pengucilan sosial (social exclution) dan juga ketidakmerataan dalam pelaksanaan pembangunan antar golongan masyarakat. Fokus pembangunan ada pada manusia atau penduduk sebagai tujuan dari pembangunan itu sendiri dan bukan manusia atau penduduk sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Pendekatan pembangunan dilakukan melalui pemberdayaan manusia itu sendiri. Meskipun kita tahu bahwa potensi dalam masing-masing orang berbeda, baik yang disebabkan perbedaan faktor internal - seperti usia, jenis kelamin, ras, pendidikan, kesehatan, serta kecerdasan individu - maupun perbedaan faktor eksternal - seperti pengaruh orang lain terhadap satu individu, pola pengaturan sosial, akses terhadap infrastruktur dan layanan publik, maupun kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan politik, serta kebebasan penyampaian pendapat dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu pendekatan pemabangunan berdasarkan Kapabilias cukup luas, dengan mempertimbangkan banyak faktor seperti faktor ekonomi, pribadi masyarakat, sosial, politik serta lingkungan. Keberhasilan pembangunan pada pendekatan ini dicapai ketika proses pembangunan mampu meningkatkan kapabilitas manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya. Inti dari pendekatan pembangunan yang berbasis kepada bakat dan kemampuan individu (kapabilitas) pada dasarnya mencoba untuk memfungsikan potensi yang ada pada setiap manusia agar berkembang secara maksimal, sehingga bisa mendapatkan pencapaian tertinggi yang bisa diraih. Selain itu pembangunan yang didasarkan pada kapabilitas juga menekankan pada adanya "kebebasan" (freedom) dari setiap individu agar dapat memilih kehidupannya sesuai dengan kapabilitasnya. Keuntungan dari kebebasan untuk memilih adalah adanya peningkatan kebahagiaan dari individu pada saat memfungsikan kapabilitasnya, sehingga pembangunan yang didasarkan pada pendekatan kapabilitas memungkinkan peningkatan pembangunan di masyarakat juga akan secara otomatis meningkatkan kebahagiaan masyarakat (Development and happiness) - karena masyarakat membangun tidak didasarkan atas keterpaksaan, melainkan atas kesadaran masing-masing untuk memfungsikan kemampuan individunya secara optimal. Hasil akhir dari pendekatan pembangunan ini adalah meningkatnya kesejahteraan dari setiap individu masyarakat . Pada dasarnya apa yang disebut dengan kapabilitas manusia? Sen (1998) mendefinisikan bahwa Kapabilitas manusia adalah kebebasan yang dimiliki oleh seseorang, yang dikaitkan dengan pilihan-pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang individu agar bisa
memfungsikan kemampuannya tersebut secara maksimum - sesuai dengan karkateristik yang dimiliki oleh masing-masing individu (mayarakat). Dengan kata lain kapabilitas manusia merupakan proses mentransformasi setiap karakteristik yang ada pada individu agar bisa difungsikan semaksimal mungkin bagi kemajuan pembangunan. Misalkan saja seorang individu yang memiliki kapabilitas (bakat) sebagai seorang pelukis, akan menghasilkan karya lukisan yang bernilai tinggi atau memiliki produktivitas paling tinggi ketika orang tersebut bisa memfungsikan secara maksimum bakat yang dimilikinya, dibandingkan dengan produktivitas ketika individu tersebut dipaksa untuk berprofesi sebagai seorang dokter atau profesi lainnya di luar profesi pelukis. Oleh sebab itu kemampuan seseorang untuk memilih kehidupan ( baik keputusan untuk mengkonsumsi, bersekolah, bekerja, ataupun berobat) yang paling sesuai dengan kapabilitas yang dimilikinya sangat penting agar kesejahteraannya. Makna kebebasan dalam memilih (freedom to choices) menjadi salah satu jaminan yang membuat masyarakat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Pembangunan berdasarkan kemampuan (kapabilitas) individu ini lah yang kemudian disebut sebagai pembangunan manusia (human development) Dalam konsep pembangunan manusia, peningkatan produktivitas menjadi salah satu tujuan yang utama. Membangun manusia pada dasarnya berusaha untuk menciptakan tingkat produktivitas tertinggi yang bisa dicapainya - melalui memfungsikan bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Para ahli ekonomi sepakat bahwa membangunan pendidikan dan kesehatan merupakan dua hal yang akan meningkatkan produktivitas seseorang yang kemudian akan meningkatkan pendapatannya dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraannya. Ketika seseorang menjadi lebih sehat, maka dia akan mampu bekerja lebih lama dan lebih teliti, sehingga produktivitas kerjanya akan meningkat dan akan mendapatkan income yang lebih tinggi yang dia bisa gunakan untuk meningkatkan konsumsinya - dimana peningkatan konsumsi menjadi bagian dari peningkatan kesejahteraan. Begitu juga dengan pendidikan, ketika seseorang bisa mencapai pendidikan yang lebih tinggi, maka orang tersebut akan bisa bekerja lebih efisien yang menjadi ciri utama tingginya produktivitas seseorang. Peningkatan produktivitas dari sisi pendidikan juga berdampak sama dengan peningkatan pendapatan dan juga konsumsi yang berarti akan meningkatkan kesejahteraan. Ranis & Stewart (2005) meyakini ada hubungan yang erat antara pembangunan manusia - yang didasarkan pada pendekatan kapabilitas - dengan peningakatan pertumbuhan ekonomi, dan juga sebaliknya. Hubungan antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi bersifat simultan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Hubungan timbal balik antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi oleh Ranis & Stewart digambarkan seperti gambar di bawah ini.
Gambar 1. Hubungan Timbal Balik antara Pertumbuhan Ekonomi dan Kemajuan Pembangunan Manusia
STRATEGI PEMBANGUNAN MANUSIA MELALUI OPTIMASI BONUS DEMOGRAFI
Oleh: SUTYASTIE SOEMITRO REMI
I.
PENDAHULUAN
Banyak contoh negara selama periode pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang cepat mengalami tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi dan tingkat mortalitas (kematian) yang rendah pada saat bersamaan sehingga menyebabkan "ledakan penduduk". Untuk menjaga keseimbangan dalam kelompok usia penduduk mereka, pemerintah di negara-negara tersebut umumnya membuat banyak upaya untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dengan mendorong atau memastikan kesuburan yang lebih rendah secara keseluruhan. Akibatnya, perubahan demografi cepat terjadi dalam hal struktur umur, yang pada gilirannya memiliki sejumlah implikasi untuk pertumbuhan dan perkembangan. Perubahan tersebut ditandai dengan membawa serta pada suatu tahap yang disebut dengan “Bonus Demografi” - kesempatan demografis yang terjadi hanya sekali dalam jumlah terbatas waktu - disertai dengan sejumlah keuntungan dan tantangan bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Untuk tujuan ini, maka adalah sangat penting bahwa pemerintah, khususnya di negara-negara maju dan berkembang, menemukan cara terbaik dari sebuah kesempatan demografis untuk pembangunan. Banyak penelitian (eg Bloom et al, 2003;. Ross, 2004;. Mason et al, 2008) menunjukkan bahwa "Bonus" tidak akan otomatis terjadi tanpa komitmen aktif dari pemerintah untuk merancang dan mengimplementasikan. Indonesia mengalami perubahan dalam tingkat fertilitas dan tingkat mortalitas penduduk dari waktu ke waktu. Pengenalan kebijakan Keluarga Berencana baru di awal 1970-an yang mengganggap keluarga ideal dengan 2 (dua) anak. Keluarga Berencana yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan ibu, anak dalam rangka mewujudkan NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin terkendalinya pertambahan penduduk. Sejumlah pertanyaan kebijakan dan strategi perlu dieksplorasi, termasuk bagaimana struktur umur penduduk Indonesia dan khususnya Jawa Barat akan berubah, ketika Bonus Demografi akan dimulai dan berakhir, dan apa tantangan dan strategi Jawa Barat untuk mendapatkan keuntungan dari periode Bonus Demografi tersebut. 2.
PENGERTIAN DAN PROSES TERJADINYA BONUS DEMOGRAFI Jendela Demografi (Window of Opportunity) yang mengawali terjadinya bonus demografi menurut Departemen Kependudukan United Nation didefinisikan sebagai periode waktu dalam evolusi demografis suatu negara ketika proporsi penduduk usia kerja sangat menonjol. Hal ini terjadi ketika arsitektur demografi penduduk yang menjadi lebih muda dan persentase orang dapat bekerja mencapai puncaknya. Biasanya, kesempatan demografis berlangsung selama 30-40 tahun tergantung pada situasi dan kondisi suatu negara. Oleh karena hubungan mekanik antara tingkat kesuburan (fertilitas) dan struktur umur, waktu dan durasi periode ini terkait erat dengan dari penurunan kesuburan orangorang: ketika tingkat kelahiran turun, diikuti menyusutnya piramida kependudukan dengan proporsi usia pertama secara bertahap lebih rendah dari penduduk muda (di bawah 15 tahun) sehingga rasio ketergantungan (dependency ratio) menurun. Departemen
Kependudukan PBB telah mendefinisikan sebagai periode ketika proporsi anak-anak dan pemuda di bawah 15 tahun turun di bawah 30 persen dan proporsi penduduk 65 tahun dan lebih tua masih di bawah 15 persen. Masyarakat yang telah memasuki jendela demografi memiliki rasio ketergantungan yang lebih kecil (rasio tanggungan untuk penduduk usia kerja) dan oleh karena itu potensi demografis untuk pertumbuhan ekonomi tinggi sebagai rasio ketergantungan yang menguntungkan cenderung meningkatkan tabungan dan investasi dalam modal manusia. Ini yang disebut "bonus demografi" yang merupakan keuntungan potensial sebagai tingkat partisipasi yang rendah (misalnya di kalangan wanita) atau pengangguran merajalela dapat membatasi dampak dari struktur umur. Jadi bonus demografi adalah jendela peluang dalam pengembangan suatu masyarakat atau bangsa yang terbuka sebagai dampak tingkat kesuburan menurun ketika tingkat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia lebih cepat yang dikombinasikan dengan kebijakan yang efektif. Penurunan tingkat kesuburan sering mengikuti penurunan yang signifikan pada angka kematian anak dan bayi, serta peningkatan harapan hidup rata-rata. Akhirnya kelompok ini mulai memasuki angkatan kerja produktif. Dengan tingkat kesuburan terus menurun dan generasi yang lebih tua memiliki harapan hidup lebih pendek, rasio ketergantungan menurun secara dramatis. Pergeseran demografis memulai bonus demografis. Dengan tanggungan muda lebih sedikit, karena kesuburan menurun dan angka kematian anak, dan tanggungan penduduk tua menurun, dan segmen terbesar dari penduduk usia kerja produktif. Terlebih jika dikombinasikan dengan kebijakan publik yang efektif pada periode waktu bonus demografis dapat membantu memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Ini juga merupakan periode waktu ketika banyak perempuan memasuki angkatan kerja untuk pertama kalinya. Di banyak negara periode ini telah menyebabkan keluarga semakin kecil, pendapatan meningkat, dan tingkat kehidupan membaik. Namun, perubahan sosial yang dramatis juga dapat terjadi selama waktu ini, seperti angka perceraian meningkat, penundaan perkawinan, dan meningkatnya orang tua tunggal. Selama periode “bonus demografi” ada empat mekanisme di mana keuntungan potensial akan diperoleh. Yang pertama adalah pasokan tenaga kerja meningkat. Namun, besarnya manfaat ini tampaknya tergantung pada kemampuan ekonomi untuk menyerap dan produktif dalam mempekerjakan pekerja ekstra daripada menjadi hadiah demografi murni. Mekanisme kedua adalah peningkatan tabungan. Sebagai jumlah tanggungan menurun individu dapat menyimpan lebih. Peningkatan tingkat tabungan nasional meningkatkan persediaan modal dan menyebabkan produktivitas yang lebih tinggi sebagai akumulasi modal yang diinvestasikan. Mekanisme ketiga adalah sumber daya manusia. Melalui penurunan tingkat kesuburan mengakibatkan wanita lebih sehat dan tekanan ekonomi menurun. Hal ini juga memungkinkan orang tua untuk berinvestasi lebih banyak, yang mengarah ke kesehatan yang lebih baik dan pendidikan meningkat. Mekanisme keempat untuk pertumbuhan adalah permintaan domestik meningkat disebabkan oleh meningkatnya PDB per kapita akibat dari rasio ketergantungan yang menurun.
Ada urgensi strategis untuk menerapkan kebijakan yang mengambil keuntungan dari bonus demografi untuk sebagian besar negara. Urgensi ini berasal dari jendela yang relatif kecil dari peluang negara-negara harus merencanakan untuk bonus demografi ketika sebagian besar dalam populasi mereka masih muda, sebelum memasuki angkatan kerja. Selama jendela kesempatan yang singkat ini, negara-negara mencoba untuk mempromosikan investasi yang akan membantu orang-orang muda menjadi lebih produktif selama masa kerja mereka. Kegagalan untuk memberikan kesempatan kepada penduduk muda tumbuh akan menghasilkan peningkatan pengangguran dan peningkatan risiko gejolak sosial. Setelah periode bonus demografi, sangat penting melahirkan kebijakan yang tepat guna meminimalisasi kenyataan bahwa apa yang mengikuti "bonus demografi" adalah saat ketika rasio ketergantungan mulai meningkat lagi. Tak pelak lagi gelembung penduduk yang sebelumnya bekerja paling produktif menciptakan "bonus demografi" tumbuh tua dan pensiun. 3.
TANTANGAN BONUS DEMOGRAFI
Gambar dibawah memperlihatkan bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia dimana tingkat tenaga kerja produktif di atas penduduk yang bergantung ke tenaga kerja produktif yang terjadi antara tahun 2010 sampai dengan 2023. Persentase anak 0-14 kecenderungan semakin menurun yang nantinya akan berpengaruh di tahun setelah 2030. Perkiraan periode “bonus demografi” menurut Dorojatun Kuncoro Yakti bagi Indonesia dimulai 2010 hingga 2035 sedangkan Sri Moertiningsih memperkirakan antara 2020 hingga 2030. Sedangkan “bonus demografi” untuk Jawa Barat (Ade Rika Agus, 2012), BPS memproyeksikan terjadi antara tahun 2021-2028 yang notabene periodenya lebih pendek daripada perkiraan Nasional oleh karena tingkat pertumbuhan penduduk Jawa Barat yang menunjukkan rata-rata lebih tinggi (1,9% per tahun) dibandingkan rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia (1,49% per tahun).
Gambar 1 : Bonus Demografi Indonesia
Sumber : Pemerintah Indonesia 2011, Master Plan : Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development 2011-2025
Selain itu tingkat ketergantungan Jawa Barat juga lebih tinggi dari pada Nasional, sebagaimana tampak pada gambar di bawah ini. Gambar 2 : Rasio Ketergantungan Provinsi
Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat menduduki urutan pertama terbesar diantara provinsi di Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) tahun 2000 – 2010 sebesar 1,90 % per tahun. Persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) terus meningkat sampai pada satu titik dimana rasio beban tanggungan (dependency ratio) menunjukkan titik terendah.Transisi struktur umur dalam kondisi ini sering disebut ‘Bonus Demografi’ karena dianggap sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan menurunnya rasio beban tanggungan sebagai hasil proses penurunan fertilitas jangka panjang.
Gambar 3 : Tren Rasio Ketergantungan Jawa Barat, 1980-2035
Gambar 4 : Ledakan Penduduk Lansia Indonesia 1950-2050
Gambar 5 : Penurunan Potensi Suport Oleh Pekerja Kepada Lansia
4.
