EFISIENSI DAN PRODUKTIVITAS PEMANFAATAN LIMBAH PAKAN PADA BUDI DAYA SUTERA ALAM SKALA RUMAH TANGGA Oleh : Yanto Rochmayanto1, Syofia Rahmayanti2, dan Tateng Sasmita3 ABSTRAK Pemanfaatan limbah pakan ulat sutera secara teknis dapat berpengaruh positif bagi perkembangan dimensi tanaman murbei. Meski demikian, pola ini akan layak diterapkan jika memiliki kelayakan ekonomi yang memadai, sehingga penting dievaluasi dan diuji apakah layak secara finansial dan efisien bagi budi daya sutera alam secara keseluruhan atau tidak. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui kelayakan finansial pemanfaatan limbah pakan pada budi daya sutera alam, dan (2) mengetahui tingkat efisiensi dan produktivitas melalui pemanfaatan limbah pakan ulat sutera. Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan pendekatan analisis cash flow, BCR dan NPV. Penilaian efisiensi didekati dengan membandingkan biaya total budi daya sutera alam konvensional dengan pemanfaatan limbah, sedangkan penilaian produktivitas didekati dengan membandingkan Net Present Value (NPV) dari kedua pola budi daya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai NPV pada unit budi daya sutera alam melalui pemanfaatan limbah pakan pada tingkat petani bernilai negatif dan nilai BCR sebesar 0,39 sehingga tidak layak untuk diteruskan. Upaya pemanfaatan limbah pakan ternyata menyebabkan inefisiensi sebesar 23,09% serta mengakibatkan penurunan produktivitas sebesar 43,91%. Untuk memperbaiki tingkat pendapatan petani sutera alam disarankan hal-hal sebagai berikut : (1) pemanfaatan limbah pakan tidak disarankan karena menyebabkan inefisiensi proses produksi, (2) pada tahap awal pemulihan sentra produksi sebaiknya petani melakukan budi daya di atas BEP (27 box per tahun), dan (3) perlu dikaji kemungkinan pola budi daya sutera alam terpadu dengan peternakan dan pertanian agar dapat saling menambah nilai penerimaan dan memberikan peluang siklus pemanfaatan limbah yang lebih luas. Kata kunci : efisiensi, produktivitas, sutera alam, NPV, BCR, cash flow.
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat Peneliti pada Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat 3) Teknisi pada Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat 2)
Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Limbah (Yanto Rochmayanto, etd.)
149
I. PENDAHULUAN Budidaya sutera alam pada skala rumah tangga hingga saat ini belum sampai pada fase pengusahaan optimal, karena belum mampu menghasilkan output maksimal dari input tertentu. Salah satu kendala yang dijumpai pada tingkat petani adalah belum dilakukannya proses produksi dalam kapasitas yang memenuhi BEP (Break Event Point) (Rochmayanto, 2005). Dalam tinjauan ekonomi produksi, kendala tersebut harus diantisipasi melalui penambahan input produksi hingga memenuhi kaidah BEP. Selain itu penting juga melakukan upaya teknis untuk meningkatkan efisiensi proses produksi dan menambah produktivitas usaha, sehingga pilihan untuk melakukan uji coba pemanfaatan limbah pakan ulat sutera dinilai tepat. Limbah pakan ulat sutera merupakan salah satu alternatif sumber bahan yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman murbei. Limbah ini merupakan bahan yang bermanfaat, tetapi juga dapat menjadi sumber bibit penyakit dan hama bagi ulat sutera. Karena itu sisa-sisa pakan berupa ranting, tulang-tulang daun dan daun-daun yang tidak terkonsumsi serta kotoran ulat harus diperlakukan agar menambah produktivitas dan tidak menjadi sumber masalah. Rahmayanti (2005) melaporkan bahwa limbah pakan ulat sutera tersebut dapat dijadikan pupuk setelah melalui proses pengomposan. Pupuk kompos diketahui sebagai pupuk yang baik karena sudah mengandung unsur-unsur N, P dan K. Selain itu potensi limbah pakan ulat sutera untuk dijadikan pupuk organik cukup besar dan belum dimanfaatkan oleh petani. Sisa pakan terbanyak dihasilkan pada Instar IV mencapai 77,53 % dari total jumlah pakan. Sedangkan pada akhir periode pemeliharaan jumlah konsumsi pakan 1 (satu) box ulat sebanyak 1077,4 kg dengan sisa pakan sebanyak 561,365 kg (52,10 %). Dari jumlah limbah pakan tersebut, pupuk organik yang dapat dihasilkan dari 1 (satu) periode pemeliharaan adalah sebanyak 1690 kg. Lebih