Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
EFISIENSI PEMANFAATAN MATERIAL BAMBU PADA PERANCANGAN BANGUNAN DI KAWASAN EKOWISATA MANGROVE WONOREJO DENGAN PENDEKATAN GEOMETRI Reza Fernando1), Hari Purnomo2), dan Sri Nastiti N. E.2) 1) Program Studi Pascasarjana Perancangan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Keputih, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail:
[email protected] 2) Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Terkait dengan fungsinya sebagai kawasan konservasi, bangunan pada Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo harus memenuhi berbagai kriteria khusus, salah satunya adalah kriteria pemilihan jenis material yang akan digunakan pada bangunan. Material yang dapat menjadi pilihan untuk digunakan pada bangunan di kawasan tersebut adalah material – material alami yang ramah lingkungan dan mudah untuk didapatkan, salah satunya adalah bambu. Bambu lazim digunakan pada berbagai elemen bangunan, namun pada pemanfaatannya seringkali menyisakan banyak potongan ruas bambu yang tidak terpakai dan terbuang sia – sia. Perancangan Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo ini akan mengefisiensikan sisa ruas bambu yang tidak terpakai. Hal pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan pengelompokkan jenis bambu berdasarkan ukuran dan peruntukkannya untuk kemudian dilakukan perhitungan yang akan menghasilkan bilah bambu yang paling sedikit menghasilkan potongan ruas sisa. Bilah bambu yang telah terpilih kemudian dikaitkan dengan pendekatan geometri untuk untuk mendapatkan konfigurasi bentuk pada rancangan bangunan. Hasil akhir yang didapatkan pada proses perancangan ini adalah berupa rancangan bangunan yang tersusun dari berbagai konfigurasi bentukan geometri berupa pola dasar lantai berbentuk segienam dan pola dasar atap berbentuk segitiga yang terbuat dari material bambu. Kata kunci: Ekowisata, Mangrove, Material, Geometri
PENDAHULUAN Kota Surabaya merupakan salah satu kota di Indonesia yang beruntung memiliki kawasan hutan mangrove di kawasan pesisirnya. Kawasan hutan mangrove tersebut tersebar di sepanjang kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) yang terbentang dari Kenjeran sampai muara Sungai Dadapan dengan panjang pantai 2,65 km dan memiliki ketebalan hutan mangrove yang bervariasi. Salah satu titik di kawasan Pamurbaya yang memiliki kawasan hutan mangrove yang cukup luas dan dengan ketebalan yang cukup merata adalah di Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo yang terletak di muara Kali Jagir, Surabaya Timur. Dalam merancang sebuah kawasan termasuk bangunan di dalamnya, khususnya pada kawasan ekowisata mangrove, selain perlu memperhatikan aspek – aspek kebutuhan manusia mencakup aktivitas serta kenyamanan untuk menjamin aktivitas tersebut berjalan dengan baik, diperlukan juga tinjauan yang lebih mendalam mengenai jenis material yang akan digunakan. Kawasan hutan mangrove yang rapuh mengharuskan adanya penggunaan material – material yang tepat. Kriteria material yang tepat tersebut antara lain harus berupa material alami yang ramah lingkungan, mudah untuk didapatkan, tersedia dalam jumlah banyak di ISBN : 978-602-97491-9-9 B-21-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