STRATEGI KEBIJAKAN MENGELOLA BONUS DEMOGRAFI
Keuntungan bonus demografi Jawa Barat yang menunjukkan periode lebih pendek daripada periode bonus demografi Indonesia harus disikapi oleh pemerintah daerah Jawa Barat dengan membuat proyeksi penduduk Jawa Barat ke depan disertai dengan berbagai strategi kebijakan di beberapa bidang yang terintegrasi secara terpadu oleh Dinas dan Instansi terkait yaitu : 1. Strategi Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan 2. Strategi Kebijakan Ketenagakerjaan dan Pembangunan Sumberdaya Manusia 3. Strategi Kebijakan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Kesehatan 4. Strategi Kebijakan Sosial. 4.1 STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN Keseriusan pemerintah membangun bidang pendidikan untuk mengimplementasikan pada pengembangan pendidikan yang komprehensif, diversifikasi program pelatihan dari level pra sekolah, sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi demikian juga dengan program vokasional dan profesional. Komitmen pemerintah untuk bidang pendidikan dengan mengalokasikan 20% dari PDB. Level pendidikan ini sangat penting Pemerintah telah banyak melaksanakan
kebijakan dan program untuk menjamin pendidikan. Komitmen pemerintah untuk menjamin pendidikan ini sangatlah penting mengingat pendidikan merupakan kebutuhan utama untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah, maka program pendidikan dasar yang menjadi prioritas kewajiban pemerintah. Peningkatan peran sektor pendidikan dan pelatihan tidak dapat diabaikan. Situasi saat ini dan refleksi dekade ke depan perlu dijadikan pertimbangan. Turunan strategi kebijakan yang dapat dilakukan antara lain : 1. Pengurangan penerimaan guru di tingkat dasar dan menengah dikarenakan penurunan jumlah anak berumur 0-4 dan 5-9. Ini berkaitan dengan akan berkurangnya investasi sekolah dasar dan menengah untuk gedung. Sebaiknya perbaikan kualitas pada investasi fasilitas saat ini khususnya sekolah di luar jangkauan infrastuktur yang baik. 2. Program strategis dan prioritas mengembangkan pendidikan berdasarkan permintaan pasar, khususnya sekolah vokasional atau kejuruan serta pelatihan kerja di daerah pedesaan dan sektor manufakturing. Adanya ketidaksesuai antara suplai dan demand yang diinginkan oleh industri, harus dikritisi oleh praktisi pendidikan dan industri. Pekerja yang dengan skill atau kemampuan sesuai dengan industri yang lebih diinginkan industri. Kemampuan manajerial perlu diberikan dalam pendidikan dan pelatihan. Pemerintah daerah harus mengevaluasi sistim pendidikan dan pelatihan untuk pekerja dengan kemampuan sesuai dengan industri. Pengembangan strategis saat ini berkaitan antara strategi kementrian pendidikan, strategi kementrian industri dan kementrian ketenagakerjaan. 3. Pada semua level pendidikan, pemberian pelatihan ke siswa didik yaitu kemampuan sosialisasi dan perilaku harus ditingkatkan. Kemampuan ini sangat penting untuk menjadikan seseorang berperilaku baik, jujur, tangguh dalam mengelola perusahaan, lembaga ataupun negara di masa depan. 4. Investasi pendidikan dan pelatihan berfokus pada kurikulum, penciptaan kreatifitas baik pendidik dan siswa didik, pemberian beasiswa bagi siswa didik dan tenaga pendidik, selain itu kegiatan riset diperbanyak. 4. 2. STRATEGI KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA Berbagai studi pengaruh sumber daya pada pertumbuhan ekonomi mengkonfirmasikan bahwa pertumbuhan populasi penduduk usia kerja sangat krusial sebagai mesin penggerak ekonomi. Ini terjadi apabila pemerintah daerah mampu meningkatkan peluang kesempatan kerja dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Meningkatkan kesempatan kerja adalah sesuatu yang menjadi tantangan besar sehingga perlu memprioritaskan hal-hal di bawah ini:
a. Pertumbuhan tenaga kerja signifikan dengan pertambahan penduduk pada masa bonus demografi. Banyaknya jumlah penduduk usia kerja akan memberikan peraihan yang besar pada PDRB. b. Adanya pendidikan dan pelatihan tercipta tenaga kerja yang terlatih dan terampil yang dapat berperan dalam kegiatan ekonomi regional dan internasional. Tenaga kerja di Jawa Barat meliputi berbagai level ketrampilan. Dari level rendah sampai dengan level keahlian dan kemampuan tinggi. Jawa Barat mempunyai tenaga kerja berlimpah tetapi kurang pengalaman dan kurang terampil. Harus didata kabupaten/kota yang mempunyai tingkat pendidikan, ketrampilan untuk dapat ditingkatkan kemampuannya. c. Ketidakseimbangan antar gender merupakan isu saat ini yang merebak. Kesediaan kesempatan kerja bagi perempuan perlu diperluas tanpa mengambil porsi pekerja laki-laki. d. Pengangguran yang ada di masyarakat meliputi berbagai level pendidikan, dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Bahkan kecenderungan telah terjadi bahwa persentasi penganggur terdidik semakin meningkat. e. Migrasi memberi keuntungan maupun kerugian bagi kota yang didatangi ataupun desa yang ditinggalkan. f. Ciptakan banyak lapangan kerja dengan menciptakan entrepreuner muda melalui pendidikan kewirausahaan di sekolah formal dan pelatihan usaha. g. Sumber keuangan harus mendukung penciptaan lapangan kerja baru dan kewirausahaan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menambah tabungan untuk investasi. Sehingga Usaha Kecil Mikro dapat akses ke perbankan untuk mengembagkan usahanya. h. Penanganan masalah urbanisasi yang tidak mempunyai keahlian dan kemampuan yang cukup. 4.3 STRATEGI KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN, KELUARGA DAN KESEHATAN 4.3.1 Proyeksi Penduduk masa depan a. Kecendrungan turunnya populasi anak-anak akan terus berlanjut akibat dari berhasilnya program Keluarga Berencana. Bagi pemerintah ini saatnya memberi perhatian lebih pada mengalokasikan sumber daya pada program kesehatan anak lebih baik seperti imunisasi lanjut gratis, program berkurangnya anak kekurangan nutrisi, kematian dini bayi dan kematian anak. b. Wanita usia reproduksi 15 – 49 akan meningkat dengan tingkat lebih rendah. Program kependudukan dengan konsep keluarga kesil sesuai dengan pola
pemikiran membentuk keluarga kecil bagi pasangan muda karena kesibukan profesionalnya. c. Jika populasi usia kerja dengan fisik dan intelektual yang sehat akan memberikan tabungan yang besar bagi Indonesia, karena biaya kesehatan menjadi lebih rendah. 4.3.2
Tantangan bagi Indonesia dalam Kependudukan, Keluarga dan Kesehatan a. Pemahaman tentang kesehatan bagi kaum muda khususnya semakin meningkatnya ancaman AID/HIV dan Narkoba b. Pengenalan tentang alat reproduksi agar terhindar dari pergaulan bebas c. Pembangunan antar regional, level edukasi perempuan dan tingkat fertilitas. Pembangunan kesehatan, dan sarana kesehatan bagi masyarakat Jawa Barat berkaitan erat dengan kemampuan fisik, kecerdasan emosional dan intelektual. Semakin sehat maka kemapuan membangun, produktifitas, kreatifitas semakin meningkat. Layanan bagi rakyat miskin harus ditingkatkan melalui puskesmas dengan pelayanan lebih dibandingkan saat ini. Strategi kependudukan berperan penting dalam pengendalian jumlah penduduk yang sangat berkaitan erat dengan berbagai sektor. Kebijakan yang dapat diterapkan untuk dekade ke depan : a. Kebijakan Program Keluarga Berencana tetap digalakkan agar sesuai dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi di Kota, Kabupaten. Yaitu program edukasi, sistem penanganan kesehatan di regional dan tempat yang kurang memadai pelayanan kesehatannya. b. Pelayanan Puskesmas bagi Ibu yang menyusui, memiliki batita dan anak di bawah 13 tahun. Pemberian penjelasan mengenai imunisasi, nutrisi yang baik dan layanannya akan memberikan ketahanan tubuh anak, kecerdasan menjadi lebih baik. c. Penjelasan mengenai reproduksi yang sehat terhadap remaja laki dan perempuan. Pendidikan reproduksi dan seks, agar mereka tidak melakukan perilaku seks bebas sebelum nikah dan terhindar dari penyakit seksual dan generatif. d. Partisipasi organisasi kemasyarakatan, sampai dengan kelurahan untuk meningkatkan perannya agar tidak terjadi tindak kekerasan (violence and abuse) baik dengan fisik dan verbal.
4.4. STRATEGI KEBIJAKAN JAMINAN PERLINDUNGAN SOSIAL Selain kebijakan di atas untuk mencapai keuntungan dari Bonus Demografi dalam beberapa tahun ke depan perlu dilakukan juga kebijakan sosial. Pembangunan bidang sosial mengurangi resiko ekonomi, kekerasan komunitas, kriminal dan gangguan sosial serta keamanan lingkungan. Salah satu yang berkaitan dengan ekonomi adalah pemberian jaminan perlindungan sosial sehingga ada pencegah kemiskinan di awal. 4.4.1 Proyeksi Jaminan Perlindungan Sosial a. Pekerja usia produktif sebagai penggerak ekonomi dalam bonus demografi yang berkontribusi terhadap perekonomian harus terlindungi dari masalah fisik dan mental b. Program Asuransi Sosial dan asuransi kesehatan perlu perlindungan jaminan sosial. Penawaran asurasi kesehatan akan melindungi dirinya dan keluarga dari resiko kesehatan dan ahli warisnya. Program yang dilakukan oleh Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan asuransi untuk melindungi ketidakpastian akan masa depan. c. Di Jawa Barat banyak pekerja tidak memiliki dana pensiun dan jaminan sosial bagi masa depan.
4.4.2 Tantangan kedepan di bidang jaminan perlindungan sosial a. Penduduk Indonesia dapat dikatakan buta asuransi. Baru 5% yang mempunyai asuransi. Proteksi asuransi dapat dilakukan individu masingmasing. Bagi pekerja belum semua terlindungi oleh Asuransi Tenaga Kerja. b. Di usia produktif saat bonus demografi terjadi, kurang lebih 46% tenaga kerja produktif adalah wanita. Wanita perlu diikutsertakan dalam pembangunan, yaitu dengan menyediakan lapangan kerja bagi perempuan. Keleluasaan mereka di luar rumah, karena tidak terlalu disibukkan dalam mendidik anak di rumah. c. Urbanisasi adalah masalah sosial yang harus segera dipecahkan. Karena membebani daerah yang ditempati. Apalagi jika yang berpindah itu tenaga kerja yang tidak mempunyai skill. 4.4.3. Strategi jaminan sosial a. Transformasi kondisi sekarang ke arah yang diharapkan lebih baik di masa depan khususnya dalam kependudukan dan ekonomi dengan sistem finansial berkelanjutan. Program perusahaan swasta diarahkan dapat memberikan jaminan pensiun bagi pekerja saat ini
b. Kebijakan pemerintah ke bidang asuransi agar dapat melayani masyarakat bukan pegawai negeri sipil maupun pekerja informal. c. Budgeting jaminan sosial ditingkatkan untuk kesehatan, jaminan sosial, pengurangan kemiskinan. Keempat strategi kebijakan yang telah diuraikan di atas perlu dilaksanakan secara terpadu dan berintegrasi lebih sulit bagi Jawa Barat sehingga mengingat situasi dan kondisi kependudukan Jawa Barat menunjukkan beban yang lebih tinggi dibandingkan dengan propinsi di Jawa sebagaimana tampak pada gambar di bawah ini Jawa Barat selain memiliki jumlah penduduk banyak dengan pertumbuhan yang relatif tinggi ditambah karakter tingkat ketergantungan besar (51,22 pada tahun 2010) sementara Jawa Tengah sebesar 50,3, DIY sebesar 46,0, Bahkan DKI Jakarta sebesar 36,95 yang berarti di Jawa Barat lebih banyak manusia yang tergantung hidupnya dari orang lain secara proporsional dibandingkan propinsi tetangga.
Gambar 4 : Piramida Penduduk dan Dependency Ratio
5. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Bonus demografi merupakan kesempatan dan tantangan sekaligus. Bonus demografi yang tidak dikelola dengan baik dan dipersiapkan dengan matang justru akan membawa musibah. Sebaliknya jika terkelola dengan baik bisa menjadi penggerak ekonomi Jawa Barat untuk segera tinggal landas. 2. Banyak peluang dan tantangan yang dapat dilakukan dengan strategi kebijakan pendidikan, kebijakan tenaga kerja, kebijakan kesehatan, keluarga dan kebijakan jaminan sosial agar bonus demografi termanfaatkan secara optimal. 3. Kunci penggerak perekonomian yaitu pada tenaga kerja, periode bonus demografi harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah Propinsi Jawa Barat di berbagai bidang karena sifatnya multi disiplin sehingga membutuhkan pendekatan komprehensif dan terintegrasi. Integrasi antar strategi kebijakan diantara Dinas dan instansi terkait perlu disinergikan dengan baik. Periode bonus demografi Jawa Barat tidak lama lagi yaitu mulai 2021, tidaklah terlambat jika sejak sekarang dipersiapkan guna menyongsongnya.
DAFTAR PUSTAKA Ade Rika Agus, Transisi Demografi dan Bonus Demografi di Jawa Barat, 2012 BPS, Badan Pusat Statistik 2012 Dorojatun Kuncoro Jakti, Bonus Demografi dan Implikasinya dalam Pembangunan Nasional Indonesia, 2012 Ganjar Kurnia, Bonus atau Bencana Demografi, 2012 Ross, J. 2004: “Understanding the Demographic Dividend”, POLICY Project Note, September 2004. Sonny Harry Budi Utomo Harmadi, Bonus Demografi, 2012. Sri Moertiningsih Adioetomo, Bonus Demografi dan Pembangunan Ekonomi, 2012 Sutyastie Soemitro Remi, Ganjar Kurnia, Ferry Hadiyanto, dkk, Mobilitas Penduduk dan Bonus Demografi, Unpad Press, 2014
DINAMIKA PENDUDUK: PERTUMBUHAN PENDUDUK, FERTILITAS, MORTALITAS DAN MIGRASI
Oleh Bagdja Muljarijadi
Pendahuluan Mempelajari penduduk terkait dengan mempelajari ukuran penduduk, persebaran penduduk, komposisi penduduk, serta berbagai perubahannya. Aspek perubahan penduduk bisa terjadi karena adanya kelahiran, kematian, imigrasi atau emigrasi. Bagian ini akan mencoba membahas metode-metode yang sering digunakan untuk mengukur perubahan penduduk dimasa yang akan datang (proyeksi penduduk) yang didasarkan pada kurva-kurva dua dimensi yang sederhana. Penduduk merupakan aspek utama dalam perencanaan pembangunan. Menurut Warpani (1980) perencanaan pembangunan disusun untuk penduduk, oleh penduduk dan ia adalah penduduk itu sendiri. Pada bagian ini akan mencoba membahas mengenai perkembangan penduduk di suatu wilayah. Perkembangan penduduk sangat penting bagi perencanaan pembangunan, yang kemudian disebut sebagai Population-Based Development Planning (PBDP), karena pada dasarnya perencanaan dan kebijakan pembangunan selalu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan penduduk di masa yang akan datang. Perencanaan penyediaan fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, infrastruktur dan lapangan pekerjaan semuanya harus didasarkan pada jumlah, sebaran dan juga komposisi dari penduduk. Oleh sebab itu Oppenheim (1980) menyatakan bahwa estimasi komposisi penduduk dimasa yang akan datang menjadi sangat diperlukan bagi perencanaan pembangunan (Oppenheim, 1980). Fokus pembahasan utama dari tulisan ini adalah berusaha menjelaskan berbagai alternatif model proyeksi penduduk, mulai dari yang paling sederhana dengan metode proyeksi linier dan menganggap wilayah adalah suatu daerah yang berdiri sendiri, hingga proyeksi penduduk yang sudah mempertimbangkan keterkaitan antar wilayah. 5.1. Sumber-sumber pertumbuhan penduduk suatu wilayah Mempelajari penduduk terkait dengan mempelajari ukuran penduduk, persebaran penduduk, komposisi penduduk, serta berbagai perubahannya. Aspek perubahan penduduk bisa terjadi karena adanya kelahiran, kematian, imigrasi atau emigrasi. Bagian ini akan mencoba membahas metode-metode yang sering digunakan untuk mengukur perubahan penduduk dimasa yang akan datang (proyeksi penduduk) yang didasarkan pada kurva-kurva dua dimensi yang sederhana. 5.1.1. Proyeksi penduduk berdasar model kurva linier Pembahasan pertumbuhan penduduk yang paling sederhana adalah jika kita memandang penduduk tumbuh mengikuti pola garis lurus (linier). Model pertumbuhan ini menjelaskan sebuah pola pertumbuhan penduduk dimana
penduduk akan berubah secara kontinue dengan laju yang sama besar. Oleh sebab itu maka penduduk secara keseluruhan akan meningkat secara proporsional dengan waktu. Atau dengan kata lain laju perubahan penduduk tiap tahunnya akan sama besar. Laju pertumbuhan penduduk biasanya ditandai dengan huruf r, sedangkan jumlah penduduk pada tahun yang dijadikan dasar adalah P 0. Jumlah penduduk tahun pertama, kedua, ketiga hingga tahun ke-n masiang-masing dilambangkan dengan P1, P2, P3, …..Pn. Periode waktu perencanaan biasanya dilambangkan dengan huruf n (periode ke-n). Misalkan saja penduduk pada tahun dasar tertentu adalah P0, dan tahun berikutnya dilambangkan dengan P1, dan tahun berikutnya lagi dilambangkan dengan P2, dan kemudian P3. Jika diketahui bahwa laju pertumbuhan penduduk adalah konstan dengan besaran r, maka hubungan matematis antara jumlah penduduk pada tahun P0, P1, P2 dan P3 dapat dituliskan sebagai berikut: P1 = P 0 + r P2 = P1 + r = (P0 + r) + r = P0 + 2r P3 = P2 + r = (P1 + r) + r = P1 + 2r = (P0 + r) + 2r = P0 + 3r Jika kita coba mengkaitkan kondisi penduduk pada tahun dasar tertentu dengan penduduk dengan tahun ke-n. maka hubungannya dapat kita tuliskan sebagai berikut: Pn = Pn-1 + r = P0 + (n-1) r +r = P0 + n r …..1) Secara grafis hubungan matematis seperti yang dijelaskan pada rumus 1) tersebut dapat digambarkan seperti gambar 5-1. Titik P0 sebagai titik potong antara sumbu datar (yang mewakili sumbu tahun) dengan sumbu tegak (yang mewakili jumlah penduduk). Sementara slope (kemiringan garis) menunjukkan besarnya laju pertumbuhan peduduknya, atau dengan kata lain tg β adalah sama dengan nilai: .
Pn
tg β
r
P0 n
0
n+1 Gambar 5-1 Model Proyeksi Penduduk Linier
Secara umum (jika didapatkan data dengan deret waktu tertentu), maka laju pertumbuhan rata-rata dari penduduknya bisa diperoleh dengan menggunakan rumus rata-rata geometris sederhana dari data perubahan penduduk dalam periode yang berututan, yaitu seperti pada tabel 5-1. Berdasarkan tabel tersebut, maka menghitung laju perubahan penduduk per tahun dengan dasar pertumbuhan linier adalah sebagai berikut: Rata-rata Perubahan Penduduk Pertahun berdasarkan data tersebut adalah;
Perubahan rata-rata penduduk per tahun inilah yang dijadikan sebagai dasar nilai laju pertumbuhan penduduk (r).