lanjut dilaporkan juga hasil analisis keragaman pengaruh pemberian pupuk organik hasil kompos limbah pakan pada tanaman murbei. Hasilnya ternyata limbah pakan tidak memberikan respon yang berbeda nyata di antara perlakuan yang diberikan terhadap diameter dan jumlah daun, tetapi berbeda nyata terhadap tinggi, jumlah cabang dan berat daun. Rata-rata tinggi dan berat daun tertinggi adalah pada perlakuan pupuk limbah pakan 1 kg/tanaman ditambah dengan campuran urea, TSP, dan KCl. Perlakuan teknis tersebut perlu diuji secara ekonomi apakah dengan pemanfaatan limbah pakan ini layak diterapkan secara finansial, serta memberikan dampak efisiensi terhadap budi daya sutera alam secara keseluruhan atau tidak. Pengujian ini penting, karena kendatipun pemanfaatan limbah pakan ulat sutera dapat berpengaruh nyata terhadap dimensi dan pertumbuhan daun murbei, apabila tidak menunjukkan kelayakan finansial, peningkatan efisiensi dan produktivitas secara signifikan pada proses produksi secara menyeluruh, maka perlakuan teknis ini tidak dapat direkomendasikan untuk mengganti prosedur kerja pemeliharaan sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui kelayakan finansial aplikasi pemanfaatan limbah pakan pada budi daya sutera alam, dan (2) mengetahui tingkat efisiensi dan produktvitas budi daya sutera alam melalui pemanfaatan limbah pakan. 150
Vol. 7 No. 3 September Th. 2007, 149 - 162
II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Analisis Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen pemanfaatan limbah pakan ulat sutera yang digunakan kembali untuk pupuk murbei melalui proses composting. Penelitian dilakukan pada skala lapangan berbentuk demplot (demonstration plot) budi daya sutera alam skala rumah tangga seluas 3 hektar dengan kapasitas pemeliharaan ulat oleh petani rata-rata 2 box per periode pemeliharaan. Pada demplot tersebut dilakukan uji coba pemanfaatan limbah pakan ulat sutera disamping tetap melakukan budi daya sutera alam secara konvensional (tanpa pemanfaatan limbah pakan). Kedua pola tersebut diukur kinerjanya secara teknis. Perlakuan pemanfaatan limbah pakan ulat sutera yang paling baik dilakukan analisis finansial dan kemudian dibandingkan dengan pola budi daya sutera alam konvensional. Hal yang ingin diketahui dari demplot tersebut pada aspek ekonomi adalah bagaimana status kelayakan finansial budi daya sutera alam melalui pemanfaatan limbah pakan, dan seberapa besar pengaruh pemanfaatan limbah pakan terhadap peningkatan efisiensi dan produktivitas dalam proses produksi. Indikator kelayakan budi daya sutera alam melalui pemanfaatan limbah pakan adalah layak secara finansial dan nilai BCR (benefit cost ratio) lebih dari 1 (satu). Indikator peningkatan efisiensi budi daya sutera alam melalui pemanfaatan limbah pakan adalah apabila BCR pada budi daya sutera alam dengan pemanfaatan limbah pakan lebih tinggi dari pada budi daya pola konvensional, atau dapat juga diukur melalui kriteria total biaya (total cost) operasional budi daya dengan pemanfaatan limbah pakan lebih kecil dari total biaya (total cost) budi daya sutera alam secara konvensional. Sedangkan indikator produktivitas adalah apabila profit budi daya sutera alam melalui pemanfaatan limbah pakan ini lebih besar dari pada profit budi sutera alam konvensional. B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Sungai Tarab, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Propinsi Sumatera Barat. Demplot menggunakan lahan kebun murbei seluas 3 hektar dan fasilitas / perlengkapan pemeliharaan ulat sutera milik petani sutera alam di bawah binaan Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Datar. C. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dalam beberapa cara, yaitu : 1. Observasi, yaitu pengamatan langsung di lapangan pada demplot budi daya sutera alam dengan cara pencatatan data proses produksi, kapasitas pemeliharaan ulat, hasil produksi, hasil limbah, penjualan produk, harga, biaya, dan data lain yang diperlukan untuk melengkapi analisis. 2. Wawancara, dengan para petani sutera alam dan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Tanah Datar.
Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Limbah (Yanto Rochmayanto, etd.)