alam, mudah untuk dirakit, dan dapat dirangkai menjadi berbagai jenis bangunan. Jenis material alami yang memenuhi semua kriteria tersebut adalah bambu. Menurut data hasil penelitian Departemen Kehutanan Republik Indonesia terdapat 159 jenis bambu di Indonesia, yang 29 jenisnya terdapat di Pulau Jawa. Namun, tidak semua jenis bambu tersebut cocok untuk diterapkan sebagai sistem struktur bangunan. Bambu yang sesuai untuk diterapkan pada sistem bangunan tentunya adalah jenis bambu yang cukup kuat untuk menahan beban tertentu dan memiliki kelenturan yang baik, seperti yang terdapat pada jenis bambu dengan tipe tumbuh batang simpodial. Jenis bambu dengan tipe tumbuh batang simpodial yang dipilih antara lain bambu betung, bambu andong, dan bambu apus. Ketiga jenis bambu tersebut memiliki diameter dan panjang ruas yang berbeda – beda. Perbedaan ukuran tersebut akan menyebabkan peruntukkan yang berbeda – beda pula pada ketiganya dan pada saat pemotongan akan menyisakan ruas bambu yang tidak terpakai dalam jumlah yang berbeda – beda dan cukup banyak. Sehingga terkait dengan pengaplikasiannya pada bangunan, diperlukan sebuah perhitungan yang tepat untuk memilih bilah bambu dengan ukuran panjang (jumlah ruas) tertentu dan menghasilkan seminimal mungkin sisa ruas bambu yang tidak terpakai untuk kemudian dikaitkan dengan pendekatan geometri untuk mendapatkan bentukan geometri bangunan yang menggunakan jumlah material yang paling efisien. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk merancang bangunan yang terdapat pada Kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo dengan menggunakan material alami ramah lingkungan (bambu), dengan mengefesiensikan penggunaannya untuk meminimalisasikan limbah sisa potongan ruas bambu yang tidak terpakai dengan menerapkan pendekatan geometri. METODE Riset perancangan yang dilakukan meliputi analisa, sintesa, dan evaluasi. Pada tahap awal yaitu menganalisa kajian teori dan studi preseden sehingga didapatkan parameter dan kriteria desain mengenai prinsip pemilihan dan pengefisiensian penggunaan material serta bangunan pada kawasan ekowisata mangrove. Pada tahap ini juga menganalisa tapak dan vegetasi lahan setempat (kerapatan hutan mangrove) dan kondisi fisik bangunan existing. Dari data - data yang didapat kemudian diolah menggunakan metode transformasi dan olah geometri (Antoniades, 1990) untuk pendapatkan hasil perhitungan dari pengefisiensian penggunaan material. Hasil rancangan kemudian di evaluasi dan disesuaikan dengan parameter serta kriteria desain yang telah dibuat. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada hasil penyusunan kriteria desain untuk bangunan pada kawasan ekowisata mangrove, terkait peruntukkan masing – masing jenis bambu, maka terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dalam proses merancang selanjutnya, antara lain: Jenis bambu yang dipilih pada proses perancangan ini adalah jenis bambu betung, bambu andong, dan bambu apus. Bambu betung yang dipilih pada proses perancangan ini adalah bambu betung dengan panjang 15 m berdiameter 10 cm dengan jarak antar buku (panjang per ruas) 30 cm dan bambu betung berdiamter 20 cm dengan jarak antar buku 50 cm. Bambu andong yang dipilih pada proses perancangan ini adalah bambu andong dengan panjang 15 m berdiameter 10 cm dengan jarak antar buku (panjang per ruas) 40 cm dan bambu andong berdiameter 20 cm dengan jarak antar buku 45 cm. ISBN : 978-602-97491-9-9 B-21-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Bambu apus yang dipilih pada proses perancangan ini adalah bambu apus dengan panjang 15 m berdiameter 5 cm dengan jarak antar buku (panjang per ruas) 20 cm dan bambu apus berdiameter 10 cm dengan jarak antar buku 75 cm. Dengan mempertimbangkan ukurannya, bambu betung akan diperuntukkan sebagai kolom struktur bangunan, dengan diberi tulangan dan dicor beton. Dengan mempertimbangkan ukurannya, bambu andong akan diperuntukkan sebagai struktur atap bangunan. Dengan mempertimbangkan ukurannya, bambu apus akan diperuntukkan sebagai elemen pelengkap bangunan (kisi – kisi, pagar pembatas, dan lantai bangunan).