Tabel 5-1 Data Perkembangan Penduduk Suatu Daerah Berdasarkan Proyeksi Linier Tahun 2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah Penduduk 5.500.000 6.300.000 7.200.000 8.000.000 8.800.000
Perubahan Penduduk 800.000 900.000 800.000 800.000
Contoh perhitungan proyeksi dengan metode linier dapat dilihat dari kasus sebagai berikut. Berdasarkan hasil pengamatan selama 30 tahun diperoleh keyakinan bahwa pertumbuhan penduduk di suatu daerah berbentuk linier dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 250.000 orang per tahunnya. Jika pada tahun 2010 jumlah penduduk daerah tersebut adalah sebesar 5,5 juta orang, maka kemungkinan besar berapakah jumlah penduduk daerah tersebut di tahun 2016? Berdasarkan persoalan di atas maka dapat diketahui bahwa: P0 = 5,5 juta r = 250.000 n = 6 tahun (diketahui dari selang waktu 2010 – 2016) Berdasarkan rumus umum pertumbuhan penduduk linier adalah P n= P0 + nr, maka didapatkan rumus untuk kasus ini adalah: P2016 = P2010 + 250.000 n P2016 = 5.500.000 + 250.000 (6) P2006 = 5.500.000 + 1.500.000 P2016 = 7.000.000 Jadi jumlah penduduk daerah tersebut pada tahun 2016 diperkirakan akan sebesar 7 juta orang. Kelemahan dari perumusan perkembangan penduduk dengan metode linier (polinomial) didasarkan pada hubungan masa lampau yang dijadikan dasar untuk memperkirakan perkembangan penduduk dimasa yang akan datang. Dengan kata lain, laju perkembangn penduduk dianggap tetap. Untuk perkiraan jangka pendek hal ini masih mungkin dapat dibenarkan, tetapi untuk jangka panjang jelas kurang dapat dipercaya ketepatanya
5.1.2. Proyeksi penduduk berdasarkan model kurva eksponensial Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa proyeksi penduduk dengan menggunakan metode linier, hanya tepat untuk jangka yang sangat pendek saja (karena mengasumsikan bahwa perubahan penduduk yang terjadi tiap tahun dianggap tetap). Pada kenyataannya pertambahan penduduk dari tahun ketahun tidak mungkin selalu sama besar. Berdasarkan teori kependudukan kita sering mendengar istilah “the hidden momentum of population growth” atau pertumbuhan penduduk yang tidak terlihat. Maksud dari kalimat tersebut adalah perkembangan penduduk akan terus terjadi meskipun kita telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2009). Perkembangan penduduk baru akan terasa setelah minimal 2 generasi (kira-kira 50 tahun kemudian) sejak penurunan laju pertumbuhan penduduk. Berdasarkan pemahaman tentang the hidden momentum of population growth tersebut kita dapat mengetahui bahwa pada dasarnya perkembangan penduduk menyerupai fungsi eksponensial. Atau dengan kata lain dianggap bahwa perkembangan jumlah penduduk (laju pertumbuhan penduduk) akan proporsional terhadap jumlah penduduk yang ada. Secara matematis laju pertumbuhan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : Pn+1 – Pn = r Pn P -P r= n 1 n Perumusan laju pertumbuhan penduduk tersebut dapat dianalogkan dengan perkembangan bunga berbunga, oleh karenanya rumus yang dignunakan juga sama dengan rumus bunga berbunga, yaitu: P1 – P0 = r P0 atau P1 = (1+ r) P0 P2 – P1 = r P1 atau P2 = (1+ r) P1 = (1+ r) (1+r) P0 = (1+r)2 P0 P3 – P2 = r P2 atau P3 = (1+ r) P2 = (1+ r) (1+r) (1+r) P0 = (1+r)3 P0 ....................................................................................................... Pn – Pn-1 = r Pn-1 atau Pn = (1+ r) Pn-1 = (1+ r) (1+r)n-1P0 = (1+r)n P0 Jadi Perkembangan penduduk pada tahun ke-n adalah sebesar; …… 2) Dimana; Pn = Jumlah penduduk pada periode ke-n P0 = Jumlah penduduk pada periode awal r = Laju pertumbuhan penduduk
Jika data perkembangan pendududuk yang ada merupakan data deret waktu (time series), maka nilai r dapat diambil dari rata – rata prosentasi tambahan jumlah pendududuk daerah yang diselidiki berdasarkan data yang ada. Contoh dari perhitungan proyeksi penduduk dengan metode eksponensial diberikan dari data yang ada pada tabel 5-2, yang menunjukkan perkembangan jumlah penduduk yang terjadi di daerah A selama 10 tahun dimulai dari tahun 2004 4 hingga 2013. Tabel 5-2
Perkembangan Jumlah Penduduk Suatu Daerah A Berdasarkan Proyeksi Linier
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Penduduk 19.350 19.500 19.835 19.700 19.875 20.100 20.010 21.000 21.425 21.600
Tambahan
%
+150 +335 -135 +175 +225 -90 +990 +425 +175
0.77 1.72 -0.68 0.88 1.13 -0.45 4.95 2.02 0.82
Perkembangan jumlah penduduk daerah A yang diperlihatkan oleh tabel 5-2 memiliki rata-rata prosentasi pertambahan jumlah penduduk sebesar r=1,24% Jika kemudian kita akan mencoba untuk memproyeksikan jumlah penduduk 10 tahun kemudian (n= 2023), maka akan dapat diketahui perkiraan penduduk di tahun 2023 sebagai berikut : P2023 = P2013 (1 + r)10 = 21.600 (1,10124) = 24433 jiwa Satu hal yang penting lain dari model proyeksi eksponensial ini (selain kita dapat memprediksi jumlah penduduk pada satu tahun tertentu) adalah bahwa kita juga dapat mengetahui dalam periode waktu berapa lamakah penduduk suatu daerah akan mengalami perkembangan penduduk menjadi sebesar 2 kali lipat dari total penduduk awalnya (dikenal dengan istilah doubling time, waktu yang dibutuhkan oleh penduduk untuk mencapai angka 2 kali lipat dibandingkan angka semula). Penentuan waktu yang dibutuhkan oleh penduduk untuk mencapai
perkembangan sebesar 2 kali lipat dari kondisi awal dapat dirumuskan sebagai berikut :
Sehingga; …… 3) Dimana; N = waktu yang dibutuhkan agar penduduk berkembang menjadi sebesr 2 kali lipat dari total penduduk awal Berdasarkan penelitian yang dihasilkan oleh Keyfitz dan Beekman (1984), untuk nilai r hingga sebesar 0,04 (atau nilai r = 4%), maka waktu yang dibutuhkan penduduk untuk mencapai jumlah sebesar 2 kali lipatnya dapat digunakan rumus yang lebih sederhana, yaitu N = 0,7/r. Berdasarkan rumus tersebut dapat dimaklumi bahwa jika suatu daerah memiliki laju pertumbuhan penduduk sebesar 2% (r= 0,02) per tahun maka penduduk daerah tersebut akan menjadi dua kali lipatnya hanya pada selang 35 tahun. Akan tetapi jika laju pertumbuhan penduduknya lebih besar lagi , misalkan masing-masing sebesar 3% dan 4%, maka penduduk daerah tersebut hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 23,3 tahun dan bahkan 17,5 tahun saja untuk mencapai jumlah penduduk sebesar 2 kali lipat dibandingkan dengan periode awalnya. Salah satu alternatif lain dari teknik proyeksi yang menggunakan pendekatan eksponensial adalah dengan menggunakan rumus eksponensial pada persamaan 4) sebagai berikut: Pn = Po ern ...... 4) Dimana: Pn = Jumlah penduduk pada periode ke-n P0 = Jumlah penduduk pada periode awal r = Laju pertumbuhan penduduk e = bilangan natural, yang besarnya kira-kira 2,718 Seperti contoh kasus sebelumnya (dimana r = 1,24% dan P0=21.600) maka dalam jangka waktu 10 tahun maka jumlah penduduknya akan menjadi sebesar; Pn = Po ern Pn = 21.600 e(0,0124)(10) Pn = 21.600 e(0,124) Pn = 24451 jiwa (hanya selisih 18 jiwa dengan rumus sebelumnya)
Kelemahan dari teknik-teknik eksponensial yang dikembangkan seperti di atas adalah anggapan bahwa perkembangan jumlah penduduk akan berjalan terus dengan sendirinya, metode ini tidak mempertimbangkan kenyataan empiris bahwa sesudah waktu tertentu (jangka panjang) derajat pertambahan penduduk relatif akan menurun (disebabkan salah satunya karena daya dukung alam yang terbatas). Oleh sebab itu maka metode ini juga sepertinya bukan merupakan metode yang paling tepat untuk memprediksi perkembangan penduduk dimasa yang akan datang. Usulan perbaikan dari metode ini adalah dengan mengingat kenyataan bahwa perkembangan jumlah penduduk ternyata tidak terus-menerus melampaui suatu batas tertentu. Dengan kata lain, kurva perkembangan jumlah penduduk mempunyai batas atas. 5.1.3. Proyeksi penduduk berdasarkan model kurva Gompertz dan Logistik. Seperti yang sudah dibahas pada di atas, bahwa salah satu kelemahan dari proyeksi penduduk dengan menggunakan model eksponensial adalah bahwa model tersebut menganggap pertumbuhan penduduk akan terus berkembang tanpa ada batasnya. Hal ini jelas tidak realistis, karena pada dasarnya suatu region akan memiliki daya dukung yang terbatas terhadap populasi. Suatu daerah akan memiliki batas atas tertentu untuk mendukung aktivitas penduduknya, jika daya dukung tersebut terlampaui maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama akan terjadi kekacauan di region tersebut, dan kemungkinan kedua adalah bahwa penduduk tersebut akan menyebar ke daerah-daerah lain disekitar region tersebut. Model proyeksi perkembangan penduduk yang mengikuti Kurva Gompertz merupakan suatu perbaikan modifikasi Kurva Eksponensial. Kurva Gopertz mempunyai bentuk umum seperti huruf S didasarkan pada pertimbangan bahwa pertumbuhan penduduk di suatu region akan memiliki tingkat perkembangan yang rendah pada awalnya, kemudian (sejalan dengan daya tarik region tersebut) pada periode berikutnya pertumbuhan penduduk di region ini akan relatif lebih cepat, dan pada akhirnya (pada periode yeng lebih lanjut) pertumbuhan tersebut menurun, disebabkan salah satunya adalah jumlah dan kepadatan pendududuk region tersebut mendekati daya dukung maksimum daerahnya. Kurva Gopertz (atau yang biasa disebut juga dengan kurva double exponential) mempunyai persamaan umum (Oppenheim, 1980); atau Log (Pn) = Log (P∞) + bt Log (r) Log (P∞) - Log (Pn) = - bt Log (r)
1 Jika persamaan tersebut kita logaritmakan kembali maka akan didapat persamaan 5) sebagai berikut; 1 ...... 5) Prinsip dari pertumbuhan penduduk dengan menggunakan kurva Gompertz adalah bahwa Pertambahan pemulaan penduduk relatif lambat yang kemudian apabila penduduk menjadi mantap dan maju akan diikuti suatu periode yang relatif cepat pertambahannya. Dan sesudah suatu titik tertentu, derajat pertambahan menurun dan menjadi suatu pertambahan mantap apabila jumlah dan kepadatan penduduk mendekati maksimum. Berdasarkan rumus terakhir di atas maka kita dapat mengetahui karakteristik dari tiap-tiap parameter yang ada (r dan b). Misalkan saja pada sat t=0, maka kita akan mendapatkan rumus; 1
Yang berarti bahwa
1
atau dengan kata lain r =
0
, yaitu rasio antara jumlah
penduduk di awal tahun dengan jumlah penduduk di akhir tahun. Sedangkan pada saat t=∞, maka sehingga =1. Sebuah fungsi perpangkatan akan menghasilkan nilai 1 jika dipangkatkan dengan bilangan 0, oleh sebab itu maka harus sama dengan nol. Ini hanya akan terjadi jika nilai b adalah sebuah bilangan yang lebih kecil dari 1. Oleh sebab itu maka kita akan dapat menyimpulkan karakteristik dari fungsi Gompertz adalah memiliki nilai b < 1 dan r =
0
.
Metode Gompertz ini sering digunakan dalam proyeksi penduduk karena didalamnya kita telah mempertimbangkan faktor perkembangan penduduk pada setiap periode waktu. Teknik ini biasanya digunakan jika kita memiliki data jumlah penduduk masa lampau hingga saat ini. Karena itu pemakaian teknik ini menuntut satu seri data yang memadai banyaknya. Dengan kata lain jika kita hanya memiliki data yang sangat kurang teknik ini tidak dapat digunakan dengan baik. Rumus umum untuk mendapatkan tetapan Gompertz dari data series yang kita miliki adalah sebagai berikut (dengan asumsi data penduduk yang kita miliki dibagi kedalam 3 periode):
3
2
2
1
1
Log r =
2
Log P∞ = Log P∞ =
1
1
1
1 1
1
1
2
2 1
3
1
2 3
2
2
Dimana; n = adalah sepertiga banyaknya data . = Penjumlahan sepertiga data yang pertama 1 2
= Penjumlahan sepertiga data yang kedua
3
= Penjumlahan sepertiga data yang terakhir
Sebagai contoh dikemukakan disini penggunaan Kurva Gompertz untuk menaksir proyeksi penduduk di suatu kota M, data fiktif yang ada ditunjukkan pada tabel 5-3. Tabel 5-3 Perkembangan Jumlah penduduk di Kota M Tahun 1929-1961
Tahun 1929 1930 . 1939 1
. 1950 Log Y 1951 . 1961 3
X
Log Y
0 1 . 10
277.2 255.4 . 305.8
2.4442793 2.407221 . .
1 0.866575 . .
. 11 . 21
. 318.1 . 554.4
23.79586 2.502564 . 2.743823
. 22 . 32
568.8 . 649.7 .
-1.275262 -1.105111 . .
Log Pn = Log x P∞ + (Log r)b 1.558869 1.729047 . .
36.2 53.6 . .
. 0.206954 . 0.099424
. -0.263921 . -0.063029
23.59823 2.570237 . 2.771129
. 371.7 . 590.4
29.607045 2.75496 . 2.841797
. 0.04283 . 0.010228
. -0.054619 . 0.013044
29.607043 2.779539 . 2.821114
. 601.9 . 662.4
30.851086
.
.
30.851091
.
b
t
(Log r)b
t
Pn
Log Y 1940
2
Perhitungan nilai kecenderungan
Penduduk Y
Log Y
.
Dari tabel 5-3 diperoleh t = 32 tahun : bt sehingga nilai b adalah 33 Log b = log Log b = Sehingga b = 0,95339 Log r = Log P∞ = Berdasarkan fungsi Gompertz Log (Pn) = Log (P∞) + bt Log (r), maka didapatkan nilai fungsinya adalah; Log (Pn) = 2,834158 - (-0,02073)t 0,44552 Bentuk lain dari proyeksi penduduk dengan menggunakan batas atas adalah dengan menggunakan rumus fungsi logistik (bentuk kurva fungsi logistik ini juga dikenal sebagi Kurva Pearl – reed). Fungsi ini merupakan modifikasi dari perumusan fungsi eksponensial dengan perbedaan mendasar terdapat pada asumsi laju pertumbuhan penduduknya. Jika pada fungsi eksponensial diasumsikan tingkat pertumbuhan penduduk proporsional terhadap jumlah penduduk yang ada (r), maka pada fungsi logistik tingkat pertumbuhannya dianggap sebagai fungsi dengan kecenderungan yang menurun secara linier (linierly decreasing) terhadap jumlah penduduk yang ada (a - bPn). Oleh sebab itu bentuk kurva logistik dapat dirumuskan seperti pada persamaan-6 sebagai berikut : ..... 6)
Kurva dari fungsi logistik akan menyerupai huruf S, dimana pada awalnya penduduk tumbuh dengan laju yang relatif cepat, untuk kemudian pada periode berikutnya pertumbuhan penduduk akan cenderung untuk menurun (melambat), seperti yang dilukiskan pada gambar 5-2.
Pt
P∞
P0 t Gambar 5-2 Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Kurva Logistik
Jika nilai b dari fungsi di atas adalah sama dengan 0 (yang berarti tingkat pertumbuhan penduduknya akan sama dengan a), maka rumus tersebut akan berbentuk proyeksi penduduk berdasarkan fungsi eksponensial. 5.2. Proyeksi Penduduk Berdasarkan Model Kohort. Seringkali kita melihat data penduduk yang dibagi berdasarkan golongan umur penduduk tertentu (dikenal dengan istilah kohort). Misalkan saja penduduk golongan umur penduduk 0-4 tahun, golongan penduduk 5-9 tahun dan seterusnya. Pengelompokan penduduk berdasarkan kelompok umur sangat berguna bagi analisis pembangunan, misalkan saja salah satu kegunaannya adalah kita dapat menghitung rasio ketergantungan penduduk (depedency ratio) yang dirumuskan sebagai rasio antara jumlah penduduk non produktif (golongan penduduk umur 0-14 tahun dan golongan penduduk umur 64 tahun ke atas) dibagi dengan jumlah penduduk produktif (golongan penduduk umur atara 15 hingga 65 tahun). Rasio ini
dapat dijadikan indikator beban penduduk usia produktif dalam menanggung kebutuhan ekonomi penduduk non produktif. Perubahan penduduk usia non produktif menjadi penduduk usia produktif bisa berlangsung setiap tahun, oleh karena itu perhitungan depedency rasio akan sangat bergantung kepada proyeksi jumlah penduduk yang didasarkan atas golongan umur penduduk (kohort). Oleh sebab itu metode perhitungan proyeksi jumlah penduduk yang didasarkan atas kohort menjadi sangat penting bagi perencanaan pembangunan. Berdasarkan penjelasan awal bab ini telah diuraikan bahwa penyebab terjadinya perubahan penduduk disebabkan oleh 3 faktor utama, yaitu: - Kelahiran (B) - Kematian (D), dan - Migrasi penduduk (M), baik inmigrasi maupun emigrasi Perubahan penduduk dengan menggunakan metode kohort akan didasarkan pada perubahan ke tiga faktor utama tersebut. Perhitungan model kohort ini akan menggunakan alat bantu matematis berupa matriks dan vektor.Misalkan pada periode awal kondisi penduduk suatu daerah dapat dikelompokkan berdasarkan kohortnya seperti ditunjukkan pada vektor P0 berikut ini.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terdapat 3 komponen perubahan penduduk yang utama, yaitu: a.) Kelahiran, dengan asumsi bahwa tingkat kelahiran tertentu yang ditentukan oleh tingkat kesuburan perempuan pada masing-masing kelompok umur (chidbearing ages for females) Misalkan saja bk adalah suatu angka yang menunjukkan rasio jumlah bayi yang lahir dari perempuan golongan umum ke-k pada periode waktu tertentu. Maka rumusan untuk bk adalah;
Maka jumlah bayi yang akan lahir pada periode T tahun adalah sebesar penjumlahan dari bayi yang lahir pada kelompok umur tertentu, yaitu;
Dimana ; ∆p1 = perubahan pada penduduk golongan umur pertama (0-4 tahun) Dengan menggunakan matrik penggambaran perubahan tersebut dapat ditunjukkan dengan perumusan sebagai berikut;
Dalam bentuk notasi, matrik di atas dilambangkan dengan perumusan seperti pada persamaan-7 sebagai berikut : ∆P = B P0 ...... 7) b.) Kematian, sebagian dari penduduk yang ada di kelompok ke-i akan survive hingga periode tertentu sehingga mereka yang survive tersebut pada periode berikutnya akan ada pada kelompok ke-(i+1). Tingkat ketahanan hidup dari sebagaian penduduk (survivorship) dilambangkan dengan S(i+1),t yang menunjukkan proporsi dari penduduk di kelompok umur ke-i yang akan survive selama satu periode ke depan, yang pada akhirnya akan berpindah ke kelompok umur ke-(i+1) pada periode berikutnya. Rumus untuk S(i+1),t dituliskan sebagai berikut; 1
1
Dengan menggunakan matrik penggambaran perubahan tersebut dapat ditunjukkan dengan perumusan sebagai berikut;
Dalam bentuk notasi, matrik di atas dilambangkan dengan perumusan seperti pada persamaan-8 sebagai berikut : P1 = S P0 ...... 8) c.)