151
D. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan dan ditabulasi sesuai kebutuhan analisis, yaitu : 1. Perhitungan arus kas (cash flow) tahunan selama umur teknis ekonomis (dengan internal rate sebesar bunga tahun berjalan) dari setiap komponen cost dan benefit pada 2 pola, yaitu pola budidaya konvensional dan pola pemanfaatan limbah pakan. 2. Dihitung NPV pada masing-masing pola budidaya dengan formula menurut Fillius (1992), Kadariah dkk (1978), Purba (1997) dan Riyanto (1999), yaitu : NPV = {B x Σ df }- {( C x Σ df ) + I } Dimana : NPV = B = C = I = df =
Net Present Value (Rp) Total Benefit (Rp) Total Cost (Rp) Total Investasi (Rp) discount factor (pada nilai i = bunga tahun berjalan)
3. Penilaian efisiensi didekati dengan cara sebagai berikut : a. Melihat dan membandingkan efisiensi ekonomis (Andayani, 1985) dari masingmasing pola budi daya. Apabila pola pemanfaatan limbah pakan memiliki nilai efisiensi ekonomis lebih besar dari pada pola konvensional, berarti pola pemanfaatan limbah pakan tersebut lebih efisien. Secara matematis kriteria efisiensi adalah sebagai berikut.
ΣPY1 Jika
ΣPY2 = efisien
< ΣPX2
ΣPX1 ΣPY1 Jika
ΣPY2 = tidak efisien
> ΣPX1
ΣPX2
Keterangan : X1 = In put produksi pada pola konvensional (Rp) X2 = In put produksi pada pola pemanfaatan limbah pakan (Rp) Y1 = Out put produksi pada pola konvensional (Rp) Y2 = Out put produksi pada pola pemanfaatan limbah pakan (Rp) P = Harga (price) (Rp) b. Seberapa besar kemampuan pola pemanfaatan limbah ini mampu memberikan efisiensi dapat dihitung melalui formula berikut : Tingkat efisiensi (%) = 100% – [ 152
TC 2 TC 1
X 100% ]
Vol. 7 No. 3 September Th. 2007, 149 - 162
Keterangan : TC1 = total cost pada pola konvensional (Rp) TC2 = total cost pada pola pemanfaatan limbah (Rp) 4. Penilaian produktivitas didekati dengan membandingkan Net Present Value (NPV) dari budi daya sutera alam melalui pemanfaatan limbah pakan terhadap pola budi daya sutera alam konvensional. Apabila pola pemanfaatan limbah pakan memiliki NPV lebih besar dari pada pola konvensional, berarti pola pemanfaatan limbah pakan tersebut memiliki produktivitas yang lebih baik. Seberapa besar kemampuan pola pemanfaatan limbah ini mampu menaikkan laba usaha dapat dihitung melalui formula berikut : Tingkat Produktivitas (%) = 100% – [ Keterangan : NPV1 NPV2
= =
NPV 2 X 100% ] NPV 1
NPV pada pola konvensional (Rp) NPV pada pola pemanfaatan limbah (Rp)
Kajian ini dilakukan terhadap budi daya sutera alam yang establish (telah terbangun dan melakukan proses produksi), sehingga biaya bahan tanaman dan penanaman diabaikan dalam analisis ini. Analisis cash flow dilakukan pada periode pemeliharaan selama 1 (satu) tahun, sehingga nilai df = 1. Analisis ini berbasis data tahun 2006, sehingga apabila terjadi eskalasi harga dan perubahan kebijakan yang mengakibatkan perubahan kondisi pasar input dan pasar output pada tahun-tahun berikutnya, analisis ini perlu dikaji kembali untuk disesuaikan dengan situasi terkini. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Budi Daya Sutera Alam Konvensional Pada umumnya analisa usaha sutera alam dalam perspektif petani tidak melakukan perhitungan biaya secara lengkap. Lahan yang digunakan sebagai milik sendiri, tenaga kerja keluarga, dan asset bangunan pemeliharaan ulat yang berasal dari hibah tidak dihitung sebagai biaya, sehingga petani menduga bahwa usaha tani yang dilakukannya dianggap menguntungkan, tetapi ternyata dalam jangka waktu tertentu tidak memberikan perbaikan pola hidup dan peningkatan kesejahteraan berarti. Pada analisa ekonomi sebaiknya ketiga faktor di atas dimasukkan ke dalam perhitungan arus kas (cash flow), sehingga benefit benar-benar merupakan hasil bersih dari hak-hak pembayaran yang seharusnya dikeluarkan. Dalam prakteknya petani punya hak untuk menerima pembayaran upah kerja bagi dirinya sendiri atau keluarga yang melakukan pekerjaan borongan atau harian tertentu, dan berhak menerima kompensasi pembayaran sewa untuk lahan miliknya sendiri. Terlebih lagi petani perlu melakukan perhitungan penyusutan (depresiasi) terhadap mesin-mesin dan peralatan Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Limbah (Yanto Rochmayanto, etd.)