Jika harus dibagi – bagi menjadi ruas – ruas yang lebih pendek, maka diperlukan perhitungan yang tepat agar tidak menyisakan banyak ruas bambu yang tidak terpakai. Semakin sedikit sisa bambu yang dihasilkan maka akan semakin sedikit limbah konstruksi yang dihasilkan dan hal ini menjadi isu utama dalam proses perancangan ini. Berikut ini merupakan rumusan yang digunakan untuk menentukan sisa ruas yang tidak terpakai, sebagai berikut: Sisa ruas satuan = 1500 cm – (panjang ruas gabungan (cm) x bilangan tertentu ( menunjukkan jumlah ruas utuh yang didapatkan) yang menghasilkan nilai < 1500 cm) : panjang ruas satuan Contoh: Menentukan sisa ruas satuan pada bambu betung berukuran kecil dengan jarak antar buku/panjang ruas satuan 30 cm, yang terdiri dari gabungan 3 ruas satuan dengan panjang ruas gabungan ketiga ruas tersebut sepanjang 90 cm sebagai berikut: Sisa ruas satuan
= = = =
1500 cm – (90 cm x 16 ruas utuh) : 30 cm 1500 cm – (1440 cm) : 30 cm 60 cm : 30 cm 2 ruas satuan
Pembagian ruas bambu yang tidak menghasilkan sisa sama sekali hingga yang menghasilkan 2 ruas satuan ditentukan sebagai satuan ruas bambu yang dapat dipertimbangkan sebagai material pilihan pertama. Pembagian ruas bambu yang menghasilkan 3 – 6 ruas satuan ditentukan sebagai satuan ruas bambu yang dapat dipertimbangkan sebagai material pilihan kedua. Sedangkan pembagian ruas bambu yang menghasilkan sisa ruas satuan lebih dari yang tersebut diatas maka ditentukan sebagai satuan ruas bambu yang sebaiknya tidak digunakan. Dari perhitungan dan pengelompokkan tersebut maka didapatkan tabel kesimpulan mengenai jenis dan ukuran ruas bambu yang dapat dan cocok untuk digunakan sebagai batasan ukuran pada proses perancangan, sebagai berikut:
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-21-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Tabel 1 Bilah bambu yang sesuai untuk digunakan pada proses perancangan No. Ruas Satuan Panjang Ruas Jumlah Ruas Utuh Bambu betung berukuran kecil, diameter 10 cm, dan jarak antar buku 30 cm 1. 12 ruas 360 cm 4 ruas utuh Bambu betung berukuran besar, diameter 20 cm, dan jarak antar buku 50cm 1. 2 ruas 100 cm 15 ruas utuh Bambu andong berukuran kecil, diameter 5 cm, dan jarak antar buku 40 cm 1. 1 ruas 40 cm 37 ruas utuh 2. 2 ruas 80 cm 18 ruas utuh 3. 3 ruas 120 cm 12 ruas utuh 4. 4 ruas 160 cm 9 ruas utuh 5. 5 ruas 200 cm 7 ruas utuh 6. 6 ruas 240 cm 6 ruas utuh 7. 7 ruas 280 cm 5 ruas utuh 8. 8 ruas 320 cm 4 ruas utuh Bambu andong berukuran besar, diameter 10 cm, dan jarak antar buku 45 cm 1. 3 ruas 135 cm 11 ruas utuh 2. 7 ruas 315 cm 4 ruas utuh Bambu apus berukuran kecil, diameter 5 cm, dan jarak antar buku 20 cm 1. 1 ruas 20 cm 75 ruas utuh 2. 2 ruas 40 cm 37 ruas utuh 3. 3 ruas 60 cm 25 ruas utuh 4. 4 ruas 80 cm 18 ruas utuh 5. 5 ruas 100 cm 15 ruas utuh 6. 6 ruas 120 cm 12 ruas utuh 7. 7 ruas 140 cm 10 ruas utuh 8. 8 ruas 160 cm 9 ruas utuh 9. 9 ruas 180 cm 8 ruas utuh 10. 10 ruas 200 cm 7 ruas utuh 11. 12 ruas 240 cm 6 ruas utuh 12. 14 ruas 280 cm 5 ruas utuh Bambu apus berukuran besar, diameter 10 cm, dan jarak antar buku 75 cm 1. 2 ruas 150 cm 10 ruas utuh
Sisa Ruas 2 ruas satuan 1 ruas satuan 1 ruas satuan 1 ruas satuan 2 ruas satuan 1 ruas satuan 2 ruas satuan 5 ruas satuan 5 ruas satuan 1 ruas satuan 3 ruas satuan 3 ruas satuan 5 ruas satuan 3 ruas satuan 3 ruas satuan 5 ruas satuan 3 ruas satuan 5 ruas satuan -
Setelah mendapatkan jenis dan ukuran ruas bambu yang digunakan sebagai batasan ukuran material pada proses perancangan maka dilanjutkan proses merancang denah dan fasade dengan saluran perubahan bentuk (transformation) dalam geometri, sebagai berikut: 1. Perpindahan (translasi), 2. Perputaran (rotasi), 3. Pencerminan (refleksi), 4. Tesselasi Hal pertama yang akan dilakukan adalah dengan memilih bentukan geometri dasar yang ada seperti bujur sangkar, segitiga, dan lingkaran. Ketiga bentukan dasar geometri ini kemudian diperbandingkan satu sama lain berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain pertimbangan jumlah sisi yang dihasilkan, jumlah batang bambu yang dibutuhkan untuk membentuknya, jumlah penambahan batang bambu yang dibutuhkan untuk membentuk bentukan yang sama di sebelahnya, peletakan kolom struktur pada bangunan yang dihasilkan, variasi bentuk yang dihasilkan, jumlah pilihan arah sirkulasi yang mungkin dihasilkan, dan kestabilannya. Setelah itu, maka ditetapkanlah bentuk geometri segitiga sebagai bentukan geometri dasar yang memenuhi berbagai pertimbangan yang tersebut di atas, sebagai berikut:
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-21-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Tabel 2 Pertimbangan geometri pada bentukan segitiga Pertimbangan Bentukan ini memiliki tiga sudut, tiga sisi yang sama panjang, dan merupakan bentukan yang stabil. Jumlah ruas bambu yang akan digunakan untuk membentuk sebuah rangka dengan bentukan dasar ini adalah tiga ruas bambu. Setiap penambahan satu bentukan segitiga baru di salah satu sisi segitiga utama akan membutuhkan 1 – 2 ruasan baru (ruas bambu).