Migrasi, yang dimaksud dengan migrasi di sini adalah migrasi total (yaitu jumlah inmigrasi dikurangi dengan emigrasi) dalam suatu wilayah. Tigkat migrasi (m) didefinisikan sebagai rasio dari tingkat migrasi pada penduduk kelompok ke-i , dan dilambangkan dengan;
Dengan menggunakan matrik penggambaran perubahan tersebut dapat ditunjukkan dengan perumusan sebagai berikut;
Dalam bentuk notasi, matrik di atas dilambangkan dengan perumusan seperti persamaan-9 sebagai berikut : M = m P0 .....9)
Gabungan ke-3 komponen utama tersebutlah yang akan merubah komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur tententu. Apabila ke-3 komponen tersebut digabungkan maka akan didapatkan perumusahn perubahan total komposisi penduduk berdasarkan kohort, yang dalam lambang matrik dapat dituliskan sebagai berikut;
1
Dalam bentuk notasi, total perubahan tersebut dilambangkan dengan perumusan seperti pada persamaan-10 sebagai berikut : Pn = Dn P0 .... 10) Sebagai ilustrasi penerapan model proyeksi penduduk dengan menggunakan metode kohort, akan diberikan contoh kondisi penduduk pada suatu daerah X yang disertai dengan informasi tentang tingkat kelahiran, kematian dan migrasi untuk masing-masing kelompok umur, seperti yang ada pada tabel 5-4. Tabel 5-4 Kondisi Penduduk Daerah X pada Tahun P0 i 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Umur 0–9 10 – 19 20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 – 69 70 – 79 80 – 89
Penduduk 3.900 3.200 3.300 2.800 1.700 1.800 1.100 550 200
Kelahiran 35 267 105 12
Kematian 42 2 5 6 7 17 28 35 24
Migrasi 5 0 50 35 10 0 -20 0 0
Berdasarkan tabel tersebut, pertama-tama kita harus menghitung berapa besar tingkat kelahiran, kematian dan migrasi yang terjadi (yaitu dengan membagi angka-angka kelahiran, kematian, dan migrasi dengan total penduduk masingmasing kelompok umur), sehingga diperoleh nilai sebagai berikut: a.) Tingkat kelahiran
b.)
Tingkat Kematian
1
c.)
0 989
1
1
1
1
1
1
1
1
Tingkat migrasi
Berdasarkan perhitungan tingkat kelahiran, kematian dan migrasi maka kita dapat menyusun sebuah matriks yang menggambarkan kondisi tersebut (matriks Dn). Matriks Dn inilah yang kemudian akan dijadikan dasar perhitungan dari perubahan-perubahan penduduk untuk masing-masing kelompok umur (kohort).
Sedangkan matriks jumlah penduduk periode awal berdasarkan masingmasing kelompok umur (P0) adalah:
Sehingga proyeksi penduduk pada periode ke-n (dalam kasus ini n tidak lain adalah satu periode berikutnya, yang harus sesuai dengan pengelompokan umurnya yaitu 10 tahun) tidak lain merupakan perkalian antara matrik D n dengan matriks P0, seperti rumus Pn = Dn P0 sehingga didapatkan hasil seperti yang dituliskan pada tabel 5-5. Karena jumlah penduduk harus merupakan bilangan bulat maka hasil perhitungannya pun kemudian harus dibulatkan.
Tabel 5-5 Kondisi Penduduk Daerah X 10 Tahun Kemudian i
Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0–9 10 – 19 20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 – 69 70 – 79 80 – 89
Penduduk Periode ke-n 425,87 3.861,00 3.246,96 3.328,40 2.804,43 1.693,20 1.763,78 1.072,50 2.490,80
Jumlah Penduduk (Pembulatan) 426 3,861 3,247 3,328 2,804 1,693 1,764 1,073 2,489
Perhitungan proyeksi dengan menggunakan model kohort ini kemudian dapat diperluas untuk berbagai tingkat kepentingannya. Jika tujuan analisisnya ditekankan untuk melihat perkembangan penduduk yang didasarkan pada jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), maka kita harus mendisagregrasi kohort yang ada menjadi kohort berdasarkan jenis kelamin. Jika analsis proyeksi penduduk ditujukan untuk melihat bagaimana perubahan penduduk berdasarkan kelompok pendapatan maka kita dapat mendisagregasi kelompok umur penduduk tersebut berdasarkan tingkat pendapatannya. Model proyeksi penduduk ini sangat akurat, akan tetapi biasanya dibutuhkan informasi yang lebih mendalam dan biaya yang agak mahal untuk meggunakan model ini sebagai dasar perhitungan proyeksi penduduk.
5.3. Proyeksi Penduduk Berdasarkan Model Multi-Region Salah satu perbedaan antara analisis regional dengan analisis nasional adalah dari sisi tingkat keterbukaannya. Regional biasanya akan memiliki tingkat keterbukaan yang lebih besar dibandingkan dengan nasional, karena pada tingkat regional aliran barang, jasa, modal dan orang akan lebih mudah bergerak (mobile) dibandingkan dengan tingkat nasional. Kemudahan pergerakan baik barang, orang serta modal inilah yang kemudian menjadi dasar pentingnya membahas proyeksi penduduk berdasarkan model multi-region. Kemudahan pergerakan antar regional tersebut dapat kita pahami dalam kehidupan sehari-hari, seperti bagaimana setiap awal tahun pelajaran berbondongbondong calon mahasiswa memenuhi kota-kota pendidikan seperti Yogyakarta dan
Bandung, atau bagaimana setiap tahun (biasanya setiap habis lebaran) masyarakat akan datang ke Jakarta. Kedua hal tersebut adalah contoh kecil dari keterkaitan antar region yang pada akhirnya akan berakibat pada perkembangan penduduk di suatu wilayah. Berdasarkan pada kondisi tersebut maka proyeksi penduduk antar wilayah (multi-region) merupakan suatu alat analisis yang sebenarnya paling relevan dengan kehidupan sehari-hari. Karena pada dasarnya setiap wilayah dalam suatu negara pasti akan saling terkait satu dengan yang lainnya (satu wilayah tidak akan dapat berdiri sendiri), oleh sebab itu perkembangan penduduk di suatu wilayah juga merupakan akibat dari perkembangan yang ada di wilayah yang lainnya. Penjelasan model multi-region yang paling sederhana adalah dengan menganggap bahwa ada dua buah region yang saling berinteraksi, dimana jumlah peduduk yang ada di region satu dilambangkan dengan dan penduduk yang ada di region 2 dilambangkan dengan , dimana i menunjukkan kelompok umur yang digunakan dalam analisis. Tingkat kelahiranpun akan dilambangkan dengan cara yang sama yaitu yang menyatakan tingkat kelahiran netto di region 1 pada berbagai kelompok umur ke-i, dan untuk tingkat kelahiran netto pada berbagai kelompok umur ke-i diregion 2 dilambangkan dengan . Tingkat survival dari metode multi-regional dilambangkan dengan hal yang sama yaitu
(untuk
tingkat survival di region 1 yang bisa bertahan dari kelompok umur i ke i+1), dan (untuk tingkat survival di region 2 yang bisa bertahan dari kelompok umur i ke i+1). Perbedaan mendasar dibandingkan dengan cara kohort biasa hanya terjadi pada ukuran tingkat migrasi yang dilambangkan dengan dan yang dinamakan dengan tingkat survival antar regional (cross-regional survival rate). Lambang menyatakan tingkat migrasi penduduk dari wilayah 2 ke wilayah 1 selama periode tertentu, yang kemudian ditemukan sudah berada pada kelompok umur i+1 di wilayah 1. Indikator terakhir yang ada pada model multi-region adalah jumlah migrasi yang masuk ke suatu wilayah 1 atau 2, berdasarkan kelompok umur ke-i (dilambangkan dengan dan ), angka ini akan bernilai positif jika terjadi inmigrasi dan akan negatif jika ada emigrasi. Keseluruhan lambang itu akan menjadi lebih jelas dengan memperhatikan skema umum dari tabel model multi-regional, seperti yang ada pada gambar 5-3 di bawah ini.
Gambar 5-3 Bagan Umum Proyeksi Penduduk dengan Model Multi-Region
Dalam bentuk notasi matiks, perhitungan proyeksi penduduk dengan metode multiregion (untuk kasus dua wilayah), dapat dilambangkan dengan persamaan-11 sebagai berikut: 0
...... 11) dimana: P1 = merupakan vektor kolom yang menggambarkan jumlah penduduk di region 1 P2 = merupakan vektor kolom yang menggambarkan jumlah penduduk di region 2 1 D = merupakan sub matrik yang menggambarkan kondisi perubahan penduduk yang ada di region 1 D2 = merupakan sub matrik yang menggambarkan kondisi perubahan penduduk yang ada di region 2 12 M = merupakan sub matrik yang menggambarkan kondisi migrasi antar regional yag menggambarkan perpindahan penduduk dari region 2 ke region 1 21 M = merupakan sub matrik yang menggambarkan kondisi migrasi antar regional yag menggambarkan perpindahan penduduk dari region 1 ke region 2 Untuk kasus lebih dari 2 region, perhitungan proyeksi penduduk untuk sistem perwilayahan tersebut secara umum dapat digambarkan dengan persamaan-12 sebagai berikut: 1
..... 12)
dimana: Pi = merupakan vektor kolom yang menggambarkan jumlah penduduk di region i Di = merupakan sub matrik yang menggambarkan kondisi perubahan penduduk yang ada di region 1, yang terdiri atas komponen tingkat kelahiran dan tingkat survival Mij = merupakan sub matrik yang menggambarkan kondisi migrasi antar regional yang menggambarkan perpindahan penduduk dari region j ke region i berdasarkan kelompok umur penduduk
KEPENDUDUKAN DAN PENDIDIKAN
Oleh Bayu Kharisma
9. KEPENDUDUKAN DAN PENDIDIKAN 9.1. TEORI EKONOMI PENDIDIKAN 9.1.1. PENDIDIKAN SEBAGAI MODAL MANUSIA Modal manusia pada dasarnya mengacu pada kemampuan produktif yang menjadi karakter manusia. Kemampuan tersebut bisa ditingkatkan melalui investasi dalam bidang seperti pendidikan, pelatihan kerja, dan kesehatan. Modal manusia dipandang sebagai suatu aset yang menghasilkan suatu aliran jasa, seringkali diukur dalam pendapatan, walaupun pengukuran output yang lebih luas juga digunakan. Dwayne & Gunderson (2007) menyatakan bahwa esensi dari teori modal manusia (human capital) adalah investasi yang dibuat dalam sumberdaya manusia sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan memberikan tingkat pengembalian (rate of return) pada masa yang akan datang. Permasalahan pendidikan pada dasarnya tidak hanya terlepas dari pembahasan mengenai model modal manusia, namun istilah tersebut sering digunakan untuk hal yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan kapasitas manusia lainnya yang dapat meningkatkan produktivitas. Becker (1981) dalam model investasi modal manusia mengasumsikan bahwa keluarga akan memaksimalkan fungsi utilitas yang mencakup beberapa generasi, namun dibatasi oleh sumberdaya keluarga, baik waktu maupun uang. Dengan demikian, orang tua harus memilih dalam mengalokasikan sumberdayanya antara konsumsi saat ini dan masa yang akan datang, termasuk investasi anak sekolah. Semakin besar nilai sumber daya orang tua dalam berbagai generasi maka potensi investasi dalam modal manusia semakin besar sehingga berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan konsumsi masa depan. Sebaliknya, rumahtangga miskin cenderung untuk mempertahankan generasi sekarang, sebagaimana halnya bertahan pada konsumsi saat ini. Asal mula modal manusia berasal dari kemunculan ekonomi klasik pada tahun 1776 dan setelah itu berkembangnya suatu teori ilmiah (Fitzsimons, 1999). Setelah manifestasi dari konsep tersebut sebagai suatu teori, Schultz (1961) melihat modal manusia sebagai salah satu faktor penting bagi suatu pertumbuhan ekonomi nasional dalam ekonomi modern. Dengan kemunculan dan perkembangan modal manusia sebagai suatu bidang dalam akademis, beberapa peneliti secara ekspansif mencoba untuk mengklarifikasi bagaimana modal manusia berkontribusi bagi perkembangan sosiopolitik dan kebebasan (Alexander, 1996; Grubb & Lazerson, 2004; Sen, 1999). Konsep modal manusia umumnya dapat dikategorikan dalam berbagai perspektif bidang akademis. Sudut pandang pertama didasarkan pada aspek individu bahwa modal manusia sama dengan kepemilikan atau kapasitas yang dimiliki seseorang, dimana hal ini bertentangan dengan konsep tenaga kerja buruh dalam perspektif klasik (Schultz, 1961). Sebagian besar peneliti telah menerima bahwa pemikiran Schultz memandang bahwa kapasitas manusia adalah pengetahuan dan keahlian yang tertanam dalam seorang individu (Beach, 2009). Serupa dengan pemikirannya, beberapa peneliti menunjukkan bahwa modal manusia bisa jadi berhubungan erat dengan pengetahuan, skill, pendidikan, dan kemampuan (Garavan et al., 2001; Youndt et al., 2004). Rastogi (2002) menyatakan bahwa modal manusia sebagai “pengetahuan, kompetensi, sikap dan perilaku yang tertanam pada seorang individu”. Ada sudut pandang kedua tentang modal manusia itu sendiri dan proses akumulasinya. Perspektif ini menekankan pada pengetahuan dan keahlian yang didapatkan
melalui aktifitas pendidikan seperti pendidikan wajib, pendidikan pasca pendidikan menengah, dan pendidikan kejuruan (Alan et al., 2008). Meskipun ada perluasan dalam konsep itu, perspektif ini mengabaikan bahwa manusia mendapatkan pengetahuan dan keahlian melalui pengalamannya sendiri. Sudut pandang ketiga berhubungan erat dengan perspektif orientasi produksi dari modal manusia. Romer (1990) mengacu pada modal manusia sebagai suatu sumber fundamental dari produktifitas ekonomi. Rosen (1999) menyatakan modal manusia merupakan suatu investasi yang dibuat sendiri untuk meningkatkan produktifitas. Frank & Bernanke (2007) mendefinisikan bahwa modal manusia adalah suatu kombinasi faktorfaktor seperti pendidikan, pengalaman, pelatihan, inteligensia, energi, perilaku kerja, kejujuran, dan inisiatif yang mempengaruhi nilai dari produk marjinal seorang pekerja. Dengan mempertimbangkan perspektif orientasi produksi, modal manusia adalah stok keahlian dan pengetahuan yang terdapat dalam kemampuan untuk melakukan pekerjaan agar memproduksi nilai ekonomi (Sheffin, 2003). Lebih jauh lagi, beberapa peneliti mendefinisikan bahwa modal manusia adalah pengetahuan, keahlian, kompetensi, dan atribut pada individu yang memfasilitasi penciptaan kesejahteraan pribadi, sosial, dan ekonomi dengan perspektif sosial (Rodriguez & Loomis, 2007). Sebagai akibatnya, modal manusia secara bersamaan memasukkan konsep untuk memproduksi nilai-nilai tertentu dan makna secara endogen untuk menghasilkannya sendiri. Selain itu, agar dapat menciptakan nilai nilai ini secara tidak bebas maupun bebas, tidak diragukan bahwa mengandalkan pendidikan dan pelatihan bisa menjadi suatu hal penting dalam hal mendefinisikan konsep modal manusia. Dengan mempertimbangkan bahwa pengalaman bisa dimasukkan sebagai suatu kategori pengetahuan, modal manusia sama dengan pengetahuan yang terdapat dalam diri individu. Istilah modal memiliki makna instruktif yaitu modal manusia dan keputusan yang terlibat seputarnya adalah jenis yang sama dengan keputusan yang melibatkan model fisik, seperti perlengkapan dan bangunan. Seorang pebisnis berinvestasi pada perangkat baru bila tingkatan perkiraan benefit yang didapat dari perangkat tersebut akan melebihi biaya yang dikeluarkannya. Teori sumber daya manusia menggunakan konstruksi yang sama, dimana seorang individu berinvestasi pada pendidikan dengan suatu ekspektasi bahwa investasi tersebut akan memberikan suatu benefit dalam bentuk penghasilan yang lebih tinggi. Lebih umumnya, teori modal manusia mengasumsikan bahwa individu mengambil tindakan yang akan memungkinkan meningkatkan penghasilan di masa mendatang dan kesejahteraannya secara keseluruhan. Investasi semacam itu mahal, namun bisa jadi dalam bentuk biaya langsung berupa biaya bayaran sekolah, dan biaya tak langsung berupa potensi penghasilan yang tidak diterima karena meluangkan waktunya untuk belajar di sekolah. Investasi ini akan menghasilkan beberapa benefit di waktu yang akan datang. Manfaat (benefit) ini bisa berbentuk gaji yang lebih tinggi, tetapi juga bisa apa saja yang individu itu hargai, semisal, kondisi kerja yang lebih baik atau masa hidup yang lebih panjang. Teori modal manusia umumnya melakukan pemodelan keputusan investasi semacam itu yang berasal dari suatu proses optimalisasi, dimana seorang individu akan menginvestasikan dalam berbagai kegiatan sedemikian rupa untuk memaksimalkan kesejahteraan selama masa hidupnya. Dengan demikian, outcomes di pasar akan berupa hasil dari suatu proses ekuilibrium dimana permintaan akan skill spesifik dan kemampuannya seimbang dengan suplainya. Teori modal manusia menawarkan sejumlah pandangan yang berguna dan hipotesis yang dapat diuji tentang perilaku manusia. Salah satu yang dieksplorasi adalah bahwa
perbedaan yang teramati dalam pendapatan bisa dijelaskan oleh perbedaan biaya pelatihan. Menggunakan teori modal manusia, penjelasan untuk pengamatan empiris ini adalah bahwa seorang individu yang rasional hanya akan mau mengeluarkan biaya dan kehilangan penghasilan selama periode pelatihan bila investasi itu memiliki tingkat pengembalian yang mencukupi dalam bentuk penghasilan yang lebih tinggi setelah melakukan pelatihan. Pandangan ini juga menyatakan bahwa penghasilan seumur hidup akan merupakan pengukuran yang lebih layak saat mengevaluasi ketidaksetaraan yaitu dua individu, satu yang berinvestasi pada pelatihan profesional dan satu yang tidak, bisa memiliki penghasilan masa hidup yang identik, namun penghasilan yang sangat berbeda pada tiap titik selama hidup individu. Teori modal manusia menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu ekonomi ketenagakerjaan modern. Teori ini menawarkan penjelasan dan pandangan pada topik yang luas seperti diskriminasi, kesenjangan, pengangguran, kesuburan, pasar pernikahan, imigrasi, dan produktifitas. 9.1.2. The Return to Investment in Education Nilai ekonomi dari investasi pendidikan sebagian besar telah diukur melalui tingkat pengembaliannya (rate of returns), karena Becker (1993) menyatakan bahwa “rates of return memberikan ringkasan yang paling mudah dan lengkap mengenai pengaruh ekonomi dari pendidikan”. Analisis rates of return memberikan suatu alat analisis untuk mengevaluasi investasi pendidikan dan merupakan bagian terbesar dan terpenting dari modal manusia (human capital). Tingkat pengembalian pribadi (privates rates of returns) menyediakan panduan bagi individu, sehubungan dengan keputusan investasinya, dimana individu akan melanjutkan atau berhenti sekolah dan tingkat pengembalian sosial dalam investasi pendidikan (The Social Return to Education). a. Tingkat pengembalian pribadi (privates rates of returns) Seperti halnya bentuk investasi lainnya maka dalam pendidikan, individu akan dihadapkan pada kondisi trade-off dalam keputusannya untuk melanjutkan sekolah atau tidak. Semakin lama tingkat pendidikan individu maka tingkat pendapatannya di masa akan datang akan lebih tinggi dibandingkan individu yang memutuskan untuk meninggalkan sekolah. Namun, keputusan untuk mengenyam pendidikan lebih lanjut harus menanggung biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar, misalnya iuran dan buku. Sementara itu, biaya tidak langsung yaitu biaya yang harus ditanggung oleh individu selama mengikuti sekolah dalam bentuk pendapatan yang hilang (foregone income). Keputusan individu tersebut dapat diilustrasikan dalam Gambar 9.1 yang menunjukkan beberapa alternatif aliran pendapatan terkait dengan tingkat pendidikan yang berbeda yaitu : tidak selesai sekolah menengah atas (10 tahun pendidikan pada usia 16), menyelesaikan sekolah menengah atas (usia 18) dan universitas (usia 22). Dalam hal ini, tahun pendidikan (years of education) dianggap sebagai variabel kontinu yang setiap tahunnya dihubungkan dengan aliran atau arus pendapatan seumur hidup. Pendapatan setiap tahun diukur berdasarkan nilai sekarang (present value) agar dapat dibandingkan pada periode waktu yang berbeda.