153
usaha tani yang dimilikinya sebagai biaya yang harus dicadangkan untuk mengganti aset pada saat umur teknisnya berakhir. Disamping itu, permasalahan lain yang masih dihadapi oleh petani dalam praktek usaha tani persuteraan alam adalah belum mengetahui dan memenuhi skala usaha minimum yang dinyatakan sebagai Break Event Point (BEP). Biasanya petani melakukan usahanya dalam batasan kemampuan personal, dan bukan dalam batasan kapasitas manajerial. Kasus demikian terjadi pada budi daya sutera alam skala rumah tangga di Sumatera Barat. Menurut Rochmayanto (2005) nilai BEP budi daya sutera alam skala rumah tangga adalah pada tingkat input produksi pemeliharaan ulat sebanyak 27 boks per tahun (atau setara dengan 6,75 boks ulat setiap periode pemeliharaan dengan intensitas pemeliharaan 4 kali/tahun). Sehingga ketika petani masih melakukan pemeliharaan ulat 2 box setiap periode pemeliharaan, hasilnya dapat dipastikan belum memberikan keuntungan. Tabel 1 membuktikan bahwa pemenuhan kaidah ekonomi produksi memang mutlak perlu dilakukan oleh petani dan menjadi kewajiban semua pihak untuk membantu menumbuhkembangkan kesadaran dan pengetahuan dasar manajemen produksi ini. Mencermati NPV dan BCR sebagaimana tabel dimaksud menunjukkan bahwa menurut kriteria analisis finansial dalam usaha persuteraan alam termasuk kategori investasi tidak layak dimana NPV bernilai negatif dan BCR hanya sebesar 0.47. Pengusahaan sutera alam sampai dengan pemintalan benang oleh petani dalam kapasitas lahan 3 ha yang hanya dapat memelihara ulat sebanyak 2 box per periode pemeliharaan, sehingga belum mampu memberikan keuntungan. Akan berlainan halnya apabila perhitungan analisis finansial mengasumsikan sewa lahan dan upah tenaga kerja tidak dihitung, karena lahan tersebut milik sendiri dan tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja keluarga. Manakala dilakukan analisis finansial dengan menggunakan asumsi di atas terbukti bahwa NPV bergerak menjadi positif dengan BCR sebesar 1,32. Artinya, menurut perspektif petani yang tidak memperhitungkan biaya sewa lahan dan tenaga kerja, budi daya sutera alam layak diteruskan. Akan tetapi perspektif tersebut keliru karena petani selama ini hanya memperoleh keuntungan semu. Sebenarnya menurut kaidah analisis finansial, pemeliharaan ulat sebanyak 2 box per periode pemeliharaan bagi petani adalah rugi. Soekartawi (1994) menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan keuntungan maksimum sulit dicapai oleh petani, yaitu : 1. Petani belum memahami prinsip hubungan input-output, terutama petani kecil yang memiliki lahan sendiri, sering ditemui petani menggunakan input berlebihan, sehingga keuntungan maksimum tercapai pada saat input sudah terlalu banyak diberikan. Akibatnya, jumlah keuntungan yang diterima menjadi lebih sedikit. 2. Petani sering dihadapkan pada faktor risiko yang tinggi, sehingga keuntungan maksimum tidak dapat dicapai. Misalnya serangan hama penyakit atau adanya iklim atau cuaca yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, sementara petani tidak memiliki kemampuan antisipasi. 3. Petani dihadapkan pada faktor ketidakpastian dengan harga di masa mendatang, sehingga pada saat panen sering kali harga menjadi rendah dan akhirnya keuntungan menjadi kecil. 154
Vol. 7 No. 3 September Th. 2007, 149 - 162
4. Keterbatasan petani dalam menyediakan input, diikuti dengan kurangnya keterampilan petani dalam usaha tani menyebabkan rendahnya produksi yang diperoleh dan pada akhirnya keuntungan yang diperoleh juga semakin berkurang. Tabel 1. Analisis Finansial Budi Daya Sutera Alam Skala Rumah Tangga No. A 1
2 3 4 5 6 7 8 B 1 2 3 C 1 2 D