Kolom struktur dapat dirancang pada setiap sisi yang terdapat pada bentukan ini dan setiap penambahan satu bentukan segitiga baru di salah satu sisi segitiga utama akan membutuhkan 1 – 2 ruasan (ruas bambu) sebagai kolom struktur. Variasi bentuk yang dapat diolah dari duplikasi bentukan ini beragam, antara lain bentukan segitiga, trapesium, dan segienam.
Jika digunakan sebagai bentukan dasar untuk merancang pola jalur sirkulasi, bentukan ini akan memberikan tigapilihan arah sirkulasi, sesuai dengan jumlah sisinya.
Pada bentuk variasinya yaitu pada bentukan segienam akan terdapat sebuah inti (core) pada titik pusat pertemuan sudut – sudut segitiga pembentuknya. Jika pada bagian inti dari bentukan rangka segienam diteruskan ke atas dan ke bawah dalam bentuk kolom struktur utama bangunan, maka akan makin memperkokoh dan menstabilkan sistem rangka konstruksinya. Selain itu bentukan segienam ini akan memberikan arah sirkulasi yang lebih banyak dan menyebar (radial) dengan enam pilihan arah sirkulasi. Hal ini tentunya cocok untuk diterapkan pada kawasan hutan mangrove yang memiliki celah dengan arah yang berbeda – beda.
Sebagai sebuah pola lantai, bentukan segienam ini terbentuk dari enam buah segitiga sama sisi dan tersusun dari 12 ruas bambu. Apabila dibandingkan dengan variasi bentukan bujur sangkar yang juga menggunakan enam buah bujur sangkar yang tersusun dari 17 ruas bambu, maka bentukan ini lebih sedikit dan hemat dalam pemakaian ruas bambu. Untuk membentuk jalur tracking yang menghubungkan antar bangunan pada kawasan ini, maka pola segienam yang didapat di-tesselasikan satu sama lain, menyusuri sela – sela kerapatan hutan mangrove.
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-21-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Langkah selanjutnya adalah dengan merancang sistem struktur utama yang menjadi acuan pada seluruh bangunan pada kawasan ini dengan mempertimbangkan langkah yang telah dilakukan di atas, sehingga didapatkanlah sistem struktur rangka bambu, sebagai berikut:
Konf. Lantai
5,65
5,65m
Konf. Atap
Keterangan: : Bambu betung : Bambu andong : Bambu apus
Gambar 1 Jenis bambu dan peruntukkannya pada rancangan struktur utama bangunan dan konfigurasi pola dasar lantai dan pola dasar atap bangunan
Gambar 2 Model rancangan hasil penggabungan satu unit konfigurasi lantai dan satu unit konfigurasi atap
Pada satu sistem struktur utama (kolom dan atap) bangunan akan menggunakan bambu betung berukuran besar sebanyak 6 batang, bambu betung berukuran kecil sebanyak 6 batang, bambu andong berukuran besar sebanyak 24 batang, dan bambu andong berukuran kecil sebanyak 66 batang. Sedangkan setiap satu pola lantai segienam akan menggunakan bambu apus berukuran besar sebanyak 12 batang dan bambu apus berukuran kecil sebanyak 52 batang. Konfigurasi pola dasar lantai dan atap bangunan tersebut kemudian dapat ditesselasikan satu sama lain sehingga dapat membentuk luasan tertentu yang disesuaikan pada masing – masing fungsi bangunan yang akan dirancang. Berikut ini merupakan variasi dari konfigurasi pola dasar lantai dan atap bangunan yang telah disesuaikan dengan kriteria masing – masing bangunan yang dirancang pada kawasan ini, sebagai berikut:
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-21-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
Tabel 3 Hasil perhitungan total jumlah bilah bambu yang digunakan pada masing – masing bangunan No. 1.