Gambar 1 Pendidikan dan Aliran-Aliran Pendapatan Alternatif
Sumber : Dwayne dan Gunderson (2007) Pada Gambar 9.1 di atas menunjukkan bahwa investasi modal manusia melibatkan biaya dan manfaat. Biaya tersebut termasuk pengeluaran langsung yaitu iuran dan buku sekolah serta opportunity cost dalam bentuk pendapatan yang hilang (foregone income). Seorang individu yang berusia 16 tahun pada dasarnya menghadapi 3 (tiga) lintasan (trajectories) pendapatan. Apabila individu mengalami putus sekolah pada jenjang pendidikan sekolah menengah tinggi usia 16 maka akan menghadapi arus pendapatan A untuk sisa hidupnya bekerja. Sementara itu, apabila individu menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah menengah tinggi maka akan mengikuti aliran pendapatan B setelah lulus sekolah. Opportunity cost untuk tetap tinggal di sekolah adalah foregone income (daerah a), sedangkan manfaat yang diterima adalah adanya peningkatan pendapatan (daerah b + e). Selanjutnya, apabila individu melanjutkan ke jenjang pendidikan universitas maka akan menghadapi biaya langsung (direct cost) dan forgone income aliran B. Total biaya pada saat mengikuti pendidikan universitas sama dengan daerah b + c + d, sedangkan manfaat (benefit) yang akan diterima jika lulus pendidikan universitas mengalami peningkatan yaitu aliran pendapatan C yang lebih tinggi dibandingkan B (daerah f). Dengan demikian, tingkat pendidikan universitas menghasilkan net present value terbesar dari pendapatan seumur hidupnya. Bentuk aliran pendapatan (age-earnings profiles) pada dasarnya mencerminkan dua faktor kunci. Pertama, untuk setiap profil, pendapatan meningkat sejalan dengan usia, namun pada tingkatan yang menurun (decreasing rate). Bentuk concave ini menunjukkan bahwa individu terus melakukan investasi modal manusia dalam bentuk on-the-job training dan pengalaman kerja setelah memasuki angkatan kerja. Pengalaman kerja tersebut akan menambah produktivitas dan pendapatan di awal karir karena adanya timbal balik yang semakin menurun dengan pengalaman. Selain itu, pendapatan individu dengan tahun pendidikan lebih tinggi akan terletak di atas tahun pendidikan individu yang lebih rendah. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan akan memberikan keterampilan yang dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan individu di pasar tenaga kerja.
Ada beberapa asumsi yang berkaitan dengan aliran pendapatan yang dipilih oleh individu yaitu menekankan bahwa pendidikan sebagai suatu investasi bukan merupakan keputusan konsumsi. Asumsi kedua, menyiratkan bahwa kuantitas waktu luang (leisure) sama untuk setiap aliran atau arus pendapatan sehingga dapat dibandingkan dari pendapatan itu sendiri. Asumsi ketiga adalah mengabaikan atau mengeyampingkan adanya komplikasi risiko dan ketidakpastian. Asumsi keempat adalah adanya kondisi perfect capital markets, dimana individu dapat mendasarkan keputusan investasi pada pendapatan seumur hidupnya secara keselurugan, tanpa khawatir dengan waktu pendapatan dan pengeluaran. Secara umum, menuntut ilmu di jenjang yang lebih tinggi pasti akan mengorbankan waktu. Padahal waktu tersebut bisa digunakan untuk mencari uang secara langsung. Tapi, dengan meningkatnya tingkat pendidikan maka akan meningkatkan tingkat pendapatan juga, sehingga manusia dalam hal ini harus memilih, menggunakan waktunya untuk langsung mencari uang, atau mengorbankan waktunya untuk pergi ke jenjang yang lebih tinggi yang akan meningkatkan pendapatan di masa depan. Tetapi pada umumnya dengan menuntut ilmu yang lebih tinggi akan membawa keuntungan total yang lebih tinggi pula. Secara formal, keuntungan pendapatan yang diperoleh oleh seseorang dapat ditulis sebagai berikut: ∑
Ε𝔱 − Ν𝔱 ( 1 + 𝑖 )ͭ
Et = Pendapatan dengan pendidikan tambahan N = Pendapatan tanpa pendidikan tambahan t = Tahun i = tingkat diskonto berdasarkan persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum meningkatkan pendidikan dengan mengorbankan waktu yang bisa digunakan untuk mendapatkan uang, secara rata-rata akan lebih menguntungkan dibandingkan langsung bekerja. b. Tingkat pengembalian sosial untuk investasi pendidikan (The Social Return to Education) Tingkat pengembalian sosial dalam investasi pendidikan mengindikasikan adanya harapan investasi pendidikan pada masyarakat. Perbedaan antara hasil privat (private returns) dan sosial (social return) untuk pendidikan merupakan motivasi utama untuk pemerintah dalam melakukan intervensi. Eksternalitas modal manusia, subsidi pemerintah, pajak dan lembaga-lembaga pasar tenaga kerja mungkin semuanya dapat mendorong wedges antara return privat dan sosial. Namun, pengetahuan antara pengembalian privat untuk pendidikan banyak diketahui, sedangkan pengetahuan tentang pengembalian atau hasil sosial pendidikan masih belum banyak dibahas. Sementara itu, sama halnya dengan biaya pendidikan indvidual yang mencakup direct dan indirect cost, biaya sosial pendidikan adalah biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat seluruhnya sebagai akibat memenuhi permintaan akan perluasan pendidikan dan semakin meningkat seiring dengan tingginya jenjang pendidikan.
Bukti penelitian menunjukkan ada perolehan pribadi yang substansial dari investasi di bidang pendidikan, tetapi penting pula untuk mempertanyakan apakah perolehan yang didapat oleh individu selain dari orang yang sebenarnya menginvestasikan dalam modal manusia yaitu: adakah tingkat pengembalian sosial dari pendidikan dan apa yang didapat oleh seorang individu? Dalam ilmu ekonomi, fenomena semacam ini dikenal sebagai eksternalitas positif dan keberadaannya menjustifikasi keterlibatan pemerintah untuk memajukan pendidikan. Tanpa eksternalitas semacam itu, pemikiran campurtangan pemerintah di bidang pendidikan menjadi jauh lebih lemah. Dua pendekatan umum telah digunakan untuk mengukur besaran eksternalitas. Pertama, para ahli makroekonomi telah mencoba untuk mengidentifikasi agregat eksternalitas modal manusia. Suatu fokus terbaru dari literatur ini adalah menentukan apakah pekerja berkeahlian (berpendidikan tinggi) cenderung menaikkan upah pekerja tak berkeahlian (Ciccone dan Peri, 2006). Lebih umum lagi, pendekatan agregat ini mencoba untuk mengukur apakah ada benefit moneter untuk keseluruhan ekonomi yang tidak sepenuhnya tercerminkan oleh upah. Tidak ada konsensus / kesepakatan tentang besaran dari efek agregat ini. Pendekatan kedua adalah suatu pencarian yang memiliki fokus lebih sempit untuk mengidentifikasi eksternalitas spesifik dari pendidikan, biasanya melibatkan hasil nonmoneter. Beberapa contoh termasuk berikut ini: Kewarganegaraan. Seorang warganegara yang terdidik sering kali dianggap diperlukan untuk suatu fungsi demokrasi. Tugas dasar seperti memberikan suara dan membayarkan pajak membutuhkan tingkat fungsi kognitif dasar. Penelitian baru-baru ini mencoba mengukur apakah pendidikan memiliki efek kausal yang jelas pada perilaku penggunaan hak suara. Milligan et al (2004) mendapati bahwa pendidikan meningkatkan partisipasi kewarganegaraan di Amerika Serikat. Mereka juga mendapati bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki hubungan positif dengan kesadaran individu terhadap isu isu kampanye dan bahwa individu yang terdidik secara umum lebih terlibat dalam proses politis. Kejahatan / Kriminalitas. Kegiatan kriminalitas menawarkan suatu aspek menarik dari studi tentang eksternalitas. Tindak kejahatan hampir selalu menyebabkan kerugian terhadap orang selain dari orang yang melakukan kriminalitas. Maka berkurangnya kriminalitas karena tingkat pendidikan yang lebih tinggi adalah de facto dari eksternalitas pendidikan. Penjelasan modal manusia untuk suatu hubungan antara pendidikan dan kriminalitas biasanya melibatkan argumen kesempatan dan biaya. Individu yang hanya memiliki sedikit keahlian yang bisa dijual memiliki biaya peluang yang rendah dalam komisi kejahatan dan dalam biaya waktu kemungkinan apabila dipenjara. Argumen semacam ini digunakan untuk menjelaskan profil usia yang sering kali tercatat melakukan tindak kriminalitas: kejahatan properti dan kekerasan meningkat pada remaja pria, memuncak di akhir masa remaja, dan menurun pada periode usia setelahnya. Di sisi lain kejahatan kerah putih, yang cenderung membutuhkan suatu kecanggihan tersendiri, memuncak pada usia yang jauh lebih tua, dan jauh lebih lambat menurunnya. Suatu penelitian yang menarik oleh Lochner dan Moretti (2004) mencoba untuk mengukur efek kausal dari pendidikan pada aktifitas kriminal. Mereka mengestimasi bahwa satu tahun ekstra pendidikan menghasilkan pengurangan 0.37 poin persentase untuk kulit putih. Mereka mengestimasi bahwa tabungan sosial per lulusan sma tambahan adalah antara 1170 dollar dan 2100 dollar. Mereka juga mendapati bahwa hampir seperempat perbedaan antara gap kulit hitam dan kulit putih dalam tingkat dipenjara bisa dikaitkan terhadap perbedaan dalam lama masa pendidikan.
Kesehatan. Kasus eksternalitas di kesehatan secara teori meyakinkan tetapi lemah secara empiris. Contohnya saja vaksinasi. Melakukan vaksinasi pada individu terhadap penyakit tertentu memberi manfaat individu (tingkat pengembalian pribadi), tetapi juga menurunkan tingkat insiden penyakit tersebut di masyarakat (tingkat pengembalian sosial). Bila pendidikan memiliki suatu efek kausal yang meningkatkan tingkat vaksinasi, ini akan mengimplikasikan adanya suatu eksternalitas. Walaupun suatu hubungan korelasi positif terdapat antara pendidikan dan tingkat vaksinasi, suatu hubungan definitif kausal belum bisa ditetapkan. Hubungan lain yang mungkin di bidang kesehatan melibatkan efek pendidikan untuk menurunkan perokok dan mengemudi dalam keadaan mabuk. Kedua aktifitas ini memiliki potensi untuk lebih merugikan orang lain dibandingkan orang yang terlibat dalam aktifitas tersebut. Tetapi sama halnya dengan vaksinasi, bukti empiris yang kuat saat ini masih kurang. Beberapa penelitian terbaru beranggapan bahwa individu tidak secara cukup masuk untuk efek adiktif dari produk seperti rokok dan alkohol dan bahwa hasil dari kerusakan yang tak dimaksudkan kepada seorang individu akibat tindakan mereka lebih dianggap sebagai eksternalitas. Penelitian ini masih dalam tahap awal dan belum ada penelitian empiris yang definitif yang telah dihasilkan. Akhirnya, beberapa peneliti telah beranggapan bahwa asuransi merupakan hasil eksternalitas pendidikan untuk kesehatan (Manning et al., 1991). Bukti empiris menunjukkan bahwa pendidikan cenderung mengarah ke gaya hidup yang lebih sehat, tetapi dengan skema asuransi, individu yang sehat tidak mendapa imbalan dari ada premium asuransi kesehatan yang lebih rendah pada asuransi berbasis pekerjaan, meskipun ada reduksi dalam pengeluaran medis karena kesehatan yang lebih baik. Dengan tidak mendapat imbalan, individu yang sehat mengalami eksternalitas positif dari individu yang kurang sehat dalam kelompok tersebut. Besaran empiris dari efek potensialnya masih belum pasti. c. Estimasi Empiris dan Metodologi Penelitian modern tentang modal manusia (human capital) terjadi bertepatan dengan 2 (dua) perkembangan dalam ilmu ekonomi. Pertama, adalah munculnya kembali minat untuk memahami mengapa ekonomi tumbuh. Hal ini perhatian bagi para peneliti bahwa output nasional tumbuh dengan tingkatan yang lebih cepat daripada tingkatan pertumbuhan input, baik tanah, tenaga kerja, dan modal fisik (Denison, 1962). Suatu hipotesis utama untuk menjelaskan anomali tersebut adalah bahwa tenaga kerja telah dinilai secara keliru, dimana kondisi kerja dari seorang pekerja di tahun 1950an sangat berbeda secara substansi dengan apa yang dilakukan seorang pekerja pada tahun 1920an. Perkembangan yang kedua berkaitan dengan perkembangan pertama yaitu ketersediaan data (data set) yang besar yang memungkinkan eksplorasi produktifitas pekerja dan pendapatan dan bagaimana pekerja tersebut berhubungan dengan karakteristik seperti tahun pendidikan dan usia. Data tersebut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan meningkat secara dramatis dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mungkin akan dapat menjelaskan naiknya produktifitas dan upah. Ada 3 (tiga) hal yang mendapatkan perhatian di tengah berkembangnya karya empiris dan teoretis pada akhir tahun 1950an dan awal 1960an. Jacob Mincer (1958) menstimulasi banyak kajian empiris yang mengukur manfaat dari pendidikan. Menggunakan data sensus, Mincer mendokumentasikan hasil yang sekarang terkenal sebagai hasil klasik,
dimana tahun-tahun pendidikan memiliki bentuk U terbalik dengan tingkat pertumbuhan pendapatan. Theodore Shultz berfokus pada peranan pendidikan dan investasi umum dalam modal manusia dalam menjelaskan peningkatan produktifitas tenaga kerja. Monografnya yang berjudul The Economic Value of Education atau Nilai Ekonomi dari Pendidikan memfokuskan perhatian pada pendidikan sebagai suatu subjek yang layak menjadi konsentrasi penelitian oleh para ahli ekonomi, dengan demikian memulai bidang ilmu ekonomi dari pendidikan. Gary Becker (1964) mengorganisir munculnya jalinan terpisah karya teoretis dan empiris menjadi suatu framework atau paduan yang koheren yang menjadi suatu buku panduan bagi penelitian yang akan datang. Penelitian tentang modal manusia telah terbukti sangatlah membuahkan hasil dengan sejumlah penelitian dengan segenap implikasinya bagi individu, perusahaan, dan negara antara lain pendidikan sebagai suatu investasi pada modal manusia. Selanjutnya, adalah hasil privat dari pendidikan. Tingkat pengembalian yang dalam ekonomi disebut dengan istilah return biasanya diukur dengan unit moneter, namun sejumlah bukti tentang pengembalian nonmoneter juga dibahas. Ini lalu diikuti dengan suatu diskusi pengembalian sosial dari pendidikan. Sejak masanya Adam Smith, potensi eksternalitas dari pendidikan telah mendapat catatan khusus, dan bagian ini mendiskusikan sejumlah temuan yang lebih utama dalam literatur empiris. Walaupun teori modal manusia menyatakan bahwa individu berinvestasi pada pendidikan untuk mengantisipasi sejumlah manfaat atau benefit, sebagian besar karya empiris telah berfokus pada imbalan moneter dari bentuk peningkatan pendapatan. Data semacam itu cenderung menunjukkan tingkat pengembalian sebesar 10% untuk satu tahun tambahan pendidikan, dengan sejumlah variasi berdasarkan gender dan ras atau etnis (Psacharopoulos dan Patrinos 2004). Ukuran pengembalian ini mengabaikan benefit nonmoneter dan konsumsi dari pendidikan, dan juga mengabaikan eksternalitas apapun yang berkaitan dengan pendidikan. Beberapa permasalahan metodologi muncul dalam melakukan estimasi tingkat pengembalian dari pendidikan (returns to education). Tujuan dari sebagian besar kajian empiris adalah untuk menetapkan suatu hubungan kausal antara pendidikan dan pengukuran pengembalian, yang cenderung lebih sulit dibandingkan semata mengukur suatu korelasi. Penelitian terdahulu membandingkan profil pendapatan seumur hidup untuk kelompok dengan tingkat pencapaian pendidikan yang berbeda. Analisis lebih jauh berdasarkan analisis regresi linier majemuk telah mencoba untuk menyertakan sejumlah masalah teknik estimasi antara lain omitted variables, nonrandom sample, measurement error dan endogeneity. Suatu variabel kunci yang hilang dalam banyak kajian empiris adalah kemampuan dalam diri (misalnya kecerdasan alami, etos kerja) yang juga dapat menyertakan upaya yang tak teramati. Kesulitan mendasarnya aalah bahwa individu dengan kemampuan tinggi cenderung memperoleh lebih banyak tahun pendidikan dibandingkan individu dengan kemampuan rendah, tetapi individu dengan kemampuan tinggi juga cenderung untuk berpenghasilan lebih untuk jumlah pendidikan berapapun dibandingkan individu berkemampuan rendah. Ini membuat menjadi sulit untuk mengurai efek dari pendidikan versus kemampuan dalam diri. Sejumlah besar literatur ditujukan untuk menyelidiki dan mengatasi masalah ini. Idealnya, seorang peneliti akan mengamati apakah individu identik yang berbeda hanya pada tingkatan pendidikan. Walaupun pendekatan ini sulit dilakukan pada prakteknya,