Uraian Biaya Sutera alam Lahan a. sewa lahan b. persiapan lahan Peralatan Bahan Sarana prasarana Pemeliharaan murbei Pemeliharaan ulat Panen & paska panen Pemi ntalan Biaya Palawija Bahan Penanaman/pemeliharaan Panen/paska panen Jumlah Biaya Penerimaan Penjualan benang Penjualan jagung
Biaya (Rp)
Intensitas
Jumlah (Rp)
4,500,000 75,000 501,875 668.700 590,000 960,000 860,000 260,000 225,000
4 4 4 4 4 4 4 4
kali kali kali kali kali kali kali kali
92,500 100,000 20,000
4 4 4
kali kali kali
370,000 400,000 80,000 21,912,300
kali kali
8,800,000 1,590,000
2,200,000 397,500
4 4
Jumlah Penerimaan Keuntungan / NPV BCR
4,500,000 300,000 2,007,500 2.674.800 2,360,000 3,840,000 3,440,000 1,040,000 900,000
10,390,000 (11.522.300) 0.47
B. Pemanfaatan Limbah Pakan Pemanfaatan limbah pakan sutera alam dilakukan dengan membuat kompos sisa pakan ulat sutera. Pembuatan kompos ini ditujukan untuk mensubstitusi pupuk anorganik agar dapat menekan biaya operasional dan meningkatkan keuntungan usaha, tanpa mengurangi fungsinya sebagai pengayaan unsur hara tanah sebagaimana pupuk anorganik. Berdasarkan tabel tersebut ternyata melalui upaya pemanfaatan limbah pakan malah semakin menambah biaya operasional dari Rp 21.912.300 menjadi Rp 26.972.300, atau naik 23,09% dari biaya budi daya sutera alam konvensional. Kenaikan biaya operasional tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan NPV sebesar Rp. 5.060.000,- dan penurunan BCR 0,83. Atau menurut perspektif petani NPV menurun sebesar Rp. 5.360.000,- sedangkan BCR mengalami penurunan sebesar 0,59.
Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Limbah (Yanto Rochmayanto, etd.)
155
Table 2. Analisis Finansial Budia Daya Sutera Alam dalam Perspektif Petani No. A 1
2 3 4 5 6 7 8 B 1 2 3 C 1 2 D
Uraian Biaya Sutera alam Lahan a. sewa lahan b. persiapan lahan Peralatan Bahan Sarana prasarana Pemeliharaan murbei Pemeliharaan ulat Panen & paska panen Pemintalan Biaya Palawija Bahan Penanaman/pemeliharaan Panen/paska panen Jumlah Biaya Penerimaan Penjualan benang Penjualan jagung Jumlah Penerimaan Keuntungan (NPV) BCR
Keterangan
Biaya (Rp) Intensitas Jumlah (Rp)
kali
-
-
-
501,875 668.700 590,000 -
4 4 4 4 4 4 4
kali kali kali kali kali kali
92,500 100,000 20,000
4 4 4
kali kali kali
370,000 400,000 80,000 7,892,300
2 ,200,000 397,500
4 4
kali kali
8,800,000 1,590,000 10,390,000 2,497,700 1.32
2,007,500 2.67 4.800 2,360,000 -
Milik sendiri Tng kerja keluarga
Tng Tng Tng Tng
kerja keluarga kerja keluarga kerja keluarga kerja keluarga
Terjadinya peningkatan biaya operasional ini diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain 1. Kebutuhan kompos yang cukup tinggi yaitu 1 kg per tanaman murbei, sehingga biaya satuan pupuk organik adalah Rp 700/batang, jauh lebih tinggi dibanding dengan menggunakan pupuk kimia yang hanya 20 gr per tanaman/batang dengan biaya satuan tidak lebih dari Rp 100/batang. 2. Peningkatan input kompos tidak sebanding dengan penambahan output produksi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara input dan output. Limbah pakan memberikan respon positif terhadap tinggi, jumlah cabang dan berat daun murbei, tetapi tidak berbeda nyata terhadap diameter dan jumlah daun. Sayangnya, respon positif tersebut belum memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas dan kuantitas produknya. Kondisi budi daya sutera alam konvensional maupun pemanfaatan limbah pakan dapat dihubungkan dengan hukum the low of diminishing return (Andayani, 1985). Hukum ini menyebutkan bahwa bila suatu macam input ditambah penggunaannya sedang input yang lain dibuat tetap, maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula-mula naik, tetapi kemudian menurun bila input tersebut terus ditambah.