Nama Bangunan Restoran
2.
Bangunan Penelitian dan Pembibitan
BTb: 24 BTk: 24 ANb: 96 ANk: 264 BAb: 120 BAk: 520 Total: 1.048
3.
Galeri Terbuka
BTb: 24 BTk: 24 ANb: 96 ANk: 264 BAb: 108 BAk: 468 Total: 984
4.
Meeting Point (Lobby)
BTb: 36 BTk: 36 ANb: 144 ANk: 396 BAb: 144 BAk: 624 Total: 1.380
5.
Dermaga
BTb: 12 BTk: 12 ANb: 48 ANk: 132 BAb: 108 BAk: 468 Total: 780
6.
Cottages
BTb: 6 BTk: 6 ANb: 24 ANk: 66 BAb: 48 BAk: 208 Total: 358
7.
Resting Point
BTb: 6 BTk: 6 ANb: 24 ANk: 66 BAb: 12 BAk: 52 Total: 166
7.
Jalur tracking
BTb: 6 BAb: 12 BAk: 52 Total: 70
Keterangan: BTb BTk ANb ANk BAb BAk
Konfigurasi
Perspektif
: Bambu betung berukuran besar : Bambu betung berukuran kecil : Bambu betung berukuran besar : Bambu betung berukuran kecil : Bambu apus berukuran besar : Bambu apus berukuran kecil
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-21-7
Jumlah Bambu BTb: 54 BTk: 54 ANb: 216 ANk: 594 BAb: 252 BAk: 1.092 Total: 2.262
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Februari 2014
KESIMPULAN DAN SARAN Jenis bambu yang sesuai untuk diterapakan pada perancangan bangunan pada kawasan ekowisata ini adalah jenis bambu betung, bambu andong, dan bambu apus. Dengan mempertimbangkan ukurannya, bambu betung akan diperuntukkan sebagai kolom struktur bangunan, dengan diberi tulangan dan dicor beton, bambu andong akan diperuntukkan sebagai struktur atap bangunan, dan bambu apus akan diperuntukkan sebagai elemen pelengkap bangunan (kisi – kisi, pagar pembatas, dan lantai bangunan). Dalam memenuhi efisiensi pemanfaatan material (bambu) dengan pendekatan geometri maka didapatkan hasil rancangan berupa konfigurasi dasar lantai berbentuk segienam dan konfigurasi dasar atap bangunan berbentuk segitiga. Konfigurasi dasar ini berfungsi sebagai acuan dalam menentukan luasan dan bentukan berbagai bangunan yang dirancang pada kawasan ekowisata mangrove ini. Hasil penelitian dan perancangan ini direkomendasikan kepada para akademisi dan praktisi sebagai bahan acuan dalam merancang bangunan pada kawasan konservasi, dalam hal ini kawasan ekowisata mangrove, di daerah iklim tropis lembab dengan menekankan pada efisiensi pemanfaatan material bambu dengan pendekatan geometri. DAFTAR PUSTAKA Antoniades, Anthony C. (1992), Poetics of Architecture: Theory of Design, Van Nostrand Reinhold, New York. Frick, H. (2004), Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu, Kanisius, Yogyakarta. Frick, H., Setiawan, P . L. (2007), Ilmu Konstruksi Struktur Bangunan: Cara Membangun Kerangka Gedung: Ilmu Konstruksi Bangunan 1, Kanisius, Yogyakarta. Heinsdorff, M. (2013), The Bamboo Architecture, Design Media Publishing Limited, Hong Kong. Stevens, G. (1990), The Reasoning Architect, McGraw-Hill Book Co, Singapore.
ISBN : 978-602-97491-9-9 B-21-8