strategi penelitian yang lebih baik menggunakan ekonometri lanjutan telah dilakukan dengan berbagai tingkat keberhasilan. Nonrandom sampling seringkali menjadi masalah dengan estimasi tingkat pengembalian pendidikan bagi individu dengan keterkaitan yang lemah dengan pasar tenaga kerja. Misalnya, berkebalikan dengan sebagian besar pria yang berpendidikan kampus, sejumlah besar wanita yang lulus dari kampus akan keluar dari pasar tenaga kerja selama periode waktu tertentu. Ini mengimplikasikan bahwa mengestimasi tingkat pengembalian kampus akan mengandalkan subset data yang tersedia (wanita yang bekerja) yang mungkin tidak representatif untuk populasi wanita sepenuhnya. Sama halnya dengan menghitung kemampuan yang tak teramati, sejumlah literatur telah muncul untuk tipe masalah ini, lagi-lagi dengan tingkatan keberhasilan yang bervariasi. Measurement error dapat terjadi pada beberapa variabel dalam model empiris. Satu contohnya adalah penghasilan, dimana penghasilan bisa dinyatakan secara salah dalam survei karena kecerobohan entah itu dari responder atau dari orang (atau mesin) yang melakukan koding informasi; atau, kecurigaan responder terhadap perangkat survei yang dapat menyebabkan ketidakakuratan data. Masalah-masalah semacam ini dapat mengaburkan pengukuran dari hubungan kausal antara bersekolah dan penghasilan, dan hubungan antara akumulasi modal manusia dan hasilnya secara lebih umum. Beberapa pendekatan telah digunakan untuk mengindahkan masalah ini, yang paling sederhana adalah dengan mengembangkan sumber data yang lebih baik. Endogenrity muncul dalam situasi dimana sejumlah outcomes diputuskan secara bersamaan. Misalnya keputusan kesuburan rumah tangga cenderung dibuat bersamaan dengan keputusan tentang tingkat dan tipe pendidikan yang akan dicapai. Ini membuat sulit untuk mengukur dampak kausal dari satu variabel endogen ke variabel lainnya, walaupun hubungan kausal semacam itu secara teori bisa terjadi. Sebagai contoh, sepertinya memiliki anak tambahan lebih memakan biaya dan dengan demikian menurunkan kemungkinan yang bersangkutan akan mendapatkan tahun-tahun pendidikan tambahan. Tetapi pengukuran efek independen terkaburkan oleh proses keputusan gabungan. Strategi yang lazim untuk menghadapi endogenitas adalah menggunakan teknik ekonometri yang dikenal sebagai estimasi instrumental variabel (intrumental variables). Teknik estimasi rumit alternatifnya juga telah digunakan dalam karya empiris. 9.1.2. MODAL MANUSIA DAN PENGUKURANNYA Tantangan – tantangan terbaru seperti globalisasi, ekonomi yang berbasis pengetahuan, dan evolusi teknologi, telah memajukan banyak negara dan organisasi dan giat mencari cara-cara baru untuk mempertahankan keunggulan kompetitif. Sebagai reaksinya, ada pemahaman yang berkembang bahwa kesuksesan bergantung sebagian besar pada orang-orang dengan tingkatan kompetensi individu yang lebih tinggi. Pada akhirnya, orang menjadi aset yang bernilai dan dapat dikenali dalam suatu bingkaikerja yang disebut modal manusia. Secara luas, konsep modal manusia secara makna adalah campuran antara manusia dan modal. Dalam perspektif ekonomi, kata modal mengacu pada ‘faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menciptakan barang atau jasa yang bila berdiri sendiri tidak secara signifikan dikonsumsi dalam proses produksi’ (Boldizzoni, 2008). Sesuai dengan makna modal dalam perspektif ekonomi, manusia menjadi sosok utama yang bertanggung jawab
atas semua kegiatan ekonomi seperti produksi, konsumsi, dan transaksi. Dalam penentuan konsep-konsep ini, dapat dikenali bahwa modal manusia artinya adalah salah satu elemen produksi yang dapat menghasilkan nilai tambah dengan memasukkannya sebagai input. Metode untuk menciptakan modal manusia dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah untuk memanfaatkan ‘manusia sebagai tenaga buruh’ dalam perspektif ekonomi klasik. Pemahaman ini menggambarkan bahwa nilai tambah ekonomi dihasilkan dengan input tenaga kerja sebagai mana faktor produksi lainnya seperti modal finansial, lahan, mesin, dan jam kerja. Hingga pertumbuhan ekonomi besar-besaran di tahun 1950an, sebagian besar ahli ekonomi telah mendukung keutamaan kuantitatif tenaga kerja untuk menciptakan produk. Makna kedua didasarkan pada asumsi bahwa investasi modal fisik akan menunjukkan keefektifan yang sama dengan modal manusia dengan pendidikan dan pelatihan (Little, 2003). Dengan mempertimbangkan bahwa asumsi tersebut diterima sebagai premis, modal manusia secara ekspansif mencakup makna ‘manusia sebagai pencipta’ yang membingkai pengetahuan, skill atau keahlian, kompetensi, dan pengalaman yang terjadi dengan secara berkelanjutan menghubungkan antara ‘diri’ dan ‘lingkungan’. Diantara konsep-konsep modal manusia tersebut, ia cenderung dikenali bahwa makna kedua lebih penting dibandingkan makna yang pertama (Beach, 2009). Sebenarnya, banyak literatur empiris menunjukkan bahwa modal manusia mempengaruhi berbagai komponen sosial. Pada tahun 1950an, beberapa ahli ekonomi mendapati bahwa investasi modal manusia adalah elemen utama untuk meningkatkan upah individu dibandingkan dengan input kuantitatif dari komponen lainnya seperti halnya lahan, modal finansial, dan tenaga kerja (Salamon, 1991). Senada dengan opini tadi, Woodhall (2001) menyatakan bahwa investasi modal manusia lebih efektif dibandingkan dengan investasi modal fisik. Melalui investasi modal manusia, seorang individu memperoleh pengetahuan dan keahlian yang bisa ditransfer ke barang dan layanan tertentu (Romer, 1990). Dengan mempertimbangkan bahwa akumulasi pengetahuan dan keahlian mengambil peranan penting untuk modal manusia, maka ada kepercayaan yang luas bahwa pembelajaran adalah faktor inti untuk meningkatkan modal manusia. Dengan kata lain, pembelajaran adalah suatu komponen pentin untuk mendapatkan banyak pengetahuan dan keahlian melalui banyak cara akuisisi termasuk hubungan antara individu dan yang lainnya (Sleezer, Conti, Nolan, 2003). Saat ini, diterima bahwa dasar konsep modal manusia didasarkan pada ‘sesuatu semacam pengetahuan dan keahlian’ yang didapatkan oleh seorang individu melalui aktifitas pembelajarannya. Dengan mengasumsikan bahwa pengetahuan bisa secara luas mencakup faktor lain dari modal manusia seperti misalnya keahlian, pengalaman, dan kompetensi, modal manusia dan ‘pengetahuan dengan makna luas’ dianggap sebagai ekspresi yang sama. Akumulasi modal manusia melalui kegiatan pembelajaran secara signifikan mempengaruhi banyak sektor. Dalam aspek makro, banyak peneliti menyatakan bahwa akumulasi modal manusia seseorang pada pendidikan dan investasi pelatihan sangat mempengaruhi pertumbuhan upah seseorang, produktifitas perusahaan dan ekonomi nasional (Denison, 1962; Schultz, 1961). Dari segi mikro, Lepak & Snell (1999) menunjukkan bahwa kompetensi inti perusahaan atau keunggulan kompetitifnya dipicu oleh investasi pada modal manusia yang diikuti dengan potensi penciptaan nilai. Modal manusia juga semakin mendapatkan banyak perhatian di lingkungan kerja. Menurut Lucas, (1988) suatu model mikroekonomi menunjukkan bahwa investasi pendidikan untuk pekerja secara signifikan mempengaruhi produktifitasnya di tempat kerja.
Sejalan dengan kepercayaan bahwa pendidikan meningkatkan produktifitas pekerja, banyak peneliti menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan dalam bidang modal manusia (Griliches & Regev, 1995; Rosen, 1999). Tidak hanya produktifitas seseorang tetapi yang lainnya juga dipengaruhi oleh investasi modal manusia. Dengan berpartisipasi pada kegiatan pembelajaran, peserta belajar akan lebih mungkin mengimplementasikan kegiatan mencari kerja dengan meningkatkan modal manusia (Vinokur et al., 2000). Setelah ia dipekerjakan, pekerja tersebut cenderung lebih mudah mengendalikan kondisi pekerjaan mereka di lingkungan kerja dan relatif mendapatkan imbalan yang tinggi dalam pasar tenaga kerja internal/eksternal (Edward, 1979). Lebih jauh lagi, investasi modal manusia mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional dengan dampak – dampak yang juga telah disebutkan di atas (Romer, 1986). Dengan memahami pentingnya modal manusia, banyak negara telah mencoba untuk secara efektif dan efisien mengukur modal manusia mereka untuk memahami status mereka saat ini dan setelahnya mengimplementasikan berbagai cara untuk meningkatkan modal manusia mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengukuran modal manusia adalah suatu sumber penting dalam hal menyarankan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan sumber daya manusia. Meskipun kebutuhan akan pengukuran modal manusia ini, metode tradisional dari pengukuran modal manusia masih memiliki beberapa keterbatasan. Untuk permulaan, Wolf (2002) menyatakan bahwa beberapa indikator bisa dianggap tidak lengkap. Untuk mendukung pernyataannya, ia memberikan contoh bahwa upah pekerja – salah satu indikator modal manusia sebagai proxi – tidaklah benar benar mengukur ‘modal manusia yang otentik.’ Dengan kekurangan dari pengukuran modal manusia cara tradisional, maka yang diterima adalah mengukur modal manusia otentik dan bukanlah menggunakan proxi semacam pemasukan dan produktifitas. Kedua, adalah sulit bahwa modal manusia itu sendiri secara independen berkontribusi pada pembangunan individu dan pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Ashton & Green (1996), adalah perlu bahwa hubungan antara modal manusia dan kinerja ekonomi harusnya diaangap dalam suatu konteks politik dan sosial untuk secara presisi mengukur modal manusia. Lebih lanjut lagi, banyak literatur empiris menyatakan bahwa modal finansial, modal manusia, dan modal sosial secara positif mempengaruhi ‘sesuatu seperti kesehatan individu’ (Blakey, Lochner, & Kawachi, 2002; Veenstra, 2001; Veenstra et al., 2005; Wilson et al., 2004). Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengklarifikasi suatu pendekatan baru cara pengukuran modal manusia melalui kajian literatur yang berhubungan. Sebelum melakukan ini, paper ini menyatakan beberapa konsep dan karakteristik modal manusia. Dalam memahami modal manusia semacam itu, pengukuran modal manusia tradisional dan kekurangannya, suatu pendekatan baru dari pengukuran modal manusia diajukan. 9.1.2.1.Metode Pengukuran Konvensional Modal Manusia Standar konvensional untuk mengukur stok modal manusia telah dikategorikan menjadi tiga bagian: Pendekatan Output, Pendekatan Biaya, dan Pendekatan berbasis pendapatan. Tingkat pendaftaran sekolah, pencapaian belajar, literasi orang dewasa, dan tahun rata-rata bersekolah adalah contoh dari pendekatan output. Pendekatan biaya didasarkan pada menghitung biaya yang dibayarkan untuk memperoleh pengetahuan. Dan yang terakhir, pendekatan berbasis pendapatan berhubungan erat dengan manfaat yang diperoleh masing-masing individu dengan investasi pendidikan dan pelatihan.
a. Pendekatan berbasis output (Output-Based Approach) Untuk kebutuhan menganalisa hubungan antara modal manusia dan pertumbuhan ekonomi, beberapa ahli ekonomi mencoba untuk mengukur stok modal manusia dengan memanfaatkan “tingkat pendaftaran sekolah”sebagai suatu proxi modal manusia (Barro, 1991; Barro & Lee, 1993). Melalui penghitungan rasio antara individu usia sekolah dan siswa yang mendaftar di institusi pendidikan, para ahli ekonomi menunjukkan stok modal manusia yang dimiliki oleh tiap negara. Namun demikian, metode tersebut memiliki kekurangan bahwa keefektifan siswa baru bisa dilihat setelah berpartisipasi dalam aktifitas produksi. Dalam perspektif pencapaian pendidikan, Nehru, Swanson, & Dubey (1993) mencoba mengukur hubungan antara modal manusia dan siswa 'akumulasi tahun pendidikan' pada usia bekerja sebagai pencapaian pendidikan. Dengan mengasumsikan bahwa stok modal manusia adalah jumlah dari tahun pendidikan masing masing individu; sulit untuk dengan jelas mendemonstrasikan hubungan ini, karena pencapaian pendidikan adalah bagian dari pendidikan sekolah reguler. Sebenarnya, banyak orang dewasa yang cenderung berpartisipasi dalam banyak pendidikan formal dan kegiatan pelatihan untuk meningkatkan produktifitas mereka. Selain pengukuran stok modal manusia dengan tingkat pendaftaran sekolah dan pencapaian pendidikan, Romer (1990) menyatakan rasio antara orang dewasa berkeahlian dan total keseluruhan orang dewasa digunakan untuk mengukur stok modal manusia dalam perekonomian negara. Lebih jauh lagi, Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memanfaatkan Survei Literasi Dewasa Internasional (IALS), rasio antara literasi dewasa dan total keseluruhan orang dewasa, untuk mengukur stok modal manusia. Meskipun demikian, metode IALS memiliki beberapa kekurangan dimana literasi tidaklah begitu berkaitan dengan produktifitas pekerja, dan produktifitas bisa ditingkatkan dengan kegiatan pembelajaran non formal seperti pembelajaran pribadi dan pelatihan di tempat kerja. Terakhir, Psacharopoulos & Arriagada (1986) menyatakan rataan tahun pendidikan untuk mengukur stok modal manusia. Mereka mengacu bahwa rataan tahun pendidikan sangat berguna untuk mengukur stok modal manusia sebagai proxi atau tolok ukur. Pernyataan ini mengasumsikan bahwa produktifitas seorang individu meningkat sesuai proporsi dengan rataan tahun pendidikannya; mereka memberi contoh bahwa produktifitas seseorang dengan menyelesaikan pendidikan 12 tahun adalah 12 kali lipat dibandingkan produktifitas seseorang yang hanya menjalani 1 tahun. Sebagaimana disebutkan diatas, metode ini memiliki kekurangan bahwa tahun pendidikan seseorang bisa saja tidak begitu berkaitan dengan produktifitasnya. b. Pendekatan berbasis biaya (Cost-Based Approach) Pendekatan berbasis biaya didasarkan pada pengukuran stok modal manusia melalui penjumlahan biaya yang diinvestasikan untuk modal manusia seseorang. Untuk kebutuhan penghitungan biaya yang diinvestasikan, Kendric (1976) memanfaatkan biaya investasi seseorang dengan mempertimbangkan depresiasi, sedangkan Jorgenson & Fraumeni (1989) menyertakan pemasukan yang akan datang yang sudah dikenai diskonto. Dengan mempertimbangkan bahwa pendekatan ini mendasarkan pada pengukuran secara tidak langsung dari stok modal manusia, sulit untuk secara presisi mengklasifikasikan batasan antara investasi dan konsumsi dalam perspektif biaya untuk modal manusia.
c. Pendekatan Berbasis Pendapatan (Income-Based Approach ) Pendekatan ini mendasarkan pada tingkat pengembalian yang didapatkan oleh individu di suatu pasar tenaga kerja melalui investasi pendidikan. Mulligan & Sala-i-Martin (1995) mendefinisikan bahwa agregat modal manusia adalah jumlah penyesuaian kualitas dari tiap tiap tenaga kerja individu, dan menyatakan stok modal manusia menggunakan pendapatan individu. Dengan mempertimbangkan 'faktor-faktor yang tidak ada kaitannya dengan manusia' juga dapat mempengaruhi pemasukan individu, pendekatan ini jarang sekali memberikan pengukuran yang komplit untuk modal manusia.
9.1.2.2.