156
Vol. 7 No. 3 September Th. 2007, 149 - 162
Table 3. Analisis Finansial Budi Daya Sutera Alam dengan Pemanfaatan Limbah Pakan No. A 1
2 3 4 5 6 7 8 B 1 2 3 C 1 2 D
Uraian Biaya Sutera Alam Lahan a. sewa lahan b. persiapan lahan Peralatan Bahan Sarana prasarana Pemeliharaan murbei Pemeliharaan ulat Panen & paska panen Pemintalan Biaya Palawija Bahan Penanaman/pemeliharaan Panen/paska panen Jumlah Biaya Penerimaan Penjualan benang Penjualan jagung Jumlah Penerimaan Keuntungan / NPV BCR
Biaya (Rp)
Intensitas
Jumlah (Rp)
4 .500 .000 75 .000 501 .87 5 2,008 .700 590 .000 885 .000 860 .000 260 .000 225 .000
1 4 4 4 4 4 4 4 4
tahun kali kali kali kali kali kali kali kali
4. 500 .000 300 .000 2.007 .500 8 .03 4.800 2 .360 .000 3 .840 .000 3 .440 .000 1 .040 .000 900 .000
92 .500 100 .000 20 .000
4 4 4
kali kali kali
370 .000 400 .000 80 .000 26 .972 .300
2,200 .000 397 .500
4 4
kali kali
8 .800 .000 1 .590 .000 10 .390 .000 (16 .582 .300) 0,39
Dalam hukum ini terdapat 3 buah kurva tingkat penggunaan input dalam proses produksi, yaitu : 1. Kurva Total Physical Product (TPP) adalah kurva yang menunjukkan tingkat produksi total pada berbagai tingkat penggunaan suatu input produksi, dengan input lain dibuat tetap. 2. Kurva Average Physical Product (APV) adalah kurva yang menunjukkan hasil ratarata (output) per unit input produksi pada berbagai tingkat penggunaan variable input tersebut. 3. Kurva Marginal Physical Product (MPP) adalah kurva yang menunjukkan tambahan/kenaikan dari total physical product yang disebabkan oleh penambahan 1 unit input produksi.
Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Limbah (Yanto Rochmayanto, etd.)
157
Table 4. Analisis Finansial Budi Daya Sutera Alam dengan Pemanfaatan Limbah Pakan dalam Perspektif Petani No. A 1
2 3 4 5 6 7 8 B 1 2 3 C 1 2 D
Uraian Biaya Sutera alam Lahan a. sewa lahan b. persiapan lahan Peralatan Bahan Sarana prasarana Pemeliharaan murbei Pemeliharaan ulat Panen & paska panen Pemintalan Biaya Palawija Bahan Penanaman/pemeliharaan Panen/paska panen Jumlah Biaya Penerimaan Penjualan benang Penjualan jagung
Biaya (Rp) Intensitas Jumlah (Rp)
501.875 2.008.700 590.000 -
4 4 4 4 4 4 4
kali kali kali kali kali kali kali
2.007.500 8.034.800 2.360.000
Milik sendiri Tng kerja keluarga
-
92.500 100.000 20.000
4 4 4
kali kali kali
370.000 400.000 80.000 3.252.300
2.200.000 397.500
4 4
kali kali
8.800.000 1.590.000 10.390.000 (2.8 62.300) 0,78
Jumlah Penerimaan Keuntungan / NPV BCR
Keterangan
Tng kerja keluarga Tng kerja keluarga Tng kerja keluarga Tng kerja keluarga
Y (Output )
TPP
Fase I
Fase II
Fase III
Fase IV
APP
X (Input)
MPP
Gambar 1. Hubungan dalam hukum the low of deminishing return pada proses produksi
158
Vol. 7 No. 3 September Th. 2007, 149 - 162
Fase produksi I memberikan ketidakseimbangan, bahwa faktor input masih terlalu kecil atau sedikit, sehingga MPP dan APP naik dengan cepat. Fase produksi II menggambarkan bahwa dengan tambahan satu unit input produksi menyebabkan peningkatan output produksi yang rasional. Pada fase III terjadi juga proses ketidakseimbangan, karena variable input terlalu banyak diberikan sehingga rata-rata output produksi mengalami penambahan yang lebih kecil dari pada tambahan inputnya, dan dilanjutkan dengan penurunan output produksi akibat penambahan satu satuan input produksi. Berdasarkan hukum di atas, maka upaya pemanfaatan limbah pakan dapat digolongkan pada situasi fase IV. Kasus pada penelitian ini menggambarkan penambahan input berupa pupuk kompos limbah pakan tidak menyebabkan penambahan output produksi fisik, dan malah menyebabkan penurunan profit, NPV dan BCR. Situasi demikian dapat diakibatkan oleh 2 hal pokok sebagai berikut. 1. Bahwa pupuk merupakan variabel input yang sudah jenuh dalam proses produksi, sehingga penambahan, peningkatan, dan perbaikan dalam variable ini menjadi tidak relevan lagi. Akibatnya penambahan pupuk limbah pakan tidak menjawab persoalan petani untuk meningkatkan pendapatan. 2. Terjadi kesalahan pemilihan jenis input produksi untuk dilakukan penambahan yang diduga akan menyebabkan peningkatan output produksi. Jadi bukan pemanfaatan limbah pakan yang mestinya dilakukan, tetapi faktor produksi lain yang harus dipilih misalnya : penambahan luas kebun murbei, penambahan jumlah ulat yang dipelihara atau penambahan sarana/prasarana guna meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil. C. Efisiensi dan Produktivitas Pengertian efisiensi sangat relatif, dimana dalam tulisan ini efisiensi diartikan menurut Andayani (1985) dengan membagi efisiensi menjadi 2 macam kategori, yaitu : efisiensi fisik (disebut juga efisiensi teknis) dan efisiensi perusahaan (disebut juga efisiensi ekonomis). Efisiensi fisik dinyatakan dalam perbandingan antara jumlah satuan barang yang dipergunakan (input produksi) dengan satuan barang yang dihasilkan (output produksi). Sedangkan efisiensi ekonomis dinyatakan dalam perbandingan antara jumlah biaya yang dikeluarkan (biaya produksi) terhadap jumlah pendapatan yang diterima (revenue). Persamaam matematis dari kedua macam efisiensi tersebut dinyatakan sebagai berikut. ΣY Efisiensi Teknis
=
ΣPY Efisiensi Ekonomis =
ΣX Dimana X Y P
ΣPX
= Input produksi (unit) = Output produksi (unit) = Harga (price) (Rp)
Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Limbah (Yanto Rochmayanto, etd.)
159
Dalam ekonomi mikro, ternyata efisiensi ekonomis sejalan dengan salah satu kriteria investasi yaitu Benefit Cost Ratio (BCR) yang menggambarkan nisbah antara net benefit terhadap cost-nya. Oleh karena itu, maka pendekatan efisiensi ekonomis dapat dilihat dengan membandingkan besaran BCR pada kedua pola budi daya sutera alam. Hasil perhitungan menunjukkan nilai BCR pada pola budi daya konvensional lebih tinggi dibanding pola pemanfaatan limbah pakan. Hasil tersebut membuktikan bahwa upaya pemanfaatan limbah pakan tidak memberikan perbaikan efisiensi dalam penggunaan input produksi untuk menghasilkan output optimal. Dengan kata lain pemanfaatan limbah pakan menyebabkan terjadinya inefisiensi pada budi daya sutera alam. Tabel 5. Perbandingan Efisiensi Ekonomis Budi Daya Sutera Alam Konvensional dengan Pemanfaatan Limbah Pakan.
No.
1.
2.
Uraian
Nilai efisiensi menurut kaidah ekonomi produksi Nilai efisiensi menurut perspektif petani.