Pendekatan Baru
Sejak tahun 1990, Program Pembangunan PBB (UNDP) telah melaporkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menginvestigasi sebagian besar negara, mengukur pembangunan manusia di suatu negara dan kesejahteraannya. Struktur dari indeks ini terdiri dari kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup dengan banyak sub-variabel seperti tingkat harapan hidup saat lahir, tingkat literasi dewasa, angka kasar partisipasi pendidikan, dan produk domestik bruto per kapita. Menimbang bahwa indeks IPM mencakup aspek kualitas, pendekatan IPM berfokus pada kualitas hidup dan situasi ekonomi semua individu. Selain itu, Kantor Perburuhan Internasional (ILO) cenderung untuk memanfaatkan indeks yang sama mempertimbangkan aspek kualitas seperti Indikator Kunci Pasar Tenaga Kerja (KILM). Dengan demikian, adalah penting agar pengukuran lanjutan modal manusia mempertimbangkan konsep ‘pembangunan manusia’, mengasumsikan bahwa konsep pembangunan mencakup pertumbuhan kuantitatif dan progress kualitatif. Dengan mengacu pada konsep pembangunan manusia, adalah perlu bahwa pendekatan baru dari pengukuran modal manusia perlu lebih memperhatikan modal sosial. Sebagaimana disebutkan, modal sosial individu berkaitan erat dengan modal manusianya yang berfokus pada stok pengetahuan. Menimbang bahwa inti dari modal sosial didasarkan pada jaringan antar konstituen maka memungkinkan bahwa komponen jaringan modal sosial berkontribusi pada peningkatan modal manusia mengingat karakteristiknya yaitu: dapat dibawa dan dibagikan. Akumlasi modal manusia seseorang bisa dengan mudah dilakukan melalui modal sosial. Sebenarnya, tingkat keahlian seseorang dan keahliannya bisa lebih ditingkatkan dengan jejaring keluarga, kolega, sosial dan konstituen dibandingkan situasi terisolir (Coleman, 1988). Asumsi ini bisa memberikan petunjuk penting dalam hal memahami bagaimana modal manusia bisa memainkan suatu peran dalam kemajuan sosial. Akhirnya, adalah perlu bahwa pendekatan baru pengukuran modal manusia mengklarifikasi indikator-indikator apa yang bisa dipertimbangkan untuk mengukur dengan presisi modal manusia tersebut. Adalah mungkin bahwa pengukuran konvensional modal manusia menggunakan proxi seperti produktifitas individu. OECD menyatakan bahwa pengukuran modal manusia sangat berkaitan dengan faktor-faktor terkait pendidikan seperti kualifikasi tingkat tinggi, kelulusan dan tingkat partisipasi, waktu yang diinvestasikan pada pendidikan, dan investasi pada pendidikan dalam perspektif investasi modal manusia juga (Hansson, 2008. Namun demikian, proxi-proxi ini ada kaitannya dengan kemungkinan
modal manusia. Suatu pendekatan baru perlu mencari indikator-indikator yang lebih terhung dengan kuat dengan kemungkinan dan identifikasi bagaimana cara mengukurnya. 9.1.3. SIGNALING DI PASAR TENAGA KERJA
Model signaling dari pendidikan, biasanya dihubungkan dengan seorang Michael Spence (1973), dibedakan dari teori modal manusia pada pendidikan dengan premisnya bahwa tingkat produksi dalam diri seorang individu pekerja diidentifikasi oleh tahun tahun pendidikan mereka dan bukan ditingkatkan oleh mereka. Salah satu implikasi dari model tersebut adalah bahwa pekerja yang lebih terdidik menerima bayaran yang lebih tinggi karena pendidikan memberikan mereka kredensial, dan bukanlah suatu keahlian atau skill yang diperoleh. Beberapa variasi penting dari model signaling termasuk diantaranya teori yang dikembangkan oleh Arrow (1973), Layard dan Psacharopoulos (1974), Riley (1975, 1979), Spence (1974, 1976), Stiglitz (1975), dan Wolpin (1977). Istilah-istilah signaling, screening, dan sorting sering digunakan secara bergantian untuk mendeskripsikan varian varian dari model dasar yang sama. Teori signaling didasarkan pada asumsi-asumsi berikut. (1) Individu-individu memiliki tingkat produktifitas dalam diri yang berbeda, yang tidak terpengaruhi oleh pendidikan mereka. (2) Pendidikan tambahan memicu biaya tambahan, yang berbeda untuk pekerja dengan produktifitas tinggi dan pekerja dengan produktifitas rendah. Yang penting disini adalah, biaya psikis pendidikan lebih tinggi bagi individu dengan tingkat produktifitas yang lebih rendah. Mereka yang bisa belajar dengan mudah akan bisa mendapatkan signal lebih murah dari yang lainnya. Sebagai contoh, mereka mungkin akan membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk mempelajari sesuatu hal. Ada informasi yang asimetris berkaitan dengan produktifitas pekerja: pekerja individu mengetahui tingkat keahlian mereka sendiri, tetapi mereka yang akan berpotensi mempekerjakan pekerja individu ini tidak tahu. (4) Tingkat pendidikan bisa diamati tanpa mengeluarkan biaya. Karena pihak yang mempekerjakan tidak bisa mengamati produktifitas sebenarnya dari pihak-pihak yang akan bekerja, para atasan ini menggunakan kualifikasi pendidikan untuk memprediksi produktifitas, membuat keputusan perekrutan, dan menetapkan gaji/upah, berdasarkan pada asumsi bahwa individu yang memiliki tahun pendidikan lebih banyak akan lebih produktif. Agar asumsi ini akurat, pekerja yang lebih produktif haruslah, faktanya, berupaya memilki pendidikan yang lebih. Model ini berdasarkan pada premis bahwa individu bersikap rasional dan bahwa mereka berinvestasi pada pendidikan selama manfaat dari tahun tambahan pendidikan melebihi biayanya. Manfaat dari satu tahun tambahan pendidikan adalah sama baik untuk pekerja produktifitas tinggi maupun yang rendah, tetapi biayanya lebih tinggi untuk mereka yang berproduktifitas rendah. Bila perolehan upah yang dikaitkan dengan pendidikan cukup bagi pekerja berproduktifitas tinggi untuk memilih lebih banyak pendidikan tetapi tidak cukup besar bagi pekerja berproduktifitas rendah untuk memilih lebih banyak pendidikan, maka pendidikan akan seolah mensortir para pekerja dengan keahlian yang berbeda sehingga apa yang dipercayai oleh pemilik pekerjaan menjadi valid dan tercapailah ekuilibrium. Model signaling bergantung pada asumsi bahwa produktifitas pekerja memiliki hubungan negatif dengan biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan sinyal. Selama perbedaan biaya antar pekerja yang berasal dari perbedaan dalam kemampuan kognitif atau hasrat untuk belajar, mereka akan indikatif terhadap perbedaan dalam produktifitas di
pekerjaan. Namun demikian, bila biaya bervariasi karena adanya perbedaan dalam kontribusi keluarga terhadap bayaran, dan sebagainya maka individu yang menghadapi biaya pendidikan yang lebih tinggi mungki tidak kurang produktif dibandingkan mereka yang menghadapi biaya pendidikan yang lebih rendah, dan pendidikan tidak akan membolehkan pemilik pekerjaan membedakan antara pekerja dengan produktifitas tinggi dan rendah. Ketidaksempurnaan informasi adalah suatu hal umum di banyak pasar tenaga kerja, dan ini memunculkan fenomena yang tidak bisa dihitung semata menggunakan model neoklasik sederhana. Beberapa variabel penting yang masuk dalam keputusan ekonomi tidaklah bersifat dapat diamati (observable) (atau hanya bisa diamati dengan biaya besar) hingga setelah (atau mungkin jauh lama setelah) suatu keputusan atau transaksi terjadi. Dalam keadaan yang semacam ini, baik pemilik pekerjaan dan pegawainya akan mencari variabel-variabel yang dipercaya berkorelasi dengan atau berhubungan dengan variabel yang menjadi perhatian. Variabel semacam ini, yang dapat diamati sebelum suatu keputusan atau transaksi dibuat, memainkan peranan untuk menjadi sinyal bagi pasar. Dalam model ini, produktifitas pekerja tidak diketahui saat keputusan perekrutan pegawai dibuat, dan pendidikan memainkan peranan sebagai sinyal dari produktifitas pegawai. Model ini penting dengan sendirinya karena pendidikan, setidaknya sebagian dari pendidikan dapat berfungsi sebagai alat penanda atau signaling atau medium pensortir, dan selain itu pendidikan mengilustrasikan lebih dari sekedar fenomena umum sebagai penanda baik di pasar tenaga kerja maupun produk. Dalam model yang dideskripsikan disini, pendidikan bertindak hanya sebagai sinya; artinya, kami mengasumsikan untuk kesederhanaan dan tujuan ilustrasi ini bahwa pendidikan tidak memiliki efek pada produktifitas pekerja. Asumsi ini dibuat separuh untuk menjaga agar analisisnya tetap sesederhana mungkin, dan separuh untuk mengilustrasikan gagasan bahwa penggunaan signaling atau penanda di pasar tenaga kerja memberikan suatu penjelasan alternatif dari korelasi positif antara pendidikan dan pendapatan. Para pemilik pekerjaan di model tersebut diasumsikan tidak mengetahui produktifitas pekerja individu sebelum perekrutan pekerja-pekerja tersebut. Bahkan setelah perekrutan, para pemilik pekerjaan mungkin bisa mengamati produktifitas dari kelompok karyawan ketimbang masing-masing karyawan secara individu. Namun demikian, para pemilik pekerjaan memang mengamati karakteristik tertentu dari pegawai prospektif. Secara khusus, mereka mengamati jumlah pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing pelamar kerja. Karena pemilik pekerjaan berada di pasar tenaga kerja secara reguler, mereka akan membentuk kepercayaan tentang hubungan antara atribut atribut karyawan seperti jumlah pendidikan dan produktifitas. Kepercayaan-kepercayaan ini bisa jadi didasarkan pada pengalaman terdahulu si pemilik pekerjaan. Agar kepercayaan pemilik pekerjaan tetap bertahan, mereka harus dipenuhi oleh pengalaman lanjutan yang sebenarnya. Maka, suatu kondisi penting bagi ekuilibrium pasar adalah bahwa kepercayaan pemilik pekerjaan tentang hubungan antara pendidikan dan produktifitas faktanya telah terealisasikan atau terwujudkan jadi kenyataan. Bila pemilik pekerjaan percaya bahwa pekerja yang berpendidikan lebih juga lebih produktif, mereka akan (selama kepercayaan ini terus terkonfirmasikan oleh pengalaman sebenarnya) menawarkan upah yang lebih tinggi pada pekerja dengan pendidikan lebih. Para pekerja kemudian mengamati besaran upah yang ditawarkan bergantung pada jumlah pendidikan yang dimiliki. Dalam model ini, kami mengasumsikan bahwa pekerja memilih jumlah pendidikan yang memberikan tingkat pengembalian tertinggi. Nilai konsumsi pendidikan diintegrasikan pada biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendidikan.
Untuk menjaga agar analisis tetap sesederhana mungkin, kami mengasumsikan bahwa ada dua tipe pekerja dalam ekonomi. Pekerja dengan kemampuan rendah (tipe L) memiliki suatu produk marjinal sebesar 1 (MP = 1) dan memperoleh s unit pendidikan dengan biaya $s. Pekerja dengan produktifitas tinggi (tipe H) memiliki suatu produk marjinal sebesar 2, dan memperoleh s unit pendidikan dengan biaya $s/2. Catatan, sebagaimana dijelaskan diatas bahwa produktifitas atau kemampuan pekerja sudah fix dan independen dari jumlah pendidikan yang diperoleh. Catat juga bahwa pekerja yang lebih mampu diasumsikan bisa memperoleh pendidikan pada suatu besaran biaya yang lebih rendah untuk tiap unit pendidikan yang didapat. Situasi ini dapat muncul karena pekerja yang lebih mampu memperoleh jumlah pendidikan spesifik dengan lebih cepat, atau karena mereka menempatkan suatu nilai konsumsi yang lebih tinggi pada (atau memiliki ketidak sukaan psikis yang lebih rendah terhadap) proses pendidikan. Asumsi bahwa pekerja yang lebih mampu memiliki biaya pendidikan yang lebih rendah dalam perolehan pendidikan adalah sesuatu hal yang penting. Seperti yang akan kita lihat, ini adalah suatu kondisi yang diperlukan agar pendidikan bertindak sebagai suatu sinyal yang informatif di pasar tenaga kerja. Jika kondisi ini tidak terpenuhi, pekerja dengan kemampuan rendah dan tinggi akan memperoleh jumlah pendidikan yang sama, dan pendidikan tidak akan mampu berfungsi sebagai sinyal bagi produktifitas pekerja. Untuk melihat seperti apa rupa ekuilibrium pasar, anggap bahwa kepercayaan pemilik pekerjaan adalah sebagai berikut: Jika s < s* maka MP = 1 Jika s ≥ s* maka MP = 2 Dengan begitu, ada nilai kritis dari pendidikan (misalnya menyelesaikan SMA, dapat gelar sarjana) dan pelamar dengan pendidikan yang kurang dari nilai kritis ini akan dipercaya sebagai kurang produktif, sedangkan pelamar dengan pendidikan setara atau lebih besar dari nilai ini dipercaya sebagai lebih produktif.
Upah W(s)
CL(s)=S
-2 W=(s)
Biaya Pendidikan C(s) 1
C”(s)=S/2
1
S* Years of education (s)
Gambar 9.2. Besaran Upah Ditawarkan dan Besaran Biaya Signaling
Pemilik pekerjaan menawarkan besaran upah W(s) dengan prasyarat pendidikan s*, dimana pekerja akan dibayarkan 2 jika mereka memiliki pendidikan s ≥ s* dan 1 jika mereka memiliki tingkat pendidikan s < s*. Biaya pekerja berkemampuan rendah untuk memperoleh pendidikan diberikan oleh CL (s). Tingkat pengembaliannya s* diberikan oleh 2 - CL (s∗ ) < 1, jadi mereka lebih baik tidak sekolah, dan menerima gaji yang lebih rendah. Keuntungan net dari pendidikan bagi mereka yang berkemampuan tinggi diberikan oleh 2 - CH (s∗ ) > 1, maka mereka lebih baik mendapatkan pendidikan tingkat s* daripada masuk ke kelompok yang sama dengan yang berkemampuan rendah (di besaran upah 1). Dalam ekuilibrium ini, hanya yang berkemampuan tinggi yang mendapatkan pendidikan, dan semua pekerja dibayarkan produk marjinal mereka. Dalam keadaan ini, besaran upah yang ditawarkan (mengasumsikan untuk tujuan ilustrasi bahwa pasar tenaga kerja bersifat kompetitif, sehingga perusahaan akan menawarkan upah setara dengan produk marjinal yang diharapkan) akan ditunjukkan pada Gambar 9.3. Dengan demikian, pelamar dengan pendidikan setara atau lebih besar dari s* akan ditawarkan upah w = $2, dan pelamar dengan pendidikan kurang dari s* akan ditawarkan upah w=$1. Pada gambar 9.3 diasumsikan bahwa s* terletak di antara 1 dan 2. Juga ditunjukkan pada gambar 9.2 adalah untuk tiap tipe pekerja, fungsi biaya C(s) berasosiasi dengan perolehan pendidikan. Cata bahwa pekerja dengan kemampuan rendah akan lebih baik bila mereka mendapati 0 unit pendidikan. Pilihan ini memberikan upah bersih $1; karena biaya memperoleh nol unit pendidikan adalah nol, dengan demikian upah kotor dan upah bersih akan setara dalam kasus seperti ini. Sebaliknya pekerja berkemampuan rendah akan menerima upah bersih w = $2 – s* <$1 jika mereka ingin memperoleh pendidikan yang cukup untuk memperoleh penawaran gaji yang lebih tinggi yang diberikan pada mereka dengan pendidikan setara atau lebih besar dari s*. Meskipun demikian, pekerja dengan kemampuan tinggi lebih baik dengan memperoleh tingkat pendidikan s = s*. Pilihan ini akan menghasilkan upah net dari w = $2 – s* / 2 > $1, dimana memilih s = 0 yield/hasil untuk individu ini upah netnya adalah w = $1. Maka, dengan besaran upah yang ditawarkan, bila s* terletak pada kisaran 1 < s* < 2, pekerja berkemampuan rendah akan memilih s = - dan pekerja berkemampuan tinggi akan memilih s = s*. Maka, kepercayaan pemiliki pekerjaan tentang hubungan antara pendidikan dan produktifitas pekerja pun akan terkonfirmasi / terbukti benar. Pelamar dengan pendidikan rendah akan kurang produktif, dan mereka yang berpendidikan tinggi akan lebih produktif. Pemberi pekerjaan dengan demikian tidak memiliki alasan apapun untuk mengubah kepercayaan mereka atau besaran upah yang ditawarkan. Dengan besaran upah yang ditawarkan, pekerja akan terus memilih untuk mendapatkan “sinyal” pendidikan sehingga tingkat pendidikan adalah suatu prediktor atau penanda yang baik (dalam model sederhana ini ia menjadi prediktor sempurna) dari produktifitas. Hasil ini adalah suatu ekuilibrium pasar walaupun dengan asumsi pendidikan tidak meningkatkan produktifitas dari pekerja individu; yakni, pendidikan hanya bertindak semata sebagai signaling atau penanda atau medium sortir dalam kasus ini. Bila dilihat dari sisi luar, akan terlihat bahwa pendidikan meningkatkan produktifitas karena mereka dengan pendidikan lebih akan lebih produktif dan menerima pendapatan lebih tinggi. Namun demikian, sebenarnya tidaklah seperti itu; pendidikan semata mensortir populasi heterogen menjadi dua kelompok yang berbeda. Model sederhana ini mengilustrasikan hasil utama dari teori signaling / penanda pasar. Teori ini telah digunakan untuk menjelaskan sejumlah fenomena lain, seperti penggunaan harga produk tinggi untuk menandakan kualitas produk, penggunaan jaminan
garansi produk untuk menandakan kualitas produk, dan penggunaan oleh pemilik pekerjaan dalam hal pengalaman bekerja para pelamar pekerjaan (jumlah pekerjaan, waktu lama menganggur) sebagai penanda kualitas pekerja. Tentu saja, kami tidak mengharapkan bahwa pendidikan bertindak semata sebagai filter atau mekanisme sinyal, sebagaimana yang diringkas dalam model sederhana tersebut diatas. Sebagian besar program pendidikan tentunya mungkin memberikan sejumlah keahlian dan pengetahuan yang meningkatkan produktifitas pekerja. Namun demikian, mungkin saja bahwa bentuk pendidikan atau pelatihan tertentu utamanya berperan sebagai sinyal, sedang bentuk lainnya yang melibatkan akuisisi modal manusia, yang meningkatkan produktifitas dan pendapatan. Sejauh mana pendidikan berfungsi sebagai perangkat sinyal versus sebagai bentuk akuisisi modal manusia adalah pertanyaan menarik dan penting. Implikasi kebijakan model tersebut sangatlah berbeda. Untuk model sinyal, subsidi pendidikan merepresentasikan transfer murni pada individu berkemampuan tinggi, dan tidak dapat dibela / dibenarkan dari perspektif kesetaraan.
Pendapatan seumur hidup (present value)
Satu contoh untuk memperkuat hal ini yang disebutkan disini berdasarkan pada Michael Spence (1973). Anggaplah bahwa ada dua tipe pekerja: pekerja yang lebih produktif memiliki suatu tingkat produktifitas setara 2 dan pekerja kurang produktif memiliki suatu tingkat produktifitas setara 1. Anggap lagi bahwa pemilik pekerjaan percaya bahwa pelamar pekerjaan dengan tingkat pendidikan setara atau lebih besar dari S* adalah pekerja tipe 2 dan mereka yang memiliki kurang dari S* tahun pendidikan adalah pekerja tipe 1. Perusahaan membayar pekerja sesuai dengan tingkat produktifitas yang diharapkan dari mereka; jadi mereka yang memiliki S* atau lebih tahun pendidikan dibayarkan gaji setara 2, dan mereka yang memiliki kurang dari S* tahun pendidikan dibayarkan gaji setara 1. Para pekerja memperhitungkan nilai pemasukan seumur hidup, yang mana adalah E1 untuk mereka yang memiliki kurang dari S* tahun pendidikan dan E2 untuk mereka dengan lebih dari S* tahun pendidikan. Hubungan antara pendapatan seumur hidup dan pendidikan digambarkan pada Gambar 9.3.
E2
E2
S* Years of education
Gambar 9.3. Manfaat Seumur Hidup yang dihubungkan dengan Pendidikan
Pendapatan seumur hidup (present value)
Individu akan memilih untuk berinvestasi pada tingkat pendidikan yang memaksimalkan net benefit mereka (total benefit dikurangi biaya total). Untuk penyederhanaan, asumsikan bahwa satu-satunya benefit yang dipertimbangkan oleh pekerja adalah pendapatan mereka. Lalu individu akan memilih tingkat pendidikan yang menghasilkan perbedaan terbesar antara nilai pendapatan seumur hidup (saat ini) dan biaya pendidikan. Jika pendidikan tidak memakan biaya maka semua pekerja akan ingin mendapatkan sinyal S*, tetapi model sinyal bergantung pada asumsi bahwa biaya bervariasi antar individu. Anggaplah pada Figur 9.4, bahwa tipe pekerja 1 menghadapi biaya C untuk tiap tahun pendidikan, tetapi tipe pekerja 2, yang merasa sekolah itu mudah, menghadapi biaya C/2. Maka mudah untuk melihat bahwa untuk pekerja tipe 1 perbedaan antara pendapatan seumur hidup dan C dimaksimalkan saat mereka memilih 0 tahun pendidikan. Sedangkan disisi lain, untuk tipe pekerja 2, perbedaan antara pendapatan seumur hidup dan C/2 terbesar saat ada pada S*. Maka, tipe pekerja 1 dan 2 masuk ke tingkatan pendidikan yang berbeda yang konsisten dengan apa yang dipercayai oleh pemberi pekerjaan, dan S* berfungsi sebgaai suatu sinyal valid.
C1 Biaya pendidikan untuk pekerja 1 E2
E2 C2 Biaya pendidikan untuk pekerja 2
S* Years of education
Gambar 9.4: Manfaat Seumur Hidup dan Biaya yang Dihubungkan Dengan Pendidikan Catat bahwa tidak semua tahun pendidikan serta merta memberikan sinyal yang valid. Misalnya, pada Gambar 9.5, pemberi pekerjaan menggunakan S’ tahun pendidikan dan bukan S* untuk mendiferensiasi antara pekerja produktifitas rendah dan tinggi. Dengan demikian, struktur pendapatan saat ini digambarkan sebagai jarak AEGH. Disini, baik pekerja tipe 1 dan tipe 2 memaksimalkan perbedaan antara pendapatan seumur hidup mereka dan biaya pendidikan dengan memilih S’. Karena semua pelamar pekerjaan memilih tingkat pendidikan yang sama, S’ tidak menandakan apapun tentang produktifitas pekerja.
Pendapatan seumur hidup (present value)
C1 G
E2
E2
A
Biaya pendidikan untuk pekerja 1
E C2 Biaya pendidikan untuk pekerja 2 S’
S* Years of education
Gambar 9.5: Manfaat dan Biaya yang diasosiakan dengan sinyal alternatif. Sebagaimana yang ditekankan oleh Weiss (1995), modal manusia dan model signaling pendidikan tidak serta merta bersifat mutual eksklusif. Pendidikan mungkin secara bersamaan meningkatkan produktifitas pekerja dan bertindak sebagai suatu sinyal tentang kemampuan yang ada dalam diri mereka. Dalam keadaan semacam itu, maka signaling dapat dianggap sebagai suatu ekstensi dari model modal manusia dimana beberapa perbedaan produktifitas yang perusahaan tidak bisa amati berkorelasi dengan biaya pendidikan. Menguraikan secara ilmiah tentang keutamaan relatif dari model modal manusia dan model signaling terbukti sulit. Kedua model memprediksi bahwa pekerja yang lebih berpendidikan akan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, maka hubungan positif yang kami amati antara pendidikan dan pendapatan tidak memberikan informasi yang berguna. Tidak ada suatu metode yang diterima secara universal untuk secara terpisah mengidentifikasi peran peningkatan pendidikan yang dilakukan oleh universitas dengan peran signalingnya. Satu pendekatan yang telah digunakan untuk membandingkan jarak perbedaan upah pendidikan untuk pekerja dengan usia yang berbeda atau tahun pengalaman bekerja yang berbeda dengan mengasumsikan bahwa seiring waktu, akan lebih mudah bagi para pemilik pekerjaan untuk secara langsung mengamati produktifitas sebenarnya dari pegawaipegawai mereka (Cohn et al., 1987; Layard dan Psacharopoulos, 1974; Mendes de Oliveira et al., 1989; Psacharopoulos, 1979; Rao dan Datta, 1989; Wolpin, 1977). Pemikirannya adalah bahwa jika pendidikan semata merupakan alat signaling maka ia memiliki suatu fungsi yang berguna pada masa awal karir seorang pekerja, tetapi seiring informasi langsung tentang produktifitas sebenarnya dari para pekerja terkumpul, hubungan antara pendidikan dan penghasilan semestinya menurun. Faktanya, perbedaan pendapatan antara pekerja yang lebih terdidik dan kurang terdidik meningkat seiring dengan usia, yang mana ini bisa diambil sebagai bukti yang berpihak pada model modal manusia. Di sisi lain, pendukung model signaling beranggapan bahwa pertumbuhan berkelanjutan pada diferensiasi pendapatan terjadi karena signal yang terkandung dalam pencapaian pendidikan adalah suatu saran prediksi yang akurat dari produktifitas individu. Berbagai penelitian lainnya membandingkan pendapatan lintas industri atau profesi dimana signaling mungkin penting, ke industri atau profesi dimana signaling tidak penting. Cohn et al. (1987), De Wit dan Van Winden (1989), Katz dan Ziderman (1980), Riley (1979),
dan Wolpin (1977), misalnya, membandingkan pendidikan dan pendapatan dari pekerja wirausaha dan pekerja bergaji, mendasarkan pada asumsi bahwa signaling semestinya tidak relevan bagi mereka yang berwirausaha. Karena pekerja yang berwirausaha tidak harus berinvestasi pada sinyal pendidikan untuk pemilik pekerjaan potensial, mereka akan berinvestasi pendidikan lebih sedikit. Penelitian-penelitian ini telah menghasilkan bukti campuran tentang keutamaan relatif dari dua hipotesis. Set penelitian ketiga berfokus pada efek kulit kambing, atau tingkat pengembalian (return) upah terhadap gelar tertentu dan / atau tahun diploma. Argumennya adalah bahwa bagian peningkatan produktifitas dari pendidikan semestinya proporsional dengan waktu yang dihabiskan di sekolah; dengan demikian, tingkat pengembalian upah dari diploma itu sendiri, setelah dikontrol atas tahun pendidikan, dapat diinterpretasikan sebagai bukti yang mendukung hipotesis signaling. Groot dan Oosterbeek (1994), Hartog (1983), Hungerford dan Solon (1987), Jaeger dan Page (1996), Layard dan Psacharopoulos (1974), dan Weiss (1983) semua telah mengestimasi varian dari model kulit kambing. Penelitian oleh Hungerford dan Solon, serta Jaeger dan Page keduanya mendapati bahwa relatif terhadap satu tahun pendidikan SMA atau kampus, ada tingkat pengembalian upah yang lebih tinggi yang diasosiasikan dengan lulusan SMA dan kampus. Namun demikian, kedua penelitian ini mencatat bahwa adanya efek kulit kambing tidak serta merta menjadi suatu hal yang menguatkan model signaling: karena mustahil untuk mengetahui apakah perbedaan yang teramati berasal dari suatu sinyal tentang kemampuan mereka yang menyelesaikan vs kemampuan mereka yang tidak menyelesaikan ataukah mereka yang menyelesaikan gelar mereka meningkatkan produktifitas mereka lebih besar dari mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan mereka. Tyler et al (2000) membahas permasalahan ini saat mengestimasi nilai signaling dari Gelar Setara Diploma (GED) dengan membandingkan pendapatan individu yang memiliki skor ujian GED yang sama tetapi tinggal di negara bagian dengan standar kelulusan yang berbeda. Individu dengan nilai ujian yang sama diasumsikan memiliki jumlah modal manusia yang setara dan dinilai memiliki produktifitas setara. Mereka mendapati bahwa kulit putih yang memiliki GED memiliki pendapatan lebih tinggi 10 hingga 19% persen dibanding kulit putih dengan skor ujian yang sama yang tidak mendapatkan gelar itu karena mereka tinggal di negara bagian dengan standar yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa GED memiliki suatu efek signaling yang penting terhadap pendapatan. Di sisi lain, Cameron dan Heckman (1993) dan Heckman dan Lafontaine (2006) mendapati bahwa upah mereka yang memiliki GED tidak lebih tinggi dari upah mereka yang drop out dari SMA, yang menunjukkan bahwa GED bukanlah substitusi untuk SMA. Lang dan Kropp (1986) menguji model signaling dengan membandingkan tingkat pendaftaran kelompok usia yang diikat dengan hukum pendidikan dasar dengan tingkat pendaftaran kelompok usia yang tidak terpengaruhi secara langsung. Pemikirannya adalah bahwa dengan model signaling, undang undang wajib sekolah negara bagian semestinya meningkatkn pencapaian pendidikan dari pekerja berkemampuan tinggi yang tidak terpengaruhi secara langsung oleh undang-undang tersebut, karena ia menurunkan kemampuan rata-rata (dan sekaligus upah) yang diasosiasikan dengan tingkat pendidikan wajib. Ini memberikan individu berkemampuan tinggi suatu insentif untuk mendapatkan pendidikan yang lebih. Teori modal manusia memprediksi bahwa undang undang semacam itu semestinya hanya mempengaruhi individu yang secara langsung terikat. Lang dan Kropp mendapati bahwa undang undang pendidikan wajib memang meningkatkan tingkat
pendaftaran untuk kelompok usia yang tidak terpengaruhi secara langsung, yang mendukung gagasan bahwa undang undang pendidikan adalah suatu alat signaling. Dengan nada yang sama, Bedard (2001) membandingkan tingkat putus sekolah di pasar tenaga kerja dengan akses universitas yang berbeda. Model signaling memprediksi bahwa pada lingkungan di mana lebih banyak individu dibatasi untuk masuk perguruan tinggi akan ditandai dengan tingkat kelulusan SMA yang lebih tinggi: bila ada sedikit rintangan di perguruan tinggi, maka beberapa siswa dengan kemampuan terbatas namun relatif tinggi akan menjadi atlit universitas, dan rata-rata keterampilan lulusan SMA yang tidak kuliah akan berkurang. Akan ada penurunan upah yang setara dengan ijazah SMA, yang akan mengurangi insentif untuk mendapatkannya. Akibatnya, lulusan sekolah menengah yang paling tidak mampu akan memilih untuk berhenti bekerja. Bedard menemukan bukti dari respons semacam itu. Kroch and Sjoblom (1994) menyatakan bahwa jika pendidikan bertindak sebagai suatu sinyal, maka dalam suatu kohort, sinyal tersebut semestinya berkaitan dengan posisi individu dalam distribusi pendidikan. Mereka mengestimasi model yang memasukkan baik tahun pendidikan relatif dan absolut dan mendapati bahwa sekalipun memang tahun pendidikan selalu memiliki asosiasi positif dengan pendapatan, ranking seseorang dalam distribusi pendidikan tidaklah signifikan secara statistik. Mereka menginterpretasikan ini sebagai bukti bahwa nilai pendidikan tidaklah utamanya karena signaling. Weiss (1995) meringkas sejumlah penelitian tambahan yang memberikan bukti tak langsung pada prevalensi signaling dalam pendidikan, termasuk diskusi detil Altonji (1995) dan paper Kang dan Bishop (1986) tentang efek pendapatan pada bobot kerja di sekolah, serta paper Card dan Krueger (1992) tentang dampak kualitas sekolah terhadap upah kembali ke pendidikan. Dia menyimpulkan bahwa para ekonom tenaga kerja secara tidak masuk akal bersikap skeptis terhadap teori sinyal, mengingat kemampuannya untuk menjelaskan keteraturan empiris yang tidak dijelaskan oleh model lain - seperti mengapa upah tingkat pengembalian pendidikan tampaknya jauh lebih besar daripada pengembalian ke pelajaran yang diambil di sekolah menengah, dan mengapa perbedaan upah meningkat dengan pendidikan. Singkatnya, uji ilmiah model signaling paling sering muncul selama akhir 1970-an dan 1980an, namun banyak dari tes ini memiliki validitas yang patut dipertanyakan. Sejak akhir 1980-an, semakin sedikit penelitian yang mencoba untuk mengidentifikasi peran yang dimainkan oleh sinyal di pasar tenaga kerja, namun literatur lebih menekankan pada menemukan sumber identifikasi eksternal. Studi terbaru yang menggunakan variasi acak yang masuk akal dalam penerimaan gelar sambil mengendalikan ukuran produktivitas yang dapat diamati (seperti penelitian oleh Tyler et al.,(2000) menemukan bukti untuk mendukung adanya sinyal pada gelar tertentu (seperti GED). Ada juga hubungan pasar tenaga kerja seperti yang dibahas oleh Weiss (1995) yang tampaknya memberikan bukti tidak langsung untuk mendukung model signaling. Namun, jumlah penelitian yang menggunakan strategi empiris meyakinkan untuk menguji model sinyal sangat singkat, dan sampai saat ini terdapat bukti yang beragam.
9.4. AKSES DAN PEMERATAAN DALAM PENDIDIKAN Kesenjangan gender dalam pendidikan kerap terjadi di banyak negara berkembang karena perempuan menerima pendidikan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki muda. Sebagian besar orang yang buta aksara, merupakan perempuan. Kesenjangan gender dalam pendidikan yang sangat besar terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerataan pendidikan merupakan sautu masalah yang sangat mendasar bagi kondisi pendidikan bagi setiap negara, di Indonesia. Ada beberapa permasalahan yang mempengaruhi masalah akses dan pemerataan pendidikan di Indonesia seperti masih terkonsentrasinya pendidikan di daerah perkotaan, masih cukup tingginya jumlah masyarakat miskin dan banyaknya daerah yang terpencil sehingga akses sulit untuk dijangkau. Adapun beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah pemerataan pendidikan seperti program wajib belajar 9 tahun, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), relokasi subsidi BBM, dan penggunaan APBD. Namun upaya tersebut dirasakan masih belum optimal dilakukan. Guna memahami gender, perlu dibedakan antara jenis kelamin dengan gender agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman. Secara umum, gender berusaha mengidentifikasikan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan perbedaan sosial budaya sehingga membentuk peran yang diberikan atau dilakukan oleh perempuan dan laki laki dalam suatu masyarakat tertentu dan dapat berubah atau dinamis, sedangkan jenis kelamin merupakan pembagian yang ditentukan secara biologis (Mooney, Schacht & Knox, 2007). Unger & Crawford (1992) memisahkan antara jenis kelamin dengan gender, dimana gender merupakan konstruksi sosial, sedangkan jenis kelamin didefinisikan sebagai perbedaan biologis dalam komposisi genetik, fungsi dan anatomi reproduksi. Moser (1989) menyatakan bahwa gender adalah peran sosial yang terbentuk dalam masyarakat, bagaimana laki-laki dan perempuan memainkan peranan yang berbeda dalam masyarakat. Perbedaan peran gender ini terbentuk oleh faktor-faktor ideologis, sejarah, etnis, ekonomi dan kebudayaan. Grewal & Kaplan (2002) menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan bukan secara biologis, melainkan terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi permasalahanya adalah munculnya perbedaan gender sehingga menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik terhadap laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur, dimana laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender antara lain dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (Simatauw et al, 2001): 1. Subordinasi Subordinasi adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak lama terdapat pendangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang geraknya, terutama dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. 2. Marginalisasi perempuan
Proses marginalisasi (peminggiran atau pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang. Pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. 3. Pandangan stereotype Stereotype adalah citra tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotype yang berkembang berdasarkan pengertian gender terjadi terhadap perempuan. Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan perempuan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga, tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. 4. Kekerasan Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam berbagai bentuk. Artinya, suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja, tetapi juga yang bersifat non fisik. 5. Beban Ganda Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Kemiskinan dalam suatu negara pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan masalah pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan dapat menentukan kesejahteraan. Selain itu, pendidikan yang rendah menjadi salah satu penyebab kemiskinan, termasuk rendahnya pendidikan perempuan yang membuat perempuan banyak berada dalam kondisi kemiskinan. Hal tersebut terjadi antara lain karena kesenjangan gender yang terjadi dalam pendidikan. Dalam pendidikan, kesenjangan gender terjadi karena beberapa faktor yaitu terbatasnya akses, partisipasi, kontrol dan manfaat (Suryadi & Idris, 2004). Akses adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan seperti ketersediaan sekolah, jarak sekolah, biaya, dukungan atau hambatan; Partisipasi adalah keikutsertaannya dalam pendidikan seperti alasan yang mendorong untuk melanjutkan atau berhenti sekolah, tanggung jawab selain sekolah; Kontrol adalah penguasaan dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan seperti keputusan untuk sekolah, pemilihan jurusan; Manfaat adalah kegunaan dari pendidikan seperti hasil dari pendidikan, akibat dari berhenti sekolah. Sementara itu, adanya nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan untuk anak laki-laki lebih penting disinyalir merupakan salah satu pemicu terjadinya kesenjangan gender. Hal ini umumnya berlaku, terutama di daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada keluarga berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak laki-laki. Selain itu, adanya pandangan kultural yang mengutamakan anak laki-laki, baik sebagai penerus keluarga maupun pencari nafkah. Kesenjangan gender ini muncul juga karena dipengaruhi oleh pemikiran bahwa tingkat pengembalian investasi pendidikan pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan sehingga anak laki-laki selalu diberikan prioritas untuk melanjutkan pendidikan. Dalam hal ini, anak lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni pekerjaan domestik. Kondisi ini sesuai dengan kenyataan
bahwa rata-rata penghasilan pekerja perempuan secara empirik relatif lebih rendah dibandingkan penghasilan pekerja laki-laki.