Sutera Alam Konvensional
Pemanfaatan Limbah Pakan
Tingkat efisiensi
Produktivitas
Keterangan
0,47
0,39
-23,09%
-43,91
Tidak efisien
1,32
0,78
-67,91%
-114,60
Tidak efisien
Besarnya tingkat inefisiensi juga dapat dilihat pada Tabel 5 di atas. Angka tersebut menunjukkan bahwa melalui upaya pemanfaatan limbah pakan dapat menyebabkan penurunan efisiensi sebesar 23,09%, yang berarti meyebabkan terjadinya penambahan biaya produksi sebesar 23,09% dari biaya produksi budi daya konvensional. Bahkan menurut perspektif perhitungan petani inefisiensi terdeteksi lebih besar yaitu 67,91%, sehingga dapat dinyatakan pemanfaatan limbah pakan sangat tidak efisien dilakukan oleh petani. Biaya produksi dapat juga digunakan sebagai indikator efisiensi proses produksi. Indikator ini dapat menjelaskan terjadinya peningkatan biaya produksi dalam upaya pemanfaatan limbah pakan dari Rp. 547.808,-/kg benang menjadi Rp. 674.307,50/kg benang. Atau dalam perhitungan petani inefisiensi ditunjukkan dengan pergeseran biaya produksi dari Rp. 197.308,-/kg benang menjadi Rp. 331.308,-/kg benang. Kenyataan inefisiensi ini menolak hipotesis semula yang menduga melalui pemanfaatan limbah akan menurunkan biaya produksi sutera alam. Lebih lanjut diukur produktivitas pemanfaatan limbah pakan yang didekati dengan seberapa besar kemampuan pola pemanfaatan limbah dimaksud dapat meningkatkan pendapatan usaha tani sutera alam. Kemampuan produktivitas tersebut ternyata berbanding lurus dengan efisiensinya, yang ditunjukkan dengan adanya penurunan NPV sebesar 43,91%. Artinya upaya pemanfaatan limbah pakan akan menyebabkan penerimaan petani turun sebesar 43,91% dari jumlah penerimaan yang diperoleh pada budi daya sutera alam konvensional. 160
Vol. 7 No. 3 September Th. 2007, 149 - 162
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan dari kajian pemanfaatan limbah pakan ulat sutera di tingkat petani adalah sebagai berikut. 1. Analisis finansial pada budi daya sutera alam dengan pemanfaatan limbah pakan pada tingkat petani (kapasitas lahan 3 ha dengan pemeliharaan ulat 8 box/tahun) menemukan NPV negatif dan BCR 0,39 sehingga tidak layak untuk diteruskan. 2. Dengan menggunakan asumsi lahan milik sendiri dan tenaga kerja keluarga maka NPV positif dan BCR 1,32, sehingga menurut perspektif petani yang tidak memperhitungkan biaya sewa lahan dan tenaga kerja, pengusahaan sutera alam adalah layak untuk dilanjutkan. 3. Upaya pemanfaatan limbah pakan ternyata tidak menolong terjadinya efisiensi biaya produksi. Pemanfaatan limbah pakan menyebabkan peningkatan biaya produksi sebesar 23,09%. Seiring dengan penurunan efisiensi, upaya pemanfaatan limbah pakan juga menyebabkan penurunan produktivitas sebesar 43,91%. B. Saran Untuk memperbaiki tingkat pendapatan petani sutera alam disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Upaya pemanfaatan limbah pakan menjadi kompos tidak disarankan karena kegiatan tersebut menyebabkan inefisiensi proses produksi. 2. Pada tahap awal recovery sentra produksi sebaiknya petani melakukan budi daya sutera alam pada kapasitas produksi di atas BEP (27 box per tahun). Selama petani masih melakukan pemeliharaan 8 box/tahun sebenarnya petani hanya memperoleh keuntungan terselubung. 3. Selanjutnya perlu dikaji kemungkinan pola budi daya sutera alam terpadu dengan peternakan dan pertanian. Pola budi daya terpadu diharapkan dapat saling menambah nilai penerimaan disamping memberikan peluang siklus pemanfaatan limbah yang lebih luas. DAFTAR PUSTAKA Andayani, Wahyu. 1985. Sinopsis Pengantar Pengelolaan Produksi Studi Kasus Sektor Hutan dan Kehutanan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Fillius, A.M. 1992. Investment Analysis in Forest Management. Agriculture University Departement of Forestry. Wageningen. Kadariah, Karlina dan Clive Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Jakarta. Purba, Radiks. 1997. Analisis Biaya dan Manfaat. Rineka Cipta. Jakarta.
Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Limbah (Yanto Rochmayanto, etd.)
161
Rahmayanti, S., Sunarto, R. Hardhinasty., dan A. Winarsih. 2005. Uji Coba Pemberian Pupuk Limbah Pakan Ulat Sutera Terhadap Produksi Daun Murbei Laporan Hasil Penelitian Loka Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu. Kuok. Tidak dipublikasikan. Rochmayanto dan Tateng Sasmita. 2005. Analisis Ekonomi Produksi Sutera Alam di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Laporan Hasil Penelitian Loka Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu. Kuok. Tidak dipublikasikan. Riyanto, Bambang .1999. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. BPFE-UGM. Yogyakarta. Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
162
Vol. 7 No. 3 September Th. 2007, 149 - 162